LAPORAN PENELITIAN
KONSTRUKSI POLA HUBUNGAN PUSAT DAERAH DALAM MENEGAKKAN PRINSIP NEGARA KESATUAN
OLEH : TIM PENELITI FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MATARAM KERJA SAMA DENGAN SEKRETARIAT JENDERAL DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS MATARAM FAKULTAS HUKUM 2009
i
LEMBAR PENGESAHAN
1 a. Judul Penelitian
:
Konstruksi Pola Hubungan Pusat Daerah Dalam Menegakkan Negara Kesatuan.
b. Bidang Ilmu
:
Ilmu Hukum
2 Ketua Peneliti a. Nama b. Jenis kelamin c. pangkat/Gol/NIP d. Fakultas/program Studi e. Pusat Penelitian
: : :
Prof. Dr. H.M. Galang Asmara. SH.,M.Hum. Laki-laki Pembina /IV/b/19590703 198903 1 002
: :
Hukum/Ilmu Hukum Universitas Mataram
3 Jumlah Tim Peneliti
:
11 orang (terlampir)
4 Lokasi penelitian
:
-
5 Jangka waktu Penelitian
:
6 (Enam) Bulan
6 Biaya Penelitian
:
Rp. 160.750.000,(seratus enam puluh juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah) Mataram, 5 Juli 2009
Menyetujui: Fakultas Hukum Unram Dekan,
Ketua Peneliti
Prof. Dr. H.M. Galang Asmara, SH.M.Hum.
Prof. Dr. H.M. Galang Asmara, SH. M. Hum.
NIP. 19590703 198903 1 002
NIP. 19590703 198903 1 002
ii
EXECUTIVE SUMMARY (RINGKASAN) KONSTRUKSI POLA HUBUNGAN PUSAT DAERAH DALAM MENEGAKKAN PRINSIP NEGARA KESATUAN Penelitian ini dilakukan berangkat dari suatu permasalahan atau issu hukum, yakni: Apakah hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dalam UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 telah sesuai dengan prinsip-prinsip Negara Kesatuan dan sistem pemerintahan berdasarkan UUD Negara RI 1945? Latar belakang mengapa permasalahan tersebut diangkat, karena mengingat hingga saat ini masih nampak adanya berbagai permasalahan menyangkut hubungan antar pusat dan daerah, seperti munculnya gejala disintegrasi di sejumlah daerah, adanya ketidakjelasan dalam pelaksanaan pembagian kewenangan antara pusat dan daerah, terjadinya tumpang tindih kewenangan antar tingkatan pemerintah dalam pelaksanaan urusan pemerintahan, adanya tarik menarik urusan antara pusat dan daerah, adanya gejala keengganan dari Departemen/LPND tertentu untuk mendesentralisasikan urusan secara penuh, ketidakseimbangan pembagian keuangan antara pusat dan daerah yang telah menimbulkan kecemburuan di beberapa daerah, dan lain-lain. Nampaknya masalah hubungan antara Pusat dan Daerah yang berlangsung selama ini masih mencari bentuk, dan oleh karena itu, berbagai upaya untuk menemukan format yang ideal dan tepat terus dikaji Dari beberapa permasalahan yang nampak tersebut mengindikasikan perlunya upaya mencari tahu penyebab mendasar dari hal tersebut. Dengan kata lain, perlu mencari konstruksi baru hubungan antara pusat dan daerah. Konstruksi hubungan tersebut paling tidak memuat pemikiran ulang mengenai tingkatan pemerintahan, status dan kedudukannya; pembagian wewenang (atau urusan) antar berbagai tingkatan pemerintahan; perimbangan keuangan antar tingkatan pemerintahan. Hal ini dimaksudkan untuk menemukan titik keseimbangan antara pusat dan daerah. Pembahasan mengenai pola hubungan pusat dan daerah ini tidak dapat dilepaskan dalam kerangka teori bentuk negara dan sistem pemerintahan Negara Republik Indonesia. Bentuk Negara RI. Indonesia sebagaimana ditegaskan di dalam Pasal 1 (1) UUD 1945. ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik. Perumusan dalam Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 dalam mendirikan negara, yang kemudian ditegaskan kembali dalam amandemen UUD 1945 dalam ketentuan Pasal 37 ayat (5) yang menyatakan: “khusus mengenai bentuk negara kesatuan RI tidak dapat dilakukan perubahan “. Sedangkan sistem pemerintahan RI dalam kaitan dengan hubungan pusat dan daerah adalah sebagaimana ditegaskan di dalam Pasal 18 dan 18A UUD 1945 antara lain: •
Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi,
iii
kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang (Pasal 18 (1); •
Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. (Pasal 18 (2);
•
Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat. (Pasal 18 ayat (5)
•
Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan Undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah (Pasal 18A ayat (1))
•
Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang Pasal 18A ayat (2)
•
Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-undang Pasal 18B (1);
•
Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang (Pasal 18B ayat (2)
Sementara itu, pelaksanaan otonomi daerah dewasa ini memunculkan pandangan yang mendua, yakni: •
Pertama, ada yang menganggap otonomi daerah akan semakin meningkatkan aktivitas penyelenggaraan pemerintah di daerah karena besarnya kewenangan yang diserahkan kepada kabupaten/kota dan otonomi terbatas kepada provinsi.
•
Kedua, otonomi daerah justru menimbulkan inefisiensi dan inefektivitas karena kewenangan yang diberikan terlalu luas dan munculnya eksklusivisme kedaerahan yang kaku.
Beberapa permasalahan tersebut membuat kami tertarik untuk melakukan pengkajian/penelitian yang mendalam menyangkut hubungan antara pemerintah pusat dan daerah dalam berbagai aspek. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif yang dipadukan dengan penelitian empirik, yakni dengan mempelajari bahanbahan hukum primer dan sekunder. Hasil penelitian terhadap bahan hukum kemudian dipadukan dengan hasil diskusi melalui fokus group (FGD). Dalam diskusi (FGD) dihadirkan para akademisi, praktisi hukum dan stakeholder yang terdiri atas para pejabat pemerintah daerah dan anggota dewan perwakilan rakyat daerah, serta tokoh-tokoh masyarakat.
iv
Penelitian dilakukan dengan maksud untuk mencari konstruksi pola hubungan pusat dan daerah yang dapat mewujudkan keseimbangan dalam hubungan antara pusat dan daerah. Dengan kata lain, hasil penelitian ini diharapkan dapat menemukan konsep hubungan Pusat dan Daerah yang lebih ideal di masa mendatang. Dari hasil penelitian dapat diungkapkan hal-hal sebagai berikut: 1. Dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia, hubungan Pusat dan Daerah telah mengalami pasang surut yang sangat dinamis. Hal ini dapat dilihat pada berbagai pengaturan terutama yang mengatur tentang pemerintahan daerah, baik pengaturan di dalam UUD 1945 maupun di dalam berbagai UU dan tentang pemerintah dengan Secara historis Indonesia telah mengundangkan sejumlah Undang-undang pemerintahan daerah, yakni; UU No. 22 / 1948, UU No. 1 / 1957, UU No. 5 / 1974, UU No. 22 / 1999 dan UU No. 32 / 2004. Dari sini terlihat yang paling sering kita mengalami pergantian UU pemerintahan daerah adalah pada orde reformasi. Setidak-tidaknya peraturan yang berlaku yang mengatur pemerintahan daerah, yakni: UUD 1945 Bab IV (Psl 18, 18A, 18B); UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah; UU No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintahan Daerah; UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh; UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua; UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh; UU Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia; PP Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten /Kota. 2. Tata Cara Penyelenggaraan Pemerintahan dalam negara Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut UUD 1945 dan UU Pemerintahan Daerah saat ini adalah: pertama secara` sentralistik, yang mana segala sebagian urusan, fungsi, tugas, dan wewenang penyelenggaraan pemerintahan ada pada Pemerintah Pusat yang pelaksanaannya dilakukan sendiri oleh pemerintah pusat dan di daerah dilakukan secara dekonsentrasi (pelimpahan urusan) dan pembantuan (penugasan sebahagian urusan). Kedua secara desentralistik, di mana urusan, tugas, dan wewenang pelaksanaan pemerintahan diserahkan seluas-luasnya kepada Daerah. 3. Dalam penyelenggaraan pemerintahan, antara satuan pemerintah pusat dengan satuan pemerintah menimbulkan beberapa jenis hubungan. Dalam UU Nomor 32 tahun 2004 dan UU Nomor 33 Tahun 2004 dikenal beberapa macam hubungan antara pemerintah Pusat dan daerah, yakni: (Lihat Pasal 2, 27, 29, 32, 35, 145, 217, 218): a) hubungan wewenang; b) hubungan keuangan; c) hubungan pelayanan umum; d) hubungan pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya; e) hubungan administrasi antar susunan pemerintahan dan f) hubungan kewilayahan antar susunan pemerintahan; g) Hubungan administrasi; h) Hubungan pembinaan; i) Hubungan Politik atau Kekuasaan; j) Hubungan Pembinaan; dan k) Hubungan Pengawasan. 4. Ada beberapa persoalan pada hubungan pusat daerah, antara lain: a. Ketidakjelasan antara urusan pemerintah Provinsi dan pemerintah Kabupaten. Dalam UU Nomor 32 tahun 2004 disebutkan apa yang menjadi wewenang
v
pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Urusan pemerintah Pusat meliputi: politik luar negeri; pertahanan; keamanan; yustisi; moneter dan fiskal nasional; dan agama. (Pasal 10) Sedangkan urusan wajib Pemerintah Provinsi dan Kabupaten adalah: (Pasal 13 dan 14) a. perencanaan dan pengendalian pembangunan; b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; d. penyediaan sarana dan prasarana umum; e. penanganan bidang kesehatan; f. penyelenggaraan pendidikan; g. penanggulangan masalah sosial; h. pelayanan bidang ketenagakerjaan; i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah; j. pengendalian lingkungan hidup; k. pelayanan pertanahan; l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; m. pelayanan administrasi umum pemerintahan; n. pelayanan administrasi penanaman modal; o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundangundangan. Jenis urusan wajib antara pemerintah Provinsi dan Kabupaten ádalah sama. Yang membedakannya hanyalah skalanya, seperti dinyatakan pada Pasal 13 dan 14 UU Nomor 32 Tahun 2004, bahwa Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi merupakan urusan dalam skala provinsi. Kemudian pada Pasal 14 dikatakan: ”Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota. Pertanyaannya ádalah: Apa kriteria suatu urusan dikatakan berskala provinsi dan berskala kabupaten. Hal ini tentu tidak mudah menentukannya, dan dapat menimbulkan perdebatan dan ketidakjelsan. Kekaburan ini ditambah lagi dengan ketentuan Pasal 13 ayat (1) yang menyatakan: “Pelaksanaan urusan pemerintahan yang mengakibatkan dampak lintas daerah dikelola bersama oleh daerah terkait”. Jika demikian, apa yang menjadi urusan Provinsi sesungguhnya tidak ada, karena setiap urusan wajib pasti akan dapat diselenggarakan oleh pemerintah Kabupaten Kota dengan perjanjian kerjasama antar daerah. Dalam kaitan ini maka perlu ditinjau status dan hubungan antara pemerintah Provinsi dengan Kabupaten Kota. Konstruksi ketentuan Pasal 13 ayat (1) ini sesungguhnya mengindikasikan sebaiknya Daerah Provinsi sebagai daerah Administratif saja. b. Prosedur pemberhentian Kepala Daerah tidak tepat. Pada Pasal 29 – 35 Tentang mekanisme pemberhentian kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah; tidak melaksanakan kewajiban kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah disebutkan, bahwa yang berwenang menetapkan pemberhentian Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah
vi
adalah Presiden. Pertanyaannya adalah, apa dasar kewenangan Presiden dapat memberhentikan Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah, karena bukankah pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala daerah dilakukan secara langsung. Dengan kata lain legitimasi Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah sesungguhnya pada kehendak rakyat, namun dengan ketentuan tersebut legitimasi tersebut berubah kepada Presiden. c. Menurut ketentuan UU 32 tahun 2004 Pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah diusulkan. kepada Presiden berdasarkan putusan Mahkamah Agung atas pendapat DPRD bahwa kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan dan atau tidak melaksanakan kewajiban. kepala daerah dan wakil kepala daerah. Apabila Mahkamah Agung memutuskan bahwa kepala daerah, dan/atau wakil kepala daerah terbukti melanggar sumpah/janji jabatan dan/atau tidak melaksanakan kewajiban, DPRD menyelenggarakan Rapat Paripurna DPRD yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRD dan putusan diambil, dengan persetujuan sekurangkurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD yang hadir untuk memutuskan usul pemberhentian kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah kepada Presiden; Pertanyaan yang muncul juga adalah mengapa sidang DPRD diperlukan lagi. Bukankah dapat menimbulkan stigma pada putusan MA. Dimana dapat saja DPRD tidak sepakat memberhentikan Kepala Daerah dan/ atau wakil kepala daerah meskipun telah dinyatakan bersalah oleh MA. Mestinya tidak perlu lagi sidang DPRD karena hal itu sudah menjadi masalah hukum. Begitu pula tidak perlu lagi ke Presiden melainkan, dengan secara otomatis Kepala Daerah dan/atau Kepala Daerah atas dasar Putusan MA tersebut. Jadi prosedur pemberhentian Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah perlu ditinjau kembali. Presiden semestinya hanya diberitahukan saja. d. Pada Pasal 36 UU 32 dinyatakan, bahwa dalam hal adanya trindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari Presiden atas permintaan penyidik. Dalam hal persetujuan tertulis tidak diberikan oleh Presiden dalam waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan, proses penyelidikan dan penyidikan dapat dilakukan. Pertanyaannya adalah apa esensi persetujuan Presiden tersebut. Bukankah dengan prosedur tersebut Presiden dapat saja tidak memberikan persetujuan. Seyogyanya tidak perlu adanya persetujuan karena hal tersebut sudah merupakan masalah hukum, Presiden sebenarnya hanya perlu diberitahu saja akan adanya tindakan Penyelidikan dan penyidikan. e. Adanya kerancuan dalam pelaksanaan pengawasan produk hukum daerah oleh pusat, yaitu adanya ketentuan bahwa pemerintah pusat memiliki kewenangan untuk pembatalan peraturan daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dalam Pasal 145 dinyatakan, bahwa Perda harus disampaikan kepada Pemerintah paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan. Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundangundangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah. Keputusan
vii
pembatalan Perda ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya Perda. Kemudian paling lama 7 (tujuh) hari setelah keputusan pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), kepala daerah harus memberhentikan pelaksanaan Perda dan selanjutnya DPRD bersama Kepala Daerah rnencabut Perda dimaksud. Prosedur tersebut telah menimbulkan persoalan di daerah, antara lain Perda menjadi sulit dilaksanakan, padahal persoalan yang diatur seringkali sangat mendesak. Dalam praktik akhirnya Perda dilaksanakan walaupun belum turun keputusan dari Pemerintah Pusat. Keadaan yang sering muncul, Perda yang telah dilaksanakan kemudian dibatalkan oleh Pemerintah. Hal ini dapat menimbulkan kekacauan. Prosedur pengawasan terhadap Perda ini perlu lebih disederhanakan atau harus diberikan kewenangan sementara dalam halhal mendesak, Kepala Daerah menetapkan kebijakan (beleids Regel) sebelum Perda dinyatakan bertentangan atau tidak bertentangan dengan Kepentingan Umum atau peraturan yang lebih tinggi oleh Pemeirntah. f. Aspek lain dari pengawasan yang menjadi permasalahan terkait hubungan Pusat dan Daerah adalah pengawasan yang dilakukan oleh Pusat terhadap pembentukan produk hukum daerah, khususnya pembentukan peraturan daerah. Bentuk pengawasan yang dilakukan yaitu pengawasan preventif dan pengawasan represif. Pengawasan preventif dilakukan oleh Pemerintah Pusat terhadap peraturan daerah tertentu seperti Rancangan Peraturan Daerah tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Tata Ruang, Pajak dan Retribusi Daerah yaitu sebelum rancangan peraturan daerah dilakukan pembahasan oleh Pemerintah dengan Dewan Perwakilan Perwakilan Rakyat Daerah, maka harus dikonsultasikan ke Pemerintah Pusat melalui Menteri Dalam Negeri dan Departemen terkait. g. Untuk pengawasan represif, sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yaitu adanya kewenangan Pemerintah Pusat melalui Menteri Dalam Negeri untuk melakukan evaluasi dan kajian terhadap peraturan daerah yang pada akhirnya membawa implikasi pembatalan peraturan daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Pengawasan seperti ini akan mempengaruhi pelaksanaan otonomi daerah, karena prinsip otonomi yang dianut adalah prinsip otonomi seluas-luasnya, nyata dan bertanggung jawab. h. Pada Pasa1 146 ayat (2) dinyatakan bahwa untuk melaksanakan Perda dan atas kuasa peraturan perundangundangan, kepala daerah menetapkan peraturan kepala daerah dan atau keputusan kepala daerah. Peraturan kepala daerah dan atau keputusan kepala daerah dilarang bertentangan dengan kepentingan umum, Perda, dan peraturan perundang undangan yang lebih tinggi. Pertanyaannya adalah, apa upaya hukum Kepala daerah kalau suatu Peraturan Kepala Daerah dinyatakan bertentangan dengan kepentingan umum, Perda, dan peraturan perundang undangan yang lebih tinggi. i. Dalam bidang keuangan, hubungan pemerintah daerah dengan Pusat terganggu dengan sistem penentuan tahun anggaran. Menurut ketentuan
viii
Pasal 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara Tahun Anggaran meliputi masa satu tahun, mulai dari tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember. Hal ini menimbulkan kesulitan untuk menyusun APBD Propinsi karena sesuai dengan ketentuan Pasal 20 (4), Pengambilan keputusan oleh DPRD mengenai Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD dilakukan selambat-lambatnya satu bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan dilaksanakan. Sementara APBN belum ditetapkan. Apalagi APBD Kabupaten harus disesuaikan pula dengan APBD Propinsi. Oleh sebab itu seringkali penetapan APBD terlambat dan pelaksanaannya juga terlambat dan bahkan baru sampai pada unit kerja setelah pertengahan tahun anggaran, sehingga praktis pelaksanaan hanya separuh tahun anggaran. Hal ini pada akhirnya menyebabkan kualitas pekerjaan tidak baik karena terburu-buru waktu. Demikianlah beberapa permasalahan terkait dengan hubungan pusat dan daerah. Untuk menjamin hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang ideal, maka konsep hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah yang ideal diusulkan antara lain sebagai berikut: a. Mempertegas apa yang menjadi urusan pemerintah Provinsi dan pemerintah Kabupaten menyangkut tolok ukurnya. Jika tidak ada ukuran yang dapat dipertanggungjawabkan, maka sebaiknya Daerah Provinsi patut dipertimbangkan sebagai pemerintah administratif saja sebagai wakil pemerintah Pusat di daerah. Untuk hal ini, maka perlu perubahan terhadap ketentuan Pasal 18 UUD 1945. b. Mengatur kembali prosedur pemberhentian Kepala Daerah. Mekanisme pemberhentian kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah; tidak melaksanakan kewajiban kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah tidak perlu dengan keputusan Presiden dan juga btidak perlu ada sidang DPRD untuk menyatakan Kepala Daerah dan/atau kepala daerah diberhentikan melainkan cukup berdasarkan Putusan Mahkamah Agung. Manakala memerlukan pelilihan Kepala Daerah dan/atau Kepala Daerah, maka berdasarkan Putusan Mahkamah Agung tersebut, KPUD dapat langsung menyelenggarakan Pemilu Kepala Daerah. c. Dalam hal adanya tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah, tidak diperlukan lagi persetujuan atau izin dari Presiden karena hal tersebut sudah merupakan masalah hukum, Presiden hanya perlu diberitahu saja akan adanya tindakan Penyelidikan dan penyidikan. d. Perlu menata kembali prosedur pengawasan terhadap Peraturan Daerah termasuk juga bentuk hukum pernyuataan pembatalan Peraturan Daerah yang dianggap bertentangan dengan Kepentingan Umum atau Peraturan daerah yang lebih tinggi. Prosedur pengawasan terhadap Perda ini perlu lebih disederhanakan atau harus diberikan kewenangan sementara dalam hal-hal mendesak, Kepala Daerah menetapkan kebijakan (beleids regel) sebelum Perda dinyatakan bertentangan atau tidak bertentangan dengan Kepentingan Umum atau peraturan yang lebih tinggi oleh Pemeirntah.
ix
e. Perlu ada perbedaan penentuan tahun anggaran untuk APBN dan Tahun Anggaran untuk APBD. Misalnya APBN berlangsung 1 Januari s.d 31 Desember, sedangkan APBD mulai 1 April s.d. 31 Maret. f. Pemekaran wilayah baik provinsi, kabupaten/kota maupun desa yang terlalu mudah disamping berpeluang menciptakan disintegrasi bangsa, konflik vertical maupun horizontal di daerah, juga kadang tidak signifikan dengan efektifitas pelayanan publik, untuk itu sebaiknya dibuat agak ketat (Pasal 4 dan Pasal 5 diperbaiki)
x
DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang................................................................................................... B. Rumusan Masalah.............................................................................................. C. Tujuan Penelitian............................................................................................... D. Kontribusi Penelitian......................................................................................... E. Kerangka Teoritik.............................................................................................. F. Metode Penelitian...............................................................................................
1 1 7 8 8 8 23
BAB II BENTUK-BENTUK HUBUNGAN PEMERINTAHAN PUSAT DENGAN PEMERINTAH DAERAH MENURUT UNDANG-UNDANG PEMERINTAHAN DAERAH DI INDONESIA A. Hubungan di Bidang Kewenangan..................................................................... B. Hubungan di Bidang Susunan Organisasi.......................................................... C. Hubungan di Bidang Keuangan......................................................................... D. Hubungan di Bidang Pengawasan.....................................................................
27 27 34 37 40
BAB III HUBUNGAN PEMERINTAH PUSAT DENGAN PEMERINTAH DAERAH MENURUT UU 32 TAHUN 2004 KAITANNYA DENGAN PRINSIP-PRINSIP NEGARA KESATUAN BERDASARKAN UUD NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 49 A. Prinsip Negara Kesatuan Dan Pemerintahan Daerah........................................ 49 B. Hubungan Pemerintah Pusat Dengan Pemerintahan Daerah Berdasarkan Undang-Undang No 32 tahun 2004............................................. 59 BAB IV KONSEP IDEAL HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH 1. Kekuatan dan Kelemahan Hubungan Pusat dan Daerah.................................... 2. Hubungan Kewenangan..................................................................................... 3. Hubungan Keuangan.......................................................................................... 4. Hubungan Pengawasan...................................................................................... 5. Hubungan Dalam Organisasi Pemerhan Daerah................................................
73 75 78 80 82 84
BAB V SIMPULAN
89
Daftar Pustaka
91
xi
KATA PENGANTAR
xii
xiii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejak penyusunan UUD 1945 para pembuat UUD nampaknya menyadari benar, bahwa demi efisiensi dan effektifitas serta demi mencapai hasil maksimal pengelolaan negara, maka daerah Negara Indonesia dibagi dalam daerah besar dan kecil. Pikiran itu tercermin dengan tegas dalam Pasal 18 UUD 1945 (sebelum di ubah) yang menyatakan: Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk dan susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyarwaratan dalam sistem pemerintahan Negara dan hak-hak asal usul daerah-daerah yang bersifat istimewa. Kemudian demi menghilangkan keragua-raguan serta demi mencapai kesatuan tafsir, maka rumusan Pasal 18 UUD 1945 tersebut di atas diperjelas dan dipertegas lagi dalam Penjelaasan UUD1945 yang menyatakan sebagai berikut: oleh karena negara Indonesia itu suatu eenheidsstaat, maka Indonesia tak akan mempunyai daerah di dalam lingkungannya yang bersifat Staat juga. Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah propinsi, dan daerah propinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil. Daerah-daerah itu bersifat otonom (streek dan locale rechtsgemeenschappen) atau bersifat daerah administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan undang-undang. Di daerah-daerah yang bersifat otonom akan diadakan badan perwakilan daerah oleh karena itu di daerah pun pemerintahan akan bersendi atas dasar permusyawaratan.
1
Jadi jelaslah bahwa sejak awal telah digariskan dengan tegas bagaimana
pengaturan
satu
pemerintahan
daerah,
saling
berhubungan, serta posisi hubungan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tentang sistem pemerintahan daerah dan hubungan antara pusat dan daerah dalam suatu Negara kesatuan dijelaskan oleh Van der Pot sebagai berikut: 1) Setiap negara kesatuan (unitary state, eenheidsstaat) dapat disusun dan diselenggarakan menurut asas sistem sentralisasi atau desentralisasi. Suatu pemerintahan dapat sepenuhnya dijalankan oleh dan dari pusat pemerintah (single centralized government) atau pusat bersama-sama organnya yang dipencarkan ke daerah-daerah. Sentralisasi yang disertai pemencaran organ-organ yang menjalankan sebagian wewenang pemerintahan pusat di daerah dikenal sebagai dekonsentrasi (Centralisatie met deconcentracie). Desentralisasi akan didapati apabila wewenang mengatur dan mengurus penyelenggaraan pemerintahan tidak semata-mata dilakukan oleh pemerintah pusat (central government), melainkan oleh satuan-satuan pemerintahan di tingkat lebih rendah yang mandiri (zelfstanding), bersifat otonom (territorial atau fungsional). Jika ditelusuri perkembangan dan pertumbuhan otonomi dan proses desentralisasi dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pemerintahan daerah di Indonesia sejak UU Nomor 1 Tahun 1945 hingga Undang-undang Nomor 32 dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah
Pusat
dan
Daerah,
khususnya
tentang
hubungan
pemerintah dan daerah, maka dapat diketahui bahwa perkembangan dan pertumbuhan otonomi daerah di Indonesia sejak 1945 – 2004 ternyata tidak memiliki wajah yang jelas, berlangsung kurang 1)
Van der Pot, Handboek van Nederlandsche Staatsrecht, sebagaimana dikutip dalam Bagir Manan, “Menyongsong Fajar Otonomi Daerah”, Yogyakarta, 2001, hlm.<.
2
harmonis, dan belum berkesinambungan. Adanya tumpang tindih antar tingkatan pemerintah dalam urusan pemerintahan karena belum sinkronnya UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004 dan undang-undang sektoral. Terjadi tarik menarik urusan, terutama urusan yang mempunyai potensi pendapatan (revenue), adanya gejala keengganan dari Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen untuk mendesentralisasikan urusan secara penuh karena kenyataan belum
mampunya
daerah
dalam
menyelenggarakan
urusan
pemerintahan. Salah satu aspek mendasar dalam otonomi daerah adalah hubungan pusat dan daerah, hubungan pusat dan daerah memiliki berapa
elemen
penting
yang
meliputi
hubungan
wewenang,
keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya. Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan menimbulkan
sumber
daya
hubungan
alam,
dan
administrasi
sumber dan
daya
lainnya
kewilayahan
antar
susunan pemerintahan dan berkaitan dengan bidang otonom, tugas pembantuan, susunan organisasi, keuangan dan pengawasan. Pembagian
urusan
pemerintahan
terdiri
atas
urusan
pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah dan urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar tingkatan dan/atau susunan
pemerintahan.
Urusan
pemerintahan
yang
menjadi
kewenangan Pemerintah meliputi politik luar negeri, pertahanan keamanan, yustisi, moneter dan fiscal nasional, serta agama. Urusan pemerintahan
yang
dibagi
bersama
antar
tingkatan
dan/atau
3
susunan pemerintahan adalah semua urusan pemerintahan di luar 6 (enam) urusan yang hanya menjadi urusan Pemerintah Pusat. Urusan pemerintahan yang dibagi antar tingkatan dan/atau susunan
pemerintahan
kesehatan,
pekerjaan
perencanaan pertanahan,
meliputi umum,
pembangunan, kependudukan
urusan
dibidang:
perumahan,
perhubungan, dan
catatan
pendidikan,
penataan
ruang,
lingkungan
hidup,
sipil,
pemberdayaan
perempuan dan perlindungan anak, keluarga berencana dan keluarga sejahtera, sosial, ketenagakerjaan dan ketransimigrasian, koperasi dan usaha kecil dan menengah, penanaman modal, kebudayaan dan pariwisata, kepemudaan dan olah raga, politik
dalam
negeri,
otonomi
kesatuan
daerah,
bangsa
pemerrintahan
dan umum,
administrasi keuangan daerah, perangkat daerrah, kepegawaian, dan paersandian,
pemberdayaan
masyarakat
dan
desa,
statistik,
kearsipan, perpustakaan, komunikasi dan informaatika, pertanian dan ketahanan pangan terdiri dari: kehutanan, energi dan sumber daya
mineral,
kelautan
dan
perikanan,
perdagangan
dan
perindustrian. Adapun urusan Pemerintah Daerah dibagi menjadi urusan yang sangat mendasar yang berkaitan dengan hak dan pelayanan warga negara (urusan wajib), meliputi: urusan di bidang pendidikan, kesehatan, lingkungan hidup, pekerjaan umum, penataan ruang, perencanaan pembangunan, perumahan, kepemudaan dan olah raga, penanaman modal, koperasi dan usaha kecil dan menengah, kependudukan
dan
catatan
sipil,
ketenagakerjaan,
ketahanan
4
pangan, pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, keluarga berencana dan keluarga sejahtera, perhubungan, komunikasi dan informatika, pertanahan, kesatuan bangsa dan politik dalam negeri, otonomi
daerah
(pemerintahan
daerah,
perangkat
daerah,
umum,
administrasi
kepegawaian,
dan
keuangan persandian,
pemberdayaan masyarakat dan desa), sosial, kebudayaan, statistik, kearsipan dan kepustakaan. Dan urusan yang secara nyata ada di daerah dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan dan potensi unggulan daerah
(urusan pilihan), meliputi;
kelautan dan perikanan, pertanian, kehutanan, energi dan sumber daya
mineral,
paraiwisata,
industri,
perdagangan
dan
ketransimigrasian yang ditetapkan sendiri oleh pemerintah daerah. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memiliki wewenang untuk
menyelenggarakan
urusan-urusan
pemerintahan,
karena
wilayah kekuasaan Pemerintah Pusat meliputi Pemerintah Daerah, maka dalam hal ini yang menjadi obyek yang diurusi adalah sama, namun kewenangannya yang berbeda. Pembagian kewenangan ini secara umum diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah namun secara khusus juga diatur dalam berbagai undang-undang
sektoral yang pada kenyataannya masing-masing
tidak sama dalam pembagian kewenangannya.
5
Hal
ini
seringkali
menimbulkan
persoalan
karena
kekurangtepatan dalam pembagian kewenangan antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah akibatnya terjadi tarik menarik dan tumpang tindih, misalnya urusan pertanahan, Pasal 13 ayat (1) huruf k dan Pasal 14 ayat (1) huruf k UU No. 32 Tahun 2004 dan Pasal 7 ayat (2) PP. No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Propinsi, dan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota,
sebagai
urusan
wajib
mengkatagorikan
bagi
pemerintah
urusan daerah
pertanahan
propinsi
dan
kabupaten/kota, namun urusan pertanahan daerah tetap menjadi kewenangan Badan Pertanahan Nasional (BPN) di bawah pemerintah pusat. Ketegangan-ketegangan antara pemerintah pusat dan daerah juga
terjadi
karena
dalam
banyak
hal
Pemerintah
Pusat
memposisikan daerah selalu pada level yang rendah, belum mandiri dan masih membutuhkan petunjuk dari pusat hal ini nyata baik menyangkut aspek basis kekuasaan, fungsi, citra diri, organisasi, pendekatan
maupun
pola
rekruitmen.
Di
sisi
lain
realita
membuktikan bahwa berbagai kewenangan yang diberikan kepada daerah tidak serta merta bisa dilaksanakan dengan baik. Perbedaan alamiah antara pusat dan daerah, kondisi geografi maupun demografi daerah-daerah di Indonesia yang sangat beragam meminta perhatian yang berbeda antara daerah yang satu dengan yang lainnya sehingga apabila kurang baiknya perencanaan dan tidak adanya
koordinasi
dalam
pelakasanaan
dapat
menimbulkan
6
hubungan yang kurang harmonis antara satuan-satuan pemerintah yang ada seperti Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah
Daerah
Kabupaten/Kota,
seperti
misalnya
masalah
konflik kewenangan bidang kehutanan yang banyak terjadi di daerah, masalah ijin penambangan, masalah tuntutan cukai tembakau dari pemerintah
provinsi
Nusa
Tenggara
Barat
dan
lain-lain
permasalahan yang perlu segera di atasi. Ketidakharmonisan hubungan Pemerintah dan Daerah menjadi salah satu aspek yang makin menjauhkan harapan percepatan terwujudnya
kesejahteraan
masyarakat
yang
ingin
diwujudkan
dengan UU No. 32 Tahun 2004.
B. Rumusan Masalah Permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimanakah
bentuk
hubungan
pemerintah
pusat
dengan
pemerintah daerah menurut undang-undang pemerintahan daerah di Indonesia. 2. Apakah hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sesuai dengan prinsip-prinsip Negara Kesatuan
berdasarkan UUD Negara RI
1945. 3. Bagaimana konsep hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah yang ideal.
7
C.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk: 1. mengetahui konstruksi pola hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah di Indonesia 2. mengetahui
kesesuaian
hubungan
pemerintah
pusat
dan
pemerintah daerah dalam UU N0. 32 Tahun 2004 dengan prinsip Negara Kesatuan berdasarkan UUD Negara RI 1945. 3. Mengetahui konsep hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah yang ideal.
D.
Kontribusi Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan dalam hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
dan
dapat
memberikan
konstruksi
pola
hubungan
pemerintah dan daerah yang ideal untuk dapat mempertahankan tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
E. Kerangka Teoritik
1. Prinsip-prinsip yang terkandung di dalam Pasal 18 UUD 1945 Apabila dikaji secara mendalam ketentuan Pasal 18 UUD 1945, maka
akan
dijumpai
beberapa
prinsip
penyelenggaraan
pemerintahan daerah, antara lain sebagai berikut:
8
a. Prinsip daerah mengatur dan mengurus urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan (Pasal 18 ayat (2)); b. Prinsip menjalankan otonomi seluas-luasnya (Pasal 18 ayat (5)); c. Prinsip kekhususan dan keragaman daerah (Pasal 18 ayat (1)); d. Prinsip mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya (Pasal 18 B ayat (2)) e. Prinsip mengakui dan menghormati pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan istimewa (Pasal 18 B ayat (1)) f. Prinsip badan perwakilan dipilih langsung dalam suatu pemilu (Pasal 18 ayat (3)); g. Pinsip hubungan pusat dan daerah harus dilaksanakan secara selaras dan adil (Pasal 18 A ayat (2)); h. Pinsip hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah (Pasal 18 A ayat (1)); i. Prinsip hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang (Pasal 18 A ayat (2)); j. Prinsip pengakuan dan penghormatan Negara terhadap satuan satuan
pemerintahan
daerah
yang
bersifat
khusus
atau
istimewa (Pasal 18 B ayat (1)).
9
k. Prinsip
pengakuan
dan
penghormatan
Negara
terhadap
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masayarakat dan prinsip Negara Kesatauan Republik Indonesia (Pasal 18 B ayat (2)).
2. Asas desentralisasi dan otonomi Dalam sistem Negara kesatuan, kekuasaan pemerintahan ada pada pemerintah pusat, sementara otonomi pemerintah daerah hanya meliputi urusan-urusan yang diberikan oleh pemerintah
pusat.
Konsep
tersebut
membuat
masalah
desentralisasi menjadi amat berpengaruh atas otonomi daerah yang diberlakukan. Tidak pemerintahan
semua dilakukan
peraturan dari
pusat
dan
penyelenggaraan
(central).
Pelaksanaan
pemerintahan dilakukan baik oleh pusat maupun berbagai badan otonom. Badan-badan otonom ini dibedakan antara desentralisasi berdasarkan territorial (territoriale decentralicatie) dan desentralisasi fungsional (funcioneele decentralicatie). Bentuk desentralisasi ini menurut Van Der Vot dapat dibedakan antara otonomi dan tugas pembantuan. Lebih jauh Van der Pot menjelaskan, bahwa desentralisasi territorial menjelma dalam bentuk badan yang didasarkan pada wilayah (gebiedscorporaties),
10
sedangkan desentralisasi fungsional menjelma dalam bentuk badan yang didasarkan pada tujuan tertentu (doelcorporaties) 2) Desentralisasi territorial berbentuk otonomi dan tugas pembantuan. Otonomi mengandung arti kemandirian untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri, sedangkan tugas pembantuan adalah tugas untuk membantu, apabila diperlukan untuk melaksanakan peraturan lebih tinggi.3) Jadi kekuasaan Daerah bersifat derivatif (tidak langsung) karena
pemerintah
pusat-lah
yang
menentukan
bentuk
penyelenggaraan pemerintahan kepada daerah, dan tetap dalam pengendalian serta pengawasan Pemerintah Pusat Kekuasaan tidak langsung ini sering dalam bentuk otonomi yang luas dan tidak dikenal adanya badan legislatif pusat dan daerah yang sederajat. Menurut C.F. Strong, bentuk Negara dimana wewenang legislatif tertinggi dipusatkan dalam suatu badan legislatif Nasional/Pusat. Kekuasaan terletak pada Pemerintahan Pusat dan tidak pada Pemerintahan Daerah. Pemerintahan pusat mempunyai
wewenang
untuk
menyerahkan
sebagian
kekuasaannya kepada daerah berdasarkan hal otonomi daerah (Negara Kesatuan dengan sistem desentralisasi), tetapi pada tahap akhir kekuasaan tertinggi tetap pada Pemerintah Pusat.
2)
Vander Vot, sebagaimana dikutip Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, PSH UII Yogyakarta, 2004. Hlm. 10. 3)
Ibrahim R, “Kapita Selekta Hukum Tata Negara”, Bahan Kuliah Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Mataram Nusa Tenggara Barat, Hlm. 3.
11
Merujuk pada pendapat C.F Strong, maka dalam konsep Negara Kesatuan mengakui keberadaan dari Pemerintah Daerah yang sifatnya bukan mendirikan Negara dalam Negara, tetapi keduanya dihubungkan dengan desentralisasi.4) Amrah Muslimin5) memberikan pengertian desentralisasi, yaitu pelimpahan kewenangan pada badan-badan dan golongangolongan dalam masyarakat dalam daerah tertentu mengurus rumah tangganya sendiri. Lebih lanjut beliau menyatakan beberapa macam sistem desentralisasi yaitu: 1) Desentralisasi politik adalah pelimpahan kewenangan dari Pemerintah Pusat, yang menimbulkan hak mengurus kepentingan rumah tangga sendiri bagi badan-badan politik di daerah-daerah, yang dipilih oleh rakyat dalam daerah-daearah tertentu. 2) Desentralisasi fungsional adalah pemberian hak dan kewenangan pada golongan-golongan mengurus suatu macam atau golongan kepentingan dalam masyarakat baik terikat ataupun tidak pada suatu daerah tertentu. Umpama mengurus kepentingan Irigasi bagi golongan tani dalam suatu atau beberapa daerah tertentu (waterschap :subak di Bali). 3) Desentralisasi kebudayaan (culture decentralisatie) memberikan hak pada golongangolongan kecil dalam masyarakat (minoritas) menyelenggaraakan kebudayaannya sendiri (mengatur pendidikan, agama, dll). Irawan Sujito,6) membagi bentuk desentralisasi ke dalam tiga
macam,
yaitu
desentralisasi
terirotial,
desentralisasi
fungsional termasuk desentralisasi menurut dinas/kepentingan 4)
C.F Strong, sebagaimana dikutip pada Syahda Guruh Langkah Samudra, Menimbang Otonomi dan Federral, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2000. Hlm. 69. 5)
Amrah Muslimin, Aspek-aspek Hukum Otonomi Daerah, Alumni, Bandung, 1982. Hlm. 5
6)
Irawan Soejito, Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Rineka Cipta, Jakarta, 1990, hlm. . 29.
12
dan
desentralisasi
dekonsentrasi.
administratif
Dekonsentrasi
atau
adalah
lazim
disebut
pelimpahan
sebagian
kewenangan Pemerintah Pusat kepada alat perlengkapan atau organnya sendiri di daerah, sedangkan yang dimaksud dengan desentralisasi teritorial adalah desentralisasi kewenangan yang dilakukan
oleh
pemerintah
kepada
suatu
badan
umum
(openbaar lichaam) seperti persekutuan yang berpemerintahan sendiri. Desentralisasi fungsional yaitu pemberian kewenangan dari
fungsi
pemerintahan
negara
atau
daerah
untuk
diselenggarakan/dijalankan oleh suatu organ atau badan ahli yang khusus dibentuk untuk itu. Kelebihan yang diperoleh dari desentralisasi menurut Josef Riwu Kaho
7)
antara lain:
1. Mengurangi
bertumpuknya
pekerjaan
di
pusat
pemerintahan. 2. Dalam menghadapi masalah yang amat mendesak yang membutuhkan tindakan yang cepat, daerah tidak perlu menunggu instruksi lagi dari Pemerintah Pusat. 3. Dapat mengurangi birokrasi dalam arti yang buruk karena setiap keputusan dapat segera dilaksanakan. 4. Dalam sistem desentralisasi, dapat diadakan pembedaan (diffrensiasi) dan pengkhususan (spesialisasi) yang berguna bagi
kepentingan
tertentu.
Khususnya
desentralisasi
7) )
Kaho, Josef Riwu, Prospek Otonomi Daerah di Negar Republik Indonesia, Rajawali PersPT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997. Hlm. 13-14
13
teritorial, dapat lebih mudah menyesuaikan diri kepada kebutuhan/keperluan dan keadaan khusus daerah. 5. Dengan adanya desentralisasi teritorial, daerah otonom dapat merupakan semacam laboratorium dalam hal-hal yang
berhubungan
dengan
pemerintahan,
yang
dapat
bermanfaat bagi seluruh negara. Hal-hal yang ternyata baik, dapat diterapkan di seluruh wilayah negara, sedangkan yang kurang baik, dapat dibatasi pada suatu daerah tertentu saja dan oleh karena itu dapat lebih mudah ditiadakan. 6. Mengurangi
kemungkinan
kesewenang-wenangan
dari
Pemerintah Pusat. 7. Dari segi psikologis, desentralisasi dapat lebih memberikan kepuasan bagi daerah-daerah karena sifatnya yang lebih langsung. Sedangkan kelemahan desentralisasi, menurutnya yaitu: 8) 1. Karena besarnya organ-organ pemerintahan, maka struktur pemerintahan
bertambah
kompleks
yang
mempersulit
koordinasi; 2. Keseimbangan dan keserasian antara bermacam-macam kepentingan dan daerah dapat lebih mudah terganggu; 3. Khususnya
mengenai
desentralisasi
teritorial,
dapat
mendorong timbulnya apa yang disebut daerahisme atau provinsialisme;
8)
Josep Riwu Kaho, Prospek Otonomi Daerah di Negara RI, Rajawali Pers; Jakarta; 1988,
hlm.
14
4. Keputusan yang diambil memerlukan waktu yang lama, karena memerlukan perundingan yang bertele-tele; 5. Dalam penyelenggaraan desentralisasi, diperlukan biaya yang
lebih
banyak
dan
sulit
memperoleh
keseragaman/uniformitas dan kesederhanaan. Melalui
prinsip
desentralisasi,
maka
daerah
diberi
keleluasaan dalam menata mekanisme pengelolaan kebijakan dengan kewenangan yang lebih besar kepada daerah. Atas dasar itu maka dalam sistem pemerintahan di Indonesia tidak memakai
sistem
disentralisasikan
sentralisasi, maka
karena
pemerintahan
urusan-urusan
yang
yang
sifatnya
kedaerahan (local) pun harus ditangani juga secara sentral yang sifat pemerintahannya otokrasi yaitu menurut kehendak pemerintahan sendiri. Dalam ketentuan Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ditegaskan, bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenang oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Desentraliasi merupakan pengotonomian, yakni proses memberikan
otonomi
kepada
masyarakat
dalam
wilayah
tertentu. Kaitan desentralisasi dan tonomi daerah seperti itu terlukis dalam pernyataan Gerald S Maryanov. Menurut pakar
15
ini, desentralisasi dan otonomi daerah merupakan dua sisi dari satu mata uang.9) Istilah otonomi mempunyai makna kebebasan atau kemandirian
(Zelfstandigheid)
tetapi
bukan
kemerdekaan
(onafhankelijkheid). Kebebasan yang terbatas atau kemandirian itu
adalah
wujud
pemberian
kesempatan
yang
harus
dipertanggungjawabkan. Dalam pemberian tanggung jawab terkandung dua unsur, yaitu: 1. Pemberian tugas dalam arti sejumlah pekerjaan yang harus diselesaikan serta kewenangan untuk melaksanakannya; 2. Pemberian memikirkan
kepercayaan dan
berupa
menetapkan
kewenangan sendiri
untuk
bagaimana
menyelesaikan tugas itu.10) 3. Asas Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah 4 (empat) Asas Pokok Sebagai Patokan Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut Desentralisasi Berdasarkan UUD 1945.11) 1. Bentuk hubungan antar pusat dan daerah, tidak boleh mengurangi hak-hak rakyat daerah untuk terut serta (secara bebas) dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah, sesuai dengan dasar kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan atau dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara yang harus terselenggara sampai tingkat pemerintahan daerah.
9)
Bhenyamin Hoessein, Berbagai Faktor yang Mempengaruhi Besarnya Otonomi Daerah Tingkat II: Suatu Kajian Desentralisasi dan otonomi Daerah Dari Segi Ilmu Administrasi Negara, Disertasi, PPS Fisipol UI. 1993. Hlm. 17 10)
Ateng Syafrudin, Pasang Surut Otonomi Daerah, Bina Cipta Bandung, 1985. Hlm. 18
11)
Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat Dan Daerah Berdasarkan Asas Desentralisasi Menurut UUD 1945, Disertasi, Hal. 249.
16
2. Bentuk hubungan antara pusat dan daerah, tidak boleh mengurangi hak-hak (rakyat) daerah untuk berinisiatif atau berprakarsa mengatur dan mengurus urusan-urusan yang dianggap penting bagi daerah 3. Bentuk hubungan antara pusat dan daerah dapat berbedabeda antara daerah yang satu dengan yang lain sesuai dengan keadaan khusus masing-masing daerah. 4. Bentuk hubungan antara pusat dan daerah adalah dalam rangka mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial di daerah. 3. Ajaran rumah tangga Sistem Rumah Tangga Daerah Sistem rumah tangga daerah adalah tatanan yang bersangkutan dengan cara-cara membagi wewenang, tugas dan tanggung jawab mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan
antara
pusat
dan
daerah.
Salah
satu
penjelmaan pembagian tersebut adalah bahwa daerah-daerah akan memiliki sejumlah urusan pemerintahan baik atas dasar penyerahan atau pengakuan maupun yang dibiarkan sebagai urusan rumah tangga daerah.12) Bila otonomi diartikan sebagai segala tugas yang ada pada daerah atau dengan kata lain apa yang harus dikerjakan oleh pemerintah daerah, di dalamnya melekat kewenangan yang meliputi kekuasaan (macht; bevoegdheiden), hak (recht) atau kewajiban (plight) yanga diberikan kepada daerah dalam menjalankan tugasnya. Masalahnya
12)
Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum (PSH) Fakultas Hukum UII. Yogyakarta, 2001. Hlm. 26.
17
kewenangan
mana
yang
diatur
oleh
pemerintah
pusat
dan
kewenangan mana yang diatur pemerintah daerah.13) Hingga saat ini belum terdapat rumusan pengertian urusan pemerintahan yang tepat dan permanen, urusan pemerintahan berkenaan dalam konteks pembagian tugas antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Secara konseptual, istilah kewenangan dapat diartikan sebagai hak dan atau kewajiban untuk menjalankan satu atau beberapa fungsi manajemen (pengaturan, perencanaan, pengorganisasian, pengurusan, dan pengawasan) atas suatu obyek tertentu yang ditangani oleh pemerintahan.14) Ferrazi15)) memberikan pandangan bahwa pengertian urusan dan kewenangan belum terstandardisasi secara internasional. Namun dia mencoba memberi batasan, yaitu urusan cenderung diartikan sebagai bidang pemerintahan atau sekter atau bagian lebih kecil dari bidang atau sector, sedangkan kewenangan adalah suatu pendekatan yang menambah kerincian dan ketepataan terhadap urusan itu sendiri. Kewenangan merupakan hak untuk menjalankan satu atau lebih fungsi manajemen, yang meliputi pengaturan (regulasi dan standardisasi),
pengurusan
(administrasi)
dan
pengawasan
(supervise) atau suatu urusan tertentu.
13)
Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah Pasang Surut Hubungan Kewenangan Antara DPRD dengan Kepala Daerah, Alumni, Bandung, 2004. Hlm. 131 14)
Agus Salim Andi Gadjong, Pemerintahan Daerah Kajian Politik Dan Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, 2007. Hlm. 93. 15) ) Sodjuangon Situmorang, Model Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Provinsi, dan Kabupaten/ Kota. Disertasi, PPS Fisip UI, Jakarta. 2002. Hlm. 36.
18
Rod Haque & Martin Harrop menjelaskan, bahwa dalam suatu negara
kesatuan,
kewenangan
yang
menjadi
tanggungjawab
pemerintah pusat adalah (1) kontrol atas pembuatan peraturan (legislation),
termasuk
dalam
menghapus
atau
mengubah
kewenangan pemerintah daerah; (2) menyediakan sebagian besar kebutuhan pengeluaran pemerintah daerah; (3) membuat standar administrasi penyediaan pelayanan; dan (4) menangani urusanurusan yang bersifat nasional. Sedangkan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah adalah (1) kontrol atas implementasi kebijakan; (2) penyediaan pelayanan masyarakat; (3) pengelolaan sumbersumber penerimaan tertentu; serta (4) kewenangan untuk memilih dan mengangkat perangkat pemerintah daerah. 16) Disisi lain, menurut Wolman, kriteria yang dapat digunakan sebagai dasar pembagian urusan, yaitu: (1) aspek efisiensi (efficiency value), meliputi ada tidakknya manfaat dari skala ekonomi (economic scale), ada tidaknya eksternalitas, baik positif maupun negatif, disparitas ekonomi dan kapasitas administrasi, variasi preferensi masyarakat terhadap public goods, serta pemeliharaan stabilitas ekonomi makro dan (2) aspek pengelolaan pemerintahan (governance value), meliputi kepekaan dan akuntabilitas, kemajemukan sosial budaya dan partisipasi politik. 17)
16)
Rod Haque & Martin Harrop dalam Sodjuangon Situmorang, Model Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Provinsi, dan Kabupaten/ Kota. Disertasi, PPS Fisip UI, Jakarta. 2002. Hlm. 95. 17)
Wolman dalam Sodjuangon Situmorang, Model Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Provinsi, dan Kabupaten/ Kota. Disertasi, PPS Fisip UI, Jakarta. 2002. Hlm. 95.
19
Secara teoritik dan praktik dijumpai 5 (lima) jenis sistem otonomi atau sistem rumah tangga daerah yaitu: 14) 1. 2. 3. 4. 5.
Otonomi organik (rumah tangga organik); Otonomi formal (rumah tangga formal) Otonomi Material (rumah tangga materiil/substantif) otonomi Riil (rumah tangga riil) Otonomi nyata, bertanggung jawab dan dinamis.
5. Pelimpahan dan penyerahan kewenangan a. Teori Pelimpahan Kewenangan dengan Atribusi Pada atribusi (pembagian kekuasaan hukum) diciptakan suatu
wewenang.
Cara
yanag
biasa
dilakukan
untuk
melengkapi organ pemerintahan dengan penguasa pemerintah dan wewenang-wewenangnya adalah melalui atribusi. Dalam hal ini pembentuk undang-undang menentukan penguasa paemaerintah yang baru dan memberikan kepadanya suatu organ pemerintahan berikut wewenangnya, baik kepada organ yang sudah ada maupun yang dibentuk pada kesempatan itu. Untuk atribusi, hanya dapat dilakukan oleh pembentuk undang-undang orsinil (pembentuk UUD, parlemen pembuat undang-undang dalam arti formal, mahkota, serta organ-organ dari organisasi pengadilan umum), Sedangkan pembentuk undang-undang yang diwakilkan (mahkota, menteri-menteri, organ-organ pemerintahan yang berwenang untuk itu dan ada hubungannya dengan kekuasaan pemerintahan) dilakukan secara bersama. 14)
Sarundajang, Arus Balik Kekuasaan Ke Daerah, Pustaka Sinaar Harapan, Jakarta, 1999.
Hlm. 38.
20
Atribusi
kewenangan
terjadi
apabila
pendelegasian
kekuasaan itu didasarkan pada amanat suatu konstitusi dan dituangkan dalam sautu peraturan pemerintah tetapi tidak didahului oleh suatu Pasal dalam undang-undang untuk diatur lebih lanjut.
b. Teori Pelimpahan Kewenangan dengan Delegatie Kata
delegasi (delegatie) mengandung arti penyerahan
wewenang dari pejabat yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah. Penyerahan yang demikian dianggap tidak dapat dibenarkan selain dengan atau berdasarkan
kekuasaan
hukum. Dengan delegasi, ada penyerahan wewenang dari badan atau pejabat pemerintahan yang satu kepada badan atau pejabat pemerintahan lainnya. Delegasi selalu dituntut adanya dasar hukum karena bila pemberi delegasi ingin menarik kembali wewenang yang telah didelegasikannya, maka harus dengan peraturan perundangundangan yang sama. Wewenang yang diperoleh dari delegasi itu dapat pula di-subdelegasikan kepada subdelegatoris. Untuk subdelegatoris ini berlaku sama dengan ketentuan delegasi. Wewenang yang diperoleh dari atribusi dan delegasi dapat dimandatkan kepada orang atau pegawai-pegawai bawahan bilamana organ atau pejabat yang secara resmi memperoleh wewenang itu tidak mampu melaksanakan sendiri wewenang tersebut.
21
Menurut pengertian
Heinrich
hukum
public
Triepel,
pendelegasian
dimaksudkan
tindakan
dalam hokum
pemanku sesuatu wewenang kenegaraan. Jadi, pendelegasian ini
merupakan
pergeseran
kompetesi,
pelepasan
dan
penerimaam sesuatu wewenang, yang keduanya berdasarkan atas kehendak pihak yang menyerahkan wewenang itu. Pihak yang mendelegasikan harus mempunyai suatu wewenang, yang sekarang
tidak
digunakanya.
Sedangkan
yang
menerima
mendelegasian juga biasanya mempunyai suatu wewenang, sekarang akan memperluas apa yang telah diserahkan.15)
c. Teori Pelimpahan Kewenangan dengan Mandat Kata Mandat (mandat) mengandung pengertian perintah (opdracht) yang di dalam pergaulan hukum, baik pemberian kuasa (lastgeving) maupun kuasa penuh (volmacht). Mandat mengenai kewenangan penguasaan diartikan dengan pemberian kuasa
(biasanya
bersamaan
dengan
perintah)
oleh
alat
perlengkapan pemerintah yang memberi wewenang ini kepada yang lain, yang akan melaksanakannya atas nama tanggung jawab pemerintah yang pertama tersebut. Pada mandat tidak ada pencitaan ataupun penyerahan wewenang. Ciri pokok mandat adalah suatu bentuk perwakilan, mandataris berbuat atas nama yang diwakili. Hanya saja 15)
Heinrich Triepel, dalam Sodjuangon Situmorang, Model Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Provinsi, dan Kabupaten/ Kota. Disertasi, PPS Fisip UI, Jakarta. 2002. Hlm. 104.
22
mandat, mandans tetap berwenang untuk menangani sendiri wewenangnya bila ia menginginkannya. Pemberi mandat juga bisa
memberi
dianggap
segala
perlu.
sepenuhnya
atas
petunjuk
Pemberi
kepada
mandat
keputusan
yang
mandataris
bertanggung diambil
yang jawab
berdasarkan
mandate. Sehingga, secara yuridis-formal bahwa mandataris pada dasarnya bukan orang lain dari pemberi mandat. Selain kepada pegawai bawahan,
mandat dapat pula diberikan
kepada organ atau pegawai bawahan sesuai ketentuan hukum yang mengaturnya, mandat dapat dianggap sah menurut hukum jika memenuhi tiga syarat: (1) de mandataris aanvardt het mandaat; (2) de gemandateerde bevoegdheid ligt in de sfeer van de normale bevoegdheden van demantaris, en; serta (3) de bentrokken wettelijke regeling verzet niet tegen (deze vorm van) mandatering.
F. Metode Penelitian 1. Tipe Penelitian Sesuai dengan isu hukum yang hendak dikaji dalam penelitian ini, maka penelitian ini bersifat “Normatif”, yakni suatu penelitian yang terutama mengkaji ketentuan-ketentuan hukum positif maupun asas-asas hukum umum.
2. Pendekatan masalah
23
Untuk memperoleh kebenaran ilmiah yang diharapkan maka dalam penelitian ini digunakan pendekatan: statue approach atau melalui pendekatan peraturan perundang-undangan yang ada kaitannya dengan hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, pendekatan konsep (Conceptual aproach) dan comparative approach yaitu dengan membandingkan pengaturan pemerintah daerah yang pernah dan sedang berlaku di Indonesia.
3. Sumber bahan hukum Bahan
hukum
yang
digunakan
dalam
penelitian
ini
mencakup baik bahan hukum primer, sekunder maupun bahan hukum tersier
Bahan
hukum
primer,
yakni
bahan
yang
berisikan
pengetahuan ilmiah tentang fakta yang diketahui maupun suatu gagasan (idea) seperti peraturan perundang-undangan di bidang ketatanegaraan yang terkait dengan pokok masalah, antara lain: UUD 1945, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. LN Tahun 2004 Nomor 125 TLN No.4437, Undang-Undang Tentang Perimbangan
Keuangaan
Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah UU No. 33 Tahun 2004, LN Tahun 2004 No.126, TLN No.4438, Undangundang sektoral yang terkait
Bahan hukum sekunder adalah bahan pustaka yang berikan informasi yang
mendukung/memperkuat bahan hukum
primer berupa buku-buku, abstrak, bibliogragi, penerbitan pemerintah.
24
Bahan Hukum Tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti Kamus dan indeks.
4. Teknik pengumpulan bahan hukum Bahan penelitian
hukum
dalam
kepustakaan
penelitian (library
ini
diperoleh
research),
melalui
meneliti
dan
menginventarisir bahan-bahan hukum, dan diidentifikasi untuk selanjutnya digunakan sebagai bahan analisis terhadap pokok permasalahan dalam penelitian ini. Prosedur ini dimaksudkan untuk memperoleh bahan hukum penelitian dalam pengertian hukum positif yang diklasifikasikan menurut tingkatannya.
5. Pengolahan dan analisis bahan hukum Bahan hukum yang telah diinventarisir dan diidentifikasi kemudian
dianalisis
secara
sistimatis
dan
explorasi
yang
selanjutnya disajikan dalam bentuk deskriftif. •
Tahap deskriftif dilakukan untuk menentukan isi atau makna dari aturan-aturan hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan.
•
Tahap sistimasi dilakukan pemaparan terhadap hubungan hierarki antara aturan-aturan hokum yang berkaitan dengan isu hokum.
•
Tahap eksplorasi dilakukan analisis terrhadap makna yang terkandung
dalam
aturan-aturan
hokum
ssehingga
25
keseluruhannya
membentuk
satu
kesatuan
yang
saling
behubungan secara logis Sehingga diajukan
ditemukan
dalam
gambaran
penelitian
ini.
atas
yang
permasalahan pada
akhirnya
yang akan
memberikan pemahaman dalam bentuk pemaparan sebagai hasil akhir dari penelitian
26
BAB II BENTUK-BENTUK HUBUNGAN PEMERINTAH PUSAT DENGAN PEMERINTAH DAERAH MENURUT UNDANG-UNDANG PEMERINTAHAN DAERAH DI INDONESIA. Pada bab II ini akan dibahas issu hukum/permasalahan pertama dari apa yang hendak dikaji dalam penelitian ini, yakni menyangkut bagaimanakah bentuk-bentuk hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah menurut undang-undang pemerintahan daerah di Indonesia. Berdasarkan hasil penelusuran terhadap bahan-bahan hukum, baik bahan hukum primer maupun sekunder, ditemukan bahwa bentuk-bentuk hubungan antara pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam system pemerintahan RI meliputi: a. b. c. d.
Hubungan Hubungan Hubungan Hubungan
Kewenangan; Organisasi; keuangan; dan Pengawasan.
Keempat hubungan tersebut akan diuraikan satu persatu sebagai berikut: A. Hubungan di bidang kewenangan Salah satu cita-cita reformasi yang berlangsung sejak tahun 1998 mengubah sistem pemerintahan yang bersifat sentralistik menjadi desentralistik. Cita-cita tersebut kemudian dituangkan di dalam UU No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah. Agar sesuai dengan laju perkembangan kehidupan masyarakat, kemudian diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah. Menurut ketentuan undang-undang tersebut, Daerah diberi kewenangan untuk menyelenggarakan seluruh fungsi pemerintahan, kecuali kewenangan mengenai pemerintahan dalam bidang pertahanan keamanan, politik luar negeri, fiskal dan moneter, peradilan/yustisi, agama dan administrasi pemerintahan yang bersifat strategis (Pasal 10, UU Nomor 32 tahun 2004). Pelaksanaan pemerintahan di daerah dilaksanakan berdasarkan asas desentralisasi, asas dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Tujuan peletakan kewenangan dalam penyelenggaraan otonomi daerah adalah untuk mendorong upaya peningkatan kesejahteraan rakyat, pemerataan dan keadilan, demokratisasi dan penghormatan
27
terhadap budaya lokal serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Atas dasar itu, kepada daerah diberikan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab sehingga memberi peluang kepada Daerah agar leluasa mengatur dan melaksanakan kewenangannya atas prakarsa sendiri sesuai dengan kepentingan masyarakat setempat dan potensi setiap Daerah. Kewenangan ini pada dasarnya merupakan upaya untuk membatasi kewenangan Pemerintah dan kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom, karena Pemerintah dan Provinsi hanya diperkenankan menyelenggarakan kegiatan otonomi sebatas yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom, LN RI Tahun 2007 Nomor 89 dan TLN RI Nomor 4741. a. Kewenangan Pemerintah Kewenangan Pemerintah dapat dikelompokkan dalam berbagai bidang sebagai Urusan pemerintahan terdiri atas 1. urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah meliputi: politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama. Dalam menyelenggarakan urusan yang menjadi kewenangannya pemerintah dapat: a. menyelenggarakan sendiri; b. melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada kepala instansi vertikal atau kepada gubernur selaku wakil pemerintah di daerah dalam rangka dekonsentrasi; atau; c. menugaskan sebagian urusan pemerintahan tersebut kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa berdasarkan asas tugas pembantuan. 2. urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahanadalah semua urusan pemerintahan di luar urusan yang menjadi kewenangan pusat meliputi: a. pendidikan; b. kesehatan; c. pekerjaan umum; d. perumahan; e. penataan ruang; f. perencanaan pembangunan; g. perhubungan; h. lingkungan hidup; i. pertanahan; j. kependudukan dan catatan sipil; k. pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak; 1. keluarga berencana dan keluarga sejahtera; m. sosial; n. ketenagakerjaan dan ketransmigrasian; o. koperasi dan usaha kecil dan menengah; p. penanaman modal; q. kebudayaan dan pariwisata; r. kepemudaan dan olah raga; s. kesatuan bangsa dan politik dalam negeri; t. otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi keuangan daerah, perangkat daerah, kepegawaian, dan persandian; u. pemberdayaan masyarakat dan desa; v. statistik; w. kearsipan; x. perpustakaan; y. komunikasi dan informatika; z. pertanian dan ketahanan pangan; aa. kehutanan; bb. energi dan sumber daya mineral; cc. kelautan dan perikanan; dd. perdagangan; dan ee. perindustrian.
28
Dalam menyelenggarakan urusan yang menjadi kewenangannya pemerintah dapat: a. menyelenggarakan sendiri; b. melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada kepala instansi vertikal atau kepada gubernur selaku wakil pemerintah di daerah dalam rangka dekonsentrasi; atau c. menugaskan sebagian urusan pemerintahan tersebut kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa berdasarkan asas tugas pembantuan. Setiap bidang urusan pemerintahan terdiri dari sub bidang, dan setiap sub bidang terdiri dari sub sub bidang. Urusan pemerintahan yang penyelenggaraannya oleh Pemerintah ditugaskan penyelenggaraannya kepada pemerintahan daerah berdasarkan asas tugas pembantuan, secara bertahap dapat diserahkan untuk menjadi urusan pemerintahan daerah yang bersangkutan apabila pemerintahan daerah telah menunjukkan kemampuan untuk memenuhi norma, standar, prosedur, dan criteria yang dipersyaratkan. Penyerahan urusan pemerintahan disertai dengan perangkat daerah, pembiayaan, dan sarana atau prasarana yang diperlukan. Penyerahan urusan pemerintahan diprioritaskan bagi urusan pemerintahan yang berdampak lokal dan/atau lebih berhasilguna serta berdayaguna apabila penyelenggaraannya diserahkan kepada pemerintahan daerah yang bersangkutan. b. Kewenangan Daerah Urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah disertai dengan sumber pendanaan, pengalihan sarana dan prasarana, serta kepegawaian. Pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang berdasarkan kriteria pembagian urusan pemerintahan yang terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan. 1. Urusan wajib adalah urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota, berkaitan dengan pelayanan dasar, meliputi: a. pendidikan; b. kesehatan; c. lingkungan hidup; d. pekerjaan umum; e. penataan ruang; f. perencanaan pembangunan; g. perumahan; h. kepemudaan dan olahraga; i. penanaman modal; j. koperasi dan usaha kecil dan menengah; k. kependudukan dan catatan sipil; 1. ketenagakerjaan; m. ketahanan pangan ... m. ketahanan pangan; n. pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak; o. keluarga berencana dan keluarga sejahtera; p. perhubungan; q. komunikasi dan informatika; r. pertanahan; s. kesatuan bangsa dan politik dalam negeri; t. otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi keuangan daerah, perangkat daerah, kepegawaian,
29
dan persandian; u. pemberdayaan masyarakat dan desa; v. sosial; w. kebudayaan; x. statistik; y. kearsipan; dan z. perpustakaan. Penyelenggaraan urusan wajib berpedoman pada standar pelayanan minimal yang ditetapkan Pemerintah dan dilaksanakan secara bertahap. Pemerintahan daerah yang melalaikan penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib, penyelenggaraannya dilaksanakan oleh Pemerintah dengan pembiayaan bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja daerah yang bersangkutan. Sebelum penyelenggaraan urusan pemerintahan Pemerintah melakukan langkah-langkah pembinaan terlebih dahulu berupa teguran, instruksi, pemeriksaan, sampai dengan penugasan pejabat Pemerintah ke daerah yang bersangkutan untuk memimpin penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib tersebut. 2. Urusan pilihan adalah urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan, meliputi: a. kelautan dan perikanan; b. pertanian; c. kehutanan; d. energi dan sumber daya mineral; e. pariwisata; f. industri ... g. perdagangan; dan h. ketransmigrasian. Penentuan urusan pilihan ditetapkan oleh pemerintahan daerah. Menteri/kepala lembaga pemerintah non departemen menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria untuk pelaksanaan urusan wajib dan urusan pilihan. Di dalam menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria memperhatikan keserasian hubungan Pemerintah dengan pemerintahan daerah dan antar pemerintahan daerah sebagai satu kesatuan sistem dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Penetapan norma, standar, prosedur, dan criteria Melibatkan pemangku kepentingan terkait dan berkoordinasi dengan Menteri Dalam Negeri dan dilakukan selambatlambatnya dalam waktu 2 (dua) tahun. Dan apabila menteri/kepala lembaga pemerintah non departemen dalam kurun waktu 2 (dua) tahun sebelum menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria maka pemerintahan daerah dapat menyelenggarakan langsung urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan sampai dengan ditetapkannya norma, standar, prosedur, dan kriteria. Pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota dalam melaksanakan urusan pemerintahan wajib dan pilihan berpedoman kepada norma, standar, prosedur, dan kriteria yang telah ditentukan.
30
c. Urusan Pemerintahan Lintas Daerah Pelaksanaan urusan pemerintahan yang mengakibatkan dampak lintas daerah dikelola bersama oleh daerah terkait.. dan tata cara pengelolaan bersama urusan pemerintahan berpedoman pada peraturan perundang-undangan. Indikator untuk menentukan pelaksanaan kewenangan dalam pelayanan lintas Kabupaten/Kota yang merupakan tanggung jawab Provinsi adalah: a. Terjaminnya keseimbangan pembangunan di wilayah Provinsi. b. Terjangkaunya pelayanan pemerintahan bagi seluruh penduduk Provinsi secara merata. c. Tersedianya pelayanan pemerintahan yang lebih efisien jika dilaksanakan oleh Provinsi dibandingkan dengan jika dilaksanakan oleh Kabupaten/ Kota masing-masing. Jika penyediaan pelayanan pemerintahan pada lintas Kabupaten/Kota hanya menjangkau kurang dari 50 % jumlah penduduk Kabupaten/Kota yang berbatasan, kewenangan lintas Kabupaten/Kota tersebut dilaksanakan oleh Kabupaten/Kota masingmasing dan jika menjangkau lebih dari 50 %, kewenangan tersebut dilaksanakan oleh Provinsi. Selain parameter yang disebutkan di atas, rincian kewenangan pemerintah dan kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom juga dirumuskan atas dasar prinsip mekanisme pasar dan otonomi masyarakat. Indikator-indikator sebagaimana yang diberlakukan pada lintas kabupaten/Kota juga dianalogikan untuk menentukan pelaksanaan kewenangan dalam pelayanan lintas Provinsi yang merupakan tanggungjawab Pemerintah seperti pertambangan, kehutanan, perkebunan, dan perhubungan. d. Urusan Pemerintahan Sisa Urusan pemerintahan selain yang diungkapkan di atas menjadi kewenangan masing-masing tingkatan dan/atau susunan pemerintahan yang penentuannya menggunakan criteria pembagian urusan pemerintahan berdasarkan kritria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisisensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antaar tingkatan dan atau susunan pemerintahan.. Dalam hal pemerintahan daerah provinsi atau pemerintahan daerah kabupaten/kota akan menyelenggarakan urusan pemerintahan sisa terlebih dahulu mengusulkan kepada Pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri untuk mendapat penetapannya. Menteri/kepala lembaga pemerintah non departemen menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria untuk pelaksanaan urusan sisa dengan ketentuan yang sama dengan pelaksanaan urusan wajib dan
31
urusan pilihan. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah yang berdasarkan kriteria pembagian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, pemerintahan daerah provinsi dapat: a. menyelenggarakan sendiri; atau b. menugaskan sebagian urusan pemerintahan tersebut kepada pemerintahan daerah kabupaten/kota dan/atau pemerintahan desa berdasarkan asas tugas pembantuan. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi yang penyelenggaraannya ditugaskan kepada pemerintahan daerah kabupaten/kota berdasarkan asas tugas pembantuan, secara bertahap dapat diserahkan untuk menjadi urusan pemerintahan kabupaten/kota yang bersangkutan apabila pemerintahan daerah kabupaten/kota telah menunjukkan kemampuan untuk memenuhi norma, standar, prosedur, dan kriteria yang dipersyaratkan. Penyerahan urusan pemerintahan disertai dengan perangkat daerah, pembiayaan, dan sarana atau prasarana yang diperlukan. Penyerahan urusan pemerintahan diprioritaskan bagi urusan pemerintahan yang berdampak lokal dan/atau lebih berhasilguna serta berdayaguna apabila penyelenggaraannya diserahkan kepada pemerintahan daerah yang bersangkutan. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah yang berdasarkan kriteria pembagian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, pemerintahan daerah kabupaten/kota dapat: a. menyelenggarakan sendiri; atau b. menugaskan dan/atau menyerahkan sebagian urusan pemerintahan tersebut kepada pemerintahan desa berdasarkan asas tugas pembantuan. Dalam kaitan dengan hubungan kewenangan ini, Pemerintah berkewajiban melakukan pembinaan kepada pemerintahan daerah untuk mendukung kemampuan pemerintahan daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya. Apabila pemerintahan daerah ternyata belum juga mampu menyelenggarakan urusan pemerintahan setelah dilakukan pembinaan maka untuk sementara penyelenggaraannya dilaksanakan oleh Pemerintah. Pemerintah menyerahkan kembali penyelenggaraan urusan pemerintahan apabila pemerintahan daerah telah mampu menyelenggarakan urusan pemerintahan. Pembagian urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengaturan teknis untuk masing-masing sub bidang atau sub sub bidang urusan pemerintahan diatur dengan peraturan menteri/kepala lembaga pemerintahan non departemen yang membidangi urusan pemerintahan yang bersangkutan setelah berkoordinasi dengan Menteri Dalam Negeri. Khusus untuk urusan pemerintahan bidang penanaman modal, penetapan kebijakan dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan.
32
Kewenangan Pemerintah Daerah dilaksanakan secara luas, utuh, dan bulat yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian, dan evaluasi pada semua aspek pemerintahan. Urusan pemerintahan terdiri dari urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah dan urusan pemerintahan yang dikelola secara bersama antar tingkatan dan susunan pemerintahan atau konkuren. Setiap bidang urusan pemerintahan yang bersifat konkuren senantiasa terdapat bagian urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah, Pemerintahan daerah provinsi, dan pemerintahan daerah Kabupaten/Kota. Untuk mewujudkan pembagian rusan pemerintahan yang bersifat konkuren tersebut secara proporsional antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota maka ditetapkan kriteria pembagian urusan yang meliputi eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi. Penggunaan ketiga kriteria tersebut diterapkan secara kumulatif sebagai satu kesatuan dengan mempertimbangkan keserasian dan keadilan hubungan antar tingkatan dan susunan pemerintahan. Kriteria eksternalitas didasarkan atas pemikiran bahwa tingkat pemerintahan yang berwenang atas suatu urusan pemerintahan ditentukan oleh jangkauan dampak yang diakibatkan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut. Untuk mencegah terjadinya tumpang tindih pengakuan atau klaim atas dampak tersebut, maka ditentukan criteria akuntabilitas yaitu tingkat pemerintahan yang paling dekat dengan dampak yang timbul adalah yang paling berwenang untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan tersebut. Hal ini adalah sesuai dengan prinsip demokrasi yaitu mendorong akuntabilitas pemerintah kepada rakyat. Kriteria efisiensi didasarkan pada pemikiran bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan sedapat mungkin mencapai skala ekonomis. Hal ini dimaksudkan agar seluruh tingkat pemerintahan wajib mengedepankan pencapaian efisiensi dalam penyelenggaraan urusan peemerintahan yang menjadi kewenangannya yang sangat diperlukan dalam menghadapi persaingan di era global. Dengan penerapan ketiga kriteria tersebut, semangat demokrasi yang diterapkan melalui criteria eksternalitas dan akuntabilitas, serta semangat ekonomis yang diwujudkan melalui criteria efisiensi dapat disinergikan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masayarakat dan demokratisasi sebagai efisiensi dasar dari kebijakan desentralisasi. Untuk penguatan desentralisasi penyelenggaraan pemerintahan, maka kewenangan Pemerintah porsinya lebih besar pada penetapan kebijakan yang bersifat norma, standar, kriteria, dan prosedur, sedangkan kewenangan pelaksanaan hanya terbatas pada kewenangan yang bertujuan: 1. Mempertahankan dan memelihara identitas dan integritas bangsa dan negara.
33
2. Menjamin kualitas pelayanan umum yang setara bagi semua warga negara. 3. Menjamin efisiensi pelayanan umum karena jenis pelayanan umum tersebut berskala nasional. 4. Menjamin keselamatan fisik dan nonfisik secara setara bagi semua warga negara. 5. Menjamin pengadaan teknologi keras dan lunak yang langka, canggih, mahal, dan berisiko tinggi serta sumber daya manusia yang berki ialifikasi tinggi tetapi sangat diperlukan oleh bangsa dan negara, seperti tenaga nuklir, teknologi peluncuran satelit, teknologi penerbangan dan sejenisnya. 6. Menjamin supremasi hukum nasional. 7. Menciptakan stabilitas ekonomi dalam rangka peningkatan kemakmuran rakyat. Kewenangan pemerintahan yang berlaku di berbagai bidang diatur tersendiri guna menghindari pengulangan pada setiap bidang. B.Hubungan di bidang susunan organisasi Perkembangan pemerintahan Daerah saat ini sangat cepat seiring perkembangan masyarakat yang diikuti banyaknya tuntutan-tuntutan Daerah terkait otonomi yang seharusnya menjadi kewenangan dari Daerah. Perkembangan tersebut dapat dilihat dalam beberapa undangundang yang mengaturnya sejak awal kemerdekaan hingga masa reformasi sekarang ini. Dari periode awal terbentuknya undang-undang Pemerintahan Daerah sangat jelas adanya pengutamaan terhadap betapa pentingnya otonomi daerah mulai dari terbentuknya beberapa undang-undang terkait dengan pemerintahan daerah, seperti: 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Pemerintahan daerah; 2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang pemerintahan Daerah; 3. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1950 tentang Pemerintahaan Daerah-Daerah Indonesia Timur; 4. Undang-Undang Nomor I Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah; 5. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah; 6. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahn Di Daerah; 7. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah; 8. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dari sekian jumlah undang-undang yang pernah dan termasuk yang saat ini masih berlaku semuanya memberikan keleluasaan kepada
34
Daerah untuk dapat mengatur dan mengurus rumah tangga daerah sesuai dengan teraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga dalam pembentukan susunan organisasi perangkat daerah sepenuhnya menjadi kewenangan Daerah. Hanya saja pada tataran implementasinya terutama sebelum lahirnya Undang-Undang 22 Tahun 1999 hampir seluruhnya diatur oleh Pemerintah Pusat dengan menyamaratakan susunan organisasi pemerintaahan dari Pusat sampai Daerah. Namun setelah berlakunya undang-undang 22 Tahun 1999, terlebih-lebih setelah berlakunya UU Nomor 32 tahun 2004, banyak urusan-urusan Pusat diserahkan menjadi kewenangan Daerah. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor, sehingga Pemerintah tidak mungkin mengatur kepentingan Daerah seluruhnya, sehingga dalam pelaksanaan Otonomi Daerah ini dilaksanakan dengan menerapkan Asas Desentralisasi, Asas Dekonsentrasi dan Asas Tugas Pembantuan. Diserahkannya sebagian urusan kepada Daerah adalah karena adanya beberapa alasan, antara lain: 1. Keterbataasan Kemampuan Pemerintah Pusat. Disadari bahwa tidak semua urusan pemerintah dapat dilaksanakan sendiri oleh Pemerintah Pusat, sebagaimana telah ditekankan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa perangkat pemerintah di daerah adalah sebagai bagian dalaam mekanisme Pemerintah Pusat dan bukan merupakan pemerintahan negara sendiri. Pemerintahan Negara berfungsi menyelenggarakan urusan-urusan pemerintahan yang sifatnya umum. Jika dihadapkan pada kenyataan bahwa kemampuan pemerintah memiliki keterbatasan, maka pertimbangan pendelegasian kewenangan kepada unit pemerintahan di daerahdaerah perlu dilakukan. Sebab tidak mungkin pemerintah dapat menangani semua urusan pemerintahan yang menyangkut kepentingan masyarakat secara menyeluruh di Negara Indonesia. 2. Alasan Sejarah Secara historis sejak sebelum kemerdekaan eksistensi Pemerintahan Daerah sudah dikenal yakni pada masa-masa kerajaan dahulu kala sampai pada sistem pemerintahan yang diberlakukan oleh pemerintah Kolonial Belanda dan Jepang. Demikian pula mengenai sistem kemasyarakatan dan susunan pemerintahannya mulai dari pemerintahan desa sampai pada puncak pimpinan pemerintahan. Berdasarkan kenyataan sejaraf tersebut maka pemerintah Indonesia sejak Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Mengeluarkan Undang-Undang Dasar 1945 yang di dalamnya mengatur secara eksplisit tentang Pemerintahan Daerah. Dengan demikian urgensi pemerintahan daerah lebih didorong oleh eksistensi pemerintahan daerah yang telah berlangssung dan dilaksanakan baik sebelum maupun setelah kemerdekaan.
35
3. Alasan Situasi dan Kondisi Wilayah Secara geografis wilayah Negara Indonesia merupakan Negara kepulauan yang dikelilingi oleh lautan yang cukup luas. Kondisi wilayah yang demikian ini membawa konsekwensi pada terhambatnya pelayanan pemerintah kepada masyarakat, yang tentunya penerapan sisstem sentralisasi tidak rnungkin diterapkan di Indonesia. Begitu pula dengan keanekaragaman adat-istiadat dan budaya masyarakat yang berbeda-beda serta potensi-potensi yang melekat di berbagai wilayah Indonesia, tentunya hal ini perlu pengaturan dengan baik. Untuk itu dipandang akan lebih efisien dan efektif apabila pengelolaan berbagai urusan pemerintahan ditangani oleh unit atau perangkat pemerintahan yang berada di wilayah masing-masing daerah tersebut. Dengan alasan situasi dan kondisi wilayah di atas, akhirnya mendorong pemerintah pusat untuk membentuk dan membina pemerintahan di daerah dengan disertai pemberian hak otonom untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya. 4. Alasan Politis Ketika Undang-Undang Dasar 1945 dalam masa penyusunan, maka pandangan yang menonjol pada saat itu adalah wawasan integralistik dan demokratis serta semangat persatuan dan kesatuan nasional. Semangat persatuan dan kesatuan tersebut telah menjiwai berbagai rencana pemerintah pada masa itu, termasuk dalam merancang sistem pemerintahan daerah. Dengan demikian untuk tetap menjaga keutuhan bangsa dan negara, daerah-daerah perlu membentuk pemerintahan di daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, di samping untuk memberikan rasa tanggung jawab dalam mengisi kemerdekaan dan sekaligus memberi kesempatan kepada daerah untuk berperanserta dalam pemerintahan, sebagai perwujudan semangat demokrasi asli bangsa Indonesia. Alasan politis ini sangat tepat karena sejarah telah membuktikan bahwa bangsa Indonesia telah lama dijajah oleh bangsa lain, yang disebabkan oleh lemahnya persatuan dan kesatuan pada saat itu. Kondisi wilayah yang begitu luas dan terpisah oleh lautan semakin mendorong timbulnya persoalan merenggangnya persatuan dan kesatuan. Dengan semangat inilah, maka daerah yang satu akan merasa sebagai bagian dari daerah yang lain meskipun berbeda adat-istiadat, suku bangsa, ras, agama dan bahasanya. Untuk menjaga kemungkinan agar pemerintahan di daerah itu tidak memisahkan diri dari Pemerintah Pusat, maka pembentukan dan pembinaan pemerintahan daerah adalah sarana efektif yang memungkinkan semangat persatuan dan kesatuan tetap terpelihara dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, karena pemberian kepercayaan kepada pemerintah daerah akan mengurangi beban pemerintah untuk menjaga keutuhan Negara Republik Indonesia.
36
C. Hubungan dibidang keuangan Menurut Bagir Manan, untuk mengetahui hubungan antara Pusat dan Daerah, maka salah satu dimensi yang menjadi pokok pembicaraan adalah hubungan keuangan.1 Istilah formal mengenai keuangan negara dijumpai dalam naskah ash UUD 1945 (sebelum Perubahan). Di dalam Pasal 23 ayat (4) ditentukan bahwa hal keuangan negara selanjutnya diatur dengan undang-undang. Sementara itu, ketentuan Pasal 23 ayat (5) menyebutkan bahwa untuk memeriksa tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan, yang peraturannya ditetapkan dengan undang-undang. Hasil pemeriksaan itu diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Setelah Perubahan UUD 1945 istilah "hubungan keuangan" dijumpai dalam Pasal 18A ayat (2) UUD 1945 yang menegaskan bahwa hubungan keuangan...antara pemerintah Pusat dan pemerintahan Daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang. Beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur hubungan keuangan antara Pusat dan Daerah tidak mempergunakan istilah "hubungan keuangan" sebagai nama undang-undang tersebut, melainkan menggunakan istilah "perimbangan keuangan". Hal tersebut dapat dilihat dalam: (i) UU No. 32 Tahun 1956; (ii) UU No. 25 Tahun 1999; dan (iii) UU No. 33 Tahun 2004. Dalam UU No. 32 Tahun 1956 bahkan istilah perimbangan keuangan sebagai nama undang-undang yang bersangkutan, diikuti dengan frasa "antara negara dengan daerah-daerah yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri.Kata "negara" dipergunakan untuk menunjuk Pemerintah Pusat, sedan gkan kata "daerah-daerah" dimaksudkan untuk menunjuk daerah otonom. Sementara itu, UU No. 25 Tahun 1999 dan UU No. 33 Tahun 2004 mempergunakan istilah yang sama sebagai nama undang-undang tersebut, yaitu perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Istilah "hubungan keuangan" juga dapat dilihat dalam Pasal 2 ayat (6) UU No. 33 Tahun 2004, yang menyatakan Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya dilaksanakan secara adil dan selaras. Istilah itu juga dapat dijumpai dalam Pasal 15 UU No. 33 Tahun 2004, hanya saja baik dalam UUD 1945 maupun UU No. 32 Tahun 1956, UU No.
Manan, Bagir, 2001. Menyongson Otonomi Daerah, Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, Pusat Studi Hukum/PSH1
37
25 Tahun 1999, dan UU No. 33 Tahun 2004 sama sekali tidak diketemukan batasan mengenai istilah "hubungan keuangan." Mengenai hubungan keuangan ini UU Nomor 17 Tahun 2003 memberikan gambaran sebagai berikut: Presiden selaku kepala pemerintahan memenang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagi dari kekuasaan pemerintahan. Selanjutnya, kekuasaan Presiden itu dalam rangka desentralisasi diserahkan kepada gubernur/bupati/walikota selaku kepala pemerintahan daerah untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikikan kekayaan daerah yang dipisahkan. Menurut Ateng Safrudin, di snilah titik awal terjadinya hubungan keuangan antara Pusat dan Daerah (Ateng Syafrudin, 2001). Menurut Ahmad Yani (2002: 98), hubungan keuangan antara Pusat dan Daerah sering juga disebut sebagai perimbangan keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah. Dalam pandangan Bagir Manan (2001: 40), esensi dari perimbangan keuangan tersebut adalah memperbesar pendapat asli daerah sehingga lumbung keuangan daerah dapat berisi lebih banyak. Tetapi Kennet Davey, sebagaimana dikutip oleh Syarif Hidayat (2000: 119), mengatakan bahwa inti dari hubungan keuangan antara Pusat dan Daerah adalah pengaturan masalah distribusi, yaitu konsekuensi dari distribusi kekuasaan kepada pemerintah daerah untuk mengimplementasikan wewenang yang telah didesentralisasikan. Dengan mencermati pemahaman di atas, dapat dikatakan bahwa salah satu komponen utama desentralisasi adalah desentralisasi fiskal. Artinya, berbicara desentralisasi tidak dapat dilepaskan dari isu kapasitas keuangan daerah, di mana kemandirian daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan diukur dari kemampuan menggali dan mengelola keuangannya (Farida Rahmawati, 2008:28). Oleh karena itu, penyelenggaraan pemerintahan daerah memerlukan pembiayaan. Menurut UU No. 33 Tahun 2004, pembiayaan penyelenggarakan pemerintahan berdasarkan asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Pembiayaan berdasarkan asas desentralisasi dilakukan atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Sementara itu, pembiayaan berdasarkan asas dekonsentrasi dilakukan atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), sedangkan pembiayaan dalam tugas pembantuan dibiaya atas beban anggaran tingkat pemerintahan yang menugaskan. Dalam rangka mewujudkan tujuan pembangunan nasional seperti yang termaktub dalam UUD 1945, pemerintah menyelenggarakan berbagai program dan kegiatan di mana untuk menyelenggarakan setiap program dan kegiatan dibutuhkan dukungan dana (pembiayaan). Desentralisasi dapat diwujudkan dengan pelimpahan kewenangan kepada pemerintah di tingkat bawah untuk melakukan pembelanjaan dan kewenangan untuk memungut pajak (taxing power).
38
Perimbangan keuangan antara Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah mencakup pembagian keuangan secara proporsional, demokratis, adil dan transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi dan kebutuhan daerah. Pemerintah pada hakekatnya mengemban tiga fungsi utama, yakni fungsi distribusi, fungsi stabilitasi dan fungsi alokasi. Fungsi distribusi dan fungsi stabilitasi pada umumnya lebih efektif dan tepat dilaksanakan oleh pemerintah pusat, sedangkan fungsi alokasi dilaksanakan oleh pemerintah daerah karena lebih mengetahui kebutuhan, kondisi dan situasi masyarakat setempat. Pembagian ketiga fungsi ini sangat penting sebagai landasan dalam penentuan dasar-dasar perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Pelaksanaan fungsi pemerintahan daerah akan terlaksana secara optimal jika penyelenggaraan urusan pemerintahan diikuti dengan pemberian sumber-sumber penerimaan yang cukup kepada daerah, dengan mengacu kepada undang-undang perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang besarnya disesuaikan dan diselaraskan dengan pembagian kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Semua sumber keuangan yang melekat pada setiap urusan pemerintah yang diserahkan kepada daerah menjadi sumber keuangan daerah. Dalam hal ini, daerah diberi hak untuk mendapatkan sumber keuangan, antara lain berupa: (a) Kepastian tersedianya pendanaan dari pemerintah sesuai dengan urusan pemerintah yang diserahkan; (b) Kewenangan memungut dan mendayagunakan pajak dan retribusi daerah; (c) Hak mendapatkan bagi hasil dari sumber-sumber daya nasional yang berada di daerah dan dana perimbangan lainnya; (d) Hak mengelola keuangan daerah dan mendapatkan sumber pembiayaan. Dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah, penyerahan pelimpahan, dan penugasan urusan pemerintahan kepada daerah secara nyata dan bertanggungjawab harus diikuti dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional secara adil, termasuk perimbangan keuangan antara pusat dan daerah di mana penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan tersebut dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip transparansi, dan akuntabilitas. Hubungan keuangan antara pemeirntah Pusat dan Daerah tergambanr dalam sistem pembagian keuangan antara Pusat dan Daerah dimana daerah diberikan sumber-sumber keuangan sebagai berikut: 1. 2. 3. 4.
Pendapatan asli daerah; Dana Bagi Hasil (Revenue Sharing; Dana Alokasi Umum (DAU); Dana Alokasi Khusus (DAK)
39
D. Hubungan di bidang Pengawasan. Berbicara mengenai hubungan pengawasan antara pemerintah Pusat dan Daerah dapat ditelusuri dari beberapa UU tentang Pemerintahan Daerah/ Dalam penelitian ini akan dikemukakan hubungan pengawasan menurut 3(tiga) undang-undang, yakni: UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan di Daerah, UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah 1. Hubungan Pengawasan Pemerintah Pusat dan Daerah Menurut UU Nomor 5 Tahun 1974 Sebagaimana telah dikemukakan di depan bahwa pemerintahan di daerah dua jenis, yaitu pemerintahan di daerah yang bersifat otonom, dan pemerintahan di daerah yang bersifat administratif. Pemerintahan di daerah yang bersifat otonom atau pemerintahan di daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri bukan merupakan bagian atau cabang Pemerintah Pusat atau Daerah Otonom Tingkat atasnya. Ini berbeda dengan pemerintahan di daerah yang bersifat administratif, karena ini merupakan bagian atau cabang atau kepanjangan daripada Pemerintah Pusat atau Pemerintah Wilayah (Administratif) tingkat atasnya. Hubungan antara Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Pusat atau dengan Pemerintah Daerah Tingkat atasnya (Daerah Tingkat II dengan Daerah Tingkat I), merupakan hubungan pengawasan, bukan merupakan hubungan antara bawahan dengan atasan atau hubungan menjalankan pemerintahan seperti halnya hubungan antara pemerintah di daerah yang bersifat administratif atau Pemerintah Wilayah dengan Pemerintah Pusat. Dalam setiap organisasi, terutama dalam organisasi Pemerintahan, fungsi pengawasan adalah sangat penting, karena pengawasan itu adalah suatu usaha untuk menjamin adanya keserasian antara penyelenggaraan tugas pemerintahan oleh Daerahdaerah Otonom dan oleh Pemerintah Pusat dan untuk menjamin kelancaran penyelenggaraan pemerintahan secara berdayaguna dan berhasil guna. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 memperkenalkan tiga jenis pengawasan: l, Pengawasan Umum, yaitu suatu jenis pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat terhadap segala kegiatan Pemerintah daerah Otonom untuk menjamin penyelenggaraan pemerintahan Daerah Otonom dengan baik. Pengawasan Umum terhadap pemerintahan Daerah Otonom dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri dan Gubernur/ Bupati/ Walikotamadya Kepala Daerah sebagai Wakil Pemerintah Pusat di daerah yang bersangkutan. Menurut pasal 71 UU nomor 5 Tahun 1974 disebut : 1) Menteri Dalam Negeri melakukan pengawasan umum atas jalannya pemerintahan Daerah.
40
2) Menteri Dalam Negeri atau pejabat yang ditunjuk olehnya, mengadakan penyelidikan dan pemeriksaan tentang segala hal mengenai pekedaan Pemerintahan Daerah, baik mengenai urusan rumah tangga Daerah maupun mengenai urusan tugas pembantuan. 3) Ketentuan yang dimaksud dalam ayat-ayat (1) dan (2) pasal ini, berlaku juga bagi Gubernur Kepala Daerah terhadap Pemerintahah Daerah Tingkat II. 4) Untuk kepentingan pengawasan umum, Pemerintah Daerah wajib memberikan keterangan yang diminta oleh pars pejabat yang dimaksud dalam ayat-ayat (2) dan (3) pasal ini. 5) Terhadap penolakan untuk memberikan keterangan yang dimaksud dalam ayat (4) pasal ini, Menteri Dalam Negeri atau Gubernur Kepala Daerah dapat mengambil tindakan yang dianggap perlu. 6) Cara pengawasan umum yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, diatur dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri. Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1975, bahwa yang dimaksud dengan : 1.1. Pengawasan Umum ialah pengawasan terhadap keseluruhan pelaksanaan tugas dan wewenang Pemerintah Daerah dan komponen dalam lingkungan Departemen Dalam Negeri; 1.2. Komponen-komponen dalam lingkungan Departemen Dalam Negeri ialah : 1.2.1. Sekretariat Jenderal; 1.2.2. Inspektorat Jenderal; 1.2.3. Direktorat Jenderal Sosial Politik; 1.2.4. Direktorat Jenderal Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah; 1.2.5. Direktorat Jenderal Pemba ngunan Desa; 1.2.6. Direktorat Jenderal Agraria; 1.2.7. Badan Penelitian dan Pengembangan; 1.2.8. Badan Pendidikan dan Latihan beserta perangkatperangkatnya di daerah. Dalam menjalankan tugas pengawasan umum Menteri Dalam Negeri dibantu oleh Inspektur Jenderal; Dalam menjalankan tugas pengawasan umum Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II dibantu oleh pejabat yang akan ditentukan lebih lanjut. Pengawasan umum terhadap jalannya pemerintahan Daerah meliputi bidang : a) pemerintahan; b) kepegawaian; c) keuangan dan peralatan; d) pernbangunan; e) perusahaan Daerah, yayasan-yayasan dsb; f) lain-lain yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri.
41
Pengawasan umum terhadap pelaksanaan tugas Departemen Dalam Negeri meliputi bidang. a) b) c) d) e) f) g) h) i) j) k)
pembinaan sosial politik; pembinaan pernerintahan umum; pembinaan pemerintahan Desa; pembinaan otonomi Daerah; pembangunan; pembangunan Desa; agraria; administrasi, organisasi dan ketatalaksanaan; kepegawaian; keuangan dan peralatan; lain-lain yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri.
Wewenang dalam melaksanakan tugas pengawasan umum meliputi: a) meminta, menerima dan mengusahakan bahan-bahan atau keterangan-keterangan yang diperlukan dari pejabat-pejabat di lingkungan Departemen Dalam Negeri baik di pusat maupun di Daerah dan pejabat-pejabat Daerah yang bersangkutan, dan atau dari pihak lain yang dipandang perlu; b) melakukan atau menyuruh melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan di tempat-tempat pekerjaan; c) menerima dan mempelajari pengaduan-pengaduan; d) memanggil pejabat-pejabat di lingkungan Departemen Dalam Negeri baik di pusat maupun di lingkungan Departemen Dalam Negeri baik di pusat maupun di Daerah dan pejabatpejabat yang bersangkutan di daerah untuk diminta keterangan keterangan yang diperlukan dengan memperhatikan jenjang jabatan yang berlaku; e) menyarankan langkah-langkah baik yang bersifat preventif maupun represif terhadap segala bentuk pelanggaran kepada pejabat yang berwenang. Menteri Dalam Negeri menentukan Pedoman Pengawasan Umum. 2. Pengawasan Preventif, pengawasan ini mengandung prinsip bahwa Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah mengenai pokok tertentu barn berlaku sesudah ada pengesahan pejabat yang berwenang, yaitu : Menteri Dalam Negeri bagi Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah Tingkat I bagi Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah Tingkat II. Seterusnya dalam pasal 68-69 UU Nomor 5 Tahun 1974 dirumuskan : Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditentukan bahwa Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah mengenai hal-hal tertentu, bare berlaku sesudah ada pengesahan pejabat yang berwenang. Peraturan Daerah dan atau Keputusan Kepala Daerah yang memerlukan pengesahan, dapat
42
dijalankan sesudah ada pengesahan pejabat yang berwenang, atau apabila setelah 3 (tiga) bulan sejak diterimanya Peraturan Daerah dan atau Keputusan Kepala Daerah tersebut, pejabat yang berwenang tidak mengambil sesuatu Keputusan, jangka waktu 3 (tiga) bulan yang dimaksud oleh pejabat yang berwenang dapat diperpanjang 3 (tiga) bulan lagi, dengan memberitahukannya kepada Pemerintahan D a e r a h yang bersangkutan sebelum jangka waktu yang dimaksud berakhir. Penolakan pengesahan Peraturan Daerah dan atau Keputusan Kepala Daerah yang dimaksud oleh pejabat yang berwenang diberitahukan kepada Pemerintah Daerah yang bersangkutan disertai alasanalasannya. Terhadap penolakan pengesahan yang dimaksud di atas, Daerah yang bersangkutan dalam waktu 1 (satu) bulan terhitung mulai saat pemberitahuan penolakan pengesahan itu diterima, dapat mengajukan keberatan kepada pejabat setingkat lebih atas dari pejabat yang menolak. 3. Pengawasan Represif, pengawasan ini berwujud penangguhan atau pembatalan Peraturan Daerah atau Keputusan Kepala Daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatnya. Penangguhan atau pembatalan itu dilakukan oleh pejabat yang berwenang, yaitu Menteri Dalam Negeri bagi Daerah Tingkat I dan Gubernur Kepala Daerah bagi Daerah Tingkat II, sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Pengawasan Represif ini dilakukan terhadop: Semua Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah. Selanjutn, dalam pasal 70 UU Nomor 5 Tahun 1974 dijelaskan bahwa : 1) Peraturan Daerah dan atau Keputusan Kepala Daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan perundarr:- undangan atau Peraturan Daerah tingkat atasnya ditangguhkan berlakunya atau dibatalkan oleh pejabat yang berwenang. 2) Apabila Gubernur Kepala Daerah tidak menjalankan haknya untuk menangguhkan atau membatalkan Peraturan Daerah Tingkat UU dan atau Keputusan Kepala Daerah Tingkat II sesuai dengan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, maka penangguhannya dan atau pembatalannya dapat dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri. 3) Pembatalan Peraturan Daerah dan atau Keputusan Kepala Daerah yang dimaksud dalam ayat-ayat (1) dan (Z), karena bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan perundang-undangan atau Peraturan Daerah Tingkat atasnya, mengakibatkan batalnya semua akibat dari Peraturan Daerah dan atau Keputusan Kepala Daerah yang dimaksud, sepanjang masih dapat dibatalkan.
43
4)
5)
6)
7)
Keputusan penangguhan atau pembatalan yang dimaksud dalam ayat-ayat (1) dan (2), disertai alasan-alasannya diberitahukan Kepala-Kepala Daerah yang bersangkutan dalam jangka waktu 2 (dua) minggu sesudah tanggal keputusan itu. Lamanya penangguhan yang dinyatakan dalam Keputusan yang dimaksud dalam ayat (4), tidak boleh melebihi 6 (enam) bulan sejak saat penangguhannya. Peraturan Daerah dan atau Keputusan Kepala Daerah yang bersangkutan kehilangan kekuatan berlakunya. Jika dalam waktu 6 (enam) bulan setelah penangguhan itu tidak disusul dengan keputusan pembatalannya, maka Peraturan Daerah dan atau Keputusan Kepala Daerah itu memperoleh kembali kekuatan berlakunya. Keputusan mengenai pembatalan yang dimaksud dalam ayatayat (4) dan (6), diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia dan atau Lembaran Daerah yang bersangkutan.
2. Hubungan Pengawasan Pemerintah Pusat Terhadap Daerah Sesuai UU nomor 22 Tahun 1999 Berbeda dengan sistem pengawasan Pemerintah Pusat terhadap Daerah dalam UU Nomor 5 Tahun 1974, yang terdiri dari : Pengawasan Umum, Preventif dan Represif, maka sebagai koreksi atas sifat otonomi yang sentralistik maka UU Nomor 22 Tahun 1999, hanya mengenal PengawasanRepresif. Pemerintah Pusat melakukan pengawasan berupa pembatalan Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum atau peraturan perundang-undangan lainnya. Daerah yang tidak bisa menerima keputusan pembatalan tersebut dapat mengajukan keberatannya kepada Mahkarnah Agung setelah mengajukannya kepada Pemerintah. Dari pengalaman kita mencatat bahwa ribuan Peraturan Daerah erpaksa ditunda atau dibatalkan karena bertentangan atau tumpang Indih dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Hal itu tumbul karena semangat reformasi yang salah kaprah dan kurang nvmahami sistem perundang-undangan yang sudah ada, dengan alasan demi peningkatan pendapatan ash daerah (PAD). 3. Pengawasan Pusat terhadap Daerah Menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 Seperti kita ketahui, pemerintahan daerah adalah sub sistem dari sistem pemerintahan nasional dalam struktur Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai konsekuensinya, penyelenggaraan
44
pemerintahan daerah tidak boleh menyimpang dari sistem nasional. Belajar dari pengalaman sebelumnya, walau pada tingkat idealnya pelaksanaan otonomi, berarti semua kegiatan kenegaraan di daerah dilaksanakan oleh pemerintahan daerah yang bersangkutan, tetapi pada prakteknya masih terjadi penyimpangan atau salah tafsir atau perbedaan persepsi antara "dassollen" dan "dassein" Berdasarkan fakta tersebut yaitu bahwa selama pelaksanaan UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 25 Tahun 1999, hingga 2004, terdapat bagitu banyak Peraturan Daerah, praktek birokrasi di daerah yang salah kaprah, maka dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 dan UU Nomor 33 Tahun 2004, hal itu dicoba diatasi dengan rumusan pengawasan dari pusat yang lebih jelas dengan diikuti program pembinaan. Fokus pengawasan diarahkan dalam : 1. Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan di daerah dilaksanakan oleh aparat pengawas intern Pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 2. Pengawasan terhadap Peraturan Daerah/Peraturan Kepala Daerah (Pasal 218). Adapun jenis pengawasan berupa pengawasan preventif dan represif dirumuskan sebagai berikut: 1. Pengawasan preventif: Khusus diperlakukan untuk Peraturan Daerah yang menyangkut pajak daerah, retribusi, dan tata ruang (RUTR). 2. Pengawasan represif: Perda disampaikan kepada Pemerintah paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan. Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/ atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah. Keputusan pembatalan Perda seperti dimaksud di atas, ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enampuluh) hari sejak diterimanya Perda tersebut. selanjutnya, paling lama 7 (tujuh) hari setelah keputusan pembatalan, maka kepala daerah harus memberhentikan pelaksanaan Perda dan selanjutnya DPRD bersama Kepala Daerah mencabut Perda dimaksud. Dalam hal atau apabila provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda dimaksud, dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundangundangan, kepala daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung. Apabila keberatar, kepala daerah dikabulkan sebagian atau seluruhnya, putusan Mahkamah Agung tersebut menyatakan Peraturan Presiden menjadi batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Dalam hal atau apabila Pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden untuk membatalkan Perda seperti disebut di atas, Perda: dimaksud dinyatakan berlaku (Pasal 145, UU Nomor 32 tahun 2004).
45
Hubungan Pusat dan Daerah merupakan wujud dari ketentuan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dinyatakan dalam pasal 18 (1) **, Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undangundang. Sehingga untuk melaksanakan ketentuan tersebut maka dibuatlah UU no 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Hal ini berarti daerah-daerah yang ada dalam bentuk Provinsi, Kabupaten dan Kota adalah merupakan satu kesatuan dalam Negara Republik Indonesia. Karena bentuknya adalah daerah-daerah, maka untuk penyelenggaraan pemerintahan yang sesuai dengan konsep Negara Kesatuan, pemerintahan pusat dapat melakukan control/pengawasan serta pembinaan-pembinaan yang dilakukan dengan pemberian kewenangan masing-masing kepada pusat maupun daerah. Dalam melakukan pembinaan pemerintah pusat menempatkan daerah provinsi sebagai wakil pemerintah untuk melakukan pembinaan dan pengawasan sehingga penyelenggaraan pemerintahan antara pusat dan daerah terjalin hubungan yang selaras dan berkesinambungan. Hanya saja kewenangan yang diberikan oleh pemerintah kepada daerah menjadi tidak jelas. Hal ini terlihat adanya kewenangan sama yang dimiliki antara Provinsi dan Kabupaten/Kota, meskipun hal itu terdapat perbedaan dalam skalanya. Untuk itu kedudukan provinsi hendaknya tidak dijadikan sebagai daerah otonom, melainkan dijadikan sebagai daerah administratif dengan penerapan asas Dekonsentrasi. Dalam beberapa hal pemerintahan pusat tampaknya tidak konsisten (ketidaktaatan) pada asas desentralisasi, dimana seharusnya urusan tertentu di serahkan kepada daerah, namun di sisi lain keputusan akhir sepenuhnya pada pusat. Berikut dapat diperhatikan beberapa contoh di bawah ini. Menyangkut hubungan politik terkait pemberhentian kepala daerah oleh DPRD. Seharusnya pemberhentian itu sepenuhnya dilakukan oleh DPRD, namun kenyataannya memerlukan putusan Mahkamah Agung (MA) dan selanjutnya diserahkan kepada Presiden. Bila dilihat dari aspek kedaulatan hukum, seharusnya hal tersebut merupakan ranah hukum di daerah (kewenangan daerah). Begitu pula halnya bila dilihat dari aspek kedaulatan rakyat, dimana pemilihan Kepala Daerah merupakan hasil aspirasi rakyat, namun kenyataannya ketika terjadi permasalahan hasil pemilihan kepala daerah diselesaikan melalui putusan MA.
46
Termasuk pula dalam kasus-kasus menyangkut Kepala Daerah tertangkap melakukan perbuatan melanggar hukum dan dinyatakan bersalah, namun pemberhentian dilakukan oleh Presiden. Hal ini berarti pusat tidak konsisten terkait dengan kewenangan yang dimiliki daerah. Dalam hal suatu peraturan daerah yang bertentangan atau tidak, dapat dilakukan pembatalan oleh Presiden, tapi kenyataan pembatalan itu dilakukan oleh Menteri atas nama Presiden. Ini menunjukkan bahwa proses Legislasi itu sendiri adalah merupakan hasil sebuah proses birokrasi. Salah satu fungsi DPRD adalah melaksanakan fungsi legislasi (pembuataan peraturan daerah) termasuk pula memberikan persetujuan terhadap rancangan peraturan daerah yang diajukan oleh pemerintah, namun peraturan daerah harus dilakukan evaluasi terhadap perda yang bermasalah terkait Anggaran Pendapataan dan Belanja Daerah melalui pengesahan Menteri Dalam Negeri tetapi justru dalam tataran implementasi menjadi tanggungjawab pada Gubernur dan DPRD apabila terjadi masalah. Isu sentral terkait hubungan pusat daerah menunjukkan bahwa daerah belum mampu melaksanakan pemerintahan daerah, menyangkut perimbangan keuangan, otonomi daerah yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Pelaksanaan pemerintahan daerah sering kali terjadi kendala yang menyebabkan hubungan pusat dan daerah menjadi kurang harmonis. Hal ini terjadi karena adanya ketimpangan-ketimpangan disebabkan kepentingan pusat, misalnya menyangkut tata ruang. Adanya peraturan daerah tentang tata ruang menjadi tidak dijalankan karena keluarnya surat Sekretaris Jenderal (Sekjen), meskipun sudah ada persetujuan bersama antara legislatif dan ekskutif di daerah. Ketimpangan lainnya yang terjadi menyangkut perimbangan keuangan pusat dan daerah seperti cukai tembakau. Bila diperhatikan daerah Nusa Tenggara Barat dalam hal cukai tembakau memberikan kontribusi yang cukup besar kepada pusat, 70 namun perimbangan yang diperoleh oleh daerah tidak sebanding dengan kontribusi 57% ke pusat. Alasan yang diberikan oleh pusat terkait perhitungan perimbangan tersebut adalah didasarkan pada jumlah penduduk tanpa melihat jumlah kontribusi yang diberikan. Begitu pula halnya menyangkut keberadaan PT Newmont Nusa Tenggara, yang secara jelas dikatakan bahwa berdasarkan UU No 33 Tahun 2004 yang terdapat dalam pasal 14 huruf c menyatakan bahwa, penerimaan pertambangan umum yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan, dibagi dengan imbangan 20% (dua puluh persen) untuk pemerintah dan 80% (delapan puluh persen) untuk daerah. Kenyataannya keberadaan PT Newmont Nusa Tenggara
47
dikuasai oleh pusat. Oleh karenanya penerapan undang-undang tentang perimbangan keuangan ini tidak sesuai karena terkesan hanya untuk kepentingan pusat semata. Untuk menghindari dominasi pusat, perlu kiranya daerah lebih aktif dalam mengembangkan daerahnya dengan menggunakan kewenangan-kewenangan yang dimilikinya sehingga percepatan demokrasi di segala aspek dapat diwujudkan dalam rangka penyelamatan daerah. Sebab selama ini ada kesan bahwa dengan keluarnya beberapa jenis regulasi baik yang didasarkan pada undang-undang, peraturan pemerintah maupun aturan lainnya memberikan peluang kepada pusat untuk tetap mengendalikan daerah yang akan mengarah pada resentralisasi kekuasaan. Kenyataan ini membuktikan bahwa PP No. 25 Tahun 2000 diganti dengan PP 38 Tahun 2007 dari istilah kewenangan diganti menjadi istilah urusan, yang tentunya pemahamannya akan berbeda, karena kewenangan lebih menitikberatkan pada adanya hak untuk mengatur dan mengurus kepentingan daerahnya. Sedangkan pengertian urusan tentunya terkait dengan tugas-tugas yang telah ditentukan sebelumnya. Begitu pula halnya dengan keberadaan DPRD yang kedudukannya sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah, dapat dimaknai bahwa keberadaan kepala daerah dan anggota DPRD menunjukkan adanya kepentingan politis. Ini tampak dalam hal pengangkatan pejabat-pejabat tertentu dalam menduduki suatu jabatan di pemerintahan. Seharusnya pengangkatan seorang pejabat untuk menduduki suatu jabatan didasarkan pada profesionalisme yang dimilikinya, namun sebaliknya penempatannya justru didasarkan pada kehendak (kemauan) pimpinan, yang pada akhirnya menimbulkan dampak yang cukup luas bagi kelangsungan penyelenggaraan pemerintahan daerah. , Permasalahan lainnya terkait adanya pemekaran kabupaten, kota dan desa terlalu dibuka karena membahayakan persatuan, sehingga pemekaraan wilayah harus diperketat untuk menjaga terjadinya disintegrasi dan menjaga stabilitas nasional dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang dilakukan melalui aspek manajemen pembangunan yang terintegrasi dalam rencana jangka panjang, jangka menengah maupun jangka pendek baik Pusat maupun Daerah secara terpadu dan terarah.
48
BAB III. HUBUNGAN PEMERINTAH PUSAT DENGAN PEMERINTAH DAERAH MENURUT UU 32 TAHUN 2004 KAITANNYA DENGAN PRINSIP-PRINSIP NEGARA KESATUAN BERDASARKAN UUD NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945. A. Prinsip Negara Kesatuan Dan Pemerintahan Daerah Pada Bab III ini akan dibahas permasalahan/isu hokum kedua yang
diajukan
dalam
penelitian
ini,
yakni:
Apakah
hubungan
pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sesuai dengan prinsip-prinsip Negara Kesatuan berdasarkan UUD Negara RI 1945.
Untuk itu sebelum diketahui
jawaban atas isu permasalahan/isu hukum dimaksud, terlebih dahulu perlu diungkapkan tentang Prinsip Negara Kesatuan dan Pemerintahan peneliti
Daerah.
Untuk
mempergunakan
mengungkapkan
bahan-bahan
pustaka
hal-hal dan
tersebut, hasil-hasil
penelitian yang telah dilakukan oleh para peneliti sebelumnya. Nmapkanya konsep para pendiri republik ini telah menyepakati konsep Negara kesatuan sebagai dasar pendirian Negara Republik Indonesia yang kemudian dituangkan di dalam UUD 1945. Hal tersebut nampak dengan jelas di dalam rumusan Pasal 1 ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan: Negara Republik Indonesia berbentuk republik".
ialah
Negara
Kesatuan,
yang
Pada waktu UUD 1945 diubah, konsep Negara kesatuan tersebut semakin diperkuat kembali di dalam rumusan Pasal 37 ayat (5) yang menyatakan: Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan. Dalam
literatur-literatur
dikenal,
bahwa
Negara
Kesatuan
adalah salah satu bentuk negara, dimana di dalam wilayahnya tidak
49
terdapat
atau
tidak
membenarkan
adanya
daerah-daerah
yang
berstatus Negara, sehingga tidak mungkin adanya negara dalam negara. Menurut Sehino dalam Negara Kesatuan hanya terdapat satu pemerintahan pusat dan satu Undang-undang Dasar".17 Dengan kata lain dalam suatu negara kesatuan, daerah-daerah yang menjadi bagian dari wilayahnya tidak dapat disebut sebagai negara (staat). Hal ini berbeda dengan dengan konsep negara Federal. Di sebuah negara Federal daerah-daerah di dalam negara disebut dengan staat (negara bagian). Berdasarkan Penjelasan Pasal 18 UUD 1945 ketika UUD 1945 belum
diubah
telah
ditegaskan
pula
tentang
konsep
negara
kesatuanlah yang mendasari didirikannya Negara Republik Indonesia Dalam Penjelasan UUD 1945 dinyatakan: ...oleh karena negara Indonesia itu suatu eenheidsstaat, maka Indonesia tidak mempunyai daerah-daerah dalam lingkungan yang bersifat staat juga. Daeah-daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah provinsi dan daerah provinsi akan dibagi dalam daerah yang lebih kecil. Jadi Negara kesatuan adalah negara yang tidak tersusun dalam beberapa negara, melainkan negara yang bersifat tunggal, yaitu hanya ada satu negara dan tidak ada negara dalam negara. Prinsip negara Kesatuan bagi Negara Republik Indonesia tertuang di dalam rumusan Pasal 18 ayat (1) dan ayat (5) yang menyatakan: Pasal 18 ayat (1) Negara Kesatuan RI dibagi atas daerah-daerah provinsi, dan daerah provinsi itu dibagi atas kebupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang Pasal 18 ayat (5)
17
Soehino, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta, 1985, hlm. 115. 50
...pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluasluasnya, kecuali urusan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat". Pasal 1 ayat (1) dan (5) UUD 1945 tersebut Menurut M. Laica Marzuki, tidak dapat dibaca secara terpisah. Sehingga menurut beliau, bentuk negara RI secara utuh dibaca dan dipahami dalam makna "Negara Indonesia ialah negara kesatuan yang berbentuk republik, yang disusun berdasarkan desentralisatie, dijalankan atas dasar otonomi yang seluas-luasnya.18 Secara konseptual, Negara Kesatuan merupakan lawan dari Negara Federal. Perbedaan antara kedua bentuk negara tersebut selain susunannya, juga berhubungan dengan pembagian kekuasaan atau kewenangan. Pada Negara Kesatuan, kewenangan Pemerintah Daerah ditentukan secara definitif (limitatif) oleh pemerintah pusat, sedangkan
sisa
atau
selebihnya
berada
dalam
kewenangan
pemeruntah pusat. Untuk negara federal adalah kebalikan dari cara pembagian kekuasaan/kewenangan pada negara kesatuan, yaitu kewenangan pemerintah federal yang ditentukan secara definitif dan sisanya yang lebih banyak berada pada negaranegara bagiannya. Perbedaan antara negara kesatuan dengan negara federal, juga dapat dilihat dari aspek-aspek sebagai berikut: 19 1. Aspek Kedaulatan. Di negara kesatuan di seluruh kedaulatan baik ke luar maupun ke dalam berada pada pemerintahan pusat, daerah tidak memiliki kedaulatan. Sedangkan pada negara federal, kedaulatan ke luar berada
di
tangan
pemerintah
pusat
dan
daerah
memiliki
kedaulatan ke dalam; 18
M. Laica Marzuki, Hakekat Desentralisasi Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Jurnal Konstitusi, Majalah Mahkamah Konstitusi RI, Volume 4 Nomor 1 Maret 2007 19
A. Mukthie Fadjar, dalam Jimly Asshidiqie dan Para Pakar Hukum, Konstitusi dan Ketatanegaraan Indonesia Kontemporer, The Biography Institute, Jakarta, 2007, ha1268-269
51
2. Aspek Konstitusi. Negara kesatuan berkonstitusi tunggal, sedangkan negara federal berkonstitusi jamak dengan supremasi pada konstitusi federal. Selain dari hal di atas, antara negara kesatuan dengan negara federal dapat pula dibedakan dari aspek kekuasaan. Pada negara kesatuan, kekuasaan pemerintah pusat dan pemerintah daerah tidak sama dan tidak sedarajat. Sedangkan di negara federal, kekuasaan pemerintah federal (pusat) dan bagian (daerah) dibagi sedemikian rupa sehingga masing-masing bagian dalam negara itu bebas dari campur tangan satu sama lain dan hubungan sendiri-sendiri terhadap pemerintah
federal
(pusat).
Pada
negara
kesatuan,
kekuasaan
pemerintah pusat tidak dibatasi dan kekuasaan pemerintah daerah bersifat tidak langsung dan sering dalam bentuk otonom. Bagi negara federal, pemerintah federal memiliki kekuasaan sendiri, demikian juga untuk pemerintah bagian masing-masing mempunyai kekuasaan yang lebih tinggi dan lebih rendah dari yang lain. Untuk kekuasaan tertentu, pemerintah federal mempunyai kelebihan seperti dalam bidang pertahanan, urusan luar negeri dan menentukan mata uang yang berlaku.20 Berkaitan dengan kriteria atau unsur-unsur yang membedakan antara
Negara
Kesatuan
dan
Federal
dapat
dicermati
melalui
pandangan dari beberapa ahli seperti, sebagai berikut: a
Kranenburg, dalam Negara Kesatuan pengaturan wewenang secara terperinci terdapat pada provinsi-provinsi/pemerintah daerah,
dan
residu
power/sisa
selebihnya
terdapat
pada
pemerintah pusat Negara Kesatuan. b
Wolhoff, pada negara kesatuan seluruh kekuasaan negara berada di 20
tangan
pemerintah
pusat,
sehingga
peraturan-peraturan
Ramdina Prakarsa R1, Era Reformasi, , Jakarta, 2005, ha1. 97-98
52
pusatlah (undang-undang, peraturan pemerintah dan sebagainya) yang menentukan bentuk-bentuk dan susunan pemerintah daerah
otonom.
Dalam
hal
ini
pemerintah
pusat
tetap
mengendalikan kekuasaan pengawasan terhadap daerah-daerah otonom itu. c
K.
C.
Wheare,
asas
federal
adalah
suatu
keseimbangan
kekuasaan-kekuasaan pemerintah pusat maupun bagian-bagian, dalam suasana tertentu, diantaranya berderajat sama serta bebas terhadap satu sama lain. Namun perlu diketahui, bahwa tidak setiap negara yang UUD-nya bersusunan federal adalah negara federal akan tetapi dapat saja suatu negara dalam UUD itu menyebut kesatuan namun lebih berciri kepada federalism. Oleh karena itu dapat dikatakan, mungkin sekali terdapat negara federal yang mengarah kepada negara kesatuan atau quasi federalisme dan akan ada negara kesatuan yang mengarah pada federalisme atau quasi unitarisme. Tetapi bagi Negara Republik Indonesia sebagaimana telah diatur dalam ketentuan UUD 1945, yaitu Pasal 1 ayat (1) dengan tegas dan pasti adalah sebagai Negara Kesatuan serta dalam Pasal 37 ayat (5) tentang tidak dapat dilakukan perubahan bentuk negara kesatuan RI. Dengan konsep NKRI sejak awal berdirinya tidak diarahkan untuk sentralistik, karena makna yang terkandung dalam ketentuan Pasal 18 baik sebelum maupun sesudah perubahan
sebagai
dasar
konstitusional
penyelenggaraan
pemerintahan daerah menganut prinsip otonomi daerah dengan asas desentralisasi, dekonsentrasi, serta tugas pembantuan. Apabila di dalam negara kesatuan ini berhadapan dengan urusan pembagian wilayah pemerintahan, maka akan diterapkan dan dilaksanakan berdasarkan asas desentralisasi serta dekonsentrasi.21
21
Soehino, Op. Cit., hlm. 115
53
Dalam
perjalanan
ketatanegaraan
Indonesia,
tentang
penyelenggaraan pemerintahan melalui beberapa undang-undang yang mengalami pergantian dan/atau perubahan, dimana sumber legitimasi untuk politik hukum pemerintahan daerah adalah Pasal 1 ayat (1) dan pasal 18 UUD 1945, yang secara tegas bermaksud Republik Indonesia sebagai negara kesatuan, bukan negara serikat atau federal. Dengan penegasan dalam ketentuan UUD 1945 tersebut, daerah-daerah yang ada dalam lingkungan negara Republik Indonesia tetap berada dalam ikatan negara kesatuan, ialah daerahnya pemerintahan pusat dan pemerintahan
pusat
negara
Republik
Indonesia
ialah
pusat
daerahnya"22. Dengan demikian, antara pemerintahan pusat dengan daerah, tampak adanya satu ikatan atau kebulatan dalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia. Berdasarkan ketentuan UUD 1945, yaitu Pasal l ayat (1) dan Pasal 18 sebagai sumber legitimasi utama pengaturan penyelenggaraan pemerintahan daerah telah dibentuk dan diberlakukan bebrapa undang-undang, yaitu : 1. Undang-undang No. 1 Tahun 1945 tentang kedudukan Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID), undang-undang ini dipandang sebagai undang-undang tentang pemerintahan daerah karena KNID sama dengan organ kelengkapan pemerintahan daerah sejalan dengan maklumat wakil presiden 16 Oktober 1945 dan mendapat KNID sebagai badan Perwakilan Rakyat Daerah dan secara resmi menghidupkan
kembali
pemerintahan
daerah
otonom
yang
terhapus selama pemerintahan pendudukan Jepang. Meskipun tidak semua pemerintahan daerah berdasarkan penetapan PPKI Agustus 1945 tidak diberikan sebagai daerah otonom, karena tidak semua pemerintahan daerah disertai dengan KNID. Pada periode ini organ yang ada di daerah adalah Badan Perwakilan Rakyat di I Gede Pantja Astawa dalam Ateng Syafrudin, Butir-butir Gagasan tentang Penyelenggaraan Hukum dan Pemerintahan yang Layak, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996. hal 80 22
54
daerah (BPRD) sebagai DPRD dan Badan Eksekutif dan Kepala Daerah sebagai Dewan Pemerintah Daerah (DPD).
2. Undang-undang No. 22 tahun 1948 tentang pemerintahan Daerah. Dengan UU ini dihajatkan untuk melakukan perbaikan terhadap keberadaan UU No. 1/1945 yang dibuat dalam kondisi tergesa-gesa dengan suasana revolusi. Dalam UU ini menghendaki hanya ada satu macam pemerintahan di daerah, yaitu satuan pemerintahan daerah otonom; provinsi, kabupaten (kota besar) dan desa (kota kecil) negeri dan warga dan sebagainya. Serta bentuk daerah otonom lain Daerah Istimewa yang mempunyai hak asal usul sebelum Indonesia memiliki pemerintahan sendiri. Undang-undang ini lebih menitikberatkan penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan
desentralisasi
dengan
penonjolan
suasana
pemerintahan daerah terdiri dari satu macam, yaitu daerah otonom disamping pemberian otonom seluas-luasnya kepada daerah dan tumpuannya diletakkan pada desa. Hal ini dapat dilihat dari rumusan penjelasan III UU No. 22/1948; kelak di dalam UU pembentukan dari masing-masing daerah akan disebutkan macammacam kewajiban pemerintah yang akan diserahkan kepada daerah. 3. Undang-undang No. 1 Tahun 1957. Undang-undang tantang pemerintah daerah masa berlakunya UUDS 1950 menggantikan UU No. 22 Tahun 1948 yang memuat dua hal pokok; a. Di daerah-daerah (besar dan kecil) hanya aka nada satu bentuk susunan pemerintahan, yaitu daerah otonom yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri. b. Kepada daerah-daerah akan diberikan otonom seluas-luasnya untuk mengatur rumah tangga sendiri. Dalam UU ini, bahwa pemerintah daerah terdiri dari DPRD dan DPD.
Dewan
Pemerintah
Daerah
menjalankan
keputusan-
55
keputusan DPRD dalam kedudukan sebagai pimpinan pemerintah daerah yang mengatur dan mengurus rumah tangga daerah serta bertanggung jawab kepada DPRD selaku badan pemerintah daerah tertinggi. Akan tetapi, dengan Dekrit Presiden 5 Juli Tahun 1959 dan dengan penpres No. 6 Tahun 1959 Dan penpres No. 5 Tahun 1960, maka konsekuensinya susunan pemerintah daerah kembali berdasarkan UUD 1945 dan UU No. 1 Tahun 1957 menjadi tidak berlaku lagi. 4.
Undang-undang
No.
18
Tahun
1965
tentang
pokok-pokok
Pemerintahan Daerah. Melalui UU ini hampir seluruhnya/dominan menghadapi rumusan pengaturan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang terdapat dalam kepenpres tersebut di atas, yaitu: a. Menghilangkan dualism pemerintahan di daerah, dan b. Memperbesar pengendalian pemerintah pusat terhadap daerah. Dualisme pemerintahan daerah dihilangkan dengan menetapkan kembali kepala daerah sebagai alat pusat, disamping sebagai alat/unsur daerah yang berdiri sendiri disamping Kepala Daerah selaku pimpinan penyelenggaraan pemerintahan daerah sehari-hari tidak
bertanggung
jawab
kepada
DPRD,
tentu
tidak
dapat
dijatuhkan karena suatu mosi tidak percaya dari DPRD. Dengan keluarnya Penpres No. 6 Tahun 1959 dan No. 5 Tahun 1960 menimbulkan perubahan yang mendasar arah politik hukum pemerintahan daerah, yaitu dari arah desentralisasi ke sentralisasi. 5. Undang-undang No. 5 Tahun 1974. Undang-undang tentang pokokpokok pemerintahan di daerah: Dalam undang-undang ini telah diatur
pokok-pokok
berdasarkan
asas
pembantuan
di
penyelenggaraan desentralisasi,
daerah.
Oleh
urusan
pemerintahan
dekonsentrasi
karena
itu,
dalam
dan
tugas
penamaan
penambahan imbuhan di atas UU ini menggambarkan tentang pokok-pokok penyelenggaraan pemerintahan daerah otonom dan penyelenggaraan pemerintah yang menjadi tugas pemerintah pusat
56
di daerah. Berkaitan dengan prinsip otonomi, UU ini memberikan otonomi
riil
(nyata),
dinamis
dan
bertanggung
jawab,
yang
ditujukan kepada Daerah Tingkat I dan II sebagai titik berat diletakkan otonomi daerah. Pada daerah otonom dengan asas dekonsentrasi
diletakkan
wilayah
administrative
provinsi,
kabupaten/kotamadya, dan kota administratif serta kecamatan yang tidak menempel pada daerah otonom. Penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan UU No. 5 Tahun 1974 menunjukkan kecenderungan ke arah sentralistik yang diwujudkan melalui pelaksanaan asas dekonsentrasi yang lebih menonjol. Hal ini dapat dilihat dari kuatnya kedudukan kepala daerah sebagai alat pemerintah pusat, yaitu sebagai kepala wilayah dan penguasa tunggal di bidang pemerintahan daerah. Dengan kedudukan kepala daerah, bukan semata sebagai penyelenggaraan pemerintahan daerah otonom, tetapi juga wakil pemerintah pusat di daerah, maka akan berimplikasi di bidang otonomi; Perumusan pengaturan tentang penyelenggaraan pemerintahan daerah yang telah dituangkan dalam pembentukan sejumlah undangundang tersebut di atas yang sudah pernah berlaku sebagai realisasi dari ketentuan Pasal 18 UUD 1945 sebagai sumber legitimasi utama Politik
Hukum
Pemerintahan
Daerah,
nampaknya
belum
mencerminkan sepenuhnya esensi yang terkandung dalam ketentuan Pasal 18 tersebut karena: 1. Rumusan yang terkandung dalam UU No. 1 Tahun 1945, No. 22 Tahun 1948 dan No. 1 Tahun 1957, meskipun lebih menonjolkan desentralisasi daripada dekonsentrasi namun belum sepenuhnya merealisasikan makna ketentuan dalam Pasal 18 UUD 1945. 2. Undang-undang No. 18 Tahun 1965 dan No. 5 Tahun 1974 menggambarkan rumusan dengan titik balik dari desentralisasi ke arah dekonsentrasi sentralistik, terutama UU No. 5 Tahun 1974 selain sentralisasi pelaksanaan pemerintahan daerah dan semakin
57
tidak mencerminkan makna yang terkandung dalam Pasal 16 UUD 1945
sehingga
kemandirian
tidak suatu
memberikan daerah
makna
otonom
yang
berarti
sebagaimana
bagi yang
dimaksudkan. Sebagaimana telah dikemukakan di atas, sumber legitimasi utama penyelenggaraan daerah adalah Pasal 18 ayat yang harus sejalan dan bertumpu pada ketentuan Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 yang sudah pasti bermaksud menghendaki Rapublik Indonesia sebagai negara kesatuan. Dan berdasarkan penjelasan Pasal 18 UUD berkaitan dengan
ketentuan
Pasal
1
ayat
(1)
UUD
1945,
maka
dapat
dikemukakan beberapa hal pokok, sebagai berikut: 1. Daerah Indonesia dibagi atas daerah besar dan kecil yang akan diatur dengan UU. Daerah besar dan kecil tidak/bukanlah sebagai negara bagian, karena daerah tersebut dibentuk dalam kerangka Negara Kesatuan. Daerah besar dan kesil ada yang bersifat otonom dan ada yang bersifat administrasi belaka. 2. Pengaturan tersebut harus memandang dan mengingat dasar pemasyarakatan dalam sistem pemerintahan negara dan hak asal usul yang bersifat istimewa adalah swapraja atau desa maupun yang semacam itu. Republik Indonesia akan menghormati kedudukan daerah yang mempunyai hak asal usul yang bersifat istimewa itu. 3. Daerah-daerah yang ada di Republik Indonesia adalah semua sebagai daerahnya (wilayah) pemerintah pusat dan pemerintah negara Republik Indonesia merupakan pusat pemerintahan daerah. Dengan demikian, antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah merupakan satu kebulatan ikatan pemerintahan dalam wadah Negara Kesatian Republik Indonesia. Berpedoman terhadap kandungan dalam UUD 1945, baik yang tersurat maupun tersirat terdapat sendi-sendi pokok dan pemikiran tentang penyelenggaraan pemerintahan daerah yang patut secara konsekuen dan konsisten. Salah satu sendi pokok adalah negara
58
kesatuan, maka dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah "harus merupakan pengukuhan terhadap Negara Kesatuan RI dan dilandasi oleh suatu komitmen dalam rangka perwujudan wawasan nusantara dan memperkukuh ketahanan nasional".
B.
Hubungan
Pemerintah
Pusat
Dengan
Pemerintahan
Daerah Berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Jika ditinjau dari aspek ketatanegaraan hubungan pusat dengan daerah, merupakan persoalan yang berkaitan dengan pembagian kekuasaan negara secara vertical antara pusat kekuasaan dengan cabang-cabangnya,
atau
dengan
kata
lain,
sebagai
pembagian
kekuasaan berdasarkan territorial yang menunjuk pada tingkatan pemerintahan. Dalam pembagian kekuasaan secara vertikal atau territorial, UUD 1945 telah mengaturnya dengan bentuk susunan organisasi negara di tingkat pusat maupun di tingkat daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan dernikian, konsep hubungan pemerintahan pusat dengan pemerintahan daerah adalah untuk melaksanakan kekuasaan pemerintahan yang dibagi antara pusat kekuasaan dengan pusat pemerintahan daerah sebagai cabang-cabang atau territorial kekuasaan negara dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia. Penyelenggaraan
pemerintahan
daerah
dilaksanakan
berdasarkan asas desentralisasi dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Dalam ketentuan pasal 18 ayat (2) dan (5) telah dirumuskan "Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemernitahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan oleh undang-undang ditentukan
sebagai
urusan
pemerintahan
pusat".
Ketentuan
ini
59
dijabarkan lebih lanjut dalam rumusan Pasal 2 ayat (2) dan (3) Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, yaitu pemerintahan daerah dilaksanakan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, otonomi yang dijalankan adalah otonomi seluasluasnya, kecuali urusan yang menjadi urusan pemerintah pusat sudah ditentukan oleh undang-undang. Otonomi dapat dimaknai dengan pelimpahan wewenang kepada badan hukum lokal di luar organisasi yang memberikan kewenangan tersebut. Atau wewenang yang diberikan kepada suatu daerah untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahannya sendiri berdasarkan peraturan
perundang-undangan.
Dalam
suatu
negara
kesatuan
otonomi tidak dapat dipahami sebagai pemberian kebebasan kepada suatu daerah untuk melaksanakan fungsi pemerintahannya sesuai dengan
kehendak
daerah
tanpa
memperhatikan
dan
mempertimbangkan nasional secara komprehensif. Dalam Pasal 1 angka 5 Undang-undang No. 32 Tahun 2004 telah dirumuskan "otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat
perundang-undangan. masyarakat
hukum
setempat
Sedangkan yang
sesuai daerah
mempunyai
dengan
peraturan
otonomi
kesatuan
batas-batas
wilayah
yang
berwenang mengatuir dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat
setempat
menurut
prakarsa
sendiri
berdasarkan apirasi masyarakat dalam system NKRI". Penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia menganut sistem berdasarkan asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan, namun dalam praktek kadangkadang agak sulit untuk melihat secara jelas dalam pelaksanaan dari ketiga asas tersebut bahkan menimbulkan kekaburan. Dalam hal ini dapat disadari, negara mempunyai peranan yang begitu besar dalam konteks pemerintah pusat/nasional maupun di tingkat pemerintahan daerah/regional. Oleh
60
karena itu "otonomi daerah sebagai sub-sistem desentralisasi dan pemerintahan daerah, harus berkembang sesuai dengan dinamika masyarakat dan pergeseran garis politik dan peraturan perundangundangan tentang pemerintahan daerah, bahkan perkembangan ini sangat dipengaruhi oleh UUD dan garis politik yang sedang berlaku dalam negara".23 Pemberian otonomi kepada daerah adalah dalam lingkup negara kesatuan Republik Indonesia. Maka hubungan dan mekanisme antara pemerintah pusat dengan pemerintahan daerah merupakan suatu condition sinequa non dalam negara yang berbentuk kesatuan seperti Republik Indonesia. Konsekuensi yang timbul pasti akan terjadi hubungan hukum (rechtsbetrekking) antara pemerintah pusat dengan pemerintahan daerah, khususnya pengaturan kewenangan antara pusat
dan
daerah
berdasarkan
otonomi
daerah
dan
prinsip
desentralisasi yang mencakup 3 hal: 1. Pembagian kewenangan (sharing of power) 2. Pembagian pendapatan (Distribution of Income) 3. Kemandirian administrasi pemerintahan daerah (empowering).24 Desentralisasi berdasarkan ketentuan Pasal (1) angka 7 Undangundang
No.
32
Tahun
2004
adalah
penyerahan
wewenang
pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem NKRI. Prinsip otonomi
daerah
yang
lebih
diarahkan
terhadap
terwujudnya
pemerintahan yang demokratis, terselenggaranya pelayanan kepada masyarakat yang lebih naik, mempertinggi tingkat kesejahteraan rakyat dan
kemandirian
perkembangan
pembangunan
daerah
serta
terwujudnya keserasian antara pemerintah pusat dengan pemerintahan
23
M. Solly Lubis, Reformasi Politik dan Hukum, Mandar Madju, Bandung, 2000, hal 87
Muchsan, dalam M. Arief Nasution, dkk, Demokrasi dan Problema Otonomi Daerah, Mandar Madju, Bandung, 2000, ha1.78 24
61
daerah. Sesuai dengan dasar pemikiran dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2004). Dari maksud diterapkan asas otonomi seluas-luasnya kepada pemerintahan daerah dengan penyerahan wewenang kepada daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat
setempat
sesuai
dengan
peraturan
perundang-undangan. Untuk menilai derajat kemandirian otonomi yang dimiliki oleh suatu daerah sebagai daerah otonomi dapat diukur dengan 4 ciri: 1. 2. 3. 4.
mempunyai mempunyai mempunyai mempunyai sendiri.25
aparatur pemerintah sendiri; urusan/wewenang tertentu; wewenang mengelola sumber keuangan sendiri; wewenang membuat kebijaksanaan/perbuatan
Semakin baik dan sempurna keempat ciri tersebut, maka akan makin kuat derajat kemandirian otonomi yang dimiliki oleh daerah tertentu, begitu pula sebaliknya. Konsep NKRI sejak awal tidak bermaksud untuk bersifat sentralistik berdasarkan ketentuan UUD 1945 baik sebelum maupun sesudah
perubahan
yang
berarti
menganut
asas
desentralisasi,
dekonstruksi dan tugas pembantuan. Untuk
mengetahui
dan
memahami
lebih
lanjut
tentang
hubungan pusat dengan daerah, maka dapat disimak landasan konstitusional dalam Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 "Pemerintahan daerah
menjalankan
otonomi
seluas-luasnya,
kecuali
urusan
pemerintahanan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah
pusat".
Berkaitan
dengan
ketentuan
di
atas,
telah
dijabarkan lebih lanjut melalui Undang-undang No. 32 Tahun 2004 dalam ketentuan Pasal 10;
25
Ibid, hal 79
62
1. Pemerintahan daerah menjalankan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ini ditentukan menjadi urusan pemerintah. 2. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
daerah
...menjalankan
otonomi
seluas-luasnya
berdasarkan otonomi dan tugas pembantuan. 3. Urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah meliputi; politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiscal nasional, dan agama. 4. Dalam
menyelenggarakan
menyelenggarakan
sendiri
urusan atau
pemerintahan
dapat
pemerintah
melimpahkan
sebagian
urusan pemerintahan kepada perangkat pemerintah atau wakil pemerintah di daerah atau dapat menugaskan kepada pemerintah daerah dan/atau pemerintahan desa. 5. Dalam urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah di luar urusan pemerintahan, pemerintah dapat a. menyelenggarakan sendiri urusan pemerintahan; b. melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada gubernur selaku wakil pemerintahan; atau c. menugaskan sebagian urusan kepada pemerintahan daerah dan/atau
pemerintahan
desa
berdasarkan
asas
tugas
pembantuan. Kalau dicermati Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 dan ketentuan Pasal 10 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 di atas, maka dapat diketahui beberapa hal penting yang berkenaan dengan hubungan kewenangan pemerintahan pusat dan daerah sebagai berikut: Di luar enam (6) urusan pemerintahan yang telah ditentukan dalam pasal 10 ayat (3) Undang-undang No. 32 Tahun 2004 sebagai utusan pusat, maka sisa atau
selebihnya
merupakan
urusan
yang
menjadi
wewenang
pemerintahan daerah. Dengan demikian urusan/wewenang daerah dapat dikatakan bersifat tidak terbatas dalam hal apa saja selain enam
63
urusan tersebut, sepanjang daerah yang bersangkutan memiliki kemampuan serta potensi untuk menyelenggarakan dan melaksanakan urusan itu guna membangun/meningkatkan kesejahteraan rakyat. Urusan-urusan yang dilaksanakan oleh pemerintahan daerah ini dalam menjalankan otonomi yang seluas-luasnya dalam rangka mengatur dan mengurus sendiri urusan -urusan pemerintahan sebagai daerah otonomi. Pemerintahan daerah selain mengatur dan mengurus berbagai urusan
yang
bersifat
pemerintahan
pada
pembantuan,
yaitu
otonom,
bidang
juga
tertentu
penugasan
dari
melaksanakan
untuk
menjalankan
pemerintah
kepada
urusan tugas daerah
dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan /atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa. tugas pembantuan pada prinsipnya merupakan keikutsertaan daerah atau desa termasuk masyarakatnya atas kuasa dari pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang harus disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia. Perumusan tentang tugas pembantuan dengan urusan yang menjadi otonomi daerah dalam Undang-undang No. 23/2004 terdapat perbedaan secara mendasar, yaitu untuk pelalsanaan tugas pembantuan dibebani dengan kewajiban mempertanggungjawabkan kepada dan menugaskan atau pemberi tugas oleh yang melaksanakan tugas. Sedangkan urusan pemerintahan yang telah menjadi otonomi daerah tidak ada ketentuan kewajiban mempertanggungjawabkan, tetapi diarahkan dalam kapasitas fungsi pengawasan dalam bentuk preventif maupun represif. Menurut Bagir Manan, "Kalau otonomi dalam arti luas mencakup pula tugas pembantuan (medebewind coadministration), maka otonomi dan tugas pembantuan sama-sama kebebasan dan kemandirian dalam otonomi itu bersifat penuh baik asas maupun cara menjalankannya, sedangkan
64
pada tugas pembantuan terdapat pada cara menjalankannya".268 Pelaksanaan tugas pembantuan diatur/dituangkan dalam peraturan daerah dan/atau keputusan kepala daerah, agar pemerintahan daerah dapat mengatur lebih rinci sesuai dengan keadaan setempat, tetapi kewenangan yang diberikan bersifat terbatas. Sebab, "Peraturan tidak boleh mengatur tugas pembantuan di luar dari yang telah ditentukan dalam
peraturan
pembantuan berdasarkan
perundang-undangan".27
dalam asas
penyelenggaraan
otonomi
dengan
Adanya
asas
pemerintahan
pertimbangan
tugas daerah
keterbatasan
perangkat pemerintah pusat dalam rangka efisiensi dan dayaguna serta hasilguna. Tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah "Sebagai terminal atau langkah awal untuk menuju penyerahan penuh suatu urusan kepada
daerah
sehingga
daerah
mempunyai
pengalaman
dan
kesanggupan untuk mengatur dan mengurus sesuatu urusan tertentu tersebut".28 Jadi, hubungan pusat dengan daerah dalam kerangka otonomi daerah,
merupakan
perundang-undangan,
hubungan yang
yang
berdasarkan
berorientasi
pada
tataran
peraturan hubungan
pengawasan dan bukan pada hubungan atasan bawahan, sehingga dalam kaitan dengan tugas pembantuan daerah tidak mempunyai hak untuk menolak karena sudah merupakan ketentuan undang-undang yang disertai kewajiban daerah mempertanggungjawabkannya. Dalam menyelenggarakan urusan-urusan pemerintahan yang menjadi
urusan
melimpahkan
pemerintah
kepada
gubernur
pusat,
dapat
sebagai
wakil
dilakukan
sendiri,
pemerintah,
atau
menugaskan kepada pemerintah daerah dan/atau desa dengan tugas pembantuan. Sesuai dengan ketentuan Pasal 20 ayat (20) UndangBagir Manan, Hubungan Antara Pusat dan Daerah menurut UUD 194, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1999, hal. 18. 27 Ibid, hal. 62 26
28
Bagir Manan, Op. Cit. hal. 20
65
undang No. 32/2004, "Dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan, pemerintah menggunakan asas desentralisasi, tugas pembantuan dan dekonsentrasi
sesuai
dengan
peraturan
perundangundangan.
Berkaitan dengan penerapan asas dekonsentrasi, adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertical di wilayah tertentu. Messkipun dalam ketentuan Pasal 18 tidak mengatur mengenai dekonsentrasi atau pemerintahan wilayah, namun hal itu sama sekali bukan berarti tidak perlu atau kurang penting dekonsentrasi, tetapi dekonsentrasi adalah mekanisme penyelenggaraan urusan pusat di daerah.
Urusan-urusan
pemerintahan
itu
begitu
banyak
dan
bersangkut paut satu sama lain, meskipun dapat dibedakan antara urusan pusat dengan urusan daerah tetapi keduanya tidak dapat dipisahkan
secara
dekonsentrasi
dapat
matematis. dipandang
"Hubungan sebagai
desentralisasi
hubungan
dan
tarik-menarik
antara dua kekuatan. Makin besar tarikan desentralisasi makin kecil posisi dekonsentrasi, dan makin besar tarikan dekonsentrasi makin mengecil dekonsentrasi. Tetapi dalam keadaan tertentu, dapat terjadi perbedaan yang menyolok antara desentralisasi dan dekonsentrasi".29 Keberadaan desentralisasi dan dekonsentrasi, hendaknya dapat terus
berjalan
masyarakat.
sebagaimana
Meskipun
adanya
sesuai
penyelenggaraan
dengan
pemerintahan
dinamika daerah
berdasarkan asas otonomi lebih bersandar pada desentralisasi, namun maka kehadiran dekonsentrasi dapat dibenarkan dengan menghindari beberapa hal, sebagai berikut: 1. Tidak mematikan/memandulkan inisiatif, prakarsa dan kebebasan daerah
dalam
mengatur
dan
mengurus
urusan-urusan
pemerintahan daerah yang bersifat otonom, sehingga daerah menjadi bergantung terus pada pemerintahan pusat; 29
Bagir Manan, Op. Cit. hal. 253
66
2. Agar tidak menimbulkan dualisme penyelenggaraan pemerintahan tingkat daerah; 3. Tidak menimbulkan kontrol/pengawasan yang demikian ketat dari pemerintah pusat terhadap pemerintahan daerah sehingga tidak mencerminkan lagi sebagai daerah otonom; 4. Tidak menimbulkan duplikasi dan tumpang tindih wewenang, tugas serta tanggung jawab dengan satuan pemerintahan otonom yang akan mempengaruhi pelayanan masyarakat.30 Dalam
hubungan
pusat
dengan
daerah,
ada
bagian
pemerintahan yang bersifat Concurrent, yaitu urusan pemerintahan dalam bidang tertentu yang dapat dilaksanakansecara bersama-sama oleh pemerintah pusat dengan pemerintahan daerah. Pada setiap urusan yang bersifat concurrent, akan ada bagian urusan yang menjadi wewenang pemerintah pusat, bagian yang diserahkan kepada provinsi, dan juga diserahkan kepada kabupaten.kota. Untuk Untuk mewujudkan pembagian urusan yang Concurrent secara proposional ini,
didasari
eksternalistis,
dengan
criteria-kriteria
akuntabilitas,
efisiensi
yang dengan
berkenaan
dengan
mempertimbangkan
keserasian hubungan pengelolaan urusan pemerintahan berdasarkan tingkat pemerintahan. Berdasarkan penjelasan umum dalam UU No. 32 Tahun 2004, maka yang menjadi criteria dalam melaksanakan urusan yang concurrent adalah sebagai berikut: 1. Eksternalistik,
dalam
mempertimbangkan
pembagian
urusan
dampak/akibat
senantiasa
yang
timbul
dengan atas
penyelenggaraan itu. Apabila dampak/akibat yang timbul bersifat lokal maka urusan menjadi wewenang kabupaten/kota, berskala
30
'Ateng Syafrudin, Op. Cit. 94
67
regional adalah wewenang provinsi, dan yang berdampak nasional menjadi wewenang pemerintah pusat. 2. Akuntabilitas, pemerintahan
dasar
pendekatan
dengan
dalam
pembagian
mempertimbangkan
bahwa
urusan tingkat
pemerintahan yang berwenang mengurus urusan itu adalah yang lebih langsung/dekat dengan dampak/akibat yang timbul atas pelaksanaan urusan tersebut. Dengan demikian, akuntabilitas dalam penyelenggaraab urusan pemerintahan tersebut kepada masyarakat lebih terjamin; 3. Efisiensi, yang menjadi dasar pertimbangan dalam menempatkan urusan pemerintahan adalah tersedianya sumber daya (Personil, dana, dan peralatan) untuk mendapatkan ketepatan, kepastian, dan kecepatan hasil yang dicapai. Maksudnya sesuatu urusan pemerintahan
akan
lebih
efektif,
efisien,
berhasilguna
dan
berdayaguna apabila dilaksanakan oleh pemerintahan ndaerah provinsi,
dan/atau
kabupaten/kota
dibandingkan
dengan
ditangani oleh pemerintah pusat. Begitu pula sebaliknya, jika nilai lebihnya akan ditangani oleh pemerintah pusat, tentu urusan tersebut akan berada pada kewenangan yang diurus oleh pusat. 4. Keserasian hubungan, bahwa dalam penempatan kewenangan urusan-urusan
pemerintahan
yang
dikerjakan
oleh
tingkat
pemerintahan yang berbeda harus bersifat saling berhubungan (interkoneksi), saling ketergantungan (independensi) dan saling mendukung dalam satu kesatuan system dengan memperhatikan ruang lingkup kemanfaatan. Dalam melakukan pembagian urusan-urusan pemerintahan, akan dilaksanakan melalui proses dan mekanisme penyerahan berdasarkan usulan daerah atas unsur-unsur pemerintahan yang akan diatur dan diurusnya. Pemerintah pusat melakukan verifikasi
68
terlebih dahulu sebelum memberi pengakuan terhadap urusanurusan pemerintahan yang menjadi wewenang untuk dijalankan oleh pemerintahan
daerah.
Meskipun
penyelenggaraan
pemerintahan
daerah berdasarkan otonomi luas, daerah dapat menjalankan semua urusan
pemerintahan
dalam
bidang
apa
saja
di
luar
urusan
pemerintahan pusat. Namun dalam pelaksanaan, finalisasi urusanurusan
yang
menjadi
wewenang
pemerintahan
daerah
harus
berdasarkan pengakuan terlebih dahulu dari pemerintah pusat setelah melakukan verifikasi atas urusan-urusan yang diusulkan oleh daerah. Prosedur
penyerahan
urusan
pemerintahan
sebagaimana
tersebut dalam uraian di atas adalah cara yang dipergunakan berdasarkan Undang-undang No. 32 Tahun 2004, dan merupakan hal yang membedakan dengan Undang-undang No. 22 Tahun 1999, yaitu bahwa penyerahan suatu urusan pemerintahan kepada daerah tidak memerlukan pengakuan terlebih dahulu dari pemerintah pusat. Mengingat demikian luasnya otonomi yang dapat dimiliki oleh suatu daerah otonom dan banyaknya urusan pemerintahan yang harus diatur/diurus sebagai kewenangan pemerintahan daerah, maka dalam Undangundang No. 32/2004 membagi urusan-urusan itu ke dalam urusan wajib dan pilihan sebagaimana telah diatur dalam ketentuan Pasal ll ayat (3) dan (4); "Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah ... terdiri atas urusan wajib dan pilihan. Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib yang berpedoman pada standar pelayanan minimal dilaksanakan secara bertahap dan ditetapkan oleh pemerintah. Hubungan antara pemerintahan pusat dengan pemerintahan daerah merupakan hubungan kekuasaan dan pembagian tugas dari negara kepada penyelenggaraan negara pada tingkat pusat secara nasional dan daerah secara regional serta lokal. Dan pada hakikatnya dimaksudkan pada pembagian tugas, kewajiban, kewenangan dan
69
tanggung
jawab.
"Sistem
penyelenggaraan
pemerintahan
daerah
dengan cara pembagian tugas, kewajiban, dan kewenangan antara pusat dengan daerah bertitik tolak dari suatu dasar pemikiran dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia, dan yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan pemerintah secara keseluruhan adalah pemerintah pusat".31 Penjabaran
dan
pemikiran
tersebut
di
atas
terdapat
keterkaitannya dengan rumusan yang diatur dalam Indang-undang No.32 Tahun 2004 pada pasal tentang hubungan pusat dan daerah; a. ayat (4), pemerintahan daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan memiliki hubungan dengan pemerintah dan dengan pemerintahan daerah lainnya; b. ayat (5), hubungan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), maliputi hubungan kewenangan, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya; c. ayat (6), hubungan keuangan '... dilaksanakan secara adil dan selaras; d. ayat (7), hubungan sebagaimana dalam rumusan ayat (5) menimbulkan hubungan administrasi dan kewilayahan antar susunan pemerintahan; Sejalan dengan hakikat dan asas otonomi yang dianut oleh Undang-undang No. 32/2004 adalah otonomi seluas-luasnya dan diikuti
dengan
nyata
serta
bertanggungjawab,
maka
dalam
pelaksanaannya, otonomi daerah: 1. Harus sesuai dan serasi dengan politik dan kesatuan bangsa; 2. Harus dapat menjamin hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dengan daerah atas dasarkeutuhan negara kesatuan; 3. Harus dapat menjamin perkembangan dan pembangunan daerah.
31
Ateng Syafrudin, Op. Cit.
70
Masalah hubungan pusat dengan daerah, merupakan refleksi dari hubungan fungsi antara institusi di pusat dengan daerah yang sarat dengan berbagai muatan politik, ketatanegaraan dan sebagainya. Dalam hubungan ini, guna efektifitas pelaksanaan pemerataan, maka fungsi distribusi akan lebih efektif tetap ditangani oleh pemerintah pusat. Karena itu, pengelolaan sumber-sumber utama seyogianya tetap diarahkan dengan pembagian hasil yang adil dan mencerminkan negara kesatuan. Meskipun subsidi/bantuan merupakan sumber pendapatan daerah yang dominan, bukanlah berarti tidak ada otonomi daerah, karena otonomi daerah pada dasarnya adalah pembagian kekuasaan kepada daerah dalam merencanakan dan menggunakan dananya sesuai dengan prioritas daerah, terlebih lagi bantuan tersebut pada gilirannya dalam bentuk bantuan umum (block grant). Meskipun peningkatan PAD harus tetap diupayakan, namun sulit dibayangkan apabila dimaksudkan menjadi sumber utama pembiayaan semua daerah di Indonesia, dengan pertimbangan keadaan potensi sumber daya alam mempunyai kondisi yang tidak seragam dari segi kualitas maupun kuantitas. Dan perlu dijaga agar semangat meningkatkan PAD oleh masing-masing daerah tidak menimbulkan ancaman disintegrasi bangsa atas negara kesatuan RI. Mengingat luasnya wilayah Indonesia dengan keadaan potensi yang berbedabeda, perimbangan keuangan pusat dan daerah harus tetap dalam kerangka semakin kokohnya persatuan dan kesatuan bangsa. Dan sekalipun pemberian otonomi daerah merupakan jalan terbaik untuk memecahkan ketegangan hubungan pusat dengan daerah, akan tetapi dalam realisasinya masih membuka peluang untuk terjadinya gejolak yang menggambarkan belum singkronnya penerapan otonomi daerah dengan konsep dasar sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan
yang
berlaku.
Untuk
itu
guna
mendekatkan tujuan otonomi daerah sesuai dengan konsepnya dalam
71
mewujudkan kesejahteraan masyarakat, pemberian otonomi setidaknya memperhatikan dua hal:
1. Pengalihan kekuasaan secara besar-besaran ke daerah-daerah akan mengandung kedaerahah
konsekuensi, yang
yaitu
berlebihan.
berkembangnya
Karena
itu,
semangat
pengembangan
demokratisasi di daerah harus didukung oleh pelunakan isu-isu primordial,
dan
hak-hak
minoritas
harus
ditegakkan
serta
dilindungi; 2. Pengalihan kewenangan untuk mengelola SDA harus didukung oleh teknologi serta penerapan sebuah distribusi nasional yang baik dan mampu
menjembatani
masalah
ketimpangan
agar
menjamin
pemerataan sumber daya ekonomi bagian daerahdaerah.
72
BAB IV
KONSEP IDEAL HUBUNGAN PUSAT DAN AERAH
Penyelenggaraan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan asas desentralisasi yang perwujudannya adalah pemberian otonomi kepada daerah
melalui
pelaksanaan
urusan.
pemerintahan
dekonsentrasi pelimpahan
penyerahan
dan
tugas
kewenangan
di
Selain
daerah
pembantuan dari
asas
desentralisasi,
ditunjang yang
pemerintah
oleh
dilakukan
kepada
asas melalui
pemerintahan
daerah. Konsekuensi
dari
penyerahan
urusan
dan
pelimpahan
kewenangan kepada daerah, maka diatur pula hubungan antara pusat dan daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan baik hubungan yang terkait dengan kewenangan, keuangan, pengawasan, pelayanan kepada masyarakat dan hubungan organisasi. Hubungan Pusat dan Daerah cukup menarik untuk bahan diskusi, karena masalah tersebut dalam kenyataan penyelenggaraan pemerintahan sering terjadi tarik menarik kepentingan antara kedua satuan pemerintahan (pusat dan daerah), sehingga tidak jarang menimbulkan ketegangan (spanning) antara pusat dan daerah. Hubungan
Pusat
dan
Daerah
dalam
Negara
kesatuan,
kelazimannya pemegang kendali dan otoritas pemerintahan adalah di Pusat,
dengan
kata
lain
bahwa
kekuasaan
bertumpu
pada
pemerintahan pusat. Kewenangan yang diberikan oleh Pusat kepada Daerah sangat terbatas. Dalam pelaksanaan sistem kekuasaan di pemerintahan
dikenal
pola
negara
kesatuan
yang
berkarakter
sentralistik dan desentralistik. Sentralistik yaitu kekuasaan banyak bertumpu
pada
pemerintahan
pusat,
sedangkan
dalam
stelsel
desentralistik, kekuasaan dan kewenangan sebagian diberikan kepada
73
pemerintahan di tingkat lokal atau pemerintahan daerah yang dikenal istilah otonomi daerah. Landasan konstitusional hubungan pusat dan daerah diatur di dalam Pasal 18A ayat (1) dan ayat (2) sebagai berikut : (1) Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekuasaan dan keragaman daerah. (2) Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang. Sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 18A ayat (1) dan Ayat (2) UUD
Negara
Republik
Indonesia
1945,
maka
landasan
konstitusional tersebut diulangi pengaturannya lebih lanjut oleh
Undang-Undang
Nomor
32
Tahun
2004
tentang
Pemerintahan Daerah yang diatur di dalam Pasa12 ayat ayat (4), ayat (5), ayat (6), dan ayat (7) sebagai berikut: (1) Pemerintahan
daerah
dalam
menyelenggarakan
urusan
pemerintahan memiliki hubungan dengan Pemerintah dan dengan pemerintahan daerah lainnya. (2)
Hubungan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya. (3) Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya dilaksanakan secara adil dan selaras. (4)
Hubungan
wewenang,
keuangan,
pelayanan
umum,
pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya menimbulkan hubungan administrasi dan kewilayahan antar susunan pemerintahan.
74
Dari pengaturan tersebut tampak bahwa hubungan antara Pemerintah (Pusat) dan Daerah meliputi beberapa aspek hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang dilaksanakan secara adil dan selaras. Hubungan ini harus dilaksanakan dengan menggunakan mekanisme perangkat peraturan dan dilaksanakan secara adil dan selaras.
1. Kekuatan dan Kelemahan hubungan Pusat dan Daerah. a. Kekuatan Dalam upaya mengkaji dan merestrukturisasi kembali pola hubungan pusat dan daerah sehingga ditemukan pola hubungan yang ideal antara pusat dan daerah, maka perlu dikemukakan terlebih dahulu tentang faktor-faktor yang menjadi kekuatan dan kelemahan dari pola hubungan dan kondisi yang ada saat sekarang. Dalam menjalin hubungan pusat dan daerah yang harmonis, maka dapat dikemukakan beberapa faktor kekuatan sebagai berikut: (1)
Salah
satu
kesepakatan
Permusyawaratan Undang-Undang
Rakyat Dasar
penting sebelum
1945
oleh
anggota
melakukan
adalah
Majelis
Amandemen
dipertahankan
dan
diperkokohnya prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, sehingga penyelenggaraan otonomi daerah diarahkan untuk tetap menjaga kesinambungan dan keharmonisan hubungan antara pusat dan daerah dengan prinsip tetap dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. (2)
Antusiasme desentralisasi
daerah
yang
melalui
menghendaki
pelaksanaan
diterapkan
otonomi
daerah
asas oleh
pemerintah pusat disikapi dengan penerapan prinsip otonomi seluas-luasnya, nyata dan bertanggung jawab, sehingga daerah termotivasi
untuk
membangun
daerah
dengan
berbagai
kewenangan yang ada.
75
(3)
Otonomi daerah dimaksudkan untuk mempercepat akselerasi pembangunan daerah.
(4)
Otonomi daerah yang memberikan banyak kewenangan kepada daerah,
khususnya
bagi
daerah
kabupaten/kota
berarti
mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. (5)
Adanya kemandirian daerah dalam pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya manusia.
(6)
Melalui bottom up policy, maka pelaksanaan pembangunan melibatkan
partisipasi
masyarakat
(pola
pembangunan
dari
perencanaan partisipatif). b. Kelemahan Selain
faktor
kekuatan,
juga
terdapat
faktor
kelemahan
pelaksanaan hubungan pusat dan daerah yang meliputi: (1)
Euforia otonomi
otonomi yang
melahirkan
mengabaikan
kecenderungan dan
kurang
pelaksanaan
memperhatikan
ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh pusat sehingga mengganggu keharmonisan hubungan pusat dan daerah. (2) Ketidakjelaskan sebagian kewenangan yang diberikan oleh pusat kepada daerah, dan tarik ulur kewenangan yang telah diberikan oleh pusat kepada daerah, sehingga mengganggu pemerintah daerah dalam melaksanakan urusan otonomi. (3) Akibat pengaruh Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang tidak
adanya
Kabupaten/Kota,
hubungan
hirarkis
meskipun
antara
sudah
Provinsi
dirubah
dan
dengan
ditetapkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, namun terkait hubungan Provinsi dengan Kabupaten/Kota masih menyisakan pola lama tersebut. (4) Kerancuan dalam pelaksanaan pengawasan produk hukum daerah oleh pusat, yaitu adanya ketentuan bahwa pemerintah
76
pusat
memiliki
kewenangan
untuk
pembatalan
peraturan
daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. (5) Pemahaman daerah terhadap otonomi daerah adalah kekuasaan untuk melaksanakan urusan dan kewenangan sepenuhnya ada pada daerah sehingga dalam pembentukan produk hukum daerah dan pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan sepenuhnya berada pada daerah tidak perlu ada campur tangan pemerintah pusat. Konsep
hubungan
Pusat
dan
Daerah
dalam
konteks
pelaksanaan asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan harus saling menguntungkan antara pemerintah dan pemerintah daerah
dengan
tetap
berpedoman
pada
prinsip-prinsip
dasar
pelaksanaan hubungan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 bahwa prinsip-prinsip dasar hubungan Pusat dan Daerah meliputi: 1. Daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, nyata dan bertanggung jawab 2. Prinsip kekhususan daerah. 3. Prinsip mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya. 4. Prinsip mengakui dan menghormati pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan istimewa. 5. Prinsip adil dan merata. 6. Prinsip harus memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.
77
2.
Hubungan Kewenangan Dalam suatu lembaga atau organisasi yang besar seperti Negara
yang
menganut
dekonsentrasi,
faham di
demokrasi,
selain
selenggarakan
pula
asas
sentralisasi
asas
dan
desentralisasi.
Penyelenggaraan pemerintahan di daerah di Indonesia berdasarkan ketentuan
Undang-Undang
Nomor
32
Tahun
2004
tentang
Pemerintahan Daerah dilaksanaksanakan dengan asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Dengan asas desentralisasi, maka pembentukan dan implementasi kebijakan, tersebar ke berbagai jenjang pemerintahan yang lebih rendah. Asas ini berfungsi untuk menciptakan keanekaragaman dalam penyelenggaraan pemerintahan, sesuai dengan kondisi dan potensi masyarakat sebagai obyek penerima pelayanan dari pemerintah. Dengan
dianutnya
asas
desentralisasi
tidak
berarti
asas
sentralisasi ditinggalkan, karena dalam kenyataan penyelenggaraan pemerintahan di suatu negara asas sentralisasi meskipun dalam kapasitas tertentu secara implisit tetap ada. Asas sentralisasi dan desentralisasi tidak bersifat dikotomis, melainkan kontinum, tidaklah mungkin
diselengarakan
dsentralisasi
tanpa
sentralisasi,
sebab
desentralisasi tanpa sentralisasi akan menghadirkan disintegrasi.32 Oleh karena itu otonomi daerah yang pada hakekatnya mengandung kebebasan dan keleluasaan berprakarsa, memerlukan bimbingan dan pengawasan Pemerintah, sehingga tidak menjelma menjadi kedaulatan. Otonomi daerah dan daerah otonom adalah ciptaan Pemerintah. Walaupun demikian, hubungan antara daerah otonomi dan Pemerintah adalah hubungan antarorganisasi dan bersifat resiprokal.33 Hubungan kewenangan antara Pusat dan Daerah antara lain berkaitan
dengan
cara
pembagian
urusan
penyelenggaraan
32
Ni'matul Huda, Hukum Pemerintahan Daerah, Nusa Media, Bandung, 2007, ha1.13 Benyamin Hoessein, " Hubungan Kewenangan Pusat dan Daerah, dalam Soetandyo Wignosubroto dkk., Pasang Surut Otonomi Daerah Sketsa Perjalanan 100 Tahun, Institute for Local Development Yayasan Tifa, 2005, hal. 199). 33
78
pemerintahan atau cara menentukan urusan rumah tangga daerah. Cara penentuan urusan tersebut akan mencerminkan bentuk otonomi terbatas atau otonomi luas. Dapat digolongkan sebagai otonomi terbatas apabila, pertarrla, urusan-urusan rumah tangga daerah ditentukan secara kategoris dan pengembangannya diatur dengan cara-cara
tertentu
pula.
Kedua,
apabila
sistem
supervise
dan
pengawasan dilakukan sedemikian rupa, sehingga daerah otonomi kehilangan kemandirian untuk menentukan secara bebas cara-cara mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya. Ketiga, system hubungan keuangan antara pusat dan daerah yang menimbulkan halhal seperti keterbatasan kemampuan keuangan asli daerah yang akan membatasi rung gerak otonomi daerah.34
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, otonomi yang dianut adalah bentuk otonomi luas (prinsip otonomi seluas-luasnya). Dalam arti daerah diberi kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintah yang ditetapkan dalam undang-undang. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Meskipun dianut prinsip otonomi seluas-luasnya, tetapi masih dibatasi
kewenangannya
berdasarkan
ketentuan
undang-undang,
karena ada kewenangankewenangan atau urusan-urusan yang masih menjadi urusan pemerintah (pusat). Selain itu prinsip otonomi luas tersebut diserta dengan otonomi nyata dan bertanggung jawab. Dalam kaitan dengan kewenangan, masih terjadi adanya tarik ulur
kewenangan 34
antara
pusat
dan
daerah.
Ada
kewenangan-
Op.Cit, hal. 15
79
kewenangan yang sudah menjadi kewenangan wajib bagi daerah, tetapi dalam bagian tertentu dari kewenangan-kewenangan tersebut masih harus ditangani oleh pusat, misalnya kewenangan untuk beberapa perizinan. 3. Hubungan Keuangan Berkenaan dengan hubungan keuangan pusat dan daerah erat kaitannya dengan asas penyelenggaraan pemerintahan di daerah sebagai latar belakang timbulnya hubungan keuangan pusat dan daerah,
yaitu
asas
desentralisasi,
demonsentrasi
dan
tugas
pembantuan (medebewind). Ketiga asas penyelenggaraan pemerintahan daerah tersebut merupakan landasan pokok dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Hubungan keuangan pusat dan daerah sebenarnya timbul sebagai akibat dari penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan asas tersebut sehingga corak hubungan keuangan pusat dan daerah diwarnai oleh hubungan fungsi pusat dan daerah menurut ketiga asas tersebut. Untuk mewujudkan asas desentralisasi, maka dibentuk dan disusun daerah provinsi, daerah kabupaten/kota yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri bedasarkan aspirasi masyarakat..Berdasarkan asas tersebut, pusat melimpahkan sebagian dari tugas, wewenang dan urusan pemerintahannya kepada daerah sehingga timbul hubungan fungs dalam arti ada tugas dan wewenang tertentu tetap dilaksanakan oleh pusat dan ada tugas dan wewenang tertentu yang dilaksanakan oleh daerah sebagai akibat dari pelimpahan dan wewenang dari pusat. Sebagai konsekuensi dari pelimpahan tugas dan wewenang tersebut, pusat menyerahkan pula sebagian sumber-sumber keuangan untuk membiayai pelaksanaan tugas dan wewenang itu. Hal itu menjadi latar belakang timbulnya masalah hubungan keuangan pusat dan daerah.
80
Untuk melihat sistem hubungan keuangan pusat dan daerah, maka harus dilihat keseluruhan tujuan hubungan keuangan pusat dan daerah. Menurut Machfud Sidik, ada 4 (empat) kriteria yang perlu diperhatikan untuk menjamin adanya sistem hubungan keuangan pusat dan daerah, yaitu4:35 l. Sistem tersebut seharusnya memberikan distribusi kekuasaan yang rasional di antara berbagai tingkat pemerintah mengenai penggalian sumber-sumber dana pemerintah dan kewenangan penggunaannya, yaitu suatu pembagian yang sesuai pola umum desentralisasi. 2. Sistem tersebut seharusnya menyajikan suatu bagian yang memadai
dari
keseluruhan
sumbersumber
untuk
membiayai
dana
masyarakat
pelaksanaan
secara
fungsi-fungsi
penyediaan pelayanan dan pembangunan yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah. 3. Sistem tersebut seharusnya sejauh mungkin mendistribusikan pengeluaran pemerintah secara adil di antara daerah-daerah, atau
sekurang-kurangnya
memberikan
prioritas
pada
pemerataan pelayanan kebutuhan dasar tertentu. 4. Pajak dan retribusi yang dikenakan oleh pemerintah daerah harus sejalan dengan distribusi yang adil atas beban keseluruhan dari pengeluaran pemerintah dan masyarakat. Selain itu, menurut Ni'matul Huda, terdapat 3 (tiga) aspek yang menentukan terjadinya perimbangan keuangan yang adil, yaitu:36 a. Sampai sejauhmana pemerintah daerah telah diberi sumbersumber keuangan yang cukup terutama yang bersumber dari pajak daerah dan retribusi daerah.
35 36
Op.Cit. hal. 17 Op.Cit, hal. 19.
81
b. Sampai sejauhmana pemerintah daerah telah mendapatkan akses ke pendapatan yang bersumber dari hasil pajak dan SDA, serta c. Sampai sejauhmana pemerintah daerah telah mendapatkan subsidi yang adil dan efektif.
Dilihat dari dana untuk pembiayan pembangunan daerah, yaitu mencapai
50%
dari
penerimaan
daerah
adalah
ditransfer
oleh
pemerintah pusat sehingga hal ini menurut A.S.Hikam menghasilkan dampak-dampak negatif sebagai berikut:37 a. kesenjangan antara pusat dan daerah dalam hal administratif dan anggaran; b. hubungan ketergantungan antara pusat dan daerah dimana daerah menjadi subordinasi; c. ketimpangan pembangunan antar daerah sebagai hasil dari ketidakmerataan alokasi dana pembangunan dan kebijakan yang kurang fleksibel; d. keterasingan masyarakat daerah terhadap pemerintahan daerah dan wakilwakilnya di DPRD; e. hilangnya daya kreatif dan inisiatif di daerah karena model pembangunan top-down; f. proses pemiskinan sumber daya mansuia di daerah karena penyerapan pusat. 4. Hubungan Pengawasan Sebagai konsekuensi dari penerapan asas desentralisasi dalam kerangka membangun dasar dari hubungan Pemerintah dengan Pemerintah Daerah dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia
37
A.S.Hikam dalam Yuwono Teguh (ed.), Manajemen Otonomi Daerah, Membangunan Daerah berdasar Paradigma Baru, GAPPS Diponegoro University, 2001, ha1.91
82
yang
kokoh,
maka
diperlukan
pemahaman
yang
komprehensif
terhadap pola hubungan pusat dan daerah. Dasar hubungan adalah Pemerintah Pusat menyerahkan sebagian urusan dan melimpahkan sebagian wewenang pemerintahan kepada daerah untuk diatur dan diurus sendiri sebagai urusan rumah tangga daerah (otonomi) dan melaksanakan
kewenangan
yang
dlimpahkan
oleh
pemerintah
berdasarkan asas dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Adanya urusan yang diserahkan yang menjadi urusan rumah tangga
daerah
berarti
bahwa
daerah
memiliki
kebebasan
dan
kemandirian dalam mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang telah menjadi kewenangannya, namun demikian kebebasan dan kemandirian Daerah tersebut tetap dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai dasar dari mekanisme pemerintahan di dalam Negara. Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah dengan kebebasan dan kemandirian daerah agar tidak keluar dari atau menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku dan ikatan Negara kesatuan, maka diperlukan pengawasan sebagai sarana kordinasi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dan juga sebagai media control dalam pelaksanaan pemerintahan daerah. Pengawasan dilaksanakan sebagai suatu usaha preventif, untuk menjaga terjadinya kekeliruan dan kesalahan untuk menjadi bahan perbaikan, juga sebagai tindakan represif.. Fungsi pengawasan sebagai tindakan yang dimaksudkan untuk mencegah kemungkinan terjadinya penyimpangan tugas pemerintahan sebagaimana dasar-dasarnya diatur di dalam peraturan perundangundangan yang berlaku. Aspek
pengawasan
yang
menjadi
permasalahan
terkait
hubungan Pusat dan Daerah adalah pengawasan yang dilakukan oleh Pusat terhadap pembentukan produk hukum daerah, khususnya pembentukan peraturan daerah.
83
Pengawasan
yang
dilakukan
adalah
pengawasan
preventif
dan
pengawasan represif. Pengawasan preventif dilakukan oleh Pemerintah Pusat terhadap peraturan daerah tertentu seperti Rancangan Peraturan Daerah tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Tata Ruang, Pajak dan Retribusi Daerah yaitu sebelum rancangan peraturan daerah
dilakukan
pembahasan
oleh
Pemerintah
dengan
Dewan
Perwakilan Perwakilan Rakyat Daerah, maka harus dikonsultasikan ke Pemerintah Pusat melalui Menteri Dalam Negeri dan Departemen terkait. Untuk pengawasan represif, sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yaitu adanya kewenangan Pemerintah Pusat melalui Menteri Dalam Negeri untuk melakukan evaluasi dan kajian terhadap peraturan daerah yang pada akhirnya membawa implikasi pembatalan peraturan daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Pengawasan seperti ini akan mempengaruhi pelaksanaan otonomi daerah, karena prinsip otonomi yang dianut adalah prinsip otonomi seluas-luasnya, nyata dan bertanggung jawab, sehingga daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan kewenangan otonomi yang diberikan kepada daerah. 5. Hubungan dalam Organisasi Pemerintahan Daerah Aspek
lain
yang
mempengaruhi
pola
hubungan
antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah adalah susunan organisasi pemerintahan
daerah,
terutama
dalam
negara
kesatuan
yang
desentralisasi. Kewenangan yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat dalam Negara kesatuan sangatlah Was karena mencakup seluruh warga dan wilayah Negara baik di dalam negeri maupun luar negeri,
84
sehingga ada pendelegasian kewenangan ( delegation of authority) baik yang menyangkut desentralisasi maupun dekonsentrasi. Susunan organisasi pemerintahan daerah juga merupakan salah satu aspek yang dapat mempengarugi hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Hal ini dapat dilihat dari peran
dan
fungsi
masing-masing
susunan
atau
tingkatan
pemerintahan dalam penyelenggaraan otonomi, artinya peran dan fungsi tersebut dapat ditentukan oleh pelaksanaan titik berat otonomi yang dijalankan. Menurut Bagir Manan ( Ni'matul Huda, hal 25), pengaturan dan pelaksanaan titik berat otonomi sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: (a) sistem rumah tangga daerah; (b) ruang lingkup urusan pemerintahan; dan (c) sifat dan kualitas suatu urusan. Pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah akan sangat tergantung kepada karakteristik dari masing-masing negara, sehingga untuk Negara Indonesia, heterogenitas daerah, baik yang berkaitan populasi, potensi sumber daya alam dan jenis urusan yang mampu dilaksanakan oleh daerah. C. Hubungan yang Ideal Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Hubungan Pusat dan Daerah yang diatur di dalam peraturan yang mengatur tentang pemerintahan daerah yang berlangsung selama ini masih mencari bentuk sehingga berbagai upaya terus dilakukan untuk mencari format baru suatu hubungan pusat dan daerah yang ideal, sehingga kajian-kajian yang mengarah ke hal tersebut terus dilakukan. Untuk menjamin hubungan kewenangan antara Pusat dan Daerah, yang ideal, maka harus ada kejelasan kewenangan yang diberikan kepada daerah dengan segala implikasinya sehingga tidak terjadi tarik ulur kewenangan yang diberikan kepada daerah oleh Pusat, yang berakibat selain tidak adanya kepastian hukum terkait
85
dengan kewenangan, juga akan akan mempengaruhi pelaksanaan kewenangan tersebut oleh daerah. Suatu sistem hubungan keuangan Pusat dan Daerah, maka harus dilihat seberapa luas kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah daerah dalam kebebasan untuk melakukan pungutan-pungutan, menetapkan tarif dan ketentuan penerapan sanksinya, dan seberapa luas kewenangan pemerintah daerah dalam menentukan besar dan arah pengeluarannya. Pola hubungan keuangan pusat dan daerah, maka harus dilihat keseluruhan tujuan hubungan keuangan pusat dan daerah dengan memberikan distribusi kewenangan yang rasional di antara tingkat pemerintah tentang penggalian sumber-sumber dana pemerintah dan kewenangan penggunaannya dan pembagiannya sesuai dengan pola umum desentralisasi. Hubungan keuangan Pusat dan Daerah juga menyangkut pembagian yang adil kepada daerah dari penggalian sumber daya alam daerah, karena dari sumber daya alam merupakan sumber yang cukup potensial bagi daerah dalam rangka pembiayaan pembangunan daerah. Untuk menjamin hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang ideal, maka konsep hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah yang ideal antara lain: 1. Kemandirian daerah harus ditempatkan sebagai penyangga bagi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka harus tetap dijaga, dan tidak terlalu dikekang. a. Hal ini penting dilakukan, karena Indonesia adalah Negara yang heterogen,
tidak
bisa
dilakukan
penyeragaman
atau
pengendalian dari pemerintah pusat, sehingga perlu diberikan ruang bagi proses pembelajaran politik di daerah, indikatornya. b. kembalikan fungsi DPRD sebagai badan legislative ( perubahan rumusan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004);
86
c. kembalikan fungsi Badan Permusyawaratan Desa sebagai Badan Perwakilan Desa yang berfungsi sebagai badan legislative desa; d. kembalikan istilah kewenangan, bukan menjadi urusan, apalagi dengan pengelompokkan urusan menjadi dua, yaitu; urusan wajib dan pilihan ( Bab III Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebaiknya Pembagian Kewenangan). 2. Pemekaran wilayah baik provinsi, kabupaten/kota maupun desa yang
terlalu
mudah,
di
samping
berpeluang
menciptakan
disintegrasi bangsa, konflik vertikal maupun horizontal di daerah, juga tidak signifikan dengan efektifitas pelayanan public, sehingga sebaiknya dibuat persyaratan yang agak ketat ( Pasal 4 dan Pasal 5 UU Nomor 32 Tahun 2004). 3. Untuk manajemen pembangunan yang teritegrasi antara pusat dan daerah, jalannya keluarnya adalah perencanaan pembangunan provinsi dan kabupaten/kota terintegrasi dengan perencanaan nasional.
Tetapi,
perencanaan
agar
permasalahan
pembangunan
daerah
nasional,
terjawab
maka
dalam
perencanaan
pembangunan nasional yang mengikuti perencanaan daerah. Untuk pada Bab VII harus ada pasal atau ayat yang mengharuskan perencanaan
pembangunan
nasional
dilaksanakan
melalui
perencanaan daerah. Persyaratan implementatifnya, adalah Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) harus menjadi lebih teknis yang lebih hirarkis dengan Badan Perencanaa Pembangunan Nasional ( BAPPENAS). 4. Pembagian keuangan khususnya dari sektor Sumber Daya Alam maupun
sektor
yang
memiliki
peluang
akses
daerah
harus
proporsional, berkeadilan dan berprespektif kepentingan umum. Contoh paling sederhana pembagian hasil dari kehutanan dan pembagian hasil dari pajak kendaraan. Janganlah daerah dijadikan sebagai tempat pembuangan limbah, setelah itu ditinggal. Hal ini
87
penting untuk menghindari kecemburuan ekonomi yang pada akhirnya memunculkan penolakan pembangunan di daerah, mulai dari cara yang elegan sampai cara yang anarkis. Untuk
mewujudkan
keselarasan,
keharmonisan,
dan
keseimbangan hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, kata kuncinya kembali kepada kemauan politik dan komitmen elit politik pusat terhadap kesejahteraan masyarakat di daerah. Dengan kedua hal ini, maka pembentuk peraturan yang mengatur tentang pemerintahan daerah dapat berpikir lebih obyektif, dengan melihat aspek keadilan, aspek keaneragaman kondisi daerah, dan aspek potensi daerah.
88
BAB V SIMPULAN Berdasarkan hasil kajian dan analisis dalam pembahasan babbab terdahulu dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Bentuk hubungan pusat dan daerah berdasarkan undang-undang pemerintahan daerah di Indonesia belum menampakkan wajah yang jelas. Prinsip otonomi daerah dengan kewenangan menjalankan rumah tangga sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat tidak sepenuhnya dilaksanakan. Pemerintah Pusat masih setengah hati memberikan otonomi daerah. Hubungan kewenangan, pengawasan, keuangan, dan pelayanan publik tidak jelas batasannya, sehingga daerah
tidak
bisa
betul-betul
melaksanakan
kebebasan
dan
kemandiriannya secara nyata. Ketergantungan pemerintah daerah kepada pusat selalu terjadi pada setiap undang-undang tentang pemerintahan daerah. Ketergantungan ini dijadikan politik hukum sebagai perekat antara pemerintah pusat dan daerah dalam negara kesatuan. 2. Prinsip-prinjsip negara kesatuan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang dirumuskan melalui hubungan antara Pusat dan Daerah dilaksanakan secara kaku dengan berprinsip bahwa dalam negara kesatuan pemerintah pusat merupakan penentu segalagalanya. Padahal prinsip otonomi seluas-luasnya justru harus mengakomodir pluralisme yang ada dalam masyarakat, karena semakin banyak memberikan kebebasan kepada daerah, maka akan mempersempit ruang untuk terjadinya disintegrasi dan separatisme. Pemerintah Pusat terus melakukan kooptasi terhadap setiap kebijakan yang berhubungan dengan pemerintahan daerah; kemandirian pemerintahan daerah terus dikebiri yang justru akan membahayakan prinsip NKRI.
89
3. Hubungan yang ideal antara Pemerintah Pusat dan Daerah seharus Pemerintah Pusat terus memacu kemandirian Pemerintah Daerah melalui regulasi yang konsisten dari perundang-undangan yang lebih tinggi sampai ke peraturan yang lebih rendah. Pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah harus jelas batas-batasnya, tidak boleh menimbulkan penafsiran yang ambigue. Pembagian/perimbangan keuangan antara pusat dan daerah harus betul-betul dilaksanakan secara proporsional dan realistis. Selain itu, konsep ideal hubungan pusat dan daerah harus memperhatikan kondisi riil yang dimiliki oleh masing-masing daerah terutama potensi di setiap daerah yang sudah dipertimbangkan keberadaannya ideal dan memadai untuk dilaksanakan menjadi kewenangan daerah otonom.
90
DAFTAR PUSTAKA LITERATUR Andi Gadjong, Agus Salim, Pemerintahan Daerah Kajian Politik Dan Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, 2007. Hasibuan, Albert, dkk, (Tim Suara Pembaharuan): Otonomi Daerah Peluang dan Tantangan, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2002. Muslimin, Amrah, Aspek-aspek Hukum Otonomi Daerah, Alumni, Bandung, 1982. Nasution M, Arif, dkk, Demokratisasi dan Problema Otonomi Daerah, CV. Mandar Madju, Bandung, 2000. Syafrudin, Ateng, Pasang Surut Otonomi Daerah, Bina Cipta Bandung, 1985. -------------, Butir-butir Gagasan tentang Penyelenggaraan Hukum dan Pemerintahan yang Layak, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996. Hoessein, Bhenyamin, Berbagai faktor yang Mempengaruhi Besarnya Otonomi Daerah Tingkat II: Suatu Kajian Desentralisasi dan otonomi Daerah Dari Segi Ilmu Administrasi Negara, Disertasi, PPS Fisipol UI. 1993. Manan, Bagir, Hubungan Antara Pusat Dan Daerah Berdasarkan Asas Desentralisasi Menurut UUD 1945, Disertasi. ------------, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum (PSH) Fakultas Hukum UII. Yogyakarta, 2001. Samudra, Syahda Guruh Langkah, Menimbang Otonomi dan Federral, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2000. Situmorang, Sodjuangon, Model Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Provinsi, dan Kabupaten/ Kota. Disertasi, PPS Fisip UI. Ibrahim R, Kapita Selekta Hukum Tata Negara, Bahan Kuliah Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Mataram Nusa Tenggara Barat. Soejito, Irawan, Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Rineka Cipta, Jakarta, 1990.
91
Asshidiqi,
Jimly dan Para Pakar Hukum, Ketatanegaraan Indonesi Kontemporer, Institute, Jakarta, 2007.
Konstitusi dan The Biography
Juanda,
Hukum Pemerintahan Daerah Pasang Surut Hubungan Kewenangan Antara DPRD dengan Kepala Daerah, Alumni, Bandung, 2004.
Kaho, Josef Riwu, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia, Rajawali Pers-PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997. Marzuki
HM., Laica, Hakekat Disentralisasi dalam Sistem Ketatanegaraan RI, (dalam Jurnal Konstitusi), Majalah MK RI Vol. 4 Nomor 1 Maret 2007
Marbun, SF, dkk, Dimensi-dimensi Pemikiran Hukum Adminstrasi Negara, UII Press, Jogjakarta, 2002. Morissan, HTN-RI- Era Reformasi, Ramdina Prakarsa, Jakarta, 2005. Situmorang, Sodjuangon, Model Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Provinsi, dan Kabupaten/ Kota. Disertasi, PPS Fisip UI, Jakarta. 2002. Rozali Abdullah, Pelaksanaan Otonomi Luas dengan Pilkada Secara Langsung. PT. Radja Grafindo Persada, Jakarta, 2005 Situmorang, Sodjuangon, Model Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Provinsi, dan Kabupaten/Kota. Disertasi, PPS Fisip UI, Jakarta. 2002. Sarundajang, Arus Balik Kekuasaan Ke Daerah, Pustaka Sinaar Harapan, Jakarta, 1999. Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Yogyakarta, 2001.
92
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 Undang-undang Nomor 5 tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. LN-RI Tahun 2004 Nomor 125. TLN RI Nomor 4437 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah. LN-RI Tahun 2004 Nomor 126. TLN RI Nomor 4438 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. LN-RI tahun 2008 Nomor 59. TLN R[ Nomor 4844. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Propinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. LN-RI Tahun 2007 Nomor 47. TLN RI Nomor 4737.
93