OPTIMASI HASIL SURFAKTAN DAN GLISEROL DARI MINYAK/LEMAK LIMBAH INDUSTRI KRIMER DITINJAU DARI SUHU PEMANASAN, KONSENTRASI KATALIS, DAN LAMA PEMANASAN Devy Kartika Ratnasari1, A. Ign. Kristijanto1, and Sri Hartini1 1
Program Studi Kimia, Fakultas Sains dan Matematika, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga 50711 Indonesia e-mail:
[email protected]
ABSTRACT The purpose of this study is to determine the optimization yield of surfactant and glycerol from oils/fats creamer industrial’s waste as revealed by heating temperature, catalyst concentration, period of heating, and the interaction of those three factors. Data were analyzed by Factorial Design (2x3x3) and it was laid out using Randomized Completely Block Design (RCBD), three replications and the time of analysis was used as block. The first factor is catalyst concentration consist of two levels, which are 0,5% and 1,5%, respectively. The second factor is heating 0 0 0 temperature which consist of three levels: 40 , 60 , and 75 C, respectively and the third factor is the period of heating which consist of three levels: 30, 45, and 60 minute. To compare between means of surfactant and glycerol yield, the Honestly Significant Differences (HSD) at 5% significant level was used. Result of this study showed that there is an interaction between heating temperature and catalyst concentration on the surfactant yields. The highest yields of 0 surfactant (76,13 ± 10,54 gram) obtained on the use of 0,5% catalyst concentration and 40 C of heating temperature, while the highest yields of glycerol (112,01 ± 2,61 gram) obtained on the 0 use of 1,5% catalyst concentration and 75 C of heating temperature. Keywords: creamer industry’s waste, glycerol, oils/fats, optimization, surfactant.
PENDAHULUAN Salah satu industri yang ada di Kota Salatiga adalah industri krimer di Dukuh Cabean, Kelurahan Mangunsari, Kecamatan Sidomukti. Warga setempat mengeluhkan bau tidak sedap dari pabrik tersebut [1]. Areal persawahan di Dukuh Cabean, Kelurahan Mangunsari, Kecamatan Sidomukti pun diduga tercemar limbah pabrik. Akibatnya, beberapa petak yang sudah ditanami padi, akarnya membusuk dan akhirnya mati [2]. Untuk menjawab persoalan pencemaran lingkungan oleh industri krimer dapat dilakukan dengan cara menerapkan prinsip dan aktivitas nir limbah (zero waste) dalam proses industri. Berdasarkan pengertiannya, aktivitas zero waste didefinisikan sebagai “aktivitas meniadakan limbah dari suatu proses produksi dengan pengelolaan proses produksi yang terintegrasi dengan minimisasi, segregasi dan pengolahan limbah”. Dengan kata lain, pelaku industri harus berupaya agar meminimalkan limbah
yang dihasilkan dan apabila masih tetap dihasilkan limbah maka diupayakan untuk diolah sehingga menjadi produk yang aman namun masih memiliki nilai ekonomis [3]. Limbah padat industri krimer mengandung minyak/lemak (40%) dan berpotensi untuk menjawab pencemaran lingkungan yang ditimbulkan dengan cara mengolahnya kembali menjadi surfaktan dan gliserol. Perolehan kembali (recovery) limbah industri krimer tersebut selain memiliki nilai guna, juga memiliki nilai ekonomis, yaitu limbah yang sudah tidak terpakai dapat diubah menjadi produk yang laku untuk diperdagangkan, tanpa mengeluarkan tambahan biaya produksi yang besar. Tambahan pula, produk yang dihasilkan ramah lingkungan sehingga penggunaannya akan digemari masyarakat Barat yang melek pelestarian lingkungan. Metode pembuatan surfaktan metil ester yang telah dipatenkan, yaitu metode transesterifikasi atau esterifikasi asam lemak dengan poli (alkil eter).
Penelitian yang telah dilakukan, salah satunya, asam stearat direaksikan dengan poli (etilen glikol) monometil eter menggunakan katalis natrium metoksida sambil diaduk dan dipanaskan suhu 1700C menghasilkan ester surfaktan jenuh [4]. Penelitian lain menunjukkan bahwa kondisi optimum untuk mengisolasi 55,61% metil laurat diperoleh melalui reaksi antara minyak kelapa dan metanol pada suhu reaksi 600C dengan waktu reaksi 2 jam dan konsentrasi katalis NaOH 2% bobot minyak [5]. Lebih lanjut, kondisi optimum untuk memperoleh 37,26% gliserida melalui reaksi antara minyak sawit dan gliserol 1:3 (b/b) dengan 1% katalis natrium metoksida dan diaduk dengan pengaduk mekanik dengan kecepatan 3.500 rpm sampai natrium metoksida larut (1 jam) [6]. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka tujuan penelitian adalah: 1. Menentukan optimasi hasil surfaktan dan gliserol antar konsentrasi katalis. 2. Menentukan optimasi hasil surfaktan dan gliserol antar suhu pemanasan. 3. Menentukan optimasi hasil surfaktan dan gliserol antar lama pemanasan. 4. Menentukan optimasi hasil surfaktan dan gliserol ditelaah dari interaksi antara konsentrasi katalis, suhu pemanasan, dan lama pemanasan. METODE PENELITIAN Bahan Bahan yang digunakan, yaitu limbah industri krimer di Dukuh Cabean, Kelurahan Mangunsari, Kecamatan Sidomukti, Kota Salatiga. Peralatan Peralatan yang diperlukan, yaitu beaker glass, corong pisah, neraca digital, kolom, silica gel, rotary evaporator, set reaktor batch kepala tiga, waterbath, stirer, dan termometer. Prosedur Ekstraksi Minyak/Lemak dari Limbah Industri Krimer Limbah industri krimer dilarutkan dalam akuades dengan perbandingan 1:1 (b/b) dengan cara dididihkan. Selanjutnya, campuran larutan disaring
dengan kapas untuk memisahkan air dan minyak/lemak dari pengotor. Campuran air dan minyak/lemak yang didapat dimasukkan ke dalam corong pisah untuk dilakukan pemisahan minyak/lemak dari air. Separasi Minyak/Lemak dengan Kromatografi Kolom [7] Netral lipid, glikolipid, dan fosfolipid dari minyak/lemak limbah industri krimer dipisahkan dengan menggunakan metode kromatografi kolom menggunakan fase gerak kloroform, aseton, metanol secara bergantian dan sebagai fase diam berupa silica gel. Hasil pemisahan diuapkan dengan rotary evaporator, kemudian dihitung persentase netral lipid, glikolipid, dan fosfolipid. Sintesis Surfaktan dan Gliserol [5] Mula-mula dilakukan preparasi katalis (NaOH) dengan cara melarutkan dalam metanol 96% volume untuk membentuk natrium metoksida (NaOCH3) dan air, dengan reaksi: NaOH + CH3OH NaOCH3 + H2O NaOCH3 yang diperoleh dicampur dalam reaktor batch kaca berkepala tiga dengan minyak dari limbah industri krimer dan Poli Etilen Glikol (PEG) dalam jumlah mol yang sama. Reaktor tersebut ditutup lalu diletakkan di dalam waterbath. Sebelumnya, campuran diaduk dengan stirer dan reaksi ini dilakukan dengan variasi suhu (450C, 600C, dan 750C), lama pemanasan (30, 45, dan 60 menit), dan bobot katalis (0,5% dan 1,5% dari bobot minyak). Metil ester hasil transesterifikasi dipisahkan dari gliserol menggunakan corong pisah, lalu dicuci dengan H2SO4 10 % untuk mendeaktivasi katalis NaOH. Selanjutnya, setelah air pencucian dengan H2SO4 tersebut dikeluarkan, ditambahkan akuades hangat ke dalam metil ester agar sisa metanol, gliserol, H2SO4 dan pengotorpengotor lainnya terpisah dari metil ester. Terakhir, Na2SO4 anhidrat ditambahkan ke dalam metil ester agar air yang masih tersisa dapat diserap dan
Na2SO4 kemudian dipisahkan dari metil ester dengan cara penyaringan. Hasil gliserolisis dimasukkan ke dalam corong pisah dan ditambahkan dietil eter dan asam sitrat sehingga terbentuk dua lapisan, lapisan atas dicuci dengan akuades dan dietil eter diuapkan. Residu yang diperoleh kemudian dikeringkan dengan alat vakum. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Suhu Pemanasan terhadap Hasil Surfaktan dan Gliserol dari Minyak/Lemak Limbah Industri Krimer Purata hasil surfaktan (dalam gram ± SE) antar berbagai suhu pemanasan (400, 600, dan 750C) berkisar antara 68,96 ± 6,81 gram sampai 74,05 ± 6,56 gram. Hasil uji BNJ 5% menunjukkan bahwa purata hasil surfaktan dari minyak/lemak limbah industri krimer berbeda bermakna antar suhu pemanasan (Tabel I.). Tabel I. Purata Hasil Surfaktan (gram ± SE) dari Minyak/Lemak Limbah Industri Krimer antar berbagai Suhu Pemanasan Suhu Pemanasan 0 ( C) SE (dalam gram) W = 2,87
75
60
40
68,96 ± 6,81 (a)
70,84 ± 6,01 (b)
74,05 ± 6,56 (c)
Keterangan: * Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan antar perlakuan tidak berbeda secara bermakna, sebaliknya angka yang diikuti oleh huruf yang tidak sama menunjukkan antar perlakuan berbeda bermakna. Keterangan ini berlaku juga untuk Tabel II, III, dan IV.
Dari Tabel I. terlihat bahwa hasil surfaktan metil ester maksimum pada suhu pemanasan 400C, sebaliknya pada suhu 600C dan 750C hasil surfaktan metil ester menurun. Adanya penurunan hasil surfaktan metil ester pada suhu pemanasan lebih tinggi karena telah
terjadi hidrolisis surfaktan metil ester yang dihasilkan [5]. Untuk reaksi transesterifikasi metanolisis minyak jarak menjadi metil risinoleat, reaksi mencapai kondisi optimum pada suhu 20-350C. Penelitian lain, dalam reaksi transesterifikasi etanolisis minyak bunga matahari mencapai yield 90% pada suhu kamar [8]. Lebih lanjut, reaksi transesterifikasi dalam metanolisis minyak kedelai dengan katalis 1% NaOH dan variasi suhu 32,50-60,50C memperoleh hasil optimum pada suhu 32,50C [9]. Demikian pula halnya dengan sintesis etil ester dari minyak Cynara cardunculus L. mencapai yield sebesar 91,6% dengan reaksi transesterifikasi pada suhu kamar [10]. Di sisi lain, purata hasil gliserol (dalam gram ± SE) antar berbagai suhu pemanasan (400, 600, dan 750C) berkisar antara 104,89 ± 2,65 gram dan 109,03 ± 2,57 gram. Hasil uji BNJ 5% menunjukkan bahwa purata hasil gliserol dari minyak/lemak limbah industri krimer berbeda secara bermakna antar suhu pemanasan (Tabel II.). Tabel II. Purata Hasil Gliserol (gram ± SE) dari Minyak/Lemak Limbah Industri Krimer antar berbagai Suhu Pemanasan Suhu Pemanasan 0 ( C) SE (dalam gram) W = 2,87
40
60
75
104,89 ± 2,65 (a)
106,74 ± 1,89 (ab)
109,03 ± 2,57 (b)
Penggunaan Poli Etilen Glikol (PEG) dalam reaksi bertujuan untuk mengurangi terbentuknya kembali trigliserida dalam minyak/lemak limbah industri krimer karena dengan penambahan PEG ke dalam reaksi maka trigliserida akan mengalami gliserolisis untuk membentuk gliserol [11]. Suhu berpengaruh pada kelarutan PEG dalam trigliserida [12]. Gliserolisis (sintesis gliserol) berjalan baik pada suhu tinggi karena
suhu dapat meningkatkan homogenitas campuran reaksi [13]. Semakin homogen campuran, semakin banyak molekul yang bertumbukan dan menghasilkan produk. Gliserol yang polar harus ditingkatkan kelarutannya pada minyak yang cenderung bersifat non polar, yaitu dengan menaikkan suhu reaksi. Pada kondisi kamar, kurang lebih hanya 4% gliserol saja yang bisa terlarut dalam minyak tanpa adanya pelarut. Temperatur yang cukup tinggi diperlukan untuk meningkatkan kelarutan gliserol dalam minyak (fase trigliserida). Semakin banyak gliserol yang larut dan bereaksi dengan minyak, makin besar pula konversi yang diperoleh. Selain meningkatkan kelarutan PEG dalam trigliserida, kenaikan suhu pemanasan menyebabkan molekulmolekul mendapat energi dan bergerak lebih efektif sehingga terjadi tumbuhan yang menyebabkan reaksi berjalan lebih cepat [14]. Semakin tinggi suhu pemanasan, tumbukan antar molekul semakin sering terjadi karena molekulmolekul mendapat energi untuk bergerak lebih besar, sehingga hasil gliserol yang diperoleh semakin besar. Kondisi optimum untuk menghasilkan yield DAG (DiAsilGliserol) 48,44% dari minyak safflower dengan katalis enzim lipase, yaitu reaksi pada suhu 46,90C [15]. Reaksi tidak berlangsung pada suhu tinggi karena katalis enzim lipase akan rusak pada suhu tinggi sehingga hasil optimum yield gliserol jenis DAG hanya mencapai 48,44%. Pada penelitian ini, yield gliserol semakin tinggi seiring dengan peningkatan suhu. Dalam reaksi transesterifikasi CPO dengan katalis MgO sejalan dengan peningkatan suhu, maka molekulmolekul mendapatkan energi dan bebas bergerak sehingga menimbulkan terjadinya tumbukan yang menghasilkan reaksi. Lebih lanjut diperoleh suhu optimum antara 700-900C untuk mendapatkan yield gliserol sampai 97% dan hasil tersebut sesuai dengan hasil penelitian ini.
Pengaruh suhu pada proses gliserolisis minyak sawit dengan butanol dan katalis MgO menunjukkan bahwa suhu optimum untuk memperoleh konversi gliserol 94-98% berada pada kisaran 700-1000C [16]. Hasil tersebut selaras dengan hasil penelitian ini. Penelitian lain menunjukkan kondisi optimum dalam gliserolisis stearin minyak sawit terjadi pada suhu 2000C dengan katalis NaOH 2% dan hasil monogliseroda yang diperoleh mencapai 62% [17]. Dalam penelitian ini diperoleh persen yield gliserol lebih tinggi pada suhu lebih rendah, sehingga lebih ekonomis energi. Pengaruh Konsentrasi Katalis terhadap Hasil Surfaktan dan Gliserol dari Minyak/Lemak Limbah Industri Krimer Purata hasil surfaktan (dalam gram ± SE) antar konsentrasi katalis berkisar antara 68,77 ± 4,82 gram sampai 73,80 ± 5,37 gram. Hasil uji BNJ 5% menunjukkan bahwa hasil surfaktan dari minyak/lemak limbah industri krimer antar berbagai konsentrasi katalis berbeda secara bermakna (Tabel III.). Tabel III. Purata Hasil Surfaktan (gram ± SE) dari Minyak/Lemak Limbah Industri Krimer antar Konsentrasi Katalis Konsentrasi Katalis (%) SE (dalam gram) W = 1,95
1,5
0,5
68,77 ± 4,82 (a)
73,80 ± 5,37 (b)
Hasil surfaktan tinggi pada konsentrasi katalis (NaOCH3) yang rendah (0,5%) [8]. Pada penelitian lain, produksi metil ester dari CPO melalui reaksi transesterifikasi metanolisis menurun dengan peningkatan konsentrasi katalis NaOH dari 0,5%-1,5%. Konversi maksimum metil ester dicapai pada konsentrasi katalis NaOH 0,5% [10]. Demikian pula halnya dengan kenaikan konsentrasi katalis (NaOCH3) 2% meningkatkan laju reaksi pembentukan surfaktan metil laurat, sedang pada penambahan konsentrasi
katalis 3% akan menurunkan konsentrasi metil laurat [5]. Purata hasil gliserol (dalam gram ± SE) antar konsentrasi katalis berkisar antara 104,42 ± 1,81 gram dan 109,35 ± 1,78 gram. Hasil uji BNJ 5% menunjukkan bahwa hasil gliserol dari minyak/lemak limbah industri krimer antar berbagai konsentrasi katalis berbeda secara bermakna (Tabel IV.). Tabel IV. Purata Hasil Gliserol (gram ± SE) dari Minyak/Lemak Limbah Industri Krimer Antar Berbagai Konsentrasi Katalis Konsentrasi Katalis (%) SE (dalam gram) W = 1,95
0,5
1,5
104,42 ± 1,81 (a)
109,35 ± 1,78 (b)
Hasil gliserol meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi katalis (Tabel IV.). Katalis berfungsi untuk mengurangi energi aktivasi sehingga reaksi lebih mudah berlangsung. Namun, katalis juga berfungsi untuk mengarahkan gugus OH ke arah pembentukan gliserol [18]. Semakin besar konsentrasi katalis, maka reaksi gliserolisis akan semakin cepat berlangsung dan hasil gliserolisis yang diperoleh semakin banyak. Gliserolisis merupakan reaksi yang berjalan lambat tanpa adanya katalis. Katalis berperan dalam meningkatkan laju reaksi. Dalam reaksi transesterifikasi CPO menunjukkan konsentrasi katali MgO pada kisaran 1,5-5,0% optimum untuk mendapatkan konversi gliserol dari CPO 97,87% [13]. Semakin banyak katalis, konversi reaksi menjadi gliserol semakin meningkat karena katalis dapat menurunkan energi aktivasi dan mempercepat reaksi. Dalam gliserolisis minyak sawit dengan butanol, konsentrasi katalis MgO pada kisaran 2,5-4,0% optimum untuk memperoleh gliserol 94-98% [16]. Penelitian lain menunjukkan kondisi optimum dalam gliserolisis minyak safflower pada katalis enzim lipase 0,75% dari bobot minyak dan yield DAG (diasilgliserol)
yang diperoleh 48,44% [15]. Pada penelitian ini, katalis NaOCH3 (NaOH dalam pelarut metanol) merupakan katalis yang tepat karena peningkatan konsentrasi katalis dapat meningkatkan perolehan gliserol. Purata Hasil Surfaktan dan Gliserol dari Minyak/Lemak Limbah Industri Krimer ditinjau dari Interaksi antara Suhu Pemanasan dan Konsentrasi Katalis Purata hasil surfaktan (gram ± SE) ditinjau dari interaksi antara suhu pemanasan dan konsentrasi katalis berkisar antara 66,18 ± 3,67 gram sampai 76,13 ± 2,61 gram. Hasil uji BNJ 5% menunjukkan adanya interaksi antara suhu pemanasan dan konsentrasi katalis pada bobot surfaktan yang dihasilkan (Tabel V.). Tabel V. Purata Hasil Surfaktan (gram ± SE) ditinjau dari Interaksi antara Suhu Pemanasan dan Konsentrasi Katalis Suhu 0 ( C) 40 60 75
Konsentrasi Katalis (%) 0,5
1,5
76,13 ± 10,54 (b)
71,96 ± 9,69 (b)
(b)
(a)
73,52 ± 9,59 (a)
68,17 ± 8,78 (a)
(b)
(a)
71,75 ± 11,27 (a)
66,18 ± 9,55 (a)
(b)
(a)
Keterangan: * Angka-angka yang diikui oleh huruf yang sama, baik pada lajur maupun baris yang sama, menunjukkan antar perlakuan tidak berbeda bermakna, sebaliknya angkaangka yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan antar perlakuan berbeda bermakna. Keterangan ini juga berlaku untuk Tabel VI. * W = 2,32 untuk uji BNJ 5% antar suhu pemanasan dalam setiap konsentrasi katalis. * W = 1,58 untuk uji BNJ 5% antar konsentrasi katalis dalam setiap suhu pemanasan.
Dari Tabel V. terlihat bahwa rataan hasil surfaktan menurun pada setiap suhu pemanasan dengan penggunaan katalis 1,5%. Demikian juga halnya dengan rataan hasil surfaktan antar suhu pemanasan. Rataan hasil surfaktan menurun pada peningkatan suhu pemanasan, baik dengan penggunaan katalis 0,5% maupun 1,5%. Rataan hasil surfaktan maksimum diperoleh pada suhu terendah (400C) dengan penggunaan katalis terkecil (0,5%) (Gambar 1.).
Purata hasil gliserol (gram ± SE) ditinjau dari interaksi antara suhu pemanasan dan konsentrasi katalis berkisar antara 102,26 ± 3,67 gram dan 112,01 ± 2,61 gram. Hasil uji BNJ 5% menunjukkan adanya interaksi antara suhu pemanasan dan konsentrasi katalis pada bobot gliserol yang dihasilkan (Tabel VI.). Tabel VI. Purata Hasil Gliserol (gram ± SE) ditinjau dari Interaksi antara Berbagai Suhu Pemanasan dan Konsentrasi Katalis Suhu 0 ( C)
Gambar 1. Hasil Surfaktan ditinjau dari Interaksi antara Berbagai Suhu Pemanasan dan Konsentrasi Katalis
Hasil surfaktan metil ester optimum diperoleh pada suhu rendah dengan konsentrasi katalis NaOCH3 0,5% dari bobot minyak [8]. Kenaikan katalis menjadi 1,5% pun menyebabkan hidrolisis surfaktan metil ester meningkat sehingga hasil surfaktan metil ester menurun. Kenaikan konsentrasi katalis menginisiasi reaksi lebih banyak antara katalis dan alkohol (metanol). Akibatnya, kandungan air dari reaksi antara katalis dan metanol meningkat. Kandungan air yang ada menyebabkan hidrolisis surfaktan metil ester. Pada suhu 600C dan 750C, surfaktan metil ester mengalami hidrolisis. Kenaikan suhu pemanasan menyebabkan hidrolisis surfaktan metil ester semakin meningkat sehingga hasil surfaktan metil ester mengalami penurunan.
Konsentrasi Katalis (%) 0,5
1,5
40
102,26 ± 3,67 (a) (a)
107,53 ± 3,82 (a) (b)
60
104,97 ± 1,996 (ab) (a)
108,52 ± 3,26 (a) (b)
75
106,04 ± 4,18 (b) (a)
112,01 ± 2,61 (b) (b)
Keterangan: * W = 3,36 untuk uji BNJ 5% antar suhu pemanasan dalam setiap konsentrasi katalis. * W = 2,29 untuk uji BNJ 5% antar konsentrasi katalis dalam setiap suhu pemanasan.
Dalam setiap suhu pemanasan, pemakaian katalis 1,5% menunjukkan peningkatan rataan hasil gliserol. Demikian juga halnya penggunaan katalis antar suhu pemanasan menunjukkan hasil gliserol pada suhu 750C, baik pada penggunaan katalis 0,5% maupun 1,5% lebih tinggi dari pada suhu 400 dan 600C (Gambar 2.).
Gambar 2. Hasil Gliserol ditinjau dari Interaksi antara Berbagai Suhu
Pemanasan dan Konsentrasi Katalis
Semakin tinggi suhu pemanasan, kelarutan PEG dalam trigliserida semakin besar sehingga reaksi berjalan semakin cepat. Tingginya suhu pemanasan pun memberikan energi pada molekul-molekul untuk bergerak dan bertumbukan sehingga hasil gliserol yang didapat semakin meningkat seiring dengan peningkatan suhu. Kenaikan konsentrasi katalis mempercepat terbentuknya gliserol, terutama penggunaan katalis basa (NaOCH3). Semakin besar konsentrasi katalis, hasil gliserol yang diperoleh semakin besar karena semakin banyak gugus OH yang terarah pada pembentukan gliserol. KESIMPULAN 1. Hasil surfaktan metil ester dan gliserol dari minyak/lemak limbah industri krimer dipengaruhi oleh suhu pemanasan, konsentrasi katalis, sedangkan lama pemanasan tidak berpengaruh terhadap hasil surfaktan metil ester dan gliserol. Ada interaksi antara suhu pemanasan dan konsentrasi katalis dalam hasil surfaktan maupun gliserol yang dihasilkan. 2. Hasil surfaktan maksimum 76,13 ± 10,54 gram pada suhu pemanasan 400C dengan katalis NaOCH3 0,5%, sedangkan hasil gliserol maksimum 112,01 ± 2,61 gram pada suhu pemanasan 750C dengan katalis NaOCH3 1,5%. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih kepada Bapak A. Ign. Kristijanto yang telah membimbing penulis dalam penelitian dan penulisan, serta Ibu Sri Hartini atas saran dan rekomendasi yang diberikan. DAFTAR PUSTAKA 1. Suara Merdeka, Agustus 28, 2009. Bau Busuk, Pabrik Kiviet Diprotes Warga. 2. Suara Merdeka, Februari 23, 2010. Limbah PT Kiviet Diduga Cemari Sawah
3. Sulaeman, D. 2008. Zero Waste: Prinsip Menerapkan Agro-industri Ramah Lingkungan. Jakarta: Departemen Pertanian. 4. Hutchinson J. C., dkk. 2006. United States Patent Aplication Publication: Method of Making Methyl Ester Surfactants. Chicago. 5. Arbianti, R., Tania S. U., dan Astri N. 2008. Isolasi Metil Laurat dari Minyak Kelapa sebagai Bahan Baku Surfaktan Fatty Alcohol Sulfate (FAS). Makara, Teknologi, 12, II: 61-64. 6. Sihotang, H dan Mimpin Ginting. 2006. Pembuatan Monogliserida melalui Gliserolisis Minyak Inti Kelapa Sawit menggunakan Katalis Natrium Metoksida. Jurnal Sains Kimia, 10, II:5157. 7. Bawa, M. P. A. 2009. Komposisi Asam Lemak dari Minyak Biji dan Aktivitas Penangkapan Radikal Bebas Ekstrak Metanol Biji Delima (Punica granatum L.). Salatiga: Program Studi Kimia, Fakultas Sains dan Matematika, Universitas Kristen Satya Wacana. 8. Freedman, B., E. H. Pryde, dan T. L. Mounts. 1984. Variables Affecting the Yield of Fatty Esters from Transesterified Vegetables Oils, JAOCS, Vol 61, No. 10: 1638-1643. 9. May, C. Y. 2004. Transesterification of Palm Oil: Effect of Reaction Parameters, Jurnal of Oil Palm Research, Vol. 16, No. 2:1-11. 10. Attanatho, L., Sukunya, M., dan Peesamai, J. 2004. Factors Affecting the Synthesis of Biodiesel from Crude Palm Kernel Oil ,International Conference on “Sustainable Energy and Environment (SEE)” Hua Hin Thailand. 11. Noureddini, H. dan Medikonduru. 1997. Glycerolysis of Fats and Methyl Esters, Papers in Biochemicals, Paper 11. 12. Noureddini, H., Harkey, dan Gutsman. 2004. A Continous Process for the Glycerolysis of Soybean Oil, Papers in Biochemicals, Paper 15. 13. Pramana, Y. S. dan Sri M. ?. Proses Gliserolis CPO menjadi Mono dan Diacyl Gliserol dengan Pelarut Tert-Butanol dan Katalis MgO. Semarang: Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro. 14. Harismawati dan Prasetyo. ?. Produksi Mono- dan Digliserida dengan Proses Gliserolisis Pseudohomogen dari Minyak Goreng Bekas. Semarang: Jurusan
Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro. 15. Sahafi, S. M., Sayed A. H. G., dan Mahdi K. 2012. Production of A DiacylglycerolEnriched Safflower Oil Using LipaseCatalyzed Glycerolysis: Optimization by Response Surface Methodology, International Journal of Food, Nutririon, and Public Health, Vol. 5, No. 4: 295-306. 16. Anggoro, D. D. dan Faleh S. B. 2008. Proses Gliserolisi Minyak Kelapa Sawit Mono dan Diacyl Gliserol dengan Pelarut Butanol dan Katalis MgO, Reaktor, Vol. 12, No. 1: 22-28. 17. Chetpattananondh, P. dan Chakrit T. 2007. Synthesis of High Purity Monoglycerides from Crude Glycerol and Palm Stearin, Songklanakarin Journal of Science and Technology, 30 (4): 515521. 18. Purwaningtyas, E. F. dan Bambang P. 2009. Pembuatan Surfaktan Polyoxyethylene dari Minyak Sawit: Pengaruh Rasio Mono-Digliserida dan Polyethylene Glykol. Jurnal Reaktor, 12, III:175-182. Semarang: Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro.