Laporan Tahunan 2016
Mengawali Restorasi Gambut Indonesia
Mengawali Restorasi Gambut Indonesia
Badan Restorasi Gambut 2016
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb. Salam sejahtera untuk kita semua. Tahun 2015 menjadi tahun terburuk dalam sejarah kebakaran hutan dan lahan di Indonesia dalam 18 tahun terakhir. Pemerintah mencatat, seluas 2,6 juta hektar hutan dan lahan terbakar sepanjang Juni hingga November 2015, memicu kabut asap pekat sehingga menimbulkan masalah nasional, di mana kerugian ekonomi akibat kebakaran ini diperkirakan mencapai Rp 221 triliun. Sebagai akibat, 19 orang meninggal dunia dan 500.000 penduduk menderita infeksi saluran pernafasan akut. Kabut asap akibat kebakaran tersebut juga memaksa penutupan 24.773 sekolah selama 34 hari, sehingga 4.692.537 siswa diliburkan. Sekitar 33 persen dari jumlah lahan yang terbakar merupakan lahan gambut, yang merupakan penyimpan karbon dalam jumlah yang amat besar. Dari hasil kebakaran lahan gambut selama kurang lebih tiga bulan, diperkirakan mengeluarkan emisi 800 mega hingga 1,6 giga metrik ton setara karbon dioksida. Dalam pidatonya di KTT Perubahan Iklim Paris, Presiden Joko Widodo menegaskan komitmen Indonesia untuk berkontribusi dalam aksi global menurunkan emis gas rumah kaca (GRK) yang mencakup penurunan emisi sebesar 29% dengan scenario business as usual pada tahun 2030, atau 41% dengan bantuan internasional. Pada 6 Januari 2016, Presiden RI menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2016 tentang pembentukan Badan Restorasi Gambut (BRG). Sebagai lembaga non-struktural yang bertanggungjawab kepada Presiden, di bawah koordinasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, BRG dimandatkan untuk mengkoordinasikan dan memfasilitasi restorasi 2 juta hektar lahan gambut di tujuh provinsi prioritas, yakni Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Riau, Sumatera Selatan dan Papua hingga tahun 2020. Langkah BRG dalam perjalanannya sebagai lembaga yang baru didirikan di Indonesia tentulah sarat dengan aneka tantangan. Pada tahun pertamanya BRG mengembangkan struktur kelembagaan, menguatkan koordinasi antar pemeirntah pusat dan pemerintah daerah, serta menyelesaikan perencanaan program kerja. Laporan Tahunan BRG 2016 ini memaparkan kilas balik perjalanan BRG selama tahun pertamanya. Laporan ini disusun dengan maksud untuk memberikan informasi terkait program kerja dan kegiatan yang telah dilaksanakan oleh BRG, pencapaian kinerja BRG selama tahun 2016 beserta tantangan dan kendala yang dihadapi. Laporan ini mengisahkan bagaimana kelembagaan BRG dibangun beserta proses penataan kebijakan yang perlu dilakukan untuk mewujudkannya. Kemudian diikuti dengan penjelasan atas proses pemetaan lahan gambut,
i
persiapan masyarakat, dan kegiatan restorasi gambut selama tahun 2016. Selanjutnya, laporan ini juga memaparkan kerja sama yang telah dijalin BRG dalam bidang riset dan pendidikan dan bagaimana langkah BRG dalam membangung kepercayaan dunia. Kami berharap melalui publikasi laporan ini, kami juga dapat meningkatkan keterbukaan informasi dan pemahaman atas kegiatan BRG kepada berbagai pemangku kepentingan, serta meningkatkan kesadartahuan masyarakat tentang pentingnya upaya restorasi gambut. Segala capaian yang telah dicapai selama tahun 2016 tentunya tak lepas dari dukungan dan kerjasama dari berbagai kementerian dan lembaga Pemerintah Indonesia, khususnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia, Kantor Kepala Staf Kepresidenan, Bappenas, mitra internasional, masyarakat setempat, berbagai lembaga swadaya masyarakat dan dunia usaha. Untuk itu, akhir kata kami ucapkan terima kasih dan apresiasi setinggitingginya terhadap seluruh pihak yang telah mendukung aksi BRG hingga saat ini. Semoga kerja sama yang telah terjalin dapat ditingkatkan dan menjadi lebih baik. Mari bersama kita sukseskan restorasi gambut di Indonesia untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat Indonesia dan dunia.
Jakarta, Maret 2017 Kepala Badan Restorasi Gambut,
Ir. Nazir Foead, M.Sc
DAFTAR ISI
Kata Pengantar Daftar Isi I. II. III. IV. V. VI. VII. VIII.
Pendahuluan Membangun Lembaga dan Menata Kebijakan Memetakan Lahan Gambut Menyiapkan Masyarakat Merestorasi Gambut Kerja Sama Riset dan Pendidikan Membangun Kepercayaan Dunia Penutup
Lampiran Kegiatan Dalam Penyiapan Masyarakat
i iii 1 7 9 15 19 23 25 29 30
iii
I. PENDAHULUAN Tahun 2015 menjadi tahun terburuk dalam sejarah kebakaran hutan dan lahan di Indonesia dalam 18 tahun terakhir. Pemerintah mencatat, seluas 2,6 juta hektar hutan dan lahan terbakar sepanjang Juni hingga November 2015, memicu kabut asap pekat sehingga menimbulkan masalah nasional. Tidak hanya menghancurkan kekayaan hayati, kebakaran ini juga mengganggu perekonomian, pendidikan, mengancam kesehatan puluhan ribu jiwa, bahkan menelan korban jiwa. Setidaknya 19 orang meninggal dunia dan 500.000 penduduk menderita infeksi saluran pernafasan akut. Kabut asap akibat kebakaran ini juga memaksa penutupan sekolah selama 34 hari. Pada Oktober 2015 itu, 24.773 sekolah ditutup dan 4.692.537 siswa diliburkan.
Kerugian ekonomi akibat kebakaran ini ditaksir mencapai Rp 221 triliun (mengutip studi Bank Dunia). Hal ini belum memperhitungkan dampak kerugian yang bersifat jangka panjang yang akan dialami bagi anakanak yang menghirup kabut asap akibat kebakaran. Padahal, beberapa penelitian menunjukkan, paparan jangka panjang terhadap polusi kabut asap berkorelasi dengan peningkatan penyakit gangguan jantung dan pernapasan kronis. Sebuah studi tentang efek dari krisis kabut asap Indonesia tahun 1998 terhadap kematian janin, bayi, dan anak batita menunjukkan bahwa polusi udara menyebabkan jumlah anak-anak yang mampu bertahan hidup menurun sebesar 15.600 anak. Sekitar 33 persen dari jumlah lahan yang terbakar merupakan lahan gambut, yang menyebabkan kabut asap yang tercipta menjadi sangat berbahaya, tak hanya bagi masyarakat yang menghirupnya, namun juga
bagi Bumi. Pulau Sumatera dan Kalimantan, yang memiliki sebagian besar lahan gambut di negeri ini, paling menderita akibat kebakaran ini. Tidak seperti tahun-tahun yang lalu, kebakaran hebat juga terjadi di Papua yang berkontribusi hingga 10 persen dari luas lahan yang terbakar secara nasional pada tahun itu. Perkembangan ini sangat memprihatinkan karena dibandingkan provinsi lain, lahan gambut di Papua masih utuh dan terjaga. Di sisi lain, hal ini menunjukkan adanya eskalasi kebakaran hutan dan lahan gambut nasional. Kebakaran hutan dan lahan yang berlangsung sekitar tiga bulan itu juga menempatkan Indonesia menjadi emitor gas rumah kaca yang signifikan. Dari hasil kebakaran lahan gambut selama kurang lebih tiga bulan, Indonesia menghasilkan 1,62 juta metrik ton setara karbon dioksida. Bahkan data Bank Dunia yang mengacu Basis Data Emisi Kebakaran Global versi 4 (Global Fire Emissions Database
1
“Kebakaran hutan dan lahan ini sebenarnya warisan masalah dari pengelolaan gambut di masa lampau. Setidaknya, selama 18 tahun kebakaran rutin di negeri ini terjadi di musim kemarau.”
version 4, GFED4) mencatat, 1.750 juta metrik ton setara karbon dioksida (MtCO2e) terhadap emisi global pada tahun 2015. Sebagai perbandingan, berdasarkan Komunikasi Nasional ke-2 dari Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change), Indonesia diperkirakan menghasilkan emisi secara nasional tahunan sebesar 1.800 MtCO2e. Dengan besarnya emisi yang dihasilkan itu, komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi sebesar 29 persen (atau 41 persen dengan dukungan keuangan internasional) dibandingkan dengan skenario seperti biasanya (business as usual) pada tahun 2030 sebagai bagian dari kontribusi untuk menjaga agar peningkatan suhu global tidak melebihi 2 derajat Celsius, menjadi semakin menantang. Kebakaran hutan dan lahan ini sebenarnya warisan masalah dari pengelolaan gambut di masa lampau. Setidaknya, selama 18 tahun kebakaran rutin di negeri ini terjadi di musim kemarau, bahkan dampaknya semakin menyengsarakan rakyat. Kebakaran terutama terjadi di lahan gambut yang telah terkonversi menjadi perkebunan skala luas yang telah mengantongi izin pembukaan
2
lahan dari rezim sebelumnya. Praktik pengeringan lahan gambut dengan membuat kanal-kanal besar lazim dilakukan dalam menyiapkan tanaman perkebunan. Tahun 1997 dikenal sebagai kebakaran hutan terhebat yang paling buruk dalam sejarah nasional. Fenomena iklim global El Nino yang membawa kemarau panjang turut berkontribusi dalam memicu hebatnya kebakaran hutan dan lahan pada tahun itu. CIFOR mencatat dalam kurun 1997-1998, Pemerintah Indonesia memperkirakan jumlah lahan yang terbakar mencapai 750.000 hektar. Kajian dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional bersama Bank Pembangunan Asia (ADB) memperkirakan jumlah lahan yang terdampak akibat kebakaran mencapai 9,75 juta hektar. Terkait dampak ekonomi, jumlah estimasinya beragam. Economy and Environment Programme for Southeast Asia memprediksi Indonesia dirugikan sebesar US$5 miliar hingga US$6 miliar akibat kebakaran hutan dan lahan pada 1997-1998. Lalu, studi Bappenas dan ADB mencatat kerugian mencapai US $4,861 miliar atau setara dengan Rp 711 triliun.
Kebakaran di tahun 2015 dianggap nyaris menyamai bencana kebakaran hutan dan lahan di tahun 1997. Sebagaimana terjadi di tahun 1997, kebakaran hutan dan lahan pada 2015 menghebat karena pada tahun itu kemarau panjang terjadi akibat super El Nino. Kondisi lahan yang terbakar, yang sebagian besar berupa gambut menyebabkan kebakaran menjadi sulit ditanggulangi. Presiden Joko Widodo dihadapkan pada tantangan berat di awal masa kepemimpinannya. Apalagi, kebakaran hutan dan lahan ini telah memanaskan hubungan diplomatik Indonesia dengan negara tetangga, khususnya dengan Singapura dan Malaysia. Kedua negara ini mendapat kiriman asap pekat sehingga mengganggu kondisi ekonomi dan kesehatan warga mereka. Bahkan, secara global, Indonesia juga menjadi sorotan negara-negara
lain akibat besarnya emisi gas rumah kaca yang tercipta dari kebakaran ini. Kondisi ini menyulitkan posisi Presiden Joko Widodo yang waktu itu hendak mengikuti Leader Event Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim di Paris, pada 30 November 2015. Namun demikian, Presiden Joko Widodo menunjukkan kepemimpinannya dengan menyiapkan jalan keluar dan optimisme untuk mengatasi masalah laten yang dihadapi Indonesia ini. Dalam pidatonya di KTT Perubahan Iklim Paris, Presiden mengatakan, Indonesia sebagai salah satu negara pemilik hutan terbesar yang menjadi paru-paru dunia, memilih untuk menjadi bagian dari solusi. Presiden juga menegaskan, Indonesia akan membangun dengan memperhatikan lingkungan. Presiden mengakui, 60% penduduk Indonesia yang tinggal di
3
pesisir dan 80% bencana nasional terkait dengan perubahan iklim. Demikian halnya, kebakaran hutan pada tahun 2015 itu, dipicu oleh masalah El-Nino yang mempersulit upaya untuk memadamkan api di wilayah gambut. Sekalipun demikian, unsur kesengajaan dalam pembakaran juga ditemukan. Oleh karena itu, dipastikan adanya penegakan hukum kepada pihak-pihak yang selama ini menjadi penyebab kebakaran. Sedangkan untuk pencegahan ke depan, Presiden menyatakan akan merestorasi gambut dengan membentuk Badan Restorasi Gambut (BRG). Presiden menegaskan bahwa Indonesia tidak akan menghentikan komitmen untuk berkontribusi dalam aksi global menurunkan emisi. Termasuk menurunkan emisi sebesar 29% dengan scenario business as usual pada tahun 2030, atau 41% dengan bantuan internasional. Terkait dengan bidang tata kelola hutan dan sektor lahan juga akan menerapkan one map policy dan menetapkan moratorium serta kajian perizinan pemanfaatan lahan gambut, pengelolaan lahan dan hutan produksi lestari. Oleh karena itu Presiden berharap, Kesepakatan Paris harus mencerminkan keseimbangan, keadilan serta sesuai prioritas dan kemampuan nasional. Sekalipun bersifat mengikat, jangka panjang dan ambisius, namun hal itu tidak menghambat pembangunan negara berkembang. Dia juga meminta semua pihak juga berkontribusi lebih dalam aksi mitigasi dan adaptasi, terutama negara maju, yakni dengan cara memobilisasi pendanaan 100 miliar dollar AS hingga 2020 yang ditingkatkan untuk tahun-tahun berikutnya serta diikuti dengan transfer teknologi ramah lingkungan dan peningkatan kapasitas. Komitmen Pemerintah untuk merestorasi lahan gambut yang selama ini menjadi akar masalah kebakaran hutan dan lahan di Indonesia, telah menjadi pertaruhan wibawa bangsa ini di dunia internasional. Pada 6 Januari 2016, Presiden RI telah
4
memenuhi janjinya di hadapan para bangsa dunia untuk mencari jalan keluar bagi penyelesaian persoalan kebakaran hutan dan lahan dengan menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 1 Tahun 2016 tentang BRG. Sebagai lembaga non-struktural yang bertanggungjawab kepada Presiden RI, BRG dimandatkan untuk mengkoordinasikan dan memfasilitasi restorasi gambut yang tersebar di tujuh provinsi, yakni Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Papua dalam periode lima tahun (2016-2020). Pada tanggal 14 September 2016, BRG telah menyelesaikan peta indikatif restorasi gambut dengan menetapkan 2.492.527 hektar areal terdegradasi yang perlu direstorasi. Sebanyak 30% dari 2,4 juta hektar lahan gambut ditargetkan mulai dilakukan pada tahun 2016, 20% prioritas restorasi lahan gambut masingmasing akan menjadi capaian target restorasi di tahun 2017, 2018, dan 2019, serta 10% di tahun 2020. Pada tahun ini pula disiapkan exit strategy dan kemudian dilanjutkan dengan program Percepatan Pengelolaan Tata Kelola Gambut Lestari di periode selanjutnya. Sebanyak 87% dari areal prioritas restorasi gambut terdapat di kawasan budidaya, selebihnya 13% di kawasan lindung. Pemanfaatan gambut di areal budidaya terbanyak dilakukan oleh pemegang izin/konsesi kehutanan dan perkebunan kelapa sawit. Tercatat 531 perusahaan kehutanan dan perkebunan sawit beroperasi di lahan gambut, yang meliputi 174 perusahaan pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu – Hutan Tanaman Industri, 30 Perusahaan pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu – Hutan Alam dan 327 perusahaan kelapa sawit. Konsesi yang berada di kubah gambut sekitra 590 ribuan hektar. Di areal restorasi juga terdapat areal masyarakat baik yang dikuasai dengan klaim adat maupun bukan. Selain itu ada pula areal yang belum jelas status penguasaannya. Total luas areal ini mencapai 1,1 juta hektar
Grafik 1. Proyeksi Rencana Aksi Restorasi Gambut 2016-2020
Sumber: Peraturan Presiden No. 1 Tahun 2016 dan SK.05/BRG/Kpts/2016
dengan 200 ribuan hektar terdapat di kubah gambut. Pekerjaan rumah dalam lima tahun ke depan adalah: 1. Memetakan 438 Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) 2. Melakukan zonasi dan rezonasi fungsi budidaya dan lindung 3. Melakukan pembasahan gambut, dengan antara lain membangun berbagai konstruksi sekat kanal, menimbun kanal atau membangun sumur bor untuk pencegahan kebakaran gambut 4. Penataan ulang pengelolaan areal gambut terbakar 5. Melakukan supervisi dalam konstruksi, operasi dan pemeliharaan infrastruktur restorasi gambut di lahan konsesi 6. Melakukan edukasi, sosialisasi dan menjalin kemitraan dengan para pihak
Setahun setelah dibentuk, banyak hal yang telah dilakukan BRG. Sekalipun demikian, merestorasi gambut yang dibiarkan menyimpan bara api persoalan selama puluhan tahun memang tak semudah membalik tapak tangan. Ada persoalan perundangan, kepemilikan lahan, hingga sengkarut kepentingan ekonomi politik perusahaan dan jutaan jiwa masyarakat yang berimpit di sana. Laporan tahunan BRG ini diharapkan memberi perspektif tentang kemajuan yang telah dicapai, sekaligus juga memberi arah tentang pekerjaan lanjutan yang mesti diselesaikan ke depannya.
5
II. MEMBANGUN LEMBAGA DAN MENATA KEBIJAKAN Sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 1 Tahun 2016, BRG mendapat mandat untuk menjalankan fungsi-fungsi pelaksanaan koordinasi dan penguatan kebijakan pelaksanaan restorasi gambut, perencanaan pengendalian dan kerjasama penyelenggaraan restorasi gambut, pemetaan dan penetapan zonasi lindung dan fungsi budi daya, pelaksanaan konstruksi infrastruktur pembatasan gambut dan segala perlengkapannya, penataan ulang pengelolaan area gambut yang terbakar. Cakupan luas kawasan yang harus direstorasi kurang lebih 2.000.000 hektar. Dengan mengkaji kondisi yang berlaku, BRG kemudian menemukan adanya 2.492.527 hektar areal bergambut terdegradasi yang perlu direstorasi dalam kurun lima tahun.
Untuk menjalankan tugas ini, Kepala BRG didampingi oleh Sekretariat Badan, Deputi Bidang Perencanaan dan Kerja Sama, Deputi Bidang Konstruksi, Operasi, dan Pemeliharaan, Deputi Bidang Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi, dan Kemitraan, dan Deputi Bidang Penelitian dan Pengembangan. Selain itu, menurut Perpres tersebut, BRG juga didukung oleh Tim Pengarah Teknis dan Kelompok Ahli. Tim Pengarah Teknis ini berasal dari kelembagaan dan kementerian terkait. Sedangkan Kelompok Ahli berasal dari perguruan tinggi, lembaga penelitian, profesional, dan unsur masyarakat. Setahun pertama setelah dibentuk, BRG lebih banyak melakukan perencanaan, sosialisasi, uji coba, memperkuat kelembagaan,
hingga penguatan dan sinkronisasi kebijakan. Dua hal terakhir, yaitu memperkuat kelembagaan dan sinkronisasi kebijakan merupakan hal mendasar yang wajib dilakukan BRG sebagai lembaga baru yang memiliki masa tugas relatif pendek, dibandingkan besarnya tanggungjawab dan kompleksitas persoalan yang dihadapi. Tak lama setelah mendapat mandat dan mengisi struktur kelembagaan, Kepala BRG kemudian membentuk Tim Pengarah Teknis Restorasi Gambut yang melibatkan pejabat terkait lintas kementerian/ lembaga. Demikian pula dibentuk Kelompok Ahli Restorasi Gambut yang melibatkan para pakar. Dengan melibatkan para pihak ini, BRG berhasil menyusun Rencana Strategis
7
BRG 2016-2020 di bulan Mei 2016 yang kemudian direvisi pada bulan November 2016. Berikutnya, BRG kemudian memperkuat kelembagaan ke daerah sasaran dengan membentuk Tim Restorasi Gambut Daerah (TRGD) di enam provinsi, yakni Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Riau, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah. Tim yang di dalamnya secara lengkap melibatkan unsur pemerintah daerah (pemda), akademisi, lembaga swadaya masyarakat (LSM) lokal, pihak swasta, masyarakat hingga wartawan ini menjadi perkuatan kinerja restorasi gambut di daerah. Setelah memantapkan kelembagaan, BRG mulai menata langkah-langkah yang bisa dilakukan dalam merestorasi lahan gambut. Perlu ditegaskan di sini, fungsi BRG tak semata-mata melakukan kegiatan restorasi fisik lahan gambut. Bersama dengan kementerian dan lembaga terkait, BRG juga berupaya menyingkronkan sejumlah kebijakan/ regulasi untuk memperkuat agenda restorasi ekosistem gambut. Di antaranya, BRG membantu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam revisi Peraturan
8
Pemerintah no. 71/2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Gambut, dengan dikeluarkannya PP no. 57/2016. BRG juga menyusun sejumlah Peraturan tentang Tata Cara Restorasi, Peraturan Verifikasi Peta Restorasi, dan Perencanaan Restorasi pada Badan Usaha. Sepanjang tahun 2016, BRG melakukan koordinasi dan kerjasama dengan beberapa kementerian dan/ atau lembaga terkait, pemegang izin, dan lembaga nonpemerintah untuk merancang dan melaksanakan tahap awal dari upaya restorasi gambut di tingkat nasional hingga tapak. Sedangkan terkait dengan konstruksi restorasi itu, BRG telah membuat panduan dan prosedur operasional standar (POS) pembangunan infrastruktur pembasahan gambut (sekat kanal/ canal blocking), pembuatan persemaian (seedling nursery), penanaman di lahan gambut, dan pemasangan sumur pipa bor (deep wells). Dengan panduan ini, para pihak yang akan melakukan konstruksi infrastruktur restorasi hidrologi gambut bisa memiliki standar operasi kerja yang sama.
III. MEMETAKAN LAHAN GAMBUT Setelah memantapkan kelembagaan dan menata kebijakan, berikutnya BRG melakukan pemetaan areal restorasi gambut. Pemetaan ini menjadi kunci penting untuk menentukan target restorasi gambut.
Pemetaan areal restorasi bertumpu pada peta Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) yang dibuat oleh Kementerian LHK. KHG adalah ekosistem gambut yang terletak di antara dua sungai, di antara sungai dengan laut atau rawa-rawa . Dari hasil pemetaan, tercatat luas KHG di 7 provinsi prioritas restrorasi gambut mencapai 22,4 juta hektar. Luasan tersebut terdiri atas 15,9 juta hektar lahan gambut dan 6,5 juta hektar
lahan mineral (non-gambut). Tidak semua areal dalam KHG bergambut. Luas lahan gambut dalam KHG di 7 provinsi prioritas restorasi gambut mencapai 12,9 juta hektar. Berdasarkan tipologinya, luasan lahan gambut itu dapat diklasifikasi ke dalam tiga kategori: (1) lahan gambut berdasarkan kondisi tutupan lahan; (2) lahan gambut berdasarkan tata ruang; dan (3) kriteria restorasi gambut.
Tabel 1. Tipologi Luas Lahan Gambut di 7 Provinsi Prioritas 12,9 JUTA HEKTAR – Total Luas Lahan Gambut di 7 Provinsi 1. Kondisi Tutupan Lahan Gambut Hutan primer
5,32 juta hektar
Hutan sekunder atau tanaman
6,10 juta hektar
Terbuka
1,54 juta hektar
2. Status Tata Ruang
3. Kriteria Restorasi Gambut
Kawasan Lindung
2,87 juta hektar
Terbakar di tahun 2015
875 ribu hektar
10,05 juta hektar*
Kawasan kubah gambut berkanal
2,8 juta hektar
*Sebanyak 3.261.909 hektar berada dalam konsesi
Kawasan kubah gambut masih belum terbuka
6,2 juta hektar
Lahan gambut budidaya dengan kanal
3,1 juta hektar
Kawasan Budidaya
9
Pemanfaatan Gambut di 7 Provinsi Prioritas
t ambu nG a h La
Hutan Primer
JUTA HEKTAR
5,32
Total Luas Lahan Gambut di 7 Provinsi
Juta Ha
Hutan 6,10 Sekunder Juta Ha Terbuka 1,54 Juta Ha
Kawasan Lindung
2,87
Terbakar di tahun 2015
875 Ribu Ha
2,8
Kawasan kubah gambut berkanal Juta Ha Kawasan kubah gambut masih belum terbuka Juta Ha Lahan gambut budidaya dengan Juta Ha kanal
6,2 3,1
estorasi G ria R a m ite bu Kr t 3.
1. Kondis i Tu tup an
12,9
Juta Ha
Kawasan 0,05 Budidaya Juta Ha* *Sebanyak 3.261.909 hektar berada dalam konsesi
2.
S ta
tus Tat a Ruan
Jika dilihat dari data di atas, hampir 50% luas gambut di 7 provinsi berada dalam bentuk tutupan tanaman, bukan hutan primer. Sedangkan luas gambut yang masih dominan dengan tutupan hutan sebesar 5,32 juta hektar (41,2% dari total luas gambut). Berdasarkan status tata ruang yang ada sekarang, sebanyak 5,7 juta hektar berada di kawasan budidaya, dimana 3.261.909 hektar atau 57%nya telah dibebani izin kehutanan dan perkebunan (IUPHHK Hutan Alam/Hak Pengusahaan Hutan, IUPHHK-Hutan Tanaman/Hutan Tanaman Industri dan Hak Guna Usaha untuk perkebunan).
10
g
Meskipun terdapat banyak ancaman, Indonesia masih mempunyai ekosistem gambut yang utuh dan harus dipertahankan. Setidaknya ada 6,2 juta hektar kawasan gambut yang belum dibuka. Areal ini terdiri dari lahan gambut yang sudah dibebani hak/izin dan lahan gambut yang masuk dalam kawasan dengan fungsi budidaya namun belum sempat dibuka. Luasnya sekitar 1.7 juta hektar. Kemudian ada pula lahan gambut yang termasuk dalam kawasan penundaan pemberian izin baru (PIPIB Rev X) yang masih utuh sebesar 2.3 juta hektar. Selebihnya yaitu 2.2 juta hektar adalah
Kondisi Pemanfaatan Gambut
lahan gambut di kawasan lindung yang masih utuh. Sebanyak 875.000 hektar lahan gambut terbakar di tahun 2015. Angka ini berasal dari lahan gambut di kawasan budidaya yang terbakar sekitar 425 ribu hektar, areal gambut terbakar di kawasan lindung seluas 226 ribu hektar dan areal PIPIB Rev X yang terbakar seluas kira-kira 225 ribu hektar. Di luar itu, ada 2,8 juta hektar kawasan kubah gambut telah dibuat kanal, serta 3,1 juta hektar lahan gambut budidaya yang bukan kubah telah dibuka dengan kanal-kanal buatan. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, berdasarkan data dan peta dari berbagai Kementerian dan
Lembaga utamanya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Pertanian, Kemterian PUPR, Bappenas, Badan Informasi dan Geospasial (BIG) dan LAPAN serta beberapa masukan dari LSM dan pihak swasta, BRG telah menyelesaikan penyusunan peta indikatif restorasi gambut. Peta itu disusun dengan mempertimbangkan empat klasifikasi. Pertama adalah areal gambut terbakar tahun 2015. Kedua adalah kubah gambut yang telah dibuka. Ketiga adalah gambut yang masih utuh/baik dan terakhir adalah areal bukan kubah yang sudah dibuka.
11
PEMERINTAH
1
PERUSAHAAN
1,4
JUTA HA
JUTA HA
LEMBAGA NON PEMERINTAH
BRG membuat Peta Indikatif Restorasi Gambut di tujuh provinsi yang menjadi wilayah kerja BRG. Seluas 2.492.527 ha KHG gambut telah ditetapkan dalam peta dengan skala 1:250.000 ini. Dalam peta ini ditemukan bahwa lokasi gambut di empat kabupaten tersebut sebanyak 77 persen di kawasan budi daya dan 23 persen di kawasan lindung dengan luas total 834.491 hektar. Dalam peta ini pula ditemukan bahwa dari 2,49 juta ha, sebanyak 1,4 juta ha di antaranya berada di area konsesi perusahaan. Sebanyak 250.000 ha lahan yang terbakar pada 2015 lalu terjadi di area konsesi perusahaan ini. Dalam area konsesi perusahaan ini
12
terdapat 1.150.000 ha kubah gambut dalam. Sebagian kubah gambut dalam ini sudah dibuka dan dalam proses pengeringan sehingga rentan terbakar di kemudian hari. Pemetaan berdasarkan kepemilikan dan tenurial ini memiliki fungsi penting dalam strategi restorasi, termasuk juga kebutuhan dananya. Dana pemerintah hanya bisa digunakan untuk merestorasi lahan gambut terdegradasi di luar konsesi perusahaan. Sebaliknya, lahan gambut kritis yang berada di wilayah konsensi perusahaan harus direstorasi oleh perusahaan tersebut dan BRG akan memberikan penugasan serta supervisi. Berdasarkan pemetaan
ini, pada tahun 2016 ditemukan 25 pemegang konsesi yang diwajibkan untuk melakukan restorasi gambut di 36 lokasi dengan total luas 650.389 ha atau 26 % total target restorasi. Masalahnya, Peta Indikatif Restorasi Gambut ini memiliki skala relatif kecil (1:250.000) sehingga dibutuhkan verifikasi untuk pemetaan yang lebih detail. Ditemui juga sejumlah kasus tumpang tindih di lapangan, terutama tumpang tindih klaim perusahaan dan ruang kelola masyarakat. Misalnya, di Pulang Pisau, Kalimantan Tengah terdapat 11.000 ha lahan pangan berkelanjutan yang tumpang tindih dengan prioritas restorasi.1 Terkait persoalan ini, BRG
berprinsip tidak akan menyusahkan masyarakat tradisional dan adat yang menggunakan gambut sebagai kehidupan. Oleh karena itu, BRG terus mengkonsultasikan peta indikatif ini kepada 32 institusi, termasuk juga dengan masyarakat dan perusahaan. Masukan-masukan kemudian dianalisis lebih detail dengan dibantu tim teknis dalam rangka menghasilkan peta yang lebih rinci dan operasional. Peta dengan skala 1:50.000 hingga 1:2.500 di areal seluas 606.000 ha di empat kabupaten prioritas itu dibuat dengan teknologi LiDAR dan diperkirakan dapat selesai bertahap di Januari, Maret dan April 2017. Pemetaan ini dilakukan secara
Tumpang tindih ini seperti dilaporkan Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP). Lihat Kompas, SABTU, 0207-2016. HAL. 14 1
13
menyeluruh, bukan strapping atau sampling. Hasil pemetaan rinci menggunakan LiDAR ini selain menjadi dasar penyusunan teknik pembasahan gambut juga akan membantu membuat zonasi ekosistem gambut menjadi zona lindung atau budidaya. Bila kawasan konsesi atau aktivitas perkebunan berada di zona lindung, pemerintah akan menyiapkan instrumen transisi agar secara berangsur pengelola konsesi mengembalikan fungsinya seperti semula. Pada tahun 2016, sebanyak tiga pemegang konsesi sudah melakukan validasi dan verifikasi hasil pemetaan yang dilakukan BRG
14
dengan luasan sekitar 90.000 ha. Validasi dan verifikasi areal konsesi ini akan dilakukan secara bertahap hingga 20 Juni 2017. Sambil menunggu verifikasi ini, BRG juga memberikan kesempatan luas kepada masyarakat untuk menyampaikan pengaduan jika ada pengeringan atau pun pembakaran terhadap area gambut. Salah satu kasus yang kemudian ditindaklanjuti adalah kasus pengeringan lahan gambut di Pulau Padang, Kepulauan Meranti, Riau. BRG kemudian melakukan sidak di lapangan dan menemukan indikasi pelanggaran yang dilakukan oleh salah satu perusahaan (buat trivia).
IV. MENYIAPKAN MASYARAKAT Badan Restorasi Gambut (BRG) berprinsip bahwa merestorasi gambut berarti juga memulihkan harkat kemanusiaan masyarakat. Pemulihan gambut juga harus meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitarnya. Oleh karena itu, BRG berupaya sedini mungkin menghindari dampak sosial yang tidak diinginkan, serta menyesuaikan dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Untuk mencapai hal tersebut, disusun kebijakan kerangka pengaman sosial (social safeguard). Di dalamnya terdapat prosedur konsultasi untuk mendapatkan persetujuan masyarakat terhadap pembangunan konstruksi dan program aksi restorasi lain. Persetujuan tersebut diperoleh setelah memberikan informasi di awal yang jelas kepada masyarakat.
Kajian yang dilakukan oleh BRG juga menemukan praktek lokal pertanian ramah lingkungan gambut yang telah dilakukan masyarakat. Misalnya, para petani di Tanjung Jabung Barat, Provinsi Jambi yang sukses membudidayakan kopi di lahan gambut seluas 2.500 ha. Di Sungai Tohor, Kepulauan Riau, masyarakat juga sukses membudidayakan dan memproduksi tanaman sagu di lahan gambut. Sedangkan di Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, masyarakat Desa Gohong sukses menanam buah naga di lahan gambut. Praktik-praktik lokal ini menunjukkan adanya peluang besar untuk
mengintegrasikan upaya konservasi dan pemulihan lahan gambut, sekaligus peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dengan menggandeng para ahli dari kampus-kampus setempat, BRG mempromosikan Pertanian Lahan Tanpa Bakar. Selain itu juga digagas model usaha lain yang lebih ramah lingkungan, misalnya pengembangan ternak di lahan gambut. Dengan prinsip tersebut di atas, BRG mulai melakukan penyiapan dan penggalangan partisipasi masyarakat desa melalui Program Desa Peduli Gambut (DPG). BRG mencatat ada kurang lebih 1.205
15
Status Perkembangan Desa-desa di Areal Indikatif Restorasi Gambut, 2016
Riau
Sumatera Selatan
Desa Sangat Tertinggal
Jambi Desa Tertinggal
Kalimantan Kalimantan Kalimantan Barat Tengah Selatan Desa Berkembang
desa yang berada di 2,49 juta hektar area restorasi. Dalam satu tahun pertama kerja, BRG mulai melakukan penyiapan masyarakat pada 105 desa yang meliputi luasan desa 806.312 ha. Kegiatan pemetaan sosial telah dilakukan di 60 desa di Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah dan 30 desa di Ogan Komering Ilir dan 14 desa di Kabupaten Musi Banyuasi, Sumatera Selatan. Selain itu dilakukan pula pelatihan-pelatihan untuk pertanian bijak adaptif di Pulang Pisau dan OKI, konsultasi pembangunan sumur bor dan sekat kanal, pelatihan pembentukan Badan Usaha Milik Desa di Pulang Pisau, serta pelatihan kerajinan purun untuk kelompok perempuan di Kalimantan Selatan (lihat Lampiran....) Program DPG adalah kerangka program untuk intervensi pembangunan pada desa-desa/ kelurahan di dalam dan sekitar Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG),
16
Papua
Desa Maju
yang menjadi target restorasi gambut. Perlu dipahami, DPG bukan program yang berdiri sendiri, tetapi mengkoordinasi dan memfasilitasi program-program pembangunan di lokasi prioritas restorasi gambut. DPG adalah kerangka penyelaras program dan kegiatan yang sudah ada di desadesa gambut dan alat ukur bersama untuk menetapkan kontribusi program pada capaian kemajuan status desadesa gambut. Pendekatan DPG adalah pembangunan desa berbasis lanskap ekosistem gambut. DPG bekerja pada kawasan-kawasan perdesaan di dalam KHG. Desa-desa yang berdekatan akan dirajut kerja samanya dalam sebuah kawasan perdesaan gambut. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga telah mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 81/2016 tentang Perhutanan Sosial yang juga akan mendukung pengelolaan wilayah gambut oleh masyarakat. Kementerian Desa, Pembangunan
Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi menyatakan bahwa dana desa dapat digunakan untuk mendukung restorasi gambut. Dana desa yang bisa digunakan untuk kegiatan restorasi gambut, misalnya untuk membangun sekat kanal, embung, sumur bor, atau juga membeli bibit tanaman. Sejumlah tanaman diketahui bisa dikembangkan di wilayah gambut, mulai dari nanas, kopi, buah naga, bahkan padi. Tahun 2016, alokasi anggaran yang disiapkan mencapai Rp 46 triliun. Alokasi itu meningkat pada 2017 menjadi Rp 60 triliun dan pada 2018 sebesar Rp 120 triliun. Masing-masing desa di area gambut diproyeksikan bisa mendapat dana Rp 1,8 triliun.2 Dengan dukungan sejumlah pihak, pembentukan DPG pada tahuntahun mendatang diharapkan bisa lebih cepat. Ditargetkan 1000-an DPG akan terbentuk selama 2016-2020, dimana 300 desa dengan dana APBN dan 200 desa dengan dukungan donor
atau lembaga swadaya masyarakat. Sebanyak 500 desa lain kerja sama dengan swasta pemegang izin. Luas areal gambut yang dikelola desa berkisar antara 1.000 hingga 1.500 hektar per desa, sehingga total akan ada 500.000 hingga 750.000 hektar areal prioritas restorasi gambut yang dikelola desa atau 30% dari total areal restorasi gambut. Pembentukan DPG ini diharapkan bisa meningkatkan Indeks Desa Membangun. Saat ini ratarata desa-desa yang diintervensi berada pada kelas sangat tertinggal dan tertinggal. Diharapkan setelah intervensi terdapat peningkatan status menjadi desa berkembang, sehingga dapat berkontribusi pada target Pemerintah mengurangi jumlah desa tertinggal sampai 5000 desa hingga tahun 2019. Dalam hal ini, kontribusi BRG diharapkan bisa mencapai 500 desa atau 10 persen. Beberapa fasilitas pemberdayaan
Kompas, 7 November 2016. Hal. 23.
2
17
ekonomi dan ketangguhan desa yang disiapkan untuk mencapai target itu di antaranya dengan pembentukan 500 BUMDES/BUMA DESA, pembentukan 100 kelompok pembudidaya ikan rawa gambut, 10 pilot proyek pembangunan pengolahan palet biomassa, hingga penyiapan ekowisata desa gambut dan 100 wirausaha sosial gambut. Dengan merevitalisasi sosialekonomi masyarakat desa di areal gambut ini, diharapkan masyarakat dapat terlibat bersama pemerintah membuat sekat kanal dengan pembasahan kembali lahan gambut sepanjang 2.163 km di tahun 2017, 3.244 km di tahun 2018, panjang yang sama akan dilakukan pada tahun 2019, dan sepanjang 2.163 km akan dibuatkan
18
sekat kanal di tahun 2020. Selain itu upaya revegetasi akan dilakukan pada tahun 2017 seluas 10.000 hektar, 2018 seluas 106.000 hektar, dan luasan yang sama dengan tahun sebelumnya masing-masing di tahun 2019 dan 2020. Metode penelitian bersama untuk menemukan best practice restorasi gambut juga akan dilakukan bersama masyarakat, pemerintah, dan perguruan tinggi dengan membuat 50 demplot restorasi masing-masing dengan jumlah yang sama di tahun 2017-2018, 30 demplot restorasi di tahun 2019, dan 22 demplot restorasi di tahun 2020.
V. MERESTORASI GAMBUT Setelah kebakaran besar yang terjadi di 2015, BRG telah menyadari bahwa mengatasi lahan gambut yang telah terbakar membutuhkan upaya dan biaya sangat besar. Jadi strategi terbaik sebenarnya adalah melakukan pencegahan kebakaran. Hal ini berarti, gambut yang telah mengalami degradasi dan dikeringkan harus dikembalikan fungsi ekologis dan hidrologisnya.
Setelah kebakaran besar yang terjadi di 2015, BRG telah menyadari bahwa mengatasi lahan gambut yang telah terbakar membutuhkan upaya dan biaya sangat besar. Jadi strategi terbaik sebenarnya adalah melakukan pencegahan kebakaran. Hal ini berarti, gambut yang telah mengalami degradasi dan dikeringkan harus dikembalikan fungsi ekologis dan hidrologisnya. Upaya untuk merestorasi gambut dalam hal ini meliputi tiga hal, yaitu pembasahan kembali, penanaman kembali, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. Prinsip ini dikenal sebagai 3P. Untuk bisa melakukan ini, dibutuhkan peta detil kawasan dengan skala operasional, yaitu minimal 1:50.000 hingga 1:2500 yang saat ini masih terus dikerjakan. Seiring dengan pemetaan yang akan menjadi dasar bagi
perlakuan pembasahan gambut, BRG mendesain perencanaan di daerah-daerah yang memiliki cukup data. Misalnya, perencanaan spesifik restorasi gambut yang akan dilakukan di Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, dengan luas 470.424 ha juga sudah diselesaikan. Finalisasi telah dilakukan pada November dan disahkan oleh Bupati Pulang Pisau pada Desember 2016. Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, yang dipilih untuk direstorasi di fase awal ini memiliki 100.000 hektar kubah gambut rusak. Lahan ini merupakan eks Proyek Lahan Gambut sejuta hektar di era Presiden Soeharto (1995). Proyek tersebut juga menyisakan berbagai kanal yang akan diperbaiki untuk menjaga lahan gambut tetap basah. Selain itu, perencanaan spesifik juga dilakukan di Kepulauan Meranti, Riau. Pertengahan April 2016,
19
“Pada tingkat tapak, BRG bersama Tim Restorasi Gambut Daerah (TRGD), sejumlah lembaga nonpemerintah, dan masyarakat telah melakukan pengelolaan dan perlindungan ekosistem gambut dengan membuat 433 sumur bor, 50 sekat kanal, dan mengembangkan alternatif ekonomi ramah gambut basah.“
akhirnya mulai dilaksanakan aksi cepat merestorasi gambut bersama masyarakat. Langkah yang telah diambil adalah dengan membangun sekat kanal bersama masyarakat di Tebing Tinggi Timur, Kepulauan Meranti, Riau, dan Kabupaten Pulang Pisau. Selain itu, pemasangan sumur bor di Desa Rimbo Panjang, Kecamatan Tambang, Kabupaten Riau, dan tiga desa di Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, berpedoman pada panduan dan POS yang sudah dibuat. Terkait dengan konstruksi restorasi, BRG tengah merampungkan panduan dan prosedur operasional standar (POS) pembangunan infrastruktur pembasahan gambut (sekat kanal/ canal blocking), pembuatan persemaian (seedling nursery), penanaman di lahan gambut, dan pemasangan sumur pipa bor (deep wells). Dengan panduan ini, para pihak yang akan melakukan konstruksi infrastruktur restorasi hidrologi gambut bisa memiliki standar operasi kerja yang sama. Pada tingkat tapak, BRG bersama Tim Restorasi Gambut Daerah (TRGD), sejumlah lembaga nonpemerintah, dan masyarakat telah melakukan pengelolaan dan perlindungan ekosistem gambut
20
dengan membuat 433 sumur bor, 50 sekat kanal, dan mengembangkan alternatif ekonomi ramah gambut basah. Sumur bor ini diharapkan bisa meningkatkan kapasitas kelompok masyarakat agar bisa memadamkan kebakaran lahan dengan cepat. Selain dibangun BRG bersama masyarakat, pembangunan sumur bor terdapat juga perusahaan yang membuat sumur bor. Dalam hal ini, BRG memberi panduan teknisnya. Hingga akhir 2016, setidaknya ada 1.600 sumur bor yang dibangun perusahaan di Kalimantan Tengah.3 Laporan sejumlah media menunjukkan bahwa sumur bor ini terbukti efektif sebagai sarana jangka pendek untuk membantu pembasahan dan pemadaman api di areal gambut. Sumur bor menjadi solusi sementara mengatasi kesulitan memperoleh sumber air saat kemarau. Di bawah gambut terdapat sumber air tanah yang besar yang bisa dipakai sebagai sumber air di saat kanal-kanal kering karena penyekatan belum optimal. Pembuatan sumur bor juga relatif murah, Rp 2,5 juta per titik dengan waktu pembuatannya 1,5 jam dengan kedalaman sekitar 20 meter. Hasilnya, sumur bor ini bisa memancarkan air 4 liter per detik. Pengalaman di Rimbo
Panjang, Kampar, Riau, menunjukkan, titik panas gambut yang belum lama terbakar bisa dipadamkan selama 1,5 jam pengguyuran. Areal terbakar pun tak membesar karena api ”hanya” merusak 20 x 20 meter persegi. Langkah itu jauh lebih efektif dibanding mengandalkan truk pemadam berkapasitas 5.000 liter. Apalagi, saat musim kemarau, truk membutuhkan sumber air seperti sungai atau kanal yang umumnya telah kering. Kebutuhan waktu mengisi tangki dan transportasi membuat kebakaran di lokasi tak bisa dikendalikan. Pompa sumur bor itu dilengkapi selang 150 meter agar fleksibel menjangkau titik panas yang muncul. Pompa ini selain bisa untuk memadamkan, juga bisa untuk membasahi gambut kalau kirakira cuaca terlalu kering dan rawan dibakar.4 Sekalipun terbukti efektif, namun pembangunan sumur bor maupun sekat kanal ini sebenarnya masih sangat kurang dibandingkan target 1.000 sumur bor dan setidaknya 600 sekat kanal mengingat pada tahun pertama ini BRG lebih banyak melakukan perencanaan dan pemetaan, selain juga persoalan teknis tentang keterlambatan realisasi anggaran. Bagaimanapun, target ini harus dipenuhi karena syarat dasar untuk memulihkan gambut adalah dengan membasahinya kembali. Untuk itu, pada tahun 2017 pembuatan sumur bor dan sekat kanal ini akan kembali dilanjutkan. Sementara itu, desa-desa yang telah mendapat pelatihan pembibitan adalah di Pulang Pisau dan Kepulauan Meranti. Sedangkan untuk persemaian dan pembuatan bank benih telah dilakukan di Pulang Pisau. Untuk demo penanaman seluas 60 ha telah dilakukan di Pulang Pisau dan Kepulauan Meranti.
Kegiatan penunjang lainnya yang didukung oleh lembaga nonpemerintah selama rencana aksi BRG di tahun 2016 adalah peningkatan kapasitas sejumlah agen-agen penting masyarakat sebanyak 40 orang dalam pelatihan pembuatan sekat kanal, dan 70 orang dalam introduksi pembuatan sumur bor di lahan gambut. Beberapa capaian BRG di tahun 2016 dalam butir 1-12 dapat dilihat pada tabel. Sebagaimana dimandatkan dalam Perpres, BRG wajib menyusun rencana dan pelaksanaan restorasi ekosistem gambut sebesar 30% dari total sekitar 2 juta hektar pada tahun 2016, yang kemudian diverifikasi oleh lembaga ini menjadi 2,4 juta ha lahan gambut terdegradasi yang harus direstorasi.5 Perlu dipahami bahwa target capaian sebesar 30% di tahun 2016 itu bukan berarti selesainya restorasi, tetapi jangkauan intervensi yang dilakukan dalam rangka restorasi. Hingga akhir 2016, dari target 600.000 ha restorasi lahan gambut untuk tahun tersebut, tercapai sekitar 260.000 ha yang dikerjakan pemerintah, UNDP, donor, dan swasta. Kondisi ini terjadi karena sejak dibentuk, BRG lebih banyak melakukan perencanaan dan pemetaan, selain juga lebih banyak mendengar masukan dan aspirasi warga, selain penganggarannya yang belum besar untuk restorasi lahan. Namun, dengan telah selesainya perencanaan dan peta indikatif, untuk tahun 2017, BRG optimis bisa memenuhi target untuk merestorasi 400.000 ha ditambah sisa target 2016 sekitar 340.000 ha lahan atau total 740.000 ha lahan restorasi di tujuh provinsi. Selain ketersediaan anggaran APBN 2017 sekitar 60 persen, perencanaan dan sistem penganggarannya saat ini juga sudah jauh lebih baik.
Pembangunan sumur bor oleh perusahaan ini bisa dilihat dalam artikel di http://www.antaranews.com/ berita/604700/langkah-awal-perjalanan-panjang-restorasi-gambut-indonesia. Diunduh pada 15 Januari 2016.. 4 Efektivitas pemadaman kebakaran lahan gambut menggunakan sumur bor ini diberitakan harian Kompas, 3 September 2016. Hal. 14. Laporan senada juga disampaikan Riau Pos pada 22 Juli 2016. 5 Sebagaimana tertera dalam Pasal 4, ayat 1, butir a Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 tentang Badan Restorasi Gambut. 3
21
Perjuangan Panjang Mengatasi Kebakaran Lahan Gambut di Rimbo Panjang Jumat, 9 Oktober 2015, Presiden Joko Widodo datang ke Desa Rimbo Panjang, Kecamatan Tambang, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. Presiden didampingi Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar, Menteri Kesehatan Nila F. Moeleok, dan sejumlah pejabat daerah. Saat itu, asap sisa kebakaran lahan gambut masih meyelimuti. Dalam kunjungan itu, Presiden memantau pembangunan sekat kanal dan embung kecil di desa itu yang diharapkan bisa mengatasi kebakaran lahan gambut yang telah menghentikan aktivitas ekonomi dan mengancam kesehatan warga. Kedatangan Presiden bersama rombongan ke desa di pinggir Kota Pekanbaru yang langganan terbakar ini menjadi salah satu titik penting yang menandai keseriusan pemerintah dalam mengatasi kebakaran hutan dan lahan. Desa Rimbo Panjang memiliki luas area 10.000 hektar dan sebagian besar merupakan lahan gambut yang telah berulangkali terbakar. Jarak Rimbo Panjang dengan Bandara Internasional Pekanabaru, Sultan Syarif Kasim II yang hanya 20 kilometer menyebabkan asap dari kebakaran lahan di desa ini berkontribusi dalam menghentikan aktivitas penerbangan di Riau. Melihat posisinya ini, upaya pencegahan kebakaran di Desa Rimbo Panjang menjadi sangat strategis. Masalahnya, upaya untuk mengatasi kebakaran di desa ini tidaklah sederhana. Kebakaran terparah di Rimbo Panjang terjadi pada tahun 2008 seiring pembukaan hutan lebat menjadi tanah kaveling dan kemudian dibeli oleh orang dari luar desa, bahkan dari provinsi lain. Sebagian pembeli itu kemudian menjadikan lahannya sebagai kebun dengan cara membakar, sebagian lagi mengubahnya menjadi perumahan, dan sisanya dibiarkan telantar. Sejak saat itu, kebakaran menjadi rutin di Rimbo Panjang. Sekretaris Desa Rimbo Panjang Heri mengatakan, lahan kaveling banyak yang tidak diurus dan dibiarkan mengering. Ini rawan kebakaran. Sebaiknya pengelolaannya diserahkan kepada warga desa agar bisa diolah menjadi kebun nanas atau palawija. Namun demikian, hingga kini masih belum ada kejelasan dalam mengatur tumpang tindih ruang dan lahan Rimbo Panjang ini. “Kalau lahan dijadikan kebun nanas atau palawija berarti kan, dirawat dan dikelola dengan baik. Sehingga bisa terhindar kebakaran jika musim kemarau tiba. Bukan itu saja lahan si pemilik kan, dijaga,” jelasnya. Desa Rimbo Panjang menjadi salah satu sasaran restorasi gambut di Riau. Begitu terbentuk kelembagaannya, BRG bergerak cepat guna memastikan Rimbo Panjang tidak kembali terbakar. Sosialiasi kerja BRG di Rimbo Panjang tidak saja menyertakan pengambil kebijakan, dalam hal ini Pemerintah Provinsi Riau dan Pemerintah Kabupaten Kampar, tetapi juga masyarakat secara langsung. BRG melatih MPA (Masyarakat Peduli Api) Rimbo Panjang yang telah terbentuk sejak 2008 untuk membangun sumur bor. Selain membuat sumur bor, MPA juga dilatih membuat sekat kanal. Kepala Pusat Pengendalian Kebakaran dan Rehabilitasi Hutan di Universitas Palangkaraya Aswin Yusuf diminta BRG melatih pembuatan sumur bor di Rimbo Panjang. Ia mengatakan, peran MPA sebelumnya tidak pernah dimaksimalkan. Padahal, mereka adalah garda terdepan dalam pencegahan kebakaran hutan dan lahan. “Sepanjang saya melakukan dampingan di Rimbo Panjang dan Pulang Pisau (Kalimantan Tengah), masyarakat justru sangat antusias dan merasa dihargai karena mereka ditempatkan sebagai aktor penting yang berjasa untuk wilayahnya,” jelas Aswin. Syahrial (43 tahun) dan Heri (38 tahun), motor penggerak MPA Rimbo Panjang, menjelaskan, keberadaan sumur bor sebenarnya sangat efektif untuk memadamkan kebakaran. Begitu ada titik api, saat itu juga bisa dilakukan tindakan membuat sumur bor. Begitu sumur bor terpasang yang dibuat dalam waktu satu jam, segera dilakukan pemadaman. Api pun bisa tercegah meluas, mengingat gambut sangat cepat daya sambarnya. Apalagi jika gambutnya memang sudah rusak dan mengering di dalam. Syahrial mencontohkan, ketika ada titik api di dekat Jalan Madura, di Rimbo Panjang, mereka langsung bergerak dan bisa memadamkannya hanya dalam waktu empat jam dengan menggunakan sumur bor. “Kebetulan sudah ada sumur bor yang kami pasang di sana. Posisinya sekitar 150 meter dari lokasi kejadian di Jalan Madura,” ujarnya. Begitu ada laporan titik api mereka bisa bergegas memadamkan api dengan menggunakan sumur bor. “Kami siram terus hingga terjadi proses pendinginan. Semuanya bisa dilakukan hanya memakan waktu empat jam saja, dan api langsung tuntas padam. Area yang terbakar hanya seluas 600 meter saja.” Jika waktu itu tidak ada sumur bor, tambah Syahrial, kemungkinan api sudah memakan lahan hingga 6 hektar dalam waktu semalam. Karena jika mengandalkan Damkar yang jaraknya jauh, api dipastikan akan meluas. Syahrial juga menuturkan kapasitas sumur bor di lokasi tersebut bisa keluar 4 liter/detik, yang artinya dalam waktu satu jam sumur bor mampu mengeluarkan air 16.000 liter /detik. Hal ini setara dengan kemampuan empat mobil Damkar yang berisi 4000-5000 liter. Pada Agustus 2016, sumur bor baru terpasang di 60 titik. Sebanyak 50 sumur bor yang terpasang merupakan bantuan dari BRG dan 10 lainnya merupakan swadaya masyarakat Desa Rimbo Panjang. Ke-60 sumur bor ini tidak menjangkau enam titik api yang baru muncul tersebut. Masih dibutuhkan banyak sumur bor lagi untuk mengatasi kebakaran di Rimbo Panjang.
22
VI. KERJA SAMA RISET DAN PENDIDIKAN Pada sisi penelitian dan pengembangan, BRG bersama masyarakat telah mengembangkan 48 demplot restorasi untuk memperoleh pengalaman pembelajaran metode restorasi gambut berbasis pengetahuan lokal masyarakat.
Dengan melibatkan perguruan tinggi, saat ini disusun model dan rencana tata usaha peternakan di lahan gambut. Sedangkan pertanian hortikultura akan dikembangkan di Pulang Pisau. Sepanjang 2016, BRG juga bekerjasama dengan 11 universitas. Sebanyak 54 mahasiswa, 43 di antaranya dari Universitas Riau, 4 dari Universitas Gadjah Mada, dan 4 mahasiswa Universitas Sebelas Maret selama 8 minggu (21 Juli – 14 September 2016) melakukan kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Kepulauan Meranti. Sedangkan 43 relawan ditempatkan di 21 desa.
23
Solusi untuk Pertanian Tanpa Membakar dan Alternatif Mata Pencaharian Prinsip penting dalam restorasi gambut adalah memulihkan gambut dengan meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Maka, seiring dikeluarkannya dengan larangan membakar hutan dan lahan, BRG berupaya keras mencari solusi budidaya dilahan gambut tanpa membakar. BRG mengumpulkan inovasi dan praktik PLTB (Pengolahan Lahan Tanpa Bakar) sebanyak mungkin. Beberapa metode PLTB kemudian dilatihkan dan diujicobakan. Beberapa dicoba juga untuk dimitrakan dengan perusahaan. Salah satu contoh praktik PLTB sukses yang telah diidentifikasi adalah yang dilakukan Kelompok Tani Bumi Mekar Wangi di Desa Gohong, Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Dengan dukunagn investor asal Bali, PT Borneo Mekar Wangi, para petani sukses memproduksi buah naga di lahan gambut bekas kebakaran tahun 1997 yang sebelumnya telah ditinggalkan. Untuk mengurangi kadar asam gambut, proses pembakaran dilakukan di luar lahan. Serasah dikumpulkan dalam drum besar dan dipanaskan sehingga menjadi abu. Abunya itulah yang kemudian ditebarkan di atas baluran tanah yang telah dibuat. Sejak dirintis tahun 2012 di lahan seluas 5 hektar, kebun buah naga itu telah menghasilkan 10 ton setiap kali panen. Mereka biasa menjual buah naga sekitar Rp 38.000 kepada hotel-hotel di Bali. Harga ini jauh lebih tinggi dari harga buah naga di pasaran. “Rasa buah naga kami khas dan berbeda dengan yang lain. Lebih berair, dagingnya lebih berserat, dan rasa asam serta manisnya pas.,” jelas Anda B Gani (46 tahun), petani. Kesuksesan produksi buah naga di Desa Gohong ini kemudian disebarkan ke desa-desa lain oleh BRG. Demikian halnya, pengetahuan petani di Desa Bungai Jaya dan Desa Lunuk Ramba, Kecamatan Basarang, Kabupaten Kapuas, Kalteng yang sukses menanam nanas madu dan aneka palawija di gambut. Mereka juga mengolah tanpa membakar, dengan metode membalik-balikkan lahan gambut serta kapur untuk memastikan menghilangkan asamnya. Masih di Pulang Pisau, tepatnya di Desa Pantik, Kalteng, inisiasi menanam padi dengan metode PLTB juga mulai diujicobakan oleh PT Sinar Pangan Indonesia. Mereka menggunakan bakteri pengurai untuk mengurangi keasaman tanah gambut, di samping memakai pupuk kandang. Perusahaan ini bekerjasama dengan petani setempat untuk masa kerja lima tahun. Kerjasama itu berupa penggunaan lahan dengan sistem bagi hasil Selain itu, BRG juga mencari riset-riset untuk menjawab persoalan petani secara tepat. Salah satunya yang dilakukan Universitas Muhammadiyah Palangkaraya (UMP) Kalteng. UMP secara konkret melakukan uji coba menanam padi rawa dan kangkung melalui demplot hidroponik apung di Desa Kalanis, Barito Timur, Kalteng. “Desa ini seringkali banjir yang menenggelamkan tanaman mereka di ladang. Kami ingin menjawab persoalan itu. Selain hidroponik apung, kami juga mulai mengembangkan kolam ikan dengan menggunakan lahan PT Hutan Alami Lestari. Ini akan baik, menghindari kebakaran, karena lahan-lahan terbengkalai dikelola,” jelas Siti Maiumunah, salah satu dekan UMP yang terjun langsung untuk proyek ini. Selain mengembangkan PLTB, BRG juga mulai mengkonkretkan uji coba revitaliasasi kehidupan masyarakat di sekitar gambut dengan mengembangkan peternakan sapi. Telah disiapkan 10 sapi jantan untuk penggemukan, 40 sapi betina untuk inseminasi buatan dan 2 sapi jantan untuk pembuahan alami. Diharapkan dalam waktu lima bulan masyarakat bisa merasakan hasilnya dengan menjual sapi yang diproyeksikan sebagai sapi penggemukan.
24
VII. MEMBANGUN KEPERCAYAAN DUNIA Badan Restorasi Gambut (BRG) dibentuk dengan ekspektasi publik yang tinggi. Pemerintahan baru diharapkan menjawab persoalan kebakaran hutan dan lahan yang telah terjadi puluhan tahun.
Badan Restorasi Gambut (BRG) dibentuk dengan ekspektasi publik yang tinggi. Pemerintahan baru diharapkan menjawab persoalan kebakaran hutan dan lahan yang telah terjadi puluhan tahun. Selama puluhan tahun, kebakaran hutan dan lahan gambut terjadi di Indonesia setiap tahunnya, bahkan menunjukkan kondisi memburuk. Sebelumnya, tidak ada upaya serius yang dilakukan untuk mengatasi akar masalah kebakaran itu, hingga terbentuknya BRG pada awal tahun 2016. Maka, selain merestorasi gambut Indonesia, BRG juga mengemban amanat untuk memulihkan kepercayaan dan harapan masyarakat, baik di tingkat nasional maupun internasional. Kepentingan masyarakat Indonesia terhadap restorasi gambut terutama adalah agar tidak terjadi
lagi kebakaran yang bisa memicu kabut asap dan berdampak buruk bagi kesehatan, sosial, ataupun ekonomi. Posisi yang sama diharapkan negara tetangga yang bisa terdampak kabut asap kiriman dari kebakaran lahan di Indonesia. Sedangkan kepentingan global terutama terkait dengan keberadaan gambut sebagai penyimpan karbon atau “pendingin netto” iklim bumi (CKPP, 2008). Kebakaran lahan gambut akan membuat fungsinya dari penyerap karbon (carbon sink), berubah menjadi pelepas karbon (carbon emitter). Ketika melepas karbon, lahan gambut menjadi kontributor besar dalam kenaikan suhu bumi (global warming). Tak bisa dielakkan, upaya merestorasi gambut artinya mengurangi emisi karbon yang sangat mempengaruhi upaya pengendalian
25
perubahan iklim. Apalagi, lahan gambut tropis di Indonesia juga menjadi ruang hidup berbagai jenis satwa langka, seperti Orang Utan, Harimau Sumatera, Badak Sumatera, hingga Buaya Senyulong. Habitat air hitam atau gambut tropis juga memiliki keanekaragaman hayati ikan dan satwa akuatik lain. Kebijakan politik sebelumnya menempatkan gambut sebagai lahan marjinal. Namun demikan, pemerintahan Joko Widodo memiliki komitmen untuk merestorasi gambut dan menunjukkannya kepada dunia. Maka, sejak awal terbentuk, BRG berupaya membangun relasi dengan lembaga-lembaga lain, baik swasta maupun pemerintah dalam skala nasional maupun global. Setahun setelah terbentuk, BRG telah berhasil menjalin Nota Kesepahaman dengan sejumlah lembaga nonpemerintah dalam mendukung restorasi gambut sepanjang tahun 2016, dan beberapa komitmen di antaranya telah terbangun secara periodikal hingga tahun 2020. Pada tahun 2016, sejumlah lembaga telah melakukan kontribusi restorasi gambut seperti Lestari (dukungan pemerintah AS) di Provinsi Kalimantan Tengah pada lingkup 440.000 hektar lahan gambut, MCAI dengan dukungan restorasi untuk lingkup 90.000 hektar lahan gambut di Provinsi Jambi, UKCCU – Kedutaan Besar Norwegia – ZSL – dan Pemda Sumatera Selatan dalam Konsorsium Kelola Sendang telah melakukan upaya restorasi di 445.000 hektar lahan gambut di Sumatera Selatan, dan terakhir Japan International Cooperation Agency (JICA) telah melakukan sejumlah
26
aktivitas riset untuk penguatan rencana restorasi gambut di sejumlah wilayah prioritas restorasi di Indonesia. Selain itu, melalui sejumlah dukungan lembaga nonpemerintah, BRG telah melakukan pemetaan dan inventarisasi kondisi lahan restorasi gambut di 4 Kawasan Hidrologis Gambut seluas 606.000 hektar, penetapan zonasi di 9 KHG. Total terhimpun kontribusi potensial sebesar EUR 6 juta dan USD 100 juta dari sejumlah lembaga nonpemerintah, Uni-Eropa dan Asean, GEF-IFAD, sejumlah negara sahabat seperti Norwegia, Jerman, Inggris, Kanada, Jepang, Korea, dan Australia. Kontribusi potensial tersebut akan mendukung realisasi 200 Desa Peduli Gambut selama tahun 20172020, memetakan 820.000 hektar lahan gambut di 80 KHG pada tahun 2017, memetakan 118 KHG di tahun 2018, dan melakukan perencanaan restorasi hingga akhir periode. Namun demikian, dengan masih terdapatnya kendala finansial untuk penyelesaian restorasi pada target restorasi seluas hampir 2,5 juta hektar tersebut, maka pengembangan kerjasama pendanaan dan teknis akan terus dilaksanakan. Tak hanya dalam rangka mendapatkan tambahan dana untuk merestorasi gambut, namun hal ini dilakukan dalam rangka membangun kepercayaan dunia. Kerja sama dari mitra pembangunan ini diharapkan juga bisa digalang dalam kaitannya dengan upaya mitigasi dampak gas rumah kaca sebagaimana telah menjadi komitmen Pemerintah dalam Pengesahan Paris Agreement.
Tabel 1. Dukungan Pendanaan melalui Kerjasama Internasional
27
VIII. PENUTUP
Sebagaimana dimandatkan dalam Perpres, BRG wajib menyusun rencana dan pelaksanaan restorasi ekosistem gambut sebesar 30% dari total sekitar 2 juta hektar pada tahun 2016, yang kemudian diverifikasi oleh lembaga ini menjadi 2,49 juta hektar lahan gambut terdegradasi yang harus direstorasi. Perlu dipahami bahwa target capaian sebesar 30% di tahun 2016 itu bukan berarti selesainya restorasi, tetapi jangkauan intervensi yang dilakukan dalam rangka restorasi. Hingga akhir 2016, dari target 600.000 hektar restorasi lahan gambut untuk tahun tersebut, tercapai sekitar 260.000 hektar yang dikerjakan pemerintah, masyarakat, donor, dan swasta. Kondisi ini terjadi karena sejak dibentuk, BRG lebih banyak melakukan perencanaan dan pemetaan, selain juga lebih banyak mendengar masukan dan aspirasi warga, selain penganggarannya yang belum besar untuk restorasi lahan. Namun, dengan telah selesainya perencanaan dan
peta indikatif, untuk tahun 2017, BRG optimis bisa memenuhi target untuk merestorasi 400.000 hektar di tujuh provinsi. Selain ketersediaan anggaran APBN 2017, perencanaan dan sistem penganggarannya saat ini juga sudah jauh lebih baik. Untuk memenuhi target restorasi, BRG memang tidak bisa bekerja sendirian. Dari total target 400.000 hektar yang harus direstorasi pada tahun 2017 ini, separuhnya berada di area konsesi perusahaan. Dalam hal ini BRG telah berkoordinasi dengan Kementerian LHK dan Kementerian Pertanian untuk merealisasikannya. Di sisi lain, dukungan dari pemerintah daerah dan juga pihak swasta untuk merestorasi gambut di wilayah konsesinya juga menjadi vital. Apalagi Presiden Joko Widodo telah menyampaikan agar semua pihak, baik kementerian, lembaga, BUMN, swasta dan pemerintah daerah terlibat dalam restorasi lahan gambut.6
Seruan Presiden Joko Widodo agar semua pihak terlibat dalam restorasi lahan gambut ini disampaikan dalam rapat terbatas tentang restorasi lahan gambut di Kantor Presiden pada Rabu, 11 Januari 2017. Lihat artikel di Kompas, Kamis, 12 Januari 2017, hal. 12. 6
29
Lampiran KEGIATAN DALAM PENYIAPAN MASYARAKAT
KEGIATAN A. PEMETAAN SOSIAL
30
DESA/KELURAHAN
KECAMATAN
KABUPATEN
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
JABIREN RAYA
PULANG PISAU
TANJUNG TARUNA TUMBANG NUSA PILANG JABIREN SAKAKAJANG SIMPUR HENDA GARUNG
1. GOHONG. 2. KALAWA, 3. MANTAREN 1 4. BUNTOI.
KAHAYAN ILIR
1. SEI BARU TEMU 2. KANAMIT 3. PURWODADI 4. WONO AGUNG 5. KANAMIT BARAT 6. KANAMIT JAYA 7. GARANTUNG 8. SIDODADI 9. GANDANG BARAT 10.BADIRIH 11.TAHAI JAYA 12.TAHAI BARU 13.MALIKU BARU 14.MALIKU MULIA 15.GANDANG
MALIKU
1. KANTAN ATAS 2. KANTAN DALAM 3. KANTAN MUARA 4. MULYA SARI 5. PANGKOH SARI 6. TALIO MUARA 7. TALIO HULU 8. TALIO 9. DANDANG 10. PANGKOH HULU 11. PANGKOH HILIR 12. SANGGANG 13. PANTIK 14. BELANTI SIAM 15. GEDABUNG
PANDIH BATU
1. PADURAN SEBANGAU 2. SEBANGAU PERMAI 3. MEKAR JAYA 4. PADURAN MULIA 5. SEBANGAU JAYA 6. SEBANGAU MULIA 7. SEI BAKAU 8. SEI HAMBAWANG
SEBANGAU KUALA
PROVINSI KALIMANTAN TENGAH
KEGIATAN
DESA/KELURAHAN
KECAMATAN
1. 2. 3. 4. 5.
BAHAUR HILIR BAHAUR TENGAH BAHAUR HULU BAHAUR BATURAYA BAHAUR HULU PERMAI 6. BAHAUR BASANTAN 7. PAPUYU I SEI PASANAN 8. PAPUYU II SEI BARUNAI 9. PAPUYU III SEU PUDAH 10. CEMANTAN
KAHAYAN KUALA
1. MENANG RAYA
PADAMARAN
1. PEDAMARAN V 2. CINTA JAYA
PADAMARAN TIMUR
1. ULAK JERMUN 2. MANGUN JAYA 3. TERUSAN MENANG 4. BELANTI 5. RENGAS PITU 6. TERATE 7. SP PADANG 8. SERDANG MENANG 9. PANTAI 10. BUNGIN TINGGI 11. PENYANDINGAN 12. BERKAT 13. SUKARAJA
SIRAH PULAU PADANG
1. ULAK KEMANG 2. SEPANG 3. KEMAN 4. KANDIS 5. ULAK DEPATI 6. JUNGKAL 7. SERDANG 8. PAMPANGAN 9. PULAU BETUNG 10. BANGSAL 11. ULAK PIANGGU 12. ULAK KEMANG BARU 13. KEMAN BARU
PAMPANGAN
1. SUNGAI BUNGIN 2. SUKA RAJA
PANGKALAN LAPAM
1. KALI BERAU 2. TAMPANG BARU 3. TELANG 4. SINDANG MARGA 5. SIMPANG BAYAT 6. MENDIS JAYA 7. MUARA MEDAK 8. MENDIS 9. SENAWAR JAYA 10.MEKAR JAYA 11. PULAI GADING 12. MANGSANG 13. MUARA MERANG 14. KEPAYANG
BAYUNG LENCIR
KABUPATEN
OGAN KOMERING ILIR
PROVINSI
SUMATERA SELATAN
MUSI BANYUASIN
31
KEGIATAN
DESA/KELURAHAN
KECAMATAN
KABUPATEN
B. PADIATAPA PEMBANGUNAN SUMUR BOR DAN SEKAT KANAL
1. TANJUNG TARUNA 2. TUMBANG NUSA 3. PILANG 4. HENDA 5. GARUNG
JABIREN RAYA
PULANG PISAU
KALIMANTAN TENGAH
1. GOHONG. 2. KALAWA, 3. MANTAREN 1 4. BUNTOI 5. MINTIN
KAHAYAN ILIR
1. PADURAN SEBANGAU
SEBANGAU KUALA
1. RIMBO PANJANG
TAMBANG
KAMPAR
RIAU
1. TANJUNG TARUNA 2. TUMBANG NUSA 3. PILANG 4. JABIRE 5. HENDA 6. GARUNG
JABIREN RAYA
PULANG PISAU
KALIMANTAN TENGAH
1. GOHONG. 2. KEL.KALAWA, 3. MANTAREN 1 4. BUNTOI. 5. MINTIN
KAHAYAN ILIR
1. ULAK JERMUN 2. MANGUN JAYA 3. TERUSAN MENANG 4. BELANTI 5. RENGAS PITU 6. TERATE 7. SP PADANG 8. SERDANG MENANG 9. PANTAI 10.BUNGIN TINGGI 11.PENYANDINGAN 12.SUKARAJA
SIRAH PULAU PADANG
OGAN KOMERING ILIR
SUMATERA SELATAN
1. ULAK KEMANG 2. KANDIS 3. ULAK DEPATI 4. JUNGKAL 5. SERDANG 6. PULAU BETUNG 7. BANGSAL 8. ULAK PIANGGU 9. KEMAN BARU 10.TAPUS
PAMPANGAN
1. 2. 3. 4.
MENANG RAYA PEDAMARAN SERINANTI SUKA DAMAI
PEDAMARAN
1. 2. 3. 4. 5. 6.
RIDING SUNGAI BUNGIN SUNGUTAN RAMBAI PERIGI AIR RUMBAI
PANGKALAN LAMPAM
C. LOKAKARYA PENYIAPAN KAWASAN PERDESAAN DAN RESTORASI BERBASIS DESA/KAWASAN
32
PROVINSI
KEGIATAN
D. PELATIHAN PERTANIAN BIJAK ADAPTIF
DESA/KELURAHAN
KECAMATAN
1. BUKIT BATU
AIR SUGIHAN
1. DESA MUARA MERANG 2. PULAI GADING 3. MEKAR JAYA 4. KEPAYANG 5. MANGSANG 6. MUARA MEDAK
BAYUNG LENCIR
1. SUKA DAMAI
PLAKAT TINGGI
1. KARANG MAKMUR 2. SUKA MAKMUR
LALAN
1. NGULAK I
LAIS
1. DANAU CALA
SANGGA DESA
1. PILANG, 2. JABIREN 3. SAKAKAJANG 4. HENDA 5. GARUNG 6. TANJUNG TARUNA 7. TUMBANG NUSA
JABIREN RAYA
1. BUNTOI 2. KELURAHAN KALAWA 3. MENTAREN 1 4. MENTAREN 2 5. GOHONG 6. MINTIN
KAHAYAN HILIR
1. GARANTUNG 2. MALIKU BARU 3. SEI TEWU BARU 4. KANAMIT
MALIKU
1. 2. 3. 4. 5.
MULYA SARI PANGKOH HILIR PANGKOH SARI PANGKOH HULU BELANTI SIAM
PANDIH BATU
1. ULAK JERMUN 2. MANGUN JAYA 3. TERUSAN MENANG 4. BELANTI 5. RENGAS PITU 6. TERATE 7. SP PADANG 8. SERDANG MENANG 9. PANTAI 10. BUNGIN TINGGI 11. PENYANDINGAN 12. BERKAT 13. SUKARAJA 14. TERUSAN LAUT
SIRAH PULAU PADANG
1. PANGKALAN LAMPAM 2. RIDING
PANGKALAN LAMPAM
KABUPATEN
PROVINSI
MUSI BANYUASIN
PULANG PISAU
KALIMANTA N TENGAH
OGAN KOMERING ILIR
SUMATERA SELATAN
33
KEGIATAN E. PELATIHAN KERAJINAN PURUN
F. PELATIHAN PEMBENTUKAN BUMDES
G. RESOLUSI KONFLIK SOSIAL
34
DESA/KELURAHAN
KECAMATAN
KABUPATEN
PROVINSI
1. PERIGI 2. PANGKALAN LAMPAM
PANGKALAN LAMPAM
OGAN KOMERING ILIR
1. TALANG NANGKA
LEMBAK
MUARA ENIM
1. KELURAHAN PALAM
CEMPAKA
BANJAR BARU
KALIMANTAN SELATAN
1. MANTERAN 1 2. BUNTOI 3. GOHONG 4. MINTIN
KAHAYAN ILIR
PULAU PISANG
KALIMANTAN TENGAH
1. PILANG 2. HENDA 3. TANJUNG TARUNA 4. GARUNG TUMBANG NUSA
JABIBEN RAYA
1. LUKIT 2. BAGAN MELIBUR
MERBAU
KEPULAUAN MERANTI
RIAU
SUMATERA SELATAN