LAPORAN PENELITIAN INDIVIDU
Pelaksanaan Pembelajaran Berbasis Karakter di MI (Penelitian Survey terhadap Guru di MI se Jabodeta)
OLEH ASEP EDIANA LATIP
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH JURUSAN KEPENDIDIKAN ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2012
0
DAFTAR ISI Abstrak Kata Pengantar Daftar Isi ________ 1 BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah _____ 2 B. Rumusan Masalah ________ 6 C. Tujuan Penelitian ______ 6 D. Manfaat dan Kegunaan Penelitian ________ 6 BAB II Teori Pembelajaran Berbasis Karakter A. Konsep Pembelajaran Berbasis Karakter ________ 7 B. Model Pembelajaran Berbasis Karakter _______ 18 C. Pendekatan Pembelajaran Berbasis Karakter ______ 22 D. Metode Pembelajaran Berbasis Karakter ______ 27 E. Prosedur Pembelajaran Berbasis Karakter ______ 28 F. Organisasi Pembelajaran Karakter ________ 32 G. Pengembangan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Berbasis Karakter ____ 33 H. Penilaian Pembelajaran Berbasis karakter ______ 38 BAB III Metode Penelitian A. Populasi dan Sampel Penelitian __________ 42 B. Metode dan Instrumen Penelitian ________ 43 C. Analisis Data _________ 44 BAB IV Pembahasan Hasil Penelitian A. Pemahaman Guru MI terhadap Pembelajaran Berbasis Karakter _______ 48 B. Pelaksanaan Guru MI Pembelajaran Berbasis Karakter ________ 52 C. Kesulitan Guru MI dalam Pelaksanaan Pembelajaran Berbasis Karakter ________ 66 BAB V Simpulan Penelitian A. Simpulan Penilitian ________ 75 B. Saran Penelitian _________ 76 Daftar Pustaka _______ 77
1
ABSTRAK Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pemahaman guru MI se Jabodeta terhadap pelaksanaan pembelajaran berbasis karakter, Kegiatan pelaksanaan pembelajaran berbasis karakter oleh guru MI dan kesulitan guru MI dalam melaksanaan pembelajaran berbasis karakter. Pendekatan yang digunakan untuk mencapai tujuan penelitian ini yaitu pendekatan kualitatif dengan metode survey terhadap populasi guru MI yang berasal dari wilayah Jakarta Selatan, Bogor, Depok dan Tanggerang (Jabodeta). Sedangkan yang jadi responden dari populasi ditetapkan 10 % sample dengan teknik penyebaran instrument adalah cluster sampling. Instrument penelitian adalah test untuk menguji pemahaman, dan questioner untuk kegiatan pelaksanaan dan menjaring factor kesulitan pembelajaran berbasis karkater. Hasil penelitian diketahui bahwa mayoritas guru MI se-Jabodeta memahami pelaksanaan pembelajaran berbasis karakter dengan prosentase 87 %. Pada aspek pelaksanaan pembelajaran berbasis karakter yang meliputi aspek penyusunan design, pemilihan pendekatan dan penilaian pembelajaran berbasis karakter, 71 % guru MI se-Jabodeta telah melakukan kegiatan pembelajaran pembelajaran berbasis karakter dengan perangkat yang mendukungnya. Pada aspek kesulitan yang dirasakan oleh guru MI se Jabodeta berkenaan dengan aspek keteladanan, monitoring, pengukuran keberhasilan, metode penanaman karakter, proses integrasi karakter, penyusunan desain pembelajaran, buku panduan, dan identifikasi nilai karkater dalam pelaksanaan pembelajaran berbasis karakter secara kesuluruhan 52 % guru MI se Jabodeta mengalami kesulitan untuk melaksanakan pembelajaran berbasis karakter. Dari hasil penelitian, disarankan untuk peneliti selanjutnya untuk melakukan penelitian partisipatif berkenaan dengan pelaksanaan pembelajaran berbasis karakter. Untuk pemerhati pendidikan terutama penggagas pelaksanaan pembelajaran berbasis karakter untuk mengadakan pelatihan bagi guru MI baik berkenaan dengan penyusunan desain, perangkat penilaian, dan penyedianan buku panduan. Sedangkan bagi guru sebagai praktisi pendidikan bahwa pelaksanaan pembelajaran berbasis karakter dapat dioptimalisasi dengan pemberian keteladanan, dan integrasi nilai karakter pada setiap mata pelajaran.
2
ABSTRACT The purpose of this study to determine teachers' understanding of the implementation of MI teacher se-JaBoDeTa (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang) a character based learning, activity-based learning implementation by the teacher's character and difficulty MI teachers to guide learning-based character. The approach used to achieve the goal of this research is a qualitative approach with a method of survey on the population MI teacher from South Jakarta, Bogor, Depok and Tangerang (JaBoDeTa). While the so respondents assigned 10% of the population sample with the instrument deployment technique is cluster sampling. Instrument research is to test comprehension test, and questionnaire for the implementation of activities and net-based learning difficulty factor Character. The results show that the majority of teachers MI JaBoDeTa understand the implementation of a learning-based character with a percentage of 87%. In the aspect of learning-based implementation that includes character design aspects of the preparation, selection and assessment of learning-based approach to character, 71% of teachers MI JaBoDeTa have a learning activity based learning character with a device that supports it. Pada aspek kesulitan yang dirasakan oleh guru MI se JaBoDeTa
berkenaan
dengan
aspek
keteladanan,
monitoring,
pengukuran
keberhasilan, metode penanaman karakter, proses integrasi karakter, penyusunan desain pembelajaran, buku panduan, dan identifikasi nilai karkater dalam pelaksanaan pembelajaran berbasis karakter secara kesuluruhan 52 % guru MI se JaBoDeTa mengalami kesulitan untuk melaksanakan pembelajaran berbasis karakter. From the research, it is advisable for the next researcher to conduct participatory research with regard to the implementation of learning-based character. For education observers mainly character-based originator of the implementation of learning for training for teachers both with respect to the preparation MI design, assessment tools, and penyedianan guidebooks. As for the teachers as educational practitioners that the implementation of character-based learning can be optimized by providing exemplary, and the integration of character values in each subject.
3
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, bersyukur terhadap Dzat Yang Maha Agung atas iradhah dan inayahNya penelitian ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Rahmat dan Salam senantiasa terlimpah curah tehadap Nabiyullah Bagida Nabi Besar Muhahmmad SAW. sebagai sumber utama insane paripurna dalam berkarakter. Penelitian dengan tema “Pelaksanaan Pembelajaran Berbasis Karkater (Penelitian survey terhadap Guru MI Se Jabodeta)” merupakan tema pilihan yang didasarkan pada fenomena kekinian tentang dekarakterize pada setiap lini kehidupan, baik karakter yang berumber pada azas agama (alqur’an) maupun azas bangsa (Pancasila). Pendidikan merupakan salah satu dari komponen bangsa yang memiliki kepentingan untuk melakukan revitalisasi nilai karakter terhadap peserta didik oleh karerna itu tema penelitian ini dikembangkan untuk memperoleh informasi berkenaan dengan tingkat pemahaman guru MI, pelaksanaan dan kesulitan guru MI terhadap pelaksanaan pembelaran berbasis karakter di MI se Jabodeta. Hasil penelitian ini diharapkan berguna asumsi factual terhadap penelitian berkelanjutan, para praktisi pendidikan, dan penggagas praktek pendidikan karakter di sekolah sehingga proses pendidikan karkater melalui proses pembelajaran yang diistilahkan dalam penelitian ini sebagai pembelajaran berbasis karakter dapat tercapai secara optimal. Ucapan terimakasih disampaikan kepada pihak-pihak telah membantu menyelesaikan penelitian ini baik berupa saran, maupun diskusi tentang tema penelitian ini terutama kepada Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah yang telah memberikan bantuan dana bagi terlaksananya penelitian ini. ‘Ala kulli hal, penulisan penelitian ini belum sampai pada tingkat sempurna seperti harapan penelitian ilmiah ideal, oleh karena itu saran konstruktif dari berbagai pihak menjadi obat penawar bagi optimalnya hasil penelitian berikutnya. Namun demikian dibalik kekurangannya, hasil penelitian ini semoga bermanfaat. Amiien!
Peneliti
4
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembelajaran
merupakan
proses
interaktif
dari
kegiatan
belajar
dan
mengajar
(Mulyani:2007). Perspektif ini mendasari proses pembelajaran yang bermuara pada keseimbangan kegiatan yang dilakukan oleh pebelajar dan pengajar. Pengajar berperan dalam merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi bahan pengajaran, memilih metode pengajaran, mengolah media pengajaran, menentukan indikator hasil belajar bahkan menetapkan karakter yang diharapkan. Sementara pebelajar berperan aktif dalam mengeksplorasi, mengelaborasi dan mengkonfirmasi setiap kegiatan yang difasilitasi oleh pengajar. Konsep pembelajaran di atas dibangun berdasarkan paradigma student centered yang secara psikologis
bermakna proses pembelajaran yang
berupaya
memperhatikan tingkat
perkembangan peserta didik atau Developmentaly Approriate Practice, seperti yang disebut Gagne (Mulyasa: 2012) peserta didik pada umumnya memiliki taraf perkembangan yang berbeda, yang menuntut materi berbeda pula, sehingga proses belajar itu sendiri mengandung variasi, seperti belajar keterampilan motorik, belajar konsep, belajar sikap dan seterusnya. Pembelajaran dari sisi proses, berlangsung dalam bentuk serangkaian kegiatan yang berjalan secara bertahap. Kegiatan pembelajaran berlangsung dari satu tahap ketahap selanjutnya, sehingga membentuk alur yang konsisten. Langkah-langkah penyajian sistematis dalam bentuk serangkaian urutan tindakan prosedural-bertahap berkesinambungan tersebut dinamakan prosedur pembelajaran (Madjid: 2007). Prosedur pembelajaran disebut dalam Standar Proses No. 41 tahun 2007 dengan terminologi Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Urutan prosedur-bertahap berkesinambungan yang terdapat dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) adalah Standar Kompetensi (SK), Kompetensi Dasar (KD), Indikator pembelajaran, Tujuan pembelajaran, Materi ajar, Metode pembelajaran, Langkah pembelajaran (meliputi Eksplorasi, Elaborasi, dan Konfirmasi) penutup (berisi penilaian). Pembelajaran dari sisi hasil, ada yang sifatnya instruction effect dan nurturant effect (Khan:2007). Instructional effect disebut dengan dampak yang melekat pada tujuan
5
pembelajaran yang berupa kompetensi yang tersirat dalam Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi (KD). Instructional effect melekat pada semua mata pelajaran yang terdapat disetiap jalur, jenjang dan satuan pendidikan karena grand design-nya dibuat secara nasional, yang berwenang dalam hal ini adalah Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Kalasifikasi mata pelajaran yang terdapat di Madrasah Ibtidaiyah (MI) dikelompokkan menjadi beberapa rumpun yaitu
PAI, IPA, IPS, Bahasa, Sains, dan PKn (UU Sistem
Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003). Pada rumpun PAI (Akidah Akhlak, Sejarah Kebudayaan Islam, Al Qur’an Hadits, dan Fiqih). Pada rumpun IPS dan PKn memiliki tuntutan kompetensi yang berbasis pada penanaman karakter yang bersumber dari ajaran agama, Pancasila dan sosial kulural. Sementara rumpun IPA, Bahasa, Sains hanya memiliki tuntutan penanaman kompetensi oleh karena itu pada rumpun mata pelajaran ini pengajar hendaknya mengkaji dan merumuskan nurturant effect-nya. Nurturant effect adalah dampak pengiring dari rumpun mata pelajaran yang tidak memiliki tuntutan langsung dalam menginternalisasi karakter terahadap peserta didik. Pendekatan pembelajaran untuk mencapai dampak pengiring tersebut dikenal dengan pembelajaran holistik atau holistic learning (Koesuma: 2007) dan pembelajaran integralistik atau integrated learning (Khan: 2007). Masing-masing terminologi ini memiliki pesan yang senada tentang kemestian proses pembelajaran pada rumpun mata pelajaran umum untuk menginternalisasikan karakter terhadap peserta didik agar penanaman karakter yang dilakukan pada rumpun mata pelajaran Agama, dan PKn semakin mengkristal dan mengejawantah dalam tindakan nyata. Karakter dalam design induk Kemendiknas (Suyanto:2009) merupakan totalitas proses psikologis dan sosial-kultural yang dikelompokan dalam: Olah Hati (Spiritual and emotional development), Olah Pikir (intellectual development), Olah Raga dan Kinestetik (Physical and kinestetic development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development). Karakter yang bersumber dari olah hati antara lain: beriman dan bertakwa, jujur, amanah, adil, tertib, taat aturan, bertanggungjawab, berempati, berani mengambil risiko, pantang menyerah, rela berkorban, dan berjiwa patriotik. Karakter yang bersumber dari olah pikir antara lain: cerdas, kritis, kreatif, inovatif, ingin tahu, produktif, berorientasi Ipteks, dan reflektif. Karakter yang bersumber dari olah raga/kinestetika anatara lain: bersih, dan sehat, sportif, tangguh, andal, berdaya tahan, bersahabat, kooperatif, determinatif, kompetitif, ceria, dan gigih. Karakter yang bersumber dari olah rasa dan karsa antara lain: kemanusiaan, saling menghargai, gotong royong, kebersamaan, ramah, hormat, toleran, nasionalis, peduli,
6
kosmopolit (mendunia), mengutamakan kepentingan umum, cinta tanah air (patriotis), bangga menggunakan bahasa dan produk Indonesia, dinamis, kerja keras, dan beretor kerja. Untuk memenuhi sumberdaya manusia berkarakter tersebut, pendidikan memiliki peran yang sangat penting. Hal ini sesuai dengan UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional, jelas bahwa pendidikan di setiap jenjang, termasuk pendidikan dasar (MI/SD) harus diselenggarakan secara sistematis guna mencapai tujuan tersebut. Hal tersebut berkaitan dengan pembentukan karakter peserta didik sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan santun dan berinteraksi dengan masyarakat. Berdasarkan penelitian di Harvard University Amerika Serikat (Ali Ibrahim Akbar, 2000), ternyata kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 persen oleh hard skill dan sisanya 80 persen oleh soft skill. Bahkan orang-orang tersukses di dunia bisa berhasil dikarenakan lebih banyak didukung kemampuan soft skill daripada hard skill. Hal ini mengisyaratkan bahwa mutu pendidikan karakter peserta didik sangat penting untuk ditingkatkan. Bagaiamana grand design pendidikan karakter itu dilaksanakan dalam pembelajaran? Dalam proses pembelajaran berbasis karakter meniscayakan pola pembinaan karakter secara komprehensif pada semua bidang studi yang diajarkan, sebaliknya selama ini pola pendidikan karakter dalam pembelajaran masih parsialistik yaitu melalui pola bidang studi tertentu, misalnya pada bidang studi Pendidikan Agama Islam (PAI), Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) dan Pendidikan Ilmu Sosial (IPS) dalam jumlah jam yang lebih sedikit dibanding bidang studi yang tidak memiliki beban pembinaan karakter. Oleh karena itu upaya integrasi kedalam semua bidang studi merupakan salah satu jawaban untuk melengkapi optimalisasi pendidikan karakter dalam proses pembelajaran berbasis karakter di sekolah. Apabila dilihat dari standar nasional pendidikan yang menjadi acuan pengembangan kurikulum (KTSP), dan 7
implementasi pembelajaran dan penilaian di sekolah, tujuan pendidikan di MI sebenarnya dapat dicapai dengan baik. Pembinaan karakter juga termasuk dalam materi yang harus diajarkan dan dikuasai serta direalisasikan oleh peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Permasalahannya, pendidikan karakter di sekolah selama ini baru menyentuh pada tingkatan pengenalan norma atau nilai-nilai, dan belum pada tingkatan internalisasi dan tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari. Langkah integrasi pembinaan pendidikan karakter pada setiap bidang studi yang diajarkan di sekolah menuntut adanya kompetensi para guru disamping adanya dukungan bahan ajar yang harus diorientasikan pada penanaman karakter. Problem peningkatan mutu guru selama ini masih merupakan salah satu problem utama disamping problem lain seperti fasilitas, biaya, dan relevansi, serta proses supervisi dari kepala sekolah bagi tercapainya keberhasilan implementasi pendidikan karakter karena guru adalah role model secara ke’ilmuan ataupun ke’amalan. Menurut Mochtar Buchori (2007), pendidikan karakter seharusnya membawa peserta didik ke pengenalan nilai secara kognitif, penghayatan nilai secara afektif, dan akhirnya ke pengamalan nilai secara nyata. Permasalahan kesulitan guru dalam meujudkan pendidikan karakter dalam pembelajaran disekolah perlu segera dikaji, dan dicari altenatif-alternatif solusinya, serta perlu dikembangkannya secara lebih operasional sehingga mudah diimplementasikan di sekolah. Guru merupakan driver bagi roda pendidikan termasuk proses pembelajaran. Oleh karena itu pembelajaran berjalan efektif jika guru merencanakan dengan efektif, atau melaksanakan pembelajaran akan efektif, jika direncanakan secara efektif. Pendidikan karakter yang diharapkan terintegrasi dalam proses pembelajaran juga harus direncakan secara terintegrasi agar proses pembelajaran berjalan efektif sehingga tujuan pembelajaran tercapai secara optimal baik tujuan pencapaian kompetensi maupun tujuan pembinaan karakter. Kemampuan merencanakan secara efektif proses pembelajaran integrasi atau comprehensif learning merupakan salah indikasi kualitas pencapaian tujuan pembelajaran dan pembinaan karakter. Tapi persoalannya apakah para guru memiliki kemampuan untuk melakukan pembelajaran integrasi tersebut? Secara teoritik tentu saja sebagai guru harus memilikinya karena memperhatikan efek postif proses pembelajaran komprehensif sangat besar dan bermanfaat untuk jangka panjang. Kepemilikan proses pembelajaran komprehensif ini bisa diperoleh melalui proses pendidikan, pelatihan dan atau workshop pendididkan karakter. 8
Proses pembelajaran berbasis karakter akan berlangsung efektif karena adanya perencanaan pembelajaran yang memuat prosedur pembelajaran, karena adanya kegiatan pembelajaran sebagai wujud dari perencanaan dan karena adanya penilaian sebagai tolak ukur ketercapaian tujuan pembelajaran berbasis karakter. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk menjaring informasi secara faktual apakah grand design pendidikan karakter di sekolah dalam proses pembelajaran berbasis karakter mampu dilaksakan oleh para guru secara komprehensif pada setiap bidang studi yang diajarkan guna menciptakan insan-incan berkarater sesuai harapan. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana pemahaman guru terhadap pembelajaran berbasis karakter di MI/SD? 2. Bagaimana pelaksanaan pembelajaran berbasis karakter di MI/SD)? 3. Bagaiamana kesulitan guru dalam pelaksanaan pembelajaran berbasis karakter di MI/SD?
C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan data faktual tentang kepemilikan pemahaman, ketercapaian pelaksananaan dan kesulitan dalam penerapan pembelajaran berbasis karakter di tingkat pendidikan dasar (MI/SD). D. Manfaat dan Kegunaan Penelitian Data penelitian ini akan bermanfaat sebagai data konstruktif bagi efekftivitas ketercapaian internalisasi nilai-nilai karakter melalui pelaksanaan pembelajaran. Disamping manfaat berguna bagi para praktisi pendidikan untuk dijadikan rujukan ilmiah, juga bagi para stakholder yang berkepentingan dengan keberhasilan implementasi pendidikan karakter melalui proses pembelajaran seperti pemerintah dan masyarakat pada umumnya.
9
BAB II TEORI PEMBELAJARAN BERBASIS KARAKTER A. Konsep Pembelajaran Berbasis Karakter 1. Makna Karakter Mengidentifikasi makna karakter memerlukan pandangan yang holistic karena konsep karakter itu sendiri bersifat universal; dapat melekat pada berbagai kajian ilmu sehingga tidak mudah untuk membuat definisi secara mandiri. Berbagai makna karakter yang diidentifikasi oleh Koesoema (2010) di antaranya: a. Dalam pandangan psikologi behavioristik karakter sama dengan kepribadian
karena sejak lahir setiap individu memiliki unsure somatopsikis yaitu karakter individu yang dibentuk oleh pengaruh lingkungan dan juga bawaan sejak lahir, karakter juga sering disebut sebagai temperamen karena menekankan unsur psiksosial yang berhubungan dengan tipologi seseorang seperti ada tipe karakter sanguine, flegmatik, melankolik, kolerik, dan asertif. Makna karakter ini bisa disebut psikologi karakter karena sudah menjadi frasa dengan psikologi. b. Dalam pandangan kebahasaan atau
etimologi berasal dari bahasa Yunani
“karasso”, berarti ‘cetak biru’, ‘format dasar’, ‘sidik’ seperti dalam sidik jari. Dari makna ini tampaknya karakter merupakan pembeda dari masing-masing individu laiknya sidik jari yang masing-masing individu berbeda. Makna karakter ini bisa disebut makna bahasa karakter karena berkaitan dengan ilmu kebahasaan. c. Dalam pandangan antropologi, karakter sama dengan perangai yang given dan
willed. Perangai yang given artinya setiap individu memiliki dasar baik dan buruk dari sananya sehingga pengaruh lingkungan kurang begitu bermakna bagi pembentukan karakter. Perangai willed artinya setiap individu memiliki kemampuan mengelola dan mengubah perangainya dari buruk menjadi baik, dari lembut menjadi tegas dan lain lain. Dari makna ini dikenal antropologi karakter d. Dalam pandangan pedagogi, karakter adalah locus educationis (momen
pendidikan) karena karakter merupakan tujuan dari poroses pedagogic untuk mewujudkan individu yang berkarakter. Dari makna ini dikenal istilah pendidikan karakter 10
e. Dalam pandangan pendidikan moral, karakter adalah ‘moral’ karena moral adalah
kondisi batin yang mendorong untuk menentukan pilihan menjadi manusia baik atau buruk. Dari makna ini dapat disebut dengan moral karakter. f.
Dalam pandangan pendidikn nilai, karakter adalah ‘nilai’ karena karakter dipandang sebagai suatu hal yang disukai, diinginkan, berguna dan dihargai sehingga menjadi semacam kepentingan tertentu. Sehingga karakter mendasarkan pada kemampuan mengambil keputusan berdasarkan pemahaman yang jernih tentang nilai-nilai (value clarification). Dari makna ini karakter dapat disebut dengan frasa nilai karakter.
Dan masih banyak lagi kajian yang mencoba untuk menginterpretasi makna karakter dengan sudut pandang yang berbeda. Namun dari sini jelas bahwa memang memahami karakter lebih mudah dan bermakna apabila sudah melekat dengan konsep lain. Dari gabungan dengan konsep lain seperti di jelaskan di atas, makna karakter dapat dipahami sebagai proses holistic dari pikiran, perasaan dan perbuatan. Seperti yang ditegaskan dalam desain induk pembangunan karakter bangsa (Mulyasa: 2012) karakter secara koheren memancar dari hasil olah pikir, olah hati, olah rasa dan karsa, serta olah raga seseorang atau sekelompok orang. Karakter merupakan ciri khas seseorang atau sekelompok orang yang mengandung nilai, kemampuan, kapasitas moral, dan ketegaran dalam menghadapi kesulitan dan tantangan. 2. Pilar-pilar karakter Pilar karakter maksudnya sumber rujukan atau frame of reference yang digunakan dalam menentukan bentuk-bentuk karakter. Pilar karakter yang bersuber dari pedagogi disebut oleh Koesoema (2010) sebagai ‘matra pendidikan karakter’ terdiri dari matra individu, matra social, dan matra moral. Matra individu artinya proses pendidikan karakter dikembangkan berdasarkan kodrat kemanusiaan bahwa secara potensial manusia memiliki kemampuan untuk tumbuh dan berkembang secara alami. Karakter yang bisa dikembangkan dari matra individu adalah keterampilan, prilaku baik, dan kebebasan, menghargai, kreatif. Matra social adalah proses pembinaan pendidikan karakter yang diorientasikan untuk mengembangkan potensi social atau relasional yang secara kodrati telah dimilikinya. Karakter yang bisa dikembangkan dari matra social ini, kebersamaan, saling membantu, tolong menolong, kerjasama, berbudaya dan lain-lain. Matra moral artinya proses pembinaan karakter yang 11
diorientasikan pada sudut pandang moral yang lebih luas yang terjadi dalam dunia pendidikan (education happenings). Karakter yang bisa dikembangkan dari matra moral ini adalah tanggungjawab, kebebasan mengambil keputusan, pola komunikasi guru dan siswa dan lain-lain Merujuk pada pandangan psiko-kultural, pilar-pilar karakter terpadu dalam empat bagian yaitu olah hati, olah pikir, olah raga, olah rasa dan karsa. Olah hati berkenaan dengan perasaan, sikap dan keyakinan/keimanan. Olah pikir berkenaan dengan porses nalar guna mencari dan menggunakan pengetahuan secara kritis, kreatif, dan inovatif. Olah raga berkenaan dengan proses persepsi, kesiapan, peniruan, manipulasi, dan penciptaan aktivitas baru disertai sportivitas. Olah rasa dan karsa berkenaan dengan kemauan dan kreativitas yang tercermin dalam kepedulian, citra dan penciptaan pembaruan. Keempat pilar karater tersebut dapat diidentifikasi dengan menggunakan berabagai sumber rujukan dari karakter baik Pancasila, Alqur’an, maupun isme-isme yang menjadi paradigma karakter yang dipilih. Dalam konteks ke-Indonesia-an keempat pilar karakter tersebut dapat dikembangkan dengan mendasari jiwai dari sila-sila Pancasila sebagai berikut: a. Karakter yang bersumber dari Olah hati antara lain: beriman dan bertakwa, jujur, amanah, adil, tertib, taat aturan, bertanggungjawab, berempati, berani mengambil risiko, pantang menyerah, rela berkorban, dan berjiwa patriotic. b. Karakter yang bersumber dari olah pikir antara lain: cerdas, kritis, kreatif, inovatif, ingin tahu, produktif, berorientasi Ipteks, dan reflektif. c. Karakter yang bersumber dari olah raga/kinestetika antara lain: bersih, dan sehat, sportif, tangguh, andal, berdaya tahan, bersahabat, kooperatif, determinative, kompetitif, ceria dan gigih. d. Karakter yang bersumber dari olah rasa dan karsa antara lain: kemanusiaan, saling menghargai, gotong royong, kebersamaan, ramah, hormat, toleran, nasionalis, peduli, kosmopolit (mendunia), mengutamakan kepentingan umum, cinta tanah air (patritis), bangga menggunakan bahasa dan produk Indonesia, dinamis, kerjsa keras, dan berteos kerja.
12
Dalam pandangan pendidikan moral Komnesky (koesoema:2010) mengistilah pilar sebagai ‘kanon’ yaitu komponen moral yang semestinya menjadi landasan bagi penerapan karakter. Terdapat sebelas pilar/kanon moral Komnesky yang dapat menjadi frame of reference dalam pembangunan karakter yaitu a. Keutaman b. Purdenza (membedakan baik dan buruk) c. Keadilan d. Sikap ugahari (la temperanza) yakni sikap seimbang atau siger tengah; ‘bene start in medio’ kebaikan senantiasa berada di tengah-tengah. e. Keteguan (la fortezza) seperti sabar, optimis, tidak berkeluh kesah, berani terima resiko f. Bersikap adil g. Kesungguhan h. Amanah i.
Kemurahan hati
3. Upaya pembangunan karakter Bagaimanakah pilar-pilar karakter yang telah diidentifikasi di atas untuk diinternalilasasikan kepada setiap individu? Berbagai alternative yang dapat menjadi pilihan atau bahkan dilakuan secara sinergi dan sistemik melalui berbagai program pembangunan karakter memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing. Upaya pembangunan karakter dalam desain induk pembangunan karakter (Mulyasa:2012) juga disebut diantaranya: a. Melalui proses sosialisasi Sosialisasi dimaknai sebagai usaha sadar dan terencana untuk membangkitkan kesadaran dan sikap positif terhadap pembangunan karakter bangsa guna mewujudkan masyarakat yang berkebutuhan yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, berjiwa persatuan Indonesia, berjiwa kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta berkeadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.
13
Kunci utama pembentukan karakter dan peradaban bangsa adalah budaya yang lahir dari kebiasaan dan disosialisasikan berulang-ulang. Sosialisasi sebagai salah satu strategi pembangunan karakter bangsa dimaksudkan untuk membangun keadasaran masyarakat, atau kelompok masyarakat tentang kondisi Negara dan bangsa, terutama yang tekati dengan karakter bangsa. Dalam sosialisasi, akan terjadi proses penanaman, transfer nilai kebiasaan, dan pembakuan kebaikan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Secara umum, sosialisasi diartikan sebagai proses penyampaian suatu pesan oleh seorang kepada orang lain untuk member tahu atau mengubah sikpa, pendapat, perilaku baik langsung maupun tidak langsung. Disamping itu, sosialisasi juga bermakna interaksi manusia yang saling mempengaruhi satu sama lainnya, sengaja atau tidak sengajar, tidak terbatas pada bentuk komunikasi menggunakan bahasa verbal, tetapi juga dalam bentuk ekspresi seni
dan
teknologi.
Fungsi
sosialisasi
dalam
hal
ini
adalah
untuk
menginformasikan, mendidik, menghibur, dan mempengaruhi. Proses sosialisasi terkait dengan pembangunan karkater bangsa menjadi sangat penting. Tanpa sosialisasi, proses penyadaran akan terabaikan dan selanjutnya dapat berujung pada hilangnya tradisi dan kebiasaan baik, yakni hilangnya nilainilai social budaya dan lunturnya karakter dari sebuah bangsa. Agar sosialisasi dapat berlangsung efektif dan efesien, maka pemilihan media dan target sasaran menjadi sangat penting. Disadari atau tidak, perkembangan teknologi informasi dengan media sebagai piranti utama berimplikasi pada tatanan kehidupan umat manusia dalam berbagai dimensinya, baik dalam dimensi politi, ekonomi, social budaya, maupun agama. Sasaran target adalah pada dasarnya seluruh warga Indonesia. Adapun sasaran utama adalah pemerintah, dunia usaha dan industry, satuan pendidikan, organisasi social kemasyarakatan/profesi, organsisasi social politik, dan media massa. b. Melalui proses pendidikan Penerapan karakter melalui pendidikan ini kemudian dikenal dengan istilah pendidikan karakter. Pendidikan karakter adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana, serta proses pemberdayaan potensi dan pembudayaan peserta didik guna membangun karakter pribadi dan /atau kelompok yang unikunik sebagai warga Negara. Hal itu diharapkan mampu memberikan kontribusi 14
optimal dalam mewujudkan masyarakat yang berketuhanan yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, berjiwa persatuan Indonesia, berjiwa kerakyatan
yang
dipimpin
oleh
hikmat
kebijaksanaan
dalam
permusayawaratan/perwakilan, keberadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia. Pembangunan karakter melalui pendidikan upaya pendidikan dilaksanakan melalui proses permberdayaan dan pembudayaan. Proses ini berlangsung dalam tiga pilar pendidikan, yaitu dalam satuan pendidikan, keluarga, dan masyarakat. Dalam masing-masing pilar pendidikan dikembangkan dua jenis pengalaman yaitu intervensi dan habituasi. Dalam intervensi dikembangkan suasana interaksi belajar dan pembelajaran yang disengaja dirancang untuk mencapai tujuan pembentukan karakter dengan menerapkan kegiatan yang tersetruktur. Dalam habituasi diciptakan situasi dan kondisi serta penguatan yang memungkinkan peserta didik terbiasa pada satuan pendidikannya, di rumahnya, di lingkungan masyarakat. Proses
pemberdayaan
dan
pembudayaan
mencakup
pemberian
contoh,
pembelajaran, pembiasaan, dan penguatan yang dilakukan secara sistemik, holistic dan dinamis. Pendidikan sebagai garda depan melaksanakan pemberdayaan dan pembudayaan dalam empat pilar, yakni kegiatan belajar-mengajar/pembelajaran dikelas, kegiatan keseharian dalam bentuk pengembangan budaya satuan pendidikan, kegiatan ko-kurikuler dan /atau ekstrakurikuler, serta kegiatan keseharian di rumah dan masyarakat. c. Melalui proses pemberdayaan Pemberdayaan merupakan salah satu strategi pembangunan karakter bangsa yang diarahkan untuk memampukan para pemangku kepentingan dalam rangka menumbuhkembangkan partisipasi aktif mereka dalam pembangunan karakter. Permbedayaan karakter dapat dilakukan melalui komponen lingkungan keluarga, satuan pendidikan, pemerintah dan masyarakat sipil, masyarakat politik, dunia usaha, dan media massa. Pemberdayaan karakter dilingkup keluarga dilakukan melalui: 1. Penetapan regulasi yang mendorong orang tua dapat berinteraksi dengan sekolah, dan lembaga pendidikan yang terkait pembangunan karakter, 2. Pemberian pelatihan dan penyuluhan tentang pendidikan karakter, 3. Pemberian 15
penghargaan kepada para tokoh-tokoh atau orang tua yang telah menunjukkan komitmennya dalam membangun karakter di lingkungan keluarga, dan 4. Peningkatan komunikasi pihak sekolah dan lembaga pendidikan terkait dengan orang tua. Pemberdayaan pada satuan pendidikan dapat dilakukan melalui: 1. Regulasi tentang pengintegrasian pembelajaran karakter dalam semua mata pelajaran, 2. Meningkatkan kapasitas sekolah sebagai wahan pendidikan karakter melalui pelatihan para guru, 3. Penyediaan sumber-sumber belajar yang terkait dengan upaya pengembangan karakter sisiwa, 4. Pemberian penghargaan kepada satuan pendidikan yang telah berhasil mengembangkan budaya karakter. Untuk pemberdayaan terhadap pemerintah dapa dilakukan melalui: 1. Regulasi tentang kebijakan wahana pembangunan karakter bangsa secara terpadu, 2. Peningkatan kapasitas penyelenggaran pemerintahan terkait dengan pembangunan karakter, 3. Pemantapan peran pemerintah dalam pemberian fasilitasi dalam rangka pembangunan karakter bangsa, 4. Pemantapan fungsi pemerintah sebagai pemberi arah untuk meneruskan kebijakan-kebijakan pembangunan karakter bangsa yang telah diwujudkan kepada semua jajaran agar dipahami, dihayati, dan diterapkan dalam etika berbangsa dan bernegara. Pemberdayaan masyarakat sipil dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut antara lain: 1. Regulasi tentang pentingnya pentinya penyadarana pembangunan karakter bangsa, 2. Mamfasilitasi organisasi profesi, organisasi keagamaan, organsiasi pemuda, organsiasi usia lanjut yang bergerak di bidang pembangunan karakter bangsa. Pemberdayaan masyarakat politik (partai politik dan organisasi politik) dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut, di antaranya: 1. Pengembangan kesadaran budaya bangsa melalui berbagai wacana dan media terhadap pentingnya penanaman nilai-nilai politik demokratis berdasarkan Pancasila, penghormatan atas HAM, nilai-nilai persamaan, anti kekerasan, serta nilai-nilai toleransi politik, 2. Regulasi perumusan aspek-aspek politik bagi upaya pelembagaan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) sebagai prasyarat terciptanya budaya politik yang egaliter, toleran dan damai. 3. Fasilitasi upaya-upaya pengembangan wacana dialog bagi peningkatan keadaran mengenai pentingnya memelihara persatuan bangsa, 4. Fasilitasi upaya politi bagi 16
penyempurnaan kurikulum sekolah-sekolah dengan muatan budaya lokar berintikan nilai-nilai budah demokrasi, HAM dan etika Politik. Pemberdayaan dunia usaha dan industry dapat dilakukan mencakup: 1. Pengembangan kapasitas pembangunan karakter bangsa pada jajaran manajemen dunia usaha, 2. Iklim yang mengarah pada penumbuhan kesadaran untuk membangun karakter bangsa di lingkungan karyawan perusahaan, dan 3. Regulasi yang dapat menumbuhkan kemandirian dan daya saing produk perusahaan. Untuk pembedayaan media massa dapat dilakukan dengan langkah-langkah, antara lain: 1. Regulasi tentang pentingnya melalui media massa dalam membangun karkater, 2. Pengembangan kapasitas melalui berbagai pelatihan tentang pembangunan karakter terhadap komunitas pers, dan 3. Penghargaan kepada insane media massa yang berhasil mengembangkan pembangunan karkater bangsa. d. Melalui proses pembudayaan Proses pembudayaan menyangkut pelestarian, pembiasaan dan pemantapan nilainilai baik guna meningkatkan martabat sebuah bangsa. Pembudayaan ini dapat terwujud dengan pemodelan, penghargaan, pengidolaan, fasilitasi, serta hadiah dan hukuman baik pada komponen keluarga, satuan pendidikan, masyarakat, dunia usaha, partai politik dan media massa. Peran keluarga dalam pembudayaan karakter dapat dilakukan dengan langkah pembiasaan bersikap dan berprilaku sesuai dengan karakter yang diharapkan. Pembiasaan yang disertai dengan teladan dan diperkuat dengan penanaman nilainilai yang mendasari secara bertahap akan membentuk budaya, serta mengembangkan hubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa. Dalam lingkungan satuan pendidikan pembudayaan dapat dilakukan melalui: 1. Penugasan, 2. Pembiasaan, 3. Pelatihan, 4. Pengajaran, 5. Pengarahan, serta 6. Keteladanan. Pembudayaan di masyarakat dapat dilakukan melalui keteladanan tokoh masyarakat, pembiasaan nilai-nilai di lingkungan masyarakat, pembinaan dan pembangunan hubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, penegakkan aturan yang berlaku. Pembudaan dalam lingkungan pemerintah juga dapat dilakukan dengan teladan dan pembiasaan. Pembiasaan dalam lingkungan pemerintah dapat 17
dilakukan dengan pembiasaan nilai-nilai di lingkungan pemerintah, pembinaan dan pengembangan hubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, serta penegakkan aturan yang berlaku. 4. Makna Pembelajaran berbasis karakter Pembelajaran berbasis karakter merupakan tahap implementasi dari upaya pembangunan karakter melalui pendidikan yang mengembangkan pengalaman belajar dan proses pembelajaran yang bermuara pada pembentukan karakter dalam diri peserta didik. Asumsi ini juga di yakini oleh Kesoema dkk. (2011) bahwa pembelajaran berbasis karakter memiliki makna pembelajaran yang mengarah pada penguatan dan pengembangan prilaku anak secarah utuh yang didasarkan atau dirujuk pada suatu nilai. Konsep ini menegaskan tentang proses pembelajaran berbasis karakter menekankan pada kegiatan untuk penguatan dan pengembangan prilaku. Penguatan prilaku maksudnya upaya melapisi suatu prilaku anak berdasarkan kompetensi dari mata pelajaran sehingga berlapis (kuat) dengan nilai. Pengembangan prilaku adalah proses adaptasi prilaku anak terhadap situasi dan kondisi baru yang dihadapi berdasarkan pengalaman anak yang didesain berdasarkan nilai karakter yang diharapkan. Pembelajaran berbasis karakter juga dapat disebut pendidikan karakter dalam kegiatan belajar – mengajar di kelas (Mulyasa:2012). Pembelajaran berbasis karakter yang dilaksanakan dikelas dengan menggunakan pendekatan terintegrasi dalam semua mata pelajaran. Khusus, untuk materi Pendidikan Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan karena
masing-masing
misinya
adalah
mengembangkan
nilai
dan
sikap.
Pengembangan karakter harus menjadi focus utama yang dapat menggunakan berbagai strategi/metode pendidikan karakter. Untuk kedua mata pelajara tersebut, karakter dikembangkan sebagai dampak pembelajaran (instructional effect) dan juga dampak pengiring (nurturant effect). Sementara itu mata pelajaran lainnya, yang secara formal memiliki misi utama selain pengembangan karakter, wajib mengembangkan rancangan pembelajaran pendidikan karakter yang diintegrasikan ke dalam substansi/kegiatan mata pelajaran sehingga memiliki dampak pengiring (nurturant effect) bagi berkembangnya karakter dalam diri peserta didik.
18
Secara terpisah, konsep Pembelajaran memiliki makna aktualisasi kurikulum yang menuntut keatifan guru dalam menciptakan dan menumbuhkan kegiatan peserta didik sesuai dengan rencana yang telah diprogramkan (Mulyasa; 2012). Makna pembelajaran ini didasakan pada konsep yang dikembangkan oleh Saylor (Mulyasa; 1981) bahwa instruction is thus the implementation of curriculum plan, usually, but not necessarily, involving teaching in the sense of stundent, teacher interaction in an educational setting”. Tampak jelas dari definisi di atas bahwa pembentukan karakter dalam proses pembelajaran ada keterlibatan unsure kurikulum, peran guru, dan perencanan yang diprogramkan untuk membantu tumbuh kembannya peserta didik menjadi kompeten atau berkarakter. Oleh karena itu orientasi perencanaan yang disusun oleh guru hendaknya difahami, direncanakan dan diinternalisasikan nilai-nilai karakter terutama pada mata pelajaran yang tidak memiliki instructional effect seperti PKn dan PAI. Komponen perencanaan dari pembelajaran berbasis karakter samahalnya dengan pembelajaran berbasis kompetensi meliputi tujuan, isi, strategi/pendekatan/metode, media dan evaluasi. Lahirnya pembelajaran berbasis karakter sebagai perwujudan dari upaya pendidikan karater merupakan complementer bagi pembelajaran berbasi kompetensi. Karena tujuan dari pembelajaran berbasis karakter meningkatkan mutu proses dan hasil pendidikan yang mengarah pada pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang tidak sekadar pencapaian kompoetensi an sich. Karena itu kehadirannya menjadi menjadi penting dan urgen bagi pembangunan mutu pendidikan.
Pendidikan yang bertujuan melahirkan insan cerdas dan
berkarakter kuat itu, juga pernah dikatakan
Dr. Martin Luther King, yakni;
intelligence plus character… that is the goal of true education (kecerdasan yang berkarakter… adalah tujuan akhir pendidikan yang sebenarnya). 5. Urgensi pembelajaran berbasis karakter Urgensi penbelajaran berbasis karakter ini sejalan dengan urgensi dari pendidikan karakter karena pembelajaran merupakan salah satu dari pilar pelaksanaan pendidikan karakter. Urgensi pembelajaran karakter dapat diklasikfikasi dari beberapa hal sebagai berikut:
19
a. Dilihat dari latar belakang perlunya pembelajaran berbasis karakter, berdasarkan Desain Induk Pembangunan Karakter Bangsa (Mulayasa:2012) pembelajaran berbasis karakter ini latar belakangi : 1) Disorientasi dan belum dihayatinya nilai-nilai Pancasila sebagai Filosofi dan Ideologi Bangsa 2) Keterbatasan perangkat kebijakan terpadu dalam mewujudkan nilai-nilai esensi Pancasila 3) Bergesernya nilai-nilai etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara 4) Memudarnya kesadaran terahadap nilai-nilai budaya bangsa 5) Ancaman disintegrasi bangsa 6) Melemahnya kemandirian bangsa b. Dilihat dari tujuan pelaksanaan pembelajaran berbasis karakter seperti yang dijelaskan oleh Mulyasa (2012) mengarah pada pembentukan sekolah/madrasah, yaitu nilai-nilai yang melandasi prilaku, tradisi, kebiasaan sehari-hari, serta symbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua warga sekolah/madrasah dan masyarakat sekitarnya. Disamping itu Mulyasa (2012) mengutip tujuan pendidikan karakter dalam Desain Induk Pembangunan Karakter Bangasa yaitu bertujuan untuk membina dan mengembangkan karakter warga Negara sehingga mampu
mewujudkan
masyarakat
yang
berketuhanan
yang
Maha
Esa,
berkemanusiaan yang adil dan beradab, berjiwa persatuan Indonesia, berjiwa kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. c. Dilihat dari fungsi pembelajaran berbasis karakter juga terdapat dalam Desain Induk Pembangunan Karakter Bngasa (Mulyasa:2012) bahwa pembelajaran karakter berfungsi 1) Pembentukan dan pengembangan potensi Pembangunan karakter bangsa berfungsi membnetuk dan mengembangkan potensi manusia atau warga negera Indonesia agar berpikiran baik, berhati baik, dan berprilaku baik sesuai dengan falsafah hidup Pancasila 2) Perbaikan dan penguatan 20
Pembangunan karakter bangasa berfungsi memperbaiki dan memperkuat peran keluarga, satuan pendidikan, masyarakat, dan pemeritah untuk ikut berpartisipasi dan bertanggungjawab dalam pengembangan potensi warga Negara dan pembagunan bangsa menuju bangsa yang maju, mandiri, dan sejahtera. 3) Penyaringan Pembangunan karakter bangasa berfungsi memilah budaya bangsa sendiri dan menyaring budaya bangsa lain yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang bermartabat. Pada setting sekolah Tujuan pembelajaran berbasis karakter juga dijelaskan oleh Kesuma dkk. (2011) memiliki tujuan sebagai berikut: 1) Menguatkan dan mengembangkan nilai-nilai kehidupan yang dianggap penting dan perlu sehingga menjadi kepribadian/kepemilikan peserta didik yang khas sebagaimana nilai-nilai yang dikembangkan 2) Mengoreksi prilaku peserta didik yang tidak bersesuaian dengan nilai-nilai yang dikembangkan oleh sekolah 3) Membangun koneksi yang harmoni dengan keluarga dan masyarakat dalam memerankan tanggungjawab pendidikan karakter secara bersama. B. Model Pembelajaran Berbasis Karakter Model pembelajaran adalah bentuk pembelajaran yang tergambar dari awal sampai akhir yang disajikan secara khas oleh guru di kelas (Zubaedi:2011). Dari definisi ini menegaskan bahwa dalam konsep model pembelajaran terdapat pendekatan, strategi, metode, dan teknik pembelajaran. Bruce Joyce dan Masrha Weil (Zubaedi:2011) mengetengahkan empat kelompok model pembelajaran, yaitu: 1. Model interaksi social, 2. Model pengolahan informasi, 3. Model personal-humanistik, 4. Model modifikiasi tingkah laku. Kesoema dkk, (2011) mengembangkan beberapa model alternative bagi pelaksanaan pembelajaran berbasis karakter diantaranya:
21
1. Model Reflektif (MR) Model reflektif adalah model pembelajaran berbasis karakter yang diarahkan pada pemahaman terhadap makna dan nilai yang terkandung di balik teori, fakta, fenomena, informasi, atau benda yang menjadi bahan ajar dalam suatu mata pelajaran. Dari makna ini model reflektif dijadikan sebagai pondasi untuk sampai pada tingkat karakter yang diharapkan, yang secara fitrawi manusia memiliki potensi reflektif yaitu potensi berpikir dalam memahami makna dan nilai yang dalam setiap mata pelajaran yang diajarkan. Secara hirakial untuk sampai pada pemahaman terhadap makna dan nilai yang terkandung dalam setiap mata pelajaran harus melalui beberapa tingkatan yaitu tingkatan paling rendah dicirikan oleh kemampuan untuk menjelaskan mengenai apa kaitan antara materi dengan makna. Hirarki kedua menyadari adanya kekuasaan di luar manusia atau bahwa manusia itu kecil bukan pemilik kekuasaan yang sejati. Level pemahaman yang ketiga adalah seorang anak termotivasi untuk melakukan sesuatu dari hasil pemahamannya terhadap makna/nilai yang dipelajari. Level keempat adalah seorang anak mau mempraktekkan nilai/makna yang dipahami dalam kehidupan sehari-harinya. Level kelima adalah anak menjadi teladan bagi orang-orang dilingkungan terdekatnya. Level keenam adalah anak mau mengajak orang-orang terdekatnya untuk melakukan makna/nilai yang dipelajari. Model reflektif ini penting dilakukan khususnya untuk mata pelajaran yang secara substantive tidak memiliki effect langsung atau sebagai nurturant effect (dampak pengiring). Karena dalam pembelajaran berbasis karakter dilihat dari materi pelajaran dimadrasah/sekolah meliputi dua bentuk yaitu pembelajaran substantive dan pembelajaran reflektif (Kesoema, dkk. :2011). Pembelajaran substantive adalah pembelajaran yang substansi materinya terkait langsung dengan suatu nilai, seperti pada pelajaran PAI dan PKn. Proses pembelajaran substatif yang diistilahkan oleh Khan (2011) sebagai inscructional effect dilakukan dengan mengkaji suatu nilai yang dibahas, mengaitkannya dengan kemaslahatan kehidupan anak dan kehidupan manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Pembelajaran reflektif adalah pembelajaran karakter yang terintegrasi/melekat pada semua mata pelajaran disemua jenjang dan jenis pendidikan secara tidak langsung. Proses pembelajaran reflektif diistilahkan oleh Khan (2011) sebagai nurturant effect dilakukan melalui pengaitan 22
materi-materi yang dibahas dalam pembelajaran dengan makna dibelakang materi tersebut. Dengan kata lain, dalam proses pembelajaran guru menjelaskan tentang keterkaitan materi tersebut dalam nilai kehidupan. Model refleftif dalam pembelajaran berbasis karakter dapat dilakukan secara efektif apabila mendasarkan pelaksanaannya pada berberapa prinsip pembelajaran reflektif yang diidentifikasi oleh Kesoema (2011) yaitu prinsip kasih sayang, prinsip keteladanan, dan prinsip perkembangan peserta didik. Prinsip kasih sayang artinya kegiatan pembelajaran hendaknya didasarkan pada kasih sayang, karena tidak akan terjadi transformasi nilai jika dasar interaksi bukan kasih sayang. Prinsip keteladanan artinya proses pembelajaran harus mencerminkan nilai yang ingin diperkuat pada diri peserta didik. Prinsip perkembangan peserta didik artinya seorang pendidik hendaknya mengembangkan konsep dan perasaan tentang diri anak bahwa setiap kegiatan yang dilakukan dikelas memiliki pengaruh pada tumbuh kembang peserta didik. Karena jika guru mengabaikan perasaan ini maka akan muncul transmisi nilai negate dari guru kepada anak seperti sikap tidak peduli anak terhadap teman dan lain-lain 2. Model Pembangunan Rasional (PMR) Model Pembangunan Rasional (PMR) ini memiliki focus utama dalam pembelajaran pada kompetensi pembangunan rasional, argumentasi, atau alasan atas pilihan nilai yang dibuat peserta didik. Model ini dapat dikembangkan dapam proses pembelajaran karakter dengan asumsi bahwa setiap peserta didik adalah anak yang sedang berkembang proses berpikirnya. Memiliki rasional yang kokoh dan selalu diuji sepanjang penghidupan seseorang jelas penting untuk keberfungsian akal dan pikiran manusia. System karakter yang lengkap harus mengikutsertakan aspek rasional atau kognitif disamping aspek emosi dan perbuatan. Dalam pelaksanaan model pembangunan rasional dalam implementasi pembelajaran berbasis karakter ini merujuk pada beberapar prinsip diantaranya: a. Prinsip logis berarti dapat dipahami. Artinya proses pengembangunan rasional anak harus dibawa pada tahapan kamampuan berpikir anak yang dapat dipahami oleh anak tidak bersifat dogmatis. 23
b. Prinsip rasional berarti masuk akal. Dalam konteks pembangunan rasional anak didik perlu untuk diajak memahami suatu perkara dari sisi rasionalitas. c. Prinsip sistematis berarti pengembangan rasional anak harus dibawa untuk berpikir sistematis, sehingga lebih mudah dicarikan pemecahan masalanya baik bagi dirinya, keluarganya, maupun manusia pada umumnya. d. Prinsip sistemik berarti pengembangan rasionalitas berpikir anak harus dibawa pada berpikir secara menyeluruh, tidak parsial. Dengan berpikir menyeluruh, maka anak akan dibawa untuk berpikir komprehensif, sehingga hal-hal yang dimungkinkan terjadi dapat terprediksi lebih awal. Dalam kondisi ini, anak akan menjadi antisipator yang andal. Proses pembelajaran dengan model Pembangunan Rasional (MPR) dilakukan seperti yang disarankan oleh Shaver (Koesoema, dkk. :2011) yaitu meliputi identifikasi nilai dan klarifikasi nilai, generalisasi label/nama, analisis konflik nilai, dan pembuatan keputusan yanga tepat. Identifikasi nilai diasumsikan dapat membantu membentuk prilaku. Proses ini disebut juga proses kognitif, yakni proses individu berupaya menemukan dan memahami nilai-nilai yang berada di luar dirinya atau yang sudah dimilikinya. Proses kognitif yang dimaksud adalah upaya membuat nilai-nilai menjadi eksplisit bagi individu. Dengan menjadi eksplisit, nilai-nilai berfungsi sebagai arah dan pembentuk karakter
individu.
Generalaisasi
label/nama
diasumsikan bahwa anak itu hidup ditengah masyarakat yang terbangun oleh sebuah system nilai tertentu, misalnya nilai-nilai demokrasi dan nilai-nilai religious. Analisis konflik nilai diasumsikan bahwa putusan-putusan moral melibatkan konflik antar nilai. Proses ini dilakukan dengan mengkaji konsekuensi-konsekuensi dari sebuah perbuatan atas sebuah nilai moral, sehingga anak menemukan cita moral yang dikompromikan. Misalnya anak ingin menolong orang lain yang sedang kelaparan sementara dia sendiri memiliki uang yang jumlahnya hanya cukup untuk ongkos adalah situasi konflik. Pengambilan putusan diasumsikan bahwa sebuah nilai dapat menjadi prioritas bagi individu tertentu dan tidak menjadi prioritas bagi yang lainnya. Dalam penentuan prioritas ini penting sekali dalam proses pembelajaran karakter untuk memberikan penguatan dalam mempertimbangkan secara matang mengenai konsekuensikonsekuensi dari suatu putusan. Adalah kurang tepat jika gurulah yang memutaskan 24
untuk anak mengenai apa yang harus dilakukan, karena anak tidak akan belajar mengenai bagimana sebuah keputusan terbaik diambil selain juga menguatkan ketergantungan anak pada gurunya. C. Pendekatan Pembelajaran Berbasis Karakter Pendekatan pembelajaran berbasis karakter dijelaskan oleh Mulyasa (2012) sebagai alternative pembinaan dan pembentukan karakter peserta didik, melalui penanaman berbagai kompetensi berbasis karakter yang berorientasi pada karakteristik, kebutuhan, dan pengalaman peserta didik, serta melibatkannya dalam proses pembelajaran seoptimal mungkin, agar setelah menamatkan suatu program pendidikan mereka memiliki kepribadian yang kukuh dan siap mengikuti berbagai perubahan. Makna ini mengasumsikan tentang keragaman dan variatifnya pendekatan yang bisa dilakukan dalam menginternalisasikan karakter terhadap peserta didik melalui proses pembelajaran yang perlu diunderline berkenaan orientasi dari pendekatan harus merujuk pada pertimbangan dari karakteristik, kebutuhan, dan pengalaman peserta didik yang disebut dalam psikologi perkembangan sebagai
developmentaly appropriate
practice;
kesesuaian praktek pembelajaran dengan perkembangan peserta didik. Secara lebih rincinya pendekatan pembelajaran karakter itu harus mendorong terciptanya berbagai kegiatan seperti yang diidentifikasi oleh Mulyasa (2012) antara lain: 1. Pembenahan lingkungan belajar 2. Pembuatan perencanaan bersama 3. Pembuatan kelompok 4. Pengidentifikasian kebutuhan belajar 5. Pengidentifikasian karakter peserta didik 6. Perumusan tujuan, standar kompetensi, dan kompetensi dasar 7. Pengintegrasian karakter ke dalam tujuan standar kompetensi dan kompetensi dasar 8. Pengelolaan dan pelaksanaan pembelajaran 9. Penilaian proses dan hasil belajar serta upaya mendiagnosis kembali kebutuhan belajar Pendekatan yang mendorong terwujudnya kegiatan di atas disebut dengan pendekatan pedagogic, andragogik dan integralistik/terpadu. Pendekatan pedagogic diartikan sebagai 25
the art and science of teaching children, mengandung arti seni dan pengetahuan tentang mengajar peserta didik. Sedangkan andragogik sebagai the art and science of helping adult learning, mengandung arti seni dan pengetahuan untuk membantu belajar orang dewasa (Knowels; dalam Mulyasa:2012). Konsep teaching dan helping dikembangkan oleh Tyler (Mulyasa:2012) sebagai kegiatan yang interaktif “…interaction between the learner and the external condition”. Penggabungan kedua pendekatan pedagogic dan andragogik menjadi alternative dari implementasi pendidikan karakter melalui proses pembelajaran, sehingga dalam proses pembelajaran tidak terjadi parsialistik secara fungsional namun memiliki focus orientasi yang complementer tidak terjadi pemilahan. Pemilahan fungsi pedagogic dan andragogik tidak juga berarti tidak berlaku bagi orientasi fungsi yang lain artinya pedagogic bisa untuk dewasa, andragogik bisa untuk anak-anak. Pemilahan fungsi hanya berdasarkan pada dominasi frekuensi kegiatan pembelajaran yang menggunakan pedagogic dan andragogik seperti pandangan Mulyasa (2012) pendekatan andragogik jika diterapkan kepada peserta didik belum dewasa akan mendorong implementasi pendidikan karakter pada peserta didik untuk mengubah sikap ketergantungan (dependent) peserta didik menjadi tidak bergantung (independent) melalui pengarahan diri (self directed) dan menghargai harga diri peserta didik. Pendekatan pembelajaran berbasis karakter yang dilaksanakan dikelas juga dapat menggunakan
pendekatan
terintegrasi
dalam
semua
mata
pelajaran
(Desain
Pembangunan Karakter Bangsa; dalam Mulyasa: 2012). Khusus, untuk materi Pendidikan Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan karena masing-masing misinya adalah mengembangkan nilai dan sikap. Pengembangan karakter harus menjadi focus utama yang dapat menggunakan berbagai strategi/metode pendidikan karakter. Untuk kedua mata pelajaran tersebut, karakter dikembangkan sebagai dampak pembelajaran (instructional effect) dan juga dampak pengiring (nurturant effect). Sementara itu mata pelajaran lainnya, yang secara formal memiliki misi utama selain pengembangan karakter, wajib mengembangkan rancangan pembelajaran pendidikan karakter yang diintegrasikan ke dalam substansi/kegiatan mata pelajaran sehingga memiliki dampak pengiring (nurturant effect) bagi berkembangnya karakter dalam diri peserta didik. Zubaedi (2011) menjelaskan bahwa pengintegrasian karakter kedalam mata pelajaran membutuhkan kerja sama sinegis-kolaboratif antara semua mata pelajaran yang bisa dilakukan dengan cara: mengungkapkan nilai-nilai yang terkandung dalam setiap mata 26
pelajaran, pengintegrasian nilai-nilai karakter secara langsung ke dalam mata pelajaran, menggunakan perumpamaan dan membuat perbandingan dengan kejadian-kejadian serupa dalam kehidupan para peserta didik, mengubah hal-hal negative menjadi nilai positif, mengungkapkan nilai-nilai melalui diskusi dan brainstorming, menggunakan cerita untuk memunculkan nilai-nilai, menceritakan kisah hidup orang-orang besar, menggunakan lagu-lagu dan music untuk mengintegrasikan nilai-nilai, menggunakan drama untuk melukiskan kejadian yang berisikan nilai-nilai, menggunakan berbagai kegiatan seperti kegiatan amal, kunjungan social, field trip atau outbond dan klub-klub kegiatan untuk memunculkan nilai-nilai kemanusiaan. Proses Integrasi juga bermakna holistic artinya mengintegrasikan perkembangan karakter ke dalam setiap aspek kehidupan sekolah. Pendekatan holistik ini memiliki indikasi seperti yang diidentifikasi oleh Zubaedi (2011) antara lain: 1. Segala kegiatan di sekolah diatur berdasarkan sinegitas-kolaborasi hubungan antara sisiwa, guru, dan masyarakat 2. Sekolah merupakan masyarakat peserta didik yang peduli ketika ada ikatan yang jelas yang menghubungkan siswa, guru dan sekolah 3. Pembelajaran emosional dan social setara dengan pembelajaran akademik 4. Kerjasama dan kolaborasi di antara siswa menjadi hal yang lebih utama dibandingkan persaingan 5. Nilai-nilai seperti keadilan, rasa hormat, dan kejujuran menjadi bagian pembelajaran sehari-hari baik di dalam maupun di luar kelas 6. Peserta didik diberikan banyak kesempatan untuk mempraktekkan prilaku moralnya melalui kegaitan-kegiatan seperti pembelajaran memberikan pelayanan 7. Disiplin dan pengelolaan kelas menjadi focus dalam memecahkan maslaah dibandingkan hadiah dan hukuman 8. Model pembelajaran yang berpusat pada guru harus ditinggalkan dan beralih ke kelas demokrasi di mana guru dan siswa berkumpul untuk membangun kesatuan, norma, dan memecahkan masalah. Disamping pendekatan di atas secara lebih detail Zubaedi (2011) mengidentifiaksi beberapa pendekatan pembelajaran berbasis karakter yang dapat dijadikan alternative bagi para guru dalam pelaksanaan pembelajaran. Secara teoritis, peran guru dalam menetapkan pendekatan penanaman nilai-nilai karkater memiliki pengaruh yang efektif 27
untuk untuk mencapai keberhasilannya. Terdapat delapan pendekatan yang dapat digunakan dalam proses pembelajaran berbasis karakter yaitu: 1. Evocation, artinya pendekatan yang memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada peserta didik untuk secara bebas mengekspresikan respons afektifnya terhadap stimulus yang diterimanya, 2. Inculcaltion, artinya pendekatan agar peserta didik menerima stimulus yang diarahkan menuju kondisi siap, 3. Moral reasoning, adalah pendekatan agar tejadi transaksi intelektual taksonomik tinggi dalam mencari pemecahan suatu masalah. Tiga tahap moral itu, yaitu: a. fase pengetahuan moral, b. fase perasaan moral; dan c. fase bertindang secara moral. Penalaran moral adalah proses sistematis untuk mengevaluasi kebajikan dan mengembangkan pribadi yang konsisten dan tidak memihak serangkaian prinsip-prinsip moral yang digunakan untuk hidup. Pengetahuan moral adalah fase kognitif belajar tentang isu-isu moral dan bagaimana mengatasinya. Perasaan moral adalah menghargai moral, yang merupakan dasar dari apa yang diyakini tentang dirinya sendiri dan orang lain. Tindakan moral adalah orang yang bertindak secara nyata berdasarkan nilai dan pengetahuannya. 4. Value clarification, adalah pendekatan melalui stimulus terarah agar peserta didik diajak mencari kejelasan isi pesan keharusan nilai moral. 5. Value analysis, adalah pendekatan agar peserta didik dirangsang untuk melakukan analisis nilai moral, 5. Moral awareness, adalah pendekatan agar peserta didik menerima stimulus dan dibangkitkan kesadarannya akan nilai tertentu, 6. Commitment approach, adalah pendekatan agar peserta didik sejak awal diajak menyepakati adanya suatu pola pikir dalam proses pendidikan nilai, 8. Union approach, adalah pendekatan agar peserta didik diarahkan untuk melaksanakan secara riil nilai-nilai budi pekerti dalam suatu kehidupan. Secara lebih ringkas Superka (Zubaidi:2011) mengklasifikasi pendekatan pembelajaran berbasis karakter ke dalam lima pendekatan yaitu: pendekatan penanaman nilai (inculcation approach), pendekatan perkembangan moral kognitif (cognitive moral development approach), pendekatan analisis nilai (values analysis approacah), pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach), dan pendekatan pembelajaran klarifikasi nilai (values clarification approach). Pertama, pendekatan penanaman nilai (inculcation approach), adalah suatu pendekatan yang memberi penekanan pada pananaman nilai-nilai social dalam diri peserta didik. Konsep yang dikembangkan oleh Zubaedi (2001) ini didasarkan pada asumsi yang 28
dikembangkan oleh J.Raven (Zubaedi;2011) bahwa social values are set of society attitude considered as a truth and it is become the standard for people to act in order to achieve democratic and harmonious life. Artinya: nilai-nilai social merupakan seperangkat sikap individu yang dihargai sebagai suatu kebenaran dan dijadikan standar bertingkah laku guna memperoleh kehidupan masyarakat yang demokratis dan harmonis. Kedua, pendekatan moral cognitive (cognitive moral development approach), adalah pendekatan yang memberikan penekanan pada aspek kognitif dan perkembangannya. Pendekatan ini mendorong peserta didik untuk berpikir aktif tentang masalah-maslaah moral dan dalam membuat keputusan moral. Perkembangan moral menurut pendekatan ini dilihat sebagai perkembangan tingkat berpikir dalam membuat pertimbangan moral, dari suatu tingkat yang lebih rendah menuju satu tingkat yang lebih tinggi. Tujuan yang ingin dicapai oleh pendekatan ini ada dua hal utama 1) membantu peserta didik dalam membuat pertimbangan moral yang lebih kompleks berdasarkan kepada nilai yang lebih tinggi, 2) mendorong peserta didik untuk mendiskusikan alasanalasannya ketika memilih nilai dan posisinya dalam suatu masalah moral. Ketiga, pendekatan analisis nilai (values analysis approacah), memberikan penekanan pada perkembangan kemampuan peserta didik untuk berpikir logis, dengan cara menganalisis masalah yang berhubungan dengan nilai-nilai social. Jika dibandingkan dengan pendekatan perkembangan kognitif, salah satu perbedaan penting antara keduanya bahwa pendekatan analisis nilai lebih menekankan pada pembahasan masalahmasalah yang memuat nilai-nilai social. Adapun pendekatan perkembangan kognitif member penekanan pada dilemma moral yang bersifat perseorangan. Ada dua tujuan penggunaan pendekatan ini yaitu 1) membantu peserta didik untuk menggunakan kemampuan berpikir logis dan penemuan ilmiah dalam mengalisis masalah-masalah social, yang berhubungan dengan nilai moral tertentu, 2) membantu peserta didik untuk menggunakan proses berpikir rasional analitik, dalam menghubung-hubungkan dan merumuskan konsep tentang nilai-nilai mereka. Keempat, pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach), memberi penekanan pada usaha memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk melakukan perbuatan moral, baik secara perseorangan maupun secara bersama-sama dalam suatu kelompok. Ada dua tujuan utam pendidikan karakter dengan pendekatan ini 1) member 29
kesempatan kepada peserta didik untuk melakukan perbuatan moral, baik secara perseorangan maupun secara bersama-sama berdasarkan nilai-nilai mereka sendiri, 2) mendorong peserta didik untuk memosisikan diri mereka sendiri sebagai makhluk individu dan makhluk social dalam pergaulan dengan sesama. Sebagai konsekuensinya, mereka tidak bisa bertindak bebas sekehndak hati, namun bersikap sebagai bagian dari suatu masyarakat yang harus mengambil bagian dalam satu proses demokrasi. Kelima, pendekatan pembelajaran klarifikasi nilai (values clarification approach) adalah memberi penekanan pada usaha membantu peserta didik dalam mengkaji perasaan dan perbuatannya sendiri, untuk meningkatkan kesadaran mereka tentang nilai-nilai merek sendiri. Tujuan dari pendekatan ini adalah 1) membantu peserat didik untuk menyadari dan mengidentifikasi nilai-nilai mereka sendiri serta nilai-nilai orang lain, 2) membantu peserta didik, supaya mereka mampu berkomunikasi secara terbuka dan jujur dengan orang lain, berhubungan dengan nilai-nilainya sendiri, 3) membantu peserta didik, supaya mereka mampu menggunakan secara bersama-sama kemampuan berpikir rasional dan kesadaran emosional, untuk memahami perasaan, nilai-nilai, dan pola tingkah laku mereka sendiri. D. Metode Pembelajaran Berbasis Karakter Seperti dijelaskan di atas, bahwa sebuah model pembelajaran melibatkan pendekatan, strategi, metode, dan tehnik. Yang dimaksud pendekatan pembelajaran adalah konsep dasar yang mewadahi, menginspirasi, menguatkan, dan melatari metode pembelajaran dengan cakupan teoritis tertentu. Dilihat dari pendekatannya terdapat dua jenis pendekatan, yaitu 1. Pendekatan pembelajaran berorientasi atau berpusat pada siswa (student centered approach), 2. Pendekatan pembelajaran berorientasi atau berpusat pada guru (teacher centered approach). Berkenaan dengan Strategi pembelajaran, Kemp (Zubaedi:2011) menjelaskan bahwa strategi pembelajaran adalah suatu kegiatan pembelajaran yang harus dikerjakan guru dan siswa agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara eksplisit dan efisien. Dijelaskan oleh J.R David (Zubaedi:2011) bahwa yang eksplisit itu disusun dalam bentuk design atau perencanaan pembelajaran dengan kata lain strategi pembelajaran itu mengandung perencanaan. Dilihat dari strateginya, pembelajaran dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian, yaitu: 1. Exposition-discovery learning dan 2. Group-individual learning. Dilihat dari penyajian dan pengolahannya, strategi pembelajaran dibedakan menjadi pembelajaran induktif dan deduktif. 30
Dari sini tampak jelas bahwa makna strategi pembelajaran masih bersifat konseptual a plan of operation achieving something, berbeda dengan metode yang merupakan a way in achieving something. Terdapat beberapa metode pembelajaran yang bisa digunakan di antaranya: ceramah, demontrasi, diskusi, simulasi, laboratorium, pengalaman lapangan, brainstorming, debat dan symposium. Mulyasa (2012) menambahkan dengan mtode yang meliputi metode pembiasaan, keteladanan, pembinaan disiplin, hadiah dan hukuman, contectual teaching and learning, role playing, dan pembelajaran partispatif (participative intstruction). Dari metode pembelajaran dijabarkan ke dalam teknik dan gaya pembelajaran. Teknik pembelajaran diartikan sebagai cara yang dilakukan seseorang dalam mengimplementasikan suatu metode secara spesifik. Misalkan, penggunaan metode ceramah pada kelas dengan jumlah siswa yang relative banyak membutuhkan teknik tersendiri, yang tentunya secara teknis berbeda dengan penggunaan metode ceramah pada kelas yang jumlah siswanya terbatas. Dalah hal ini guru dapat berganti-ganti teknik dalam koridor metode yang sama. E. Prosedur Pembelajaran Berbasis Karakter Langkah-langkah penyajian sistematis dalam bentuk serangkaian urutan tindakan prosedural-bertahap berkesinambungan tersebut dinamakan prosedur pembelajaran. Prosedur pembelajaran memiliki tipe-tipe tertentu, sesuai variable pembentuknya yang meliputi topik, tujuan, spesifikasi materi dan tingkat pengalaman belajar anak. Variabelvariabel tersebut menuntut perlunya spesifikasi urutan tetentu, sehingga efektivitas dan efisiensi pembelajaran dapat dicapai. Tuntutan akan karakteristik urutan tersebut gilirannya melahirkan suatu tipe-tipe prosedur pembelajaran tertentu, menjadi sebuah struktur pembelajaran. Berkait dengan itu, maka struktur pembelajaran adalah tipe prosedural urutan anatomis tindakan pembelajaran. Prosedur pembelajaran berbasis karakter merupakan keseluruhan proses usaha belajar dan pembentukan karakter pesrta didik yang direncanakan untuk kepentingan tersebut, kompetensi, materi standar, indicator, hasil belajar, PBK, dan waktu yang diperlukan harus ditetapkan sesuai dengan kepentingan pembelajaran sehingga peserta didik diharapkan memperoleh kesempatan dan pengalaman belajar yang optimal. Pilar karakter itu harus terintegrasi dalam perumusan proses pembelajaran. Pembelajaran dari sisi proses, berlangsung dalam bentuk serangkaian kegiatan yang berjalan secara
31
bertahap. Kegiatan pembelajaran berlangsung dari satu tahap ketahap selanjutnya, sehingga membentuk alur yang konsisten. Samahalnya dengan pada kegiatan pembelajaran lain, prosedur pembelajaran berbasis karakter juga mencakup kegiatan pembukaan/pendahuluan, kegiatan inti atau pembentukan kompetensi dan kegiatan penutup. Setiap komponen ini dijelaskan secara rinci dalam Permen No 41 tahun 2007 tentang Standar Proses sebagai berikut: bahwa pelaksanaan pembelajaran meliputi kegiatan pendahuluan, kegiatan inti dan kegiatan penutup. 1. Kegiatan Pendahuluan Dalam kegiatan pendahuluan, guru: a. menyiapkan peserta didik secara psikis dan fisik untuk mengikuti proses pembelajaran; b. mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mengaitkan pengetahuan sebelumnya dengan materi yang akan dipelajari; c. menjelaskan tujuan pembelajaran atau kompetensi dasar yang akan dicapai; d. menyampaikan cakupan materi dan penjelasan uraian kegiatan sesuai silabus. 2. Kegiatan Inti Pelaksanaan kegiatan inti merupakan proses pembelajaran untuk mencapai KD yang dilakukan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Kegiatan inti menggunakan metode yang disesuaikan dengan karakteristik peserta didik dan mata pelajaran, yang dapat meliputi proses eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi. a. Eksplorasi Dalam kegiatan eksplorasi, guru:
32
1) melibatkan peserta didik mencari informasi yang luas dan dalam tentang topik/tema materi yang akan dipelajari dengan menerapkan prinsip alam takambang jadi guru dan belajar dari aneka sumber; 2) menggunakan beragam pendekatan pembelajaran, media pembelajaran, dan sumber belajar lain; 3) memfasilitasi terjadinya interaksi antarpeserta didik serta antara peserta didik dengan guru, lingkungan, dan sumber belajar lainnya; 4) melibatkan peserta didik secara aktif dalam setiap kegiatan pembelajaran; dan 5) memfasilitasi peserta didik melakukan percobaan di laboratorium, studio, atau lapangan. b. Elaborasi Dalam kegiatan elaborasi, guru: 1) membiasakan peserta didik membaca dan menulis yang beragam melalui tugas-tugas tertentu yang bermakna; 2) memfasilitasi peserta didik melalui pemberian tugas, diskusi, dan lain-lain untuk memunculkan gagasan baru baik secara lisan maupun tertulis; 3) memberi kesempatan untuk berpikir, menganalisis, menyelesaikan masalah, dan bertindak tanpa rasa takut; 4) memfasilitasi peserta didik dalam pembelajaran kooperatif dan kolaboratif; 5) memfasilitasi peserta didik berkompetisi secara sehat untuk meningkatkan prestasi belajar; 6) memfasilitasi peserta didik membuat laporan eksplorasi yang dilakukan baik lisan maupun tertulis, secara individual maupun kelompok; 7) memfasilitasi peserta didik untuk menyajikan hasil kerja individual maupun kelompok; 8) memfasilitasi peserta didik melakukan pameran, turnamen, festival, serta produk yang dihasilkan; 9) memfasilitasi peserta didik melakukan kegiatan yang menumbuhkan kebanggaan dan rasa percaya diri peserta didik. c. Konfirmasi
33
Dalam kegiatan konfirmasi, guru: 1) memberikan umpan balik positif dan penguatan dalam bentuk lisan, tulisan, isyarat, maupun hadiah terhadap keberhasilan peserta didik, 2) memberikan konfirmasi terhadap hasil eksplorasi dan elaborasi peserta didik melalui berbagai sumber; 3) memfasilitasi peserta didik melakukan refleksi untuk memperoleh pengalaman belajar yang telah dilakukan, 4) memfasilitasi peserta didik untuk memperoleh pengalaman yang bermakna dalam mencapai kompetensi dasar: a) berfungsi sebagai narasumber dan fasilitator dalam menjawab pertanyaan peserta didik yang menghadapi kesulitan, dengan menggunakan bahasa yang baku dan benar; b) membantu menyelesaikan masalah; c) memberi acuan agar peserta didik dapat melakukan pengecekan hasil eksplorasi; d) memberi informasi untuk bereksplorasi lebih jauh; e) memberikan motivasi kepada peserta didik yang kurang atau belum berpartisipasi aktif. 3. Kegiatan Penutup Dalam kegiatan penutup, guru: a. bersama-sama dengan peserta didik dan/atau sendiri membuat rangkuman/simpulan pelajaran; b. melakukan penilaian dan/atau refleksi terhadap kegiatan yang sudah dilaksanakan secara konsisten dan terprogram; c. memberikan umpan balik terhadap proses dan hasil pembelajaran; d. merencanakan kegiatan tindak lanjut dalam bentuk pembelajaran remedi, program pengayaan, layanan konseling dan/atau memberikan tugas baik tugas individual maupun kelompok sesuai dengan hasil belajar peserta didik; menyampaikan rencana pembelajaran pada pertemuan berikutnya.
34
F.
Organisasi Pembelajaran Berbasis Karakter Organisasi pembelajaran berbasis karakter dimaksudkan sebagai pengelolaan berbagai komponen dalam pelaksanaan pembelajaran berbasis karkater sehingga mencapai hasil yang optimal. Mulyasa (2012) menjelaskan bahwa komponen pelaksanaan pembelajaran berbasis karakter yang perlu diorganisir meliputi, pelaksanan pembelajaran, pengadaan dan pembinaan tenaga ahli, pendayagunaan lingkungan dan sumber daya masyarakat, pengembangan kebijakan sekolah, dan keterbatasan pendidikan karkater. 1. Pelaksanaan pembelajaran Pembelajaran berbasis karakter hendaknya dilaksanakan berdasarkan kebutuhan dan karakteristik peserta didik, serta kompetensi dasar pada umumnya. Oleh karena pembelajaran berbasis karakter perlu mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: a. Mengintegrasikan karakter dalam setiap pembelajaran dengan kehidupan masyarakat di sekitar lingkungan sekolah. b. Mengidentifikasi karakter sesuai dengan kebutuhan dan masalah yang dirasakan peserta didik. c. Mengembangkan indicator setiap karakater agar relevan dengan perkembangan dan kebutuhan peserta didik. d. Menata struktur organisasi dan mekanisme kerja yang jelas serta menjalin kerja sama di antara para fasilitator dan tenaga kependidikan lain dalam pembentukan karakter peserta didik. e. Merekrut tenaga kependidikan yang memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap sesuai dengan tugas dan fungsinya. f. Melengkapi saran dan prasarana belajar yang memadai, seperti perpustakaan, laboratorium, pusat sumber belajar, perlengkapan teknis, dan perlengkapan administrasi, serta ruang pembelajaran yang memadai. g. Menilai program pembelajaran secara berkala dan berkesinambungan untuk melihat keefektifan pembentukan karkater. Di samping itu, penilaian juga penting untuk melihat apakah pembelajaran berkarakter yang dikembangkan sudah dapat mengembangkan potensi peserta didik atau belum. 2. Pengadaan dan pembinaan tenaga ahli 35
Mulyasa (2012) menjelaskan bahwa pengadaan dan pembinaan tenaga ahli ini penting untuk dilakukan baik sikap, pribadi, kompetensi dan keterampilan yang berkaitan dengan pendidikan karakter karena berkaitan dengan deskripsi kerja yang akan dilakukan oleh masing-masing tenaga kependidikan. Oleh karena itu, sangat diharapkan agar setiap personel memiliki pemahaman dan kompetensi yang menunjang terlaksananya pendidikan karakter dalam proses pembelajaran dengan mengembangkan dan membentuk pribadi peserta didik secara optimal. 3. Pendayagunaan lingkungan dan sumber daya masyarakat Pendayagunaan lingkungan dan sumber daya masyarakat merupakan komponen yang penting bagi optimaliasasi pelaksanaan pendidikan karakter. Pendayaguaan dapat dilakukan dengan penggunaan lingkungan fisik dan lingkungan social. 4. Pengembangan kebijakan sekolah Terdapat beberapa kebijakan yang relevan diambil kepala sekolah dalam membantu kelancaran pelaksanaan pembelajaran berbasis karakter Mulyasa (2012) di antaranya: a. Memprogramkan perubahan kurikulum sebagai bagian integral dari program sekolah secara keseluruhan b. Menganggarkan biaya operasional pendidikan karakter sebagai bagian dari anggaran sekolah c. Meningkatkan mutu dan kualitas guru dan fasilitator agar dapa berkerja secara professional (meningkatkan profesionalitas guru) d. Menyediakan sarana dan prasarana yang memadai untuk kepentingan belajar dan pembentukan karakter e. Menjalin kerja sama yang baik dengan unsure-unsur terkait secara resmi dalam kaitannya dengan pendidikan karakter, seperti dunia usaha, pesantren, dan tokohtokoj masyarakat. G. Pengembangan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran berbasis Karakter 1. Pengertian RPP Berkenaan dengan pengembangan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Berbasis Karakter baik secara konsep dan format mengacu pada Panduan yang dikembangkan oleh Dirjen 36
Peningkatan Muta Pendidik dan Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional Tentang pengembangan Silabus dan RPP dalam KTSP. Berdasarkan panduan tersebut dijelaskan bahwa pembelajaran pada dasarnya merupakan proses yang ditata dan diatur sedemikian rupa, menurut langkah-langkah tertentu agar dalam pelaksanaannya dapat mencapai hasil yang diharapkan. Pengaturan tersebut dituangkan dalam bentuk perencanaan pembelajaran. Setiap perencanaan selalu berkenaan dengan perkiraan atau proyeksi mengenai apa yang diperlukan dan apa yang akan dilakukan. Demikian halnya, perencanaan pembelajaran memperkirakan atau memproyeksikan mengenai tindakan apa yang akan dilakukan pada saat melaksanakan kegiatan pembelajaran. Mungkin saja dalam pelaksanaannya tidak begitu persis seperti apa yang telah direncanakan, karena proses pembelajaran itu sendiri bersifat situasional. Namun, apabila perencanaan sudah disusun secara matang, maka proses dan hasilnya tidak akan terlalu jauh dari apa yang sudah direncanakan. Istilah perencanaan pembelajaran yang saat ini digunakan berkaitan dengan penerapan KTSP di sekolah-sekolah di Indonesia yaitu Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), pada waktu yang lalu dikenal istilah satuan pelajaran (satpel), rencana pelajaran (renpel), dan istilah-istilah sejenis lainnya.
Terdapat beberapa pendapat berkenaan dengan perencanaan pembelajaran ini, di antaranya: a. Secara garis besar perencanaan pengajaran mencakup kegiatan merumuskan tujuan apa yang akan dicapai oleh suatu kegiatan pengajaran, cara apa yang dipakai untuk menilai pencapaian tujuan tersebut, materi/bahan apa yang akan disampaikan, bagaimana cara menyampaikannya, serta alat atau media apa yang diperlukan (Ibrahim 1993: 2). b. Untuk mempermudah proses belajar-mengajar diperlukan perencanaan pengajaran. Perencanaan pengajaran dapat dikatakan sebagai pengembangan instruksional sebagai sistem yang terintegrasi dan terdiri dari beberapa unsur yang saling berinteraksi (Toeti Soekamto 1993: 9). c. Perencanaan pengajaran dapat dikatakan sebagai pedoman mengajar bagi guru dan pedoman belajar bagi siswa. Melalui perencanaan pengajaran dapat diidentifikasi apakah pembelajaran yang dikembangkan/dilaksanakan sudah menerapkan konsep belajar siswa aktif atau mengembangkan pendekatan keterampilan proses. d. Gambaran aktivitas siswa akan terlihat pada rencana kegiatan atau dalam rumusan Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) yang terdapat dalam perencanaan pengajaran. 37
Kegiatan belajar dan mengajar yang dirumuskan oleh guru harus mengacu pada tujuan pembelajaran. Sehingga perencanaan pengajaran merupakan acuan yang jelas, operasional, sistematis sebagai acuan guru dan siswa berdasarkan kurikulum yang berlaku. Berkaitan dengan hal-hal tersebut di atas maka rencana pelaksanaan pembelajaran adalah rencana yang menggambarkan prosedur dan pengorganisasian pembelajaran untuk mencapai satu kompetensi dasar yang ditetapkan dalam Standar Isi dan dijabarkan dalam silabus. Lingkup Rencana Pembelajaran paling luas mencakup 1 (satu) kompetensi dasar yang terdiri atas 1 (satu) indikator atau beberapa indikator untuk 1 (satu) kali pertemuan atau lebih. Unsur-unsur pokok yang terkandung dalam RPP meliputi: a. Identitas mata pelajaran (nama mata pelajaran, kelas, semester, dan waktu/ banyaknya jam pertemuan yang dialokasikan). b. Kompetensi dasar dan indikator-indikator yang hendak dicapai. c. Materi pokok beserta uraiannya yang perlu dipelajari siswa dalam rangka mencapai kompetensi dasar dan indikator. d. Kegiatan pembelajaran (kegiatan pembelajaran secara konkret yang harus dilakukan siswa dalam berinteraksi dengan materi pembelajaran dan sumber belajar untuk menguasai kompetensi dasar dan indikator). e. Alat dan media yang digunakan untuk memperlancar pencapaian kompetensi dasar, serta sumber bahan yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran sesuai dengan kompetensi dasar yang harus dikuasai. f. Penilaian dan tindak lanjut (prosedur dan instrumen yang akan digunakan untuk menilai pencapaian belajar siswa serta tindak lanjut hasil penilaian).
2. Prinsip-prinsip Penyusunan RPP RPP
pada
dasarnya
merupakan
kurikulum
mikro
yang
menggambarkan
tujuan/kompetensi, materi/isi pembelajaran, kegiatan belajar, dan alat evaluasi yang digunakan. Efektivitas RPP tersebut sangat dipengaruhi beberapa prinsip perencanaan pembelajaran berikut: a. Perencanaan pembelajaran harus berdasarkan kondisi siswa. b. Perencanaan pembelajaran harus berdasarkan kurikulum yang berlaku. c. Perencanaan pembelajaran harus memperhitungkan waktu yang tersedia d. Perencanaan pembelajaran harus merupakan urutan kegiatan pembelajaran yang sistematis. 38
e. Perencanaan pembelajaran bila perlu lengkapi dengan lembaran kerja/tugas dan atau lembar observasi. f. Perencanaan pembelajaran harus bersifat fleksibel. g. Perencanaan pembelajaran harus berdasarkan pada pendekatan sistem yang mengutamakan keterpaduan antara tujuan/kompetensi, materi, kegiatan belajar dan evaluasi. Prinsip-prinsip tersebut harus dijadikan landasan dalam penyusunan RPP. Selain itu, secara praktis dalam penyusunan RPP, seorang guru harus sudah menguasai bagaimana menjabarkan kompetensi dasar menjadi indikator, bagaimana dalam memilih materi pembelajaran yang sesuai dengan kompetensi dasar, bagaimana memilih alternatif metode mengajar yang dianggap paling sesuai untuk mencapai kompetensi dasar, dan bagaimana mengembangkan evaluasi proses dan hasil belajar.
3. Langkah-langkah Penyusunan RPP Dalam menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran dapat ditempuh langkah-langkah sebagai berikut: a. Mengisi kolom identitas b. Menentukan alokasi waktu yang dibutuhkan untuk pertemuan yang telah ditetapkan c. Menentukan SK, KD, dan Indikator yang akan digunakan yang terdapat pada silabus yang telah disusun. d. Merumuskan tujuan pembelajaran berdasarkan SK, KD, dan Indikator yang telah ditentukan (lebih rinci dari KD dan Indikator, pada saat-saat tertentu rumusan indikator sama dengan tujuan pembelajaran, karena indikator sudah sangat rinci sehingga tidak dapat dijabarkan lagi). Rumusan tujuan pembelajaran tidak menimbulan penafsiran ganda. e. Mengidentifikasi materi ajar berdasarkan materi pokok/pembelajaran yang terdapat dalam silabus. Materi ajar merupakan uraian dari materi pokok/pembelajaran f. Menentukan metode pembelajaran yang akan digunakan g. Merumuskan langkah-langkah pembelajaran yang terdiri dari kegiatan awal, inti, dan akhir. Langkah-langkah pembelajaran berupa rincian skenario pembelajaran yang mencerminkan penerapan strategi pembelajaran termasuk alokasi waktu setiap tahap. Dalam merumuskan langkah-langkah pembelajaran juga harus mencerminkan proses eksplorasi, elaborasi dan konfirmasi. h. Menentukan alat/bahan/ sumber belajar yang digunakan. 39
i.
Menyusun kriteria penilaian, lembar pengamatan, contoh soal, teknik penskoran, dll. Tuliskan prosedur, jenis, bentuk, dan alat/instrumen yang digunakan untuk menilai pencapaian proses dan hasil belajar siswa, serta tindak lanjut hasil penilaian, seperti: remedial, pengayaan, atau percepatan. Sesuaikan dengan teknik penilaian berbasis kelas, seperti: penilaian hasil karya (product), penugasan (project), kinerja (performance), dan tes tertulis (paper & pen).
Berkaitan dengan penyusunan RPP ini, terdapat beberapa catatan yang perlu diperhatikan oleh para guru, yaitu: a. Standar kompetensi dan kompetensi dasar yang telah ditetapkan secara nasional untuk seluruh mata pelajaran harus dijadikan acuan utama dalam merumuskan komponen-komponen RPP. Karena itu, rumusan standar kompetensi dan kompetensi dasar sekalipun sudah dituliskan dalam silabus, perlu tetap dituliskan kembali dalam RPP agar dapat terlihat secara langsung keterkaitannya dengan komponen yang lainnya dan menjadi titik tolak untuk menentukan materi pembelajaran, indikator ketercapaian kompetensi, media, metoda, kegiatan pembelajaran serta menentukan cara penilaian. b. Penjabaran kompetensi dasar menjadi indikator-indikator ketercapaian kompetensi perlu dipahami oleh guru. Setelah itu guru harus mampu menuliskannya dalam RPP dengan menggunakan rumusan-rumusan yang tepat, terukur, dan operasional. Ketidakmampuan guru dalam merumuskan indikator-indikator tersebut akan mempengaruhi pencapaian kompetensi dasar, yang akhirnya berakibat terhadap rendahnya kemampuan yang dimiliki siswa. c. Dalam penentuan materi pembelajaran pada umumnya guru sering menjadikan buku teks sebagai titik tolak dan sumber utama pembelajaran. Hal ini akan membawa akibat bahwa seluruh proses pembelajaran akan berada di sekitar buku teks tersebut. Dalam RPP yang dikembangkan, sebenarnya buku teks hanya merupakan salah satu sumber. Sumber itu tidak hanya hanya buku, namun ada buku, alat, manusia, lingkungan maupun teknik yang dapat dijadikan sebagai sumber belajar. Sebenarnya dengan adanya kompetensi dasar dan indikator akan memudahkan penentuan materi. Apabila kompetensi dasar dan indikator ada dalam kawasan belajar kognitif, maka sifat materi yang akan disajikanpun akan berkenaan dengan pengetahuan ataupun pemahaman. Demikian pula halnya untuk kawasan belajar afektif maupun psikomotor. Materi pembelajaran ini dapat diuraikan secara terinci atau cukup dengan pokok-pokok materi saja, dan materi terinci nantinya dapat dilampirkan. 40
Materi pembelajaran sifatnya bermacam- macam ada yang berupa informasi, konsep, prinsip, keterampilan dan sikap. Sifat dan materi tersebut akan membawa implikasi terhadap metoda yang akan digunakan dan kegiatan belajar yang harus ditempuh oleh siswa. d. Dalam penentuan atau pemilihan kegiatan pembelajaran perlu disesuaikan metoda mana yang paling efektif, efesien, dan relevan dengan pencapaian kompetensi dasar dan indikator. Penentuan metode pembelajaran harus memungkinkan terlaksananya cara belajar siswa aktif, kreatif, inovatif, dan menyenangkan. Guru perlu memilih kegiatan-kegiatan pembelajaran yang benar-benar efektif dan efesien dengan mempertimbangkan: 1)
Karakteristik kompetensi dasar dan indikator pencapaian kompetensi.
2)
Keadaan siswa, mencakup perbedaan-perbedaan individu siswa seperti kemampuan
belajar,
cara
belajar,
latar
belakang,
pengalaman,
dan
kepribadiannya. 3)
Jenis dan jumlah fasilitas/sumber belajar yang tersedia untuk dapat melaksanakan kegiatan pembelajaran.
4)
Sifat dan karakteristik masing-masing metode yang dipilih untuk mencapai kompetensi dasar.
H. Penilaian Pembelajaran Berbasis Karakter Penjaminan mutu proses pendidikan dilakukan melalui kegiatan evaluasi. Istilah evalauasi memiliki makna yang luas mencakup semua kegiatan pendidikan melibatkan proses penilaian, measurement, dan test. Dalam konteks proses pembelajaran biasanya digunakan istilah penilaian. Penilaian dalam proses pembelajaran dikamksudkan untuk menjadi standar ketercapaian dari aktivitas pembelajaran. Berkenaan dengan pembelajaran berbasis karakter, Kesuma (2011) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan penilaian adalah suatu proses untuk menilai kepemilikian suatu suatu karakter oleh anak yang dilakukan secara terencana, sistematis, sistemik, dan terarah pada tujuan yang jelas. Measurement adalah upaya untuk mengetahui keadaan/kondisi Sesutu. Dalam pengukuran tidak ada proses membandingkan hasil pengukuran dengan standar tertentu. Informasi hasil pengukuran belum memiliki makna yang mendalam, tetapi baru mendeskripsikan hasil dari suatu tes/instrument. Sedangkan tes adalah upaya untuk menggunakan suatu alat pada suatu objek, dalam hal ini peserta didik. 41
Penilaian dalam pendidikan dilakukan untuk mengukur apakah anak sudah memiliki satu atau kelompok karkater yang ditetapkan oleh guru dalam kurun waktu tertentu. Karena itu penilaian dalam konteks pendidikan karakter adalah upaya membandingkan prilaku anak dengan standar (indicator) karakter yang ditetapkan oleh guru dan /atau sekolah. Proses membandingkan antara prilaku anak dengan indicator karakter dilakukan melalui suatu proses pengukuran. Proses pengukuran dapat dilakukan melalui tes tertentu atau non test. Ada beberapa tujuan penilaian pembelajaran berbasis karakter yaitu: 1. Mengetahui kemajuan hasil belajar dalam bentuk kepemilikan sejumlah indicator karakter tertentu pada anak dalam kurun waktu tertentu; 2. Mengetahui kekurangan dan kelebihan desain pembelajaran yang dibuat oleh guru; dan 3. Mengetahui tingkat efektivitas proses pembelajaran yang dialami oleh anak, baik pada seting kelas, sekolah, maupun rumah. Hasil penilaian tidak akan memiliki dampak yang baik jika tidak difungsikan semestinya. Ada tiga hal penting yang menjadi fungsi penilaian pembelajaran berbasis berkarakter yaitu: 1. Berfungsi untuk mengidentifikasi dan mengembangkan system pembelajaran (instruction) yang didesain oleh guru; 2. Berfungsi untuk menjadi alat kendali dalam konteks manajemen sekolah; dan 3. Berfungsi untuk menjadi bahan pembinaan lebih lanjut (remedial, pendalaman, atau perluasan) bagi guru kepada peserta didik. Langkah-langkah penilaian pembelajaran berbasis karakter dapat dilakukan dengan beberapa tahapan sebagai berikut: 1. Menentukan indicator karakter 2. Menjelaskan definisi dari karakter 3. Melakukan elaborasi terhadap substani makna yang terkandunga dalam karakter melalui hirarki prilaku seperti hirarki T.Lickona menjadi moral knowing, moral feeling, dan moral action, atau menggunakan hirarki taksonomi Bloom yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor.
42
4. Menyusun indicator dari karakter tersebut ke dalam bentuk rincian khusus suatu indicator hasil belajar yang harus dikuasai oleh peserta didik sesuai tahap perkembangannya 5. Menjabarkan indicator penjadi indicator penilaian. Disamping proses penilaian yang dilakukan melalui tes, hasil pembelajaran berbasis karakter dapat dilakukan dalam waktu yang panjang karena penilaian karkater tidak bisa dalam satu waktu (one shot evaluation) tetapi harus diindetifasi secara terus menerus dalam keseharian anak baik dikelas, sekolah maupun rumah. Karena itu untuk dapat melalukan penilaian seperti ini dapat dilakukan dengan melibatkan komponen pendidik, peserta didik dan komponen orang tua. Adapun intrumen penilaian yang bisa dilakukan dapat melalui proses obeservasi diri anak, penilaian teman, catatan anekdot guru, catatan anekdot orang tua, catatan perkembangan aktivitas anak, lembar observasi guru, lembar kerja siswa dan lain-lain. Observasi adalah salah satu teknik penilaian pembelajaran berbasis karakter melalui pengumpulan data yang pengisiannya berdasarkan pengamatan langsung terhadap sikap dan prilaku peserta didik. Observasi dapat berbentuk observasi partisipatif, observasi sistematis, maupun observasi eksperimental. Anecdotal record merupakan kumpulan rekaman atau catatan tentang peristiwa-peristiwa penting yang menonjol dan menarik perhatian berkaitan dengan karakter peserta didik dalam situasi tertentu. Dari hasil rekaman tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan mengenai kretivitas peserta didik, baik yang bersifat maupun negative, kemudian ditafsirkan dan dimaknai oleh guru sebagai bahan untuk membuat penilaian akhri semester. Anecdotal record dapat berupa penialain, interpretasi, deskripsi khusus dan deskripsi umum. Penilaian berupa pernyataan yang menerangkan penilaian guru berdasarkan ukuran baik-buruk, yang diinginkan dan yang tidak diinginkan, yang diterima dan yang tidak dapat diterima. Interpretasi berupa penafsiran guru terhadap kegiatan, prilaku, dan situasi yang telah diamatinya. Deskripsi umum berupa catatan tentang kegiatan, prilaku, dan situasi dalam bentuk pernyataan umum. Deskripsi khusus berupa catatan yang berisikan uraian tentang kegiatan, perilaku pserta didik, dan situasi khsusus yang terjadi (Mulyasa:2011). Mulyasa (2011) menambahkan penjelasan tentang praktek penilaian dalam pembelajaran berbasis karakter (pendidikan karakter). Penilaian dalam pembelajaran berbasis karakter ditujukan untuk mengetahui tercapai tidaknya standar dan indicator yang telah ditetapkan. Penilaian dapat dilakukan terhadap program, proses dan hasil belajar. 43
Penilaian program bertujuan untuk menilai efektivitas program yang dilaksanakan, penilaian proses bertujuan untuk mengetahui efektivitas dan partisipasi peserta didik dalam pembelajaran sedangkan penilaian hasil bertujuan untuk mengetahui hasil belajar atau pembentukan kompetensi, dan karakter peserta didik.
44
BAB III METODE PENELITIAN A. Populasi dan Sampel Penelitian Sugiyono (2012) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas: objek/subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Dari penjelasan ini, maka populasi berarti berkenaan dengan penetapan jumlah wilayah generalisasi dan karakteristik objek/subjek penelitian sesuai dengan tujuan penelitian. Adapun subjek penelitian ini adalah para guru yang mengajar di MI yang tersebar di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, dan Tanggerang juga sedang mengikuti Program Peningkatan Kualifikasi Guru (PPKG) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dari database Mapenda melalui situs resminya dari masing-masing wilayah tersebut terjaring jumlah madrasah yang terdapat di wilayah tersebut adalah 273 Madrasah dengan rincian dari Jakarta Selatan ada 95 MI, Kab. Bogor 60 MI, dari Depok 68 MI, dan dari kota Tanggerang 50 MI. Dari 273 MI yang tersebar di wilayah Jabodeta tersebut terdapat 412 guru MI yang mengikuti Program Peningkatan Kualifikasi (PPKG) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dari 412 guru MI terhitung yang berasal dari dari Jakarta Selatan adalah 133 guru MI, beralas dari Kab. Bogor yaitu 163 guru MI, berasal dari Depok yaitu 70 guru MI, dan yang berasal dari Kota Tangerang yaitu 46 guru MI. Karena jumlah dari populasi yang besar dan penelitian ini tidak mungkin mempelajari semua yang ada pada populasi baik karena keterbatasan dana, tenaga dan waktu maka penelitian ini akan menentukan sampel. Sampel dijelaskan oleh Sugiyono (2012) adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut. Teknik sampling yang digunakan adalah nonprobabilitiy sampling; yaitu teknik pengambilan sampel yang tidak memberikan peluang yang sama bagi setiap unsure (anggota) populasi untuk dipilih menjadi anggota sampel. Dari sekian banyak teknik non probabilitiy sampling, dalam penelitian ini ditentukan teknik sampling yaitu cluster random sampling, dengan alasan karena pengambilan anggota sample dari populasi dilakukan berdasarkan distribusi guru yang berasal dari berbagai wilayah yang ada di Jabodeta.
45
Selanjutnya, untuk menentukan ukuran sample penelitian menurut Suharsimi (2012) apabila jumplah populasi lebih dari seratus orang dapat digunakan pengambilan sampel 10 %. Seperti menurut Sugiyono (2012) bahwa penentuan sampel bergantung pada tingkat ketelitian atau kesalahan yang dikehendaki. Sementara tingkat ketelitian atau kepercayaan yang dikehendaki sering tergantung pada sumber dana, waktu dan tenaga yang tersedia. Makin besar tingkat kesalahan maka akan semakin kecil jumlah sampel yang diperlukan, dan sebaliknya, makin kecil tingkat kesalahan, maka akan semakin besar jumlah anggota sampel yang diperlukan sebagai sumber data. Ukuran kesalahan dan ketelitian tersebut merujuk pada rumusan Isaac dan Mechael (Sugiyono:211). Oleh karena itu dapat dihitung bahwa 10 % dari jumlah 412 guru MI yang tersebar dari wilayah Jabodeta adalah 41 guru Madrasah Ibtidaiyah (MI). Jadi diketahui bahwa jumlah sampel yang akan jadi responden dalam penelitian ini sebanyak 41 guru MI. 41 guru MI tersebut berasal dari wilayah Jakarta Selatan 13 Guru MI, Kab. Bogor 16 Guru MI, Depok 7 Guru MI, Kota Tanggerang 5 Guru MI. B. Metode dan Instrumen Penelitian Metode penelitian adalah cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu (Sugiyono:2012) ada banyak cara ilmiah untuk mendapatkan data penelitian, dalam penelitian ini digunakan metode survey dengan pendekatan kualitatif. Penentuan metode ini didasarkan pada tujuan penelitian ini yaitu untuk pembuktian terhadap keterlaksanaan pembelajaran berbasis karakter pada tingkat Madrasah Ibtidaiyah (MI). Disamping itu juga ditinjau dari kegunaannya metode ini dapat menjadi cara ilmiah untuk memahami, memecahkan, dan mengantisipasi masalah penelitian ini. Memahami berarti memperjelas informasi tentang pemahaman/pengetahuan guru MI terhadap pembelajaranan berbasis karakter. Memecahkan masalah berkenaan dengan minimalisasi terhadap kesulitan-kesulitan guru dalam pelaksanaan pembelajaran berbasis karakter di MI. Mengantisipasi masalah berarti mengupayakan kualitas keterlaksanaan pembelajaran berbasis karakter di MI. Penggunaan metode penelitian survey ini membutuhkan teknik pengumpulan data dan instrument penelitian, menurut Sugiyono (2012) terdapat dua hal utama yang mempengaruhi kualitas data hasil penelitian, yaitu kualitas instrument penelitian, dan kualitas pengumpulan data. Teknik pengumpulan data penelitian ini adalah teknik kuesioner dan teknik test. Kuesioner merupakan pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden untuk dijawabnya (Sugiyono:2012). Teknik kuesioner dipilih dalam penelitian ini, karena variable penelitian yang akan diukur 46
sudah pasti, yaitu pembelajaran berbasis karakter. Teknik ini juga merupakan teknik yang efektif untuk mengukur tujuan penelitian ini dari responden yang sudah ditetapkan yaitu menjaring informasi mengenai pelaksanaan dan kesulitan pelaksanaan pembelajaran berbasis karakter di MI. sedangkan untuk mengukur pemahaman menggunakan teknik test. Teknik test menggunankan pilihan benar/salah, tetapi supaya menghindari kesan dites dan setress pada responden sehingga mendorong sikap menyontek jawaban maka diganti menjadi setuju/tidak setuju dari setiap pernyataan yang diajukan. Kuisioner ini akan disebarkan selama bulan Mei – Juni 2012. Teknik kuesioner dan test tersebut disusun dalam bentuk instrumen penelitian. Instrument penelitian adalah suatu alat yang digunakan untuk mengukur fenomena alam maupun social yang diamati atau variable penelitian (Sugiyono:2012). Adapun Instrumen penelitian jenis test digunakan untuk menjaring pengetahuan subyek penelitian tentang pemahaman pembelajaran berbasis karakter; sedangkan instrument penelitian dengan teknik kuesioner digunakan untuk menjaring pelaksananaan pembelajaran dan kesulitan para guru dalam menerapkan pembelajaran berbasis karakter (Instrument penelitian terlampir).
C. Analisis Data Setelah instrumen penelitian untuk menjaring data penelitian ini terkumpul kemudian dilakukan analisis data. Analisis data adalah kegiatan setelah data dari seluruh responden atau sumber data lain terkumpul (Sugiyono:2012). Analisis data penelitian ini dilakukan terhadap data berdasarkan variable pembelajaran berbasis karakter dan kelompok responden para guru MI Program Penikatan Kualifikasi Guru (PPKG), mentabulasi data berdasarkan variable pembelajaran berbasis karakter dari seluruh responden para guru MI Program Peningkatan Kualifikasi Guru (PPKG), menyajikan data pembelajaran berbasis karakter, dan melakukan perhitungan untuk menjawab rumusan masalah berkenaan dengan pemahaman guru, pelaksanaan dan kesulitan guru terhadap pembelajaran berbasis karakter. Analisis data tersebut dilakukan dengan teknik statistik. Dari beberapa teknik statistik dalam penelitian kuantitatif, dalam penelitian ini digunakan teknik analisis data statistik deskriptif. Statistik deskriptif adalah statistik yang digunakan untuk mengalisis data dengan cara mendeskripsikan atau menggambarkan data yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa bermaksud
membuat
kesimpulan
yang
berlaku
untuk
umum
atau
generalisasi
(Sugiyono:2012). Teknik ini digunakan karena penelitian ini dioerientasikan untuk 47
mendeskripsikan data sampel, dan tidak diorientasikan untuk membuat kesimpulan yang berlaku untuk populasi di mana sampel diambil yaitu untuk mendapatkan gambaran distribusi subyek penelitian berdasarkan wilayah, jumlah subyek yang telah menerapkan pembelajaran berbasis karakter, dan distribusi kesulitan penerapan pembelajaran berbasis karakter. D. Waktu Pelaksanaan Penelitian No.
Kegiatan
Waktu Pelaksanaan
1.
Menyusun Proposal Penelitian
Februari-Maret
2.
Menyebarkan instrumen penelitian
Mei – Juni
3.
Analisis Data
Juli – Agustus
4.
Menyusun Laporan
Agustus - Septemper
5.
Menyerahkan hasil penelitian
Oktober
E. Anggaran Dana Penelitian Penelitian ini didanai oleh anggaran dari Litbang UIN Syarif Hidayatullah Jakarta No.
Kegiatan
Anggaran Dana
1.
Menyusun Proposal Penelitian
Rp. 500.000;
2.
Menyebarkan instrumen penelitian
Rp. 4000.000;
3.
Analisis Data
Rp. 4000.000;
4.
Menyusun Laporan
Rp. 1.000.000;
5.
Menggandakan dan menyerahkan hasil Rp. 500. 000; penelitian Rp. 10.000.000;
Jumlah
48
BAB IV PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
Pembahasan terhadap hasil penelitian dilakukan dengan cara mentabulasi data berdasarkan variable pembelajaran berbasis karakter dari seluruh responden para guru MI Program Peningkatan Kualifikasi Guru (PPKG) yang berasal dari wilayah Jakarta, Bogor, Depok, dan Tangerang, kemudian menyajikan data pembelajaran berbasis karakter, dan mendeskripsika perhitungan hasil penelitian untuk menjawab rumusan masalah penelitian berkenaan dengan pemahaman guru, pelaksanaan dan kesulitan guru terhadap pembelajaran berbasis karakter. Variable penelitian pelaksanaan pembelajaran berbasis karakter ini dikembangkan menjadi tiga variable yang meliputi pemahaman, pelaksanaan dan kesulitan guru MI dalam pelaksanaan pembelajaran berbasis karakter. Untuk menjaring variable pemahaman guru MI dikembangkan instrument penelitian berupa tes Benar atau Salah (B/S) yang diubah menjadi setuju dan tidak setuju untuk menghindari kesan menguji responden sehingga ketika proses pengisian isntrumen penelitian responden tidak terlalu stress sehingga melakukan contekkan. Pada instrument test pemahaman itu diajukan 15 pertanyaan tentang konfigurasi dilaksanakan pembelajaran berbasis karakter disekolah, nilai karakter pada setiap mata pelajaran dan upaya guru dalam menerapkan pembelajaran berbasis karakter. Dari hasil penelitian ini diperoleh nilai prosentase bahwa 87.6 % guru MI se Jabodeta memahami konsepsi penerapan pembelajaran berbasis karakter dengan rata-rata nilai nilai 87. Dengan rata-rata nilai 87 % yang diperoleh dari hasil penelitian menggambarkan bahwa para guru MI memahami konsep pembelajaran berbasis karakter hal ini merujuk pada rumusan criteria keberhasilan implementasi pendidikan karakter yang dikembangkan oleh Mulyasa (2012) bahwa keberhasilan implementasi pendidikan karakter di sekolah dapat dilihat dalam jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Untuk criteria jangka pendek diantaranya bahwa sekurang-kurangnya 85 % isi dan prinsip-prinsip pendidikan karkater dapat dipahami, diterima, dan diterapkan oleh para peserta didik dan guru. Criteria jangka menengah diantaranya cirinya adalah para peserta didik menjadi insane yang berkarakter, creative dan mampu menghadapi berbagai permasalahan yang dihadapinya. Criteria jangka panjang tumbuhnya karakter kemandirian dan berkurangnya ketergantungan di kalangwan warga sekolah, bersifat adaftif dan proaktif, serta memiliki jiwa kewirausahaan yang tinggi (ulet, inovatif, dan berani dan mengambil risiko). 49
Untuk variable pelaksanaaan pembelajaran berbasis karakter dikembangkan menjadi tiga dimensi penelitian yaitu design pelaksanaan pembelajaran berbasis karakter, pendekatan pembelajaran berbasis karakter dan penilaian pembelajaran berbasis karakter. Dari ketiga dimensi penilitian ini disusun dalam bentuk rating scale berupa selalu, sering, kadang, dan tidak pernah yang masing-masing skala bernilai 4, 3, 2, dan 1 yang disusun kedalam 50 pernyataan. berdasarkan hasil penelitian dari jumlah responden 41 orang dari populasi 412 orang guru MI yang tersebar dari wilayah Jabodeta diketahui bahwa 71 % guru MI se Jabodeta telah melaksanakan pembelajaran berbasis karakter di sekolahnya masing-masing yang meliputi pemenuhan perangkat pembelajaran berbasis karakter yang berupa desain, pendekatan dan penilaian pembelajaran berbasis karakter. Seperti variable pelaksanaan pembelajaran berbasis karakter, untuk variable factor-faktor kesulitan guru dalam melaksanaan pembelajaran berbasis karakter dikembangkan instrument penelitian dalam bentuk rating scale. Factor-faktor kesulitan guru yang disajikan dalam penelitian ini berkenaan dengan aspek teladan guru, monitoring penanaman karakter, penilaian hasil belajar karakter, metode penanaman karakter, proses integrasi karakter pada mata pelajaran, penyusunan design karakter, buku panduan, dan identifikasi nilai karakter. Berdasakan hasil penelitian diperoleh data bahwa 52 % guru MI se Jabodeta banyak menemukan kesulitan dalam penerapan pembelajaran berbasis karakter berkenaan dengan factor-faktor kesulitan di atas. Berdasarkan uraian di atas secara keseluruhan diketahui bahwa baik berkenaan dengan pemahaman, pelaksaanan pembelajaran dan kesulitan pembelajaran berbasis karakter dapat digambarkan sebagai berikut: Gambar 1 Hasil Tabulasi Data Penelitian terhadap Guru MI se Jabodeta Pemahaman
Pelaksanaan
Kesulitan 52% Pelaksanaan 71%
50
Kesulitan
Pemahaman 87%
A. Pemahaman Guru MI terhadap Pembelajaran Berbasis Karakter Proses analisis terhadap pemahaman guru dalam pembelajaran berbasis karakter berdasarkan pada 15 item intstrumen yang berisi tiga dimensi pemahaman pelaksanaan pembelajaran berbasis karakter yaitu yang berkenaan dengan konfigurasi dilaksanakan pembelajaran berbasis karakter disekolah, nilai karakter pada setiap mata pelajaran dan upaya guru dalam menerapkan pembelajaran berbasis karakter. Instrumen penelitian yang digunakan berupa tes (Benar dan Salah) yang diganti dengan istilah (Setuju dan Tidak Setuju) untuk menghindari kesan menguji kepada responden, setiap jawaban diberikan skor satu (1) untuk jawaban setuju/benar dan sekor nol (0) untuk jawaban tidak setuju/salah proses scoring ini kemudian disebut dengan skala Gutman (Sugiyono:2011). Berdasarkan hasil penelitian ditemukan secara presentatif sebesar 87.6 % dari jumlah populasi sekitar 412 guru dengan sampel 41 dan 40 kuesioner responden yang terkumpul yang tersebar dari wilayah Jakarta, Bogor, Depok, dan Tanggerang telah memahami pelaksanaan pembelajaran berbasis karakter. Pemahaman Guru berdasarkan distribusi wilayah diperoleh informasi bahwa 90 % guru MI berasal dari Bogor telah memahami penerapan pembelajaran berbasis karakter, 93 % Guru MI yang berasal dari Jakarta Selatan, 85 % berasal dari Kota Tanggerang, dan 81 % berasal dari Depok. Gambar 2 Pemahamam Guru Berdasarkan Distribusi Daerah
95 90 85 80 75 70 Prosentase
Bogor 90
Jakarta 93
51
Tangerang 85
Depok 81
Adapun Komponen yang dijadikan standar utama pemahaman guru terhadap pembelajaran berbasis karakter dalam penelitian ini terdiri dari tiga aspek yaitu konfigurasi pilar karakter, nilai-nilai karakter dalam setiap mata pelajaran, dan upaya pembelajaran berbasis karakter. 1. Konfigurasi Pilar Pembelajaran Berbasis Karakter Berdasarkan dari hasil penelitian diketahui bahwa Terdapat 87 % guru MI se Jabodeta mengetahui konfigurasi karakter yang menjadi landasan pelaksanaan pembelajaran berbasis karakter di sekolah yaitu karakter yang bersumber pada olah hati, olah pikir, olah raga, dan olah rasa. 90.2% meyakini bahwa secara potensial konfigurasi karakter tersebut dapat diinternalisasikan terhadap peserta didik di sekolah karena secara kondrati pilar karakater tersebut tidak bertentangan dengan naluri potensial pada setiap peserta didik sebagai individu.
2. Karakter Dalam Setiap Mata Pelajaran Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa 95.5 % guru MI se Jabodeta memahami bahwa setiap mata pelajaran memiliki tujuan penerapan karakter pada setiap mata pelajaran terintegrasi pada setiap tujuan mata pelajaran yang sudah dirumuskan berdasarkan standar isi yang terangkum dalam standar kompetensi dan kompetensi dasar. Seperti yang dijelaskan oleh Gunansyah (2010) bahwa Setiap mata pelajaran pada prinsipnya memiliki bahan ajar (instructional materials) berdimensi pengetahuan, keterampilan dan sikap/nilai. Depdiknas (2006) mengartikan bahan ajar atau materi pembelajaran secara garis besar terdiri dari pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus dipelajari siswa dalam rangka mencapai standar kompetensi yang telah ditentukan. Mata pelajaran apapun termasuk yang ada di SD/MI sarat dengan kandungan dimensi penanaman dan pembinaan sikap/nilai yang melekat dalam setiap aktivitas pembelajaran.
Sedangkan pada upaya melakukan porses integrasi nilai karakter pada setiap mata pelajaran yang tidak mengandung instructional effect atau dampak langsung penanaman nilai karakter, berdasarkan hasil penelitian diketahui terdapat 82 % guru MI se Jabodeta memahmi proses integrasi nilai karakter pada setiap mata pelajaran
yang
dihubungkan
dengan
kehidupan
sehari-hari
dilinkungan
masyarakat sekitar. Ketika guru MI diajukan pernyataa berkenaan dengan tingkat 52
kepentingan dari pelaksanaan pembelajaran berbasis karakter, berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa 65.9 % guru MI merasa penting diterapkannya pembelajaran berbasis karakter pada setiap mata pelajaran disekolah dengan alasan terbatasnya perangkat terpadu dalam mewujudkan nilai-nilai karakter. Seperti yang dijelaskan dalam desain Induk Pembangunan Karakter Bangsa (Mulyasa: 2012) bahwa penanaman nilai-nilai Pancasila sebagai wahana dan sarana membangun karakter bangsa, meningkatkan komitmen terhadap NKRI, serta menumbuhkembangkan etika kehidupan berbangsa bagi seluruh rakyat Indonesia belum optimal. Oleh karena itu, perwujudan nilai-nilai esensi Pancasila pada semua lapisan masyarakat Indonesia perlu didukung perangkat kebijakan terpadu.
Esensi utama dalam pelaksanaan pembelajaran berbasis karakter adalah tertanamnya nilai karakter baik yang bersubmer dari social cultural atau social ideologis kebangsaan, pemahaman tentang esensi ini ditunjukan oleh guru MI ketika diajukan pernyataan dalam penelitian ini, berdasarkan data yang diperoleh diketahui bahwa 90 % guru MI se Jabodeta memahami tentang karakter yang dikembangkan berbasis pada semangat mengembangkan karakter warga Negara yang berbasis kebangsaan. Dalam desain Induk Pembangunan karakter Bangsa (Mulyasa: 2012) dijelaskan bahwa pembangunan karakter bangsa bertujuan untuk membina dan mengembangkan karakter warga Negara sehingga mampu mewujudkan masyarakat yang berkebutuhan yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, berjiwa persatuan Indonesia, berjiwa kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta berkeadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia. Sedangkan berkenaan dengan pengolahan nilai karakter pada setiap mata pelajaran, berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa 82 % guru MI se Jabodeta memahami bahwa karakter yang terdapat dalam setiap mata pelajaran diorganisasikan secara sistematis dalam setiap pembelajaran sehingga proses pembelajaran dilakukan untuk menanamkan nilai-nilai karakter secara integrated.
3. Upaya pembelajaran berbasis karakter Berkenaan
dengan
upaya
pengelolaan
pembelajaran
berbasis
karakter,
berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa 97 % guru MI se Jabodeta 53
memahami
bahwa pembelajaran berbasis karakter
dilaksanakan dengan
mengembangkan pembelajaran bermakna (meaningfull learning) yaitu proses pembelajaran yang disesuaikan dengan pengalaman nyata atau pembelajaran yang berguna bagi kehidupan sehari-sehari. Disamping upaya pembelajaran berbasis karaker dengan upaya meaningfull learning, terhadap para guru MI dalam penelitian ini diajukan
juga berkenaan dengan proses pembudayaan dan
pemberdayaan, berdasakan hasil penelitian diketahui bahwa 90 % guru memahami bahwa pembelajaran berbasis karakter dilaksanakan melalui proses pembudayaan dan pemberdayaan semua komponen perangkat pembelajaran seperti guru, peserta didik, ketersediaan sarana dan prasarana. Teknik pemberdayaan pembelajaran berbasis karakter dijelaskan oleh Mulyasa (dalam desain Induk Pembangunan Karkater Bangsa: 2012) yaitu meliputi 1) kegiatan penentuan regulasi tentang pengintegrasian pembelajaran berbasis karakter dalam semua mata pelajaran, 2) meningkatkan kapasitas sekolah sebagai wahana pendidikan karakter melalui pelatihan para guru, 3) penyediaan sumber-sumber belajar yang terkait dengan upaya pengembangan karakter siswa, 4) pemberian penghargaan kepada satuan pendidikan yang telah berhasil mengembangkan budaya karakter.
Upaya praktis dalam penanaman karakter, berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa 87 % guru MI se Jabodeta memahami pembelajaran karakter secara praktis dapat dilakukan melalui proses belajar yang aktif seperti diskusi, kegiatan kelompok, dan berbasis pemecahan masalah. Berkenaan dengan proses integrasi nilai karakter dalam mata pelajaran, dikatahui bahwa 95 % guru MI se Jabodeta memahami proses integrasi nilai karakter pada setiap mata pelajaran dilakukan secara langsung melalui proses identifikasi setiap standar kompetensi yang terdapat dalam setiap mata pelajaran kemudian dirumuskan nilai-nilai karakter yang sesuai dengan instructional effect. Adapun untuk mengukur ketercapaian internalisasi karakter kepada peserta didik, diketahu bahwa 97 % guru memiliki pemahaman dan sepakat bawah keberhasilan penerapan karakter dapat ditentukan dengan proses penilaian yang sistematis, dan sesuai dengan tujuan pembelajaran pada setiap mata pelajaran. Dan untuk pengelolaan materi baik mulai dari perumusan
nilai
karakter,
langkah-langkah
pembelajaran
dan
penilaian
pembelajran berbasis karakter, berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa 92 %
54
guru memahami bahwa pembelajaran karakter dapat efektif dilaksanaan apabila terlebih dahulu didesain dalam rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP).
Berdasarkan uraian di atas berkenaan dengan pemahaman guru MI terhadap pelaksanaan pembelajaran dapat digambarkan melalui
gambar diagram sebagai
seberikut: Gambar 3 Pemahaman Pembelajaran Berbasis Karakter
100
90 80 70 60 50
Prosentase
40
Instrumen
30 20 10 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15
B. Pelaksanaan Guru MI Pembelajaran Berbasis Karakter Berdasarkan distribusi guru MI yang tersebar dari wilayah Jabodeta diketahui bahwa 77 % guru MI wilayah Bogor dan Jakarta telah melaksanakan pembelajaran berbasis karakter, 69 % guru MI wilayah Depok, dan 62 % guru MI untuk wilayah Tanggerang. Hasil penelitian ini secara diagram dapat digambarkan sebagai berikut:
55
Gambar 4 Distribusi Pelaksanaan Pembelajaran Berbasis Karakter Guru MI Se Jabodeta
100 80
77
77
69
62
60
Prosentase
40 20 0 Bogor
Jakarta
Tangerang
Depok
Sedangkan apabila dilihat berdasarkan prosentasi skala likert dengan memberikan predikat sering, selalu, kadang-kadang dan tidak pernah diperoleh hasil 33 % selalu, 33 % sering, 29 % kadang-kadang dan 5 % tidak pernah melakukan proses pembelajaran berbasis karakter di wiyaha se Jabodeta. Gambar 5 Distribusi Skala Pelaksanaan Pembelajaran Berbasis Karakter se Jabodeta Tidak Pernah 5% Selalu 33%
Kadang-Kadang 29%
Sering 33%
Untuk mengidentifikasi Guru MI yang telah melaksanakan pembelajaran berbasis karakter dikelompokkan pada empat kegiatan pelaksanaan pembelajaran dengan merujuk pada teori yang dikembangkan oleh Gagne (Zubaedi:2012) juga berdasarkan pada Permendiknas no 22 tahun 2007 tentang Standar Proses yaitu kegiatan mendesign pembelajaran, kegiatan pendahuluan, kegiatan inti, dan kegiatan penilaian. Gambaran menyeluruh dapat dilihat secara grafik pada gambar 6 berikut:
56
Gambar 6 Pelaksanaan Pembelajaran Berbasis Karakter se Jabodeta 100 90 80 70 60 50
Prosentase
40
Instrumen
30 20 10 0 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 37 39 41 43 45 47 49
1. Design Pembelajaran Berbasis Karakter Komponen design pembelajaran berbasis karakter minimal terdiri dari rumusan indikator karakter, integrasi karakter, batasan karakter, dan prosedur pembelajaran berbasis karakter. Rumusan karakter memuat nilai-nilai karakter yang terdapat dalam mata pelajaran yang bersifat instructional effect yaitu mata pelajaran yang misi utamanya penanaman karakter seperti PAI dan PKn, guru dapat dengan mudah merumuskan karakter yang bersumber langsung dari Standar Kelulusan Mata Pelajaran (SKLMP), Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar (SK-KD), kegiatan ini 68 % guru MI di wilayah Jabodeta telah melakukannya. Merumuskan indicator karakter juga dapat dilakukan dengan bersumber pada rumusan indicator pembelajaran tujuannya nilai karakter yang terdapat dalam indicator pembelajaran akan lebih spesifik dan operasional untuk untuk dikaji oleh para pendidik, hal ini juga telah dilakukan oleh 75 % guru MI di wilayah se Jabodeta.
Komponen integrasi karakter berisi rumusan nilai karakter yang terdapat dalam mata pelajaran umum yang bersifat nurturant instruction, cara perumusannya dengan mengkaji pengalaman-pengalaman bernilai karakter yang terdapat dalam mata pelajaran umum untuk diterapkan peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. 73 % guru MI se Jabodeta telah merumuskan nilai karakter secara terintegrasi dalama mata pelajaran.
57
Komponen batasan karakter berisi pemilihan dan penentuan nilai karakter dengan mempertimbangkan kemampuan peserta didik, dan tingkat kesulitan atau kemudahan nilai karakter tersebut diterapkan peserta didik, misalnya ditentukan minimal tiga karakter dalam setiap indicator pembelajaran untuk dicapai oleh peserta didik. Kegiatan pembatasan karakter telah dilakukan oleh 65 % guru MI di wilayah Jabodeta.
Komponen prosedur pembelajaran berbasis karakter berisi langkah-langkah kegiatan pembelajaran yang mengoperasikan semua komponen pembelajaran yaitu melalui prosedur pendahuluan, inti, dan penutup, termasuk dalam prosedur tersebut penggunaan media, sumber, dan pendekatan pembelajaran harus dilakukan selama proses pembelajaran. Prosedur ini telah dilakukan oleh 77 % guru MI se Jabodeta.
2. Kegiatan Pendahuluan Kegiatan pendahuluan merupakan kegiatan guru untuk memberikan motivasi, menjelaskan tujuan pembelajaran, membiasakan kegiatan keagamaan, mengecek kesiapan belajar peserta didik, appersepsi, dan menjelaskan karakter yang diharapkan. Dari sejumlah kegiatan pendahuluan di atas, 77 % guru MI memulai pembelajaran dengan memberikan motivasi seperti melakukan kegiatan ice breaking. Sebelum memulai kegiatan pembelajaran 89 % guru MI berdo’a sebelum belajar dengan harapan tertanam kebiasaan bernilai karakter religus pada peserta didik. Untuk pengecekan kesiapan belajar peserta didik penting dilakukan, supaya peserta didik siap secara fisik dan mental dalam belajar sehingga hasil belajar tercapai dengan optimal dan 77 % guru MI telah melaksanakannya.
Kegiatan appersepi dalam kegiatan pendahuluan dapat dilakukan dengan dua teknik yaitu menjelaskan hubungan pembelajaran dengan kehidupan sehari-sehari dan mengajukan pertanyaan kepada peserta didik tentang pengetahuan awal dan pengalaman awal tentang materi yang akan diajarkan atau proses pembelajaran yang disebut dengan meaningfull learning. Teknik appersepsi dengan penjelasan hubungan tujuan pembelajaran dengan kehidupan sehari-hari dilakukan oleh 79 % guru MI se Jabodeta; sedangkan teknik pertanyaan dalam appersepi, dilakukan oleh 83 % guru MI se Jabodeta. Dalam pembelajaran berbasis karakter tujuan 58
pembelajaran tidak hanya berupa penjelasan tujuan instruksional tetapi juga berupa pemberian penjelaskan nilai karakter yang terdapat dalam standar kompetensi dan kompetensi dasar. Terdapat 68 % guru MI sejabodeta menyatakan menjelaskan nilai karakter yang diharapkan pada setiap standar kompetensi dan kompetensi dasar dalam setiap memulai kegiatan pembelajaran.
3. Kegiatan Inti Kegiatan inti pembelajaran berbasis karakter terdiri dari kegiatan eksplorasi, elaborasi dan konfirmasi. Dalam kegiatan eksplorasi guru dapat menggunakan pendekatan inculcation value. Dalam kegiatan elaborasi guru dapat menggunakan pendekatan value clarification, moral cognitif, dan action learning. Dalam kegiatan konfirmasi guru dapat menggunakan pendekatan union. Proses penerapan pendekatan inculcation value atau pendekatan penanaman nilai adalah suatu pendekatan yang memberi penekanan pada pananaman nilai-nilai social dalam diri peserta didik (Zubaedi;2001). Konsep ini didasarkan pada asumsi yang dikembangkan oleh J.Raven (Zubaedi;2011) bahwa social values are set of society attitude considered as a truth and it is become the standard for people to act in order to achieve democratic and harmonious life. Artinya: nilainilai social merupakan seperangkat sikap individu yang dihargai sebagai suatu kebenaran dan dijadikan standar bertingkah laku guna memperoleh kehidupan masyarakat yang demokratis dan harmonis. Inculcation value disebut oleh Kesoema (2011) sebagai model reflektif. Model refleftif dalam pembelajaran berbasis
karakter
dapat
dilakukan secara
efektif
apabila
mendasarkan
pelaksanaannya pada berberapa prinsip pembelajaran reflektif yang diidentifikasi oleh Kesoema (2011) yaitu melalui prinsip kasih sayang, prinsip keteladanan, dan prinsip perkembangan peserta didik yang dapat menggunakan teknik penanaman nilai karakter melalui diskusi, cerita, dan kisah. Pada aspek penanaman nilai karakter dengan prinsip kasih sayang berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa proses inculcation value dalam proses pembelajaran mayoritas 90 % guru MI se Jabodeta menerapkan proses penanaman nilai dengan menerapkan prinsip kasih sayang kepada peserta didik. Prinsip kasih sayang artinya kegiatan pembelajaran hendaknya didasarkan pada kasih sayang, karena tidak akan terjadi transformasi nilai jika dasar interaksi bukan kasih sayang. Sikap kasih sayang seorang pendidik 59
dalam proses pembelajaran akan melahirkan karater anak yang percaya diri dan mandiri karena sikap tersebut menciptakan suasana belajar yang nyaman dan aman atau disebut oleh Erick Erickson (Jamaris, 2010) suasana belajar yang akan melahirkan trust. Proses inculcatioan atau reflektif dalam pembelajaran ini memang membutuhkan kerja keras dan wawasan guru karena Proses pembelajaran reflektif diistilahkan oleh Khan (2011) sebagai nurturant effect yang dilakukan melalui pengaitan materi-materi yang dibahas dalam pembelajaran dengan makna dibelakang materi tersebut. Dengan kata lain, dalam proses pembelajaran guru menjelaskan tentang keterkaitan materi tersebut dalam nilai kehidupan. Proses inculcation value juga dapat dilakukan dengan proses pembelajaran melalui diskusi, 55 % guru MI se Jabodeta memilih kegiatan tersebut. Kegiatan diskusi mendorong terciptanya karakter saling menghargai, kerjasama dalam menyelesaikan masalah, dan saling membantu. Proses inculcation value melalui cerita menjadi pilihan 68 % guru MI se Jabodeta, materi cerita dapat berkenaan dengan peristiwa actual, atau pengalaman dari peserta didik tentang karakter tertentu yang telah dirumuskan, atau cerita dari contoh-contoh prilaku orang yang memiliki karakter yang telah drumuskan. Proses inculcation value juga dapat dilakukan dengan melalui penejalasan kisah-kisah perjuangan dalam sejarah, kisah pengorbanan dalam sejarah, kisah kepemimpinan dalam sejarah, kisah kejujuran dalam sejarah, dan kisah-kisah lainnya. Proses ini dilakukan oleh 69 % guru MI se Jabodeta.
Penerapan pendekatan value clarification atau pembelajaran klarifikasi nilai merujuk pada penjelasan Zubaedi (2011) adalah memberi penekanan pada usaha membantu peserta didik dalam mengkaji perasaan dan perbuatannya sendiri, untuk meningkatkan kesadaran mereka tentang nilai-nilai merek sendiri. Tujuan dari pendekatan ini adalah 1) membantu peserta didik untuk menyadari dan mengidentifikasi nilai-nilai mereka sendiri serta nilai-nilai orang lain, 2) membantu peserta didik, supaya mereka mampu berkomunikasi secara terbuka dan jujur dengan orang lain, berhubungan dengan nilai-nilainya sendiri, 3) membantu peserta didik, supaya mereka mampu menggunakan secara bersamasama kemampuan berpikir rasional dan kesadaran emosional, untuk memahami 60
perasaan, nilai-nilai, dan pola tingkah laku mereka sendiri. Untuk memperoleh tujuan klarifikasi nilai di atas dalam proses pembelajaran berbasis karakter dapat dilakukan dengan pemberian penghargaan (reward), dan hukuman (punishment). Berdasarkan hasil penilitian diketahui bahwa untuk penerapan pendekatan value clarification melalui proses pemberian penghargaan atau reward telah dilaksanakan oleh 95 % guru MI se Jabodeta, adapun bentuk penghargaan yang dipilih oleh guru MI se Jabodeta berdasarkan hasil penelitian deperoleh hasil bahwa 76 % guru MI se Jabodeta memberikan penghargaan berupa verbalistik/lisan seperti pujian, atau nonverbalistik seperti tepuk tangan, pemberian nilai dan hadiah.
Penerapan pendekatan value clarification melalui hukuman atau punishment dilakukan oleh 88 % guru MI se Jabodeta, punishment diberikan kepada peserta didik untuk menekan karakter negative dan mengembangkan karakter positif, yang disebut dengan ekstinksi. Proses ekstinksi ini dapat dilakukan dengan cueing (isyarat) terhadap prilaku negative, dan incompatible behavior (penguatan pada prilaku sebaliknya). Bentuk punishment harus disesuaikan dengan tingkat pelanggarannya seperti yang dijelaskan oleh Ormrod (2008) yaitu menggunakan scolding (teguran vebal), response cost (biaya respon), logical consequences (konsekuensi logis) time out (diasingkan), dan in-school suspension (skors di Sekolah). Penerapan pendekatan moral cognition atau pendekatan moral cognitive adalah pendekatan
yang
memberikan
penekanan
pada
aspek
kognitif
dan
perkembangannya. Pendekatan ini mendorong peserta didik untuk berpikir aktif tentang masalah-maslaah moral dan dalam membuat keputusan moral. Perkembangan moral menurut pendekatan ini dilihat sebagai perkembangan tingkat berpikir dalam membuat pertimbangan moral, dari suatu tingkat yang lebih rendah menuju satu tingkat yang lebih tinggi (Zubaedi: 2011). Pendekatan moral kognitive diistilahkan oleh Kesoema (2011) sebagai model pembangunan rasional. Model pembangunan rasional memiliki focus utama dalam pembelajaran pada kompetensi pembangunan rasional, argumentasi, atau alasan atas pilihan nilai yang dibuat peserta didik. Model ini dapat dikembangkan dalam proses pembelajaran karakter dengan asumsi bahwa setiap peserta didik adalah anak yang 61
sedang berkembang proses berpikirnya. Tujuan yang ingin dicapai oleh pendekatan ini ada dua hal utama 1) membantu peserta didik dalam membuat pertimbangan moral yang lebih kompleks berdasarkan kepada nilai yang lebih tinggi, 2) mendorong peserta didik untuk mendiskusikan alasan-alasannya ketika memilih nilai dan posisinya dalam suatu masalah moral. Untuk mencapai tujuan moral cognitive tersebut dapat dilakukan proses pembelajaran dengen memberikan contoh-contoh konsekuensi logis, tutorial, moral knowing, dan inquiry. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa penerapan pendekatan moral cognition dengan memberikan penjelaskan materi ajar melalui penggunaan contoh-contoh konsekuensi logis terhadap peserta didik telah dilaksanakan oleh 75 % guru MI se Jabodeta. Dalam kegiatan ini guru menyampaikan konsekuensi-konsekuensi logis dari materi ajar untuk sebuah perbuatan yang bernilai karakter misalnya guru mengajarkan penjumlahan dan pengurangan, secara matematis penjumlahan akan menghasilkan jumlah yang lebih besar sebaliknya dalam pengurangan akan menghasilkan jumlah yang lebih kecil, dalam nilai karakter penjumlahan identik dengan prilaku yang positif karenannya prilaku positif pun akan menghasilkan nilai positif sebaliknya prilaku negative sebagai bahasa lain dari pengurangan akan menghasilkan nilai negative, sperti orang yang memberi tetapi diikuti dengan menyakiti maka kebaikannya menjadi tidak bernilai. Asumsi ini juga dijelaskan oleh Kesoema (2011) bahwa proses pembelajaran harus dilakukan secara logis dan rasional. Logis berarti dapat dipahami. Artinya proses pengembangunan rasional anak harus dibawa pada tahapan kamampuan berpikir anak yang dapat dipahami oleh anak tidak bersifat dogmatis. Sedangkan rasional berarti masuk akal. Dalam konteks pembangunan rasional anak didik perlu untuk diajak memahami suatu perkara dari sisi rasionalitas, proses rasionalitas salah satunya dengan memberikan penjelasan melalui contoh peristiwa yang mengandung konsekuensi logis atau sebab akibat. Penerapan pendekatan moral cognition melalui proses tutorial, yaitu kegiatan membimbing dan mengarahkan peserta didik untuk memperoleh keputusan dalam penyelesaian masalahnya tanpa memberikan keputusan final atas masalah yang dihadapi peserta didik, proses tutorial jika merujuk pada konsep yang dikembangkan oleh Shaver (Koesoema dkk.;2011) yaitu meliputi kegiatan 62
identifikasi nilai dan klarifikasi nilai, generalisasi label/nama, analisis konflik nilai, dan pembuatan keputusan yang tepat. Berdasarkan hasil penelitian untuk aspek mendorong pembuatan keputusan yang tepat oleh guru terhadap peserta didik, 62 % guru MI di wilayah Jabodeta memberikan keputusan final terhadap masalah yang dihadapi peserta didik, sikap ini kurang tepat dalam penanaman karakter karena justru akan mendorong karakter pserta didik yang tidak mandiri. Padahal pengambilan putusan diasumsikan bahwa sebuah nilai dapat menjadi prioritas bagi individu tertentu dan tidak menjadi prioritas bagi yang lainnya. Dalam penentuan prioritas ini penting sekali dalam proses pembelajaran karakter untuk memberikan penguatan dalam mempertimbangkan secara matang mengenai konsekuensi-konsekuensi dari suatu putusan. Adalah kurang tepat jika gurulah yang memutaskan untuk anak mengenai apa yang harus dilakukan, karena anak tidak akan belajar mengenai bagimana sebuah keputusan terbaik diambil selain juga menguatkan ketergantungan anak pada gurunya. Penerapan pendekatan moral cognition melalu proses moral knowing yaitu tahapan membangun karakter mandiri dan kepercayadirian bagi peserta didik dengan melibatkannya dalam mengetahui, dan mengkaji nilai karakter dalam setiap kegiatan pembelajaran. Kegiatan ini disebut oleh Shaver (Kesoema: 2011) sebagai kegiatan analisis konflik. Analisis konflik nilai diasumsikan bahwa putusan-putusan moral melibatkan konflik antar nilai. Proses ini dilakukan dengan mengkaji konsekuensi-konsekuensi dari sebuah perbuatan atas sebuah nilai moral, sehingga anak menemukan cita moral yang dikompromikan. Misalnya anak ingin menolong orang lain yang sedang kelaparan sementara dia sendiri memiliki uang yang jumlahnya hanya cukup untuk ongkos adalah situasi konflik. Berdasarkan hasil penelitian diketahui membimbing dan mengarahkan peserta didik untuk memperoleh keputusan dalam penyelesaian masalahnya tanpa memberikan keputusan final atas masalah yang dihadapi peserta didik telah dilakukan 75 % guru MI se Jabodeta. Penerapan pendekatan moral cognition melalui proses kegiatan inquiry. Kegiatan ini memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada peserta didik untuk berpikir, menganalisis, menyelesaikan masalah dan bertindak tanpa rasa takut
dalam
proses pembelajaran. Berdasarkan hasil survey diketahui bahwa 82 % guru MI se 63
Jabodeta guru memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada peserta didik untuk berpikir, menganalisis dan menyelesaikan masalah tanpa rasa takut. Proses inquiry learning dijelaskan oleh Khan (2010) sebagai upaya penggunaan proses mental untuk menemukan prinsip ilmiah serta meningkatkan potensi intelektual. Untuk mengembangkan proses inquiry ini dilakukan melalui proses peningkatan kemampuan bernalar. Kegiatan inqiry merupakan kegiatan untuk mendorong dan mempertajam kemampuan daya pikir. Dengan kegiatan ini akan mendorong berkembangnya penalaran, potensi intelegensi secara maksimal dan proporsional. Karena kekuatan nalar akan menjembatani masa pembelajaran anak didik dan kesiapan menghadapi realitas social. Penerapan Pendekatan action learning memberi penekanan pada usaha memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk melakukan perbuatan moral, baik secara perseorangan, maupun secara bersama-sama dalam suatu kelompok (Zubaedi: 2011). Ada dua tujuan utama pendidikan karakter dengan pendekatan ini 1) member kesempatan kepada peserta didik untuk melakukan perbuatan moral, baik secara perseorangan maupun secara bersama-sama berdasarkan nilainilai mereka sendiri, 2) mendorong peserta didik untuk memosisikan diri mereka sendiri sebagai makhluk individu dan makhluk social dalam pergaulan dengan sesama. Sebagai konsekuensinya, mereka tidak bisa bertindak bebas sekehendak hati, namun bersikap sebagai bagian dari suatu masyarakat yang harus mengambil bagian dalam satu proses demokrasi. Untuk mencapai tujuan pendidikan karakter tersebut dalam kegiatan action learning dapat dilakukan melalui proses penugasan, drama, kolaborative learning, interaktif learning, active learning, dan pameran. Berdasarkan hasil penelitian terhadap guru MI se Jabodeta bahwa terdapat 84 % guru MI se Jabodeta telah melaksanakan pembelajaran berbasis karakter dengan menggunakan pendekatan action learning. Teknik kegiatan yang digunakan oleh guru MI berdarakan hasil penelitian diketahui bahwa 40 % guru MI se Jabodeta memilih metode drama untuk menanamkan nilai karakter dalam proses pembelajaran. Untuk memberikan kesempatan kepada peserta didik dalam menunjukkan perbuatan moral 71 % guru MI se Jabodeta melaksanakan pembelajaran berbasis karakter dengan memilih teknik
kolaboratif
learning
dari 64
pendekatan
action
learning.
Untuk
mengembangkan karakter peserta didik sebagai makhluk social berdasarkan hasil penelitian diketahui 68 % guru MI se Jabodeta mendorong terjadinya interaksi dalam proses pembelajaran berbasis karakter baik antara peserta didik, lingkungan, dan buku. Teknik yang bisa dipilih guru dalam mendorong partisipasi dari peserta didik berdaraskan hasil survey dikethaui bahwa 80 % guru MI se Jabodeta telah terbiasa mendorong proses pembelajaran yang aktif bagi siswa. Hal yang kurang diminati berdasarkan data hasil tabulasi peneltian diketahui bahwa pada aspek kegiatan pameran dalam mendorong prilaku moral telah dilakukan oleh 46 % guru MI se Jabodeta, padahal kegiatan ini mendorong lahirnya karakter kepercayaan dirian bagi peserta didik. Untuk mendorong prilaku moral bagi pesrta didik guru dapat mendayagunakan lingkungan masyarakat sebagai wahana kesempatan bagi peserta didik untuk melakukan perbuatan moral, berdarakan hasil penelitian diketahui bahwa 68 % guru MI se Jabodeta telah mendayagunakan lingkungan dan sumberdaya masyarakat sebagai upaya optimalisasi penanaman karakter terhadap peserta didik.
Pendekatan real value atau Union approach. Union approach adalah pendekatan agar peserta didik diarahkan untuk melaksanakan secara riil nilai-nilai budi pekerti dalam suatu kehidupan.Penerapan pendekatan union ini bisa dilakukan dalam proses pembelajaran berbasis karakter melalui perumpamaan dan perbandingan, home visiting, real action, by reflecting, by eksperience. Pemilihan pembelajaran dengan memilih teknik perumpamaan dan perbandingan berdasarkan hasil penelitian terdapat 74 % guru MI se Jabodeta telah menjalankan proses pembelajaran dengan memilih internalisasi karakter melalui perumpamaan dan perbandingan. Prosesn kegiatan perumpamaan dan perbandingan dapat dilakukan dengan kejadian-kejadian serupa dalam kehidupan peserta didik pada saat kegiatan pembelajaran.
Pendekatan union dapat dilakukan dengan menggunakan teknik home visiting. Home visitng merupakan teknik yang bisa dijadikan pilihan oleh guru MI dalam penanaman karkater terhadap peserta didik yang dilakukan setelah jam pelajaran, hal ini dapat menumbuhkan karakter kepedulian peserta didik terhadap teman, berhdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa 88 % guru MI se Jabodeta mendorong kegiatan home visiting atau kunjungan rumah bagi siswa yang sakit. 65
Proses pelaksanaan pendekatan union juga dapat dilakukan dengan teknik real action, yaitu suatu teknik member kesempatan kepada peserta didik untuk menampilkan nilai-nilai karakter baik secara langsung atau tidak langsung. Kegiatan penanaman karakter yang langsung adalah dilakukan sekolah dan tidak langsung diluar jam sekolah namun diberikan panduan ketercapaian karakter dengan orang tua. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa 86 % guru MI se Jabodeta memberikan bimbingan langsung atau tidak langsung terhadap peserta didik dalam melaksanakan nilai-nilai karakter dalam suatu kehidupan. Proses penerapan pendekatan union dalam pembelajaran berbasis karakter dapat dilakukan dengan teknik reflektif. Kegiatan reflektif ini merupakan kegiatan memaknai materi ajar berkenaan dengan kehidupan sehari-hari. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa 60 % guru MI memfasilitasi peserta didik untuk melakukan internalisasi karakter dengan proses reflektif seperti mencari bersamasama makna tujuan pembelajaran dalam kehidupan sehari-haril, proses reflektif dapat dilakukan dengan mengajukan pertanyaan terhadap peserta didik tentang manfaat yang akan dirasakan, atau dengan proses hynopteaching. Proses penerapan pendekatan union juga dapat menggunakan teknik by experience. Teknik ini mendorong peserta didi mengalami langsung nilai karakter yang ditanamakan oleh guru. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa untuk memperoleh pengalaman langsung bagi peserta didik, 61% guru MI se Jabodeta memfasilitasinya dengan cara memberikan contoh yang bisa ditiru oleh peserta didik
seperti kedisiplinan,
kejujuran,
keterbukaan,
kasih
sayang,
nilai
kebersamaan dan lain-lain.
4. Kegiatan Penutup Kegiatan penutup merupakan kegiatan yang meliputi diantaranya penilaian dan kegiatan tindak lanjut. Hal ini dijelaskan dalam Permen No 41 tahu 2007 tentang Standar Proses bahwa dalam kegiatan penutup terdiri dari guru: a) bersama-sama dengan peserta didik dan/atau sendiri membuat rangkuman/simpulan pelajaran; b) melakukan penilaian dan/atau refleksi terhadap kegiatan yang sudah dilaksanakan secara konsisten dan terprogram; c) memberikan umpan balik terhadap proses dan hasil pembelajaran; d) merencanakan kegiatan tindak lanjut dalam bentuk pembelajaran
remedi,
program 66
pengayaan,
layanan
konseling
dan/atau
memberikan tugas baik tugas individual maupun kelompok sesuai dengan hasil belajar peserta didik; menyampaikan rencana pembelajaran pada pertemuan berikutnya. Mulyasa (2011) menjelaskan bahwa kegiatan penilaian dimaksudkan untuk menilai kualitas proses pendidikan karakter dan pembentukan kompetensi peserta didik, termasuk bagaimana tujuan-tujuan belajar direalisasikan. Kegiatan penilaian pembelajaran berkarakter dapat dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan yang disebutkan oleh Mulyasa (2011) dilakukan melalui kegiatan proses dan hasil pembelajaran. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa terdapat 74 % guru MI se Jabodeta telah melaksanakan penilaian secara bertahap dan berkesinambungan baik dari sisi proses ataupun hasil belajar. Penilaian dari sisi proses menurut Mulyasa (2011) dapat terjadi ekektif jika system kerja komponen pendidikan berlasung simultan yaitu pertama, kerja kurikulum transformative adalah membangun kelompok warga sekolah, oleh warga sekolah, kepala sekolah, dan masyarakat, kedua, peserta didik mengalami kurikulum transformative sebagai ruang lingkup materi, kegiatan, bahan, lingkungan dan iklim. Ketiga, kurikulum transformative diekspresikan melalui budaya sekolah. Penilaian hasil pembelajaran karakter pada hakekatnya merupakan suatu kegiatan untuk mengukur perubahan prilaku (karakter) yang telah terbentuk. Pada umumnya hasil pendidikan karakter akan memberikan pengaruh dalam dua bentuk 1) peserta didik akan memiliki persepektif terhadap kekuatan dan kelemahannya atas karatekr yang diinginkan, 2) peserta didik dapat memiliki karkater yang diinginkan itu telah meningkat baik setahap atau dua tahap, sehingga akan timbul kesenjangan antara karakter sekarang dengan yang diharapkan. (Mulyasa: 2011). Dalam kegiatan penutup tahapan pembelajaran berbasis karakter terdapat kegiatan tindak lanjut. Kegiatan tindak lanjut merupakan kegiatan kegiatan untuk menindak lanjuti masalah pembelajaran yang dialami peserta didik. Kegiatan tindak lanjut dilakukan setelah diketahui dari sisi proses dan hasil penilaian pembelajaran berbasis karakter. Tujuan guru melaksanakan kegiatan tindak lanjut untuk memperbaiki proses dan hasil belajar berupa kepemilikan nilai karakter yang diharapkan, kegiatan tindak lanjut menjadi dasar bagi guru untuk menentukan apakah melakukan kegiatan remedial, enrichment, ataupun akselerasi terhadap peserta didik. Penentuan tindak lanjut ini dapat dilakukan oleh guru dengan 67
berdiskusi dengan para ahli evaluasi mengenai proses dan hasil pembelajaran. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa kegiatan tindak lanjut ini telah dilaksanakan oleh 51 % guru MI di wilayah Jabodeta. Kegiatan tindak lanjut juga bertujuan untuk mengukur ketercapaian program pembelajaran berabasis karakter, hal ini dijelaskan oleh Mulyasa (2011) bahwa 1) apakah yang dikerjakan peserta didik?, 2) jenis dan pola pikir apakah yang digunakan (ingatan, pemahaman, analisis, kritikal, evaluative)?, 3) apakah bentuk materi yang dipelajari peserta didik dan guru (fakta, konsep, prosedur, analisis, teori,)?, 4) tipe pengorgansiasian apakah
yang
digunakan?
5)
bagaimanakah
guru
dan
peserta
didik
mendeskripsikan iklim dan norma kelas? Dan 6) dalam ahal apa peserta didik secara khusus dilibatkan). Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa 70 % guru MI se Jabodeta menjadikan hasil penilaian sebagai landasan untuk melakukan tindak lanjut dan dalam rangka memperbaiki program pembelajaran dengan tujuan agar pembelajaran berbasis karakter berhasil optimal. Teknik penilaian pembelajaran berbasis karakter dapat dilakukan dengan menggunakan alat observasi, membuat catatan anekdot, dan monitoring bersama antar guru, dan orang tua. Kegiatan observasi dapat dijadiakn sebagai teknik penilaian pembelajaran berbasis karakter seperti yang dijelaskan oleh Mulayasa (2011) bahwa Observasi adalah salah satu teknik penilaian pembelajaran berbasis karakter melalui pengumpulan data yang pengisiannya berdasarkan pengamatan langsung terhadap sikap dan prilaku peserta didik. Observasi dapat berbentuk observasi partisipatif, observasi sistematis, maupun observasi eksperimental. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa 53 % guru MI se Jabodeta telah kegiatan observasi, tujuan observasi ini untuk memantau kemajuan hasil belajar dalam bentuk kepemilikian sejumlah karakter tertentu pada peserta didik.
Teknik penilaian pembelajaran berbasis karakter juga dapat dilakukan melalui teknik anecdotal record atau catatan anekdot. Anecdotal record merupakan kumpulan rekaman atau catatan tentang peristiwa-peristiwa penting yang menonjol dan menarik perhatian berkaitan dengan karakter peserta didik dalam situasi tertentu. Dari hasil rekaman tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan mengenai kretivitas peserta didik, baik yang bersifat maupun negative, kemudian ditafsirkan dan dimaknai oleh guru sebagai bahan untuk membuat penilaian akhri 68
semester. Anecdotal record dapat berupa penialain, interpretasi, deskripsi khusus dan deskripsi umum. Penilaian berupa pernyataan yang menerangkan penilaian guru berdasarkan ukuran baik-buruk, yang diinginkan dan yang tidak diinginkan, yang diterima dan yang tidak dapat diterima. Interpretasi berupa penafsiran guru terhadap kegiatan, prilaku, dan situasi yang telah diamatinya. Deskripsi umum berupa catatan tentang kegiatan, prilaku, dan situasi dalam bentuk pernyataan umum. Deskripsi khusus berupa catatan yang berisikan uraian tentang kegiatan, perilaku pserta didik, dan situasi khsusus yang terjadi. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa 44 % guru MI se Jabodeta membuat catatan anekdot untuk dijadikan alat untuk memantau peningkatan penanaman nilai-nilai karakter. Catatan anekdot atau observasi dapat juga dilakukan oleh orang tua sebagai bentuk dari monitoring bersama agar pemantauan ketercapaian penanaman nilai karakter dapat dilakukan disekolah dan dirumah. Kegiatan monitoring bersama sebagai teknik penilaian pembelajaran berbasis karakter telah dilakukan oleh 63 % guru MI se Jabodeta.
C. Kesulitan Guru MI dalam Pelaksanaan Pembelajaran Berbasis Karakter Identifikasi kesulitan pelaksanaan pembelajaran berbasis karakter bertujuan untuk menentukan langkah konstruktif bagi terwujudnya pendidikan karakter yang optimal. Hasil survey penelitian ini ditemukan bahwa guru MI 51 % untuk wilayah Bogor mengalami kesulitan, 56 % untuk wilayah Jakarta, 49 % untuk wilayah Tanggerang, dan 50 % untuk wilayah Depok. Gambar 7 Distribusi Kesulitan Pelaksanaan Pembelajaran Berbasis Karakter se Jabodeta
Prosentase
56
51
49 Bogor
Jakarta
Tangerang
69
50
Depok
Apabila dilihat dari skala yang dikembangkan oleh likkert untuk wilayah se Jabodeta diperoleh hasil 2 % selalu kesulitan dalam melaksanana pembelajaran berbasis karakter, 19 % sering kesulitan, 71 % kadang-kadang kesulitan, dan 8 % tidak pernah kesulitan. Apabila digambarkan akan terlihat seperti gambar berikut:
Gambar 8 Skala Kesulitan Pelaksanaan Pembelajaran Berbasis Karakter se Jabodeta
Tidak Pernah 8%
Selalu 2%
Sering 19%
Kadang-Kadang 71%
Adapun indicator kesulitan pelaksanaan pembelajaran berbasis karakter meliputi aspek teladan guru, monitoring penanaman karakter, penilaian hasil belajar karakter, metode penanaman karakter, proses integrasi karakter pada mata pelajaran, penyusunan design karakter, buku panduan, dan identifikasi nilai karakter. Hasil penelitian tingkat kesulitan dari masing-masing wilayah se Jabodeta tergambar dalam diagram Gambar 9 berikut ini:
70
Gambar 9 Aspek Kesulitan Guru MI se Jabodeta Pembelajaran Berbasis Karakter Memberi Tauladan
Monitoring Pengukuran Keberhasilan Depok
Metode Penanaman Karakter
Tangerang
Proses Integrasi Karakter
Jakarta Bogor
Penyusunan Desain Pembelajaran Buku Panduan Identifikasi Nilai Karakter 0
10
20
30
40
50
60
70
Dilihat dari gambar 9 di atas dapat dijelaskan bahwa penanaman nilai karakter melalui pemberian teladan baru 45 % guru MI untuk wilayah Jakarta mengalami kesulitan, 54 % guru MI untuk wilayah Jakarta, 50 % guru MI untuk wilayah Tanggerang dan Depok. Aspek keteladan dalam pembelajaran berbasis karakter merupakan bagian dari upaya pembudayaan seperti yang dijelaskan Mulyasa (2011) bahwa pemudayaan dapat terwujud dengan pemodelan, penghargaan, pengidolaan, fasilitasi, serta hadiah dan hukuman. Jadi jika guru sulit memberikan keteladanan dalam penanaman karakter maka akan sulit juga bagi peserta didik untuk menginternalisasikan nilai karakter dalam kehidupannya . Kegiatan monitoring dalam penanaman karakter dimaksudkan sebagai bentuk pengawasan terhadap ketercapaian dan konsistensi tindakan berkarakter bagi peserta didik, kegiatan ini dirasakan sulit oleh 48 % guru MI dari wilayah Bogor, 65 % guru MI untuk wilayah Jakarta, 50 % untuk wilayah Tanggerang dan Depok. Proses monitoring memang membutuhkan kerjasama dari berbagai pihak seperti orang tua, guru dan masyarakat yang disebut oleh dalam Panduan Pembangunan Karakter Bangsa (Mulyasa, 2011) sebagai tiga pilar pendidikan karakter. Masing-masing pilar pendidikan karakter apabila berlangsung secara harmoni dengan peran masing-masing 71
akan bersinergi dengan keberhasilan proses internalisasi nilai karakter terhadap peserta didik. Misalnya masing-masing pilar mengembangkan proses intervensi dan habituasi dalam penanaman karakter kepada peserta didik. Dalam intervensi dikembangkan suasana interaksi belajar dan pembelajaran yang disengaja dirancang untuk mencapai tujuan pembentukan karkater dengan menerapkan kegiatan yang tersetrutktur. Dalam habituasi diciptakan situasi dan kondisi serta penguatan yang memungkinkan peserta didik pada satuan pendidikannya, di rumahnya, di lingkungan masyarakat. Proses pemberdayaan dan pembudayaan mencakup pemberian contoh, pembelajaran, pembiasaan, dan penguatan yang dilakukan secara sistemik, holistic dan dinamis. Upaya sinergisitas ketiga pilar pendidikan karakter juga ditegaskan oleh Mulyasa (2011) bahwa internalisasi karakter harus terjadi dalam empat pilar yaitu kegiatan belajar-mengajar/pembelajaran dikelas, kegiatan keseharian dalam bentuk pengembangan budaya satuan pendidikan, kegiatan ko-kurikuler dan /atau ekstrakurikuler, serta kegiatan keseharian di rumah dan masyarakat. Pada aspek penilaian (pengukuran) hasil belajar, hasil penelitian menunjukkan 52 % untuk Guru MI Bogor, 58 % guru MI untuk wilayah Jakarta, 45 % guru MI wilayah Tanggeran dan 50 % untuk guru MI wilayah Depok mengalami kesulitan melakukan praktek penilaian terhadap pelaksanaan pembelajaran berbasis karakter. Penilaian hasil belajaran dalam pembelajaran berbasis karakter tidak hanya membutuhkan instrument penilaian yang berorientasi afektif tetapi juga performance atau tindakan karakter seperti yang dijelaskan oleh Kesuma (2011) bahwa yang dimaksud dengan penilaian berbasis karakter adalah suatu proses untuk menilai kepemilikian suatu suatu karakter oleh anak yang dilakukan secara terencana, sistematis, sistemik, dan terarah pada tujuan yang jelas. Disamping proses penilaian yang dilakukan melalui tes, hasil pembelajaran berbasis karakter dapat dilakukan dalam waktu yang panjang karena penilaian karkater tidak bisa dalam satu waktu (one shot evaluation) tetapi harus diindetifasi secara terus menerus dalam keseharian anak baik dikelas, sekolah maupun rumah. Karena itu untuk dapat melalukan penilaian seperti ini dapat dilakukan dengan melibatkan komponen pendidik, peserta didik dan komponen orang tua. Adapun intrumen penilaian yang bisa dilakukan dapat melalui proses obeservasi diri anak, penilaian teman, catatan anekdot guru, catatan anekdot orang tua, catatan perkembangan aktivitas anak, lembar observasi guru, lembar kerja siswa dan lain-lain.
72
Adapun langkahnya bisa mengikuti langkah yang dikembangkan oleh Mulayasa (2011) yaitu : 1. Menentukan indicator karakter 2. Menjelaskan definisi dari karakter 3. Melakukan elaborasi terhadap substani makna yang terkandunga dalam karakter melalui hirarki prilaku seperti hirarki T.Lickona menjadi moral knowing, moral feeling, dan moral action, atau menggunakan hirarki taksonomi Bloom yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor. 4. Menyusun indicator dari karakter tersebut ke dalam bentuk rincian khusus suatu indicator hasil belajar yang harus dikuasai oleh peserta didik sesuai tahap perkembangannya 5. Menjabarkan indicator penjadi indicator penilaian. Faktor yang menjadi kesulitan guru dalam penerapan pembelajaran berbasis karakter adalah pemilihan metode penanaman karakter, berdasarkan survey penelitian guru MI wilayah Bogor 53 % mengalami kesulitan, 52 % guru MI wilayah Jakarta mengalami kesulitan dalam penentuan metode penanaman nilai karakter, 45 % untuk wilayah Tanggerang, dan 50 % guru MI wilayah Depok mengalami kesulitan dalam memilih metode yang tepat dalam penanaman karakter. Kemampuan guru dalam memilih dan menentukan suatu metode pembelajaran dapat dijadikan standar keberhasilan pencapaian tujuan pembelajaran termasuk penanaman nilai karkater seperti dijelaskan oleh Khan (2011) bahwa suatu metode merupakan berbeda dengan metode yang merupakan a way in achieving something. Sehingga dapat diprediksi bahwa kesulitan guru dalam menemukan metode pembelajaran berbasis karakter juga menjadi indikasi sulitnya tercapai penanaman nilai karakter bagi peserta didik. Metode pembelajaran berbasis karakter dapat direduksi dari kegiatan pembelajaran dalam kelas dan proses panjang selama kegiatan pendidikan seperti dijelaskan oleh Mulyasa (2012) meliputi metode pembiasaan, keteladanan, pembinaan disiplin, hadiah dan hukuman, contectual teaching and learning, role playing, dan pembelajaran partispatif (participative intstruction). pemilihan metode juga dapat dilakukan dengan penatapan terlebih dahulu pendekatan yanga akan diguanakan seperti yang dijelaskan oleh Zubaedi (2011) yaitu meliputi pendekatan penanaman nilai (inculcation approach), pendekatan perkembangan moral kognitif (cognitive moral development approach), pendekatan analisis nilai (values analysis approacah), 73
pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach), dan pendekatan pembelajaran klarifikasi nilai (values clarification approach). Aspek lain yang menambah daftar kesulitan guru dalam pelaksanaan pembelajaran berbasis karakter adalah kegiatan integrasi karakter pada setiap mata pelajaran. Berdasarkan hasil penelitian surver terjaring bawah guru MI untuk wilayah Bogor 55 % mengalami kesulitan dalam upaya mengintegrasikan nilai karkater terhadap mata pelajaran yang diampu, 62 % guru MI untuk wilayah Jakarta, 45 % untuk guru MI wilayah Tangerang dan 50 % untuk guru MI wilayah Depok mengalami kesulitan dalam mengintegrasikan nilai karakter terutama untuk mata pelajaran umum. Proses integrasi nilai karakter dalam mata pelajaran merupakan kunci utama bagi terlaksananya pembelajaran berbasis karakter, sehingga apabila mayorita guru masih kesulitan dalam melakukan integrasi nilai karakter dalam setiap mata pelajaran dapat diindikasikan sulitnya pelaksanaan pembelajaran berbasis karakter diterapkan. Pentingnya integrasi dalam pelaksanaan pembelajaran berbasis karakter ini dijelaskan dalam Desain Pembangunan Karakter Bangsa (Mulyasa:2012) bahwa Khusus, untuk materi Pendidikan Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan karena masing-masing misinya adalah mengembangkan nilai dan sikap. Pengembangan karakter harus menjadi focus utama yang dapat menggunakan berbagai strategi/metode pendidikan karakter. Untuk kedua mata pelajaran tersebut, karakter dikembangkan sebagai dampak pembelajaran (instructional effect) dan juga dampak pengiring (nurturant effect). Sementara itu mata pelajaran lainnya, yang secara formal memiliki misi utama selain pengembangan karakter, wajib mengembangkan rancangan pembelajaran pendidikan karakter yang diintegrasikan ke dalam substansi/kegiatan mata pelajaran sehingga memiliki dampak pengiring (nurturant effect) bagi berkembangnya karakter dalam diri peserta didik.
Proses integrasi pembelajaran berbasis karakter dapat
dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah yang dikembangkan oleh Zubaedi (2011) antara lain: 1. Segala kegiatan di sekolah diatur berdasarkan sinegitas-kolaborasi hubungan antara sisiwa, guru, dan masyarakat 2. Sekolah merupakan masyarakat peserta didik yang peduli ketika ada ikatan yang jelas yang menghubungkan siswa, guru dan sekolah 3. Pembelajaran emosional dan social setara dengan pembelajaran akademik 74
4. Kerjasama dan kolaborasi di antara siswa menjadi hal yang lebih utama dibandingkan persaingan 5. Nilai-nilai seperti keadilan, rasa hormat, dan kejujuran menjadi bagian pembelajaran sehari-hari baik di dalam maupun di luar kelas 6. Peserta didik diberikan banyak kesempatan untuk mempraktekkan prilaku moralnya melalui kegaitan-kegiatan seperti pembelajaran memberikan pelayanan 7. Disiplin dan pengelolaan kelas menjadi focus dalam memecahkan maslaah dibandingkan hadiah dan hukuman 8. Model pembelajaran yang berpusat pada guru harus ditinggalkan dan beralih ke kelas demokrasi di mana guru dan siswa berkumpul untuk membangun kesatuan, norma, dan memecahkan masalah. Pada aspek yang juga dirasakan sulit oleh guru dalam pelaksaan pembelajran berbasis karakter adalah penyusunan desain pembelajaran berbasis karakter. Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahhwa 53 % guru MI untuk wilayah Bogor mengalami kesulitan dalam mendesign racangan pembelajaran berbasis karakter, 50 % untuk guru MI wilayah Jakarta, Tanggerang dan Depok guru MI juga menglamai kesulitan dalam menyusun design pelaksanaan pembelajaran berbasis karakter. Suatu design pembelajaran pada umumnya, juga termasuk dalam pembelajaran berbasis karakter melibatkan prosedur penyajian materi ajar, dan rencana pelaksanaan pembelajaran sehingga jika guru kesulitan dalam komponen ini suda pasti kesulitan dalam mencapai tujuan utama pembelajaran berbasis karakter yaitu tertananmnya nilai karakter. Dalam pembelajaran berbasis karakter dikenal dengan istilah prosedur pembelajaran berbasis karakter dan rencana pelaksaanan pembelajaran berbasis karakter. Prosedur pelaksanaan pembelajaran berbasis karakter merupakan langkah-langkah penyajian sistematis dalam bentuk serangkaian urutan tindakan prosedural-bertahap dan berkesinambungan. Langkah penyajian itu dikelompokkan menjadi tiga kegiatan seperti disebutkan dalam Permen No 41 tahun 2007 tentang Standar Proses yaitu meliputi kegiatan pendahuluan, kegiatan inti (eksplorasi, elaborasi dan konfirmasi) dan kegiatan penutup. Prosedur pembelajaran berbasis karakter ini merupakan keseluruhan proses usaha belajar dalam pembentukan karakter peserta didik yang direncanakan untuk kepentingan penanaman karakter, kompetensi, materi standar, indicator, hasil belajar, PBK, dan waktu yang diperlukan harus ditetapkan sesuai dengan kepentingan pembelajaran sehingga peserta didik diharapkan memperoleh 75
kesempatan dan pengalaman belajar yang optimal. Termasuk kedalam prosedur desain pembelajaran berbasis karakter adalah organisasi materi ajar yang juga harus diorientasikan pada penanaman karakter melalui kegiatan seperti yang dijelaskan oleh Mulyasa (2012) yaitu: a. Mengintegrasikan karakter dalam setiap pembelajaran dengan kehidupan masyarakat di sekitar lingkungan sekolah. b. Mengidentifikasi karakter sesuai dengan kebutuhan dan masalah yang dirasakan peserta didik. c. Mengembangkan indicator setiap karakater agar relevan dengan perkembangan dan kebutuhan peserta didik. d. Menata struktur organisasi dan mekanisme kerja yang jelas serta menjalin kerja sama di antara para fasilitator dan tenaga kependidikan lain dalam pembentukan karakter peserta didik. e. Merekrut tenaga kependidikan yang memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap sesuai dengan tugas dan fungsinya. f. Melengkapi saran dan prasarana belajar yang memadai, seperti perpustakaan, laboratorium, pusat sumber belajar, perlengkapan teknis, dan perlengkapan administrasi, serta ruang pembelajaran yang memadai. g. Menilai program pembelajaran secara berkala dan berkesinambungan untuk melihat keefektifan pembentukan karkater. Di samping itu, penilaian juga penting untuk melihat apakah pembelajaran berkarakter yang dikembangkan sudah dapat mengembangkan potensi peserta didik atau belum. Organisasi materi ajar sebetulnya secara substantive sudah mengindikasikan nilai karakter karena setiap mata pelajaran pada prinsipnya memiliki bahan ajar (instructional materials) berdimensi pengetahuan, keterampilan dan sikap/nilai. Depdiknas (2006) mengartikan bahan ajar atau materi pembelajaran secara garis besar terdiri dari pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus dipelajari siswa dalam rangka mencapai standar kompetensi yang telah ditentukan. Mata pelajaran apapun termasuk yang ada di SD/MI sarat dengan kandungan dimensi penanaman dan pembinaan sikap/nilai yang melekat dalam setiap aktivitas pembelajaran (Gunansyah: 2010).
76
Optimalisasi pelaksanaan pembelajaran berbasis karakter dapat dicapai dengan efektif salah satunya didukung oleh ketersediaan sumber belajar berupa buku panduan pelaksanaan pembelajaran berbasis karakter. Namun sumber belajar pada ketersediaan buku panduan ini berdasarkan hasil peneilitian dirasakan sulit ditemukan oleh 50 % guru MI untuk wilayah Bogor, 54 % guru MI untuk wilayah Jakarta, 50 % guru MI untuk wilayah Tanggerang, dan 43 % guru MI untuk wilayah Depok. Kondisi ini tentu saja akan menghambat berhasilan pelaksanaan pembelajaran berbasis karakter karena keberadaan buku panduan pelaksanaan pembelajaran berbasis karakter merupakan salah satu sumber bagi pengembangan kompoetensi guru khususnya dengan kemampuan guru dalam melaksanaan pembelajaran berbasis karakter. Aspek yang menjadi daftar kesulitan bagi guru dalam melaksanakan pembelajaran berbasis karakter adalah mengidentifikasi nilai karakter pada setiap tujuan pembelajaran dari masing-masing bidang studi. Berdasarkan hasil penelitian terdapat 50 % guru MI untuk wilayah Bogor mengalami kesulitan untuk mengidentifikasinya nilai karakter pada setiap bidang studi, dan 56 % guru Mi untuk wilayah Jakarta, 55 % guru MI untuk wilayah Tanggerang dan 57 % guru MI untuk wilayah Depok mengalami kesulitan untuk melalukan identifikasi nilai-nilai karakter. Proses identifikasi nilai karakter ini penting untuk dirumuskan dalan mendesain pelaksanaan pembelajaran berbasis karakter. Tujuan identifikasi nilai karakter supaya menjadi alat kendali bagi proses pembelajaran agar diorientasikan pada karakter yang yang telah ditetapkan namun tetap berhubungan dengan tujuan pembelajaran pada setiap mata pelajaran, kegiatan ini disebut dengan proses pembelajaran bermakna (meaningfull learning). Sehingga jika guru tidak bisa mengidentifikasi nilai karakter dalam setiap pembelajaran khususnya pada bidang studi umum tentu saja cita penanaman nilai karakter pada setiap peserta didik akan sulit diwujudkan. Proses identifikasi nilai karakter dapat mengikuti langkah-langkah yang dikembangkan oleh Mulyasa (2012) yaitu menentukan indicator karakter, menjelaskan definisi dari karakter, melakukan elaborasi terhadap substani makna yang terkandunga dalam karakter melalui hirarki prilaku seperti hirarki T.Lickona menjadi moral knowing, moral feeling, dan moral action, atau menggunakan hirarki taksonomi Bloom yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor. menyusun indicator dari karakter tersebut ke dalam bentuk rincian khusus suatu indicator hasil belajar yang harus dikuasai oleh peserta didik sesuai tahap perkembangannya dan menjabarkan indicator penjadi indicator penilaian. 77
BAB V SIMPULAN PENELITIAN A. Simpulan Penelitian
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pemahaman guru MI se Jabodeta terhadap pelaksanaan pembelajaran berbasis karakter, pelaksanaan pembelajaran berbasis karakter oleh guru MI dan kesulitan guru MI dalam melaksanaan pembelajaran berbasis karakter. Dari hasil penelitian diketahui secara mayoritas guru MI sejabodeta memahami pelaksanaan pembelajaran berbasis karakter dengan prosentase 87 %.
Pada aspek pelaksanaan pembelajaran berbasis karakter yang meliputi penyusunan design, pemilihan pendekatan dan penilaian pembelajaran berbasis karakter guru MI se Jabodeta 71 % guru MI telah melakukan kegiatan yang dibutuhkan dalam perangkat pelaksanaan pembelajaran berbasis karakter, adapun jika dilihat dari rating scale penelitian yang digunakan maka diketahui 33 % selalu dan sering, 25 % kadangkadang dan 5 % tidak pernah melaksanakan kegiatan pembelajaran berbasis karakter dengan menggunakan perangkat pelaksanaan pembelajaran berbasis karakter seperti design, penentuan pendekatan dan penilaian pembelajaran berbasis karakter.
Pada aspek kesulitan yang dirasakan oleh guru MI se Jabodeta berkenaan dengan keteladanan, monitoring, pengukuran keberhasilan, metode penanaman karakter, proses integrasi karakter, penyusunan desain pembelajaran, buku panduan, dan identifikasi nilai karkater dalam pelaksanaan pembelajaran berbasis karakter secara kesuluruhan 52 % guru MI se Jabodeta mengalami kesulitan untuk melaksanakan pembelajaran berbasis karakter.
78
B. Saran Penelitian
Setelah diperoleh hasil penelitian berkenaan dengan pelaksanaan pembelajaran berbasis karakter ada beberapa saran bagi penelitian selanjutnya yaitu untuk melakukan observasi mendalam berkenaan dengan kegiatan pembelajaran berbasis karakter yang dilakukan oleh guru MI. Bagi penggagas pelaksanaan pembelajaran berbasis karakter untuk mengadakan pelatihan bagi guru berkenaan dengan penyusunan desain, perangkat penilaian, dan penyedianan buku panduan. Sedangkan bagi guru sebagai praktisi pendidikan bahwa pelaksanaan pembelajaran berbasis karakter dapat dioptimalisasi dengan pemberian keteladanan, dan integrasi nilai karakter pada setiap mata pelajaran.
79
DAFTAR PUSTAKA Amri, Dkk., 2011. Implementasi Pendidikan karakter dalam Pembelajaran. Jakarta: PT. Prestasi Pustakaraya Aunillah, 2011. Panduan Menerapkan Pendidikan Karakter di Sekolah. Jogjakarta: Laksana Boedimansyah, 2010. Model Pendidikan Karakter, Bandung: Rosyda Karya Depdiknas, 2003. UU RI No 20 Tentang Sistem Pendidikan Nasional,” Jakarta: Departemen Pendididikan Nasional, Direktorat Jendral Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda. Dwiyanto, dkk., 2012. Pendidikan Karakter Berbasis Pancasila. Yogyakarta: Ampera Utama Fitri, 2011. Holistika Pemikiran Pendidikan: Upaya Membangun Manusia Bekarakter. Jurnal Didaktika: KI FITK UIN Jakarta Fogarty, R. 2002. How to Integrate the Curricula. Illinois: Pearson Skylight. Forgaty, R. & Stoehr, J. 2008. Integrating Curricula with Multiple Intelligences. Tousand Oaks, CA: Corwin Press. Ghaffar, Muhammad Fakri 2010. Pendidikan Karakter Berbasis Islam. Makalah: Yogyakarta Gunawan, 2012. Pendidikan Karakter: Konsep dan Implementasi. Bandung: Alfabeta Hambali, 2009. Pendidikan Karakter Berbasis Al Qur’an. Bandung: Simbiosa Rekatama Media Heri, A.H. 2007. Belajar dan Pembelajaran Sekolah Dasar. Bandung: UPI Press. Kaswardi, 1993. Pendidikan Nilai Memasuki tahun 2000. Jakarta: PT. Grasindo Kemendiknas. 2010. Pembinaan Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Pertama. Jakarta. www.kemendiknas.go.id Khan, Yahya 2010. Pendidikan karakter berbasis potensi diri. Yogyakarta: Pelangi Publishing 80
Koesoema, A., Doni 2007. Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global. Jakarta: Grasindo Kesuma, Dharma, dkk., 2011. Pendidikan Karakter: Kajian teori dan Praktek di Sekolah. Bandung: Remaja Rosdakarya Maryanto, A. 1994. Kurikulum Lintas Bidang Studi. Jakarta: PT. Gramedia Mulyasa, 2012. Manajemen Pendidikan Karakter. Jakarta: PT. Bumi Aksara Muslich, 2011. Pendidikan Karakter:Mencajawab Tantangan Krisis Multidimensional. Jakarta:PT. Bumi Aksara Ryan,K. 1999. Bulding Character in Schools. San Fransisco, Jossey-Bass Publishers. Sugiyono, 2012. Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta Suyanto, 2009. Urgensi Pendidikan karakter. Ditjen Mandikdasmen – Kementerian Pendidikan Nasional Sjarkawi, 2006. Pembentukan Kepribadian Anak. Peran Moral, Intelekatual, Emosional, dan Sosial sebagai Wujud Integritas Membangun Jati Diri. Jakarta: PT. Bumi Aksara Tilaar, 2002. Perubahan Sosial dan Pendidikan, Pengantar Pedagogik Transformative untuk Indonesia. Jakarta: PT. Grasindo Widiastono, 2004. Pendidikan Manusia Indonesia. Jakarta: Buku Kompas Winataputra, 2011. Peranan Perguruan Tinggi dalam Membangun Karakter Bangsa Melalui Pendidikan Karakter. Jurnal Didaktika KI FITK UIN Jakarta Zuchdi, Darmiyati. 2009. Humanisasi Pendidikan: Menemukan Kembali Pendidikan yang Manusiawi. Jakarta: Bumi Aksara. Zubaedi, 2011. Desain Pendidikan Karakter: Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan. Jakarta: Prenada Media Group
81
