LOCUS OF CONTROL PADA INSAN PASCA STROKE USIA 40 – 65 TAHUN
1
1.2
S. A. N. Krisna Tirtawati 2 Anita Zulkaida
Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma Jakarta
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran locus of control pada insan paska stroke, bagaimana peranan locus of control dalam kemajuan proses penyembuhan stroke pada insan paska stroke dan faktor-faktor yang mempengaruhi locus of control insan paska stroke. Metodologi peneltian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data menggunakan observasi dan wawancara. Karakteristik partisipan dalam penelitian ini antara lain memasuki usia dewasa tengah (middle adulthood) berusia 45-65 tahun, telah menjadi insan paska stroke minimal 5 tahun, dan merupakan pasien paska stroke, baik yang berjenis stroke pendarahan (hemoragik) ataupun stroke sumbatan (iskemik), sudah mandiri yang berarti dapat melakukan aktifitas sehari-hari tanpa bantuan perawat atau pengawasan ketat. Partisipan berjumlah tiga orang, yaitu seorang lelaki dan dua orang perempuan. Berdasarkan data yang diperoleh, ketiga partisipan memiliki locus of control internal dan locus of control external dalam paska stroke. Kedua locus of control memiliki peranan dalam kesembuhan fisik ketiga partisipan, hal ini terlihat dari perubahan derajat kecacatan. Faktor-faktor yang mempengaruhi locus of control pada ketiga partisipan antara lain faktor usia, pengalaman berhasil dan gagal, lingkungan, dan budaya. Adapun factor pendukung kesembuhan selain locus of control antara lain yaitu dukungan social, religiusitas, dan optimisme. Kata kunci: Locus Of Control, Insan Paska Stroke
PENDAHULUAN Setiap individu mengalami tahapan perkembangan dalam kehidupannya, baik dari segi perkembangan kognitif, maupun perkembangan mental. Dimulai dari tahapan infantil, yaitu saat dalam kandungan seorang ibu sampai dengan tahapan usia lanjut. Dalam kehidupan, individu akan menghadapi tahap paruh kehidupan. Bagi kebanyakan individu, paruh kehidupan adalah suatu masa ketika individu mencapai dan mempertahankan kepuasan dalam karirnya, berkurangnya jumlah
waktu yang tersisa dalam kehidupan, semakin besarnya tanggung jawab, semakin sadar akan polaritas muda-tua, dan menurunnya keterampilan fisik (Santrock, 1995). Menurut World Health Organization (WHO) (dalam Smet, 1994), kesehatan adalah suatu keadaan atau status sehat utuh secara fisik, mental (rohani) dan sosial. Bukan hanya suatu keadaan yang bebas dari penyakit, cacat, dan kelemahan. Penyakit stroke dapat mengakibatkan kelumpuhan motorik, karena kendali otak sebelah kanan bertugas menggerakan tubuh bagian kiri begitupun sebaliknya. Hal ini biasanya sulit bagi pasien stroke untuk melakukan gerakan tangan dan kaki dibagian otak yang terserang stroke oleh karena itu, mereka membutuhkan bantuan orang lain untuk berjalan, berpakaian, dan melakukan aktivitas harian lainnya. Pada beberapa kasus diatas, terapi fisik dapat membantu mengurangi kesulitan pasien (Gordon dan Diller dalam Taylor, 1999). Hal ini menunjukkan, jika individu terserang stroke, ia secara langsung dan dalam waktu serangan stroke terjadi ia akan mengalami ketidakberfungsian bagian belahan otak tertentu sehingga akan mempengaruhi aktivitas gerak tubuh dan kehidupan seharihari. Dari hasil survei Litbang Yayasan Stroke Indonesia (Yastroki) tahun 2003, dengan jumlah sample sebanyak 193 orang, terlihat orang yang terkena stroke berusia 50 tahun ke atas sebesar 85,49%. Hasil survey ini menunjukkan bahwa angka kejadian stroke di Indonesia sangat tinggi, bahkan Indonesia merupakan negara dengan jumlah terbesar penderita stroke di Asia (www.yastroki.or.id). Stroke memiliki multi faktor artinya, tidak hanya satu atau dua faktor saja. Multi faktor antara lain yaitu kecenderungan menu harian berlemak (menyukai masakan bersantan), pola dan gaya hidup (kurang bisa hidup beradaptasi dengan stress), faktor hormonal (wanita menopause, penyakit gondok, penyakit anak ginjal), kondisi kejiwaan, besaran paparan radikal bebas di dalam tubuh, serta apakah tubuh sudah memperoleh semua vitamin dan mineral yang dibutuhkan (Junaidi, 2006). Individu yang mengalami suatu keadaan setelah terdiagnosa stroke disebut sebagai insan pasca stroke (Feigin, 2004). Setelah menyadari kondisinya, insan
pasca stroke merasakan dunia ini gelap, semua menjadi percuma. Lalu timbul perasaan menyesal dan bersalah yang muncul dalam bentuk depresi, khawatir, cemas, dan was-was. Mereka merasakan perasaan galau yang akan muncul ke permukaan berupa sikap-sikap tidak menyenangkan di lingkungannya. Pada tahap ini, insan pasca stroke akan menjadi kasar, gampang tersinggung, ingin segera mati. Padahal pada dasarnya, mati paling ditakutkan dan dihindarinya. Ia menolak pertolongan, membangkang, dan sejumlah perasan lain yang muncul silih berganti. Mereka juga merasa frustrasi, kecewa, rasa tak berguna, hari depan yang suram, putus asa, dan menangis yang tiada gunanya. Depresi dan kecemasan yang merupakan fenomena mental-emosional harus mendapat pertolongan utama (Ibrahim, 2006). Stroke dapat menyerang siapa saja. Berdasarkan data Yayasan Stroke Indonesia tahun 2003, tercatat 1,55% dari 193 orang yang terserang stroke berada di usia muda. Meskipun batas usia tidak ditentukan secara tegas. Santrock (1995) menganggap usia dewasa tengah sebagai periode perkembangan, yang dimulai kira-kira pada usia 35-45 tahun hingga memasuki usia 60-an. Usia dewasa tengah adalah usia yang sibuk, terkadang memiliki waktu yang membuat stress akibat dari tanggung jawab kehidupan yang berat dan berganda, seperti mengurus rumah, berkarir, mengurus usaha, mengurus anak-anak dan merawat orang tua yang sudah lanjut usia atau memulai karir baru di pertengahan usia (Gallagher, Lachman, Merrill, dan Verbrugge dalam Papalia, 2001). Namun, bagaimana jadinya jika stroke terjadi pada individu dewasa tengah? Stroke yang terjadi pada individu middle adulthood dapat menghambat produktivitas dan aktivitas kehidupannya (Papalia, 2001). Pada kebanyakan model-model terkemuka dari perilaku sehat, faktor-faktor individual diperkirakan dapat menuntun perilaku sehat, seperti locus of control (Armitage dan Conner, Bandura, lau, Stickland dalam Smith dan Ruiz, 2004). Locus of control, yaitu suatu konsep yang menunjuk pada keyakinan individu mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam hidupnya (Larsen dan Buss, 2002). Rotter (dalam Fournier dan Jeanrie, 2003) adalah orang pertama yang mengembangkan konsep locus of control pada tahun 1954. Bagian yang menjadi inti
bagi Rotter adalah tentang tingkah laku yang diikuti dengan hasil yang diberi upah (rewarding outcome) disebut dengan locus of control. Locus berarti tempat (place). Menurut Rotter (1966) locus of control dibagi menjadi dua, yaitu locus of control internal dimana individu meyakini bahwa kejadian yang terjadi adalah hasil dari perilakunya dan locus of control external, yaitu individu meyakini kejadian yang terjadi merupakan hasil dari keberuntungan, takdir, ataupun di bawah kendali orang lain. Weiner (dalam Smet, 1994) mengenalkan gagasan ada atau tidak adanya kemampuan kontrol sebagai pendukung locus of control. Intern atau ekstern menunjukkan penyebabnya yang terletak di dalam atau di luar orangnya. Sedangkan kemampuan
atau
ketidakmampuan
kontrol
menunjukkan
tingkatan
dimana
seseorang menganggap dirinya mampu mempengaruhi suatu peristiwa (Broek dalam Smet, 1994). Berdasarkan penelitian Younger (2003), locus of control internal memiliki hubungan positif dengan meningkatnya kesembuhan fisik pada insan pasca stroke. Insan pasca stroke dengan locus of control internal akan mengandalkan dirinya untuk meningkatkan kesembuhan fisik, hal ini dapat terlihat dari semangat mereka mengikuti program terapi medis, semangat untuk tidak mudah putus asa saat diberikan stimulus, memiliki keyakinan yang besar akan kemampuannya sendiri dalam melawan stroke sehingga tumbuh motivasi internal dari dalam dirinya sendiri. Sedangkan insan pasca stroke yang memiliki locus of control eksternal akan menganggap kejadian yang terjadi pada dirinya disebabkan oleh faktor takdir atau nasib, atau faktor lingkungan, sehingga mereka akan sulit menerima keadaan yang ada dan tak memiliki motivasi untuk melawan stroke. Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk melihat gambaran locus of control pada insan pasca stroke yang berhasil bangkit dari penyakit sroke yang ia derita.
METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Karakteristik partisipan dalam penelitian ini antara lain memasuki usia dewasa tengah berusia 40-65 tahun,
telah menjadi insan pasca stroke minimal 5 tahun, dan merupakan pasien pasca stroke, baik yang berjenis stroke pendarahan ataupun stroke sumbatan, sudah mandiri yang berarti dapat melakukan aktifitas sehari-hari tanpa bantuan perawat atau pengawasan ketat. Partisipan dalam penelitian ini berjumlah tiga orang, yaitu dua orang berjenis kelamin wanita dan seorang berjenis kelamin pria. Pada
penelitian
ini,
wawancara
dilaksanakan
secara
terstruktur
dan
menggunakan pedoman wawancara yang berarti wawancara bersifat fleksibel tetapi tidak menyimpang dari tujuan wawancara dan pada saat dilaksanakan wawancara interviewer menggunakan pedoman wawancara yang ditulis secara rinci, lengkap dengan set pertanyaan dan penjabaran dalam kalimat. Pada penelitian ini, peneliti terlibat secara pasif, artinya peneliti tidak terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh subjek penelitian, keterlibatan dengan subjek terwujud dalam bentuk keberadaannya dalam arena kegiatan yang diwujudkan oleh tindakan-tindakan subjek, dalam hal ini pada kegiatan harian yang dilakukan subjek. Dalam penelitian ini, observer sebagai patisipan, dimana saat wawancara dilakukan, peneliti mengobservasi perilaku nonverbal, intonasi atau nada suara partisipan, dan mimik wajah partisipan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Individu dengan locus of control internal cenderung menganggap bahwa keterampilan, kemampuan, dan usaha lebih menentukan apa yang mereka peroleh dalam hidup mereka. Sifat individu dengan locus of control internal ini antara lain yaitu percaya diri, tekun, kuat (pantang menyerah), mandiri, dan mudah percaya pada orang lain serta punya daya tahan yang kuat terhadap pengaruh sosial, dan lebih jarang merasa tidak berdaya. Hal ini membuat individu terkait menjadi lebih aktif dalam menghadapi kehidupan dan bertanggung jawab akan kehidupan yang mereka jalani. (Rotter dalam Fournier dan Jeanrie, 2003). Ketiga partisipan memiliki rasa percaya diri untuk menghadapi stroke, memiliki daya tahan yang kuat terhadap pengaruh sosial, merupakan pelaku yang aktif, dan memiliki keyakinan bahwa kejadian yang terjadi datang secara kebetulan akibat tindakan sendiri.
Menurut Fournier dan Jeanrie (2003) keyakinan eksternal dibagi ke dalam tiga bagian antara lain yaitu, yang pertama defeatist yakni, keyakinan bahwa kejadian yang terjadi dipengaruhi oleh konteks dan orang lain, yang kedua dependent yang berarti keyakinan bahwa kejadian yang terjadi dipengaruhi oleh kesempatan dan takdir, dan yang terakhir prescriptive yaitu keyakinan bahwa norma sosial dan pendiktean mempengaruhi kejadian yang terjadi. Partisipan 1 dan 2 percaya bahwa stroke yang mereka jalani sebagai suatu takdir yang harus mereka terima. Partisipan 2 dan 3 berpikir bahwa stroke yang mereka alami dapat membawa keberuntungan. Hal ini dikarenakan, partisipan 2 merasa lebih dekat dan diperhatikan oleh anakanaknya, sedangkan pada partisipan 3, mendiang suaminya saat itu ikut membantu mengurus anak-anak dan ia merasa berkah atau rejeki dari Tuhan menjadi lebih banyak jika dibandingkan saat ia sehat. Ketiga partisipan memiliki semangat hidup untuk kebaikan atau kesejehteraan orang-orang disekitarnya. Kesembuhan yang mereka miliki ditujukan untuk keluarga (pasangan hidup dan anak). Adapun peran locus of control untuk kesembuhan fisik pada ketiga partisipan terlihat dari derajat kecacatan partisipan saat terserang stroke dan saat pasca stroke. Saat terserang stroke partisipan 1 berada pada derajat 4 sedangkan partisipan 2 dan 3 berada pada derajat 3. Keadaan fisik setelah menjadi insan pasca stroke pada partisipan 1 memiliki derajat kecacatan yang berada di tingkat 2, sedangkan pada partisipan 2 dan 3 derajat kecacatan berada pada tingkat 1. Menurut Junaidi (2006), yang dimaksud dengan derajat kecacatan tingkat 1 yaitu hampir
tidak
ada
gangguan
fungsi
aktivitas
sehari-hari.
Pasien
mampu
melaksanakan tugas dan kewajiban sehari-hari, sedangkan derajat kecacatan tingkat 2 yaitu pasien tidak mampu melakukan beberapa aktivitas seperti sebelumnya, tetapi tetap dapat melakukan sendiri tanpa bantuan orang lain. Kecacatan derajat 3 (sedang) yaitu pasien memerlukan bantuan orang lain, tetapi masih mampu berjalan tanpa bantuan orang lain, walaupun mungkin menggunakan tongkat. Kecacatan derajat 4 (sedang-berat) yaitu pasien tidak dapat berjalan tanpa bantuan orang lain. Perlu bantuan orang lain untuk menyelesaikan sebagian aktivitas diri, seperti mandi, pergi ke toilet, merias diri, dan lain-lain.
Faktor-faktor yang mempengaruhi locus of control pada ketiga partisipan antara
lain
yaitu
usia,
pengalaman
berhasil
dan
gagal,
dan
lingkungan
mempengaruhi locus of control yang mereka miliki.
KESIMPULAN Ketiga partisipan yang mengalami stroke di usia dewasa tengah dan dalam masa produktif memiliki locus of control internal dan locus of external. Keinginan mereka untuk sembuh walaupun dilandaskan faktor luar namun, faktor tersebut membuat mereka memiliki locus of control internal, mereka menjadi memiliki kemauan dan semangat dari dalam diri sendiri untuk melawan stroke, mereka memiliki keyakinan bahwa mereka mampu mengendalikan dalam kesehatan ini. Locus of control berperan dalam kesembuhan fisik partisipan, hal ini terlihat dari derajat kecacatan yang mereka miliki. Partisipan 2 dan 3 saat terserang stroke berada pada derajat 3 dan saat pasca stroke memiliki derajat kecacatan tingkat 1 dimana hampir tidak ada gangguan fungsi aktivitas sehari-hari. Sedangkan partisipan 1 saat stroke berada pada derajat 4 dan saat pasca stroke ia memiliki derajat 2 yaitu pasien tidak mampu melakukan beberapa aktivitas seperti sebelumnya, tetapi tetap dapat melakukan sendiri tanpa bantuan orang lain. Adapun faktor pendukung penyembuhan selain locus of control antara lain yaitu dukungan social, religiusitas dan optimisme. Pada ketiga partisipan antara lain usia, pengalaman berhasil dan gagal, serta faktor lingkungan dan budaya. Faktor usia terdapat pada ketiga partisipan, semakin mereka dapat menerima dan menikmati hidup dalam pasca stroke, seiring dengan usia mereka menjadi semakin internal. Pada faktor pengalaman berhasil dan gagal, semakin mereka merasakan hasil yang berguna bagi kesehatan fisik dari usaha mereka sendiri, semakin internal locus of control yang mereka miliki. Pada faktor lingkungan, ketiga partisipan menemukan semangat awal untuk bertahan hidup karena lingkungan keluarga, dan penguat dari kerabat, saudara sekandung membuat mereka ingin cepat sembuh dan bertahan hidup melawan stroke, juga dapat menumbuhkan rasa percaya diri mereka. Faktor budaya pada partisipan 2 menunjukkan ia memiliki locus of control external karena ia memiliki kepercayaan
pada kekuatan Tuhan yang tinggi, baginya doa kepada Tuhan juga merupakan peranan untuk kesembuhan yang ia miliki. Menurut penelitian yang dilakukan (dalam London dan Exner, 1978), menyatakan bahwa perkembangan locus of control dari eksternal dan internal berjalan sesuai dengan bertambahnya usia. Pengalaman keberhasilan dan kegagalan seseorang dapat mempengaruhi penilaian akan kemampuan diri sendiri (Howe, 1986). Menurut Zaroh (2000) jika individu banyak memperoleh hambatan dalam lingkungannya serta kurang mendapat kesempatan maka ia akan beranggapan bahwa semua hasil yang telah dicapainya berasal dari sesuatu yang ada di luar dirinya. Faktor budaya menurut James dan Sue (dalam Clachar, 1992) locus of control berkaitan erat dengan budaya yang di bawa oleh individu terkait, pengalaman hidup, dan dari bentuk cara individu tersebut berpikir, membuat keputusan, maupun memberikan definisi suatu kejadian-kejadian yang ada.
SARAN 1. Untuk Insan Pasca Stroke Peneliti berharap insan pasca stroke memperoleh informasi mengenai locus of control, dapat lebih menghargai hidup ini sehingga selalu bersemangat menghadapi stroke untuk mencapai kesembuhan yang maksimal. Peneliti juga berharap insan pasca stroke mendapat kesadaran secara langsung dari penelitian ini, bahwa masih ada insan pasca stroke yang tetap dapat berdaya dengan semangat hidup yang dimilikinya sehingga memunculkan motivasi untuk sembuh dari stroke. 2. Untuk Keluarga Insan Pasca Stroke Peneliti berharap pihak keluarga dapat lebih menghargai dan menghormati insan pasca stroke. Peneliti berharap pihak keluarga tidak berhenti untuk memberikan semangat hidup bagi mereka saat di awal pertama stroke. Meyakinkan mereka bahwa mereka merupakan pemeran utama dalam mengendalikan stroke. 3. Untuk Penelitian Selanjutnya Peneliti selanjutnya diharapkan meneliti lebih mendalam faktor-faktor pendukung penyembuhan insan pasca stroke. Penelitian ini akan menjadi lebih menarik jika
penelitian selanjutnya menggunakan dua metode yaitu kualitatif dan kuantitatif dan menggunakan jenis kelamin yang berbeda dengan jumlah yang sama, sehingga dapat menemukan perbedaan di lihat dari kedua gender untuk mendapatkan informasi, locus of control apa yang mempengaruhi kesembuhan partisipan.
DAFTAR PUSTAKA Andri, A. (2006, 30 Agustus). Depresi pascastroke: Pentingnya terapi keluarga dan kelompok. Balipost. Angel, R. J., Angel, J.L., & Hill, T.D. (2009). Subjective control and health among Mexican-origin elders in mexico and the united state: structural considerations in comparative research. The Journals of Gerontology, 390, 64B, 3. Proquest Psychology Journals. Diakses pada tanggal 19 Mei 2009. Basuki, Heru. (2006). Penelitian kualitatif untuk ilmu-ilmu kemanusiaan dan budaya. Depok: Universitas Gunadarma. Baron, A. Robert. (1994). Locus of control in personality. New Jersey: General Learning Press. Clachar, A. (1992). Dimensions of locus of control: Exploring their influence on ESL student’s interlanguange development. Journal of Linguistic (3, No. 1), 7-41. Coop, R. H., & White, K. (1974). Psychological concepts in the classroom. New York: Harper & Row Publisher. Denzin, N. K., & Lincoln, Y. S. (2003). Handbook of qualitative Research. California: Sage Publication, Inc. Elliott, T. R., & Shewchuk, R. M. (2004). Family adaptation in illness disease and disability in Handbook of clinical health psychology: Disorders of behavior and health volume 2. Edited by: Raczynski, J. M. & Levinton, L. C. Washington DC: American Psychological Association. Feigin, V. (2004). Stroke: panduan bergambar tentang pencegahan dan pemulihan stroke. Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer. Findley, M. J., & Harris M. C. (1983). Locus of control and academic achievement: a literature review in journal of personality and social psychology. Journal of Personality and Social Psychology, (44 No. 2), 419-427. Fournier, G., & Jeanrie, C. (2003). Locus of control: back to basic in Possitive Psychology Assessment: A Handbook of models and measuresi. Edited by: Lopez, S. J. & Snyder, C. R. Washington DC: American Psychological Association.
Hale, Andrew R., Glendon, A. Ian. Individual behaviour in the control of danger. Elsevier Publishing Company. Ibrahim, A S. (2006). Informasi Tentang Stroke-Stroke Incar Eksekutif Muda. www.veldastroke.com. Diakses pada tamggal 19 April 2008. Junaidi, I. (2006). Stroke A-Z. Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer. London, H., & Exner, J. E. (1978). Dimention of personality. New York: Willey Interscience Publication. Moleong, L. J., (2006). Metodologi penelitian. Bandung: Remaja Rosdkarya. Myers, D. G. (1996). Social psychology (5th ed.). North America: McGraw-Hill. Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2001). Human Development (8th ed.). New York: McGraw-Hill. Poerwandari, E., Kristi, (1998). Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia. Jakarta: Lembaga Pengembangan dan Pendidikan Psikologi (LPSP3) Universitas Indonesia. Santrock, J. W. (1995). Life - span development perkembangan masa hidup edisi kelima Jilid 2. Jakarta: Erlangga. Sabattelli, R. M., Buck, R., & Dreyer, A. (1983). Locus of control, interpersonal trust, and nonverbal communication accuracy. Journal of Personality and Social Psychology, (44, No. 2), 399-402. Taylor, S. E., Peplau, L. A., Sears, D. D. (2006). Social Psychology (12th ed.). New Jersey: Pearson Education, Inc. Taylor, S. E. (1999). Health psychology (4th ed.). United State: McGraw-Hill. Thomas, S. A., Lincoln, N. A. (2006). Factors relating to depression after stroke. The British Journal of Clinical Psychology, 49. Younger, Janet. (2003). Cardiovascular clinical nurse specialistand Mary Jo Grap, PhD RN CCRN.Http://www.blackwellsynergy.com/doi/abs/10.1046/j.13652648.1995.22020294.x?cookieSet=1&journalCode=jan. Diakses pada tanggal 17 Mei 2008.