Briefing Paper
Meningkatnya kekuasaan eksesif militer: kajian atas draf RUU TNI, Undang-undang Pemberantasan tindak pidana terorisme dan Draft RUU Intelijen
LEMBAGA STUDI DAN ADVOKASI MASYARAKAT (ELSAM) 2003
Seri briefing paper ELSAM/01/03
Abstract Dalam proses transisi, pengaturan yang berkaitan dengan istitusi yang pada masa lalu menjadi organ represi regim memiliki posisi yang penting. Institusi ini antara lain adalah militer, intelijen dan kepolisian serta lembaga ekstra judicial khusus seperti Satgas anti terorisme. Salah satu tantangan utama adalah mencegah kembalinya praktek otoritarian regim yang terdahulu. Mencermati pengaturan mengenai institusi-institusi tersebut, terlihat beberapa kelemahan mendasar. Terdapat kecenderungan pemberian kekuasaan yang besar bagi institusi. Penggunaan kembali konsep keamanan negara dan ancaman nasional sebagai dasar juga dapat dikritisi sebagai gejala berulangnya praktek masa lalu. Selain itu, penilaian kritis atas tersedianya pengaturan yang menjamin akuntabilitas publik serta pembatasan kekuasaan melakukan intepretasi dengan dalih keamanan negara memperlihatkan lemahnya mekanisme kontrol yang tersedia. Dalam konteks ini, apabila dicermati pengaturan-pengaturan tersebut tidak memberikan ruang yang cukup pada jaminan adanya penghargaan dan pemenuhan hak asasi manusia serta pada saat yang sama juga tidak menyediakan mekanisme perlindungan yang memadai bagi individu untuk agar terhindar dari kemungkinan penggunaan kekuasaan yang sewenang-wenang. Dengan demikian penting mengembalikan pembicaraan keamanan negara sebagai domain publik, dan memastikan adanya jaminan pembatasan penggunaan konsep ini dalam undang-undang yang ada. Selain itu perlu juga menyerap beberapa pengalaman negara lain dalam pengaturan serta beberapa perkembangan penting dalam ranah hak asasi manusia seperti penggunaan prinsip-prinsip Siracusa dan Johannesburg dalam penyusunan ketentuan perundang-undangan tersebut. Meskipun kedua prinsip tersebut tidak memiliki kekuatan hukum yang memaksa, namun keberadaannya telah memberikan kontribusi yang berarti dalam pengaturan serupa di berbagai negara. Kontribusi ini khususnya berkaitan dengan pengembangan standar intepretasi atas konsep kemanan negara dan ketertiban umum yang secara luas banyak dipergunakan justru untuk melindungi kepentingan pemerintah dan hal-hal yang justru tidak memiliki keterkaitan yang relevan dengan keamanan negara
1
Seri briefing paper ELSAM/01/03
I. Pendahuluan Dalam satu tahun terakhir, terdapat setidaknya tiga ketentuan yang berkaitan dengan institusi militer yang penting untuk dikaji secara mendalam. Ketiga ketentuan ini masih berbentuk draft rancangan undang-undang yang rencananya akan diajukan dalam perbincangan di tingkat DPR pada awal tahun 2003 ini. Rencana pengajuan rancangan undang-undang ini segera mendapat perhatian yang luas dari publik. Rangkaian ini diawali dengan munculnya Perpu 1/2002 mengenai pemberantasan tindak pidana terorisme, sebagai respon terhadap peristiwa pemboman di Bali yang ditengarai sebagai sebuah aksi terorisme. Kemunculan ketentuan ini juga tidak dapat dilepaskan dari pengaruh politik global paska peristiwa 11 September. Peristiwa ini secara cepat mendorong berkembangnya wacana ancaman terorisme internasional dan kejahatan terorganisir di berbagai negara. Salah satu penanda penting adalah merebaknya amandemen atas pengaturan di bidang keamanan negara dan fungsi intelijen di sejumlah negara.1 Perubahan ini diikuti dengan kecenderungan untuk kembali memberi keluasan pada institusi militer dan intelijen berkaitan dengan ancaman terorisme, tak terkecuali Indonesia. Tak lama berselang pada akhir bulan September tahun 2002, pemerintah melalui departemen Pertahanan mengumumkan akan mengajukan RUU TNI untuk dibahas dalam DPR pada tahun 2003. Di awal tahun 2003, pemerintah melalui lembaga sandi negara mengumumkan rencana pengajuan draft RUU Intelijen. Sebagian besar pengaturan dalam rancangan ketentuan ini mendapat tentangan dari banyak pihak karena berpotensi melanggar hak asasi manusia dengan berlindung di balik klausul ancaman terhadap keselamatan negara. Terlebih pada saat yang sama tengah terjadi tarik ulur pembahasan rancangan undang-undang mengenai kebebasan memperoleh informasi yang diajukan atas inisiatif DPR, berhadapan dengan rencana pemerintah untuk mengajukan rancangan undang-undang mengenai rahasia negara. Mencermati rancangan ketentuan perundang-undangan tersebut, ketiganya memberikan kewenangan yang besar pada institusi yang memperoleh mandat, dalam hal ini adalah TNI dan lembaga-lembaga negara yang secara khusus menjalankan mandat ini2, yang sebagian besar didominasi oleh militer dan kepolisian. Disisi lain, dilihat dari sudut legal formalnya, substansi pengaturan itu berlawanan dengan pengaturan pada perangkat perundang-undangan yang lebih tinggi hierarkhinya (UUD 1945), serta berlawanan dengan pengaturan mengenai materi yang sama dalam undang-undang yang lain (UU NO 3 tahun 2002 tentang Pertahanan negara). Apabila konsisten menggunakan struktur hierarki perundangan 1
Di berbagai negara segera muncul ketentuan yang sangat bertentangan dengan penghormatan hak asasi manusia, misalnya Patriot Act di Amerika, C-36 di Canada, POTO (Prevention on Terorism Ordinance) di India. 2 Dalam hal ini terdapat dua lembaga baru yang berbeda, berdasarkan UU pencegahan tindak pidana terorisme, dibentuk satgas anti teroris yang dikepalai oleh Menkopolkam, beranggotakan baik dari pejabat sipil, ataupun militer dan Polri. Sementara itu dalam UU intelijen, kewenangan diberikan pada Badan Intelijen Negara yang hampir selalu dijabat oleh pejabat militer.
2
Seri briefing paper ELSAM/01/03
ini, maka sesungguhnya ketentuan tersebut akan batal demi hukum, sehingga kehilangan kekuatan keberlakuannya. Namun diatas pembahasan formalitas legal tersebut, upaya mencermati isi substansi dan mencoba melihat lebih jauh baik implikasi pengaturan maupun sesuatu yang mendasari adanya pengaturan itu pun merupakan hal penting. Dua hal tersebut yang akan menjadi fokus perhatian dalam pembahasan mengenai substansi Apabila diperbandingkan dengan perkembangan di tingkat regional, upaya mengkritisi mengenai konsep keamanan negara yang disertai menguatnya peran institusi militer dan intelijen di Indonesia ini cenderung tertinggal. Paska berakhirnya perang dingin, dalam paruh 90-an, perbincangan mengenai keamanan negara ini berjalan beriring dengan pentingnya mengoreksi peran insituti militer di berbagai negara seperti di Afrika, negara-negara eropa timur, dan Russia, dan banyak negara Asia.3 Briefing paper ini berusaha untuk memberikan alternatif analisis untuk mendudukkan ketentuan tersebut dalam satu rangkaian yang tak terpisahkan, dihadapkan pada tantangan untuk membuka peluang yang lebih besar pada organisasi sipil untuk melakukan kontrol atas praktek bernegara dengan lahirnya beberapa ketentuan seperti lahirnya UU Ombudsman, Komnas Ham, dan semangat meningkatkan penghargaan pada kemanusiaan dan hak asasi yang melekat di dalamnya sebagai pilar pembentukan system bernegara yang lebih demokratis.4 II. Mencermati dinamika pengaturan institusi militer paska 1998 Pergantian pemerintahan di tahun 1998, menandai awalan baru proses transisi di Indonesia. Segera sesudahnya, upaya-upaya mewujudkan tatanan politik pemerintahan yang demokratis mendapat tempatnya. Gagasan-gagasan awal yang berkembang pada periode ini berkisar pada pemblejetan praktek-praktek otoritarian pada rejim yang sebelumnya serta upaya mengukuhkan partisipasi rakyat yang lebih besar dalam proses pendemokratisasian system politik yang ada. Salah satu ranah penting dalam proses pendemokratisasian ini adalah pertarungan di tingkat legislatif untuk merubah corak hukum dan ketentuan perundang-undangan yang ada.5 Seperti di ketahui bersama, pada rejim sebelumnya ketentuan hukum dipergunakan sebagai sarana represif yang efektif untuk meredam berbagai kritik atau gerakan demokratik 3
Berbagai konferensi internasional menandainya gejala ini seperti konferensi mengenai peran institusi intelijen dan militer, dua diantaranya bertempat di Polandia tahun 1995 diikuti berbagai perwakilan dari negara bekas Eropa Timur, dan di Korea Selatan 1996. 4 Secara umum, terdapat dua perbedaan pendapat mengenai prosedur penyusunan ketentuan ini. Satu pihak mengusulkan pembahasan ketentuan tersebut dalam satu paket perundangan sebagaimana diusulkan oleh BIN Lih, kompas 19/2/2003, di pihak yang lain berbagai koalisi masyarakat sipil menolak upaya pembahasan dalam satu paket, seperti ditegaskan oleh koalisi … 5 Transisi melalui jalur legal ini tidak dapat dilepaskan dari kecenderungan mengabsorbsi corak liberal dalam transisi politik, seperti juga dialami negara-negara asia tenggara; Thailand paska 1992, dan Phillipina paska 1986. Di tahun 1999, setidaknya dihasilnya sebanyak lebih dari 175 buah ketentuan perundangundangan yang terdiri dari 41 peraturan setingkat UU, 61 setingkat PP, dan 73 keputusan presiden. Jumlah ini terus menurun sepanjang 2002 dan 2003.
3
Seri briefing paper ELSAM/01/03
yang muncul. Perubahan corak legislasi ini khususnya mencakup upaya pencabutan berbagai ketentuan yang mengukuhkan atau setidaknya membuka peluang adanya represi, di pihak lain mendorong pengukuhan legislasi yang menjamin perlindungan kebebasan dan hak asasi warga negara. Dalam kategori yang pertama, fokus ditujukan pada pencabutan ketentuan-ketentuan yang represif, serta mengurangi dominasi aparatus represif negara, dalam hal ini dominasi militer dan kekuasaan eksekutif. Beberapa pencabutan legislasi yang represif diantaranya adalah penghapusan Bakorstanasda, Litsus, dan lembaga pembreidelan pers. Upaya melakukan mengikis dominasi militer dan kekuasaan eksekutif juga muncul dalam beberapa inisiatif. Segera sesudah runtuhnya rejim Soeharto, berbagai ketentuan setingkat MPR lahir untuk memberi jaminan keluarnya militer dari kehidupan politik praktis. Setidaknya terdapat tiga ketetapan MPR yang mengatur mengenai institusi ini. Segera sesudah tumbangnya pemerintahan Soeharto, dihasilkan TAP MPR No X/1998 yang salah satu materi utamanya menegaskan perlunya penyesuaian konsep dwi fungsi ABRI dengan paradigma baru dalam kehidupan berbangsa. Peninjauan atas konsep dwi fungsi ini kembali muncul dalam TAP V/2000. Sementara itu, untuk lebih menegaskan adanya upaya pembenahan dalam institusi militer dalam TAP MPR VII/2000, ditegaskan adanya larangan bagi militer yang masih aktif untuk menduduki jabatan publik, serta sebagai institusi militer tidak diperkenankan untuk melibatkan diri dalam kegiatan politik praktis.6 Pokok pengaturan ini meliputi pengurangan peran militer dalam kehidupan politik secara gradual, penegasan peran serta jati diri militer dalam fungsi pertahanan dan keamanan serta pemisahan institusi kepolisian dari TNI. Keseluruhan jaminan ini diharapkan bermuara pada penghapusan dwi fungsi Abri dan struktur territorial militer yang dimasa lalu menjadi salah satu pilar kekerasan di tingkat lokal. Upaya memberdayakan kekuatan sipil dengan mengurangi dominasi kekuatan militer dari panggung politik melalui jalur legal ini tidak terlalu menampakkan hasil. Lahirnya serangkaian TAP MPR tersebut di atas memang kemudian memberikan harapan adanya pengurangan secara gradual peran militer. Namun sebenarnya dalam tingkat praktis, militer justru berhasil mempertahankan struktur teritorialnya. Dalam masa paska 1998, justru terjadi penambahan wilayah territorial dari 10 wilayah menjadi sebanyak 12 wilayah.7 Sementara itu dalam wilayah-wilayah yang potensial konflik, kekerasan yang melibatkan institusi ini tidak juga mereda. Dalam peta kekerasan di Aceh misalnya, kekerasan yang diikuti terjadinya pembunuhan justru meningkat sejak tahun 1999. Sampai tiga bulan pertama di tahun 2000 data pembunuhan terus meningkat dari 80 orang sampai mencapai 232 orang.8
6
Lihat pasal 5 TAP MPR No VII/2000 tentang peran TNI dan Peran Kepolisian Negara RI Dua wilayah territorial tersebut kemunculannya dihubungkan dengan ancaman terhadap keamanan negara dan ketertiban umum yaitu Aceh dan Maluku 8 Lih. R. Ahmed Kurnia Soeriawidjaja (ed) dkk, NDI, 2001, Liputan dari Lapangan: Oknum, Aparat dan Prajurit, hal 86. 7
4
Seri briefing paper ELSAM/01/03
Di sisi yang lain, upaya mengukuhkan jaminan perlindungan kebebasan dan hak asasi warga negara muncul dalam berbagai rancangan undang-undang yang secara umum terbagi dalam dua kelompok. Kelompok pertama adalah rancangan ketentuan perundangan yang memberikan jaminan legal bagi rakyat untuk dapat ikut melakukan kontrol atas kinerja pemerintah. Dalam kelompok ini lahir ketentuan mengenai komnas ham, komisi ombudsman, dan komisi penyelidik harta kekayaan pejabat negara (KPKPN). Selain itu, upaya menagih pertanggungjawaban pelanggaran yang masif pada masa lalu mendorongnya lahirnya ketentuan HAM dan pengadilan HAM pengadilan HAM. Beberapa pengaturan lain juga dihasilkan dalam periode ini, seperti hak asasi manusia, Komnas Ham, KPKPN. Kelompok kedua adalah serangkaian rancangan ketentuan perundang-undangan yang diharapkan dapat melindungi hak asasi manusia, dengan jalan memberikan jaminan legal yang lebih luas atas civil liberties. Ini dapat dilihat dalam kemunculan rancangan undang-undang kebebasan memperoleh informasi, rancangan undang-undang perlindungan saksi dan korban, ratifikasi konvensi anti diskriminasi, rancangan undang-undang mengenai kekerasan dalam rumah tangga serta amandemen terhadap KUHP. Namun berbagai inisiatif ini banyak terhenti dan tersendat dalam proses di parlemen. RUU mengenai komisi kebenaran, RUU mengenai kebebasan memperoleh informasi, RUU perlindungan saksi dan korban, sampai saat ini mengalami kemacetan di tingkat pembahasan parlemen. Dalam situasi inilah, rancangan undang-undang yang berkaitan dengan militer ini muncul. Dalam rangkaian ini setidaknya terdapat empat perhatian utama, yaitu rancangan UU TNI, rancangan UU Intelijen, dan perpu pencegahan tindakan terorisme dan RUU mengenai rahasia Negara. III. PERMASALAHAN-PERMASALAHAN MENDASAR Pembahasan mengenai rancangan ketentuan yang berkaitan dengan keamanan negara ini memiliki arti penting karena setidaknya memiliki tiga persoalan pokok. 1. Pengaturan dalam berbagai rancangan ketentuan tersebut memberikan berbagai kewenangan yang execisive pada militer. 2. Rangkaian rancangan ketentuan perundang-undangan ini mendasarkan diri pada adanya situasi mendesak berupa ancaman terhadap kemanan negara dan kepentingan nasional. Dalam konteks ini, persoalan krusialnya adalah bagaimana dan oleh siapa pengertian mendesak ini dapat dirumuskan, serta bagaimana akuntabilitas publik atas kebijakan yang kemudian diambil. 3. Lemahnya mekanisme kontrol dan akuntabilitas publik atas kinerja yang mengatasnamakan keamanan negara . Perbincangan mengenai keamanan negara selama ini masih menjadi wilayah yang bukan merupakan domain publik. Keputusan-keputusan yang berkaitan dengan kemanan negara seolah menjadi keputusan yang tak dapat diperdebatkan khalayak. Lebih lanjut, mekanisme akuntabilitas publiknya pun hampir tidak pernah diatur.
5
Seri briefing paper ELSAM/01/03
1. Meluasnya kewenangan insitusi represif: dari kewenangan politik sampai kewenangan prosedural Paska 1998, salah satu persoalan penting dalam masa transisi ke arah yang demokratis adalah mengembalikan militer pada fungsi primernya di bidang pertahanan dan mewujudkan supremasi sipil. Tantangan terbesar dalam upaya mewujudkan supremasi sipil adalah menundukkan dan membatasi kekuasaan institusi militer, mengingat dominasi institusi ini di masa lampau tidak melulu mewujud dalam bentuk peran-peran institusional diluar fungsi primernya mengurusi pertahanan namun juga telah jauh membentuk kultur militerisasi di wilayah sipil.9 Upaya memangkas dominasi militer ini juga merupakan persoalan yang rumit mengingat tidak monolitiknya institusi militer. Dalam organisasi militer terdapat setidaknya dua faksi yang berbeda dalam melihat peran militer. Satu faksi berorientasi pada reformasi progresif dalam tubuh militer termasuk redefinisi fungsi dan peran militer dalam negara demokratik. Sebagai konsekuensi lanjutan dari pandangan ini, militer harus meninggalkan peran-peran sosial dan civic mission yang pada masa pemerintahan yang lalu mendapat pembenaran dari konsep dwifungsi. Sementara itu, satu faksi yang lain tunduk pada pemikiran yang cenderung konservatif atas militer dan lebih mengacu pada kontekstualisasi ulang konsep dwi fungsi dan bukan penghapusan sama sekali.10 Pertarungan dua pemikiran ini juga mempengaruhi berbagai rancangan undang-undang ini. Dalam rancangan undang-undang yang mengatur mengenai TNI, pusat perhatian publik dan berbagai partai politik di parlemen tertuju pada ketentuan pasal 19 yang memberikan kewenangan pada militer (baca panglima), dalam hal mendesak untuk mengerahkan kekuatan TNI sebagai langkah awal guna mencegah kerugian yang lebih besar. Dalam draft penjelasan undang-undang ini disebutkan bahwa tindakan tersebut adalah merupakan tindakan awal dalam situasi dimana harus segera diambil keputusan untuk dapat mencegah kerugian yang disebabkan oleh adanya pelanggaran wilayah/kedaulatan negara, kerusuhan masal, bencana alam dan lain-lain. Sebagian besar keberatan merujuk pada kemungkinan terjadinya kudeta oleh kekuatan militer. Hal ini diperkuat dengan ketentuan yang dicantumkan pada pasal berikutnya yang mengatur bahwa pengerahan kekuatan tersebut dapat dilaporkan pada kepala negara dalam waktu 1x24 jam sesudahnya. Kekhawatiran ini segera mendapat respon dari pihak TNI, sebab kemungkinan TNI menelikung presiden dengan melakukan kup dianggap merupakan cerminan kekhawatiran dari publik yang berlebihan, atau setidaknya merupakan sebuah kecurigaan yang berlebihan.11 Di pihak lain, Amin Rais, ketua MPR, dalam salah satu wawancara 9
Lihat, Dewi Fortuna Anwar, Gus Dur versus Militer; Studi tentang Hubungan Sipil Militer di Era Transisi, 2002, Pembentukan satuan tugas dan laskar-laskar rakyat dalam organisasi massa dan organisasi sipil lain merupakan bentuk konkrit penetrasi cara berpikir militer dalam organisasi sipil. 10 Ibid. 11 Lihat dokumentasi Media ELSAM selama January – Maret 2003 , Salah seorang pejabat Tinggi TNI mengungkapkan, seandainya TNI berniat untuk kudeta maka sebenarnya tidak perlu menunggu adanya legitimasi dari UU ini. Lihat juga komentar Ketua BIN dalam acara rapat dengan DPR,
6
Seri briefing paper ELSAM/01/03
dengan media massa menilai kudeta oleh militer tidak mungkin dilakukan mengingat kecil kemungkinan TNI menyakiti hati rakyatnya sendiri.12 Kekhawatiran berbagai kalangan akan kemungkinan terjadinya abuse of power dari TNI ini bukan sesuatu yang tak berdasar, mengingat pada masa lalu, sebagai apparatus represif TNI memiliki catatan panjang pelanggaran hak asasi manusia. Permasalahan mendasar yang muncul karena pengaturan dalam pasal 19 tersebut adalah terbukanya kewenangan TNI untuk membuat keputusan politik. Kewenangan melakukan pengerahan pasukan tanpa mendapatkan persetujuan lebih dahulu dari presiden ini menunjukkan adanya legitimasi pada tubuh TNI untuk membuat keputusan politik berkaitan dengan kehidupan negara.13 Sementara merujuk pada berdasarkan dua ketentuan lain yaitu konstitusi dan ketentuan mengenai pertahanan dan keamanan negara, keputusan tersebut ada pada pemegang mandat kekuasaan politik, yaitu presiden. 14 Apabila pengaturan ini disepakati, maka upaya mengedepankan supremasi sipil akan semakin sulit terealisasi. Apalagi tidak dapat diabaikan kemungkinan TNI menjadi tidak netral/ berpihak pada salah satu kekuatan politik tertentu. Table I. Perbandingan pengaturan dan kewenangan pada tiga ketentuan perundangundangan Pasal dan Per UU Ps 10 dan 12 UUD 1945 Ps 14 (1) dan (3) UU No 3 tahun 2002
Ps 19 UU RUU TNI
Isi Presiden adalah pemegang kekuasaan tertinggi atas AD, AU, AL Presiden menyatakan keadaan bahaya.Syarat-syarat dan akibat keadaan bahaya ditetapkan dengan UU Presiden berwenang dan bertanggung jawab atas pengerahan kekuatan TNI Dalam keadaan memaksa untuk menghadapi ancaman bersenjata, Presiden dapat langsung mengerahkan kekuatan TNI
Dalam keadaan mendesak dimana kedaulatan negara, keutuhan wilayah dan keselamatan segenap bangsa terancam, panglima dapat menggunakan kekuatan TNI sebagai langkah awal guna mencegah kerugian negara yang lebih besar
Pemegang wewenang Presiden Presiden
Panglima TNI
12
Persepsi semacam ini dapat dibaca sebagai keberhasilan militer untuk membentuk identitas institusionalnya sebagai bagian yang tak terpisahkan dari rakyat. Konsep dari rakyat untuk rakyat dan oleh rakyat ini pula yang oleh sebagian kelompok di tubuh militer dipergunakan sebagai argumentasi untuk menolak arah reformasi militer yang mencoba menundukkan militer dalam supremasi sipil seperti lazim dalam demokrasi liberal. Penegasan identitas ini juga dituangkan dalam TAP MPR No VI dan VII tahun 2000 13 Bandingkan dengan UU N0 3 tahun 2002 mengenai pertahanan negara pasal 14 (1), kewenangan ini pun kemudian harus mendapatkan persetujuan dari DPR dalam waktu 2x24 jam dan apabila mendapat keberatan harus segera dicabut. 14 Lihat UU No 3 tahun 2002 mengenai Pertahanan Negara, Penjelasan pasal 14 (1), bahkan pengerahan kekuatan TNI untuk keperluan operasi militer hanya dapat dilakukan oleh presiden.
7
Seri briefing paper ELSAM/01/03
Meluasnya kewenangan ini diikuti pula dengan meluasnya kekuasaan institusi TNI pada tingkat prosedural, berupa kewenangan untuk menggunakan prosedur pemeriksaan khusus baik untuk kasus-kasus yang ditengarai merupakan tindak pidana terorisme maupun berkaitan dengan keamanan negara. Wilayah kerja yang terakhir ini, secara praktis mendapat legitimasinya dalam pengaturan mengenai intelijen dan undang-undang pemberantasan tindak pidana terorisme.15 Bila pengaturan mengenai terorisme memberi keleluasaan untuk merambah wilayah lintas negara dan ancaman baik dari luar atau pun dalam negeri untuk bentuk kejahatan yang dikategorikan khusus (serious crime), pengaturan intelijen memberi keleluasaan yang lebih longgar untuk merambah ranah yang dianggap sebagai ancaman domestik. Di tingkat prosedur, Dalam dua ketentuan ini memberikan kewenangan yang sangat luas untuk melakukan fungsi penyidikan secara mandiri. Untuk kepentingan penyelidikan ini pula baik perpu 2/2003 maupun Draft RUU Intelijen dilengkapi dengan hak melakukan penangkapan dan penahanan dalam jangka waktu yang cukup lama, masing-masing 6 bulan untuk kasus yang berkaitan dengan terorisme dan untuk kepentingan intelijen bahkan mencapai 9 bulan.16 Bahkan untuk kepentingan pemeriksaan intelijen, kepala intelijen berwenang melakukan penahanan dalam suatu tempat tertentu yang ditentukan secara mandiri oleh Kepala Badan intelijen negara. Dalam ketentuan ini tidak diatur kewajiban untuk memberitakan kepada publik dimana tempat tersebut. Hal ini dengan sendirinya semakin memperkecil akses keluarga ataupun publik untuk melakukan pengawasan atas kondisi mereka yang ditahan. Apabila merujuk pada ketentuan ini maka penculikan terhadap 9 aktivis pada masa pemerintahan orde baru dapat dikategorikan legal berdasarkan pengaturan ini.17 Pengaturan ini mengingatkan pada praktek di beberapa negara seperti di Malaysia dan India. Dalam ketentuan mengenai Internal Security Act Malaysia, terdapat kewenangan untuk melakukan penahanan tanpa proses peradilan selama 2 tahun.18 Dalam implementasinya ketentuan ini lebih banyak menjerat kelompok-kelompok yang beroposisi dengan pemerintahan yang resmi. Praktek serupa juga terjadi di India melalui pengaturan National Security Act yang diberlakukan sejak tahun 1980. Ketentuan ini memberikan kewenangan bagi kepolisian untuk melakukan
15
Lihat, Ps 25-28 Perpu 1/2000 mengenai pencegahan tindak pidana terorisme. Dalam ketentuan ini, penggunaan prosedur pemeriksaan yang menyimpang dari KUHAP dibenarkan, bahkan dalam salah satu pasalnya disebutkan adanya kemungkinan menggunakan barang bukti berupa informasi hasil penyadapan dan laporan intelijen bila diperlukan dapat dipergunakan sebagai bukti awal. Lebih lanjut dalam rancangan UU Intelijen juga diberikan kewenangan untuk melakukan prosedur aquisitoir dimana orang yang disangka terlibat bahkan tidak memiliki hak untuk tidak menjawab pertanyaan ( pasal 28). Apabila rancangan UU intelijen ini disetujui bukan tidak mungkin informasi hasil intelijen diperoleh dengan cara ini. 16 Lih perpu 2/2003 dan Draft RUU Intelijen. Bandingkan dengan KUHAP (ps 24), lama penahanan untuk kepentingan penyidikan paling lama 20 hari dan dapat diperpanjang maksimal 40 hari. 17 Dalam kasus penculikan 9 aktivis oleh tim mawar, mereka ditangkap dan di tahan di sarana-sarana militer dan institusi intelijen dengan dalih ancaman keamanan nasional. 18 Lihat Human rights Watch,Malaysia’s Internal Security Act and Suppression of Political Dissent; ICRC;Implementing Law and Regulation: Introduction , Internal security Act, Malaysia NO 82 tahun 1960, memberikan kewenangan melakukan penahanan preventif tanpa proses pengadilan. Dalam prakteknya lebih banyak digunakan untuk menahan banyak tokoh oposisi dan anggota kelompok-kelompok yang dianggap tidak sejalan dengan pemerintah. Salah satunya adalah tokoh oposisi Anwar Ibrahim yang telah mendekam selama hampir 15 tahun di penjara.
8
Seri briefing paper ELSAM/01/03
penangkapan preventif hingga maksimal 180 hari bagi mereka yang dicurigai menjadi ancaman bagi kepentingan nasional India.19 Tabel : Perbandingan penangkapan dan penahanan menurut tiga ketentuan: No 1 2
Ketentuan perundangan UU Pemberantasan tindak pidana terorisme Draft RUU Intelijen
Jangka waktu Penangkapan 7x24 jam setelah diperoleh bukti permulaan yang cukup (ps 28) 7x24 jam setelah diperoleh bukti permulaan yang cukup ( ps 26)
3
KUHAP
1x24 jam Apabila tidak terdapat bukti yang cukup harus dilepaskan kembali
Penahanan untuk penyidikan Untuk penyidikan paling lama 6 bulan. Paling lama 3 bulan, dapat diperpanjang hingga 9 bulan disuatu tempat yang ditentukan oleh Kepala Intelijen Negara (ps27) Paling lama 20 hari dapat diperpanjang maksimal sampai 40 hari
Dalam proses penyelidikan inilah berbagai ketentuan lebih mirip sebagai “draconian law”daripada ketentuan yang melindungi hak-hak sipil. Sebagai contoh, penangkapan juga dimungkinkan meskipun hanya berdasarkan laporan intelijen. Persoalannya adalah laporan intelijen ini dapat diperoleh dengan jalan yang berpotensi besar melanggar kebebasan warga negara. Instansi intlelijen dapat melakukan penyadapan telepon hingga satu tahun, penyensoran surat-surat, memanggil orang yang dianggap memiliki keterangan tentang hal-hal yang berkaitan dengan keamanan nasional. Selain itu, institusi ini juga dilengkapi dengan kewenangan untuk memasuki pekarangan, gedung, dan rumah tinggal atas dasar penyelidikan terhadap ancaman nasional.20 Persoalannya adalah bagaimana menjamin tidak terjadi penyalahgunaan kewenangan dengan mengatasnamakan adanya ancaman nasional ini mengingat dalam ketentuan tersebut pemahaman atas hal tersebut benar-benar didasarkan pada diskresi institusi intelijen itu sendiri. Dengan demikian pengertian keamanan nasional sesungguhnya bukan merupakan sebuah realitas atau fakta, namun merupakan satu persepsi atas sebuah peristiwa. Dalam proses prosedural lebih lanjut, terdapat serangkaian ketentuan yang memiliki watak pengaturan yang serupa. Misalnya, dalam proses penyidikan lebih lanjut, berdasar ketentuan mengenai pemberantasan tindak pidana terorisme tersangka tidak mendapat hak untuk didampingi penasehat hukum, bahkan tersangka tidak memiliki hak untuk tidak menjawab pertanyaan pemeriksa, serta tidak memiliki hak berhubungan dengan keluarganya.21 Ketentuan semcam ini jelas mengabaikan pengakuan atas keberadaan hakhak asasi manusia yang termasuk dalam klasifikasi non-derogable rights. Berdasarkan pengaturan kovenan internasional hak sipil dan politik, beberapa hak asasi yang masuk dalam klasifikasi ini antara lain; hak untuk hidup, hak untuk bebas dari penyiksaan atau
19
Lihat , Ground of detention India, National Security Act 1980 ( 8 (1) dan (2)) ; untuk melakukan penahanan ini tidak diwajibkan untuk melakukan pengungkapan fakta mengenai apa yang dikategorikan sebagai berlawanan dengan kepentingan publik. Berbagai kelompok di India menyebutnya sebagai “draconian law” karena dalam prakteknya lebih banyak digunakan untuk kepentingan pemegang otoritas kekuasan berhadapan dengan kelompok-kelompok kritis dan oposisi. 20 Lihat ps 17-19 draft UU intelijen. 21 Lih Draft RUU Intelijen Pasal 26 beserta ketentuan penjelasannya.
9
Seri briefing paper ELSAM/01/03
perbuatan tidak manusiawi, hak pengakuan sebagai subyek hukum22. Dengan demikian terhadap hak-hak ini, dasar seperti negara dalam keadaan bahaya, tertib publik (public order) tidak dapat digunakan sebagai pembenar adanya pengurangan atas pemenuhan hak asasi tersebut. Dalam fora internasional, perkembangan lebih lanjut untuk melihat intepretasi atas adanya pembatasan hak asasi ini dikenal dalam Prinsip-prinsip Siracusa.23 Secara khusus, prinsip-prinsip ini memberikan dasar yang mengukuhkan bahwa serangkaian hak yang termasuk dalam klasifikasi non-derogable rights tidak dapat disimpangi bahkan untuk tujuan yang ditekankan untuk menyelamatkan kehidupan negara.24 Meski tidak memiliki kekuatan hukum yang memaksa, prinsip-prinsip ini sudah banyak diterapkan dalam mekanisme perlindungan hak asasi di tingkat internasional. Selain itu, prinsip siracusa ini juga mengatur adanya keharusan bagi adanya perangkat hukum di tingkat nasional yang memberikan perlindungan dan remedy yang efektif untuk menghadapi penerapan pembatasan hak asasi yang illegal dan tidak manusiawi.25 Dalam perkembangannya lanjut, prinsip ini berpengaruh pula terhadap lahirnya Johannesburg Principles, yang secara khusus memberikan panduan mengenai hak atas kebebasan berpendapat dan memperoleh informasi dikaitkan dengan penerapan klausul keamanan negara. Dalam prinsip yang lahir kemudian ini, penggunaan terminologi nation- negara dalam pembatasan mengenai pengertian keamanan negara dipertegas menjadi country-bangsa. Penggunaan kata country semakin mempertajam pengertian pada aspek territorial dan populasi lebih dari pengertian negara yang lebih bersifat politik. 26 Selain itu, banyak negara khususnya negara-negara demokrasi baru seperti di Eropa Tengah dan Timur banyak menggunakan terminology keamanan negara sebagai dasar pemberlakuan undang-undang mengenai penghinaan negara (defamation of nation).27 Jadi signifikansi kekuasaan yang eksesif ini akan segera terlihat apabila ketiga ketentuan tersebut dipersandingkan dan dipergunakan secara bersama. Ketiganya apabila dipersandingkan bersama menyediakan keluasan yang lengkap mulai dari menentukan pengertian mengenai kondisi apa yang dapat diklasifikasikan sebagai gangguan atas keselamatan nasional sampai memberikan kewenangan penyidikan yang bertentangan dengan penghargaan atas hak asasi manusia. Apabila melihat kecenderungan adanya ekskalasi konflik di tingkat lokal ( baca propinsi) bukan tidak mungkin luasnya 22
Lihat ICCPR pasal 6 (DUHAM ps 3), ps 7 (DUHAM ps 5), ps 8 ( DUHAM ps 3) ps 11, 15, ps 16(DUHAM ps 8). 23 Prinsip-prinsip Siracusa tentang ketentuan pembatasan dan derogasi hak dalam ICCPR, selanjutnya lebih dikenal sebagai prinsip-prinsip Siracusa. Lahir dalam pertemuan panel 31 ahli hak asasi manusia dan hukum internasional dari berbagai negara di Sicilia Italia tahun 1984. Pertemuan ini menghasilkan seperangkat standar interpretasi atas klausul pembatasan hak dalam ICCPR. 24 Lihat Siracusa Principle no 58, 59, 60. 25 Ibid. No 15-16 26 Lihat Johannesburg principles on National security , Freedom of expression and Acces to Information. Diadopsi pada tanggal 1 Oktober 1995 dalam pertemuan sekelompok ahli hukum internasional, keamanan nasional, dan hak asasi mengambil tempat di Witwatersand, Johannesburg. Lihat juga komentar lebih lanjut mengenai prinsip-prinsip Johannesburg dalam Sandra Coliver, Commentary to: Johannesburg Principles on National Security , Freedom of Expression and Acces to Information, Human Rights Quarterly 20.1 1988 hal 12-80 27 Ibid. hal 5.
10
Seri briefing paper ELSAM/01/03
kewenangan ini pertama-tama akan dipergunakan pula untuk menangani konflik di tingkat lokal. Sampai sejauh ini, dua wilayah yang sangat rentan untuk menjadi wilayah intervensi dari kewenangan ini adalah Aceh dan Papua. Dalam kedua wilayah ini, berbagai gerakan dapat dengan mudah diinteprestasikan sebagai upaya memecah kesatuan NKRI sebagaimana diatur dalam ketentuan perundang-undangan tersebut, sehingga dapat memenuhi kualifikasi ancaman nasional. Terjadinya excessive power inilah yang sesungguhnya lebih sulit untuk dikontrol. Terlebih lagi dalam dalam ketentuan perundang-undangan yang lain institusi yang sama memiliki kewenangan yang besar untuk memberikan penilaian atas kondisi keamanan negara, sebagaimana diatur dalam Perpu No 1/2000 yang baru-baru ini disetujui oleh DPR untuk ditingkatkan menjadi UU. Kecenderungan memberikan kewenangan yang sangat luas ini memiliki kemiripan dengan pengaturan beberapa institusi dalam tubuh militer yang kemudian tumbuh menjadi lembaga extrajudicial pada masa lalu. Dalam deretan ini, institusi Pangkopkamtib dan Bakorstanas berkembang sebagai sarana opresif negara. Apabila merujuk pada pengaturan lembaga extrajudicial tersebut, keduanya berkembang dalam dasar pengaturan yang sangat luas berkaitan dengan fungsi utama melakukan koordinasi kebijakan dalam menjaga keamanan, stabilitas dan ketertiban nasional. Dalam pengaturan yang longgar inilah luasan kewenangan institusi ini merambah ke berbagai hal. Intepretasi atas kewenangan ini dilakukan berdasarkan kebutuhan pemegang kekuasaan. Tidak melulu kemampuan melakukan penahanan diluar jalur hukum reguler, dalam perkembangan selanjutnya institusi ini bahkan memiliki kewenangan melakukan pengawasan atas institusi pers, penyelesaian konflik perburuhan. Pada tahun 1988 meski institusi ini berubah bentuk menjadi BAKORSTANAS tidak ada perubahan yang berarti dalam keluasan otoritas yang dimiliki tanpa ada kontrol institusional.28 Intitusi ini tumbuh menjadi institusi yang dapat berbuat apa saja dan benar-benar menjadi sarana opresif yang efektif bagi perjuangan hak asasi manusia. Tabel 1. Kewenangan yang berpotensi melanggar prinsip HAM dalam pelaksanaannya RUU/UU RUU TNI UU Pencegahan
Pasal 19 Ps 26,27,28
Ps 46
28
kewenangan Pengerahan kekuatan dalam keadaan mendesak Prosedur penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan UU berlaku surut utk tindakan yang ada sebelum lahirnya ketentuan
Permasalah kritis dari kewenangan b. Interpretasi atas keadaan mendesak c. pengertian kerugian negara Kewenangan untuk menyimpangi KUHAP (ps 25), penggunaan laporan intelejen (ps 26), perluasan alat bukti diluar KUHAP, lama penangkapan 7 x 24 jam(ps 28) Bagaimana melakukan penentuan pembatasan penerapan pemberlakuan surut tersebut sehingga tidak menjadi satu pelanggaran tersendiri atas hak asasi.
Lih, Tentang Kopkamtib, Richard Tanter.
11
Seri briefing paper ELSAM/01/03
Draft RUU Intelijen
Pasl 4,9, ps25, ps 26
1. Intepretasi atas penggunaan kata “ancaman nasional (pasal 9 dan beberapa pasal lain); “ kepentingan national ( national interest), 2. pengaturan mengenai Dewan strategis (ps 9) 3. Pemberian kewenangan untuk melakukan pengadaan senjata secara otonom ( ps ) 4. Kewenangan melakukan penahanan (ps 26) 5. Prosedur pemeriksaan yang melanggar HAM ( ps 28) 6. kewenangan mengatur dan mengarahka aktifitas intelejen departemental (ps29) 7. fungsi kontrol DPR
2. Konsep keamanan negara: Persepsi yang didesakkan sebagai Realitas Ketiga ketentuan perundangan ini mendasarkan seluruh pengaturannya pada beberapa konsep dasar yang kesemuanya berada dalam kategori keadaan bahaya dan mendesak. Lembaga yang memiliki kewenangan khusus berdasarkan argumen ini adalah TNI dan POLRI serta lembaga-lembaga lain yang membantu institusi itu menjalankan kewenangannya, seperti lembaga sandi negara, atau pun institusi intelijen. Dalam konteks ini pengaturan serupa yang ada hampir di semua negara di dunia mendasarkan diri pada konsep pengamanan negara (national security), ketertiban umum (public order), moral publik, dan kepentingan nasional. Pengertian dari hal-hal tersebut di atas, sesungguhnya lebih merupakan sebuah persepsi daripada sebuah realitas sebagai yang selama ini disuarakan oleh pemerintah melalui institusi militer. Merujuk pada latar belakang historisnya, konsep ini lahir paska perang dunia kedua di Amerika di era tahun 1970an. Konsep ini kemudian diterapkan di berbagai negara Amerika Latin segera sesudah terjadinya revolusi di Kuba, kemudian diteruskan di berbagai negara Asia, termasuk Indonesia. Meskipun dalam konsep awalnya bahaya lebih merujuk pada potensi ancaman dari luar negara, namun dalam praktek penerapan di berbagai negara Asia, potensi ancaman ini justru kemudian beralih ke dalam negara itu sendiri. Ancaman terbesar justru kemudian dianggap ada dalam masyarakat negara itu sendiri. Ini menjadi kecenderungan umum pemerintahan di Asia, yang memberi legitimasi menekan hadirnya kelompok-kelompok oposisi. Merujuk pada pengalaman Indonesia, sejak awal tahun 70-an konsep ancaman nasional kemudian lebih sering dibahasakan sebagai bahaya laten.29
29
Setidaknya secara konsisten, ancaman nasional sampai saat ini lebih banyak bersifat ancaman yang datang dari dalam. Dalam kategori bahaya laten, dua hal yang paling sering disebut, khususnya oleh institusi militer dan pejabat negara adalah komunisme dan disintegrasi bangsa. Insitusi yang lahir berdasarkan hal ini adalah Pangkopkamtib, Bakorstanas, diikuti dengan berbagai undang-undang seperti UU subversi. Dalam prakteknya hampir seluruh kasus yang berkaitan dengan ancaman nasional adalah masalah-masalah yang berdimensi internal dalam negeri, antara negara dan warganya sendiri. Dalam konteks ini yang menjadi korban adalah mereka yang diidentifikasi sebagai kelompok oposisi, mulai dari peristiwa Malari 1974, Tanjung priok 1984, penculikan 9 aktivis oleh tim Mawar, Tengku Bantaqiah dan peristiwa Wamena 2000.
12
Seri briefing paper ELSAM/01/03
Pengaturan yang intepretatif sesungguhnya semakin menunjukkan bahwa konsep keamanan nasional ini bukan pertama-tama adalah realitas yang konkrit dan spesifik. Dalam RUU TNI misalnya , digunakan kata “keadaan mendesak” dan “ kerugian negara”. Apabila merujuk pada penjelasan RUU tersebut, keadaan mendesak tidak dijelaskan secara lebih detail kecuali bahwa kualifikasi dari keadaan tersebut adalah adanya kebutuhan untuk mengambil keputusan secara cepat, dengan pertimbangan ruang waktu dan resiko. Dengan demikian penjelasan ini justru membuka ruang perdebatan baru mengenai intepretasi atas kualifikasi kemendesakan tersebut. Sementara itu kerugian negara dimengerti sebagai kerugian akibat pelanggaran wilayah/kedaulatan negara, kerusuhan massal, bencana alam dan lainnya. Penjelasan mengenai keadaan mendesak yang sama dapat ditemukan dalam pengaturan mengenai pertahanan negara, khususnya berkaitan dengan kewenangan presiden mengambil keputusan pengerahan kekuatan militer.30 Namun dalam ketentuan yang kedua ini, terdapat batasan yang jelas mengenai jenis keadaan memaksa yang memungkinkan dilakukannya pengerahan lansung kekuatan TNI yaitu berkaitan dengan adanya ancaman bersenjata. Dalam ketentuan mengenai intelijen, penggunaan kata “ancaman negara” dan “kepentingan nasional” penting untuk dikritisi mengingat dalam ketentuan tersebut tidak terdapat batasan yang memadai. Selain itu dalam keseluruhan kewenangan yang dimiliki badan intelijen bersumber dari pengaturan adanya ancaman negara tersebut. Tabel: Perumusan pengaturan yang intepretatif dalam tiga ketentuan perundang-undangan UU TNI Keadaan mendesak
UU Intelijen Ancaman nasional
Kerugian Negara
Kepentingan nasional
Perpu 1/2003 Pengertian pidana terorisme khususnya berkaitan dengan pengertian penggunaan kekerasan dan ancaman kekerasan Pengertian teror dan rasa takut
Seluruh penjelasan dari ketentuan perundang-undangan yang telah ada tersebut mengandung kelemahan mendasar karena tidak menunjukkan batasan dan limitasi yang konkrit yang secara khusus menunjukkan cakupan dari kata-kata yang dimaksud. Kegagalan menentukan limitasi yang konkrit ini akan kembali menjadikan pengaturan yang berkaitan dengan keamanan nasional, kepentingan nasional ataupun kepentingan umum menjadi pasal karet yang memungkinkan adanya intepretasi sepihak ditangan pemegang otoritas kekuasaaan (dalam hal ini institusi represif negara TNI dan Polri serta pemerintah itu sendiri). Ini dapat dicermati sebagai tindakan yang memberi kekuasaan pada negara yang sudah surplus kekuasaan Dengan demikian justru akan semakin membuka kemungkinan pemerintah menjadi ancaman bagi warga negaranya sendiri. Usaha menelusuri limitasi ini dapat dilakukan dalam dua cara. Pertama, melihat praktek masa lalu bagaimana penggunaan ketentuan ini. Dari penggunaan masa lalu ini dapat 30
Lihat UU No 3/2002 dalam penjelasan pasal 14(3)
13
Seri briefing paper ELSAM/01/03
dilihat kecenderungan bagaimana pihak yang memiliki otoritas (negara dan organorgannya) mengintepretasikan pengertian tersebut. Kedua, merujuk pada perkembangan di tingkat internasional khususnya yang berkaitan dengan hak asasi manusia. Sebab pengaturan mengenai keamanan negara, ketertiban umum, dan hal-hal yang serupa lazim ditemui juga dalam praktek negara-negara lain di dunia. Dengan demikian, berbagai perkembangan di tingkat internasional dalam perlindungan hak asasi manusia yang berkaitan dengan penerapan ketentuan ini dapat menjadi rujukan yang berarti. Apabila melihat pada praktek masa lalu, ketentuan serupa sebenarnya tersebut dalam berbagai ketentuan perundang-undangan seperti, UU subvesif, delik ancaman terhadap keamanan negara (KUHP) beserta klausul perubahannya yang memasukkan larangan penyebaran ajaran leninisme dan komunisme, UU mengenai keadaan bahaya (UU PKB).31 Dalam berbagai ketentuan tersebut, ancaman terhadap keamanan negara setidaknya dipahami dalam cakupan : (1) ancaman yang berkaitan dengan kedaulatan negara, dalam hal ini, termasuk pemberontakan dan pemisahan dari NKRI, (2) mengganggu stabilitas pemerintahan dengan cara merongrong kewibawaan pemerintah, (3) berkaitan dengan tertib umum, misalnya isu SARA, pencemaran nama baik, pornografi.32 Dalam berbagai kasus yang melibatkan pengertian ini, tidak terdapat batasan yang cukup jelas. Mereka yang diseret ke pengadilan dengan delik keamanan negara dan ketertiban umum ini pun bervariasi dari tahun ke tahun. Pada masa awal orde baru misalnya, ancaman atas kedaulatan negara ini memberi dasar kebijakan pelarangan dan pembunuhan massal atas mereka yang diidentifikasi menjadi anggota atau simpatisan PKI. Pada paruh delapanpuluhan, berbagai kelompok yang berbeda. Diantara mereka adalah enam mahasiswa ITB yang harus mendekam di penjara rata-rata 3 tahun karena memprotes Mendagri Rudini, beberapa aktivis mahasiswa di Semarang dikenai pasal yang sama . Persoalan yang berbau sara juga masuk dalam deretan ini. Dalam peristiwa Tanjung Priok di tahun 1984, pemerintah mendasarkan tindakannya pada adanya kecurigaan bahwa komunitas muslim ini melakukan aktivitas yang mengundang kebencian SARA. Berkaitan dengan peristiwa ini tak kurang 40 orang dipenjara dengan beragam tuduhan seperti menghasut massa, menolak asas tunggal Pancasila, menolak P4.33 Berbagai kasus yang berkaitan dengan gejolak di tingkat lokal seperti Aceh dan Papua mendapat perlakuan yang serupa. Di tahun 2002, dengan dasar adanya ancaman terhadap kesatuan dan persatuan NKRI, Polda Papua melansir operasi Khusus Adil Matoa, untuk 31
UU subversif yang didasarkan dari UU No 11/PnPs/1963 telah dihapus saat pemerintahan Gusdur, UU mengenai keamanan negara berasal dari UU No 23/PnPs/1959 dicabut dan digantikan dengan UU PKB, namun karena mendapat tentangan yang hebat dari publik, pemberlakuan UU ini ditunda untuk waktu tak tentu. Delik keamanan negara dapat dijumpai dalam KUHP buku II bab I- III, mencakup delik pelanggaran keamanan negara, delik pelanggaran ketertiban umum dan delik pelanggaran terhadap penguasa umum. Klausul perubahan diatur dalam UU No 27 Tahun 1999 sebagai perubahan atas pengaturan mengenai delik pelanggaran keamanan negara KUHP buku II bab I. 32 Bandingkan, Ignatius Haryanto, Kejahatan Negara: Telaah tentang Penerapan delik Keamanan Negara, ELSAM, 1999, hal 9-30. 33 Ibid, hal 40-60
14
Seri briefing paper ELSAM/01/03
menindak tegas (baca menumpas-red) gerakan dan aktivitas kelompok yang akan memisahkan diri dari NKRI/makar. Kasus-kasus tersebut menunjukkan lebarnya rentang penggunaan pengertian terhadap ancaman nasional, keamanan negara dan kepentingan publik. Diskresi atas penggunaannya pun sepenuhnya ditentukan oleh pemegang otoritas, dalam hal ini pemerintah beserta organ-organnya. Dengan demikian, apabila tidak terdapat perubahan mendasar dalam pengaturan mengenai pengertian-pengertian tersebut, bukan tidak mungkin implementasinya akan kembali seperti pada masa-masa yang lalu. Praktek diskresi yang sangat bias kepentingan negara seperti tersebut di atas tidak melulu terjadi di Indonesia. Beberapa negara juga melakukan praktek serupa seperti India, Malaysia, Singapura, Afrika sebelum runtuhnya rejim apartheid dan negara-negara Eropa Barat paska 11 September 2001 untuk kasus-kasus yang berkaitan dengan ancaman terorisme. Dalam situasi ini, beberapa preseden hukum meskipun tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, lahir di tingkat regional. Dua diantaranya yang paling sering diadopsi dalam penegakan HAM baik di tingkat internasional ataupun regional adalah prinsip-prinsip Siracusa dan Prinsip-prinsip Johannesburg mengenai keamanan nasional, kebebasan berpendapat dan akses terhadap informasi. Prinsip-prinsip yang kedua secara khusus memberikan perhatian pada hak atas kebebasan berpendapat dan informasi. Hal-hal mendasar yang dilahirkan dari kedua prinsip tersebut berkaitan standar intepretasi atas pengertian keamanan negara, ketertiban umum dan moral publik adalah: 1. Pembatasan konsep keamanan negara dan ketertiban umum Pembatasan ini setidaknya dilakukan dengan dua cara berupa: 1.1. Pembatasan Pengertian Konsep keamanan negara/keamanan nasional hanya dapat diterapkan dalam upaya melakukan perlindungan terhadap eksistensi negara dan integritas teritorialnya atau kemerdekaan politiknya menghadapi ancaman. Dalam prinsipprinsip Johannesburg, mengingat penyalahgunaa konsep negara maka dipergunakan kata bangsa( country) yang lebih menunjuk pada eksistensi populasi dan wilayah. Konsep ini tidak dapat dipergunakan untuk pembatasan hak yang didasarkan pada adanya ancaman lokal atau ancaman terpisah secara relatif pada hukum dan ketertiban.34 Secara khusus, pembatasan hak asasi yang didasarkan pada konsep keamanan nasional tidak dapat dikenakan apabila tujuan dasar dan efeknya tidak berkaitan dengan ancaman nasional seperti melindungi pemerintah dari rasa malu atau pengungkapan kesalahan, atau pengungkapan informasi yang berkaitan berfungsinya institusi publik, atau menanamkan satu ideologi tertentu, atau menekan konflik industrial.35 Secara spesifik, prinsip-prinsip siracusa memberikan batasan pengertian atas ketertiban umum (public order) dan moral publik ( public moral). Ketertiban umum diformulasikan sebagai sejumlah aturan yang menjamin tujuan masyarakat, atau serangkaian prinsip-prinsip dasar yang menjadi sendi-sendi 34 35
Siraacusa Principle No 29-31 Johannesburg principle No 2 (b)
15
Seri briefing paper ELSAM/01/03
dasar kemasyarakatan. Dengan demikian penghargaan atas hak asaai manusia merupakan bagian dari konsep ketertiban umum ini. 1.2. Pengaturan syarat-syarat yang detail kedua prinsip tersebut menegaskan bahwa pengurangan atau limitasi atas hak asasi manusia yang didasarkan pada kepentingan keamanan nasional hanya dapat dilakukan sebatas diatur dalam ketentuan perundang-undangan nasional. Dalam hal ini undang-undang tersebut tidak dapat diterapkan sewenang-wenang dan subyektif. Dalam Johanesburg principle secara lebih khusus undang-undang tersebut disyaratkan harus memiliki pengaturan yang detail dan tidak ambigu sehingga memudahkan setiap orang untuk menilai apakah tindakan-tindakan khusus yang didasarkan pada undang-undang tersebut melanggar hukum. Kedua prinsip tersebut juga mengatur bahwa upaya menunjukkan validitas pembatasan menjadi kewenangan negara. Berkaitan dengan upaya pembatasan tersebut, negara harus mampu menunjukkan bahwa pembatasan tersebut tidak menghancurkan fungsi demokrasi yang hidup dalam masyarakat termasuk di dalamnya harus memdasarkan diri pada nilai-nilai hak asasi manusia.36 Secara lebih khusus, Johannesburg principle memberikan penekanan lebih jauh berkaitan dengan keadaan dimana kebebasan berpendapat diklasifikasikan mengancam keamanan negara. Dalam kasus ini pemerintah harus menunjukkan secara meyakinkan bahwa pendapat tersebut dimaksudkan ditujukan secara sengaja dan memungkinkan timbulnya kekerasan. Terdapat hubungan langsung antara penyampaian pendapat dan terjadinya kekerasan.37 Lebih lanjut bahkan ditegaskan berkaitan dengan pelaksanaan hak atas kebebasan berpendapat ini, konsep ancaman terhadap keamanan negara tidak dapat diterapkan bagi advokasi tanpa kekerasan untuk mengubah kebijakan pemerintah, ataupun pemerintah itu sendiri, upaya menyataka ketidak setujuan atau advokasi atas ketidak setujuan yang didasarkan pada kepercayaan dan agama. Dalam hal ini, tidak seorang pun dapat dijatuhi hukuman dengan dasar telah dianggap melontarkan kritik atau pun menghina negara atau simbol-simbol negara.38 2 . Perlindungan penyalahgunaan dan pemulihan hak Ketentuan perundang yang memberikan dasar adanya pembatasan hak tersebut juga menyediakan perlindungan yang memadai terhadap kemungkinan terjadinya penyalahgunaan wewenang, dalam hal ini termasuk pemeriksaan judicial atas validitas pembatasan oleh institusi pengadilan yang independen39, serta remedy yang efektif.40
36
Siracusa Principle No 20 Johannesburg principle No 6 38 Johannesburg principle 9 39 Lihat Johannesburg principle no 1; 1.1.b 40 Sircusa Principle No 17 37
16
Seri briefing paper ELSAM/01/03
3. Lembaga kontrol Secara umum, pembatasan-pembatasan seperti tersebut diatas dapat berfungsi sebagai kontrol penggunaan konsep yang berkaitan dengan keamanan negara. Tapi secara lebih khusus kedua prinsip internasional tersebut memberu penegasan atas kehadiran kontrol eksternal dari pemerintah. Dalam Prinsip-prinsip Siracusa misalnya, sebagai organ yang bertanggung jawab dalam pemeliharaan ketertiban umum, negara dapat dikontrol melalui baik parlemen ataupun institusi independen yang lainnya. Keseluruhan perkembangan dalam fora internasional ini dapat dipertimbangkan dalam penyusunan kembali peraturan yang berkaitan dengan konsep keamanan negara dan ketertiban umum. Terlebih mengingat praktek intepretasi atas konsep di masa lalu justru menjadi ancaman yang mendasar bagi upaya penghargaan atas hak asasi manusia. 3 Akuntabilitas : Absennya pengaturan mengenai akuntabilitas Seperti negara-negara lain yang mengalami bekerjanya system yang otoriter, pengertian keamanan negara dan kepentingan nasional (national interest) banyak menggoreskan deretan panjang pelanggaran ham. Kekerasan, penahanan sewenang-wenang (arbitrary detention), pembunuhan kilat (summary killing) serta penyiksaan banyak mengatasnamakan kepentingan ini. Dalam kasus Abepura misalnya, setidaknya satu orang ditembak langsung ditempat tanpa dasar yang jelas, dua yang lain mati dalam tahanan karena penyiksaan. Tindakan ini tidak lepas dari intepretasi apparatus opresif negara menterjemahkan apa yang dimengerti sebagai ancaman terhadap kepentingan nasional.41 Jauh sebelumnya, berbagai kasus lain seperti Tanjung priok, Talangsari di lampung, juga dikait-kaitkan keamanan nasional dan kepentingan nasional. Pengalaman ini sedikit banyak mempengaruhi kepercayaan publik atas kemampuan institusi opresif untuk dapat mencegah terulangnya praktek yang sama. Berkaitan dengan fungsi kontrol ini, perhatian terutama ditujukan pada institusi intelijen, mengingat dalam dua ketentuan perundangan yang lain (RUU TNI dan Perpu anti terorisme) insitusi intelijen memainkan peran yang penting untuk dilakukannya tindakan lebih lanjut yaitu sebagai pihak yang mungkin memberikan bukti awal.42 Dalam konteks ini, Indonesia menghadapi tantangan yang sama dengan beberapa negara di mana pada masa lalu institusi militer dan intelijen memiliki kekuasaan yang eksesif yaitu melakukan kontrol dan pembatasan kewenangan atas institusi militer di satu pihak serta melakukan perubahan fungsi intelijen di lain pihak, khususnya mengubah fungsi represif di masa lalu. Sebab seperti terjadi di banyak negara yang mengalami rejim otoriter, dua institusi ini kerap menjadi apparatus opresif yang paling efektif meredam upaya penegakan hak asasi dan demokrasi. Terlebih, pada umumnya terdapat jaminan legal yang melindungi praktek-praktek ini dalam legislasi di tingkat nasional. Dalam konteks Indonesia, perubahan fungsi ini tidak terlalu mudah dicapai mengingat sampai saat ini secara organisasional institusi militer tetap memiliki satuan-satuan organisasi
41
Lihat, Laporan KPP Abepura berdarah 6-7 desember 2000, para mahasiswa yang menjadi korban ini dikait-kaitkan dengan adanya gerapan papua merdeka yang dinilai oleh pemerintah sebagai gerakan yang mengancam integritas NKRI. 42 Lihat, perpu 1/2002, psl 26, 27,28; Draft RUU Intelijen psl 18,19,20.
17
Seri briefing paper ELSAM/01/03
dalam struktur pemerintahan terendah.43 Apabila mencermati ketentuan undang-undang tersebut, segera dapat diamati fungsi kontrol merupakan salah satu titik lemah yang cukup mendasar khususnya bila disandingkan dengan luasnya cakupan kewenangan yang diperoleh. Pembentukan mekanisme kontrol untuk menjamin akuntabilitas ini setidaknya menyangkut dua hal penting, pertama, kontrol internal. Bentuk kontrol ini dapat dilakukan dengan dua cara, pertama pemeriksaan oleh otoritas yang membawahi institusi intelijen ini. Kedua dilakukan dengan kontrol konstitusional (statutory control) yang diwujudkan dengan pembatasan secara tegas atas cakupan dan kewenangan institusi intelijen dalam ketentuan perundang-undangan/legislasi yang ada. Kedua adanya fungsi kontrol ekternal. Dalam kategori kedua ini, kontrol atas performa institusi intelijen dilakukan oleh institusi diluar intelijen baik langsung berdasarkan mandat konstitusional (statutory mandate) atau pun kontrol yang bersifat judicial. Diluar dua kategori tersebut terdapat pula alternatif kontrol yang memungkinkan publik atau individu yang merasa dirugikan atas praktek intelijen ini mengajukan komplain atau gugatan. 1. Kontrol internal Berkaitan dengan kontrol internal, terdapat dua cara yang berbeda. Pertama dilakukan dengan pembatasan otoritas pada lembaga yang bersangkutan yang secara eksplisit diatur dalam ketentuan perundang-undangan yang ada. Merujuk pada pengalaman Afrika Selatan misalnya, pengaturan intelijen paska tumbangnya rejim otoriter menegaskan pembatasan otoritas kerja intelijen di dalam konstitusi yang mengatur keharusan adanya legislasi nasional yang membatasi objek, kekuasaan dan fungsi intelijen. Lebih lanjut untuk kemudian diadopsi sebagai tanggung jawab intelijen yang meliputi tanggung jawab untuk menghormati hak-hak individual sebagaimana dijamin dalam konstitusi, sub ordinasi praktek intelijen pada rule of law, kewajiban tunduk pada nilai-nilai demokratis seperti penghargaan atas hak asasi manusia, pemisahan institusi intelijen dari pembuatan kebijakan.44 Apabila mencermati rancangan UU intelijen, materi ini tidak dapat kita temukan dalam pengaturan pasalpasalnya. Sebaliknya pengaturan dalam beberapa pasal dalam dua rancangan undangundang tersebut sangat bertentangan dengan prinsip penghargaan atas civil liberties (kebebasan individual) khususnya berkaitan dengan prosedur investigasi dan pemeriksaan. Dalam ketentuan mengenai pemberantasan tindak pidana terorisme, beberapa mekanisme kontrol jenis ini tersebar dalam beberapa pasal yang mengatur mengenai cakupan pengertian tindak pidana terorisme. Dalam pengaturan ini, beberapa pengaturan mengenai tindak kejahatan penerbangan merupakan penjabaran lebih lanjut dari ketentuan yang ada di peraturan yang lain.45 Namun pengaturan ini 43
Upaya melakukan pemangkasan struktur territorial sampai saat ini belum berhasil. Di tingkat kecamatan misalnya, institusi Babinsa yang ada di tingkat desa memiliki hubungan koordinatif dengan koramil di tingkat kecamatan masih terus eksis sampai sekarang. 44 Lih,Sandy Africa and Siyabulela Mlombie, Transforming intelijen service, Some reflection on the south African Experience 45 Lih, Perpu 1/2002 pasal 6-
18
Seri briefing paper ELSAM/01/03
kurang memadai mengingat dalam proses penyidikannya, tidak terdapat ketentuan yang menjamin hak-hak tersangka untuk diperlakukan secara adil di muka hukum. Bentuk kontrol lain adalah memungkinkan adanya kontrol dari pihak yang memiliki otoritas langsung atas institusi intelijen. Dalam konteks Indonesia, berdasarkan pembentukannya, struktur intelijen merupakan lembaga non departemental yang langsung tunduk di bawah kepala negara. Dengan demikian dia tidak tunduk pada kementrian tetapi setingkat dengan menteri, institusi ini langsung bertanggung jawab pada presiden. Sementara itu, dalam perpu1/2002, sebagai tindak lanjut, tugas operasional dari pelaksanaan pemberantasan terorisme ini diserahkan pada satuan tugas anti teroris yang dipimpin oleh Menkopolkam serta didukung pemberian kewenangan bagi institusi intelijen untuk melakukan perencanaan umum dan pelaksanaan kerja operasional intelijendi instansi lain di samping tugas-tugas pokok mereka sendiri.46 Dengan demikian kontrol dilakukan langsung oleh presiden. Model ini sedikit berbeda dengan struktur yang secara umum digunakan di beberapa negara seperti Perancis, Kanada, Inggris, dan Jerman. Di negara-negara ini, memang perdana Menteri (konselir-untuk Jerman) sebagai pemegang otoritas politik tertinggi negara memiliki kendali atas struktur intelijen. Namun secara khusus dalam struktur organisasi pemerintahan kendali kontrol ini secara lebih spesifik melekat pada kementerian yang secara langsung bertanggung jawab atas urusan keamanan negara. Merujuk pada pengaturan di Kanada, kontrol tertinggi fungsi keamanan dan intelijen ada pada Solicitor General- Menteri kabinet yang bertanggung jawab atas urusan keamanan dan intelijen dalam parlemen Kanada (baca departemen kehakiman). Sementara di negara seperti Inggris dan perancis, fungsi kontrol dipegang oleh kementerian dalam negeri negara yang bersangkutan. Di Amerika serikat misalnya, fungsi kontrol atas keamanan dan intelijen ini berada di bawah kendali departemen kehakiman (baca Jaksa Agung). Pengaturan mengenai kewenangan kontrol ini pun diatur secara rinci. Merujuk pengaturan di Kanada, dalam hal institusi intelijen harus melakukan investigasi yang diperkirakan dapat mengganggu kepentingan yang bersangkutan misalnya penyadapan dan penyortiran surat/kiriman melalui pos atau email, diatur secara rinci mengenai syarat- syarat khusus dimana tindakan ini dapat dilakukan, antara lain bahwa tindakan ini merupakan hasil lebih lanjut dari investigasi pendahuluan berupa melakukan penelusuran pada informasi-informasi yang bersifat publik. Apabila terpaksa harus dilakukan tindakan lebih lanjut seperti penyortiran surat dan kiriman, maka harus mendapat persetujuan dari pimpinan tertinggi (dalam hal ini Menteri yang bersangkutan) serta mendapat pengesahan dari pengadilan.47 2. Kontrol eksternal Berkaitan dengan kontrol eksternal ini dikenal setidaknya dua model pendekatan. Pertama, mengambil bentuk kontrol judicial dan yang lain adalah kontrol oleh badan khusus dalam parlemen.
46
Lihat Inpres 4/2002; Inpres 5/2002 Lih. Canadian Security and Intelligence Service ( CSIS) pasal 21; Lihat juga , Dovydas Vitkauskas, 1999, The rule of Security Intelligence service in A Democracy, hal 31, 44-45
47
19
Seri briefing paper ELSAM/01/03
a. Kontrol judicial Kontrol judicial di sini merujuk pada kontrol yang dilakukan oleh lembaga judicial berkaitan dengan fungsi kerja intelijen dan institusi keamanan. Sebagai lembaga yang independen, kekuasaan judicial diharapkan mampu menjadi benteng perlindungan keadilan dan menjamin tidak terlanggarnya hak-hak asasi individu dari praktek intelijen dan keamanan. Mekanisme pengesahan dari pengadilan ini merupakan jenjang lanjutan setelah pada tingkat pertama mendapat persetujuan dari kementrian yang bersangkutan. Dengan adanya upaya berlapis ini, tindakan yang dilakukan dalam ranghka investigasi tidak dapat dilakukan serta merta. Dengan demikian upaya perlindungan individu atas kemungkinan terjadinya pelanggaran hak asasi juga semakin besar. Dalam pengaturan mengenai tindak pidana terorisme, kontrol judicial dapat ditemukan dalam mekanisme pengesahan pengadilan untuk tindakan yang berkaitan dengan penyadapan informasi.48 Dalam konteks Indonesia, persoalan pokoknya adalah apakah dalam mekanisme ini memadai, mengingat realitas institusi judicial yang korup. Selain itu dalam realitas perbincangan politik di Indonesia, dominasi institusi militer atas institusi yang lain termasuk institusi judicial juga membuat banyak keraguan apakah mekanisme pengesahan pengadilan benar-benar mampu melakukan fungsi kontrol atas kinerja intelijen. Atau justru yang terjadi adalah seperti yang ada dalam praktek Security Act 1980 di India yang kemudian justru menjadi pukulan balik bagi pekerja kemanusiaan dan HAM karena begitu mudahnya institusi pengadilan mengeluarkan surat pengesahan perintah penahanan. b. Kontrol oleh badan khusus dalam parlemen Sistem kontrol eksternal lain yang paling umum dilakukan adalah membentuk badan khusus dalam parlemen. Dalam pengaturan Draft RUU Intelijen mekanisme serupa ini diadopsi, dengan membentuk komite pengawasan yang beranggotakan beberapa anggota dewan yang telah disumpah sebelumnya.49 Namun, kewenangan komite ini hanya pada pengawasan anggaran dan substansi yang berkaitan dengan keamanan negara. Apa yang dimaksud dengan substansi keamanan negara ini pun tidak terdapat penjelasan yang cukup memadai. Dengan demikian tidak terdapat kemungkinan dilakukan pengawasan atas performa kerja/ bagaimana institusi intelijen mengimplementasikan kerja di lapangan. Merujuk pada berbagai kasus yang terjadi di masa lalu, kesalahan di tingkat operasional inilah yang sulit dikontrol.50 Mengingat pula bahwa dalam salah satu klausulnya institusi ini berhak melakukan pengadaan senjata diluar kontrol institusi lain.51 Terlebih sampai saat ini keberadaan komite yang memiliki fungsi kontrol dalam DPR belum terbentuk.52 Dengan demikian, komite ini pun tidak memiliki kewenangan melakukan investigasi menyeluruh berkaitan dengan kemungkinan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan 48
Lih Perpu 1/2002 pasal 32(1b) ibid, ps 38 50 Lihat kasus Theys 2001, Penculikan 9 Aktivis oleh tim Mawar di tahun 1996 51 Lihat, Draft RUU Intelijen psl 52 ibid. psl 26 49
20
Seri briefing paper ELSAM/01/03
oleh intelijen. Selain itu persoalan yang muncul dari komite ini adalah mekanisme pengawasan yang seperti apa yang menjamin akuntabilitas publik institusi keamanan dan intelijen. Apakah komite ini juga memiliki kewenangan untuk menindaklanjuti keberatan dari pihak ketiga yang merasa dirugikan oleh kerja-kerja intelijen, juga menjadi persoalan yang perlu mendapat perhatian dalam pengaturan mengenai kontrol eksternal terhadap lembaga keamanan dan intelijen ini. Hal lain yang berkaitan dengan imparsialitas kerja komite ini, mengingat keanggotaan DPR yang berbasiskan pada partai politik dan golongan, maka persoalan indepedensi komite dari kepentingan politik/golongan menjadi tantangan yang tidak mudah dipecahkan. Bandingkan dengan pengaturan di Belanda misalnya fungsi ini dijalankan oleh komite yang ditunjuk secara khusus oleh parlemen, berkaitan dengan kemungkinan kerja intelijen melanggar ruang lingkup hukumnya. Untuk itu komite ini dilengkapi dengan kewenangan melakukan penyelidikan dan menghadirkan saksi-saksi.53 Sementara itu dalam praktek di Kanada, fungsi kontrol eksternal ini dipegang oleh komite evaluasi intelijen keamanan yang beranggotakan setidaknya tiga sampai lima orang Privi Council yang diangkat oleh Privi Councillor ini adalah orang-orang yang dedikasi pada pemerintah sebagai penasehat senior telah diakui, kebanyakan dari mereka menerima gelar ini ketika masih menjabat sebagai anggota kabinet Federal.54Untuk menjamin imparsialitasnya dan mencegah tidak terjadinya kecenderungan partisan, anggota penasehat senior ini disyaratkan tidak sedang menjadi anggota parlemen. Komite ini selain memiliki kewenangan untuk melakukan investigasi lebih lanjut mengenai kinerja intelijen, termasuk di dalamnya melakukan kontrol atas terpenuhinya standar perlindungan hak asasi dalam kerja intelijen, juga memiliki kewenangan untuk memproses keberatan/komplain yang muncul dari pihak ketiga yang merasa dirugikan oleh kerja-kerja institusi intelijen ini, serta memberikan ijin penggunaan dokumen-dokumen intelijen bagi kepentingan-kepentingan pihak-pihak diluar komunitas intelijen yang bersangkutan. Hasil komite ini akan secara reguler dipertanggungjawabkan pada Mentri kabinet yang membawahi urusan intelijen untuk selanjutnya harus mempertanggungjawabkan laporan itu di depan parlemen selambatnya 15 hari sesudah diterimanya laporan tersebut. Di Jerman, upaya kontrol dilakukan oleh komisi pengawasan parlemen di mana anggota komisi adalah merupakan anggota parlemen. Sementara itu Inggris muncul dengan pembentukan komisi parlemen untuk intelijen dan keamanan, yang keanggotaannya diambil dari parlemen dan diangkat oleh Perdana Menteri.55 c. Mekanisme komplain Berkaitan dengan akuntabilitas publik ini, baik perpu pemberantasan tindak pidana terorisme maupun Draft RUU Intelijen tidak menbuka kemungkinan bagi pihak ketiga untuk mengajukan keberatan atas kerja intelijen yang dianggap merugikan, 53
Lihat D.B. van der Windt , Legislature and the security services dalam Security services and civil society, oversight and accountability; conference report, 1995 54 opcit, hal 44. 55 Opcit, hal 46
21
Seri briefing paper ELSAM/01/03
padahal apabila merujuk kewenangan yang dimiliki intelijen, ini. Ketiadaan ketentuan ini tentu akan sangat merugikan khususnya apabila seseorang yang telah ditahan kurang lebih 6 bulan (untuk kasus terorisme) atau 270 hari (untuk pemeriksaan intelijen) dan ternyata tidak terbukti melakukan tindakan yang dituduhkan, karena tidak tersedia mekanisme complaint atas hal ini. Dalam ketentuan mengenai pemberantasan tindak pidana terorisme memang tersedia mekanisme rehabilitasi. Berdasarkan pengaturan tersebut, orang yang tidak terbukti melakukan tindakan yang disangkakan dapat mengajukan rehabilitasi pada kementrian kehakiman dan HAM. Persoalannya adalah bagaimana dengan kompensasi atas kerugian yang diderita. Merujuk pada perkembangan pengaturan institusi serupa di berbagai negara lain, klausul yang memungkinkan adanya complaint ini menjadi salah satu klausul penting untuk mendorong akuntabilitas kerja intelijen.56 Di Kanada, seseorang yang merasa keberatan atas kerja intelijen dan keamanan berkaitan dengan dilakuakn nya penyadapan dan penyortiran surat-surat dapat mengajukan keberatan kepada Komiter review keamanan dan intelijen. Komite ini dapat melakukan tindakan lebih lanjut baik berupa investigasi atas institusi intelijen termasuk menyeluruh pada institusi intelijen. Komite inilah yang juga memiliki kewenangan untuk berfungsi sebagai tribunal berkaitan dengan gugatan pihak ketiga ini. Selain itu juga tersedia mekanisme regional khususnya di Eropa, melalui Pengadilan Ham Eropa, untuk kasus-kasus yang berkaitan dengan kerja intelijen yang dianggap merupakan pelanggaran wilayah privacy.57 Kasus-kasus ini sebagian besar berkaitan dengan praktek penyadapan dan pengawasan yang dilakukan oleh pihak intelijen negara yang bersangkutan. IV. Penutup Salah satu tantangan terbesar dalam proses transisi dari regim yang otoritarian ke regim yang lebih demokratik adalah mencegah berbagai peluang yang memungkinkan kembalinya kecenderungan otoritarian dalam praktek kenegaraan. Sebagian besar negara menggunakan perangkat undang-undang untuk mencegah kembalinya praktek-praktek otoritarian dari regim sebelumnya, khususnya apabila pengaturan tersebut berkaitan secara langsung dengan agen-agen yang menjalankan fungsi represi seperti institusi intelijen, militer dan kepolisian. Dipengaruhi oleh perkembangan di ranah hak asasi manusia, beberapa negara bahkan menetapkan jaminan itu dalam UUD negaranya, Afrika Selatan, Philipina, Thailand merupakan beberapa negara dalam kelompok ini. Dengan demikian, mencermati secara sungguh-sungguh dasar pengaturan dan detail pengaturan dalam dua draft rancangan undang-undang TNI dan Intelijen, serta Undang56
Lihat Intelligence Services Act 1994 di Inggris, Dalam ketentuan ini diatur secara detail mengenai prosedur komplain, dimana dalam ketentuan tersebut komplain bisa diajukan oleh orang atau pun organisasi.; pengaturan serupa dapat ditemui juga dalam Canadian Security and intelligence Act C-23 di Kanada. 57 Beberapa kasus yang ditangani Pengadilan Ham Eropa dapat dirujuk seperti Klass dkk vs Pem Jerman, Malone vs Pemerintah Inggris berkaitan dengan penyadapan telepon, dan Lambert vs Pemerintah Perancis.
22
Seri briefing paper ELSAM/01/03
undang Pemberantasan tindak pidana terorisme yang memberikan kewenangan yang sangat luas pada institusi ekstra judicial seperti intelijen penting untuk dilakukan. Melihat pengaturan dalam tiga undang-undang tersebut, terdapat empat hal pokok yang harus dikritisi khususnya berkaitan dengan (1) keluasan kekuasaan insitusi militer, polisionil dan intelijen. Memberikan keluasaan kekuasaan pada institusi-institusi tersebut secara tidak langsung sebenarnya memberikan kekuasaan yang besar pada negara yang di masa lalunya memiliki surplus kekuasaan, (2) pengaturan substansi di dalam ketentuan perundang-undangan tersebut yang selain sangat intepretatif juga memiliki potensi pelanggaran atas hak-hak asasi yang paling fundamental, (3) Ketiadaan mekanisme penanganan hukum yang memadai yang melindungi individu dari kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan oleh institusi yang menerima kewenangan ( militer, Polisi, dan intelijen) serta skema pemulihan hak apabila terjadi pelanggaran, (4) ketiadaan mekanisme kontrol baik internal maupun eksternal atas kinerja institusi-institusi tersebut. Berangkat dari fokus perhatian tersebut, penting untuk juga mempertimbangkan pengalaman berbagai negara dalam pengaturan sejenis, seperti Kanada, Inggris, dan Afrika Selatan khususnya berkaitan dengan fungsi intelijen. Dalam mengatur pembatasan kewenangan atau pun fungsi kontrol pengalaman dan model pengaturan dari berbagai negara tersebut dapat dipergunakan sebagai pembanding. Limitasi substansi seperti di Kanada, ataupun mekanisme pengesahan pengadilan seperti di Inggris dapat menjadi pembanding dalam menyusun pembatasan dan fungsi kontrol. Demikian pula berkaitan dengan kontrol eksternal, model pengawasan melalui komisi independen dalam tubuh eksekutif, ataupun pengawasan oleh komisi dalam parlemen dapat merujuk pada penerapan di berbagai negara tersebut. Untuk melengkapinya, perkembangan di ranah hak asasi manusia yang secara khusus merujuk pada penerapan konsep keamanan negara dapat memberikan kontribusi yang berarti. Pengaturan-pengaturan standar intepretasi sebagaimana terdapat dalam prinsip-prinsip Siracusa dan prinsip-prinsip Johannesburg dapat menjadi acuan utama khususnya dalam menentukan limitasi pengertian dan penerapan delik keamanan negara dalam penyusunan ketentuan perundang-undangan tersebut.
--000--
23