LOCUS OF CONTROL PADA REMAJA AKHIR TUNA DAKSA
OLEH GRACE PARAMYTHIA 802011009
TUGAS AKHIR Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2015
LOCUS OF CONTROL PADA REMAJA AKHIR TUNA DAKSA
Grace Paramythia Krismi D. Ambarwati
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2015
Abstrak Menggunakan teori Locus of Control (LOC) yang dikembangkan oleh Levenson (1973), penelitian ini bertujuan untuk mengetahui LOC pada remaja akhir dengan kecacatan fisik (tuna daksa) dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi persepsi kontrol partisipan. Levenson mengembangkan teori unidimensional dari Rotter (1954), dimana Levenson membagi membagi dimensi LOC menjadi tiga yaitu, internality, powerful other dan chance. Jumlah partisipan dalam penelitian ini adalah dua orang mahasiswa yang memiliki kecacatan fisik. Penelitian dilakukan dengan metode kualitatif dimana kedua partisipan diwawancarai secara mendalam dengan menggunakan pedoman wawancara, selain itu model wawancara yang dilakukan adalah wawancara dengan pedoman umum. Hasil penelitian menunjukkan persamaan dan perbedaan LOC pada partisipan pertama dan kedua dalam keadaan-keadaan tertentu seperti dalam pendidikan, hubungan sosial dan keyakinan terhadap keberhasilan karir di masa depan. Partisipan pertama cenderung memiliki LOC eksternal dan partisipan kedua cenderung memliki LOC internal. Selain itu, kedua partisipan juga mempunyai secondary control dan mengembangkan religious coping dalam menghadapi kekurangan fisik yang mereka miliki. Kata kunci:Locus of Control (LOC); tuna daksa; secondary control; religious coping
i
Abstract Using the theory Locus of Control (LOC) that was developed by Levenson (1973), this study aims to determine LOC in adolescents with physical disabilities and other factors that influence the participant’s perception of control. Levenson developed the Rotter’s unidimensional theory (1954), which are divided into three dimensions: internality, powerful other and chance. The number of participants in this study were two students who have a physical disability. The study conducted with the qualitative method in which both participants were depth interviewed by using interview guide and the model of interviews were interviews with general guidelines. Results: The results showed similarities and differences LOC of both participant in certain circumstances such as educational, social relation and expectation of the future career. The first participants are likely has an external LOC in educational, social relation and expectation of the future career, and the second participants likely has internal LOC in educational and expectation of the future career, but has external in social relation. In addition, both participants also have secondary control and develop religious coping in the face their physical disabilities. Kata kunci: Locus of Control (LOC); physical disabilities; secondary control; religious coping
ii
1 PENDAHULUAN Dalam The United Nations General Assembly yang diadakan pada pada bulan December 2006, para penyandang cacat (People with disability) diidentifikasi sebagai individu yang memiliki gangguan jangka panjang pada fisik, mental, intelektual, atau sensorik, memiliki hambatan dalam berinteraksi, tidak dapat berpartisipasi penuh dan efektif dalam masyarakat atas dasar kesetaraan dengan orang lain (Porat dkk, 2012). Dari penjelasan tersebut salah satu jenis dari kondisi disable adalah gangguan fisik dalam waktu yang panjang. Di Indonesia gangguan fisik disebut sebagai tuna daksa. Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang penyandang cacat, cacat tubuh atau tuna daksa dapat diartikan sebagai seseorang yang memiliki anggota tubuh yang tidak lengkap oleh karena bawaan dari lahir, kecelakaan, maupun akibat penyakit yang menyebabkan terganggunya mobilitas yang bersangkutan. Manusia normal secara fisik terdiri dari anggota tubuh yang lengkap dan berfungsi dengan baik sebagaimana harusnya, tapi di sisi lain ternyata terdapat pula manusia yang memiliki kecacatan atau ketimpangan pada tubuhnya. Memiliki tubuh yang cacat tentunya bukanlah suatu pilihan, karena tidak ada manusia yang ingin memiliki kecacatan yang dapat membuat aktivitasnya terganggu, khususnya kecacatan fisik atau tuna daksa. Somantri (2006) mendeskripsikan tuna daksa sebagai suatu kondisi rusak atau terganggu sebagai akibat gangguan bentuk atau hambatan pada tulang, otot, dan sendi dalam fungsinya yang normal. Kondisi ini dapat disebabkan oleh penyakit, kecelakaan, atau dapat juga disebabkan oleh pembawaan sejak lahir (White House Conference, 1931; Somantri, 2006). Dalam meningkatkan harapan hidup dari orang dewasa dengan kecacatan, perlu diberinya perhatian khusus pada masa dewasa dan perkembangan remaja sebagai periode transisi memasuki masa dewasa. Dengan demikian, untuk semua individu remaja dengan kecacatan, isu solusi terhadap kemandirian menjadi tantangan khusus (Crittenden, 1990). Masa remaja adalah suatu periode transisi dalam rentang kehidupan manusia, yang menjembatani
2 masa kanak-kanak dengan masa dewasa. Periode perkembangan ini terjadi pada usia 10-13 sampai 18-22 tahun (Santrock, 2007). Pada masa ini, remaja mengalami perkembangan fisik yang sangat drastis, hal ini dipengaruhi oleh pubertas. Masa transisi ini juga membuat terjadinya perubahan-perubahan dalam diri remaja yang membuat mereka menjadi berpikir lebih abstrak dan idealistik (Santrock, 2011). Aspek psikologis yang terjadi dan berkaitan dengan perubahan fisik dimana remaja menjadi sangat memerhatikan tubuhnya dan mengembangkan citra mengenai tubuhnya itu (Mueller, 2009; Santrock, 2011). Perhatian terhadap penampilan fisik yang dimiliki remaja sangat dipengaruhi oleh sifat egosentris. Egosentris remaja diartikan sebagai meningkatnya kesadaran diri pada remaja, yang tercermin dalam keyakinan mereka bahwa orang lain berminat terhadap diri mereka seperti halnya mereka terhadap diri sendiri (Santrock, 2007). Sifat egosentris ini sangatlah berhubungan dengan fisik remaja. Seorang remaja perempuan yang berjalan di keramaian mungkin beranggapan bahwa semua mata tertuju pada bentuk badannya, warna kulitnya, tinggi badannya, dan sebagainya. Dengan demikian, faktor dari lingkungan menjadi sangat penting bagi remaja, remaja berusaha untuk melihat dirinya dari sudut pandang orang lain. Egosentris remaja ini tentunya sangat berpengaruh pada kondisi kecacatan yang dimiliki remaja. Somantri, (2006) berpendapat bahwa ketunadaksaan yang terjadi pada masa kanak-kanak akan mempengaruhi laju perkembangannya dan tipe perkembangan seseorang. Kondisi tuna daksa yang dialami pada usia yang lebih besar menunjukkan efek yang lebih kecil terhadap laju perkembangan tetapi menimbulkan pengaruh psikologi yang lebih besar. Somantri (2006) mengatakan perlakuan dari keluarga dan kelompok teman-teman sebayanya juga dapat menjadi sumber terjadinya frustrasi, konflik dan kecemasan, yang kadang-kadang lebih berat dibandingkan dengan ketunadaksaannya. Pada remaja tuna daksa, penolakan teman-temannya akan menimbulkan kejengkelan, kemarahan dan kekecewaan (Sudarmini, 2009). Bandura (dalam Santrock, 2007) menyatakan
3 bahwa faktor perilaku, lingkungan, dan pribadi/kognitif, seperti keyakinan, dapat berinteraksi secara timbal balik. Kondisi tuna daksa juga mempengaruhi aktivitas sosial remaja dengan teman sebayanya karena terbatasnya kegiatan yang dapat dilakukan oleh remaja. Terbatasnya aktivitas yang dapat dilakukan dapat membuat remaja tuna daksa memiliki masalah dalam menyesuaikan diri, hal ini tentunya menjadi penghambat remaja tuna daksa dalam melakukan aktivitas sosialnya bersama teman sebaya (Somantri, 2006). Faktor lingkungan dan internal dalam diri remaja saling berhubungan erat, sehingga fisik sangat mempengaruhi kehidupan sosial remaja dan membuat kondisi tuna daksa yang dialami oleh remaja menjadi suatu tantangan yang berat. Terhambatnya aktivitas yang dilakukan remaja tuna daksa, dapat membuat remaja tuna daksa merasa tidak berdaya dan membutuhkan bantuan dari orang lain sehingga keyakinan remaja tuna daksa terhadap kemampuannya sendiri pun diuji. Tidak hanya memiliki hambatan dalam aktivitas dan penyesuaian diri, kondisi kecacatanyang dimiliki individu juga dapat mempengaruhi persepsi kontrol mereka. Dalam artikelnya mengenai konsep kemandirian pada remaja tuna daksa, Crittenden (1990) mengatakan bahwa individu tuna daksa lebih memiliki eksternal Locus Of Control (LOC) karena mereka mengasosiasikan kondisi mereka dengan penerimaan “apa adanya” dan penyerahan kemandirian kepada orang lain.
Banyak studi yang menunjukkan bahwa
penyandang cacat (People With Disabilities disingkat PWDs), kebanyakan anak-anak, menunjukkan kontrol eksternal dibandingkan anak-anak tanpa kecacatan, yang mengakibatkan efek negatif pada performa akademik (Chapman & Boerman 1979; Firth, Lunningham & Skues 2007; Roger & Sklofske 1985; dalam Owusu-Ansah, dkk 2012). Penelitian yang dilakukan oleh Owusu-Ansah, dkk (2012) juga memberikan hasil bahwa partisipan yang memiliki perbedaan kecacatan secara umum memiliki cara pandang yang sama dalam melihat diri mereka dan bagaimana mereka mengontrol keyakinan yang mereka miliki untuk mengontrol peristiwa penting dalam hidup mereka. Kontrol eksternal tidak
4 hanya mempengaruhi performa akademik, tetapi juga perencanaan masa depan dan finansial penyandang cacat. Telah diketahui bahwa jutaan penyandang cacat remaja dan dewasa awal tidak mampu mendukung diri mereka saat ini atau membuat rencana masa depan. Mereka juga sering diberi gaji yang rendah dibandingkan rekan kerjanya, namun dalam banyak kasus, lingkup sosial dan keluarga mereka juga memberikan mereka sedikit atau tidak sama sekali kontrol terhadap pendapatan (income) yang mereka dapatkan untuk dikelola (Groce, 2004). Manusia memiliki 'kebutuhan batin' untuk mengendalikan lingkungan mereka (White, 1959; dalam Erez, 1995). Oleh karena kebutuhan akan kontrol dapat memiliki pengaruh langsung terhadap kesejahteraan individu (Erez, 1995). Literatur telah berulang kali menunjukkan bahwa locus of control secara signifikan berkorelasi dengan tingkat kesejahteraan subjektif (Bostic, 2001). LOC pertama diperkenalkan pada tahun 1954 dalam teori belajar sosial Rotter (dalam Ai, 2005). Menurut Rotter (1990), LOC mengacu pada sejauh mana seseorang percaya bahwa penguatan (reinforcement) atau hasil (outcome) yang diperoleh berdasarkan pada pengaruh tindakan dirinya sendiri atau karakteristik pribadi versus sejauh mana orang mengharapkan bahwa reinforcement (penguatan) atau hasil (outcome) adalah suatu kebetulan, keberuntungan, atau nasib, berada di bawah kendali kuat orang lain, atau hanya sesuatu yang tidak dapat diprediksi. Individu dengan LOC eksternal, cenderung percaya bahwa peristiwa dalam kehidupan mereka dikendalikan oleh kekuatan eksternal di mana mereka tidak memiliki kontrol, sedangkan internal LOC adalah keyakinan bahwa hasil-hasil dalam kehidupan seseorang berada di bawah kontrolnya sendiri (Rotter, 1990; dalam Wallace, 2012). LOC mengacu pada keyakinan individu tentang pengendalian atas apa yang terjadi pada mereka dalam hidup maka LOC kemudian didefinisikan sebagai ciri kepribadian atau konstruk yang mengungkapkan bagaimana individu memandang kemampuan mereka untuk mengontrol peristiwa kehidupan atau lingkungan (April et al., 2012 dalam Shojaee, 2014).
5 Hal penting yang perlu dicatat tentang LOC adalah expectancy-value theory, di mana sesuatu reinforcement harus bernilai untuk individu tersebut untuk menghasilkan perubahan perilaku (Lopez, 2009). Seseorang yang berkembang melalui masa kanak-kanak, perilaku dipelajari karena diikuti atau diberikan reinforcement. Penguatan tersebut meningkatkan ekspektasi bahwa perilaku tertentu akan menghasilkan penguatan yang diinginkan. Sebagai anak-anak yang berkembang, beberapa akan memiliki pengalaman dimana perilaku mereka langsung mempengaruhi penguatan. Sedangkan untuk anak-anak lainnya, hasil penguatan akan muncul dari tindakkan di luar diri mereka. Dengan demikian totalitas belajar spesifik menciptakan harapan umum seseorang bahwa totalitas pengalaman belajar spesifik menciptakan harapan umum seseorang, apakah penguatan dikendalikan secari internal atau eksternal (Rotter, 1966). Selain itu, Rotter (1996) juga mengatakan bahwa dimensi LOC internal-eksternal, telah diterima secara umum sebagai aspek yang relatif stabil pada kehidupan manusia yang berarti dapat memprediksi perilaku di berbagai situasi yang bervariasi. Ungkapan relatif stabil digunakan karena LOC seseorang dapat berubah dalam kondisi tertentu, misalnya orang dengan orientasi eksternal akan menjadi internal ketika mereka ditempatkan pada posisi yang memiliki wewenang dan tanggung jawab yang lebih besar. Orang yang berorientasi internal akan bergeser ke eksternal selama masa stres ekstrim dan menghadapi ketidakpastian. Selain itu, adalah mungkin bagi individu untuk belajar menjadi internal jika diberi kesempatan. Mc Donald (dalam Robinson & Shaver, 1980; Tanuwijaya, 2010) menyatakan bahwa ada dua faktor yang mempengaruhi perkembangan LOC. Pertama adalah episodic antecedents, yaitu kejadian-kejadian yang relatif memiliki makna penting dan muncul dalam kurun waktu tertentu, seperti kematian orang-orang yang dicintai, kecelakaan, atau bencana alam. Kejadian signifikan yang tiba-tiba terjadi pada diri individu tentunya akan mempengaruhi perkembangan orientasi kontrol. Hal ini dapat disebabkan karena kejadian yang signifikan tersebut dapat
6 mempengaruhi atau bahkan merubah cara pandang atau persepsi individu terhadap kehidupannya. Kedua adalah acumulative antecedents, yaitu faktor-faktor yang bersifat terus menerus ada dan dapat mempengaruhi LOC, seperti diskriminasi sosial, pola asuh orang tua, dan ketidakmampuan yang berkepanjangan seperti kebutaan atau kelumpuhan yang menyebabkan individu pasrah karena merasa tidak berdaya. Pada tahun 1973, Levenson mengembangkan suatu model alternatif yang berbeda dengan konsep Rotter. Rotter melihat locus of control sebagai unidimensional (internal ke eksternal), sedangkan Levenson (dalam Sudarmadi, 2012), menegaskan bahwa ada tiga dimensi independen dari LOC, yaitu: Internality (I) yaitu orientasi individu yang internal ditandai dengan keyakinan oleh kemampuan dan usaha mereka sendiri, Powerful Other (P) yaitu orientasi individu yang cenderung berperilaku dan berpikir bahwa ada orang-orang lain di luar kendali dirinya yang lebih berkuasa, dan Chance (C) yaitu orientasi pada individu yang berfokus pada persepsi individu mengenai suatu kendali yang memberikan peluang karena takdir, nasib, atau kesempatan. Dimensi internality oleh Levenson sama dengan dimensi internal LOC oleh Rotter dan Chance (C) dan Powerful other (P) merupakan dimensi eksternal LOC Rotter. Menurut model Levenson, satu dimensi dapat mendukung dimensi lain dari locus of control secara independen dan pada waktu yang sama. Sebagai contoh, seseorang mungkin secara bersamaan percaya bahwa baik dirinya sendiri (Internality) dan Powerful other mempengaruhi suatu hasil, tapi Chance tidak (Zawawi, 2009). Lopez (2009) mengatakan bahwa konsep kontrol ini berhubungan dengan konsep atribusi, explanatory style, hopelearned helplessness, optimism, self determination, self efficacy dan self handicapping, sehingga LOC merupakan suatu topik yang mempunyai hubungan dengan banyak konsep teori psikologi lainnya. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa seseorang yang memiliki internal LOC memiliki kontrol yang lebih baik terhadap suasana hati negatif atau dapat bersikap dan memiliki perasaan positif (Klonowicz, 2001).
7 Selain itu, dalam Stocks, dkk (2012) internal LOC juga memiliki hubungan dengan kesuksesan akademik (Gifford, Briceno-Perriott & Mianzo, 2006), memiliki motivasi diri dan kedewasaan sosial yang tinggi (Nelson & Mathias, 1995), mengindikasikan tingkat stres dan depresi yang rendah (Garber & Seligman, 1980), dan usia yang panjang (Chipperfield, 1993). Individu dengan internal LOC memanipulasi lingkungan mereka, dengan mengambil kontrol terhadap peristiwa yang terjadi dan mengubah kondisi yang tidak memuaskan. Hal ini karena bahwa lingkungan eksternal memberikan perasaan lemah untuk mengontrol kesuksesan dan kegagalan (Nielsen, 1987; dalam Stocks, dkk, 2012), sedangkan individu dengan eksternal LOC tidak mampu menghindari situasi yang tidak memuaskan (Kulshresta & Sen, 2006). Penelitian yang dilakukan oleh Kulshrestha dan Sen (2006) juga menyatakan subjek dengan eksternal LOC lebih mungkin untuk menjadi pasif dan defensif, daripada melakukan sesuatu untuk mengurangi stres, mereka merelakan. Tidak selamanya internal LOC memiliki dampak positif dan eksternal LOC memiliki dampak negatif. Individu dengan internal LOC dapat menjadi kurang ingin untuk mengambil tantangan atau pekerjaan dalam meningkatkan kemampuan dirinya (self-improvement). Selain itu individu dengan internal LOC yang tidak mempunyai kemampuan atau kesempatan untuk memperoleh pengalaman kontrol, butuh memiliki pandangan realisik dari pengaruh atau halhal lain, bila tidak mereka dapat menjadi neurotic, cemas dan depresi (Lopez, 2009). Dari pemaparan yang telah dijelaskan bahwa gangguan fisik pada remaja dapat mempengaruhi kontrol individu terhadap hidupnya. Selain itu, pada penelitian sebelumnya persepsi akan kontrol ternyata juga mempengaruhi banyak bidang kehidupan sehingga sulit untuk disangkal bahwa persepsi akan kontrol adalah topik yang penting. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui LOC yang dimiliki oleh remaja tuna daksa.
8 METODE PENELITIAN Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang menghasilkan data-data deskriptif yang berupa kata-kata secara tertulis atau lisan dari orang-orang dengan perilaku yang telah diamati (dalam Susilowati, 2007). Penelitian kualitatif juga memungkinkan peneliti mempelajari isu-isu tertentu secara mendalam dan mendetail, karena pengumpulan data tidak dibatasi pada kategori-kategori tertentu saja (Patton, 1990; dalam Purwandari, 2007). Partisipan Partisipan dalam penelitian ini adalah dua orang mahasiswa yang memiliki karakteristik tuna daksa yang telah ditentukan. Semua partisipan berasal dari kota yang berbeda, namun saat ini tinggal di Salatiga untuk berkuliah di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW). Karakteristik partisipan dalam penelitian ini ialah remaja akhir yang mengalami kondisi tuna daksa yang disebabkan oleh genetik atau pengaruh kelahiran sehingga mengalami kecacatan fisik secara permanen dan fungsi tubuhnya tidak normal atau terganggu. Dalam observasi yang dilakukan, kedua partisipan dalam penelitian ini cukup aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan kemahasiswaan di tengah-tengah kondisinya yang tidak normal. Partisipan pertama berinisial AB adalah seorang mahasiswi usia 21 tahun dan berasal dari kota Medan, memiliki kondisi tuna daksa yang disebut dengan herelip atau adanya gangguan pada bibir dan mulut yang membuatnya kesulitan berbicara dengan jelas. Partisipan pertama telah melakukan operasi sebanyak dua kali. Operasi pertama untuk memperbaiki bagian atas mulutnya dan operasi kedua untuk memperbaiki bagian dalam hidungnya. Partisipan kedua berinisial GA adalah seorang mahasiswi berusia 21 tahun dan berasal dari kota Tanggerang, memiliki kondisi tuna daksa yang disebut dengan club hand atau
9 memiliki tangan seperti tongkat dan jari-jari tangan yang kurang dari lima pada salah satu tangannya. Metode Pengumpulan Data Metode penggalian data dalam penelitian ini ialah menggunakan metode wawancara mendalam yang didukung oleh pedoman wawancara. Model wawancara yang digunakan dalam penelitian ini ialah wawancara dengan pedoman umum. Dalam proses wawancara ini, peneliti dilengkapi pedoman wawancara yang sangat umum, yang mencantumkan isu-isu yang harus diliput tanpa menentukan urutan pertanyaan bahkan mungkin tanpa bentuk pertanyaan eksplisit. Pedoman wawancara digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek-aspek yang harus dibahas, sekaligus menjadi faktor daftar pengecek (checklist) apakah aspek-aspek relevan tersebut telah dibahas atau ditanyakan. Dengan pedoman demikian, peneliti harus memikirkan bagaimana pertanyaan tersebut akan dijabarkan secara konkrit dan dalam kalimat tanya, sekaligus menyesuaikan pertanyaan dengan konteks aktual saat wawancara berlangsung. Wawancara dengan pedoman khusus ini dapat berbentuk wawancara terfokus, yakni wawancara yang mengarahkan pembicaraan pada hal-hal/aspek-aspek tertentu dari kehidupan/pengalaman subjek. Tetapi wawancara juga dapat berbentuk wawancara mendalam, dimana peneliti mengajukan pertanyaan mengenai berbagai segi kehidupan subjek, secara utuh dan mendalam (Poerwandari, 2007). Analisi dan Uji Keabsahan Data Teknik pengorganisasian data menggunakan analisis tematik berupa open koding, aksial koding, dan selektif koding. Selain itu, hal penting yang dapat dilakukan untuk meningkatkan generabilitas dan kredibilitas penelitian kualitatif adalah member check yang dilakukan dengan mendiskusikan hasil penelitian atau hasil pengolahan data dengan subjek penelitian untuk mengetahui apakah ada yang harus ditambahkan atau dikurangi, serta untuk meyakinkan partisipan bahwa data diolah dengan tepat.
10 HASIL Hasil penelitian diperoleh tema-tema yang berhubungan dengan dimensi LOC yaitu: internality, powerful other dan change. Selain itu juga ditemukan tema-tema lain seperti keyakinan pada peran Tuhan terhadap hidup dan strategi mengatasi tekanan (coping). 1. Internality Partisipan pertama mengungkapkan keterbatasan fisik yang membuatnya kesulitan dalam berkomunikasi membuat partisipan pertama mengalami kecemasan saat berbicara dalam kelompok besar dan saat melakukan presentasi. Ia ragu bila dapat berbicara dengan lancar saat mengungkapkan pendapatnya dalam kelompok besar seperti di depan kelas atau dalam rapat, namun ia berani untuk mengungkapkan pendapatnya dalam kelompok-kelompok kecil yang sudah terbiasa dengannya. Selain itu, partisipan pertama juga mengungkapkan bahwa dirinya sering mengalihkan tugas yang sebenarnya dapat ia kerjakan kepada rekannya, seperti lebih memilih melakukan tugas observasi dibandingkan tugas mewawancari. Dalam pemecahan masalah partisipan pertama mengatakan bahwa dirinya tidak mudah menyerah dalam melakukan tugas-tugas sulit, ia berusaha untuk menyelesaikan tugasnya dengan mencari bantuan orang lain. Pada partisipan kedua, dalam menghadapi masalah yang berhubungan dengan tugas-tugas kuliah atau sekolah, ia mengaku tidak pernah menyerah dan menyerahkan tanggungjawabnya kepada orang lain, karena ia yakin dengan kemampuannya. Kedua partisipan menceritakan bahwa salah satu peristiwa penting dalam hidup mereka adalah ketika mereka mengambil keputusan meninggalkan rumah untuk melanjutkan pendidikan di kota lain. Dalam usaha untuk hidup mandiri selama melanjutkan pendidikan di kota lain, kedua partisipan berusaha untuk dapat bersosialisasi dengan orang lain dan juga dapat beradaptasi di lingkungan yang baru, walaupun keduanya tidak menyukai hal-hal baru. Keterbatasan fisiknya juga membuat partisipan pertama tidak menyukai lingkungan atau orang baru karena hal itu membuatnya cemas mengenai cara komunikasi yang akan ia gunakan untuk
11 menghadapi orang dan lingkungan sosial baru, tapi ia mengatakan dapat beradaptasi dengan lingkungan atau orang yang baru ia kenal walaupun membutuhkan waktu. Partisipan kedua berpendapat, bahwa ia dapat menerima pertolongan yang orang lain berikan padanya bila bantuan tersebut adalah sesuatu yang benar-benar tidak dapat ia dilakukan seperti menulis dengan bagus, membuka botol dan memotong-motong. Namun partisipan kedua menjadi kesal bila orang lain meremehkannya dalam melakukan sesuatu yang dapat ia kerjakan sendiri. Ia tidak ingin orang lain mengasihaninya karena keterbatasan fisik yang ia miliki. Selain itu, partisipan kedua memiliki ketidakyakinan dalam membangun relasi dengan lawan jenis. Partisipan pertama meragukan dirinya sendiri untuk dapat bersaing dalam dunia kerja dan beradaptasi dengan rekan kerjanya nanti. Ia merasa kekurangan fisiknya dapat mempengaruhi persaingan dalam mendapatkan pekerjaan. Ia juga menceritakan bahwa atasan melihat potensi yang ia miliki, namun ia belum percaya diri dalam melakukan tugasnya. Partisipan kedua, memiliki keyakinan bahwa dengan usaha yang lebih keras ia dapat mencapai kesuksesan yang berhubungan dengan karir dan pendidikannya. Ia berusaha untuk melakukan aktivitas yang sulit ia kerjakan dengan latihan dan juga berusaha melatih dirinya untuk mengembangkan kemampuan lain yang tidak berhubungan dengan kemampuan fisik dalam memperoleh keberhasilan dalam karirnya kelak. Ia merasa alasan atasannya memberikan tanggung jawab kepadanya adalah karena ia dapat dipercaya dan berani berkorban untuk tugas yang dipercayakan padanya. Partisipan I “Em, kalau aku sih yakin dengan kemampuanku soalnya aku mengalami proses untuk bisa bersekolah itu sangat panjang. Aku dari TK sampai sekarang ini, aku itu merasa yakin kalau aku ada kemampuan untuk menghadapi perkuliahan, persekolahan, eh pendidikan. Itu loh, jadi ada buktinya kalau aku bener-bener bisa menghadapi pendidikan.
Partisipan II “Kalau menurut aku ya, soalnya misalnya yang lain aku bisa lakuin walaupun cuma keadaan terbatas misalnya cuma potongpotong aku bisa, tapi kalau dekat sama seorang cowok kayak gitu kan, kayak dia suka sama aku tuh, kayaknya gak mungkinlah gitu.”
12 “… motong atau buka sesuatu itu ya gak susah-susah baget gitulah bisa dikerjakan melalui latihan gitu istilahnya buka apa, saya motong-motong apa saya bisa kerjakan melalui latihan.”
“Kalau di masa depan, memang ada sedikit keraguan, ada sedikit kecemasan. Dari sini aku, kecemasanku disini persaingan di perusahaan pasti ketat ya. Tapi yang aku cemaskan gimana pimpinan nanti sama apa namanya rekan kerja itu mereka bisa gak “Kalau menyerah pernah, tapi kalau beradaptasi dengan aku, kekuranganku ini.” misalnya menyerah kan kepada orang lain itu belum pernah sih. Jadi misalnya aku nyerah “Yang aku cemaskan itu orang baru, tempat gitu melakukan sesuatu, tapi itu nanti aku baru, dan pemikiranku ada hal-hal yang kerjain lagi jadi nyerahnya itu beberapa saat mungkin terkadang mereka jadi bingung mau doang. Jadi kalau menyerahkan komunikasi sama aku kayak apa. Cuma, tapi tanggungjawab kepada orang lain itu si aku lihat dari contoh-contoh yang aku belum pernah.” punya… eh, dari SD sampai kuliah, walaupun memang ada butuh waktu tapi “Kalau misalnya dalam pekerjaan, saya pasti bisa gitu, itu kecemasannya.” yakin kalau saya berusaha lebih keras pasti kesuksesan itu akan mengikuti seperti itu.” “Dengan cara kayak tadi aku kuasai materiku dengan baik itu. Tapi aku juga terkadang “… pekerjaan yang gak terjun kelapangan kalau aku mau presentasi aku ngomong gitu yang megang apa-mengang apa kayak sendiri di kamar.” gitu. Terus menurut aku selama itu dikerjain pakai pikiran dan gak terlalu menyusahkan “Jadi kadang sih aku mengalihkan tugas aku sih bisa-bisa aja.” yang kadang, mungkin sih aku harusnya bisa tapi aku kasi ke orang lain-orang lain aja. “Ketika saya tadinya di rumah, itu anak Gitu. Sekali-sekali sih.” rumahan gak pernah keluar, yang gak pernah tahu dunia, bukannya gak pernah tahu dunia “Kalau itu sih bisa sih terkontrol semua sih, tahu sih, cuma lebih banyak di rumah sesuai dengan keinginan, harapan. Tapi kalau gitu dan kayak ansos gitulah jarang dipraktekkan itu kadang-kadang kok harapan berinteraksi dengan orang lain sedangkan itu ada tercapai tapi kadang-kadang kok beda disini saya harus hidup sendiri dan harus ya dengan apa yang aku pikirkan. Kadang survive gitu dengan orang lain seperti apa tidak terkontrol sih.” kayak gitu. Jadi itu merubah cara pandang, cara pikir kayak misalnya harus menghargai “Tapi kalau secara lebih luas lagi seperti di orang, gak boleh sombong, gak boleh ngiri kelas, aku kadang agak minder sih. Tapi kayak gitu dan harus apa ya, ngertiin orang kalau di kelompok kecil-kecil dan aku sudah lain lah istilahnya kayak gitu. Em, apa ya, terbiasa aku berani gitu.” masalah kita itu tidak lebih besar daripada masalah orang lain kayak gitu.” “… yang bikin aku berubah, ya itu tadi, aku mau menjalankan hidupku apa harus di “Kalau memang suatu hal itu tidak bisa saya rumah terus gak, gak apa mau bersosialisai lakukan dan orang lain bisa lakukan saya dan gak minder dan walaupun disitu akan merasa nyaman, tapi kalau misalnya walaupun aku punya kekurangan tapi aku saya bisa ngelakuin itu dan orang lain seperti tetap mau berkomunikasi dengan orang lain melihat saya tuh mengasihani gitu, saya tuh … Tapi aku merasa itu gak ada gunanya jadi eh, apa ya bukan rendah diri sih lebih ke kalau kita introvert gitu loh, kita sama seperti yang em, gak kok saya bisa gitu, saya mau orang-orang, sama mayat hidup…. Jadi itu, tunjukkin kok maksudnya tuh kalau kamu ada perubahan dari aku TK dulu aku minder bisa kenapa saya gak kayak gitu, seperti itu,
13 benget sampai sekarang aku berani tapi tidak menyinggung perasaan dia gitu, bersosialisasi sama orang jadi, seperti itu, karena mamang mungkin dia tulus gitu mau aku berani ngomong.” nolongin kayak gitu.” “Jadi aku lihat yang panitia-panitia kemarin mereka percaya kalau aku ada potensi cuma aku belum berani melakukannya gitu misalnya aku pikir mereka percaya kalau aku ada potensi.”
“Karena saya bisa dipercaya dan apa ya, gak main-main gitu loh sama suatu pekerjaan atau suatu em, hal yang dipercayakan sama diri kita. Gak main-main, kita berani berkorban untuk sesuatu yang sudah dipercayakan untuk kita gitu.”
2. Powerful Other Partisipan pertama dan kedua mengungkapkan bahwa orang lain juga turut mempengaruhi keberhasilan yang mereka capai, orang lain yang dimaksud adalah orangtua, teman sebaya dan atasan. Baik partisipan pertama maupun kedua mengungkapkan memperoleh dukungan sosial dari keluarga dan teman sebaya. Keluarga memberikan dukungan motivasi, kasih sayang dan finansial bagi kedua partisipan. Partisipan pertama menceritakan bahwa keluarganya, khususnya ibunya, sangat berperan dalam hidupnya dan mempengaruhi pengambilan keputusannya, hal ini menjadikannya bergantung pada ibunya dalam memutuskan hal-hal penting dalam hidupnya. Ia mengaku sering bertanya-tanya atau meminta pendapat keluarganya untuk memutuskan sesuatu. Partisipan pertama percaya bahwa dengan menggunakan keputusan ibunya, ia akan memperoleh hasil yang positif. Partisipan pertama berpikir tanpa dukungan sosial yang berupa perhatian dan kasih sayang dari keluarganya, ia akan menjadi depresi dan tidak memiliki penerimaan diri. Bagi partisipan pertama, keluarga adalah sesuatu yang berpengaruh dalam mengambilan keputusannya, keputusan yang dipilihkan keluarganya adalah yang terbaik dan mempengaruhi keberhasilan masa depannya. Berbeda dengan partisipan pertama, partisipan kedua tidak ingin bergantung pada orang lain dan tidak ingin dikontrol oleh orang lain. Partisipan kedua menceritakan bahwa dirinyalah yang lebih berhak mengambil keputusan yang mempengaruhi hidupnya. Ia mengakui bahwa
14 bila orang lain memberikan kontrol yang positif baginya, ia dapat menerimanya namun bila kontrol yang diberikan membuatnya bergantung pada orang lain, ia menolaknya. Dari wawancara yang telah dilakukan, partisipan kedua merasa bahwa keberhasilan dalam membangun hubungan dengan lawan jenis tidak dapat dikontrolnya karena merasa tidak akan didekati oleh lawan jenis. Ia mengatakan bahwa ia merasa sedih saat melihat teman-teman perempuannya yang terlihat cantik dan memiliki tubuh normal sehingga dapat membangun hubungan dengan lawan jenis. Melihat perbedaan fisik dirinya dan teman-temannya membuat partisipan kedua cemas untuk menjalin hubungan dengan lawan jenis dimana ia tidak yakin bahwa dirinya dapat diterima oleh lawan jenis. Partisipan pertama juga mengungkapkan bahwa ia kelemahan fisiknya dan kekurangannya dalam berkomunikasi, membuatnya pernah menerima ejekan dari orang lain. Ejekan tersebut membuatnya rendah diri dan khwatir dengan pendapat orang lain yang medengar ejekan yang diberikan padanya. Pada partisipan kedua, ia mengungkapkan tentang perlakuan orang lain yang mengasihani dirinya, menghadapi perlakuan tersebut, partisipan kedua memilih bersikap untuk menghargai orang yang mengasihaninya. Ia juga mengatakan bahwa dukungan yang diterimanya dari teman sebaya, dosen dan komunitas gereja yang ia ikuti memberinya dukungan untuk dapat melanjutkan pendidikannya di kota lain. Berhubungan dengan dunia pekerjaan di masa depan, baik partisipan pertama maupun kedua berpendapat bahwa relasinya dengan orang lain juga mempengaruhi peluang pekerjaannya di masa depan. Partisipan pertama menceritakan bahwa atasan atau pimpinan perusahaan juga menentukan penerimaan kerjanya. Partisipan pertama “Kalau usaha sendiri aku kurang yakin, soalnya kita hidupkan tidak sendirian kan kita ada teman, ada keluarga terus ada orang yang diatas dari kita, ini memang aku kalau pake kekuatan sendiri gak bisa...”
Partisipan kedua “.. soalnya kita kan, makhluk sosial tidak bisa berdiri sendiri segala sesuatu hal itu pasti dipengaruhi sama orang lain, kesuksesan pun itu pengaruhi sama orang lain juga.”
15 “Mengontrol, orang lain itu sih ada sih satu “Kadang merasa marah gitu ya, kayak em, mamaku… Jadi aku sangat ketergantungan sebenarnya kamu tuh gak berhak sama mamaku…” mengontrol hidup aku karena aku sendiri yang berhak mengontrol hidup saya gitu.” “Soalnya keluarga inti, eh apa namanya, masalah ini kan keluarga. Jadi aku pun “kalau memang kontrol itu baik kenapa lebih sering bersosialisasi, lebih sering enggak gitu karena itu bisa menuntun ngobrol, lebih sering apa, mengungkapkan kehidupan saya ke jalan yang lebih baik. pendapat, lebih sering tanya ini tanya ini, Tapi kalau misalnya udah yang ke arahterus kalau ada masalah aku tanya ke arah negatif ditu dan itu terlalu menggaggu keluargaku maksudnya pendapatnya kehidupan aku jadi aku gak bisa mereka….” memutuskan sendiri kayak aku ketergantungan sama dia gitu aku berusaha “Kalau tidak ada support dari keluarga aku untuk menjauh kayak gitu. Untuk menjauhi mungkin sudah depresi kan. Bahkan dalam hal, mungkin apa ya untuk meminta depresi, tidak ada penerimaan diri gitu.” saran dari dia itu gak seintens dulu kayak “Soalnya kalau gak mamaku yang arahkan gitu. Supaya dia itu gak terlalu ke sini dan ngomong kau harus kuliah, mempengaruhi hidup aku sehingga aku mungkin masa depanku cuma sampai bisa memutuskan mana yang terbaik buat SMA. Mungkin SMA aku kerja mungkin hidup aku, mana yang terbaik buat hidup kerjanya jadi karyawan pabriklah, atau orang lain.” tinggal di rumah lah jadi mamaku ada manfaatnya gitu loh jadi masa depanku “Yang pastinya, orang tua ya, orang lain itu cerah kali.” termasuk orang tua juga mereka yang biayain, mereka yang nyekolahin, mereka “Sama itu pertimbangan-pertimbangan yang kuliahin seperti itu, dan satu peran penerimaan karyawan itu, aku kuatirnya pentinglah di saat-saat kita lemah, di saatdisitu. Mungkin nanti mereka melihat aku saat kita aduh capek ya kita kuliah ginimemang ada potensi, tapi mereka kan juga gini-gini, tapi setelah mungkin kita lapor melihat, kan perusahan pasti membutuhkan mereka, mereka kuatin kita, ayo terusin orang untuk berkomunikasi mungkin belajar atau apa lah segala macam…” dengan karyawan, mungkin dengan apaapa, pelanggan gitu. Aku masih bingung “Saya punya, puji Tuhan saya tuh punya besok bagaimana menghadapinya, gitu banyak kenalan gitu dan em, apa ya, loh.” mereka itu, kan kalau banyak interaksi sosial itu lebih banyak terbuka peluang “Kalau yang lain itu sih, kadang-kadang pekerjaan” sekali doang kok, mungkin dia gak tau rasanya keadaan ini gitu, cuma bercanda “Teman-teman aku tuh bisa dibilang kali. Kalau lebih sering dia lakuin aku akan cantik-cantik gitu ya, kayak normal sering to the point (menegur) sama dia, tapi kalau dideketin sama cowok istilahnya kayak sekali dua kali doang ma gak apa-apa gitu. Dan pernah gitu, maksudnya satu kali mungkin bercanda kali gitu.” itu, kayaknya aku itu gak bakal bisa kayak apa, punya pikiran kayak gitu.” “…. yang temanku SMA ini, dia berulangulang kan ngejek aku,…” “Apapun gitu, mengasihani ataupun ngejek juga ataupun berpikir pasti orangtuanya kenapa nih waktu dulu gitukan, kayak gitugitu, entah apapun yang ada dalam
16 pikirannya menurutku sih lebih kayak menghargai oh, ya udah.” “Itu sih saya punya sahabat tiga orang, bukan gang sih tapi pokoknya sahabatan gitu terus mereka tuh ya yang kuatin juga ya yang doain juga gitu dan banyak, itu lagi komunitas di gereja seperti itu yang kuatin, terus sudah itu dosen-dosen juga, mungkin dosennya itu keras atau seperti apa gitu ya tapi tuh buat kita tu ngerti gitu, jadi oh, kuliah kayak gini to.”
3. Chance Partisipan pertama dan kedua mengungkapkan bahwa walaupun mereka tidak dapat mengontrol takdir yang menyebabkan kekurangan fisik mereka, keduanya yakin bahwa usaha mereka dapat menentukan keberhasilan mereka di masa depan. Selain itu, mereka juga berpendapat bahwa peluang atau kesempatan memerankan peranan penting dalam kehidupan mereka namun peluang atau kesempatan haruslah dicari. Partisipan kedua mengatakan bahwa keberuntungan memerankan peran yang kecil dalam pencapaian keberhasilannya, sedangkan yang paling menentukan keberhasilannya adalah Tuhan dan kerja keras. Partisipan pertama “Takdir menentukan aku orangnya gini, maksudku aku punya kekurangan gini, tapi kalau dalam kehidupan walaupun ada takdirnya itu, kita jangan terpatok pada takdirnya, kita harus lebih mengembangkan dirinya kita gitu. Jangan sampai kita terpuruk dengan nasib yang diberikan sama Tuhan tapi kan, kita kan memang menerima, tapi kan apa namanya kita ada usaha untuk mengubah cara hidup kita gitu loh, supaya tidak terlalu terpuruk dengan kekurangan kita.”
Partisipan kedua “Em, saya bisa ngelakuin semua yang orang bisa ngelakuin kan kayak gitu misalnya tadi motong atau buka sesuatu itu ya gak susahsusah baget gitulah bisa dikerjakan melalui latihan gitu istilahnya buka apa, saya motong-motong apa saya bisa kerjakan melalui latihan... Kalau menurut saya bisa karena tubuh ini bukan suatu keterbatasan untuk kita mencapai suatu kesuksesan seperti itu, saya masih punya yang lain yang masih bisa saya kembangkan dari tubuh saya gitu…. saya bisa merubah nasib saya walaupun kondisi saya seperti ini.”
“Jadi peluang itu kita yang cari bukan kita yang menunggu peluang. Istilahnya jangan “Kalau takdir ya, saya kan sudah bilang kita yang menunggu bola datang tapi kita takdir itu sudah tidak bisa diubah gitu, kalau yang mencari bolanya gitu loh.” misalnya kayak gini kan sudah gak bisa diubah lagi gitu istilahnya, ya bersyukur aja sih apa yang sudah Tuhan kasi. Em, saya bisa
17 ngelakuin semua yang orang bisa ngelakuin kan kayak gitu misalnya tadi motong atau buka sesuatu itu ya gak susah-susah baget gitulah bisa dikerjakan melalui latihan gitu istilahnya buka apa, saya motong-motong apa saya bisa kerjakan melalui latihan. Sebenernya perasaan saya dengan itu tuh ya bersyukur gak ada yang lain, ya bersyukur karena kalau misalnya mau ditangisin mau dibuat apa gitu kan. Mau dimarah-marahin juga ya, marah-marah gitukan enggak merubah suatu hal apapun seperti itu.” “…terus banyak-banyak cari peluang pekerjaan… kesempatan mempengaruhi kesuksesan ya sebenarnya sih sangat penting sih karena kalau misalnya ketika saya ada kesempatan untuk misanya naik pangkat gitu ya.” Em, kalau faktor keberuntungan dari seratus persen menurut saya ya itu cuman paling 2030 persenlah selain itu em, karena campur tangan Tuhan dan saya kerja keras. Faktor keberuntungan cuma sedikit.
4. Keyakinan pada peran Tuhan terhadap hidup Kedua partisipan mengungkapkan bahwa Tuhan juga berperan dalam menentukan masa depan mereka. Partisipan pertama mengatakan walaupun dirinya diciptakan dengan kekurangan yang membuatnya berbeda, tapi ia yakin Tuhan mempunyai rencana tersendiri untuknya. Sama dengan partisipan pertama, partisipan kedua mengatakan bahwa Tuhan menentukan masa depannya. Walaupun dirinya yang mengendalikan nasib hidupnya, Tuhanlah yang menentukan apa yang terjadi dalam hidupnya. Selain itu, partisipan kedua menceritakan bahwa Tuhan juga ikut berperan dalam perubahan penting pada dirinya dimana saat ia mendekatkan diri pada Tuhan, ia yakin Tuhan juga mengubah hidupnya sehingga ia memiliki kontrol emosi yang lebih baik dan berkurangnya sifat-sifat negatif seperti rendah diri dan mudah marah dibandingkan saat ia belum dekat dengan Tuhan.
18 Partisipan I “Mungkin Tuhan kasi aku kayak gini, mungkin akan ada rencananya kedepannya gitu. Karena aku pernah dengar punya kelebihan kamu tidak malu lihat orang berbicara walaupun nanti kamu merasa ada yang berbeda. Jadi aku yakin besok pasti ada jalan dari Tuhan gitu.”
Partisipan II “Em kembali lagi kepada firman Tuhan kaya kgitu. Balik lagi ke jalanNya Tuhan gitu, ketika Tuhan bilang saya musti kesini ya saya ke sini, dan itu saya yang tentukan saya mau kesitu atau enggak itu kan hatinya saya gitu, istilahnya kayak gitu. Jadi maksudnya nasib memang saya yang tentukan tapi semuanya itu balik lagi ke Tuhan, gimana Tuhan itu mau saya berada di nasib yang mana seperti apa, kayak gitu.” “altar call, sudah gitu aku maju, jadi tuh seperti Tuhan itu menjamah hati aku, sehingga em, apa ya satu demi satu karakter yang buruk tuh dikurangi kayak misalnya yang emosian udah gak lagi walaupun gak sempurnah sih, masih kadang-kadang emosi gitu, cuma dibandingkan dengan dulu tuh udah gak, gak seintens dulu gitu emosinya. Terus kalau minder, udah gak pernah minder lagi udah ya bersyukur aja apa yang udah Tuhan kasi gitu doang.
5. Mengatasi tekanan (coping) Partisipan pertama berusaha menghadapi ejekan yang ia terima dari teman-temannya dengan meminta kepada orangtuanya untuk melakukan operasi pada saat ia masih di Taman Kanak-kanak (TK). Operasi tersebut bertujuan untuk memperbaiki bagian mulut dan hidungnya sehingga ia dapat bicara dengan lebih jelas.
Partisipan I: “…ini hidungku tolong, bukan tolong sih tapi ini diperbaikilah mak teman-temanku ngejek-ngejek terus itu kalimat yang bener-bener, satu kalimat yang mengubah hidupku loh…” Selain operasi, partisipan pertama berusaha menerima keadaan fisiknya dengan mensyukuri keadaannya, berdoa ketika menghadapi ejekan orang lain serta meyakini bahwa Tuhan mempunyai rencana terhadap hidupnya. Pada partisipan kedua, ia memilih menerima
19 keadaannya, bersyukur, membaca kitab suci dan lebih banyak berdoa dalam mengatasi kesedihannya sehubungan dengan kekurangan fisik yang ia miliki. Partisipan I “Cuma memang sih aku gak ngomong sama dia to the point, eh langsung gitu tapi aku pendem sendiri gitu, tapi aku pendempendem cuma karena kepahitan itu, sering doa sama Tuhan. Walaupun ada kepahitan tapi aku apa namanya, melepaskan gitu dengan cara mendoakan. “
Partisipan II “Tuhan itu sudah menyiapkan kalau, em, apa ya, kalau unik, aku tuh unik gitu…. Jadi aku yang lebih ke berdoa sih, kalau lagi sedih melihat mereka yang bisa normal gitu, aku lebih banyak cari Tuhan, kayak gitu.” “Sebenernya perasaan saya dengan itu tuh ya bersyukur gak ada yang lain, ya bersyukur karena kalau misalnya mau ditangisin mau dibuat apa gitu kan. Mau dimarah-marahin juga ya, marah-marah gitukan enggak merubah suatu hal apapun seperti itu.”
“…. mungkin besok akan ada cuma aku pikir bersyukur aja. Mungkin Tuhan kasi aku kayak gini, mungkin akan ada rencananya kedepannya gitu… Jadi aku yakin besok pasti ada jalan dari Tuhan gitu.” “tapi tuh mama selalu nguatin gitu, udahlah gitu jangan terlalu dipikirin cowok itu mah Tuhan yang kasi kayak gitu-gitu. Jodoh itu gak kemana. Jadi tuh kuat aja gitu jadi baca firman, baca alkitab kayak gitu-gitu. Ya itu sih yang pertama itu ya doa.”
PEMBAHASAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada semua partisipan memiliki kecenderungan kontrol internality, powerful other dan chance pada keadaan-keadaan tertentu, seperti: keberhasilan dalam pendidikan, keberhasilan dalam lingkungan sosial, dan keyakinan dalam keberhasilan karir di masa depan. Janelle (1992) mengatakan bahwa Locus of Control (LOC) dapat dipengaruhi secara berbeda pada setiap tingkatan tergantung pada lingkungan, interaksi dengan lingkungan atau dengan kepribadian individu. LOC secara kontinum menunjukkan bahwa seseorang memiliki keyakinan internal (internality) dan eksternal (powerful other dan chance) mengenai konsekuensi dari berbagai peristiwa hidup. Karakteristik internal dan eksternal yang dimiliki bergantung pada perspektif LOC yang dominan. Dalam menghadapi pendidikannya saat ini, partisipan pertama mengatakan bahwa ia yakin dapat menyelesaikan pendidikannya dengan baik karena ia telah memiliki pengalaman
20 sebelumnya dalam menghadapi pendidikan. Walaupun merasa yakin dapat menyelesaikan pendidikannya dengan baik, kelemahannya dalam berkomunikasi membuat partisipan pertama sering merasakan kecemasan saat melakukan presentasi di kelas atau berbicara dalam kelompok besar. Selain itu, partisipan pertama juga mengungkapkan bahwa dirinya sering mengalihkan tugas yang sebenarnya dapat ia kerjakan kepada rekannya, seperti lebih memilih melakukan tugas observasi dibandingkan tugas mewawancarai. Saat memutuskan untuk melanjutkan pendidikan, partisipan pertama sangat dipengaruhi oleh pihak keluarga, khususnya ibu partisipan. Ia mengungkapkan bahwa ibu, yang lebih mengontrol hidupnya dan mempengaruhi pengambilan keputusannya, seperti kota tempat tinggal dan jurusan yang diambilnya. Keyakinan terhadap keputusan ibu yang terbaik disebabkan oleh reinforcement yang diberikan ibunya dimana partisipan pertama selalu puas dengan keputusan yang dipilihkan ibunya dalam peristiwa hidup sebelumnya. Ia mengatakan bila tidak ada bantuan dari ibunya, ia tidak akan melanjutkan study-nya ke perguruan tinggi dan mengalami depresi karena itu sampai saat ini ia lebih banyak berkomunikasi dengan keluarganya terhadap keputusan-keputusan yang ia ambil, ia merasa keputusan yang dipilihkan oleh keluarganya adalah yang terbaik. Menurut Crittenden (1990), keluarga adalah konteks penting yang dapat mempengaruhi individu mengembangkan sebuah LOC dan mempelajari strategi untuk mengatasi tekanan. Selain itu dalam perkembangan seorang anak dalam keluarga, perilaku dipelajari karena diikuti atau diberikan reinforcement (Rotter, 1966). Partisipan kedua mengatakan bahwa untuk melakukan aktivitas yang sulit ia kerjakan, ia dapat melakukan latihan untuk mengerjakannya dan berpendapat bila ia bekerja keras maka kesuksesan akan mengikutinya. Selain itu, ia belum pernah mengalihkan tugas atau tanggung jawab yang diberikan padanya. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian dari Stocks (2012) bahwa individu dengan internality lebih sering mengajukan dan menerima posisi untuk mengatur karena mereka merasa nyaman mengambil alih situasi dan membuat keputusan.
21 Partisipan pertama dan kedua mengungkapkan bahwa salah satu peristiwa penting dalam hidup mereka adalah ketika mengambil keputusan untuk meninggalkan rumah untuk hidup mandiri di kota lain serta berusaha bersosialisasi dengan orang lain. Keluarga dari kedua partisan juga mendukung keputusan partisipan dengan memberikan dukungan, seperti dukungan finansial dan motivasi dalam belajar. Kedua partisipan mengatakan tidak menyukai hal-hal baru sehingga mau tidak mau kedua partisipan harus berusaha hidup mandiri dan mampu beradaptasi dengan lingkungan baru selama melanjutkan pendidikan, dalam proses adaptasi ini kedua partisipan berusaha mengembangkan internality-nya dimana mereka berusaha yakin dengan kemampuan mereka sendiri untuk dapat hidup mandiri. Keluarga memiliki peranan penting dalam mendorong partispan untuk bisa mandiri dimana keluarga memegang sikap yang dapat meningkatkan kemandirian anak dan mengarahkan anak untuk bisa partisipasi dalam suatu kegiatan (Lawlor, dkk, 2006; dalam Anaby, 2013). Keluarga dapat mengatur lingkungan rumah tangga mereka untuk memastikan anak mendapatkan kesempatan awal untuk memilih, mengontrol, dan mempunyai privasi, sangat penting untuk pengembangan otonomi anak (Cook, Brotherson, Weigel-Garrey, Mize, 1996; dalam Vaicekauskaite, 2007). Selain dukungan keluarga, partisipan kedua mengatakan bahwa teman sebaya dan komunitas gereja yang dianggotainya memberikan dukungan motivasi dan doa. Dukungan ini sangat membantu partisipan kedua untuk menjalani kehidupannya selama berkuliah di luar kota. McManus (2006; dalam Anaby, dkk, 2013) mengungkapkan bahwa sikap positif dari anggota komunitas dan sekolah dapat membantu anak-anak dengan kecacatan untuk berpartisipasi dalam kelompok. Selain itu hasil penelitian Naraiana dan Natarajan (2013) mengenai persepsi remaja penyandang cacat di India, mengungkapkan bahwa keberhasilan yang dialami oleh beberapa siswa penyandang cacat dalam mengembangkan persahabatan tampaknya menunjuk ke bentuk dukungan eksternal yang bisa digunakan untuk menghadapi kondisi sosial yang keras.
22 Dapat disimpulkan dalam lingkup pendidikan, partisipan pertama cenderung memiliki LOC powerful other, dimana keluarganya lebih mempengaruhinya dalam pengambilan keputusan dalam melanjutkan pendidikannya, serta ketidakyakinannya pada diri sendiri dalam mengerjakan tugas dengan baik. Pada partisipan kedua, ia cenderung memiliki LOC internality karena keyakinannya terhadap kemampuan yang ia miliki dalam melakukan suatu tugas. Tidak hanya kecemasan dalam mengerjakan tugas perkuliahan, partisipan pertama juga memiliki kecemasan terhadap keberhasilan karirnya di masa depan. Keterbatasan fisiknya yang membuatnya kesulitan dalam berkomunikasi membuatnya cemas terhadap seleksi kerja oleh atasan dan cara berkomunikasi dengan rekan kerjanya nanti. Partisipan pertama menceritakan bahwa ia merasa atasan melihat potensi yang ia miliki namun ia merasa tidak yakin dapat mengerjakan tugas dengan baik. Selain itu, walaupun partisipan pertama mengungkapkan bahwa dirinya yakin akan mencapai tujuan yang telah ditetapkan, ia juga mengatakan memiliki keraguan bila ada hal-hal lain yang tidak dapat diprediksi terjadi. Hal ini selaras dengan pendapat Rotter (1966) bahwa individu dengan LOC internal dapat bergeser ke eksternal bila berhadapan dengan situasi yang tidak dapat diprediksi. Perrin dan Teste (2010; dalam Warnecke, dkk, 2014) juga mengungkapkan bahwa LOC eksternal yang tinggi mengindikasikan individu untuk percaya bahwa hal-hal di luar dirinya dan orang lainlah yang mengontrol lingkungan. Selain itu, Arslan, Dilmac, dan Hamarta (2009: dalam Warnecke, dkk, 2014) menemukan bahwa LOC eksternal yang tinggi mempunyai korelasi positif dengan kecemasan dan mengungkapkan bahwa mempunyai LOC eksternal yang tinggi dapat mempengaruhi cara mengatasi situasi yang dapat menyebabkan kecemasan. Pada partisipan kedua, ia berusaha untuk melakukan aktivitas yang sulit ia kerjakan dengan latihan dan juga berusaha melatih dirinya untuk mengembangkan kemampuan lain yang tidak berhubungan dengan kemampuan fisik dalam memperoleh keberhasilan dalam karirnya kelak. Selain itu, ia merasa alasan atasannya memberikan tanggung jawab kepadanya
23 adalah karena ia dapat dipercaya dan berani berkorban untuk tugas yang dipercayakan padanya. Penelitian yang dilakukan oleh McCauley dan rekan-rekannya (1988) tentang depresi pada anak-anak dan remaja menemukan hasil bahwa semakin besar internality dalam diri individu berhubungan dengan kesuksesan di sekolah, kemandirian, perilaku yang bertanggung jawab, dan lebih memiliki kontrol diri (Zazawi, 2009). Keyakinan partisipan pertama tentang orang lainlah yang menentukan penerimaan dalam seleksi kerja dan keraguannya mengenai kemampuan dirinya menunjukkan partisipan pertama cenderung memiliki LOC powerful other. Sedangkan, pada partisipan kedua cenderung memiliki LOC internality dimana ia yakin terhadap kemampuannya dalam mencapai keberhasilannya kelak dan yakin bahwa ia dapat dipercayai. Kekurangan fisik yang dimiliki kedua partisipan mempengaruhi hubungan mereka dengan teman sebayanya. Perasaan cemas yang disebabkan kelemahan fisik tidak hanya di alami oleh partisipan pertama, tapi juga partisipan kedua dimana partisipan kedua merasa bahwa dirinya tidak yakin dapat menjalin hubungan dengan lawan jenis. Setiap kali berpikir untuk membangun hubungan dekat dengan seorang lawan jenis ia tidak yakin dirinya tidak dapat diterima sehingga ia mengurungkan niatnya. Partisipan pertama menceritakan bahwa dirinya sering diejek, namun ejekan yang paling menyakitkan baginya adalah ejekkan yang dilakukan terus menerus oleh teman semasa SMA-nya dulu. Ejekan tersebut membuat partisipan pertama menjadi rendah diri dan khawatir dengan pendapat orang lain yang mendengar ejekan tersebut. Ejekan merupakan bentuk bullying secara verbal. Carter dan Spencer (2006), mengatakan bahwa beberapa bentuk bullying adalah memberi nama-panggilan, menggoda, mengintimidasi lisan parah, agresi verbal, meniru atau mengolok-olok penyandang cacat fisik. Seorang pelajar dengan kecacatan dapat meningkatkan pengetahuan tentang teman sebaya mereka yang tidak memiliki kecacatan,
24 bahwa mereka memiliki perbedaan pengalaman masa kecil dan dapat meningkatkan risiko untuk di-bullying. Akibat terlalu seringnya di ejek, partisipan pertama menceritakan bahwa ia menjadi kesal dan memberi perlawanan kepada orang yang mengejeknya berulang-ulang yaitu dengan memberi teguran. Hal ini sesuai dengan pendapat Carter dan Spencer (2006), bahwa korban bullying menanggung kecemasan, depresi, rendahnya harga diri (self-esteem), gangguan konsentrasi dan perilaku melawan (Austin & Joseph, 1996; Kochenderfer & Ladd, 1996; Olweus, 1993; dalam Carter dan Spencer, 2006). Self-esteem berhubungan dengan internality, Burton dan Parks (1994) mengatakan bahwa sebuah elemen penting dalam pengembangan selfesteem dan fungsi psikologis positif adalah kesadaran bahwa seseorang memiliki kontrol atas pengambilan keputusan pribadi dan dapat memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peristiwa kehidupan. Bagaimana seorang individu memandang kontrol pribadinya, sangat dipengaruhi oleh bagaimana ia menghargai dirinya sendiri. Ejekan mempengaruhi partisipan pertama dengan mengurangi kecenderungan internality-nya. Ejekan tersebut menjadi alasan bagi partisipan pertama untuk melakukan operasi yang dapat memperbaiki kondisi fisiknya agar dapat berbicara lebih jelas. Mengenai powerful other dalam konteks relasi sosial, terdapat perbedaan besar antara partisipan pertama dan partisipan kedua. Partisipan kedua mengungkapkan bahwa dirinya tidak senang dengan adanya kontrol dari orang lain dan tidak ingin bergantung pada orang lain karena ia merasa bahwa dirinyalah yang paling berhak mengontrol hidupnya, bukan orang lain. Pada partisipan kedua, kelemahan fisiknya membuatnya berpikir bahwa orang lain mengasihaninya bila orang lain memberikannya bantuan. Ia mengatakan bahwa ia merasa nyaman bila orang lain membantunya melakukan aktivitas yang tidak bisa ia kerjakan, namun sebaliknya ia merasa tidak nyaman bila orang lain membantunya melakukan aktivitas yang dapat ia lakukan sendiri. Hal ini berhubungan dengan menghindari perasaan tidak berdaya
25 (helplessness), dimana partisipan kedua berusaha menghindari perasaan ketidakberdayaannya dengan berusaha semampunya melakukan aktivitas yang dapat ia lakukan sendiri karena ia merasa bahwa dirinya juga mampu melakukan kontrol untuk menjamin suatu perilaku dapat ia lakukan. Hal ini selaras dengan pendapat Seligman (1975: dalam Burger, 1989) bahwa kemampuan untuk menghindari perasaan tidak berdaya dapat berasal dari persepsi kontrol lemah. Orang-orang mungkin juga lebih memilih untuk melakukan kontrol terhadap tindakan mereka karena hal itu memberikan kesempatan untuk menguji dan belajar tentang kemampuan yang mereka miliki. Selain itu, meningkatkan kontrol seseorang atas suatu peristiwa, memperbesar kemungkinan peningkatan memperoleh hasil yang diinginkan (Burger, 1989). Dari pembahasan mengenai relasi sosial, ejekan memberikan pengaruh besar bagi partisipan pertama dalam mengontrol peristiwa hidupnya yang membuatnya memutuskan untuk melakukan operasi, dengan demikian partisipan pertama cenderung memiliki LOC powerful other. Pada partisipan kedua lebih cenderung memiliki LOC internality karena ia tidak berharap terhadap bantuan orang lain dan berusaha melawan ketidakmampuannya dalam melakukan sesuatu. Namun, partisipan kedua memiliki kecenderungan LOC powerful other dalam relasi dengan lawan jenis. Baik partisipan pertama maupun kedua mengungkapkan mereka memiliki kemampuan untuk menentukan keberhasilan mereka di masa depan, walaupun takdir menentukan kekurangan fisik mereka miliki. Partisipan pertama mengatakan meskipun ia memiliki kekurangan dalam berkomunikasi yang sering membuatnya rendah diri, namun ia mau berusaha untuk bersosialisasi dengan orang lain dan berusaha mencari kesempatan atau peluang untuk mencapai yang tujuannya, baginya kesempatan adalah sesuatu yang perlu dicari. Sama dengan partisipan pertama, partisipan kedua mengatakan bahwa tubuhnya bukanlah suatu keterbatasan untuk mencapai kesuksesan dan ia yakin dapat mencapai tujuannya di masa depan. Dari uraian mengenai keyakinan terhadap takdir atau keberuntungan, tersebut partisipan
26 pertama dan kedua cenderung memiliki LOC internality dibandingkan dengan keyakinan terhadap chance. Partisipan kedua mengungkapkan bahwa ia lebih mengutamakan Tuhan dalam hidupnya, termasuk kuliahnya. Ia mengungkapkan walaupun dirinyalah yang mengendalikan nasibnya sendiri, namun Tuhanlah yang mentukan terjadinya suatu peristiwa dalam hidupnya. Keyakinan kepada Tuhan atau Yang Ilahi ini disebut dengan secondary control (Rothbaum, Weisz, dan Snyder, 1982; dalam Compton, 2005). Dengan secondary control, individu dapat memperoleh perasaan kontrol dengan mengasosiasikan diri mereka dengan seseorang, filosofi, atau sistem yang mereka lihat lebih memiliki kekuatan yang besar dibandingkan diri mereka. Selain itu hal ini juga memungkinkan penyerahan kontrol yang dilakukan secara sadar dan suka rela kepada sesuatu yang memiliki kekuatan yang besar, seperti Tuhan. (Compton, 2005). Kedua partisipan juga mengatakan bahwa mereka mensyukuri apa yang terjadi terhadap kondisi fisiknya. Partisipan pertama mengungkapkan bahwa Tuhan menciptakannya dengan kondisinya saat ini karena memiliki tujuan tertentu, selain itu ia menanggapi ejekan orang lain dengan berdoa. Pada partisipan kedua, ia berpendapat bahwa Tuhan menciptakannya unik dan ia juga mengatasi kesedihan akibat kondisi fisiknya dengan berdoa dan membaca kitab suci. Hal ini menunjukkan keduanya menggunakan strategi religious coping dalam menghadapi kondisi fisiknya. Harold Koenig (1992; dalam Leeming, 2014) menyatakan bahwa religious coping adalah bersandar kepada keyakinan atau kegiatan agama untuk membantu mengelola stres emosional atau ketidaknyamanan fisik. Mekanisme religious coping contohnya seperti penggunaan doa, meditasi dan praktek kebaktian, ritual agama dan masyarakat, membaca teksteks suci, dan mencari petunjuk dari otoritas keagamaan seperti seorang imam, pendeta, pastor, rabi, Rinpoche, atau guru, tergantung pada tradisi seseorang. Pemaknaan yang berdasarkan religiusitas dapat menolong seseorang dengan beberapa cara seperti memberikan harapan, memberikan alasan untuk stressor (faktor pembuat stres) yang tidak dapat diprediksi atau tidak
27 diinginkan (seperti “Tuhan memberikan kamu kesulitan untuk membuat kamu kuat”), atau menolong orang menempatkan diri mereka dalam sebuah pandangan yang lebih luas (Compton, 2005).
28 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dari wawancaran dan analisis data yang telah dilakukan, peneliti memperoleh data mengenai LOC dalam lingkup pendidikan, hubungan sosial dan keyakinan terhadap keberhasilan karir di masa depan dari kedua partisipan penelitian. Partisipan pertama cenderung memiliki LOC powerful other pada lingkup pendidikan, hubungan sosial dan karir di masa depan, sedangkan partisipan kedua cenderung memiliki LOC internality dalam lingkup pendidikan dan karir di masa depan namun memiliki powerful other dalam hubungan sosial. Hasil lainnya adalah baik partisipan pertama maupun kedua tidak menganggap bahwa kesempatan, takdir atau keberuntungan (chance) tidak memiliki peranan dalam menentukan kehidupan mereka. Penelitian ini juga mengungkapkan bahwa pengaruh keluarga, teman sebaya dan komunitas tidaknya penting untuk menyediakan dukungan sosial bagi remaja dengan kecacatan, tetapi juga memberikan kesempatan kepada remaja untuk mengembangkan kemampuan dalam menghadapi tekanan. Selain itu partisipan kedua juga memiliki secondary control dan kedua partisipan mengembangkan religious coping dalam penerimaan kekurangan fisik mereka. Saran a. Bagi partisipan Menurut (Rotter, 1966; dalam Janelle, 1992) kebanyakan orang dapat menghadapi lingkungan sosial dengan baik bila ia memperoleh skor yang seimbang pada LOC internal dan eksternal. Dengan demikian saran yang dapat diberikan pada partisipan adalah mempelajari LOC lainnya untuk menyeimbangkan keyakinan kontrol yang mereka miliki. Misalnya partisipan yang memiliki kecenderungan LOC powerful other dapat belajar menjadi internal dengan menerima tanggung jawab yang lebih besar dari atasan ketika diberikan kepercayaan
29 dalam melakukan suatu tugas. Partisipan yang memiliki kecenderungan LOC internality dapat belajar menjadi lebih realistis dalam melihat kemampuannya ketika menghadapi suatu situasi. b. Bagi peneliti selanjutnya Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan untuk penelitian selanjutnya dengan tema-tema lain yang berhubungan dengan remaja tuna daksa seperti meneliti pengaruh kecacatan fisik pada individu dalam rentang usia remaja awal atau rentang usia lainnya, perbedaan jenis kelamin, strategi coping yang digunakan dan secondary control yang dikembangkan.
30 DAFTAR PUSTAKA Anaby, D., Hand, C., Bradley, L., dkk. (2013). The Effect Of The Environment On Participation Of Children And Youth With Disabilities: A scoping review. Disability and Rehabilitation, An International, Multidisciplinary Journal. Vol. 35(19), pp. 1589– 1598. Bostic, T. J., & Ptacek J. T. (2001). Personality Factors and The Short-Term Variability In Subjective Well-Being. Journal of Happiness Studies:Kluwer Academic Publishers. Vol. 2, pp. 355-373. Burger, J. M. (1989). Negative Reactions to Increases in Perceived Personal Control. Journal of Personality and Social Psychology. Vol. 56, No. 2, pp. 246-256. Burton, S. L., & Parks, A. L. (2009, September). Self-Esteem, Locus Of Control, And Career Aspirations Of College-Age Siblings Of Individuals With Disabilities. Availabe http://web.a.ebscohost.com/ehost/detail/detail?sid=c8e3e444-b4eb-4f84(Online): a53e7af78dbb6c86%40sessionmgr4004&vid=1&hid=4101&bdata=JnNpdGU9ZWhvc3Qt bGl2ZQ%3d%3d#db=pbh&AN=9607300891 Carter, B. B., & Spencer, V. G. (2006). The Fear Factor: Bullying and students with disabilities. International Journal Of Special Education. Vol. 21 No.1/2006, pp. 11-23. Compton, W. C. (2005). An Introduction to Positive Psychology. Wadsworth: Thomson Learning, Inc Crittenden, P. M. (1990). Toward a Concept of Autonomy in Adolescents With a Disability. CHC, Summer 1990. Vol. 18, No. 3, pp. 162-168. Leeming, D. A. (2014). Encyclopedia of Psychology and Religion: Second edition. New York: Springer Erez, A., Johnson, D. E., & Judge, T. A. (1995). Self-Deception As A Mediator Of The Relationship Between Dispositions and Subjective Well-Being. Pergamin: Person. Individ. Diff. Vol. 19, No. 5, pp. 597-612. Groce, N. E. (2004). Adolescents And Youth With Disability : Issues And Challenges. Asia Pacific Disability Rehabilitation Journal Vol. 15 No. 2, pp. 13-32. Janelle, S. (1992). Locus of Control in Nondisabled Versus Congenitally Physically Disabled Adolescents. The American journal of Occupational Therapy. Vol. 46, Number 4, pp. 134-142. Klonowicz, T. (2001). Discontented People: Reactivity and Locus of Control as Determonants of Subjective Well-Being. European Journal of Personality Pers. Vol. 15, pp. 29-41. Kulshrestha, U., & Sen, C. (2006). Subjective Well Being in Relation to Emotional Intelligence and Locus of Control among Executives. Journal of the Indiana Academy of Applied Psychology, Vol. 32, No. 2, pp. 93-98.
31
Lopez, J Shane. (2009). The Encyclopedia of positive psychology. United Kingdom- WillyBlackwell Naraiana, S. & Natarajan, P. (2013). Negotiating Normalcy with Peers in Contexts of Inclusion: Perceptions of youth with disabilities in India. International Journal of Disability, Development and Education, Taylor & Francis 2013. Vol. 60, No. 2, pp. 146–166. Owusu-Ansah, F. E., Agyei-Baffour, P., & Edusei, A. (2012). Perceived control, academic performance and well-being of Ghanaian college students with disability. African Journal of Disability 1(1), Art. Pp. 1-6. Poerwandari, E. K. (2007). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia. Depok: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3). Porat, Omer, dkk. (2012). Counseling Young People with Physical Disabilities Regarding Relationships and Sexuality Issues: Utilization of a Novel Service. Springer Science and Business Media. Vol.30, pp. 311–317. Rotter, J. B. (1966). Generalized expectancies for internal versus external control of reinforcement. Psychological Monographs. Vol. 80, pp. 1-28. Rotter, J. B. (1990). Internal Versus External Control of Reinforcement : A case history of a variable. American Psychological Association, Inc. Vol. 45, No. 4, pp. 489-493. Santrock, John W. (2007). Remaja Edisi Kesebelas Jilid 1. Jakarta: Erlangga. Shojaee, M. & French, C. (2014). The Relationship between Mental Health Components and Locus of Control in Youth. Scientific Research Publishing Inc,. Vol. 5, pp. 966-978. Somantri, T. S. (2006). Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: P. Refika Aditama. Stocks, A., April, K. A., & Lynton, N. (2012). Locus of Control and Subjective Well-being – A Cross-Cultural Study. Problems and Perspective in Management. Vol. 10, Issue 1. Sudarmadi. 2012. Dukungan Sosial dan Internal Locus of Control Sebagai Prediktor Resiliensi Kepala Keluarga Miskin. Skripsi. Tidak diterbitkan. Salatiga: Fakultas Psikologi, UKSW. Sudarmini, Tin. (2009). Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus. Yogyakarta: Kanwa Publisher. Vaicekauskaite, R. (2007). Parents’ Perspectives on Social Exclusion and the Development of Psychological Autonomy in Children with Disabilities. Illinois Child Welfare. Vol. 3, Numbers 1 and 2. Wallace, M. T., Barry, C. T., Zeigler-Hill, V., & Green, B. A. (2012). Locus of Control as a Contributing Factor in the Relation Between Self-Perception and Adolescent Aggression. Aggressive Behavior, Wiley Periodicals, Inc. Vol. 38, pp. 213-221.
32 Warnecke, A. J., Baum, C. A., Peer, J. R., & Goreczny, A. J. (2014). Intercorrelations Between Individual Personality Factors And Anxiety. College Student Journal. Vol. 48, Issue 1, pp. 23-33. Zawawi, J. A. & Hamaideh, S. H. (2009). Depressive Symptoms and Their Correlates with Locus of Control and Satisfaction with Life among Jordanian College Students. Europe’s Journal of Psychology. Vol. 4, pp. 71-103.