LAPORAN PENELITIAN MANDIRI
Budidaya Ikan Sepat Rawa (Trichogaster trichopterus ) Dengan Pemberian Pakan Komersil
Oleh : AKHMAD MURJANI NIP.19631031 199003 1 001
Biaya Mandiri
FAKULTAS PERIKANAN UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT 2009
KATA PENGANTAR Penelitian ini dilaksanakan sebagai wujud tanggung jawab saya sebagai seorang dosen dalam rangka melaksanakan salah satu dharma dalam
Tridharma
penelitian.
Perguruan
Tinggi,
yakni
melaksanakan
kegiatan
Disamping itu membantu pengembangan dunia perikanan,
khususnya informasi dalam pelaksanaan dan pengembangan budidaya ikan sepat rawa. Ikan sepat rawa sekarang ini tidak bisa hanya dipandang sebelah mata, oleh karena hanya merupakan makanan pedesaan, tetapi hingga saat ini ikan sepat rawa banyak dicari dan harganyapun relatif mahal, hingga mencapai Rp 150.000.000,- (seratus lima puluh ribu rupiah) pada musim paceklik. Maklum selama ini ikan sepat rawa hanya diperoleh hasil tangkapan
dari alam, khususnya pada perairan rawa, sehingga
keberadaan-nyapun di alam tergantung dari musim. Informasi tentang budidaya ikan sepat rawa sangat diperlukan, khususnya dalam hal domestikasi untuk menentukan lokasi hidup, tumbuh dan berkembangbiak ikan sepat rawa yang sesuai pada suatu perairan. Semoga hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua, guna perkembangan budidaya ikan sepat rawa.
Banjarbaru, Mei 2009 Penulis,
Ir. Akhmad Murjani, M.S NIP.19631031 199003 1 001
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN
ii iii v vi vii
BAB I.
1 1 2 3
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.2. Perumusan Masalah 1.3. Tujuan Penelitian
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sepat Rawa 2.2. Kebiasaan Hidup dan Penyebaran 2.3. Pakan 2.4. Pertumbuhan 2.5. Kualitas Air 2.5.1. Suhu Air 2.5.2. Oksigen Terlarut (DO) 2.5.3. Amoniak (NH3) 2.5.4. Derajat Keasaman (pH)
4 4 6 7 8 9 9 9 10 11
BAB III.METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat 3.2. Alat dan Bahan 3.2.1. Ikan Uji 3.2.2. Pakan Uji 3.2.3. Wadah Pemeliharaan 3.2.4. Alat-Alat Sampling 3.3. Manajemen Pemberian Pakan 3.4. Manajemen Penelitian 3.4.1. Persiapan Tempat 3.4.2. Penebaran 3.4.3. Pemeliharaan 3.5. Perlakuan 3.6. Rancangan Percobaan 3.7. Peubah 3.7.1. Pertumbuhan Relatif Berat 3.7.2. Pertumbuhan Relatif Panjang 3.7.3. Konversi Pakan 3.8. Hipotesis 3.9. Analisis Data
12 12 13 13 13 14 14 15 15 15 16 16 18 19 20 20 20 20 21 22
BAB IV.HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Laju Pertumbuhan Relatif Berat 4.2. Laju pertumbuhan Relatif Panjang 4.3. Konversi Pakan 4.4. Daya Kelangsungan Hidup 4.5. Kualitas Air 4.5.1. Suhu Air 4.5.2. Oksigen Terlarut (DO) 4.5.3. Amoniak
24 24 26 30 32 34 35 35 35
BAB V.PENUTUP 5.1. Kesimpulan 5.2. Saran
37 37 37
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
38 41
DAFTAR TABEL 3.1. Jadwal Pelaksanaan Penelitian 12 3.2. Parameter Kualitas Air Yang Di Uji 15 4.1. Rerata Berat Awal, Berat Akhir, Pertambahan Berat dan Laju Pertumbuhan Relatif Berat Individu Ikan Uji Selama Masa Pemeliharaan 24 4.2. Rerata Panjang Awal, Panjang Akhir, Pertambahan Panjang dan Laju Pertumbuhan Relatif Panjang Individu Ikan Uji Selama Masa Pemeliharaan 26 4.3. Nilai Rerata Konversi Pakan Ikan Uji Selama Masa Pemeliharaan 30 4.4. Rerata Daya Kelangsungan Hidup Ikan Sepat Rawa 33 4.5. Parameter Kualitas Air Penelitian Dibandingkan Dengan Literatur 36
DAFTAR GAMBAR 2.1. Sepat Rawa (Trichogaster trichopterus Pall) dan Perairan Rawa 4 3.1. Hapa Wadah Penelitian 14 3.2. Tata Letak Penempatan Perlakuan dan Ulangan Yang Diterapkan Dalam Penelitian 19 4.1. Laju Pertumbuhan Relatif Berat (%) Ikan Sepat Rawa (Trichogaster trichopterus) Selama Masa Pemeliharaan 25 4.2. Laju Pertumbuhan Relatif Panjang (%) Ikan Sepat Rawa (Trichogaster trichopterus) Selama Masa Pemeliharaan 27 4.3. Konversi Pakan Ikan Sepat Rawa (Trichogaster trichopterus) Selama Masa Pemeliharaan 31 4.4. Daya Kelangsungan Hidup Ikan Sepat Rawa (Trichogaster trichopterus) Selama Masa Pemeliharaan 33
DAFTAR LAMPIRAN 1. Hasil Pengacakan untuk Penempatan Perlakuan dan Ulangan Menurut Nazir (1988) 41 2. Berat Rata-rata (g) Individu Ikan Sepat Rawa (Trichogaster trichopterus) Selama Masa Pemeliharaan 42 3. Pertambahan Berat (g) per Sampling Ikan Sepat Rawa (Trichogaster trichopterus) Selama Masa Pemeliharaan 43 4. Rerata Laju Pertumbuhan Relatif Berat (%) Ikan Sepat Rawa (Trichogaster trichopterus) Selama Masa Pemeliharaan 44 5. Uji Normalitas Lilliefors Terhadap Rerata Laju Pertumbuhan Relatif Berat Ikan Sepat Rawa (Trichogaster trichopterus) Selama Masa Pemeliharaan 45 6. Uji Homogenitas Ragam Bartlett Terhadap Rerata Laju Pertumbuhan Relatif Berat Ikan Sepat Rawa (Trichogaster trichopterus) Selama Masa Pemeliharaan 46 7. Analisis Sidik Ragam (Anova) Rerata Laju Pertumbuhan Relatif Berat Ikan Sepat Rawa (Trichogaster trichopterus) Selama Masa Pemeliharaan 47 8. Panjang Rata-Rata (Cm) Individu Ikan Sepat Rawa (Trichogaster trichopterus) Selama Masa Pemeliharaan 48 9. Pertambahan Panjang (Cm) Per Sampling Ikan Sepat Rawa (Trichogaster trichopterus) Selama Masa Pemeliharaan 49 10. Rerata Laju Pertumbuhan Relatif Panjang (%) Populasi Ikan Sepat Rawa (Trichogaster trichopterus) Selama Masa Pemeliharaan 50 11. Uji Normalitas Lilliefors Terhadap Rerata Laju Pertumbuhan Relatif Panjang Ikan Sepat Rawa (Trichogaster trichopterus) Selama Masa Pemeliharaan 51 12. Uji Homogenitas Ragam Bartlett Terhadap Rerata Laju Pertumbuhan Relatif Panjang Ikan Sepat Rawa (Trichogaster trichopterus) Selama Masa Pemeliharaan 52 13. Analisis Sidik Ragam (Anova) Rerata Laju Pertumbuhan Relatif Panjang Ikan Sepat Rawa (Trichogaster trichopterus) Selama Masa Pemeliharaan 53 14. Jumlah Pakan (g) Yang Diberikan Kepada Ikan Sepat Rawa (Trichogaster trichopterus) Selama Masa Pemeliharaan 54 15. Konversi Pakan Ikan Sepat Rawa (Trichogaster trichopterus) Selama Masa Pemeliharaan 55 16. Uji Normalitas Lilliefors Terhadap Konversi Pakan Ikan Sepat Rawa (Trichogaster trichopterus) Selama Masa Pemeliharaan 56 17. Uji Homogenitas Ragam Bartlett Terhadap Konversi Pakan Ikan Sepat Rawa (Trichogaster trichopterus) Selama Masa Pemeliharaan 57 18. Analisis Sidik Ragam (ANOVA) Terhadap Konversi Pakan Ikan Sepat Rawa (Trichogaster trichopterus) Selama Masa Pemeliharaan 58
19. Jumlah (ekor) Ikan Sepat Rawa (Trichogaster trichopterus) Yang Hidup Selama Masa Pemeliharaan 59 20. Daya Kelangsungan Hidup (%) Populasi Ikan Sepat Rawa (Trichogaster trichopterus) Selama Masa Pemeliharaan 60 21. Uji Normalitas Lilliefors Terhadap Daya Kelangsungan Hidup Ikan Sepat Rawa (Trichogaster trichopterus) Selama Masa Pemeliharaan 61 22. Uji Homogenitas Ragam Bartlett Terhadap Daya Kelangsungan Hidup Ikan Sepat Rawa (Trichogaster trichopterus) Selama Masa Pemeliharaan 62 23. Analisis Sidik Ragam (ANOVA) Daya Kelangsungan Hidup Ikan Sepat Rawa (Trichogaster trichopterus) Selama Masa Pemeliharaan 63 24. Dokumentasi Penelitian 64
BAB I.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu jenis perairan yang cukup luas dan sangat potensial untuk dilakukan upaya konservasinya yaitu perairan rawa yang luasnya dapat mencapai 994.435 ha (Anonim 2002). Luasnya perairan rawa tersebut sangat memungkinkan bagi berbagai jenis biota yang hidup di dalamnya untuk hidup dan berkembangbiak dengan baik bagi ikan rawa. Jenis perairan rawa di Kalimantan Selatan ada tiga jenis, yaitu rawa monoton, rawa pasang surut dan rawa tadah hujan (Halim dan Noor, 2007).
Perairan ini dihuni oleh berbagai jenis ikan rawa, salah satunya
adalah ikan sepat rawa (Trichogaster trichopterus Pall) yang termasuk salah satu famili anabantidae dengan nama umum “three spot goramy” karena pada tubuhnya terdapat dua bintik hitam dan satu mata yang menjadi 3 bintik hitam. Mendiami perairan tawar Malaysia, Birma, Indonesia, dan perairan yang bersuhu antara 20 - 28°C. Ikan sepat rawa memiliki nilai ekonomi yang tinggi, dimana awalnya adalah sebagai sumber protein di daerah pedesaan, namun sekarang sudah merupakan sumber protein bagi warga perkotaan bahkan dijadikan sebagai cendramata dan makanan bagi para pengunjung ke daerah penghasil. Selain dijual dalam keadaan segar di pasar, ikan sepat rawa kerap diawetkan dalam bentuk ikan asin, bekasam dan lain-lain, sehingga dapat dikirimkan ke tempat-tempat lain. Beberapa daerah yang banyak menghasilkan ikan sepat olahan di antaranya adalah Jambi, terutama dari Kumpeh dan Kumpeh Ulu; Sumatera Selatan, dan Kalimantan Selatan. Ikan
sepat rawa
(Trichogaster trichopterus Pall) segar dapat
mencapai harga Rp.15.000,- – Rp.25.000,-/kg, sedangkan untuk yang kering ikan sepat rawa (Trichogaster trichopterus Regan) dapat mencapai harga antara Rp.30.000,- s/d. Rp.60.000,-/kg. Bahkan saat tidak musim,
mencapai harga Rp 120.000,-/kg. Ikan sepat rawa sangat disukai oleh masyarakat Kalimantan Selatan dan para tamu dari daerah lain, karena rasa dagingnya yang manis, bertulang lembut dan dapat dijadikan oleholeh. Bentuk olahan yang sering dibuat untuk ikan sepat rawa adalah dipepes, digoreng dan digoreng kering ditambah tepung, serta digoreng kering asin (keripik). Di Kalimantan Selatan sekarang ini, ikan sepat rawa telah menjadi makanan kelas elite yang disajikan di restoran dan hotel. Ikan sepat rawa bersifat musiman dan kehidupannya masih liar di alam. Karena sifatnya musiman sehingga ada tidaknya ikan sepat rawa di pasaran tergantung kepada musim. Agar ikan sepat rawa selalu ada di pasaran diperlukan adanya pemeliharaan ikan sepat rawa di lingkungan budidaya. Ikan sepat rawa terdiri dari berbagai varietas, sehingga diteliti pula varietas mana yang paling baik pertumbuhannya apabila dipelihara di lingkungan budidaya. 1.2. Perumusan Masalah Ikan untuk dapat hidup, tumbuh dan berkembang biak dengan baik memerlukan media yang sesuai dengan kondisi fisiologisnya, tidak terkecuali dengan ikan sepat rawa yang hidup, tumbuh dan berkembang biak pada berbagai jenis perairan rawa. Sebaiknya dalam pelaksanaan budidaya perairan, ikan dipelihara pada media yang sesuai dengan ketersediaan perairan oleh pembudidaya, namun diyakini dengan telah dilakukan aklimatisasi dengan baik dan benar, ikan dapat menyesuaikan diri dengan baik pada media hidup yang baru. Apakah ikan sepat rawa dari berbagai varietas (rawa monoton, pasang surut, tadah hujan dan padang gelam), jika dipelihara dalam suatu jenis kondisi wilayah tertentu akan memberikan pertumbuhan yang relatif sama.
1.3. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kecepatan pertumbuhan dan kelangsungan hidup beberapa varietas ikan sepat rawa (Trichogaster trichopterus Pall) dari rawa monoton, rawa pasang surut, rawa tadah hujan dan rawa padang gelam yang dipelihara di hapa.
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sepat Rawa Sepat rawa adalah sejenis ikan air tawar. Di Jawa Barat dan seputaran Jakarta ikan ini disebut sepat siam, sedangkan di Jawa Timur ia juga dikenal dengan nama sliper. Dalam bahasa Inggris disebut snake-skin
gouramy, merujuk pada pola warna belang-belang di sisi tubuhnya. Nama ilmiahnya adalah Trichogaster trichopterus Pall (Saanin, 1968). Kingdom :
Animalia
Phyllum
:
Chordata
Classis
:
Pisces
Familia
:
Anabantidae
Ordo
:
Labyrinthici
Genus
:
Trichogaster
Spesies
:
Trichogaster trichopterus Pall
Visualisasi jenis ikan rawa dan salah satu bentuk perairan rawa di Kalimantan Selatan dapat dilihat dalam Gambar 2.1.
Gambar 2.1. Sepat Rawa (Trichogaster trichopterus Pall) dan Perairan Rawa
Sepat rawa adalah ikan yang hidup di air tawar pada suhu 20 – 28oC. Di Jawa Barat dan seputaran Jakarta ikan ini disebut sepat siam, di Sumatera Selatan dinamakan sepat merah mato atau bisa juga disebut
three spot gouramy karena pada tubuhnya terdapat dua bintik hitam dan satu mata yang menjadi 3 bintik hitam, sedangkan di Jawa Timur ia juga dikenal dengan nama sliper. Dalam bahasa Inggris ikan sepat rawa disebut snake-skin gouramy, merujuk pada pola warna belang-belang di sisi tubuhnya (Anonim, 2008). Ikan sepat rawa merupakan kelompok ikan yang mempunyai pernafasan tambahan berupa tulang tipis yang berlekuk-lekuk seperti buangan
karang
yang
disebut
labirin
dengan
menggunakan
dan
mengambil oksigen langsung dari udara. Sebagian dapat membangun karang berbusa yang berguna untuk menyimpan telurnya di dalam mulut. Warna tubuh ikan ini dipengaruhi oleh jenis kelamin reproduksi dan umurnya. Sirip punggung lebih kecil dari pada sirip dubur, mempunyai 6-8 jari-jari keras dan 8-10 jari-jari lunak. Sirip duburnya mempunyai 10-12 jari-jari keras 33-38 jari-jari lunak. Sirip perut memiliki 1 jari-jari keras dan 3-4 jari-jari lunak, satu diantaranya menjadi alat peraba yang panjang seperti ijuk. Sirip dada mempunyai 9-10 jari-jari lunak. Terkadang pada bagian sirip punggung dan sirip ekor yang lunak ada bulatan hitam. (Djuhanda, 1981). Ikan sepat rawa (Trichogaster trichopterus Pall) memiliki ciri-ciri bentuk tubuhnya seperti ikan sepat siam yaitu tubuhnya pipih, kepalanya mirip dengan ikan gurami muda yaitu lancip. Panjang tubuhnya tidak dapat lebih besar dari 15 cm, permulaan sirip punggung terdapat di atas bagian yang lemah dari sirip dubur. Pada tubuhnya ada dua bulatan hitam, satu di tengah-tengah dan satu di pangkal sirip ekor. Sirip ekor terbagi ke dalam dua lekukan yang dangkal, memiliki permulaan sirip punggung atas yang lemah dari sirip duburnya. A. XI – X (XII). 33-38. bagian kepala
dibelakang mata dua kali lebih dari permulaan sirip punggung di atas bagian berjari-jari keras dari sirip dubur (Saanin, 1968). Ikan ini memiliki warna yang menarik dengan berbagai variasi, sehingga sering dijadikan ikan hias. Ada 2 jenis yang berwarna menarik, yaitu blue gouramy (warnanya biru) dan gold gouramy (warnanya keemas-an) (Anonim, 2008).
Blue gouramy dapat mencapai ukuran 200-350 gram dengan panjang 12,7 cm. Ikan sepat yang jantan tubuhnya lebih pipih, sedangkan yang betina lebih gemuk terutama pada ikan betina yang sedang matang kelamin. Pemijahan blue gouramy umumnya berlangsung pada saat suhu air 26,5 °C (80 °F). Telur yang sudah dibuahi diletakkan di dalam sarang yang mereka buat dari buih (Anonim, 2008). 2.2. Kebiasaan Hidup dan Penyebaran Sifat makanan ikan sepat adalah omnivora, di perairan umum mereka lebih banyak memakan fitoplankton. Sebagian besar makanan sepat rawa adalah tumbuh-tumbuhan air dan lumut. Namun ikan ini juga memangsa hewan-hewan kecil di air, termasuk ikan-ikan kecil yang dapat termuat di mulutnya. Ikan sepat rawa menyimpan telur-telurnya dalam sebuah sarang busa yang dijagai oleh si jantan. Setelah menetas, anakanak sepat diasuh oleh induk jantan, hingga dapat mencari makanan sendiri. Sedangkan ikan yang dipelihara di dalam akuarium diberi pakan tubifex, kutu air, larva nyamuk, dan pakan kering (Anonim, 2008). Sepat rawa diketahui dapat bernafas langsung dari udara, selain menggunakan insangnya untuk menyerap oksigen dari air. Akan tetapi, tak seperti ikan-ikan yang mempunyai kemampuan serupa (misalnya ikan gabus, betok atau lele), ikan sepat tak mampu bertahan lama di luar air. Ikan ini justru dikenal sebagai ikan yang mudah mati jika ditangkap (Anonim, 2008).
Ikan sepat rawa menyukai rawa-rawa, danau, sungai dan parit-parit yang berair tenang; terutama yang banyak ditumbuhi tumbuhan air. Juga kerap terbawa oleh banjir dan masuk ke kolam-kolam serta saluransaluran air hingga ke sawah. Ikan ini sering ditemui di tempat-tempat yang terlindung oleh vegetasi atau sampah-sampah yang menyangkut di tepi air (Anonim, 2008). Penyebaran asli ikan ini adalah dari Asia Tenggara, terutama dari lembah Sungai Mekong di Laos, Thailand, Kamboja dan Vietnam; juga dari lembah Chao Phraya. Di Indonesia ikan ini merupakan hewan introduksi yang telah meliar dan berbiak di alam, termasuk di Jawa (Anonim, 2008). 2.3. Pakan Ikan memerlukan pakan sejak mulai hidup dari ukuran larva (burayak), dewasa sampai ukuran induk. Fungsi pakan adalah untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup. Pakan yang dimakan oleh ikan pertama-tama digunakan untuk kelangsungan hidup dan apabila ada kelebihannya
akan
dimanfaatkan
untuk
pertumbuhan.
Jadi
bila
menghendaki pertumbuhan ikan yang baik, maka harus diberi sejumlah pakan
yang
melebihi
kebutuhan
untuk
pemeliharaan
tubuhnya
(Djajasewaka, 1985). Menurut Priyambodo dan Wahyuningsih (2001), salah satu faktor yang menentukan keberhasilan budidaya ikan adalah ketersediaan pakannya. Dalam penyediaan pakan harus diperhatikan beberapa faktor, yaitu jumlah dan kualitas pakan, kemudahan untuk menyediakannya, serta lama waktu pengambilan pakan yang berkaitan dengan jenis ikan maupun umurnya. Jenis pakan yang dapat diberikan pada ikan berupa pakan alami maupun pakan buatan. Menurut Ahmad Mujiman (1994), secara umum pakan ikan yang baik mengandung protein antara 20 – 40 %, lemak
antara 5 – 14 % dan khusus untuk ikan omnivora kandungan karbohidratnya menghendaki sekitar 9% saja. Makanan utama ikan sepat rawa (Trichogaster trichopterus Pall) adalah berupa tumbuh-tumbuhan air, cacing dan larva nyamuk. Rotifera dan kutu air juga cocok untuk makanan benih ikan ini (Lingga dan Susanto, 1987) maka ikan ini dapat digolongkan sebagai ikan omnivora dan diharapkan dapat diberikan makanan buatan atau makanan tambahan. Pemberian makanan tambahan atau makanan buatan dapat menaikan produksi sampai 3 kali lipat dibanding pemberian makanan tumbuhan, menurut Boyd (1982) mengatakan bahwa makanan buatan harus memenuhi syarat tepat jenis, tepat ukuran, tepat jumlah dan tepat waktu. Selain itu makanan buatan yang bermutu baik ditentukan oleh komposisi bahan penyusunnya, penanganannya, pembuatannya serta ketahanannya dalam air. Banyaknya pemberian makan setiap harinya secara optimal adalah 30% dari berat tubuh (Boyd, 1982) dan menurut Mujiman (1994) menyatakan bahwa pemberian makanan pada ikan umumnya berlaku pada pagi dan sore hari. Pada penelitian ini ikan sepat rawa yang dipelihara dalam hapa diberikan makanan tambahan berupa pakan ikan dalam bentuk pelet yang komposisi kandungan gizinya seperti protein, lemak, karbohidrat, serat kasar dan mineral dapat dilihat pada lampiran. 2.4. Pertumbuhan Menurut Effendie (1997), pertumbuhan merupakan proses biologis komplek yang banyak faktor mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut digolongkan menjadi dua bagian, yaitu faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam umumnya adalah faktor yang sukar dikontrol, diantaranya adalah keturunan sex, umur, parasit dan penyakit. Faktor luar yang utama
mempengaruhi pertumbuhan adalah pakan dan lingkungan (suhu perairan). Menurut Asmawi (1983), pakan dimanfaatkan oleh ikan untuk memelihara tubuh dan mengganti sel-sel tubuh yang rusak, setelah itu kelebihannya digunakan untuk pertumbuhan. Pertumbuhan akan terjadi jika jumlah makanan yang dimakan lebih besar dari keperluan untuk mempertahankan berat badan ikan dan pertumbuhan maksimum dapat dicapai jika pakan yang diberikan telah melebihi kebutuhan untuk pemeliharaan tubuh. Dari sejumlah pakan yang dimakan oleh ikan lebih kurang 10% saja yang digunakan untuk tumbuh dan menambah berat badan, selebihnya digunakan untuk tenaga atau memang tidak dapat dicerna (Mudjiman, 1994). Kecepatan tumbuh tiap jenis ikan berbeda-beda tergantung kepada sistem metabolisme dalam tubuh tiap jenis ikan. Pertumbuhan akan lebih cepat terjadi pada ikan-ikan muda, karena tingkat metabolisme lebih tinggi. 2.5. Kualitas Air Budidaya ikan memerlukan kualitas air adalah setiap peubah (variabel) yang mempengaruhi pengelolaan dan kelangsungan hidup, berkembang biak, pertumbuhan atau produksi ikan (Boyd, 1982). Kualitas air yang cocok sangat penting baik pertumbuhan dan kelangsungan biota perairan. Kondisi air harus disesuaikan dengan kebutuhan optimal bagi pertumbuhan biota yang dipelihara (Mulyanto, 1992). 2.5.1.
Suhu Air Suhu air merupakan salah satu fisik yang dapat mempengaruhi
nafsu makan dan pertumbuhan ikan. Menurut Cholik dkk (1986), ikanikan tropis tumbuh dengan baik pada suhu antara 250C sampai 300C. Pendapat ini diperkuat Jangkaru (1976) yang menyatakan bahwa suhu
optimum untuk selera makan bagi ikan adalah antara 250C sampai 270C, suhu optimum tersebut biasanya pada pagi dan sore hari. Suhu air yang ideal untuk ikan sepat rawa yaitu 230 C sampai 280 C (Ortanez, 2008). 2.5.2.
Oksigen Terlarut (DO) Semua makhluk hidup yang berkembangbiak di bumi memerlukan
oksigen untuk hidup. Menurut Sitanggang (1987), oksigen terlarut penting bagi pernapasan dan merupakan salah satu komponen utama metabolisme. Kebutuhan organisme terhadap oksigen terlarut tergantung jenis, umur, dan aktivitasnya. Dalam stadia muda (burayak) keperluan akan oksigen terlarut relatif lebih besar dibandingkan dengan dewasa. Ikan memerlukan oksigen dalam air untuk bernapas dalam bentuk oksigen terlarut. Oksigen terlarut dipengaruhi oleh suhu, pH dan karbondioksida (Lingga, 1992). Jumlah oksigen yang dapat larut dalam air terbatas. Ini berarti bahwa ada titik jenuh bagi air dalam melarutkan oksigen. Jumlah oksigen dalam air pada keadaan normal adalah lebih kurang 5,8 mg/L, pada suhu 260C (Dwiponggo, 1983). Selanjutnya Djajasewaka (1985), apabila kandungan oksigen terlarut dalam air makin rendah maka nafsu makan ikan makin menurun. Oksigen merupakan gas yang terpenting untuk respirasi dan metabolisme dalam tubuh ikan. Konsentrasi yang terlarut dalam kolam akan berkurang karena oksigen digunakan untuk pernapasan ikan dan oksigen lainnya serta untuk reaksi kimia bahan organik (kotoran ikan, sisa pakan, pembusukan tumbuhan dan hewan yang mati dan sebagainya). Akan tetapi penurunan konsentrasi oksigen ini di imbangi dengan penambahan oksigen dari hasil fotosintesis yang berlangsung pada siang hari dan dari proses pencampuran udara dengan air yang disebabkan oleh angin di permukaan.
Menurut Boyd (1982), keperluan oksigen tergantung dari jenis ikan, ukuran, aktivitas, temperatur, jenis makanan dan faktor lainnya. Ikan sepat rawa kandungan oksigen yang baik untuk pertumbuhannya yaitu antara 5 – 7 mg/l (Mujiman, 1994). 2.5.3.Amoniak (NH3)
Amoniak adalah senyawa bersifat racun yang berasal dari hasil penguraian protein secara kimiawi. Protein yang terurai bersumber dari makanan dan sisa-sisa metabolisme larva. Kandungan amoniak di dalam air akan dipengaruhi oleh temperatur, pH, dan faktor lainya. Kenaikan pH dan penurunan suhu dapat menaikan konsentrasi amoniak di dalam media. Kenaikan pH juga dapat mempengaruhi daya racun amoniak. Di daerah perairan Kalimantan Selatan dimana banyak ikan sepat terdapat, kandungan amoniak berkisar antara 0,014 – 0,074 ppm (Anonim, 1983). 2.5.4.
Derajat Keasaman (pH)
Derajat keasaman (pH) adalah suatu ukuran dari konsentrasi ion hydrogen dan menunjukkan suatu air bersifat asam atau basa. Air bersifat asam apabila pHnya kurang dari 7 dan bersifat basa apabila pHnya lebih dari 7. Ikan sepat rawa dapat hidup pada pH 6,0 – 8,3 (Ortanez, 2008).
BAB III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama 4 bulan yang meliputi persiapan alat dan bahan, percobaan dan penyusunan laporan, dimana masa pemeliharaan ikan sepat rawa selama 8 minggu. Penelitian ini dilakukan di kolam rawa pasang surut Desa Beringin, Kecamatan Alalak, Kabupaten Barito Kuala, Provinsi Kalimantan Selatan. Untuk lebih jelasnya, rincian penggunaan waktu dapat dilihat pada Tabel 3.1. Tabel 3.1. Jadwal Pelaksanaan Penelitian Waktu Kegiatan Tabel 1. Jadual Kegiatan Penelitian No Kegiatan I II 1 2 3 4 1 2 1. Observasi dan perizinan * * * * lokasi penelitian 2. Pelaksanaa n penelitian * * * * - Persiapan - Pelaksanaan 3. Pelaporan (pengolahan data, penyusunan laporan,penggandaan dan distribusi. Keterangan : 1,2,3,4 *
I, II, III, IV
3
4
III 1 2
*
*
*
= Bulan pelaksanaan
= Minggu pelaksanaan = Pelaksanaan
*
3
4
*
*
IV 1 2
3
4
*
*
*
*
3.2. Alat dan Bahan 3.2.1. Ikan uji Ikan sepat rawa (Trichogaster trichopterus Pall) yang di ambil dari empat lokasi rawa yaitu rawa monoton di Desa Tabat Pemangkih Kabupaten Hulu Sungai Tengah, rawa pasang surut di Desa Beringin Kabupaten Barito Kuala, rawa tadah hujan di Bati-bati Kabupaten Tanah Laut dan rawa padang galam di Gambut Kabupaten Banjar. Keempat varietas ikan sepat rawa yang berasal dari empat jenis rawa tersebut diperoleh dari hasil tangkapan atau dari pedagang pengumpul yang telah kita pesan sebelumnya. Ikan sepat rawa yang baru kita peroleh dari pedagang pengumpul tersebut selanjutnya kita lakukan proses aklimatisasi (proses adaptasi pada lingkungan terkontrol) untuk menjamin agar dia mampu hidup pada lingkungan yang telah kita rekayasa sedemikian rupa. Jumlah ikan sepat rawa yang kita perlukan adalah 15 ekor/hapa. Dalam penelitian ini pengambilan ukuran panjang dan berat awal dari berbagai varietas ikan uji dilakukan secara homogen. 3.2.2. Pakan Uji Pada penelitian ini ikan sepat rawa yang dipelihara dalam hapa diberikan makanan berupa pakan ikan dalam bentuk pakan komersil dari produk PT. Suri Tani Pemuka yang komposisi kandungan gizinya seperti protein, lemak, karbohidrat, serat kasar dan mineral yaitu : - Protein
: 30 – 32 %
- Lemak
:6-8%
- Abu
: 8 - 10 %
- Serat Kasar
:4-5%
- Kadar Air
: 10 - 12 %
3.2.3. Wadah Pemeliharaan Secara umum bentuk hapa berupa persegi panjang atau bujur sangkar. Hapa adalah kain yang terbuat dari sintetis (nylon) dengan mata jaring berukuran 1 – 4 mm. Dalam penelitian ini, hapa yang dipergunakan berukuran panjang 2 m lebar 1,5 m dan tinggi 1,5 m yang diikatkan pada tiang penyangga seperti pada Gambar 3.1.
Gambar Hapa Tonggak tiang penyangga hapa
Kain hapa Panjang 2 m
,5 r1 ba Le
Tali penyangga
m
Ikan betok dalam Ikan Sepat dalam hapa hapa
Tinggi 1,5 m
hapa
Gambar 3.1. Hapa Wadah Penelitian Jumlah hapa yang digunakan dalam penelitian ini adalah 12 buah dengan rincian 3 buah untuk ikan sepat rawa dari rawa monoton, 3 buah untuk rawa tadah hujan, 3 buah untuk rawa pasang surut dan 3 buah untuk rawa padang galam. Hapa diletakkan secara acak dalam suatu lokasi yang telah ditentukan. 3.2.4. Alat-Alat sampling Alat-alat yang digunakan dalam pengukuran kualitas air yaitu Water Checker Horiba dengan parameter yang di ukur antara lain : pH, Suhu, DO, Sedangkan untuk mengukur berat ikan dan jumlah pakan yang diberikan menggunakan timbangan (Triple Beam Balance Ohaus Gros) dengan ketelitian 0,01 gram dan alat ukur panjang untuk mengetahui pertambahan panjang ikan uji dengan ketelitian 0,01 cm.
Jenis
parameter, peralatan dan metode pengukuran kualitas air dapat dilihat dalam Tabel 3.2. Tabel 3.2. Parameter Kualitas Air Yang di Uji No 1. 2. 3. 4.
Parameter Satuan Alat o Suhu C Water Checker U-10 Horiba DO mg/L Water Checker U-10 Horiba pH Water Checker U-10 Horiba Amoniak mg/L Spectrofotometer HACH DR 2000
Metode Pemuaian Elektroda Elektroda Tetrimetrik
3.3. Manajemen Pemberian Pakan Ikan sepat rawa sebelum dimasukkan dalam hapa penelitian, maka terlebih dahulu di ukur panjang dan di timbang berat awalnya secara keseluruhan, dilakukan pengukuran kualitas air awal, dan pengukuran seterusnya dilakukan dengan interval waktu setiap 2 minggu sekali sebanyak 4 kali selama 2 bulan. Padat penebaran benih pada tiap hapa adalah 15 ekor/m3. Ikan sepat diberi pakan berupa pelet komersil dengan cara ditebar sebanyak 3% dari berat badan. Frekuensi pemberian pakan sebanyak 3 kali sehari yaitu pada pukul 08.00 Wita, 13.00 Wita, dan 18.00 Wita. 3.4. Manajemen Penelitian 3.4.1.
Persiapan tempat
Pada proses pemeliharaan ini, terlebih dahulu dilakukan proses persiapan wadah. Tujuan dari proses ini adalah agar wadah yang digunakan dalam proses pemeliharaan ini sesuai dengan standar penggunaan
sehingga biota yang
dipelihara di dalamnya terjaga
kesehatan maupun kualitasnya. Masa persiapan ini juga meliputi pengadaan alat dan bahan di lokasi penelitian.
3.4.2.
Penebaran
Ikan sepat rawa sebelum dilakukan penebaran yang baru kita peroleh dari pedagang pengumpul tersebut selanjutnya kita lakukan proses aklimatisasi (proses adaptasi pada lingkungan terkontrol) untuk menjamin agar dia mampu hidup pada lingkungan yang telah kita rekayasa sedemikian rupa. Jumlah ikan sepat rawa yang kita perlukan adalah 15 ekor/varietas/ hapa. Dalam penelitian ini pengambilan ukuran panjang dan berat awal dari berbagai varietas ikan uji dilakukan secara homogen. 3.4.3.
Pemeliharaan Alat dan bahan setelah siap semua, ikan sepat di tebar dalam hapa
pada sore hari, sebelumnya ikan sepat diukur panjang dan beratnya. Pengukuran pertumbuhan dilakukan setiap 2 minggu sekali pemberian pakan sebanyak 3 % dari berat tubuh populasi ikan dengan frekuensi 3 kali dalam satu hari, yaitu pagi, siang, dan sore hari. Pengamatan ikan uji yang dicobakan dilakukan sampling setiap 2 minggu sekali meliputi bobot (gram), panjang (cm), banyaknya ikan yang mati (mortalitas), sedangkan untuk pengamatan terhadap parameter kualitas air (Suhu, DO, pH dan NH3). Pengambilan sampel dilakukan dengan cara – cara yang meliputi data sebagai berikut : a. Pengukuran parameter kualitas air meliputi : Suhu di ukur dengan menggunakan alat Water Checker U-10 Horiba dengan cara : Terlebih dahulu alat di kalibrasi pada larutan aquadest dengan suhu udara, kemudian di celupkan selama ± 5 menit kedalam perairan, tekan tombol mode sampai pada layar menunjukkan mode pengukuran suhu, setelah angka pada layar sudah stabil, kemudian di lakukan pencatatan data suhu perairan. Oksigen terlarut (DO) di ukur dengan menggunakan alat Water Checker U-10 Horiba dengan cara : Terlebih dahulu alat di kalibrasi
pada larutan aquadest, kemudian di celupkan selama ± 5 menit ke dalam perairan, atau setelah melakukan pengukuran suhu dapat langsung melanjutkan pengukuran DO dengan menekan tombol mode sampai pada layar menunjukkan mode parameter DO, setelah angka
pada
layar
sudah
stabil,
lakukan
pencatatan
dan
pengambilan data Oksigen terlarut (DO) pada perairan. Derajat keasaman (pH) di ukur dengan menggunakan alat Water Checker U-10 Horiba cara pengukurannya terlebih dahulu alat di kalibrasi pada larutan aquadest, kemudian di celupkan selama ± 5 menit, atau setelah melakukan pengukuran DO dapat langsung melanjutkan pengukuran ke pengukuran pH dengan menekan tombol mode sampai pada layar menunjukkan mode parameter pH, setelah angka pada layar sudah stabil, lakukan pencatatan dan pengambilan data pH pada perairan. Amoniak (NH3), pengukuran amoniak di lakukan dengan menggunakan alat Spectrofotometer Hach DR 2800, dengan cara : Siapkan alat
Spectrofotometer Hach DR 2800. tekan tombol stored
programs, masukkan 25 ml sample kedalam tabung reaksi sample, masukkan
25 ml aquabides kedalam tabung reaksi pembanding,
tambahkan 3 tetes, tambahkan tiga tetes larutan penetral mineral ke dalam masing-masing tabung reaksi, tutup dan kocok beberapa kali, tambahkan 3 tetes alcohol pada tiap tabung, tutup dan kocok, masukkan 1,0 ml regent kedalam masing masing tabung, tutup dan kocok beberapa kali. Tekan timer untuk mengatur lama reaksi, tuangkan 10 ml, tuangkan 10 ml dari tiap solusi ke dalam tabung sample. ketika timer berakhir, tekan Read untuk membaca
hasil
analisa. b. Pengamatan berat ikan betok di lakukan pada saat sampling dengan cara sebagai berikut :
Siapkan alat berupa timbangan Triple Beam Balance Ohaus Gros dengan tingkat ketelitian 0,01 Gram. Siapkan ikan yang akan di ukur beratnya. Siapkan wadah penampungan ikan yang telah di ukur beratnya. Letakkan lapisan berupa kertas di atas timbangan Triple Beam Balance Ohaus Gros untuk memudahkan pengukuran berat ikan dan mengura-ngi gerakan ikan. Normalkan angka pada layar sampai pada layar menunjukkan angka 0,00 gram. Setelah angka pada layer stabil catat berat ikan betok tersebut dan teruskan pada sample selanjutnya. c. Pengamatan panjang ikan betok di lakukan dengan cara : Siapkan alat berupa mistar alat ukur khusus untuk ikan. Siapkan ikan yang akan di ukur panjangnya. Siapkan wadah penampungan ikan yang telah di ukur panjangnya. Letakkan ikan betok pada mistar tersebut, kemudian catat panjang ikan betok tersebut dan teruskan pada sample selanjutnya. d. Mortalitas (%). Pengamatan terhadap mortalitas dilakukan setiap sampling atau setiap 2 minggu sekali dan di lakukan pencatatan jumlah ikan betok yang mati. 3.5. Perlakuan Penelitian ini menggunakan 4 perlakuan dengan 3 kali ulangan. Masalah
yang
diteliti
adalah
pengaruh
pakan
komersil
terhadap
pertumbuhan dan kelangsungan hidup beberapa varietas ikan sepat rawa (rawa monoton, rawa tadah hujan, rawa padang galam dan rawa pasang surut) yang dipelihara dalam hapa di kolam pasang surut. Tiap perlakuan disimbolkan dengan huruf dan ulangan disimbolkan dengan angka, seperti berikut ini :
Perlakuan : Perlakuan A : ikan sepat rawa dari rawa pasang surut Perlakuan B : ikan sepat rawa dari rawa padang galam Perlakuan C : ikan sepat rawa dari rawa tadah hujan Perlakuan D : ikan sepat rawa dari rawa monoton 3.6. Rancangan Percobaan Rancangan yang digunakan dalam penelitian adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 3 kali ulangan. Menurut Srigandono (1981), rancangan acak lengkap dengan model rancangan sebagai berikut : Xij = μ +
i
+∑
ij
Keterangan : i
= Perlakuan (1,2,….I,…K) dari jumlah K perlakuan
j
= Ulangan (1,2,….j,….n) Dari jumlah n ulangan
Xij
= Nilai pengamatan pada perlakuan ke – I ulangan ke –j
i
= Pengaruh perlakuan ke-i
µ
= Nilai tengah dari seluruh perlakuan
∑ij
= Kesalahan percobaan pada perlakuan ke-I ulangan ke-j Penempatan masing-masing perlakuan dan ulangan dilakukan
secara teracak (Nazir, 1988). Berdasarkan hasil pengacakan didapatkan bagan percobaan dan bilangan acak seperti Gambar 3.3 dan Lampiran 1.
B2
D3
A1
A3
B3
C2
D2
D1
A2
B1
C3
C1
Gambar 3.2. Tata Letak Penempatan Perlakuan dan Ulangan yang Diterapkan Dalam Penelitian
3.7. Peubah Peubah utama yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 3.7.1.
Pertumbuhan Relatif Berat Menurut Effendie (1997) pertumbuhan relatif berat didefinisikan
sebagai
persentase
pertumbuhan
pada tiap
interval
waktu
yang
dirumuskan sebagai berikut :
H
Wt Wo x100 % Wo
Keterangan : H = Laju pertumbuhan relatif berat (%) Wt
= Berat akhir rata-rata individu (g)
Wo
= Berat awal rata-rata individu (g)
3.7.2.
Pertumbuhan Relatif Panjang Relatif Panjang diukur dengan menggunakan mistar plastik dengan
ketelitian 1 mm, yang dirumuskan sebagai berikut :
P
Lt
Lo X 100 % Lo Keterangan : P
= Laju pertumbuhan relatif panjang (%)
Lt
= Panjang akhir rata-rata (cm)
Lo
= Panjang awal rata-rata (cm)
3.7.3.
Konversi Pakan Konversi pakan adalah jumlah pakan yang diberikan selama masa
pemeliharaan dibagi dengan penambahan rerata berat ikan uji (gram) dan jumlah berat ikan yang mati selama pemeliharaan dikurang rerata berat awal ikan uji (gram).
Dirumuskan oleh Djajasewaka (1985) sebagai
berikut :
FCR
(Wt
F D) Wo
Keterangan : FCR= feed Convertion ratio (konversi makanan) F
= Jumlah Pakan yang diberikan selama pemeliharaan (g)
Wt = Rata-rata berat akhir ikan uji (g) Wo = Rata-rata berat awal ikan uji (g) D = jumlah berat ikan yang mati selama pemeliharaan (g) 3.7.4.
Daya kelangsungan hidup (Survival Rate) Survival rate adalah suatu perbandingan antara jumlah akhir
individu ikan hidup dengan jumlah awal individu ikan selama masa pemeliharan. Dirumuskan oleh Effendi (1997) sebagai berikut :
S
Nt No
x100 %
Keterangan : Nt = Jumlah akhir ikan yang hidup (ekor) No = Jumlah awal individu ikan yang hidup (ekor) 3.8. Hipotesis Hipotesis yang digunakan adalah :
Ho,
Pemeliharaan
ikan
sepat
rawa
dari
berbagai
varietas
tidak
berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan dan survival rate ikan yang dipelihara dalam hapa pada perairan pasang surut. H1, Pemeliharaan ikan sepat rawa dari berbagai varietas berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan dan survival rate ikan yang dipelihara dalam hapa pada perairan pasang surut. 3.9. Analisis Data Data hasil percobaan yang diperoleh dapat bersifat tidak normal akibat adanya variasi lapangan atau kesalahan yang timbul akibatnya perlakuan,
karena
itu
data
perlu
diuji
kenormalannya
dengan
menggunakan uji Liliefors (Nasoetion dan Barizi, 1985), dengan kaidah pengujian sebagai berikut : ≤ L (n) terima H0 (data normal) Jika L
hit
> L (n), tolak Ho (data tidak normal) Uji berikutnya adalah uji kehomogenan data dilakukan dengan suatu uji kehomogenan Ragam Bartlet (Sudjana,1994), dengan kaidah sebagai berikut : ≤ X2 (1 - ) (K-1), terima Ho (data homogen) Jika X2
Hitung
> X2 (1 - ) (K-1),tolak Ho (data tidak homogen) Data yang dinyatakan tidak normal atau tidak homogen, sebelum dilakukan analisis keragaman harus dilakukan transformasi log x, Menurut Hanafiah (1993) transformasi log x dilakukan apabila data yang diperoleh menunjukkan efek-efek utama yang bersifat multiplikatif dan tidak mengandung angka nol.
Setelah asumsi di atas terpenuhi dilakukan analisis keragaman sehingga didapat nilai F hitungnya. K kaidah pengujian sebagai berikut : ≤F Jika F
tabel
(5 %) terima H0
Hitung
> F tabel ( 5 %, 1 % ) tolak H0/terima H1 Apabila data dinyatakan tidak normal atau tidak homogen, maka sebelum dilakukan analisis lebih lanjut dilakukan transformasi data. Setelah asumsi di atas terpenuhi maka dilakukan Analisis Sidik Ragam (ANOVA) dengan kaidah sebagai berikut :
Jika F hitung
< F
tabel
(5%,1%), terima H0 tolak
H1 > F
tabel
(5%,1%), terima H1 tolak
H0 Jika pengujian hipotesis adalah menolak Ho dan terima H 1, maka analisis data dilanjutkan dengan uji beda nilai tengah. Menurut Hanafiah (1993), uji lanjutan yang dipergunakan tergantung pada koefisien keragaman (KK) yang diperoleh dengan rumus:
KTG KK =
x 100% Y
Menurut Hanafiah (1993), bahwa uji lanjutan tersebut memenuhi kriteria sebagai berikut: a. Jika KK besar, (minimal 10 % pada kondisi homogen atau minimal 20 % pada kondisi heterogen), uji lanjutan yang sebaiknya digunakan adalah uji Duncan. b. Jika KK sedang (antara 5 % - 10 % pada kondisi homogen antara 10 20 % pada kondisi heterogen), uji lanjutan yang sebaiknva dipakai adalah uji BNT (beda nyata terkecil).
c. Jika KK kecil (maksimal 5 % pada kondisi homogen atau maksimal 10 % pada kondisi heterogen), uji lanjutan yang sebaiknya dipakai adalah uji BNJ (beda nyata jujur).
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengamatan selama 8 (delapan) minggu masa pemeliharaan, diperoleh data yang meliputi laju pertumbuhan relatif berat (%), laju pertumbuhan relatif panjang (%), konversi pakan, daya kelangsungan hidup (survival rate), faktor kondisi (%), dan data kualitas air, sebagaimana tercantum dalam Lampiran 4, Lampiran 10, Lampiran 15, Lampiran 20, Lampiran 23 dan Lampiran 24. 4.1. Laju Pertumbuhan Relatif Berat Berdasarkan hasil penelitian diperoleh data berat rerata (g) individu (lihat Lampiran 2), sedangkan rerata laju pertumbuhan relatif berat (%) dapat dilihat Tabel 4.1, selanjutnya Grafik laju pertumbuhan berat (%) ikan sepat rawa selama masa pemeliharaan dapat dilihat pada Gambar 4.1. Tabel 4.1.Rerata Berat Awal, Berat Akhir, Pertambahan Berat dan Laju Pertumbuhan Relatif Berat Individu Ikan Uji Selama Masa Pemeliharaan Perlakuan A B C D
Berat (g) Awal Akhir 7,33 9,38 7,17 9,10 7,25 9,38 7,32 9,39
Pertambahan Berat (g) 2,05 1,93 2,13 2,07
Sumber:data primer, 2009 yang diolah.
Laju Pertumbuhan Relatif Berat (%) 27,95 26,83 29,36 28,22
Keterangan : A : ikan sepat rawa dari rawa pasang surut ; B : ikan sepat rawa dari rawa padang galam ; C : ikan sepat rawa dari rawa tadah hujan ; D : ikan sepat rawa dari rawa monoton Tabel 4.1 dan Gambar 4.1 memperlihatkan bahwa rerata laju pertumbuhan relatif berat (%) yang tertinggi terjadi pada perlakuan C
(29,36 %), diikuti oleh perlakuan D (28,22 %) dan perlakuan A (27,95 %), serta perlakuan B (26,83 %). Tingginya laju pertumbuhan relatif berat pada perlakuan C di banding perlakuan lainnya di sebabkan karena ikan sepat dari rawa tadah hujan memiliki sifat ekspresi genotipe yang lebih tinggi dibandingkan dengan sifat ekspresi dari ikan sepat rawa dari tempat lainya. Karena sifat dari tipe ekosistem rawa tadah hujan yang merupakan habitat dari ikan sepat rawa tadah hujan memiliki lingkungan yang lebih ekstrim dibandingkan dengan tipe ekosistem perairan lainnya, sehingga sifat lingkungan yang ekstrim tersebut membuat ikan sepat rawa dari tadah hujan mengekspresikan kondisi metabolisme lebih komplit dibandingkan dengan tipe lainnya.
L aju Pertumbuhan Relatif Berat (%)
35 30 25 20
A B
15
C D
10 5 0 2
4
6
8
Minggu Ke-
Gambar 4.1. Laju Pertumbuhan Relatif Berat (%) Ikan Sepat Rawa (Trichogaster trichopterus) Selama Masa Pemeliharaan Hasil uji normalitas lilliefors dan homogenitas ragam Bartlett terhadap laju pertumbuhan rerata relatif berat menunjukkan bahwa data
menyebar normal, dimana Li max < Li tabel (lihat Lampiran 5) dan mempunyai ragam data yang homogen, yakni X2
hitung
< X2
tabel
(lihat
Lampiran 6). Selanjutnya berdasarkan hasil analisa keragaman (ANOVA) laju pertumbuhan rerata relatif berat (%) diperoleh F hitung < F tabel, yaitu 1,04 < 4,07 (Lampiran 7), maka terima Ho dan tolak H 1. Hal ini menunjukkan bahwa variasi jenis ikan sepat rawa tidak berpengaruh nyata terhadap laju pertumbuhan relatif berat ikan sepat rawa. 4.2. Laju Pertumbuhan Relatif Panjang Berdasarkan hasil penelitian diperoleh data panjang rerata (cm) individu (lihat Lampiran 8) dan rerata laju pertumbuhan relatif panjang (%) (lihat Tabel 4.2 dan Lampiran 10). Tabel 4.2. Rerata Panjang Awal, Panjang Akhir, Pertambahan Panjang dan Laju Pertumbuhan Relatif Panjang Individu Ikan Uji Selama Masa Pemeliharaan Perlakuan A B C D
Panjang (cm) Awal Akhir 8,02 8,76 7,74 8,46 7,86 8,53 7,98 8,64
Pertambahan Panjang (cm) 0,74 0,72 0,67 0,66
Sumber:data primer, 2009 yang diolah.
Laju Pertumbuhan Relatif Panjang (%) 9,18 9,35 8,56 8,31
Keterangan : A : ikan sepat rawa dari rawa pasang surut ; B : ikan sepat rawa dari rawa padang galam ; C : ikan sepat rawa dari rawa tadah hujan ; D : ikan sepat rawa dari rawa monoton Tabel 4.2 memperlihatkan bahwa rerata laju pertumbuhan relatif panjang (%) yang tertinggi terjadi pada perlakuan B(9,35 %), diikuti oleh perlakuan A (9,18 %), kemudian perlakuan C (8,56 %), dan perlakuan D (8,31 %). Sedangkan grafik laju pertumbuhan panjang (%) ikan sepat rawa selama masa pemeliharaan dapat dilihat pada Gambar 4.2.
Laju Pertumbuhan Relatif Panjang (%)
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
A B C D
2
4
6
8
Minggu Ke-
Gambar 4.2. Laju Pertumbuhan Relatif Panjang (%) Ikan Sepat Rawa (Trichogaster trichopterus) Selama Masa Pemeliharaan Tingginya laju pertumbuhan relatif
panjang pada perlakuan ikan
sepat rawa padang galam dibandingkan dengan perlakuan lainnya disebabkan karena sifat dari tipe ekosistem rawa padang galam ini memiliki habitat yang hampir sama dengan rawa tadah hujan, tetapi bedanya di lihat dari perairan padang galam dimana air pada daerah tersebut memiliki kondisi peairan yang buruk, dengan kualitas air yang kurang baik untuk tempat hidup biota air dan hanya sebagian biota air tertentu saja yang dapat tumbuh dan berkembang biak dengan baik di lpkasi tersebut. Karena kondisi perairannya yang ekstrim dalam perairan padang galam ini kondisinya bisa semakin buruk, perairannya tidak subur, kurang pakan alami, serta akan menyebabkan air berwarna kuning bahkan sampai menjadi berwarna merah atau disebut juga dengan “bangai”. Ikan pada tipe ini juga melakukan pertumbuhan panjang terlebih dahulu, setelah pertumbuhan panjang yang di alami telah mencapai tahap akhir dan tidak dapat menambah panjang tubuhnya lagi, disaat itulah ikan tersebut mengalami pertumbuhan berat, karena dapat kita lihat dari hasil
data yang didapatkan, ikan sepat rawa pada perlakuan ini ukuran beratnya lebih kecil atau kurus dibandingkan dengan ikan sepat rawa lainnya. Hasil uji normalitas lilliefors dan homogenitas ragam Bartlett terhadap laju pertumbuhan rerata relatif panjang menunjukkan bahwa data menyebar normal, dimana Li max < Li tabel (Lampiran 11) dan mempunyai ragam data yang homogen, yakni X2 hitung < X2 tabel (Lampiran 12). Selanjutnya berdasarkan hasil analisa keragaman (ANOVA) laju pertumbuhan rerata relatif panjang (%) diperoleh F hitung < F tabel, yaitu 0,58 < 4,07 (Lampiran 13), maka terima Ho dan tolak H 1. Hal ini menunjukkan bahwa variasi jenis ikan sepat rawa tidak berpengaruh nyata terhadap laju pertumbuhan relatif panjang ikan sepat rawa. Menurut Wiwarni (1991), pertumbuhan relatif berat dengan pemberian makanan 5 % dari berat tubuh sebesar 159,19 %; 7 % dari berat tubuh sebesar 131,58 %; dan 3 % dari berat tubuh sebesar 125,91 %. Di lihat dari laju pertumbuhan relatife berat pada penelitian Anggraini (2009), yaitu dari rawa monoton dengan 34,35 % di karenakan bahwa Anggraini menggunakan pakan buatan yang membuat ikan sepat rawa dari tiap – tiap rawa memperoleh rangsangan daya selera makan sangat besar terhadap pakan buatan yang diberikan karena banyak mengandung banyak bahan – bahan yang tercampur dalam pakan buatan, sedangkan pada peneliti menggunakan pakan berupa pelet komersil dengan kadar protein 30 – 32 % mendapatkan laju pertumbuhan 29,36 % saja. Pertumbuhan secara umum dikatakan bahwa pertambahan dari ukuran berat atau panjang dalam suatu masa pemeliharaan. Asiah (1983) menyatakan bahwa pertumbuhan ikan sangat dipengaruhi oleh sejumlah faktor seperti keturunan, kecepatan pertumbuhan relatif, kemampuan memanfaatkan makanan dan kepadatan populasi. Laju pertumbuhan seperti yang dikemukakan Asmawi (1983), adalah tergantung kepada sejumlah makanan yang diberikan, ruang, dan dalamnya perairan serta faktor-faktor lainnya. Hal ini juga didukung oleh Effendie (1978); Effendie
(1997) dan Sahwan (2001), bahwa laju pertumbuhan tergantung pada sejumlah pakan yang diberikan, ruang, jumlah populasi, kedalaman air, suhu, oksigen terlarut, faktor kualitas air, umur dan ukuran ikan serta tingkat kematangan gonad. Menurut
Iriadenta
(2007),
suhu
air
mempengaruhi
laju
metabolisme, kebutuhan oksigen terlarut dan penguraian di perairan. Suhu air merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi aktivitas serta memacu atau menghambat perkembangbiakan organisme perairan. Peningkatan suhu juga menyebabkan peningkatan kecepatan metabolisme dan respirasi organisme air, dan selanjutnya mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen. Pakan yang dimanfaatkan oleh ikan pertama-tama digunakan untuk pemeliharaan tubuh dan mengganti alat-alat tubuh yang rusak setelah itu kelebihan pakan yang tersisa digunakan untuk pertumbuhan. Penelitian ini sependapat dengan literature yang sudah ada bahwa ikan sepat rawa yang dipelihara dalam budidaya terkontrol ini terjadi perbedaan laju pertumbuhan pada tiap masing-masing domestikasi. Pada perlakuan C (rawa monoton) mendapatkan laju pertumbuhan yang sangat berbeda disbanding dengan perlakuan yang lainnya. Hal ini sependapat dengan effendi (1997) dan sahwan (2001) karena untuk tumbuh dan berkembang biak dengan baik memiliki beberapa faktor yang dapat mempengaruhinya. Ikan sepat rawa dibanding dengan dari daerah pasang surut, ikan – ikan sepat rawa dari daerah rawa monoton, rawa padang galam dan rawa tadah hujan lainnya harus melalui proses aklimatisasi yang memerlukan waktu cukup lama untuk bisa bertahan hidup pada daerah barunya. Ikan jantan hanya menggunakan makanan untuk bergerak dan tumbuh, sedangkan ikan betina menggunakan makanan untuk bergerak, tumbuh dan untuk proses kematangan gonad dari dalam tubuhnya. Dilihat dari umur ikan-ikan sepat rawa yang dikumpulkan dari tiap-tipa rawa
monoton, rawa padang galam, rawa pasang surut dan rawa tadah hujan yaitu kira – kira berkisar antara umur 1,5 – 2 bulan, dan diketahu pada saat – saat umur seperti itu merupakan fase untuk pertumbuhan yang besar dalam tubuhnya. Meskipun demikian dapat diketahui pula bahwa ikan sepat rawa pada rawa monoton, rawa padang galam dan rawa tadah hujan mempunyai daya untuk bertahan hidup yang cukup besar untuk tumbuh di perairan rawa pasang surut yang merupakan rawa yang terpengaruh oleh pasang surut di desa Beringin Kecamatan Alalak Kabupaten Barito Kuala, Provinsi Kalimantan Selatan di bandingkan dengan ikan sepat rawa yang hidup pada perairan rawa pasang surut. 4.3. Konversi Pakan Besar konversi pakan merupakan gambaran tentang tingkat efisiensi pakan yang diberikan. Menurut Mudjiman (1994), konversi pakan merupakan perbandingan antara berat pakan yang diberikan selama pemeliharaan dengan pertambahan berat ikan yang dipelihara yang biasa pula disebut dengan Feed Convertion Ratio (FCR). Konversi pakan merupakan nilai efisien dari pakan. Semakin kecil nilai konversi pakan, semakin efisien pakan yang diberikan dalam menambah berat ikan. Besarnya nilai konversi pakan masing-masing perlakuan selama masa pemeliharaan dapat dilihat pada Tabel 4.3 dan Lampiran 15. Tabel 4.3. Nilai Rerata Konversi Pakan Ikan Uji Selama Masa Pemeliharaan Total Bobot Bobot Bobot Perlakuan Pakan Akhir yang Awal (g) (Wt) mati (D) (Wo) A 169,7 96,49 36,77 110 B 172,4 103,99 27,23 107,6 C 173,2 106,25 28,01 108,7 D 171,2 106,49 27,87 109,85 Keterangan : A : ikan sepat rawa dari rawa pasang surut ; B : ikan sepat rawa dari rawa padang galam ; C : ikan sepat rawa dari rawa tadah hujan ; D : ikan sepat rawa dari rawa monoton
(Wt + D) – Wo 23,24 23,63 25,56 24,52
Konversi Pakan (K) 7,33 7,38 6,80 7,04
Tabel 4.3 memperlihatkan bahwa nilai konversi pakan yang paling baik terjadi pada perlakuan C (6,80), diikuti oleh perlakuan D (7,04), kemudian perlakuan A (7,33) dan perlakuan B (7,38). Sedangkan grafik nilai konversi pakan ikan sepat rawa selama masa pemeliharaan dapat dilihat pada Gambar 4.3. 7.5
Nilai K onvers i P akan
7.4 7.3 7.2 7.1 K onvers i pakan
7 6.9 6.8 6.7 6.6 6.5 A
B
C
D
Perlakuan
Gambar 4.3. Konversi Pakan Ikan Sepat Rawa (Trichogaster trichopterus) Selama Masa Pemeliharaan Hasil uji normalitas lilliefors dan homogenitas ragam Bartlett menunjukkan bahwa data menyebar normal, dimana Li max < Li tabel (Lampiran 16) dan mempunyai ragam data yang homogen, yakni X2 hitung < X2 tabel (Lampiran 17). Selanjutnya hasil analisa keragaman (ANOVA) menunjukkan
bahwa keempat
perlakuan tidak berpengaruh nyata
terhadap konversi pakan ikan sepat rawa, dimana diperoleh F hitung < F tabel, yaitu 0,75 < 4,07 (terima Ho) (Lampiran 18). Nilai konversi pakan digunakan untuk mengetahui baik buruknya kualitas pakan yang diberikan pada ikan. Sumeru dan Anna (1992) menyatakan nilai konversi pakan sebenarnya bukan merupakan angka mutlak, karena tidak hanya ditentukan oleh kualitas pakan, akan tetapi
dipengaruhi pula oleh faktor-faktor lain seperti jenis ikan dan ukuran ikan, jumlah padat tebar, kualitas air dan faktor genetik. Menurut Mudjiman (1994), bahwa nilai konversi pakan berkisar antara 1-8, tergantung dari jenis makanannya, sedangkan menurut Bardach et al (1972) menyatakan bahwa nilai konversi makanan yang umum berkisar antara 3,0 – 4,0 untuk mendapatkan pertumbuhan ikan yang baik. Menurut Ismit (1991), nilai konversi pakan ikan sepat rawa dengan pemberian pakan 5% dari berat tubuh berkisar antara 1,19 – 2,01. Sedangkan menurut Wiwarni (1991), ikan sepat rawa yang diberi pakan 3% dari berat tubuh (kadar protein 27 – 29 %) memiliki nilai konversi pakan 2,60; 5% dari berat tubuh senilai 3,81; dan 7% dari berat tubuh senilai 5,80. Menurut Anggraini (2009), ikan sepat rawa dengan pemberian pakan 3% dari berat tubuh memiliki nilai konversi pakan antara 5,95 6,49 (kadar protein 15,77), sedangkan hasil dari penelitian peneliti didapatkan nilai konversi pakan antara 6,80 – 7,38. Hal ini bisa dimungkinkan, karena ikan sepat rawa tidak menyukai pakan yang diberikan atau pengaruh dari nafsu makan ikan yang menurun serta dari perbedaan system metabolisme tubuhnya. 4.4. Daya Kelangsungan Hidup Daya kelangsungan hidup merupakan persentase jumlah ikan yang hidup selama masa pemeliharaan dimana nilainya akan berbanding terbalik dengan mortalitas. Daya kelangsungan hidup ikan sepat rawa dapat dilihat pada Tabel 4.4 dan Lampiran 20.
Tabel 4.4. Rerata Daya Kelangsungan Hidup Ikan Sepat Rawa Perlakuan & Jumlah Jumlah Daya Kelangsungan Hidup Ulangan Awal (ekor) Akhir (ekor) (%) A 15 10,33 68,89 B 15 11,33 75,56 C 15 11,33 75,56 D 15 11,33 75,56 Keterangan : A : ikan sepat rawa dari rawa pasang surut ; B : ikan sepat rawa dari rawa padang galam ; C : ikan sepat rawa dari rawa tadah hujan ; D : ikan sepat rawa dari rawa monoton Tabel 4.4 memperlihatkan bahwa daya kelangsungan hidup yang tertinggi terjadi pada perlakuan B, C dan D (75,56 %), kemudian di ikuti perlakuan A (68,89 %). Sedangkan grafik daya kelangsungan hidup ikan sepat rawa selama masa pemeliharaan dapat dilihat pada Gambar 4.4. 78
Daya Kelangsungan Hidup %)
76 74 72 Daya kelangs ungan hidup
70 68 66 64 A
B
C
D
Perlakuan
Gambar 4.4. Daya kelangsungan hidup ikan sepat rawa (Trichogaster trichopterus) selama masa pemeliharaan
Hasil uji normalitas lilliefors dan Homogenitas ragam bartlett menunjukkan bahwa data menyebar normal, dimana Li max < Li tabel (Lampiran 21) dan mempunyai ragam data yang homogen, yakni X2 hitung < X2 tabel (Lampiran 22). Selanjutnya hasil analisa keragaman (ANOVA) menunjukkan
bahwa keempat
perlakuan tidak berpengaruh nyata
terhadap daya kelangsungan hidup ikan sepat rawa, dimana diperoleh F hitung < F tabel, yaitu 0,56 < 4,07 (terima Ho) (Lampiran 23). Menurut Fatimah (1992), daya kelangsungan hidup ikan sangat bergantung kepada daya adaptasi ikan terhadap makanan yang baik, keadaan fisik ikan yang cukup kuat, kualitas makanan yang diberikan cukup baik, dan kualitas air yang cukup mendukung pertumbuhan. Salah satu kelemahan dari penelitian ini adalah hapa yang digunakan tidak bertutup, hal ini sangat berpengaruh terhadap daya kelangsungan hidup ikan sepat rawa, karena banyaknya predator (burung) di lingkungan tersebut yang memangsanya. Faktor lain yang juga mempengaruhi, yaitu tidak adanya shelter (tempat berlindung bagi ikan) yang mengakibatkan suhu perairan akan meningkat pada siang hari. Daya kelangsungan hidup juga dipengaruhi oleh beberapa faktor lain seperti umur, kualitas air, makanan, dan hama penyakit. Hal ini didukung oleh Merlina (2004) yang menyatakan bahwa mortalitas dipengaruhi oleh adanya faktor dalam dan faktor luar, dimana faktor yang paling dominan mempengaruhi mortalitas adalah kompetisi antar jenis, meningkatnya predator dan parasit, kekurangan makanan baik kualitas maupun kuantitas, penanganan dan kualitas air. 4.5. Kualitas Air Pengamatan terhadap kualitas air sangat penting sekali dilakukan, karena secara langsung atau tidak langsung dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan daya kelangsungan hidup organisme yang ada di
dalamnya. Kualitas air yang diukur dalam penelitian ini meliputi suhu, DO, dan pH. 4.5.1.
Suhu Air Pengamatan
suhu
dilakukan
setiap
2
minggu
sekali,
hasil
pengukuran suhu selama penelitian berkisar antara 26,4 0 C – 28,20 C. Suhu yang cukup tinggi di lingkungan tersebut, karena hapa yang digunakan tidak memiliki tutup, sehingga tidak ada shelter (tempat berlindung bagi ikan). Menurut Ortanez (2008) suhu air yang ideal untuk ikan sepat rawa, yaitu 230 C sampai 280 C. 4.5.2.
Oksigen Terlarut (DO) Hasil pengukuran DO selama penelitian berkisar antara 2,95 mg/l –
7,56 mg/l. Jumlah oksigen dalam air pada keadaan normal adalah lebih kurang 5,8 mg/l. Menurut Ismit (1991) kandungan DO yang ideal untuk ikan sepat rawa berkisar antara 6,8 mg/l – 7,0 mg/l. Kandungan DO yang rendah selama penelitian tidak terlalu berpengaruh bagi ikan sepat rawa, karena sepat rawa memiliki alat bantu pernapasan berupa labirin yang mampu mengikat oksigen di udara. Menurut Suriatna di dalam Anonim (1985) bahwa ikan yang mempunyai alat pernapasan tambahan (labirin) toleransi terhadap kekurangan oksigen cukup besar, tetapi untuk jenis ikan yang tidak mempunyai alat pernapasan tambahan dapat mematikan ikan atau menurunkan nafsu makannya akibat kekurangan oksigen. 4.5.3.
Amoniak Senyawa yang bersifat racun atau Amoniak pada awal penelitian
yaitu 0,70 mg/l sedangkan pada akhir penelitian di peroleh nilai 0,66 mg/l. Di daerah perairan Kalimantan Selatan dimana banyak ikan sepat terdapat, kandungan amoniak berkisar antara 0,014 – 0,074 ppm (Anonim, 1983).
4.5.4.
Derajat Keasaman (pH) Derajat keasaman atau pH digunakan untuk mengetahui asam
basanya suatu perairan. Kisaran pH perairan selama penelitian berkisar antara 4,91 – 6,17. Menurut Ortanez (2008), ikan sepat rawa dapat hidup pada pH 6,0 – 8,3. Berdasarkan data-data kualitas air yang diperoleh menunjukkan bahwa kualitas air di lokasi penelitian masih bisa ditoleransi oleh ikan sepat rawa. Parameter kualitas air seperti suhu air, kandungan oksigen terlarut (DO), amoniak dan pH yang terdapat dalam perairan tersebut masih termasuk baik dan layak untuk kehidupan ikan sepat rawa dan mendukung untuk perkembangan pertumbuhannya. Parameter kualitas air hasil pengukuran pada penelitian ikan sepat rawa (Trichogaster trichopterus) dibandingkan dengan literatur dapat dilihat pada Tabel 4.5. Tabel 4.5. Parameter Kualitas Air Penelitian Dibandingkan Dengan Literatur No. Parameter 1. Suhu Air (0C) 2. Oksigen Terlarut (mg/L)
Hasil Pengukuran 26,4 – 28,20 C 2,95 – 7,56 mg/l
3.
Kadar amoniak (ppm)
0,61 – 0,70 mg/l
4.
Derajat Keasaman (pH)
4,91 – 6,17
Sumber:data primer, 2009.
Standar 23-280C(Ortanez, 2008) 6,8-7,0 mg/l (Ismit, 1991) 0,014-0,074 ppm (anonim 1983). 6,0-8,3 (Ortanez, 2008)
BAB V. PENUTUP 5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Ikan sepat rawa (Trichogaster trichopterus) mampu hidup dan beradaptasi di lingkungan budidaya, serta dapat diberi pakan buatan seperti umumnya ikan-ikan yang dibudidayakan. 2. Variasi jenis ikan sepat rawa tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan sepat rawa yang dipelihara di lingkungan budidaya. 3. Rerata laju pertumbuhan relatif berat yang terbaik adalah pada perlakuan C (ikan sepat rawa dari rawa tadah hujan) sebesar 29,36 %. 4. Rerata laju pertumbuhan relatif panjang yang terbaik adalah pada perlakuan B (ikan sepat rawa dari rawa padang galam) sebesar 9,35 %. 5. Konversi pakan yang terbaik adalah pada perlakuan C (ikan sepat rawa dari rawa tadah hujan) sebesar 6,80. 6. Daya kelangsungan hidup yang terbaik adalah pada perlakuan B, C, D sebesar 75,56 %. 5.2. Saran Jika ingin membudidayakan ikan sepat rawa di daerah perairan pasang surut, sebaiknya menggunakan ikan sepat rawa yang berasal dari daerah perairan rawa tadah hujan. Dikarenakan ikan sepat rawa dari daerah ini dapat bertumbuh dengan baik.