LAPORAN NILAI TAMBAH DALAM PRAKTEK PELAPORAN KEUANGAN Oleh Darsono Faultas Ekonomi UTP – Jurusan Manajemen
A. Latar Belakang Konsep nilai tambah bukanlah sebuah konsep yang baru, tetapi satu hal yang pasti, bahwa konsep nilai tambah bukanlah berasal dari khazanah disiplin akuntansi. Konsep ini pada mulanya dipakai oleh pakar ekonomi pada akhir abad ke-18 sebagai alat untuk mengukur keluaran (output) neto perusahaanperusahaan. Kemudian pakar-pakar statistik, ilmuwan manajemen, para insinyur, serta para pakar personalia menggali dan mengembangkan lebih lanjut untuk dimanfaatkan di bidang-bidang lain sesuai dengan kepakaran masing-masing bidang ekonomi makro, informasi manajemen dan analisis produkifitas merupakan bidang-bidang utama penerapan konsep nilai tambah (Renshall, et.al, 11979). Dalam hal penggunaan konsep nilai tambah ini para akuntan dalam urutan kemudian. Dengan mengacu pada Cox, Morley(1979) mengemukakan bahwa pada abad ke-18 konsep nilai tambah mulai digunakan di ‘US Treasury’ dan selanjutnya secara berkala para akuntan mulai mendiskusikannya apakah konsep itu perlu dimasukkan ke dalam praktek pelaporan keuangan. Tetap hanya di Inggrislah laporan nilai tambah memiliki akar dan mengalami perkembangan yang pesat. Perkembangan demikian disebabkan oleh dua faktor.
B. Arah Baru dalam Pelaporan Keuangan Baik laba maupun nilai tambah sama-sama berfungsisebagai penciptaan ukuran kekayaan (wealth creation) selama periode terentu. Namun masing-masing mempunyai tujuan yang berbebda. Perlakuan akuntansi atas laba menyiratkan suatu penekanan atas kekayaan yang diciptakan bagi pemilik perusahaan atau pemegang saham. Di lain pihak konsep nilai tambah
mengukur kekayaan yang diciptakan oleh suatu pmitraan (partnership). Pemitraan ini setidaknya meliputi: (1) Perusahaan dengan berbagai aktiva yang dimilikinya. (2) Para karyawan dengan mendayagunakan segenap kemampuannya. (3) Para penyedia (pemegang saham dan kreditor). (4) Pemerinah yang menyediakan lingkunga bagi operasi atau aktivitas bagi perusahaan dan bagi karyawan perusahaan dalam mencari nafkah. Oleh karena itu laporan nilai tambah menekankan kinerja pemitraan dalam menciptakan kekayaan, tidak memperlakukan eksklusif bagi pemegang saham sebagaimana yang ditunjukkan dalam laporan rugi-laba konvnsional (Rokley, 1984). Atau menurut Lewis dan Pendrill (1986) laporan nilai tambah memandang perusahaan sebagai suatu usaha kolektif diantara penyumbang sumber daya (stakeholder). Karena itu penghasilan yang menjadi pusat perhatian dalam pelaporan bukan hanya pemegang saham (stockholders) melainkan penghasilan bagi stakeholders. Jadi, sementara perhitungan laba rugi secara tradisional memperhatikan laba atau rugi dari sudut pandang pemegang saham, laporan nilai tambah memperlihatkn\an penghasilan entitas yang lebih besar dan sekaligus memperlihatkan bagaimana penghasilan tersebut dibagikan diantara para penyumbangnya. Dengan cara yang berbeda dapat dinyatakan, bahwa laporan nilai tambah mengajukan pertanyaan yang berbeda dengan perhitungan laba rugi. Perhitungan laba rugi pada pertanyaan tentang bagaimana mengukur laba (penghasilan pemilik),
sedangkan laporan nilai tambah mengajukan
pertanyaan tentang bagaimana mengukur laba (penghasilan pemilik), sedangkan laporan nilai tambah mengajukan pertanyaan tentang penghasilan siapa yang diukur. Jawabannya sendiri dapat dipandang sebagai pengganti pembatasan atas pelaporan penghasilan para pemgang sham. Laporan nilai tambah mengukur penghasilan para penyumbang sumber daya perusahaan (stakeholders) yang membentu suatu permitraan, suatu tim yang bekerja sama dalam mewujudkan kinerja perusahaan. Dari perspektif ini, Morley (1979) serta Glauter dan Underdown (1986) misalnya, menganggap bahwa
perkembangan pelaporan nilai tambah menunjukkan suatu gerakan baru dan berbeda bagi pelaporan akuntansi.
C. Pelaporan Nilai Tambah di Beberapa Negara Selain Inggris Seperti dikemukakan oleh Morley (1979), memang di Inggrislah laporan nilai tambah tumbuh dan berkembang dengan pesat. Namun, walaupun mungkin tidak sepest di Inggris praktek pelaporan nilai tambah dapat pula dijumpai di beberapa negara. Most (1982) menyebutkan bahwa di Jerman persyaratan menyangkut penyajian informasi nilai tambah diatur dalam perundang-undangan perusahaan (German Companies Act). Di AS, General Electric, Inc. merupakan salah satu perusahaan yang menyajikan laporan nilai tambah. Di negeri Belanda, beberapa perusahaan juga memasukkan infomrasi nilai tambah di dalam laporan keuangan tahunannya, tetapi menurut Morley (1979), pengungkapannya seringkali jauh dari bentuk laporan nilai tambah yag utuh dan metode untuk memperoleh nilai tambah sangat tidak standar. Selain itu, pelaporan nilai tambah juga telah mulai dipraktekkan di Singapura. Pada 1986, mengutip majalah “The Mirros’ Business News’ melaporkan bahwa di Singapura telah banyak dibicarakan konsep nilai tambah dan relevansinya dengan produktivitas suatu perusahaan serta ekonomi nasional Dewa Produktivitas Nasional (DPN) Singapura menganggap bahwa konsep tersebut sangat penting, sehingga dewan ini turun langsung dalam upaya
menjelaskan konsep tersbut
kepada organisasi-organisasi dan
perorangan. Sejak itu, beberapa perusahaan telah mulai memperlihatkan komponen nilai tambah dalam laporan-laporan tahunannya.
D. Kebaikan Utama Penggunaan Nilai Tambah untuk Pelaporan Umum Menurur Renshall et.al (1979) ada tiga keuntungan atau kebaikan utama penggunaan nilai tambah untuk maksud-maksud pelaporan eksternal dengan tujuan umum.
1. Mudah dipahami secara menyeluruh/comprehensibility. Konsep nilai tambah merupakan suatu konsep yang mudah dipahami oleh kelompokkelompok pemakai utama laporan keuangan. 2. Kestabilan yang berbasis luas (broadased stability). Dibandingkan dengna laba, nilai tambah kurang mudah terpengaruh oleh fluktuasi jangka pendek yang tidak menguntungkan bagi keseluruhan segiusaha laba merupakan setelah semua beban/pengeluaran (outlays) dan kejadian yagn releavan diperhitugkan. Di lain pihak, nilai tambah (terutama nilai tambah bruto) kurang terpengaruh oleh pos-pos yng mengandung problematika yang seringkali tidak mudah untuk dijelaskan semacam itu. 3. Keterbandingan/komparabilitas (comparability). Oleh karna nilai tambah memiliki kestabilan yang berbasis luas, maka ia meberikan keuntungan khusus jika digunakan untuk tujuan-tujuan perbandingan, baik internal maupun eksternal, oleh semua pemakai dari analisis samai para karyawan dan para pemegang saham. Nilai tambah dpat dipakai untuk dasar perbandingan diantara industri-industri (kelompok/bidang usaha) seara individual.
E. Laporan Nilai Tambah dan Sistem yang Ada Untuk memperoleh laporan nilai tambah tidak diperlukan perusahaan dalam sistem pencatatan yang selama ini digunakan. Kalaupun ada, menurut hemat penulis, tidaklah terlau mendasar. Ini karena sesungguhnya laporan nilai tambah dapat dipandang sebagai suatu versi modifikasi laporan keuangan, khususnya perhitungan laba rugi, konvensional. Laporan nilai tambah, karenanya dapat dengan mudah disusun dari sistem yang ada. Nilai tambah dapat diperoleh dengan mengurangkan bahan-bahan dari jas ayang dibeli dari pihak-pihak atau perusahaan-perusahaan lain dari jumlah penjualan selama suatu periode akuntansi (subtractive method). Nilai tambah juga dapat diperoleh dengan menjumlahkan kembali bagian-bagian yang didistribusikan kepada para penyumbang sumber daya (additive method).
Berdasarkan cara-cara perhitungan ini, nilai tambah dapat dinyatakan sebagai berikut: Nilai tambah = S – B Atau Nilai tambah = W + I + DD + T + DP + R Dalam hal ini: S = penjualan B = bahan-bahan dan jasa yang dipeli dari pihak lain W = upah dan gaji serta imbalan-imbalan lain I = bunga DD = deviden T = pajak DP = penyusunan R = laba ditahan Dalam laporan nilai tambah, perhitungan (1) disajikan sebagai laporan pertama sedangkan perhitungan (2) disajikan sebagai bagian kedua yakni distribusi nilai tambah kepada stakeholders. Penyajian demikian pada dasarnya dapt diperoleh dari sistm pencatatan yang ada. Secara sederhana perhitungan laba rugi dapat dinyatakan sebgai berikut: Laba = S – B – I – W – DP – T Jika laba dikurangi degan dividen maka sisanya adalah laba yang tidak dibagikan (ditahan) sehingga persamaan menjadi: R + DD = S – B- W – DP – T Dengan memindahkan unsur0unsurnya sesuai dengan susunan yang diperlukan maka dapat diperoleh laporan nilai tambah yang diinginkan baik dengan menggunakan nilai tambah netto maupun nilai tambah bruto. Dengan demikian permasalahannya terletak pada pengelompokkan atau pemisahan data saja. Karena itu untuk menghasilkan laporan nilai tambah, tidak diperlukan perubahan sistem pencatatan yang ada atau kalaupun perlu maka perubahan itu tidak terjadi secara besar-besaran. Hal ini juga berarti bhwa
konvensi-konvensi yang ada tetap dapat diterapkan. Dengan dmikian laporan nilai tambah tetap diverifikasi objektivitasnya.
F. Beberapa Kelemahan Adapun keberatan-keberatan lain yang diajukan secara umum meliputi (Belkaoui, 1985): 1. Nilai tambah membawa informasi yang berlebih dan membingungkan karena informasi yang diberikan telah termasuk dalam laporan tahunan dan para pemakai mempunyai tingkat famiiaritas yang kecil dengan konsep nilai tambah. 2. nilai tambah bisa dijadikan sebagai variabel tau sasarn untuk maksimisasi yang keliru oleh manajemen dalam hubungannya dengan pengambilan keputusan yang berkaitan dengan alokasi sumber daya. Ini karena informasi
manajemen
yang
didasarkan pada
nilai
tambah
bisa
mengorientasikan manajemen untuk memaksimumkan nilai tambah yang secara sederhana ditempuh dengan jalan meningkatkan komponen tenaga kerja. Orientasi ini bisa mengakibatkan ketidakekonomisan, misalnya dalam hal keputusan membuat atau membeli yang alternatifnya membeli produk dan pihak luar untuk diproses lebih lanjut (makin tinggi biaya masukan, antara, makin rendah nilai tambah).
G. Masa Depan Laporan Nilai Tambah Didorong oleh The Corporate Report dalam wkatu yang relatif singkat laporan nilai tambah telah menjadi bahan diskusi secara luas. Bahkan, mengingat popularitas dan adanya keragamandalam penyajiannya, timbul pula gagasan untuk standarisasinya. Sementara itu, dapat diamati bahwa belakangan ini ada beberapa pihak yang
menaruh perhatian bagi
pengembangan lebih lanjut. Dalam rangka memecahkan keterbatasan-keterbatasan dan masalah yang timbul kontroversial serta dalam rangka menghadai tantangna, Belkaoui (1986) menempatkan pelaporan nilai tambah sebagai salah satu diantara tujuh
perkembangan baru yang perlu dikaji. Pelaporan nilai tambah berikut enam bidang lainnya oleh Belkoui ditempatkan sebagai ‘future accounting’. Belkaoui berpendapat bahwa ruang lingkup akuntansi mendatang harus menakup pemecahan-pemecahan di bidang masalah-masalah tersebut dan permasalaha-permasalahan sreta isu-isu kontroversi lainnya. Perhatian yang kurang lebih serupa jgua diberikan oleh Enthouven (1985) dalam ‘Mega Accountancy Trend’ (Accountancy Research Biograph #5) Enthouven memasukkan nilai tambah sebagai bagian dari trend 2, yaitu salah satu sub tren yang meliputi identifikasi, pengukuran dan pelaporan akuntansi yang relevan. Enthouven mengemukakan bahwakonsep nilai tambah merupakan suatu sub trend yang vital. Konsep nilai tambah bermanfaat untuk tujuantujuan akuntasi dan ekonomi baik mikro maupun makro. Di Indonesia sendiri, laporan nilai tambah telah diusulkan oleh Dr. Bambang Soedibyo. Walaupun tak dapat diingkari bahwa pelaporan nilai tambah telah memperkaya khasanah pelaporan akuntansi. Terdapat bukti bahwa manajemen bersemangat untuk menggunakan secara lebih luas konsep nilai tambah dalam perncanaan dan pengendalian. Bahkan untuk maksud=maksud pelaporan eksternal. Beberapa pihak telah mencanangkan arti pentingnya dan pengembangannya lebih jauh. Dalam hubungannya dengan Indonesia, tidaklah berlebihan jika perkembangan yang berlangsung menyangkut pelaporan nilai tambah layak untuk diperhatikan, khususnya dalam upaya pengembangan akuntansi yang saat ini tengah ditempuh. Tanpa maksud mengecilkan peran pihaj-pihak lain, barangkali apa yang pernah dikemukakan oleh DR. Bambang Soedibyo perlu mendapatkan perhatian. Sebagai telah disinggung, konsep atau pandangan perushaan sebagai suatu usaha kolektif, oleh karena itu sangatlah menarik. Tampaknya, pandangan ini lebih sesuai dengan asas usaha bersama atau kegotongroyongan dalam perekonomian Indonesia seperti yang dikehendaki oleh konstitusi. Memang, akuntansi tidaklah berdiri sendiri dan keberadaannya tidak terlepas dari realitas ekonomi yang menjadi lingkugnan tempat beroperasinya
perusahaan yang menjadi perhatiannya dan hendak digambarkan dalam laporan keuangan. Dalam hubungan ini memang masih dipertanyakan apakah kondisi bisnis dan lingkugan ekonomi dan bisnis Indonesia telah sesuai dengan cita-cita atau amanat konstitusi. Peranan pihak-pihak selain pemiik modal tidak bisa diabaikan. Karena itu, dengan tetap berprasangka baik bahwa sistem perekonomian Indonesia tetap terus dikembangkan ke arah yang sesuai dengan
amanat
konstitusi,
maka
cukuplah
berasalan
untuk
mulai
mempertimbangkan pengembangan praktek pelaporan ke arah yang sama.
Daftar Pustaka Ghozali Imam, Pentingnya Laporan Nilai Tambah Sebagai Pelengkap Laporan Keuangan, Akuntansi No. 10 Oktober 1989. Usmansyah, Laporan Nilai Tambah dan Relevansinya dalam Penilaian Kinerja BUMN, Akuntansi No. 2 – Pebruari 1989.