Literat Nomor 17 Tahun 2004
ISSN : 0852 - 1557
LATAR BELAKANG SOSIAL BUDAYA YANG MENDORONG ANAK MEMASUKI DUNIA PROSTITUSI (Kasus di Kabupaten Indramayu dan Kota Solo) Oleh Ikka Kartika A.F., Dra., M.Pd.
A. Pendahuluan Latar belakang seseorang menjadi anak yang dilacurkan (AYLA) sangat erat kaitannya dengan keluarga dan masyarakat lingkungan, karena keberadaan mereka tidak terlepas dari pola asuh keluarga yang membentuk tingkah laku berpola pada diri individu yaitu kebiasaan (habit) dan tidak terlepas pula dari tingkah laku umum yaitu tingkah laku yang menjadi pola bagi sebagian besar masyarakat yang biasa disebut adat istiadat (customs). Semuanya ini, secara konkrit terwujud dalam rangkaian aktivitas manusia yang saling berinteraksi, berhubungan dan bergaul satu sama lain yang disebut sistem sosial. Selunrh aspek ini telah tertanam dalarn diri seseorang sejak dini dan seringkali mempengaruhi tindakantindakannya dalam menghadapi permasalahan hidup. Atas dasar isilah aspek sosial budaya meniadi penting artinya dalam mengurai masalah prostitusi, baik di daerah yang kehidupannya masih kental diliputi unsur tradisional maupun di daerah perkotaan yang penganih unsur tradisionalnya sudah longgar karena bercampumya berbagai unsur etnis. Aspek sosial budaya yang menjadi salah satu faktor pendorong masttknya anak ke dunia prostitusi, di Solo maupun di hndramayu, berkaitan dengan nilai-nilai budaya di masingmasing lokasi penelitian. Di Solo erat kaitannya dengan gaya hidup remaja maupun permasalahan kelompok urbanis, sedangkan di lndramayu erat kaitannya dengan mithos dan tradisi. Namun demikian, ada nilai-nilai budaya yang sifatnya umum, mang ada di kedua daerah tersebut, yaitu pandangan masyarakat dan pola pengasuhan anak serta urbanisasi.
B. Latar Belakang Anak Memasuki Dunia Prostitusi 1. Pandangan Masyarakat Terhadap Perempuan Dalam sistem sosial budaya pada sebagian besar masyarakat Indonesia, yang sarat dengan perbedaan gender, telah melahirkan ketidak adilan baik bagi kaum laki-laki dan terutama bagi kaum perempuan. Manifestasi ketidakadilan ini terwujud dalam beutuk marginalisasi, subordinasi maupun stereotipe bagi kauin perempuan.
Majalah Ilmiah Kependidikan FKIP UNINUS
Literat Nomor 17 Tahun 2004
ISSN : 0852 - 1557
Marginalisasi terhadap kaum perempuan antara lain bersumber dari adat istiadat dan kebiasaan, dan dapat juga bersumber dari kebijakan pemerintah dan keyakinan. Menurut catatan seiarah, di Pulau Jawa sudah sejak berabad-abad perempuan hanyya difimgsikan sebagai reproduksi dan pemuas nafsu seksual, serta dianggap sebagai pelengkap keberadaan laki-laki. Anggapan ini memunculkan diskriminasi antara laki-laki dan perempuan terutama dalam bidang pendidikan dan kepemimpinan. Ini berakibat kaum perempuan sangat terbatas pengembangan intelektualitasnya. Muncul istilah konco wingking atau teman di belakang, macak-masak Ian manak (bersolek, memasak dan beranak). Pada abad 20, terutama setelah Indonesia merdeka, terjadi peruhahan terhadap peran perempuan yang didukung oleh pemerintah. Kaum perempuan berhasil mengenyam pendidikan dan bekerja di luar rumah. Namun kesempatan ini hanya dapat dinikmati oleh golongan menengah ke atas, sementara golongan bawah, terutama di pedesaan dan kelompok marginal, masih terbatas gerak aktivitasnya karena lembaga pendidikan yang diharapkan sebagai media perubahan bagi kaum perempuan masih dirasakan mahal. Kebijakan pemerintah, apalagi pada era otonomi daerah saat ini, menuntut partisipasi masyarakat, terutama orang tua, dalam membiayai penyelenggaraan pendidikan. Kondisi ini bertambah parah karena masih ada ungkapan di masyarakat bahwa perempuan tidak usah sekolah tinggitinggi karena pada akhirnya hanya ke dapur dan melayani suami, atau aktivitas perempuan hanya seputar sumur-dapur dan kasur, maka kebutuhan pendidikan bagi anak-anak perempuanpun akhirnya tetap terabaikan. Marginalisasi juga terjadi akibat adanya diskriminasi terhadap pembagian kerja menurut gender. Ada jenis pekerjaan tertentu yang dianggap cocok untuk perempuan karena perempuan dianggap tekun, sabar dan rumah. Jenis pekerjaan yang cocok bagi mereka antara lain : sekretaris, perawat/suster, pramugari, kasir, guru TK atau penerima tamu. Persoalannya semakin rumit ketika pekerjaan-pekerjaan yang dianggap feminin selalu dinilai rendah bila dibandingkan dengan pekerjan-pekerjaan yang dianggap maskulin (Muthali'in, 2001:34). Keadaan ini menyulitkan bagi perempuan yang berpendidikan rendah. Mereka sulit mencari pilihan karena lapangan kerja dengan bekal pendidikan ala kadarnya amat terbatas, palingpaling menjadi pembantu rumah tangga atau pelayan warung makan. Untuk pelayan rumah makan besarpun seringkali "diambil alih" oleh laki-laki. Sementara untuk melakukan pekerjaan yang biasa dilakukan oleh laki-laki, misalnya meniadi kenek, supir, peker ja bangunan, masih dianggap tidak layak oleh masyarakat pada umumnya. Subordinansi perempuan menunjukkan bahwa kedudukan perempuan , khususnya dalam rumah tangga, tersubordinasi dalam bayang-bayang kekuasan suaminya/laki-laki. Ia tidak mampu mempunyai hak untuk mengatur dirinya, kecuali dikehendaki oleh suaminya (Muthali'in, 2001:37). Pemberitaan media massa juga sangat kental dengan subordinasi perempuan (Ibrahim dan Suranto, 1998). Dapat ditemukan dengan mudah media cetak, baik yang bersifat umum maupun khusus, mempertontonkan erotisme yang vulgar, tidak segan menarnpangkan keseksian tubuh perempuan dengan pose merangsang, menebarkan mimpimimpi dan gaya hidup perempuan perkotaan, serta sederet lain pemberitaan sejenis. Pemberitaan tersebut menegaskan subordinasi perempuan di bawah kekuasaan budaya patriarkhi. Aura seksualitas perempuan diperdagangkan untuk kepentingan ekonomi politik Majalah Ilmiah Kependidikan FKIP UNINUS
Literat Nomor 17 Tahun 2004
ISSN : 0852 - 1557
laki-laki. Eksistensi perempuan oleh budaya patriarkhi diukur dari kecantikan, kemampuankemampunnya yang lain yang lebih esensial sepertinya dipinggirkan. Subordinasi perempuan dalam hukum juga nampak dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUIIP) pasal 506 yang berbunyi : Barang siapa menarik keuntungan dari perbuatan cahul seorang wanita dan menjadikannya sebagai mata pencaharian, diancam dengan kurungan paling lama satu tahun. Pasal ini hanya menempatkan perempuan sebagai obyek pelacuran, dan tidak menempatkan laki-laki yang menjadi gigolo sebagai pelacur. Padahal keberadaan gigolo sudah bukan rahasia lagi. Stereotipe secara umum diartikan sebagai pelabelan atau penandaan pada suatu kelompok tertentu yang dapat menimbulkan ketidakadilan. Salah satu stereotipe yang memojokkan perempuan adalah perempuan bersolek adalah dalam rangka memancing perhatian lawan jenisnya (Fagih, 1996 : 16). Maka setiap ada kasus kekerasan atau pelecehan seksual selalu dikaitkan dengan stereotipe ini. 13ahkan jika ada pemerkosaan yang dialami perempuan, mayarakat berkecenderungan menyalahkan korbannya, karena dialah yang men jadi penyebab pertama terjadinya pemerkosaan. Stereotipe lainnya adalah perempuan berfungsi sebagai ibu rumah tangga dan melayani suami. Pelabelan ini menghambat pendidikan kaum perempuan karena walaupun sekolah tinggi-tinggi, tetap akan berada di rumah menjadi ibu rumah tangga dan melayani suami. Kasus yang lebih parah lagi adalah pelabelan perempuan sebagai mahluk yang harus suci, bersih tanpa noda, sehingga keperawanan dianggap hat yang mutlak harus ada pada seorang perempuan. Ketika malam pertama perkawinan diketahui keperawanan sudah tiada lagi, maka situasi muram akan menyelimuti perkawinan itu dan sang perempuan menjadi bahan pergunjingan. Semetara itu, keperjakaan seorang laki-laki hampir tidak pernah menjadi bahan pergunjingan. Dampaknya sangat merugikan kaum perempuan, karena memunculkan anggapan bahwa jika perempuan sudah tidak perawan lagi maka sudah tidak ada harganya di mata masyarakat khususnya kaum laki-laki. Dalam keputusasannya serta untuk menutupi aib tersebut, mereka melarikan diri dari kenyataan dan akhirnya tidak jarang yang terdampar dalam dunia prostitusi yang dianggap sebagai tempat yang mampu menerima keadaan dirinya. Stereotipe lain yang tidak kalah menariknya adalah ketika laki-laki diberi label sebagai pencari nafkah keluarga. Stereotipe ini menyebabkan apa yang dihasilkan oleb perempuan hanya sebagai sambilan atau tambahan dalam memenuhi kebutuhan keluarganya, meskipun tidak jarang penghasilan perempuan/isteri lebih tinggi dari laki-laki. Kondisi-kondisi yang banyak memunculkan ketidakadilan bagi kaum perempuan inilah yang selama ini mendasari pola asuh orang tua terhadap anak perempuan. Unt uk memperkuatnya tidak jarang dimunculkan mithos-mithos yang diyakini sebagai sesuatu yang kebenarannya tidak dapat diganggu gugat. Kondisi-kondisi mil juga terwujud dalam gaya hidup yang memang diciptakan oleh kaum laki-laki untuk kepentingan industri .
Majalah Ilmiah Kependidikan FKIP UNINUS
Literat Nomor 17 Tahun 2004
ISSN : 0852 - 1557
2. Pola Pengasuhan Anak Pola pengasuhan anak dalam keluarga erat kaitannya dengan penerapan fungsi-fungsi keluarga, antara lain seperti fungsi edukasi, fungsi sosialisasi, fungsi perlindungan, fimgsi afeksi maupun fungsi ekonomi. Pengukuhan atau pengabaian fungsi-fimgsi ini akan berpengaruh terhadap pelaksanaan perananperanan keluarga secara kesatuan maupun secara individual oleh masing-masing anggota keluarga yang bersangkutan. Hal ini memberi pengaruh terhadap situasi atau suasana kehidupan keluarga yang akan melahirkan iklim tertentu dalam keluarga yang pada. gilirannya merupakan kondisi bagi lahirnya tingkah laku orang-orang dalam keluarga tersebut. Fungsi-fungsi serta pelaksanaannya itu dipengaruhi pula oleh kebudayaan di lingkungannya serta intensitas keikut sertaan keluarga dalam kebudayaan di lingkungannya itu. Di samping itu juga tidak terlepas dari keyakinan, pandangan hidup serta sistem nilai yang menjadi acuan keluarga. lni berarti pengaruh marginalisasi, subordinasi dan stereotipe perempuan dapat muncul dalam pelaksanaan fungsi-fungsi keluarga. Oleh karena itu dapat dipahami bila situasi atau suasana kehidupan keluarga akan berdampak terhadap perkembangan anak yang sedang dalam masa pembekalan din' bagi kehidupannya kelak melalui penghayatannya terhadap situasi yang terjadi di sekelilingnya. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa pola pengasuhan anak dalam keluarga dapat memberikan kontribusi terhadap keberhasilan seorang anak, namun dapat pula memberikan kontribusi bagi lahirnya anak-anak yang dilacurkan. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa ketidak mampuan keluarga untuk melaksanakan berbagai fungsi keluarga, terutama fimgsi perlindungan dan fungsi afeksi yang kemudian diikuti dengan fungsi edukasi dan sosialisasi, menyebabkan seorang anak memasuki dunia prostitusi. Menurut Soelaeman (1994:92) fungsi perlindungan atau fungsi proteksi dari keluarga yaitu melindungi anak dari tindakan-tindakan yang tidak baik dan dari hidup yang menyimpang dan norma dengan maksud agar anak merasa aman Selanjutnya dikatakan bahwa nilai suatu lindungan yang diberikan tidak saja dilihat dari sudut lindungannya sendiri (dalam bentuk apa lindungan yang diberikan itu), materi dan kuantitas serta frekuensinya, melankan lebih-lebih tergantung pada iklim perasaan yang menyertai pemberian lindungan itu, kesungguhan pemberian lindungan tersebut dan penenimaan atau persepsi terhadap lindungan itu oleh pihak yang dilindunginya. Suatu lindungan yng dipaksakan pelindung, tanpa difahami maknanya oleh yang dihndungi atau lnldungan yang tanpa diharapkannya, tidak akan dirasakan sebagai lindungan, melainkan mungkin diterima sebagai tekanan yang didesakkan dan luar terhadap dirinya. Fungsi ini menjadi tidak efektif ketika terjadi ketegangan-ketegangan dalam keluarga, kemudian diusul dengan disorganisasi keluarga yang meliputi berbagai kelemahan, ketidak sesuaian atau putusnya jalinan ikatan anggota-anggotanya dari kelompok bersama. Khairuddin (1997:115) mengungkapkan , bahwa disorganisasi keluarga dapat terjadi tidak hanya karena ketegangan-ketegangan antara suami dan isteri, tetapi juga antar orang tua dan anakanak serta antara saudara kandung. Ketegangan-ketegangan orang tua-anak sering Majalah Ilmiah Kependidikan FKIP UNINUS
Literat Nomor 17 Tahun 2004
ISSN : 0852 - 1557
memperlihatkan masalah-masalah penyesuaian yang serius, yang dapat mengakibatkan kesulitan-kesulitan bagi individu selama-lamanya. Angsana (1999) mengungkapkan bahwa memang suasana ketidak harmonis dalam keluarga menjadi salah satu faktor penyebab remaja menjadi pelacur. Banyak orang tua yang gagal dalam memberikan pendidikan dan teladan yang diharapkan. Bahkan karena kesibukannya, orang tua seringkali tidak mempunyai waktu untuk mengenal lebih dekat apa yang sehari-hari dilakukan anaknya. Mereka lalu merasa seolah-olah tidak bisa mengikuti irama hidup anaknya, sehingga kontrol terhadap anaknyapun menjadi lemah. Penelitian Jones et al.,(1994) menunjukkan bahwa penyebab anak lari dari rumah hmgga terlibat di dunia pelacuran sesungguhnya bukan sekedar faktor kemiskinan yang membelenggu, tetapi juga faktor-faktor lain seperti kurangnya perhatian orang tua. Hasil penelitian Hull,dkk. (1997:19) menunjukkan bahwa salah satu faktor non ekonomi yang mendorong para wanita muda masuk ke dunia prostitusi pada masa itu karena tingginya angka tingkat perceraian terutama di kalangan keluarga Jawa. Penelitian Suyanto,dkk. (1997:46) di obvek wisata Baturaden menunjukkan 78,37% pekerja seksual komersial berasal dari keluarga broken home. Penelitian La Poma (1998:32) di Irian Jaya menunjukkan bahwa perpecahan keluarga menyebabkan perpisahan anak dari orang tua. Anak menjadi terlantar, menjadi anak jalanan, yang pada akhirnya memudahkan si anak melakukan perilaku seksual yang tidak sehat. Penelitian yang dilakukan Yayasan Kakak di Kota Solo (2002:34) menunjukkan bahwa sebagian besar Anak yang dilacurkan berasal dari keluarga yang tidak harmonis (broken home). Ada anak yang kedua orang tuanya bercerai. Ada yang hanus tinggal dengan ibu tiri sementara sang ayah belum resmi bercerai dengan ibu kandungnya. Ada yang ditinggal pergi oleh ayah dan ibunya begitu saja baik karena sekedar berselingkuh atau bahkan menikah lagi. Suasana rumah tangga tidak hannonis rupanya telah menjadi faktor pendorong bagi anak untuk terjun ke dunia pelacuran. Biasanya pada mulanya mereka hanya sekedar keluar malam dan nongkrong di suatu tempat untuk melepaskan diri dari kesuntukan akibat suasana keluarga yang tidak menyenangkan. Di tempat itu bertemu dengan rekan-rekan senasib sepenanggungan. Merasa ada kesamaan nasib timbul kedekatan. Karakter mereka yang masih labil membuat mereka sangat mudah terpengaruh untuk terjun ke dunia pelacuran. Dari beberapa basil penelitian ini tergambar bahwa kelemahan dalam melaksanakan fungsi perlindungan keluarga dan fungsi afeksi berdampak terhadap penerapan fungsi edukasi dan sosialisasi, karena dalam suasana keluarga yang kurang bahkan tidak harmonis dan sudah tercerai berai sangat sulit bagi seorang ibu atau seorang ayah untuk melakukan pembinaan terhadap anak-anaknya serta membantu mempersiapkan mereka agar menjadi anggota masyarakat yang baik. Sementara itu perkembangan anak tidak bisa dihwda. Pada usia pubertas , saat sedang mencani jati diri, mereka masih membutuhkan orang-orang yang dapat memberikan rasa aman bagi dirinya dalam mengarungi kehidupan. Selanjutnya, beberapa basil penelitian berikut ini menunjukkan bahwa pelaksanaan fungsi ekonomi yang dipengaruhi oleh sistem nilai budaya di lingkungannya, juga dapat Majalah Ilmiah Kependidikan FKIP UNINUS
Literat Nomor 17 Tahun 2004
ISSN : 0852 - 1557
memberikan kontribusi terhadap lahirnya Anak yang Dilacurkan. ini terjadi terutama pada masyarakat yang masih kental memegang tradisi yang sarat dengan bias gender, seperti tampak pada sebagian masyarakat Indramayu. Saat ini masih berkembang ungkapan pada sebagian masyarakat Indramayu bahwa anak laki-laki nrerupakan kebanggaan keluarga, sedangkan anak perempuan merupakan sumher rejeki. Ungkapan mil menjadi buk-ti bahwa sebagian masyarakat Indramayu masih membedakan nilai anak laki-laki dengan anak perempuan. Penelitian Singarimbun, dkk. (1977) menunjukkan bahwa nilai instnunental anak memperoleh perhatan yang cukup kuat baik dalam masyarakat Jawa maupun Sunda, terutama dalam memberikan jaminan di hari tua. DI antara kedua komunitas tersebut tidak terdapat perbedaan yang menyolok terhadap preferensi jenis kelamin anak. Anak laki-laki lebih dihargai dari anak perempuan karena masalah kepedulian orang tua mengenal halhal yang berhubungan dengan nama baik keluarga. Anak perempuan sangat dihargai karena kemampuan mereka membantu di iumah. Selanjutnya Singarimbun menyatakan bahwa jika keadaan ekonomi keluarga menjadi sangat memprihatinkan, maka orang tua akan memandang anak-anak mereka sebagai beban, khususnya untuk perawatan kesehatan dan sekolah. Dalam keadaan seperti ini, maka anak perempuan, apalagi dari kecil sudah kelihatan cantik, akan memberikan harapan besar bahwa kemiskinan keluarga akan segera berakhir jika mereka sudah besar. Kecantikan anak perempuan dijadikan modal untuk mencari rejeki. Dalam kasus seperti ini tampak perempuantersubordinasi oleh fungsi ekonomis kehrarga yang meliputi pencarian nafkah, perencanan, pembelanjaan dan pemanfataannya. Pada dasarnya orang tualah yang bertanggung jawab mencari nafkah, namun dalam keadaan kondisi ekonomi lemah, anak dianggap sebagai beban hidup daripada pembawa kebahagiaan keluarga, dan anak perempuanlah yang menjadi sasarannya. Berbagai penelitian tentang pekerja anak menunjukkan bahwa anak perempuan mempunyai nilai tambah karena sejak kecil sudah dapat diandalkan untuk menjadi pengganti orang tua di rumah, baik mengurus, adik-adiknya maupun mengganti ibu dalam membantu membereskan keperluan rumah tangga (White & Tjandraningsih, 1990, Irwanto, dkk.,1995, Dalyo,dkk.,1996). Selain itu mereka dipandang lebih penurut dari anak laki-laki sehingga seorang ibu yang bekerja dan membutuhkan bantuan, khususnya dalam pekerjaan manual borongan, maka anak perempuan memperoleh pnioritas yang lebih tinggi (Oey-Gardiner, 1997). 3. Tradisi Keterikatan masyarakat pada tradisi seringkali dikaitkan dengan dampak negatif bagi masyarakat itu sendiri, walaupun seringkali mereka tidak merasakan dampak itu negatif. Misalnya, terdapat beberapa tradisi masyarakat yang dapat mendorong seorang perempuan ke dunia pelacuran. Hasil penelitian (Jones et.al, 1994; O'Grady, 1994 dan Muntarbhom, 1996) menunjukkan bahwa kalau mau obyektif penyebab anak lari dari rumah hingga terlibat di dunia pelacuran sesungguhnya bukan sekadar faktor kemiskinan yang membelenggu, tetapi juga faktor lain, diantaranya beberapa kepercayaan tradisional. Di indramayu yang dikenal dengan tradisi kawin muda, keadaan seperti ini sering terjadi. Pada awalnya, anak dikawinkan pada usia muda karena malu bila tidak laku sehingga harus cepat-cepat dinikahkan. Seringkali orang tua campur tangan memilih calon suaminya, dan Majalah Ilmiah Kependidikan FKIP UNINUS
Literat Nomor 17 Tahun 2004
ISSN : 0852 - 1557
seringkali dalam waktu singkat terjadi perceraian bila perkawinan itu dianggap kurang menyenangkan. Perceraian ditolerir oleh masyarakat lingkungan, bahkan pada sebagian masyarakat, orang tua bangga anaknya sering kawin-cerai. Studi yang dilakukan Wibowo, dkk. (1989) di Indramayu menunjukkan bahwa dari 50 orang responden, 44 orang diantaranya pernah mengalami perceraian. Faktor sosial budaya yang sering dikatakan responden antara lain perkawinan pada usia sangat muda, orang tua yang memilillkan calon suami, perceraian mudah dilakukan dan ditolerir masyarakat, bahkan orang tua bangga anaknya kawin-cerai berkali-kali karena itu memperlihatkan anaknya disukai laki-laki. Namun, secara statistik angka perceraian tersebut tidak tampak dalam setiap laporan yang dikeluarkan Kantor Departemen Agama Kabupaten Tndramayu. Seperti yang terjadi di Kecamatan Arahan dan Karangampel. Di Kantor Urusan Agama Kecamatan Arahan menurut data pada tahun 2002 tercatat angka pernikahan sebesar 916 orang dan angka perceraian sebanyak 52 orang. Sedangkan di Kantor Urusan Agama Kecamatan Karangampel, angka pernikahan sebesar 1136 orang dan angka perceraian sebesar 209 orang. Pada kenyataannya banyak kasus perceraian yang tidak melalui Pengadilan Agama. Hal ini tampak dari sejumlah pengakuan tentang adanya surat cerai yang dimiliki masyarakat yang bukan dikeluarkan oleh pengadilan agama. Setelah bercerai, sebagian dari mereka harus membiayai hidupnya sendiri. Untuk membiayai hidupnya setelab bercerai, apalagi bila mereka harus memelihara anak dari hasil perkawinannya itu, banyak di antara mereka yang lari ke dunia pelacuran karena tidak memiliki keterampilan lain imtuk bekerja. Dalam kasus ini tampak perceraian menjadi sema.cam tiket bagi anak-anak yang kawin pada usia muda untuk memasuki dunia prostitusi. Ini tampak pula pada tulisan Her Suganda (Kompas, 16 September 1979) yang mencatat bahwa perempuan dari Gabus Wetan yang masuk ke dunia prostitusi adalah perempuan muda, bercerai dan tidak berpendidikan. Masuknya mereka ke dunia pelacuran tidak dianggap hal yang luar biasa karena menurut studi yang dilakukan Wibowo, dkk (1989) di Indramayu menunjukkan bahwa orang-orang tidak merasa ada hambatan sosial dan bahkan orang tua seringkali tidak keberatan anaknya bekerja sebagai seorang pelacur. Di beberapa desa di Pati atau Indramayu, misalnya pelacuran bahkan sudah dilihat sebagai peker jaan biasa. Banyak ibu-ibu dan gadis-gadis tanpa canggung mengaku secara terus terang bekerja sebagai pelacur dan memperoleh penghasilan dari basil melacur (Irwanto, dkk.,1998). Tradisi lainnya lagi yaitu sikap materialistis di kalangan warga masyarakat lndramayu, sehingga terdapat kepuasan manakala mereka dapat memperlihatkan kepada orang lain mampu memberi sawer yang banyak kepada para penari ronggeng atau penyanyi, atau pada saat mereka mampu mengadakan pesta besar. Semakin besar pesta, semakin banyak hiburan yang disewa, makin meningkat kelas sosial mereka dalam masyarakat.
Majalah Ilmiah Kependidikan FKIP UNINUS
Literat Nomor 17 Tahun 2004
ISSN : 0852 - 1557
Studi Wibowo, dkk. (1989) menunjukkan cara hidup boros dan suatu kecenderungan untuk memperlihatkan status melahu pengadaan upacara dengan biaya mahal melehihi kemampuannya ini mendorong suatu perilaku toleran ke arah cara mencari uang untuk menutupi berbagai biaya, termasuk melalui pelacuran. Tradisi yang mempertemukan anak-anak muda untuk mencari jodoh, di suatu tempat, pada malam hari yang bebas dari kontrol sosial dan kontrol orang tua, dapat menjurus pada hal-hal yang tidak diinginkan bila standar moral yang dianut amat rentan terhadap penyimpangan. Kondisi ini juga sering dimanfaatkan pelacur untuk mencari pelanggan, sehingga pertemuan untuk mencari jodoh bercampur baur dengan transaksi seksual. 4. Mitos Ada semacam kepercayaan di kalangan lelaki iseng tentang keperawanan seorang gadis belia, yaitu keperawanan bisa membuat orang awet muda dan semakin jantan (Maria Hartiningsih, Kompas, 10 Juli 1997). Para lelaki iseng tidak berkeberatan membayar berapapun untuk itu. Kepercayaan ini mendorong para mucikari untuk berebut mencari "bibit-bibit" barn dari desa, terdiri dari perempuan yang masih lugu, dan kemudian dimasukkan ke dalam jaringan prostitusi yang sebelumnya sama sekali tidak pernah mereka bayangkan. Para pelacur belia ini merupakan aset berharga bagi para mucikari atau germo karena bisa mendatangkan keuntungan besar bagi wismanya. Mereka biasanya sangat disayang agar tidak pindah ke tempat lain. Menurut Suyanto dan Hariadi (2002 : 62) bagi para mucikari ada beberapa point kelebihan yang dimiliki oleh pelacur belia, di antaranya : pelacur belia relatif disukai para tamu, punya prospek lebih lama untuk dipekerjakan sebelum usia 30 -an tahun, dan bisa mengangkat citra wisma menjadi semakin terkenal. Maria Hartiningsing (Kompas, 10 Juli 1997) mengemukakan, di samping itu, banyak konsumen juga merasa lebih aman bermain seks dengan anak-anak kecil karena anak-anak dianggap masih bersih dan tidak mempunyai kemumgkinan menularkan virus HIV kepada pelanggan. Kepercayaan lainnya menyangkut pandangan tentang seksualitas yang cenderung menekankan arti penting keperawanan sehingga tidak memberi kesempatan bagi perempuan yang sudah tidak perawan, kecuali masuk ke dalam peran yang diciptakan untuk mereka (Saptari, 1997:392). Dari beberapa hasil penelitian ini tampak bahwa perempuan, terutama anak-anak, sudah benar-benar tersubordinasi oleh kebutuhan laki-laki . Mereka dieksploitasi habis-habisan hanya untuk mempertegas keperkasaan lakilaki. Menurut Rowbothan (1973), di luar muatan ekonomi yang ada, pelacuran sesungguhnya adalah ekspresi dari hegemoni kultural pria atas kaum perempuan (Truong, 1992:7). Keadaan ini mendorong semakin berkembangnya penggunaan jasa anak dalam dunia prostitusi. Menurut catatan Redaksi Surabaya Post (5 April 2000), saat ini jurnlah anak perempuan yang dilacurkan telah mencapai 40 - 70 ribu. Keberadaan mereka bukan hanya di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan atau Surabaya saja, melainkan Majalah Ilmiah Kependidikan FKIP UNINUS
Literat Nomor 17 Tahun 2004
ISSN : 0852 - 1557
sudah menyebar ke seluruh wilayah Nusantara. Catatan resrni tentang keberadaan mereka jarang ditemukan karena banyak diantaranya yang menggunakan u mu palsu agar bisa memiliki Kartu Tanda Penduduk (KIT). Bagi mereka KTP merupakan barang yang sangat berharga karena dapat menyela- matkan din mereka ketika diadakan razia terhadap para Pekerja Seks Komersial. 5. Gaya Hidup Penyebab seorang anak masuk ke dunia pelacuran antara lain juga karena gaya hidup yang setiap saat dilihat dan didengar dari lingkungannya. Anak yang sedang dalam masa pubertas, sedang berada di persimpangan dengan emosi yang masih labil, dihadapkan setiap saat pada berbagai informasi yang penuh dengan kesenangan, kemewahan dan kebebasan. Apalagi bila ditambah dengan faktor-faktor lainnya, seperti ketidak harmonisan keluarga, kurangnya perhatian dan kontrol orang tua, maka bukan tidak mungkin bila mereka pada akhirnya akan terpengaruh. Pengaruh ini tidak akan menjadi masalah bila kondisi sosial ekonomi mereka turut mendukung. Namun, bila latar belakang ekonomi keluarga sangat paspasan, maka tidak mungkin mereka dapat berhurahura seperti anak-anak yang berkecukupan. Akibatnya mereka mencari jalan pintas untuk memperoleh uang banyak dalam waktu singkat. Kasus-kasus sepertt ini lebih sering teriadi pada anak-anak yang berada di perkotaan. Basil wawancara Angsana (1999) dengan pelacur remaja di Surabaya menunjukkan bahwa faktor sosiologis yang menjadi penyebab seseorang menjadi pelacur adalah pengaruh pergaulan (8 %) dan mengikuti gaya hidup (4 %). Gaya hidup yang berkembang di kalangan remaja perkotaan saat ini, yang dapat mendorong anak memasuki dunia pelacuran antara lain : konsumerisme, penggunaan narkoba dan pengalaman sex dini. Konsumerisme tumbuh karena di sekeliling mereka setiap saat, melalui berbagai media, ditawarkan berbagai barang konsumtif yang harganya relatif kurang terjangkau untuk golongan ekonomi lemah. Menurut Jones et a1.(1994), O'Grady (1994) dan Muntarbhorn (1996) mengungkapkan bahwa pelacuran sesungguhnya buka sekadar faktor kemiskinan yang membelenggu, tetapi juga faktor-faktor lain, antara lain seperti kehidupan urban yang konsumtif serta berbagai bentuk eksploitasi anak. Penggunaan narkoba diawali dengan cobacoba untuk iseng atau untuk mengatasi kekecewaan, akhirnya berubah menjadi ketagihan. Hasil penelitian Yayasan Kakak (2002 :50) di Surakarta menunjukkan bahwa sebagian Anak yang Dilacurkan telah menggunakan miras (minuman keras) dan narkoba sebelum terjun menjadi PSK. Sebagian dari mereka mengenal miras maupun narkoba sejak kecil karena orang tua mereka sendiri adalah pengguna. Sebagian lagi memperoleh miras dan narkoba dari teman-temannya yang memiliki persediaan. Setelah mengenal miras clan narkoba, mereka bisa merasakan bahwa keduanya bisa membantu mereka untuk sementara melupakan tekanan-tekanan yang menghimpit. Akhiya mereka menjadi ketagihan .
Majalah Ilmiah Kependidikan FKIP UNINUS
Literat Nomor 17 Tahun 2004
ISSN : 0852 - 1557
Untuk memenuhi hasrat konsumtif dan penggunaan narkoba diperlukan dana yang tidak sedikit dan ini tidak dapat dipenuhi oleh mereka yang berlatar belakang ekonomi paspasan atau bahkan lemah. Akibatnya dicari jalan pintas untuk memperoleh uang sebanyak mungkin dalam waktu relatif singkat. Pelacuran menjadi pilihan karena memiliki kriteria dapat mengumpulkan uang banyak dalam waktu relatif singkat. Pengalaman sex sejak dini dilakukan remaja karena penganth video porno atau majalah yang dengan mudah dan murah dapat diperoleh di sekeliling mereka. Pengetahuan yang mereka peroleh dicobakan pada teman dekat atau pacar. Namun, ternyata hilangnya keperawanan menyebabkan mereka kehilangan harga din dan lari ke tempat yang sepadan dengan keadaan dirinya. Hasil penelitian Yayasan Kakak (2002:40) terhadap 50 orang anak yang dilacurkan di Surakarta, menyebutkan bahwa 37 orang di antara mereka telah mengalami pengalaman sexual usia dini, yakni saat usia mereka 12 tahun hingga 17 tahun. Bahkan satu orang diantaranya mengalami saat berusia lima tahun akibat perkosaan yang dilakukan kerabatnya sendiri. Sebanyak 70 % dilakukan dengan pacar dan 10 % dilakukan dengan teman. Bila dikaitkan dengan hasil penelitian Alam (1984:19) yang menunjukkan sejumlah faktor psikologis tertentu memainkan peranan penting yang menyebabkan seorang wanita menjadi pelacur, maka kasus-kasus di atas merupakan perwujudan faktor psikologis tersebut. Alam menyebutkan bahwa faktor psikologis tersebut adalah : (1) IQ rendah ; (2) kehidupan seksual yang abnormal; (3) kepribadian yang lemah; (4) moralitas rendah dan kurang berkembang, misalnya kurang dapat membedakan balk dan buruk, benar dan salah, boleh dan tidak boleh dan hal-hal lain; (5) mudah terpengaruh dan (6) memiliki motif kemewahan, yakni menjadikan kemewahan sebagai tujuan utama. Kasus-kasus di atas tampaknya lebih didominasi aspek kepribadian yang lemah, moralitas rendah, mudah terpengaruh dan memiliki motif kemewahan. Aspek-aspek ini diperkuat dengan ketidak harmonisan keluarga yang cenderung mengabaikan pengaruh psikologis dari ketidak harmonisan itu terhadap perkembangan anak. 6. Urbanisasi Dari beberapa referensi yang berkaitan dengan pelacuran di perkotaan, tampak bahwa para pelacur lebili banyak yang berasal dari luar kota. Pada umunmya mereka datang untuk mengadu nasib agar memperoleh kehidupan yang lebih baik. Kedatangannya ke kota pun bisa dengan cara beragam, mungkin karena termotivasi oleh ceritera teman atau tetangganya yang telah lebih dahulu pergi ke kota, mungkin karena pengaruh media massa yang sering mengetengahkan gemerlapnya kota, mungkin karena bujuk rayu calo tempat bordil, dan bukan tidak mungkin atas dorongan keluarga. Namun, kenyatan yang dihadapi adalah menumpuknya tenaga kerja perempuan di perkotaan karena kesempatan kerja terbatas. Timbul persaingan yang ketat di antara pendatang dan penduduk setempat atau di antara pendatang dengan pendatang menyebabkan semakin sulitnya menperoleh pekerjaan. Apalagi ditambah dengan latar belakang pendidikan rendah dan tidak memiliki keterampilan yang dapat digunakan untuk bersaing di pasar kerja serta belum memiliki pengalaman kerja, akan sangat sulit untuk mencari pekerjaan. Bagi sebagian yang tidak tahan godaan, sementara Majalah Ilmiah Kependidikan FKIP UNINUS
Literat Nomor 17 Tahun 2004
ISSN : 0852 - 1557
untuk pulang kampung juga merasa malu, maka agar dapat bertahan hidup mereka mau meaakukan apa saja termasuk menjadi pelacur. Penelitian di Jayapura terhadap pelacur jalanan menunjukkan bahwa 54 % memilih menjadi pelacur jalanan karena sulitnya memperoleh pekerjaan dan pendapatan (La Poma,1998:29). Lim, L.L (1998:51) mengungkapkan tentang tingginya jumlah pelacur yang tercatat di Jawa Timur, Jakarta, Jawa Tengah dan Sumatera Selatan serta juga Jawa Barat dan Kalimantan Timur. Gambaran in] dihubungkan dengan tingginya tingkat migrasi ruralurban perempuan di Jawa dan tidak ada peluang pekerjaan alternatif hagi orang-orang yang tidak mempunyai keterampilan di wilayah perkotaan besar, kecuali gengsi mereka rendah dan memberi layanan domestik dengan pembayaran yang rendah. Hull, dkk (1997:19) lebih mempertegas lagi, bahwa pekerjaan di industri sex kerapkali lebih menarik kaum migran wanita karena pendapatan yang mereka peroleh dapat mencapai lima sampai sepuluh lipat kali pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga. Hasil penelitian tersebut menekankan bahwa keinginan untuk memperbaiki kehidupan dengan cara pindah dari desa ke kota, atau lajim disebut urbanisasi, pada akhirnya dapat menjebak perempuan yang tidak memiliki keterampilan apapun untuk memasuki dunia pelacuran. Memang sebagian di antaranya ada yang sudah mengetahui sejak awal bahwa mereka akan dipekerjakan di rumah pelacuran, namtm banyak juga yang memasuki dunia pelacuran karena tertipu akan dipekerjakan di satu tempat, misalnya sebagai pelayan restoran dengan gaji besar. Bintarto (1983 : 33) mengungkapkan bahwa ini disebabkan karena adanya daya dorong dari desa seperti, rendahnya penghasilan per kapita, pengangguran baik yang nyata ada mattptm yang tersembunyi, kurangnya atau tidak adanya kepemilikan tanah. Selain itu juga adanya daya taiik kola, seperti kesempatan kerja dengan upah yang menarik, daya bell penduduk, kesempatan bersekolah atau kesempatan mengikuti kursus-kursus keterampilan di bidang teknik ataupun di bidang administrasi. Kota dapat diinanfatkan untuk berwiraswasta atau penawaran jasa lainnva.
C. Simpulan Hasil kajian dan penelitian yang telah dilakukan para pengamat, pakar, dan peneliti di atas menggambarkan realitas bahwa betapa ekspolitasi anak pada dimia prostitusi bukanlah persoalan sederhana. Persoalan ini inerupakan akibat darj kondisi sosial-ekonomi bahkan sosial-budaya yang kompleksitas persoalannya bisa dilihat jika dipandang dari sudut pandang yang lebih luas, tidak hanya dan sisi protitusi itu sendiri. Pandangan masyarakat yang tidak adil terhadap perempuan, pola pengasuhan anak, tradisi kawin muda dibeberapa daerah, mitos tentang cara awet muda, gaya hidup, dan urbanisasi merupakan enam faktor yang terditeksi memberikan kontribusi besar terhadap terwujudnya persoalan eksploitasi anak di dunia prostitusi. Jika diyakini kondisinya seperti Majalah Ilmiah Kependidikan FKIP UNINUS
Literat Nomor 17 Tahun 2004
ISSN : 0852 - 1557
itu, maka solusi terhadap persoalan ini hants didekati secara sungguhsungguh dari berbagai aspek dan lini.
DAFTAR PUSTAKA La Poma, 1998, Pekerja Seks Jalanan, Potensi Penularan Seksual, Yogyakarta, Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gajah Mada. Bintarto, 1983, Urbanisasi dan Permasalahannya, Jakarta : Ghalia Indonesia. Suyanto, Edi, dkk., 1997, Pelembagaan Penggunaan Kondom Di Kalangan Pramunikmat, Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gajah Mada. Suyanto, Bagong, 1999, Anak-Anak Wanita yang Dilacurkan, Hakiki, Surabaya: Lembaga Perlindungan Anak Jawa Timur. Mujiran. Paulus, 2002, Pernik-Pernik Pendidikan, Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Gilbert dan Reinda Lumoindong, 1996, Pelacuran di Batik Seragam Sekolah, Yogyakarta: Yayasan Andi. Soelaiman,M.1. 1994, Pendidikan dalam Keluarga, Bandung : Alfabeta. Sutanto, Bagong dan Sri Sanituti Hariadi, 2002, Krisis &: Chiid Abuse, Surabaya: Airlangga University Press. Muthali' in, Achmad, 2001. Bias Gender dalam Pendidikan, Surakarta: Muhanunadivah Universirty Press. Koentjaraningrat, 1987. Kebudayaan, Mentariras dan Pembangunan, Jakarta : PT Gramedia. Khairuddin, 1997, Sosiologi Keluarga, Yogyakarta: Liberty. Fakih, Mansour, 1996, Analisis Gender & Transforrnasi Sosial, Yogyakarta:Pustaka Pelajar Offset. Abdulah, Invan, 2003, ,Sangkan Paran Gender, Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan. Suyanto, Bagong, dkk.,2001, Child Abuse dan Anak yang berkonflik dengan Hukum, Surabaya Lutfansah Mediatama. Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Indramayu, 2002, Indramayu Dalam Angka 2001, Indramayu Badan Pusat Statistik Kabupaten Indramayu. Tim Yayasan Kakak, 2002, Anak-Anak yang dilacurkan Masa Depan yang Tercampakkan, Yogyakarta:Pustaka Pelajar. Wibowo, S,,dkk., 1989, Penelitian Deskriprif Mengenai Sebab-Sebab Kota Indramayu sebagai Produsen Utama Wanita Tuna Susila (Descriptif Studym of the reason why Majalah Ilmiah Kependidikan FKIP UNINUS
Literat Nomor 17 Tahun 2004
ISSN : 0852 - 1557
Indramayu is prominent source of prostitutes), Jakarta:Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan, Lembaga Penelitian, Universitas Indonesia
*) Penulis adalah Ketua Lembaga Penelitian dan Pengembangan (LEMLITBANG) Universitas Islam Nusantara
Majalah Ilmiah Kependidikan FKIP UNINUS