Editorial
Leadership Health Technology Assessment Menghadapi Perubahan
H.Untung S Sutarjo Pusat PendayagunaanTenaga Kesehatan Departemen Kesehatan
Pendahuluan Perkembangan teknologi, khususnya teknologi kesehatan maju dengan pesatnya, apalagi dengan perkembangan teknologi informasi. Perkembangan teknologi yang sedemikian pesat dapat berdampak pada berbagai aspek kemanusiaan. Teknologi kesehatan sangat berkaitan dengan kelangsungan hidup seseorang, dapat meningkatkan kesehatan, menyembuhkan dari penyakit, dan dapat mengurangi kemungkinkan untuk cacat, namun kemajuan teknologi juga dapat menyebabkan kesengsaraan karena menambah beban hidup atau bahkan kematian dan cacat. Contohnya dengan obat Vioxx yang digunakan untuk anti inflamasi ternyata juga meningkatkan kemungkinan terkena stroke. Sebaliknya efek thalidomid suatu penenang untuk ibu hamil yang menyebabkan kelainan bawaan pada bayi, kini ternyata efektif sekali untuk reaksi pada kusta. Perkembangan teknologi seringkali menyebabkan peningkatan pembiayaan kesehatan, sehingga menjadi beban yang cukup berat bagi pasien. Penambahan biaya ini adakalanya tidak sesuai dengan peningkatan manfaatnya. Kemajuan teknologi harus dimanfaatkan untuk kebaikan kemanusian, bukan saja berkaitan dengan kemajuan sain saja. Kemajuan teknologi harus mampu mengangkat tingkat Maj Kedokt Indon, Volum: 56, Nomor: 2, Pebruari 2006
kesehatan masyarakat, kemampuan produksi masyarakat, dan akhirnya kesejahteraan masyarakat. Kajian kemajuan teknologi harus mampu menghilangkan kemungkinan terjadi kerugian bagi manusia. Health Technology Assessment (HTA) adalah suatu proses evaluasi yang dilaksanakan secara sistematik mengenai efek dan dampak lain dari teknologi kesehatan. Dengan HTA diharapkan perkembangan teknologi menjadi transparan dan adil, yang tidak memihak kepada pihak penemu saja, tetapi independen yang berdasar kepada bukti suatu penelitian. Teknologi kesehatan dapat berupa suatu tindakan, obat atau alat yang digunakan dalam proses pelayanan kesehatan.1 Dengan HTA diharapkan perkembangan teknologi akan lebih mudah dikawal sehingga dapat memberikan manfaat kepada masyarakat sebanyak-banyaknya. Menurut Menon2 HTA adalah pedang bermata dua yang terdiri atas mata keinginan memberikan pelayanan yang bermutu melalui teknologi canggih dan mata kemampuan masyarakat untuk membayar. Di Indonesia HTA memang masih baru dan belum luas digunakan. Makalah ini memberikan gambaran bagaimana kepemimpinan HTA seharusnya dikembangkan di Indonesia yang sedang menghadapi perubahan, sehingga dapat
41
Leadership Health Technology Assessment Menghadapi Perubahan bermanfaat bagi masyarakat banyak. Diharapkan HTA dapat memberikan arahan penggunaan teknologi kesehatan yang terbaik bagi masyarakat baik berdasarkan efektifitas maupun efisiensi pendanaan. Perkembangan HTA di Indonesia Di Indonesia HTA mulai berkembang pada tahun 2000 dengan dibentuknya tim HTA Departemen Kesehatan. Tim tersebut bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal Pelayanan Medik. Sebagian besar anggota tim mengikuti pelatihan di Malaysia, yang dilakukan oleh tim HTA Malaysia. Tim HTA itu terdiri atas 6 orang dan didukung tim sekretariat. Pada saat reorganisasi Departemen Kesehatan tahun 2001, terdapat Subdirektorat Penapisan Teknologi di dalam Direktorat Pelayanan Medik dan Gigi Spesialistik yang bertindak leader dalam HTA. Leadership HTA, sudah nampak dalam pemerintahan Indonesia, paling tidak secara politis sudah ada di Departemen Kesehatan. Tujuannya adalah supaya Indonesia tidak lagi menjadi tempat pembuangan atau percobaan teknologi kesehatan. Di lain pihak sesuai dengan fungsinya, Badan POM juga mempunyai tim sejenis HTA yang tugasnya mengkaji obat yang akan diedarkan. Tim tersebut memang sudah ada lebih awal dari tim HTA di Ditjen Pelayanan Medik. Antara kedua tim terserbut memang jarang terjadi pertemuan atau koordinasi, walaupun ada semacam pembatasan kerja sesuai dengan fungsinya dimana Tim Badan POM dikaitkan dengan perijinan edar obat sedangkan Tim HTA Depkes mengkaji semua teknologi kesehatan yang cakupannya lebih luas. Setelah 4 tahun didirikan HTA Departemen Kesehatan menghasilkan sejumlah kajian, yang meliputi perbaikan program, metode terapi, dan obat. Sudah 2 konvensi nasional dilaksanakan di Indonesia yang merupakan wahana sosialisasi hasil dari kajian. Kajian dilakukan oleh kelompok kerja yang anggotanya dipilih dari berbagai pusat pendidikan dan penelitian kesehatan. Kelompok kerja tersebut dibantu oleh tim sekretariat untuk mendapatkan bahan untuk assessment. Topik kajian merupakan masukan dari masyarakat kedokteran, yang merasakan perlu arahan yang benar. Setiap tahunnya topik yang diharapkan dikaji kemudian ditentukan sebagai topik kajian sesuai dengan dana yang tersedia. Setiap tahunnya kurang lebih 6 topik kajian dilaksanakan. Selain melaksanakan kajian HTA, tim tersebut ingin menyebarluaskan pemikiran Evidence Based Medicine (EBM) ke berbagai institusi pendidikan dan penelitian kesehatan, sehingga dapat melaksanakan penelitian dengan baik. Dana yang tersedia sangat terbatas, kurang lebih hanya 200-400 juta setiap tahunnya, padahal dibutuhkan kurang lebih 10 kalinya. Kegiatan tim HTA memang tidak terikat dengan dana yang disediakan oleh Pemerintah tetapi juga dana lain yang tidak mengikat, terutama kontribusi dari berbagai pihak yang 42
merasakan manfaat dari kajian tim ini. Aspek Leadership HTA Menghadapi Perubahan Penggunaan HTA banyak sekali, mulai dari pemberian uji edar, hingga penggunaan teknologi kesehatan yang tepat guna dan cost effective, serta pemanfaatan oleh pembayar pihak ke-3 dalam asuransi kesehatan. HTA dapat menjadi unsur acuan untuk menyusun suatu kebijakan, memecahkan persoalan dan untuk membuat suatu proyek. Clifford 1 mengutarakan bahwa hasil HTA dapat dibagi tiga yaitu sebagai kajian teknologi, pemecah masalah, dan penentuan proyek. Berdasarkan itu kami membagi urutan “kepentingan” HTA dalam leadership menghadapi perubahan bila dapat digunakan: 1. Sebagai bahan utama untuk menyusun kebijakan oleh para pengambil kebijakan. Tentunya selayaknya harus mungkin mencapai tingkatan menjadi bahan untuk kebijakan nasional. Misalnya program pemerintah yang ternyata tidak efektif harus diubah, atau standar pelayanan tertentu yang dapat mengakibatkan pengeluaran pemerintah yang lebih besar atau berdampak besar pada masyarakat. 2. Sebagai bahan pemecah masalah dalam mencari metode yang paling cost effective di antara bidang kedokteran/ kesehatan. Dalam hal ini akan lebih tercermin HTA sebagai jembatan dalam menyatukan berbagai pemikiran menjadi suatu solusi yang menguntungkan. Dalam keadaan ini HTA akan melakukan atau mengkaji metaanalisis. 3. Urutan terbawah adalah sebagai dasar suatu proyek, misalnya sebuah rumah sakit ingin membeli sebuah teknologi imaging, mungkin harus memilih berbagai jenis alat disesuaikan dengan kebutuhan pelayanan, kemampuan masyarakat dan kemampuan pelayanan yang sudah ada di daerah tersebut. Urutan tersebut jelas nampak dengan lingkup dari cakupan atau pemanfaatan hasil HTA. Memang untuk mencapai tingkat “kepentingan” tertinggi HTA harus dapat menunjukkan nilainya kepada para pengguna. Aspek leadership yang utama tersebut adalah nilai kajian HTA agar mampu memberikan arahan yang benar dalam pemanfaatan suatu teknologi harus memenuhi berbagai faktor. Nilai tersebut didapat berdasarkan cara kerja, cara pikir dan luas cakupan. Nilai atau value ini akan menjadi tonggak diterimanya hasil kajian oleh komunitas kesehatan. Menurut The Canadian Coordinating Office for Health Technology Assessment3 dalam businessplannya harus ada 5 faktor yang mempengaruhi untuk mendapat nilai yang baik, yaitu: 1.
Imparsialitas Sebaiknya tidak merupakan bagian dari pemerintah sehingga dapat bekerja lebih indepeden. Andaikan tim Maj Kedokt Indon, Volum: 56, Nomor: 2, Pebruari 2006
Leadership Health Technology Assessment Menghadapi Perubahan HTA berada dalam struktur birokrasi, kajian yang diberikan tidak boleh terpengaruh oleh keadaan tersebut. Independensi profesional harus menjadi pilar utama dari kegiatan ini, juga dijaga independensi kolegialitas, yang sering timbul dalam kajian. Hasil HTA tidak selalu akan menyenangkan semua pihak termasuk pemerintah, oleh karena itu hasilnya harus jujur dan tidak memihak, sehingga mementingkan perlindungan terhadap manusia. 2.
Relevan Kajian HTA seharusnya sesuai dengan kebutuhan pengguna/stake holder yang akan menggunakan, tidak saja harus pemerintah walaupun akan sangat bermanfaat bila dapat digunakan sebagai bahan menentukan kebijakan. Artinya hasilnya memang bermanfaat untuk masyarakat luas. Relevansi dikaitkan bukan saja pada topik, tetapi juga cara pengkajian dan waktu.
3.
Koordinatif Artinya pelaksanaan HTA tidak dilaksanakan oleh satu unit saja, tetapi oleh berbagai unit penelitian yang mampu; yang utama; dilaksanakan menggunakan kaidah EBM, dengan tetap memperhatikan independensi.
4.
Bermutu Semua hasil kajian HTA harus bermutu, menggunakan berbagai metode yang benar yang didukung oleh peer reviewer yang terlatih dan diakui.
5.
Menunjang Pengandil (stake holder) Semua pengandil harus didukung oleh berbagai kegiatan peningkatan kemampuan, seperti seminar, workshop dan pelatihan. Alih pengetahuan merupakan proses rutin yang akan memperkuat keberadaan unit HTA.
Leadership HTA akan nampak kalau semua komunitas dan stake holder kesehatan menggunakan hasil kajian HTA baik sebagai kebijakan, pemilihan metode, dan penentuan suatu proyek. Perubahan dalam dunia kesehatan pada saat ini, yaitu pasien bukan saja sebagai obyek pelayanan, tetapi menjadi subyek pelayanan perlu diantisipasi dengan cepat. UU Praktik Kedokteran tujuannya adalah: 1. Melindungi pasien 2. Mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis yang diberikan dokter dan dokter gigi 3. Memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, dokter, dan dokter gigi. Tujuan tersebut merupakan kebijakan yang memerlukan HTA. Pengertian masyarakat tentang malpraktik dapat lebih diluruskan dengan HTA. Disini dituntut peran pengguna HTA terbesar yaitu pemerintah dalam mengadopsi hasil Maj Kedokt Indon, Volum: 56, Nomor: 2, Pebruari 2006
kajian untuk mengubah atau menyusun kebijakannya. Oleh karena itu hasilnya harus dijamin independensi atau imparsialitasnya sehingga tidak dituduh memihak salah satu kaki tangan pemerintah atau badan tertentu. Koordinasi dalam sosialisasi hasil menjadi penting juga selain dalam pelaksanaan, dengan tujuan agar dapat didengar oleh semua orang. Menurut Banta4 HTA sulit dijalankan di Amerika karena tidak adanya persepsi yang sama antara pemerintah pusat dan negara bagian. Keinginan pemerintah pusat untuk menyeragamkan suatu teknologi tidak disepakati oleh negara bagian. Berbeda dengan di Eropa dimana ketika pemerintah pusat sepakat, langsung badan nasional HTA menjadi panutan seluruh negara. Selain itu peran produsen teknologi di Amerika Serikat (pihak swasta) sangat dominan, baik secara politis maupun secara dana. Pendekatan HTA di Amerika Serikat pada saat ini dilakukan oleh FDA yang lebih melihat kepada pemberian ijin edar obat. Pembentukkan Cohrane Collaboration memacu HTA, karena dengan cara ini ada pusat registrasi dari berbagai penelitian yang dilakukan secara Random Clinical Trial (RCT). Pusat tersebut menyebarkan kajian (review) yang terstruktur di berbagai negara, sehingga memperluas wadah penelitian di dunia. Dengan mengkaitkan kepada Cohrane hasil kajian HTA akan lebih baik dan lebih diakui. Artinya hasil kajian menjadi lebih sahih. Strategi terbaik HTA setelah melakukan review adalah memastikan bahwa semua klinisi dan pemberi pelayanan kesehatan mau menjadi pengikut, penganut, dan bersedia belajar lagi konsep EBM.4 Oleh karena itu meningkatkan kemampuan para pengandil, termasuk para klinisi akan sangat strategis, sehingga tujuan HTA dapat dilaksanakan. Semakin banyak hasil HTA dimanfaatkan berarti perkembangan pemanfaatan teknologi yang tepat guna semakin banyak. Aspek leadership juga akan nampak dari pendanaan, semakin besar dana yang diberikan atau digunakan, berarti ada kepercayaan yang besar. Contohnya adalah CCOHTA di Canada mendapat grant $ 2.000.000 setiap tahunnya untuk melaksanakan kegiatannya, begitu juga HTA di Inggris dan Swedia. HTA menjadi acuan dalam menentukan kebijakan di Swedia terbukti melalui HTA dapat menghemat 1,4% dana kesehatan untuk tindakan yang kurang bermanfaat. Kebijakan Berbasis Bukti vs Bukti Berbasis Kebijakan Seperti diungkapkan diatas, bila HTA dapat digunakan sebagai bahan penyusunan kebijakan, maka kebijakan yang disusun dapat dipastikan bermanfaat bagi masyarakat. HTA bertujuan menciptakan kebijakan yang berbasis bukti, atau yang sering disebut sebagai Evidence Based Policy. Kebijakan yang berbasis bukti merupakan kebijakan yang disusun berdasarkan bukti dari hasil penelitian yang sahih. Sehingga dampak kebijakan tersebut dapat benar-benar bermanfaat bagi masyarakat. Dengan berbasis bukti kebijakan tersebut sudah teruji dampaknya, sehingga efektifitasnya
43
Leadership Health Technology Assessment Menghadapi Perubahan tinggi. Tidak jarang secara politis kebijakan berbasis bukti diubah menjadi bukti didasarkan/berbasis kepada kebijakan (policy based evidence). Menurut Marmot5 pengertian pada pernyataan kedua sangat berbeda. Pertama kebijakan berbasis bukti disusun berdasarkan temuan ilmiah di lapangan, sedangkan pernyataan kedua, kebijakan “memaksakan” adanya bukti sehingga kebijakan dapat disusun. Contoh yang paling sering digunakan adalah dalam penentuan kebijakan anti alkohol dan rokok. Sesuai dengan hasil penelitian dampak langsung alkohol jauh lebih besar dari merokok seperti timbulnya penyakit hati, jantung dan lain-lain. Belum lagi dampak sebagai akibat dari kecelakaan, kekasaran di rumah tangga dan banyak lagi tetapi tidak ada sama sekali kebijakan tentang alkohol yang diterbitkan. Sebaliknya untuk rokok ’dicarikan” berbagai bukti (yang memang benar ada) untuk dijadikan kebijakan. Memang hasil dari HTA dapat dimanfaatkan untuk mengkaji berbagai penelitian untuk melihat kesahihannya pada suatu teknologi bukan kepada prioritas sebagai kebijakan. HTA adalah suatu alat tidak mungkin digunakan untuk memecahkan semua masalah, tetapi lebih banyak merupakan alat konfirmasi akan kesahihan ilmiah dari proses penelitiannya. Oleh karena itu penggunaan HTA sejujur mungkin tanpa manipulasi dari tujuannya. Tantangan HTA dalam mendapatkan hasil kajian yang baik, memang cukup banyak. Tantangan mulai dari persiapan, pelaksanaan hingga diseminasi. Tantangan yang perlu mendapat perhatian adalah: 1. Kesediaan dana yang cukup untuk melaksanakan teknologi yang bermanfaat. 2. Tersedianya sumber daya manusia yang mampu melaksanakan teknologi itu atau sarana peningkatan SDM. 3. Adanya kemampuan sarana atau prasarana yang sesuai untuk menjalankan teknologi. 4. Sistem kesehatan yang mendukung teknologi. 5. Kesiapan masyarakat dalam menerima teknologi, baik dalam budaya, perilaku maupun kemampuan membayar. Pengembangan HTA di Indonesia (suatu harapan) Pelaksanaan HTA di Indonesia sudah berjalan dengan baik, walaupun hasilnya belum dimanfaatkan secara penuh. Hasil kajian HTA masih berupa suatu bagian dari buku yang diterbitkan oleh Departemen Kesehatan. Isi buku tersebut belum dimanfaatkan atau bahkan ditindaklanjuti menjadi kebijakan yang dapat bermanfaat bagi masyarakat. Pengenalan HTA para birokrat, maupun klinisi mengenai EBM dan HTA masih rendah sekali. Mereka masih menganggap sebagai bagian penelitian yang sangat teoritis dan sulit. Sosialisasi hasil HTA sebaiknya ditingkatkan menjadi pemasaran sosial, sehingga media sosialisasi disesuaikan dengan sasaran. Hasil HTA yang demikian sulit didapatkan seharusnya dapat dijadikan sebagai pedoman dalam pelaksanaan 44
teknologi kesehatan di institusi kesehatan Indonesia. Hasil tersebut seharusnya dibekali instruksi Pemerintah untuk dimanfaatkan dan diikuti/dipatuhi. Untuk mengatasi masalah tersebut sebaiknya kebijakan harus paham dasar dari HTA, baik filosofinya, maupun teknis dasarnya. Tujuannya adalah supaya penyusun kebijakan paham instrumen apa yang digunakan dan adanya transparansi dengan para pengkaji. Oleh karena itu pengembangan HTA di Indonesia harus dimulai dengan sosialisasi HTA dikaitkan dengan kebutuhan sehari-hari (operasional) pelayanan kepada para pengandil yang terdiri atas: 1. Pengambil keputusan di Departemen Kesehatan 2. Pengambil keputusan di Pemerintah Daerah 3. Direktur atau kepada Institusi Pelayanan Kesehatan 4. Para klinisi 5. Para pengelola asuransi kesehatan 6. Masyarakat luas Bentuk sosialisasi tersebut menggunakan berbagai media yang mudah mencapai stake holder dari media elektronik hingga media cetak. Lebih banyak pertemuan koordinasi dilaksanakan untuk menjaga komitmen dan sekaligus mengidentifikasi kebutuhan stake holder. Pengambil keputusan adalah sasaran utama sosialisasi terutama yang awam terhadap perkembangan teknologi kedokteran. Strategi kedua adalah dengan membangun jaringan HTA di berbagai rumah sakit pendidikan atau puskesmas besar. Tujuannya adalah melibatkan lebih banyak unsur dalam pengkajian sehingga selain pengkajian dapat dilaksanakan lebih cepat juga terjadi pembagian beban kerja. Sosialisasi yang didapat juga akan lebih intens karena berdasarkan kepada kebutuhan. Peran rumah sakit pendidikan sangat penting karena disitulah dilakukan berbagai jenis pelayanan kedokteran/ kesehatan yang mempunyai pengaruh besar kepada masyarakat. Rumah sakit pendidikan merupakan institusi yang mempunyai SDM pakar dalam jumlah cukup, peralatan yang baik dan suasana akademik, yang seharusnya berlandaskan kepada EBM. Pelaksanaan pemberian pelayanan kesehatan di rumah sakit pendidikan akan menjadi acuan untuk para peserta pendidikan dalam melaksanakan tugasnya setelah lulus. HTA harus merupakan bagian dari cara pikir para peserta didik dan pendidik, sehingga EBM menjadi ’budaya’ dari rumah sakit. Memang perlu dijaga agar hasil kajian HTA di rumah sakit tidak terjerat dengan sponsorhip dari pengusaha obat. Rumah sakit pendidikan adalah lahan kerja utama para pemasar obat, dimana diberikan berbagai tawaran yang menarik dari biaya penelitian hingga barang mewah. Oleh karena itu budaya EBM harus dijalankan dengan konsekuen di rumah sakit pendidikan.
Maj Kedokt Indon, Volum: 56, Nomor: 2, Pebruari 2006
Leadership Health Technology Assessment Menghadapi Perubahan Strategi ketiga adalah menyusun berbagai kebijakan dengan dasar HTA yang berbasis bukti. Pengambil keputusan di Departemen Kesehatan mulai menata berbagai pedoman pelayanan medik menjadi suatu percontohan implementasi Evidence Based Policy di Indonesia.
hanya milik peneliti tetapi juga milik para pengambil keputusan dan yang terpenting milik masyarakat.
Kesimpulan Leadership HTA dalam menghadapi perubahan memerlukan: 1. Pengakuan kajian HTA sebagai bahan kebijakan yang akan didasarkan kepada kesesuaian (relevan), independen dan konsisten. HTA harus berpihak kepada masyarakat. 2. Sosialisasi yang dapat menjangkau seluruh lapisan pengandil, sehingga mereka paham akan tujuannya. 3. Menyusun jejaring yang mampu melaksanakan berbagai kajian dan juga sebagai pusat sosialisasi hasil HTA. Dengan cara tersebut leadership HTA akan menjadi utama dalam perubahan pelayanan kesehatan. HTA bukan
2.
Maj Kedokt Indon, Volum: 56, Nomor: 2, Pebruari 2006
Daftar Pustaka 1.
3. 4. 5.
6. 7.
Clifford SG. HTA 101 introductions to health technology assessment. Virginia: Falls Church; January, 2004. Menon D. High value technology innovation in health care: identifying the challenges. Inform, Winter 2002/2003. The Canadian coordinating office for health technology assessment (CCOHTA). Business Plan 2005-2006. Banta DH. The development of health technology assessment. Ireland: Elsivier Science Ltd;2002. Marmot GM. Evidence based policy or policy based evidence, willingness to take action influences the view of the evidence, look at alcohol. BMJ2004:328. Henshall C. Encouraging high value health technology development. Inform, Winter 2002/2003. UU Praktek Kedokteran No 29/2004.
SS
45