LAPORAN PROBLEM BASED LEARNING BLOK DERMATO-MUSKULOSKELETAL (DMS) PBL KASUS 2
Tutor : dr. Agus Budi Setiawan, SpBS Oleh Kelompok 2 : Desty Ari Sandi
G1A012012
Hana Khairunnisa
G1A012013
Revi Oktapratiwi
G1A012014
Mochamad Rifqie N K
G1A012015
M Helrino Fajar
G1A012016
Wininda Rina Rachmawati
G1A012017
Ahmad Agus Faisal
G1A012018
Dewi Widiningsih
G1A012019
Rahayu Nurmalia Fauziah
G1A012020
Dev Anand Pramakrisna
G1A012021
Agustin Nurul Fahmawati
G1A012022
KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL JURUSAN KEDOKTERAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO 2013
BAB I PENDAHULUAN
SKENARIO
Seorang
wanita berusia 25 tahun datang dengan keluhan sejak dua hari yang lalu kedua
punggung tangan bengkak, merah, dan gatal. Gejala dirasa setelah terlalu lama menggunakan sarung tangan karet.
PANDUAN PERTANYAAN 1. Identifikasi masalah pada kasus tersebut ! 2. Jelaskan patogenesis dan patofisiologi terjadinya masalah pada kasus tersebut ! 3. Informasi apakah yang masih dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis dan menyingkirkan kemungkinan lainnya ?
BAB II PEMBAHASAN
A. Klarifikasi Istilah 1.
Gatal Gatal (pruritus) adalah sensasi kulit yang iritatif dan menimbulkan rangsangan untuk menggaruk. (Djuanda dkk, 2007).
B. Batasan Masalah
Jenis Kelamin
: Perempuan
Usia
: 25 tahun
Keluhan utama
: Bengkak, merah, gatal.
Onset
: Dua Hari
Keadaan memperberat
: Mencuci piring dan pakaian
Kronologis
:Gatal dirasakan di punggung tangan setelah lama penggunaan sarung tangan karet terlalu lama.
C. Analisis Masalah 1
Bagaimana awal mulanya muncul gejala klinis tersebut ?
2
Adakah keluhan lain selain yang diatas ?
3
Apakah dahulu pernah merasakan penyakit dengan gejala yang sama ?
4
Adakah anggota keluarga lain atau teman yang memiliki gejala yang sama dengan pasien?
5
Apakah pasien memilki riwayat atopic?
6
Apakah diagnosis kerja dan diagnosis banding dari kasus diatas?
BAB II PEMBAHASAN
I. Dermatitis Kontak Iritan A. Definisi Dermatitis kontak iritan adalah efek sitotosik lokal langsung dari bahan iritan baik fisika maupun kimia, yang bersifat tidak spesifik, pada sel-sel epidermis dengan respon peradangan pada dermis dalam waktu dan konsentrasi yang cukup (Health and Safety Executive, 2004). B. Etiologi Bahan iritan yang menjadi penyebab dermatitis kontak adalah bahan yang pada kebanyakan orang dapat mengakibatkan kerusakan sel bila dioleskan pada kulit pada waktu tertentu dan untuk jangka waktu tertentu. Bahan iritan dapat diklasifikasikan menjadi: a. Iritan kuat b. Rangsangan mekanik: serbuk kaca/ serat, wol c. Bahan kimia: air, sabun d. Bahan biologik: dermatitis popok. Penyebab munculnya DKI adalah bahan yang bersifat iritan, misalnya bahan pelarut, deterjen, minyak pelumas, asam alkali, serbuk kayu, bahan abrasif, enzim, minyak, larutan garam konsentrat, plastik berat molekul rendah atau bahan kimia higroskopik. Kelainan kulit yang muncul bergantung pada beberapa faktor, meliputi faktor dari iritan itu sendiri, faktor lingkungan dan faktor individu penderita (Strait, 2001; Djuanda, 2003). Iritan adalah substansi yang akan menginduksi dermatitis pada setiap orang jika terpapar pada kulit dalam konsentrasi yang cukup, pada waktu yang sufisien dengan frekuensi yang sufisien. Masing-masing individu memiliki predisposisi yang berbeda terhadap berbagai iritan, tetapi jumlah yang rendah dari iritan menurunkan dan secara bertahap mencegah kecenderungan untuk menginduksi dermatitis. Fungsi pertahanan dari kulit akan rusak baik dengan peningkatan hidrasi dari stratum korneum (suhu dan kelembaban tinggi, bilasan air yang sering dan lama) dan penurunan hidrasi (suhu dan kelembaban rendah). Efek dari iritan merupakan concentrationdependent, sehingga hanya mengenai tempat primer kontak (Safeguards, 2000). Pada orang dewasa, DKI sering terjadi akibat paparan terhadap bahan yang bersifat iritan, misalnya bahan pelarut, detergen, minyak pelumas, asam, alkali, dan serbuk kayu. Kelainan kulit
yang terjadi selain ditentukan oleh ukuran molekul, daya larut, konsentrasi, vehikulum, serta suhu bahan iritan tersebut, juga dipengaruhi oleh faktor lain. Faktor yang dimaksud yaitu lama kontak, kekerapan (terus-menerus atau berselang), adanya oklusi menyebabkan kulit lebih permeabel, demikian pula gesekan dan trauma fisis. Suhu dan kelembaban lingkungan juga berperan (Fregert, 1998). Faktor lingkungan juga berpengaruh pada dermatitis kontak iritan, misalnya perbedaan ketebalan kulit di berbagai tempat menyebabkan perbedaan permeabilitas; usia (anak dibawah umur 8 tahun lebih muda teriritasi); ras (kulit hitam lebih tahan daripada kulit putih), jenis kelamin (insidensi dermatitis kontak alergi lebih tinggi pada wanita), penyakit kulit yang pernah atau sedang dialami (ambang rangsang terhadap bahan iritan turun), misalnya dermatitis atopik (Beltrani et al., 2006). Sistem imun tubuh juga berpengaruh pada terjadinya dermatitis ini. Pada orang-orang yang immunocompromised, baik yang diakibatkan oleh penyakit yang sedang diderita, penggunaan obat-obatan, maupun karena kemoterapi, akan lebih mudah untuk mengalami dermatitis kontak (Hogan, 2009). C. Epidemiologi Dermatitis kontak iritan (DKI) dapat diderita oleh semua orang dari berbagai golongan umur, ras dan jenis kelamin. Jumlah penderita DKI diperkirakan cukup banyak terutama yang berhubungan dengan pekerjaan (DKI akibat kerja), namun dikatakan angkanya secara tepat sulit diketahui. Hal ini disebabkan antara lain oleh banyaknya penderita dengan kelainan ringan tidak datang berobat, atau bahkan tidak mengeluh (Djuanda, 2003). Di Amerika, DKI sering terjadi pada pekerjaan yang melibatkan kegiatan mencuci tangan atau paparan berulang pada kulit terhadap air, bahan makanan atau iritan lainnya. Pekerjaan yang berisiko tinggi meliputi pembatu rumah tangga, pelayan rumah sakit, tukang masak, dan penata rambut. Prevalensi dermatitis tangan karena pekerjaan ditemukan sebesar 55,6% di intensive care unit dan 69,7% pada pekerja yang sering terpapar (dilaporkan dengan frekuensi mencuci tangan >35 kali setiap pergantian). Penelitian menyebutkan frekuensi mencuci tangan >35 kali setiap pergantian memiliki hubungan kuat dengan dermatitis tangan karena pekerjaan (odds ratio 4,13) (Hogan, 2009).
Di Jerman, angka insiden DKI adalah 4,5 setiap 10.000 pekerja, dimana insiden tertinggi ditemukan pada penata rambut (46,9 kasus per 10.000 pekerja setiap tahunnya), tukang roti dan tukang masak (Hogan, 2009). Berdasarkan jenis kelamin, DKI secara signifikan lebih banyak pada perempuan dibanding laki-laki. Tingginya frekuensi ekzem tangan pada wanita dibanding pria karena faktor lingkungan, bukan genetik (Hogan, 2009). D. Patofisiologi Dermatitis Kontak Iritan
Penetrasi langsung bahan kimia Kerusakan keratinosit Induksi phospholipase
Asam Arakhidonad
Prostaglandin
Diacylglycerid
Inositides
PAF
Leukotrin
Induksi sel mast mengeluarkan Kemotraktan histamin neutrofil dan Dilatasi limfosit pembuluh Aktivasi darah 2nd messanger
Pruritus
E. Patomekanisme
Eritem
Oedem
Kelainan kulit timbul akibat kerusakan sel yang disebabkan oleh bahan iritan melalui kerja kimiawi atau fisis. Bahan iritan merusak lapisan tanduk, denaturasi keratin, menyingkirkan lemak lapisan tanduk dan mengubah daya ikat air kulit. Kebanyak bahan iritan (toksin) merusak membran lemak keratinosit tetapi sebagian dapat menembus membran sel dan merusak lisosom, mitokondria atau komplemen inti (Streit, 2001). Kerusakan membran mengaktifkan fosfolipase dan melepaskan asam arakidonat (AA), diasilgliserida (DAG), faktor aktivasi platelet, dan inositida (IP3). AA dirubah menjadi prostaglandin (PG) dan leukotrien (LT). PG dan LT menginduksi vasodilatasi, dan meningkatkan permeabilitas vaskuler sehingga mempermudah transudasi komplemen dan kinin. PG dan LT juga bertindak sebagai kemotraktan kuat untuk limfosit dan neutrofil, serta mengaktifasi sel mast melepaskan histamin, LT dan PG lain, dan PAF, sehingga memperkuat perubahan vaskuler (Beltrani et al., 2006; Djuanda, 2003). DAG dan second messenger lain menstimulasi ekspresi gen dan sintesis protein, misalnya interleukin-1 (IL-1) dan granulocyte macrophage-colony stimulating factor (GM-CSF). IL-1 mengaktifkan sel T-helper mengeluarkan IL-2 dan mengekspresi reseptor IL-2 yang menimbulkan stimulasi autokrin dan proliferasi sel tersebut. Keratinosit juga mengakibatkan molekul permukaan HLA-DR dan adesi intrasel (ICAM-1). Pada kontak dengan iritan, keratinosit juga melepaskan TNF-α, suatu sitokin proinflamasi yang dapat mengaktifasi sel T, makrofag dan granulosit, menginduksi ekspresi molekul adesi sel dan pelepasan sitokin (Beltrani et al., 2006). Rentetan kejadian tersebut menimbulkan gejala peradangan klasik di tempat terjadinya kontak di kulit tergantung pada bahan iritannya. Ada dua jenis bahan iritan, yaitu: iritan kuat dan iritan lemah. Iritan kuat akan menimbulkan kelainan kulit pada pajanan pertama pada hampir semua orang dan menimbulkan gejala berupa eritema, edema, panas, dan nyeri. Sedangkan iritan lemah hanya pada mereka yang paling rawan atau mengalami kontak berulang-ulang, dimulai dengan kerusakan stratum korneum oleh karena delipidasi yang menyebabkan desikasi dan kehilangan fungsi sawar, sehingga mempermudah kerusakan sel dibawahnya oleh iritan. Faktor kontribusi, misalnya kelembaban udara, tekanan, gesekan, dan oklusi, mempunyai andil pada terjadinya kerusakan tersebut (Djuanda, 2003). Terdapat empat mekanisme yang berhubungan dengan terjadinya dermatitis kontak iritan, yaitu meliputi:
a. Hilangnya lapisan lipid di superfisial dan substansi yang mengikat air b. Kerusakan dari membran sel c. Denaturasi keratin pada epidermis d. Secara langsung timbulkan efek sitotoksik Dalam respon iritasi, terdapat proses yang menyerupai dengan proses imunologi, yaitu adanya partikel sitokin, yang dihasilkan oleh sel kutan non-imun yaitu keratinosit akibat respon dari stimuli kimia. Proses ini tidak didahului oleh proses sensitisasi. Kerusakan dari barier kulit memacu pelepasan sitokin, yaitu interleukin 1 (IL1 ), IL 1 dan tumor nekrosis faktor- (TNF- ) (Djuanda, 2003). Pada dermatitis kontak iritan dapat ditemukan peningkatan TNF- dan IL-6 sepuluh kali lipat, serta peningkatan macrophage colony-stimulating factor dan IL-2 tiga kali lipat. TNFadalah kunci utama dari dermatitis kontak, yang memacu peningkatan ekspresi dari MHC classII (major histocompatibility complex class II) dan ICAM-1 ( intracellular adhesion molecule 1) dari keratinosit(Djuanda, 2003). F. Manifestasi Klinis Dermatitis Kontak Iritan Dermatitis kontak iritan memiliki manifestasi klinis yang dapat dibagi dalam beberapa kategori, berdasarkan bahan iritan dan pola paparan. Setidaknya ada 10 tipe klinis dari dermatitis kontak iritan yang telah dijelaskan (Djuanda, 2003). a. Reaksi iritasi: muncul sebagai reaksi monomorfik akut yang meliputi bersisik, eritema derajat rendah, vesikel, atau erosi and selalu berlokasi di punggung tangan dan jari. Hal ini sering terjadi pada individu yang bekerja di lingkungan yang lembap. Reaksi iritasi ini berakhir atau berkembang menjadi dermatitis iritan kumulatif(Djuanda, 2003). b. Dermatitis kontak iritan akut: biasanya timbul akibat paparan bahan kimia asam atau basa kuat, atau paparan singkat serial bahan kimia, atau kontak fisik. Sebagian kasus dermatitis kontak iritan akut merupakan akibat kecelakaan kerja. Kelainan kulit yang timbul dapat berupa eritema, edema, vesikel, dapat disertai eksudasi, pembentuka bula dan nekrosis jaringan pada kasus yang berat(Djuanda, 2003). c. Iritasi akut tertunda: merupakan reaksi akut tanpa tanda yang terlihat akibat reaksi inflamasi hingga 8 sampai 24 jam. Setelah gejala klinis timbul, maka tampilan klinisnya sama dengan dermatitis kontak iritan akut(Djuanda, 2003).
d. Dermatitis kontak iritan kronik kumulatif: merupakan jenis dermatitis kontak yang paling sering ditemukan. Jenis ini akibat adanya paparan berulang pada kulit, dimana bahan kimia yang terpapar sering lebih dari satu jenis dan bersifat lemah karena dengan paparan tunggal tidak akan mampu timbulkan dermatitis iritan. Bahan iritan ini biasanya berupa sabun, deterjen, surfaktan, pelarut organik dan minyak. Awalnya, dermatitis kontak kumulatif dapat muncul rasa gatal, nyeri, dan terdapat kulit kering pada beberapa tempat, kemudian eritema, hiperkeratosis, dan fisur dapat timbul. Gejala tidak segera timbul setelah paparan, tetapi muncul setelah beberapa hari, bulan atau bahkan tahun(Djuanda, 2003). e. Iritasi subyektif: pasien biasanya mengeluh gatal, pedih, seperti terbakar, atau perih pada hitungan menit setelah kontak dengan bahan iritan, tetapi tanpa terlihat perubahan pada kulit(Djuanda, 2003). f. Iritasi noneritematosus: merupakan sebuah keadaan dimana iritasi tidak terlihat, tetapi secara histopatologi terlihat. Gejala yang sering timbul meliputi rasa terbakar, gatal, dan pedih(Djuanda, 2003). g. Dermatitis gesekan: iritasi mekanik dapat timbul akibat mikrotrauma dan gesekan yang berulang. Tipe ini biasanya menimbulkan kulit kering, hiperkeratotik pada kulit yang terabrasi, dan membuat kulit lebih rentan terhadap terjadinya iritasi(Djuanda, 2003). h. Reaksi traumatik: dapat timbul setelah trauma akut kulit seperti terbakar atau laserasi dan paling sering timbul pada tangan, serta dapat bertahan 6 minggu atau lebih. Proses pembengkakan pada dermatitis jenis ini memanjang dan eritema, bersisik, papul atau vesikel dapat timbul(Djuanda, 2003). i. Reaksi pustular atau acneiform: sering tampak setelah terpapar bahan kimia saat bekerja, seperti minyak, tar, logam berat, dan halogen, serta dapat pula setelah penggunaan kosmetik. Lesi berupa pustul yang steril dan sementara dapat timbul beberapa hari setelah kontak(Djuanda, 2003). j. Exsiccation eczematid: sering ditemukan pada usia tua yang sering mandi tanpa mengoleskan pelembap pada kulit setelah mandi. Gambaran klinis yang menjadi karakteristik adalah gatal, kulit kering, dan ichtyosiform bersisik. Di bawah ini merupakan salah satu contoh gambaran klinis dermatitis kontak iritan(Djuanda, 2003).
Gambar 1. Dermatitis kontak iritan akibat mencuci pakaian.
II.
Dermatitis Kontak Alergi A. Definisi Dermatitis kontak alergi adalah reaksi hipersensitifitas tipe IV akibat pajanan kulit dengan bahan-bahan yang bersifat sensitizer (alergen), reaksi imunologi tipe IV ini merupakan reaksi hipersensitifitas tipe lambat (Djuanda, 2007). Dermatitis kontak alergi merupakan dermatitis kontak karena sensitisasi alergi terhadap substansi yang beraneka ragam yang menyebabkan reaksi peradangan pada kulit bagi mereka yang mengalami hipersensitivitas terhadap alergen sebagai suatu akibat dari pajanan sebelumnya. Dermatitis kontak alergi juga dikatakan sebagai bentuk dasar dari reaksi imunologis tipe IV yang diperantai oleh sel (cell-mediated immune respons) (Dorland, 2002). B. Etiologi DKA Dermatitis kontak alergi atau biasa disebut dengan DKA merupakan penyakit kulit yang disebabkan karna meningkatnya tingkat kepekaan kulit seseorang (hipersensitif). Penyebab tertinggi pada DKA diakibatkan oleh adanya kontak dengan bahan kimia sederhana dengan berat molekul yang umumnya rendah (< 1000 dalton), berupa allergen yang belum diproses, disebut hapten, yang bersifat lipofilik, sangat reaktif, dan dapat menembus stratum korneum dan bahkan hingga lapisan dermis. Hal ini yang mengakibatkan timbulnya respon imunologi tubuh terhadap masuknya antigen yang masuk. Sebenarnya reaksi tersebut adalah fisiologis, namun yang terjadi pada penderita DKA, reaksi imunologi tubuh bekerja secara berlebihan
sehingga menimbulkan abnormalitas pada tubuh. Reaksi imunologi yang dimaksud adalah reaksi hipersensitivitas tipe IV (Djuanda, Hamzah, & Aisah, 2007). Penyebab yang tersering pada penyakit ini adalah bahan-bahan iritan primer seperti : asam dan basa kuat, serta pelarut organik (Siregar, 2004). Penyebab munculnya penyakit ini adalah bahan yang bersifat iritan. Iritanadalah substansi yang akan menginduksi dermatitis pada setiap orang jika terpapar pada kulit dalam konsentrasi yang cukup, pada waktu yang sufisien dengan frekuensi yang sufisien, misalnya bahan pelarut, detergen, minyak pelumas, asam, alkali, dan serbuk kayu, minyak, fiberglass, pelarut-pelarut organik lainnya, dan sebagainya (Djuanda, Kosasih, & Wiryadi et all, 2005). Selain adanya kontak seseorang dengan alergen, DKA juga bisa disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah : 1. Potensi sensitisasi allergen 2. Dosis alergen yang menginvasif (per unit area) 3. Luas daerah yang terkena 4. Lama pajanan 5. Oklusi 6. Suhu dan kelembaban lingkungan 7. Vehikulum 8. PH 9. Keadaan kulit lokasi kontak 10. Status imunologiknya 11. Penyebab dermatitis kontak alergik adalah alergen, paling sering berupa bahan kimia dengan berat molekul kurang dari 500-1000 Da, yang juga disebut bahan kimia sederhana. Dermatitis yang timbul dipengaruhi oleh potensi sensitisasi alergen, derajat pajanan, dan luasnya penetrasi di kulit (Djuanda, 2003). 12. Penyebab utama kontak alergen di Amerika Serikat yaitu dari tumbuh-tumbuhan. Sembilan puluh persen dari populasi mengalami sensitisasi terhadap tanaman dari genus Toxicodendron, misalnya poison ivy, poison oak dan poison sumac. Toxicodendron mengandung urushiol yaitu suatu campuran dari highly antigenic 3- enta decyl cathecols. Bahan lainnya adalah nikel sulfat (bahan-bahan logam), potassium dichromat (semen, pembersih alat -alat rumah tangga), formaldehid, etilendiamin (cat rambut, obat-obatan), mercaptobenzotiazol (karet), tiuram (fungisida) dan parafenilendiamin (cat rambut, bahan kimia fotografi) (Trihapsoro, 2003).
13. Penyebab dermatitis kontak alergi adalah bahan kimia sederhana dengan berat molekul umumnya rendah (< 1.000 dalton), merupakan alergen yang belum diproses, disebut hapten, bersifat lipofilik, sangat reaktif, dapat menembus stratum korneum sehingga mencapai sel epidermis dibawahnya (sel hidup). Ada lebih dari 3.700 jenis bahan kimia eksogen yang diketahui dapat memicu terjadinya reaksi hipersensitifitas tipe IV ini pada dermatitis kontak alergi. Pada tahun 1940, dapat dibuktikan bahwa kemampuan sensitisasi agen spesifik berhubungan dengan komponen genetik. Saat ini penelitian dapat menghubungkan adanya alel 14. antigen leukosit yang spesifik pada manusia untuk alergi pada nikel, kromium, dan kobalt.
C. Perbedaan antara DKI dan DKA Dermatitis kontak diklasifikasikan menjadi 2 macam, yaitu dermatitis kontak alergi dan dermatitis kontak iritan, namun keduanya sebenarnya memiliki sifat yang berbeda, baik dilihat dari etiologi, patofisiologis, menifestasi klinis hingga penatalaksanaannya. Sehingga perlu diketahui perbedaan dari keduanya yang sangat berpengaruh dalam penegakan diagnosis kerja, berikut perbedaan antara DKI dan DKA. Tabel 3.1.Perbedaan antara DKI dan DKA DKA DKI Suatu dermatitis ( peradangan Suatu dermatitis yang bisa
Definisi
kulit ) yang timbul pada terjadi pada semua orang, individu dengan kerentanan timbul setelah kontak dengan
Epidemiologi
setelah
kontak
allergen
melalui
dengan paparan
zat
kimia
yang
proses bersifat iritan / korosif.
sensitisasi. 1. Umur : dapat terjadi pada 1. Umur : pada semua umur semua umur. 2. Distribusi : penderita Wanita lebih banyak
bisa
terjadi.
umumnya
Tetapi
pada dewasa
yang sudah bekerja. 2. distribusi : frekuensi sama
dibandingkan pria.
anatara pria dan wanita Alergen atau sensitizer yang Iritan primer seperti asam dan
Etiologi
umumnya
berupa
bahan basa
kuat,
serta
logam berat, kosmetik, bahan organic.Iritan perhiasan, jam tangan, karet, karena obat-obatan
(obat
pelarut sekunder
detergen,
pelarut
kumur, organik, air terjadi karena
sulfa, penisilin).
paparan yang terus - menerus dan berulang.
Faktor
yang Berpengaruh besar lingkungan Lingkungan
mempengaruhi
yang
banyak
pekerjaan dengan lingkungan mengandung basa atau asam yang basah, tempat – tempat kuat lebih. lembab
Gejala
atau
panas,
dan
pemakaian alat yang salah. singkat Perjalanan penyakit termasuk Perjalanan penyakit termasuk
peyakit
keluhan utama dan keluhan keluhan utama dan keluhan tambahan.
Awalanya tambahan. Biasanya kelainan
kemerahan kontak,
pada
daerah kulit timbul beberapa saat
kemudian
timbul sesudah
kontak
pertama
eritema, papula, vesikel dan dengan kontaktan eksternal. penderita
selalu
mengeluh Penderita akan mengeluh rasa
Pemeriksaan
gatal Uji temple (patch test)
panas, nyeri, ataupun gatal. Uji tempel
penunjang
Uji gores (scratch test)
Pengobatan
Uji tusuk (prick test) Kortikosteroid dapat diberikan Kortikosteroid
topical,
dalam jangka pendek untuk misalnya hidrokortison, atau mengatasi peradangan pada kelainan yang kronis dapat DKA
akut
dengan vesikel
yang
ditandai diawali dengan kortikosteroid
eritema, atau
eksudatif, prednisone Umumnya
edema, yang lebih kuat.
bula,
serta
misalnya 30mg/hari. kelainan
kulit
mereda setelah bebrapa hari. (Djuanda, Hamzah, & Aisah, 2007)
D. Patogenesis Bahan iritan merusak lapisan tanduk, denaturasi keratin, menyingkirkan lemak lapisan tanduk, dan mengubah daya ikat air kulit. Kebanyakan bahan iritan merusak membran lemak sehingga dapat menembus membran sel dan selanjutnya merusak dari organel-organel sel, kerusakan ini memicu teraktivasinya fosfolipase dan melepaskan asam arakhidonat (AA), diasilgliserida (DAG), platelet activating factor (PAF) dan inositida (IP3). AA diubah menjadi prosstaglandin (PG) dan leukotrien (LT). PG dan LT menginduksi vasodilatasi dan meningkatkan permeabilitas vaskuler sehingga mempermudah transudasi komplemen dan kinin. PG dan LT juga berperan dalam kemoatraktan kuat untuk limfosit dan neutrofil, serta mengaktivasi sel mast melepaskan
histamin, LT dan PG lain, dan PAF, sehingga memperkuat perubahan vaskuler (Djuanda, Kosasih, & Wiryadi et all, 2005). DAG dan second messengers lain menstimulasi ekspresi gen dan sintesis protein misalnya IL-1 dan GMCSF ( granulocyte-macrophage colony stimulating factor). IL-1 mengaktifkan sel TH mengeluarkan IL-2 dan mengekspresi reseptor IL-2, yang menimbulkan stimulasi autokrin dan proliferasi sel tersebut (Djuanda, Kosasih, & Wiryadi et all, 2005). Keratinosit juga membuat molekul permukaan HLA-DR dan adesi intrasel-1 (ICAM-1). Pada kontak dengan iritan, keratinosit juga melepaskan TNFα, suatu sitokin proinflamasi yang dapat mengaktifkan sel T, makrofag dan granulosit, menginduksi ekspresi molekul adesi sel dan pelepasan sitokin (Djuanda, Kosasih, & Wiryadi et all, 2005). Rentetan kejadian tersebut menimbulkan gejala peradangan klasik pada tempat terjadinya kontak di kulit berupa eritema, edema, panas, nyeri, bila iritan kuat. Bahan iritan lemah akan menimbulkan kelainan kulit setelah berulang kali kontak, dimulai dengan perusakan stratum korneum oleh karena delipidisasi yang menyebabkan desikasi dan kehilangan fungsi sawarnya, sehingga mempermudah kerusakan sel di bawahnya oleh iritan (Djuanda, Kosasih, & Wiryadi et all, 2005). E. Patofisiologi DKA Penderit umunya mengeluh gatal. Kelainan kulit bergantung pada keparahan dermatitis dan lokalisasinya. Pada yang akut dimulai dengan bercak eritematosa yang berbatas jelas kemudian diikuti edema, papulovesikel, vesikel atau bula. Vesikel atau bula dapat pecah menimbulkan erosi dan eksudasi (basah). DKA akut di tempat tertentu, misalnya penis, kelopak mata, skrotum, eritema dan edema lebih dominan daripada vesikel. Pada DKA kronis, terlihat kering, berskuama, papul, likenifikasi, dan mungkin juga fisur dengan batas tidak jelas. Ujud kelainan kulit DKA ini sulit dibedakan dengan DKI. Namun, DKA dapat meluas ke tempa lain, misalnya dengan cara autosensitisasi. Skalp, telapak tangan, dan kaki relatif resisten terhadap DKA (Sularsito& Djuanda, 2011). Berbagai lokasi terjadinya DKA yaitu (Sularsito& Djuanda, 2011): No
Organ
Penyebab
. 1.
Tangan
Detergen,
Lengan
pestisida Jam tangan (nikel), sarung tangan karet, debu
3.
Wajah
semen, tanaman. Bahan kosmetik, spons (karet), obat topikal, alergen
4.
Telinga
di udara (aero-alergen), nikel (tangkai kacamata). Anting (nikel), obat topikal, tangkai kacamata, cat
Leher
rambut, hearing-aids, gagang telepon Kalung (nikel), cat kuku (berasal dari ujung jari),
Badan
parfum, alergen di udara, zat warna pakaian. Tekstil, zat warna, kancing logam, karet (elastik,
2.
5. 6.
antiseptik,
getah
sayuran,
semen,
busa), plastik, detergen, bahan pelembut atau 7.
pewangi pakaian. Antiseptik, obat topikal, nilon, kondom, pembalut
Genitalia
wanita, alergen yang berada di tangan, parfum, kontrasepsi, detergen. Bila mengenai bagian anal 8.
Paha dan tungkai bawah
mungkin karena obat antihemoroid. Tekstil, dompet, kunci (nikel), kaos kaki nilon, obat topikal, semen, sepatu/sandal, detergen, bahan
9.
Dermatitis sistemik
pembersih lantai. kontak Terjadi ketika telah tersensitisasi secara topikal oleh suatu alergen, selanjutnya terpajan secara sistemik dan timbul reaksi terbatas pada tempat tersebut. Meskipun jarang terjadi, tapi reaksi ini dapat meluas sampai eritodema. Penyebabnya: nikel, formaldehid, balsam Peru.
F. Patomekanisme Kelainan kulit pada DKA mengikuti respon imun yang diperantarai oleh sel atau reaksi imunologik type IV. Dalam hal ini ada 2 fase dalam reksi hipersensitivitas tipe IV fase sensitisasi dan elisitasi. Berikut penjelasan mengenai kedua fase tersebut:
, yaitu
Sumber: Health and Safety Executive, 2004
a. Fase sensitisasi Pada fase ini, reaksi hipersensitivitas dimulai dengan adanya hapten yang masuk ke dalam lapisan epidermis melewati stratum korneum yang akan di pinosit oleh sel langerhans, kemudian diproses secara kimiawi oleh enzim lisosom.serta di konjugasikan pada molekul HLA-DR menjadi antigen lengkap. Setelah keratinosit terpajan oleh hapten, akan dikeluarkan sitokin (IL-1)yang akan mengaktifkan sel langerhans sehingga mampu menstimulasi set T. aktivasi ini akan mengubah fenotif sel langerhans dan meningkatkan sekresi sitokin serta ekspresi molekul permukaan sel termasuk MHC class I dan II, ICAM-1, LFA-3, dan B7. Sitokin proinflamasi lain yang dilepaskan oleh keratinosit yaitu TNFα, yang dapat mengaktifasi sel-T, makrofag dan granulosit, menginduksi perubahan molekul adesi sel dan pelepasan sitokin juga meningkatkan MHC class I dan II. TNFα menekan produksi E-cadherin yang mengikat sel langerhans pada epidermis, juga menginduksi aktivitas gelatinosis sehingga memperlancar sel langerhans melewati membrane basalis bermigrasi ke kelenjar getah bening setempat melalui saluran limfe. Di dalam kelenjar limfe, sel langerhans mempresentasikan kompleks HLADR_antigen kepada sel-T penolong spesifik, yaitu yang mengekspresikan molekul CD4 yang mengenali HLA-DR sel langerhans dan kompleks reseptor sel-T-CD3 yang mengenali antigen yang telah diproses. Ada atau tidaknya sel-T spesifik ini ditentukan secara genetic.
Sel langerhans mensekresi IL-1 yang menstimulasi sel-T untuk mengekspresikan reseptor IL-2. Sitokin ini akan menstimulasi proliferasi sel-T spesifik sehingga menjadi lebih banyak. Turunan sel ini (memory sel-T) akan meninggalkan kelenjar getah bening dan beredar ke seluruh tubuh. Pada saat tersebut individu menjadi tersensitisasi. Fase ini rata-rata berlangsung selama 2-3 minggu. b. Fase elisitasi Fase kedua ini terjadi pada pajanan ulang allergen. Seperti pada fase sensitisasi, hapten akan ditangkap oleh sel langerhans dan diproses secara kimiawi menjadi antigen, diikat oleh HLA-DR kemudian di ekspresikan di permukaan sel. Selanjutnya kompleks HLA-DR antigen akan di presentasikan kepada sel-T yang telah tersensitisasi baik di kuliy maupun di kelenjar limfe sehingga terjadi proses aktivasi. Di kulit proses aktivasi leih kompleks dikarenakan hadirnya sel-sel lain. Sel langerhans mensekresikan IL-1 yang menstimulasi IL-2R yang akan menyebabkan proliferasi dan ekspansi populasi sel-T di kulit. Sel-T teraktivasi juga mengeluarkan IFNγ yang akan mengaktifkan keratinosit mengekspresi ICAM-1 dan HLA-DR. adanya ICAM-1 memungkinkan keratinosit untuk berinteraksi dengan sel-T dan leukosit yang lain yang mengekspresi molekul LFA-1. Sedangkan HLA-DR memungkinkan kerainosit untuk berinteraksi langsung dengan sel-T CD4 dan juga memungkinkan presentasi antigen kepada sel tersebut. HLA-DR juga merupakan target sel-T sitotoksik pada keratinosit. Keratinosit menghasilkan juga sejumlah sitokin antara lain IL-1, IL-6, TNF-α dan GMCSF, semuanya dapat mengaktivasi sel-T. IL-1 dapat menstimulasi keratinosit menghasilkan eikosanoid. Eikosanoid dan sitokin akan mengakifkan sel mast dan makrofag. Sel mas yang berada si dekaat pembuluh darah dermis akan melepas histamine, berbagai jenis fakor kemotaktik, PGE2 dan PGD2, leukotrien B4 (LTB4). Eksanoid baik yang berasal dari sel mas (prostaglandin) maupun dari keratinosit atau leukosit menyebabkan dilatasi vascular dan meningkatkan permeabilitas sehingga molekul larut seperti komplemen dan kinin mudah berdifusi ke dalam dermis dan epidermis. Selain itu faktor kemotaktik dan eikosanoid akan menarik neutrofil, monosit dan sel darah lain dari dalam pembuluh darah masuk ke dalam dermis. Rentetan kejadian tersebut akan menimbulkan respon klinik DKA. Fase ini umumnya berlangsung antara 24-48 jam (Djuanda et al., 2009) G. Menifestasi Klinis
Seseorang dengan DKA biasanya datang dengan keluhan utama adanya gatal, pada keadaan akut akan dijumpai bercak eritematosa yang berbatas jelas kemudian diikuti edema, papulovesikel, vesikel atau bula. Vesikel atau bula dapat pecah menimbulkan erosi dan eksudasi (basah). DKA akut di kelompak mata, penis, scrotum, eritema dan edema lebih dominan daripada vesikel. Pada keadaan kronis akan terlihat adanya kulit kering, berskuama, papul, likenifikasi, dan fisur yang batasnya tidak jelas. Selain gejala klinis yang timbul seperti diatas, DKA juga dapat meluas ketempat lain misalnya dengan cara autosensitisasi. Lokasi yang sering untuk terjadinya DKA adalah : 1. Tangan 2. Lengan 3. Wajah 4. Telinga 5. Leher 6. Badan 7. Genitalia 8. Paha dan tungkai bawah 9. Penderita pada umumnya mengeluh gatal. Kelainan kulit bergantung pada keparahan dermatitis. Pada yang akut dimulai dengan bercak eritema berbatas jelas, kemudian diikuti edema, papulovesikel, vesikel atau bula. Vesikel atau bula dapat pecah menimbulkan erosi dan eksudasi (basah). Pada yang kronis terlihat kulit kering, berskuama, papul, likenifikasi dan mungkin juga fisur, batasnya tidak jelas. Kelainan ini sulit dibedakan dengan dermatitis kontak iritan kronis; mungkin penyebabnya juga campuran (Djuanda, 2003). 10. Pada umumnya penderita mengeluh gatal. Kelainan kulit yang timbul bergantung pada keparahan dermatitis dan lokalisasinya. Wujud kelainan kulit yang timbul dibagi menjadi: a. Fase akut: dimulai dengan bercak eritematosa yang berbatas jelas kemudian diikuti edema, papulovesikel, vesikel atau bula. Vesikel atau bula ini dapat pecah sehingga menjadi erosi dan terdapat eksudasi (basah), bila menjadi kering akan timbul krusta. b. Fase kronis: kulit terlihat kering, berskuama, papul, likenifikasi dan mungkin terbentuk fisur, batasannya tidak jelas, dapat pula terjadi hiperpigmentasi. Di bawah ini merupakan salah satu contoh gambaran klinis dermatitis kontak alergi. Gambar 2. Dermatitis kontak alergi karena nikel pada jam tangan.
Faktor yang Mempengaruhi Dermatitis kontak merupakan penyakit kulit multifaktoral yang dipengaruhi oleh faktor eksogen dan faktor endogen. Faktor Eksogen Faktor yang memperparah terjadinya dermatitis kontak sebenarnya sulit diprediksi. Beberapa faktor berikut dianggap memiliki pengaruh terhadap terjadinya dermatitis kontak. 1) Karakteristik bahan kimia: Meliputi pH bahan kimia (bahan kimia dengan pH terlalu tinggi > 12 atau terlalu rendah < 3 dapat menimbulkan gejala iritasi segera setelah terpapar, sedangkan pH yang sedikit lebih tinggi > 7 atau sedikit lebih rendah < 7 memerlukan paparan ulang untuk mampu timbulkan gejala) , jumlah dan konsentrasi (semakin pekat konsentrasi bahan kimia maka semakin banyak pula bahan kimia yang terpapar dan semakin poten untuk merusak lapisan kulit) , berat molekul (molekul dengan berat < 1000 dalton sering menyebabkan dermatitis kontak, biasanya jenis dermatitis kontak alergi), kelarutan dari bahan kimia yang dipengaruhi oleh sifat ionisasi dan polarisasinya (bahan kimia dengan sifat lipofilik akan mudah menembus stratum korneum kulit masuk mencapai sel epidermis dibawahnya). 2) Karakteristik paparan: Meliputi durasi yang dalam penelitian akan dinilai dari lama paparan perhari dan lama bekerja sebagai karyawan binatu (semakin lama durasi paparan dengan bahan kimia maka semakin banyak pula bahan yang mampu masuk ke kulit
sehingga semakin poten pula untuk timbulkan reaksi), tipe kontak (kontak melalui udara maupun kontak langsung dengan kulit), paparan dengan lebih dari satu jenis bahan kimia (adanya interaksi lebih dari satu bahan kimia dapat bersifat sinergis ataupun antagonis, terkadang satu bahan kimia saja tidak mampu memberikan gejala tetapi mampu timbulkan gejala ketika bertemu dengan bahan lain) , dan frekuensi paparan dengan agen (bahan kimia asam atau basa kuat dalam sekali paparan bisa menimbulkan gejala, untuk basa atau asam lemah butuh beberapa kali paparan untuk mampu timbulkan gejala, sedangkan untuk bahan kimia yang bersifat sensitizer paparan sekali saja tidak bisa menimbulkan gejala karena harus melalui fase sensitisasi dahulu). 3) Faktor lingkungan: Meliputi temperatur ruangan (kelembapan udara yang rendah serta suhu yang dingin menurunkan komposisi air pada stratum korneum yang membuat kulit lebih permeable terhadap bahan kimia) dan faktor mekanik yang dapat berupa tekanan, gesekan, atau lecet, juga dapat meningkatkan permeabilitas kulit terhadap bahan kimia akibat kerusakan stratum korneum pada kulit . Faktor endogen Faktor endogen yang turut berpengaruh terhadap terjadinya dermatitis kontak meliputi: 1) Faktor genetik, telah diketahui bahwa kemampuan untuk mereduksi radikal bebas, perubahan kadar enzim antioksidan, dan kemampuan melindungi protein dari trauma panas, semuanya diatur oleh genetik. Dan predisposisi terjadinya suatu reaksi pada tiap individu berbeda dan mungkin spesifik untuk bahan kimia tertentu. 2) Jenis kelamin, mayoritas dari pasien yang ada merupakan pasien perempuan, dibandingkan laki-laki, hal ini bukan karena perempuan memiliki kulit yang lebih rentan, tetapi karena perempuan lebih sering terpapar dengan bahan iritan dan pekerjaan yang lembap. 3) Usia, anak dengan usia kurang dari 8 tahun lebih rentan terhadap bahan kimia, sedangkan pada orang yang lebih tua bentuk iritasi dengan gejala kemerahan sering tidak tampak pada kulit. 4) Ras, sebenarnya belum ada studi yang menjelaskan tipe kulit yang mana yang secara signifikan mempengaruhi terjadinya dermatitis. Hasil studi yang baru, menggunakan adanya eritema pada kulit sebagai parameter menghasilkan orang berkulit hitam lebih resisten terhadap dermatitis, akan tetapi hal ini bisa jadi salah, karena eritema pada kulit hitam sulit terlihat. 5) Lokasi kulit, ada perbedaan yang signifikan pada fungsi barier kulit pada lokasi yang berbeda. Wajah, leher, skrotum, dan punggung tangan lebih rentan dermatitis.
6) Riwayat atopi, dengan adanya riwayat atopi, akan meningkatkan kerentanan terjadinya dermatitis karena adanya penurunan ambang batas terjadinya dermatitis, akibat kerusakan fungsi barier kulit dan perlambatan proses penyembuhan. 7) Faktor lain dapat berupa perilaku individu: kebersihan perorangan, hobi dan pekerjaanan sambilan, serta penggunaan alat pelindung diri saat bekerja.
H. Penegakkan Diagnosis Dermatitis Kontak Alergi a Anamnesis Dalam anamnesis riwayat pasien, penting untuk mempertimbangkan pekerjaan, rumah tangga, dan kemungkinan paparan terhadap alergen saat bepergian, dan juga tentu saja waktu, lokalisasi, alergen sebelumnya diidentifikasi, diatesis topik, perawatan kulit, kosmetik, dan obat topikal maupun sistemik. Perempuan lebih sering mengalami DKA daripada laki-laki, dan ada peningkatan insiden dengan bertambahnya usia (Tersinanda, 2011). Keluhan utama yang datang bersama pasien biasanya gatal bersama riwayat kontak dengan alergen sebelumnya dalam waktu lebih dari 2 hari (Sularsito, 2011). b Pemeriksaan Fisik Ujud kelainan kulit yang tampak pada keadaan akut dimulai dengan bercak eritematosa yang berbatas jelas, kemudian diikuti edema, papulovesikel, vesikel, atau bula. Vesikel dan bula tersebut bisa pecah dan menyebabkan erosi dan eksudasi (basah). diantaranya adalah, eritema erupsi akut ditandai dengan makula dan papula eritema, vesikel, atau bula. Namun, dalam DKA akut di daerah tertentu dari tubuh, seperti kelopak mata, penis, dan skrotum, eritema dan edema biasanya mendominasi dibandingkan vesikel (Sularsito, 2011). Pada keadaan kronis, terlihat kulit kering bersquama, papul, likenifikasi, dan mungkin juga fisur serta batasnya tidak jelas. Penampilan klinis DKA dapat bervariasi tergantung pada lokasi dan durasi. Tekanan, gesekan, dan keringat merupakan faktor
yang tampaknya meningkatkan sensitisasi. Kelopak mata, leher, dan alat kelamin adalah salah satu daerah yang paling mudah peka, sedangkan telapak tangan, telapak kaki, dan kulit kepala lebih resisten (Sularsito, 2011). c
Pemeriksaan Penunjang Uji Tempel atau Patch Test (In Vivo) Uji tempel digunakan untuk mendeteksi hipersensitivitas terhadap zat yang bersentuhan dengan kulit sehingga alergen dapat ditentukan dan tindakan korektif dapat diambil. Uji tempel merupakan pemeriksaan untuk konfirmasi dan diagnostik tetapi hanya dalam kerangka anamnesis dan pemeriksaan fisik, uji tempel ini jarang membantu jika tanpa anamnesis dan pemeriksaan fisik. Uji tempel dapat diadministrasikan dengan thin-layer rapid-use epicutaneous (TRUE) atau dengan ruang aluminium yang disiapkan tersendiri (Finn) dimana dipasang pada tape Scanpor. Zat uji biasanya diaplikasikan pada punggung atas, meskipun jika hanya satu atau dua yang diterapkan, lengan luar atas juga dapat digunakan. Tempelan dihapus setelah 48 jam (atau lebih cepat jika gatal parah atau terbakar pada kulit) kemudian dibaca. Kulit yang ditempel ini perlu dievaluasi lagi pada hari ke-4 atau 5, karena reaksi positif mungkin tidak muncul sebelumnya. menunjukkan interpretasi reaksi uji tempel.3, 5,10,14,15 (Tersinanda, 2011). Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang optimal memang dapat membantu dokter dalam mendiagnosis. Namun pada keadaan tertentu diperlukan juga pemeriksaan penunjang untuk memastikan diagnosis kerja yang akan ditegakkan yang erat kaitannya dengan penatalaksaannya. Adapun pemeriksaan penunjang yang biasa digunakan dalam menentukan pasien DKA umumnya menggunakan tes tempe, tes tusuk dan tes gosok, namun yang paling lazim digunakan adalah tes tempel (Djuanda et al, 2009).
Tabel 2. Kriteria diagnostik untuk dermatitis kontak iritan.
I. Diagnosis Banding Kelainan kulit dermatitis kontak alergik sering tidak menunjukkan gambaran morfologik yang khas, dapat menyerupai dermatitis atopik, dermatitis numularis, dermatitis seboroik, atau psoriasis. Diagnosis banding yang terutama ialah dengan dermatitus kontak iritan. Dalam keadaan ini pemeriksaan uji tempel perlu dipertimbangkan untuk menentukan, apakah dermatitis tersebut karena kontak alergi (Djuanda, 2003). Gambaran klinis kebanyakan penyakit kulit akibat kerja sama dengan penyakit kulit bukan akibat kerja. Diagnosis banding didasarkan pada dua prinsip: 1) Diagnosis nosologi yang tepat untuk menyingkirkan penyakit-penyakit bukan akibat kerja. 2) Identifikasi agen etiologis dermatosis akibat kerja. Kelainan kulit dermatitis kontak alergika sering tidak menunjukkan gambaran morfologi yang khas, dapat menyerupai dermatitis atopik, dermatitis numularis, dermatitis seboroik, atau psoriasis. Namun, diagnosis banding yang utama
ialah dengan dermatitis kontak iritan. Untuk membedakan antara dermatitis kontak alergi dengan dermatitis kontak iritan diperlukan patch test. Akan tetapi dalam penelitian ini diagnosis hanya sampai menentukan dermatitis kontak, tidak sampai membedakan antara dermatitis kontak alergika dengan dermatitis kontak iritan. Berikut ini merupakan bahan-bahan kimia yang memungkinkan terjadinya dermatitis kontak: 1) detergen, merupakan bahan iritan lemah yang didalamnya mengandung surfaktan seperti alkil benzene sulfonat yang berfungsi menurunkan tegangan permukaan, adanya bahan ini dapat mempengaruhi lapisan lipid di kulit superficial dan kondisi hidrasi kulit. 2) pelembut pakaian, mengandung supersoft, methanol sebagai pelarut, dan senyawa aktif ammonium kuartener klorida bersifat antibakteri terutama efektif untuk bakteri gram positif, bersifat stabil, tidak korosif, tidak mengiritasi kulit, mampu menghilangkan dan mencegah timbulnya bau tidak enak, selain itu biasanya juga terkandung parfum dan pewarna. 3) penghilang noda, terdapat kandungan surfaktan sebagai pelarut noda dengan kekuatan yang lebih dibandingkan yang ada pada deterjen dalam komposisinya, selain itu ada pula peroksida yang memiliki sifat dapat mengoksidasi kulit. 4) liquid alkaline, merupakan basa kuat dengan pH 12-13 untuk membantu membuka serat kain sehingga membantu kinerja detergen untuk menghilangkan noda, sifat basa ini dapat menyebabkan kerusakan pada lapisan keratin dan protein kulit. 5) neutralizer powder, bubuk asam dengan pH <5 untuk menetralkan penggunaan liquid alkalin, sifat asam ini dapat mempengaruhi kandungan air pada kulit. 6) pelicin pakaian , digunakan sebagai pelicin saat menyeterika, mengandung bahan kimia benzalkonium chloride yang sering menimbulkan terjadinya dermatitis kontak alergika. 7) pemutih pakaian, merupakan bahan iritan yang mengandung natrium hipoklorit yang bersifat proteolitik dan dapat mengoksidasi kulit. 8) air, dapat menimbulkan dermatitis kontak bila kontak dengan air lebih dari 2 jam perhari, atau terlalu sering mencuci tangan dengan air (> 20 kali perhari), karena sifatnya yang hipotonik, air ini mampu bertindak sebagai agen sitotoksik yang dapat mengerosi kulit. 9) Parfum laundry, jenis bahan kimia yang terkandung dalam parfum tergantung dari aromanya dan bahan ini termasuk bahan yang sering menimbulkan terjadinya dermatitis kontak jenis
alergika, selain biang parfum sendiri ada bahan tambahan lain berupa air untuk mengencerkan dan alkohol sebagai pelarut, alkohol ini bila konsentrasinya masih tinggi dapat bersifat iritan. J. Penatalaksanaan Medika mentosa a Kortikosteroid, hanya untuk kasus berat dan digunakan dalam waktu singkat 1 Prednison D. 5-10mg/dosis, 2-3 kali/24 jam A: 1 mg/KgBB/hari 2 Deksametason D. 0,5-1 mg/dosis, 2-3 kali/24 jam A:0,1 mg/KgBB/hari 3 Triamsinolon D. 4-8 mg/dosis, 2-3 kali/24 jam A: 1 mg/KgBB/hari b Antihistamin 1 Klorfeneramin maleat D. 3-4 ing/dosis, 2-3 kali/24 jam A. 0,09 mg/kg/dosis, 3 kali/24 jam 2) Difenhidramin D. 10-20 mg/dosis i.m 1-2 kali/24 jam 3) Loratadin D. 1 tablet/hari 2.
Pengobatan Topikal (SMF IKK FK UNAIR, 2008) : a. Bentuk akut dan eksudatif diberi kompres larutan garam faali (NaCl 0,9%) b. Bentuk kronik dan kering diberi krim hidrokortison 1% atau diflukortolon valerat 0,1% atau krim betametason valerat 0,005-0,1%
Non medikamentosa -
:
Pasien disarankan untuk melakukan tes alergi Menjauhkan allergen yang bisa menimbulkan alergi (latex) Anjurkan pasien untuk tidak menggaruk bagian lesi karena dapat memperparah lesi Perawatan luka yang baik dan benar Menjaga kebersihan pribadi agar tidak terkena infeksi sekunder
K. Prognosis Prognosis pada penderita KAD akan baik selama tanda dan gejalanya bisa ditangani sejak dini dan penderita bisa menghindari kontak dengan allergen. Tapi tidak menutup kemungkinan prognosis akan menjadi buruk apabila penderita tetap kontak dengan allergen yang menyebabkan dermatitis tersebut. Biasanya baik (Siregar, 2004). Bila bahan iritan penyebab dermatitis tersebut tidak disingkirkan secara sempurna, maka prognosisnya kurang
baik. Keadaan ini sering terjadi pada DKI kronis yang penyebabnya multi faktor, juga pada penderita atopik (Djuanda, Kosasih, & Wiryadi et all, 2005).
BAB III KESIMPULAN 1
Dermatitis kontak alergi merupakan dermatitis kontak karena sensitisasi alergi terhadap substansi yang beraneka ragam yang menyebabkan reaksi peradangan pada kulit bagi mereka yang
2
mengalami hipersensitivitas terhadap alergen sebagai suatu akibat dari pajanan sebelumnya. Penyebab tertinggi pada DKA diakibatkan oleh adanya kontak dengan bahan kimia sederhana dengan berat molekul yang umumnya rendah (< 1000 dalton), berupa allergen yang belum diproses, disebut hapten, yang bersifat lipofilik, sangat reaktif, dan dapat menembus stratum
3
korneum dan bahkan hingga lapisan dermis. Seseorang dengan DKA biasanya datang dengan keluhan utama adanya gatal, pada keadaan akut akan dijumpai bercak eritematosa yang berbatas jelas kemudian diikuti edema, papulovesikel, vesikel atau bula. Vesikel atau bula dapat pecah menimbulkan erosi dan eksudasi (basah). DKA akut di kelompak mata, penis, scrotum, eritema dan edema lebih dominan daripada vesikel. Pada keadaan kronis akan terlihat adanya kulit kering, berskuama, papul, likenifikasi, dan fisur yang batasnya tidak jelas.
Daftar Pustaka
Afifah, adilah.2012.Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Terjadinya Dermatitis Kontak Akibat Kerja pada Karyawan Binatu. Diakses dari http://eprints.undip.ac.id/37287/1/ADILAH_G2A008006_LAPORAN_KTI.pdf pada 20 Nobember 2013.
Ayu, et al.2013.Dermatitis Kontak Akibat Kerja pada Penata Rambut. Diakses dari http://ojs.unud.ac.id/index.php/eum/article/download/6104/4595 pada 20 November 2013. Brown, Robin Graham, Tony Burns. 2005. Lecture Notes Dermatology Edisi 8. Jakarta : Erlangga.
Cohen DE, Jacob SE. Allergic contact dermatitis. In: Fitzpatricks et al, editors. Dermatology in general medicine vol.1 7th ed. New York: Mc Graw Hill Medical;2008.p.135-140.
Continuing Profesional Development Dokter Indonesia. Dermatitis Kontak [internet].c
2010
[cited
2011
Nov
28].Available
from:
http://cpddokter.com/home/index.php?option=com_content&task=view&id=1 677&Itemid=38.
Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi Edisi 3. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Davey, Patrick, 2006. At A Glance : Medicine. Jakarta : Erlangga.
Dearborn, Frederick M. 2002. Including the Exanthemata : Diseases of the Skin. New Dehli : B. Jain Publisher.
Djuanda, A. et al. 2010. Ilmu Penyakit Dalam dan Kelamin. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI).
Djuanda, Adhi. 2009. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi kelima. Jakarta. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Djuanda, Adhi. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Kelima. Jakarta : FAkultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Djuanda, Adhi. Kosasih, A. Wirjadi, Benny E. 2005. Ilmu Kulit dan Kelamin. Edisi keempat. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Florence SM. Analisa Dermatitis Kontak pada Karyawan Pencuci Botol di PT X. Medan Tahun 2008. Medan: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara; 2008.
Graham R, Brown. Lecture notes dermatology 8th ed. Jakarta:EMS; 2005.p.10-13
Indica, Apotek. 2009. Cetrizine. Available at : http://www.farmasiku.com/index.php? target=products&product_id=32518 diakses pada 20 November 2013.
Lakshmipathy, Deepika T., Kannabiran, Krishnan. 2010. “Review on Dermatomycosis : Pathogenesis and Treatment” dalam Journal of Natural Science Vol 2 (7) pg : 726-731.
Lubis, Ramona Dumasari. 2008. Dermatitis Kontak Oleh Karena Rubber. Available at (http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3426/1/08E00887.pdf) Diakses tanggal: 20 November 2013.
Master, Farokh J., Devika A. Pooran, Shailen D. Petigra, dkk. 2005. Diseases of the Skin. New Dehli : B. Jain Publisher.
Partogi D. Dermatitis kontak iritan. Medan: Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK USU. 2008.
Price, Sylvia A., Lorraine M. Wilson. 2006. Patofisiologi:Kelainan Kulit. Jakarta: EGC.
Rosmelia. 2010. Dasar Dasar Diagnosis Klinis Dalam Dermatologi. Available at: http://www.scribd.com/doc/61185655/Dasar-Diagnosis-Klinis-Handout.
Siregar, R.S. 2004. Saripati Penyakit Kulit. Edisi 2. Jakarta : EGC.
Sularsito, Sri Adi dan Suria Djuanda. 2011. Dermatitis Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Sularsito, S.A., dan Suria Djuanda. 2011. Dermatitis. Dalam Djuanda, A., Mochtar, H., dan Siti, A. “Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Keenam”. Jakarta: Badan Penerbit FKUI.
Sularsito SA, Djuanda S. Dermatitis. In: Djuanda A, kepala editor. Ilmu penyakit kulit dan kelamin edisi ke-4. Jakarta: FKUI;2005.h.129-140.
SMF IKK FK UNAIR. 2008. Atlas Penyakit Kulit & Kelamin/Bagian SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin. Surabaya: Airlangga University Press.
Taylor JS, Sood A, Amado A. Irritant contact dermatitis. Dalam:Fitzpatricks et al, editors. Dermatology in general medicine vol.1 7th ed. New York: Mc Graw Hill Medical;2008.p.395-401.
Tersinanda Trisna Yuliharti. Luh Made Mas Rusyati. 2011. “Dermatitis Kontak Alergi”. Bagian SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar. Diakses di http://ojs.unud.ac.id/index.php/eum/article/download/6113/4604 Pada 20 November 2013.