LAPORAN PENELITIAN
Nilai dan Pandangan Keagamaan dalam Praktek Bausaha Pedagang Sekumpul Martapura
Disusun Oleh : Alfisyah, S.Ag, M.Hum (NIDN. 0005087407)
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT BANJARMASIN DESEMBER 2012
i
HALAMAN PENGESAHAN PENELITIAN BOPTN
1. Judul Penelitian
: Nilai dan Pandangan Keagamaan dalam Praktek Bausaha Pedagang Sekumpul Martapura 2. Peneliti : a. Nama Lengkap : Alfisyah, S.Ag. M.Hum b. Jenis Kelamin : Perempuan c. NIDN : 0005087407 d. Pangkat/Gol : Penata/IIIc e. Jabatan Fungsional : Lektor f. Bidang Keahlian : Ilmu Sosial g. Fakultas/Jurusan : FKIP/Pendidikan IPS h. No. HP : 0818461259 i. Alamat Surel (e-mail) :
[email protected] 3. Biaya : Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah) 4. Sumber Dana : Mandiri Banjarmasin, Desember 2012 Mengetahui, Dekan FKIP Unlam
Peneliti
Drs. H. Ahmad Sofyan. M.A NIP. 19511110 197703 1003
Alfisyah, S.Ag. M.Hum NIP. 19740805 200604 2002
Menyetujui, Ketua Lembaga Penelitian Universitas Lambung Mangkurat
Dr. Ahmad Alim Bachri, SE. M.Si NIP. 19671231 199512 1002
ii
RINGKASAN
Nilai dan Pandangan Keagamaan dalam Praktek Ekonomi Pedagang Sekumpul Martapura Kesuksesan para pedagang muslim Banjar telah cukup banyak dikenalsejak dahulu dan berlanjut hingga sekarang. Salah satu kelompok pedagang yang dikenal sukses dimasa sekarang ini adalah pedagang yang mendiami wilayah Sekumpul. Mereka berasal dari daerah Hulu Sungai yang kemudian pindah ke ibukota propinsi Banjarmasin agar dapat lebih mengembangkan usaha. Beberapa toko besar yang ada di Martapura dan Banjarmasin dimiliki oleh pedagang Sekumpul, mulai dari toko permata, pakaian, elektronik, showroom mobil motor hingga supermarket. Dapat dikatakan bahwa pedagang Sekumpul telah mampu menyaingi para pedagang Cina di Martapura yang dikenal sebagai pebisnis sukses. Keberhasilan para pedagang Sekumpul menjalankan usaha tidak terlepas dari kekuatan Islam. Kemampuan bertahan dan bersaing para pedagang Sekumpul terhadap pengusaha Cina, tidak terlepas dari Islam yang memiliki nilai kuat dalam kehidupan masyarakat Banjar pada umumnya. Pedagang muslim Sekumpul sebagai penganut Islam yang taat telah menggunakan Islam sebagai tempat berlindung. Dengan menggunakan simbol-simbol Islam, mereka berhasil membuat perdagangan mereka mendapat simpati dari masyarakat Banjar pada umumnya. Ketaatan terhadap Islam menjadi faktor yang mendorong berkembangnya praktek perdagangan di kalangan pedagang muslim Sekumpul. Meskipun bukan satu-satunya, agama Islam telah memberi pengaruh terhadap usaha ekonomi mereka. Ajaran tentang haji, zakat dan shodakah telah mendorong usaha-usaha aktif memperoleh kekayaan. Demikian juga dengan zuhud serta pemahaman tentang konsep baibadah dan bausaha telah mendinamiskan praktek-praktek ekonomi mereka. Islam telah menjadi faktor pendorong dan pembentuk etos.
iii
PRAKATA Puji dan syukur pada Tuhan yang Maha Esa atas segala anugrahnya sehingga kegiatan penelitian ini dapat terlaksana dan laporan kegiatan dapat terselesaikan. Kegiatan penelitian tentang nilai dan pandangan keagamaan dalam praktek bausaha pedagang Sekumpul Martapura ini bertujuan untuk melihat kemungkinan adanya faktor-faktor tertentu yang mendorong proses usaha para pedagang Sekumpul; tentang nilai-nilai dan ideologi tertentu yang telah membawa masyarakat pada suatu pola tingkah laku tertentu dan juga tentang etos kerja pedagang yang menciptakan watak yang khas bagi masyarakat Banjar pada umumnya. Terlaksananya penelitian ini tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak, oleh karena itu kami ingin mengucapkan terimakasih kepada Ketua Lembaga Penelitian Unlam, Dekan FKIP Unlam, seluruh stap pengajar Prodi Pendidkan Sosiologi yang juga mendukung kegiatan ini. Terkhusus ucapan terima kepada para pedagang Sekumpul pada khususnya dan masyarakat Sekumpul pada umumnya yang telah memberikan waktu dan kesempatan sehingga kegiatan ini dapat terlaksana. Kami menyadari bahwa kegiatan ini tidak terlepas dari berbagai kekurangan yang tentu saja akan terus dilakukan evaluasi untuk perbaikan ke depan. Semoga kegiatan ini dapat bermanfaat dan menjadi pendorong untuk kegiatan berikutnya. Banjarmasin, Desember 2012 Tim Penyusun
iv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................. i HALAMAN PENGESAHAN ................................................................... ii RINGKASAN ........................................................................................... iii PRAKATA ................................................................................................ iv DAFTAR ISI ............................................................................................. v DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. vii BAB I
PENDAHULUAN ..................................................................... A. Latar Belakang ..................................................................... B. Perumusan Masalah .............................................................
1 1 4
BAB II LANDASAN TEORI .................................................................
5
BAB III TUJUAN DAN MANFAAT ...................................................... 10 A. Tujuan Penelitian ................................................................. 10 B. Manfaat Penelitian ............................................................... 10 BAB IV METODE PENELITIAN ........................................................... A. Paradigma Penelitian ............................................................. B. Lokasi Penelitian .................................................................. C. Instrumen Penelitian ............................................................. D. Sumber Data ......................................................................... E. Tehnik Pengumpulan Data ................................................... F. Analisis Data ........................................................................ G. Pengujian Keabsahan Data ...................................................
11 11 12 12 13 14 16 17
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................. 19 A. Ibadah Haji, Doa, Zakat, dan Sedekah ................................. 19 B. Zuhud dan Konsep Baibadah Bausaha ................................ 26 BAB VI Kesimpulan dan Saran ................................................................ 32 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 35 LAMPIRAN .............................................................................................. 36
v
DAFTAR LAMPIRAN
1. Jadwal Penelitian ....................................................................................... 37 2. Biodata Peneliti ......................................................................................... 37 3. Izin Penelitian ............................................................................................ 38
vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Aktivitas dagang yang dilakukan oleh orang Banjar sebenarnya dapat ditelusuri jauh sebelum zaman Kerajaan Banjar. Menurut Usman (1994: 67) sejak abad ke-16 telah ditemukan adanya para pedagang yang berasal dari suku Ngaju dan Oloh Masih yang telah memeluk agama Islam. Perdagangan mereka dapat bersifat antar daerah dalam Kerajaan Banjar, maupun dengan luar daerah (luar negeri). Setelah Kerajaan Banjar mulai berkuasa sekitar abad ke-17, aktivitas perdagangan masyarakat Banjar menjadi semakin intensif. Usaha perdagangan besar dan menengah pada zaman kerajaan dilakukan oleh para bangsawan tinggi, pembesar-pembesar kerajaan dan saudagar, di samping tentu saja saudagar-saudagar asing. Para bangsawan tinggi dan pembesar kerajaan kemungkinan menjadi pembeli tunggal atas barang-barang hasil produksi rakyat di daerah yang dikuasainya, yang menjualnya kembali kepada saudagar atau bangsawan yang akan mengekspornya ke luar negeri atau menjualnya kembali kepada pedagang
asing.
Kelompok
saudagar
terutama
melakukan
usaha
perdagangan luar negeri, baik mengekspor barang-barang hasil produksi rakyat maupun mengimpor barang-barang kebutuhan rakyat banyak, yang mereka lakukan dengan kapal-kapal layar mereka sendiri. Usaha ekspor dan impor ini juga dilakukan oleh pedagang-pedagang pendatang, yaitu
vii
pedagang-pedagang Eropa, Cina, Jawa, dan Arab, tetapi mereka tidak berhubungan langsung dengan para produsen. Barang-barang yang diekspor ketika itu ialah lada, damar, lilin, sarang burung, kayu ulin, rotan, emas, dan intan. Sementara barang-barang yang di impor terdiri dari berjenis-jenis tekstil, garam, beras, gula, barang-barang pecah belah, dan berjenis-jenis barang dari kuningan dan tembaga. Ketika kesultanan Banjar dihapuskan, dengan sendirinya peranan kaum bangsawan dan pembesar kerajaan dalam perdagangan merosot, tetapi peranan dari pedagang besar dan menengah masih terus berlangsung (Daud, 1997: 132-133). Kesan keberhasilan para saudagar itu masih terlihat di beberapa daerah Kalimantan Selatan, seperti Martapura dan beberapa daerah di wilayah Hulu Sungai. Usaha perdagangan besar ini mulai merosot bersamaan dengan merosotnya usaha pelayaran yang mengandalkan perahu layar. Mereka kalah oleh usaha pelayaran pantai yang menggunakan kapalkapal uap (Daud, 1997: 132). Sekarang, ketika sarana transportasi telah memberikan banyak pilihan bagi pedagang, mereka dapat memperluas jaringan kerjanya kembali. Para pedagang Banjar yang terlibat dalam perdagangan internasional saat itu sebagian besar merupakan pedagang muslim atau para haji. Kedudukan mereka menjadi penting terutama setelah peranan saudagar kerajaan menurun seiring dengan merosotnya kekuasaan Kerajaan Banjar. Saat itu mereka telah berhasil mengembangkan usaha sampai ke luar kawasan Kalimantan dalam jaringan dagang internasional. Hal ini kemudian
viii
membuat mereka dikenal sebagai pedagang yang sukses. Kesuksesan para pedagang muslim ini berlanjut hingga sekarang. Salah satu kelompok pedagang yang dikenal sukses adalah pedagang yang mendiami wilayah Sekumpul. Mereka berasal dari daerah Hulu Sungai yang kemudian pindah ke ibukota propinsi Banjarmasin agar dapat lebih mengembangkan usaha. Namun akibat semakin padatnya kota Banjarmasin para pedagang ini akhirnya memutuskan untuk membangun tempat tinggal di daerah-daerah pinggiran kota Banjarmasin. Salah satu wilayah yang menjadi pilihan adalah Sekumpul. Para pedagang di Sekumpul selain dikenal sebagai pedagang yang berhasil juga dikenal taat menjalankan ajaran Islam. Beberapa toko besar yang ada di Martapura dan Banjarmasin dimiliki oleh pedagang Sekumpul, mulai dari toko permata, pakaian, elektronik, showroom mobil motor hingga supermarket. Dapat dikatakan bahwa pedagang Sekumpul telah mampu menyaingi para pedagang Cina di Martapura yang dikenal sebagai pebisnis sukses.1 Meskipun demikian, mereka kurang berhasil mengembangkan usaha secara profesional. Hal ini ditunjukan dengan tidak adanya bentuk-bentuk organisasi ekonomi yang lebih kompleks dari firma keluarga. Sekumpul sendiri sebenarnya merupakan suatu perkampungan baru. Penduduknya terdiri dari orang-orang Martapura dan para pendatang dari berbagai tempat di Kalimantan, misalnya Amuntai, Tanjung, Alabiu, dan
1
Di Pasar kabupaten yang terletak ditengah kota Martapura, jumlah pedagang Cina bisa dihitung dengan jari, dan sebagian besar mereka berdagang bahan bangunan atau tukang membuat gigi.
ix
Balikpapan. Para pendatang ini datang dan menetap di sana agar dapat lebih dekat dengan komplek pengajian Guru Sekumpul2 Dalam beberapa kasus, perkembangan ekonomi dan keberhasilan ekonomi yang dilakukan oleh para pedagang muslim dan para haji ini dikaitkan dengan orientasi idiologis yang mereka anut yaitu Islam. Islam dengan ajaran tentang askese dunia dianggap telah memberikan peluang untuk terjadinya akumulasi modal dan kekayaan. Selain itu letak geografis berada di wilayah pesisir yang identik dengan kebudayaan pesisir juga sangat memungkinkan penduduknya terlibat secara intens dalam aktivitas perdagangan luar daerah dan mengembangkan usaha perdagangan.
B. Perumusan Masalah Masyarakat Banjar khususnya para pedagang Sekumpul selain dikenal sebagai penganut Islam yang taat, mereka juga merupakan pedagang yang sukses dalam perdagangan. Kenyataan ini memberikan gambaran akan adanya kemungkinan kaitan antara kesalehan masyarakat dengan perilaku ekonomi mereka. Dengan demikian, kajian ini diletakkan dalam kerangka usaha untuk melihat kemungkinan adanya kaitan antara (pemahaman) agama dengan tingkah laku ekonomi masyarakat. Adapun rumusan masalah 2
Guru Sekumpul adalah sebutan yang digunakan oleh masyarakat terhadap Guru Zaini, atau Guru Ijai. Nama asli beliau adalah K.H. Muhammad Zaini Abdul Ghani dan sejak beliau tinggal dan melaksanakan pengajian di daerah Sekumpul, sapaan beliaupun berubah menjadi Guru Sekumpul. Beliau adalah seorang ulama besar di Kalimantan, lahir dan menetap di Martapura. Beliau merupakan pioner bagi pendirian komplek perumahan Sekumpul Martapura. Bahkan beliau pulalah yang pertama memberi nama Sekumpul untuk daerah sekitar hutan karamunting di daerah Sungai Kacang ini. Lihat, Ahmad Rosyadi. 2004. Bertamu ke Sekumpul. Martapura: Lembaga Pengkajian Ilmu Pengetahuan dan Keislaman Kabupaten Banjar.
x
dalam penelitian ini adalah: nilai dan doktrin-doktrin apa sajakah yang telah memberi dorongan terhadap proses ekonomi para pedagang Sekumpul dan bagaimana proses itu dijalankan.
xi
BAB II LANDASAN TEORI
Peran agama dalam kaitannya dengan pola perilaku ekonomi, umumnya mengacu pada konsep Weber tentang etika Protestan dalam kaitannya dengan kemunculan kapitalisme modern. Menurut Weber (1982: 45) manusia memiliki minat-minat ideal dan material sehingga aspek-aspek tertentu dalam etika Protestan merupakan perangsang kuat dalam menumbuhkan sistem ekonomi kapitalis. Hubungan antara agama dan perekonomian dapat dilihat sebagai elective affinity antara tuntutan etis tertentu yang berasal dari kepercayaan Protestan dan pola-pola motivasi ekonomi yang perlu untuk pertumbuhan kapitalisme. Etika Protestan memberi tekanan pada usaha-usaha menghindari kemalasan, menekankan kerajinan, teratur dalam bekerja, disiplin, dan bersemangat tinggi untuk melaksanakan tugas dalam semua segi kehidupan, khusunya dalam pekerjaan dan kegiatan ekonomi. Dalam tradisi berfikir Weberian, kebudayaan suatu masyarakat dapat menjadi kekuatan penting yang mengubah tata ekonomi masyarakat ke arah kemajuan, seperti terbukti dari peran kebudayaan di kalangan Calvinis dengan konsep “orang terpilihnya” (Weber, 1930; 111). Doktrin teologis tentang “orang terpilih” menurut Weber mengakibatkan kekhawatiran yang mendalam di antara pengikut Calvin. Untuk mengurangi kekhawatiran ini dan meyakinkan diri bahwa mereka benar-benar golongan terpilih, mereka berusaha bertingkah laku seolah-olah benar-benar terpanggil. Ini berarti, pertama-tama, melakukan
xii
pengaturan kehidupan sehari-hari secara sistematis, termasuk usaha-usaha ekonomi, untuk mencegah setiap jenis kemalasan atau kesembronoan. Asketisme dan dorongan yang timbul karena kekhawatiran yang mendalam untuk mempertunjukkan lambang-lambang dunia dari rahmat Tuhan ini telah menyebabkan terjadinya akumulasi modal dan perkembangan ekonomi yang cepat (Roxborough, 1986: 3). Menurut Weber kehadiran semangat kapitalisme yang merupakan aspek sentral dari kapitalisme modern telah menggantikan tradisionalisme dalam kehidupan ekonomi. Konsep semangat yang ditawarkan oleh Weber dalam kaitannya dengan semangat kapitalisme mengacu pada suatu jenis tindakan sosial yang melibatkan pengejaran keuntungan maksimum dengan perhitungan rasional. Mentalitas seperti ini berkaitan dengan berbagai nilai seperti rajin, hemat, dan asketisme dalam urusan-urusan ekonomi yang ‘duniawi’ (Holton, 1988: 104-109). Salah satu prasyarat institusional yang harus dipenuhi untuk mencapai rasionalisme ekonomi kapitalis adalah dengan apa yang disebutnya innerwordly asceticism dan prasarat tersebut terdapat dalam etika Protestan. Etika Protestan dengan innerwordly asceticism, hidup sebagai pertapa di gemerlap dunia, tidak konsumtif tetapi produktif, telah menumbuhkan kapitalisme. Menurut Turner (1974: 15), dalam dunia yang didominasi oleh budaya Islam, prasyarat inner wordly asceticism tersebut tidak ditemukan. Dalam dunia Islam tidak ditemukan hukum yang rasional dan formal, kota yang otonom, kelas menengah kota yang merdeka, dan stabilitas politik. Selain itu, “etika prajurit” dan dominasi
xiii
patrimonial dari para sultan dan khalifah telah menghambat munculnya kapitalisme yang rasional. Dominasi patrimonial membuat hubungan politik, ekonomi dan hukum tidak stabil dan penuh kesewenang-wenangan. Namun apa yang dikemukakan oleh Turner tersebut tampaknya cenderung mengarah pada arguman orientalis, dimana Islam hanya dilihat sebagai “Arab”, dan Islam hanya dipandang sebagai Islam di zaman peperangan. Dengan sifat karitatif yang dimiliki Islam menurut Kuntowijoyo (2001: 53), Islam pun punya potensi untuk jadi etika ekonomi baru semacam Protestan. Selain itu, institusi baitul maal, zakat, zuhud dan berkurban merupakan bentuk-bentuk asketisme Islam dalam keduniaan. Weber telah menjelaskan bahwa Islam reformis memiliki fungsi yang hampir sama dengan Kristen Protestan dalam membangkitkan kapitalisme untuk mensahkan akumulasi kekayaan dan mendorong usaha-usaha aktif memperoleh kekayaan. Islam, kata Weber, dengan ajaran-ajarannya seperti sembahyang, puasa, naik haji, menghindari beberapa makanan dan minuman yang dinyatakan haram, membawa akibat-akibat ekonomis. Selain itu larangan judi membawa akibat yang sangat penting terhadap sikap golongan beragama berkenaan dengan usaha-usaha dagang yang spekulatif (Weber, 1982: 81). Weber telah menunjukkan bahwa ketaqwaan dan kesalehan menganut ajaran Islam dalam kondisi tertentu dapat mendinamiskan, memacu, dan mengagresifkan pemeluk Islam dalam melakukan kegiatan-kegiatan bersifat keduniawian secara konsisten dan sistematis (Muhaimin, 1987: 50). Berkaitan dengan konsep kesalehan, Sobary (1999: 117) dalam studinya tentang kesalehan masyarakat
xiv
Suralaya mengaitkan kesalehan dengan ibadah. Ibadah sendiri terbagi dua, yaitu ibadah khusus dan ibadah sosial. Berdasarkan dua kategori tersebut, maka kesalehan pun dipilah menjadi dua jenis, yaitu kesalehan ritualistik dan kesalehan sosial. Kesalehan ritualistik menampakkan diri dalam bentuk zikr (mengingat Allah), sembahyang lima waktu, dan berpuasa. Sementara kesalehan sosial mencakup segala jenis kebaikan yang ditujukan kepada semua manusia, misalnya bekerja untuk memperoleh nafkah bagi keluarga, bersedekah, dan membelanjakan harta di jalan Allah. Menurut Abdullah (2003: xv-xvi), ada konsep innerwordly asceticism yang mempengaruhi orang bekerja keras dan merupakan dasar etos atau semangat yang mempengaruhi sikap utama manusia terhadap diri mereka sendiri dan terhadap dunia sekeliling. Berkaitan dengan konsep innerwordly asceticism. Weber membedakan dua tipe ideal agama, yaitu mistikisme (otherwordly misticism) dan asketikisme (innerwordly asceticism). Mistikisme bertujuan mencapai suatu keadaan, bukan tindakan. Individu bukan merupakan suatu alat, tetapi suatu wahana dari Yang Ilahi. Sebaliknya, asketikisme aktif bekerja di dalam dunia. Dengan menguasai dunia ia berusaha menjinakkan apa yang bersifat ciptaan dan jahat melalui karya dalam panggilan keduniaan. Mistikisme sebagai pelarian diri dari dunia agar tidak tersandung dan terhambat oleh dunia, sedangkan asketikisme menolak dunia sebagai jahat, tidak lengkap, dan penuh dosa (Sastrapraja dalam Amin, 1994: 37-39). Asketisme, merupakan suatu pola kegiatan yang diletakkan di atas dasar-dasar etis dan keagamaan yang menganjurkan pengekangan diri dan
xv
kegiatan ekonomi yang rajin dan teliti. Orang yang bertindak seperti ini menganggap dirinya sebagai alat dari kehendak Tuhan (Freud: 1972: 197). Asketisme,
menurut
Freud
(1972:
197),
menyebabkan
dilakukannya
perhitungan rasional dalam semua aspek kehidupan yang dianggap berkaitan dengan kehendak Tuhan. Di sini agama dalam proses sosial dapat dipandang sebagai dasar dalam pembentukan rasionalisasi kehidupan yang memberi basis pada perkembangan ekonomi (Weber, 1978; Abdullah, 1994). Agama berfungsi sebagai motivator di dalam proses transformasi konseptual (pandangan hidup), yang secara langsung berkaitan dengan apa yang dimaksudkan Weber sebagai rasionalisasi, yakni organisasi kehidupan sosial ekonomi atas dasar prinsip-prinsip efisiensi (Abdullah, 2003: 262). Hasil reformasi yang dilakukan lembaga agama, menurut Weber (1978: 587), adalah munculnya suatu pola kehidupan ekonomi yang konsisten, sistematis, dan etis. Agama telah membantu proses sejarah peradaban dengan cara mendorong perubahan dalam orientasi nilai, yaitu dari suatu masyarakat yang masih terikat pada nilai-nilai magis ke masyarakat yang lebih berorientasi pada nilai-nilai rasional. Agama menjadi suatu kekuatan yang menghapuskan ikatan-ikatan tradisional, yang menekankan kehidupan sebagai bagian dari tatanan yang harmoni (Abdullah, 1994: 173). Dalam doktrin Protestan, suatu “panggilan” lebih dari sekedar pekerjaan atau kesibukan. Panggilan adalah kewajiban keagamaan, merupakan takdir Tuhan yang dilakukannya dengan sungguh-sungguh disertai cara hidup hemat dan lain-lain. Orientasi ini
xvi
membentuk norma-norma tingkah laku yang kemudian disebut sebagai etika Protestan. Etika ini, yang meresap dalam benak semua pemeluk, kemudian melahirkan sesuatu yang oleh para pengikut Weber disebut sebagai ‘etos’ (Sobary, 1999: 17)
xvii
BAB III TUJUAN DAN MANFAAT A. Tujuan Penelitian Kajian ini tidak semata-mata dimaksudkan untuk menggambarkan tentang perilaku ekonomi masyarakat Sekumpul tetapi untuk melihat kemungkinan adanya faktor-faktor tertentu yang mendorong proses usaha para pedagang Sekumpul; tentang nilai-nilai dan ideologi tertentu yang telah membawa masyarakat pada suatu pola tingkah laku tertentu dan juga tentang etos kerja pedagang yang menciptakan watak yang khas bagi masyarakat Banjar pada umumnya. B. Manfaat Penelitian 1. Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis khususnya untuk menambah kajian konseptual dalam sosiologi agama dan sosiologi ekonomi. Lebih khusus lagi untuk memperkaya konsep nilai agama dan ekonomi 2. Praktis Penelitian
ini
diharapkan
dapat
memberikan
sumbangan
pengetahuan kepada masyarakat agar dapat memahami berbagai nilai dan pandangan yang dianut oleh para pedagang Sekumpul khususnya dan masyarakat Sekumpul pada umumnya sehingga dapat menjadi bahan pembelajaran tentang bagaimana membangun ekonomi seperti yang dijalankan pedagang Sekumpul.
xviii
BAB IV METODE PENELITIAN
A. Paradigma Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif. Hal ini karena metode kualitatif relatif dapat menganalisa realitas sosial secara mendalam. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain (Moleong, 2006: 6). Masyarakat sebagai sebuah sistem tentu memiliki dinamika yang berbeda-beda. Untuk mengungkapkan dinamika tersebut dibutuhkan pendalaman atas aktifitas, proses dan dinamika yang terjadi dalam masyarakat tersebut. Metode penelitian kualitatif digunakan untuk mempelajari, membuka dan mengerti apa yang terjadi di belakang setiap fenomena yang baru sedikit diketahui. Oleh karena itu metode penelitian kualitatif dipandang cocok untuk dapat mengungkap dinamika yang terjadi di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Untuk memperoleh pemahaman yang mendalam tentang dinamika ekonomi masyarakat khususnya pedagang Sekumpul khususnya pandanganpandangan keagamaan kaitannya dengan perilaku ekonomi mereka maka penelitian mengadopsi pendekatan kualitatif yang menekankan pada usaha untuk mencari keunikan-keunikan masing-masing individu yang ada dalam xix
institusi sebagai producer of reality. Untuk itu, penelitian ini menggunakan wawancara yang mendalam, panjang dan terbuka. Cara seperti itu, memungkinkan peneliti untuk memberikan kesempatan yang luas bagi informan untuk mengungkapkan pandangan- pandangannya menurut perspektif yang mereka yakini. Penelitian ini banyak diwarnai oleh pendekatan grounded theory yang menempatkan peneliti sebagai orang yang belajar dari informan dan menjadikan diri peneliti sendiri sebagai instrumen penelitian. B. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di wilayah Kelurahan Sekumpul Kecamatan Martapura Kabupaten Banjar. Wilayah ini dipilih karena di wilayah ini banyak berdomisili para pedagang muslim sukses yang juga dalam kesehariannya juga dikenal taat menjalankan berbagai praktek keagamaan khususnya yang diajarkan oleh guru Sekumpul. Wilayah ini juga menarik karena disini juga terdapat satu pengajian besar yang dipimpin oleh guru Sekumpul. Selain itu secara geografis wilayah ini merupakan pintu gerbang karena berada di perbatasan Banjarbaru menuju Banjarmasin sehingga wilayah ini banyak bersentuhan dan dilalui oleh berbagai arus barang dan jasa. C. Instrumen Penelitian Instrumen penelitian adalah alat mengumpulkan data dan informasi yang diperoleh atau diperlukan dalam penelitian. Dalam penelitian kualitatif, peneliti bertindak sebagai instrumen penelitian sekaligus
xx
pengumpul data. Dalam penelitian ini, selain peneliti sendiri bertindak sebagai instrumen digunakan pula instrumen selain manusia yang berfungsi sebagai pendukung tugas peneliti sebagai instrumen. Oleh karena itu dalam penelitian ini, kehadiran peneliti dalam penelitian dapat dikatakan sebagai pengamat partisipan, dimana peneliti yang memiliki tugas sebagai orang yang terlibat langsung sebagaimana dimaksudkan dalam fokus penelitian dapat dikatakan sebagai partisipan. Alat bantu yang digunakan untuk mendukung pelaksanaan penelitian ini adalah: 1. Pedoman wawancara (interview guide) Yaitu serangkaian pernyataan yang diajukan kepada aktor-aktor sumber dalam penelitian. Pengarah wawancara dipergunakan dengan maksud agar wawancara yang dilakukan sesuai dengan topik penelitian yang ditetapkan dan pernyataan-pernyataan yang diajukan tidak keluar dari jalur permasalahan. 2. Catatan Lapangan (field note) Merupakan catatan penelitian dilapangan untuk mencatat hasil wawancara dan pengamatan dari sumber data orang-orang yang terlibat dalam kegiatan sosial ekonomi dan keagamaan di Sekumpul. Selain itu peneliti
juga
menggunakan
peralatan
tulis
menulis
untuk
mendokumentasi dan untuk mencatat pendapat dari pihak-pihak yang bersangkutan. D. Sumber Data
xxi
Sumber data dalam penelitian ini meliputi : 1. Data primer: yaitu data yang digunakan peneliti langsung dari sumbernya berupa kata-kata dan tindakan orang-orang yang diamati atau diwawancarai. Dalam hal ini data primernya adalah data yang didapat dari pedagang sukses di Sekumpul khususnya dan masyarakat Sekumpul pada umumnya. Data primer dalam penelitian ini meliputi pandangan dan perilaku ekonomi pedagang kaitannya dengan nilai-nilai agama yang mereka pegangi. 2. Data sekunder : yaitu data tertulis yang lebih dahulu dikumpulkan dan dilaporkan orang lain diluar peneliti. Data tersebut meliputi: dokumen atau arsip yang ada relevansinya dengan fokus penelitian seperti bukubuku tentang kebudayaan Banjar dan buku-buku teoritis yang berkaitan dengan konsep agama dan ekonomi serta buku yang terkait dengan Sekumpul dan Martapura. Data sekunder diperoleh dari instansi-instansi terkait seperti Badan Pusat Statistik Kab. Banjar dan lainnya. E. Tehnik Pengumpulan Data Adapun prosedur pengumpulan data yang digunakan adalah tehnik yang biasa digunakan dalam penelitian kualitatif diskriptif khususnya studi kasus. Prosedur atau tehnik pengumpulan data yang dimaksud adalah cara yang dipergunakan untuk mencari dan mengumpulkan data yang diperlukan. Dalam
melaksanakan
penelitian
pengumpulan data, sebagai berikut: 1. Wawancara mendalam
xxii
ini,
digunakan
beberapa
metode
Adalah usaha untuk memperoleh data atau informasi secara langsung guna mendapatkan data-data yang berkaitan dengan subyek penelitian dengan
menggunakan
pokok-pokok
pertanyaan
sebagai
acuan.
Wawancara dilakukan pada beberapa orang pedagang Sekumpul seperti Haji Kani, Haji Rani dan Habib Dullah. Di samping itu masyarakat Sekumpul pada umumnya serta tokoh masyarakat Sekumpul juga turut diminta informasi pendukung. Wawancara meliputi berbagai hal yang terkait dengan pandangan atas berbagai perilaku ekonomi dan keputusan-keputusan ekonomi mereka. 2. Observasi partisipasi Dalam observasi ini peneliti terlibat dengan kegiatan sehari-hari orang yang sedang diamati atau yang digunakan sebagai sumber data penelitian. Sambil melakukan pengamatan peneliti ikut melakukan apa yang dikerjakan oleh sumber data, dan ikut merasakan suka dukanya (Sugiyono, 2009:310). Observasi dilakukan di lokasi sekitar Sekumpul dimana banyak pedagang sukses bermukim. Peneliti berperan aktif serta terjun langsung dalam kegiatan keseharian para pedagang dan masyarakat Sekumpul dan mengamati berbagai aktifitas sosial ekonomi mereka. 3. Dokumentasi Adalah teknik pengumpulan data melalui dokumen atau arsip-arsip dari pihak terkait dengan penelitian. Menurut Gubah dan Licoln dalam penelitian, karena sebagai sumber data ia bersifat stabil, data digunakan
xxiii
sebagai bukti dalam suatu pengkajian, sifatnya yang alamiah sesuai dengan konteks. Dengan demikian data dikumpulkan dari sejumlah sumber dokumen data, seperti laporan, arsip, majalah, buletin dan sebagainya yang berhubungan langsung dengan masalah penelitian. Pengumpulan data dilakukan dengan partisipasi observasi dan wawancara mendalam (in-depth interview). Penggunaan metode ini bertujuan untuk mendapatkan informasi yang berkaitan dengan apa yang oleh Sobary disebut sebagai yang “ideal” dan yang “riil”. Partisipasi observasi, menurut
Bogdan dan Taylor (dikutip Moleong, 1999: 3)
mengarah pada usaha untuk mengungkapkan latar belakang individu secara menyeluruh dan utuh. Penelitian yang hanya mengandalkan observasi tidaklah memadai, karena tidak dapat mengungkapkan apa yang diamati dan dirasakan orang lain, karena itu perlu dilengkapi dengan wawancara mendalam agar dapat memasuki dunia pikiran dan perasaan informan (Nasution, 1992: 69). Oleh karena itu wawancara mendalam juga digunakan untuk mendapatkan data yang berkaitan dengan latar belakang kehidupan, struktur sosial mereka serta pandangan-pandangan mereka tentang ekonomi dan agama itu sendiri. Karena dengan wawancara inilah segala sesuatu yang dianggap ideal – dalam pandangan agama mereka- dapat ditemukan. F. Analisis Data Dalam penelitian ini digunakan analisis data kualitatif yang meliputi reduksi, penyajian dan verifikasi mengikuti proses analisis dari Mile dan
xxiv
Huberman. Adapun siklus dari keseluruhan proses analisis data oleh Miles dan Huberman digambarkan dalam skema berikut. 1. Reduksi Data Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data “kasar” yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Reduksi data berlangsung terus menerus selama penelitian di lapangan. Selama pengumpulan data berlangsung, terjadi tahapan reduksi selanjutnya membuat ringkasan, mengkode, menelusur tema, membuat gugus-gugus, membuat partisi, menulis memo. Reduksi data/proses transformasi ini berlanjut terus sesudah penelitian lapangan, sampai laporan akhir lengkap tersusun. 2. Penyajian Data Penyajian data merupakan rangkaian kalimat yang disusun secara logis dan sistematis sehingga mudah dipahami. Kemampuan manusia sangat terbatas dalam menghadapi catatan lapangan cukup banyak. Oleh karena itu diperlukan sajian data yang jelas dan sistematis dalam membantu peneliti menyelesaikan pekerjaannya. Dalam penelitian ini peneliti menyajikan data dalam bentuk uraian diskriptif dengan narasi yang sistematis. 3. Menarik Kesimpulan/Verifikasi Penarikan kesimpulan sebagai dari satu kegiatan dari konfigurasi yang utuh.
Kesimpulan-kesimpulan
xxv
diverifikasi
selama
penelitian
berlangsung. Verifikasi merupakan tinjauan ulang pada catatan-catatan lapangan dengan peninjauan kembali sebagai upaya untuk menempatkan salinan suatu temuan dalam seperangkat data yang lain. Singkatnya, makna-makna yang muncul dari data diuji kebenaranya, kekokohannya dan kecocokannya yakni yang merupakan validitasnya. G. Pengujian Keabsahan Data Menurut Sugiyono (2009:366) uji keabsahan data pada penelitian kualitatif meliputi uji validitas internal (credibility), validitas eksternal (transferability),
reliabilitas
(dependentbility),
dan
obyektivitas
(confirmability). Namun dalam penelitian ini hanya akan dilakukan uji validitas internal (credibility). Uji validitas internal dilaksanakan untuk memenuhi nilai kebenaran dari data dan informasi yang dikumpulkan. Artinya, hasil penelitian harus dapat dipercaya oleh semua pembaca secara kritis dan dari responden sebagai informan. Untuk hasil penelitian yang kredibel, maka dalam penelitian ini dilakukan berbagai teknik pengujian validitas internal yaitu: a. Perpanjangan pengamatan Dalam penelitian kualitatif, keikutsertaan peneliti sangat menetukan dalam pengumpulan data. Dalam hal ini, peneliti terjun ke lokasi penelitian yaitu wilayah Sekumpul khususnya sekitar lokasi pengajian Guru Sekumpul dimana pedagang-pedagang kaya bertempat tinggal. Hal ini dimaksudkan untuk mendeteksi dan memperhitungkan distorsi yang mungkin mengotori data.
xxvi
b. Triangulasi Trianggulasi dalam pengujian kredibilitas adalah pengecekan data dari berbagai sumber, berbagai cara, dan berbagai waktu. Dalam konteks ini peneliti tidak hanya melakukan observasi pada saat terjadi proses jual beli dan berbagai aktifitas ekonomi lainnya tapi peneliti juga melakukan wawancara di waktu-waktu lain. Hal ini dimaksudkan agar sumber data yaitu informan lebih leluasa memberikan informasi khususnya di waktuwaktu luang informan. Sumber data atau informan juga dicari bukan hanya pedagang tetapi juga penduduk dengan berbagai kategori sosial.
xxvii
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
Islam yang menjadi identitas masyarakat Banjar cukup ampuh digunakan untuk menghadapi kontestasi ekonomi yang cenderung tinggi di kalangan masyarakat pedagang. Dengan Islam, para pedagang muslim Banjar mampu bertahan menghadapi berbagai tekanan yang terjadi dalam proses komersialisasi. Bahkan mereka mampu bersaing dengan etnis lain, khususnya Cina, yang dikenal sebagai para pedagang yang ulet. Islam dalam hal ini menempati dua posisi penting bagi perkembangan ekonomi orang Banjar khususnya pedagang Sekumpul yaitu Islam menjadi tempat berlindung dan Islam sebagai pendorong atau pembentuk. Dalam hal ini baik institusi, ajaran maupun doktrin telah menjadi bagian atau intrumen yang menegaskan argumen tersebut. A. Ibadah Haji, Doa, Zakat, dan Sedekah Ajaran agama telah menjadi pendorong bagi berjalannya proses ekonomi. Ajaran-ajaran Islam seperti sembahyang, berhaji, kewajiban berzakat, dan bersedekah telah mendorong usaha-usaha untuk memperoleh kekayaan. Keinginan untuk melaksanakan ibadah haji telah menumbuhkan etos kerja yang tinggi di kalangan pedagang. Untuk dapat menunaikan ibadah haji dan bersedekah, mereka harus giat dan rajin berusaha serta hidup dengan hemat agar dapat mengumpulkan uang dalam jumlah yang cukup banyak. Di balik
xxviii
semangat dagang yang dimiliki oleh para pedagang tampak ada motivasimotivasi agama. Para pedagang Sekumpul dikenal sebagai pemeluk Islam yang taat dan memiliki kepedulian sosial yang tinggi khususnya terhadap hal-hal yang berkaitan dengan persoalan keagamaan. Dalam kegiatan-kegiatan keagamaan yang dilaksanakan di wilayah ini, seperti pelaksanaan nisfu sya’ban dan haul Syekh Seman, para pedagang merupakan kelompok penyumbang terbanyak untuk kegiatan-kegiatan tersebut. Sumbangan atau sedekah menjadi penting bagi para pedagang, karena selain dianggap sebagai bagian dari pelaksanaan ajaran agama juga terkandung maksud-maksud ekonomis. Nominal sumbangan juga menjadi penting untuk menegaskan dan melegitimasi tingkat kemapanan seorang pedagang. Seorang pedagang yang rumahnya terlihat sangat bagus, diketahui menyumbang sebesar 35 juta ketika berkunjung menjelang perayaan haul. Hal ini menurut beberapa orang penduduk dianggap wajar dan sudah seharusnya dilakukan karena ia dianggap sebagai pengusaha kaya dan sukses. Ukuran kekayaan dan kemapanan biasanya mengacu pada kepemilikan benda-benda materi seperti toko, mobil, dan rumah. ....“inya kan pedagang nang sukses dan sugih, inya baisi toko banyak, ada nang di Banjar, di Martapura dan di Banjarbaru, motornya gin ada tiga, rumahnya di Banjar ada disini ada jua, ganal-ganal lagi (Dia kan termasuk pedagang yang sukses dan kaya, dia memiliki banyak toko baik di Banjar, Martapura dan Banjarbaru, mobilnya ada tiga, dan rumahnya baik yang di Banjar maupun di Martapura semuanya besar-besar), demikian kata seorang
xxix
penduduk ketika ditanya komentarnya tentang jumlah sumbangan yang diberikan oleh pedagang kaya tersebut. Lain lagi dengan Hajjah Maya, ia menyumbang sebesar lima juta rupiah. Menurutnya, nominal sumbangan sebesar itu ia berikan karena ia melihat tetangganya yang tingkat ekonomi setara dengannya juga menyumbang sejumlah tersebut. “Haji Sidah nang sama-sama pegawai negeri golongan tiga gin menyumbang saitu jua (Haji Sidah yang juga pegawai negeri golongan tiga seperti saya juga menyumbangnya sebesar itu)”, demikian kata Haji Maya. Ia merasa tidak nyaman dan tidak tenang jika menyumbang lebih sedikit. Ia merasa jumlah tersebut sudah sepantasnya ia keluarkan. Haji Wahid yang hidup dari uang pensiunan dan pemberian anakanaknya menyumbang dua juta setengah. Menurutnya, ia bisa saja hanya menyumbang satu juta setengah tapi karena ia memiliki uang lebih dari itu maka ia merasa tidak nyaman bila menyumbah lebih kecil dari jumlah itu. rang yang menurutnya lebih tidak mampu darinya menyumbang satu juta setengah, maka sudah seharusnya ia menyumbang lebih dari itu. Haji Wahid mengatakan “kami kada wani mamain-mainakan sumbangan kaina harta kami kada babarkat (kami tidak berani mempermainkan jumlah sumbangan karena nanti harta kami tidak diberkati). Praktik basidakah (bersedekah) banyak dilakukan oleh penduduk Sekumpul terkait dengan anggapan bahwa harta akan babarkat (diberkati) dan bertambah jika digunakan untuk kepentingan agama. Salah satu penggunaan harta adalah dengan menyumbangkan harta atau bersedekah untuk kegiatan-
xxx
kegiatan keagamaan. Dalam sedekah ini terkandung pengharapan agar mendapat balasan yang lebih banyak dari Tuhan. Hal ini memberikan isyarat bahwa di balik praktik-praktik keagamaan yang mereka jalankan tersimpan maksud-maksud dan harapan-harapan yang bersifat ekonomis. Kesalehan mereka menguat karena dilapisi oleh motivasi-motivasi ekonomi. Demikian juga halnya dengan praktik zakat. Pedagang kaya yang selalu mengeluarkan zakat akan dipuji masyarakat dan keberhasilan usaha yang dijalankan oleh pedagang tersebut terkadang dikaitkan dengan ketaatannya mengeluarkan zakat. Ungkapan “harta batambah amun dijakat” (harta akan bertambah jika pemiliknya berzakat), menguatkan argumen di atas.“Inya jadi batambah sugih tarus karna inya kada pernah malalaikan zakat (ia semakin kaya karena ia tidak melalaikan kewajiban agama dalam hal berzakat), demikian tutur seorang penduduk yang ditanya tentang kesuksesan seorang pedagang. Nominal zakat selalu menjadi tolak ukur tingkat kesuksesan seorang pedagang. Para haji tertentu dianggap termasuk pedagang-pedagang yang sukses, selain karena kepemilikannya terhadap benda-benda materi tertentu, zakat yang mereka keluarkan pun mencapai jutaan rupiah. Seseorang yang mengeluarkan zakat mencapai nominal jutaan rupiah dianggap penduduk sebagai orang kaya dan sukses. Haji Rani pada tahun ini mengeluarkan zakat sekitar 12 juta rupiah untuk sekitar lima ratus juta kekayaan perdagangan yang ia miliki.
xxxi
Pedagang yang mengeluarkan zakat lebih banyak dari tahun sebelumnya akan dianggap telah mengalami peningkatan ekonomi dan usahanya dianggap lebih berhasil dari sebelumnya. Penurunan nominal zakat yang dikeluarkan berarti sama dengan penurunan tingkat keberhasilan usaha. Nominal uang, jenis serta kualitsa barang yang diberikan seorang pedagang pada sanak keluarga atau para tetangganya pada periode zakat menjelang hari raya menunjukkan posisi ekonomi mereka. Orang-orang yang menerima pemberian tersebut selalu membanding-bandingkan nilai pemberian seorang pedagang dengan pedagang lainnya. Untuk itulah, setiap pedagang selalu berusaha secara maksimal agar kekayaannya terus meningkat dari tahun ke tahun. Haji Duan dianggap semakin sukses karena zakat yang ia keluarkan pada tahun berikutnya lebih besar dari tahun sebelumnya. “Haji duan pinanya dagangannya tambah sukses, inya tambah sugih haja. Tahun ini inya bajakat lima juta, padahal tahun sebelumnya inya bajakat sekitar tiga juta haja (Haji Duan tampaknya usaha dagangnya tambah sukses saja dan dia semakin kaya saja. Tahun ini ia mengeluarkan zakat sebesar lima juta rupiah padahal tahun sebelumnya ia hanya mengeluarkan zakat sebesar tiga juta rupiah)”. Pedagang merasa yakin bahwa kekayaannya akan bertambah jika ia tidak melalaikan kewajiban agama seperti berzakat. Mereka juga merasa bahwa ketaatan dan keseriusan mereka menjalankan agama khususnya beribadah bersama Guru Sekumpul akan mendatangkan berkah. Keberhasilan dan peningkatan ekonomi yang mereka peroleh sejak tinggal di Sekumpul diyakini juga karena berkat dari Guru Sekumpul.
xxxii
...“Kami kawa kayainini karena barakat sabar dan tawakkal pada Tuhan. Pokoknya kami bausaha haja dan disertai dengan do’a dan baibadah pada Tuhan, yang menentukkan Tuhan jua. Alhamdulillah sejak kami diam di Sekumpul ini hidup kami tambah nyaman haja, usaha jadi tambah lancar, barakat Abah Guru Sekumpul (Ibu Haji Kani)” (kami bisa seperti ini karena sabar dan tawakkal. Yang bisa kami lakukan hanya berusaha, berdoa dan beribadah, yang menentukan adalah Tuhan. Alhamdulillah sejak kami tinggal di Sekumpul, hidup kami menjadi semakin enak, usaha menjadi semakin lancar, berkat Guru Sekumpul”, kata Ibu Haji Kani. Semangat orang Sekumpul untuk terlibat dalam kegiatan ritual-ritual seperti haul dan nisfu sya’ban juga tampak mengandung maksud-maksud ekonomis. Anggapan bahwa doa-doa yang dipanjatkan pada waktu-waktu tersebut lebih mungkin dikabulkan memberi petunjuk adanya keinginankeinginan yang hendak disampaikan oleh mereka dalam kesempatan tersebut. Keinginan-keinginan tersebut dapat berupa keinginan material maupun ideologis. Doa khas yang dipanjatkan dalam kesempatan tersebut adalah permohonan panjang umur dalam beribadah, permintaan agar dihindarkan dari bala kebinasaan dan diluaskan rizki yang halal, dan permohonan agar menjadi makhluk terkaya hati dari segala makhluk yang ada di muka bumi. Harapan pendoa agar rizkinya diperluaskan telah menunjukkan dengan jelas kadungan ekonomi yang tidak bisa ditinggalkan dalam setiap ritual keagamaan. Doa yang disampaikan oleh orang-orang Sekumpul pada perayaan nisfu sya’ban serta pada hari-hari biasa ini merangsang suatu interpretasi kreatif mengenai hubungan antara ajaran-ajaran keagamaan dan tingkah laku ekonomi, sebagaimana tampak dalam doa tersebut.
xxxiii
Para ulama, tuan guru, pambacaan (muballigh), dan haji menempati posisi sosial yang istimewa di Sekumpul. Tokoh-tokoh ini lebih dihormati daripada tokoh-tokoh lain. Seorang haji dianggap lebih tinggi dan lebih terhormat daripada bukan haji. Orang yang melaksanakan haji beberapa kali mempunyai derajat lebih tinggi daripada orang yang hanya melaksanakan haji sekali. Oleh karena itu, tidak sangat mengherankan jika dari tahun ke tahun jumlah orang Banjar yang berangkat ke Mekkah untuk beribadah haji semakin meningkat. Orang Banjar akan mengutamakan penggunaan uang tabungan yang telah bertahun-tahun mereka kumpulkan untuk melaksanakan ibadah haji. Mereka juga rela menghemat pengeluaran dengan harapan bisa menabung untuk membiayai ibadah haji. Para pedagang Sekumpul juga menunjukkan keberhasilan ekonomi mereka melalui pelaksanaan ibadah haji. Salah satu etos kerja orang Banjar tersimpan dalam ungkapan ”bagawi bahimat kawa gasan tulak haji”, artinya “bekerja sungguh-sungguh agar dapat berangkat menunaikan ibadah haji”. Ungkapan itu memperlihatkan bahwa dalam pandangan orang Banjar salah satu ukuran keberhasilan dan kesejahteraan seseorang adalah kesanggupan untuk menunaikan ibadah haji. Kesadaran sosial seseorang dianggap belum lengkap jika tidak diikuti oleh pelaksanaan ibadah haji sebagai sebuah petunjuk kemapanan ekonomi. Beberapa pedagang bahkan telah melaksanakan ibadah haji dan umroh berkali-kali. Mereka biasanya juga mengajak anggota keluarga yang lain untuk melaksanakan ibadah haji secara bersama-sama. Dalam beberapa kesempatan
xxxiv
mereka juga mengajak dan membiayai tokoh agama, tetangga, atau orang-orang kepercayaan untuk ikut serta dalam perjalanan ibadah haji mereka. Setiap menjelang keberangkatan ke Mekkah, mereka selalu basalamatan (mengadakan selamatan). Sekembalinya dari Mekkah, mereka biasanya membagikan oleholeh kepada para tetangga, tuan guru, dan tokoh-tokoh agama setempat. Orang yang secara ekonomi telah dianggap mapan tetapi tidak segera melaksanakan ibadah haji akan mendapat cemoohan dari masyarakat. Mereka dianggap tidak atau belum mendapat panggilan dari Tuhan untuk melaksanakan ibadah haji. Ia bukan merupakan orang yang terpilih untuk memenuhi panggilan-Nya dan hatinya belum dibukakan Tuhan untuk melaksanakan ibadah tersebut. Beberapa tahun terakhir ini Haji Kani dan Habib Dullah selalu melaksanakan ibadah haji dengan menyertakan beberapa orang anggota keluarga, pekerja, dan tetangganya. Seseorang yang telah meninggal dunia dan di masa hidupnya belum sempat melaksanakan ibadah haji, maka ia akan dihajiakan (dihajikan) oleh anak atau anggota keluarga lainnya. Dalam kasus ini, persoalannya bukan terletak pada apakah Tuhan akan menerima ibadah seseorang yang dilakukan oleh orang lain, dan juga bukan pada apakah pahala sebagai hasil pelaksanaan ibadah akan dianugerahkan Tuhan kepada orang yang telah meninggal. Tujuan paling penting dalam hal ini adalah bahwa pelaksanaan ibadah haji sebagai sebuah simbol kemapanan ekonomi telah menjadi bagian yang mantap dari kesadaran sosial mereka. Dengan kata lain, penduduk Sekumpul menganggap beribadah haji bukan sekedar pelaksanaan rukun Islam yang ke lima, tetapi menjadi simbol
xxxv
kesempurnaan penghayatan agama dan kemapanan kehidupan ekonomi. Status haji semakin memperkuat posisi sosial mereka. Solidaritas sosial yang mereka perlihatkan dengan menghajikan tuan guru yang secara ekonomis tidak mampu, tetangga, atau pekerjanya juga menjadi penanda lain kemapanan ekonomi mereka.
B. Zuhud dan Konsep Baibadah Bausaha Bekerja keras bagi orang Banjar merupakan tugas hidup agar mendapat kesejahteraan di dunia dan membawa keselamatan di akhirat. Mereka mengingkari sikap hidup keagamaan yang melarikan diri dari dunia. Mereka justru berusaha sedemikian rupa melakukan intensifikasi pengabdian agama yang dijalankan dengan memaksimalkan kegairahan kerja (askese duniawi). Ini sejalan dengan pandangan zuhud yang diajarkan oleh Guru Sekumpul, tentang keharusan mengejar kesejahteraan dunia agar dapat membuktikan ketinggian dan kekayaan Islam. Mereka berharap dapat mencapai kesejahteraan yang akan memungkinkan mereka dapat hidup dengan baik di masa tua tanpa perlu melakukan pekerjaan yang dianggap berorientasi duniawi, tetapi dapat beribadah secara tenang dengan menggunakan hasil kerja mereka. Pengajaran tasawwuf yang disampaikan Guru Sekumpul telah membentuk suatu pandangan yang dinamis tentang kehidupan ekonomi para pedagang Sekumpul. Sebagai murid Syekh Arsyad, Guru Sekumpul juga mengajarkan tentang tasawwuf model baru seperti gurunya. Tasawwuf yang oleh Azra (1999: 258) disebut sebagai neosufisme. Tasawwuf ini berbeda dari
xxxvi
kecenderungan tasawwuf yang selama ini dikenal yang berusaha untuk menjauhkan diri dari dunia dan hidup seadanya (zuhd, zuhud) serta meninggalkan keduniaan dan menyendiri (uzlah). Neosufisme Syekh Arsyad dan Guru Sekumpul adalah tasawwuf yang menekankan pada aktivitas dalam kehidupan keduniawian. Zuhud, menurut Guru Sekumpul, bukan berarti hidup dalam kemiskinan dan tidak memiliki apa-apa. Sebaliknya, zuhud adalah berusaha dengan sungguh-sungguh di dunia untuk mendapatkan kekayaan yang dengannya seseorang dapat menjalankan ajaran agama secara lebih baik. Kekayaan tersebut digunakan untuk kepentingan agama, sehingga tampaklah ketinggian agama Islam. Ajaran ini memberi pengaruh besar terhadap cara masyarakat Sekumpul memandang aktivitas dunia, khususnya aktivitas ekonomi. Bekerja (bausaha) di dunia bagi masyrakat Sekumpul bukan sekedar upaya untuk memenuhi kebutuhan hidup di dunia, melainkan juga untuk dapat memenuhi, memperlancar, dan mempermudah kehidupan akhirat. Dengan demikian, bausaha di dunia juga dianggap sebagai bagian dari perintah agama. Gagasan tentang zuhud yang diajarkan oleh Guru Sekumpul di pengajian ar-Raudah telah membawa mereka pada suatu cara hidup yang menempatkan aktivitas duniawi dan aktivitas akhirat sama penting. Dalam pandangan ini, bekerja keras merupakan tugas hidup agar orang mendapat kesejahteraan dunia dan memperoleh keselamatan di akhirat. Mereka menolak sikap hidup keagamaan yang melarikan diri dari dunia. Mereka justru berusaha sedemikian rupa untuk melakukan pengabdian agama dengan memaksimalkan
xxxvii
kegairahan kerja (askese duniawi). Guru Sekumpul juga mengajarkan tentang keharusan mengejar kesejahteraan dunia agar dapat membuktikan ketinggian dan kekayaan agama Islam. Masyarakat Sekumpul berpandangan bahwa ajaran agama dapat dilaksanakan dengan baik jika mereka memiliki fasilitas. Usaha pencarian kekayaan di dunia dimaksudkan untuk mencapai hal tersebut, sehingga tidak mengherankan jika banyak orang Sekumpul yang tidak segan mengeluarkan harta untuk menyumbang atau untuk memenuhi kebutuhan ibadah seperti bersedekah untuk bisa mendapatkan al-Qur’an parada3, tasbih pukah4 atau kaandakan al-Quran. Untuk mendapatkan sebuah tasbih puqah, misalnya, seseorang rela mengeluarkan uang untuk bahadiah5 (menghadiahkan) sebesar tiga hingga lima juta rupiah. Mereka beranggapan bahwa harta tidak akan babarkat (diberkati) dan bertambah jika tidak digunakan untuk kepentingan agama. Akumulasi kekayaan di sini dipandang sebagai bagian untuk mencapai kesempurnaan hidup sebagai pemeluk Islam. Dari dua sub bab ini, ajaran Islam tentang haji , bersedekah, berzakat serta doktrin tentang zuhud ala Guru Sekumpul, tampak jelas bahwa Islam telah menjadi pendorong atau pembentuk etos kerja bagi para pedagang Sekumpul. Tekum, gigih,hemat dan tidak putus asa adalah etos–etos telah menjadi ciri dan watak para pedagang Sekumpul. Al-Qur’an Parada adalah al-Qur’an yang dibuat dengan bahan-bahan khusus dan ditulis dengan parada, sejenis tinta berwarna emas. 3
4
Tasbih Fuqah adalah sebuah tasbih yang biji-bjinya terbuat dari biji tumbuhan fuqah yang konon hanya tumbuh di wilayah Timur Tengah. 5 Di Sekumpul, transaksi untuk sebuah barang yang memiliki nilai ritual seperti alQur’an dan tasbih selalu menggunakan istilah bahadiah (menghadiahkan), bukan membeli. Hal ini terkait dengan prinsip bahwa barang-barang ini tidak boleh diperjualbelikan.
xxxviii
Sebagaimana telah diuraikan pada bab sebelum ini bahwa bagi masyarakat Sekumpul hidup di dunia adalah sebuah jalan untuk mencapai akhirat. Oleh karena itu, usaha-usaha duniawi harus mengandung unsur pencapaian tersebut agar didapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Kebahagiaan akan dapat dicapai jika ada keseimbangan antara aktivitas bausaha (bekerja) dan baibadah (beribadah). Bausaha akan bernilai ibadah jika dilakukan untuk tujuan agama, ibadah atau akhirat. Masyarakat Sekumpul menganggap bausaha merupakan tindakan ibadah dan mendapat pahala jika ia diniati untuk kepentingan agama dan diusahakan untuk membiayai aktivitas agama. Hal ini terlihat dari ungkapan seorang pedagang Sekumpul bahwa ia bausaha agar dapat menjalankan perintah Tuhan agar dapat melaksanakan ibadah haji, bersedekah, dan mengeluarkan zakat. “Kita bagawi dan bausaha supaya dapat duit banyak. Mun duit banyak kita nyaman baibadah, kawa naik haji kawa basidakah dan baibadat (sholat) jadi nyaman amun nang kita pakai nyaman jua.” (Kita kerja agar dapat uang banyak. Jika punya uang banyak, ibadah akan mudah dan enak, kita bisa menjalankan ibadah haji, bersedekah, dan ibadah sholat kita akan terasa enak jika sarana yang kita gunakan baik). Ibadah bagi orang Sekumpul bukan sekedar pelaksanaan segala perintah Tuhan dalam bentuk ritual-ritual agama Islam serta segala sesuatu yang diniati karena Allah, tetapi juga segala sesuatu yang dianggap akan meninggikan dan menjunjung agama Islam. Pelaksanaan ajaran agama tidak hanya berkaitan dengan ritual, tetapi juga mencakup segala usaha yang dapat ‘mengangkat’ agama Islam. Hal ini terungkap dalam pernyataan orang-orang Banjar yang menyatakan bahwa mereka lebih senang bertransaksi dengan sesama orang Banjar atau dengan pedagang yang telah berstatus haji. Orang Banjar, karena xxxix
beragama Islam, dianggap sebagai ‘urang kita’. Memperkaya orang Banjar dianggap sama dengan memperkaya dan meninggikan urang kita atau Islam. Proses usaha atau bausaha yang tidak dijalankan sesuai dengan syariat Islam dianggap batal atau tidak syah dan tidak bernilai ibadah atau tidak mendapatkan pahala. Oleh karena itu, orang Sekumpul lebih memilih melakukan transaksi dengan orang Banjar daripada dengan orang Cina yang (biasanya) bukan Islam, atau lebih memilih bertransaksi dengan pedagang yang telah berhaji daripada dengan pedagang yang belum pernah menunaikan ibadah haji. Dengan demikian, Islam yang telah menjadi identitas Banjar dan status haji menjadi penting dalam proses ekonomi. Islam menjadi tempat berlindung, dengan Islam dia selamat dari persaingan dengan orang selain Islam. Orang-orang Banjar yang taat beragama menjadi yakin bahwa berbelanja kepada pedagang yang telah menjalankan ibadah haji akan lebih menjamin keabsahan akad jual beli yang sedang dijalankan. Mereka dianggap sebagai pedagang yang sholeh dan telah mengerti aturan jual beli yang disyaratkan oleh Islam. Di sini tampaknya konsep bausaha bukan sekedar kerja, tetapi identik dengan ibadah jika ia dijalankan sesuai dengan aturan agama. Hal ini menunjukkan bagaimana simbol agama dan budaya dapat memainkan peran secara persuasif dan direktif bagi kemajuan usaha. Di kalangan masyrarakat Sekumpul, keputusan untuk menentukan pilihan antara berbelanja kepada pedagang Banjar atau kepada pedagang Cina didasarkan pada suatu prinsip ‘lebih baik manyugihi urang kita daripada manyugihi orang Cina’ (lebih baik membuat kaya `orang kita` daripada
xl
membuat kaya orang Cina. `Orang kita` bagi orang Banjar adalah orang yang memiliki kesamaan kultural maupun ideologis. Dalam hal ini, yang dimaksud ‘orang kita’ adalah orang Banjar, atau orang bukan Banjar tetapi beragama Islam. Orang Cina tidak dianggap ‘orang kita’ karena mereka bukan orang Banjar dan tidak beragama Islam. Sementara keturunan Arab, meskipun memiliki kesamaan dengan orang Cina sebagai warga keturunan, mereka lebih bisa ‘diterima’ dibanding orang Cina, karena mereka menganut agama Islam seperti orang Banjar. Orang Arab juga dianggap lebih bersahabat karena mereka mau terlibat dalam berbagai aktivitas orang Banjar. Orang-orang Arab yang demikian kadang-kadang juga disebut sebagai ‘orang kita’. Adanya prasangka sosial terhadap etnis Cina ini tampaknya disebabkan oleh adanya penekanan terhadap etnisitas dalam relasi keduanya. Penelusuran historis menunjukkan bahwa etnisitas ini seringkali dimanipulasi oleh penguasa untuk kepentingan status quo. Pemerintah kolonial, misalnya, menekankan diferensiasi etnik sebagai karakter administrasi politik, sosial, dan ekonomi. Kebijakan colorline, pengistimewaan atas orang kulit putih dan etnis Cina serta peminggiran terhadap golongan pribumi menunjukkan diferensiasi ini. Hal ini telah memunculkan sikap dan prasangka sosial yang terus bertahan hingga kini. Melakukan transaksi dengan orang Banjar yang note bene telah memahami ajaran Islam memungkinkan mereka dapat melaksanakan praktik jual beli secara Islami. Transaksi dagang dalam Islam mensyaratkan adanya akad atau ikrar transaksi jual beli. Akad ini biasanya hanya dijalankan oleh para
xli
pedagang muslim Banjar. Jual beli yang tidak menggunakan akad dianggap tidak sah. Oleh karena itulah, sebagian besar penduduk Banjar lebih suka melakukan transaksi dengan pedagang muslim Banjar. Dalam beberapa kasus, kenyataan ini juga membuat para pedagang Cina melakukan akad dalam jual beli dengan orang Banjar. Akad yang digunakan dalam perdagangan orang Banjar adalah ikrar berupa kata dijuallah
(saya jual) dan dijawab oleh
sipembeli dengan tukar (saya beli). Praktik berdagang orang Sekumpul telah menunjukkan bahwa mereka tidak memisahkan antara kepentingan duniawi dan kepentingan akhirat. Proses ekonomi yang mereka jalankan dimaknai sebagai upaya untuk mendapatkan kekayaan dan kesejahteraan di dunia dan sekaligus sebagai wujud ketaatan terhadap ajaran Islam. Mereka juga menjadikan Islam sebagai tempat berlindung lewat simbol-simbol seperti haji dan orang Banjar. Islam lewat institusi seperti pengajian al-Raudlah Sekumpul, Guru Sekumpul dan Sekumpul sendiri sebagai suatu wilayah juga telah pula menjadi tempat berlindung bagi para pedagang.
xlii
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
Keberhasilan para pedagang Sekumpul menjalankan usaha tidak terlepas dari kekuatan Islam. Kemampuan bertahan dan bersaing para pedagang Sekumpul terhadap pengusaha Cina, tidak terlepas dari Islam yang memiliki nilai kuat dalam kehidupan masyarakat Banjar pada umumnya. Pedagang muslim Sekumpul sebagai penganut Islam yang taat telah menggunakan Islam sebagai tempat berlindung. Dengan menggunakan simbol-simbol Islam, mereka berhasil membuat perdagangan mereka mendapat simpati dari masyarakat Banjar pada umumnya. Ketaatan
terhadap
Islam
menjadi
faktor
yang
mendorong
berkembangnya praktek perdagangan di kalangan pedagang muslim Sekumpul. Meskipun bukan satu-satunya, agama Islam telah memberi pengaruh terhadap usaha ekonomi mereka. Ajaran tentang haji, zakat dan shodakah telah mendorong usaha-usaha aktif memperoleh kekayaan. Demikian juga dengan zuhud serta pemahaman tentang konsep baibadah dan bausaha telah mendinamiskan praktek-praktek ekonomi mereka. Islam telah menjadi faktor pendorong dan pembentuk etos. Saat tekanan dan persaingan dagang semakin tinggi, para pedagang muslim Sekumpul telah menemukan tempat berlindung untuk meneguhkan eksistensi mereka yaitu Islam. Pedagang Sekumpul berusaha menonjolkan simbol-simbol Islam dalam usaha perdagangan mereka serta selalu berusaha
xliii
menghindari berbagai sangsi moral yang berkaitan dengan agama. Mereka menggunakan simbol haji, pelaksanaan syari’at Islam serta simbol-simbol agama lainnya dalam rangka memperkuat posisi perdagangan mereka. Islam dalam hal ini menjadi simbol status yang menempatkan mereka pada struktur sosial yang lebih tinggi dalam masyarakat. Mereka menjadi kelas menengah bahkan kelas atas yang turut mempengaruhi dinamisasi kehidupan penduduk. Di sini struktur juga memainkan peranan penting untuk menjelaskan mengapa pangusaha Sekumpul berhasil mengembangkan usaha mereka dan dapat terus bertahan. Adanya defferensiasi antara ‘orang kita’ dan ‘kada orang kita’ menjadi hal yang penting dalam sebuah proses sosial yang terjadi dalam masyarakat Banjar. Proses ekonomi yang melibatkan proses sosial didalamnya juga dipengaruhi oleh unsur ini. Untuk memungkinkan ia diterima sebagai ‘orang kita’ adalah salah satunya dengan Islam. Di sini ada affinity, kesesuaian antara Islam dan proses ekonomi masyarakat Banjar. Orang-orang Cina yang beragama Islam biasanya juga lebih dapat diterima. Mereka juga dianggap sebagai bagian dari “orang kita” atau “bubuhan kita”. Kedekatan para pedagang Sekumpul dengan para tuan guru khususnya Guru Sekumpul yang memiliki pengaruh besar di daerah Martapura bahkan Kalimantan Selatan pada umumnya, membuat para pemimpin keagamaan bersimpati kepada mereka. Simpati para pemimpin keagamaan ini pada gilirannya diikuti pula oleh para pengikut-pengikut mereka. Para pedagang mendapat perlindungan dari para tuan guru. Reformasi agama yang dilakukan
xliv
lewat
pengajaran-pengajaran
yang
diberikan
oleh
tuan
guru
telah
membangkitkan praktek komersialisasi. Namun tampaknya mereka sulit untuk menjadikan kegiatan bisnis mereka menjadi bisnis yang besar. Hal ini diantaranya disebabkan oleh ketergantungan para pedagang kepada seorang tuan guru membuat mereka tidak berpikir untuk membuka jaringan yang lebih luas. Perlindungan yang diberikan tuan guru membuat kecilnya keinginan pedagang untuk berinovasi. Meskipun bukan hal yang buruk, hubungan tuan guru dan pedagang perlu diperbaiki. Pengaruh tuan guru yang luar biasa dalam kehidupan ekonomi penduduk Sekumpul mengharuskan adanya suatu reformasi yang terus menerus dilakukan oleh agama lewat tuan guru. Karena sekali orientasi ekonomi tuan guru berubah maka hal itu juga akan mungkin mempengaruhi perkembangan ekonomi lokal. Untuk itulah disarankan pengaruh tuan guru yang sangat kuat ini harus senantiasa dipertahankan di dalam rangka mempercepat proses perkembangan ekonomi di Sekumpul khususnya dan di kalangan masyarakat Banjar pada umumnya. Selain itu, disarankan pula adanya bentuk organisasi-organisasi modern
yang
lebih
profesional
untuk
lebih
meningkatkan
kegiatan
perekonomian para pedagang Sekumpul sehingga tidak hanya menjadi sekedar perusahaan keluarga.
xlv
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Irwan. 1994. The Muslim Businessmen of Jatinom: Religious Reform and Economic Modernization in a Javanese Town. Disertasi Ph. D. University of Amsterdam ____________ . 2003. “Tumbuh dan Berkembangnya Kaum Pengusaha di Aceh”. dalam Pengantar buku Hasan Saad. Bersama Induk Semang. Yogyakarta: Relief Press. Amin, M. Masyhur (ed.). 1994. Moralitas Pembangunan, Perspektif Agamaagama di Indonesia. Yogyakarta: LKPSM-NU dengan Pustaka Pelajar Azra, Azyumardi. 1999. “Revitalisasi Islam di Kalimantan Selatan: Jihad Pangeran Hidayatullah”, dalam Islam Reformis, Dinamika Intelektual dan Gerakan, Jakarta: Rajawali Press. Daud, Alfani. 1997. Islam dan Masyarakat Banjar; Diskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar, Jakarta: Rajawali Pers Freud, Julien. 1972. The Sociology of Max Weber. Harmondsworth: Penguin Books Holton, R. J. 1988. The Transisition from Feudalism to Capitalism. London: Macmillan Education Kuntowijoyo. 2001. Muslim Tanpa Mesjid: Esai-Esai Agama, Budaya, dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme Transendental. Bandung: Mizan Moleong, Lexy J. 2000. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya Muhaimin, Yahya. 1987. “ Muslim Traders: The Stillborn Bourgeoisie”. Prisma 49. hlm 83-90 Nasution, S. 1992. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito Rosyadi, Ahmad. 2004. Bertamu ke Sekumpul. Martapura: Lembaga Pengkajian Ilmu Pengetahuan dan Keislaman Kabupaten Banjar. Roxborough, Ian. 1986. Teori-Teori Keterbelakangan. Jakarta: LP3ES Sobary, Mohammad.1999. Kesalehan dan Tingkah Laku Ekonomi. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya
xlvi
Turner, Bryan S. 1974. Weber and Islam: A Critical Study. London: Routledge & Kegan Paul Usman, Gazali. 1994. Kerajaan Banjar; Sejarah Perkembangan Politik. Ekonomi Perdagangan dan Agama Islam. Banjarmasin: Lambung Mangkurat University Press Weber, Max. 1930. The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism. New York and London: Scribner ___________ . 1978. Economy and Society. Berkeley: University of California Press ___________ . 1982. “Sekte-sekte Protestan dan Semangat Kapitalisme”, dalam Taufik Abdullah (ed.). Agama, Etos Kerja, dan Perkembangan Ekonomi. Jakarta: LP3ES.
xlvii
LAMPIRAN A. Jadwal Penelitian Penelitian ini berlangsung selama 2 bulan dengan 6 minggu efektif. Adapun rincian jadwal penelitian sebagai berikut:
No.
1
2
Bulan/Minggu keAgustus September 1 2 3 4 1 2 3 4
Kegiatan Persiapan a. Perizinan b. Pembuatan proposal Pelaksanaan a. Pengumpulan Data b. Analisis Data c. Pembuatan Laporan
x x x x x x x
B. BIODATA PENELITI a. b. c. d. e. f. g. h.
Nama Lengkap Jenis Kelamin NIP Disiplin Ilmu Pangkat dan Golongan / Jabatan Fungsional Fakultas / Jurusan Waktu untuk Kegiatan Ini
: : : : : : : :
Alfisyah, S.Ag. M.Hum Perempuan 19740805 200604 2 002 Ilmu Sosial Penata/ IIIc Lektor FKIP / PIPS 100 Jam/minggu
xlviii