Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
CARA PEMANASAN, SUHU DAN LAMA PENYIMPANAN TERHADAP MASA SIMPAN SUSU KAMBING (The way of Heating Temperatures and Time Storage on Goat Milk’s Shelf Life) ROSWITA SUNARLIM dan WIDANINGRUM Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian Jl. Tentara Pelajar No. 12, Bogor 16114
ABSTRACT Milk is a kind of food materials that high in nutritious value, but it can be failure or spoile when it is not handled with care and fastly. One of the milk handling is heating and store at the cold storage. This research was aimed to study the way of heating, storage temperature and how long the milk can be maintained its high quality. Goat milk was divided into three stages i.e. one was heated at 63ºC for 30 minutes (LTLT/pasteurization), another at 90ºC (boiled milk) and the other was no heating treatment (fresh milk), then stored at room temperature (27.5ºC) and cold storage (4-10ºC). Observation was done in 0, 6 and 12 hours after storage. Parameters tested were include total count bacteria, alcohol test, pH and total acid exposed to titration. The experimental design applied here was factorial block design (3 x 3 x 3) in three replications. The result showed that fresh milk got higher in total bacteria (log 5,243) with very high significant difference (P<0,01) than pasteurization milk (log 4,398) and boiled milk (log 4,235). Milk that stored in room temperature (27.5ºC) had total bacteria as log 7,364, bacteria increased in very high significant difference (P<0.01), and the test alcohol was positive. Milk that stored at 4 and 10ºC during 6 hours storage had not increase total bacteria yet in significant difference (P>0.05), but total bacteria was higher to the milk that stored at 12 hours storage (log 5,646 and log 4,782) and there were bacteria increasing in high significant difference (P<0.01) compared to before storage but the alcohol test was negative. The degree of acid from 12 hours storage of milk was not significant difference (P>0.05) while milk was boiled first had the lower degree of acid than fresh milk in significant difference (P<0.05). The value of pH was not significant difference in pasteurization milk, boiled milk and fresh milk, but on 12 hours storage value of PH decreased at significant difference (P<0,01). Key Words: Milk, Pasteurization, Boiled, Fresh, Storage ABSTRAK Susu merupakan bahan pangan yang kaya akan gizi, namun cepat mengalami kerusakan/kebusukan bila tidak ditangani dengan tepat dan cepat. Salah satunya adalah cara pemanasan dan penyimpanan pada suhu rendah. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui cara pemanasan, suhu penyimpanan dan berapa lama susu dapat dipertahankan mutunya. Susu kambing dibagi menjadi tiga perlakuan cara pemanasan yaitu suhu pemanasan 63°C (LTST/pasteurisasi) selama 30 menit, susu dididihkan sampai mendidih (± 90°C) dan tanpa pemanasan (segar), kemudian susu disimpan pada suhu kamar (27,5°C) dan suhu rendah (4–10°C). Pengamatan dilakukan pada 0, 6 dan 12 jam. Parameter yang dilakukan meliputi total bakteri (TPC), uji alkohol, pH dan derajat keasaman. Analisis statistik yang digunakan yaitu Rancangan Acak Kelompok berpola Faktorial 3 x 3 x 3 dengan 3 kali ulangan sebagai kelompok. Hasil yang diperoleh yaitu pada susu segar tanpa pemanasan terdapat TPC sebanyak log 5,243 dan menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01) lebih tinggi dibandingkan dengan susu dengan pemanasan pasteurisasi (log 4,398) dan susu yang dididihkan (log 4,235). Susu pada penyimpanan suhu kamar (27,5°C) memiliki jumlah mikroba sebanyak log 7,364 dan terjadi peningkatan TPC secara sangat nyata (P<0,01) serta uji alkoholnya ada yang positif. Susu pada penyimpanan 10°C dan 4°C selama penyimpanan 6 jam belum meningkatkan TPC secara nyata (P>0,05), namun sangat nyata (P<0,01) lebih tinggi TPC-nya pada penyimpanan 12 jam yaitu log 5,646 dan log 4,782. Dalam hal ini terjadi peningkatan TPC secara sangat nyata (P<0,01) dibandingkan dengan sebelum penyimpanan, namun uji alkoholnya negatif. Derajat keasaman selama penyimpanan 12 jam tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05), sedangkan susu yang dididihkan terlebih dahulu memiliki
672
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
derajat keasaman lebih rendah dibandingkan dengan susu tanpa pemanasan (segar). Nilai pH tidak berpengaruh secara nyata pada susu yang dipasteurisasi, dididihkan dan tanpa pemanasan (segar), namun selama penyimpanan 12 jam terjadi penurunan pH secara sangat nyata (P<0,01). Kata Kunci: Susu, Pasteurisasi, Didih, Segar, Penyimpanan
PENDAHULUAN
MATERI DAN METODE
Saat ini susu kambing belum sepopuler susu sapi, akan tetapi nilai gizi susu kambing lebih tinggi juga lebih mudah dicerna karena globula-globula lemak yang berdiameter kecil (sampai 4,5 µm) lebih banyak yaitu 82,7% sedangkan pada susu sapi hanya 65,4% (DAVENDRA dan MCLEROY, 1983). Susu merupakan makanan yang baik bagi pertumbuhan mikroba sehingga mengakibatkan kerusakan bahkan pembusukan bila tidak ditangani dengan tepat dan cepat. Oleh karena itu beberapa cara untuk menekan pertumbuhan mikroba khususnya bakteri yaitu proses pendinginan (FARDIAZ, 1989), sedangkan metode perlakuan pemanasan bertujuan mempercepat kematian bakteri. Secara umum cara pemanasan dapat diklasifikasikan menjadi tiga (3) macam yaitu pengeringan, pasteurisasi, dan sterilisasi. Khusus untuk cara pemanasan dengan pengeringan dan sterilisasi umumnya selain bakteri mati spora bakteri juga ikut mati, sedang cara pasteurisasi ditujukan untuk membunuh bakteri patogen sebagian besar mikroba tetapi spora bakteri dan barbagai bakteri tertentu belum mati, sehingga daya simpannya relatif lebih singkat (CROSS dan ORKEBY, 1988). Faktor penyimpanan susu berperan pula terhadap masa simpan susu terutama pada susu tanpa pemanasan (segar) dan susu pasteurisasi karena spora akan bertumbuh dan mencemari susu, oleh karena itu susu tersebut segera disimpan pada suhu rendah. Menurut BERMON (1980), sebaiknya susu dan produk susu yang dipasteurisasi perlu disimpan dalam kulkas (lemari es) dengan suhu kurang dari 10°C, agar pertumbuhan mikroba dapat dihambat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui berapa derajat dan berapa lama susu dipanaskan dibandingkan susu tanpa pemanasan (segar) dengan masa simpan lebih lama dan aman untuk dikonsumsi bila disimpan pada suhu kamar (27,5°C) dan suhu rendah (4–10°C).
Susu diperoleh dari perahan 16 induk kambing peranakan Etawah berumur 18–19 bulan, pertama kami beranak pada masa laktasi 14–15 minggu. Setelah terkumpul, dilakukan uji kesegaran dengan test alkohol 40%. Susu dengan test alkohol negatif dibagi tiga bagian dengan masing-masing perlakuan yaitu tanpa pemanasan (segar), dipasteurisasi LTLT atau pemanasan pada suhu 63°C selama 30 menit (ALCAMO, 1983) dan susu dididihkan sampai mencapai suhu ± 90°C. Masing-masing susu tersebut dibagi lagi menjadi tiga bagian untuk disimpan pada suhu kamar (27,5°C), suhu 10°C dan suhu 4°C. Interval pengamatan setiap enam jam sekali dan lama penyimpanan 12 jam (0, 6 dan 12 jam). Parameter yang diamati adalah TPC, test alkohol 40%, pH dan derajat keasaman. Analisi statistik menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) berpola faktorial 3 x 3 x 3, dengan cara pemanasan (segar, pasteurisasi, didih), suhu penyimpanan (27,5; 4 dan 10°C) serta lama penyimpanan (0, 6 dan 12 jam) yang diulang sebanyak tiga kali sebagai kelompok. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh pemanasan terhadap jumlah mikroorganisme (bakteri), derajat keasaman dan pH dari susu kambing selama penyimpanan tertera pada Tabel 1 dan 2. Jumlah bakteri (TPC) Susu yang dipanaskan secara pasteurisasi (log 4,398) maupun didih (log 4,235) ternyata nyata secara statistik (P<0,05) memiliki TPC lebih rendah dibandingkan tanpa pemanasan/ segar yaitu log 5,243. Cara pemanasan susu adalah upaya membunuh khususnya bakteri menyebabkan rendahnya TPC.
673
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
Susu yang dididihkan sampai ± 90°C maupun pasteurisasi LTLT ternyata dapat mengurangi TPC yaitu sekitar sepersepuluh dari jumlah bakteri pada susu segar (tanpa pemanasan). Pada susu didih dan susu
pasteurisasi ternyata jumlah bakteri (TPC) tidak terdapat perbedaan nyata (P>0,05), namun ada kecenderungan susu didih lebih rendah TPC-nya dibandingkan dengan susu pasteurisasi.
Tabel 1. Rataan jumlah bakteri (TPC) pada susu kambing selama 12 jam penyimpanan Jumlah bakteri ----(log CFU/ml)----
Perlakuan Cara pemanasan Segar (tanpa pemanasan)
5,243 ± 1,516A
Pasteurisasi
4,398 ± 1,793B
Mendidih
4,235 ± 1,409B
Temperatur penyimpanan Temperatur ruangan (± 27,4°C)
5,408 ± 2,011A
10°C
4,341 ± 1,401B
4°C
4,127 ± 1,057B
Lama penyimpanan 0 jam
3,374 ± 0,847C
6 jam
4,571 ± 1,511B
12 jam
5,931 ± 1,088A
Temperatur penyimpanan x lama penyimpanan Temperatur ruangan (± 27,5°C) x 0 jam
3,374 ± 0,847A
6 jam
5,486 ± 1,511B
12 jam
7,364 ± 1,088C
10°C x 0 jam
3,374 ± 0,847A
6 jam
4,002 ± 1,111A
12 jam
5,646 ± 1,149B
4°C x 0 jam
3,374 ± 0,847Aa
6 jam
4,226 ± 0,963ab
12 jam
4,782 ± 0,924Bb
Lama penyimpanan x temperatur penyimpanan 0 jam x temperatur ruangan (± 27,5°C)
3,374 ± 0,847a
10°C
3,374 ± 0,847a
4°C
3,374 ± 0,847a
6 jam x temperatur ruangan (± 27,5°C)
5,486 ± 1,511A
10°C
4,002 ± 1,111B
4°C
4,226 ± 0,963B
12 jam x temperatur ruangan (± 27,5°C)
7,364 ± 1,088
10°C
5,646 ± 1,149Bb
4°C
4,782 ± 0,924b
Perbedaan superskrip pada masing-masing perlakuan menunjukkan perbedaan secara statistik ab = nyata (P<0,05); AB = sangat nyata (P<0,01)
674
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
Tabel 2. Rataan derajat keasaman dan pH susu kambing selama 12 jam penyimpanan Perlakuan
Derajat keasaman
pH
---(°SH)---
6,56 ± 0,22a
7,88 ± 1,05Aa
6,51 ± 0,17a
ab
6,57 ± 0,18a
Cara pemanasan: Segar (tanpa pemanasan) Pasteurisasi
7,62 ± 0,73
Dididihkan
7,44 ± 0,91Bb
Lama penyimpanan: 0 jam
7,49 ± 0,80a
6,71 ± 0,31A
6 jam
7,73 ± 0,67a
6,47 ± 0,04B
a
6,45 ± 0,15B
12 jam
7,73 ± 1,22
Perbedaan superskrip pada masing-masing perlakuan menunjukkan perbedaan secara statistik ab = nyata (P<0,05) AB = sangat nyata (P<0,01)
Hal ini terjadi karena adanya perbedaan ketahanan bakteri terhadap panas. Bakteri yang masih bertahan pada susu pasteurisasi seperti Streptococcus, Lactobacillus dan pembentuk spora yaitu Bacillus dan Clostridia (JAY, 1978). Menurut CROSS dan OVERBY (1988) hanya spora bakteri yang bertahan hidup pada suhu didih. Interval antara susu dan lama penyimpanan adalah nyata (P<0,05), yang umumnya terjadi peningkatan TPC selama penyimpanan pada suhu kamar (27,5°C) dan suhu rendah (4 dan 10°C). Pada Gambar 1 terlihat TPC meningkat secara mencolok pada penyimpanan suhu kamar (27,5°C) dibandingkan dengan susu yang disimpan selama 12 jam pada suhu 10 dan 4°C. PELCZAR et al. (1986) menyatakan bahwa penyimpanan pada suhu rendah bertujuan untuk menyangrai atau menarik air bebas, sedangkan FARDIAZ (1989) menyatakan bahwa suhu rendah dapat mengubah air bebas menjadi kristal es sehingga air tidak dapat digunakan oleh mikroba/bakteri untuk aktifitasnya oleh karena aktifitas yang terhambat sehingga diharapkan pertumbuhan mikroba terhambat akibatnya masa simpan susu dapat diperpanjang. Susu setelah 6 dan 12 jam penyimpanan pada suhu kamar (27,5°C) terdapat TPC yang lebih tinggi secara nyata (P<0,05) dibandingkan susu yang disimpan pada suhu rendah (4– 10°C). Meskipun demikian kecepatan peningkatan jumlah bakteri berbeda. Pada penyimpanan suhu kamar (27,5°C) peningkatan
bakteri mencapai sekitar 100 kali lipat setiap enam jam dengan waktu generasi 58 menit (saat 6 dan 12 jam). Pada penyimpanan 10°C terjadi peningkatan sekitar 10 kali lipat dalam 6 jam dengan waktu generasi 66 menit (saat 6– 12 jam), sedangkan pada penyimpanan suhu 4°C terjadi perlambatan yaitu kurang dari 10 kali lipat dalam waktu 6 jam dengan waktu generasi 195 menit (saat 6–12 jam). Menurut ABUBAKAR et al. (2001) susu yang dipasteurisasi LTLT seperti penelitian ternyata selama penyimpanan 21 jam pada suhu kamar diperoleh total bakteri mencapai 30000/ml susu, dengan demikian susu masih aman untuk dikonsumsi. Adapun penelitian LATIEF (1994) ternyata susu dengan pasteurisasi LTLT selama satu hari pada penyimpanan suhu kamar, total bakteri sudah mencapai 3–12 juta/ml susu, sedangkan pada penyimpanan 10ºC selama satu hari, total bakteri mencapai 58–125 ribu/ml susu. NASRULLAH (1999) menyatakan bahwa susu yang dipasteurisasi dengan HTST (suhu 71ºC 15 detik) hanya layak dikonsumsi bila disimpan pada suhu kamar selama satu hari penyimpanan (dengan total bakteri 30000/ml susu). Susu yang disimpan pada suhu 5ºC dan 10ºC masih layak dikonsumsi karena total bakteri sebesar 14000 dan 25650/ml, akan tetapi susu yang tanpa pasteurisasi hanya yang disimpan pada suhu 5ºC yang aman untuk dikonsumsi (total bakteri 292000/ml) meskipun disimpan selama empat hari.
675
Jumlah total mikroorganisme (log CFU/ml) susu kambing selama 12 jam penyimpanan
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
8 7 6 5
27.5 C
4
10 C 4C
3 2 1 0 0
6
12
Gambar 1. Total bakteri susu kambing yang disimpan selama 12 jam pada suhu 27,5ºC dan 4ºC
Pada penyimpanan suhu 10ºC pada susu tanpa pasteurisasi pada hari kedua bakterinya sudah mencapai 2800000/ml. Dengan demikian total bakteri susu segar pada penelitian ini sekitar 10000/ml susu, namun setelah disimpan pada suhu kamar selama 12 jam total bakteri meningkat mencapai 100 juta/ml, tetapi pada suhu penyimpanan 10ºC (sekitar 1 juta/ml) dan suhu 5ºC (500000/ml). Pada susu pasteurisasi maupun susu yang dididihkan ternyata selama penyimpanan suhu 10ºC maupun 4ºC masih meningkat total bakterinya meskipun lebih rendah bila dibandingkan dengan susu yang disimpan pada suhu kamar (27,5ºC) juga susu segar. Oleh karena itu susu harus dipasteurisasi/dimasak (dididihkan) dan disimpan pada suhu rendah, sebaliknya pada suhu 4ºC, agar bakteri tidak cepat berkembang biak. Derajat keasaman susu Derajat keasaman berbeda nyata (P<0,01) diantara susu segar, pasteurisasi, dan didih, dimana derajat keasaman susu segar lebih tinggi secara nyata (P<0,05) dibandingkan dengan susu didih namun tak berbeda derajat keasamannya dengan susu pasteurisasi. Adapun selama penyimpanan 12 jam tidak terjadi peningkatan derajat keasaman secara nyata (P>0,05).
676
Susu segar mengandung bakteri pembentuk asam yang segera beraktifitas, adapun susu yang dipanaskan terlebih dahulu menyebabkan beberapa jenis bakteri pembentuk asam akan mati, sedangkan beberapa jenis bakteri yang mampu hidup perlu waktu untuk beradaptasi dengan lingkungannya. Manurut JAY (1978), bakteri pembentuk asam seperti spesies Streptococcus Lactobacillus, Leuconostoc dan Pediocossus yang umumnya berada pada susu segar sebagian besar akan mati bila susu dipanaskan, sedangkan Streptococcus dan Lctobacillus masih dapat bertahan hidup pada susu pasteurisasi LTLT. Nilai pH Nilai pH adalah kebalikan dari derajat keasaman, karena diantara susu segar, pasteurisasi dan didih tidak berbeda nyata (P>0,05). Menurut SUNARLIM et al. (2001), pH susu kambing segar seperti penelitian yaitu 6,52. Akan tetapi pH susu segar adalah relatif lebih rendah dibandingkan dengan susu pasteurisasi dan didih dari ketiga suhu penyimpanan. Hal ini terjadi karena susu segar (tanpa pemanasan), masih banyak mengandung bakteri khususnya bakteri pembentuk asam laktat sehingga menyebabkan pH relatif menjadi rendah.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
Selama penyimpanan 6 dan 12 jam secara nyata nilai pH lebih rendah (P<0,05) dibandingkan sebelum penyimpanan (0 jam). Kemungkinan selama penyimpanan bakteri berkembang biak mnyebabkan terbentuknya asam laktat sehingga menyebabkan pH menurun. KESIMPULAN Susu segar relatif mengandung bakteri lebih tinggi dibandingkan dengan susu pasteurisasi dan didih, sehingga cara pemanasan (pasteurisasi dan didih) dapat menekan pertumbuhan bakteri. Selama penyimpanan 12 jam pada suhu kamar (27,5°C), suhu rendah (10 dan 4°C), terjadi peningkatan jumlah bakteri dan nilai pH secara nyata dibandingkan dengan sebelum penyimpanan. Selama penyimpanan 6 dan 12 jam, jumlah bakteri tertinggi diperoleh dari susu dengan penyimpanan pada suhu kamar (27,5°C) sehingga penyimpanan pada suhu rendah (10 dan 4°C) lebih efektif dalam menekan pertumbuhan bakteri. Susu pada penyimpanan suhu rendah (4– 10ºC dapat disimpan lebih dari 12 jam. Untuk mendapatkan berapa lama (hari) waktu penyimpanan pada susu segar (tanpa pemanasan), susu pasteurisasi dan susu yang dididihkan, tentunya perlu penelitian lebih lanjut. DAFTAR PUSTAKA ABUBAKAR, TRIYANTINI, R. SUNARLIM, H. SETIYANTO dan NURCAHYADI. 2001. Pengaruh suhu dan waktu pasteurisasi terhadap mutu susu selama penyimpanan. JITV 6(1): 45–50.
BENNION, M. 1980. The Science of Food. John Wiley and Sons. New York, Chichester, Brisbane, Toronto, Singapore. CROSS, H.R. and A.J. OVERBY. 1988. Meat Science, Milk Science and Technology. Elsevier Science Publisher B.V Amsterdam-OxfordNew York-Tokyo. DAVENDRA, C. and G.B. MCLEROY. 1983. Goat and Sheep Production in The Tropics. Intermediate Tropical Agricultural Series, London and New York. DAVENDRA, C. 1980. Milk Production in Goat Compared to Buffalo and Cattle in Humid Tropics. J. Dairy Sci. 63: 1955. FARDIAZ, S. 1989. Mikrobiologi Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor. JAY, J.M. 1978. Modern Food Microbiology. 2nd D Van Nostrand Company, New York, Cincinnati Toronto, London and Melbourne. LATIEF, N. M. 1994. Pengaruh Metode Pasteurisasi dan Pengemasan terhadap Mutu Susu Selama Penyimpanan. Skripsi. Fakultas PertanianJurusan Peternakan, Universitas Djuanda. Bogor. NASRULLAH. 1999. Pengaruh Pasteurisasi Metode High Temperature Short Time terhadap Masa Simpan Susu Sapi. Skripsi. Fakultas Pertanian, Jurusan Peternakan, Universitas Djuanda, Bogor. PELCZAR, M.J., E.C.S. CHAN and N.R. KRIEG. 1986. Microbiology. 5th Ed. McGraw-Hill, Inc. SUNARLIM, R. dan H. SETIYANTO. 2001. Penggunaan Berbagai Tingkat Kadar Lemak Susu Kambing dan Susu Sapi terhadap Mutu dan Citarasa Yoghurt. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 371–378.
ALCAMO. 1985. Fundamentals of Microbiology. Addison-Wesley Publishing Company. Massachusetts, California, London, Amsterdam, Don Mills, Ontario, Sydney.
677