Pengaruh Larutan Teh Hijau (Camellia sinensis) terhadap Perubahan Warna Resin Komposit Berbasis Silorane dan Methacrylate

Pengaruh Larutan Teh Hijau (Camellia sinensis) terhadap Perubahan Warna Resin Komposit Berbasis Silorane dan Methacrylate Kurniasari Nur Rahman*, Mia Damiyanti, Ali Noerdin Department of Dental Materials, Faculty of Dentistry, Universitas Indonesia, Jakarta 10430, Indonesia *E-mail: [email protected]

Abstrak Latar Belakang: Efek perubahan warna pada resin komposit merupakan hal yang sangat tidak diinginkan, namun merupakan kecenderungan yang tidak dapat dihindari. Penelitian mengenai pengaruh larutan teh hijau terhadap resin komposit berbasis silorane dan methacrylate masih sangat terbatas. Tujuan: Mengetahui pengaruh larutan teh hijau terhadap perubahan warna pada resin komposit berbasis silorane dan methacrylateMetode: Tiga puluh resin komposit berbasis siloranedan methacrylate(shade A3) berbentuk silinder dengan diameter 6x2mm dibuat dari Filtek P90 dan Filtek Z250. Spesimen dibagi menjadi 6 kelompok lalu direndam dalam larutan teh hijau dengan konsentrasi berbeda (1%, 2%, dan 3%) selama 6 jam. Pengukuran warna dilakukan menggunakan spektofotometer berdasarkan teori CIE* Lab. Analisis statistik dilakukan dengan Uji one-way anova & Uji t independen. Hasil:Terdapat perbedaan bermakna antara nilai ∆E* kedua jenis resi komposit setelah perendaman (p<0,05). Perubahan warna pada resin komposit berbasis silorane lebih tinggi dibanding resin komposit berbasis methacrylate. Kesimpulan: Perubahan warna paling tinggi terjadi pada resin komposit berbasis silorane yang direndam dalam larutan teh hijau 3% (∆E= 3,85).

Effect of Green Tea Solution (Camellia sinensis) on Color Change of Silorane and Methacrylate Based Composite Resins Abstract Background:Color change is undesirable effect in composite resin, but it can’t be avoided. Research about effect of green tea solution on silorane and methacrylate based composite resins is still limited. Objective: To investigate effect of green tea solution on silorane and methacrylate based composite resins. Materials and Methods:Thirtysilorane and methacrylate based resin composite disk (shadeA3), in 6mm diameter 2mm thick were made from Filtek P90 and Filtek Z250. The specimens were divided in 6 groups (n=5) then each group wereimmersed ingreen tea solution with different concentration (1%, 2%, 3%)for 6hours. Color assesement was done byspectrophotometerbased onCIE*Labtheory.Statistical analysis was performedone-way anova and independent t test.Results: There’s significant difference in ∆E* between two composites after immersion (p<0.05). Color change in silorane based composite resin is higher than methacrylate one. Conclusion:The highestcolorchangeoccurs insilorane based composite resin which immersed in 3% greentea solution(ΔE=3,85). Keywords: color change; green tea; methacrylate based composite resin; silorane based composite resin

Pendahuluan Meningkatnya kebutuhan akan bahan tumpat sewarna gigi membuat resin komposit menjadi bahan tambal yang sangat diminati. Sejak ditemukan pertama kali sekitar tahun 1960, popularitas resin komposit terus meningkat karena sifatnya yang estetis, harga yang terjangkau bila dibandingkan dengan bahan restorasi keramik, kuat, serta kemampuannya

Pengaruh larutan..., Kurniasari Nur Rahman, FKG, 2014

untuk berikatan dengan dentin dan email secara mikromekanik(Lu, Roeder, Lei, & Powers, 2005). Hingga saat ini, jenis resin komposit yang banyak ditemui di pasaran ialah resin komposit berbasis methacrylate. Resin komposit jenis ini masih memiliki banyak keterbatasan(Moszner & Salz, 2001). Kekurangan yang paling menonjol ialah tingginya nilai polymerization shrinkage sehingga menimbulkan berbagai komplikasi seperti kebocoran tepi, pembentukan karies sekunder, bahkan inflamasi pada pulpa(Lien & Vandewalle, 2009). Untuk memperbaiki kekurangan tersebut, resin komposit berbasis silorane kinimulai diperkenalkan(Heshmat, Hajian, Ganjkar, & Arjomand, 2013). Salah satu produk yang telah beredar di pasaran ialah Filtek P90 (3M ESPE). Resin komposit berbasis silorane memiliki nilai polymerization shrinkage yang lebih rendah bila dibandingkan dengan resin komposit berbasis methacrylate. Molekul siloxane dan oxirane yang ada di dalam resin komposit jenis ini

membentuk

reaksi

polimerisasi

cincin

terbuka

(ring-opening

polymerization

reaction).(Carvalho, Pires-de-souza, & Roberti, 2011) Hal inilah yang mampu membuat kecenderungan resin komposit mengalami polymerization shrinkage berkurang. Efek perubahan warna pada resin komposit sangatlah tidak diinginkan, namun resin komposit merupakan bahan tumpat yang memiliki kecenderungan mengalami perubah warna di dalam rongga mulut(Park et al., 2010),(Uchida, Vaidyanathan, Viswanadhan, & Vaidyanathan, 1998). Hal ini menjadi alasan utama pasien mengganti tumpatannya karena dinilai tidak lagi estetis. Perubahan warna yang terjadi pada resin komposit dapat disebabkan oleh faktor intrinsik maupun ekstrinsik(Yıldız, 2012). Faktor intrinsik yang terlibat antara lain perubahan kimia yang terjadi di dalam matriks resin atau perubahan pada ikatan matriks-filler itu sendiri(Wasilah, 2013) Sedangkan faktor ekstrinsik yang berperan berasal dari merekatnya noda di permukaan resin komposit atau penyerapan cairan berwarna dari asupan makanan sehari-hari(Nikzad, Azari, & Poursina, 2012). Penelitian menunjukkan resin komposit mengalami perubahan warna ketika terpapar oleh berbagai macam agen pewarna, khususnya anggur merah, kopi, minuman bersoda, dan teh(Abu-Bakr, Han, Okamoto, & Iwaku, 2000),(Erta & Ler, 2006). Salah satu bahan herbal yang banyak dimanfaatkan saat ini ialah teh hijau. Teh hijau merupakan minuman yang sangat populer dengan nilai konsumsi harian yang tinggi di Asia(Jenabian, Moghadamnia, Karami, & Mir A, 2012). Banyak manfaat yang didapatkan


dari konsumsi teh hijau, antara lain efek antioksidan, antikaries, antibakterial, antiviral, antidiabetes, antimutagenik, dan antitumural(Kudva, Tabasum, & Shekhawat, 2011).Akan tetapi, konsumsi teh secara rutin dapat menyebabkan diskolorasi terhadap bahan restorasi. Penelitian mengenai pengaruh larutan teh hijau terhadap gigi dan resin komposit telah banyak dilakukan. Namun, penelitian mengenai pengaruh larutan teh hijau terhadap perubahan warna resin komposit berbasis methacrylate dan silorane masih sangat terbatas. Oleh karena itu, dilakukan penelitian untuk mengetahui perbedaan perubahan warna yang ditimbulkan oleh larutan teh hijau terhadap kedua jenis resin komposit tersebut.

Tinjauan Teoritis Resin Komposit Resin kompositadalah bahan tumpat sewarna gigi yang berfungsi untuk mengembalikan struktur email dan dentin(Powers, Ronald, & Sakaguchi, 2006). Resin komposit banyak digunakan untuk menggantikan struktur gigi yang hilang serta memperbaiki kontur dan warna gigi sehingga dapat meningkatkan nilai estetika(Powers et al., 2006). Resin komposit awalnya dibuat untuk memenuhi kebutuhan estetis, namun kini mulai dikembangkan resin komposit dengan sifat mekanik yang baik(Ronald & Sakaguchi, 2012). Empat komponen utama yang dimiliki resin komposit ialah matriks polimer organik, partikel pengisi anorganik, coupling agent, dan sistem inisiator-akselerator. Selain itu, komponen lain berupa oksida inorganik juga ditambahkan dalam jumlah kecil untuk shade gigi yang sesuai. Shade tersebuttersedia dalam berbagai warna, mulai dari yang paling terang hingga kuning atau bahkan abu-abu(Powers et al., 2006). Jenis monomer yang paling umum digunakan sebagai matriks resin ialah 2,2 bis[2hydroxy-3-methacryloxy-propiloxy)-phenyl]

propone

dimethacrylate (UDMA)(Powers et al., 2006).

(Bis-GMA)

dan

urethane

Meskipun dapat memberikan sifat optik,

mekanik, dan klinis yang optimal, monomer jenis ini memiliki tingkat viskositas yang tinggioleh karena itu, Bis-GMA dan UDMA harus dicampur dengan monomer yang memiliki berat molekul lebih rendah sehingga nantinya dapat dimanipulasi dengan mudah.(Ronald & Sakaguchi, 2012) Bis-GMA seringkali dicampur dengan dimethacrylate jenis lain seperti triethylane glycol dimethacrylate (TEGDMA), Bis-EMA6, ataupun monomer jenis lain(Ronald & Sakaguchi, 2012),(Peutzfeldt, 1997). Baik Bis-GMA, TEGDMA, maupun


UDMA

mengandung karbon reaktif rantai ganda di masing-masing ujungnya sehingga

memungkinkan inisiasi polimerisasi adisi oleh inisiator radikal bebas.(Ronald & Sakaguchi, 2012) TEGDMA memiliki sifat hidrofilik sehingga lebih mudah menyerap zat pewarna dalam larutan(Ronald & Sakaguchi, 2012). Saat ini telah dikembangkan sistem monomer baru yang disebut silorane. Monomer ini dikembangkan dengan tujuan mengurangi polymerization shrinkage dantegangan internal yang dihasilkan dari polimerisasi. Nama silorane diambil dari reaksi blok kimia antara siloxane dan oxyrane (yang dikenal dengan epoxy)(Ronald & Sakaguchi, 2012). Silorane merupakan monomer yang berperan sebagai matriks resin. Reaksi polimerisasi ring-opening oxirane menyebabkan polymerization shrinkage berkurang. Siloxane diperkenalkan sebagai bahan yang memiliki sifat hidrofobik(Weinmann, Thalacker, & Guggenberger, 2005). Sifat ini sangat penting karena dalam jangka waktu panjang penyerapan air yang terlalu tinggi dapat membatasi kekuatan fisik resin komposit di dalam rongga mulut(Weinmann et al., 2005). Selain itu dibanding dengan material hidrofilik, material yang bersifat hidrofobik cenderung lebih sedikit menyerap pewarna dari makanan yang dikonsumsi sehari-hari dan lebih tahan terhadap noda eksogen(Weinmann et al., 2005).

Karakteristik Resin Komposit Salah satu karakteristik yang mempengaruhi warna resin komposit adalah kelarutan dan kemampuan resin komposit dalam menyerap air.Kelarutan resin komposit di dalam air beragam dari 0,25 hingga 2,5mg/mm3. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi kelarutan tersebut salah satunya adalah polimerisasi yang tidak adekuat, terlebih pada kavitas yang dalam. Polimerisasi yang tidak adekuat akan menyebabkan peningkatan absorpsi air dan kelarutan resin komposit sehingga mengganggu stabilas warna(Ronald & Sakaguchi, 2012). Polimerisasi yang terjadi di dalam resin komposit dapat terus berlangsung walaupun pajanan cahaya tidak lagi diberikan. Oleh karena itu, satu jam pertama setelah polimerisasi, resin komposit memiliki kecenderungan untuk menyerap air(Furuse, Mondelli, & Watts, 2011),(Fernandes, Pedro, Parigot, & Comprido, 2013).Penyerapan air pada resin komposit dipengaruhi oleh tingkat hidrofilisitas matriks resin dan komposisi filler(Berger, Palialol, Cavalli, & Giannini, 2009).Penyerapan air yang terjadi pada resin komposit dengan partikel hybrid (5-17µg/mm3) lebih rendah bila dibandingkan dengan komposit yang memiliki jenis microfine filler (26-30µg/mm3). Disamping itu, kualitas dan stabilitas silane coupling


agentikut mempengaruhi. Coupling agent yang baik penting untuk meminimalisir buruknya ikatan antara matriks resin dan filler serta jumlah air yang diserap(Ronald & Sakaguchi, 2012). Hidrofilisitas matriks resin dapat mempengaruhi stabilitas warna resin komposit. Jika resin komposit mampu menyerap air, maka cairan berwarna juga dapat diserap(Yıldız, 2012). Hasil dari penyerapan cairan tersebut ialah diskolorasi resin komposit(Bagheri, Burrow, & Tyas, 2005). Penyerapan air yang terjadi pada resin komposit dapat menurunkan masa pakai resin komposit akibat ekspansi dan plastisasi komponen resin, hidrolisasi silane, dan pembentukan micro-crack. Micro-crack atau jarak antara permukaan filler dan matriks memungkinkan adanya penetrasi noda dan diskolorasi(Mair, 1982). Semakin hidrofilik suatu material, maka ia akan menyerap air semakin banyak dan relatif lebih rentan terhadap diskolorasi bila dibandingkan dengan material yang hidrofobik(Reis, Giannini, & Lovadino, 2003), (Stains, 1982). TEGDMA merupakan monomer yang paling rentan terhadap perubahan warna(Yıldız, 2012). Sedangkan merujuk pada hasil penelitian Khokhar dkk. pada tahun 1991 , UDMA lebih resisten terhadap perubahan warna dibandingkan Bis-GMA(Guler, Guler, Yucel, & Ertas, 2009). Sehingga Bagheri dkk. melaporkan bahwa resin komposit yang mengandung TEGDMA di dalam matriks resinnya akan lebih cenderung mengalami perubahan warna dibandingkan resin komposit yang mengandung UDMA(Yıldız, 2012). Selain itu, dilaporkan juga bahwa resin komposit berbasis silorane memiliki tingkat penyerapan air lebih rendah dibandingkan dengan resin komposit konvensional(Palin, Fleming, Burke, Marquis, & Randall, 2005). Hal itu disebabkan kandungan siloxane yang ada dalam resin komposit berbasis silorane bersifat lebih hidrofobik sehingga resin komposit jenis ini menyerap lebih sedikit warna dari makanan dan minuman sehari-hari serta lebih tahan terhadap noda ekstrinsik dibandingkan dengan material hidrofilik(Weinmann et al., 2005). Stress cracks di dalam matriks polimer dan lepasnya ikatan antara matriks resin dan filler yang merupakan akibat dari hidrolisis dapat meningkatkan opasitas serta perubahan warna pada resin komposit(Powers et al., 2006). Diskolorasi juga dapat terjadi akibat oksidasi dan hasil pertukaran air di dalam matriks polimer dan interaksinya dengan polimer yang tidak bereaksi(Powers et al., 2006). Inisiator dan akselerator yang tidak terpakai juga dapat menyebabkan terganggunya stabilitas warna.

Studi menunjukkan resin komposit stabil

terhadap perubahan warna akibat oksidasi, namun tetap memiliki kemungkinan untuk mengalami staining(Ronald & Sakaguchi, 2012).


Teh Hijau Teh terbuat dari pucuk daun muda tanaman teh (Camelia sinensis L. Kuntze). Berdasarkan pengolahannya, produk teh dibagi menjadi tiga macam, yaitu teh oolong, teh hijau, dan teh hitam. Jenis teh yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat Asia, terutama China dan Jepang ialah teh hijau, sedangkan teh yang lebih populer di negara-negara barat ialah teh hitam. Sementara teh oolong hanya diproduksi di China(Hartoyo, 2003). Habitat asli tanaman Camelia sinensis ialah Asia Selatan dan Asia Tenggara, namun saat ini tanaman teh sudah bisa didapatkan di seluruh dunia. Tumbuhan teh memiliki akar tunggang yang kuat. Bentuk daunnya berukuran kecil dengan banyak cabang sehingga menyerupai semak dan dapat mencapai tinggi 3-5 meter(Somantri, 2014). Daun teh memiliki aroma yang khas(―Klasifikasi teh (Camellia sinensis),‖ n.d.). Teh hijau adalah teh yang tidak mengalami oksidasi(Somantri, 2014). Teh hijau dibuat dengan cara menonaktifkan enzim oksidase/fenolase yang terdapat pada pucuk daun teh segar yaitu dengan pemanasan atau penguapan. Pemanasan yang dilakukan dapat mencegah oksidasi katekin pada daun teh(Hartoyo, 2003). Perbedaan varietas, lingkungan, serta metode pengolahan mempengaruhi komposisi kimia dari daun teh. Arifin dkk. dalam Andam ari (2005) menyebutkan bahwa zat kimia yang terkandung di dalam teh hijau dapat digolongkan menjadi empat kelompok, yaitu substansi fenol, substansi bukan fenol, substansi aromatis, dan substansi enzimatis. Senyawa fenol terdiri dari tanin dan flavonol(Andamari, 2005). Dalam penelitian ini, pengekstrakan dan uji kandungan ekstrak teh hijau dilakukan oleh Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (BALITTRO) Bogor, Jawa Barat. Tabel 1menyajikan hasil uji kandungan ekstrak teh hijau yang telah dilaksanakan.

Tabel 1 Hasil Uji Kandungan Ekstrak Teh Hijau oleh BALITTRO

Kandungan

Hasil pengujian

Kadar Tanin (%) N (%) P(%) K (%) Ca (%) Mg (%) pH

15,21 2,52 0,42 2,31 0,12 0,25 4,91

Tanin adalah senyawa polifenol yang terdiri atas gugus hidroksil dan komponen lain seperti karboksil(Ashok & Upadhyaya, 2012). Tanin dapat ditemui pada seluruh jenis


tanaman yang hidup pada iklim apapun di seluruh dunia(Ashok & Upadhyaya, 2012). Warna tanin berkisar antara kekuningan hingga cokelat terang(Ashok & Upadhyaya, 2012). Saat diseduh dengan air panas, semua jenis daun teh akan menghasilkan rasa sedikit asam (tart taste) yang merupakan karakteristik tanin(Ashok & Upadhyaya, 2012). Sebagian besar tanin terkondensasi dapat larut dalam air meskipun beberapa jenis tetap tidak dapat larut(Ashok & Upadhyaya, 2012). Walaupun tanin tidak berisiko terhadap kesehatan, namun secara estetika, warna yang ditimbulkan seringkali tidak menyenangkan(Ashok & Upadhyaya, 2012). Tanin diklasifikasikan menjadi tiga macam, yaitu tanin terhidrolisis, tanin terkondensasi, dan phlorotannins. Tanin terkondenasi banyak terdapat pada tumbuhan, termasuk teh(Ashok & Upadhyaya, 2012). Penelitian menunjukkan bahwa kandungan tanin dalam teh memiliki efek antikarsinogenik, antimikroba, dan mampu menghambat pertumbuhan sejumlah bakteri, jamur, dan virus(Chung, Wong, Wei, Huang, & Lin, 1998). Selain itu, tanin juga dilaporkan memiliki berbagai macam efek pada tubuh manusia, seperti mempercepat pembekuan darah, menurunkan tekanan darah, menurunkan level serum lipidmembuat nekrosis liver, dan memodulasi respon imun, namun semua hal tersebut bergantung pada dosis tanin yang dikonsumsi(Chung et al., 1998).

Warna Persepsi warna sangatlah subjektif pada masing-masing orang karena warna merupakan respon fisiologis terhadap stimulus fisik. Cahaya adalah gelombang elektromagnetik yang dapat dideteksi oleh mata manusia. Dalam dunia kedokteran gigi, sering digunakan metode pendekskripsian warna menurut A.H Mussel yang mengklasifikasikan warna berdasarkan hue, chroma, dan value(Noorth, 2007). Hue merupakan representasi dari warna dominan dari sumber spektrum cahaya. Warna yang terdapat dalam hue adalah violet, indigo, viru, hijau, kuning, jingga, dan merah. Dari semua warna tersebut, yang merupakan warna utama ialah merah, biru, dan hijau(Noorth, 2007). Chroma merupakan penguat dari hue(Noorth, 2007).Oleh karena itu, nilai chroma baru bisa ditentukan bila hue sudah didapat. Istilah yang digunakan untuk chroma antara lain hijau tua dan hijau muda atau merah tua dan merah muda.


Value adalah istilah yang digunakan untuk kecerahan atau kegelapan warna dengan rentang hitam ke putih. Semakin terang suatu objek, maka semakin tinggi value-nya. Hue dan chroma

merupakan sifat yang dipengaruhi oleh pbjek, sedagakn value

bergantung pada intensitas cahaya, pemolesan permukaan, dan latar objek apabila objek dapat mentransmisikan cahaya. Oleh karena itu penentuan warna paling baik dilakukan dengan cahaya terang matahari(Noorth, 2007). Pengukuran bahan restorasi paling sering menggunakan alat pengukur warna seperti spektofotometri, colorimetri, atau dengan menggunakan metode visual(Powers et al., 2006).Pengukuran warna dapat dilakukan dengan menggunakan shade guide klasik atau spektofotometri. Salah satu instrument yang dapat digunakan ialah spektofotometer intraoral VITA Easyshade®. Prosedur pemakaian alat ini alah dengan meletakkan ujung probe pada permukaan restorasi dan ketika posisi sudah stabil, tombol pengukur ditekan hingga terdengar bunyi. VITA Easyshade® akan menampilkan nilai warna yang merujuk pada value, hue, dan chroma(―Vita Easy Shade Operating Instructions,‖ 2010). CIE membuat konsep diagram color space yang memiliki karakteristik keseragaman chromacities untuk mengukur warna. Dalam diagram tersebut, L* merepresentasikan value (dari hitam hingga putih), a* dan b* merepresentasikan nilai hue dan chroma yang dinotasikan sebagai +a* untuk merah, -a* untuk hijau, +b* untuk kuning, dan –b* untuk biru (gambar 2.5)(Ronald & Sakaguchi, 2012). Perbedaan antara dua warna dapat dihitung menggunakakan rumus berikut: ΔEab* (L*a*b*) = [ (ΔL*)2 + (Δa*)2 + (Δb*)2] ½ Mata manusia dapat mendeteksi diskolorasi dengan nilai ΔE* lebih dari 1(Sci et al., 2014). Namun dalam bidang kedokteran gigi nilai ΔE*≤ 3,3 masih dapat diterima secara klinis(Ronald & Sakaguchi, 2012).

Metode Penelitian Penelitiaan ini merupakan penelitian eksperimental laboratorik yang dilaksanakan di Laboratorium Penelitian dan Pengembangan Material Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia selama Agustus hingga Oktober 2014. Spesimen berjumlah tiga puluh buah silinder resin komposit yang terdiri dari lima belas resin komposit berbasis silorane (Filtek P90, 3M ESPE, USA) dan lima belas resin komposit berbasis methacrylate (Filtek Z250, 3M ESPE, USA). Seluruh spesimen ditumpat ke dalam


cetakan logam silinder dengan diameter 6 mm dan tinggi 2mm kemudian dilapisi dengan mylar stryps dan kaca preparat yang diatasnya diberi beban 1kg. Penyinaran dilakukan selama 40 detik menggunakan Light Curing Unit (Hilux, Benlioglu, Europe) dengan jarak ±1mm. Kemudian seluruh spesimen direndam dalam larutan akuades selama 24 jam agar polimerisasi sempurna dan dilakukan pengukuran warna awal menggunakan spektofotometer intraoral Vita Easy Shade dengan beralaskan kertas putih. Setiap spesimen dimasukkan ke dalam pot plastik berbeda. Masing-masing pot plastik diisi dengan larutan teh hijau dengan konsentrasi 1%, 2%, dan 3% yang diperoleh dari pengenceran ekstrak teh hijau 100% dengan akuades. 15 spesimen resin komposit berbasis methacrylate secara acak dimasukkan ke dalam 15 pot yang berisi 5ml larutan teh hijau dengan konsentrasi berbeda (n=5 untuk setiap konsentrasi). Hal yang sama dilakukan pada resin komposit berbasis silorane. Masing-masing pot diberi label konsentrasi dan jenis resin komposit yang direndam. Perendaman dilakukan selama 6 jam dengan suhu 37oC. Setelah 6 jam, spesimen diangkat dan dibilas menggunakan akuades selama 15 detik lalu dikeringkan lalu dilakukan pengukuran warna kembali. Data yang didapat dianalisis menggunakan uji statistik one-way anova dan uji t independen dengan signifikansi α=0,05

Hasil Penelitian Pada penelitian ini telah dilakukan uji eksperimental laboratorik terhadap resin komposit berbasis silorane dan resin komposit berbasis methacrylate yang direndam dalam larutan teh hijau dengan konsentrasi 1%, 2%, dan 3% selama 6 jam pada suhu 37 derajat celcius.Perubahan warna yang terjadi diukur dengan vita easy shade. Melalui alat tersebut, didapatkan nilai L*, a*, dan b*. Nilai perubahan warna setelah perendaman dalam larutan teh hijau 1%, 2%, dan 3% pada kedua jenis resin komposit dapat dilihat pada tabel 2.


Tabel 2 Nilai ∆L*, ∆a*, ∆b*, dan ∆E* pada Resin Komposit Berbasis Silorane dan Methacrylate setelah Perendaman dalam Larutan Teh Hijau

Resin Komposit

Methacrylate

Silorane

Konsentrasi larutan teh hijau 1% 2% 3%

∆L* -0,64 -2,70 -0,52

∆a* -0,02 -0,18 -0,40

∆b* -1,80 -1,12 -1,12

∆E* 1,94 2,82 1,37

1% 2% 3%

-2,88 -1,22 -3,56

-0,08 -0,54 -0,20

1,08 0,76 1,42

3,31 1,71 3,85

Nilai

Sesuai dengan konsep CIE, ∆E* adalah perbedaan antara dua warna yang apat dihitung menggunakan rumus ΔEab* (L*a*b*) = [ (ΔL*)2 + (Δa*)2 + (Δb*)2] ½. Nilai ΔE*≤ 3,3 masih dapat diterima secara klinis. Gambar 1 memperlihatkan grafik nilai ΔE* kelompok resin komposit berbasis silorane dan methacrylate setelah direndam dalam larutan teh hijau selama 6 jam. Melalui grafik tersebut dapat dilihat bahwa pada resin komposit berbasis methacrylate, nilai ∆E* paling tinggi terdapat pada kelompok konsentrasi 2%, diikuti oleh kelompok konsentrasi 1% dan 3%. Sedangkan pada kelompok resin komposit berbasis silorane¸ nilai ∆E* tertinggi terdapat pada kelompok konsentrasi 3% dan terendah pada kelompok

Nilai delta E

konsentrasi 2%. 4,50 4,00 3,50 3,00 2,50 2,00 1,50 1,00 0,50 0,00

methacrylate silorane

Teh Hijau 1% Teh Hijau 2% Teh Hijau 3% Konsentrasi Larutan

Gambar 1 Grafik Rerata Perubahan Warna (∆E*) Resin Komposit Berbasis Silorane dan Methacrylate Setelah Perendaman Larutan Teh Hijau

Uji one-way anova dilakukan untuk menganalisis perbedaan nilai ∆E*

pada resin

komposit berbasis methacrylate yang direndam dalam larutan teh hijau 1%, 2%, dan 3%.


Hasil uji menyebutkan bahwa terdapat perbedaan bermakna pada ketiga kelompok konsentrasi tersebut (p=0,010). Tabel 3 Kemaknaan Perubahan Warna (∆E*) Antar Konsentrasi Larutan Teh Hijau pada Kelompok Resin Komposit Berbasis Methacrylate

Teh hijau 1%

Teh hijau 2%

Teh hijau 3%

Nilai p

Keterangan

Teh hijau 2%

0044*

Bermakna

Teh hijau 3%

0,168

Tidak bermakna

Teh hijau 1%

0,044*

Bermakna

Teh hijau 3%

0,003*

Bermakna

Teh hijau 1%

0,168

Tidak bermakna

Teh hijau 2%

0,003*

Bermakna

*nilai p<0,05 menunjukkan kemaknaan

Uji one-way anova juga dilakukan pada kelompok resin komposit berbasis silorane yang direndam dalam larutan teh hijau 1%, 2%, dan 3% untuk mengetahui adanya perbedaan perubahan nilai E* (∆E*) pada ketiga kelompok konsentrasi tersebut. Hasil uji menyatakan bahwa terdapat perbedaan bermakna antara kelompok resin komposit berbasis silorane yang direndam dalam larutan teh hijau 1%, 2%, dan 3% (p=0,002). Nilai perubahan warna paling tinggi terletak pada kelompok konsentrasi 3%. Dari tabel 4 dapat diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan nilai ∆E* yang bermakna antara kelompok konsentrasi 1% dan 3%. Tabel 4 Kemaknaan Perubahan Warna (∆E*) Antar Konsentrasi Larutan Teh Hijau pada Kelompok Resin Komposit Berbasis Silorane

Teh hijau 1%

Teh hijau 2%

Teh hijau 3%

Nilai p

Keterangan

Teh hijau 2%

0,005*

Bermakna

Teh hijau 3%

0,262

Tidak Bermakna

Teh hijau 1%

0,005*

Bermakna

Teh hijau 3%

0,001*

Bermakna

Teh hijau 1%

0,262

Tidak Bermakna

Teh hijau 2%

0,001*

Bermakna

*nilai p<0,05 menunjukkan kemaknaan Perbedaan nilai ∆E*

yang terjadi pada resin komposit berbasis silorane dan

methacrylate dianalisis menggunakan uji T tidak berpasangan. Dari hasil uji tersebut dapat


diketahui bahwa terdapat perbedaan bermakna antara nilai ∆E* resin komposit berbasis silorane dan methacrylate (p=0,020).

Pembahasan Hasil penelitian menyatakan bahwa terdapat perbedaan bermakna pada nilai ∆E* antara kelompok yang direndam dalam larutan teh hijau 1%, 2%, dan 3% pada kedua jenis komposit. Pada kelompok resin komposit berbasis methacrylate terlihat bahwa terjadi peningkatan nilai ∆E* dari konsentrasi 1% ke 2% namun menurun di 3%. Sedangkan pada kelompok resin komposit berbais silorane, nilai perubahan warna terendah ada pada kelompok konsentrasi 2% dan tertinggi pada kelompok konsentrasi 3%. Hal ini dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Diskolorasi pada resin komposit dapat terjadi akibat faktor intrinsik maupun ekstrinsik. Faktor intrinsik dapat berupa penyerapan air oleh matriks maupun proses oksidasi yang terjadi pada akselerator amin(Yıldız, 2012). Sedangkan faktor ekstrinsik yang memiliki potensi sebagai penyebab diskolorasi pada penelitian ini adalah kandungan tanin yang terdapat pada larutan teh hijau. Tanin merupakan senyawa golongan polifenol yang memiliki pigmen kuning hingga kecoklatan(Rangari, 2007). Resin komposit memiliki kecenderungan menyerap air. Dalam penelitiannya, Bagheri dkk. (2005) menyatakan sifat tersebut menandakan bahwa resin komposit mampu menyerap cairan berwarna lainnya yang dapat menyebabkan diskolorasi(Yıldız, 2012).Resin komposit berbasis silorane merupakan resin komposit jenis baru yang memanfaatkan matriks organik berupa siloxane dan oxirane. Penelitian menyatakan bahwa resin komposit jenis ini lebih tahan terhadap perubahan warna karena matriks silorane memiliki stabilitas kimia yang baik ketika direndam dalam media cair, memiliki tingkat penyerapan air yang rendah, kelarutan yang rendah, serta koefisien difusi yang rendah pula(Palin et al., 2005). Namun pada penelitian ini perubahan warna paling tinggi justru didapati pada resin komposit berbasis silorane yang direndam dalam larutan teh hijau 3% dengan nilai ∆E*= 3,85. Perubahan ini tidak dapat diterima secara klinis karena nilai perubahan warna (∆E*) lebih dari 3,3(Salomão, Cabrini, Roberti, & Cruvinel, 2012). Hasil analisis statistik menyatakan bahwa nilai tersebut signifikan. Temuan ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Barutcigil dkk. bahwa diskolorasi resin komposit berbasis silorane lebih tinggi dibanding dengan resin komposit berbasis methacrylate setelah perendaman dalam akuades selama 1 bulan(Yıldız, 2012).


Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan bermakna nilai ∆E* antar konsentrasi pada resin komposit berbasis methacrylate. Perbedaan bermakna terdapat antara kelompok 1% dan 2% serta 2% dan 3%. Dapat terlihat bahwa pada resin komposit jenis ini, perubahan warna terbesar terjadi pada konsentrasi 2%. Meski demikian, seluruh perubahan warna yang terjadi pada resin komposit berbasis methacrylate masih dapat diterima secara klinis. Pada resin komposit berbasis silorane, ditemui perbedaan bermakna antara nilai ∆E* 1% dan 2% serta 2% dan 3% dengan nilai ∆E* konsentrasi 1% dan 3% yang tidak dapat diterima secara klinis. Sebaliknya, kelompok konsentrasi 2% memiliki nilai ∆E* paling rendah. Hal ini disebabkan perubahan warna pada resin komposit sangat bergantung pada derajat polimerisasi yang terjadi(Heshmat et al., 2013). Pada resin komposit berbasis silorane, perubahan warma lebih tinggi. Padahal resin komposit berbasis silorane diharapkan akan mengalami perubahan warna lebih rendah karena matriksnya yang bersifat hidrofobik(Heshmat et al., 2013). Perbedaan struktur matriks menyebabkan reaksi kimia yang terjadi selama polimerisasi berlangsung berbeda. Pada resin komposit berbasis silorane, reaksi polimerisasi disebut sebagai reaksi ring-opening dimana masing-masing monomer harus mendekati monomer terdekat dan kemudian cincin monomer tersebut terbuka sehingga membentuk polimer. Hal ini membutuhkan waktu yang lebih lama dibanding reaksi polimerisasi pada resin komposit berbasis methacrylate. Banyaknya monomer yang belum bereaksi membuat matriks polimer bersifat heterogen(Porto, de Aguiar, Brandt, & Liporoni, 2013). Fenomena tersebut menyebabkan penurunan densitas ikatan silang pada matriks dan menyebabkan peningkatan penyerapan air(Porto et al., 2013). Penyerapan air oleh matriks dapat menyebabkan degradasi hidrolitik dan lepasnya ikatan antara partikel filler dengan resin matriks. Mekanisme degradasi hidrolitik tersebut dimulai dari ion yang terkandung dalam filler. Beberapa ion memiliki sifat elektropositif dan cenderung untuk bereaksi dengan air. Hal ini menyebabkan gangguan pada stabilitas ikatan silika sehingga ruang yang ditinggalkan oleh ion tersebut digantikan oleh ion hidrogen dari air. Peningkatan konsentrasi ion hidroksi menyebabkan ikatan siloxane (Si-O-Si) rusak dan selanjutnya menghasilkan degradasi permukaan(Martos et al., 2003). Sehingga dapat disimpulkan bahwa perubahan warna pada resin komposit berbasis silorane diakibatkan oleh tingginya tingkat absorbsi air dan rusaknya ikatan kovalen antara filler dan matriks. Setelah polimerisasi terjadi secara sempurna, sifat hidrofobik pada matriks silorane akan meningkatkan stabilitas warna(Heshmat et al., 2013). Temuan ini sejalan dengan hasil penelitian Beurgers dkk. dalam Heshmat menyatakan bahwa dalam perendaman di akuades selama tujuh hari, stabilitas warna resin komposit


berbasis silorane rendah(Heshmat et al., 2013). Pires-de-souza dkk. juga melaporkan dari penilaian mikrografik, terlihat bahwa partikel quartz pada resin komposit berbasis silorane (Filtek P90)terlepas dari matrik resinnya selama perendaman(Carvalho et al., 2011). Pada resin komposit berbasis methacrylate yang digunakan dalam penelitian ini, terdapat kandungan komponen Bis-GMA yang diketahui memiliki tingkat penyerapan air 36%(Salomão et al., 2012). Diketahui bahwa Bis-GMA lebih rentan terhadap perubahan warna dibanding UDMA. Penyerapan air tersebut dapat terlihat dari menurunnya tingkat kecerahan pada resin komposit berbasis methacrylate akibat kandungan tanin dalam larutan teh hijau. Ekstrak teh hijau yang digunakan dalam penelitian ini memiliki kandungan tanin sebesar 15,21%. Tanin yang terdapat dalam teh hijau merupakan jenis tanin terkondensasi dan dapat larut dalam air(Ashok & Upadhyaya, 2012).Kandungan tanin dalam air tersebut dapat ikut terabsorbsi dalam resin komposit sehingga menyebabkan perubahan warna spesimen menjadi gelap. Semakin banyak air yang diserap, maka ikatan antara matriks dan filler pada resin komposit menjadi rusak dan menimbulkan microcrack akibat degradasi matriks resin(Yıldız, 2012).Microcrack-microcrak tersebut akhirnya mampu membuat penetrasi dan diskolorasi yang diakibatkan oleh kandungan tanin (Mair, 1982). Diskolorasi pada resin komposit dapat pula dipengaruhi oleh faktor filler(Yıldız, 2012). Filler dapat terlepas dari ikatan dengan matriks resin sehingga meningkalkan ruang kosong pada permukaan komposit dan menyebabkan peningkatan kekasaran permukaan yang mampu meningkatkan kerentanan terhadap noda ekstrinsik(Lu et al., 2005). pH larutan teh hijau yang digunakan juga dapat memberikan pengaruh. Resin komposit yang direndam dalam larutan dengan pH rendah memiliki permukaan yang lebih kasar dibandingkan dengan resin komposit yang direndam dalam larutan dengan pH tinggi karena pH yang rendah dapat mempercepat reaksi hidrolisis(Pribadi & Soetojo, Adioro, 2011). Sedangkan salah satu faktor intrinsik yang berperan dalam terjadinya perubahan warna ialah keberadaan photo initiator dalam resin komposit, yaitu Camphorquinone, juga turut berperan. Camphorquinone (CQ) merupakan photo initiator yang paling sering digunakan pada resin komposit dan berfungsi untuk mempercepat proses polimerisasi. Luiz BKM dkk. dalam Barutcigil dan Yildiz menyatakan walaupun digunakan dalam jumlah sedikit, CQ memberikan pengaruh yang signifikan terhadap materiall(Yıldız, 2012). CQ yang tidak terpolimerisasi secara sempurna karena tidak adekuatnya penyinaran akan menyebabkan warna kekuningan pada resin komposit(Erta & Ler, 2006). Selain itu, komponen sistem fotoinisiator lain seperti tertiary aromatic atau aliphatic amine yang berfungsi sebagai akselerator juga ikut mempengaruhi. Semua jenis amine memiliki kecenderungan


menyebabkan perubahan warna menjadi kuning atau kecoklatan di bawah pengaruh cahaya dan panas(Janda et al., 2004). Warna tersebut mengurangi estetika resin komposit dan bersifat menetap(Erta & Ler, 2006).

Kesimpulan Berdasarkan penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan perubahan warna pada resin komposit berbasis siloranedan methacrylate yang direndam dalam larutan teh hijau 1%, 2%, dan 3%.Perubahan warna kelompok resin komposit berbasis silorane lebih tinggi dibanding kelompok resin komposit berbasis methacrylate.

Saran Pengukuan warna sebaiknya dilakukan lebih dari satu kali pengamatan oleh lebih dari satu peneliti agar hasil yang didapat lebih akurat. Selain itu, kontrol pencahayaan serta kondisi alat yang baik harus ada agar bias dapat diminimalisir.

Daftar Referensi Abu-Bakr, N., Han, L., Okamoto, A., & Iwaku, M. (2000). Color stability of compomer after immersion in various media. Journal of Esthetic Dentistry, 12(5), 258–263. Andamari, W. (2005). Formulasi dan evaluasi mutu minuman fungsional teh hijau-jahe selama penyimpanan. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor. Ashok, P. K., & Upadhyaya, K. (2012). Tannins are Astringent. Journal of Pharmacognosy and Phytochemistry, 1(3), 45–50. Bagheri, R., Burrow, M. F., & Tyas, M. (2005). Influence of food-simulating solutions and surface finish on susceptibility to staining of aesthetic restorative materials. Journal of Dentistry, 389–398. Berger, S. B., Palialol, A. R. M., Cavalli, V., & Giannini, M. (2009). Characterization of water sorption, solubility and filler particles of light-cured composite resins. Brazilian Dental Journal, 20(4), 314–318. Carvalho, F. De, Pires-de-souza, P., & Roberti, F. (2011). Color stability of silorane-based composites submitted to accelerated artificial ageing — An in situ study. Journal of Dentistry, 18–24. doi:10.1016/j.jdent.2011.03.003 Chung, K. T., Wong, T. Y., Wei, C. I., Huang, Y. W., & Lin, Y. (1998). Tannins and human health: a review. Critical Reviews in Food Science and Nutrition, 38, 421–464.


Erta, E., & Ler, A. U. G. Ü. (2006). Color Stability of Resin Composites after Immersion in Different Drinks. Dental Materials Journal, 371–376. Fernandes, L., Pedro, R., Parigot, V., & Comprido, C. (2013). Staining susceptibility of methacrylate and silorane-based materials : influence of resin type and storage time. RSBO, 10(2), 161–166. Furuse, A. Y., Mondelli, J., & Watts, D. C. (2011). Network structures of Bis-GMA / TEGDMA resins differ in DC , shrinkage-strain , hardness and optical properties as a function of reducing agent. Dental Materials, 27(5), 497–506. Guler, A., Guler, E., Yucel, A., & Ertas, E. (2009). Effects of Polishing Procedures on Color Stability of Composite Resins. Journal of Applied Oral Science, 17(2), 108–112. Hartoyo, A. (2003). Teh & Khasiatnya Bagi Kesehatan, Sebuah Tinjauan Ilmiah. Yogyakarta: Kanisius. Heshmat, H., Hajian, M., Ganjkar, M. H., & Arjomand, M. E. (2013). Effect of Tea on Color Change of Silorane and Methacrylate based Composite Resins. The Journal of Islamic Dental Association of Iran, 142–146. Janda, R., J-f, R., Kaminsky, M., Steffin, G., Color, L. M., Janda, R., … Latta, M. (2004). Color stability of resin matrix restorative materials as a function of the method of light activation. European Journal of Oral Sciences, 112, 280–285. Jenabian, N., Moghadamnia, A. A., Karami, E., & Mir A, P. B. (2012). The effect of Camellia Sinensis (green tea) mouthwash on plaque-induced gingivitis: a single-blinded randomized controlled clinical trial. Daru : Journal of Faculty of Pharmacy, Tehran University of Medical Sciences, 20(1), 39. Klasifikasi teh (Camellia sinensis). (n.d.). Retrieved June 09, 2014, from http://www.biologionline.info/2014/03/klasifikasi-teh-camellia-sinensis.html Kudva, P., Tabasum, S. T., & Shekhawat, N. K. (2011). Effect of green tea catechin , a local drug delivery system as an adjunct to scaling and root planing in chronic periodontitis patients : A clinicomicrobiological study. Journal of Indian Society of Periodontology, 15(1), 39–45. Lien, W., & Vandewalle, K. S. (2009). Physical properties of a new silorane-based restorative system. Dental Materials, 26(4), 337–344. Lu, H., Roeder, L. B., Lei, L., & Powers, J. M. (2005). Effect of surface roughness on stain resistance of dental resin composites. Journal of Esthetic and Restorative Dentistry : Official Publication of the American Academy of Esthetic Dentistry ... [et Al.], 17(2), 102–108; discussion 109. Mair, L. H. (1982). Staining of in vivo Subsurface Degradation in Dental Composites with Silver Nitrate. J Dent Res, 70(3), 215–221.


Martos, J., Willy, P., Osinaga, R., Oliveira, E. De, Antônio, L., & Castro, S. De. (2003). Hydrolytic Degradation of Composite Resins : Effects on the Microhardness. Materials Research, 6(4), 599–604. Moszner, N., & Salz, U. (2001). New developments of polymeric dental composites. Progress in Polymer Science, 26. Nikzad, S., Azari, A., & Poursina, M. (2012). Effects of beverage colorants and accelerated aging on the color stability of indirect resin composites. Journal of Dental Sciences, 7(3), 231–237. Noorth, R. (2007). Introduction to Dental Material (3rd Editio.). London: Elsevier Ltd. Palin, W. M., Fleming, G. J. P., Burke, F. J. T., Marquis, P. M., & Randall, R. C. (2005). The influence of short and medium-term water immersion on the hydrolytic stability of novel low-shrink dental composites. Dental Materials, 852–863. Park, J.-K., Kim, T.-H., Ko, C.-C., García-Godoy, F., Kim, H.-I., & Kwon, Y. H. (2010). Effect of staining solutions on discoloration of resin nanocomposites. American Journal of Dentistry, 23(1), 39–42. Peutzfeldt, A. (1997). Resin composites in dentistry : the monomer systems. European Journal of Oral Sciences, 105, 97–116. Porto, I. C. C. D. M., de Aguiar, F. H. B., Brandt, W. C., & Liporoni, P. C. S. (2013). Mechanical and physical properties of silorane and methacrylate-based composites. Journal of Dentistry, 41(8), 732–9. Powers, J. M., Ronald, L., & Sakaguchi. (2006). Craig’s Restorative Dental Material (12th ed.). St.Louis Missouri: Elsevier Inc. Pribadi, N., & Soetojo, Adioro (Faculty of Dentistry, A. U. (2011). Effects of different saliva pH on hybrid composite resin surface rouhness. Dental Journal Majalah Kedokteran Gigi, 44(2), 63–66. Rangari, V. (2007). Pharmacognosy: Tannin Containing Drugs (pp. 1–16). Nagpur. Reis, Â. F., Giannini, M., & Lovadino, Â. R. (2003). Effects of various finishing systems on the surface roughness and staining susceptibility of packable composite resins. Dental Materials, 19, 12–18. Ronald, L., & Sakaguchi. (2012). Craig’s Restorative Dental Material (13th ed.). St.Louis Missouri: Elsevier Mostby. Salomão, M., Cabrini, C., Roberti, F., & Cruvinel, D. R. (2012). Color stability , surface roughness and microhardness of composites submitted to mouthrinsing action. Journal of Applied Oral Science, 20(2), 200–205.


Sci, J. R. D., Mahdisiar, F., Nasoohi, N., Sa, M., Sahraee, Y., & Zavareian, S. (2014). Evaluating the effect of tea solution on color stability of three dental composite ( In Vitro ). J Res Dent Sci, 11(1), 14–19. Somantri, R. (2014). The Story in A Cup of Tea. Jakarta: Transmedia Pustaka. Stains, E. (1982). Resistance to Extrinsic Stains by Hydrophobic Composite Resin Systems. J Dent Res, 61(1), 41–44. Uchida, H., Vaidyanathan, J., Viswanadhan, T., & Vaidyanathan, T. K. (1998). Color stability of dental composites as a function of shade. The Journal of Prosthetic Dentistry, 79(4), 372–7. Vita Easy Shade Operating Instructions. (2010). Retrieved from http://vident.com/wpcontent/uploads/2011/09/VITA-Easyshade-Compact-Instructions-for-Use_1506E.pdf Wasilah, CN (Institut Ilmu Kesehatan Kediri, I. (2013). Perbandingan Intensitas Warna Komposit Nano pada Perendaman Teh Hitam dan Kopi. KPPIKG, 1–6. Weinmann, W., Thalacker, C., & Guggenberger, R. (2005). Siloranes in dental composites. Dental Materials, 21, 68–74. Yıldız, M. (2012). Intrinsic and extrinsic discoloration of dimethacrylate and silorane based composites. Journal of Dentistry, 57–63.


Pengaruh Larutan Teh Hijau (Camellia sinensis) terhadap Perubahan Warna Resin Komposit Berbasis Silorane dan Methacrylate

Recommend Documents