ILMU SOSIAL
LAPORAN HASIL PENELITIAN
Reyog Ponorogo dalam Perspektif High/Low Context Culture:
okicahyo-2013 Studi kasus Reyog Obyogan dan Reyog Festival
Oki Cahyo Nugroho, S.Sn
NIS/ NIDN : 19830128 20111213 / 0728018304
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PONOROGO FEBRUARI 2013 i
HALAMAN PENGESAHAN 1. Judul Penelitian
: Reyog Ponorogo dalam Perspektif High/Low
Context Culture: Studi kasus Reyog Obyogan dan Reyog Festival 2. Bidang Penelitian) 3. Peneliti a. Nama Lengkap b. Jenis Kelamin c. NIS/ NIDN d. Disiplin ilmu e. Pangkat/ Golongan f. Jabatan g. Fakultas/ Jurusan h. Alamat i. Telpon/ Faks/ E-mail j. Alamat Rumah
: Sosial
:Oki Cahyo Nugroho, S.Sn :L : 19830128 20111213 / 0728018304 : Ilmu Komunikasi : ................................................................ : ................................................................ : Fakultas Ilmu Sosial dan Politik : Jl. Budi Utomo 10. PONOROGO :
[email protected] : Perum Singosaren Blok D22 Kelurahan Singosaren, Jenangan Ponorogo. k. Telpon/ Faks/ E-mail :081578992848 /
[email protected] : Kabupaten Ponorogo 4. Lokasi Penelitian 5. Jumlah biaya yang diusulkan : Rp 3.000.000
Ponorogo, 23 Juli 2013 Ketua Program Studi
Ketua Penelitian,
Eli Purwati, S.Sos NIDN : 0702088201
Oki Cahyo Nugroho,S.sn NIDN : 0702280183
okicahyo-2013 Menyetujui Dekan Fakultas
Dra.Hj.Niken Lestarini,M.si NIDN : 0020066503
ii
Kata Pengantar Bismillahirrahmanirrahim, Atas ijin dan perkenan Allah SWT., proses penyusunan laporan hasil penelitian ini dapat berjalan dengan baik dan lancar. Karena itu kesyukuran yang tulus peneliti munajatkan kepada Rabb Semesta Alam, dengan tetap berharap agar barakah-Nya senantiasa dicurahkan kepada peneliti dalam kualitas dan kuantitas yang lebih besar sebagai modal di masa yang akan datang, untuk berkarya dan berprestasi, khususnya di bidang penelitian dengan karya dan prestasi yang lebih baik dan bermanfaat. Keberhasilan dan kesuksesan secara optimal, dari hasil penelitian yang telah peneliti upayakan ini memang masih jauh dari kenyataan, jika mempertimbangkan permasalahan-permasalahan yang begitu kompleks, dimana semuanya butuh kehikmatan lebih keras, baik terkait dengan penggalian data, reduksi data, analisis, dan pembahasan. Namun demikian, kami tetap berbangga dengan capaian penelitian dalam wujud laporan hasil ini, sekalipun sekali lagi, masih sangat banyak kekurangan yang terjadi. Sementara
okicahyo-2013
itu, laporan hasil penelitian ini rasanya sangat sulit terwujud, andaikan tidak memperoleh dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Karena itu, dalam kesempatan ini, peneliti ingin menyampaikan ucapan terimakasih dan penghargaan yang sedalam-dalamnya kepada berbagai pihak yang telah memberikan dukungan dan bantuan tersebut. Peneliti memberikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Rektor Universitas Muhammadiyah Ponorogo – Bpk Sulton M.SI. dan juga Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat yang telah memberikan dukungan pendanaan dan referensi dari berbagai aspek. Kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Ponorogo yang telah konsisten menyelenggarakan Festival Reyog Nasional dan Reyog bulan Purmana di alun-alun
iii
kabupaten Poniorogo sehingga muncullah ide dan penelitian ini. Kepada seluruh seniman Reyog Obyogan yang telah peneliti temui dalam setiap pementasan di desa Tegalombo kecamatan Kauman, desa Jebeng kec. Slahung, Desa Jati, Desa Ngebel di kec.Ngebel, Desa Golan kec. Sukorejo Segala kelalaian dan ketidaktepatan dalam penelitian ini menjadi hal yang membuat peneliti semakin bekerja keras dalam membuat penelitan-penelitan yang lebih baik. Peneliti meminta maaf yang sebesar-besarnya khususnya kepada Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Muhammadiyah Ponorogo sekaligus membuka hati dengan segala kritik dan saran sehingga penelitian selanjutnya jauh lebih baik. Sekecil apapaun manfaat penelitan ini, mudah-mudahan dapat digunakan sebagai khasanah keilmuwan khususnya dalam perkembangan seni Reyog di Ponorogo sebagai holy land of Reyog Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin
.
okicahyo-2013
iv
Daftar isi HALAMAN JUDUL .............................................................................. HALAMAN PENGESAHAN ................................................................ KATA PENGANTAR ............................................................................ Daftar isi .................................................................................................
i ii iii v
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ......................................................................... 1.2 Perumusan Masalah...................................................................
1 14
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .......................................................... 2.1 Komunikasi 2.1.1Teori komunikasi ............................................................. 2.1.1.1 Performance Theories ............................................. 2.1.2 Tahapan dalam Komunikasi ............................................ 2.1.3 Unsur-Unsur Komunikasi ............................................ 2.2 Fenomenologi ...................................................................... 2.3 High / Low Culture Context.................................................
15
BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ........................
31
BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Metode Penelitian............................................................... 4.2 Setting Penelitian .............................................................. 4.2.1 Tempat....................................................................... 4.2.2 Waktu ........................................................................ 4.2.3 Unit analisis ............................................................ 4.3 Sumber data ........................................................................ 4.4 Tekhnik Pengumpulan data. ............................................... 4.4.1 Wawancara ............................................................... 4.4.2 Obervasi ............................................................ 4.5 Studi Pustaka. ............................................................... 4.6 Studi Dokumen. ............................................................ 4.7 Tekhnik analisis data .................................................... 4.8 Teknik pemeriksaan keabsahan data. ...............................
33 33 34 34 35 35 36 36 37 38 38 39 40
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian .................................. 5.1.1. Kondisi Geografis ...................................................... 5.1.2. Kondisi Demografis ................................................... 5.2 Paparan Data dan Temuan Penelitian................................. 5.2.1 Mastery over Nature / Harmony with Nature ........... 5.2.2 Personal Control Over The Environment / Fate ... 5.2.3 Doing / Being ........................................................... 5.2.4 Future Orientation / Past or Present Orientation ... 5.2.5 Change / Tradition................................................... 5.2.6 Time Dominates / Focus On Relationship ............... 5.2.7 Human Equality / Hierarchy – Rank- Status ........... 5.2.8 Youth / Elders ..........................................................
41 41 43 46 46 50 54 55 57 61 63 65
okicahyo-2013
18 21 23 25 26 28
v
Self Help / Birthright Inheritance ............................ Individualism-Privacy / Group Welfare .................. Competition / Cooperation ...................................... Informality / Formality ............................................ Directness – Openness – Honesty / Inderectness – Ritual - “Face”................................ 5.2.14 Practicality-Efficiency / Idealism – Theory – Spiritualism – Detachment .....
5.2.9 5.2.10 5.2.11 5.2.12 5.2.13
66 68 70 72 74 76
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan ........................................................................ 7.2 Saran-Saran ........................................................................
78 78
BAB VII Jadwal Pelaksanaan .............................................................
82
BAB VIII Personalia Peneliti .............................................................
83
BAB XIX Biaya Penelitian..................................................................
84
Daftar Pustaka ........................................................................................
85
Lampiran Curriculum Vitae ......................................................................
87
okicahyo-2013
vi
okicahyo-2013
vii
okicahyo-2013
viii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Reyog merupakan sebuah kesenian daerah asli Indonesia dengan segala keunikan dan keragaman dari berbagai aspek. Reyog merupakan salah satu kesenian daerah yang lahir dan muncul pada beberapa daerah dipulau Jawa terutama Jawa Timur bagian barat. Reyog berkembang pada beberapa daerah seperti Madiun, Tulungagung, Kediri, dan Ponorogo sendiri. Reyog Ponorogo adalah sebuah pertunjukan tarian yang dinamis dan atraktif. Dalam bukunya, Jazuli (1994: 4) menjelaskan bahwa bentuk merupakan wujud dari sebuah tarian, sebuah tarian akan menemukan bentuk seninya apabila pengalaman batin pencipta maupun penarinya dapat menyatu dengan pengalaman lahirnya. Hal ini dapat dimaksudkan agar audience dapat tergerak dan bergetar emosinya atau dengan kata yang lebih sederhana penonton dapat terkesan setelah menyaksikan pertunjukan tari tersebut. Dalam menjaga eksistensi dan lestarinya salah satu budaya warisan nenek moyang, Reyog mengalami beberapa pergeseran yang disebabkan oleh beberapa hal. Bentuk pergeseran ini dapat bermacam-macam, mulai dari
okicahyo-2013
pemainnya yang dahulu oleh laki-laki semua, sekarang terdapat perempuan sebagai penari jathil. Semua penari Reyog yang dulu mengenakan topeng dalam sebuah pementasan, sekarang hanya pemain yang berperan sebagai Prabu Kelono Sewandono dan Bujangganong yang memakai topeng.
1
Pementasan Reyog pada tahun 1920 Sumber (http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Berkas:COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Eerste_bedrijf_uit _een_dansvoorstelling_waarin_een_draak_met_vier_ruiters_wordt_opgevoerd_TMnr_10004817.jpg&fil etimestamp=20091127103347) diunduh pada 7/24/2013 9:57 AM
okicahyo-2013
Dalam perkembangannya, pertunjukkan Reyog Ponorogo terbagi
menjadi beberapa versi. Beberapa penelitian menyebutkan Reyog Ponorogo terpecah menjadi beberapa versi yaitu versi Festival, versi Obyogan, dan santri. Dalam penelitian ini hanya akan diambil versi Festival dan versi Obyogan karena hanya dua versi inilah yang sering dipertunjukkan pada masyarakat. Reyog dengan format atau versi santri hanya terbatas pada kalangan pesantren dan jarang sekali dipertunjukkan dalam masyarakat umum. Pergeseran ini bisa diartikan sebagai sebuah perpecahan yang mengarah pada sebuah konflik yang dapat disimbolkan dengan penanda-penanda tertentu yang dapat dimaknai menjadi sebuah kata kunci atau sebuah tanda tertentu. Reyog dengan versi Festival adalah Reyog dengan tata pertunjukkanya merupakan bentuk baku yang dipentaskan dalam acara Festival Reyog Nasional yang biasanya diselenggarakan pada menjelang perayaan 1 Muharaam dalam penanggalan Islam atau 1 Syuro dalam penanggalan Jawa. Tarian versi ini sudah baku mulai dari jumlah pemain, penabuh, tata gerak, instrumen musik 2
sampai pada durasi waktu. Motivasi utama dalam pementasan Reyog versi Festival adalah menjadi pemenang. Oleh karena itu dalam setiap Festival Reyog Nasional hampir tidak ada improvisasi dari penari maupun penabuh gamelan pada saat pentas. Bermain sesuai skenario latihan dan patuh pada peraturan panitia adalah salah satu kunci menjadi juara. Dengan demikian, tidak ada interaksi dan komunikasi antara penonton dengan pemain. Reyog versi Obyogan adalah kebalikan dari Reyog Festival, dimana aturan sudah tidak berlaku lagi. Artinya sudah tidak menggunakan pedomanpedoman dalam sebuah pemantasan Reyog. Perbedaan yang sangat terlihat adalah Reyog Festival hanya bisa dilakukan dalam tempat tertentu dan cenderung menggunakan banyak ruang sedangkan Reyog versi Obyogan bisa menggunakan ruang sempit sekalipun yang terpenting dadak merak bisa bergerak bebas. Reyog obyog adalah seni pertunjukan Reyog yang tidak terikat oleh aturan (pakem); tidak mengikuti aturan baku yang mengatur dalam pementasannya, sesuai dengan namanya Obyogan. Reyog obyog lebih mengutamakan nilai kebersamaan dan kesenangan (hiburan) para pemain dan orang-orang yang terlibat dalam pertunjukannya.(Ridho Kurnianto dkk, 2007 :37)
okicahyo-2013 Obyog atau Obyogan
diartikan dalam kamus bahasa Jawa adalah
bebarengan nyambut gawe dengan pengertian yang sama dalam bahasa Indonesia mengerjakan pekerjaan bersama-sama (Tugas Kumorohadi 2004:2324). Istilah obyog juga disebut dalam buku pedoman sebagai nama untuk salah satu permainan musik sebagai iringan tari barongan atau tabuhan menjelang pentas (Pemkab Ponorogo,1993). Salah satu motivasi ramainya pertunjukkan Reyog Obyogan adalah adanya interaksi dan komunikasi antara penonton dengan pemain. Interaksi ini dapat berupa sapaan, mengajak menari bersama bahkan memberikan uang atau biasa disebut dengan saweran. Konco Reyog adalah sebutan bagi orang-orang yang antusias dan serta ikut menjadi bagian dari sebuah pertunjukkan Reyog Obyogan meskipun bukan bagian resmi dari tim Reyog yang sedang bermain. Perkembangan yang terjadi dengan Seni pertunjukkan Reyog Ponorogo saat sekarang mengarah pada beberapa sebab dan menjadi sebuah paradigma yang berkaitan langsung dengan Reyog Obyogan dan Reyog Festival. Dalam
3
perjalanannya, usaha pemerintah dalam mengembangkan seni tradisional ini mengalami beberapa kendala. Kelompok Reyog tradisional kesulitan dana dan kader ( Kompas 13-32002). Dalam pemberitaan ini, disebutkan bahwa penyebab utama terhambatnya perkembangan Reyog tradisional karena persoalan keuangan dalam merawat dan menjaga peralatan pentas. Kurangnya kesadaran dan pengharagaan dari generasi muda juga turut menjadi faktor yang menurunkan jumlah Reyog tradisional terutama pada daerah –daerah pinggiran. Adanya pendapat bahwa pemerintah daerah Ponorogo hanya menjual Reyog sebagai komoditas pariwisata dan tidak memberikan pembinaan juga disinyalir menjadi semakin sedikitnya pentas dan grup Reyog tradisional. Reyog Obyogan kini sudah mulai jarang dipertunjukkan( Jawa Pos Radar Madiun 16-9-1999 hal 3). Dalam artikel ini bahwa “Reyog Ponorogo memilih hujan emas dinegeri orang kian redup ditanah kelahiran” mempunyai dasar yang kuat. Secara singkat warga diluar Ponorogo sedang senang melihat dan menikmati seni Reyog Ponorogo sedangkan dalam di Ponorogo sendiri Reyog mengalami sebuah kemunduran dangan jarangnya seni Reyog yang dipertunjukkan terutama Reyog Obyogan. Hal ini bisa dibaca dengan adannya
okicahyo-2013
pertunjukan Reyog versi Festival secara besar-besaran yang hanya diselenggarakan 1 tahun sekali dengan mendatangkan peserta dari seluruh Indonesia, sedangkan Reyog dalam kabupaten Ponorogo sendiri tidak mendapatkan perhatian yang serius dengan ditandainya banyaknya Reyog pada desa dan kelurahan yang rusak dan tidak aktif lagi. Jumlah grup Reyog dari luar kota Ponorogo semakin lama semakin meningkat, meskipun peningkatannya hanya satu atau dua grup, tatapi jumlah ini terus mengalami peningkatan yang pasti disetiap tahun dalam
setiap
pementasan Festival Reyog Nasional. Data ini dikuatkan dari ketua panitia Festival Reyog Nasional Ponorogo tahun 2012, Budi Satriyo. Menurut Budi Satriyo, peserta dari dalam kabupaten Ponorogo dibatasi dan diwajibkan hanya dari instansi Kecamatan diPonorogo yang berjumlah 21 Kecamatan serta sekolah-sekolah atau instansi pendidikan yang mempunyai grup Reyog. Sedangkan peserta dari luar kabupaten Ponorogo terus mengalami peningkatan dengan grup-grup pendatang baru yang didukung dengan sponsor yang kuat. Pada tahun 2010 ada sekitar 50 grup peserta yang ikut Festival Reyog nasional 4
dengan komposisi 21 dari grup wajib Kecamatan dari Ponorogo dan sekolah atau instansi pendidikan dan 25 peserta dari luar kabupaten Ponorogo. Tahun 2011 tidak mengalami peningkatan yaitu 50 peserta. Tetapi pada tahun 2012 ini mengalami peningkatan menjadi 52 peserta dengan komposisi 60 persen dari luar Ponorogo seperti peserta dari DKI Jakarta yang akhirnya menjadi juara pada Festival Reyog nasional ini. Perkembangan yang tidak menguntungkan bagi grup Reyog dalam kabupaten Ponorogo justru pada tahun 2013 mendatang. Pada Festival Reyog tahun 2013 mendatang jumlah peserta akan dibatasi hanya menjadi 40 peserta dengan mengutamakan peserta dari luar kabupaten Ponorogo. Peraturan ini sedang dirumuskan dalam Yayasan Reyog Ponorogo dan beberapa dinas yang terkait dengan Festival Reyog Nasional Ponorogo. Masih melekatnya gambaran negatif terhadap seni Reyog Ponorogo terutama Reyog dengan format Obyogan. Seperti yang dikutip dari koran Jawa Pos Radar Madiun 16 September 1999 bahwa melemahnya minat warga masyarakat Ponorogo terhadap Reyog
disebabkan adanya image atau isu
negatif yang masih melekat dengan kehidupan para pemain Reyog itu sendiri pada saat pentas. Image atau gambaran negatif tersebut berupa adanya minuman keras, susuk, sesajen, dan lain sebagaianya. Tawuran atau perkelahian juga
okicahyo-2013
sering terjadi antar penonton dan tidak jarang membuat membuat resah penonton yang lain serta aparat keamanan. Hampir setiap pertunujkkan Reyog yang dipentaskan secara Obyogan ada unsur minuman kerasnya, meskipun dalam beberapa pentas dilakukan dengan sembunyi-sembunyi. Gambaran singkat diatas dapat ditarik menjadi sebuah karakteristik budaya yang melahirkan sebuah cara dalam berkomunikasi lewat media budaya itu sendiri. Cara masyarakat dalam menyampaikan gagasan, tujuan, dan maksud yang terpendam dalam benak mereka mempunyai gaya atau cara yang unik dan menarik jika dilihat dari sudut pandang ilmu komunikasi. Setiap individu,kelompok kecil homogen atau komunitas, atau kumpulan masyarakat yang lebih luas dan beragam mempunyai cara dan gaya tersendiri yang akan berkaitan langsung dengan budaya masing-masing. Lebih fokus pada permasalahan komunikasi budaya yang terjadi pada Reyog Ponorogo, bahwa dalam sebuah sistem kebudayaan yang sama dengan akar atau sumber budaya yang sama terjadi perpecahan dengan segala ideologi dan kepentingan yang mengalir didalamnya. Perpecahan yang terjadi dapat 5
membingungkan dan mengundang berbagai pertanyaan yang mendalam dan harus dilakukan sebuah penelitian untuk bisa menjawab sebab dan akibat yang akan terjadi dengan berlandaskan teori dan beberapa penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya. Dari sudut pandang pemain dan seniman Reyog yang berkecimpung dan menjadi bagian hidup dari sebuah pertunjukkan Reyog tentunya akan saling bertolak belakang dengan berpegang teguh pada prinsip masing-masing. Hal inilah kemudian yang menjadi fokus penelitian dalam bidang komunikasi tentang apa yang menjadi pesan, proses pengemasan pesan serta pemaknaan dalam pesan itu sendiri dan yang paling penting adalah dampak atau efek dari pesan yang ingin disampaikan para pemain ini terhadap penonton atau dalam pandangan ranah atau kajian ilmu komunikasi, terutama dalam komunikasi budaya. Fokus dalam penelitian komunikasi akan dibatasi beberapa aspek yang berkaitan langsung dengan sebuah proses komunikasi itu sendiri. Diantara proses itu adalah tentang pesan (message), proses penciptaan pesan (creation of message), pemaknaan dalam pesan (Intepretation of Message),proses yang saling berkaitan (Relational Proses), dampak dari pesan (Messages That Elicit a Response) (Griffin. 2011: 6-8).
okicahyo-2013
Perbedaan-perbedaan dalam format pertunjukkan, perangkat yang
dipakai, motivasi dalam pertunjukkan, interkasi dengan penonton, interkasi dengan pemain lain dan improvisasi dalam pementasan secara tidak langsung menimbulkan sebuah gaya dan karakteristik dalam komunikasi yang pada akhirnya membentuk karakter masing-masing pertunjukkan. Kekuatan dalam memegang idelogi atau kepercayaan terhadap seni Reyog yang berbeda inilah yang selanjutnya menjadi sebuah karakteristik dalam proses komunikasi yang bisa kita jumpai dalam setiap pementasan baik dalam format Reyog obyog maupun Reyog dalam versi Festival atau panggung. Begitu juga dengan proses penyampaian pesan yang ingin disampaikan dalam sebuah proses pertunjukkan Reyog Ponorogo dalam format Obyogan atau dalam format Festival. Pesan yang disampaikan menjadi mempunyai karakter yang unik sesuai dengan pembawa pesan itu sendiri yaitu Reyog dengan berbagai formatnya. Hal inilah yang menyebabkan dalam setiap pertunjukan Reyog baik dalam format obyog atau dalam versi Festival selalu mempunyai ciri khas dan 6
keunikan sendiri-sendiri dalam setiap pementasan. Dalam setiap pementasan yang berlangsung, secara langsung akan memproduksi simbol-simbol tertentu yang membuat atau mengajak penonton untuk saling berkomunikasi. Sebagai contoh dalam pentas obyog adanya ajakan menari bersama dalam kalangan menunjukkan adanya kedekatan dan kesetaraan derajat diantara penonton. Berbeda dengan Reyog versi Festival, dalam Reyog versi Festival penonton secara otomatis akan terpecah statusnya. Hal ini bisa dilihat dari simbol kursi dan pagar yang membatasi penonton. Bagi penonton yang tidak berkepentingan tidak bisa masuk dan duduk pada kursi yang tersedia. Kursi yang disediakan adalah khusus
untuk orang atau pejabat pemerintahan yang hadir atau
siapapaun pejabat asal mempunyai kedudukan dalam pemerintahan daerah tersebut.
Untuk lebih detil dan terlihat perbedaan dapat dilihat dari
perbandingan foto-foto pementasan Reyog Obyogan dan Reyog dalam format Festival. Penelitian ini berangkat dari indikator Edward T Hall tentang pembedaan atau kategorisasi budaya berdasarkan ukuran-ukuran tertentu. Argumen Hall terbukti bisa dijadikan bahan rujukan ketika ada sebuah fenomena yang terjadi yang berkaitan langsung dengan intercultural study.
okicahyo-2013
Pada dasarnya, indikator Hall ini digunakan dalam penelitian yang
merujuk pada sebuah fenomena dengan dasar intercultural study. Tetapi dalam perkembangannya, Reyog Ponorogo dapat dikategorikan menjadi beberapa kategori berdasarkan perspektif atau sudut pandang dari berbagai disiplin ilmu. Oleh karena itu dalam penelitian ini perspektif yang digunakan Edward hall sangat sesuai dengan perkembangan yang terjadi seiring dengan perkembangan dunia ilmu terutama dalam perspektif ilmu komunikasi. Dalam pandangan Edward Hall, Indonesia masuk dalam kategori budaya dengan karakter yang High Culture Context, (Lesmana.Tjipta.2009:58). Secara sederhana, High Culture Context adalah sebuah kategori budaya yang dalam proses penyampian pesan yang disampaikan tidak secara langsung, syarat makna dan penuh dengan intepretasi dari masing-masing penerima pesan itu sendiri. Reyog Ponorogo dalam perkembangannya mengalami percampuran budaya yang dipengaruhi oleh beberapa aspek dan pengaruh dari luar budaya Ponorogo
yang
pada
akhirnya
mempengaruhi
pola-pola
dalam 7
pertunujukannya. Pertunjukan-pertunjukan Reyog Ponorogo yang terpecah menjadi dusa versi sangat pas dengan teori Hall tentang High dan Low Context Culture. Melihat perkembangan budaya yang terjadi pada seni pertunjukan Reyog Ponorogo, jika dikaitkan dengan konteks budaya secara lebih luas akan mengarah pada sebuah kategorisasi budaya itu sendiri. Hal inilah yang sangat mempengaruhi gaya dalam berkomunikasi dengan masyarakat atau audience yang menyaksikan. Dalam kategorisasai secara luas, perkembangan Reyog Ponorogo ini dapat dilihat dari aspek high dan low culture context yang pernah dikemukakan oleh Edward T Hall dalam beberapa bukunya. Context is the information that surrounds an event ; it is inextricably bound upwith the meaning of that event.The elements that combi n e to produce a given meaning- events and context - are in different proportions depending on the culture.(Edward Hall,1990:6)
okicahyo-2013
Dari pernyataan Hall diatas bisa disimpulkan secara cepat bahwa sebuah
informasi yang tersedia ada dalam konteks yang melingkupi sebuah peristiwa dan informasi tersebut melekat dengan arti dari peristiwa itu sendiri. Dan elemen-elemen tersebut bersatu untuk menghasilkan makna yang berbeda proposinya tergantung pada budaya yang ada. Kata kunci dari pernyataan Hall diatas adalah perberdaan budaya. Perbedaan budaya yang diartikan secara luas dengan perbandigan proporsi masing-masing yang pada akhirnya memberikan makna sesuai dengan budaya itu sendiri. Dari tabel instrumen pemisahan budaya menurut Hall, sebagian besar Reyog dengan format Festival berada pada low Culture Context. Hal ini dapat di buktikan dengan Mastery over Nature dengan lawannya adalah Harmony
8
with Nature. Reyog dengan format Festival selama ini berlangsung pada sebuah panggung megah permanen yang ada di sisi selatan alun-alun kabupaten Ponorogo. pangung ini pun dihias dan dilengkapi dengan berbegai perlngkapan pertunjukan modern, seperti lampu panggung yang gemerlap dan tata cahaya gemerlap dengan daya ratusan watt. Sedangkan dalam pertunujukan Reyog versi Obyogan adalah Harmony with Nature atau sebaliknya. Harmony dengan alam, menyatu dan membaur dengan alam sekitar adalah ciri khas pertunjukan ini. Setiap pertunjukan yang digelar untuk Reyog Obyogan menggunakan lahan atau tempat seadanya, halaman rumah, lapangan sepak bola, perempatan jalan atau dimanapun bisa. Tidak ada panggung megah, tidak ada proyek pendirian panggung dengan dana milyaran rupiah, tidak ada tata suara menggelegar dan tidak ada tata cahaya. Yang ada adalah penggung alam dan tata cahaya dari alam yang tergantung musim. Dari proses-proses yang dapat dikategorikan diatas, masyarakat
okicahyo-2013
Ponorogo pada akhirnya mengalami paradigma unik dimana dengan satu budaya muncul dua versi yang sangat bertolak belakang satu sama lain. Dalam bahasa teori komunikasi, proses ini adalah disebut sebagai noise atau faktor yang mempengaruhi jalannya sebuah informasi yang berjalan. Informasi yang tersampaikan pada kenyatannya terpecah menjadi dua bagian besar yang membingungkan untuk diterima dan dipahami secara konteks. Intepretasi masyarakatpun beragam dalam menanggapi Reyog dalam versi Festival dan Reyog dengan format Obyogan. Ada yang senang dengan Reyog versi Festival, ada masyarakat yang fanatik dengan Reyog Obyogan. Dalam hal mengungkapkan kesenangan dan rasa fanatisme pun mereka
9
mempunyai cara dan sikap sendiri-sendiri dengan penanda dan simbol-simbol tertentu yang bisa kita baca. Adanya
perbedaan
dalam
budaya
inilah
yang
menyebabkan
ketimpangan dan salah persepsi dalam penyampaian sebuah pesan. Being aware of these differences usually leads to better comprehension, fewer misunderstandings and to mutual respect (Shoji Nishimura, Anne Nevgi and Seppo Tella, 2008:784). Meminimalisir kesalahpahaman adalah sebuah jalan dalam mencari sebuah jalan tengah dari sebuah ketegangan yang terjadi dalam sebuah perjalanan budaya yang sering terjadi dalam masyarakat Indonesia yang terkenal dengan multi etnis dan multi kultur ini. Hasil akhir yang diharapkan dari penelitian ini adalah adanya rasa saling memiliki dan saling menghormati diantara pelaku, masyarakat umum atau konco Reyog itu sendiri . Hal inilah menjadi salah satu motivasi dari peneltian kecil tentang sebuah budaya yang
okicahyo-2013
menjadi ikon budaya di Jawa Timur sebelah barat. 1.2 Perumusan Masalah
Selama ini pertunjukan Reyog yang dikenal luas ada dua versi, yaitu seni pertunjukkan Reyog dengan format Obyogan dan seni pertunjukkan Reyog dengan format Festival, tetapi dibalik itu semua ada beberapa jenis atau aliran dalam pertunjukkan Reyog sendiri. Tetapi dalam penelitian ini hanya akan diambil dua aliran besar yang mewakili dari sisi bentuk pertunjukkan khususnya dalam ranah bidang ilmu komunikasi yaitu Reyog dengan format Obyogan dan Festival Dalam perjalannya, Reyog Ponorogo mengalami paradigma budaya yang unik dan menarik, dimana satu sumber budaya terpecah menjadi dua aliran yang saling bertentangan dengan audience yang sama dan kadang dengan pelaku-pelaku seni yang sama. 10
Dalam pandangan Hall tentang High/ low culture context, negara-negara di asia masuk dalam kategori High culture context.
Tabel High/Low context by culture (Hall & Hall,1990)
Dalam bukunya Beyond Culture(Hall,1985), budaya diseluruh dunia diklasifikasikan dengan ukuran-ukuran tertentu yang pada akhirnya menjadi klasifikasi dalam interaksi masyarakat. Tabel dibawah ini adalah sebagian
okicahyo-2013 kecil dalam klasifikasi konteks budaya menurut Hall. Low-Context (Individualistic)
Materialism High-Context (Collective)
Mastery over Nature Personal Control over the Environment Doing Future Orientation Change Time Dominates Human Equality Youth Self-Help Individualism/Privacy Competition Informality Directness/Openness/Honesty Practicality/Efficiency
Harmony with Nature Fate Being Past or Present Orientation Tradition Focus on Relationships Hierarchy/Rank/Status Elders Birthright Inheritance Group Welfare Cooperation Formality Indirectness/Ritual/"Face" Idealism/Theory Spiritualism/Detachment
Hall, E. T. Beyond Culture. Garden City, N.J.: Anchor Press/Doubleday, 1985. Copeland and Griggs (1985, p. 107)
11
Penelitian ini berangkat dari indikator Edward T Hall tentang pembedaan atau kategorisasi budaya berdasarkan ukuran-ukuran tertentu. Argumen Hall terbukti bisa dijadikan bahan rujukan ketika ada sebuah fenomena yang terjadi yang berkaitan langsung dengan intercultural study. Tetapi dalam perkembangannya, Reyog Ponorogo dapat dikategorikan menjadi beberapa kategori berdasarkan perspektif atau sudut pandang dari berbagai disiplin ilmu. Oleh karena itu dalam penelitian ini perspektif yang digunakan Edward hall sanagt sesuai dengan perkembangan yang terjadi seiring dengan perkembangan dunia ilmu terutama dalam perspektif ilmu komunikasi. Dalam pandangan Edward Hall, Indonesia masuk dalam kategori budaya adengan karakter yang High Culture Context, Dalam pandangan Edward Hall, Indonesia adalah negara yang masuk dalam kategori High Culture context (Lesmana.Tjipta.2009:58). Secara sederhana, penyampian pesan yang disampaikan tidak secara langsung, syarat makna dan penuh dengan intepretasi dari masing-masing penerima pesan itu sendiri. Adanya perbedaan dalam pemahaman Reyog inilah yang menyebabkan ketimpangan dan salah persepsi dalam penyampaian sebuah pesan. Being aware
okicahyo-2013
of these differences usually leads to better comprehension, fewer misunderstandings and to mutual respect (Shoji Nishimura, Anne Nevgi and Seppo Tella, 2008:784). Meminimalisir kesalahpahaman adalah sebuah jalan dalam mencari sebuah jalan tengah dari sebuah ketegangan yang terjadi dalam sebuah perjalanan budaya yang sering terjadi dalam masyarakat Indonesia yang terkenal dengan multi etnis dan multi kultur ini. Hasil akhir yang diharapkan dari penelitian ini adalah adanya rasa saling memiliki dan saling menghormati diantara pelaku, masyarakat umum atau konco Reyog itu sendiri . Hal inilah menjadi salah satu motivasi dari peneltian kecil tentang sebuah budaya yang menjadi ikon budaya di Jawa Timur sebelah barat.
12
Dengan indikator diatas, dengan mudah Reyog Ponorogo bisa dikategorikan dalam high / low culture context dalam proses penyampian pesan, intepretasi, ataupun efek dari pesan itu sendiri. Reyog dengan format Obyogan sebagian besar masuk dalam kategori High culture context sedangkan seni pertunjukan Reyog Festival sebagian besar masuk dalam kategori low culture context. Hal ini berdasarkan indikator yang terdapat pada tabel yang dibuat oleh Hall(1985). Dalam penelitian ini, penulis akan mencoba membuktikan bahwa perspektif Hall tentang kategorisasi dalam budaya dunia ini dapat digunakan sebagai kategorisasi dalam Seni pertunjukan Reyog Ponorogo. Oleh karena itu, pertanyaan permasalah (problem question) penelitian ini dirumuskan sebagai berikut : Bagaimana bentuk kesenian pertunjukan Reyog Ponorogo menurut perspektif High/ Low culture Context dikabupaten
okicahyo-2013
Ponorogo. kemudian untuk lebih rinci dan fokus pada masalah yang dapat menjelaskan dan mendukung penelitian diatas maka dibutuhkan beberapa pertanyaan pendukung. Diantaranya adalah bagaimana bentuk pertunjukkan seni Reyog Obyogan dalam perspektif High Culture Context?, bagaimana bentuk pertunjukkan seni Reyog Obyogan dalam perspektif Low Culture Context? bagaimana bentuk pertunjukkan seni Reyog Festival dalam perspektif High Culture Context? bagaimana bentuk pertunjukkan seni Reyog Festival dalam perspektif High Culture Context?pesan apakah yang ingin disampaikan dalam pertunjukan Reyog Obyogan?pesan apakah yang ingin disampaikan dalam pertunjukkan Reyog Festival? bagaimana efek dari pertunjukkan Reyog tersebut?
13
okicahyo-2013
14
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA Dalam menjelaskan dan menggambarkan secara lengkap sebuah fenomena unik yang terjadi dalam sebuah paparan penelitian membutuhkan teori sebagai sebuah rangkaian benang merah yang akan sangat membantu dalam menarik sebuah kesimpulan berdasarkan pandangan-pandangan para ahli berdasarkan beberapa teori yang dapat dipakai.akan tetapi seperangkat teori ini perlu dijelaskan sebagai sebuah arahan atau pedoman peneliti untuk dapat mengungkapkan fenomena agar lebih fokus dan detil. Kumpulan-kumpulan dari teori tersebut dikembangkan sejalan dengan penelitian itu berlangsung. Hal ini didasarkan pada kenyataan yang terjadi dilapangan dan berkembang sesuai
okicahyo-2013
dengan kenyataan yang ada.
Pendekatan-pendekatan secara teoritis diperlukan dalam rangka
memudahkan pemahaman terhadap sebuah permasalahan yang terjadi. Adanya perbedaan pendapat, ketidaksamaan dalam pemahaman, perbedaan budaya akan berdampak langsung dalam pendekatan dalam setiap masalah yang terjadi. Oleh karena itu, teori mutlak diperlukan untuk menyatukan pandangan dan persepsi. Dalam kehidupan praktis, teori hanya sebagai bahan yang paling dihindari oleh masyarakat pada umumnya. theory has a bad name: “Look out, here come the airy, hard-tounderstand abstractions, with no concrete examples to back them up or illustrate them.” In its very definition, theory seems neatly divorced from commonsense practice, and that’s what makes it so frustrating to 15
study: Theory seems separated from what people do.( Jeffrey Nealon and Susan Searls Giroux, 2012:2)
Inti dari kutipan buku dengan judul Toll box Of theories diatas menjelaskan bahwa sebuah kajian teori menjadi sangat sulit dipahami, tidak ada bukti nyata dan secara membuat orang yang belajar tentang teori menjadi frustasi. Kemudian teori menjadi terpisah dari apa yan dikerjakan orang lain. Inilah pandangan tentang kajian teori yang membuat orang menjadi malas dan enggan untuk belajar teori, tetapi dalam masalah ini teori mutlak diperlukan sebagai pijakan dalam tahapan menggali dan mengeksplorasi sebuah fenomena yang terjadi. Dalam menghadapi sebuah fenomena dan paradigma penelitian, teori digunakan sebagai kacamata dalam melihat dengan sudut pandang tertentu. Untuk memudahkan dalam melihat sebuah pradigma tersebut, maka ada tiga
okicahyo-2013
metapora teori sebagai alat bantu dalam melihat sebuah paradigma tertentu. Yang pertama adalah “Theories as a Nets”. Jaring ilmu digunakan sebagai penangkap “dunia” dan mengolahnya menjadi lebik baik lagi seiring dengan waktu. “theories are nets cast to catch what we call ‘the world’ . . . . We endeavor to make the mesh ever finer and finer”( Griffin EM.2012:5). Dalam pandangan para ilmuwan, teori sangat diperlukan sebagai “tool of trade”. Oleh karena itu, teori sangat diperlukan sebagai alat bantu dalam bertukar informasi, pengetahuan secara spesifik dan mendalam. Dalam pandangan para ilmuwan teori merupakan sebuah alt bantu dalam melihat secara lebih detil dan fokus.“Theories as a Lenses”:....” The lens imagery highlights the idea that theories shape our perception by focusing
16
attention on some features of communication while ignoring other features, or at least pushing them into the background”( Griffin EM.2012:5). Kemampuan dalam menggambarkan pokok bahasan dalam sebuah ide dimana dengan teori tersebut akan mempertajam pandangan dalam persepsi kita dengan jalan fokus perhatian pada beberapa masalah dalam komunikasi dan pada saat yang sama tidak memperdulikan permasalahan-permasalahan yang lain, atau paling tidak sebagai penguat latar belakang dari sabuah permasalahan yang utama. Permasalahan-permasalahn komunikasi yang muncul lebih banyak tidak kita ketahui sebelumnya. Banyak ruang gelap dan jalan buntu yang tidak kenal sebelumnya, atau daerah yang tidak familiar dengan pengetahuan kita sebelumnya. Oleh karena itu, Theories as Maps adalah bantuan dalam melihat daerah-daerah yang tidak masuk dalam peta pengetahun kita sebelumnya. “Either way we need to have theory to guide us through unfamiliar
okicahyo-2013
territory”(Griffin EM.2012:5-6). Adanya
perbedaan
dalam
budaya
inilah
yang
menyebabkan
ketimpangan dan salah persepsi dalam penyampaian sebuah pesan. Being aware of these differences usually leads to better comprehension, fewer misunderstandings and to mutual respect (Shoji Nishimura, Anne Nevgi and Seppo Tella, 2008:784). Satu teori dangan teori dengan teori lainnya bukan sebagai suatu urutan dari “teori agung”(Grand theory), “ teori menengah (Middle range theory) atau terapan (Applied theory), melainkan sebagai suatu kumpulan teori yang menjelaskan keterkaitan satu sama lain (Engkus Kuswarno,2009:108). Pengambilan teori—teori ini adalah didasarkan pada permasalahan yang ingin
17
dibahas dan sudah melewati berbagai pertimbangan dan sangat relevan dengan konteks dan fokus penelitian tentang Reyog Ponorogo ini.
5.3 Komunikasi 2.1.1 Teori komunikasi Dalam menjelaskan dan menggambarkan secara lengkap sebuah fenomena unik yang terjadi dalam sebuah paparan penelitian membutuhkan teori sebagai sebuah rangkaian benang merah yang akan sangat membantu dalam menarik sebuah kesimpulan berdasarkan pandangan-pandangan para ahli berdasarkan beberapa teori yang dapat dipakai.akan tetapi seperangkat teori ini perlu dijelaskan sebagai sebuah arahan atau pedoman peneliti untuk dapat mengungkapkan fenomena agar lebih fokus dan detil. Kumpulan-kumpulan dari teori tersebut
okicahyo-2013
dikembangkan sejalan dengan penelitian itu berlangsung. Hal ini didasarkan pada kenyataan yang terjadi dilapangan dan berkembang sesuai dengan kenyataan yang ada. Pendekatan-pendekatan secara teoritis diperlukan dalam rangka memudahkan pemahaman terhadap sebuah permasalahan yang terjadi. Adanya perbedaan pendapat, ketidaksamaan dalam pemahaman, perbedaan budaya akan berdampak langsung dalam pendekatan dalam setiap masalah yang terjadi. Oleh karena itu, teori mutlak diperlukan untuk menyatukan pandangan dan persepsi. Dalam kehidupan praktis, teori hanya sebagai bahan yang paling dihindari oleh masyarakat pada umumnya.
18
theory has a bad name: “Look out, here come the airy, hard-tounderstand abstractions, with no concrete examples to back them up or illustrate them.” In its very definition, theory seems neatly divorced from commonsense practice, and that’s what makes it so frustrating to study: Theory seems separated from what people do.( Jeffrey Nealon and Susan Searls Giroux, 2012:2) Inti dari kutipan buku dengan judul Toll box Of theories diatas menjelaskan bahwa sebuah kajian teori menjadi sangat sulit dipahami, tidak ada bukti nyata dan secara membuat orang yang belajar tentang teori menjadi frustasi. Kemudian teori menjadi terpisah dari apa yan dikerjakan orang lain. Inilah pandangan tentang kajian teori yang membuat orang menjadi malas dan enggan untuk belajar teori, tetapi dalam masalah ini teori mutlak diperlukan sebagai pijakan dalam tahapan menggali dan mengeksplorasi sebuah fenomena yang terjadi. Dalam menghadapi sebuah fenomena dan paradigma penelitian, teori digunakan sebagai kacamata dalam melihat dengan sudut pandang tertentu. Untuk memudahkan dalam melihat sebuah paradigma tersebut,
okicahyo-2013
maka ada tiga metapora teori sebagai alat bantu dalam melihat sebuah paradigma tertentu. Yang pertama adalah “Theories as a Nets”. Jaring ilmu digunakan sebagai penangkap “dunia” dan mengolahnya menjadi lebik baik lagi seiring dengan waktu. “theories are nets cast to catch what we call ‘the world’ . . . . We endeavor to make the mesh ever finer and finer”( Griffin EM.2012:5). Dalam pandangan para ilmuwan, teori sangat diperlukan sebagai “tool of trade”. Oleh karena itu, teori sangat diperlukan sebagai alat bantu dalam bertukar informasi, pengetahuan secara spesifik dan mendalam. Dalam pandangan para ilmuwan teori merupakan sebuah alat bantu dalam melihat secara lebih detil dan fokus.“Theories as a
19
Lenses”:....” The lens imagery highlights the idea that theories shape our perception by focusing attention on some features of communication while ignoring other features, or at least pushing them into the background”(
Griffin
EM.2012:5).
Kemampuan
dalam
menggambarkan pokok bahasan dalam sebuah ide dimana dengan teori tersebut akan mempertajam pandangan dalam persepsi kita dengan jalan fokus perhatian pada beberapa masalah dalam komunikasi dan pada saat yang sama tidak memperdulikan permasalahan-permasalahan yang lain, atau paling tidak sebagai penguat latar belakang dari sabuah permasalahan yang utama. Permasalahan-permasalahn komunikasi yang muncul lebih banyak tidak kita ketahui sebelumnya. Banyak ruang gelap dan jalan buntu yang tidak kenal sebelumnya, atau daerah yang tidak familiar dengan pengetahuan kita sebelumnya. Oleh karena itu, Theories as
okicahyo-2013
Maps adalah bantuan dalam melihat daerah-daerah yang tidak masuk dalam peta pengetahun kita sebelumnya. “Either way we need to have theory to guide us through unfamiliar territory”(Griffin EM.2012:5-6). Satu teori dengan teori dengan teori lainnya bukan sebagai suatu
urutan dari “teori agung”(Grand theory), “ teori menengah (Middle range theory) atau terapan (Applied theory), melainkan sebagai suatu kumpulan teori yang menjelaskan keterkaitan satu sama lain (Engkus Kuswarno,2009:108). Pengambilan teori—teori ini adalah didasarkan pada permasalahan yang ingin dibahas dan sudah melewati berbagai pertimbangan dan sangat relevan dengan konteks dan fokus penelitian tentang Reyog Ponorogo ini.
20
Komunikasi sulit untuk didefinisikan. Seperti kata Theodore Clevenger Jr dalam Stephen W. Littlejohn and Karen A. Foss (Littlejohn and
Karen
A.
Foss.2007:3)
…defining
communication
–and
communication is not easy to define. Tetapi beberapa ahli sudah mendefinisikan beberapa definisi tentang komunikasi itu sendiri. Communication is a systemic process in which people interact with and trough symbols to create and interpret meaning (Wood .2013: 4). Dari pernyataan ini sudah dapat ditarik kesimpulan bahwa sebuah proses komunikasi adalah proses yang membutuhkan orang lain dalam berinteraksi melalu simbol yang diciptakan dan menghasilkan intepretasi sebuah pesan. Secara sederhana, komunikasi adalah proses dalam pengiriman dan penerimaan pesan, atau proses transmisi pesan yang disampaikan oleh seseorang ke orang lain….communication as a simply sending and
okicahyo-2013
receiving message, or the transmission of message from one person to another (Steinberg.1995:12). Hal yang hampir sama juga terdapat Dalam Concise Oxford English Dictionary (Elevent edition) …”the means of sending or receiving information, such as telephone lines or computers”. 2.1.1.1 Performance Theories Dalam sebuah pertunjukkan, tidak lepas dari yang dinamakan dengan peran dan cerita. Sebuah cerita dibawakan dengan penuh semangat dan menjiwai sesuai dengan karakter dan watak yang diperankan dalam sebuah cerita. Dalam proses pementasan, terdapat
21
pesan-pesan yang diselipkan dalam sebuah cerita melalui pemainpemain tersebut. Performance theories merupakan salah satu teori dalam ilmu komunikasi yang mencari dan memahami bagaimana peradaban manusia membuat, menciptakan sebuah bentuk kebudayaan dengan tujuan untuk berkomunikasi lewat sebuah pertunjukkan. Seperti yang dikutip dari Encyclopedia of Communication Theory “Performance theorists seek to understand how human beings make culture through the view of communication as performance”( Littlejohn and Foss. 2009:739). Performance theory ini dipilih karena dianggap sesuai dengan kebutuhan akan mengungkap sebuah pesan yang terkandung dalam sebuah pertunjukkan. Dalam Encyclopedia of Communication Theory, ada satu teori yang hampir mirip dengan performamce theory yaitu
okicahyo-2013
Cultural Performance Theories. Cultural Performance Theories lebih menekankan pada aktifitas sehari-hari sebagai inti dari sebuah pertunjukkan. Dalam hal ini, aktifitas sehari-hari menjadi inti dari sebuah konsep budaya dimana budaya ditempatkan sebagai pusat dari hegemoni, dominasi,pesan dan struktur masyarakat melalui sebuah pengalaman kehidupan . “Cultural performance theory offers an approach for understanding culture within the activity of everyday life. It serves as a means to conceptualize culture by placing culture at the center of hegemonic, or dominating, messages and revealing the hierarchical structure of society through lived experience” ( Littlejohn dan Foss.2009:265). Tetapi dalam
penelitian ini lebih menggunakan Performance Theory
karena
22
pertunjukkan Reyog adalah sebuah bentuk pertunjukkan teaterikal dengan kisah atau makna tertentu. Performance Theory
ini lahir sekitar abad 18-19 dimana
pembicara publik menjadi sebuah wacana seni tersendiri, sebuah tatanan formal yang kemudian menjadi sebuah kegiatan sosial. Pada saat itu, seorang pembicara harus bisa menjadi seorang yang menghibur, mendidik, menginformasikan, atau mengajak kepada penonton yang datang untuk mendengarkan, menambah pengalaman dan akhirnya terinspirasi. Dalam Performance Theory ini terbagi menjadi tiga bagian. Yang pertama adalah teori pertunjukkan ini menjadi sebuah media dalam menunjukkan ketrampilan dalam berkomunikasi. Yang kedua adalah bagaimana hubungan sebuah penampilan dalam sebuah budaya dan penampilan dalam sudut pandang sebuah tatanan masyarakat. Yang
okicahyo-2013
ketiga adalah fokus pada penampilan dan komunikasi, penampilan dari bahasa yang digunakan ( Littlejohn dan Foss.2009:740) Performance Theory ini menjadi sangat penting dalam ranah ilmu komunikasi dengan adanya Semiology dari Ferdinand de Saussure dan Roman Jakobson yang memecah sebuah perbincangan menjadi beberapa element yang berbeda. Berdasarkan Jakobson, pengirim mengirimkan pesan ke penerima pesan, pesan dapat dimengerti dengan beberapa
konteks
yang
menyertainya.
Kenneth
Burke
juga
mengemukakan lima prinsipnya dalam performance theory ini. Lima prinsip tersebut adalah tindakan (act), peristiwa (scene), pemain (agent), media ( agency), dan tujuan (purpose).
23
2.1.2 Tahapan dalam Komunikasi Sejak komunikasi menjadi sebuah proses, komunikasi melewati beberapa tahap (Dr. Jaime Gutierrez-Ang:2009:6) a. Speaker ( sender) -pengirim pesan baik verbal maupun non verbal b. Message- sebuah bahasa yang sudah mempunyai kode tertentu sehingga dapat dimengerti oleh orang lain yang merima pesan. c. Channel- media yang digunakan dalam proses encoding dan decoding penyampian sebuah pesan. d. Receiver- penerima dan decoder sebuah pesan yang dikirimkan. e. Feedback- Respon dari receiver dalam menerima dan
okicahyo-2013 mengolah sebuah pesan.
Dalam penelitian tentang Reyog Ponorogo ini sudah jelas bahwa unsur-unsur dalam komunikasi sudah lengkap seperti yang terungkap pada diagram diatas. 24
-
Sender dalam penelitian ini adalah para pelaku dalam sebuah pertunjukkan Reyog, baik dalam format Festival
atau
Obyogan. -
Message dalam setiap pertunjukan adalah hal yang perlu diteliti lebih lanjut
-
Channel yang digunakan adalah seni pertunjukan Reyog itu sendiri dengan format Obyogan maupun Festival.
-
Receiver adalah para penonton yang melihat secara langsung dalam setiap pertunjukkan baik dalam pertunjukan dalam format Obyogan atau Festival.
-
Feedback adalah intepretasi dari setiap orang yang melihat pertunujukan tersebut, konco Reyog adalah sebutan bagi para audience yang melihat pertunjukkan tersebut.
okicahyo-2013 2.1.3 Unsur-Unsur Komunikasi
Komunikasi tidak bisa berjalan tanpa adanya unsur-unsur
pendukung yang menyertai dalam setiap proses sebuah transfer informasi.Unsur-unsur pendukung dalam komunikasi sekurangkurangnya ada 5 yang diungkapkan sebagai “Who say what in wich channel to whom with the effect?” unsur dalam model komunikasi Lasswell ini adalah salah satu model komunikasi pertama kali yang dikembangkan pada tahun 1948.
25
Harold Lasswell dalam Dr. Jaime Gutierrez-Ang (2009:9)
Dalam model komunikasi Lasswell ini sudah jelas bahwa yang menjadi unsur utama dalam sebuah proses komunikasi adalah “Communicator, Message, Medium,Receiver” sedangkan efek adalah hasil dari sebuah proses komunikasi tersebut. 5.4 Fenomenologi Sebuah tradisi dalam teori komunikasi yang bisa dijadikan rujukan dan sebagai sudut pandang dalam melihat masalah ini adalah fenomenologi. Although phenomenology is an imposing philosophical term, it basically refers to the intentional analysis of everyday life from the
okicahyo-2013
standpoint of the person who is living it.Thus, the phenomenological tradition places great emphasis on people’s perception and their interpretation of their own experience (EM Griffin,2011:45)
Sudah jelas dalam fenomenologi bahwa yang menjadi fokus permasalahan adalah permasalahan kehidupan sehari-hari yang dilihat dari sudut pandang seseorang yang bisa dikatakan hidup didalamnya. Dalam fenomenologi sangat bergantung pada persepsi seseorang dan pemaknaan yang semuanya didasarkan pada pengalaman pribadi. Fenomenologi berasal dari bahasa Yunani phainomai yang berarti “menampak”. Phainomenon menunjuk pada “yang menampak”. Fenomena yang terjadi dan nampak pada sebuah tatanan masyarakat tiada lain adalah 26
fakta atau kebenaran yang disadari. Sedangkan “Phenomenology” dalam Concise Oxford English Dictionary diartikan sebagai sebuah pendekatan yang terfokus pada studi suatau obyek dengan pengalaman langsung .“an approach that concentrates on the study of consciousness and the objects of direct experience. Dalam rangka kebenaran yang disadari tersebut maka, sebuah kenyataan ini masuk kedalam pemahaman manusia. Sebuah fenomena yang terjadi bukanlah sebuah kejadian yang tiba-tiba, terjadi begitu saja atau sebuah peristiwa yang terjadi secara tanpa sengaja. Semua kejadian yang disebut sebagai fenomena hadir bukanlah hadir sebagai kasat mata, melainkan justru ada di depan kesadaran dan disajikan dengan kesadaran pula. Oleh karena itu, dapat ditarik sebuah kesimpulan yang dapat dijadikan sebuah pandangan bahwa fenomenologi adalah refleksi pengalaman langsung manusia, sejauh pengalaman itu secara intensif berhubungan dengan suatu obyek.
okicahyo-2013
Dalam kamus The Oxford English dictionary, yang dimaksud dengan
fenomenologi adalah (a) the science of phenomena as distinct from being
(ontology), dan (b) division of any science which describes and classifies its phenomena. Jadi, fenomenologi adalah ilmu mengenai fenomena yang dibedakan dari sesuatu yang sudah menjadi, atau disiplin ilmu yang menjelaskan dan mengklasifikasikan fenomena, atau studi tentang fenomena. Dalam bahasa yang lebih sederhana, fenomenologi adalah sebuah ilmu yang mempelajari fenomena yang tampak didepan mata kita dan bagaimana penampakannya. Dalam studi fenomenologi, tujuan utama yang ingin diraih adalah mempelajari sebuah fenomena yang terjadi yang dialami dengan sebuah 27
kesadaran yang penuh, artinya sebuah kejadian yang dikerjakan dilakukan dalam kerangka pikir atau dalam tindakan yang sepenuhnya dilakukan dengan kesadaran. Pikiran-pikiran para pelaku yang ada didalammnya pun sadar dengan tindakannya. Oleh karena itu, tindakan-tindakan yang didasari oleh pikiran,kesadaran yang penuh bernilai atau dapat diterima secara estetis.
Tahap-tahap
pencarian
makna
yang
terkonsep
dengan
mengkonstruksi makna dan konsep-konsep penting serta dalam kerangka intersubjetivitas inilah yang menjadi batasan dalam fenomenologi. Dikatakan intersubjektif karena pemahaman-pemahaman yang terbentuk dalam pikiran kita mengenai dunia dibentuk oleh hubungan kita dengan orang lain. Pendekatan fenomenologis termasuk pada pendekatan subjektif atau intepretif (Mulyana 2001:59). Hal ini dimaksudkan sebagai salah satu sudut
okicahyo-2013
pandang tentang perilaku manusia tentang pendekatan secara objektif dan pendekatan subjektif. Pendekatan objektif atau sering disebut pendekatan behaviorisitik dan struktural berasumsi bahwa manusia itu pasif, sedangkan pendekatan subjektif memandang manusia dalam peran aktif ( fenomenologis atau intepretatif).
5.5 High / Low Culture context Penelitian High dan Low culture context biasanya dibahas dalam penelitian dengan tema yang paling banyak diangkat adalah cross cultural atau intercultural study. Perbedaan budaya antara satu negara dengan negara yang lain memang sangat mudah diketahui dan diidentifikasi dan diketahui secara cepat dengan ukuran-ukuran dari sudut pandang high dan low context culture. Penelitian dengan tema communication style akan 28
sangat erat hubungannya dengan high / low culture context. Karena dalam beberapa kasus, setiap budaya akan mempunyai sebuah cara dalam berkomunikasi dengan lingkungannya. Penelitian ini berdasarkan argumen dari beberapa buku tentang lintas budaya yang ditulis oleh Edward T Hall yang menulis tentang high/low context culture(1959,1966,1976,1983)
serta dalam bukunya yang
berjudul “Understanding Cultural Differences: key to Success in west Germany,france and United State”(1990). Indikator dari Edward Hall ini terbukti dapat digunakan sebagai peta pengetahuan dalam pemahaman budaya dunia yang beragam. Dalam penelitian ini, peta budaya dari Hall digunakan untuk mengungkap sisi lain dari pertunjukan seni tradisional Reyog Ponorogo dalam versi Festival atau panggung dan versi jalanan atau “Obyogan”. Dalam komunikasi High Context, informasi sudah ada sebelumnya
okicahyo-2013
pada diri satu orang dengan orang lain, dimana sebuah detil dari informasi nya sudah terkodekan, informasi yang eksplist, dan tersampaikan dalam bagian dari sebuah pesan. Pada komunikasi Low Context adalah lawan dari high context dimana informasi yang terjadi tidak terjadi dengan jalan kode-kode tertentu dan berjalan secara ekonomis. Artinya pada orang yang mempunyai karakteristik komunikasi dengan high context akan
mencari dan mempunyai informasi lebih tentang teman, keluarga, kolega dan teman kerja yang masuk dalam hubungan dekat yang bersifat pribadi dan tertutup. Informasi tambahan ini bisa berupa budaya, kebiasaan, dan cara hidup orang lain. Sedangkan orang atau negara dengan karakteristik Low Context akan hidup atau bekerja dengan konsep hari ke hari secara
29
individual. Jadi dalam menjalin hubungan akan memerlukan informasi yang detil tentang orang-orang yang masuk dalam “close personal relationship” mereka. A high context (HC) communication or message is one in which most of the informat ion is already in the person, while very little is in the coded, explicit, tra nsmitted part of the message. A low context (LC) communication is just the opposite; i.e., the mass of the information is vested in the explicit code. Twins who have grown up together can and do communicate more economically (HC) than two lawyers in a
courtroom during
programmi ng legislation,two
a
a
trial (LC),
computer, administrators
two
a mathematician
politicians
writing a
drafting
regulation.
(Edward T .Hall,1976 dalam Edward T.Hall 1990)
okicahyo-2013
Dalam bukunya Beyond Culture(Hall,1985), budaya diseluruh dunia
diklasifikasikan dengan ukuran-ukuran tertentu yang pada akhirnya menjadi klasifikasi dalam interaksi masyarakat. Tabel dibawah ini adalah sebagian kecil dalam klasifikasi konteks budaya menurut Hall.
30
BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN Penelitian berbasis budaya ini sangat berguna dalam pemahaman perbedaan budaya yang terjadi dalam kebudayaan masyarakat disekeliling kita yang kita hadapi sehari-hari. Perbedaan-perbedaan inilah yang menyebabkan adanya ketimpangan dalam komunikasi dan penyampaian suatu pesan ke pada message receiver . Penelitian ini diharapkan mampu memperbaiki tingkat komprehensif dalam komunikasi, menurunkan tingkat kesalahpahaman dalam pesan dan meningkatkan rasa solidaritas dan saling menghormati antar sesama pemain, penonton, pengamat seni, birokrasi pemerintahan dan akademisi. Dalam membuat kategori Reyog Obyogan dan Festival ini tidak sematamata untuk mempertajam atau memperuncing akar masalah dan saling menguatkan ideology yang dipegang oleh masing-masing kelompok. Tetapi
okicahyo-2013
lebih kepada pengayaan dan penggalian secara eksploratif dan deskriptif secara mendalam dalam sebuah fenomena yang terjadi disekeliling kita. Berbasis latar dan posisi seni Reyog Ponorogo yang ‘netral’ dan sarat dengan nilai/tuntunan luhur pada sisi yang lain, maka masyarakat Ponorogo memiliki peluang yang cukup strategis untuk menguatkan pesan-pesan adiluhung melalui simbol-simbol dan nilai-nilai luhur yang dikandungnya untuk membangun masyarakat Ponorogo, menjadi masyarakat yang kuat fisikjiwanya dan mulia akhlak-budi pekertinya (Rido Kurnianto.2013) Analisa mendalam pada penelitian ini adalah untuk menjelaskan secara detil tentang Reyog dengan kategori Obyogan dan Reyog dalam kategori Festival. Setelah analisa mendalam tentang kategori dalam Reyog Ponorogo ini, 31
akan dilanjutkan dengan intepretasi pesan yang terkandung dalam masingmasing format pertunjukan yang ada dan sudah dipentaskan. Penjelasan secara mendalam dari intepretasi inilah yang menjadi pokok bahasan dalam membuat kategorisasi berdasarkan tabel budaya Hall (1985). Secara garis besar, penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh semua bidang ilmu khususnya yang mempelajari sosiologi terutama komunikasi. Karena dalam penelitian ini indikator tentang high / Low Culture Context merupakan alat bantu dalam mengungkap makna atau pesan dibalik pementasan itu sendiri. Pesan yang terkandung didalam sebuah pertunjukkan, media dalam penyampian pesan, serta efek timbal balik adalah tujuan utama dari penelitian ini. Dalam membuat kategori berdasarkan high / Low Culture Context dari Edward Hall ini diharapkan mampu menjadi sebuah perpektif atau cara pandang tersendiri bagi para pembuat dan pengarah kebijakan terutama untuk kalangan pemerintahan khususnya yang berkaitan langsung dengan pertunjukkan Reyog
okicahyo-2013
ini. Kebijakan yang dihasilkan harus mampu menjembatani sebuah perbedaan yang pada akhirnya menjadi sebuah kekayaan yang tidak ternilai harganya. Perbedaan-perbedaan diharapkan juga menjadi sebuah sarana dalam peningkatan kepedulian dan pengembangan dalam berbagai aspek yang mendukung lestari dan berkembangnya kesenian Reyog ini.
32
BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Metode Penelitian Dalam mengungkap fenomena yang terjadi pada pertunjukan seni Reyog Ponorogo berdasarkan indikator dari Edward Hall diatas,penulis menggunakan metode penelitian kualitatif. Prosedur dari penelitian ini sudah masuk dalam kategori penelitian kualitatif dengan ciri-ciri sebagai berikut:(1) Ciri latar belakang alamiah,(2) Manusia sebagai alat instrumen,(3) metode kualitatif,(4) analisis data secara induktif,(5)teori dari dasar, (6) Bersifat deskriptif atau apa adanya, (7) Lebih mementingkan hasil daripada proses, ( 8) adanya batas yang ditentukan oleh fokus, (9) ada kriteria khusus untuk keabsahan data, ( 10) Desain bersifat semantara, ( 11)Hasil Peneltian dipentingkan dan disepakati bersama (Moleong, 2000: 4-8)
okicahyo-2013
Peneliti meneliti satu obyek yaitu seni pertunjukan Reyog Ponorogo
tetapi hanya difokuskan pada saat pementasan seni itu sendiri. Jadi waktu yang diperlukan relatif lama dan panjang karena harus menunggu saat pementasan Reyog dengan format Obyogan dan Festival Reyog Nasional yang hanya berlangsung sekali dalam setahun yaitu pada saat pergantian tahun baru Islam atau Suro dalam penanggalan Jawa. Untuk lokasi penelitian di lingkup Kabupaten Ponorogo. Data yang diperoleh dari beberapa lokasi penelitian teresebut kemudian dianalisis dan disajikan dalam bentuk deskripsi atau katakata. 5.6 Setting Penelitian Setting penelitian ini terdiri dari tempat, waktu penelitian dan unit analisis.
33
4.2.1 Tempat Dalam penelitian ini penulis lakukan di beberapa lokasi di kabupaten Ponorogo. Lokasi yang dipilih adalah desa Tegalombo Kecamatan Kauman, Desa Ngebel dan desa Jati
Kecamatan
Ngebel.Lokasi yang lain adalah didesa Golan kecamatan Sukorejo yang mengadakan pentas dengan mendatangkan dadak merak sejumlah 20 buah pada tanggal 18 juni 2013. Selanjutnya adalah pentas yang diadakan di desa Jebeng Kecamatan Slahung dalam rangka syukuran terpilihnya kepala desa yang baru didesa ini pada tanggal 23 juni 2013. Lokasi ini dipilih karena adanya pertunjukkan Reyog dengan format Obyogan . Lokasi yang dipilih selanjutnya adalah Festival Reyog
okicahyo-2013
Nasional Ke XIX yang diadakan 11-16 November 2012 di Panggung Utama Alun-alun Kabupaten Ponorogo Jawa Timur dan pementasan Reyog Bulan Purnama pada setiap bulannya.
4.2.2 Waktu Dalam Pmentasan Reyog, waktu penelitian tidak bisa dipastikan. Tetapi dalam laporan penelitian ini waktu penelitian yang sudah dikerjakan mulai 8 September 2011 dalam hal ini adalah pemotretan Reyog Obyog dalam rangka bersih desa Tegalombo Kauman Ponorogo. Selanjutnya berlanjut ke beberapa Festival Reyog Nasional yang diadakan di Panggung Utama Alun-alun Kabupaten Ponorogo. Festival
34
Reyog ini berlangsung pada tanggal 4 Januari 2008 pada Festival Reyog KeXIV. Terakhir pemotretan untuk data pendukung penelitian ini pada saat Festival Reyog Nasional ke XIX tahun 2012 yang berlangsung pada bulan November 2012 lalu. 4.2.3 Unit analisis Untuk penelitian ini difokuskan pada pertunjukan Reyog dengan format Festival dan pertunjukan Reyog dengan format Obyogan. Dalam kenyataanya, Reyog Ponorogo terpecah menjadi dua versi besar yaitu versi Obyogan atau dalam beberapa bahasan penelitan ada yang menyebutnya sebagai Reyog jalanan, karena memang diadakan di jalanan, halaman rumah, lapangan, atau tempat-tempat tertentu yang dapat dijadikan tempat pertunjukan. Dua versi inilah yang menjadi unit analisis tentunya denga bantuan-bantuan dokumentasi yang terkait
okicahyo-2013 dengan penelitian ini.
5.7 Sumber data
Loflan dan Lofland dalam (Moleong, 2000:112) menyebutkan bahwa sumber data utama dalam sebuah penelitian terutama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan. Data pendukung lain sebagai data tambahan adalah data berupa foto, dan dokumentasi lainnya. Dalam penelitian ini sebagai sumber utama dalam mencari data adalah (1) Wawancara, (2) Observasi, (3) studi Pustaka, (4) Studi Dokumen.
35
5.8 Tekhnik Pengumpulan data. 4.4.1 Wawancara Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu yang dilakukan oleh dua pihak, pewawancara (interviewer) orang yang mengajukan wawancara atau pertanyaan dan orang yang diwawancarai (interviewie) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu (Moleong, 2000:135). Rencana Wawancara
yang penulis gunakan adalah
wawancara baku terbuka yang artinya adalah wawancara yang di lakukan dengan seperangkat baku dan obyek tahu bahwa ia menjadi nara sumber dari penelitian ini (Moleong, 2000:136). Wawancara ini dipilih karena ingin mendengar langsung penjelasan dari berbagai tokoh yang jadikan nara sumber dalam penelitian ini. Nara sumber yang diwawancarai meliputi: 1. Seniman Reyog
okicahyo-2013
Seniman Reyog Obyogan ini adalah beberapa warga yang menjadi pemain inti dalam setiap pertunjukkan Reyog. Seperti Soeran (76 tahun) Warga desa Ngloning yang sudah berprofesi sebagai penabuh kendang Reyog selama kurang lebih 25 tahun. Sedangkan tokoh yang mewakili dari pada sisi Reyog Festival adalh Drs. Ec. Budi Satriyo yang menjadi ketua Festival Reyog Nasional selama beberapa tahun
2. Pelaku seni Reyog Ponorogo Pelaku seni Reyog ini adalah orang-orang yang menjadi pelaku atau seniman pada saat pertunjukkan Reyog. Para pelaku seni ini diambil
secara
acak
dalam
setiap
kesempatan
ketika
36
pertunjukkan sedang berlangsung. Dalam hal ini ada beberapa orang yang menjadi nara sumber yaitu : Ariya, bujangganong yang masih kelas 3 SD, Deasi, Penari Jathil pada saat pentas Obyogan di Desa Sukorejo. 3. Konco Reyog Konco Reyog ini adalah orang-orang yang menyaksikan langsung pertunjukkan Reyog dalam format Festival atau Obyogan. Dalam hal ini nara sumber ditemui pada saat sedang menyaksikan
pertunjukkan
Reyog.
Nara
sumber
yang
menyaksikan Reyog Obyogan menjadi sumber bahan adalah Mbah Gendon, warga desa Jebeng Slahung, Mbah Giyo warga desa Ngebel. Sedang untuk nara sumber yang mewakili penonton Reyog Festival adalah Catur,Aris dan Hendra.
okicahyo-2013 4.4.2 Obervasi
Observasi adalah pengamatan yang dilakukan secara sengaja,
sistematis, mengenai fenomena sosial dengan gejala-gejala psikis dan kemudian dilakukan pencatatan (Roni Hanitirjo Soemitro, 1985:62). Teknik yang penulis gunakan dalam observasi ini adalah pemeran serta sebagai pengamat, tetapi tidak berperan serta secara penuh karena dalam
hal
ini
masih
melakukan
pengamatan
(Moleong,
2000:127).dalam hal ini observasi yang dipilih adalah observasi terbuka, sehingga masyarakat tahu kalau dia menjadi narasurnber dan obyek dalam penelitian ini. Observasi ini dipilih untuk melengkapi data wawancara yang didapat dengan cara melihat langsung seni pertunjukan
Reyog Ponorogo yang dipertunjukan seperti dalam 37
acara peringatan bulan purnama, Festival Reyog Nasional, bersih desa, syukuran dan lain sebagainya. 5.9 Studi Pustaka. Studi pustaka ini dilakukan sebagai data penguat yang berasal dari data-data otentik berupa buku sejarah, koran, laporan-laporan tertulis, berita online, tesis, skrisi atau seluruh data yang mendukung kuatnya penelitian ini. Dalam hal ini buku mengenai Reyog Ponorogo sangat jarang, tetapi ada beberapa laporan penelitian yang berkaitan dengan langsung dengan pelakupelaku dalam pementasan Reyog itu sendiri. Beberapa laporan meliputi Dinamika Pemikiran Islam Warok Ponorogo, Pencitraan Perempuan Dalam Kasus Perubahan Pelaku Jathil Dari Laki-Laki Menjadi Perempuan Pada Seni Reyog Ponorogo,Tradisi Warok Dan Marginalisasi Perempuan Di Kabupaten Ponorogo dari Rido Kurnianto yang ditulis dalam beberapa tahun terkhir.
okicahyo-2013
5.10 Studi Dokumen.
Dalam studi dokumen ini ada dua kategori foto yang dapat
dimanfaatkan dalam penelitian kualitatif yaitu foto yang dihasilkan oleh diri sendiri dan orang lain (Moleong, 2000: I 14-115). Tujuan dari studi dokumen ini adalah untuk melengkapi data dalam penelitian. Foto foto dalam penelitian ini terdiri dari foto upacara ritual bersih desa, seni pertunjukan Reyog Ponorogo yang pentas diberbagai even. Dalam hal ini, peneliti melakukan pemotretan sendiri dengan datang langsung ke lokasi berdasrkan laporan dan jadwal pentas sebuah grup Reyog. Dalam melakukan observasi lapangan ini, tidak hanya data visual yang digali, tetapi data-data
38
pendukung yang lain juga turut digali meski terkadang kondisi dan lokasi tidak memungkinkan untuk bertanya lebih jauh.
5.11 Tekhnik analisis data Setelah data terkumpul kemudian dilakukan proses analisis data. Analisis data menurut Patton dalam Moleong (1997:103) adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikan kedalam satu pola, kategori dan satuan uraian dasar. Bogdan dan Taylor analisis data sebagai proses yang merinci usaha secara formal untuk menemukan tema dan merumuskan hipotesis (ide) seperti yang disarankan oleh data dan sebagai usaha untuk memberikan bantuan pada tema dan hipotesis itu. Dengan demikian, definisi dapat disinkronkan menjadi analisi data, yaitu proses pengorganisasian dan mengurutkan data kedalam pola kategori, dan dirumuskan menjadi hipotesis kerja yang didapat dari data yang diperoleh.
okicahyo-2013
Oleh karena itu urutan data yang dilakukan adalah :
a. Proses mengorganisasi data yaitu data hasil wawancara, observasi, studi pustaka dan dokumen
diperiksa kemudian di klarifikasi
berdasarkan data: 1. Gambaran. umum lokasi penelitian. 2. Eksistensi seni pertunjukan Reyog Ponorogo di Ponorogo dan bentuk seni pertunjukan Reyog Ponorogo di masing-masing lokasi penelitian. b. Proses mengurutkan data ke dalam pokok kategori
yaitu
kategori A untuk Reyog Obyogan dan B untuk Reyog dengan format Festival. 39
5.12 Teknik pemeriksaan keabsahan data. Teknik
pemeriksaan
keabsahan
data yang akan digunakan
dalam penelitian ini adalah triangulasi. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu, untuk keperluan pengecekan data atau sebagai pembanding terhadap data itu. (Moleong, 2000: 178). Denzim (1978) membedakan triangulasi
sebagai
teknik
pemeriksaan
data
4
macam
yang memanfaatkan
pengunaan sumber, metode, penyidik, dan teori. Triangulasi akan digunakan dalam penelitian ini adalah triangulasi metode yaitu pengecekan derajat kepercayaan
penemuan
hasil
penelitian
dengan
beberapa
teknik pengumpulan data (Moleong, 2000: 178).
okicahyo-2013
40
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian 5.1.1. Kondisi Geografis Kabupaten Ponorogo adalah sebuah kabupaten di provinsi Jawa Timur, Indonesia. Kabupaten ini terletak di koordinat 111° 17’ - 111° 52’ BT dan 7° 49’ - 8° 20’ LS dengan ketinggian antara 92 sampai dengan 2.563 meter di atas permukaan laut dan memiliki luas wilayah 1.371,78 km². Kabupaten ini terletak di sebelah barat dari provinsi Jawa Timur dan berbatasan langsung dengan provinsi Jawa Tengah atau lebih tepatnya 200 km arah barat daya dari ibu kota provinsi Jawa Timur, Surabaya. Pada tahun 2010 berdasarkan hasil Sensus Penduduk, jumlah penduduk Kabupaten Ponorogo adalah 855.281 jiwa (http://Ponorogokab.bps.go.id/index.php/pelayanan-statistik/publikasi-
okicahyo-2013
online/27-layanan-statistik-online/148-dda2012)
Wilayah Kabupaten Ponorogo terdiri dari 21 wilayah kecamatan yang
terbagi menjadi 303 desa; dengan letak ketinggian dari permukaan laut < 500 m meliputi 241 desa, 500 – 700 m meliputi 44 desa, dan > 500 m meliputi 18 desa. Kota ini dibatasi wilayah sebagai berikut;
41
Peta Kota Ponorogo (https://maps.google.com/maps?q=Ponorogo&ie=UTF8&hq=&hnear=0x2e799f778322e585:0xc94781a3df348b9 2,Ponorogo,+East+Java,+Republic+of+Indonesia&ei=1CTpUeCrMMONrgebuoHoCw&ved=0CK4BELYD, diakses 7/19/2013)
Tabel 1 Batas Wilayah Kabupaten Ponorogo
okicahyo-2013
B a t a s Berbatasan dengan: Utara
Kab. Magetan, Kab. Madiun, dan Kab. Nganjuk
Timur
Kab. Tulungagung dan Kab. Trenggalek
Selatan
Kab. Pacitan
Barat
Kab. Pacitan dan Kab. Wonogiri (Propinsi Jawa Tengah)
Sumber data: Badan Statistik Kabupaten Ponorogo dalam “Kabupaten Ponorogo dalam Angka 2010 (diolah)
Kabupaten Ponorogo memiliki iklim tropis yang mengalami dua musim, kemarau dan penghujan. Curah hujan paling tinggi terjadi pada bulan Desember, Januari, dan Februari. Curah hujanterendah terjadi pada bulan
Juli,
Agustus,
dan
September
(http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Ponorogo).
42
Suhu di
Kabupaten Ponorogo sepanjang tahun relatif sama
dengan suhu rata-rata tertinggi 32.2 °C dan suhu rata-rata terendah 23.9 °C. Suhu udara di dataran rendah berkisar 27 s/d 31 Cº, sedangkan di dataran tinggi berkisar 18 s/d 26 Cº. Curah hujan pada wilayah kota ini tergolong cukup, yakni 143 cm per-tahun. Ini menunjukkan bahwa kota Ponorogo relatif tidak kekurangan air. Data iklim Kabupaten Ponorogo Bulan
Jan Feb Mar Apr
Rekor tertinggi °C (°F)
Rata-rata tertinggi °C (°F)
Rata-rata terendah °C (°F)
Rekor terendah °C (°F)
Presipitasi mm (inci)
36 (96)
40
38
39
(104) (101) (102)
Mei
Jun
Jul
36
37
36
(97)
(98)
(97)
Agt Sep Okt Nov Des Tahun 39
39
38
39
39
(102) (102) (101) (102) (102)
40 (104)
31
31
31
32
33
33
33
33
34
33
32
31
32.3
(87)
(87)
(88)
(90)
(91)
(91)
(91)
(92)
(93)
(92)
(90)
(88)
(90)
24
24
24
24
24
24
23
23
23
24
24
24
23.8
(75)
(75)
(75)
(76)
(76)
(75)
(74)
(74)
(74)
(75)
(76)
(75)
(75)
20
15
13
14
18
14
14
13
17
15
13
14
13
(68)
(59)
(56)
(58)
(64)
(58)
(58)
(55)
(62)
(59)
(56)
(58)
(55)
240
202
103
86
52
58
25
22
26
100
138
197
1.249
(9.45) (7.95) (4.06) (3.39) (2.05) (2.28) (0.98) (0.87) (1.02) (3.94) (5.43) (7.76) (49,18)
okicahyo-2013
Rata-rata hari berhujan
19
16
14
11
6
6
3
3
3
9
12
16
118
% kelembapan
83
83
81
78
74
72
69
66
67
71
77
81
75.2
Sumber: http://www.myweather2.com/activity/weather-maps.aspx?mapid=12&id=68769
5.1.2. Kondisi Demografis Data jumlah penduduk Kabupaten Ponorogo yang dihasilkan dari proyeksi BPS Menurut Kewarganegaraan yaitu sebesar 1.011.571 jiwa pada tahun 2011.dengan perincian; laki-laki sebanyak 504.096 orang dan perempuan sebanyak 507.475 orang. Tingkat pendidikan penduduk mayoritas adalah sekolah lanjutan tingkat atas, yakni sebesar 3.513 orang. Sementara tingkat sekolah dasar relatif masih tinggi, yakni sebesar 988 orang. 43
Letak sebagian besar wilayah di Kabupaten Ponorogo pada dataran rendah dengan curah hujan yang cukup, dan struktur tanah yang subur, terutama sebagai akibat dari keberadaan gunung berapi yang dekat dengan kabupaten ini (diapit dua gunung berapi tidak aktif, yakni di sebelah Timur Gunung Wilis dan di sebelah Barat Gunung Lawu), maka ikut berpengaruh dalam membentuk sebagian besar mata pencaharian masyarakat Ponorogo yang berjumlah 915.347 ini, yakni di bidang pertanian; baik sebagai petani maupun buruh tani. Hal ini nampak dalam table berikut: Tabel 2 Jumlah Penduduk Akhir Tahun Menurut Mata Pencaharian No Jenis Mata Pencaharian Jumlah 1 Pegawai Negeri Sipil 15.580 2 Pegawai swasta 19.376 3 ABRI 1.274 4 Pensiunan 4.860 5 Petani 229.141 6 Buruh tani 144.222 7 Pedagang 30.429 8 Lainnya 137.849 Sumber Data: Badan Pusat Statistik Kabupaten Ponorogo dalam “Kabupaten Ponorogo dalam Angka 2005/2006” (diolah)
okicahyo-2013
Menilik sebutan yang diberikan kepada Kabupaten Ponorogo ini sebagai “kota Reyog” jelas mengindikasikan begitu kentalnya kota ini dengan aktifitas seni budaya. Berdasar data, ternyata kesenian Reyog itu sendiri secara kuantitatif memenuhi jumlah yang cukup spektakuler. Di seluruh kecamatan di wilayah Ponorogo yang berjumlah 21 kecamatan memiliki perangkat seni Reyog tersebut. Dan ternyata pula, disamping seni Reyog yang telah menjadi simbol dan identitas masyarakat Ponorogo, di kota ini juga eksis seni budaya lain yang juga spektakuler. Tabel berikut menunjukkan hal tersebut.
44
Tabel 5 Jumlah Organisasi Kesenian Menurut Jenis dan Kecamatan
okicahyo-2013
Sumber Data: : Badan Pusat Statistik Kabupaten Ponorogo dalam “Kabupaten Ponorogo dalam Angka 2012
45
5.2 Paparan Data dan Temuan Penelitian Sesuai dengan konsep high/low culture context maka semua pembahasan ini sesuai dengan tabel indikator dari Hall. Low-Context (Individualistic)
Materialism High-Context (Collective)
Mastery over Nature Personal Control over the Environment Doing Future Orientation Change Time Dominates Human Equality Youth Self-Help Individualism/Privacy Competition Informality Directness/Openness/Honesty Practicality/Efficiency
Harmony with Nature Fate Being Past or Present Orientation Tradition Focus on Relationships Hierarchy/Rank/Status Elders Birthright Inheritance Group Welfare Cooperation Formality Indirectness/Ritual/"Face" Idealism/Theory Spiritualism/Detachment
5.2.1 Mastery over Nature / Harmony with Nature Pemahaman tentang Mastery over Nature pada high Culture Context ini adalah membangun alam sesuai dengan
okicahyo-2013
kebutuhan kita sebagai manusia. Dalam hal ini, Reyog dengan format Festival berada pada konteks ini dengan adanya panggung tetap yang ada di sisi selatan alun-alun kota Ponorogo. Selain pembangunan panggung dengan dana yang cukup besar, pada waktu pentas juga menggunakan tata lampu atau cahaya yang menggunakan daya ribuan watt dalam pentas dengan nama Festival Reyog Nasional yang diadakan setiap tahun sekali menjelang penanggalan baru bulan jawa (suro) atau islam (muharram). Pada saat sekarang Festival Reyog Nasional sudah yang ke XIX pada tahun 2013 dan sudah mulai diadakan persiapan untuk Festival Reyog Nasional ke XX. 46
Pada awal pertunjukkan Festival Reyog ini memakai panggung “Genjot” atau panggung yang dibuat sementara yang diperuntukkan khusus untuk Festival Reyog saja. Awal pertunjukkan Festival Reyog dimulai dari tahun 1995 pada masa pemerintahan bupati DR.H.M Markum Singodimedjo. Pertunjukkan Reyog dengan menggunakan panggung sementara ini berlangsung dari tahun 1995 sampai pada tahun 1997. Pada tahun 1998 dan 1999 sudah mulai menggunakan panggung dengan konstruksi baja atau seperti konstruksi panggung modern dengan ukuran yang besar. Pada tahun 1999, konstruksi panggung utama sisi selatan alun-alun sudah mulai digunakan sebagai panggung utama pertunjukkan Festival Reyog Nasional sampai sekarang bahkan terus mengalami perbaikan dan penyempurnaan (Wawancara dengan
okicahyo-2013 Drs.Budi Satriyo tanggal 19 juni 2013)
47
Suasana Panggung utama pada saat Festival Reyog Nasional Ke XIX tahun 2012
Suasana sebaliknya sangat terasa berbeda dengan keadaan Reyog dengan format Obyogan. Reyog dengan format
okicahyo-2013
ini sangat menyatu dengan alam yang ditandai dengan penggunaan lahan seadanya sebagai tempat pentas. Hal ini menurut semua orang yang menjadi konco Reyog yang pernah ditemui peneliti sudah terjadi sejak jaman dahulu, bahkan sebelum mereka lahir. Pertunjukkan diadakan diseluruh tempat yang memungkinkan orang bisa berkumpul. Sebagian besar pementasan diadakan di perempatan-perempatan jalan desa karena sebagian besar massa akan mudah terkumpul dan meyaksikan dengan mudah ketika berada di perempatan. Oleh karena itu pementasan dalam format ini lebih menyatu dengan alam atau dalam indikator Edward Hall Harmony with Nature.
48
Berbeda jika pemetasan itu ada yang mengundang atau “nanggap”. Jika ada orang yang mengundang untuk pentas, maka format pementasan sesuai dengan permintaan dari yang mengundang.
Sebagian
besar
pementasan
dilaksanakan
dihalaman rumah yang mengundang. Hal ini sesuai dengan pemaparan dan temuan dilapangan yang dikuatkan dengan foto dan wawancara.
okicahyo-2013 Pementasan Reyog Obyogan di Halaman rumah Bpk Hajiyanto, desa Jati Ngebel tanggal 15 November 2012.
49
Pementasan Reyog Obyogan di perempatan jalan desa dalam rangka bersih desa di desa Tegalombo, Kauman Ponorogo. 9 September 2011
5.2.2 Personal Control Over The Environment / Fate Pada indikator ini, pemahaman dalam Personal Control
okicahyo-2013
Over The Environment adalah usaha orang atau sekelompok orang dalam mempertahankan sebuah pentas yang dipengaruhi langsung oleh kondisi alam. Hal ini dimaksudkan ketika pementasan berlangsung tidak terganggu oleh faktor alam atau cuaca yang bisa menghentikan pentas. Pada saat sekarang, Festival Reyog Nasional sudah mampu untuk melakukan hal Control Over Enviroment dengan cara pendirian panggung dengan atap atau penutup yang dapat melindungi pemantasan dari sengatan panas matahari dan hujan. Jadi ketika pementasan tidak terganggu dan berhenti hanya karena faktor cuaca. Tidak cukup sampai disini, pementasan
50
yang dilakukan pada malam hari juga dibantu dengan bantuan cahaya buatan dari lampu dengan daya ratusan ribu watt yang mampu menerangi panggung dengan cukup. Begitu juga dengan penonton yang diberikan tempat khusus yang memungkinkan terlindung dari panas dan terpaan hujan. Hal ini sangat berbeda dengan kondisi dalam pementasan Reyog Obyogan
yang hanya pasrah dan tunduk dengan
kehendak alam seperti panas dan hujan. Oleh karena itu, pertunjukkan Reyog dengan format Obyogan
lebih banyak
dilakukan pada pagi atau sore hari,meskipun ada yang dilakukan pada malam hari, tetapi sangat jarang ditemui. Dalam Obyogan, pementasan lebih terkesan santai dan melihat kondisi alam. Hal ini sesuai dengan temuan dilapangan yang menemukan bahwa ketika pementasan Reyog dengan
okicahyo-2013
format Obyogan dan dalam kondisi hujan maka yang terjadi adalah pementasan tersebut berhenti bahkan tidak diteruskan kembali. Hal ini sesuai dengan pementasan Obyogan pada saat upacara larung sesaji pada tanggal 15 November 2012. Pada saat pentas berlangsung, hujan turun dengan lebatnya. Seketika itu juga musik langsung berhenti dan para pemain serta konco Reyog berlari mencari tempat yang telindung dari air hujan. Pementasan akhirnya berhenti dan tidak dilanjutkan kembali. Hal serupa terjadi pada saat pementasan di rumah Bpk Hajiyanto pada tanggal 15 November 2012. Pada saat itu pentas sedang berlangsung dan turun hujan dengan lebatnya, maka seketika itu
51
juga pentas berhenti dan semua konco Reyog berlari untuk mencari tempat yang terlindung dari air hujan.
okicahyo-2013 Pementasan Festival Reyog Nasional ke XV, 22 desember 2008 yang terus berlangsung meskipun dalam kondisi hujan
52
Hujan menghentikan pementasan di rumah Bpk Hajiyanto desa Jati, Ngebel Ponorogo. 15 November 2011
okicahyo-2013
Pementasan Reyog Obyogan dalam rangka Larung sesaji yang terpaksa berhenti karena hujan.Ngebel, 15 November 2011.
53
5.2.3 Doing / Being Doing / Being ini dimaksudkan lebih ke personil atau pemain dalam sebuah pementasan baik dalam format Festival atau Obyogan. dalam hal ini, beberapa personil atau pemain ada yang bermain dalam format Obyogan dan Festival. Ada juga yang hanya bermain di Festival atau Obyogan saja. Pemahaman “Doing”
disini lebih ditekankan pada
motivasi atau latar belakang seseorang yang menjadi pemain Reyog dalam format Obyogan atau Festival. “doing’. Pada temuan dilapangan, sebagian besar pemain Reyog Festival berasal dari sekolah, perkumpulan, atau instansi non pemerintah atau swasta. Pada instansi pendidikan atau instansi yang lain, menjadi pemain adalah sebuah pekerjaan atau adanya perintah dari atasan masing-masing.
okicahyo-2013
Lain halnya dengan pemahaman “being”. Pengertian
“being “ ini berdasarkan kamus bahasa Inggris adalah menjadi bagian dari sesuatu. Hal ini dipahami jika ada salah seseorang yang menjadi pemain Reyog, adalah karena keinginan sendiri dan terlebih lagi ada beberapa pengaruh dari orang tua atau kerabat dekat. Hal ini bisa dibuktikan dengan wawancara terbuka peneliti ketika bertemu dengan salah seorang pemain Bujangganong kecil yang bernama Ariya saat pementasan Reyog Obyogan di desa Ngloning pada sekitar tahun 2010. Pada saat itu, Ariya baru kelas 3 Sekolah Dasar tetapi sudah pandai dan mahir dalam menari Bujangganong dan bermain kendang, hal ini didasarkan karena Ariya ingin menjadi seperti ayahnya 54
yang bisa bermain kendang Reyog. Bukti kuat lain adalah wawancara
dengan
Soeran
(
72tahun)
warga
desa
Ngloning,Slahung yang menjadi penabuh kendang Reyog selama kurang lebih 20 tahun karena keinginan sendiri.
okicahyo-2013 Ariya,menjadi pemain multitalent karena keinginanya seperti bapaknya yang menjadi penabuh kendang di pertunjukkan Reyog
5.2.4 Future Orientation / Past or Present Orientation Indikator ini secara sekilas mudah untuk dipahami dalam ranah pertunjukkan Reyog Ponorogo dalam format Festival. yang
memperebutkan
piala
bergilir
Presiden
Republik
Indonesia. Piala ini akan ditunjukkan setiap upacara pembukaan Festival Reyog Nasional. Dengan demikian, pemahaman tentang 55
future orientation pada pertunjukkan Reyog dengan format Festival akan sangat terlihat. Begitu juga dengan system manajeman yang terstruktur dan rapi sehingga sangat memungkinkan adanya regenerasi dan reformasi dari generasi ke generasi selanjutnya. Penggalian dan eksplorasi gerak tari dan kreasi dalam kekompakan gerakan selalu dijaga dan dilatih untuk mendapatkan kekompakan dan kreasi yang diharapkan mampu mencuri perhatian dewan juri pada tahun-tahun mendatang. Pertunjukkan Reyog dengan format Festival biasanya memerlukan dana yang relatif
besar. Hal ini
dimaksudkan sebagai bayaran dan sebagai simpanan yang dikelola dengan manajeman modern. Penanda yang lain yang paling mudah ditemui adalah prosentase jumlah pemain 70% yang masih muda jauh lebih banyak dari pada pemain-pemain
okicahyo-2013
yang sudah berumur lebih dari 30 tahun. Pada indikator ini, sangat erat kaitannya dengan indikator yang lain yaitu competition / cooperation. Berbeda dengan pementasan Reyog dengan format Obyogan yang cenderung berorientasi hanya pada kondisi dan keadaan masa lalu dan sekarang. Proses regenerasi berlangsung lambat dengan proses yang dinamakan dengan warisan dari leluhur. Hal ini menjadi salah satu penghambat besar karena budaya tradisional yang sudah mulai ditinggalkan oleh sebagian generasi muda sekarang. Ditambah dengan image yang kurang menyenangkan terutama terhadap pemain ‘Jathil”. Pemain
56
“jathil” dianggap orang yang mudah digoda atau dilecehkan. Hal demikian berkembang karena Ponorogo merupakan sebuah kota yang unik dengan sebutan yang lain adalah kota santri. faktor inilah salah satu yang menyebabkan orang tua cenderung melarang anaknya menjadi pemain Reyog terutama Obyogan. Obyogan tidak mempunyai menejemen yang modern. Pemilihan ketua atau koordinator biasanya orang yang paling berpengaruh dalam kelompok tersebut, bisa karena faktor usia,kekayaan, pengetahuan, keahlian dan lain sebagainya. Dalam bermain Reyog Obyogan, sebagian besar mengatakan bahwa mereka bermain tidak berorientasi dengan uang yang bisa menunjang hidup mereka. Pihak pengundang biasanya akan memberikan akomodasi berupa angkutan untuk mengangkut Reyog dan Jathilnya, dan memberikan uang kas sekedarnya untuk
okicahyo-2013 perawatan dadak merak.
5.2.5 Change / Tradition Salah satu indikator dari Edward Hall yang lain adalah change dan Tradition. Pemahaman terhadap Change ini adalah adanya beberapa perubahan dan inovasi budaya berdasarkan pakem yang dianut. Khusus untuk kasus ini, tidak sesuai dengan konsepsi Edward Hall tentang high / low context culture . Artinya Reyog Festival yang selama ini sebagian besar masuk dalam kategori Low Culture Context menjadi masuk dalam High Culture Context, sedangkan Reyog Obyogan dalam indiukator ini masuk dalam kategori Low Culture Context . 57
Dalam hal ini, pakem yang dianut dalam pertunjukkan Reyog adalah adanya Dadak merak dan pembarong, Penari jathil lengkap dengan ebleg,bujangganong lengkap dengan topengnya, warok lengkap dengan dandanan dan warok tuanya, Prabu Kelana Sewandono lengkap dengan topeng, kotang dan Pecut Samandiman dan semua pakem ini tidak boleh dilanggar atau akan didiskualifikasi dalam pementasan.untuk lebih lengkapnya adalah Jumlah pemain tiap Group Reyog terdiri dari :Warok Tua (minimal) : 2 orang,Penari Warok (minimal) : 10 orang,Penari Jathilan (minimal) : 8 orang, Penari Bujangganong (minimal) : 1 orang, Penari Klonosewandono : 1 orang, Pembarong (minimal) : 2 orang, Pengrawit dan Penyenggak / Vokal (minimal) : 12 orang. dengan demikian Jumlah minimal adalah 36 orang Bahkan musik pengiringnya harus sesuai pakem yang
okicahyo-2013
telah dibukukan dalam peraturan yang mengatur semua tekhnis pertunjukkan dalam Festival Reyog, terutama dalam Festival Reyog Nasional. Yang boleh dilakukan hanyalah menambah jumlah penari dalam pementasan,pola lantai ketika dipanggung tetapi tidak mengganti atau mengubah pakem gerakan tari dari setiap tari yang dihadirkan (wawancara dengan Bpk.Budi Satriyo,ketua Festival Reyog Nasional ke XIX 2012).
58
Format pertunjukkan Reyog dalam Festival Reyog Nasional ke XIX
Berbeda dan sangat bertolak belakang dengan format pertunjukkan Reyog dalam bentuk Obyogan. dalam format Obyogan, semua gerakan, pakaian, musik pengiring dan seluruh
okicahyo-2013
format pertunjukkan dilakukan dengan bebas. Artinya pakem yang dimainkan hanyalah beberapa, yaitu musik pengiring terutama kendang dan gerakan tari dari dadak merak. Untuk penari Jathil rata-rata didominasi tidak menggunakan pakem lagi dan bergoyang layaknya penyanyai dangdut, tetapi pada beberapa sesi ,masih tetap meggunakan gerakan yang hampir mirip dengan gerakan pada format Festival. kostum yang dipergunakan juga mengalami perubahan dari kemeja warna putih tidak transparan pada format Festival menjadi berwarnawarni dan transparan sesuai pelihan dan mode yang sedang berkembang sekarang. Perlengkapan yang digunakanpun tidak
59
selengkap dalam format Festival, artinya dalam Obyogan tidak menggunakan ebleg atau kuda lumping layaknya pasukan berkuda. Bujangganong menari hanya sebagai sarana hiburan saja
dan
didominasi
gerakan
bebas,
terkadang
tidak
menggunakan topeng. Unsur lain yang hilang dan jarang kita temui dari pertunjukkan dengan format Obyogan ini adalah tidak adanya Warok dan Prabu Kelana Sewandono. Menurut sebagian besar warga atau konco Reyog yang ditemui peneliti, tampilan dan gerakan mereka tidak terlalu menghibur, tidak seperti Bujangganong yang jenaka atau penari Jathil yang cantik.
okicahyo-2013
Penari Jathil yang sudah tidak menggunakan ebleg atau kuda lumping dan gerakan tari yang mirip dengan penyanyi dangdut atau geraka penari tayub. Pertunjukkan Reyog Obyogan di desa Jati Kec.Ngebel di rumah Bpk Hajiyanto 15 November 2012).
60
Penari Bujangganong hanya bersifat menghibr dengan canda dan gerakan lucu. Pentas Reyog Obyogan dalam rangka Ulang Tahun Group Reyog Onggolono Desa Golan Kec. Sukorejo. 18 Juni 2013.
5.2.6 Time Dominates / Focus On Relationship Dalam Reyog Festival, pertunjukkan yang diadakan sangat dibatasi oleh waktu. Dalam setiap pertunjukkan waktu
okicahyo-2013
yang diberikan sangat terbatas. Waktu penampilan yang tersedia bagi setiap Group adalah maksimal 25 (dua puluh lima) menit. Oleh karena itu, dalam setiap pementasan ada lampu isyarat yang digunakan selama pertunjukkan berlangsung. Dalam buku panduan Festival Reyog Nasional ke XIX tahun 2012 menyebutkan “Pergantian pentas/penampilan antar peserta akan diberi isyarat oleh panitia dengan menggunakan lampu : Kuning – Hijau – Merah dengan ketentuan sebagai berikut : Lampu Kuning Pertama, peserta mengadakan persiapan untuk naik ke pentas, Lampu Hijau, peserta mulai pentas, Lampu Kuning Kedua, pertanda waktu penampilan tinggal tersisa 5 menit,
61
Lampu
Merah,
menunjukkan
waktu pentas
dinyatakan
telah berakhir / selesai”
Penggunaan Lampu sebagai penanda waktu dalam Festival Reyog Nasional Ke XIX tahun 2012 dialun-alun Ponorogo.
okicahyo-2013
Pementasan terus berlanjut meskipun menjelang sore hari. Pentas Reyog Obyogan dalam rangka syukuran pemilihan kepala desa Jebeng, Slahung Ponorogo.23 juni 2013
62
Dalam pertunjukkan Reyog dengan format Obyogan, waktu tidak dibatasi. Bermain dengan sesuka hati atau permintaan dari penonton menjadi faktor sebuah pentas diteruskan . atau tidak. Selama pengataman dalam penelitian ini, semua pertunjukkan Reyog Obyogan dilaksanakan pada sore hari. Oleh karena itu, yang menghentikan hanya waktu yaitu menjelang maghrib atau cuaca yang tidak mendukung. 5.2.7 Human Equality / Hierarchy – Rank- Status Dalam indikator ini, posisi Reyog dengan format Festival berada pada Hierarchy – Rank- Status. Hal ini didasarkan pada sistem modern yang mengacu adanya ketua dan seluruh struktur dibawahnya. Bahkan penontonpun dibuat berdasarkan hirarki dalam struktur pemerintahan. Khusus untuk pembagian penonton, tamu yang berada diabwah tenda yang mewah
okicahyo-2013
merupakan tamu kehormatan diantaranya adalah bupati, wakil bupati, dewan juri, dan pejabat penting dalam pemerintahan. Dibelakangnya ada deretan kursi yang masih masuk dalam ruang lingkup tamu kehormatan yaitu orang-orang yang mendapat undangan khusus dari pemerintah Kabupaten. Dalam hal ini yang mendapat undangan adalah para kepala desa dan beberapa orang yang mempunyai pengaruh dalam pemerintahan. Sedangkan paling belakang dan dibatasi oleh pagar adalah masyarakat umum yang harus memebayar ketika ingin menyaksikan Festival Reyog ini. Tiket yang harus dibayar adalah Rp.3000.
63
Kebalikan dari Hirarki ini adalah persamaan. Dalam pemetasan Obyogan semua orang diperlakuksan sama dengan orang lain. Tidak ada pembedaan dan status dalam setiap pertunjukkan. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya pembagian atau kategorisasi bagi penonton yang ingin meyaksikan pertunjukkan Reyog yang bisa memilih tempat dimanapun dan kapanpun.
okicahyo-2013 Pembagian penonton berdasarkan hirarki dalam sistem pemerintahan
64
Dalam pertunjukkan Reyog dengan format Obyogan, tidak ada kategorisasi penonton, semua memperoleh hak yang sama dalam meyaksikan pertunjukkan Reyog ini.
5.2.8 Youth / Elders Para pemain dalam Reyog Festival didominasi oleh generasi muda. Hal ini terjadi karena sebagaia besar Reyog
okicahyo-2013
dengan format ferstival berangkat dari sekolah, instansi pendidikan setara perguruan tinggi, perusahaan, atau instansi pemerintah (kecamatan). Oleh karena itu sebagian besar pemainpemainnya relatif masih muda. Sebaliknya, Reyog dangan format Obyogan didominasi oleh orang tua. Usia yang masih muda hanya mengisi posisi dalam penari jathil dan bujangganong. Sebagian besar orang yang lebih tua sebagai penabuh gamelan dan pemain barongan. Banyak dari generasi muda ini memilih sebagai penonton yang pasif dalam melihat sebuah pertunjukkan Reyog dengan format Obyogan.
65
Pementasan Reyog Festival lebih banyak didominasi oleh generasi muda
okicahyo-2013
Sebagian besar pemain dan penabih dalam Reyog Obyogan adalah orang-orang yang sudah tidk muda lagi.
5.2.9 Self Help / Birthright Inheritance Pemahaman terhadap Self Help ini lebih menekankan pada prinsip kemandirian dalam sebuah pentas atau pertunjukan dalam penelitian ini. Dalam penelitian ini terlihat ada beberapa 66
group Reyog yang disponsosri oleh beberapa perusahaan besar. Pada prinsip kemandirian, perusahaan ini sudah mampu untuk membeli seperangkat peraltan perntunjukkan Reyog dengan Format Festival. hal ini dapat dilihat secara langsung dengan adanya label atau tulisan dibelakang,didepan dadak merak yang mencantumkan nama perusahaan tersebut. Sedangkan dalam Reyog dengan format Obyogan lebih banyak mengandalkan warisan dari generasi sebelumnya. meskipun beberapa tempat atau kecamatan sudah mampu untuk membeli perlengkapan pertunjukkan Reyog. Menurut sebagian besar mayarakat yang menyaksikan, banyak dari dadak merak dan beberapa perangkat kesenian Reyog yang dihancurkan atau dibakar pada saat peristiwa G30S PKI karena dianggap sebagai ujung tombak dalam setiap aksi pengumpulan massa oleh PKI
okicahyo-2013 pada masa itu.
Pementasan Reyog Festival yang disponsori oleh instansi swasta / BUMN
67
Kemandirian beberapa kelompok grup Reyog dalam ikut serta dalam setiap Festival semakin lama semakin besar tanpa dukungan dan campur tangan dari pemerintah.
5.2.10 Individualism-Privacy / Group Welfare Dalam pemahanam Individualism atau privacy, bahwa semua tindakan lebih mementingkan kelompok atau pribadi
okicahyo-2013
masing-masing. Dalam hal ini, Reyog dengan format Festival mempunyai posisi sebagai Reyog yang Individualism. Hal ini tidak terlepas dari format pertunjukkan itu sendiri yang memang mengharuskan setiap grup tampil sendiri-sendiri. Tetapi dalam kenyataannya, grup Reyog ini saling bertukar dan pinjammeminjam peralatan dari grup lain. Yang paling kelihatan adalah ketika persiapan dalam menjelang pentas, beberapa grup Reyog sengaja membuat jarak dengan grup lain dan mencari tempat dan lokasi sendiri dalam persiapan dan latihan. Berbeda dengan pertunjukkan Reyog dengan Format Obyogan. Ada istilah konco Reyog dimana istilah ini ditujukan 68
pada orang-orang yang antusias dan selalu mengikuti setiap pertunjukkan Reyog dengan format Obyogan. Motivasi mereka adalah karena rasa solidaritas antar sesama grup Reyog. Seperti yang diungkapkan oleh Mbah Giyo ( 78 tahun ) warga desa Morosari Kecamatan Sukorejo yang rela ke Ngebel hanya untuk menyaksikan grup Reyog temannya pentas di telaga Ngebel.
okicahyo-2013 Prinsip Individualism dengan mencari tempat tersendiri
69
Pentas Grup Reyog dengan mengahdirkan 20 dadak merak dari grup yang berbeda.
5.2.11 Competition / Cooperation Pemahaman untuk indikator ini sudah sanagt jelas antara Reyog dengan Format Festival dan Obyogan. Reyog dengan
okicahyo-2013
format Festival kental dengan suasana kompetisi karena tujuan utama dari setiap pementasan adalah menjadi juara. Berbeda dengan pentas Reyog dengan format Obyogan yang lebih mementingkan unsur kerjasama antara satu orang dengan grup yang lain atau sekedar rasa saling mengharagai dan menikmati pertunjukkan yang disuguhkan. Rasa sungkan dan malu lebih mendominasi jika tidak hadir atau melihat pertunjukkan yang ditampilkan oleh grup lain.
70
Piala Presiden yang diperebutkan dalam Festival Reyog Nasional ke XIX tahun 2012
okicahyo-2013
Salah satu bentuk dari rasa solidaritas dengan memberikan saweran. Pentas Reyog Obyogan di Desa Jati, Ngebel. 15 November 2012
71
5.2.12 Informality / Formality Pada pertunjukkan Reyog dengan format Festival, semua pertunjukkan dihadirkan dengan resmi dan dengan tata cara yang sudah diatur dalam sebuah buku panduan. Mulai dari durasi waktu, jumlah pemain, penabuh gamelan,sampai pada urutan tari dalam setiap pementasan. Jika aturan ini dilanggar maka dipastikan tidak mendapat point dalam penilaian oleh dewan juri. Berbeda dengan Reyog dengan format Obyogan yang tampil dengan santai dan tidak aturan yang mengikat dalam setiap pertunjukkan. Jumlah pemain yang tidak terbatas, tidak ada upacara pembukaan atau penutupan, tidak ada aturan baku dalam setiap pertunjukkan Reyog Obyogan. Dengan demikian indikator dari Edward Hall menjadi
okicahyo-2013
terbalik. Informality yang masuk dalam kategori sebelumnya adalah Low Culture Context menjadi High Culture Context jika dihadapkan dengan kenyataan yang terjadi dilapangan.
72
Pementasan Reyog Obyogan, orang lain yang bukan dari grup bisa tampil dengan pakaian seadanya. Jebeng, Slahung, 23 juni 2013
okicahyo-2013
Suasana pementasan Festival Reyog Nasional yang formal dengan dress code “Penadon”.
73
5.2.13 Directness – Openness – Honesty / Inderectness – Ritual - “Face” Salah satu indikator dari Edward Hall tentang pembagian kategorisasi budaya dalam ranah intercultural study adalah directness / indirectness. Dalam hal ini, pengertian dari direcetness adalah semua pementasan dilapangan diatur sesuai dengan katentuan yang dibukukan. Hal ini sangat sesuai dengan betuk pementasan Reyog dengan format Festival yang selama ini kita lihat. Pementasan dengan format Festival ada aturan yang mengatur tata cara dalam pementasan. Aturan ini berlaku bagi semua element dalam sebuah pementasan Reyog dengan format Festival. mulai dari pemain, kostum, bahkan penonton pun ikut diarahkan untuk tidak memasuki daerah yang dianggap terlarang untuk masyarakat umum.
okicahyo-2013
Salah satu upaya dalam mengarahkan penonton dan peserta lain adalah dengan bantuan personil keamanan.Festival Reyog Nasional XIX, 14 November 2012
74
Dibelakang panggung panitia juga sibuk mengatur dan mempersiapkan para pemain sebelum masuk arena. Festival Reyog Nasional XIX, 14 November 2012
Hal ini sangat bertolak belakang dengan Reyog Obyogan. dalam setiap pementasan Obyogan, semua berjalan
okicahyo-2013
dengan sendirinya, tidak aturan, tidak ada pagar pembatas, tidak ada aturan baku dan tertulis yang mengatur sebuah pertunjukkan Obyogan itu sendiri. Dalam sebuah pementasan Obyogan tidak terlepas dari maksud dan tujuan diadakan pementasan Reyog Obyogan. salah satunya adalah latar belakang ritual. Semua pementasan yang dilakukan dengan motif sebagai usaha dalam mendekatkan diri dengan Tuhan. Bersih Desa dan Syukuran adalah motivasi yang sering dijumpai dalam setiap pementasan Obyogan ini.
75
Penonton yang membludak dan ingin melihat dari dekat serta tidak adanya aturan dalam pementasan menjadikan “kalangan” terlalu sempit untuk digunakan. Sehingga memaksa dadak merak sebagai media dalam membuka arena pertunjukkan. Pementasan Di desa Golan, Kecamatan Sukorejo 18 juni 2013.
5.2.14 Practicality-Efficiency / Idealism – Theory – Spiritualism –
okicahyo-2013 Detachment
Dalam perkembangan Reyog dengan format Festival
maupun Obyogan
masing-masing berpegang teguh sesuai
dengan ideology dan pemahaman tentang Reyog masingmasing. Salah satu indikator yang bisa dipakai disini adalah practicality. Dalam pertunjukkan Obyogan,
sisi kepraktisan
sangat menonjol dengan ditandai oleh jumlah pemain yang cenderung sedikit. Biasanya dalam sebuah pementasan Obyogan, hanya ada 2 dadak merak, 4-6 penari jahtil dan 1 atau 2 penari Bujangganong. Tanpa warok dan penari Kelana
76
Sewandono. Begitu juga dengan pemain gamelannya yang terbatas hanya sejumlah peralatan saja.
Jumlah pemain yang sedikit, Obyogan dapat dengan mudah dan praktis berpindah dari satu lokasi kelokasi yang lain.
okicahyo-2013 Hal
ini
sangat
berbeda
dan bertolak belakang
dibandingkan dengan Reyog Festival. Pada Reyog Festival, jumlah minimal adalah 32 orang (dikutip dari panduan Festival Reyog Nasional ke XIX tahun 2012). Hal ini sudah membuktikan bahwa dalam Reyog Festival membutuhkan persiapan
sesuai
dengan
aturan
yang berlaku.
Dalam
mempersiapkan sebuah pementasan butuh persiapan yang tidak sedikit dan rumit dalam latihan, make up,dan transportasi menuju tempat pementasan.
77
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan Dari hasil temuan dilapangan dan observasi secara mendalam dapat dirumuskan sebagai berikut: 1
Dalam perkembangan kesenian Reyog Ponorogo mengalami perubahan yang cukup dramatis dilihat dari sisi pertunjukkan dan pementasan.
2
Satu kesenian dengan akar sumber yang sama akhirnya terpecah oleh perkembangan dan tuntutan jaman yang menjadikan Reyog Ponorogo beberapa aliran atau versi.
3
Sesuai dengan indikator dari Edward Hall tentang kategorisasi budaya berdasarkan high / low context culture,
okicahyo-2013
Reyog dengan format Festival berada pada kategori Low Context Culture yang sebagian besar dimiliki oleh budaya barat. Sedangkan Reyog dengan format Obyogan cenderung masuk dalam kategori High Culture Context yang sebagian besar indikator ini dimiliki oleh bangsa-bangsa dengan budaya timur seperti asia.
7.2 Saran-Saran Mempertimbangkan hasil temuan dilapangan tentang pembagian pementasan Reyog dengan indikator high / low
78
culture context dari Edward Hall, maka dalam penelitian ini disarankan : Bagi para Grup Reyog. Grup Reyog dengan format Festival dan Obyogan tidak terlepas dari fungsinya sebagai salah satu hiburan dimasyarakat. Setiap kategori dalam Reyog Ponorogo selalu membawa pesan yang ingin disampaikan kepada masyarakat umum. Bukan hanya sebagai media hiburan yang dangkal akan makna, tetapi dalam setiap gerakan, tabuhan, dan aksesoris yang dipakai mempunyai makna yang dapat disampaikan kepada masyarakat yang melihatnya. Bagi Pemerintah Daerah :
okicahyo-2013
Dengan semakian dinamisnya perkembangan Reyog
Ponorogo ini, diharapkan langkah nyata dalam setiap tindakan dan kebijakan yang diambil, terutama yang berhubungan dengan Reyog
Obyogan.
hal
ini
disebabkan
regenerasi
dan
perkembangan untuk Reyog jenis ini cenderung lambat dibandingkan dengan Reyog Festival. Bagi masyarakat Dengan
adanya
kategorisasi
dalam
Reyog
ini,
diharapakan masyarakat lebih jeli dan semakin terbuka wawasannya dalam memahami sebuah paradigm yang sedang terjadi
disekelilingnya.
Dengan
demikian
diharapkan 79
masyarakat lebih aktif dalam usaha konservasi budaya yang berada disekitarnya, karena sebuah hasil budaya akan hilang dan tergerus oleh jaman apabila generasi sekarang tidak ada tindakan dalam pelestarian budaya. Bagi Yayasan Reyog Yayasan
Reyog
adalah
wadah
tertinggi
dalam
menyatukan semua seniman, ideology kreatifitas yang berkaitan langsung dengan Reyog Ponorogo. dalam hal ini, kategorisasi tidak ditujukan untuk memcah belah pemahaman didalam kesenian Reyog itu sendiri, tetapi ditekan kan lebih pada penambahan
kekayaan
dan
khasanah
keilmuwan
yang
menjadikan sebuah kesenian ini menjadi beragam dan mampu diterima oleh seluruh lapisan masyarakat.
okicahyo-2013
Reyog dengan format Obyogan membutuhkan campur
tangan dan dukungan yang lebih dari pemerintah dan yayasan Reyog sendiri karena dari tahun ke tahun perkembangan terutama untuk regenerasi hanya didominasi oleh orang-orang yang sudah tua. Kondisi yang berbeda jauh dengan kondisi Reyog dengan format Festival.
Bagi peneliti lanjutan Budaya dan manusia adalah sesuatu yang selalu bergerak dengan dinamis. Reyog Ponorogo yang sudah terkenal dan mendunia terus mengalami inovasi dari semua aspek.
80
Perkembangan yang terjadi sekarang menjadi sebuah batu pijakan yang dapat dijadikan referensi atau pandangan baru dalam pemahaman dan penelitan lanjutan yang fokus pada Reyog Ponorogo itu sendiri.
okicahyo-2013
81
BAB VII Jadwal Pelaksanaan
Jadwal Penelitian No.
Kegiatan
Waktu Pelaksanaan (bulan ke) 1
1.
Persiapan
2.
Studi literature
4.
Studi dokumentasi
5.
Mengurus perijinan
6.
Pengambilan data
7.
Analisa data
8.
Penulisan laporan
9.
Penggandaan dan pengumpulan
2
3
4
5
6
okicahyo-2013
laporan
82
BAB VIII Personalia Peneliti PersonaliaPeneliti a. Nama Lengkap
: Oki Cahyo Nugroho, s.sn
b. Jenis Kelamin
:L
c. NIS/NIDN
: 0440483 /
d. Disiplin ilmu
: Ilmu Sosial
e. Pangkat/ Golongan
:
f. Jabatan fungsional/ struktural
: Kepala Laboratorium Komunikasi
g. Fakultas/ Jurusan
: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
h. Waktu penelitian
: 10 jam/ minggu
okicahyo-2013
83
BAB XIX Perkiraan Biaya Penelitian 1. Bahan dan peralatan Penelitian a. Alat tulis menulis
: Rp.
b. Biaya photo copy
: Rp.
100.000.-
c. Memory card
: Rp.
375.000.-
d. Kertas HVS 2 rim x Rp. 35.000
: Rp.
75.000.-
e. Casete 4 buah x Rp, 15.000
: Rp.
60.000.-
f. Tinta printer 1 buah x Rp. 150.000
: Rp
150.000.-
g. batre NiMh
: Rp.
190.000.-
Jumlah
: Rp.
150.000.-
1.100.000.-
2. Transportai dan konsumsi a. perjalanan 3 x 5 bulan x 50.000
:Rp.
750.000,-
b. konsumsi 3 x 5 bulan x 15.000
:Rp.
350.000,-
Jumlah
: Rp.
2.200.000.-
: Rp.
300.000.-
3. Laporan penelitian a. Penulisan dan penggandaan laporan Jumlah 4. Seminar
: Rp.
300.000.-
okicahyo-2013
a. Biaya penyelenggaraan
Jumlah
Jumlah keseluruhan ((1+2+3+4)
: Rp
: Rp.
500.000.-
: Rp.
500.000
3.000.000,-
84
Daftar Pustaka Bernard Raho, 2007,Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher Griffin, Em,2011, A First Look At Communication Theory Eighth Edition,New York, Mcgraw-Hill Jawa Pos Radar Madiun, 16 September 1999, hal 3.“ Reyog Ponorogo memilih hujan emas di negeri orang redup ditanah kelahiran” Jazuli, 1994, Telaah teoretis seni tari, Semarang: IKIP Semarang Press Kumorohadi, Tugas, 2004. Reyog Obyogan Perubahan dan Keberlanjutan Cara Penyajian dalam Pertunjukan Reyog Ponorogo, Surakarta: PPS STSI. Kurnianto, Ridho dkk ,2007. Laporan Hasil Penelitian Pencitraan Perempuan dalam Kasus Perubahan Pelaku Jathil. LPPM Unmuh Ponorogo. Kuswarno, Engkus,2009, Metodologi Penelitian Komunikasi, Fenomenologi, Konsepsi, Pedoman, dan contoh Penelitiannya.Bandung:Widya Padjajaran Mulyana,deddy,2001, Metodologi Penelitian Kualitatif, Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu sosial Lainnya, Remaja Rosdakarya, Bandung. Pemkab Ponorogo, 1993. Pedoman Dasar Kesenian Reyog Ponorogo dalam Pentas Budaya Bangsa, Ponorogo.
okicahyo-2013
Manis ,Jerome G and Bernard N. Meltzer, 1978. SYMBOLIC INTERACTION: A Reader in Social Psychology THIRD EDITION . ALLYN AND BACON, INC. Boston, London, Sydney, Toront Storti ,Craig,2011, Culture Matters: The Peace Corps Cross-Cultural Workbook, Peace Corps,US. Coupland ,Nikolas, Cardiff University, 2007, Style:Language Variation and Identity (Key Topics in Sociolinguistics), Cambridge University Press,UK. Oxford Dictionaries,2011. Concise Oxford English Dictionary: Main edition.OUP Oxford Rosengren, Karl Erik, 2000. Communication: An Introduction, London, SAGE Publication Ltd Cleary,sandra,2009. Communication:A Hand –On Approach. Lansdowne, Juta and co ltd Griffin ,EM,2012, A First Look At Communication Theory,8th edition.New York, Mac GrawHill. 85
Hall, Edward T,Mildred Reed Hall.1990.Understanding cultural differences: keys to success in West Germany,France, and the United States. Yarmouth,Maine 04096 USA, Intercultural Press,Inc J Moleong Lexy, 2000, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung , Remaja Rosdakarya. Lesmana.Tjipta.2009. Dari Soekarno Sampai SBY: Intrik dan Lobi Politik Para Pengusaha. Jakarta .Gramedia Pustaka Utama. Littlejohn dan Foss. 2009. Encyclopedia of Communication Theory.California. SAGE Publications, Inc.
Journal Shoji Nishimura, Anne Nevgi and Seppo Tella, 2008. Communication Style and Cultural Features in High/Low Context Communication Cultures: A Case Study of Finland, Japan and India. Seminar Disampaikan pada Sarasehan bagi Seniman Reyog Ponorogo yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olah Raga Kabupaten Ponorogo, pada hari Kamis tanggal 18 April 2013 bertempat di Tambak Kemangi Resort Jl. Ir. H. Juanda Ponorogo.
okicahyo-2013
86
Curriculum Vitae Nama
: Oki Cahyo Nugroho S.Sn
Tempat / Tanggal Lahir : Magetan, 28 Januari 1983 Alamat
: Ds.Ngloning , Slahung, Ponorogo. Jawa Timur. Telp. 0352-372400 081578992848 e-mail.
[email protected] [email protected]
Jenis Kelamin
: Laki – laki
Agama
: Islam
Status
: Menikah
Pendidikan 2011-sekarang Pasca Sarjana Ilmu Komunikasi Konsentrasi Riset dan Pengembangan
okicahyo-2013 Teori Komunikasi Univ. Sebelas Maret Solo.
2001- 2007
Jurusan Fotografi, Fakultas Seni Media Rekam,Institut Seni Indonesia Yogyakarta.
1998- 2001
SMU Negeri 2 Ponorogo, Jawa Timur.
1996- 1998
SMP Negeri 2 Ponorogo, Jawa Timur.
1990- 1996
SD Negeri 2 Tegalombo, Kauman, Ponorogo, Jawa Timur.
Aktivitas Pameran 2012
Pameran fotografi “The Light Of Suro III”, Gedung Apollo Ponorogo dalam rangka Grebeg Suro dan Festival Reog nasional ke XIX
2011
Pameran Fotografi “Warna Warni Ponorogo”di Galeri Kintamani Resort Ponorogo.
2010
Pameran foto “ The Light of Suro “ dalam rangka Grebeg Suro dan Festival Reog nasional ke XVII, 1-7 Desember 2010 87
2010
Pameran foto “ Sejuta Saksi Mata” dalam rangka hari jadi Kab.Ponorogo
2008
Pameran Foto”We Are Connected” dalam rangkaian International South To South Film Festival-2. Goethe Institut Jakarta
2007
Pameran Fotografi Tugas Akhir “In The End”. Toko Buku Toga Mas, Yogyakarta.
2006
Pameran Fotografi “Building In Monochrome”. Toko Buku Toga Mas, Yogyakarta.
2004
Pameran Fotografi Lustrum Ke IV Faklutas Seni Media Rekam. Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Benteng Vredenburg Yogyakarta.
2004
Pameran Fotografi Dies Natalis Ke XXI ISI Yogyakarta. Benteng Vredenburg Yogyakarta.
2004
Pameran Fotografi “Sepekan Arsitektur Jogja” Univ. Atmajaya Yogyakarta.
2004
Pameran Audio Visual Angkatan 2001 FSMR ISI Yogyakarta “ Nasi Goreng Special “. Stasiun Tugu Yogyakarta.
2004
Pameran Fotografi “Nasi Goreng Special #2 “. Java Café Yogyakarta.
2003
Pameran Fotografi “ Temu Karya Mahasiswa Fotografi seIndonesia”. Benteng Vredenburg Yogyakarta.
2003
Pameran Fotografi “ Jogja Berhati Iklan”. Bentara Budaya Yogyakarta.
2003
Pameran Fotografi “ Gelar Seni”. Galeri Nasional Jakarta.
2001
Pameran Fotografi Angkatan 2001 FSMR ISI Yogyakarta “ Saat Memulai “. Galeri
okicahyo-2013
Fotografi ISI Yogyakarta. Seminar dan Workshop 2012
Nara sumber Workshop Journalistic Photography dalam rangakaian acara The Light Of Suro 2012, gedung Apllo, alun-alun timur kabupaten Ponorogo (11 desember 2012)
2011
peserta Seminar Nasional “ Perkembangan Public Relation di Era Globalisasi” . Program PascaSarjana Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Sebelas Maret Surakarta (13 Desember 2011)
2011
Nara Sumber Workshop “ Public Relation Sebagai Sarana Pencitraan Lembaga dengan Menggali Potensi Lokal Daerah”. Prodi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Univ.Muhammadiyah Ponorogo ( 14 Mei 2011)
88
2011
Panitia Pelatihan Sistem Administrasi Desa (SIMADES) Perangkat desa Se-Kecamatan Sampung Kab.Ponorogo. Prodi Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Univ. Muhammadiyah Ponorogo. (28 Mei 2011).
2011
Nara Sumber “Workshop Jurnalistik Mahasiswa” yang diselenggarakan oleh Jurusan Ushuluhuddin Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Ponorogo (11/12 Juni 2011).
2011
Peserta “Diklat Fotografi Bersama Yuyung Abdi”. Diselenggarakan oleh Jawa Pos Radar Madiun ( 18 Juni 2011).
2011
Juri Lomba Fotografi Mapala Pasca STAIN Ponorogo (25-26 Juli 2011).
2011
Panitia Seminar Internasional “ Empowering Young Entrepreneur In Supporting National Economy” Universitas Muhammadiyah Ponorogo ( 4 Juni 2011)
2010
Panitia ‘Seminar Sehari Pemberdayaan Perangkat Desa Dan Kelurahan”. Himpunan Mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Univ.Muhammadiyah Ponorogo.
2010
Panitia “ Seminar dan Lokakarya Pendidikan Inklusi dalam Perspektif Komunikasi ( Peningkatan Mutu Pengelolaan Anak Berkebutuhan Khusus Tingkat SMP dan MTS).
okicahyo-2013
Diselenggarakan di SMP Muhammadiyah Ponorogo (23 Januari 2010) , SMP Maarif 6 Mlarak Ponorogo (2 Maret 2010), MTsN Pulosari Jambon Ponorogo (6 Februari 2011). 2010
Juri Lomba Fotografi dan Mading Tingkat SMA/MA/ SMK Se-Karesidenan Madiun diselenggarakan oleh Komunitas Penulis dan Peneliti Aliansi Menkominfo Badan Eksekutif Mahasiswa Univ.Muhammadiyah Ponorogo ( 20 Maret 2011).
2010
Participant in the ”International Seminar, Globalization : Social Cost and Benefits for the Thirld World”. Faculty of Social and Political Sciences Sebelas Maret University Solo.
2005
Seminar dan Workshop Fotografi “ Forum Komunikasi Mahasiswa Fotografi Indonesia # 1” ( FKMFI #1). Univ. Pasundan Bandung.
2003
Workshop dan Seminar Fotografi “ Temu Karya Mahasiswa Fotografi SeIndonesia. Benteng Vredenburg Yogyakarta.
2003
Panitia Pelaksana Workshop ”Digital Road Show”. Hotel Santika Yogyakarta 89
2002
Workshop “ Penggunaan Film Slide Warna “. Hotel Pelangi Malang.
okicahyo-2013
90
DRAFT ARTIKEL ILMIAH Reyog Ponorogo dalam Perspektif High/Low Context Culture: Studi kasus Reyog Obyogan dan Reyog Festival
Oki Cahyo Nugroho, S.Sn Abstrak
Perbedaan-perbedaan dalam format pertunjukkan, perangkat yang dipakai, motivasi dalam pertunjukkan, interkasi dengan penonton, interkasi dengan pemain lain dan improvisasi dalam pementasan secara tidak langsung menimbulkan sebuah gaya dan karakteristik dalam komunikasi yang pada akhirnya membentuk karakter masing-masing pertunjukkan. Kekuatan dalam memegang idelogi atau kepercayaan terhadap seni Reyog yang berbeda inilah yang selanjutnya menjadi sebuah karakteristik dalam proses komunikasi yang bisa kita jumpai dalam setiap pementasan baik dalam format Reyog obyog maupun Reyog dalam versi festival atau panggung. Hal inilah yang menyebabkan dalam setiap pertunjukan reyog baik dalam format obyog atau dalam versi festival selalu mempunyai ciri khas dan keunikan sendiri-sendiri dalam setiap pementasan. Dalam setiap pementasan yang berlangsung, secara langsung akan memproduksi simbol-simbol tertentu yang membuat atau mengajak penonton untuk saling berkomunikasi. lebih detil dan terlihat perbedaan dapat dilihat dari perbandingan foto-foto pementasan Reyog obyogan dan Reyog dalam format festival. dalam menjelaskan fenomena ini, penelitian ini menggunakan perspektif dari Edward Hall yang mengkategorisasikan budaya berdasarkan high / low culture context. Kata kunci: Reyog festival, obyogan, high / low culture context
okicahyo-2013
PENDAHULUAN Reyog Ponorogo adalah sebuah pertunjukan tarian yang dinamis dan atraktif. Dalam bukunya, Jazuli (1994: 4) menjelaskan bahwa bentuk merupakan wujud dari sebuah tarian, sebuah tarian akan menemukan bentuk seninya apabila pengalaman batin pencipta maupun penarinya dapat menyatu dengan pengalaman lahirnya. Hal ini dapat dimaksudkan agar audience dapat tergerak dan bergetar emosinya atau dengan kata yang lebih sederhana penonton dapat terkesan setelah menyaksikan pertunjukan tari tersebut. Dalam menjaga eksistensi dan lestarinya salah satu budaya warisan nenek moyang, Reyog mengalami beberapa pergeseran yang disebabkan oleh beberapa hal. Bentuk pergeseran ini dapat bermacam-macam, mulai dari pemainnya yang dahulu oleh laki-laki semua, sekarang terdapat perempuan 91
sebagai penari jathil. Semua penari Reyog yang dulu mengenakan topeng dalam sebuah pementasan, sekarang hanya pemain yang berperan sebagai Prabu Kelono Sewandono dan Bujangganong yang memakai topeng. Dalam perkembangannya, pertunjukkan Reyog Ponorogo terbagi menjadi beberapa versi. Beberapa penelitian menyebutkan Reyog Ponorogo terpecah menjadi beberapa versi yaitu versi festival, versi obyogan, dan santri. Dalam penelitian ini hanya akan diambil versi festival dan versi obyogan karena hanya dua versi inilah yang sering dipertunjukkan pada masyarakat. Reyog dengan format atau versi santri hanya terbatas pada kalangan pesantren dan jarang sekali dipertunjukkan dalam masyarakat umum. Pergeseran ini bisa diartikan sebagai sebuah perpecahan yang mengarah pada sebuah konflik yang dapat disimbolkan dengan penanda-penanda tertentu yang dapat dimaknai menjadi sebuah kata kunci atau sebuah tanda tertentu. Reyog dengan versi festival adalah Reyog dengan tata pertunjukkanya merupakan bentuk baku yang dipentaskan dalam acara festival Reyog Nasional yang biasanya diselenggarakan pada menjelang perayaan 1 Muharaam dalam penanggalan Islam atau 1 Syuro dalam penanggalan Jawa. Tarian versi ini sudah baku mulai dari jumlah pemain, penabuh, tata gerak, instrumen musik
okicahyo-2013
sampai pada durasi waktu. Motivasi utama dalam pementasan Reyog versi festival adalah menjadi pemenang. Oleh karena itu dalam setiap Festival Reyog Nasional hampir tidak ada improvisasi dari penari maupun penabuh gamelan pada saat pentas. Bermain sesuai skenario latihan dan patuh pada peraturan panitia adalah salah satu kunci menjadi juara. Dengan demikian, tidak ada interaksi dan komunikasi antara penonton dengan pemain. Reyog versi obyogan adalah kebalikan dari Reyog festival, dimana aturan sudah tidak berlaku lagi. Artinya sudah tidak menggunakan pedomanpedoman dalam sebuah pemantasan Reyog. Perbedaan yang sangat terlihat adalah Reyog festival hanya bisa dilakukan dalam tempat tertentu dan cenderung menggunakan banyak ruang sedangkan Reyog versi obyogan bisa menggunakan ruang sempit sekalipun yang terpenting dadak merak bisa bergerak bebas. Reyog obyog adalah seni pertunjukan Reyog yang tidak terikat oleh aturan (pakem); tidak mengikuti aturan baku yang mengatur dalam pementasannya, sesuai dengan namanya obyogan. Reyog obyog lebih mengutamakan nilai kebersamaan dan kesenangan (hiburan) para pemain dan 92
orang-orang yang terlibat dalam pertunjukannya.(Ridho Kurnianto dkk, 2007 :37) Obyog atau obyogan
diartikan dalam kamus bahasa Jawa adalah
bebarengan nyambut gawe dengan pengertian yang sama dalam bahasa Indonesia mengerjakan pekerjaan bersama-sama (Tugas Kumorohadi 2004:2324). Istilah obyog juga disebut dalam buku pedoman sebagai nama untuk salah satu permainan musik sebagai iringan tari barongan atau tabuhan menjelang pentas (Pemkab Ponorogo,1993). Salah satu motivasi ramainya pertunjukkan Reyog obyogan adalah adanya interaksi dan komunikasi antara penonton dengan pemain. Interaksi ini dapat berupa sapaan, mengajak menari bersama bahkan memberikan uang atau biasa disebut dengan saweran. Konco Reyog adalah sebutan bagi orang-orang yang antusias dan serta ikut menjadi bagian dari sebuah pertunjukkan Reyog obyogan meskipun bukan bagian resmi dari tim Reyog yang sedang bermain. Perkembangan yang terjadi dengan Seni pertunjukkan Reyog Ponorogo saat sekarang mengarah pada beberapa sebab dan menjadi sebuah paradigma yang berkaitan langsung dengan Reyog obyogan dan Reyog festival. Dalam perjalanannya, usaha pemerintah dalam mengembangkan seni tradisional ini
okicahyo-2013
mengalami beberapa kendala.
Gambaran singkat diatas dapat ditarik menjadi sebuah karakteristik
budaya yang melahirkan sebuah cara dalam berkomunikasi lewat media budaya itu sendiri. Cara masyarakat dalam menyampaikan gagasan, tujuan, dan maksud yang terpendam dalam benak mereka mempunyai gaya atau cara yang unik dan menarik jika dilihat dari sudut pandang ilmu komunikasi. Setiap individu,kelompok kecil homogen atau komunitas, atau kumpulan masyarakat yang lebih luas dan beragam mempunyai cara dan gaya tersendiri yang akan berkaitan langsung dengan budaya masing-masing. Lebih fokus pada permasalahan komunikasi budaya yang terjadi pada Reyog Ponorogo, bahwa dalam sebuah sistem kebudayaan yang sama dengan akar atau sumber budaya yang sama terjadi perpecahan dengan segala ideologi dan kepentingan yang mengalir didalamnya. Perpecahan yang terjadi dapat membingungkan dan mengundang berbagai pertanyaan yang mendalam dan harus dilakukan sebuah penelitian untuk bisa menjawab sebab dan akibat yang akan terjadi dengan berlandaskan teori dan beberapa penelitian yang sudah 93
dilakukan sebelumnya. Dari sudut pandang pemain dan seniman Reyog yang berkecimpung dan menjadi bagian hidup dari sebuah pertunjukkan Reyog tentunya akan saling bertolak belakang dengan berpegang teguh pada prinsip masing-masing. Hal inilah kemudian yang menjadi fokus penelitian dalam bidang komunikasi tentang apa yang menjadi pesan, proses pengemasan pesan serta pemaknaan dalam pesan itu sendiri dan yang paling penting adalah dampak atau efek dari pesan yang ingin disampaikan para pemain ini terhadap penonton atau dalam pandangan ranah atau kajian ilmu komunikasi, terutama dalam komunikasi budaya. Fokus dalam penelitian komunikasi akan dibatasi beberapa aspek yang berkaitan langsung dengan sebuah proses komunikasi itu sendiri. Diantara proses itu adalah tentang pesan (message), proses penciptaan pesan (creation of message), pemaknaan dalam pesan (Intepretation of Message),proses yang saling berkaitan (Relational Proses), dampak dari pesan (Messages That Elicit a Response) (Griffin. 2011: 6-8).
Perbedaan-perbedaan dalam format pertunjukkan, perangkat yang dipakai, motivasi dalam pertunjukkan, interkasi dengan penonton, interkasi dengan pemain lain dan improvisasi dalam pementasan secara tidak langsung
okicahyo-2013
menimbulkan sebuah gaya dan karakteristik dalam komunikasi yang pada akhirnya membentuk karakter masing-masing pertunjukkan. Kekuatan dalam memegang idelogi atau kepercayaan terhadap seni Reyog yang berbeda inilah yang selanjutnya menjadi sebuah karakteristik dalam proses komunikasi yang bisa kita jumpai dalam setiap pementasan baik dalam format Reyog obyog maupun Reyog dalam versi festival atau panggung. Begitu juga dengan proses penyampaian pesan yang ingin disampaikan dalam sebuah proses pertunjukkan Reyog Ponorogo dalam format obyogan atau dalam format Festival. Pesan yang disampaikan menjadi mempunyai karakter yang unik sesuai dengan pembawa pesan itu sendiri yaitu reyog dengan berbagai formatnya. Hal inilah yang menyebabkan dalam setiap pertunjukan reyog baik dalam format obyog atau dalam versi festival selalu mempunyai ciri khas dan keunikan sendiri-sendiri dalam setiap pementasan. Dalam setiap pementasan yang berlangsung, secara langsung akan memproduksi simbol-simbol tertentu yang membuat atau mengajak penonton untuk saling berkomunikasi. Sebagai 94
contoh dalam pentas obyog adanya ajakan menari bersama dalam kalangan menunjukkan adanya kedekatan dan kesetaraan derajat diantara penonton. Berbeda dengan reyog versi festival, dalam reyog versi festival penonton secara otomatis akan terpecah statusnya. Hal ini bisa dilihat dari simbol kursi dan pagar yang membatasi penonton. Bagi penonton yang tidak berkepentingan tidak bisa masuk dan duduk pada kursi yang tersedia. Kursi yang disediakan adalah khusus untuk orang atau pejabat pemerintahan yang hadir atau siapapaun pejabat asal mempunyai kedudukan dalam pemerintahan daerah tersebut. Untuk lebih detil dan terlihat perbedaan dapat dilihat dari perbandingan fotofoto pementasan Reyog obyogan dan Reyog dalam format festival. Penelitian ini berangkat dari indikator Edward T Hall tentang pembedaan atau kategorisasi budaya berdasarkan ukuran-ukuran tertentu. Argumen Hall terbukti bisa dijadikan bahan rujukan ketika ada sebuah fenomena yang terjadi yang berkaitan langsung dengan intercultural study. Pada dasarnya, indikator Hall ini digunakan dalam penelitian yang merujuk pada sebuah fenomena dengan dasar intercultural study. Tetapi dalam perkembangannya, reyog Ponorogo dapat dikategorikan menjadi beberapa kategori berdasarkan perspektif atau sudut pandang dari berbagai disiplin ilmu.
okicahyo-2013
Oleh karena itu dalam penelitian ini perspektif yang digunakan Edward hall sangat sesuai dengan perkembangan yang terjadi seiring dengan perkembangan dunia ilmu terutama dalam perspektif ilmu komunikasi.
Dalam pandangan Edward Hall, Indonesia masuk dalam kategori budaya dengan karakter yang High Culture Context, (Lesmana.Tjipta.2009:58). Secara sederhana, High Culture Context adalah sebuah kategori budaya yang dalam proses penyampian pesan yang disampaikan tidak secara langsung, syarat makna dan penuh dengan intepretasi dari masing-masing penerima pesan itu sendiri. Reyog ponorogo dalam perkembangannya mengalami percampuran budaya yang dipengaruhi oleh beberapa aspek dan pengaruh dari luar budaya Ponorogo
yang
pada
akhirnya
mempengaruhi
pola-pola
dalam
pertunujukannya. Pertunjukan-pertunjukan reyog ponorogo yang terpecah menjadi dusa versi sangat pas dengan teori Hall tentang High dan Low Context Culture.
95
Melihat perkembangan budaya yang terjadi pada seni pertunjukan reyog ponorogo, jika dikaitkan dengan konteks budaya secara lebih luas akan mengarah pada sebuah kategorisasi budaya itu sendiri. Hal inilah yang sangat mempengaruhi gaya dalam berkomunikasi dengan masyarakat atau audience yang menyaksikan. Dalam kategorisasai secara luas, perkembangan reyog ponorogo ini dapat dilihat dari aspek high dan low culture context yang pernah dikemukakan oleh Edward T Hall dalam beberapa bukunya. Context is the information that surrounds an event ; it is inextricably bound upwith the meaning of that event.The elements that combi n e to produce a given meaning- events and context - are in different proportions depending on the culture.(Edward Hall,1990:6) Adanya
perbedaan
dalam
budaya
inilah
yang
menyebabkan
ketimpangan dan salah persepsi dalam penyampaian sebuah pesan. Being aware
okicahyo-2013
of these differences usually leads to better comprehension, fewer misunderstandings and to mutual respect (Shoji Nishimura, Anne Nevgi and Seppo Tella, 2008:784). Meminimalisir kesalahpahaman adalah sebuah jalan dalam mencari sebuah jalan tengah dari sebuah ketegangan yang terjadi dalam sebuah perjalanan budaya yang sering terjadi dalam masyarakat Indonesia yang terkenal dengan multi etnis dan multi kultur ini. Hasil akhir yang diharapkan dari penelitian ini adalah adanya rasa saling memiliki dan saling menghormati diantara pelaku, masyarakat umum atau konco reyog itu sendiri . Hal inilah menjadi salah satu motivasi dari peneltian kecil tentang sebuah budaya yang menjadi ikon budaya di Jawa Timur sebelah barat.
96
Metode Penelitian Dalam mengungkap fenomena yang terjadi pada pertunjukan seni Reyog Ponorogo berdasarkan indikator dari Edward Hall diatas,penulis menggunakan metode penelitian kualitatif. Prosedur dari penelitian ini sudah masuk dalam kategori penelitian kualitatif dengan ciri-ciri sebagai berikut:(1) Ciri latar belakang alamiah,(2) Manusia sebagai alat instrumen,(3) metode kualitatif,(4) analisis data secara induktif,(5)teori dari dasar, (6) Bersifat deskriptif atau apa adanya, (7) Lebih mementingkan hasil daripada proses, ( 8) adanya batas yang ditentukan oleh fokus, (9) ada kriteria khusus untuk keabsahan data, ( 10) Desain bersifat semantara, ( 11)Hasil Peneltian dipentingkan dan disepakati bersama (Moleong, 2000: 4-8) Peneliti meneliti satu obyek yaitu seni pertunjukan Reyog Ponorogo tetapi hanya difokuskan pada saat pementasan seni itu sendiri. Jadi waktu yang
okicahyo-2013
diperlukan relatif lama dan panjang karena harus menunggu saat pementasan Reyog dengan format Obyogan dan Festival Reyog Nasional yang hanya berlangsung sekali dalam setahun yaitu pada saat pergantian tahun baru Islam atau Suro dalam penanggalan Jawa. Untuk lokasi penelitian di lingkup Kabupaten Ponorogo. Data yang diperoleh dari beberapa lokasi penelitian teresebut kemudian dianalisis dan disajikan dalam bentuk deskripsi atau katakata. Dalam penelitian ini penulis lakukan di beberapa lokasi di kabupaten Ponorogo. Lokasi yang dipilih adalah desa Tegalombo Kecamatan Kauman, Desa Ngebel dan desa Jati
Kecamatan
Ngebel.Lokasi yang lain adalah didesa Golan kecamatan Sukorejo yang
97
mengadakan pentas dengan mendatangkan dadak merak sejumlah 20 buah pada tanggal 18 juni 2013. Selanjutnya adalah pentas yang diadakan di desa Jebeng Kecamatan Slahung dalam rangka syukuran terpilihnya kepala desa yang baru didesa ini pada tanggal 23 juni 2013. Lokasi ini dipilih karena adanya pertunjukkan Reyog dengan format Obyogan . Lokasi yang dipilih selanjutnya adalah Festival Reyog Nasional Ke XIX yang diadakan 11-16 November 2012 di Panggung Utama Alun-alun Kabupaten Ponorogo Jawa Timur dan pementasan Reyog Bulan Purnama pada setiap bulannya. Hasil Penelitian Sesuai dengan konsep high/low culture context maka semua pembahasan ini sesuai dengan tabel indikator dari Hall. Low-Context (Individualistic)
Materialism High-Context (Collective)
okicahyo-2013 Mastery over Nature Personal Control over the Environment Doing Future Orientation Change Time Dominates Human Equality Youth Self-Help Individualism/Privacy Competition Informality Directness/Openness/Honesty Practicality/Efficiency
Harmony with Nature Fate Being Past or Present Orientation Tradition Focus on Relationships Hierarchy/Rank/Status Elders Birthright Inheritance Group Welfare Cooperation Formality Indirectness/Ritual/"Face" Idealism/Theory Spiritualism/Detachment
1. Mastery over Nature / Harmony with Nature Pemahaman tentang Mastery over Nature pada high Culture Context ini adalah membangun alam sesuai dengan kebutuhan kita sebagai manusia. Dalam hal ini, Reyog dengan format Festival berada pada konteks ini dengan adanya 98
panggung tetap yang ada di sisi selatan alun-alun kota Ponorogo. Selain pembangunan panggung dengan dana yang cukup besar, pada waktu pentas juga menggunakan tata lampu atau cahaya yang menggunakan daya ribuan watt dalam pentas dengan nama Festival Reyog Nasional yang diadakan setiap tahun sekali menjelang penanggalan baru bulan jawa (suro) atau islam (muharram). Pada saat sekarang Festival Reyog Nasional sudah yang ke XIX pada tahun 2013 dan sudah mulai diadakan persiapan untuk Festival Reyog Nasional ke XX. Pada awal pertunjukkan Festival Reyog ini memakai panggung “Genjot” atau panggung yang dibuat sementara yang diperuntukkan khusus untuk Festival Reyog saja. Awal pertunjukkan Festival Reyog dimulai dari tahun 1995 pada masa pemerintahan bupati DR.H.M Markum
okicahyo-2013
Singodimedjo. Pertunjukkan Reyog dengan menggunakan panggung sementara ini berlangsung dari tahun 1995 sampai pada tahun 1997. Pada tahun 1998 dan 1999 sudah mulai menggunakan panggung dengan konstruksi baja atau seperti konstruksi panggung modern dengan ukuran yang besar. Pada tahun 1999, konstruksi panggung utama sisi selatan alun-alun sudah mulai digunakan sebagai panggung utama pertunjukkan Festival Reyog Nasional sampai sekarang bahkan terus mengalami perbaikan dan penyempurnaan (Wawancara dengan Drs.Budi Satriyo tanggal 19 juni 2013)
99
Suasana Panggung utama pada saat Festival Reyog Nasional Ke XIX tahun 2012
Suasana sebaliknya sangat terasa berbeda dengan keadaan Reyog dengan format Obyogan. Reyog dengan format
okicahyo-2013
ini sangat menyatu dengan alam yang ditandai dengan penggunaan lahan seadanya sebagai tempat pentas. Hal ini menurut semua orang yang menjadi konco Reyog yang pernah ditemui peneliti sudah terjadi sejak jaman dahulu, bahkan sebelum mereka lahir. Pertunjukkan diadakan diseluruh tempat yang memungkinkan orang bisa berkumpul. Sebagian besar pementasan diadakan di perempatan-perempatan jalan desa karena sebagian besar massa akan mudah terkumpul dan meyaksikan dengan mudah ketika berada di perempatan. Oleh karena itu pementasan dalam format ini lebih menyatu dengan alam atau dalam indikator Edward Hall Harmony with Nature.
100
Berbeda jika pemetasan itu ada yang mengundang atau “nanggap”. Jika ada orang yang mengundang untuk pentas, maka format pementasan sesuai dengan permintaan dari yang mengundang.
Sebagian
besar
pementasan
dilaksanakan
dihalaman rumah yang mengundang. Hal ini sesuai dengan pemaparan dan temuan dilapangan yang dikuatkan dengan foto dan wawancara.
okicahyo-2013 Pementasan Reyog Obyogan di Halaman rumah Bpk Hajiyanto, desa Jati Ngebel tanggal 15 November 2012.
101
Pementasan Reyog Obyogan di perempatan jalan desa dalam rangka bersih desa di desa Tegalombo, Kauman Ponorogo. 9 September 2011
2 Personal Control Over The Environment / Fate Pada indikator ini, pemahaman dalam Personal Control
okicahyo-2013
Over The Environment adalah usaha orang atau sekelompok orang dalam mempertahankan sebuah pentas yang dipengaruhi langsung oleh kondisi alam. Hal ini dimaksudkan ketika pementasan berlangsung tidak terganggu oleh faktor alam atau cuaca yang bisa menghentikan pentas. Pada saat sekarang, Festival Reyog Nasional sudah mampu untuk melakukan hal Control Over Enviroment dengan cara pendirian panggung dengan atap atau penutup yang dapat melindungi pemantasan dari sengatan panas matahari dan hujan. Jadi ketika pementasan tidak terganggu dan berhenti hanya karena faktor cuaca. Tidak cukup sampai disini, pementasan
102
yang dilakukan pada malam hari juga dibantu dengan bantuan cahaya buatan dari lampu dengan daya ratusan ribu watt yang mampu menerangi panggung dengan cukup. Begitu juga dengan penonton yang diberikan tempat khusus yang memungkinkan terlindung dari panas dan terpaan hujan. Hal ini sangat berbeda dengan kondisi dalam pementasan Reyog Obyogan
yang hanya pasrah dan tunduk dengan
kehendak alam seperti panas dan hujan. Oleh karena itu, pertunjukkan Reyog dengan format Obyogan
lebih banyak
dilakukan pada pagi atau sore hari,meskipun ada yang dilakukan pada malam hari, tetapi sangat jarang ditemui. Dalam Obyogan, pementasan lebih terkesan santai dan melihat kondisi alam. Hal ini sesuai dengan temuan dilapangan yang menemukan bahwa ketika pementasan Reyog dengan
okicahyo-2013
format Obyogan dan dalam kondisi hujan maka yang terjadi adalah pementasan tersebut berhenti bahkan tidak diteruskan kembali. Hal ini sesuai dengan pementasan Obyogan pada saat upacara larung sesaji pada tanggal 15 November 2012. Pada saat pentas berlangsung, hujan turun dengan lebatnya. Seketika itu juga musik langsung berhenti dan para pemain serta konco Reyog berlari mencari tempat yang telindung dari air hujan. Pementasan akhirnya berhenti dan tidak dilanjutkan kembali. Hal serupa terjadi pada saat pementasan di rumah Bpk Hajiyanto pada tanggal 15 November 2012. Pada saat itu pentas sedang berlangsung dan turun hujan dengan lebatnya, maka seketika itu
103
juga pentas berhenti dan semua konco Reyog berlari untuk mencari tempat yang terlindung dari air hujan.
okicahyo-2013 Pementasan Festival Reyog Nasional ke XV, 22 desember 2008 yang terus berlangsung meskipun dalam kondisi hujan
3. Doing / Being Doing / Being ini dimaksudkan lebih ke personil atau pemain dalam sebuah pementasan baik dalam format Festival atau Obyogan. dalam hal ini, beberapa personil atau pemain ada
104
yang bermain dalam format Obyogan dan Festival. Ada juga yang hanya bermain di Festival atau Obyogan saja. Pemahaman “Doing”
disini lebih ditekankan pada
motivasi atau latar belakang seseorang yang menjadi pemain Reyog dalam format Obyogan atau Festival. “doing’. Pada temuan dilapangan, sebagian besar pemain Reyog Festival berasal dari sekolah, perkumpulan, atau instansi non pemerintah atau swasta. Pada instansi pendidikan atau instansi yang lain, menjadi pemain adalah sebuah pekerjaan atau adanya perintah dari atasan masing-masing. Lain halnya dengan pemahaman “being”. Pengertian “being “ ini berdasarkan kamus bahasa Inggris adalah menjadi bagian dari sesuatu. Hal ini dipahami jika ada salah seseorang yang menjadi pemain Reyog, adalah karena keinginan sendiri
okicahyo-2013
dan terlebih lagi ada beberapa pengaruh dari orang tua atau kerabat dekat. Hal ini bisa dibuktikan dengan wawancara terbuka peneliti ketika bertemu dengan salah seorang pemain Bujangganong kecil yang bernama Ariya saat pementasan Reyog Obyogan di desa Ngloning pada sekitar tahun 2010. Pada saat itu, Ariya baru kelas 3 Sekolah Dasar tetapi sudah pandai dan mahir dalam menari Bujangganong dan bermain kendang, hal ini didasarkan karena Ariya ingin menjadi seperti ayahnya yang bisa bermain kendang Reyog. Bukti kuat lain adalah wawancara
dengan
Soeran
(
72tahun)
warga
desa
105
Ngloning,Slahung yang menjadi penabuh kendang Reyog selama kurang lebih 20 tahun karena keinginan sendiri.
4. Future Orientation / Past or Present Orientation Indikator ini secara sekilas mudah untuk dipahami dalam ranah pertunjukkan Reyog Ponorogo dalam format Festival. yang
memperebutkan
piala
bergilir
Presiden
Republik
Indonesia. Piala ini akan ditunjukkan setiap upacara pembukaan Festival Reyog Nasional. Dengan demikian, pemahaman tentang future orientation pada pertunjukkan Reyog dengan format Festival akan sangat terlihat. Begitu juga dengan system manajeman yang terstruktur dan rapi sehingga sangat memungkinkan adanya regenerasi dan reformasi dari generasi ke generasi selanjutnya. Penggalian dan eksplorasi gerak tari dan
okicahyo-2013
kreasi dalam kekompakan gerakan selalu dijaga dan dilatih untuk mendapatkan kekompakan dan kreasi yang diharapkan mampu mencuri perhatian dewan juri pada tahun-tahun mendatang. Pertunjukkan Reyog dengan format Festival biasanya memerlukan dana yang relatif
besar. Hal ini
dimaksudkan sebagai bayaran dan sebagai simpanan yang dikelola dengan manajeman modern. Penanda yang lain yang paling mudah ditemui adalah prosentase jumlah pemain 70% yang masih muda jauh lebih banyak dari pada pemain-pemain yang sudah berumur lebih dari 30 tahun. Pada indikator ini,
106
sangat erat kaitannya dengan indikator yang lain yaitu competition / cooperation. Berbeda dengan pementasan Reyog dengan format Obyogan yang cenderung berorientasi hanya pada kondisi dan keadaan masa lalu dan sekarang. Proses regenerasi berlangsung lambat dengan proses yang dinamakan dengan warisan dari leluhur. Hal ini menjadi salah satu penghambat besar karena budaya tradisional yang sudah mulai ditinggalkan oleh sebagian generasi muda sekarang. Ditambah dengan image yang kurang menyenangkan terutama terhadap pemain ‘Jathil”. Pemain “jathil” dianggap orang yang mudah digoda atau dilecehkan. Hal demikian berkembang karena Ponorogo merupakan sebuah kota yang unik dengan sebutan yang lain adalah kota santri. faktor inilah salah satu yang menyebabkan orang tua cenderung
okicahyo-2013
melarang anaknya menjadi pemain Reyog terutama Obyogan.
Obyogan tidak mempunyai menejemen yang modern. Pemilihan ketua atau koordinator biasanya orang yang paling berpengaruh dalam kelompok tersebut, bisa karena faktor usia,kekayaan, pengetahuan, keahlian dan lain sebagainya. Dalam bermain
Reyog Obyogan, sebagian besar mengatakan bahwa mereka bermain tidak berorientasi dengan uang yang bisa menunjang hidup mereka. Pihak pengundang biasanya akan memberikan akomodasi berupa angkutan untuk mengangkut Reyog dan Jathilnya, dan memberikan uang kas sekedarnya untuk perawatan dadak merak.
107
5. Change / Tradition Salah satu indikator dari Edward Hall yang lain adalah change dan Tradition. Pemahaman terhadap Change ini adalah adanya beberapa perubahan dan inovasi budaya berdasarkan pakem yang dianut. Khusus untuk kasus ini, tidak sesuai dengan konsepsi Edward Hall tentang high / low context culture . Artinya Reyog Festival yang selama ini sebagian besar masuk dalam kategori Low Culture Context menjadi masuk dalam High Culture Context, sedangkan Reyog Obyogan dalam indiukator ini masuk dalam kategori Low Culture Context . Dalam hal ini, pakem yang dianut dalam pertunjukkan Reyog adalah adanya Dadak merak dan pembarong, Penari jathil lengkap dengan ebleg,bujangganong lengkap dengan topengnya,
okicahyo-2013
warok lengkap dengan dandanan dan warok tuanya, Prabu Kelana Sewandono lengkap dengan topeng, kotang dan Pecut
Samandiman dan semua pakem ini tidak boleh dilanggar atau akan didiskualifikasi dalam pementasan.untuk lebih lengkapnya adalah Jumlah pemain tiap Group Reyog terdiri dari :Warok Tua (minimal) : 2 orang,Penari Warok (minimal) : 10 orang,Penari Jathilan (minimal) : 8 orang, Penari Bujangganong (minimal) : 1 orang, Penari Klonosewandono : 1 orang, Pembarong (minimal) : 2 orang, Pengrawit dan Penyenggak / Vokal (minimal) : 12 orang. dengan demikian Jumlah minimal adalah 36 orang Bahkan musik pengiringnya harus sesuai pakem yang telah dibukukan dalam peraturan yang mengatur semua tekhnis 108
pertunjukkan dalam Festival Reyog, terutama dalam Festival Reyog Nasional. Yang boleh dilakukan hanyalah menambah jumlah penari dalam pementasan,pola lantai ketika dipanggung tetapi tidak mengganti atau mengubah pakem gerakan tari dari setiap tari yang dihadirkan (wawancara dengan Bpk.Budi Satriyo,ketua Festival Reyog Nasional ke XIX 2012).
okicahyo-2013 Format pertunjukkan Reyog dalam Festival Reyog Nasional ke XIX
Berbeda dan sangat bertolak belakang dengan format pertunjukkan Reyog dalam bentuk Obyogan. dalam format Obyogan, semua gerakan, pakaian, musik pengiring dan seluruh format pertunjukkan dilakukan dengan bebas. Artinya pakem yang dimainkan hanyalah beberapa, yaitu musik pengiring terutama kendang dan gerakan tari dari dadak merak. Untuk penari Jathil rata-rata didominasi tidak menggunakan pakem lagi dan bergoyang layaknya penyanyai dangdut, tetapi pada
109
beberapa sesi ,masih tetap meggunakan gerakan yang hampir mirip dengan gerakan pada format Festival. kostum yang dipergunakan juga mengalami perubahan dari kemeja warna putih tidak transparan pada format Festival menjadi berwarnawarni dan transparan sesuai pelihan dan mode yang sedang berkembang sekarang. Perlengkapan yang digunakanpun tidak selengkap dalam format Festival, artinya dalam Obyogan tidak menggunakan ebleg atau kuda lumping layaknya pasukan berkuda. Bujangganong menari hanya sebagai sarana hiburan saja
dan
didominasi
gerakan
bebas,
terkadang
tidak
menggunakan topeng. Unsur lain yang hilang dan jarang kita temui dari pertunjukkan dengan format Obyogan ini adalah tidak adanya Warok dan Prabu Kelana Sewandono. Menurut sebagian besar
okicahyo-2013
warga atau konco Reyog yang ditemui peneliti, tampilan dan
gerakan mereka tidak terlalu menghibur, tidak seperti Bujangganong yang jenaka atau penari Jathil yang cantik.
110
Penari Jathil yang sudah tidak menggunakan ebleg atau kuda lumping dan gerakan tari yang mirip dengan penyanyi dangdut atau geraka penari tayub. Pertunjukkan Reyog Obyogan di desa Jati Kec.Ngebel di rumah Bpk Hajiyanto 15 November 2012).
6. Time Dominates / Focus On Relationship Dalam Reyog Festival, pertunjukkan yang diadakan
okicahyo-2013
sangat dibatasi oleh waktu. Dalam setiap pertunjukkan waktu yang diberikan sangat terbatas. Waktu penampilan yang tersedia bagi setiap Group adalah maksimal 25 (dua puluh lima) menit. Oleh karena itu, dalam setiap pementasan ada lampu isyarat yang digunakan selama pertunjukkan berlangsung. Dalam buku panduan Festival Reyog Nasional ke XIX tahun 2012 menyebutkan “Pergantian pentas/penampilan antar peserta akan diberi isyarat oleh panitia dengan menggunakan lampu : Kuning – Hijau – Merah dengan ketentuan sebagai berikut : Lampu Kuning Pertama, peserta mengadakan persiapan untuk naik ke pentas, Lampu Hijau, peserta mulai pentas, Lampu Kuning
111
Kedua, pertanda waktu penampilan tinggal tersisa 5 menit, Lampu
Merah,
menunjukkan
waktu pentas
dinyatakan
telah berakhir / selesai”
Penggunaan Lampu sebagai penanda waktu dalam Festival Reyog Nasional Ke XIX tahun 2012 dialun-alun Ponorogo.
okicahyo-2013
Dalam pertunjukkan Reyog dengan format Obyogan,
waktu tidak dibatasi. Bermain dengan sesuka hati atau permintaan dari penonton menjadi faktor sebuah pentas diteruskan . atau tidak. Selama pengataman dalam penelitian ini, semua pertunjukkan Reyog Obyogan dilaksanakan pada sore hari. Oleh karena itu, yang menghentikan hanya waktu yaitu menjelang maghrib atau cuaca yang tidak mendukung. 7. Human Equality / Hierarchy – Rank- Status Dalam indikator ini, posisi Reyog dengan format Festival berada pada Hierarchy – Rank- Status. Hal ini didasarkan pada
sistem modern yang mengacu adanya ketua dan seluruh struktur 112
dibawahnya. Bahkan penontonpun dibuat berdasarkan hirarki dalam struktur pemerintahan. Khusus untuk pembagian penonton, tamu yang berada diabwah tenda yang mewah merupakan tamu kehormatan diantaranya adalah bupati, wakil bupati, dewan juri, dan pejabat penting dalam pemerintahan. Dibelakangnya ada deretan kursi yang masih masuk dalam ruang lingkup tamu kehormatan yaitu orang-orang yang mendapat undangan khusus dari pemerintah Kabupaten. Dalam hal ini yang mendapat undangan adalah para kepala desa dan beberapa orang yang mempunyai pengaruh dalam pemerintahan. Sedangkan paling belakang dan dibatasi oleh pagar adalah masyarakat umum yang harus memebayar ketika ingin menyaksikan Festival Reyog ini. Tiket yang harus dibayar adalah Rp.3000.
okicahyo-2013
Kebalikan dari Hirarki ini adalah persamaan. Dalam
pemetasan Obyogan semua orang diperlakuksan sama dengan
orang lain. Tidak ada pembedaan dan status dalam setiap pertunjukkan. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya pembagian atau kategorisasi bagi penonton yang ingin meyaksikan pertunjukkan Reyog yang bisa memilih tempat dimanapun dan kapanpun.
113
Pembagian penonton berdasarkan hirarki dalam sistem pemerintahan
8. Youth / Elders Para pemain dalam Reyog Festival didominasi oleh generasi muda. Hal ini terjadi karena sebagaia besar Reyog
okicahyo-2013
dengan format ferstival berangkat dari sekolah, instansi pendidikan setara perguruan tinggi, perusahaan, atau instansi pemerintah (kecamatan). Oleh karena itu sebagian besar pemainpemainnya relatif masih muda. Sebaliknya, Reyog dangan format Obyogan didominasi oleh orang tua. Usia yang masih muda hanya mengisi posisi dalam penari jathil dan bujangganong. Sebagian besar orang yang lebih tua sebagai penabuh gamelan dan pemain barongan. Banyak dari generasi muda ini memilih sebagai penonton yang pasif dalam melihat sebuah pertunjukkan Reyog dengan format Obyogan.
114
Pementasan Reyog Festival lebih banyak didominasi oleh generasi muda
9. Self Help / Birthright Inheritance Pemahaman terhadap Self Help ini lebih menekankan
okicahyo-2013
pada prinsip kemandirian dalam sebuah pentas atau pertunjukan dalam penelitian ini. Dalam penelitian ini terlihat ada beberapa group Reyog yang disponsosri oleh beberapa perusahaan besar. Pada prinsip kemandirian, perusahaan ini sudah mampu untuk membeli seperangkat peraltan perntunjukkan Reyog dengan Format Festival. hal ini dapat dilihat secara langsung dengan adanya label atau tulisan dibelakang,didepan dadak merak yang mencantumkan nama perusahaan tersebut. Sedangkan dalam Reyog dengan format Obyogan lebih
banyak mengandalkan warisan dari generasi sebelumnya. meskipun beberapa tempat atau kecamatan sudah mampu untuk membeli perlengkapan pertunjukkan Reyog. Menurut sebagian 115
besar mayarakat yang menyaksikan, banyak dari dadak merak dan beberapa perangkat kesenian Reyog yang dihancurkan atau dibakar pada saat peristiwa G30S PKI karena dianggap sebagai ujung tombak dalam setiap aksi pengumpulan massa oleh PKI pada masa itu.
10. Individualism-Privacy / Group Welfare Dalam pemahanam Individualism atau privacy, bahwa semua tindakan lebih mementingkan kelompok atau pribadi masing-masing. Dalam hal ini, Reyog dengan format Festival mempunyai posisi sebagai Reyog yang Individualism. Hal ini tidak terlepas dari format pertunjukkan itu sendiri yang memang mengharuskan setiap grup tampil sendiri-sendiri. Tetapi dalam kenyataannya, grup Reyog ini saling bertukar dan pinjam-
okicahyo-2013
meminjam peralatan dari grup lain. Yang paling kelihatan adalah ketika persiapan dalam menjelang pentas, beberapa grup Reyog
sengaja membuat jarak dengan grup lain dan mencari tempat dan lokasi sendiri dalam persiapan dan latihan. Berbeda dengan pertunjukkan Reyog dengan Format Obyogan. Ada istilah konco Reyog dimana istilah ini ditujukan pada orang-orang yang antusias dan selalu mengikuti setiap pertunjukkan Reyog dengan format Obyogan. Motivasi mereka adalah karena rasa solidaritas antar sesama grup Reyog. Seperti yang diungkapkan oleh Mbah Giyo ( 78 tahun ) warga desa
116
Morosari Kecamatan Sukorejo yang rela ke Ngebel hanya untuk menyaksikan grup Reyog temannya pentas di telaga Ngebel.
Prinsip Individualism dengan mencari tempat tersendiri
okicahyo-2013 11. Competition / Cooperation
Pemahaman untuk indikator ini sudah sanagt jelas antara
Reyog dengan Format Festival dan Obyogan. Reyog dengan format Festival kental dengan suasana kompetisi karena tujuan utama dari setiap pementasan adalah menjadi juara. Berbeda dengan pentas Reyog dengan format Obyogan yang lebih mementingkan unsur kerjasama antara satu orang dengan grup yang lain atau sekedar rasa saling mengharagai dan menikmati pertunjukkan yang disuguhkan. Rasa sungkan dan malu lebih mendominasi jika tidak hadir atau melihat pertunjukkan yang ditampilkan oleh grup lain.
117
Piala Presiden yang diperebutkan dalam Festival Reyog Nasional ke XIX tahun 2012
12. Informality / Formality Pada pertunjukkan Reyog dengan format Festival, semua
okicahyo-2013
pertunjukkan dihadirkan dengan resmi dan dengan tata cara yang sudah diatur dalam sebuah buku panduan. Mulai dari durasi waktu, jumlah pemain, penabuh gamelan,sampai pada urutan tari dalam setiap pementasan. Jika aturan ini dilanggar maka dipastikan tidak mendapat point dalam penilaian oleh dewan juri. Berbeda dengan Reyog dengan format Obyogan yang tampil dengan santai dan tidak aturan yang mengikat dalam setiap pertunjukkan. Jumlah pemain yang tidak terbatas, tidak ada upacara pembukaan atau penutupan, tidak ada aturan baku dalam setiap pertunjukkan Reyog Obyogan.
118
Dengan demikian indikator dari Edward Hall menjadi terbalik. Informality yang masuk dalam kategori sebelumnya adalah Low Culture Context menjadi High Culture Context jika dihadapkan dengan kenyataan yang terjadi dilapangan.
okicahyo-2013
Pementasan Reyog Obyogan, orang lain yang bukan dari grup bisa tampil dengan pakaian seadanya. Jebeng, Slahung, 23 juni 2013
Suasana pementasan Festival Reyog Nasional yang formal dengan dress code “Penadon”.
119
13. Directness – Openness – Honesty / Inderectness – Ritual - “Face” Salah satu indikator dari Edward Hall tentang pembagian kategorisasi budaya dalam ranah intercultural study adalah directness / indirectness. Dalam hal ini, pengertian dari direcetness adalah semua pementasan dilapangan diatur sesuai dengan katentuan yang dibukukan. Hal ini sangat sesuai dengan betuk pementasan Reyog dengan format Festival yang selama ini kita lihat. Pementasan dengan format Festival ada aturan yang mengatur tata cara dalam pementasan. Aturan ini berlaku bagi semua element dalam sebuah pementasan Reyog dengan format Festival. mulai dari pemain, kostum, bahkan penonton pun ikut diarahkan untuk tidak memasuki daerah yang dianggap terlarang
okicahyo-2013 untuk masyarakat umum.
Salah satu upaya dalam mengarahkan penonton dan peserta lain adalah dengan bantuan personil keamanan.Festival Reyog Nasional XIX, 14 November 2012
120
Hal ini sangat bertolak belakang dengan Reyog Obyogan. dalam setiap pementasan Obyogan, semua berjalan dengan sendirinya, tidak aturan, tidak ada pagar pembatas, tidak ada aturan baku dan tertulis yang mengatur sebuah pertunjukkan Obyogan itu sendiri. Dalam sebuah pementasan Obyogan tidak terlepas dari maksud dan tujuan diadakan pementasan Reyog Obyogan. salah satunya adalah latar belakang ritual. Semua pementasan yang dilakukan dengan motif sebagai usaha dalam mendekatkan diri dengan Tuhan. Bersih Desa dan Syukuran adalah motivasi yang sering dijumpai dalam setiap pementasan Obyogan ini.
okicahyo-2013
Penonton yang membludak dan ingin melihat dari dekat serta tidak adanya aturan dalam pementasan menjadikan “kalangan” terlalu sempit untuk digunakan. Sehingga memaksa dadak merak sebagai media dalam membuka arena pertunjukkan. Pementasan Di desa Golan, Kecamatan Sukorejo 18 juni 2013.
121
14. Practicality-Efficiency / Idealism – Theory – Spiritualism – Detachment Dalam perkembangan Reyog dengan format Festival maupun Obyogan
masing-masing berpegang teguh sesuai
dengan ideology dan pemahaman tentang Reyog masingmasing. Salah satu indikator yang bisa dipakai disini adalah practicality. Dalam pertunjukkan Obyogan,
sisi kepraktisan
sangat menonjol dengan ditandai oleh jumlah pemain yang cenderung sedikit. Biasanya dalam sebuah pementasan Obyogan, hanya ada 2 dadak merak, 4-6 penari jahtil dan 1 atau 2 penari Bujangganong. Tanpa warok dan penari Kelana Sewandono. Begitu juga dengan pemain gamelannya yang terbatas hanya sejumlah peralatan saja.
okicahyo-2013
Jumlah pemain yang sedikit, Obyogan dapat dengan mudah dan praktis berpindah dari satu lokasi kelokasi yang lain.
122
Hal
ini
sangat
berbeda
dan bertolak belakang
dibandingkan dengan Reyog Festival. Pada Reyog Festival, jumlah minimal adalah 32 orang (dikutip dari panduan Festival Reyog Nasional ke XIX tahun 2012). Hal ini sudah membuktikan bahwa dalam Reyog Festival membutuhkan persiapan
sesuai
dengan
aturan
yang berlaku.
Dalam
mempersiapkan sebuah pementasan butuh persiapan yang tidak sedikit dan rumit dalam latihan, make up,dan transportasi menuju tempat pementasan. Kesimpulan Dari hasil temuan dilapangan dan observasi secara mendalam dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Dalam perkembangan kesenian Reyog Ponorogo mengalami perubahan yang cukup dramatis dilihat dari sisi pertunjukkan dan pementasan.
okicahyo-2013
2. Satu kesenian dengan akar sumber yang sama akhirnya terpecah oleh perkembangan dan tuntutan jaman yang menjadikan Reyog Ponorogo beberapa aliran atau versi.
3. Sesuai dengan indikator dari Edward Hall tentang kategorisasi budaya berdasarkan high / low context culture, Reyog dengan format Festival berada pada kategori Low Context Culture yang sebagian besar dimiliki oleh budaya barat. Sedangkan Reyog dengan format Obyogan cenderung masuk dalam kategori High Culture Context
yang sebagian besar
indikator ini dimiliki oleh bangsa-bangsa dengan budaya timur seperti asia.
123
Bagi para Grup Reyog. Grup Reyog dengan format Festival dan Obyogan tidak terlepas dari fungsinya sebagai salah satu hiburan dimasyarakat. Setiap kategori dalam Reyog Ponorogo selalu membawa pesan yang ingin disampaikan kepada masyarakat umum. Bukan hanya sebagai media hiburan yang dangkal akan makna, tetapi dalam setiap gerakan, tabuhan, dan aksesoris yang dipakai mempunyai makna yang dapat disampaikan kepada masyarakat yang melihatnya. Bagi Pemerintah Daerah : Dengan semakian dinamisnya perkembangan Reyog Ponorogo ini, diharapkan langkah nyata dalam setiap tindakan dan kebijakan yang diambil, terutama yang berhubungan dengan Reyog Obyogan. hal ini disebabkan regenerasi dan perkembangan untuk Reyog jenis ini cenderung lambat dibandingkan dengan Reyog Festival.
okicahyo-2013
Bagi masyarakat
Dengan adanya kategorisasi dalam Reyog ini, diharapakan masyarakat
lebih jeli dan semakin terbuka wawasannya dalam memahami sebuah paradigm yang sedang terjadi disekelilingnya. Dengan demikian diharapkan masyarakat lebih aktif dalam usaha konservasi budaya yang berada disekitarnya, karena sebuah hasil budaya akan hilang dan tergerus oleh jaman apabila generasi sekarang tidak ada tindakan dalam pelestarian budaya. Bagi Yayasan Reyog Yayasan Reyog adalah wadah tertinggi dalam menyatukan semua seniman, ideology kreatifitas yang berkaitan langsung dengan Reyog Ponorogo. dalam hal ini, kategorisasi tidak ditujukan untuk memcah belah
124
pemahaman didalam kesenian Reyog itu sendiri, tetapi ditekan kan lebih pada penambahan kekayaan dan khasanah keilmuwan yang menjadikan sebuah kesenian ini menjadi beragam dan mampu diterima oleh seluruh lapisan masyarakat. Reyog dengan format Obyogan membutuhkan campur tangan dan dukungan yang lebih dari pemerintah dan yayasan Reyog sendiri karena dari tahun ke tahun perkembangan terutama untuk regenerasi hanya didominasi oleh orang-orang yang sudah tua. Kondisi yang berbeda jauh dengan kondisi Reyog dengan format Festival. Bagi peneliti lanjutan. Budaya dan manusia adalah sesuatu yang selalu bergerak dengan dinamis. Reyog Ponorogo yang sudah terkenal dan mendunia terus mengalami inovasi dari semua aspek. Perkembangan yang terjadi sekarang menjadi sebuah
okicahyo-2013
batu pijakan yang dapat dijadikan referensi atau pandangan baru dalam pemahaman dan penelitan lanjutan yang fokus pada Reyog Ponorogo itu sendiri.
125
Daftar Pustaka Bernard Raho, 2007,Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher Griffin, Em,2011, A First Look At Communication Theory Eighth Edition,New York, Mcgraw-Hill Jawa Pos Radar Madiun, 16 September 1999, hal 3.“ Reyog Ponorogo memilih hujan emas di negeri orang redup ditanah kelahiran” Jazuli, 1994, Telaah teoretis seni tari, Semarang: IKIP Semarang Press Kumorohadi, Tugas, 2004. Reyog Obyogan Perubahan dan Keberlanjutan Cara Penyajian dalam Pertunjukan Reyog Ponorogo, Surakarta: PPS STSI. Kurnianto, Ridho dkk ,2007. Laporan Hasil Penelitian Pencitraan Perempuan dalam Kasus Perubahan Pelaku Jathil. LPPM Unmuh Ponorogo. Kuswarno, Engkus,2009, Metodologi Penelitian Komunikasi, Fenomenologi, Konsepsi, Pedoman, dan contoh Penelitiannya.Bandung:Widya Padjajaran Mulyana,deddy,2001, Metodologi Penelitian Kualitatif, Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu sosial Lainnya, Remaja Rosdakarya, Bandung. Pemkab Ponorogo, 1993. Pedoman Dasar Kesenian Reyog Ponorogo dalam Pentas Budaya Bangsa, Ponorogo.
okicahyo-2013
Manis ,Jerome G and Bernard N. Meltzer, 1978. SYMBOLIC INTERACTION: A Reader in Social Psychology THIRD EDITION . ALLYN AND BACON, INC. Boston, London, Sydney, Toront Storti ,Craig,2011, Culture Matters: The Peace Corps Cross-Cultural Workbook, Peace Corps,US. Coupland ,Nikolas, Cardiff University, 2007, Style:Language Variation and Identity (Key Topics in Sociolinguistics), Cambridge University Press,UK. Oxford Dictionaries,2011. Concise Oxford English Dictionary: Main edition.OUP Oxford Rosengren, Karl Erik, 2000. Communication: An Introduction, London, SAGE Publication Ltd Cleary,sandra,2009. Communication:A Hand –On Approach. Lansdowne, Juta and co ltd Griffin ,EM,2012, A First Look At Communication Theory,8th edition.New York, Mac GrawHill. 126
Hall, Edward T,Mildred Reed Hall.1990.Understanding cultural differences: keys to success in West Germany,France, and the United States. Yarmouth,Maine 04096 USA, Intercultural Press,Inc J Moleong Lexy, 2000, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung , Remaja Rosdakarya. Lesmana.Tjipta.2009. Dari Soekarno Sampai SBY: Intrik dan Lobi Politik Para Pengusaha. Jakarta .Gramedia Pustaka Utama. Littlejohn dan Foss. 2009. Encyclopedia of Communication Theory.California. SAGE Publications, Inc.
Journal Shoji Nishimura, Anne Nevgi and Seppo Tella, 2008. Communication Style and Cultural Features in High/Low Context Communication Cultures: A Case Study of Finland, Japan and India. Seminar Disampaikan pada Sarasehan bagi Seniman Reyog Ponorogo yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olah Raga Kabupaten Ponorogo, pada hari Kamis tanggal 18 April 2013 bertempat di Tambak Kemangi Resort Jl. Ir. H. Juanda Ponorogo.
okicahyo-2013
127