Jurnal POLITEIA|Vol.8|No.2|Juli 2016 Tonny P. Situmorang, Husnul Isa Harahap
ISSN: 0216-9290 Loyalitas Kesukuan dalam Pemilu 1992 di Kotamadya Pematang Siantar
Loyalitas Kesukuan dalam Pemilu 1992 di Kotamadya Pematang Siantar TONNY P. SITUMORANG1, HUSNUL ISA HARAHAP2 1
Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Medan, Jl. Dr. Sofyan No.1 Medan, 20155, Telepon: 061-8220760, Email:
[email protected] 2 Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Medan, Jl. Dr. Sofyan No.1 Medan, 20155, Telepon: 061-8220760, Email:
[email protected]
Diterima tanggal 2 November 2015/Disetujui tanggal 4 April 2016 According to R William Liddle, the 1955 election was marked by a pattern-based tribal party support (primordial identities).This theory has raised the question whether the pattern will persist in the next election.Especially in the Kota PematangSiantar (where the research was conducted).This study has tried to answer these questions. The focus on the relationship between tribal loyalties to political parties (PPP, PDI, Golkar) concerning the election in the KotamadyaPematangSiantar 1992. The findings of this study indicate thevariables of tribal loyalty does not clearly describe a causal relationship with the behavior of voters. This means that there are patterns of party choice based on ethnicity. But the relationship is not as strong as in 1955.In the 1992 election not all political parties based on tribal support, except PPP and PDI. Mostly supporters of PDI is the tribe Batak Tapanuli Utara and PPP is supported by the tribe Batak Tapanuli Selatan. In terms of religion, PPP supporters almost entirely Muslim. Meanwhile, supporters of PDI predominantly Christian. However, in contrast with the two parties, the Golkar Party supported by the community with a wide-variety of tribes (Batak Tapanuli Utara, Batak Tapanuli Selatan, Jawa, Simalungun, Karo, etcetera). The party also supported by voters who have a different religion (includingMuslim and Christian voters). This study was conducted with the political behavioral approach.The research method using descriptive methods. Collecting data with field research techniques. Analysis using descriptive analysis. Keywords: Election, Tribal loyalties, Political parties.
Pendahuluan Pemilihan umum di berbagai negara terselenggara dengan alasan yang berbedabeda oleh pemerintah nasional. Secara umum alasan tersebut di samping sebagai perwujudan demokrasi adalah sebagai sumber legitimasi bagi rezim yang sedang berkuasa. Dengan mendapatkan kemenangan dalam pemilihan umum maka pemerintahan yang bersangkutan telah juga mendapatkan dukungan dari masyarakat, di mana
53
dukungan tersebut sangat diperlukan oleh setiap pemerintahan yang demokratis. Semakin tinggi tingkat dukungan yang diberikan oleh masyarakat terhadap suatu rezim pemerintahan, maka akan semakin kuat pula kedudukan rezim pemerintahan tersebut. Terkait dengan dukungan tadi maka pelaksanaan pemilihan umum terselenggaranya dengan tingkat kebebasan yang beragam. Ada negara yang secara tegas mengatur kebebasan dalam pemilihan umum itu dan melaksanakannya dengan konsekwen,
Jurnal POLITEIA|Vol.8|No.2|Juli 2016 Tonny P. Situmorang, Husnul Isa Harahap
ISSN: 0216-9290 Loyalitas Kesukuan dalam Pemilu 1992 di Kotamadya Pematang Siantar
ada juga yang tidak melaksanakannya dengan konsekwen. Walaupun tingkat kebebasan pelaksanaan pemilihan umum dalam sistem-sistem politik itu tidak sama tapi paling tidak pemilihan umum dapat menunjukkan bahwa rakyat ikut menentukan siapa yang berhak memerintah mereka.1
kampanye, konteks individual, dan lobbying.3 Ketiga kegiatan ini memerlukan kemampuan tertentu, sehingga tidak semua orang dapat melakukannya. Semakin tinggi tingkat keterlibatan dalam kehidupan politik, semakin rendah presentase individu yang aktif di dalamnya.
Sebagai pelaksanaan fungsi legitimasi kekuasaan, pemilihan umum sering diselenggarakan dengan cara memobilisasi masyarakat. Pemerintah menciptakan suatu kondisi sehingga terkesan bahwa kegiatan pemilihan umum tersebut wajib diikuti oleh seluruh warga negara yang telah berhak berdasarkan undang-undang. Mobilisasi ini sering pula diiringi dengan ketidakbebasan dalam menentukan pilihan. Untuk pemerintahan demokrasi pola mobilisasi ini adalah kurang tepat. Ini disebabkan mobilisasi dan kekurangbebasan menentukan pilihan bertentangan dengan prinsip demokrasi itu sendiri, yakni prinsip kebebasan. Di negara yang sedang berkembang sering keadaan itu sulit dihindari, namun upaya untuk memperbaiki kualitas kebebasan itu tetap ditingkatkan seiring dengan arus demokratisasi yang semakin kuat.
Di Indonesia kegiatan pemilihan umum sudah terselenggara sejak tahun 1955. Pemilihan umum tahun 1992 merupakan pemilihan umum yang keenam atau kelima selama pemerintahan Orde Baru. Sebagai kontestan atau organisasi peserta pemilu (OPP) yang mengikuti pemilihan umum ini terdiri dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Ketiga OPP ini bersaing untuk mendapatkan dukungan masyarakat memperebutkan kedudukan di lembaga perwakilan rakyat. Pemilu pertama orde baru tahun 1971.
Analisa partisipasi politik dengan jelas menunjukkan bahwa kegiatan memilih merupakan tindakan politik dengan kadar partisipasi yang rendah.2 Partisipasi dalam pemilihan umum disebutkan dengan kegiatan yang intensitasnya kecil, hal ini disebabkan tindakan tersebut dilaksanakannya hanya secara periodik serta tidak membutuhkan tingkat kemampuan tertentu. Kegiatan ini dapat dilakukan oleh siapa saja oleh mereka yang telah memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tingkat keterlibatan individual dalam kehidupan politik yang lebih mendalam dari sekedar memberikan suara dalam pemilihan umum adalah kegiatan
Dukungan masyarakat terhadap salah satu partai mempunyai pola-pola tertentu. Ada sejumlah masyarakat dengan karakteristik tertentu yang menjadi pendukung salah satu partai. Karakteristik ini bisa berkaitan dengan beberapa hal seperti faktor agama, suku, kedaerahan, status sosial, ekonomi, jenis kelamin dan lain-lain. Keseluruhan variabel ini secara sendiri-sendiri maupun bersamasama menjadi faktor penentu dalam menentukan pilihan kepartaian seseorang. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah adanya loyalitas kesukuan terhadap partai politik sebagaimana penelitian yang pernah dilakukan Willian Liddle tahun 1961-1962 dalam konteks pemilihan umum tahun 1955 masih relavan dalam menganalisis tingkah laku pemilih pada pemilu orde baru (tahun 1992)? Pertanyaan ini penting mengingat telah terjadi banyak perubahan selama perubahan waktu tersebut, khususnya di Kota Pematang Siantar. Penelitian yang dilakukan oleh R.Willian Liddle di Simalungun dan Pematang Siantar memperlihatkan adanya pola dukungan yang
Sigit Putranto Kusumawidagdo, “Sistem Pemilihan Umum Universal dan Parokial”, Prisma, No.9, September 1981, hal. 3. 2 Samuel P. Huntington dan Joan Nelson, Partisipasi Politik di Negara Berkembang, (Jakarta, Rineke Cipta, 1990), hal. 16. 1
3
Sydney Verba, et. Al., Political Participation, (London, Sage Publication, 1978), hal. 32-37.
54
Jurnal POLITEIA|Vol.8|No.2|Juli 2016 Tonny P. Situmorang, Husnul Isa Harahap
ISSN: 0216-9290 Loyalitas Kesukuan dalam Pemilu 1992 di Kotamadya Pematang Siantar
dipengaruhi oleh faktor kesukuan.4 Penelitian yang analisisnya bersifat mikro tentang tingkah laku politik lokal dikaitkannya dengan apa yang kelihatan secara makro di tingkat nasional. Pada tingkat nasional dia mengatakan bahwa Indonesia sebagaimana juga negara-negara yang sedang berkembang pada umumnya diperhadapkan kepada persoalan integrasi yang berkenaan dengan ikatan-ikatan yang bersifat primordial terutama faktor kesukuan. Studi yang dilakukan “ingin mencari soal-soal yang ditimbulkan oleh adanya perasaan loyalitas yang bersifat partikularistis, subnasional, dan (oleh adanya) jurang pemisah elite-massa di Indonesia melalui sebuah analisa tentang peranan integratif dari organisasi politik dan kepemimpinan”.5 Di Pematang Siantar dalam hal kepartaian dan hampir merupakan satusatunya faktor keberhasilan usaha menghimpun partisan adalah loyalitas kesukuan. Hasil pemilihan umum tahun 1955 memperlihatkan keberhasilan Masyumi (38,3%), Parkindo (29,3%), dan PNI (13,9%) terkait dengan faktor kesukuan dan agama dari penduduk yang menjadi pendukung utamanya.6 Masyumi para pendukungnya terutama dari Suku Batak Tapanuli Selatan. Umumnya mereka ini adalah pemeluk Islam Santri (Devout-Muslim) yang tersebar pada beberapa kelurahan terutama di Timbang Galung dan Melayu.7 Keseluruhan pengurus Masyumi tingkat Kotamadya Pematang Siantar, anggota DPRD, hingga pimpinan partai untuk tingkat kecamatan seluruhnya adalah orang Batak Tapanuli Selatan. Kepemimpinan partai ini kebanyakan direkrut dari perkumpulan keagamaan yang mereka dominasi keanggotaannya yakni Muhammadiyah dan Aljamiyatul Wasliyah. Parkindo kebanyakan didukung oleh suku Batak Tapanuli Utara.8 Kepengurusan partai untuk tingkat kotamadya, seluruh wakil 4
R.William Liddle, Ethnicity, Party and National Integration, Indonesian Case Study, (New Haven, Yale University Press, 1970), hal.10. 5 Ibid., hal. 7. 6 R.William Liddle, Partisipasi dan Partai Politik: Indonesia pada Awal Orde Baru, (Jakarta, Grafiti, 1992), hal. 56. 7 Liddle, op.cit., hal. 147. 8 Ibid., hal. 129.
55
Parkindo di DPRD, dan 85% pemimpin partai berasal dari tokoh-tokoh gereja terutama dari organisasi keagamaan Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). PNI dengan perolehan suara terbesar 13,9% memonopoli dukungan dari Suku Jawa.9 Kelihatan citra partai menunjukkan sebagai yang bersifat non-primordial sehubungan dengan ideologi yang dianutnya yakni kebangsaan (nasionalisme). Tetapi dalam kenyataannya ketergantungan dukungan dari Suku Jawa begitu kuat. Suku Jawa ini walaupun mayoritas beragama Islam, tetapi merata lebih bersifat sekuler dan biasanya merupakan Islam abangan (Non-Devout Muslim). Berdasarkan fenomena-fenomena dan temuan penelitian yang pernah ada tersebut menjadi menarik mengkaji tentang loyalitas kesukuan dalam pemilihan umum di Kotamadya Pematang Siantar tahun 1992. Pendekatan dan Metode Studi ini dilakukan dengan pendekatan tingkah laku politik. Fokusnya pada keterkaitan antara kesukuan dengan loyalitas partai politik PPP, PDI dan Golongan Karya terkait pemilihan umum di Kotamadya Pematang Siantar tahun 1992. Metode penelitian menggunakan metode deskriptif. Pengumpulan data dengan teknik penelitian lapangan. Analisis menggunakan metode analisis deskriptif. Loyalitas Kesukuan Terhadap PPP Pada tahun 1992 struktur penduduk Pematang Siantar sudah banyak mengalami perubahan akibat dari pertambahan penduduk yang cukup pesat. Berbeda dengan tahun 1961 penduduk kotamadya Pematang Siantar hanya sebesar 114.000 jiwa. Pola kesukuan berdasarkan tempat tinggal tidak lagi setegas masa itu walaupun sekarang pola kesukuan itu masih nampak. Keadaan kesukuan di Pematang Siantar terkait juga dengan faktor keagamaan. Suku-suku yang ada itu menjadi penganut utama salah satu agama yang ada. Faktor perbedaan suku dan agama ini menjadi pembatas dalam proses interaksi masyarakat, sehingga interaksi yang lebih banyak berlangsung adalah antar sesama warga itu sendiri. Keadaan seperti ini 9
Ibid., hal. 129.
Jurnal POLITEIA|Vol.8|No.2|Juli 2016 Tonny P. Situmorang, Husnul Isa Harahap
ISSN: 0216-9290 Loyalitas Kesukuan dalam Pemilu 1992 di Kotamadya Pematang Siantar
didukung oleh pengelompokkan tempat tinggal yang bersifat terbatas oleh suatu suku tertentu sebagaimana telah dikemukakan. Secara umum dapat dikatakan bahwa masalah kesukuan merupakan hambatan integrasi masyarakat di Pematang Siantar. Bentuk-bentuk organisasi sosial masyarakat senantiasa terkait dengan solidaritas kesukuan. Hal ini menunjukkan bahwa organisasi sosial yang ada di Pematang Siantar bersifat tertutup dengan keanggotaan inklusif hanya pada sesama anggota suku dan agama yang ada. Perkumpulan marga, perkumpulan yang berkaitan dengan lembaga keagamaan, perkumpulan lingkungan, maupun jenis organisasi yang lain keanggotaannya selalu berasal dari suku yang sama. Perkumpulan lingkungan10 misalnya keanggotaanya bersifat terbatas hanya dari salah satu suku ataupun agama tertentu, jadi kalau dalam lingkungan itu terdapat multi etnis, maka banyaknya perkumpulan lingkungan akan mengikuti jumlah aneka etnis itu. Kalau jumlah anggota salah satu etnis tidak mencukupi untuk membentuk organisasi lingkungan, maka mereka akan bergabung dengan etnis yang sama dari lingkungan luar yang terdekat, atau bisa juga mereka bergabung dengan etnis yang lain yang ada dalam lingkungan tempat tinggalnya yang dirasakannya lebih dapat diterimanya terutama karena persamaan agama. Adanya organisasi sosial yang kuat dipengaruhi oleh faktor kesukuan menyebabkan rasa solidaritas kesukuan akan semakin tinggi. Pengaruh yang ditimbulkannya adalah adanya ikatan kelompok dalam dan kelompok luar (in-group dan out-group). Anggota kelompok membuat perlakuan yang berbeda terhadap anggota kelompok lain dalam berbagai hal. Sulitnya penerimaan dari suku lain untuk bergabung dalam suatu organisasi akar budaya, yang terutama menyangkut bahasa dalam pergaulan anggota organisasi. Akibat10
Organisasi lingkungan ini di Siantar dikenal dengan nama organisasi parshutaon, sepertinya ada suatu kewajiban bagi setiap keluarga untuk memasukinya karena peran organisasi ini sangat dominan dalam pelaksanaan pesta yang berkaitan dengan budaya (adat-istiadat)
nya terdapat hambatan dalam komunikasi yang dapat mempersatukan mereka dalam mencapai tujuan organisasi. Disamping itu sifat keanggotaan organisasi sosial ini adalah bersifat sukarela, sehingga organisasi sosial yang dirasakan kurang menarik akan mengalami keputusan dalam merekrut anggotanya. Sebab itulah tidak terdapat organisasi sosial yang terdiri dari multi etnis di Pematang Siantar. Dengan adanya pengelompokkan sosial yang berdasarkan kesukuan ini juga mengakibatkan adanya suatu bentuk loyalitas kesukuan. Ada kesamaan pandangan yang terbentuk dari proses komunikasi akan berbagai hal yang timbul diantara sesama anggota kelompok. Dengan dukungan pemimpin kelompok sebagai salah satu sumber meminta pandangan, maka kesamaan pandangan itu akan semakin lebih efektif. Akibat adanya loyalitas kesukuan yang masih kuat, ini juga mempunyai pengaruh terhadap pola dukungan berdasarkan kepartaian. Pola dukungan ini terasa terutama bagi kedua partai politik, sementara bagi Golongan Karya kurang menunjukkan adanya pola dukungan berdasarkan kesukuan. Golongan karya berupaya mempersatukan segala aliran yang ada dalam upaya penggalangan kekuatan menuju kesinambungan kekuasaan dan pembangunan. Kemunculan Golkar (Golongan Karya) semenjak pelaksanaan pemilihan umum tahun 1971 semakin mengaburkan pola dukungan kepartaian berdasarkan kesukuan. Golkar dengan nyata dapat menampung seluruh faktor primordial yang ada, dimana semua suku dapat menjadi pendukungnya. Faktor mobilisasi pemerintah dimana pemerintah sering bertindak tidak netral dalam pelaksanaan pemilihan umum dan berupaya untuk memberi keuntungan kepada salah satu kontestan (Golkar). Kemenangan Golkar dalam pemilihan umum di Indonesia semenjak pemilihan umum Orde Baru tahun 1971 dengan presentase yang cukup besar banyak dipengaruhi oleh peran pemerintah ini.11 Tentunya ada kepentingan pemerintah 11
Untuk ini lihat misalnya Deddy N.Hidayat “Bukan Partai Yang Memerintah Tapi Partai Pemerintah”, Prisma, No.2. Februari 1977.
56
Jurnal POLITEIA|Vol.8|No.2|Juli 2016 Tonny P. Situmorang, Husnul Isa Harahap
ISSN: 0216-9290 Loyalitas Kesukuan dalam Pemilu 1992 di Kotamadya Pematang Siantar
untuk memenangkan Golkar ini sehingga berbagai saluran birokrasi dimanfaatkan untuk tujuan ini. Tujuan itu antara lain adalah agar terdapat kekuatan politik yang dominan, yang dapat menjamin kesinambungan kekuasaan yang telah dimiliki sehingga kesinambungan program pemerintah dalam menjalankan pembangunan dapat dicapai. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) masih tetap mengandalkan dukungannya dari massa pemilih Islam terutama dari bekas pendukung Masyumi dan NU. Sebelum fusi partai pada 5 Januari 1973 Masyumi merupakan partai yang besar di Pematang Siantar, bahkan untuk pemilihan umum tahun 1955 Masyumi merupakan partai terbesar dengan perolehan suara 38,3%. Perolehan suara dengan presentase sebesar itu tercapai dengan adanya dukungan sepenuhnya dari lembaga yang bersifat keagamaan yakni Muhammadiyah dan Aljamiatul Wasliyah. Dengan jelas kelihatan betapa tingginya pengaruh dari lembaga keagamaan untuk mempengaruhi warga dalam memberi dukungan kepada Masyumi itu. Walaupun Islam bukan agama dengan presentase terbesar pemeluknya di Pematang Siantar, tetapi partai Islam ini mampu meraih perolehan suara tertinggi. Sesudah fusi partai, Masyumi bergabung ke dalam PPP, semenjak fusi partai itu jugalah kemerosotan jumlah suara yang diperoleh partai Islam ini. Walaupun beberapa partai bergabung kedalam PPP, tetapi presentasi perolehan suaranya tidak pernah menyamai presentase perolehan suara Masyumi pada 1955 itu. Selama empat kali pemilihan umum sesudah fusi partai perolehan suara PPP ini tidak pernah mencapai 20%. Presentase tertinggi semenjak fusi itu diperoleh pada pemilihan umum tahun 1982 yakni sebesar 17%. Tetapi sesudahnya mengalami kemerosotan lagi hingga pada pemilihan umum tahun 1992 hanya sebesar 9,82%. Turunnya perolehan suara ini tidak terlepas dari dukungan lembaga keagamaan yang semakin melemah. Boleh dikatakan hubungan antara PPP ini dengan lembaga keagamaan sudah tidak ada, kalaupun ada
57
hubungannya saat ini sudah sangat lemah. Kelemahan hubungan itu terlihat dari tidak adanya lagi pengurus partai yang secara nyata bersumber dari organisasi lembaga keagamaan. Walaupun para pengurus partai itu banyak yang mempunyai latar belakang pendidikan dari sekolah-sekolah yang diasuh oleh lembaga keagamaan, tetapi mereka bukanlah pengurus di lembaga keagamaan itu. Paling tidak mereka bukanlah tokoh agama yang mempunyai pengaruh kuat di kalangan umat. Kurangnya keterkaitan pemilih Islam dengan PPP ini salah satunya disebabkan pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah daerah kepada tokoh-tokoh agama. Dengan berbagai cara tokoh ini diajak pemerintah untuk memberi dukungan kepada partai pemerintah. Tokoh-tokoh ini didekati pemerintah dengan memberi bantuan kepada yayasan sosial dan sekolah yang mereka asuh, termasuk bantuan untuk membangun sarana ibadah. Dengan adanya bantuan ini maka orientasi dukungan para tokoh itu diharapkan berubah, sehingga mereka beranggapan betapa pemerintah memikirkan kepentingan mereka, dan untuk itu pemerintah yang sekarang layak untuk didukung. Upaya ini dirasakan penting mengingat besarnya pengaruh tokoh itu, dengan mereka memberi dukungan kepada Golkar maka para pengikutnya juga akan melakukan tindakan yang sama. Para pengurus PPP untuk Kotamadya Pematang Siantar didominasi oleh Suku Batak Tapanuli Selatan, sekitar 80% dari pengurus yakni dari Dewan Pengurus Cabang sampai dengan Komisaris Kecamatan berasal dari Suku Batak Tapanuli Selatan ini. Demikian juga halnya dengan pendukung PPP itu mayoritas berasal dari masyarakat Batak Tapanuli Selatan. Gambaran dukungan terhadap PPP ini dapat dilihat dari jawaban responden, secara jelas kelihatan bahwa sebagian besar yang menjadi pendukung PPP itu adalah Batak Tapanuli Selatan (65,12%). Selebihnya berasal dari Suku Jawa (4,65), serta Batak Tapanuli Utara (27,91) dan Simalungun (2,32) yang beragama Islam. Lihat Tabel 1.
Jurnal POLITEIA|Vol.8|No.2|Juli 2016 Tonny P. Situmorang, Husnul Isa Harahap
ISSN: 0216-9290 Loyalitas Kesukuan dalam Pemilu 1992 di Kotamadya Pematang Siantar
Tabel 1. Dukungan Responden Kepada PPP Berdasarkan Kesukuan No Suku Bangsa % 1 Batak Tapanuli Selatan 65,12 2 Jawa 4,65 3 Batak Tapanuli Utara 27,91 4 Simalungun 2,32 Jumlah 100 Sumber: Adaptasi data penelitian. Tingginya ketergantungan PPP kepada pemilih Islam ini karena dianggap bahwa partai ini merupakan partai Islam. Walaupun dalam konstitusi partai telah dengan jelas dikemukakan bahwa keanggotaan PPP bersifat terbuka yakni menerima keanggotaan dari masyarakat yang bukan Islam, tetapi dalam kenyataan kesan partai Islam ini sulit terhapus. Untuk itulah mereka berupaya untuk mendekatkan diri kepada kelompok Islam ini. Tetapi kelihatan pendekatan yang mereka lakukan kurang efektif dibandingkan dengan pendekatan yang dilakukan oleh Golkar. Keadaan ini terbukti dari dukungan uyang mereka terima jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan dukungan yang diterima oleh Golkar. Dukungan kepartaian berdasarkan kesukuan dan agama itu kelihatan tidak lagi begitu kuat. Sebagian besar pemilih dari suku Batak Tapanuli Selatan yang beragama Islam tidak lahi merasa terikat untuk memilih PPP. Walaupun Kelurahan Timbang Galung hampir seluruhnya penduduknya Batak Tapanuli Selatan tetapi pemenang mayoritas di daerah ini adalah Golkar. Hal ini berkaitan dengan status sosial ekonomi mereka ini tinggi dan mereka yang banyak bekerja di pemerintahan serta para pensiunan. Satu hal yang menarik juga adalah bahwa semua Suku Batak Tapanuli Utara dan Simalungun yang beragama Islam menjatuhkan pilihannya kepada PPP. Jumlah mereka ini adalah sangat kecil dan biasanya walaupun secara etnis mereka adalah Batak Tapanuli Utara dan Simalungun, tetapi mereka ini secara sosial lebih dekat dengan Suku Batak Tapanuli Selatan. Hal ini terlihat dari beberapa responden yang diamati mampu mempergunakan bahasa Mandailing dan Angkola dan sebagian lagi bahkan kedua bahasa itu merupakan bahasa ibunya. Pilihan
mereka ke PPP ini merupakan buah dari solidaritas keagamaan yang mengental sehubungan karena mereka merupakan kelompok minoritas di sukunya. Jadi sebagai bentuk penegasan identitas dari mereka sebagai anggota kelompok Islam. Loyalitas Kesukuan terhadap PDI dan Golkar Partai Demokrasi Indonesia (PDI) mengandalkan dukungannya kepada Suku Batak Tapanuli Utara yang merupakan bekas pendukung Parkindo. Sebelum fusi 10 Januari 1973 Parkindo merupakan partai terbesar kedua di Pematang Siantar. Pada pemilihan umum tahun 1955 Parkindo keluar sebagai pemenang kedua dengan presentase perolehan suara 29,3%. Tingginya presentase kemenangan ini juga tidak terlepas dari peran yang dimainkan oleh lembaga keagamaan terutama dukungan gereja suku Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). Sebagian besar pengurus partai ini adalah tokoh-tokoh gereja HKBP. Keterlibatan gereja dalam mendukung Parkindo ini dilakukan secara terangterangan. Pada saat ini gereja sering dijadikan tempat untuk kampanye, untuk menarik simpati para anggota gereja. Sama dengan keadaan yang dialami oleh PPP, maka PDI semenjak fusi mengalami kemerosotan dukungan. Dukungan yang paling merosot mereka terima adalah pada pemilihan umum tahun 1982, pada saat yang sama perolehan suara PPP adalah tertinggi. Pada pemilihan umum tahun 1982 itu adapun presentase perolehan suara mereka adalah sebesar 13,78. Tetapi untuk pemilihan umum selanjutnya perolehan suara ini mulai menaik dengan puncaknya pada pemilihan umum tahun 1992 dengan presentase perolehan suara sebesar 29,15%. Turunnya presentase perolehan suara PDI tidak terlepas dari hubungannya yang tidak terkait lagi dengan organisasi gereja. Gereja tidak pernah lagi menyatakan adanya hubungan dengan partai politik, demikian juga pengurus PDI tidak lagi tokoh yang mempunyai pengaruh ataupun pengurus dari lembaga keagamaan. Tidak terkait lagi hubungan dengan gereja dan emosional anggota gereja untuk mendukung PDI itu rendah karena mereka kurang merasakan PDI
58
Jurnal POLITEIA|Vol.8|No.2|Juli 2016 Tonny P. Situmorang, Husnul Isa Harahap
ISSN: 0216-9290 Loyalitas Kesukuan dalam Pemilu 1992 di Kotamadya Pematang Siantar
sebagai penjelmaan dari Parkindo. Lambang dari PDI itu yakni dari Kepala Banteng dirasakan tidak mempunyai kaitan dengan lambang atau simbol agama Kristen. Lain halnya dengan lambang partai yang dulu mereka dukung Parkindo dimana lambangnya akrab dengan simbol Kristen yakni pohon terang dan lilin. Walaupun hubungan antara PDI dengan organisasi gereja sudah tidak ada, namun masih tetap basis dukungan PDI berasal dari suku Batak Tapanuli Utara yakni sebesar 55,81%. Dukungan dari suku lain adalah, dari Suku Jawa 20,93%, dari Suku Simalungun 11,64%, Suku Karo 5,81% dan Batak Tapanuli Selatan 5,81% (Lihat Tabel 2). Presentasi dukungan yang besar yang diterima PDI dari Suku Batak Tapanuli Utara ini berhubungan dengan sisa loyalitas kesukuan yang masih ada dari latar belakang PDI itu. Walaupun sudah tidak nyata lagi secara organisasi hubungan PDI dengan organisasi gereja, tetapi pada taraf individual sebagian anggota masyarakat masih merasakannya. Keadaan ini terkait juga dengan proses pembentukan identifikasi partai, di mana masih banyak orang tua yang dulunya merupakan pendukung Parkindo secara emosional tetap merasa dekat dengan PDI. Dukungan ini terlihat juga dari daerah pemilihan yang banyak pendukungnya biasanya pada pemukiman yang mayoritas penduduknya adalah Suku Batak Tapanuli Utara. Dukungan untuk PDI juga datang dari bekas pendukung PNI terutama Suku Jawa. Pada pemilihan umum tahun 1992 pusat-pusat pengelompokkan pemukiman Suku Jawa ini selalu mendapatkan perolehan suara PDI yang cukup tinggi. Demikian juga halnya dengan pemilih pemula dari Suku Jawa, mereka banyak yang tertarik untuk menjadi pendukung PDI di Pematang Siantar. Sama halnya dengan faktor kesukuan yang menjadi pendukung salah satu partai politik. Dukungan dari Suku Jawa juga berkaitan dengan sosialisasi yang diterima untuk menjadi pendukung PDI itu. Para orang tua yang dulu pendukung PDI yang dianggap sebagai wujud PNI dan menanamkann dukungan itu kepada kelompok dekatnya.
59
Tabel 2. Dukungan Kepada PDI Berdasarkan Kesukuan No Suku Bangsa % 1 Batak Tapanuli Selatan 5,81 2 Jawa 20,93 3 Batak Tapanuli Utara 55,81 4 Simalungun 11,64 5 Karo 5,81 Jumlah 100 Sumber: Adaptasi data penelitian. Secara umum dapat kita lihat bahwa di Pematang Siantar etnis Jawa ini tidak begitu terikat dengan organisasi sosial maupun keagamaan. Mereka lebih mengaktualisasikan ikatan kelompok dengan kontak langsung. Di samping itu ikatan yang muncul tercipta dari pemeliharaan adat-istiadat komunitas etnis yang terselenggara dalam suasana kekeluargaan. Adapun organisasi sosial yang mereka miliki tidak berjalan seefektif organisasi sosial suku lain. Timbulnya dukungan kepartaian yang cukup besar ke PDI itu juga tidak terkait dengan organisasi sosial tersebut. Tetapi dukungan itu lebih banyak berakar pada fanatisme mereka kepada unsur fusi PDI yakni PNI. Para pengurus partai PDI untuk Kotamadya Pematang Siantar didominasi oleh Suku Batak Tapanuli Utara. Pengurus cabang sampai komisaris kecamatan 85% adalah dari suku Batak Tapanuli Utara. Walaupun fusi sudah terlaksana dengan proses penggabungan partai politik tanggal 10 Januari 1973 tetapi unsur fusi itu untuk PDI Pematang Siantar masiih tersisa. Sebagian besar dewan pengurus cabang adalah dari unsur Parkindo ataupun simpatisan Parkindo. Mereka merasakan bahwa merekalah unsur fusi terbesar untuk Pematang Siantar. Keadaan kepengurusan partai ini juga memperlihatkan persoalan loyalitas kesukuan itu. Walaupun dukungan terhadap partai tidak semata-mata dari Suku Batak Tapanuli Utara tetapi dominasi suku ini dalam kepengurusan sangat terasa. Adapun pengurus yang berasal dari suku lain terutama dari Suku Jawa terasa tidak sebanding dengan dukungan masyarakat yang berasal dari Suku itu. Keadaan ini membawa implikasi yang kurang baik terhadap penggalangan dukungan, tetapi cukup positif dalam menghindari konflik.
Jurnal POLITEIA|Vol.8|No.2|Juli 2016 Tonny P. Situmorang, Husnul Isa Harahap
ISSN: 0216-9290 Loyalitas Kesukuan dalam Pemilu 1992 di Kotamadya Pematang Siantar
Golkar mendapatkan dukungan dari semua suku, agama, dan golongan yang ada dalam masyarakat. Dukungan yang diberikan kepada Golkar tidak terbatas dari salah satu kelompok atau aliran. Oleh sebab itulah anggapan Clifford Geertz yang melihat bahwa partai politik di Indonesia mewakili berbagai macam aliran atau tradisi-tradisi budaya yang penting1 sudah tidak relevan lagi. Data menunjukkan Golkar didukung oleh pemilih dari etnis Batak Tapanuli Selatan (30,41), Jawa (11,70), Batak Tapanuli Utara (35,67), Simalungun (15,20), dan Karo (7,02). Lihat Tabel 3. Tabel 3. Dukungan Kepada Golkar Berdasarkan Kesukuan 1 Batak Tapanuli Selatan 30,41 2 Jawa 11,70 3 Batak Tapanuli Utara 35,67 4 Simalungun 15,20 5 Karo 7,02 Jumlah 100 Sumber: Adaptasi data penelitian. Semenjak keikutsertaannya sebagai kontestan pemilihan umum di Pematang Siantar tahun 1971, Golkar keluar sebagai pemenang dominan. Perolehan suara dimulai dengan presentase 58,15% tahun 1971, angka yang hampir sama diperoleh tahun 1977 sebesar 69,23%. Inilah presentase terbesar yang pernah diraih Golkar di Pematang Siantar. Perolehan suara dalam pemilihan umum selanjutnya sudah mulai mengalami penurunan, walaupun tetap masih keluar sebagai pemenang dominan di atas 60%. Kepengurusan Golkar yang terdiri dari wakil-wakil etnis yang ada merupakan upaya untuk merangkul semua etnis dan aliran yang ada. Dengan dukungan kepengurusan semacam ini dirasakan akan semakin memantapkan posisi Golkar sebagai yang mewakili seluruh lapisan masyarakat. Sebagai suatu strategi untuk memenangkan pemilihan umum komposisi seperti ini kelihatan juga cukup berhasil. Pendekatan kepada masyarakat akan lebih efektif dengan mempergunakan pengurus partai yang berasal dari kelompok sukunya. Faktor yang 1
Leo Suryadinata, Golkar dan Militer, Study Tentang Budaya Politik, (Jakarta: PL3ES), hal. 67.
menentukan juga adalah orang yang cukup dikenal bukan hanya di dalam sukunya sendiri, tetapi untuk seluruh masyarakat sehubungan dengan ketokohannya maupun pengalaman birokrasinya. Sebagai tanda bahwa Golkar tidak terkait dengan aliran yang terdapat di masyarakat, maka kepengurusan Golkar untuk Kotamadya Pematang Siantar berupaya untuk mencakup semua kelompok suku dan agama, kecuali etnis Cina. Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Kotamadya Pematang Siantar beserta seluruh bagian-bagian dan komisaris kecamatan dan desa diupayakan agar terdapat keseimbangan antara suku dan agama yang ada.2 Terutama dari sisi kesukuan kepengurusan itu seimbang antara 4 suku utama yakni Batak Tapanuli Selatan, Batak Tapanuli Utara, Simalungun dan Jawa. Dengan adanya dukungan dari semua suku yang ada, maka dengan jelas kelihatan bahwa Golkar merupakan organisasi yang lebih bersifat rasional. Sifat rasional ini juga terasa dari bahasa pengantar dalam komunikasi sesame pengurus di Kantor DPD Golkar Pematang Siantar yang lebih banyak mempergunakan Bahasa Indonesia, tidak seperti di Kantor PPP dan PDI yang lebih banyak mempergunakan bahasa suku. Pemilihan umum tahun 1992 memperlihatkan kemenangan Golkar untuk seluruh kelurahan di Pematang Siantar. Daerahdaerah yang didominasi oleh suku tertentu menunjukkan bahwa pilihan mereka yang terbesar adalah ke Golkar dengan diikuti ke partai politik berdasarkan alur simpati kesukuan sebagaimana yang telah diterangkan. Tidak ada satupun kelurahan yang didominasi oleh suatu suku itu yang berhasil memenangkan partai politik, variasi yang ada adalah kalau penduduk kelurahan didominasi oleh Batak Tapanuli Utara maka pemenang kedua setelah Golkar adalah PDI. Sebaliknya kalau penduduk kelurahan mayoritas Batak Tapanuli Selatan, maka pemenang kedua 2
Sebagai contoh Jabatan Ketua DPD Golkar Periode 1988-1993 dipegang oleh H. Mariaman Naibaho SH, seorang muslim dari suku Batak Tapanuli Utara, mempunyai hubungan yang dekat dengan suku Batak Tapanuli Selatan karena isterinya dari suku itu.
60
Jurnal POLITEIA|Vol.8|No.2|Juli 2016 Tonny P. Situmorang, Husnul Isa Harahap
ISSN: 0216-9290 Loyalitas Kesukuan dalam Pemilu 1992 di Kotamadya Pematang Siantar
setelah Golkar adalah PPP. Keadaan seperti inilah yang menunjukkan betapa tingginya penerimaan setiap suku yang ada terhadap Golkar itu. Untuk itu dapat disimpulkan bahwa Golkar merupakan orsospol yang dapat mempersatukan faktor-faktor primordial yang ada dalam masyarakat. Kemenangan Golkar yang dominan di Siantar pada awalnya adalah karena dekatnya orsospol ini dengan birokrasi pemerintahan. Secara nyata struktur birokrasi sampai yang paling rendah merupakan pendukung utama Golkar. Kepada sesama pegawai negeri diberikan tugas untuk menggarap masyarakat disekitarnya supaya mengalihkan dukungannya kepada Golkar. Mengandalkan kemenangan berdasarkan dukungannya kepada Golkar. Mengandalkan kemenangan berdasarkan dukungan birokrasi ini didasari tidak dapat dipertahankan secara terus menerus, maka Golkar berupaya membenahi struktur dan fungsi organisasi dengan mengadakan konsolidasi organisasi. Demikian juga kualitas sumber daya manusia yang dimiliki secara bertahap mendapat perhatian. Hal ini terlihat dari kualitas kandidat yang diusulkan untuk menjadi anggota DPRD II Kotamadya Pematang Siantar yang kelihatan lebih baik dibandingkan dengan kedua orsospol yang menjadi saingannya. Mantapnya organisasi Golkar itu dapat juga menjadi penyebab masyarakat untuk mendukungnya. Walaupun Golkar itu terdiri dari beberapa Komite Induk Organisasi (KINO), namun di Pematang Siantar tidak pernah hal itu menjadi permasalahan dalam tubuh Golkar. Golkar inilah orsospol yang tidak pernah mengalami konflik internal, kalaupun pernah ada tidak sampai diketahui oleh masyarakat umumnya. Dukungan kepada Golkar ini juga datang sebagai akibat belum tuntasnya fusi dalam tubuh partai politik. Sebagian mereka yang dulunya pendukung salah satu partai politik merasakan bahwa partainya tidak terwakili secara utuh dalam partai politik sesudah fusi. Akibatnya mereka sering mengalami kekecewaan dan mencari jalan untuk menyatakan dukungannya yakni dengan menjatuhkan pilihannya kepada Golkar. Berdasarkan dukungan kepada masing-masing organisasi peserta pemilihan umum atas dasar suku bangsa maka dengan jelas kelihatan adanya keterikatan antara
61
suku bangsa itu dengan Partai Politik PPP dan PDI. Sementara untuk Golkar keterikaitan itu dikatakan sudah tidak kelihatan lagi. Penutup Adanya pola dukungan kepartaian berdasarkan kesukuan pada pemilu tahun 1955, sangat terasa di Pematang Siantar. Polanya begitu jelas yakni Masyumi mayoritas pendukungnya suku Batak Tapanuli Selatan yang beragama Islam Santri. Parkindo mayoritas pendukungnya suku Batak Tapanuli Utara yang beragama kristen dan PNI terutama didukung oleh suku Jawa yang beragama Islam Abangan. Namun di era Orde Baru terutama pada pemilu tahun 1992 variabel loyalitas kesukuan tidak secara jelas memperlihatkan adanya hubungan sebab akibat dengan tingkah laku pemilih. Adapun yang dapat digambarkan adalah pola pilihan kepartaian itu berdasarkan suku yang ada di Pematang Siantar. Jadi sebenarnya merupakan upaya pencarian benang merah yang mempertautkan faktor kesukuan dengan pilihan kepartaian saja. Berdasarkan pola hubungan itu kelihatan bahwa tidak semuanya politik aliran itu terhapus di Kotamadya Pematang Siantar. Dukungan kepada PPP dan PDI memperlihatkan adanya pola yang jelas perbedaannya. Dari sisi kesukuan PPP mayoritas didukung oleh suku Batak Tapanuli Selatan. Demikian juga partai ini umumnya didominasi oleh mereka, mulai dari pimpinan cabang hingga komisaris desa/kelurahan. Dukungan kepada PDI sebagian besar datang dari suku Batak Tapanuli Utara dan bagian kecil lainnya datang dari suku Jawa, Simalungun dan Karo. Dari sisi agama pendukung PPP hampir semuanya beragama Islam. Sementara pendukung PDI sebagian besar beragama kristen dan sebagian kecil Islam (dari suku Jawa). Kontras dengan kedua partai tersebut, dukungan kepartaian berdasarkan suku tidak terlihat hanya pola Golkar. Pendukung Golkar maupun kepengurusan orsospol ini memeperlihatkan dukungan yang datangnya dari beragam suku yang ada. Dengan demikian relevansi antara hasil penelitian R. Willian Liddle tentang pola dukungan yang dipengaruhi faktor kesukuan pada pemilu 1955 dengan pemilu orde baru tahun 1992 sangat terbatas hanya
Jurnal POLITEIA|Vol.8|No.2|Juli 2016 Tonny P. Situmorang, Husnul Isa Harahap
ISSN: 0216-9290 Loyalitas Kesukuan dalam Pemilu 1992 di Kotamadya Pematang Siantar
kepada Partai PPP dan PDI. Hal ini disebabkan banyak faktor. Misalnya terjadinya perubahan dan pengurangan jumlah partai politik, suasana sistem politik yang berbeda, kompetisi pemilu yang terbatas. Serta munculnya Golkar sebagai organisasi politik peserta pemilu yang didukung penuh pemerintah.^ Daftar Pustaka Hidayat, Deddy N.. 1977. “Bukan Partai Yang Memerintah Tapi Partai Pemerintah”, Prisma, No. 2. Februari. Huntington Samuel P.. dkk. 1990. Partisipasi Politik di Negara Berkembang. Jakarta: Rineke Cipta. Kusumawidagdo, Sigit Putranto. 1981. “Sistem Pemilihan Umum Universal dan Parokial”, Prisma, No.9, September. Liddle, R.William. 1970. Ethnicity, Party and National Integration, Indonesian Case Study. New Haven: Yale University Press. ______________. 1992. Partisipasi dan Partai Politik: Indonesia pada Awal Orde Baru. Jakarta: Grafiti. Suryadinata, Leo. 1992. Golkar dan Militer, Study Tentang Budaya Politik. Jakarta: PL3ES. Verba, Sydney, et.al. 1978. Political Participation. London, Sage Publication.
62