Pengertian Problem Based Learning ( PBL ) Model Problem Based Learning adalah model pembelajaran dengan pendekatan pembelajaran siswa pada masalah autentik sehingga siswa dapat menyusun pengetahuannya sendiri, menumbuh kembangkan keterampilan yang lebih tinggi dan inkuiri, memandirikan siswa dan meningkatkan kepercayaan diri sendiri (menurut Arends dalam Abbas, 2000:13). Model ini bercirikan penggunaan masalah kehidupan nyata sebagai sesuatu yang harus dipelajari siswa untuk melatih dan meningkatkan ketrampilan berfikir kritis dan pemecahan masalah serta mendapatkan pengetahuan konsep- konsep penting, dimana tugas guru harus memfokuskan diri untuk membantu siswa mencapai ketrampilan mengarahkan diri. Pembelajaran berbasis masalah penggunaannya di dalam tingkat berfikir yang lebih tinggi, dalam situasi berorientasi pada masalah, termasuk bagaimana belajar. Problem Based Learning atau Pembelajaran berbasis masalah meliputi pengajuan pertanyaan atau masalah, memusatkan pada keterkaitan antar disiplin, penyelidikan autentik, kerjasama dan menghasilkan karya serta peragaan. Pembelajaran berbasis masalah tidak dirancang untuk membantu guru memberikan informasi sebanyak-banyaknya pada siswa. Pembelajaran berbasis masalah antara lain bertujuan untuk membantu siswa mengembangkan ketrampilan berfikir dan ketrampilan pemecahan masalah (Ibrahim 2002 : 5). Dalam pembelajaran berbasis masalah, perhatian pembelajaran tidak hanya pada perolehan pengetahuan deklaratif, tetapi juga perolehan pengetahuan prosedural. Oleh karena itu penilaian tidak hanya cukup dengan tes. Penilaian dan evaluasi yang sesuai dengan model pembelajaran berbasis masalah adalah menilai pekerjaan yang dihasilkan oleh siswa sebagai hasil pekerjaan mereka dan mendiskusikan hasil pekerjaan secara bersama-sama. Penilaian proses dapat digunakan untuk menilai pekerjaan siswa tersebut, penilaian ini antara lain : – asesmen kerja, asesmen autentik dan portofolio. Penilaian proses bertujuan agar guru dapat melihat bagaimana siswa merencanakan pemecahan masalah, melihat bagaimana siswa menunjukkan pengetahuan dan ketrampilannya. Airasian dalam Diah Eko Nuryenti (2002) menyatakan bahwa penilaian kinerja memungkinkan siswa menunjukkan apa yang dapat mereka lakukan dalam situasi yang sebenarnya. Sebagian masalah dalam kehidupan nyata bersifat dinamis sesuai dengan perkembangan zaman dan konteks atau lingkungannya, maka disamping pengembangan kurikulum juga perlu dikembangkan model pembelajaran yang sesuai tujuan kurikulum yang memungkinkan siswa dapat secara aktif mengembangkan kerangka berfikir dalam memecahkan masalah serta kemampuannya untuk bagaimana belajar (learning how to learn). Dengan kemampuan atau kecakapan tersebut diharapkan siswa akan mudah beradaptasi. Menurut Arends (dalam Abbas, 2000:13), pertanyaan dan masalah yang diajukan haruslah memenuhi kriteria sebagai berikut. a. Autentik, yaitu masalah harus lebih berakar pada kehidupan dunia nyata siswa dari pada berakar pada prinsip-prinsip disiplin ilmu tertentu. b. Jelas, yaitu masalah dirumuskan dengan jelas, dalam arti tidak menimbulkan masalah baru bagi siswa yang pada akhirnya menimbulkan masalah baru bagi siswa yang pada akhirnya menyulitkan penyelesaian siswa. c. Mudah dipahami, yaitu masalah yang diberikan hendaknya mudah dipahami siswa. Selain itu masalah disusun dan dibuat sesuai dengan tingkat perkembangan siswa. 8 d. Luas dan sesuai dengan tujuan pembelajaran, yaitu masalah yang disusun dan dirumuskan
hendaknya bersifat luas, artinya masalah tersebut mencakup seluruh materi pelajaran yang akan diajarkan sesuai dengan waktu, ruang dan sumber yang tersedia. Selain itu, masalah yang telah disusun tersebut harus didasarkan pada tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. e. Bermanfaat, yaitu masalah yang telah disusun dan dirumuskan haruslah bermanfaat, baik siswa sebagai pemecah masalah maupun guru sebagai pembuat masalah. Masalah yang bermanfaat adalah masalah yang dapat meningkatkan kemampuan berfikir memecahkan masalah siswa, serta membangkitkan motivasi belajar siswa. Menurut Lepinski (2005) tahap-tahap pemecahan masalah sebagai berikut ini, yaitu: 1) penyampaian ide (ideas), 2) penyajian fakta yang diketahui (known facts), 3) mempelajari masalah (learning issues), 4) menyusun rencana tindakan, (action plan) dan 5) evaluasi (evaluation). a. Penyampaian Ide (Ideas). Pada tahap ini dilakukan secara curah pendapat (brainstorming). Pembelajar merekam semua daftar masalah (gagasan,ide) yang akan dipecahkan. Mereka kemudian diajak untuk melakukan penelaahan terhadap ide-ide yang dikemukakan atau mengkaji pentingnya relevansi ide berkenaan dengan masalah yang akan dipecahkan (masalah actual, atau masalah yang relevan dengan 9 kurikulum), dan menentukan validitas masalah untuk melakukan proses kerja melalui masalah. b. Penyajian Fakta yang Diketahui (Known Facts) Pada tahap ini, mereka diajak mendata sejumlah fakta pendukung sesuai dengan masalah yang telah diajukan. Tahap ini membantu mengklarifikasi kesulitan yang diangkat dalam masalah. Tahap ini mungkin juga mencakup pengetahuan yang telah dimiliki oleh mereka berkenaan dengan isu-isu khusus, misalnya pelanggaran kode etik, teknik pemecahan konflik, dan sebagainya. c. Mempelajari Masalah ( Learning Issues). Pebelajar diajak menjawab pertanyaan tentang, “Apa yang perlu kita ketahui untuk memecahkan masalah yang kita hadapi?” Setelah melakukan diskusi dan konsultasi, mereka melakukan penelaahan atau penelitian dan mengumpulkan informasi. Pebelajar melihat kembali ide-ide awal untuk menentukan mana yang masih dapat dipakai. Seringkali, pada saat para pebelajar menyampaikan masalah-masalah, mereka menemukan cara-cara baru untuk memecahkan masalah. Dengan demikian, hal ini dapat menjadi sebuah proses atau tindakan untuk mengeliminasi ide-ide yang tidak dapat dipecahkan atau sebaliknya ide-ide yang dapat dipakai untuk memecahkan masalah. d. Menyusun Rencana Tindakan (Action Plan). Pada tahap ini, pebelajar diajak mengembangkan sebuah rencana tindakan yang didasarkan atas hasil temuan mereka. Rencana tindakan ini berupa sesuatu (rencana) apa yang mereka akan lakukan atau berupa suatu rekomendasi saran-saran untuk memecahkan masalah. e. Evaluasi Tahap evaluasi ini terdiri atas tiga hal: 1) bagaimana pebelajar dan evaluator menilai produk (hasil akhir) proses, 2) bagai-mana mereka menerapkan tahapan PBM untuk bekerja melalui masalah, dan 3) bagaimana pebelajar akan menyampaikan pengetahuan hasil pemecahakan masalah atau sebagai bentuk pertanggung jawaban mereka. Sebagian dari evaluasi memfokuskan pada pemecahan masalah oleh pebelajar maupun dengan cara melakukan proses belajar kolaborasi (bekerja bersama pihak lain). Suatu alat untuk menilai hasil dapat dipakai sebuah rubrik.
Pengertian Project Based Learning Pembelajaran berbasis proyek (PBL) merupakan metode belajar yang menggunakan masalah sebagai langkah awal dalam pengumpulan dan mengintegrasikan pengetahuan baru berdasarkan pengalamannya dalam beraktivitas secara nyata. PBL dirancang untuk digunakan pada permasalahan komplek yang diperlukan pelajaran dalam melakukan investigasi dan memahaminya. Pembelajaran Berbasiskan Proyek berasal dari gagasan John Deweytentang konsep “Learning by Doing” yakni proses perolehan hasil belajardengan mengerjakan tindakan-tindakan tertentu sesuai dengan tujuannya,terutama penguasaan anak tentang bagaimana melakukan sesuatu pekerjaanyang terdiri atas serangkaian tingkah laku untuk mencapai suatu tujuan. Pendekatan Pembelajaran Berbasis Proyek didukung teori belajar konstruktivisme yang menyatakan bahwa struktur dasar suatu kegiatan terdiriatas tujuan yang ingin dicapai sebagai subyek yang berada di dalam kontekssuatu masyarakat di mana pekerjaan itu dilakukan dengan perantaraan alatalat,peraturan kerja, pembagian tugas dalam penerapan di kelas bertumpupada kegiatan aktif dalam bentuk melakukan suatu (doing) daripada kegiatanpasif “menerima” transfer pengetahuan dari pengajar. Filosofi belajarkonstruktivisme menekankan bahwa belajar tidak hanya sekadar menghafal, tetapi merekonstruksikan atau membangun pengetahuan dan keterampilanbaru lewat fakta-fakta atau proposisi yang mereka alami dalamkehidupannya. Pendekatan Pembelajaran Berbasis Proyek didukung teori belajar konstruktivisme yang menyatakan bahwa struktur dasar suatu kegiatan terdiri atas tujuan yang ingin dicapai sebagai subyek yang berada di dalam konteks suatu masyarakat di mana pekerjaan itu dilakukan dengan perantaraan alat-alat, peraturan kerja, pembagian tugas dalam penerapan di kelas bertumpu pada kegiatan aktif dalam bentuk melakukan suatu (doing) daripada kegiatan pasif “menerima” transfer pengetahuan dari pengajar. Hubungan Problem Based Learning dan Project Based Learning Pendekatan Pembelajaran Berbasis Proyek (project-based learning) ini merupakan adaptasi dari pendekatan pembelajaran berbasis masalah (problem-based learning) yang awalnya berakar pada pendidikan medis (kedokteran). Pendidikan medis menaruh perhatian besar terhadap fenomena praktisi medis muda yang memiliki pengetahuan faktual cukup tetapi gagal menggunakan pengetahuannya saat menangani pasien sungguhan (Maxwell, Bellisimo, & Mergendoller, 1999). Setelah melakukan pengkajian bagaimana tenaga medis didik, pendidikan medis mengembangkan program pembelajaran yang men-cemplung-kan siswa ke dalam skenario penanganan pasien baik simulatif ataupun sungguhan. Proses ini kemudian dikenal sebagai pendekatan problem-based learning. Kini, problem-based learning diterapkan secara luas pada pendidikan medis di negara-negara maju. Berdasarkan pengalaman pada pendidikan medis, pendekatan problem-based learning diadaptasi menjadi model project-based learning untuk pendidikan teknologi dan kejuruan, terutama program kompetensi produktif. Keduanya menekankan lingkungan belajar siswa aktif, kerja kelompok (kolaboratif), dan teknik evaluasi otentik (authentic assessment). Perbedaannya terletak pada perbedaan objek. Kalau dalam problem-based learning pendidik lebih didorong dalam kegiatan yang memerlukan perumusan masalah, pengumpulan data, dan analisis data (berhubungan dengan proses diagnosis pasien); maka dalam project-based learning pendidik lebih didorong pada kegiatan desain: merumuskan job, merancang (designing), mengkalkulasi, melaksanakan pekerjaan, dan mengevaluasi hasil. Karakteristik Project Based Learning Pembelajaran berbasis proyek memiliki potensi yang besar untuk memberikan pengalaman
belajar yang lebih menarik dan bermakna bagi siswa ( Gear, 1998). Sedangkan menurut Buck Institute for Education (1999), bahwa pembelajaran berbasis proyek memiliki karakteristik sebagai berikut: • Pelajar membuat keputusan dan membuat kerangka kerja • Terdapat masalah yang pemecahannya tidak ditentukan sebelumnya • Pelajar merancang proses untuk mencapai hasil • Pelajar bertanggungjawab untuk mendapatkan dan mengelola informasi yang dikumpulkan • Melakukan evaluasi secara kontinu • Pelajar secara teratur melihat kembali apa yang mereka kerjakan • Hasil akhir berupa produk dan dievalusi kualitasnya • Kelas memiliki atmosfer yang member toleransi kesalahan dan perubahan Prinsip – prinsip PBL Menurut Thomas (2000), pembelajaran berbasis proyek memiliki lima prinsip, yaitu: a) Keterpusatan (centrality) Proyek dalam Pembelajaran Berbasis Proyek adalah pusat atau inti kurikulum, bukan pelengkap kurikulum. Di dalam Pembelajaran Berbasis Proyek, proyek adalah strategi pembelajaran; pelajar mengalami dan belajar konsep-konsep inti suatu disiplin ilmu melalui proyek. Ada kerja proyek yang mengikuti pembelajaran tradisional dengan cara proyek tersebut memberi ilustrasi, contoh, praktik tambahan, atau aplikasi praktik yang diajarkan sebelumnya dengan maksud lain. Akan tetapi, menurut kriteria di atas, aplikasi proyek tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai Pembelajaran Berbasis Proyek. Kegiatan proyek yang dimaksudkan untuk pengayaan di luar kurikulum juga tidak termasuk Pembelajaran Berbasis Proyek b) Berfokus pada Pertanyaan atau Masalah Proyek dalam Pembelajaran Berbasis Proyek adalah terfokus pada pertanyaan atau masalah, yang mendorong pelajar menjalani (dengan kerja keras) konsep-konsep dan prinsip-prinsip inti atau pokok dari disiplin. Kriteria ini sangat halus dan agak susah diraba. Definisi proyek (bagi pelajar) harus dibuat sedemikian rupa agar terjalin hubungan antara aktivitas dan pengetahuan konseptual yang melatarinya yang diharapkan dapat berkembang menjadi lebih luas dan mendalam (Baron, Schwartz, Vye, Moore, Petrosino, Zech, Bransford, & The Cognition and Technology Group at Vanderbilt, 1998). Biasanya dilakukan dengan pengajuan pertanyaanpertanyaan atau ill-defined problem (Thomas, 2000). Proyek dalam Pembelajaran Berbasis Proyek mungkin dibangun di sekitar unit tematik, atau gabungan (intersection) topik-topik dari dua atau lebih disiplin, tetapi itu belum sepenuhnya dapat dikatakan sebuah proyek. Pertanyaanpertanyaan yang mengejar pelajar, sepadan dengan aktivitas, produk, dan unjuk kerja yang mengisi waktu mereka, harus digubah (orchestrated) dalam tugas yang bertujuan intelektual (Blumenfeld, et al., 1991). c) Investigasi Konstruktif atau Desain Proyek melibatkan pelajar dalam investigasi konstruktif. Investigasi mungkin berupa proses desain, pengambilan keputusan, penemuan masalah, pemecahan masalah, diskoveri, atau proses pembangunan model. Akan tetapi, agar dapat disebut proyek memenuhi kriteria Pembelajaran Berbasis Proyek, aktivitas inti dari proyek itu harus meliputi transformasi dan konstruksi pengetahuan (dengan pengertian: pemahaman baru, atau keterampilan baru) pada pihak pebelajar (Bereiter & Scardamalia, 1999). Jika pusat atau inti kegiatan proyek tidak menyajikan “tingkat kesulitan” bagi anak, atau dapat dilakukan dengan penerapan informasi atau keterampilan yang siap dipelajari, proyek yang dimaksud adalah tak lebih dari sebuah latihan, dan bukan proyek
Pembelajaran Berbasis Proyek yang dimaksud. Membersihkan peralatan laboratorium mungkin sebuah proyek, akan tetapi mungkin bukan proyek dalam Pembelajaran Berbasis Proyek. d) Otonomi Proyek mendorong pelajar sampai pada tingkat yang signifikan. Proyek dalam Pembelajaran Berbasis Proyek bukanlah ciptaan guru, tertuliskan dalam naskah, atau terpaketkan. Latihan laboratorium bukanlah contoh Pembelajaran Berbasis Proyek, kecuali jika berfokus pada masalah dan merupakan inti pada kurikulum. Proyek dalam Pembelajaran Berbasis Proyek tidak berakhir pada hasil yang telah ditetapkan sebelumnya atau mengambil jalur (prosedur) yang telah ditetapkan sebelumnya. Proyek Pembelajaran Berbasis Proyek lebih mengutamakan otonomi, pilihan, waktu kerja yang tidak bersifat rigid, dan tanggung jawab pelajar daripada proyek trandisional dan pembelajaran tradisional. e) Realisme Proyek adalah realistik. Karakteristik proyek memberikan keontentikan pada pelajar. Karakteristik ini boleh jadi meliputi topik, tugas, peranan yang dimainkan pelajar, konteks dimana kerja proyek dilakukan, kolaborator yang bekerja dengan pelajar dalam proyek, produk yang dihasilkan, audien bagi produk-produk proyek, atau kriteria di mana produk-produk atau unjuk kerja dinilai. Pembelajaran Berbasis Proyek melibatkan tantangan-tantangan kehidupan nyata, berfokus pada pertanyaan atau masalah otentik (bukan simulatif), dan pemecahannya berpotensi untuk diterapkan di lapangan yang sesungguhnya. Pembelajaran berbasis proyek bisa menjadi bersifat revolusioner di dalam isu pembaruan pembelajaran. Proyek dapat mengubah hakikat hubungan antara guru dan pelajar. Proyek dapat mereduksi kompetisi di dalam kelas dan mengarahkan pelajar lebih kolaboratif daripada kerja sendiri-sendiri. Proyek juga dapat menggeser fokus pembelajaran dari mengingat fakta ke eksplorasi ide. Beberapa aspek yang membedakan pembelajaran Berbasis Proyek dengan pembelajaran tradisional dideskripsikan oleh Thomas, Mergendoller, & Michaelson (1999) sebagaimana dalam Tabel 2, sebagai berikut: Langkah – Langkah PBL Langkah – langkah pembelajaran berbasis proyek dilaksanakan dalam 3 tahap (Anita, 2007:25) yaitu: 1) Tahapan perencanaan proyek Adapun langkah – langkah perencanaan tersebut adalah sebagai berikut: •Merumuskan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai •Menentukkan topik yang akan dibahas •Mengelompokan siswa dalam kelompok – kelompok kecil berjumlah 4 – 5 orang dengantingkat kemampuan beragam •Merencang dan menyusun LKS •Merancang kebutuhan sumber belajar •Menetapkan rancangan penilaian 2) Tahap pelaksanaan Siswa dalam masing – masing kelompok melaksanakan proyek dengan melakukan investigasi atau berpikir dengan kemampuannya berdasarkan pada pengalaman yang dimiliki. Kemudian diadakan diskusi kelompok. Sementara guru membimbing siswa yang mengalami kesulitan dengan betindak sebagai fasilitator. 3) Tahap penilian Pada tahap ini, guru melakukan evaluasi terhadap hasil kerja masing –masing kelompok.
Berdasarkan penilaian tersebut, guru dapat membuat kesimpulan apakah kegiatan tersebut perlu diperbaiki atau tidak, dan bagian mana yang perlu diperbaiki. Pengimplementasian pembelajaran berbasis proyek tidak terlepas dari kurikulum, pertanggungjawaban, realism, belajar aktif, umpan balik, pengetahuan umum, pertanyaan yang memacu, investigasi konstruktif, serta otonomi. Purnawan (Muliawati, 2010:11) mengungkapkan bahwa pembelajaran berbasis proyek mengacu pada hal –hal sebagai berikut: a.Curriculum: memerlukan suatu strategi sasaran dimana proyek sebagai pusat b.Responsibility: PBL menekankan responsibility dan answerbility para siswa ke dari dan panutannya c.Realism: kegiatan siswa difokuskan pada pekerjaan yang serupa dengan situasi yang sebenarnya d.Active learning: menumbuhkan isu yang berunjung pada pertanyaan dan keinginan siswa untuk menemukan jawaban yang relevan, sehingga dengan demikian telah terjadi proses pembelajaran yang mandiri. e.Feedback: diskusi, presentasi dan evaluasi terhadap para siswa menghasilkan umpan balik yang berharga. Ini mendorng kearah pembelajaran berdasarkan pengalaman f.General skill: pembelajaran berbasis proyek dikembangkan tidak hanya pada keterampilan pokok dan pengetahuan saja, tetapi juga mempunyai pengaruh besar bagi keterampilan yang mendasar, seperti pemecahan masalah, kerja kelompok, dan self management g.Driving question: pembelajaran berbasis proyek difokuskan pada pertanyaan atau permasalahan yang memicu siswa untuk berbuat menyelesaikan permasalahan dengan konsep, prinsip dan ilmu pengetahuan yang sesuai. h.Constuctive investigations: sebagai titik pusat, proyek harus disesuaikan dengan pengetahuan para siswa i.Autonomy: proyek menjadikan aktivitas siswa sangat penting Detail Aktivitas: o Kelompokan siswa dalam beberapa kelompok kecil yang beranggotakan maksimal 4 orang. o Bagikan potongan kertas putih berupa bentuk bangun datar kepada masing-masing kelompok. Pastikan masing-masing kelompok menerima satu paket bentuk bengun datar seperti pada gambar. o Bagikan pula sebuah kertas plano yang berisikan sebuah tabel besar, yang terdiri dari dua kolom, yaitu kolom “bangun yang simetri” dan kolom “bangun yang tidak simetri” o Berikutnya minat mereka untuk mengelompokan mana bangun yang simetri dan mana bangun yang tidak simetri dengan cara melipat satu persatu bangun yang ada, dan memastikan apakah masing-masing sudut dari berbagai bangun tersebut dapat saling berimpitan atau tidak. Minta mereka untuk mengelompokan dan menempelkan bangun datar yang ada dalam tabel yang ada dikertas plano Peran Guru dan Siswa dalam PBL Menurut Cord et al. (Khamdi, 2007) pembelajaran berbasis proyek adalah suatu model atau pendekatan pembelajaran yang inovatif, yang menekankan belajar kontekstual melalui kegiatan – kegiatan yang kompleks. Pembelajran berbasis proyek adalah penggunaan proyek sebagai model pembelajaran. Proyek – proyek meletakkan siswa dalam sebuah peran aktif yaitu sebagai pemecah masalah, pengambilan keputusan, peneliti, dan pembuat dokumen. Pembelajaran berbasis proyek berangkat dari pandangan konstruktivism yang mengacu pada
pendekatan kontekstual (Khamdi, 2007). Dengan demikian, pembelajaran berbasis proyek merupakan metode yang menggunakan belajar kontekstual, dimana para siswa berperan aktif untuk memecahkan masalah, mengambil keputusan, meneliti, mempresentasikan, dan membuat dokumen. Pembelajaran berbasis proyek dirancang untuk digunakan pada permasalahan kompleks yang diperlukan siswa dalam melakukan investigasi dan memahaminya. Menurut Waras Khamdi, selama berlangsungnya proses pembelajaran berbasis proyek, pelajar akan mendapatkan bimbingan dari narasumber atau fasilitator, dimana peran fasilitator: – Peran Guru a. Mengajar kelompok dan menciptakan suasana yang nyaman b. Memastikan bahwa sebelum dimulai, setiap kelompok telah memiliki seorang anggota yang bertugas membaca materi, sementara teman – temannya mendengarkan, dan seorang anggota yang bertugas mencatat informasi yang penting sepanjang jalannya diskusi c. Memberikan materi atau informasi pada saat yang tepat, sesuai dengan perkembangan kelompok. d. Memastikan bahwa setiap sesi diskusi kelompok diakhiri dengan self-evalution. e. Menjaga agar kelompok terus memusatkan perhatian pada pencapaian tujuan. f. Memonitor jalannya diskusi dan membuat catatan tentang berbagai masalah yang muncul dalam proses belajar, serta mengajar agar proses belajar terus berlangsung. Dengan tujuan agar setiap tahapan dalam proses belajar tidak dilewati atau diabaikan, sehingga tiap tahapan dilakukan dalam urutan yang tepat. g. Menjaga motivasi pelajar dengan mempertahankan unsur tantangan dalam penyelesaian tugas dan juga mempertahankan untuk mendorong pelajaran keluar dari kesulitan. h. Membimbing proses belajar dengan mengajukan pertanyaan yang tepat pada saat yang tepat, secara mendalam tentang berbagai konsep, ide, penjelasan, sudut pandang, dsb. i. Mengevaluasi kegiatan belajar termasuk partisipasi pelajar dalam proses kelompok. Pengajar perlu memastikan bahwa setiap pelajar terlibat dalam proses kelompok dan berbagai pemikiran dan pandangan. – Peran Siswa a. Menggunakan kemampuan bertanya dan berpikir b. Melakukan riset sederhana c. Mempelajari ide dan konsep baru d. Belajar mengatur waktu dengan baik e. Melakukan kegiatan belajar sendiri/kelompok f. Mengaplikasikan belajar lewat tindakan g. Melakukan interaksi social (wawancara, survei, observasi, dll) h. Kegiatan lebih banyak pada kerja kelompok. Ciri pembelajaran berbasis proyek menurut Center For Youth Development and Education Boston (Muliawati, 2010:10) yaitu: 1. Melibatkan para siswa dalam masalah – masalah kompleks, persoalan – persoalan dunia nyata, dimana pun para siswa dapat memilih dan menetukan persoalan atau masalah yang bermakna 2. Para siswa diharuskan menggunakan penyelidikan, penelitian keterampilan perencanaan, berpikir kritis dan kemampuan memecahkan masalah saat mereka menyelesaikan proyek. 3. Para siswa diharapkan mempelajari dan menerapkan keterampilan dan pengetahuan yang dimilikinya dalam berbagai konteks ketika mengerjakan proyek. 4. Memberikan kesempatan bagi siswa untuk belajar dan mempraktekkan keterampilan pribadi
pada saat mereka bekerja dalam tim kooperatif, maupun saat mendiskusikan dengan guru. 5. Memberikan kesempatan bagi para siswa mempraktekan berbagai keterampilan yang dibutuhkan untuk kehidupan dewasa mereka dan karir (bagaimana mengalokasikan waktu, menjadi individu yang bertanggung jawab, keterampilan pribadi, belajra melalui pengalaman). 6. Menyampaikan harapan mengenai prestasi/hasil pembelajaran (ini disesuaikan dengan standard an tujuan pembelajaran untuk sekolah/negara. 7. Melakukan refleksi yang mengarahkan siswa untuk berpikir kritis tentang pengalaman mereka dan menghubungkan pengalaman dengan pelajaran. 8. Berakhir dengan presentasi atau produk yang menunjukkan pembelajaran dan kemudian dinilai (kriteria dapat ditentukan oleh para siswa) Adapun kelebihan dari penggunaan pembelajaran berbasis proyek menurut Kamdi (Muliawati, 2010:13) adalah sebagai berikut: a. Meningkatkan motivasi. Laporan-laporan tertulis tentang proyek banyak yang mengatakan bahwa siswa tekun sampai lewat batas waktu, berusaha keras dalam mencapai proyek. b. Meningkatkan kemampuan pemecahan masalah. Penelitian pada pengembangan keterampilan kognitif tingkat tinggi siswa menekankan perlunya bagi siswa untuk terlibat di dalam tugas-tugas pemecahan masalah dan perlunya untuk pembelajaran khusus pada bagaimana menemukan dan memecahkan masalah. Banyak sumber yang mendeskripsikan lingkungan belajar berbasis proyek membuat siswa menjadi lebih aktif dan berhasil memecahkan problem-problem yang kompleks. c. Meningkatkan kolaborasi. Pentingnya kerja kelompok dalam proyek memerlukan siswa mengembangkan dan mempraktikan keterampilan komunikasi. Kelompok kerja kooperatif, evaluasi siswa, pertukaran informasi adalah aspek-aspek kolaboratif dari sebuah proyek. Teoriteori kognitif yang baru dan konstruktivistik menegaskan bahwa belajar adalah fenomena sosial , dan bahwa siswa akan belajar lebih di dalam lingkungan kolaboratif. d. Meningkatkan keterampilan mengelola sumber. Bagian dari menjadi siswa yang independen adalah bertanggungjawab untuk menyelesaikan tugas yang kompleks. Pembelajaran berbasis proyek yang diimplementasikan secara baik memberikan kepada siswa pembelajaran dan praktik dalam mengorganisasi proyek, dan membuat alokasi waktu dan sumber-sumber lain seperti perlengkapan untuk menyelesaikan tugas. Adapun kekurangan dari pembelajaran berbasis proyek menurut Anita (2007: 27) adalah sebagai berikut: a. Tiap mata pelajaran mempunyai kesulitan tersendiri, yang tidak dapat selalu dipenuhi di dalam proyek. b. Sukar untuk memilih proyek yang tepat. c. Menyiapkan tugas bukan suatu hal yang mudah, karena memerlukan banyak waktu untuk menyelesaikan masalah. d. Sulitnya mencari sumber-sumber referensi yang sesuai. e. Membutuhkan biaya yang cukup banyak
PROJECT BASED LEARNING(Teori dan Implementasinya pada Konsep Bioteknologi SMA Kelas XII)PROGRAM MAGISTER PENDIDIKAN BIOLOGISEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA2012 ii DAFTAR ISI Halaman Judul ................................................................................................Daftar Isi ......................................................................................................... Bab I Pendahuluan .......................................................................................A. Latar belakang .........................................................................................B. Rumusan masalah .....................................................................................C. Tujuan ....................................................................................................... Bab II Kajian Teori dan Implementasi ......................................................A. Kajian Teori ..............................................................................................1. Pengertian model PjBL .......................................................................2. Prinsip-prinsip PjBL ...........................................................................3. Keunggulan PjBL ...............................................................................4. Perbedaaan PjBL dengan pembelajaran tradisional ...........................5. Langkah-langkah PjBL .......................................................................6. Tinjauan penelitian yang relevan ........................................................7. Kendala yang dihadapi dalam PjBL ...................................................8. Meningkatkan efektivitas PjBL ..........................................................B. Implementasi PjBL pada konsep Bioteknologi ........................................ Bab III Penutup ............................................................................................A. Simpulan ..................................................................................................B. Saran ........................................................................................................iii122233345681012121433333 3Referensi ........................................................................................................ 34 1 BAB IPENDAHULUAN A . L a t a r b e l a k a n g Project Based Learning (PjBL) adalah salah satu model dalam pembelajaran sains.PjBL juga dikenal sebagai pembelajaran berbasis proyek dan Project BasedInstruction (PBI). Model ini merupakan salah satu pengembangan teori belajar konstruktivisme yang mengemukakan bahwa manusia sebagai manusia pembelajar harus membangun pengetahuannya sendiri.Siswa masuk ke dalam kelas dianggap tidak dalam keadaan kosong, melainkan sudah membawa pengetahuan yang diperoleh dan dibangun secara tidak formal dari segala hal yang terjadi di sekitarnya. Pembelajaran sains menekankan pemberian pengalaman secara langsung
melalui penggunaan dan pengembangan keterampilan proses dan sikap ilmiah. Pembelajaran sains juga harus menghasilkan produk yang meliputi fakta, konsep, prinsip, dan prosedur. Metode investigasi yang merupakan ciri khusus pembelajaran sains memberikan solusi pembelajaran melalui inkuiri yang dapat memberikan kontribusi kepada pengembangan kemampuan menganalisis dan berpikir kritis. Biologi sebagai salah satu ilmu sains hendaknya dipelajari secara menyeluruh untuk mempersiapkan struktur pengembangan kemampuan berpikir, tingkah laku dan individu yang mandiri serta menciptakan suatu pembelajaran seumur hidup. Permendiknas RI Nomor 22 Tahun 2006 mengharapkan pembelajaran biologi sebagai salah satu disiplin ilmu sainstidak hanya membelajarkan fakta, konsep, dan prinsip biologi kepada siswa, melainkan juga mengharapkan siswa untuk dapat berinkuiri ilmiah untuk membangun konsep sendiri melalui penjelajahan alam sekitar.Hal tersebut didukung oleh John Dewey yang mengemukakan pernyataan “ school would mirror the larger society and classrooms wouldbe laboratories for real life inquiry and problem solving ” (Arends dalam Susanto 2010). Pernyataan tersebut mengandung arti bahwa pembelajaran biologi sebagai salah satu ilmu sains merupakan suatu proses untuk 2menjadikan siswa berinkuiri dalam rangka memecahkan masalah nyata di kehidupan seharihari.Bioteknologi merupakan salah satu konsep Biologi SMA kelas XII yang tepat dibelajarkan melalui model PjBL. Hal ini karena kebanyakan siswa sudah mengetahui hasil bioteknologi dalam kehidupan mereka sehari-hari. Model PjBL akan memberikan kesempatan bagi para siswa untuk mengeksplorasi dan menyusun pengetahuannya sendiri yang bersumber pada kehidupan nyata.Berdasarkan paparan di atas, penulis tertarik untuk mengkaji teori PjBL dan mengimplementasikanmodel PjBL dalam pembelajaran Biologi pada konsep Bioteknologi. Kajian teori dilakukan melalui studi pustaka dan implementasi dilakukan dalam bentuk Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Penjabaran teori model PjBL merupakan bahan untuk membantu pemahaman pembaca untuk menerapkan PjBL dalam pengajaran Biologi nantinya.B . R u m u s a n m a s a l a h Masalah yang dirumuskan dalam makalah ini adalah.1 . A p a k a h y a n g d i m a k s u d d e n g a n m o d e l P j B L ? 2.Bagaimana implementasi model PjBL dalam pembelajaran Biologi SMA kelas XIIpada konsep Bioteknologi?C . T u j u a n p e n u l i s a n Makalah ini disusun dengan tujuansebagai berikut.1 . M e m a h a m i m o d e l P j B L 2.Mengimplementasikan model PjBL dalam pembelajaran Biologi SMA kelas XIIpada konsep Bioteknologi
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ada kecenderungan dewasa ini untuk kembali pada pemikiran bahwa anak akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami apa yang dipelajarinya, bukan memgetahuinya. Pembelajaran yang berorientasi pada penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetisi menggingat jangka pendek tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka panjang Pendekatan kontektual (Contextual Teaching and Learning /CTL) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlansung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan mentransfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil Dalam kelas kontektual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Maksudnya, guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Sesuatu yang baru datang dari menemukan sendiri bukan dari apa kata guru.Begitulah peran guru di kelas yang dikelola dengan pendekatan kontekstual 1.2 Rumusan Masalah A. Apa pengertian dari CTL? B. Apa yang dimaksud dengan pemikiran tentang belajar? C. Bagaimana hakekat Pembelajaran Kontekstual? D. Apa pengertian Pembelajaran Kontekstual? E. Bagaimana perbedaan Pendekatan Kontekstual dengan Pendekatan Tradisional? F.Bagaimana penerapan Pendekatan Kontekstual Di Kelas? G. Apa saja komponen Pembelajaran Kontekstual? H. Apa karakteristik Pembelajaran Kontekstual? I. Bagaiman menyusun Rencana Pembelajaran Berbasis Kontekstual?
1.3 Tujuan Penyusunan Agar Pembaca yang hampir seluruhnya merupakan guru dan calon guru dapat lebih mengetahui konsep dari model pembelajaran konterkstual dan penerapannya di dalam proses belajar mengajar, sehingga dapat mempermudah seorang pengajar untuk mencapai tujuan pendidikan nasional yang telah ditetapkan 1.4 Metode Penyusunan Dalam penyusunan makalah ini penulis menggunakan metode studi pustaka dan penulusuran melalui internet untuk menunjang kelengkapan materi makalah tersebut. BAB II PEMBAHASAN 2.1 Model Pembelajaran Kontekstual A. Pengertian Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan proses pembelajaran yang holistik dan bertujuan membantu siswa untuk memahami makna materi ajar dengan mengaitkannya terhadap konteks kehidupan mereka sehari-hari (konteks pribadi, sosial dan kultural), sehingga siswa memiliki pengetahuan/ ketrampilan yang dinamis dan fleksibel untuk mengkonstruksi sendiri secara aktif pemahamannya. CTL disebut pendekatan kontektual karena konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota masyarakat. B. Pemikiran tentang belajar Dalam Contextual teaching and learning (CTL) diperlukan sebuah pendekatan yang lebih memberdayakan siswa dengan harapan siswa mampu mengkonstruksikan pengetahuan dalam benak mereka, bukan menghafalkan fakta. Disamping itu siswa belajar melalui mengalami bukan menghafal, mengingat pengetahuan bukan sebuah perangkat fakta dan konsep yang siap diterima akan tetapi sesuatu yang harus dikonstruksi oleh siswa. Dengan rasional tersebut pengetahuan selalu berubah sesuai dengan perkembangan jaman. Pendekatan kontekstual mendasarkan diri pada kecenderungan pemikiran tentang belajar sebagai berikut. 1. Proses belajar
1. Belajar tidak hanya sekedar menghafal. Siswa harus mengkontruksi pengetahuan di benak mereka. 2. Anak belajar dari mengalami. Anak mencatat sendiri pola-pola bermakna dari pengetahuan baru, dan bukan diberi begitu saja oleh guru. 3. Para ahli sepakat bahwa pengetahuan yang dimiliki sesorang itu terorganisasi dan mencerminkan pemahaman yang mendalam tentang sesuatu persoalan. 4. Pengetahuan tidak dapat dipisah-pisahkan menjadi fakta-fakta atau proposisi yang terpisah, tetapi mencerminkan keterampilan yang dapat diterapkan. 5. Manusia mempunyai tingkatan yang berbeda dalam menyikapi situasi baru. 6. Siswa perlu dibiasakan memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide. 7. Proses belajar dapat mengubah struktur otak. Perubahan struktur otak itu berjalan terus seiring dengan perkembangan organisasi pengetahuan dan keterampilan sesorang. 2. Transfer Belajar 1. Siswa belajar dari mengalami sendiri, bukan dari pemberian orang lain. 2. Keterampilan dan pengetahuan itu diperluas dari konteks yang terbatas (sedikit demi sedikit) 3. Penting bagi siswa tahu untuk apa dia belajar dan bagaimana ia menggunakan pengetahuan dan keterampilan itu 3. Siswa sebagai Pembelajar 1. Manusia mempunyai kecenderungan untuk belajar dalam bidang tertentu, dan seorang anak mempunyai kecenderungan untuk belajar dengan cepat hal-hal baru. 2. Strategi belajar itu penting. Anak dengan mudah mempelajari sesuatu yang baru. Akan tetapi, untuk hal-hal yang sulit, strategi belajar amat penting. 3. Peran orang dewasa (guru) membantu menghubungkan antara yang baru dan yang sudah diketahui. 4. Tugas guru memfasilitasi agar informasi baru bermakna, memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan dan menerapkan ide mereka sendiri, dan menyadarkan siswa untuk menerapkan strategi mereka sendiri. 4. Pentingnya Lingkungan Belajar 1. Belajar efektif itu dimulai dari lingkungan belajar yang berpusat pada siswa. Dari guru akting di depan kelas, siswa menonton ke siswa akting bekerja dan berkarya, guru mengarahkan. 2. Pengajaran harus berpusat pada bagaimana cara siswa menggunakan pengetahuan baru mereka.Strategi belajar lebih dipentingkan dibandingkan hasilnya. 3. Umpan balik amat penting bagi siswa, yang berasal dari proses penilaian yang benar. 4. Menumbuhkan komunitas belajar dalam bentuk kerja kelompok itu penting. C. Hakekat Pembelajaran Kontekstual
Pembelajarn kontekstual (Contextual Teaching and learning) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran efektif, yakni: konstruktivisme (Constructivism), bertanya (Questioning), menemukan ( Inquiri), masyarakat belajar (Learning Community), pemodelan (Modeling), dan penilaian sebenarnya (Authentic Assessment) D. Pengertian Pembelajaran Kontekstual 1. Merupakan suatu proses pendidikan yang holistik dan bertujuan memotivasi siswa untuk memahami makna materi pelajaran yang dipelajarinya dengan mengkaitkan materi tersebut dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari (konteks pribadi, sosial, dan kultural) sehingga siswa memiliki pengetahuan/ keterampilan yang secara fleksibel dapat diterapkan (ditransfer) dari satu permasalahan /konteks ke permasalahan/ konteks lainnya. 2. Merupakan konsep belajar yang membantu guru mengkaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata dan mendorong pebelajar membuat hubungan antara materi yang diajarkannya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota dan masyarakat E. Perbedaan Pendekatan Kontekstual dengan Pendekatan Tradisional Kontekstual 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Menyandarkan pada pemahaman makna. Pemilihan informasi berdasarkan kebutuhan siswa. Siswa terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran. Pembelajaran dikaitkan dengan kehidupan nyata/masalah yang disimulasikan. Selalu mengkaitkan informasi dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa. Cenderung mengintegrasikan beberapa bidang. Siswa menggunakan waktu belajarnya untuk menemukan, menggali, berdiskusi, berpikir kritis, atau mengerjakan proyek dan pemecahan masalah (melalui kerja kelompok). 8. Perilaku dibangun atas kesadaran diri. 9. Keterampilan dikembangkan atas dasar pemahaman. 10. Hadiah dari perilaku baik adalah kepuasan diri. yang bersifat subyektif. 11. Siswa tidak melakukan hal yang buruk karena sadar hal tersebut merugikan. 12. Perilaku baik berdasarkan motivasi intrinsik. 13. Pembelajaran terjadi di berbagai tempat, konteks dan setting. 14. Hasil belajar diukur melalui penerapan penilaian autentik.
Tradisional 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Menyandarkan pada hapalan Pemilihan informasi lebih banyak ditentukan oleh guru. Siswa secara pasif menerima informasi, khususnya dari guru. Pembelajaran sangat abstrak dan teoritis, tidak bersandar pada realitas kehidupan. Memberikan tumpukan informasi kepada siswa sampai saatnya diperlukan. Cenderung terfokus pada satu bidang (disiplin) tertentu. Waktu belajar siswa sebagian besar dipergunakan untuk mengerjakan buku tugas, mendengar ceramah, dan mengisi latihan (kerja individual). 8. Perilaku dibangun atas kebiasaan. 9. Keterampilan dikembangkan atas dasar latihan. 10. Hadiah dari perilaku baik adalah pujian atau nilai rapor. 11. Siswa tidak melakukan sesuatu yang buruk karena takut akan hukuman. 12. Perilaku baik berdasarkan motivasi entrinsik. 13. Pembelajaran terjadi hanya terjadi di dalam ruangan kelas. 14. Hasil belajar diukur melalui kegiatan akademik dalam bentuk tes/ujian/ulangan. F. Penerapan Pendekatan Kontekstual Di Kelas Pembelajaran Kontekstual dapat diterapkan dalam kurikulum apa saja, bidang studi apa saja, dan kelas yang bagaimanapun keadaannya. Pendekatan Pembelajaran Kontekstual dalam kelas cukup mudah. Secara garis besar, langkahnya sebagai berikut ini. Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topik kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya. Ciptakan masyarakat belajar. Hadirkan model sebagai contoh pembelajaran Lakukan refleksi di akhir pertemuan Lakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara
G. Tujuh Komponen Pembelajaran Kontekstual 1. Konstruktivisme
Membangun pemahaman mereka sendiri dari pengalaman baru berdasar pada pengetahuan awal.
Pembelajaran harus dikemas menjadi proses “mengkonstruksi” bukan menerima pengetahuan
2. Inquiry
Proses perpindahan dari pengamatan menjadi pemahaman. Siswa belajar menggunakan keterampilan berpikir kritis
3. Questioning (Bertanya)
Kegiatan guru untuk mendorong, membimbing dan menilai kemampuan berpikir siswa. Bagi siswa yang merupakan bagian penting dalam pembelajaran yang berbasis inquiry
4. Learning Community (Masyarakat Belajar)
Sekelompok orang yang terikat dalam kegiatan belajar. Bekerjasama dengan orang lain lebih baik daripada belajar sendiri. Tukar pengalaman. Berbagi ide
5. Modeling (Pemodelan)
Proses penampilan suatu contoh agar orang lain berpikir, bekerja dan belajar. Mengerjakan apa yang guru inginkan agar siswa mengerjakannya
6. Reflection ( Refleksi)
Cara berpikir tentang apa yang telah kita pelajari. Mencatat apa yang telah dipelajari. Membuat jurnal, karya seni, diskusi kelompok
7. Authentic Assessment (Penilaian Yang Sebenarnya)
Mengukur pengetahuan dan keterampilan siswa. Penilaian produk (kinerja). Tugas-tugas yang relevan dan kontekstual
H. Karakteristik Pembelajaran Kontekstual
Kerjasama Saling menunjang Menyenangkan, tidak membosankan Belajar dengan bergairah Pembelajaran terintegrasi Menggunakan berbagai sumber Siswa aktif
Sharing dengan teman Siswa kritis guru kreatif Dinding dan lorong-lorong penuh dengan hasil kerja siswa, peta-peta, gambar, artikel, humor dan lain-lain Laporan kepada orang tua bukan hanya rapor tetapi hasil karya siswa, laporan hasil pratikum, karangan siswa dan lain-lain
I. Menyusun Rencana Pembelajaran Berbasis Kontekstual Dalam pembelajaran kontekstual, program pembelajaran lebih merupakan rencana kegiatan kelas yang dirancang guru, yang berisi skenario tahap demi tahap tentang apa yang akan dilakukan bersama siswanya sehubungan dengan topik yang akan dipelajarinya. Dalam program tercermin tujuan pembelajaran, media untuk mencapai tujuan tersebut, materi pembelajaran, langkahlangkah pembelajaran, dan authentic assessmennya. Dalam konteks itu, program yang dirancang guru benar-benar rencana pribadi tentang apa yang akan dikerjakannya bersama siswanya. Secara umum tidak ada perbedaan mendasar format antara program pembelajaran konvensional dengan program pembelajaran kontekstual. Sekali lagi, yang membedakannya hanya pada penekanannya. Program pembelajaran konvensional lebih menekankan pada deskripsi tujuan yang akan dicapai (jelas dan operasional), sedangkan program untuk pembelajaran kontekstual lebih menekankan pada skenario pembelajarannya. Atas dasar itu, saran pokok dalam penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) berbasis kontekstual adalah sebagai berikut. Nyatakan kegiatan pertama pembelajarannya, yaitu sebuah pernyataan kegiatan siswa yang merupakan gabungan antara Standar Kompetensi, Kompetensi dasar, Materi Pokok dan Pencapaian Hasil Belajar. 1. 2. 3. 4.
Nyatakan tujuan umum pembelajarannya. Rincilah media untuk mendukung kegiatan itu Buatlah skenario tahap demi tahap kegiatan siswa Nyatakan authentic assessmentnya, yaitu dengan data apa siswa dapat diamati partisipasinya dalam pembelajaran. BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan CTL disebut pendekatan kontektual karena konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa
membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota masyarakat.
MAKALAH PENDEKATAN KONTEKSTUAL LEARNING (CTL)
A. Pendahuluan Proses belajar-mengajar merupakan kegiatan utama sekolah. Dalam proses ini siswa membangun makna dan pemahaman dengan bimbingan guru. Kegiatan belajar- mengajar hendaknya memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan hal-hal secara lancar dan termotivasi. Suasana belajar yang diciptakan guru harus melibatkan siswa secara aktif. Di sekolah, terutama guru diberikan kebebasan untuk mengelola kelas yang meliputi strategi, pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran yang efektif, disesuaikan dengan karakteristik mata pelajaran, karakteristik siswa, guru, dan sumber daya yang tersedia di sekolah. Namun Ada kecendrungan dewasa ini untuk kembali pada pemikiran bahwa anak akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami apa yang dipelajarinya, bukan memgetahuinya. Pembelajaran yang berorientasi pada penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetisi menggingat jangka pendek tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka panjang Pendekatan kontektual (Contextual Teaching and Learning /CTL) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlansung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan mentransfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil Dalam kelas kontektual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Maksudnya, guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas
sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Sesuatu yang baru datang dari menemukan sendiri bukan dari apa kata guru.Begitulah peran guru di kelas yang dikelola dengan pendekatan kontekstual
B. Pengertian pendekatan Kontekstual Pembelajarn kontekstual (Contextual Teaching and learning) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran efektif, yakni: konstruktivisme (Constructivism), bertanya (Questioning), menemukan ( Inquiri), masyarakat belajar (Learning Community), pemodelan (Modeling), dan penilaian sebenarnya (Authentic Assessment) 1. Merupakan suatu proses pendidikan yang holistik dan bertujuan memotivasi siswa untuk memahami makna materi pelajaran yang dipelajarinya dengan mengkaitkan materi tersebut dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari (konteks pribadi, sosial, dan kultural) sehingga siswa memiliki pengetahuan/ keterampilan yang secara fleksibel dapat diterapkan (ditransfer) dari satu permasalahan /konteks ke permasalahan/ konteks lainnya. 2. Merupakan konsep belajar yang membantu guru mengkaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata dan mendorong pebelajar membuat hubungan antara materi yang diajarkannya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat
C. Pemikiran tentang belajar Pendekatan kontekstual mendasarkan diri pada kecenderungan pemikiran tentang belajar sebagai berikut. 1. Proses belajar
Belajar tidak hanya sekedar menghafal. Siswa harus mengkontruksi pengetahuan di benak mereka.
Anak belajar dari mengalami. Anak mencatat sendiri pola-pola bermakna dari pengetahuan baru, dan bukan diberi begitu saja oleh guru.
Para ahli sepakat bahwa pengetahuan yang dimiliki sesorang itu terorganisasi dan mencerminkan pemahaman yang mendalam tentang sesuatu persoalan.
Pengetahuan tidak dapat dipisah-pisahkan menjadi fakta-fakta atau proposisi yang terpisah, tetapi mencerminkan keterampilan yang dapat diterapkan.
Manusia mempunyai tingkatan yang berbeda dalam menyikapi situasi baru.
Siswa perlu dibiasakan memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide.
2. Transfer Belajar
Siswa belajar dari mengalami sendiri, bukan dari pemberian orang lain.
Keterampilan dan pengetahuan itu diperluas dari konteks yang terbatas (sedikit demi sedikit)
Penting bagi siswa tahu untuk apa dia belajar dan bagaimana ia menggunakan pengetahuan dan keterampilan itu
3. Siswa sebagai Pembelajar
Manusia mempunyai kecenderungan untuk belajar dalam bidang tertentu, dan seorang anak mempunyai kecenderungan untuk belajar dengan cepat hal-hal baru.
Strategi belajar itu penting. Anak dengan mudah mempelajari sesuatu yang baru. Akan tetapi, untuk hal-hal yang sulit, strategi belajar amat penting.
Peran orang dewasa (guru) membantu menghubungkan antara yang baru dan yang sudah diketahui.
Tugas guru memfasilitasi agar informasi baru bermakna, memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan dan menerapkan ide mereka sendiri, dan menyadarkan siswa untuk menerapkan strategi mereka sendiri.
4. Pentingnya Lingkungan Belajar
Belajar efektif itu dimulai dari lingkungan belajar yang berpusat pada siswa. Dari guru akting di depan kelas, siswa menonton ke siswa akting bekerja dan berkarya, guru mengarahkan.
Pengajaran harus berpusat pada bagaimana cara siswa menggunakan pengetahuan baru mereka.Strategi belajar lebih dipentingkan dibandingkan hasilnya.
Umpan balik amat penting bagi siswa, yang berasal dari proses penilaian yang benar.
Menumbuhkan komunitas belajar dalam bentuk kerja kelompok itu penting.
D. Penerapan Pendekatan Kontekstual Di Kelas Pembelajaran Kontekstual dapat diterapkan dalam kurikulum apa saja, bidang studi apa saja, dan kelas yang bagaimanapun keadaannya. Pendekatan Pembelajaran Kontekstual dalam kelas cukup mudah. Secara garis besar, langkahnya sebagai berikut ini. Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya
Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topik
kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya.
Ciptakan masyarakat belajar.
Hadirkan model sebagai contoh pembelajaran
Lakukan refleksi di akhir pertemuan
Lakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara
E. Tujuh Komponen Pembelajaran Kontekstual 1. Konstruktivisme (constructivism). Kontruktivisme merupakan landasan berpikir CTL, yang menekankan bahwa belajar tidak hanya sekedar menghafal, mengingat pengetahuan tetapi merupakan suatu proses belajar mengajar dimana siswa sendiri aktif secara mental mebangun pengetahuannya, yang dilandasi oleh struktur pengetahuanyang dimilikinya
Membangun pemahaman mereka sendiri dari pengalaman baru berdasar pada pengetahuan awal.
Pembelajaran harus dikemas menjadi proses “mengkonstruksi” bukan menerima pengetahuan
2. Inquiry
(Inquiry). Menemukan merupakan bagaian inti dari kegiatan pembelajaran berbasis kontekstual Karen pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta tetapi hasil dari menemukan sendiri. Kegiatan menemukan (inquiry) merupakan sebuah siklus yang terdiri dari observasi (observation), bertanya (questioning), mengajukan dugaan (hiphotesis), pengumpulan data (data gathering), penyimpulan (conclusion)
Proses perpindahan dari pengamatan menjadi pemahaman.
Siswa belajar menggunakan keterampilan berpikir kritis
3. Questioning (Bertanya) (Questioning). Pengetahuan yang dimiliki seseorang selalu dimulai dari bertanya. Bertanya merupakan strategi utama pembelajaan berbasis kontekstual. Kegiatan bertanya berguna untuk : 1) menggali informasi, 2) menggali pemahaman siswa, 3) membangkitkan respon kepada siswa, 4) mengetahui sejauh mana keingintahuan siswa, 5) mengetahui hal-hal yang sudah diketahui siswa, 6) memfokuskan perhatian pada sesuatu yang dikehendaki guru, 7) membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa, untuk menyegarkan kembali pengetahuan siswa.
Kegiatan guru untuk mendorong, membimbing dan menilai kemampuan berpikir siswa.
Bagi siswa yang merupakan bagian penting dalam pembelajaran yang berbasis inquiry
4. Learning Community (Masyarakat Belajar) (Learning Community). Konsep masyarakat belajar menyarankan hasil pembelajaran diperoleh dari hasil kerjasama dari orang lain. Hasil belajar diperolah dari ‘sharing’ antar teman, antar kelompok, dan antar yang tau ke yang belum tau. Masyarakat belajar tejadi apabila ada komunikasi dua arah, dua kelompok atau lebih yang terlibat dalam komunikasi pembelajaran saling belajar.
Sekelompok orang yang terikat dalam kegiatan belajar.
Bekerjasama dengan orang lain lebih baik daripada belajar sendiri.
Tukar pengalaman.
5. Modeling (Pemodelan)
Pemodelan pada dasarnya membahasakan yang dipikirkan, mendemonstrasi bagaimana guru menginginkan siswanya untuk belajar dan malakukan apa yang guru inginkan agar siswanya melakukan. Dalam pembelajaran kontekstual, guru bukan satu-satunya model. Model dapat dirancang dengan ,elibatkan siswa dan juga mendatangkan dari luar.
Proses penampilan suatu contoh agar orang lain berpikir, bekerja dan belajar.
Mengerjakan apa yang guru inginkan agar siswa mengerjakannya
6. Reflection ( Refleksi) (Reflection). Refleksi merupakan cara berpikir atau respon tentang apa yang baru dipelajari aau berpikir kebelakang tentang apa yang sudah dilakukan dimasa lalu. Realisasinya dalam pembelajaran, guru menyisakan waktu sejenak agar siswa melakukan refleksi yang berupa pernyataan langsung tentang apa yang diperoleh hari itu.
Cara berpikir tentang apa yang telah kita pelajari.
Mencatat apa yang telah dipelajari.
Membuat jurnal, karya seni, diskusi kelompok
7. Authentic Assessment (Penilaian Yang Sebenarnya) Penilaian yang sebenarnya ( Authentic Assessment). Penialaian adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberi gambaran mengenai perkembangan belajar siswa. Dalam pembelajaran berbasis CTL, gambaran perkembangan belajar siswa perlu diketahui guru agar bisa memastikan bahwa siswa mengalami pembelajaran yang benar. Fokus penilaian adalah pada penyelesaian tugas yang relevan dan kontekstual serta penilaian dilakukan terhadap proses maupun hasil.
Mengukur pengetahuan dan keterampilan siswa.
Penilaian produk (kinerja).
Tugas-tugas yang relevan dan kontekstual
F. Karakteristik Pembelajaran Kontekstual
Kerjasama
Saling menunjang
Menyenangkan, tidak membosankan
Belajar dengan bergairah
Pembelajaran terintegrasi
Menggunakan berbagai sumber
Siswa aktif
Sharing dengan teman
Siswa kritis guru kreatif
Dinding dan lorong-lorong penuh dengan hasil kerja siswa, peta-peta, gambar, artikel, humor dan lain-lain
Laporan kepada orang tua bukan hanya rapor tetapi hasil karya siswa, laporan hasil pratikum, karangan siswa dan lain-lain
G. Menyusun Rencana Pembelajaran Berbasis Kontekstual Dalam pembelajaran kontekstual, program pembelajaran lebih merupakan rencana kegiatan kelas yang dirancang guru, yang berisi skenario tahap demi tahap tentang apa yang akan dilakukan bersama siswanya sehubungan dengan topik yang akan dipelajarinya. Dalam program tercermin tujuan pembelajaran, media untuk mencapai tujuan tersebut, materi pembelajaran, langkah-langkah pembelajaran, dan authentic assessmennya. Dalam konteks itu, program yang dirancang guru benar-benar rencana pribadi tentang apa yang akan dikerjakannya bersama siswanya. Secara umum tidak ada perbedaan mendasar format antara program pembelajaran konvensional dengan program pembelajaran kontekstual. Sekali lagi, yang membedakannya hanya pada penekanannya. Program pembelajaran konvensional lebih menekankan pada deskripsi tujuan yang akan dicapai (jelas dan operasional), sedangkan program untuk pembelajaran kontekstual lebih menekankan pada skenario pembelajarannya. Atas dasar itu, saran pokok dalam penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) berbasis kontekstual adalah sebagai berikut.
1. Nyatakan kegiatan pertama pembelajarannya, yaitu sebuah pernyataan kegiatan siswa yang merupakan gabungan antara Standar Kompetensi, Kompetensi dasar, Materi Pokok dan Pencapaian Hasil Belajar. 2. Nyatakan tujuan umum pembelajarannya. 3. Rincilah media untuk mendukung kegiatan itu 4. Buatlah skenario tahap demi tahap kegiatan siswa 5. Nyatakan authentic assessmentnya, yaitu dengan data apa siswa dapat diamati partisipasinya dalam pembelajaran.
H. Kelebihan dan kekurangan pendekatan Kontekstual Kelebihan 1. Pembelajaran menjadi lebih bermakna dan riil. Artinya siswa dituntut untuk dapat menagkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata. Hal ini sangat penting, sebab dengan dapat mengorelasikan materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata, bukan saja bagi siswa materi itu akan berfungsi secara fungsional, akan tetapi materi yang dipelajarinya akan tertanam erat dalam memori siswa, sihingga tidak akan mudah dilupakan. 2. Pembelajaran lebih produktif dan mampu menumbuhkan penguatan konsep kepada siswa karena metode pembelajaran CTL menganut aliran konstruktivisme, dimana seorang siswa dituntun untuk menemukan pengetahuannya sendiri. Melalui landasan filosofis konstruktivisme siswa diharapkan belajar
melalui
”mengalami”
bukan
”menghafal”.
Kelemahan 1. Guru lebih intensif dalam membimbing. Karena dalam metode CTL. Guru tidak lagi berperan sebagai pusat informasi. Tugas guru adalah mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan pengetahuan dan ketrampilan yang baru bagi siswa. Siswa dipandang sebagai individu yang sedang berkembang. Kemampuan belajar seseorang akan dipengaruhi oleh tingkat perkembangan dan keluasan pengalaman yang dimilikinya. Dengan demikian, peran guru bukanlah sebagai instruktur atau ” penguasa ” yang memaksa kehendak melainkan guru adalah pembimbing siswa agar mereka dapat belajar sesuai dengan tahap perkembangannya. 2. Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide–ide dan mengajak siswa agar dengan menyadari dan dengan sadar menggunakan strategi–strategi mereka
sendiri untuk belajar. Namun dalam konteks ini tentunya guru memerlukan perhatian dan bimbingan yang ekstra terhadap siswa agar tujuan pembelajaran sesuai dengan apa yang diterapkan semula.
I. Kesimpulan Pembelajaran berbasis kontekstual memiliki berbagai keunggulan di antaranya: (1) siswa terlatih untuk bernalar dan berpikir secara kritis terhadap materi pramenulis laporan dan menulis laporan, (2) siswa penuh dengan aktivitas dan antusias untuk menemukan tema, (3) siswa berani mengajukan pertanyaan dan informasi atau hal-hal yang tidak sesuai dengan pendapat mereka, (4) siswa terlatih untuk belajar ’sharing ideas’ saling berbagi pengetahuan dan berkomunikasi, (5) siswa dapat memberikan contoh melakukan pengamatan terhadap suatu objek di lingkungan sekolah secara giat, serius, dan antusias untuk memperoleh data seoptimal mungkin, (6) refleksi yang dilakukan, baik selama pembelajaran berlangsung maupun dalam setiap akhir pembelajaran berlangsung, (7) penilaian menekankan pada proses dan hasil pembelajaran, seperti: presentasi atau penampilan siswa selama: berdiskusi, melakukan observasi, mendemonstrasikan, dan hasil menulis laporan; selain itu, setiap siswa melakukan penilaian terhadap laporan yang yang ditulis oleh temannya. Pembelajaran berbasis pendekatan kontekstual merupakan upaya yang ditempuh guru untuk memberikan motivasi pada siswa agar siswa lebih aktif, kreatif, dan dapat memberdayakan kemampuan dirinya dalam melakukan kegiatan pembelajaran.
MAKALAH MODEL PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL LEARNING DAN IMPLIKASINYA Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Terstruktur Mata Kuliah : Model-Model Pembelajaran Dosen :Muhsin Riyadi,MA
Disusun Oleh: Kelompok 3 Ani Nurhanifah Ru’yatul Ainiyah TARBIYAH/PBA-C/V INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SYEKH NURJATI CIREBON 2011 …………………………………………………………………………………………………… ………………………… KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Model-Model Pembelajaran tentang “ Model Pembelajaran Kontekstual Learning dan Implikasinya” Pembagian tugas ini telah memberikan kesempatan kepada kami untuk berperan aktif dalam berdiskusi dan belajar. Mudah-mudahan makalah ini dapat berguna bagi kami dan teman-teman semuanya.Namun, kami sadar dalam makalah ini
masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami mohon maaf dan kami mengharap saran dan kritik yang sifatnya membangun. Akhirnya kami mengucapkan terima kasih kepada , bapak Muhsin Riyadi, MA selaku dosen pengampu mata kuliah Model-Model Pembelajaran yang telah membantu kami untuk menyusun makalah ini. Dan tidak lupa juga saya sampaikan kepada rekan-rekan yang telah membantu menyelesaikan makalah ini. Cirebon,
September 2011
Penyusun ……………………………………………………………………………………………………… …. BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Model adalah suatu objek atau konsep yang digunakan untuk mempresentasikan suatu hal. Sedangkan pembelajaran merupakan pengeluaran dari pemrosesan informasi yang berupa kecakapan manusia. Pembelajaran kontekstual ( Contextual Teaching and Learning – CTL ) merupakan salah satu pendekatan pembelajaran yang menarik untuk dibahas dan dipelajari dalam pendidikan bahasa Arab. Dan dalam makalah akan membahas pembelajaran kontekstual ( Contextual Teaching and Learning ) tersebut. 1. Rumusan Masalah 1. Apa yang dimaksud dengan Contextual Teaching and Learning? 2. Apa saja komponen-komponen dalam CTL? 3. Bagaimana penerapan CTL dalam proses pembelajaran? 1. Tujuan Untuk memenuhi tugas terstruktur mata kuliah “Model-Model Pembelajaran” ……………………………………………………………………………………………………… ……………. BAB II MODEL PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL LEARNING DAN IMPLIKASINYA
Elaine B. Johnson ( Riwayat,2008 ) mengatakan pembelajaran kontekstual adalah sebuah sistem yang merangsang otak untuk menyusun pola-pola yang mewujudkan makna. Lebih lanjut, Elaine mengatakan bahwa pembelajaran kontekstual adalah suatu sistem pembelajaran yang cocok dengan otak yang menghasilkan makna dengan menghubungkan muatan akademis dengan konteks dari kehidupan sehari-hari siswa. Jadi, pembelajaran kontekstual adalah usaha untuk membuat siswa aktif dalam memompa kemampuan diri tanpa merugi dari segi manfaat, sebab siswa berusaha mempelajari konsep sekaligus menerapkan dan mengaitkannya dengan dunia nyata. Dari beberapa pengertian diatas dapat diambil kesimpulan, bahwa pembelajaran kontekstual adalah suatu usaha yang dilakukan peserta didik untuk menghasilkan pengetahuan dengan menghubungkan muatan akademis dan mengaitkannya dengan dunia nyata. Sejauh ini, pembelajaran masih didominasi oleh pandangan bahwa pengetahuan sebagai fakta untuk dihapal. Pembelajaran tidak hanya difokuskan pada pemberian pembekalan kemampuan pengetahuan yang bersifat teoritis saja, akan tetapi bagaimana agar pengalaman belajar yang dimiliki siswa itu senantiasa terkait dengan permasalahan-permasalahan yang terjadi di lingkungannya. Dengan demikian, inti dari pendekatan CTL ( Contextual Teaching and Learning ) adalah keterkaitan setiap materi atau topik pembelajaran dengan kehidupan nyata. 1. Konsep Dasar Pembelajaran Kontekstual Pembelajaran kotekstual ( CTL ) merupakan konsep belajar yang dapat membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat ( Nurhadi, 2002 ). Sistem CTL adalah proses pendidikan yang bertujuan membantu siswa melihat makna dalam materi akademik yang mereka pelajari dengan jalan menghubungkan mata pelajaran akademik dengan isi kehidupan sehari-hari, yaitu dengan konteks kehidupan pribadi, sosial, dan budaya. Pembelajaran kontekstual sebagai suatu model pembelajaran yang memberikan fasilitas kegiatan elajar siswa untuk mencari, mengolah, dan menemukan pengalaman belajar yang lebih bersifat konkret ( terkait dengan kehidupan nyata ) melalui keterlibatan aktivitas siswa dalam mencoba, melakukan, dan mengalami sendiri. 1. Komponen Pembelajaran Kontekstual CTL sebagai suatu model pembelajaran memiliki tujuh komponen. Komponen-komponen ini yang melandasi pelaksanaan proses pembelajaran dengan menggunakan pendekatan CTL. Selanjutnya ketujuh komponen ini akan dijelaskan dibawah ini. 1. Kontruktivisme Kontruktivisme adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman( Wina Sanjaya, 2008: 118 ). Kontuktivisme merupakan
landasan berpikir ( filosofi ) dalam CTL, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta, konsep atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus membangun pengetahuan ini memberi makna melalui pengalaman yang nyata. 1. Menemukan ( inquiry ) Inquiry adalah proses pembelajaran didasarkan pada pencarian dan penemuan melalui proses berpikir secara sistematis( Wina Sanjaya, 2008: 119 ). Menemukan, merupakan kegiatan inti dari CTL, melalui upaya menemukan akan memberikan penegasan bahwa pengetahuan dan keterampilan serta kemampuan-kemampuan lain yang diperlukan bukan merupakan hasil dari mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi merupakan hasil menemukan sendiri. 1. Bertanya ( Questioning ) Unsur lain yang menjadi karekteristik utama CTL, adalah kemampuan dan kebiasaan untuk bertanya. Pengetahuan yang dimiliki seseorang selalu bermula dari bertanya. Oleh karena itu, bertanya merupakan strategi utama dalam CTL. Penerapan unsur bertanya dalam CTL harus difasilitasi oleh guru, kebiasaan siswa untuk bertanya atau kemampuan dalam menggunakan pertnyaan yang baik akan mendorong pada peningkatan kualitas dan produktivitas pembelajaran. 1. Masyarakat Belajar ( Learning Community ) Maksud dari masyarakat belajar adalah membiasakan siswa untuk melakukan kerja sama dan memanfaatkan sumber belajar dari teman-teman belajarnya. Seperti yang disarankan dalam learning community, bahwa hasil pembelajaran diperoleh dari kerja sama dengan orang lain melalui berbagai pengalaman ( sharing ). Melalui sharing ini anak dibiasakan untuk saling memberi dan menerima, sifat ketergantungan yang positif dalam learning community dikembangkan. 1. Pemodelan ( Modelling ) Yang dimaksud dengan modelling adalah proses pembelajaran dengan memperagakan sesuatu sebagai contoh yang dapat ditiru oleh setiap siswa( Wina Sanjaya, 2008: 121 ). Modelling merupakan komponen yang cukup penting dalam pembelajaran CTL, sebab melalui moelling siswa dapat terhindar dari pmbelajaran yang teoritis –abstrak yang dapat memungkinkan terjadinya verbalisme. 1. Refleksi ( Reflection ) Refleksi adalah cara berfikir tentang apa yang baru terjadi atau baru saja dipelajari. Dengan kata lain refleksi adalah berfikir ke belakang tentang apa yang apa-apa yang sudah dilakukan dimasa lalu, siswa mengendapakan apa yang baru dipelajarinya sebagai stuktur pengetahuan yang baru yang merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelumnya. Pada saat refleksi, siswa diberi kesempatan untuk merenung atau mengingat kembali apa yang telah dipelajarinya.
1. Penilaian Sebenarnya ( Authentic Assessment ) Tahap terakhir dari pembelajaran kontekstual adalah melakukan penilaian. Penilaian sebagai bagian integral dari pembelajaran memiliki fungsi yang amat menentukan untuk mendapatkan informasi kualitas proses dan hasil pembelajaran melalui penerapan CTL. Penilaian adalah proses pengumpulan berbagai data dan informasi yang bisa memberikan gambaran atau petunjuk terhadap pengalaman belajar siswa. Dengan terkumpulnya berbagai datadan informasi yang engkap sebagai perwujudan dari penerapan penilaian, maka akan semakin akurat pula pemahaman guru terhadap proses dan hasil pengalaman belajar setiap siswa. Guru dengan cermat akan mengetahui kemajuan, kemunduran, dan kesulitan siswa dalam belajar, dan dengan itu pula guru akan memiliki kemudahan untuk melakukan upaya-upaya perbaikan dan penyempurnaan proses bimbingan belajar dalam langkah selanjutnya. 1. Langkah dan Contoh Penerapan Pembelajaran CTL Untuk memahami bagaimana mengaplikasikan CTL dalam proses pembelajaran, dibawah ini disajikan penerapannya. Dalam contoh tersebut dipaparkan bagaimana guru menerapkan pembelajaran dengan pola CTL. Misalkan, pada suatu hari guru akan membelajarkan anak tentang ت عارف. kompetensi yang harus dicapai adalah kemampuan anak untuk menguasai kosa kata baru dengan struktur kalimat ( م ب تدأ ) خ برyang baik dan benar, sesuai dengan materi pokok dan untuk memahami teks-teks berbahasa Arab serta menggunakannya dalam bahasa percakapan dan insya’ muajjah. Untuk mencapai kompetensi tersebut dirumuskan beberapa indikator hasil belajar: 1. 2. 3. 4.
siswa dapat mengucapkan mufradat baru dengan baik dan benar siswa dapat mendemonstrasikan materi hiwar secara berpasangan siswa dapat melakukan tanya jawab dengan mufradat dan struktur kalimat yang diajarkan siswa dapat menjawab pertanyaan/latihan tentang kandungan bahan qiro’at dengan baik dan benar 5. siswa dapat membuat kalimat dengan menggunakan kata-kata yang disediakan Pola Pembelajaran CTL Untuk mencapai kompetensi dengan menggunakan CTL guru melakukan langkah-langkah pembelajaran seperti dibawah ini: a)
Pendahuluan 1. guru menjelaskan kompetensi yang harus dicapai serta manfaat dari proses pembelajaran dan pentingnya materi pelajaran yang akan dipelajari 2. guru menjelaskan prosedur pembelajaran CTL:
siswa dibagi ke dalam beberapa kelompok sesuai dengan jumlah siswa
tiap kelompok ditugaskan untuk mendemonstrasikan materi عارف تdan mencari kalimat yang menggunakan struktur kalimat melalui demonstrasi tersebut siswa ditugaskan untuk mencari/menganalisa struktur kalimat
1. guru melakukan tanya jawab sekitar tugas yang harus dikerjakan oleh setiap siswa b)
Inti
Di Lapangan 1. siswa melakukan analisis/observasi mengenai materi ت عارفdengan struktur kalimatnya bersama dengan kelompoknya 2. siswa mencatat hal-hal yang berkenaan dengan struktur kalimat Di dalam kelas 1. siswa mendiskusikan hasil temuan mereka sesuai dengan kelompoknya masing-masng 2. siswa melaporkan hasil diskusi 3. setiap kelompok menjawab setiap pertanyaan yang diajukan kelompok lain c)
Penutup 1. dengan bantuan guru siswa menyimpulkan hasil analisis dengan indikator hasil belajar yang harus dicapai 2. guru menugaskan siswa untuk untuk menyusun kalimat dengan struktur kalimat tersebut dengan tema (ت عارفWina Sanjaya, 2008: 123-125 ) BAB III KESIMPULAN
Pembelajaran kontekstual adalah suatu usaha yang dilakukan peserta didik untuk menghasilkan pengetahuan dengan menghubungkan muatan akademis dan mengaitkannya dengan dunia nyata. Komponen Pembelajaran Kontekstual :
Kontruktivisme Inquiry Bertanya Masyarakat belajar. Modelling Refleksi Penilaian sebenarnya
Langkah-langkah pembelajaran CTL a)
Pendahuluan 1. guru menjelaskan kompetensi yang harus dicapai serta manfaat dari proses pembelajaran dan pentingnya materi pelajaran yang akan dipelajari 2. guru menjelaskan prosedur pembelajaran CTL:
siswa dibagi ke dalam beberapa kelompok sesuai dengan jumlah siswa tiap kelompok ditugaskan untuk mendemonstrasikan materi ت عارفdan mencari kalimat yang menggunakan struktur kalimat melalui demonstrasi tersebut siswa ditugaskan untuk mencari struktur kalimat
1. guru melakukan tanya jawab sekitar tugas yang harus dikerjakan oleh setiap siswa b) Inti Di Lapangan
siswa melakukan analisis mengenai materi ت عارفdengan struktur kalimatnya bersama dengan kelompoknya siswa mencatat hal-hal yang berkenaan dengan struktur kalimat
Di dalam kelas
siswa mendiskusikan hasil temuan mereka sesuai dengan kelompoknya masing-masng siswa melaporkan hasil diskusi setiap kelompok menjawab setiap pertanyaan yang diajukan kelompok lain
c) Penutup
dengan bantuan guru siswa menyimpulkan hasil analisis dengan indikator hasil belajar yang harus dicapai o guru menugaskan siswa untuk untuk menyusun kalimat dengan struktur kalimat tersebut dengan tema ت عارف
DAFTAR PUSTAKA Sanjaya, Wina. 2008. Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Kencana. Rusman. 2011. Model-Model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Daftar Isi Daftar Isi……………………………………………………………………………………………… 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang…………………………………………………………………………………
2
BAB II PEMBAHASAN 1. Pembelajaran Matematika Kontekstual………………………………………… 3 2. Kunci Dasar Pembelajaran Kontekstual…………………………………………. 5 3. Komponen Pendekatan Kontekstual……………………………………………… 6 1. Metode dan Setrategi dalam Pembelajaran Kontekstual………………….. 8 2. Karakteristik Pembelajaran Berbasis CTL…………………………………….. 10
BAB III PENUTUP 1. Kesimpulan………………………………………………………………………………… 11 2. Saran……………………………………………………………………………………… … 12 DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………………………. 13 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran……………………………………………………….. Lembar Kerja Siswa………………………………………………………………………………..
18
14
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Ketika kita membicarakan tentang pendidikan, kita merasa bahwa kita sedang membicarakan permasalahan yang kompleks dan sangat luas. Mulai dari masalah peserta didik, pendidik/guru, manajemen pendidikan, kurikulum, fasilitas, proses belajar mengajar, dan lain sebagainya. Salah satu masalah yang banyak dihadapi dalam dunia pendidikan kita adalah lemahnya kualitas proses pembelajaran yang dilaksanakan guru di sekolah. Dalam proses pembelajaran di dalam kelas hanya diarahkan kepada kemampuan anak untuk menghafal informasi; otak anak dipaksa untuk mengingat dan menimbun berbagai informasi tanpa dituntut untuk memahami informasi yang diingatnya itu untuk menghubungkannya dengan kehidupan sehari-hari. Akibatnya banyak peserta didik yang ketika lulus dari sekolah, mereka pintar secara teoritis, akan tetapi mereka miskin aplikasi. Dalam Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dijelaskan bahwa Pendidikan Nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. (UU Sisdiknas, 2003). Sesuai fungsi pendidikan nasional tersebut terletak juga tanggung jawab guru untuk mampu mewujudkannya melalui pelaksanaan proses pembelajaran yang mampu bermutu dan berkualitas. Salah satu strategi yang dapat dipergunakan guru untuk memperbaiki mutu dan kualitas proses pembelajaran adalah dengan menerapkan strategi pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL). BAB II PEMBAHASAN
1. A.
Pembelajaran Matematika Kontekstual
Matematika adalah salah satu ilmu dasar yang dewasa ini mulai berkembang pesat, baik materi maupun kegunaan. Hal ini dikarenakan perlunya mengakomodasi keberagaman keperluan dan kemajuan teknologi. Perkembangan ini diiringi dengan adanya pembaruan dalam kurikulum dalam pembelajaran di sekolah dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan. Dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran, saat ini mulai bermunculan penemuan atau pengembangan strategi pembelajaran. Penelitian telah banyak dilakukan untuk menemukan strategi
pembelajaran yang tepat. Masing-masing strategi memiliki ciri khas dan keunggulan. Strategi pembelajaran yang saat ini sedang berkembang adalah strategi pembelajaran dengan pendekatan kontekstual. Di Belanda pembelajaran ini dikenal dengan nama Realistic Mathematics Education (RME), sedangkan di Amerika lebih dikenal dengan sebutan Contextual Teaching and Learning (CTL). Pendekatan kontekstual adalah pendekatan dengan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dan penerapannya dalam kehidupan (Nurhadi,2002:1). Pendekatan ini mengakui bahwa belajar hanya terjadi jika siswa memproses informasi atau pengetahuan baru sehingga dirasakan masuk akal sesuai dengan kerangka berpikir yang dimilikinya. Maka pembelajaran matematika kontekstual adalah pembelajaran matematika dengan pendekatan kontekstual. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Proses pengembangan konsep dan gagasan pembelajaran matematika kontekstual bermula dari dunia nyata. Menurut Hauvel-Panhuizen (dalam Astuti:2003:12) dunia nyata tak ahnya berarti konkret secara fisik dan kasat mata, tapi juga dapat dibayangkan oleh alam pikiran. Hal ini berarti masalah yang digunakan dapat berupa masalah-masalah aktual (sungguh-sungguh ada dalam kehidupan siswa) atau masalah yang dapat dibayangkan oleh siswa. Beberapa ciri khas dalam pembelajaran matematika kontekstual, antara lain, sebagai berikut: 1. Titik awal proses pembelajarannya adalah penggunaan masalah berkonteks kehidupan nyata (kontekstual) yang konkret atau yang ada dalam alam pikiran siswa. Masalahmasalah yang ada dapat disajikan dengan cerita, lambang, model, atau gambar. Dalam hal ini siswa diharapkan dapat menemukan alat matematis atau model matematis sekaligus memahami konsep atau prinsipnya. 2. Pembelajaran ini menghindari cara mekanik yaitu berfokus pada prosedur penyelesaian soal. Meskipun begitu belum sepenuhnya dapat diterapkan karena belum dapat dihilangkan, sehingga dalam pelaksanaannya masih dijumpai meskipun tidak dominan. Siswa diharapkan dapat menemukan alat atau model matematis untuk dapat menyelesaikan masalah. 3. Siswa diperlakuakn sebagai peserta aktif dengan diberi keleluasaan menemukan sendiri atau mengembangkan alat, model dan pemahaman matematis melalui penemuan dengan bantun guru atau diskusi bersama teman. Menurut Slavin (dalam Astuti: 2003:19) kegiatan pembelajaran ini dapat dilakukan dengan diskusi kelompok antara siswa dengan orang dewasa atau dengan teman sebaya. Interaksi tersebut dapat diakomodasikan melalui belajar dalam kelompok heterogen (kelompok kooperatif yang beranggotakan 2-6 orang).menurut Slavin hal ini dapat mengakibatkan siswa yang berkemampuan “lemah” dapat belajar dari pemikiran teman sebayanya yang berkemampuan “lebih”, sehingga belajar akan teras mudah.
1. B.
Kunci Dasar Pembelajaran Kontekstual
The Northwest Regional Education Laboratory USA (dalam Asikin, 2003) mengidentifikasi adanya 6 kunci dasar yang menentukan kualitas dari pembelajaran konteksatual, yakni: 1. Pembelajaran bermakna Dalam pembelajaran bermakna, pemahaman, relevansi dan penilaian pribadi sangat terkait dengan kepentingan siswa dalam mempelajari isi materi pelajaran. Pembelajaran dirasakan sangat terkait dengan kehidupan nyata atau siswa mengerti manfaat isi pembelajaran, jika mereka merasakan berkepentingan untuk belajar demi kehidupan di masa mendatang. 1. Penerapan pengetahuan Jika siswa memahami apa yang dipelajari maka siswa mendapat menerapkannya dalam tatanan kehidupan. 1. Berpikir tingkat tinggi Siswa diminta untuk berpikir kritis dalam pengumpulan data, pemahaman suatu isu dan pemecahan suatu masalah. 1. Kurikulum yang dikembangkan berdasarkan kepada standar Isi pembelajaran harus dikaitkan dengan standar lokal, nasional dan perkembangan IPTEK dan dunia kerja. 1. Responsif terhadap budaya Guru harus memahami dan menghormati nilai, kepercayaan, dan kebiasaan siswa, sesama rekan guru dan masyarakat tempat ia mendidik. Setidaknya ada empat perspektif yang harus diperhatikan yaitu individu siswa, kelompok siswa, tatanan sekolah dan tatanan masyarakat. 1. penilaian autentik Berbagai macam strategi penilaian digunakan untuk mengetahui hasil belajar siswa yang sesungguhnya meliputi: penilaian proyek dan kegiatan siswa, dan panduan pengamatan disamping memberikan kesempatan kepada siswa untuk aktif menilai pembelajaran mereka sendiri. 1. C.
Komponen Pendekatan Kontekstual
Pembelajaran dengan pendekatan kontekstual memiliki tujuh komponen, yaitu sebagai berikut. 1. Contructivism (Kontruktivisme) Proses pembelajaran mengarahkan siswa untuk membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif. Siswa dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang
berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide. Sedangkan guru bertugas untuk memfasilitasi sehingga pengetahuan menjadi bermakna dan relevan bagi siswa 1. Inquiry (Menemukan) Inquirymerupakan suatu rangkaian kegiatan belajar yang melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan siswa untuk mencari dan menyelidiki secara sistematis, kritis, logis dan analisis, sehingga mereka dapat merumuskan sendiri penemuannya dengan penuh percaya diri. Sasaran utama pembelajaran dengan inquiry adalah sebagai berikut. 1) Keterlibatan siswa secara maksimal, yang melibatkan mental intelektual sosial emosional siswa. 2)
Keterarahan kegiatan secara logis dan sistematis pada tujuan pembelajaran.
3) Mengembangkan sikap percaya diri siswa tentang apa yang ditemukannya dalam proses inquiry. 1. Questioning (Bertanya) Bertanya merupakan salah satu kegiatan pembelajaran yang berlangsung secara informatif untuk mendorong, membimbing dan menilai kemampuan berpikir siswa. Kegiatan bertanya akan mendorong siswa sebagai partisipan aktif dalam proses pembelajaran. Kegiatan ini menurut Nurhadi (2002) berguna untuk: 1) Menggali informasi, baik administratif maupun akademis, 2) Mengecek pemahaman siswa, 3) Membangkitkan respon kepada siswa, 4) Mengetahui sejauh mana keingintahuan siswa, 5) Mengetahui hal-hal yang sudah diketahui siswa, 6) Memfokuskan perhatian siswa pada sesuatu yang dikehendaki guru, 7) Membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa, 8) Menyegarkan kembali pengetahuan siswa. 1. Learning Community (Masyarakat belajar) Konsep ini menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerjasama dengan teman atau orang lain (Nurhadi,2002:15). Masyarakat belajar terjadi bila ada komunikasi dua arah yang terlibat dalam kegiatan belajar mengajar.
1. Modelling (Pemodelan) Pemodelan dalam sebuah pembelajaran keterampilan atau pengetahuan tertentu maksudnya adanya model yang ditiru. Model bisa berupa cara mengoperasikan sesuatu, contoh: cara melakukan pengukuran yang benar. Model tak hanya dari guru tapi juga dari siswa atau ahli. 1. Reflection (Refleksi) Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang tentang apa-apa yang dilakukan di masa yang lalu. Refleksi merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas, atau pengetahuan yang baru diterima (Nurhadi,2002:18). Realisasinya dalam pembelajaran antara lain sebagai berikut. 1)
Pernyataan langsung, tentang apa-apa yang diperoleh hari itu.
2)
Catatan atau jurnal di buku siswa.
3)
Kesan dan saran siswa mengenai pembelajaran hari itu.
4)
Diskusi.
5)
Hasil karya.
1. Authentic Assessment (Penilaian yang sebenarnya) Assessment adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran mengenai perkembangan belajar siswa (Nurhadi,2002:19). Penilaian yang dilakukan bukan hanya karena bisa menjawab serangkaian pertanyaan di atas kertas, tapi juga kemampuannya dalam mengaplikasikannya, inilah yang disebut authenthic. Hal-hal yang bisa digunakan sebagai dasar menilai prestasi siswa antara lain: proyek kegiatan dan laporannya, presentasi atau penampilan siswa, demonstrasi, dan tes tulis.
1. D.
Metode dan Setrategi dalam Pembelajaran Kontekstual
Kegiatan mengajar merupakan salah satu kegiatan mengatur agar tercipta suatu sistem lingkungan belajar. Caranya dengan memanfaatkan media lingkungan yang ada di sekitar sekolah sehingga proses belajar menjadi menyenangkan bagi siswa dan guru, agar tercipta suatu system lingkungan belajar. Perlu diupayakan proses belajar mengajar yang mengacu pada peserta didik yang dinamis, kreatif, suasana senang dan interaktif antara siswa dan guru. Dengan kata lain, proses belajar mengajar merupakan proses komulatif antara guru sebagai pemberi pesan,
pengetahuan, keterampilan dan sikap serta budi pekerti yang bermoral tinggi dengan siswa sebagai peserta didik. Pada umumnya guru menyampaikan pesan dengan metode konvensional yaitu dengan ceramah. Dengan metode ini siswa sukar menangkap materi atau kehilangan kebermakanaannya meskipun materi yang diberikan sedikit dan tidak banyak memerlukan hafalan. Maka diperlukan suatu pendekatan yang sesuai, salah satunya adalah pendekatan kontekstual. Lingkungan dan alat peraga dapat membantu tercapainya tujuan pembelajaran, selain itu yang lebih penting adalah penggunanan teknik dan metodologi pengajaran guru. Pendekatan kontekstual dapat menghilangkan kesan “seram” pada matematika, suasana mencekam, siswa pasif dan tidak interaktif. Dalam pelaksanaannya rancangan pembelajaran mengacu pada : 1. pembelajaran dimulai dari hal konkret ke hal yang abstrak, dari hal yang mudah ke yang sulit dan dari yang sederhana ke yang kompleks, 2. siswa diarahkan memiliki kemampuan untuk menggunakan prinsip teorema Phytagoras dalam kehidupan sehari-hari melalui kegiatan dan media yang tepat, 3. pelaksanaan pembelajaran memperhatikan pengoptimalan media yang mengarah pada pelibatan siswa secara aktif baik fisik, mental maupun sosial. Pembelajaran matematika kontekstual dapat menggunakan beberapa media antara lain: Lembar Kerja Siswa (LKS) yang berkarakteristik CTL, kartu masalah dan pemanfaatan lingkungan belajar. 1. LKS berkarakteristik CTL LKS ini merupakan pendukung pelaksanaan pembelajaran. Pengerjaan LKS ini dilaksanakan secara kelompok. Media ini dibuat sebagaimana LKS yang sudah ada tapi berkarakteristik CTL, dimana siswa diarahkan untuk melakukan penemuan (inquiry) dan pemecahan masalah (problem solving) 1. Kartu masalah Media ini berupa kartu yang mencantumkan masalah untuk diselesaikan oleh siswa. Permasalahan yang diangkat adalah permasalahan sehari-hari yang berhubungan dengan penggunaan materi yang diajarkan. Penggunaan kartu ini dimaksudkan untuk mengatasi keterbatasan ruang, dan lingkungan belajar siswa tanpa menghilangkan esensinya.
1.
Lingkungan belajar
Penggunaan lingkungan belajar merupakan salah satu solusi dari keterbatasan prasarana belajar. Pada pelaksanannya digunakan beberapa benda yang ada di kelas sebagai media dan alat peraga.
Penggunaannya dikaitkan dengan penggunaan LKS. Beberapa benda yang digunakan antara lain: meja, buku tulis, pigura dan lain-lain yang dimanfaatkan siswa. 1. E.
Karakteristik Pembelajaran Berbasis CTL
Sistem pembelajaran berbasis CTL memiliki banyak sekali karakteristik diantaranya sebagai berikut:
1. Kerjasama 2. Saling menunjang 3. Menyenangkan 4. Tidak membosankan 5. Belajar dengan bergairah 6. Pembelajaran terintegrasi 7. Menggunakan berbagai sumber 8. Siswa aktif 9. Sharing dengan teman 10. Siswa kritis, guru kreatif 11. Dinding kelas dan lorong-lorong penuh dengan hasil karya siswa, peta-peta, gambar, artikel, humor dll 12. Laporan kepada orang tua bukan hanya raport, tetapi hasil karya siswa, laporan hasil praktikum, karangan siswa dll.
BAB III
PENUTUP
1. A.
Simpulan 1. Pembelajaran kontekstual artinya pembelajaran dengan pendekatan kontekstual atau suatu konsep belajar yang membantu guru mengkaitkan materi dengansituasi dunia nyata, guru mendorong siswa untuk membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dengan penerapannya dalam kehidupan (Nurhadi, 2001:1) 2. Kunci pembelajaran kontekstual
a)
Pembelajaran bermakna
b)
Penerapan pengetahuan
c)
Berpikir tingkat tinggi
d)
Responsif terhadap budaya
e)
penilaian autentik
f)
Kurikulum yang dikembangkan berdasarkan kepada standar 1. Tujuh komponen ctl
a)
Konstruktivisme
b)
Inquiry
c)
Questioning
d)
Learning Community
e)
Modeling
f)
Reflection
g)
Authentic Assessment
1. Pembelajaran matematika kontekstual dapat menggunakan beberapa media antara lain: 1. Lembar Kerja Siswa (LKS) yang berkarakteristik CTL 2. Kartu masalah 3. Pemanfaatan lingkungan belajar.
Pengertian Pembelajaran Kontekstual CTL / Contextual Teaching and Learning Pengertian Pembelajaran Kontekstual CTL / Contextual Teaching and Learning Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning/CTL) merupakan suatu proses pendidikan yang holistik dan bertujuan memotivasi siswa untuk memahami makna materi pelajaran yang dipelajarinya dengan mengkaitkan materi tersebut dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari (konteks pribadi, sosial, dan kultural) sehingga siswa memiliki pengetahuan/keterampilan yang secara fleksibel da-pat diterapkan (ditransfer) dari satu permasalahan /konteks ke permasalahan/ konteks lainnya. CTL merupakan suatu konsep belajar dimana guru menghadirkan situasi dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep ini, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung lebih alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Pembelajaran kontekstual dengan pendekatan konstruktivisme dipandang sebagai salah satu strategi yang memenuhi prinsipprinsip pembelajaran berbasis kompetensi. Dengan lima strategi pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning), yaitu relating, experiencing, applying, cooperating, dan transferrini diharapkan peserta didik mampu mencapai kompetensi secara maksimal. Dalam kelas kontekstual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja ber-sama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Sesu-atu yang baru datang dari menemukan sendiri bukan dari apa kata guru. Begitulah peran guru di kelas yang dikelola dengan pendekatan kontekstual. Pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan-nya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa
membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelaaran efektif, yakni: konstruktivisme (constructivism), bertanya (questioning), menemukan (inquiri), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), dan penilaian sebenarnya (authentic assessment). Langkah-langkah CTL CTL dapat diterapkan dalam kurikulum apa saja, bidang studi apa saja, dan kelas yang bagaimanapun keadaannya. Pendekatan CTL dalam kelas cukup mudah. Secara garis besar, langkah-langkah yang harus ditempuh dalam CTL adalah sebagai berikut: 1. Kembangkan pemikiran bahwa siswa akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya. 2. Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topik. 3. Kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya. 4. Ciptakan masyarakat belajar. 5. Hadirkan model sebagai contoh pembelajaran. 6. Lakukan refleksi di akhir pertemuan. 7. Lakukan penilaian yang sebenarnya (authentic assessment) dengan berbagai cara. Karakteristik Pembelajaran CTL 1. Kerjasama. 2. Saling menunjang. 3. Menyenangkan, tidak membosankan. 4. Belajar dengan bergairah. 5. Pembelajaran terintegrasi. 6. Menggunakan berbagai sumber. 7. Siswa aktif. 8. Sharing dengan teman. 9. Siswa kritis guru kreatif. 10. Dinding dan lorong-lorong penuh dengan hasil kerja siswa, peta-peta, gambar, artikel, humor dan lain-lain. 11. Laporan kepada orang tua bukan hanya rapor tetapi hasil karya siswa, laporan hasil pratikum, karangan siswa dan lain-lain Dalam pembelajaran kontekstual, program pembelajaran lebih merupakan rencana kegiatan kelas yang dirancang guru, yang berisi skenario tahap demi tahap tentang apa yang akan dilakukan bersama siswanya sehubungan dengan topik yang akan dipelajarinya. Dalam program tercermin tujuan pembelajaran, media untuk mencapai tujuan tersebut, materi pembelajaran, lang-kah-langkah pembelajaran, dan authentic assessment-nya. Dalam konteks itu, program yang dirancang guru benar-benar rencana pribadi tentang apa yang akan dikerjakannya bersama siswanya. Secara umum tidak ada perbedaan mendasar format antara program pembelajaran konvensional dengan program pembelajaran kontekstual. Program pembelajaran konvensional lebih menekankan pada deskripsi tujuan yang akan dicapai (je-las dan operasional), sedangkan program untuk pembelajaran kontekstual le-bih menekankan pada skenario pembelajarannya. Beberapa komponen utama dalam pembelajaran Kontekstual menurut Johnson (2000: 65), yang dapat di uraikan sebagai berikut: 1. Melakukan hubungan yang bermakna (making meaningful connections) Keterkaitan yang mengarah pada makna adalah jantung dari pembelajaran dan pengajaran kontekstual. Ketika siswa dapat mengkaitkan isi dari mata pelajaran akademik, ilmu pengetahuan alam. Atau sejarah dengan pengalamannya mereka sendiri, mereka menemukan makna, dan makna memberi mereka alasan untuk belajar. Mengkaitkan pembelajaran dengan kehidupan seseorang membuat proses belajar menjadi hidup dan keterkaitan inilah inti dari CTL. 2. Melakukan kegiatan-kegiatan yang berarti (doing significant works) Model pembelajaran ini menekankan bahwa semua proses pembelajaran yang dilakukan di dalam kelas harus punya arti bagi siswa sehingga mereka dapat mengkaitkan materi pelajaran dengan kehidupan sisw 3. Belajar yang diatur sendiri (self-regulated Learning) Pembelajaran yang diatur sendiri, merupakan pembelajaran yang aktif, mandiri, melibatkan kegiatan menghubungkan masalah ilmu dengan kehidupan sehari-hari dengan cara-cara yang berarti bagi siswa. Pembelajaran yang diatur siswa sendiri, memberi kebebasan kepada siswa menggunakan gaya belajarnya sendiri. 4. Bekerjasama (collaborating) Siswa dapat bekerja sama. Guru membantu siswa bekerja secara efektif dalam kelompok, membantu siswa bekerja secara efektif dalam kelompok, membantu mereka memahami bagaimana mereka saling mempengaruhi dan saling berkomunikasi. 5. Berpikir kritis dan kreatif (critical dan creative thinking) Pembelajaran kontekstual membantu
siswa mengembangkan kemampuan berpikir tahap tinggi, nerpikir kritis dan berpikir kreatif. Berpikir kritis adalah suatu kecakapan nalar secara teratur, kecakapan sistematis dalam menilai, memecahkan masalah menarik keputusan, memberi keyakinan, menganalisis asumsi dan pencarian ilmiah. Berpikir kreatif adalah suatu kegiatan mental untuk meningkatkan kemurnian, ketajaman pemahaman dalam mengembangkan sesuatu. 6. Mengasuh atau memelihara pribadi siswa (nuturing the individual) Dalam pembelajaran kontekstual siswa bukan hanya mengembangkan kemampuan-kemampuan intelektual dan keterampilan, tetapi juga aspek-aspek kepribadian: integritas pribadi, sikap, minat, tanggung jawab, disiplin, motif berprestasi, dsb. Guru dalam pembelajaran kontekstual juga berperan sebagai konselor, dan mentor. Tugas dan kegiatan yang akan dilakukan siswa harus sesuai dengan minat, kebutuhan dan kemampuannya. 7. Mencapai standar yang tinggi (reaching high standards) Pembelajaran kontekstual diarahkan agar siswa berkembang secara optimal, mencapai keunggulan (excellent). Tiap siswa bisa mencapai keunggulan, asalkan sia dibantu oleh gurunya dalam menemukan potensi dan kekuatannya. 8. Menggunakan Penilaian yang otentik (using authentic assessment) Penilaian autentik menantang para siswa untuk menerapkan informasi dan keterampilan akademik baru dalam situasi nyata untuk tujuan tertentu. Penilaian autentik merupakan antitesis dari ujian stanar, penilaian autentik memberi kesempatan kepada siswa untuk menunjukkan kemampuan terbaik mereka sambil mempertunjukkan apa yang sudah mereka pelajari. Pustaka Depdiknas. Direktorat Pembinaan SMA. 2009. Pengembangan Pembelajaran Yang Efektif. Bahan Bimbingan Teknis KTSP. Jakarta. Ibrahim R, Syaodih S Nana. 2003. Perencanaan Pengajaran. Jakarta: Rineka Cipta. Sudjana, Nana. 1989. Cara Belajar Siswa Aktif dalam Proses Belajar Menga-jar. Bandung: Sinar Baru.... Baca Selengkapnya di : http://www.medukasi.web.id/…/pengertian-pembelajaran-konte… Copyright www.m-edukasi.web.id Media Pendidikan Indonesia
Teori Belajar Behavioristik Teori belajar behavioristik adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman [1]. Teori ini lalu berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah pengembangan teori dan praktik pendidikan dan pembelajaran yang dikenal sebagai aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman. Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon (Slavin, 2000:143). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada pebelajar, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan pebelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh pebelajar (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran
merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut. Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu pula bila respon dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement) maka respon juga semakin kuat. Beberapa prinsip dalam teori belajar behavioristik, meliputi: (1) Reinforcement and Punishment; (2) Primary and Secondary Reinforcement; (3) Schedules of Reinforcement; (4) Contingency Management; (5) Stimulus Control in Operant Learning; (6) The Elimination of Responses (Gage, Berliner, 1984). Tokoh-tokoh aliran behavioristik di antaranya adalah Thorndike, Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie, dan Skinner. Berikut akan dibahas karya-karya para tokoh aliran behavioristik dan analisis serta peranannya dalam pembelajaran. Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkrit yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku yang tidak dapat diamati. Teori Thorndike ini disebut pula dengan teori koneksionisme (Slavin, 2000). Ada tiga hukum belajar yang utama, menurut Thorndike yakni (1) hukum efek; (2) hukum latihan dan (3) hukum kesiapan (Bell, Gredler, 1991). Ketiga hukum ini menjelaskan bagaimana hal-hal tertentu dapat memperkuat respon Teori Belajar Menurut Watson Watson mendefinisikan belajar sebagai proses interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud harus dapat diamati (observable) dan dapat diukur. Jadi walaupun dia mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar, namun dia menganggap faktor tersebut sebagai hal yang tidak perlu diperhitungkan karena tidak dapat diamati. Watson adalah seorang behavioris murni, karena kajiannya tentang belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperi Fisika atau Biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman empirik semata, yaitu sejauh mana dapat diamati dan diukur. Teori Belajar Menurut Clark Hull Clark Hull juga menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan respon untuk menjelaskan pengertian belajar. Namun dia sangat terpengaruh oleh teori evolusi Charles Darwin. Bagi Hull, seperti halnya teori evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga agar organisme tetap bertahan hidup. Oleh sebab itu Hull mengatakan kebutuhan biologis (drive) dan pemuasan kebutuhan biologis (drive reduction) adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus (stimulus dorongan) dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yang akan muncul mungkin dapat berwujud macam-macam. Penguatan tingkah laku juga masuk dalam teori ini, tetapi juga dikaitkan dengan kondisi biologis (Bell, Gredler, 1991). Teori Belajar Menurut Edwin Guthrie Azas belajar Guthrie yang utama adalah hukum kontiguiti. Yaitu gabungan stimulus-stimulus
yang disertai suatu gerakan, pada waktu timbul kembali cenderung akan diikuti oleh gerakan yang sama (Bell, Gredler, 1991). Guthrie juga menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan terjadinya proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan terakhir yang dilakukan mengubah situasi stimulus sedangkan tidak ada respon lain yang dapat terjadi. Penguatan sekedar hanya melindungi hasil belajar yang baru agar tidak hilang dengan jalan mencegah perolehan respon yang baru. Hubungan antara stimulus dan respon bersifat sementara, oleh karena dalam kegiatan belajar peserta didik perlu sesering mungkin diberi stimulus agar hubungan stimulus dan respon bersifat lebih kuat dan menetap. Guthrie juga percaya bahwa hukuman (punishment) memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu mengubah tingkah laku seseorang. Saran utama dari teori ini adalah guru harus dapat mengasosiasi stimulus respon secara tepat. Pebelajar harus dibimbing melakukan apa yang harus dipelajari. Dalam mengelola kelas guru tidak boleh memberikan tugas yang mungkin diabaikan oleh anak (Bell, Gredler, 1991). Teori Belajar Menurut Skinner Konsep-konsep yang dikemukanan Skinner tentang belajar lebih mengungguli konsep para tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun lebih komprehensif. Menurut Skinner hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi dengan lingkungannya, yang kemudian menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang dikemukakan oleh tokoh tokoh sebelumnya. Menurutnya respon yang diterima seseorang tidak sesederhana itu, karena stimulus-stimulus yang diberikan akan saling berinteraksi dan interaksi antar stimulus itu akan memengaruhi respon yang dihasilkan. Respon yang diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah yang nantinya memengaruhi munculnya perilaku (Slavin, 2000). Oleh karena itu dalam memahami tingkah laku seseorang secara benar harus memahami hubungan antara stimulus yang satu dengan lainnya, serta memahami konsep yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang mungkin timbul akibat respon tersebut. Skinner juga mengemukakan bahwa dengan menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah rumitnya masalah. Sebab setiap alat yang digunakan perlu penjelasan lagi, demikian seterusnya. Analisis Tentang Teori Behavioristik Kaum behavioris menjelaskan bahwa belajar sebagai suatu proses perubahan tingkah laku dimana reinforcement dan punishment menjadi stimulus untuk merangsang pebelajar dalam berperilaku. Pendidik yang masih menggunakan kerangka behavioristik biasanya merencanakan kurikulum dengan menyusun isi pengetahuan menjadi bagian-bagian kecil yang ditandai dengan suatu keterampilan tertentu. Kemudian, bagian-bagian tersebut disusun secara hirarki, dari yang sederhana sampai yang komplek (Paul, 1997). Pandangan teori behavioristik telah cukup lama dianut oleh para pendidik. Namun dari semua teori yang ada, teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar behavioristik. Program-program pembelajaran seperti Teaching Machine, Pembelajaran berprogram, modul dan program-program pembelajaran lain yang berpijak pada konsep hubungan stimulus-respons serta mementingkan faktor-faktor penguat (reinforcement), merupakan program pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan Skiner. Teori behavioristik banyak dikritik karena seringkali tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan dan/atau belajar yang dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan respon. Teori ini tidak mampu menjelaskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam hubungan stimulus dan respon.
Pandangan behavioristik juga kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat emosi pebelajar, walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan yang sama. Pandangan ini tidak dapat menjelaskan mengapa dua anak yang mempunyai kemampuan dan pengalaman penguatan yang relatif sama, ternyata perilakunya terhadap suatu pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas sangat berbeda tingkat kesulitannya. Pandangan behavioristik hanya mengakui adanya stimulus dan respon yang dapat diamati. Mereka tidak memperhatikan adanya pengaruh pikiran atau perasaan yang mempertemukan unsur-unsur yang diamati tersebut. Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan pebelajar untuk berfikir linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar merupakan proses pembentukan atau shaping, yaitu membawa pebelajar menuju atau mencapai target tertentu, sehingga menjadikan peserta didik tidak bebas berkreasi dan berimajinasi. Padahal banyak faktor yang memengaruhi proses belajar, proses belajar tidak sekedar pembentukan atau shaping. Skinner dan tokoh-tokoh lain pendukung teori behavioristik memang tidak menganjurkan digunakannya hukuman dalam kegiatan pembelajaran. Namun apa yang mereka sebut dengan penguat negatif (negative reinforcement) cenderung membatasi pebelajar untuk berpikir dan berimajinasi. Menurut Guthrie hukuman memegang peranan penting dalam proses belajar. Namun ada beberapa alasan mengapa Skinner tidak sependapat dengan Guthrie, yaitu: • Pengaruh hukuman terhadap perubahan tingkah laku sangat bersifat sementara; • Dampak psikologis yang buruk mungkin akan terkondisi (menjadi bagian dari jiwa si terhukum) bila hukuman berlangsung lama; • Hukuman yang mendorong si terhukum untuk mencari cara lain (meskipun salah dan buruk) agar ia terbebas dari hukuman. Dengan kata lain, hukuman dapat mendorong si terhukum melakukan hal-hal lain yang kadangkala lebih buruk daripada kesalahan yang diperbuatnya. Skinner lebih percaya kepada apa yang disebut sebagai penguat negatif. Penguat negatif tidak sama dengan hukuman. Ketidaksamaannya terletak pada bila hukuman harus diberikan (sebagai stimulus) agar respon yang muncul berbeda dengan respon yang sudah ada, sedangkan penguat negatif (sebagai stimulus) harus dikurangi agar respon yang sama menjadi semakin kuat. Misalnya, seorang pebelajar perlu dihukum karena melakukan kesalahan. Jika pebelajar tersebut masih saja melakukan kesalahan, maka hukuman harus ditambahkan. Tetapi jika sesuatu tidak mengenakkan pebelajar (sehingga ia melakukan kesalahan) dikurangi (bukan malah ditambah) dan pengurangan ini mendorong pebelajar untuk memperbaiki kesalahannya, maka inilah yang disebut penguatan negatif. Lawan dari penguatan negatif adalah penguatan positif (positive reinforcement). Keduanya bertujuan untuk memperkuat respon. Namun bedanya adalah penguat positif menambah, sedangkan penguat negatif adalah mengurangi agar memperkuat respons. Aplikasi Teori Behavioristik dalam Pembelajaran Aliran psikologi belajar yang sangat besar pengaruhnya terhadap arah pengembangan teori dan praktik pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement dan akan menghilang bila dikenai hukuman. Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik pebelajar, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik
memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau pebelajar. Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yag sudah ada melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Pebelajar diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid. Demikian halnya dalam pembelajaran, pebelajar dianggap sebagai objek pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh karena itu, para pendidik mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan menggunakan standar-standar tertentu dalam proses pembelajaran yang harus dicapai oleh para pebelajar. Begitu juga dalam proses evaluasi belajar pebelajar diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati sehingga halhal yang bersifat tidak teramati kurang dijangkau dalam proses evaluasi. Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi pebelajar untuk berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Akibatnya pebelajar kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka. Karena teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan telah terstruktur rapi dan teratur, maka pebelajar atau orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Pebelajar atau peserta didik adalah objek yang berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar diri pebelajar. Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas “mimetic”, yang menuntut pebelajar untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada ketrampian yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar. Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang benar. Maksudnya bila pebelajar menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa pebelajar telah menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan pebelajar secara individual.
BAB PENDAHULUAN
I
A. Latar Belakang Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan fakta dalam kehidupan siswa. CTL lebih menekankan pada rencana kegiatan kelas yang dirancang guru. Rencana kegiatan tersebut berisi skenario tahap demi tahap tentang apa yang akan dilakukan bersama siswanya sehubungan dengan topik yang akan dipelajari. Pembelajaran kontekstual lebih mementingkan strategi belajar bukan hasil belajar. Pembelajaran kontekstual mengharapkan siswa untuk memperoleh materi pelajaran meskipun sedikit tetapi mendalam bukan banyak tetapi dangkal. Pembelajaran kontekstual mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dengan penerapan dalam kehidupan sehari-hari. Komponen dalam pembelajaran kontekstual adalah konstruktivisme, inkuiri, bertanya, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi, dan penilaian yang sebenarnya. Apabila sebuah kelas menerapkan ketujuh komponen di atas dalam proses pembelajaran, maka kelas tersebut telah menggunakan model pembelajaran kontekstual. Penggunaan CTL dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di kelas dapat menarik perhatian siswa karena CTL memiliki berbagai komponen sehingga pembelajaran tidak membosankan. Menurut Suyanto (2003:1) CTL dapat membuat siswa terlibat dalam kegiatan yang bermakna yang diharapkan dapat membantu mereka mampu menghubungkan pengetahuan yang diperoleh di kelas dengan konteks situasi kehidupan nyata. Pembelajaran dengan peran serta lingkungan secara alami akan memantapkan pengetahuan yang dimiliki siswa. Belajar akan lebih bermanfaat dan bermakna jika seorang siswa mengalami apa yang dipelajarinya bukan hanya sekedar mengetahui. Belajar tidak hanya sekedar menghafal tetapi siswa harus dapat mengonstruksikan pengetahuan yang dimiliki dengan cara mengaplikasikan pengetahuan yang dimiliki pada realita kehidupan sehari-hari. Dengan demikian pengembangan CTL dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia pada aspek mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis baik dari segi berbahasa maupun bersastra akan membuat pembelajaran lebih bervariasi. Dalam proses belajar di kelas, siswa dibiasakan untuk saling membantu dan berbagi pengalaman dalam kelompok masyarakat belajar (learning community). Dalam proses belajar, guru perlu membiasakan anak untuk mengalami proses belajar dengan melakukan penemuan dengan melakukan pengamatan, bertanya, mengajukan hipotesis, mengumpulkan data analisis data, dan menarik kesimpulan (inquiry). Seluruh proses dan hasil belajar diukur dengan berbagai cara dan diamati dengan indikator yang jelas (outhentic assessment). Setiap selesai pembelajaran guru wajib melakukan refleksi terhadap proses dan hasil pembelajaran (refleksion). Berdasarkan paparan di atas CTL merupakan salah satu model pembelajaran yang efektif diterapkan pada proses pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di kelas. Oleh karena itu, topik penerapan CTL dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia perlu dipaparkan lebih lanjut. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut. (1) Apa pengertian pendekatan kontekstual (CTL)? (2) Apa karakteristik Contextual Teaching and Learning?
(3) Apa saja komponen Contextual Teaching and Learning? (4) Bagaimana penerapan Contextual Teaching and Learning dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia? C. Tujuan Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut. (1) Menjelaskan pengertian pendekatan kontekstual (CTL). (2) Menjelaskan karakteristik Contextual Teaching and Learning. (3) Menjelaskan komponen-komponen Contextual Teaching and Learning. (4) Menjelaskan penerapan Contextual Teaching and Learning dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia.
BAB PEMBAHASAN PENDEKATAN (CONTEXTUAL
II
TEACHING
AND
KONTEKSTUAL LEARNING)
Pendekatan kontekstual merupakan suatu pendekatan yang membantu guru mengaitkan isi materi pelajaran dengan keadaan dunia nyata. Pembelajaran ini memotivasi siswa untuk menghubungkan pengetahuan yang diperoleh di kelas, dan penerapannya dalam kehidupan siswa sebagai anggota keluarga, serta sebagai anggota masyarakat. A.
Pengertian
Pendekatan
Kontekstual
(CTL)
CTL adalah salah satu strategi pembelajaran yang dikembangkan oleh The Washington State Consortium for Contextual Teaching and Learning, yang melibatkan 11 perguruan tinggi, 20 sekolah, dan lembaga-lembaga yang bergerak di bidang pendidikan di Amerika Serikat. Salah satu kegiatan dari konsorsium tersebut adalah melatih dan memberi kesempatan kepada para guru dari enam propinsi di Indonesia untuk mempelajari pendekatan kontekstual di Amerika Serikat (Priyatni, 2002:1). Pendekatan kontekstual (CTL) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran afektif, yaitu konstruktivisme, bertanya, menemukan, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi, dan penilaian yang sebenarnya (Nurhadi, 2002:5). Johnson (dalam Nurhadi, 2002:12) merumuskan pengertian CTL sebagai suatu proses pendidikan yang bertujuan membantu siswa melihat makna dalam bahan pelajaran yang mereka pelajari dengan cara menghubungkannya dengan konteks kehidupan sehari-hari, yaitu dengan konteks lingkungan pribadinya, sosialnya, dan budayanya. Untuk mencapai tujuan tersebut, sistem CTL, akan menuntun siswa ke semua komponen utama CTL, yaitu melakukan hubungan yang bermakna, mengerjakan pekerjaan yang berarti, mengatur cara belajar sendiri, bekerja sama, berpikir kritis dan kreatif, memelihara atau merawat pribadi siswa, mencapai standar yang tinggi, dan menggunakan penilaian sebenarnya.
Pendekatan CTL menurut Suyanto (2003:2) merupakan suatu pendekatan yang memungkinkan siswa untuk menguatkan, memperluas, dan menerapkan pengetahuan dan keterampilan yang mereka peroleh dalam berbagai macam mata pelajaran baik di sekolah maupun di luar sekolah. Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kontekstual adalah konsep belajar pada saat guru menghadirkan dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, sementara siswa memperoleh pengetahuan dan keterampilan dari konteks yang terbatas, sedikit demi sedikit, dan dari proses mengonstruksi sendiri, sebagai bekal untuk memecahkan masalah dalam kehidupannya sehari-hari. B. Karakteristik Contextual Teaching and Learning Menurut Johnson (dalam Nurhadi, 2002:14) terdapat delapan utama yang menjadi karakteristik pembelajaran kontekstual, yaitu (1) melakukan hubungan yang bermakna, (2) mengerjakan pekerjaan yang berarti, (3) mengatur cara belajar sendiri, (4) bekerja sama, (5) berpikir kritis dan kreatif, (6) mengasuh atau memelihara pribadi siswa, (7) mencapai standar yang tinggi, dan (8) menggunakan penilaian sebenarnya. Nurhadi (2003:20) menyebutkan dalam kontekstual mempunyai sebelas karakteristik antara lain yaitu (1) kerja sama, (2) saling menunjang, (3) menyenangkan, (4) belajar dengan bergairah, (5) pembelajaran terintegrasi, (6) menggunakan berbagai sumber, (7) siswa aktif, (8) sharing dengan teman, (9) siswa aktif, guru kreatif, (10) dinding kelas dan lorong-lorong penuh dengan hasil karya siswa, peta-peta, gambar, artikel, humor, dan lain-lain, serta (11) laporan kepada orang tua bukan hanya rapor, tetapi hasil karya siswa, laporan hasil praktikum, karangan siswa, dan lainlain. Priyatni (2002:2) menyatakan bahwa pembelajaran yang dilaksanakan dengan CTL memiliki karakteristik sebagai berikut. (1) Pembelajaran dilaksanakan dalam konteks yang autentik, artinya pembelajaran diarahkan agar siswa memiliki keterampilan dalam memecahkan masalah dalam konteks nyata atau pembelajaran diupayakan dilaksanakan dalam lingkungan yang alamiah (learning in real life setting). (2) Pembelajaran memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengerjakan tugas-tugas yang bermakna (meaningful learning). (3) Pembelajaran dilaksanakan dengan memberikan pengalaman bermakna kepada siswa melalui proses mengalami (learning by doing). (4) Pembelajaran dilaksanakan melalui kerja kelompok, berdiskusi, saling mengoreksi (learning in a group). (5) Kebersamaan, kerja sama saling memahami dengan yang lain secara mendalam merupakan aspek penting untuk menciptakan pembelajaran yang menyenangkan (learning to knot each other deeply). (6) Pembelajaran dilaksanakan secara aktif, kreatif, kreatif, dan mementingkan kerja sama (learning to ask, to inquiry, to York together). (7) Pembelajaran dilaksanakan dengan cara yang menyenangkan (learning as an enjoy activity). C. Komponen Contextual Teaching and Learning Pembelajaran kontekstual (CTL) memiliki tujuh komponen utama, yaitu sebagai berikut. (1) Konstruktivisme (construktivism) Konstruktivisme merupakan landasan filosofi pendekatan CTL yang menyatakan bahwa
pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit dan tidak sekonyong-konyong). Strategi pemerolehan pengetahuan lebih diutamakan dibandingkan dengan seberapa banyak siswa mengingat pengetahuan. Konsep konstruktivisme menuntut siswa untuk dapat membangun arti dari pengalaman baru pada pengetahuan tertentu. Priyatni (2002:2) menyebutkan bahwa pembelajaran yang berciri konstruktivisme menekankan terbangunnya pemahaman sendiri secara aktif, kreatif, dan produktif dari pengalaman atau pengetahuan terdahulu dan dari pengalaman belajar yang bermakna. Siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide. Siswa harus mengonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri. (2) Inkuiri (inquiry) Menemukan merupakan strategi belajar dari kegiatan pembelajaran kontekstual. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat faktafakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri. Guru harus selalu merancang kegiatan yang merujuk pada kegiatan menemukan, apa pun materinya. Inkuiri adalah siklus proses dalam membangun pengetahuan yang bermula dari melakukan observasi, bertanya, investigasi, analisis, kemudian membangun teori atau konsep. Inkuiri diawali dengan pengamatan untuk memahami konsep atau fenomena dan dilanjutkan dengan melaksanakan kegiatan bermakna untuk menghasilkan temuan. Priyatni (2002:2) menjelaskan bahwa inkiri dimulai dari kegiatan mengamati, bertanya, mengajukan dugaan sementara (hipotesis), mengumpulkan data, dan merumuskan teori sebagai kegiatan terakhir. (3) Bertanya (questioning) Bertanya merupakan keahlian dasar yang dikembangkan dalam pembelajaran CTL. Bertanya dalam pembelajaran dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa. Bagi siswa, kegiatan bertanya merupakan bagian penting dalam melaksanakan pembelajaran yang berbasis inkuiri, yaitu menggali informasi, mengonfirmasikan apa yang sudah diketahuinya, dan mengarahkan perhatian pada aspek yang belum diketahui. Konsep ini berhubungan dengan kegiatan tanya jawab yang dilakukan baik oleh guru maupun oleh siswa. Pertanyaan sebagai wujud pengetahuan yang dimiliki. Tanya jawab dapat diterapkan antara siswa dengan siswa, guru dengan siswa, siswa dengan guru, atau siswa dengan orang lain yang didatangkan ke kelas. (4) Masyarakat belajar (learning commnunity) Masyarakat belajar merupakan penciptaan lingkungan belajar dalam pembelajaran kontekstual (CTL). Masyarakat belajar adalah kelompok belajar yang berfungsi sebagai wadah komunikasi untuk berbagi pengalaman dan gagasan. Aplikasinya dapat berwujud dalam pembentukan kelompok kecil atau kelompok besar serta mendatangkan ahli ke kelas, atau belajar dengan teman-teman lainnya. Belajar bersama dengan orang lain lebih baik dibandingkan dengan belajar sendiri. Konsep masyarakat belajar menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerja sama dengan orang lain. Hasil belajar diperoleh dari berbagi pengalaman antarteman, antarkelompok, dan antara yang tahu ke yang tidak tahu. Pembelajaran kontekstual dilaksanakan dalam kelompok-kelompok belajar yang anggotanya heterogen sehingga sehingga akan terjadi kerja
sama antara siswa yang pandai dengan siswa yang lambat. Kegiatan masyarakat belajar difokuskan pada aktivitas berbicara dan berbagai pengalaman dengan orang lain. Priyatni (2002:3) menyebutkan bahwa aspek kerja sama dengan orang lain untuk menciptakan pembelajaran yang lebih baik adalah tujuan pembelajaran yang menerapkan learning community. (5) Pemodelan (modelling) Model merupakan acuan pencapaian kompetensi dalam pembelajaran kontekstual. Konsep ini berhubungan dengan kegiatan mendemonstrasikan suatu materi pelajaran agar siswa dapat mencontoh atau agar dapat ditiru, belajar atau melakukan dengan model yang diberikan. Dalam pembelajaran kontekstual, guru bukan satu-satunya model, siswa juga dapat berperan aktif dalam mencoba menghasilkan model. Priyatni (2002:3) menyatakan bahwa kegiatan pemberian model bertujuan untuk membahasakan gagasan yang kita pikirkan, mendemonstrasikan bagaimana kita menginginkan para siswa untuk belajar, atau melakukan apa yang kita inginkan agar siswa melakukannya. (6) Refleksi (reflction) Refleksi merupakan langkah akhir dari belajar dalam pembelajaran kontruktivisme. Konsep ini merupakan proses berpikir tentang apa yang telah dipelajari. Proses telaah terhadap kejadian, aktivitas, dan pengalaman yang dihubungkan dengan apa yang telah dipelajari siswa, dan memotivasi munculnya ide-ide baru. Refleksi berarti melihat kembali suatu kejadian, kegiatan dan pengalaman dengan tujuan untuk mengidentifikasi hal yang telah diketahui, dan hal yang belum diketahui. Realisasinya adalah pertanyaan langsung tentang apa-apa yang diperolehnya hari itu, catatan di buku siswa, kesan dan saran siswa mengenai pembelajaran pada hari itu. Priyatni (2002:3) menjelaskan bahwa kegiatan refleksi adalah kegiatan memikirkan apa yang telah kita pelajari, menelaah, dan merespons semua kejadian, aktivitas, atau pengalaman yang terjadi dalam pembelajaran, dan memberikan masukan-masukan perbaikan jika diperlukan. (7) Penilaian yang sebenarnya (authentic assessment) Penilaian yang sebenarnya merupakan proses pengumpulan berbagai data dan informasi yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Dalam pembelajaran kontekstual, penilaian ditekankan pada proses pembelajarannya, maka data dan informasi yang dikumpulkan harus diperoleh dari kegiatan nyata yang dikerjakan siswa pada saat melakukan proses pembelajarannya. Penilaian yang sebenarnya merupakan tindakan menilai kompetensi siswa secara nyata dengan menggunakan berbagai alat dan berbagai teknik tes, portofolio, lembar observasi, unjuk kerja, dan sebagainya. Prosedur penilaian yang menunjukkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap siswa secara nyata. Penilaian yang sebenarnya ditekankan pada pembelajaran yang seharusnya membantu siswa agara mamapu mempelajari sesuatu, bukan hanya memperoleh informasi pada akhir periode. Kemajuan belajar siswa dinilai bukan hanya yang berkaitan dengan nilai tetapi lebih pada proses belajarnya. D. Penerapan Contextual Teaching and Learning dalam Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Pembelajaran bahasa Indonesia bertujuan menanamkan bekal keterampilan berbahasa dan bersastra Indonesia bukan hanya memberikan pengetahuan. Pembelajaran bahasa Indonesia
harus dibuat semenarik mungkin agar siswa antusias mengikuti proses belajar mengajar. Pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia menghendaki sebuah proses pragmatik, bukan teoritik belaka. Pembelajaran yang memanfaatkan CTL sangat diperlukan. Menurut Endraswara (2003:58) pendekatan kontekstual memang cukup strategis karena menghendaki (1) terhayati fakta yang dipelajari, (2) permasalahan yang akan dipelajari harus jelas, terarah, rinci, (3) pragmatika materi harus mengacu pada kebermanfaatan secara konkret, dan (4) memerlukan belajar kooperatif dan mandiri. Penerapan CTL dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia pada aspek membaca, berbicara, mendengarkan, dan menulis baik dari segi berbahasa maupun bersastra dipaparkan sebagai berikut. (1) Penerapan CTL dalam Pembelajaran Membaca Membaca menurut Komaruddin (2005:21) adalah mengeja atau melafalkan apa yang tertulis atau melihat serta memahami isi dari apa yang tertulis (dengan melisankan atau hanya dalam hati). Membaca merupakan salah satu kemampuan berbahasa yang harus dikuasai oleh siswa. Kegiatan membaca tersusun dari empat komponen, yaitu strategi, kelancaran, pembaca, dan teks. Dalam pembelajaran membaca, guru dapat menciptakan masyarakat belajar di kelas. Masyarakat belajar berfungsi sebagai wadah bertukar pikiran, bertukar informasi, tanya jawab tentang berbagai permasalahan belajar yang dihadapi, dan pada akhirnya dicari solusi tentang permasalahan tersebut. Guru seharusnya menjadi model yang mendemonstrasikan teknik membaca yang baik di kelas. Guru juga harus memonitor pemahaman siswa. Memonitor pemahaman penting untuk mencapai sukses membaca. Salah satu hal yang terkait dalam proses memonitor ini adalah kemampuan siswa dalam mencapai kompetensi dasar yang telah ditetapkan guru. Guru harus seimbang baik posisinya sebagai pendamping siswa maupun pengembang keterampilan siswa dalam pemahaman bacaan. (2) Penerapan CTL dalam Pembelajaran Berbicara Berbicara merupakan salah satu kompetensi dasar yang berusaha mengungkapkan gagasan melalui bahasa lisan. Berbicara merupakan kegiatan menghubungkan antara semata dengan kepercayaan diri untuk tampil mengungkapkan gagasan. Suasana kelas memiliki peran dalam pembelajaran berbicara. Pembelajaran di kelas dapat menggunakan teknik belajar dalam konteks interaksi kelompok (cooperating). Guru membuat suatu kelompok belajara (learning community). Dalam komunitas tersebut siswa berusaha untuk mengutarakan pikirannya, berdiskusi dengan teman. Konsep dasar dalam teknik ini adalah menyatukan pengalaman-pengalamn dari masing-masing individu. Teknik ini memacu siswa untuk berkomentar, mengungkapkan gagasannya dalam komunitas belajar. Tahap pertama, siswa diberikan peluang untuk berbicara. Apabila terdapat kesalahan penggunaan bahasa, guru dapat memberikan pembenaran selanjutnya. Menumbuhkan keterampilan berbicara, dimulai dengan menumbuhkan kepercayaan diri pada diri siswa. Prinsip CTL memuat konsep kesalingbergantungan para pendidik, siswa, masyarakat, dan lingkungan. Prinsip tersebut memacu siswa untuk turut mengutarakan pendapat dalam memecahkan masalah. Prinsip diferensiasi dalam CTL membebaskan siswa untuk menjelajahi bakat pribadi, membebaskan siswa untuk belajar dengan cara mereka sendiri. CTL merupakan salah satu alternatif pembelajaran inovatif, kreatif, dan efektif. Keterampilan berbicara menggunakan bentuk penilaian berupa unjuk kerja. Siswa diberikan instrumen yang dapat membuatnya berbicara atau berkomentar. Berpidato, menceritakan kembali, berkomentar, bertanya merupakan salah satu kegiatan dalam berbicara. Penilaian yang
dilakukan guru harus sesuai dengan fakta di kelas. Siswa yang pandai berbicara layak mendapatkan nilai tinggi dalam kompetensi berbicara dibandingkan siswa yang frekuensi berbicaranya rendah. (3) Penerapan CTL dalam Pembelajaran Mendengarkan Mendengarkan adalah proses menangkap pesan atau gagasan yang disampaikan melalui ujaran. Keterampilan mendengarkan membutuhkan daya konsentrasi lebih tinggi dibanding membaca, berbicara, dan menulis. Ciri-ciri mendengarkan adalah aktif reseptif, konsentratif, kreatif, dan kritis. Pembelajaran mendengarkan dalam CTL mengharuskan guru untuk membiasakan siswanya untuk mendengarkan. Mendengarkan dapat melalui tuturan langsung maupun rekaman. Kemudian siswa diberikan instrumen untuk menjawab beberapa pertanyaan. Teknik-teknik penilaian yang digunakan untuk mengetahui perkembangan siswa pada keterampilan mendengarkan dapat menggunakan teknik observasi. Observasi dilakukan guru dengan melihat dan mencatat hal-hal yang berkaitan dengan perkembangan menyimak siswa. Proses perekaman dapat dilakukan guru menggunakan buku atau lembar observasi untuk siswa. Rekaman observasi ini berisi perilaku siswa saat pembelajaran menyimak berlangsung dan pembelajaran keterampilan yang lain. Teknik kedua adalah dengan portofolio merupakan kumpulan hasil karya siswa dalam satu periode waktu tertentu, misalnya satu semester yang menggambarkan perkembangan siswa dalam keterampilan menyimak. Data yang didapat dari portofolio digunakan untuk mengetahui perkembangan belajar menyimak siswa. Teknik ketiga adalah jurnal dalam mendengarkan. Jurnal digunakan untuk merekam atau meringkas aspek-aspek yang berhubungan dengan topik-topik kunci yang dipahami, perasaan siswa terhadap pembelajaran menyimak, kesulitan yang dialami atau keberhasilan siswa dalam mencapai kompetensi yang dipelajari. Jurnal dapat berupa diary, atau catatan siswa yang lain. (4) Penerapan CTL dalam Pembelajaran Menulis Menulis merupakan penyampaian gagasan dalam bentuk bahasa tulis. Salah satu keterampilan pembelajaran menulis adalah pembelajaran menulis kreatif. Keterampilan menulis kreatif bukan hanya berpusat pada guru sebagai informan melainkan siswa sendiri yang harus berperan aktif dalam pembelajaran. Guru hanya memberikan instruksi kepada siswa untuk membuat karangan kreatif tanpa ada penguatan sebelumnya. Salah satu tujuan pembelajaran kontekstual adalah mempertemukan konsep-konsep yang dipelajari di dalam ruang kelas dengan kenyataan aktual yang dapat dipahami dengan konsepkonsep teoretis itu dalam kenyataan lingkungan terdekatnya. Guru seharusnya dapat memberikan ruang bebas untuk siswa agar dapat mengungkapkan gagasannya, tanpa perlu dibatasi. Komponen CTL berwujud refleksi adalah berusaha untuk menghubungkan apa yang telah dipelajari dengan realitas sehari-hari siswa. Instrumen yang diberikan guru dapat berupa pemberian tugas menuliskan kegiatan sehari-hari dalam sebuah diary yang pada nantinya dapat dijadikan sebuah dokumen portofolio. Isi diary adalah tentang apa yang dipelajari hari itu, permasalahan apa yang dihadapi, serta proses pencarian jawaban tentang permasalahan tersebut. Setelah siswa menulis diary dalam periode tertentu, guru dapat melakukan penilaian tentang tulisan siswa tersebut dan pada akhirnya ditentukan keputusan siswa tersebut telah dapat memenuhi kompetensi atau belum. Seorang guru yang memiliki kompetensi memadai seharusnya dapat melakukan penilaian secara autentik tentang kegiatan menulis siswanya. Penilaian yang sebenarnya adalah penilaian berbasis siswa. Penilaian guru tentang kegiatan menulis siswa harus sesuai dengan kompetensi siswa yang sesungguhnya. Guru harus membuat rubrik penilaian yang dapat mencakup semua aspek
yang akan dinilai. Sebelum membuat rubrik, guru harus dapat membuat instrumen yang mudah dimengerti oleh siswa, dan instrumen yang dapat membuat siswa berpikir kritis dan kreatif. Instrumen menulis yang dibuat guru harus dapat memfasilitasi siwa untuk menulis kreatif.
BAB PENUTUP
III
Contextual Teaching and Learning (CTL) atau pembelajaran kontekstual merupakan konsep belajar yang mengaitkan materi yang diajarkan dengan realitas dunia siswa sehingga siswa dapat membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dengan penerapannya. Pembelajaran bahasa bukan hanya memberikan pemahaman berupa definisi melainkan siswa dituntut untuk dapat menemukan pengetahuannya sendiri. Guru harus memiliki strategi yang memacu siswa untuk dapat berpikir kritis dan kreatif. Implementasi CTL pada pembelajaran membaca, berbicara, menulis, dan mendengarkan dapat membuat pembelajaran lebih kreatif, dan menuntut siswa untuk lebih berpikir kritis. Artinya siswa dipacu untuk menghubungkan antara materi yang diajarkan dengan kehidupan sehari-hari. Guru harus dapat menjadi model pada kompetensi tertentu, sehingga siswa mendapatkan contoh atau model untuk mengambangkan konsep yang didapat. Pembelajaran bahasa Indonesia dengan metode CTL akan membuat pembelajaran semakin menarik dan kreatif tanpa menghilangkan tujuan pembelajaran. Guru seharusnya dapat menciptakan berbagai strategi pembelajaran yang inovatif sehingga siswa semakin berantusias mengikuti pembelajaran. Kerja sama yang baik antara para pelaksana pendidikan dengan masyarakat akan memperlancar proses pendidikan.
DAFTAR
PUSTAKA
Endraswara, Suwardi. 2003. Membaca, Menulis, mengajarkan Sastra. Yogyakarta: Kota Kembang. Komaruddin, Erien. 2005. Panduan Kreatif Bahasa Indonesia. Bogor: Yudhistira. Nurhadi, dkk. 2002. Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning/CTL) dan Penerapannya dalam KBK. Malang: Universitas Negeri Malang. Priyatni, Endah Tri. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi dan Pembelajaran Konteksual. Makalah disajikan dalam Semlok KBK dan Pembelajarannya di SMAN 2 Jombang. Malang: Universitas Negeri Malang. Priyatni, Endah Tri. 2002. Penerapan Konsep dan Prinsip Pengajaran dan Pembelajaran dan Pembelajaran Kontekstual dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia. Kumpulan Materi TOT CTL Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Sekolah Lanjutan Tingkat pertama. Jakarta: Depdiknas. Suyanto, Kasihani E. 2003. Pengajaran dan Pembelajaran Kontekstual. Makalah disajikan dalam Penataran Terintegrasi, AA dalam CTL. Malang: Universitas Negeri Malang
9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Problem Based Learning (PBL) 1. Pengertian Problem Based Learning (PBL) Problem Based Learning (PBL) merupakan salah satu model pembelajaran yang dapat menolong siswa untuk meningkatkan ketera mpilan yang dibutuhkan pada pada era globalisasi saat ini. Problem Based Learning (PBL) dikembangkan untuk pertama kali oleh Prof. Howard Barrows sekita r tahun 1970-an dalam pembelajaran ilmu medis di McMaster University Cana da (Amir, 2009). Model pembelajaran ini menyajikan suatu masalah yang nyat a bagi siswa sebagai awal pembelajaran kemudian diselesaikan melalui penyelid
ikan dan diterapkan dengan menggunakan pendekatan pemecahan masalah. Beberapa definisi tentang Problem Based Learning (PBL) : 1. Menurut Duch (1995), Problem Based Learning (PBL) merupakan model pembelajaran yang menantang siswa untuk “belajar ba gaimana belajar”, bekerja secara berkelompok untuk mencari solusi da ri permasalahan dunia nyata. Masalah ini digunakan untuk mengikat siswa p ada rasa ingin tahu pada pembelajaran yang dimaksud. 2. Menurut Arends (Trianto, 2007), Problem Based Learning (PBL) merupakan suatu pendekatan pembelajaran di mana siswa dihadap kan pada masalah autentik (nyata) sehingga diharapkan mereka dapat m enyusun 9 10 pengetahuannya sendiri, menumbuhkembangkan keteramp ilan tingkat tinggi dan inkuiri, memandirikan siswa, dan meningkatkan k epercayaan dirinya. 3. Menurut Glazer (2001), mengemukakan Problem Based Learning (PBL) merupakan suatu strategi pengajaran dimana siswa se cara aktif dihadapkan pada masalah kompleks dalam situasi yang nyata. Dari beberapa uraian mengenai pengertian Problem Based Learning (PBL) dapat disimpulkan bahwa PBL merupakan model pembela jaran yang menghadapkan siswa pada masalah dunia nyata ( real world ) untuk memulai pembelajaran dan merupakan salah satu model pembela jaran inovatif yang dapat memberikan kondisi belajar aktif kepada siswa. Problem Based Learning
(PBL) adalah pengembangan kurikulum dan proses pembelajar an. Dalam kurikulumnya, dirancang masalah-masalah yang menuntut siswa menda patkan pengetahuan yang penting, membuat mereka mahir dalam memecahkan masa lah, dan memiliki strategi belajar sendiri serta kecakapan berpartisi pasi dalam tim. Proses pembelajarannya menggunakan pendekatan yang sistemi k untuk memecahkan masalah atau tantangan yang dibutuhkan dalam kehidu pan sehari-hari (Amir, 2009). Model Problem Based Learning (PBL) bercirikan penggunaan masalah kehidupan nyata sebagai suatu yang harus dipelajari siswa. Dengan model PBL diharapkan siswa mendapatkan lebih banyak kecakapan daripada pengetahuan yang dihafal. Mulai dari kecakapan memecahkan masa lah, kecakapan berpikir kritis, kecakapan bekerja dalam kelompok, kecakapan interpersonal dan komunikasi, serta kecakapan pencarian dan pengolaha n informasi (Amir, 2007). 11 Savery, Duffy, dan Thomas (1995) mengemukakan dua h al yang harus dijadikan pedoman dalam menyajikan permasalahan. Pertama , permasalahan harus sesuai dengan konsep dan prinsip yang akan dipelajari. Kedua , permasalahan yang disajikan adalah permasalahan riil, artinya masalah itu nyata ada dalam kehidupan sehari-hari siswa. Dalam PBL pembelajarannya lebih mengutamakan pros es belajar, di mana tugas guru harus memfokuskan diri untuk membantu si swa, mencapai keterampilan mengarahkan diri. Guru dalam model ini berperan sebagai penyaji masalah, penanya, mengadakan dialog, membantu menem
ukan masalah, dan pemberi fasilitas pembelajaran. Selain itu, guru me mberikan dukungan yang dapat meningkatkan pertumbuhan inkuiri dan intelektual si swa. Model ini hanya dapat terjadi jika guru dapat menciptakan lingkungan kela s yang terbuka dan membimbing pertukaran gagasan. 2. Karakteristik Model Problem Based Learning (PBL) Ciri yang paling utama dari model pembelajaran PB L yaitu dimunculkannnya masalah pada awal pembelajarannya. . Menurut Arends (Trianto, 2007), berbagai pengembangan pengajaran b erdasarkan masalah telah memberikan model pengajaran itu memiliki karakteris tik sebagai berikut : a. Pengajuan pertanyaan atau masalah 1. Autentik, yaitu masalah harus berakar pada kehidu pan dunia nyata siswa daripada berakar pada prinsip-prinsip disiplin ilmu tertentu.
makalah PBL (Problem Based Learning)
MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH
(Problem-based Learning) MAKALAH
Disusun guna memenuhi tugas Mata Kuliah Inovasi Pembelajaran Matematika
Dosen Pengampu : Aryo Andri Nugroho, S.Pd, M.Pd.
Disusun oleh : Renita Mulyani
(11310318)
M. Iqbal Syahputra
(11310328)
Dian HapsariGustifani
(11310333)
Kelas : 3H
JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA FAKULTAS PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM IKIP PGRI SEMARANG 2012
PENDAHULUAN Latar Belakang Pada proses pembelajaran di kelas hingga saat ini masih juga ditemukan pengajar yang memposisikan peserta didik sebagai objek belajar, bukan sebagai individu yang harus dikembangkan potensi yang dimilikinya. Hal ini dapat mematikan potensi peserta didik. Dan dalam keadaan tersebut peserta didik hanya mendengarkan pidato guru di depan kelas, sehingga mudah sekali peserta didik merasa bosan dengan materi yang diberikan. Akibatnya, peserta didik tidak paham dengan apa yang baru saja disampaikan oleh guru. Pada model pembelajaran berbasis masalah berbeda dengan model pembelajaran yang lainnya, dalam model pembelajaran ini, peranan guru adalah menyodorkan berbagai masalah, memberikan pertanyaan, dan memfasilitasi investigasi dan dialog. Guru memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menetapkan topik masalah yang akan dibahas, walaupun sebenarnya guru telah menetapkan topik masalah apa yang harus dibahas. Hal yang paling utama adalah guru menyediakan perancah atau kerangka pendukung yang dapat meningkatkan kemampuan penyelidikan dan intelegensi peserta didik dalam berpikir. Proses pembelajaran diarahkan agar peserta didik mampu menyelesaikan masalah secara sistematis dan logis. Model pembelajaran ini dapat terjadi jika guru dapat menciptakan lingkungan kelas yang terbuka dan jujur, karena kelas itu sendiri merupakan tempat pertukaran ide-ide peserta didik dalam menanggapi berbagai masalah. Jika dilihat dari sudut pandang psikologi belajar, model pembelajaran ini berdasarkan pada psikologi kognitif yang berakar dari asumsi bahwa belajar adalah proses perubahan tingkah laku berkat adanya pengalaman. Melalui model pembelajaran ini peserta didik dapat berkembang secara utuh, artinya bukan hanya perkembangan kognitif, tetapi peserta didik juga akan berkembang dalam bidang affektif dan psikomotorik secara otomatis melalui masalah yang dihadapi. Model pembelajaran berbasis masalah mengambil psikologi kognitif sebagai dukungan teoritisnya. Fokus pembelajaran pada model ini menekankan pada apa yang peserta didik pikirkan selama mereka terlibat dalam proses pembelajaran, bukan pada apa yang mereka kerjakan dalam proses pembelajaran. Seperti halnya model pembelajaran kooperatif, model pembelajaran berbasis masalah ini menemukan akar intelektualnya dalam karya John Dewey. Di dalam Democracy and Education (1916),
Dewey mendiskripsikan pandangan tentang pendidikan dengan sekolah sebagai cermin masyarakat yang lebih besar dan kelas akan menjadi laboratorium untuk penyelidikan dan pengentasan masalah kehidupan nyata. Pedagogis Dewey mendorong guru untuk melibatkan peserta didik dalam berbagai proyek berorientasi masalah dan membantu mereka menyelidiki berbagai masalah sosial dan intelektual penting.
B. Perumusan Masalah 1.
Bagaimanakah pengertian Pembelajaran Berbasis Masalah?
2. Bagaimanakah ciri-ciri Pembelajaran Berbasis Masalah? 3. Apa komponen-komponen yang mendukung Pembelajaran Berbasis Masalah? 4. Bagaimanakah konsep dasar Pembelajaran Berbasis Masalah? 5. Bagaimanakah langkah-langkah serta sintaks (implementasi/pelaksanaan) dalam Pembelajaran Berbasis Masalah? 6. Bagaimanakah penilaian serta evaluasi Pembelajaran Berbasis Masalah? 7. Apa kelebihan serta kekurangan Pembelajaran Berbasis Masalah?
C. Tujuan 1. Mengetahui pengertian Pembelajaran Berbasis Masalah. 2. Mengidentifikasi ciri-ciri Pembelajaran Berbasis Masalah. 3. Mengetahui fitur-fitur yang mendukung Pembelajaran Berbasis Masalah. 4. Mengetahui konsep dasar Pembelajaran Berbasis Masalah. 5.
Mengetahui langkah-langkah serta sintaks (implementasi/pelaksanaan) dalam Pembelajaran Berbasis Masalah.
6. Mengetahui penilaian serta evaluasi Pembelajaran Berbasis Masalah. 7. Mengidentifikasi kelebihan serta kekurangan Pembelajaran Berbasis Masalah.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pengajaran berdasarkan masalah ini telah dikenal sejak zaman John Dewey. Menurut Dewey (dalam Trianto, 2009:91) belajar berdasarkan masalah adalah interaksi antara stimulus dan respon, merupakan hubungan antara dua arah belajar dan lingkungan. Lingkungan memberikan masukan kepada peserta didik berupa bantuan dan masalah, sedangkan sistem saraf otak berfungsi menafsirkan bantuan itu secara efektif sehingga masalah yang dihadapi dapat diselidiki, dinilai, dianalisis, serta dicari pemecahannya dengan baik. Pembelajaran Berbasis Masalah yang berasal dari bahasa Inggris Problem-based Learning adalah suatu pendekatan pembelajaran yang dimulai dengan menyelesaikan suatu masalah, tetapi untuk menyelesaikan masalah itu peserta didik memerlukan pengetahuan baru untuk dapat menyelesaikannya. Pendekatan pembelajaran berbasis masalah (problem-based learning / PBL) adalah konsep pembelajaran yang membantu guru menciptakan lingkungan pembelajaran yang dimulai dengan masalah yang penting dan relevan (bersangkut-paut) bagi peserta didik, dan memungkinkan peserta didik memperoleh pengalaman belajar yang lebih realistik (nyata). Pembelajaran Berbasis Masalah melibatkan peserta didik dalam proses pembelajaran yang aktif, kolaboratif, berpusat kepada peserta didik, yang mengembangkan kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan belajar mandiri yang diperlukan untuk menghadapi tantangan dalam kehidupan dan karier, dalam lingkungan yang bertambah kompleks sekarang ini. Pembelajaran Berbasis Masalah dapat pula dimulai dengan melakukan kerja kelompok antar peserta didik. peserta didik menyelidiki sendiri, menemukan permasalahan, kemudian menyelesaikan masalahnya di bawah petunjuk fasilitator (guru). Pembelajaran Berbasis Masalah menyarankan kepada peserta didik untuk mencari atau menentukan sumber-sumber pengetahuan yang relevan. Pembelajaran berbasis masalah memberikan tantangan kepada peserta didik untuk belajar sendiri. Dalam hal ini, peserta didik lebih diajak untuk membentuk suatu pengetahuan dengan sedikit bimbingan atau arahan guru sementara pada pembelajaran tradisional, peserta didik lebih diperlakukan sebagai penerima pengetahuan yang diberikan secara terstruktur oleh seorang guru.
Pembelajaran berbasis masalah (Problem-based learning), selanjutnya disingkat PBL, merupakan salah satu model pembelajaran inovatif yang dapat memberikan kondisi belajar aktif kepada peserta didik. PBL adalah suatu model pembelajaran vang, melibatkanpeserta didik untuk memecahkan suatu masalah melalui tahap-tahap metode ilmiah sehingga peserta didik dapat mempelajari pengetahuan yang berhubungan dengan masalah tersebut dan sekaligus memiliki ketrampilan untuk memecahkan masalah. Untuk mencapai hasil pembelajaran secara optimal, pembelajaran dengan pendekatan Pembelajaran Berbasis Masalah perlu dirancang dengan baik mulai dari penyiapan masalah yang yang sesuai dengan kurikulum yang akan dikembangkan di kelas, memunculkan masalah dari peserta didik, peralatan yang mungkin diperlukan, dan penilaian yang digunakan. Pengajar yang menerapkan pendekatan ini harus mengembangkan diri melalui pengalaman mengelola di kelasnya, melalui pendidikan pelatihan atau pendidikan formal yang berkelanjutan. Oleh karena itu, pengajaran berdasarkan masalah merupakan pendekatan yang efektif untuk pengajaran proses berfikir tingkat tinggi. Pembelajaran ini membantu peserta didik untuk memproses informasi yang sudah jadi dalam benaknya dan menyusun pengetahuan mereka sendiri tentang dunia sosial dan sekitarnya. Pembelajaran ini cocok untuk mengembangkan pengetahuan dasar maupun kompleks.
B. Ciri-ciri Pembelajaran Berbasis Masalah 1. Pertama, strategi pembelajaran berbasis masalah merupakan rangkaian aktivitas pembelajaran artinya dalam pembelajaran ini tidak mengharapkan peserta didik hanya sekedar mendengarkan, mencatat kemudian menghafal materi pelajaran, akan tetapi melalui strategi pembelajaran berbasis masalah peserta didik aktif berpikir, berkomunikasi, mencari dan mengolah data dan akhirnya menyimpulkannya. 2. Kedua, aktivitas pembelajaran diarahkan untuk menyelesaikan masalah. Strategi pembelajaran berbasis masalah menempatkan masalah sebagai kata kunci dari proses pembelajaran. Artinya, tanpa masalah tidak mungkin ada proses pembelajaran. 3. Ketiga, pemecahan masalah dilakukan dengan menggunakan pendekatan berpikir secara ilmiah. Berpikir dengan menggunakan metode ilmiah adalah proses berpikir deduktif dan induktif. Proses berpikir ini dilakukan secara sistematis dan empiris, sistematis artinya berpikir ilmiah dilakukan melalui tahapan-
tahapan tertentu, sedangkan empiris artinya proses penyelesaian masalah didasarkan pada data dan fakta yang jelas.
C. Komponen-Komponen Pembelajaran Berbasis Masalah Komponen-komponen pembelajaran berbasisi masalah dikemkakan oleh Arends, diantaranya adalah : a.
Permasalahan autentik. Model pembelajaran berbasis masalah mengorganisasikan masalah nyata yang penting secara sosial dan bermanfaat bagi peserta didik. Permasalahan yang dihadapi peserta didik dalam dunia nyata tidak dapat dijawab dengan jawaban yang sederhana.
b.
Fokus interdisipliner. Dimaksudkan agar peserta didik belajar berpikir struktural dan belajar menggunakan berbagai perspektif keilmuan.
c.
Pengamatan autentik. Hal ini dinaksudkan untuk menemukan solusi yang nyata. Peserta didik diwajibkan untuk menganalisis dan menetapkan masalahnya, mengembangkan hipotesis dan membuat prediksi, mengumpulkan dan menganalisis informasi, melaksanakan eksperimen, membuat inferensi, dan menarik kesimpulan.
d.
Produk. Peserta didik dituntut untuk membuat produk hasil pengamatan.produk bisa berupa kertas yang dideskripsikan dan didemonstrasikan kepada orang lain.
e.
Kolaborasi. Dapat mendorong penyelidikan dan dialog bersama untuk mengembangkan keterampilan berpikir dan keterampilan sosial.
D. Konsep Dasar Pembelajaran Berbasis Masalah Model pembelajaran berbasis masalah adalah pembelajaran yang menekankan padaproses penyelesaian masalah. Dalam implementasi model pembelajaran berbasis masalah, guru perlu memilih bahan pelajaran yang memiliki permasalahan yang dapat dipecahkan. Model pembelajaran berbasis masalah ini dapat diterapkan dalam kelas jika : a. Guru bertujuan agar peserta didik tidak hanya mengetahui dan hafal materi pelajaran saja, tetapi juga mengerti dan memahaminya. b. Guru mengiginkan agar peserta didik memecahkan masalah dan membuat kemampuan intelektual siswa bertambah. c. Guru menginginkan agar peserta didik dapat bertanggung jawab dalam belajarnya.
d. Guru menginginkan agar peserta didik dapat menghubungkan antara teori yang dipelajari di dalam kelas dan kenyataan yang dihadapinya di luar kelas. e. Guru bermaksud mengembangkan kemampuan peserta didik dalam menganalisis situasi, menerapkan pengetahuan, mengenal antara fakta dan pendapat, serta mengembangkan kemampuan dalam membuat tugas secara objektif.
E. Langkah-langkah Model Pembelajaran Berbasis Masalah John Dewey seorang ahli pendidikan berkebangsaan Amerika memaparkan 6 langkah dalam pembelajaran berbasis masalah ini : a.
Merumuskan masalah. Guru membimbing peserta didik untuk menentukan masalah yang akan dipecahkan dalam proses pembelajaran, walaupun sebenarnya guru telah menetapkan masalah tersebut.
b.
Menganalisis masalah. Langkah peserta didik meninjau masalah secara kritis dari berbagai sudut pandang.
c.
Merumuskan hipotesis. Langkah peserta didik merumuskan berbagai kemungkinan pemecahan sesuai dengan pengetahuan yang dimiliki.
d.
Mengumpulkan data. Langkah peserta didik mencari dan menggambarkan berbagai informasi yang diperlukan untuk memecahkan masalah.
e.
Pengujian hipotesis. Langkah peserta didik dalam merumuskan dan mengambil kesimpulan sesuai dengan penerimaan dan penolakan hipotesis yang diajukan
f.
Merumuskan rekomendasi pemecahan masalah. Langkah peserta didik menggambarkan rekomendasi yang dapat dilakukan sesuai rumusan hasil pengujian hipotesis dan rumusan kesimpulan. Sedangkan menurut David Johnson & Johnson memaparkan 5 langkah melalui kegiatan kelompok :
a.
Mendefinisikan masalah. Merumuskan masalah dari peristiwa tertentu yang mengandung konflik hingga peserta didik jelas dengan masalah yang dikaji. Dalam hal ini guru meminta pendapat peserta didik tentang masalah yang sedang dikaji.
b. Mendiagnosis masalah, yaitu menentukan sebab-sebab terjadinya masalah. c. Merumuskan alternatif strategi. Menguji setiap tindakan yang telah dirumuskan melalui diskusi kelas. d.
Menentukan & menerapkan strategi pilihan. Pengambilan keputusan tentang strategi mana yang dilakukan.
e. Melakukan evaluasi. Baik evaluasi proses maupun evaluasi hasil. Secara umum langkah-langkah model pembelajaran ini adalah : a.
Menyadari Masalah. Dimulai dengan kesadaran akan masalah yang harus dipecahkan. Kemampuan yang harus dicapai peserta didik adalah peserta didik dapat menentukan atau menangkap kesenjangan yang dirasakan oleh manusia dan lingkungan sosial.
b.
Merumuskan Masalah. Rumusan masalah berhubungan dengan kejelasan dan kesamaan persepsi tentang masalah dan berkaitan dengan data-data yang harus dikumpulkan. Diharapkan peserta didik dapat menentukan prioritas masalah.
c.
Merumuskan Hipotesis. peserta didik diharapkan dapat menentukan sebab akibat dari masalah yang ingin diselesaikan dan dapat menentukan berbagai kemungkinan penyelesaian masalah.
d.
Mengumpulkan Data. peserta didik didorong untuk mengumpulkan data yang relevan. Kemampuan yang diharapkan adalah peserta didik dapat mengumpulkan data dan memetakan serta menyajikan dalam berbagai tampilan sehingga sudah dipahami.
e.
Menguji Hipotesis. Peserta didik diharapkan memiliki kecakapan menelaah dan membahas untuk melihat hubungan dengan masalah yang diuji.
f.
Menetukan Pilihan Penyelesaian. Kecakapan memilih alternatif penyelesaian yang memungkinkan dapat dilakukan serta dapat memperhitungkan kemungkinan yang dapat terjadi sehubungan dengan alternatif yang dipilihnya.
F. Sintaks Pembelajaran Berbasis Masalah
Tahap
TingkahLaku guru
Tahap-1 Orientasi peserta didik pada masalah
Tahap-2 Mengorganisasi peserta didik untuk belajar Tahap-3 Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok Tahap-4 Mengembangkan dan menyajikan hasil karya Tahap-5 Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik yang dibutuhkan, mengajukan fenomena atau demonstrasi atau cerita untuk memunculkan masalah, memotivasi peserta didik untuk terlibat dalam pemecahan masalah yang dipilih. Guru membantupeserta didikuntukmendefinisikandanmengorganisasitugas belajar yang berhubungandenganmasalahtersebut Guru mendorongpeserta didikuntukmengumpulkaninformasi yang sesuai, melaksanakaneksperimenuntukmendapatkanpenje lasandanpemecahanmasalah. Guru membantupeserta didikdalammerencanakandanmenyiapkankarya yang sesuaisepertilaporan, video, dan model sertamembantumerekauntukberbagitugasdengant emannya. Guru membantupeserta didikuntukmelakukanrefleksiatauevaluasiterhadap penyelidikanmerekadan proses-proses yang merekagunakan.
G. Penilaian dan Evaluasi Prosedur-prosedur penilaian harus disesuaikan dengan tujuan pengajaran yang ingin dicapai dan hal yang paling utama bagi guru adalah mendapatkan informasi penilaian yang reliabel dan valid. Prosedur evaluasi pada model pembelajaran berbasis masalah ini tidak hanya cukup dengan mengadakan tes tertulis saja, tetapi juga dilakukan dalam bentuk checklist, reating scales, dan performance. Untuk evaluasi dalam bentuk performance atau kemampuan ini dapat digunakan untuk mengukur potensi peserta didik untuk mengatasi masalah maupun untuk mengukur kerja kelompok.
Evaluasi harus menghasilkan definisi tentang masalah baru, mendiagnosanya, dan mulai lagi proses penyelesaian baru.
H. Keunggulan dan Kelemahan Model Pembelajaran Berbasis Masalah Sebagai suatu model pembelajaran, model pembelajaran berbasis masalah memiliki beberapa keunggulan, diantaranya : 1. Pemecahan masalah merupakan teknik yang cukup bagus untuk lebih memahami isi pelajaran. 2. Pemecahan masalah dapat menantang kemampuan peserta didik serta memberikan kepuasan untuk menentukan pengetahuan baru bagi peserta didik. 3. Pemecahan masalah dapat meningkatkan aktivitas pembelajaran peserta didik. 4. Pemecahan masalah dapat membantu peserta didik bagaimana mentrasfer pengetahuan mereka untuk memahami masalah dalam kehidupan nyata. 5. Pemecahan masalah dapat membantu peserta didik untuk mengembangkan pengetahuan barunya dan bertanggungjawab dalam pembelajaran yang mereka lakukan. 6. Melalui pemecahan masalah dianggap lebih menyenangkan dan disukai peserta didik. 7. Pemecahan masalah dapat mengembangkan kemampuan peserta didik untuk berpikir kritis dan mengembangkan kemampuan mereka untuk menyesuaikan dengan pengetahuan baru. 8. Pemecahan masalah dapat memberikan kesempatan pada peserta didik untuk mengaplikasikan pengetahuan yang mereka miliki dalam dunia nyata. 9. Pemecahan masalah dapat mengembangkan minat peserta didik untuk secara terus menerus belajar. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa strategi pembelajaran berbasis masalah harus dimulai dengan kesadaran adanya masalah yang harus dipecahkan. Pada tahapan ini guru membimbing peserta didik pada kesadaran adanya kesenjangan atau gap yang dirasakan oleh manusia atau lingkungan sosial. Kemampuan yang harus dicapai oleh peserta didik, pada tahapan ini adalah peserta didik dapat menentukan atau menangkap kesenjangan yang terjadi dari berbagai fenomena yang ada. Disamping keunggulannya, model ini juga mempunyai kelemahan, yaitu :
1. Manakala peserta didik tidak memiliki minat atau tidak mempunyai kepercayaan bahwa masalah yang dipelajari sulit untuk dipecahkan, maka mereka akan merasa enggan untuk mencoba. 2. Keberhasilan strategi pembelajaran melalui problem solving membutuhkan cukup waktu untuk persiapan. 3. Tanpa pemahaman mengapa mereka berusaha untuk memecahkan masalah yang sedang dipelajari, maka mereka tidak akan belajar apa yang mereka ingin pelajari.
PENUTUP A. Simpulan
Pembelajaran Berbasis Masalah yang berasal dari bahasa Inggris Problem-based Learning adalah suatu pendekatan pembelajaran yang dimulai dengan menyelesaikan suatu masalah, tetapi untuk menyelesaikan masalah itu siswa memerlukan pengetahuan baru untuk dapat menyelesaikannya.
Model pembelajaran berbasis masalah adalah pembelajaran yang menekankan padaproses penyelesaian masalah
Pembelajaran Berbasis Masalah melibatkan peserta didik dalam proses pembelajaran yang aktif, kolaboratif, berpusat kepada peserta didik, yang mengembangkan kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan belajar mandiri yang diperlukan untuk menghadapi tantangan dalam kehidupan dan karier, dalam lingkungan yang bertambah kompleks sekarang in
Konsep Pendekatan PBL dalam Pembelajaran Matematika Sekolah BAB I PENDAHULUAN
Perubahan paradigma pendidikan di sekolah dari pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher centre learning) ke system pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centre learning) dapat dilihat dari banyaknya metode dan model pembelajaran yang dapat menjadi system tive pilihan guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar di kelas. Salah satu system tive itu adalah model pembelajaran berdasarkan masalah atau dikenal dengan PBL (Problem Based Learning), dalam beberapa referensi sering juga disebut PBI (Problem Based Instructions) Pengajaran berdasarkan masalah telah dikenal sejak zaman John Dewey, yang sekarang ini mulai diangkat sebab ditinjau secara umum pembelajaran berdasarkan masalah terdiri dari menyajikan kepada siswa situasi masalah yang otentik dan bermakna yang dapat memberikan kemudahan kepada mereka untuk melakukan penyelidikan dan inkuiri. Menurut Dewey (diakses dari http://dwijakarya.blogspot.com/), belajar berdasarkan masalah adalah interaksi antara stimulus dengan respons, merupakan hubungan antara dua arah belajar dan lingkungan. Lingkungan memberi masukan kepada siswa berupa bantuan dan masalah, sedangkan system saraf otak berfungsi menafsirkan bantuan itu secara efektif sehingga masalah yang dihadapi dapat diselidiki, dinilai, dianalisis serta dicari pemecahannya dengan baik. Berdasarkan penjelasan tersebut, pembelajaran berdasarkan masalah didasarkan pada teori psikologi kognitif. Fokus pengajaran tidak begitu banyak pada apa yang sedang dilakukan siswa
(perilaku mereka), melainkan kepada apa yang mereka pikirkan (kognisi mereka) pada saat mereka melakukan kegiatan itu. Walaupun peran guru pada pembelajaran ini kadang melibatkan presentasi dan penjelasan suatu hal, namun yang lebih lazim adalah berperan sebagai pembimbing dan fasilitatorsehingga siswa belajar untuk berpikir dan memecahkan masalah.
BAB II PEMBAHASAN
A. Latar Belakang Pentingnya PBL Mengingat pentingnya kreativitas siswa tersebut, maka di sekolah perlu disusun suatu strategi pembelajaran yang dapat mengembangkan kreativitas. Strategi tersebut diantaranya meliputi pemilihan pendekatan, metode atau model pembelajaran. Salah satu pembelajaran yang saat ini sedang berkembang ialah pembelajaran berbasis masalah. Pembelajaran berbasis masalah merupakan suatu pembelajaran yang menuntut aktivitas mental siswa untuk memahami suatu konsep pembelajaran melalui situasi dan masalah yang disajikan pada awal pembelajaran. Masalah yang disajikan pada siswa merupakan masalah kehidupan sehari-hari (kontekstual). Pembelajaran berbasis masalah ini dirancang dengan tujuan untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir dan mengembangkan kemampuan dalam memecahkan masalah, belajar berbagai peran orang dewasa melalui keterlibatan mereka dalam pengalamanpengalaman. Pada pembelajaran berbasis masalah siswa dituntut untuk melakukan pemecahan masalahmasalah yang disajikan dengan cara menggali informasi sebanyak-banyaknya, kemudian dianalisis dan dicari solusi dari permasalahan yang ada. Solusi dari permasalahan tersebut tidak mutlak mempunyai satu jawaban yang benar, artinya siswa dituntut pula untuk belajar secara kreatif. Siswa diharapkan menjadi individu yang berwawasan luas serta mampu melihat hubungan pembelajaran dengan aspek-aspek yang ada dilingkungannya. Dalam ruang lingkup pembelajaran berbasis masalah, siswa berperan sebagai seorang professional dalam menghadapi permasalahan yang muncul, meskipun dengan sudut pandang yang tidak jelas dan informasi yang minimal, siswa tetap dituntut untuk menentukan solusi terbaik yang mungkin ada. Pembelajaran berbasis masalah membuat perubahan dalam proses pembelajaran khususnya dalam segi peranan guru. Guru tidak hanya berdiri di depan kelas dan berperan sebagai pemandu siswa dalam menyelesaikan permasalahan dengan memberikan langkah-langkah penyelesaian yang sudah jadi melainkan guru berkeliling kelas memfasilitasi diskusi, memberikan pertanyaan, dan membantu siswa untuk menjadi lebih sadar akan proses pembelajaran.
Menurut Departemen Pendidikan Nasional (2003), ciri utama pembelajaran berbasis masalah meliputi mengorientasikan siswa kepada masalah atau pertanyaan yang autentik. multidisiplin, menuntut kerjasama dalam penyelidikan, dan menghasilkan karya. Dalam pembelajaran berbasis masalah situasi atau masalah menjadi titik tolak pembelajaran untuk memahami konsep, prinsip dan mengembangkan keterampilan memecahkan masalah. Menurut Ratumanan (diakses dari http://nsant.student.fkip.uns.ac.id/), pembelajaran berdasarkan masalah merupakan pendekatan yang efektif untuk pengajaran proses berpikir tingkat tinggi. Pembelajaran ini membantu siswa untuk memproses informasi yang sudah jadi dalam benaknya dan menyusun pengetahuan mereka sendiri tentang dunia sosial dan sekitarnya. Pembelajaran ini cocok untuk mengembangkan pengetahuan dasar maupun kompleks. Pembelajaran berdasarkan masalah artinya pembelajaran didasarkan pada masalah sehari-hari dan dalam pembelajaran siswa diajak untuk memecahkannya. Melalui pembelajaran semacam itu siswa akan merasa ditantang untuk mengajukan gagasan. Biasanya akan muncul berbagai gagasan dan siswa akan saling memberikan alasan dari gagasan yang diajukan. Dalam proses pembahasan, gagasan itu akan terjadi interaksi dan pemaduan gagasan yang pada akhirnya mengarah pada saling melengkapi. Siswa biasanya sangat senang karena merasa mampu memecahkan masalah yang diberikan. Pembelajaran Berbasis Masalah atau sering disebut dengan Problem Based Learning ini memiliki beberapa arti, diantaranya : 1. Menurut Boud dan Felleti, (1997), Fogarty (1997) menyatakan bahwa model pembelajaran berbasis masalah adalah suatu pendekatan pembelajaran dengan membuat konfrontasi kepada pebelajar (siswa/mahasiswa) dengan masalah-masalah praktis, berbentuk ill-structured, atau open ended melalui stimulus dalam belajar. 2. Menurut Arends (Nurhayati Abbas, 2000: 12) menyatakan bahwa model pembelajaran berbasis masalah adalah model pembelajaran dengan pendekatan pembelajaran siswa pada masalah autentik, sehingga siswa dapat menyusun pengetahuannya sendiri, menumbuhkembangkan keterampilan yang lebih tinggi dan inquiri, memandirikan siswa, dan meningkatkan kepercayaan diri sendiri. 3. Menurut Ward, 2002: Stepien, dkk., 1993 menyatakan bahwa model berbasis masalah adalah suatu model pembelajaran yang melibatkan siswa untuk memecahkan suatu masalah melalui tahap-tahap metode ilmiah sehingga siswa dapat mempelajari pengetahuan yang berhubungan dengan masalah tersebut dan sekaligus memiliki keterampilan untuk memecahkan masalah. 4. Ratnaningsih, 2003: menyatakan bahwa pembelajaran berbasis masalah adalah suatu pembelajaran yang menuntut aktivitas mental siswa untuk memahami suatu konsep pembelajaran melalui situasi dan masalah yang disajikan pada awal pembelajaran.
B. UNSUR-UNSUR PBL Berbagai pengembang pembelajaran berbasis masalah telah menunjukkan ciri-ciri pengajaran berbasis masalah sebagai berikut. 1. 1.
Pengajuan masalah atau pertanyaan
Pengajaran berbasis masalah bukan hanya mengorganisasikan prinsip-prinsip atau ketrampilan akademik tertentu, pembelajaran berdasarkan masalah mengorganisasikan pengajaran di sekitar pertanyaan dan masalah yang kedua-duanya secara sosial penting dan secara pribadi bermakna untuk siswa. Mereka dihadapkan situasi kehidupan nyata yang autentik , menghindari jawaban sederhana, dan memungkinkan adanya berbagai macam solusi untuk situasi itu. Menurut Arends (dalam Abbas, 2000:13), pertanyaan dan masalah yang diajukan haruslah memenuhi criteria sebagai berikut. 1. Autentik
Yaitu masalah harus lebih berakar pada kehidupan dunia nyata siswa dari pada berakar pada prinsip-prinsip disiplin ilmu tertentu. 2. Jelas
Yaitu masalah dirumuskan dengan jelas, dalam arti tidak menimbulkan masalah baru bagi siswa yang pada akhirnya menyulitkan penyelesaian siswa. 3. Mudah dipahami.
Yaitu masalah yang diberikan hendaknya mudah dipahami siswa. Selain itu masalah disusun dan dibuat sesuai dengan tingkat perkembangan siswa. 4. Luas dan sesuai dengan tujuan pembelajaran.
Yaitu masalah yang disusun dan dirumuskan hendaknya bersifat luas, artinya masalah tersebut mencakup seluruh materi pelajaran yang akan diajarkan sesuai dengan waktu, ruang dan sumber yang tersedia. Selain itu, masalah yang telah disusun tersebut harus didasarkan pada tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. 5. Bermanfaat.
Yaitu masalah yang telah disusun dan dirumuskan haruslah bermanfaat, baik siswa sebagai pemecah masalah maupun guru sebagai pembuat masalah. Masalah yang bermanfaat adalah masalah yang dapat meningkatkan kemampuan berfikir memecahkan masalah siswa, serta membangkitkan motivasi belajar siswa. 1. 2.
Penyelidikan autentik
Pengajaran berbasis masalah siswa melakukan penyelidikan autentik untuk mencari penyelesaian nyata terhadap masalah nyata. Mereka harus menganalisis dan mendefinisikan masalah, mengembangkan hipotesis dan membuat ramalan, mengumpulkan dan menganalisis informasi, melakukan eksperimen (jika diperlukan), membuat inferensi dan merumuskan kesimpulan. Metode penyelidikan yang digunakan bergantung pada masalah yang sedang dipelajari. 1. 3.
Menghasilkan produk/karya dan memamerkannya
Pengajaran berbasis masalah menuntut siswa untuk menghasilkan produk tertentu dalam bentuk karya nyata atau artefak dan peragaan yang menjelaskan atau mewakili bentuk penyelesaian masalah yang mereka temukan. Produk itu dapat berupa transkip debat, laporan, model fisik, video atau program komputer (Ibrahim & Nur, 2000:5-7 dalam Nurhadi, 2003:56) 1. 4.
Kerjasama.
Model pembelajaran berbasis masalah dicirikan oleh siswa yang bekerjasama satu sama lain, paling sering secara berpasangan atau dalam kelompok kecil. Bekerjasama memberikan motivasi untuk secara berkelanjutan terlibat dalam tugas-tugas kompleks dan memperbanyak peluang untuk berbagi inkuiri dan dialog dan untuk mengembangkan keterampilan sosial dan keterampilan berpikir.
C. PROSEDUR PBL Arends (2004) merinci langkah-langkah pelaksanaan PBL dalam pengajaran. Arends mengemukakan ada 5 fase (tahap) yang perlu dilakukan untuk mengimplementasikan PBL. Fasefase tersebut merujuk pada tahap-tahapan praktis yang dilakukan dalam kegiatan pembelajaran dengan PBL sebagaimana disajikan pada : Fase Aktivitas guru Fase 1: Mengorientasikan siswa/ mahasiswa pada masalah Pembelajaran dimulai dengan menjelaskan tujuan pembelajaran dan aktivitas-aktivitas yang akan dilakukan. Dalam penggunaan PBL, tahapan ini sangat penting dimana guru/dosen harus menjelaskan dengan rinci apa yang harus dilakukan oleh siswa/mahasiswa dan juga oleh dosen. Disamping proses yang akan berlangsung, sangat penting juga dijelaskan bagaimana guru/dosen akan mengevaluasi proses pembelajaran. Hal ini sangat penting untuk memberikan motivasi agar siswa dapat engage dalam pembelajaran yang akan dilakukan.
Fase 2: Mengorganisasikan siswa/ mahasiswa untuk belajar Disamping mengembangkan ketrampilan memecahkan masalah, pembelajaran PBL juga mendorong siswa/mahasiswa belajar berkolaborasi. Pemecahan suatu masalah sangat membutuhkan kerjasama dan sharing antar anggota. Oleh sebab itu, guru/dosen dapat memulai kegiatan pembelajaran dengan membentuk kelompok-kelompok siswa dimana masing-masing kelompok akan memilih dan memecahkan masalah yang berbeda. Prinsip-prinsip pengelompokan siswa dalam pembelajaran kooperatif dapat digunakan dalam konteks ini seperti: kelompok harus heterogen, pentingnya interaksi antar anggota, komunikasi yang efektif, adanya tutor sebaya, dan sebagainya. Guru/dosen sangat penting memonitor dan mengevaluasi kerja masing-masing kelompok untuk menjaga kinerja dan dinamika kelompok selama pembelajaran.
Setelah mahasiswa diorientasikan pada suatu masalah dan telah membentuk kelompok belajar selanjutnya guru dan mahasiswa menetapkan subtopik-subtopik yang spesifik, tugas-tugas penyelidikan, dan jadwal. Tantangan utama bagi guru pada tahap ini adalah mengupayakan agar semua mahasiswa aktif terlibat dalam sejumlah kegiatan penyelidikan dan hasil-hasil penyelidikan ini dapat menghasilkan penyelesaian terhadap permasalahan tersebut. Fase 3: Membantu penyelidikan mandiri dan kelompok Penyelidikan adalah inti dari PBL. Meskipun setiap situasi permasalahan memerlukan teknik penyelidikan yang berbeda, namun pada umumnya tentu melibatkan karakter yang identik, yakni pengumpulan data dan eksperimen, berhipotesis dan penjelasan, dan memberikan pemecahan. Pengumpulan data dan eksperimentasi merupakan aspek yang sangat penting. Pada tahap ini, guru harus mendorong mahasiswa untuk mengumpulkan data dan melaksanakan eksperimen (mental maupun aktual) sampai mereka betul-betul memahami dimensi situasi permasalahan. Tujuannya adalah agar mahasiswa mengumpulkan cukup informasi untuk menciptakan dan membangun ide mereka sendiri. Pada fase ini seharusnya lebih dari sekedar membaca tentang masalah-masalah dalam buku-buku. Guru membantu mahasiswa untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya dari berbagai sumber, dan ia seharusnya mengajukan pertanyaan pada mahasiswa untuk berifikir tentang massalah dan ragam informasi yang dibutuhkan untuk sampai pada pemecahan masalah yang dapat dipertahankan. Fase 4: Mengembangkan dan menyajikan artifak (hasil karya) dan mempamerkannya Tahap penyelidikan diikuti dengan menciptakan artifak (hasil karya) dan pameran. Artifak lebih dari sekedar laporan tertulis, namun bisa suatu videotape (menunjukkan situasi masalah dan pemecahan yang diusulkan), model (perwujudan secara fisik dari situasi masalah dan pemecahannya), program komputer, dan sajian multimedia. Tentunya kecanggihan artifak sangat dipengaruhi tingkat berfikir mahasiswa. Langkah selanjutnya adalah mempamerkan hasil karyanya dan guru berperan sebagai organisator pameran. Akan lebih baik jika dalam pemeran ini melibatkan mahasiswa-mahasiswa lainnya, guru-guru, orangtua, dan lainnya yang dapat menjadi “penilai” atau memberikan umpan balik. Fase 5: Analisis dan evaluasi proses pemecahan masalah Fase ini merupakan tahap akhir dalam PBL. Fase ini dimaksudkan untuk membantu mahasiswa menganalisis dan mengevaluasi proses mereka sendiri dan kete-rampilan penyelidikan dan intelektual yang mereka gunakan. Selama fase ini guru meminta mahasiswa untuk merekonstruksi pemikiran dan aktivitas yang telah dilakukan selama proses kegiatan belajarnya. Kapan mereka pertama kali memperoleh pemahaman yang jelas tentang situasi masalah? Kapan mereka yakin dalam pemecahan tertentu? Mengapa mereka dapat menerima penjelasan lebih siap dibanding yang lain? Mengapa mereka menolak beberapa penjelasan? Mengapa mereka mengadopsi pemecahan akhir dari mereka? Apakah mereka berubah pikiran tentang situasi masalah ketika penyelidikan berlangsung? Apa penyebab perubahan itu? Apakah mereka akan melakukan secara berbeda di waktu yang akan datang? Tentunya masih banyak lagi pertanyaan yang dapat diajukan untuk memberikan umpan balik dan menginvestigasi kelemahan dan kekuatan PBL untuk pengajaran.
Tabel Langkah-langkah (Sintaksis) Pembelajaran Berdasarkan Masalah No
Tahap
Tingkah Laku Guru a. menjelaskan tujuan pembelajaran
1
Tahap 1 :
Orientasi siswa pada masalah
b. menjelaskan alat dan bahan yang dibutuhkan c. memotivasi siswa terlibat dalam aktivitas pemecahan masalah.
Tahap 2 : 2
membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang Mengorganisasikan siswa untuk berhubungan dengan masalah tersebut
belajar Tahap 3 : 3
Membimbing penyelidikan individual atau kelompok
a. mengumpulkan informasi yang sesuai dengan studi pustaka
b. melaksanakan eksperimen atau demontrasi untuk mendapatkan penjelasan c. pemecahan masalah
Tahap 4 : 4
a. membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya/tugas
Mengembangkan dan penyajian b. membantu siswa untuk berbagi tugas dengan hasil karya/tugas temannya Tahap 5 : 5
membantu siswa untuk melakukan evaluasi terhadap tugas-tugas mereka dan proses yang Menganalisis dan mengevaluasi mereka gunakan
proses pemecahan masalah
BAB III PENUTUP
1. A. KESIMPULAN
PBL adalah suatu pendekatan yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar tentang cara berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan yang esensial dari materi pelajaran. Pembelajaran berbasis
masalah dirancang untuk merangsang berpikir tingkat tinggi dalam situasi berorientasi pada masalah. Pembelajaran berbasis masalah dikembangkan terutama untuk membantu kemampuan berpikir, pemecahan masalah, dan keterampilan intelektual dan belajar menjadi pembelajar yang otonom. Keuntungan PBL adalah mendorong kerja sama dalam menyelesaikan tugas. Pembelajaran berbasis masalah melibatkan siswa dalam penyelidikan pilihannya sendiri, yang memungkinkan siswa menginterpretasikan dunia nyata dan membangun pemahaman tentang fenomena tersebut.
1. B.
SARAN 1. Diharapkan guru mampu menggunakan model pembelajaran PBL dalam proses belajar mengajar. 2. Diharapkan siswa dapat lebih memahami materi yang disampaikan dengan metode pembelajaran PBL.
Diharapkan pembaca dapat mengambil manfaat dari makalah PBL dan dapat melengkapi makalah PBL.
Anii Blogspot
Home SEMESTER 1 SEMESTER 2 SEMESTER 3 SEMESTER 4
Categories
Analisis Real (1) Desain Pembelajaran (7) Evaluasi Pembelajaran (2) Filsafat Ilmu (12) Geometri (1) ICT (1) Komputer (1) LPP (1) Matdis (1) Metodologi Penelitian (1) Pembelajaran Matematika dalam B.Inggris (1)
PMRI (1) Statistik (14) Struktur Aljabar (1)
Archives
► 2012 (22)
▼ 2011 (23) o ▼ November (20) MATERIAL DAN DISPLAY PENGAJARAN TEORI GESTALT pembelajaran matematika berdasarkan filosofi konst... PENDEKATAN PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH (PROBLEM... UAS Desain Pembelajaran Matematika TAHAP-TAHAP BELAJAR DARI JEROME BRUNER TEORI PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISME PENERAPAN PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL UNTUK MENGUKUR ... PROBLEMATIKA SEKOLAH RSBI DITINJAU DARI LANDASAN ... TANGGUNG JAWAB ILMUWAN TERHADAP MASA DEPAN UMAT MA... PERKEMBANGAN PANDANGAN TENTANG TERCIPTANYA BUMI PERTUMBUHAN, PERGANTIAN DAN PENYERAPAN TEORI Perkembangan Pemikiran Tentang Pembentukan Alam Se... ilmu dan Agama ASPEK ONTOLOGI DALAM FILSAFAT ILMU dasar-dasar pengetahuan epistemologi ilmu dan Budaya ilmu dan Matematika aksiologi o ► Oktober (2) o ► September (1)
Blogger news PENDEKATAN PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH (PROBLEM BASED LEARNING) 00.13 Anii No comments
PENDEKATAN PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH (PROBLEM BASED LEARNING)
1.
PENGERTIAN PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH (PBL) Arends (dalam Supinah dan Sutanti, 2010) mengemukakan bahwa pembelajaran berbasis masalah merupakan model pembelajaran yang bertujuan merangsang terjadinya proses berpikir tingkat tinggi dalam situasi yang berorientasi masalah. Pembelajaran berbasis masalah dikenal dengan Problem Based Learning (PBL) adalah strategi pembelajaran yang berpusat pada siswa di mana siswa mengelaborasikan pemecahan masalah dengan pengalaman sehari-hari (en.wikipedia.org).
Pada pembelajaran berbasis Masalah siswa dituntut untuk melakukan pemecahan-pemecahan masalah yang disajikan dengan cara menggali informasi sebanyak-banyaknya, kemudian dianalisis dan dicari solusi dari permasalahan yang ada. Dalam ruang lingkup Pembelajaran Berbasis Masalah, siswa berperan sebagai seorang professional dalam menghadapi permasalahan yang muncul, meskipun dengan sudut pandang yang tidak jelas dan informasi yang minimal. Siswa tetap dituntut untuk menemukan solusi terbaik yang mungkin ada. Pembelajaran Berbasis Masalah membuat perubahan dalam proses khususnya dalam segi peranan guru. Guru tidak hanya berdiri di depan kelas dan berperan sebagai pemandu siswa dalam menyelesaikan permasalahan dengan memberikan langkah-langkah penyelesaian yang sudah jadi melainkan guru berkeliling kelas memfasilitasi diskusi, memberikan pertanyaan, dan membantu siswa untuk menjadi lebih sadar akan proses pembelajaran.
2.
TUJUAN PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH (PBL) Wardhani (dalam Supinah dan Sutanti, 2010) mengemukakan bahwa pembelajaran berbasis masalah merupakan model pembelajaran yang bertujuan merangsang terjadinya proses berpikir tingkat tinggi dalam situasi yang berorientasi masalah. Lebih lanjut dikemukakan PBL utamanya dikembangkan untuk membantu siswa sebagai berikut :
a.
Mengembangkan keterampilan berfikir tingkat tinggi
b.
Belajar berbagai peran orang dewasa Dengan melibatkan siswa dalam pengalaman nyata atau simulasi (pemodelan orang dewasa), membantu siswa untuk berkinerja dalam situasi kehidupan nyata dan belajar melakukan peran orang dewasa
c.
Menjadi pelajar yang otonom dan mandiri Kemampuan untuk menjadi pembelajar yang otonom dan mandiri ini diharapkan dapat mendorong tumbuhnya kemampuan belajar secara autodidak dan kesadaran untuk belajar sepanjang hayat yang merupakan bekal penting bagi siswa dalam mengarungi kehidupan pribadi, sosial maupun dunia kerja selanjutnya.
3. LANDASAN TEORI PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH (PBL) Menurut Wardhani (dalam Supinah dan Sutanti, 2010) mengemukakan PBL mengikuti tiga aliran pikiran utama yang berkembang pada abad duapuluh yaitu sebagai berikut : a.
Pemikiran John Dewey dan Kelas Demokratisnya (1916). Menurut Dewey, sekolah seharusnya mencerminkan masyarakat yang lebih besar dan kelas merupakan laboratorium untuk pemecahan masalah kehidupan yang nyata. Pendapat Dewey ini memberikan dasar filosofis dari PBL.
b.
Pemikiran Jean Piaget (1886-1980). Menurut Piaget, anak memiliki rasa ingin tahu bawaan dan secara terus menerus berusaha memahami dunia di sekitarnya. Rasa ingin tahu itu memotivasi anak untuk secara aktif membangun tampilan dalam otak mereka tentang lingkungan yang mereka hayati. Ketika tumbuh semakin dewasa dan memperoleh lebih banyak kemampuan bahasa dan memori, tampilan mental mereka tentang dunia menjadi lebih luas dan lebih abstrak. Pada semua tahap perkembangan, anak perlu memahami lingkungan mereka, memotivasi mereka untuk menyelidiki dan membangun teori-teori yang menjelaskan lingkungan itu.
c.
Pemikiran Lev Vygotsky (1896-1934) dengan Konstruktivismenya, serta Jerome Bruner dengan Pembelajaran Penemuannya. Vygotsky berpandangan bahwa interaksi sosial dengan teman lain memacu terbentuknya ide baru dan memperkaya perkembangan intelektual siswa. Bruner menyatakan pentingnya pembelajaran penemuan, yaitu model pembelajaran yang menekankan perlunya membantu siswa memahami struktur atau ide dari suatu disiplin ilmu, perlunya siswa aktif terlibat dalam proses pembelajaran dan yakin bahwa pembelajaran yang sebenarnya adalah yang terjadi melalui penemuan pribadi.
4.
CIRI-CIRI PPEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH (PBL) Wardhani (dalam Supinah dan Sutanti, 2010) ciri-ciri khusus dari PBL adalah sebagai berikut :
a. Pengajuan pertanyaan atau masalah. Pertanyaan dan masalah yang diajukan pada awal kegiatan pembelajaran adalah yang secara sosial penting dan secara pribadi bermakna bagi siswa. b. Berfokus pada keterkaitan antar disiplin. Masalah yang diangkat hendaknya dipilih yang benar-benar nyata sehingga dalam pemecahannya siswa dapat meninjaunya dari banyak mata pelajaran. c. Penyelidikan autentik. Penyelidikan autentik, berarti siswa dituntut untuk menganalisis dan mendefinisikan masalah, mengembangkan hipotesis dan membuat ramalan, mengumpulkan dan menganalisis informasi, melakukan eksperimen (jika diperlukan), membuat inferensi, dan merumuskan kesimpulan. Metode yang digunakan tergantung pada masalah yang dipelajari. d. Menghasilkan produk atau karya dan memamerkannya. Siswa dituntut untuk menghasilkan produk tertentu dalam bentuk karya nyata atau artefak. Artefak yang dihasilkan antara lain dapat berupa transkrip debat, laporan, model fisik, video, program komputer. Siswa juga dituntut untuk menjelaskan bentuk penyelesaian masalah yang ditemukan. Penjelasan antara lain dapat dilakukan dengan presentasi, simulasi, peragaan.
5.
LANGKAH-LANGKAH PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH (PBL) Menurut Hanifah dan Suhana (2009) Langkah-langkah pembelajaran berdasarkan masalah terdiri dari 5 tahap utama yang dimulai dengan guru memperkenalkan pada siswa suatu masalah dan diakhiri dengan penyajian dan analisis hasil kerja siswa yaitu : Tahap
Kegiatan guru
Tahap 1 : Orientasi siswa pada
Guru menjelaskan tujuan pembelajaran,
masalah
memotivasi siswa terlibat pada aktivitas pemecahan masalah yang dipilih
Tahap 2 : Mengorganisasikan siswa
Guru membantu siswa mendefinisikan dan
untuk belajar
mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut
Tahap 3 : Membimbing penyelidikan
Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan
individu maupun kelimpok
informasi yang sesuai, untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah
Tahap 4 : Mengembangkan dan
Guru membantu siswa dalam merencanakan
menyajikan hasil karya
dan menyiapkan karya yang sesuai dan membantu mereka untuk berbagi tugas dengan temannya
Tahap 5 : Menganalisis dan
Guru membantu siswa untuk melakukan
mengevaluasi proses pemecahan
refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan
masalah
mereka dan proses-proses yang mereka gunakan
6.
PELAKSANAAN PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH (PBL) Menurut Wardhani (dalam Supinah dan Sutanti, 2010), prinsip-prinsip yang harus diacu dalam pelaksanaan PBL adalah sebagai berikut :
a. Tugas-tugas perencanaan Perencanaan yang dilakukan guru akan memudahkan pelaksanaan berbagai tahap kegiatan pembelajaran dan pencapaian tujuan yang diinginkan, yaitu -
Menetapkan tujuan pembelajaran Guru menetapkan tujuan pada saat perencanaan dan tujuan itu dikomunikasikan dengan jelas kepada siswa pada tahap berinteraksi.
-
Merancang situasi masalah yang sesuai Guru merancang situasi masalah yang sesuai dan merencanakan cara-cara untuk memberi kemudahan bagi siswa dalam melaksanakan proses perencanaan penyelesaian masalah. Situasi masalah yang baik memenuhi lima kriteria, yaitu: 1. Masalah harus autentik, artinya masalah harus lebih berakar pada dunia nyata daripada berakar pada prinsip-prinsip disiplin ilmu tertentu 2. Masalah seharusnya tak terdefinisi secara ketat dan dapat menghadapkan siswa pada suatu makna misteri atau teka-teki. 3.
Masalah hendaknya bermakna bagi siswa dan sesuai dengan tingkat perkembangan intelektual mereka. 4. Masalah hendaknya cukup luas untuk memungkinkan guru menggarap tujuan pembelajaran mereka dan masih cukup terbatas untuk membuat layaknya pelajaran dalam waktu, tempat dan sumber daya yang terbatas. 5. Masalah hendaknya efisien dan efektif bila diselesaikan secara kelompok, -
Mengorganisasi sumberdaya dan rencana logistik Guru bertanggung jawab dalam memasok bahan yang diperlukan dalam kegiatan.
b. Tugas interaktif - Mengorientasikan siswa pada situasi masalah Pada tahap orientasi ini, guru perlu menyajikan situasi masalah dengan hati-hati atau dengan prosedur yang jelas dan melibatkan siswa dalam identifikasi masalah. Situasi masalah harus disampaikan kepada siswa semenarik dan setepat mungkin. Dalam hal ini yang penting diperhatikan guru adalah bahwa kegiatan orientasi pada situasi masalah akan menentukan pada tahap penyelidikan berikutnya, sehingga presentasinya harus menarik minat siswa dan menghasilkan rasa ingin tahu. -
Mengorganisasi siswa untuk belajar PBL membutuhkan pe-ngembangan keterampilan kolaborasi antar siswa dalam kegiatan penyelidikan, sehingga kegiatan penyelidikan perlu dilakukan secara bersama. Untuk itu, disarankan agar guru mengorganisasikan siswa dalam kelompok-kelompok belajar kooperatif. Jika tugas penyelidikan cukup besar dan rumit maka tugas guru adalah membantu siswa menghubungkan tugas dan aktivitas penyelidikan dengan jadwal waktu yang dapat ditampilkan dalam bentuk diagram jadwal kegiatan.
-
Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok dalam mengembangkan dan menyajikan hasil karya Pada intinya kegiatan penyelidikan mencakup: pengumpulan data dan eksperimentasi (sesungguhnya atau secara mental), berhipotesis, menjelaskan hipotesa, memberikan pemecahan dan mengembangkan atau menyajikan artefak dan pameran.
-
Pengumpulan data dan eksperimentasi. Tujuannya adalah agar siswa mengumpulkan cukup informasi untuk menciptakan dan membangun ide mereka sendiri. Untuk itu, guru dapat membantu siswa dalam mengumpulkan informasi dari berbagai
sumber dan mengajukan pertanyaanpertanyaan yang membuat siswa memikirkan tentang masalah dan jenis-jenis informasi yang dibutuhkan
7.
KELEBIHAN DAN KEKURANGAN PEMBELAJARAN BERDASARKAN MASALAH (PBL) Adapun kelebihan dari Pembelajaran Berdasarkan Masalah (Problem Based Instruction) ini yaitu : (http://bismillah36.wordpress.com/2010/05/30/pembelajaran-berbasis-masalah/)
a. -
Kelebihan Peserta didik memiliki keterampilan penyelidikan dan terjadi interaksi yang dinamis diantara guru dengan siswa, siswa dengan guru, siswa dengan siswa.
-
Peserta didik mempunyai keterampilan mengatasi masalah.
-
Peserta didik mempunyai kemampuan mempelajari peran orang dewasa.
-
Peserta didik dapat menjadi pembelajar yang mandiri dan independen
-
Keterapilan berfikir tingkat tinggi, menurut Resnick cirri-ciri berfikir tingkat tinggi
b. Kekurangan -
Memungkinkan peserta didik menjadi jenuh karena harus berhadapan langsung dengan masalah.
-
Memungkin peserta didik kesulitan dalam memperoses sejumlah data dan informasi dalam waktu singkat, sehingga PBL ini membutuhkan waktu yang relatif lama.
PEMBELAJARAN BERBASIS KONTEKS (CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING)
1.
PENGERTIAN PEMBELAJARAN BERBASIS KONTEKS Kata kontekstual (contextual) berasal dari kata context yang berarti “hubungan, konteks, suasana dan keadaan (konteks)”. CTL merupakan suatu konsep belajar dimana guru menghadirkan situasi dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep ini, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung lebih alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa. (Direktorat, 2010). Menurut Johnson (dalam Supinah, 2008) CTL merupakan suatu proses pengajaran yang bertujuan untuk membantu siswa memahami materi pelajaran yang sedang mereka pelajari dengan menghubungkan pokok materi pelajaran dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.
2.
KARAKTERISTIK PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL Menurut Nurhadi (dalam nurdin, 2009) bahwa ada beberapa karakteristik pembelajaran berbasis kontekstual, yaitu:
a.
Adanya kerja sama, sharing dengan teman dan saling menunjang
b.
Siswa aktif dan kritis, belajar dengan bergairah, menyenangkan dan tidak membosankan, serta guru kreatif
c.
Pembelajaran terintegrasi, menggunakan berbagai sumber
d.
Dinding kelas dan lorong-lorong penuh dengan hasil karya siswa misalnya: peta, gambar, diagaram, dll.
e.
Laporan kepada orang tua bukan sekedar rapor akan tetapi hasil karya siswa, laporan praktikum.
Untuk memahami pembelajaran kontekstual maka ada kata kunci dalam pembelajaran kontekstual yaitu: a.
Real world learning, mengutamakan pengalaman nyata;
b.
Berpusat pada siswa, siswa aktif, kritis, dan kreatif serta guru mengarahkan;
c.
Pengetahuan bermakna dalam kehidupan, dekat dengan kehidupan nyata, serta adanya perubahan perilaku dan pembentukan.
d.
Siswa praktek, bukan menghafal, Learning bukan Teaching, pendidikan bukan pengajaran;
e.
Memecahkan masalah dan berpikir tingkat tinggi;
f.
Hasil belajar di ukur dengan berbagai cara bukan hanya dengan tes.
3.
KOMPONEN PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL Menurut Nurhadi (dalam Nurdin, 2009) bahwa pendekatan pembelajaran kontekstual memiliki tujuh komponen utama pembelajaran efektif yaitu:
1.
Konstruktivisme (Constructivisme) Konstruktivisme merupakan landasan berpikir (filosofi) pendekatan CTL, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit) dan tidak sekonyong-konyong, Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep-konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat.Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata.
2.
Menemukan (inquiry) Menemukan merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajran berbasis CTL. Pengetahuan dan ketrempailan yang diperoleh siswa bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri. Guru harus merancang kegiatan yang merancang kegiatan yang merujukpada kegiatan menemukan, apapun materi yang diajarkanya.
3.
Bertanya (Questioning) Pengetahuan yang dimiliki seseorang bermula dari “bertanya”. Questioning (bertanya) merupakan strategi utama pembelajaran yang berbasis CTL. Bertanya daalm pembelajaran dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa.
4.
Masyarakat Belajar (Learning Community) Konsep Learning Community menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerja sama dengan orang lain. Hasil belajar diperoleh dari “Sharing” antara teman, antar kelompok dan antara yang tahu
dan yang belum tahu. Di ruang ini, di kelas ini, di sekitar sini, juga orang-orang yang ada di luar sana adalah anggota masyarakat belajar.
bumiku[my-earth-] my life, my tasks, and everything about me
Search Main menu Skip to primary content
Home my tasks my life
Post navigation ← Previous Next →
MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM BASED LEARNING Posted on April 9, 2013
MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM BASED LEARNING
MAKALAH Untuk memenuhi tugas matakuliah Belajar dan Pembelajaran yang dibina oleh Bapak Kadim Masjkur
Oleh: Rima Buana Prahastiwi
100321400946
Suhartik Wahyuni
100321400961
Qurnia Ni’matul Ulfah
100321400962
Adelina Ratna Sari Amina
100321400963
UNIVERSITAS NEGERI MALANG FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM JURUSAN FISIKA Oktober 2012 MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM BASED LEARNING Rima Buana P, Suhartik Wahyuni, Qurnia Ni’matul, dan Adelina Ratna Sari A. Universitas Negeri Malang
ABSTRAK:Cooperative learning adalah suatu strategi belajar mengajar yang menekankan pada sikap atau perilaku bersama dalam bekerja atau membantu di antara sesama dalam struktur kerjasama yang teratur dalam kelompok, yang terdiri dari dua orang atau lebih. Model ini berbasis pada teori belajar kognitif dan teori belajar sosial. Langkah-langkah pembelajaran menurut cooperative learning dibagi dalam beberapa langkah dengan urutan indikator yaitu: menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa, menyajikan informasi, mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar, membimbing kelompok belajar, evaluasi, dan memberikan penghargaan. Untuk pengelolaan kelas menurut model cooperative learning dijabarkan menjadi pengelompokan, semangat gotong royong, dan penataan kelas. Dalam model pembelajaran cooperative learning terdapat tiga model evaluasi, yaitu: model evaluasi kompetisi, evaluasi individual, dan evaluasi cooperative learning.
Kata Kunci: Cooperative learning, model, pembelajaran, evaluasi.
1. 1.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Pendidikan merupakan suatu aspek kehidupan yang sangat mendasar bagi pembangunan bangsa suatu Negara. Dalam penyelenggaraannya, pendidikan di sekolah yang melibatkan guru sebagai pendidik dan siswa sebagai peserta didik, diwujudkan dengan adanya interaksi belajar mengajar atau proses pembelajaran. dalam konteks ini, guru dituntut untuk membentuk suatu perencanaan kegiatan pembelajaran sistematis yang berpedoman pada kurikulum yang saat itu digunakan. Pada pelaksanaannya dilapangan, proses pembelajaran yang ada masih banyak menerapkan metode konvensional dengan menggunakan ceramah dalam menyampaikan materi. Sehingga dengan metode ini siswa hanya akan mendengarkan materi yang disampaikan oleh guru. Dapat dikatakan siswa menjadi individu yang pasif. Sementara itu, kurikulum yang ada saat ini (KTSP) menuntut siswa yang berperan aktif dalam membangun konsep dalam diri. Jadi menurut KTSP kegiatan belajar berpusat pada siswa, guru sebagai motivator dan fasilitator di dalamnya agar suasana kelas menjadi hidup. Oleh karena itu, guru perlu mengetahui serta memahami suatu model pembelajaran lain yang sesuai digunakan pada kurikulum yang ada sekarang ini (KTSP). Salah satu model tersebut adalah model pembelajaran problem based learning yang akan dibahas lebih lanjut dalam makalah ini.
1.2 Batasan Masalah 1. 2. 3. 4. 5.
Apa pengertian dari model pembelajaran problem based learning? Apa saja teori belajar yang melandasi model pembelajaran cooperative learning? Bagaimana tahapan langkah-langkah pembelajaran dalam cooperative learning? Bagaimana pengelolaan kelas menurut model pembelajaran cooperative learning? Bagaimana model evaluasi belajar cooperative learning?
1.3 Tujuan Masalah Tujuan penyusunan makalah ini adalah untuk: 1. 2. 3. 4. 5.
Mengetahui pengertian dari model pembelajaran cooperative learning. Mengetahui teori belajar yang melandasi model pembelajaran cooperative learning. Mengetahui tahapan-tahapan pembelajaran dalam cooperative learning. Mengetahui proses pengelolaan kelas menurut model pembelajaran cooperative learning. Mengetahui model evaluasi belajar cooperative learning.
1. 2.
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Cooperative Learning Pembelajaran Berbasis Masalah dalam bahasa inggrisnya diistilahkanProblem-based learning (PBL) adalah suatu pendekatan pembelajaran dengan membuat konfrontasi kepada pebelajar dengan masalah-masalah praktis, berbentuk ill-structured, atau openended melalui stimulus dalam belajar. PBL memiliki karakteristik-karakteristik sebagai berikut: (1) belajar dimulai dengan suatu permasalahan, (2) memastikan bahwa permasalahan yang diberikan berhubungan dengan dunia nyata pebelajar, (3) mengorganisasikan pelajaran di seputar permasalahan, bukan di seputar disiplin ilmu, (4) memberikan tanggung jawab sepenuhnya kepada pebelajar dalam mengalami secara langsung proses belajar mereka sendiri, (5) menggunakan kelompok kecil, dan (6) menuntut pebelajar untuk mendemonstrasikan apa yang telah mereka pelajari dalam bentuk produk atau kinerja (performance). Jonassen (1999) mendesain model lingkungan belajar konstruktivistik yang dapat diaplikasikan dalam pembelajaran kontekstual dengan pendekatan problem-based learning. Model tersebut memuat komponen-komponen esensial yang meliputi:(1) pertanyaan-pertanyaan, kasus, masalah atau proyek, (2) kasus-kasus yang saling terkait satu sama lain, (3) sumber-sumber informasi, (4) cognitive tools, (5) pemodelan yang dinamis, (6) percakapan dan kolaborasi, (7) dukungan kontekstual/sosial. Masalah dalam model tersebut mengintegrasikan komponen-komponen konteks permasalahan, representasi atau simulasi masalah, dan manipulasi ruang permasalahan. kelebihan PBL dibandingkan dengan model pengajaran lainnya adalah 1). mendorong kerjasama dalam menyelesaikan tugas, 2). mendorong siswa melakukan pengamatan dan dialog dengan orang lain, 3). melibatkan siswa dalam penyelidikan pilihan sendiri, 4). membantu siswa menjadi pembelajar yang mandiri. sama halnya dengan model pengajaran yang lain, PBL juga memiliki beberapa kelemahan dalam penerapannya. kelemahan pelaksanaan PBL yakni 1). Kondisi kebanyakan sekolah yang tidak kondusif untuk pendekatan PBL, 2). Pelaksanaan PBL memerlukan waktu yang cukup lama, 3) Model PBL tidak mencakup semua informasi atau pengetahuan dasar. Kekurangan PBL Sama halnya dengan model pengajaran yang lain, PBL juga memiliki beberapa kelemahan/hambatan dalam penerapannya (Ricard I Arends dan Ibrahim dalam Rusmiyati, 2007: 17). Kelemahan dari pelaksanaan PBL adalah sebagai berikut: 1) Kondisi kebanyakan sekolah tidak kondusif untuk pendekatan PBL. Dalam pelaksanaannya, PBL memerlukan sarana dan prasarana yang tidak semua sekolah memilikinya.
Sebagai contoh, banyak sekolah yang belum memiliki fasilitas laboratorium cukup memadai untuk kelengkapan pelaksanaan PBL. 2) Pelaksanaan PBL memerlukan waktu yang cukup lama. Standar 40-50 menit untuk satu jam pelajaran yang banyak dijumpai di berbagai sekolah tidak mencukupi standar waktu pelaksanaan PBL yang melibatkan aktivitas siswa di luar sekolah. 3)
Model PBL tidak mencakup semua informasi atau pengetahuan dasar.
Model pembelajaran kooperatif memiliki basis pada teori psikologi kognitif dan teori pembelajaran sosial. Fokus pembelajaran kooperatif tidak saja tertumpu pada apa yang dilakukan peserta didik tetapi juga pada apa yang dipikirkan peserta didik selama aktivitas belajar berlangsung. Informasi yang ada pada kurikulum tidak ditransfer begitu saja oleh guru kepada peserta didik, tetapi peserta didik difasilitasi dan dimotivasi untuk berinteraksi dengan peserta didik lain dalam kelompok, dengan guru dan dengan bahan ajar secara optimal agar ia mampu mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Dalam model pembelajaran kooperatif, guru berperan sebagai fasilitator, penyedia sumber belajar bagi peserta didik, pembimbing peserta didik dalam belajar kelompok, pemberi motivasi peserta didik dalam memecahkan masalah, dan sebagai pelatih peserta didik agar memiliki ketrampilan kooperatif. 2.2 Langkah-langkah dalam Cooperative Learning Langkah-langkah pembelajaran cooperative learning dapat dituliskan dalam table sebagai berikut: Langkah Langkah 1
Langkah 2 Langkah 3
Langkah 4 Langkah 5
Langkah 6
Indikator Menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa.
Tingkah Laku Guru Guru menyampaikan tujuan pembelajaran dan mengkomunikasikan kompetensi dasar yang akan dicapai serta memotivasi siswa. Menyajikan informasi Guru menyajikan informasi kepada siswa Mengorganisasikan siswa ke Guru menginformasikan pengelompokan dalam kelompok-kelompok siswa belajar Membimbing kelompok Guru memotivasi serta memfasilitasi kerja belajar siswa dalam kelompokkelompok belajar Evaluasi Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi pembelajaran yang telah dilaksanakan Memberikan penghargaan Guru memberi penghargaan hasil belajar individual dan kelompok.
2.3 Pengelolaan Kelas Menurut Model Cooperative Learning 1. Pengelompokan 1. Kelompok homogen (Ability grouping) adalah praktik memasukkan beberapa siswa dengankemampuan yang setara dalam kelompok yang sama. 2. Pengelompokan heterogenitas (kemacam-ragaman),dibentuk dengan memperhatikan keanekaragaman gender, latar belakang sosioekonomi dan etnik, serta kemampuan akademis. 2. Semangat gotong-royong
Dalam proses pembelajaran ini, agar berjalan secara efektif maka semua anggota kelompok hendaknya mempunyai semangat bergotong royong yaitu dengan cara membina niat dan semangat dalam bekerja sama yaitu dengan beberapa cara: a. Kesamaan Kelompok. b. Identitas Kelompok c. Sapaan dan Sorak Kelompok. 1.
Penataan ruang kelas
Dalam hal ini keputusan guru dalam penataan ruang disesuaikan dengan kondisi dan situasi ruang kelas dan sekolah. Beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan adalah: a) Ukuran ruang kelas, b) Jumlah siswa, c) Tingkat kedewasaan siswa, f) Pengalaman guru dan siswa dalam melaksanakan metode pembelajaran gotong royong. 2.4 Model Evaluasi belajar Cooperative Learning Dalam model pembelajaran cooperative learning terdapat tiga model evaluasi, ketiga model evaluasi tersebut adalah sebagai berikut: 1. Model Evaluasi Kompetisi
Pada sistem peringkat jelas menanamkan jiwa kompetitif, karena sejak masa awal pendidikan formal, siswa dipacu agar bisa menjadi lebih baik dari teman-teman sekelas, sehingga siswa yang jauh melebihi kebanyakan siswa yang dianggap berprestasi, yang kemampuannya berada di bawah rata-rata kelas dianggap gagal atau tidak berprestasi. 1. Model Evaluasi Individual
Dalam sistem ini, sistem siswa belajar dengan pendekatan dan kecepatan yang sesuai dengan kemampuan mereka sendiri. Anak didik tak bersaing dengan siapa-siapa, kecuali bersaing dengan diri mereka sendiri. Teman-teman satu kelas dianggap tidak ada karena jarang interaksi antar siswa di kelas. Berbeda dengan sistem penilaian peringkat, dalam penyajian individual guru menetapkan standar untuk setiap murid. 1. Model Evaluasi Cooperative Learning
Sistem ini menganut pemahaman homohomini soclus. Falsafah ini menekankan saling ketergantungan antar makhluk hidup. Kerjasama merupakan kebutuhan yang sangat penting artinya bagi kelangsungan hidup. Prosedur sistem penilaian Cooperative Learning diantaranya adalah tanggung jawab pribadi dan kelompok. Jadi siswa mendapat nilai pribadi dan nilai kelompok. 1. 3.
PENUTUP
Kesimpulan Berdasarkan pembahasan pada makalah ini, dapat disimpulkan: 1. 1. Cooperative learning adalah suatu strategi belajar mengajar yang menekankan pada sikap atau perilaku bersama dalam bekerja atau membantu di antara sesama dalam struktur kerjasama yang teratur dalam kelompok, yang terdiri dari dua orang atau lebih. Model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai setidak-tidaknya tiga tujuan pembelajaran yaitu Hasil belajar akademik, penerimaan terhadap perbedaan individu, dan pengembangan keterampilan sosial. 2. 2. Teori belajar yang melandasi model pembelajaran cooperative learning adalah teori belajar kognitif dan teori pembelajaran social. 3. Langkah-langkah pembeajaran menurut cooperative learning dibagi dalam beberapa langkah dengan urutan indikator yaitu: menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa, menyajikan informasi, mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar, membimbing kelompok belajar, evaluasi, dan memberikan penghargaan. 4. Pengelolaan kelas menurut model cooperative learning dijabarkan menjadi pengelompokan, semangat gotong royong, dan penataan kelas. 5. Dalam model pembelajaran cooperative learning terdapat tiga model evaluasi, yaitu: model evaluasi kompetisi, evaluasi individual, dan evaluasi cooperative learning.
Pendekatan Berbasis Masalah (PBL) Posted on Januari 21, 2013 by rinidyahayu Standar PENDAHULUAN A.
Latar Belakang
Salah satu faktor yang berpangaruh terhadap keberhasilan suatu pelatihan ialah pemilihan metode pelatihan yang tepat. Pemilihan metode tergantung pada tujuan, kemampuan pelatihan atau pengajar, besar kelompok sasaran, waktu pengajaran berlangsung dan fasilitas yang tersedia.
Metode untuk merubah pengetahuan dapat digunakan ceramah, tugas baca, panel dan konseling. Sedangkan untuk merubah sikap dapat digunakan metode curah pendapat, diskusi kelompok, tanya jawab serta pameran. Metode demonstrasi dan bengkel kerja lebih tepat untuk merubah ketrampilan. Kelemahan dari metode ceramah dan tanya jawab (metode konvensional) ialah timbulnya kecenderungan peserta kepada pelatih(teacher centered). Selain itu metode konvensional juga dapat menimbulkan rutinisme, peserta tidak lagi melihat proses belajar sebagai hal – hal yang menarik, serta lebih mudah untuk dilupakan. Oleh karena itu, perlu metode baru untuk mengurangi kelemahan dari metode konvensional. Barrows dari McMaster University of Canada menciptakan sebuah metode intruksional yang disebut belajar mandiri dan belajar bertolak dari masalah (selanjutnya disebut sebagai Problem Based Learning). B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian ringkas pada latar belakang diatas maka dapat dirumuskan masalah dalam makalah ini sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. C.
Apakah pengertian Problem Based Learning? Apa sajakah unsur-unsur dalam Problem Based Learning? Bagaimana langkah-langkah Problem Based Learning? Bagaimana contoh pembelajaran menggunakan Problem Based Learning?
Tujuan dan Manfaat
Berdasarkan rumusan masalah yang dijelaskan di atas maka tujuan penulisan makalah ini adalah 1. membantu siswa mengembangkan ketrampilan berfikir dan ketrampilan pemecahan masalah. 2. belajar peranan orang dewasa yang otentik dan menjadi pelajar yang mandiri. 3. memahami pengertian pembelajaran berbasis masalah dalam model pembelajaran. 4. memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana siswa belajar dan guru mengajar. Manfaat penulisan makalah ini adalah: 1. Bagi penulis, diharapkan dapat lebih memahami konsep Problem Based Learning dalam pembelajaran matematika. 2. Bagi Pendidik, diharapkan dapat mengetahui konsep Problem Based Learning dalam pembelajaran matematika dan dapat menerapkannya dalam dalam proses pembelajaran.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian PBL
Menurut pendapat dari David Bounddan Grahame I Feletti (1997: 37) “problem based learning is a conception of knowledge, understanding, and education profoundly different from the more usual conception underlying subject-based learning”. Berdasarkan pendapat tersebut problem based learning merupakan gambaran dari ilmu pengetahuan, pemahaman, dan pembelajaran yang sangat berbeda dengan pembelajaran subject based learning. Menurut Bound danFeletti (Barbara, 2001: 6) “The basic principle supporting the concept of PBL is older than formal education itself; learning is initiated by a posed problem, query, or puzzle that the learner want to solve”. Pendapat Bound tersebut jika diterjemahkan mengandung arti bahwa prinsip dasar yang mendukung konsep dari PBL lebih tua dari pendidikan formal itu sendiri. Belajar diprakarsai dengan adanya masalah, pertanyaan, atau permainan puzel yang akan diselesaikan oleh peserta didik sendiri. Metode PBL merupakan bagian dalam pembelajaran kontekstual dimana guru memberikan suatu permasalahan untuk dipecahkan oleh siswa. Atau dengan kata lain pembelajaran yang berbasis pada masalah yang relevan dengan materi yang dipelajari. Guru menjelaskan tujuan logistik yang dibutuhkan, memotivasi siswa terlibat aktif pemecahan masalah yang dipilih, membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut. Setelah itu guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah. Membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, model dan berbagi tugas dengan teman. Kegiatan selanjutnya mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau meminta kelompok presentasi hasil kerja. Menurut Nurhadi (2004: 100) “pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning) adalah suatu model pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar tentang cara berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensial dari materi pelajaran”. Pengertian pembelajaran berbasis masalah adalah proses kegiatan pembelajaran dengan cara menggunakan atau memunculkan masalah dunia nyata sebagai bahan pemikiran bagi siswa dalam memecahkan masalah untuk memperoleh pengetahuan dari suatu materi pelajaran. Barrow dalam (David O Neville, 2007: 2) mengemukakan pendapat mengenai PBLyaitu: “Instead of promoting a teacher-centered learning environment, PBL places students in the center of the instructional paradigm. This shift in pedagogical focus requires students to take control of their own learning by “identifying what they need to know to better understand and manage the problem on which they are working and determining where they will get that information“ Barrow berpendapat bahwa PBL dapat menjadikan pembelajaran berpusat pada siswa. Dengan menerapkan metode PBL siswa dapat mengontrol sendiri proses pembelajarannya. Siswa dapat mengidentifikasi apa yang mereka ingin pelajari, mengendalikan masalah yang muncul dan bagaimana mencari sumberi informasinya.
B.
Unsur-Unsur PBL
PBL memiliki unsur-unsur mendasar dalam pola pendidikannya : 1. Integrated Learning -
Pembelajaran mengintegrasikan seluruh bidang pelajaran
-
Pembelajaran bersifat menyeluruh melibatkan aspek-aspek perkembangan anak
-
Anak membangun pemikiran melalui pengalaman langsung
2. Contextual Learning -
Anak belajar sesuatu yang nyata, terjadi, dan dialami dalam kehidupannya
-
Anak merasakan langsung manfaat belajar untuk kehidupannya
3. Constructivist Learning -
Anak membangun pemikirannya melalui pengalaman langsung (hand on experiences)
-
Learning by doing
4. Active Learning Anak sebagai subyek belajar yang aktif menentukan, melakukan, dan mengevaluasi pelajaran (PLAN – DO – REVIEW). 5. Learning Interesting Pembelajaran lebih menarik dan menyenangkan bagi anak karena anak terlibat menentukan masalah. C.
Langkah-Langkah PBL
PBM berlangsung dalam enam fase, yaitu: Fase 1: Pengajuan permasalahan. Soal yang diajukan seperti dinyatakan sebelumnya harus tidak terstrktur dengan baik, dalam arti untuk penyelesaiannya diperlukan infoemasi atau data lebih lanjut, memungkinkan banyak cara atau jawaban, dan cukup luas kandungan materinya. Fase2: Apa yang diketahui diketahui dari permasalahan? Dalam fase ini setiap anggota akan melihat permasalahan dari segi pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya. Kelompok akan mendiskusikan dan menyepakati batasan-batasan mengenai permasalahan tersebut, serta memilah-memilah isu-isu dan aspek-aspek yang cukup beralasan untuk diselidiki lebih lanjut.
Analisis awal ini harus menghasilkan titik awal untuk penyelidikan dan dapat direvisi apabila suatu asumsi dipertanyakan atau informasi baru muncul kepermukaan. Fase 3: Apa yang tidak diketahui dari permasalahan? Disini anggota kelompok akan membuat daftar pertanyaan-pertanyaan atau isu-isu pembelajaran yang harus dijawab untuk menjelas permasalahan. Dalam fase ini, anggota kelompok akan mengurai permasalahan menjadi komponen-komponen, mendiskusikan implikasinya, mengajukan berbagai penjelasan atau solusi, dan mengembangkan hipotesis kerja. Kegiatan ini seperti fase “brainstorming” dengan evaluasi; penjelasan atau solusi dicatat. Kelompok perlu merumuskan tujuan pembelajaran, menentukan informasi yang dibutuhkan, dan bagaimana informasi ini diperoleh. Fase 4: Alternatif Pemecahan. Dalam fase ini anggota kelompok akan mendiskusikan, mengevaluasi, dan mengorganisir hipotesis dan mengubah hipotesis. Kelompok akan membuat daftar “Apa yang harus dilakukan?” yang mengarah kepada sumberdaya yang dibutuhkan, orang yang akan dihubungi, artikel yang akan dibaca, dan tindakan yang perlu dilakukan oleh para anggota. Dalam fase ini anggota kelompok akan menentukan dan mengalokasikan tugas-tugas, mengembangkan rencana untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan. Informasi tersebut dapat berasal dari dalam kelas, bahan bacaan, buku pelajaran, perpustakaan, perusahaan, video, dan dari seorang pakar tertentu. Bila ada informasi baru, kelompok perlu menganalisa dan mengevaluasi reliabilitas dan kegunaannya untuk penyelesaian permasalahan yang sedang dihadapi. Fase 5: Laporan dan Presentasi Hasil. Pada fase ini, setiap kelompok akan menulis laporan hasil kerja kelompoknya. Laporan ini memuat hasil kerja kelompok dalam fase-fase sebelumnya diikuti dengan alasan mengapa suatu alternative dipilih dan uraian tentang alternative tersebut. Pada bagian akhir setiap kelompok menjelaskan konsep yang terkandung dalam permasalahan yang diajukan dan penyelesaian yang merekaajukan. Misalnya, rumus apa yang mereka gunakan. Laporan ini kemudian dipresentasikan dan didiskusikan dihadapan semua siswa. Fase 6: Pengembangan Materi. Dalam fase ini guru akan mengembangkan materi yang akan dipelajari lebih lanjut dan mendalam dan memfasilitasi pembelajaran berdasarkan konsep-konsep yang diajukan oleh setiap kelompok dalam laporannya. Dengan memperhatikan kegiatan pada setiap fase, para peserta didik menggunakan banyak waktunya untuk mendiskusikan masalah, merumuskan hipotesis, menentukan fakta yang relevan, mencari informasi, dan mendefinisikan isi pembelajaran itu sendiri. Tidak seperti pembelajaran tradisional, tujuan pembelajaran dalam PBM tidak ditetapkan dimuka. Sebaliknya, setiap anggota kelompok akan bertanggungjawab untuk membangun isi-isu atau tujuan berdasarkan analisa kelompok tentang permasalahan yang diberikan. D.
Contoh Pembelajaran Berbasis Problem Based Learning
Fase 1: Pengajuan Permasalahan Seorang ibu dengan seorang puteri usia 7 tahun mendapat tunjangan asuransi sebesar Rp 20.000.000 sehubungan meninggal suaminya. Bantu ibu tersebut untuk merencanakan
penggunaan dan pengalokasian uang tersebut secara maksimal sehingga si anak dapat membiayai puterinya masuk perguruan tinggi dengan kualitas yang baik, UMS misalnya. Fase 2: Apa yang diketahui? Setiap kelompok mendiskusikan:
Sianak berusia 7 tahun; artinya perlu 4 jenjang pendidikan atau 14 tahun:
-
SD/MI: 6 tahun
-
SMP/MTs: 3 tahun
-
SMA/SMK?MA: 3 tahun
-
PT: 4 tahun
Dana yang tersedia adalah Rp20.000.000 Pekerjaan ibu tidak ada datanya
Fase 3: Apa yang tidak diketahui?
Berapakah biaya pendidikan di masing-masing jenjang?
-
Berapa besar?
-
Dimana info ini dapat diperoleh?
Berapakah biaya hidup selama kurun waktu tersebut?
-
Berapa besar?
-
Dimana info ini dapat diperoleh?
Apakah dana yang tersedia cukup untuk keperluan itu?
-
Berapa total biaya?
-
Cukupkah?
Apakah inflasi akan mempengaruhi dana tersebut?
-
Berapa besar inflasi tahun lalu?
-
Berapa besar inflasi tahun depan?
-
Dimana info ini diperoleh?
Dapatkah si ibu berusaha untuk mengelola dana?
-
Apa yang dapat dilakukan?
-
Apakah pengaruhnya terhadap si anak?
-
Apakah pengaruhnya terhadap biaya hidup?
Apa yang harus dilakukan dengan dana tersebut?
Dagang? Berapa modalnya? Berapa keuntungannya? Dimana dapat diperoleh infonya? Cukupkah untuk biaya pendidikan dan biaya hidup? -
Deposito? Berapa persen bunganya? Cukupkah untuk biaya pendidikan dan hidup?
Apa tugas masing-masing anggota?
Fase 4: Alternatif Pemecahan
Usaha apa saja yang dapat dilakukan? Mungkin tidak dilakukan beberapa usaha? Usaha apa yang paling maksimal hasilnya? Apakah usaha yang maksimal tersebut dapat mengganggu kehidupan ibu dan anak?
Fase 5: Laporan dan Presentasi
Apa sistematikanya? Apa tugas masing-masing anggota?
Fase 6: Pengembangan Materi dan Pembelajarannya
Apa materi utama dari permasalahan ini? Apa materi prasyaratnya? Apa implikasi selanjutnya dari materi ini? PENUTUP
A. Kesimpulan Kesimpulan dari makalah ini adalah: 1. Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning) adalah suatu model pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar tentang cara berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah.
2. PBL memiliki unsur-unsur mendasar dalam pola pendidikannya :Integrated Learning, Contextual Learning, Constructivist Learning, Active Learning, Learning Interesting 3. PBM berlangsung dalam enam fase, yaitu:
Fase 1 : Pengajuan Permasalahan, Fase 2 : Apa yang diketahui dari permasalahan, Fase 3 : Apa yang tidak diketahui dari permasalahan, Fase 4 : Alternatif Pemecahan, Fase 5 : Laporan dan Presentasi Hasil Fase 6 : Pengembangan Materi
B. Saran Saran dari makalah ini adalah: 1. Pendidik sebaiknya menggunakan Pendekatan Berbasis Masalah (PBL) untuk mengembangkan keterampilan berfikir dan keterampilan pemecahan masalah. 2. Pendidik diharapkan dapat mengetahui konsep Problem Based Learning dalam pembelajaran matematika dan dapat menerapkannya dalam dalam proses pembelajaran.