MENGEMBANGKAN PENDIDIKAN KEWIRAUSAHAAN MELALUI PEMBELAJARAN IPA DI SD Leonita Siwiyanti* Din Azwar Uswatun* Email:
[email protected]&
[email protected]
ABSTRAK Kewirausahan adalah suatu sikap, jiwa dan kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru yang sangat bernilai dan berguna bagi dirinya dan orang lain. Pendidikan kewirausahaan bertujuan untuk membentuk manusia secara utuh (holistik), sebagai insan yang memiliki karakter, pemahaman dan ketrampilan sebagai wirausaha. Pendidikan kewirausahaan perlu ditanamkan dan dikembangkan sejak dini melalui peranan orang tua dan dunia pendidikan. Tujuan dari tulisan ini untuk mengemukakan konsep pendidikan kewirausahaan melalui pembelajaran IPA di SD dengan harapan agar pelaksanaan pendidikan kewirausahaan diterapkan ke dalam kurikulum di sekolah yang dapat merealisasikan pendidikan kewirausahaan dan direalisasikan peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Dimana dalam pembelajaran IPA terdapat nilai-nilai jiwa kewirausahaan yang dipraktekkan langsung dalam memecahkan persoalan, yaitu dengan Model pembelajaran berbasis masalah (Problem Base Learning) hasil karya John Dewey ini mendorong guru untuk melibatkan siswa diberbagai proyek berorientasi masalah dan membantu mereka menyelidiki suatu permasalahan. Kata Kunci: Pendidikan Kewirausahaan, Pembelajaran IPA, SD
PENDAHULUAN Negara Indonesia adalah sebuah negara dengan pertumbuhan penduduk yang sangat cepat dan semakin meningkat. Namun kondisi tersebut tidak dibarengi oleh laju pertumbuhan ekonomi dan lapangan pekerjaan yang memadai dan mencukupi. Sehingga banyak masalah yang terjadi disebabkan meluapnya jumlah tenaga kerja yang tidak mendapatkan pekerjaan. Tidak kurang dari 40 juta orang saat ini yang masih
PEDAGOGIK Vol. IV, No. 2, September 2016
menganggur, dan setiap tahunnya masih ada 2,5 juta angkatan kerja baru yang membutuhkan pekerjaan. Menurut data BPS bulan Agustus 2012 (dalam Statistik Indonesia,2012) jumlah penganggur terbuka tercatat sebanyak 7,7 juta orang (6,56%) dari total angkatan kerja sekitar 117,37 juta orang. Dari jumlah tersebut sebagian besar berada di pedesaan. Jika di lihat dari latar belakang pendidikan para
58
penganggur tersebut, 3,56% berpendidikan SD ke bawah, 8,37% berpendidikan SLTP, 10,66% berpendidikan SMA, 10,43% berpendidikan SMK, 7,16% berpendidikan Diploma, dan 8,02% berpendidikan Sarjana. Dari gambaran diatas jelas masih banyak penduduk Indonesia yang belum memiliki pekerjaan. Kondisi ini diperparah dengan banyak hal yang menyebabkan tingginya tingkat pengangguran tersebut. Salahsatunya adalah sedikitnya jumlah wirausaha diIndonesia. Masyarakat Indonesia masih memandangbahwa bekerja sebagai pegawai atau karyawan dianggap lebih bergengsi dan menjaminkesejahteraan dibanding dengan berwirausaha. Untuk menjawab tantangan tersebut, penguatansumber daya manusia khususnya dalam peningkatanmutu produk perlu didorong dan disiapkankemampuannya. Menurut pendapat Sosiolog David Mc Clelland (dalam Suryono Yoyon, dkk: 2012)suatu negara bisa menjadi makmur bila adaentrepreneur sedikitnya 2% dari jumlahpenduduknya. Singapura sudah 7,2%, sedangkanpada 2001 di Indonesia baru 0,18% daripenduduknya yang menggeluti dunia wirausaha(Radjasa Hatta, Kompas: 2011). Ditambah dengan model pendidikan yang seperti “celengan” dimana peserta didik dijejali dengan banyak materi tanpa memahami makna pembelajaran itu sendiri.
PEDAGOGIK Vol. IV, No. 2, September 2016
Namun, disadari tidak hanya pendidikan saja yang menjadi jalan dalam keberhasilan, instrumen yang terpenting adalah terletak pada kemandirian dan keberanian mereka dalam mengambil risiko hidup. Itu artinya, keberhasilan mereka sangat ditentukan oleh peran aktif mereka sendiri, bukan orang lain, keluarga, teman atau kerabat. Peran aktif itu bisa dengan cara sejak dini peserta didik harus dilibatkan untuk ikut serta menentukan masa depannya. Tidak harus dipaksa untuk menjadi seperti yang diinginkan gurunya atau orang tuanya. Banyak orang tua yang beranggapan bila anak-anak mereka setelah sekolah atau kuliah harus mendapatkan pekerjaan di kantor, bila tidak buat apa mereka sekolah. Melihat hal itu kita harus mencoba mengubah pola pendidikan dan model pendidikan yang diterapkan saat ini. Sehingga hasil dari pendidikan kita akan menjadikan manusia seutuhnya yaitu manusia yang mampu hidup tanpa tergantung pada orang lain. Disinilah terjadi hubungan antara mentalitas kewirausahaan dan manusia seutuhnya terjadi. Menurut Herry-Priyono (2004), ada tiga faktor penghambat yang menyebabkan para sarjana dan lulusan sekolah tidak berminat terjun disektor wirausaha atau belum punya mental kewirausahaan, yaitu : Pertama, bekal kecakapan yang diperoleh dari lembaga pendidikan tidak memadai untuk dipergunakan secara mandiri; Kedua, sejarah hidup karena banyak di antara mereka yang sejak kecil memang mengidolakan
59
status sosial menjadi PNS; Ketiga, masalah modal, tidak semua orang punya modal materi yang memadai untuk terjun ke dunia usaha. Disamping tiga faktor tersebut, hal yang terpenting menurut Rahmah Aulidia (2005) adalah membudayakan dan memasyarakatkan wirausaha di Indonesia melalui institusi pendidikan. Pendidikan disini bisa berupa formal (SD, SMP, SMA, dan Perguruan Tinggi) maupun informal (keluarga). Membangun dan membentuk budaya wirausaha dapat dilakukan mulai dari usia dini sampai usia dewasa. Anak-anak sejak usia dini harus dibiasakan menabung, memutuskan masalahnya sendiri, maupun dengan membiarkan mereka berkembang sesuai dengan bakatnya masing-masing. Orang tua dan guru hanya berfungsi sebagai pengarah (direction) dan pengawas (controlling), bukan penentu (decision) masa depan anak-anaknya. Instruksi Presiden No. 4 Tahun 1995 tanggal 30 Juni 1995 tentang Gerakan Nasional Memasyarakatkan dan membudayakan Kewirausahaan setidaknya bisa menjadi pijakan untuk membentuk mental kewirausahaan bagi generasi penerus bangsa. Pendidikan kewirausahaan perlu dikembangkan sejak dini, hal ini cukup beralasan agar Indonesia dapat mencetak generasi penerus yang siap dengan tantangantantangan ekonomi di masa mendatang. Pendidik adalah ―agen of change‖ yang diharapkan mampu menanamkan ciri-ciri, sifat dan watak serta jiwa kewirausahaan atau jiwa entrepreneurship bagi siswanya.
PEDAGOGIK Vol. IV, No. 2, September 2016
Di samping itu, jiwa entrepreneur juga sangat diperlukan bagi seorang pendidik, karena melalui jiwa ini para pendidik akan memiliki orientasi kerja yang lebih efisien, kreatif, inovatif, produk, dan mandiri. Guru perlu menyiapkan anak usia sekolah dasar dengan berbagai strategi untuk menanamkan nilai- nilai pendidikan kewirausahaan. Guru memiliki tanggung jawab yang besar dalam membentuk karakter anak agar siap dengan tantangan kehidupan dari berbagai aspek bidang, khususnya bidang ekonomi. Dalam merealisasikan pendidikan yang bermutu, dituntut penerapan program mutu yang fokus pada upaya-upaya penyempurnaan mutu seluruh komponen dan kegiatan pendidikan. Dalam meningkatkan mutu pendidikan untuk meningkatkan SDM adalah: manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (school based management) dimana sekolah diberikan kewenangan untuk merencanakan sendiri upaya peningkatan mutu secara keseluruhan. Komponen yang terkait dengan mutu pendidikan antara lain siswa, guru, kurikulum, sarana prasarana, dan masyarakat. Dhikrul Hakim (2012:1) PEMBAHASAN A. Pendidikan Kewirausahaan Upaya peningkatan mutu pendidikan di Indonesia sudah lama dilakukan bahkan di dalam program pemerintah yang repelita. Mutu pendidikan sangatlah penting untuk dimasukkan ke dalam agenda kurikulum pemerintah. Pemerintah
60
melakukan segala daya upaya agar mutu pendidikan Di Indonesia tidak kalah dengan negara-negara lain. Maka pemerintah melakukan beberapa hal seperti pengadaan buku ajar dan buku referensi lainnya. Peningkatan mutu guru dan tenaga kependidikan dengan berbagai pelatihan dan peningkatan kualifikasi pendidikan, peningkatan manajemen pendidikan serta pengadaan fasilitas penunjang selalu dilakukan. Namun, sampai saat ini mutu pendidikan masih jauh dari harapan. Pendidikan di Indonesia masih menerapkan hal-hal teori saja, namun tidak menerapkannya dalam kehidupan sosial dan mampu memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi mereka sehari-hari. Pendidikan yang tepat diterapkan di Indonesia adalah pendidikan yang beorientasi jiwa kewirausahaan yaitu jiwa yang berani dan mampu menghadapi masalah serta mencari solusinya sendiri tanpa bergantung dengan orang lain. Salah satu jiwa kewirausahaan yang perlu dikembangkan melalui pendidikan pada anak usia dini adalah kecakapan hidup (life skill). Berdasarkan standar nasional pendidikan yang menjadi acuan pengembangan kurikulum(KTSP), pendidikan kewirausahaan juga termasuk dalam materi yang harus diajarkan dan dikuasai serta direalisasikan oleh peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Permasalahannya, pendidikan kewirausahaan di sekolah selama ini baru menyentuh pada
PEDAGOGIK Vol. IV, No. 2, September 2016
tingkatan pengenalan norma atau nilai-nilai, dan belum pada tingkatan internalisasi dan tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari. Di samping itu, berlakunya sistem desentralisasi berpengaruh pada berbagai tatanan kehidupan, termasuk pada manajemen pendidikan yaitu manajemen yang memberi kebebasan kepada pengelolaan pendidikan. Adanya kebebasan dalam pengelolaan pendidikan diharapkan mampu menemukan strategi pengelolaan pendidikan yang lebih baik sehingga mampu menghasilkan output pendidikan yang berkualitas baik dilihat dari kualitas akademik maupun non akademik. Kualitas akademik yang dimaksud adalah kualitas peserta didik yang terkait dengan bidang ilmu, sedangkan kualitas non akademik berkaitan dengan kemandirian untuk mampu bekerja di kantor dan membuka usaha/lapangan kerja sendiri. Dengan kata lain lulusan pendidikan diharapkan memiliki karakter dan perilaku wirausaha yang tinggi. (Kemendiknas:2010,3). Kewirausahaan berasal dari kata wira dan usaha. Wira, berrati pejuang, pahlawan, manusia unggul, teladan, berbudi luhur, gagah berani dan berwatak agung. Usaha, berarti perbuatan amal, bekerja, berbuat sesuatu. Jadi, wirausaha adalah pejuang atau pahlawan yang berbuat sesuatu, ini baru dari segi etimologi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, wirausaha adalah orang yang pandai dan berbakat mengenali produk baru, menentukan cara produksi baru, menyusun operasi
61
untuk mengadakan produk baru, mengatur permodalan operasinya serta memasarkannya. Dalam lampiran Keputusan Menteri Koperasi dan Pembinaan Pengusahan Kecil Nomor 961/KEP/M/XI/1995, dicantumkan bahwa : 1. Wirausaha adalah orang yang mempunyai semangat, sikap, perilaku dan kemampuan kewirausahaan; 2. Kewirausahaan adalah semangat, sikap, perilaku dan kemampuan seseorang dalam menangani usaha atau kegiatan yang mengarah pada upaya mencari, menciptakan serta menerapkan cara kerja, teknologi dan produk baru dengan meningkatkan efisiensi dalam rangka memberikan pelayanan yang lebih baik dan atau memperoleh keuntungan yang lebih besar. Keuntungan menjadi wirausahawan adalah memiliki kebebasan mencapai tujuannya sendiri, menunjukkan potensi secara penuh, mendapat laba yang maksimal, kebebasan melakukan perubahan, menciptakan lapangan kerja dan mendapat pengakuan dari masyarakat. Setelah melihat keuntungan menjadi wirausaha, ada beberapa cirri yang harus dimilikiseseorang untuk menjadi wirausahawan sukses. Untuk menjadi wirausahwan suksesseseorang harus mampu melihat ke depan, berpikir dengan penuh perhitungan, serta mencaripilihan dari berbagai alternative masalah dan solusinya. Geffrey G. Meredith dalam
PEDAGOGIK Vol. IV, No. 2, September 2016
Suharyadidkk (2007: 9) mengemukakan tentang ciri- ciri wirausahawan, yaitu sebgai berikut. 1. Percaya diri Seorang pengusaha harus memiliki kepercayaan yang tinggi. Segaa sesuatu yang telah diyakini dan dianggap benar harus dilakukan sepanjang tidak melanggar hukum dan normayang berlaku. Percaya diri merupakan sikap dan keyakinan untuk memulai, melakukan, dan menyelesaikan tugas atau pekerjaan yang dihadapi. 2.
Berorientasi Tugas dan Hasil Seorang wirausahawan harus fokus pada tugas dan hasil. Apa yang dilakukan olehwirausahawan merupakan usaha untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Keberhasilanpencapaian tugas tersebut ditentukan oleh faktor motivasi berprestasi, beroirentasikeuntungan, kerja keras, serta berinisiatif. 3.
Berani mengambil resiko Setiap proses bisnis memiliki resiko masing- masing, baik untung maupun rugi. Untuk memperkecil kegagalan usaha maka wirausahawan harus mengetahui peluang kegagalan, dengan begitu, dapat diusahakan untuk memperkecil resiko tersebut. 4.
Kepemimpinan Wirausahawan yang berhasil ditentukan pula oleh kemampuan dalam memimpin atau yang kita sebut dengan kepemimpinan. Kepemimpinan ini bukan hanya
62
memberikan pengaruh pada orang lain atau karyawannya, melainkan juga sigap dalam mengantasipasi setiap perubahan. Keorisinilan Kewirausahaan harus mampu menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda. Keorisinilandan keunikan dari suatu barang dan jasa menjadi daya tarik tersendiri dalam suatu usaha.
yang dilakukan anak bersama dengan guru atau orangtuanya. Pengaruh sains pada berbagai aspek perkembangan (Yuliani Nurani Sujiono,2006 : 12.8) adalah :
5.
6.
Berorientasi Masa Depan Wirausahawan yang memiliki pandangan jauh ke depan menjadikan seorang tersebutakan terus berupaya untuk berkarya dengan menciptakan sesuatu yang berbeda dengan yangsudah ada saat ini. Pandangan ini menjadikan wirausahawan tidak cepat merasa puas denganhasil yang diperoleh saat ini hingga terus mencari peluang. Kepekaan memahami lingkungansekitar juga diperlukan untuk menciptakan suatu produk yang beroirentasi masa depan. B. Pembelajaran IPA di SD Menurut Anna Poedjiadi dan Suwarma (2007 : 2.9) mendefinisikan sains merupakan sekelompok pengetahuan tentang objek atau fenomena alam yang diperoleh dari hasil pemikiran dan penelitian para ilmuwan yang dilakukan dengan keterampilan bereksperimen menggunakan metode ilmiah. Kegiatan sains dapat merangsang aspek perkembangan seperti sosio-emosional, fisik dan kreativitas di mana hal ini akan ikut terbangun dalam setiap aktivitas sains
PEDAGOGIK Vol. IV, No. 2, September 2016
1.
Perkembangan Sosial Melalui sains anak mendapat kesempatan untuk saling berbagi atau bertukar bahan-bahan, alat-alat, ideide dan pengamatan-pengamatan dengan anak-anak yang lain. Pada banyak aktifitas dalam penjelajahan dan penemuan sains, diperlukan emampuan kerja sama dengan oranglain. Pada umumnya, kemampuan anak untuk bekerja sama muncul secara alamiah ketika mereka terlibat dalam aktifitas kelompok. 2.
Perkembangan Emosional Aktivitas dalam penjelajahan dan penemuan ilmu pengetahuan sangat berpotensi mengembangkan rasa bangga dan saling menghargai, misalnya pada saat anak-anak mampu menemukan jawaban ataupun berhasil dalam kegiatan penjelajahan ilmu pengetahuan yang dilakukannya. Belajar tentang fenomena alam atau makhluk hidup terkadang dapat terlihat “menakutkan” tetapi sebaliknya dapat juga membantu anak-anak mengalahkan ketakutan mereka sendiri. Melalui penjelajahan sains akan muncul berbagai rasa keheranan dan atau menambah rasa kegembiraan anak-anak sebagai ungkapan sepenuhnya rasa keingintahuan mereka. 3. Perkembangan Fisik Anak kecil usia antara 4-5 tahun mulai mampu menggunakan dan
63
menggerakkan koordinasi motorik halusnya. Misalnya ketika anak bereksplorasi dengan magnet-magnet, mengisi wadah-wadah dengan pasir dan air atau melakukan gerakangerakan lebih kompleks yang merupakan bagian dari proses percobaan. 4.
Perkembangan Kognitif Melalui aktivitas sains anak akan menggunakan kemampuan kognitifnya dalam memecahkan masalah, matematika dan bahasa pada saat mereka sedang mengamati, memprediksi, meyelidiki, menguji, menyatakan jumlah dan berkomunikasi. 5.
Perkembangan Kreatifitas Aktivitas dalam penemuan sains pada dasarnya dapat melatih dan mendorong daya imajinasi anak. Melalui proses pencarian dan penemuan, anak akan mencoba-coba atau meneliti dengan menggunakan ide-ide atau cara-cara baru dengan bahan atau alat yang sederhana. 6.
Perkembangan Sikap Sikap (attitude) didefinisikan Kaur (2013: 25) sebagai sebuah kondisi mental terorganisir melalui pengalaman, mengerahkan pengaruh dinamis direktif pada respon individu untuk semua obyek dan situasi yang terkait. Sikap ini didasarkan pada keyakinan dan sering memiliki andil untuk membimbing perilaku. Patta (2006: 16) menjelaskan sikap sebagai keadaan internal yang terbentuk dan mempengaruhi tindakan terhadap benda atau peristiwa. Salah satu jenis
PEDAGOGIK Vol. IV, No. 2, September 2016
sikap yang disebutkan oleh Patta yaitu sikap ilmiah. Janciraniet al. (2012: 2) menjelaskan sikap ilmiah adalah kombinasi daribanyak kualitas dan kebaikan, yang tercermin melalui perilakudan tindakan orang tersebut. Orang-orang ini berpikiran terbuka, berorientasi percobaan, sistematis, cinta pengetahuan, benar secara intelektual, jujur, bertindak ilmiah, dan harapan bahwa solusi dari masalah akan datang melalui penggunaan pengetahuan diverifikasi. Sikap ilmiah sedikitnya mencakup enam unsur yakni keingintahuan (curiosity), spekulatif (speculativaness), kesediaan untuk bersifat objektif (willingness to be objective), berpandangan terbuka (open-mindness), kesediaan untuk mengukuhkan keputusan (willingness to suspend judgment), dan kesediaan untuk bersikap bahwa semua kesimpulan ilmiah bersifat sementara (tentativity) (Priyono, 2000: 1-3). Scientific attitude yang sangat penting dimiliki pada semua tingkatan pendidikan sains menurut National Curriculum Council (Patta, 2006: 39) yaitu hasrat ingin tahu; mengharagai kenyataan (fakta dan data); menerima ketidakpastian; refleksi kritis dan hatihati; tekun, ulet, dan tabah; kreatif untuk penemuan baru; berpikir terbuka; sensitif terhadap lingkungan sekitar; bekerjasama dengan orang lain. Ilmu pengetahuan alam atau sains merupakan ilmu yang mempelajari gejala-gejala alam yang meliputi mahluk hidup dan mahluk tak hidup atau sains tentang kehidupan
64
dan sains tentang dunia fisik. Pengetahuan sains diperoleh dan dikembangkan dengan berlandaskan pada serangkaian penelitian yang dilakukan oleh sainstis dalam mencari jawaban pertanyaan” apa?”, ”mengapa?”, dan “bagaimana?” dari gejala-gejala alam serta penerapannya dalam teknologi dan kehidupan sehari-hari. Pendidikan sains menekankan pada pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar siswa mampu menjelajahi dan memahami alam sekitar secara ilmiah. Pendidikan sains diarahkan untuk mencari tahu dan melakukan sesuatu sehingga dapat membantu siswa untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang alam sekitar. Oleh karena itu, pendekatan yang diterapkan dalam menyajikan pembelajaran sains adalah memadukan antara pengalaman proses sains dan pemahaman produk sains dalam bentuk pengalaman langsung (Depdiknas, 2002). Kerja ilmiah merupakan langkah-langkah metode ilmiah yang dilakukan oleh ilmuwan dalam mencari pemecahan dari suatu permasalahan. Berawal dari suatu permasalahan, ilmuwan akan mencari pemecahan masalah dengan berlandaskan pada teori, hipotesis dan sistematika. Dalam mencari pemecahan, dilakukan dengan melakukan observasi, kemudian menyusun hipotesis dari hasil observasi tersebut, dan menguji hipotesis dengan melakukan eksperimen untuk memperoleh data.
PEDAGOGIK Vol. IV, No. 2, September 2016
Data akan diolah dan diperoleh kesimpulan yang kemudian kesimpulan tersebut diuji lagi dengan eksperimen yang berulang-ulang dengan menunjukkan hasil yang sama membuktikan bahwa kesimpulan yang dibuat adalah benar, sehingga dapat diterima kebenarannya dan dapat dianggap sebagai suatu teori atau hukum. Pembelajaran IPA di sekolah dapat menerapkan metode ilmiah dengan membiasakan siswa melakukan kerja ilmiah. Menghadapkan siswa pada suatu permasalahan untuk mencari pemecahannya, dapat memotivasi siswa untuk melakukan kerja ilmiah dengan menerapkan metode ilmiah. Adapun rumusan metode ilmiah, antara lain melakukan observasi atau pengamatan terhadap lingkungan sekitar, merumuskan masalah dari hasil observasi, merumuskan suatu hipotesis yang merupakan jawaban sementara dari masalah yang dihadapi, kemudian merancang suatu eksperimen untuk untuk menguji hipotesis dan melaksanakan rancangan eksperimen untuk mendapatkan data, selanjutnya data hasil eksperimen dianalisis dan menarik suatu kesimpulan yang pembuktian dari hipotesis. Suatu kesimpulan yang telah diuji lagi dengan eksperimen dan menunjukkan hasil yang sama, dapat disebut sebagai teori atau konsep. Langkah terakhir dalam metode ilmiah adalah melaporkan hasil kerja ilmiahnya secara keseluruhan mulai dari rumusan masalah hingga hasil dari eksperimen yang berupa kesimpulan.
65
Pembelajaran IPA atau Sains di sekolah dasar selain mampu mengembangkan keterampilan fisik, sosial, bahasa, keterampilan dasar berhitung, membaca, menulis juga diharapkan mampu mengembangkan kemandirian siswa. Mandiri adalah suatu kondisi dimana seseorang dalam melakukan aktivitasnya tidak bergantung kepada orang lain. Maksudnya, bukan berarti tidak membutuhkan orang lain namun kegiatan tersebut masih mampu berjalan meskipun tanpa bantuan orang lain. Melatih kemandirian merupakan bekal yang baik untuk kehidupan anak. Bila anak mandiri, hal ini tentu membuat anak merasa lebih percaya diri dan pandai dalam melakukan banyak hal. Contoh kegiatan melatih kemandirian yang dapat dilakukan guru di sekolah adalah mendidik anak untuk merapikan alat tulis sendiri, mendidik anak untuk menabung, berkemah, melakukan eksperimen bersama dengan kelompoknya, dan lain- lain. Guru perlu memberikan pujian jika anak sudah berhasil melakukan kegiatan secara mandiri, agar anak antusias untuk tidak sellau bergantung kepada orang lain. Model pembelajaran berbasis masalah (Problem Base Learning) hasil karya John Dewey ini mendorong guru untuk melibatkan siswa diberbagai proyek berorientasi masalah dan membantu mereka menyelidiki suatu permasalahan. Adapun karakter-karakter dari pembalajaran berbasis masalah yang dikemukakan oleh Arends (2008), antara lain adanya pertanyaan atau masalah
PEDAGOGIK Vol. IV, No. 2, September 2016
perangsang, pembelajaran berbasis masalah mengorganisasikan pengajaran diseputar pertanyaaan dan masalah yang penting dan bermakna bagi siswa. Pembelajaran berfokus pada interdisipliner atau keterkaitan antardisiplin, meskipun berbasis pada suatu masalah tetapi dapat dipusatkan pada subyek tertentu seperti IPA, matematika, sejarah atau yang lainnya. Investigasi autentik, pembelajaran berbasis masalah, dengan cara siswa diharuskan untuk melakukan investigasi autentik yang berusaha menemukan solusi nyata untuk masalah yang nyata. Selanjutnya, siswa menganalisis dan menetapkan masalah, kemudian mengembangkan hipotesis dan membuat prediksi, mengumpulkan dan menganalisis informasi, melaksanakan eksperimen, membuat inferensi dan menarik kesimpulan. Produksi artefak dan exhibit, yaitu siswa dituntut untuk membuat produk tertentu berbentuk karya nyata atau peragaan yang kemudian didemonstrasikan kepada temanteman lainnya. Kolaborasi, diterapkan pada pembelajaran berbasis masalah yang dicirikan dengan adanya kerja sama antar siswa dalam bentuk kelompok atau berpasang-pasangan. Pembelajaran berbasis masalah dirancang untuk membantu siswa mengembangkan ketrampilan berpikir, ketrampilan menyelesaikan masalah dan ketrampilan intelektualnya serta menjadi pelajar yang mandiri.
66
C. Pendidikan Kewirausahaan melalui pembelajaran IPA di SD Menurut pendapat Ir. Ciputra dalam Yasar(2010: 79), bahwa jumlah entrepreneur minimal dua persen dari polupasi suatu bangsa,mampu mendobrak dan mendorong kemajuan ekonomi. Saat ini, bangsa kita mulaimenggalakan pendidikan kewirausahaan di perguruan tinggi, agar para mahasiswa dapatsiap mental dan kompetensi setelah masuk kedalam dunia kerja. Namun, pendidikankewirausahaan ini alangkah baiknya baiknya dimulai dari lingkup pendidikan dasar,khususnya di sekolah dasar. Kewirausahaan untuk anak bukan bermaksud untukmempekerjakan anak, namun menanamkan nilai-nilai kewirausahaan sejak dini. Nilainilaikewirausahaan mengandung karakter – karakter baik dalam kehidupan anak. Hal ini sejalandengan pendapat Wibowo(2010: 22) bahwa pendidikan kewirausahaan seharusya memangdilakukan sejak dini diajarkan di jenjang awal pendidikan yaitu Taman kanak- kanak danSekolah Dasar. Tentunya materi yang disampaikan disesuaikan dengan jejang pendidikan danusia siswa. Kegiatan untuk menanamkan kemandirian anak di sekolah dapat dilakukan dengan kegiatan berkemah. Kegiatan ini menuntut siswa untuk melakukan berbagai kegiatan secara mandiri. Kegiatan ini selain mampu melatih kemandirian siswa, juga dapat memberikan pengalaman menarik bagi siwa untuk belajar tentang alam. Jika dikaitkan dengan kewirausahaan, sikap mandiri perlu dimiliki anak agar
PEDAGOGIK Vol. IV, No. 2, September 2016
tidak bergantung dengan orang lain. Kelak anak diharapkan siap untuk mampu menciptakan dan mengelola usaha mandiri, yang bahkan akan memberikan lapangan kerja bagi orang lain. Dengan memiliki jiwa mandiri, anak tidak akan mudah putus asa ketika mengalami sebuah kegagalan serta pandai mengambil hikmah dari kegagalan tersebut. Karakter leadership atau jiwa kepemimpinan. Setiap anak pasti memiliki potensi leadership. Tetapi, supaya potensi itu dapat berfungsi, membutuhkan aktualisasi sejak dini. Akar dari berbagai bentuk leadership diawali dari kemampuan anak untuk memimpin diri sendiri terlebih dahulu. (selfleadership). Guru dapat memfasilitasi anak untuk mengembangkan berbagai kemampuan yang dibituhkan untuk kepemimpinan, misalnya tampil di depan, menghargai inisiatif orang lain, menunjuk sebagai ketua kelas atau ketua kelompok dalam sebuah kegiatan, dan lain- lain. Selain itu, leadership dapat dilakukan juga dengan melatih anak untuk berdisplin, karena disiplin merupakan proses yang harus ditempuh anak untuk melai belajar mengendalikan diri. Hal yang penting lagi adalah melatih anak untuk terampil dalam mengungkapkan gagasan atau keinginan sehingga mudah dipahami orang lain. Guru perlu juga mengajarkan anak untuk mendengarkan gagasan dan menjaga perasaan orang lain, dengan cara melihat dari sudut pandang orang lain. Salah satu ciri pendengar yang baik adalah tidak menyela saat orang lain
67
sedang berbicara. Leadership ini penting dimiliki oleh para wirausahawan karena pemimpin yang baik bukan hanya pandai mengatur dan mengelola usaha, namun juga bijak dalam mendengarkan saran dan kritik dari karyawan demi kemajuan usaha dan pengembangan diri. Keterampilan memecahkan masalah memiliki keterkaitan dengan pentingnya sikap mandiri pada anak. Anak yang mandiri biasanya dengan mudah memiliki solusi untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Guru dapat memberikan berbagai tugas pemecahan masalah yang berbasis masalah lingkungan di sekitar siswa. Siswa diminta untuk mengesplorasi dan menemukan masalah yang ada, mengidentifikasi penyebab dan dampak yang ditimbulkan dari masalah itu, yang pada akhirnya siswa mampu memberikan solusi pemecahan. Kendati solusi yang dipilih anak mungkin belumm menjadi keputusan yang terbaik, setidaknya guru mengapresiasi atas tindakan mereka memberikan solusi. Berdasarkan neuroscience, menyebutkan bahwa bermain juga merupakan salah satu cara anak dalam mempelajari problem solving. Penelitian tersebut membandingkan kemampuan problem solving anak yang lebih sering bermain dengan permainan konvergen seperti puzzle dengan anak yang bermain dengan permainan divergen seperti balok kayu. Hasilnya, anak yang bermain dengan permainan divergen lebih kreatif dalam mencari pemecahan
PEDAGOGIK Vol. IV, No. 2, September 2016
masalah. Contoh permaianan lain yang juga memiliki manfaat pada kemampuan problem solving adalah permainan sandiwara. Dalam pembelajaran IPA pun anak dapat menerapkan sikap dan perilaku kewirausahaan, seperti guru memberikan sebuah percobaan atau permasalahan yang nantinya akan dipecahkan oleh siswa dengan cara berdiskusi dan berinteraksi antar siswa dengan siswa yang lain. Sehingga akan muncul ide-ide atau penemuan-penemuan yang dapat mengembangkan jiwa kreatifitas anak. Kadang kita tidak sadari dunia anak dalam melakukan eksperimen tanpa kita ikut campur dapat mengembangkan jiwa kewirausahaan dan menghasilkan hal yang bermanfaat untuk mereka sendiri dan untuk orang lain. PENUTUP Berdasarkan pemamparan hal diatas dapat diambil kesimpulan bahwa pendidikan kewirausahaan sangatlah penting dalam memecahkan masalah pengangguran dan meningkatkan taraf hidup masyarakat di Indonesia. Pendidikan kewirausahaan merupakan salah satu bidang pendidikan yang menitikberatkan pada pembentukan karakter manusia seutuhnya. Untuk menumbuhkan jiwa kewirausahaan sejak dini perlu dilakukan kerjasama antara orang tua dengan pendidikan informal (keluarga) dan juga pendidikan fomal (sekolah).
68
Salah satu cara mengembangkan model pendidikan kewirausahaan disetiap mata pelajaran yang ditekuni oleh anak. Anak SD merupakan salah satu karaktek peserta didik yang perlu kita bentuk dan bina dalam hal menumbuhkan karakter kemandirian, kepemimpinan dan kreativitas. Pembelajaran IPA atau sains di SD merupakan salah satu mata pelajaran
yang di dalamnya banyak menekankan perilaku kewirausahaan yang biasa dalam pembelajaran sains disebut sikap ilmiah. Dimana siswa diajarkan untuk peka terhadap lingkungan, dan dapat memecahkan masalah yang dihadapi mereka sendiri. Guru disini berfungsi sebagai pengarah dan pemotivasi dalam hal yang dilakukan oleh anak.
*Leonita Siwiyanti adalah mahasiswa PG-PAUD Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Sukabumi *Din Azwar Uswatun adalah Prodi PG-PAUD Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Sukabumi
DAFTAR PUSTAKA
Basrowi, (2016). Kewirausahaan Untuk Perguruan Tinggi. Bogor : Penerbit Ghalia Indonesia. Ciputra. (2009). Ciputra Quantum Leap (Entrepreneurship Mengubah Masa Depan Bangsa dan Masa Depan Anda). Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Hakim Dhikrul, (2012),Kendali Mutu Dan Kinerja Guru Pendidikan Agama Islam di SDIT Ar-Ruhul Jadid Jombang.Penelitian Hibah Internal Dosen di Unipdu tanggal 3 Maret 2012. Hakim, Dhikrul, (2012), Pengembangan Pendidikan Kewirausahaan Berdasarkan Nilai-Nilai Budaya untuk Membentuk Daya Saing dan Karakter Bangsa. Prosiding Seminar Competitive Advantage 1 (2). Jancirani, R., Dhevakrishnan, R., & Devi, S. (2012). A study on scientific attitude of adolescence students in Namakkal District. International Educational EJournal, 1, 2-8. Diambil pada tanggal 8 September 2014, dari: http://www.oiirj.org/ejournal/july-aug-sept2012/01.pdf. Kaur, G. (2013). Scientific attitude in relation to critical thinking among teachers. Educationia Confab, 2,24-29. Diambil pada tanggal 9 September 2014, dari: http://www.confabjournals.com/confabjournals/images/992013234834.pdf. Kementerian Pendidikan Nasional. (2010). Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa.Bahan Pelatihan Penguatan MetodologiPembelajaran PEDAGOGIK Vol. IV, No. 2, September 2016
69
Berdasarkan Nilai-Nilai Budaya untuk Membentuk DayaSaing dan Karakter Bangsa. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum. Kementerian Pendidikan Nasional. (2010). Pengembangan Pendidikan Kewirausahaan. Bahan Pelatihan Penguatan Metodologi PembelajaranBerdasarkan Nilai-Nilai Budaya untuk Membentuk Daya Saing danKarakter Bangsa. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum. Patta, B. (2006). Penilaian keterampilan proses dan sikap ilmiah dalam pembelajaran sains SD. Jakarta: Depdiknas. Pendidikan, J., Sekolah, L., Pendidikan, F.I., Surabaya, U,N., D., Dwi, G., ...Pd, M. (n.d). PENERAPAN MODEL EFI (ENAM INTI ) DALAM MENUMBUHKAN SIKAP KEWIRAUSAHAAN PESERTA DIDIK ADA PROGRAM PENDIDIKAN KEWIRAUSAHAAN MASYARAKAT (PKM) DI UPT SKB KOTA MALANG, 1-12. Priyono, J.FX. (September 2000). Resensi buku Archie J. Bahim analisis tentang what is science. Makalah disajikan dalam Diskusi Reguler Bagian Hukum Internasional, di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. Rachmadyanti, P., Wicaksono, V.D., & Surabaya, U.N. (n.d). SEKOLAH DASAR, 419437. Rahayu, P., Mulyani, S., & Miswadi, S.S. (2012). Jurnal Pendidikan IPA Indonesia Melalui Lesson Study , 1(1), 63-70 Suharyadi, dkk. (2007). Kewirausahaan Membangun usaha Sukses Sejak usia Muda. Jakarta: Salemba Empat Suryono, yoyon.(2012). Pembelajaran Kewirausahaan Masyarakat. Yogyakarta: Aditya Medis Wibowo, Budhi dan Adi Kusrianto. (2010). Menembus Pasar Ekspor, Siapa takut. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Yasar, Iftida. (2010). From Zero to Hero (Rahasia Menciptakan pribadi Unggul di Pekerjaan dan Kehidupan). Jakarta: Gramedia. m.kompasiana.com/post/edukasi/2011/4/17 (diakses pada tanggal 15 April 2013
PEDAGOGIK Vol. IV, No. 2, September 2016
70