LEM BA G A
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Ekonomi Tembakau di Indonesia
i
“Penerapan cukai tembakau sampai pada batas maksimum yang diperbolehkan undang-undang (57 persen) dapat mencegah terjadinya 1,7 juta sampai 4 juta kematian akibat rokok diantara perokok, serta memberikan tambahan penerimaan negara sebesar Rp 29,1 triliun sampai Rp 59,3 triliun. Kenaikan tarif cukai tembakau dua kali lipat dapat meningkatkan kesempatan kerja lebih dari seperempat juta.”
Rangkaian laporan tentang pajak tembakau yang didukung oleh Bloomberg Philanthropies sebagai bagian dari Inisiatif Bloomberg untuk mengurangi konsumsi tembakau
ISBN 979-525-146-5 International Union Against Tuberculosis and Lung Disease (The Union) 68 boulevard Saint Michel, 75006 Paris – France Tel: +33-1 44.32.03.60, Fax: +33-1 43.29.90.87 Email :
[email protected]; web :www.iuatld.org Barber, S., Adioetomo, S.M., Ahsan, A., dan Setyonaluri, D. Ekonomi Tembakau di Indonesia. Paris: International Union Against Tuberculosis and Lung Disease; 2008.
ii
Ekonomi Tembakau di Indonesia
LEM BA G A
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
K ATA P E N G A N TA R Laporan ini dikembangkan oleh tim yang dipimpin oleh Dr. Sarah Barber, University of California di Berkeley, dan Profesor Dr. Sri Moertiningsih Adioetomo, Abdillah Ahsan, dan Diahhadi Setyonaluri, Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Anggota tim adalah Nur Hadi Wiyono, Dewi Prihastuti, Muhammad Halley Yudistira, dan Muhammad Sowwam.1 Tim juga melakukan wawancara terstruktur untuk mengumpulkan data mengenai administrasi dan implementasi pajak pada tembakau. Hasil wawancara lengkap dipublikasikan secara terpisah2. Bagian ketiga dari laporan ini ditujukan untuk menguatkan dan mengembangkan sebuah studi terdahulu yang dibiayai oleh Rockefeller Foundation, yang menguji implikasi dari kenaikan cukai terhadap penyerapan tenaga kerja di sektor manufaktur dan pertanian. Laporan ini disusun oleh Abdillah Ahsan dan Nur Hadi Wiyono, dengan bantuan teknis Dr. Hana Ross dari American Cancer Society.3 Sebagian besar dari data dasar disusun dari sumber dan kutipan dalam “The Tobacco Sourcebook”, sebuah pengumpulan data selama bertahun-tahun tentang semua aspek konsumsi dan produksi tembakau, dipublikasikan oleh Departemen Kesehatan pada tahun 2004. Bapak Frans Rupang, Direktur Cukai, serta Bapak Soenaryo dari Direktorat Cukai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Departemen Keuangan bertindak sebagai nara sumber yang sangat penting dalam penyempurnaan laporan ini. Kami mengucapkan terimakasih atas komentar dan saran dari Prof. Dr. Teh-Wei Hu dari School of Public Health, University California, Berkeley; Dr. Suahasil Nazara dari Lembaga Demografi (LD) FEUI; Dr. Ari Kuncoro dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) FEUI; Dr. Frank Chaloupka, University of Chicago; Dr. Michael Ong dari University of California, Los Angeles; Dr. Anne-Marie Perucic, dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) Jenewa; dan Dr. Tom Frieden serta Dr. Kelly Henning, Bloomberg Philanthropies. Selain itu, Burke Fishburne dari WHO, WPRO juga telah memberikan masukan yang bermanfaat. Dr. Widyastuti Soerojo, Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) yang telah menyediakan data prevalensi, dan Dr.Ayda Yurekli, Research for International Tobacco Control (RITC), yang menyediakan data perbandingan antar negara tentang harga dan pajak. Kami juga berterimakasih kepada Bloomberg Philanthropies yang telah mendanai kegiatan ini. Pengelolaan
LEM BA G A
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Ekonomi Tembakau di Indonesia
iii
dana dilakukan oleh The International Union Against Tuberculosis and Lung Diseases (The UNION) dan IAKMI. Kami berterimakasih kepada Diahhadi Setyonaluri atas penerjemahan laporan ini. Para penulis bertanggung jawab untuk semua kesalahan dan kekurangan dalam penulisan laporan ini.
1
Abdillah Ahsan, Nur Hadi Wiyono, Diahhadi Setyonaluri, Dewi Prihastuti, Muhammad Halley Yudistira, Muhammad Sowwam. “Tobacco Control Country Study, Indonesia”, Demographic Institute, Faculty of Economics, University of Indonesia, 2007.
2
Abdillah Ahsan, Nur Hadi Wiyono, Diahhadi Setyonaluri, Dewi Prihastuti, Muhammad Halley Yudhistira, Muhammad Sowwam, Implementation of tobacco tax, tobacco control country study, Indonesia,2007.
3
Abdillah Ahsan, dan Nur Hadi Wiyono, ”The Impact Analysis of Higher Cigarette Price to Employment in Indonesia”, Demographic Institute, Faculty of Economics, University of Indonesia 2007.
iv
Ekonomi Tembakau di Indonesia
LEM BA G A
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
RINGKASAN EKSEKUTIF Rendahnya harga rokok, pertumbuhan penduduk, kenaikan pendapatan rumah tangga, dan mekanisasi industri rokok kretek ikut menyumbang meningkatnya konsumsi tembakau yang signifikan di Indonesia sejak tahun 1970-an. Sebagian besar perokok di Indonesia (88 persen) mengkonsumsi rokok kretek yaitu rokok yang terdiri dari tembakau yang dicampur cengkeh. Angka prevalensi perokok adalah 34 persen dimana prevalensi perokok laki-laki 63 persen. Konsumsi per kapita penduduk dewasa naik sebesar 9,2 persen antara tahun 2001 dan 2004. Dengan tenggang waktu lebih dari 25 tahun antara saat pertama mulai merokok sampai dengan munculnya berbagai penyakit kronis, maka dampak buruk akibat konsumsi rokok baru disadari saat ini. Lebih dari separuh dari 57 juta perokok di Indonesia akan meninggal karena penyakit yang disebabkan oleh rokok.
“Mayoritas perokok (88 persen) mengkonsumsi rokok kretek “ Akibat informasi yang tidak sempurna yang dimiliki oleh konsumen tentang risiko kesehatan dan efek adiktif (kecanduan) menyebabkan terjadinya kegagalan pasar pada konsumsi tembakau. Sebanyak 78 persen dari perokok Indonesia mulai merokok sebelum usia 19 tahun. Nikotin bersifat sangat adiktif (mencandu), hal ini ditunjukkan oleh perokok usia di bawah 15 tahun, dimana 8 dari 10 diantaranya gagal dalam usahanya untuk berhenti merokok. Tidak seperti barang konsumsi adiktif lainnya yang ilegal, konsumen rokok secara terus menerus dihadapkan pada gencarnya iklan yang mempromosikan rokok sebagai sesuatu yang umum diterima di lingkungan sosial. Cukai rokok berperan penting dalam menjaga tingginya harga rokok untuk mencegah anak-anak dan orang dewasa yang belum merokok agar tidak mulai merokok, yang mengakibatkan kecanduan seumur hidup.
“Lebih dari 97 juta penduduk Indonesia yang tidak merokok terpapar asap rokok secara terus-menerus” Merokok menyebabkan timbulnya biaya bagi mereka yang tidak merokok dan masyarakat pada umumnya. Biaya yang harus dikeluarkan untuk menyembuhkan penyakit yang terkait dengan konsumsi rokok mencapai Rp 2,9 triliun sampai Rp11 triliun per tahun (US$ 319 juta – US$ 1,2 milyar). Selain itu, asap rokok bersifat karsinogenik (penyebab kanker). Lebih dari 97 juta penduduk Indonesia yang tidak merokok terpapar asap rokok orang lain . Rumah tangga perokok menghabiskan 11,5 persen dari
LEM BA G A
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Ekonomi Tembakau di Indonesia
v
total pengeluaran bulanan untuk membeli rokok. Tingginya pengeluaran tersebut memiliki dampak serius terhadap kesejahteraan. Hasil studi pada masyarakat miskin perkotaan menyimpulkan bahwa rumah tangga yang kepala keluarganya merokok akan mengalihkan pengeluarannya dari makanan ke rokok dan meningkatkan prevalensi kurang gizi pada anakanaknya.
“Separuh dari 57 juta perokok di Indonesia saat ini akan meninggal akibat penyakit yang berhubungan dengan rokok. Hampir 80 persen perokok mulai merokok sebelum umur 19 tahun” Undang-undang cukai No. 39 tahun 2007 menetapkan bahwa cukai berfungsi untuk mengurangi konsumsi dan mengendalikan distribusi produk tembakau karena produk tersebut berkibat buruk bagi kesehatan. Namun dalam prakteknya, faktor utama yang diperhatikan ketika menetapkan tarif cukai tembakau adalah target penerimaan pemerintah tahunan. Sistem ini membuat harga produk tembakau menjadi lebih terjangkau sejak tahun 1980-an, dan mengakibatkan prevalensi merokok diantara anak-anak meningkat drastis. Harga dan tarif cukai rokok di Indonesia lebih rendah dibandingkan harga dan tarif cukai rokok di negara lain. Harga riil rokok di Indonesia relatif stabil sejak tahun 1980-an sehingga harga rokok menjadi lebih terjangkau dibandingkan harga barang lainnya. Tarif cukai saat ini (37 persen dari harga jual) masih rendah dibandingkan standar global yaitu 70 persen dan tarif tersebut sebenarnya masih di bawah tarif maksimum menurut undang-undang (57 persen). Road map Industri Rokok yang dikeluarkan oleh pemerintah dimaksudkan untuk memberi pedoman tentan g kebijakan cukai tembakau. Akan tet api, hal itu dapat mengakibatkan dampak kesehatan yang lebih buruk karena mendorong konsumsi yang lebih tinggi. Salah satu tujuan dari road map adalah untuk menciptakan masyarakat yang sehat melalui pengurangan kadar nikotin dan tar pada fase terakhir (2015-2020). Namun, tidak ada bukti bahwa pengurangan kadar nikotin memiliki efek positif terhadap kesehatan.
“Enam perusahaan rokok menyumbang 88 persen penerimaan negara dari cukai tembakau” Permintaan terhadap produk tembakau dipengaruhi oleh perubahan harga. Kenaikan tarif cukai sampai dengan standar baku global sebesar 70 persen dari harga jual dapat mencegah antara 2,5 juta sampai 5,9 juta kematian yang berhubungan dengan rokok. Sementara itu, permintaan produk tembakau bersifat inelastic, atau persentase berkurangnya permintaan
vi
Ekonomi Tembakau di Indonesia
LEM BA G A
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
lebih kecil daripada persentase kenaikan harga. Dengan dampak yang relatif kecil terhadap penurunan permintaan, kenaikan cukai tersebut akan memberikan kontribusi terhadap tambahan penerimaan negara sebesar Rp 23,8 triliun sampai Rp. 75,8 triliun (US$ 2,6 sampai US$ 8,3 milyar). Dampak kebijakan perubahan harga dan cukai produk tembakau terhadap kesehatan dan penerimaan negara tergantung pada struktur pasar, respon industri dan konsumen terhadap peningkatan harga, dan implementasi cukai tembakau. Struktur cukai tembakau sendiri cukup rumit. Beberapa faktor yang menentukan pengenaan cukai tembakau adalah jenis produk, teknik produksi (linting tangan atau mesin), dan skala produksi. Struktur ini berkembang untuk mengakomodasi berbagai kepentingan yang terkadang saling bertentangan, tidak hanya meningkatkan penerimaan negara tetapi juga perlindungan tenaga kerja dan pengembangan industri kecil. Kebijakan yang ada umumnya dibuat untuk melindungi industri kecil, dengan mengurangi permintaan produk dari perusahaan besar melalui peningkatan harga jual eceran dan tarif cukai untuk perusahaan besar.
“Sekitar 71 persen pangsa pasar dikuasai oleh tiga perusahaan” Dari sisi penerimaan negara, cukai tembakau lebih mudah dikelola, karena enam perusahaan rokok besar berkontribusi sekitar 88 persen pada total penerimaan cukai tembakau. Tetapi, industri pengolahan tembakau melakukan beberapa cara untuk menyiasati penerapan cukai berjenjang berdasarkan skala produksi perusahaan. Tarif cukai berjenjang memberikan kesempatan kepada perusahaan untuk memperoleh cukai yang lebih rendah dengan cara: a). membatasi produksinya sehingga masuk dalam kelompok cukai yang lebih rendah, b). membuat atau membeli perusahaan yang lebih kecil, c). memberikan kontrak produksi kepada perusahaan kecil. Adanya penjenjangan produksi dalam sistem cukai tembakau memberikan ruang bagi perusahan rokok untuk secara sah (legal) menghindari pembayaran tingkat cukai yang tertinggi. Hal ini secara nyata mengurangi penerimaan negara dari cukai tembakau dan menghambat tercapainya tujuan meningkatkan kesejahteraan sosial. Selain itu, industri rokok mempunyai kekuatan untuk melobi pembuat kebijakan karena 71 persen pangsa pasar dikuasai tiga perusahaan. Di masa lampau, perusahaan bersedia menanggung kenaikan cukai tembakau dan mengurangi tambahan keuntungan untuk mempertahankan atau meningkatkan pangsa pasar. Perlu dicatat bahwa peraturan Menteri Keuangan No. 134/PMK.04 tahun 2007 yang efektif berlaku per 1 Januari 2008 memberlakukan cukai spesifik
LEM BA G A
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Ekonomi Tembakau di Indonesia
vii
yang hampir seragam untuk seluruh produk tembakau. Hal ini merupakan perubahan yang cukup besar dari sistem cukai sebelumnya. Dampak perubahan peraturan ini harus diawasi secara terus-menerus. “Industri rokok berkontribusi kurang dari 1 persen terhadap total tenaga kerja nasional sejak tahun 1970-an” Perubahan cukai dan harga tembakau tidak diharapkan memiliki dampak yang besar terhadap pertanian tembakau dan cengkeh karena beberapa alasan. Kurang dari 2 persen petani Indonesia terlibat dalam pertanian tembakau, dan sebagian besar petani tembakau dan petani cengkeh terkonsentrasi di daerah geografis tertentu. Baik petani tembakau maupun petani cengkeh telah melakukan diversifikasi tanaman dan telah terlibat di sektor pertanian lain yang bukan tembakau atau pada kegiatan nonpertanian sebagai bagian dari upaya meningkatkan pendapatan. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur, pertanian tembakau mencapai masing-masing 1,8 persen dan 0,5 persen dari total tanah pertanian yang digarap. Industri pengolahan tembakau lebih merupakan kepentingan di tingkat lokal dibanding dengan tingkat nasional. Berlawan dengan persepsi umum, industri tembakau bukanlah penyerap tenaga kerja terbesar di tingkat nasional. Menurut BPS, industri ini hanya menduduki peringkat ke-48 dari 66 sektor yang berkontribusi pada penyerapan tenaga kerja. Kontribusi industri rokok terhadap total tenaga kerja sektor industri terus menurun secara tajam dari 28 persen pada era 1970-an menjadi kurang dari 6 persen saat ini, dan kontribusi pada total tenaga kerja tetap berada di bawah 1 persen sejak tahun 1970-an. Jumlah perusahaan rokok berfluktuasi dari waktu ke waktu, tetapi distribusi secara geografis terus terkonsentrasi di 14 kabupaten sepanjang tahun 1960 dan 1990. Mayoritas perusahaan rokok ini berada di Jawa Tengah dan Jawa Timur, dimana diperkirakan perusahaan tembakau berkontribusi masing-masing 2,0 persen dan 2,9 persen dari total penyerapan tenaga kerja di daerah tersebut. Dalam mengestimasi dampak ekonomi dari menurunnya pengeluaran untuk rokok perlu dipertimbangkan pula bagaimana pengeluaran tembakau dapat direalokasi untuk pengeluaran barang lainnya atau untuk investasi. Penelitian yang dilakukan dengan membuat simulasi dampak kenaikan cukai tembakau sebanyak dua kali lipat melaporkan adanya kenaikan penyerapan tenaga kerja sebesar 0,3 persen (281.135 pekerja). Hal ini terutama disebabkan karena pertanian dan industri tembakau tidak menempati peringkat yang cukup tinggi berdasarkan output ekonomi, tenaga kerja, dan upah. Pengeluaran rumah tangga untuk tembakau cukup
viii
Ekonomi Tembakau di Indonesia
LEM BA G A
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
besar. Bila pengeluaran tersebut dialihkan ke sektor ekonomi yang lebih produktif, hal ini akan mengakibatkan peningkatan pertumbuhan ekonomi. “Cukai spesifik yang menerapkan tarif yang sama per batang rokok lebih efektif dalam mendukung upaya pengurangan konsumsi rokok” “ Penerapan tingkat cukai yang sama dengan standar global sebesar 70 persen dari harga jual melalui cukai spesifik lebih efektif daripada ad valorem, dan akan memberikan dampak yang besar bagi kesehatan” Dari penelitian ini, dapat ditarik lima rekomendasi. Pertama, laporan ini merekomendasikan penyederhanaan sistem cukai tembakau dengan menghapuskan sistem penjenjangan berdasarkan skala produksi (production tier), meningkatkan tarif cukai untuk semua produk tembakau, dan penyesuaian cukai spesifik secara otomatis terhadap tingkat inflasi. Cukai spesifik yang memberlakukan cukai yang sama per batang rokok lebih efektif dalam menekan konsumsi rokok. Peningkatan cukai yang bertujuan untuk mengurangi konsumsi perlu lebih tinggi dari tingkat inflasi dan cukup besar untuk mengimbangi kenaikan pendapatan. Kedua, laporan ini menganjurkan penerapan cukai sampai batas tertinggi sesuai dengan Undang-Undang Cukai No. 39 tahun 2007. Hal ini perlu diterapkan untuk membalikkan kecenderungan kemampuan membeli rokok serta mulai mengatasi dampak berbagai penyakit yang berhubungan dengan tembakau. Penerapan tingkat cukai yang sama dengan standar global sebesar 70 persen melalui cukai spesifik daripada ad valorem, dan akan memberikan dampak yan g besar bagi keseh at an . Ket i ga, pen el i t i an i n i merekomendasikan penelaahan kembali apakah sistem cukai rokok yang bertujuan untuk menciptakan kesempatan kerja lebih efektif dibandingkan program at au kebi jakan l ai n . Keempat , pen el i t i an i n i ju ga merekomendasikan bahwa tarif cukai tembakau harus ditetapkan pada tingkat yang dapat mengkoreksi kegagalan pasar. Hal ini terjadi akibat langkanya atau tidak cukupnya informasi tentang dampak buruk dari konsumsi produk tembakau dan biaya dampak merokok yang sebenarnya ditanggung oleh masyarakat. Akhirnya, laporan ini merekomendasikan bahwa penyisihan penerimaan cukai sebesar 2 persen diarahkan secara efektif untuk membantu pihakpihak yang terkena pengaruh negatif dari penurunan konsumsi tembakau dan untuk menerapkan program pengendalian tembakau secara lebih menyeluruh.
LEM BA G A
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Ekonomi Tembakau di Indonesia
ix
DAFTAR ISI hal Kata Pengantar Ringkasan Eksekutif .......................................................................... Daftar Isi ............................................................................................. Daftar Tabel ........................................................................................ Daftar Gambar .................................................................................... Daftar Lampiran ................................................................................. Daftar Istilah .......................................................................................
1.
Latar Belakang 1.1. Tujuan dan Ruang Lingkup ............................................... 1.2. Sumber Data ..................................................................... 1.3. Kelemahan dan Keterbatasan Data ..................................
2.
Pendahuluan 2.1. Prevalensi Perokok dan Beban Penyakit .......................... 2.2. Hubungan antara Kesehatan dan Produktifitas Ekonomi 2.3. Kegagalan Pasar: Kekurangan Informasi tentang Risiko dan Kecanduan, dan Biaya Finansial dan Fisik yang Dialami oleh Non-perokok dan Masyarakat ............. 2.4. Penciptaan Penerimaan Pemerintah: Pengukuran Cukai dan Harga Rokok ..............................
3.
Informasi Cukai dan Harga Tembakau 3.1. Struktur Cukai Tembakau 3.2. Cukai dan Harga Rokok
............................................... .................................................
3.3. Kemampuan Masyarakat Membeli Produk Tembakau .... 3.4. Catatan tentang Sistim Cukai Ad Valorem dan Cukai Spesifik
x
Ekonomi Tembakau di Indonesia
.........................................................
LEM BA G A
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
4.
Studi Permintaan Rokok 4.1. Studi-studi yang Menggunakan Data Agregat ................. 4.2. Studi-studi yang Menggunakan Data Rumah Tangga ..... 4.3. Dampak Kenaikan Harga Tembakau pada Rumah Tangga Miskin .................................................... 4.4. Dampak Kenaikan Cukai Rokok pada Konsumsi dan Penerimaan Pemerintah ..........................................
5.
Struktur Pasar Industri Tembakau dan Tenaga Kerja 5.1. Perkebunan Tembakau
................................................
5.2. Struktur Pasar Industri Rokok ........................................ 5.3. Industri Pengolahan Tembakau
....................................
5.4. Penelitian yang Mengevaluasi Dampak Cukai Terhadap Lapangan Kerja ............................................. 6.
Administrasi Cukai Produk Tembakau 6.1. Penerimaan Cukai Rokok .............................................. 6.2. Faktor Penentu Tarif Cukai Tembakau ........................... 6.3. Reaksi Industri terhadap Sistim Cukai Tembakau .......... 6.4. Administrasi Cukai, Pemalsuan dan Penyelendupan .....
7.
Kesimpulan dan Rekomendasi ........................................... Lampiran .............................................................................. Daftar Pustaka .....................................................................
LEM BA G A
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Ekonomi Tembakau di Indonesia
xi
DAFTAR TABEL hal Tabel 2.1.
Persentase Pengeluaran Total per bulan untuk Tembakau, Makanan, Kesehatan dan Pendidikan di Rumah Tangga Perokok, Menurut Kuantil, 2005 .........
Tabel 2.2.
Prevalensi Perokok Laki-laki menurut Kelompok Umur dan Persentase Perubahannya, 1995 dan 2004 .............
Tabel 2.3.
Ringkasan Global Youth Tobacco Surveys di Indonesia untuk kelompok umur 13-15 tahun (Kelas 1-3 SMP), 2004-2006
Tabel 3.1.
Tarif Cukai Tembakau Produksi dan Konsumsi Domestik, 2007 dan 2008
Tabel 3.2.
Perubahan Penggolongan Cukai Tembakau untuk Produksi dan Konsumsi Domestik, 1996-2007 ...............
Tabel 3.3.
Tarif Cukai Rokok Terhadap Harga Jual dan HJE pada Tiga Jenis Rokok, 2005..........................................
Tabel 3.4.
Pengeluaran per bungkus untuk Tiga Jenis Rokok menurut Kuintil Pengeluaran Rumah Tangga, 2005 ......
Tabel 4.1.
Simulasi Dampak Kenaikan Cukai Pada Pengeluaran untuk Rokok Jenis SKT menurut Desil Pengeluaran Rumah Tangga ............................................................
Tabel 4.2.
Simulasi Dampak Naiknya 10 persen Cukai pada Konsumsi dan Penerimaan Cukai ...................................
Tabel 4.3.
Kohor Perokok menurut Kelompok Umur, 2008, dan Proporsi Kematian yang Terhindarkan Karena Berhenti Berokok ............................................................
Tabel 4.4.
Dampak Kenaikan Cukai Tembakau terhadap Kematian karena Rokok dan Penerimaan Negara ..........................
Tabel 5.1.
Produksi Tembakau, Rasio Ekspor dan Impor Terhadap Produksi Domestik, dan Nilai Ekspor Neto,1995-2005.....
Tabel 5.2.
Pangsa Pasar, Perusahaan Rokok Besar, 1979-2005.....
Table 5.3.
Pangsa Pasar Merek Rokok (%), 2003
xii
Ekonomi Tembakau di Indonesia
...........................
LEM BA G A
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Tabel 5.4.
Produksi Rokok, Rasio Impor dan Ekspor, dan Nilai Ekspor Rokok sebagai Persentase dari Nilai Total Ekspor ................................................................
Tabel 5.5.
Kontribusi Produksi Rokok dan Manufaktur Tembakau Terhadap Lapangan Kerja Langsung: Membandingkan Estimasi dari Berbagai Sumber ...................................
Tabel 6.1.
Proporsi Penerimaan Cukai Berdasarkan Jenis Rokok, dan Perubahan Tarif Cukai untuk Sigaret Kretek Tangan (SKT), 1996-2007
Tabel 6.2.
Total Produksi dan Total Penerimaan Cukai untuk SKM dan SKT Berdasarkan Tingkat Produksi, 2000 dan 2005
Tabel 6.3.
Perubahan pada Tingkat Produksi Rokok Djarum sebagai Reaksi Terhadap Perubahan Tarif Cukai Berdasarkan Tingkat Produksi, 1988-1992
Tabel 6.4.
Jumlah Perusahaan Rokok Berdasarkan Skala Produksi, dan Kontribusinya pada Penerimaan Cukai, 2005-2006
LEM BA G A
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Ekonomi Tembakau di Indonesia
xiii
Daftar
Gambar hal
Gambar 3.1.
Proporsi Alokasi Biaya Produksi untuk Jenis Rokok SKT dan SKM Produksi Gudang Garam, Proyeksi untuk Tahun 2005
Gambar 3.2.
Perbandingan Harga Nominal dan Harga Riil Tembakau, 1970-2005
Gambar 3.3.
Perbandingan Harga Rokok Riil Dengan Per Kapita Tahunan Penjualan Domestik 1970-2005
Gambar 3.4.
Keterjangkauan Produk Tembakau, 1980-2000
Gambar 3.5.
Harga Rokok Per Pak Dan Persen Cukai dari Harga, 2004-2005
Gambar 5.1.
Produksi Rokok, 1960-2005
Gambar 6.1.
Persentase Penerimaan Cukai Tembakau Terhadap Total Penerimaan Pemerintah dan Total Penerimaan Pajak, Indonesia, 1979-2007
xiv
Ekonomi Tembakau di Indonesia
LEM BA G A
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
D A F T A R L A M P I RA N hal Lampiran 2.1.
Angka Prevalensi Merokok Menurut Kelompok Usia dan Jenis Kelamin. 1995, 2001, 2004
Lampiran 2.2.
Angka Prevalensi Merokok Laki-laki dan Perempuan menurut Propinsi dan Jenis Daerah, 1995, 2001, 2004
Lampiran 2.3.
Angka Prevalensi Merokok menurut Tingkat Pendidikan dan Pengeluaran, dan Jenis Kelamin, 1995, 2001 and 2004
Lampiran 2.4.
Persentase Perokok berdasarkan Preferensi terhadap Jenis Rokok, menurut Kelompok Usia
Lampiran 2.5.
Persentase Pengeluaran Bulanan Rumah Tangga berdasarkan Jenis Pengeluaran dan Jenis Rumah Tangga (Perokok dan Non-perokok), 2005
Lampiran 2.6.
Pengeluaran Tembakau dan Sirih sebagai Proporsi terhadap Total Pengeluaran Rumah Tangga, 19952005
Lampiran 2.7.
Usia rata-rata mulai merokok untuk perokok kini (dalam tahun)
Lampiran 2.8.
Persentase Perokok Kini menurut Kelompok Usia Pertama Merokok
Lampiran 2.9.
Prevalensi Merokok diantara Laki-laki, 1995, 1997, 2000
Lampiran 3.1.
Formulir kalkulasi Harga Jual Eceran (HJE) untuk produk tembakau domestik (CK-21A)
Lampiran 3.2.
Perubahan Tarif Cukai Rokok berdasarkan Jenis Produk dan Skala Produksi, 1996-2007
Lampiran 3.3.
Skala Cukai Tembakau untuk Net Eksportir (jumlah ekspor lebih tinggi dari penjualan domestik) (A), dan Skala Pajak Produk Tembakau Impor (B)
LEM BA G A
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Ekonomi Tembakau di Indonesia
xv
Lampiran 3.4.
Formulir kalkulasi Harga Jual Eceran untuk Produk Tembakau Impor (CK-21B)
Lampiran 5.1.
Peringkat Negara Produsen Daun Tembakau, 2005
Lampiran 5.2.
Produksi Daun tembakau per tahun, Kuantitas Ekspor dan Impor Daun, dan Rasio Impor Ekspor
Lampiran 5.3.
Persentase Area Penanaman Tembakau terhadap Total Lahan, Indonesia, 2000-2005
Lampiran 5.4.
Persentase Area Penanaman Tembakau terhadap Lahan Total menurut Propinsi, 2005
Lampiran 5.5.
Proporsi Petani Tembakau terhadap Total Tenaga Kerja, 1996-2005
Lampiran 5.6.
Produksi Cengkeh, Rasio Ekspor dan Impor, dan Nilai Net Ekspor, 1990-2005
Lampiran 5.7.
Rangkuman Biaya, Penerimaan, dan Laba (dalam Rp) dari Tembakau dibandingkan dengan Hasil Lahan Lain dalam Tingkat Input Tinggi dan Rendah, Jawa Tengah, Indonesia.
Lampiran 5.8.
Pangsa Pasar 8 Perusahaan Rokok 1979, 1989, 1994 (%)
Lampiran 5.9.
Pangsa Pasar Industri Kretek dan Rokok Putih, 19951998
Lampiran 5.10.
Produksi Rokok Tahunan, Kuantitas Ekspor dan Impor Daun Tembakau, dan Rasio Ekspor Impor
Lampiran 5.11.
Jumlah Perusahaan Manufaktur Tembakau, Skala Industri berdasarkan Jumlah Pekerja, Indonesia, 2004
Lampiran 5.12.
Lapangan Kerja Produksi Rokok, Persentase terhadap Lapangan Kerja Manufaktur dan Total
Lampiran 5.13.
Peringkat Kontribusi Semua Sektor terhadap Lapangan Kerja (Tabel Input-Output, BPS, dalam Ahsan 2007)
Lampiran 5.14.
Jumlah Perusahaan Rokok Kretek dan Rokok Putih, 1961-2004
Lampiran 5.15.
xvi
Lokasi Perusahaan Rokok Kretek, 1961-1993
Ekonomi Tembakau di Indonesia
LEM BA G A
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Lampiran 5.16.
Lapangan Kerja Sektor Manufaktur Tembakau di Beberapa Propinsi
Lampiran 6.1.
Persentase Penerimaan Cukai terhadap Total Penerimaan Pemerintah dan terhadap Total Penerimaan Pajak, 1979-2006
Lampiran 6.2.
Proporsi Penerimaan Cukai berdasarkan Jenis Rokok, 1979-2005
Lampiran 6.3.
APBN 2008 (miliar rupiah)
Lampiran 6.4.
Perubahan Regulasi Tembakau dan RUU, Indonesia, 1999-2007
Lampiran 6.5.
Perbandingan Ukuran Perusahaan menurut BPS dan Direktorat Cukai
LEM BA G A
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Ekonomi Tembakau di Indonesia
xvii
D AF TA R I S TI LA H AIDS
:
Almost Ideal Demand System
ASEAN
:
Association of South-East Asia Countries
BAT
:
British American Tobacco
BKF
:
Badan Koordinasi Fiskal
BPS
:
Badan Pusat Statistik
CRT
:
Cerutu
FAO
:
Food and Agricultural Organization
FCTC
:
Framework Convention on Tobacco Control
FTE
:
Full Time Equivalent
GYTS
:
Global Youth Tobacco Survey
HJE
:
Harga Jual Eceran
HPTL
:
Hasil Produk Tembakau lainnya
IAKMI
:
Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia
IFLS
:
Indonesia Family Life Survey
IHK
:
Indeks Harga Konsumen
IHT
:
Indutri Hasil Tembakau
KLB
:
Klobot
KLM
:
Klembak Menyan
KOMNAS Anak
:
Komisi Nasional Perlindungan Anak
MDGs
:
Millenium Develoment Goals
NA
:
Tidak tersedia
PDB
:
Produk Domestik Bruto
PMK
:
Peraturan Menteri Keuangan
PPN
:
Pajak Pertambahan Nilai
RITC
:
Research for International Tobacco Control
SAKERTI
:
Survei Keadaan Rumah Tangga Indonesia
xviii
Ekonomi Tembakau di Indonesia
LEM BA G A
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
SIDS
:
Sudden Infant Death Syndrome
SKM
:
Sigaret Kretek Mesin
SKT
:
Sigaret Kretek Tangan
SKTF
:
Sigaret Kretek Tangan Filter
SPM
:
Sigaret Putih Mesin
STTC
:
Sumatra Tobacco Trading Company
SUSENAS
:
Survei Sosial-Ekonomi Nasional
Then UNION
:
The International Union Against Tobacco and Lung Diseases
TIS
:
Tembakau Iris dan Kunyah
USAID
:
United States Agency for International Development
VAT
:
Value Added Tax
WHO
:
World Health Organization
WPRO
:
Western Pacific Regional Office
LEM BA G A
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Ekonomi Tembakau di Indonesia
xix
B A B 1
latar
LEM BA G A
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Untitled-6
1
belakang
Ekonomi Tembakau di Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
1
2
Untitled-6
LEM BA G A
Ekonomi Tembakau di Indonesia
2
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
1.1.
Tujuan dan Ruang Lingkup
Laporan ini bertujuan untuk mengulas secara sistematis kajian-kajian yang telah ada dan menyajikan sebuah laporan yang komprehensif tentang aspek-aspek ekonomi tembakau di Indonesia. Pertama akan dijelaskan mengenai pentingnya kajian atas ekonomi tembakau dan mengapa pemerintah perlu mengintervensi konsumsi tembakau. Dalam upaya memenuhi target penerimaan negara, intervensi pasar tembakau yang dilakukan oleh pemerintah seharusnya bertujuan untuk (1) menunjukkan adanya beban akibat penyakit yang berkaitan dengan konsumsi tembakau, (2) mengurangi dampak buruk konsumsi tembakau pada produktivitas dan kemiskinan, (3) mengkoreksi kegagalan pasar terkait dengan kurangnya informasi kesehatan dan efek adiktif tembakau khususnya di kalangan anak-anak dan remaja. Aspek sosial dan demografis dari konsumsi tembakau juga didiskusikan dalam bab dua. Bab tiga menjelaskan sejarah dan kondisi masa kini tentang struktur cukai dan harga tembakau di Indonesia, serta membandingkan harga rokok, cukai, dan kemampuan daya beli antarnegara. Bab empat mengulas penelitian-penelitian sebelumnya tentang permintaan terhadap rokok, baik yang menggunakan data agregat maupun data rumah tangga. Bab ini juga menyajikan berbagai hasil estimasi dampak kenaikan cukai terhadap pengeluaran rumah tangga untuk tembakau, konsumsi rokok, kematian akibat tembakau, dan penerimaan pemerintah dari cukai tembakau. Bab lima mengulas tentang struktur industri rokok, pertanian dan pengolahan tembakau, produksi, perdagangan dan ketenagakerjaan. Bab ini juga menyajikan berbagai hasil studi dampak kenaikan cukai tembakau terhadap tenaga kerja dan perekonomian. Kemudian pada bab enam diuraikan tentang (1) penerimaan cukai tembakau, (2) faktor-faktor yang menentukan penerimaan cukai tembakau, (3) aspek-aspek pelaksanaan penerapan cukai tembakau, (4) reaksi kalangan industri terhadap kenaikan cukai, dan (5) tindak pemalsuan dan penyelundupan. Laporan ini diakhiri dengan rekomendasi kebijakan.
“Studi ini bertujuan untuk mengulas secara sistematis berbagai hasil penelitian dan menyajikan laporan yang komprehensif tentang aspek ekonomi tembakau di Indonesia”
LEM BA G A
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Untitled-6
3
Ekonomi Tembakau di Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
3
1.2.
Sumber Data
Prevalensi dan tingkat konsumsi tembakau dalam laporan ini menggunakan hasil survei nasional berskala besar yang representatif terhadap seluruh penduduk, termasuk Survei Sosial-Ekonomi Nasional (SUSENAS) yang dikumpulkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan Survei Keadaan Rumah Tangga Indonesia (Sakerti) (Indonesia Family Life SurveyIFLS). Berbagai data terbaru yang mendukung kajian ini meliputi data konsumsi dan pengeluaran untuk tembakau di tingkat rumah tangga, umur pertama kali merokok, ketenagakerjaan, dan pangsa pasar industri.1 Indeks Harga Konsumen (IHK) untuk tembakau diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS). Tarif cukai dihitung untuk tiga jenis rokok utama (Sigaret Kretek Mesin—SKM, Sigaret Kretek Tangan—SKT, dan Sigaret Putih Mesin—SPM) berdasarkan data konsumsi dan harga di tingkat rumah tangga, data industri untuk produksi total menurut jenis rokok, sedangkan data mengenai penerimaan cukai menurut jenis rokok diambil dari data Direktorat Cukai. Untuk keperluan penulisan laporan ini dilaksanakan survei harga rokok pada tingkat pengecer dan penjual di Jakarta dan sekitarnya yang hasilnya diuraikan secara terpisah dari laporan ini.2 Sejarah perkembangan dan kondisi terkini struktur harga dan cukai atas produk-produk tembakau diperoleh dari Surat Keputusan Menteri Keuangan yang dipublikasikan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tentang cukai produk tembakau. Angkaangka tentang penerimaan cukai diperoleh dari publikasi Departemen Keuangan. Nilai rupiah dalam laporan ini dikonversi ke dalam Dolar Amerika berdasarkan kurs tahun 2007 (kecuali yang diberi catatan). Kami menyajikan rangkuman analisis-analisis sebelumnya tentang permintaan terhadap rokok dan simulasi dampak kenaikan cukai terhadap konsumsi dan penerimaan cukai. Tinjauan ini didasarkan atas publikasi makalah-makalah penelitian di Indonesia dan Asia Tenggara.3 Pertama, “An Overview of the Tobacco Control Economic Literature and Evidence for Indonesia” yang dikerjakan oleh Research Triangle Institute termasuk tinjauan kritis terhadap hampir semua kajian yang disajikan dalam makalah tersebut. Kedua, “Higher Tobacco Prices and Taxes in South-East Asia: An Effective Tool to Reduce Tobacco Use, Save Lives and Generate Revenue” yang didukung oleh World Health Organization (WHO) dan Bank Dunia, yang menjelaskan tentang harga pada tingkat regional dan kebijakan cukai. Masing-masing kajian ini dikutip di catatan akhir laporan ini. Struktur industri dan pangsa pasar dikumpulkan dari grup riset pasar dan publikasi sumber-sumber industri. Data-data terbaru tentang produksi pertanian, manufaktur dan perdagangan bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Food and Agricultural Organization (FAO). Data ketenagakerjaan diperoleh dari BPS. Selain itu, dalam laporan ini juga dikutip dua studi yang mengkaji dampak perubahan cukai terhadap
4
Untitled-6
LEM BA G A
Ekonomi Tembakau di Indonesia
4
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
ketenakerjaan, pertama adalah studi yang diterbitkan oleh United States Agency for International Development (USAID)4, dan kedua adalah studi yang menganalisis implikasi kenaikan cukai terhadap ketenagakerjaan. Studi ini menggunakan data survei rumah tangga nasional termasuk SUSENAS dan publikasi hasil analisis input-output mengenai dampak kenaikan cukai tembakau terhadap kesempatan kerja. Studi tersebut merupakan pengembangan dan kelanjutan studi yang sudah dilakukan sebelumnya oleh Lembaga Demografi, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia.5 Dalam upaya melengkapi laporan ini dilakukan wawancara ke pejabat pemerintah di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan Badan Koordinasi Fiskal (BKF), di Departemen Keuangan untuk mengumpulkan informasi mengenai sistem administrasi cukai tembakau dan penerapannya. Wawancara dilakukan oleh tim peneliti dari Lembaga Demografi, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Temuan-temuan studi disarikan dalam laporan, dan rincian wawancara disajikan secara tersendiri .6 “Data tentang pemasaran dan periklanan tembakau sangat terbatas. Hal ini bisa menjadi topik menarik untuk studi selanjutnya, terutama mengenai pemasaran rokok di kalangan pemuda (youth)”
1.3.
Kelemahan dan Keterbatasan Data
Data mengenai penyakit yang disebabkan konsumsi tembakau diperoleh dari studi-studi yang ada sebelumnya. Analisis yang lebih komprehensif tentang disease burden (beban kesakitan) dan biaya perawatan kesehatan merupakan fokus dari rencana penelitian terpisah yang akan didanai oleh U.S. National Institutes of Health Fogarty International Center (Universitas Indonesia dan University of California, Berkeley) pada tahun 2008. Penelitian lain juga telah direncanakan untuk menganalisis permintaan rokok di kalangan penduduk dewasa dan anakanak, dan laporan ini hanya akan memfokuskan pada studi yang telah dilakukan di Indonesia dan memberikan hasil yang konsisten. Laporan ini tidak membahas secara komprehensif aspek-aspek kemiskinan yang terkait dengan konsumsi tembakau. Karena aspek ini akan dijadikan perhatian utama dalam penelitian yang akan dilakukan di masa depan oleh Lembaga Demografi, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Laporan ini juga tidak mencakup isu-isu pemasaran produk-produk tembakau. Keterbatasan data tentang pemasaran dan periklanan produk-produk tembakau menjadi alasan penting untuk melakukan penelitian lebih lanjut di masa depan, terutama tentang kegiatan pemasaran yang banyak ditujukan untuk para remaja.
LEM BA G A
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Untitled-6
5
Ekonomi Tembakau di Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
5
Catatan Akhir untuk Bab 1 1
A. Ahsan, et al. 2007a. Tobacco control country study. Lembaga Demografi, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
2
A. Ahsan, et al. 2007b. An opportunistic survey of retail prices for cigarettes. Lembaga Demografi, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
3
H. Ross. 2005. An Overview of the tobacco control economic literature and evidence for Indonesia, Open Society Institute and Research Triangle Park, E. Guindon, A-M Perucic, D. Boisclair. 2003. “Higher Tobacco Prices and Taxes in South-East Asia: An Effective Tool to Reduce Tobacco Use, Save Lives and Generate Revenue.” World Bank Health, Nutrition and Population Discussion Paper. Economics of Tobacco Control Paper No. 11.
4
S. Marks. 2003. Cigarette excise taxation in Indonesia, an economic analysis. Partnership for Economic Growth, BAPPENAS and USAID.
5
A. Ahsan dan N.H. Wiyono. 2007. The Impact Analysis Of Higher Cigarette Price To Employment In Indonesia. Lembaga Demografi, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia.
6
A. Ahsan, et al. 2007c. Implementation of tobacco tax. Lembaga Demografi, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
6
Untitled-6
LEM BA G A
Ekonomi Tembakau di Indonesia
6
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
B A B 2
PENDAHULUAN
LEM BA G A
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Untitled-6
7
Ekonomi Tembakau di Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
7
8
Untitled-6
LEM BA G A
Ekonomi Tembakau di Indonesia
8
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
Bab ini akan menjelaskan mengapa kajian ekonomi tembakau penting dan mengapa pemerintah perlu mengintervensi konsumsi tembakau. Selain untuk memenuhi target penerimaan negara, peran pemerintah dalam intervesi konsumsi tembakau adalah untuk (1) mengungkapkan beban penyakit yang disebabkan oleh konsumsi tembakau, (2) mengurangi dampak buruk konsumsi tembakau atas produktivitas dan kemiskinan, dan (3) mengkoreksi kegagalan pasar terkait dengan kurangnya informasi kesehatan dan efek adiktif, khususnya di kalangan anak-anak dan remaja. Perokok umumnya adalah laki-laki atau 63 persen laki-laki merokok. Sebagian besar perokok mengisap jenis rokok kretek, dengan risiko kesehatan yang sama seperti produk-produk tembakau lainnya. Konsumsi tembakau mengakibatkan kematian paling sedikit 200.000 orang per tahun di Indonesia, dan mempunyai dampak buruk terhadap kesehatan seluruh organ tubuh manusia. Satu dari 8 orang yang meninggal akibat penyakit yang berhubungan dengan rokok adalah non-perokok atau paling tidak sekitar 25.000 kematian adalah perokok pasif. Konsumsi rokok memberikan andil terhadap rendahnya produktivitas ekonomi akibat penurunan fungsi fisik, kapasitas paru-paru, dan tingkat kesakitan yang lebih tinggi. Kematian dini yang dialami oleh setengah dari jumlah perokok di Indonesia akan berdampak pada pengurangan jumlah relatif angkatan kerja, yang dalam jangka panjang berdampak penting terhadap ekonomi karena pengurangan penghasilan dan tingkat tabungan. Selain itu, pengeluaran rumah tangga untuk tembakau yang tinggi juga berdampak negatif terhadap tingkat kesejahteraan rumah tangga di Indonesia. Kebijakan tarif cukai dan harga tembakau merupakan tindakan yang paling efektif untuk mengurangi tingkat kematian dan kesakitan yang terkait dengan konsumsi tembakau. Hal ini disebabkan karena permintaan terhadap produk-produk tembakau sangat responsif terhadap perubahan harga. Pada situasi yang sama, permintaan produk-produk tembakau bersifat inelastik, atau persentase penurunan permintaan lebih kecil dibandingkan persentase kenaikan harga. Dengan kata lain, para perokok akan tetap mengkonsumsi rokok meskipun harga relatif mahal. Dengan relatif kecilnya dampak permintaan terhadap kenaikan cukai secara keseluruhan, maka kenaikan cukai tembakau tersebut akan meningkatkan total penerimaan cukai pemerintah – terlepas dari penurunan volume penjualan rokok. Oleh karena itu, dengan tetap menjaga tingkat harga rokok yang tinggi melalui peningkatan cukai secara berkala, terbukti efektif memberikan dampak kesehatan yang positif dan peningkatan penerimaan pemerintah.
LEM BA G A
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Untitled-6
9
Ekonomi Tembakau di Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
9
2.1.
Prevalensi Perokok dan Beban Penyakit
Kepedulian tentang dampak kesehatan dan ekonomi dari konsumsi tembakau di Indonesia baru mendapat perhatian akhir-akhir ini. Hal ini merupakan cermin dari meningkatnya standar dan kualitas hidup secara umum. Pada era 1960an, angka harapan hidup hanyalah 38 tahun; berdasarkan proyeksi penduduk Bappenas, seorang bayi yang di lahirkan pada tahun 2007 diharapkan hidup mencapai umur 69 tahun.1 Meskipun tembakau telah lama dikonsumsi bersamaan dengan sirih dan cengkeh, namun konsekuensinya terhadap kesehatan belum banyak diketahui karena hanya beberapa orang yang mencapai umur panjang pada saat itu. Mengisap asap tembakau mengantarkan nikotin dalam jumlah yang besar ke dalam otak secara cepat.2 Rokok kretek menggantikan sirih dan tembakau kunyah yang banyak dikonsumsi laki-laki di pedesaan pada era awal pertengahan 1900-an, dan merokok kemudian menjadi semakin tersebar luas setelah mekanisasi rokok kretek filter pada tahun 1970-an.3 Produksi rokok kemudian meningkat dengan pesat dari 38 milyar batang di tahun 1971 menjadi lebih dari 220 millyar batang saat ini.4 Harga riil rokok yang rendah ditambah dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi, serta meningkatnya pendapatan rumah tangga berkontribusi pada kenaikan prevalensi dan konsumsi rokok. Diperlukan waktu hingga 25 tahun antara waktu pertama kali merokok sampai timbulnya gejala berbagai penyakit kronis. Oleh sebab itu, dampak buruk kesehatan yang disebabkan oleh peningkatan konsumsi rokok sejak tahun 1970-an sampai 1980-an baru mulai terlihat di masa sekarang ini. Data terbaru menunjukkan bahwa prevalensi perokok masih terus meningkat dari 27 persen di tahun 1995 menjadi 34 persen di tahun 2004.
“Tembakau adalah komposisi terbesar (60-70 persen) dari rokok kretek; sehingga rokok jenis ini memiliki risiko kesehatan yang sama dengan jenis lain”
10
Untitled-6
LEM BA G A
Ekonomi Tembakau di Indonesia
10
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
Gambar 2.1. Prevalensi Perokok Laki-Laki Menurut Kuantil Pengeluaran, Tahun 1995 dan 2004
Sumber : Susenas
Hampir seluruh (97 persen) konsumen tembakau di Indonesia adalah perokok. Umumnya perokok didominasi oleh kaum laki-laki, meskipun tingkat prevalensi perokok perempuan menunjukkan kecenderungan yang meningkat. Sekitar 53 persen laki-laki merokok di tahun 1995 dan persentase ini meningkat menjadi 64 persen pada tahun 2004. Merokok di kalangan perempuan sering dikaitkan dengan stigma negatif di wilayah Jawa – Bali, meskipun hal ini mulai berubah seiring dengan perubahan target pemasaran kepada perempuan.1 Prevalensi perokok perempuan meningkat dari 1,7 persen menjadi 4,5 persen pada periode yang sama (1995-2004, Lampiran 2.1). Persentase perempuan yang merokok jauh lebih tinggi di daerah luar Jawa-Bali; yakni 10 persen perempuan di Papua, dan 9 persen perempuan di Kalimantan Timur (Lampiran 2.2). Dengan menggunakan data kuintil pengeluaran rumah tangga pada tahun 1995, rumah tangga miskin memiliki tingkat prevalensi perokok yang lebih tinggi dibandingkan rumah tangga kaya (Gambar 2.1.). Namun, perbedaan antar kuintil telah berkurang drastis. Pada tahun 2004, prevalensi perokok diantara laki-laki dari rumah tangga kaya paling rendah tapi antar empat kuintil lain tidak berbeda banyak (Lampiran 2.3.). Sebagian besar (88 persen) perokok mengkonsumsi rokok kretek, dan hanya sebagian kecil perokok di daerah pedesaan yang mengkonsumsi rokok linting dan tembakau pipa.2 Proporsi yang sedikit lebih tinggi
LEM BA G A
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Untitled-6
11
Ekonomi Tembakau di Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
11
ditunjukkan oleh penduduk remaja (15 – 19 tahun) yang memilih mengkonsumsi rokok putih (21 persen) (Lampiran 2.4.). Rokok kretek mengandung 60 persen – 70 persen tembakau; sehingga, rokok ini akan memberikan risiko kesehatan yang sama seperti produk-produk tembakau lainnya.3 Selain cengkeh, rokok kretek umumnya mengandung komponen tambahan lainnya yang tercampur dalam “saus”-nya. Setelah dicampur dengan tembakau, komponen tambahan tersebut membantu menjaga rasa merk rokok tertentu selama kurun waktu yang lama. Meskipun secara umum tambahan yang biasa digunakan seperti ekstrak buah-buahan dan herbal diyakini cukup aman untuk dikonsumsi, namun dampak kesehatan yang mungkin ditimbulkan dari pembakaran dan asap yang dihisap belum diketahui secara pasti.4 Cengkeh mengandung eugenol yang dianggap mempunyai kemungkinan karsinogen (penyebab kanker) bagi manusia; zat lain yang berbahaya bagi kesehatan yang ditemukan dalam rokok kretek termasuk coumarin dan anethole.5 Demikian juga halnya rokok putih juga mengandung tambahan kimia untuk berbagai alasan, seperti melegakan tenggorokan, menghilangkan bau bagi non-perokok, dan meningkatkan komponen nikotin yang menyebabkan ketagihan.6 Tidak seperti produkproduk yang dikonsumsi dan obat-obatan lainnya, kandungan kimia dalam rokok (“saus” dan tambahannya) tidaklah diketahui dengan jelas baik oleh konsumen maupun badan pemerintah yang mengawasinya, Badan Pengawasan Obat dan Makanan (Badan POM). Kandungan kadar tar dan nikotin tercatat yang ada saat ini tidak mencakup informasi yang rinci mengenai komponen tambahan atau dampak kesehatan yang ditimbulkan. Pengukuran tersebut saat ini hanya didasarkan pada pengujian metodologis yang seharusnya tidak digunakan lagi .7 Bukti-bukti dari penelitian yang dilakukan selama 10 tahun terakhir menunjukkan bahwa lebih dari 50 persen perokok meninggal akibat kecanduan.8 Di negara-negara berpendapatan tinggi kematian yang berhubungan dengan konsumsi tembakau diproyeksikan menurun, namun di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah diduga akan meningkat pesat dari 3,4 juta hingga 6,8 juta per tahun.9 Sepertiga dari kematian ini disebabkan oleh kanker, sedangkan kardiovaskular dan penyakit pernafasan kronis masing-masing berkontribusi sebesar 30 persen. Proyeksi tersebut menunjukkan bahwa pada tahun 2015 merokok akan membunuh manusia 50 persen lebih banyak dari kematian akibat HIV/ AIDS, dan berkontribusi pada 10 persen dari semua kematian secara umum. Hasil perkiraan menunjukkan bahwa konsumsi tembakau menyebabkan sampai 200.000 kematian setiap tahunnya di Indonesia.10 Seperti perkiraan global, penyebab utama kematian di Indonesia yang terkait dengan konsumsi tembakau adalah penyakit jantung, stroke, kanker, penyakit
12
Untitled-6
LEM BA G A
Ekonomi Tembakau di Indonesia
12
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
pernafasan khususnya chronic obstructive pulmonary disease (penyakit paru obstruktif kronik).11 Berbagai temuan dan penelitian yang ada menunjukkan bahwa tembakau mengakibatkan dampak buruk bagi kesehatan semua organ tubuh.12 Asap rokok yang diisap oleh non perokok (perokok pasif) bersifat karsinogen yang berbahaya bagi kesehatan manusia.12 Asap rokok membunuh satu non-perokok dari setiap 8 orang yang meninggal akibat merokok.13 Beberapa penelitian menemukan peningkatan risiko penyakit yang serius disebabkan terpapar oleh asap rokok. Perempuan non-perokok yang terpapar pada asap rokok di lingkungan rumah memiliki peningkatan risiko mengidap kanker paru-paru sebesar 25 persen, dimana semakin lama durasi terpapar akan meningkatkan risiko tersebut.14 Penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa perempuan yang bersuamikan perokok mempunyai risiko lebih tinggi untuk mengidap kanker paru-paru dibandingkan perempuan yang suaminya tidak merokok.15 Hasil penelitian lainnya menunjukkan terdapat peningkatan risiko terkena penyakit jantung akibat terpapar asap rokok antara 23 hingga 25 persen.16 Bahkan tingkat paparan yang rendah akan meningkatkan risiko serangan jantung dan berbagai penyakit jantung.17 Juga telah dilaporkan adanya penurunan yang signifikan dari coronary flow velocity reserve (kecepatan aliran darah) pada non-perokok setelah 30 menit terpapar asap rokok, mengakibatkan menurunnya fungsi endothelial sehingga terkena penyakitpenyakit kardiovaskuler.18 Hal ini menunjukkan walaupun seseorang terpapar asap rokok dalam waktu pendek dapat menghasilkan efek negatif terhadap kesehatan dalam jangka panjang. Lebih dari 97 juta non-perokok di Indonesia secara rutin terpapar pada asap rokok .19 Paparan terhadap asap rokok akan menimbulkan penyakit-penyakit serius pada anak-anak, termasuk risiko tinggi terkena sudden infant death syndrome (SIDS/ sindroma kematian bayi mendadak), infeksi saluran pernafasan akut, penyakit telinga, dan asma akut.20 Dari anak-anak usia sekolah di Jakarta dan Jawa, terdapat 76 persen sampai 82 persen terpapar asap rokok di tempat umum.21 Sekitar 70 persen anak-anak Indonesia di bawah usia 15 tahun secara teratur terpapar sebagai perokok pasif.22 2.2.
Hubungan antara Kesehatan dan Produktivitas Ekonomi
Berdasarkan teori yang menyatakan bahwa kesehatan merupakan bentuk modal sumber daya manusia,23 Bloom dan Canning menjelaskan empat cara kesehatan mempengaruhi kesejahteraan ekonomi.24 Pertama, individu yang sehat lebih kuat secara fisik maupun kognitif, yang berdampak
LEM BA G A
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Untitled-6
13
Ekonomi Tembakau di Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
13
pada kemampuan bekerja dengan jam kerja yang lebih panjang, lebih sedikitnya hari-hari absen dari pekerjaan karena sakit, dan produktifitas yang tinggi baik di tempat kerja maupun di sekolah. Kedua, individu yang sehat memiliki umur harapan hidup yang lebih lama. Hal ini memberi insentif bagi investasi di bidang kesehatan, pendidikan, dan bentuk modal manusia lainnya. Ketiga, usia hidup yang panjang mengarah pada tingkat tabungan pensiun yang semakin membesar selama masa kerja. Investor asing akan tertarik pada perekonomian yang memiliki tenaga kerja yang sehat. Keempat, penduduk yang lebih sehat berdampak pada penurunan jumlah anak yang diinginkan karena mortalitas rendah. Perubahan dari tingkat mortalitas dan fertilitas yang tinggi ke tingkat yang rendah mengakibatkan meningkatnya proporsi penduduk usia kerja – sebagai faktor penentu pertumbuhan ekonomi. Kesehatan yang baik berkontribusi pada kinerja ekonomi yang baik, demikian pula sebaliknya. Kesehatan yang buruk dapat menghambat pertumbuhan ekonomi. Dalam kasus tembakau, merokok dapat menurunkan kekuatan fisik dan kemudian mengurangi kemampuan paruparu. Selain menimbulkan dampak jangka panjang yang serius, konsumsi tembakau dapat mengurangi fungsi kekebalan tubuh, yang mengarah pada tingkat infeksi umum yang lebih tinggi di kalangan perokok.25 Prevalensi perokok laki-laki di pedesaan lebih tinggi dibandingkan di perkotaan (67 persen di daerah pedesaan dan 59 persen di daerah perkotaan, Lampiran 2.2). Menurunnya fungsi fisik di daerah pedesaan cenderung akan memiliki dampak penting terhadap perekonomian setempat yang sangat tergantung pada sektor pertanian atau tenaga kerja fisik. Hilangnya pendapatan individu akibat hari-hari sakit cenderung sulit dikompensasikan dari sektor informal atau buruh tani. Saat ini Indonesia menikmati hasil dari menurunnya tingkat mortalitas dan fertilitas yang menghasilkan harapan hidup yang panjang dan kemungkinan meningkatnya insentif untuk menabung. Namun, penelitian antar negara-negara dengan konsumsi tembakau jangka panjang secara konsisten menunjukkan bahwa risiko kematian di kalangan perokok adalah tinggi. Sekitar separuh dari total perokok meninggal karena kecanduan rokok, dan kira-kira setengah dari kematian tersebut terjadi dalam masa produktif mereka sebelum pensiun (antara umur 35 hingga 69 tahun) – yang mengakibatkan hilangnya 10 hingga 15 tahun kehidupan.26 Pada tingkat rumah tangga, hal tersebut berarti hilangnya pendapatan, tabungan, dan investasi. Kematian dini orang tua cenderung memiliki dampak jangka panjang pada tingkat pendidikan dan kualitas hidup anak-anak mereka. Analisis terhadap data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS)
14
Untitled-6
LEM BA G A
Ekonomi Tembakau di Indonesia
14
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
menunjukkan bahwa kematian orang tua menyebabkan penurunan yang besar atas tingkat partisipasi sekolah anak-anak yang terlihat pada tingginya angka putus sekolah.27
“Proporsi pengeluaran untuk membeli produk tembakau dari rumah tangga dengan perokok adalah 11,5 persen; angka ini yang lebih besar dibandingkan untuk belanja ikan, daging, telur dan susu (11 persen); 2,3 persen untuk pembiayaan kesehatan, dan 3,2 persen untuk biaya pendidikan.”
Pengeluaran rumah tangga yang cukup besar untuk produk tembakau memiliki implikasi kesejahteraan yang serius. Tahun 2005, rumah tangga perokok membelanjakan rata-rata 11,5 persen pengeluaran bulanan rumah tangga untuk produk tembakau – dibandingkan dengan 11,0 persen untuk ikan, daging, telur dan susu; 2,3 persen untuk kesehatan dan 3,2 persen untuk pendidikan (Tabel 2.1., Lampiran 2.5). Khususnya bagi rumah tangga berpendapatan rendah dengan sumber daya terbatas, pengeluaran untuk konsumsi tembakau dapat mengurangi pengeluaran untuk kesehatan, pendidikan, makanan bergizi dan kebutuhan dasar lainnya. Dengan mengecualikan rumah tangga dari kelompok berpendapatan tinggi yang mempunyai proporsi pengeluaran produk tembakau terendah, pengeluaran tembakau diketahui cukup proporsional dengan distribusi pengeluaran secara umum. Belanja produk-produk tembakau antara tahun 2002 sampai 2005 sedikit meningkat untuk rumah tangga yang berada pada kuintil terendah dan tertinggi, serta cenderung tetap pada kelompok kuintil tengah (Lampiran 2.6).
LEM BA G A
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Untitled-6
15
Ekonomi Tembakau di Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
15
Tabel 2.1. Persentase Pengeluaran Total per Bulan untuk Tembakau, Makanan, Kesehatan dan Pendidikan di Rumah Tangga Perokok, Menurut Kuintil Pengeluaran Rumah Tangga, 2005 Kuintil pengeluaran rumah tangga
Kategori Pengeluaran
Rata-rata
1 (terendah)
2
3
4
5 (tertinggi)
11,9
12,3
12,4
11,7
9,2
11,5
Ikan
5,6
6,1
6,2
6,0
4,9
5,7
Telur dan Susu
2,6
3,0
3,3
3,6
3,8
3,3
Daging
1,0
1,6
2,1
2,5
2,9
2,0
Kesehatan
2,1
2,1
2,2
2,4
2,7
2,3
Pendidikan
1,8
2,6
3,0
3,6
4,9
3,2
Tembakau
Mengalihkan sumber dana rumah tangga untuk belanja tembakau memiliki dampak buruk terhadap kesehatan keluarga. Studi di daerah miskin perkotaan yang dilakukan pada lebih dari 175.000 rumah tangga melaporkan bahwa ayah yang merokok meningkatkan probabilitas malnutrisi kronis pada anak.1 Temuan ini lebih mengejutkan lagi bahwa prevalensi perokok menyebabkan kecanduan di kalangan laki-laki, yang dimulai sejak masih anak-anak atau remaja karena kurang mendapat cukup informasi tentang bahaya merokok. 2.3.
Kegagalan Pasar: Kekurangan Informasi tentang Risiko dan Kecanduan, dan Biaya Finansial dan Fisik yang Dialami oleh Non-perokok dan Masyarakat
Prinsip ekonomi tentang kebebasan konsumen menyatakan bahwa konsumen sendirilah yang membuat keputusan terbaik tentang bagaimana ia membelanjakan uangnya. Argumen tersebut didasarkan pada dua asumsi. Pertama, konsumen mengambil keputusan tersebut berdasarkan pengetahuan yang penuh atas biaya dan manfaat dari keputusan yang diambilnya. Asumsi kedua adalah individu akan menanggung sendiri semua risiko atas keputusan konsumsi mereka; artinya si individu mengetahui
16
Untitled-6
LEM BA G A
Ekonomi Tembakau di Indonesia
16
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
bahwa orang lain tidak akan menanggung beban atas tindakan individu tersebut. Konsumsi tembakau melanggar kedua asumsi tersebut.
“Remaja usia 13 sampai 17 tahun di Jawa dapat menyebutkan kembali tulisan peringatan kesehatan yang tertera pada bungkus rokok, tetapi juga berpendapat bahwa merokok satu hingga dua bungkus per hari tidak berbahaya bagi kesehatan”
Pemberian informasi sehingga seseorang dapat menentukan pilihan sendiri (informed choice) membutuhkan penerangan atau informasi yang akurat. Namun, bahaya kesehatan terkait dengan konsumsi tembakau pada umumnya amat kurang dimengerti. Remaja di Jawa usia 13 hingga 17 tahun dapat berulang kali mengulang kembali tulisan peringatan kesehatan yang tertera pada bungkus rokok, namun mereka berpendapat bahwa mengkonsumsi rokok satu hingga dua bungkus per hari tidaklah berbahaya bagi kesehatan.2 Penelitian yang disponsori industri rokok menyatakan bahwa rokok kretek menguntungkan kesehatan.3 Temuan tersebut jelas bertentangan dengan penelitian mandiri yang menemukan bahwa rokok kretek sama berbahayanya dengan jenis rokok lain.4 Bahkan, hanya sedikit saja orang-orang yang memahami betapa seriusnya dampak kesehatan pada perokok pasif yang ditimbulkan oleh asap rokok dari perokok aktif.5 Satu hal yang membingungkan bagi konsumen di Indonesia adalah kenyataan bahwa peraturan dan kebijakan kesehatan dari pemerintah belum mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan yang terbaru. Pasalpasal dalam peraturan tentang pengendalian konsumsi tembakau menghendaki bahwa setiap kemasan rokok harus memuat kandungan tar dan nikotin6 – terlepas dari fakta bahwa pengukuran kandungan tersebut didasarkan pada metodologi pengujian yang sulit dipercaya dan digunakan untuk memasarkan rokok dengan kriteria “menyehatkan.”7 Hal tersebut cenderung menimbulkan kenaikan tingkat penjualan rokok yang dipasarkan dengan label ‘mild’ (ringan). Dari hampir tidak mempunyai pangsa pasar pada tahun 1994, pangsa pasar untuk rokok kretek ‘mild’ pada tahun 2006 mencapai 34 persen dari total pangsa rokok kretek mesin atau 19 persen dari total pasar rokok.8 Industri rokok memperkirakan bahwa penjualan rokok jenis ’tar-rendah’ akan tumbuh tiga kali dari tahun 2007 sampai tahun 2010. 9 Kenyataannya, perokok yang mengisap rokok dengan
LEM BA G A
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Untitled-6
17
Ekonomi Tembakau di Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
17
’tar-rendah’ atau ’tar-tinggi’ menghadapi risiko kesehatan yang sama buruknya. 10 Oleh sebab itu, lembaga-lembaga kesehatan dunia merekomendasikan untuk melarang sejumlah istilah seperti light’, ’mild’, dan ’low-tar’ karena hal tersebut mengelabui konsumen sehingga berpikir bahwa rokok tersebut tidak berbahaya untuk dikonsumsi.11
“Rata-rata umur pertama kali merokok telah turun menjadi usia 17,4 tahun. Anak-anak telah dibiasakan sejak dini untuk berpikir bahwa merokok adalah hal wajar dan diterima secara sosial”
Peraturan dan kebijakan pemerintah yang ada sangat lemah untuk hal-hal yang berkaitan dengan informasi kepada konsumen. Dalam hal peraturan yang mengharuskan menterakan peringatan bahaya merokok bagi kesehatan pada setiap kemasan produk-produk rokok, hanya satu jenis peraturan peringatan bahaya merokok yang diharuskan untuk digunakan dan tidak ada standar tentang ukuran minimum. Peraturan ini berbunyi “merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, dan gangguan kehamilan dan janin”. Ukuran minimum peringatan bahaya kesehatan dari merokok pada baliho (billboard) dan iklan pada umumnya sebesar 15 persen dari ukuran baliho.12 Pesan-pesan yang efektif sangat dibutuhkan untuk menginformasikan risiko kesehatan yang baru akan terlihat 20 sampai 25 tahun sejak pertama kali merokok hingga mulai mengidap berbagai jenis penyakit terkait dengan merokok. Perbedaan yang mencolok terlihat jelas menurut tingkat pendidikan, dimana 67,3 persen laki-laki yang tidak bersekolah/tidak tamat sekolah merokok, sedangkan diantara laki-laki yang tamat perguruan tinggi hanya 47,8 persen yang merokok (tahun 2004). Hal ini mengindikasikan perlunya menginformasikan secara jelas dan mudah dimengerti mengenai berbagai risiko kesehatan akibat dari merokok (Lampiran 2.3).
18
Untitled-6
LEM BA G A
Ekonomi Tembakau di Indonesia
18
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
Tabel 2.2. Prevalensi Perokok Laki-Laki menurut Kelompok Umur, 1995 dan 2004, dan Persentase Perubahannya Prevalensi Perokok
Persentase Perubahan
Kelompok Umur
1995
2004
15-19
13,7
32,8
139,4%
20-24
42,6
63,6
49,3%
25-29
57,3
69,9
22,0%
30-34
64,4
68,9
7,0%
35-39
67,3
67,7
0,6%
40-44
67,3
66,9
-0,6%
45-49
68,0
67,9
-0,2%
50-54
66,8
67,9
1,7%
55-59
66,1
64,1
-3,0%
60-64
64,7
60,0
-7,3%
65-69
64,3
58,7
-8,7%
70-74
56,9
55,3
-2,8%
75+
53,3
47,4
-11,1%
Rata-rata
53,4
63,1
18,2%
Sum senas
Keputusan untuk mulai merokok pertama kali umumnya terjadi masa kanak-kanak atau remaja, dan kini usia mulai merokok jauh lebih muda dibanding masa-masa sebelumnya. Rata-rata umur pertama kali merokok telah menurun menjadi 17,4 tahun di tahun 2004, dan 78 persen perokok di Indonesia mulai merokok sebelum berumur 19 tahun (Lampiran 2.7, 2.8). Antara tahun 1995 dan 2004, prevalensi perokok remaja laki-laki umur 15 – 19 tahun meningkat menjadi dua kali lipat dan meningkat hampir 50 persen untuk kelompok umur 20 – 24 tahun (Tabel 2.2, Lampiran 2.1). Penurunan prevalensi perokok pada kelompok umur yang lebih tua mengindikasikan tingginya jumlah yang berhenti merokok dan mungkin t ermasuk mereka yan g berhent i karena saki t atau kedapatan
LEM BA G A
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Untitled-6
19
Ekonomi Tembakau di Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
19
mengidap penyakit serius yang berkaitan dengan konsumsi rokok (Tabel 2.2, Lampiran 2.1).
Global Youth Tobacco Survey (GYTS) yang dilaksanakan di 6 lokasi pada anak-anak sekolah usia 13 – 15 tahun di Indonesia (Tabel 2.3) menemukan bahwa sekitar 24 hingga 41 persen anak-anak laki-laki usia 13 – 15 tahun adalah perokok. Cukup mengejutkan bahwa antara 83 hingga 93 persen dari anak-anak yang aktif merokok pernah berusaha berhenti merokok tapi belum berhasil. Hal ini menunjukkan bahwa anak-anak kurang memiliki kemampuan untuk mempertimbangkan risiko-risiko dari merokok dan ketagihan akan nikotin yang dikandung dalam rokok. Ketika anak-anak tersebut pertama kali merokok, kemungkin kecil sekali mereka mendapat informasi tentang kecanduan rokok seumur hidup yang lengkap sehingga mereka dapat memilih tindakan.
Tabel 2.3. Ringkasan Global Youth Tobacco Surveys di Indonesia untuk Kelompok Umur 13-15 tahun (Kelas 1-3 SMP), 2004-2006 Respon Saat ini mengkonsumsi tembakau (%) Laki-laki Perempuan Diantara perokok aktif anak-anak, % yang mencoba berhenti selama setahun terakhir Dari semua anak-anak, % yang terpapar asap rokok di luar rumah % yang melihat poster iklan rokok satu bulan terakhir
Bekasi
Medan
Jawa Tengah
Sumatra
Surakarta
Jakarta
34,8 9,4
40,5 8,1
25,0 4,3
24,0 5,0
29,3 3,4
32,1 7,4
88,7
88,4
83,3
93,3
90,7
91,8
76,1
79,5
81,1
81,0
79,7
81,6
88,8
91,8
92,7
93,4
94,7
93,2
Sumber : Centers for Disease Control and Prevention, Global Youth Tobacco Surveys Country Fact Sheets.
20
Untitled-6
LEM BA G A
Ekonomi Tembakau di Indonesia
20
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
Nikotin merupakan zat dengan kadar adiksi yang sangat tinggi, sehingga sangat sulit bagi perokok untuk berhenti. Tidak seperti zat-zat lain yang juga menimbulkan efek ketagihan yang dianggap ilegal, perokok secara terus-menerus diberikan kesempatan luas untuk membeli produkproduk tembakau dan dihadapkan pada iklan-iklan yang membuat rokok seolah-olah merupakan kebiasaan yang diterima masyarakat.1 Hampir semua anak-anak (89 hingga 95 persen) pernah melihat baliho rokok dalam sebulan terakhir sebelum survei (Tabel 2.3). Hal ini mengindikasikan bahwa anak-anak tersebut disosialisasi dalam usia sangat muda untuk mengenal kebiasaan merokok sebagai sesuatu yang normal dan merupakan kebiasaan yang bisa diterima secara sosial. Asumsi kedua yang mendukung kedaulatan konsumen adalah konsumen sendiri yang menanggung semua risiko dan biaya-biaya yang timbul atas keputusannya untuk mengkonsumsi suatu barang atau jasa. Namun, kenyataannya perokok mengakibatkan biaya secara fisik dan finansial tidak hanya untuk dirinya sendiri melainkan juga untuk orang lain dan masyarakat secara luas. Studi yang dilakukan pada sebuah rumah sakit di Jakarta mengestimasi bahwa biaya perawatan bagi pasien rawat inap yang mengidap penyakit akibat konsumsi tembakau diperkirakan sebesar Rp. 2,9 triliun per tahun (US$ 319 juta).2 Biaya tersebut belum memperhitungkan biaya kesehatan yang harus ditanggung oleh nonperokok yang terpapar asap rokok dari perokok aktif. Biaya kesehatan akibat konsumsi rokok (baik perokok maupun non perokok) di Indonesia diduga sangat besar karena jumlah penduduk yang besar, rendahnya kesadaran akan dampak buruk merokok bagi perokok aktif maupun perokok pasif, serta kurangnya kebijakan udara bersih. Berdasarkan pengalaman negara-negara lain, alokasi biaya total perawatan kesehatan untuk merawat dan menyembuhkan penyakit yang terkait dengan konsumsi tembakau mencapai 6 hingga 15 persen.3 Jika menggunakan dasar perhitungan pengeluaran bidang kesehatan baik dari pemerintah maupun swasta di Indonesia pada tahun 20054 (sejumlah Rp. 73,5 triliun atau US$ 8,1 milyar) dan asumsi bahwa antara 6 hingga 15 persen pengeluaran kesehatan adalah untuk perawatan penyakit akibat konsumsi tembakau, biaya total untuk mortalitas dan morbiditas karena tembakau akan mencapai kisaran Rp 4,4 triliun – 11 triliun per tahun (US$ 484 juta – 1,2 milyar), atau sekitar 0,12 persen hingga 0,29 persen dari total Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Indonesia.5 Porsi belanja pemerintah untuk membiayai pelayanan kesehatan masyarakat baru mencapai 35 persen dari total belanja bidang kesehatan secara keseluruhan, dan sisanya harus dibiayai sendiri oleh masing-masing individu (out-of-pocket payments).
LEM BA G A
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Untitled-6
21
Ekonomi Tembakau di Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
21
Perhitungan tersebut di atas kemungkinan besar jauh lebih rendah dari angka yang sesungguhnya karena pemanfaatan pelayanan kesehatan masyarakat di Indonesia masih relatif rendah, dan masyarakat tidak selalu bisa memperoleh perawatan kesehatan yang memadai ketika mereka membutuhkannya. Biaya sosial lain akibat dari konsumsi tembakau adalah menurunnya produktivitas tenaga kerja di lapangan kerja, kerugian ekonomi akibat kematian dini, dan penurunan investasi modal manusia di masa depan dalam bentuk rendahnya pengeluaran untuk investasi kesehatan dan pendidikan bagi anak-anak yang berasal dari rumah tangga perokok. Di negara maju, para pelaku usaha dan pemilik perusahaan mendorong para pekerja mereka untuk berhenti merokok demi memperoleh manfaat ekonomi dan produktivitas kerja, selain juga mengurangi biaya perawatan kesehatan, hari-hari absen karena sakit yang semakin berkurang, mengurangi biaya pemeliharaan dan risiko terjadinya kebakaran.6 Di Amerika Serikat, total biaya per tahun untuk mortalitas akibat tembakau (termasuk pengeluaran perawatan medis dan kerugian ekonomi akibat penurunan produktivitas tenaga kerja) adalah sebesar Rp.701 triliun (US$ 77,1 milyar).7 Tingkat prevalensi perokok laki-laki di Indonesia sekarang adalah sama dengan di Amerika Serikat pada tahun 1950-1960-an, perbandingan tersebut dapat memberikan wacana ukuran tentang berapa kebutuhan biaya perawatan kesehatan akibat konsumsi tembakau di masa depan.
2.4.
Penciptaan Penerimaan Pemerintah: Penetapan Tarif Cukai dan Harga Rokok
Salah satu alasan penting yang mendasari keterlibatan pemerintah dalam pengendalian pasar tembakau adalah untuk menciptakan penerimaan pemerintah dari cukai. Cukai rokok memberikan sumber pendapatan yang penting bagi pemerintah, yang menyumbang 5,7 persen dari penerimaan total pemerintah Indonesia di tahun 2007. Jika diketahui bahwa harga dan cukai rokok masih relatif rendah, maka ada peluang yang tinggi untuk meningkatkan penerimaan yang lebih tinggi dari cukai rokok. Meningkatkan harga dan cukai produk-produk tembakau merupakan cara yang paling efektif untuk mengurangi mortalitas dan morbiditas akibat konsumsi tembakau terkait. Hal tersebut disebabkan permintaan terhadap produk-produk tembakau sangat dipengaruhi oleh perubahan harga produk tersebut. Beberapa studi ekonomi tentang kenaikan harga produk tembakau secara konsisten menunjukkan bahwa elastisitas permintaan atas harga produk tembakau turun antara -0,25 dan -0,50 di negara-negara maju. Dengan kata lain, 10 persen kenaikan harga akan menghasilkan 2,5 hingga
22
Untitled-6
LEM BA G A
Ekonomi Tembakau di Indonesia
22
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
5,0 persen penurunan konsumsi produk tembakau.8 Studi yang dilakukan di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah menunjukkan temuan yang serupa atau bahkan menunjukkan penurunan konsumsi yang lebih besar.9 Studi-studi tersebut memberikan nilai elastisitas harga yang bervariasi antara -0,50 hingga -0,70 di kawasan Asia Tenggara;10 -0,09 di Thailand, -0,23 di Sri Lanka,53 dan -0,54 di Cina.11 Hasil yang konsisten juga ditunjukkan oleh studi di Indonesia yang menemukan elastisitas harga antara -0,29 hingga -0,67, atau setiap kenaikan 10 persen harga rokok akan menyebabkan penurunan konsumsi rokok sebesar 2,9 hingga 6,7 persen. Karena rokok merupakan produk yang bersifat adiktif, maka dampak jangka panjangnya akan jauh lebih besar dibandingkan dampak jangka pendeknya. Secara global, bukti-bukti empiris menunjukkan bahwa penduduk muda dan penduduk berpendapatan rendah cenderung lebih tanggap (responsif) terhadap kenaikan harga rokok. Di Indonesia seperti halnya juga di negaranegara lainnya, penduduk mulai merokok pertama kali pada usia anakanak atau remaja. Perkiraan terkini menunjukkan bahwa elastisitas harga atas permintaan tembakau di kalangan remaja dapat mencapai tiga kali lebih besar dibandingkan elastisitas harga di kelompok dewasa12 – yang berarti bahwa kelompok remaja lebih mudah untuk berhenti merokok, mengurangi konsumsi rokok atau tidak mulai mengkonsumsi rokok sebagai akibat adanya peningkatan harga. Oleh karena itu, dengan menjaga harga riil rokok tetap tinggi melalui penetapan cukai merupakan media yang efektif untuk mencegah remaja menjadi perokok baru dan mendorong mereka yang sudah merokok untuk berhenti. Hal ini menjadi penting mengingat kebijakan yang langsung ditujukan bagi remaja (seperti pembatasan umur untuk membeli rokok) terbukti tidak efektif.13 Demikian pula halnya dengan hasil yang ditunjukkan dalam penelitian di negaranegara maju, bahwa elastisitas harga lebih tinggi di antara kelompok perokok berpendapatan rendah dibandingkan dengan kelompok perokok berpendapatan tinggi.55,14 Studi-studi tersebut menyimpulkan bahwa kenaikan harga riil rokok dapat mempersempit kesenjangan sosial-ekonomi di bidang kesehatan. Di banyak negara maju, rokok dianggap sebagai barang inferior. Namun, untuk kasus di Indonesia, rokok dianggap sebagai barang normal yang ditunjukkan dengan elastisitas pendapatan yang positif. Oleh sebab itu, penurunan konsumsi sebagai hasil dari kenaikan harga rokok akan diimbangi oleh kenaikan konsumsi akibat kenaikan pendapatan rumah tangga. Studi yang mengkaji hal tersebut memperhitungkan bahwa elastisitas pendapatan berkisar antara 0,32 hingga 0,76, atau kenaikan pendapatan sebesar 10 persen akan menyebabkan kenaikan konsumsi
LEM BA G A
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Untitled-6
23
Ekonomi Tembakau di Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
23
rokok sebesar 3,2 persen dan 7,6 persen. Kenaikan cukai bertujuan untuk mengurangi konsumsi rokok, oleh karena itu diperlukan kenaikan cukai yang cukup besar untuk menutupi dampak kenaikan pendapatan rumah tangga tersebut. Apabila cukai secara efektif dibebankan kepada konsumen dalam bentuk kenaikan harga, dampak yang cukup besar akan dirasakan dari sisi kesehatan berupa meningkatnya jumlah perokok yang berhenti merokok, berkurangnya calon perokok baru, dan menurunnya konsumsi rokok. Di kawasan Asia-Pasifik sendiri, kenaikan harga sebesar 33 persen dapat mengurangi sekitar 10 juta hingga 28 juta kematian dan kenaikan sebesar 50 persen dapat mengurangi antara 15 juta hingga 38 juta kematian.44 Di Indonesia yang memiliki 56,9 juta perokok, kenaikan cukai yang relatif moderat sampai 50 persen dari harga jual bahkan dapat mencegah sekitar 0,6 juta sampai 1,4 juta kematian akibat rokok. Oleh sebab itu, kenaikan harga rokok dapat menjadi penentu kebijakan yang efektif untuk meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan penduduk melalui penurunan prevalensi perokok dan jumlah calon perokok baru, serta konsumsi rokok. Pada saat yang sama, permintaan terhadap rokok dikatakan bersifat inelastis atau persentase penurunan permintaan relatif lebih rendah dibandingkan persentase kenaikan harga. Dengan kata lain, banyak perokok akan tetap melanjutkan ketagihan mereka terhadap rokok – meskipun harus membayar harga yang cukup tinggi. Dengan memperhatikan tarif cukai yang relatif rendah, kenaikan tarif cukai akan meningkatkan total penerimaan pemerintah dari cukai – terlepas dari menurunnya jumlah penjualan rokok. Sebuah simulasi sederhana dengan kenaikan 5 persen harga riil rokok memberikan kenaikan pendapatan cukai yang cukup besar, yang selama 10 tahun secara kumulatif menghasilkan total penerimaan sebesar Rp. 83,1 triliun (US$ 9 milyar).53 Menjaga harga rokok yang tinggi melalui peningkatan cukai, terbukti efektif untuk menciptakan tidak hanya peningkatan penerimaan pemerintah tapi juga berpengaruh positif terhadap kesehatan. Namun, pengaruh harga dan cukai terhadap kesehatan dan penerimaan pemerintah juga tergantung pada beberapa faktor seperti struktur pasar, reaksi industri terhadap kenaikan harga, pendapatan rumah tangga (sampai sejauh mana konsumen mengalihkan konsumsi rokok ke jenis rokok yang lebih murah), struktur dan pelaksanaan pemungutan cukai, serta berbagai kebijakan pemerintah.
24
Untitled-6
LEM BA G A
Ekonomi Tembakau di Indonesia
24
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
Catatan Akhir Bab 2. Life expectancy for 1960: Widjojo Nitisastro, Population Trends in Indonesia Ithiaca, Cornell University Press 1970; For 2007 Bappenas, BPS, UNFPA. 2005. Proyeksi Penduduk Indonesia, 2000-2025. J. Britton, R. Edwards. 2007. Tobacco smoking, harm reduction, and nicotine product regulation. Lancet. 371 (9610) 2007: 441-445 doi:10.1016/S0140-6736(07)61482-2 A. Reid. 1985. From betel chewing to tobacco smoking in Indonesia. Journal of Asian Studies. XLIV:3.
1
2
3 4
L. Tarmidi. 1996. Changing Structure and Competition in the Kretek Cigarette Industry. Bulletin of Indonesian Economic Studies. 32 (3):85-107
5
N. Ngi, L. Weinehall, A. Ohman. 2007. ‘If I don’t smoke, I’m not a real man’—Indonesian teenage boys’ views about smoking. Health education research. 22(6):794-804. Smoking tobacco in Indonesia, Euromonitor 2007.
6 7
8
9
10 11
TL. Guidotti. 1989. Critique of available studies on the toxicology of kretek smoke. Archive of Toxicology. 63: 7-12; TL. Guidotti, L. Lang, UB. Prakash. 1989. Clove cigarettes: the basis for concern regarding health effects. Western Journal of Medicine. 151:220-228; JL. Maison, EM. Lee, R. Murty, ET. Moolchan, WB. Pickwoth. 2003. Clove cigarette smoking: biochemical, physiological, and subjective effects. Pharmacol Biochemical Behaviour. 74(3):739-45. World Health Organization. 2001. Advancing Knowledge on Regulating Tobacco Products. Geneva: pp 15-25. Polzin GM, Stanfill SB, Brown CR, Ashley DL, Watson CH. 2007. Determination of eugenol, anethole, and coumarin in the mainstream cigarette smoke of Indonesian clove cigarettes. Food and Chemical Toxicology. 45 (10), 1948-1953. Givel M. 2003. A comparison of US and Norwegian regulation of coumarin in tobacco products. Tobacco Control. 12:401-405. Lihat ringkasan literature dalam ASH UK. Opcit WHO (2001).
12
U.S. Department of Health and Human Services. 2004. The Health Consequences of Smoking: A Report of the Surgeon General. U.S. Department of Health and Human Services, Centers for Disease Control and Prevention, National Center for Chronic Disease Prevention and Health Promotion, Office on Smoking and Health.
13
CD. Mathers, D. Loncar. 2006. Projections of global mortality and burden of disease from 2002 to 2030. PLoS Med. 3(11): e442. doi:10.1371/journal.pmed.0030442 S. Kosen. 2004 Chapter 2. The health burden of tobacco use dalam The Tobacco Sourcebook.
14 15
S. Kosen. 2001. Estimated number of tobacco-related deaths using verbal autopsy. National Institute of Health Research and Development.
16
National Toxicology Program. 11th Report on Carcinogens. 2005. Research Triangle Park, NC: U.S. Department of Health and Human Sciences, National Institute of Environmental Health Sciences, 2000; US National Institutes of Health 2002. National Cancer Institute. Health effects of exposure to Environmental Tobacco Smoke .Smoking and Tobacco Control Monograph #10.
17
S. Schick, SA Glantz. 2006. Sidestream cigarette smoke toxicity increases with aging and exposure duration, Tobacco Control . 15: 424-429. doi:10.1136/tc.2006.016162 ET. Fontham, P. Correa, et al. 1994. Environmental tobacco smoke and lung cancer in nonsmoking women: A multicenter case-control study. Journal of the American Medical Association (JAMA) ;271: 1752-1759; AK. Hacksaw, MR. Law, NJ. Wald. 1997. The accumulated evidence on lung cancer and environmental tobacco smoke. BMJ ; 315:980-8. Suryanto. 2000. Risk of lung cancer among smokers. Final Residency Paper, Department of Pulmonology School of Medicine, University of Indonesia. Jakarta. MR. Law, JK. Morris, NJ. Wald. 1997. Environmental tobacco smoke exposure and ischaemic heart disease: an evaluation of the evidence. BMJ;315(7114):973-80. TF. Pechacek, S. Babb. 2004. How acute and reversible are the cardiovascular risks of secondhand smoke? BMJ.328(7446):980-3 R. Otsuka, H. Watanabe, K. Hirata, K. Tokai, T. Muro, M. Yoshiyama, K. Takeuchi, J. Yoshikawa. 2001. Acute effects of passive smoking on the coronary circulation in healthy young adults. JAMA;286(4):43641. Berdasarkan Estimasi SUSENAS tentang prevalensi merokok dan laporan merokok diantara anggota keluarga , dalam the Tobacco Sourcebook, Ch 2. 2004.
18
19
20
21
22
23
LEM BA G A
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Untitled-6
25
Ekonomi Tembakau di Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
25
24
Department of Health and Human Services. The Health Consequences of Involuntary Exposure to Tobacco Smoke: A Report of the Surgeon General—Executive Summary. U.S. Department of Health and Human Services, Centers for Disease Control and Prevention, Coordinating Center for Health Promotion, National Center for Chronic Disease Prevention and Health Promotion, Office on Smoking and Health, 2006
25
The Global Youth Tobacco Survey (GYTS). GYTS merupakan survei sistim surveillance yang melihat penggunaan tembakau dikalangan anak-anak dan remaja diseluruh dunia. Sejak tahun 1999, kegiatan ini telah diimplementasikan secara global terhadap anak-anak usia 13-15 tahun di 43 negara, didukung WHO dan CDC Atlanta K. Pradono. 2002. Passive Smokers, the Forgotten Disaster . Institute of Health Research and Development, Ministry of Health, Republic of Indonesia. M. Grossman. 1997. ‘On the Concept of Health Capital and the Demand for Health.” Journal of Political Economy. 82:223-255. DE. Bloom dan D. Canning. The Health and Wealth and Nations, Science 287, 5456, pp 1207-9; dan DE. Bloom, D. Canning, DT. and Jamison. 2004. Health, Wealth, and Welfare. Finannce and Development. IMF. 41(1):10-15.
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37 38 39
40 41
U.S. Department of Health and Human Services. The Health Consequences of Smoking: A Report of the Surgeon General. U.S. Department of Health and Human Services, Centers for Disease Control and Prevention, National Center for Chronic Disease Prevention and Health Promotion, Office on Smoking and Health, 2004. Morbidity and Mortality Weekly Reports (MMWRs). Annual smoking-attributable mortality, years of potential life lost, and productivity lost- United States. 1997-2001; July 1, 2005 / Vol. 54 / No.25 and B-Q. Liu, R. Peto, ZM. Chen, J. Boreham, YP. Wu, JY. Li, et al. 1998. Emerging tobacco hazards in China.1. Retrospective proportional mortality study of one million deaths. BMJ. 317(7170):141122. D. Levine, P. Gertler dan P. Ames. 2004. Schooling and Parental Death, Review of Economics and Statistics. 86(1): 211-225. RD. Semba, LM. Kalm, S. de Pee, M. O’Ricks, M. Sari dan MW. Bloem. 2006. Paternal smoking is associated with increased risk of child malnutrition among poor urban families in Indonesia. Public Health Nutrition. 10(1):7-15. N. Ngi, L. Weinehall, dan A. Ohman. 2007. ‘If I don’t smoke, I’m not a real man’—Indonesian teenage boys’ views about smoking. Health education research. 22(6):794-804; doi:10.1093/her/cyl104 GC. Clark. 1989. Comparison of the inhalation toxicity of kretek (clove cigarette) smoke with that of American cigarette smoke. I. One day exposure. Archives of Toxicology. 63 (1); Clark GC. Comparison of the inhalation toxicity of kretek (clove cigarette) smoke with that of American cigarette smoke. II. Fourteen days, exposure; Archives of Toxicology. 1990;64 (7); A. Schwartz. 1990. Battle of the Brands. Far Eastern Economic Review. April 19 : 32-33. TL. Guidotti. 1989. Critique of available studies on the toxicology of kretek smoke by routes of entry involving the respiratory tract. Archives of Toxicology. 63:7-12; Council on Scientific Affairs. Evaluation of the health hazard of clove cigarettes. JAMA. 1988;260:3641-3644; TL. Guidottiet al. 1989. Clove cigarettes: the basis for concern regarding health effects. Western Journal of Medicine. 1989;151:220228; JL. Malson, EM. Lee, R. Murty, ET. Moolchan, W. Pickworth. 2003. Clove cigarette smoking: biochemical, physiological, and subjective effects. Pharmaco ogy Biochemistry Behavior. 74(3):73945. P. Julianty, CM. Kristanti. 2003. Perokok Pasif Bencana Yang Terlupakan (Passive smokers unawareness problem). Buletin Penelitian Kesehatan. PP/19/2003, Bab 10, the Tobacco Sourcebook, 2004. Opcit WHO (2001). Data GAPPRI, dikutip dalam Indonesian Cigarette Market. Asian Daily, Credit Suisse 26 January 2007; and Cigarettes in Indonesia, Euromonitor 2007, dan GAIN report 0026, Indonesia Tobacco and Products Annual, 2000, USDA Foreign Agrisultural Service, Global Agricultural InformationNetwork, 6/24/2000. Cigarettes in Indonesia. Euromonitor, 2007. Lihat ASH UK untuk ringkasan literatur; dan Risks Associated with Smoking Cigarettes with Low MachineMeasured Yields of Tar and Nicotine. Smoking and Tobacco Control Monograph No. 13. Bethesda, MD: US Department of Health and Human Services, National Institutes of Health, National Cancer Institute, NIH Pub. No. 02-5074, October 2001.
26
Untitled-6
LEM BA G A
Ekonomi Tembakau di Indonesia
26
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
42
Tobacco Control Legislation: An Introductory Guide - Second Edition, WHO 2004; pp 105-106
43
A. Achadi, A. Soerojo, dan S. Barber. 2005. The relevance and prospects of advancing tobacco control in Indonesia. Health Policy. 72 (3), 333-349 P. Jha, JF. Chaloupka, J. Moore, V.Gajalakshmi, PC. Gupta, R. Peck, S. Asma, dan W. Zatonski. 2006. Tobacco Addiction. Disease Control Priorities in Developing Countries (2nd Edition),ed. , 869-886. New York: Oxford University Press. DOI: 10.1596/978-0-821-36179-5/Chpt-46.
44
45
S. Kosen. 2004. dalam the Tobacco Sourcebook: Data to support a national strategy, Ministry of Health, Republic of Indonesia.
46
K. Stanley. 1993. Control of tobacco production and use. In: Jamison DT, Mosley WH, Measham AR, Bobadilla JL, eds. Disease control priorities in developing countries. Oxford University Press. 703-23. W. Max. 2001. “The Financial Impact of Smoking on Health-Related Costs: A Review of the Literature,” American Journal of Health Promotion. 15:321-31; U.S. Centers for Disease Control & Prevention (CDC), “Annual Smoking-Attributable Mortality, Years of Potential Life Lost, and Economic Costs, United States. 1995-1999. Morbidity and Mortality Weekly Review (MMWR). 51(14): 300-03, 2002; LS. Miller, X. Zhang, W. Max. 1998. “State Estimates of Total Medical Expenditures Attributable to Smoking”. Public Health Reports. September/October; KE. Warner, TA. Hodgson, XE. Carroll. 1999. Medical Costs of Smoking in the United States: Estimates, Their Validity, and Their Implications. Tobacco Control. 8(3): 290-300.
47
World Health Organization. 2006. National Health Accounts, Indonesia. Berdasarkan Anggaran tahun 2007, dalam Departemen Keuangan, Statistik Anggaran 2007-2008. W. Max, DP. Rice, H-Y. Sung, X. Zhang, dan L. Miller. 2004.The economic burden of smoking in California. Tobacco Control. 13: 264 – 267; WB. Bunn 3rd, GM. Stave, KE. Downs, JM. Alvir, R. Dirani. 2006. Effect of smoking status on productivity loss. Journal of Occupation Environmental Medicine. 48(10):1099-108. MT. Halpern, R. Shikiar, AM. Rentz, dan ZM. Khan. 2001. Impact of smoking status on workplace absenteeism and productivity. Tobacco Control. 10(3):233-8.
48 49
50
Annual Smoking-Attributable Mortality, Years of Potential Life Lost, and Economic Costs — United States, 1995—1999, MMWR April 12, 2002 / 51(14);300-3
51
FJ. Chaloupka dan KE. Warner. 2000. The economics of smoking. dalam A. J. Culyer & J. P. Newhouse (ed.), Handbook of Health Economics, edition 1, volume 1, chapter 29, pages 1539-1627 Elsevier. FJ. Chaloupka, TW. Hu, KE. Warner, R. Jacobs, dan A. Yurekli. 2000. The taxation of tobacco products. Dalam Jha P, Chaloupka FJ (eds). Tobacco control in developing countries. New York: Oxford University Press.
52
53
54
55
56
57
GE. Guindon, A-M. Perucic, dan D. Boisclair. 2003. Higher Tobacco Prices and Taxes in South-East Asia: An Effective Tool to Reduce Tobacco Use, Save Lives and Generate Revenue. World Bank, Health, Nutrition and Population Discussion Paper. Economics of Tobacco Control Paper No. 11, October. TW. Hu dan Z. Mao. 2002. Effects of cigarette tax on cigarette consumption and the Chinese economy. Tobacco Control. 11:105–108 Dalam P. Jha, FJ. Chaloupka, J. Moore, V. Gajalakshmi, PC. Gupta, R. Peck, et al. Tobacco Addiction. Disease Control Priorities in Developing Countries (2nd Edition). pp. 869-886. New York: Oxford University Press. DOI: 10.1596/978-0-821-36179-5/Chpt-46. PM. Ling, A. Landman, SA. Glantz. 2002. It is time to abandon youth access tobacco programmes. Tobacco Control. 11: 3-6 Dalam P. Jha, FJ. Chaloupka, J. Moore, V. Gajalakshmi, PC. Gupta, R. Peck, et al. Tobacco Addiction. Disease Control Priorities in Developing Countries (2nd Edition). pp. 869-886. New York: Oxford University Press; dan JL. Townsend, P. Roderick, J. Cooper. 1998. “Cigarette Smoking by SocioEconomic Group, Sex, and Age: Effects of Price, Income, and Health Publicity” British Medical Journal 309: 6959 923 – 926.
LEM BA G A
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Untitled-6
27
Ekonomi Tembakau di Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
27
28
Untitled-6
LEM BA G A
Ekonomi Tembakau di Indonesia
28
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
B A B 3
Informasi tentang Cukai dan Harga Tembakau
LEM BA G A
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Untitled-6
29
Ekonomi Tembakau di Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
29
30
Untitled-6
LEM BA G A
Ekonomi Tembakau di Indonesia
30
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
Pada bagian ini akan dipaparkan data harga rokok, tarif cukai, dan daya beli konsumen untuk membeli (affordability) tembakau. Sistem cukai produk tembakau saat ini cukup kompleks dengan menerapkan baik ad valorem maupun cukai spesifik per batang, yang berbeda untuk setiap produk tembakau dan skala produksi. Rokok kretek tangan dan perusahaan dengan skala produksi kecil secara konsisten menikmati cukai yang rendah. Hal tersebut mengakibatkan perbedaan harga rokok yang cukup besar di tempat penjualan akhir. Perokok dari rumah tangga kaya membeli rokok yang lebih mahal dibanding perokok dari rumah tangga miskin. Antara tahun 1970 sampai dengan 2005 harga rokok di Indonesia tetap stabil, sehingga sejak tahun 1980 produk tembakau menjadi lebih terjangkau (relatif terhadap Produk Domestik Bruto-PDB). Cukai dan harga rokok di Indonesia masih lebih murah secara absolut dibandingkan negara miskin lainnya dan rata-rata negara ASEAN. 3.1.
Struktur Cukai Tembakau
Produk tembakau di Indonesia telah dikenai cukai sejak awal tahun 1900-an. Pada tahun 1932, tingkat cukai diberlakukan seragam untuk semua produk tembakau (20 persen). Sejak tahun 1936, sistem cukai rokok progresif mulai diberlakukan berdasarkan jenis produk, yaitu rokok kretek tangan (tembakau dan rokok kretek), klobot (rokok kretek yang dibungkus daun jagung), klembak kemenyan (rokok kretek yang diberikan kemenyan), dan rokok putih (tembakau tanpa campuran). Tarif cukai yang berbeda untuk rokok kretek tangan dan rokok kretek mesin dikenakan setelah mekanisasi industri rokok. Pada tahun 1970-an, sistem cukai tersebut dimodifikasi berdasarkan volume produksi dan jenis produk dimana tarif cukai tertinggi dikenakan pada perusahaan dengan skala produksi terbesar1. Struktur cukai tembakau terus berlanjut berdasarkan jenis produk, teknik produksi (linting tangan atau mesin), dan tingkat produksi perusahaan yang diukur melalui jumlah pemesanan pita cukai. HJE atau Harga Jual Eceran menunjukkan harga pabrik yang didalamnya memasukkan komponen biaya produksi, keuntungan produsen dan distributor, dan cukai. Berdasarkan formulir dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Departemen Keuangan, setiap perusahaan melaporkan biaya seluruh bahan baku dan biaya produksi (tembakau, cengkeh, kertas, transportasi, bungkus, kemasan, dll) untuk setiap jenis merek rokok yang diproduksi, agar dapat diketahui harga dasarnya (Lampiran 3.1). Cukai ad valorem, pajak pertambahan nilai (PPN - VAT), dan cukai spesifik dikenakan
LEM BA G A
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Untitled-6
31
Ekonomi Tembakau di Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
31
pada harga dasar. Untuk PPN dikenakan tarif tetap (flat rate) sebesar 8,4 persen. Perusahaan kemudian menambahkan laba perusahaan (untuk para distributor, agen, dan pengecer) dan biaya produksi untuk menghitung HJE setiap jenis merek rokok. Berdasarkan hasil diskusi informal dalam penulisan laporan ini, laba dan biaya transaksi dimasukan dalam perhitungan HJE sebelum cukai ditetapkan. HJE dalam tabel berikut merupakan harga minimum karena nilainya merupakan batas bawah dari rentang harga setiap merek rokok. Dari Tabel 3.1 dapat dilihat perbandingan perubahan penggolongan cukai tembakau antara tahun 2007 dan 2008 menurut jenis produk dan skala produksi yang menggambarkan betapa kompleks sistem percukaian tembakau ini (Tabel 3.1).
32
Untitled-6
LEM BA G A
Ekonomi Tembakau di Indonesia
32
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
LEM BA G A
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Untitled-6
D EM O G RAF I
33
Ekonomi Tembakau di Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
33
Klembak; SPT: Sigaret Putih Tangan;.
Catatan: Peraturan Menteri Keuangan no. 118.PMK.04/2006, efektif Maret 2007, cukai spesifik per batang efektif per Juli 2007, dan No.134/PMK.04/2007, efektif per 1 Januari 2008. Skala produksi diatur dalam Peraturan no 43/PMK.04/2005, efektif mulai Juli 2005, dan no 134/PMK/04/2007, efektif per 1 Januari 2008. HJE: batas bawah harga eceran per merek. NA: not applicable. KLB: klobot; KLM:
Tabel 3.1. Struktur Tarif Cukai Tembakau untuk Produksi dan Konsumsi Domestik, 2007 dan 2008
Pada tahun 2007, tarif cukai ad valorem untuk rokok kretek mesin dan rokok putih ditetapkan antara 26 persen sampai 40 persen, tergantung pada skala produksi. Selain itu, cukai per batang untuk pertama kalinya dikenakan, yang juga bervariasi menurut jenis produk, teknik produksi (linting tangan atau mesin), dan skala produksi. Pada tahun 2008, cukai ad valorem diturunkan dan cukai spesifik per batang menjadi lebih besar. Cukai per batang menjadi Rp 35 untuk semua jenis rokok dengan pengecualian untuk rokok kretek tangan yang diproduksi pada skala kecil (Rp 30). Sejak tahun 2000, tarif cukai ad valorem untuk rokok kretek mesin dan putih telah seragam; tetapi peraturan yang dikeluarkan pada tahun 2008 memberlakukan kembali pembedaan cukai ad valorem untuk jenis rokok tersebut. Nilai minimum (batas bawah) HJE dinaikkan sebesar 9 persen untuk perusahaan rokok yang berada dalam skala produksi besar, dan bagi skala produksi yang terkecil diturunkan sebesar 15 persen. Untuk rokok kretek tangan (SKT), terdapat beberapa perbedaan antara peraturan tahun 2007 dengan 2008. Pada jenis rokok ini (SKT), diberikan kategori baru yaitu Sigaret Kretek Tangan Filter (SKTF). Jumlah skala produksi untuk SKT dikurangi dari empat menjadi tiga. Skala produksi IIIA dan IIIB digabung menjadi hanya golongan III (lihat Tabel 3.1). SKT tanpa filter, tarif ad valoremnya diturunkan. Untuk produsen SKT terkecil, HJE diturunkan sebesar 38 persen dan tarif ad valorem dihilangkan sama sekali. Tetapi, tarif ad valorem untuk SKTF diseragamkan dengan tarif SKM. Perubahan yang dianggap paling penting adalah pemberlakuan cukai per batang (cukai spesifik) yang seragam sebesar Rp 35 untuk semua kategori produksi, dengan pengecualian pada tarif SKT yang lebih rendah (Rp 30) bagi perusahaan dengan produksi kurang atau sama dengan 500 juta batang per tahun. Sama seperti sebelumnya, produk tembakau lain (HTPL) yang diproduksi pada skala kecil dikenakan tarif cukai rendah. Produk ini meliputi rokok klobot, klembak kemenyan, rokok putih tangan (tembakau tanpa campuran), cerutu, dan tembakau iris. Selain itu, terdapat penyesuaian dalam skala produksi untuk rokok jenis lain dan daun tembakau. Untuk memenuhi target penerimaan cukai, Departemen Keuangan melakukan penyesuaian terhadap tarif cukai ad valorem, cukai per batang, dan cut off point untuk skala produksi perusahaan, serta jumlah perusahaan dengan skala produksi itu. Penghitungan HJE didasarkan pada biaya produksi perusahaan tetapi bisa dimodifikasi secara terpisah dari skala cukai oleh Departemen Keuangan, seperti yang terlihat pada Tabel 3.1. Dalam satu tahun komponen-komponen tersebut dapat disesuaikan satu kali atau lebih, atau tidak sama sekali pada produk tembakau atau skala produksi tertentu. Tetapi untuk produk rokok linting tangan dan perusahaan
34
Untitled-6
LEM BA G A
Ekonomi Tembakau di Indonesia
34
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
berskala kecil secara konsisten terus menikmati tarif cukai yang lebih rendah (Tabel 3.2, Lampiran 3.2) Perubahan tarif ad valorem untuk SKM, SPM, SKT, dan produk tembakau lainnya dapat dilihat pada Tabel 3.2. Antara tahun 1996 sampai 1999, pemerintah melakukan penyesuaian satu kali setiap tahunnya terhadap penggolongan cukai tembakau, dan penyesuaian lebih dari satu kali dilakukan antara tahun 2000 dan 2001. Sementara untuk SKT dan produk rokok lainnya, tarif ad valorem tidak mengalami perubahan selama tahun 2002 sampai 2007. Namun, penyesuaian tetap dilakukan terhadap HJE. Pada tahun 2001, HJE yang seragam dikenakan pada produk SKM dan SPM untuk seluruh kategori skala produksi, tetapi setelah satu tahun, sistem ini dikembalikan ke sistem lama dengan HJE digolongkan menurut skala produksi. Tabel 3.2. Perubahan Penggolongan Cukai Tembakau untuk Produksi dan Konsumsi Domestik, 1996-2007 SKM
S KT
J e n is la in (k lo b o t, k le m b a k kem enyan)
SPM
Tanggal
P e ru b a h a n s k a la p ro d u k s i
C ukai
H JE
C u ka i
HJE
C ukai
H JE
Cukai
H JE
(% )
(R p )
(% )
(R p )
(% )
(R p )
(% )
(R p )
5 / 1 99 6
20–36
3 0 –8 0
2 –1 6
20–60
2 0– 3 8
25–75
1 -8
2 0– 6 0
X
4 / 1 99 7
20–36
4 0 –8 5
2 –1 6
25–65
2 0– 3 8
30–80
1 -8
2 5 -6 5
X
4 / 1 99 8
20–36
1 4 0 –2 2 5
2 –1 6
80 – 1 5 0
2 0– 3 8
30–125
1 -8
50 -1 2 5
4 / 1 99 9
20–36
1 1 0 –2 2 5
4 –1 6
55 – 1 5 0
2 0– 3 6
1 1 0 – 2 25
4–16
5 5 –1 5 0
4 / 2 00 0
28–40
1 2 0 –2 5 0
1 2 -2 0
65 – 1 6 5
2 8– 4 0
70–150
12–20
6 5 –1 6 5
1 1 / 20 0 0
26–40
1 5 0 –2 8 0
1 0 –2 0
10 0 – 2 0 0
2 6– 4 0
12 0 -1 8 0
1 0 -2 0
1 00 -2 0 0
4 / 2 00 1
26–40
1 7 0 –3 0 5
4 –2 0
12 5 – 2 3 0
2 6– 4 0
90–195
1 0 -2 0
1 00 -2 0 0
7 / 2 00 1
26–40
1 9 0 –3 2 5
4 –2 0
15 0 – 2 5 5
2 6– 4 0
1 0 3 – 2 08
4 -2 0
1 00 -2 0 0
1 2 / 20 0 1
26–40
2 70
4 –2 0
17 5 – 2 2 5
2 6– 4 0
150
4 -8
1 00 -1 2 5
X
1 1 / 20 0 2
2 6 -40
3 2 0 -4 00
4 -2 2
2 0 0-3 4 0
2 6 -4 0
20 0 -2 7 0
4 -8
1 25 -1 5 0
X
1 /2 0 0 3
2 6 -40
3 2 0 -4 00
4 -2 2
2 0 0-3 4 0
2 6 -4 0
18 0 -2 5 0
4 -8
1 25 -1 5 0
7 / 2 00 5
2 6 -40
3 7 0 -4 60
4 -2 2
2 3 0-4 0 0
2 6 -4 0
21 0 -2 9 5
4 -8
1 50 -1 8 0
4 / 2 00 6
2 6 -40
4 1 0 -5 10
4 -2 2
2 5 5-4 4 0
2 6 -4 0
23 5 -3 2 0
4 -8
1 65 -2 0 0
3 / 2 00 7
2 6 -40
4 4 0 -5 50
4 -2 2
2 7 5-4 7 5
2 6 -4 0
25 5 -3 4 5
4 -8
1 80 -2 1 5
X
Sumber : Direktorat Cukai, DirJen Bea Cukai, Departemen Keuangan. HJE adalah harga retail terendah dari merek rokok tertentu, atau harga pabrik ditambah cukai dan laba. Cukai per batang diberlakukan sejak 2007, dan disajikan dalam Tabel 3.1
LEM BA G A
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Untitled-6
35
Ekonomi Tembakau di Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
35
Untuk memacu peningkatan ekspor, bagi produsen yang menjual lebih banyak rokok keluar negeri dibanding penjualan dalam negeri diberikan insentif dengan membayar cukai ad valorem yang lebih rendah untuk produk-produk yang dijual di dalam negeri. Untuk semua jenis rokok, cerutu, atau tembakau iris, perusahaan yang mengekspor lebih banyak daripada jumlah penjualan dalam negeri dapat menikmati pengurangan cukai ad valorem sebesar 4 persen dari besarnya tarif pada jenis produk tembakau yang sama yang dijual di pasar domestik (Lampiran 3.3). Terhadap produk tembakau yang diimpor juga dikenakan cukai dengan tarif yang sebanding dengan tarif cukai pada produk domestik dengan skala produksi tertinggi ditambah cukai barang impor sebesar 15 persen. Pada prakteknya, hanya SPM yang diimpor. Untuk produk impor, ad valorem dan PPN ditambahkan pada port value2 dan cukai impor, kemudian keuntungan serta biaya transaksi ditambahkan. (Lampiran 4). Cukai tidak dikenakan pada produk tembakau yang diekspor, atau tembakau iris yang diproduksi untuk konsumsi pribadi.
3.2. Cukai dan Harga Rokok Dengan menggunakan data rumah tangga tentang harga yang dibayar untuk membeli rokok dan data cukai tentang penerimaan, dapat dihitung tarif cukai untuk tiga jenis rokok utama (Tabel 3.3). Rata-rata tarif cukai adalah sebesar 37 persen dari harga jual, dengan tarif terendah (21 persen) untuk SKT dan tertinggi (46 persen) untuk SKM (Tabel 3.3). Untuk mengestimasi tingkat cukai yang aktual sebagai persentase dari HJE, diperlukan data dari Direktorat Cukai atau mengumpulkan data secara langsung dari lapangan karena HJE berbeda-beda menurut merek rokok. Sebuah survei harga dilakukan secara sederhana pada warung dan pedagang rokok jalanan, supermarket, dan pengecer kecil di kota Depok dan Jakarta. Informasi harga rokok yang disurvei termasuk merekmerek rokok yang populer. 3 Survei ini mengumpulkan data harga banderol dan harga jual. Harga banderol yang tertera pada pita cukai adalah HJE dikalikan dengan jumlah batang rokok. Sementara itu, bila harga jual melampaui harga banderol, perusahaan diwajibkan melaporkannya kepada Direktorat Cukai untuk melakukan penyesuaian HJE. Sehingga, oleh perusahaan, harga pada titik penjualan (point at sales) memang diatur lebih rendah dari harga banderol. Survei ini membuktikan bahwa harga jual pada titik penjualan berada di bawah harga banderol untuk hampir seluruh merek yang disurvei. Harga banderol diperkirakan 22 persen lebih tinggi untuk SKM, 19 persen lebih tinggi untuk SKT, dan 17 persen lebih tinggi untuk SPM. Dengan menggunakan estimasi tersebut, besar tarif
36
Untitled-6
LEM BA G A
Ekonomi Tembakau di Indonesia
36
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
cukai sebagai persentase HJE diperkirakan mencapai 31 persen (Tabel 3.3). Perbedaan terbesar antara dua jenis cukai tersebut ditemui di jenis rokok SKM. Cukai untuk rokok kretek tangan adalah yang terendah dan perbedaan antara keduanya relatif kecil.
Tabel 3.3. Tarif Cukai Rokok terhadap Harga Jual dan HJE pada Tiga Jenis Rokok, 2005 Tarif Cukai
Jenis Rokok
% harga jual
% HJE
SKM (Sigaret Kretek Mesin)
46.0
37.7
SPM (Sigaret Putih Mesin)
39.9
34.2
SKT (Sigaret Kretek Tangan)
21.4
18.0
Rata-rata
36.8
30.7
Sumber : Harga per pak rokok dihitung dari data rumah tangga nasional SUSENAS 2005, data industri untuk total produksi menurut jenis rokok, dan data dari Direktorat Cukai untuk penerimaan cukai menurut jenis rokok. HJE menunjukkan harga pabrik termasuk cukai dan keuntungan (laba). HJE diseluruh merek diestimasi dari survei harga yang melaporkan rata-rata harga premium terhadap harga jual.
Pada tahun 2007, dilakukan amandemen terhadap Undang-Undang Cukai Nomor 11 Tahun 1995, dimana batas cukai tembakau dinaikkan dari 55 persen ke 57 persen dari HJE, atau 250 persen ke 275 persen dari biaya produksi.4 Dengan menerapkan cukai sampai batas maksimum yang diperbolehkan Undang-Undang (57 persen dari HJE) diperkirakan akan sama dengan menaikkan cukai 64 persen dari harga jual.
“Secara keseluruhan, harga rokok riil relatif stabil antara tahun 1970 sampai 2005”
Disamping cukai, komponen utama dari harga rokok adalah marjin keuntungan, harga tembakau, cengkeh, tenaga kerja, kemasan, dan penambahan rasa. Gambar 3.1 menggambarkan proyeksi tahun 2005 untuk alokasi biaya masing-masing komponen pada jenis rokok SKT dan SKM yang diproduksi oleh perusahaan Gudang Garam, perusahaan rokok yang menguasai pangsa pasar terbesar. Rokok kretek merupakan campuran
LEM BA G A
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Untitled-6
37
Ekonomi Tembakau di Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
37
dari dua pertiga tembakau dan sepertiga cengkeh. Komponen tembakau tergantung pada daun tembakau impor sampai 30 persen, dan hal ini menyebabkan harga tembakau peka terhadap fluktuasi nilai tukar rupiah. Hal yang sama juga terjadi pada komponen kemasan dan pemberian rasa, yang juga sangat tergantung pada barang impor. Perasa diberikan oleh perusahaan multinasional. Biaya untuk kemasan lebih tinggi untuk jenis SKM (4 persen) dibanding SKT (1,3 persen), hal ini mungkin disebabkan oleh adanya filter. Di lain pihak, produsen SKT hanya mempunyai cadangan cengkeh sedikit atau tidak sama sekali, yang dapat menerangkan mengapa ongkos produksi yang ditanggung SKT lebih mahal dibanding SKM (6,2 persen dibanding 3,1 persen). Pedagang cengkeh memainkan peran penting dalam menentukan penumpukan stok, dan pada akhirnya berdampak pada naiknya harga di antara produsen kecil. Biaya tenaga kerja mendekati 6 persen dari total biaya SKT yang diproduksi Gudang Garam, dibanding 0,2 persen untuk SKM. Proyeksi laba marjin adalah sebesar 52 persen untuk SKT, dan 41 persen untuk SKM. Di masa lalu, perusahaan bersedia untuk menyerap ken ai kan cu kai dan men guran gi l aba marji n u nt u k mempertahankan atau meningkatkan pangsa pasar. 5 Gambar 3.1. Proporsi Alokasi Biaya Produksi untuk Jenis Rokok SKT dan SKM Produksi Gudang Garam, Proyeksi untuk tahun 2005
Keterangan: Excise duty = tarif cukai ; Tobacco = tembakau; Clove = cengkeh; Packaging = pembungkusan; Flavor = rasa; Labor = buruh ; Overhead = biaya pokok; Margin = tambahan Sumber : Jardine Fleming Research.
38
Untitled-6
LEM BA G A
Ekonomi Tembakau di Indonesia
38
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
Perubahan harga nominal dan harga riil rokok antara tahun 1970 dan 2005 digambarkan dalam Gambar 3.2. Ketika harga nominal meningkat pesat setelah krisis ekonomi tahun 1997-1998, harga riil rokok tetap tidak berubah antara tahun 1970 dan 2002, setelah itu terjadi sedikit kenaikan yang dapat dikaitkan dengan adanya kenaikan tarif cukai.
Gambar 3.2. Perbandingan Harga Nominal dan Harga Riil Tembakau, 1970-2005
Sumber : Data harga sampai dengan 2001 dari Djutaharta, et al 2002; data terbaru diolah dari Susenas
Gambar 3.3 menunjukkan terjadinya penurunan konsumsi per kapita domestik antara tahun 2001 dan 2003 yang terkait dengan penurunan penjualan domestik. Tetapi, tingkat produksi tahun 2001 tercapai kembali pada tahun 2005, bersamaan dengan turunnya harga riil dan tidak adanya kenaikan cukai (Bab 6). Berdasarkan permintaan yang bersifat inelastik dan perubahan konsumsi yang berjalan lamban, penurunan kuantitas produksi barangkali lebih mencerminkan kemampuan industri untuk mengubah jumlah produksi sebagai tanggapan terhadap perubahan tarif cukai dibanding perubahan permintaan rokok. Data rumah tangga memperlihatkan terdapat 7,3 juta perokok baru antara tahun 2001 dan
LEM BA G A
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Untitled-6
39
Ekonomi Tembakau di Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
39
2004, dan konsumsi rokok secara agregat mengalami kenaikan sampai 16 persen.6
“Tembakau di Indonesia menjadi 50 persen lebih terjangkau oleh masyarakat antara tahun 1980 dan 1998”
Gambar 3.3. Perbandingan Harga Riil Rokok dengan per Kapita Tahunan Penjualan Domestik 1970-2005
Sumber : Data harga rokok sampai tahun 2001 dari Djutaharta et al 2005; Data terbaru diolah dari SUSENAS; nilai penjualan domestik dari FAO dan laporan industri, dikurangi ekspor dan ditambah impor; penduduk dewasa usia 15 keatas dari BPS.
3.3.
Kemampuan Masyarakat Membeli Produk Tembakau
Guindon et al (2003) melakukan estimasi kemampuan membeli produk rokok untuk beberapa Negara di Asia Tenggara.7 Keterjangkauan atau affordability dihitung dengan cara membagi harga tembakau di setiap negara dengan Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita. Apabila indeks bernilai di atas 100 artinya harga tembakau semakin tidak terjangkau. Hal tersebut terjadi di Selandia Baru, dimana harga riil tembakau meningkat tiga kali lipat antara tahun 1980 dan 2000, yang menyebabkan tembakau semakin tidak terjangkau (Gambar 3.4). Sebaliknya, bila indeks bernilai
40
Untitled-6
LEM BA G A
Ekonomi Tembakau di Indonesia
40
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
kurang dari 100 artinya tembakau menjadi semakin terjangkau. Tembakau di Indonesia menjadi 50 persen lebih terjangkau antara tahun 1980 dan 2000, sama seperti di Srilanka dan India. Gambar 3.4. Keterjangkauan Produk Tembakau, 1980-2000
Sumber : G. Emmanuel Guindon, Anne-Marie Perucic, dan David Boisclair. Oktober 2003.
“Cukai dan harga rokok di Indonesia masih relatif lebih rendah dibanding negara berkembang lainnya dan rata-rata regional”
Analisis ini kemudian dikembangkan dengan menggunakan data tahun 2001 sampai 2005. Indeks Keterjangkauan atau Affordability Index cenderung tidak berubah pada periode dengan nilai indeks yang sama pada tahun 2001 dan 2005.8 Tingkat pertumbuhan PDB tahunan diestimasi mencapai 6 persen antara tahun 2003 dan 2004.9 Hal ini menunjukkan bahwa perubahan cukai tembakau tidak mengurangi kemampuan membeli rokok.
LEM BA G A
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Untitled-6
41
Ekonomi Tembakau di Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
41
Tabel 3.4. Pengeluaran per Bungkus untuk Tiga Jenis Rokok Menurut Kuintil Pengeluaran Rumah Tangga, 2005, (Rupiah)
Kuintil Pengeluaran Rumah Tangga 1 (terendah)
Jenis Rokok SKM SKT SPM Rata-rata (Rp) Rata-rata (US$)
2
3
4
5 (tertinggi)
4,865
5,622
6,168
6,738
7,279
4,079
4,834
5,258
5,731
7,308
3,702
4,334
4,270
5,271
6,524
4,404
5,186
5,704
6,353
7,232
0,44
0,52
0,57
0,64
0,72
Sumber : SUSENAS, satu bungkus 16 batang
Faktor lain yang mempengaruhi daya beli adalah ketersediaan produk tembakau dengan harga dan “kualitas” yang berbeda, yang membuat merokok semakin dapat dijangkau oleh semua kelompok pendapatan. Harga rokok yang dikonsumsi bervariasi menurut tingkat pendapatan. Semakin tinggi pendapatan rumah tangga seorang perokok, semakin mahal harga rokok per bungkus yang dibeli. Pada tahun 2005, harga rokok yang dibeli oleh perokok dari kelompok pendapatan tinggi 40 persen lebih mahal dibanding rokok yang dibeli oleh mereka dari kelompok pendapatan rendah (Tabel 3.4). Kelompok rumah tangga miskin cenderung mengkonsumsi SKT dibanding SKM, karena harga SKT yang relatif lebih rendah. Ditambah pula, perokok dari kelompok kaya akan mengkonsumsi lebih banyak rokok (dalam batang). Cukai dan harga rokok di Indonesia relatif lebih rendah dibandingkan negara miskin lainnya dan dengan rata-rata harga di tingkat regional. Harga rokok per bungkus di Indonesia sekitar US$ 0,72 dengan tarif cukai 37 persen dari harga jual. Gambar 3.5 menunjukkan rata-rata tarif cukai di berbagai negara. Rata-rata cukai di negara miskin sebesar 51 persen dan di negara Asia Timur dan Pasifik 58 persen. Rata-rata harga rokok per bungkus di negara miskin sebesar US$ 1,18 dan US$ 2,28 di negaranegara Wilayah Asia Timur dan Pasifik. Wilayah Asia Pasifik terdiri dari negara-negara kaya dan menengah, seperti Singapura dan Malaysia, selain negara yang sangat miskin seperti Kamboja. Beberapa negara menengah dan kaya (contohnya Turki) dan negara lain cukai rokok digunakan sebagai
42
Untitled-6
LEM BA G A
Ekonomi Tembakau di Indonesia
42
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
strategi mengurangi konsumsi rokok (contoh Thailand), menerapkan cukai sampai sebesar dua pertiga atau lebih dari harga eceran. Gambar 3.5. Harga Rokok per Bungkus dan Persen Cukai dari Harga, 2004-2005
Keterangan: Tax share: tarif cukai; price per pack = harga per bungkus Sumber : Ayda Yurekli, presentasi disampaikan pada tobacco economics meeting, Bloomberg Foundation, New York, November 2008.
3.4.
Catatan tentang Sistem Cukai Ad Valorem dan Cukai Spesifik10
Indonesia saat ini menerapkan dua jenis sistem cukai tembakau yakni ad valorem (berdasarkan nilai - value) dan cukai spesifik (menurut kuantitas). Kedua sistem tersebut masing-masing memiliki kelebihan dan kelemahan dalam upaya meningkatkan penerimaan negara, administrasi dan promosi peningkatan harga. Sistem cukai spesifik memiliki kelebihan dalam konteks meningkatkan penerimaan negara karena cukai tersebut bertujuan untuk melindungi penerimaan negara dari perang harga atau penurunan harga. Cukai spesifik dapat menjadi acuan untuk memperkirakan penerimaan negara apabila jumlah pembelian suatu produk didasarkan atas tinggi rendahnya kualitas produk. Si stem cu kai spesifik juga memberikan insentif u ntuk meningkatkan harga rokok karena setiap kenaikan harga akan kembali kepada perusahaan dalam ben tuk peneri maan. S ebalikn ya, cukai ad valorem memiliki efek pengganda (multiplier effect). Cukai ini dikenakan
LEM BA G A
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Untitled-6
43
Ekonomi Tembakau di Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
43
pada nilai produk, sehingga apabila ada kenaikan harga, maka sebagian harga tersebut (yang dikenai tarif ad valorem) akan kembali kepada pemerintah dalam bentuk penerimaan cukai. Pada saat yang sama, setiap penurunan harga akan disubsidi secara efektif oleh pemerintah. Sistem ini tidak menjamin bahwa pemerintah mendapat penerimaan yang tinggi karena cukai ad valorem dipengaruhi oleh inflasi dan perang harga. Efek pengganda dari cukai ad valorem ini juga menurunkan insentif bagi perusahaan untuk memperbaiki kualitas produknya, dan hanya akan berlomba-lomba untuk menurunkan harga. Sebaliknya, cukai spesifik berpeluang meningkatkan konsumsi rokok merek berkualitas tinggi. Indonesia lebih memilih untuk menerapkan cukai ad valorem untuk SKT dan rokok kretek yang diproduksi di dalam negeri dibandingkan pada rokok putih atau merek rokok mahal (bermerek) yang diimpor atau diproduksi perusahaan multinasional di dalam negeri. Dalam hal ini, cukai ad valorem memberikan proteksi yang lebih besar kepada produsen dalam negeri yang memproduksi rokok yang relatif “murah” (kualitas “rendah”). Tetapi ketika terdapat perbedaan kualitas yang cukup besar antara produk dalam negeri dan produk impor, cukai impor dapat diterapkan pada produk impor untuk menekan efek dari dampak negatif cukai spesifik terhadap penurunan harga atau kualitas produksi domestik. Ketika bea masuk diterapkan untuk proteksi industri, cukai spesifik dapat dikenakan pada produk domestik dan produk impor.
“Kenaikan cukai yang bertujuan untuk mengurangi konsumsi harus lebih tinggi dibandingkan tingkat inflasi umum dan harus cukup besar untuk menekan dampak kenaikan pendapatan”
Terakhir, cukai spesifik memiliki kelebihan dalam hal pengelolaan administrasi. Hal ini dikarenakan cukai spesifik didasarkan pada kuantitas dan bukan nilai produk. Bila menggunakan cukai ad valorem, nilai produk sulit ditentukan, dan perusahaan dapat mensiasati sistem untuk mengurangi kewaji ban mereka membayar cukai. Pengal aman in ternasi on al menunjukkan bahwa cukai ad valorem lebih dapat disesuaikan dengan inflasi dibandingkan cukai spesifik. Meskipun begitu, penerimaan cukai ad valorem tidak menjamin dapat sejalan dengan laju inflasi serta mungkin masih memerlukan penyesuaian. Cukai spesifik akan bergerak sejalan dengan inflasi bila disesuaikan dengan Indeks Harga Konsumen (IHK),
44
Untitled-6
LEM BA G A
Ekonomi Tembakau di Indonesia
44
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
atau indikator harga lainnya. Tetapi penting untuk dicatat bahwa pengenaan cukai spesifik yang disesuaikan dengan inflasi sebaiknya berlangsung secara otomatis. Penyesuaian tersebut harus dilakukan oleh administrator cukai tanpa memerlukan persetujuan dari badan eksekutif atau legislatif. Kenaikan cukai yang bertujuan mengurangi konsumsi harus lebih tinggi dibandingkan tingkat inflasi umum dan harus lebih besar untuk dapat menekan dampak kenaikan pendapatan.
LEM BA G A
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Untitled-6
45
Ekonomi Tembakau di Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
45
Catatan Akhir Bab 3. 1
L. Tarmidi. 1996. Changing Structure and Competition in the Kretek Cigarette Industry. Bulletin of Indonesian Economic Studies.32 (3): 85-107 .
2
CIF atau Cost, Insurance and Freight berarti bahwa bertanggung jawab terhadap pengiriman barang melewati batas pelabuhan. Penjual harus membayar biaya administrasi dan pengangkutan sampai di pelabuhan tujuan, tetapi risiko dan tambahan biaya administrasi setelah barang sampai di pelabuhan tujuan menjadi tanggung jawab pembeli. Namun penjual tetap harus menanggung biaya asuransi untuk kerusakan selama pengiriman
3
A. Ahsan, NH. Wiyono, D. Setyonaluri, D. Prihastuti, M. Yudistira, M. Sowwam. 2007. Tobacco Control Country Study, Indonesia. Demographic Institute, Faculty of Economics, University of Indonesia.
4
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1995 Tentang Cukai; and Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2007 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 Tentang Cukai.
5
Jardine Fleming Research, 1999.
6
Opcit Ahsan (2007)
7
GE. Guindon, A-M. Perucic, dan D. Boisclair. 2003. Higher Tobacco Prices and Taxes in South-East Asia: An Effective Tool to Reduce Tobacco Use, Save Lives and Generate Revenue. World Bank Health, Nutrition and Population Discussion Paper. Economics of Tobacco Control Paper No. 11, October.
8
Data PDB riil per kapita dan IHK rokok diambil dari Bank Indonesia dan Badan Pusat Statistik.
9
World Bank, Spending for Development: Making the Most of Indonesia’s New Opportunities. Public Expenditure Review 2007.
10
Disarikan dari FJ. Chaloupka, TW. Hu, KE. Warner, R. Jacobs, dan A. Yurekli. 2000. The taxation of tobacco products. Dalam Jha P, Chaloupka FJ (eds). Tobacco control in developing countries. New York: Oxford University Press.
46
Untitled-6
LEM BA G A
Ekonomi Tembakau di Indonesia
46
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
B A B 4
STUDI PERMINTAAN ROKOK
LEM BA G A
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Untitled-6
47
Ekonomi Tembakau di Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
47
48
Untitled-6
LEM BA G A
Ekonomi Tembakau di Indonesia
48
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
Bab ini mengulas berbagai studi yang pernah dilakukan di Indonesia tentang permintaan (demand) rokok berdasarkan data agregat pada tingkat rumah tangga.1 2 Literatur menunjukkan bahwa pola permintaan produk tembakau mengikuti pola kurva dengan kemiringan negatif (downwardsloping curve) dengan permintaan terhadap tembakau dipengaruhi oleh perubahan harga. Berbagai macam studi ekonomi menunjukkan bahwa elastisitas permintaan di negara maju (high income countries) berkisar antara -0,25 dan -0,5, atau apabila harga naik sebesar 10 persen konsumsi akan turun sebesar 2,5 persen sampai 5 persen.3 Teori yang didukung oleh bukti-bukti empiris memprediksi bahwa permintaan tembakau di negara miskin lebih responsif terhadap harga. Sehubungan dengan hal tersebut, studi yang dilakukan di negara dengan pendapatan rendah (negara berkembang) juga melaporkan adanya penurunan konsumsi akibat kenaikan harga.4 Penelitian di Indonesia melaporkan hasil yang konsisten dengan hasil studi-studi lain.2 Meskipun ada perbedaan data dan metode pengumpulan data, penelitian tentang elastisitas harga (price elasticity) menunjukkan hasil estimasi yang konsisten yang berkisar antara -0,29 dan -0,67, atau bila ada kenaikan 10 persen pada harga rokok akan menurunkan konsumsi rokok antara 2,9 persen sampai 6,7 persen. Beberapa studi yang digunakan dalam laporan ini memprediksi nilai elastisitas pendapatan (income elasticity) antara 0,32 dan 0,76, atau jika pendapatan naik sebesar 10 persen akan meningkatkan konsumsi tembakau antara 3,2 persen dan 7,6 persen. Secara tidak langsung, nilai tersebut tersebut menunjukkan bahwa rokok termasuk barang normal. Peningkatan cukai bertujuan mengurangi konsumsi tembakau, sehingga kenaikannya harus cukup besar untuk menekan kenaikan konsumsi yang dipengaruhi kenaikan pendapatan rumah tangga. Temuan ini bertolak belakang dengan pengalaman di Amerika Serikat, Eropa, dan negara maju lainnya, dimana kenaikan pendapatan rumah tangga malah menurunkan permintaan rokok, atau rokok merupakan barang inferior di negara-negara maju. Di Indonesia simulasi yang mempertimbangkan kenaikan pendapatan untuk menekan efek perubahan harga menemukan bahwa 10 persen kenaikan cukai tembakau akan menghasilkan penurunan konsumsi antara 0,9 persen sampai 3,0 persen. Bab ini juga menjelaskan simulasi yang memprediksi dampak kenaikan cukai terhadap pengeluaran dari kelompok rumah tangga berpendapatan rendah, terhadap kesehatan dan penerimaan cukai pemerintah. Kenaikan cukai tembakau akan memperbaiki distribusi pengeluaran jika harga sensitif mempengaruhi penurunan pengeluaran rumah tangga miskin. Kenaikan
LEM BA G A
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Untitled-6
49
Ekonomi Tembakau di Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
49
pajak sampai dengan standar global sebesar 70 persen dari harga jual dalam sistim pajak yang berlaku saat ini dapat mencegah sebanyak 2,5 juta sampai 5,9 juta kematian akibat rokok. Pada saat yang sama, penerimaan negara juga akan diuntungkan dengan tambahan sebesar Rp 23,8 triliun sampai Rp 75,8 triliun (US$ 2,6 milyar sampai US$ 8,3 milyar)
4.1.
Studi-studi yang Menggunakan Data Agregat
Beberapa studi telah menganalisis permintaan tembakau dengan menggunakan data agregat. Bird menggunakan data agregat tahunan antara tahun 1970 sampai 1994, untuk mengestimasi error corection model yang memperhitungkan kondisi harga non-stasioner dan data pendapatan.5 Studi tersebut juga mengikutsertakan dampak beberapa perubahan kebijakan yang diperkirakan akan mempengaruhi konsumsi tembakau. Model ini juga memasukkan faktor mekanisasi produksi rokok kretek filter oleh Gudang Garam dan Djarum pada tahun 1980-1981. Selain itu dimasukkan juga faktor perubahan kebijakan yang melarang penayangan iklan rokok di televisi (1989-1994). Model Bird tersebut menghasilkan elastisitas harga dan pendapatan dalam jangka panjang masing-masing sebesar -0,43 dan 0,83. Dalam analisis yang memasukkan variabel dummy tentang keringanan pembatasan iklan rokok (1989-1994) memberikan hasil negatif signifikan. Penulis menjelaskan bahwa hasil tersebut mencerminkan dampak perubahan penggolongan cukai dan penetapan HJE minimum oleh Menteri Keuangan pada tahun 1991. Pengaruh perkembangan mekanisasi produksi rokok kretek filter terhadap konsumsi adalah positif dan signifikan meningkatkan konsumsi rokok pada awal tahun 1980-an. Kenaikan produksi rokok kretek tersebut ditunjang dengan investasi industri rokok pada mesin-mesin, pengemasan yang lebih canggih, distribusi produk, dan iklan yang juga mempengaruhi kenaikan konsumsi (Lihat Bab 5). De Beyer dan Yurekli menggunakan model log linear dengan data agregat time series tahun 1980 sampai 1995.6 Hasilnya dilaporkan Bank Dunia dalam bentuk makalah ringkas (briefing paper). Dengan membatasi analisis hanya untuk rokok kretek, studi ini menyimpulkan nilai elastisitas harga sebesar -0,51 dan elastisitas pendapatan sebesar 0.35. Studi lanjutan yang dilakukan oleh Djutaharta et al., mengestimasi satu seri model menggunakan data tahunan (1970 sampai 2001) dan bulanan (1996 sampai 2001).7 Model tersebut menggunakan faktor peringatan kesehatan yang dicantumkan pada bungkus rokok di Indonesia saat itu (bernilai 1 untuk tahun 1991 sampai 2001), krisis ekonomi (bernilai
50
Untitled-6
LEM BA G A
Ekonomi Tembakau di Indonesia
50
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
1 untuk tahun 1997-2001), dan trend waktu. Data tahunan dari 1970 sampai 1996 menghasilkan nilai elastisitas harga jangka panjang sebesar -0,57 dan elastisitas pendapatan sebesar 0,46. Dengan menggunakan data tahunan dari 1970 sampai 2001, model yang mereka kembangkan menghasilkan nilai elastisitas harga yang sedikit lebih rendah yaitu antara -0,33 sampai -0,47, dan elastisitas pendapatan antara 0,14 sampai 0,51. Pada periode krisis ekonomi di Indonesia beberapa fenomena perilaku konsumen melanggar asumsi teori ekonomi, seperti konsumsi rokok yang lebih besar 22 persen dibandingkan dengan periode sebelum krisis. Oleh penulis, alasan kenaikan konsumsi tersebut terkait dengan stres perokok karena krisis. Studi selama tahun 1991 sampai 2001, yang menyertakan peringatan kesehatan pada bungkus rokok sebagai variabel dummy melaporkan hasil yang tidak signifikan. Model linier runtun waktu antara tahun 1970 sampai 2000 yang menggunakan data tahun adalah signifikan; para penulis menyimpulkan bahwa konsumsi rokok meningkat sebesar 1 persen setiap tahunnya terlepas dari adanya perubahan pada harga atau pendapatan rumah tangga. Dengan menggunakan data bulanan antara tahun 1996 sampai 2001, Djutaharta et al. melaporkan elastisitas harga antara -0,32 sampai -0,43. Elastisitas pendapatan adalah sekitar 0,47 meskipun hasilnya tidak signifikan. Penulis melaporkan bahwa data harga ini termasuk tembakau dan alkohol. Indonesia dengan mayoritas penduduk beragama Islam melarang peredaran alkohol, maka konsumsinya pun sangat rendah, sehingga elastisitas harga menjadi bias karena masuknya harga alkohol dalam analisis. Guindon, Perucic, dan Boisclair menggunakan data Indonesia tahun 1970-2000 untuk analisis model runtun waktu (time series original), dimana analisis ini merupakan bagian dari keseluruhan analisis untuk Asia Tenggara. 2 Dengan menggunakan model konvensional yang tidak memperhitungkan faktor adiksi, mereka melaporkan nilai elastisitas harga jangka pendek sebesar -0,29. Aplikasi model myopic addiction (keputusan yang tidak mempertimbangkan masa depan) menggunakan variabel lag untuk konsumsi, mereka melaporkan nilai elastisitas harga sebesar -0,32. Elastisitas pendapatan sebesar 0,72 dan 0,32 untuk masing-masing model konvensional dan myopic addiction. Marks mengestimasi serangkaian model untuk elastisitas harga rokok menggunakan data agregat tahun 1999-2002, dengan mempertimbangkan jumlah penduduk, pertumbuhan pendapatan dan substitusi antar produk tembakau.8 Ia melaporkan elastisitas harga berkisar antara -0,59 sampai -1,57 yang diestimasi dengan model yang menggunakan periode waktu
LEM BA G A
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Untitled-6
51
Ekonomi Tembakau di Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
51
yang berbeda. Estimasi yang didasarkan pada data time series yang lebih panjang (1999-2002) menghasilkan nilai elastisitas harga antara -0,59 dan -0,67, dan nilai tersebut konsisten dengan studi sebelumnya. Hasil estimasi dari elastisitas harga untuk setiap jenis rokok adalah -0,82 untuk SKT, -1,37 untuk SKM, dan -2,11 untuk SPM; nilai elastisitas ini lebih tinggi karena sangat mudah bagi perokok untuk pindah dari satu jenis rokok ke jenis lain yang berbeda.1 Berdasarkan jumlah aktual rokok yang dikonsumsi, estimasi elastisitas pengeluaran mengkonfirmasi bahwa ketiga jenis rokok memberikan hasil elastistas harga yang serupa dengan barang normal, dengan nilai 0,10 untuk SKT, 0,65 untuk SKM, dan 0,74 untuk SPM, dengan rata-rata 0,46 untuk keseluruhan jenis. Marks juga menghitung elastisitas pengeluaran yang disesuaikan dengan kualitas yang diukur dari harga (quality adjusted expenditure elasticity), karena harga dan kuantitas produk dicerminkan oleh rata-rata proporsi pengeluaran rumah tangga. Rata-rata elastisitas tersebut adalah 0,63 untuk ketiga jenis rokok; 0,27 untuk SKT, 0,77 untuk SKM, dan 1,16 untuk SPM. Hal ini menunjukkan bahwa rokok putih termasuk barang superior (elastisitas diatas 1), artinya jika rata-rata proporsi pengeluaran naik 1 persen maka permintaan rokok putih (SPM) cenderung meningkat lebih dari 1 persen.
4.2.
Studi-studi yang Menggunakan Data Rumah Tangga
Data agregat lebih cenderung mengukur hasil penjualan produk tembakau yang membayar cukai, daripada konsumsi, karena rendahnya perdagangan gelap tembakau. Tetapi dalam kenyataan, terdapat perbedaan antara hasil penjualan produk tembakau yang membayar cukai dengan konsumsi rumah tangga. Analisis menggunakan data konsumsi tembakau di tingkat rumah tangga dan individu, memungkinkan eksplorasi yang lebih dalam menurut kelompok penduduk, umur, gender, pendapatan dan pendidikan. Erwidodo, Molyneaux, dan Pribadi menggunakan data crosssection SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi Rumah Tangga Nasional) tahun 1999 untuk mengestimasi model Almost Ideal Demand System (AIDS).9 Mereka melaporkan nilai elastisitas harga (price elasticity) sebesar -1,0. Adioetomo et al. menggunakan data cross section tahun 1999 yang sama untuk menganalisis konsumsi tembakau secara lebih detail.10 Selain harga rokok, model OLS (Ordinary Least Square) juga mengikutsertakan pengeluaran rumah tangga, pengaruh cukai, wilayah, pulau terbesar, tempat tinggal, jenis kelamin, umur dan pendidikan sebagai variabel independen. Mereka melaporkan bahwa harga tidak memiliki pengaruh yang signifikan
52
Untitled-6
LEM BA G A
Ekonomi Tembakau di Indonesia
52
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
terhadap keputusan rumah tangga dalam mengkonsumsi tembakau, tetapi harga mempengaruhi jumlah rokok yang dikonsumsi (conditional price elasticity sebesar -0,60). Rumah tangga miskin lebih responsif terhadap perubahan harga, dan hal ini konsisten dengan teori (elastisistas harga = -0.70). Mereka juga melaporkan nilai elastisitas pendapatan sebesar 0,76. Witoelar, Rukumnuaykit, dan Strauss menggunakan data panel rumah tangga dari Survei Kehidupan Rumah Tangga Indonesia (Indonesia Familiy Life Survey) tahun 1997 dan 2000 untuk memprediksi jumlah rokok yang dikonsumsi oleh laki-laki serta data tahun 1993 dan 2000 untuk analisis deskripsi.11 Mereka menyebutkan adanya trend yang mengkhawatirkan pada prevalensi merokok di antara laki-laki umur 15-19 tahun yang meningkat dari 32 persen menjadi 43 persen antara tahun 1993 dan 2000. Mereka melaporkan bahwa pendidikan orang tua memiliki pengaruh yang signifikan dan negatif terhadap kebiasaan dan intensitas merokok pada laki-laki usia 15-19 tahun, dan pendidikan individu juga signifikan untuk kelompok laki-laki dewasa usia 20-59 tahun. Dengan menggunakan proporsi pengeluaran rumah tangga untuk rokok, mereka melaporkan nilai elastisitas harga rokok sebesar -0,8. Kelompok rumah tangga yang berada di bawah dan di atas median pengeluaran rumah tangga per kapita memiliki elastisitas pengeluaran masing-masing sebesar 1,2 dan 0,7. Pengeluaran rumah tangga per kapita tidak berhubungan dengan perilaku merokok laki-laki usia 15-19 tahun. Remaja laki-laki memiliki nilai elastisitas harga kondisional sebesar -0,3 dari model yang mengikutsertakan faktor propinsi dan pengaruh daerah perkotaan (fixed effect). Pelaporan bias yang sistematik dari data individu mungkin menjadi salah satu penyebab mengapa saat pertama menjadi perokok tidak signifikan dalam studi ini, karena temuan ini tidak konsisten dengan hasil penelitian pada tingkat internasional dan regional.2 4 12 Kedua studi diatas juga melaporkan variasi harga yang cukup besar dalam data. Terutama pada data cross-section, variasi tersebut lebih mencerminkan preferensi pada masing-masing jenis rokok, kualitas dan rasa, daripada perbedaan harga aktual karena variasi harga regional tidak terlalu besar. Dalam menyusun proyeksi penerimaan negara untuk tahun 2002, Direktorat Cukai mengestimasi elastisitas harga menurut jenis rokok, yaitu -1,12 untuk SKT, -0,52 untuk SKM, dan -0,14 untuk SPM.13 Estimasi tersebut telah diperbaharui, dan Direktorat Cukai saat ini menggunakan elastisitas harga sebesar -1,34 untuk SKT, -1,12 untuk SKM, dan -0,55 untuk SPM.14 Studi-studi yang menghasilkan estimasi tersebut belum dipublikasikan untuk umum. Pada studi sebelumnya yang didanai oleh Departemen Keuangan, peneliti menggunakan data SUSENAS tahun 2002 untuk
LEM BA G A
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Untitled-6
53
Ekonomi Tembakau di Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
53
mengestimasi elastisitas harga setiap jenis rokok dengan menerapkan model three double log ordinary least squares, yang bertujuan untuk menunjukkan elastisitas harga dari tiga tipe rokok terbesar.15 Estimasi model yang dilakukan secara terpisah, menghasilkan dampak perubahan harga yang terlalu tinggi, sebab substitusi antar produk tidak diperhitungkan dalam analisis dan juga tidak mempertimbangkan kenaikan pendapatan yang mengimbangi kenaikan harga. Selain SKT dan SKM yang dipromosikan serta dikonsumsi oleh segmen pasar tertentu, konsumen secara regular memilih salah satu dari ketiga produk yang dijual berdampingan di pasar. Kenaikan harga satu jenis rokok yang menurunkan konsumsi dapat diimbangi dengan kenaikan konsumsi rokok dari jenis lain atau yang lebih murah. Elastisitas harga dalam penelitian yang dikutip oleh Direktorat Cukai lebih tinggi dibandingkan dengan hasil-hasil penelitian lain, hal ini dapat menyebabkan pemerintah melakukan estimasi berlebihan tentang turunnya permintaan terhadap rokok yang disebabkan peningkatan harga rokok.
4.3.
Dampak Kenaikan Harga Tembakau pada Rumah Tangga Miskin
Untuk menganalisis dampak kenaikan cukai rokok terhadap kelompok miskin, Marks melakukan simulasi perubahan pengeluaran untuk rokok sebagai hasil dari 99 persen kenaikan harga SKT yang umumnya dikonsumsi orang miskin.8 Simulasi yang dilakukan adalah meningkatkan cukai pada produk SKT sampai 60 persen (dari 20 persen), SKM sampai 57 persen (dari 46 persen), dan SPM sampai 46 persen (dari 45 persen). Total perubahan pada jumlah dan harga pada ketiga jenis rokok digunakan untuk menghitung alokasi pengeluaran yang baru. Tabel 4.1 menunjukkan alokasi pengeluaran total untuk masing-masing jenis rokok. Pada kelompok 10 persen termiskin (desil 1), alokasi pengeluaran untuk rokok sebesar 5,9 persen dari total pengeluaran rumah tangga (3,1 persen untuk SKT; 2,5 persen untuk SKM; dan 0,3 persen untuk SPM). Pada kelompok 10 persen terkaya (desil 10), proporsi pengeluaran rokok sebesar 9,1 persen dari total pengeluaran rumah tangga (1,9 persen untuk SKT; 6,4 untuk SKM; dan 0,8 persen untuk SPM). Angka tersebut menunjukkan bahwa rumah tangga kaya membeli jenis rokok dengan harga mahal, dan konsisten dengan rerata pengeluaran yang lebih tinggi, seperti yang dilaporkan Adioetomo et al.10
54
Untitled-6
LEM BA G A
Ekonomi Tembakau di Indonesia
54
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
Tabel 4.1. Simulasi Dampak Kenaikan Cukai Pada Pengeluaran untuk Rokok Jenis SKT Menurut Desil Pengeluaran Rumah Tangga
R ata-rata P roporsi Pengeluaran D esil
A ktual Tahun 2002
S etelah kenaikan 99 % harga S K T
SK T
S KM
SP M
Total
SK T
SKM
SPM
Total
1
3,1
2,5
0,3
5,9
3,4
2,3
0,3
5,9
2
3,9
3,8
0,3
8,0
4,2
3,5
0,3
8,0
3
4,6
4,5
0,4
9,4
5,0
4,1
0,3
9,4
4
4,4
5,1
0,5
9,9
4,7
4,7
0,5
9,9
5
4,5
5,5
0,4
10,4
4,9
5,1
0,4
10,3
6
4,4
6,4
0,5
11,3
4,8
5,9
0,5
11,1
7
4,2
6,6
0,5
11,3
4,6
6,1
0,5
11,2
8
3,4
7,3
0,6
11,3
3,7
6,7
0,6
11,0
9
2,8
7,4
0,5
10,7
3,1
6,8
0,5
10,4
10
1,9
6,4
0,8
9,1
2,1
5,9
0,7
8,8
Total
3,7
5,5
0,5
9,7
4,0
5,1
0,4
9,6
Sumber : Marks, 2003. Sigaret Kretek Tangan (SKT), Sigaret Kretek Mesin (SKM), Sigaret Putih Mesin (SPM); Simulasi dari Data SUSENAS 2002. Kenaikan harga 99% meningkatkan pajak sampai 60% dari harga jual aktual; simulasi juga dilakukan untuk tarif cukai 57% dan 46 % dari harga jual untuk SKM dan SPM.
Hasil simulasi di atas menunjukkan bahwa kenaikan harga SKT yang cukup besar menghasilkan perubahan pengeluaran rokok yang sangat kecil (-1 persentase). Untuk rumah tangga di kelompok desil terendah, kenaikan proporsi pengeluaran untuk SKT diimbangi oleh perubahan pengeluaran untuk rokok jenis lain. Tetapi simulasi ini memiliki asumsi bahwa elastisitas harga konstan pada seluruh kelompok pendapatan. Dengan mengasumsikan bahwa elastisitas harga lebih besar di kelompok miskin, kenaikan cukai akan memperbaiki distribusi pendapatan jika kelompok miskin yang sensitif terhadap perubahan harga tersebut mengurangi pengeluarannya.
4.4.
Dampak Kenaikan Cukai Tembakau pada Konsumsi dan Penerimaan Pemerintah
Studi-studi di atas menunjukkan bahwa permintaan rokok bersifat inelastis, atau persentase penurunan permintaan lebih kecil daripada persentase kenaikan harga. Sehingga, kenaikan cukai tembakau akan menghasilkan peningkatan bersih pada total penerimaan negara dari cukai, karena perokok masih meneruskan kebiasaannya merokok meskipun harga
LEM BA G A
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Untitled-6
55
Ekonomi Tembakau di Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
55
terus naik. Sunley, Yurekli, dan Chaloupka menganalisis dampak kenaikan cukai rokok pada konsumsi rokok dan penerimaan negara dari pajak di 70 negara.16 Mereka menyimpulkan bahwa kenaikan cukai tembakau yang meningkatkan harga sebesar 10 persen akan menurunkan konsumsi sebesar 3,5 persen pada negara-negara miskin, dan 2,2 persen untuk negara-negara kaya. Kenaikan 10 persen harga rokok akan meningkatkan penerimaan cukai di semua negara, dengan rata-rata kenaikan 4,8 persen untuk negara miskin, dan 7,2 persen untuk negara kaya. Proporsi penerimaan yang dihasilkan dari kenaikan harga rokok lebih besar di negara kaya karena adanya penurunan konsumsi yang relatif kecil. Sejumlah studi mensimulasikan dampak kenaikan cukai pada konsumsi dan penerimaan negara dengan menggunakan data Indonesia. Studi-studi yang menggunakan data agregat runtun waktu (time series) dan survei rumah tangga memprediksikan hasil yang sama; kenaikan 10 persen cukai rokok akan mengurangi konsumsi sebesar 0,9 persen sampai 3,0 persen dan kenaikan penerimaan dari cukai rokok sebesar 6,7 sampai 9,0 persen (Tabel 4.2). Bila dibandingkan dengan negara berkembang lainnya, tambahan pada penerimaan cukai yang cukup besar di Indonesia dipengaruhi oleh lemahnya respons konsumen terhadap kenaikan harga dan mudahnya melakukan substitusi produk. De Beyer dan Yurekli mengestimasi dampak kenaikan cukai pada penerimaan negara dengan menggunakan data SUSENAS tahun 1998 dan mengasumsikan tidak ada perubahan penyelundupan atau substitusi.6 Mereka mengestimasi kenaikan 10 persen cukai akan menghasilkan kenaikan harga sebesar 3 persen dan penurunan konsumsi sebesar 2 persen. Sementara itu kenaikan penerimaan cukai rokok akan mencapai 8 persen atau sekitar 0,26 persen dari PDB. Dengan menggunakan asumsi dan data runtun waktu (time series) yang sama, Djutaharta et al. memprediksi kenaikan 10 persen cukai akan meningkatkan harga sebesar 2,6 persen, hampir sama dengan hasil studi De Beyer dan Yurekli sebesar 2,0 persen.7 Lebih lanjut Djutaharta et al. mengestimasi bahwa kenaikan cukai tersebut akan menurunkan konsumsi sebesar 0,9 persen dan meningkatkan penerimaan cukai sebesar 9,0 persen. Dengan menggunakan data cross section rumah tangga tingkat nasional, Adioetomo et al. mengestimasi dampak yang lebih besar akibat kenaikan cukai 10 persen terhadap harga rokok (4,9 persen), dan penurunan konsumsi sebesar 3,0 persen.10 Mereka mengestimasi kenaikan 10 persen cukai rokok akan meningkatkan penerimaan negara sebesar 6,7 persen. Terakhir, Sunley, Yurekli, dan Chaloupka mengestimasi kenaikan
56
Untitled-6
LEM BA G A
Ekonomi Tembakau di Indonesia
56
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
10 persen cukai rokok menghasilkan penurunan konsumsi rokok sebesar 2,4 persen dan kenaikan penerimaan cukai rokok sebesar 7,4 persen. Karena cukai rokok menerapkan tarif yang berbeda-beda, substitusi ke rokok yang lebih murah dan dengan cukai yang rendah tidak akan meningkatkan penerimaan negara. Tabel 4.2. Simulasi Dampak Naiknya 10 persen Cukai Tembakau pada Konsumsi dan Penerimaan Cukai Tembakau
% penurunan konsumsi
% kenaikan penerimaan
De Beyer and Yurekli6
2,0
8,0
Djutaharta et al.7
0,9
9,0
Adioetomo et al.10
3,0
6,7
Sunley, Yurekli, Chaloupka16
2,4
7,4
Studi
Dengan menggunakan data Indonesia, Guindon et al. mensimulasikan pengaruh kenaikan 5 persen harga riil rokok sampai tahun 2010 dengan data dasar tahun 2000.2 Asumsi kenaikan cukai per tahun secara sistematis relevan untuk Indonesia dimana harga riil hampir tidak mengalami perubahan yang cukup besar sejak tahun 1980. Simulasi ini memiliki asumsi bahwa kenaikan harga hanya dipengaruhi oleh kenaikan pajak, dan tingkat pertumbuhan PDB riil adalah sebesar 4 persen per tahun. Tambahan penerimaan pajak yang dihasilkan cukup besar, yaitu mencapai kumulatif total selama lebih dari 10 tahun sebesar Rp 83,1 trilun atau US$ 9 milyar.
LEM BA G A
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Untitled-6
57
Ekonomi Tembakau di Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
57
Tabel 4.3. Jumlah Perokok dan Proporsi Kematian yang Dapat Dihindarkan dari Berhenti Merokok Menurut Kelompok Umur, 2008
K e lo m p o k Um ur
J u m la h P e ro k o k
1 9
3 .7 9 4 .3 9 7 1 3 .5 6 2 .1 0 1 1 4 .2 4 0 .7 5 4 1 1 .9 2 9 .3 1 4 7 .2 7 2 .6 0 0 3 .3 2 0 .3 5 2 2 .7 8 3 .1 1 6
20 – 29 30 – 39 40 – 49 50 – 59 60 – 69 70 + T o ta l
5 6 .9 0 2 .6 3 3
% k e m a tia n y a n g d a p a t d ih in d a ri d a ri b e rh e n ti m e ro k o k 95 95 75 70 50 10 10 70
Sumber : Jumlah perokok dihitung berdasarkan angka prevalensi merokok: data Susenas 2004 dalam Ahsan et al. 2007a; dan proyeksi penduduk tahun 2008: BPS, Bappenas, dan UNFPA 2005; estimasi persen kematian terhindarkan karena berhenti merokok dalam Ranson et al. 2002. Kami mengasumsikan tidak ada kenaikan prevalensi sejak tahun 2004.
Penulis menelaah dampak kenaikan cukai terhadap kematian dan penerimaan masa depan menggunakan model statis dari kohor perokok tahun 2008 (Tabel 4.3). Saat ini terdapat 57 juta perokok di Indonesia. Sebuah ulasan baru-baru ini melaporkan bahwa antara setengah sampai dua pertiga perokok akan meninggal karena penyakit yang disebabkan oleh rokok.17 Dengan menimbang kematian akibat dari penyebab lain dan karena masih rendahnya angka berhenti merokok di Indonesia, penulis mengasumsikan bahwa tingkat kematian pada kelompok ini mencapai 50 persen. Selain itu, manfaat kesehatan dari berhenti merokok akan menurun sejalan dengan meningkatnya umur. Jika 95 persen kematian dapat dihindarkan karena berhenti merokok pada umur 29 tahun atau lebih muda, maka hanya 10 persen kematian yang disebabkan rokok dapat dihindarkan bila berhenti merokok pada umur 60 tahun. Rata-rata proporsi kematian yang dapat dihindarkan karena berhenti merokok berkisar 70 persen dari jumlah kematian yang akan terjadi. Untuk memprediksi perubahan konsumsi dan pendapatan, penulis menganalisis hasil tersebut menggunakan rentang elastisitas harga berdasarkan studi yang telah dipublikasikan dalam laporan ini. Nilai elastisitas harga yang terendah, medium, dan tertinggi masing-masing adalah -0.29, -0.40, dan -0.67, berdasarkan estimasi dalam rentang yang konsisten 2,7,10. Penulis mengasumsikan bahwa elastisitas harga adalah sama untuk laki-laki dan perempuan maupun pada setiap kelompok umur. Dampak peningkatan cukai rokok terhadap konsumsinya terdiri dari pengurangan prevalensi (40 persen dari elastisitas harga) dan pengurangan
58
Untitled-6
LEM BA G A
Ekonomi Tembakau di Indonesia
58
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
intensitas merokok di antara mereka yang masih merokok (60 persen dari elastisitas harga). Diasumsikan bahwa perokok yang belum berhenti merokok menghadapi risiko kematian yang sama seperti sebelumnya. Hasil prediksi tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.4. Peningkatan tingkat cukai menjadi 50 persen dari harga jual dapat menghindarkan antara 0,6 juta sampai 1,4 juta kematian. Angka tersebut hampir sama dengan 2 sampai 5 persen kematian yang akan terjadi pada kohor tersebut. Karena rokok bersifat adiktif, dampak peningkatan cukai pada kesehatan dalam jangka pendek tidak terlalu besar dibandingkan dengan dampak jangka panjang. Pada saat yang sama, sebagian besar perokok (52,8 juta sampai 55,1 juta) akan terus merokok. Cukai yang lebih tinggi yang dibayar oleh perokok yang masih merokok akan menghasilkan tambahan penerimaan cukai sebanyak Rp 18,1 triliun sampai Rp. 25,1 triliun (US$ 2 milyar sampai US$ 2,8 milyar). Bila diasumsikan HJE sekitar 17 persen sampai 22 persen lebih tinggi dari harga jual yang dibayar konsumen, maka dengan menerapkan tarif cukai maksimal sesuai dengan undang-undang (57 persen dari HJE) akan sama dengan menaikkan tarif cukai sampai 64 persen dari harga jual yang dibayar konsumen. Simulasi ini menunjukkan bahwa pemberlakuan tarif cukai maksimum akan menghindarkan kematian karena konsumsi rokok antara 1,7 juta sampai 4 juta orang, dan juga menciptakan kenaikan penerimaan cukai sebesar Rp 29,1 triliun sampai Rp 59,3 triliun (US$ 3,2 milyar sampai US$ 6,5 milyar). Hal yang perlu dicatat adalah dampak sesungguhnya pada penerimaan negara dari penerapan tarif cukai rokok maksimum akan lebih besar lagi karena hal ini juga mendorong kenaikan pajak dari semua jenis produk tembakau. Pemberlakuan cukai spesifik yang seragam akan meminimumkan perbedaan harga antar produk rokok sehingga akan menyelamatkan nyawa akibat konsumsi rokok.
“Hasil estimasi menunjukkan bahwa kenaikan cukai sampai dengan 70 persen dari harga jual akan mencegah kematian sebanyak 2,5 juta sampai 5,9 juta, atau sekitar 9 persen sampai 21 persen kematian yang akan terjadi pada kelompok perokok saat ini.”
Kolom terakhir memprediksi dampak kenaikan cukai sampai dengan standar global, yaitu 70 persen dari harga jual. Diestimasi bahwa sekitar
LEM BA G A
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Untitled-6
59
Ekonomi Tembakau di Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
59
2,5 juta sampai 5,9 juta kematian atau 9 persen sampai 21 persen dari kematian yang akan terjadi dari kohor perokok saat ini akan terhindarkan dengan menerapkan kenaikan cukai sampai 70 persen dari harga jual. Sementara itu, jumlah perokok yang tersisa akan mencapai 40,1 juta sampai 49,6 juta orang. Kenaikan cukai ini akan menciptakan tambahan penerimaan cukai sebesar Rp 23,8 triliun sampai Rp 75,8 triliun (US$ 2,6 milyar sampai US$ 8,3 milyar). Dengan menggunakan target cukai tahun 2008, simulasi ini memprediksi total penerimaan cukai tembakau sebesar Rp 65,6 triliun sampai Rp. 117,6 triliun (US$ 7,2 sampai US$ 12,9 milyar).
60
Untitled-6
LEM BA G A
Ekonomi Tembakau di Indonesia
60
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
Tabel 4.4. Dampak Kenaikan Tarif Cukai Tembakau terhadap Kematian Akibat Rokok dan Penerimaan Negara K ondisi Sekarang % tarif cukai terhadap harga jual aktual
37%
50%
64%
70%
% tarif cukai terhadap H JE yang ditetapkan pem erintah a
31%
43%
57%
64%
Jumlah Perokok Elastisitas H arga -0.29 -0.4 -0.67 Perkiraan kem atian akibat m erokok
b
56.9 juta orang
28.45 juta orang
-0.29 -0.4 -0.67
Kem atian Terhindarkan (% ) 2% 6% 9% 3% 8% 12% 5% 14% 21%
-0.29 -0.4 -0.67
Jum lah Perokok yang Tersisa (juta) 55.1 51.9 49.6 54.4 50.0 46.9 52.8 45.4 40.1 R p 41.8 triliun
U S$ 4.6 m ilyar
-0.29 -0.4 -0.67
1.7 2.4 4
2.5 3.5 5.9
Tam bahan Penerim aan Cukai c (R upiah triliun) 25.1 23 18.1
Penerim aan C ukai
c
Kem atian yang terhindarkan (juta) 0.6 0.9 1.4
-0.29 -0.4 -0.67
b
Jum lah Perokok yang B erkurang (juta) 1.8 5 7.3 2.5 6.9 10 4.1 11.5 16.8
-0.29 -0.4 -0.67
Penerim aan C ukai
a
Skenario K enaikan Tarif C ukai (1) (2) (3)
59.3 50.1 29.1
75.8 59.3 23.8
Tam bahan Penerim aan Cukai c (U S $ m ilyar) 2.8 2.5 2
6.5 5.5 3.2
8.3 6.5 2.6
HJE diestimasi sebagai proporsi dari harga jual Elastisitas harga rendah, menengah, dan tinggi adalah -0,29, -0,4, dan -0,67 berdasarkan urutan estimasi hasil studi yang terbaik: Lihat Guindon et al., Djutaharta et al., dan Adioetomo et al. Nilai penerimaan diestimasi menggunakan target penerimaan 2008, dengan asumsi bahwa 95 persen dari penerimaan cukai berasal dari produk tembakau.
LEM BA G A
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Untitled-6
61
Ekonomi Tembakau di Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
61
Catatan Akhir Bab 4 1
H. Ross. 2005. An Overview of the Tobacco Control Economic Literature and Evidence for Indonesia, Open Society Institute and Research Triangle Park. Juni.
2
GE. Guindon, A-M. Perucic, dan D. Boisclair. 2003. Higher Tobacco Prices and Taxes in South-East Asia: An Effective Tool to Reduce Tobacco Use, Save Lives and Generate Revenue. World Bank. Health, Nutrition and Population Discussion Paper. Economics of Tobacco Control Paper No. 11, October.
3
FJ. Chaloupka dan K. Warner. 1999. The Economics and Smoking. National Bureau of Economic Research.
4
FJ. Chaloupka, TW. Hu, KE. Warner, R. Jacobs, dan A. Yurekli. 2000. “The taxation of tobacco products”. Dalam P. Jha dan FJ Chaloupka (eds). Tobacco control in developing countries. New York: Oxford University Press.
5
K. Bird. 1999. Industrial Concentration and Competition in Indonesian Manufacturing. Doctoral Thesis. Australian National University.
6
Curbing the Tobacco Epidemic in Indonesia. 2000. World Bank. Watching Brief.
7
T. Djutaharta, HV Surya, NHA. Pasay, Hendratno, dan SM. Adioetomo. 2005. “Aggregate Analysis of the Impact of Cigarette Tax Rate Increases on Tobacco Consumption and Government Revenue: The Case of Indonesia”. World Bank HNP Discussion Paper, Economics of Tobacco Control No. 25.
8
S. Marks. 2003. Cigarette excise taxation in Indonesia, an economic analysis. Partnership for economic growth, BAPPENAS and USAID.
9
Erwidodo, J. Molyneaux dan Ning Pribadi. 2002. Household Food Demand: An Almost Ideal. Demand Systems (AIDS). Working Paper.
10
SM. Adioetomo, T. Djutaharta, dan Hendratno. 2005. Cigarette Consumption, Taxation, and Household Income: Indonesia Case Study. The World Bank HNP Discussion Paper No. 26.
11
F. Witoelar, P. Rukumnuaykit, dan J. Strauss. 2005. Smoking Behavior among Youth in a Developing Country ; Case of Indonesia, Yale University. Desember.
12
FJ. Chaloupka dan W. Price. 1997. Tobacco control policies and smoking among young adults. Journal of Health Economics. 16(3):359-373.
13
Hasil Pertemuan dengan Direktur Bea dan Cukai, 10/2003
14
Hasil Pertemuan dengan Direktur Bea dan Cukai, 2008.
15
C. Tjahyaprijadi dan WD. Indarto. 2003. Analysis of Consumption Patterns for MachineMade Kretek Cigarettes, Hand-Made Kretek Cigarettes, and Machine-Made Non-Clove Cigarettes. Economic and Fiscal Policy. 7(4). Satu studi tidak digunakan karena kurangnya deskripsi data dan analisisnya. Disimpulkan bahwa keuntungan suatu industri dapat meningkat dengan cara mengurangi cukai untuk perusahaan dengan skala produksi menengah. Lihat Brahmantio Isdijoso. Alternative Study of Revenues and Excise Tax Rates for 2004.
16
EM. Sunley, A. Yurekli, dan FJ. Chaloupka. 2000. “The Design, Administration, and Potential Revenue of Tobacco Excises”. Dalam P. Jha dan FJ. Chaloupka (eds.) Tobacco control in developing countries. New York: Oxford University Press.
17
P. Jha, FJ. Chaloupka, J. Moore, V. Gajalakshmi, PC. Gupta, R. Peck, S. Asma, dan W. Zatonski. 2006. Tobacco Addiction. Disease Control Priorities in Developing Countries (2nd Edition),ed. , 869-886. New York: Oxford University Press. DOI: 10.1596/978-0821-36179-5/Chpt-46.
62
Untitled-6
LEM BA G A
Ekonomi Tembakau di Indonesia
62
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
B A B 5
Struktur Industri dan Pertanian Tembakau
LEM BA G A
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Untitled-6
63
Ekonomi Tembakau di Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
63
64
Untitled-6
LEM BA G A
Ekonomi Tembakau di Indonesia
64
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
Bab ini memberikan gambaran mengenai pertanian tembakau, industri pengolahan, perdagangan, serta lapangan kerja. Umumnya daun tembakau dan cengkeh yang ditanam di Indonesia dimanfaatkan untuk produksi rokok domestik. Produksi kretek meningkat dengan pesat setelah mekanisasi industri rokok pada tahun 1970-an, dan 90 persen penjualan rokok domestik adalah kretek. Ekspor daun tembakau, cengkeh, dan rokok tidak berkontribusi secara signifikan terhadap nilai tukar rupiah. Pasar rokok terkonsentrasi pada tiga perusahaan yang memegang 71 persen pangsa pasar rokok. Ditinjau secara nasional, perkebunan tembakau dan industri pengolahan tembakau hanya sedikit kontribusinya terhadap penyerapan tenaga kerja. Ditinjau secara regional, sebagian besar petani tembakau dan cengkeh terkonsentrasi di daerah geografis tertentu. Sekitar 55 persen daerah penanaman tembakau dan lebih dari dua pertiga pekerja di sektor manufaktur tembakau terletak di Jawa Timur. Namun, pengolahan tembakau hanya menggunakan 0,5 persen dari lahan subur, dan perusahaan-perusahaan yang mengolah produk tembakau hanya menyerap 2,9 persen dari seluruh tenaga kerja pada provinsi tersebut. Bab ini juga menyajikan hasil-hasil penelitian yang mensimulasikan dampak kenaikan cukai rokok terhadap penyerapan tenaga kerja. Penelitian yang mensimulasikan kenaikan sebesar dua kali lipat pada cukai tembakau menghasilkan dampak negatif pada enam sektor yang terkait langsung dengan produksi tembakau. Sedangkan pada 60 sektor lainnya dalam perekonomian menghasilkan dampak positif terhadap output ekonomi, pendapatan, dan penyerapan tenaga kerja. Ini terjadi terutama karena penanaman dan pengolahan tembakau bukan sektor yang memiliki peringkat tinggi (peringkat ke 34 dan ke 62 dari 66 sektor) dalam hal output ekonomi, kesempatan kerja, dan tingkat upah. Pengeluaran rumah tangga untuk tembakau termasuk tinggi; apabila dialihkan ke sektor produktif lainnya dalam perekonomian, pengeluaran tersebut akan mendorong pertumbuhan ekonomi.
“ 90 persen penjualan rokok domestik adalah rokok kretek”
5.1.
Perkebunan Tembakau
Indonesia menyumbang 2,1 persen dari persediaan daun tembakau di seluruh dunia (Lampiran 5.1).1 Hampir seluruh produksi daun tembakau digunakan untuk produksi rokok domestik dan produk-produk tembakau lainnya; namun antara tahun 1995-2005, sekitar 16-47 persennya diekspor.
LEM BA G A
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Untitled-6
65
Ekonomi Tembakau di Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
65
Di saat yang sama, Indonesia mengimpor daun tembakau yang cukup banyak sebesar 31 persen dari produksi domestik pada tahun 2005 (Tabel 5.1). Hingga tahun 1990 nilai uang dalam dollar Amerika dari ekspor lebih tinggi dibanding nilai impor (Lampiran 5.2). Namun, sejak tahun 1990, nilai impor lebih tinggi dibanding nilai ekspor, sehingga nilai ekspor neto menjadi negatif (kecuali pada tahun 1999). Ekspor daun tembakau tidak berkontribusi secara nyata (signifikan) pada nilai tukar uang asing, dan hanya sejumlah 0,38 persen dari nilai ekspor total. Pemanfaatan tanah pertanian di Indonesia untuk produksi daun tembakau adalah sekitar 1 persen (antara periode 1960 sampai 2000) dari luas lahan tanaman semusim, dan sejak tahun 2001 telah menurun sedikit (Lampiran 5.3).2 Fluktuasi produksi daun tembakau disebabkan oleh perubahan biaya input tenaga kerja, input sektor pertanian dan pengolahan daun tembakau. Biaya input yang lebih tinggi menyebabkan petani mengalokasikan lebih sedikit waktu dan investasi untuk tanaman mereka.3 Petani kecil mengelola hampir seluruh (98 persen) lahan tembakau.4 Penelitian di Jawa Tengah menyebutkan bahwa luas kebun tembakau hanya sekitar 0,25-0,50 hektar.5 Sembilan puluh persen lahan yang ditanami tembakau dan lebih dari 90 persen persediaan daun tembakau berasal dari tiga provinsi (Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Nusa Tenggara Barat) (Lampiran 5.4). Pada tahun 2005, hanya 1,7 persen dari semua petani menanam tembakau sebagai salah satu hasil panen mereka.6 Perkebunan tembakau bukan pekerjaan yang purna waktu (full-time); tembakau biasanya dirotasi dalam satu lahan setahun sekali setiap tiga tahun untuk mencegah habisnya unsur hara lahan.7 Pada umumnya, petani harus melakukan diversifikasi hasil lahan untuk mengurangi risiko kerugian finansial.8 Untuk mengestimasi kontribusi perkebunan tembakau terhadap penyerapan tenaga kerja, digunakan konsep full-time equivalent (FTE)9. Hasilnya dilaporkan bahwa perkebunan tembakau menyerap 1,2 persen dari penyerapan pekerja purna waktu di sektor pertanian dan 0,53 persen dari total penyerapan pekerja purna waktu di semua sektor (Lampiran 5.5).
“Perkebunan tembakau menyerap 1,2 persen dari penyerapan pekerja purna waktu di sektor pertanian dan 0,53 persen dari total penyerapan pekerja purna waktu di semua sektor “
66
Untitled-6
LEM BA G A
Ekonomi Tembakau di Indonesia
66
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
Tabel 5.1. Produksi Tembakau, Rasio Ekspor dan Impor terhadap Produksi Domestik dan Nilai Ekspor Netto, 1995-2005
Tahun
Produksi domestik (ton)
Rasio impor (%)
1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
140.169 151.025 209.626 105.580 135.384 204.329 199.103 192.082 200.875 165.108 153.470
34,21 29,84 22,47 21,99 30,22 16,76 22,27 17,33 14,73 21,30 31,37
Rasio Nilai ekspor ekspor neto (%) (US$ ‘000)
15,69 22,08 20,17 47,32 27,40 17,60 21,61 22,22 20,23 28,14 35,01
Ekspor daun tembakau sebagai % dari total nilai ekspor (%)
-54.018 -49.781 -53.024 71.581 -36.185 -43.546 -48.206 -27.286 -32.317 -30.236 -34.923
0,41 0,44 0,46 0,52 0,44 0,36 0,49 0,43 0,34 0,36 0,38
Sumber : Departemen Pertanian dan FAO.
Cengkeh adalah bahan baku kedua terpenting dalam produksi kretek setelah tembakau. Indonesia memproduksi 76 persen dari persediaan cengkeh dunia.1 Lebih dari 90 persen produksi cengkeh dimanfaatkan secara domestik (kecuali tahun 1998, di mana 22 persen produksi cengkeh diekspor) (Lampiran 5.6). Sebagian besar (72 persen) permintaan cengkeh tahunan berasal dari industri kretek.10 Sekitar 1,2 juta petani kecil memiliki 90 persen pohon cengkeh.11 Namun, seperti tembakau, menanam cengkeh bukan pekerjaan purna waktu. Penanaman cengkeh lebih tersebar, tetapi lebih dari dua pertiga persediaan cengkeh berasal dari pulau Sulawesi, provinsi Jawa Tengah dan Jawa Barat. Antara tahun 1995-2002, total produksi cengkeh menurun akibat monopoli cengkeh yang dibentuk pada tahun 1990, yang menetapkan harga beli dari petani. Setelah monopoli dibubarkan tahun 1998, harga riil cengkeh meningkat 13 kali lipat antara tahun 1998-2002 dan produksi juga meningkat.12 Pada tahun 2002, diberlakukan pembatasan impor cengkeh untuk memaksa kenaikan harga cengkeh demi kepentingan para petani.13
LEM BA G A
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Untitled-6
67
Ekonomi Tembakau di Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
67
Perubahan tingkat cukai dan harga tembakau diprediksi tidak akan memiliki dampak yang besar terhadap perkebunan tembakau dan cengkeh karena beberapa alasan. Ditinjau dari segi makroekonomi, kurang dari 2 persen petani terlibat dalam perkebunan tembakau dan cengkeh, dan sebagian besar petani tembakau dan cengkeh terkonsentrasi di beberapa daerah tertentu. Pembatasan impor adalah faktor kunci yang mempengaruhi keuntungan dan pendapatan petani cengkeh, dibandingkan dengan perubahan permintaan rokok yang cenderung lamban. Faktor lain yang sangat mempengaruhi hasil panen dan tingkat produksi meliputi cuaca, kualitas bibit, dan ketersediaan dukungan teknis dan finansial untuk petani serta ketersediaan pestisida dan pupuk.5 Petani tembakau dan cengkeh memiliki hasil lahan yang sangat beranekaragam dan juga terlibat dalam kegiatan pertanian lain serta usaha non-tani sebagai bagian dari mata pencahariannya. Karena tanaman tembakau dalam setahun dirotasi setiap tiga tahun, umumnya petani menanamnya sebagai tanaman sekunder, bersamaan dengan tanaman lain seperti padi, bawang putih, cabai, kentang, dan buah-buahan.5 Pohon cengkeh memerlukan tiga hingga empat tahun untuk dipanen, dan juga ditanam bersamaan dengan pohon atau hasil lahan lainnya, seperti kelapa, jagung, vanila, dan kopi.14 Sebuah studi meneliti tingkat keuntungan dari penanaman tembakau di Jawa Tengah, dibandingkan dengan tujuh hasil pertanian lainnya.5 Hasil penelitian tersebut melaporkan bahwa cabai, kentang, dan nilam memberikan keuntungan dan tingkat pengembalian modal (rate of return) yang sama atau bahkan lebih besar daripada tembakau (Lampiran 5.7). Namun, petani kecil akan membutuhkan investasi eksternal beserta bantuan teknis untuk dapat melakukan transisi menuju produk pertanian yang lebih menguntungkan. Investasi tersebut dapat meliputi dukungan pertanian yang terspesialisasi atau jaringan perdagangan swasta yang dapat mendukung masuknya petani ke dalam pasar yang baru. Petani tembakau menjual daun tembakau ke perantara dan/atau langsung ke perusahaan rokok, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur, tempat terpusatnya petani dan juga perusahaan rokok besar.5 Salah satu faktor yang mempengaruhi harga yang diterima oleh petani tembakau adalah skema kerja sama atau ‘partnership’ antara petani tembakau (terutama yang menanam tembakau Virginia) dengan perusahaan rokok besar. Keuntungan bagi petani adalah perusahaan menyediakan sumber daya, bantuan teknis, dan pinjaman kecil, yang dibalas dengan penjualan daun tembakau pada harga yang diminta oleh perusahaan. Perjanjian ini pada umumnya melemahkan posisi tawar petani. Terdapat banyak laporan mengenai ketidakpuasan petani karena harga daun tembakau ditentukan dan mengacu pada standar mutu yang ditetapkan oleh perusahaan rokok.15
68
Untitled-6
LEM BA G A
Ekonomi Tembakau di Indonesia
68
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
5.2. Struktur Pasar Industri Rokok Pasar tembakau di Indonesia berbentuk oligopoli. Tiga perusahaan (Gudang Garam, Djarum, dan Sampoerna/Philip Morris International) memegang 71 persen pangsa pasar, dan tujuh perusahaan memegang 88 persen pasar tembakau. Pasar yang kompetitif digambarkan oleh perubahan pangsa pasar rokok sepanjang masa (Tabel 5.2, Lampiran 5.8 - 5.9). Sekitar 90 persen penjualan domestik rokok merupakan rokok kretek.16 Berkembangnya preferensi konsumen terhadap rokok kretek menarik perhatian perusahaan multinasional. Tetapi, pemerintah membatasi investasi modal baru di industri pengolahan rokok kretek antara tahun 1980-an dan 1990-an.17 Pembatasan ini tidak berlaku untuk investasi di industri rokok putih (tembakau saja) yang diproduksi oleh pengolah rokok kretek melalui sub-kontrak atau oleh anak perusahaan. Kebijakan pembatasan ini lebih lunak bagi perusahaan asing kecil yang diberikan ijin untuk memproduksi rokok putih pada tahun 1980-an. Dengan adanya pembatasan terhadap pengolahan rokok kretek yang bertahan cukup lama tersebut, pembelian perusahaan rokok domestik Hanjaya Mandala Sampoerna oleh Philip Morris International pada tahun 2005, dianggap sebagai terobosan masuknya perusahaan multinasional besar ke dalam pasar rokok kretek. Tabel 5.2. Pangsa Pasar Perusahaan Rokok Besar, 1979-2005 Perusahaan Rokok (tahun didirikan)
1979
1989
1998
2005
Gudang Garam (1958)
12
28
47
41
Djarum (1951)
13
28
13
15
British American Tobacco (BAT, 1905)
15
3
NA
4
Bentoel (1930)
8
11
3
3
Sampoerna (1913)
1
3
12
-
Sampoerna/Philip Morris International (2005)
-
-
-
15
Philip Morris Indonesia (1998)
NA
NA
NA
6
Sumatra Tobacco Trading Company (STTC)
10
4
NA
NA
4
3
2
4
Total
63
80
77
88
Lainnya
37
20
23
12
Noyorono
Sumber : Euromonitor 2007, Jardin Fleming Research 1999, Bird 2002. NA = tidak tersedia
LEM BA G A
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Untitled-6
69
Ekonomi Tembakau di Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
69
Faktor yang juga mempengaruhi pangsa pasar adalah sistem cukai bertingkat dan diberlakukannya cukai berdasarkan skala produksi, yang bertujuan melindungi perusahaan rokok kretek kecil dari persaingan dengan produsen rokok putih yang berskala besar. Pada tahun 1959, selisih tarif cukai antara produsen kretek besar dengan rokok putih mencapai 30 persen.18 Namun, selisih ini terus mengecil sepanjang waktu dan bahkan menjadi sebaliknya. Pada tahun 2008, cukai ad valorem yang diberlakukan terhadap rokok putih disamakan dengan cukai rokok SKM dengan skala produksi yang sama. Table 5.3. Pangsa Pasar Merek Rokok (%), 2003
Merek
2003
Gudang GaramA A Mild (Sampoerna/Philip Morris) Djarum Marlboro (Philip Morris Indonesia) Total persentase penjualan Lainnya A
32 11 10 7 59 41
Laporan tidak membedakan antara Surya, International, Merah
Kekuatan untuk melakukan lobi merek industri rokok didukung oleh terkonsentrasinya pangsa pasar pada beberapa perusahaan serta aliansi antara perusahaan rokok. Asumsi dalam teori oligopoli adalah bahwa kenaikan cukai akan dibebankan kepada konsumen dalam bentuk kenaikan harga dalam jumlah yang sama atau lebih besar daripada kenaikan harga/ cukai, terutama dalam pasar di mana perilaku antar perusahaan lebih terkoordinir.19 Menurut teori ekonomi, harga untuk tembakau dapat ditetapkan di bawah besarnya keuntungan yang bisa diperoleh dalam jangka pendek karena konsumsi tembakau bersifat adiktif. Nantinya, perusahaan dapat mengkompensasi hilangnya keuntungan tersebut dengan meningkatkan harga sampai melebihi biaya marjinal.20,21 Perlu dicatat sumber-sumber yang melakukan analisis industri dan pasar memprediksi adanya penurunan konsumsi karena meningkatnya kesadaran konsumen tentang dampak kesehatan dari merokok. Di saat yang sama, juga diprediksi adanya pertumbuhan nilai output industri rokok sebesar 11 persen yang disebabkan oleh kenaikan harga.16 Sebagian besar perusahaan mengandalkan satu atau beberapa merek rokok sebagai sumber utama pendapatannya. Berdasarkan pangsa pasar,
70
Untitled-6
LEM BA G A
Ekonomi Tembakau di Indonesia
70
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
terdapat empat merek yang menguasai 59 persen dari total penjualan pada tahun 2003 (Tabel 5.3). Walaupun terdapat lebih dari 3.000 produsen kecil, perusahaan-perusahaan tersebut pada umumnya meniru merekmerek populer dan kemungkinan tidak akan bertahan dalam lingkungan dengan peraturan yang semakin ketat.
5.3.
Industri Pengolahan Tembakau
Pada tahun 2005 produksi rokok domestik sudah melebihi 220 milyar batang (Tabel 5.4, Lampiran 5.10). Karena popularitas rokok kretek domestik, sebagian besar produksi kretek dikonsumsi secara domestik, dan impor dapat diabaikan. Ekspor rokok kretek antara tahun 1995 dan 2005 hanya sebesar 2 persen hingga 3 persen dari total produksi. Pemerintah mendorong ekspor dengan cara memberlakukan tarif cukai yang lebih rendah bagi produsen yang menjual lebih banyak rokok keluar negeri dibanding penjualan dalam negeri (lihat Bab 3). Perusahaan multinasional dengan anak perusahaan regional dan internasional memiliki keunggulan dalam pasar ekspor rokok. Sebanyak 70 persen dari total nilai ekspor pada tahun 2004 merupakan rokok putih. Hampir setengah (49 persen) dari ekspor rokok putih ditujukan pada pasar di Kamboja.22 Sebagian besar ekspor kretek diarahkan ke Malaysia; kretek ekspor banyak mengalami masalah pemasaran di luar Asia. Pada tahun 1999, beberapa merek rokok kretek ditarik dari pasar Australia dengan alasan bahwa merekmerek tersebut gagal memenuhi standar informasi produksi bagi konsumen tentang tembakau (Consumer Product Information Standard for Tobacco).23 Ekspor rokok tidak berkontribusi nyata (signifikan) terhadap nilai tukar rupiah, dengan besar 0,22 persen dari nilai total ekspor.
LEM BA G A
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Untitled-6
71
Ekonomi Tembakau di Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
71
Tabel 5.4. Produksi Rokok, Rasio Impor dan Ekspor, dan Nilai Ekspor Rokok sebagai Persentase dari Nilai Total Ekspor
Tahun
Produksi domestic (jutaan batang)
Rasio impor (%)
Rasio ekspor (%)
Persentase ekspor rokok terhadap nilai total ekspor (%)
1995 1996 1997 1998
225.385 216.200 225.417 232.724
5,99 2,38 2,07 4,69
1,78 2,19 1,87 1,81
0,26 0,26 0,26 0,21
1999 2000 2001 2002 2003 2004
221.293 231.185 226.611 209.668 192.340 203.880
1,62 1,32 0,91 0,26 2,54 2,53
2,14 2,69 2,45 2,89 3,12 2,56
0,23 0,22 0,31 0,28 0,22 0,20
2005
220.310
0,48
2,39
0,22
Sumber : BPS, Statistik Ekspor Impor.
Industri rokok senantiasa membedakan antara rokok kretek dengan rokok putih. Produksi rokok kretek tangan (SKT) dimulai di Jawa Tengah pada awal tahun 1900-an, dengan tingkat produksi tahunan yang mencapai 7 milyar batang pada tahun 1929.24 Produksi domestik rokok putih dengan filter (SPM) dimulai pada awal tahun 1920-an, dan hampir menggantikan rokok putih impor pada awal tahun 1930-an.25 Pada tahun 1960-an, beberapa ratus perusahaan rokok kretek berskala menengah dan kecil bersaing dengan beberapa perusahaan multinasional milik asing. 24 Sejumlah kebijakan pemerintah diberlakukan untuk melindungi pangsa pasar industri rokok kretek. Salah satu kebijakan cukai yang pertama kali diterapkan adalah sistem cukai bertingkat yang diberlakukan tahun 1936, yang memberlakukan tingkat cukai yang lebih rendah pada rokok kretek (20 persen) dibandingkan rokok putih (30 persen), disertai dengan Harga Jual Eceran (HJE) untuk rokok putih.26 Pada tahun 1960-an, tingginya harga cengkeh yang dibayar oleh perusahaan rokok kretek menurunkan tingkat produksi rokok kretek.
72
Untitled-6
LEM BA G A
Ekonomi Tembakau di Indonesia
72
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
Perusahaan rokok putih milik asing juga mengalami hambatan produksi ketika pemerintah melakukan nasionalisasi perusahaan antara tahun 1958 dan 1964, dan mendapatkan kembali pangsa pasarnya setelah tahun 19681969.27 Gambar 5.1. Produksi Rokok, 1960-2005
Keterangan : Production (million sticks) = produksi (jutaan batang) ; year = tahun ; Total production = Total produksi ; White = rokok putih Sumber : Departemen Pertanian, Departemen Keuangan, Direktorat Bea Cukai, FAO, dan estimasi industri. Tiga produk tersebut mewakili 97% dari seluruh penjualan produk tembakau (Departemen Perindustrian, 2005). Produk tembakau lainnya yang dikonsumsi dalam jumlah kecil dan hanya pada kalangan tertentu meliputi cerutu, klobot (rokok jagung), klembak (rokok cengkeh dan kemenyan), dan daun tembakau iris atau tembakau kunyah.
Industri manufaktur tembakau mengalami transformasi pada tahun 1970-an dengan adanya mekanisasi produksi. Tiga perusahaan rokok kretek terbesar (Bentoel, Gudang Garam, dan Djarum) mendapatkan izin dari pemerintah untuk melakukan mekanisasi produksi antara 1970 dan 1980, sedangkan perusahaan lain tidak mendapatkan lisensi untuk menggunakan mesin baru.27 Pada tahun 1974, produksi rokok kretek dan rokok putih hampir sama. Sepuluh tahun kemudian, produksi rokok kretek lebih dari tiga kali lipat produksi rokok putih, dan produksi rokok kretek dengan mesin terus meningkat tajam sampai 200 milyar batang pada tahun 2000 (Gambar 5.1). Kenaikan produksi rokok kretek disertai dengan investasi perusahaan pada peralatan, kemasan yang canggih, distribusi produk18, dan iklan 27 yang menyumbang naiknya konsumsi. Faktor lain yang mendorong naiknya konsumsi rokok adalah harga rokok yang semakin terjangkau antara tahun 1980 dan 199828 dan program transmigrasi yang
LEM BA G A
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Untitled-6
73
Ekonomi Tembakau di Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
73
memindahkan penduduk Jawa (dan kebiasaan-kebiasaaannya) ke pulaupulau di luar Jawa yang mempengaruhi kebiasaan penduduk luar untuk merokok kretek.24 Produksi kretek yang menurun sedikit pada tahun 1991, mungkin disebabkan oleh perubahan pada sistem cukai, yang menerapkan harga jual eceran (HJE) yang berbeda berdasarkan volume produksi. HJE yang lebih tinggi diberlakukan pada perusahaan dengan skala produksi besar dengan alasan untuk melindungi perusahaan kecil dengan meningkatkan harga eceran untuk perusahaan besar. Dengan demikian diharapkan akan mengurangi permintaan.17 Penjualan rokok kretek tangan (SKT) dan rokok putih (SPM) pada tahun 1991 meningkat relatif terhadap rokok kretek mesin (SKM). Antara tahun 2001 dan 2003, produksi rokok kretek mesin (SKM) menurun, namun pada tahun 2005 sudah dapat mencapai kembali tingkat produksi tahun 2001. Pada periode yang sama data rumah tangga menunjukkan peningkatan konsumsi. Perubahan tersebut dapat dijelaskan oleh reaksi industri terhadap sejumlah peningkatan tingkat cukai (lihat Bab 6).
“Tahun 1970-an, kontribusi penyerapan tenaga kerja industri rokok terhadap total industri manufaktur adalah sebesar 28 persen, dibandingkan pada saat ini yang besarnya kurang dari 6 persen.”
Sebagian besar perusahaan pada sektor manufaktur produk tembakau adalah perusahaan pengeringan dan pengolahan daun tembakau (Lampiran 5.11). Dalam menelaah topik kesempatan kerja, laporan ini memfokuskan pada perusahaan rokok sebagai penyedia lapangan kerja terbesar dalam industri produk tembakau. Kontribusi industri rokok terhadap total penyerapan tenaga kerja dalam industri manufaktur/ pengolahan telah menurun drastis dibandingkan dulu. Pada tahun 1970-an, kontribusi industri rokok terhadap total industri manufaktur adalah sebesar 28 persen, sedangkan saat ini telah menjadi kurang dari 6 persen. Walaupun angka absolutnya sedikit mengalami peningkatan, tetapi peningkatan tersebut tidak sebanding dengan pertumbuhan industri manufaktur secara keseluruhan. Sejak tahun 1970-an hingga sekarang, kontribusi industri rokok terhadap total tenaga kerja tetap sebesar 0,3 persen untuk industri besar dan menengah (Lampiran 5.12). Pada tahun 2004, diperkirakan
74
Untitled-6
LEM BA G A
Ekonomi Tembakau di Indonesia
74
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
sekitar 10.000 orang bekerja di perusahaan rokok berskala sangat kecil 29, namun angka tersebut tidak banyak mempengaruhi kontribusi industri rokok terhadap penyerapan tenaga kerja secara keseluruhan. Dibandingkan dengan sektor industri lainnya, industri rokok menduduki peringkat 48 dari 66 sektor industri dalam menyerap total tenaga kerja nasional (Lampiran 5.13). Berbagai sumber data melaporkan estimasi yang berbeda-beda tentang jumlah perusahaan rokok dengan skala besar dan menengah. Diperkirakan jumlah perusahaan rokok berfluktuasi dari 300 pada tahun 1970-an, menjadi 130 pada awal 1990-an, dan meningkat lagi menjadi 245 pada tahun 2004 (Lampiran 5.14). Namun, distribusi perusahaan secara geografis masih tetap terkonsentrasi, dan sebagian besar lokasinya berdekatan dengan daerah penanaman tembakau. Antara tahun 1961 dan 1993, perusahaan kretek (berbagai skala perusahaan) terlokasi di 14 kabupaten, sebagian besar berada di Kudus (Jawa Tengah), serta Kediri dan Malang (Jawa Timur) (Lampiran 5.15). Estimasi menunjukkan bahwa lebih dari dua pertiga pekerja sektor industri rokok berlokasi hanya di Jawa Timur, dan lebih dari 90 persennya berada di Jawa Timur dan Jawa Tengah (Lampiran 5.16). Kontribusi sektor ini terhadap penyerapan tenaga kerja paling banyak terdapat di Jawa Timur, dengan menyerap 2,9 persen dari total tenaga kerja. Di daerah tertentu, kontribusi penyerapan tenaga kerja cukup tinggi; contohnya di Kudus diperkirakan sekitar 6,4 persen penduduk bekerja di industri rokok. 29,31 Mekanisasi industri adalah faktor utama yang mempengaruhi penyerapan tenaga kerja dalam produksi rokok. Di industri rokok linting tangan, yang merupakan industri padat karya, diperkirakan dua pekerja wanita dapat menghasilkan antara 3.000 hingga 4.000 batang rokok per hari, atau sama dengan 450.000 batang rokok per orang per tahun.7 Sedangkan mesin modern dapat memproduksi hingga 16.000 batang rokok per menit. Dalam upaya memperkecil dampak mekanisasi terhadap lapangan kerja di sektor rokok linting tangan pada tahun 1970-an, pemerintah pada awalnya membatasi jumlah izin mekanisasi rokok, dan produksi rokok dengan menggunakan mesin yang diperbolehkan di setiap perusahaan dibatasi sebesar 10 persen dari total produksi. Disadari bahwa tingkat ketaatan perusahaan rendah, sehingga pemerintah melakukan amandemen terhadap proporsi pembatasan tersebut menjadi 50 persen dan kemudian dinaikkan menjadi 66 persen.27 Secara absolut, jumlah total
LEM BA G A
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Untitled-6
75
Ekonomi Tembakau di Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
75
penyerapan tenaga kerja relatif tetap stabil atau sedikit meningkat pada tahun 1990-an.
“ Upah industri manufaktur tembakau menduduki peringkat 20 dari 24 sektor industri manufaktur, yaitu dengan upah sebesar Rp 662.149 (atau US$ 73) per bulan.” Tingkat upah dalam industri rokok berkisar sekitar dua pertiga dari upah rata-rata di sektor industri pengolahan. Sekitar 81 persen pekerja di industri rokok adalah perempuan. Upah pekerja perempuan untuk melinting rokok ditetapkan per batang. Industri pengolahan tembakau menduduki peringkat 20 dari 24 sektor industri manufaktur, yaitu dengan upah sebesar Rp 662.149,- (atau US$ 73) per bulan.28 Pada awal tahun 1990-an, kondisi lingkungan kerja di industri rokok SKT dianggap buruk dan berbahaya karena pekerja terpapar zat-zat kimia yang berpengaruh buruk terhadap kesehatan reproduksi dan pernapasan.29 Beberapa penelitian di Indonesia telah mengidentifikasi masalah pekerja anak pada penanaman tembakau dan industri rokok.30
5.4.
Penelitian yang Mengevaluasi Dampak Cukai Terhadap Lapangan Kerja
Seperti negara-negara lain yang memiliki industri tembakau, terdapat kekhawatiran bahwa peningkatan cukai tembakau akan berpengaruh negatif terhadap lapangan kerja di sektor pertanian tembakau dan industri rokok. Estimasi terhadap dampak tersebut harus mempertimbangkan re-alokasi pengeluaran tembakau ke komoditas lain dan investasi. Ahsan dan Wiyono melakukan estimasi dengan menggunakan analisis input-output yang membuat simulasi dampak kenaikan cukai, dengan mempertimbangkan keterkaitan antar sektor perekonomian.31 Berdasarkan elastisitas harga dan pendapatan dari penelitian yang dilakukan oleh Djutaharta et al. (lihat Bab 4),32 disimpulkan bahwa kenaikan cukai tembakau sebesar 100 persen akan menghasilkan penurunan konsumsi tembakau sebesar 8,9 persen. Akibat penurunan konsumsi rokok terjadi pengalihan pengeluaran untuk tembakau ke komoditas lain. Ahsan dan Wiyono mengestimasi bahwa enam sektor akan terkena dampak negatif (perdagangan, pupuk dan pestisida, industri kertas dan produk kertas, perkebunan cengkeh, perkebunan tembakau, dan industri rokok), namun, 60 sektor lain akan diuntungkan. Kenaikan cukai 100 persen akan memberikan dampak neto yang positif
76
Untitled-6
LEM BA G A
Ekonomi Tembakau di Indonesia
76
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
dalam bentuk output ekonomi sebesar Rp 335,4 milyar atau sama dengan US$ 36,9 juta, kenaikan pendapatan rumah tangga sebesar Rp 491,6 milyar atau sama dengan US$ 54,1 juta, dan kenaikan penyerapan tenaga kerja sebesar 281.135 tenaga kerja. Peningkatan output perekonomian, terutama disebabkan karena perkebunan tembakau dan industri rokok bukanlah sektor yang memiliki peringkat tinggi dalam kontribusi terhadap perekonomian nasional. Industri rokok dan perkebunan tembakau menduduki peringkat 34 dan 62 dalam hal output, 30 dan 48 dalam hal kontribusi tenaga kerja, 37 dan 60 dalam hal upah, serta 24 dan 61 dalam hal GDP menurut sektor, dari total keseluruhan 66 sektor.33 Rata-rata upah pekerja di sektor industri rokok relatif rendah dan pada sektor pertanian tembakau sangat rendah. Penurunan pengeluaran tembakau diperkirakan akan meningkatkan pengeluaran untuk barang lainnya, baik makanan maupun bukan makanan. Mengalihkan proporsi pengeluaran rumah tangga yang besar dari tembakau ke produk lain akan menyalurkan uang ke sektor produktif lainnya dalam perekonomian, sehingga akan mendorong pertumbuhan. Dengan melakukan simulasi pengurangan yang kecil dan yang tinggi dari konsumsi tembakau, Ahsan dan Wiyono menyimpulkan bahwa penurunan konsumsi tembakau akan menyebabkan meningkatnya output perekonomian secara keseluruhan. Mereka menyimpulkan bahwa kenaikan cukai tembakau yang cukup tinggi akan meningkatkan output yang lebih besar, meningkatkan pendapatan, dan lapangan kerja. Tambahan penerimaan cukai dapat digunakan pemerintah untuk mendukung transisi tenaga kerja yang bekerja di sektor tembakau ke sektor lain dalam perekonomian.34 Studi-studi lain meneliti lapangan kerja secara sempit, dan tidak mempertimbangkan adanya pengalihan pengeluaran tembakau ke barang dan jasa lainnya, sehingga menciptakan lapangan kerja baru pada sektor-sektor lain. Marks memprediksi dampak kenaikan cukai terhadap lapangan kerja pada sektor industri rokok kretek tangan.7 Peneliti menggunakan estimasi elastisitas harga sebesar -0,78 dan kenaikan cukai yang menyebabkan kenaikan harga sebesar 80 persen pada harga riil, sehingga mengakibatkan penurunan permintaan terhadap rokok kretek tangan (SKT) sebesar 49 persen. Berdasarkan produktivitas rata-rata per pekerja, Marks memprediksi hilangnya lebih dari 86.000 pekerjaan di industri rokok kretek tangan (setara dengan setengah dari total pekerja di industri rokok kretek). Namun, beberapa asumsi yang digunakan memang patut dipertanyakan.35 Penurunan permintaan kemungkinan lebih besar dari sebenarnya (overestimated), karena tingginya elastisitas harga yang digunakan (-0,78). Model ini berasumsi bahwa produktivitas marjinal dan
LEM BA G A
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Untitled-6
77
Ekonomi Tembakau di Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
77
produtivitas rata-rata 36 adalah sama, namun teori ekonomi mengatakan bahwa produktivitas marginal selalu lebih rendah daripada produktivitas rata-rata. Pertimbangan terpisah tetapi penting bagi industri tembakau adalah keuntungan politik dari pengelolaan rokok kretek tangan, dan keuntungan finansial karena mengelola sistem pajak bertingkat dimana tingkat cukai tertinggi dapat dielak secara legal. Sebuah laporan Departemen Perindustrian mengusulkan adanya road map untuk memungkinkan bertahannya industri tembakau dalam jangka pendek, menengah, dan panjang.37 Laporan itu mengestimasi bahwa total lapangan kerja yang diciptakan oleh industri tembakau sejumlah 4,5 juta pekerjaan. Kalau dibandingkan data road map dari Departemen Perindustrian dengan data yang dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik dan lembaga pemerintah lainnya, ditemukan bahwa data dari BPS dan pemerintah lainnya hanya sebesar setengah dari estimasi Departemen Perindustrian (Tabel 5.5).
Tabel 5.5. Kontribusi Produksi Rokok dan Manufaktur Tembakau terhadap Lapangan Kerja Langsung: Membandingkan Estimasi dari Berbagai Sumber
Kategori pekerja (M enurut D epartem en Perindustrian)
E stim asi D epartem en Perindu strian
B PS dan estim asi pem erinta h lainny a
Full-tim e equivalent
% dari total ten aga kerja
Langsung M anufaktur temb akau
600.000
258.678
258.678
0,28
Petani tem bakau
2.400.000
683.603
503.458
0,55
Petani ceng keh.
1.500.000
1.200.000
240.000-396.000
0,26-0,42
Total 4.500.000 2.142.281 1.002 .136-1.1 58.136 Sumber : Departemen Perindustrian 2007, BPS tahun-tahun terakhir.
1,09-1,25
Selain itu, estimasi Departemen Perindustrian menggunakan jumlah total petani tembakau dan cengkeh, dan bukan full-time equivalents, yang lebih akurat dalam menunjukkan dampak kerja paruh waktu. Kolom keempat melaporkan angka full-time equivalent untuk perkebunan tembakau yang disesuaikan oleh BPS, dengan pertimbangan bahwa cengkeh memerlukan 3-4 tahun hingga matang, dan seorang petani akan
78
Untitled-6
LEM BA G A
Ekonomi Tembakau di Indonesia
78
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
mencurahkan 20 hingga 33 persen dari waktunya untuk penanaman dalam jangka waktu tersebut. Ini menunjukkan bahwa penyerapan tenaga kerja langsung dari perkebunan tembakau dan manufaktur rokok sekitar 1,0 juta sampai 1,2 juta orang. Namun jika dilihat dari proporsinya terlihat bahwa penyerapan tenaga kerja langsung sangat kecil yaitu 1,1 persen hingga 1,2 persen dari total tenaga kerja. Laporan Departemen Perindustrian mengungkapkan bahwa lebih dari setengah penyerapan tenaga kerja dalam industri tembakau dan rokok (5,45 juta) terdiri dari tenaga kerja tidak langsung (pengecer, percetakan, transportasi, dll.) yang tidak dapat diverifikasi oleh sumber lain. Lebih lanjut laporan itu mengestimasi bahwa rokok menciptakan 4,9 juta pekerjaan untuk pengecer, atau sekitar 18 persen dari total lapangan kerja di sektor jasa. Ini berarti bahwa sekitar 1 dari 5 pekerja dalam sektor jasa bergantung pada penjualan rokok untuk mencari penghidupan. Hal tersebut tidak mungkin karena pengecer dan pedagang kaki lima mendapatkan penghasilan tidak hanya dari menjual rokok, melainkan juga dari menjual produk lain seperti makanan, buah-buahan, sayuran, bunga, permen karet, kartu telepon, majalah dan buku, alat elektronik kecil, dan sebagainya. Pengurangan pengeluaran untuk tembakau akan digantikan oleh peningkatan pengeluaran dari produk lainnya. Dalam analisis-analisis tersebut yang tidak diperhitungkan adalah pengeluaran perusahaan-perusahaan untuk pemasaran dan iklan.38 Estimasi pada tahun 2004 menunjukkan bahwa pengeluaran perusahaan rokok besar di Indonesia untuk iklan elektronik dan iklan cetak sebesar US$ 134,4 juta atau Rp 1,2 triliun. Hal ini konsisten dengan laporan-laporan sebelumnya bahwa industri tembakau menyumbang sekitar 5-7 persen dari total penerimaan iklan langsung setiap tahun.39 Dianggap bahwa pendapatan pemerintah lokal dari pajak iklan tersebut cukup besar, namun pada kenyataannya, penerimaan pajak iklan baliho (billboard) kurang dari 2 persen rata-rata total pendapatan kabupaten/kota.40 Namun, jumlah uang yang dikeluarkan untuk promosi dan iklan tidak langsung, seperti menjadi sponsor konser serta acara budaya dan sosial, kupon dan potongan harga, tidak dapat dihitung. Sebagian disalurkan melalui yayasan yang dibiayai dari penjualan rokok, dan digunakan untuk mempromosikan citra positif perusahaan rokok .
Catatan Akhir Bab 5
LEM BA G A
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Untitled-6
79
Ekonomi Tembakau di Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
79
1
FAOSTAT, Food and Agricultural Organization Statistics Division.
2
Departemen Pertanian, berbagai tahun
3
Global Agricultural Information Network (GAIN) Report #4027. Indonesia Tobacco and Products Annual. 2004. Washington, DC: United States Department of Agriculture.
4
Departemen Pertanian. 2006. Statistik Pertanian 2006. Jakarta.
5
JC. Keyser dan NR Juita. 2007. Smallholder Tobacco Growing in Indonesia: Costs and Profitability Compared with Other Agricultural Enterprises. World Bank HNP Discussion Paper. February..
6
Departemen Pertanian, berbagai tahun
7
S. Marks. 2003. Cigarette excise taxation in Indonesia, an economic analysis. Partnership for economic growth, BAPPENAS and USAID. July.
8
T. Kawague. 1994. Income and employment Income and Employment Generation from Agricultural Processing and Marketing at the Village Level: A Study in Upland Java, Dalam Von Braun, J, Kennedy E, eds. Agricultural Commercialization, Economic Development, and Nutrition. International Food Policy Research Institute.
9
FTE adalah curahan waktu riil yang dibutuhkan oleh petani untuk mengelola satu hektar lahan tembakau per musim.
10
Jardine Fleming, estimasi untuk tahun 1998.
11
Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Produk Pertanian, Direktorat Jenderal Pengembangan Pengolahan dan Pemasaran Produk Pangan, Departemen Pertanian. Dalam Bab 3 The Tobacco Source Book: Data to support a National Tobacco Control Strategy, Ministry of Health Republic of Indonesia, 2004.
12
Informasi-Harga Komoditas Pertanian di Pasar Domestik tahun 2002, Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Produk Pertanian, Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Produk Pertanian, Departemen Pertanian. Dalam Bab 3, The Tobacco Source Book: Data to support a National Tobacco Control Strategy, 2004, Ministry of Health Republic of Indonesia
13
Peraturan Pemerintah No.538/2002, 5 Juli 2002, dalam The Tobacco Source Book
14
CPA. Bennett, SV. Marks, dan L. Muslimin. 1998. “The Clove Monopoly: Lessons for the Future.” Trade Implementation And Policy Project. U.S. Agency for International Development and Ministry of Industry and Trade, Republic of Indonesia, Jakarta. November.
15
Global Agricultural Information Network (GAIN) Report #3021. Indonesia Tobacco and Products Annual 2003. Washington, DC: United States Department of Agriculture; September 16, 2003.
16
Euromonitor International 2007.
17
K. Bird. 1999. Industrial Concentration and Competition in Indonesian Manufacturing. Doctoral Thesis. Australian National University.
18
L. Tarmidi. 1996. Changing Structure and Competition in the Kretek Cigarette Industry. Bulletin of Indonesian Economic Studies. 32(3): 85-107 .
19
FJ. Chaloupka, TW. Hu, KE. Warner, R. Jacobs, dan A. Yurekli. 2000. The taxation of tobacco products. Dalam Jha P, Chaloupka FJ (eds). Tobacco control in developing countries. New York: Oxford University Press.
20
Biaya marjinal adalah tambahan biaya terhadap total biaya produksi yang timbul akibat penambahan satu unit output yang diproduksi.
21
GS. Becker, M. Grossman, KM. Murphy. 1994. An empirical analysis of cigarette addiction. American Economic Review. 84 (3); 396-418.
22
Indonesia Foreign Trade Statistics. 2004. Central Bureau of Statistics,
23
Employment Trends in the Tobacco Sector. 2003. ILO Geneva.
24
L. Castles, 1967. Religion, Politics, and Economic Behavior in Java: The Kudus Cigarette Industry. Cultural Report Series No. 15, Southeast Asian Studies, Yale University.
80
Untitled-6
LEM BA G A
Ekonomi Tembakau di Indonesia
80
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
25
A. Reid. 1985. From betel chewing to tobacco smoking in Indonesia. Journal of Asian Studies. XLIV:3.
26
AW. Istyastuti. 1992. Policy on In-direct Tax Policy: Case Study on Tobacco Excise in Indonesia 1969-1992. Post Graduate Program, Social and Economic Science, and Specialized Politic Science University of Indonesia
27
K. Bird. 1999. Industrial Concentration and Competition in Indonesian Manufacturing. Doctoral Thesis. Australian National University 1999.
28
GE. Guindon, A-M Perucic, dan D. Boisclair. 2003. “Higher Tobacco Prices and Taxes in South-East Asia: An Effective Tool to Reduce Tobacco Use, Save Lives and Generate Revenue.” World Bank Health, Nutrition and Population Discussion Paper. Economics of Tobacco Control Paper No. 11. October.
29
Badan Pusat Statistik
30
I. Tjandraningsih dan P. Anarita. 2002. Pekerja Anak di Perkebunan Tembakau. Bandung. Akatiga; C. Manning. 1999. The Economic Crisis and Child Labour in Indonesia. Australian National University. International Labour Office. International Programme on the Elimination of Child Labour. Geneva.
31
A. Ahsan dan NH. Wiyono. 2007. The Impact Analysis of Higher Cigarette Prices to Employment in Indonesia. Demographic Institute, Faculty of Economics, University of Indonesia. September .
32
T. Djutaharta, HV Surya, NHA. Pasay, Hendratno, dan SM. Adioetomo. 2005. “Aggregate Analysis of the Impact of Cigarette Tax Rate Increases on Tobacco Consumption and Government Revenue: The Case of Indonesia”. World Bank HNP Discussion Paper. Economics of Tobacco Control No. 25.
33
BPS 2003, dalam Ahsan A, Wiyono NH, Setyonaluri D, Prihastuti D, Yudistira, Sowwam M. Tobacco Control Country Study, Indonesia. Demographic Institute, Faculty of Economics, University of Indonesia, 2007.
34
P. Jha dan FJ.Chaloupka. 2000. The economics of global tobacco control. BMJ;321;358361.
35
Lihat ulasan artikel tersebut dalam H. Ross, An Overview of the Tobacco Control Economic Literature and Evidence for Indonesia, Open Society Institute and Research Triangle Park. June 2005.
36
Produktivitas Marjinal (Marginal Productivity) adalah tambahan output yang diproduksi oleh setiap tenaga kerja. Sedangkan Produktivitas Rata-rata (Average Productivity) adalah jumlah total output yang diproduksi oleh setiap tenaga kerja.
37
Departemen Perindustrian. 2007. The 2007-2020 Roadmap of Related Product and Excise Policy. Maret.
38
K. Bird. 2002. “Advertise or die: advertising and market share dynamics revisited”. Applied Economics Letters. 9(12):763-767.
39
Indonesia Advertising Industry. Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI). 2006. US Department of Commerce.
40
East Asia Decentralizes: Making Local Government Work. 2005. The World Bank. May.
LEM BA G A
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Untitled-6
81
Industry
of Tobacco
Ekonomi Tembakau di Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
81
82
Untitled-6
LEM BA G A
Ekonomi Tembakau di Indonesia
82
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
B A B 6
Administrasi Cukai Produk Tembakau
LEM BA G A
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Untitled-6
83
Ekonomi Tembakau di Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
83
84
Untitled-6
LEM BA G A
Ekonomi Tembakau di Indonesia
84
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
Bab ini membahas penerimaan cukai dan faktor yang terkait dengan penetapan kenaikan cukai produk tembakau. Cukai produk tembakau menyumbangkan 5,7 persen dari total penerimaan pemerintah pada tahun 2007. Target penerimaan cukai (tembakau dan alkohol) untuk tahun 2008 adalah Rp 44 triliun (US$ 4,8 milyar). Faktor yang dipertimbangkan dalam penetapan cukai tembakau adalah undang-undang cukai, target penerimaan negara, lapangan kerja, dan pengembangan industri. Perundangan dan dokumen kebijakan lainnya dari Departemen Keuangan didasari atas filosofi bahwa tujuan penetapan cukai rokok adalah untuk mengurangi konsumsi dan mengendalikan distribusi produk yang tidak sehat atau amoral. Namun, pada kenyataannya, perspektif kesehatan tidaklah menjadi faktor pertimbangan dalam penetapan tarif cukai. Faktor normatif lainnya yang terkait dengan peran pemerintah dalam mencapai tujuan penerapan cukai tembakau adalah pengentasan kemiskinan, kegagalan pasar, perlindungan anak, dan memperoleh kembali kerugian yang diderita masyarakat akibat konsumsi tembakau. Walaupun penetapan skala cukai yang lebih berpihak pada perusahaan kecil dan produk olahan tangan, kontribusi produksi dan cukai dari rokok kretek linting tangan dan perusahaan kecil terus menurun antara tahun 2000 sampai 2005, dimana perusahaan besar pada sektor rokok olahan mesin dan linting tangan menyumbang sebagian besar produksi. Sistem cukai bertingkat berdasarkan skala produksi memberi peluang bagi perusahaan untuk mengurangi beban cukai dengan cara mengurangi produksi hingga masuk ke skala produksi yang lebih rendah, mendirikan perusahaan kecil, atau mengkontrakkan produksi ke perusahaan kecil lainnya. Departemen Perindustrian menyusun sebuah roadmap dengan tujuan untuk meningkatkan produksi rokok hingga 260 milyar batang mulai tahun 2015 hingga 2020. 1 Tujuan rencana tersebut, yaitu untuk meningkatkan produksi rokok dan menurunkan tingkat nikotin per batang, namun dalam jangka panjang justru akan mengakibatkan dampak buruk bagi kesehatan. Sebaliknya, cukai yang lebih tinggi dapat meningkatkan penerimaan pemerintah secara efisien, meningkatkan kesehatan, dan meningkatkan jumlah lapangan kerja neto secara nasional.
LEM BA G A
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Untitled-6
85
Ekonomi Tembakau di Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
85
6.1.
Penerimaan Cukai Rokok
Cukai rokok merupakan sumber penerimaan negara yang penting, yang menyumbangkan 8,4 persen dari penerimaan pajak dan 5,7 persen dari total penerimaan negara pada tahun 2007. Proporsi penerimaan cukai tembakau terhadap total penerimaan berkisar antara 4 hingga 6 persen dari total penerimaan nominal antara tahun 1979 sampai 2000 (Gambar 6.1, Lampiran 6.1). Penerimaan cukai tembakau mencapai puncaknya pada tahun 20022003 karena adanya beberapa kenaikan cukai. Turunnya kontribusi cukai tembakau setelah tahun 2003 disebabkan oleh tidak adanya kenaikan tarif cukai rokok yang signifikan antara tahun 2004 dan 2007. Cukai terdiri dari cukai tembakau, etil alkohol, dan minuman beralkohol, namun sebagian besar penerimaan cukai berasal dari produk tembakau. Gambar 6.1. Persentase Penerimaan Cukai Tembakau terhadap Total Penerimaan Pemerintah dan Total Penerimaan Pajak, Indonesia, 1979-2007 (nilai nominal)
Keterangan : as % total revenue = % terhadap total penerimaan ; as % tax revenue = % terhadap penerimaan pajak Sumber : Laporan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Departemen Keuangan.
Pada tahun 1970-an, sebagian besar penerimaan cukai tembakau diperoleh dari rokok yang diproduksi dengan tangan. Pada tahun 1979, sebanyak 59 persen penerimaan cukai diperoleh dari sigaret kretek tangan (SKT), dibandingkan dengan 26,1 persen dari
86
Untitled-6
LEM BA G A
Ekonomi Tembakau di Indonesia
86
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
sigaret putih mesin (SPM) dan 15 persen dari sigaret kretek mesin (SKM) (Lampiran 6.2). Sigaret kretek mesin baru mulai diproduksi dalam skala besar melalui mekanisasi pada tahun 1979. Hanya 10 tahun kemudian, pada tahun 1989, 78,7 persen penerimaan cukai tembakau diperoleh dari SKM, 16,1 persen dari SKT, dan 5,3 persen dari SPM. Proporsi kontribusi ketiga produk ini tidak banyak berubah dari tahun 1990 hingga kini. Pada tahun 2005, sigaret kretek mesin menyumbangkan 73,4 persen penerimaan total cukai, diikuti dengan sigaret kretek tangan (19,6 persen) dan rokok putih (6,9 persen).
6.2.
Faktor Penentu Tarif Cukai Tembakau
Undang-undang No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai.2 Undang-undang No. 11 tahun 1995 memberlakukan tarif cukai maksimum untuk tembakau sebesar 250 persen dari harga pokok produsen atau 55 persen dari harga jual eceran (HJE). Undang-undang ini diamandemen tahun 2007, dan tarif maksimum dinaikkan menjadi 275 persen dari harga pokok produsen atau 57 persen dari HJE.3 Pemerintah awalnya berencana menaikkan tarif maksimum dari 55 persen menjadi 65 persen untuk meningkatkan penerimaan jangka panjang, namun gagal memperoleh dukungan dari parlemen untuk kenaikan sebesar itu. Alasan dibalik rendahnya kenaikan tarif cukai rokok adalah agar tidak mengurangi lapangan kerja sektor tembakau. Perusahaan rokok besar sudah hampir mencapai tarif cukai ad valorem maksimum (34 persen sampai 36 persen) sedangkan perusahaan kecil yang memproduksi rokok linting tangan hanya dikenakan cukai 0 sampai 22 persen. Undang-undang tersebut menjabarkan peran pemerintah dalam penggunaan cukai untuk mengontrol konsumsi berbagai komoditas (tembakau, alkohol, atau produk lain), mengurangi risiko terhadap kesehatan atau lingkungan, dan mendukung terciptanya keadilan dan kesetaraan. A man demen U n dang-Un dan g Cukai pada t ah u n 2 00 7 juga mengedepankan skema pembagian penerimaan. Dua persen dari penerimaan cukai tembakau harus dikembalikan pada daerah produsen tembakau, berdasarkan kontribusi cukainya. Dengan menggunakan target penerimaan tahun 2008 dan dengan asumsi bahwa 95 persen akan datang dari cukai tembakau, penetapan bagi hasil (earmark) 2 persen tersebut akan memberikan hasil Rp 836 milyar atau US$ 92 juta bagi daerah penghasil cukai hasil tembakau. Distribusi bagi hasil cukai tersebut adalah sebagai berikut: 30 persen diberikan kepada provinsi penghasil, 40 persen
LEM BA G A
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Untitled-6
87
Ekonomi Tembakau di Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
87
kepada pemerintah kabupaten/kota daerah penghasil, dan sisanya yaitu 30 persen didistribusikan untuk kabupaten/kota lainnya. Bagi hasil cukai tembakau akan dialokasikan pada perbaikan industri tembakau, termasuk kualitas bahan baku, pembangunan industri tembakau, pembangunan lingkungan sosial, sosialisasi program cukai, dan pemusnahan produk ilegal dan pita cukai palsu. Pencapaian Target Penerimaan. Alasan utama mengintervensi pasar tembakau adalah untuk menghasilkan penerimaan cukai. Seperti mata anggaran lainnya, pemerintah setiap tahun mengajukan target penerimaan cukai, dan direvisi seiring dengan berjalannya tahun anggaran agar mempersempit perbedaan (gap) atau mendekatkan pada penerimaan yang sebenarnya. Untuk mencapai target penerimaan, Departemen Keuangan menyesuaikan tingkat ad valorem dan cukai spesifik per batang, jumlah skala produksi perusahaan, atau batasan tingkat tersebut. Target penerimaan cukai (tembakau dan alkohol) pada tahun 2008 adalah sebesar Rp 44 triliun (US$ 4,8 milyar) atau 1 persen dari PDB.4 Angka perencanaan anggaran tersebut memproyeksikan bahwa kontribusi cukai terhadap total penerimaan akan tetap sama, seperti tahun 2006 dan 2007, pada tingkat 5,8 persen dari total penerimaan dan hibah, dan 7,6 persen dari penerimaan pajak untuk tahun 2008 (Lampiran 6.3). Melindungi industri kretek dalam negeri. Pada tahun 1920-an, perusahaan multinasional milik asing berhasil mencapai tingkat produksi dan impor rokok putih yang menyaingi produksi rokok kretek.5 Pada tahun 1936, pemerintah memberlakukan pembedaan sistem cukai, dengan cukai yang lebih tinggi untuk rokok putih daripada rokok kretek, untuk melindungi pangsa pasar perusahaan rokok kretek dalam negeri. Terdapat perbedaan sebesar 30 persen antara tarif cukai perusahaan rokok kretek dengan rokok putih pada tahun 1959,6 namun dengan berjalannya waktu perbedaan ini mengecil. Antara tahun 2000 dan 2007, tarif cukai ad valorem disamakan untuk rokok kretek mesin dan rokok putih, dan harga eceran rokok putih lebih rendah, karena tidak menggunakan cengkeh dalam produksinya. Pada tahun 2008, tarif cukai ad valorem kembali dibedakan, namun kali ini dengan cukai ad valorem yang lebih rendah untuk rokok putih daripada rokok kretek dengan skala produksi yang sama. Sehingga proteksi industri rokok kretek tidak lagi menjadi pertimbangan dalam menentukan cukai tembakau. Mendorong penciptaan lapangan kerja. Menciptakan lapangan kerja telah menjadi fokus kebijakan pemerintah pusat, dan tingkat pengangguran dewasa ini stabil pada kisaran 10,3 persen.7 Pada tahun 1992, pembatasan pada pasar rokok kretek dilonggarkan untuk
88
Untitled-6
LEM BA G A
Ekonomi Tembakau di Indonesia
88
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
meningkatkan penyerapan tenaga kerja. Perusahaan diwajibkan untuk membuka usaha dengan produksi rokok kretek linting tangan, lalu dapat mengalihkan sebagian produksi ke mekanisasi dengan rasio 2 banding 3 terhadap rokok kretek linting tangan.8 Skala cukai tembakau dirancang untuk menciptakan lapangan kerja di perusahaan kecil melalui dua cara. Pertama, terdapat perbedaan yang besar antara tarif cukai untuk produk yang diproduksi dengan manual dan dengan mesin. Tarif cukai ad valorem berkisar antara 22 persen hingga 36 persen untuk produk rokok kretek mesin dan 15 persen sampai 34 persen untuk produk rokok putih mesin. Tetapi, tarif cukai rokok linting tangan jauh lebih rendah berkisar dari 0 persen sampai 18 persen. Produk rokok linting tangan lainnya yang diproduksi dalam skala sangat kecil (di bawah 1 persen produksi total) hanya dikenakan cukai 8 persen (termasuk klobot, klembak, dan rokok putih lintingan tangan). Bersamaan dengan ini pemerintah telah memperkenalkan cukai spesifik yang besarnya sama untuk semua jenis rokok dan skala produksi (Rp 35), kecuali untuk SKT golongan III sebesar Rp 30 (dengan tingkat cukai ad-valorem sebesar 0 persen) Kedua, sistem cukai dirancang berdasarkan volume produksi, di mana perusahaan dengan produksi tertinggi dikenakan cukai tertinggi pula. Alasannya adalah untuk melindungi perusahaan kecil dengan cara menurunkan permintaan (demand) rokok produk perusahaan besar melalui kenaikan harga jual ecerannya.8 Proporsi penerimaan cukai tembakau dari sigaret kretek tangan (SKT) meningkat dari 13 hingga 14 persen antara tahun 1996 sampai 1998 dan kemudian menjadi sekitar 23 persen antara tahun 2001 sampai 2003. Kenaikan ini mungkin disebabkan oleh preferensi tarif cukai dan harga jual eceran minimal, yang menguntungkan perusahaan kecil (Tabel 6.1, Lampiran 3.2).
“Walaupun diberlakukan penyesuaian tarif cukai untuk mendorong produksi perusahaan kecil antara tahun 2000 sampai 2002, kontribusinya terhadap produksi dan penerimaan cukai terus menurun antara 2000 dan 2005.”
LEM BA G A
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Untitled-6
89
Ekonomi Tembakau di Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
89
Tabel 6.1. Proporsi Penerimaan Cukai Berdasarkan Jenis Rokok dan Perubahan Tarif Cukai untuk Sigaret Kretek Tangan (SKT), 1996-2007 % total penerim aan cukai Tahun
P erubahan tarif cukai SK T A HJE B
A d valorem
SK M
SK T
S PM , lainnya
1996
0,77
0,13
0,10
+/-
1997
0,78
0,12
0,10
+
1998
0,77
0,14
0,09
+
1999
0,72
0,17
0,11
-
+
2000
0,71
0,20
0,10
++ D
-
2001
0,67
0,23
0,10
+++ E
2002
0,66
0,23
0,11
+
2003
0,69
0,23
0,09
Tidak ada perubahan pada SK T
2004
0,72
0,21
0,08
Tidak ada perubahan
2005
0,73
0,20
0,07
+
C
+/-
S kala produksi xx D
C
X
-
X
F
X
+G
X
Z
Keterangan : Perubahan tarif cukai untuk produk lain tidak disertakan disini; lihat Lampiran 3.3. Perlu dicatat bahwa dalam tahun dimana ada perubahan, yang mungkin berbeda dengan tahun dimana peraturan Menteri dikeluarkan. Tanda + menunjukkan adanya peningkatan dan tanda – menunjukkan penurunan. B Harga jual ritel. C Peningkatan pada skala produksi terkecil dan penurunan pada skala produksi tertinggi. D Terdapat dua kali perubahan dalam satu tahun. E Terdapat tiga kali perubahan dalam satu tahun. Untuk ketiga perubahan , HJE yang seragam diberlakukan untuk semua skala produksi kecuali skala yang terkecil. F Penurunan pada skala produksi terkecil hanya sebesar 12 sampai 4%. G Peningkatan hanya untuk skala produksi tertinggi.
Pada tahun 1999, terjadi penurunan HJE untuk SKT yang diproduksi oleh perusahaan terkecil (dari Rp 80 pada tahun 1998 menjadi Rp 55 pada tahun 1999). Terjadi kenaikan pada cukai ad valorem dari 4 persen menjadi 12 persen untuk perusahaan dengan skala produksi paling kecil pada tahun 2000, walaupun pada akhirnya kembali diturunkan menjadi 10 persen di tahun yang sama, dan satu tahun kemudian kembali ke 4 persen. Selain itu, jumlah kategori skala produksi SKT bertambah dari 3 pada tahun 1999 menjadi 4 pada tahun 2001, dengan tarif cukai terendah diberlakukan pada skala produksi terendah. Pada tahun 2002, kenaikan cukai diberlakukan untuk SKT pada skala produksi tertinggi. Tidak terdapat perubahan pada tarif cukai SKT antara 2003-2007 dan hanya terjadi sedikit kenaikan HJE antara tahun 2005-2007. Maka, perusahaan SKT kecil menikmati tarif cukai terendah (4 persen) dari tahun 2001 sampai 2007 (Lampiran 3.2).
90
Untitled-6
LEM BA G A
Ekonomi Tembakau di Indonesia
90
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
Pada bulan Juli 2007, Direktorat Cukai memberlakukan tambahan cukai spesifik per batang untuk tiga jenis rokok utama, termasuk SKT. Pada mulanya cukai spesifik per batang juga dikenakan berdasarkan skala produksi, di mana cukai per batang tertinggi (Rp 7) dikenakan pada perusahaan dengan skala produksi terbesar dibandingkan cukai sebesar Rp 3 pada perusahaan dengan skala produksi terkecil. Tetapi, pada tahun 2008, cukai spesifik sebesar Rp 35 dikenakan pada semua produk kecuali pada produksi skala terkecil masih tetap sebesar Rp 30. Tingkat cukai untuk produk tembakau lain juga berubah pada waktu yang bersamaan dan kemungkinan berpengaruh pada komposisi penerimaan cukai yang didasarkan pada jenis produk.
“Enam perusahaan besar menyumbangkan 88 persen dari total penerimaan cukai rokok dan 75 persen dari total produksi rokok”
Walaupun diberlakukan penyesuaian tarif cukai untuk mendorong produksi perusahaan kecil antara tahun 2000 sampai 2002, kontribusi perusahaan kecil terhadap produksi dan penerimaan cukai terus menurun antara 2000 dan 2005 (Tabel 6.2). Produksi SKT perusahaan kecil menyumbangkan 9,9 persen dari produksi total pada tahun 2000 dan hanya 5,8 persen pada tahun 2005; penurunan yang nyata terjadi pada perusahaan SKM kecil dari 13,4 persen menjadi 5,4 persen. Selain itu, perusahaan SKM dan SKT besar (>2 milyar batang per tahun) menyumbangkan 72 persen produksi dan 87 persen dari total penerimaan cukai pada tahun 2005. Pada tahun 2006, disebutkan bahwa enam perusahaan besar menyumbangkan 88 persen dari total penerimaan cukai rokok dan 75 persen dari total produksi rokok.9 Walaupun upaya mendorong produksi perusahaan kecil melalui sistem cukai tersebut terkesan gagal, namun revisi sistem cukai untuk tahun 2008 tetap memberikan keringanan pada perusahaan kecil (lihat Bab 3, Tabel 3.1).
LEM BA G A
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Untitled-6
91
Ekonomi Tembakau di Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
91
Tabel 6. otal Penerimaan Cukai untuk SKM dan SKT berdasarkan Tingkat Produksi, 2000 dan 2005
2000 Produksi Cukai
2005 Produksi Cukai
Jenis
Skala produksi
SKM I II III
>2 milyar >500 juta-?2 milyar ? 500 juta
39,7 5,3 13,4
63,0 5,4 9,6
47,2 6,1 5,4
68,8 4,4 5,4
SKT I II III A&B
>2 milyar >500 juta-?2 milyar ?500 milyar
28,3 3,4 9,9
19,1 0,9 2,0
24,3 11,2 5,8
17,8 1,7 1,9
Sumber : Road Map Industri Hasil Tembakau dan Kebijakan Cukai, Departemen Perindustrian, 2007.
Promosi Industri Tembakau. Pada awal tahun 2007, Departemen Perindustrian menerbitkan dokumen yang berjudul “Road Map Industri Hasil Tembakau dan Kebijakan Cukai 2007-2020,” dengan tujuan untuk memastikan perkembangan industri tembakau ke depan. Peta jalan tersebut memiliki tiga tujuan: meningkatkan penerimaan pemerintah, meningkatkan penyerapan tenaga kerja, dan meningkatkan derajat kesehatan. Ketiga tujuan ini akan dicapai dengan cara meningkatkan produksi rokok sampai dengan 260 milyar batang mulai 2015 sampai tahun 2020. Rencana ini didukung oleh Departemen Keuangan, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Departemen Pertanian, dan asosiasi produsen rokok (GAPPRI dan GAPRINDO).
“Cara paling efisien untuk meningkatkan penerimaan pemerintah adalah dengan meningkatkan cukai tembakau, dan bukan dengan meningkatkan konsumsi rokok pada segmen potensial yaitu perempuan dan anak-anak, karena 63 persen laki-laki dewasa di Indonesia sudah merokok.”
Pemerintah menyatakan bahwa road map tersebut sejalan dengan tujuan penerapan cukai rokok untuk mengurangi konsumsi rokok serta menciptakan masyarakat yang sehat.10 Namun, rencana ini memiliki banyak kelemahan. Penurunan volume penjualan rokok tidak berarti bahwa penerimaan pemerintah akan turun. Permintaan terhadap produk tembakau
92
Untitled-6
LEM BA G A
Ekonomi Tembakau di Indonesia
92
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
bersifat inelastis, yang berarti bahwa persentase penurunan permintaan lebih kecil daripada persentase kenaikan harga. Artinya, beberapa perokok akan mengurangi konsumsinya, tapi lebih banyak lagi perokok yang akan tetap melanjutkan kebiasaannya, walaupun dengan harga yang lebih tinggi. Hasil-hasil penelitian yang diulas pada Bab 4 memprediksi bahwa kenaikan cukai sebesar 10 persen akan menyebabkan penurunan konsumsi sebesar 0,9 sampai 3.0 persen. Dengan dampak yang relatif kecil pada basis cukai, kenaikan cukai akan menghasilkan peningkatan pada penerimaan pemerintah, walaupun volume penjualan menurun. Maka, cara paling efisien untuk meningkatkan penerimaan pemerintah adalah dengan meningkatkan cukai tembakau, dan bukan dengan meningkatkan konsumsi rokok pada segmen potensial yaitu perempuan dan anak-anak, karena 63 persen laki-laki dewasa di Indonesia sudah merokok. Industri rokok menyatakan bahwa sebagian besar dari peningkatan produksi ini akan diekspor. Namun, rencana tersebut akan terhambat oleh regulasi yang semakin ketat dan peringatan kesehatan dari akibat zat-zat aditif (tambahan) pada rokok sejalan dengan pelaksanaan FCTC secara global. Sebagai contoh, di Amerika Serikat, pengajuan undang-undang (yang didukung Philip Morris) melarang impor rokok dengan zat aditif selain mentol.11 Untuk meningkatkan kesehatan, road map tersebut berencana untuk mengurangi kadar nikotin dalam rokok pada tahun 2020. Secara jelas, model bisnis di balik pasar rokok adalah menciptakan dan mempertahankan permintaan terhadap nikotin – sebuah zat yang sangat adiktif – serta menyediakannya.12 Menurunkan kadar nikotin akan mengakibatkan perokok melakukan kompensasi dengan merokok lebih banyak atau menghirup lebih dalam, untuk mendapatkan kadar nikotin yang sama. Perilaku kompensasi seperti menambah konsumsi rokok atau meningkatkan frekuensi merokok dapat mengakibatkan dampak kesehatan yang lebih buruk karena terpapar lebih banyak karbon monoksida dan zat-zat kimia lain yang terkandung dalam asap rokok. Hasil berbagai penelitian menyimpulkan bahwa pengurangan kadar nikotin tidak ada manfaatnya terhadap kesehatan.13 Terlepas dari kandungan nikotin di dalam daun tembakau, zat-zat aditif (zat-zat tambahan) dapat meningkatkan sifat adiktif (kecanduan) nikotin. Contohnya, industri rokok telah menggunakan campuran amonium untuk meningkatkan tingkat alkalin dalam rokok, yang akan meningkatkan dampak adiksi pada nikotin.14 Rokok juga dapat diproduksi menggunakan kertas pembungkus yang lebih mudah menyerap air, sehingga menghasilkan kadar tar dan nikotin yang lebih rendah tanpa mengubah kandungan rokok itu sendiri. Pengukuran yang ada terhadap tar dan nikotin dibuat
LEM BA G A
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Untitled-6
93
Ekonomi Tembakau di Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
93
berdasarkan metode pengujian yang sudah tidak dipergunakan lagi karena gagal menangkap reaksi tingkah laku dan reaksi fisiologis terhadap zatzat aditif dan kandungan rokok.15 Dengan kata lain, promosi konsumsi dan penjualan produk-produk adiktif adalah mustahil akan menciptakan masyarakat yang lebih sehat. Promosi kesehatan. Cukai tembakau adalah alat kesehatan publik yang paling efektif dari segi biaya (cost-effective) dalam menurunkan morbiditas, kecacatan, dan mortalitas yang disebabkan oleh konsumsi tembakau. Beban penyakit akan meningkat secara signifikan dalam beberapa dekade mendatang jika tingkat konsumsi adalah seperti sekarang. Namun, regulasi pemerintah yang ada mengenai pengendalian tembakau (PP No. 19 Tahun 2003) tidak memasukkan pasal-pasal mengenai harga dan cukai rokok. Rancangan Undang-Undang pengendalian dampak tembakau terhadap kesehatan sedang diajukan sebagai inisiatif parlemen. Rancangan Undang-Undang tersebut mengajukan tarif cukai sebesar 65 persen dari harga eceran dan menyisihkan 10 persen dari kenaikan cukai tersebut untuk kegiatan pengendalian tembakau dan peningkatan kesehatan (Lampiran 6.4), termasuk program untuk membantu pengalihan tenaga kerja dari industri tembakau ke sektor lain sebagai akibat kenaikan cukai. Saat laporan ini ditulis, undang-undang tersebut sedang menunggu persetujuan anggota parlemen untuk dimasukkan ke dalam agenda program legislasi nasional (PROLEGNAS). Undang-Undang Cukai membahas peran cukai dalam mengurangi konsumsi dan mengendalikan distribusi produk yang dianggap tidak sehat atau amoral.16 Selain itu, Departemen Keuangan menyatakan bahwa kenaikan cukai maksimum untuk tembakau dalam undang-undang cukai (dari 55 persen menjadi 57 persen) dilakukan untuk alasan kesehatan.17 Namun, dalam kenyataannya, cukai dan harga rokok tetap rendah, sehingga konsumsi rokok terus meningkat secara konsisten terutama pada anak dan remaja. Konvensi kerangka kerja pengendalian tembakau (Framework Convention on Tobacco Control). Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC) adalah traktat kesehatan masyarakat internasional yang dikembangkan oleh negara-negara anggota badan kesehatan dunia (WHO). Tujuannya adalah untuk “melindungi generasi kini dan mendatang dari konsekuensi kesehatan, sosial, lingkungan, dan ekonomi akibat konsumsi tembakau dan paparan asap tembakau dengan menciptakan kerangka kerja pengendalian tembakau untuk diimplementasikan oleh negara-negara anggota pada tingkatan nasional, regional, dan internasional agar dapat terus mengurangi angka prevalensi tembakau dan paparan asap tembakau secara nyata.” 18
94
Untitled-6
LEM BA G A
Ekonomi Tembakau di Indonesia
94
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
Sebagai negara anggota WHO, pemerintah Indonesia diwakili Departemen Kesehat an, Depart emen Luar Negeri , Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Departemen Keuangan, dan Badan POM berpartisipasi dalam semua badan negosiasi traktat tersebut dan sebagai anggota intergovernmental negotiating body (INB) terlibat dalam penyusunan draf traktat antara tahun 1999 dan 2003. Dokumen FCTC diadopsi oleh semua negara anggota WHO pada World Health Assembly ke-56, pada bulan Mei tahun 2003. Traktat tersebut menetapkan standar minimum kebijakan pengendalian tembakau, termasuk pertimbangan kesehatan dalam implementasi harga dan cukai tembakau dan pembatasan penjualan bebas-cukai. Pada bulan Oktober 2007, 152 negara menjadi anggota FCTC melalui ratifikasi atau aksesi (termasuk produsen dan konsumen rokok besar seperti Cina, India, dan Brazil).19 Indonesia adalah satu-satunya dari 38 negara di wilayah Asia Tenggara dan Pasifik Barat yang belum menjadi anggota FCTC. Karena itu, posisi Indonesia menjadi lemah, khususnya dalam kebijakan lintas-negara skala regional seperti perdagangan dan penyelundupan, yang mempengaruhi kebijakan domestik dan status perdagangan yang menguntungkan di wilayah ASEAN. Pengentasan kemiskinan. Melalui dampak negatifnya terhadap kesehatan, konsumsi tembakau diperkirakan mengurangi produktivitas tenaga kerja dan mengakibatkan dampak ekonomi jangka panjang pada tingkat rumah tangga berupa penurunan pendapatan dan tabungan. Laporan Millenium Development Goals (MDGs) Indonesia pada tahun 2004 dan tahun 2005 yang ditandatangani Presiden RI membahas isu kemiskinan sebagai akibat dari konsumsi tembakau.20 Laporan itu menekankan pada tingginya tingkat pengeluaran untuk tembakau dari rumah tangga miskin yang seharusnya pengeluaran tersebut dapat dimanfaatkan untuk kesehatan, pendidikan, makanan, dan kebutuhan lainnya. Kedua laporan tersebut merekomendasikan pengenaan cukai tembakau untuk menaikkan harga sebagai upaya untuk mengurangi dampak negatif konsumsi tembakau terhadap kesehatan dan kesejahteraan. Namun, dampak kemiskinan sebagai akibat konsumsi tembakau seolah tidak menjadi bahan pertimbangan dalam penentuan tarif cukai rokok.
“Komisi Nasional Perlindungan Anak telah mengidentifikasi bahwa promosi produk tembakau merupakan pelanggaran UU Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2003, yang mewajibkan pemerintah untuk melindungi anak dari zat-zat adiktif.”
LEM BA G A
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Untitled-6
95
Ekonomi Tembakau di Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
95
Perlindungan anak. Harga tembakau yang tinggi diperkirakan memiliki dampak paling besar bagi perokok pemula dan konsumsi pada anak dan remaja, yang mungkin tiga kali lebih sensitif terpengaruh sebagai akibat kenaikan harga rokok. Komisi Nasional Perlindungan Anak (KOMNAS Anak) telah mengidentifikasi bahwa promosi produk tembakau merupakan pelanggaran UU Perlindungan Anak No. 23/2003, yang mewajibkan pemerintah untuk melindungi anak dari zat-zat adiktif. Akibat pelanggaran tersebut, 78 persen perokok di Indonesia memulai kebiasaan merokok sebelum mencapai usia 19 tahun. Nikotin adalah sangat adiktif. Dari anakanak yang sudah merokok, sebanyak 83 hingga 93 persen berusaha berhenti sebelum mencapai usia remaja. Kebijakan yang mengatur akses anak terhadap rokok, seperti batasan usia pembelian rokok, terbukti tidak efektif dalam mencegah anak-anak merokok.21 Ini menunjukkan bahwa cukai memiliki peran yang penting dalam menjaga harga tetap tinggi, sehingga anak-anak dan remaja tidak akan mulai merokok. Namun, perlindungan anak seolah bukan menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan tarif cukai rokok. Menggunakan cukai tembakau untuk menanggulangi eksternalitas negatif konsumsi tembakau. Tarif cukai tembakau harus ditetapkan pada tingkat yang melampaui eksternalitas yang dihasilkan dari konsumsi tembakau. Hal ini menunjukkan bahwa penetapan harga tembakau haruslah memasukkan pertimbangan biaya-biaya selain yang ditanggung oleh para perokok tetapi juga biaya yang diderita oleh orang lain dan masyarakat pada umumnya (perokok pasif ). Pada tingkat masyarakat biaya yang ditanggung termasuk penurunan produktivitas pekerja, dan permintaan pelayanan kesehatan masyarakat akibat penyakitpenyakit dan kecacatan yang diderita oleh perokok maupun orang lain yang terkena asap rokok dari perokok lain.22 Terdapat kerugian ekonomi akibat kematian dini dan kerugian atas penurunan investasi modal manusia, misalnya investasi pendidikan untuk anak. Naskah kebijakan yang dirancang oleh Menteri Keuangan mengidentifikasi peran cukai tembakau untuk menurunkan dampak eksternalitas negatif, dan Undang-Undang Cukai mengidentifikasi peran pemerintah dalam menggunakan cukai untuk mengurangi dampak risiko terhadap kesehatan atau lingkungan, serta mendorong keadilan dan kesetaraan.23 Ketika mengestimasi biaya yang sebenarnya akibat merokok, hal penting untuk diperhatikan adalah manusia tidak konsisten sepanjang waktu (time inconsistent) – mereka membuat keputusan yang berbeda di waktu yang berbeda pula. Orang menempatkan nilai yang lebih besar saat ini dibanding masa depan, tetapi memberikan bobot yang sama kepada kedua
96
Untitled-6
LEM BA G A
Ekonomi Tembakau di Indonesia
96
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
periode tersebut. Hal ini mengakibatkan bahwa orang secara konsisten akan membuat keputusan pada hal yang memberikan manfaat dalam jangka pendek (antara lain merokok) dibandingkan manfaat jangka panjang (seperti tambahan tahun untuk hidup). Sementara itu, orang mencari cara untuk mengendalikan konflik internal antara tujuan jangka pendek dengan jangka panjang dalam dirinya. Sebagai contoh dapat dilihat besarnya persentase perokok yang mencoba berhenti tetapi gagal. Beberapa perokok dapat menerima harga rokok yang lebih tinggi dan upaya menciptakan udara yang lebih bersih karena hal tersebut membantu mereka berhenti atau mengurangi konsumsi rokok, sehingga tujuan jangka panjang mereka tercapai. Hasil studi di Amerika Serikat menyimpulkan bahwa biaya satu bungkus rokok adalah sebesar US$ 35 atau setara dengan Rp 319.824 (setelah memperhitungkan berkurangnya umur akibat penyakit yang terkait dengan merokok—life years lost).24
6.3.
Reaksi Industri terhadap Sistem Cukai Tembakau
Terdapat banyak reaksi dari industri rokok terhadap tarif cukai yang berbeda. Pertama, perbedaan tarif cukai berdasarkan skala produksi menciptakan insentif untuk menurunkan produksi perusahaan hingga berada pada tarif cukai yang lebih rendah. Penulis tidak memiliki data produksi industri yang dapat membuktikan ini. Namun, Bird (1999) menggunakan data produksi dari perusahaan rokok Djarum pada tahun 1988-1992 untuk menunjukkan reaksi industri terhadap perubahan yang ditetapkan pemerintah atas tarif cukai berdasarkan skala produksi (Tabel 6.3). Perubahan ambang batas produksi tertinggi yang ditetapkan pada 30 milyar batang, membuat Djarum menurunkan produksinya menjadi di bawah 30 milyar batang, yang membuat tarif cukai pada produknya menjadi lebih rendah, dan menaikkan tingkat keuntungannya.8 Contoh ini menunjukkan bahwa sistem cukai bertingkat dapat “dimainkan” untuk meningkatkan keuntungan dengan menurunkan volume produksi.
“Perbedaan tarif cukai berdasarkan skala produksi menciptakan insentif untuk menurunkan produksi perusahaan hingga berada pada tarif cukai yang lebih rendah”
LEM BA G A
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Untitled-6
97
Ekonomi Tembakau di Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
97
Tabel 6.3. Perubahan pada Tingkat Produksi Rokok Djarum sebagai Reaksi Terhadap Perubahan Tarif Cukai berdasarkan Tingkat Produksi, 1988-1992
Produksi (milyar batang)
Tahun
Tingkat cukai (% ) SKT
SKM
1988
35,1
25,0
35,0
1989
39,.6
17,5
37,5
1990
37,1
17,5
37,5
1991
29,3
15,0
35,0
1992
28,9
15,0
35,0
Sumber : Bird K. 1999. SKT = sigaret kretek tangan, SKM = sigaret kretek mesin
Baru-baru ini, terdapat perubahan pada jumlah perusahaan yang berada dalam kategori skala produksi kecil (IIIA) dan sangat kecil (IIIB) antara tahun 2005 dan 2006, pada saat tarif cukai paling rendah dikenakan pada perusahaan dengan skala produksi terendah (Tabel 6.4). Pada saat itu, terdapat penurunan jumlah perusahaan pada tingkat IIIA dari 252 menjadi 96, dan kenaikan dari 2.941 menjadi 3.834 pada tingkat IIIB, walaupun definisi batasan skala produksi tidak berubah. Namun, kebijakan tarif cukai merupakan insentif bagi perusahaan, bukan untuk tumbuh dan meningkatkan efisiensi, melainkan untuk mengurangi tingkat produksi. Karena mendeteksi masalah ini, Direktorat Cukai menggabungkan skala produksi IIIA dan IIIB pada SKT dan mengenakan tarif cukai yang sama (0 persen) dan cukai spesifik (Rp 30) pada semua perusahaan dengan produksi < 500 juta batang yang ditetapkan dengan regulasi tahun 2008.
“Tarif cukai yang sangat rendah pada perusahaan dengan skala produksi paling rendah memberikan insentif untuk membuat perusahaan kecil.”
Kedua, tarif cukai yang sangat rendah pada perusahaan dengan skala produksi paling rendah (< 6 juta batang per tahun) mungkin memberikan insentif untuk membuat perusahaan kecil. Sumber-sumber yang ada memberikan data yang berbeda-beda mengenai jumlah perusahaan yang terlibat dalam produksi rokok. Laporan Euromonitor menyebutkan bahwa
98
Untitled-6
LEM BA G A
Ekonomi Tembakau di Indonesia
98
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
jumlah perusahaan rokok tumbuh menjadi dua kali lipat, dari 1.500 menjadi lebih dari 3.000 perusahaan antara tahun 2001 dan 2004. Sumber tersebut menyebutkan bahwa banyak perusahaan dengan tingkat produksi yang sangat rendah berupaya untuk menghindari cukai dan menjaga tingkat harga tetap rendah.25 Pada tahun 2006, Direktorat Cukai menghitung adanya 3.834 perusahaan rokok sangat kecil (Tabel 6.4). Faktor lain yang berkontribusi terhadap peningkatan jumlah perusahaan kecil adalah kebijakan desentralisasi pada tahun 2001 yang memperbolehkan pemerintah daerah untuk membagikan izin pembuatan perusahaan baru untuk produksi rokok. 25 Marks (2003) dan juga Departemen Perindustrian mempertanyakan seberapa banyak dari perusahaan ini yang benar-benar berdiri sendiri dan seberapa banyak yang hanya sebatas papan nama saja. Menurut kedua sumber tersebut, perusahaan kecil dan sedang dapat membeli pita cukai untuk dijual kembali kepada perusahaan besar. Hal ini memungkinkan perusahaan besar menghidari pembayaran tarif cukai yang lebih tinggi.26
“Perusahaan rokok besar membeli atau mengontrakkan produksi kepada perusahaan kecil, yang dikenai tarif cukai lebih rendah.”
Reaksi ketiga yang diterapkan oleh perusahaan besar untuk menyiasati sistem cukai bertingkat adalah dengan membeli atau mengontrakkan produksi pada perusahaan kecil, yang dikenakan tarif cukai lebih rendah. Sebelum tahun 1999, pemerintah melarang pembentukan anak perusahaan atau melakukan sub-kontrak produksi pada perusahaan lain. Praktek subkontrak produksi pada perusahaan kecil kini diizinkan secara resmi oleh Departemen Keuangan, karena tindakan tersebut dianggap meningkatkan lapangan kerja pada industri berskala kecil.27 Perusahaan kecil diperlakukan sebagai badan hukum yang terpisah, sehingga memungkinkan untuk menikmati tarif cukai yang lebih rendah.
LEM BA G A
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Untitled-6
99
Ekonomi Tembakau di Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
99
Tabel 6.4. Jumlah Perusahaan Rokok Berdasarkan Skala Produksi dan Kontribusinya pada Penerimaan Cukai, 2005-2006
2005 Produksi (Jm l. B atang)
2006
Jm l. P erusa haan
% total cukai tem bakau
Jm l. P erusa haan
% total cukai tem bakau
I
>2 m ilyar
6
86,1
6
88,3
II
>500 juta -? 2 m ilyar
18
8,0
25
6,7
IIIA
>6 juta- ? 500 juta
252
5,7
96
4,8
IIIB
? 6 juta
2941
0,2
3834
0,2
3217
100
3961
100
T otal
Sumber : Direktorat Cukai, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Departemen Keuangan, dalam Roadmap Industri Hasil Tembakau dan Kebijakan Cukai, 2007-2020.
Tidak tersedia data yang dapat digunakan untuk mengestimasi proporsi produksi perusahaan besar yang disubkontrakkan ke perusahaan kecil. Tetapi penulis dapat membandingkan data dari BPS mengenai jumlah perusahaan produsen rokok dengan data dari Direktorat Cukai mengenai skala perusahaan (Lampiran 6.5). Namun, perbandingan ini menjadi rumit karena definisi ukuran perusahaan yang berbeda antara sektor industri dengan Direktorat Cukai. BPS mengestimasi ukuran perusahaan berdasarkan jumlah pekerja, dengan definisi perusahaan besar adalah perusahaan yang mempekerjakan lebih dari 100 pekerja. Direktorat Cukai mendefinisikan skala perusahaan berdasarkan skala produksi rokok. Maka, perusahaan dengan jumlah pekerja terbanyak cenderung sesuai dengan perusahaan yang memiliki skala produksi kecil atau sedang berdasarkan definisi Direktorat Cukai. Dapat diasumsikan bahwa akan terjadi tumpang tindih antara produsen kecil dengan produsen amat kecil, dimana keduanya mempunyai pekerja dengan jumlah kecil dan produksi skala kecil. Menurut data BPS ada sekitar 17.000 industri rumah tangga yang memproduksi tembakau, namun tidak diperhitungkan dalam statistik Direktorat Cukai. Perbedaan ini mungkin dikarenakan adanya perusahaan yang terdaftar di Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi namun belum terdaftar di
100
Untitled-6
LEM BA G A
Ekonomi Tembakau di Indonesia
100
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
Departemen Keuangan, atau perusahaan yang terdaftar namun tidak aktif dalam produksi rokok.
“Meskipun terdapat struktur cukai yang rumit, isu administrasi cukai yang paling penting dari perspektif penerimaan hanya berada pada beberapa perusahaan besar”
Tabel 6.4 menunjukkan sumbangan terbesar penerimaan cukai rokok berasal dari beberapa perusahaan besar. Enam perusahaan besar menyumbang 88,3 persen penerimaan cukai atau 75,1 persen dari total produksi pada tahun 2006. Ini menunjukkan bahwa, meskipun terdapat struktur cukai yang rumit, bagi administrasi cukai sumbangan yang paling penting dari segi penerimaan tergantung pada beberapa perusahaan besar.
6.4.
Administrasi Cukai, Pemalsuan, dan Penyelundupan
Terdapat kekhawatiran bahwa kenaikan cukai dan harga tembakau akan mengakibatkan kenaikan penjualan rokok ilegal. Dari sisi penerimaan negara, perdagangan rokok ilegal dapat mengakibatkan penurunan penerimaan cukai. Dari segi kesejahteraan sosial, penyelundupan meningkatkan ketersediaan rokok dengan harga rendah, dan harga rendah akan mendorong konsumsi. Berbagai bentuk perdagangan produk tembakau ilegal: bootlegging, produksi palsu, dan penyelundupan terorganisir. Bootlegging terjadi apabila seseorang membeli rokok di wilayah dengan cukai rendah dan menjualnya kembali di wilayah dengan cukai tinggi. Selisih tarif cukai adalah keuntungannya. Bootlegging pada umumnya berskala relatif kecil dan bukan bagian utama dari perdagangan ilegal pada skala dunia. Penyetaraan cukai antar negara dapat mengurangi bootlegging. Tingkat cukai di Indonesia jauh lebih rendah daripada negara-negara tetangganya, maka kenaikan cukai yang tinggi juga tidak akan mendorong adanya bootlegging ke dalam Indonesia. Produksi ilegal adalah produksi rokok yang melanggar hukum percukaian, atau hukum perizinan dan pembatasan produksi rokok. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai menyadari adanya produksi rokok ilegal
LEM BA G A
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Untitled-6
101
Ekonomi Tembakau di Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
101
dan telah mengambil langkah untuk menanggulanginya. Mereka memfokuskan pada produk tembakau yang dijual tanpa pita cukai, menggunakan pita cukai palsu, menggunakan pita cukai bekas, dan memanfaatkan pita cukai yang berbeda dari spesifikasi cukai untuk jenis rokok dan skala produksi. Pita cukai disediakan oleh Departemen Keuangan, dan dicetak oleh BUMN dan/atau institusi yang diberi wewenang oleh Departemen Keuangan. Cap pada pita cukai dirancang dengan teknologi keamanan pencetakan untuk melindungi dari pemalsuan. Cukai harus dibayar oleh produsen dalam waktu 45 hari sejak distribusi produk. Namun, perusahaan yang membayar untuk pembelian pita cukai dapat melakukan pembayaran dalam waktu 90 hari sejak pemesanan pita cukai. Importir rokok yang membayar dengan menggunakan pita cukai mempunyai waktu 60 hari sejak pemesanan pita sampai dengan waktu pembayaran cukai. Penundaan pembayaran di atas batas yang telah ditetapkan akan dikenakan sanksi administratif sebesar 10 persen dari total kewajiban cukai.28 Penyelundupan transit (juga disebut freight smuggling atau container smuggling) adalah masalah utama dalam perdagangan rokok ilegal.29 Penyelundupan transit menghindari seluruh cukai dengan cara mengalihkan produk dari rantai distribusi legal kepada pasar gelap. Rokok multinasional ‘merek Barat’ memiliki popularitas tinggi di kalangan penyelundup karena dapat dijual di berbagai negara. Penyelundup memesan dalam jumlah tinggi dari produsen; setelah kiriman meninggalkan pabrik, kiriman tersebut melalui berbagai transaksi di atas kertas, yang sangat sulit dilacak dan berakhir pada perusahaan palsu. Kiriman rokok tersebut lalu menghilang ke dalam pasar gelap. Sebagai akibat dari litigasi yang dilakukan oleh Amerika Serikat dan keterbukaan akses terhadap dokumen internal industri, dit emukan banyak bu kti keterli batan indu stri tembakau dalam penyelundupan transit untuk mengembangkan bisnis mereka di Asia, Afrika, dan Amerika Latin.30 Penyelundupan memungkinkan perusahaan rokok menembus pembatasan impor, sehingga perusahaan dapat memasuki pasar baru dan meluncurkan merek baru. Penyelundupan juga membantu mempertahankan harga tetap rendah, yang mendorong penjualan yang meluas.31 Penyelundupan rokok ke Indonesia belum merupakan masalah besar, dibandingkan dengan negara lain di ASEAN. Sumber-sumber Departemen Perindustrian menyebutkan bahwa terdapat peningkatan penjualan produk gelap dari 9,3 milyar batang menjadi 12,3 milyar batang antara tahun 2000 dan 2005,25 atau sekitar 5-6 persen dari total penjualan. Sebagai perbandingan dengan negara-negara dalam kawasan Asia lainnya,
102
Untitled-6
LEM BA G A
Ekonomi Tembakau di Indonesia
102
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
diestimasi persentase penyelundupan dibandingkan dengan penjualan mencapai sekitar 10 persen di Vietnam, 11 persen di Thailand, 21 persen di Malaysia, dan 14 persen di India.32 Salah satu alasan rendahnya penyelundupan adalah karena sebagian besar perokok Indonesia masih menyukai rokok kretek lokal, sedangkan perdagangan rokok ilegal umumnya didominasi oleh rokok putih. Penyelundupan ke dalam wilayah Indonesia juga tidak menguntungkan karena harga rokok kretek lebih murah daripada rata-rata harga rokok di negara-negara tetangga. Contohnya, harga sebungkus rokok di Indonesia sekitar US$ 0,72, sedangkan di Vietnam US$ 0,77, di Thailand US$ 0,92, di Malaysia dan India US$ 1,21, dan lebih dari US$ 3,00 di Singapura. Harga rata-rata rokok per bungkus di Asia Timur dan wilayah Pasifik adalah US$ 2,28, dan harga rata-rata di negara berpendapatan rendah adalah US$ 1,18.33
“Perbedaan harga antar negara memberikan insentif untuk melakukan penyelundupan, namun faktor lain yang juga penting adalah distributor tanpa izin dan peraturan serta perangkat hukum anti-penyelundupan yang tidak ketat.”
Penyelundupan rokok puti h ke Indonesia dini lai berpotensi menguntungkan. Penelitian yang didanai oleh BAT menunjukkan adanya preferensi konsumen Indonesia pada rokok selundupan dengan merek internasional.34 Penelitian melaporkan bahwa rokok gelap bermerek internasional dianggap lebih otentik daripada rokok putih domestik. Perbedaan h arga an t ar n egara ju ga memberi kan i n sen t i f penyelundupan, namun faktor lain juga penting. Faktor tersebut termasuk distributor tanpa izin dan peraturan serta perangkat hukum antipenyelundupan yang lemah. Contohnya, Singapura melaporkan penyelundupan sebesar 2 persen dari total penjualan, dan merupakan salah satu negara yang menerapkan tarif cukai tembakau tertinggi di kawasan Asia.32 Dalam FCTC pasal 15 , pemerintah negara-negara lain dalam kawasan Asia Tenggara dan Pasifik diwajibkan mengatasi penyelundu pan dalam beberapa l angkah spesifik. In i termasuk pengumpulan data mengenai perdagangan lintas negara, penguatan peraturan untuk mengendalikan perdagangan rokok ilegal, pemusnahan produk palsu dan selundupan, pemberlakuan tindakan-tindakan untuk mengawasi dan mengendalikan distribusi produk tembakau, dan
LEM BA G A
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Untitled-6
103
Ekonomi Tembakau di Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
103
pemberlakuan tindakan yang memperbolehkan penyitaan hasil pendapatan yang diperoleh dari kegiatan penyelundupan.
“Penyelundupan rokok berkembang di wilayah yang menganggap penyelundupan sebagai bukan tindak kriminal yang serius, dan daerah yang memiliki penegakan hukum yang relatif lemah.”
Produsen dan distributor yang tidak mengantongi surat izin memfasilitasi penyelundupan. Indonesia mewajibkan semua produsen, pemilik gudang, importir, distributor, dan pengecer barang yang terkena cukai untuk memiliki izin dalam bentuk Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai (NPPBKC) dari Departemen Keuangan. Sebelum pemberian izin, Direktorat Cukai akan mengadakan uji kepantasan dan kesesuaian (fit and proper test) dengan melihat profil produsen dalam menerapkan regulasi terkait dengan cukai. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai memiliki data nomor pokok perusahaan dan aktivitasnya. Pemilik NPPBKC (termasuk produsen, pemilik gudang, distributor, importir, atau pengecer) diwajibkan memiliki pembukuan atau pencatatan barang-barang produksi wajib kena cukai setelah proses produksi. Pembukuan ini harus dilaporkan secara berkala kepada Direktorat Cukai melalui Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai (KPPBC) yang mengawai perusahaan tersebut, sedangkan perusahaan yang menjual tembakau harus memberikan laporan bulanan. Penyelundupan rokok berkembang di wilayah yang menganggap penyelundupan sebagai bukan tindak kriminal yang serius, dan daerah yang memiliki penegakan hukum yang relatif lemah. Penerapan sanksi yang rendah untuk penyelundupan rokok dibandingkan produk lain seperti obat-obatan, membuat penyelundupan rokok menjadi menarik. Keuntungan besar dapat diperoleh dengan risiko ditangkap dan didakwa dengan sanksi yang ringan. Dibutuhkan peraturan yang mengurangi keuntungan dari penyelundupan rokok, dengan membuatnya menjadi kejahatan besar dengan menerapkan sanksi berat dan penegakan hukum yang lebih ketat. Di Indonesia, sanksi produksi dengan menggunakan pita cukai palsu adalah hukuman penjara satu sampai delapan tahun, dan denda antara sepuluh sampai duapuluh kali nilai cukai yang seharusnya dibayarkan. Sanksi untuk pengecer yang menjual produk tembakau tanpa pita cukai meliputi hukuman penjara 1-5 tahun dan/atau denda 2-10 kali nilai cukai yang
104
Untitled-6
LEM BA G A
Ekonomi Tembakau di Indonesia
104
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
seharusnya dibayarkan. Sekarang sudah terdapat teknologi untuk menciptakan pita cukai atau tanda pada pembungkus rokok yang mempermudah pelacakan rokok dalam jalur distribusi, dan jika digabungkan dengan perizinan, akan mempermudah pelacakan dan pemberian sanksi pada pelaku penyelundupan.
Catatan Akhir Bab 6 1
Departemen Perindustrian, Republik Indonesia. 2007. Roadmap Industri Hasil Tembakau dan Kebijakan Cukai, 2007-2020. Maret.
2
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI
3
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI
4
Statistik Anggaran. APBN 2007-2008. Departemen Keuangan 2007.
5
L. Castles. 1967. “Religion, Politics, and Economic Behavior in Java: The Kudus Cigarette Industry.” Cultural Report Series No. 15, Southeast Asia Studies, Yale University.
6
L. Tarmidi. 1996. “Changing Structure and Competition in the Kretek Cigarette Industry.” Bulletin of Indonesian Economic Studies. 32 (3); 85-107 .
7
World Bank, April 2007.
8
K. Bird. 1999. Industrial Concentration and Competition in Indonesian Manufacturing. Doctoral Thesis. Australian National University 1999. Bird menjelaskan bahwa kebijakan tersebut, sementara diterapkan cukup ketat kepada perusahaan multinasional besar, diterapkan relatif lunak terhadap perusahaan kecil milik asing yang diberi ijin memproduksi rokok putih pada tahun 1980-an.
9
Data dari Roadmap Industri Hasil Tembakau dan Kebijakan Cukai(IHT); Direktorat Jenderal Indistri Agro-Kimia. Departemen Tenaga Kerja. Peluang untuk Produk Hasil Industri Tembakau, Pertemuan pada tanggal 8 Maret 2007.
10
Hasil wawancara dengan Direktorat Cukai, 21 Januari 2008.
11
B. Guerin. 2007. Smoking US-Indonesia trade debate. Asia Times. Sept 12.
12
M. Zeller. 2000. Exposure and harm reduction. Paper presented at the International Conference: Advancing Knowledge on Regulating Tobacco Products, Oslo, Norway, 9-11 Feb. 2000. Dalam WHO Advancing knowledge on regulating tobacco products.
13
Facts about Light and Mild Cigarettes. The Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health.
14
Lihat ringkasan literatur dalam ASH UK
15
Advancing knowledge on regulating tobacco products. Geneva,World Health Organization, 2000
16
Kebijakan untuk memperluas dan meningkatkan cukai tembakau. Departemen Keuangan.
17
Pemerintah menaikan cukai rokok, Press Release Departemen Perdagangan, Juli 2007.
18
The Framework Convention on Tobacco Control Text, PART II: OBJECTIVE, GUIDING PRINCIPLES AND GENERAL OBLIGATIONS, Article 3 Objective
19
Updated status of the WHO Framework Convention on Tobacco Control, World Health Organization website
LEM BA G A
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Untitled-6
105
Ekonomi Tembakau di Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
105
20
Indonesia Progress Report on the Millennium Development Goals, 2004 and 2005. Ministry of Planning, Republic of Indonesia and the United Nations Development Program (UNDP).
21
PM. Ling, A. Landman, SA. Glantz. 2002. “It is time to abandon youth access tobacco programmes.” Tobacco Control. 11: 3-6
22
KE. Warner, FJ. Chaloupka, PJ. Cook, WG. Manning , JP. Newhouse, TE. Novotny, TC. Schelling, dan J. Townsend. 1995. “Criteria for determining an optimal cigarette tax: the economist’s perspective.” Tobacco Control. 4;380-386 doi:10.1136/tc.4.4.380
23
Departemen Keuangan. Kebijakan Ekstensifikasi cukai dan intensifikasi cukai hasil tembakau. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2007 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 Tentang Cukai.
24
J. Gruber, B. KQszegi. 2008. A Modern Economic View of Tobacco Taxation. The International Union Against Tuberculosis and Lung Disease. Paris. February.
25
Cigarettes in Indonesia. Euromonitor 2007.
26
S. Marks 2003 dan Euromonitor 2007.
27
Lihat SK Menteri Keuangan 125/1999.
28
Detail tentang administrasi cukai disebutkan dalam UU no 39/2007 pasal 7, dan Keputusan Menteri Keuangan (KMK) No.240/KMK.05/1996, KMK No.105/KMK.05/1997, dan PMK No.60/PMK.04/2007
29
Tackling the illicit trade in tobacco, ASEAN inter-sessional meeting, 4-7 March 2002.
30
K. Lee dan J. Collin .2006. “Key to the Future: British American Tobacco and Cigarette Smuggling in China”. PLoS Med 3(7); Towards health with justice, WHO 2002; J. Collin, E. LeGresley, R. MacKenzie, S. Lawrence dan K. Lee. 2004. “Complicity in contraband: British American Tobacco and cigarette smuggling in Asia”. Tobacco Control. 13:ii104-ii111; BAT and smuggling; ASH UK; and Tobacco industry involvement in cigarette smuggling ASH Canada
31
Seberapa besar masalah penyelundupan perdagangan rokok pada tahun 2006? Framework Convention Alliance (FCA). Dipersiapkan untuk sesi kedua Conference of the Parties dari WHO FTCT. 30 Juni – 6 Juli 2007, Bangkok. Thailand.
32
D. Merriman, A. Yurekli dan FJ. Chaloupka. 2002. How big is the worldwide cigarette smuggling problem? Dalam Tobacco Control in Developing Countries, Oxford University Press; and How big was the global illicit tobacco trade problem in 2006? June 30-July 6, 2007, Bangkok, Thailand.
33
Angka disediakan oleh Ayda Yurekli, Penasihat Ekonomi WHO.
34
J. Collin, E. LeGresley, R. MacKenzie, S. Lawrence S dan K. Lee. 2004. “Complicity in contraband: British American Tobacco and cigarette smuggling in Asia.” Tobacco Control. 13:ii104-ii111
106
Untitled-6
LEM BA G A
Ekonomi Tembakau di Indonesia
106
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
B A B 7
KE SIM PULAN
LEM BA G A
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Untitled-6
107
Ekonomi Tembakau di Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
107
108
Untitled-6
LEM BA G A
Ekonomi Tembakau di Indonesia
108
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
Dampak sosial dan ekonomi dari konsumsi tembakau di Indonesia selama ini sangat kurang mendapat perhatian karena diperlukan rentang waktu lebih dari 25 tahun antara saat mulai merokok pertama kali sampai saat munculnya banyak penyakit kronis. Sehingga dampak negatif terhadap kesehatan atas kenaikan konsumsi rokok yang pesat antara tahun 1970an dan 1980-an saat ini baru mulai dirasakan. Saat ini, lebih dari setengah dari 57 juta perokok di Indonesia akan mati karena penyakit yang disebabkan oleh rokok. Studi ini menggaris bawahi potensi pengaruh kebijakan harga dan cukai tembakau dalam mengurangi masalah kesehatan dan kemiskinan, dengan menekankan pada faktor kegagalan pasar, perlindungan anak, dan mengembalikan biaya atas dampak konsumsi tembakau kepada masyarakat. Studi ini menyimpulkan lima rekomendasi. 1. Penyederhanaan sistem cukai tembakau melalui penghapusan pengkategorian skala produksi, menggantikannya dengan cukai spesifik yang seragam, meningkatkan dan melaksanakan tarif cukai yang seragam terhadap semua produk tembakau, dan secara otomatis menyesuaikan tarif cukai dengan tingkat inflasi. Sistem pencukaian tembakau dapat disederhanakan dengan menghapus sistem berdasarkan skala produksi, menggantikannya dengan cukai yang seragam, dan menerapkan peningkatan cukai yang proporsional terhadap semua produk. Pada saat ini, pencukaian dengan sistem skala produksi, perusahaan mempunyai peluang untuk secara sah (legal) menghindarkan tarif cukai yang paling tinggi, yang mengakibatkan berkurangnya pendapatan negara dari cukai rokok ini dan berdampak negatif terhadap kesejahteraan masyarakat. Cukai spesifik yang lebih besar dan seragam akan sangat memudahkan pengelolaan dari segi administrasi, memproteksi pendapatan negara dari dampak perang harga, dan memudahkan perencanaan atau forecasting pendapatan negara. Sebagai tambahan, penerapan cukai spesifik yang seragam akan menurunkan hasrat untuk mengkonsumsi rokok, dengan asumsi bahwa penurunan konsumsi rokok tersebut cukup besar untuk menggantikan pertumbuhan pendapatan dan secara otomatis cukai spesifik ini disesuaikan dengan inflasi. Peningkatan cukai rokok yang setara untuk semua produk rokok diperlukan untuk meminimumkan substitusi konsumsi produk-produk tembakau.
LEM BA G A
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Untitled-6
109
Ekonomi Tembakau di Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
109
2. Mengimplementasikan tarif cukai tertinggi yang diperbolehkan oleh Undang-Undang (57 persen) untuk semua produk tembakau. Tarif cukai saat ini berada jauh di bawah tarif maksimum yang diatur dalam Undang-undang. Studi ini menyimpulkan, penerapan tarif cukai maksimum akan menyebabkan terhindarnya antara 1,7 juta sampai 4 juta kematian akibat rokok. Dampak aktual penerapan tarif cukai maksimum tersebut akan lebih besar terhadap kesehatan karena hal tersebut akan membutuhkan kenaikan pajak di semua produk, dimana akan mengurangi substitusi Pemberlakuan cukai spesifik yang seragam dan meminimumkan perbedaan tarif cukai antar produk rokok juga mencegah kematian dalam jumlah yang sama. Pajak spesifik yang mengenakan pajak yang sama per batang rokok lebih efektif dalam menghambat perokok pemula. Kenaikan tarif cukai sampai tingkat tersebut juga akan memberikan tambahan penerimaan negara yang substansial, bernilai sebesar Rp 29,1 triliun sampai Rp 59,3 triliun (US$ 3,2 milyar sampai US$ 6,5 milyar). Pencapaian pagu global 70 persen dari harga jual melalui cukai spesifik daripada ad valorem, akan berpengaruh besar bagi kesehatan. Penelitian yang mensimulasikan kenaikan cukai sebanyak dua kali lipat melaporkan bahwa ada 6 (enam) sektor perekonomian yang akan menerima dampak negatif dan akan mendorong pertumbuhan di 60 sektor lainnya. Hal tersebut merupakan hasil dari pengalihan pengeluaran rumah tangga untuk konsumsi rokok yang besar ke komoditas lain atau untuk investasi yang akan memberikan keuntungan ekonomi lebih tinggi. Hasil akhirnya adalah dampak positif neto terhadap output ekonomi mencapai Rp 335,4 milyar atau US$ 36,8 juta, kenaikan pendapatan rumah tangga sebesar Rp 491,6 milyar atau US$ 54,1 juta dan kenaikan kesempatan kerja sebesar 281.135 pekerjaan. 3. Penelaahan kembali tujuan menciptakan kesempatan kerja dari sistem penetapan cukai tembakau, dan mengevaluasi apakah ada program atau kebijakan lain yang lebih efektif dalam meningkatkan kesempatan kerja. Sebagian dari kerumitan sistem tarif cukai tembakau saat ini dapat dijelaskan dari tujuan untuk meningkatkan kesempatan kerja. Sistem tarif cukai saat ini menerapkan cukai yang lebih rendah bagi perusahaan rokok linting dan yang beroperasi pada skala produksi yang rendah. Kebijakan ini terutama bertujuan untuk melindungi perusahaan kecil dengan menerapkan tarif cukai yang lebih tinggi bagi perusahaan
110
Untitled-6
LEM BA G A
Ekonomi Tembakau di Indonesia
110
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
dengan skala produksi lebih besar. Akan tetapi, meskipun telah dilakukan beberapa kal i perbai kan t ari f cu kai yan g bert u ju an u n t u k menguntungkan perusahaan kecil (rokok kretek linting tangan), nyatanya proporsi produksi dari perusahaan kecil terus menurun antara tahun 2000-2005. Pertumbuhan yang relatif rendah dari industri pengolahan tembakau ternyata tidak sebanding dengan pesatnya pertumbuhan industri pengolahan secara keseluruhan. Jadi tujuan untuk meningkatkan kesempatan kerja melalui kebijakan tarif cukai saat ini hendaknya ditinjau kembali. Sistem cukai tembakau yang bertujuan untuk melindungi perusahaan kecil dari persaingan usaha kiranya tidak merupakan alat yang efisien untuk meningkatkan kesempatan kerja – dibanding dengan, misalnya, pemberian kredit berskala kecil atau investasi di bidang pendidikan dan pembangunan manusia. 4. Dalam menetapkan kenaikan tarif cukai tembakau, perlu diikutsertakan dampak berkurangnya kesejahteraan sosial akibat konsumsi tembakau, termasuk kegagalan pasar yang terkait dengan kurangnya informasi kesehatan dan efek adiktif, serta perilaku yang mencerminkan preferensi jangka pendek dibanding jangka panjang, eksternalitas negatif konsumsi tembakau, dan kontribusi konsumsi rokok terhadap kemiskinan. Undang-Undang Cukai menyatakan bahwa tujuan ditetapkannya cukai adalah untuk mengurangi konsumsi dan mengatur distribusi produk tembakau, dan mengidentifikasi peran pemerintah dalam menggunakan cukai untuk mengurangi risiko terhadap kesehatan dan lingkungan, atau mendorong keadilan dan kesetaraan. Pada prakteknya, cukai pada produk tembakau ini belum digunakan sebagai alat untuk mengurangi konsumsi dan memperbaiki kesehatan serta kesejahteraan sosial. Tarif cukai rokok masih rendah dibandingkan standar yang ada, dan harga riil tetap tidak mengalami perubahan sejak tahun 1980-an. Sistem tersebut menciptakan jurang yang lebar pada harga antar produk, dan tembakau menjadi semakin terjangkau. Konsumsi tembakau secara terus menerus meningkat sepanjang waktu, dan prevalensi merokok pada anak dan remaja juga meningkat. Tarif cukai tembakau harus ditetapkan pada level yang melampaui eksternalitas yang diakibatkan konsumsi tembakau. Hal ini termasuk pengeluaran pemerintah untuk perawatan kesehatan dan penyakit yang diakibatkan oleh konsumsi rokok, kerugian ekonomis atas penurunan produktivitas tenaga kerja dalam pekerjaannya, kematian dini akibat
LEM BA G A
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Untitled-6
111
Ekonomi Tembakau di Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
111
konsumsi tembakau, dan berkurangnya dana investasi untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia (human capital) yang seharusnya untuk perawatan kesehatan dan peningkatan pendidikan anak. Sebagian besar penduduk Indonesia mulai merokok sebelum usia 19 tahun, sementara itu nikotin bersifat sangat adiktif dan mereka tidak sepenuhnya mengerti risiko jangka panjang dari merokok. Sementara itu, individu cenderung membuat keputusan yang memberikan manfaat jangka pendek daripada manfaat jangka panjang, dan sebagian besar perokok gagal untuk mencoba berhenti merokok. Melalui cukai, pemerintah dapat menolong konsumen dalam membuat keputusan untuk konsumsi berdasarkan informasi dengan cara menyediakan informasi biaya yang sebenarnya dengan lebih akurat. Akan lebih sulit untuk dinilai adalah biaya yang ditanggung masyarakat dan keluarga akibat kematian prematur anggota keluarga yang disebabkan oleh konsumsi rokok. 5. Mempertimbangkan penggunaan sebagian dari penerimaan cukai untuk mendorong ekonomi daerah yang dapat terimbas dampak negatif dari berkurangnya konsumsi rokok, kesehatan dan untuk program pengendalian tembakau. Meskipun kontribusi industri pengolahan tembakau secara relatif kecil dipandang dari sudut perekonomian nasional atau propinsi, beberapa kabupaten memang sangat tergantung pada industri ini. Undang-undang cukai menyadari terkonsentrasinya industri tembakau tersebut, dan menetapkan penyisihan 2 persen dari seluruh pendapatan cukai tembakau dialokasikan untuk daerah yang memproduksi tembakau/rokok. Perlu diingat bahwa 6 (enam) produsen besar menyumbang 88,3 persen dari seluruh pendapatan atas cukai, atau 75,1 persen dari seluruh total produksi; meskipun lebih dari 3.000 produsen kecil membayar cukai, banyak diantara produsen kecil ini meniru - menjiplak merek-merek populer. Jadi dapat diperkirakan bahwa produsen-produsen kecil ini tidak akan bertahan hidup dengan peraturan yang lebih ketat. Dengan peningkatan cukai yang dianjurkan dalam rekomendasi 1, penyisihan 2 persen tersebut akan memberikan nilai sekitar Rp 836 milyar (US$ 92 juta) bagi daerah produsen rokok di tahun 2008. Dengan rekomendasi kenaikan cukai pada butir 2, penyisihan tersebut akan naik menjadi Rp 1,4 triliun sampai Rp 2 triliun
112
Untitled-6
LEM BA G A
Ekonomi Tembakau di Indonesia
112
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
(US$ 155,9 juta – US$ 222,5 juta). Sumber dana ini dapat diarahkan untuk membantu transisi tenaga kerja dari sektor tembakau ke sektor lain dalam perekonomian, termasuk alternatif hasil panen lain, spesialisasi dukungan pengembangan sektor pertanian atau jaringan perdagangan yang memungkinkan masuknya tenaga kerja ke dalam pasar produk baru, pelatihan keahlian/keterampilan, kredit skala kecil atau program pengembangan ekonomi atau pengembangan sumber daya manusia lainnya. Program pembangunan sosial yang disebutkan dalam undang-undang dapat memasukkan program kesehatan dan pengendalian tembakau secara lebih luas.
LEM BA G A
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Untitled-6
113
Ekonomi Tembakau di Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
113
114
Untitled-6
LEM BA G A
Ekonomi Tembakau di Indonesia
114
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
B A B 8
TABEL LAMPIRAN
LEM BA G A
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Untitled-6
115
Ekonomi Tembakau di Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
115
116
Untitled-6
LEM BA G A
Ekonomi Tembakau di Indonesia
116
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
LEM BA G A
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Untitled-6
D EM O G RAF I
117
Ekonomi Tembakau di Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
117
Sumber : Survei Sosial Ekonomi Nasional 1995. 2001. 2004. Aceh dan Maluku tidak termasuk untuk 2001. Responden tahun 2004 berusia 15 tahun ke atas. The Tobacco Sourcebook, dan Lembaga Demografi,Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia
Lampiran 2.1. Angka Prevalensi Merokok Menurut Kelompok Usia dan Jenis Kelamin. 1995, 2001, 2004
Lampiran 2.2. Angka Prevalensi Merokok Laki-laki dan Perempuan menurut Propinsi dan Jenis Daerah, 1995, 2001, 2004
Sumber : Survei Sosial Ekonomi Nasional 1995. 2001. 2004. Aceh dan Maluku tidak termasuk untuk 2001. Responden tahun 2004 berusia 15 tahun ke atas. The Tobacco Sourcebook, dan Lembaga Demografi, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
118
Untitled-6
LEM BA G A
Ekonomi Tembakau di Indonesia
118
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
LEM BA G A
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Untitled-6
D EM O G RAF I
119
Ekonomi Tembakau di Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
119
Sumber : Survei Sosial Ekonomi Nasional 1995. 2001. 2004. Aceh dan Maluku tidak termasuk untuk 2001. Responden tahun 2004 berusia 15 tahun ke atas. The Tobacco Sourcebook, dan Lembaga Demografi, Universitas Indonesia
Lampiran 2.3. Angka Prevalensi Merokok menurut Tingkat Pendidikan dan Pengeluaran, dan Jenis Kelamin, 1995, 2001 and 2004
Lampiran 2.4. Persentase Perokok berdasarkan Preferensi terhadap Jenis Rokok, menurut Kelompok Usia
Sumber : IFLS, 2000.
120
Untitled-6
LEM BA G A
Ekonomi Tembakau di Indonesia
120
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
Lampiran 2.5. Persentase Pengeluaran Bulanan Rumah Tangga berdasarkan Jenis Pengeluaran dan Jenis Rumah Tangga (Perokok dan Non-perokok), 2005
Sumber : Susenas. Lembaga Demografi, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia
LEM BA G A
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Untitled-6
121
Ekonomi Tembakau di Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
121
Lampiran 2.6. Pengeluaran Tembakau dan Sirih sebagai Proporsi terhadap Total Pengeluaran Rumah Tangga, 1995-2005
Sumber : Susenas.
Lampiran 2.7. Usia Rata-Rata Mulai Merokok untuk Perokok kini (dalam tahun)
Sumber : Susenas.
Lampiran 2.8. Persentase Perokok Kini menurut Kelompok Usia Pertama Merokok
Sumber : Survei Sosial Ekonomi Nasional 1995. 2001. 2004. Aceh dan Maluku tidak termasuk untuk 2001. Responden tahun 2004 berusia 15 tahun ke atas. The Tobacco Sourcebook, dan Lembaga Demografi, Universitas Indonesia
122
Untitled-6
LEM BA G A
Ekonomi Tembakau di Indonesia
122
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
LEM BA G A
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Untitled-6
D EM O G RAF I
123
Ekonomi Tembakau di Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
123
Sumber : Indonesian Family Life Survey, Witeolar dkk 2006.
Lampiran 2.9.Prevalensi Merokok diantara Laki-laki, 1995, 1997, 2000
Lampiran 3.1. Formulir Penghitungan Harga Jual Eceran (HJE) untuk Produk Tembakau Domestik (CK-21A)
Kalkulasi berdasarkan …. Batang rokok, yang menggunakan bahan baku …..kg campuran tembakau,…..Kg cengkeh, dan / atau …… kg batang cengkeh
Sumber : Peraturan Direktoral Jenderal Bea Cukai; No. 07/BC/2005
124
Untitled-6
LEM BA G A
Ekonomi Tembakau di Indonesia
124
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
LEM BA G A
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Untitled-6
D EM O G RAF I
125
Ekonomi Tembakau di Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
125
Sumber : Peraturan Menteri Keuangan tertulis di website Direktorat Cukai:
Lampiran 3.2. Perubahan Tarif Cukai Rokok berdasarkan Jenis Produk dan Skala Produksi, 1996-2007
126
Untitled-6
Ekonomi Tembakau di Indonesia
126
LEM BA G A
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
D EM O G RAF I
Sumber : Ketetapan Departemen Keuangan No. 118.PMK.04/2006, berlaku Maret 2007, pajak spesifik berlaku Juli 2007, dan No. 134/PMK.04/2007, berlaku 1 Januari 2008. Skala produksi ditetapkan di 43/ PMK.04/2005, berlaku Juli 2005, dan No. 134/PMK.04/2007, berlaku 1 Januari 2008. HJE: Harga Jual Eceran, KLB: Klobot, rokok dibungkus kulit jagung, KLM: Kelembak, rokok kemenyan, SPT: Sigaret putih tangan. NA: tidak berlaku
Lampiran 3.3. Tarif Cukai Tembakau untuk Net Eksportir (jumlah ekspor lebih tinggi dari penjualan domestik) (A), dan Tarif Cukai Produk Tembakau Impor (B)
Lampiran 3.4. Formulir Penghitungan Harga Jual Eceran untuk Produk Tembakau Impor (CK-21B)
Sumber : Ketetapan Dirjen Bea Cukai No. 07/BC/2005
LEM BA G A
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Untitled-6
127
Ekonomi Tembakau di Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
127
Lampiran 5.1. Peringkat Negara Produsen Daun Tembakau, 2005
Sumber : FAOSTAT, Food and Agricultural Organization Statistics Division. http://www.fao.org/es/ess/top/country.html?lang=en
128
Untitled-6
LEM BA G A
Ekonomi Tembakau di Indonesia
128
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
Lampiran 5.2. Produksi Daun Tembakau, Kuantitas Ekspor dan Impor dan Rasio Impor Ekspor, Indonesia, 1971 - 2005
Sumber: Departemen Pertanian. Statistik Pertanian, BPS, 2002. Statistik Ekspor Impor 2001; Catatan: SITC (Standard International Trade Classifications) Ibid*) Catatan: Net Ekspor = nilai US$ ekspor dikurangi nilai US$ impor.
LEM BA G A
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Untitled-6
129
Ekonomi Tembakau di Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
129
Lampiran 5.3. Persentase Area Penanaman Tembakau terhadap Total Lahan, Indonesia, 2000-2005
Sumber : FAO STAT dan Departemen Pertanian . HA =hektar; Statistik FAO cukup berbeda dengan Departemen Pertanian (Annex 5.5-5.6)
Lampiran 5.4. Persentase Area Penanaman Tembakau terhadap Lahan Total menurut Propinsi, 2005
Sumber: Departemen Pertanian, Statistik Komoditi Pertanian Indonesia 2004-2006. BPS, Lahan dan pemanfaatan di Indonesia, 2005. Catatan: Lahan total adalah area lahan sawah ditambah lahan bukan sawah dikurangi rawa dan kolam. Terdapat perbedaan jumlah total lahan yang dilaporkan FAO (Tabel 5.5) dan Departemen Pertanian (Tabel 5.6).
130
Untitled-6
LEM BA G A
Ekonomi Tembakau di Indonesia
130
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
Lampiran 5.5. Proporsi Petani Tembakau terhadap Total Tenaga Kerja, 1996-2005
Sumber : Departemen Pertanian, Desember 2006, * perkiraan awal BPS (SAKERNAS) dan Departemen Pertanian, beberapa tahun. Lembaga Demografi, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia.
Lampiran 5.6. Produksi Cengkeh, Rasio Ekspor dan Impor, 1990-2005
Sumber : FAO statistical database
LEM BA G A
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Untitled-6
131
Ekonomi Tembakau di Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
131
Lampiran 5.7. Rangkuman Biaya, Penerimaan, dan Laba (dalam Rp) dari Tembakau dibandingkan dengan Hasil Lahan Lain dalam Tingkat Input Tinggi dan Rendah, Jawa Tengah, Indonesia
Sumber : John C. Keyser and Nila Ratna Juita, Smallholder Tobacco Growing in Indonesia: Costs and Profitability Compared with Other Agricultural Enterprises World Bank HNP discussion paper. Feb 2007; summarized in Curbing the Tobacco Epidemic in Indonesia: Evidence and Options, Draft January 2004. The World Bank.
Lampiran 5.8. Pangsa Pasar 8 Perusahaan Rokok 1979, 1989, 1994 (%)
Sumber : Bird, 1999.
132
Untitled-6
LEM BA G A
Ekonomi Tembakau di Indonesia
132
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
Lampiran 5.9. Pangsa Pasar Industri Kretek dan Rokok Putih, 1995-1998
Sumber : Jardin Fleming Research (1999)
LEM BA G A
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Untitled-6
133
Ekonomi Tembakau di Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
133
Lampiran 5.10. Produksi Rokok Tahunan, Kuantitas Ekspor dan Impor Daun Tembakau, dan Rasio Ekspor Impor
Sumber : Departemen Pertanian. Statistik Pertanian, Badan Pusat Statistik, 2002. Statistik Ekspor Impor 2001; Catatan: SITC (Standard International Trade Classifications) Ibid*)
134
Untitled-6
LEM BA G A
Ekonomi Tembakau di Indonesia
134
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
Lampiran 5.11. Jumlah Perusahaan Pengolahan Tembakau menurut Skala Industri Indonesia, 2004
Sumber : Indikator Usaha Besar dan Menengah, BPS (terbaru) 2004.
LEM BA G A
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Untitled-6
135
Ekonomi Tembakau di Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
135
Lampiran 5.12. Jumlah Pekerja di Perusahaan Pengolahan Tembakau Indonesia, 1970 - 2004
Sumber : Bank Dunia, Departemen Perindustrian, Lembaga Demografi, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia
136
Untitled-6
LEM BA G A
Ekonomi Tembakau di Indonesia
136
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
Lampiran 5.13. Peringkat Kontribusi Semua Sektor terhadap Lapangan (Ahsan 2007)
LEM BA G A
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Untitled-6
137
Ekonomi Tembakau di Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
137
Sumber : Ahsan A dan Wiyono NH. The Impact of higher cigarette prices to employment in Indonesia
138
Untitled-6
LEM BA G A
Ekonomi Tembakau di Indonesia
138
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
Lampiran 5.14. Jumlah Perusahaan Rokok Kretek dan Rokok Putih, 1961-2004
Sumber : Statistik Skala Industri Besar dan Menengah, BPS, Beberapa tahun. Industri: Manufaktur; Pertambangan, Listrik, Gas and Air, Konstruksi; Transportasi, Penyimpanan and Komunikasi. NA: tidak ada informasi
LEM BA G A
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Untitled-6
139
Ekonomi Tembakau di Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
139
Lampiran 5.15. Lokasi dan Jumlah Perusahaan Rokok Kretek, 1961-1993
Sumber : Tarmidi 1996.
Lampiran 5.16. Jumlah Pekerja Sektor Pengolahan Tembakau di Beberapa Provinsi, Indonesia
Sumber : Statistik Manufaktur Besar dan Menengah, Beberapa Tahun dan Provinsi. www.datastatistik-indonesia.com
140
Untitled-6
LEM BA G A
Ekonomi Tembakau di Indonesia
140
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
Lampiran 6.1. Persentase Penerimaan Cukai terhadap Total Penerimaan Pemerintah dan terhadap Total Penerimaan Pajak, 1979-2006
Sumber : Departemen Keuangan (total cukai dan penerimaan), Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (Penerimaan cukai tembakau dan total)
LEM BA G A
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Untitled-6
141
Ekonomi Tembakau di Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
141
Lampiran 6.2. Proporsi Penerimaan Cukai Berdasarkan Jenis Rokok. 1979-2005
Sumber : Estimasi Departemen Perindustrian
142
Untitled-6
LEM BA G A
Ekonomi Tembakau di Indonesia
142
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
Lampiran Rincian Penerimaan dan Hibah dalam Anggaran Lampiran 6.3. APBN6.3. 2008 (miliar rupiah) Penerimaan dan Belanja Negara, 2008 (Miliar Rupiah) % dari total % dari total RAPBN penerimaan dan penerimaan hibah Baris A. Penerimaan dan hibah 761.40 100.00 I. Penerimaan Domestik 759.3 99.7 1. Penerimaan Pajak 583.7 76.7 100 a. Pajak Domestik 568.3 74.6 97.4 i. Pajak Penghasilan 305.3 40.1 52.3 ii. Pajak Pertambahan Nilai 186.6 24.5 32 iii. Pajak Bumi dan Bangunan 24.2 3.2 4.1 iv. Bea PBB 4.9 0.6 0.8 v. Cukai 44.4 5.8 7.6 vi. Lainnya 2.9 0.4 0.5 b. Pajak Perdagangan Internasional 15.4 2.0 2. Penerimaan Non-Pajak 175.6 23.1 II. Hibah 2.1 0.3 Sumber: Statistik anggaran Data Pokok, APBN 2006-2007, Departemen Keuangan
Sumber : Statistik anggaran Data Pokok, APBN 2006-2007, Departemen Keuangan
LEM BA G A
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Untitled-6
143
Ekonomi Tembakau di Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
143
Lampiran 6.4. Perubahan Regulasi Pengendalian Tembakau Indonesia, 1999-2007
144
Untitled-6
LEM BA G A
Ekonomi Tembakau di Indonesia
144
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
Bagian
Pembungkusan dan penandaan
LEM BA G A
Bab
PP No. 81, 1999
PP No. 38, 2000
PP No. 19, 2003
Peringatan Kesehatan
Peringatan kesehatan harus disertakan dalam iklan
sama dengan PP sebelumnya
Selain peringatan kesehatan, tingkat nikotin dan tar harus disertakan.
tidak tersedia
Sanksi dan hukuman
Produsen, pengiklan, dan pengecer dapat didenda hingga Rp 100.000.000 (US$ 10.000) atau dipenjara selama 5 tahun karena pelanggaran ketentuan iklan.
sama dengan PP sebelumnya
Sanksi pelanggaran dihapus
Peringatan kesehatan
Peringatan kesehatan harus mudah dibaca
sama dengan PP sebelumnya
Peringatan kesehatan resmi: "Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi dan gangguan janin".
Depkes dan Menkokesra mengizinkan 5 peringatan kesehatan alternatif.
Peringatan kesehatan harus disertakan dalam kemasan sebesar 15% dari sisi lebar kemasan Peringatan kesehatan resmi: "Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, gangguan kehamilan dan gangguan janin".
Pelanggaran iklan langsung dan tidak langsung serta promosi rokok: sebanyakbanyaknya 5 tahun penjaran dan denda sebanyak-banyaknya Rp 1 milyar (US$ 100.000). Pelanggaran ketentuan menunjukkan gambar orang merokok pada media cetak, elektronik, dan lainnya: sebanyakbanyaknya 3 tahun penjara dan denda hingga Rp 500 juta (US$ 50.000) Peringatan kesehatan tertulis dan/atau berbentuk gambar harus diletakkan pada kedua sisi lebar bungkusan, sebesar 50% luas pembungkus, dan dengan huruf yang besar, jelas, dapat dilihat, meyakinkan, dan dirotasi. sama dengan PP sebelumnya (akan ditentukan oleh kementerian)
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Untitled-6
145
RUU 2007
Ekonomi Tembakau di Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
145
146
Untitled-6
LEM BA G A
Ekonomi Tembakau di Indonesia
146
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
Bagian
Bab
Penyertaan tingkat emisi
PP No. 81, 1999
Penyertaan tingkat tar dan nikotin diwajibkan
PP No. 38, 2000
sama dengan PP sebelumnya
PP No. 19, 2003
Wajib disertakan tingkat tar dan nikotin per batang rokok.
Jumlah batang minimal Pembungkusan dan penandaan (lanjutan)
Sanksi dan hukuman
Regulasi produk dan penyertaaan informasi
Emisi
(Disebut sebagai produksi dalam RUU)
LEM BA G A
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Untitled-6
147
RUU 2007 Pembungkusan dan penandaan harus dalam bahasa Indonesia Dilarang menggunakan kata-kata atau istilah yang dapat disalahartikan. Informasi mengenai emisi harus dijelaskan dengan cara yang jelas dan mudah dibaca sama dengan PP sebelumnya
Setiap bungkus rokok minimal memiliki 12 batang. Produsen, pengiklan, dan pengecer dapat didenda sebanyakbanyaknya Rp 100.000.000 (US$ 10.000) atau lima tahun penjara karena pelanggaran ketentuan iklan, dan denda sebanyakbanyaknya Rp 10 juta (US$ 1000) karena tidak menyertakan peringatan kesehatan. Tingkat sebanyakbanyaknya nikotin dan tar tidak boleh melebihi 1,5mg dan 20mg per batang Setiap batang rokok harus melalui pengujian tingkat tar dan nikotin
sama dengan PP sebelumnya
Sanksi pelanggaran dihapus
Pelanggaran dari produsen dan importir yang menggunakan kata-kata atau istilah yang dapat disalahartikan akan dihukum 3 tahun penjara dan didenda Rp 500 juta (US$ 50.000) Produsen dan importir yang tidak menyertakan informasi mengenai tingkat nikotin, tar, dan karbon monoksida dalam label secara jelas akan dihukum penjara 3 tahun dan didenda sebanyak-banyaknya Rp 500 juta (US$ 50.000). Produsen dan importir yang tidak menyertakan peringatan kesehatan pada label akan dihukum penjara selama 5 tahun dan didenda sebanyakbanyaknya Rp 1 milyar (US$ 100.000)
sama dengan PP sebelumnya
Batasan tingkat tar dan nikotin sebanyakbanyaknya dihapuskan
Tidak disebutkan
sama dengan PP sebelumnya
Setiap seri produksi harus melalui pengujian tingkat tar dan nikotin dalam laboratorium terakreditasi.
Setiap batang rokok yang diproduksi harus melalui pengujian tingkat emisi dari laboratorium terakreditasi.
Ekonomi Tembakau di Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
147
Lampiran 6.5. Perbandingan ukuran perusahaan menurut BPS dan Direktorat Cukai
Sumber : Jumlah perusahaan berdasarkan BPS, angka pajak dari “Strategi Arah Kebijakan Cukai Produk Tembakau (Excise Roadmap) 2007-2010.” Direktorat Cukai Mei 2007.
148
Untitled-6
LEM BA G A
Ekonomi Tembakau di Indonesia
148
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
B A B 9
BIBLIOGRAPHY
LEM BA G A
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Untitled-6
149
Ekonomi Tembakau di Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
149
150
Untitled-6
LEM BA G A
Ekonomi Tembakau di Indonesia
150
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
Achadi, A., W. Soerojo, and S. Barber. 2005. “The relevance and prospects of advancing tobacco control in Indonesia”. Health Policy 72 (3): 333-349 http:// dx.doi.org/10.1016/j.healthpol.2004.09.009 Adioetomo S.M., T. Djutaharta, and Hendratno. 2005. “Cigarette Consumption, Taxation, and Household Income: Indonesia Case Study”. World Bank HNP Discus sion Pap er 2 6. ht tp:/ /sit eres ourc es.worl dbank.or g/ HEALTHNUTRITIONANDPOPULATION/Resources/281627-1095698140167/ AdioetomoCigaretteConsumptionFinal.pdf Ahsan, A. and N.H. Wiyono. 2007. The Impact Analysis of Higher Cigarette Prices to Employment in Indonesia. Depok: Demographic Institute, Faculty of Economics, University of Indonesia. Ahsan, A., N.H. Wiyono, D. Setyonaluri, D. Prihastuti, M.H. Yudhistira, and M. Sowwam. 2007a. Tobacco Control Country Study, Indonesia, Depok: Demographic Institute, Faculty of Economics, University of Indonesia, Ahsan, A., N.H. Wiyono, D. Setyonaluri, D. Prihastuti, M.H. Yudhistira, and M. Sowwam. 2007b. Implementation of tobacco tax, tobacco control country study, Indonesia, Depok: Demographic Institute, Faculty of Economics, University of Indonesia, ASH/Action on Smoking and Health UK, BAT and tobacco smuggling. http:// newash.org.uk/files/documents/ASH_572.pdf ASH/Action on Smoking and Health, Canada. Tobacco industry involvement in cigarette smuggling http://www.who.int/tobacco/framework/public_hearings/ F6530646.pdf Asri, I.W. 1992. Policy on In-direct Tax Policy: Case Study on Tobacco Excise in Indonesia 1969-1992. Post Graduate Program, Social and Economic Science, and Specialized Politic Science University of Indonesia. Master Thesis. BAPPENAS, BPS, dan UNFPA 2005. Proyeksi Penduduk Indonesia 2000-2024, Berdasarkan Hasil Survei Penduduk. Jakarta Bates, C, M. Jarvis, and G. Connelly. 1999. “Tobacco Additives: Cigarette Engineering and nicotine Addition”. ASH/Product Regulation/Tobacco Additives July. http:/ /newash.org.uk/files/documents/ASH_623/ASH_623.html Becker, G.S., M. Grossman, and K.M. Murphy. 1994. “An empirical analysis of cigarette addiction”, American Economic Review”, 84 (3): 396-418. http:// ideas.repec.org/p/nbr/nberwo/3322.html Bennett, C.P.P., S.V. Marks, and L. Muslimin. 1998. The Clove Monopoly: Lessons for the Future. Trade Implementation and Policy Project, Jakarta, Republic of Indonesia: U.S. Agency for International Development and Ministry of Industry and Trade, November. Bird, K. 2002. “Advertise or die: advertising and market share dynamics revisited”, Applied Economics Letters 9(12): 763–767. http://dx.doi.org/10.1080/ 13504850110086053 Bird, K. 1992. Industrial Concentration and Competition in Indonesian Manufacturing. Doctoral Thesis. Australian National University 1999.
LEM BA G A
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Untitled-6
151
Ekonomi Tembakau di Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
151
Bloom, D. and D. Canning. 2000. “The Health and Wealth and Nations”, Science 287 (5456): 1207-9. http://www.sciencemag.org/cgi/content/full/287/5456/1207 Bloom, D., D. Canning, and D.T. Jamison. 2004. “Health, Wealth, and Welfare”, 41 (1). http://www.imf.org/external/pubs/ft/fandd/2004/03/ Britton, J. and R. Edwards. 2007. “Tobacco smoking, harm reduction, and nicotine product regulation”, Lancet; 371 (9610) 2007: 441-445 doi:10.1016/S01406736(07)61482-2 Bunn, W.B.3rd, G.M. Stave, K.E. Downs, J.M. Alvir, and R. Dirani. 2006. “Effect of smoking status on productivity loss”, Journal of Occupational Environmental Medicine 48(10): 1099-108. http://www.mncanceralliance.org/sites/528d17b02 c 7 3 - 4 5 c 9 - 8 9 4 d - 8 7 2 f c 0 b e a c 4 e / u p l o a d s / Bunn_06_10_JOEM_EffectOfSmoking.pdf Ca mpai gn f or Tobac co-F ree Kids . State Tob acco Set tlem ent, ht tp: // www.tobaccofreekids.org/reports/settlements/ Campaign for Tobacco-Free Kids. Bill S 625 http://tobaccofreekids.org/reports/fda/ s625.pdf Castles, L. 1967. “Religion, Politics, and Economic Behavior in Java: The Kudus Cigarette Industry”. Cultural Report Series No. 15, Southeast Asian Studies, Yale University. Centers for Disease Control and Prevention, US Department of Health and Human Services. 2002. “Annual Smoking-Attributable Mortality, Years of Potential Life Lost, and Economic Costs, United States, 1995-1999”. Morbidity and Mortality Weekly Review (MMWR) 51(14): 300-03, April 12, 2002, http://www.cdc.gov/ MMWR/preview/mmwrhtml/mm5114a2.htm Centers for Disease Control and Prevention, US Department of Health and Human Services. Global Youth Tobacco Surveys (GYTS) Country Fact Sheets http:// www.cdc.gov/tobacco/global/GYTS/factsheets/searo/factsheets.htm Centers for Disease Control and Prevention, US Department of Health and Human Services. 1998. Tobacco Use Among US Racial/Ethnic Minority Groups—African Americans, American Indians and Alaska Natives, Asian Americans and Pacific Islanders, and Hispanics: A Report of the Surgeon General. Atlanta, GA: Centers for Disease Control and Prevention http://www.cdc.gov/tobacco/data_statistics/ sgr/sgr_1998/sgr-min-nat.htm Chaloupka, F.J. and K. Warner. 1999. “The Economics of Smoking”. National Bureau of Economic Research Working Paper No. 7047 http://papers.nber.org/papers/ W7047 Chaloupka, F.J. and E.W. Kenneth. 2000. “The economics of smoking” dalam A. J. Culyer & J. P. Newhouse (eds.), Handbook of Health Economics, edition 1, volume 1, Chapter 29: 1539-1627. http://ideas.repec.org/s/eee/heachp.html Chaloupka, F.J. and P. Wechsler. 1997. “Price, tobacco control policies, and smoking among young adults”. Journal of Health Economics, Volume 16, Issue 3, June: 359-373. http://ideas.repec.org/p/nbr/nberwo/5012.html Chaloupka, F.J., T.W. Hu, K.E. Warner, R. Jacobs, and A. Yurekli. 2000. “The taxation
152
Untitled-6
LEM BA G A
Ekonomi Tembakau di Indonesia
152
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
of tobacco products”. In: Jha, P. and F.J. Chaloupka (eds). Tobacco control in dev elop ing countrie s. N ew York: Oxf ord Univ ersi ty Press . ht tp: // www1.worldbank.org/tobacco/tcdc/237TO272.PDF Clark, G.C. 1989. “Comparison of the inhalation toxicity of kretek (clove cigarette) smoke with that of American cigarette smoke. I. One day exposure”. Archives of Toxicology 63 (1). http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/2742495 Clark, G.C. 1990. “Comparison of the inhalation toxicity of kretek (clove cigarette) smoke with that of American cigarette smoke. II. Fourteen days, exposure”. Archi ves of Tox icology 6 4 ( 7). htt p:// www.ncbi .nlm .nih.gov /pub med 2073125?ordinalpos=1&itool=EntrezSystem2.PEntrez. Pubmed.Pubmed_ResultsPanel.Pubmed_RVAbstractPlusDrugs1 Council on Scientific Affairs. 1998. “Evaluation of the health hazard of clove cigarettes”, JAMA 260(24): 3641-4. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/ 3 0 5 7 2 5 4 ? o r d i n a l p o s = 1 0 & i t o o l = E n t r e z Sy s t e m 2 . P E n t r e z . P u b m e d . Pubmed_ResultsPanel.Pubmed_RVDocSum Credit Suisse. 2007. “Indonesian Cigarette Market”, Asian Daily, 26 January. Chapman, S. and J. Richardson. 1990. “Tobacco Excise and Declining Consumption: the case of Papua New Guinea”, American Journal of Public Health 80 (5); 1990: 537-40. http://www.ajph.org/cgi/content/abstract/80/5/537 Collin, J., E. LeGresley, R. MacKenzie, S. Lawrence, and K. Lee. 2004. “Complicity in contraband: British American Tobacco and cigarette smuggling in Asia”. Tobacco Control 13: ii104-ii111 http://tobaccocontrol.bmj.com/cgi/content/abstract/13/ suppl_2/ii104 Department of Health and Human Services, National Institutes of Health, National Cancer Institute. 2001. “Risks Associated with Smoking Cigarettes with Low Machine-Measured Yields of Tar and Nicotine”, Smoking and Tobacco Control Monograph No. 13. Bethesda, MD, NIH Pub. No. 02-5074, October. http:// cancercontrol.cancer.gov/tcrb/monographs/ Department of Health and Human Services. 2004. The Health Consequences of Smoking: A Report of the Surgeon General. U.S. Department of Health and Human Services, Centers for Disease Control and Prevention, National Center for Chronic Disease Prevention and Health Promotion, Office on Smoking and Health. http://www.cdc.gov/tobacco/data_statistics/sgr/sgr_2004/index.htm Department of Health and Human Services. 2006. The Health Consequences of Involuntary Exposure to Tobacco Smoke: A Report of the Surgeon General—Executive Summary. U.S. Department of Health and Human Services, Centers for Disease Control and Prevention, Coordinating Center for Health Promotion, National Center for Chronic Disease Prevention and Health Promotion, Office on Smoking and Health. http://www.surgeongeneral.gov/library/secondhandsmoke/ factsheets/factsheet6.html Djutaharta, T., H.V. Surya, N.H.A. Pasay, Hendratno, and S.M. Adioetomo. 2005. “Aggregate Analysis of the Impact of Cigarette Tax Rate Increases on Tobacco Consumption and Government Revenue: The Case of Indonesia, 2005”, World Bank HNP Discussion Paper 25. http://siteresources.worldbank.org/
LEM BA G A
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Untitled-6
153
Ekonomi Tembakau di Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
153
HEALTHNUTRITIONANDPOPULATION/Resources/281627-1095698140167/ DjutahartaAggregateAnalysisFinal.pdf Euromonitor. Cigarettes in Indonesia 2007 http://www.euromonitor.com/ Cigarettes_in_Indonesia Erwidodo, J. Molyneaux, and N. Pribadi. 2002. Household Food Demand: An Almost Ideal Demand System (AIDS). Unpublished report. Facts about Light and Mild Cigarettes. Public Health.
The Johns Hopkins Bloomberg School of
Federal Trade Commission. Tar, Nicotine, and Carbon Monoxide Report 2000. http:/ /www.ftc.gov/reports/tobacco/1998tar&nicotinereport.pdf Frieden, T.R., and M.R. Bloomberg. 2007. “How to prevent 100 million deaths from tobacco”. Lancet 369(9574) 2007: 1758-61. http://www.thelancet.com/journals/ lancet/article/PIIS014067360760782X/abstract Fontham ET, Correa P et al. 1994. “Environmental tobacco smoke and lung cancer in nonsmoking women: A multicenter case-control study”. Journal of the American Medical Association 271: 1752-1759 http://jama.ama-assn.org/cgi/content/abstract/271/22/1752 Food and Agricultural Organization Statistics Division. FAOSTAT http://faostat.fao.org/ Framework Convention Alliance. 2007. “How big was the global illicit tobacco trade problem in 2006? Framework Convention Alliance (FCA)”, Prepared for the 2nd session of the Conference of the Parties to the WHO FCTC, June 30-July 6, Bangkok, Tha iland . ht tp:/ /ww w.fc tc.org /x/d ocument s/ HowBigWasTheIllicitTobaccoTradeProblem_2006_English.pdf Framework Convention Alliance. The Framework Convention for Tobacco Control. Text, PART II: OBJECTIVE, GUIDING PRINCIPLES AND GENERAL OBLIGATIONS, Article 3 Objective, see http://fctc.org/index.php?item=fctc-text&id=4 Framework Convention on Tobacco Control. A briefing for the Government of Malaysia. Tackling the illicit trade in tobacco, ASEAN inter-sessional meeting, 4-7 March 2002. http://newash.org.uk/files/documents/ASH_348/ASH_348.html Givel, M. 2003. “A comparison of US and Norwegian regulation of coumarin in tobacco products”, Tobacco Control 12: 401-405. http://tobaccocontrol.bmj.com/ cgi/content/full/12/4/401 Global Agricultural Information Network (GAIN) Report #3021. 2002. Indonesia Tobacco and Products New Cigarette Excise and Minimum Retail Prices 2002. Was hing ton, DC: Unite d St ates Depa rtme nt of Agr icult ure. ht tp: // www.fas.usda.gov/gainfiles/200211/145784579.pdf Global Agricultural Information Network (GAIN) Report #3021. 2003. Indonesia Tobacco and Products Annual 2003.Washington, DC: United States Department of Agriculture; September 16, 2003. http://www.fas.usda.gov/gainfiles/200309/ 145986089.pdf Global Agricultural Information Network (GAIN) Report #4027. 2004. Indonesia Tobacco and Products Annual 2004.Washington, DC: United States Department of Agriculture . ht tp:/ /sunny.stat-usa .gov /ag worl d.ns f/
154
Untitled-6
LEM BA G A
Ekonomi Tembakau di Indonesia
154
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
505c55d16b88351a852567010058449b/e80848227a33faf185256f71005ed278/ $FILE/ID4027.PDF Government of the Republic of Indonesia. Undang-Undang Republic Indonesia Nomor 11, 1995 Tentang Cukai http://www.beacukai.go.id/library/data/UU1195.pdf Government of the Republic of Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2007 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 Tentang Cukai http://www.beacukai.go.id/library/data/UU39_2007.pdf Guerin, B. 2007. “Smoking US-Indonesia trade debate”. Asia Times Sept 12, 2007. http://www.atimes.com/atimes/Southeast_Asia/II12Ae02.html Guidotti, T. 1998. “Critique of available studies on the toxicology of kretek smoke”. Archive of Toxicology (63): 7-12. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/entrez/ query.fcgi?cmd=Retrieve&db=PubMed&list_uids=2662942&dopt=Abstract Guidotti, T. et al. 1989. “Clove cigarettes: the basis for concern regarding health eff ects”. We ster n J ournal of M edi cine (1 51): 220 -228 ht tp: // www.ncbi.nlm.nih.gov/entrezquery.fcgi?cmd=Retrieve&db=PubMed&list uids=2773482&dopt=Abstract Guindon, E., A.M. Perucic, and D. Boisclair. 2003. “Higher Tobacco Prices and Taxes in South-East Asia: An Effective Tool to Reduce Tobacco Use, Save Lives and Generate Revenue.” World Bank Health, Nutrition and Population Discussion Paper 11. Economics of Tobacco Control. http://www.searo.who.int/EN/Section1174/ section1462/pdfs/eco/HigherTobaccoTaxesSEAR.pdf Grossman, M. 1972. “On the Concept of Health Capital and the Demand for Health”, Journal of Political Economy (82): 223-255. http://ideas.repec.org/a/ucp/jpolec/ v80y1972i2p223-55.html Gruber J, Koszegi B. 2008. A Modern Economic View of Tobacco Taxation. Paris: The International Union Against Tuberculosis and Lung Disease, February. Hackshaw, A.K., M.R. Law, and N.J. Wald. 1997. “The accumulated evidence on lung cancer and environmental tobacco smoke”, BMJ 315: 980-8. http://www.bmj.com/ cgi/content/full/315/7114/980 Halpern, M.T., R. Shikiar, A.M. Rentz, Z.M. Khan. 2001. “Impact of smoking status on workplace absenteeism and productivity”, Tobacco Control, 10: 233-238 http:/ /tobaccocontrol.bmj.com/cgi/content/full/10/3/233 Hanutz, M. 2000. Kretek The Culture and Heritage of Indonesia’s Clove Cigarettes. Jakarta: Equinox Publishing. Hu, T.W and Z. Mao. 2002. “Effects of cigarette tax on cigarette consumption and the Chinese economy”, Tobacco Control 11: 105-108; http://tc.bmjjournals.com/ cgi/reprint/11/2/105.pdf Hu, T.W. 1997. “Cigarette taxation in China: lessons from international experiences”, Tobacco Control 6: 136-140 http://tc.bmjjournals.com/cgi/reprint/6/2/ 136.pdf Indonesia Advertising Industry, Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI), US Department of Commerce 2006. http://www.pppi.or.id/index.php Isdijoso, B. 2004. Studi Alternatif Penerimaan dan Tarif Cukai Tembakau http://
LEM BA G A
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Untitled-6
155
Ekonomi Tembakau di Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
155
www.f i sk a l .de p k e u.go.i d / we bb k f / k a j ia n% 5 C Bra hm a nt i o% 2 0 %20Studi%20Alternatif%20Tarif%20Cukai%20Tembakau%202004.rtf International Labor Organization (ILO). 2003. “Employment trends in the tobacco sector: Challenges and prospects”. Report for discussion at the Tripartite Meeting on the Future of Employment in the Tobacco Sector, Geneva. http:// www.ilo.org/public/english/dialogue/sector/techmeet/tmets03/tmets-r.pdf Jha, P., F.J. Chaloupka. 2000. “The economics of global tobacco control”, 2000;321;358-361 http://www.bmj.com/cgi/reprint/321/7257/358
BMJ
Jardin Fleming Research. 1999. “Indonesian tobacco: Indonesian cigarettes still hot”, Jakarta. Keyser, J.C. and N.R. Juita. 2007. “Smallholder Tobacco Growing in Indonesia: Costs and Profitability Compared with Other Agricultural Enterprises”, World Bank HNP discussion paper, February. http://siteresources.worldbank.org/ HEALTHNUTRITIONANDPOPULATION/Resources/281627-1095698140167/ KeyserINDTobaccoGrowingFinal.pdf S. Kosen. 2004 Chapter 2. The health burden of tobacco use dalam The Tobacco Sourcebook. S. Kosen. 2001. Estimated number of tobacco-related deaths using verbal autopsy. National Institute of Health Research and Development. Jha, P., F.J. Chaloupka, J. Moore, V. Gajalakshmi, P.C. Gupta, R. Peck, S. Asma, and W. Zatonski. 2006. “Tobacco Addiction”, Disease Control Priorities in Developing Countries (2nd Edition) ed,: 869-886. New York: Oxford University Press. DOI: 10.1596/978-0-821-36179-5/Chpt-46 http://www.dcp2.org/pubs/DCP/46/ Jha, P., J. de Beyer, and P.S. Heller. 1999. “Death and Taxes, Economics of Tobacco Control, Finance & Development”, IMF; 36 (4). http://www.imf.org/external/pubs/ ft/fandd/1999/12/jha.htm Kawague, T. “Income and employment Income and Employment Generation from Agricultural Processing and Marketing at the Village Level: A Study in Upland Java”, International Food Policy Research Institute http://ifpri.org/pubs/books/ vonbraun94/vonbraun94ch11.pdf Kemp, M. 1993. “The unknown industrial prisoner: women, modernisation and industrial health”. Inside Indonesia, 37: 20-22. La Voie, E.J. 1989. “Toxicity Studies on Clove Cigarette Smoke and Constituents of Clove: Determination of the LD50 of Eugenol by intratracheal Instillation in Rats and Ha mste rs”, Ar chiv es of Toxic olog y 63 : 19 89; 1-6. ht tp: // www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/3753194 Law, M.R., J.K. Morris, N.J. Wald. 1997. “Environmental tobacco smoke exposure and ischemic heart disease: an evaluation of the evidence”, BMJ 18; 315 (7114): 1997: 973-80. http://www.bmj.com/cgi/content/full/315/7114/980 Lee, K., and J. Collin. “’Key to the Future’: British American Tobacco and Cigarette Smuggli ng i n China”. PLoS Me d 3 (7), 200 6: e228 doi:10 .137 1/ journal.pmed.0030228
156
Untitled-6
LEM BA G A
Ekonomi Tembakau di Indonesia
156
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
Levine, D., P. Gertler, and M. Ames. 2004. “Schooling and Parental Death”, Review of Economics and Statistics, 86 (1): 211-225. http://faculty.haas.berkeley.edu/ levine/papers/Schooling_Parental_Death.pdf Library of Congress accessed November 1. 2007. http://thomas.loc.gov/cgi-bin/ query/z?c108:S.2461: Ling, P.M., A. Landman, S.A. Glantz. 2002. “It is time to abandon youth access tobacco programmes”, Tobacco Control 11: 3-6 http://tobaccocontrol.bmj.com/ content/vol11/issue1/ Manning, C. 1999. The Economic Crisis and Child Labour in Indonesia, Australian National University. International Labor Office, International Programme on the Elimination of Child Labour Geneva. http://www-ilo-mirror.cornell.edu/public/ english/standards/ipec/publ/policy/papers/indonesia/indonesia.pdf Malson, J.L., E.M. Lee, R. Murty, E.R. Moolchan, and W.B. Pickworth. 2003. “Clove cigarette smoking: biochemical, physiological, and subjective effects”, Pharmacological Biochemistry Behavior 74(3), 2003: 739-45. http://dx.doi.org/10.1016/ S0091-3057(02)01076-6 Marks, S. 2003. Cigarette excise taxation in Indonesia, an economic analysis. Partne rshi p for ec onom ic g rowt h, BAPPENAS and USAI D, J uly. ht tp: // www.pegasus.or.id/public.html Mathers C.D., and D. Loncar. 2006. “Projections of global mortality and burden of dis ease from 20 02 t o 20 30”. PLoS Me d 3 (11) : e 442. ht tp: // medicine.plosjournals.org/archive/1549-1676/3/11/pdf/ 10.1371_journal.pmed.0030442-S.pdf Max, W. 2001. “The Financial Impact of Smoking on Health-Related Costs: A Review of the Literature”, American Journal of Health Promotion 15, 321-31, http:// apt.allenpress.com/perlserv/?request=get-abstract&doi=10.1043%2F08901171(2001)015%5B0321%3ATFIOSO%5D2.3.CO%3B2&ct=1 Max, W, D.P. Rice, H.Y. Sung, X. Zhang, L. Miller. 2004. “The economic burden of smoking in California”, Tobacco Control 13; 2004: 264 - 267. http:// tobaccocontrol.bmj.com/cgi/content/abstract/13/3/264 Merriman, et al. 2002. “How big is the worldwide cigarette smuggling problem?” in Tobacco Control in Developing Countries, Oxford University Press. http:// www1.worldbank.org/tobacco/tcdc.asp Miller, L. et al. 1998. “State Estimates of Total Medical Expenditures Attributable to Smoki ng, 1993 ”, Pub lic H ealth Repor ts, Se ptember /Octobe r. ht tp: // www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?&pubmedid=9769770 Miller, V. et al. 1999. “Smoking-Attributable Costs in the U.S.A”. Social Science and Medicine 48: 375-39. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/sitesentrez?Db=pubmed&Cmd = Sh ow D e t a i l Vi e w & Te r m To Se a r c h= 1 0 0 7 7 2 8 5 & or d i n a l p os = 5 & i t o ol = EntrezSystem2.PEntrez.Pubmed.Pubmed_ResultsPanel.Pubmed_RVDocSum Miller, V. et al. 1997. “Smoking-Attributable Medical Care Costs: Models and Results”, Berkeley Economic Research Associates, September 3. http:// www.bera.com/reptframe.htm Ministry of Finance, Republic of Indonesia. Regulations related to Excise, Excise Tax
LEM BA G A
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Untitled-6
157
Ekonomi Tembakau di Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
157
Directorate: http://www.beacukai.go.id/library/ Ministry of Finance, Republic of Indonesia. 2007. Policy Direction Strategy on Tobacco Product Excise (Excise Roadmap) 2007-2010. Directorate of Excise, May. Ministry of Finance, Republic of Indonesia. Data Pokok, APBN 2006-2007 http:// www.djapk.depkeu.go.id/apbn/Data%20Pokok%20APBN%202006%20%20Ind.pdf Ministry of Finance, Republic of Indonesia. Kebijakan Ekstensificasi cukai dan intensificasi cukai hasil tembakau. http://www.beacukai.go.id/library/data/ Cukai2.htm Ministry of Health, Republic of Indonesia. 2004. The Tobacco Sourcebook: Data to support a national strategy, Ministry of Health, Republic of Indonesia (English). h t t p : / / t o b a c c o f r e e c e n t e r. o r g / f i l e s / p d f s / r e p o r t s _ a r t i c l e s / tobaccosourcebook_indonesia.pdf Ministry of Development Planning, Republic of Indonesia. Indonesia Progress Report on the Millennium Development Goals, 2004 and 2005, Republic of Indonesia and the United Nations Development Program (UNDP). http://www.undp.or.id/ pubs/IMDG2004/index.asp and http://www.undp.or.id/pubs/IMDG2005/index.asp Ministry of Trade and Industry, Republic of Indonesia. Roadmap Industi Hasil Tembakau (IHT); Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia; Kesepakatan Hasil Tembakau, 8 Maret 2007 Ministry of Trade and Industry, Republic of Indonesia. 2007. Government raises cigarette taxes, Press Release, July. http://www.indonesia.sk/press_releases/ 2007/trade/Trade___Inv_News_23_July_2007.pdf Morbidity and Mortality Weekly (MMWR). 1985. Epidemiologic Notes and Reports Illnesses Possibly Associated with Smoking Clove Cigarettes, May 31, 34(21): 297-9. http://www.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml/00000549.htm National Toxicology Program. 2005. 11th Report on Carcinogens, Research Triangle Park, NC: U.S. Department of Health and Human Sciences, National Institute of Environmental Health Sciences, 2000. http://ntp.niehs.nih.gov/ntp/roc/eleventh/ profiles/s176toba.pdf; National Institutes of Health, National Cancer Institute. 2002. “Smoking and Tobacco Control” Monograph No. 10: Health effects of exposure to Environmental Tobacco Smoke. http://cancercontrol.cancer.gov/tcrb/monographs/10/ Ngi, N., L. Weinehall, and A. Ohman. 2007. “‘If I don’t smoke, I’m not a real man’— Indonesian teenage boys’ views about smoking”, Health education research 22(6): 794-804; doi:10.1093/her/cyl104 http://her.oxfordjournals.org/cgi/content/abstract/22/6/794 Nitisastro, W. 1970. Population Trends in Indonesia. Ithaca: Cornell University Press. Otsuka, R., H. Watanabe, K. Hirata, K. Tokai, T. Muro, M. Yoshiyama, K. Takeuchi, J. Yoshikawa. 2001. “Acute effects of passive smoking on the coronary circulation in healthy young adults”, JAMA 286(4): 436-41. http://jama.ama-assn.org/cgi/ content/short/286/4/436 Pechacek, T.F. and S. Babb. 2004. “How acute and reversible are the cardiovascular
158
Untitled-6
LEM BA G A
Ekonomi Tembakau di Indonesia
158
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
risks of secondhand smoke?” BMJ 328 (7446): 2004: 980-3. http://www.bmj.com/ cgi/content/full/328/7446/980 Polzin, G.M., S.B. Stanfill, C.R. Brown, D.L. Ashley, and C.H. Watson. 2007. “Determination of eugenol, anethole, and coumarin in the mainstream cigarette smoke of Indonesian clove cigarettes”. Food and Chemical Toxicology, 45 (10): 19481953. http://www.sciencedirect.com/science/journal/02786915 Population Reference Bureau. Datafinder http://www.prb.org/ Pradono, J. And C.M. Kristanti. 2002. Passive smokers, the forgotten disaster. Institute of Health Research and Development, Ministry of Health, Republic of Indonesia. Pradono, J. And C.M. Kristanti. 2003. Perokok Pasif, Bencana yang Terlupakan, Buletin Penelitian Kesehatan. Reid, A. 1985. “From betel chewing to tobacco smoking in Indonesia”. Journal of Asian Studies XLIV:3. http://www.jstor.org/view/00219118/di973726/97p0094u/ 0 Reynolds, C. 1999. “Tobacco advertising in Indonesia: The Defining characteristics for success”, Tobacco Control, 8: 85-88. http://tobaccocontrol.bmj.com/cgi/content/full/8/1/85 Ranson, KM, P. Jha, F. J. Chaloupka, and S.N. Nguyen. 2002. “Global and regional estimates of the effectiveness and cost-effectiveness of price increases and other tobacco control policies”, Nicotine &Tobacco Research, 4:3, 2002: 311–9. http:/ /dx.doi.org/10.1080/14622200210141000 Ross, H. 2005. “An Overview of the Tobacco Control Economic Literature and Evidence for Indonesia”, Open Society Institute and Research Triangle Park. June. Sam poer na we bsit e ht tp:/ /www.sa mpoe rna.com defa ult.asp ?Languag e= Bahasa&Page=socialresponsibility/tpos&searWords Semba, R.D., L.M. Kalm, S. de Pee, M.O. Ricks, M. Sari, and M.W. Bloem. 2006. “Paternal smoking is associated with increased risk of child malnutrition among poor urban families in Indonesia”, Public Health Nutrition 10 (1): 7-15. http:// journals.cambridge.org/action/displayAbstract?fromPage=online&aid=584536 Schick, S. and S.A. Glantz. 2006. “Side stream cigarette smoke toxicity increases with aging and exposure duration”, Tobacco Control 15: 424-429. doi:10.1136/ tc.2006.016162 http://tobaccocontrol.bmj.com/cgi/content/full/15/6/424 Schwartz, A. 1990. “Battle of the Brands”, Far Eastern Economic Review, April 19, 32-33. Stanley, K. 1993. “Control of tobacco production and use”, in Jamison DT, W.H. Mosley, A.R. Measham, and J.L. Bobadilla (eds). Disease control priorities in developing countries. New York: Oxford University Press, 703-23. Sunley, E.M., A. Yurekli, F.J. Chaloupka. 2000. “The Design, Administration, and Potential Revenue of Tobacco Excises”, in Jha P, and F.J. Chaloupka (eds). Tobacco control in developing countries. New York: Oxford University Press. http:/ /www1.worldbank.org/tobacco/tcdc/237TO272.PDF
LEM BA G A
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Untitled-6
159
Ekonomi Tembakau di Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
159
Suryanto. 2000. Risk of lung cancer among smokers. Final Residency Paper, Department of Pulmonology School of Medicine, University of Indonesia. Jakarta. Tarmidi, L. 1996. “Changing Structure and Competition in the Kretek Cigarette Industry”, Bulletin of Indonesian Economic Studies 32 (3) 1996, 85-107. http:/ /ideas.repec.org/a/taf/bindes/v32y1996i3p85-107.html Tjahyaprijadi, C. dan W.D. Indarto. 2003. Analisis Pola Konsumsi Rokok Sigaret Kretek Mesin, Sigaret Kretek Tangan, dan Sigaret Putih Mesin Economic and Fiscal Policy 7(4) Dec 2003 http://www.fiskal.depkeu.go.id/referensi/ KEKDes2003/Prijoko-4.rtf Tjandraningsih, I dan P. Anarita. 2002. Pekerja Anak di Perkebunan Tembakau. Bandung: Akatiga. Townsend, J.L., P. Roderick, and J. Cooper. “Cigarette Smoking by Socio-Economic Group, Sex, and Age: Effects of Price, Income, and Health Publicity”, British Medical Journal 309: 1998: 6959 923 – 26 http://www.bmj.com/cgi/content/ full/309/6959/923 U.S. Census Bureau. International Database http://www.census.gov/ipc/www/idb/ Warner. 2000. “The economics of tobacco: myths and realities”, Tobacco Control 9: 78-89 http://tobaccocontrol.bmj.com/cgi/reprint/9/1/78.pdf Warner, K. et al. 1999. “Medical Costs of Smoking in the United States: Estimates, Their Validity, and Their Implications”, Tobacco Control 8(3): 290-300. http:// tc.bmjjournals.com/content/vol8/issue3/index.shtml Warner, K.W., F.J. Chaloupka, P.J. Cook, W.G. Manning, J.P. Newhouse, T.E. Novotny, T.C. Schelling, and J. Townsend. 1995. “Criteria for determining an optimal cigarette tax: the economist’s perspective”, Tobacco Control 4: 380-386, doi:10.1136/tc.4.4.380 http://tobaccocontrol.bmj.com/cgi/reprint/4/4/380 Witoelar, F., P. Rukumnuaykit, J. Strauss. 2005. “Smoking Behavior among Youth in a D evel oping Countr y: C ase of I ndonesia ”, D ecem ber. ht tp: // paa2006.princeton.edu/download.aspx?submissionId=60756 World Bank. 2000. Curbing the Tobacco Epidemic in Indonesia, World Bank Watching Brief http://siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Human/ brief_6-516.pdf World Bank. 2003. Selected Fiscal Issues in a New Era. Report No. 25437-IND. February 14, 2003. Poverty Reduction and Economic Management Unit, East Asia and Pacific Region. http://www-wds.worldbank.org/external/default/ WDSContentServer/WDSP/IB/2003/03/15/000094946_03030404165422/Rendered/PDF/multi0page.pdf World Bank. 2004. Curbing the Tobacco Epidemic in Indonesia: Evidence and Options, Draft January. World Bank. 2005. East Asia Decentralizes - Indonesia Making Local Government Work in East Asia, The World Bank, May. http://siteresources.worldbank.org/ INTEAPDECEN/Resources/dc-full-report.pdf World Bank. 2007. Spending for Development: Making the Most of Indonesia’s New Opportunities, Indonesia Public Expenditure Review 2007, Washington, DC: The
160
Untitled-6
LEM BA G A
Ekonomi Tembakau di Indonesia
160
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
World Bank February. http://siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/280016-1168483675167/PEReport.pdf Wor ld Bank Country Upda te, Indonesi a, April 200 7 ht tp: // siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Country-Update/ April_2007.pdf World Health Organization, Updated status of the WHO Framework Convention on Tobacco Control, World Health Organization website http://www.who.int/tobacco/ framework/countrylist/en/ World Health Organization. Advancing Knowledge on Regulating Tobacco Products 2000. http://www.who.int/tobacco/media/en/OsloMonograph.pdf World Health Organization. Tobacco Control Legislation: An Introductory Guide 2nd ed, 200 4; ht tp:/ /www.who.int/t obac co/r ese arch/le gisl ation/ Tobacco%20Control%20Legislation.pdf World Health Organization. Advancing knowledge on regulating tobacco products. Monograph prepared based on presentations made at the International Conference: Advancing Knowledge on Regulating Tobacco Products, Oslo, Norway 9-11 Feb . 20 00. Ge neva , 20 01. ht tp:/ /www.who.int/tobac co/s actob/ regulating_tobacco/en/ World Health Organization. National Health Accounts, Indonesia. http://www.who.int/ nha/country/idn/en/ World Health Organization. Towards health with justice, WHO 2002. www.who.int/tobacco/media/en/final_jordan_report.pdf ;
LEM BA G A
D EM O G RAF I
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Untitled-6
161
Ekonomi Tembakau di Indonesia
7/25/2008, 2:51 PM
http://
161