LAPORAN SURVEI HIDROGELOGI DAERAH JEPON DAN SEKITARNYA
Tim Penyusun: Dr. Dasapta Erwin Irawan Aditya Pratama, S.T., M.T. Dimas Maulana Wibowo, S.Si.
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG 2017
1
DAFTAR ISI DAFTAR ISI
2
1. PENDAHULUAN Gundih Carbon Capture and Storage (CCS) merupakan proyek CCS pertama di Asia Tenggara. Proyek ini dilakukan untuk mengurangi emisi CO 2 di lingkungan dengan cara menginjeksikan CO2 yang sudah tidak bermanfaat dan dihasilkan dari pertambangan minyak dan gas bumi Blok Gundih, Desa Sumber, Kecamatan Kradenan, Blora, Jawa Tengah. Sumur Jepon 1 merupakan lokasi injeksi CO2 dengan target formasi adalah Formasi Ngrayong pada kedalaman 830-1100 meter di bawah permukaan, yang terususun atas litologi batupasir. 2
Sumur ini terletak di Kecamatan Jepon, Blora, Jawa Tengah. Berdasarkan pengamatan di lapangan, pada radius sekitar 1 km dari sumur Jepon 1 terdapat banyak pemukiman (Gambar 1) yang secara umum sumber air mereka berasal dari air tanah melalui sumur gali atau sumur bor. Sementara itu, injeksi CO2 pada sumur Jepon 1 dapat menyebabkan terjadinya perubahan kualitas (pencemaran) air tanah di sekitarnya apabila terjadi kebocoran. Identifikasi arah aliran dan baseline dari kondisi hidrogeologi pada daerah di sekitar sumur Jepon 1 dapat membantu dalam menganalisis ada atau tidaknya pencemaran air tanah akibat injeksi CO 2 dan memperkirakan persebaran pencemarannya. 2. METODE PENELITIAN Pengambilan data hidrogeologi dilakukan pada 15-19 Februari 2017. Data diambil pada sungai dan sumur gali milik warga. Data hidrogeologi yang diambil di lapangan berupa data elevasi muka air tanah (MAT) untuk pembuatan peta muka air tanah dan analisis pola aliran, serta data sifat fisik dan kimia air tanah berupa warna, bau, pH, temperatur, Dissolved Oxygen (DO), konduktivitas, salinitas, dan Total Dissolved Solids (TDS). Sementara itu, dilakukan pula pengukuran sifat fisik dan kimia air di laboratorium seperti yang dinyatakan pada Lampiran 1 Untuk mendukung kajian hidrogeologi, dilakukan pengamatan geologi, meliputi observasi singkapan dan dilakukan pemboran dangkal untuk mengetahui litologi pada akifer di daerah penelitian.
3
Pengambilan data sifat fisik dan kimia di lapangan dilakukan dengan menggunakan alat intelegent meter (Gambar 2) dan Lutron Digital Instrument Conductivity Meter CD-4303 (Gambar 2). Sementara itu, untuk mengukur kedalaman muka air tanah pada sumur warga
digunakan alat Solinst Water Level Meter Model 101 (Gambar 2). Pemboran dangkal dilakukan menggunakan alat AMS Hand Auger (Gambar 2). Sifat fisik dan kimia air yang tidak terukur di lapangan kemudian diukur di Laboratorium Kualitas Air, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Teknologi Bandung, melalui sampel air yang diambil di lapangan. 4
Gambar 1. Peta indeks daerah penelitian, tanda panah merah menunjukkan pemukiman (https://www.google.co.id/maps/@-6.9034495,107.6431575,12z?hl=id) Pengambilan data hidrogeologi dilakukan pada 21 sumur warga dan lima titik di sungai yang seluruhnya berada di sekeliling sumur Jepon 1 (Gambar 1). Sampel air yang diuji di laboratorium diambil dari sembilan titik yang berbeda, delapan titik di sumur warga dan satu titik di sungai. Sementara itu, pemboran dangkal dilakukan pada delapan titik dengan kedalaman antara 0,6-2 m (Gambar 1). Data elevasi MAT dan air sungai diolah untuk mengetahui pola aliran air tanah, sedangkan sifat fisik dan kimia air digunakan sebagai dasar dalam menentukan baseline kondisi hidrogeologi di daerah penelitian. Data-data tersebut kemudian ditunjang dengan data geologi yang diperoleh melalui observasi singkapan dan pengamatan data pemboran dangkal untuk memperkirakan sistem akifer. A
B
C
D
Gambar 2. A) Pengukuran kualitas air dengan intelegent meter, B) Alat AMS Hand Auger, C) Pengukuran muka air tanah dengan Solinst Water Level Meter Model 101, D) Alat Lutron Digital Instrument Conductivity Meter CD-4303 3. GEOLOGI DAN HIDROGEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1
Kondisi Geologi Daerah Penelitian
Berdasarkan peta geologi daerah penelitian, terdapat empat formasi yang berada di sekitar 5
daerah penelitian, yaitu Formasi Lidah, Formasi Mundu, Formasi Ledok, dan Formasi Wonocolo (Lampiran 2). Formasi Lidah tersusun atas litologi berupa batulempung berwarna abu-abu kehitaman dengan sisipan batupasir bermoluska, Formasi Mundu tersusun atas litologi berupa napal berwarna kelabu-kuning kecoklatan dan bersifat pasiran, Formasi Ledok terdiri dari batugamping, serta Formasi Wonocolo tersusun atas litologi batulempung dengan sisipan tipis batugamping (Datun dkk, 1996; Kadar dan Sudijono, 1993; Situmorang dkk., 1992; Pringgoprawiro dan Sukido, 1992). Setelah dilakukan pengamatan lapangan, terdapat dua singkapan dan delapan contoh soil dari pemboran dangkal yang dianalisis untuk mengetahui kondisi geologi dan sistem akifer di daerah penelitian. Kedua singkapan tersusun atas litologi berupa kalkarenit, dengan ciri-ciri sebagai berikut: 1. Si-1 (Gambar 3), berupa kalkarenit, kondisi lapuk, warna coklat kekuningan, berada 250 m arah timur dari SU 1, berada di dinding kanan sungai, ukuran butir pasir halus, membundar, kemas tertutup, pemilahan baik, porositas baik, butir terdiri dari kuarsa dan litik, matriks karbonatan. 2. Si-2 (Gambar 4), berupa napal, kondisi lapuk, warna abu-abu gelap, berada di dinding kiri dan kanan sungai (SN 3), ukuran butir pasir halus-lempung, membundarmembundar tanggung kemas tertutup, pemilahan baik, porositas baik, butir terdiri dari kuarsa, litik, cangkang moluska, matriks karbonatan. Berdasarkan peta geologi daerah penelitian (Lampiran 2), lokasi Si-1 berada di dekat batas antara Formasi Mundu dan Formasi Ledok. Diperkirakan singkapan ini termasuk pada Formasi Ledok berupa batugamping. Sementara itu, singkapan Si-2 diperkirakan termasuk pada Formasi Mundu, sesuai dengan lokasi ditemukannya, yaitu di dekat titik SN 3 (Lampiran 2). Berdasarkan pengamatan core yang diperoleh melalui pemboran dangkal, pada titik bor 1, 2, 3, 5, 6, 7, dan 8 ditemukan soil dengan ukuran bulir lempung, berwarna kelabu gelap-kuning kecoklatan dan bersifat karbonatan (Gambar 5). Sementara itu, pada titik bor 4 ditemukan soil yang diperkirakan hasil pelapukan litologi pada Formasi Lidah. Pada kedalaman 0-1,8 m ditemukan soil yang berwarna kelabu gelap, serta porositas dan permeabilitas rendah, sedangkan pada kedalaman 1,8-2 m soil berwarna kelabu terang dan karbonatan (Gambar 6). Kondisi ini sesuai dengan litologi pada Formasi Lidah sesuai penjelasan di atas.
6
Secara umum, titik-titik pengamatan di lapangan berada pada dua formasi, yaitu Formasi Mundu dan Formasi Lidah, walaupun secara setempat ditemukan singkapan dan soil hasil pelapukan formasi yang lain.
Gambar 3. Singkpan Si-1 dan hand specimen
Gambar 4. Singkpan Si-2 dan hand specimen A
B
7
Gambar 5. A) BOR 1, air tanah ditemukan pada titik yang ditandai tanda panah, B) Sebagian soil pada BOR 8
Gambar 6. Kenampakan soil pada BOR 4, perbedaan jenis litologi ditandai oleh tunjuk jari 3.2 3.2.1
Kondisi Hidrogeologi Daerah Penelitian Sistem Akuifer
Air tanah pada daerah penelitian secara umum merupakan sumber air yang digunakan secara langsung untuk keperluan pokok warga, seperti minum dan memasak. Air tanah adalah air yang berada pada zona saturasi, yaitu zona yang berisi tanah atau batuan yang porinya telah jenuh oleh air (Fetter, 2001). Sementara itu, menurut Fetter (2001), akuifer adalah batuan atau sedimen, dalam suatu formasi, kumpulan formasi, atau bagian dari formasi, yang jenuh dan cukup permeabel untuk mengalirkan air secara ekonomis menuju sumur dan mata air. Berdasarkan ciri litologi dan hasil observasi lapangan, akuifer pada daerah penelitian berjenis akuifer bebas. Akuifer bebas disebut juga sebagai akuifer muka air tanah (water table aquifer), yaitu akuifer yang tidak tertekan oleh lapisan sedimen atau batuan di atasnya dan muncul di permukaan akibat pembukaan pada zona aerasi (Poehls dan Smith, 2009). Sementara itu, sistem akuifer di daerah penelitian termasuk pada sistem akuifer batuan sedimen, artinya bahwa akuifer di daerah penelitian tersusun atas litologi berupa batuan sedimen. Kondisi ini didasarkan pada geologi daerah penelitian yang telah dijelaskan pada 8
A
B
Bagian 3.1. Muka air tanah di daerah penelitian berada pada kedalaman 1-8,2 m pada elevasi permukaan yang berbeda-beda. Sementara itu, data pemboran dangkal yang mencapai kedalaman 2 m menunjukkan bahwa dari delapan bor dangkal ditemukan soil hasil pelapukan batuan sedimen yang diperkirakan termasuk pada Formasi Lidah dan Formasi Mundu. Pada beberapa lubang bor juga ditemukan air tanah, yaitu di BOR 1 pada kedalaman 0,65 cm (Gambar 5), BOR 3 pada kedalaman 1 m, BOR 6 pada kedalaman 1 m, dan BOR 7 pada kedalaman 0,5 m. Pada kedalaman ditemukannya air tanah soil yang diperoleh dari lubang bor sangat lembek karena jenuh oleh air (Gambar 7). Sementara itu, berdasarkan peta geologi daerah penelitian, kedua formasi tersebut memiliki ketebalan 200-250 m (Datun dkk, 1996; Kadar dan Sudijono, 1993; Situmorang dkk., 1992; Pringgoprawiro dan Sukido, 1992). Ini menunjukkan bahwa air tanah yang menjadi sumber air bagi warga berada pada akifer batuan
sedimen. Gambar 7. Kenampakan soil pada titik ditemukan air tanah di BOR 6 (A) dan BOR 7 (B) Berdasarkan penjelasan di atas, diperkirakan lapisan akifer tempat terdapatnya air tanah yang dijadikan sumber air warga adalah lapisan hasil pelapukan batuan sedimen pada Formasi Lidah dan Formasi Mundu. Pada lapisan ini, batuan sedimen telah mengalami pelapukan yang kuat, sehingga hampir sepenuhnya berubah menjadi soil. Kondisi ini menyebabkan air meteorik dapat dengan mudah meresap dan tersimpan dalam lapisan tersebut. Selain itu, lapisan batuan sisa yang berada lebih dalam akan cenderung memiliki banyak rekahan akibat pelapukan, terutama pelapukan mekanik. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa pada SU 13 sampai SU 18 muka air tanah berada pada kedalaman 1-4,35 m, padahal titik pengamatan tersebut berada pada Formasi Lidah yang secara umum tersusun atas batulempung (Lampiran 2). Lapisan akifer ini berada di dekat permukaan tanpa ada lapisan penyekat di atasnya, sehingga memang benar seperti yang disebutkan di atas, bahwa akifer di daerah penelitian 9
termasuk pada akifer bebas. 3.2.2
Pola Aliran Air Tanah
Analisis pola aliran air tanah pada daerah penelitian diinterpretasi berdasarkan Peta Muka Air Tanah (Gambar 8). Peta Muka Air Tanah dibuat berdasarkan data hasil pengukuran elevasi mata air dan sumur gali di lapangan dan dikontrol oleh topografi permukaan karena jenis akuifernya berupa akuifer bebas. Fetter (2001) menjelaskan bahwa pembuatan garis ekuipotensial atau kontur muka air tanah untuk akuifer bebas merupakan refleksi dari topografi permukaan, sedangkan untuk akuifer tertekan tidak terpengaruh karena tidak terdapat hubungan hidrolik antara permukaan dengan akuifer. Penarikan garis aliran air tanah pada penelitian ini didasarkan pada beberapa asumsi, yaitu berlakunya hukum Darcy yang menyatakan bahwa air tanah selalu mengalir dari hydraulic head atau potensial tinggi ke rendah (Hubbert, 1953) serta akuifer bersifat homogen, dan isotropik. Pada kasus ini, sistem akuifernya yang berupa batuan sedimen, maka akuifer diasumsikan sebagai media berpori yang homogen dan isotropik. Berdasarkan asumsi-asumsi tersebut, ditariklah garis aliran air tanah yang selalu tegak lurus dengan garis kontur muka air tanah atau garis ekuipotensial (Gambar 8) yang menunjukan arah pergerakan air tanah (Fetter, 2001).
Gambar 8. Penarikan garis aliran (flow line) pada kondisi: A) isotropik, dan B) anisotropik (Fetter, 2001) Penentuan pola aliran airtanah berdasarkan pemetaan hidrogeologi dengan melakukan pengukuran muka airtanah pada sumur warga sekitar dan data tambahan berupa air sungai. Muka airtanah yang digambarkan merupakan pola aliran untuk akuifer dangkal, karena hampir semua pengukuran muka airtanah dilakukan pada akuifer dangkal, pada kedalaman 110
8,2 m dari permukaan tanah. Sebaran muka airtanah pada daerah penelitian dapat digambarkan pada peta kontur MAT (Gambar 9). Berdasarkan peta kontur elevasi muka airtanah pada daerah penelitian dapat disketahui bahwa arah aliran airtanah pada daerah penelitian secara umum adalah dari Timurlaut ke Baratdaya tegak lurus dari kontur elevasi muka airtanah (Gambar 9). Pengontrol utama untuk aliran airtanah pada daerah penelitian sangat dipengaruhi oleh bentukan dan elevasi dari topografi karena sistem yang bekerja pada akuifer dangkal di daerah penelitian adalah akuifer bebas. Elevasi daerah di timur daerah penelitian lebih tinggi dibandingkan dengan daerah di sebelah baratnya (Gambar 9). Kondisi ini akan sangat berbahaya apabila terjadi kebocoran CO2 dan mencemari air tanah, karena di barat daerah penelitian cukup banyak terdapat pemukiman yang sebagian besar sumber airnya dari air tanah (Gambar 1).
Gambar 9. Peta pola aliran air tanah 3.3
Sifat Fisik dan Kimia Air Tanah
Beberapa sifat fisik dan kimia air yang diperoleh di lapangan serta laboratorium kemudian diolah menjadi peta persebaran nilainya. Sementara itu, sifat fisik dan kimia lainnya dibandingkan dengan referensi, seperti KEP MENKES No. 492 Tahun 2010 tentang air 11
minum, untuk mengetahui apakah air tersebut layak untuk dikonsumsi atau tidak. Sifat fisika dan kimia yang dianalisis pada bagian ini berfokus pada TDS, pH, dan bikarbonat. Menurut Poehls dan Smith (2009), Total Dissolved Solids (TDS) merupakan kandungan material padat yang terlarut dalam air baik terionisasi ataupun tidak, sedangkan pH merupakan nilai logaritma negatif dari aktifitas ion hidrogen. Nilai pH dikelompokkan menjadi tiga, yaitu pH asam (pH<7), netral (pH=7), dan basa (pH>7). Menurut Chambers dan Holliday (1975), sifat asam dan basa suatu komponen kimia juga dapat ditentukan berdasarkan kemampuannya sebagai pemberi proton (bersifat asam) ataupun penerima proton (bersifat basa). 3.3.1
Reaksi Pelarutan Batugamping
Pelarutan batugamping oleh air tanah merupakan reaksi geokimia yang terjadi pada batugamping di daerah penelitian. Fetter (2001) menyatakan pelarutan dapat terjadi akibat adanya reaksi antara air meteorik dan karbondioksida (CO2) di atmosfer, sehingga menghasilkan asam lemah berupa asam karbonat (H 2CO3). Air hujan yang turun dan terinfiltrasi masuk ke dalam akuifer batugamping akan menyebabkan reaksi pelarutan tersebut. Selain itu, karbon dioksida yang terkandung dalam tanah hasil pelapukan akibat pembusukan oleh tanaman juga dapat mereaksikan air tanah yang awalnya netral menjadi bersifat lebih asam (Fetter, 2001). Reaksi pelarutan batugamping dengan air yang telah bereaksi dengan karbon dioksida terangkum dalam reaksi I berikut:
CaCO3 + H2O + CO2 ↔ Ca2+ + 2HCO3- ……..(I) Reaksi pelarutan di atas menghasilkan ion kalsium (Ca 2+) dan bikarbonat (HCO3-). Hal tersebut mengakibatkan ion hasil pelarutan akan terakumulasi konsentrasinya dan mempertinggi nilai TDS serta bikarbonat, sehingga nilai TDS dan bikarbonat dalam air akan tinggi. Kondisi ini sesuai dengan hasil pengukuran yang diperoleh. Gambar 10 menunjukkan persebaran nilai TDS di daerah penelitian. Nilai TDS di daerah penelitian berada pada kisaran 20–91 mg/L, sedangkan nilai kandungan bikarbonat adalah 275-673 mg/L. Nilai TDS di utara daerah penelitian cukup tingggi, karena akuifer pada daerah tersebut adalah lapisan hasil pelapukan napal yang mengandung karbonat tinggi. Sementara itu, nilai TDS yang tinggi di barat daerah penelitian kemungkinan disebabkan karena banyaknya akumulasi material padat, mengingat daerah tersebut adalah daerah hilir.
12
Berdasarkan pengukuran sifat fisik airtanah pada daerah penelitian dapat diketahui bahwa pH pada daerah penelitian memiliki pH yang relatif basa dengan nilai pH 8.1–9.6 dengan karateristik nilai pH dari hulu ke hilir (timur ke barat) memiliki kecenderungan menurun (Gambar 11). Hal tersebut disebabkan oleh kehadiran ion bikarbonat sebagai hasil dari reaksi pelarutan batugamping. Walaupun bersifat amfoter, yaitu ion yang mampu berperan sebagai asam maupun basa, sifat basa pada ion bikarbonat lebih kuat, terutama pada daerah yang mengalami reaksi pelarutan batugamping. Sifat amfoter pada ion bikarbonat dijelaskan dalam reaksi II berikut:
H2CO3 ↔ H+ + HCO3- ↔ 2H+ + CO32- ……..(II) Reaksi II tersebut menunjukkan bahwa ion bikarbonat dapat berfungsi sebagai pemberi ataupun penerima proton. Sifat ion bikarbonat yang lebih basa dijelaskan dalam reaksi III berikut:
H2O + HCO3- → H2CO3 + OH- ……..(III) Reaksi III tersebut menunjukkan reaksi antara ion bikarbonat dengan air tanah yang mengalir ke daerah dengan litologi batupgamping ataupun air sisa reaksi pelarutan sebelumnya. Berdasarkan
reaksi
tersebut,
ion
bikarbonat
menunjukkan
sifat
basa
karena
kecenderungannya untuk menerima proton. Hasil reaksi tersebut akan menghasilkan ion hidroksil (OH-) yang membuat kesetimbangan nilai pH menjadi lebih tinggi. Selain itu, hasil reaksi lainnya berupa asam karbonat akan berperan dalam reaksi pelarutan batugamping selanjutnya. 3.3.2
Kualitas Air Tanah
Fetter (2001) membuat klasifikasi air berdasarkan TDS (Tabel 1) berdasarkan jumlah total padatan (dalam mg/L) yang tersisa ketika air mengalami evaporasi hingga mengering. Kisaran nilai TDS pada daerah penelitian adalah 20–91 mg/L, sehingga tergolong sebagai air segar dan masih sangat erat kaitannya dengan air meteorik atau air permukaan. diperkirakan bahwa air tanah di daerah penelitian merupakan air meteorik yang tidak terlalu lama berada dibawah permukaan (airtanah dangkal). Tabel 1. Klasifikasi air berasarkan TDS (Fetter, 2001) Golongan
TDS (mg/L)
Air Segar (Fresh)
0 – 1000 13
Air Payau (Brackish)
1000 – 10.000
Air Garam (Saline)
10.000 – 100.000
Air Asin (Brine)
> 100.000
Analisis kelayakan konsumsi air tanah ditentukan berdasarkan PER MENKES No.492 Tahun 2010. Menurut regulasi tersebut, air layak konsumsi harus berada pada nilai pH antara 6,5– 8,5 dan TDS di bawah 500 mg/L. Nilai TDS pada daerah penelitian sudah memenuhi kriteria karena menunjukkan nilai TDS di bawah 500 mg/L pada setiap titik pengukuran (Lampiran 3). Kisaran nilai pH pada daerah penelitian adalah 8.1–9.6. Berdasarkan analisis persebaran nilai pHnya, daerah yang air tanahnya layak konsumsi berada di bagian barat daerah penelitian (Gambar 11). Sementara itu, parameter bau, rasa, dan temperatur pada seluruh titik pengamatan di sumur warga termasuk pada klasifikasi layak konsumsi berdasarkan PER MENKES No. 492 Tahun 2010 (Lampiran 3). Temperatur air pada derah penelitian memiliki suhu yang normal dengan nilai berkisar 26.9-28.3o C. Seluruh sampel tidak memiliki bau dan tidak berasa. Sementara itu, berdasarkan pengujian laboratorium air yang diambil dari 9 lokasi berbeda, yaitu SU 1, SU 3, SU 3', SU 6, SU 10, SU 11, SU 15, SU 17, dan SN 3, secara umum nilai dari parameter yang diuji berada di bawah ambang batas berdasarkan PER MENKES No.492 Tahun 2010 (Lampiran 1). Namun untuk nilai coliform pada masing-masing sampel berada diatas ambang batas. Tingginya nilai coliform dapat dipengaruhi oleh limbah rumah tangga. Satu penyebabnya adalah meresapnya air sungai yang tercemar limbah rumah tangga ke dalam tanah, kemudian mencemari air tanah. Hal ini juga yang dapat menyebabkan nilai DO di daerah penelitian relatif rendah (Gambar 12). Hanya di bagian timur laut daerah penelitian yang memiliki DO relatif tinggi (>10 ppm). Sementara itu, kandungan CO2 total dalam air di daerah penelitian berada pada kisaran 0,855,98 mg/L, dengan rata-rata 3,08 mg/L, sedangkan CO2 agresif seluruh titik adalah nol. Kandungan CO2 dapat berasal dari dari udara dan dekomposisi zat organik. Tingginya kandungan CO2 dalam air akan menyebabkan terjadinya korosi pada pipa-pipa logam dan mengakibatkan efek toksikologis. Sementara itu, kandungan CO2 dalam air tanah di daerah penelitian berpotensi mengalami kenaikan apabila terjadi kebocoran CO2 tepat pada lapisan akuifer saat injeksi CO2 dilakukan. 14
Gambar 10. Peta persebaran nilai TDS
15
Gambar 11. Peta persebaran nilai pH
Gambar 12. Peta persebaran nilai DO 16
4. KESIMPULAN Berdasarkan interpretasi dan diskusi yang dijelaskan pada bagian sebelumnya, diperoleh kesimpulan sebagai berikut: ● Daerah penelitian tersusun atas empat formasi, yaitu Formasi Lidah, Formasi Mundu, Formasi Ledok, dan Formasi Wonocolo. Akuifer di daerah penelitian adalah lapisan hasil pelapukan batuan sedimen yang termasuk pada Formasi Lidah dan Formasi Mundu. Akuifer tersebut termasuk pada akuifer dangkal dengan jenis akuifer bebas, dengan kedalaman muka air tanah antara 1-8,2 m. ● Arah aliran airtanah adalah dari Timurlaut ke Baratdaya dengan kontrol utamanya adalah kondisi morfologi dan topografi di daerah penelitian. ● Airtanah di daerah penelitian berasal dari air meteorik, sehingga masih digolongkan pada air fresh water. ● Kondisi akuifer yang berupa hasil lapukan batuan sedimen karbonat dan/atau karbonatan, menyebabkan kandungan TDS dan bikarbonat dalam air tanah tinggi. ● Secara umum, nilai parameter sifat fisik dan kimia air di daerah penelitian berada di bawah ambang batas. Namun, terdapat beberapa parameter yang nilainya berada di atas ambang batas, seperti nilai pH di sebagian lokasi, nilai coliform, dan nilai DO (terutama di bagian barat daerah penelitian). ● Kandungan CO2 dalam air di daerah penelitian berada pada kisaran 0,85-5,98 mg/L, dengan rata-rata 3,08 mg/L, sedangkan CO2 agresif seluruh titik adalah nol. 5. DAFTAR PUSTAKA Datun, M., Sukandarrumidi, Hermanto, B., dan Suwarna, N. (1996): Peta Geologi Lembar Ngawi, Jawa, Direktorat Vulkanologi, Bandung. Fetter, C.W. (2001): Applied Hydrogeology, Fourth Edition, Pearson Prentice Hall, New Jersey, 1-100. Google. Map [Internet]. Google Maps Homepage [diunduh pada 19 Mei 2017]. Tersedia dari: https://www.google.co.id/maps/. Hubbert, M. K. (1953): Entrapment of Petroleum under Hydrodynamic Conditions. Bulletin of The American Association of Petroleum Geologists No.8, 37, 1954-2026. Kadar, D. dan Sudijono. (1993): Peta Geologi Lembar Rembang, Jawa Timur, Direktorat 17
Vulkanologi, Bandung. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2010): Peraturan Menteri Kesehatan RI No.492/MENKES/PER/IV/2010 tentang Persyaratan Kualitas Air Minum, Jakarta. Poehls, D.J., dan Smiths, G.J. (2009): Encyclopedic Dictionary of Hydrogeology, Elsevier, Inc., Burlington, MA, 1-100. Pringgoprawiro, H. dan Sukido. (1992): Peta Geologi Lembar Bojonegoro, Jawa, Direktorat Vulkanologi, Bandung. Situmorang, R. L., Smit, R., dan Vessem, E. J. V. (1992): Peta Geologi Lembar Jatirogo, Jawa, Direktorat Vulkanologi, Bandung.
18
Stasiun
SU 1
SU 3
SU 3’
SU 6
SU 10
SU 11
Daya hantar listrik (uS/cm)
586
847
635
870
1401
798
Air raksa (Hg) (ppb)
0,09
0,09
<0,09
0,09
<0,09
0,18
Arsen (mg/L)
0,0022
0,0004
0,0004
0,0011
0,0005
0,0004
Besi (mg/L)
<0,01
<0,01
<0,01
0,045
0,7017
0,098
Fluorida (mg/L)
0,290
0,360
0,360
0,246
1
0,318
Kadmium (mg/L)
<0,001
<0,001
<0,001
<0,001
<0,001
<0,001
Kesadahan (mg/L)
286
290
290
340
412
256
Klorida (mg/L)
17,1
59,9
18,1
65,7
178
27,6
Kromium Hexavalen (mg/L)
<0,001
<0,001
<0,001
<0,001
<0,001
<0,001
Mangan (mg/L)
<0,20
<0,20
<0,02
0,153
<0,20
<0,02
Nitrat (mg/L)
6,77
12,7
1,69
1,11
4,38
1,33
Nitrit (mg/L)
0,041
0,024
<0,004
<0,004
0,013
<0,004
CO2 Total (mg/L)
3,41
2,56
5,98
1,28
5,12
2,56
CO2 Agresif (mg/L)
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
Bikarbonat (mg/L)
346
365
365
382
673
508
Karbonat (mg/L)
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
Selenium (mg/L)
<0,001
<0,001
<0,001
<0,001
<0,001
<0,001
Seng (mg/L)
0,016
0,006
0,030
<0,001
0,049
0,010
Timbal (mg/L)
<0,001
<0,001
<0,001
<0,001
<0,001
<0,001
Zat Organik (mg/L)
2,86
6,62
5,72
6,02
41,5
5,7
MBAS (mg/L)
0,019
0,106
0,011
0,07
0,074
<0,01
Fenol (mg/L)
0,013
0,019
0,018
0,018
0,018
0,014
Total Coliform (100/ml)
14
93
43
≤ 2400
93
4
Fecal Coliform (100/ml)
14
9
43
93
93
4
Parameter
LAMPIRAN 1. Data Hasil Pengujian Laboratorium Air
19
LAMPIRAN 2. Peta Geologi Daerah Jepon dan Sekitarnya
SN 6
SN 4
SN 3
20
LAMPIRAN 3. Data Sifat Fisik dan Kimia Air Hasil Pengukuran di Lapangan
21
N1 N2 N3
Koordinat x y 558782 9228372 557244 9227261 558241 9226047
Jernih Agak keruh Agak keruh
N4 N5 U1 U2 U3 U 3' U4 U5 U6 U7 U8 U9 U 10 U 11 U 12 U 13 U 14 U 15 U 16 U 17 U 18 U 19 U 20
559014 560151 558785 559307 558962 558962 558114 557324 556769 556240 555522 555087 554718 557808 557609 557240 556923 556515 556071 556015 555476 555172 554912
Jernih Jernih Jernih Jernih Jernih Jernih Jernih Jernih Jernih Jernih Jernih Jernih Jernih Kekuningan Jernih Jernih Jernih Jernih Jernih Jernih Jernih Jernih Jernih
Stasiun
9226933 9227053 9228384 9228039 9228136 9228136 9228582 9228537 9228377 9228292 9228407 9228593 9228729 9225324 9225411 9225370 9225443 9225639 9225977 9226516 9227274 9227809 9228219
Warna
Bau
TDS (ppm)
Cd (uS)
Salinitas
DO (ppm)
Temp (C)
Tidak berbau Tidak berbau Tidak berbau
26.8 49,3 68,1
40.6 74,4 94,5
0.01 0,01 0,01
35.7 3,8 5,2
27.8 26,1 27,9
8.8 5,6 8,4
Tidak berbau Tidak berbau Tidak berbau Tidak berbau Tidak berbau Tidak berbau Tidak berbau Tidak berbau Tidak berbau Tidak berbau Tidak berbau Tidak berbau Tidak berbau Tidak berbau Tidak berbau Tidak berbau Tidak berbau Tidak berbau Tidak berbau Tidak berbau Tidak berbau Tidak berbau Tidak berbau
52,5 61,8 41.5 52 72.4 82.4 65.5 61.9 60.6 80 62.3 73.4 61.4 55.2 63.4 77.8 68.2 70.6 78.5 84.4 86.8 58.9 84.3
76,7 94,5 57.6 71.1 121.6 122.4 107.7 95 83 119.1 126.5 114.2 88.2 86.2 92.3 120.2 97.2 107.3 118.4 114.5 131.8 89.5 128.5
0,01 0,01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.02 0.01 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01
4,2 3,5 20.3 24.2 22.9 19.2 17.8 6.9 15.5 9.8 7.3 4.3 7.8 2.4 2 1.3 2.3 3.3 3.4 1.4 5.8 2.7 5.3
27,9 27,9 27.8 27.7 28.5 29.3 27.9 28.8 27.9 28.2 27.9 28.1 27.9 27.9 28 27.4 28.3 26.9 28.7 26.8 27.9 27.9 27.9
8,5 8,6 9.2 9.0 8.8 8.8 8.6 8. 8. 8.5 8.9 8.5 8.3 8.1 8.3 8.8 8.6 8. 8. 8. 8. 8. 8.
22
pH