LAPORAN PENELITIAN
Pola Pembelajaran dalam Tradisi Pengajian Perempuan di Gang Bersama Kelurahan Sekumpul Martapura
Disusun Oleh : Alfisyah, S.Ag, M.Hum Lumban Arofah, S.Sos. M.Sc Tutung Nurdiyana, M.A. M.Pd Sigit Ruswinarsih, S.Sos. M.Pd Yusuf Hidayat, S.Sos. M.Si Syahlan Mattiro, SH, M.Si. Nasrullah, S.Sos.I, MA Yuli Apriati, S.Sos. MA.
NIDN. 0005087407 NIDN. 0029118003 NIDN. 0021107607 NIDN. 0026017005 NIDN. 0020057607 NIDN. 0009038004 NIDN. 0026057907 NIDN. 0016048401
(Ketua) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota)
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT BANJARMASIN DESEMBER 2013
1
2
HALAMAN PENGESAHAN PENELITIAN BOPTN 1. Judul Penelitian
: Pola Pembelajaran dalam Tradisi Pengajian Perempuan di Gang Bersama Kelurahan Sekumpul Martapura 2. Ketua Peneliti : a. Nama Lengkap : Alfisyah, S.Ag. M.Hum b. Jenis Kelamin : Perempuan c. NIDN : 0005087407 d. Pangkat/Gol : Penata/IIIc e. Jabatan Fungsional : Lektor f. Bidang Keahlian : Ilmu Sosial g. Fakultas/Jurusan : FKIP/Pendidikan IPS h. No. HP : 0818461259 i. Alamat Surel (e-mail) :
[email protected] 3. Anggota : 7 orang (1) Sigit Ruswinarsih, S.Sos. M.Pd (2) Tutung Nurdiyana, M,A. M.Pd (3) Lumban Arofah, S.Sos. M.Sc (4) Yusuf Hidayat, S.Sos. M.Si (5) Nasrullah, S.Sos.I. MA (6) Syahlan Mattiro, SH. M,Si (7) Yuli Apriati, S.Sos. MA. 4. Biaya yang diusulkan : Rp. 6.000.000,- (enam juta rupiah) 5. Sumber Dana : BOPTN 2013/2014 Banjarmasin, Desember 2013 Mengetahui, Dekan FKIP Unlam Ketua Peneliti
Drs. H. Ahmad Sofyan. M.A NIP. 19511110 197703 1003
Alfisyah, S.Ag. M.Hum NIP. 19740805 200604 2002 Menyetujui, Ketua Lembaga Penelitian Universitas Lambung Mangkurat
Dr. Ahmad Alim Bachri, SE. M.Si NIP. 19671231 199512 1002
3
RINGKASAN
Pola Pembelajaran dalam Tradisi Pengajian Perempuan di Gang Bersama Kelurahan Sekumpul Martapura Penelitian ini dilakukan oleh tim yang terdiri dari,: Alfisyah, Sigit Ruswinarsih, Lumban Arofah, Tutung Nurdiyana, Yusuf Hidayat, Nasrullah, Syahlan Mattiro dan Yuli Apriati. Peran lembaga Islam dalam mengembangkan pendidikan dan pengajaran sudah tidak diragukan lagi. Meskipun setelah Indonesia merdeka telah berkembang jenis-jenis pendidikan Islam formal dalam bentuk madrasah dan pada tingkat tinggi ada perguruan tinggi Islam namun kehadiran lembaga pengajian sebagai sebuah institusi pendidikan untuk orang dewasa masih tetap dapat bertahan. Bahkan disaat lembaga pendidikan makin berkembang dengan mengambil bentuk yang lebih modern tampaknya lembaga pengajian dengan corak tradisional masih menunjukkan kekuatan penting sebagai sebuah institusi pendidikan sekaligus sosial. Kenyataan ini menunjukkan bahwa model dan pola pembelajaran maupun pengajara yang digunakan dalam tradisi pengajian telah berhasil menarik minat dan diterima di kalangan masyarakat Banjar. Minat masyarakat Banjar memanfaatkan lembaga pengajian sebagai tempat belajar bahkan tidak hanya terbatas pada kaum laki-laki tetapi jga kaum perempuan. Bahkan perempuan dalam konteks pembelajaran di lembaga pengajian tidak hanya berperan pasif sebagai peserta atau jamaah tetapi juga aktif sebagai pengajar seperti yang berlangsung pada lembaga pengajian dan majelis zikir Ibu Hajjah Nafsiyah di Gang Bersama Sekumpul Martapura. Pengajian ini cukup diminati kalangan perempuan. Model pembelajaran yang digunakan pada lembaga ini adalah model yang dipakai oleh lembaga pendidikan Islam tradisional pada umumnya yaitu dengan metode bandongan dengan memadukan model ceramah dan tanya jawab. Materi cabang pengetahuan yang diajarkan meliputi tauhid, fikih dan tasawwuf. Tujuan pengajian ini tidak sekedar memperkaya pikiran dengan pengetahuan agama tetapi juga meninggikan moral. Oleh karena itu diharapkan lembaga ini bisa mendapat perhatian yang lebih besar dari pemerintah, agar keberadaannya terus berkembang sebagai sebuah alternatif pendidikan untuk orang dewasa.
4
PRAKATA Puji dan syukur pada Tuhan yang Maha Esa atas segala anugrahnya sehingga kegiatan penelitian ini dapat terlaksana dan laporan kegiatan dapat terselesaikan sesuai target dan jadwal yang telah direncanakan. Kegiatan penelitian tentang pola pembelajaran dalam tradisi pengajian perempuan di Sekumpul Martapura ini bertujuan untuk menggambarkan dan menganalisis pola-pola pembelajaran yang berlangsung di institusi ini. Lebih khusus tujuan dari penelitian ini adalah menggali model pembelajaran yang berlangsung di insrtitusi Pengajian dan Majelis Zikir Hajjah Nafsiyah yang bertempat di Jalan Sekumpul Gang Bersama Kelurahan Sekumpul Martapura Kabupaten Banjar. Terlaksananya penelitian ini tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak, oleh karena itu kami ingin mengucapkan terimakasih kepada Ketua Lembaga Penelitian Unlam, Dekan FKIP Unlam, Ketua Program Studi Pendidikan Sosiologi antropologi beserta seluruh stap pengajarnya yang juga turut teribat dalam kegiatan ini. Terkhusus ucapan terima kepada pimpinan pengajian Ibu Hajjah Nafsiyah yang telah memberikan waktu dan kesempatan sehingga kegiatan ini dapat terlaksana. Kami menyadari bahwa kegiatan ini tidak terlepas dari berbagai kekurangan yang tentu saja akan terus dilakukan evaluasi untuk perbaikan ke depan. Semoga kegiatan ini dapat bermanfaat dan menjadi pendorong untuk kegiatan berikutnya. Banjarmasin, Desember 2013 Tim Penyusun
5
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ................................................................................. HALAMAN PENGESAHAN ................................................................... RINGKASAN ............................................................................................ PRAKATA ................................................................................................. DAFTAR ISI .............................................................................................. DAFTAR GAMBAR ................................................................................. DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... A. Latar Belakang ...................................................................... B. Perumusan Masalah .............................................................. BAB II LANDASAN TEORI .................................................................. A. Pola dan Model Pembelajaran .............................................. B. Peran Pendidikan Pesantren .................................................. C. Institusi Keagamaan dan Pengajian ...................................... BAB III TUJUAN DAN MANFAAT ....................................................... A. Tujuan Penelitian .................................................................. B. Manfaat Penelitian ................................................................ BAB IV METODE PENELITIAN ............................................................ A. Paradigma Penelitian ............................................................. B. Lokasi Penelitian ................................................................... C. Instrumen Penelitian ............................................................. D. Sumber Data .......................................................................... E. Tehnik Pengumpulan Data .................................................... F. Analisis Data ......................................................................... G. Pengujian Keabsahan Data ................................................... BAB V Hasil dan Pembahasan ................................................................ A. Sekumpul: Sebuah Profil Kota Pengajian ............................. B. Dinamika Pengajian di Sekumpul ......................................... C. Pola Pembelajaran Pengajian Perempuan Sekumpul ............ BAB VI Kesimpulan dan Saran ................................................................ A. Kesimpulan ........................................................................... B. Saran .................................................................................... DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ LAMPIRAN ...............................................................................................
i ii iii iv v vi vii 1 1 4 6 6 11 15 20 20 20 22 22 23 24 25 25 27 39 31 31 43 49 54 54 55 56 58
6
DAFTAR GAMBAR
5.1.
Jalan Sekumpul ...................................................................................... 32
5.2. Gerbang dan Komplek ar-Raudlah Sekumpul ........................................ 33 5.3. Kran-kran Wudhu di Rumah Penduduk .................................................. 37 5.4. Suasana Pengajian Laki-laki di Sekumpul .............................................. 48 5.5. Suasana Pengajian Perempuan di Gang Bersama Sekumpul .................. 51
7
DAFTAR LAMPIRAN
1. Jadwal Penelitian ....................................................................................... 58 2. Pembiayaan Penelitian ............................................................................... 59 3. Personalia Peneliti ...................................................................................... 60 4. Izin Penelitian ............................................................................................ 62
8
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengajian merupakan salah satu institusi yang cukup lama hadir sebagai lembaga yang memberi pendidikan kepada masyarakat. Dalam sejarah perjalanan perkembangan Islam, pengajian memberi peran yang besar dalam menyampaikan berbagai pengetahuan khususnya pengetahuan agama dan sosial. Peran lembaga Islam dalam mengembangkan pendidikan dan pengajaran sudah tidak diragukan lagi. Peran lembaga pendidikan Islam khususnya pesantren telah banyak dikaji dan ditulis. Peran pengajian atau pesantren setidak-tidaknya ada tiga tempat seperti ditulis Rafiq (2005: 2) yaitu sebagai lembaga pendidikan, lembaga penyiaran agama dan juga gerakan sosial keagamaan kepada masyarakat. Sebagian besar pesantren yang ada tersebar di wilayah pedesaan. Hal tersebut menjadikan lembaga ini memiliki posisi yang strategis dalam mengemban peranperan pengembangan pendidikan maupun sosial ekonomi bagi masyarakat sekitar. Penelitian Zamakhsari Dhofier (1994: 16) tentang tradisi pesantren menunjukkan bagaimana pesantren selama ini dikenal sebagai pemelihara kehidupan keberagamaan umat Islam, khususnya yang berada di sekitar lokasi pesantren tersebut. Hal ini juga diakui oleh para peneliti Barat semacam Van den Berg, Snouck Hurgronye dan Clifford Geertz. Setelah melakukan penelitian terhadap pesantren, mereka betul-betul menyadari tentang pengaruh kuat dari pesantren dalam membentuk dan memelihara kehidupan sosial, kultural, politik dan keagaman masyarakat.
9
Meskipun setelah Indonesia merdeka telah berkembang jenis-jenis pendidikan Islam formal dalam bentuk madrasah dan pada tingkat tinggi ada perguruan tinggi Islam namun kehadiran lembaga pengajian sebagai sebuah institusi pendidikan untuk orang dewasa masih tetap dapat bertahan. Bahkan disaat lembaga pendidikan makin berkembang dengan mengambil bentuk yang lebih modern tampaknya lembaga pengajian dengan corak tradisional masih menunjukkan kekuatan penting sebagai sebuah institusi pendidikan sekaligus sosial. Menurut Dzofier (1994: 44), lembaga pengajian merupakan cikal bakal pesantren. Lembaga pengajian yang telah memenuhi lima elemen yaitu pondok, mesjid, santri, pengajaran kitab-kitab Islam klasik dan kyai, biasanya akan berubah statusnya menjadi pesantren. Dalam konteks ini maka pengajian adalah lembaga yang hanya memenuhi beberapa komponen dari lima komponen tersebut dan tidak memiliki beberapa komponen lainnya. Pada kenyataannya sebagian besar pengajian memang tidak memiliki pondok dan mesjid. Lembaga pengajian biasanya hanya memiliki tiga elemen, yaitu santri, pengajaran kitab-kitab klasik serta kyai. Di Kalimantan Selatan institusi pengajian bukan merupakan sesuatu yang asing dan seperti telah diuraikan di atas maka hampir seluruh pengajian yang tumbuh di wilayah ini tidak memiliki pondok dan mesjid. Lembaga-lembaga pengajian yang ada di wilayah Kalimantan Selatan pada umumnya dilaksanakan di rumah-rumah penduduk khususnya di rumah tuan guru (kyai) yang memberikan pengajaran.
10
Lembaga pengajian di Kalimantan Selatan tersebar hampir di seluruh kota namun tampaknya kota yang memiliki institusi pengajian terbanyak ada di wilayah kota Martapura Kabupaten Banjar. Hal ini bisa dimengerti karena kota Martapura merupakan kota santri dimana banyak ulama yang lahir, hidup dan berkembang disini. Di kota ini berdiri cukup banyak pesantren sehingga kota ini juga disebut sebagai kota santri. Banyaknya guru atau ustaz pengajar serta ulama ini membuat institusi pengajian berkembang seiring dengan perkembangan tuan guru. Sejak awal tahun 2000 an, seiring dengan wafatnya Tuan Guru Zaini Ghani, pengajian mulai ramai bermunculan khususnya di wilayah Martapura. Hingga awal 2013, tidak kurang dari empat lembaga pengajian yang cukup banyak jamaah berkembang di sekitar Martapura. Ada pengajian Guru Wildan, pengajian Guru Syukri, pengajian Guru Munawwar, dan pengajian Guru Muaz. Semakin banyaknya lembaga pengajian bermunculan di wilayah Kalimantan Selatan dan semakin besarnya jumlah jamaah atau pengikut pengajian adalah merupakan salah satu bukti bahwa pengajian di Kalimantan Selatan memiliki vitalitas. Kehadiran dan keberadaan lembaga pengajian yang semakin marak di Kalimantan Selatan menunjukkan bahwa lembaga ini masih memiliki peran besar bagi masyarakat. Lembaga ini bahkan tidak hanya melibatkan kaum laki-laki sebagai pengajar maupun pengikut (jamaah) tetapi juga perempuan. Di beberapa pengajian di Kalimantan Selatan juga memberikan kesempatan bagi perempuan untuk ambil bagian dalam kegiatan ini, bahkan di beberapa tempat juga ditemukan adanya lembaga pengajian yang diprakarsai oleh perempuan dan
11
pengajar juga dari kalangan perempuan. Salah satunya adalah Majelis Zikir Ibu Hajah Nafsiyah di Sekumpul Martapura. Penelitian ini bermaksud untuk menggambarkan pola pembelajaran yang dilaksanakan dalam lembaga pengajian sebagai sebuah institusi pendidikan dalam mengemban misi soaial dan pendidikan di kalangan masyarakat Banjar khususnya perempuan di Sekumpul.
B. Perumusan Masalah Azyumardi Azra (1997: ix-xi) dalam temuannya yang menyimpulkan bahwa sejak dilancarkan perubahan atau modernisasi pendidikan Islam di berbagai kawasan dunia Muslim, tidak banyak lembaga pendidikan Islam tradisional yang mampu bertahan. Kebanyakannya lenyap setelah tergusur oleh ekspansi sistem pendidikan umum. Hal ini menurut Noer (1983: 49) terkait dengan anggapan bahwa persoalan administrasi dan organisasi merupakan hal yang penting sehingga banyak yang mencoba untuk memulai pengajaran yang terorganisasi disertai kurikulum yang jelas. Menurut Dhofier (1994: 19) di Jawa, pengajian yang diselenggarakan di rumah-rumah guru ngaji di langgar atau di mesjid merupakan tempat memberikan pelatihan atau pendidikan elementer tradisional bagi seorang Jawa untuk dapat mengucapkan dua kalimah syahadat, mengerjakan kewajiban sembahyang lima waktu dan membaca Qur’an. Penelitian ini berupaya mengkaji tentang keberadaan pengajian sebagai sebuah institusi pendidikan dan gerakan sosial dengan fokus kajian diarahkan pada pola pembelajaran yang berlangsung di pengajian ini.
12
Pengajian sebagai sebuah institusi memiliki dinamika yang terus berkembang dari waktu ke waktu. Seiring dengan perkembangan kelembagaan maka sebagai sebuah institusi yang dinamis, pengajian juga akan terus menerus menghadapi persoalan. Dalam penelitian ini ada akan coba digali tentang model pembelajaran yang berlangsung di institusi pengajian khususnya di Pengajian dan Majelis Zikir Hajjah Nafsiyah yang bertempat di Jalan Sekumpul Gang Bersama Kelurahan Sekumpul Martapura Kabupaten Banjar.
13
BAB II LANDASAN TEORI A. Pola dan Model Pembelajaran Model-model pembelajaran salah satunya mengacu pada model-model pembelajaran Joyce, Weil dan Calhoun (2000). Model pembelajaran menurut Joyce, Weil dan Calhoun (2000: 3) adalah “…a plan of pattern that can be used to shape curriculums (long-term course of studies) to design instructional materials, and to guide instruction in the classroom and other setting.” (...suatu rencana atau pola yang digunakan dalam menyusun kurikulum, mengatur materi pelajaran, dan memberi petunjuk kepada pengajar di kelas dalam setting pengajaran ataupun setting lainnya). Ditegaskan oleh Joyce, Weil dan Calhoun (2000: 6) “Models of teaching are really models of learning. As we help students acquire information, ideas, skills, values, ways of thinking, and means of expressing themselves, we are also teaching them how to learn.” (Model pembelajaran merupakan perencanaan suatu pola yang dapat digunakan sebagai desain dan petunjuk pembelajaran dalam ruang kelas. Model pembelajaran merupakan bentuk nyata belajar sehingga dapat membantu siswa mendapatkan informasi, idea, keterampilan, nilai, pandangan berpikir, dan cara pemahaman diri, serta membantu siswa bagaimana belajar). Ditegaskan oleh Eggen, Kauchak dan Harder (1979: 12) : A model cannot take the place of fundamental qualities in a teacher, such as knowledge of subject matter, creativity, and sensitivity to people. Rather it is a tool to help good teachers teach more effectively, by making their teaching more systematic and efficient. Models provide the flexibility to allow teachers to use their own creativity, just as the builder uses creativity in the construction. As with the blueprint, a teaching model is a design for teaching, within which the teacher uses all the skill and insights at his or her command. (Model tidak dapat mengganti tempat kualitas fundamental guru seperti pengetahuan tentang materi pembelajaran,
14
kreativitas, dan sensitivitas terhadap masyarakat. Model pembelajaran hanyalah sebuah alat untuk menolong guru mengajar lebih efektif, sistematik dan efisien. Model pembelajaran digunakan secara fleksibel sehingga guru dapat kreaktif). Pada setiap model pembelajaran hendaknya memperhatikan : syntax, social system, principles of reaction, support system, dan nurturant effect. (Joyce, Weil dan Calhoun, 2000). Syntax adalah urut-urutan kegiatan pembelajaran dari tahap awal hingga akhir pembelajaran. Social system adalah gambaran peranan dan hubungan guru dengan murid serta norma yang mengikat di kelas. Principles of reaction merupakan prinsip-prinsip reaksi, cara bagaimana memperhatikan peserta didik, memberikan penghargaan dan merespon peserta didik. Support system adalah segala sesuatu yang dapat membantu terlaksananya tujuan, misalnya dengan mengusahakan sumber-sumber belajar atau perpustakaan. Nurturant effect merupakan hasil sampingan atau hasil tidak langsung dari pembelajaran dengan menggunakan model tertentu. Joyce, Weil dan Calhoun (2000) telah mengembangkan model-model pembelajaran dalam bukunya Models of Teaching yang menempatkan siswa sebagai pusat pembelajaran, kebalikan dengan model konservatif yang berpusat pada guru. Gagasan-gagasan dan keterampilan berpikir siswa dalam model pembelajaran Joyce, Weil dan Calhoun (2000) dikembangkan sejalan dengan pandangan UNESCO (1996) tentang learning throught life, berarti tumbuh kesadarannya tentang makna belajar. Model pembelajaran Joyce, Weil dan Calhoun (2000) terdiri dari empat rumpun, yaitu : the social family models, the information-processing family models, the personal family models, behavioral models.
15
The social family models adalah rumpun model pembelajaran tentang hakekat manusia dan cara belajar. Rumpun model ini menekankan pada sifat dasar masyarakat, dan belajar tingkah laku sosial, serta interaksi sosial dalam belajar. Peranan sentral pendidikan model ini adalah mempersiapkan warganegara untuk membangkitkan perilaku demokrasi, keduanya untuk mempertinggi kehidupan personal dan sosial dan untuk menjamin hasil demokrasi. Cooperative menjadi sifat mempertinggi kualitas hidup, membawa kegembiraan dan pengertian tentang semangat dan menurunkan konflik sosial. Cooperative behavior adalah peransang bukan hanya oleh masyakarat tetapi juga intelektual. Demikian juga memerlukan interaksi sosial untuk dapat membangkitkan academic learning. Perkembangan produk social behavior, academic skills dan knowledge saling bergabung (Joyce, Weil dan Calhoun, 2000: 29). Kerjasama akan menghasilkan collective energy yang disebut synergy. Model sosial dalam pembelajaran merupakan bangunan untuk mendapatkan keuntungan phenomena ini dengan membangun komunitas belajar. Pada dasarnya classroom management adalah bahan mengembangkan kerjasama dalam kelas. Perkembangan positif pada budaya sekolah merupakan proses pengembangan cara-cara integrative dan produktif pada tnteraksi dan norma-norma yang mendukung semangat aktivitas belajar (Joyce, Weil dan Calhoun, 2000: 14). The information-processing family models memberi tekanan arah pada peningkatan
pembawaan
manusia
dalam
membuat
arah
dunia
dengan
mendapatkan data, mengumpulkan data, temuan masalah, meningkatkan solusi pada peserta didik, mengembangkan konsep-konsep, dan bahasa untuk meningkatkan mereka. Beberapa model diadakan oleh pembelajar dengan
16
informasi dan konsep-konsep, penekanan pada formasi konsep, menguji hipotesis, dan
peningkatan
keterampilan
berpikir.
Beberapa
desain
meningkatkan
kemampuan intelektual. Banyak model pemrosesan informasi berguna untuk belajar bagi diri sendiri dan masyarakat, demikian juga untuk mencapai nilai-nilai personal dan sosial bagi pendidikan (Joyce, Weil dan Calhoun, 2000: 17). The
personal
family
berangkat
dari
kemanusiaan pada dasarnya terletak dalam
pemahaman
bahwa
realita
kesadaran individual. Kita
mengembangkan kepribadian unik dan melihat dunia dari perspektif yang merupakan produk dari pengalaman dan posisi kita. Biasanya pemahaman adalah produk perundingan individu-individu yang harus tinggal, bekerja, dan kreatif bersama keluarga. Model personal memulai dari perspektif diri sendiri pada individu. Mereka memelihara bentuk pendidikan dengan pemahaman yang baik, tanggap terhadap pendidikan mereka, dan belajar mencari untuk menjadi kuat, lebih sensitive, dan lebih kreatif
dalam mendapat kehidupan yang lebih
berkualitas. Model personal ini menekankan pada perkembangan diri individu yang
mengutamakan
proses
menolong
individu
membentuk
dan
mengorganisasikan realita. Model ini mengajak siswa mengembangkan hubungan produktif
dengan
lingkungan.
Kelompok
model
personal
menekankan
perhatiannya pada perspektif individu dan mencari untuk mendorong kebebasan dalam memperoduksi, sehingga masyarakat memiliki kesadaran diri dan tanggap terhadap nasib mereka. Behavioral models atau pengembangan perilaku, berdasar pada teori social learning theory, behavior modification, behavior therapy, dan cybernetics. Dasarnya bahwa manusia melakukan self-correcting system komunikasi dengan
17
merekayasa perilaku dalam menanggapi informasi agar berhasil. Contoh imajinasi manusia : cerita tentang mendaki tangga rumah dalam gelap yang tidak biasa dilakukan. Secara berangsur-angsur perilakunya akan terbiasa dan mengalami kemajuan mendaki tangga dan menyenangkan. Teori Skinner tahun 1953 menjadi motor
behavioral
models.
Berdasarkan
aliran
behaviorisme,
kegiatan
pembelajaran diarahkan pada timbulnya tingkah laku baru sesuai dengan tujuan pembelajaran. Empat rumpun model pembelajaran Joyce, Weil dan Calhoun (2000) di atas diharapkan dapat menumbuhkan aktifitas siswa dalam pembelajaran, sehingga siswa memiliki kesadaran pentingnya subject matter yang dipelajarinya dan pentingnya belajar, pada gilirannya siswa dapat merasakan manfaat belajar. Model pembelajaran lain yang banyak digunakan dalam pembelajaran sosial di antaranya adalah pembelajaran kooperatif, model pembelajaran ini sering disebut dengan pembelajaran gotong royong, karena menekankan pada kerja sama dan berangkat dari falsafah homo homini socious (Lie, 2002: 27). Menurut Arends (1989: 402): “The cooperative learning model grew out of an educational tradition emphasizing democratic thought and practise, active learning, cooperative behaviour, and respect for pluralism in multicultural societies.” (Model belajar kooperatif tumbuh sebagai tradisi pendidikan dengan penekanan pada demokrasi dalam berpikir dan bertindak, belajar aktif, prilaku kerjasama, dan tanggap pada kemajemukan dalam masyatakat multikultur). Pembelajaran kooperatif berangkat dari pemikiran John Dewey, Herbert Thelan, dan kelas demokratis. Konsep Dewey tentang pendidikan (Arends, 1989: 403) “…that the classroom should mirror the larger society and be a laboratory
18
for real-life learning.” (...bahwa ruang kelas merupakan cermin masyarakat luas dan sebuah laboratorium untuk belajat nyata tentang kehidupan). Pedagogi Dewey diperlukan guru untuk menciptakan lingkungan belajar sebagai sebuah karakter sistem sosial dengan prosedur demokrasi dan proses sains (ilmiah). Tanggung jawab utama guru adalah melibatkan siswa menciptakan penyelidikan ke dalam masalah interpersonal dan sosial. Prosedur ruang kelas oleh Dewey ditekankan dalam bentuk kelompok kecil, problem-solving, pencarian jawaban dan prinsipprinsip demokrasi dengan interaksi satu sama lain (Arends, 1989: 403). Sesudah Dewey, Herbert Thelen (Isjoni, 2009: 27) mengembangkan prosedur untuk membantu siswa bekerja dalam kelompok. Kelas merupakan laboratorium atau miniature democracy untuk tujuan studi dan penyelidikan masalah interpersonal dan sosial. Thelen berdasarkan dinamika kelompok mengembangkan bentuk rinci dan terstruktur tentang penyelidikan kelompok, dan mempersiapkan dasar konseptual untuk mengembangkan pembelajaran kooperatif pada masa kini. Ciri pembelajaran kooperatif (Arends,1989: 407) : Students work in teams to master academic materials Team are made up of high, average, and how achievers Teams are made up of racially and sexually mixed group of students Reward systems are group oriented rather than individually oriented. (Para siswa bekerja dalam kelompok untuk menguasai material akademis, kelompok dibentuk berdasarkan tinggi, rata-rata, kelompok terdiri dari pencampuran ras dan jenis kelamin, Sistem Penghargaan secara kelompok bukannya secara individu).
B. Pengajaran dan Pendidikan Islam Fenomena madrasah di Indonesia merupakan perkembangan dari surau maupun pesantren adalah akibat dari semakin banyaknya kaum muslimin yang menunaikan ibadah haji dan meneruskan domisilinya untuk menuntut ilmu
19
(Anwar, 2008: 11). Fenomena kehadiran madrasah juga disebabkan oleh adanya semangat nasionalisme dan patriotism dari umat Islam dalam merespons sistem pendidikan Barat yang mempunyai program yang lebih terkoordinasi dan sistematis dan mampu menghasilkan lulusan terampil (Zuhairini, 1995: 157) Sejarah pendidikan Islam di Indonesia sudah mulai tumbuh sejalan dengan proses penyebaran Islam di Indonesia meskipun masih bersifat individual. Para pengajar agama ini mendekati masyarakat dengan cara yang persuasive dan memberikan
pengertian
tentang
dasar-dasar
Islam.
Kemudian,
dengan
memanfaatkan lembaga-lembaga mesjid, surau dan langgar mulailah secara bertahap berlangsung pengajian umum mengenai tulis baca al-Qur’an dan wawasan keagamaan. Namun demikian, pelembagaan khusus untuk pelaksanaan pendidikan bagi umat Islam di Indonesia baru terjadi dengan pendirian pesantren. Lembaga ini diperkirakan muncul pada abad 13 dan mencapai perkembangannya yang optimal pada abad 18. Para ahli agaknya sepakat bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia (Rahim, 2001: 6). Pendirian lembaga-lembaga Islam di Indonesia, dalam berbentuk dan coraknya, merupakan upaya pendidikan untuk masyarakat secara terbuka. Sampai munculnya pesantren, lembaga pendidikan di Indonesia sebelumnya cenderung bersifat sangat eksklusif. Pada masa pra-Islam, selain para rohaniawan Hindu, tidak semua orang dapat mengikuti pendidikan yang terlembagakan. Sedangkan pada masa penjajahan, sekolah-sekolah pada umumnya didirikan untuk kalangan bangsawan dan kaum penjajah. Baru setelah adanya desakan gerakan pencerahan dan perjuangan kalangan terdidik Indonesia, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan kebijakan pendirian sekolah-sekolah rakyat yang lebih terbuka. Hal
20
ini berbeda dengan pendirian madrasah dan sekolah-sekolah Islam yang sejak semula bersifat terbuka bagi masyarakat luas
(Steenbrink, 1986). Sebagian
lulusan pesantren kemudian melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi ke beberapa pusat kajian Islam di Timur Tengah. Fenomena pelancongan (rihlah ilmiyyah) yang secara intensif muncul pada akhir abad 18 ini pada akhirnya tidak saja menambah keilmuan mereka, tetapi juga menambah pengalaman dan inspirasi mereka dari gerakan modernisasi pendidikan di Timur Tengah. Lulusan-lulusan pendidikan Timur Tengah pada masa itu kemudian menjadi pemrakarsa pendirian madrasah-madrasah di Indonesia. Berbeda dengan lembaga pendidikan pesantren, madrasah yang dicontoh dari Timur Tengah itu merupakan lembaga pendidikan yang lebih modern dari sudut metodologi dan kurikulum pengajaran (Rahim; 2001: 7). Diakui pelembagaan Islam dalam bidang pendidikan bermula dari fungsi dakwah dan ta’lim dari mesjid atau langgar dan kemudian melembaga menjadi pesantren. Dalam masa yang sangat panjang, pesantren menjadi lembaga pendidikan pas excellence di Indonesia, sampai akhirnya menghadapi tantangan modernisasi. Tradisionalisme pesantren kemudian diuji dengan hadirnya lembaga pendidikan sekolah yang diperkenalkan oleh pemerintah Hindia Belanda dan lembaga pendidikan madrasah yang dikembangkan oleh para pembaharu lulusan Timur Tengah. Hal yang menarik untuk dicatat adalah perkembangan kelembagaan pendidikan Islam terus berlangsung melalui proses dialektis dan kompromis, sehingga ketiga jenis lembaga pendidikan itu –pesantren, madrasah dan sekolah- tetap tumbuh dan berkembang hingga sekarang (Rahim, 2001: ix).
21
Melalui beberapa perkembangan maka posisi pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional menurut Rahim (2001: 11) dapat diidentifikasi sedikitnya ke dalam tiga pengertian. Pertama, pendidikan Islam adalah lembagalembaga pendidikan keagamaan seperti pesantren, pengajian dan madrasah diniyyah. Kedua, pendidikan Islam adalah muatan atau materi pendidikan agama Islam dalam kurikulum pendidikan nasional. Ketiga, pendidikan Islam merupakan cirri khas dari lembaga pendidikan sekolah yang diselenggarakan oleh departemen agama dalam bentuk madrasah, dan oleh organisasi serta yayasan keagamaan Islam dalam bentuk sekolah-sekolah Islam. Dalam kelembagaan pendidikan Islam ada dua diversifikasi penekanan yaitu pengembanagan watak kesalehan individual dan usaha intelektualisasi keIslaman. Usaha yang pertama biasanya tercermin pada proses pendidikan agama di sekolah dan madrasah tingkat dasar dan menengah. Menanamkan watak kesalehan lebih ditekankan kepada anak didik di kedua lembaga itu karena adanya orientasi pencapaian keunggulan dalam bidang ilmu pengetahuan dan tehnologi. Sampai pada tingkat tertentu, madrasah pada umumnya sama dengan sekolah kecuali bahwa ia juga menekankan penanaman akidah dan pengamalan ajaran agama sebagai tanda kesalehan (Rahim, 2001: x). Perkembangan pendidikan Islam secara makro di satu sisi menunjukkan potensi fleksibilitas pendidikan Islam sesuai dengan tuntutan zaman. Namun demikian, di sisi lain perkembangan ini mendatangkan tantangan pada level mikro yang amat kompleks. Setiap bentuk kelembagaan memiliki masalahnya sendirisendiri yang menuntut penanganan sfesifik. Hal ini seringkali diperparah oleh politik pendidikan suatu rezim, yang lebih memihak pada jenis lembaga
22
pendidikan tertentu. Selama periode pemerintahan Orde Baru misalnya, dukungan pemerintah pemerintah terhadap pengembangan pendidikan pesantren yang tersebar di berbagai pelosok daerah relative kecil, sehingga selama berpuluh-puluh tahun lembaga pendidikan tradisional itu berkembang atas inisiatif dan dukungan masyarakat. Pesantren dalam hal ini adalah contoh autentik dari pola pendidikan berbasis masyarakat (society-base education) (Rahim, 2001: xi).
C. Institusi Keagamaan dan Pengajian Peran pesantren sejak dulu tidak pernah lepas dengan peran edukatif yang mengajarkan ilmu-ilmu keislaman. Kurikulum pesantren menawarkan kajian yang penting ya ng tidak hanya terbatas pada bagaimana membangun relasi dengan Tuhan, namun juga dengan sesama manusia maupun lingkungan. Penyajian pelajaran dibangun berdasarkan pada kekhasan budaya Indonesia. Minimal ada tiga peran besar yang selama ini dimainkan pesantren. Yaitu: Pertama, pesantren adalah lembaga penghasil ulama; Kedua, pesantren adalah pusat penyebaran Islam. Ketiga, pesantren adalah pemelihara kehidupan keberagamaan umat. Sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam, selama ini pesantren dikenal sebagai pencetak para ulama handal di Indonesia. Ini terkait dengan misi utama pesantren sebagai lembaga pencetak thâ`ifah mutafaqqihîna fiddîn (para ahli agama). Tak terhitung jumlahnya ulama yang telah lahir dari pesantren. Kita mengenal nama-nama seperti Imam Nawawi Al-Bantani, HOS Tjokroaminoto, Hamka, KH. Hasyim Asy’ari, KH. Ahmad Dahlan dan KH. Imam Zarkasyi. Mereka adalah sebagian kecil dari para alumni pesantren yang menjadi ulama besar dikemudian hari.
23
Salah satu ciri khas ulama lulusan pesantren adalah, mereka bukan hanya memiliki ilmu yang luas tapi juga akhlaq yang tinggi. Hal ini terkait dengan metode pendidikan yang dikembangkan para kiai di pesantren. Tujun pendidikan tidak semata-mata untuk memperkaya pikiran santri dengan penjelasanpenjelasan, tetapi juga untuk meninggikan moral, melatih dan mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan, mengajarkan sikap dan tingkah laku yang jujur dan bermoral, dan menyiapkan murid untuk hidup sederhana dan bersih hati. Setiap murid diajar untuk menerima etik (peraturan moral) agama di atas etik-etik lain. Tujuan pendidikan pesantren bukanlah untuk mengejar kepentingan kekuasaan, uang dan keagungan duniawi, tetapi ditanamankan kepada mereka bahwa belajar adalah semata-mata kewajiban dan pengabdian kepada Allah. (Dhofier, 1994: 20-21). Semua
lembaga-lembaga
pengajian
tidak
sama
jenisnya.
Dalam
kenyataannya lembaga-lembaga tersebut sangat bertingkat-tingkat (Dhofier, 1994: 20). Bentuk yang paling rendah bermula pada waktu anak-anak berumur kira-kira 5 tahun, menerima pelajaran dari orang tuanya menghafalkan beberapa surat pendek dari Juz Qur’an yang terahir. Setelah mereka berumur 7 atau 8 tahun mulai diajarkan membaca alphabet Arab dan secara bertahap diajar untuk dapat membaca Qur’an. Pengajarnya biasanya orang tuanya sendiri; atau kalau orang tuanya atau saudara-saudaranya tidak bisa membaca Arab, maka anak-anak tersebut belajar di rumah tetangganya atau di langgar. Pelajaran biasanya diberikan setelah sembahyang magrib. Program pengajaran ini biasanya berhenti setelah seorang anak dapat membaca sendiri Qur’an tersebut dengan lancar dan benar. Bagi beberapa anak dari keluarga tertentu (biasanya yang hidup
24
berkecukupan dan mempunyai tali hubungan kekeluargaan dengan kyai atau guru ngaji) pendidikan pembacaan Qur’an ini hanya merupakan jenjang pertama. Mereka masih melanjutkan pelajaran untuk dapat membaca dan menterjemahkan buku-buku Islam klasik yang elementer yang ditulis dalam Bahasa Arab. Sebagian dari mereka itu memiliki ambisi untuk menjadi ulama, sehingga setelah berkenalan dengan beberapa kitab-kitab elementer, mereka memperdalam Bahasa Arab sebagai alat untuk dapat memperdalam buku-buku tentang fiqh (hukum Islam), usul fiqh (pengetahuan tentang sumber-sumber dan sistem jurisprudensi Islam, hadis, adab (sastra Arab), tafsir tauhid (teologi Islam), tarikh (sejarah Islam), tasawwuf dan akhlaq (etika Islam). Untuk menempuh mata-mata pelajaran tersebut diperlukan guru-guru yang cukup terdidik dan cukup berbobot dan diperlukan pula pendidikan yang lebih sistematis. Ini dapat diperoleh di pesantrenpesantren. Untuk masa sekarang mereka dapat memperolehnya pada Institut Agama Islam Negeri (IAIN) atau perguruan tinggi Islam lainnya. Menurut Dhofier (1994: 19) di Jawa, pengajian yang diselenggarakan di rumah-rumah guru ngaji di langgar atau di mesjid merupakan tempat memberikan pelatihan atau pendidikan elementer tradisional bagi seorang Jawa untuk dapat mengucapkan dua kalimah syahadat, mengerjakan kewajiban sembahyang lima waktu dan membaca Qur’an. Dalam periode sekarang sistem pengajian seperti disebut di atas telah dilengkapi dengan bentuk sekolah formal, yaitu madrasah. Jumlah lembagalembaga pengajian dan madrasah yang selalu cukup banyak disebabkan oleh adanya dorongan perasaan kewajiban yang dibebankan oleh Allah dan dibarengi oleh penghargaan yang tinggi dari masyarakat kepada guru-guru pengajian dan
25
disamping itu tebalnya keyakinan pada orang-orang tua murid bahwa pendidikan dasar tersebut merupakan kewajiban. Di jaman kolonial lembaga pengajian dan madrasah dibiayai oleh masyarakat sendiri, sedangkan kebanyakan madrasah pada waktu sekarang dibantu sepenuhnya atau sebagian oleh pemerintah. Kebanyakan anak-anak belajar tidak lebih dari hal-hal tersebut, yaitu sekedar dapat mengerjakan sembahyang dan membaca Qur’an yang mereka tidak ketahui artinya dan juga tidak dapat membaca buku-buku tentang Islam. Dalam zaman sekarang, dengan tersedianya buku-buku tentang Islam dalam Bahasa Indonesia, banyak di antara mereka yang kemudian berusaha menambah pengetahuan mereka tentang Islam. Digambarkan Steenbrink (1986: 63), ketika diperkenalkan dengan lembaga pendidikan yang lebih teratur dan modern, lembaga pendidikan tradisional ternyata tidak begitu laku dan banyak ditinggalkan siswa nya. Seperti yang terjadi pada lembaga pendidikan tradisional Islam di Minangkabau, surau, misalnya mengalami kemerosotan karena ketika ada pembaruan sistem pendidikan. Bahkan surau sekarang sudah punah dan ketika didirikan lembaga pendidikan Islam tradisional disana, tidak lagi menggunakan nama surau tetapi menamakannya pesantren. Hal ini diperkuat oleh Azyumardi Azra (1997: ix-xi) dalam temuannya yang menyimpulkan bahwa sejak dilancarkan perubahan atau modernisasi pendidikan Islam di berbagai kawasan dunia Muslim, tidak banyak lembaga pendidikan Islam tradisional yang mampu bertahan. Kebanyakannya lenyap setelah tergusur oleh ekspansi sistem pendidikan umum. Studi pendahuluan yang telah dilaksanakan melalui kajian-kajian pustaka yang telah ada menunjukkan bahwa tulisan tentang ini masih sangat langka
26
bahkan hampir tidak ada tulisan yang cukup konfrehensif yang menggali tentang institusi pengajian khusunya di Kalimantan Selatan. Kajian yang banyak dilakukan oleh ahli pada umumnya lebih banyak mengkaji tentang institusi pendidikan lainnya seperti pesantren dan madrasah. Salah satu tulisan yang cukup lengkap yang mengkaji tentang pesantren dengan segala seluk beluk didalamnya termasuk proses pembelajarannya adalah tulisan Zamakhsyari Dhofier (1994) yang berjudul Tradisi Pesantren. Dalam tulisan ini Dhofier menunjukkan bahwa pesantren hingga sekarang masih memiliki vitalitasnya sebagai sebuah lembaga pendidikan yang mengajarkan pengetahuan Islam. Sejauh ini peneliti sendiri sudah melakukan studi pendahuluan dengan melakukan penelitian sederhana yang menghasilkan tulisan singkat berupa artikel tentang gambaran umum pengajian yang berkembang di Martapura. Selanjutnya akan ditindaklanjuti dengan melakukan pendataan lebih teliti tentang pengajian yang berkembangsaat ini. Di samping itu peneliti juga melakukan penelusuran pustaka tentang model-model pembelajaran secara teoritis untuk dapat digunakan sebagai pengarah dalam studi di lapangan agar proses pengumpulan data terarah dan sistematis. Langkah berikut adalah analisis data untuk menghasilkan sebuah uraian diskriptif dan konprehensif.
27
BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
A. Tujuan Penelitian Penelitian ini bukan sekedar upaya diskriptif tentang eksistensi iinstitusi pengajian tetapi lebih jauh adalah upaya untuk menemukan dan menganalisis pola-pola pembelajaran yang berlangsung di institusi ini. Lebih khusus tujuan dari penelitian ini adalah menggali model pembelajaran yang berlangsung di insrtitusi Pengajian dan Majelis Zikir Hajjah Nafsiyah yang bertempat di Jalan Sekumpul Gang Bersama Kelurahan Sekumpul Martapura Kabupaten Banjar. B. Manfaat Penelitian 1. Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis khususnya untuk menambah kajian konseptual tentang institusi pengajian serta teori pola pembelajaran sosial di lembaga pendidikan Islam tradisional khususnya di pengajian 2. Praktis a. Institusi Pemerintah Penelitian ini akan memberi gambaran tentang peran penting lembaga pengajian sebagai sebuah institusi pendidikan alternatif berbasis kearipan local. Gambaran ini akan bermanfaat bagi pengambil kebijakan dalam membangun b. Perguruan Tinggi
28
Penelitian ini akan menambah hasanah perbendaharaan pengetahuan serta pustaka tentang lembaga pengajian sebagai suatu institusi pendidikan berbasis kearifan local ditengah masih sangat langkanya tulisan tentang institusi ini. Tulisan ini melengkapi banyaknya tulisan tentang lembaga sejenis yaitu lembaga pesantren yang sudah cukup banyak dikaji oleh para ahli.
29
BAB IV METODE PENELITIAN A. Paradigma Penelitian Metode penelitian
yang digunakan dalam penelitian ini
adalah
menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif. Hal ini karena metode kualitatif relatif dapat menganalisa realitas sosial secara mendalam. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain (Moleong, 2006: 6). Pengajian sebagai sebuah institusi tentu memiliki dinamika yang berbedabeda. Untuk mengungkapkan dinamika tersebut dibutuhkan pendalaman atas aktifitas, proses dan dinamika yang terjadi dalam lembaga pengajian. Metode penelitian kualitatif digunakan untuk mempelajari, membuka dan mengerti apa yang terjadi di belakang setiap fenomena yang baru sedikit diketahui. Oleh karena itu metode penelitian kualitatif dipandang cocok untuk dapat mengungkap dinamika pengajian serta tindakan orang-orang yang terlibat didalamnya baik itu jamaah pengajian maupun tuan guru sebagai pemberi materi. Untuk memperoleh pemahaman yang mendalam tentang peran lembaga pengajian
sebagai
salah
satu
institusi
pendidikan
tradisional
dalam
mengembangkan nilai-nilai sosial di kalangan perempuan Banjar, maka penelitian mengadopsi pendekatan kualitatif yang menekankan pada usaha untuk mencari keunikan-keunikan masing-masing individu yang ada dalam institusi sebagai producer of reality. Untuk itu, penelitian ini menggunakan wawancara yang mendalam, panjang dan terbuka. Cara seperti itu, memungkinkan peneliti untuk
30
memberikan kesempatan yang luas bagi informan untuk mengungkapkan pandangan- pandangannya menurut perspektif yang mereka yakini. Penelitian ini banyak diwarnai oleh pendekatan grounded theory yang menempatkan peneliti sebagai orang yang belajar dari informan dan menjadikan diri peneliti sendiri sebagai instrumen penelitian. B. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di wilayah Martapura khususnya di Kecamatan Martapura Kota Kabupaten Banjar dimana di wilayah ini terdapat beberapa institusi pengajian yang berkembang. Wilayah ini dipilih karena di wilayah ini dapat ditemukan tidak kurang dari 4 lembaga pengajian yang dilaksanakan oleh para pemuka agama baik laki-laki maupun perempuan. Dalam penelitian ini hanya dipilih satu institusi pengajian yaitu pengajian Haji Nafsiyah. Pengajian ini merupakan salah satu institusi pengajian yang cukup unik karena baik peserta/jamaah maupun tuan guru yang memberi pengajaran adalah seorang perempuan. Pengajian ini juga sudah cukup lama hadir sebagai sebuah institusi pembelajaran dan masih terus berkembang hingga sekarang dengan jumlah jamaah yang terus meningkat. Dari studi pendahuluan diketahui bahwa jamaah pengajian ini mencapai sekitar 500 orang yang berasal dari sekitar wilayah Martapura, Banjarbaru dan Binuang. Selain itu, Martapura merupakan kota yang oleh beberapa tulisan disebut sebagai kota ulama dan kota santri. Hal ini dikaitkan dengan banyaknya tokoh agama yang lahir dari kota ini yang kemudian mereka meneruskan proses transfer pengatahuan.
31
C. Instrumen Penelitian Instrumen penelitian adalah alat mengumpulkan data dan informasi yang diperoleh atau diperlukan dalam penelitian. Dalam penelitian kualitatif, peneliti bertindak sebagai instrumen penelitian sekaligus pengumpul data. Dalam penelitian ini, selain peneliti sendiri bertindak sebagai instrumen digunakan pula instrumen selain manusia yang berfungsi sebagai pendukung tugas peneliti sebagai instrumen. Oleh karena itu dalam penelitian ini, kehadiran peneliti dalam penelitian dapat dikatakan sebagai pengamat partisipan, dimana peneliti yang memiliki tugas sebagai orang yang terlibat langsung sebagaimana dimaksudkan dalam fokus penelitian dapat dikatakan sebagai partisipan. Alat bantu yang digunakan untuk mendukung pelaksanaan penelitian ini adalah: a. Pedoman wawancara (interview guide) Yaitu serangkaian pernyataan yang diajukan kepada aktor-aktor sumber dalam penelitian.
Pengarah
wawancara
dipergunakan
dengan
maksud
agar
wawancara yang dilakukan sesuai dengan topik penelitian yang dilakukan sesuai dengan topik penelitian yang ditetapkan dan pernyataan-pernyataan yang akan diajukan tidak keluar dari jalur permasalahan. b. Catatan Lapangan (field note) Merupakan catatan penelitian dilapangan untuk mecatat hasil wawancara dan pengamatan dari sumber data orang-orang yang terlibat dalam institusi pengajian baik jamaah maupun tuan guru, khususnya jamaah dan tuan guru di pengajian Guru Wildan dan Pengajian Ibu Hajjah Nafsiyah. Selain itu peneliti
32
juga akan menggunakan peralatan tulis menulis untuk mendokumentasi dan untuk mencatat pendapat dari pihak-pihak yang bersangkutan. D. Sumber Data Sumber data adalah orang atau dokumen yang terkait langsung dengan fokus permasalahan dalam penelitian dan bertindak sebagai sumber informasi dan nara sumber. Dalam penelitian ini sumber datanya adalah : a. Data primer: yaitu data yang digunakan peneliti langsung dari sumbernya berupa kata-kata dan tindakan orang-orang yang diamati atau diwawancarai. Dalam hal ini data primernya adalah data yang didapat dari juamaah dan tuan guru pengajian ibu Hajjah Nafsiyah. b. Data sekunder : yaitu data tertulis yang lebih dahulu dikumpulkan dan dilaporkan orang lain diluar peneliti. Data tersebut meliputi: dokumen atau arsip yang ada relevansinya dengan fokus penilitian. Data sekunder diperoleh dari instansi-instansi terkait seperti Departemen Agama, Majelis Ulama Indonesia (MUI) serta arsip-arsip internal yang mungkin dimiliki oleh jamaah maupun tuan guru. E. Tehnik Pengumpulan Data Adapun prosedur pengumpulan data yang digunakan adalah tehnik yang biasa digunakan dalam penelitian kualitatif diskriptif khususnya studi kasus. Prosedur atau tehnik pengumpulan data yang dimaksud adalah cara yang dipergunakan untuk mencari dan mengumpulkan data yang diperlukan. Dalam melaksanakan penelitian ini, digunakan beberapa metode pengumpulan data, sebagai berikut a. Wawancara mendalam
33
Adalah usaha untuk memperoleh data atau informasi secara langsung guna mendapatkan data-data yang berkaitan dengan subyek penelitian dengan menggunakan pokok-pokok pertanyaan sebagai acuan b. Observasi partisipasi Dalam observasi ini peneliti terlibat dengan kegiatan sehari-hari orang yang sedang diamati atau yang digunakan sebagai sumber data penelitian. Sambil melakukan pengamatan peneliti ikut melakukan apa yang dikerjakan oleh sumber data, dan ikut merasakan suka dukanya (Sugiyono, 2009:310). Observasi dilakukan di lokasi pengajian di Kelurahan Sekumpul, Kecamatan Martapura Kota, Kabupaten Banjar. Peneliti berperan aktif serta terjun langsung dalam kegiatan tersebut khusunya sebagai jamaah yang aktif mendengarkan, menyimak dan mencatat berbagai hal yang terjadi di pengajian. c. Dokumentasi Dokumentasi merupakan teknik pengumpulan data melalui dokumen atau arsip-arsip dari pihak terkait dengan penelitian. Menurut Gubah dan Licoln dalam penelitian, karena sebagai sumber data ia bersifat stabil, data digunakan sebagai bukti dalam suatu pengkajian, sifatnya yang alamiah sesuai dengan konteks. Dengan demikian data dikumpulkan dari sejumlah sumber dokumen data, seperti laporan, arsip, majalah, buletin dan sebagainya yang berhubungan langsung dengan masalah yang sedang dilakukan penelitian. Pengumpulan data dilakukan dengan partisipasi observasi dan wawancara mendalam (in-depth interview). Penggunaan metode ini bertujuan untuk mendapatkan informasi yang berkaitan dengan apa yang oleh Sobary disebut
34
sebagai yang “ideal” dan yang “riil”. Partisipasi observasi, menurut Badgen dan Taylor (dikutip Moleong, 2006: 3) mengarah pada usaha untuk mengungkapkan latar belakang individu secara menyeluruh dan utuh. Metode pertama adalah turun ke lapangan dan melibatkan diri dalam setiap aktivitas pengajian yang dilaksanakan pada pengajian Sekumpul. Metode observasi ini digunakan untuk mendapatkan data yang berkaitan dengan pola pembelajaran serta dinamika pengajian dan kegiatan yang mereka ikuti. Penelitian yang hanya mengandalkan observasi tidaklah memadai, karena tidak dapat mengungkapkan apa yang diamati dan dirasakan orang lain, karena itu perlu dilengkapi dengan wawancara mendalam agar dapat memasuki dunia pikiran dan perasaan informan (Nasution, 1992: 69). Metode wawancara ini digunakan untuk data yang berkaitan dengan latar belakang kehidupan, struktur sosial mereka serta pandangan-pandangan mereka tentang pengajian itu sendiri. Karena dengan wawancara inilah segala sesuatu yang dianggap ideal –dalam pandangan agama mereka- dapat ditemukan. F. Analisis Data Dalam penelitian ini digunakan analisis data kualitatif yang meliputi reduksi, penyajian dan verifikasi mengikuti proses analisis dari Miles dan Huberman (2007). Adapun siklus dari keseluruhan proses analisis data oleh Miles dan Huberman digambarkan dalam skema berikut.
35
SIKLUS PROSES ANALISIS DATA Data collection
Data display
Data reduction
Verifiying
Gambar 2. Komponen-Komponen Analisis Data: Model Interaktif (Miles dan
Huberman, 2007:20)
1. Reduksi Data Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data “kasar” yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Reduksi data berlangsung terus menerus selama penelitian di lapangan. Selama pengumpulan data berlangsung, terjadi tahapan reduksi selanjutnya membuat ringkasan, mengkode, menelusur tema, membuat gugus-gugus, membuat partisi, menulis memo. Reduksi data/proses transformasi ini berlanjut terus sesudah penelitian lapangan, sampai laporan akhir lengkap tersusun. 2. Penyajian Data Penyajian data merupakan rangkaian kalimat yang disusun secara logis dan sistematis sehingga mudah dipahami. Kemampuan manusia sangat terbatas dalam menghadapi catatan lapangan yang bias, jadi mencapai ribuan halaman. Oleh karena itu diperlukan sajian data yang jelas dan sistematis dalam membantu peneliti menyelesaikan pekerjaannya. Dalam penelitian ini peneliti
36
akan menyajikan data dalam bentuk uraian diskriptif dengan narasi yang sistematis. Meskipun diuraikan dalam bentuk diskriptif namun penelitian ini juga tidak menutup kemungkinan adanya data yang bersifat kuantitatif seperti data tentang kuantitas jamaah jamaah maupun pertemuannya/ 3. Menarik Kesimpulan/Verifikasi Penarikan kesimpulan sebagai dari satu kegiatan dari konfigurasi yang utuh. Kesimpulan-kesimpulan diverifikasi selama penelitian berlangsung. Verifikasi merupakan tinjauan ulang pada catatan-catatan lapangan dengan peninjauan kembali sebagai upaya untuk menempatkan salinan suatu temuan dalam seperangkat data yang lain. Singkatnya, makna-makna yang muncul dari data harus diuji kebenaranya, kekokohannya dan kecocokannya yakni yang merupakan validitasnya. G. Pengujian Keabsahan Data Menurut Sugiyono (2009: 366) uji keabsahan data pada penelitian kualitatif meliputi uji validitas internal (credibility), validitas eksternal (transferability), reliabilitas (dependentbility), dan obyektivitas (confirmability). Namun dalam penelitian ini hanya akan dilakukan uji validitas internal (credibility). Uji validitas internal dilaksanakan untuk memenuhi nilai kebenaran dari data dan informasi yang dikumpulkan. Artinya, hasil penelitian harus dapat dipercaya oleh semua pembaca secara kritis dan dari responden sebagai informan. Untuk hasil penelitian yang kredibel, maka dalam penelitian ini dilakukan teknik pengujian validitas internal yaitu: a. Triangulasi
37
Trianggulasi dalam pengujian kredibilitas adalah pengecekan data dari berbagai sumber, berbagai cara, dan berbagai waktu. Dalam konteks ini peneliti tidak hanya melakukan observasi pada saat berlangsungnya acara tapi peneliti juga akan melakukan wawancara di waktu-waktu lain di luar jadwal pengajian. Hal ini dimaksudkan agar sumber data yaitu informan lebih leluasa memberikan informasi khususnya di waktu-waktu luang informan. Sumber data atau informan juga akan dicari bukan hanya jamaah yang sering hadir tetapi juga jamaah yang jarang hadir, baik yang tua maupun yang muda, baik yang biasa duduk di deretan depan maupun yang di deretan belakang, baik yang telah lama terlibat maupun yang baru bergabung. Hal yang terpenting dalam pemilihan sumber data ini adalah berkaitan dengan kualitas data yang diberikan oleh karena itu maka trianggulasi sumber menjadi penting untuk dilakukan. b. Menggunakan bahan referensi Peneliti menggunakan pendukung rekaman wawancara untuk membuktikan data penelitian. Selain itu berbagai bahan referensi baik yang berhubungan dengan pendidikan maupun sosial juga digunakan untuk mendukung kemudahan dan kelancaran proses penelitian.
38
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Sekumpul: Sebuah Profil Kota Pengajian 1. Sejarah dan Dinamika Sekumpul Secara formal, Sekumpul pada awalnya dikenal sebagai nama salah satu jalan yang berada di wilayah kampung Sungai Kacang1. Jalan ini memanjang mulai dari Jalan Ahmad Yani Km 38 hingga desa Indrasari dan berujung di Kecamatan Matraman. Namun bagi penduduk sekitar kawasan ini, Sekumpul lebih dikenal sebagai sebutan untuk wilayah sekitar komplek Pengajian Guru Sekumpul dengan batasan yang sangat kabur. Namun sejak tahun
2011,
Sekumpul
kemudian
dijadikan
sebagai
nama
wilayah
administratif sebagai bagian dari Kecamatan Martapura Kota yaitu Kelurahan Sekumpul. Di sekitar jalan Sekumpul terdapat sekitar selusin gang dengan lebar sekitar tiga meter. Di sebelah utara kawasan ini berbatasan dengan kelurahan Tanjung Rema yang merupakan wilayah yang menghubungkan Sekumpul dengan pasar Martapura. Di sebelah selatan berbatasan dengan kelurahan Sungai Paring. Di sebelah barat berbatasan dengan kelurahan Keraton yang padat penduduk dan dibatasi oleh sebuah jalan besar propinsi yaitu Jalan Ahmad Yani, sedangkan di sebelah timur berbatasan dengan desa Indrasari yang sebagian besar wilayahnya relatif kering dan jarang penduduk.
1
Menurut Rosyadi dalam buku Bertamu ke Sekumpul (2004, 3), nama Sekumpul merupakan pemberian dari Guru Sekumpul untuk menyebut kawasan hutan karamunting di sekitar Sungai Kacang.
39
Sekumpul berada dipinggiran Kota Martapura berbatasan dengan Kabupaten Banjarbaru. Ia berjarak sekitar lima kilometer ke arah utara pusat Kota Martapura, ibukota Kabupaten Banjar, dan sekitar lima kilometer ke arah selatan dari pusat kota administratif Banjarbaru. Dengan hanya membayar tiga ribu rupiah, orang dapat pergi ke pasar kota Martapura maupun pasar Banjarbaru dalam waktu 10 menit dengan menggunakan angkutan kota (taksi hijau) dari mulut jalan Sekumpul. Sekumpul dapat dilihat sebagai pintu gerbang yang strategis tempat keluar masuknya orang, baik yang akan ke kota Martapura serta Hulu Sungai maupun yang akan ke ibukota Banjarmasin dan Banjarbaru. Jarak ke Banjarmasin sekitar 40 km yang bisa ditempuh dengan menggunakan mobil dalam waktu satu setengah jam. Banjarmasin bisa dicapai dengan menggunakan angkutan mobil antar kota, baik jurusan MartapuraBanjarmasin maupun Banjarmasin-Hulu Sungai. Mobil angkutan umum antar kota yang digunakan di daerah ini adalah taksi kol,kendaraan Colt L 300 Gambar 5.1 Jalan Sekumpul
Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2004
40
Pada awal tahun 1990-an, disepanjang jalan Sekumpul mulai dibangun berbagai toko-toko kecil. Keadaan ini diawali dengan berdirinya sebuah kompleks pengajian oleh tuan guru Haji Zaini Ghani atau guru Ijai atau lebih akrab dipanggil Guru Sekumpul, yang kemudian diberi nama kompleks arRaudah. Kompleks ini terdiri dari kompleks perumahan berpagar semen (beregol) sekelilingnya dengan sebuah pintu gerbang berbentuk menara mesjid. Gambar 5.2 Gerbang dan Kompleks ar-Raudlah Sekumpul
Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2004
Masih pada bagian dalam
regol, di bagian barat mushalla berdiri
sebuah kompleks pemakaman yang dilengkapi dengan bangunan beratap untuk lebih memudahkan orang yang akan berziarah ketempat ini. Dibagian utara mushalla terdapat sebuah bangunan tempat tinggal para murid-murid guru yang biasa mengurusi segala keperluan yang berhubungan dengan pengajian ini. Di bagian selatan mushalla terdapat beberapa buah bak besar berisi air yang dialirkan ke kran-kran yang berada disekeliling mushalla menempel pada dinding-dinding regol.
41
Orang yang mengunjungi wilayah ini akan segera menyadari bahwa Sekumpul secara fisik berbeda dari kampung-kampung di sekitarnya. Sekumpul memiliki jalan aspal yang lebar dengan bangunan rumah-rumah baru yang berderet di sepanjang jalan hingga ke dalam gang-gang kecil serta bangunan-bangunan pertokoan dan kios yang juga tampak baru didirikan. Jalan-jalan cukup bersih dan licin serta gang-gang yang dibuat cukup untuk dilalui oleh sebuah mobil. Sebagian besar penghuni gang-gang ini adalah kelompok ekonomi menengah ke atas dengan pengecualian beberapa rumah yang berada agak jauh kedalam. Rumah-rumah yang baru yang dibangun di sekitar Sekumpul ini juga terasa bersahabat. Beberapa rumah tampak dibiarkan tanpa pagar, khususnya rumah-rumah yang berada dekat kompleks pengajian. Bagi rumah yang berpagar, mereka biasanya membiarkan sebagian pagar rumah mereka terbuka. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kemudahan bagi setiap orang yang ingin menggunakan rumah atau bagian pelataran rumah tersebut sebagai tempat sholat berjama’ah. Seiring dengan didirikannya kompleks perumahan Guru Sekumpul maka daerah ini mulai ramai oleh orang-orang yang bermaksud membeli tanah atau membangun rumah di sekitar kompleks Guru Sekumpul. Keadaan ini menyebabkan harga tanah di sekitar daerah ini terus melonjak dari tahun ke tahun, semakin dekat posisi dan keberadaan tanah tersebut dengan rumah Guru Sekumpul, maka semakin tinggilah harga tanah tersebut. Pada tahun 1990, harga tanah yang berjarak sekitar 50 meter dari kompleks Guru Sekumpul hanya Rp.20.000,00 permeter, bahkan sebelum tahun 1990 harga
42
tanah di wilayah itu hanya Rp. 5000,00 permeter. Pada tahun 1992 tanah yang berlokasi di pinggir jalan Sekumpul dan berjarak sekitar 200 meter dari kompleks Guru Sekumpul hanya Rp. 100.000,00 permeter. Sekarang, seiring dengan pesatnya perkembangan pengajian Sekumpul, harga tanah di wilayah tersebut pun turut melonjak naik. Sekarang harga tanah di sekitar lokasi yang terdekat dengan regol Guru Sekumpul tersebut telah mencapai antara Rp. 750.000,00 permeter hingga Rp.1.000.000,00 permeter. Harga ini tentu saja sangat luar biasa untuk daerah Kalimantan yang masih memiliki lahan begitu luas. Sementara harga tanah yang berada di wilayah Sungai Kacang, desa yang bersebelahan dengan Sekumpul hanya berharga antara Rp.50.000,00 hingga Rp.100.000,00 permeter persegi. Sejak awal tahun 1990-an, penampilan fisik Sekumpul telah berubah dramatis. Sekumpul sekarang menjadi satu bagian kota yang sangat berkembang. Perkembangan yang dilatar belakangi oleh kehadiran sebuah institusi keagamaan atau yang oleh Mc. Gee disebut sebagai “sacred city”, kota yang pertumbuhan dan perkembangannya dilatarbelakangi oleh agama. Disini sekarang telah berdiri 2 buah mini market. Di sepanjang jalan Sekumpul kini telah berdiri berbagai bangunan toko, warung maupun kios yang tidak saja menjual keperluan sehari-hari penduduk tetapi juga keperluankeperluan lainnya. Mulai dari toko kelontong, alat-alat listrik, bahan bangunan, foto copy, warung makan, wartel, mini market, kios seluler, perlengkapan jahit menjahit dan yang terbanyak adalah warung makan. Semua ini merupakan simbol kekinian Sekumpul: simbol-simbol dari proses proletarisasi desa serta memperlihatkan ‘agresivitas’ orang-orang Sekumpul.
43
Secara fisik, sebagian besar rumah penduduk yang tinggal di jalan Sekumpul ini terbuat dari semen batako dengan arsitektur modern. Rumahrumah mewah ini memberi simbol bagaimana kekuatan ekonomi memainkan peranan yang besar dalam kehidupan penduduk Sekumpul. Hal ini sedikit berbeda dengan daerah sekitarnya yang kebanyakan terbuat dari kayu. Padahal sebelum tahun 1990-an rumah di Sekumpul hampir seluruhnya terbuat dari kayu, saat itu hanya ada sekitar 15 buah rumah yang dibangun di areal ini. Kenyataan tentang rumah-rumah kayu yang dibangun sebelum tahun 1990-an ini masih bisa ditemukan hingga sekarang. Selain itu, perabotan rumah yang digunakan penduduk Sekumpul juga memperlihatkan bahwa para penghuninya merupakan kelompok ekonomi menengah ke atas. Sehingga tidak mengherankan jika sebagian orang menganggap wilayah ini sebagai “kampung urang sugih”. Rumah-rumah di sekitar lokasi pengajian ini akan terasa berbeda dari kebanyakan rumah penduduk di luar Sekumpul. Sebagian besar rumah-rumah ini dilengkapi dengan kran-kran untuk mengambil air wudlu. Kran-kran yang selalu mengalirkan air ini berjejer menempel di dinding rumah yang terletak di depan atau disamping rumah dengan jumlah antara tiga hingga sepuluh buah. Selain itu, jika orang memasuki rumah-rumah ini akan selalu tampak beberapa foto Guru Sekumpul, baik foto beliau sendirian maupun foto Guru Sekumpul bersama tuan rumah2. Foto-foto ini selalu dipajang di ruang depan rumah dengan ukuran yang besar, sehingga setiap orang yang berkunjung akan 2
Foto Guru Sekumpul bersama tuan rumah ini mulai nampak ramai terlihat sejak ahir tahun 90-an, ketika Guru Sekumpul memberikan kesempatan para jama’ahnya untuk mushafahah (bersalaman) dan kegiatan ini diakhiri dengan foto bersama antara Guru Sekumpul dengan orang yang telah mushafahah dengan guru
44
dapat menyaksikan foto-foto ini. Pemajangan foto Guru Sekumpul ini tidak hanya berlangsung di rumah-rumah penduduk sekitar Sekumpul tetapi juga di rumah-rumah orang Banjar pada umumnya. Toko tekstil, toko bangunan, hingga warung-warung makan juga memajang foto tuan guru kharismatisk ini, melebihi pemajangan foto penguasa negeri ini. Gambar 5.3 Kran-kran Wudhu di Rumah Penduduk: Simbol Agama di Sekumpul
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Untuk melakukan perjalanan keluar maupun masuk wilayah Sekumpul, penduduk yang tidak memiliki fasilitas kendaraan bermotor pribadi dapat menggunakan jasa tukang becak, ojek maupun mikrolet (taksi kota) yang sesekali lewat di daerah Sekumpul. Para tukang ojek ini umumnya mangkal di muara jalan Sekumpul. Tukang becak, selain mereka mangkal di muara jalan Sekumpul mereka juga mangkal di muara-muara gang yang ada di sekitar jalan Sekumpul. Taksi kota hanya sesekali masuk daerah ini, khususnya pada jam-jam berangkatnya para murid Pesantren Darussalam yaitu sekitar jam 09.00 pagi. Pada jam-jam tersebut Sekumpul akan terlihat lebih sibuk, baik
45
oleh para santri Darussalam yang akan berangkat ke sekolah maupun oleh para pedagang yang akan berangkat menuju ke pasar tempat mereka berjualan. Selain penduduk asli Martapura, wilayah Sekumpul juga banyak didiami oleh para pendatang dari berbagai daerah di Hulu Sungai hingga Kalimantan Tengah dan Timur. Kemasyhuran Guru Sekumpul membuat nama daerah Sekumpul menjadi tambah populer. Kepopuleran nama Sekumpul juga sering digunakan untuk menamai sebuah produk atau menjadi merek dagang. Bahkan, P.T. Mandrapura Aditama, menjadikan Sekumpul sebagai merek dagang untuk produk air mineral dalam kemasan. Kejayaan air merk Sekumpul ini berhasil mengalahkan pesaingnya, semisal Aqua dan Club, setidaknya untuk kawasan Martapura dan sekitarnya. 2. Struktur Sosial Masyarakat Ada banyak hal yang menentukan posisi dan status seseorang di Sekumpul, diantaranya asal-usul geneologis, asal usul bubuhan, kapasitas keagamaan serta kehidupan ekonomi. Struktur sosial tertinggi di Sekumpul ditempati oleh para tuan guru. Penempatan status sosial yang tinggi bagi tuan guru karena mereka dianggap memiliki banyak pengetahuan agama serta merupakan penuntun moral masyarakat. Menurut Sobari (1999: 80), ulama dan tuan guru memperoleh posisi prestisius dalam masyarakat bukan karena memiliki wewenang formal melainkan karena kelebihan intelektual mereka. Baik ulama maupun tuan guru biasanya dianggap sebagai pemimpin moral, keagamaan, sosial dan kadang-kadang politis. Di Sekumpul, tuan guru yang paling utama dan paling dihormati adalah Tuan guru Zaini atau Guru Sekumpul. Setelah itu adalah para tuan
46
guru yang telah dikenal masyarakat karena kepandaian dan penguasaanya terhadap pengetahuan tentang Islam. Selain karena kepandaiannya dalam ilmu agama, beberapa tuan guru dihormati juga karena asal-usul geneologisnya sebagai keturunan dan pewaris ilmu dari tokoh tuan guru terkenal sebelumnya. Guru Sekumpul mendapatkan penghormatan yang besar dari masyarakat karena ia dianggap menguasai banyak ilmu agama. Ia juga pernah mangaji (berguru atau menuntut ilmu agama) pada beberapa ulama terkemuka baik lokal, nasional maupun internasional. Jama’ahnya yang banyak mencapai puluhan ribu pada setiap pengajian yang diadakan di Sekumpul tambah memperkuat eksistensi Guru Sekumpul sebagai seorang tuan guru. Tugas
ulama
menurut
Horikoshi
(1987:
149)
adalah
untuk
mengajarkan doktrin agama, yaitu seperangkat nilai-nilai untuk membimbing tingkah laku moral anggota-anggota masyarakat. Dalam masyarakat Banjar tradisional pengakuan terhadap seorang tuan guru didasarkan pada kriteria lamanya masa menuntut ilmu di tanah suci Mekkah, atau paling tidak berguru pada tuan guru-tuan guru lokal yang dianggap sangat ‘alim dalam berbagai cabang ilmu agama, khususnya dalam perihal ilmu-ilmu lahir dan ilmu-ilmu batin. Selain itu, pengaruh seorang tuan guru juga ditentukan oleh seberapa besar kharisma yang dimiliki oleh tuan guru, serta berapa banyak jumlah jama’ahnya (Syadzali, 2003: 54). Menurut Syadzali (2003: 54), meskipun tanpa institusi (pendidikan khusus seperti pesantren), kedudukan para tuan guru dalam masyarakat Banjar tradisional tergolong dominan, sebagai gantinya adalah majelis pengajian.
47
Jenis pengajian yang berkembang tergantung pada orientasi tuan guru dan kecenderungan masyarakat yang berkembang pada saat itu. Habib yang dianggap sebagai keturunan nabi dan dianggap sebagai orang yang sholeh dan alim juga memilki status yang tinggi dalam struktur sosial masyarakat Sekumpul. Ketinggian status mereka dapat dilihat dari posisi tempat duduk mereka dalam kegiatan pengajian yang dilaksanakan di Sekumpul. Dalam majlis pengajian para habib umumnya mendapat tempat duduk di barisan paling depan sejajar dengan Guru Sekumpul dan mereka juga mendapat kesempatan untuk memimpin pembacaan do’a maupun raw3i. Dalam beberapa kegiatan sosial keagamaan di lingkungan Sekumpul, para tuan guru dan habib ini juga sering dimintai bantuan oleh penduduk untuk memimpin upacara keagamaan serta menbacakan doa penutup dalam setiap kegiatan. Mereka juga selalu ditempatkan di barisan paling depan diruang utama pusat tempat berlangsungnya sebuah ritual keagamaan. Tingkatan selanjutnya ditempati oleh para pemegang kekuasaan pemerintahan kampung, yang terdiri dari ketua Rukun Tetangga (RT) dan ketua Rukun Warga (RW). Mereka merupakan wakil terendah dari pemerintahan sipil di Indonesia. Ketua RT maupun RW biasanya bertindak sebagai pemegang kendali administrasi kampung. Keberartian mereka tampak terlihat jelas pada aktivitas-aktivitas yang berhubungan dengan administrasi kampung seperti pembuatan surat keterangan tidak mampu (miskin), atau ketika berlangsung kegiatan-kegiatan seremonial nasional seperti peringatan 17 agustus atau pemilihan umum. 3 Rawi adalah sejarah atau cerita para nabi dan ulama yang kehidupannya dianggap layak untuk diteladani.
48
Para birokrat kampung ini biasanya bekerjasama dengan kelompokkelompok pengajian yang ada di Sekumpul untuk mengkoordinir berbagai kegiatan keagamaan besar yang diadakan di Sekumpul seperti pada acara haul dan nisfu sya’ban. Mereka mengkoordinir pengumpulan dan pendistribusian dana penduduk untuk membantu tersedianya berbagai fasilitas yang dibutuhkan dalam acara-acara tersebut seperti tenda, bak-bak penampungan air, pengeras suara, saluran wudlu, lokasi dan petugas parkir, wc darurat hingga pembersihan kampung. Di Sekumpul, ketua RT merupakan arena “perebutan kekuasaan” bagi para pegawai negeri. Pegawai negeri dianggap lebih pantas menempati jabatan ketua RT, karena mereka diyakini lebih mengerti persoalan administrasi dan politik pemerintahan. Sedangkan ketua kelompok pengajian atau arisan menjadi ‘lahan’ para tuan guru. Posisi para pedagang kaya dalam hal ini selalu menjadi rebutan dua kelompok kepentingan di atas. Mereka selalu diperebutkan untuk ditempatkan pada posisi bendahara. Status ekonomi telah menempatkan mereka pada posisi yang prestisius. Kelompok sosial lainnya adalah masyarakat awam pada umumnya yang terdiri dari para pedagang, pegawai negeri, pensinan, petani serta wiraswasta. Kelompok ini dalam struktur sosial di Sekumpul cenderung memiliki posisi yang sama. Kecuali itu, status sosial mereka akan meningkat jika mereka dianggap memiliki ‘kelebihan’. Beberapa hal yang dapat mempengaruhi dan meningkatkan status seseorang diantaranya tingkat kealiman dan keberhasilan. Kealiman biasanya diukur dari keahlian dalam bidang ilmu agama dan tingkat pelaksanaan rukun Islam (paibadat).
49
Sedangkan keberhasilan diukur dari tingkat kepemilikan kekayaan serta penggunaan
kekayaan
tersebut
untuk
kepentingan
agama
seperti
melaksanakan ibadah haji dan bersedekah. Untuk itu beberapa orang yang memiliki pekerjaan sebagai pegawai negeri atau pedagang terkadang juga mendapat penghormatan yang tinggi di masyarakat karena mereka dianggap alim, memiliki keahlian dalam bidang agama, dapat memimpin pelaksanaan kegiatan-kegiatan keagamaan atau karena mereka memiliki kekayaan (urang sugih) yang banyak mendermakan dan menyedekahkan hartanya untuk kegiatan-kegiatan keagamaan. Orang asli Martapura dalam kehidupan keseharian di Sekumpul cenderung memiliki status yang lebih tinggi dari pendatang, khususnya mereka yang memang memiliki hubungan geneologis dengan Guru Sekumpul. Status yang lebih tinggi yang dimiliki oleh orang asli Martapura ini, disebabkan karena mereka dianggap satu bubuhan dengan Guru Sekumpul, yaitu bubuhan Martapura dan mereka dianggap lebih dahulu berguru dan memiliki keterikatan dengan Guru Sekumpul. Mereka juga dianggap sebagai “orang dekat” Guru Sekumpul karena dalam beberapa hal mereka sering dipanggil dan dimintai bantuan oleh keluarga Guru Sekumpul. Dalam beberapa hal, seseorang harus berhubungan dengan mereka ini terlebih dahulu ketika akan berhubungan dengan Guru Sekumpul, karena tidak semua orang dapat berinteraksi langsung dengan Guru Sekumpul, Rumah kelompok ini umumnya berada dilapis pertama dari kompleks pengajian Guru Sekumpul, berhimpitan langsung dengan tembok (regol) kompleks ar-Raudlah.
50
Para pendatang akan mendapatkan status yang lebih tinggi dalam struktur sosial masyarakat Sekumpul jika ia dinggap memilki banyak pengetahuan agama Islam (alim) atau karena ia memiliki kemampuan ekonomi yang lebih (sugih) dan sering mendermakan hartanya untuk kegiatan keagamaan. Syarat yang belakangan ini biasanya dimiliki oleh golongan pedagang. Para pedagang kaya yang sering memberikan sumbangan terhadap kegiatan keagamaan akan mendapat simpati dari masyarakat. Dalam hal ini menjadi orang alim dan menjadi orang sugih menjadi dambaan penduduk, karena hal tersebut dapat menaikkan status sosial mereka di masyarakat. Para pendatang meskipun secara fisik tempat tinggal mereka tidak mengelompok tetapi ikatan kekeluargaan mereka sebagai sesama pendatang yang datang dari satu daerah atau biasa disebut sebagai satu bubuhan, lebih kuat. Dalam beberapa hal mereka cenderung berkomunikasi maupun meminta bantuan kepada bubuhan mereka sendiri.
B. Dinamika Pengajian di Sekumpul Pengajian4 sebagai sebuah institusi pendidikan informal di daerah ini telah mentradisi sejak abad ke-185. sehingga berbicara tentang daerah ini maka
4
Pengajian merupakan sebuah institusi yang memiliki peranan besar dalam proses identifikasi seseorang di daerah ini. Pengajian juga merupakan cikal bakal dari lahirnya sebuah institusi pengajaran yang kemudian dikenal dengan punduk pesantren di daerah ini. Sistem pengajian yang pada mulanya dikenalkan oleh seorang penghulu dari Demak, Khatib Dayyan ini kemudian dikembangkan oleh Syekh Muhammad Arsyad al-Banjary menjadi suatu sistem yang mendekati institusi pesantren. Ia mengembangkan suatu model belajar mengajar baru dimana pengajian yang sebelumnya dilaksanakan di rumah, mushalla atau istana raja kemudian dilaksanakan dalam suatu kompleks yang ada mushalla, tempat belajar mengajar dan asrama untuk para santri (Daud, 1997: 54). 5
Pengajian yang dilaksanakan pada masa itu oleh para tuan guru khususnya mereka yang baru kembali dari Mekkah seperti Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari menandai dimulainya suatu proses intensifikasi penyebaran Islam di daerah ini Lihat A Hafiz Anshari, ZA., “Peran Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari di dalam Pengembangan Islam di Kalimantan Selatan” dalam Majalah Ilmiah
51
tidak akan dapat dipisahkan dari institusi ini dan berbicara mengenai Sekumpul, maka tidak bisa dilepaskan dari pengajian yang dilaksanakan oleh Kyai Haji Zaini Abdul Gani atau Guru Sekumpul6. Pengajian ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari pengajian yang sebelumnya sudah dilaksanakan oleh Guru Sekumpul di tempat tinggal sebelumnya di Mushalla Darul Aman Kelurahan Keraton, bahkan kegiatan pengajian ini merupakan kegiatan yang telah diwariskan secara turun temurun oleh para ulama Banjar sebelumnya. Pengajian adalah sebuah institusi dimana seorang guru -biasanya merupakan orang yang alim dan memiliki pengetahuan agama yang luas, keluaran pondok pesantren atau mangaji duduk – mengajarkan berbagai ilmu agama, baik tauhid, fiqh, maupun tasawwuf dengan acuan sebuah kitab yang dianggap mu’tabaroh kepada muridmuridnya. Pengajian biasanya dilakukan secara rutin baik di mesjid, langgar maupun di rumah guru yang bersangkutan. Pengajian dapat diikuti oleh siapapun, tanpa memandang usia, latar belakang pendidikan maupun status seseorang. Murid hanya cukup datang dan mendengarkan apa yang disampaikankan oleh guru. Bagi yang telah mengerti tulisan Arab akan membawa kitab yang diajarkan guru, sehingga selain mendengarkan dia juga menyimak isi kitab. Proses ini dilakukan secara monolog sehingga tidak ada tanya jawab antara murid dan guru. Keagamaan dan Kemasyarakatan Khazanah, Vol. I, No. 1, Januari-Februari 2002. Banjarmasin: IAIN Antasari, hlm. 19. 6 Sapaan akrab “Guru Sekumpul” dimulai sejak Kyai Haji Zaini Abdul Ghani mulai menempati tempat tinggal baru di wilayah jalan Sekumpul. Di tempat lain, panggilan akrab kyai ini cenderung berbeda-beda. Ada yang menyapa dengan sebutan Guru Ijai dan Guru Zaini. Bahkan orangorang yang telah menjadi anak angkat Guru Ijai menyebutnya dengan sebutan Abah Guru. Bagi sebagian warga Martapura, terutama warga asli, sapaan Guru Ijai dianggap sedikit “kasar’. Karenanya mereka lebih suka menggunakan sapaan Guru Sekumpul.
52
Pengajian yang dilaksanakan oleh Guru Sekumpul terdiri dari pengajaran tasawwuf (sufisme), fiqh (hukum Islam) dan tauhid (teologi). Dalam materi ini diajarkan diantaranya tentang berbagai sikap dan sifat baik yang patut di contoh. Diantaranya adalah sikap hidup zuhud yang berorientasi pada ajaran tarikat Sammaniyah dan Syekh besar Abdul Qodir Zailani, yaitu zuhud dalam pengertian askese duniawi, intensifikasi pengabdian agama dengan kegairahan kerja bukan melarikan diri dari dunia. Dalam pengajian ini disampaikan pula bahwa sebagai orang Islam “memperkaya diri” adalah bagian dari upaya membuktikan bahwa Islam itu kaya dan bahkan mampu menyaingi Cina7. Akumulasi modal tidak dilarang tetapi harus digunakan untuk kepentingan syi’ar agama8. Pada saat kondisi sehat biasanya Guru Sekumpul akan menyampaikan pengajian dari mushalla al- Raudhah, langsung berhadapan vis to vis dengan murid-muridnya. Namun jika kondisi beliau sedang kurang sehat maka pengajian akan disampaikan dari rumah dan diliput oleh saluran televisi Sekumpul. Jama’ah atau murid-murid cukup mengikuti pengajian lewat televisi yang disediakan di mushalla dan di rumah-rumah penduduk sekitar yang menyiarkan kegiatan tersebut.
7
Penyebutan khusus terhadap Cina tampaknya terkait dengan anggapan bahwa Cina merupakan pesaing ekonomi terberat dan mereka adalah orang kafir yang tidak boleh dibiarkan menjadi kaya melebihi orang Islam. Anggapan bahwa orang Cina sebagai orang kafir ini menyebabkan perlawanan terhadap etnis ini lebih besar dibanding etnis lain yang juga banyak menguasai pasar seperti Arab dan India. 8
Guru Sekumpul sendiri telah mempraktekkan ajaran ini. Ia membangun mushalla rumah yang megah serta memilki mobil yang bagus. Ia juga melengkapi mushallanya dengan berbagai perlengkapan yang bagus mulai dari hambal (permadani), air conditioner (AC), kipas angin, lampulampu hias serta mimbar dengan ukiran-ukiran yang elegan.
53
Pengajian Guru Sekumpul sebagian besar diikuti oleh orang-orang dengan usia antara 12 hingga 60-an tahun dengan latar belakang pendidikan dan pekerjaan yang berbeda-beda, mulai dari santri, mahasiswa, dosen, pedagang, pegawai negri dan swasta, petani, pensiunan, guru agama, bahkan pejabat pemerintahan. Pengajian untuk laki-laki dipisahkan dengan pengajian untuk perempuan berdasarkan hari yang berbeda. Berkaitan dengan volume dan waktu pelaksanaan, pengajian ini telah beberapa kali mengalami perubahan intensitas dan waktu pelaksanaan. Sampai dengan akhir bulan Juni 2004, pengajian ini hanya melaksanakan satu kali pengajian untuk laki-laki yaitu pada hari minggu sore dilanjutkan dengan pembacaan maulud pada malam harinya serta satu kali pembacaan burdah pada kamis malam. Sebelumnya pengajian ini dilaksanakan dua kali dalam seminggu. Satu kali untuk laki-laki dan satu kali untuk perempuan. Pengajian perempuan berlangsung setiap hari Sabtu dan laki-laki hari Minggu. Selain pengajian, pada setiap minggu malam diadakan pembacaan maulid habsyi dan pada kamis malam dilakukan pembacaan burdah yang hanya diikuti oleh jama’ah laki-laki. Pada saat berlangsung pengajian lakilaki, suasana Sekumpul terasa seperti suasana di sebuah pondok pesantren dimana laki-laki dengan pakaian putih berkain sarung serta kopiah haji putih nampak hilir mudik dengan menenteng kitab di tangan. Sedangkan pada pengajian perempuan, pakaian yang mereka kenakan lebih variatif, kecuali menutup aurat, pakaian yang dikenakan para jamaah perempuan ini biasanya berbeda antara satu dengan lainnya baik dari segi bentuk maupun warna. Suasana pada pengajian perempuan juga cenderung lebih ramai oleh
54
banyaknya para pedagang musiman dan oleh anak-anak kecil yang diikitsertakan oleh ibu mereka ke pengajian. Sejak pertengahan tahun 2003 pengajian untuk perempuan mulai ditiadakan, sehingga hanya tinggal pengajian laki-laki yang berlangsung satu minggu satu kali setiap minggu sore setelah sholat asar. Sedangkan pembacaan burdah yang berlangsung setiap kamis malam masih terus dilaksanakan. Menurut penduduk, pemberhentian pengajian perempuan lebih disebabkan karena kesalahan jama’ah sendiri yang cenderung tidak mengikuti kaidah-kaidah serta aturan main tak tertulis yang telah diketahui bersama berkaitan dengan larangan-larangan untuk tidak melakukan hal-hal yang telah diperingatkan oleh guru, seperti kesopanan dalam berpakaian dan kesopanan dalam bertingkah laku. Dalam beberapa kesempatan pernah disampaikan bahwa perempuan yang mau mengikuti pengajian diharapkan untuk tidak menggunakan celana panjang karena hal itu dianggap menyerupai laki-laki. Selain itu, pada jam-jam pengajian dilarang mondar mandir berseleweran di jalan yang memungkinkan bertemunya laki-laki dan perempuan dalam satu majlis (tempat). Pengajian yang diadakan oleh Guru Sekumpul sangat menarik minat tidak saja dari orang-orang sekitar Martapura tetapi juga dari luar Martapura bahkan hingga luar Kalimantan. Mereka yang cukup memiliki kemampuan finansial akan membangun rumah baik untuk tempat tinggal tetap, maupun rumah persinggahan yang hanya ditempati pada saat-saat ada aktivitas pengajian. Namun bagi yang kurang mampu atau karena alasan-alasan khusus pekerjaan, mereka cukup datang pada saat-saat dilaksanakan pengajian.
55
Orang-orang tipe ini akan berangkat dari kota tempat mereka tinggal secara berkelompok dengan menggunakan angkutan khusus yang akan mengantar, menunggui hingga membawa kembali mereka pulang ke daerah masingmasing. Gambar 5.4 Suasana Pengajian Laki-laki di Sekumpul
Sumber: Dokumen Pribadi Namun sejak tahun 2005 Pengajian guru Sekumpul tidak dilaksanakan lagi seiring dengan wafatnya Guru Sekumpul pada tanggal 10 Agustus 2005, Namun pengaruh dan dampak dari kehadiran pengajian tersebut masih dapat dirasakan hingga sekarang. Kehidupan di wilayah Sekumpul tampak lebih religius dibanding wilayah-wilayah sekitarnya. Aktifitas keagamaan masih cukup inten dilaksanakan di wilayah ini baik ritual sembahyang berjamaah maupun pembacaan maulid di malam-malam tertentu. Mushalla al-Raudhah sebagai mushalla yang berada dalam kompleks guru Sekumpul masih ramai dikunjungi baik untuk melakukan sholat lima waktu berjamaah maupun untuk
56
kegiatan ritual pembacaan mauled yang masih secara rutin dilaksanakan setiap minggu malam dan kamis malam. Sepeninggal Guru Sekumpul kemudian mulai bermunclan pengajianpengajian yang digagas oleh para tuan guru yang dahulunya mereka tidak membuka majlis pengajian dikarenakan mereka lebih memilih menjadi jamaah pengajian guru Sekumpul. Bahkan pada tahun 2006 lahir juga sebuah institusi pengajian yang digagas oleh Ibu Nafsiyah yang sekaligus bertindak sebagai guru yang member materi dan mengisi kegiatan di pengajian tersebut. Pengajian ini agak berbeda dengan kebanyakan pengajian yang berkembang di Martapura karena pengajian ini dilaksanakan oleh perempuan dengan jamaah perempuan.
C. Pola Pembelajaran di Pengajian Perempuan Sekumpul Sejarah proses pelaksanaan pengajian ini diawali oleh keinginan seorang qoriah (orang yang pandai melantunkan ayat Al-Quran) untuk mempelajari agama secara mendalam khususnya fiqih dan ibadah. Hal ini dilatari oleh kesadaran akan kurangnya pengetahuan agama yang ia miliki karena latar pendidikan yang bukan berasal dari sekolah agama, sementara lingkungan pergaulannya dalam kapasitasnya sebagai seorang qariah menuntutnya untuk memiliki pengetahuan agama yang lebih baik. Keinginan itu disambut baik oleh Ibu Hajjah Nafsiyah yang bersedia memberi pendidikan dan pengajaran secara informal dan privat. Keinginan ini juga diikuti oleh ketertarikan beberapa orang dekat ibu Nafsiyah untuk juga turut serta dalam kegiatan pembelajaran tersebut.
57
Pada awal pelaksanaan pengajian ini hanya diikuti oleh dua orang, beberapa hari kemudian beberapa orang yang mengetahui kegiatan ini tertarik ikut serta sehingga pengajian ini menjadi semakin banyak diikuti. Hingga akhir tahun 2013 tidak kurang dari 700 orang yang terdaftar sebagai jamaah majelis zikir ini. Dalam setiap minggu pelaksanaan kegiatan ini rata-rata dihadiri 400 hingga 500 jamaah. Kehadiran jamaah dapat diketahui dari sistem presensi kehadiran yang berfungsi unuk mengetahui banyaknya jumlah jamaah. Hal ini diperlukan karena dalam pembecaan zikir, kuantitas banyaknya hitungan zikir yang harus dibaca setiap orang sangat tergantung dari berapa banyak jamaah yang hadir. Di awal penyelenggaraan, saat pengajian hanya diikuti beberapa orang kegiatan pengajian dilaksanakan setiap hari, namun seiring dengan semakin banyaknya peserta maka pengajian kemudian dilaksanakan satu minggu sekali pada kamis sore setelah sholat asar. Beberapa tahun kemudian pengajian berubah jadwal menjadi senen sore setelah sholat asar. Namun jika ada tambahan kegiatan lain seperti perayaan maulid nabi (kelahiran nabi) atau ada pembacaan manakib (sejarah) tokoh-tokoh agama, maupun ritual haul (setahun kematian) tokoh-tokoh agama, maka biasanya jadwal kegiatan lebih diawalkan, yaitu siang setelah sholat zuhur. Hal ini dimaksudkan agar pelaksanaan kegiatan memiliki waktu yang lebih panjang karena ada tambahan acara tersebut dan acara masih tetap dapat diakhiri sebelum tiba sholat magrib.
58
Gambar 5.5 Suasana Pengajian Perempuan di Gang Bersama Sekumpul
Sumber: Dokumen Pribadi
Materi yang disampaikan di pengajian Hajjah Nafsiyah pada awalnya diarahkan pada pembelajaran pengetahuan keagamaan melalui pembacaan kitab Hidayatus Salihin karangan Syaikh Abdus Samad Palimbangi, pembacaan manakib (sejarah), akhlak (moral), fiqh (hukum) dan aqidah (theology). Metode yang digunakan dalam pengajian ini menggunakan sistem ceramah dimana murid atau jamaah mendengar seorang guru membaca, menerjemahkan, menafsir, menerangkan dan mengulas buku atau kitab yang sedang dipelajari. Kitab yang digunakan bisa berbahasa Arab dan bisa juga berbahasa Indonesia dengan aksara Arab atau yang dalam tradisi pesantren disebut sebagai Arab Melayu. Setiap murid memperhatikan buku mereka sendiri dan membuat catatan-catatan (baik arti maupun penjelasan) tentang
59
kata-kata atau buah pikiran yang sulit. Catatan juga bisa berupa amalan atau zikir yang dapat mereka praktekkan sebagai bagian dari manivestasi praktek sebuah pengetahuan. Sistem ini dalam tradisi pesantren di Jawa seperti ditulis Dhofier (1994: 28).biasa disebut dengan sistem bandungan atau weton. Pengajian ini dapat dikatakan sebagai pengajian tingkat lanjut, karena pelajaran tidak lagi sekedar pengetahuan berupa hafalan-hafalan, ataupun pelajaran mengenal huruf alphabet Arab tetapi sudah diarahkan pada pemahaman. Sebagaimana ditemukan oleh Dhofier (1994: 20) dalam penelitiannya tentang pendidikan Islam tradisional bahwa bentuk paling rendah dari sebuah sistem pengajian bermula pada waktu anak-anak berumur kira-kira 5 tahun, menerima pelajaran dari oran tuanya menghafalkan beberapa surat pendek dari berbagian (juz) Quran yang terakhir. Setelah berusia 7 atau 8 tahun mulai diajarkan membaca alphabet Arab dan secara bertahap diajar untuk dapat membaca Qur’an. Pada pengajian Hajjah Nafsiyah ini, pengajaran diarahkan pada upaya memahami berbagai pengetahuan agama baik itu fiqh (hukum Islam), tauhid (teologi) dan tasawwuf dan akhlak (etika Islam). Dengan harapan peserta atau jamaah dapat mengemplementasikan berbagai pengetahuan tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Adapun kitab yang diajarkan adalah Hidayatus Salikin, sebuah kitab karangan Abdussamad Alpalimbangi ditulis dengan hurup Arab berbahasa Melayu. Kitab ini banyak membahas tentang tauhid, fiqh dan tasawwuf. Meskipun pada umumnya sistem pengajian dilengkapi dengan sekolah formal berupa madrasah seperti ditemukan oleh Dhofier (1994: 19), namun di
60
pangajian dan majelis zikir ini tidak dilengkapi dengan sekolah formal. Pengajian ini hanya memfokuskan kajian pada pengajaran ilmu-ilmu agama khususnya tauhid, fiqih dan tasawwuf. Pengajian ini juga dalam pembiayaan sepenuhnya dibiayai oleh masyarakat sendiri tanpa ada bantuan pemerintah. Kebanyakan orang-orang yang belajar pada pengajian bertujuan untuk mengetahui berbagai aturan ibadah agar dalam pelaksanaan ajaran Islam tidak menyimpang atau salah, seperti mengerjakan sembahyang dan aturan-aturan menbersihkan diri serta mengetahui bacaan-bacaan dan doa-doa saat shalat. Pengajian ini juga merupakan pengajian tingkat lanjut, di pengajian ini tidak lagi diajarkan tentang baca tulis Qur’an maupun hafalan surah pendek seperti pada umumnya bentuk pengajian paling rendah atau awal. Semua jamaah diasumsikan telah mempelajari hal tersebut dan dianggap telah melewati tahapan awal tersebut. Meskipun pada kenyataannya masih ada beberapa jamaah dengan latar belakang pendidikan agama yang kurang, tidak memiliki kemampuan baca Qur’an yang baik. Selain itu pengajian ini juga bukan merupakan pengajian tingkat tinggi yang mengajarkan baca tulis Arab seperti pada umumnya pesantren. Hal ini disebabkan karena tujuan pembelajaran di pengajian ini bukan dimaksudkan agar jamaah dapat membaca dan menterjemahkan buku atau kitab klasik yang ditulis dalam bahasa Arab tetapi hanya untuk member pemahaman tentang berbagai ajaran agama.
61
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan Pengajian Hajjah Nafsiyah merupakan pengajian yang lebih diarahkan pada pemberian pemahaman tentang pengetahuan agama dengan harapan agar dapat dipraktekkan dalam kehidupan sehari hari. Dengan kata lain, pengajian ini bertujuan untuk memberikan bekal pengetahuan tentang ibadah kepada murid atau jamaah Kajiannya hanya terbatas kepada pengetahuan praktis yang dapat langsung dijalankan oleh murid atau jamaah yang meliputi pengetahuan tauhid, fiqih dan tasawwuf serta akhlak. Metode pembelajaran dilakukan dengan cara bandongan dimana guru membacakan materi disertai penjelasan kepada sekelompok orang, sementara murid menyimak pembelajaran sambil memberi catatan terhadap beberapa penjelasan. Pengajian ini tanpa dilengkapi sekolah formal, kegiatan hanya diarahkan pada zikir dan pembelajaran dengan menggunakan kitab tertentu yang dipelajari secara berkelanjutan dengan intensitas pertemuan satu minggu sekali. Pembiayaan pengajian ini sepenuhnya dibiayai oleh masyarakat. Adapun tujuan pembelajaran di pengajian ini bukan dimaksudkan agar jamaah dapat membaca dan menterjemahkan buku atau kitab klasik yang ditulis dalam bahasa Arab seperti pada umumnya di pesantren tetapi hanya untuk memberi pemahaman tentang berbagai ajaran agama.
62
B. Saran Sebagai sebuah lembaga pendidikan yang memiliki peran tinggi dalam pemberian pemahaman pengetahuan keagamaan dalam rangka pembentukan karakter yang baik maka pemerintah melalui instansi terkait dapat memberi dukungan baik dalam bentuk materi maupun fasiltas pendukung lainnya. Karena sebagaimana lembaga pendidikan lainnya lembaga pengajian juga tidak terlepas dari berbagai kendala tehnis terkait keterbatasan sarana dan prasarana.
63
DAFTAR PUSTAKA Anshary, Hafiz. 2002a. “Islam di Selatan Borneo Sebelum Kerajaan Banjar”, (Orasi Ilmiah yang disampaikan dalam rangka pembukan kuliah semester ganjil tahun 2002/2003 IAIN Antasari, Senen 2 September 2002), Banjarmasin: IAIN Antasari. hlm 14-24. Anwar, Ali. 2008. “Eksistensi Pendidikan Islam Tradisional di Tengah Arus Modernisasi Pendidikan Studi terhadap Kelangsungan Madrasah Hidayatul Mubtadiin Lirboyo Kediri Jawa Timur” dalam Irwan Abdullah (ed.) Agama Pendidikan Islam dan Tanggung Jawab Sosial Pesantren. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Arend, R.I. 1989. Learning to Teach. New York. McGraw-Hill Azra, Azyumardi. 1997. Pesantren: Kontinuitas dan Perubahan dalam Nurcholis Majid, Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan. Jakarta: Paramadina Daud, Alfani. 1997. Islam dan Masyarakat Banjar; Diskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar, Jakarta: Rajawali Pers Dhofir, Zamakhsyari. 1994. Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES Eggen PD, Kauchak & Harder. 1979. Strategies for Techers: Information Processing Models in The Classroom. Prentice Hall PTR Geertz, Clifford. 1983. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya Horikoshi, Hiroko. 1987. Kyai dan Perubahan Sosial di Jawa Barat. Jakarta: P3M Isjoni, 2009. M.Si,Ph.D, Pembelajaran Kooperatif Meningkatkan Kecerdasan Komuniksi Antar Peserta Didik, Yogyakrta: Pustaka Pelajar Joyce, Weil & Calhom. 2000. Model of Teaching. Pearson Education International Lie, Anita. 2002. ”Cooperative Learning : Mempraktikan Cooperative Learning di Ruang-ruang Kelas”. Jakarta : PT. Gramedia. Mile and Huberman, 1994. Kualitative Data Analysis. Sage Publication
64
Moleong, Lexy J. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Nasution, 1992. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Penerbit Tarsito. Noer, Deliar. 1983. Administrasi Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Rahim, Husin. 2001. Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Logos Rosyadi, Ahmad. 2004. Bertamu ke Sekumpul. Martapura: Lembaga Pengkajian Ilmu Pengetahuan dan Keislaman Kabupaten Banjar. Sobary, Mohammad.1999. Kesalehan dan Tingkah Laku Ekonomi. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya Steenbrink, Karel. 1986. Pesantren Madrasah Sekolah Pendidikan Islam dalam Kurun Modern. Jakarta: LP3ES Sugiono, 2009. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, Bandung: Alfabeta. Syadzali, Ahmad. 2003. “Tradisi Mangaji Duduk dalam Masyarakat Banjar”. Jurnal Kebudayaan Kandil. Edisi 3, Tahun I, Desember 2003. Banjarmasin: LK-3. hal 50-60. Zuhairini, et. Al., 1985. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara-Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama
65
LAMPIRAN-LAMPIRAN Lampiran 1. JADWAL PENELITIAN Penelitian dengan judul “Pola Pembelajaran di Institusi Pengajian (Studi atas Pengajian dan Majelis Zikir Hajjah Nafsiyah Sekumpul Martapura) ini berlangsung selama 3 bulan dengan 10 minggu efektif. Adapun rincian jadwal penelitian sebagai berikut: Bulan/Minggu keNo.
Kegiatan
Agustus
September
1 2 3 4 1 2 3 4
November 1
2
x x x x
x
3
4
x
x
Persiapan 1
a. Perizinan b. Pembuatan proposal
x x
Pelaksanaan 2
a. Pengumpulan Data b. Analisis Data c. Pembuatan Laporan
x x x x x
66
Lampiran 2. PEMBIAYAAN PENELITIAN
No 1
Komponen Pembiayaan
Biaya (Rp)
Transportasi, Akomodasi dan Konsumsi a. Sewa Mobil PP Banjarmasin-Martapura @ Rp. 250.000 b. Akomodasi selama satu bulan c. Konsumsi pengumpulan data 8 orang 10 hari @ 45.000 Jumlah
2
3
Rp. 500.000,Rp. 750.000,Rp. 3.600.000,-
4.850.000,-
Bahan Habis Pakai a. Katrit hitam 1 buah @ 132.200
Rp. 132.200
b. Tinta hitam Canon botol 1 pak @ 180.000
Rp.180.000
c. Kertas HVS A4 3 rim @ 35.000
Rp. 105.000
d. Buku kerja 8 buah @ 12.000
Rp. 96.000
e. Ballpoin 1 pak @ 25.000
Rp. 25.000
f. Flashdisk 8 buah @ 35.000
Rp.280.000 Jumlah
818.200
a. Pembuatan dan Penggandaan Laporan 16 eksemplar @ Rp. 21.250
340.000
Jumlah
340.000
Jumlah keseluruhan anggaran
6.008.200
Penggandaan dan Publikasi
67
Lampiran 3. PERSONALIA PENELITI 1. Ketua Pelaksana a. Nama Lengkap b. Jenis Kelamin c. NIP d. Disiplin Ilmu e. Pangkat dan Golongan / f. Jabatan Fungsional g. Fakultas / Jurusan h. Waktu untuk Kegiatan Ini
: : : : : : : :
Alfisyah, S.Ag. M.Hum Perempuan 197400805 200604 2002 Ilmu Sosial Penata/ IIIc Lektor FKIP / PIPS 100 Jam/minggu
2. Anggota Pelaksana a. Nama Lengkap b. Jenis Kelamin c. NIP d. Disiplin Ilmu e. Pangkat dan Golongan / f. Jabatan Fungsional g. Fakultas / Jurusan h. Waktu untuk Kegiatan Ini
: : : : : : : :
Sigit Ruswinarsih, S.Sos. M.Pd Perempuan 19700126 200501 2001 Ilmu Sosial Penata Muda Tk. I/ IIIb Asisten Ahli FKIP / PIPS 100 Jam/minggu
3. Anggota Pelaksana a. Nama Lengkap b. Jenis Kelamin c. NIP d. Disiplin Ilmu e. Pangkat dan Golongan / f. Jabatan Fungsional g. Fakultas / Jurusan h. Waktu untuk Kegiatan Ini
: : : : : : : :
Lumban Arofah, S.Sos. M.Sc Laki-laki 19801129 200501 1002 Ilmu Sosial Penata / IIIc Lektor FKIP / PIPS 100 Jam/minggu
4. Anggota Pelaksana a. Nama Lengkap b. Jenis Kelamin c. NIP d. Disiplin Ilmu e. Pangkat dan Golongan / f. Jabatan Fungsional g. Fakultas / Jurusan h. Waktu untuk Kegiatan Ini
: : : : : : : :
Tutung Nurdiyana, S.Sos. MA Perempuan 19761021 200501 2004 Ilmu Sosial Penata / IIId Lektor FKIP / PIPS 100 Jam/minggu
5. Anggota Pelaksana a. Nama Lengkap b. Jenis Kelamin
: Yuli Apriati, S.Sos. M.Si : Perempuan
68
c. d. e. f. g. h.
NIP Disiplin Ilmu Pangkat dan Golongan / Jabatan Fungsional Fakultas / Jurusan Waktu untuk Kegiatan Ini
: : : : : :
19840416 200812 2 006 Ilmu Sosial Penata Muda/ IIIa Tenaga Pengajar FKIP / PIPS 100 Jam/minggu
6. Anggota Pelaksana a. Nama Lengkap b. Jenis Kelamin c. NIP d. Disiplin Ilmu e. Pangkat dan Golongan / f. Jabatan Fungsional g. Fakultas / Jurusan h. Waktu untuk Kegiatan Ini
: : : : : : : :
Syahlan Mattiro,S.H M.Si Laki-laki 19800309 200912 1 001 Ilmu Sosial Penata Muda Tk. I/ IIIb Tenaga Pengajar FKIP / PIPS 100 Jam/minggu
7. Anggota Pelaksana a. Nama Lengkap b. Jenis Kelamin c. NIP d. Disiplin Ilmu e. Pangkat dan Golongan / f. Jabatan Fungsional g. Fakultas / Jurusan h. Waktu untuk Kegiatan Ini
: : : : : : : :
Nasrullah, S.Sos.I MA Laki-laki 19790526 200912 1 001 Ilmu Sosial Penata Muda Tk. I/ IIIb Tenaga Pengajar FKIP / PIPS 100 Jam/minggu
8. Anggota Pelaksana i. Nama Lengkap j. Jenis Kelamin k. NIP l. Disiplin Ilmu m. Pangkat dan Golongan / n. Jabatan Fungsional o. Fakultas / Jurusan p. Waktu untuk Kegiatan Ini
: : : : : : : :
Yusuf Hidayat, S.Sos. M.Si Laki-laki 19760520 200501 1001 Ilmu Sosial Penata Muda Tk I/ IIIb Tenaga Pengajar FKIP / PIPS 100 Jam/minggu