LEGISLASI PIDANA: PROBLEM SISTEMIK SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA 1 oleh: Anugerah Rizki Akbari, S.H. 2 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung pada tanggal 27 Februari 2012 memunculkan beragam reaksi dari berbagai kalangan. Pada satu sisi, terdapat beberapa kalangan yang mempermasalahkan pengaturan penyesuaian batasan tindak pidana ringan dan denda dalam KUHP pada sebuah peraturan yang berlaku di Mahkamah Agung dan menganggap hal ini sebagai suatu kecacatan hukum. Beberapa kalangan juga beranggapan bahwa Mahkamah Agung terburu-buru menerbitkan peraturan ini mengingat substansi peraturan tersebut yang dianggap kurang tepat untuk diberlakukan karena nominal Rp 2.500.000,00 tidak dapat dijadikan patokan untuk mengatakan bahwa suatu tindak pidana dikategorikan sebagai tindak pidana ringan. Terlepas dari pandangan-pandangan tersebut, terbitnya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2012 ini merupakan suatu langkah positif perkembangan hukum pidana Indonesia. Mengapa saya katakan hal ini sebagai suatu langkah positif? Karena Peraturan Mahkamah Agung ini mencoba untuk merespon kebutuhan masyarakat akan suatu pengaturan tindak pidana ringan, khususnya di tindak pidana terhadap harta kekayaan, yang selama ini diabaikan oleh seluruh (ya, seluruh) jajaran Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat. Mari kita lihat masalah-masalah yang seharusnya direspon oleh pihak-pihak yang saya sebutkan di atas sebelum terbitnya peraturan ini. 1.
Nenek Minah dan 3 Buah Kakao3 Rangkuman Kasus: Minah (55) yang buta huruf divonis di Pengadilan Negeri Purwokerto. Ironi hukum di Indonesia ini berawal saat Minah sedang memanen kedelai di
1 Disampaikan dalam perkuliahan Hukum Sanksi pada hari Rabu, 24 Oktober 2012, di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 2 Penulis adalah Asisten Bidang Studi Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Peneliti pada Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP). 3 Menkum HAM: Kasus Nenek Minah Memalukan, http://news.detik.com/read/ 2009/11/20/135420/1245643/10/menkum-ham-kasus-nenek-minah-memalukan, diunduh tanggal 16 Maret 2012.
lahan garapannya di Dusun Sidoarjo, Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Banyumas, Jawa Tengah, pada 2 Agustus lalu. Lahan garapan Minah ini juga dikelola oleh PT RSA untuk menanam kakao. Ketika sedang asik memanen kedelai, mata tua Minah tertuju pada 3 buah kakao yang sudah ranum. Dari sekadar memandang, Minah kemudian memetiknya untuk disemai sebagai bibit di tanah garapannya. Setelah dipetik, 3 buah kakao itu tidak disembunyikan melainkan digeletakkan begitu saja di bawah pohon kakao. Dan tak lama berselang, lewat seorang mandor perkebunan kakao PT RSA. Mandor itu pun bertanya, siapa yang memetik buah kakao itu. Dengan polos, Minah mengaku hal itu perbuatannya. Minah pun diceramahi bahwa tindakan itu tidak boleh dilakukan karena sama saja mencuri. Seminggu kemudian dia mendapat panggilan pemeriksaan dari polisi. Proses hukum terus berlanjut sampai akhirnya dia harus duduk sebagai seorang terdakwa kasus pencuri di Pengadilan Negeri (PN) Purwokerto. 2.
Rasminah dan 6 Buah Piring4 Rangkuman Kasus: Rasminah dituduh mencuri 6 piring pada Juni 2010 atas laporan majikannya, Siti Aisyah Soekarnoputri. Dia dituntut hukuman 5 bulan penjara oleh jaksa namun dibebaskan hakim PN Tangerang. Dia sempat ditahan selama 130 hari hingga penangguhan penahanannya dikabulkan. Oleh PN Tangerang, Rasminah diputus bebas. Ternyata, jaksa mengajukan kasasi ke MA. Oleh MA, Rasminah dihukum 130 hari penjara pada 31 Mei 2011. Namun putusan kasasi tersebut terdapat beda pendapat. Ketua majelis hakim Artidjo Alkotsar, menyatakan Rasminah bebas.
3.
FN dan 8 Bunga Adenium Rangkuman Kasus: FN dituduh menjual 8 tangkai bunga adenium milik orang tua angkatnya kepada tetangga seharga Rp 10.ooo,oo per tangkai dalam kurun waktu Agustus-November 2011. Bunga tersebut diambil dari halaman rumah mereka di Kelurahan Oekamusa, Kecamatan Kota Soe. FN terpaksa
4 Tidak Layak, Pencuri 6 Piring Dihukum 130 Hari Penjara, http://news.detik.com/read/ 2012/02/01/074718/1830962/10/tidak-layak-pencuri-6-piring-dihukum-130-hari-penjara? nd992203605, diunduh pada tanggal 16 Maret 2012.
menjual karena butuh uang untuk membayar transportasi menuju ke sekolahnya. FN (16) dituntut 2 bulan penjara oleh jaksa penuntut umum (JPU) dalam sidang Pengadilan Negeri (PN) Soe, Timor Tengah Selatan. 5 Dalam sidang yang dipimpin ketua majelis hakim Iros Beru menyebut FN tidak bersalah. Karena itu ia bebas demi hukum. Namun jaksa tetap pada pendiriannya bahwa FN bersalah. Kepala Kejaksaan Negeri Timor Tengah Selatan Johannes mengatakan pihaknya segera mengajukan kasasi terkait kasus vonis bebas tersebut. Kasasi akan diajukan dalam jangka waktu 14 hari sejak pembacaan vonis bebas. 6 Tiga kasus di atas adalah partikel-partikel kecil dari sekian banyak kasus yang menunjukkan masalah-masalah yang harus direspon dalam konteks pembaruan legislasi pidana di Indonesia. Dimana akar masalah dari ketiga contoh kasus di atas? Terlepas dari vonis yang dirasa “bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat”, permasalahan yang dihadapi justru terletak pada usangnya peraturan pidana kita, khususnya KUHP, dalam merespon kebutuhan masyarakat. Ketiga kasus di atas menggunakan Pasal 362 KUHP tentang tindak pidana pencurian sebagai dasar untuk melakukan proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan, hingga berujung pada pemidanaan. Mari kita perhatikan baik-baik rumusan pasal tersebut. Pasal 362 KUHP “Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah.” Pasal ini merupakan delik pokok dari delik pencurian yang tersebar dalam beberapa pasal dalam Bab XXII KUHP tentang Pencurian. Tidak ada yang salah dengan ketentuan pasal ini yang dengan tegasnya menyatakan bahwa setiap orang yang memenuhi unsur-unsur dalam pasal tersebut akan diancam dengan
5 Dituduh Ibu Angkat Curi Bunga, Yatim Piatu Dituntut 2 Bulan Penjara, http:// news.detik.com/read/2012/01/10/205008/1812084/10/dituduh-ibu-angkat-curi-bunga-yatimpiatu-dituntut-2-bulan-penjara?nd992203605, diunduh tanggal 16 Maret 2012. 6 Bocah Pencuri Bunga Divonis Bebas, Jaksa Kasasi, http://www.mediaindonesia.com/ read/2012/01/17/292146/290/101/Bocah-Pencuri-Bunga-Divonis-Bebas-Jaksa-Kasasi, diunduh pada tanggal 16 Maret 2012.
pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah. Hanya saja, jika menggunakan pasal ini pada tindak pidana yang dicontohkan di atas, akan menjadi suatu hal yang kurang tepat, karena seharusnya penegak hukum mempertimbangkan Pasal 364 tentang tindak pidana pencurian ringan untuk diterapkan dalam kasus-kasus tersebut. Pasal 364 KUHP “Perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 362 dan Pasal 363 ke-4, begitupun perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 363 ke-5, apabila tidak dilakukan dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, jika harga barang yang dicuri tidak lebih dari dua puluh lima rupiah, dikenai, karena pencurian ringan, pidana penjara paling lama tiga bulan atau denda paling banyak enam puluh rupiah.” Dengan memperbandingkan kedua pasal tersebut, kita bisa mulai menganalisis masalah-masalah yang dihadapi oleh hukum pidana Indonesia, yang kemudian saya katakan sebagai suatu problem sistemik dalam sistem peradilan pidana Indonesia. Setidaknya, ada dua hal yang membedakan kedua pasal tersebut, yaitu: 1.
Nilai Barang yang Dicuri Hal utama yang membedakan antara Pasal 362 KUHP (Pencurian) dengan Pasal 364 KUHP (Pencurian Ringan) terletak pada batasan nilai (nominal) barang yang dicuri pelaku tindak pidana. Dalam ketentuan Pasal 364 KUHP dirumuskan suatu syarat untuk mengatakan bahwa suatu tindak pidana adalah pencurian ringan yaitu dengan membatasi nilai barang yang dicuri tidak lebih dari dua puluh lima rupiah. Ketentuan tersebut berbeda dengan Pasal 362 KUHP yang tidak memberikan batasan nilai barang yang dicuri oleh pelaku untuk bisa diterapkan pasal ini.
2.
Ancaman Pidana Perbedaan kedua adalah menyangkut pidana yang diancamkan bagi pelaku tindak pidana tersebut. Pada ketentuan Pasal 362 KUHP, pembuat undangundang mencantumkan ancaman pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah bagi setiap orang yang melanggar ketentuan pasal tersebut. Sedangkan dalam Pasal 364 KUHP, pidana yang diancamkan pada pelaku hanya pidana penjara
paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak enam puluh rupiah. Kedua perbedaan di atas memberikan konsekuensi hukum yang berbeda bagi pelakunya, terutama hak yang dimiliki pelaku dalam proses peradilan pidana, yang bisa kita analisis sebagai berikut: 1.
Penahanan terhadap Pelaku Tindak Pidana Konsekuensi pertama yang akan dialami oleh pelaku tindak pidana adalah boleh/tidaknya pelaku ditahan oleh penegak hukum dalam proses peradilan pidana. Kita dapat melihat syarat penahanan dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau yang biasa disebut sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yaitu: a.
Syarat Obyektif Penahanan hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan/atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal: a.
tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih;
b.
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal 335 ayat (1), Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379 a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480, da Pasal 506 Kitab UndangUndang Hukum Pidana, Pasal 25 dan Pasal 26 Rechtenordonnantie (pelanggaran terhadap Ordonansi Bea dan Cukai, terakhir diubah dengan Staatsblad Tahun 1931 Nomor 471), Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 4 Undang-Undang Tindak Pidana Imigrasi (Undang-Undang Nomor 8 Darurat Tahun 1955, Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor 8), Pasal 36 ayat (7), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47, dan Pasal 48 UndangUndang Nomor 9 Tahu 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3086).
b.
Syarat Subyektif Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal
adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, dan/atau mengulangi tindak pidana. Syarat obyektif merupakan syarat yang mutlak harus dipenuhi oleh pelaku tindak pidana untuk dapat dilakukan penahanan oleh penegak hukum dalam sistem peradilan pidana, sedangkan syarat subyektif bisa saya katakan sebagai supporting circumstances yang mendukung syarat utama dalam penahanan. Karenanya saya melihat bahwa penahanan harus, pertama kalinya, memenuhi syarat obyektif kemudian apakah kemudian penegak hukum khawatir pelaku akan melarikan diri dan lain-lain, itu adalah cuap-cuap yang bisa dikarang kapanpun dengan kondisi apapun. Jika kembali pada pembahasan mengenai tindak pidana pencurian (Pasal 362 KUHP) dengan tindak pidana pencurian ringan (Pasal 364 KUHP), implikasinya berpengaruh pada subyek penahanan. Ilustrasinya adalah jika seseorang disangka melanggar ketentuan Pasal 362 KUHP, karena ancaman pidananya paling banyak lima tahun (dan memenuhi Pasal 21 ayat (4) huruf a KUHAP), ia harus berhadapan dengan fakta, bahwa oleh hukum, ia diberikan hak istimewa untuk dapat memperoleh status tahanan dari penegak hukum, terlepas apakah keleluasaan itu digunakan atau tidak. Tetapi, jika yang digunakan adalah Pasal 364 KUHP, pelaku tindak pidana, dalam keadaan apapun, tidak akan bisa ditahan karena syarat obyektif yaitu ancaman pidana minimal lima tahun penjara, tidak dapat dipenuhi, dan karenanya oleh hukum, ia tidak akan bisa merasakan ‘nikmatnya’ menjadi seorang tahanan. Ini adalah poin perbedaan yang sangat fundamental dari kedua pasal tersebut. 2.
Pengajuan Kasasi oleh Pelaku dan/atau Jaksa Konsekuensi selanjutnya dari perbedaan tersebut adalah boleh/tidaknya diajukan kasasi atas kasus tersebut. Kita bisa melihat pengaturan hal ini dalam Pasal 45A Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009. Rumusan ini merupakan perwujudan konsep pembatasan perkara, yang diterjemahkan sebagai berikut:
Pasal 45A
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009
(1)
Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi mengadili perkara yang memenuhi syarat untuk diajukan kasasi, kecuali perkara yang oleh Undang-Undang ini dibatasi pengajuannya.
(2)
Perkara yang dikecualikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a.
putusan tentang praperadilan;
b.
perkara pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau diancam dengan pidana denda;
c.
perkara tata usaha negara yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah yang jangkauan keputusannya berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan.
(3)
....
(4)
....
(5)
....
Dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau denda paling banyak enam puluh rupiah, tindak pidana pencurian ringan dalam Pasal 364 KUHP tidak akan bisa diajukan kasasi. Hal ini nantinya akan berdampak pada pengurangan/pembatasan perkara di tingkat kasasi. Berbeda dengan jika pelaku tersebut dipidana dengan Pasal 362 KUHP, yang memiliki dampak pada bisa diajukannya kasasi oleh pelaku atau Penuntut Umum. 3.
Pemeriksaan dengan Acara Cepat Konsekuensi selanjutnya adalah diprosesnya suatu perkara dengan menggunakan acara cepat. Jika suatu tindak pidana dikategorikan sebagai tindak pidana ringan, perkara tersebut harus diproses dengan menggunakan acara cepat sebagaimana diatur dalam Pasal 205-210 KUHAP.
Pasal 205 KUHAP (1)
Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan tindak pidana ringan ialah perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan/atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan penghinaan ringan kecuali yang ditentukan dalam Paragraf 2 Bagian ini.
(2)
Dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), penyidik atas kuasa penuntut umum, dalam waktu tiga hari sejak berita acara pemeriksaan selesai dibuat, menghadapkan terdakwa beserta barang bukti, saksi, ahli, dan/atau juru bahasa ke sidang pengadilan.
(3)
Dalam acara pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pengadilan mengadili dengan hakim tunggal pada tingkat pertama dan terakhir, kecuali dalam hal dijatuhkan pidana perampasan kemerdekaan, terdakwa dapat minta banding.
Dari ketentuan di atas, kita bisa melihat bahwa pemeriksaan terhadap tindak pidana ringan berbeda sama sekali dengan tindak pidana pada umumnya. Dalam waktu tiga hari sejak berita acara pemeriksaan selesai dibuat, penyidik atas kuasa penuntut umum langsung dapat membawa terdakwa ke sidang pengadilan dan diadili dengan menggunakan hakim tunggal sehingga prosesnya akan berjalan dengan cepat. Hal ini yang akan dikenakan pada pelaku tindak pidana pencurian ringan, yang untuk kesekian kalinya, berbeda dengan pelaku pada tindak pidana pencurian dalam Pasal 362 KUHP. Lantas, apa masalah yang saya sebutkan sebagai problem sistemik dalam sistem peradilan pidana? Sebenarnya telah saya sebutkan sebelumnya bahwa problem utamanya adalah usangnya legislasi pidana Indonesia. Dimana letak keusangannya? Tidak lain dan tidak bukan serta secara terang benderang namun tidak dilihat oleh DPR dan Pemerintah selama berpuluh-puluh tahun adalah tidak disesuaikannya seluruh ketentuan yang menggunakan nominal rupiah (baik pidana denda maupun nilai barang) dalam KUHP. Nominal yang ada di KUHP masih demikian adanya tanpa pernah disesuaikan lagi sejak tahun 1960. Terakhir kali, DPR dan Pemerintah memberikan perhatian serius (bukan sekedar omong kosong) adalah pada tahun 1960 dengan
dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) Nomor 16 Tahun 1960 tentang Beberapa Perubahan dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana dan PERPU Nomor 18 Tahun 1960 tentang Perubahan Jumlah Hukum Denda dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan dalam Ketentuan-Ketentuan Pidana Lainnya yang Dikeluarkan sebelum Tanggal 17 Agustus 1945 (keduanya telah disahkan melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang Penetapan Semua Undang-Undang Darurat dan Semua Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang Sudah Ada sebelum Tanggal 1 Januari 1961 Menjadi Undang-Undang). Berikut adalah beberapa perubahan dalam kedua peraturan tersebut. Pasal I PERPU Nomor 16 Tahun 1960 “Kata-kata “vijf en twintig gulden” dalam pasal-pasal 364, 373, 379, 384, dan 407 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana diubah menjadi “dua ratus lima puluh rupiah”.” Pasal I PERPU Nomor 18 Tahun 1960 (1)
Tiap jumlah hukuman denda yang diancamkan, baik dalam KUHP sebagaimana beberapa kali telah ditambah dan diubah yang terakhir dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1960 (L.N. 1960-1) maupun dalam ketentuan-ketentuan pidana lainnya yang dikeluarkan sebelum tanggal 17 Agustus 1945, sebagaimana telah diubah sebelum hari mulai berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, harus dibaca dalam mata uang rupiah dan dilipatgandakan menjadi lima belas kali.
(2)
Ketentuan dalam ayat (1) tidak berlaku terhadap jumlah hukuman denda dalam ketentuan-ketentuan yang telah dimasukkan dalam tindak pidana ekonomi.
Dua PERPU ini mengubah ketentuan KUHP, yaitu: 1.
Nilai “barang” dalam Pasal 364, 373, 379, 3984, dan 407 ayat (1) KUHP diubah menjadi “dua ratus lima puluh rupiah” yang berlaku demikian adanya hingga detik ini (sebelum dikeluarkannya PERMA Nomor 02 Tahun 2012), dan
2.
Pidana denda dalam KUHP dibaca dalam mata uang rupiah dilipatgandakan menjadi lima belas kali. Sehingga jika di KUHP tertulis
“denda paling banyak enam puluh rupiah” harus dikalikan lima belas sehingga dibaca “denda paling banyak sembilan ratus rupiah”. Begitulah perubahan mengenai nominal yang ada dalam KUHP hingga detik ini. Di sinilah letak permasalahan sistemik yang saya sebutkan di atas. Ketentuanketentuan usang ini telah berlaku sedemikian lamanya dan tidak pernah disesuaikan dengan nilai yang berkembang pada saat ini. Akibatnya, Nenek Minah, Rasminah, FN, dan lain-lain menjadi korban atas ketidakhirauan DPR dan Pemerintah dalam kasus yang dihadapinya. Sebutlah, mereka akhirnya terpaksa menyandang status tahanan dalam proses peradilan pidana, ditahan sedemikian lamanya oleh penyidik, penuntut umum, dan hakim, hingga dijatuhi pidana berdasarkan Pasal 362 KUHP. Jika kita telisik lebih dalam problematika ini dan tidak hanya berhenti pada kasus-kasus di atas, usangnya legislasi pidana ini berdampak pada tidak adanya alternatif pemidanaan bagi hakim selain pidana penjara dalam memutus suatu perkara. Memang, kita memiliki 4 (empat) jenis pidana pokok dalam Pasal 10 KUHP, yaitu pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, dan pidana denda, kemudian juga ada pidana tambahan seperti pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim, akan tetapi dari semua pidana tersebut, pidana mana yang efektif hingga detik ini? Jawabannya adalah pidana penjara. Pidana penjara selalu akan menjadi satu-satunya pilihan bagi hakim dalam memutus suatu perkara. Mati? “Takut gue, nanti bakal banyak yang protes. Melanggar HAM lah, ini lah, itu lah.”. Kurungan? “Tanggung lah, sekalian aja penjara”. Denda? “Mana bisa kita jatuhin pidana denda kalau maksimalnya cuma enam ratus rupiah (atau sembilan ribu rupiah jika disesuaikan dengan PERPU Nomor 18 Tahun 1960)”. Lantas apa yang tersisa dari jenis pidana ini? PENJARA. Ya, hanya penjara yang tersisa karena keusangan legislasi pidana kita, khususnya KUHP. Bagaimana dengan undang-undang pidana atau undang-undang non pidana yang memuat ketentuan pidana? Kan, dendanya tinggi tuh? Denda yang sangat tinggi pun tidak akan menjamin bahwa pelaksanaannya akan efektif. Ambil contoh Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Di undangundang tersebut, dikenalkan pidana minimum-maksimum dan sebagian besar
bersifat kumulatif yang ditandai dengan kata “dan” di antara kedua jenis pidana yang diancamkan. Mari kita lihat ancaman pidana pada Pasal 125 ayat (1), yang notabene pidana dendanya paling ringan dalam undang-undang itu yakni Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah): Pasal 125 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (1)
Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan III, dipidan dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh ) tah un DA N pidana denda pal ing sedikit R p 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(2)
......
Keberadaan kata “dan” dalam ancaman pidana di atas, berarti pelaku tindak pidana harus menghadapi dua pidana sekaligus, yaitu pidana penjara dan pidana denda. Pertanyaannya adalah bagaimana jika pelaku tindak pidana tidak bisa membayar denda yang sedemikian tingginya? Apa konsekuensiya? KUHP mengatur hal tersebut dalam Pasal 30 yaitu pidana denda tersebut dikonversi menjadi pidana kurungan maksimal 6 bulan, dan bisa ditambah menjadi 8 bulan jika terdapat pemberatan. Pertanyaan selanjutnya adalah, dengan menggunakan logika sederhana, mending membayar denda empat ratus juta rupiah atau menjalani pidana kurungan pengganti selama 6-8 bulan? Jelas yang dipilih adalah pidana kurungan pengganti. Pilihan rasional tersebut akhirnya akan berdampak sistemik dalam sistem peradilan pidana Indonesia. Tidak efektifnya pidana denda dalam berbagai ketentuan perundang-undangan kita berakibat pada akan dikonversinya pidana denda tersebut menjadi pidana kurungan dan akhirnya Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) dan Rumah Tahanan (RUTAN) lah yang akan menjadi tempat sampah dari problem ini. Over capacity yang telah lama menjadi persoalan di Indonesia akan terus tumbuh karena legislasi pidana Indonesia justru membuat sistem mengarah pada hal tersebut. Lihat saja, semakin ke sini, peraturan perundang-undangan Indonesia semakin represif. Pergeseran jenis ancaman pidana dari alternatif (“atau”), kumulatif/ alternatif (“dan/atau”), hingga kumulatif (“dan”) mengakibatkan pidana denda
yang dicantumkan semakin tidak efektif. Akibatnya, seperti yang saya kemukakan di atas, akan semakin banyak pidana denda yang dikonversi menjadi pidana kurungan pengganti, dan LAPAS dan RUTAN akan terus bertambah penghuninya dan ketika LAPAS dan RUTAN bertambah, entah karena problem dalam proses penahanan atau pemidanaan, tujuan pemidanaan yang tersirat dalam vonis hakim tidak akan pernah terwujud. Keterbatasan sumber daya manusia dan sumber daya keuangan yang dimiliki LAPAS dan RUTAN disandingkan dengan tumpah ruahnya penghuni LAPAS dan RUTAN akan menjadikan terpidana tidak terkontrol dan memilih untuk menentukan sendiri tujuan pemidanaannya dan tak jarang mereka berkembang menjadi pelaku tindak pidana yang lebih canggih karena LAPAS dan RUTAN telah berubah menjadi school of crime. Oleh karena itu, ketika Mahkamah Agung (yang waktu itu diketuai oleh Harifin Tumpa) menerbitkan PERMA Nomor 02 Tahun 2012 yang berusaha menyesuaikan batasan tindak pidana ringan dan jumlah denda dalam KUHP, saya berpikir ini merupakan suatu langkah progresif dan revolusioner terhadap pembaruan legislasi pidana Indonesia. Meskipun terdapat beberapa kejanggalan dalam PERMA tersebut seperti keputusan melipatgandakan pidana denda dalam KUHP, kecuali Pasal 303 ayat (1) dan (2) serta Pasal 303 bis ayat (1) dan (2), menjadi 1.000 (seribu) kali, namun dalam penjelasan umumnya disebutkan bahwa kenaikan harga emas dari tahun 1960 hingga saat ini adalah 10.000 (sepuluh ribu) kali (yang menurut saya harusnya ada standar yang lebih jelas mengingat nilai denda telah disesuaikan dengan melipatgandakannya 15 kali melalui PERPU Nomor 18 Tahun 1960), PERMA ini secara nyata telah menjawab masalah-masalah dalam praktek yang benar-benar sangat dibutuhkan oleh masyarakat yaitu keberadaan legislasi pidana yang sesuai dengan kondisi kekinian. PERMA ini mewajibkan hakim untuk melihat kerugian yang dialami korban untuk kemudian mempertimbangkan pidana yang akan dijatuhkan serta diproses dengan menggunakan acara cepat. Selain itu, pelaku tindak pidana tidak akan ditahan mengingat yang ditangani adalah tindak pidana ringan, kemudian terhadap putusan ini tidak bisa diajukan kasasi. Dampaknya adalah tumpukan perkara di Mahkamah Agung bisa dibatasi, pidana denda akan kembali efektif, dan mengurangnya penghuni LAPAS dan RUTAN akibat efektifnya pidana denda tersebut.
Kalau Mahkamah Agung kemudian dicaci-maki karena dianggap mengambil substansi undang-undang ke dalam PERMA oleh beberapa kalangan, saya kemudian kembali akan bertanya pada mereka semua: “bukankah ini justru merupakan tamparan bagi DPR dan Pemerintah yang SAMA SEKALI tidak menghiraukan hal ini? Kemana saja mereka sejak tahun 1960? Tidur? Tuli? atau apa?”. Justru mereka lah yang pantas untuk dicaci-maki, dihina, dan diminta pertanggungjawabannya atas munculnya kasus seperti Nenek Minah, Rasminah, FN, dan lain-lain. Bukan malah mengatakan bahwa Mahkamah Agung arogan dan lain-lain, bukan malah menyalahkan hakim atas putusan yang diambilnya. Mereka tidak bisa bergerak jika peraturan perundang-undangannya telah memaksa mereka untuk bertindak demikian. Jangan pula langsung menunjuk hakim sebagai pihak yang salah (seperti yang selalu dikeluhkan salah satu lembaga di republik ini dengan dalih pengawasan hakim), lihat permasalahannya apa, baru bertindak. Dan bukan pula menjawabnya dengan membentuk suatu Panitia Kerja Putusan Mahkamah Agung (lagi-lagi dengan dalih pengawasan dan revisi UU Mahkamah Agung - yang saya yakini hanya sekedar pemanis di balik tumpukan sampah DPR) yang justru mengganggu independensi hakim dalam memutus suatu perkara dan telah menyalahi khitah DPR sebagai lembaga legislatif. Berhentilah mencaci-maki PERMA ini jika tidak memiliki solusi atas permasalahan yang terjadi. Pun jika kemudian materi PERMA ini dianggap salah secara keilmuan atau apapun, ambillah menjadi undang-undang! Secara gentle, Ketua Mahkamah Agung saat itu, Harifin Tumpa, mengatakan: “Jika DPR menganggap PERMA ini salah, silahkan ambil menjadi undang-undang.”. Langkah-langkah progresif inilah yang dibutuhkan oleh negara ini. Lihat kebutuhan masyarakat, respon dengan kemampuan yang ada, dan bukan malah sibuk dengan permainan politik dagang sapi yang justru merusak negeri ini.