LIFT MALAM Louisa Baldwin
2015
Lift Malam Diterjemahkan dari How He Left the Hotel karangan Louisa Baldwin terbit tahun 1894 (Hak cipta dalam Domain Publik) Penerjemah Penyunting Penyelaras akhir Penata sampul
: Ilunga d’Uzak : Kalima Insani : Bared Lukaku : Bait El Fatih
Diterbitkan dalam bentuk e-Book oleh: RELIFT MEDIA Jl. Amil Sukron No. 47 Kec. Cibadak Kab. Sukabumi Jawa Barat 43351 SMS : 0853 1179 4533 Surel :
[email protected] Situs : reliftmedia.com Pertama kali dipublikasikan pada: November 2015 Revisi terakhir: Februari 2016 Copyright © 2015 CV. RELIFT Hak kekayaan intelektual atas terjemahan dalam buku ini adalah milik penerbit. Dilarang mengutip dan/atau memperbanyak seluruh atau sebagian isi buku ini dalam bentuk dan cara apapun tanpa izin tertulis dari penerbit.
Buku ini adalah karya fiksi. Semua nama, karakter, bisnis, organisasi, tempat, peristiwa, dan kejadian hanyalah imajinasi penulis. Segala kemiripan dengan seseorang, hidup atau mati, peristiwa, atau lokasi kejadian hanyalah kebetulan belaka.
Ebook ini adalah wujud kesungguhan kami dalam proyek penerjemahan sastra klasik asing. Kami menyebutnya RELIFT: Mengangkat Kembali, dari masa lalu untuk masa kini hingga masa depan. Pembaca dapat turut mendukung kami dengan mengklik iklan sponsor di situs dan blog kami.
A
KU
biasa mengoperasikan lift di Empire Hotel, blok
bangunan besar dalam deretan bata merah dan putih seperti
sepek bergaris-garis, yang berdiri di simpang Jalan ........ Aku sudah menjalankan waktuku di tentara, dan diberhentikan dengan strip kelakuan baik. Bagaimana aku mendapat pekerjaan ini? Begini ceritanya. Hotel tersebut adalah perusahaan besar dengan komite pengelola yang terdiri dari para pensiunan perwira dan semacamnya; orang-orang dengan sedikit uang, dan merisaukannya, dan salah satu dari mereka adalah mendiang Kolonel. Dia baik hati bila kemauannya tidak dihalangi, dan saat aku minta pekerjaan padanya, “Tikus,” jawabnya, “kau orang yang tepat untuk bekerja di lift, di hotel besar kami. Prajurit adalah orang yang sopan dan cekatan, dan masyarakat menyukai mereka di urutan kedua setelah pelaut. Kami baru memecat pekerja terakhir, dan kau bisa ambil tempatnya.” Aku cukup suka pekerjaanku dan upahnya, dan bertahan selama setahun, dan semestinya masih di sana kalau bukan karena suatu kondisi—. Tapi jangan terburu-buru. Lift kami adalah lift hidrolik. Tidak reyot berayun-ayun seperti sangkar beo pembebek di tangga vertikal, jadi aku tak perlu repot menjulurkan leherku. Jalannya semulus minyak. Anak kecil pun bisa mengoperasikannya. Aman saat berada di darat. Alih-alih dipasangi iklan hingga penuh seperti bus penumpang, kami punya cermin-cermin di dalamnya, dan kaum wanita biasa memandang diri mereka sendiri, menepuk-nepuk rambut, dan cemberut bila aku membawa mereka turun dalam keadaan berdandan. Itu seperti ruang duduk 5
kecil, dengan bantal-bantal beludru merah untuk bersandar, dan mau tak mau kau memasukinya. Kau akan dilayangkan naik atau turun, ringan seperti burung. Semua tamu sering menggunakan lift, naik ataupun turun. Sebagian dari mereka adalah orang Prancis, dan mereka menyebut lift sebagai “assenser”. Cukup bagus dalam bahasa mereka, pastinya. Tapi kenapa orang-orang Amerika, yang bisa berbahasa Inggris, dan selalu bertindak lebih cepat daripada bangsa lain, mesti membuang-buang waktu dan nafas dengan menyebut lift sebagai elevator, aku heran. Aku mengawasi lift dari tengah hari sampai tengah malam. Pada jam seperti itu orang-orang yang pergi ke teater dan makan malam di luar sudah masuk, dan siapapun yang pulang larut harus berjalan naik tangga, karena pekerjaan harianku selesai. Salah seorang penjaga pintu mengoperasikan lift sampai aku bertugas lagi keesokan paginya. Tapi sebelum jam 12 tak ada hal istimewa, dan tidak banyak yang terjadi sampai lewat jam 2. Lalu aku bekerja keras menangani para tamu yang naik dan turun, dan bel listrik memanggil dari satu lantai ke lantai lain seperti rumah kebakaran. Lalu datanglah keheningan di waktu makan malam, dan aku akan duduk nyaman di lantai sambil membaca koran, hanya saja aku tak boleh merokok. Tapi semuanya memang dilarang merokok. Dan aku harus meminta para lelaki berbaju bulu binatang untuk tidak merokok, karena melanggar aturan. Aku jarang menegur pria-pria Inggris, mereka tidak seperti para pemakai baju bulu yang seolah-olah merekatkan cerutu di bibirnya. 6
Aku selalu memperhatikan wajah orang-orang yang masuk lift. Aku punya pandangan tajam dan ingatan bagus. Para tamu tak perlu memberitahuku dua kali ke mana aku harus membawa mereka. Aku kenal mereka dan aku tahu lantai mereka sebagaimana diri mereka sendiri. Pada bulan November, Kolonel Saxby datang ke Empire Hotel. Aku memperhatikannya secara khusus, karena kau bisa langsung tahu bahwa dia prajurit. Dia tinggi kurus berusia sekitar 50, dengan hidung elang, mata sengit, dan kumis kelabu, dan berjalan kaku lantaran luka tembak di lutut. Tapi yang paling kuamati adalah luka sayatan mandau di sisi kanan wajahnya. Sewaktu dia masuk lift untuk naik ke kamarnya di lantai empat, aku berpikir betapa banyak perbedaan di antara para perwira. Kolonel Saxby mengingatkanku pada tiang telegraf yang tinggi dan kurus. Kolonel tua ini seperti laras berseragam, tapi prajurit berani dan pria terhormat sama saja. Kamar Kolonel Saxby adalah nomor 210, persis di seberang pintu kaca menuju lift, dan setiap kali aku berhenti di lantai empat, nomor 210 menatap wajahku. Kolonel biasa naik dengan lift setiap hari, meski tak pernah menggunakannya untuk turun sampai—. Tapi sebentar lagi akan kuceritakan. Terkadang, bila sendirian dalam lift, dia menyapaku. Dia bertanya di resimen mana aku pernah bertugas. Katanya dia kenal perwiraperwira di sana. Tapi menurutku dia tidak enak diajak bicara. Ada sesuatu yang tidak ramah darinya, dan dia selalu terlihat khusyuk berpikir. Dia tak pernah duduk di lift. Saat kosong ataupun penuh dia selalu berdiri tegak di bawah lampu, di mana cahaya menerpa 7
wajah pucat dan pipinya yang berbekas luka. Suatu hari di bulan Februari, Kolonel tidak naik dengan lift. Meski dia teratur bagai mesin jam, aku menyoroti hal ini. Tapi kukira dia sedang pergi untuk beberapa hari, dan aku tak lagi memikirkan ini. Setiap kali aku berhenti di lantai empat, pintu nomor 210 tertutup. Karena dia sering membiarkannya terbuka, kupastikan Kolonel sedang pergi. Di akhir pekan, aku mendengar pelayan kamar berkata bahwa Kolonel Saxby sakit. Jadi itu alasannya, pikirku, kenapa dia tidak naik lift akhir-akhir ini. Waktu itu Selasa malam. Aku luar biasa sibuk. Arus lalu-lintas naik dan turun berlangsung sepanjang malam. Jam tengah malam berdentang. Aku hendak memadamkan lampu lift, mengunci pintunya, dan meninggalkan kunci di kantor untuk petugas pagi, ketika bel listrik berdering tajam. Kutengok cakra angka. Ternyata aku dipanggil ke lantai empat. Jam 12 malam aku melangkah ke dalam lift. Sambil melewati lantai dua dan tiga aku bertanya-tanya siapa yang memanggil selarut ini. Aku berpikir, pasti orang asing yang tak tahu aturan hotel. Tapi saat aku berhenti di lantai empat dan membuka pintu lift, Kolonel Saxby sedang berdiri di sana berbalut jubah militer. Di belakang, pintu kamarnya tertutup. Aku melihat nomornya. Kukira dia terbaring sakit di ranjang, dan dia memang terlihat cukup sakit. Tapi dia mengenakan topi. Apa yang diinginkan seseorang yang telah terbaring sepuluh hari dengan pergi keluar di tengah malam musim dingin? Aku merasa dia tidak melihatku, tapi setelah kugerakkan lift, aku memandanginya yang berdiri di bawah lampu. Bayangan topi menyembunyikan matanya, 8
dan cahaya menerpa bagian bawah wajah yang pucat pasi, tapi luka di pipinya lebih pucat lagi. “Senang melihat Anda membaik, tuan,” ujarku, tapi dia tidak berkata apa-apa, dan aku tak suka memandanginya lagi. Dia berdiri seperti patung dengan jubah yang menyelubunginya. Aku senang sekali ketika membukakan pintu lift untuknya yang melangkah ke ruang depan. Aku memberi hormat selagi dia beranjak keluar, dan dia melewatiku menuju pintu depan. “Kolonel mau keluar,” kataku kepada penjaga pintu yang berdiri terbelalak. Dia pun membukakan pintu dan kolonel Saxby berjalan memasuki salju. “Aneh sekali!” katanya. “Begitulah,” kataku. “Aku tak suka penampilan Kolonel, dia bukan seperti dirinya. Dia cukup sakit untuk berbaring, dan sekarang dia keluar di malam seperti ini.” “Tapi dia pakai jubah terkenal yang membuatnya tetap hangat. Anggap saja dia pergi ke sebuah pesta aneh, dan mengenakan jubah untuk menyembunyikan pakaiannya,” kata penjaga pintu, tertawa gelisah. Kami berdua merasa janggal lebih dari yang terucapkan. Selagi kami mengobrol datanglah deringan nyaring bel pintu. “Jangan lagi penumpang!” kataku. Aku sedang memadamkan lampu kali ini saat Joe membukakan pintu dan masuklah dua orang lelaki yang langsung kukenali sebagai dokter. Salah seorang berpostur tinggi, sementara satu lagi pendek gemuk, dan mereka berdua menghampiri lift. 9
“Maaf, tuan-tuan, aku dilarang menaikkan lift setelah tengah malam.” “Persetan!” tukas si lelaki gemuk, “sekarang baru jam dua belas lewat sedikit, dan ini urusan hidup dan mati. Cepat bawa kami ke lantai empat.” Mereka buru-buru masuk lift. Kami pun naik. Begitu kubukakan pintu, mereka berjalan lurus ke nomor 10. Seorang perawat keluar menemui mereka. Si dokter gemuk berkata, “Tidak memburuk, kuharap?” Dan kudengar jawaban: “Pasien meninggal lima menit lalu, pak.” Meski tak punya urusan untuk bicara, aku tak tahan berdiri saja. Kuikuti para dokter ke pintu dan berkata, “Pasti ada kekeliruan di sini, tuan-tuan. Aku baru membawa Kolonel turun jam dua belas tadi, dan beliau pergi keluar.” Dokter gemuk berkata tajam, “Pasti salah lihat. Kau mengiranya Kolonel.” “Maaf, tuan-tuan, itu memang Kolonel, dan penjaga pintu malam yang membukakan pintu depan untuknya juga mengenalinya. Beliau mengenakan jenis pakaian untuk malam seperti ini, dibalut jubah militer.” “Masuklah, lihat sendiri,” kata perawat. Aku mengikuti dokter ke dalam ruangan, dan di sana terbaring Kolonel Saxby dengan penampilan seperti yang kulihat beberapa menit sebelumnya. Di sana dia terbaring mati sebagaimana para leluhurnya, dan jubah agung terhampar di atas ranjang untuk menjaganya tetap hangat, yang tak lagi merasakan panas dan 10
dingin. Aku tidak tidur malam itu. Aku duduk tegak bersama Joe, setiap menit menanti Kolonel membunyikan bel pintu depan. Keesokan harinya, setiap kali bel lift berdering tajam dan mendadak, keringat keluar dari tubuhku dan aku merinding lagi. Aku merasa berat seperti saat pertama kali bertugas. Aku dan Joe menceritakan semuanya kepada manajer, dan dia bilang kami cuma bermimpi, seraya menambahkan, “Ingat baik-baik, jangan bahas itu, atau dalam seminggu hotel ini akan kosong.” Peti mati Kolonel diselinapkan ke dalam hotel keesokan malamnya. Aku, manajer, dan anak buah pengurus pemakaman membawanya ke atas dengan lift, pas-pasan, tidak menyisakan ruang sedikitpun. Mereka menggotongnya ke nomor 210, dan selagi aku menunggu mereka keluar lagi, suatu perasaan aneh menghampiriku. Kemudian pintu terbuka pelan-pelan. Empat orang menggotong peti panjang di lorong, dan menaruhnya dengan kaki peti menunjuk ke arah pintu lift. Manajer mencari-cariku. “Aku tak bisa melakukannya, pak,” kataku. “Aku tak bisa membawa Kolonel turun lagi. Aku membawanya turun tengah malam kemarin, dan itu sudah cukup bagiku.” “Dorong ke dalam,” kata manajer, singkat dan tajam. Mereka memasukkan peti ke dalam lift tanpa suara. Manajer masuk terakhir, dan sebelum menutup pintu dia berkata, “Tikus, kau sudah bekerja di lift ini untuk terakhir kalinya, aku terkesan.” Dan memang begitulah. Aku tak mau terus berdiam di Empire Hotel setelah apa yang terjadi, sekalipun mereka menggandakan upahku. Aku dan penjaga pintu malam pergi sama-sama. 11