LAPORAN PENELITIAN MANDIRI
TINJAUAN PENGARUH CUACA TERHADAP KINERJA PERALATAN PEMANCAR YANG MENGGUNAKAN SIGNAL AF DAN RF PADA STASIUN RADIO PANTAI DISTRIK NAVIGASI AMBON
Oleh Ir. Latuhorte Wattimury, MT. NIP. 19650910 199303 1002
UNIVERSITAS PATTIMURA JULI 2016 i
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Kegiatan
: Tinjauan Pengaruh Cuaca terhadap Kinerja Peralatan Pemancar yang Menggunakan Signal AF dan RF pada Stasiun Radio Pantai Distrik Navigasi Ambon
Peneliti/Pelaksana Nama Lengkap NIDN Jabatan Fungsional Program Studi Nomor HP Surel (e-mail) Nama Institusi Mitra Alamat Penanggungjawab Waktu Pelaksanaan Biaya Tahun Berjalan Biaya Keseluruhan
: : : : : : : : : : : :
Ir. Latuhorte Wattimury, MT 0010096504 Lektor Teknik Sistem Perkapalan 081343254445
[email protected] Jl. Wolter Monginsidi-Latta RT/RW. 002/001 6 bulan Rp. 8.000.000 Rp. 8.000.000
Ambon, 11 Juli 2016 Menyetujui, Dekan Fakultas Teknik,
Peneliti,
(Ir. D. Ilela, MT.) NIP. 19531210 198003 1006
(Ir. L. Wattimury, MT.) NIP. 19650910 199303 1002
Mengetahui, Ketua Lembaga Penelitian Universitas Pattimura
(Prof. Dr. Ir. Rafael M. Osok, M.Sc.) NIP. 19601024 198803 1 001
ii
RINGKASAN
Dalam prakteknya, proses penerimaan ataupun pengiriman informasi dengan pesawat radio sering terganggu (kurang responsnya peralatan sistem GMDSS) dengan waktu delay yang cukup berarti. Secara teknis itu berarti kurang respon signal AF dan RF yang dipekerjakan di dalam peralatan sistem dimaksud pada penerima dan pemancar, sehingga menyebabkan keterlambatan komunikasi antara stasiun pemancar dan stasiun penerima. Signal AF maupun RF bekerja tidak kelihatan karena menggunakan media perantara udara, yang dipengaruhi oleh kondisi kelembaman akibat perbedaan cuaca. Penelitian ini dilaksanakan di Stasion Radio Pelayaran (Pantai) Distrik Navigasi Kelas I Ambon selama 6 bulan dengan tujuan menganalisis variable-variabel yang memungkinkan terjadinya kurang respon signal AF dan RF pada pemancar dan penerima; mengetahui berapa besar efek perubahan pada signal AF dan RF ketika dalam pengoperasian terjadi kurang respon; dan menganalisa faktor-faktor yang mengakibatkan terjadinya kurang responsif, sehingga dapat dikaji secara teoritis dengan kenyataan yang ada. Penelitian ini bersifat deskriptif yang mengkombinasikan hasil observasi, wawancara, dan studi kepustakaan. Hasil menunjukkan bahwa kondisi cuaca sangat mempengaruhi sistem kerja dari prinsip koneksitas peralatan pemancar sebuah stasiun yang menggunakan Frekuensi RF dan Frekuensi AF system; besar time delay koneksitas peralatan sistem Navigasi Ambon untuk cuaca panas pada temperatur rata-rata mencapai 31,121o C dengan time delay untuk waktu koneksi kurang lebih 4,40425 detik; untuk kondisi mendung ataupun hujan temperatur rata-rata diperoleh sekitar 26o C, dengan time delay koneksitas mencapai sekitar 7,5 detik; dan salah satu sumber kegagalan kurang responsnya sistem peralatan pemancar pada sistem radio Navigasi Kelas 1Ambon adalah karena kondisi cuaca terhadap kinerja Frekuensi AF dan RF dari sistem yang ada.
Kata Kunci: Peralatan Sistem GMDSS, Signal AF dan RF, Cuaca
iii
DAFTAR ISI
JUDUL
...................................................................................................
i
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................
ii
RINGKASAN ............................................................................................
iii
DAFTAR ISI .............................................................................................
iv
BAB I. PENDAHULUAN .........................................................................
1
1.1
Latar Belakang ......................................................................
1
1.2
Rumusan Masalah .................................................................
2
1.3
Tujuan Penelitian ...................................................................
3
1.4
Batasan Masalah ....................................................................
3
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ...............................................................
4
2.1
Dasar-Dasar Propagasi Gelombang Radio .............................
4
2.2
Ruang Bebas (Free Space) ....................................................
7
2.3
Difraksi (Diffraction) dan Hamburan (Scattering) .................
9
2.4
Gelombang Langit (Sky Wave) .............................................
10
2.5
Gelombang Permukaan Bumi (Ground Wave) .......................
12
2.6
GMDSS (Global Maritime Distress and Safety Sistem) .........
14
2.7
Pesawat Pemancar JRS-108 ...................................................
16
2.8
Unit Exciter ...........................................................................
19
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ...................................................
21
3.1
Metode Penelitian ..................................................................
22
3.2
Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................
23
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHANAN ...................................................
24
4.1
Data Pasawat Radio Pada Stasiun Pemancar dan Pesawat Radio Pada Stasiun Bergerak .................................................
4.2
Sistem Kerja Pesawat Pemancar Manual (lama) Stasion Pantai Navigasi Ambon .............................................
4.3
4.4
24
25
Proses Kerja Pesawat Pemancar dan Penerima Stasiun Pantai Navigasi Ambon .........................................................
26
Data Koneksitas Peralatan Sistem Pemancar Navigasi Ambon
30
iv
BAB V. PENUTUP ...................................................................................
34
5.1
Kesimpulan ...........................................................................
34
5.2
Saran .....................................................................................
34
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................
35
v
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Kelompok atau bidang kerja yang ada di Distrik Navigasi Ambon adalah Kolompok
Kapal
Negara,
Kelompok
ETP
(Elektonika
Telekomunikasi
Pelayaran), Kelompok Perbengkelan, Kelompok SBNP (Sarana Bantu Navigasi Pelayaran), Kelompok Pengamatan Laut. Kelompok atau bidang kerja ini merupakan sarana keselamatan pelayaran yang berada dibawah Direktur Unit Kerja Kenavigasian, sesuai dengan tugas fungsi pokok dari Navigasi yang sudah tercantum jelas dalam KM No 30 tahun 2006. Kelompok ETP adalah kelompok yang mempunyai peran penting dalam menunjang keselamatan pelayaran, karena kelompok ini menggunakan sarana komunikasi untuk menyampaikan informasi terkait dengan keselamatan pelayaran kepada setiap kapal-kapal yang melaut. Singkatnya kelompok ini berfungsi sebagai sarana bantu telekomunikasi pelayaran baik antar stasiun darat dengan stasiun darat, maupun antar stasiun darat dengan stasiun bergerak (kapal). Kelompok ETP ini juga merupakan bagian dari stasiun radio pantai pelayaran kelas I Ambon dan merangkum semua station radio pantai yang ada di Maluku dan Maluku Utara, dan
sekaligus merupakan bagian struktural dari
bidang operasi di kantor distrik navigasi kelas I Ambon, yang berfungsi mengatur segala keperluan dan kendala komunikasi pelayaran pada seluruh stasiun radio pantai di Maluku dan Maluku Utara maupun Stasiun Radio Pantai Kelas I Ambon untuk dipertanggung jawabkan kepada kepala bidang operasi untuk diteruskan ke Kepala Kantor Distrik Navigasi kelas I Ambon sebagai bahan pertimbangan dan laporan ke kantor Dirjen Kenavigasian. Peralatan sarana keselamatan pelayaran yang dipakai dalam berkomunikasi antara stasiun darat( stasiun radio pantai) dengan stasiun bergerak (kapal) adalah pesawat radio. Dengan perkembangan teknologi modern sekarang ini, direktur jendral kenavigasiaan terus mengadakan evaluasi terhadap sarana telekomunikasi pelayaran yang disesuaikan dengan kemajuan teknologi itu sendiri. Dalam kaitan
1
tersebut,
peralatan
pesawat
radio
yang
digunakan,
diisyaratkan
untuk
menggunakan Global Maritime Distress and Safety Sistem (GMDSS). GMDSS adalah suatu paket keselamatan yang disetujui secara Internasional dan terdiri dari prosedur keselamatan, jenis-jenis peralatan, protocol-protokol komunikasi yang dipakai untuk meningkatkan keselamatan dan mempermudah saat penyelamatan kapal, perahu, ataupun pesawat terbang yang mengalami kecelakaan. Kapal sebagai sarana transportasi sekaligus sarana rekreasi sangat disarankan memakai radio VHF Digital Selective Calling (DSC). Kapal-kapal dibawah 300 GT tidak termasuk dalam peraturan yang mewajibkan pemakaian GMDSS. Namun kapal-kapal yang memiliki bobot mati antara 300-500 GT disarankan tapi tidak diwajibkan untuk menggunakan GMDSS, namun kapalkapal diatas 500 GT sudah diharuskan menggunakan peralatan yang mendukung GMDSS. Dalam kenyataan sehari-hari, proses penerimaan ataupun pengiriman informasi, sering menjadi terganggu dengan waktu delay yang cukup berarti. Hal teknis ini lebih dikenal dengan istilah kurang responsnya peralatan sistem GMDSS, dan hal ini membuat penulis tertarik untuk mencoba menelusuri penyebabnya dari berbagai dugaan kemungkinan, baik dari sisi cuaca maupun dari sisi kinerja peralatan itu sendiri secara teknis. Secara teknis kurang responsnya sistem GMDSS antara Transmitter dan Receiver itu berarti kurang respon signal AF dan RF yang dipekerjakan didalam peralatan sistem dimaksud pada penerima dan pemancar sehingga menyebabkan keterlambatan komunikasi antara stasiun pemancar dan stasiun penerima yang
secara
otomatis sangat
mempengaruhi komunikasi dalam pengoperasiannya. Signal AF maupun RF bekerja tidak kelihatan karena menggunakan media perantara udara, yang dipengaruhi oleh kondisi kelembaman akibat perbedaan cuaca.
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka yang menjadi permasalahan dalam penulisan yaitu:
2
1. Apa saja kendala yang menyebabkan terjadinya kurang respon signal AF dan RF pada pemancar ke penerima? 2. Berapa besar nilai perubahan yang ada, terkait dengan besar kurang respon nya signal AF dan RF pada pemancar dan penerima? 3. Apa saja faktor-faktor yang menyebabkan perubahan nilai tersebut, terkait dengan kurangnya respons signal AF dan RF pada pemancar dan penerima?
1.3. Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini adalah: 1. Menganalisis variable-variabel apa saja yang memungkinkan terjadinya kurang respon signal AF dan RF pada pemancar dan penerima; 2. Mengetahui berapa besar efek perubahan pada signal AF dan RF ketika dalam pengoperasian terjadi kurang respon; 3. Menganalisa factor-faktor
yang mengakibatkan terjadinya kurang
responsif, sehingga dapat dikaji secara teoritis dengan kenyataan yang ada.
1.4. Batasan Masalah Agar pembahasan masalah dalam penulisan proposal skripsi ini terarah dan tidak keluar dari tujuan penilitian serta penulisan skripsi, maka perlu adanya batasan masalah meliputi: 1. Penelitian dibatasi hanya pada kerja pengoperasian pesawat pemancar dan penerima (transmitter dan reciver radio); 2. Peninjauan terhadap variable-variabel sistem kerja pesawat radio yang dibatasi pada kecepatan
konesitas akibat kondisi temperatur dari
perubahan cuaca.
3
BABA II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Dasar-Dasar Propagasi Gelombang Radio 2.1.1. Propagasi Gelombang Propagasi
Gelombang
dapat
didefiniskan
sebagai
perambatan
gelombang pada media perambatan. Media perambatan atau biasa juga disebut saluran transmisi gelombang dapat berupa fisik yaitu sepasang kawat konduktor, kabel koaksial dan berupa non fisik yaitu gelombang radio atau sinar laser. Gambar 2.1 merupakan gambaran singkat tentang propagasi gelombang (J, Herman, 1986: 1.4).
Gambar 2.1 Propagasi Gelombang
2.1.2. Gelombang Radio dan Spektrum Elektromagnetik Gelombang radio termasuk keluarga radiasi elektromagnetik meliputi infra merah (radiasi panas), cahaya tampak (visible light), ultraviolet, sinar-X, dan bahkan panjang gelombang gamma yang lebih pendek dan sinar kosmik. Gelombang elektromagnetik berasal dari interaksi antara medan listrik dan medan magnet (Reed, 2004: 20.1). Pembagian spektrum gelombang elektromagnetik dapat di lihat pada Gambar 2.3 dibawah ini.
4
Gambar 2.2 Medan Listrik dan Magnet Pada Gelombang Elektromagnetik
Gambar 2.3 Spektrum Elektromagnetik
Menurut John (1988: 8-10) Nilai panjang gelombang λ berhubungan dengan frekuensi f dan kecepatan gelombang v, dimana kecepatan gelombang bergantung pada media. Dalam kasus ini medianya adalah ruang bebas (free space/vacuum). λ= v / f dimana :
v = c (ruang bebas)= 3 x 108 m s-1
Gambar dibawah ini menunjukan hubungan antara panjang gelombang dan frekuensi pada v = c sesuai dengan banyak jenis frekuensi yang ada pada Gambar 2.3 diatas.
5
Gambar 3.4 Panjang Gelombang Berbanding Frekuensi untuk v = c
2.1.3. Polarisasi Gelombang Elektromagnetik J, Herman (1986: 1.43) menyatakan polarisasi gelombang didefinisikan sebagai sifat gelombang elektromagnetik yang menjelaskan arah dan amplitudo 6
vektor kuat medan magnet sebagai fungsi waktu. Ada tiga macam polarisasi gelombang yaitu polarisasi linier, polarisasi lingkaran, dan polarisasi eliptis.
Gambar 3.5 Polarisasi Gelombang Elektromagnetik
2.2. Gelombang Ruang Bebas (Free Space) 2.2.1. Pembiasan (Refraction) oleh Atmosfir Bumi Pada atmosfir bumi terjadi pembiasan gelombang sekitar 18 km dari permukaan bumi di daerah khatulistiwa dan sampai sekitar 8 dan 11 km di daerah kutub selatan dan utara. Untuk itu radius bumi diubah disesuaikan demikian hingga kelengkungan relatif antara gelombang dan bumi tetap seperti yang ditunjukkan Gambar 6 Radius kelengkungan bumi yang telah disesuaikan dengan perbandingan antara radius efektif bumi dan radius bumi yang sesungguhnya disebut dengan faktor K. Pada kondisi atmosfir normal, dalam perhitungan radius bumi ekuivalen biasanya digunakan K = 4/3 (J, Herman, 1986: 3.2).
Gambar 2.6 Radius Efektif Bumi
7
Gambar 2.7 Profil Lintasan (Path Profile) dengan Faktor K = 4/3
2.2.2. Propagasi Line of Sight (LOS) Propagasi gelombang pada frekuensi diatas 30 MHz memanfaatkan gelombang langsung dan gelombang pantul oleh permukaan bumi. Gambar dibawah ini merupakan gambaran dari propagasi Line of Sight (LOS).
Gambar 2.8 Daerah Freshnel di Sekitar Lintasan Langsung Pada propagasi LOS terdapat daerah yang harus dan wajib terhindar dari halangan, daerah itu disebut dengan daerah fresnel (fresnel zone). Seperti yang ditunjukkan pada gambar dibawah ini.
Gambar 2.9 Pemetaan Daerah-Daerah Freshnel 8
Berdasarkan Gambar 2.9 dan keterangan di atas, F1 disebut sebagai radius daerah Freshnel pertama, yang dirumuskan dengan (Aswoyo, 2006: 101), sebagai berikut:
F1 = 17,3
(
)
Keterangan : F1 :
Radius daerah Freshnel pertama (m)
F
Frekuensi kerja (GHz)
:
d1 :
Jarak antara Tx dengan halangan (km)
d2 :
Jarak antara Rx dengan halangan (km)
d
d1+d2 = Jarak antara Rx dengan halangan (km)
:
2.2.3. Redaman Pada Ruang Bebas (Free Space Loss) Redaman LOS berharga rata-rata sama dengan redaman ruang bebas. Dalam perhitungan redaman lintasan dianggap tetap sehingga untuk LOS adalah (J, Herman, 1986: 3.29): Lp = 32,5 + 20 log d (km) + 20 log f (MHz)
2.3. Difraksi (Diffraction) dan Hamburan (Scattering) 2.3.1. Difraksi oleh Penghalang (Knife Edge Diffraction) Difraksi adalah kemampuan gelombang untuk berbelok setelah mengalami benturan dengan penghalang. J, Herman (1986: 4.5) menyatakan difraksi oleh bukit, pohon, bangunan dan lain-lain sulit sekali dihitung, akan tetapi perkiraan redamannya dapat diperoleh dengan mengingat harga-harga ekstrim yang disebabkan oleh difraksi rintangan tajam yang menyerap sempurna (Knife Edge Diffraction).
9
Gambar 2.10 Difraksi pada Penghalang
2.3.2. Hamburan oleh Troposfir (Troposphere Scatter) Sistem komunikasi radio yang mengunakan sifat hamburan gelombang elektromagnetik oleh partikel-partikel troposfir yang disebut sistem tropo atau thin line troposcattering sistem. Jaraknya berkisar 200 – 800 km dan frekuensi yang dipakai yaitu 300 – 30.000 MHz berada di daerah UHF dan SHF (J, Herman,1986: 4.11). Berikut ini adalah gambar mekanisme troposcattering.
Gambar 2.11 Mekanisme Hambuiran oleh Troposfir
2.4. Gelombang Langit (Sky Wave) 2.4.1. Ionosfir Ionosfir tersusun dari 3 (tiga) lapisan , mulai dari yang terbawah yang disebut dengan lapisan D, E dan F. Sedangkan lapisan F dibagi menjadi dua, yaitu lapisan F1 dan F2 (yang lebih atas), seperti Gambar 2.12.
10
Gambar 2.12 Lapisan Ionosfir Lapisan D terletak sekitar 40 km – 90 km. Ionisasi di lapisan D sangat rendah, karena lapisan ini adalah daerah yang paling jauh dari matahari. Lapisan ini mampu membiaskan gelombang-gelombang yang berfrekuensi rendah. Frekuensi-frekuensi yang tinggi, terus dilewatkan tetapi mengalami redaman. Setelah matahari terbenam, lapisan ini segera menghilang karena ion-ionnya dengan cepat bergabung kembali menjadi molekul-molekul. Lapisan E terletak sekitar 90 km – 150 km. Lapisan ini, dikenal juga dengan lapisan Kenelly– Heaviside, karena orang-orang inilah yang pertama kali menyebutkan keberadaan lapisan E ini. Setelah matahari terbenam, pada lapisan ini juga terjadi penggabungan
ion-ion
menjadi
molekul-molekul,
tetapi
kecepatan
penggabungannya lebih rendah dibandingkan dengan lapisan D, dan baru bergabung seluruhnya pada tengah malam. Lapisan ini mampu membiaskan gelombang dengan frekuensi lebih tinggi dari gelombang yang bisa dibiaskan lapisan D. Dalam praktek, lapisan E mampu membiaskan gelombang hingga frekuensi 20 MHz. Lapisan F terdapat pada ketinggian sekitar 150 km – 400 km. Selama siang hari, lapisan F terpecah menjadi dua, yaitu lapisan F1 dan F2. Level ionisasi pada lapisan ini sedemikian tinggi dan berubah dengan cepat se iring dengan pergantian siang dan malam. Pada siang hari, bagian atmosfir yang paling dekat dengan matahari mengalami ionisasi yang paling hebat. Karena atmosfir di daerah ini sangat renggang, maka penggabungan kembali ion-ion menjadi molekul terjadi sangat lambat (setelah terbenam matahari). Karena itu, lapisan ini
11
terionisasi relatif konstan setiap saat. Lapisan F bermanfaat sekali untuk transmisi jarak jauh pada frekuensi tinggi dan mampu membiaskan gelombang pada frekuensi hingga 30 MHz.
2.4.2. Propagasi Gelombang dalam Ionosfir Pada frekuensi tinggi atau daerah HF, yang mempunyai ranges frekuensi 3 – 30 MHz, gelombang dapat dipropagasikan menempuh jarak yang jauh akibat dari pembiasan dan pemantulan lintasan pada lapisan ionospher. Gelombang yang berpropagasi melalui lapisan ionosfer ini disebut sebagai gelombang ionosfer (ionospheric wave) (Aswoyo, 2006: 89).
Gambar 2.13. Propagasi Gelombang Ionosfir
2.5. Gelombang Permukaan Bumi (Ground Wave) 2.5.1. Permukaan Bumi sebagai Penumpu Gelombang Elektromagnetik Gelombang permukaan bumi berpolarisasi vertikal, karena setiap komponen horisontalnya akan dihubung singkat oleh permukaan bumi. Daerah frekuensi utama gelombang ini adalah 30 kHz – 3 MHz yaitu band MF dan LF dan konfigurasi medannya terlihat seperti pada gambar. Perubahan kadar air mempunyai pengaruh yang besar terhadap gelombang tanah. Redaman gelombang tanah berbanding lurus terhadap impedansi permukaan tanah. Impedansi ini merupakan fungsi dari konduktivitas dan frekuensi. Jika bumi mempunyai konduktivitas yang tinggi, maka redaman (penyerapan energi gelombang) akan berkurang. Dengan demikian, propagasi gelombang tanah di atas air, terutama air garam (air laut) jauh lebih baik dari pada 12
di tanah kering (berkonduktivitas rendah), seperti padang pasir. Rugi-rugi (redaman) tanah akan meningkat dengan cepat dengan semakin besarnya frekuensi. Karena alasan tersebut, gelombang tanah sangat tidak efektif pada frekuensi di atas 2 MHz.
Gambar 2.14 Perambatan Gelombang Permukaan Bumi
2.5.2. Propagasi Gelombang dalam Air Laut Propagasi gelombang permukaan merupakan satu-satunya cara untuk berkomunikasi di dalam lautan Untuk memperkecil redaman laut, maka digunakan frekuensi yang sangat rendah, yaitu band ELF (Extremely Low Frequency), yaitu antara 30 hingga 300 Hz. Dalam pemakaian tertentu dengan frekuensi 100 Hz, redamannya hanya sekitar 0,3 dB per meter. Redaman ini akan meningkat drastis bila frekuensinya makin tinggi, misalnya pada 1 GHz redamannya menjadi 1000 dB per meter.
Gambar 2.15 Perambatan antara dua antena dalam air laut
13
2.6. GMDSS (Global Maritime Distress and Safety Sistem) Global Maretime Distress and Safety Sistem (GMDSS) adalah merupakan salah satu kemajuan teknologi penting dalam komuniksi radio untuk mencapai sistem komunikasi yang lebih efektif, cepat dan layak untuk menangani tekanan matitim dan keamanan komunikasi di laut. Melalui sistim ini, tercipta integrasi layanan komunikasi yang berbeda, bahkan secara bersamaan, untuk memerangi ketidak pastian dari absence link yang semula hanya satu link atau hanya bisa terjadi komunikasi satu arah. Pada sistem ini, normalisasi informasi yang terkandung dalam pesan marabahaya dan keselamatan menyediakan data yang diperlukan untuk lokalisasi yang tepat dari kapal pada
kondisi rusak atau pada kondisi membutuhkan layanan bantuan
penyelamatan. Itu artinya melalui layanan ini, secara global telah tersedia layanan keselamatan yang selalu menjadi peringatan secara menyeluruh ke seluruh dunia. Dengan cara ini, secara otomatis telah terganti metode tradisional MORSE dan telefon radio yang selama ini dimanfaatkan secara optimal dalam
melayani
komunikasi diberbagai kesempatan, meskipun memiliki ketidaksempurnaan serta berbagai keterbatasan dalam dunia komunikasi yang melibatkan berbagai sistem pelayaran dan yang dikendalikan oleh manusia. Sistim GMDSS dalam melakukan komunikasi menggunakan frekuensi VHF, MF, HF, dan Digital Selective Calling (DSC). Sistem ini menggunakan panggilan otomatis untuk memantau panggilan kapal ke pantai, pantai ke kapal, atau kapal ke kapal. Untuk jangkauan terbatas dari setiap sistim komunikasi radio, beberapa wilayah operasional dan untuk sistem komunikasi perairan, telah ditetapkan beberapa batasan koneksi lokasi atau zona yang meliputi:
Zona A1 dekat dengan pantai jangkauannya (sekitar 25-30 mil).
Zona A2 Navigasi dengan jangkauan MF-DSC,termasuk zona A1 (sekitar 250 mil).
Zona A3 Navigasi termasuk zona A1, A2 dan daerah kutub ( >70 0), dengan HF-DSC dan jangkauan INMARSAT.
Zona A4- polar, >700 N, >700S.
14
Adapun kelengkapan operasional yang harus dimiliki oleh sebuah layanan komunikasi yang menggunakan sistem GMDSS antara lain meliputi:
Radio kisaran mercusuar bagi lokalisasi kapal rusak
Radar transponder
Navtex transmitter
VHF portable
Stasiun radio VHF dengan DSC (Digital Selective Calling)
Stasiun radio HF dengan DSC (Digital Selective Calling)
Stasiun radio MF dengan DSC (Digital Selective Calling)
Gambar 2.16 Antena Tower Pemancar pada Stasiun Radio Pantai Navigasi Ambon
15
Gambar 2.17 Peralatan Sistem GMDSS (Navtex, DSC, Pasolink, Rack Control) Navigasi Ambon 2.7. Pesawat Pemancar JRS-108 JRS-108 dirancang sebagai pemancar telegraf dioperasikan dalam sebuah band MF 405-535 kHz. Dan dapat mengirim signal pada enam frekuensi yang deprogram dalam tiap 100Hz dalam kisaran ini. Pemancar ini menyediakan output 1kW PEP + 0.0 5dB, dan dapat dioperasikan di CW. MCW dan mode FSK emisi. Pemancar ini dapat dioperasikan secara kontinyu. Selain itu, dapat dioperasikan tanpa berawak. Hal ini dapat dikontrol secara local dan remote. JRS108 mempunyai 50-ohm impedansi keluaran RF, dan ini dibangun untuk dapat berhubungan dengan signal parallel remote control. Juga, pemancar ini dapat dihubungkan ke antena jenis “T” Ra = 10-20ohm. Ca 1000-1600 pF oleh opsinal NFG-3 Antena Matching Unit. JRS-108 terdiri Control unit,Exciter unit, dan Power Amplifier unit ke rak cabinet, dan unit ini dapat dikeluarkan kearah depan oleh pengguna. JRS-108 16
mengadopsi Fase untuk Amplitudo Modulation (AM), sistem untuk memproses sinyal trasmisi RF dalam modus diaktifkan. D kelas power amplifier yang cocok untuk memperkuat sinyal RF ini. Sistem ini barguna untuk meningkatkan efisiensi penggunaan daya dan mengurangi termal dari pemancar. Power Amplifier ini memiliki sirkuit output matching yang sesuai dengan impedansi beban RF dan mengurangi urutan harmonic yang lebih tinggi yang terkandung dalam sinyal output. The Exciter menghasilkan sebuah sinyal RF oleh sitem PTAM dan mentrasmisikan frekuensi oleh sirkuit frekuensi synthesizer. Juga, Exciter ini memiliki modulator untuk mengkonvarsi sinyal shifted tone (1700 ± 85Hz) yang diberikan dari sitem eksternal ke frekuensi pemancar dalam mode FSK. Control unit yang menggunakan prosesor mikro mengesekusi control operasi pemancar, operasi tampilan status dan pengoperasian cek oleh program pengujian. JRS-108 ini disediakan dengan rangkaian alarm yang berfungsi ketika AC tegangan utama. DC arus suplai untuk Power Amplifier, suhu dari Power Amplifier modul, dan VSWR dari RF beban yang berlebihan sehingga dapat melindungi pemancar.
2.7.1. Prinsip Operasi JRS-108 didesain sebagai transmitter telegraph yang dapat deprogram untuk 6 frekuensi yang masuk pada jangkauan 405 kHz ke 535 kHz, dan outputnya 1kW. Transmitter memiliki mode FSK untuk tambahan mode CW dan MCW. Mode FSK dioperasikan oleh nada geser 1700Hz ± 85Hz dihasilkan dari eksternal sistem. Untuk tujuan ini transmitter ini di lengkapi dengan sirkuit AF FSK yang menghsilkan sinyal nada geser 1700Hz ± 85Hz. Transmitter ini juga dilengkapi dengan sirkuit interface untuk control remote, sirkuit pelindung dan test program untuk memeriksa operasi transmitter. Sirkuit RF dari pemancar MF JRS-108 1kW terdiri dari sebuah Exciter dan sebuah Power Amplifier. Gambar 18 menunjukan blok diagram sirkuit RF. Exciter menghasilkan signal RF termodulasi oleh sinyal DC dan sebuah sinyal nada geser dan terdiri dari RF oscillator, FSK Mixer dan Modulator. Exciter juga dilengkapi dengan generator FSK untuk mendapatkan output FSK dari sinyal DC.
17
Power Amplifier memperkuat output RF dari exciter ke nilai daya output. Power Amplifier terdiri dari Draiver Amplifier, Power Amplifier, Power Combiner dan sirkuit matching output. Pemancar JRS-108 menggunakan Metode Phase To Amplitudo Modulation untuk menghasilkan sebuah sinyal RF.
Gambar 18. JRS-108 Circuit Block Diagram dan Phase To Amplitude Modulation, Wave Form 2.7.2. Pesawat Pemancar JRS-713 JRS–713 adalah pemancar HF Single sideband (SSB) yang digunakan untuk layanan maritime atau layanan penerbangan atau layanan telekomunikasi tetap. 18
Pemancar ini bekerja dalam kisaran 1.6000 MHz hingga 29.9999 MHz dengan 100Hz tingkatan yang dihasilkan oleh frekuensi di Exciter. Pemancar ini memancarkan 1 kW, dengan Power puncak (PEP) output -0,5 dBdengan mode SSB upper side band supperessd carrier, reduced carrier dan full carrier. Dan beroperasi juga dalam mode CW juga tersedia dalam Mode Frekuensi Shift Keying (FSK) dalam mode SSB suppressed carrier dengan menggunakan frekuensi audio tombol shift (AFSK) sinyal yang diterapkan oleh sistem eksternal. Pemancar ini memiliki penguat daya ditengah cabinet, exciter Unit bagian atas dan remote interface di bawah.
2.8. Unit Exciter Unit Exciter ini menghasilkan sinyal SSB/ISB dengan transmisi frekuensi yang dikehendaki. Exciter ini terdiri dari pembangkit sinyal, frekuensi converter, EFB controller, dan panel display. Input dari sinyal AF dan sinyal modulasi AF, sinyal generator menghasilkan output sinyal RF termodulasi dengan frekuensi 455 kHz sebagai sinyal pembawa (carrier signal). Generator sinyal terdiri terdiri atas rangkaian control gain otomatis (AGC) dan rangkaian control daya otomatis (APC), yang mencegah over modulasi dan over drive yang diakibatkan oleh tingkat input AF yang berlebihan. Converter memiliki frekuensi synthesizer dengan PLL multi-loop, yang menghasilkan frekuensi pembawa VHF yang digunakan untuk konversi frekuensi. Sebuah Kristal osilator dengan kestabilan yang tinggi digunakan untuk menghasilkan frekuensi standar, untuk memastikan stabilitas yang tinggi dari frekuensi transmisi. Frekuensi Konverter mengubah sinyal output RF 455 kHz dengan sinyal generator transmisi menjadi frekuensi transmisi yang dikehendaki berkisar dari 1,6 hingga 29.9999 MHz dalam 100Hz tingkatan. Konversi dalam band VHF jadi tidak memerlukan adjustment dan tuning. Semua operasi dari pemancar dikendalikan dari keyboard pada unit Exciter panel depan dalam modus control local. Tes program dapat dijalankan dari keyboard dan hasil pengujian ditampilkan pada layar karakter. Hal ini memungkinkan pengecekan level RF dan tegangan DC dan arus pada rangkaian
19
pemancar, dan bisa menunjukkan di bagian mana terdapat kerusakan, jika ada. Dengan serial priter sebagai opsinal dapat dihubungkan dengan pemancar sehingga kondisi operasi dari pemancar, VSWR dari antena dan preset parameter pada masing-masing saluran frekuensi memory dapat pada tes program. Contoh fisik dari bagian panel Exciter dapat dilihat pada Gambar 2.19 di bawah ini:
Gambar 2.19 Panel Exciter pada Pemancar JRS-713
20
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
Adapun metodologi penelitian ini dilakukan secara terstruktur melalui diagram alir (flow chart) berikut:
Gambar 3.1 Flow Chart Penelitian Secara umum tahapan penelitian yang digambarkan secara sistematis melalui flow chart diatas dapatlah dijelaskan sebagai berikut. Pada tahapan awal start, penulis mempersiapkan berbagai kemungkinan peralatan ukur serta melakukan lobi dengan kepala bagian teknik stasion Navigasi , untuk mempermuda proses pengambilan data teknis dari peralatan yang digunakan.
21
Selanjutnya
pada tahapan
Identifikasi
dan
perumusan
masalah, penulis
mengkaji seluruh kemungkinan kinerja peralatan terhadap kondisi cuaca dalam hal ini, bagaimanan kondisi penerimaan saat hujan terus-menerus, saat mendung serta saat panas atau cerah. Dari kondisi yang ada dirumuskan permasalahan dalam hal ini kondisi penerimaan yang memiliki delay cukup berarti terhadap kondisi cuaca yang diamati. Dari pengetahuan literature disesuaikan dengan kondisi data yang diambil saat pengukuran suhu dan time delay untuk berbagai kondisi cuaca yang dialami, selanjutnya data tersebut dibuat dalam bentuk grafik, yang mana melalui sajian grafik tersebut akan terlihat jelas bagaimana pengaruh penerimaan radio saat kondisi cuaca berubah. Dari analisa dimaksud akan jelas terlihat bagaimana kesimpulan sesungguhnya terhadap kinerja peralatan secara teknis dibandingkan terhadap kondisi cuaca, yang dalam hal ini merupakan salah satu faktor penyebab mengapa terjadi delay cukup berarti pada peralatan radio di stasion pantai kantor Navigasi kelas 1 Ambon.
3.1
Metode Penelitian ini
bersifat diskriptif atau tinjauan kasus,
dimana semua data yang
diambil di lapangan, kemudian dianalisa dengan melakukan evaluasi terhadap kinerja peralatan yang ada untuk selanjutnya dijadikan bahan kajian yang bisa memberikan solusi terhadap permasalahan yang terjadi. Metode penelitian ini dijabarkan melalui tiga (3) teknik pengumpulan data antara lain: 1. Metode Observasi Melalui metode ini, penulis melakukan
peninjauan langsung
kelapangan, guna mengukur, melihat, serta mengetahui dan sekaligus menganalisa secara langsung berbagai hal yang diperlukan untuk proses pemecahan masalah. 2. Metode Interview/wawancara. Melalui metode ini, penulis mengambil langsung informasi serta datadata teknis tentang peralatan Navigasi yang ada serta bagaimanan teknik pengoperasiannya, langsung dari Kepala Bagian Teknik dan
22
Staf Teknik yang
ada termasuk juga petugas operator Radio pada
Stasiun Radio Pelayaran (Pantai). 3. Metode Kepustakaan. Melalui metode ini, penulis berusaha menerapkan berbagai kajian teori yang ada kaitannya dengan problem lapangan yang ada, untuk selanjutnya dapat dianalisa dan bisa memberikan solusi terhadap kinerja peralatan dalam kaitan teknis dengan suhu udara maupun sistem yang tersedia, dan diharapkan akan ada solusi terhadap problem
delai
yang dialami
sistem
komunikasi
pada
kantor
Navigasi Propinsi Maluku ini. Selanjutnya analisa data penelitian ini dilakukan melalui tahapan-tahapan analisa sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi parameter-parameter apa saja yang mendukung sehingga terjadi kurang responsive nya signal AF dan RF pada pesawat radio, maupun pada perangkat sistem navigasi yang ada. 2. Meninjau dasar toeritis yang ada serta menganalisa berbagai kemungkinan terjadinya kurang rensponsif sinyal AF dan RF pada pesawat radio. 3. Melakukan pengambilan data time delay pada frekuensi operasional penerimaan informasi dari peralatan sistem radio yang ada untuk berbagai kondisi
yang dipengaruhi
suhu /cuaca dalam
berbagai
fariasi waktu sesuai keadaan faktor alam.
3.2
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan langsung pada Stasion Radio Pelayaran (Pantai) Distrik
Navigasi Kelas I Ambon. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari sampai Juni 2016. Waktu penelitiasn tersebut, ditentukan berdasarkan kondisi cuaca yang saat itu , di lokasi Ambon dan sekitarnya terjadi hujan secara berantai dengan waktu cuaca mendung dan panas terstruktur secara alamiah, sehingga memungkinkan pengambilan data berlangsung cerah atau panas, waktu mendung dan waktu hujan.
23
mewakili waktu
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Data Pasawat Radio Pada Stasiun Pemancar dan Pesawat Radio Pada Stasiun Bergerak 4.1.1. Data Pesawat Radio Pada Stasiun Darat Adapun data pada Stasiun Pemancar Radio Pantai Ambon yang berlokasi di karang panjang adalah sebagai berikut:
Jenis Pesawat Pemancar
:
JRC 713 (Japan Radio Co,.ltd)
Panjang Gelombang
:
Sesuai Frekuensi yang dipakai
Jangkauan Frekuensi
:
1,6 MH – 29 MH
Daya Pemancar
:
1 Kilo Watt
Tipe Antena
:
Inverter L
Panjang Antena
:
Disesuaikan
karena
pakai
Ant
Matchibg
Jenis Antena
:
Kawat Tembaga
Tegangan
:
220 Volt 3 Fase
4.1.2. Data Pesawat Radio Pada Stasiun Bergerak Adapun data pada Stasiun Pemancar Radio Pantai Ambon yang berlokasi di karang panjang adalah sebagai berikut:
Jenis Pesawat Pemancar
:
JRC 713 (Japan Radio Co,.ltd)
Panjang Gelombang
:
Sesuai Frekuensi yang dipakai
Jangkauan Frekuensi
:
1,6 MH – 29 MH
Daya Pemancar
:
1 Kilo Watt
Tipe Antena
:
Inverter L
Panjang Antena
:
Disesuaikan
karena
Matchibg
Jenis Antena
:
Kawat Tembaga
Tegangan
:
220 Volt 3 Fase
24
pakai
Ant
4.2. Sistem Kerja Pesawat Pemancar Manual (lama) Stasion
Pantai
Navigasi Ambon
Gambar 4.1 Radio Sistem Block Diagram For Ambon TX Station Proses kerja sistem pemancar lama yang dipunyai stasiun pantai Navigasi Ambon dapatlah dijelaskan sebagai berikut. Sistem ini meliliki stasion penerima dan pemancar yang berfungsi menerima dan mengirim sinyal dari dan ke kapal melalui antenna parabolic yang dilengkapi dengan sistem radio TX dan RX sistem. Kendali sistem ini tidak dilakukan secara automatic dengan sistem
computerisasi melainkan secara manual, dalam pengertian seluruh
informasi komunikasi yang terjadi antara stasion pantai dengan kapal maupun sebaliknya, itu berlangsung secara timbal balik, namun hanya menggunakan satu jenis
frekuensi
saja,
dengan
demikian untuk jumlah
berlangsung secara bersamaan pada waktu yang juga
komunikasi
yang
bersamaan, sering
mengalami kendala teknis berupa traffic atau bahkan sulit dilayani secara bersama pada frekuensi yang lagi aktif. Untuk memisahkan komunikasi yang berlangsung secara bersama dalam waktu yang juga bersamaan ini, biasanya harus dilakukan dengan memindahkan frekuensi yang lagi aktiv antara kapal yang sementrara berkopmunikasi dengan frekuensi lainnya, dan itupun berlangsung selain 25
pada stasion penerima juga berlangsung ke stasion pemancar yang letaknnya berjauhan kurang lebih 5 Km. Atau
secara skematis alur komunikasi manual yang dilakukan seperti
bagan diagram Gambar 4.1 dapatlah dijelaskan sebagai berikut. Informasi dari kapal diterima melalui antenna receiver pada stasion penerima Navigasi Waihaong Ambon. Informasi tersebut diteruskan ke peralatan SHF Radio Link, selanjutnya informasi tersebut diteruskan ke Antena Swich Rack. Dari Antena Swich Rack informasin tersebut diteruskan langsung ke pesawat penerima yang bisa diterima dan didengar langsung oleh penerima dalam hal ini, operator di Stasion Penerima. Sebaliknya informasi yang diterima operator ini dikirm lagi ke kapal melaui peralatan transmit yang tersedia di Unit Navigasi Karang
Panjang Ambon. Koneksitas
tersebut
ini
berlangsung
secara
berkesinambungan, namun hanya diberlakukan pada frekuensi tertentu saja. Apabila terjadi komunikasi dari beberapa kapal dalam waktu bersamaan, maka untuk kapal-kapal tertentu di alihfungsikan melalui frekuensi lain, sehingga tidak
memungkinkan
terjadinya
trafic delay
saat
komunikasi
berlangsung. Kelemahan dari sistem manual ini yakni, tidak sanggup melayani komunikasi beberapa kapal sekaligus dalam satu waktu bersamaan, namun lebih cenderung menampung dan merelokasi komunikasi beberapa kapal tersebut ke beberapa frekuensi alternatif. Hal lain dari sistem komunikasi ini, yakni masih menggunakan sistem on-off peralatan yang tergantung frekuensi aktif atau tidak, dan tidak menggunakan sistem komputerisasi yang bisa menampilkan secara nyata berbagai frekuensi aktif dari sistem komunikasi antar kapal dan antar stasiun pemancar.
4.3. Proses Kerja Pesawat Pemancar dan Penerima Stasion
Pantai
Navigasi Ambon Adapun bagan skema lengkap peralatan sistem Navigasi Ambon yang menggunakan fasilitas komputerisasi
sebagai berikut. Perangkat peralatan
stasion pantai Navigasi Ambon, memiliki 2 stasion central, yang meliputi stasion transmite dan stasion receive yang berlokasi di lokasi Waihaong dan
26
Karpan Ambon. Antara ke dua stasion tersebut dipisahkan oleh jarak sekitar 5 Km. Jarak tersebut kenavigasian.
ini secara
teknis cukup
berpengaruh dalam
sistem
Untuk melakukan komunikasi terhadap setiap kapal yang
beroperasi dalam
jangkau
stasion
tersebut, digunakan
peralatan
sistem
kenavigasian yang dikontrol secara automatic dengan sistem komputerisasi, yang dilink dengan Multiplex Radio Link yang beroperasi dibawa sistem MUX dengan menggunakan modem Rack dengan type ; GED-1577-T4S dengan piringan IDU yang menggunakan antenna parabola berdiameter 6 m. Pesawat Radio yang digunakan pada pemancar stasion Navigasi Ambon yang dioperasikan, bekerja pada beberapa Frekuensi standart yakni ; Frekuensi 6215 KHz,
6227 KHz,
6224 KHz. Keseluruhan jenis frekuensi
ini bekerja
bersamaan dan tergantung tingkat penerimaan serta time delay yang dapat diproses pada sistem peralatan yang ada.
Gambar 4.2 Proses Kerja Sistem Block Diagram RX Station dan TX Station Pemancar Sistem Navigasi Kelas 1 Ambon Lebih detailnya tampilan frekuensi yang digunakan secara bersamaan dari peralatan pemancar sistem navigasi Ambon seperti diperlihatkan gambar berikut ini.
27
Gambar 4.3 Frekuensi Standart Peralatan Sistem Pemancar Navigasi Ambon Secara
teknis proses kerja peralatan radio pemancar sistem navigasi
Ambon dapatlah dijelaskan melalui Gambar. 22 diagram V64 (Transmitting Station) dan V65 (Receiving Station) sebagai berikut. Informasi
dari kapal
diterima oleh Resifer RX melalui Inverted-L antenna, informasi tersebut masuk secara automatic ke Antena Matrix Rack GED-1578-A yang diparalel dengan receiver Rack GED 1575-C8 seperti Gambar.22. Informasi dari Antena Matrix
Rack GED-1578-A diteruskan ke Modem
Rack GED
1577-T4S
sedangkan dari receiver Rack GED 1575-C8 diteruskan ke Digital Swicher JRX-200. Dari kedua sistem modem rack tersebut, informasi selanjutnya diteruskan ke masing-masing sistem console melalui ditribusi jaringan LAN (Local Area Network). Sistem console tersebut terdiri Dari 4 sistem User dengan diback up satu (1) sistem master console. Dengan fungsi dan peranan sebagai
berikut; sistem
master
console berfungsi
untuk mengontrol
pengoperasian ke empat sistem console user dengan rincian fungsi sebagai berikut:
Consol General TP Consule SV Slave berfungsi sebagai pengatur komunikasi
stasion
dengan
kapal
dan
ini
diberlakukan
pada
berbagai frekuensi standart yang telah tercover pada perangkat sistem seperti sajian Gambar .22 sebelumnya.
28
Console Fix Comm Console, berfungsi sebagai pengatur konunikasi stasiun pantai dengan stasiun pantai lainnya yang ada di Maluku dan Maluku Utara, dan pada console ini hanya menggunakan satu (1) frekuensi saja yakni; frekuensi 6215 Mhz.
Distress Console, berfungsi mengatur komunikasi marabahaya yang kemungkinan terjadi pada kapal-kapal yang lagi melaut, dan console ini stand by pada semua frekuensi yang dimungkinkan peralatan Navigasi yang tersedia.
Navtex Console, berfungsi mengatur komunikasi searah antara stasiun darat dengan kapal melalui peralatan telegram secara komputerisasi.
Informasi yang diterima dari setiap console sebagaimana yang dijelaskan diatas, selanjutnya diteruskan ke Modem Rack sebagai media penyimpan data, dan data tersebut ini di setiap saat diteruskan melalui radio Link (Multiplex Radio Link) dengan sistem MUX untuk selanjutnya dipancarkan melalui transmitter yang tersedia pada sistem transmitter pemancar Navigasi yang berlokasi
di
Karang
Panjang
melalui stasion
pemanncar
yang
juga
menggunakan Radio Link dengan sistem MUX sebagai transmitting Station. Keseluruhan informasi yang diproses ini berlangsung secara automatic, melalui sistem-sistem console
secara
komputerisasi seperti
yang
telahg
dijelaskan di atas. Kendala teknis yang sering dihadapi saat berlangsungnya komunikasi
dengan
menggunakan fasilitas
sistem
pemancar
sistem
komputerisasi ini yakni, begitu ada perubahan cuaca misalkan dari panas tiba-tiba mendung atau bahkan hujan berkelanjutan, maka sering terjadi delay
yang
cukup
berarti
saat
berlangsungnya
komunikasi. Hal ini
kemungkinan disebabkan oleh pengaruh kinerja peralatan terhadap kondisi suhu atau cuaca tersebut, dan hal ini ternyata bisa dibuktikan secara nyata melalui waktu koneksitas yang mengalami delay cukup berarti ketika cuaca panas
disbanding
cuaca
hujan
ataupun
berkepanjangan berlangsung.
29
bahkan
mendung
yang
4.4. Data Koneksitas Peralatan Sistem Pemancar Navigasi Ambon Dari
hasil
pemancar stasion
pengukuran
waktu
koneksitas komunikasi
navigasi Waihaong
Ambon,
pada sistem
untuk berbagai
kondisi
perubahan cuaca, diperoleh data dalam 3 kategori cuaca yakni:
Waktu koneksitas untuk cuaca hujan
Waktu koneksitas untuk cuaca mendung
Waktu koneksitas untuk cuaca panas / Cerah
Adapun untuk memastikan rata-rata waktu koneksitas sistem pemancar yang ada di peralatan sistem navigasi Ambon, diambil keterwakilan waktu pagi, waktu siang dan waktu malam selama lima hari full untuk masing-masing kondisi cuaca. Keterwakilan waktu tersebut meliputi ; waktu pagi terhitung dari jam 08.00 Wit s/d 11.00 Wit, keterwakilan waktu siang diambil dari jam 12.00 Wit s/d jam 17.00 Wit dan waktu malam terhitung dari jam 19.00 Wit s/d jam 03.30 Wit. Keseluruhan penentuan waktu ini diberlakukan untuk tiga (3) kategori perubahan cuaca yakni : kondisi cuaca hujan, kondisi cuaca mendung dan kondisi cuaca panas atau cerah, yang diberlakukan selama 5 hari dengan kondisi yang sama, selama 3 bulan. Hasil
dari pengembilan
data
yang amati
mewakili
lima (5)
hari
perubahan cuaca dan 3 kategori penetuan waktu tersebut dapatlah dilihat pada gambar berikut ini.
30
31
Berdasarkan data pengamatan dari hari ke hari, selama lima (5) hari Hujan, Lima (5) Hari Mendung dan lima (5) hari panas yang terwakilkan, ternyata didapatkan bahwa; Rata-rata time delay dan temperatur untuk waktu mendung : temperatunya 26,48775 o C dengan time delay waktu koneksi kurang lebih 7,447625 detik. Sedangkan untuk kondisi cuaca panas, diperoleh temperature rata-rata 31,121 o C dengan time delay waktu koneksi kurang lebih 4,40425 detik. Pada kondisi Hujan terlihat temperature rata-rata 26,409 o C dengan time delay waktu koneksi kurang lebih 7,577875 detik. 32
Terlihat jelas dari grafik, bahwa untuk time delai yang sangat singkat terjadi pada kondisi cuaca panas, dan itu berarti untuk kondisi mendung dan kondisi hujan, koneksi sistem peralatan pemancar dalam mengkomunikasikan informasi mengalami delay cukup berarti saat menggunakan frekuensi RF dan AF pada sistem pemancar yang tersedia. Hambatan koneksitas dengan time delay besar inilah yang menjadi salah satu penyebab kurang responsnya sistem pemancar Navigasi Kelas 1 Ambon yang menggunakan frekuensi signal RF dan signal AF.
33
BAB V PENUTUP
5.1. Kesimpulan 1. Kondisi cuaca sangat mempengaruhi sistem kerja dari prinsip koneksitas peralatan pemancar sebuah stasiun yang menggunakan Frekuensi RF dan Frekuensi AF system. 2. Besar time delay koneksitas peralatan sistem Navigasi Ambon untuk cuaca panas pada temperatur rata-rata mencapai 31,121o C dengan time delay untuk waktu koneksi kurang lebih 4,40425 detik. 3. Untuk kondisi mendung ataupun hujan temperatur rata-rata diperoleh sekitar 26o C, dengan time delay koneksitas mencapai sekitar 7,5 detik. 4. Salah satu sumber kegagalan kurang responsnya sistem peralatan pemancar pada sistem radio Navigasi Kelas 1Ambon adalah karena kondisi cuaca terhadap kinerja Frekuensi AF dan RF dari sistem yang ada.
5.2. Saran 1. Kepada Dirjen Perhubungan Laut melalui Distrik Navigasi kelas 1 Ambon, disarankan untuk mencari lagi solusi lain sebagai akibat kegagalan kurang responnya peralatan sistem Navigasi yang digunakan untuk melakukan hubungan komunikasi dengan kapal di Laut maupun terhadap stasiun pantai dan stasiun darat yang tersedia. 2. Kepada Dirjen Perhubungan Laut melalui Distrik Navigasi kelas 1 Ambon disarankan juga untuk membuka link kerja sama dengan pihak-pihak terkait, ataupun wadah pendidikan formal yang memiliki kontribusi skill dalam bidang kenavigasian atau sistem komunikasi berbasis komputerisasi, untuk bisa melihat, mempelajari, serta menganalisa kinerja peralatan sistem pemancar yang tersedia di Distrik Navigasi kelas 1 Ambon, agar kelak diperoleh berbagai solusi lain yang menjadi kendala teknis kurang responsnya sistem komunikasi pada peralatan sistem pemancar yang ada, selain yang sudah diteliti ini. 34
DAFTAR PUSTAKA
Anne Ahira (2012), METODE PENELITIAN DESKRIPTIF, IDtesis.com, Google.com Indonesia Aswoyo, Budi. (2006), ANTENA dan PROPAGASI. Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh November. Bruce R. Elbert (2004), The SATELLITE COMMUNICATION APPLICATION HANDBOOK, Artech House.Inc, Boston London Conrad
Dixon
(1992),
SIMPLE
NAVIGATION,
Ashford,
Buchan
&
Enright,Publishers Leatherhead, Great Britain Constantine A. Balanis (1997), ANTENNA THEORY, Jhon Wiley & Sons.Inc, New York, Chicherter, Brisbane, Toronto, Singapore David Burch (1986), EMERGENCY NAVIGATION, Airlife Publishing Ltd, Enggland John D, Kraus.1988. ANTENNAS: Series in Electrical Engineering, 2th Edition. New York: McGraw-Hill. J, Herman. 1986. TEORI PROPAGASI. Bandung: STT Telkom. John Watney (1992), BOAT ELECTRICS, David & Charles, Great Britain Joseph N. Pelton, Robert J. Oslund, Peter Marshall (2004), COMMUNICATIONS SATELLITES GLOBAL CHANGE ARGENTS, Lawrence Erlbaum Associates, Publishers, Mahwah, New Jersey London. JRC/TCC Joint Venture (June 2009), PELATIHAN SISTEM GMDSS, Directorate General Of Sea Trasportation Maritime Telecommunication System Development Project (IV). Reed, Dana G, dkk (Eds). (2004), The ARRL Handbook: For RADIO COMMUNICATION. 82nd Edition. Newington: The ARRL, Inc.
35