BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 4.1.1 Analisis Fitokimia Buah Mengkudu (Morinda citrifolia L) Sampel buah mengkudu kering dan basah diuji dengan metoda fitokimia untuk mengetahui ada atau tidaknya beberapa senyawa metabolit sekunder. Dari uji yang sudah dilakukan, diperoleh hasil bahwa buah mengkudu baik dalam kondisi kering ataupun basah lebih dominan memiliki senyawa golongan fenolik. Tabel 5. Hasil analisis fitokimia terhadap buah mengkudu {Morinda citrifolia L) kering dan basah. Sampel
Analisis
Basah
Kering
Keterangan
Alkaloid 1. Reagen Meyer
Larutan bening
Larutan oranye muda
2. Reagen
Larutab bening
Larutan oranye
Larutan cokelat
Larutan cokelat
muda
muda
-
Dragendorff Terpenoid dan steroid Reagen LiebermannBurchard
Endapan hijau Fenolik
lumut
Endapan hitam
+
Larutan cokelat
-
Busa tidak stabil
-
Larutan hijau Flavonoid Saponin
muda Busa tidak stabil
-
4.1.2 Analisis Aktivitas Antimikroba 4.1.2.1 Staphylococcus aureus Aktivitas antibakteri dari ekstrak heksan, ekstrak etil asetat, ekstrak butanol buah mengkudu {Morinda citrifolia L) terhadap bakteri Staphylococcus aureus dengan konsentrasi 1% menunjukkan diameter zona bening sebesar 0,7 cm, 0 cm, dan 0,4 cm. Sedangkan jus buah mengkudu matang memberikan
22
diameter zona bening sebesar 2,3 cm. Kontrol positif streptomisin sulfat dengan konsentrasi 1% menghasilkan zona bening 2,9 cm.
Gam bar 5. Analisis Aktivitas Antibakteri Ekstrak Mengkudu
4.h2.2 Candida albicans Aktivitas antijamur dari ekstrak buah mengkudu tidak terlalu tampak jelas. Aktivitas antijamur ekstrak buah mengkudu digolongkan dalam zona lemah karena memiliki diameter <10 mm. Sedangkan kontrol positif berupa ketokonazol 1% hanya memberikan diameter zona bening sebasar rata-rata 1,1 cm.
Gambar 6. Analisis Aktivitas Antijamur Ekstrak Mengkudu
4,1.3 Analisis Aktivitas Antimikroba Jus Mengkudu 4.1.3.1 Staphylococcus aureus Analisis aktivitas antibakteri jus mengkudu matang dengan konsentrasi 1%; 3%; 5%; 7% terhadap bakteri Staphylococcus aureus menghasilkan diameter zona bening berturut-turut sebagai berikut 1,9 cm; 1,3 cm; 1,0 cm; 0,8 cm. sedangkan kontrol positif streptomisin sulfat 1% menghasilkan zona bening 3 cm.
23
Gambar 7. Analisis Aktivitas Antibakteri Jus Mengkudu
4.1.3.2 Candida albicans Aktivitas antijamur dari jus mengkudu dengan beberapa konsentrasi juga menunjukkan aktivitas yang lemah. Kontrol positif berupa ketokonazol 1% juga hanya menghasilkan zona bening rata-rata 1,2 cm.
Gambar 8. Analisis Aktivitas Antijamur Jus Mengkudu
4.1.4 Analisis Karakteristik Fisik Salep 4.1.4.1 Homogenitas Pemeriksaan dilakukan dengan mengoleskan salep pada permukaan kaca serta dilihat kehomogenan dari salep tersebut. Salep yang lebih stabil adalah salep dengan kode F3a dan F3b.
24
Tabel 6. Homogenitas variasi dasar salep Hari
Fla
F2a
F3a
F4a
1
H
H
H
TH
2
H
H
H
TH
3
H
H
H
TH
4
TH
H
H
TH
5
TH
TH
H
TH
6
TH
TH
H
TH
7
TH
TH
TH
TH
Tabel 7. Homogenitas variasi salep aktif Hari
Fib
F2b
F3b
F4b
1
H
H
H
TH
2
H
H
H
TH
3
H
H
H
TH
4
TH
H
H
TH
5
TH
TH
TH
TH
6
TH
TH
TH
TH
7
TH
TH
TH
TH
Keterangan: H
: Homogen
TH
: Tidak Homogen
4.1.4.2 Pemeriksaan pH Salep Salep diencerkan dengan menggunakan air hangat kemudian diaduk di dalam lumpang dan diukur pH larutan salep menggunakan pH meter yang sudah dikalibrasi dengan buffer pH 4 dan 7. Seluruh salep memiliki pH rata-rata antara 7,2 - 7,4 yang merupakan kisaran pH netral.
25
4.1.4.3 Analisis Iritasi Terhadap Kulit Semua varian dasar salep dan salep aktif diaplikasikan kepada kulit lengan 3 orang panelis yang seluruhnya menunjukkan hasil bahwa dasar salep dan salep aktif seluruhnya tidak menimbulkan iritasi.
4.1.5 Analisis Aktivitas Antimikroba Salep Terhadap Staphylococcus aureus Dasar salep serta salep aktif diuji
aktivitasnya terhadap bakteri
Staphylococcus aureus dengan metoda sumur. Media Nutrient Agar yang telah ditanami bakteri dan memadat kemudian dilubangi dengan pelubang agar. Salep disuntikkan ke dalam lubang yang terbentuk. Hasil yang diperoleh dari uji adalah dasar salep dan salep aktif sama-sama memiliki aktivitas terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan menghasilkan zona bening. 4.2 Pembahasan Buah mengkudu mengkal dijadikan sampel kering dengan cara memotong tipis-tipis dan dikeringanginkan selama 2 hari serta ditempatkan di dalam oven pada suhu 40°C selama 2 hari. Sampel kering kemudian dihaluskan dengan blender agar mendapatkan ekstrak yang lebih banyak ketika dilakukan maserasi. Sedangkan sampel basah hanya dengan cara memeras buah mengkudu matang sehingga diperoleh jus buahnya. Kedua sampel dianalisa kandungan senyawa metabolit sekundemya dengan uji fitokimia dan diperoleh hasil bahwa kedua sampel memiliki senyawa fenolik. Sampel kering tidak memberikan hasil yang berbeda dengan sampel basah sehingga dapat dinyatakan bahwa pengeringan sampel tidak merusak senyawa metabolit sekunder yang terdapat di dalam mengkudu karena diproses pada suhu yang tidak terlalu tinggi. Selain itu juga dilakukan analisa fitokimia untuk mengetahui senyawa metabolit sekunder dominan dari mengkudu yang berada di daerah Pekanbaru karena perbedaan wilayah tumbuh dapat mengakibatkan perbedaan senyawa metabolit sekunder dominan dari suatu tumbuhan. Ekstrak mengkudu dari sampel kering diperoleh dengan cara perendaman menggunakan pelarut organik (maserasi) bertingkat dan filtratnya dikentalkan dengan rotary evaporator dengan temperatur penangas sekitar 40°C. Setiap ekstrak dari semua sampel diuji aktivitas antimikrobanya dengan bakteri
26
Staphylococcus aureus menggunakan metoda kertas cakram dan memberikan hasil bahwa sampel basah memiliki aktivitas yang lebih besar dibandingkan dengan ekstrak sampel kering. Hal ini disebabkan oleh metoda maserasi bertingkat sehingga memungkinkan senyawa aktif tertinggal pada residu. Oleh karena itu, lebih baik menggunakan sampel yang tidak melewati proses pengeringan dan maserasi untuk memisahkan senyawa yang terkandung dalam sampel berdasarkan kepolarannya. Hal ini juga bisa disebabkan oleh saling ketergantungan antara senyawa. Senyawa gabungan bisa saling meningkatkan aktivitasnya dalam melawan petumbuhan bakteri uji dari pada senyawa yang dipisahkan berdasarkan kepolarannya. Kemudian sampel yang memiliki aktifitas maksimum dibuat bertingkat persentase kelarutannya dalam air yaitu 1%, 3%, 5%, dan 7%. Akan tetapi aktivitasnya tidak terlalu menujukkan perbedaan yang terlalu besar terhadap Staphylococcus aureus, sedangkan ekstrak mengkudu menghasilkan aktivitas yang lemah terhadap Candida albicans sehingga hanya sampel jus mengkudu 1% dapat diaplikasikan ke dalam salep dan diuji kembali terhadap bakteri Staphylococcus aureus. Hal ini disebakan oleh tidak terlalu jauhnya perbedaan variasi konsentrasi yang diaplikasikan kepada uji aktivitas ini. Karena jus mengkudu matang yang memiliki aktifitas terbaik dibandingkan ekstrak yang lain, maka diperlukan salep yang terdiri dari fase air yang cukup dominan. Oleh karena itu dipilih salep larut air yang memiliki fase air dominan serta lebih mudah untuk diaplikasikan pada kulit. Salep dibuat bervariasi agar diperoleh varian salep yang lebih stabil. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa dasar salep F3a dan salep aktif F3b lebih stabil dengan melihat kestabilannya dengan uji homogenitas. Sedangkan untuk uji iritasi tidak ditemukan iritasi terhadap 3 orang panelis. Hal ini disebabkan oleh pH ratarata dari seluruh salep berada pada kisaran pH netral. Seluruh salep diuji aktivitas antibakterinya kepada Staphylococcus aureus
dan memberikan hasil positif.
Dasar salep dibuat bertujuan sebagai kontrol negatif sedangkan salep aktif diharapkan memberikan hasil positif. Akan tetapi kedua jenis salep ini memberikan hasil positif Hal ini kemungkinan disebabkan oleh kandungan pengawet berupa metil paraben dan propil paraben yang diaplikasikan kepada
27
salep. Pengawet ini diaplikasikan pada salep bertujuan untuk melawan pertumbuhan mikroba pada salep karena salep memiliki fase air sebanyak 60%.
28