LAPORAN PROGRAM IPTEKS BAGI MASYARAKAT (IbM)
IbM PETERNAK LELE
Oleh :
Dr. Muhtadi, M.Si NIDN 06-0909-6902 Peni Indrayudha, M.Biotech, Apt NIDN : 00-2907-7801
dibiayai oleh: Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI, sesuai dengan Surat Perjanjian Pelaksanaan Penugasan Program Pengabdian kepada Masyarakat No: 144/SP2H/KPM/DIT.LITABMAS/V/2013, Tanggal 13 Mei 2013
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA DESEMBER 2013
RINGKASAN
Kegiatan IbM telah dilakukan meliputi aktifitas pembimbingan, pendampingan dan pelatihan bagi mitra, untuk membantu menyelesaikan persoalan mahalnya pakan pellet buatan pabrik di Kelompok Budidaya Lele Dumbo di Dukuh Jantir desa Sindon dan desa Gumukrejo, Kab. Boyolali. Pada kegiatan IbM ini juga dilakukan pengenalan dan pemanfaatan teknologi fermentasi dan probiotik serta introduksi teknologi mesin pellet ikan dan mesin mixer pakan untuk memproduksi pakan pellet mandiri bagi kelompok peternak lele. Pada pelaksanaan kegiatan pengabdian IbM ini, telah memberikan pengaruh yang cukup signifikan terhadap penurunan biaya operasional budidaya lele, khususnya dalam biaya pakan. Harga pakan pellet ikan buatan pabrik selama ini mencapai harga Rp. 9.500,- per-kilogramnya, dengan pemanfaatan teknologi fermentasi dan introduksi mesin pellet yang digunakan, telah mampu menurunkan harga pakan pellet menjadi Rp. 6.500,-/kg. Teknologi fermentasi dan probiotik yang diaplikasikan, juga mampu menurunkan tingkat kematian bibit (benih lele) yang ditebar. Selama ini dengan teknik budidaya konvensional, angka kematian benih mencapai 10-20%, dengan teknik fermentasi dan probiotik, angka kematian menjadi lebih kecil hanya mencapai <5%. Indikator perkembangan ini membuktikan bahwa introduksi mesin produksi, pemanfaatan teknologi fermentasi dan probiotik yang telah diberikan oleh Tim Pelaksana IbM, telah membantu menyelesaikan sebagian permasalahan peternak lele, yakni menurunkan biaya pakan pellet dan angka kematian lele. Akan tetapi, hingga akhir pelaksanaan IbM masih ditemui adanya kendala yaitu pakan pellet yang telah dibuat masih ‘tenggelam’, sehingga sebagian peternak yang fanatik dengan penggunaan pakan pellet apung menjadi kurang ‘yakin’ atau menerima dengan baik. Hal lain yang juga masih menjadi kendala adalah kondisi cuaca atau iklim yang ekstrim, menyebabkan nafsu makan lele sangat berkurang, tingkat kematian pada usia muda setelah penebaran benih masih cukup tinggi.
Kata kunci : Peternak lele, teknologi fermentasi, mesin pellet ikan, kotoran sapi
BAB 1. PENDAHULUAN
A. Analisis Situasi Menurut data Biro Pusat Statistik dan lnformasi, tingkat konsumsi ikan, termasuk lele di Indonesia semakin meningkat. Pada tahun 2004, konsumsi lele hanya terhitung 22,58 kg per kapita per tahun.Tiga tahun kemudian, yaitu pada tahun 2007, meningkat menjadi 28,28 kg per kapita per tahun. Sementara itu, pada 2008 naik menjadi 29,98 kg per kapita per tahun. Sementara itu, pada tahun 2009, ditargetkan masyarakat Indonesia bisa mengonsumsi 32 kg lele per kapita per tahun. Seiring dengan peningkatan populasi penduduk dunia, kebutuhan masyarakat terhadap protein hewani dari ikan semakin meningkat. Sayangnya, sejak tahun 1990-an, produksi perikanan tangkap (hasil laut) mengalami penurunan. Hal ini terus berlanjut hingga sekarang sebagai akibat dari kerusakan lingkungan laut dan penangkapan ikan ilegal secara besar-besaran. Satu-satunya harapan untuk tetap dapat memenuhi kebutuhan konsumsi ikan dunia, yaitu dengan usaha budi daya ikan. Lele sebagai salah satu produk ikan hasil budi daya tampaknya akan tetap menempati urutan teratas dalam jumlah produksi yang dihasilkan. Selama ini lele menyumbang 10 % lebih produksi perikanan budidaya nasional dengan tingkat pertumbuhan mencapai 17 – 18 %. Selain itu lele diharapkan menjadi pendongkrak produksi perikanan budidaya dengan target mencapai 38%. Lele sekarang telah menjadi salah satu ikan primadona dimana-mana, image ikan lele dari makanan rakyat berubah menjadi makanan modern. Tingkat konsumsi masyarakat akan lele meningkat terus dari waktu ke waktu. Apalagi setelah pemerintah – melalui Balai Besar Ikan Air Tawar Sukabumi – menghasilkan varietas baru : Lele Sangkuriang. Lele jenis ini terbukti bisa menghasilkan lele yang rendah lemak, gurih dan enak. Berbagai teknis budidaya lele juga telah dikembangkan untuk mendapatkan hasil panen yang memuaskan. Salah satu teknik budidaya yang unggul adalah teknik budidaya lele organik. Teknik budidaya lele organik memiliki banyak keunggulan, yaitu panen dalam jangka waktu yang relatif singkat (2 bulan), hasil produksi tinggi, tahan terhadap penyakit. Selain itu, tehnik ini caranya praktis dan teknik pemeliharaannya cukup sederhana. Namun, sebagian besar peternak lele konvensional masih belum tahu tentang teknik budidaya lele organik ini. Permasalahan-permasalahan
yang sering dihadapi oleh peternak lele konvensional adalah harga pakan atau pellet ikan yang mahal, sifat kanibal dari lele yang tinggi sehingga mengurangi jumlah populasi, beberapa penyakit ikan lele juga seringkali menyerang, seperti cacar, infeksi karena parasit dan jamur, dll. Permasalahan-permasalahan tersebut menyebabkan biaya produksi yang sangat tinggi, sehingga banyak peternak mengalami kerugian. Pelaksanaan IbM peternak lele ini, diharapkan dapat memecahkan permasalahanpermasalahan tersebut, terutama
ketergantungan pada pakan pellet pabrik yang
harganya relative mahal, penyediaan pakan organik yang diramu dengan memanfaatkan bahan-bahan local yang mudah didapat, serta menekan biaya produksi lele organik hingga seharga Rp 6.000,-/kg sehingga diperoleh margin keuntungan yang lebih besar.
B. Permasalahan Mitra Berdasarkan hasil survey dan pendekatan sebelumnya terhadap mitra, maka permasalahan yang dihadapi adalah sebagai berikut : 1. Ketergantungan peternak lele konvensional terhadap pakan pellet pabrik secara umum masih sangat tinggi, sehingga dengan makin mahalnya harga pakan pellet pabrik membuat hasil pendapatan peternak semakin terkurangi bahkan hingga merugi. 2. Belum dipahami dan dikuasainya ketrampilan pembuatan pakan lele organik yang bersumber dari bahan-bahan yang melimpah di sekitarnya, seperti kotoran sapi, ayam, puyuh, dll yang dapat diramu dengan bahan organik lainnya menjadi pakan lele organik yang cukup berkualitas. 3. Teknologi budidaya lele organik belum dipahami dan dikuasai oleh mitra IbM peternak lele, sehingga perlu disosialisasikan dan dikembangkan bersama-sama.
C. Solusi yang ditawarkan Berdasarkan uraian dari permasalahan-permasalahan yang dihadapi mitra IbM, maka pelaksanaan kegiatan IbM akan diarahkan untuk pemecahan masalah tersebut, meliputi : Untuk membantu memecahkan masalah pertama dan kedua, yaitu tingginya ketergantungan pada pakan pellet pabrik dan belum dipahami dan dikuasainya pembuatan pakan lele organik, maka akan diberikan pengetahuan dan ketrampilan kepada mitra IbM tentang pembuatan pakan organik yang bersumber dari bahan yang
melimpah di sekitar peternak lele, seperti kotoran sapi, ayam, puyuh, dll yang dapat diramu dengan bahan organik lainnya menjadi pakan lele organik yang bernilai gizi. Untuk membantu memecahkan masalah yang ketiga, maka mitra IbM akan dibimbing dan dilatih bagaimana cara beternak lele organik yang benar. Pengelolaan lele organik, dimulai melakukan fermentasi terhadap kotoran sapi (ayam, puyuh, dll yang banyak tersedia di sekitar mitra), pemilihan dan penebaran bibit, pengobatan penyakit pada lele dengan menggunakan bahan tumbuhan obat, serta pemberian pakan kombinasi antara pakan organik dengan pakan pellet pabrik, sehingga menurunkan biaya produksi menjadi maksimal sebesar Rp. 6.000,- per-kg. Teknologi budidaya lele organik ini telah dipraktekan dan memberikan hasil yang memuaskan, bersama Klinik Agri Salatiga dalam melakukan pembinaan dan pemberdayaan masyarakat di daerah Salatiga, Kudus, dan Sragen. Sedangkan teknologi pembuatan pakan lele yang berasal kotoran sapi ini, telah dipraktekan dan dikembangkan oleh Koperasi Agromakmur Karanganyar.
BAB 2. TARGET DAN LUARAN
Setelah mendapatkan bimbingan, pelatihan dan pendampingan oleh Tim Pelaksana dengan melibatkan peran serta dari pakar dan tenaga ahli di bidang budidaya lele untuk kegiatan IbM peternak lele ini, maka diharapkan: 1. Masalah ketergantungan terhadap pakan pellet pabrik semakin menurun, sehingga dapat menurunkan juga biaya produksi (pemeliharaan) ikan lele hingga mencapai harga Rp 6.500,- per-kg. Jika harga panen di kolam oleh pedagang dibeli dengan harga rata-rata sebesar Rp 9.500,-/kg, maka peternak akan mendapatkan selisih (keuntungan) Rp. 3.000,-/kg jika jumlah kematian lele tidak signifikan. 2. Teknik budidaya lele organik
dengan memanfaatkan probiotik yang
diperkenalkan, dilatihkan dan dikembangkan, diharapkan memiliki banyak keunggulan, yaitu jangka waktu panen relatif singkat, hanya memerlukan waktu ± 2 bulan, hasil produksi tinggi karena tingkat kanibal jauh lebih rendah, lebih tahan terhadap penyakit karena kualitas pakan, air dan lingkungan lebih terjaga dalam kondisi organik. 3. Pembuatan pellet ikan dari kotoran sapi yang difermentasi, diharapkan dapat menekan biaya produksi pellet ikan lele, karena sebagian besar bahan bersumber dari bahan yang melimpah di sekitar peternak seperti kotoran sapi. Diperkirakan biaya produksi pellet ikan dari kotoran sapi hanya Rp 3.000,-/kg dibandingkan harga pellet ikan pabrik sebesar Rp. 9.500,-/kg. Tentu masih diperlukan kombinasi dengan pakan pellet dari pabrik untuk melengkapi dan mencukupi kebutuhan nutrisi pada ikan lele. Akan tetapi, jumlah pellet pabrik akan sangat jauh berkurang pemakaiannya, jika diterapkan teknologi budidaya dan pakan organik ini.
BAB 3. METODE PELAKSANAAN
Dalam melaksanakan kegiatan pengabdian IbM ini, tim pelaksana membagi kegiatan dalam pembimbingan dan pendampingan terhadap kelompok peternak budidaya lele menjadi beberapa tahapan, yaitu : 1. Tahap I Pengenalan dan pelatihan teknologi fermentasi untuk pengembangan usaha budidaya lele organik
kepada kelompok peternak lele
di Desa Sindon dan
Gumukrejo Kab. Boyolali, agar mendapatkan wawasan dan pemahaman yang baik tentang keuntungan budidaya lele organik berbasis
pemanfaatan teknologi
fermentasi. 2. Tahap II Pendampingan penerapan teknologi fermentasi dalam bubidaya lele organik, dimulai dari penyiapan kolam hingga proses penebaran bibit lele. 3. Tahap III Pelatihan teknik pembuatan pakan pellet ikan lele dari kotoran sapi, untuk membantu peternak dalam penyediaan pakan alternative yang memiliki nilai gizi yang cukup tinggi, dengan biaya produksi yang rendah.
Pada tahap ini para
peternak juga diperkenalkan penggunaan teknologi pembuatan pakan pellet, berupa mesin pengering, mesin mixer pakan, dan mesin pencetak pellet ikan. Pengenalan teknologi-teknologi tersebut pada mitra kelompok peternak lele ditargetkan bahwa mitra dapat memiliki ketrampilan menggunakan alat – alat baru yang dikenalkan untuk memproduksi pakan pellet ikan sendiri untuk keperluan anggota kelompok dan kelompok peternak ikan lele yang lain. 4. Tahap IV Pemberian modal kerja berupa alat teknologi proses produksi yang sudah well proven, dalam hal ini teknologi proses produksi yang dikenalkan dan dilatihkan kepada mitra kelompok peternak ikan lele di Kab. Boyolali adalah (1) mesin pencetak pellet ikan lele, dan, (2) Mesin mixer ramuan pakan lele.
5. Tahap V Penerapan pakan pellet ikan produksi sendiri/kelompok, untuk menurunkan ketergantungan terhadap pellet ikan dari pabrik yang harganya relatif mahal, sehingga dapat menekan biaya produksi/pemeliharaan ikan lele. 6. Tahap VI Evaluasi dan monitoring untuk melakukan perbaikan dan modifikasi dari penerapan teknologi fermentasi dan pembuatan pakan pellet ikan dari kotoran sapi, agar diperoleh hasil yang lebih optimum. Tingkat pendapatan para peternak lele menjadi indikator utama dalam penerapan teknologi fermentasi dan penggunaan pakan pellet ikan.
BAB 4. KELAYAKAN PERGURUAN TINGGI
Universitas Muhammadiyah Surakarta merupakan salah satu Perguruan Tinggi Swasta yang telah meraih prestasi dan masuk dalam 50 PTN/PTS terbaik di Indonesia (50 promising Indonesia universities). Dilaporkan UMS berada pada posisi peringkat ke 35-an dari total jumlah PTN/PTS (lebih dari 3000 PT) yang ada di Indonesia. Dalam bidang Penelitian, UMS masuk dalam kategori Utama dalam program Desentralisasi Penelitian Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. UMS juga memiliki lebih dari 50 Doktor dengan berbagai keahlian dan pengalaman penelitian, dan telah berhasil memperoleh dana Hibah-hibah Penelitian DP2M DIKTI, baik HB, PF, Hibah pekerti, Hibah Pasca dan juga Insentif Ristek, yang tiap tahunnya tidak kurang dari 50 judul telah didanai. LPPM UMS juga memiliki pengalaman dan keahlian dalam pendampingan usaha kecil atau UMKM melalui program IbW, IbK, Iptekda LIPI dan programprogram kemitraan yang didanai oleh dana internal UMS, sebagai perwujudan dari dharma pengabdian kepada masyarakat untuk turut andil dalam pemecahan masalah bangsa, khususnya pemberdayaan masyarakat. Tim Pelaksana telah memiliki pengalaman dalam program IbM Pengelolaan Sampah, dan dalam beberapa bulan memiliki perhatian yang lebih terhadap persoalan peternak lele konvensional. Ketrampilan pengolahan pakan lele organik sebelumnya telah diterapkan pada pembesaran lele, dan memberikan hasil yang cukup menggembirakan. Untuk membantu para peternak lele untuk mengatasi persoalan pakan dan pembibitan, Tim pelaksana akan berkoordinasi dengan Klinik Agri Salatiga yang telah berpengalaman dalam budidaya lele organik dengan memanfaatkan kotoran sapi sebagai bahan pakan lele yang dibudidayakan. Untuk membantu meningkatkan kualitas protein dari pakan lele, tim pelaksana akan meminta masukan dan saran dari pakar gizi dari Prodi Ilmu Gizi Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta.
BAB 5. HASIL YANG DICAPAI
Dari dua permasalahan utama yang dihadapi oleh mitra peternak lele, yaitu persoalan ketergantungan terhadap pakan pellet dari pabrik dengan harga yang relative tinggi serta belum diketahuinya teknik budidaya lele organik, melalui kegiatan IbM ini telah diperoleh hasil : 1. Peternak lele telah diajari teknik fermentasi kotoran sapi untuk menjadi bahan pakan lele. 2. Telah diperkenalkan teknologi mesin pellet dan mesin mixer, untuk memproduksi pakan pellet ikan lele secara mandiri dari ramuan pakan pellet yang diolah sendiri. 3. Pemanfaatan probiotik untuk budidaya lele, juga telah diperkenalkan untuk membantu
percepatan
pertumbuhan
lele,
sehingga
memperpendek
waktu
pemeliharaan. 4. Harga pakan pellet ikan yang telah diproduksi oleh peternak lele dan dipasarkan kepada anggota kelompok dapat ditekan menjadi Rp 6.500/kg jauh dibawah harga pakan pabrik yang mencapai Rp. 9.500/kg.
Kendala yang masih dihadapi 1. Pellet ikan yang telah diproduksi masih ‘tenggelam’ dan kualitas proteinnya belum sebaik pakan pellet dari pabrik, sehingga sebagian peternak lele masih belum ‘yakin’ dan kurang menerima pellet buatan kelompok. Sebagian peternak karena ‘bujukan’ tengkulak pakan, kembali menggunakan pakan pellet dari pabrik dengan alasan lebih mudah (tidak merepotkan), mengapung, kadar protein cukup tinggi, terbukti dapat memperbesar lele yang dipelihara. 2. Kondisi iklim yang kurang kondusif (ekstrim) sangat berpengaruh dalam budidaya lele, yaitu munculnya kasus tingkat kematian lele yang cukup tinggi, khususnya pada usia muda dan pertumbuhan lele menjadi lebih lambat, karena nafsu makan lele menjadi sangat berkurang akibat perubahan cuaca yang ekstrim.
BAB 6. RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA
Pengenalan teknologi fermentasi, probiotik dan teknologi produksi pakan pellet lele secara umum telah memberikan manfaat bagi kelompok peternak lele. Yang masih menjadi persoalan adalah ; 1) Para peternak belum dapat menerima sepenuhnya pellet ikan ‘tenggelam’ sehingga tingkat penerimaan peternak terhadap pakan pellet hasil produksi sendiri untuk budidaya lele belum tinggi. Disamping itu masalah, ketersediaan bahan tambahan pakan, seperti bekatul, tepung ikan dan tepung kedelai masih terbatas dan harganya juga fluktuatif. 2) Masalah faktor
eksternal, seperti cuaca yang ekstrim, gangguan penyakit, dan
kualitas bibit lele yang masih menggantung dari peternak bibit lele masih belum baik.
Oleh karena itu, untuk mendampingi mitra pada tahap selanjutnya akan dilakukan usaha-usaha sebagai berikut : 6.1 Terhadap Mitra Peternak Lele Dukuh Jantir Desa Sindon Sebagian besar peternak masih perlu didampingi dan dibimbing , dalam hal : 1. Mendampingi mitra untuk mengoptimalkan pemanfaatan dan produksi teknologi/mesin yang telah diintroduksikan (mesin pellet dan mesin mixer) agar memiliki kemandirian dalam menghasilkan pakan lele berbasis bahan-bahan lokal yang tersedia. 2. Penggunaan pakan pellet yang dihasilkan oleh kelompok, dengan dikombinasi atau dicampur dengan pakan pellet dari pabrik yang mengapung, untuk menjaga kualitas pakan dan pertumbuhan bibit lele. 3. Memanfaatkan mesin produksi untuk mendukung pengembangan usaha lain, seperti peternakan ayam, kambing atau sapi. Yaitu dengan memproduksi pakan formula mandiri/kelompok dengan menggunakan mesin produksi yang telah ada.
6.2 Terhadap Mitra Peternak Lele Gumukrejo Secara umum, peternak lele di Gumukrejo lebih besar dan lebih tahan terhadap ‘gangguan ekonomi’, namun terhadap mitra ini masih diperlukan usaha : 1. Ditingkatkan kesadaran dan keyakinan untuk memanfaatkan pakan pellet produksi dari kelompok, karena sebagian besar masih tergantung dan lebih yakin dengan supply pakan dari tengkulak. 2. Agar memiliki ketahanan dan keuntungan usaha yang lebih besar, pendampingan akan diiarahkan untuk mengembangkan diversifikasi produk, yaitu budidaya benih lele, produksi olahan lele (seperti abon lele, dawet lele, fillet lele dll)
BAB 7. KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan Melalui kegiatan IbM terhadap peternak lele di dukuh Jantir dan desa Gumukrejo Boyolali telah diperoleh hasil : 1.
Pengetahuan dan ketrampilan produksi pakan pellet ikan secara mandiri, telah mampu menurunkan biaya produksi atau
pengadaan pakan lele yang cukup
signifikan, dari harga Rp. 9.500/kg menjadi Rp. 6.500,-. Namun karena pakan pellet yang dihasilkan masih bersifat ‘tenggelam’, sebagian peternak belum yakin dan belum menerima sepenuhnya untuk digunakan dalam budidaya lele. 2. Teknologi pakan fermentasi dan pemanfaatan probiotik telah diperkenalkan kepada para peternak, dan telah memberikan bukti percepatan pertumbuhan bibit lele yang dipelihara. 3.
Budidaya lele sangat bergantung dengan faktor lingkungan, cuaca atau iklim, penyakit, dan kualitas bibit. Gangguan oleh cuaca yang ekstrim, penyakit dan kualitas bibit masih menjadi masalah mitra.
7.2 Saran 1.
Perlu pendampingan oleh ahli dari Dinas Perikanan untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan para peternak tentang pengaruh perubahan cuaca yang ekstrim, penyakit dan penanggulangannya, serta konsistensi pemilihan bibit lele.
2. Perlu dikembangkan formula pakan yang benar-benar berbasis bahan-bahan pakan lokal yang banyak tersedia di sekitar para peternak.
DAFTAR PUSTAKA
BOER, I. Pemanfaatan fermentasi limbah sagu dan tahu sebagai pakan ikan jambal siam Pangasius hypothalmus). Pekanbaru : UNRI, 2000: 38 p. HAETAMI, K. Pengaruh pakan buatan dengan berbagai kandungan bungkil biji jarak terfermentasi terhadap laju pertumbuhan ikan gurami (Osphronemus goramy Lac.). Jurnal Agrikultura. v. 14(3), 2003: p. 171-175. MUNASIK DAN SUSANTI, E., Kajian metode pembuatan silase limbah ikan sebagai pakan ternak Jurnal Peternakan Tropik. v. 3(1), 2003: p. 17-20. OSFAR S., SURISDIARTO, AULANI'AM, ANNA R. KOMPIANG, IP. Efek probiotik Bacillus spp dan A. niger sebagai imbuhan pakan terhadap penampilan produksi ayam petelur/Osfar S.;. Jurnal Ilmu-ilmu Hayati. v.17(1), 2005: p. 8493. PAMUNGKAS, W., ANWAR;Z.I., TAHAPARI, E. Pengaruh pakan buatan, ikan dan udang rucah terhadap perkembangan gonad serta pertumbuhan ikan betutu (Oxyeleotris marmorata Bleeker) Dalam : Prosiding Semi-loka Aplikasi Teknologi Pakan dan Peranannya bagi Perkembangan Usaha Perikanan Budidaya. Jakarta : Pusat Riset Perikanan Budidaya, 2003: p. 61-65. RACHMAWATI, F.N., SUSILO, U., HARYADI, B., Penggunaan EM4 dalam pakan buatan untuk meningkatkan keefisienan pakan dan pertumbuhan ikan nila gift (Oreochromis sp) Jurnal Agroland. v. 13(3), 2006: p. 270-274.
LAMPIRAN
: FOTO KEGIATAN IbM PETERNAK LELE
Foto mesin pellet yang diintroduksi kepada kelompok peternak lele
Foto mesin mixer ramuan pakan ikan yang telah diintroduksikan
Pertemuan anggota kelompok peternak lele Dumbo desa Sindon
Foto kolam pembesaran lele milik peternak lele di desa Sindon
Foto kolam‐kolam pembesaran kelompok peternak lele desa Gumukrejo Teras Kab. Boyolali
Foto pendampingan mitra peternak lele di desa Gumukrejo Teras Kab. Boyolali
Foto pellet ikan hasil olahan dari kotoran sapi yang telah difermentasi
Foto pellet ikan ‘apung’ yang digunakan untuk bahan pencampur
ARTIKEL PUBLIKASI IPTEKS BAGI MASYARAKAT (IbM)
IbM PETERNAK LELE
Oleh :
Dr. Muhtadi, M.Si NIDN 06-0909-6902 Peni Indrayudha, M.Biotech, Apt NIDN : 00-2907-7801
dibiayai oleh: Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI, sesuai dengan Surat Perjanjian Pelaksanaan Penugasan Program Pengabdian kepada Masyarakat No: 144/SP2H/KPM/DIT.LITABMAS/V/2013, Tanggal 13 Mei 2013
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA DESEMBER 2013
PEMANFAATAN TEKNOLOGI FERMENTASI DAN PRODUKSI PELLET IKAN SECARA MANDIRI DARI KOTORAN SAPI UNTUK PENGEMBANGAN USAHA BUDIDAYA LELE DI KABUPATEN BOYOLALI Muhtadi* dan Peni Indrayudha
Fakultas Farmasi, Universitas Muhammadiyah Surakarta Jl. A. Yani Pabelan Kartasura Surakarta 57102; Email :
[email protected]
ABSTRACT
IbM activities has been conducted in the form of mentoring activities, training for partners, and helping resolve the problem of the high cost of feed pellets manufactured in Kelompok Budidaya Lele Dumbo Dukuh Jantir Sindon and Gumukrejo village. At IbM 's activities are also carried out the introduction and utilization of fermentation and probiotics technology, and introduction of fish pellet and mixer machine for theirselves producing feed pellet for catfish farmers group. Benefits and results obtained from IbM 's activities is the utilization and introduction of pellet machine that is used to reduce the price of feed pellets to Rp. 6,500 , -/kg from the previous price of R . 9,500.-/kg . Fermentation and probiotics technology were applied , also able to reduce the mortality seed (seed of catfis ) were stocked . So far, the conventional cultivation techniques, seed mortality reaches 10-20 %, with probiotics and fermentation techniques , the mortality rate was only 5 % . However , it is still encountered the problem that is feed pellets that have been made are still ' drowning ' , so some farmers are fanatical with the use of floating feed pellets become less confident and interested. Another thing that is also still an issue is weather or climatic extremly conditions, causing catfish greatly reduced appetite, growth becomes disrupted, the body resistance and declining death rates in adulthood is still quite high.
Kegiatan IbM telah dilakukan dalam bentuk kegiatan pembimbingan, pendampingan dan pelatihan bagi mitra, untuk membantu menyelesaikan persoalan mahalnya pakan pellet buatan pabrik di Kelompok Budidaya Lele Dumbo di Dukuh Jantir desa Sindon dan desa Gumukrejo. Pada kegiatan IbM ini juga dilakukan pengenalan dan pemanfaatan teknologi fermentasi dan probiotik serta introduksi teknologi mesin pellet ikan dan mesin mixer untuk memproduksi pakan pellet mandiri bagi kelompok peternak lele. Manfaat dan hasil yang diperoleh dari kegiatan IbM ini adalah dengan pemanfaatan dan introduksi mesin pellet yang digunakan mampu menurunkan harga pakan pellet menjadi Rp. 6.500,-/kg dari harga sebelumnya Rp. 9.500.-/kg. Teknologi fermentasi dan probiotik yang diaplikasikan, juga mampu menurunkan tingkat kematian bibit (benih lele) yang ditebar. Selama ini dengan teknik budidaya konvensional, angka kematian benih mencapai 10-20%, dengan teknik fermentasi dan probiotik, angka kematian hanya mencapai 5%. Akan tetapi, hingga saat ini masih ditemui adanya kendala yaitu pakan pellet yang telah dibuat masih ‘tenggelam’, sehingga sebagian peternak yang fanatik dengan penggunaan pakan pellet apung menjadi kurang yakin dan tertarik. Hal lain yang juga masih menjadi kendala adalah kondisi cuaca atau iklim yang ekstrim, menyebabkan nafsu makan lele sangat berkurang, pertumbuhannya menjadi terganggu, daya tahan tubuhnya semakin menurun dan tingkat kematian pada usia dewasa masih cukup tinggi. Keyword : catfish farmers, fermentation technology, fish pellet machine, cow manure.
PENDAHULUAN Analisis Situasi Menurut data Biro Pusat Statistik dan lnformasi, tingkat konsumsi ikan, termasuk lele di Indonesia semakin meningkat. Pada tahun 2004, konsumsi lele hanya terhitung 22,58 kg per kapita per tahun. Tiga tahun kemudian, yaitu pada tahun 2007, meningkat menjadi 28,28 kg per kapita per tahun. Sementara itu, pada 2008 naik menjadi 29,98 kg per kapita per tahun. Sementara itu, pada tahun 2009, ditargetkan masyarakat Indonesia bisa mengonsumsi 32 kg lele per kapita per tahun (PPUK BI, 2010). Seiring dengan peningkatan populasi penduduk dunia, kebutuhan masyarakat terhadap protein hewani dari ikan semakin meningkat. Sayangnya, sejak tahun 1990-an, produksi perikanan tangkap (hasil laut) mengalami penurunan. Hal ini terus berlanjut hingga sekarang sebagai akibat dari kerusakan lingkungan laut dan penangkapan ikan ilegal secara besarbesaran. Satu-satunya harapan untuk tetap dapat memenuhi kebutuhan konsumsi ikan dunia, yaitu dengan usaha budi daya ikan. Lele sebagai salah satu produk ikan hasil budi daya tampaknya akan tetap menempati urutan teratas dalam jumlah produksi yang dihasilkan. Selama ini lele menyumbang 10 % lebih produksi perikanan budidaya nasional dengan tingkat pertumbuhan mencapai 17 – 18 %. Selain itu lele diharapkan menjadi pendongkrak produksi perikanan budidaya dengan target mencapai 38% (DKP Jawa Tengah, 2009). Lele sekarang telah menjadi salah satu ikan primadona dimana-mana, image ikan lele dari makanan rakyat berubah menjadi makanan modern. Tingkat konsumsi masyarakat akan lele meningkat terus dari waktu ke waktu. Apalagi setelah pemerintah – melalui Balai Besar Ikan Air Tawar Sukabumi – menghasilkan varietas baru : Lele Sangkuriang. Lele jenis ini terbukti bisa menghasilkan lele yang rendah lemak, gurih dan enak. Berbagai teknis budidaya lele juga telah dikembangkan untuk mendapatkan hasil panen yang memuaskan. Salah satu teknik budidaya yang unggul adalah teknik budidaya lele organik. Teknik budidaya lele organik memiliki banyak keunggulan, yaitu panen dalam jangka waktu yang relatif singkat (2 bulan), hasil produksi tinggi, tahan terhadap penyakit. Selain itu, tehnik ini caranya praktis dan teknik pemeliharaannya cukup sederhana. Namun, sebagian besar peternak lele konvensional masih belum tahu tentang teknik budidaya lele organik ini. Permasalahan-permasalahan yang sering dihadapi oleh peternak lele konvensional adalah harga pakan atau pellet ikan yang mahal, sifat kanibal dari lele yang tinggi sehingga mengurangi jumlah populasi, beberapa penyakit ikan lele juga seringkali menyerang, seperti cacar, infeksi karena parasit dan jamur, dll. Permasalahan-permasalahan tersebut menyebabkan biaya produksi yang sangat tinggi, sehingga banyak peternak mengalami kerugian. Pelaksanaan IbM peternak lele ini, diharapkan dapat memecahkan permasalahan-permasalahan tersebut, terutama ketergantungan pada pakan pellet pabrik yang harganya relative mahal, penyediaan pakan organik yang diramu dengan memanfaatkan bahan-bahan local yang mudah didapat, serta menekan biaya produksi lele organik hingga seharga Rp 6.000,-/kg sehingga diperoleh margin keuntungan yang lebih besar. Perumusan Masalah Berdasarkan hasil survey dan pendekatan sebelumnya terhadap mitra, maka permasalahan yang dihadapi adalah sebagai berikut :
1. Ketergantungan peternak lele konvensional terhadap pakan pellet pabrik secara umum masih sangat tinggi, sehingga dengan makin mahalnya harga pakan pellet pabrik membuat hasil pendapatan peternak semakin terkurangi bahkan hingga merugi. 2. Belum dipahami dan dikuasainya ketrampilan pembuatan pakan lele organik yang bersumber dari bahan-bahan yang melimpah di sekitarnya, seperti kotoran sapi, ayam, puyuh, dll yang dapat diramu dengan bahan organik lainnya menjadi pakan lele organik yang cukup berkualitas. 3. Teknologi budidaya lele organik belum dipahami dan dikuasai oleh mitra IbM peternak lele, sehingga perlu disosialisasikan dan dikembangkan bersama-sama. Tinjauan Pustaka Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengungkapkan, tingkat konsumsi ikan dalam negeri selalu naik, meski tidak terlalu besar. Berdasarkan data dari KKP, tingkat konsumsi ikan pada 2010 sampai 2012 rata-rata naik hingga 5,44 persen. Di mana, pada 2010 tingkat konsumsi ikan mencapai 30,48 kilogram (kg) per kapita per tahun, pada 2011 sebanyak 32,25 kg per kapita per tahun. "Sedangkan pada 2012, tingkat konsumsi ikan mencapai 33,89 kg per kapita per tahun. Tingkat konsumsi ikan belum merata setiap daerah, sehingga perlu terus memasyarakatkan Gemarikan (gerakan makan ikan)," katanya saat mengunjungi Tim Media Sindo di MNC Tower, Jakarta, Selasa, 26 Maret 2013. Sementara, tahun ini KKP menargetkan tingkat konsumsi ikan mencapai 35,14 kg per kapita per tahun. Untuk mencapai target tersebut, kementeriannya akan rajin berkampanye agar masyarakat gemar mengonsumsi ikan. Selain itu, KKP juga fokus pada industrialisasi kelautan dan perikanan dengan pendekatan ekonomi biru (blue economy). Menteri Kelautan dan Perikanan berharap, Indonesia tidak lagi impor ikan (Izzudin, 2013). Dari sisi produksi, pada tahun 2011 produksi perikanan nasional mencapai 12,39 juta ton. Dari jumlah itu, produksi perikanan tangkap sebanyak 5,41 juta ton dan produksi perikanan budidaya 6,98 juta ton. Dari total produksi perikanan budidaya, jumlah budidaya ikan dalam kolam air tawar menyumbangkan angka hingga 1,1 juta ton. Sisanya adalah budidaya tambak air payau, budidaya di laut, budidaya dalam keramba dan budidaya jarring apung. Kenaikan produksi budidaya ikan dalam kolam air tawar pun cukup pesat yaitu berkisar 11% setiap tahunnya. Hal ini menujukkan adanya semangat yang tinggi di masyarakat untuk mengembangkan usaha budidaya ikan air tawar. Tentunya pertumbuhan produksi ini mengacu pada permintaan pasar yang terus meningkat. Produksi budidaya ikan air tawar dalam kolam didominasi oleh ikan mas, lele, patin, nila dan gurame. Lima jenis ikan tersebut menyumbang lebih dari 80 persen dari total produksi. Secara umum komersialisasi budidaya ikan air tawar dibagi dua segmen, yaitu pembibitan dan pembesaran. Budidaya pembibitan bertujuan untuk menghasilkan bibit bagi para peternak ikan. Sedangkan budidaya pembesaran bertujuan untuk menghasilkan ikan siap konsumsi (Alam tani, 2013, diakses dari http://www.alamtani.com/ikan-air-tawar.html). Provinsi Jawa Tengah memiliki sub sektor perikanan yang meliputi kegiatan usaha perikanan laut dan perikanan darat. Perikanan darat terdiri dari usaha budidaya (tambak, sawah, kolam, karamba) dan perairan umum (waduk, sungai, telaga dan rawa). Selama beberapa tahun terakhir produksi perikanan Jawa Tengah telah menunjukkan adanya peningkatan. Pada tahun 2008 produksi yang dihasilkan dari kegiatan perikanan di Jawa Tengah mencapai 321 ribu ton dengan nilai 2.335,5 milyar rupiah. Bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya, produksi ikan meningkat 13,09% dan nilai produksinya meningkat 6,59%. Produksi perikanan di Jawa Tengah masih didominasi oleh perikanan laut sebesar 176,84 ribu ton (sekitar 55 persen dari total produksi perikanan) dengan nilai sebesar 885,4 milyar rupiah. Pada tahun 2008, produksi usaha budidaya perikanan dan perikanan di perairan umum mengalami peningkatan. Produksi usaha budidaya perikanan dan perikanan di perairan umum tercatat masing-masing sebesar 126,46 ribu ton dan 17,54 ribu ton dengan nilai produksi mencapai 1.324,6 milyar dan 125,51
milyar rupiah (DKP Jawa Tengah, 2009). Departemen Kelautan dan Perikanan telah menargetkan peningkatan produksi perikanan budidaya sebesar 353% selama 5 tahun kedepan dan hal ini berarti untuk wilayah Jawa Tengah diharapkan dapat meningkatkan produksi perikanan budidayanya sebesar 35,25% per tahun. Target ini tentunya harus dipandang sebagai sebuah langkah positif dalam upaya untuk memacu produktifitas perikanan budidaya di Jawa Tengah. Selain sebagai upaya untuk memenuhi tingkat konsumsi ikan yang cenderung meningkat dan mendukung visi Departemen Kelautan Perikanan (DKP), peningkatan produktifitas ini diharapkan juga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui usaha budidaya ikan dan menyerap tenaga kerja sebagai salah satu upaya mengurangi pengangguran. Rencana yang ideal dalam pengembangan perikanan dan budidaya ikan air tawar tersebut masih menghadapi kendala berupa masalah penanganan penyakit, masalah harga pakan pellet pabrik yang tinggi, cara pemasaran yang masih bergantung pada para tengkulak, serta perubahan cuaca yang ekstrim yang sangat berpengaruh terhadap tingkat produktifitas peternak. Tulisan ini untuk membantu peternak dalam memanfaatkan teknologi fermentasi untuk membuat pakan pellet ikan secara mandiri dan aplikasi teknologi tepat guna untuk memproduksinya. Fermentasi merupakan suatu proses atau langkah yang melibatkan jasa mikrobia untuk mengubah suatu bahan baku menjadi produk dengan nilai tambah, khususnya nilai protein dan nutrisinya (Trisnajaya dan Subroto, 1996). Menurut Ganjar (1995), fermentasi adalah suatu proses penguraian substrat oleh aktivitas enzim mikrobia. Proses ini dapat berlangsung secara aerob maupun anaerob tergantung mikroba yang digunakan. Suliantari dan Rahayu (1990) menyatakan bahwa pada fermentasi akan terjadi beberapa proses yang menguntungkan yaitu mengawetkan, merusak atau menghilangkan bau yang tidak diinginkan, meningkatkan daya cerna dan menambah flavor. Prinsip fermentasi adalah mengaktifkan kegiatan mikroba tertentu dengan tujuan mengubah sifat bahan agar dihasilkan sesuatu yang bermanfaat. Selain itu pada proses fermentasi juga terjadi pemecahan komponen yang komplek menjadi zat - zat yang lebih sederhana, serta pemecahan bahan - bahan yang tidak dapat dicerna seperti selulosa, hemiselulosa menjadi gula sederhana sehingga mudah dicerna oleh ternak (Widayati dan Widyalestari, 1996). Menurut Nurhajati dkk (1996) yang dikutip oleh Susanti (2006), kelompok mikrobia yang mempunyai peranan penting dalam proses fermentasi adalah ragi (khamir), jamur (kapang), bakteri dan beberapa spesies Actinomycetes. Faktor - faktor yang perlu diperhatikan dalam proses fermentasi antara lain air, suhu, pH, fermentator, susunan bahan dasarnya dan adanya zat yang bersifat pendukung (Rahayu dan Soedarmaji, 1989). Kandungan air pada bahan merupakan faktor yang sangat berpengaruh pada proses fermentasi. Kandungan air yang optimal pada bahan dalam keadaan segar berkisar antara 60% - 70% atau 65% (Iksan, 2002). Umumnya mikroba mati pada suhu tinggi, sehingga pada proses fermentasi suhunya dijaga jangan sampai terlalu tinggi. Suhu tinggi dapat merusak enzim yang dihasilkan mikroba, namun pada suhu rendah aktivitas mikroba terhambat (Gardjito, 1992). Judoamidjoyo (1990) menyatakan hal yang paling penting dalam proses fermentasi adalah bahan baku dan bahan pembantu yang disebut substrat atau medium yang fungsinya selain sebagai bahan pembentuk sel dan produk metabolisme juga sebagai sumber energi. Berbagai penelitian telah dilakukan dari bahan kotoran sapi, hal ini disebabkan potensi yang luar biasa dari kotoran tersebut. Limbah yang kadang disebut sebagai “emas hitam” ini telah banyak dikaji dan diterapkan untuk dijadikan sebagai bahan bakar melalui biogas, diproses menjadi pupuk kandang yang kaya akan nutrisi untuk tanaman. Suprio Guntoro (2011), salah satu peneliti dari Kementerian Pertanian yang berasal dari BPTP Bali, mengintroduksikan olahan kotoran sapi sebagai pakan ternak. Usaha tani ini merupakan usaha untuk mengintegrasikan antara ternak sapi dengan itik dan lele. Bali merupakan salah satu provinsi yang volume ternak sapinya cukup besar,sekitar 637.000 ekor pada tahun 2011. Bali juga dapat mensupplai kebutuhan daging sapi ke luar pulau. Namun disisi lain, Bali masih kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pakan bagi lele dan itik, karena harga pakan yang relatif tinggi karena harus didatangkan dari Jawa, sehingga usaha tersebut kurang optimal. Oleh karena itu, usaha ini dirasa cocok untuk diperkenalkan, selain dapat meningkatkan nilai
ekonomi kotoran sapi, juga dapat memacu petani untuk terus memelihara sapi. Jenis limbah (kotoran) sapi yang digunakan adalah kotoran sapi induk (pembibitan), sehingga dari aspek gizi, kualitasnya kurang baik, dibanding sapi yang digemukkan (fattening). Jika pada kotoran sapi induk kandungan proteinnya hanya sekitar 5-6 %, sementara pada sapi penggemukkan bisa mencapai 7-10 %, bahkan pada sapi perah, kandungan protein faecesnya bisa diatas 10 %. Hal ini disebabkan karena pada sapi potong indukan umumnya hanya diberikan pakan yang kualitasnya rendah (tanpa konsentrat), hanya sekedar untukmaintenance. Penggunaan kotoran sapi terfermentasi hingga level tertentu tidak berpengaruh negatif terhadap pertumbahan bobot itik sampai umur 8 minggu dan mendekati pertumbuhan normal. Sedangkan penggunaan kotoran sapi terfermentasi pada lele, bahkan hingga hampir setengah bagiannya tidak berpengaruh negatif hingga lele berumur 30 hari (BPTP Bali, 2011). Tujuan dan Manfaat Setelah mendapatkan bimbingan, pelatihan dan pendampingan oleh Tim Pelaksana dengan melibatkan peran serta dari pakar dan tenaga ahli di bidang budidaya lele untuk kegiatan IbM peternak lele ini, maka diharapkan mitra mendapatkan manfaat berupa: 1. Masalah ketergantungan terhadap pakan pellet pabrik semakin menurun, sehingga dapat menurunkan juga biaya produksi (pemeliharaan) ikan lele hingga mencapai harga Rp 6.500,- per-kg. Jika harga panen di kolam oleh pedagang dibeli dengan harga rata-rata sebesar Rp 9.500,-/kg, maka peternak akan mendapatkan selisih (keuntungan) Rp. 3.000,/kg jika jumlah kematian lele tidak signifikan. 2. Teknik budidaya lele organik yang dilatihkan dan dikembangkan, diharapkan memiliki banyak keunggulan, yaitu jangka waktu panen relatif singkat, hanya memerlukan waktu ± 2 bulan, hasil produksi tinggi karena tingkat kanibal jauh lebih rendah, lebih tahan terhadap penyakit karena kualitas pakan, air dan lingkungan lebih terjaga dalam kondisi organik. 3. Pembuatan pellet ikan dari kotoran sapi, diharapkan dapat menekan biaya produksi pellet ikan lele, karena sebagian besar bahan bersumber dari bahan yang melimpah di sekitar peternak seperti kotoran sapi. Diperkirakan biaya produksi pellet ikan dari kotoran sapi hanya Rp 3.000,-/kg dibandingkan harga pellet ikan pabrik sebesar Rp. 9.500,-/kg. Tentu masih diperlukan kombinasi dengan pakan pellet dari pabrik untuk melengkapi dan mencukupi kebutuhan nutrisi pada ikan lele. Akan tetapi, jumlah pellet pabrik akan sangat jauh berkurang pemakaiannya, jika diterapkan teknologi budidaya dan pakan organik ini. Metode Pelaksanaan Dalam melaksanakan kegiatan pengabdian IbM ini, tim pelaksana membagi kegiatan dalam pembimbingan dan pendampingan terhadap kelompok peternak budidaya lele menjadi beberapa tahapan, yaitu : 1. Tahap I Pengenalan dan pelatihan teknologi fermentasi untuk pengembangan usaha budidaya lele organik kepada kelompok peternak lele di Desa Sindon dan Gumukrejo Kab. Boyolali, agar mendapatkan wawasan dan pemahaman yang baik tentang keuntungan budidaya lele organik berbasis pemanfaatan teknologi fermentasi. 2. Tahap II Pendampingan penerapan teknologi fermentasi dalam bubidaya lele organik, dimulai dari penyiapan kolam hingga proses penebaran bibit lele.
3. Tahap III Pelatihan teknik pembuatan pakan pellet ikan lele dari kotoran sapi, untuk membantu peternak dalam penyediaan pakan alternative yang memiliki nilai gizi yang cukup tinggi, dengan biaya produksi yang rendah. Pada tahap ini para peternak juga diperkenalkan penggunaan teknologi pembuatan pakan pellet, berupa mesin pengering, mesin mixer pakan, dan mesin pencetak pellet ikan. Pengenalan teknologi-teknologi tersebut pada mitra kelompok peternak lele ditargetkan bahwa mitra dapat memiliki ketrampilan menggunakan alat – alat baru yang dikenalkan untuk memproduksi pakan pellet ikan sendiri untuk keperluan anggota kelompok dan kelompok peternak ikan lele yang lain. 4. Tahap IV Pemberian modal kerja berupa alat teknologi proses produksi yang sudah well proven, dalam hal ini teknologi proses produksi yang dikenalkan dan dilatihkan kepada mitra kelompok peternak ikan lele di Kab. Boyolali adalah (1) mesin pencetak pellet ikan lele, dan, (2) Mesin mixer ramuan pakan lele. 5. Tahap V Penerapan pakan pellet ikan produksi sendiri/kelompok, untuk menurunkan ketergantungan terhadap pellet ikan dari pabrik yang harganya relatif mahal, sehingga dapat menekan biaya produksi/pemeliharaan ikan lele. 6. Tahap VI Evaluasi dan monitoring untuk melakukan perbaikan dan modifikasi dari penerapan teknologi fermentasi dan pembuatan pakan pellet ikan dari kotoran sapi, agar diperoleh hasil yang lebih optimum. Tingkat pendapatan para peternak lele menjadi indikator utama dalam penerapan teknologi fermentasi dan penggunaan pakan pellet ikan.
Hasil dan Pembahasan Dari dua permasalahan utama yang dihadapi oleh mitra peternak lele, yaitu persoalan ketergantungan terhadap pakan pellet dari pabrik dengan harga yang relative tinggi serta belum diketahuinya teknik budidaya lele organik, melalui kegiatan IbM ini telah diperoleh hasil berupa: 1. Peternak lele telah diajari dan dibimbing dalam aplikasi teknik fermentasi kotoran sapi untuk menjadi bahan pakan lele. Peternak lele di desa Sindon dan Gumukrejo, sebelumnya belum paham dan menguasai teknik ferementasi dari kotoran sapi untuk produksi pakan ternak, khususnya pellet ikan lele. Setelah beberapa kali pertemuan dan pendampingan, peternak telah mendapatkan pengetahuan dan ketrampilan cara memproduksi pakan pellet ikan dari kotoran sapi. Kualitas pellet pakan ikan lele hasil produksi memang masih tenggelam, dan kualitas protein kasarnya baru mencapai 16%. Sehingga formula yang lebih baik, perlu dikembangkan agar diperoleh kadar protein kasar antara 25% -30%.
2. Telah diperkenalkan teknologi mesin pellet dan mesin mixer, untuk memproduksi pakan pellet ikan lele secara mandiri dari ramuan pakan pellet yang diolah sendiri. Peternak lele juga telah dibimbing untuk memanfaatkan dan memproduksi pakan ikan secara mandiri, dengan memanfaatkan mesin pellet dan mesin mixer untuk membantu pencampuran formula pakan. Introduksi dan pemanfaatan teknologi mesin pellet dan mixer ini, telah membantu peternak untuk memproduksi pakan pellet ikan secara mandiri, dengan kapasitas produksi antara 2 – 4 kuintal per-hari. 3. Pemanfaatan probiotik untuk budidaya lele, juga telah diperkenalkan untuk membantu percepatan pertumbuhan bibit lele. Teknologi probiotik dengan memanfaatkan produk probiotik MA-11 untuk membantu percepatan pertumbuhan bibit lele juga telah dilatihkan dan dikenalkan kepada mitra kelompok. Penggunaan probiotik untuk dicampurkan pada pakan pellet atau dituangkan langsung pada air kolam, cukup berpengaruh terhadap pertumbuhan lele. Sebelum menggunakan probiotik masa panen lele rata-rata 75-90 hari sejak tebar benih, menjadi 6570 hari. Waktu panen yang lebih cepat, tentu juga berpengaruh terhadap biaya produksi dan biaya pakan. 4. Harga pakan pellet ikan yang telah diproduksi oleh peternak lele dan dipasarkan kepada anggota kelompok dapat ditekan menjadi Rp 6.500/kg jauh dibawah harga pakan pabrik yang mencapai Rp. 9.500/kg. Pemanfaatan pellet pakan ikan hasil produksi mandiri cukup membantu kemandirian peternak dan menurunkan ketergantungan terhadap pakan pellet pabrik. Dari sebelumnya semua peternak sangat bergantung dan mengandalkan pakan pellet dari pabrik yang harganya cukup tinggi yaitu Rp. 9.500/kg, dengan produksi sendiri biaya pakan menjadi Rp. 6.500,-/kg. adanya selisih biaya pakan sebesar Rp. 3.000,-/kg akan meningkatkan jumlah pendapatan dari peternak. Sebelumnya peternak rata-rata mendapatkan hasil bersih perkilogram lele konsumsi sebesar Rp. 100-200,- per-kg menjadi Rp. 1000-1.500,-/kg. Kendala yang masih dihadapi 1. Pellet ikan yang telah diproduksi masih ‘tenggelam’ dan kualitas proteinnya belum sebaik pakan pellet dari pabrik, sehingga sebagian peternak lele masih belum yakin dan kembali menggunakan pakan pellet dari pabrik. 2. Kondisi iklim yang kurang kondusif (ekstrim) sangat berpengaruh dalam budidaya lele, yaitu munculnya kasus tingkat kematian lele yang cukup tinggi dan pertumbuhan lele menjadi lebih lambat, karena nafsu makan lele menjadi sangat berkurang akibat perubahan cuaca yang ekstrim. Simpulan dan Saran Simpulan Melalui kegiatan IbM terhadap peternak lele di dukuh Jantir dan desa Gumukrejo Boyolali telah diperoleh hasil : 1. Pengetahuan dan ketrampilan produksi pakan pellet ikan secara mandiri, telah mampu menurunkan biaya produksi atau pengadaan pakan lele yang cukup signifikan, dari harga
Rp. 9.500/kg menjadi Rp. 6.500,-. Namun karena pakan pellet yang dihasilkan masih bersifat ‘tenggelam’, sebagian peternak belum yakin dan belum menerima sepenuhnya untuk digunakan dalam budidaya lele. 2. Teknologi pakan fermentasi dan pemanfaatan probiotik telah diperkenalkan kepada para peternak, dan telah memberikan bukti percepatan pertumbuhan bibit lele yang dipelihara. 3. Budidaya lele sangat bergantung dengan faktor lingkungan, cuaca atau iklim, penyakit, dan kualitas bibit. Gangguan oleh cuaca yang ekstrim, penyakit dan kualitas bibit masih menjadi masalah mitra.
Saran 1. Perlu pendampingan oleh ahli dari Dinas Perikanan untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan para peternak tentang pengaruh perubahan cuaca yang ekstrim, penyakit dan penanggulangannya, serta konsistensi pemilihan bibit lele. 2. Perlu dikembangkan formula pakan yang benar-benar berbasis bahan-bahan pakan lokal yang banyak tersedia di sekitar para peternak. Persantunan Kami menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kemendikbud RI atas dukungan dana berupa hibah pengabdian Iptek bagi Masyarakat (IbM) tahun 2013. Kami juga mengucapkan terimakasih kepada mitra peternak lele di desa Sindon dan Gumukrejo kabupaten Boyolali atas pelaksanaan kegiatan pengabdian ini.
Daftar Pustaka Alam tani Panduan usaha tani. 2013. Potensi usaha budidaya ikan air tawar. http://www.alamtani.com/ikan-air-tawar.html 31 July 2013. BPTP Bali. 2011. Tingkatkan Nilai Ekonomi, Kotoran Sapi Jadi Pakan Bergizi Ternak. Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bali. http://bali.litbang.deptan.go.id/ Kamis, 28 Maret 2013. Dinas Kelautan dan Perikanan Jawa Tengah. 2009. Perikanan Jawa Tengah dalam Angka. Dinas Kelautan dan Perikanan, Provinsi Jawa Tengah, Semarang. Ganjar, I. 1995. The Role of Rhyzopus species for Community and Industry Indonesian Food and Nutrision Progress, 2(1) : 51-56. Gardjito, M., S. Naruki, A. Murdiati dan Sardjono. 1992. Ilmu Pangan, Pengantar Ilmu Pangan, Nutrisi dan Mikrobiologi. Edisi Kedua. Gadjah mada University Press. Yogyakarta. Iksan, M. 2002. Teknik Fermentasi Hijauan Makanan Ternak. Pikiran Rakyat Cyber Media. http://pikiran-rakyat.com. 27 September 2010. Izzudin, 2013. Tingkat konsumsi ikan Indonesia naik tipis, http://ekbis.sindonews.com/ Selasa, 26 Maret 2013 Judoamidjoyo, M. A. A. Darwis dan E. G. Sa’id. 1990. Teknologi Fermentasi. PAU Bioteknologi Institut Pertanian Bogor. Bogor. Nurhajati, T., R. S. Wahyuni dan G. C. de Vries. 1996. Analisis Ekonomi Penggunaan Ampas Tahu Terfermentasi Sebagai Substitusi Pakan Komersial Terhadap Performan, Daya
Cerna Pakan, Kualitas Daging Serta Gambaran Darah Ayam Pedaging Jantan. Lembaga Penelitian Universitas Airlangga. Surabaya. Pola Pembiayaan Usaha Kecil Bank Indonesia (PPUK BI). 2010. Budidaya Pembesaran Ikan Lele. Biro Pengembangan UMKM - Direktorat Kredit, BPR dan UMKM Bank Indonesia. Jakarta. Rahayu, K. K dan Soedarmaji. 1989. Mikrobiologi Pangan. PAU Pangan Dan Gizi.Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta Suliantari dan W. P. Rahayu. 1990. Teknologi Fermentasi Umbi-umbian dan Biji-bijian. Depdikbud. Dirjen Pendidikan Tinggi. PAU Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor. Bogor. Susanti, K. 2006. Kandungan Serat Kasar dan Protein Kasar Tongkol Jagung Hasil Proses fermentasi dengan Probiotik Alami. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga. Surabaya. Trisnajaya, D dan M. A. Subroto. 1996. Analisis Ekonomi untuk Komersialisasi Proses Fermentasi. Warta Biotek. Th 10. No. 3:1-12. Widayati, E. dan Y. Widalestari. 1996. Limbah Untuk Pakan Ternak. Trubus Agrisarana. Jakarta.