Loenpia Oleh: Muhammad Azka (UNWAHAS) “Marlan..Marlan, kamu ini sudah kuwanti-wanti untuk melanjutkan daganganku” gumam Bapak sambil membunyikan giginya, seperti sedang geram. Tangan lembut Ibuk sedang memeras kain rendaman hangat di baskom, segenap otot-otot tangannya menyala hijau. Tangan itu kembali menyentuh perlahan kening bapak yang tubuhnya merebah di ranjang. “Buk, sekarang apa balasan anak mbarepmu?”.”Bapak yang sabar” Ibuk beranjak dari ranjang begitu saja. “Aku masih kuat mengolah Lumpia sendiri, dibantu Sulis” tambahnya sambil membanting-banting gumukan olahan tepung di meja dapur. Bapak menimpali, menyebut namaku, namun belum sempurna mengucapkan katanya, tahu-tahu sudah tersedak terbatuk-batuk. Mendengar suara batuk suaminya yang telah membenam dalam dada, tangan Ibuk nampak meremas olahan tepung kuat-kuat, kemudian nampak air matanya mengkilap jatuh di atas serbuk tepung. Pertanyaan-pertanyaan muncul dari dalam benak kami, kenapa Marlan, kakak mbarep, meninggalkan rumah dengan cara tidak kekeluargaan. Terkadang, pertanyaan itu seperti bayangan segerombol pemabuk sewaktu tengah malam di gang kampung, kampung kelahiran nenek moyang. Belum lagi kondisi bapak semakin memburuk. Seperti hari-hari biasanya, kami berdagang di sepanjang jalan Mataram Semarang, Ibuk sering berkata-kata sendiri dalam suara bisik, meniru kebiasaan Bapak. Namun bukan kebiasaan Bapak ketika sedang menjual Lumpia. Ketika Ibuk sedang menggeram dalam bisik, aku jadi ingat, waktu itu sebelum Marlan menghancurkan Lumpia dalam remasan tangannya yang sembari ia arahkan di wajah Bapak, untuk kemudian membanting pintu. Gambaran Lumpia remuk itu terus terbayang, suara pintu dibanting dan kata-kata Marlan masih menggelayut “Marlan sudah bilang, Marlan tidak mau berdagang Lumpia seperti Bapak, kenapa, kenapa mesti harus jadi seperti Bapak!” Telah dua tahun berlalu. Nampaknya keinginan Ibuk untuk menjemput Marlan hampir paripurna. Keinginan kuat Ibuk terlihat ketika separuh upahku jajan hasil membantu menjual Lumpia diminta untuk ditabung jadi satu dengan milik Ibuk “Lis, ini uang untuk menjemput pulang kakakmu, soalnya dia pandai mengolah Lumpia, juga supaya Bapak lega”. 1
Keesokan harinya, ibuk sungkem pamit kepada bapak, bapak hanya diam, seolah berkata memang seharusnya Marlan pulang. “Aku sudah meminta tolong Atun untuk jadi rewang merawat Bapak”. Sebelum sesaat Ibuk beranjak di sisi Bapak, tangan Bapak menghambat gerak keberangkatan Ibuk, walau sebenarnya hambatan tangannya sama sekali tidak berpengaruh. “Buk, penjual Lumpia di Semarang berkurang, Marlan tahu resepnya, siapa lagi jika bukan dia”. Ibuk hanya mengangguk-ngangguk paham, kemudian tangannya menyambar cepat tanganku, aku dibawanya pergi. “Ibuk tahu di mana Mas Marlan?” tanyaku, Ibuk berjalan tergopoh-gopoh, aku tolah-toleh ke berbagai arah, tidak kelihatan ada sesosok laki-laki misterius, berkumis tebal dengan lengkap jaket kulit hitam yang melekat ditubuh kekarnya yang sedang mengejar kami. Aku heran, kenapa tiba-tiba Ibuk tidak bisa tenang, seperti ada yang mengejarnya, wajahnya menatap ke depan tanpa menoleh ke belakang “Ibuk kok bisa tahu?” kutanyai kembali, sembari melambaikan tangannya ke arah bus kota, ia menjawab singkat “Ibuk tahu dari bapaknya Yusup, Yusup temanmu itu, bapaknya dititipi surat dari Marlan”. Di dalam bus selama perjalanan dari kota kami menuju kota Jakarta, kota yang terlihat di teve-teve, penuh lampu-lampu dan rumah-rumah yang tinggi. Ibuk bercerita panjang lebar mengenai Marlan, sesampai aku tertidur, bangun, Ibuk masih bercerita, tertidur kembali, bangun kembali ibuk masih saja. “Ini sampai mana buk?” Tanyaku ketika kaki kami melenggang dari bus, Ibuk hanya melempar-lempar matanya ke penjuru arah, tangannya mengusap air mengkilap di wajahnya, termasuk sesekali mengusap kilap air dari kedua matanya. Ibuk adalah wanita yang paling kuat dan pemberani, aku kagum. Ia nampak melihat-lihat kertas yang ia genggam sejak berangkat dari rumah. Ibuk menyambarku kembali, kami berdua berjalan melesat menembus panas dan kepulan debu. Kami dilempar-lempar, ditangkap, melemparkan diri dari satu mobil ke mobil yang lain, motor ke motor yang lain. Kami seperti masih dikejar laki-laki misterius dari Semarang. Bahkan sepertinya dikejar-kejar gerombolan laki-laki misterius yang sedang mabuk. Hingga akhirnya setelah kami menyelusup di tengah-tengah rumah-rumah yang tinggi dan suara-suara mobil yang berkelanjutan tidak ada jeda, Ibuk berhenti.
2
Ia mulai merogoh-rogoh tas mencari handphone, jari-jemarinya memijit hape sambil mendikte tulisan angka di atas kertas. Perutku mulai seperti dihantam bola karet tendangan Anton, tendangannya yang paling ditakuti, kami mendengar dari kabar kampung sebelah, dia mempunyai tendangan pamungkas sewaktu pinalti, yaitu tendangan macan. Sekarang, perutku terkena tendangan macannya. Serasa melilit. Tapi kali ini aku tidak berani bilang kepada Ibuk, Ibuk sudah mulai tak berkata-kata. “Lis, kita tunggu di sini, nanti katanya ada yang jemput” Ibuk hanya berkata itu, sambil memasukkan handphone-nya, ia tidak memperhatikanku lagi, rasanya ingin marah, tapi aku hanya berani marah nanti sesampai di rumah, padahal perutku sudah terkena tendangan macan. Aku memilih diam. Mendadak mobil hitam berukuran besar berhenti di depan ibuk, mobil itu mirip mobilnya bapaknya Rangga, orang-orang dewasa di pos kampling sering menyebutnya cino medit. Padahal Rangga itu baik, ia mau mengajak main Playstation miliknya, kadang juga kalau kita nakal, ia mengancam tidak diajak main lagi. Rangga sungguh baik. Ibuk sedang berbincang-bincang dengan laki-laki berpakaian hitam-hitam dan berkacamata hitam. Perutku terkena tendangan, rasanya malas mendengarkan apa yang orang dewasa bicarakan. Aku sibuk melihat orang-orang Jakarta memakan makanan sambil berjalan, berjalan cepat pula, seperti ibuk, dikejar seseorang misterius hingga makan saja harus cepat-cepat. Padahal jika di kampung tidak sedemikian. Orang-orang yang ada di teve-teve memang aneh. “Marlan jadi artis? Artis televisi, acara nyet..nyet apa tadi, nyetipi!?” “Bukan nyetipi buk, tapi acara Net Tive” “Kok aku tidak tahu?” tanyanya sambil tanganku disambar kencang, aku seperti Lumpia yang dimasukkan kedalam minyak penggorengan, Ibuk menyusulku masuk mobil kepunyaan bapaknya Rangga dengan cepat. Marlan jadi artis. Kata-kata itu terus menggema-gema di dalam telingaku, suara menggema itu tibatiba terpecah ketika ibuk menyodorkan dua lonjor Lumpia kepadaku. “Kok masih ada, apa tidak basi buk?” “itu Lumpia basah, awet itu Lis”. Pria berpenampilan serba hitam-hitam yang duduk persis di depan kursi Ibuk itu menekan benda sesuatu yang menempel di telinga kanannya, ia mengangguk-ngangguk, sesekali mengucapkan kata iya. Ibuk diam sejenak. Supir mobil sedari tadi hanya diam 3
menggerak-gerakkan kemudi mobil. Sambil di atas pangkuan, tanganku digenggam tangan Ibuk, tangannya mencengkram kuat. Kami berjalan menyusuri Jakarta, di dalam mobil bersama dua seseorang misterius yang sejak dari Semarang mengikuti kami, tapi mereka berdua tidak berkumis tebal. Gera-gerak Ibuk tidak seperti dikejar-kejar orang misterius lagi, ia lebih perhatian dari sebelumnya. Kemudian wajah kami berdua dipotret, dan ditanyai “Sebelum tiba di gedung Net Teve, untuk klarifikasi kedua kalinya, apakah benar ibu bernama Sarinah, bertempat tinggal di Jalan Bangkong, Mataram, Gang lima, Semarang?” “Iya benar” Ibuk menjawab mantap tanpa sungkan-sungkan. Kami beserta mobil bapaknya Rangga ditelan oleh gedung yang benar-benar tinggi, yang pernah Marlan bilang bahwa gedung tinggi selangit itu memiliki cakar di atasnya. “Ibu Sarinah silahkan menaiki lift ini menuju lantai tiga” tangan pria berkaca mata hitam yang duduk di depan ibuk tersebut mengisyaratkan tangannya mengarah ke lift. Ibuk hanya mengiyakan saja, genggaman ibu sedikit bertambah kuat. Ibuk menggandengku menuju lorong panjang, segalanya serba bersih wangi, tidak berlantai ubin namun berkarpet tebal, setiap sudut-sudut dinding terdapat cahaya lampu kuning yang membias menghiasinya, terdengar suara-suara samar musik yang bahasanya tidak kupahami. Hingga kami tiba di sudut ruangan,ibuk mengetuk pintu dan salam, pintu terbuka, kami dihadapi kembali oleh sosok pria berpenampilan hitam dan berkacamata hitam . “Di mana anak saya, di mana Marlan!?” Tandas Ibuk kepada sosok pria serba hitam. “Ibu Sarinah harus menunggu di ruang tunggu”. Entah, semenjak Marlan menjadi artis, segalanya membutuhkan waktu lama. “Kenapa saya harus menunggu?! Tolong bapak antarkan saya sekarang juga”. “Maaf tidak bisa, Ibu tetap harus menunggu”, tibatiba sosok pria berpenampilan serba hitam tersebut melakukan hal yang sama dengan sosok pria sebelumnya dengan menekan benda sesuatu dengan jari tengah yang menempel ditelinganya. “Sekarang ibu Sarinah ikuti saya” Pria hitam itu membukakan pintu yang di atasnya sejak lama sedari tadi kueja tulisan yang tertulis di balok putih bercahaya “S.T.U.D.I.O”. kami bertiga menyusur lorong panjang, namun tanpa dengan beberapa 4
cahaya yang bertebaran di setiap sudut-sudut dindingnya, tanpa suara musik yang tak kumengerti bahasanya, genggaman tangan ibuk menjadi basah kuyup. Setiba sampai di paling ujung lorong gelap, terdapat pintu lagi yang di atasnya tertulis tulisan di dalam balok yang sebelumnya bercahaya merah berubah menjadi hijau “O.N-A.I.R”. Pria yang kini semakin tidak terlihat akibat gelap itu mengarahkan ibuk untuk memasuki sendiri pintu tersebut. Tangan ibuk yang basah menggenggam daun pintu yang ternyata masih terdapat ruangan kecil, “Terus ke mana Lis?” tanya ibuk kebingungan. “Itu ada pintu lagi buk” telunjukku mengarah ke pintu berjendela kecil yang di dalamnya terdapat cahaya berkelebat dari balik kaca. Ibuk bergegas membuka pintu yang dari balik jendelanya terdapat cahaya berkelebat, aku masih berdiri terdiam. Nampak ibuk gelagapan mencari titik terang cahaya tersebut, tiba-tiba tubuh ibuk bersinar, mataku serasa pedas. Kedua tangan ibuk melindungi wajahnya dari tempayan cahaya. “Sekarang kita hadirkan Ibu kandung Marlan, ibuu Sarinaah!!!”, ibuk nampak seperti orang tidak tahu arah, aku mengintip dari balik pintu, ibuk digiring oleh seseorang yang juga bersinar tubuhnya. Tiba-tiba lampu kembali hidup, aku terkaget dan bersembunyi dari balik pintu, kuintip dari sela pintu, ruangan tersebut sangatlah besar dan dihadiri oleh ratusan orang. Ibuk berpelukan dengan Marlan dan kemudian ibuk dimintai untuk duduk di seberang kursi Marlan. “Apa-apaan ini” ibuk memulai berkata. “Ibu Sarinah sedang dalam acara talkshow “Curhat Dong Aaah!” semua orang serempak menirukan ucapan orang tersebut. “Kemana saja kamu Marlan? Ayo kita pulang”. Orang yang ditiru ucapannya yang mengenakan topi merah tersebut memberikan isyarat kepada kameramen, kemudian tentakel-tentakel kamera bergerak-gerak perlahan menyulur tertuju ke arah ibuk. Ibuk seperti sedang disidang oleh banyak orang. “Ibuk, maafkan Marlan, Marlan tidak mau menjadi penjual Lumpia di Semarang” terlihat mata Marlan meneteskan sesuatu yang mengkilap, Marlan sekarang bisa mengeluarkan air dari matanya, padahal semenjak dulu aku tidak pernah melihatnya. “Marlan, ibuk sayang kamu, bapak juga ingin kamu pulang” “Tapi buk, Anakmu ini sudah bekerja di kebun binatang SAFARU, gajinya lumayan buk”. “Nak, bapak ingin kamu 5
melanjutkan usaha bapak”. “Usaha apa? Lumpia? Kita tidak bisa menjadi orang kaya seperti Bapak”. “Tapi Marlan, kamu harus pulang”. “Ayolah Ibu Sarinah, jangan menjadi orang tua yang egois, biarkan ankmu menemukan jati dirinya, barangkali itu bisa menjadikan pintu rizki lain” Timpal pria bertopi merah. “Mas, sampeyan tidak tahu apaapa soal Lumpia, ini tidak sekedar materi sugih, tetapi menjaga resep budaya kuliner keluarga turun temurun”. Perseteruan pendapat terus berlangsung hingga para hadirin yang ada mulai kesal dengan tingkah ibuk, mereka bilang ibuk adalah ibu yang kokot bisu, ibu egois, ibu keras kepala. Seperti yang kulihat sejak ibuk menangis, ibuk nampak meremas kuat sesuatu, seperti kala itu ia meremas kencang tepung olahan dan menyungaikan air mata yang berkilap. Sesaat sewaktu semua dihentikan oleh pria bertopi biru, segalanya menjadi biasabiasa saja, tidak seserius sebelumnya. Pria bertopi merah meminta minum dan dirias kembali wajahnya dengan bedak. Ibuk mendekati Marlan, namun tiba-tiba beberapa pria berpakaian hitam menghalanginya, ibuk marah, meraung-raung dalam himpitan pria misterius yang sejak dari Semarang mengikuti kami. Pria bertopi merah dan bertopi biru mencoba mendekati ibu dengan menenangkan. Ibuk menangis tersedu-sedu. Dan bersigegas pergi meninggalkan studio menuju pintu terakhir kami menuju ruang yang menyiksa bathin ibuk dan bathinku. Namun, keadaan semakin memburuk, tubuh ibuk dihimpit supaya tidak meninggalkan studio, pria bertopi merah membujuk rayu ibuk dengan mengeluarkan lembaran-lembaran uang dari kantongnya. Ibuk menolak. Meronta-ronta. Tiba-tiba tendangan macan berpindah kedadaku. Rasanya sesak, sakit, aku melangkah mundur. Menabrak sesuatu, kutolehkan kepala dan merabanya, pria bertopi biru berada tepat dibelakangku, dadaku semakin berdenyar kencang, mata lamat-lamat semakin memburam seperti sedang mengantuk.[] Mbarep : Anak Pertama Sungkem : Budaya mencium tangan orang yang lebih tua Cino Medit : Sebutan sinis sebagai bahan olokan orang Jawa terhadap orang Tionghoa, yang berarti “Cina Pelit”. Sampeyan : Kamu Sugih : Kaya Kokot Bisu : Keras kepala 6