Bettter Wo ork Indo onesia:: Industtri Garm men Laaporan Sintesa Kepaatuhan Pertam ma Diterbitkan n pada 11 Okktober 2012
Perriode Pelaporran: Juli 2 2011 – Maret 2012 Jum mlah pabrik yang dinilai dalaam laporan inii: 20 Ne egara: Indonesia ISIC: C‐14 Reporting p period: March 2011 – Jan nuary 2012 N Number of fac ctory assessments in this reeport: 10 Country: Leesotho ISIC: C‐1 14
Austrralian Developm ment
Agencyy for International US Depaartment of Labor
Hak Cipta © International Labour Organization (ILO) dan International Finance Corporation (IFC) (2012) Diterbitkan pertama kali (2012) Publikasi‐publikasi ILO mendapatkan hak cipta sesuai Protokol 2 dari Konvensi Hak Cipta Universal.Namun demikian, kutipan‐kutipan singkat dari berbagai publikasi tersebut dapat direproduksi tanpa memerlukan otorisasi terlebih dahulu, dengan syarat dicantumkannya sumber dari kutipan‐kutipan tersebut. Untuk hak melakukan reproduksi maupun terjemahan, permohonan harus ditujukan pada ILO, yang bertindak atas nama kedua organisasi dengan alamat: ILO Publications (Rights and Permissions), International Labour Office, CH‐ 1211 Geneva 22, Switzerland, atau melalui alamat email:
[email protected]. IFC dan ILO menyambut baik permohonan‐permohonan yang sedemikian. Perpustakaan‐perpustakaan, lembaga‐lembaga serta para pengguna lainnya yang terdaftar sebagai organisasi yang memiliki hak untuk reproduksi diizinkan untuk membuat salinan sesuai dengan lisensi yang dikeluarkan kepada mereka sesuai dengan tujuan ini. Kunjungi www.ifrro.org untuk mengetahui berbagai organisasi yang memegang hak‐hak dimaksud di negara anda. Proses Pengkatalogan ILO untuk Data Publikasi Better Work Indonesia : garment industry 1st compliance synthesis report / International Labour Office ; International Finance Corporation. ‐ Geneva: ILO, 2012 1 v. ISSN 2227‐958X (web pdf) International Labour Office; International Finance Corporation industri garmen / industri tekstil / kondisi kerja / hak‐hak pekerja / peraturan ketenagakerjaan / Konvensi ILO / standar‐standar ketenagakerjaan internasional / komentar / aplikasi / Indonesia 08.09.3 Penyebutan‐penyebutan di sini, yang merujuk pada praktek‐praktek yang lazim di Perserikatan Bangsa‐Bangsa, dan penyajian materi dalam hal ini bukan merupakan suatu pernyataan pendapat apapun juga baik di pihak ILO maupun IFC berkaitan dengan keabsahan status dari negara apapun, daerah, atau kawasan atau atas otoritasnya, ataupun berkenaan garis perbatasan negaranya. Tanggungjawab dari opini‐opini yang dieskpresikan dalam artikel‐artikel, studi‐studi, and kontribusi‐kontribusi lainnya yang telah ditandatangani menjadi tanggungan sepenuhnya pada para pengarangnya, dan publikasi bukan merupakan suatu dukungan oleh IFC ataupun ILO terhadap segala opini yang diekspresikan di dalamnya. Referensi terhadap nama‐nama perusahaan dan produk‐produk komersial serta proses bukan merupakan bentuk dukungan baik dari IFC maupun ILO, dan tidak disebutkannya perusahaan, produk, atau proses tertentu juga bukan merupakan pertanda suatu penolakan atau ketidaksetujuan. Publikasi‐publikasi ILO dapat tersedia di toko‐toko buku utama atau kantor‐kantor ILO setempat di banyak negara, atau langsung dari ILO Publications, International Labour Office, CH‐1211 Geneva 22, Switzerland. Katalog‐katalog ataupun berbagai daftar dari publikasi‐publikasi terkini tersedia secara gratis dari alamat di atas, atau melalui e‐mail:
[email protected] Kunjungi situs web kami: www.ilo.org/publns Hak Cipta © International Labour Organization (ILO) and International Finance Corporation (IFC) (2012) Terbitan pertama (2012)
i
Sanwacana Better Work Indonesia mendapat dukungan dari lembaga‐lembaga berikut (berdasarkan susunan abjad): • Australian Agency for International Development • United States Department of Labor Program global Better Work global menerima dukungan dari lembaga‐lembaga berikut (berdasarkan susunan abjad): • Pemerintah Australia • Levi Strauss Foundation • Netherlands Ministry of Foreign Affairs • State Secretariat for Economic Affairs, Switzerland (SECO) • United States Council Foundation, Inc. (didanai oleh Gap Inc., Nike dan Wal‐Mart) Publikasi ini tidak selalu mencerminkan pandangan atau kebijakan dari organisasi‐organisasi atau badan‐badan yang tercantum dalam daftar di atas, serta penyebutan dari merk‐merk dagang, produk‐produk komersial, ataupun organisasi‐organisasi tertentu bukan berarti menyiratkan bentuk dukunganolehmereka.
ii
Daftar Isi BagianI: Pengantar dan Metodologi ........................................................................................................ 5 Pengantar ............................................................................................................................................ 5 Konteks Kelembagaan ......................................................................................................................... 5 Metodologi Better Work ..................................................................................................................... 6 Menghitung Tingkat Ketidakpatuhan .................................................................................................. 8 Catatan tentang Pabrik‐pabrik yang Dibahas dalam Laporan ini ........................................................ 8 Berbagai Keterbatasan dalam Proses Penilaian .................................................................................. 8 Bagian II: Temuan‐temuan .................................................................................................................... 10 Tingkat Rata‐rata Ketidakpatuhan .................................................................................................... 10 Temuan‐temuan Terperinci............................................................................................................... 12 1. Standar‐standar Inti Ketenagakerjaan .................................................................................. 12 2. Kondisi Kerja .......................................................................................................................... 13 Bagian III: Rangkuman ........................................................................................................................... 19 Rangkuman dan Langkah‐Langkah Selanjutnya ................................................................................ 19 Lampiran‐Lampiran ............................................................................................................................... 21 Lampiran A: Pabrik‐Pabrik yang Tercakup dalam Laporan Ini ........................................................... 21 Lampiran B: Para Pembeli yang Berpartisipasi dalam Better Work Indonesia ................................. 21
Daftar Tabel Dalam Fokus 1: Upah Lembur ............................................................................................................... 13 Dalam Fokus 2: Jaminan Sosial dan Jaminan Lainnya ........................................................................... 14 Dalam Fokus 3: Perjanjian Kerja ............................................................................................................ 15 Dalam Fokus 4: Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) ................................................... 16 Dalam Fokus 5: Bahan Kimia Berbahaya ............................................................................................... 16 Dalam Fokus 6: Fasilitas Kesejahteraan ................................................................................................ 17 Dalam Fokus 7: Perlindungan Pekerja ................................................................................................... 17 Dalam Fokus 8: Lembur ......................................................................................................................... 18
iii
Ringkasan Eksekutif Program Better Work Indonesia, suatu kemitraan antara International Labour Organization (ILO) dan International Finance Corporation (IFC), bertujuan untuk meningkatkan kinerja pada tingkat perusahaan dan meningkatkan daya saing industri garmen dengan mendorong kepatuhan terhadap perundang‐undangan ketenagakerjaan Indonesia dan standar intiketenagakerjaan ILO di pabrik‐ pabrik garmen. Better Work Indonesia memulai pelaksanaan penilaian secara independen terhadap berbagai kondisi di tempat kerja di pabrik‐pabrik pakaian di Indonesia pada bulan Juli 2011. Laporan ini menyajikan analisis ringkas dari pelaksanaan 20 penilaian yang pertama. Setiap proses penilaian melibatkan empat orang hari (person‐days) di tempat dan termasuk di antaranya proses wawancara dengan pihak manajemen, serta wawancara dengan serikat pekerja dan pekerja, meninjau dokumen, dan observasipabrik. Tujuan dari berbagai proses penilaian ini adalah untuk menentukan kondisi awaldari kinerja pabrik‐pabrik yang berpartisipasi, berkolaborasi dan bekerja sama dengan Better Work Indonesia serta para pembeli dalam rangka melakukan perbaikan. Better Work menerbitkan laporan sintesa publik dari berbagai penilaian pabrik disetiap program negara dua kali dalam satu tahun. Tujuan dari laporan‐laporan ini adalah untuk memberikan informasi yang transparan kepada seluruh pemangku kepentingan program dalam kaitannya dengan kondisi di tempat kerja dari pabrik‐pabrik yang berpartisipasi.Riset independen yang ditugaskan oleh Better Work membuktikan bahwa pelaporan publik berkontribusi secara signifikanterhadap perbaikan yang berkesinambungan pada tingkat kepatuhan di pabrik. Laporan ini, yang pertama kalinya diterbitkan oleh Better Work Indonesia, mengilustrasikan berbagai temuan dari proses penilaian yang dilaksanakan oleh program iniantara bulan Juli 2011 dan bulan Maret 2012, di 20 pabrik, di wilayahJabodetabek. Pabrik‐pabrik ini mempekerjakan sebanyak 40.562 pekerja dari total perkiraan 500.000 pekerja di industri garmen berorientasi ekspor. Sampel ini bercirikan pabrik‐pabrik yang mempekerjakan antara 708 hingga 8.253 karyawan. Data yang dikumpulkan mengilustrasikan tingkat ketidakpatuhan pada standar ketenagakerjaan berdasarkan delapan kelompok: empat berdasarkan standar inti ketenagakerjaan ILO berkenaan dengan Pekerja Anak, Kerja Paksa, Diskriminasi, dan Kebebasan Berserikat serta Perundingan Bersama. Empat lainnya berdasarkan atas peraturan perundang‐undangan nasional yang berkenaan dengan kondisi kerja: Pengupahan dan Jaminan Sosial, Perjanjian Kerja dan Sumber Daya Manusia, Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), serta Waktu Kerja. Hasil penilaian awal menyoroti hal‐hal berikut: •
Tidak ditemukan adanya pekerja anak dan kerja paksa pada pabrik yang tercakup dalam laporan ini.
•
Bidang dengan ketidakpatuhan yang paling banyak terjadi dari seluruh bidang dalam peraturan perundang‐undangan ketenagakerjaan nasional adalah dalam kategori Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), Perjanjian Kerja dan Sumber Daya Manusia, serta Waktu Kerja.
•
Diskriminasi dalam perekrutan tenaga kerja, khususnya dikarenakan pengusaha tidak mempekerjakan penyandang disabilitas sebanyak 1 orang untuk setiap 100 pekerjanya, merupakan ketidakpatuhan utama yang ditemukan dalam kaitannya dengan standar inti ketenagakerjaan.
•
Pelaksanaan kebebasan berserikat pada prinsipnya telah sesuai dengan aturan yang berlaku, namun dibeberapa tempat ditemukan belum optimalnya pelaksanaan kebebasan berserikat di tempat kerja. Page 4 of 22
Bagian I: Pengantar dan Metodologi
Pengantar Sektor garmen di Indonesia termasuk yang terbesar di dunia, dan tingkat pertumbuhannya melebihi 8% per tahun, sejalan dengan perpindahan berbagai perusahaan dari Cina ke Indonesia. Sektor ini diharapkan untuk terus menjadi kontributor utama pada ekonomi Indonesia di masa yang akan datang, mengingat keunggulan komparatif Indonesia untuk industri‐industri padat karya dan pasar domestik yang besar dengan populasi 240 juta orang. Oleh karena melambatnya perekonomian dunia pada tahun 2008, terjadi penyusutan jumlah pabrik, produksi, dan ekspor di sektor garmen.Namun demikian, tren ini secara perlahan telah mulai berbalik sejak 2011.Indonesia saat ini berada pada ranking ke‐12 dunia, dalam hal tingkat ekspor tekstil. Program Better Work Indonesia, suatu kemitraan antara International Labour Organization dan International Finance Corporation, bertujuan untuk meningkatkan kinerja di tingkat perusahaan dan meningkatkan daya saing dari industri garmen dengan meningkatkan tingkat kepatuhan terhadap undang‐undang ketenagakerjaan Indonesia dan standar inti ketenagakerjaan ILO di pabrik‐pabrik garmen. Program ini bekerja melibatkan pabrik‐pabrik yang berpartisipasi dengan melakukan penilaian independen dan menawarkan pendampingan serta berbagai layanan pelatihan. Sebagai bagian daripada mandatnya untuk berbagi informasi dengan seluruh pemangku kepentingan dari program bersangkutan, dan mendorong perbaikan yang berkesinambungan, Better Work Indonesia akan menggunakan data agregat penilaian pabrik untuk menerbitkan dua laporan sintesa publik setiap tahun yang mengulas kinerja dari seluruh pabrik yang ikut berpartisipasi dalam suatu periode pelaporan. Laporan sintesa pertama ini memberikan suatu gambaranumum tentang kondisi kerja di 20 pabrik yang mendapat penilaian selama periode Juli 2011 ‐ Maret 2012. Laporan ini akan membentuk standar dasar untuk laporan‐laporan yang akan datang.
Konteks Kelembagaan Untuk membangun layanan yang berkesinambungan, Better Work Indonesia bekerja sama dengan para pembeli internasional yang melakukan pembelian dari Indonesia, serta para pemangku kepentingan utama termasuk Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans), Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Asosiasi Garmen Korea (KOGA), dan empat federasi serikat pekerja utama diindustri garmen: Garteks, TSK Kalibata, TSK Pasar Minggu, dan SPN. Program Better Work Indonesia sesuai dengan kebijakan pembangunan ekonomi utama Pemerintah Indonesia, yang meletakkan fokus pada pengurangan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Rencana Pembangunan Jangka Pembangunan Menengah Nasional (RPJMN) 2010‐2014 mengakui adanya kebutuhan untuk meningkatkan daya saing dari industri manufaktur, sesuai dengan Keputusan Presiden No. 28 tahun 2008 berkenaan dengan Kebijakan Industri Nasional, yang merekomendasikan industri padat karya (tekstil dan produk‐produk tekstil) menjadi kelompok industri prioritas untuk mendukung ekonomi Indonesia. Selain itu, RPJMN juga menyatakan bahwa untuk meningkatkan kinerja ekspor, fokus kebijakan perdagangan Indonesia untuk periode 2010‐ 2014 harus ditekankan pada industri untuk produk‐produk yang memiliki nilai tambah tinggi dengan permintaan global yang tinggi, yang juga termasuk di antaranya industri garmen.
Page 5 of 22
Dari titik pandang hukum, Indonesia bersifat unik di antara negara‐negara ASEAN karena Indonesia adalah negara pertama yang meratifikasi seluruh delapan konvensi inti ILO. Selain itu undang‐ undang di dalam negeri dalam bentuk Undang‐undang Serikat Pekerja (No. 21 tahun 2000) dan Undang‐undang Ketenagakerjaan (No. 13 tahun 2003) memberikan kerangka kerja nasional yang kokohuntuk pekerjaan yang layak. Indonesia, dengan demikian, menikmati latar belakang hukum yang menguntungkan untuk praktek‐praktek ketenagakerjaan yang baik. Undang‐undang Serikat Pekerja memberikan hak kepada para pekerja untuk membentuk serikat pekerja, federasi serikat pekerja, dan konfederasi serikat pekerja yang “bebas, terbuka, independen, demokratis, dan bertanggung jawab.” Sementara itu, Undang‐undang Ketenagakerjaan, yang dituangkan dalam Program Reformasi Undang‐undang Ketenagakerjaan Indonesia 1998, menggambarkan secara garis besar berbagai peraturan mengenai kesempatan yang sama, hubungan kerja, perlindungan pekerja dan upah, inspeksi tenaga kerja, sanksi pidana dan administratif, serta sanksi‐sanksi percobaan. Tahun 2000, Indonesia mulai untuk melakukan desentralisasi berbagai layanan pemerintahan terutama pada tingkat daerah. Pemerintah daerah sekarang bertanggung jawab untuk pelaksanaan berbagai layanan dasar. Namun, kantor dinas tenaga kerja di daerah tidak memiliki sumberdaya yang memadai dalam melaksanakan layanan pengawasan ketenagakerjaan yang layak kepada seluruh pabrik yang ada di daerah yang bersangkutan. Peraturan perundang‐undangan yang mengatur desentralisasi juga membuat Indonesia unik di antara negara‐negara yang berpartisipasi dalam program Better Work. Sebagai contoh, dewan pengupahan di tingkat provinsi atau kabupaten/kota untuk setiap provinsi atau daerah menentukan upah minimum untuk setiap kabupaten/kota pada provinsi yang bersangkutan, dan di beberapa kasus upah minimum berdasarkan atas sektor industri, yang dirumuskan melalui negosiasi tripartit dan berdasarkan persetujuan dari Gubernur Provinsi yang bersangkutan. Untuk alasan ini, informasi tentang upah minimum, selain dari nilai‐nilai kepatuhan yang lainnya, yang disebutkan secara khusus di setiap laporan penilaian dapat bervariasi antara satu pabrik denganpabrik lainnya.
Metodologi Better Work Better Work melaksanakan berbagai penilaian di pabrik untuk memantau tingkat kepatuhan terhadap standar ketenagakerjaan internasional dan undang‐undang ketenagakerjaan nasional. Dalam laporan di tingkat pabrik dan industri, Better Work menyoroti temuan‐temuan mengenai ketidakpatuhan. Better Work melaporkan angka‐angka ini untuk membantu banyak pabrik mengenali secara mudah bidang‐bidang yang memerlukan perbaikan. Mengumpulkan dan melaporkan data ini seiring berjalannya waktu akan membantu pabrik‐pabrik ini untuk menunjukkan komitmennya terhadap perbaikan kondisi kerja. Better Work mengorganisasikan laporan ini dalam delapan bidang, atau kelompok, dari standar ketenagakerjaan. Empat dari kelompok tersebut berdasarkan atas hak‐hak dasar berkaitan dengan Pekerja Anak, Diskriminasi, Kerja Paksa, dan Kebebasan Berserikat serta Perundingan Bersama. Pada tahun 1998, Negara‐negara Anggota, perwakilan pekerja dan pengusaha di International Labour Organization mengidentifikasi prinsip‐prinsip dan hak‐hak dasar di tempat kerja mengenai empat persoalan tersebut berdasarkan atas delapan Konvensi Ketenagakerjaan Internasional (29, 87, 98, 105, 100, 111, 138, dan 182) yang telah diratifikasi secara luas. Konvensi‐konvensi ini memberikan standar dasar untuk kepatuhan terhadap kelompok hak‐hak fundamental di keseluruhan program negara Better Work. Empat kelompok lainnya memantau tingkat kepatuhan dengan berbagai standar yang terutama ditentukan oleh undang‐undang nasional, sehingga bervariasi untuk setiap negara. Kelompok ini terdiri atas Kompensasi/Pengupahan, Perjanjian Kerja dan Sumber Daya Manusia, Keselamatan dan Kesehatan Kerja, dan Waktu Kerja. Masing‐masing dari delapan kelompok ini dibagi ke dalam komponen‐komponen utama yang dikenal sebagai Nilai‐nilai Kepatuhan (Compliance Points).Setiap Nilai Kepatuhan (Compliance Point) mengandung pertanyaan‐pertanyaan spesifik yang mungkin bervariasi dari negara ke negara.Daftar terperinci dari Nilai‐nilai Kepatuhan (Compliance Points) dalam setiap kelompok disajikan dalam tabel di bawah ini.
Page 6 of 22
Kelompok Kepatuhan
Nilai‐nilai Kepatuhan
Standar Inti Ketenagakerjaan
1 Pekerja Anak
2 Diskriminasi
3 Kerja Paksa
1.
Pekerja Anak
2.
Bentuk‐bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak
3.
Pekerjaan Berbahaya
4.
Dokumentasi dan Perlindungan Terhadap Pekerja Anak
5.
Ras dan Asal Usul
6.
Agama dan Opini Politik
7.
Jender
8.
Dasar‐dasar Lainnya
9.
Paksaan
10. Pekerja Ijon 11. Kerja dan Lembur Paksa 12. Narapidana yang Dikaryakan
4 Kebebasan Berserikat dan Perundingan Bersama
13. Aktivitas Serikat Buruh/Pekerja 14. Campur Tangan dan Diskriminasi 15. Perundingan Bersama 16. Mogok Kerja
5 Pengupahan dan Jaminan Sosial
17. Upah Minimum 18. Upah Lembur 20. Metode Pembayaran 21. Informasi Upah, Penggunaan, dan Pemotongan 22. Cuti Dibayar
Kondisi di Tempat Kerja
23. Jaminan Sosial dan Manfaat Lainnya
6 Perjanjian Kerja dan Sumberdaya Manusia
24. Perjanjian Kerja 25. Prosedur Penyusunan Perjanjian Kerja 26. Pemutusan Hubungan Kerja 27. Dialog, Pendisiplinan dan Perselisihan
7 Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)
28. Manajemen K3 29. Bahan Kimia Berbahaya 30. Perlindungan Pekerja 31. Lingkungan Kerja 32. Layanan Kesehatan Kerja 33. Fasilitas Kesejahteraan 34. Akomodasi Pekerja 35. Tanggap Darurat 36. Waktu Kerja Reguler
8 Waktu Kerja
37. Waktu Kerja Lembur 38. Hak Cuti
Page 7 of 22
Menghitung Tingkat Ketidakpatuhan Better Work menghitung tingkat ketidakpatuhan untuk setiap pabrik dan melaporkannya dalam laporan individual pabrik. Tingkat ketidakpatuhan dilaporkan untuk setiap sub‐kategori, atau nilai kepatuhan, dalam suatu kelompok. Suatu nilai kepatuhan (compliance point) dilaporkan sebagai ketidakpatuhan apabila satu pertanyaan dalam nilai‐nilai kepatuhan tersebut dikategorikan sebagai tidak memenuhi standar kepatuhan. Dalam laporan sintesa publik, Better Work menghitung tingkat rata‐rata ketidakpatuhan untuk setiap sub‐kategori yang sama pada semua pabrik yang berpartisipasi. Sebagai contoh, tingkat rata‐ rata ketidakpatuhan 100% berarti ditemukan pelanggaran di bidang yang dimaksud di seluruh pabrik yang ikut berpartisipasi. Meskipun tingkat ketidakpatuhan adalah suatu indikator yang kaku, namun data tersebut akan berguna untuk Better Work saatdiagregatkan dan dibandingkan dengan data tingkat ketidakpatuhan di negara‐negara yang lain. Namun demikian, angka ini tidak memberi gambaran secara menyeluruh untuk menjelaskan secara lengkap persoalan‐persoalan tertentu yang telah diobservasi oleh para Enterprise Advisors selama mereka melakukan proses penilaian. Untuk itu, tabel‐tabel yang menyoroti temuan‐temuan ketidakpatuhan rata‐rata pada tingkat pertanyaan yang spesifik juga disajikan dalam Bagian II dengan judul Tabel Dalam Fokus. Tabel‐tabel ini, yang menunjukkan jumlah pabrik dengan temuan ketidakpatuhan di tiap pertanyaan yang bersifat spesifik, memungkinkan pembaca untuk dapat memahami sepenuhnya berbagai tantangan‐ tantangantertentu dalam tingkat kepatuhan yang teridentifikasi dari proses penilaian di pabrik.
Catatan tentang Pabrik‐pabrik yang Dibahas dalam Laporan ini Better Work menyusun laporan sintesa setiap dua kali dalam setahun untuk masing‐masing program negaranya. Laporan sintesa menyajikan sebuah potret dari situasi ketidakpatuhan dalam industri yang ikut berpartisipasi di negara yang bersangkutan.Tingkat presentase yang disajikan dalam laporan sintesa ini merujuk pada rata‐rata industri yang berpartisipasi.Oleh karena pabrik‐pabrik dinilai satu kali dalam satu tahun, di beberapa kasus data yang diikutsertakan dalam laporan sintesa ini adalah data yang berusia lebih dari enam bulan. Laporan sintesa ini menyajikan temuan‐temuan agregat dari proses‐proses penilaian pertama, dari 20 pabrik, yang dilaksanakan oleh Better Work Indonesia antara bulan Juli 2011 dan Maret 2012.
Berbagai Keterbatasan dalam Proses Penilaian Penilaian‐penilaian pada tingkat pabrik yang dilaksanakan oleh Better Work merujuk pada daftar periksa (checklist) yang mendalam mencakup lebih dari 280 pertanyaan yang melingkupi standar‐ standar ketenagakerjaan yang disebutkan di atas. Informasi dikumpulkan melalui berbagai sumber dan teknik, termasuk ulasan dokumen, observasi di tempat kerja, dan berbagai wawancara dengan para manajer, pekerja, dan perwakilan serikat buruh/pekerja. Laporan penilaian pabrik yang terperinci semata‐mata berdasarkan atas apa yang diamati, diperiksa, dan dianalisa selama pelaksanaan proses penilaian dan memeriksa dokumen‐dokumen yang relevan yang dikumpulkan selama kunjungan saat proses penilaian. Setiap pabrik diberi waktu tujuh hari sebelum laporan dianggap resmi dalam rangka untuk memberikan masukan yang mungkin dalam kasus‐kasus tertentu berdampak pada bahasa penyampaian temuan yang digunakan dalam laporan akhir.
Page 8 of 22
Di antara berbagai persoalan yang disertakan dalam perangkat penilaian kepatuhan, pelecehan seksual adalah satu dari hal‐hal yang sangat sensitive dan paling sulit untuk dideteksi selama proses penilaian di pabrik. Keadaan tersebut seringkali tidak dilaporkan oleh karena kekhawatiran terjadinya aksi pembalasan, ketimpangan kekuatan antara korban dan pelaku, serta persepsi budaya dari stigma yang diasosiasikan dengan hal tersebut.Alhasil, penilaian tentang terjadinya pelecehan seksual di tempat kerja oleh Better Work Indonesia, sangat mungkin lebih sedikit dari kenyataan yang sebenarnya terjadi.
Page 9 of 22
Bagian II: Temuan‐temuan
Tingkat Rata‐rata Ketidakpatuhan Bagan 1 memberikan tinjauan umum tentang rata‐rata tingkat ketidakpatuhan untuk pabrik‐pabrik yang tercakup dalam laporan ini.Temuan‐temuan penting dilampirkan di bawah ini, diikuti dengan bagian yang melampirkan rincian tambahan. Di bidang Standar Inti Ketenagakerjaan: Pekerja anak: Ada satu temuan di bawah kategori Pekerja Anak yang berkaitan dengan satu pabrik yang tidak memiliki langkah‐langkah yang memadai untuk mendokumentasikan usia para pekerja. Kerja Paksa: Tidak ditemukan satupun ketidakpatuhan di pabrik manapun berkenaan dengan adanya pekerja paksa. Diskriminasi: Ditemukan ketidakpatuhan di seluruh 20 pabrik yang berkaitan dengan proses mempekerjakan orang‐orang penyandang disabilitas dan enam pabrik memiliki prosedur perekrutan yang tidak tepat berkaitan dengan masalah jender, khususnya, berkenaan dengan pelamar kerja yang sedang hamil. Kebebasan Berserikat dan Perundingan Bersama: Dari temuan lapangan dapat disampaikan bahwa hampir seluruh pabrik dapat menerapkan kebebasan berserikat sebagaimana diamanatkan dalam Undang‐undang No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Buruh, namun ada juga sebagian kecil pabrik yang belum memenuhi pelaksanaan kebebasan berserikat ditempat kerja. Di Bidang Kondisi Kerja (Undang‐Undang Nasional): Pengupahan dan Jaminan Sosial: Dua pabrik tidak memberikan upah minimum yang seharusnya. Sepuluh pabrik tidak memberikan upah lembur. Terdapat juga sepuluh pabrik yang memberikan manfaat jaminan kesehatan melalui layanan jasa kesehatan swasta namun dengan manfaat yang lebih rendah dari program layanan kesehatan yang dikelola oleh pemerintah (JAMSOSTEK) ataupun memungut kontribusi pekerja untuk jaminan hari tua (JAMSOSTEK) namun dengan potongan upah yang tidak akurat. Perjanjian Kerja dan Sumber Daya Manusia: Di tiga pabrik, ditemukan adanya tindakan‐tindakan intimidasi, penggunaan kata‐kata yang kasar serta nada ancaman dari supervisor dan pihak manajemen terhadap pekerja. Masih ditemukan Lembaga Kerjasama Bipartit yang belum optimal melakukan kegiatannya. Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3): Dari 20 pabrik yang dinilai, seluruh pabrik telah membentuk Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja (P2K3), namun hanya satu pabrik dimana P2K3 telah berfungsi sebagaimana mestinya dengan mengadakan pertemuan secara regular dan dipimpin oleh top manajemen serta telah menunjuk seorang Ahli K3 Umum sebagai Sekretaris P2K3. 13 pabrik diantaranya telah menyusun kebijakan K3. Waktu Kerja: Enambelas dari 20 pabrik tidak mematuhi aturan jam kerja lembur.
Page 10 of 22
Ba agan 1: Tingkat Raata‐Rata Ketidakpaatuhan
Page 11 1 of 21
Temuan‐temuan Terperinci Bagian ini menjelaskan tingkat‐tingkat ketidakpatuhan di seluruh pabrik‐pabrik yang berpartisipasi untuk setiap sub‐bagian (Nilai Kepatuhan/Compliance Point) dalam masing‐masing dari delapan kategori standard ketenagakerjaan yang tercakup dalam penilaian Better Work Indonesia.Melalui Tabel Dalam Focus, bagian ini menyajikan temuan‐temuan terperinci pada tingkat pertanyaan untuk sejumlah Nilai‐nilai Kepatuhan.
1. Standar‐standar Inti Ketenagakerjaan a. Pekerja Anak Ada satu temuan di bawah kategori Dokumentasi dan Perlindungan Terhadap Pekerja Anak. Di satu pabrik, pengusaha tidak memiliki sistem yang semestinya untuk memeriksa usia pekerja sebelum perekrutan. b. Diskriminasi Dalam kaitannya dengan Diskriminasi atas dasar Jender, temuan‐temuan tentang ketidakpatuhan merujuk pada lowongan pekerjaan yang menyatakan prasyarat khusus jenis jender pelamar tanpa ada hubungan dengan kemampuan fisik yang bersifat kodrati dari jender tertentu (dua pabrik) dan jender sebagai faktor yang menentukan keputusan perekrutan (empat pabrik) serta menentukan kondisi kerja (dua pabrik). Di satu pabrik, para pekerja menyatakan bahwa mereka diharuskan oleh klinik di pabrik untuk menjalankan tes kehamilan atau menggunakan alat kontrasepsi tanpa ada alasan kesehatan kerja dalam melakukan jenis pekerjaan tersebut. Dasar‐dasar Diskriminasi lainnya merujuk pada proses perekrutan pekerja penyandang disabilitas seperti yang telah diatur dalam Peraturan Ketenagakerjaan Indonesia. Dengan tingkat ketidakpatuhan sebesar 100% pada kategori Dasar‐dasar Lainnya menunjukkan bahwa seluruh 20 pabrik belum memenuhi ketentuan yang mensyaratkan mempekerjakan minimal satu orang penyandang disabilitas untuk setiap 100 pekerja yang direkrut. Hal ini dilatarbelakangi oleh ketidaktahuan pengusaha atas peraturan perundang‐undangan untuk mempekerjakan dan mengakomodasi penyandang disabilitas di pabrik. Di dua pabrik diantaranya, meskipun pengusaha telah berusaha mempekerjakan beberapa penyandang disabilitas, namun pengusaha tersebut belum mengambil langkah‐langkah untuk mengakomodasi pekerja‐pekerja penyandang disabilitas sesuai dengan jenis dan tingkat disabilitasnya. Contohnya di salah satu pabrik tersebut, seorang pekerja perempuan yang memiliki keterbatasan fisik tidak dapat menggunakan toilet perempuan yang hanya dilengkapi dengan kloset jongkok dan terpaksa harus menggunakan toilet lelaki yang dilengkapi dengan kloset duduk. c. Kerja Paksa Tidak ada satupun temuan mengenai Kerja Paksa. d. Kebebasan Berserikat dan Perundingan Bersama Dari temuan lapangan dapat disimpulkan bahwa sebagian besar pabrik yang dikunjungi ditemukan bahwa pelaksanaan kebebasan berserikat ditempat kerjanya telah dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya namun belum optimal. Disadari terdapat beberapa penyusunan yang belum memahami aturan‐aturan yang terkait dengan pelaksanaan kebebasan berserikat ditempat kerja, hal ini menimbulkan adanya perbedaan persepsi diantara kalangan pengusaha, pekerja/buruh dan Serikat Pekerja/Buruh. Hal ini dapat menimbulkan multi interpretasi secara sepihak yang memungkinkan adanya anggapan bahwa pekerja/buruh dapat bergabung dengan organisasi pekerja/buruh atau organisasi kemasyarakatan.. Terdapat juga dua pabrik lainnya yang secara langsung mendaftarkan pekerja yang telah diangkat sebagai karyawan tetap untuk menjadi anggota serikat buruh/pekerja dalam pabrik tanpa meminta persetujuan pekerja. Page 12 of 22
Tiga puluh persen pabrik tergolong tidak patuh dalam kaitannya dengan persoalan‐persoalan yang berkenaan dengan Perundingan Bersama. Satu pabrik tidak berkonsultasi terlebih dahulu dengan serikat pekerja ketika merumuskan atau merubah peraturan perusahaan. Sedangkan Perjanjian Kerja Bersama di sebuah pabrik lainnya memiliki ketentuan yang bertentangan dengan peraturan perundang‐undangan yang berlaku, yaitu ketentuan yang memperkenankan pengusaha membayar hanya 75% dari upah jika pekerja tidak dapat bekerja dikarenakan kerusakan mesin, gangguan listrik atau hal lain yang menganggu jalannya produktivitas di pabrik. Hal ini bertentangan dengan Undang‐ Undang tentang Ketenagakerjaan No. 13 Pasal 93(2)(f) yang menyatakan bahwa pengusaha wajib membayar upah jika pekerja bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapo pengusaha tidak mempekerjakannya, baik karena kesalahan sendiri maupun halangan yang seharusanya dapat dihindari pengusaha. Satu pabrik dikategorikan tidak patuh terhadap peraturan perundang‐undangan ketenagakerjaan dalam hal‐hal berkenaan dengan Mogok Kerja, dimana pengusaha mengintimidasi dengan ancaman kekerasan terhadap serikat pekerja yang hendak mengadakan mogok kerja untuk meminta hak‐hak yang telah disepakati dalam Perjanjian Kerja Bersama yang belum dilaksanakan oleh pengusaha. Tingkat ketidakpatuhan sebesar 5% dalam kategori interfensi dan diskriminasi terefleksikan pada sebuah pabrik yang memiliki yang memiliki lebih dari satu serikat pekerja/buruh namun tidak melaksanakan perintah peraturan perundang‐undangan dengan hanya melibatkan satu serikat pekerja/buruh saat melakukan negosiasi Perjanjian Kerja Bersama.
2. Kondisi Kerja e. Pengupahan Untuk pelaksanaan pemberian upah minimum, dua pabrik ditemukan tidak membayarkan upah minimum yang telah ditetapkan untuk para pekerja sesuai dengan Peraturan Gubernur tentang Upah Minimum Umum dan/atau Sektoral Provinsi. Diantaranya terdapat pekerja dengan perjanjian kerja dalam waktu tertentu, pekerja dengan perjanjian kerja dalam waktu tidak tertentu, pekerja harian lepas, dan/atau pekerja konstruksi di dalam ruang lingkup pabrik Sedangkan tingkat ketidakpatuhan tertinggi mencapai 50% terdapat di kategori Pengupahan berkaitan dengan Upah Lembur serta Jaminan Sosial dan Jaminan Lainnya. Keduanya dibahas lebih lanjut dalam tabel‐tabel Dalam Fokus di bawah ini.
Dalam Fokus 1: Upah Lembur Pertanyaan
Apakah pengusaha membayar para pekerja tingkat upah yang sesuai untuk bekerja pada seluruh waktu lembur pada hari kerja biasa (1,5 kali upah per jam untuk satu jam pertama waktu lembur, dan 2 kali upah per jam untuk setiap jam tambahan)? Apakah pengusaha membayar para pekerjanya dengan upah yang sesuai untuk bekerja pada seluruh waktu lembur pada hari‐hari libur umum? Apakah pengusaha membayar para pekerjanya upah yang sesuai untuk bekerja pada seluruh waktu lembur yang dilaksanakan pada akhir minggu? Apakah pengusaha menyediakan makanan dan minuman dengan kadar minimum 1.400 kalori untuk para pekerjanya yang bekerja lembur selama tiga jam atau lebih?
Jumlah pabrik yang dikategorikan tidak patuh 8
2
3
1
Page 13 of 21
Dalam delapan kasus, pabrik‐pabrik tersebut salah menghitung besaran upah lembur untuk para pekerjanya dengan tidak menerapkan pendekatan yang telah diatur oleh Pemerintah untuk menghitung upah lembur yang sesuai, yaitu adalah 1/173 dari upah minimum bulanan yang telah diatur. Di tiga pabrik, para pekerja hanya dibayar upah minimum pokok atas pekerjaan yang dilaksanakan pada hari libur, sementara mereka berhak atas dua kali upah normal per jam. Pada kasus‐kasus tertentu, manajemen pabrik menyatakan alasan ketidakpatuhan tersebut adalah dikarenakan oleh sistem penggajian mereka yang masih kurang memadai. Temuan‐temuan ketidakpatuhan yang berkenaan dengan Cuti berkaitan dengan tiga pabrik yang tidak membayar para pekerja wanita mereka dengan upah yang sesuai pada saat mereka berhalangan dikarenakan oleh siklus menstruasi mereka dan juga dua pabrik yang tidak membayar upah cuti sakit dan cuti pribadi sesuai aturan yang berlaku. Berkenaan dengan ketepatan waktu dalam pembayaran upah yang berada dibawah kategori Metode Pembayaran, terdapat tingkat ketidakpatuhan sebesar 5% dikarenakan oleh satu pabrik yang tidak membayar upah tepat waktu.
Dalam Fokus 2: Jaminan Sosial dan Jaminan Lainnya Pertanyaan
Jumlah pabrik yang dikategorikan tidak patuh 2
Apakah pengusaha memungut kontribusi dari pekerja yang diwajibkan kepada JAMSOSTEK berkenaan dengan jaminan hari tua? Apakah pengusaha membayar kontribusi pengusaha yang 1 diwajibkan kepada JAMSOSTEK berkenaan dengan kecelakaan kerja, kematian, dan jaminan hari tua? Apakah pengusaha memberikan jaminan pelayanan kesehatan 7 kepada seluruh pekerjanya melalui JAMSOSTEK atau penyedia jasa lainnya dengan jaminan yang minimum sama dengan JAMSOSTEK? Apakah pengusaha menyetorkan kontribusi dari pekerja untuk dana 0 jaminan sosial kepada JAMSOSTEK? Apakah pengusaha membayar Tunjangan Hari Raya (THR) kepada 1 seluruh pekerjanya? Kebanyakan pabrik yang dinilai telah memutuskan untuk memberikan jaminan pelayanan kesehatan melalui penyedia jasa lainnya, ketimbang memberikan jaminan pelayanan kesehatan melalui program layanan kesehatan yang dikelola oleh pemerintah, JAMSOSTEK. Apabila suatu pabrik memutuskan untuk memberikan layanan kesehatan melalui penyedia jasa lainnya, manfaat yang diberikan harus lebih baik daripada yang ditawarkan oleh JAMSOSTEK. Di tujuh pabrik, ditemukan bahwa manfaat yang disediakan oleh penyedia jasa lainnya, lebih rendah dari manfaat yang diberikan oleh JAMSOSTEK. Di bulan Desember 2011, JAMSOSTEK menerbitkan daftar manfaat yang telah diperbaharui. f. Perjanjian Kerja dan Sumber Daya Manusia Di samping itu, ada pula temuan‐temuan ketidakpatuhan di bawah kategori Pendisiplinan dan Perselisihan di tiga pabrik, di mana terdapat tindakan‐tindakan intimidasi, penggunaan kata‐kata yang kasar serta nada ancaman dari supervisor dan pihak manajemen terhadap para pekerja. Temuan‐temuan yang berkaitan dengan ketidakpatuhan terhadap Perjanjian Kerja dibahas lebih lanjut di tabel Dalam Focus di bawah ini.
Page 14 of 21
Dalam Fokus 3: Perjanjian Kerja Pertanyaan
Jumlah pabrik yang dikategorikan tidak patuh Apakah semua orang yang melaksanakan pekerjaan di pabrik, baik di 9 dalam lokasi kerja maupun di luar lokasi kerja, memiliki perjanjian kerja? Apakah peraturan perusahaan tunduk pada persyaratan hukum 3 sebagaimana diatur dalam peraturan perundang‐undangan ketenagakerjaan? Apakah perjanjian kerja mencantumkan syarat dan ketentuan dari 3 kondisi kerja? Apakah pengusaha memberikan salinan dari perjanjian kerja dalam 6 Bahasa Indonesia kepada para pekerja? Apakah pengusaha memberikan surat pengangkatan kepada pekerja 1 dengan perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu yang dibuat secara lisan? Tingkat ketidakpatuhan sebesar 45% dalam Proses Penyusunan Perjanjian Kerja dijelaskan oleh ketidakpatuhan terhadap pembatasan penggunaan perjanjian kerja untuk waktu tertentu (contoh: batasan penggunaan pekerja dengan perjanjian kerja untuk waktu tertentu) di sembilan pabrik. Selain itu, dua pabrik tidak memenuhi persyaratan berkenaan dengan para pekerja sub‐kontrak di tempat kerja. Nilai Kepatuhan atas pemutusan hubungan kerja memiliki tingkat ketidakpatuhan sebesar 5% yang dikarenakan oleh pengusaha yang tidak memberikan kompensasi kepada para pekerja untuk cuti yang belum diambil pada saat mereka mengundurkan diri atau saat perjanjian kerjanya tidak diperpanjang. Berdasarkan peraturan‐perundang‐undangan ketenagakerjaan di Indonesia, setiap perusahaan yang mempekerjakan 50 orang atau lebih harus membentuk Lembaga Kerja Sama Bipartit (LKSB), yang terdiri atas wakil‐wakil pekerja dan pengusaha yang dipilih secara demokratis. Lembaga tersebut berfungsi sebagai forum komunikasi, konsultasi, dan mediasi bagi masalah‐masalah ketenagakerjaan, untuk meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan dari para pekerja dan untuk memastikan kesinambungan usaha. Namun LKSB berbeda dengan serikat buruh/pekerja, yang bertujuan untuk menuntut tanggung jawab dari para pengusaha untuk bertanggung jawab atas perlindungan hak‐hak dan kepentingan pekerja dan LKSB tidak menegosiasikan syarat dan kondisi kerja yang merupakan bagian dari peran serikat pekerja. Dari hasil penilaian yang dilakukan, terdapat tingkat ketidakpatuhan sebesar 80% atau enam belas dari 20 pabrik ditemukan tidak memiliki LKSB yang didirikan sesuai dengan peraturan perundang‐ undangan yang berlaku, misalkan para pekerja tidak dipilih secara demokratis mewakili seluruh pekerja anggota serikat pekerja maupun yang bukan anggota serikat pekerja. Selain itu, LKSB tersebut tidak menjalankan fungsinya dengan baik, terlihat dari jarangnya terlaksana pertemuan maupun pelaporan aktivitasnya kepada Dinas Tenaga Kerja setempat. Hal‐hal ini menekankan pada pentiingnya Better Work Indonesia untuk terus bekerja dengan memfasilitasi pembentukan dan memperkuat institusi LKSB di pabrik‐pabrik melalui layanan‐layanan pendampingannya untuk memungkinkan serikat buruh/pekerja dan/atau para pekerja serta pihak manajemen untuk menyoroti bidang‐bidang ketidakpatuhan yang dikenali melalui laporan‐laporan penilaian.
Page 15 of 21
g. Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Kategori ini memiliki tingkat ketidakpatuhan tertinggi sebagaimana yang terlihat dalam laporan ini. Ketidakpatuhan ditemukan diseluruh pabrik yang dinilai pada tujuh dari delapan Nilai Kepatuhan. Sedangkan untuk Nilai Kepatuhan terhadap Akomodasi Pekerja, terdapat satu pabrik yang telah menyediakan akomodasi untuk pekerja namun belum memenuhi persyaratan K3.
Dalam Fokus 4: Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Pertanyaan Apakah pengusaha melaporkan kecelakaan dan penyakit akibat kerja kepada pihak terkait? Apakah pabrik memiliki kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) tertulis? Apakah pabrik memiliki Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja (P2K3) yang berfungsi dengan baik? Apakah pengusaha mengadakan tinjauan awal secara umum terhadap Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di pabrik?
Jumlah pabrik yang dikategorikan tidak patuh 15 7 19 7
Sebab paling mendasar berkenaan dengan tingginya tingkat ketidakpatuhan adalah lemahnya manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja di semua pabrik. Sembilan belas dari 20 pabrik belum memiliki Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja (P2K3) yang berfungsi dengan baik serta menunjuk Ahli K3 Umum sesuai dengan peraturan perundang‐undangan. Pelaporan kecelakaan dan penyakit akibat kerja di 15 dari 20 pabrik dikategorikan belum memadai. Selain itu, tujuh dari 20 pabrik belum melaksanakan tinjauan awal di tempat kerja, yang mencakup identifikasi bahaya dan penilaian resiko. Tanggap darurat menjadi salah satu faktor penilaian dalam kategori Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Hasil penilaian menemukan bahwa semua pabrik belum memiliki sistem instalasi alarm kebakaran automatic, perlengkapan pemadam kebakaran yang memadai, dan/atau rambu‐rambu jalan keluar darurat serta jalur untuk menyelamatkan diri yang ditandai dengan jelas.
Dalam Fokus 5: Bahan Kimia Berbahaya Pertanyaan
Jumlah pabrik yang ikategorikan tidak patuh Apakah bahan kimia berbahaya diberi label sesuai dengan peraturan 17 perundang‐undangan? Apakah bahan kimia berbahaya telah disimpan sebagaimana 14 mestinya? Apakah pengusaha memiliki dokumen pengendalian potensi bahaya? 9 Apakah pengusaha memiliki lembar data keselamatan bahan untuk 8 bahan kimia berbahaya yang digunakan di tempat kerja? Apakah pengusaha melaporkan daftar kuantitas bahan kimia 11 berbahaya yang digunakan di tempat kerja? Apakah pengusaha menyediakan fasilitas pembilas mata dan tubuh 11 (eye‐wash dan shower) terhadap paparan terhadap bahan kimia berbahaya? Sudahkah pengusaha menunjuk Ahli dan/atau Petugas K3 Kimia? 16 Sudahkah pengusaha secara efektif melatih para pekerjanya yang 1 bekerja dengan bahan kimia berbahaya?
Page 16 of 21
Pengelolaan dan penyimpanan bahan kimia berbahaya di kebanyakan pabrik masih kurang memadai. Terdapat beberapa temuan, bahan kimia berbahaya disimpan dalam wadah makanan/minuman tanpa label yang sesuai dan terdapat sebuah kasus pada satu pabrik yang melaporkan adanya seorang pekerja yang tanpa sengaja meminum bahan kimia berbahaya yang disimpan didalam salah satu wadah tersebut. Di sebelas dari 20 pabrik yang dinilai, fasilitas pembilas mata dan tubuh tidak tersedia untuk menangani kecelakaan kerja yang berkaitan dengan paparan terhadap bahan kimia berbahaya. Pada delapan dari 20 pabrik yang dinilai, Lembar Data Keselamatan Bahan (LDKB) tidak tersedia untuk seluruh bahan kimia berbahaya yang digunakan. Enambelas pabrik belum meminta bimbingan dari Kantor Dinas Tenaga Kerja berkenaan dengan kebutuhan mereka untuk menunjuk Ahli dan/atau Petugas K3 Kimia bersertifikasi sehubungan dengan penggunaan bahan kimia berbahaya di pabrik‐pabrik mereka.
Dalam Fokus 6: Fasilitas Kesejahteraan Pertanyaan Apakah pengusaha menyediakan loker dalam jumlah yang mencukupi untuk para pekerjanya untuk menyimpan barang‐barang pribadinya? Apakah pengusaha menyediakan air minum yang memenuhi standar kesehatan secara cuma‐cuma dalam jumlah yang memadai? Apakah di tempat kerja tersedia jumlah toilet yang dapat diakses dalam jumlah yang mencukupi (terpisah berdasarkan jenis kelamin)? Apakah di tempat kerja tersedia fasilitas untuk mencuci tangan dan sabun dalam jumlah yang memadai? Apakah di tempat kerja tersedia ruang makan dengan luas yang memadai? Apakah kondisi di tempat kerja bersih dan rapih?
Jumlah pabrik yang dikategorikan tidak patuh 14
10 3 11 6 17
Seluruh 20 pabrik yang dinilai telah menyediakan air minum untuk pekerja, namun kualitas air minum di 10 pabrik tidak sesuai dengan standar yang ada. Selanjutnya, Pabrik disarankan untuk memantau kondisi lingkungan ditempat kerja secara rutin dengan melakukan pemindaian yang dapat dilakukan oleh Dinas Tenaga kerja maupun Penyelenggara Jasa K3 (PJK3) yang telah ditunjuk.
Dalam Fokus 7: Perlindungan Pekerja Pertanyaan Apakah rambu‐rambu peringatan tentang keselamatan kerja terpampang di tempat kerja? Apakah kabel listrik, saklar, dan stop kontak telah dipasang dengan benar, diberi penghantar dibumikan dengan benar, dan dirawat dengan baik? Apakah semua bahan, peralatan, saklar, dan sirkuit pengendali berada dalam jangkauan para pekerja? Apakah peralatan pelindung telah dipasang dan dirawat dengan benar untuk melindungi para pekerja dari bagian mesin dan perlengkapan yang bergerak yang dapat membahayakan? Apakah para pekerja yang bekerja sambil berdiri telah disediakan tempat duduk? Apakah alat bantu disediakan untuk para pekerja yang mengangkat beban yang berat? Apakah para pekerja telah mendapat pelatihan secara efektif dan menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) yang disediakan?
Jumlah pabrik yang dikategorikan tidak patuh 8 7
2 11
19 6 11
Page 17 of 21
Pertanyaan Apakah para pekerja telah dilatih secara efektif untuk mengoperasikan mesin dan perlengkapan secara aman? Apakah para pekerja telah diberikan kursi yang layak? Apakah pengusaha telah menyediakan para pekerjanya dengan alat pelindung diri yang dibutuhkan?
Jumlah pabrik yang dikategorikan tidak patuh 4 4 10
Sebagian besar pabrik banyak mencatatkan cedera yang disebabkan oleh jarum jahit sebagai jenis kecelakaan kerja utama di tempat kerja, dan hal ini tercermin pada sebagian besar pabrik yang tidak memiliki pelindung yang memadai yang terpasang pada mesin‐mesin di tempat kerja. Di 19 pabrik, para pekerja yang bekerja sambil berdiri acap kali harus berdiri secara terus menerus sepanjang shift mereka dan tidak tersedia tempat duduk yang memungkinkan para pekerja untuk beristirahat. Selain itu, pakaian dan alat pelindung diri yang sesuai tidak tersedia serta para pekerja tidak dilatih secara efektif dalam penggunaan alat pelindung diri di 11 pabrik. h.
Waktu Kerja
Tidak terdapat temuan penyimpangan jam kerja regular yang melebihi 7 jam per hari untuk 6 hari kerja per minggu atau 8 jam per hari untuk 5 hari kerja per minggu serta jam kerja regular mingguan yang melebihi 40 jam per minggu untuk pekerja‐pekerja produksi di seluruh pabrik. Namun, terdapat tingkat ketidakpatuhan sebesar 30% berkenaan dengan penyimpangan jam kerja regular yang didapati pada waktu kerja penjaga keamanan di pabrik. Selain itu, tingkat ketidakpatuhan sebesar 80% terdapat pada kategori Lembur yang menjadi temuan utama pada kategori Waktu Kerja. Tabel Dalam Fokus di bawah ini memberikan lebih banyak rincian.
Dalam Fokus 8: Lembur Pertanyaan
Jumlah pabrik yang dikategorikan tidak patuh Apakah pengusaha menyiapkan instruksi tertulis terkait kerja lembur 1 Apakah kerja selama hari libur umum dilaksanakan di bawah 0 ketentuan yang diizinkan oleh Undang‐undang? Apakah lembur pada hari kerja biasa dibatasi hingga 14 jam per 15 minggu? Apakah lembur pada hari‐hari kerja biasa dibatasi hingga 3 jam per 14 hari? Apakah lembur dilakukan secara sukarela? 0 Jumlah jam lembur harian dan mingguan banyak ditemui melebihi batasan yang diperkenankan oleh peraturan perundang‐undangan, dimana para pengusaha meminta para pekerja untuk bekerja lembur berlebihan disaat tuntutan produksi yang memuncak dikarenakan tingginya pesanan sebelum akhir bulan Desember. Jam lembur yang berlebihan hingga mencapai 30 jam per minggu, ditemukan di beberapa bagian pabrik, khususnya pada bagian penyelesaian akhir. Sedangkan tingkat ketidakpatuhan sebesar 10% pada kategori Hak Cuti pekerja merupakan refleksi dari temuan pada sebuah pabrik tidak memberikan 12 hari cuti tahunan per tahun dan satu pabrik lainnya tidak memberikan fasilitas cuti bagi para pekerja wanita yang sakit selama siklus menstruasinya.
Page 18 of 21
Bagian III: Rangkuman Rangkuman dan Langkah‐Langkah Selanjutnya Laporan sintesis publik pertama memaparkan analisis dari 20 pabrik pertama yang dinilai oleh Better Work Indonesia, selama periode antara bulan Juli 2011 dan Maret 2012. Terhitung tanggal 1 Mei 2012, satu pabrik telah menghentikan partisipasinya dari program Better Work Indonesia, sangat mungkin akibat dari temuan‐temuan yang terdapat dalam laporan penilaiannya. 19 pabrik lainnya tetap berpartisipasi dalam layanan‐layanan pendampingan Better Work Indonesia, dimana para Enterprise Advisors bekerja sama dengan pabrik‐pabrik yang bersangkutan untuk membantu mereka secara proaktif memperbaiki bidang‐bidang yang masih ditemukan ketidakpatuhan seperti disebutkan dalam laporan ini. Seluruh proses pendampingan Better Work Indonesia diimplementasikan melalui Lembaga Kerja Sama Bipartit, atau disebut “LKSB.” Sebagaimana disoroti dalam laporan ini, kebanyakan LKS Bipartit di pabrik tidak berfungsi, sehingga layanan‐layanan pendampingan telah menitikberatkan untuk memperkuat LKSB yang telah ada di pabrik. Sepanjang tahun pertama dari aktivitas pendampingan, program ini menitikberatkan pada usaha‐usaha untuk membantu LKS Bipartit mengembangkan kemampuan secara bersama‐sama mengenali dan mengangkat berbagai persoalan di pabrik. Bertindak sebagai pembina dan pakar dalam proses, Enterprise Advisors bekerja bersama‐sama dengan para anggota LKSB untuk meningkatkan kapasitas mereka untuk bersama‐sama memecahkan berbagai permasalahan, mengaplikasikan berbagai perangkat yang mudah digunakan untuk membantu para peserta bekerja sama dan membangun kepercayaan sebagai dasar untuk membuat perubahan. Setelah kira‐kira enam bulan aktivitas pendampingan, program bersangkutan telah melihat adanya perubahan yang terukur berkenaan dengan perilaku di banyak pabrik dengan menggunakan pendekatan yang bersifat kolaboratif, dengan perbaikan‐perbaikan yang didokumentasikan secara berarti untuk persoalan‐persoalan ketidakpatuhan yang penting. Layanan pelatihan Better Work Indonesia meletakkan fokusnya pada aktivitas yang berkenaan dengan penguatan kapasitas pada para manajer pabrik dan LKSB dalam kaitannya dengan cara‐cara mengangkat pelatihan yang wajib di tempat kerja, sebagaimana diwajibkan oleh Peraturan Ketenagakerjaan Nasional. Selain itu, pelatihan berfokus pada Keselamatan dan Kesehatan Kerja serta diskriminasi di tempat kerja. Sebagai contoh, seluruh pabrik mengalami kesulitan dalam merekrut dan mengakomodasi orang dengan disabilitas di tempat kerja. Oleh karena itu, Better Work Indonesia bekerja sama dengan ILO untuk mengembangkan bahan‐bahan Informasi, Edukasi, dan Komunikasi untuk memungkinkan para manajer secara proaktif mengangkat persoalan dimaksud. Bidang utama ketidakpatuhan berkenaan dengan Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Oleh karena itu, kebanyakan Enterprise Advisors mengawali pendampingan di pabrik berpusat pada persoalan‐ persoalan Keselamatan dan Kesehatan Kerja, guna memperkuat system manajemen dan Panitia PembinaKeselamatan dan Kesehatan Kerja (P2K3) di pabrik. Dalam melaksanakan aktivitas dimaksud, Enterprise Advisors memfasilitasi pemahaman yang lebih baik dari pentingnya perubahan‐ perubahan pada tingkat system. Sejumlah persoalan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), seperti menyediakan kursi untuk para pekerja yang bekerja sambil berdiri dan memperbaiki kerapian tempat kerja, relatif mudah untuk memecahkan masalahnya dengan panduan dari Better Work serta tindakan cepat dari pihak manajemen. Di samping itu, para pekerja menerima lebih banyak informasi tentang praktek‐praktek terbaik melalui serangkaian proyek media yang dirintis oleh Better Work Indonesia, termasuk di antaranya distribusi berita‐berita terbaru melalui pesan singkat (SMS).
Page 19 of 21
Better Work Indonesia bekerja dengan empat federasi serikat buruh/pekerja mitra untuk memperkuat kapasitas dari serikat buruh/pekerja di tempat kerja dan tingkat cabang dalam mengangkat berbagai permasalahan yang berkenaan dengan kebebasan berserikat dan perundingan bersama di tempat kerja. Oleh karena pemahaman saat ini di antara para manajer dan serikat pekerja tentang Peraturan Ketenagakerjaan Nasional dirasakan kurang, Better Work Indonesia mengembangkan situs web yang menyimpulkan peraturan perundangan yang penting (http://betterwork.com/indolabourguide). Begitu peraturan baru diterbitkan – sebagai contoh, perubahan baru‐baru ini pada peraturan di Indonesia berkenaan dengan sistem manajemen K3 perusahaan – maka akan diunggah ke situs web, dan para manajer pabrik dan serikat‐serikat buruh/pekerja akan diberitahu akan adanya perubahan‐ perubahan ini. Tim Better Work Indonesia juga akan menyoroti contoh‐contoh dari praktek‐praktek terbaik yang dikenali selama proses penilaian lalu diunggah ke situs web.
Page 20 of 21
Lampiran‐Lampiran
Lampiran A: Pabrik‐Pabrik yang Tercakup dalam Laporan Ini 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20.
PT Asia Power Global PT Busana Remaja Agracipta PT Citra Abadi Sejati (Bogor) PT Citra Abadi Sejati (Cileungsi) PT Dream Sentosa Indonesia PT Dream Wear PT Greentex Indonesia PT Hansae Indonesia Utama PT Hansae Karawang Indonesia PT Kahoindah Citragarment PT Kukdong International PT Kyungseung Trading Indonesia PT Mulia Cemerlang Abadi PT Myung Sung Indonesia PT Pan Pacific Nesia PT Rismar Daewoo Apparel PT Samudra Biru PT Sandrafine Garment PT Sentraco Garmindo PT Taitat Putra Rejeki
Lampiran B: Para Pembeli yang Berpartisipasi dalam Better Work Indonesia 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Abercrombie & Fitch American Eagle Outfitters, Inc. ANN INC Columbia Sportswear Gap, Inc. (Gap Banana Republic, Old Navy) H&M (Hennes and Mauritz) Nordstrom, Inc. Pentland Asia NIKE, Inc. Sears Talbots Target Walmart Global Sourcing
Page 21 of 21