Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
LIMBAH KANDANG TEROLAH, MANFAATNYA SEBAGAI PUPUK ORGANIK UNTUK TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA (Compost as Organic Fertilizer for Crops and Horticulture) AHMAD MUSOFIE Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta ABSTRACT This assessment was held to obtain the efficient technology of proseccing organic fertilizer from waste material of stable (WMS) like faeces, urine and forages waste which wasted; and apication method for crops and horticulture cultivation. Research was held during three years in 1998 to 2000, at Bantul and Sleman Districts-Yogyakarta Special Province, by participatory active of farmers. On farm research method used in this activity, quality analysis was held at the laboratories of Research and Assessment Instalation for Agricultural Technology Yogyakarta. Research was held in two phases, that was (1) processing of wate material from stable, and (2) utilization of organic fertilizer (from phase 1) for rice, peanut, red onion and red chili. The first phase was observed five formula of organic fertilizer, there were: (A) WMS+sawdust (SD)+ash (As)+lime (L)+decomposting bacterie “stardec” (DB); (B) WMS+SD+As+L+DB+urea; (C) WMS+SD+As+L+DB+SP-36; (D) WMS+SD+As+L+urea+SP-36; (E) WMS+DB+urea+SP-36. The composition of raw materials for making organic fertilizer was: 100 kg waste material of stable, 10 kg sawdust, 5 kg ashes, 5 kg lime, 250 g decomposting bacterie, 250 g urea and 50 g SP-36. Incubation process is four weeks. (F) Unprocessed wastes material of stable as a control, was storage in more than six months. Second phase was aplication of the six fertilizers on cultivation of red onion and red chili, which planted on intercropping system. Best result of fertilization used as a fertilization method for rice and peanut. Dose of these fertilizers are 2,5 tons/ha; while the unprosecced of animal waste which storaged in more than six months used in dose of 10 tons/ha. Result of this research showed that praparation of WMS to make a good quality of organic fertilizer by addition of decomposting bacterie “stardec” and catalyst of urea and Sp-36 can shorter the proseccing time. Utilization of this organic fertilizer can increase the plant production.
Key Words: Organic fertilizer, plant production ABSTRAK Penelitian dilaksanakan dengan tujuan untuk memperoleh teknologi pembuatan pupuk organik yang efisien dengan bahan baku limbah kandang sapi yang berupa feces, urine dan sisa hijauan; serta metode pemanfaatannya untuk tanaman pangan dan hortikultura. Penelitian dilaksanakan selama tiga tahun, mulai tahun 1998 sampai dengan tahun 2000; dengan melibatkan peran aktif petani peternak yang tergabung di dalam kelompok petani di Kabupaten Bantul dan Sleman Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Metode on farm research digunakan di dalam penelitian ini; analisis kualitas produk dilaksanakan di laboratorium Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta. Penelitian dilaksanakan dalam dua tahap, yaitu: (1) pengolahan limbah kandang, untuk menentukan metode pengolahan dan formula pupuk, dan (2) penerapan penggunaan pupuk organik tersebut untuk tanaman padi, kacang tanah dan bawang merah serta cabe merah. Dalam tahap pertama, diteliti kualitas lima formula pupuk organik, yaitu: (A) limbah kandang (LK)+serbuk gergaji (SG)+abu+kapur+koloni bakteri pengurai “Stardec” (Bio); (B) LK+SG+abu+kapur+Bio+urea, (C) LK+SG+abu+kapur+Bio+SP-36; (D) LK+SG+abu+kapur+Bio+urea+SP-36; (E) LK+Bio+urea+SP-36; dengan perbandingan macam bahan adalah 100 kg limbah kandang, 10 kg serbuk gergaji, 5 kg abu, 5 kg kapur, 250 g koloni bakteri pengurai, 250 g urea dan 50 g SP-36. Proses pemeraman selama 4 minggu. Sebagai kontrol adalah limbah kandang yang tidak diolah, yang telah disimpan selama lebih dari enam bulan (F). Bermacammacam formula pupuk organik tersebut, dalam penelitian tahap kedua, digunakan untuk memupuk tanaman bawang merah dan cabe merah yang ditanam secara tumpang sari. Hasil pemupukan dengan formula pupuk
456
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
organik terbaik, diterapkan penggunaannya untuk tanaman padi dan kacang tanah. Dosis pupuk organik terolah sebesar 2,5 ton/ha; sedangkan limbah kandang yang telah disimpan lebih dari enam bulan, sebagai kontrol, digunakan dengan dosis 10 ton/ha. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengolahan limbah kandang dengan tambahan koloni bakteri pengurai “stardec” dan katalis yang berupa urea dan SP-36 mampu mempercepat proses penguraian limbah kandang menjadi pupuk organik dengan kualitas yang lebih baik. Penggunaan pupuk organik tersebut mampu meningkatkan produksi tanaman.
Kata kunci: Pupuk organik, produksi tanaman PENDAHULUAN Komposisi tanah pertanian terdiri atas tanah mineral dan organik dengan perbandingan tertentu bergantung kepada tingkat daya dukung tanah. Makin tinggi kandungan bahan organik tanah, makin tinggi daya dukung tanah, dan makin tinggi kesuburannya. Daya dukung tanah juga dipengaruhi oleh sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Sifat biologi tanah sangat dipengaruhi oleh kandungan bahan organik tanah yang merupakan media dan sumber nutrisi untuk perkembangan mikroba tanah, terutama mikroba non patogen yang berperan utama dalam meningkatkan kesuburan tanah (mikroba pengikat nitrogen dan mikroba pelarut fosfat dalam proses mineralisasi fosfat organik dan anorganik yang tidak tersedia bagi tanaman, menjadi tersedia). Mikroba perombak bahan organik juga sangat penting dalam menunjang kesuburan tanah, karena produk degradasinya meningkatkan efisiensi pemanfaatan pupuk anorganik terhadap pencucian, penguapan dan fiksasi, sehingga lebih tersedia bagi tanaman. Bahan organik tanah di dalam lahan pertanian di Indonesia umumnya rendah. Kandungan bahan organik lahan sawah irigasi umumnya tinggal <2%, sedangkan di lahan pertanian marginal tinggal +0,5% (TJANDRAMUKTI, 1998). Kandungan bahan organik tanah sudah merupakan faktor pembatas peningkatan produksi, bila terjadi kekahatan. Keberadaan bahan organik di tanah merupakan motivator adanya kehidupan di dalam tanah. Tanpa bahan organik, tanah akan “mati”. Tanah yang “mati” bila dipupuk dengan bahan organik secara berkesinambungan dengan dosis yang benar, akan menjadi “hidup” kembali; tanah akan mudah diolah, memiliki daya ikat air yang tinggi, meningkatkan nilai tukar kation tanah, meningkatkan daya dukung tanah sehingga meningkatkan kapasitas produksi hasil pertanian. Lahan pertanian di Indonesia, terutama lahan marginal membutuhkan pupuk organik untuk meningkatkan produksi dan meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk anorganik oleh tanaman. Kandungan hara pupuk organik lebih rendah daripada kandungan hara pupuk anorganik. Banyak kendala yang dihadapi bila penggunaan pupuk organik sebagai alternatif pengganti seluruh pupuk anorganik; antara lain dosis sangat tinggi (5–40 ton, tergantung pada jenis tanaman), biaya angkut mahal, kualitas tidak seragam. Kendala lain dalam penggunaan pupuk organik adalah proses penguraiannya butuh waktu yang lama, menyebabkan pupuk ini menjadi tidak dapat segera siap digunakan (ENGELSTAD, 1997; MACHFUDZ, 1997). Adanya kemajuan penelitian di bidang pertanian dengan ditemukannya cara untuk mempercepat proses penyiapan pupuk kandang telah terbukti mampu memecahkan permasalahan penggunaan pupuk kandang. MACHFUDZ (1997) menyebutkan bahwa penggunaan limbah kandang hasil penguraian yang dipercepat atau pupuk organik campuran bersama dengan pupuk anorganik N, P, dan K mampu meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman tembakau madura. Pencabutan subsidi pupuk anorganik mengakibatkan mahalnya harga pupuk; penggunaan pupuk organik yang berasal dari limbah ternak/limbah organik (kotoran ternak, urine dan sisa-sisa pakan) diharapkan
457
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
mampu mengurangi jumlah pupuk anorganik yang diberikan, sehingga akan menghemat biaya produksi. Tujuan penerapan teknologi ini adalah merombak limbah organik yang berupa kotoran ternak, urine dan sisa-sisa pakan dengan bantuan bio starter, sehingga terbentuk pupuk organik yang memenuhi syarat dalam peningkatan nilai tukar kation tanah, meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk anorganik, meningkatkan ketersediaan hara terikat lebih tersedia bagi tanaman, bersifat sebagai soil conditioner, soil restoration, soil regeneration dan soil reclamation, serta mampu memperbaiki struktur dan tekstur tanah. Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk memperoleh teknologi pembuatan pupuk organik yang efisien dengan bahan baku limbah kandang sapi yang berupa feses, urine dan sisa hijauan; serta metode pemanfaatannya untuk tanaman pangan dan hortikultura. Penerapan teknologi ini diharapkan juga akan berpengaruh positif terhadap penambahan pendapatan petani peternak, karena kotoran ternaknya memiliki nilai jual yang lebih mahal. MATERI DAN METODE Serangkaian penelitian ini dilaksanakan selama tiga tahun, mulai tahun 1998 sampai dengan tahun 2000; dengan melibatkan peran aktif petani peternak yang tergabung di dalam kelompok petani di Kabupaten Bantul dan Sleman Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Metode on farm research digunakan di dalam penelitian ini; analisis kualitas produk dilaksanakan di laboratorium Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta. Penelitian dilaksanakan dalam dua tahap, yaitu: (1) pengolahan limbah kandang, untuk menentukan metode pengolahan dan formula pupuk, dan (2) penerapan penggunaan pupuk organik tersebut untuk tanaman padi, kacang tanah dan bawang merah serta cabe merah. Dalam tahap pertama, di teliti kualitas lima formula pupuk organik, yaitu: (A) limbah kandang (LK)+serbuk gergaji (SG)+abu+kapur+koloni bakteri pengurai “Stardec” (Bio); (B) LK+SG+abu+kapur+Bio+ urea, (C) LK+SG+abu+kapur+Bio+SP-36; (D) LK+SG+Bio+abu+kapur+urea + SP-36; (E) LK+ Bio+urea+SP-36; dengan perbandingan macam bahan adalah 100 kg limbah kandang, 10 kg serbuk gergaji, 5 kg abu, 5 kg kapur, 250 g koloni bakteri pengurai, 250 g urea dan 50 g SP-36. Proses pemeraman selama 4 minggu. Sebagai kontrol adalah limbah kandang yang tidak diolah, yang telah disimpan selama lebih dari enam bulan (F). Lima ulangan pada masing-masing perlakuan. Bermacam-macam formula pupuk organik tersebut, dalam penelitian tahap kedua, digunakan untuk memupuk tanaman bawang merah dan cabe merah yang ditanam secara tumpang sari. Hasil pemupukan dengan formula pupuk organik terbaik, diterapkan penggunaannya untuk tanaman padi dan kacang tanah. Dosis pupuk organik terolah sebesar 2,5 ton–10 ton/ha; sedangkan limbah kandang yang telah disimpan lebih dari enam bulan, sebagai kontrol, digunakan dengan dosis 10 ton/ha. Penelitian penggunaan pupuk organik pada tanaman tumpangsari bawang merah–cabe merah dilaksanakan dengan rancangan percobaan Acak Kelompok Lengkap (RCBD), dengan delapan perlakuan dan tiga ulangan; sebagaimana tertera di dalam Tabel 1. Penelitian penggunaan pupuk organik terpilih dari hasil penelitian penggunaannya untuk tanaman bawang merah–cabe merah digunakan untuk tanaman padi, dengan penggunaan pupuk tersebut sebanyak 3 ton/ha yang dikombinasikan dengan 0,25 dosis pupuk anorganik yang biasa digunakan oleh petani, dibandingkan dengan cara pemupukan anorganik yang biasa digunakan oleh petani. Setiap perlakuan digunakan lahan sawah seluas 1400 m2; masing-masing perlakuan diulang
458
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
tiga kali. Penelitian dilaksanakan di wilayah Kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul, dengan melibatkan enam orang petani. Manfaat penggunaan pupuk organik yang berupa limbah kandang terolah untuk tanaman kacang tanah, diteliti di lahan milik 56 orang petani di Dusun Bungas Desa Sumber Agung Kecamatan Jetis dan Dusun Ponggok Desa Sidomulyo Kecamatan Bambanglipuro Kabupaten Bantul; serta di Dusun Cetan Desa Jogotirto Kecamatan Berbah Kabupaten Sleman Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Pupuk organik terpilih digunakan dengan dosis 2 dan 4 ton/ha; sebagai kontrol, tanaman tidak dipupuk. Masing-masing perlakuan digunakan luas lahan + 1000 m2. Tabel 1. Macam perlakuan yang dicobakan pada tanaman bawang merah–cabe merah Bahan pupuk organik Perlakuan
Katalisator
Dosis pemupukan (ton/ha)
Limbah kandang
Serbuk gergaji
Kapur
Abu
Bio
Urea
SP-36
2,5
5
10
K
+
-
-
-
-
-
-
-
-
+
P
+
+
+
+
+
-
-
+
-
-
PU
+
+
+
+
+
+
-
+
-
-
PT
+
+
+
+
+
-
+
+
-
-
PTU
+
+
+
+
+
+
+
+
-
-
PSA
+
-
-
-
+
+
+
+
-
-
2P
+
+
+
+
+
-
-
-
+
-
+
+
+
+
+
-
-
-
-
+
4P Keterangan:
(+) = digunakan
(-) = tidak digunakan
HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian tahap pertama, yaitu pengamatan kualitas pupuk organik terolah, menunjukkan hasil sebagaimana tertera di dalam Tabel 2. Tabel 2. Kualitas pupuk organik pada masing-masing komposisi bahan pengolah pH
C Organik
Kompos
Nitrogen
P2O5 Eks. HCL 25%
Eks. Ammonium asetat K
Na
Ca
Mg
Organik
NH4
NO3
Total
15,50
1.10
0,69
0,05
1,84
1,21
1,10
0,23
0,45
0,11
7,2
15,68
2,67
0,25
0,06
2,98
2,20
1,53
0,35
0,85
0,20
9,5
7,8
11,44
1,97
0,20
0,03
2,20
1,48
1,31
0,35
0,85
0,17
9,4
7,2
14,15
2,18
0,21
0,02
2,41
1,65
1,41
0,35
0,78
0,17
PTU
9,4
7,3
11,44
2,11
0,23
0,06
2,41
1,88
1,47
0,47
0,81
0,19
PSA
9,4
7,6
18,28
2,79
0,31
0,03
3,13
2,73
1,69
0,47
1,00
0,23
H2O
KCL
K
9,0
7,1
P
9,2
PU PT
(%)
Sumber: MUSOFIE et al. (2000)
459
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
Berdasarkan hasil analisis sebagaimana tertera di dalam Tabel 2, kelima jenis kompos yang diperoleh memiliki rasio C/N dan total nitrogen yang memenuhi syarat sebagai pupuk organik, yaitu rasio C/N <15 dan total nitrogen >1,8% (TJANDRAMUKTI, 1998; DRADJAD, 1999). Keadaan yang mencolok pada kompos tanpa perlakuan (kontrol, K), yaitu tingginya kadar nitrogen dalam bentuk NH4 sebanyak 0,69. Hal ini diduga berhubungan dengan bau kompos yang lebih menyengat dibandingkan dengan bau kompos yang terolah, baik kompos P, PU, PT, PTU maupun PSA. Hasil penelitian tahap kedua pada penggunaan pupuk organik dari limbah kandang terolah pada bawang merah yang ditanam secara tumpangsari bawang merah–cabe merah tertera di dalam Tabel 3 dan 4. Tabel 3. Berat kering tanaman bawang merah Berat kering tanaman (gram)
Perlakuan
Indeks panen
3 MST
6 MST
3 MST
6 MST
K
2,03
5,05
5,76 ab
0,70
0,78
0,79 ab
P
2,06
4,35
5,15 bc
0,71
0,68
0,70 bcd
PU
2,63
5,51
6,05 a
0,73
0,74
0,73abcd
PT
1,60
4,59
5,30 abc
0,63
0,66
0,68 d
PTU
2,03
4,24
5,10 bc
0,66
0,75
0,80 a
PSA
1,75
5,35
5,82 ab
0,63
0,79
0,79 abc
2P
2,06
4,25
5,36 abc
0,67
0,70
0,73 abcd
4P
1,81
4,33
4,82 c
0,66
0,72
0,69 cd
Ketahanan:
8 MST *)
8 MST *)
MST = minggu sesudah tanam *) a,b,c,d notasi yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan beda nyata (P<0,05)
Sumber: INDRADEWA et al. (2000)
Tabel 4. Tinggi tanaman dan jumlah anakan bawang merah Tinggi tanaman (cm)
Perlakuan
Jumlah anakan
Berat umbi/ rumpun (g)
2 MST
4 MST
6 MST
8 MST
2 MST
4 MST
6 MST
8 MST
K
17,8 ab
28,0
33,8 ab
32,6
4,0 b
5,9 b
6,5
6,5
39,4 abc
P
18,1 ab
26,9
34,3 ab
32,2
4,3 b
6,4 ab
7,2
7,2
44,0 abc
PU
18,3 ab
28,7
34,6 ab
29,9
4,6 b
6,6 ab
7,3
7,3
39,1 abc
PT
18,1 ab
27,9
36,8 a
32,4
4,4 b
6,7 ab
7,2
7,2
44,3 ab
PTU
16,8 b
25,4
30,9 b
32,1
4,1 b
6,2 ab
6,3
6,3
34,8 bc
PSA
16,8 b
25,3
34,1 ab
30,9
4,6 b
6,3 ab
7,1
7,1
38,8 abc
2P
19,1 a
28,1
35,1 ab
34,2
5,3 a
7,3 a
7,5
7,5
48,3 a
4P
18,2 ab
25,6
31,0 b
30,8
4,2 b
6,6 ab
6,7
6,7
34,3 c
Keterangan:
MST = minggu sesudah tanam *) a,b,c,d notasi yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan beda nyata (P<0,05)
Sumber: INDRADEWA et al. (2000)
Data di dalam Tabel 3 menunjukkan bahwa pemberian pupuk organik menyebabkan berat kering tanaman bawang merah tidak berbeda nyata dibandingkan dengan berat kering tanaman yang 460
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
diberi pupuk kandang (K), kecuali pupuk organik tanpa katalis dengan takaran yang ditambah menjadi 10 ton/ha (4P). Pada pemupukan tersebut, berat kering tanaman menurun secara nyata dibandingkan pemberian pupuk kandang (K). Dibandingkan dengan takaran pupuk organik tanpa katalis (P), penambahan katalis urea (PU) dapat meningkatkan berat kering tanaman. Berbeda dengan itu, penambahan katalis SP-36 (PT), bahkan urea dan SP-36 (PTU) tidak menambah berat kering tanaman secara nyata. Pengurangan bahan tambahan serbuk gergaji dan abu (PSA) pada pupuk organik tidak menurunkan berat kering tanaman secara nyata dibandingkan yang menggunakan bahan tersebut (PTU). Peningkatan takaran pupuk organik tanpa katalis dari 2,5 ton/ha (P) menjadi 5 ton/ha (2P) maupun 10 ton/ha (4P) tidak menambah berat kering tanaman secara nyata. Dengan takaran 10 ton/ha pupuk organik tanpa katalis (4P) menyebabkan tanaman menghasilkan berat kering yang tidak berbeda dengan akibat pemberian pupuk kandang takaran 10 ton/ha (K), namun lebih rendah dibanding yang dihasilkan tanaman dengan pupuk organik berkatalis urea pada takaran 2,5 ton/ha. Tabel 3 menunjukkan bahwa pemberian pupuk organik tanpa katalis takaran 2,5 ton/ha (P) dan 5 ton/ha (2P), pupuk organik yang ditambahkan katalis urea (PU) dan kombinasi urea dan SP-36 (PTU) tidak menyebabkan indeks panennya berbeda nyata dengan pupuk kandang (K) bahkan pada penambahan katalis SP-36 (PT) dan peningkatan takaran pupuk organik tanpa katalis menjadi 10 ton/ha menurunkan indeks panen. Akibat bahan kering yang dihasilkan tidak berbeda nyata, translokasi bahan kering yang ditujukan untuk organ pertumbuhan juga tidak berbeda nyata. Hal ini ditunjukkan oleh tinggi tanaman bawang merah (Tabel 4). Pemberian pupuk organik tanpa katalis takaran 5 ton/ha (2P) tidak meningkatkan tinggi tanaman secara nyata dibandingkan pemberian pupuk kandang (K) maupun pupuk organik yang diberi katalis urea dan SP-36 (PTU) dan yang dikurangi bahan tambahannya (PSA). Keadaan yang sama juga ditunjukkan oleh penambahan takaran menjadi 10 ton/ha (2P) dan pemberian pupuk kandang (K), penambahan katalis urea (PU), SP-36 (PT) dan kombinasi keduanya (PTU) dibandingan tanpa katalis (P) serta pengurangan bahan tambahan serbuk gergaji dan abu (PSA) dibandingkan yang menggunakan bahan tersebut (PTU). Pemberian pupuk organik tidak meningkatkan jumlah anakan dibandingkan dengan pemberian pupuk kandang (Tabel 4). Penambahan katalis urea (PU), SP-36 (PT) dan kombinasi keduanya (PTU) tidak berbeda dengan pemberian pupuk organik tanpa katalis pada takaran yang sama. Pengurangan bahan tambahan serbuk gergaji dan abu (PSA) juga tidak menyebabkan berkurangnya jumlah anakan dibandingkan dengan yang menggunakan bahan tambahan tersebut (PTU). Peningkatan jumlah takaran pupuk organik tanpa katalis menjadi 5 ton (2P) dan 10 ton (4P) tidak meningkatkan jumlah anakan. Total bahan kering dan indeks panen yang cenderung tidak ada perbedaan menyebabkan berat umbi per rumpun tidak berbeda (Tabel 4). Hasil bawang merah yang ditunjukkan oleh berat umbi per rumpun, memperlihatkan bahwa pemberian pupuk organik tidak berbeda dengan pemberian pupuk kandang (K). Penggunaan katalis urea (PU), SP-36 (PT), maupun kombinasi keduanya (PTU) untuk mempercepat penguraian pupuk organik ternyata tidak meningkatkan hasil umbi per rumpun dibandingkan pemberian pupuk organik tanpa katalis (P). Antar katalis juga tidak memberikan perbedaan yang nyata pada hasil umbi per rumpun. Hal yang sama juga terlihat pada pengurangan bahan tambahan serbuk gergaji dan abu (PSA) dibandingkan dengan pupuk organik yang menggunakan kedua bahan tersebut (PTU). Penambahan takaran pupuk organik tanpa katalis menjadi 5 ton/ha (2P) dan 10 ton/ha (4P) juga tidak meningkatkan berat umbi per rumpun dibandingkan dengan takaran 2,5 ton/ha (P) dan kontrol (K). 461
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
Tidak adanya perbedaan pengaruh takaran pupuk organik dengan berbagai bahan tambahan dibandingkan dengan pupuk kandang, diduga karena tidak adanya perbedaan pengaruh pupuk organik terhadap sifat tanah. Selain itu, umur bawang merah yang relatif pendek menyebabkan pengaruh pupuk organik tidak nampak. Menurut SABIHAM et al. (1980), pupuk organik yang ditambahkan, lambat tersedia bagi tanaman karena sebagian besar dari penyusunan bahan organik harus mengalami berbagai perubahan terlebih dahulu sebelum dapat diserap oleh tanaman. Peningkatan takaran pupuk organik tanpa katalis dari 5 ton/ha (2P) menjadi 10 ton/ha (4P) justru menurunkan hasil bawang merah secara nyata. Hasil tersebut (4P) tidak berbeda dengan hasil bawang merah yang mendapat pupuk kandang dengan takaran yang sama (K), namun lebih rendah dibanding yang mendapat pupuk organik dengan katalis SP-36 (PT). Dengan takaran 10 ton/ha pupuk organik menyebabkan hasil bawang merah yang lebih rendah dibanding takaran 5 ton/ha tidak dapat dijelaskan dengan data yang ada. Takaran pupuk organik 10 ton/ha tampaknya terlalu tinggi untuk tananman bawang merah. Menurut SURYANTO et al. (1982) penambahan bahan organik yang terlalu tinggi akan menyebabkan pH tanah naik sehingga tidak sesuai dengan pH yang optimum bagi pertumbuhan bawang merah. Pemberian pupuk organik tidak berpengaruh terhadap indeks luas daun (ILD) cabai merah. Penggunaan pupuk organik dengan katalis urea (PU), TSP (PT) dan kombinasi keduanya (PTU) tidak meningkatkan ILD dibanding pupuk organik tanpa katalis (P). Penggunaan pupuk organik tanpa serbuk gergaji dan abu (PSA) tidak menurunkan ILD dibandingkan dengan pupuk organik lengkap (PTU). Penambahan takaran pupuk organik tanpa katalis menjadi 5 ton/ha (2P) dan 10 ton/ha (4P) tidak meningkatkan ILD dibanding takaran 2,5 ton/ha (P) (Tabel 5). Pemberian pupuk organik ternyata tidak berpengaruh terhadap laju asimilasi bersih (LAB) dibandingkan dengan kontrol, meskipun pada awal pertumbuhan antar perlakuan ada beda pengaruh. Penggunaan pupuk organik dengan katalis urea (PU), TSP (PT) dan kombinasi keduanya (PTU) tidak menunjukkan beda pengaruh dibanding pupuk organik tanpa katalis (P), meskipun penggunaan katalis cenderung menurunkan LAB. Penggunaan pupuk organik tanpa serbuk gergaji dan abu (PSA) ternyata tidak menurunkan LAB. Penambahan takaran menjadi 10 ton/ha (4P) juga tidak meningkatkan LAB dibanding yang takarannya lebih rendah (P) dan kontrol. Dari Tabel 5, terlihat bahwa pemberian pupuk organik tidak meningkatkan laju pertumbuhan tanaman (LPT). Penggunaan pupuk organik dengan katalis urea (PU), Sp-36 (PT) dan kombinasi keduanya (PTU) menunjukkan tidak ada perbedaan pengaruh dibandingkan penggunaan pupuk organik tanpa katalis (P). Penggunaan pupuk organik tanpa bahan tambahan serbuk gergaji dan abu (PSA) dan penambahan takaran pupuk organik (4P) memberikan LPT yang tidak berbeda nyata dibanding pupuk organik tanpa katalis (P) dan kontrol. Tabel 5. Luas daun, laju asimilasi bersih dan laju pertumbuhan tanaman cabai merah Perlakuan K P PU PT PTU PSA 2P 4P
462
Indeks luas daun 2 MST 0,03 0,03 0,03 0,02 0,04 0,03 0,03 0,03
6 MST 0,93 0,10 0,98 1,22 1,13 0,85 0,80 0,78
13 MST 0,99 1,25 0,07 0,86 1,33 0,85 0,88 1,13
Laju asimilasi bersih 2-8 MST 94,3 ab 90,1 ab 104,0ab 91,4 b 79,0 b 96,2 ab 124,0 a 88,9 ab
8-13 MST 78,9 73,6 69,7 75,7 79,9 83,7 91,8 75,8
Laju pertumbuhan tanaman 0-2 MST 1,47 ab 2,00 a 1,37 ab 0,83 b 2,12 a 2,24 a 1,36 ab 1,52 ab
2-8 MST 27,0 24,7 28,6 27,4 25,2 23,6 28,3 19,8
8-13 MST 73,2 83,0 69,6 77,3 97,6 67,9 77,1 71,0
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
Keterangan:
MST = minggu sesudah tanam *) a,b notasi yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan beda nyata (P < 0,05)
Sumber: INDRADEWA et al. (2000)
Indeks panen (IP) pada Tabel 6 menunjukkan tidak ada pengaruh pemberian pupuk organik dibanding pupuk kandang. Penggunaan pupuk organik dengan katalis urea (PU), Sp-36 (PT) dan kombinasi keduanya (PTU) tidak meningkatkan IP dibanding pupuk organik tanpa katalis (P). Penggunaan pupuk organik tanpa serbu gergaji dan abu (PSA) dan penambahan takaran pupuk organik tanpa katalis menjadi 5 ton/ha (2P) dan 10 ton/ha (4P) memberikan IP yang tidak berbeda nyata. Tabel 6. Indeks panen dan berat kering buah cabai merah Indeks panen
Perlakuan
Berat kering buah (g)
8 MST
13 MST
8 MST
13 MST
K
0,06
0,48
0,95
19,5
P
0,10
0,50
1,15
21,7
PU
0,10
0,49
1,29
19,9
PT
0,07
0,52
0,95
22,2
PTU
0,09
0,53
1,05
25,3
PSA
0,10
0,57
1,13
20,4
2P
0,05
0,56
0,73
23,0
4P
0,13
0,47
1,23
16,3
Sumber: INDRADEWA et al. (2000)
Pemberian pupuk organik tidak berpengaruh terhadap berat kering buah dibandingkan dengan kontrol pada semua umur (Tabel 6). Pemberian pupuk organik dengan katalis urea (PU), SP-36 (PT) dan kombinasi keduanya (PTU) tidak meningkatkan berat kering buah dibanding dengan pemberian pupuk organik tanpa katalis (P). Pupuk organik tanpa bahan tambahan serbuk gergaji dan abu (PSA) tidak menurunkan berat kering buah. Pupuk organik tanpa katalis yang takarannya ditambah menjadi 5 ton/ha (2P) dan 10 ton/ha (4P) tidak meningkatkan berat kering buah dibandingkan dengan kontrol. Komponen hasil yang ditunjukkan oleh jumlah buah per tanaman dan berat rata-rata buah menunjukkan bahwa pemberian pupuk organik tidak berpengaruh dibanding pemberian pupuk kandang (K) meski ada kecenderungan naik (Tabel 7). Pemberian takaran pupuk organik tanpa katalis 5 ton/ha (2P) menunjukkan berat buah lebih besar dibandingkan dengan kontrol. Penambahan takaran menjadi 10 ton/ha (4P) tidak meningkatkan komponen haso; dibandingkan dengan kontrol. Tabel 7. Jumlah buah tiap tanaman, berat buah tiap tanaman, berat buah rata-rata dan hasil cabai merah / ha
Perlakuan K P PU
Per tanaman Berat buah (g/tanaman) Jumlah buah 102 40,0 109 35,9 106 37,3
Berat buah rata-rata (g/buah) 2,36 b 3,09 ab 3,92 ab
Hasil (ton/ha) 3,53 b 4,65 a 4,81 a 463
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
PT PTU PSA 2P 4P
113 128 98,9 129 89,4
38,6 44,9 32,0 38,8 32,1
2,87 ab 2,88 ab 3,14 ab 3,30 a 2,79 ab
4,45 ab 5,09 a 4,15 ab 4,86 a 4,62 a
Sumber: INDRADEWA et al. (2000)
Pemberian pupuk organik dengan pelbagai takaran dan bahan tambahan pada umumnya meningkatkan hasil buah cabai merah dibanding pupuk kandang takaran 10 ton/ha (K). Dilihat dari komponen hasilnya, peningkatan hasil buah cabai merah dipengaruhi oleh peningkatan ukuran buah meskipun jumlah buahnya tidak berbeda. Meskipun kualitas diantara pupuk-pupuk organik tersebut tidak jauh berbeda (Tabel 2), dan pengaruhnya terhadap hasil umbi bawang merah dan buah cabai merah tidak berbeda, namun dari segi penampakan, terlihat bahwa pupuk organik dengan katalis urea dan SP-36 (PTU) lebih baik dan disukai oleh petani. Dengan dasar ini, maka PTU diuji cobakan manfaatnya pada tanaman padi. Hasil pengamatan pada penggunaan pupuk tersebut pada tanaman padi pada lahan seluas 1400 m2 untuk setiap perlakuan adalah sebagaimana tertera di dalam Tabel 8. Data di dalam Tabel 8 menunjukkan bahwa pemberian pupuk organik dengan takaran 3 ton/ha (A) memberikan hasil yang kurang baik, dengan keuntungan lebih kecil dibandingkan dengan perlakuan-perlakuan yang lain, meskipun dengan biaya produksi yang paling rendah diantara perlakuan-perlakuan yang lain. Perlakuan pemberian pupuk organik dengan takaran 3 ton/ha dengan tambahan pupuk anorganik sebanyak 0,25 bagian dari pupuk anorganik sebagaimana yang diberikan oleh petani, memberikan hasil tertinggi, meskipun biaya produksi yang dibutuhkan juga paling tinggi diantara perlakuan-perlakuan pemberian berbagai macam pupuk ini. Biaya tersebut, yang paling banyak adalah biaya pembelian pupuk. Tabel 8. Analisis biaya dan realisasi produksi padi pada masing-masing perlakuan penggunaan pupuk organik Uraian Biaya tetap sewa tanah pajak bumi Jumlah biaya tetap Biaya variabel benih 12 kg, @ Rp 3000 Pupuk pupuk organik 250 kg @ Rp 300 urea SP-36 KCl ZA Jumlah Tenaga kerja Pengolahan tanah Penanaman, 8 HOK Pemupukan Pengairan, 8 HOK Penyangan, 8 HOK Panen Jumlah Jumlah biaya variabel Total input (biaya tetap+biaya variabel) Produksi (kg) (Rp) @ Rp 1200
464
Perlakuan A
Perlakuan B
Perlakuan C
Rp 300.000 Rp 1.000 Rp 301.000 Rp 36.000
Rp 300.000 Rp 1.000 Rp 301.000 Rp 36.000
Rp 300.000 Rp 1.000 Rp 301.000 Rp 36.000
Rp 75.000 Rp 75.000
Rp 132.000 Rp 15.750 Rp 7.500 Rp 8.250 Rp 12.000 Rp 175.500
Rp 46.200 Rp 33.000 Rp 36.300 Rp 26.400 Rp 141.900
Rp 40.000 Rp 28.000 Rp 7.000 Rp 28.000 Rp 28.000 Rp 120.000 Rp 251.000 Rp 362.000 Rp 663.000 957 kg Rp 1.148.400
Rp 40.000 Rp 28.000 Rp 10.500 Rp 28.000 Rp 28.000 Rp 120.000 Rp 254.500 Rp 466.000 Rp 767.000 1.231,66 Rp 1.478.000
Rp 40.000 Rp 28.000 Rp 10.500 Rp 28.000 Rp 28.000 Rp 120.000 Rp 254.500 Rp 432.400 Rp 733.400 1.036 Rp 1.231.200
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
Rp 428.400
Pendapatan (produksi–total input) Keterangan:
Rp 711.000
Rp 498.200
Perlakuan A=pemberian pupuk organik 3 ton/ha
Perlakuan B=pemberian pupuk organik 3 ton/ha+pupuk anorganik (urea 75 kg/ha+25 kg/ha SP-36+KCl 25 kg/ha+ZA 100 kg/ha) Perlakuan C=pemberian pupuk anorganik (urea 300 kg/ha+100 kg/ha SP-36+KCl 100 kg/ha+ZA 100 kg/ha) tanpa pupuk organik Sumber: MUSOFIE et al. (2000)
Dasar kenyataan tersebut, petani lebih memilih menggunakan perlakuan B, karena penampakan kondisi tanaman lebih baik disamping hasil yang diperoleh lebih banyak. Perlakuan A dianggap kurang menarik, karena warna tanaman kurang hijau dibandingkan perlakuan yang lain. Hal ini diduga berhubungan dengan lambatnya ketersediaan hara dari pupuk organik untuk tanaman (SABIHAM et al., 1980). Hasil pemanfaatan pupuk organik terolah dari limbah kandang untuk tanaman kacang tanah tertera di dalam Tabel 9 dan 10. Pupuk organik yang digunakan adalah pupuk organik yang diolah dari limbah kandang dengan bahan tambahan gergaji dan abu, dengan katalis urea dan SP-36 (PTU) takaran 0,2 dan 4 ton/ha. Tabel 9 . Produksi kacang tanah pada berbagai dosis perlakuan Takaran pupuk Organik (ton/ha) 0 2 4
Hasil panen
Lokasi penelitian Klampenga Bungas n (ton/ha) (ton/ha)
Kadar air (%)
Bahan hijauan
14,7
12,0
73,94
Kacang glondongan
2,4
2,9
45,57
Bahan hijauan
16,4
11,4
74,60
Kacang glondongan
2,9
3,5
46,32
Bahan hijauan
14,7
10,7
73,60
Kacang glondongan
3,4
3,8
43,86
Kadar air biji kacang tanah (%)
Prosentase biji dari glondongan
58,21
61,19
68,21
61,92
52,86
62,15
Sumber: SUHARDJO et al. (2000)
Tabel 10. Produksi kacang tanah di lokasi Dusun Ponggok Takaran pupuk organik (ton/ha) 0
Hasil panen (ton/ha) Bahan hijauan
Kacang tanah glondong
13,60
4,7
2
18,96
5,0
2,45
22,40
5,7
3,14
18,56
5,2
3,16
17,92
4,6
4
18,56
4,9
21,92
5,2
6,8 Sumber: SUHARDJO et al. (2000)
465
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
Data yang tertera di dalam Tabel 9 dan 10, tidak menunjukkan perbedaan nyata pada hasil kacang tanah yang diberi pupuk organik dengan takaran 0 atau 2 sampai 4 ton/ha. Seolah-olah pemberian pupuk organik ini hanya menambah biaya produksi; tetapi apabila diingat bahwa tanah pertanian saat ini sangat membutuhkan pupuk organik, maka pemberian pupuk organik tersebut perlu dilakukan, hanya kapan waktu pemberian yang tepat perlu diteliti. Hal ini perlu dilakukan, mengingat bahwa respon pemberian pupuk organik tidak dapat langsung terlihat, sebab hara penyusun pupuk organik harus mengalami perubahan terlebih dahulu sebelum dapat diserap oleh tanaman. Kepentingan penggunaan pupuk organik dari segi kesuburan dan kimia tanah juga sebagai sumber hara makro dan mikro, meningkatkan ketersediaan P, sulfur, KPK, mengeliminer keracunan unsur beracun, menekan pencemaran logam berat (SHIDDIEQ, 2000). KESIMPULAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan unsur hara tidak berbeda diantara pupuk organik yang diolah dengan berbagai macam bahan tambahan dan katalis. Pupuk organik terolah dari limbah kandang tidak berbau dibanding dengan sebelum terolah. Penggunan katalis dan biostarter mampu mempercepat proses perombakan limbah kandang menjadi pupuk organik. Penggunaan katalis urea dan SP-36, dengan bahan tambahan serbuk gergaji dan abu menghasilkan pupuk organik yang lebih disenangi petani daripada pupuk organik yang yang lain. Penggunaan pupuk organik dengan berbagai bahan tambahan tidak meningkatkan pertumbuhan dan hasil bawang merah, tetapi mampu meningkatkan hasil cabai merah. Pemberian pupuk organik ini, seolah-olah hanya menambah biaya produksi; tetapi apabila diingat bahwa tanah pertanian saat ini sangat membutuhkan pupuk organik, maka pemberian pupuk organik tersebut perlu dilakukan, hanya kapan waktu pemberian yang tepat perlu diteliti. Hal ini perlu dilakukan, mengingat bahwa respon pemberian pupuk organik tidak dapat langsung terlihat, sebab hara penyusun pupuk organik harus mengalami perubahan terlebih dahulu sebelum dapat diserap oleh tanaman. DAFTAR PUSTAKA DRADJAD, D. 1999. Model Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Pertanian dengan Konsep Eco-farming. Makalah Disampaikan dalam Lokakarya Ecofarming. Fak. Peternakan Univ. Gadjah Mada. Yogyakarta. 26 Oktober 1999. ENGELSTAD, O.P. 1997. Fertilizer Technology And Use (Teknologi dan Penggunaan Pupuk, Alih Bahasa: Didiek Hadjar Gunadi). Gadjah Mada Univ. Press. Yogyakarta. INDRADEWA, D., S. WALUYO, A. MUSOFIE, MARIYOTO dan N. SAMSIYATI. 2000. Pengaruh Macam Bahan Tambahan dan Takaran Pupuk Organik Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tumpangsari Bawang Merah dengan Cabai Merah. Proc. Seminar Teknologi Pertanian Untuk Mendukung Agribisnis dalam Pengembangan Ekonomi Wilayah dan Ketahanan Pangan. Puslit Sosek Pertanian Bogor–Univ. Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta–Univ. Wangsa Manggala Yogyakarta. MACHFUDZ. 1997. Penggunaan Bahan Pupuk Organik (OCF) pada Lahan Usahatani Tembakau Madura. Edisi Khusus Balitkabi No. 10: 256–264. MUSOFIE, A., N.K. WARDHANI, SUPRIYADI, NUR HIDAYAT. B. PRASETYO dan E. WINARTI. 2000. Peningkatan Produktivitas Ternak Rumiansia di Lahan Kering Daerah Istimewa Yogyakarta. Laporan Hasil Pengkajian. IP2TP Yogyakarta.
466
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
SABIHAM, S., G. SOEPARDI dan S. DJOKOSUDARDJO. 1980. Pupuk Dan Pemupukan. Dept. Ilmu Tanah Fak. Pertanian Inst. Pertanian Bogor. Bogor. SHIDDIEQ, D. 2000. Konservasi Tanah dan Pelestarian Lingkungan Spesifik Lokasi Kaitannya dengan Sistem Usahatani Berkelanjutan. Proc. Seminar Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi dalam Upaya Peningkatan Kesejahteraan Petani dan Kelestarian Lingkungan. Puslit Sosek Pertanian Bogor–Univ. Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta–Univ. Wangsa Manggala Yogyakarta.
467
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
SUHARDJO, M., A. MUSOFIE, N.K. WARDHANI, SUPRIYADI dan E. WINARTI. 2000. Pengkajian Hasil Olahan Limbah Kandang Ternak Sapi (Pupuk Organik Majemuk) pada Tanaman Kacang Tanah di Kabupaten Bantul dan Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta. Proc. Seminar Teknologi Pertanian untuk Mendukung Agribisnis dalam Pengembangan Ekonomi Wilayah dan Ketahanan Pangan. Puslit Sosek Pertanian Bogor–Univ. Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta–Univ. Wangsa Manggala Yogyakarta. SURYANTO, A., A. SYUKUR dan E. SURYANTO. 1982. Tanggapan Bawang Merah (Allium ascalonicum) Terhadap Pemberian Beberapa Macam Bahan Organik pada Tanah Regosol. Laporan Penelitian Proyek PPT–UGM tahun 1981/1982. TJANDRAMUKTI. 1998. Biofad dan Bio Activator Bio Starter–bio Fertilizer Perombak Limbah Organik Menjadi Pupuk Penyubur Tanah. Pupuk Organik Ramah Lingkungan. Aneka Usahatani Budi. Purwodadi Grobogan.
468