LAPORAN PENELITIAN PENATAAN STANDAR SISTEMATIKA PENULISAN PERATURAN DAERAH KOTA MEDAN
Disusun oleh : Dr. MIRZA NASUTION, SH., MHum. AFLAH, SH., MHum. BOY LAKSAMANA, SH., MHum. EKO YUDHISTIRA, SH, MKn.
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KOTA MEDAN
2011 0
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia sesungguhnya telah dimulai sejak awal kemerdekaan Republik ini, bahkan pada masa Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda sudah dilakukan, walaupun dalam suasana kolonial. Perlunya sistem otonomi daerah disadari oleh para pendiri negara Republik Indonesia ketika menyusun UUD 1945, mengingat letak geografis dan kondisi sosiologis masyarakat Indonesia yang tersebar di berbagai pulau dan terdiri atas berbagai suku, agama, ras, dan golongan. Pasal 18 UUD 1945 (sebelum perubahan) mengatur bahwa: ”Pembagian Daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan UndangUndang dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam Sistem Pemerintahan Negara, dan hak-hak asal-usul dalam Daerah-Daerah yang bersifat Istimewa”. Setelah adanya perubahan UUD 1945, Pasal 18 berubah menjadi beberapa pasal diantaranya Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, yang kesemuanya mengatur tentang pemerintahan daerah. Pasal 18 Ayat (1), (2), (3) UUD 1945 mengatakan bahwa: (1) Negara kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang. (2) Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan; (3) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki dewan perwakilan rakyat daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum. 1
Untuk mengimplementasikan Pasal 18 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengamanatkan bahwa : “Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan”, maka pemerintah bersama DPR membentuk Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dimana dalam UU tersebut diatur penguatan sistem desentralisasi (Otonomi Daerah). Kemudian UU No. 32 Tahun 2004 diubah menjadi UU No. 12 tahun 2008 tentang perubahan atas UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Kebijakan otonomi daerah, telah diletakkan dasar-dasarnya sejak jauh sebelum terjadinya krisis nasional yang diikuti dengan gelombang reformasi besar-besaran di tanah air. Namun, perumusan kebijakan otonomi daerah itu masih bersifat setengah-setengah dan dilakukan tahap demi tahap yang sangat lamban. Setelah terjadinya reformasi yang disertai pula oleh gelombang tuntutan ketidakpuasan masyarakat di berbagai daerah mengenai pola hubungan antara pusat dan daerah yang dirasakan tidak adil, maka tidak ada jalan lain bagi kita kecuali mempercepat pelaksanaan kebijakan otonomi daerah itu, dan bahkan dengan skala yang sangat luas yang diletakkan di atas landasan konstitusional dan operasional yang lebih radikal.1 Setiap daerah otonom memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk mengatur urusan pemerintahannya sendiri. Kewenangan daerah mencakup seluruh kewenangan dalam bidang pemerintahan, kecuali bidang politik luar negeri, pertahanan, 1
Jimly Asshiddiqie, Otonomi Daerah Dan Parlemen Di Daerah, Makalah Disampaikan dalam “Lokakarya tentang Peraturan Daerah dan Budget Bagi Anggota DPRD se-Propinsi (baru) Banten” yang diselenggarakan oleh Institute for the Advancement of Strategies and Sciences (IASS), di Anyer, Banten, 2 Oktober 2000
2
keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agama yang diatur dalam ketentuan Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Secara spesifik urusan wajib yang menjadi kewenangan daerah diatur dalam ketentuan Pasal 13 dan Pasal 14 yang telah diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Pemerintah juga telah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Untuk menjalankan urusan pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah tersebut, Pemerintah Daerah memerlukan perangkat Peraturan Perundang-undangan. Terkait dengan Peraturan Perundang-undangan maka acuan yang harus digunakan adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan. Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tersebut mengatur jenis Peraturan meliputi : a. Peraturan Daerah Provinsi dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi bersama dengan Gubernur; b. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota bersama dengan Bupati/Walikota; c. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh Badan Perwakilan Desa atau nama lainnya bersama dengan Kepala Desa atau nama lainnya.
Berbagai Peraturan Daerah telah ditetapkan oleh Pemerintah Daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah dan menjabarkan lebih lanjut peraturan perundangundangan yang lebih tinggi. Seiring dengan semangat otonomi daerah terjadi peningkatan 3
pembentukan Peraturan Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota namun Peraturan Daerah yang dibentuk tersebut masih menimbulkan banyak permasalahan sehingga dibatalkan. Peraturan Daerah yang dibatalkan pada umumnya karena tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi terutama yang terkait dengan pengembangan investasi daerah atau menciptakan iklim yang tidak kondusif bagi kegiatan perekonomian.2 Konstitusi Indonesia menentukan agar pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan (service), pemberdayaan (empowerment), dan peran serta masyarakat (participation) dalam pembangunan nasional di seluruh wilayah Republik Indonesia. Selanjutnya melalui otonomi luas, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi Pancasila, pemerataan, keistimewaan, dan kekhususan, serta potensi, karakteristik/kondisi khusus, dan keanekaragaman daerah dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk kepentingan itu semua tidak terlepas adanya dukungan peraturan perundang-undangan di tingkat daerah yang disusun secara jelas, berdayaguna dan berhasil guna dengan tetap memperhatikan parameter atau ramburambu penyusunan Peraturan Daerah yang bernuansa Hak Asasi Manusia, Kesetaraan Jender, Tata Kelola Pemerintahan yang baik, dan Pembangunan yang berkelanjutan. Kota medan sebagai salah satu daerah otonom di Indonesia memiliki visi pembangun lima tahun kedepan menjadi kota metropolitan yang berdaya saing, nyaman, peduli dan sejahtera serta sebagai kota yang diproyeksikan menjadi sebuah kota mega metropolitan harus dapat meningkatkan pelayanannya kepada warganya. Begitu juga
2
Lihat Website Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia.
4
dengan penerapan peraturan daerah di kota medan, yang diharapkan mampu mengkoordinir kepentingan masyarakat kota Medan. Untuk melihat cara berhasil atau tidaknya penerapan peraturan daerah di kota medan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah, maka dari itu diperlukan sebuah penelitian dengan judul Penataan Standar Sistematika Penulisan Peraturan Daerah Kota Medan.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana pedoman tentang sistematika penulisan Peraturan Daerah yang baik? 2. Bagaimana penataan standar sistematika penulisan Peraturan Daerah Kota Medan?
C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari Penelitian ini antara lain, sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui tentang pedoman sistematika penulisan Peraturan Daerah yang baik. 2. Untuk mengetahui tentang penataan standar sistematika penulisan Peraturan Daerah (Perda) Kota Medan.
5
D. Manfaat Penelitian Dengan adanya penelitian tentang penataan standar sistematika penulisan Perda Kota Medan maka, penelitian ini bermanfaat antara lain, sebagai berikut : 1. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk meningkatkan kualitas dan efektivitas daya berlakunya Perda di kota Medan. 2. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam penyelenggaraan pemerintahan di kota medan dan peningkatan kejahteraan masyarakat di kota Medan.
E. Metode Penelitan 1.
Tipe Penelitian Untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan dalam penelitian ini, maka
dilakukan metode dengan tipe penelitian yuridis normatif atau penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau normanorma hukum, khususnya dengan pendekatan terhadap perundang-undangan (Statute Approach) yaitu peraturan-peraturan daerah Kota Medan. Selain menggunakan metode pendekatan melalui perundang-undangan, penelitian ini bersifat deskriptif dan didukung dengan pendekatan secara empiris untuk menjelaskan fakta-fakta yang diperlukan tentang peraturan-peraturan daerah yang diteliti.
2. Jenis Data Jenis data yang dikumpulkan melalui penelitian ini, antara lain : a. Data Primer, terdiri dari :
6
-
Bahan hukum primer yaitu seluruh Perda-Perda Kota Medan yang diurutkan berdasarkan pengesahan dan pemberlakuannya mulai tahun 2006 sampai dengan tahun 2010.
-
Bahan hukum sekunder yaitu terdiri dari buku-buku teks, jurnal-jurnal hukum, karya ilmiah dan pendapat para sarjana.
b. Data Sekunder adalah data-data empiris yang diperoleh dengan cara menyusun dan mengumpulkan pendapat dan tanggapan-tanggapan secara langsung dari masyarakat Kota Medan tentang penataan standar sistimatika penulisan Perda Kota Medan.
3. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan melalui dua cara yaitu studi dokumen (Library research) terhadap Perda-Perda Kota Medan dari tahun 2006 sampai dengan 2010 dan studi lapangan (Field Research). Studi lapangan dilakukan dengan Penyebaran kuesioner secara langsung kepada responden yaitu dinas dan instansi pemerintah di Kota Medan, serta warga masyarakat yang bertempat tinggal di 6 (enam kecamatan) dalam wilayah Kota Medan.
4. Analisis Data Sesuai dengan metode dan jenis penelitan, maka seluruh data-data akan dianalisis. Data yang diperoleh melalui studi dokumen atau studi kepustakaan yaitu seluruh Perda Kota Medan sejak tahun 2006 s/d 2010 dikaji dan diolah secara deduktif dengan menarik
7
suatu kesimpulan yang bersifat umum terhadap masalah yang kongkrit yang dihadapi tentang penataan standar sistematika penulisan Perda Kota Medan. Data yang diperoleh melalui studi lapangan akan diolah dan ditabulasi dengan bantuan ilmu statistik sehingga diperoleh data-data pendukung dan informasi yang berguna dalam pemecahan permasalahan penelitian ini.
5. Jadwal Kegiatan Penelitian Keseluruhan kegiatan penelitian tentang Standarisasi sistematika penulisan peraturan daerah kota medan ini berlangsung selaman 4 (empat) bulan, dengan jadwal sebagai berikut:
No
Kegiatan
1
Penyusunan proposal
2
Diskusi proposal
3
Pengumpulan data
4
Pengolahan data (Entry
Bulan September
Oktober
November
Desember
data) 5
Membuat draft laporan penelitian
6
Diskusi draft laporan penelitian
7
Penyempurnaan laporan
8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pemerintahan Daerah Indonesia adalah Negara yang berdasar atas hukum sebagaimana tercermin dalam Undang-Undang Dasar 1945, maka Analisis yuridis dalam penelitian ini akan menganalisa perundang-undangan mengenai pengawasan DPRK terhadap APBK yang didasarkan kepada Undang-Undang Dasar 1945 sebagai norma hukum yang tertinggi disamping norma-norma hukum yang lain. Dalam negara hukum, kekuasaan negara dilaksanakan menurut prinsip dasar keadilan sehingga terikat secara konstitusional pada konstitusi. Hukum menjadi batas, penentu, dasar cara dan tindakan pemerintah serta segala Instansi dalam mencampuri hak dan kebebasan warganegara. Atas dasar hukum pula negara hukum menyelenggarakan apa yang menjadi tujuan negara. Jadi tidak masuk akal jika negara hukum (rechtsstaat) diwujudkan dengan cara yang melawan hukum.3 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim dalam bukunya yang berjudul “Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia” menyebutkan bahwa unsur-unsur Negara hukum dapat dilihat pada Negara hukum dalam arti sempit maupun formal. Dalam arti sempit, pada Negara hukum hanya dikenal 2 (dua) unsur penting, yaitu : 1. Perlindungan terhadap hak asasi manusia. 2. Pemisahan / pembagian kekuasaan. Sedangkan Negara hukum dalam arti formal, unsur-unsurnya lebih banyak, yaitu mencakup antara lain : 1. Perlindungan terhadap hak asasi manusia. 2. Pembagian / pemisahan kekuasaan. 3
Budiyanto, Dasar-dasar Ilmu Tata Negara, (Jakarta: Erlangga, 2000) hlm. 55.
9
3. Setiap tindakan Pemerintah harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan. 4. Adanya peradilan administrasi yang berdiri sendiri.4
Berdasarkan uraian konsep tentang Negara hukum tersebut, ada 2 (dua) substansi dasar, yaitu:5 1. Adanya paham konstitusi. 2. Sistem demokrasi atau kedaulatan rakyat. Paham konstitusi memiliki makna bahwa pemerintahan berdasarkan atas hukum dasar (konstitusi), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (absolutisme). Konsekuensi logis dari diterimanya paham konstitusi atau pemerintahan berdasarkan undang-undang dasar (wetmatigheid van bestuur), berarti bahwa kekuasaan pemerintahan negara presiden selaku eksekutif memegang kekuasaan pemerintahan menurut undang-undang dasar, presiden berhak memajukan undang-undang kepada lembaga perwakilan rakyat, Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang. Dengan prinsip ini pula Presiden mengeluarkan peraturan. Paham konstitusionalisme menghendaki eksistensi 2 (dua) elemen penting sekaligus; pertama, hukum yang menjadi pembatas bagi kemungkinan kesewenangwenangan kekuasaan, dan kedua akuntabilitas politik sepenuhnya dari pemerintah (government) kepada yang diperintah (governed). Melalui sistem konstitusi dalam pemerintahan inilah akan melahirkan kesamaan hak dan kewajiban warga negara serta perlindungan didalam hukum dan pemerintahan, karena pemerintah (penguasa) dalam
4
Moh. Kusnardi dan Hermaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1983), hlm. 156. 5 Titik Triwulan Tutik, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara, (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2006), hlm. 120.
10
menerapkan aturan merujuk pada aturan dasar yang berlaku (konstitusi) bukan kekuasaan yang dimiliki. Sedangkan sistem demokrasi atau paham kedaulatan rakyat adalah bahwa rakyat memerintah dan mengatur diri mereka sendiri (demokrasi). Hanya rakyat yang berhak mengatur dan menentukan pembatasan-pembatasan terhadap diri mereka sendiri. Oleh sebab itu dalam penyelenggaraan negara modern, keikutsertaan rakyat mengatur dilakukan melalui badan perwakilan yang menjalankan fungsi membuat undang-undang.6 Hubungan antara rakyat dan kekuasaan negara sehari-hari lazimnya berkembang atas dasar dua teori, yaitu teori demokrasi langsung (direct democracy) dimana kedaulatan rakyat dapat dilakukan secara langsung dalam arti rakyat sendirilah yang melaksanakan kekuasaan tertinggi yang dimilikinya, serta teori demokrasi tidak langsung (representative democracy). Di zaman modern sekarang ini dengan kompleksitas permasalahan yang dihadapi, maka ajaran demokrasi perwakilan menjadi lebih populer. Biasanya pelaksanaan kedaulatan ini disebut sebagai lembaga perwakilan.7
Realitas tersebut menunjukkan bahwa ciri khas dari paham demokrasi (kedaulatan rakyat) adalah adanya pemerintahan yang terbatas kekuasaannya dan tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap warganya, karena kekuasaan itu cenderung disalahgunakan disebabkan karena pada manusia itu terdapat banyak kelemahan dan jika hendak mendirikan negara Indonesia yang sesuai dengan keistimewaan sifat dan corak masyarakat Indonesia, maka negara kita harus berdasar atas aliran pikiran (staats idee) negara yang integralistik, negara yang bersatu dengan seluruh rakyatnya, yang mengatasi seluruh golongan-golongan dalam lapangan apapun. Karena itu, prinsip kedaulatan rakyat (democracy) dan kedaulatan hukum (nomocracy) hendaklah diselenggarakan secara beriringan sebagai dua sisi dari mata uang 6
Bagir Manan, Dasar-Dasar Perundang-Undangan Indonesia, (Jakarta: Hill. Co, 1992), hlm. 41. Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya Di Indonesia, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), hlm. 70. 7
11
yang sama. Untuk itulah, maka Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia hendaklah menganut pengertian bahwa Negara Republik Indonesia itu adalah negara hukum yang demokratis dan sekaligus negara demokratis yang berdasar atas hukum yang tidak terpisahkan satu sama lain. Keduanya juga merupakan perwujudan nyata dari keyakinan segenap bangsa Indonesia akan prinsip ke Maha-Kuasaan Tuhan Yang Maha Esa.8 Implementasinya dalam ketatanegaraan Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 telah menegaskan sistem pemerintahan Negara Republik Indonesia, yang pada hakekatnya menunjukkan mekanisme penyelenggaraan Negara Republik Indonesia sebagaimana dirumuskan dalam penjelasan umum, yakni: 1. Indonesia adalah negara berdasar atas hukum. 2. Pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi, tidak bersifat absolutisme. 3. Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. 4. Presiden ialah penyelenggara pemerintahan negara. 5. Presiden tidak bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat. 6. Menteri negara adalah pembantu Presiden, Menteri Negara tidak bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat. 7. Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas. Sendi demokrasi tersebut tidak hanya terdapat pada pemerintah pusat, tetapi juga harus direalisir dalam susunan pemerintahan daerah sebagaimana disebutkan dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945, yang menganut prinsip bahwa satuan pemerintahan tingkat daerah penyelenggaraannya dilakukan dengan memandang dan mengingat dasar dalam sistem pemerintahan negara. Prinsip ini menghendaki perwujudan keikutsertaan masyarakat
8
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), hlm. 57.
12
baik dalam ikut merumuskan kebijakan maupun mengawasi penyelenggaraan pemerintahan daerah.9 Atas dasar hal tersebut, Bagir Manan mengemukakan paling tidak ada 3 (tiga) faktor yang menunjukkan keterkaitan antara susunan pemerintahan daerah dengan pendemokrasian pemerintahan: 1. Sebagai upaya untuk mewujudkan prinsip kebebasan (liberty). 2. Sebagai upaya untuk menumbuhkan suatu kebiasaan (habit) agar rakyat memutus sendiri berbagai macam kepentingan (umum) yang bersangkutan langsung dengan mereka. Membiasakan rakyat mengatur dan mengurus sendiri urusan-urusan pemerintahan yang bersifat lokal, bukan hanya sekedar sebagai wahana latihan yang baik, tetapi menyangkut segi yang sangat esensial dalam suatu masyarakat demokratik. 3. Sebagai upaya memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya terhadap masyarakat yang mempunyai berbagai tuntutan yang berbeda.10 Menurut Sadu Wasistiono dan Yonatan Wiyoso desentralisasi dapat diartikan sebagai berikut: 1. Adanya transfer kewenangan dan tanggungjawab mengenai fungsi-fungsi publik; 2. Tranfer tersebut berasal dari pemerintahan pusat; 3. Transfer tersebut diberikan kepada etnis yang dapat dibentuk: a. Organisasi pemerintahan subnasional. b. Badan-badan pemerintahan semi otonomi. c. Organisasi atau penjabat pemerintah puasat yang berada di luar ibukota negara. d. Organisasi nonpemerintah. 4. Maksud dari tranfer kewenangan dan tanggung adalah agar tujuan negara dapat dicapai secara lebih efektif, efesien dan demokrasi.11 Secara legalistik formal, misalnya menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, yang dimaksud dengan desentralisasi adalah ”penyerahan urusan dari pemerintahan atau daerah atasanya kepada daerah sebagai urusan rumah tangganya” Menururt Undang-
9
Bagir Manan, Perjalanan Historis Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945, Perumusan dan Undang-Undang Pelaksanaannya, (Karawang, UNSIKA, 1993), hlm. 47. 10 Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, (Jakarta: Sinar harapan, 1994), hlm. 34. 11 Sadu Wasistiono dan Yonatan Wiyoso, op.cit, hlm. 6
13
Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang dimaksud dengan desentralisasi adalah ”penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonomi dalam rangka negara kesatuan Republik Indonesia” sedang menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang dimaksud dengan desentralisasi adalah ”penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistim negara Republik Indonesia”.12 Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 yang dimaksud dengan desentralisasi adalah ”Pemberian kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Dari pengertian di atas, desentralisasi mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: 1. Penyerahan wewenang untuk menyelenggarakan fungsi pemerintahan tertentu dari pemerintah pusat kepada daerah otonom. 2. Fungsi yang diserahkan dapat dirinci atau merupakan fungsi yang tersisa (residual functions). 3. Penerima wewenang adalah daerah otonom. 4. Penyerahan wewenang berarti wewenang untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan; wewenang mengatur dan mengurus kepentingan yang bersifat lokal. 5. Wewenang mengatur adalah wewenang untuk menetapkan norma hukum yang berlaku umum dan bersifat abstrak. 6. Wewenang mengurus adalah wewenang untuk menetapkan norma hukum yang bersifat individual dan konkrit. 7. Keberadaan daerah otonom adalah diluar hierarki organisasi pemerintah pusat. 8. Menunjukkan pola hubungan antar organisasi. 9. Menciptakan political variety dan diversity of structure dalam system politik.13 Penyerahan uruasan pemerintahan kepada pemerintahan daerah dijelaskan oleh The Liang Gie, sebagai urusan rumah tangga pemerintahan daerah yang dapat dibagi dalam 3 (tiga) bentuk, yaitu:14 12
Ibid, hlm. 7 Hanif Nurcholis, Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah, (Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana, 2007), hlm. 15. 13
14
1. Rumah tangga materiil (materiele huishoudingsbegrip) Pembagian kewenangan secara terperinci antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah yang diatur dalam undang-undang pembentukannya dimana kewenangankewenangan tersebut lalau dibagi secara tegas antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. 2. Rumah tangga formal (formale houshoudingsbegrip). Pembagian tugas antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dilakukan atas dasar pertimbangan rasional dan praktifs. Di sini tidak ada perbedaan yang tegas antara apa yang menjadi kewenangan pusat dan daerah. Daerah diserahi tugas antara apa yang menjadi kewenangan pusat dan daerah. Daerah diserahi urusan-urusan tertentu oleh pusat bukan karena secara materil urusan-urusan terserbut harus diserahkan tetapi karena diyakini urusan-urusan tersebut akan lebih efektif dan efisien apabila diselenggarakan pemerintah daerah. Jadi, urusan-urusan rumah tangga tidak terperinci secara normative dalam undang-undang pembentukannya tetapi ditentukan dalam rumusan umum. Rumusan umum ini hanya mengandung prinsip-prinsip saja, sedangkan
pengaturan
selanjutnya diserahkan kepada prakarsa daerah
yang
bersangkutan. Masalah menentukan urusan pusat dan daerah diserahkan sepenuhnya kepada prakarsa dan inisiatif daerah. Disini pemerintah daerah memeiliki keleluasaan gerak (vrije taak) untuk mengambil inisiatif, memilih alternative, dan mengambil keputusan di sergala bidang yang menyangkut kepentingan daerahnya. Namun semuanya tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 14
The Liang Gie, Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Negera REpublik Indonesia, (Jakarta: Gunung Agung, 1958), hlm. 30.
15
3. Rumah tangga riil (reel huishoudingsbegrip) Ajaran ini merupakan jalan tengah antara anggaran rumah tangga materiil dan rumah tangga formal. Rumah tangga materiil berangkat dari konsepsi bahwa pelimpahan wewenang kepada daerah harus didasarkan kepada factor-faktor riil di daerah, sepertin kemampuan daerah, potensi alam, dan keadaan pendudukan. Dalam ajaran ini dikenal adanya kebijakan pemberian urusan pokok dan urusan tambahan, maksudnya pada saat pembentukannya Undnag-Undang mengaturnya telah mencantumkan beberapa urusan rumah tangga yang merupakan urusan pokok sebagai modal awal disertai segala atribut, wewenang, personal, perlengkapan, dan pembiayaan. Sejalan dengan kemampuan dan kesanggupan serta perkembangan daerah yang bersangkutan secara bertahap urusanurusan tersebut dapat tumbuh. Konsekwensi langsung dari penyerahan kewenangan dari pemerintahan pusat ke daerah (desentralisasi politik) adalah tindak lanjut dengan desentralisasi fiskal dan desentralisasi administrasi. Desentralisasi fiskal yang dimaksud adalah bahwa daerah memiliki kewenangan untuk menggali sumber asli pendapatan daerahnya sendiri, mengelola keuangan sendiri dengan perencanaan yang telah direncanakan sebelumnya. Hal tersebut mudah dipahami karena salah satu kriteria penting untuk mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya adalah kemampuan self-supporting dalam bidang keuangan. Dengan perkataan lain, faktor keuangan merupakan faktor essensial dalam mengukur tingkat kemampuan daerah dalam melaksanakan otonominya. Ini berarti, dalam penyelenggaraan urusan rumah tangganya daerah membutuhkan dana atau uang, karena adalah mustahil bagi daerah-daerah untuk dapat menjalankan berbagai tugas dan pekerjaannya dengan efektif dan efisien serta dapat
16
melaksanakan pelayanan dan pembangunan bagi masyarakat tanpa tersedianya dana untuk itu.15 Sedang desentralisasi administrasi pemerintahan daerah memiliki kewenangan untuk merencanakan, pelaksanaan dan mengendalikan program-program untuk mencapai kesejahtraan masyarakat. Atau dengan perkataan laindesentralisasi administrasi lebih menekankan pada aspek efisiensi penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan ekonomi daerah sebagai tujuan utama desentralisasi.16 Perencanaan keuangan dapat diartikan sebagai berikut:17 1. Rencana keuangan yang menerjemehkan penggunaan sumber-sumber yang tersedia untuk memenuhi aspirasi masyarakat menuju penciptaan kehidupan rakyat yang lebih baik dimasa yang akan datang. 2. Rencana keuangan Pemda untuk membangun perikehidipan masyarakat yang tentunya semakin berkembang dan dinamis yang tercermin dalam kegiatan, untuk mendorong rakyat untuk memenuhi kewajibanya sebagai warga negara. 3. Proses penentuan jumlah alokasi sumber-sumber ekonomi untuk setiap program dan aktivitas dalam bentuk satuan uang. 4. Sistem penyusunan dan pengelolaan anggaran daerah yang berorentasi pada pencapaian hasil atau kinerja disebut anggaran kerja, kinerja harus mencerminkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik yang berarti berorentasi pada kepentungan publik. Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah bahwa prinsip-prinsip anggaran adalah: 1. Semua penerimaan (uang, barang dan atau jasa) dianggarkan dalam APBD. 2. Seluruh pendapatan, belanja dan pembiayaan dianggarkan secara bruto. 3. Jumlah pendapatan merupakan perkiraan terukur dan dapat dicapai serta berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. 4. Penganggaran pengeluaran harus didukung dengan adanya kepastian tersedianya penerimaan dalam jumlah cukup dan harus diperkuat dengan dasar hukum yang melandasinya.
15
Ibid. Chahib Sole dan Heru Rachmansjah, Pengelolaan dan Aset Keuangan Daerah, (Bandung: Fokusmedi, 2010), hlm. 27 17 Sadu Wasistiono dan Yonatan Wiyoso, Op Cit, hlm. 106 16
17
Dengan adanya pembagian kewenangan diantara penyelenggara pemerintahan daerah, maka akan diikuti dengan check and balances system (sistem saling mengawasi) dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah tersebut. Oleh karna itu yang dibutuhkan adalah:18 1. Suatu distribusi kekuasaan agar kekuasaan tidak berada dalam suatu tangan saja. 2. Suatu keseimbangan kekuasaan agar masing-masing pemegang kekuasaan tidak cenderung terlalu kuat sehingga menimbulkan tirani, hal ini disimpulkan dalam lingkup pengertian Balances. 3. Suatu pengontrolan yang satu terhadap yang lain agar pemegang kekuasaan tidak berbuat sebebas-bebasnya yang dapat menimbulkan kesewenang-wenangan, hal ini disimpulkan dalam pengertian Chekcs, tidak hanya satu cabang pemerintahan dapat mengecek cabang pemrintahan lainya, tetapi harus melakukan pengecekan satu sama lainya. Operasionalisasi dari check and balances ini dilakukan melalui cara-cara sebagai berikut:19 1. Pemberian kewenangan terhadap suatu tindakan kepada lebih dari satu cabang pemerintahan. Misalnya kewenangan pembuatan suatu Undang-Undang yang diberikan kepada pemerintah dan parlemen sekaligus. Jadi terjadi overlapping yang dilegalkan terhadap kewenangan para pejabat negara antara satu cabang pemerintahan dengan cabang pemerintahan lainnya. 2. Pemberian kewenangan pengangkatan pejabat tertentu kepada lebih dari satu cabang pemerintahan. Banyak pejabat tinggi negara dimana dalam proses pengangkatannya melibatkan lebih dari satu cabang pemerintahan. Misalnya melibatkan pihak eksekutif maupun legislatif. 3. Upaya hukum impeachment dari cabang pemerintahan yang satu terhadap cabang pemerintahan lainnya. 4. Pengawasan langsung dari satu cabang pemerintahan terhadap cabang pemerintahan lainnya, seperti pengawasan terhadap cabang eksekutif oleh cabang legislatif dalam penggunaan budget negara. 5. Pemberian kewenangan kepada pengadilan sebagai pemutus kata akhir (the last word) jika ada pertikaian kewenangan antara badan eksekutif dengan legislatif.
Sudah menjadi kebiasaan untuk membagi-bagi tugas pemerintah kedalam “trichotomy” yang terdiri dari eksekutif, legislatif dan yudikatif. Pembagian ini seringkali 18 19
Ibid, hlm. 124 Ibud, hlm. 124.
18
ditemui, kendati batas pembagian kekuasaan itu tidak selalu sempurna, karena kadangkadang satu sama lainnya tidak benar-benar terpisah, bahkan saling pengaruh mempengaruhi.20 Sebagai mana telah diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Peraturan perundang-undangan: a. Undang-undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945. b. Undang-Undang/ Perpu. c. Peraturan Pemerintah. d. Peraturan Persiden. e. Peraturan Daerah. Dimana dalam Undang-Undang tersebut peraturan daerah adalah salah satu tata urutan perundang-undangan di Indonesia, atau peraturan daerah merupakan salah satu hukum positif di Indonesia sehingga begitu strategisnya peraturan daerah mengatur kehidupan masyarakat untuk itu peraturan daerah yang telah dibuat harus diawasi penggunaanya. Sebagai salah satu sumber hukum dalam hierarki perundang-undangan Indonesia Pasal 136 ayat (1) UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah menyatakan perda merupakan salah satu sarana dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Perda merupakan produk hukum yang dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah dengan persetujuan bersama kepala daerah. Prakarsa perda dapat berasal dari DPRD maupun dari pemerintah daerah. Perda pada dasarnya merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundangundangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah.
20
Ismail Suny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, (Jakarta: Aksara Baru, 1986), hlm. 15.
19
Kewenangan membuat perda merupakan wujud nyata pelaksanaan hak otonomi yang dimiliki oleh suatu daerah dengan tujuan untuk mewujudkan kemandirian daerah dan memberdayakan masyarakat. Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah menciptakan konteks politik yang memberi peluang bagi penciptaan kelembagaan politik antara pemerintahan daerah dan DPRD dalam membentuk kebijakan publik yang menentukan.21 Menurut pendapat Farid Ali, kesemua hal yang berkaitan dengan pembentukan perda berlangsung dalam proses perundang-undangan.22 Tentang proses perundangundangan, Solly Lubis menyebutkan bahwa sebagai proses pembuatan peraturan Negara, dengan kata lain tata cara mulai dari perencanaan (rancangan, pembahasan, penetapan, dan akhirnya pengundangan peraturan yang bersangkutan).
23
Proses merupakan kegiatan yang
berawal dan berakhir pada suatu keadaan tertentu dimana keadaan itu sendiri menghendakinya.24 Menurut Solly Lubis, sebagai sebuah peraturan dinilai sempurna jika dipenuhinya syarat-syarat sebagai berikut:25 a. Peraturan itu memberikan keadilan bagi yang berkepentingan, misalnya apakah kalangan buruh, petani, nelayan, pedagang kaki lima, kaum perempuan, para guru dan dosen, merasa bahwa dengan kehadiran peraturan hukum itu maka kepentingannya akan benar-benar dilindungi. b. Peraturan hukum itu memberikan kepastian dalam arti kepastian hukum, bahwa dengan berlakunya peraturan itu akan jelas-jelas batas-batas hak (recht, right) dan kewajiban (plicht, duty), semua pihak yang berkaitan dalam sesuatu hubungan hukum
21
Nimatul Huda, Otonomi Daerah, filosofi sejarah perkembangan dan problematika, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 232. 22 Faried Ali, Hukum Tata Pemerintahan dan Proses Legislatif Indonesia, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996), hlm. 185. 23 Solly lubis,Landasan dan teknik peraturan perundang-undangan, (Bandung: Alumni, 1983), hlm. 13. 24 Faried Ali, Op.cit. hlm. 186. 25 Solly Lubis, ilmu pengetahuan perundang-undangan, (Bandung: Mandar Madju, 2009), hlm. 45.
20
(rechtsbetrekkingen) misalnya dalam hubungan perburuhan, hubungan perkawinan, borongan kerja dan sebagainya. c. Peraturan itu memberikan manfaat yang jelas bagi yang berkepentingan dengan kehadiran peraturan itu. Umumnya, jika dua syarat terdahulu sudah dipenuhi maka syarat yang ketiga ini akan dipenuhi juga. Kemudian Solly Lubis mengemukakan bahwa bagi penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan sebagai sistem kehidupan bernegara, dikenal ada 3 (tiga) macam paradigma dasar yaitu:26 1. Paradigma filosofis (philoshopie paradigm) yakni sistem nilai yang tercakup dalam dasar Negara pancasila; 2.
Paradigma yuridis-konstitusional (yudicial paradigm) dalam UUD 1945;
3.
Paradigma politis (political paradigm) dalam garis-garis besar haluan Negara
Menurut Bagir Manan, syarat-syarat agar suatu peraturan perundang-undangan itu dinyatakan baik, adalah: a. b. c.
Ketepatan dalam struktur, pertimbangan, dasar hukum, bahasa, pemakaian huruf dan tanda baca yang benar; Kesesuaian antara isi dengan dasar yuridis, sosiologis, dan filosopfis; Peraturan perundang-undangan itu dapat dilaksanakan (applicable) dan menjamin kepastian hukum. Pembuatan peraturan daerah sebagai bagian dari penyelenggaraan pemerintahan
sebuah Negara haruslah mematuhi setiap asas dalam pembuatan peraturan perundangundangan dan juga tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan diatasnya seperti yang dikemukan oleh teori dari hans kelsen mengenai jenjang norma, hans kelsen menyebutkan bahwa norma-norma hukum itu berjenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan. Suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan beradasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang dapat
26
M. solly Lubis, kebijakan Publik, ( Bandung: Mandar Maju, 2007),hlm. 70.
21
ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif yaitu disebut sebagai sebuah norma dasar.27 Maka dari itu untuk menghindari kemungkinan peraturan daerah itu dicabut atau dibatalkan maka diharapkan sumber daya manusia dilingkungan anggota legislative dan pemerintah memahasi esensi dalam penyusunan produk-produk hukum yang dibutuhkan oleh daerah sebagai pelaksanaan dari ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan penyelenggaraan kepentingan umum di daerah.
B. Kedudukan dan Fungsi Peraturan Daerah 1. Kedudukan Peraturan Daerah Pada prinsipnya, kebijakan otonomi daerah dilakukan dengan mendesentralisasikan kewenangan-kewenangan yang selama ini tersentralisasi di tangan pemerintah pusat. Dalam proses desentralisasi itu, kekuasaan pemerintah pusat dialihkan dari tingkat pusat ke pemerintahan daerah sebagaimana mestinya, sehingga terwujud pergeseran kekuasaan dari pusat ke daerah kabupaten dan kota di seluruh Indonesia. Jika dalam kondisi semula arus kekuasaan pemerintahan bergerak dari daerah ke tingkat pusat, maka diidealkan bahwa sejak diterapkannya kebijakan otonomi daerah itu, arus dinamika kekuasaan akan bergerak sebaliknya, yaitu dari pusat ke daerah. Dalam melaksanakan pemerintahan di daerah, pemerintah daerah diberikan kewenangan dari pemerintah pusat melalui konstitusi (diberikan landasan konstitusional yang jelas sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945) untuk membentuk sebuah peraturan daerah yang 27
Maria Farida Indarti Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), hlm.
25.
22
bertujuan untuk mengatur tata kehidupan masyarakat di daerah. Peraturan Daerah merupakan salah satu jenis Peraturan Perundang-undangan dan merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila.Pada saat ini Peraturan Daerah mempunyai kedudukan yang sangat strategis karena peangaturannya diamanahkan oleh konstitusi.
2. Fungsi Peraturan Daerah Peraturan Daerah yang dibentuk oleh pemerintah daerah bersama badan legislatfi daerah selain bertujuan untuk mengatur tata kehidupan masyarakat didaerah tetapi juga mempunyai berbagai fungsi yaitu: a. sebagai instrumen kebijakan untuk melaksanakan otonomi daerah dan tugas pembantuan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. b. merupakan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. c. Dalam fungsi ini, Peraturan Daerah tunduk pada ketentuan hierarki Peraturan Perundang-undangan. Dengan demikian Peraturan Daerah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. d. penyalur aspirasi masyarakat di daerah, namun dalam pengaturannya tetap dalam koridor Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. e. sebagai alat pembangunan dalam meningkatkan kesejahteraan daerah.
23
3.
Hierarki Peraturan Derah Hierarki Peraturan Daerah dalam sistem Peraturan Perundang-undangan di
Indonesia, pada saat ini secara tegas diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pasal 7 ayat (1) menyebutkan bahwa, jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan, adalah sebagai berikut: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; c. Peraturan Pemerintah; d. Peraturan Presiden; e. Peraturan Daerah
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Daerah mencakup Peraturan Daerah Provinsi dan/atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Peraturan Menteri, walaupun tidak secara tegas dicantumkan dalam hierarki Peraturan Perundang-undangan, namun keberadaannya diakui sebagai salah satu jenis Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan Pasal 7 ayat (4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Mengingat lingkup berlakunya Peraturan Daerah hanya terbatas pada daerah yang bersangkutan sedangkan lingkup berlakunya Peraturan Menteri mencakup seluruh wilayah Negara Republik Indonesia, maka dalam hierarki, Peraturan Menteri berada diatas Peraturan Daerah. 4.
Materi Muatan Peraturan Daerah
24
Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, mengenai materi muatan Peraturan Daerah telah diatur dengan jelas dalam Pasal 12 yang berbunyi sebagai berikut: “Materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi”. Di era otonomi daerah atau desentralisasi, DPRD dan Pemerintah Daerah mempunyai kewenangan yang luas dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Dalam praktek, tidak jarang terjadi kewenangan tersebut dilaksanakan tidak selaras bahkan bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi (vertikal) atau dengan Peraturan Perundang-undangan yang sama (horizontal). Oleh karena itu, DPRD dan Kepala Daerah dalam membentuk Peraturan Daerah harus selalu memperhatikan asas pembentukan dan asas materi muatan Peraturan Perundang- undangan. Pedoman tentang materi muatan Peraturan Daerah dan Peraturan Perundangundangan tingkat daerah lainnya (Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati/Walikota), juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan dalam Peraturan Pelaksanaannya. Pasal 138
UU No. 32 Tahun 2004 menjelaskan
mengenai materi Peraturan Daerah perlu memperhatikan asas materi muatan yang meliputi: a. Pengayoman : “bahwa setiap Materi Peraturan Perundang-undangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat.” b. Kemanusiaan : “bahwa setiap Materi Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga Negara dan penduduk Indonesia secara proporsional.”
25
c. Kebangsaan : “bahwa setiap Materi Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistic (kebhinnekaan) dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.” d. Kekeluargaan : “bahwa setiap Materi Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalm setiap pengambilan keputusan.” e. Kenusantaraan : “bahwa setiap Materi Peraturan Perundang-undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan Peraturan Perundangundangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila.” f. Bhinneka Tunggal Ika : “bahwa setiap Materi Peraturan Perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku, dan golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya khususnya yang menyangkut masalah-masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.” g. Keadilan : “bahwa setiap Materi Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga Negara tanpa kecuali.” h. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan : “bahwa setiap Materi Peraturan Perundang-undangan tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain: agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial.” i. Ketertiban dan kepastian hukum: “bahwa setiap Materi Peraturan Perundang-undangan harus menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum.” j. Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan: “bahwa setiap Materi Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu dan mayarakat dengan kepentingan bangsa dan Negara.”
Pasal 136 ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang menyatakan bahwa “Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang
26
bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi”. Dalam penjelasan Pasal tersebut, yang dimaksud dengan ”bertentangan dengan kepentingan umum” dalam ketentuan ini adalah kebijakan yang berakibat terganggunya kerukunan antar warga masyarakat, terganggunya pelayanan umum, dan terganggunya ketentraman/ketertiban umum serta kebijakan yang bersifat diskriminatif. Selanjutnya dalam Penjelasan Umum Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah angka 7 ditegaskan pula bahwa: Dalam membentuk Peraturan Daerah terdapat 3 (tiga) aspek penting yang perlu diperhatikan oleh setiap Perancang Peraturan Perundang-undangan, yaitu: “Kebijakan Daerah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang undangan yang lebih tinggi dan kepentingan umum serta Peraturan Daerah lain”.
27
BAB III PEDOMAN PEMBUATAN PERATURAN DAERAH
A. Asas-Asas Umum Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan
Dalam pembuatan atau pembentukan peraturan perundang-undangan diperlukan beberapa asas atau prinsip antara lain: asas kejelasan tujuan, kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat, kesesuaian antara jenis dan materi muatan, dapat dilaksanakan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan dan keterbukaan. Hal-hal tersebut menjadi pedoman atau dasar dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Membentuk peratutan perundang-undangan pada hakikatnya adalah menderivasi nilai (value) dan asas (principle) kepada norma atau kaidah yang di dalamnya ada perintah, larangan, kebolehan dan sanksi. Norma atau kaidah (kaidah) merupakan pelembagaan nilai-nilai baik dan buruk dalam bentuk tata aturan yang berisi kebolehan, anjuran, atau perintah. Baik anjuran maupun perintah dapat berisi kaidah yang bersifat positif atau negatif sehingga mencakup norma anjuran untuk mengerjakan atau anjuran untuk tidak mengerjakan sesuatu, dan norma perintah untuk melakukan atau perintah untuk tidak melakukan sesuatu. Apabila ditinjau dari segi etimologinya, kata norma itu sendiri berasal dari bahasa Latin, sedangkan kaidah atau kaedah berasal dari bahasa Arab. Norma berasal dari kata nomos yang berarti nilai dan kemudian dipersempit maknanya menjadi norma hukum28. Karya Plato yang berjudul Nomoi biasa diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan
28
Plato, The Laws, translated by Trevor J. Saunders (New York : Penguin Books, 2005)
28
istilah The Law. Sedangkan kaidah dalam bahasa Arab, qo’idah berarti ukuran atau nilai pengukur. Jika pengertian norma atau kaidah sebagai pelembagaan nilai itu dirinci, kaidah atau norma yang dimaksud dapat berisi: 1. kebolehan atau yang dalam bahasa Arab disebut ibahah, mubah (permittere); 2. anjuran positif untuk mengerjakan sesuatu atau dalam bahasa Arab disebut sunnah; 3. anjuran negatif untuk tidak mengerjakan sesuatu atau dalam bahasa Arab disebut “makruh”; 4. perintah positif untuk melakukan sesuatu atau kewajiban (obligattere); dan 5. perintah negatif untuk tidak melakukan sesuatu atau yang dalam bahasa Arab disebut “haram” atau larangan (prohibere). Dalam teori yang dikenal di dunia barat , norma-norma tersebut biasanya hanya digambarkan terdiri atas tiga macam saja, yaitu: (a) ‘obligattere’, (b) ‘prohibere’, dan (c) ‘permittere’, akan tetapi di Indonesia, dengan meminjam teori hukum fiqh, menurut Hazairin29, norma terdiri atas lima macam, yaitu ; 1. halal atau mubah (permittere); 2. sunnah; 3. makruh; 4. wajib (obligattere); dan 5. haram (prohibere), Dalam sistem ajaran Islam, kelima kaidah tersebut sama-sama disebut sebagai kaidah agama. Akan tetapi, jika diklasifikasikan, ketiga sistem norma agama (dalam arti sempit), sistem norma hukum, dan sistem norma etika (kesusilaan) dapat saja dibedakan satu sama lain. Norma etika atau kesusilaan dapat dikatakan hanya menyangkut kaidah mubah (permittere), sunah, dan makruh saja; sedangkan norma hukum berkaitan dengan 29
Hazairin, Hukum Islam dan Masyarakat, Cetakan ke 3 (Jakarta : Bulan Bintang, 1963)
29
kaidah mubah (permittere, mogen), kewajiban atau suruhan (obligattere, gebod), dan larangan (prohibere, verbod). Kaidah kesusilaan yang dipahami sebagai etika dalam arti sempit (sittlichkeit) hanya dapat dimengerti sebagai kaidah yang timbul dalam kehidupan pribadi (internal life)30. Karena itu, kaidah semacam itu disebut juga dengan kesusilaan pribadi. Misalnya, dikatakan bahwa seseorang (i) tidak boleh curiga, (ii) tidak boleh membenci, (iii) tidak boleh lekas marah, (iv) tidak boleh dengki dan iri hati, dan sebagainya. Di samping itu, adapula kaidah kesusilaan yang dimaksudkan untuk menghasilkan kebahagiaan dalam kehidupan bersama (kolektif) atau semacam keadaan “a pleasant living together” (het uitwendig verkeer onder de mensen teverfijnen, te veraangenamen). Yang terakhir ini misalnya biasa disebut dengan dengan kaidah sopan santun ataupun adat istiadat yang merupakan kaidah kesusilaan antar pribadi. Misalnya, seseorang tidak boleh bertamu ke rumah orang melalui pintu belakang, seorang murid harus memberi salam lebih dulu kepada gurunya, seorang laki-laki harus mendahulukan wanita tua untuk mendapatkan tempat duduk lebih dulu dari dirinya, dan sebagainya. Jika ketiga macam kaidah tersebut di atas dibandingkan satu sama lain, dapat dikatakan bahwa kaidah agama dalam arti vertikal dan sempit bertujuan untuk kesucian hidup pribadi, kaidah kesusilaan (pribadi) bertujuan agar terbentuk kebaikan akhlak pribadi dan kaidah kesusilaan antar pribadi atau kaidah kesopanan bertujuan untuk mencapai kebahagiaan hidup bersama antar pribadi. Ketiga kaidah tersebut mempunyai daya ikat yang bersifat volunteer yaitu berasal dari kesadaran pribadi dari dalam diri setiap 30
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Perihal Kaedah Hukum (Bandung : Alumni, 1982)
hal. 26.
30
pendukung kaidah itu sendiri. Artinya, daya lakunya tidak dapat dipaksakan dari luar, melainkan tumbuh dari dalam diri manusia sendiri (imposed from within). Berlainan dengan itu, daya laku kaidah hukum (legal norm) justru dipaksakan dari luar diri manusia (imposed from without). Dari segi tujuannya, kaidah hukum atau norma hukum itu tertuju kepada cita kedamaian hidup antar pribadi (het recht wil de vrede). Karena itu sering dikatakan bahwa penegak hukum itu bekerja bekerja “to preservepeace”.31 Dalam kedamaian atau keadaan damai selalu terdapat “orde en rust”. “Orde” terkait dengan dimensi lahiriah, sedangkan “rust” menyangkut dimensi “batiniah”. Keadaan damai yang menjadi tujuan akhir norma hukum terletak pada keseimbangan antara “rust” dan “orde” itu, yaitu antara dimensi lahiriah dan batiniah yang menghasilkan keseimbangan antara ketertiban dan ketenteraman, antara keamanan dan ketenangan. Tujuan kedamaian hidup bersama tersebut biasanya dikaitkan pula dengan perumusan tugas kaidah hukum, yaitu untuk mewujudkan kepastian, keadilan, dan kebergunaan. Artinya, setiap norma hukum itu haruslah menghasilkan keseimbangan antara nilai kepastian (certainty, zekerheid), keadilan (equity, billijkheid, evenredigheid), dan kebergunaan (utility). Adapula sarjana yang hanya menyebut pentingnya tugas dwi-tunggal kaidah
hukum,yaitu
kepastian
hukum
(rechtsszekerheid)
dan
keadilan
hukum
(rechtsbillijkheid). Kaidah-kaidah hukum itu dapat pula dibedakan antara yang bersifat imperatif dan yang bersifat faktatif.32 Yang bersifat imperaif biasa disebut juga dengan hukum yang 31
Garner Bryan A (Ed.) Black Law Dictionary (ST. Paul Minn : West Group, 1968)
31
memaksa (dwingendrecht), sedangkan yang bersifat fakultatif dibedakan antara norma hukum
yang mengatur
(regelendrecht)
dan
norma hukum
yang menambah
(aanvullendrecht). Kadang-kadang ada pula kaidah-kaidah hukum yang bersifat campuran atau yang sekaligus bersifat memaksa (dwingende) dan mengatur (regelende).33 Kaidah hukum dapat pula dibedakan antara yang bersifat umum dan abstrak (general and abstract norms) dan yang bersifat konkret dan individual (concrete and individual norms). Kaidah umum selalu bersifat abstrak karena ditujukan kepada semua subjek yang terkait tanpa menunjuk atau mengaitkannya dengan subjek konkret, pihak, atau individu tertentu. Kaidah hukum yang bersifat umum dan abstrak inilah yang biasanya menjadi materi peraturan hukum yang berlaku bagi setiap orang atau siapa saja yang dikenai perumusan kaidah hukum yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan yang terkait. Sementara itu, kaidah hukum individuil selalu bersifat konkret. Kaidah konkret ini ditujukan kepada orang tertentu, pihak, atau subjek-subjek hukum tertentu, pihak, atau subjek-subjek hukum tertentu, atau peristiwa dan keadaan-keadaan tertentu. Sebagai contoh dapat dikemukakan, misalnya, (i) kaidah hukum yang ditentukan oleh pengadilan dalam bentuk putusan (vonnis) selalu berisi hal-hal dan subjek hukum yang bersifat individuil dan konkret, misalnya, si A dipidana 10 tahun; (ii) kaidah hukum yang ditentukan oleh pejabat pemerintahan (bestuur), misajnya, si B diberi izin untuk mengimpor mobil bekas, atau si X diangkat menjadi Direktur Jenderal suatu departemen; (iii) kaidah hukum yang dilakukan oleh kepolisian, misalnya, si A ditangkap dan ditahan untuk tujuan penyidikan; atau (iv) 32
W.L.G. Lemaire, Het Recht in Indonesie (Van Hoeve : 1955) L.J. Van Apeldoorn, Pendahuluan Ilmu Hukum, terjemahan Oetarid Sadino, Cetakan ke 22 (Jakarta : Pradnya Paramita, 1985) hal. 167. 33
32
kaidah hukum yang ditentukan dalam perjanjian perdata, misalnya si X berjanji akan membayar sewa rumah yang ditempatinya kepada pemilik rumah. Keempat contoh di atas jelas menggambarkan sifat kaidah hukum yang bersifat konkret dan individuil (concrete and individual norms) yang sangat berbeda dari sifat kaidah hukum yang umum dan abstrak (general and abstract norms).34 Terhadap berbagai bentuk norma hukum tersebut di atas dapat dilakukan kontrol atau pengawasan melalui apa yang biasa disebut sebagai mekanisme kontrol norma hukum (legal norm control mechanism). Kontrol terhadap norma hukum itu dapat dilakukan melalui pengawasan atau pengendalian politik, pengendalian administratif, atau melalui kontrol hukum (judisial). Kontrol politik dilakukan oleh lembaga politik, misalnya oleh lembaga perwakilan rakyatatau parlemen. Dalam hal ini, mekanisme kontrolnya disebut sebagai “legislative control” atau “legislative review”. Misalnya, revisi terhadap sesuatu undang-undang dapat dilakukan melalui dan oleh lembaga perwakilan rakyat sendiri sebagai lembaga yang memang berwenang membentuk dan mengubah undang-undang yang bersangkutan. Jika dalam perjalanan waktu ternyata Dewan Perwakilan Rakyat menganggap bahwa suatu undang-undang yang telah berlaku mengikat untuk umum harus diperbaiki, maka dengan sendirinya DPR sendiri berwenang untuk mengambil inisiatif mengadakan perbaikan terhadap undang-undang tersebut melalui mekanisme pembentukan undang-undang yang berlaku. Demikian pula, apabila upaya kontrol terhadap norma hukum dimaksud dapat pula dilakukan oleh lembaga administrasi yang menjalankan fungsi “bestuur” di bidang 34
Baca lebih lanjut dalam Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, (Jakarta : Konpress, 2005).
33
eksekutif. Badan-badan yang memang secara langsung diberi delegasi kewenangan oleh undang-undang untuk melaksanakan undang-undang yang bersangkutan dapat saja mengambil prakarsa untuk mengevaluasi dan apabila diperlukan memprakarsai usaha untuk mengadakan perbaikan atau perubahan atas undang-undang yang bersangkutan. Jika upaya dimaksud berujung pada kebutuhan untuk mengubah atau merevisi isi undang-undang, maka tentunya lembaga eksekutif dimaksud berwenang melakukan langkah-langkah sehingga perubahan itu dapat dilakukan sesuai ketentuan yang berlaku. Mekanisme kontrol yang dilakukan oleh lembaga eksekutif semacam inilah yang dapat kita sebut sebagai “administrative control” atau “executive review”.35 Sementara itu, kontrol terhadap norma hukum tersebut (norms control) dinamakan legal control, judicial control atau judicial review jika mekanismenya dilakukan oleh pengadilan. Pada pokoknya, kaidah hukum yang bersifat umum dan abstrak (general and abstract norms) hanya dapat dikontrol melalui mekanisme hukum, yaitu “judicial review” oleh pengadilan. Ada negara yang menganut sistem yang terpusat (centralized system) yaitu pada Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), atau lembaga lain yang khusus. Ada pula negara yang menganut sistem tersebar atau tidak terpusat (decentralized system) sehingga setiap badan peradilan dapat melakukan pengujian atas peraturan perundang-undangan yang berisi norma umum dan abstrak. Indonesia termasuk negara yang menganut sistem tersentralisasi, yaitu untuk undang-undang terpusat di Mahkamah Konstitusi, sedangkan pengujian atas peraturan perundang-undangan di bawah undangundang dipusatkan di Mahkamah Agung (MA).
35
ibid
34
Sementara itu, kaidah hukum yang bersifat konkret dan individual juga dapat dikontrol secara hukum oleh pengadilan dalam hal ini, jika norma hukum itu berbentuk keputusan atau ketetapan yang bersifat “beschikking” pengawasan atau pengujiannya dilakukan oleh pengadilan tata usaha negara (administratie rechtspraak). Sedangkan norma hukum konkret dan individual lainnya yaitu berupa nonnis atau keputusan pengadilan dapat diawasi atau dikontrol oleh pengadilan tingkat yang lebih tinggi. Putusan pengadilan tingkat pertama dapat diuji lagi oleh pengadilan tingkat banding, putusan pengadilan tingkat banding dapat diuji oleh pengadilan tingkat kasasi dan bahkan putusan kasasi dapat pula diuji lagi dengan peninjauan kembali. Tingkatan-tingkatan peradilan tersebut terdapat dalam lingkungan peradilan di Mahkamah Agung. Di lingkungan peradilan umum, dimulai dari Pengadilan Negeri sebagai pengadilan tingkat pertama, Pengadilan Tinggi sebagai pengadilan banding dan Mahkamah agung sebagai pengadilan tingkat kasasi dan peninjauan kembali. B.
Unsur-Unsur Peraturan yang Baik 1. Unsur Stabilitas (Stability) Hans Kelsen di dalam bukunya yang berjudul General Theory of Law and State
mengemukakan adanya dua sistem norma, yaitu sistem norma yang statik (nomostatic) dan sistem norma yang dinamik (nomodynamic). Statika sistem norma (nomostatic) adalah suatu sistem yang melihat pada ‘isi’ suatu norma, di mana suatu norma umum dapat ditarik menjadi norma-norma khusus, atau norma-norma khusus itu dapat ditarik dari suatu norma yang umum. penarikan norma-norma khusus dari suatu norma umum, dalam arti norma
35
umum itu dirinci menjadi norma-norma yang khusus dari segi ‘isi’nya. Contoh dari suatu sistem norma yang statik (nomostatics) adalah sebagai berikut:36 a.
Dari suatu norma umum yang menyatakan ‘Hendaknya engkau menghormati orang tua’ dapat ditarik/dirinci norma-norma khusus, seperti kita wajib membantunya kalau orang tua itu dalam keadaan susah, kita merawatnya kalau orang tua itu sedang sakit dan sebagainya.
b.
Dari suatu norma umum yang menyatakan ‘Hendaknya engkau menjalankan perintah agama’ dapat ditarik/dirinci norma-norma khusus, seperti kita harus menjalankan sholat lima waktu, menjalankan puasa pada waktunya, membayar zakat fitrah, dan sebagainya.
Sistem norma yang dinamik (nomodynamic) adalah suatu sistem norma yang melihat pada berlakunya suatu norma atau dari cara pembentukannya dan penghapusannya. Menurut Hans Kelsen, norma itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu susunan hierarkis, di mana norma yang di bawah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai akhirnya ‘regressus’ ini berhenti pada suatu norma yang tertinggi yang disebut norma dasar (Grundnorm) yang tidak dapat kita telusuri lagi siapa pembentuknya atau dari mana asalnya. Norma dasar atau sering disebut Grundnorm, basic norm, atau fundamental norm ini merupakan norma yang tertinggi yang berlakunya tidak berdasar dan tidak bersumber pada norma yang lebih tinggi lagi tetapi berlakunya secara presupposed, yaitu ditetapkan lebih dahulu oleh masyarakat. Dikatakan bahwa norma dasar ini berlakunya tidak berdasar dan tidak bersumber pada norma yang 36
Hans Kelsen, General Theory of Law and State, New York : Russel & Russel, 1945, hal. 35.
36
lebih tinggi lagi, karena apabila norma itu berlakunya masih berdasar dan bersumber pada norma yang lebih tinggi lagi, maka itu bukan merupakan norma yang tertinggi. 2. Unsur Keterprediksian (Predictability) Hans Kelsen mengatakan bahwa hukum termasuk dalam sistem norma yang dinamik (nomodynamics) karena hukum itu selalu dibentuk dan dihapus oleh lembagalembaga atau otoritas-otoritas yang berwenang membentuknya, sehingga dalam hal ini tidak kita lihat dari segi isi norma tersebut, tetapi dari segi berlakunya atau pembentukannya. Hukum itu adalah sah (valid) apabila dibuat oleh lembaga atau otoritas yang berwenang membentuknya dan berdasarkan norma yang lebih tinggi sehingga dalam hal ini norma yang lebih rendah (inferior) dapat dibentuk oleh norma yang lebih tinggi (superior), dan hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis membentuk suatu hierarki. 3. Unsur Keadilan/Kewajaran (Fairness) Dinamika suatu norma hukum dapat kita bedakan menjadi dua, yaitu dinamika norma hukum yang vertikal dan dinamika norma hukum yang horizontal. Dinamika norma hukum yang vertikal adalah dinamika yang berjenjang dari atas ke bawah, atau dari bawah ke atas: dalam dinamika yang vertikal ini suatu norma hukum itu berlaku, berdasar dan bersumber pada norma hukum di atasnya, norma hukum yang berada di atasnya berlaku, berdasar dan bersumber pada norma hukum yang di atasnya lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma hukum yang menjadi dasar semua norma hukum yang di bawahnya. Demikian juga dalam hal dinamika dari atas ke bawah, maka norma dasar itu selalu menjadi sumber dan dasar norma hukum di bawahnya, norm ahukum di bawahnya selalu menjadi sumber dan dasar norma hukum yang di bawahnya lagi, dan demikian
37
seterusnya ke bawah. Dinamika yang vertikal ini dapat kita lihat dalam tata susunan norma hukum yang ada di negara Republik Indonesia: Pancasila sebagai norma dasar negara merupakan sumber dan dasar bagi terbentuknya norma-norma hukum dalam Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945, demikian pula norma-norma hukum yang berada dalam Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945 menjadi sumber dan dasar bagi terbentuknya norma-norma hukum dalam Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, dan norma-norma yang berada dalam Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat ini menjadi sumber dan dasar bagi pembentukan norma-norma dalam undang-undang, demikian juga seterusnya ke bawah. Dalam dinamika norma hukum yang horizontal, suatu norma hukum itu bergeraknya tidak ke atas atau ke bawah, tetapi ke samping. Dinamika norma hukum yang horizontal ini tidak membentuk suatu norma hukum yang baru, tetapi norma itu bergerak ke samping karena adanya suatu analogi, yaitu penarikan suatu norma hukum untuk kejadiankejadian lainnya yang dianggap serupa. Penarikan secara analogi tersebut dapat diberikan contoh sebagai berikut: di dalam peraturan disebutkan bahwa yang dimaksudkan dengan pencurian adalah apabila seseorang mengambil barang orang lain untuk dipakai atau dimiliki dengan cara melawan hukum. Pada saat ini pengertian barang dalam ketentuan tersebut di atas bukan saja benda yang dapat diambil, tetapi juga mencakup aliran listrik sehingga mereka yang mengambil aliran listrik untuk dipakai atau dimiliki dengan cara melawan hukum diberikan sanksi menurut ketentuan yang dikenakan pada kasus pencurian biasa. 4. Unsur Keterbukaan (Tranparency)
38
Antara norma hukum negara dan norma-norma lainnya (norma mora, norma adat, norma agama) terdapat persamaan dan perbedaan-perbedaanya. Persamaan antara norma hukum dan norma-norma lainnya adalah bahwa norma-norma itu merupakan pedoman bagaimana kita harus bertindak/bertingkah laku, dan selain norma-norma itu berlaku, berdasar, dan bersumber pada suatu norma yang lebih tinggi, dan norma yang lebih tinggi berlaku, berdasar dan bersumber pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma dasar yang disebut grundnorm; jadi, norma-norma hukum dan norma-norma lainnya itu berjenjang-jenjag dan berlapis-lapis, serta membentuk suatu hierarki. Perbedaan-perbedaan antara norma hukum dan norma-norma lainnya adalah sebagai berikut: a.
b.
c.
Suatu norma hukum itu bersifat heteronom, dalam arti bahwa norma hukum itu datangnya dari luar diri kita sendiri. Contohnya dalam hal pembayaran pajak: kewajiban itu datangnya bukan dari diri kita sendiri tetapi dari negara sehingga kita harus memenuhi kewajiban tersebut, senang atau tidak senang. Normanorma lainnya bersifat otonom dalam arti norma itu datangnya dari dalam diri kita sendiri. Contohnya apabila kita akan menghormati orang tua atau akan berpuasa: hal ini kita lakukan karena kehendak dan keyakinan kita sendiri untuk menjalankan norma-norma itu sehingga tindakan tersebut tidak dapat dipaksakan dari luar. Suatu norma hukum itu dapat dilekati dengan sanksi pemaksa secara fisik, sedangkan norma lainnya tidak dapat dilekati oleh oleh sanksi pidana ataupun sanksi pemaksa secara fisik. Contohnya apabila seseorang melanggar norma hukum, misalnya menghilangkan nyawa orang lain: ia akan dituntut dan dipidana. Tetapi bila seseorang melanggar norma lainnya, tidak dapat dituntut dan dipidana. Dalam norma hukum sanksi pidana atau sanksi pemaksa itu dilaksanakan oleh aparat negara sedangkan terhadap pelanggaran norma-norma lainnya sanksi itu datangnya dari diri kita sendiri, misalnya adanya perasaan bersalah, perasaan berdosa, atau terhadap pelanggaran norma-norma moral atau norma adat tertentu, para pelanggarnya akan dikucilkan dari masyarakatnya.
39
5. Unsur Akuntabilitas (Accountability) Apabila kita melihat suatu norma hukum itu sendiri dari segi alamat yang dituju (addressat), atau untuk siapa norma hukum itu ditujukan atau diperuntukkan, maka kita dapat membedakannya antara norma hukum umum dan norma hukum individual. Norma hukum umum adalah suatu norma hukum yang ditujukan untuk orang banyak dan tidak tertentu. Umum di sini dapat berarti bahwa suatu peraturan itu ditujukan untuk semua orang, semua warga negara, untuk seluruh provinsi, satu wilayah. Norma hukum umum ini sering dirumuskan dengan ‘Barangsiapa…’ atau ‘Setiap orang …’ ataupun Setiap warga negara …’ dan sebagainya sesuai dengan addressat yang dituju, jadi; norma hukum umum itu diperuntukkan bagi setiap orang, atau setiap warga negara secara keseluruhan, norma hukum harus menunjukkan keterbukaan dalam pembuatan, penyusunannya dan dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. Norma hukum individual adalah norma hukum yang ditujukan atau dialamatkan pada seseorang, beberapa orang, atau banyak orang yang telah tertentu sehingga norma hukum yang individual ini biasanya dirumuskan dengan kalimat sebagai berikut: a. Syafei bin Muhammad Sukri yang bertempat tinggal di Jl. Flamboyan No. 10 Jakarta. b. Para pengemudi bis kota PPD jurusan Blok M – Rawamangun yang beroperasi antara jam 7.00 sampai jam 8.00 pagi pada tanggal 1 Oktober 1991.
6. Unsur Kejelasan Status dan Definisi (Clearity of Status and Definition) Norma hukum, apabila kita lihat dari hal yang diatur atau perbuatannya/ tingkah lakunya, dapat dibedakan antara norma hukum yang abstrak dan norma hukum yang konkret. Norma hukum abstrak adalah suatu norma hukum yang melihat pada perbuatan
40
seseorang yang tidak ada batasnya dalam arti tidak konkret. Norma hukum abstrak ini merumuskan suatu perbuatan itu secara abstrak, misalnya disebutkan dengan kata mencuri, membunuh, menebang pohon, dan sebagainya. Berbeda dengan sifat norma hukum abstrak, suatu norma hukum konkret adalah suatu norma hukum yang melihat perbuatan seseorang itu secara lebih nyata (konkret). Norma hukum konkret ini biasanya dirumuskan sebagai berikut: a. Mencuri mobil merk Datsun berwarna merah yang diparkir di depan toko Sarinah. b. Membunuh si badu dengan sebuah parang. c. Menebang pohon mahoni di pinggir jalan Sudirman. Dari sifat-sifat norma hukum yang umum-individual dan norma hukum yang abstrak-konkret, kita mendapatkan empat kombinasi dari paduan norma-norma tersebut, yaitu: a. Norma hukum umum-abstrak; b. Norma hukum umum-konkret; c. Norma hukum individual-abstrak; d. Norma hukum individual-konkret.
7. Kemampuan Prosedural (Procedural Ability) Dari segi daya berlakunya sebuah norma hukum, kita dapat membedakannya antara norma hukum yang berlaku sekali-selesai (einmahlig) dan norma hukum yang berlaku terus menerus (dauerhafting). Norma hukum yang bersifat einmahlig atau berlaku satu kali saja/sekali selesai adalah norma hukum yang berlakunya hanya satu kali saja dan setelah itu
41
selesai, jadi sifatnya hanya menetapkan saja, sehingga dengan adanya penetapan ini norma hukum tersebut selesai. Norma hukum yang berlaku terus-menerus (dauerhafting) adalah norma hukum yang berlakunya tidak dibatasi oleh waktu, jadi dapat berlaku kapan saja secara terus menerus, sampai peraturan itu dicabut atau diganti dengan peraturan yang baru. Dari pembatasan norma-norma hukum tersebut yang membedakannya antara norma hukum umum-individual, norma hukum abstrak-konkret, serta norma hukum yang satu sekali selesai-berlaku terus menerus, maka norma hukum yang termasuk dalam suatu peraturan perundang-undangan adalah suatu norma hukum yang bersifat umum-abstrak dan berlaku terus menerus, sedangkan norma hukum yang bersifat individual-konkret dan sekali selesai merupakan suatu keputusan yang bersifat ‘penetapan’ (beschikking). Di samping norma hukum yang termasuk dalam peraturan perundang-undangan yang bersifat mengatur (regeling), yaitu yang umum abstrak dan berlaku terus menerus dan norma hukum yang bersifat menetapkan yaitu yang individual-konkret dan berlaku sekali selesai, maka kita masih mempunyai dua jenis norma yang letaknya berada di antara kedua norma tersebut yang merupakan keputusan-keputusan yang berentang umum (besluiten van algemene strekking). 8. Unsur Pendidikan (Education) Suatu norma itu berlaku karena ia mempunyai daya laku atau karena ia mempunyai keabsahan (validity/geltung), di mana berlakunya (validity) ini ada apabila norma itu dibentuk oleh norma yang lebih tinggi atau oleh lembaga yang berwenang membentuknya, misalnya suatu undang-undang adalah sah apabila ia dibentuk oleh Presiden dengan
42
persetujuan Dewan Perwakilam Rakyat berdasarkan suatu norma dalam Undang-Undang Dasar, atau suatu Peraturan Pemerintah yang dibentuk oleh Presiden berdasarkan delegasi dari undang-undang. Sehubungan dengan berlakunya suatu norma karena adanya daya laku, dihadapkan pula daya guna/bekerjanya (efficacy) dari norma tersebut. Dalam hal ini kita melihat apakah suatu norma yang ada dan berlaku itu bekerja/berdaya guna secara efektif atau tidak, atau dengan perkataan lain apakah norma itu ditaati atau tidak. Dalam hubungannya antara berlakunya/absahnya (validity) dari suatu norma selalu berhubungan dengan daya gunanya/efektifnya (efficacy) norma itu. suatu norma itu mungkin berlaku dan absah karena dibentuk oleh lembaga yang berwenang dan berdasarkan norma yang lebih tinggi, tetapi walaupun demikian norma itu tidak berdaya guna atau tidak bekerja secara efektif. C. Asas-Asas Pembentukan Peraturan Daerah Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah, di dalam Pasal 137 Menjelaskan bahwa untuk membentuk sebuah peraturan daerah harus diperhatikan asas pembentukan peraturan daerah yang baik, diantaranya: a. kejelasan tujuan; Pembentukan peraturan daerah harus memiliki tujuan yang jelas dalam pembentukannya, serta kejelasan sasaran yang akan diatur dalam peraturan daerah tersebut. b. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;
43
Pembentukan peraturan daerah dibentuk oleh lembaga pembentuk peraturan daerah bersama pemerintah, selain lembaga yang berwenang maka peraturan daerah tersebut tidak dapat menjadi sebuah peraturan daerah. c. kesesuaian antara jenis dan materi muatan; Pembentukan peraturan daearah harus sesuai dengan jenis dari peraturan daerah itu sendiri, misalnya peraturan daerah tentang retribusi, maka materi muatan yang ada dalam peraturan daerah tersebut haruslah sesuai/sejalan dengan jenis dari peraturan daerah itu sendiri.
d. dapat dilaksanakan; Pembentukan peraturan daerah harus dapat dilaksanakan sesuai dengan tujuan pembentukan dan tidak bertentangan dengan peraturan daerah yang lain, tidak tumpang tindih antara satu peraturan dengan peraturan daerah yang lainnya sehingga pemerintah daerah dan masyarakat dapat melaksanakan peraturan tersebut baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis.
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;
Peraturan daerah yang dibentuk haruslah memiliki kedayagunaan dan kehasilgunaan bagi masyarakat di daerah tersebut, peraturan daerah terbut harus dapat mendatangkan manfaat baik untuk kemajuan daerah, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat daerah.
44
f. kejelasan rumusan; Di dalam peraturan daerah yang dibentuk oleh badan pembentuk peraturan daerah bersama pemerintah daerah harus memiliki rumusan yang konkret, jelas dan tidak multitafsir agar masyarakat memahami dan menjalankannya.
g. keterbukaan. Dalam perumusan peraturan daerah yang dimulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan,dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan Peraturan Perundang-undangan serta peraturan daerah yang dibentuk tidak menjadi pesanan/kepentingan segelintir kelompok orang, tetapi peraturan daerah itu harus benar-benar kebutuhan dari masyarkat daerah.
45
BAB IV PENATAAN STANDAR SISTEMATIKA PENULISAN PERATURAN DAERAH KOTA MEDAN
Dalam perspektif ketatanegaraan dikenal adanya dua bentuk pembagian kekuasaan Negara, yaitu: a. kekuasaan secara horizontal b. kekuasaan secara vertikal Pembagian kekuasaan secara horizontal menunjukkan kekuasaan Negara itu dibagi atas tiga cabang kekuasaan yaitu: kekuasaan legislative, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudikatif. Sementara itu, pembagian kekuasaan secara vertikal akan melahirkan pemerintahan pusat dan pemerintahan otonom yang memiliki/memikul hak desentralisasi.37 Maka dari itum hubungan pusat dengan daerah berangkat dari kekuasaan pemerintah pusat. Dalam perspektif hubungan pusat antara pusat dan daerah, tujuan politik desentralisasi adalah menciptakan hubungan yang lebih adil dan terbuka antara pemerintah pusat dengan pemerintahan daerah. Sementara itu, pemerintah daerah dengan melalui desentralisasinya juga dimaksudkan untuk melakukan demokratisasi pemerintahan lokal. Oleh karenanya, desentralisasi harus ditetapkan dengan cara-cara yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi.38
37
Juanda, Hukum pemerintahan daerah; pasang surut hubungan kewenangan anara DPRD dan Kepala Daerah, (bandung: alumni, 2004), hlm. 12-16 38 Sunyoto usman, otonomi daerah, desentralisasi dan demokratisasi, dalam Edy suardi hamid dan sobirin Malian, memperkokoh otonomi daerah, kebijakan, evaluasi dan saran, ( Yogyakarta: UII Press, 2004), hlm. 114-115.
46
Dengan demikian antara otonomi daerah dan desentralisasi dengan demokrasi tidak dapat dipisahkan. Sebab esensi otonomi daerah itu sendiri tidak lain adalah demokrasi atau bertaut erat dengan ekspresi nilai-nilai demokrasi.39 Terkait dengan hal tersebut, maka keberadaan perda dalam otonomi daerah sangat penting artinya, sebab peraturan daerah merupakan konsekuensi logis dari wewenang daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. 40 Dengan demikian Peraturan Daerah merupakan condition sine quonan (syarat mutlak /syarat absolut), dalam rangka melaksanakan kewenangan otonomi daerah tersebut. Ada dua hal yang terjalin antara perda dengan otonomi daerah, yaitu41 a. Perda harus dijadikan pedoman bagi daerah otonom dalam melaksanakan semua urusan-urusan daerah; b. Perda juga harus dapat memberikan perlindungan hukum bagi rakyat didaerah. Pengaturan kewenangan pembuatan Peraturan Daerah sebelum amandemen UUD 1945 tidak diatur dalam Konstitusi, akan tetapi setalah Amandemen UUD 1945, kewenangan pemerintah daerah untuk membentuk peraturan daerah dilandasi oleh Pasal 18 ayat (6) UUD 1945 yang mengatakan bahwa pemerintah daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi daerah dan tugas pembantuan.
39
Abdur Rozaki, memperkuat kapasitas desa dalam membangun otonomi, naskah akademik dan legal drafting, (Yogyakarta: IRE Press, 2004), hlm. 3. Lihat juga dalam Suryo Adi Pramono, Ekspresimentasi model Perencanaan Pembangunan partispatif dalam konteks Implementasi Kebijakan otonomi daerah, studi kasus peran IPGI di Surakarta, ( Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2005), hlm. 282. 40
Buchari Zaenun, administrasi dan manajemen pemerintah Negara Indonesia menurut UndangUndang Dasar 1945, (Jakarta: Haji Mas Agung, 1990), hlm. 5. 41 Mahendra Putra Kurnia, pedoman Naskah Akademik (urgensi, strategi dan proses bagi pembentukan perda yang baik, ( Yogyakarta: Kreasi Total Media, 2007), hlm. 18.
47
Berdasarkan rumusan pasal 18 UUD 1945 tersebut maka dapat dikatakan bahwa dalam hal menetapkan perda itu bukan merupakan kewajiban darah namun merupakan hak dari pemerintah daerah karena merupakan sebuah produk hukum maka pelaksanaannya tergantung pada masing-masing daerah. Peraturan daerah sebagai salah satu wujud dari kebijakan daerah yang cukup penting tersebut diatur di dalam Penjelasan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang mengatakan bahwa penyelenggaraan pemerintah daerah dalam melaksanakan tugas, wewenang, kewajiban dan tanggung jawabnya serta atas kuasa peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat menetapkan kebijkan daerah yang dirumuskan antara lain dalam peraturan daerah, peraturan kepala daerah, dan ketentuan daerah lainnya. Peraturan daerah pada dasarnya merupakan salah satu bingkai hukum atas rumusan kebijakan publik di tingkat daerah, oleh karena hanya merupakan salah satu bingkai hukum, maka hal ini bermakna bahwa tidak semua rumusan kebijakan daerah harus ditempatkan dalam perda, namun juga dapat dibingkai dalam peraturan-peraturan lain, seperti dalam peraturan kepala daerah maupun keputusan kepala daerah. Berdasarkan peraturan menteri dalam negari Nomor 16 tahun 2006, tentang prosedur penyunan produk hukum daerah, perda, keputusan kepala daerah, peraturan kepala daerah merupakan produk hukum daerah ( locale wet). Menurut Jimly Asshiddiqie dalam sistem negara kesatuan Indonesia, kekuatan berlakunya perda (yang setara dengan local wet) yang dibentuk oleh lembaga legislatif lokal tersebut hanya dalam lingkup wilayah kesatuan pemerintah lokal (pemerintah daerah) tertentu saja. Hal tersebut sedikit berbeda dengan local wet dalam lingkungan negara
48
federal, dimana undang-undang lokal tersebut tidak dibentuk dan berlaku di negara bagian sebagai local legislation. 42 Walaupun setiap daerah otonom diberikan kewenangan untuk membentuk sebuah peraturan daerah, akan tetapi pembentukan perda tidak dapat sesuka hati daerah yang bersangkutan, ada rambu-rambu hukum tertentu dari undang-undang Nomor 32 tahun 2004 yang dipenuhi dalam pembentukan perda. Apabila pembuat perda tersebut dilanggar akan menyebabkan suatu perda bisa dibatalkan atau dimintakan pembatalannya. Hal tersebut terdapat dalam Pasal 136 ayat (4) yang mengatakan bahwa perda sebagaimana dimaksud ayat (1) dilarang bertentangan dengna kepentingan umum dan/atau peraturan perundangundangan yang lebih tinggi. Rumusan Pasal 136 ayat (4) tersebut berimplikasi pada adanya kontrol (pengawasan) terhadap Perda. Ada terdapat dua jalur pengawasan terhadap Perda agar tetap sesuai dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yaitu pengawasn terhapa jalur eksekutif dilakukan oleh presiden melalui pengertian menteri terkait maupun oleh gubernur. Eksekutif Review dilakukan secara preventif dan secara represif, artinya pengawasan terhadap perda dilaksanakan sebelum dan sesudah perda disahkan. Pengawasan preventif dilaksanakan melalui instrumen hukum yang disebut dengan “evaluasi” terhadap 4 (jenis) rancangan peraturan daerah (ranperda) yaitu perda APBD, Ranperda tentang Pajak Daerah, Raperda tentang Retribusi Daerah, dan Ranperda tentang Tata Ruang Daerah. Instansi yang mengevaluasi perda-perda provinsi adalah menteri dalam negeri sedangkan yang mengevaluasi perda kabupaten/kota adalah gubernur (penjelasan angka 9 Undang-Undang
42
Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, ( Jakarta: Konstitusi Press, 2006), hlm. 24.
49
Nomor 32 tahun 2004), setelah dievaluasi barulah kemudian Ranperda tersebut disahkan menjadi Perda. Pengawasan secara represif dilakukan terhadap perda di luar empat jenis perda tersebut di atas (biasanya lazim disebut dengan perda umum) yang sudah ditetapkan melalui instrumen hukum yang namanya “klarifikasi” yang biasa berakibat pada pembatalan perda. Maksudnya, perda ditetapkan terlebih dahulu, setelah itu baru disampaikan ke menteri dalam negeri untuk perda provinsi, dan ke gubenur untuk perda kabupaten/kota untuk memperoleh klarifikasi. Terhadap perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan yang lebih tinggi maka presiden dengan peraturan presiden dapat membatalkan perda yang dibatalkan dengan PP atau Peraturan Presiden yang bersangkutan, dikarenakan PP atau Perpres tersebut mengatur masalah yang oleh undang-undang telah diserahkan sebagai urusan daerah, seperti otonomi dan tugas pembantuan. Hal ini disebabkan karena PP atau Pepres itu mengandung Ultra Vires (mengatur hal-hal yang di luar kewenangannya).43 Berdasarkan uraian di atas maka untuk daerah Kota Medan sebagai salah satu daerah otonomi di Indonesia memiliki kewenangan untuk membuat peraturan daerah untuk mengurus dan melaksanakan pemerintahan di daerah. Maka untuk itu di dalam pembuatan peraturan daerah Kota Medan harus memperhatikan syarat-syarat pembentukan peraturan perundang-undangan seperti yang telah dijabarkan didalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
43
Moh.Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, menegakkan Konstitusi, (Jakarta: LP3S, 2006), hlm. 242-244.
50
Selain itu juga harus memperhatikan asas dan unsur-unsur pembuatan peraturan perundang-undangan seperti yang telah diuraikan dalam bab sebelumnya. Pemerintah Kota Medan sebagai penyelenggara pemerintahan daerah, dalam membuat peraturan daerah harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut: 1. Tahap persiapan Pada tahap persiapan ini rancangan peraturan daerah dapat diusulkan oleh dewan perwakilan daerah kota medan maupun dari pemerintah kota medan. Rancangan peraturan daerah dapat disampaikan oleh anggota, komisi, gabungan komisi atau alat kelengkapan khusus yang menangani bidang legislasi dewan perwakilan daerah maupun oleh pemerintah daerah. Rancangan peraturan daerah yang telah disiapkan oleh pemerintah daerah (gubenur, bupati, walikota) disampaikan dengan surat pengantar dari kepala daerah kepada dewan perwakilan rakyat daerah melalui sekretariat daerah. Apabila Rancangan Perda berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Medan, maka Ranperda yang telah disiapkan tersebut, disampaikan oleh pimpinan DPRD Kota Medan kepada kepala daerah melalui sekretariat dewan perwakilan rakyat daerah Kota Medan. 2. Tahap pembahasan Dalam tahap pembahasan rancangan peraturan daerah dilakukan oleh dewan perwakilan daerah bersama dengan gubernur dan atau bupati/walikota (pemerintah
daerah).
Pembahasan
rancangan
perda
dilakukan
dengan
pembicaraan dalam rapat-rapat komisi, panitia, alat kelengkapan dewan perwakilan rakyat daerah yang khusus menangani legislasi dan rapat paripurna.
51
Rancangan perda dapat ditarik kembali sebelum pembahasan bersama oleh dewan perwakilan rakyat daerah dengan pemerintah. Setalah dibahas dan kemudian ditarik kembali, maka harus mendapat persetujuan pemerintah daerah dengan dewan perwakilan rakyat daerah. 3. Tahap penetapan/Pengesahan Rancangan peraturan daerah yang telah mendapat persetujuan bersama antara pemerintah daerah dengan dewan perwakilan rakyat daerah disampaikan kepada kepala daerah untuk ditetapkan menjadi peraturan daerah. Penyampaian rancangna perda yang telah mendapatkan persetujuan bersama dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama. Rancangan perda yang telah ditetapkan oleh kepal pemerintah daerah dilakukan dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu 30 hari sejak rancangan peraturan daerah tersebut disetujui bersama oleh dewan perwakilan daerah. 4. Tahap pengundangan dan penyebarluasan Pada tahapan ini, peraturan daerah yang telah ditetapkan oleh kepala daerah setelah melalui proses pembahasan untuk mendapatkan persetujuan bersama antara kepala daerah dengan dewan perwakilan daerah kemudian di undangkan kedalam lembaran daerah dan disebarluaskan melalui berita daerah. Seringkali dalam tahapan pengundangan dan penyebarluasan peraturan daerah tidak berjalan dengan efiesien, banyak dari peraturan daerah yang dibuat tidak diketahui masyarakat, akibatnya peraturan daerah yang dibentuk tersebut tidak dapat mencapai sasaran dan tujuannya.
52
Berdasarkan analisis terhadap Perda Kota Medan dari tahun 2008-2011 secara tahapan proses pembuatan peraturan daerah, Perda-Perda yang ada telah memenuhi tahapan-tahapan teknis pembuatan Perda. Hanya saja di lapangan, dari hasil kuosioner yang dilakukan di enam kecamatan Kota Medan, masyarakat menilai bahwa Perda yang dihasilkan belum mengapresiasi kepentingan masyarakat dan masyarakat tidak mengetahui keberadaan dan tujuan dibuatnya perda-perda tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa, Perda yang dibuat tersebut pada tahapan persiapan, pembahasan dan penetapan sudah berjalan dengan baik, hanya saja pada tahapan sosialisai perda yang tersebut belum terlaksana dengan baik. Selain dari tahapan proses pembuatan peraturan daerah yang terdiri dari tahapan persiapan sampai dengan tahapan sosialisasi, yang menjadi standarisasi pembuatan perda haruslah mempergunakan sistematika pembuatan peraturan daerah, diantaranya terdiri dari:
A. JUDUL B. PEMBUKAAN 1. Frase Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa; 2. Jabatan Pembentuk Peraturan Perundang-undangan 3. Konsiderans 4. Dasar Hukum 5. Diktum C. BATANGTUBUH 1. Ketentuan Umum 2. Materi Pokok yang Diatur 3. Ketentuan Pidana (jika diperlukan) 4. Ketentuan Peralihan (jika diperlukan) 5. Ketentuan Penutup D. PENUTUP E. PENJELASAN (jika diperlukan)
53
F LAMPIRAN (jika diperlukan) BAB II. HAL–HAL KHUSUS a. Pendelegasian kewenangan b. Penyidikan c. Pencabutan d. Perubahan BAB III. RAGAM BAHASA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN a. Bahasa Peraturan Perundang-Undangan b. Pilihan Kata Atau Istilah c. Teknik Pengacuan
A. JUDUL Judul peraturan memuat keterangan mengenai jenis, nomor, tahun pengundangan atau penetapan, dan nama peraturan yang bersangkutan. Nama peraturan dibuat secara singkat yakni dengan hanya menggunakan suatu kata atau frasa, tetapi secara esensial maknanya telah mencerminkan isi peraturan yang bersangkutan. Pada judul peraturan perubahan, ditambahkan frase PERUBAHAN ATASdi depan nama peraturan yang diubah Jika peraturan telah diubah lebih dari 1 (satu) kali, diantara kata PERUBAHAN dan kata ATASdisisipkan keterangan yang menunjukkan berapa kali perubahan tersebut telah dilakukan, tanpa merinci perubahan sebelumnya. Judul peraturan ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan di tengah marjin tanpa diakhiri tanda baca dan tidak boleh ditambah dengan singkatan atau akronim. Pada judul peraturan perubahan, yang terkait dengan adanya perubahan nama daerah, (misalnya Kota Ujung Pandang diubah menjadi Kota Makassar), setelah frasa PERUBAHAN ATASPERATURAN DAERAHdisebutkan nama daerah yang lama selain nomor, tahun, dan nama peraturan yang diubah.
Jika
peraturan yang diubah mempunyai nama singkat, peraturan perubahan dapat menggunakan
54
nama singkat peraturan yang diubah. Pada judul peraturan pencabutan tambahkan kata PENCABUTAN di depan nama peraturan yang dicabut.
Contoh yang kurang tepat: PERATURAN DAERAH(PROVINSI/KABUPATEN/KOTA...) NOMOR... TAHUN ... TENTANG IJIN USAHA JASA KONSTRUKSIDAN KONSULTAN PERENCANAAN/KONSULTAN PENGAWASAN KONSTRUKSIDAN KONSULTASI
Sebaiknya: PERATURAN DAERAH(PROVINSI/KABUPATEN/KOTA...) NOMOR... TAHUN ... TENTANG USAHA JASA KONSTRUKSI
B. PEMBUKAAN Pembukaan Peraturan terdiri atas: 1. Frasa Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa Pada pembukaan tiap peraturan sebelum nama jabatan pembentuk peraturan dicantumkan frasa DENGAN RAHMATTUHAN YANGMAHA ESA yang ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan di tengah marjin 2. Jabatan Pembentuk Peraturan Perundang-undangan Tingkat Daerah Jabatan pembentuk peraturan ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan di tengah marjin dan diakhiri dengan tanda baca koma (,). Contoh: GUBERNUR/BUPATI/WALIKOTA … (Nama Provinsi/Kabupaten/Kota),
55
3. Konsiderans Konsiderans diawali dengan kata Menimbang. Konsiderans memuat uraian singkat mengenai pokok-pokok pikiran yang menjadi latar belakang dan alasan pembuatan peraturan. Konsiderans Peraturan Daerah memuat pokok-pokok pikiran yang mencakup unsur filosofis, sosiologis, dan yuridis. Secara filosoifs, menggambarkan bahwa peraturan yang dibuat berlandaskan pada kebenaran dan cita rasa keadilan serta ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat, kelestarian ekosistem, dan supremasi hukum. Secara sosiologis, menggambarkan bahwa peraturan yang dibuat sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan sosial masyarakat setempat. Secara Yuridis menggambarkan bahwa peraturan yang dibuat mempunyai keterkaitan dengan peraturan yang telah ada, yang akan diubah atau yang akan dicabut. Konsiderans yang hanya menyatakan bahwa Peraturan Daerah perlu untuk dibuat adalah kurang tepat karena tidak mencerminkan tentang latar belakang dan alasan dibuatnya Peraturan Daerah tersebut. Jika konsiderans memuat lebih dari satu pokok pikiran, tiap-tiap pokok pikiran dirumuskan dalam rangkaian kalimat yang merupakan kesatuan pengertian. Tiap pokok pikiran diawali dengan huruf sesuai dengan urutan abjad, dan dirumuskan dalam satu kalimat yang diawali dengan kata bahwa dan diakhiri dengan tanda baca titik koma (;).diakhiri dengan tanda baca titik koma (;). Contoh : Menimbang : a. bahwa…; b. bahwa...;
56
c. bahwa...;
Jika konsiderans memuat lebih dari satu pertimbangan, rumusan butir pertimbangan terakhir berbunyi sebagai berikut : Contoh: Konsiderans Peraturan Kepala Daerah yang ditetapkan berdasarkan delegasi dari Peraturan Daerah atau peraturan yang lebih tinggi cukup memuat satu pokok pikiran yang isinya menunjuk pasal (-pasal) dari Peraturan Daerah atau peraturan yang lebih tinggi yang memerintahkan pembuatannya. Contoh: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal… Peraturan Daerah Nomor… Tahun… tentang… perlu menetapkan Peraturan Bupati tentang… Dalam hal Peraturan Kepala Daerah ditetapkan tidak atas delegasi Peraturan Daerah tetapi dalam rangka melaksanakan tugas penyelenggaraan pemerintahan, konsiderans menimbang dirumuskan sesuai dengan kebutuhan yang mendasari ditetapkannya Peraturan Kepala Daerah tersebut.
4. Dasar Hukum Dasar hukum diawali dengan kata Mengingat. Dasar hukum memuat: Dasar kewenangan pembuatan Peraturan Perundang-undangan Tingkat Daerah; Peraturan Perundang-undangan yang memerintahkan pembentukan peraturan tersebut; dan
57
Undang-Undang yang menjadi dasar Pembentukan Daerah yang bersangkutan. Peraturan Perundang-undangan yang digunakan sebagai dasar hukum hanya Peraturan Perundang-undangan yang tingkatan (hierarkinya) sama atau lebih tinggi dari peraturan yang ditetapkan. Peraturan yang akan dicabut dengan peraturan yang akan dibentuk atau peraturan yang sudah diundangkan tetapi belum berlaku, tidak boleh dicantumkan sebagai dasar hukum. Jika jumlah Peraturan Perundang-undangan yang dijadikan dasar hukum lebih dari satu, urutan pencantuman perlu memperhatikan tata urutan Peraturan Perundang-undangan dan jika tingkatannya sama disusun secara kronologis berdasarkan saat pengundangan atau penetapannya. Dasar hukum yang diambil dari pasal dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditulis dengan menyebutkan pasal. Frasa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditulis sesudah penyebutan pasal dan kedua huruf ”u” ditulis dengan huruf kapital ”U”. Dasar hukum yang bukan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak perlu mencantumkan pasal, tetapi cukup mencantumkan judul Peraturan Perundang-undangan dilengkapi dengan pencantuman Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, yang diletakkan di antara tanda baca kurung.Penulisan undang-undang, kedua huruf ”u” ditulis dengan huruf kapital ”U”. Dasar hukum yang berasal dari Peraturan Perundang-undangan zaman Hindia Belanda atau yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda sampai dengan tanggal 27 Desember 1949, ditulis lebih dulu terjemahannya dalam bahasa Indonesia dan kemudian
58
judul asli bahasa Belanda dan dilengkapi dengan tahun dan nomor Staatsblad yang dicetak miring di antara tanda baca kurung. Cara penulisan sebagaimana dimaksud dalam contoh Nomor 28 berlaku juga untuk pencabutan peraturan perundang–undangan yang berasal dari jaman Hindia Belanda atau yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda sampai dengan tanggal 27 Desember 1949. Jika dasar hukum memuat lebih dari satu Peraturan Perundang-undangan, penulisan tiap dasar hukum diawali dengan angka Arab 1, 2, 3, dan seterusnya, dan diakhiri dengan tanda baca titik koma.
5. Diktum Diktum terdiri atas : a. kata Memutuskan; b. kata Menetapkan; c. nama Peraturan Daerah.
Kata MEMUTUSKAN ditulis seluruhnya dengan huruf kapital tanpa spasi di antara suku kata dan diakhiri dengan tanda baca titik dua serta diletakkan di tengah marjin. Pada Peraturan Daerah, sebelum kata MEMUTUSKAN dicantumkan frasa Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYATDAERAH… (nama daerah) dan GUBERNUR/BUPATI/WALIKOTA … (nama daerah), yang ditulis seluruhnya dengan huruf kapital dan diletakkan di tengah marjin.
59
Contoh : Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYATDAERAH… (nama daerah) dan GUBERNUR/BUPATI/WALIKOTA …(nama daerah) MEMUTUSKAN :
Kata Menetapkan dicantumkan sesudah kata MEMUTUSKAN yang disejajarkan ke bawah dengan kata Menimbang dan Mengingat. Huruf awal kata Menetapkan ditulis dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda baca titik dua (:). Nama yang tercantum dalam judul dicantumkan lagi setelah kata Menetapkan dan
didahului
dengan
pencantuman
jenis
peraturan
tanpa menyebutkan
nama
Provinsi/Kabupaten/Kota, serta ditulis seluruhnya dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda baca titik (.). Contoh: MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN DAERAHTENTANGRETRIBUSIPERPARKIRAN.
C. BATANG TUBUH Batang tubuh peraturan memuat semua substansi peraturan yang dirumuskan dalam pasal (-pasal). Pada umumnya substansi dalam batang tubuh dikelompokkan ke dalam: 1. Ketentuan Umum; 2. Materi Pokok yang Diatur; 3. Ketentuan Pidana (jika diperlukan dan hanya untuk Peraturan Daerah); 4. Ketentuan Peralihan (jika diperlukan); 5. Ketentuan Penutup.
60
Dalam pengelompokan substansi sedapat mungkin dihindari adanya BAB KETENTUAN LAIN (-LAIN) atau sejenisnya. Materi yang bersangkutan, diupayakan untuk masuk ke dalam BAB (-BAB) yang ada atau dapat pula dimuat dalam bab tersendiri dengan judul yang sesuai dengan materi yang diatur. Substansi yang berupa sanksi administratif atau sanksi keperdataan atas pelanggaran suatu norma, tidak perlu dirumuskan dalam bab tersendiri tetapi cukup menjadi satu bagian (pasal) dengan norma yang memberikan sanksi administratif atau sanksi keperdataan. Contoh: Setiap orang yang mendirikan bangunan wajib memiliki izin mendirikan bangunan. untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. ...; b. ...; dan c. ... Pelanggaran terhadap ketentuan wajib memiliki izin mendirikan bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dikenakan sanksi administratif berupa: a. peringatan tertulis; b. penghentian pembangunan; atau c. pembongkaran bangunan.
Jika norma yang memberikan sanksi administratif atau keperdataan lebih dari satu pasal, sanksi administratif atau sanksi keperdataan dirumuskan dalam pasal terakhir dari bagian tersebut. Dengan demikian hindari rumusan ketentuan sanksi yang sekaligus memuat sanksi pidana, sanksi perdata, dan sanksi administratif dalam satu bab. 61
Sanksi administratif dapat berupa, antara lain, pencabutan izin, pembubaran, pengawasan, pemberhentian sementara, denda administratif, atau daya paksa polisional. Sanksi keperdataan dapat berupa, antara lain, ganti kerugian. Pengelompokkan materi peraturan dapat disusun secara sistematis dalam bab, bagian, dan paragraf. Jika materi peraturan yang disusun tidak mempunyai banyak pasal, maka tidak perlu dikelompokkan menjadi bab, bagian, dan paragraf tetapi dapat langsung disusun pasal demi pasal secara sistematis. Pengelompokkan materi dalam buku, bab, bagian, dan paragraf dilakukan atas dasar kesamaan materi. Urutan pengelompokan adalah sebagai berikut: a. bab dengan pasal (-pasal) tanpa bagian dan paragraf; b. bab dengan bagian dan pasal (-pasal) tanpa paragraf; atau c. bab dengan bagian dan paragraf yang berisi pasal (-pasal).
C. 1. Ketentuan Umum Ketentuan Umum diletakkan dalam BAB I(satu). Jika dalam peraturan tidak dilakukan pengelompokan bab, ketentuan umum diletakkan dalam pasal (-pasal) awal Ketentuan Umum berisi: •
batasan pengertian atau definisi;
•
singkatan atau akronim yang digunakan dalam peraturan;
•
hal-hal lain yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal (-pasal) berikutnya antara lain ketentuan yang mencerminkan asas, maksud, dan tujuan dari materi yang diatur.
62
Contoh salah karena yang dirumuskan tidak mencerminkan materi yang diatur: Peraturan Daerah ini berasaskan manfaat, keadilan, tidak diskriminatif Sebaiknya yang dirumuskan mencerminkan materi yang akan diatur: Keuangan daerah dikelola secara berdaya guna, berhasil guna, transparans, dan akuntabel.
Batasan pengertian mengenai ”Pemerintah Daerah” rumusannya disesuaikan dengan daerah yang membentuk Peraturan Daerah tersebut (Provinsi/Kabupaten/ Kota).
Contoh 1: Peraturan Daerah Provinsi Pemerintah Daerah adalah Gubernur dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Contoh 2 : Peraturan Daerah Kabupaten Pemerintah Daerah adalah Bupati dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Contoh 3 : Peraturan Daerah Kota Pemerintah Daerah adalah Walikota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Frasa pembuka dalam Ketentuan Umum Peraturan Daerah berbunyi: Contoh : Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan: Frasa pembuka dalam Ketentuan Umum Peraturan di bawah Peraturan Daerah disesuaikan dengan jenis peraturannya. Contoh : Dalam Peraturan Gubernur ini yang dimaksud dengan : •
Jika Ketentuan Umum memuat batasan pengertian atau definisi, singkatan atau akronim lebih dari satu, maka masing-masing uraiannya diberi nomor urut dengan angka Arab dan diawali dengan huruf kapital serta diakhiri dengan tanda baca titik.
63
•
Kata atau istilah yang dimuat dalam Ketentuan Umum hanyalah kata atau istilah yang digunakan berulang-ulang di dalam pasal (-pasal) selanjutnya.
•
Jika suatu kata atau istilah hanya digunakan satu kali, namun kata atau istilah tersebut diperlukan pengertiannya untuk suatu bab, bagian atau paragraf tertentu, dianjurkan agar kata atau istilah tersebut diberi definisi.
•
Jika suatu batasan pengertian atau definisi perlu dikutip kembali di dalam Ketentuan Umum suatu peraturan pelaksanaan, maka rumusan batasan pengertian atau definisi di dalam peraturan pelaksanaan harus sama dengan rumusan batasan pengertian atau definsi yang terdapat di dalam peraturan yang lebih tinggi yang dilaksanakan tersebut. Karena batasan pengertian atau definisi, singkatan, atau akronim berfungsi untuk menjelaskan makna suatu kata atau istilah maka batasan pengertian atau definisi, singkatan, atau akronim tidak perlu diberi penjelasan, dan karena itu harus dirumuskan secara lengkap dan jelas sehingga tidak menimbulkan pengertian ganda.
•
Urutan penempatan kata atau istilah dalam Ketentuan Umum mengikuti ketentuan sebagai berikut: a. pengertian yang mengatur tentang lingkup umum ditempatkan lebih dahulu dari yang berlingkup khusus; b. pengertian yang terdapat lebih dahulu di dalam materi yang diatur ditempatkan dalam urutan yang lebih dahulu; dan c. pengertian yang mempunyai kaitan dengan pengertian di atasnya diletakkan berdekatan secara berurutan.
64
C. 2. Materi Pokok yang Diatur Materi pokok yang diatur ditempatkan langsung setelah BAB KETENTUAN UMUM, dan jika tidak ada pengelompokkan bab, materi pokok yang diatur diletakkan setelah pasal (-pasal) ketentuan umum. Pembagian materi pokok ke dalam kelompok yang lebih kecil dilakukan menurut kriteria yang dijadikan dasar pembagian. Contoh : a. pembagian berdasarkan urutan dari yang umum ke khusus: Contoh untuk retribusi dimulai dengan: 1. retribusi daerah; 2. retribusi jasa umum; 3. retribusi jasa usaha; 4. retribusi perizinan tertentu; 5. penghitungan dan pelaksanaan pemungutan retribusi; 6. penghitungan retribusi yang kadaluarsa. b. pembagian berdasarkan urutan/kronologis. Contoh untuk pencalonan Kepala Desa dimulai dengan: 1. penjaringan calon; 2. pendaftaran; 3. pemilihan; 4. pengangkatan; 5. pelantikan; dan 6. pemberhentian. c. pembagian berdasarkan jenjang jabatan atau kepangkatan Contoh untuk daerah Provinsi dimulai dengan: 1. Gubernur; 2. Wakil Gubernur; 3. Sekretaris Daerah; dan 4. Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Catatan: Berdasarkan Undang Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia, selain jabatan Wakil Gubernur diatur juga Deputi Gubernur.
65
C. 3. Ketentuan Pidana (jika diperlukan) Ketentuan pidana memuat rumusan yang menyatakan penjatuhan pidana atas pelanggaran terhadap ketentuan yang berisi norma larangan atau perintah. Ketentuan pidana dalam Peraturan Daerah mengenai lamanya pidana penjara dan banyaknya denda sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. Peraturan Daerah yang memuat sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 143 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah cukup dengan mengacu kepada ketentuan pasal dan nama dari Undang-Undang yang diacu. Contoh: Setiap orang yang melanggar ketentuan mengenai penyelenggaraan usaha pariwisata yang meliputi kegiatan usaha jasa pariwisata dan usaha sarana pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal ... dipidana dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal ... UndangUndang Nomor 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan. Dalam menentukan lamanya pidana penjara dan banyaknya denda harus dipertimbangkan mengenai dampak yang ditimbulkan oleh tidak pidana dalam masyarakat serta unsur kesalahan pelaku. Ketentuan pidana ditempatkan dalam bab tersendiri, yaitu BAB KETENTUAN PIDANA yang letaknya sesudah materi pokok yang diatur atau sebelum BAB KETENTUAN PERALIHAN. Jika BAB KETENTUAN PERALIHAN tidak ada, letaknya adalah sebelum BAB KETENTUAN PENUTUP. Jika dalam Peraturan Daerah tidak diadakan pengelompokan bab per bab, ketentuan pidana ditempatkan dalam pasal yang terletak langsung sebelum pasal (-pasal) yang
66
berisi ketentuan peralihan. Jika tidak ada pasal yang berisi ketentuan peralihan, ketentuan pidana diletakkan sebelum pasal penutup. Contoh: Dalam Pasal 143 ayat (2) Undang-Undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ditentukan untuk pidana penjara adalah pidana kurungan 6 (enam) bulan dan untuk denda paling banyak Rp50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). Dalam Peraturan Perundang-undangan di Tingkat Daerah, ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam Peraturan Daerah. Rumusan ketentuan pidana harus menyebutkan secara tegas norma larangan atau perintah yang dilanggar dan menyebutkan pasal (-pasal) yang memuat norma tersebut. Jika ketentuan pidana berlaku bagi siapa pun, subyek dari ketentuan pidana dirumuskan dengan frase setiap orang.
Contoh : Setiap orang yang melakukan pembangunan menara tidak memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Rumusan ketentuan pidana harus menyatakan secara tegas apakah pidana yang dijatuhkan bersifat kumulatif, alternatif, atau kumulatif alternatif. Namun dalam Peraturan Daerah hanya dimungkinkan dirumuskan secara alternatif karena sifatnya hanya untuk pelanggaran. Dalam hal terdapat keperluan untuk memberlakukan surut suatu Peraturan Daerah dan Peraturan Daerah tersebut memuat ketentuan pidana, maka ketentuan pidana tersebut harus dikecualikan, mengingat adanya asas umum dalam Pasal 1 ayat (1)
67
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang menyatakan bahwa ketentuan pidana tidak boleh berlaku surut. Contoh: Peraturan Daerah ini berlaku surut sejak tanggal 1 Januari 2004, kecuali untuk ketentuan pidana berlaku sejak tanggal diundangkan.
C. 4. Ketentuan Peralihan (jika diperlukan) Ketentuan peralihan memuat ketentuan mengenai penyesuaian terhadap peraturan yang sudah ada pada saat peraturan baru mulai berlaku, agar peraturan tersebut dapat dilaksanakan dan tidak menimbulkan permasalahan hukum. Ketentuan peralihan dimuat dalam BAB KETENTUAN PERALIHAN dan ditempatkan di antara BAB KETENTUAN PIDANA dan BAB KETENTUAN PENUTUP. Jika dalam peraturan tidak diadakan pengelompokan dalam bab, pasal (-pasal) yang memuat ketentuan peralihan ditempatkan sebelum pasal (-pasal) yang memuat ketentuan penutup. Pada saat suatu peraturan dinyatakan mulai berlaku, segala hubungan hukum yang ada atau tindakan hukum yang terjadi sebelum peraturan yang baru dinyatakan mulai berlaku, tunduk pada ketentuan peraturan lama. Contoh: Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, permohonan izin mendirikan bangunan yang sudah mulai diproses tetapi belum selesai, tetap diselesaikan berdasarkan ketentuan Peraturan Daerah yang lama. Dalam peraturan yang baru, dapat dimuat pengaturan yang memuat penyimpangan sementara atau penundaan sementara bagi tindakan hukum atau hubungan hukum tertentu. Contoh:
68
Untuk menghindari kekosongan pelaksanaan administrasi kecamatan dan kelurahan yang baru dibentuk, perangkat kecamatan dan kelurahan induk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan pada kecamatan dan kelurahan yang baru dibentuk sampai ada keputusan pengangkatan perangkat kecamatan dan kelurahan yang baru. Pengangkatan perangkat kecamatan dan kelurahan yang baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaksanakan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal Peraturan Daerah ini diundangkan. Penyimpangan sementara berlaku juga bagi ketentuan yang diberlakukan surut. Jika peraturan diberlakukan surut, dalam peraturan tersebut perlu memuat ketentuan mengenai status dari tindakan hukum yang terjadi atau hubungan hukum yang ada di dalam tenggang waktu antara tanggal mulai berlaku surut dan tanggal pengundangan peraturan. (Peraturan Daerah dinyatakan berlaku pada tanggal diundangkan tetapi terdapat ketentuan tentang pernyataan berlaku surut). Contoh: Pasal ... Selisih tunjangan perbaikan yang timbul sebagai akibat ketentuan baru dalam Peraturan Daerah ini dibayarkan paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal Peraturan Daerah ini diundangkan. Pasal ... Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan dan berlaku surut terhitung sejak tanggal 2 Januari 2006. Penentuan berlaku surut tidak boleh diatur dalam Peraturan Daerah yang memuat ketentuan yang memberi beban konkret kepada masyarakat. Beban konkret kepada masyarakat antara lain berupa penarikan retribusi daerah dan pajak daerah. Jika penerapan suatu ketentuan peraturan dinyatakan ditunda sementara bagi tindakan hukum atau hubungan hukum tertentu, ketentuan peraturan tersebut harus memuat secara tegas dan rinci tindakan hukum dan hubungan hukum mana yang dimaksud, serta jangka waktu atau syarat-syarat berakhirnya penundaan sementara tersebut
69
Hindari rumusan dalam ketentuan peralihan yang isinya memuat perubahan terselubung atas ketentuan peraturan lain. Perubahan rumusan tersebut hendaknya dilakukan dengan membuat batasan pengertian baru di dalam ketentuan umum peraturan atau dilakukan dengan membuat peraturan perubahan. C. 5. Ketentuan Penutup Ketentuan penutup ditempatkan dalam bab terakhir. Jika tidak diadakan pengelompokan bab, ketentuan penutup ditempatkan dalam pasal (-pasal) terakhir. Pada umumnya ketentuan penutup memuat ketentuan mengenai: a.
penunjukan organ atau alat kelengkapan yang melaksanakan peraturan;
b.
nama singkat;
c.
status peraturan yang sudah ada; dan
d.
saat mulai berlaku peraturan yang bersangkutan.
Ketentuan penutup dapat juga memuat ketentuan atau perintah mengenai: a. penunjukan pejabat tertentu yang diberi kewenangan untuk memberikan izin atau untuk pengangkatan pegawai; b. pemberian kewenangan kepada pejabat tertentu untuk membuat peraturan pelaksanaan. Bagi nama peraturan yang panjang dapat dimuat ketentuan mengenai nama singkat dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut: a. nomor dan tahun pengundangan atau penetapan peraturan yang bersangkutan tidak dicantumkan;
70
b. nama singkat bukan berupa singkatan atau akronim, kecuali jika singkatan atau akronim tersebut sudah sangat dikenal dan tidak menimbulkan salah pengertian
D. Penutup Penutup merupakan bagian akhir peraturan yang memuat: a. rumusan perintah Pengundangan dan penempatan Peraturan Daerah dalam Lembaran Daerah; b. rumusan perintah Pengundangan dan penempatan Peraturan Kepala Daerah dalam Berita Daerah; c. penandatanganan penetapan; d. Pengundangan; dan e. akhir bagian penutup.
Rumusan perintah Pengundangan dan penempatan Peraturan Daerah dalam Lembaran Daerah berbunyi sebagai berikut: Contoh: Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan … (Peraturan Daerah, Qanun, Perdasus, Perdasi) … ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah.
Rumusan perintah Pengundangan dan penempatan Peraturan Kepala Daerah dalam Berita Daerah yang berbunyi sebagai berikut: Contoh : Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan… (jenis Peraturan Kepala Daerah) … ini dengan penempatannya dalam Berita Daerah.
71
Penandatanganan penetapan peraturan memuat: a. tempat dan tanggal penetapan; b. nama jabatan; c. tanda tangan pejabat; dan d. nama lengkap pejabat yang menandatangani, tanpa gelar dan pangkat.
Rumusan tempat dan tanggal penetapan diletakkan di sebelah kanan. Nama jabatan dan nama pejabat ditulis dengan huruf kapital. Pada akhir nama jabatan diberi tanda baca koma. Contoh untuk penetapan:
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal … GUBERNUR/BUPATI/WALIKOTA (Nama Daerah),
tanda tangan NAMA
Pengundangan peraturan memuat: tempat dan tanggal Pengundangan; nama jabatan yang berwenang mengundangkan;
72
tanda tangan; dan nama lengkap pejabat yang menandatangani, tanpa gelar dan pangkat. Tempat tanggal Pengundangan peraturan diletakkan di sebelah kiri (di bawah penandatanganan penetapan). Nama jabatan dan nama pejabat ditulis dengan huruf kapital. Pada akhir nama jabatan diberi tanda baca koma. Contoh: Diundangkan di … pada tanggal … SEKRETARISDAERAH, tanda tangan NAMA Jika dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari Gubernur/Bupati/Walikota tidak menandatangani rancangan Peraturan Daerah yang telah disetujui bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Gubernur atau Bupati/Walikota, maka dicantumkan kalimat pengesahan setelah nama pejabat yang mengundangkan yang berbunyi : Peraturan Daerah ini dinyatakan sah dengan mencantumkan tanggal sahnya. Pada akhir bagian penutup dicantumkan Lembaran Daerah, dan Berita Daerah beserta tahun dan nomor dari Lembaran Daerah, dan Berita Daerah tersebut. Penulisan frasa Lembaran Daerah, dan Berita Daerah ditulis seluruhnya dengan huruf kapital. Contoh: LEMBARAN DAERAHPROVINSI/KABUPATEN/KOTA… TAHUN… NOMOR… Contoh: BERITA DAERAHPROVINSI/KABUPATEN/KOTA... NOMOR…
73
E. Penjelasan Setiap Peraturan Daerah perlu diberi penjelasan. Penjelasan berfungsi sebagai tafsiran resmi pembentuk Peraturan Daerah atas norma tertentu dalam batang tubuh. Oleh karena itu, penjelasan hanya memuat uraian atau jabaran lebih lanjut dari norma yang diatur dalam batang tubuh. Dengan demikian, penjelasan sebagai sarana untuk memperjelas norma dalam batang tubuh tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari norma yang dijelaskan. Penjelasan tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk membuat peraturan lebih lanjut. Oleh karena itu, hindari membuat rumusan norma di dalam bagian penjelasan. Dalam penjelasan dihindari rumusan yang isinya memuat perubahan terselubung terhadap ketentuan peraturan yang bersangkutan. Naskah penjelasan disusun bersama-sama dengan penyusunan rancangan peraturan yang bersangkutan. Judul penjelasan sama dengan judul peraturan yang bersangkutan. Penjelasan Peraturan Daerah memuat penjelasan umum dan penjelasan pasal demi pasal. Rincian penjelasan umum dan penjelasan pasal demi pasal diawali dengan angka Romawi dan ditulis seluruhnya dengan huruf capital. Penjelasan umum memuat uraian secara sistematis mengenai latar belakang pemikiran, maksud, dan tujuan penyusunan Peraturan Daerah yang telah tercantum secara singkat dalam butir konsiderans, serta asas-asas, tujuan, atau pokok-pokok yang terkandung dalam batang tubuh Peraturan Daerah. Bagian-bagian dari Penjelasan Umum dapat diberi nomor dengan angka Arab, jika hal ini lebih memberikan kejelasan.
74
Jika dalam penjelasan umum dimuat pengacuan ke Peraturan Perundang-undangan lain atau dokumen lain, pengacuan itu dilengkapi dengan keterangan mengenai sumbernya. Dalam menyusun penjelasan pasal demi pasal harus diperhatikan beberapa hal, agar rumusannya : 1. tidak bertentangan dengan materi pokok yang diatur dalam batang tubuh; 2. tidak memperluas atau menambah norma yang ada dalam batang tubuh; 3. tidak melakukan pengulangan atas materi pokok yang diatur dalam batang tubuh; 4. tidak mengulangi uraian kata, istilah, atau pengertian yang telah dimuat di dalam ketentuan umum. Penjelasan tidak boleh memuat batasan pengertian atau definisi dari kata atau istilah, yang telah dirumuskan dalam Ketentuan Umum oleh karena itu batasan pengertian atau definisi dalam ketentuan umum harus dirumuskan sedemikian rupa sehingga dapat dimengerti tanpa memerlukan penjelasan lebih lanjut. Pada pasal atau ayat yang tidak memerlukan penjelasan ditulis frasa Cukup jelas yang diakhiri dengan tanda baca titik, sesuai dengan makna frasa penjelasan pasal demi pasal tidak digabungkan walaupun terdapat beberapa pasal berurutan yang tidak memerlukan penjelasan.
Contoh yang kurang tepat: Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 (Pasal 7 s/d Pasal 9) Cukup jelas. Sebaiknya: Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. 75
Jika suatu pasal terdiri dari beberapa ayat atau butir tidak memerlukan penjelasan, pasal yang bersangkutan cukup diberi penjelasan Cukup jelas., tanpa merinci masingmasing ayat atau butir. Jika suatu pasal terdiri dari beberapa ayat atau butir dan salah satu ayat atau butir tersebut memerlukan penjelasan, setiap ayat atau butir perlu dicantumkan dan dilengkapi dengan penjelasan yang sesuai. Contoh: Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk memberi kepastian hukum kepada Wajib Retribusi.
F. Lampiran (jika diperlukan) Dalam hal peraturan memerlukan lampiran, hal tersebut harus dinyatakan dalam batang tubuh dan pernyataan bahwa lampiran tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari peraturan yang bersangkutan. Pada akhir lampiran harus dicantumkan nama dan tanda tangan pejabat yang mengesahkan/menetapkan peraturan yang bersangkutan.
HAL-HAL YANG BERSIFAT KHUSUS DALAM PERATURAN DAERAH A. PENDELEGASIAN KEWENANGAN Peraturan Daerah dapat mendelegasikan kewenangan untuk mengatur lebih lanjut materi tertentu dengan Peraturan Kepala Daerah atau menetapkan materi tertentu dengan Keputusan Kepala Daerah. 76
Contoh: Ketentuan lebih lanjut mengenai tatacara pembayaran retribusi diatur dengan Peraturan Gubernur/Bupati/Walikota. Pendelegasian kewenangan harus menyebut dengan tegas: ruang lingkup materi yang diatur; dan jenis instrumen hukum yang digunakan (Peraturan Gubernur/Bupati/ Walikota atau Keputusan Gubernur/Bupati/Walikota. Jika materi yang didelegasikan sebagian sudah diatur pokok-pokoknya di dalam Peraturan Daerah Provinsi yang mendelegasikan dan materi tersebut dinyatakan diatur dengan Peraturan Gubernur, gunakan rumusan Ketentuan lebih lanjut mengenai … sebagaimana dimaksud pada ayat (...) diatur dengan Peraturan Gubernur. Jika materi yang didelegasikan sebagian sudah diatur pokok-pokoknya di dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang mendelegasikan dan materi tersebut dinyatakan diatur dengan Peraturan Bupati/Walikota, gunakan rumusan Ketentuan lebih lanjut mengenai … sebagaimana dimaksud dalam Pasal ...diatur dengan Peraturan Bupati/Walikota. Contoh: Pasal… (1) … (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai… sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 diatur dengan Peraturan Bupati/Walikota. Jika materi yang didelegasikan sama sekali belum diatur pokok-pokoknya di dalam Peraturan Daerah Provinsi yang mendelegasikan dan materi tersebut dinyatakan diatur dengan Peraturan Gubernur, gunakan rumusan Ketentuan mengenai … sebagaimana dimaksud dalam Pasal ... diatur dengan Peraturan Gubernur
77
Jika materi yang didelegasikan sama sekali belum diatur pokok-pokoknya di dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang mendelegasikan dan materi tersebut dinyatakan diatur dengan Peraturan Bupati/Walikota, gunakan rumusan Ketentuan mengenai … sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur dengan Peraturan Bupati/Walikota. Untuk mempermudah dalam penentuan judul dari peraturan pelaksana yang akan
dibuat,
rumusan
pendelegasian
pengaturan
lebih
lanjut
perlu
mencantumkan secara singkat dan mencerminkan isi peraturan yang akan diatur.
B. PENYIDIKAN Peraturan Daerah dapat memuat ketentuan tentang Penyidikan. Peraturan Daerah dapat memuat pemberian kewenangan kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil pada Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) tertentu untuk menyidik pelanggaran terhadap ketentuan Peraturan Daerah. Dalam merumuskan ketentuan yang menunjuk pejabat tertentu sebagai penyidik tidak mengurangi kewenangan penyidik umum untuk melakukan penyidikan. Contoh: Selain Penyidik Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan ... (nama Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)) dapat diberikan kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap pelanggaran keten¬tuan dalam Peraturan Daerah ini
78
Ketentuan penyidikan ditempatkan sebelum ketentuan pidana atau jika dalam Peraturan Daerah tidak diadakan pengelompokan, ditempatkan pada pasal (pasal) sebelum ketentuan pidana.
C. PENCABUTAN Jika materi dalam peraturan yang baru menyebabkan perlu penggantian sebagian atau seluruh materi dalam peraturan yang lama, di dalam peraturan yang baru harus secara tegas diatur mengenai pencabutan sebagian atau seluruh peraturan yang lama. Untuk penggantian sebagian materi dalam Peraturan Daerah digunakan rumusan sebagai berikut: Contoh: Pasal .... Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, ketentuan Pasal .... Peraturan Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota .... Nomor ... Tahun.... tentang ... (Lembaran Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota … Tahun ... Nomor ..., Tambahan Lembaran Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota … Nomor ... ) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Untuk penggantian seluruh materi suatu peraturan dengan peraturan yang setingkat rumusannya sebagai berikut: Contoh: Pasal ... Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, Peraturan Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota... Nomor ... Tahun ... tentang ... (Lembaran Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota ... Tahun ... Nomor ..., Tambahan Lembaran Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota ... Nomor ...) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal ... Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, Peraturan (Gubernur/Bupati/Walikota) ... Nomor ... Tahun ... tentang ... (Berita Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota ... Tahun ... Nomor ..., Tambahan Berita Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota ... Nomor ...) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Rumusan
pencabutan
diawali
dengan
frasa
Pada
saat
Peraturan
(Gubernur/Bupati/Walikota) ini mulai berlaku, kecuali untuk pencabutan
79
yang dilakukan dengan peraturan pencabutan tersendiri yang setingkat atau lebih tinggi. Demi kepastian hukum, pencabutan peraturan tidak boleh dirumuskan secara umum tetapi harus menyebutkan secara tegas peraturan yang dicabut. Contoh yang kurang tepat: Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, Peraturan Daerah yang bertentangan dengan Peraturan Daerah ini dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Sebaiknya: Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, Peraturan Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota... Nomor ... Tahun ... tentang ... (Lembaran Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota...Tahun ... Nomor ..., Tambahan Lembaran Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota ... Nomor ...) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Untuk mencabut peraturan yang telah diundangkan dan telah mulai berlaku, gunakan frasa dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Contoh: Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, Peraturan Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota... Nomor… Tahun… tentang… (Lembaran Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota... Tahun… Nomor..., Tambahan Lembaran Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota ... Nomor ... ) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Jika jumlah peraturan yang dicabut lebih dari 1 (satu), dapat dipertimbangkan cara penulisan dengan rincian dalam bentuk tabulasi. Contoh : Pasal ... Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku: Peraturan Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota ... Nomor ... Tahun ... tentang ... (Lembaran Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota ... Tahun ... Nomor ..., Tambahan Lembaran Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota ... Nomor ... ); dan Peraturan Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota ... Nomor ... Tahun ... tentang ... (Lembaran Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota ... Nomor ..., Tahun ..., Tambahan Lembaran Daerah Provinsi/ Kabupaten/ Kota ... Nomor ...), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. 80
Pencabutan peraturan harus disertai dengan keterangan mengenai status hukum dari peraturan pelaksanaan, peraturan lebih rendah, atau keputusan yang telah dikeluarkan berdasarkan peraturan yang dicabut. Contoh: Pencabutan peraturan yang sudah diundangkan, tetapi belum mulai berlaku, dapat dilakukan dengan peraturan tersendiri dengan menggunakan rumusan ditarik kembali dan dinyatakan tidak berlaku. Contoh: Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, Peraturan Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota … Nomor … Tahun … tentang … (Lembaran Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota … Tahun … Nomor …, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota … Nomor ... ), ditarik kembali dan dinyatakan tidak berlaku. Jika pencabutan peraturan dilakukan dengan peraturan pencabutan tersendiri, peraturan pencabutan tersebut hanya memuat 2 (dua) pasal yang ditulis dengan angka arab, sebagai berikut: Pasal 1 memuat ketentuan yang menyatakan tidak berlakunya peraturan yang dicabut. Pasal 2 memuat ketentuan tentang saat mulai berlakunya Peraturan Daerah pencabutan yang bersangkutan.
Contoh: Pasal 1 Peraturan Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota .... Nomor ... Tahun.... tentang ... (Lembaran Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota... Tahun ... Nomor..., Tambahan Lembaran Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota... Nomor ...) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 2 Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota ... Pada dasarnya setiap peraturan mulai berlaku pada saat peraturan yang bersangkutan diundangkan. 81
Jika ada penyimpangan terhadap saat mulai berlakunya peraturan yang bersangkutan pada saat diundangkan, hal ini hendaknya dinyatakan secara tegas di dalam peraturan yang bersangkutan dengan: menentukan tanggal tertentu saat peraturan akan berlaku; Contoh: Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal 1 April 2000. menyerahkan penetapan saat mulai berlakunya kepada Peraturan Perundangundangan lain yang tingkatannya lebih rendah. Contoh: Saat mulai berlakunya Peraturan Daerah ini akan ditetapkan dengan Peraturan/Keputusan Gubernur/Bupati/Walikota. dengan
menentukan
lewatnya
tenggang
waktu
tertentu
sejak
saat
pengundangan. Agar tidak menimbulkan kekeliruan penafsiran gunakan frasa setelah … (tenggang waktu) sejak … Contoh : Peraturan Daerah ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) bulan sejak tanggal pengundangan. Jangan menggunakan frasa … mulai berlaku efektif pada tanggal… atau yang sejenisnya, karena frasa ini menimbulkan ketidakpastian mengenai saat resmi berlakunya suatu peraturan saat Pengundangan atau saat berlaku efektif. Pada dasarnya saat mulai berlaku peraturan adalah sama bagi keseluruhan materi peraturan dan seluruh wilayah daerah yang bersangkutan. Contoh: Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
82
Penyimpangan terhadap saat mulai berlaku peraturan hendaknya dinyatakan secara tegas dengan: menetapkan materi-materi mana dalam peraturan tersebut yang berbeda saat mulai berlakunya; Contoh: Pasal ... Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan kecuali Pasal 8 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) yang mulai berlaku pada tanggal … . menetapkan saat mulai berlaku yang berbeda bagi wilayah daerah tertentu. Pada dasarnya saat mulai berlakunya peraturan tidak dapat ditentukan lebih awal daripada saat pengundangannya. Jika ada alasan yang kuat untuk memberlakukan peraturan lebih awal daripada saat pengundangannya (artinya, berlaku surut), perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut: ketentuan baru yang berkaitan dengan masalah pidana, baik jenis, berat, sifat, maupun klasifikasinya, tidak ikut diberlakusurutkan; rincian mengenai pengaruh ketentuan berlaku surut itu terhadap tindakan hukum, hubungan hukum, dan akibat hukum tertentu yang sudah ada, perlu dimuat dalam ketentuan peralihan; awal dari saat mulai berlaku Peraturan Daerah sebaiknya ditetapkan tidak lebih dahulu dari saat rancangan Peraturan Daerah tersebut mulai diketahui oleh masyarakat, yaitu pada saat rancangan Peraturan Daerah itu disampaikan ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
83
Peraturan Gubernur/Bupati/Walikota/Desa yang merupakan peraturan pelaksanaaan Peraturan Daerah tidak boleh ditetapkan lebih awal dari pada saat ditetapkannya Peraturan Daerah yang mendasarinya. Peraturan Daerah hanya dapat dicabut dengan Peraturan Daerah atau dibatalkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang tingkatannya lebih tinggi. Pencabutan Peraturan Kepala Daerah dengan Peraturan Daerah dilakukan, jika Peraturan Daerah dimaksudkan untuk menampung kembali seluruh atau sebagian materi Peraturan Kepala Daerah yang dicabut. Pembatalan Peraturan Daerah dengan Peraturan Perundang-undangan yang tingkatannya lebih tinggi itu dilakukan, jika Peraturan Daerah bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Jika ada peraturan yang lama tidak diperlukan lagi dan diganti dengan peraturan yang baru, Peraturan Daerah yang baru harus secara tegas mencabut peraturan yang tidak diperlukan lagi. Jika peraturan yang baru mengatur kembali suatu materi yang sudah diatur dan sudah diberlakukan dalam peraturan yang lama, pencabutan peraturan yang lama dinyatakan dalam salah satu pasal dalam ketentuan penutup dari peraturan yang baru, dengan menggunakan rumusan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Peraturan Daerah hanya dapat dicabut dengan Peraturan Daerah. Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh mencabut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Misalnya Peraturan Daerah tidak boleh mencabut Peraturan Menteri.
84
Pencabutan melalui Peraturan Perundang-undangan yang tingkatannya lebih tinggi dilakukan jika Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi tersebut dimaksudkan untuk menampung kembali seluruh atau sebagian dari materi Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah yang dicabut itu. Pencabutan peraturan yang sudah diundangkan, tetapi belum mulai berlaku, dapat dilakukan dengan peraturan tersendiri dengan menggunakan rumusan ditarik kembali dan dinyatakan tidak berlaku. Contoh: Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, Peraturan Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota...Nomor... Tahun...tentang... (Lembaran Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota... Tahun...Nomor...,Tambahan Lembaran Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota...Nomor...) ditarik kembali dan dinyatakan tidak berlaku. Pencabutan seluruh materi dalam Peraturan Daerah yang dicabut dengan Peraturan Daerah (tersendiri) tidak digunakan frase Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, tetapi pernyataan pencabutan langsung dirumuskan dalam Pasal 1 dari Peraturan Daerah yang mencabut yang hanya terdiri atas 2 (dua) pasal, dengan rumusan sebagai berikut: Pasal 1 Peraturan Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota ... Nomor ... Tahun ... tentang ... (Lembaran Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota ... Tahun ... Nomor ..., Tambahan Lembaran Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota ... Nomor ...) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 2 Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Provinsi/ Kabupaten/Kota ...
85
D. PERUBAHAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Perubahan peraturan dilakukan dengan: menyisipkan atau menambah materi Peraturan Daerah; atau menghapus atau mengganti sebagian materi Peraturan Daerah. menyisipkan atau menambah Penjelasan Umum/pasal/ayat atau Lampiran (jika ada); atau menghapus atau mengganti sebagian Penjelasan Umum/pasal/ayat atau Lampiran (jika ada) Perubahan peraturan dapat dilakukan terhadap: bab, bagian, paragraf, pasal, dan/atau ayat; atau kata, frasa, istilah, angka, dan/atau tanda baca
Jika peraturan yang diubah mempunyai nama singkat, judul Peraturan Daerah perubahan dapat menggunakan nama singkat tersebut RAGAM BAHASA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN A. Bahasa Peraturan Perundang-undangan Bahasa Peraturan Perundang-undangan pada dasarnya tunduk kepada kaidah tata bahasa Indonesia, baik yang menyangkut pembentukan kata, penyusunan kalimat, teknik penulisan, maupun pengejaannya, namun demikian bahasa Peraturan Perundang–undangan mempunyai corak tersendiri yang bercirikan kejernihan atau kejelasan pengertian, kelugasan, kebakuan, keserasian, dan ketaatasasan sesuai dengan kebutuhan hukum. Contoh yang kurang tepat: Pasal 34 Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain. Sebaiknya: Suami isteri wajib saling mencintai, menghormati, setia, dan memberi bantuan lahir bathin. Dalam merumuskan ketentuan peraturan digunakan kalimat yang tegas, jelas, singkat, dan mudah dimengerti. 86
Contoh yang kurang tepat: Pasal 5 Untuk dapat mengajukan permohonan keringanan pajak bumi dan bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Peraturan Daerah ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut : Sebaiknya: Permohonan keringanan pajak bumi dan bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : Hindarkan penggunaan kata atau frasa yang artinya kurang menentu atau konteksnya dalam kalimat kurang jelas Dalam merumuskan ketentuan peraturan, gunakan kaidah tata bahasa Indonesia yang baku. Untuk memberikan perluasan pengertian kata atau istilah yang sudah diketahui umum tanpa membuat definisi baru, gunakan kata meliputi. Untuk mempersempit pengertian kata atau isilah yang sudah diketahui umum tanpa membuat definisi baru, gunakan kata tidak meliputi. Hindari pemberian arti kepada kata atau frasa yang maknanya terlalu menyimpang dari makna yang biasa digunakan dalam penggunaan bahasa sehari-hari. Di dalam Peraturan Daerah yang sama hindari penggunaan: a. beberapa istilah yang berbeda untuk menyatakan satu pengertian. b. satu istilah untuk beberapa pengertian yang berbeda Jika membuat pengacuan ke pasal atau ayat lain, sedapat mungkin dihindari penggunaan frasa tanpa mengurangi, dengan tidak mengurangi, atau tanpa menyimpang dari. Jika
kata
atau
frasa
tertentu
digunakan
berulang-ulang
maka
untuk
menyederhanakan rumusan dalam Peraturan Daerah, kata atau frasa sebaiknya
87
didefinisikan dalam pasal yang memuat arti kata, istilah, pengertian, atau digunakan singkatan atau akronim. Jika dalam peraturan pelaksanaan dipandang perlu mencantumkan kembali definisi atau batasan pengertian yang terdapat dalam Peraturan Daerah yang dilaksanakan, rumusan definisi atau batasan pengertian tersebut hendaknya tidak berbeda dengan rumusan definisi atau batasan pengertian yang terdapat dalam Peraturan Daerah yang lebih tinggi tersebut. Untuk menghindari perubahan nama suatu Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), penyebutan kepala SKPD sebaiknya menggunakan penyebutan yang didasarkan pada tugas dan tanggung jawab di bidang yang bersangkutan. Penyerapan kata atau frase bahasa asing yang banyak dipakai dan telah disesuaikan ejaannya dengan kaidah bahasa Indonesia dapat digunakan, jika kata atau frasa tersebut: a. mempunyai konotasi yang cocok; b. lebih singkat bila dibandingkan dengan padanannya dalam bahasa Indonesia; c. mempunyai corak internasional; d. lebih mempermudah tercapainya kesepakatan; atau e. lebih mudah dipahami daripada terjemahannya dalam Bahasa Indonesia. Contoh: 1. devaluasi (penurunan nilai uang) 2. devisa (alat pembayaran luar negeri) Penggunaan kata atau frasa bahasa asing hendaknya hanya digunakan di dalam penjelasan Peraturan Daerah. Kata atau frasa bahasa asing itu didahului oleh padanannya dalam bahasa Indonesia, ditulis miring, dan diletakkan di antara tanda baca kurung ( ).
88
Penggunaan kata atau frasa bahasa daerah dapat digunakan di dalam Peraturan Daerah. Kata atau frasa bahasa daerah itu didahului oleh padanannya dalam bahasa Indonesia, ditulis miring, dan diletakkan di antara tanda baca kurung ( ).
B. Pilihan Kata atau Istilah Untuk menyatakan pengertian maksimum dalam menentukan ancaman pidana atau batasan waktu digunakan kata paling. Contoh: … dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak, Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). Untuk menyatakan maksimum dan minimum bagi satuan: a. waktu, gunakan frasa paling singkat atau paling lama; b. jumlah uang, gunakan frasa paling sedikit atau paling banyak; dan c. jumlah non-uang, gunakan frasa paling rendah atau paling tinggi Untuk menyatakan makna tidak termasuk, gunakan kata kecuali. Kata kecuali ditempatkan di awal kalimat, jika yang dikecualikan adalah seluruh kalimat. Contoh: Kecuali A dan B, setiap orang wajib memberikan kesaksian di depan sidang pengadilan. Kata kecuali ditempatkan langsung di belakang suatu kata, jika yang akan dibatasi hanya kata yang bersangkutan. Contoh: Yang dimaksud dengan anak buah kapal adalah mualim, juru mudi, pelaut, dan koki, kecuali koki magang. Untuk menyatakan makna termasuk, gunakan kata selain. Contoh: Selain wajib memenuhi syarat yang telah ditentukan dalam Pasal 7, pemohon wajib membayar biaya pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14.
89
Untuk menyatakan makna pengandaian atau kemungkinan, digunakan kata jika, apabila, atau frasa dalam hal. Kata jika digunakan untuk menyatakan suatu hubungan kausal (pola karena-maka). Contoh: Jika suatu perusahaan melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, izin perusahaan tersebut dapat dicabut. Kata apabila digunakan untuk menyatakan hubungan kausal yang mengandung waktu. Contoh: Apabila anggota Komisi berhenti dalam masa jabatannya karena alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4), yang bersangkutan digantikan oleh anggota pengganti sampai habis masa jabatannya. frasa dalam hal digunakan untuk menyatakan suatu kemungkinan, keadaan atau kondisi yang mungkin terjadi atau mungkin tidak terjadi (pola kemungkinanmaka). Contoh: Dalam hal Ketua tidak dapat hadir, sidang dipimpin oleh Wakil Ketua. Frasa pada saat digunakan untuk menyatakan suatu keadaan yang pasti akan terjadi di masa depan Untuk menyatakan sifat kumulatif, digunakan kata dan. Untuk menyatakan sifat alternatif, digunakan kata atau. Untuk menyatakan sifat kumulatif sekaligus alternatif, gunakan frasa dan/atau Untuk menyatakan adanya suatu hak, gunakan kata berhak. Untuk menyatakan pemberian kewenangan kepada seseorang atau lembaga gunakan kata berwenang Untuk menyatakan sifat diskresioner dari suatu kewenangan yang diberikan kepada seorang atau lembaga, gunakan kata dapat.
90
Untuk menyatakan adanya suatu kewajiban yang telah ditetapkan, gunakan kata wajib. Jika kewajiban tersebut tidak dipenuhi, yang bersangkutan akan dijatuhi sanksi hukum menurut hukum yang berlaku Untuk menyatakan pemenuhan suatu kondisi atau persyaratan tertentu, gunakan kata harus. Jika keharusan tersebut tidak dipenuhi, yang bersangkutan tidak memperoleh sesuatu yang seharusnya akan didapat seandainya yang bersangkutan memenuhi kondisi atau persyaratan tersebut Untuk menyatakan adanya larangan, gunakan kata dilarang
C. Teknik Pengacuan Pada dasarnya setiap pasal merupakan suatu kebulatan pengertian tanpa mengacu ke pasal atau ayat lain. Namun untuk menghindari pengulangan rumusan dapat digunakan teknik pengacuan. Teknik pengacuan dilakukan dengan menunjuk pasal atau ayat dari Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan atau Peraturan Perundang-undangan yang lain dengan menggunakan frase sebagaimana; Pengacuan dua atau lebih terhadap pasal atau ayat yang berurutan tidak perlu menyebutkan pasal demi pasal atau ayat demi ayat yang diacu tetapi cukup dengan menggunakan frase sampai dengan Pengacuan dua atau lebih terhadap pasal atau ayat yang berurutan, tetapi ada ayat dalam salah satu pasal yang dikecualikan, pasal atau ayat yang tidak ikut diacu dinyatakan dengan kata kecuali.
91
Frasa Pasal ini tidak perlu digunakan jika ayat yang diacu merupakan salah satu ayat dalam pasal yang bersangkutan. Frasa Peraturan Daerah ini tidak perlu digunakan jika pasal/ayat yang diacu merupakan salah satu pasal/ayat dalam Peraturan Daerah yang bersangkutan. Jika ada dua atau lebih pengacuan, urutan dari pengacuan dimulai dari ayat dalam pasal yang bersangkutan (jika ada), kemudian diikuti dengan pasal atau ayat yang angkanya lebih kecil. Pengacuan dilakukan dengan mencantumkan secara singkat materi pokok yang diacu Pengacuan hanya dapat dilakukan ke Peraturan Perundang-undangan yang tingkatannya sama atau yang lebih tinggi Hindari pengacuan ke pasal atau ayat yang terletak setelah pasal atau ayat yang bersangkutan Pengacuan dilakukan dengan menyebutkan secara tegas nomor dari pasal atau ayat yang diacu dan tidak boleh menggunakan frasa pasal yang terdahulu atau pasal tersebut di atas. Pengacuan untuk menyatakan berlakunya berbagai ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang tidak disebutkan secara rinci, menggunakan frasa sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Untuk menyatakan bahwa (berbagai) peraturan pelaksanaan dari suatu Peraturan Daerah masih diberlakukan atau dinyatakan berlaku selama belum diadakan penggantian dengan peraturan pelaksanaan yang baru, gunakan frase
92
tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan atau belum diganti dengan yang baru berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Daerah ini. Jika Peraturan pelaksanaan Peraturan Daerah yang dinyatakan masih tetap berlaku hanya sebagian dari ketentuan Peraturan pelaksanaan Peraturan Daerah tersebut, gunakan frasa tetap berlaku, kecuali …
93
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian di bab-bab sebelumnya dan didukung dengan hasil penelitian dari lapangan berupa data kuisioner yang dilakukan terhadap persepsi masyarakat atas peraturan daerah Kota Medan maka dapat diambil kesimpulan, antara lain sebagai berikut : 1. Perda-Perda Kota Medan yang ada (dari Tahun 2006 s/d 2010) telah memenuhi asas-asas pembuatan peraturan perundang-undangan. Namun, berdasarkan hasil data kuisioner masyarakat Kota Medan hampir 70% tidak mengetahui Perda-Perda apa saja yang dibentuk oleh Pemko Medan bersama DPRD Kota Medan dan juga masyarakat merasa bahwa peraturan daerah yang dibentuk belum mengakomodir kepentingan masyarakat secara keseluruhan. 2. Secara sistematika penulisan peraturan daerah, Perda-Perda Kota Medan sudah memenuhi standar sistematika penulisan peraturan perundang-undangan hanya saja terbentur kepada sosialisasi dari Perda-Perda itu sendiri yang kurang efektif, sehingga sebagian besar masyarakat Kota Medan tidak mengetahui Perda-Perda apa saja yang telah dibuat oleh Pemko Medan dan DPRD Kota Medan.
B. Saran 1. Dalam pembentukan Perda-Perda Kota Medan yang berikutnya, disarankan untuk lebih memperhatikan unsur-unsur pembentukan peraturan yang baik, utamanya pada unsur keadilan dan unsur keterbukaan serta dengan mempertimbangkan saran dan aspirasi masyarakat, karena berdasarkan data kuosioner hampir 70% masyarakat
94
Kota Medan tidak mengetahui Perda-Perda apa saja yang dibentuk oleh Pemko Medan bersama DPRD Kota Medan dan juga masyarakat merasa bahwa Perda yang dibentuk belum mengakomodir kepentingan masyarakat secara keseluruhan. 2. Berdasarkan hasil penelitian tentang penataan standar sistematika penulisan Perda Kota Medan ini, maka Pemko Medan dan DPRD Kota Medan dalam penyusunan Perda-Perda yang berikutnya diharapkan untuk memperhatikan sistematika penulisan dan melaksanakan tahapan-tahapan pembuatan suatu peraturan daerah dengan baik khususnya tahap penyebarluasan atau sosialisasi dari Perda-Perda tersebut kepada masyarakat Kota Medan.
95