MODEL PENGUKURAN KINERJA BELANJA INFRASTRUKTUR KEMENTERIAN/LEMBAGA
1. Permasalahan Persoalan mendasar dalam APBN adalah bahwa adanya keterbatasan dana (budget constrains) pada satu sisi, sementara pada sisi lain pemerintah berkewajiban untuk menangani berbagai isu strategis, terutama yang terkait dengan pengangguran, kemiskinan, pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan, kesenjangan, serta konservasi lingkungan yang seolah-olah mutlak menjadi tanggungjawab pemerintah. Oleh karena itu, Pemerintah harus mampu menciptakan belanja negara yang berkualitas dengan berupaya secara konsisten mengarahkan sumber daya yang terbatas agar dapat digunakan secara terukur, efektif dan efisien untuk mencapai target yang ditetapkan. Untuk menjaga dan meningkatkan kualitas belanja negara tersebut Pemerintah harus mendorong terpenuhinya aspek efisiensi dan efektivitas dalam seluruh tahapan penyusunan APBN, yaitu mulai tahap perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, hingga tahap pelaporan. Sementara itu, untuk mewujudkan hal tersebut perlu didukung sebuah alat (tool) analisis yang mampu menghasilkan output yang objektif dan kredibel, serta dapat menjangkau seluruh tahapan penyusunan APBN. Selama ini tolok ukur untuk melihat kinerja belanja negara lebih didasarkan pada pendekatan tingkat penyerapan belanja. Semakin besar tingkat penyerapan, dianggap semakin optimal kinerja belanjanya dan sebaliknya, semakin rendah tingkat penyerapan semakin rendah pula kinerja belanja suatu K/L. Dasar pemikiran tersebut memang tidaklah salah, mengingat belanja negara merupakan instrumen fiskal yang diharapkan dapat menstimulus perekonomian, sehingga semakin besar penyerapannya seharusnya semakin besar pula daya dorongnya terhadap perekonomian, dan sebaliknya. Namun demikian, pengukuran efektivitas belanja yang hanya disandarkan pada tingkat penyerapan, menurut hemat kami kuranglah tepat. Beberapa kelemahan pengukuran kinerja belanja negara dengan pendekatan tingkat penyerapan antara lain : a) Hanya mampu mengevaluasi tahap pelaksanaan, dimana penyerapan hanya diukur dari jumlah dana yang berhasil terserap dari alokasi yang direncanakan selama pelaksanaan anggaran (tingkat kesesuaian terhadap alokasi yang direncanakan), sehingga hasilnya kurang optimal; b) Hanya mampu mengukur kinerja dari sisi penyerapan keuangan saja, namun belum memberi informasi pencapaian/realisasi secara fisik. Padahal indikator terwujudnya efektivitas belanja negara tidak hanya ditunjukkan oleh penyerapan keuangan yang optimal sesuai kebutuhan,tetapi juga menghasilkan output/outcome yang berkualitas sesuai target yang ditetapkan; c) Hasil pengukuran dengan pendekatan penyerapan belum mampu mewakili indikator efektivitas belanja secara komprehensif, sehingga perlu disempurnakan.
1
Untuk mewujudkan kualitas belanja infrastruktur yang lebih terukur dan terjaga efektivitasnya, maka perlu dikembangkan sebuah alat pengukuran kinerja infrastruktur yang reliable, sehingga menghasilkan output yang kredibel dan objektif. 2. Tujuan dan Manfaat Kajian Tujuan yang hendak dicapai dalam kajian tersebut adalah: 1. Membangun model komprehensif;
pengukuran kinerja belanja K/L (infrastruktur) yang reliable dan
2. Menguji model untuk memastikan bahwa hasil pengukuran model relatif kredibel dan objektif, serta aplikatif; Sementara itu, kajian ini diharapkan mempunyai manfaat berupa: 1. pengukuran kinerja belanja K/L (infrastruktur) yang lebih komprehensif dan kredibel serta objektif, yaitu yang mampu menjangkau tahap perencanaan dan pelaksanaan, baik terkait keuangan, fisik maupun outcome; 2. Hasil pengukuran dapat memberikan informasi mengenai tingkat efektivitas belanja infrastruktur, baik secara agregat, per jenis infrastruktur, maupun pada masing-masing variabel. Hal ini memudahkan bagi perumus kebijakan untuk mengidentifikasi kelemahan maupun kelebihan sebuah proyek/kegiatan, sehingga dapat meningkatkan upaya penguatan belanja infrastruktur. 3. Hasil pengukuran belanja K/L(infrastruktur) juga dapat memberikan informasi berupa tingkat efisiensi belanja infrastruktur, yaitu penggunaan input yang optimal serta potensi efisiensi penggunaan input. 3. Metode Perhitungan Kajian tentang pengukuran kinerja belanja terhadap suatu institusi (K/L termasuk belanja infrastuktur) selama ini telah banyak dilakukan, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Berdasarkan konsep pengukuran belanja, kualitas output/outcome merupakan cerminan kinerja belanja, sehingga apabila output/outcome yang dihasilkan berkualitas, maka hal ini menujukkan bahwa kinerja belanja optimal, dan sebaliknya, apabila output/outcome yang dihasilkan kurang berkualitas, maka hal tersebut merupakan indikasi bahwa kinerja belanja juga kurang optimal. Jenis data yang digunakan dalam kajian ini adalah data sekunder dan data primer. Data sekunder diperoleh dari K/L terkait, Bappenas, SKPD, DJA dan DJPB. Sedangkan data primer diperoleh dengan cara pemberian Kuesioner kepada responden dan wawancara secara langsung kepada sumber informasi, baik instansi terkait maupun masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi dan pengguna infrastruktur yang bersangkutan. Data primer yang diperoleh dari Kuesioner tidak seluruhnya digunakan karena terdapat beberapa jawaban yang dipandang kurang logis dan terdapat indikasi bahwa responden memberi jawaban tidak sesuai kondisi yang sebenarnya. Untuk menguji apakah jawaban dalam Kuesioner logis atau tidak, maka juga dilakukan wawancara secara langsung dengan beberapa sumber yang mempunyai pemahaman yang memadai terkait infrastruktur. Hal tersebut dilakukan dalam rangka cross check kebenaran informasi dimaksud, dengan harapan akan diperoleh data yang relatif lebih valid dan akurat. 2
3.1 Indikator Berdasarkan beberapa teori yang dikemukakan oleh para pakar tersebut di atas, di antaranya Emerson dalam Handayaningrat (1996:16), bahwa “Efektivitas adalah pengukuran dalam arti tercapainya sasaran atau tujuan yang telah ditentukan”. Jadi, apabila tujuan tersebut telah dicapai, baru dapat dikatakan efektif. Sementara itu, Gibson, Donnely, dan Ivancevich memberikan batasan dalam kriteria efektivitas organisasi melalui pendekatan teori sistem (1997:31-32), antara lain: meliputi produksi, efisiensi, kepuasan, adaptasi, perkembangan dan kelangsungan hidup organisasi. Berdasarkan teori tersebut, maka indikator terpenuhinya aspek efektifitas belanja infrastruktur meliputi (i) Ketersediaan fisik (availability), (ii) Kualitas fisik (quality), (iii) Kesesuaian (appropriateness), (iv) Pemanfaatan (utility), dan (v) Penyerapan tenaga kerja (job creation). Adapun dasar pemikiran pemilihan beberapa variabel tersebut sebagai indikator terpenuhinya aspek efektivitas adalah sebagai berikut : 1) Ketersediaan fisik (availability) adalah bahwa dalam setiap aktivitas belanja negara yang diperuntukan bagi kegiatan fisik tentunya indikator dasarnya akan menghasilkan output yang berupa barang/bangunan secara fisik. Hal tersebut dapat diartikan bahwa ketersediaan secara fisik mutlak harus dipenuhi oleh aktivitas belanja fisik; 2) Kualitas fisik (quality) adalah kualitas output yang dihasilnya, yaitu bahwa aspek efektifitas akan lebih reliable apabila cakupannya lebih luas, yaitu tidak hanya keterpenuhan secara fisik tetapi juga didukung kualitas output yang baik dan optimal; 3) Kesesuaian (appropriateness) adalah kesesuaian antara kebijakan yang telah ditetapkan pemerintah dengan kebutuhan masyarakat. Hal ini dilandasi dasar pemikiran bahwa kesesuaian antara kebijakan dengan kebutuhan akan memberi manfaat yang optimal bagi masyarakat selaku penerima manfaat ; 4) Pemanfaatan (utility) adalah tingkat pemanfaatan atas output yang telah dihasilkan, yaitu semakin besar pemanfaatan atas output, maka semakin besar pula tingkat efektivitasnya; dan 5) Penyerapan tenaga kerja (job creation) adalah tingkat penyerapan tenaga kerja yang dihasilkan atas kegiatan pembangunan/peningkatan infrastruktur; 3.2 Penentuan Bobot Indikator Indikator kinerja belanja yang telah dijelaskan di atas merupakan alat yang digunakan untuk melakukan penilaian terhadap efektifitas dari suatu belanja infrastruktur yang dilakukan oleh Pemerintah. Oleh karena itu, penilaian dengan menggunakan kelima indikator tersebut harus dilakukan secara komperehensif dan integral, sehingga pengukuran kinerja menjadi suatu kesatuan yang utuh. Karena kelima indikator tersebut mempunyai karakteristik yang berbeda-beda dalam pengukuran maupun penilaianya, maka setiap indikator harus mendapat perlakuan pengukuran yang berbeda pula. Agar kelima indikator tersebut tetap dapat dinilai secara integral, maka perlu dilakukan pembobotan setiap indikator kinerja tersebut sesuai dengan tujuan pengukuran kinerja belanja. Untuk melakukan pembobotan indikator kinerja, perlu dilakukan analisis mengenai signifikansi dari setiap indikator dalam menggambarkan kinerja belanja infrastruktur. Pembobotan yang dilakukan pada setiap indikator pada prinsipnya didasari pada kekuatan setiap indikator dalam menggambarkan efektifitas belanja infrastruktur. Dalam pembentukan model pengukuran 3
kinerja belanja infrastruktur, kelima indikator kinerja belanja dibobotkan dengan menggunakan metode analytical hierarchy process (AHP), dimana setiap indikator diberikan bobot kuantitatif secara presentase sesuai dengan hasil kuesioner AHP yang dibagikan pada respoden. Dengan menggunakan metode AHP, setiap indikator diberikan nilai porsi yang disesuaikan dengan tingkat kekuatannya dalam menggambarkan efektifitas belanja infrastruktur sesuai dengan persepsi dari respoden yang mengisi kuesioner. Nilai indikator = a (ketersediaan) + b (kualitas) + c (kesesuaian) + d (pemanfaatan + e (penyerapan tenaga kerja)
di mana, a s/d e menggambarkan nilai bobot Total nilai bobot indikator
= 1 atau sama dengan 100%
a+ b + c + d + e
= 100%
Sesuai dengan prinsip dari metode AHP yang membutuhkan pendapat dari ahli (expert choice) maka pemilihan responden untuk melakukan pembobotan indikator didasarkan pada tiga kriteria berikut yaitu (1) tingkat kepentingan responden terhadap belanja infrastruktur, (2) tingkat keahlian/pengetahuan bidang infrastruktur, dan (3) tingkat keahlian responden di bidang keuangan. Dalam kasus pembobotan indikator pengukuran kinerja belanja infraruktur, maka responden yang dipilih berasal dari instansi Kementerian/Lembaga yang menjadi perencana dan pelaksana dalam pembangunan infrastruktur, yaitu Bappeneas, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Perumahan Rakyat, Kementerian Perhubungan, Kementerian Perdagangan dan UKM, serta Kementerian Pertanian. Selain itu, responden juga diambil dari Kementerian Keuangan yang berkepentingan dalam hal penyediaan anggaran, pencairan dana, dan evaluasi efektifitas penggunaan dana. Selanjutnya, hasil kuesioner yang didapatkan dari responden tersebut diharapkan dapat menggambarkan tingkat signifikansi dari setiap indikator dalam menggambarkan efektifitas dari belanja infrastruktur, sehingga hasil penilaian yang dihasilkan dari pengukuran indikator-indikator tersebut dapat secara objektif dan akurat menilai kinerja belanja infrastruktur secara komperehensif.Sesuai dengan tabulasi data dari 15 responden yang dihitung menggunakan metode AHP maka dihasilkan nilai bobot setiap indikator sebagai berikut: Bobot Pengukuran Indikator Kinerja Belanja Infrastruktur No
Indikator Pengukuran Kinerja
Nilai Bobot
Keterangan
1
Ketersediaan
40%
paling signifikan
2
Kualitas
20%
cukup signifikan
3
Kesesuaian
20%
cukup signifikan
4
Pemanfaatan
15%
signifikan
5
Peyerapan Tenaga Kerja
5%
sulit diukur secara pasti
3.3 Formula Model Alat Analisis Sesuai dengan konsep D. Conyers dan Hills (Performance Indocators,1984) pengukurannya dilakukan dengan cara menentukan indikator dan pembobotan yang pada akhirnya menghasilkan 4
indeks sebagai dasar penilaian untuk mengidentifikasi efektifitas kinerja belanja. Formula model pengukuran kinerja tersebut adalah sebagai berikut:
Indeks pengukuran infrastruktur secara agregat = ∑ (Total Index type A + B + C+D+E)/n (Keterangan : A, B, C, D,E adalah jenis infrastruktur antara lain seperti jalan dan jembatan, bendungan, pasar, rusunawa dan jalan kereta api)
Indeks pengukuran pada masing-masing jenis infrastruktur (parsial) misalnya jenis infrastruktur A = ∑(IndexAV + IndexQ + IndexAP + IndexU + IndexJ) (Keterangan : AV = availability, Q = Quality, AP=Appropriateness, U=Utility, dan J=Job Creation
Indeks pada masing-masing indikator: IndexAV = Score x Weight (40 %) IndexQ = Score x Weight (20 %) IndexAP = Score x Weight (20 %) IndexU = Score x Weight (15 %) IndexJ= Score x Weight (5 %)
Berdasarkan formula tersebut, dapat dijelaskan bahwa dalam pengukuran kinerja belanja infrastruktur dilakukan dengan mengidentifikasi tingkat keterpenuhan output/outcome pada masing-masing jensi infrastruktur terhadap indikator efektifitas belanja. Indikator efektifitas belanja infrastruktur ditetapkan meliputi tingkat keterpenuhan fisik (availability), kualitas output (quality), tingkat kesesuaian (appropriateness), tingkat pemanfaatan (utility) dan kemampuan penyerapan tenaga kerja (job creation). Beberapa indikator tersebut merupakan variabel pembentuk terciptanya efektifitas belanja infrastruktur, sehingga semakin tinggi indeks tingkat keterpenuhan, maka semakin optimal kinerja belanja, dan sebaliknya, semakin rendah indeksnya, maka semakin buruk pula kinerja belanjanya. Indeks didasarkan pada hasil jawaban kuesioner yang menggunakan skala linkert 1 s.d 5, berupa indikasi kinerja dengan keterangan sebagai berikut : skala 1 (tidak optimal), 2 (kurang optimal), 3 (cukup optimal), 4 (optimal), dan 5 (sangat optimal). Penetapan indeks tersebut sangat dipengaruhi oleh ketersediaan data sekunder dari K/L terkait, serta data primer dari responden, dimana akurasi persepsi responden terhadap objek penelitian sangat menentukan pembentukan indeks. Untuk penentuan score (nilai) pada masingmasing indikator dijelaskan sebagai berikut: a) Ketersediaan (availability) Score 1 = <30%, 2=31<x<55%, 3=56%,x<79%, 4=80%<x<94%, 5=>95% b) Kualitas (quality) Didasarkan pengamatan kondisi fisik infrastruktur yang dijadikan objek pengukuran; c) Kesesuaian (appropriateness) Didasarkan pada persepsi responden ;
5
d) Pemanfaatan (utility) Score 1 = <20%, 2=21<x<55%, 3=56%,x<79%, 4=80%<x<94%, 5=>95% e) Penyerapan tenaga kerja (job creation) Score 1 = <20%, 2=21<x<55%, 3=56%,x<79%, 4=80%<x<94%, 5=>95% 4. Hasil Pengujian dan Pembahasan 4.1 Pengukuran kinerja belanja infrastruktur parsial Pengukuran kinerja infrastruktur dilakukan pada beberapa jenis infrastruktur yang dijadikan sampel khusus belanja stimulus fiskal untuk infrastruktur, antara lain pembangunan pasar di Kabupaten Bangkalan - Madura, Rusunawa di kota Malang - Jawa Timur, pembangunan rel kereta api di Madiun, pembangunan jalan dan jembatan di kota Semarang - Jawa Tengah, dan Jalan di Kerawang - Jawa Barat. Pengujian model pengukuran kinerja didasarkan data sekunder yang diperoleh dari Bappenas dan data primer hasil Kuesioner. Data Realisasi Stimulus Fiskal 2009 (Juta Rp) Jenis
Pagu 1,000.0 20,000.0 46,049.2 6,600.0 107,299.0
Pasar , Bangkalan Jalan & Jembatan Semarang Jalan & Jembatan Kerawang Rusunawa , Malang Rel Kereta Api, Mediun
Keuangan Real 924.0 19,953.9 46,049.2 6,547.3 105,598.0
% 92.4 99.8 100.0 99.2 98.4
Pagu 100% 100% 100% 100% 100%
Fisik Real 100% 99.80% 100% 57% 100%
Tenaga Kerja % Rencana Real 100% 50 40 99.80% 53,333 53,765 100% 5,150 4,052 57% 125 125 100% 660 1,466
% 80 100.8 78.7 100.0 222.1
Pengukuran Kinerja Infrastruktur Jalan & Jembatan di Semarang Uraian
Bobot Nilai Frekuensi Indeks Bobot Nilai Frekuensi Indeks Bobot Nilai Frekuensi Indeks Bobot Nilai Frekuensi Indeks Bobot Nilai Frekuensi Indeks Total
Ketersediaan
35
1
Kualitas
25
1
Kesesuaian
20
1
Pemanfaatan
15
1
5
1
Penyerapan TK
0 0 0 0 0
0,00
35
2
0,00
25
2
0,00
20
2
0,00
15
2
0,00
5
2
0 0 0 0 0
0,00
35
3
0,00
25
3
0,00
20
3
0,00
15
3
0,00
5
3
0 0 5 0 15
0,00
35
4
0,00
25
4
3,00
20
4
0,00
15
4
2,25
5
4
5 5 10 15 0
7,00
35
5
5,00
25
5
8,00
20
5
9,00
15
5
0,00
5
5
15 26,25 15 18,75 5 5,00 5 3,75 5 1,25 Indeks
33,25 23,75 16,00 12,75 3,50
4,46
Pengukuran Kinerja Infrastruktur Pasar di Bangkalan, Madura Uraian
Bobot Nilai Frekuensi Indeks Bobot Nilai Frekuensi Indeks Bobot Nilai Frekuensi Indeks Bobot Nilai Frekuensi Indeks Bobot Nilai Frekuensi Indeks Total
Ketersediaan
35
1
Kualitas
25
1
Kesesuaian
20
1
Pemanfaatan
15
1
5
1
Penyerapan TK
0 0 0 12 0
0,00
35
2
0,00
25
2
0,00
20
2
1,80
15
2
0,00
5
2
0 0 0 8 0
0,00
35
3
0,00
25
3
0,00
20
3
2,40
15
3
0,00
5
3
0 10 0 0 20
0,00
35
4
7,50
25
4
0,00
20
4
0,00
15
4
3,00
5
4
0 10 10 0 0
0,00
35
5
10,00
25
5
8,00
20
5
0,00
15
5
0,00
5
5
20 35,00 0 0,00 10 10,00 0 0,00 0 0,00 Indeks
35,00 17,50 18,00 4,20 3,00
3,89
Pengukuran Kinerja Infrastruktur Rusunawa di Malang Uraian
Bobot Nilai Frekuensi Indeks Bobot Nilai Frekuensi Indeks Bobot Nilai Frekuensi Indeks Bobot Nilai Frekuensi Indeks Bobot Nilai Frekuensi Indeks Total
Ketersediaan
35
1
Kualitas
25
1
Kesesuaian
20
1
Pemanfaatan
15
1
5
1
Penyerapan TK
0 0 0 12 0
0,00
35
2
0,00
25
2
0,00
20
2
1,80
15
2
0,00
5
2
15 15 0 8 0
10,50
35
3
7,50
25
3
0,00
20
3
2,40
15
3
0,00
5
3
5 0 8 0 12
5,25
35
4
0,00
25
4
4,80
20
4
0,00
15
4
1,80
5
4
0 0 12 0 8
0,00
35
5
0,00
25
5
9,60
20
5
0,00
15
5
1,60
5
5
0 0,00 0 0,00 0 0,00 0 0,00 0 0,00 Indeks
15,75 7,50 14,40 4,20 3,40
2,26
6
Pengukuran Kinerja Infrastruktur Rel KA di Madiun Uraian
Bobot Nilai Frekuensi Indeks Bobot Nilai Frekuensi Indeks Bobot Nilai Frekuensi Indeks Bobot Nilai Frekuensi Indeks Bobot Nilai Frekuensi Indeks Total
Ketersediaan
35
1
Kualitas
25
1
Kesesuaian
20
1
Pemanfaatan
15
1
5
1
Penyerapan TK
0 0 0 0 0
0,00
35
2
0,00
25
2
0,00
20
2
0,00
15
2
0,00
5
2
0 0 0 0 0
0,00
35
3
0,00
25
3
0,00
20
3
0,00
15
3
0,00
5
3
0 7 9 0 0
0,00
35
4
5,25
25
4
5,40
20
4
0,00
15
4
0,00
5
4
15 13 11 11 20
21,00
35
5
13,00
25
5
8,80
20
5
6,60
15
5
4,00
5
5
5 8,75 0 0,00 0 0,00 9 6,75 0 0,00 Indeks
29,75 18,25 14,20 13,35 4,00
3,98
Pengukuran Kinerja Infrastruktur Jalan & Jembatan di Karawang, Jawa Barat Uraian
Bobot Nilai Frekuensi Indeks Bobot Nilai Frekuensi Indeks Bobot Nilai Frekuensi Indeks Bobot Nilai Frekuensi Indeks Bobot Nilai Frekuensi Indeks Total
Ketersediaan
35
1
Kualitas
25
1
Kesesuaian Pemanfaatan Penyerapan TK
20 15 5
1 1 1
0 0 0 0 0
0,00
35
2
0,00
25
2
0,00 0,00 0,00
20 15 5
2 2 2
0 0 0 0 0
0,00
35
3
0,00
25
3
0,00 0,00 0,00
20 15 5
3 3 3
0 7 8 0 15
0,00
35
4
5,25
25
4
4,80 0,00 2,25
20 15 5
4 4 4
7 5 7 15 0
9,80
35
5
5,00
25
5
5,60
20
5
9,00
15
5
0,00
5
5
13 22,75 32,55 8 10,00 20,25 5 5,00 15,40 5 3,75 12,75 5 1,25 3,50 Indeks 4,22
Berdasarkan hasil pengukuran pada beberapa jenis infrastruktur dapat dijelaskan bahwa indeks kinerja belanja infrastruktur untuk peningkatan jalan dan jembatan di Semarang adalah sebesar 4,5, sedangkan pembangunan jalan di Kerawang - Jawa Barat sebesar 4,2, pembangunan pasar di Bangkalan - Madura sebesar 3,9, pembangunan Rusunawa di Malang sebesar 2,3, serta pembangunan rel kereta api di Madiun - Jawa Timur sebesar 3,98. Interpretasi atas hasil pengukuran terhadap kinerja belanja infrastruktur pada masing-masing jenis infrastruktur tersebut menunjukan bahwa kinerja belanja infrastruktur untuk pembangunan atau peningkatan jalan dan jembatan, baik di Kerawang maupun di Semarang mencapai indeks di atas 4,0. Hal tersebut menunjukkan bahwa kinerja belanja infrastruktur pada dua wilayah tersebut sudah mencapai tahap optimal. Sementara pengukuran kinerja belanja infrastruktur untuk pembangunan rel kereta api di Madiun dan pasar di Bangkalan – Madura, masing-masing sebesar 3,98 dan 3,9 (2,9 < X < 4). Hal tersebut menunjukkan bahwa kinerja belanja infrastruktur pada dua kota tersebut masih pada level cukup optimal. Adapun pembangunan Rusunawa di Malang menunjukkan kinerja yang kurang optimal, dimana indeksnya hanya mencapai 2,3. 4.2 Pengukuran kinerja belanja infrastruktur didasarkan Penyerapan Keuangan dan Fisik Untuk melihat konsistensi dan menguji tingkat akurasi pengukuran kinerja belanja infrastruktur tersebut didasarkan dengan Model pengukuran. Oleh karena itu, dalam pengukuran atas obyek yang sama perlu dibandingkan dengan metode pengukuran lainnya, yaitu dengan pendekatan Perfomance Based Budgeting (PBB). Metode ini lazim digunakan untuk pengukuran kinerja belanja yang didasarkan penyerapan secara keuangan dan fisik. Berdasarkan hasil pengukuran dengan menggunakan pendekatan penyerapan keuangan dan fisik terhadap ke 5 (lima) jenis infrastruktur yang menjadi sampel, telah menunjukkan tingkat konsistensi yang relatif terjaga. Hal ini berarti bahwa hasil pengukuran dengan menggunakan model, menunjukan level yang relatif sama. Hal tersebut menggambarkan bahwa akurasi model relatif reliable, bahkan pengukuran dengan model juga dapat mengidentifikasi variabel-variabel yang lemah dalam pembentukan tingkat efektifitas pada masing-masing jenis infrastruktur.
7
.92 .99
Hasil Pengukuran Kinerja Belanja berdasarkan Penyerapan
Jalan Smg Jalan Krg Rel KA pasar
Keu
Rusunawa
.5
.6
.7
.8
.9
1
fisik
5. Kesimpulan dan Rekomendasi Dari hasil kajian yang kami lakukan, diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Model pengukuran infrastruktur ini dapat digunakan sebagai alat untuk mengevaluasi kinerja belanja infrastruktur, baik pada tahap perencanaan maupun tahap pelaksanaan; 2. Model pengukuran infrastruktur tersebut cakupannya lebih komprehensif, karena mampu menjangkau kinerja keuangan, pencapaian target fisik, dan mengakomodasi pencapaian outcome dengan melihat presepsi masyarakat selaku penerima manfaat atas pembangunan infrastruktur; 3. Model tersebut dapat digunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi belum optimalnya kinerja belanja infrastruktur; 4. Hasil pengukuran masih bersifat kasusistik, mengingat objek penelitian masih bersifat random sampling belum mewakili karakteristik seluruh populasi, namun demikian hasil pengukuran relatif objektif dan kredibel; Sementara itu dari hasil pengujian model pengukuran kinerja belanja infrastruktur, kami merekomendasikan hal-hal sebagai berikut: 1. Dalam pengukuran tingkat efektivitas kinerja belanja infrastruktur, beberapa variabel yang dapat dijadikan indikator adalah (i) ketersediaan fisik (availability), (ii) kualitas (quality), (iii) kesesuaian (appropriateness), (iv) pemanfaatan (utility), (v) penyerapan tenaga kerja (job creation); 2. Model pengukuran diatas dapat dijadikan sebagai alat analisis alternatif/pengganti, terutama pengukuran kinerja yang hanya menggunakan pendekatan penyerapan anggaran semata. Kemampuan model tersebut relatif lebih komprehensif, karena selain dapat digunakan untuk mengevaluasi tahap pelaksanaannya, juga mampu menjangkau tahap perencanaan, sehingga lebih relevan dengan penerapan Performance Based Budgeting (PBB).
8