LARASITA SEBAGAI BENTUK TEROBOSAN BARU LAYANAN DI BIDANG PERTANAHAN Oleh : Erna Sri Wibawanti *
Abstract Larasita (Layanan Rakyat untuk Sertifikasi Tanah or People’s Service for Land Certification). The new service is a breakthrough in the field of land by means to pick up the ball, where officers of the Land Office went public with the use of motor vehicles such as cars or by boat. Larasita carried out by the government in order to facilitate the public to obtain services in the field of land, particularly in remote communities far from the land office. The birth Larasita against the background of government concern is the amount of land that has not been certified and the number of public complaints will be complicated and expensive cost of land certificate and the many brokers who harm society. The existence of the service is expected Larasita land can be done easily, quickly and cheaply, so people will want to take care of his land certificate. There are still many things that need to be addressed in connection with the implementation Larasita, the purposes it is necessary to reform and improvement of legislation that exists to support its implementation, including development of human resources and procurement infrastructure. All this must be achieved if the ranks of the National Land Agency of the Republic of Indonesia is committed to making this institution developed in accordance with the spirit of the age and technology advances. A. PENDAHULUAN Saat ini kebutuhan masyarakat berkembang s angat dinamis dan kehidupan masyarakat semakin baik. Kesadaran masyarakat akan hak dan kewajibannya sebagai warga Negara dalam kehi dupan berbangsa dan bernegara juga semakin meningkat. Masyarakat semaki n berani untuk mengajukan tuntutan, keinginan dan aspirasinya kepada pemerintah. Dalam kondisi masyarakat yang demikian, pemerintah harus dapat memberikan
pelayanan publik yang lebih profesional, efektif, sederhana, transparan, terbuka, tepat waktu, dan responsif Sebagai pelayan mas yarakat, pemerintah harus mampu melayani masyarakat sebaik mungkin sesuai tuntutan kebutuhan yang semakin berkembang. Pemerintah dituntut untuk melakukan berbagai macam cara agar kesejahteraan rakyat dapat terpenuhi. Masih banyak dijumpai dalam masyarakat pelayanan yang kurang memuaskan, pungutan liar masih banyak terjadi, pelayanan yang lambat dan kurang simpati
* Dosen Fakultas Hukum Universitas Janabadra Yogyakarta
1
juga masi h di ras akan o leh warga masyarakat. Sarana dan prasarana yang kurang mendukung dalam layanan publikpun masih banyak dijumpai. Melihat kondisi tersebut, pemerintah harus membuka ruang yang luas bagi terciptanya inovasi dan perubahan dalam pengelolaan sumber daya pemeri ntahan dan pembangunan sedemikian rupa untuk menciptakan penyelenggaraan pemerintahan yang akuntabel, transparan dan bertanggungjawab, serta pelayanan masyarakat yang cepat, murah, baik, dan mampu memenuhi kebutuhan ri il masyarakat. Sal ah s atu tero bosan yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka pelayanan kepada masyarakat dibidang pertanahan adalah dengan diluncurkannya layanan pertanahan secara jemput bola dengan apa yang disebut dengan Larasita (Layanan Rakyat untuk Sertifikasi Tanah). Lahirnya Larasita ini dilatar belakangi masih banyaknya tanah-tanah yang belum bersertifikat. Menurut kepala BPN Joyo Winoto, sampai tahun 2005 baru sekitar 31% tanah diseluruh Indonesia yang bersertifikat. 1 Masih banyak warga masyarakat yang memiliki tanah enggan untuk mendaftarkan tanahnya, hal ini dikarenakan masih adanya anggapan bahwa urusan pertanahan adalah urusan yang rumit, berbelit-belit, lama dan juga biaya mahal. Urusan tanah masih menjadi “momok” bagi masyarakat. Oleh karena itu untuk mendorong masyarakat agar mau mendaftarkan tanahnya pemerintah mencari terobosan-terobosan baru. Larasita merupakan suatu program yang bertujuan membantu masyarakat di bidang pertanahan dengan cara petugas mendatangi warga masyarakat dengan menggunakan kendaraan bermotor. 1 2
Dengan Larasita ini diharapkan masyarakat dapat mendaftarkan tanah secara mudah, cepat dan biaya ringan. Masyarakat tidak perlu lagi mendatangi Kantor Pertanahan yang terkadang harus ditempuh dengan perjalanan yang lama dan memakan biaya transportasi yang mahal. Larasita telah diresmikan sebagai program nasional oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono pada Desember Th 2008. Larasita yang bertujuan baik dengan mempermudah dan menekan biaya serta menghilangkan praktek percaloan perlu mendapat dukungan sepenuhnya dari semua pihak termasuk masyarakat. B. PEMBAHASAN 1. Keluhan Masyarakat dalam Urusan Pertanahan Semakin sempitnya lahan yang dapat digunakan untuk kegiatan manusia berdampak pada semakin berharga dan mahalnya harga tanah. Tanah menjadi benda yang sangat berharga bagi kehidupan manusia, untuk itu kepastian dan perlindungan hukum terhadap pemilikan tanah menjadi penting untuk menghindari terjadinya sengketa yang bersumber dari tanah. Bukti pemilikan tanah yang kuat merupakan suatu kebutuhan bagi para pemilik tanah. Sebagai bukti dari pemilikan tanah adalah dengan adanya sertifikat. Sertifikat memberikan berbagai manfaat, antara lain dapat mengurangi ti mbul nya sengketa, s erta dapat mempersingkat proses peralihan serta pembebanan hak atas tanah. Bagi pemegang hak, memiliki sertifikat mempunyai nilai lebih dibanding dengan alat bukti lain, karena sertifikat merupakan alat bukti yang kuat.2 Manfaat dari sertifikat ini tidak hanya dirasakan bagi pemegang haknya saja,
Renvoi, Presiden SBY Launching Larasita di Prambanan, No 8.68, 3 Januari 2009 Maria SW Sumardjono, Kebijakan Pertanahan anatara Regulasi dan Implementasi, Kompas, 2001: hal. 182
2
akan tetapi juga bermanfaat bagi masyarakat dan Negara. 1). Bagi pemegang hak, manfaat yang akan diperoleh adalah : a. akan memberikan rasa aman, karena kepastian hak atas tanahnya akan terjamin. b. perbuatan hukum yang dilakukan, misalnya jual beli akan lebih mudah dilakukan dan juga biaya lebih murah dan waktu lebih cepat. c. pemegang hak/pemilik tanah akan lebih mudah membuktikan kepemilikan tanahnya, dan apabila dihadapan hakim diserahkan sertifikat , maka keterangan yang ada dal am s erti fikat harus dianggap benar sampai dibuktikan sebaliknya. 2). Bagi masyarakat Bagi masyarakat Pendaftaran tanah dapat mengurangi sengketa dalam masyarakat yang sumbernya adalah tanah, seperti sengketa status kepemilikan, batas-batas tanah dsb. 3). Bagi Negara Bagi Negara dengan dilakukannya pendaftaran tanah, akan tercipta tertib dibidang pertanahan, yang dampaknya adalah akan memperlancar pembangunan.3 Sebagai alat bukti pemilikan tanah yang kuat, sertifikat tanah menjadi sangat berarti, untuk itu setiap pihak yang memiliki tanah diharapkan mempunyai sertifikat agar ada kepastian dan perlindungan hukum atas pemilikan tanahnya. Pada kenyataannya masih banyak masyarakat yang memiliki tanah tetapi belum mempunyai sertifikat sebagai bukti pemilikan tanahnya. Banyak faktor yang menyebabkan
3 4
masih banyaknya tanah-tanah yang belum bersertifikat. Pengurusan yang rumit, bertele-tele serta ketidak jelasan waktu pengurusan tanah merupakan masalah yang sering ditasakan oleh masyarakat apabila berurusan dengan masalah tanah. Informasi yang kurang serta tidak jelas, membuat urusan pertanahan menjadi kelihatan sulit dan berbelit-belit. Tidak jarang warga masyarakat harus bolak-balik ke Kantor Pertanahan untuk melengkapi persyaratan yang masih dinyatakan kurang. Waktu penyelesaian yang tidak diinformasikan secara jelas dan tidak pasti waktu penyelesaiannya juga banyak dirasakan oleh masyarakat. Untuk urusan pertanahan tidak jarang masyarakat harus menunggu waktu yang lama bahkan bisa sampai tahunan, seperti misalnya untuk pensertifikatan tanah tidak jarang dikeluhkan oleh warga masyarakat bahwa sertifikatnya belum juga jadi padahal sudah diurus lama, bulanan bahkan tahunan. Biaya yang mahal bukan suatu rahasia lagi dalam masyarakat untuk urusan pertanahan. Mahalnya biaya seringkali menjadi alasan mengapa warga masyarakat tidak mau mengurus sertifikat tanahnya. Ketakutan masyarakat akan biaya yang tinggi memang bukan hal yang mengada ada karena dalam kenyataannya untuk mengurus sertifikat masyarakat harus mengeluarkan uang yang tidak sedikit, ratusan ribu bahkan bisa jutaan rupiah, yang tentunya bagi masyarakat khususnya di pedesaan jumlah tersebut cukup memberatkan4. Ketidak tahuan masyarakat akan informasi yang benar tentang masalah biaya pengurusan tanah, serta ditambah banyaknya calo yang berkeliaran mencari mangsa membuat masyarakat menjadi sasaran para calo
Sudikno Mertokusumo, Hukum dan Politik Agraria, Universitas Terbuka, Dep. P dan K, Jakarta, 1998 : Hal. 9.8 Erna Sri Wibawanti, Peran serta Masyarakat Dalam Pendaftaran Tanah, Forum Hukum, Universitas Janabadra Yogyakarta, 2005. hal.16
3
untuk mencari keuntungan dengan menarik biaya yang tinggi. Keluhan masyarakat mengenai pengurusan sertifikat tanah yang sulit, mahal dan berbelit-belit serta ditambah dengan keterbatasan pengetahuan masyarakat mengenai pengurusan sertifikat tanah tersebut pada akhirnya menyebabkan mereka menggunakan jalan pintas dengan jasa percaloan. Calo merupakan pihak perantara yang lebih mementingkan keuntungan sendiri sehingga tidak peduli apakah nantinya ada masyarakat yang dirugikan dengan jasa pelayanannya (lebih mahal, lebih lama, kurang jelas, dll). Akibat ulah calo yang kurang pro fesi onal ini lah Kantor Pertanahan secara tidak langsung terkena efek buruknya. Masyarakat menganggap sulitnya pengurusan sertifikat tanah berasal dari pihak Kantor Pertanahan, padahal itu semua adalah ulah dari calo yang kurang profesional tadi. Banyak keluhan-keluhan yang dialamatkan ke Kantor Pertanahan. Selanjutnya dapat dipastikan Kantor Pertanahan tidak bisa melaksanakan atau memproses permohonan sertifikat tanah dari masyarakat karena memang belum menerima berkas permohonannya atau dengan kata lain berkas-berkas tersebut masih tertahan di pihak calo. Oleh karena itu, Kantor Pertanahan kemudian mencari cara untuk memutus rantai percaloan ini dan membuat sebuah terobosan pelayanan pertanahan jemput bola bernama Larasita. Melalui Larasita masyaraka memperoleh pelayanan dan informasi pertanahan secara langsung, lebih cepat, tertib, jelas dan tidak perlu jauh-jauh mendatangi Kantor Pertanahan. Mereka bisa menjangkau Larasita yang langsung masuk ke desa-desa. Kejelasan
5
pelayanan, informasi dan kemudahan untuk menyampaikan keluhan-keluhan dan langsung ditanggapi oleh petugas terkait membuat keberadaan Larasita memang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. 2. Sekilas Tentang Larasita Dalam rangka memudahkan masyarakat untuk memperoleh sertifikat, khususnya masyarakat di pelosok yang jauh dari Kantor Pertanahan, Pemerintah, dalam hal ini BPN membuat suatu program baru guna membantu masyarakat untuk mengurus sertifikat secara mudah dan murah, yaitu berupa program Larasita (Layanan Rakyat untuk Sertifikasi Tanah). Layanan Rakyat untuk Sertifikasi Tanah atau Larasita ini diselenggarakan oleh BPN dalam rangka memberikan pelayanan masyarakat dibidang pertanahan, secara jemput bola, karena petugas akan mendatangi rakyat, menembus daerah yang sulit dijangkau. Dengan Larasita maka kebutuhan masyarakat di bidang pertanahan dapat terlayani secara cepat, tertib, murah dan dapat dipertanggung jawabkan. Larasita sebenarnya sudah ada sejak tahun 2006. Gagasan sistem Larasita berawal dari Kantor Pertanahan Kabupaten Karanganyar Jawa Tengah dan diresmikan oleh Bupati Karanganyar pada tanggal 16 Desember 2006. Pada awalnya hanya satu mobil sebagai uji coba dan dananya berasal dari APBD Karanganyar. Tahun pertama program ini berhas il meningkatkan pelayanan dari biasanya 2000-an menjadi 8000-an sertipikat tanah. Keberhasilan ini mendatangkan dukungan terhadap sistem ini dari Komisi II DPR RI. 5 Larasita kemudian dijadikan sebagai program nasional yang direncanakan akan dilakukan diseluruh wilayah Indonesia.
rahman silaen, http://gambiri..wordpress.com, larasita-atasi-calo-tanah, diakses tgl 20 April 2010
4
Medio Desember th 2008 lalu Presiden Susilo Bambang Yudoyono meresmikan sekaligus melaunching program baru dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang berupa Larasita (Layanan rakyat untuk sertifikasi tanah) ini di kawasan wisata candi Prambanan. Keberadaan Larasita ini kemudian dituangkan dalam Keputusan Kepala BPN No. 18 Th 2009, yang merupakan dasar hokum dari pelaksanaan Larasita di Indonesia ini. Menurut Joyo Winoto, Kepala BPN, Ada tiga alasan mengapa Larasita dilaunching sebagai program nasional oleh presiden Susilo Bambang Yudoyono, yaitu: 1). Diperkirakan di Indonesia saat ini terdapat 85 juta bidang tanah, yang sampai akhir 2005 baru 31% (26,3 juta) yang sudah bersertifikat, yang ini berarti masih ada 69% potensi ekonomi dan politik yang belum masuk dalam sistem ekonomi dan politik Negara. Negara berkepentingan untuk membangkitkan atau membangunkan asset-aset masyarakat yang tidur. Untuk itu perlu terobosan-terobosan yang dapat mempercepat legalisasi aset-aset masyarakat agar aman dan dapat dimasukkan dalam sistem ekonomi dan politik Negara. 2). Di Negara ini terlalu banyak orang yang memiliki atau menguasai tanah terlalu sedikit bahkan tidak menguasai sama sekali, tetapi juga ada yang menguasai aset yang terlalu banyak, sehingga ada ketidak adilan 3). Keluhan masalah waktu yang tidak jelas kapan penyelesaiannya dari urusan pertanahan serta biaya yang mahal. Setelah ditelusuri ternyata masalahnya adalah adanya calo yang menyebabkan ketidakpastian waktu
6
penyel esai an dan biaya dapat dipastikan mahal.6 Dengan alasan itulah perlu ada program baru dengan melakukan terobosanterobos an dengan cara penataan infrastruktur, penataan proses, pelayanan percepatan, prosedur, kepastian waktu. Cara yang terbaik adalah dengan jemput bola dengan memindahkan kantor pertanahan yang berada di pusat kota menjadi didepan pintu rumah masyarakat dan program tersebut disebut dengan LARASITA Larasita yang telah diujicobakan di 14 Kabupaten/Kota sejak tahun 2006 telah mampu melayani masyarakat pedesaan dengan baik. Hingga akhir tahun 2008, Larasita telah dikembangkan di 124 Kabupaten/Kota, dan tahun 2008 ini Larasita dijadikan program nasional dengan menambah jangkauan Larasita di 134 kabupaten atau kota, sehingga akhir tahun 2009 sekitar 60% wilayah Indonesia telah terjangkau program ini. Dengan adanya Larasita diharapkan percaloan di bidang pertanahan yang menyebabkan tingginya/ mahalnya pengurusan sertifikat dapat dihapus. Apabila selama ini masyarakat enggan mendaftarkan tanahnya karena mengangap urusan pertanahan adalah urusan yang berbelit-belit, biaya mahal dan memakan waktu lama, maka dengan Larasita ini anggapan masyarakat tersebut oleh pemerintah dicoba untuk dihapuskan. Mudah karena dengan Larasita petugas yang mendatangi masyarakat, masyarakat dapat secara langsung berurusan dengan petugas yang ada dilokasi, dengan demiki an masyarakat tidak perlu mendatangi kantor pertanahan yang mungkin jaraknya jauh dari tempat tinggalnya.
[email protected], 29 januari 2009
5
Murah atau biaya lebih ringan karena dengan Larasita maka praktek percaloan dalam pengurusan tanah yang menyebabkan biaya menjadi mahal dapat dihindari.7 Masyarakat dapat mendatangi petugas yang datang ke kantor-kantor kepala desa dimana petugas Larasita telah siap untuk melayani masyarakat yang mengurus tanahnya, tanpa harus melalui pihak lain. Disamping itu keberadaan petugas Larasita yang mendatangi masyarakat dapat menghemat biaya transportasi yang harus dikeluarkan warga masyarakat. Program ini memadukan teknologi informasi dengan layanan petugas Badan Pertanahan Nasional dalam bentuk pelayanan bergerak. Petugas melayani masyarakat dipedesaan dengan sarana kendaraan bermotor yang pada saat ini berupa mobil. Meskipun demikian tidak menutup kemungkinan Larasita juga akan menggunakan sarana sepeda motor bahkan juga dengan perahu seperti yang dilakukan dipulau seribu, bahkan apabila desa tidak bisa dijangkau kendaraan bermotor, petugas akan berjalan kaki menuju lokasi. Layanan ini memberikan kemudahan serta akses yang murah dan cepat. Dengan teknologi informasi, pengelolaan data sertifikasi menjadi akurat sehingga terwujud kepastian hukum. Kendaraan roda empat (klien node) yang berfungsi sebagai mobile front office, yang dilengkapi dengan perangkat teknologi informasi dan komunikasi berkualifikasi emobile, lengkap dengan teknologi WiFi dan akses internet. Petugas BPN menerima pelayanan pertanahan dalam mobil Larasi ta dan data-data pel ayanan terkoneksi langsung (secara on line) dengan server Land Office Computeization (LOC) di Kantor Pertanahan.8 7 8
3. Tujuan dan Manfaat Larasita Apabila sel ama ini urus an pertanahan masih menjadi “momok” bagi masyarakat, di samping mas ih dirasakannya urusan yang berbelit-belit, biaya mahal, masalah tanah juga sering menjadi sumber sengketa dal am masyarakat. Jauhnya Kantor Pertanahan juga menjadi masalah tersendiri bagi masyarakat pedesaan yang bertempat tinggal jauh dari letak Kantor Pertanahan. Hal ini menyebabkan mereka juga enggan untuk mengurus tanahnya, karena harus mengeluarkan biaya transport yang bagi masyarakat ekonomi lemah tentunya menjadi beban tersendiri. Oleh karena itu keberadaan Larasita diharapkan merubah pandangan masyarakat akan hal tersebut dan juga membangkitkan minat masyarakat untuk mau mendaftarkan tanahnya. Pada peluncuran program Larasita, Presiden Susilo Bambang Yodhoyono meminta agar BPN terus berbenah diri dan terus melaksanakan kebijakan pertanahan yaitu: (1) pertanahan harus berkontribusi secara nyata untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan melahirkan sumber-sumber baru kekakmuran rakyat, (2) pertanahan harus berkontribusi secara nyata untuk meningkatkan tatanan kehiduan bersama yang lebih berkeadilan dalam kaitannya dengan pemanfaatan, penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah, (3) pertanahan harus berkontribusi secara nyata dalam menjamin keberlanjutan sistem kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan Indonesia dengan memberikan akses seluas-luasnya pada generasi akan datang pada sumbersumber ekonomi masyarakat dan (4) pertanahan harus berkontribusi secara nyata dalam menciptakan tatanan kehidupan bersama secara harmonis
[email protected], 29 januari 2009 rahman silaen, http://gambiri..wordpress.com, larasita-atasi-calo-tanah/, diakses tgl 20 April 2010
6
dengan mengatasi berbagai sengketa dan konflik pertanahan di seluruh tanah air dan menata sistem pengelolaan yang tidak lagi melahirkan sengketa dan konflik di kemudian hari.9 Keberadaan Larasita diharapkan kebijakan pertanahan tersebut dapat terealisir dengan baik dan “momok” masyarakat dalam pengurusan tanah dapat dihilangkan. Tujuan utama diluncurkannya Program Larasita adalah percepatan sertifikasi tanah sehingga akan mampu mencegah dan menanggulangi konflik konflik pertanahan yang acapkali bergulir di masyarakat. Mes kipun pendaftaran tanah (pensertifikatan tanah) pada dasarnya merupakan tugas dari pemerintah (sebagaimana disebutkan dalam Pasal 19 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yaitu dengan melakukan pendaftaran tanah secara sistematik10 Akan tetapi sel ama pemerintah belum dapat melaksanakan pendaftaran tanah di seluruh wi layah Indonesia secara sistematik dengan menggunakan biaya dari pemerintah, maka kepada warga mas yarakat dimungki nkan untuk mendaftarkan tanahnya secara individual dengan biaya yang ditanggung sendiri, yaitu dengan melakukan pendaftaran tanah yang disebut dengan pendaftaran tanah secara sporadik11 Pendaftaran tanah secara sistematik diutamakan, tetapi karena prakarsanya datang dari pemerintah dengan biaya dari pemerintah, maka diperlukan waktu untuk memenuhi dana, tenaga dan peralatan yang diperlukan, o leh karena i tu
pendaftaran tanah secara sporadik juga akan ditingkatkan pelaksanaannya.12 Melalui Larasita inilah masyarakat diharapkan dapat mendorong masyarakat untuk mau pendaftarkan tanahnya (mensertifikatkan tanahnya) dengan inisiatif dan biaya sendiri (pendaftaran tanah secara sporadik). Dengan Larasita pengurusan sertifikasi tanah lebih mudah dijangkau, murah, dan bebas dari usaha usaha makelar atau percaloan yang selama ini selalu mewarnai proses pengurusan tanah di Indonesia. Karena sistemnya yang “jemput bola” atau mendatangi warga, tentunya akan lebih banyak warga yang dapat dilayani terutama yang berada di pedalaman dan jauh dari perkotaan. Bahkan, untuk mereka dengan keterjangkauan daerah yang sulit, BPN menyediakan pula Larasita menggunakan motor. Inilah komitmen BPN RI yang memang ingin berubah dari kantor yang pasif menjadi pro akti f melayani masyarakat. Untuk s elanjutnya o leh BPN dinyatakan bahwa Larasita yang dijadikan program nasional mempunyai tujuan sebagai berikut : 1. Membangun kepercayaan masyarakat terhadap BPN RI 2. Mendekatkan pelayanan pertanahan kesemua masyarakat, terutama yang secara geografis mempunyai kendala untuk mendatangi Kantor Pertanahan 3. Menghilangkan peran pihak ketiga dalam pelayanan pertanahan 4. Mengurangi terjadinya konfl ik pertanahan 5. Mencapai target sertifikat bidang tanah nasional
9
rahman silaen, http://gambiri..wordpress.com, larasita-atasi-calo-tanah/, diakses tgl 20 April 2010 pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak yang meliputi semua obyek pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam wilayah atau bagian wilayah desa/kelurahan. Pendaftaran tanah ini diselenggarakan atas prakarsa dari pemerintah dengan didasarkan pada rencana kerja pemerintah dan dengan dana dari pemerintah 11 pendaftaran untuk pertama kali mengenai satu atau beberapa obyek pendaftaran tanah dalam wilayah ataua bagian wilayah suatu desa/ kelurahan secara individual atau missal. Pendaftaran tanah ini dilakukan atas inisiatif sendiri dari pemilik tanah dan biaya ditanggung sendiri. 12 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah penyusunan UUPA, Isi dan Pelaksanaannya, Jakarta, Jambatan, 2007, hal 475 10
7
6. Memini mali sir bias informasi pertanahan kepada masyarakat. Sedangkan adanya Larasita ini diharapkan akan memberi manfaat sebagai berikut: 1). Mas yarakat secara l angs ung menikmati pelayanan yang terukur, jelas, terang dan mudah 2). Meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap kinerja birokrasi, khususnya BPN RI 3). Mewujudkan komitmen pemerintah dalam mewujudkan pelayanan kepada masyarakat yang lebih baik, mudah dan terjangkau 4). Memberikan kepastian hukum dan proses serta memudahkan bagi masyarakat yang hendak melakukan sertifikasi tanah 5). Memotong mata rantai pengurusan sertifikat tanah dan meminimalisir biaya pengurusannya 6). Meningkatkan nilai manfaat birokrasi kepada masyarakat 7). Sebagai karya ino vasi dal am pelayanan publik yang bisa mendorong kreatifitas pelayanan oleh aparatur Negara kepada rakyat. 4. Bentuk Layanan : Sesuai dengan namanya Larasita yaitu Layanan Rakyat untuk Sertifikasi Tanah dan latar belakang lahirnya, Larasita memang lebih ditujukan untuk percepatan sertifikasi tanah agar tanah-tanah yang ada di wilayah Indonesia segera terdaftar guna mencegah terjadinya konflik dibidang pertanahan yang sering kali muncul dalam masyarakat. Dalam perkembangannya sesuai dengan komitmen dari BPN bahwa Larasita akan memberikan berbagai layanan pertanahan bagi masyarakat seperti layanan yang diberikan oleh Kantor 13
Pertanahan. Larasita diharapkan dapat memberikan segala layanan pertanahan yang diperlukan masyarakat, baik pendaftaran tanah untuk pertama kali (pensertifi katan tanah) maupun pendaftaran tanah dalam rangka pemeliharaan data, yaitu pendaftaran tanah yang dilakukan terhadap tanah-tanah yang pernah didaftar akan tetapi terjadi perubahan, karena adanya perbuatan hukum tertentu seperti misalnya, adanya jual beli, hibah ataupun warisan, serta urusan pertanahan lainnya. Kepala BPN Joyo Winoto mengatakan “ ketika kita tidak mungkin mendirikan kantor-kantor pertanahan sampai di tingkat desa, maka Larasita hadir untuk memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat di pedesaan. Pada dasarnya Larasita adalah kantor pertanahan yang bergerak dan hampir semua pelayanan pertanahan di kator pertanahan dapat dilakukan dengan program ini”. Larasita diharapkan mampu memfas ilitasi percepatan program-program pertanahan yakni legalisasi pertanahan, reforma agraria, pengurusan tanah terlantar dan penyelesaian sengketa dan konflik pertanahan13. Meskipun Larasita dimaksudkan untuk membantu segala urus an pertanahan, akan tetapi kenyataan yang ada Larasita masih terbatas dalam memberikan layanan pendaftaran tanah untuk pertama kali atau pensertifikatan tanah. Untuk urusan lain masih belum bisa dilayani, sebagaimana yang diungkapkan oleh warga cilandak Jakarta Selatan yang mengel uhkan bahwa permohonan peningkatan haknya dari HGB menjadi Hak Milik ditolak oleh petugas Larasita. Kepala Seksi Pengendalian dan Pemberdayaan Masyarakat Badan Pertanahan Nasional
http:/www.landpolicy.or.co.id, Larasita atasi Percaloan Tanah, 10 januari 2009
8
(BPN) Jakarta Selatan Gunaryo mengakui, program Larasita memang tidak dapat melayani peningkatan hak. Karena tidak semua berkas dibawa dalam mobil Larasita. Menurutnya, Larasita hanya melayani pembuatan sertifikat pertama14. Karena masalah pertanahan tidak hanya terbatas pada pensertifikatan tanah saja, maka kedepannya Larasita harus bisa melayani segala urusan pertanahan sebagaimana yang dapat dilayani di Kantor Pertanahan. 5. Faktor Pendukung Keberhasilan Larasita Sebagai pro gram baru yang mempunyai tujuan untuk mempermudah masyarakat dalam mengurus tanah, maka Larasita perlu didukung oleh banyak faktor agar program tersebut dapat berjalan dengan lancar sesuai dengan tujuannya. Adapun faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut : a. Sarana Kendaraan bermotor Larasita adalah pel ayanan bergerak, dimana petugas mendatangi masyarakat, maka sarana yang berupa kendaraan bermotor sangatlah diperlukan. Larasita yang dilakukan saat ini menggunakan sarana berupa kendaraan roda 4 (mobil) dan juga perahu seperti yang dilakukan di kepulauan seribu. Mobil dan perahu memang sangat mendukung pelaksanaan Larasita berhubung kendaraan inil ah yang dapat membawa perlengkapan yang berupa peralatan Teknologi Informasi dan Ko muni kasi yang dibutuhkan. Pengadaan kendaraan untuk operasional Larasita tentunya perlu anggaran tersendiri , untuk itu pemerintah harus mengganggarkan 14
dana pengadaan kendaraan bermotor yang dibutuhkan. Jumlah kendaraan yang memadai dan sesuai dengan medan s angat mendukung keberhasilan Larasita sehingga layanan Larasita dapat merata diseluruh pelosok tanah air. Selama ini masih ada keluhan masyarakat bahwa pemerintah pilih kasih dalam layanan Larasita, karena daerahnya tidak terjangkau Larasi ta. Al as an pemerintah tidak bisa menjangkau seluruh wilayah karena terbatasnya kendaraan untuk layanan haruslah dapat diatasi. Pada dasarnya tujuan dari Larasita adalah memberikan layanan secara jemput bola bagi masyarakat yang ada di pelosok, maka bagi daerah-daerah pelosok yang tidak mungkin dilalui kendaraan roda 4, maka alternatif sarana kendaraan yang dapat digunakan adalah roda 2 (motor). Memang ada keterbatasan sarana kendaraan roda 2 ini karena tidak dapat mengangkut perlengkapan yang diperlukan. Meskipun demikian bukanlah menjadi halangan bagi pemerintah dalam hal ini BPN untuk terus memberikan layanan secara maksimal kepada masyarakat yang ada dipelosok dengan berbagai cara agar tujuan yang telah ditetapkan bisa terwujud. b. Teknologi Informasi Faktor penting untuk kelancaran program ini adalah adanya teknologi yang memadai, yang dapat memberikan informasi secara lengkap, cepat dan akurat. Teknologi informasi akan memberikan data yang akurat sehingga kesalahan data dapat
http:// www.beritajakarta.com/Warga Keluhkan Pelayanan Larasita BPN JakSel, diakses tgl 20 Desember 2010
9
dihindari dan kepastian hukum akan tercapai. Sistem komputerisasi yang canggih dan siap on line setiap saat sangat mendukung percepatan proses pengurusan tanah melalui Larasita ini. Sarana dan prasarana harus mendukung, sumber daya manusia yang ahli juga harus dipersiapkan, sehingga Larasita yang tujuannya adanya mempercepat proses pelayanan pertanahan dapat terwujud. Larasita adalah layanan yang dikembangkan dengan menerapkan sistem komputerisasi dimaksudkan untuk menjangkau daerah-daerah yang jauh dari kantor pertanahan. Sehingga masyarakat tidak perlu jauh-jauh dalam rangka pensertifikatan tanahnya. Larasita merupakan layanan sistem front office mobile secara online dengan kantor pertanahan setempat. Seluruh proses layanan dari mobil Larasita saat itu juga langsung terdata di kantor pertanahan. Mobil Larasita merupakan duplikasi dari Kantor Pertanahan yang menjelma dalam bentuk mobil keliling dengan akses dan gerak cepat mengunjungi dan melayani sertifikasi pertanahan dari masyarakat. Setiap unit mobil di lengkapi dengan peralatan Teknologi Informasi dan Komunikasi yang meliputi Laptop mobile, printer, perangkat teknologi wireless komunikasi s istem mo bi le (bergerak). Perangkat tersebut menjadi fasilitas utama bagi petugas untuk meng-entry data, melayani pendaftaran yang dapat diakses langsung ke Kantor Pertanahan. Dengan memanfaatkan fasilitas
15
internet (VPN), apa yang terjadi dan diproses dalam Larasita akan terekam langsung ke kantor pertanahan. Seluruh tahapan mulai pendaftaran, entry data dan pemrosesan langsung terekam di Kantor Pertanahan. Data dan berkas yang terjadi dalam proses layanan dari mobil langsung terdata di BPN setempat.15 c. Sumberdaya Manusia Sumberdaya manusia, dalam hal ini petugas dari Kantor Pertanahan yang ahli, trampil dan jujur adalah faktor penting agar tujuan Larasita dal am memberikan pelayanan pertanahan kepada masyarakat secara cepat dan murah dapat tercapai. Larasita adalah pelayanan berupa jemput bola, maka disini perlu adanya peran aktif dari para petugas dari Kantor Pertanahan untuk mau mendatangi kepada masyarakat secara tepat waktu dan ruti n. Disamping itu kejujuran, kemampuan/ keahlian petugas dalam melayani mas yarakat juga mendukung keberhasilan program ini. Larasita ini menggunakan teknologi Informasi yang modern, maka petugas yang menguasai teknologi sangatlah diperlukan agar data-data yang diperlukan dapat tersedia dengan lengkap serta dapat diakses secara cepat, tepat dan akurat. Petugas yang akan diterjunkan dilapangan untuk melayani masyarakat dalam program Larasaita haruslah benar-benar dipersiapkan dengan sungguh-sungguh, karena pelayanan dengan Larasita berbeda dengan pelayanan di Kantor Pertanahan. Petugas Larasita harus terjun ke
http://eleveners.wordpress.om,/larasita ,diakses tgl 20 Februari 2010
10
lapangan mendatangi masyarakat yang kemungkinan jarak dan medannya berat. Petugas yang mau bekerja keras, jujur dan dapat dipercaya sangatlah dibutuhkan agar dalam memberikan pel ayanan kepada masyarakat dapat memotifasi dan mendoro ng masyarakat untuk mengurus tanahnya. Petugas harus memberi kan informasi yang jelas dan transparan baik mengenai persyaratan, prosedur, biaya dan lama waktu pengurusan, agar masyarakat tahu apa yang harus mereka persiapkan, berapa biaya yang harus mereka bayar dan berapa waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaiakn urusan tanahnya. Informasi yang lengkap dan akurat juga perlu disampaikan kepada masyarakat berkaitan dengan layanan Larasita, baik mengenai jadwal kunjungan mobil Larasita di kecamatan/desa setempat. Juga perlu di informasikan secara lengkap persyaratan-persyaratan yang diperlukan untuk pengurusan tanah kepada masyarakat. Selama ini lamanya pengurusan sertifikat yang dirasa berlarut-larut, salah satu penyebabnya adalah kurangnya informasi s ecara jelas kepada masyarakat sehingga menyebabkan ketidak lengkapan persyaratan yang dibutuhkan, sehingga warga masyarakat harus bolak-balik untuk melengkapi persyaratan yang diperlukan. d. Kesiapan Desa Pensertifikatan tanah tidak bisa lepas dari peran desa dal am menyediakan data awal untuk proses sertifikasi tanah. Pendaftaran tanah untuk pertama kali dalam rangka pensertifikatan tanah diperlukan data-
data yang ada di Desa seperti misalnya kutipan Letter C. Peran desa untuk menyediakan data ini sangat menentukan kelancaran program Larasita, sebab apabila desa tidak tersedia data yang dibutuhkan, maka sertifikasi tanah akan terhambat. Untuk itu ketersediaan data dan berkas yang ada di desa haruslah dapat secara mudah tersedia. Peran perangkat desa dalam memberikan pelayanan dalam memberikan data untuk keperluan sertifikasi tanah sangat mendukung keberhasilan program Larasita. Cepat lambatnya sertifikasi tanah juga ditentukan tersedia tidaknya data awal yang ada di Desa. Disamping itu pemberian informasi oleh desa kepada warganya mengenai keberadaan Larasita, jadwal keberadaan Larsita serta persyaratan yang diperlukan, sangatlah membantu masyarakat untuk memperlancar urusan tanahnya yang akan dilayani melalui Larasita. C. PENUTUP Larasita yang dikembangkan di Karanganyar adalah embrio bagi terwujudnya pelayanan pertanahan secara nasional. Tentu saja untuk keperluan itu perlu ada pembenahan dan penyempurnaan peraturan perundangundangan yang ada untuk mendukung pelaksanaannya, termasuk pembinaan sumber daya manusia dan pengadaan infrastrukturnya. Semua ini pasti terwujud apabila jajaran Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia mempunyai komitmen untuk menjadikan lembaga ini berkembang sesuai dengan tuntutan jaman dan kemajuan teknologi. Pemberian informasi dan pengetahuan kepada masyarakat akan segala sesuatu mengenai sertifikasi tanah sangatlah diperlukan agar masyarakat
11
terdorong untuk mau mensertifikatkan tanahnya. Menurut penelitian Suharno, dari berbagai faktor pendorong kepala rumah tangga terhadap pensertifikatan tanah, faktor pengetahuan mengenai arti pentingnya sertifikatlah yang paling dominan terhadap perilaku kepala rumah tangga untuk mau mensertifikatkan tanahnya. 16
Kedepannya perlu juga dipikirkan adanya kerjasama antara BPN dengan para Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) berhubung layanan Larasita kedepannya juga mencakup pendaftaran tanah karena adanya perbuahan data seperti karena jual beli, hibah serta perbuatan hukum lainnya.
Daftar Pustaka Boedi Harsono, 2007, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, Erna Sri Wibawanti, 2005, Peran Serta Masyarakat Dalam Pendaftaran Tanah, Forum Hukum, Universitas Janabadra Yogyakarta. Maria S.W. Soemardjono, 2001, Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan Implementasi, Kompas, Jakarta Sudikno Mertokusumo dkk, 1998, Hukum dan Politik Agraria, Dep. Pdan K Universitas Terbuka, Jakarta Suharno, 2002, Persepsi Masyarakat Terhadap Pensertifikatan Tanah (Kasus di Desa Girikerto Kecamatan Turi Kabupaten Sleman), dalam jurnal pertanahan Bhumi, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional, Yogyakarta. Media Massa Renvoi, Presiden SBY Launching Larasita di Prambanan, No 8.68, 3 januari 2009 Internet :
[email protected] , 29 januari 2009 http:/www.landpolicy.or.co.id, Larasita atasi Percaloan Tanah, 10 januari 2009 http:// www.beritajakarta.com, Warga Keluhkan Pelayanan Larasita BPN JakSel, 20 Desember 2010 rahman silaen, http://gambiri..wordpress.com, larasita-atasi-calo-tanah, diakses tgl 20 April 2010 http://eleveners.wordpress.com/2010/01/18/larasita diakses tgl 20 Februari 2010
16
Suharno, Persepsi Masyarakat Terhadap pensertifikatan tanah (kasus di desa Girikerto Turi Kabupaten Sleman), dalam “Bhumi”, Jurnal Pertanahan Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional, 2002, hal.12
12
AKIBAT PERCERAIAN TERHADAP HAK ASUH ANAK (Tinjauan atas Putusan Pengadilan Negeri Sleman Nomor 50/Pdt.G/2009/PN Slmn) Oleh : Faisal Luqman Hakim*
Abstract The Divorce which happens always bring the legal consequences, for the husband, wife, or children. Legal consequences occur against children in the event of divorce usually is about parental rights. The Law No. 1 of 1974 on Marriage and Government Regulation No. 9 of 1975 as the implementing rules do not expressly regulate the custody of the child who will be charged in case of divorce of his parents. This paper would like to know, especially in terms of child custody filing jointly conducted with the divorce action in the event of a divorce on a marriage and within marriage are children, then to whom the real party is entitled to be charged over child custody. This study was based on personal experience of the authors who have dealt with a divorce case, in which the author acted as defense attorney conventions. The results obtained a conclusion that if there is a dispute concerning child custody, then custody of the child can given to anyone, could be to the father, mother, or for any others based on reasons for revocation of authority over a child or more at the request of the other parent, the other parent is shirking of his duty to their children and bad behaviour. Keywords: Divorce, child custody, revocation of power over children.
A. PENDAHULUAN Percerai an memang selalu menjadi fenomena menarik untuk diperbincangkan dan dilakukan penelitian. Banyak cerita dan faktor yang menjadi penyebab percerai an. Dari mul ai percekcokan kecil, faktor ekonomi, sampai perselingkuhan. Terjadinya perceraian tentunya akan memunculkan akibat. Dan akibat
percerai an yang pal ing seri ng dipermasalahkan adalah mengenai harta dan hak asuh anak. Mengenai harta, dalam undang-undang sudah diatur bahwa terhadap harta bawaan atau harta yang didapat sebelum terjadinya perkawinan atau harta yang diperoleh sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing1 dan terhadap harta yang di dapatkan s el ama perkawinan dilangsungkan menjadi harta bersama2,
* Dosen Universitas Islam Negeri Yogyakarta 1 Pasal 35 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 2 Pasal 35 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
13
kecuali sudah ada perjanjian kawin yang mengatur masalah harta. Sedangkan mengenai hak asuh anak di dalam Pasal 41 a Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa “Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya.” Pasal tersebut diatas tidak menyebutkan secara tegas mengenai akibat perceraian terhadap anak. Perceraian yang kemudian terjadi pastilah menyisakan permasalahan kepada siapa tanggung jawab pemeliharaan anak tersebut akan dibebankan. Memang tidak akan menjadi suatu masalah jika para pihak telah bersepakat siapa nanti yang bertanggung jawab akan pemeliharaan anak. Namun lain halnya jika para pihak tidak bersepakat akan adanya hak asuh anak, maka Pengadilan lah yang diberikan kewenangan untuk memberikan keputusan. Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 sebagai peraturan pelaksana UU Nomor 1 Tahun 1974 juga tidak menyebutkan secara tegas kepada siapa hak asuh anak nantinya akan dibebankan jika terjadi suatu perceraian. Pada Pasal 25 ayat (2) PP 9 Tahun 1975 dinyatakan bahwa : “Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat, Pengadilan dapat : a. Menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami; b. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak; c. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak
14
bersama suami-isteri atau barangbarang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak isteri.” Jika kita cermati, Pasal tersebut di atas juga tidak s ecara tegas menyebutkan mengenai hak asuh anak akan dibebankan kepada siapa jika terjadi perceraian terhadap kedua orang tuanya. Pada point b hanya disebutkan pengadilan dapat menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak. Tetapi hal tersebut pun masih jauh dari suatu kepastian mengenai siapa yang lebih berwenang untuk dibebankan hak asuh anak. Karena jika demikian adanya, dapat diinterpretasikan bahwa tidak selalu hak asuh anak akan jatuh kepada ayah atau ibunya, namun bisa kepada pihak ketiga jika memang Pengadilan memandang bahwa ayah atau ibunya tidak dapat mel akukan pemeliharaan dan pendidikan dengan baik. Dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 pada Pasal 49 ayat (1) disebutkan bahwa: “Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus keatas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal : a. la sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya; b. la berkelakuan buruk sekali.” Pada Pas al ters ebut dapat diartikan bahwa Pengadilan juga dapat menjatuhkan hak asuh anak tidak kepada salah satu dari orang tua si anak, namun
dapat diberikan kepada pihak ketiga di luar orang tuanya. Tulisan ini ingin mengkaji lebih dalam terutama dalam hal pengajuan permohonan hak asuh anak yang dilakukan bers ama-sama dengan gugatan perceraian jika terjadi suatu perceraian atas sebuah perkawinan dan di dalam perkawinan tersebut terdapat anak, maka kepada siapa sebenarnya pihak yang lebih berhak untuk dibebankan hak asuh anak tersebut. Karena di dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan PP Nomor 9 Tahun 1975 sebagai aturan pelaksananya tidak disebutkan secara tegas. B. PERKAWINAN KUHPerdata tidak menyebutkan defi ni si secara jel as mengenai perkawinan. Perkawi nan menurut KUHPerdata hanya dipandang dalam hubungan-hubungan perdata.3 Sedangkan mengenai asas perkawinan menghendaki adanya kebebasan kata sepakat antara kedua calon suami-isteri.4 Pasal tersebut hendak menyatakan bahwa suatu perkawinan yang sah, hanyalah perkawinan yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam KUHPerdata.5 Sedangkan dasar dari perkawinan yang dilaksanakan oleh calon suami-isteri adalah dibebaskan menurut kesepakatan yang dibuat oleh calon suamiisteri tersebut. Sudah barang tentu kebebasan itu tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum, dan kesusilaan. Beberapa sarjana juga memberikan definis i mengenai perkawinan. Definisi tersebut antara lain:6
1. Perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama. (Subekti) 2. Perkawinan adalah suatu hidup bersama dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, yang memenuhi syarat-syarat yang termasuk dalam peraturan Hukum Perkawinan. (Wirjono Prodjodikoro) 3. Perkawinan adalah suatu hubungan antara orang wanita dan pria yang bersifat abadi. (So ediman Kartohadiprodjo) Pengertian perkawinan menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.7 Jadi perkawinan adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang wanita yang saling mencintai untuk membentuk rumah tangga/keluarga yang bahagia dan kekal. Penulis sengaja memberikan penambahan kata saling mencintai , sebab ji ka perkawinan dilakukan tanpa ada rasa saling mencintai maka perkawinan itu tidak akan bahagia dan kekal. Hal ini berarti bahwa perkawinan itu berlangsung untuk seumur hidup, cerai diperlukan syarat-syarat yang ketat dan merupakan jalan terakhir, dan suami istri membantu untuk mengembangkan diri. Suatu keluarga dikatakan bahagia apabila terpenuhi dua kebutuhan pokok, yaitu kebutuhan jasmaniah dan rohaniah. Termasuk kebutuhan jasmaniah adalah seperti sandang, pangan, papan,
3
Pasal 26 Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pasal 27 Kitab Undang-undang Hukum Perdata Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta, Intermasa, hlm. 23 6 P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia, Jakarta, Djambatan, hlm. 38 7 Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 4 5
15
kesehatan, dan pendidikan, sedangkan esensi kebutuhan rohaniah, contohnya adanya seorang anak yang berasal dari darah daging mereka sendiri.8 Seperti juga yang dikatakan oleh K. Wantji k Saleh, bahwa perkawinan disamping sebab-musabab yang dapat diterima oleh akal, juga telah ditentukan terlebih dahulu sebab bolehnya sesuatu perkawinan itu diputuskan atau terpaksa terputus, yang juga dapat diartikan bahwa perkawinan itu haruslah berlangsung seumur hidup dan tidak boleh diputuskan begitu saja.9 Karena perkawinan adalah suatu ikatan suci, bukan hanya sekedar suatu hubungan layaknya dua pihak yang membuat perjanjian. Namun perkawinan dapat terjadi karena adanya alasan yang mendasari nya. Itulah haki kat dari perkawinan. Hakikat perkawinan itu bukan sekedar ikatan formal belaka, tetapi juga ikatan batin. Hendaknya pasangan yang sudah resmi sebagai suami istri juga merasakan adanya ikatan batin, ini harus ada, sebab tanpa itu perkawinan takkan punya arti, bahkan akan menjadi rapuh. Hal inilah yang membedakan dengan hakikat perkawinan menurut KUHPerdata.10 Seperti yang telah diungkapkan di atas , bahwa perkawinan dal am KUHPerdata adalah hanya dipandang dalam hubungan-hubungan perdata, sehi ngga dapat di katakan bahwa perkawinan merupakan hubungan hukum antara pihak-pihak yang terikat dalam perkawinan. Hubungan tersebut didasarkan pada persetujuan di antara mereka dan dengan
8
adanya persetujuan tersebut mereka menjadi terikat.11 Mungki n kemudi an timbul pertanyaan, apa yang dimaksud dengan hubungan-hubungan perdata, menurut Prof. Subekti, i ni berarti bahwa barangsiapa yang tunduk kepada Hukum Perdata Barat (BW) dalam lapangan hukum perkawinannya, maka perkawinan seseorang itu baru dianggap sah apabila dilangsungkan sesuai dengan syaratsyarat, dan ketentuan agama menjadi dikesampingkan.12 Dalam perjanjian biasa, para pihak bebas menentukan isi dari perjanjian yang dibuat oleh mereka sendiri dengan catatan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan, dan ketertiban umum. Hal demikian akan berlaku terhadap setiap perjanjian yang dibuat oleh mereka yang bersangkutan dan perjanjian tersebut berfungsi sebagai undang-undang yang mengikat bagi mereka yang membuatnya.13 Tetapi tidaklah demikian dalam hal perjanjian berupa suatu perkawinan, sekalipun pada hakikatnya perkawinan itu adalah suatu perjanjian juga adanya persetujuan atau perjanjian (perkawinan) itu telah sejak semula ditentukan oleh hukum.14 Mereka itu, pihak pria dan pihak wanita tidak bisa menyimpang dari ketentuan-ketentuan dan akibat-akibat yang timbul dari suatu perkawinan. 15 Mereka harus taat pada peraturanperaturan hukum yang berlaku mengenai hak-hak dan kewajiban masing-masing pihak selama dan sesudah hidup bersama
Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 62 K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta, Ghalia, hlm. 15 F.X. Suhardana, Hukum Perdata I, Jakarta, Gramedia, hlm. 90 11 Ibid, hlm. 90 12 Subekti, op cit, hlm. 23 13 Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 5 14 Pasal 6 UU Nomor 1 Tahun 1974 15 Soedharyo Soimin, op cit, hlm. 5 9
10
16
itu berlangsung dan mengenai kedudukan dal am masyarakat dari anak-anak keturunannya, suami istri tidak leluasa menentukan sendiri syarat-syaratnya, melainkan terikat kepada peraturanperaturan yang telah ditentukan.16 Jadi, hakikat perkawinan adalah suatu perjanjian yang diadakan oleh dua orang, dalam hal ini perjanjian antara seorang pria dengan seorang wanita dengan tujuan material, yakni membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal itu haruslah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai asas pertama dalam Pancasila.17 Dalam suatu ikatan perkawinan juga terdapat asas-asas yang mendasari ketentuan-ketentuan dalam Undangundang Perkawinan dan peraturan pelaks anaannya. Asas-asas yang dimaksud adalah persetujuan bebas atau sukarela, partisipasi keluarga, perceraian dipersulit, poligami dibatasi dengan ketat, kematangan calon mempelai, menghargai derajat kaum wani ta, pencatatan perkawinan, perkawinan menurut hukum agama, larangan dan pembatal an perkawinan, serta mengadakan perjanjian perkawinan.18 Asas adalah merupakan hal yang penting. Adanya asas dalam perkawinan dapat menjadi landasan dalam melakukan perkawinan mengenai hal-hal yang diatur di dalamnya. Selain asas, di dalam perkawinan juga diperlukan syarat-syarat. Syarat-syarat itu diperlukan sebagai sahnya suatu perkawinan. Karena berkaitan dengan perkawinan, maka lebih dikenal dengan syarat sahnya perkawinan. Syarat adalah sesuatu yang harus dipenuhi. Sesuatu yang harus dipenuhi itu
bisa juga disamakan dengan kewajiban. Artinya, syarat-syarat untuk tercapainya sesuatu itu wajib hukumnya untuk dipenuhi. Mengenai sah, dapat diartikan sesuatu yang dibolehkan berdasarkan atas dasar yang jelas. Sehingga syarat sah mempunyai makna sesuatu yang diwajibkan untuk tercapainya sesuatu berdasarkan atas dasar-dasar (hukum) yang jelas. Maka syarat sah perkawinan adalah sesuatu yang diwajibkan bagi orang-orang yang akan melakukan perkawinan s ebelum terjadinya perkawinan berdasarkan dasar-dasar (hukum) yang jelas. Pada das arnya tidak s emua pasangan laki-laki dan wanita dapat melangsungkan perkawinan. Namun, yang dapat melangsungkan perkawinan adalah mereka-mereka yang telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan di dalam peraturan perundang-undangan.19 Syarat-syarat perkawinan diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 7 UU Perkawinan. Syarat-syarat perkawinan tersebut adalah sebagai berikut :20 1. Perkawinan harus didasarkan atas perjanjian kedua calon mempelai. 2. Perkawinan yang dilakukan oleh orang yang belum berumur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat ijin orang tua. 3. Dalam hal salah seorang orang tua meninggal dunia, maka ijin cukup dari orang tua yang masih hidup. 4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia, maka ijin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan
16
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Bandung, Sumur, hlm. 8 K. Wantjik Saleh dalam Soedharyo Soimin, op cit, hlm. 6 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Bandung, Citra Aditya Bakti, hlm. 76 19 Salim HS, op cit, hlm. 62 20 Pasal 6&Pasal 7 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 17 18
17
darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup. 5. Apabila ada perbedaan pendapat terhadap orang-orang yang disebut diatas, maka ijin dapat dimintakan kepada Pengadilan dalam daerah hukum dimana bertempat tinggal. 6. Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan wanita 16 tahun. 7. Dalam hal ada penyimpangan terhadap hal diatas, maka dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita. Perkawinan adalah suatu ikatan yang terjadi antara pria dan wanita. Perkawinan di Indonesia hanya mengakui perkawinan yang dilakukan oleh pria dan wanita. Di dalam suatu ikatan perkawinan seorang pria menjadi suami yang bertindak sebagai kepala rumah tangga dan seorang wanita menjadi isteri dari suami tersebut sehingga dalam suatu perkawinan melekat hak dan kewajiban yang dimiliki oleh suami dan isteri. Hak dan kewajiban suami isteri menurut UU Perkawinan adalah sebagai berikut : 1. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama masyarakat, masing-masing berhak untuk melakukan perbuatan hukum, dan suami adalah kepala keluarga dan isteri adalah ibu rumah tangga. (Pasal 31) 2. Suami isteri harus mempunyai kediaman yang tetap yang ditentukan bersama oleh suami isteri. (Pasal 32) 3. Suami isteri wajib saling mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain. (Pasal 33) 4. Suami wajib melindungi isterinya dan
18
memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya, sedangkan isteri wajib mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya, dan jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan. (Pasal 34) Selain hak dan kewajiban antara suami dan isteri, ada juga hak dan kewajiban antara orang tua dan anak. Hak dan kewajiban orang tua dan anak dalam UU No mor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah sebagai berikut : 1. Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka dengan sebaik-baiknya yang berlaku sampai anak itu kawin atau berdiri sendiri. Kewajiban itu tetap melekat meskipun perkawinan kedua orang tuanya putus. (Pasal 45) 2. Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka yang baik dan jika telah dewasa ia wajib memelihara menurut kemampuannya bila mereka memerlukan bantuannya. Pasal 46) 3. Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya dan dalam hal mewakili anak tersebut mengenai perbuatan hukumnya adalah di dalam dan di luar pengadilan. (Pasal 47) 4. Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau belum melangsungkan perkawinan kecuali apabil a kepentingan anak i tu menghendakinya. (Pasal 48) 5. Salah seorang atau kedua orang tua
dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan keputus an Pengadilan dalam hal, ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya dan ia berkelakukan buruk sekali. (Pasal 49) C. PUTUSNYA PERKAWINAN Putusnya perkawinan adalah ikatan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita sudah putus. Putusnya ikatan bisa berarti salah seorang diantara keduanya meninggal dunia, antara pria dengan wanita sudah bercerai, dan salah seorang diantara keduanya pergi ke tempat yang jauh kemudian tidak ada beri tanya sehingga pengadil an menganggap bahwa yang bersangkutan sudah meninggal.21 Putusnya perkawinan berdasarkan UU Perkawinan dapat terjadi karena 3 hal, yaitu kematian, perceraian, dan atas putusan pengadilan. Perceraian hanya dapat di lakukan di depan Si dang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamai kan kedua belah pi hak. Sedangkan untuk melakukan perceraian itu harus cukup alasan dan cukup bukti bahwa antara suami dan isteri itu tidak akan dapat hidup rukun lagi sebagai suami isteri. Adapun alasan pengajuan perceraian diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Alasan itu adalah sebagai berikut:22
1. Salah satu pihak berbuat zinah atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan. 2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturutturut tanpa ijin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya. 3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. 4. Sal ah s atu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain. 5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri. 6. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian.23 Perceraian hanya dapat di lakukan di depan si dang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.24 Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri. 25 Dan mengenai gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan.26 Putusnya perkawinan tentunya menimbulkan konsekuensi. Akibat dari putusnya suatu perkawinan maka kemudian menimbulkan konsekuensi atau
21
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 73 Pasal 19 PP Nomor 9 Tahun 1975 Pasal 114 Kompilasi Hukum Islam 24 Pasal 39 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 25 Pasal 39 ayat 2 UU Nomor 1 Tahun 1974 26 Pasal 40 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 22 23
19
akibat hukum, terutama mengenai kewajiban suami terhadap isteri dan anaknya. Dalam UU Perkawinan disebutkan bahwa baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak. 27 B apak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeilharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu. Bilamana bapak ternyata dalam kenyataannya tidak sanggup memenuhi kewajiban itu maka Pengadilan berhak menentukan bahwa ibu juga ikut bertanggung jawab memikul biaya tersebut.28 Pengadilan juga dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.29 D. KEKUASAAN ORANG TUA DAN PENCABUTAN ATASNYA Pada dasarnya, kekuasaan orang tua, terutama berisi kewajiban untuk mendidik dan memelihara anaknya. Pemeliharaan meliputi pemberian nafkah, pakaian, dan perumahan. Pada umumnya, seorang anak yang masih di bawah umur tidak cakap untuk bertindak sendiri. Berhubung dengan itu, ia harus diwakili oleh orang tua.30 Menurut Pasal 41 UU Perkawinan, bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, maka Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul
27
Pasal 41 (a) UU Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 41 (b) UU Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 41 (c) UU Nomor 1 Tahun 1974 30 Subekti, op cit, hlm. 51 31 P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok, hlm. 178 32 Pasal 49 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 33 Pasal 49 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 28 29
20
biaya tersebut. Pasal 45 UU Perkawinan menyatakan, kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. Kewajiban orang tua ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri.31 Kekuasaan orang tua atas anaknya tersebut tidak berlaku secara mutlak dan sepenuhnya. Adakalanya dapat muncul suatu keadaan yang dapat dijadikan alasan yang kemudian dapat menyebabkan dicabutnya kekuasaan orang tua atas seorang anaknya atau lebih. Mengenai pencabutan kekuasaan orang tua, UU Nomor 1 Tahun 1974 sudah mengaturnya. Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus keatas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya dan ia berkelakuan buruk sekali. 32 Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi bi aya pemel iharaan kepada anak tersebut.33 E. GUGATAN Gugatan adal ah s uatu permohonan yang disampaikan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang, mengenai suatu tuntutan terhadap pihak lainnya, dan harus diperiksa menurut tata cara tertentu oleh pengadilan, serta
kemudian diambil putusan terhadap gugatan tersebut.34 Apabila seseorang atau suatu badan hukum “merasa” dan “dirasa” bahwa haknya telah dilanggar oleh orang lain, kemudian penyelesaian damai secara kekeluargaan tidak tercapai maka salah satu jalan dapat ditempuh oleh mereka adalah perkara tersebut diajukan kepada Hakim/Pengadilan Negeri berwenang, yaitu dengan dibuatnya surat gugatan perdata.35 Pada dasarnya, suatu gugatan dapat diajukan ke pengadilan baik secara lisan maupun tertulis. Surat gugatan secara lisan36 dibuat apabila penggugat/para penggugat tidak dapat membaca dan menulis dimana Ketua Pengadilan Negeri atau hakim yang ditunjuk akan mencatat atau menyuruh mencatat gugatan tersebut. Sedangkan untuk gugatan secara tertulis atau lazim disebut “gugatan”37 dapat diajukan oleh penggugat/para penggugat sendiri atau pengacara/ advokat yang khusus dikuasakan untuk itu.38 Prof. Sudi kno Merto kusumo menyebut gugatan dengan tuntutan hak. Sehingga yang dimaksud surat gugatan atau tuntutan hak adalah sebagai tindakan yang bertujuan memperoleh perlindungan hak yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah “eigenrichting39”.40 Orang yang mengajukan tuntutan hak memerlukan atau berkepentingan akan perlindungan hukum. Ia mempunyai kepentingan untuk memperol eh perlindungan hukum, maka oleh karena itu
ia mengajukan tuntutan ke pengadilan.41 Memang s udah menjadi hal yang sewajarnya apabil a orang yang mengajukan gugatan itu adalah orang yang berkepentingan. Sehingga jika ada orang yang tidak mengalami kerugian atau yang tidak berkepentingan, maka sudah selayaknya jika gugatannya itu tidak bisa diterima oleh Pengadilan (Niet Ontvankelijk Verklaard). Di dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa gugatan perceraian dapat diajukan kepada Pengadilan. Siapapun orang yang tunduk kepada hukum negara Indonesia berhak untuk mengajukan gugatan kepada Pengadilan. Pengadilan dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 adalah Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam dan Pengadilan Umum bagi lainnya.42 Sehingga pengajuan perkara perceraian bagi para pihak yang beragama Islam, Pengadilan Agama lah yang berwenang, dan bagi yang beragama s el ain I sl am menjadi kewenangan Pengadilan Negeri. Ini berkaitan dengan Kompetensi Absolut. Pihak yang mengajukan gugatan ke pengadilan disebut sebagai penggugat dan pihak yang menjadi lawan penggugat disebut sebagai tergugat. Penggugat dalam gugatan pertama atau gugatan konvensi, biasa disebut sebagai Penggugat dalam Konvensi, sedangkan Tergugat disebut sebagai Tergugat dalam Konvensi. Dan dalam gugatan rekonvensi, Penggugat dalam Konvensi disebut sebagai Tergugat dalam Rekonvensi dan Tergugat dalam Konvensi
34
Darwan Prinst, Strategi Menyusun dan Menangani Gugatan Perdata, Bandung, Citra Aditya Bakti, hlm. 2 Lilik Mulyadi, Hukum Acara Perdata Menurut Teori dan Praktik Peradilan Indonesia, Jakarta, Djambatan, hlm. 37 Pasal 120 HIR, Pasal 144 RBg 37 Pasal 118 HIR, Pasal 142 RBg 38 Lilik Mulyadi, op cit, hlm. 37 39 Eigenrichting adalah perbuatan main hakim sendiri. 40 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta, Liberty, hlm. 38 41 Ibid, hlm. 39 42 Pasal 63 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 35 36
21
dis ebut sebagai Penggugat dalam Rekonvensi. Gugatan Rekonvensi adalah gugatan yang diajukan oleh tergugat terhadap penggugat dalam sengketa yang sedang berjalan diantara mereka. 43 Seorang tergugat yang digugat oleh penggugat ada kemungkinan mempunyai hubungan hukum lain dengan penggugat.44 Dalam acara gugatan antara penggugat dengan tergugat, gugat konvensi, tergugat dapat menggugat kembali pihak penggugat, dimana gugatan itu bukan merupakan acara yang terpisah dari gugatan yang pertama.45 Gugatan dari pihak tergugat ini di sebut gugat balik atau gugatan rekonvensi. Rekonvensi ini diperiksa oleh Hakim dalam proses itu juga, yang dalam praktek berarti:46 1. Menghemat ongkos perkara; 2. Mempermudah prosedur 3. Menghindarkan putusan-putusan yang saling bertentangan. Dengan demikian Gugatan Rekonvensi ini mempunyai alasan praktis untuk menetralisir gugatan konvensi. Terutama bagi tergugat/penggugat rekonvensi ini berarti menghemat biaya, karena tidak adanya kewajiban untuk membayar biaya perkara. Regl emen I ndones ia pada dasarnya memperbolehkan tuntutan
43
rekonvensi dalam segala hal. Antara gugatan penggugat dan gugatan rekonvensi tidak diharuskan adanya hubungan (samenhang). Gugatan rekonvensi berdiri sendiri (zelfstanding) yang sebenarnya oleh Tergugat dapat diajukan kepada Hakim di dalam proses tersendiri, menurut acara biasa. Dalam praktek, sering terjadi dasar gugatan rekonvensi itu mempunyai hubungan dengan bantahannya tergugat terhadap gugatan penggugat (eis in conventie).47 Surat gugatan yang diajukan oleh penggugat harus memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan. Diantara unsurunsur yang harus ada di dalam surat gugatan adalah bahwa surat gugatan harus ada tittle gugatan48, kemudian memuat identitas49 para pihak (penggugat dan tergugat), lalu juga memuat posita50 dan petitum51. Dalam suatu surat gugatan, maka posita penting eksistensinya. Pada hakekatnya, posita terdiri atas bagian yang menguraikan tentang kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa (feitelijke gronden, factual grounds). Dalam praktik peradilan baik pada putusan hakim dan dalam surat gugatan lazim disebut dengan istilah “tentang duduknya perkara” atau “kasus posisi”52 atau “peristiwa”. Sehingga peristiwa yang dimuat di dalam posita sebagai dasar gugatan harus
Sudikno Mertokusumo, op cit, hlm. 99 Ibid, hlm. 98 Ibid, hlm. 99 46 R. Supomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Jakarta, Pradnya Paramita, hlm. 37 47 Ibid, hlm. 37 48 Title gugatan misalnya adalah gugatan perbuatan melawan hukum, gugatan wanprestasi, dan gugatan perceraian. 49 Identitas dalam surat gugatan secara umum biasanya memuat nama, umur, pekerjaan, dan alamat masing-masing pihak. Identitas ini adalah suatu hal yang penting untuk menentukan Pengadilan mana yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. Pentingnya identitas adalah berkaitan dengan Kompetensi Relatif nya. 50 Posita juga sering disebut sebagai fundamentum petendi. Posita merupakan rangkaian kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar untuk diajukannya suatu tuntutan. Hak atau peristiwa yang dimuat dalam Posita nantinya harus dibuktikan dalam acara pembuktian di persidangan. Baca : Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta, Liberty, hlm. 41. Posita merupakan bagian yang harus ada dalam surat gugatan. 51 Petitum atau tuntutan adalah apa yang oleh penggugat diminta atau diharapkan agar diputuskan oleh Hakim. Jadi petitum itu akan mendapatkan jawabannya di dalam dictum atau amar putusan. Maka dari itu penggugat harus merumuskan petitum dengan jelas dan tegas. Baca : Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta, Liberty, hlm. 42 52 Lilik Mulyadi, op cit, hlm. 56 44 45
22
dibuktikan di persidangan, dimana peristiwa itu memberikan gambaran tentang kejadian materiil yang merupakan dasar tuntutan itu.53 Pada praktik peradilan mengenai aneka tuntutan atau petitum dapat dikategorikan dengan penyebutan tuntutan “Primair” dan “Subsidair”, atau ada juga dengan formulasi, “Dalam Provisi”, “Dalam Pokok Perkara/Primair” dan “Subsidair”, atau hanya terdiri dari tuntutan “Primair” saja tanpa diiringi tuntutan “Subsidair”.54 Namun secara umum yang sering dipakai dalam praktik berkaitan dengan petitum biasanya terdiri dari tuntutan “Primair” dan “Subsidair” saja. Gugatan perceraian dapat diajukan oleh suami atau istri atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat. 55 Dalam hal tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tidak diketahui atau tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap, gugatan perceraian diajukan kepada pengadil an di tempat kedi aman penggugat. 56 Dalam hal tergugat bertempat kediaman di luar negeri gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan di tempat kediaman penggugat. Ketua Pengadilan menyampaikan permohonan ters ebut kepada tergugat mel al ui Perwakilan Republik Indonesia setempat.57 F. ANALISA P UTUSA N NOMOR 50PDT.G/2009/PN SLMN Pada sekitar bulan Mei 2009, penulis pernah menangani suatu perkara gugatan perceraian di Pengadilan Negeri Sl eman. Gugatan i tu diajukan di Pengadilan Negeri Sleman karena para pi hak yang berperkara kebetul an
berdomisili di Sleman dan beragama non Islam. Penggugat adalah seorang istri yang menggugat cerai suaminya dengan alasan bahwa telah terjadi banyak ketidakcocokan dan perselisihan paham dimana suaminya sering memaksakan kehendak dan sering melakukan kekerasan psikologis dengan kata-kata. Dalam perkara ini, penulis mewakili suaminya sebagai kuasa hukum tergugat. Dalam fakta-fakta yang terungkap di persi dangan di ketahui bahwa perkawinan antara penggugat dan tergugat telah dilangsungkan pada tanggal 18 September 2004 dan tercatat pada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Pemerintah Kota Yogyakarta, dengan nomor 500/K/2004 dan dari perkawinan itu telah lahir seorang anak perempuan yang lahir pada tanggal 21 Juni 2005, sesuai dengan Kutipan Akta Kelahiran nomor 431/K/2005 yang dikeluarkan oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Yogyakarta. Penggugat dalam peti tum gugatannya hanya menginginkan agar perkawinan antara penggugat dan tergugat yang telah dilangsungkan pada tanggal 18 September 2004 putus karena percerai an. Penggugat tidak mempermasalahkan adanya pembagian harta dan hak asuh anak. Pada dasarnya tergugat merasa keberatan jika harus bercerai dengan penggugat, namun karena penggugat tetap keukeuh dan sudah mantap untuk bercerai maka tergugat menyerahkan proses pemeriksaan perkara kepada Majelis Hakim pemeriksa perkara. Namun yang menjadi permasalahan adalah bahwa tergugat keberatan atas dalil gugatan yang
53
Sudikno Mertokusumo, op cit, hlm. 41 Lilik Mulyadi, op cit, hlm. 57 Pasal 20 ayat (1) PP Nomor 9 Tahun 1975 56 Pasal 20 ayat (2) PP Nomor 9 Tahun 1975 57 Pasal 20 ayat (3) PP Nomor 9 Tahun 1975 54 55
23
diajukan oleh penggugat. Selain itu, tergugat juga menginginkan agar setelah bercerai, hak asuh anak ada pada kekuasaan tergugat. Keberatan tergugat akan dalil gugatan dari penggugat adalah bahwa tergugat tidak pernah sama sekali melakukan apa yang didalilkan penggugat, justru penggugat lah yang menyebabkan terjadinya perselisihan dan percekokan dalam kehidupan perkawinan mereka. Menurut keterangan dari tergugat, sekitar 6 (enam) bulan sejak penggugat meneruskan studi lanjut di Australia, yaitu seki tar pertengahan Tahun 2008, penggugat sering tidak berkenan jika tergugat menghubungi penggugat. Ternyata ketidakberkenannya penggugat adalah karena penggugat telah menjalin asmara dengan laki-laki lain yang juga teman kuliahnya selama di Australia. Mengenai keinginan tergugat untuk menginginkan agar hak asuh anak jatuh kepada tergugat juga bukan tanpa alasan. Karena selama ini penggugat sebagai ibu kandung sudah tidak lagi memperdulikan anaknya dan jika sedang berada di Indonesia tidak pernah menengok anaknya yang untuk sementara waktu dititipkan kepada orang tua tergugat, karena tergugat bekerja di luar kota. Atas dasar hal tersebut, maka tergugat dalam konvensi melalui kuasa hukumnya kemudian melakukan gugatan reko nvensi (gugat bal ik) kepada penggugat. Dalam gugatan rekonvensi, posisi Penggugat menjadi Tergugat Rekonvensi dan posisi Tergugat menjadi Penggugat Rekonvensi. Dalam gugatan rekonvensi, Penggugat Rekonvensi mengajukan dalildalil dalam posita yang menjadi dasar gugatannya bahwa Penggugat Rekonvensi mengajukan gugatan perceraian kepada Tergugat Rekonvensi dengan alasan bahwa Tergugat Rekonvensi telah nyata-nyata
24
sangat melalaikan kewajiban terhadap anak perempuannya dengan telah meninggalkan selama hampir 2 (dua) tahun berturut-turut lamanya serta tidak mempunyai akhlak yang baik dan berkelakuan buruk sekali karena meskipun Tergugat Rekonvensi masih terikat perkawinan dengan Penggugat Rekonvensi tetapi malah menjalin hubungan asmara dengan laki-laki lain sehingga tidak bisa menjadi contoh dan teladan yang baik dalam mendidik anak perempuannya. Masih dalam posita gugatan rekonvensi Penggugat Rekonvensi, dalam poin selanjutnya juga disebutkan adanya permohonan untuk membebankan hak asuh anak kepada Penggugat Rekonvensi dengan mendasarkan ketentuan pada Pasal 49 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 bahwa Tergugat Rekonvensi sangat melalaikan kewajibannya kepada anaknya, yaitu dengan meninggalkan anaknya selama 2 (dua) tahun berturut-turut lamanya dan berkelakuan buruk sekali, yaitu dengan telah menjalin hubungan asmara dengan laki -l aki lain dan bahkan tel ah merencanakan untuk menikah. Atas dasara hal-hal tersebut diataslah maka Penggugat Rekonvensi dalam petitum gugatan rekonvensinya selain menginginkan perkawinan putus karena perceraian, juga menginginkan adanya pembebanan hak asuh anak perempuannya yang pada saat itu masih berusi a 4 (empat) tahun kepada Penggugat Rekonvensi. Dictum Berdasarkan adanya gugatan yang diajukan Penggugat Konvensi/ Tergugat Rekonvensi maupun Tergugat Konvensi/Penggugat Rekonvensi, maka Majeli s Haki m pemeriksa perkara
memberikan amar putusannya sebagai berikut : MENGADILI Dalam Konvensi : 1. Menerima dan mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya. 2. Menyatakan sah secara hukum perkawinan antara Penggugat dengan Tergugat yang dilaksanakan pada tanggal 18 September 2005 sebagaimana tercantum dal am Kutipan Akta Perkawinan Nomor 500/ K/2004. 3. Menyatakan bahwa perkawinan antara Penggugat dan Tergugat yang telah dilangsungkan pada tanggal 18 September 2005 Nomor 500/K/2004, putus karena perceraian dengan segala akibat hukumnya. 4. Memerintahkan kepada Panitera Pengadilan Negeri Sleman untuk mengirim salinan putusan ini yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap kepada Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Yogyakarta dan Kepala Kantor Pendaftaran Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Sleman untuk dicatat dalam buku yang telah disediakan untuk itu. 5. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara yang timbul dalam perkara ini sebesar Rp 266.000,00,(Dua ratus enam puluh enam ribu rupiah) Dalam Rekonvensi : 1. Menerima dan mengabulkan gugatan Penggugat Rekonvensi untuk sebagian. 2. Menyatakan Penggugat Rekonvensi berhak atas hak pengasuhan anak yang l ahir dal am perkawinan Penggugat dan Tergugat yang lahir di Yogyakarta 21 Juni 2005, sebagaimana Kutipan Akta Kelahiran Nomor 413/K/ 2005. 3. Menolak gugatan Penggugat
Rekonvensi/Tergugat Konvensi untuk selebihnya. 4. Menghukum kepada Tergugat Rekonvensi/Penggugat Konvensi untuk membayar biaya perkara yang timbul dalam rekonvensi sebesar NIHIL. Dalam Konvensi dan Rekonvensi : - Menghukum kepada Tergugat Konvensi/Penggugat Rekonvensi untuk membayar biaya perkara yang timbul dalam konvensi dan rekonvensi sebesar Rp 266.000,- (Dua ratus enam puluh enam ribu rupiah) Pertimbangan Alasan Gugatan Penggugat Rekonvensi Dikabulkan Sebagian Di ctum putusan gugatan rekonvensi dinyatakan hanya dikabulkan sebagian, mengapa tidak dikabulkan seluruhnya. Padahal gugatan perceraian terhadap Tergugat Rekonvensi dikabulkan, selain juga terhadap gugatan terhadap hak asuh anak. Hal ini juga menjadi pertanyaan kuasa hukum tergugat pada saat itu. Namun pertanyaan itu kemudian terjawab dengan dijelaskannya oleh Majelis Hakim pemeriksa perkara dengan memasukkan dasar al as an yang menjadi pertimbangannya. Adapun yang menjadi pertimbangannya adalah bahwa terhadap tuntutan Penggugat Rekonvensi pada petitum gugatan rekonvensi nomor 2 untuk menyatakan perkawinan antara Tergugat Konvensi/Penggugat Rekonvensi dan Penggugat Konvensi/Tergugat Rekonvensi yang dilaksanakan pada tanggal 18 September 2004 nomor 500/ K/2004 putus karena perceraian, telah di pertimbangkan Majel is dal am pertimbangan peti tum 2 gugatan Konvensi, maka Majelis mengambil alih pertimbangan dalam petitum 2 gugatan Rekonvensi menjadi pertimbangan hukum
25
pada petitum 2 Konvensi. Sehingga dengan demi ki an, maka tuntutan Penggugat Rekonvensi dalam petitum nomor 2 dikabulkan, dan diputus bersama dalam Konvensi. G. KESIMPULAN Ketentuan mengenai hak asuh anak sebagai akibat dari terjadinya perceraian bisa dibebankan kepada siapa saja. Pengadilan bisa menentukan kepada si apa hak asuh anak nanti akan dibebankan, bisa kepada Bapaknya, Ibunya, ataupun kepada pihak ketiga. Sepanjang tidak ada sengketa atau perselisihan mengenai hak asuh anak, maka Pengadilan dapat menentukan berdasarkan fakta-fakta yang terungkap selama proses persidangan. Namun ji ka ada s engketa mengenai hak asuh anak terhadap gugatan perceraian, maka para pihak yang bersengketa dapat mengajukan dalil-dalil yang didukung dengan bukti-bukti yang dapat dipertanggungjawabkan selama dalam proses pemeriksaan perkara di persidangan terutama dalam acara pembuktian. Hal itu bisa dilihat dari putusan Pengadilan Negeri Sleman Nomor 50/Pdt.G/2009/PN Slmn yang mengabul kan gugatan reko nvensi Penggugat Rekonvensi atas gugatan dari Penggugat Konvensi. Dimana dalam salah
satu dictum putusannya disebutkan bahwa Penggugat Rekonvensi (suami) berhak atas hak pengasuhan anak perempuan dalam perkawinan Penggugat dan Tergugat yang lahir di Yogyakarta pada tanggal 21 Juni 2005, sebagaimana Kutipan Akta Kelahiran Nomor 413/K/ 2005. Dan pada saat putusan itu dibacakan oleh Majelis Hakim pemeriksa perkara dalam sidang terbuka. Adapun yang menjadi dasar alasan yang diajukan oleh Tergugat Konvensi/Penggugat Rekonvensi adalah ketentuan mengenai pencabutan kekuasaan orang tua sesuai yang diatur dalam Pasal 49 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawi nan yang menyatakan bahwa salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus keatas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya dan ia berkelakuan buruk sekali. Sehingga dalam hal ini telah cukup alasan bagi Tergugat Konvensi/Penggugat Rekonvensi untuk mendapatkan hak asuh anak perempuannya yang pada saat itu masih berusia 4 (empat) tahun.
Daftar Pustaka Ali, Zainuddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, 2006 Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta, Liberty, 1988 Muhammad, Abdulkadir, Hukum Perdata Indonesia, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2010
26
Mulyadi, Lilik, Hukum Acara Perdata Menurut Teori dan Praktik Peradilan Indonesia, Jakarta, Djambatan, 2002 Prinst, Darwan, Strategi Menyusun dan Menangani Gugatan Perdata, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1992 Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Perkawinan di Indonesia, Bandung, Sumur, 1967 Saleh, K. Wantjik, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta, Ghalia, 1976 Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Jakarta, Sinar Grafika, 2001 Simanjuntak, P.N.H, Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia, Jakarta, Djambatan, 2007 Soimin, Soedharyo, Hukum Orang dan Keluarga, Jakarta, Sinar Grafika, 1992 Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta, Intermasa, 1987 Supomo, R, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Jakarta, Pradnya Paramita, 1985 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
27
TANGGAPAN ADVOKAT TERHADAP PELAKSANAAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 101/PUU-VII/2009 Oleh : Francisca Romana Harjiyatni*
Abstract The the Constitutional Court Verdict No. 101/PUU-VII/2009 won the petitioners in this case the candidate advocates KAI. However, until nearly two years since the decision of the candidates’ advocate KAI has not been able to carry out the oath in open court the Court of Appeal, this raises a variety of responses to the Decision of the Constitutional Court. This study has the objective to find out how the responses of the lawyers in the presence of the Constitutional Court Decision no. 101/PUU-VII/2009. The study was conducted in Yogyakarta Special Region by taking three samples of Yogyakarta area, Bantul District, Sleman. The data was collected through a literature study and field study. Field data collection is done by an interview of resource persons namely PERADI and KAI, as well as distributing questionnaires to the respondents as many as 30 lawyers and 30 lawyers of PERADI KAI. Data were analyzed qualitatively. Results show that: (1) The response of the advocate who has not been sworn in by the High Court of Yogyakarta (in this case is the Advocate KAI) of the Constitutional Court Decision No.. 101/PUU-VII/2009 are: Constitutional Court Decision No.. 101/PUU-VII/2009 expected to solve problems KAI advocates, however, the Constitutional Court Decision No.. 101/PUU-VII/2009 has not been carried out by competent parties. Until now advocate KAI could not carry out swearing in open court the High Court of Yogyakarta. As a result, the same as before the Constitutional Court Decision No. 101/PUU-VII/2009, KAI advocates can not become an independent legal counsel, but must join with other advocates who already meet the requirements, (2) The response of the advocates who have been sworn in open court high court (in this case PERADI) is that IS Decisions of the Constitutional Court does not give any implications for the organization advocates PERADI. Since the early formation of PERADI, PERADI has produced advocates who meet the requirements established by Law no. 18 of 2003 which has followed the Special Professional Education Advocate, has passed the exam PERADI, and swearing have been carried out by the High Court. Keywords: Advocate, the Constitutional Court Verdict, the Organization advocates *
Dosen Fakultas Hukum Universitas Janabadra Yogyakarta
28
A. PENDAHULUAN Pasal 28 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat menyebutkan bahwa organisasi advokat merupakan satu-satunya wadah profesi advokat yang bebas dan mandiri yang dibentuk sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini, dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi advokat. Awalnya, organisasi advokat yang ada adalah Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi). Sehi ngga, s urat K etua Mahkamah Agung (MA) seperti Surat KMA/ 445/VI/2003 dan Surat Sekretaris MA 07/ SEK/01/2007 menyebut secara tersirat kartu anggota Peradi yang digunakan untuk beracara di Pengadilan. Namun, dalam praktiknya, kemudian terjadi perpecahan organisasi advokat. Yakni, dengan terbentuknya Kongres Advokat Indonesia (KAI). KAI juga mengklaim dirinya sebagai wadah tunggal organisasi advokat. Artinya, ada dua organisasi yang mengklaim sebagai wadah tunggal organisasi advokat, yakni Peradi dan KAI. Kedua lembaga ini mempunyai argumentasi hukum masing-masing. Akibat kisruh ini, Ketua MA Harifin A. Tumpa pada 1 Mei 2009 mengeluarkan surat kepada Ketua Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia agar tidak mengambil sumpah calon advokat dari kedua organis asi itu sebelum terjadinya perdamaian dan terciptanya sebuah organisasi advokat yang benar-benar tunggal. Surat ini mengesampingkan Pasal 4 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003 yang menyatakan “Sebelum menjalankan profesinya, advokat wajib bersumpah menurut agamanya atau berjanji dengan sungguh-sungguh di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya. Tiga calon advokat membawa persoalan ini ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka mengajukan permohonan
pengujian (judicial review) Pasal 4 ayat (1) UU Advokat. Pokok Permohonan yang diajukan oleh para pemohon adalah sebagai berikut: 1. Bahwa para Pemohon mengajukan permohonan pengujian (constitutional review) ketentuan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, yang berbunyi, “sebelum menjalankan profesinya, Advokat wajib bersumpah menurut agamanya atau berjanji dengan sungguh-sungguh di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya”, terhadap Undang-Undang Dasar 1945; 2. Bahwa menurut para Pemohon, Surat Keputusan Pengangkatan Advokat oleh organisasi advokat yang telah dilantik dan diangkat menjadi advokat, tidak serta merta dapat berpraktik atau beracara di pengadilan, karena harus diambil sumpahnya terlebih dahulu oleh Ketua Pengadilan Tinggi di wilayah hukum masing-masing.Hal ini dianggap dapat menimbulkan kerancuan/kontradiksi dengan asas pendelegasian tugas , hak dan wewenang pendidikan, pengangkatan dan pelantikan advo kat yang seutuhnya diberikan kepada organisasi advokat; 3. Bahwa atas hal-hal tersebut di atas (pada poin 2), menurut para Pemohon ketentuan a quo telah menutup pintu hukum dan kecil kemungkinannya bagi para Kandidat Advokat (termasuk para Pemohon) untuk diangkat/disumpah sebagai advo kat atau dengan perkataan lain nasibnya menjadi terkatung-katung dan tidak jelas, terlebih-lebih dengan terbitnya Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 052/KMA/
29
V/2009 bertangal 1 Mei 2009, yang intinya memerintahkan kepada Ketua Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia untuk menunda pengambilan sumpah bagi para kandidat advokat, hal tersebut menurut para Pemohon dianggap telah mencampuri terlampau jauh kewenangan organisasi advokat; 4. Singkatnya ketentuan a quo di atas, di anggap telah mencederai kemandirian dan hak-hak konstitusional para kandidat advokat, khususnya para Pemohon, selain itu menurut para Pemohon ketentuan a quo telah menimbulkan kerugian baik secara moril, materiil, tenaga dan pikiran, karenanya ketentuan a quo baik langsung ataupun tidak langsung dianggap bertentangan dengan ketentuan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (2), ayat (4), dan ayat (5) Undang-Undang Dasar 1945. Atas permohonan para pemohon tersebut, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 101/PUU-VII/2009, Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi memutuskan di antaranya sebagai berikut : 1. Menyatakan Pasal 4 ayat (1) UndangUndang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4288) adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dipenuhi syarat bahwa frasa “di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya” tidak dimaknai bahwa “Pengadilan Tinggi atas perintah Undang-Undang wajib mengambil sumpah bagi para Advokat sebelum menjal ankan profes inya tanpa mengaitkan dengan keanggotaan Organisasi Advokat yang pada saat ini
30
secara de facto ada, dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak Amar Putusan ini diucapkan”; 2. Menyatakan Pasal 4 ayat (1) UndangUndang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indo nesi a No mor 4288) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya” tidak dimaknai bahwa “Pengadilan Tinggi atas perintah Undang-Undang wajib mengambil sumpah bagi para Advokat sebelum menjal ankan profes inya tanpa mengaitkan dengan keanggotaan Organisasi Advokat yang pada saat ini secara de facto ada, dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak Amar Putusan ini diucapkan”; 3. Menyatakan apabila setelah jangka waktu dua tahun Organisasi Advokat sebagaimana dimaksud Pasal 28 ayat (1) UU Advokat belum juga terbentuk, maka perselisihan tentang organisasi Advokat yang sah diselesaikan melalui Peradilan Umum Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, Pasal 4 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003 yang mengharuskan agar calon advokat diambil sumpah di Pengadilan Tinggi sebelum berpraktek, oleh Mahkamah Konstitusi memang tidak di nyatakan bertentangan dengan konstitusi, melainkan hanya memberi petunjuk agar Pasal itu dijalankan sesuai dengan rohnya. Akibat adanya penafsiran Putusan Mahkamah Konstitusi seperti tersebut di atas, maka pengadilan tinggi tidak boleh menolak mengambil sumpah calon advokat dari organisai PERADI dan KAI yang saat ini sedang berkonflik selama
jangka waktu 2 tahun. Namun dengan putusan tersebut apakah dengan sendirinya MA s ebagai l embaga pengadilan tertinggi mau melaksanakan hasil putusan tersebut (mengingat MK dan MA kedudukannya setingkat), yang kemudian diikuti kesediaan Pengadilan Tinggi untuk melantik mengambil sumpah para advokat baik dari organisasi PERADI dan KAI, atau nasib para advokat tetap terkatung-katung karena persyaratan yang ditetapkan dalam UU No. 18 TAhun 2003 yaitu “dilantik dan disumpah oleh Pengadilan Tinggi sebagai persyaratan untuk berpraktek di pengadilan” tetap tidak dilaksanakan oleh Pengadilan Tinggi. Hal ini juga menimbulkan permasalahan terhadap sikap hakim atas Putusan Mahkamah Konstitusi, apakah akan mengikuti putusan Mahkamah Konstitusi atau tetap patuh pada lembaga di atasnya yang dalam hal ini adalah Mahkamah Agung. Atas dasar uraian-uraian yang di kemukakan sebel umnya maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut: bagaimana tanggapan para advokat terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi No. 101/PUU-VII/2009 ? B. METODE PENELITIAN Menurut Soerjono Soekanto, secara umum dikenal ada 3 (tipe) perencanaan penelitian (research design) yaitu survey design, case-study design, dan experimental desi gn. 1 Dalam penel itian i ni menggunakan tipe case-study design, karena penelitian ini meskipun meneliti sejumlah populasi tetapi hasil penelitiannya tidak hanya bergantung pada sejumlah populasi yang ditetapkan sebagai sampel penelitian tetapi mendasarkan pula hasil
1 2
penelitian yang diperoleh para narasumber. Menurut Seorjono Soekanto, case-study design dapat diterapkan apabila tujuan penelitian adalah menggambarkan secara lengkap mengenai ciri-ciri dari suatu keadaan, perilaku pribadi, maupun perilaku kel ompo k. 2 Dalam peneliti an i ni, tujuannnya adalah menggambarkan perilaku kelompok dalam hal hal ini adalah para advokat dalam menjalankan profesinya sebagai advokat dan sikap hakim terhadap para advokat dalam pemeriksaan perkara setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 101/ PUU-VII/2009, dan diperkuat dengan keterangan dari narasumber yaitu Pengadilan Tinggi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Lembaga Profesi Advokat. Penelitian dilakukan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Daerah Istimewa Yogyakarta meliputi Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul, Kabupaten Gunung Kidul, dan Kabupaten Kul on Progo . Untuk kepentingan pengambilan sampel, diambil tiga daerah sebagai lokasi penelitian yaitu Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Bantul. Populasi dalam penelitian ini adalah para advokat dan para hakim pengadilan di tiga lokasi penelitian yaitu Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Bantul. Dari populasi penelitian ini diambil sampel yang ditetapkan sebagai responden yaitu sebagai berikut : sebanyak 60 orang advokat (30 orang advokat KAI dan 30 orang advokat PERADI) yang berpraktik di Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Bantul. Untuk melengkapi data yang diperoleh dari penelitian di lapangan maka ditetapkan narasumber sebagai berikut : PERADI
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Universitas Indonesia Press, 1984), hal. 54. Ibid, hal.55.
31
Cabang Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Bantul, DPD KAI Yogyakarta. Menurut Maria S.W. Soemardjono, pada umumnya instrumen yang dapat dipergunakan dalam penelitian adalah studi dokumen/pustaka, wawancara, kuesioner, dan observasi. 3 Dalam penelitian ini menggunakan instrumen penelitian yang meliputi studi dokumen, wawancara, dan menyebarkan kuesioner. Studi dokumen/pustaka dilakukan dengan cara mengkaji dan menganalisis bahan-bahan hukum yang meliputi : bahan hukum primer yaitu peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan Mahkamah Konstitusi dan keadvokatan; bahan hukum sekunder yang meliputi : buku-buku, surat kabar, jurnal ilmiah, laporan-laporan, dokumen resmi, serta berbagai data statistik yang tersedia yang diperlukan dalam menunjang analisis sesuai dengan topik penelitian. Wawancara/interview dilakukan secara langsung kepada pihak yang bersangkutan sebagai narasumber, dengan menggunakan pedo man wawancara yang bersifat terbuka dalam arti pedoman wawancara hanya memuat garis besarnya saja, sehingga tetap terbuka kemungki nan diajukannya pertanyaan-pertanyaan baru sepanjang masih ada hubungannya dengan permasalahan. Selain itu, dilakukan pengumpulan data dengan cara menyebarkan kuesioner yang ditujukan kepada responden. Kuesioner/daftar pertanyaan dibuat secara kombinasi antara sistem terbuka dan tertutup, dalam arti sebagian sudah ada pilihan jawabannya tetapi masih memberikan kesempatan kepada responden untuk menjelaskan atau menjawab sendiri pertanyaan di luar pilihan yang tersedia. 3
Data sekunder yang diperoleh melalui studi kepustakaan disusun secara sistematis sehingga diperoleh gambaran yang menyeluruh tentang berbagai kaedah-kaedah yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian. Karena instrumen yang digunakan dalam penelitian lapangan ini adalah wawancara dan kuesioner maka data atau informasi yang diperoleh disusun dan dimasukkan dalam daftar atau kategori tertentu sebagai suatu ringkasan atau uraian singkat. Kemudian data yang terkumpul dilakukan kegiatan trianggulasi, yaitu membandingkan hasil wawancara, kuesioner, dan studi pustaka sebagai upaya verifikasi atas data yang ditemukan. Data dari hasil wawancara, kuesioner, dan dengan didukung data sekunder yang diperoleh dari kepustakaan dianalisis secara kualitatif untuk menjawab permasalahan yang ada. C. PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI Putusan hakim adalah suatu pernyataan yang dibuat oleh hakim, sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan dalam pers idangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak.4 Berdasarkan Pasal 2 UU No. 24 Tahun 2003, Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Sebagai lembaga yang bertugas menegakkan hukum dan keadilan, Mahkamah K onsti tusi mempunyai wewenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang di ajukan kepadanya.
Maria S.W. Soemardjono, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian, (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama,1997), hal. 32.
32
Berdasarkan Pasal 10 ayat (1) UU No . 24 Tahun 2003, salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni putusan Mahkamah K onstitus i langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Dasar yang dipergunakan oleh Mahkamah Konstitusi dalam memutus perkara adalah Undang-Undang Dasar Negara RI 1945 sesuai dengan alat bukti dan keyakinan hakim. Sebagai organ konstitusi, lembaga ini didesain untuk menjadi pengawal dan sekaligus penafsir terhadap Undang-Undang Dasar melalui putusan-putusannya. 5 Alat bukti dan keyakinan hakim merupakan syarat kumulatif yang harus dipenuhi untuk sahnya atau terbuktinya suatu peristiwa dalam pembuktian. Dalam menjatuhkan putusan yang berisi mengabul kan permohonan, Mahkamah Konstitusi yang harus mendasarkan pada sekurangkurangnya 2 (dua) alat bukti. Sedangkan yang dimaksud dengan “keyakinan hakim” adalah keyakinan hakim berdasarkan alat bukti. Keyakinan hakim tidak boleh tibatiba, tetapi harus berdasarkan pada alat bukti.6 Putusan hakim konstitusi harus diambil secara musyawarah untuk mufakat dalam sidang pleno hakim konstitusi yang dipimpin oleh ketua sidang. Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim konstitusi wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap permohonan.
Berdasarkan ketentuan ini, dalam sidang permusyawaratan pengambilan keputusan tidak ada suara hakim abstain. Dalam hal musyawarah sidang pleno hakim konstitusi tidak dapat menghasilkan putusan, musyawarah ditunda sampai musyawarah sidang pleno hakim konstitusi berikutnya. Dalam hal musyawarah sidang pleno setelah diusahakan dengan sungguhsungguh tidak dapat dicapai mufakat bulat, putusan diambil dengan suara terbanyak. Dalam hal musyawarah sidang pleno hakim konstitusi tidak dapat diambil suara terbanyak, suara terakhir ketua sidang pleno hakim konstitusi yang menentukan.7 Dalam putus an Mahkamah Konstitusi dikenal lembaga dissenting opinión, yaitu dalam hal putusan tidak tercapai mufakat bulat, pendapat anggota majelis hakim yang berbeda dimuat dalam putusan. Putusan Mahkamah Konstitusi dapat dijatuhkan pada hari itu juga atau ditunda pada hari lain yang harus di beri tahukan kepada para pihak berdasarkan alasan-alasan yang objektif. Dalam hal putusan Mahkamah Konstitusi diberlakukan dissenting opinión, yaitu menyertakan pendapat hakim konstitusi yang berbeda, apabila proses pengambilan putusan oleh Mahkamah Konstitusi dilakukan dengan suara terbanyak. Penyertaan pendapat hakim konstitusi yang berbeda ini perlu disertakan, agar masyarakat dapat mengetahui alasan masing-masing hakim konstitusi, dan menilai tingkat integritas serta kualitas seorang hakim konstitusi dalam memutus suatu perkara. Dissenting opinión dikecualikan dalam perkara impeachment, karena perkara tersebut memiliki dimensidimensi politis, yang dapat mempengaruhi secara psikologis bagi para hakim
4
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta : Liberty, 1995), hlm. 175. Bambang Sutiyoso (1), Tata Cara Penyelesaian Sengketa di Lingkungan Mahkamah Konstitusi, (Yogyakarta : UII Press, 2009), hlm. 97. Bambang Sutiyoso (2), Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2006), hlm. 120. 7 Bambang Sutiyoso (1), Op.cit, hlm. 98. 5 6
33
konstitusi dalam berpendapat dan mengambil putusan.8 Putusan Mahkamah Konstitusi di tandatangani ol eh haki m yang memeriksa, mengadili, dan memutus, serta ditandatangani panitera. Putusan mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum. Dengan demikian putusan hakim konstitusi bersifat final dan tidak memungkinkan diajukannya upaya hukum lebih lanjut.9 Setiap putusan Mahkamah Konstitusi harus memuat : 1. Kepala putusan yang berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Hal ini dimaksudkan agar hakim dalam memutus didasarkan pada keyakinan yang paling dalam yaitu keyakinan pada hati nuraninya sendiri berdasarkan keimanannya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Di samping itu, keyakinannnya kepada Tuhan Yang Maha Esa itu pulalah yang dijadikan pegangan dalam upacara pengucapan sumpah jabatan, yang selalu diawali dengan perkataan”Demi Allah”. Atas dasar pertimbangan tersebut, maka setiap putusan termasuk putusan Mahkamah Konstitusi harus diawali dengan perkataan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Jika tidak demikian, putusan itu tidak sah.10 2. Identitas para pihak Pada bagian awal putusan harus diuraikan dengan jelas mengenai identitas para pihak yang mengajukan permohonan. Sebanyak apapun jumlah pemohon, harus dimuat dengan 8
3.
4. 5. 6. 7.
jelas dalam permohonan mengenai identitas mereka. Identitas pemohon harus jelas nama dan alamatnya serta status pekerjaannya, khususnya yang mempunyai keterkaitan yang relevan dengan pokok permohonan. Masingmasing keterangan itu disertai dengan bukti-bukti surat yang mendukung. Misalnya, untuk tempat tinggal perorangan harus dibuktikan dengan kartu tanda penduduk, untuk organisasi yang berstatus sebagai badan hukum harus dibuktikan dengan dokumen tanda terdaftar resmi sebagai badan hukum. Ringkasan permohonan Dalam setiap putusan, harus dimuat ringkasan uraian mengenai pokokpokok permohonan yang diajukan pemohon untuk memperjelas duduk perkaranya. Di dalam uraian ringkas itu harus diuraikan dengan jelas inti permasalahan yang dipersoalkan dalam rangka pengujian undangundang yang bersangkutan. Apakah pengujian yang diajukan bersifat formil atau materiil. Jika pengujian bersifat materiil, bagian mana dari undangundang yang bersangkutan yang dinilai bertentangan dengan norma dari UUD 1945. Mengapa hal i tu dinil ai bertentangan, dan kerugian apa yang diderita oleh pemohon dengan berlakunya undang-undang yang bersangkutan.11 Pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam persidangan. Pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan. Amar Putusan Hari, tanggal putusan, nama hakim konstitusi, dan panitera.
Ibid, hlm. 98-99. Bambang Sutiyoso (2), Op.cit, hlm 122. Jimly Asshiddiqie, 2010, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Edisi Kedua, Cetakan Pertama, (Jakarta : Sinar Grafika, 2010), hlm. 194-195. 11 Ibid, hlm. 195-196. 9
10
34
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 56 UU No. 23 Tahun 2004, pada dasarnya isi putusan hakim konstitusi dapat berupa 3 (tiga) macam, yaitu permohonan tidak diterima, permohonan di to lak, s erta permohonan tidak dikabulkan. Secara detail, isi putusan diuraikan sebagai berikut : 1. Permohonan tidak diterima (niet onvankelijk verklaard) Putusan hakim konstitusi menyatakan permohonan tidak dapat diterima (niet onvankelijk verklaard), apabila permohonannyamelawan hukum atau tidak berdasarkan hukum. Dalam hal ini, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pemohon dan/atau permohonannya tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 dan Pasal 51 UU No. 23 Tahun 2004, maka amar putusan menyatakan permohonan tidak dapat diterima. Tetapi juga ada kemungkinan bahwa permohonan dinyatakan tidak diterima karena tidak memenuhi syarat formal yang diharuskan. Putusan Mahkamah Konstitusi dapat meniadakan satu keadaan hukum atau menciptkan hak atau kewenangan tertentu. Dengan kata lain, putusan itu akan membawa akibat tertentu yang mempengaruhi satu keadaan hukum atau hak dan/ atau kewenangan.12 2. Permohonan ditolak (ontzegh) Putusan hakim konstitusi menyatakan permohonan ditolak, apabi la permohonannya tidak beralasan. Dalam hal ini undang-undang dimaksud tidak bertentangan dengan UUD Negara RI Tahun 1945, baik mengenai pembentukan maupun materinya sebagian atau keseluruhan,
12 13
maka amar putusannya menyatakan permohonan ditolak. Putus an Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang bertentangan dengan UUD Negara RI Tahun 1945, materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang ters ebut tidak mempunyai kekuatan mengikat. Demikian pula Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa pembentukan undang-undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan UUD Negara RI Tahun 1945, undangundang tersebut tidak mempunyai kekuatan mengikat.13 3. Permohonan dikabulkan Putusan menyatakan permohonan dikabul kan, yai tu apabi la permohonannya beralasan, dalam hal ini Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan beralasan atau dalam hal pembentukan undangundang dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan undangundang berdasarkan UUD Negara RI Tahun 1945, amar putus an menyatakan permohonan dikabulkan. Dalam hal permohonan dikabulkan, Mahkamah Konstitusi menyatakan dengan tegas materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari UndangUndang yang bertentangan dengan UUD Negara RI Tahun 1945. Putusan Mahkamah K onstitus i yang mengabulkan permohonan wajib dimuat dalam Berita Negara dalam jangka waktu paling lambat 30 hari kerja sejak putusan diucapkan.
Bambang Sutiyoso (1), Op.cit, hlm. 99-102. Ibid, hlm. 101.
35
Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undangundang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali di kemudian hari (nebis in idem). Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian undang-undang terhadap UU D Negara RI Tahun 1945 disampaikan kepada DPR, DPD, Presiden, dan Mahkamah Agung. Untuk putusan gugur maupun putusan verstek tidak dikenal dalam Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Meskipun pemohon atau termohon tidak hadir dalam persidangan, pemeriksaan perkara tetap dilanjutkan. Ketidakhadiran pemohon dan termohon dalam persidangan akan merugikan kepentingannya sendiri, karena tidak menggunakan kesempatannya untuk memberikan pembelaan perkaranya dalam persidangan.14 Putusan Mahkamah Konstitusi diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Tidak dipenuhinya ketentuan tersebut, berakibat putusan Mahkamah Konstitusi tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Sejak putusan diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum, maka putusan Mahkamah Konstitusi menjadi bersifat final, definitif, dan langsung mempunyai akibat hukum. Daya mengikat putusan Mahkamah Konstitusi bersifat erga omnes yaitu memiliki kekuatan hukum yang mengikat, tidak mengikat kepada pihakpihak yang berperkara tetapi juga mengikat kepada pihak lain. Untuk melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi tidak diperlukan lagi keputusan pejabat yang berwenang.15 Tidak diperlukan tindakan-tindakan atau upaya-upaya lain dari Mahkamah 14 15 16
Bambang Sutiyoso (2), Op.cit, hlm. 122. Ibid, hlm. 160-161. Ibid, hlm. 162.
36
Konstitusi, misalnya surat peringatan dan sebagainya. Selain itu, yang khas dari Hukum Acara Mahkamah Konstitusi adalah tidak dikenalnya lembaga pengeksekusi. Dengan demikian, putusan Mahkamah Konstitusi langsung dapat dilaksanakan serta mengikat, tanpa harus ada lembaga pengeksekusi. Eksekusi semacam ini sering disebut eksekusi otomatis. Pada dasarnya eksekusi putusan Mahkamah Konstitusi lebih menekankan self respect dan kesadaran hukum bagi pihak-pihak yang berperkara untuk melaksanakan putusan secara sukarela tanpa adanya upaya pemaksaan yang langsung dapat dirasakan dan dikenakan oleh pihak Mahkamah Konstitusi terhadap pihak-pihak yang bersangkutan.16 D. TANGGAPAN ADVOKAT TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 101/PUU-VII/2009 Berdasarkan Pasal 1 butir 1 UU No. 18 Tahun 2003, Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini. Pada awalnya lahir organisasi advokat PERADI yang telah melaksanakan pendidikan advokat , menyelenggarakan ujian, dan menyumpah calon advokat dalam sidang terbuka Pengadil an Tinggi. Dalam perkembangannya muncul organisasi advokat KAI. Namun para calon advokat KAI mengalami hambatan karena para calon advokat tidak dapat disumpah dalam sidang terbuka Pengadilan Tinggi. Padahal menurut Pasal 4 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003 menghendaki bahwa “Sebelum menjalankan profesinya, advokat wajib bersumpah menurut agamanya atau
berjanji dengan sunggu-sungguh di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah hukumnya”. Berdasarkan hal itulah maka tiga calon advokat KAI mengajukan uji materi Pasal 4 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003 ke Mahkamah Konstitusi. Atas permohonan uji materi tiga calon advokat KAI tersebut lahirlah Putusan Mahkamah Konstitusi No. 101/PUU-VII/2009. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut memerintahkan agar Pengadilan Tinggi mengambil sumpah advokat tanpa mengaitkan dengan keanggotaan organsisasi advokat yang pada saat ini secara defakto ada. Namun hingga saat ini Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut belum dilaksanakan oleh pihak yang berkompeten dalam hal Mahkamah Agung dan Pengadilan Tinggi. Hal ini menimbulkan banyak tanggapan dari para advokat terhadap Putusan mahkamah Konstitusi No. 101/PUU-VII/ 2009 tersebut. Advokat yang diangkat sebagai responden dalam penelitian ini ada dua kelompok yaitu advokat dari PERADI dan advokat dari KAI. PERADI adalah organisasi advokat yang terbentuk lebih dulu dari KAI. Dari awal dibentuk PERADI telah menyelenggarakan Pendidikan Khusus Profesi Advokat, ujian, dan semua advokat PERADI telah bersumpah di sidang terbuka Pengadilan Tinggi sehingga memenuhi persyaratan Pasal 4 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003 sebagai advokat yang sah. KAI adalah organisasi advokat yang muncul kemudian. KAI juga meyelenggarakan ujian, pendidikan advokat, dan pelantikan advokat, namun hingga saat ini belum ada advokat KAI yang memenuhi persyaratan Pasal 4 ayat (1) UU No. 18 tahun 2003 yaitu advokat harus bersumpah dalam sidang terbuka
Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya, sehi ngga mengalami permasalahan dalam menjalankan profesi advokatnya. Atas dasar itulah beberapa advokat KAI mengajuan pengujian Pasal 4 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003 ke Mahkamah Konstitusi, atas permohonan ters ebut kemudian l ahir Putus an Mahkamah Konstitusi No. 101/PUU-VII/ 2009. Sekalipun Putusan Mahkamah Ko ns ti tusi No. 101/PU U-VI I/2009 memenangkan para pemohon yang dalam hal ini adalah para advokat KAI, namun hingga saat ini para advokat dari organisasi advokat Kongres Advokat Indonesia (KAI) Yogyakarta belum ada yang memenuhi persyaratan Pasal 4 ayat (10 UU No. 18 Tahun 2003 yaitu persyaratan bersumpah dalam sidang terbuka Pengadilan Tinggi Yogyakarta. Menurut pendapat advokat KAI, tidak disumpahnya advokat dalam sidang terbuka Pengadilan Tinggi adalah sebagai berikut : Tabel 1 Perasaan Advokat yang tidak disumpah Pengadilan Tinggi Yogyakarta No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Perasaan Advokat yang tidak disumpah Pengadilan Tinggi Yogyakarta Kecewa Ada kekhawatiran Sangat menyesalkan Ada keragu-raguan Tidak menjawab Tidak mempermasalahkan Jumlah
Jumlah 14 4 2 2 4 4 30
Sumber : data primer tahun 2010
Tidak disumpahnya advokat dalam sidang terbuka Pengadilan Tinggi Yogyakarta membuat sebagian besar advokat KAI kecewa. Para advokat kecewa
37
didasarkan pada alasan bahwa Mahkamah Agung dan Pengadilan Tinggi tidak tunduk Putusan Mahkamah Konstitusi No. 101/ PUU-VII/2009, padahal permasalahan tidak disumpahnya advokat di sidang terbuka Pengadilan Tinggi menyangkut penghidupan advokat dan keluarganya. Tidak disumpahnya advokat KAI juga menyebabkan kedudukan advokat KAI dan PERADI menjadi tidak seimbang. Selain itu, tidak dilakukannya penyumpahan advokat KAI menimbulkan kekhawatiran advokat KAI apabila tidak diakui dan diterima sebagai advokat, serta ada keragu-raguan apakah dalam menjalankan profesinya akan diterima oleh hakim untuk mendampingi klien. Meskipun demikian, ada pula advokat yang tidak mempersalahkan hal tersebut dengan argumentasi bahwa sejak lahirnya UU No. 18 tahun 2003, pelantikan advokat dilakukan oleh organisasi advokat dan bukan oleh Pengadilan Tinggi. Menurut advokat KAI, tidak dipenuhinya persyaratan bersumpah dalam sidang terbuka Pengadilan Tinggi, memberikan pengaruh terhadap pelaksanaan profesi keadvokatan advokat yang bersangkutan. Lihat tabel berikut : Tabel 2 Pengaruh tidak disumpahnya advokat oleh Pengadilan Tinggi Yogyakarta terhadap pelaksanaan profesi advokat No. 1. 2. 3.
Tanggapan Advokat Berpengaruh Tidak bepengaruh Tidak menjawab
Jumlah Sumber : data primer tahun 2010
38
Jumlah 15 9 6 30
Berdasarkan tabel tersebut, sebagian besar advokat KAI mengatakan bahwa tidak disumpahnya advokat oleh Pengadilan Tinggi Yogyakarta memberikan pengaruh terhadap pelaksanaan profesi keadvokatan dengan alasan sebagai berikut : 1. Advokat yang belum memenuhi persyaratan bersumpah dalam sidang terbuka Pengadilan Tinggi tidak diizinkan oleh hakim untuk menjadi kuasa hukum dalam persidangan di pengadilan. Advokat tersebut diperbolehkan beracara atau menjadi kuasa hukum dalam persidangan apabila bergabung dengan advokat lain yang sudah memenuhi persyaratan bersumpah dalam sidang terbuka Pengadilan Tinggi. 2. Ada ketakutan dalam diri advokat yang bel um memenuhi pers yaratan bersumpah dalam sidang terbuka Pengadilan Tinggi akan ditolak dalam setiap persidangan di pengadilan. 3. Pengaruh yang paling besar adalah masih banyak hakim majelis yang mempers oalkan masal ah penyumpahan advokat dalam sidang terbuka pengadilan tinggi. Setiap kali sidang, hakim majelis menanyakan SK Pengadi lan Tinggi mengenai penyumpahan, apabila tidak bisa menunjukkan SK tersebut, ada hakim yang masih membolehkan advokat tersebut bersidang, ada pula advokat KAI tidak diperbolehkan sidang sebagai kuasa hukum dari kliennya. 4. Pengaruh lain adalah klien menjadi kurang menghargai terhadap advokat KAI karena pemberitaan di media tentang pelantikan tanpa penyumpahan oleh Pengadilan Tinggi. Pada saat sidang pengadilan advokat KAI ditolak oleh hakim, hal ini kemudian
ditanyakan oleh klien dan klien tersebut menjadi kurang menghargai advokat KAI. 5. Pada saat pendampingan klien di Polsek, Polres, dan Polda, sikap para aparat juga tidak menghargai advokat KAI. Sebanyak sembilan orang advokat KAI menyatakan tidak disumpahnya advokat oleh Pengadilan Tinggi tidak berpengaruh terhadap pro fesi keadvokatan mereka. Hal ini dikarenakan para advokat KAI menjadi kuasa hukum bersama-sama advokat lain yang sudah memenuhi persyaratan Pasal 4 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003 sehingga tidak dipermasalahkan oleh hakim. Sikap hakim terdapat advokat yang belum disumpah Pengadilan Tinggi berbeda-beda, namun sebagian besar hakim masih membolehkan advokat yang belum disumpah oleh Pengadilan tinggi untuk bersidang dan menjadi kuasa hukum bersama-sama dengan advokat lain yang sudah sah dan disumpah oleh Pengadilan Tinggi. Bagi sebagian advokat tidak ada permasalahan sepanjang masih diperbolehkan beracara di pengadilan meskipun tidak mandiri tetapi bersama-sama dengan advokat lain yang sudah memenuhi persyaratan (mempunyai bukti dokumen penyumphan Pengadilan Tinggi). Berdasarkan pengalaman para advo kat KAI, meskipun bel um melaksanakan persyaratan bersumpah dalam sidang terbuka Pengadilan Tinggi, sebagian besar para advokat KAI tidak mengal ami permas al ahan dal am pemeriksaan perkara di pengadilan. Hal ini bisa dilihat dalam tabel berikut :
Tabel 3 Permasalahan dalam pemeriksaan perkara di Pengadilan akibat tidak disumpahnya advokat oleh Pengadilan Tinggi No. 1. 2. 3.
Tanggapan Advokat Pernah Tidak Pernah Tidak Menjawab
Jumlah Sumber : data primer tahun 2010
Jumlah 10 15 5 30
Meskipun ada hakim yang mempersoalkan masalah penyumpahan advo kat dan ada yang tidak mempersoalkan, namun sebagian besar advokat KAI diizinkan oleh hakim untuk menjadi kuasa hukum dalam persidangan sepanjang advokat KAI tersebut menjadi kuasa hukum bersama-sama dengan advokat lain yang sudah s ah dan memenuhi persyaratan bersumpah dalam sidang terbuka Pengadilan Tinggi. Berdasarkan Tabel 3, sebagian besar para advokat KAI beracara di pengadilan bersama-sama dengan advokat lain yang sudah sah, sehingga tidak mengalami permasalahan dalam praktek persidangan di pengadilan. Namun demikian, ada beberapa advokat KAI yang pernah mengalami permasalahan sebagai berikut: 1. Ada satu orang advokat KAI yang dipermasalahkan oleh Panitera Pengadilan Negeri Sleman karena masuk dalam surat kuasa ketika mengajukan pendaftaran permohonan perceraian. 2. Ada tujuh orang advokat KAI yang diminta oleh hakim untuk menunjukkan Berita Acara Penyumpahan oleh hakim anggota pada saat sidang. Karena tidak bisa menunjukkan Berita Acara Penyumpahan tersebut terjadi perdebatan dengan hakim namun bisa
39
diselesaikan oleh ketua majelis hakim, sehingga advokat KAI tersebut bisa melanjutkan sidang. 3. Ada dua orang advokat KAI yang tidak diperkenankan mendampingi klien karena tidak bisa menunjukkan Berita Acara Penyumpahan. Dari dua orang advokat KAI yang tidak diperkenankan mendampingi klien tersebut, satu orang advokat KAI tidak bol eh mendampingi terdakwa di pengadilan karena tidak bisa menunjukkan Berita Acara Penyumpahan, kasus ini terjadi bahkan setelah ada Putusan Mahkamah Konstitusi No. 101/PUU-VII/ 2009. Sikap hakim terhadap para advokat KAI yang belum memenuhi persyaratan bersumpah dalam sidang terbuka Pengadilan tinggi, sebelum dan sesudah putusan Mahkamah Konstitusi No. 101/PUU-VII/2009 adalah relatif sama. Hal ini bisa dilihat pada tabel berikut : Tabel 4 Sikap hakim terhadap advokat yang tidak disumpah oleh Pengadilan Tinggi
No.
Sikap Hakim
1. Mempersoalkan penyumpahan 2. Tidak mempersoalkan penyumpahan 3. Tidak Menjawab Jumlah
Sebelum Sesudah Putusan Putusan 10
9
17
18
3 30
3 30
Sumber : data primer tahun 2010
Berdasarkan tabel tersebut, ada perubahan sedikit perubahan yaitu bahwa setelah ada Putusan Mahkamah Konstitusi No. 101/PUU-VII/2009 sikap hakim semakin tidak mempersoalkan advokat yang tidak disumpah oleh Pengadilan Tinggi. Sikap hakim yang mempersoalkan advokat yang belum disumpah Pengadilan
40
Tinggi, dalam prakteknya berbeda antara hakim satu dengan hakim yang lainnya. Ada hakim yang menanyakan bukti dokumen penyumpahan pada saat pers idangan, ada pula yang tidak menanyakan. Apabila hakim menanyakan bukti dokumen penyumpahan, advokat yang bersangkutan tidak dapat menunjukkan dokumen penyumpahan tersebut, maka advokat tersebut tidak diizinkan oleh hakim untuk beracara dalam persidangan mendampingi klien apabila advokat tersebut beracara sendiri atau bersama-sama dengan advokat lain yang juga tidak mempunyai dokumen penyumpahan. Namun apabila advokat yang tidak mempunyai dokumen penyumpahan tersebut bergabung dengan advokat lain yang sudah mempunyai dokumen penyumpahan maka advokat tersebut diizinkan untuk beracara menjadi kuasa hukum di persidangan. Hakim yang tidak menanyakan dokumen penyumpahan pada saat persidangan biasanya hakim bersifat menunggu, apabila ada keberatan/eksepsi dari pihak lawan maka hakim baru mempermasalahkan. Dalam praktek persidangan di wilayah hukum Kota Yogyakarta, Kabupaten Bantul, dan Kabupaten Sleman, sebagian besar hakim tidak mempermasalahkan advokat sudah bersumpah di Pengadilan Tinggi atau belum, hakim mempermasalahkan apabila ada keberatan atau eksepsi dari pihak lawan. Menurut Ketua DPD KAI Yogyakarta, Hakim yang mempermasalahkan advokat yang tidak dapat menunjukkan dokumen penyumpahan Pengadilan Tinggi dan kemudian tidak membolehkan advokat yang bersangkutan untuk menjadi kuasa hukum dalam persidangan hanya 10%. Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi No. 101/PUU-VII/2009 tersebut, para advokat KAI memberikan tanggapan
bahwa Mahkamah Agung dan lembaga peradilan di bawahnya seharusnya tunduk dan patuh pada Putusan Mahkamah Konstitusi No. 101/PUU-VII/2009 dan Pengadilan Tinggi melaksanakan amanat yang disampaikan Pasal 4 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003. Mereka juga menghendaki agar organisasi advokat bersatu, karena permasalahan organisasi advokat menjadikan advokat-advokat di bawahnya menjadi bingung dan menyebabkan timbulnya ketidaknyamanan dalam menjalankan pro fesi keadvokatannya. Pembahasan selanjutanya adalah tanggapan dari para advokat PERADI. Menurut advo kat PERADI, tidak dilakukannya sumpah oleh advokat dalam sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya, maka advokat yang bersangkutan bukan merupakan advokat yang sah karena tidak memenuhi ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Karena bukan advokat yang sah, maka advokat yang bersangkutan tidak berhak menjadi kuasa hukum dalam persidangan di pengadilan. Pendapat advokat PERADI mengenai sikap para hakim dapat dilihat pada tabeli berikut. Tabel 5 Pendapat advokat PERADI mengenai sikap hakim terhadap advokat yang tidak disumpah oleh Pengadilan Tinggi No.
Sikap Hakim
1. Mempersoalkan penyumpahan 2. Tidak mempersoalkan penyumpahan 3. Tidak menjawab Jumlah
Sebelum Sesudah Putusan Putusan 12
10
18
17
30
3 30
Berdasarkan tabel tersebut, menunjukkan bahwa hanya ada perbedaan sedikit antara sebelum ada Putusan Mahkamah Konstitusi dan setelah ada Putusan Mahkamah Konstitusi. Sebelum Putusan Mahkamah Konstitusi hakim yang mempersoalkan ada 18 orang dan setelah putusan Mahkamah Konstitusi hakim yang mempersoalkan ada 17 orang. Apabila dibandingkan dengan pendapat para advokat KAI mengenai sikap hakim terhadap hakim yang tidak disumpah oleh Pengadil an T inggi pada tabel 4, menunjukkan persamaan yaitu setelah ada Putusan Mahkamah Konstitusi No. 101/ PUU-VII/2009, hakim semakin tidak mempersoalkan advokat yang tidak disumpah oleh Pengadilan Tinggi. Selama ini hakim tidak mempermasalahkan advokat sudah dilantik dan disumpah atau belum, yang penting pada saat mendaftarkan surat kuasa sudah dilampiri kartu Advokat. Apabila ada keberatan dari pihak lawan, hakim baru akan mempersoalkan advokat sudah disumpah atau belum. Hal ini bisa dilihat pada tabel berikut : Tabel 6 Sikap advokat PERADI terhadap advokat yang belum disumpah Pengadilan Tinggi dalam persidangan pengadilan No. 1. 2. 3.
Sikap Advokat PERADI Mengajukan keberatan kepada hakim Menyerahkan kepada kebijaksanaan hakim Tidak mempersoalkan Jumlah
Jumlah 15 1 14 30
Sumber : data primer tahun 2010
Sumber : data primer tahun 2010
Berdasarkan tabel tersebut, sebagi an bes ar advo kat PE RADI mengajukan keberatan kepada hakim yang
41
memeriksa perkara apabila kuasa hukum lawan adalah advokat yang belum disumpah oleh Pengadilan Tinggi. Atas keberatan tersebut, hakim kemudian tidak mengizinkan kuasa hukum pihak lawan yang belum disumpah untuk beracara di pengadilan. Namun ada pula hakim yang tetap membolehkan advokat yang belum memenuhi persyaratan bersumpah dalam sidang terbuka Pengadilan Tinggi tersebut untuk menjadi kuasa hukum dalam persidangan meskipun telah diajukan keberatan terhadap hakim. Terhadap kasus yang demikian, advokat PERADI minta kepada hakim supaya hal tersebut dicatat dalam Berita Acara Sidang. Advokat PERADI yang mengajukan keberatan terhadap kuasa hukum lawan yang merupakan advokat yang belum bers umpah dal am s idang terbuka Pengadilan Tinggi, mempunyai alasan bahwa advokat PERADI merasa sebagai advokat yang sah dan melalui proses/ prosedur menjadi advokat yang memenuhi standarisasi yang cukup ketat, sedangkan advokat lain adalah advokat yang melalui proses/prosedur dengan standarisasi yang tidak ketat. Namun ada juga advokat dari PERADI yang mempunyai pandangan lain. Apabila ada kuasa hukum pihak lawan yang belum disumpah oleh Pengadilan Tinggi maka akan menyerahkan hal tersebut kepada kebijaksanaan hakim majelis. Sedangkan advokat lainnya tidak mempersoalkan pihak lawan sudah disumpah atau belum, hal ini disebabkan sebagian advokat PERADI sering menjadi kuasa bersama dengan para advokat KAI yang belum disumpah oleh Pengadilan Tinggi, sehingga jika bertemu dengan kuasa hukum lawan yang belum disumpah Pengadilan Tinggi cenderung tidak mempersoalkan dalam persidangan cenderung tidak mempermasalahkan.
42
Para advokat PERADI memberikan tanggapan yang berbedabeda mengenai putusan Mahkamah Konstitusi No. 101/PUU-VII/2009 sebagai berikut : 1. Apabila tidak memenuhi syarat tidak disumpah Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya maka bertentangan dengan UUD 1945. Tetapi jika sudah disumpah Pengadilan Tinggi maka tidak bertentangan dengan UUD 1945. Dengan penafsiran tersebut, maka Pengadilan Tinggi harus menjalankan perintah Mahkamah Konstitusi untuk menyumpah advokat dan tidak memandang dari organisasi manapun sebelum ada wadah tunggal. 2. Putusan Mahkamah Kons titusi membingungkan, karena putusan tersebut memerintahkan Pengadilan Tinggi untuk menyumpah para advokat sebelum praktek di pengadilan tidak memandang dari organisasi advokat manapun. Padahal UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat mengatur bahwa untuk menjadi advokat harus mengikuti Pendidikan Khusus Profesi Advokat dan mengikuti Ujian yang diselenggarakan oleh organisasi advokat yang tunggal. Setelah itu disumpah oleh Pengadilan Tinggi, untuk bisa disumpah maka harus diajukan oleh organisasi advokat yang tunggal. 3. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut multi tafsir dan bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang terdahulu yang mengakui satu-satunya organisasi advokat yang tunggal yaitu PERADI. 4. Putusan Mahkamah Kons titusi merupakan implementasi hierarkhi perundang-undangan. Namun secara substansial justru menimbulkan permasalahan baru, karena MK tidak
mempertimbangkan adanya perintah UU Advokat, yang mana sudah terbentuk wadah tunggal organisasi advokat. 5. Adanya Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut semakin menimbulkan ketidakpastian. 6. Dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut tetap tidak menyelesaikan masalah yang terjadi dalam dunia keadvokatan. Kekisruhan dalam pelantikan yang dilaksanakan di Pengadilan Tinggi semakin sering terjadi. 7. Adanya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 101/PUU-VII/2009 tersebut, menunjukkan bahwa Mahkamah Konstitusi tidak tegas menyatakan organisasi advokat mana yang sah sehingga menimbulkan ketidakpastian. Di tingkat bawah antara advokat baik PERADI maupun KAI sendiri dalam prakteknya banyak yang tidak mempersoalkan. Banyak advokat KAI yang menjadi kuasa hukum dalam satu surat kuasa bersama-sama dengan advokat PERADI. E. KESIMPULAN DAN SARAN a. Kesimpulan Berdasarkan uraian dan análisis dalam bab-bab sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Tanggapan para advokat yang belum disumpah oleh Pengadilan Tinggi Yogyakarta (dalam hal ini adalah Advokat KAI) terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi No. 101/PUU-VII/ 2009 adalah : Putusan Mahkamah Konstitusi No. 101/PUU-VII/2009 diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan advokat KAI, namun demikian Putusan Mahkamah Konstitusi No. 101/PUU-VII/2009 tersebut belum dilaksanakan oleh pihak-pihak yang
berkompeten. Hingga saat ini advokat KAI tetap tidak bisa melaksanakan penyumpahan dalam sidang terbuka Pengadi lan Tinggi Yogyakarta. Akibatnya, sama seperti sebelum ada Putusan Mahkamah Konstitusi No. 101/ PUU-VII/2009, advokat KAI tidak bisa menjadi kuasa hukum yang mandiri tetapi harus bergabung dengan advokat lain yang sudah memenuhi persyaratan. Dalam prakteknya, hakim juga masih ada yang menanyakan Berita Acara Penyumpahan advokat, bahkan ada yang tidak dizinkan oleh hakim untuk mendampingi terdakwa di pengadilan dikarenakan tidak bisa menunjukkan bukti Berita Acara Penyumpahan advokat. 2. Tanggapan para advokat yang telah disumpah dalam sidang terbuka Pengadilan tinggi (dalam hal ini PERADI) adalah bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi No. 101/PUUVII/2009 tidak berimplikasi terhadap pelaksanaan profesi advokat di Daerah Istimewa Yogyakarta. Adanya Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut tidak memberikan implikasi apa pun bagi organisasi advokat PERADI. Sejak awal dibentuknya PERADI, PERADI telah menghasilkan advokat yang memenuhi persyaratan yang telah ditentukan oleh UU No. 18 Tahun 2003 yaitu telah mengikuti Pendidikan Profesi Khusus Advokat yang diselenggarakan oleh PERADI bekerja sama dengan perguruan tinggi, telah lulus ujian PE RADI , dan telah dil akukan penyumpahan oleh Pengadilan Tinggi di wilayah hukum advokat yang bersangkutan. b. Saran Sebaiknya organisasi advokat menyelesaikan permasalahan intern dengan baik, sehingga organisasi advokat
43
mampu melaksanakan amanat dari Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, yaitu mampu menjadi advokat yang bebas, mandiri, bertanggung jawab, untuk terselenggaranya suatu peradilan yang jujur, adil, dan memiliki kepastian hukum bagi semua pencari keadilan dalam menegakkan hukum, kebenaran, keadilan, dan hak asasi manusia, demi terwujudnya tata kehidupan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram, tertib, dan berkeadilan. Apabila kekacauan terus terjadi dimungkinkan dilakukan revisi terhadap UU Advokat, dan masalah izin
praktek advokat di kembalikan kewenangannya kepada Pengadilan Tinggi. Agar advokat memiliki legalitas, memenuhi persyaratan sebagai advokat yang sah seperti yang dikehendaki UU No. 18 Tahun 2003, maka Putusan Mahkamah Ko nsti tusi No. 101/PU U-VI I/2009 seharusnya dilaksanakan oleh Pengadilan Tinggi dengan mengadakan sidang terbuka untuk melakukan penyumpahan terhadap para advokat tanpa memandang organisasinya. Apalagi mengingat asas “erga omnes” yaitu bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat mengikat setiap orang.
DAFTAR PUSTAKA Daftar Buku Bambang Sutiyoso, 2006, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Bandung : Citra Aditya Bakti. ————————————, 2009, Tata Cara penyelesaian Sengketa di Lingkungan Mahkamah Konstitusi, Yogyakarta : UII Press. Indonesia, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat. Indonesia, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. Jimly Asshiddiqie, 2010, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Edisi Kedua, Cetakan Pertama, Jakarta : Sinar Grafika. Laica Marzuki, 2008, Dari Timur ke Barat Memandu Hukum, Jakarta : Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI. Maria S.W. Soemardjono, 1997, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. Soerjono Soekanto, 1984, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : Universitas Indonesia Press. Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta : Liberty.
44
PENYIMPANGAN PENEGAKAN HUKUM DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA Oleh : Mohammad Hatta *
Abstract The function of criminal trial is to protect and maintain the balance between the individual’s human right legal interest and the legal interest for the public. Based of the mattern then the existence of Human Right are the suspect’s and defendant’s human rights in the criminal trials namely right to be presumed innocent before the charges proven in the court or commonly known as Presumption of Innocence Principle. This Presumption as Innocent Principles is an essential principle of unfair trial. The rights to be considered innocent innocence equal for anyone charge filling. It remains applicable until the verdict is binding. The true mining of the Presumption of Innocent Principle is shown and the criminal trial itself. A judge may charge someone because of legal violation, if there is no reason to doubt his violation. The duty of enforcer is to bring the perpetrator to the court. However it will not be realized until the law enforcers declare the violation or non violation of the arreasted individual because of legal violation. The legal enforcers are responsible in the fact finding the court in responsible upon the truths of their facts. The thesis study uses normative method by advancing law a legislation from various criminal experts, concerning handling process toward perpetrator initiated by from pres to verdict, where the defendant always suffer of various form of violation against him. Keyword: Deviation of Law Enforcement Process of Law. A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Penegakan hukum dan ketertiban merupakan syarat mutlak bagi upaya penciptaan Indonesia sebagai suatu negara hukum yang damai dan sejahtera. Karena bila hukum ditegakkan dan ketertiban diwujudkan, kepastian rasa aman tentram ataupun kehidupan yang rukun akan dapat terwujud. *
Tanpa penegakan hukum dan ketertiban akan menghambat tercapainya masyarakat yang berusaha dan bekerja dengan baik untuk memenuhi kebutuhan hidup didalam negara hukum, hal mana sekaligus menunjukkan keterkaitan yang erat antara antara adil, damai dan sejahtera. Adapun pada tataran perbaikan aspek keadilan tentunya akan memudahkan pencapaian kesejahteraan umum dan
Dosen Fakultas Hukum Universitas Janabadra Yogyakarta
45
perdamaian. Kedudukan para penegak hukum yang independent dan semangat akuntabilitas merupakan dua sisi mata uang logam, independensi harus diimbangi dengan akuntabilitas. Tetapi sayangnya dalam praktek pengaturan tentang akuntabilitas dalam proses penegakan hukum tidak jelas, kepada siapa dan bagaimana pertanggungan jawab proses penegakan hukum dipertanggung jawabkan. Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 ditegaskan bahwa “Indonesia adalah Negara Hukum”. Sebagai negara Hukum mengandung arti bahwa dalam hubungan antara hukum dan kekuasaan, kekuasaan harus tunduk pada hukum, sebagai kunci stabilitas politik dalam masyarakat. Di dalam Negara Hukum, hukum merupakan pilar utama dal am menggerakkan sendi sendi kehidupan bernmasyarakat berbangsa maupun bernegara. Pasal 1 ayat (3) Bab 1 Amandemen ketiga Undang Undang Dasar 1945 menegaskan kembali bahwa Indonesia adalah Negara Hukum. Artinya tidak berdasarkan kekuasaan dan pemerintah dijalankan berdasar pada konstitusi (hukum das ar) bukan abso luti on (kekuasaan tak terbatas). Sebagai implementasi dari Pasal 1 ayat (3) Amandemen ketiga Undang Undang Dasar 1945, diterapkan prinsip prinsip yang wajib dijunjung tinggi oleh setiap warga negara yaitu supremasi hukum, kesetaraan dibidang hukum dan penegakan hukum dengan cara-cara yang tidak bertentangan dengan hukum. 1 Sebagai konsekwensi suatu negara yang dikukuhkan sebagai “negara hukum” di dal am konstitus inya, maka 1
konsekwensinya harus diterima bahwa Indonesia harus melengkapi dirinya dengan perangkat hukum yang berfungsi untuk menjaga keberdayaan suatu Negara Hukum. Salah satu fungsi lembaga yang memiliki peranan yang strategis dan urgent adalah adanya kekuasaan kehakiman yang mandiri dan bebas dari campur tangan kekuasaan lain, sebagai badan yudikatif. Sedemikian pentingnya lembaga kontrol oleh kekuasaan Yudikatif mutlak tidak hanya sekedar ada, memiliki fasilitas dan kemampuan untuk menyelesaikan suatu perkara, tetapi lebih dari itu harus bersyaratkan dengan predikat bersih dan berwibawanya dalam menegakkan hukum dan keadilan.2 Fenomena penyimpangan dari tugas hukum menunjukkan kepada adanya indikasi yang mengarah kepada “embryo” mafia peradilan yang mengisyaratkan hal itu, seperti dikatakan oleh Mardjono Reksodiputro bahwa beberapa modus korupsi dilakukan baik oleh lembaga Kepolisian Kejaksaan maupun Pengadilan yang terlihat dari terlibatnya pejabat ketiga institusi itu.3 Selain melibatkan unsur penegak hukum, penyimpangan proses penegakan hukum juga ditengarai berkaitan dengan terjadinya “transaksi politik”. Prasangka paling sederhana adalah transaksi politik sedang berlangsung dalam penuntasan kasus mafia pajak. Ingat kasus bank Century? Kasus yang ditangani merugikan keuangan negara sebesar Rp 6,7 triliun yang hingga kini belum tuntas. Pada awalnya Pansus bentukan DPR getol melakukan pemeri ks aan dengan memanggil semua saksi dan ahli serta menelaah semua dokumen terkait penyelamatan Bank Century, salah satu
Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah Panjang Tahun 2004-2009 Al Wisnubroto, Hakim dan Peradilan di Indonesia, Dalam Beberapa Aspek dan Kajian, Penerbit Universitas Arma Jaya, Yogyakarta, 1997, hal 64 3 Wazingatun Zakiyah dkk, Menyingkap Tabir mafia Peradilan, Jakarta ICW, 2002, hal 24-25 2
46
motor penggerak Pansus adalah partai Golkar. Hasilnya 325 anggota DPR dalam sidang paripurna sepakat ada indikasi pelanggaran hukum dalam kebijakan penyertaan modal sementara dan pemberian fasilitas pendana jangka pendek Bank Century. Setelah ricuh sidang DPR yang intinya antara lain penyelesaian secara hukum dengan anti klimak keluarnya Sri Muljani dari kabinet, gerak Partai Goklar pun melambat. Tak hanya itu transaksi politik membuahkan hasil, kasus Century benar-benar meredup terutama setelah Kepolisian, Kejaksaan Agung dan KPK bersuara sama belum ditemukan adanya pelanggaran hukum.4 Tampaknya kasus mafia pajak juga akan mengalami hal sama, sulit dibongkar. Transaksi politik membungkusnya dengan rapat. Penarikan usul angket anggota Partai Demokrat menjadi pertanda bahwak kasus mafia pajak akan susah dibongkar, Sekretariat Gabungan Partai Politik pendukung pemerintah yang justru jadi penghambat. Beberapa perusahaan besar yang sedang dalam penyelidikan atas dugaan pengemplang pajak jadi bagian dari salah satu tokoh sentral partai politik pendukung Sekretariat Gabungan partai koalisi (Setgab). Partai golkar sangat bernafsu membongkar skandal Century karena diduga melibatkan Partai Demokrat terkait pendanaan kampanye Pemilu 2009. Satgas Pemberantasan Mafia Hukum yang dibentuk Presiden SBY ber-kepentingan menyerap keterl ibatan beberapa perusahaan besar Aburizal Bakri, Ketua Umum Partai Golkar yang diduga penyuap terbesar dibalik kasus Gayus. Sementara Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) berharap KPK lebih fokus membongkar kasus Century dari pada kasus Gayus maupun cek perjalanan yang melibatkan anggota 4
Komisi Keuangan dan Perbankan DPR periode 1999-2004 dari Partai Banteng Gemuk. Kecenderungan untuk saling mencekal dan membela diri politik berbau amis ini barangkali merupakan kartu truf untuk membuka tabir misteri mengapa kepentingan publik dan menegakkan hukum pidana dalam kasus tertentu akhirnya dikorbankan. Penegakan hukum erat hubungannya dengan negara hukum dan istilah negara hukum oleh para ahli telah diberikan pengertian sebagai suatu negara yang tunduk pada hukum, peraturanperaturan hukum berlaku tidak hanya bagi warga negara tetapi juga bagi segala badan dan alat perlengkapan negara. Sistem Peradilan Pidana (SPP) tidak semata-mata berkaitan dengan penegakan hukum, tetapi dimulai sejak perumusan peraturan perundang undangan pidana (Hukum Pidana Material). SPP sebagai suatu keutuhan dalam pengertian sistem, justru cenderung menjadi menjadi tercerai berai kedalam organisasi atau lembagalembaga yang tidak pernah saling berhubungan satu sama lain kecuali diwajibkan oleh undang undang. Titik awal sistem pidana material tidak pernah disinggung sebagai bagian dari sistem. Contohnya dapat dilihat dari rumusan Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi dimana rumusan delik dibuat seluas luasnya sehingga sekalipun belum ada kerugian atas keuangan negara, seseorang dapat saja dituduh melakukan tindak pidana korupsi. Contohnya dalam perkara tindak pidana korupsi di Bank Mandiri dengan terdakwa E.C.W Nelloe. Soleh Tasripan dan I Wayan Pugeg. Mereka dituduh melakukan tindak pidana korupsi sekalipun kredit tersebut belum jatuh tempo.
Harian : Kompas, Rabu 9 Februari 2010
47
2. Rumusan Masalah Bertitik tolak dari uraian latar belakang yang mengandung aspek faktafakta, pokok pikiran para ahli dan hakekat rumusan perundang undangan yang ada maka dapat dikemukakan masalah sebagai berikut: 1) Apa saja faktor-faktor dominan yang mempengaruhi proses penegakan hukum pidana? 2) Dimana letak posisi Due Process of Law rumusan perundang-undangan dan penegakan hukum dalam peradilan pidana 3. Metode Penelitian a. Metode Pendekatan Penelitian dan analisis dilakukan secara normatif yaitu data diperoleh dari penelitian pustaka (library research). Secara singkat diungkap metode penelitian untuk mengganti kerangka konseptual, melakukan penelaahan dan pengkajian data sekunder berkaitan dengan penyimpangan hukum dan eksistensi Due Process of Law di Indonesia dan urgensi dengan tujuan pemindahan serta perkembangan pidana sebagai alternatif. b. Pengolahan Data Data yang diperoleh selanjutnya diolah dan dianalisis secara kualitatif yaitu data hasil penelitian dipandang sebagai kesatuan yang berdiri sendiri dan dilakukan analisis secara logis berdasarkan teori-teori hukum. Adapun metode pembahasan yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah deskriptif analisa yang tujuannya untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta yang diselidiki. c. Spesifikasi Penelitian Dalam penelitian ini, spesifikasi penelitian meliputi: 1) Inventarisasi hukum, yaitu kegiatan menginventaris asi hukum dan
48
2)
3)
4)
5)
perundang-undangan yang berkaitan dengan hukum Acara Pidana. Sejarah hukum yang menelusuri sejarah perkem bangan Due Process of Law. Penemuan hukum, yaitu mencari dan mengemukakan The Due Process of law di beberapa negara. Perbandingan hukum, yai tu membandingkan Due process of Law beberapa negara. Efektifitas penerapan Due Process of Law di Indonesia.
4. Maksud dan Tujuan Kegiatan analisis dan evaluasi ini dimaksudkan untuk melakukan analisis dan evaluasi hukum: a. Mengetahui faktor-faktor dominan penyimpangan yang berpengaruh terhadap penegakan hukum pidana. b. Mengetahui konsep para ahli reformasi tentang unsur-unsur negara hukum yang dapat menjadi landasan independen dan akuntabilitas peradilan pidana. c. Mengetahui letak posisi asas Due Proces s of Law dal am rumus an perundang-undangan dan penegakkan hukum dalam peradilan pidana. 5. Kegunaan Kegiatan analisis dan evaluasi ini menghasilkan kegunaan yang bersifat teoritis dan praktis sebagai berikut: a. Secara teoritis dapat memberikan manfaat dal am rencana pengembangan hukum acara pidana khususnya berkaitan dengan pidana dan pemindahan guna mewujudkan penegakan hukum yang berkwalitas. b. Secara praktis memberikan sumbangan pemikiran kepada pembuat undang undang khususnya berkaitan dengan penyempurnaan
KUHAP di masa mendatang dan bagi penegak hukum terkait dengan menentukan kebijakan dalam proses peradilan pidana. 6. Kerangka Teori dan Konseptual a. Kerangka Teori Suatu negara yang berdasarkan hukum harus menjamin adanya persamaan (equality) setiap individu, termasuk kemerdekaan indivi du menggunakan hak asasinya. Hal ini merupakan co nditio sinequa no n, mengingat bahwa negara hukum lahir dari hasil perjuangan individu atas dasar irulah penguasa tidak boleh bertindak aewenagwenang terhadap individu dan kekuasaan harus dibatasi.5 Demikian pula dalam suatu negara hukum selain terdapat persamaan juga pembatasan (restriction). Batas-batas kekuas aan ini juga berubah-ubah tergantung kondisi dan keadaan. Namun sarana yang harus dipergunakan untuk membatasi kedua kepentingan itu adalah hukum. Baik individu maupun negara merupakan subjek negara hukum yang memili ki hak dan kewajiban yang seimbang. 6 b. Kerangka Konseptual Tegaknya hukum ditandai oleh beberapa faktor yang saling berkaitan dengan aturan itu sendiri, oleh karena itu perlu ada keserasian antara peraturan perundang undangan serta fasilitas pelaksanaan hukum yang memadai, sebab seringkali hukum sulit ditegakkan bila fasilitas tidak memadai. Para pelaku hukum secara langsung adalah polisi Jaksa hakim pengacara dan Lembaga Permasyarakatan.
Dalam tuli san ini yang akan dijadikan landasan studi adalah Teori Sistem Hukum dari Lawrence F Friedman yang intinya menyebutkan bahwa hukum adalah sesuatu yang berdiri sendiri, tetapi keterkaitan dengan elemen lain seperti politik dan ekonomi merupakan pertanda khas sistem hukum tersebut. Ko mponen s truktur hukum merupakan representasi dari aspek instituisional (birokrasi) yang memrankan tugas pelaksanaa hukum dan pembuatan undang undang. Friedman memberikan gambaran tentang peran yang dilakukan oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat. Deminian juga bagaimana legislatif menentukan suatu keanggotaan organisasi Freid Trade Comission. Apakh seorang Presiden dapar bekerja dengan baik, prosedur apa yang harus dilalui oleh kepolisian dan sebagainya. Subtansi hukum sebagai suatu aspek dari sistem hukum merupakan refleksi dari aturan aturan hukum yang berlaku norma dan perilaku masyarakat tercakup dalam konsep ini, sehingga muncul hukum yang hidup (the living law), substansi konsep legal substance juga meliputi apa yang dihasilkan masyarakat. Budaya hukum (Legal culture) dimaksudkan sebagai sikap atau apresiasi masyarakat terhadap hukum dan sistem hukum (value), ide dan gagasan serta harapan harapannya. Gagasan gagasan dan opini harus dimengerti sebagai hal yang berhubungan dengan perkembangan proses hukum. Apabila orang Amerika berbicara tentang proses Pengadilan maka itu artinya bicara tentang budaya hukum. 7 Komponen struktur hukum tidak hanya menggambarkan aspek institusional,
5
O.C.Kaligis, Perlindungan Hukum dan Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan Terpidana, Bandung, Alumni, 2007, halaman 158-159 lihat juga An’i Hamzah Pembahasan Hukum Komisaris, Jakarta, BPHN Dep,2007 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta:UI Pers, 1982, hal 21 7 Larence M Friedman, The Legal System, A Social Science Prospective, Russel Sage Foundation, New York, 1975 6
49
tetapi juga tercakup didalam Hakim. 8 Walaupun apa yang harus dikerjakan oleh struktur atau aparatur tidak bisa ayau harus bertolak dari aturan aturan yang memberi dasar legitimasi dari pelerjaan aparatur. 9 Si stem hukum harus dapat memenuhi harapan so sial untuk menghasilkan sesuatu yang bercorak hukum (out put of law) yang signifikant dengan harapan sosial. Asas tentang perlakuan sama dalam hukum bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi, selain dimuat dalam hukum acara (penjelasan KUHAP) juga terdapat dalam Universal Declaration of Human Right (UDHR) 1948 pasal 7 tentang equality before the law (EBL) dan Pasal 11 ayat (1) tentang Presumtion of Innocence dan Intervional Covenant on Civil and Political Right 1966.10 Berkaitan dengan hal tersebut Subhi Mahmasani 11 menyatakan bahwa persamaan seluruh manusia dihadpan hukum tahta ada perbedaan antara mereka karena perbedaan warna kulit, etnis, agama serta bangsa keturunan kelas dan kekayaan. Mantan Ketua Mahkamah Agung, Wirjono Projodikoro berpendapat: “Bahwa tujuan dari hukum acara pidana ialah untuk mencari kebenaran materiel serta mencari dan mewujudkan keseimbangan antara kepentingan hukum individu dan kepentingan hukum masyarakat”. Kepentingan hukum dari individu dalam hal ini ialah pihak yang memperoleh tindakan penangkapan serta penahanan atas tersangka harus diperhatikan serta harus dilindungi, jangan sampai mendapat tindakan yang sewenang wenang dari petugas penegak hukum.
8
Ibid Ibid Lihat UU No 8 1981 tentang Hukum acara Pidana 11 Lihat UU No 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 8 9
10
50
B. TINJAUAN PUSTAKA 1. Pelaksanaan proses Hukum Yang Adil dan Faktor Yang Mempengaruhi Untuk mewujudkan proses hukum yang adil, maka penegakan hukum seyogyanya tidak dipandang secara sempit, namun harus secara holistik. Dengan demikian penegakan hukum tidak hanya selalu dipahami sebagai penegakan normanorma hukum yang berkaitan dengan pelanggaran seorang tersangka atau terdakwa, melainkan juga penegakan terhadap norma norma yang bertalian dengan perlindungan hak hak tersangka dan terdakwa oleh aparat penegak hukum selama proses pemeriksaan berlangsung. Dewasa ini masalah penegakan hukum semakin mendapat sorotan tajam. Bahkan tekanan kepada instisuisi hukum semakin gencar dilakukan baik oleh pencari keadilan, lembaga swadaya masyarakat maupun kalangan intelektual. Tekanan ini terjadi karena tampaknya para penegak hukum acapkali tidak lagi menjalankan missi utamanya. Justru sebaiknya para penegak huku (polisis jaksa atupun hakim) acapkali melakukan tindakan yang bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat seperti perlakuan diskriminatif terhadap para tersangka maupun terdakwa. Tindakan mana selain tidak ses uai dengan hukum acara yang mengharuskan adanya perlakuan yang sama terhadap setiap warna negara. Demikian pula halnya dengan putusan pengadilan yang terkadang menimbulkan kontroversi ditengah masyarakat. Barangkali karena alasan itulah salah satu alasan sehingga J.E. Sahetapi pernah mengungkapkan sisisme bahwa hukum memang tetap mencari kebenaran,
tetapi di pengadilan orang lebih banyak bi cara soal prosedur yang justru mengandaskan perburuan itu menjadi sekedar dagelan.12 Untuk itu maka oleh karenanya dalam Undang Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional Tahun 2000-2004 masalah pemberdayaan lembaga peradilan dan lembaga penegak hukum lainnya telah menjadi perhati an dalam bidang pembangunan hukum. Adapun sasaran program ini adalah terciptanya lembaga peradilan dan lembaga penegak hukum lainnya yang mandiri, bebas dari pengaruh kekuasaan lain. Dalam proses penegakan hukum, ada dua aspek yang kadang kala berbenturan yaitu aspek keuntungan umum dan as pek kepenti ngan individu. Kepenti ngan umum di satu si si menghendaki kebebasan individu. Untuk itu diperlukan harmonisasi agar tercipta ketertiban dan keadil an didal am mas yarakat meskipun sebenarnya kebebasan itu merupakan hal yang sangat vital bagi setiap warga negara, tetapi harus juga diakui bahwa ketertiban merupakan co nditio s ine non dalam hidup bermasyarakat seperti yang ditulis Peter Mamhmus MZ. 13 ; bahwa hukum itu diadakan untuk mengatur transaksi kehidupan bermasyarakat agar ada keseimbangan antara kepentngan individu dengan kepentingan masyarakat. Menurut Redbruch, idealnya setiap penegakan hukum seyo gyanya mempertimbangkan tiga tujuan hukum yaitu kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. 14 Kepastian hukum sangat diperlukan untuk memberikan pedoman
kepada masyarakat tentang perbuatan dan yang dilarang dan perbuatan mana yang boleh dilakukan. Tetapi dalam praktek penegakan hukum jarang sekali dapat memenuhi ke tiga unsur itu secara simultan. Kadangkala kepastian hukum lebih dominan sari keadilan, demikian pula sebaliknya contoh kasus Penembakan misterius tahun 198-an yang menimbulkan pro dan kontra. Penegakan hukum sendiri menurut Muladi 15 harus diartikan dalam kerangka 3 (tiga) konsep yakni bersifat total (total enforcement concept). Adapun konsep total tetap harus dibatasi oleh hukum acara pidana. Konsep ketiga yaitu actual enforcement concept yang muncul setelah diyakini adanya discresi dalam penegakan hukum baik yang berkaitan dengan sarana prasarana, kwalitas perundangan dan kurangnya partisipasi masyarakat. Dalam upaya penegakan hukum peranan masyarakat juga cukup dominan. Untuk itu maka untuk menjaga dan mengembangkan partisipasi masyarkakat hendaknya aparat penegak hukum hendaknya selalu memberikan aspirasi. Sebagai contoh di California, penghargaan terhadap partisipasi masyarakat cukup tinggi sehingga telah disediakan dana mereka yang menderi ta, karena membantu aparat penegak hukum menangkap seseorang penjahat atau mencegah kejahatan.16 Jadi jangan sampai terjadi yang sebaliknya, di Indonesia kadang kadang saksi justru diperlakukan tak ubahnya seperti seorang tersangka. Bila kondisi seperti di atas terus dipertahankan maka harapan untuk menimbulkan semangat atau partisipasi masyarakat dalam proses peradilan
12
Subhi Mahmasani, Konsep Dasar Hak Asasi Manusia, diterjemahkan oleh Hasanudin, 1987, hal. 212 J.E.Sahetapy, Lettrade Caxhet, Jurnal Hukum Pidana, dan Kriminologi, Volume 1/Nomor 1,1998, hal. 81 W.Friedman, Teori dan Filsafat Hukum, Rajawali Pers,1990, Jakarta, hal. 43 15 Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang,1997 hal. 58 16 Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang,1997 hal. 58 13 14
51
semakin jauh dari harapan. Bahkan akan terjadi sebaliknya yaitu menimbulkan sikap apatis dan skeptis bahkan antipati kepada aparat penegak hukum yang sudah barang tentu akan menyuburkan sikap anti sosial dalam masyarakat. Kondisi seperti di atas sebenarnya sudah diantisipasi dengan lahirnya Undang Undang nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Dalam penjelas an umumnya dis ebutkan bahwa dalam rangka menumbuhkembangkan partisipasi masyarakat untuk mengungkap tindak pidana perlu diciptakan iklim yang kondusif dengan cara memberikan perlindungan hukum dan keamanan kepada setiap orang yang mengetahui sayau menemukan suatu hal yang dapat membantu mengungkap tindak pidana yang telah terjadi dan melaporkan hal tersebut kepada penegak hukum. Soerjono Soekanto menulis bahwa penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mempengaruhinya, yaitu: 1. Faktor hukum sendiri. 2. Faktor penegak hukum yakni pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum: a. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum; b. Faktor mas yarakat yai tu li ngkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan, dan c. Faktor kebudayaan yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasakan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup.17 Sejalan dengan itu Mohammad Munir berpendapat bahwa hukum yang berfungsi sebagai kontrol sosial yang 17 18
disertai dengan ancaman sanksi tersebut tidak dapat berlaku dengan sendirinya tanpa adanya tindakan dari aparat penegak hukum yang menggerakkannya. Dalam praktek ternyata berbagai realitas sosial mengenai ketidakberdayaan hukum itu sering kali diakibatkan oleh tindakan aparat penegak hukum itu sendiri.18 Bertal ian dengan itu, Romli Atmasasmita menulis bahwa ada beberapa pertimbangan sehingga penasehat hukum sebagai komponen sistem peradilan pidana, yaitu: 1) Keberhasilan penegakan hukum dalam kenyataannya dipengaruhi juga oleh peranan dan tanggung jawab penasehat hukum. Peradilan yang cepat sederhana dan jujur bukan semata-mata ditunjukkan kepada 4 (empat) komponen penegak hukum yang sudah lama diakui, melainkan juga ditunjukkan kepada penasehat hukum yang sebagai unsur kelima. 2) Penempatan kelompok penasehat hukum diluar sistem peradilan pidana sangat merugikan baik bagi pencari keadilan maupun mekanisme kerja secara menyeluruh dan membahayakan kewibawaan penegak hukum. Akan tetapi kode etik dan tanggung jawab profesi penasehat hukum yang kurang didukung oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku akan memperkuat kecenderungan menurunnya kwalitas dalam melaksanakan peradilan yang jujur, cepat dan sederhana. Dalam upaya meningkatkan kualitas penegakan hukum, maka sumber daya manusia menyerap penegak hukum dan menerapkan norma-norma atau asas-asas yang terdapat dalam hukum acara pidana, melainkan juga mampu mengikuti dan
Arif Gosita, Victimologi dan KUHAP, Akademika, Jakarta,1987, hal. 30 Soerjono Soekanto, Beberapa Permasalahan dalam Kerangka Pembangunan di Indonesia, UI Pers, jakarta: 1983, hal. 5-6
52
memahami kecenderungankecenderungan masyarakat yang terus berkembang. Dengan demikian yang terjadi bukan hanya penegakaan hukum, tetapi penegakan keadilan. Meskipun ada yang berpendapat bahwa dalam rangka penegakan hukum, keadilan tidak dapat dijadikan tujuan. Walaupun sesungguhnya diakui titik tolak penegakan hukum tetap juga harus dilandasi oleh tujuan untuk mencapai kebenaran dan keadilan. Pengertian penegakan hukum dan keadilan sebenarnya telah disebutkan dalam Undang Undang nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 28 yang menegaskan hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilainilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian diharapkan akan memberikan kepuasan kepada mas yarakat sekaligus menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap aparat hukum. Sebagai penegak hukum dan keadilan, hakim dituntut tidak hanya sebagai terompet Undang Undang, tetapi harus berani melakukan terobosan hukum dengan melakukan penafsiran secara aktif dan dinamis terhadap norma hukum. Contoh terobosan dapat dilihat dalam kasus Mukhtar Pakpahan, putusan MA Nomor 395.K/Pid/195 tanggal 29 September, terdakwa adalah seorang terdakwa yang dijatuhi hukuman pidana penjara selama tiga tahun. Tapi oleh MA terdakwa dibebaskan karena dianggap tidak terbukti secara sah dan meyakinkan. Salah satu pertimbangan MA adalah karena Judex Pacti salah menafsirkan unsur “menghasut” yang dituduhkan kepada terdakwa dimana tidak banyak beringsut dari paham tatkala Undang Undang hukum pidana dibuat hampir seratus tahun yang lalu. 19
Seharusnya, demikian pertimbangan MA dengan berjalannya waktu yang begitu panjang, dimana tatanan kehidupan sosial pol itik tel ah mengalami banyak perubahan. 19 Selain itu dalam proses penegakan hukum, pemahaman raison d’etre hukum sangat penting. Hukum bukan hanya digunakan sebagai instrumen semata, mel ainkan juga adanya pemahaman terhadap hakekat hukum itu sendiri. Seperti yang terjadi pada saat penggantian hukum acara pidana dari HIR ke KUHP. Raison d’etre nya karena dalam proses peradilan pidana yang dianut HIR tidak memberikan cukup perlindungan terhadap hak asasi manusia/tersangka sehingga pembuat Undang Undang merasa perlu membuat hukum acara pidana baru yang memberikan jaminan-jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia/ tersangka. Salah satu bentuk perlindungan hak tersangka/terdakwa dalam KUHAP atau tidak diakuinya lagi pengakuan terdakwa sebagai alat bukti yang berdiri sendiri sebagaimana yang terdapat dalam HIR, jadi pengakuan terdakwa hanya bagian dari keterangan terdakwa, artinya penyangkalan terdakwa juga dapat ditafsirkan sebagai alat bukti yang sah. Akan tetapi dalam perkembangannya, implementasi KUHP di lapangan ternyata masih jauh dari harapan. Kasuskasus kematian Cece Tajudin yang diduga disebabkan karena penganiayaan oknum polisi. Cece Tajudin yang semula adalah saksi korban menjadi saksi kunci bersamasama saksi Nukman Lubis dalam kasus perampokan uang sejumlah Rp 350 juta; tanpa sebab yang jelas statusnya berubah menjadi tersangka dan pada s aat menjalani tahanan itulah Cece Tajudin meninggal dunia dengan menimbulkan
Hadeli Hasibuan, Adi Andojo, Pasti Ada Kolusi di Mahkamah Agung, Liga Pro Abadi, Tanpa Tahun, hal. 170
53
polemik yang tidak jelas mengenai sebab kematiannya. Nasib yang sama dialami pula oleh Zulkarnain yang tewas dalam tahanan Polres Tanjung Balai akibat luka tembak dan pukulan petugas.20 Selain itu kasus seperti Sengkon dan Karta yang terjadi pada dekade tahun 1970 an masih sering terulang. Salah satu contohnya adalah kasus Risman dan Rostin suami isteri yang dihukum selama tiga setengah tahun penjara dalam kasus pembunuhan anak, yang ternyata anak yang dimaksud masih hidup.21 Bertalian dengan keterangan yang diberikan oleh tersangka, menurut doktrin, hanya keterangan yang diberikan secara sukarela oleh tersangka yang dianggap sah menurut hukum. Mengenai kapan keterangan seorang tersangka dianggap diberikan secara sukarela atau tanpa tekanan Mahkamah Agung Amerika Serikat memberikan pedoman, meskipun tanpa menggunakan siksaan atau paksaan, interogasi di dalam tahanan sudah merupakan beban yang sangat berat terhadap kebebasan pribadi tersangka dan hal itu sudah merupakan bentuk intimidasi. Peradilan di Indonesia acapkali bersifat fo rmal isti s dalam meni lai “keterangan yang diberikan secara sukarela” yaitu hanya terdakwa tidak terbukti karena adanya siksaan pisik. Sebagai bahan perbandingan dapat dilihat kasus di Amerika Serikat yaitu Miranda vs Arizona, 384 U.S.436 (1966) dimana Mahkamah Agung mendasarkan adanya penilaian realistis terhadap praktekpraktek interogasi aktual, menyatakan bahwa dalam perkara pidana, penuntut umum tidak bol eh menggunakan keterangan yang diberikan tersangka ketika ia ditahan oleh polisis kecuali dapat
20 21 22
menunjukkan rambu-rambu yang dapat menjami n privil ese untuk ti dak menyalahkan diri sendiri. Artinya sebelum diinterogasi tersangka harus diberitahu akan ha-haknya, seperti hak untuk tidak menjawab hak untuk didampingai pengacara dan sebagainya. Sebagai perbandingan lihat putusan Mahkamah Agung Amerika dalam perkara Week vs Amerika Seri kat, 232 U.S. (1914) memutuskan bahwa bukti-bukti yang diperoleh secara melawan hukum tidak boleh dipergunakan di dalam persidangan federal. Sikap Mahkamah Agung Amerika Serikat di atas selaras dengan putusan Mahkamah Agung Indonesia dalam perkara No 1174 K/Pid/1995 dalam kasus terdakwa Mutiari dan perkara No 29 K/Pid/1995 atas nama Yudi Susanto, Putusan Mahkamah Agung RI No 381 K/Pid/1995 atas nama Yidi Astono. Dalam putusan-putusan tersebut di atas , semua terdakwa dibebaskan karena tidak terbukti secara sah dan meyakinkan. Sal ah s atu pertimbangannya adalah karena ternyata semua keterangan terdakwa telah dicabut karena ketika di periksa oleh penyidik ditemukan adanya tekanan phisik dan psychis yang dapat dibuktikan secara nyata.22 Untuk menunjukkan kesungguhan dalam mengurangi tindakan penyiksaan dari aparat penegak hukum, telah dibuat Undang Undang No 5 Tahun 1988 tentang Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan Rangkuman Lain yang Kejam Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia. Intinya ketentuanketentuan po kok yang mengatur pelarangan penyiksaan baik phisik maupun mental, perlakuan atau penghukuman
Jurnal : Forum Keadilan, Nomor 22 Tahun 1993 Harian : Fajar, Selasa, 10 juli 2007 A.A. Peters, Hukum dan Perkembangan Sosial, Buku Teks Sosiologi Hukum, Buku 111, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta: 1988 hal. 63-64
54
yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia yang di landas kan atas has utan dari atau persetujuan/sepengetehuan pejabat politik dan orang lain yang bertindak dalam jabatannya. Sayangnya pelarangan penyiksaan yang diatur dalam konvensi ini ti dak mencakup rasa saki t atau penderitaan yang timbul, melekat atau diakibatkan oleh sanksi hukum yang berlaku. Hal ini diperkuat dengan oleh Pasal 33 Undang Undang Nomor 39 Tahun 199 tentang Hak Asasi Manusia yang isinya: “setiap orang yang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan. Kecenderungan tidak dijunjung tingginya etik dan moral dalam setiap penegakan hukum akan mengubah peranan profesi hukum menjadi profesi bisnis yang profit oriented. Kondisi seperti di atas membuktikan betapa tidak profesionalnya kondisi penegakan hukum. Mengenai profesi advokad, J.E. Sahetapy telah mengingatkan bahwa suatu kekeliruan bila menganggap penasihat hukum (advoka/pengacara) harus qoute que qoute membela klien dan bukan membela hukum dan keadilan, harus diluruskan kembali. Tugas utama seorang penasehat hukum bukan hanya membela klien. Jika demikian, betapa buruk dan menyedihkan nasib klien yang tidak mampu atau miskin, pada hal seorang penasehat hukum dalam proses peradilan seharusnya dipandang debagai “officer of the court”. 23 Untuk itu patutlah menjadi bahan perenungan bagi seorang pengacara, yaitu pengalaman pertama Mahatma Gandi sebagai seorang pengacara dimana ia
23
menghimbau kliennya untuk menerima pembayaran dengan cicilan dari pihak lawannya dengan pertimbangan agar pihak lawan tidak bangkrut. Menurut Gandhi, “Saya juga menyadari, bahwa fungsi yang benar dari seorang pengacara adalah untuk mempersatukan pihak-pihak yang telah dipisahkan satu sama lain”. Kesimpulan dari alinea di atas adal ah bahwa masalah moral itas merupakan hal yang sangat penting untuk mengukur profesionalisme seorang penegak hukum, termasuk pengacara; karena betapapun lengkap dan bagusnya suatu peraturan hukum bila tidak dibarengi dengan mental yang baik dari pelakunya (para penegak hukum) niscaya penegak hukum akan sulit dilaksanakan bahkan yang timbul adalah ketidak adilan dan kesewenang-wenangan. Bertalian dengan uraian di atas, Andi Zaenal Abidin pernah menyatakan bahwa “bila saya disuruh memilih antara hukum yang baik tetapi aparat hukum yang jelek dengan hukum yang buruk tapi aparat hukum yang baik maka saya memilih yang kedua (aparat yang baik). A.C. Dicey mengetengahkan tiga pengertian the rule of law pertama: bahwa setiap orang tidak dapat dipidana dan tidak akan menderita jasmaniah ataupun material kecuali jika ada suatu pelanggaran hukum yang jelas yang diterapkan menurut hukum oleh pengadilan; yang ke dua : bahwa tidak seorangpun diatas hukum, tetapi setiap orang, tunduk pada suatu hukum dan termasuk yurisdiksi dari pengadilan umum yang tidak memihak tidak mengenal status dan kedudukan kondisinya. Di Inggris ditumbuhkan ide mengenai Irgal equality, bahwa setiap orang segala golongan tunduk pada hukum yang diterapkan oleh pengadilan umum;
Sahetapy.J.E, Hukum dalam Kontek Sosial dan Budaya, Centre for Strategic and International Studies,1993, hal. 52
55
ke tiga: atribut khusus bagi lembagalembaga di Inggris ialah prinsip-prinsip umum yang dikenal sekarang sebagai hak asasi manusia yang merupakan ketentuan konstitusional, suatu hasil dari putusan pengadilan yang menetapkan hak-hak seseorang dalam perkara khusus. 24 Wade dan Go dfey Phi lip mengetengahkan tiga konsep the rule of law yaitu pertama, the rule of law mendahulukan hukum dan ketertiban dalam masyarakat daripada anarki; dan dalam pandangan ini the rule of law merupakan pandangan filosofis terhadap masyarakat yang dalam tradisi barat berkenaan dengan demokrasi; kedua, the rule of law menunjukkan suatu doktrin hukum bahwa pemerintahan harus dilaksanakan sesuai dengan hukum, dan ketiga, the rule of law menunjukkan suatu kerangka pikir politik yang harus diperinci dalam peraturan-peraturan hukum baik hukum substantik maupun hukum acara, misalnya apakah pemerintah mempunyai kekuasaan untuk menahan warga negara tanpa melalui proses peradilan dan mengenai proses misalnya presumtion of innocent.25 C. HASIL PENELITIAN PUSTAKA 1. Faktor Penyimpangan Terhadap Penegakan Hukum Dalam bagian ini dibahas beberapa aspek penting dari proses hukum dengan segala permasalahannya. Salah satu aspek yang penting dalam proses penegakan hukum pidana adalah “asas legalitas”; asas legalitas merupakan jaminan bagi setiap orang tanpa kecuali kepada para tersangka atau terdakwa, bahwa ia akan diperlakukan sama dalam kasus yang sama, termasuk kesempatan yang sama
24 25
untuk menggunakan hak-hak sebagaimana telah diatur dalam Undang Undang. Dengan adanya asas legalitas, setiap orang yang melakukan suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai perbuatan mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan, sehingga akibat perbuatan yang akan dilakukan dapat diprediksi sebelumnya. Selain itu asas legalitas juga berfungsi sebagai pedoman bagi para penegak hukum yang bertindak. Faktor lain “The Rule of Law”; dengan rule of law bukan hanya masyarakat yang dituntut taat pada hukum, tetapi juga pemerintah serta seluruh aparatnya termasuk penegak hukum itu sendiri. Salah satu bentuk ketaatan penegak hukum adalah adanya kesungguhan untuk mentaati hak-hak tersangka/terdakwa sebagaimana telah diatur oleh Undang Undang. Istilah the rule of law paling sedikit dapat dipakai dalam dua arti yaitu formal dan material. Secara formal the rule of law dimaksudkan sebagai kekuasaan publik yang terorganisir, yang artinya setiap sistem kaidah yang didasarkan pada hirarki pemerintah merupakan the rule of law. Dalam arti formal the rule of law dimaksudkan sebagai alat yang paling efektif dan efisien untuk menjalankan pemerintahan yang tiranis. The rule of law dalam arti material dan ideologis mencakup ukuran-ukuran hukum yang baik dan hukum yang buruk yang antara lain sebagai berikut: a. Ketaatan dari segenap warga negara terhadap kaidah-kaidah hukum yang dibuat serta diterapkan oleh badan legislatif, eksekutif dan yudikatif. b. Kaidah-kaidah hukum selaras dengan hak asasi manusia.
A.A.G.Peters, et.ALL.,Buku Teks Sosiologi Hukum, Buku 11, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1988, hal. 11 Abdurachman, Aneka Masalah Hukum dan Pembangunan di Indonesia, ALUMNI Bandung:1979, hal. 27-28
56
c. Negara mempunyai kewajibankewajiban untuk menciptakan kondisikondisi sosial yang memungkinkan terwujudnya aspirasi-aspirasi manusia dan penghargaan yang wajar terhadap martabat manusia. d. Terdapatnya tata cara yang celas dalam mendapatkan proses keadilan terhadap tindakan kesewenangwenangan dari penguasa. e. Adanya badan yudikatif yang bebas dan merdeka yang akan dapat memeriksa serta memperbaiki setiap tindakan yang sewenang-wenang dari badan eksekutif maupun yudikatif. Di Indonesia, kondisi hukum saat ini sangat dijiwai dan diwarnai pengalaman masa lalu terhadap sikap pengabdian dan pembiaran serta ketidak hormatan kepada hukum (disregarding and disrespecting law) yang mengaki batkan ketidak percayaan terhadap hukum (dis trusting law). Kenyataan ini menunjukkan bahwa hukum seakan-akan dianggap tidak efektif (non eksisten). Kenyataan menunjukkan bahwa hukum selama ini bagaikan sarang laba-laba dengan banyaknya jumlah peradilan terhadap kelas teri, dan pembiaran lembaga terhadap pelanggaran hukum dengan tidak adanya proses hukum sebagaimana diharapkan (tebang pilih). Untuk itu diperlukan suatu proses peradilan yang mampu meneguhkan lahirnya keadilan-keadilan, secara transparan dan akuntabel yang dapat memberikan perlindungan baik kepada pencari keadilan maupun terhadap mas yarakat luas sebagai wujud pertanggungan jawab lembaga penegak hukum terhadap para pegang saham republik ini. Sudah tepat bahwa dalam negara hukum asas taat dan hormat pada hukum (respect for law) dapat terwujud apabila para penegak hukum melakukan tugas profesinya dengan baik dan
bertanggung jawab, tegas, konsekuen dan tidak diskriminatif terhadap siapapun yang melakukan pelanggaran hukum. Sebagai mana dirasakan masyarakat, mereka selalu memberikan stigma bahwa penegak hukum selalu berpihak kepada penguasa dan kepada pihak yang mempunyai ekonomi yang lebih kuat. Akibatnya masyarakat cenderung memilih jalur hukum (main hakim sendiri) yang berlaku dalam masyarakat dibandingkan dengan jalur hukum yang formal yang sesungguhnya bertentangan dengan konsep negara hukum. Kondisi ini juga diperparah lagi dengan kurangnya koordinasi antar para pengegak hukum itu sendiri. Berbagai usaha untuk memperbaiki penegakan hukum di Indonesia antara lain telah dilakukan dengan memperbaiki lembaga/institusi hukum itu sendiri seperti misalnya telah terciptanya peradilan satu atap dibawah Mahkamah Agung; yang sebelumnya para hakim berada dibawah kendali eksekutif yaitu Departemen Hukum dan HAM (dulu Departemen Kehakiman yang mengurusi admini strasi dan keuangan dan tehnis yuridis dibawah Mahkamah Agung). Sistem peradilan yang ada pada saat ini maupun pencapaian kerja lembagalembaga yang bertugas untuk menyelenggarakan kekuasaan kehakiman yang bebas dan sendiri masih kurang memuaskan masyarakat. Sorotan terhadap jalannya peradilan juga seharusnya mendapat perhatian khusus, karena out put (hasil kerjanya) proses peradil an merupakan benteng terakhir utnuk tegaknya hukum dan keadilan. Sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi peradilan sebagaimana institusi sosial dalam mengemban amanat rakyat sebagai benteng terakhir keadilan selalu dilihat dalam wujug proses peradilan yang terdiri
57
dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan serta advokat. Tentang tata cara kerja pengadilan dapat dicermati dalam Undang Undang Nomor 4 Tahun 2004 (diperbaharui dengan Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009) tentang Kekuasaan Kehakiman. Tugas itu adalah “…menerima, memeriksa dan mengadili perkara serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya…”. Tugas ini adalah sebagai wujud adanya kehendak agar pengadilan bebas dari segala pengaruh kekuasaan lain. Peradilan merupakan sistem hukum yang riel dan fungsional karena peradilan tidak dapat dilihat dari segi birokrasi penegakan keadilan, tetapi sebagai suatu sub sistem sosial yang luas yang berada bersamasama sistem lainnya. Dalam kondisi demikian maka peradilan sebagai penegak hukum akan berinteraksi dengan sub sistem lainnya yang sudah barang tentu akan saling mempengaruhi satu sama lain. Eksistensi suatu sistem sosial adalah untuk senantiasa berada pada posisi seimbang (equilibrium). Jika salah satu sub sistem terpengaruh maka kondisi sub sistem sosial lainnya menjadi tidak seimbang. Jika politik dan ekonomi sebagai sub si stem sos ial berperan untuk mengatasi konflik dalam masyarakat maka peranan pengadilan sebagai lembaga pencari dan benteng terakhir keadilan akan berkurang dan akhirnya peran politik dan ekonomi yang lebih dominan sebagaimana terjadi pada kasus Bank Century yang menjadi komoditas politik di negeri ini. Penegakan hukum sel alu dipengaruhi oleh keadaan lingkungan yang berada dimana hukum itu berada, selain memperhatikan faktor subjeknya dalam sistem peradilan, tidak kurang pentingnya adalah faktor management/administrasi peradilan; jelasnya administration of justice juga berperan dalam proses peradilan.
58
Adapun management peradilan itu sendiri merupakan salah satu faktor penunjang untuk mengatasi transparansi peradilan, agar proses dimana penyalahgunaan wewenang penegak hukum dilakukan. Jika keterbukaan dalam proses administration of justice tidak dilakukan pembenahannya, tentunya penyalahgunaan wewenang tetap menjadi masalah bagi peradilan. Keterbukaan tersebut dimaksudkan untuk mewujudkan keadaan/kondisi rangkaian seluruh proses peradilan dan penegakan hukum dari seluruh perkara yang masuk ke pengadilan, mulai dari proses masuk sampai putusan dijatuhkan harus dengan mudah diketahui setiap saat untuk menghindari adanya penyalahgunaan wewenang dlaam proses peradilan tersebut. Apa yang dikemukakan diatas merupakan salah satu upaya untuk melakukan reformasi sistem peradilan melalui sistem hukum dengan melibatkan partisipasi publik dan pencari keadilan. 2. Analisis Kekuasaan Kehakiman yang Mandiri Sebagai badan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman, Mahkamah Agung adalah merupakan puncak peradilan yang tertinggi dari semua lingkungan peradilan yang ada yang terdiri dari Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha dan Peradilan Militer. Dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya dan melakukan pengawasan terhadap jalannya peradilan dan perilaku pejabat-pejabat pengadilan. Pada masa pemerintahan orde lama kekuasaan kehakiman pernah dianulir menjadi kekuasaan yang tidak bebas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Dalam Undang Undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa Presiden berwenang untuk dalam beberapa hal dapat turun tangan dalam
soal-soal peradilan dengan dalih untuk kepentingan revolusi, kehormatan negara dan bangsa atau untuk kepentingan yang mendesak. Pada era tahun 1964 juga diketemukan Surat Edaran Mahkamah Agun Nomor 8 Tahun 1964 yang isinya menganjurkan kepada hakim untuk mengadakan rundingan dengan jaksa sebelum tuntutan diajukan; pada saat itu jabatan Ketua Mahkamah Agung juga merangkap sebagai Menteri. Pada masa orde baru, terjadi juga intervensi yuridis terhadap kekuasaan kehakiman, melalui Undang Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman; dalam pasal 11 Ayat (1) disebutkan bahwa pemerintah berwenang untuk mengatur dan mengurusi lembaga peradil an dalam hak pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan lembaga peradilan. Sekalipun hanya dibidang organisasi dan administrasi bagaimanapun hal ini cukup membuka peluang terhadap adanya intervensi terhadap kekuasaan kehakiman yang mandiri. Pada era reformasi sekarang kekuasaan kehakiman pun tidak luput dari intervensi. Pada saat ini intervensi dilakukan melalui tekanan massa atau publik yang pada sidang-sidang tertentu sidang peradilan diwarnai dengan aksi unjuk rasa kelompok baik pendukung maupun penentang yang sedikit banyak turut mempengaruhi persidangan melalui yel-yel di kawasan kantor pengadilan. Intervensi lain pada masa reformasi juga dilakukan melalui hasil-hasil riset, survei, opini media massa cetak (trial by the qers) maupun elektronik, melalui nara sumber maupun penulis. D. ANALISIS DATA LAPANGAN 1. Putusan Pengadilan Menguji adanya putusan-putusan
pengadilan yang dianggap bermasalah seperti telah diuraikan diatas dalam perkara Nomor 395 K/Pid/1995 tanggal 29 September 1995, perkara Nomor 1174 K/Pid/1994 atas nama Mutiari (atas nama Mukhtar Pakpahan) dan perkara 1592 K/Pid/1994 atas nama Bambang Wuryanto. Untuk itu perlu kajian yang lebih mendalam terhadap putusan tersebut. 2. Kedudukan Advokad Dalam Undang Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokad dalam Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 menjelaskan bahwa “Advokad adalah orang yang berpraktik memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar Peradilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang Undang ini”. Namun perlu diingatkan bahwa advokad tidak hanya mendampingi (menyenangkan klien) saja, tetapi juga berperan sebagai unsur penegak hukum yang dapat memberikan rasa keadilan. 3. Reformasi dalam Tubuh Kepolisian R.I. Dalam bid ang penegakan hukum Kepoli sian mencatat prestasi pengungkapan berbagai kasus yang menonjol (celebity Cases) secara meyakinkan terutama dalam kasuskasus terorisme. Akan tetapi Polri terkesan gamang dalam menangani kasus pajak yang menyangkut beberapa perwiranya. Demikian juga Polri tampak kurang siaga dalam menangani kasus berbau sara seperti kasus Ahmadiyah. Hasil informasi internal kepolisian juga membuka kemungkinan Pol ri meningkatkan sistem pelayanannya. Penambahan peralatan komunikasi dan transportasi membuat aktivitas polisi semakin terlibat di jalan-jalan raya, selain patroli-patroli laut. Polri
59
terlihat bisa mempercepat gerakannya baik dalam menanggapi laporan masyarakat maupun pergeseran pasukan ke daerah konflik. Gambaran peningkatan kinerja Polri dapat dilihat dari laporan Litbang Polri tahun 2010 bahwa 40% responden menyatakan citra polisi lebih baik dan hanya 23% menyatakan lebih buruk.26 4. Peningkatan Kapasitas Kejaksaan Sesuai dengan perkembangan zaman kejaksaan dipandang perlu untuk meningkatkan kemampuannya mengimbangi kejahatan-kejahatan konvensional dan trans nasional serta kejahatan terorganisis lainnya. Untuk itu kejaksaan telah melakukan reformasi internal yang disebut Pembaharuan Kejahatan 30. Dalam agenda pembaharuan sedang dirumuskan Standar Minimum Profesi Jaksa (SPMJ ) yang meliputi pengetahuan dan keahlian dalam melaksanakan tugas profesi selain dikenal pengawasan tehnis lapangan, tugas-tugas Kejaksaan dan tugas lain seperti eksaminasi perkara. 5. Kebijakan Penanganan Perkara yang Mendukung Konsep Sistem Peradilan Pidana Terpadu. Meskipun sudah diatur dalam Undang Undang Nomoer 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan dikenal sebagai Integrated Criminal Justice System (IJCS) namun dalam pelaksanaannya masih terdapat banyak kendala, baik dalam bidang skill, dan management. E. KESIMPULAN DAN SARAN a. Kesimpulan Berdas arkan penel itian yang dilakukan penulis dari hal-hal yang telah 26
diuraikan di atas, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Proses penegakan hukum dalam peradilan pidana yang sering terjadi saat ini adalah menyangkut proses penyimpangan yang dilakukan baik oleh Penyidik, Penuntut Umum dan Persidangan disebabkan oleh adanya semacam “Corps Geits” (Eko Sektoral) yang berlebihan terutama antara Penyidik dan Penuntut Umum dan juga aparat Peradilan dalam menjatuhkan putusan terkadang kurang memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat. Adapun faktor-fakto r yang mempengaruhi adalah: a. Moral dan integritas oknum penegak hukum yang tidak konsisten. b. Kurangnya transparansi management pada unit-unit kerja baik di kepolisian, kejaksaan, maupun pengadilan. Serta keterbatasan sarana maupun p r a s a r a n a masing-masing sub sistem baik Kepolisian Kejaksaan maupun Peradilan. c. Terjadinya pengkotak-kotakan antara sub sistem Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan. 2. Keberadaan asas Duo Process of Law sudah diatur dalam KUHP; akan tetapi dalam perkembangan dan implementasinya masih memerlukan pembaharuan untuk disesuaikan dengan kemajuan tekhnologi. b. Saran 1. Agar diadakan penyempurnaan KUHAP yang memperjelas hubungan antara tugas penyidikan dan penetuan dan batas waktu suatu perkara berapa kali harus bolak balik antara penyidik dan
Abdurachman, Aneka Masalah Hukum dan Pembangunan di Indonesia, ALUMNI Bandung:1979, hal. 27-28
60
penuntut umum. 2. Menghidupkan lembaga Hakim Komisaris untuk membantu komunikasi antara penyidik dan penuntut umum dalam hal diketemukan masalah tehnis yuridis. 3. Menambah dan mempertajam kewenangan baik Komisi Kepolisian,
Komisi Kejaksaan dan Komisi Yudisial agar dapat lebih efektif mengadakan pengawasan dan pembinaan dan tindakan dalam hal terjadi pelanggaran baik yang dilakukan oknum Polisi oknum Jaksa maupun oknum Hakim.
DAFTAR PUSTAKA Abdurahman,1979, Aneka Masalah dan Pembangunan di Indonesia, Alumni, Bandung Arif Gosita,1987, Victimologi dan KUHAP, Akedemika, Jakarta Barents K, Etika, Seri Filsafat Atmajaya, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, tanpa tahun. Friedman Laurence W, 1975, The legal System, A Social Science Perspective Russel Sage Foundation, New York ____________, 2001, American Law, An Introsucrion, Second Edition,Hukum Amerika, Sebuah Pengantar, Terjemahan Wisnumurti, Tata Nusa, Jakarta Hadeli Hasibuan dan Adi Andojo, Pasti Ada Kolusi di Mahkamah Agung, Liga Pro Adi, Tanpa Tahun Muladi,1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang ____________,1997, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang Peter. A.A.G, 1988, Hukum dan Perkembangan Sosial, Buku Teks Sosiologi Hukum, Buku III, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta Surjono Soekanto,1982 Pengantar Penelitian Hukum, UI Pers, Jakarta ____________, 1985Teori Yang Murni Tentang Hukum, Alumni, Bandung Sahetapy, 1993, J.E, Hukum Kontek Politik Sosial Dan Budaya, Center for Strategic and International Studies, Jakarta
61
Wasingat Zakiah,2002, Menyingkap Tabir Mafia Peradilan, ICW, Jakarta Wisnu Broto,1997, Hakim dan Peradilan di Indonesia, Dalam Beberapa Aspek dan Kajian, Penerbit Universitas Atma Jaya, Yogyakarta Jurnal, Majalah, Surat kabar : Putusan Mahkamah Agung RI, Varia Peradilan Majalah Hukum Hukum Tahun X No 120, September 1955 Forum Keadilan No 22, 18 Februari 1993 Forum Keadilan 13 Juni, 1999 Harian Fajar 10 Juli 2007 Harian Kompas, 10 Februari 2011
62
PENOLAKAN PEMBERIAN REMISI BAGI NARAPIDANA KORUPSI Oleh : Sigit Setyadi *
Abstract Remission is a government policy in the framework of fostering inmates are given on the day of Independence or the time / specific conditions as the Government of gratitude to God or respect for prisoners’ good behavior. But lately appeared in public opinions, which refuses that corruptors are not worthy to be given remission for his actions HARM MANY PEOPLE, has greatly hurt the people. The opinions that emerged were there arose the pros and cons of the issue. This stake is the survival of government in the state of Indonesia, whether the government would still gain the confidence of the people or vote of no confidence. Keywords: refusal, remission, corruption.
LATAR BELAKANG PERMASALAHAN Beberapa pendapat akhir-akhir ini muncul, sehubungan dengan adanya pemberian remisi kepada para koruptor. Korupsi dianggap sebagai bentuk tindakan yang sangat kejam, terutama terhadap rakyat, lebih-lebih terhadap rakyat yang sangat miskin yang hidupnya sengsara. Pelaku itu “mencuri” uang rakyat/ negara untuk kepentingan dirinya sendiri atau kelompoknya, atau untuk orang lain, sehingga uang yang mestinya dapat dipergunakan untuk pembangunan di berbagai bidang, untuk pembangunan gedung sekolah yang rusak, jalan yang berlubang, jembatan ambles, peningkatan hidup rakyat miskin dengan pemberian “raskin”, atau subsidi minyak, dan sebagainya, menjadi berkurang, karena *
“ditilep” oleh seseorang atau segolongan orang saja. Mereka biasanya kemudian membangun rumahnya dengan bangunan mewah, atau memperbesar usahanya, atau dipakai saving/tabungan di dalam maupun di luar negeri (dengan cara pencucian uang /money loundry). Sudah banyak pelaku (koruptor) “yang dipidana” dengan dua, lima, atau tujuh tahun. Selama menjalani kehidupan di penjara/lembaga pemasyarakatan sebagai narapidana (warga binaan), kehidupan mereka sering menimbulkan iri bagi narapidana lainnya, bahkan ada yang menyuap, sehi ngga dapat menempati ruang yang penuh fasilitas (“mewah”), atau dapat beli makanan di luar, bawaan dari keluarganya yang
Dosen Fakultas Hukum Universitas Janabadra Yogyakarta
63
melebihi batas yang seharusnya dibagikan kepada narapidana umumnya. Bukan rahasia lagi, bahwa suapmenyuap di penjara/l embaga pemasyarakatan merupakan “adat” khusus di sana. Misalnya untuk memilih ruang, memilih lampu penerangan, memilih kamar mandi, dan sejenisnya, banyak yang didengar masyararakat, ada apa-apanya di balik terali besi/tembok penjara.1 Apakah hal-hal seperti i tu dihalalkan, dalam arti diperbolehkan menurut hukum/aturan yang semestinya berlaku bagi mereka. Bagaimana mereka bisa menerima kehidupan di dalam tembok yang tidak biasa diterima dalam kehidupan sebelumnya, yang biasanya hidup serba mewah/lux, gaya hidupnya, konsumsi makannya, rumahnya, mobilnya, apartemen/vilanya, atau kantornya. Seti ap menjel ang Hari Kemerdekaan, atau Hari Besar Agama masing-masing, atau ada peristiwa/ kondisi tertentu (sesuai ketentuan), narapidana/wargabinaan mendapat “remisi” (pengurangan masa pidana) yang seharusnya dijalaninya, tidak terkecuali bagi mereka yang melakukan korupsi. Hal seperti inilah yang sering menjadikan iri masyarakat, bahwa banyak warga masyarakat berpandangan, betapa enaknya pelaku korupsi, hukumannya tidak lama, uang yang dicurinya banyak yang tidak atau hanya sedikit/sebagian yang dikembalikan ke negara, atau mungkin diberikan kepada istri atau anaknya yang hidupnya mewah/berlebih, ditambah lagi dengan mendapat pengurangan masa pidananya. Hidup mereka yang bagaikan surga di dunia, tidak belas kasihan kepada warga/rakyat miskin yang sehari-harinya untuk makan saja susah/sulit, tidak bisa ajeg, dengan 1
gisi yang sangat tidak memenuhi standard hidup yang layak, rumahnya saja berupa gubug derita, di pingggirpinggir sungai atau tanah tak terawat, beratap kardus yang bocor di kala hujan, atau setidak-tidaknya di rumah sewaan yang serba sempit, atau di rumah sendiri yang serba kecil, sederhana, sempit dan tidak sehat. Keirian itulah yang memunculkan pandangan sinis terhadap pelaku korupsi yang hidupnya tidak pernah susah, tidak pernah menderita. Apakah ada koruptur yang menderita kesulitan dalam hidupya? Apakah pelaku korupsi itu kalau sudah keluar dari penjara hidupnya juga akan miskin, susah mencari makan/usaha. Apakah Tommy Soeharto atau Probosutedjo hidupnya kemudian melarat setelah dipidana? Apakah Arthalita, Nazarudin atau Gayus nanti juga hidupnya akan sengsara? Pandangan-pandangan itu muncul dalam tulisan di koran, majalah, atau dalam seminar-seminar yang dilakukan oleh masyarakat atau oleh LSM anti korupsi. Banyak yang mengusulkan bahwa terpidana kasus korupsi tidak perlu diberikan remisi. Tetapi di samping itu ada pula ahli hukum/negarawan yang berpendapat, bahwa karena itu sudah menjadi aturan hukum (UU Pemasyarakatan, Keppres, Kepmen, dsb), bahwa kalau tidak diberi remisi, maka itu melanggar hak asasi manusia, maka ada pula pandangan yang berbeda dengan yang diusulkan sebagian warga masyarakat dalam seminar-seminar, atau tulisan-tulisan di koran. PERMASALAHAN Berdasar hal-hal yang disampaikan di atas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan ini adalah,
Keterangan dari sdr. Affan, putra MB, terpidana kasus korupsi buku di Kab. Sleman th. 2004.
64
apakah dimungkinkan tidak diberikannya remisi bagi narapidana pelaku korupsi (koruptor), selama menjalani pidana/ binaan di lembaga pemasyarakatan ? PEMBAHASAN Pemberian remisi diatur dalam Pasal 14 UU Pemasyarakatan (UU No. 12 th. 1995), Keputusan Presiden RI No. 174 th. 1999 tentang Remisi; Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-undangan RI No. : M.09.HN.02.01 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan Keputusan Presiden RI No. 174 tentang Remisi; Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-undangan RI No. M.10.HN.02.01 Th. 1999 tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Remisi Khusus pada Hari Natal Th. 1999 dan Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1420 Th. 2000; Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI No. : M.01 HN.02.01 Th. 2000 tentang Remisi Khusus yang Tertunda dan Remisi Khusus Bersyarat serta remisi Tambahan; Surat Edaran Direktur Jendral Pemasyarakatan No. E.PK.04.1-149 tgl. 12 Nopember 1997 dan Surat Edaran Direktur Jendral Pemasyarakatan No. 01.04-03.2001. Remis i merupakan kebi jakan pemerintah dalam upaya melaksanakan tujuan pembinaan bedasarkan sistem pemasyarakatan, adalah merupakan salah satu hak asasi yang dimiliki narapidana atau anak pidana. (Pasal 14 Ayat (1) UU No. 12 Th. 1995). Berdasarkan Pasal 2 Keputusan Presiden RI No. 174 Th. 1999, remisi diberikan dalam hal : 1. Dipidana sekurang-kurangnya berupa pidana penjara 1 tahun, dan telah dijalaninya dalam waktu sekurangkurangnya 6 bulan bereturut-turut dand inyatakan berkelakuan baik selama menjalani masa pidana; 2. Tidak dipidana mati atau dipidana
seumur hidup; 3. Tidak melakukan pelanggaran disiplin selama menjalani pembinaan di lembaga pemasyarakatn seperti melakukan tindak pidana, melarikan diri, menolak perintah petugas, berkelahi antar narapidana, dan sebagainya. Macam-macam remisi Remisi Umum Remisi umum (Pasal 1 a Keppres RI No. 174 Th. 1999) adalah remisi yang diberikan pada hari peringatan Proklamasi Kemerdekaan Negara RI tanggal 17 Agustus pada setiap tahun. Remisi ini merupakan kemurahan dan rasa syukur dari Pemerintah atas rahmat dan anugerah dari Tuhan Yang Maha Kuasa, yang telah memberikan kemerdekaan kepada seluruh Bangsa Indonesia. Remisi Khusus Remisi khusus (Pasal 1 b Keppres RI No. 174 Th 1999) yaitu remisi yang diberikan pada hari besar keagamaan yang dianut oleh narapidana atau anak pidana yang bersangkutan. (Hari-hari Raya tersebut : Hari Raya Idul Fitri; Hari Natal; Hari Raya Nyepi; Hari Raya Waisak; atau Hari Raya bagi yang beragama lain seperti Kong Hu Cu). Remisi Tambahan Remisi Tambahan (Pasal 3 Keppres RI No. 174 Th. 1999) yaitu remisi yang diberikan karena narapidana atau anak pi dana yang bes angkutan selama menjalani pidana telah : 1. Berbuat jasa kepada negara; 2. Mel akukan perbuatan yang bermanfaat bagi negara atau kemanusiaan; atau 3. Mel akukan perbuatan yang membantu kegiatan pembinaan di lembaga pemasyarakatan.
65
Remisi ini merupakan bentuk penghargaan dari pemerintah kepada narapidana yang atas dasar keikhlasan dan di dasari i ktikad bai k, tel ah menyumbangkan tenaga dan pikirannya untuk keperluan negara atau sesama, atau kepada l embaga yang tel ah membinanya. Remisi Khusus yang Tertunda Remisi ini (Pasal 1 Kepmen Kehaki man dan HAM No . : M.01.MH.02.01 Th. 2001) berupa remisi yang diberikan kepada narapidana atau anak pidana yang mengalami perubahan statusnya dari tahanan menjadi narapidana yang dalam waktu 6 bulan telah menunjukkan perbuatan baik di lembaga pemasyarakatan, namun pengajuan itu tertunda karena dalam waktu 6 bulan setelah statusnya ditahan, statusnya sebagai narapidana belum diperolehnya karena masih menunggu putusan pengadilan. Remisi Khusus Bersarat Remisi ini (Pasal 2 a Kepmen Kehakiman dan HAM No.: M.01.HN.02.01 Tahun 2001) berupa remisi yang diberikan secara khusus kepada narapidana atau anak pidana, yang pada saat hari raya agama yang bersangkutan, masa menjalani pidananya belum cukup 6 bulan. Remisi Tambahan karena adanya kemampuan atau ketrampilan yang dimilikinya Bentuk remisi ini karena yang bersangkutan telah memberikan pendidikan dan pengajaran kepada sesama narapidana atau anak didik pidana. (Kepmen Hukum dan Perundangundangan RI No. M.09.HN.02.01 Th. 1999).
2
Dengan banyaknya macammacam remi si , i ni merupakan kelonggaran yang cukup banyak diberikan oleh Pemerintah RI kepada narapidana atau anak pidana, untuk dapat selalu memperbaiki sikap, tingkah laku dan perbuatannya, khususnya di dalam lembaga pemasyarakatan, sehingga akan diperoleh kemudahan untuk diberikan-nya remisi. Namun apabila keinginan untuk mendapatkan remisi ini hanya sekedar untuk bisa semakin cepat dapat kel uar dari l embaga pemasyarakatan, tanpa ada hasrat untuk memperbaiki perbuatannya di masyarakat nanti, maka ini tentu bukan merupakan cita-cita dari sistem pemasyarakatan yang diterapkan di dalam pembinaan narapidana, sehingga kesempatan yang diberikan itu akan menjadi sia-sia di kemudian hari. 2 Dari hasil penelitian Tesis di Lapas Klas II A Yogyakarta, tahun 2000 sampai dengan 2003, diperoleh data bahwa penerima remisi rata-rata kurang dari 50 % dari seluruh narapidana, baik remisi umum maupun remisi khusus. a. Jumlah penerima Remisi Umum th 2000, dari 477 napi, hanya ada 246 (51,57 %). Th 2001, dari 714 napi, hanya 334 (46,78 %). Th 2002 dari 839 napi hanya 392 (46,72 %). Th 2003, dari 944 napi hanya 442 (46,82%). b. Penerima remisi khusus, th 2000, dari 477 napi hanya 231 (48,43 %). Th 2001 dari 714 napi hanya 316 (44,26 %). Th 2002, dari 839 napi hanya 412 (49,11 %). Th 2003, dari 944 napi anya 461 (48,83 %). c. Remisi tambahan datanya 0. d. Remisi khusus bersyarat th 2001,
Sigit Setyadi, Kebijakan Pemberian Remisi Kepada Narapidana di Yogyakarta, Tesis, Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro, Semarang, 2004, hal. 111-116., hal 105
66
8,43%. Th 2002, 3,21 %. Th 2003, 3,71 %. e. Penerima remisi khusus terrtunda, th 2001, 0,56 %. Th 2002, 0,95 %. Th 2003, 0,64 %. 3 Dari data tersebut, rupanya tidak semua napi menerima remisi, baik yang umum, khusus, atau remisi yang lainnya. Hal ini karena untuk dapat memenuhi persyaratan yang ditentukan, ternyata tidak begitu mudah. Dalam sejarah pemasyarakatan, yang menarik adalah kasus Tommy Soeharto dan Bob Hassan. Keduanya adalah terpidana kasus korupsi berskala nasional yang sempat dibina di Lapas Batu Nusakambangan. Ada sesuatu yang menari k perhati an umum karena ketenaran mereka maupun perilaku “yang lain” dibandingkan dengan narapidana yang lain. Keduanya mempunyai harta/ modal yang sangat banyak, sehingga sebagian dari hartanya itu sempat dimanfaatkannya selama mereka berada di Lapas Batu. Sedangkan para pembunuh, penjambret, tidaklah mungkin untuk melakukan seperti yang dilakukan mereka berdua, karena tidak mempunyai dana yang mencukupi untuk itu. Dalam penelitian, Tommy Soeharto diketahui telah memberikan bantuan 2 buah mobil tahanan (dengan bak tertutup) yang digunakan di Lapas-lapas di Nusakambangan. Pada Hari Raya Qurban, juga menyerahkan sapi untuk disembelih di Lapas . Hal seperti i tu tentu “menyenangkan” bagi narapidana yang lain dan para Petugas Lapas. Sedangkan Bob Hassan telah membrikan bantuan berupa mesin produksi/penghalus akik di Lapas tersebut yang dapat digunakan para narapidana yang lain
3 4 5
untuk bel ajar membuat dan memproduksi akik, sehingga menjadi lebih bermutu/lebih halus dari pada memakai alat penghalus manual (dengan tangan). Apakah pemberian bantuan seperti itu BENAR-BENAR ATAS DASAR KEIKHLASAN ATAU SEKEDAR “SUAP TERSELUBUNG” UNTUK MEMPEROLEH PERHATIAN DARI PETUGAS, sehingga keduanya dapat di ajukan pemberi an remis i-remi si tambahan yang lain yang memungkinkan bagi keduanya dapat keluar dari Lapas lebih cepat dibandingkan dengan narapidana yang lain yang tidak dapat berbuat sesuatu yang melebihi keadaan/ kemampuannya.4 Dari pemantauan terhadap kedua orang ters ebut, maka keduanya memperoleh berbagai macam remisi, seperti remisi umum, remisi khusus, remisi tambahan, sehingga mereka benarbenar dapat keluar lebih cepat dari lembaga pemasyarakatan. Di samping itu, mereka juga memperoleh “hak-hak khusus”, seperti ketika Tommy Soeharto sakit, dia berobat ke Jakarta tanpa pengawalan Polisi. Atau ketika Soeharto, ayah Tommy berkunjung ke Nusakambangan, dapat menggunakan heli ko pter l angs ung turun di Nusakambangan. Tapi kemudian Polres Cilacap menegur Lapas Batu, maka kemudian kalau berkunjung, helikopter milik Soeharto tidak boleh langsung turun di Nusakambangan, tetapi di Ci lacap, kemudian dil anjutkan menyeberang dengan speedboat atau kapal motor biasa. 5 Djarot S, pecandu narkoba di Sleman, diduga sering keluar masuk Lapas Sleman (Cebongan), karena diduga memberikan “jasa” kepada Petugas.
Ibid., hal. 129 Ibid., hal. 134. Harian : Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta, 23 Agustus 2003.
67
Beliau saat ini masih berada di Lapas Sl eman, karena kas us korupsi penggandaan buku di Kabupaten Sleman. Sebagian masyarakat ada yang sering melihat, yang bersangkutan ini terlihat ada di luar Lapas, entah untuk keperluan apa. Begitu mudahkan, ijin keluar Lapas diberikan untuk orang tertentu. Falsafah dasar pemberian remisi adalah sebagai upaya mengurangi dampak negatif dari subkultur tempat pelaksanaan pidana , disparitas pidana dan aki bat pidana perampasan kemerdekaaan yang telah diterima oleh narapidana. Secara psikologis, pemberian remisi mempunya pengaruh dalam menekan frus tas, terutama bagi narapidana residivis, sehingga mereka dapat mereduksi atau meminimalisasi gangguan keamanan dan ketertiban di Lapas. Maka apabila narapidana sudah terbiasa dengan kondi si selalu berkelakuan baik di dalam Lapas, diharapkan hal itu akan dapat diwujudkannya nanti selama mereka bergaul kembali di tengah-tengah kehidupan masyarakat, dalam arti akan dapat hidup secara wajar/normal sebagi anggota masyarakat.6 Diterapkannya asas hak asasi manusia dalam peradilan pidana,, termasuk diberikannya remisi,, sangat memberi pengaruh bagi perlakuan petugas dalam membina narapidana, walaupun hal ini oleh beberapa petugas sebenarnya merupakan beban yang berat bagi petugas, yaitu karena memperlakukan “orang jahat” dengan cara halus, kadang-kadang merupakan problema yang dapat “merendahkan” martabat petugas karena sekan-akan mengurangi wibawanya. Orang-orang 6
7
tertentu tidak akan majas diperlakukan secara halus. Bagi orang yang pembawaannya terbiasa kasar seperti preman/gali,, maka kadang-kadang jalan untuk mengatasinya yaitu bahwa orang itu harus ditundukkan dengan cara kasar pula. Terlontar keluhan dari beberapa petugas apakah seorang gali dapat diperlakukan secara halus. Untuk narapidana yang bukan kriminal, seperti pelaku korupsi, penyelundup, pelaku kejahatan korporasi (White collar crime), yang perbuatannya jus tru tel ah menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi masyarakat/negara mungkin dapat diperlakukan dengan halus atau sopan santun. Dalam perhitungan/analisis pemberian remisi sikap halus atau kasar itu secara formal tidaklah menjadi unsur yang termuat di dalam peraturan tata tertib narapidana, namun sikap sopan santun narapidana juga akan mempengaruhi penil ai an bagi narapidana dalam pemberian remisi. 7 Mengapa pelaku korupsi banyak yang mendapat perlakuan istimewa? Apakah tidak ada kerja sama/permainan dengan pada petugas. Hal ini mestinya perl u mendapat perhatian dari Pemerintah, agar memperingatkan para penegak hukum yang bertindak melebihi batas kewenangannya, termas uk menerima suap dari para tahanan/ narapidana yang menginginkan fasilitas lebih dari yang lain. Dari beberapa kasus tersebut, maka sudah pastilah menimbulkan iri yang luar biasa di kalangan masyarakat, mengapa “pencuri/perampok besar “ malah mendapat per hatian lebih, bahkan mendapat remisi melebihi yang lain. Namun apakah pelaku korupsi juga
Sigit Setyadi, Kebijakan Pemberian Remisi Kepada Nara Pidana di Yogyakarta, Thesis, Program Magister Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang, 2005, hal 124. Ibid., hal. 125.
68
perlu dimaafkan seperti yang tercantum dalam aturan Al Qur’an Surat Al Baraah/ At Taubah ayat 102, yang artinya : “...... Mudah-mudahan Tuhan akan menerima taubat mereka (orang-orang yang berdosa). Sesungguhnya Tuhan itu Pengampun dan Penyayang.” Atau mungkin seperti yang dikemukakan oleh Plato : “hukuman dijatuhkan bukan karena telah berbuat jahat, tetapi agar jangan diperbuat kejahatan”. 8 Setelah korupsi besar-besaran, pelaku kemudian minta maaf, tidak berbuat lagi dan sebagian hasil korupsinya masih dapat dinikmati anak cucunya di kemudian hari. Atau juga seperti yang ditulis Muladi, bahwa pemidanaan adalah untuk memperbaiki kerusakan individu dan sosial.9 Koruptor pastilah sudah merusak kehidupan sosial, karena jelas, uang jarahan yang diperolehnya/ diperoleh kawan atau kelo mpok-nya sangat merugikan masyarakat/rakyat kecil yang jelas-jelas sangat memerlukannnya. Begitu parahnya kasus korupsi di Indonesia, sehingga ekonom Soemitro Djojohadikusumo, pada tahun 1980-an era Soeharto pernah mengatakan bahwa dana pembangunan Indonesia menguap sampai 30 % yang tidak sampai sasaran. Entah ke mana hilangnya. Hanya disinyalir, dana yang tidak jelas ujung rimbanya itu ditilep/dikorup oleh petugas/ pejabat tertentu yang menginginkannya. Dalam menanggapi pemidanaan, Sudarto berpendapat, bahwa yang dimaksud pidana ialah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi persyaratan tertentu. 10 Terhadap pelaku korupsi, apakah hidup di lembaga
8
9 10
pemasyarakatan sebagai penderitaan, apakah mereka menjadi jera dipidana padahal mereka dapat fasilitas kamar, perijinan yang istimewa, makanan yang lain dibandingkan narapidana lain (menikmati hidup di penjara). Wakil Menteri Kehakiman dan HAM, Denny Indrayana, pernah mengeluarkan Surat Edaran kepada LAPAS, agar tidak mengajukan remisi bagi narapidana korupsi, namun hal itu dicela karena bertentangan dengan aturan Undang-undang yang masih berlaku. (Harian : KOMPAS, Jakarta, 20 September 2011.) Makna yang diinginkan Denny adalah agar para koruptor menjadi jera dengan pidana yang lama. Tetapi ketentuan itu dicabut kembali karena di anggap bertentangan dengan ketentuan dalam peraturan perundangundangan remisi di Indonesia. Apabila dilihat dari segi aturan perundang-undangan, memang remisi merupakan hak setiap narapidana, namun dari segi kemanusiaan hal itu bukan merupakan tindakan yang adil, mereka (koruptor) itu sudah melukai hati rakyat, malah diberi hati dan kemudahan-kemudahan. Mestinya aturan yang seperti itu perlu ditinjau kembali, agar mencerminkan keadilan. Hendaknya DPR RI harus segera bertindak cepat. Aturan yang memanjakan para koruptor harus cepat direvisi, atau setidaktidaknya dibuat Perpu oleh Presiden, agar Presiden SBY tidak disebut gagal dalam menanggulangi korupsi. Apalagi kejahatan yang berupa kejahatan korporasi, di bidang nilai-nilai sosial menimbulkan kerugian yang luar biasa, yang akan dapat merusak nilai-nilai
Bambang Poernomo, Perspektif Hukum Pelaksanaan Pidana Berdasarkan Pengayoman, Makalah Seminar, Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta, 22 September 1990, hal.5. Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung, hal. 61. Sudarto, Hukum Pidana I A, Yayasan Sudarto, Semarang, 1975, hal. 7.
69
demokrasi atau setidak-tidaknya dapat menghambat proses demokrasi. Kolusi antara korpo rasi dan pejabat pemerintahan dilakukan secara tertutup, diupayakan tidak transparan, sedangkan persyaratan untuk demokratisasi adalah keterbukaan/transparansi.11 Sutherland pernah menulis bahwa dalam kejahatan terorganisasi, perilaku kejahatan adalah perilaku manusia yang sama dengan perilaku manusia pada umumnya yang bukan kejahatan. Dalam meneliti White Collar Crime, Sutherland antara lain menyebut bahwa penyebabnya macam-macam : seperti untuk kepentingan aktivitas kelompok (untuk kegiatan kelompok tertentu, diperlukan biaya banyak); atau yang berkaitan dengan harga diri akan kebutuhan duniawi yang berlebihan. 12 Hanya dipertanyakan lebih lanjut, apakah pelaku itu memperhitungkan kerugian/ korban, missalnya bagaimana kerugian masyarakat/ rakyat/BUMN, laju pemerintahan yang butuh dana tidak sedikit. Apakah pelaku itu sempat/ pernah menghitung, bahwa uang yang diambilnya itu nilainya setara dengan nilai sekian ratus atau ribu perbaikan sekolah yang rusak; atau dapat dipakai untuk member bantuan sekian puluh ribu orang yang kelaparan atau kuang gizi. Kalau hati sudah tidak dapat dikendalikan, atau dengan kata lain, nafsunya sukar ditahan, maka yang terjadi adalah “kerakusan”. Pelaku itu tidak pernah peduli dengan apa, dengan cara bagai mana, atau apa akibat perbuatannya. Bagi pegawai negeri atau pejabat Negara, apakah sudah lupa/ melupakan sumpah jabatan yang dilakukannya sewaktu mereka akan memangkunya. Kata-kata seperti : “ 11 12
Bahwa saya akan ……..mengutamakan kepentingan Negara di atas kepentingan pribadi atau golongan….. “. Rupanya kalau setan sudah menggoda manusia, memang sulit untuk menahannya. Hanya orang-orang yang taqwalah yang mampu menahan dirinya dari godaan setan, mampu berpikir dengan jernih, mampu menimbang mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang halal/baik dan mana yang batil/buruk. Para pejabat yang berkaitan dengan pemberian remisi pun harus selalu memperhatikan sumpah jabatannya, dapat menilai, mana yang patut dan mana yang tidak boleh diberikan kepada narapidana/warga binaannya. Tidak goyah walau ada suap yang nilainya jauh di atas gajinya perbulan atau setahun, dan di perl ukan nurani , apakah yang diterapkannya sudah sesuai dengan rasa keadilan atau tidak. Banyak pejabat yang merasa benar apabila sudah menerapkan aturan hukum positif (asas legalitas), walau apapun yang terjadi, tidak peduli akan berakibat apa nantinya. Yang penting, kalau sudah menerapkan hukum/undangundang, merasa tindakannya sudah benar. Hukum responsif yang mesti-nya dirasa adil oleh manusia/masyarakat, tidak mendapat porsi untuk dilaksanakan, karena belum diadopsi oleh pembentuk undang-undang di Negara ini. Hanya ada satu pidana yang tidak daapt diberikan remisi, yaitu mereka yang dipdana mati dan seumur hidup. Kegagalan dalam memberantas korupsi sekarang tentunya akan dapat berpengaruh terhadap kelangsungan roda pemerintahan kini dan yang akan datang. Maka pidana yang berat terhadap koruptor juga merupakan keberhasilan pemerintah pada masa
I.S. Susanto, Kejahatan Korporasi, BP Undip, Semarang, 1995, hal. 25. I.S. Susanto, Kriminologi, FH Undip, Semarang, 1995, hal. 61.
70
sekarang, di antaranya dengan tidak memberikan remisi kepada terpidana kasus korupsi. Kalau di Cina sudah banyak koruptor yang dipidana mati, mengapa di Indonesia belum pernah ada, apakah para hakim masih takut untuk memutus demikian. Penerapan pidana di Indonesia rupanya masih malu-malu/segan untuk memidana orang yang bersalah dengan pidana berat, barangkali adanya asas kemanusiaan yang adil dan beradab, atau kuatnya paham anti pidana mati yang berpendapat bahwa mati adalah hak Tuhan, dapat menjadi penyebab, pelaku kejahatan berat tidak dihukum dengan putusan yang seberat-beratnya. Bahkan dibina dengan pembinaan yang lunak, berdasarkan asas kemanusiaan, termasuk mudahnya diberikannya remisi kepada nara pidana koruptor. Apa yang dikemukakan Denny Indrayana tersebut di atas dengan maksud untuk memberantas korups i, ternyata terbentur pada asas legisme/legalitas yang dianut kuat di negara hukum Indonesia. Apakah hukum yang dibuat di Indonesia itu juga untuk kepentingan orang-orang terentu sehingga dibuat fleksibel/ lentur, penuh titipan orang/ kelompok tertentu? Sebaiknya kita tunggu iktikad baik dan semangat para anggota DPR RI, yang mewakili rakyat Indonesia. Namun mereka saat ini masih belum berhasil memperbaiki W.v.S. (KUHP Hindia Belanda), masih mikir kamar mandi dan perbaikan gedung yang katanya penting untuk kenyamanan kerja mereka. Atau kita tunggu berita lebih lanjut tentang gagalnya SBY atau ketidakmampuan SBY dalam memberantas korupsi karena para koruptor masih menikmati kemanjaan hidup di bumi Nusantara ini. Pemberantasan korupsi merupakan janji kampanye Sos ilo Bambang Yudhoyono dalam Pemilu 2009.
Namun ternyata berbagai skandal penyalahgunaan kekuasaan yang diduga melibatkan sejumlah petinggi Partai Demo krat menjadi bumerang kepercayaan publik terhadap integritas pemerintahannya. Kasus Nazaruddin malahan menyeret nama Anas Urbaningrum (Ketua Partai Demokrat), Angelia Sondakh (Anggota DPR dari Partai Demokrat), dan lain-lainnya, termasuk Gubernur, Bupati, Walikota, yang semarak ikut meramaikan suasana dengan kasus korupsi yang dilakukan selama menjalankan jabatannya. Hasil survey menunjukkan bahwa 87,4 % responden menyatakan tidak puas terhadap kinerja pemerintahan Yudhoyono dalam membersihkan Aparatur Negara dari praktek korupsi di negeri ini. Hanya 12 % responden yang masih mempercayai pemerintahan Yudhoyono akan mampu memenuhi janji-janji nya dal am kampanye Pemilu 2009. (Kompas, 24 Januari 2012, hal. 4). Meski demikian Presiden SBY sendiri selalu mengajak seluruh jajarannya untuk mengajak seluruh jajaran pemerintahan untuk mencegah dan memberantas korupsi anggaran negara. Presiden juga meminta Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Pembeantasan Korupsi, dan Badan Pengawas an K euangan dan Pembangunan untuk bekerja sama dalam upaya menyelamatkan keuanagan negara. Dalam hal ini Presiden mengatakan : “Baru merencanakan saja sudah korupsi, (penulis : dalam kaitannya dengan Banggar DPR), apalagi nanti pelaksanaannya. Saya sudah minta BPK, KPK, BPKP, bekerja sama untuk menyelamatkan anggaran negara. Cegah dan berantas mark up pengadaan barang dan hentikan pungutan liar kepada para investor. Cegah dan berantas praktik
71
mafia hukum dan peradilan”. (Kompas, 20 januari 2012, hal. 2). Namun akan lebih baik lagi kalau Presiden membuat Perpu atau RUU (Perubahan) yang isinya tidak perlu memberikan remisi kepada narapidana korupsi. Perkara berhasil atau tidaknya tindakan tidak diberikannya remisi dalam memberantas/mengurangi tindak pidana korupsi, akan dilihat dalam sejarah hukum di negara kita di waktu yang akan datang. Namun ini merupakan suatu usaha yang perlu dikembangkan dalam praktek penegakan hukum di Indonesia dalam rangka pemberantasan korupsi, sehingga harapan untuk mencapai cita-cita Negara Sejahtera berdasar Keadilan bagi seluruh Rakyat Indonesia dapat tercapai. Kesimpulan Berdasar uraian tersebut, di atas, maka dapat disimpulkan bahwa bagi narapidana kasus korupsi masih tetap dapat diberikan remisi, walaupun ada penolakan dari berbagai kalangan masyarakat. Penol akan warga masyarakat itu dimaksudkan agar pelaku tindak pidana korupsi menjadi jera dengan
perbuatannya. Namun hal ini belum dapat dikabul kan karena dal am peraturan perundang-undangan di Negara RI masih belum diadakan peraturan khusus yang tidak memberikan remisi kepada terpidana korupsi. Para pelaksana penegak hukum khususnya yang berwenang memberikan remisi masih berdasar pada asas legalitas yang berlaku di Negara RI. Saran 1. Pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi perlu diperberat. 2. Perlu evaluasi lagi dalam perundangundangan di Negara RI, khususnya yang berkaitan dengan aturan remisi bagi narapidana korupsi. Korupsi merupakan kejahatan istimewa (khusus ) mengingat juml ah nominalnya sangat besar yang berdampak luar biasa bagi kerugian negara/rakyat. Apabila diperlukan cepat, maka Presi den dapat mengeluarkan Perpu untuk hal tersebut, mengingat untuk dibuatnya Undang-undang diperlukan waktu yang lama.
Daftar Pustaka Bambang Poernomo, Perspektif Hukum Pelaksanaan Pidana Berdasarkan Pengayoman, Makalah Seminar, Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta, 22 September 1990 I.S. Susanto, Kejahatan Korporasi, BP Undip, Semarang, 1995 __________, Kriminologi, FH Undip, Semarang, 1995 Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung, 1997
72
Sigit Setyadi, Kebijakan Pemberian Remisi Kepada Nara Pidana di Yogyakarta, Tesis, Program Magister Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang, 2005 Sudarto, Hukum Pidana I A, Yayasan Sudarto, Semarang. 1994. Peraturan Perundang-undangan : UU No 12 Th 1995 tentang Pemasyarakatan. Keputusan Presiden RI No. 174 Th. 1999 tentang Remisi. Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-undangan RI No. : M.09.HN.02.01. Th. 1999 tentang Pelaksanaan Keppres RI No. 174 tentang Remisi. Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-undangan RI No. M.10.HN.02.01. Keputusan Menteri Kehakiman dan HAM No. : M.01.HN.02.01 Th. 2001. Koran Harian : Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta. KOMPAS, Jakarta.
73
IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2006 DALAM PELAYANAN PENCATATAN SIPIL DI KABUPATEN SLEMAN Oleh : Sri Suwarni dan R. Tri Yuli Purwono *
Abstract The study was conducted to determine the civil service in Region Sleman District with the provisions of Law No. 23 of 2006, and also to determine the constraints faced in the civil registration service, and to learn about the efforts made by governments in the face of obstacles Sleman -constraint in the civil service with the provisions of such Act. This research was conducted by the research methods of library research and also conducted field research. In the research literature studies document the means used to obtain secondary data, while the documents examined include primary legal materials, legal materials and secondary tertiary material, while the field research conducted to obtain primary data is done with a qualitative approach with interviews. Data obtained from the results of library research and field studies were analyzed qualitatively. The data is further described by the descriptive method of analysis, ie, in discussing the problems done by identifying, analyzing and interpreting data that have been obtained for drawn a conclusion. The results of this study is that the provisions of Law No. 23 of 2006 at this time has been implemented in the civil service in Region percatatan Sleman, it was poured in Sleman District Regulation No. 7 Years 2009. On Implementation of Population Administration, and also there Sleman decree No. 80 Year2009. In Transition Act it. The constraints faced in the civil service in transition enactment of Law Number 23 Year 2006 is the ability of human resources / personnel available has less to do with the capacity of the service certificate requests (especially birth certificate) is so high from the Bantul District residents , in addition to the available infrastructure to support the smooth implementation of the tasks of civil registration is still inadequate. The efforts made by Pemerinyah Bantul, in this case is the Department of Population and Civil Registration in order to service the demand is so high deed by deploying the entire force is there to work extra hard to do service to the community. Keywords: Implementation, Law No. 23 of 2006, the Civil Registry.
*Dosen Fakultas Hukum Universitas Janabadra Yogyakarta
74
A. LATAR BELAKANG Pada tanggal 29 Desember 2006 telah diundangkan Undang Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administradi Kependudukan dan pada tanggal 28 Juni 2007 telah diundangkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2007 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang – Undang tersebut. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 butir 1 Undang Undang Nomor 23 Tahun 2006 yang dimaksud dengan Administrasi Kependudukan adalah rangkaian kegiatan penataan dan penerbitan dalam penerbitan dokumen dan Data Kependudukan melalui Pendaftaran Penduduk, Pencatatan Sipil, pengelolaan informasi Administrasi Kependudukan serta pendayagunaan hasilnya untuk pelayanan publik dan pembangunan sektor lain. Pencatatan Sipil sudah dikenal sejak zaman Hindia Belanda, dan boleh dikatakan bahwa Lembaga Pencatatan Sipil yang ada di Indonesia ini adalah merupakan peninggalan dari pemerintahan penjajah. Menurut Subekti dan Tjitrosoebono, “Burgerlijke Stand (Belanda), catatan sipil adalah suatu lembaga yang ditugaskan untuk memelihara daftar-daftar atau catatan-catatan guna pembuktian status atau peristiwa-peristiwa penting bagi para warga Negara, seperti kelahiran, perkawinan, dan kematian”. 1 Menurut Vollmar, “Catatan sipil adalah suatu lembaga yang diadakan oleh penguasa yang bermaksud membukukan selengkap mungkin dan karena itu memberikan kepastian sebesar-besarnya tentang semua peristiwa yang penting bagi status keperdataan seseorang mengenai kelahiran, pengakuan, perkawinan, perceraian dan kematian. Perintiwa-
1 2 3
pristiwa itu dicatat, agar mengenai itu baik bagi yang berkepentingan maupun bagi pihak ketiga setiap saat ada buktinya”. 2 Menurut Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, “Catatan Sipil adalah suatu lembaga yang senganja diadakan oleh pemerintah yang bertugas untuk mencatat, mendaftarkan, serta membukukan selengkap mungkin setiap peristiwa penting bagi status keperdataan seseorang, mis alnya perkawinan, kelahiran, pengakuan/pengesahan anak, perceraian dan kematian, serta ganti nama”. 3 Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat dipahami, bahwa catatan sipil adalah merupakan suatu lembaga yang dibentuk oleh pemerintah dengan tugas menyelenggarakan pencatatan, penerbitan, penyimpanan, dan pemeliharaan data keperdataan seseorang. Akta Pencatatan Sipil berlaku selamanya, dan Akta Pencatatan Sipil terdiri dari Register Pencatatan Sipil dan Kutipan Akta Pencatatan Sipil, hal ini diatur dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006. Di dalam ketentuan selanjutnya mengatur bahwa register akta pencatatan sipil memuat seluruh data peristiwa penting, dan data peristiwa penting yang datang dari Kantor Urusan Agama Kecamatan diintegrasikan ke dalam database kependudukan dan tidak diterbitkan kutipan akta pencatatan sipil. Menurut J. Satrio dari register-register pencatatan sipil yang diadakan, yang paling penting adalah register kelahiran, perkawinan, perceraian dan kematian, karena hal ini mempunyai pengaruh yang besar terhadap kedudukan perdata atau status keperdataan seseorang. Adanya
Subekti dan Tjitrosoebono, 1985, Kamus Hukum, Jakarta, Pradnya Paramita, hal. 22 Vollmar, H.F.A, 1996, Inleideng tot de Studie van het Nederlands, terjemahan I.S. Adiwimarta, Jakarta, Rajagrafindo Persada, hal. 37 Viktor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, 1996, Aspek Hukum Catatan Sipil di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, hal. 13
75
pengakuan dan pengesahan juga merupakan peristiwa penting tetapi untuk itu tidak ada register tersendiri, sebab pencatatannya dilakukan di dalam register kelahiran. 4 Mengenai kelahiran, perkawinan, perceraian, dan kematian, orang tidak hanya berkepentingan mengenai telah terjadinya peristiwa seperti itu, tetapi juga kapan peris tiwa seperti itu tel ah berlangsung. Sehubungan dengan besarnya pengaruh peristiwa-peristiwa seperti itu untuk kedudukan perdata seseorang, maka sudah dapat diduga adanya suatu kebutuhan akan sarana, yang dapat digunakan untuk mengkonstatir peristiwa-peristiwa seperti itu dan memberikan alat bukti, yang bisa memberikan kepastian hukum bagi mereka yang memerlukannya. Dengan demikian Catatan Sipil merupakan suatu lembaga yang diselenggarakan oleh negara, dengan tujuan untuk membukukan secara lengkap dan seakurat mungkin, peristiwa-peristiwa yang mempunyai pengaruh yang besar terhadap kedudukan perdata seseorang, seperti kelahiran, pengakuan, pengesahan, perkawinan, perceraian, dan kematian. 5 Sebagai bukti telah dicatatnya peristiwa-peristiwa penting tersebut, oleh penyelenggara catatan sipil dapat dikeluarkan akta-akta : kelahiran, perkawinan, perceraian dan kematian.6 Pada aturan peralihan Undang Undang Nomor 23 Tahun 2006 Pasal 106 diatur bahwa ada beberapa ketentuan pencatatan sipil yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi pada saat ini yaitu: 1. Buku Kesatu Bab Kedua Bagian Kedua dan Bab Ketiga Kitab Undang- Undang Hukum Perdata (Burgerliijk Wetboek
4 5 6
voor Indonesie, Staatsblad 1847 : 23); 2. Peraturan Pencatatan Sipil untuk Golongan Eropa (Reglement op het Ho lden der Registers van den Burgerlyken Stand voor Europeanen, Staatsblad 1849 : 25 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Staatsblad 1946 : 1361) ; 3. Peraturan Pencatatan Sipil untuk Golongan Cina (Bepalingen voor Geheel Indonesie Betreffende het Burgeliiken Handelsrecht van de Chinezian, Staatsblad 1917 : 129 jo. Staatsblad 1939 : 288 sebagaimana diubah terakhir dengan Staatsblad 1946 : 136); 4. Peraturan Pencatatan Sipil untuk Golongan Indonesia (Reglement op het Holden van de Registers van den Burgerliiken Stand Door Eenigle Groepen v.d nit not de Orderhoringer van een Zelfbestuur, behoorende Ind. Bevolking van Java en Madura, Staatsblad 1920 : 751 jo. Staatsblad 1927 : 564) ; 5. Peraturan Pencatatan Sipil untuk Gol ongan Kristen Indonesia (Huweliijksordonantie voor Christenen Indonesiers Java, Minahasa en Amboiena, Staatsblad 1933 : 74 jo. Staatsblad 1936 : 607 sebagaimana diubah terakhir dengan Staatsblad 1939 : 288) ; 6. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1961 tentang Perubahan atau Penambahan Nama Keluarga (Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2154). Di dalam Pasal 1 butir 15 Undang Undang Nomor 23 Tahun 2006 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Pencatatan Sipil adalah pencatatan Peristiwa Penting
Satrio. J, 1999, Hukum Pribadi : Bagian I Persoon Alamiah, Bandung, Citra Aditya Bakti, hal. 92-93 Vollmar, H.F.A, Op Cit, hal. 26 Satrio, J, Op Cit. hal. 93
76
yang dialami oleh seseorang dalam register Pencatatan Sipil pada Instansi Pelaksana. Adapun Peristiwa Penting yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 1 butir 17 Undang Undang tersebut adalah kejadian yang dialami oleh seseorang meliputi kelahiran, kematian, lahir mati, perkawinan, perceraian, pengakuan anak, pengesahan anak, pengangkatan anak, perubahan nama dan perubahan status kewarganegaraan. Sedangkan pihak yang melakukan pencatatan peristiwa penting tersebut adalah Pejabat Pencatatan Sipil yaitu pejabat yang melakukan pencatatan peristiwa penting yang dialami seseorang pada I nstansi Pelaksana yang pengangkatannya sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Undang - Undang tersebut mengatur secara terperinci tentang ketentuan pencatatan peristiwa-peristiwa penting yang dialami seseorang, dan ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pencatatan peristiwa – peristiwa penting tersebut yang diatur dalam Peraturan Presiden yaitu Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2008 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil yang ditetapkan pada Tanggal 4 April 2008. Berdasarkan ketentuan Undang Undang tersebut dapat dipahami bahwa pencatatan sipil merupakan hak sekaligus merupakan kewajiban bagi setiap orang yang mengalami peristiwa penting dalam hidupnya, agar peristiwa penting yang dialaminya mempunyai bukti autentik yang mempunyai kekuatan hukum bahwa peristiwa itu benar-benar terjadi. Hal ini perlu dilakukan dalam rangka untuk menentukan status keperdataan seseorang. Penerapan Undang Undang Nomor 23 Tahun 2006 dalam pel ayanan
pencatatan sipil di masing-masing daerah di seluruh wilayah Indonesia ini mestinya sudah dilakukan, termasuk salah satunya di Daerah Kabupaten Sleman. Namun demikian penerapan ketentuan undangundang tersebut dalam pelayanan pencatatan sipil tentunya dibutuhkan adanya kesiapan sarana dan prasarana serta perangkat yang memadai. Hal itu diperlukan dalam rangka pelaksanaan tugas pelayanan kepada masyarakat. B. RUMUSAN PERMASALAHAN Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti merumuskan permasalahan sebagai berikut : 1) Apakah Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Sleman sudah di dukung dengan adanya sarana dan prasarana yang memadai untuk melaksanakan tugas pencatatan sipil? 2) Bagaimana Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Sleman mengimplementasikan ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 dalam melaksanakan pelayanan pencatatan sipil ? 3) Upaya apa saja yang dilakukan oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Sleman dalam mensosialisasikan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 khususnya mengenai pencatatan sipil bagi Warga Masyarakat Kabupaten Sleman ? C. METODE PENELITIAN 1. Teknik Pengumpulan Data Data dalam penelitian ini meliputi dua macam, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan dengan cara pengamatan secara langsung ke lapangan untuk memperoleh keterangan yang relevan dengan objek penelitian melalui wawancara mendalam (Indepth Inter-
77
view). Pedoman wawancara (Interview guide) dibuat sebelum terjun ke lapangan yang digunakan sebagai pengarah pada saat wawancara. Adapun responden yang akan diwawancarai dalam penelitian ini adalah para pejabat yang terkait dalam pelaksanaan pelayanan pencatatan sipil di Daerah Kabupaten Sleman. Sedangkan data sekunder dikumpulkan dengan studi pustaka, yang meliputi buku-buku, jurnal, peraturan perundang-undangan, dan hasil penelitian yang relevan. 2. Analisis Data Data yang telah tekumpul selanjutnya dianaisis secara kualitatif melalui tahap-tahap sebagai berikut: a. Tahap Reduksi Data Reduksi data meliputi proses pemilihan, pemusatan perhatian, penyederhanaan, pengabstrakan dan transformsi data mentah yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan maupun hasil wawancara yang ada. Dalam tahap ini, data disederhanakan, mana yang dipakai dan mana yang tidak dipakai. Data yang dipakai kemudian di susun untuk selanjutnya disajikan melalui tahap penyajian data. b. Tahap Penyajian Data. Data disajikan dalam bentuk teks narasi. Dari penyajian data tersebut s elanjutnya diintepretasikan dan selanjutnya ditarik kesimpulan. 3. Penarikan Kesimpulan Berdasarkan tahap-tahap tersebut, setelah data diperoleh dari lapangan, baik melalui observasi, wawancara, maupun dari studi kepustakaan kemudian di reduksi dengan mendasarkan pada upaya untuk
78
menjawab permasalahan dan tujuan penelitian yang diajukan. Data yang sudah direduksi sesuai dengan pokok mas alah dan dibantu dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku selanjutnya direkonstruksi dengan pendekatan kualitatif ke dalam uraian diskripsi yang utuh dan akhirnya diambil kesimpulan. D. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Kedudukan, Tugas dan Fungsi Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Di dalam ketentuan Pasal 15 Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Organisasi Perangkat Daerah Pemerintah Kabupaten Sleman yang ditetapkan pada tanggal 4 Agustus 2009 mengatur bahwa : a. Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil merupakan unsur pelaksana pemerintah daerah yang dipimpin oleh kepala dinas yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Bupati melalui Sekretaris Daerah. b. Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil mempunyai tugas melaksanaan penyelenggaraan pemerintahan daerah di bidang kependudukan dan catatan sipil. c. Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil dalam melaksanakan tugas menyelenggarakan fungsi : 1) Perumusan kebijakan teknis bidang kependudukan dan catatan sipil; 2) Pelaksanaan tugas bidang kependudukan dan catatan sipil; 3) Penyelenggaraan pelayanan umum bidang kependudukan
dan catatan sipil; 4) Penyel enggaraan dan pembinaan admini strasi kependudukan dan catatan sipil; dan 5) Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Bupati sesuai dengan tugas dan fungsinya. Hal tersebut lebih lanjut diatur dalam ketentuan Pasal 2 Peraturan Bupati Sleman Nomor 24 Tahun 2009 Tentang Uraian Tugas, Fungsi, dan Tata Kerja Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil yang ditetapkan pada tanggal 15 Oktober 2009. Susunan Organi sasi Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 16 Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Organi sasi Perangkat Daerah Pemerintah Kabupaten Sleman, yang lebih lanjut diatur dalam Pasal 3 ayat (1) Peraturan Bupati Sleman Nomor 24 Tahun 2009 Tentang Uraian Tugas, Fungsi , dan Tata Kerja Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, terdiri dari : 1) Kepala Dinas; 2) Sekretariat terdiri dari : a) Subbagian Umum dan Kepegawaian, dan b) Subbagian Keuangan, Perencanaan dan Evaliasi. 3) Bidang Pendaftaran Penduduk terdiri dari : a) Seksi Administrasi Kependudukan, dan b) Seksi Informasi Administrasi Kependudukan. 4) Bidang Catatan Sipil terdiri dari : a) Seksi Kelahiran dan Kematian, dan
b) Seksi Perkawinan, Perceraian, dan Pengangakuan, Pengangkatan, dan Pengesahan Anak. 5) Bi dang Perencanaan dan Perkembangan Kependudukan terdiri dari : a) Seksi Analisis Kependudukan, dan b) Seksi Pengelolaan Dokumen Kependudukan. 6) Unit Pelaksana Teknis; dan 7) Kelompok Jabatan Fungsional. Bidang Catatan Sipil yang merupakan bagian dari susunan organisasi Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil sebagaimana diatur dalam Bagian Ketiga Peraturan Bupati Sleman Nomo r 24 Tahun 2009 mempunyai tugas menyelenggarakan dan membina pengelolaan dan pelayanan pencatatan sipil. Dan Bidang Catatan Sipil dalam menyelenggarakan tugas mempunyai fungsi : 1) Penyus unan rencana kerja Bidang Catatan Sipil; 2) Perumusan kebijakan teknis pengelo laan dan pel ayanan pencatatan sipil; 3) Penyelenggaraan dan pembinaan pengelo laan dan pel ayanan pencatatan kelahiran, kematian, perkawinan, perceraian, dan pengakuan, pengangkatan, dan pengesahan anak; dan 4) Evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan rencana kerja Bidang Catatan Sipil. Seksi Kelahiran dan Kematian pada Bidang Catatan Sipil mempunyai tugas menyelenggarakan dan membina pengelolaan dan pelayanan
79
pencatatan kelahiran dan kematian. Dan Seksi ters ebut dal am melaksanakan tugas mempunyai fungsi: a. Penyusunan rencana kerja Seksi Kelahiran dan Kematian; b. Penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis pengelolaan dan pelayanan pencatatan kelahiran dan kematian; c. Penyelenggaraan dan pembinaan pel ayanan dan pengelolaan pencatatan kelahiran; d. Penyelenggaraan dan pembinaan pel ayanan dan pengelolaan pencatatan kematian; e. Penyelenggaraan pembinaan dan pengendali an kepemilikan dokumen kelahiran dan kematian; dan f. Evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan rencana kerja Seksi Kelahiran dan Kematian. Seksi Perkawinan, Perceraian, dan Pengakuan, Pengangkatan, dan Pengesahan Anak pada Bidang Catatan Sipil mempunyai tugas menyelenggarakan dan membina pengelolaan dan pelayanan pencatatan perkawinan, perceraian, dan pengakuan, pengangkatan, dan pengesahan anak. Dan Seksi tersebut dalam melaksanakan tugas mempunyai fungsi : a. Penyusunan rencana kerja Seksi Perkawinan, Perceraian, dan Pengakuan, Pengangkatan, dan Pengesahan Anak; b. Penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis pengelolaan dan pelayanan pencatatan perkawinan, perceraian, dan pengakuan, pengangkatan, dan
80
pengesahan anak; c. Penyelenggaraan dan pembinaan pel ayanan dan pengelolaan pencatatan perkawinan dan perceraian; d. Penyelenggaraan dan pembinaan pel ayanan dan pengelolaan pencatatan pengakuan, pengangkatan, dan pengesahan anak; e. Penyelenggaraan pembinaan dan pengendali an kepemilikan dokumen perkawinan, perceraian, dan pengakuan, pengangkatan, dan pengesahan anak; f. Evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan rencana kerja Seksi Perkawinan, Perceraian, dan Pengakuan, Pengangkatan, dan Pengesahan Anak. 2. Sarana dan Prasarana pendukung Penyelenggaraan Pencatatan Sipil Di Kabupaten Sleman. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 buti r (6) Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 7 Tahun 2009 Tentang Penyelenggaraan Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Si pi l, yang dimaksud dengan Pencatatan sipil adalah pencatatan peristiwa penting yang dialami oleh seseorang pada register pencatatan sipil oleh unit kerja yang mengelola pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil Mengenai dasar hukum dan peraturan perundang-undangan yang mendas ari pelaksanaan tugas penyel enggaraan pel ayanan pendaftaran penduduk dan pencatatan si pi l Di nas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Sleman adalah sebagai berikut : 1) Undang – Undang Nomor 28 Tahun 1999, tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Kolusi, Korupsi dan Nepotisme. 2) Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dalam pelaksanaan Tugas Pelayanan Publik. 3) Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan 4) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan 5) Keputusan Presiden Nomor 88 Tahun 2004 Tentang Pengelolaan Sistem Informasi Kependudukan (SIAK) 6) Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999 tentang akuntabilitas kinerja instansi pemerintah. 7) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2008 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil. 8) Permendagri Nomor 28 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyel enggaraan dan Pencatatannn Sipil. 9) Keputusan Kepala Lembaga Administrasi Negara Nomor 239/ IX/6/8/2003 tentang akuntabilitas kinerja instansi pemerintah. 10) Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 7 Tahun 2009 Tentang Penyel enggaraan Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil Di Kabupaten Sleman. 11) Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Retribusi Pelayanan Dokumen Kependudukan.
12) Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Organisasi Perangkat Daerah Pemerintah Kabupaten Sleman. 13) Peraturan Bupati Sleman Nomor 24 Tahun 2009 Tentang Uraian Tugas, Fungsi, Dan Tata Kerja Dinas Kependudukan Dan Catatan Sipil. 14) Peraturan Bupati Sleman Nomor 77 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Peraturan Bupati Sleman Nomor 29 Tahun 2008 Tentang Pemberian Dispensasi Pelayanan Pencatatan Kelahiran Penduduk Warga Negara Indonesia. 15) Peraturan Bupati Sleman Nomor 80 Tahun 2009 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan Pendaftaran Penduduk Dan Catatan Sipil. 16) Surat Edaran Pemerintah Kabupaten Sleman Nomor 472/ 0074 Tentang Perpanjangan Masa Dispensasi Pelayanan Pencatatan Kelahiran. 3. Penyelenggaraan Pencatatan Sipil Di Kabupaten Sleman. Dalam rangka pelaksanaan Undang Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan, Pemerintah Kabupaten Sleman pada tanggal 26 November 2008 menetapkan Peraturan Bupati Sleman No mor 29 Tahun 2008 Tentang Pemberian Dispensasi Pelayanan Pencatatan Kelahiran dalam masa transisi berlakunya Undang Undang No mor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan. Peraturan Bupati tersebut pada tanggal 28 November 2009 dirubah dengan Peraturan Bupati
81
Sleman Nomor 77 Tahun 2009 yang inti nya memperpanjang masa berlakunya dispensasi pelayanan pencatatan kelahiran penduduk Warga Negara Indonesia berupa penghapusan persyaratan penetapan Pengadilan Negri bagi penduduk Warga Negara Indo nesi a yang pencatatan kelahirannya terlanbat, khususnya penduduk Warga Negara Indonesia yang lahir sebelum berlakunya Undang Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan yaitu tanggal 29 Desember 2006. Perpanjangan pemberian dispensasi pelayanan pencatatan kelahiran sampai dengan Desember 2010. Pada tanggal 4 Agustus 2009 Pemerintah Kabupaten Sleman telah menetapkan Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 7 Tahun 2009 Tentang Penyelenggaraan Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil, kemudian pada tanggal 10 Desember 2009 ditetapkan Peraturan Bupati Sleman Nomor 80 Tahun 2009 Tentang Petunjuk Pel aksanaan Penyel enggaraan Pendaftaran Penduduk dan Catatan Sipil. Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 7 Tahun 2009 Tentang Penyel enggaraan Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan dalam BAB IV telah mengatur tentang pencatatan sipil sesuai dengan ketentuan Undang Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan bab V, dan Peraturan Bupati Sleman Nomor 80 Tahun 2009 Tentang Petunjuk Pelaks anaan Penyelenggaraan Pendaftaran Penduduk dan Catatan Sipil BAB III Bagian kedua telah mengatur tentang persyaratan dan tata cara memperoleh dokumen pencatatan si pi l sesuai dengan ketentuan
82
Peraturan Presiden Republik Indonesia No mor 25 Tahun 2008 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil BAB III. Demikian juga mengenai penetapan denda admi ni stratif dan biaya pelayanan yang diatur dalam BAB IV Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2008 telah diatur dalam Peraturan Bupati Sleman Nomor 80 Tahun 2009 tersebut. Bab IV Perda tersebut mengatur tentang Pencatatan Sipil. Bagian kesatu mengatur tentang ketentuan pencatatan, Pasal 27 ayat (1) Perda tersebut mengatur bahwa setiap penduduk mempunyai kewajiban memiliki akta pencatatan sipil. Yang dimaksud dengan akta pencatatan sipil menurut Pasal 1 butir (30) Perda tersebut adalah akta otentik mengenai peristiwa kelahiran, perkawinan dan perceraian bagi yang bukan beragama Islam, kematian serta pengesahan anak dan pengakuan anak. Akta pencatatan sipil menurut ketentuan Pasal 27 ayat (2) Perda tersebut terdiri dari : 1) Akta kelahiran 2) Akta perkawinan 3) Akta perceraian 4) Akta kematian, dan 5) Akta pengakuan dan pengesahan anak. Berdasarkan uraian tersebut dapat di ketahui bahwa saat ini ketentuan Undang Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan telah diimplementasilan di K abupaten Sl eman dengan menggunakan dasar Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Pndaftaran Penduduk dan Catatan Sipil, dan Peraturan Bupati Sleman Nomor
80 Tahun 2009 tentang Petunjuk Pelaks anaan Penyelenggaraan Pendaftaran Penduduk dan Catatan Sipil. 4. Kendala-Kendala Yang Dihadapi Pemerintah Kabupaten Sleman Dalam Pelaks anaan Pencatatan Sipil Berdasarkan Ketentuan UndangUndang Nomor 23 Tahun 2006. Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penyel enggaraan Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil yang ditetapkan pada tanggal 4 Agustus 2009 di pakai sebagai acuan diimplementasikannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 di Kabupaten Sleman, yang kemudian pada tanggal 10 Des ember 2009 di tetapkan Peraturan Bupati Slemanl Nomor 80 Tahun 2009 tentang Petunjuk Pelaks anaan Peraturan Daerah tersebut. Ketentuan Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan pencatatan s ipil adalah pencatatan Peristiwa Penting yang dialami oleh seseorang dalam register Pencatatan Sipi l pada I ntansi Pelaksana. Mengenai Peristiwa Penting yang dialami ol eh s es eo rang sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 17 Undang-Undang tersebut adalah kejadian yang dialami oleh seseorang meliputi kelahiran, kematian lahir mati, perkawinan, perceraian, pengakuan anak, pengesahan anak, pengangkatan anak, perubahan nama dan perubahan status kewarganegaraan. Adapun pihak yang melakukan pencatatan peristiwa penting yang dialami seseorang tersebut adalah Pejabat Pencatatan Sipil yaitu pejabat yang melakukan
pencatatan Peristiwa Penting yang dialami seseorang pada Instansi Pelaksana yang pengangkatannya sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Dalam rangka peningkatan pelayanan umum di bidang Pencatatan Sipil Pemerintah Kabupaten Sleman pada tanggal 26 November 2008 menetapkan Peraturan Bupati Sleman No mo r 29 Tahun 2008 tentang Dispensasi Pelayanan Pencatatan Kelahiran Bagi Penduduk Kabupaten Sl eman Dalam Masa Transi si Berlakunya Undang Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Dispensasi pelayanan pencatatan kelahiran tersebut diberikan kepada penduduk Kabupaten Sleman yang lahir sebelum berlakunya UndangUndang Nomor 23 Tahun 2006, dan ini berlaku dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak ditetapkannya Peraturan Bupati tersebut. Peraturan Bupati tersebut kemudian dirubah dengan Peraturan Bupati Sleman Nomor 77 Tahun 2009 yang ditetapkan pada tanggal 28 Novemver 2009 yang intinya memperpanjang masa dispensasi pencatatan kelahiran seperti tersebut pada Peraturan Bupati terdahulu sampai dengan Desember 2010. Seiring dengan diberlakukannya Peraturan Bupati Sleman Nomor 29 Tahun 2008 yang kemudi an diperbaharui dengan Peraturan Bupati Sleman Nomor 77 Tahun 2009 tersebut, ani mo masyarakat Kabupaten Sleman untuk mendapatkan akta kelahiran khususnya yang lahir sebelum diberlakukannya Undang Undang Nomor 23 Tahun 2006 tersebut sangat tinggi. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut ini :
83
Tabel 1 Pelayanan Akta-Akta Catatan Sipil Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Sleman Triwulan I Tahun 2009 No. 1
2
3
4
5 6 7 8 9
BULAN JENIS Kelahiran - Umum - Terlambat Perkawinan - Umun - Terlambat Perceraian - Umum - Terlambat Kematian - Umum - Terlambat Pengangakuan Anak Pengesahan Anak Pengangkatan Anak Perubahan Nama Salinan Akta - Akta Kelahiran - Akta Perkawinan
JANUARI
FEBRUARI
MARET
JUMLAH
Tabel 2 Pelayanan Akta-Akta Catatan Sipil Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Sleman Triwulan II Tahun 2009
655 1141
758 1287
794 1848
2207* 4276*
302 1
0 0
10 0
312 1
1 1
3 0
0 1
4 2
1
2
41 80 3 3 3 0
34 82 0 0 2 3
38 136 0 0 3 1
113 298 3 3 8 4
17 1
23 2
22 2
62 5
· Jumlah : 6.483. Sumber data Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Sleman
Berdasarkan tabel 1 tersebut menunjukan bahwa permohonan akta kelahiran umum yaitu kelahiran yang dimohonkan sebelum lewat 60 hari sejak kelahiran pada triwulan pertama tahun 2009 ada 2.207, akta kelahiran terlambat yaitu akta kelahiran yang dimohonkan dalam jangka waktu setelah 60 hari sampai dengan 1 tahun sejak kelahiran yang syaratnya harus ada dispensasi dari pejabat pencatatan sipil, dan akta kelahiran yang dimohonkan setelah lewat 1 tahun sejak kelahiran ada 4.276. Akta kelahiran yang dimohonkan setelah lewat 1 tahun sejak kelahiran menurut ketentuan Undang UndangNomor 23 Tahun 2006 harus ada penetapan pengadilan negeri terlebi h dahulu, namun karena di Kabupaten Sleman pada triwulan pertama tahun 2009 ada dispensasi pencatatan kelahiran sehingga pelaksanaannya tidak harus dengan penetapan pengadilan
84
negeri, tetapi cukup dengan dispensasi dari pejabat pencatatan sipil
No.
3
4
5 6 7 8 9
BULAN JENIS Kelahiran - Umum - Terlambat Perkawinan - Umun - Terlambat Perceraian - Umum - Terlambat Kematian - Umum - Terlambat Pengangakuan Anak Pengesahan Anak Pengangkatan Anak Perubahan Nama Salinan Akta - Akta Kelahiran - Akta Perkawinan
APRIL
MEI
JUNI
JUMLAH
837 1302
961 1573
976 1964
2774* 4839*
9 0
25 0
6 0
40 0
3 0
6 0
6 1
15 1
33 77 0 0 7 2
15 91 0 0 1 2
40 130 0 0 3 2
88 298 0 0 11 6
20 1
15 0
41 1
138 7
· Jumlah : 7613. Sumber data Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Sleman
Tabel 2 tersebut menunjukan bahwa pelaporan peristiwa kelahiran pada triwulan ke II tahun 2009, baik kelahiran umum maupun terlambat mengalami kenaikan yaitu untuk pelaporan peristiwa kelahiran umum triwulan ke I ada 2.207 pada triwulan ke II naik menjadi 2.774, sedangkan pelaporan peristiwa kelahiran terlambat pada triwula ke I ada 4.276 pada triwulan ke II naik menjadi 4.836. Tabel 3 Pelayanan Akta-Akta Catatan Sipil Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Sleman Triwulan III Tahun 2009
No. 1
2
3
4
5 6 7 8 9
BULAN JENIS Kelahiran - Umum - Terlambat Perkawinan - Umun - Terlambat Perceraian - Umum - Terlambat Kematian - Umum - Terlambat Pengangakuan Anak Pengesahan Anak Pengangkatan Anak Perubahan Nama Salinan Akta - Akta Kelahiran - Akta Perkawinan
JULI
AGUSTUS
SEPTEMBER
JUMLAH
835 1259
825 1425
689 815
2349* 3499*
28 0
13 0
0 0
41 0
8 2
4 2
2 0
14 4
37 90 0 0 1 0
51 313 0 0 2 2
44 65 0 0 0 1
132 468 0 0 3 3
22 1
23 2
14 1
59 4
· Jumlah : 5.848. Sumber data Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Sleman
Pada tabel 3 terlihat bahwa pendaftaran peristiwa kelahiran umum pada triwulan ke III tahun 2009 mengalami penurunan dibandingkan pada triwulan ke II yaitu dari 2.774 menjadi 2.349, namun dibandingkan pada triwulan ke I tetap masih menunjukan kenaikan, sedangkan untuk pelaporan kelahiran terlambat melangalami penurunan dibandingkan dengan triwulan ke I dan teriwulan ke II yaitu 4.276 pada triwulan ke I, 4.839 pada triwulan II, dan hanya 3.499 pada triwulan III. Tabel 4 Pelayanan Akta-Akta Catatan Sipil Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Sleman Triwulan IV Tahun 2009 No. 1
2
3
4
5 6 7 8 9
BULAN JENIS Kelahiran - Umum - Terlambat Perkawinan - Umun - Terlambat Perceraian - Umum - Terlambat Kematian - Umum - Terlambat Pengangakuan Anak Pengesahan Anak Pengangkatan Anak Perubahan Nama Salinan Akta - Akta Kelahiran - Akta Perkawinan
OKTOBER
NOPEMBER
DESEMBER
JUMLAH
1047 1141
844 1926
848 1112
2739* 4179*
510 26
49 3
41 3
600 32
10 2
4 5
0 3
14 10
54 621 3 3 0 4
63 1177 1 1 1 1
31 238 0 0 0 4
148 2036 4 4 1 9
31 0
25 2
11 1
67 3
· Jumlah : 6.918. Sumber data Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Sleman
Pada tabel 4 yaitu l aporan pelaporan kelahiran khususnya pada triwulan ke IV tahun 2009 justru mengalami kenaikan lagi dibandingkan pada triwulan ke III yaitu dari 2.349 pelaporan peristiwa kelahiran umum menjadi 2.739, sedangkan pelaporan peristiwa kelahiran terlambat dari 3.499 mengalami kenaikan menjadi 4.179. Tabel 5 Pelayanan Akta-Akta Catatan Sipil Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Sleman Triwulan I Tahun 2010 No. 1
2
3
4
5 6 7 8 9
BULAN JENIS Kelahiran - Umum - Terlambat Perkawinan - Umun - Terlambat Perceraian - Umum - Terlambat Kematian - Umum - Terlambat Pengangakuan Anak Pengesahan Anak Pengangkatan Anak Perubahan Nama Salinan Akta - Akta Kelahiran - Akta Perkawinan - Akta Perceraian - Akta Kematian
JANUARI
FEBRUARI
MARET
JUMLAH
699 1.084
760 746
859 790
2.318* 2.620*
80 2
64 3
72 3
216 8
11 4
6 2
2 1
19 7
167 128 1 1 4 1
155 115 0 0 1 3
782 117 0 0 3 1
1.104 360 1 1 8 5
35 0 1 0
25 1 0 0
35 0 0 1
95 1 1 1
· Jumlah : 4.938. Sumber data Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Sleman
Pelaporan peristiwa kelahiran pada triwulan ke I tahun 2010, baik pelaporan peristiwa kelahiran umum maupun pelaporan peristiwa kelahiran terlambat ternyata juga masih tinggi, hal ini terlihat pada table 5 tersebut yaitu untuk pelaporan peristiwa kelahiran umum ada 2.318 dan pelaporan peristiwa kelahiran terlambat ada 2.620.
85
Berdasarkan data yang ada pada tabel 1 sampai dengan tabel 5 tersebut dapat diketahui adanya peningkatan permohonan akta pencatatan sipil terutama akta kelahiran pada masa transisi diberlakukannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006, hal ini menunjukan bahwa animo masyarakat kabupaten Sleman untuk mendapatkan akta kelahiran sudah begitu tinggi. Demikian juga terjadi pada permohonan akta kematian yang dapat dilihat pada data tabel 1 sampai dengan tabel 5 yang menunjukan adanya pelaporan peristiwa kematian umum dari 113 pada triwulan ke I, 88 pada triwulan II, 132 pada triwulan ke III, 148 pada triwulan ke IV tahun 2009, dan ada 1.104 pada triwulan ke I tahun 2010, sedangkan untuk pelaporan peristiwa kematian terlambat ada 298 pada triwulan ke I, 298 pada triwulan II, 468 pada triwulan ke III, 2036 pada triwulan ke IV tahun 2009, dan 360 pada triwulan I tahun 2010. Pada triwulan ke IV tahun 2009 terlihat adanya peningkatan yang begitu tinggi pada pelaporan peristiwa kematian yang terlambat, dan pada triwulan ke I tahun 2010 juga terlihat adanya peningkatan yang begiti tinggi pada pelaporan perisatiwa kematian umum. Ada beberapa permasalahan dalam pelaksanaan pencatatan sipil di Kabupaten Sleman, antara lain adalah : 1) Pelaks anaan pencatatan sipil didasarkan pada asas peristiwa sebagaimana yang diatur dalam Pasal 27 ayat (1) Undang Undang Nomor 23 Tahun 2006 bahwa, “Setiap kelahiran wajib dilaporkan oleh penduduk kepada instansi pelaksana ditempat terjadinya peristiwa kelahiran paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak kelahiran”. Permasalahan dari sisi kepentingan penduduk, administrasi kependudukan yang demikian menjadi kurang efektif.
86
2) Pembuatan akte kelahiran bagi yang orang tuanya tidak diketahui asal usulnya sebagaimana diatur dalam Pasal 28 ayat (1) Undang Undang Nomor 23 Tahun 2006 bahwa, “Pencatatan kelahiran dalam register akta kelahiran dan penerbitan kutipan akta kelahiran terhadap peristiwa kelahiran seseorang yang tidak di ketahui asal -us ulnya atau keberadaan orang tuanya, didasarkan pada laporan orang yang menemukan dilengkapi berita acara pemeriksaan di kepolisian”. Permasalahanya adalah, Tidak diketahui asal usulnya. 3) Pembuatan akte kelahiran bagi anak panti asuhan yang lahir > 1 tahun sebagaimana diatur dalam Pasal 32 ayat (2) Undang Undang Nomor 23 Tahun 2006 bahwa, “Pencatatan kelahiran yang melampaui batas waktu 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1), di laks anakan berdasarkan penetapan pengadilan”. Permasalahannya adalah, siapa yang mengajukan permohonan penetapan pengadilan negri jika kedua orang tua anak tersebut tidak diketahui, dan bagaimana jika tidak dapat melampirkan fotocopy KTP dan KK orang tua. 4) Pengakuan dan pengesahan anak sebagai mana diatur dalam Pasal 49 dan Pasal 50 Undang Undang Nomor 23 Tahun 2006, dan ketentuan Pasal 91 dan 92 Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil. Permasalahanya adalah, dalam agama Islam tidak dibenarkan dan tidak diatur dalam Hukum Islam. 5) Pelaporan data pencatatan sipil dari KUA Kecamatan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (2), Pasal 9 ayat
(1) dan (2), Pasal 34 ayat (5) Undang Undang Nomor 23 Tahun 2006. Pasal 68 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2008. Permasalahannya adalah, data pencatatan sipil yang dilakukan oleh KUA Kecamatan tidak dilaporkan kepada instansi pelaksana, dan belum ada format pelaporan manual atau lewat SIAK. 6) Pencatatan Perkawinan Bagi Penganut Penghayat Kepercayaan sebagaimana diatur dalam Pasal 81, Pasal 82 dan Pasal 83 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Undang Nomor 23 Tahun 2006, dan Pasal 67 ayat (2) huruf a Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2008. Permasalahannya adalah bahwa dari aspek sosiologis masyarakat belum bisa menerima adanya perkawinan Penganut Penghayat Kepercayaan, dan tidak setiap wilayah kabupaten mempunyai Pemuka Penganut Penghayat yang mempunyai kewenangan untuk melakukan tugas mengawinkan para penganutnya. 7) Pelayanan pencatatan kelahiran tidak dipungut retribusi sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Retribusi Pelayanan Dokumen Penduduk, “Obyek retribusi adalah setiap pelayanan yang diberikan oleh pemerintah daerah berupa penerbitan surat pendaftaran penduduk dan akta pencatatan sipil, kecual i pelayanan pencatatan kelahiran. Permasalahannya adalah pelayanan permohonan persyaratan pencatatan kelahiran di Desa masih di pungut biaya ses uai dengan peraturan Desa masing-masing. Disamping itu masih ada beberapa hal yang menjadi kendala dal am pelaksanaan pencatatan sipil di Kabupaten
Sleman khususnya dalam masa transisi diberlakukannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 yaitu : 1) Mas ih kurangnya sumber daya manusia/tenaga yang memadai untuk melayani permintaan akta kelahiran dan akta kematian yang begitu tinggi pada masa transisi diberlakukannya Undang Undang Nomor 23 Tahun 2006 tersebut. 2) Sarana dan pras arana yang dibutuhkan untuk mendukung kelancaran pel aksanaan tugas pelayanan kepada masyarakat juga masih belum memadai. Adapun upaya yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Sleman dalam hal ini Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil dalam menghadapi kendala-kendala tersebut adalah : 1. Mengoptimal kan sumber daya manusia/tenaga yang ada pada Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil untuk melakukan pelayanan dengan sebaikbaiknya. 2. Menggunakan sarana prasarana yang tersedia dengan sebaik-baiknya dan seefis ien mungkin dal am melaksanakan tugas pelayanan kepada masyarakat. 3. Melakukan kerjasama dengan pihakpihak yang terkait. 4. Mengajukan permohonan kepada yang berwenang agar dipenuhinya sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk kelancaran pelaksaan tugas pelayanan kepada masyarakat. 5. Secara berkala mengadakan penyuluhan untuk mensosialisasikan berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 kepada masyarakat sampai pada tingkat kecamatan.
87
E. KESIMPULAN DAN SARAN a. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang Impl ementsi ketentuan Undang Undang Nomor 23 Tahun 2006 dalam pelaksanaan pencatatan sipil di Daerah Kabupaten Sleman dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Pada saat ini ketentuan Undang Undang Nomor 23 Tahun 2006 sudah diimplementasikan dalam pelayanan pencatatan sipil di Daerah Kabupaten Sleman yang pada tanggal 4 Agustus 2009 telah ditetapkan peraturan daerah sebagai acuan diberlakukannya Undang-Undang tersebut yaitu Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 7 Tahun 2009 Tentang Penyel enggaraan Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil, kemudian pada tanggal 10 Desember 2009 telah ditetapkan Peraturan Bupati Sleman Nomor 80 Tahun 2009 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomo r 7 Tahun 2009, disamping itu dalam masa transisi berlakunya Undang Undang Nomor 23 Tahun 2006 pada tanggal 26 Nopember 2008 ditetapkan Peraturan Bupati Sleman Nomor 29 Tahun 2008 Tentang Pemberian Dispensasi Pelayanan Pencatatan Kelahiran Penduduk Warga Negara Indonesia, yang kemudian pada tanggal 28 Nopember 2009 diubah dengan Peraturan Bupati Sleman Nomor 77 Tahun 2009 yang mengatur bahwa masa dispensasi pelayanan pencatatan kelahiran diundur sampai dengan Desember 2010.\ 2. Kendala-kendala yang dihadapi Pemerintah Daerah Kabupen Sleman, yaitu Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil dalam pelayanan pencatatan sipil berdasarkan Undang Undang Nomor 23
88
Tahun 2006 antara lain adalah masih kurangnya sumber daya manusia/ tenaga yang memadai untuk melayani permintaan akta kelahiran dan akta kematian yang begitu tinggi pada masa transisi diberlakukannya Undang Undang tersebut, disamping itu sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugas pelayanan kepada masyarakat juga masih belum memadai. 3. Upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman dalam menghadapi kendala-kendala yang ada dalam pelayanan pencatatan sipil adalah mengoptimalkan sumber daya manusia/tenaga dan sarana prasarana yang tersedia dengan sebaik-baiknya dan seefisien mungkin, dan dalam melaksanakan tugas pelayanan kepada masyarakat melakukan kerjasama dengan pihak-pihak yang terkait, dan juga mengajukan permohonan kepada yang berwenang agar dipenuhinya sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk kelancaran pelaksaan tugas pelayanan kepada masyarakat. Disamping itu secara berkala mengadakan penyuluhan untuk mensosialisasikan berlakunya UndangUndang Nomor 23 Tahun 2006 sampai pada tingkat kecamatan di seluruh wilayah Kabupaten Sleman. b. Saran 1. Mengingat pelaksanaan pencatatan sipil merupakan tugas pelayanan kepada masyarakat yang sangat penting dalam menentukan identitas atau status keperdataan yang sangat di butuhkan oleh setiap warga masyarakat dimanapun mereka berada, maka hendaknya Pemerintah Kabupaten Sleman s emakin memperhatikan tersedianya sumber daya manusia yang benar-benar
memadai baik dari segi kualitas maupun kuantitas untuk melakukan pelayanan kepada masyarakat, dis ampi ng i tu juga diperlukan tersedianya sarana dan prasarana yang memadai dengan mengikuti perkembangan teknologi yang ada sekarang ini untuk mendukung kelancaran pel aksanaan tugas pelayanan kepada masyarakat sampai ke tingkat Desa.
2. Dalam rangka pelaksanakan ketentuan Undang Undang Nomor 23 Tahun 2006 dalam pelaksanan pencatatan sipil secara efektif di Daerah Kabupaten Sleman diperlukan adanya kerjasama yang efektif dan efisien antara pihakpihak yang terkait antara lain Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil dengan pihak Kecamatan sampai ke Desa, dan juga dengan Pengadilan Negri, serta dengan instansi lain yang terkait dengan tugas pelayanan pencatatan sipil.
DAFTAR PUSTAKA Daftar Buku : Satrio. J, 1999, Hukum Pribadi : Bagian I Persoon Alamiah, Bandung, Citra Aditya Bakti. Subekti dan Tjitrosoebono, 1985, Kamus Hukum, Jakarta, Pradnya Paramita. Viktor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, 1996, Aspek Hukum Catatan Sipil di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika. Vollmar, H.F.A, 1996, Inleideng tot de Studie van het Nederlands, terjemahan I.S. Adiwimarta, Jakarta, Rajagrafindo Persada. Soerjono Soekanto, 1984, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta.
Daftar Peraturan : Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan Keputusan Presiden Republik Indinesia Nomor 12 Tahun2003 tentang Penataan dan Peningkatan Pembinaan Penyelenggaraan Catatan Sipil Peraturan Penerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2008 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk Dan Pencatatan Sipil. Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 7 Tahun 2009 Tentang Penyelenggaraan
89
Pendaftaran Penduduk dan Catatan Sipil. Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Retribusi Pelayanan Dokumen Kependudukan Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Organisasi Perangkat Daerah Pemerintah Kabupaten Slman. Peraturan Bupati Sleman Nomor 28 Tahun 2008 Tentang Pemberian Dispensasi Pelayanan Pencatatan Kelahiran Penduduk Warga Negara Indonesia. Peraturan Bupati Sleman Nomor 24 Tahun 2009 Tentang Uraian Tugas, Funfsi, Dan Tata Kerja Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Peraturan Bupati Sleman Nomor 77 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Peraturan Bupati Sleman Nomor 29 Tahun 2008 Tentang Pemberian Dispensasi Pelayanan Pencatatan Kelahiran Penduduk Warga Negara Indonesia. Peraturan Bupati Sleman Nomor 80 Tahun 2009 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pendaftaran Penduduk dan Catatan Sipil. Surat Edaran Bupati Sleman Nomor 472/0074 Tentang Perpanjangan Masa Dispensasi Pelayanan Pencatatan Kelahiran.
90
PARADIGMA PELAKSANAAN SISTEM PEMASYARAKATAN Oleh : Suryawan Raharjo
Abstract Prison is an institution for educating and teaching prisoners for the purpose of re-socialization and reorientation. This paper aims at explaining about ; (a) Lofty values in the prison in the form of the implementation of the correctional system as an integrated concept in implementing the treatment for prisoners, (b) Actualization of the basic values of Human Rights in various treatments and guarantee of the fulfillment of prisoner’s rights as the subject of law, (c) “Treatment of prisoners” concept treats prison as the executor of the function of re-socialization and treatments so that the realization of the progressive efforts is important as a part of integrated system of correctional system to prepare prisoners to be responsible citizen. Correctional system is a treatment regulation that prioritizes human values also upholds dignity and nobility of human being, treating prisoners as the subject of the treatment process with the ultimate goal to re-socialize the prisoners back into the society as a responsible and well-behaved person. The loss of one’s independence without exception of a prisoner which is really implemented procedurally in compliance with the prevailing positive law and accountable is a reflection of nation’s civilization that possesses a noble and dignified criminal law order. Correctional system refers to the basic needs during the period in the prison and is oriented to the life skill, recovery of the unity of life and livelihood relationship for prisoners and good model from the prison component. A.
PENDAHULUAN.
Keberadaan Lembaga Pemasyarakatan mempunyai tujuan untuk melaks anakan pembinaan bagi narapidana. Sistem yang dipergunakan di dalam Lembaga Pemasyarakatan adalah mempersiapkan narapidana agar dapat beri ntegras i s ecara s ehat dengan masyarakat. Mo del dan o ri entasi pembinaan bagi narapidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan adal ah *
membentuk narapidana sebagai manusia yang menyadari kesalahannya, mampu menahan diri untuk tidak menggulangi tindak pidana yang telah dilakukan dan menjadi warga negara yang bertanggungjawab serta taat hukum. Nilai filosofi yang termaknakan dalam Lembaga Pemasyarakatan bahwa eksistensi Lembaga Pemasyarakatan tidak sekedar sebagai institusi pelaksana pemi danaan, namun lebi h jauh keberadaan Lembaga Pemasyarakatan
Dosen Fakultas Hukum Universitas Janabadra Yogyakarta.
91
sebagai “treatment of prisoners” bahwa narapidana sebelum menjalani masa hukuman merupakan pribadi-pribadi yang mengalami penyimpangan orientasi sosial atau patol ogi so si al . Narapi dana sebetulnya merupakan pribadi yang membutuhkan pertolongan dan perawatan atas nilai-nilai sosialnya. Berbagai bentuk kejahatan yang telah diperbuatnya sehingga mengakibatkan kerugian baik moril maupun materiil terhadap orang lain harus mendapat perhatian dari pemerintah, masyarakat dan khususnya Lembaga Pemasyarakatan supaya narapidana tersebut dapat kembali menjadi pribadi yang bermoral dan bertanggungjawab secara hukum dan sosial. Lembaga Pemasyarakatan memiliki peranan sektoral karena berkewajiban memberikan bentuk pendidikan dan penyadaran terhadap para narapidana supaya muncul kesadarannya bahwa mereka masih mempunyai masa depan yang dapat menjadi lebih baik dari sebelumnya, asalkan para narapidana konsisten untuk taat pada hukum dan norma-norma sosial yang berlaku didalam masyarakat. Guna memperbaiki aspek sosial dari narapidana maka memerlukan metode dan sistem pembinaan yang mampu merubah sifat, pola berpikir, perilaku dan pemahaman interaksi sosial. Maka semangat yang harus dikembangkan dalam sistem pemasyarakatan, adalah ; kemanusiaan. Pembinaan narapi dana mempunyai arti memperl akukan seseorang yang berstatus narapidana untuk dibangun agar bangkit menjadi seseorang yang baik. Atas das ar pengertian pembinaan yang demikian ini, sasaran yang perlu dibina adalah pribadi dan budi pekerti narapidana, yang didorong
1
untuk membangkitkan rasa harga diri pada diri sendiri dan pada diri orang lain, serta mengembangkan rasa tanggung-jawab untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan yang tenteram dan sejahtera dalam masyarakat, dan selanjutnya berpotensi untuk menjadi manusia yang berpribadi luhur dan bermoral tinggi. Pembinaan terhadap pribadi dan budi pekerti yang dimaksudkan tidaklah tanpa batas, akan tetapi selama waktu tertentu memberi warna dasar agar narapidana kelak dikemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi dan taat terhadap hukum yang berl aku di masyarakat.1 Teori dari Bambang Poernomo tersebut menyiratkan makna yang dalam akan hakikat pembinaan narapidana, bahwa narapidana yang sedang menjalani masa pemidanaan di Lembaga Pemasyarakatan harusnya mendapatkan perlakuan dan pembinaan yang dapat mendorong re-orientasi pemahamannya terhadap nilai-nilai kehidupan. Apabila realita yang terjadi masih sebatas pembinaan yang bersifat rutinitas dan prosedural maka dapat dinilai pola pembinaan tersebut belum mencapai sasaran yang diharapkan terwujud dari paradigma pemasyarakatan. Bukan berarti pola pembinaan yang baku-prosedur akan beraki bat kegagal an dal am mengimpl ementas ikan paradigma pemasyarakatan, namun perlu dipahami bahwa keberadaan Lembaga Pemasyarakatan memang mempunyai orientasi yang berbeda dibandingkan, misalnya ; lembaga Kepolisian, Kejaksaan atau Pengadi lan. Lembaga Pemasyarakatan dalam fungsi dan perannya lebih menitikberatkan dalam rehabilitasi dan re-sosialisasi bagi setiap
Bambang Poernomo, 1986, Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan, Liberty, Yogyakarta, Hlm. 186-187.
92
narapidana yang didasarkan pada ketentuan-ketentuan formal sebagai bahan acuan dan parameter dalam pola pembinaan narapidana. Karena didalam Lembaga Pemasyarakatan yang dibicarakan adalah “pembinaan” maka perlu dinamisasi perlakuan yang mengacu pada kebutuhan dan kondisi riel dari setiap narapidana. Paradigma Pemasyarakatan yang menjadi jiwa dan orientasi pembinaan bagi narapidana di kembangkan berdas arkan beberapa landas an konstitusional, yaitu : Pancasila, khususnya Sila Kedua “Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab” maka pola pembinaan terhadap narapidana harus tetap memperhatikan dan menjunjung ti nggi nil ai -nil ai kemanusiaan dan penghormatan terhadap harkat-martabat manusia. Termasuk didalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau UUD 1945 khususnya Pembukaan Alinea Kedua dan Keempat serta BAB X Hak Asasi Manusia menegaskan bahwa hilangnya kemerdekaan haruslah satu-satunya penderitaan yang dialami oleh narapidana. Selaras dengan ketentuan Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoners (SMR) dan didasarkan pola pembinaan yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia. Berdasarkan hal tersebut diatas menjadi pertanyaan “B agai mana paradigma sistem pemasyarakatan dalam melaksanakan pola pembinaan terhadap narapidana di lembaga pemasyarakatan.”
B. PEMBAHASAN 1. Konsep Pemidanaan. Si stem pemidanaan dal am perspekstif Pancasila, harus berorientasi pada prinsip-prisip sebagai berikut :2 1) Pengakuan manusia (Indonesia) sebagai mahkluk Tuhan YME. Wujud pemidanaan tidak boleh bertentangan dengan keyakinan agama maupun yang dianut oleh masyarakat Indonesia. Pemidanaan terhadap seseorang harus diarahkan pada penyadaran iman dari terpidana melalui mana ia dapat bertaubat dan menjadi manusia yang beriman dan taat.3 2) Pengakuan terhadap keluhuran harkat dan martabat manusia sebagai ciptaan Tuhan YME. Pemidanaan tidak boleh mencederai hak-hak asasinya yang paling dasar serta tidak bol eh merendahkan martabatnya dengan alasan apapun.4 3) Menumbuhkan solidaritas kebangsaan dengan orang lain sebagai sesama warga bangsa. Pelaku harus diarahkan pada upaya untuk meningkatkan to leransi dengan o rang lai n, menumbuhkan kepekaan tehadap kepentingan bangsa.5 4) Filsafat pemidanaan menumbuhkan kedewasaan sebagai warga negara Indonesia yang berkidmad, mampu mengendalikan diri, berdisiplin dan menghormati serta mentaati hukum sebagai wujud keputusan rakyat.6 5) Menumbuhkan kes adaran akan kewajiban setiap individu sebagai mahkluk sosial yang menjunjung tinggi keadilan bersama dengan orang lain sebagi sesama warga masyarakat.7
2
Eka Darmaputra, 1997, Pancasila Identitas Dan Modernitas : Tinjauan Etis Dan Budaya, PT.. Gunung Mulya, Jakarta, Hlm. 159. J.E. Sahetapy, 1982, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, Rajawali Press, Jakarta, Hlm. 284. 4 Ibid., Hlm. 284. 5 Ibid., Hlm. 284. 6 M.Sholehuddin, 2003, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana : Ide Double Track System Implementasinya, Rajawali Press, Jakarta., Hlm. 110. 7 Ibid., Hlm. 110. 3
93
Marc Ancel, sebagaimana dikutip oleh Muladi Dan Barda Nawawi Arief, menyebut kejahatan sebagai “a human and soci al problem” adalah ; masalah kemanusiaan dan masal ah s osial, sedangkan Benedic S. Alpen menyebut kejahatan sebagai “the oldest social problem”, sehingga kejahatan akan selalu ada dan mel ekat pada setiap bentuk masyarakat.8 Menurut H.L.Parker, sebagaimana dikutip oleh Muladi Dan Barda Nawawi Arief, bahwa tujuan utama dari “Treatment” adalah : untuk memberikan keuntungan atau untuk memperbaiki orang yang bersangkutan. Fokusnya bukan pada perbuatannya yang telah lalu atau yang akan datang, tetapi pada tujuan untuk memberikan pertolongan kepadanya. Jadi dasar pembenaran dari “Treatment” ialah ; pada pandangan bahwa orang yang bersangkutan akan atau mungkin menjadi lebih baik. Tujuan utama adalah untuk meningkatkan kesejahteraannya. Sedangkan “Punishment” menurut H.L.Parker, pembenarannya didasarkan pada satu atau dua tujuan sebagai berikut: 1) Untuk mencegah terjadinya kejahatan atau perbuatan yang tidak dikehendaki atau perbuatan yang salah ; 2) Untuk mengenakan penderitaan atau pembalasan yang layak kepada si pelanggar.9 Hukum pidana atau pidana sebagai suatu tindakan atau perlakuan berorientasi pada “punishment”, sehingga dalam pelaksanaannya membutuhkan suatu mekanisme atau tata cara atau sistem yang melembaga untuk dapat melaksanakan kaidah-kaidah hukum pidana dengan bertanggungjawab. Apabila diperbandingkan antara “Punishment” dengan “treatment”, maka 8 9
dapat terlihat bahwa “punishment” berorientasi pada perlakuan terhadap subyek hukum yang telah melakukan perbuatan pidana atau tindak pidana dengan tujuan mencegah terulangnya perbuatan pidana tersebut dan mengenakan penderitaan terhadap si pelaku tersebut. Sedangkan, “Treatment” berorientas i pada upaya-upaya memperlakukan subyek hukum tersebut karena adanya keyakinan bahwa upayaupaya tersebut akan membuat orang tersebut menjadi lebih baik. Hukum pidana atau pidana yang baik dan bertanggungjawab berupa penderitaan atau nestapa yang ditimpakan atau dijatuhkan pada si subyek hukum atau seseorang harus menjadi sebab-musabab atau cara untuk menjadikan seseorang tersebut menjadi l ebih bai k dari sebelumnya. As many observers have noted, the explosion in American imprisonment that followed the infamous “decline of the rehabilitation ideal” (Allen, 1981) was stunning in several regards, including the following: its breadth and size, in that all U.S. jurisdictions began to incarcerate at rapidly growing rates within several years of each other; the ironic nature of its timing, in that the critique of the prison as a rehabilitative institution would seem to have logically led to the development of alternative interventions to reduce the reliance on the prison as a sanction; and its dramatic fiscal impacts that nonetheless seemed to raise little concern for elected legislators and executive officers. Given that, beginning in the mid- 1970s, increases in the use of incarceration seemed to be occurring everywhere in the United States, the major empirical investigations of its causes have tended to treat the prob-
Muladi Dan Barda Nawawi Arief, 2005, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, Hlm. 148. Ibid., Hlm. 5-6.
94
lem as a national one, and state-level variations in social and political conditions have been treated as factors that could predict incarceration gro wth at this more macrolevel. This approach has been especially prevalent for quantitative criminological analyses, which have looked at such influences as population demographics, economic conditions, political factors, various forms of state spending and revenue capacities, crime rates, as well as sentencing policy on incarceration rates and growth.10 Secara tradisional terdapat ciri-ciri pemidanaan (dasar-dasar pembenaran dan tujuan pemidanaan), pada umumnya dibagi dalam 2 (dua) kelompok teori, yaitu: 1) Teori Absolut atau Teori Pembalasan (retributive or vergelding theorieen). Pidana dijatuhkan semata-mata karena orang tel ah melakukan kejahatan atau tindak pidana (quia peccatum). Pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan.11 2) Teori Relatif atau Teori Tujuan (utilitarian or doeltheorieen). Memidana bukanlah untuk memuaskan tuntutan absolut dari keadilan. Pembal asan itu sendiri tidak mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat. Teori ini sering disebut sebagai Teori Perlindungan Masyarakat (The Theory of Social Defence) atau Teori Aliran Reduktif (The Reductive Point of Views) karena dasar pembenaran dalam teori ini adalah untuk mengurangi frekwensi kejahatan.12
Karl O. Cristiansen, dikutip oleh Dwidja Priyatno, menyatakan ciri-ciri pokok atau karakteristik antara kedua teori Retributive dan teori Utilitarian, yaitu : 1) Teori Retribution, ciri pokoknya adalah: a. Tujuan pidana adalah sematamata untuk pembalasan ; b. Pembalasan adalah tujuan utama dan didalamnya tidak mengandung sarana-sarana untuk tujuan lain, misalnya untuk kesejahteraan masyarakat ; c. Kesalahan merupakan satusatunya syarat untuk adanya pidana ; d. Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelanggar ; e. Pidana melihat kebelakang,ia merupakan pencelaan yang murni dan tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik dan measyarakatkan kembali si pelanggar. 2) Teori Utilitarian, ciri pokoknya yaitu : a. Tujuan pidana adalah pencegahan (preventation) ; b. Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat ; c. Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipermasalahkan kepada si pelaku saja (misal karena sengaja atau culpa) yang memenuhi syarat untuk adanya pidana ; d. Pidana harus ditetapkan berdasar tujuannya sebagai alat untuk pencegahan kejahatan ; e. Pidana melihat kemuka (bersifat prospektif ) pi dana dapat
10
Mona Lynch ( University of California-Irvine ), Mass incarceration, legal change, and locale Understanding and remediating American penal Overindulgence, American Society of Criminology, Criminology & Public Policy Volume 10 Issue 3, Page. 674-675. Muladi Dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit., Hlm. 10-11. 12 Ibid., Hlm. 16. 11
95
menggadung unsur pencelaan juga unsur pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat.13 Terdapat pointer penting dalam konsep pemidanaan, khususnya yang terkait langsung dengan sis tem pemasyarakatan bagi pelaku perbuatan pidana, yaitu : a. Hakikatnya pemidanaan merupakan suatu nestapa, sehi ngga perlu pertanggungjawaban yang melembaga dalam menjatuhkan nestapa tersebut; b. “Punishment” yang dijatuhkan sematamata bukan secara terstruktur murni berorientasi pada nestapa atau penderitaan, namun tujuannya adalah pembelajaran dan pembinaan bahwa ada nilai-nilai fundamental dalam masyarakat, termasuk yang hidup dalam diri pribadi setiap orang untuk dihormati dan dijaga keberadaannya; c. Adanya keyakinan bahwa pemidanaan mampu mengarahkan seseorang untuk menjadi lebih baik. Dilihat dari aspek perbaikan si pelaku, maka ukuran efektifitas terletak pada aspek pencegahan khusus (special prevention) dari pidana. Jadi, ukurannya terletak pada masalah seberapa jauh pidana itu (penjara) mempunyai pengaruh terhadap si pelaku atau terpidana. Ada 2 (dua) aspek pengaruh pidana terhadap terpidana, yaitu aspek pencegahan awal (deterent aspect) dan aspek perbaikan (reformative aspect). Aspek pertama (deterent aspect), biasanya diukur dengan menggunakan indikator residivis. Berdasarkan indikator inilah RM. Jackson menyatakan, bahwa suatu pidana adalah efektif apabila si 13 14 15
pelanggar tidak dipidana lagi dalam suatu periode tertentu. Selanjutnya ditegaskan, bahwa efektifitas adalah suatu pengukuran dari perbandingan antara juml ah pelanggar yang dipidana kembali dan yang tidak dipidana kembali. Aspek kedua yaitu aspek perbaikan (reformative aspect), berhubungan dengan masalah perubahan sikap dari terpidana. Seberapa jauh pidana penjara dapat mengubah sikap terpidana, masih merupakan masalah yang belum dapat dijawab secara memuaskan.14 2. Lembaga Kepenjaraan. Pidana Penjara merupakan salah satu jenis pidana yang terdapat dalam Sistem Hukum Pidana di Indonesia, sebagaimana termaktub dalam Pasal 10 KUHP. Pidana penjara menurut KUHP Pasal 12 Ayat (1), terdiri dari : 1. Pidana Penjara seumur hidup, dan 2. Pidana Penjara selama waktu tertentu.15 Sistem Pembinaan Narapidana yang dikenal dengan nama Pemasyarakatan, mulai dikenal pada tahun 1964 dalam Konferensi Dinas Kepenjaraan di LembangJawa Barat, tanggal 27 April 1964 yang disampaikan oleh Dr. Sahardjo, S.H. Beliau menyampaikan gagasan perubahan tujuan pembinaan narapidana dari Sistem Kepenjaraan ke Sistem Pemasyarakatan. Menurut Dr. Sahardjo, S.H, untuk memperlakukan narapidana diperlukan landasan sistem pemasyarakatan, bahwa: tidak saja masyarakat diayomi terhadap diulangi perbuatan jahat oleh terpidana, melainkan juga orang yang telah tersesat diayomi dengan memberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga yang berguna didalam masyarakat. Dari pengayom itu
Dwidja Priyatno, Op.Cit., Hlm. 26. Dwidja Priyatno, Op.Cit., Hlm. 83-84. Dwidja Priyatno, 2006, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, Hlm. 1.
96
nyata bahwa menjatuhkan pidana bukanlah tindakan balas dendam dari negara … Tobat tidak dapat dicapai dengan penyiksaan, melainkan dengan bimbingan. Terpidana juga tidak dijatuhi pidana siksaan, melainkan pidana kehilangan kemerdekaan … Negara telah mengambil kemerdekaan seseorang dan yang pada waktunya akan mengembalikan orang itu ke masyarakat lagi, mempunyai kewajiban terhadap o rang terpidana i tu dan masyarakat.16 Berdasarkan pernyataan dari Sahardjo, dapat diberikan pemahaman bahwa konsep integral yang dikembangkan dalam pola pembinaan narapidana dengan sistem pemasyarakatan adalah tidak saja mel indungi masyarakat terhadap kemungkinan-kemungkinan adanya bahaya perilaku kriminal dari orang-orang yang tidak bertanggungjawab tetapi lebih dari itu merupakan bentuk pembinaan yang berupa re-edukatif dan re-sosialisasi dari para narapidana supaya selama dalam mas a hukuman menjadi masa pembelajaran dan penataan kondisi mental-spiritual supaya nantinya setelah selesai menjalani hukuman akan kembali ke masyarakat sebagai manusia yang berharkat dan bermartabat sehingga perilakunya mampu dipertanggungjawabkan. Pidana penjara yang berorientasi pada diri narapidana secara teoritis masih menimbulkan pertanyaan kursial mengenai apakah mampu pola pembinaan yang dilaksanakan di lembaga pemasyarakatan dewasa ini merubah secara fundamental perilaku atau karakter narapidana untuk menjadi manusi a-manusi a yang bertanggungjawab. Melihat realita tersebut kemudian memunculkan pemahaman bahwa betapa pentingnya keberadaan 16
sistem pembinaan yang melembaga dan terukur. “Melembaga” dalam arti manajemen pengelolaan institusi lembaga pemasyarakatan memiliki arah dan tujuan yang jelas untuk membawa narapidana dalam suatu titik tujuan tertentu yang memperhatikan nilai kemanfaatan atas berbagai bentuk pembinaan yang diterima narapidana selama di dalam lembaga pemasyarakatan dan “Terukur” dapat diartikan pola pembinaan mengacu pada kemampuan dasar atau minat-bakat dari narapidana yang bersangkutan sehingga keberadaan narapidana di lembaga pemasyarakatan tidak hanya menghabiskan masa hukuman tetapi merupakan tahapan untuk membenahi diri dan membina ketrampilan sebagai bekal setelah selesai menjalani masa hukuman. Lembaga Pemasyarakatan keberadaannya kurang mendapatkan perhatian yang layak dari pemerintah, institusi hukum dan masyarakat pada umumnya, padahal pada Lembaga Pemasyarakatan inilah public endemy atau penyakit masyarakat akan diobati untuk disembuhkan. Di satu sisi Lembaga Pemasyarakatan mempunyai tugas menerima pelimpahan berkas perkara yang telah berkekuatan hukum tetap berikut terpidananya yang selanjutnya melakukan upaya-upaya sistemik pembinaan dan bimbingan, serta disisi lain menyiapkan para narapidana menjadi sosok pribadi yang baru sehingga pada akhirnya masa hukuman telah selesai maka yang bersangkutan dapat kembali bermasyarakat dengan baik dan bertanggungjawab, kecuali bagi terpidana mati atau seumur hidup maka terhadap yang bersangkutan tetap dibina supaya kualitas hidup semakin baik dan tetap
C.I. Harsono, HS, 1995, Sistem Baru Pembinaan Narapidana, Djambatan, Jakarta, Hlm. 1.
97
bermanfaat walaupun tidak memiliki kemerdekaan. Bambang Poernomo, menyatakan : pembaharuan pidana di Indonesia yang berupa upaya baru pelaksanaan pidana penjara dan perlakuan cara baru terhadap narapidana yang diintegrasikan dalam sistem pemasyarakatan, pada akhirnya mempunyai harapan untuk dapat melindungi masyarakat dari kejahatan itu yang s angat berkai tan dengan pembangunan bangsa Indonesia.17 Dalam pembaharuan hukum pidana terhadap narapidana dilaksanakan pembinaan agar narapidana dapat kembali berinteraksi sosial ditengah-tengah masyarakat dengan bertanggungjawab. Pembinaan terhadap narapidana harus didasarkan pada kenyataan bahwa tidak semua narapidana adalah orang jahat. Bahwa ada narapidana yang terpaksa berada di dalam lembaga pemasyarakatan karena telah melakukan suatu perbuatan pidana sebagai akibat dari hal-hal yang mungkin dil uar kemauan dan kemampuannya. Di samping itu meskipun seorang narapidana dikategorikan berbakat jahat tetapi dengan sistem pembinaan di lembaga pemasyarakatan diupayakan dapat menjadi baik dan tidak mengulangi lagi perbuatannya atau tidak melakukan perbuatan pidana yang lain. P.A.F. Lamintang, menyatakan bahwa Pidana Penjara, adalah : suatu pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seseorang terpidana yang dilakukan dengan menutup orang tersebut di dalam sebuah lembaga pemasyarakatan, dengan mewajibkan orang itu untuk mentaati semua peraturan tata tertib yang berlaku di dal am l embaga pemasyarakatan, yang dikaitkan dengan 17
Bambang Poernomo, Op.Cit., Hlm. 226. Dwidja Priyatno, Op.Cit., Hlm. 71. Ibid., Hlm. 71. 20 Ibid., Hlm. 71. 18 19
98
sesuatu tindakan tata tertib bagi mereka yang telah melanggar peraturan tersebut.18 Roeslan Saleh, menyatakan bahwa Pidana Penjara, adalah : pidana utama di antara pidana kehilangan kemerdekaan. Pidana penjara dapat dijatuhkan untuk seumur hidup atau untuk sementara waktu.19 Barda Nawawi Arief, menyatakan bahwa Pidana Penjara, adalah : tidak hanya mengakibatkan perampasan kemerdekaan, tetapi juga menimbulkan akibat negatif terhadap hal-hal yang berhubungan dengan dirampasnya kemerdekaan itu sendiri. Akibat negatif itu antara lain terampasnya kehidupan seksual yang normal dari seseorang, sehingga sering terjadi hubungan homoseksual dan masturbasi di kalangan terpidana, terampasnya kemerdekaan berusaha dari orang itu yang dapat mempunyai akibat serius bagi kehidupan sosial ekonomi keluarganya, pidana penjara dapat memberikan cap atau stigma jahat yang akan terbawa terus walaupun yang bersangkutan tidak lagi melakukan kejahatan dan pidana penjara akan mengakibatkan degradasi atau menurunnya derajat dan harga diri manusia.20 Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP, terdapat beberapa pasal yang mengatur mengenai perampasan kemerdekaan, yaitu : Pasal 10 ; Pasal 12 Ayat (1), Ayat (2), Ayat (3), Ayat (4) ; Pasal 14 ; Pasal 28 dan Pasal 29 Ayat (1), Ayat (2). Serta dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang juga mengatur pola perlakukan dan pembinaan terhadap narapidana, yaitu : Pasal 2 ; Pasal 3 ; Pasal 5 dan Pasal 6 Ayat (1), Ayat (2), Ayat (3).
Ada beberapa sistem dalam pidana penjara, yaitu : 1) Pensylvanian System : terpidana menurut sistem ini dimasukkan dalam sel-sel tersendiri, ia tidak boleh menerima tamu baik dari luar maupun sesama narapidana, ia tidak boleh bekerja diluar sel satu-satunya pekerjaan ialah membaca buku suci yang diberikan kepadanya. Karena pelaksanaannya dilakukan di sel-sel maka disebut juga Cullulaire System. 2) Auburn System atau Silent System : pada waktu malam ia dimasukkan dalam sel secara sendiri-sendiri, pada waktu siangnya diwajibkan bekerja dengan narapidana lainnya tetapi tidak boleh saling berbicara diantara mereka. 3) English atau Ire atau Progessive System : cara pelaksanaan pidana menurut sistem ini adalah bertahap. Pada tahap pertama selama kurang lebih 3 bulan, terpidana menjalani seperti Cullulaire System. Tetapi setelah 3 bulan terbukti ia ada kemajuan kesadaran terpidana maka diikuti dengan pelaksanaan yang lebih ringan, yaitu ia boleh menerima tamu, berbincang-bincang dengan narapidana lainnya, sedang tahap berikutnya adalah lebih ringan yaitu terpidana boleh menjalani di luar tembok penjara.21 Perbedaan antara pidana penjara dengan pidana kurungan adalah dalam segala hal pidana kurungan lebih ringan daripada pidana penjara. Lebih ringannya itu terbukti sebagai berikut : 1) Dari sudut macam atau jenis tindak pidana yang diancam dengan pidana kurungan, tampak bahwa pidana kurungan itu hanya diancamkan pada
21
2)
3)
4)
5)
tindak pidana yang lebih ringan daripada tindak pidana yang diancamkan dengan pidana penjara. Pidana kurungan banyak diancamkan pada jenis pelanggaran. Sementara itu, pidana penjara banyak diancamkan pada jenis kejahatan. Tindak pidana kejahatan lebih berat daripada tindak pidana pelanggaran ; Ancaman maksimum umum dari pidana penjara (yakni 15 tahun) lebih tinggi daripada ancaman maksimum umum pidana kurungan (yakni 1 tahun). Bila dilakukan dalam keadaan yang memberatkan, pidana kurungan boleh diperberat tetapi tidak boleh lebih dari 1 tahun 4 bulan (KUHP, Pasal 18 Ayat (2), sedangkan untuk pidana penjara bagi tindak pidana yang dilakukan dalam keadaan yang memberatkan, misalnya pembarengan (KUHP, Pasal 65 Ayat (1) dan Ayat (2) dan pengulangan dapat dijatuhi pidana penjara dengan di tambah sepertiganya, yang karena itu bagi tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara maksimum 15 tahun dapat menjadi maksimum 20 tahun ; Pidana penjara lebih berat daripada pidana kurungan (KUHP, Pasal 69 Ayat (1), Ayat (2), Ayat (3) dan Ayat (4) ; Pelaksanaan pidana denda tidak dapat diganti dengan pelaksanaan pidana penjara. Akan tetapi, pelaksanaan pidana denda dapat diganti dengan pelaks anaan kurungan disebut kurungan pengganti denda (KUHP, Pasal 30 Ayat (2) ; Pelaksanaan pidana penjara dapat saja di lakukan di l embaga pemasyarakatan di seluruh Indonesia (dapat dipindah-pindahkan). Akan tetapi, pidana kurungan dilaksanakan
Teguh Prasetyo, 2005, Hukum Pidana Materiil, Kurnia Kalam, Yogyakarta, Hlm. 132.
99
di tempat (lembaga pemasyarakatan) di mana ia berdiam ketika putusan hakim dijalankan (tidak dapat dipindah) apabila ia tidak mempunyai tempat kediaman di daerah ia berada, kecuali bila Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia, atas permintaan terpidana, meminta menjalani pidana di tempat lain (KUHP, Pasal 21) ; 6) Pekerjaan-pekerjaan yang diwajibkan pada narapidana penjara lebih berat daripada pekerjaan-pekerjaan yang diwajibkan pada narapidana kurungan (KUHP, Pasal 19 Ayat (1) dan Ayat (2); 7) Narapidana kurungan dengan biaya sendiri dapat sekedar meringankan nas ibnya dalam menjalankan pidananya menurut aturan yang ditetapkan (Hak Pistole22, KUHP, Pasal 23).23 Pidana Penjara, adalah : bentuk pidana yang berupa kehi langan kemerdekaan. Pidana penjara seumur hidup diancamkan pada kejahatan-kejahatan yang sangat berat, yakni : a. Sebagai pidana alternatif dari pidana mati, seperti : KUHP Pasal 104, Pasal 365 Ayat (4) dan Pasal 368 Ayat (2) ; b. Berdiri sendiri dalam arti tidak sebagai alternatif pidana mati, tetapi sebagai alternatifnya adalah pidana penjara sementara setinggi-tingginya 20 tahun, misalnya : KUHP Pasal 106 dan Pasal 108 Ayat (2). Pidana penjara sementara waktu, paling rendah 1 hari dan paling tinggi (maksimum umum) 15 tahun. Pidana penjara sementara dapat dijatuhkan melebihi dari 15 tahun secara berturut-
22
turut, yang ditentukan dalam Pasal 12 Ayat (3). Menurut KUHP, Pasal 13 narapidana penjara terbagi dalam beberapa kelas. Pembagian kelas ini diatur lebih lanjut dalam Peraturan Kepenjaraan, Pasal 49 sebagai berikut : 1) Kelas I, yaitu bagi narapidana penjara seumur hidup dan narapidana penjara sementara yang membahayakan orang lain atau masyarakat ; 2) Kelas II, yaitu : a. Bagi narapidana penjara yang dipidana penjara lebih dari tiga bulan yang tidak termasuk Kelas I tersebut di atas ; b. Bagi narapidana yang dipidana penjara sementara yang telah dinaikkan dari Kelas I. Bagi narapidana Kelas I jika kemudian ternyata berkelakuan baik, ia dapat dinaikkan ke kalas II ; c. Bagi narapidana yang dipidana sementara yang karena alasan pel a nggara n-pela ngga ra n tertentu, ia diturunkan menjadi Kelas II dari Kelas III. 3) Kelas III, yaitu bagi narapidana yang dipidana sementara yang telah dinaikkan dari Kelas 1, karena telah terbukti berkelakuan baik dan dapat menjadi contoh bagi narapidana yang lain. Menurut Peraturan Kepenjaraan, Pasal 55, bagi narapidana yang demikian dapat diberikan pelepasan bersyarat (KUHP, Pasal 15 Ayat (1), Ayat (2) dan Ayat (3) apabila ia telah menjalani pidana sepertiganya atau paling sedikit sembilan bulan dari pidana yang dijatuhkan oleh hakim.
Hak Pistole, adalah : hak yang dimiliki oleh narapidana untuk mengadakan kebutuhan pribadinya dengan menggunakan biaya dan kemampuan sendiri, berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan tidak diperkenankan melewati batas kewajaran. Hak Pistole, menurut KUHP, Pasal 23, hanya diberikan kepada narapidana yang dijatuhi oleh Hakim dengan sanksi pidana kurungan, sesuai KUHP, Pasal 18 Ayat (1), Ayat (2) dan Ayat (3). 23 Adami Chazawi, 2001, Pelajaran Hukum Pidana (Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan Dan Batas Berlakunya Hukum Pidana), Raja Grafindo Persada, Jakarta, Hlm. 32-34.
100
4) Kelas IV, yaitu bagi narapidana yang dipidana penjara sementara paling tinggi tiga bulan.24 Pidana penjara merupakan salah satu sanksi pidana yang paling sering di gunakan s ebagai s arana untuk menanggulangi masalah kejahatan, penggunaan pidana penjara sebagai sarana untuk menghukum para pelaku tindak pidana baru dimulai pada akhir abad ke-18 yang bersumber pada faham indi vi duali sme dan gerakan perikemanusiaan, maka pidana penjara ini semakin memegang peranan penting dan menggeser kedudukan pidana mati dan pidana badan yang dipandang kejam.25 P.A.F. Lamintang, mengemukakan bahwa pidana penjara adalah suatu pidana berupa pembatasan kebebasan dari seseorang terpidana, yang dilakukan dengan menutup orang tersebut di dalam sebuah lembaga pemasyarakatan dengan mewajibkan orang tersebut untuk mentaati semua peraturan tata-tertib yang berl aku di dal am l embaga pemasyarakatan yang dikaitkan dengan suatu tindakan tata-tertib bagi mereka yang melanggar peraturan tersebut.26 Barda Nawawi Ari ef, mengemukakan bahwa pidana penjara tidak hanya mengakibatkan perampasan kemerdekaan, tetapi juga menimbulkan akibat negatif terhadap hal-hal yang berhubungan dengan dirampasnya kemerdekaan itu sendiri.27 Andi Hamzah, menyampaikan bahwa pidana penjara adalah bentuk pi dana yang berupa kehi langan kemerdekaan, kehilangan kemerdekaan
tersebut bukan hanya dalam bentuk pidana penjara tetapi juga pidana pengasingan.28 Barda Nawawi Arief, efektifitas pidana penjara dapat ditinjau dari dua aspek pokok tujuan pemidanaan yaitu aspek perlindungan masyarakat dan aspek perbaikan si pelaku, yang dimaksud dengan aspek perlindungan masyarakat meliputi tujuan mencegah, mengurangi atau mengendalikan tindak pidana dan memulihkan keseimbangan masyarakat (antara lain menyelesaikan konflik, mendatangkan rasa aman, memperbaiki kerusakan atau kerugian, menghilang noda, memperkuat kembali nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat sedangkan yang dimaksud dengan aspek perbaikan si pelaku meliputi berbagai tujuan antara lain mel akukan rehabi li tasi dan memasyarakatkan kembali si pelaku dan melindunginya dari perlakuan sewenangwenang di luar hukum.29 Efektifitas pidana penjara jika dilihat dari aspek perlindungan masyarakat, maka suatu pidana dikatakan efektif apabila pi dana i tu s ejauh mungkin dapat mencegah atau mengurangi kejahatan. Jadi kriteria efektifitas dilihat dari seberapa jauh frekwensi kejahatan dapat ditekan. Jadi kriteria terletak pada seberapa jauh efek pencegahan umum (general prevention) dari pidana penjara dalam mencegah warga masyarakat pada umumnya untuk tidak mel akukan kejahatan.30 Sedangkan, efektifitas pidana penjara dilihat dari aspek perbaikan si pelaku maka ukuran efektifitas terletak pada aspek pencegahan khusus (special prevention) dari pidana. Jadi ukurannya
24
Ibid., Hlm. 37-38. Barda Nawawi Arief, 1996, Kebijakan Legislatif Dengan Pidana Penjara, Badan Penerbit Undip, Semarang Hlm. 42. P.A.F. Lamintang, 1984, Hukum Penitersier Indonesia, Armico, Bandung, Hlm. 69. 27 Barda Nawawi Arief, Op.Cit., Hlm. 44. 28 Andi Hamzah, 1993, Sistem Pidana Dan Pemidanaan Di Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta, Hlm. 37 29 Dwidja Priyatno, Op.Cit., Hlm. 82. 30 Barda Nawawi Arief, 2002, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, Hlm. 224-225. 25 26
101
terletak pada masalah seberap jauh pidana penjara mempunyai pengaruh terhadap si pelaku atau terpidana. Ada dua aspek pengaruh pidana terhadap terpidana yaitu aspek pencegahan awal (deterent aspect) dan aspek perbaikan (reformative aspect).31 1) Deterent Aspect, di ukur dengan menggunakan indikator residivis. Berdasarkan indikator inilah RM. Jackson menyatakan bahwa suatu pidana efektif apabila si pelanggar tidak dipidana lagi dalam suatu periode tertentu. Selanjutnya ditegaskan bahwa efektifitas adalah suatu pengukuran dari perbandingan antara jumlah pelanggar yang dipidana kembali dan yang tidak dipidana kembali.32 2) Reformative Aspect, berhubungan dengan masalah perubahan sikap dari terpidana, seberapa jauh pidana penjara dapat mengubah sikap terpidana, masih merupakan masalah yang belum dapat dijawab secara memuaskan. Hal ini disebabkan adanya beberapa problem metodologis yang belum terpecahkan dan belum ada kesepakatan khususnya mengenai : a. Apakah ukuran untuk menentukan telah adanya tanda-tanda perbaikan atau adanya perubahan sikap pada diri si pelaku ukuran recidivismrate atau reconvitionrate masih banyak meragukan. b. Berapa lamanya periode tertentu untuk melakukan evaluasi terhadap ada atau tidaknya perubahan sikap setelah terpidana menjalani pidana penjara.33 31
2. Sistem Pemasyarakatan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, menyebutkan seorang yang dipidana berdasarkan keputusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap ( inkarcht van gewijsdezaak ), disebut sebagai terpidana, sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995, Pasal 1 Ayat (7) menyatakan bahwa narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di lembaga pemasyarakatan. Dalam perspektif sejarah bahwa sistem pemasyarakatan yang sekarang diterapkan tidak terlepas dari adanya revitalisasi konsep sistem pemidanaan. Sejarah sistem pemidanaan dimulai dengan adanya sistem kepenjaraan pada masa pemerintahan hindia-belanda, yang dikenal dengan adanya jenis tempat pemidanaan atau rumah tahanan, seperti: rephui s, bui, ketting kwartier, vrouwenttuchuis.34 Spinhuis merupakan rumah tahanan yang diperuntukkan bagi wanita yang asusila, pemalas kerja dan peminum. Dalam rumah tahanan ini perempuan tersebut dipekerjakan sebagai pemintal.35 Rephuis merupakan rumah tahanan bagi laki-laki pengemis dan pemalas, mereka dipekerjakan meraut kayu untuk membuat bahan-bahan cat.36 Bui bukanlah penjara untuk mencabut kemerdekaan akan tetapi merupakan tempat bagi orang-orang yang didakwa melakukan kejahatan.37 Ketting kwartier merupakan tempat khusus bagi orang-orang yang dikenakan pidana hilang kemerdekaan, disandera dan orang cina atau tionghoa yang datang ke Indonesia
Ibid., Hlm. 224-225. Dwidja Priyatno, Op.Cit., Hlm. 83. Barda Nawawi Arief, Op.Cit., Hlm. 230. 34 Andi Hamzah Dan Siti Rahayu, 1993, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan Di Indonesia, Akademika Presindo, Hlm. 77. 35 Ibid., Hlm. 78. 36 Ibid., Hlm. 78. 37 Ibid., Hlm. 79. 32 33
102
dengan tidak sah. 38 Vrouwenttuchuis merupakan tempat untuk menampung preman-preman, dimana sebagian besar adalah perempuan belanda yang melanggar asusila dan tujuan penahanan mereka adalah membuat jera dan memperbaiki kelakuan dengan memberikan pekerjaan yang membawa manfaat bagi dirinya.39 Pada mas a kol onial , tempat pemidanaan tersebut berguna untuk memberikan hukuman bagi orang-orang yang melakukan tindak pidana melawan hukum yang merugikan baik individu maupun negara, arti nya si stem pemidanaan pada masa hindia-belanda berfungsi untuk menghukum pelaku kejahatan yang sangat menekankan pada unsur balas dendam, sehingga wajar saja kalau sistem pemenjaraan terkesan sebagai sekolah tinggi kejahatan (high school of crime).40 Ko ns ep pemenjaraan i ni diberlakukan selama kurun waktu yang panjang dan sistem kepenjaraan yang menganut berbagai perundangan warisan kolonial dalam ordonnantie op de voorwaardelijke invrijheidstelling (Stb. 1971-749, 27 Desember 1917 jo Stb. 1926-488) gestichten reglement (Stb. 1917-708, 10 Des ember 1917), dwangopvoeding regeling (Stb. 1917-741, 24 Des ember 1917) dan ui tvoeri ngso rdonnantie op de voorwaardelijke veroordeeling (Stb. 1926487, 6 November 1926) tidak sesuai dengan s is tem pemasyarakatan berdasarkan Pancasila dan UUD Tahun 1945, telah berangsur-angsur diubah dan diperbaiki, pemikiran baru mengenai fungsi hukuman penjara, dicetuskan oleh
Sahardjo pada tahun 1962, dan kemudian ditetapkan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 27 April 1964, yang sekarang tercermin di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.41 Pemikiran baru tersebut dengan adanya konsep rehabilitasi dan reintegrasi so si al , di mana si stem pembi naan terhadap narapidana telah berubah dari sistem kepenjaraan menjadi sistem pemasyarakatan. Perubahan dari “Rumah Penjara” menjadi “Lembaga Pemasyarakatan”, bukan semata-mata hanya secara fisi k merubah atau mendirikan bangunannya saja, melainkan yang lebih penting menerapkan konsep pemasyarakatan berdasarkan Surat Instruks i Kepal a Di rektorat Pemasyarakatan Nomor J.H.G.8/506 tanggal 17 Juni 1964.42 Pada tanggal 27 April 1964, konsep pemasyarakatan tersebut kemudian disempurnakan oleh keputusan konferensi dinas para pemimpin kepenjaraan yang memutuskan bahwa pelaksanaan pidana penjara di Indonesia dilakukan dengan sistem pemasyarakatan suatu pernyataan disamping sebagai arah tujuan pidana penjara dapat juga menjadi cara untk membimbing dan membina. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995, Pasal 1 Ayat (1) menyebutkan : “Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana.” Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995, Pasal 1 Ayat (2) menyebutkan : “Sistem Pemasyarakatan adalah suatu
38
Ibid., Hlm. 80. Ibid., Hlm. 80. Achmad S. Soema Dipradja Dan Romli Atmasasmita, 1979, Sistem Pemasyarakatan Di Indonesia, Bina Cipta, Bandung, Hlm. 10. 41 Ibid., Hlm. 10. 42 Ibid., Hlm. 10. 39 40
103
tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembi naan Warga Bi naan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilakukan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat di teri ma kembal i ol eh li ngkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga negara yang baik dan bertanggung jawab.” Konsep sistem pemasyarakatan bertujuan untuk memberikan bimbingan dan pembinaan para narapidana, menurut Sahardjo terdapat prinsip-prinsip pokok dari konsep sistem pemasyarakatan, yaitu: a. Orang yang tersesat harus diayomi dengan memberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga yang baik dan berguna dalam masyarakat ; b. Menjatuhkan pidana adalah bukan tindakan balasan dendam dari negara; c. Rasa tobat tidaklah dapat dicapai dengan menyiksa, melainkan dengan bimbingan ; d. Negara tidak berhak membuat seseorang narapidana lebih buruk atau lebih jahat daripada sebelum ia masuk lembaga ; e. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana harus dikenalkan kepada masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat ; f. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat mengis i waktu atau hanya diperuntukkan bagi kepentingan lembaga atau negara saja. Pekerjaan
43
Bambang Poernomo, Op.Cit., Hlm. 142.
104
yang diberikan harus ditujukan untuk pembangunan negara ; g. Bi mbingan dan didikan harus berdasarkan asas Pancasila ; h. Tiap orang adalah manusia dan harus di perl akukan s ebagai manus ia meskipun ia telah tersesat. Tidak boleh ditunjukkan kepada narapidana bahwa ia penjahat ; i. Narapidana itu hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan ; j. Sarana phisik bangunan lembaga dewasa ini merupakan salah satu hambatan pelaksanaan sistem pemasyarakatan.43 3. Konsep Pembinaan. Given that the conception of the person as an autonomous agent is a cultural construction, inquiry is directed to its potentials and shortcomings for cultural life. While such a conception contributes to sustaining the moral order, it also supports an individualist ideology and social divisiveness. As an alternative to the conception of moral autonomy, I explore the potentials of relational being, an orientation that views relational process ( as opposed to individual agents ) as the wellspring of all meaning. Such an orientation sees all moral concepts and action as issuing from coordinated action. However, at the same time that relational process generates moral orders, so does it establish the grounds for “immorality” and social conflict, which undermines the relational process of creating moral order. Thus, a concept of “second-order morality” is advanced, which seeks to reestablish a more inclusive firstorder morality. Responsibility for productive processes of relationship is invited.
Recent innovations in dialogic practices lend themselves to relational responsibility.44 Pemasyarakatan merupakan suatu proses pembinaan narapidana yang sering disebut “therapeutics process”, maka jelas bahwa membina narapidana itu sama artinya dengan menyembuhkan seseorang dari penyakitnya, yaitu kesesatan hidupnya karena adanya kelemahan-kelemahan yang dimilikinya. Untuk melaksanakan therapeutics process tentunya pembinaan dilakukan dengan sistem pembinaan pemasyarakatan di laks anakan berdasarkan asas : pengayoman ; persamaan perlakuan dan pelayanan ; pendidikan ; pembimbingan ; penghormatan harkat dan martabat manusia ; kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan ; dan terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu.45 Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan Dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan, Pasal 1 Ayat (1), menyebutkan : “Pembinaan adalah kegiatan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, profesional, kesehatan jasmani dan rohani dari narapidana.” Dal am konsep pembinaan di lembaga pemasyarakatan, narapidana bukan saja obyek melainkan juga subyek yang tidak berbeda dari manusia lainnya yang sewaktu-waktu dapat melakukan kesalahan atau kekhilafan yang dapat dikenakan pidana, sehingga tidak harus diberantas, yang harus diberantas adalah
faktor-faktor yang dapat menyebabkan narapi dana berbuat hal-hal yang bertentangan dengan hukum, kesusilaan, agama, atau kewajiban-kewajiban sosial lain yang dapat dikenakan pidana. Di Inggris terdapat perkembangan dalam pelaksanaan pidana pencabutan kemerdekaan, dengan terbitnya buku “The State of The Prison” yang ditulis oleh John Howard yang mengecam keadaan buruk dal am rumah-rumah penjara dan membela nasib dari para narapidana agar mendapat perlakuan yang lebih berperikemanusiaan. Dia mengajukan prinsip-prinsip penjara untuk menangani narapidana. Beberapa dari prinsip tersebut adalah sebagai berikut :46 1. Female offenders should be segregated from males and young offenders from old and haerdned criminals. (Narapidana wanita harus dipisahkan dari laki-laki dan narapidana muda dari yang tua dan penjahat-penjahat yang kejam). 2. Jailer should be honest, active, and humane, .... and should havesalaries proportioned to the trust and trouble. (Sipir/petugas penjara harus jujur, aktif, dan manusiawi, ... dan harus diberi gaji yang sesuai dengan kepercayaan dan kesulitannya). 3. No. prisoners should be subject to any demand for fees. The jailershould have a salary in lieu of having to rely of fees. (Narapidana tidak dimintai biaya. Petugas penjara harus mempunyai gaji sebagai pengganti terhadap biaya dari narapidana).
44
Kenneth J. Gergen ( Senior Research Professor in the Department of Psychology, Swathmore College, 500 College Ave. Swathmore, PA 19081, USA and the President of the Taos Institute ; e-mail
[email protected] ), The Mythic Reality of the Autonomous Individual : From Moral Autonomy To Relational Responsibility, Zygon, Volume 46, No. 1 ( March 2011 ), ISSN 0591-2385, www.zygonjournal.org, Page. 204. 45 Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Kehakiman Republik Indonesia, 1999, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Tentang Pemasyarakatan, Jakarta, Hlm. 50. 46 Robert. D, Pursley, 1987, Introduction to Criminal Justice, Mac Millan Publishing Company New York ; Collier Macnillan Publishers London, Page. 490.
105
4. There should be provisions for an infirmary, a chap lain, and a properdiet of wholesome food. (Harus ada ketentuan untuk sebuah rumah sakit/ pengobatan, seorang pendeta/kyai, dan makanan yang layak untuk diet). 5. Sparate celss for each prisoner should be provided as well as linen and bedding and stoves to warm the day room in winter. (Pemisahan sel untuk tiaptiap narapidana harus dilakukan dengan sprei dan tempat tidur yang baik). Pada tahun 1918 mulai berlaku “Reglemen Penjara Baru” (Gestichten Reglement) Staatblad 1917 No. 708, yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1918 berdasarkan Pasal 29 Wet boek van Strafrecht (WvS) atau Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP), mengenai perlunya disusun suatu reglemen baru tentang penjara sudah dikemukakan oleh R.A. Koesnoen melalui tulisannya, maka menjadi suatu keharusan dan kewajiban bagi para yang berwajib untuk menyusun reglemen penjara baru yang mengatur bagaimana narapidana harus diperbaiki agar menjadi seorang manusia yang susila.47 Fungsi dan tugas pembinaan terhadap narapidana dilaksanakan secara terpadu dengan tujuan agar warga binaan tersebut setelah menjalani pidananya, dapat menjadi warga masyarakat yang baik. Secara umum pembinaan narapidana bertujuan agar mereka dapat menjadi manusia seutuhnya yang menjadi arah pembangunan nasional dengan jalur pendekatan : 1. Memantapkan iman (ketahanan mental) mereka ; 2. Membina mereka agar mampu berinteraksi secara baik di dalam 47
kehidupan kelompok selama dalam lembaga pemasyarakatan dan kehidupan yang lebi h luas (masyarakat) setelah menjalani pidananya. Inti po kok pembinaan bagi narapidana terdiri dari 2 (dua) bidang, yaitu: 1. Pembinaan Kepribadian. a. Pembinaan Kesadaran Beragama. b. Pembinaan Kesadaran Berbangsa Dan Bernegara. c. Pembinaan Kemampuan Inteletual (Kecerdasan). d. Pembinaan Kesadaran Hukum. e. Pembinaan Mengintegrasikan Diri Dengan Masyarakat. 2. Pembinaan Kemandirian. Pembinaan kemandirian diberikan melalui program-program : a. Ketrampilan untuk mendukung usaha-usaha mandiri ; b. Ketrampilan untuk mendukung usaha-usaha industri kecil ; c. Ketrampilan yang dikembangkan sesuai dengan bakatnya masimgmasing dalam hal ini bagi mereka yang memiliki bakat tertentu diusahakan mengembangkan bakatnya itu ; d. Ketrampilan untuk mendukung usaha-usaha industri atau kegiatan pertani an atau perkebunan dengan menggunakan teknologi madya atau teknologi tinggi. Teori rehabilitasi dan reintegrasi sosial mengembangkan beberapa program kebijakan pembi naan narapidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No mor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Program kebijakan itu meliputi :
R.A. Koesnoen, 1961, Politik Penjara Nasional, Sumur, Bandung, Hlm. 44.
106
1. Asimilasi, yaitu : proses pembinaan narapidana yang dilaksanakan dengan membaurkan narapidana dalam kehidupan masyarakat. Adapun tujuan asimilasi dalam Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.01 PK 04-10 Tahun 1999 tentang As imil asi, Pas al 6, bahwa : pembebasan bersyarat dan cuti menjel ang bebas adalah : membangkitkan tujuan dan dorongan pada diri narapidana kearah pencapaian tujuan pembinaan, memberi kan kesempatan bagi narapidana untuk meningkatkan pendidikan dan ketrampilan guna mempersiapkan diri untuk hidup mandiri di tengah-tengah masyarakat setelah bebas menjalani pidana, mendoro ng masyarakat untuk berperan serta secara aktif dalam menyelenggarakan pemasyarakatan. 2. Reintegrasi sosial. Integrasi sosial dikembangkan dalam dua macam bentuk program pembinaan, yaitu Pembebasan Bersyarat (PB) dan Cuti Menjelang Bebas (CMB). Pembebasan bersyarat adalah pemberian pembebasan dengan beberapa syarat kepada narapidana yang tel ah menjalani pidana selama dua pertiga dari masa pidananya, dimana dua pertiga ini sekurang-kurangnya adalah selama sembilan bulan. Sedangkan, cuti menjelang bebas adal ah pemberian cuti kepada narapidana yang telah menjalani dua pertiga masa pidananya, dimana masa dua pertiga itu sekurang-kurangnya sembilan bulan. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan Dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan, Pasal 4 Ayat (1) dan Ayat (2), menyatakan :
(1) Pel aksanaan pembinaan dan pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan dilakukan oleh Petugas Pemasyarakatan yang terdiri dari atas : a. Pembina Pemasyarakatan ; b. Pengaman Pemasyarakatan ; dan c. Pembimbing Kemasyarakatan. (2) Dalam melaksanakan pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1), Kepala LAPAS menetapkan Petugas Pemasyarakatan yang bertugas sebagai Wali Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan. Proses pembinaan narapidana dalam sistem pemasyarakatan, meliputi : Pertama, lembaga pemasyarakatan melakukan penelitian terhadap hal-ikhwal narapidana ; sebab dilakukannya suatu pelanggaran. Pembinaan ini dilaksanakan saat yang bersangkutan berstatus sebagai narapidana sampai dengan 1/3 (sepertiga) masa pidananya. Pada tahap ini, pembinaan dilakukan di dalam lembaga pemasyarakatan dengan pengawasan maksimum. Kedua, proses pembinaan setelah yang bersangkutan menjalani 1/3 (sepertiga) masa pidana, serta narapidana tersebut dianggap sudah mencapai cukup kemajuan maka kepada narapidana yang bersangkutan diberikan kebebasan yang lebih banyak dan ditempatkan pada lembaga pemasyarakatan dal am pengawasan medium security, yang dimaksud narapidana telah menunjukkan kemajuan disini adalah dengan terlihatnya keinsyafan, perbaikan diri, disiplin dan patuh pada peraturan tata-tertib yang berlaku di lembaga pemasyarakatan. Setelah menjalani ½ (setengah) dari pidana yang sebenarnya, maka wadah proses pembinaan diperluas dengan asimilasi yang pelaksanaannya terdiri dari 2 (dua) bagian, yaitu :
107
1. Waktunya dimulai sejak berakhirnya tahap awal sampai dengan ½ (setengah) dari masa pidananya. Pada tahap ini pembinaan masih dilakukan di dalam lembaga pemasyarakatan dengan sistem pengawasan menengah (medium security) ; 2. Dimulai sejak berakhirnya masa lanjutan pertama sampai dengan 2/3 (dua per tiga) masa pidananya. Dalam tahap lanjutan ini narapidana sudah memasuki tahap asi milasi dan selanjutnya dapat diberikan pembebasan bersyarat atau cuti menjelang bebas dengan pengawasan minimum. Ketiga, setelah proses pembinaan telah berjalan selama 2/3 (dua per tiga) masa pidana yang sebenarnya atau sekurang-kurannya 9 (sembilan) bulan, maka pembinaan dalam tahap ini memasuki pembinaan tahap akhir. Pembinaan tahap akhir yaitu berupa kegiatan perencanaan dan pelaksanaan program integrasi yang dimulai sejak berakhirnya tahap lanjutan sampai dengan selesainya masa pidana. Pada tahap ini, bagi narapidana yang memenuhi syarat akan diberikan cuti menjelang bebas atau pembebasan bersyarat. Pembinaan dilakukan diluar lembaga pemasyarakatan oleh Bapas atau Balai Pemasyarakatan yang kemudian disebut Pembinaan Klien Pemasyarakatan. Berdasarkan Surat Edaran Nomor : K.P.10.13/3/1 tanggal 8 Februari 1965 tentang Pemasyarakatan sebagai proses di Indo nesi a, maka meto de yang dipergunakan di dalam pembinaan meliputi 4 tahap yang merupakan suatu kesatuan proses yang bersifat terpadu sebagaimana dibawah ini :48
48
Dwidja Priyatno, Op.cit., Hlm. 99-100.
108
1. Tahap Orientasi atau Pengenalan. Setiap narapidana di l embaga pemasyarakatan dilakukan penelitian untuk segala hal ikhwal perihal dirinya termasuk sebab-sebab narapidana tersebut melakukan kejahatan, dimana ia tinggal, bagaimana keadaan eko momi nya, latar belakang pendidikan dan sebagainya. 2. Tahap Asimilasi Dalam Arti Sempit . Jika pembinaan diri narapidana dan antara hunbungan dengan masyarakat telah berjalan kurang dari 1/3 dari masa pidana sebenarnya menurut dewan pembinaan pamsyarakatan telah dicapai cukup kemajuan dalam proses antara lain bahwa narapidana telah cukup menunjukkan perbaikanperbai kan dalam ti ngkah laku kecakapan dan lainnya, maka tempat atau wadah utama dari proses pembinaannya ialah gedung lembaga pemasyarakatan terbuka dengan maksud memberikan kebebasan bergerak lebih banyak lagi atau para narapidana yang sudah pada tahap ini dapat dipindahkan dari lembaga pemasyarakatan terbuka. Pada tahap ini program pengamanannya adalah medium, di tempat baru ini narapidana diberi tanggung-jawab terhadap masyarakat. Bersamaan dengan ini pula di pupuk rasa harga diri tata-krama sehingga dalam masyarakat l uas timbul kepercayaannya dan berubah sikapnya terhadap narapidana. Kontak dengan unsur-unsur masyarakat frekwensinya lebih diperbanyak lagi, misalnya gotong-royong dengan masyarakat. Masa tahanan yang harus dijalani pada tahap ini adalah sampai berkisar ½ dari masa pidana sebenarnya.
3. Tahap Asimilasi Dalam Arti Luas. Jika narapidan sudajh menjalni kurang dari ½ masa pidana yang sebenarnya menurut dewan pembi na pemasyarakatan dinayatakan proses pembinaannya telah mencapai kemajuan yang lebih baik lagi, maka mengenai diri narapidana maupun unsur-unsur masyaakat maka wadah prose pembinaan diperluas lagi aialah dimulai dengan usaha asimilasi para narapidana dengan penghidupan masyarakat luar yaitu seperti kegiatan mengikutsertakan sekolah umum, bekerja pada badan swasta atau instansi lainnya yaitu cuti pulang beribadah dan berolah raga dengan masyarakat dan kegiatan-kegiatan lainnya. Pada saat berlangsungnya kegiatan segala sesuatu masi h dalam pengawasan dan bimbingan petugas lembaga pemasyarakatan. Pada tingkat asi milasi i ni tingkat keamanannya sudah maksimum sedangkan masa tahanan yang harus dijalani adalah 2/3 nya. 4. Tahap Integrasi Dengan Lingkungan Masyarakat. Tahap ini merupakan tahap akhir dari proses pembinaan dikenal dengan istilah integrasi, bila proses pembinaan dari tahap observasi, asimilasi dalam arti sempit, asimilasi dalam arti luas dan integrasi dapat berjalan lancar dan baik s erta mas a pidana yang sebenarnya telah dijalani 2/3 atau sedikitnya 9 bulan, maka kepada
narapidana dapat di berikan pelepasan bersyarat atau cuti bersyarat dalam proses ini pembinaan berupa mas yarakat luas sedangkan pengawasannya semakin berkurang sehingga narapidana akhirnya dapat hidup dengan masyarakat. C. KESIMPULAN Keberadaan Lembaga Pemasyarakatan sebagai “treatment of prisoners” bahwa narapidana sebelum menjalani masa hukuman merupakan pri badi -pri badi yang mengal ami penyimpangan orientasi sosial atau patologi sosial, sehingga Lembaga Pemasyarakatan memiliki peranan sektoral karena berkewajiban memberikan bentuk pendidikan dan penyadaran terhadap para narapidana supaya muncul kesadarannya bahwa mereka masih mempunyai masa depan yang dapat menjadi lebih baik dari sebelumnya, asalkan para narapidana konsisten untuk taat pada hukum dan norma-norma sosial yang berlaku didalam masyarakat. Guna memperbaiki aspek sosial dari narapidana maka memerlukan metode dan sistem pembinaan yang mampu merubah sifat, pola berpikir, perilaku dan pemahaman interaksi sosial. Pola-pola tekanan dan penyiksaan secara phsykologis hanya akan menimbulkan trauma sosial yang baru sehingga konsepkonsep perbaikan perilaku dan pribadi didalam lembaga pemasyarakatan sulit diwujudkan.
109
DAFTAR PUSTAKA Buku Literatur. Atmasasmita, Romli, 1992, Teori Dan Kapita Selekta Kriminologi, Eresco, Bandung. Chazawi, Adami, 2001, Pelajaran Hukum Pidana (Stelsel Pidana, Tindak Pidana, TeoriTeori Pemidanaan Dan Batas Berlakunya Hukum Pidana), Raja Grafindo Persada, Jakarta. C.I. Harsono. Hs, 1995, Sistem Baru Pembinaan Narapidana, Djambatan, Jakarta. Darmaputra, Eka, 1997, Pancasila Identitas Dan Modernitas : Tinjauan Etis Dan Budaya, PT. Gunung Mulya, Jakarta. Gosita, Arif, 2004, Masalah Korban Kejahatan, Bhuana Ilmu Populer, Jakarta. Hamzah, Andi, 1993, Sistem Pidana Dan Pemidanaan Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta. Hamzah, Andi Dan Rahayu, Siti, 1993, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan Di Indonesia, Akademika Presindo. Moeljatno, 2002, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta. Muladi dan Nawawi Arief, Barda, 1984, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung. Muladi, 1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Universitas Diponegoro, Semarang. ______, “Proyeksi Hukum Pidana Materiil Indonesia di Masa Datang”, Naskah Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 24 Februari 1990. M.Sholehuddin, 2003, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana : Ide Double Track System Implementasinya, Rajawali Press, Jakarta. Nawawi Arief, Barda, 1996, Kebijakan Legislatif Dengan Pidana Penjara, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang. ___________________, 2002, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung. P.A.F. Lamintang, 1984, Hukum Penitersier Indonesia, Armico, Bandung.
110
Poernomo, Bambang, 1986, Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan, Liberty, Yogyakarta. Prasetyo, Teguh, 2005, Hukum Pidana Materiil, Kurnia Kalam, Yogyakarta. Priyatno, Dwidja, 2006, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, Refika Aditama, Bandung. R.A. Koesnoen, 1961, Politik Penjara Nasional, Sumur, Bandung. Robert. D, Pursley, 1987, Introduction to Criminal Justice, Mac Millan Publishing Company New York ; Collier Macnillan Publishers London. Sahetapy. J.E., 1982, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, Rajawali Press, Jakarta. Soema Dipradja, Achmad S. Dan Atmasasmita, Romli, 1979, Sistem Pemasyarakatan Di Indonesia, Bina Cipta, Bandung. Sudarto, 1986, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung. Waluyo, Bambang, 2004, Pidana Dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta. W.A. Bonger, 1995, Pengantar Tentang Kriminologi, PT. Pembangunan, Jakarta.
Peraturan Perundang-Undangan. Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Kehakiman Republik Indonesia, 1999, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Tentang Pemasyarakatan, Jakarta. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1976 Nomor 26. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 77. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 108. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan.
111
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 174 Tahun 1999 Tentang Grasi. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1987 tentang Pengurangan Masa Menjalani Pidana (Remisi). Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.02-PK.04.10 Tahun 1990 Tentang Pola Pembinaan Narapidana Dan Tahanan. Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.01.PK.04-10 Tahun 1999 Tentang Asimilasi, Pembebasan Bersyarat Dan Cuti Menjelang Bebas. Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoners. Adopted by the First United Nations Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, held at Geneva in 1955, and approved by the Economic and Social Council by its resolution 663 C (XXIV) of 31 July 1957 and 2076 (LXII) of 13 May 1
Journal Internasional. Kenneth J. Gergen ( Senior Research Professor in the Department of Psychology, Swathmore College, 500 College Ave. Swathmore, PA 19081, USA and the President of the Taos Institute ; e-mail
[email protected] ), The Mythic Reality of the Autonomous Individual : From Moral Autonomy To Relational Responsibility, Zygon, Volume 46, No. 1 ( March 2011 ), ISSN 0591-2385, www.zygonjournal.org. Mona Lynch ( University of California-Irvine ), Mass incarceration, legal change, and locale Understanding and remediating American penal Overindulgence, American Society of Criminology, Criminology & Public Policy Vol. 10 Issue 3.
112
PETUNJUK BAGI PENULIS 1. Naskah dapat berupa hasil penelitian atau artikel yang berisi pemikiran. 2. Naskah belum pernah dikirim atau dimuat di jurnal/media massa yang lain. 3. Naskah ditulis dalam Bahasa Indonesia baku, berupa ketikan, rekaman dalam disket (MS Word), spasi ganda, tipe huruf Times New Roman, Font 12, dengan panjang antara 15 – 25 halaman format kwarto. 4. Naskah disertai abstrak (100-250 kata) dalam Bahasa Inggris dan dilengkapi dengan kata kunci (Key Words). 5. Sistematika tulisan yang berisi artikel pemikiran memuat hal-hal sebagai berikut: a. Judul, nama penulis, dan tempat penulis bekerja. b. Abstrak (Abstract) dan kata kunci (Key Words) c. Pendahuluan d. Pembahasan (terdiri dari subjudul-subjudul sesuai dengan kebutuhan) e. Penutup (kesimpulan dan saran) f. Daftar Pustaka. 5. Sistematika penulisan yang berupa hasil penelitian memuat hal-hal sebagai berikut: a. Judul, nama penulis, dan tempat penulis bekerja. b. Abstrak (Abstract) dan Kata Kunci (Key Words) c. Pendahuluan (tanpa subjudul, memuat latar belakang masalah, sedikit tinjauan pustaka, dan masalah/tujuan penelitian). d. Metode Penelitian e. Hasil Penelitian dan Pembahasan f. Penutup (Kesimpulan dan Saran) g. Daftar Pustaka. 6. Daftar Pustaka disusun secara alfabetis dan ditulis sebagai berikut : a. Buku : nama pengarang (tanpa gelar), tahun penerbitan, judul buku (cetak miring), nama penerbit, dan tempat penerbit. b. Karangan/artikel dalam jurnal : nama penulis artikel (tanpa gelar), tahun, judul artikel (dimulai dan diakhiri dengan tanda petik), nama jurnal (cetak miring), nomor penerbitan. c. Karangan dalam buku kumpulan karangan/bunga rampai : nama pengarang (tanpa gelar), tahun, judul karangan (dimulai dan diakhiri dengan tanda petik), editor, judul buku (cetak miring), nama dan tempat penerbitan. d. Karangan dalam seminar : nama pengarang (tanpa gelar), tahun, judul karangan (dimulai dan diakhiri dengan tanda petik), nama seminar (cetak miring), waktu, dan tempat seminar. e. Internet : nama pengarang (tanpa gelar), judul tulisan (dimulai dan diakhiri dengan tanda petik), tempat tulisan dimuat (dicetak miring), website, tanggal diakses. Contoh : a. Bagir Manan, 2004, Perkembangan UUD 1945, FH UII Press, Yogyakarta. b. Sigit Setyadi, 2004, “Kebijakan Pemberian Remisi Kepada Narapidana Di Yogyakarta”, Forum Hukum, Volume 8, No. 2.
113
c.
Muckleston, K.W., 1990, “Intregated Water Management In The United States”, dalam M. Bruce (ed), Intregated Water Management, International Experiences and Perspectives, Belhaven Press, London. d. Ginandjar Kartasasmita, 2005, “DPD Dan Penguatan Demokrasi”, makalah dipresentasikan dalam Seminar Penguatan DPD Dalam Sistem Keparlemenan Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, 9 Desember 2005, Bagian Hukum Tata Negara FH-UAJY bekerjasama dengan DPD-RI. e. Azhar, “Peranan Komisi Yudisial Dalam Menjaga Kekuasaan Kehakiman”, Inovasi Online – Vo. 4/XVIII/Agustus 2005 (http://io.ppi-jepang.org/article), 2 Januari 2006. 7. Kutipan menggunakan catatan kaki (footnote). 8. Pustaka yang dirujuk hendaknya dari edisi mutakhir. 9. Naskah dilampiri Curriculum Vitae penulis.
114