LAPORAN MODUL I BLOK XVII KETERGANTUNGAN ZAT PSIKOAKTIF
Disusun oleh : Kelompok I Rocherman Gema Aditama
(0708015033)
Okki Masitah Safitri N
(0708015043)
Khoirun Nisa
(0708015002)
Sisca Andriany
(0708015024)
Hajrah
(0708015039)
Rahmatul Yasiro
(0708015055)
Siti Desy Astari
(0708015032)
Nurul Salamah
(0708015001)
Arbaiyah
(0708015018) Tutor: dr. Nurul Hasanah, M. Kes.
FAKULTAS KEDOKTERAN UMUM UNIVERSITAS MULAWARMAN 2009
1
KATA PENGANTAR Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan hidayah-Nyalah makalah zat-zat psikoaktif ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Makalah ini disusun dari berbagai sumber ilmiah sebagai hasil dari diskusi kelompok kecil (DKK) kami. Makalah ini secara menyeluruh membahas mengenai infeksi dan inflamasi pada hidung, sinus paranasalis dan telinga. Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu terselesaikannya makalah ini, antara lain : 1. dr. Abdillah Iskandar, M.Kes selaku tutor kelompok I yang telah membimbing kami dalam melaksanakan diskusi kelompok kecil (DKK) modul I blok XVII ini. 2. Teman-teman kelompok I yang telah mencurahkan pikiran dan tenaganya sehingga diskusi kelompok kecil (DKK) 1 dan 2 dapat berjalan dengan baik dan dapat menyelesaikan makalah hasil diskusi kelompok kecil (DKK) kelompok I. 3. Teman-teman mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman angkatan 2007 dan pihak-pihak lain yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu. Akhirnya, tiada gading yang tak retak, tentunya makalah ini sangat jauh dari sempurna. Oleh karena itu, saran serta kritik yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi tercapainya kesempurnaan dari isi makalah hasil diskusi kelompok kecil (DKK) ini. Samarinda, 20 Maret 2010
Penyusun
2
DAFTAR ISI Kata Pengantar........................................................................................................2 Daftar Isi.................................................................................................................3 Pendahuluan............................................................................................................4 a. Latar Belakang
.......................................................................................4
b. Tujuan Modul .........................................................................................4 Isi............................................................................................................................5 a. Terminologi Asing
.........................................................................5
b. Identifikasi Istilah ....................................................................................5 c. Analisis Masalah d. Strukturisasi
.....................................................................................5
............................................................................................9
e. Learning Objective
..............................................................................10
f. Belajar Mandiri ......................................................................................10 g. Sintesis
.................................................................................................10
Penutup..................................................................................................................88 Kesimpulan............................................................................................................88 Daftar Pustaka........................................................................................................89
3
BAB I PENDAHULUAN A.
Latar belakang Penyalahgunaan atau ketergantungan NAPZA dari tahun ke tahun semakin meningkat, sementara fenomena NAPZA itu sendiri bagaikan fenomena gunung es (ice berg) artinya yang tampak di permukaan lebih kecil dibandingkan dengan yang tidak tampak (di bawah permukaan laut). Permasalahan penyalahgunaan/ketergantungan NAPZA mempunyai dimensi yang luas dan kompleks; bai dari sudut medik, psikiatrik, kesehatan jiwa maupun psikososial. Dampak yang ditimbulkan dari ketergantungan NAPZA
antara
lain
merusak
hubungan
kekeluargaan,
menurunkan
kemampuan belajar dan produktivitas kerja secara dratis, ketidakmampuan membedakan yang mana baik dan buruk, perilaku maladaptive, gangguan kesehatan (fisik dan mental), mempertinggi jumlah kecelakaan lalu lintas, tindak kekerasan dan kriminalitas. Dalam laporan kali ini, akan membahas mengenai NAPZA dan ketergantungan terhadap NAPZA. B.
Manfaat modul Tujuan modul I blok XVII ini adalah mempelajari tentang jenis-jenis NAPZA dan terjadinya ketergantungan terhadap NAPZA sesuai dengan masing-masing zatnya. Modul I ini digambarkan dengan jelas di skenario sehingga dapat mengarahkan ke learning objective yang harus dicapai.
4
BAB II ISI STEP 1 TERMINOLOGI ASING •
Withdrawal Syndrome
:
suatu keadaan penarikan diri yang
patologis dari kontak antar personal dan lingkungan social yang timbul bila obat yang telah terjadi ketergantungan padanya, dihentikan. Contohnya depresi. Gejala-gejala itu dinamankan gejala putus obat •
Paranoid
:
perasaan
takut
yang
berlebihan,
delusional disorder, psychotic disorder. •
Sakaw
:
[sakit karena putaw] merupakan
:
[narkotika
gejala dari putus obat. •
Narkoba
dan
obat
berbahaya]
bahan yang dapat mempengaruhi kejiwaan atau psikologis bila digunakan secara tidak benar. •
Zat psikoaktif
:
zat atau obat baik alamiah ataupun
sintesis yang bukan narkotika dan bersifat psikoaktif yang dapat berpengaruh selektif pada SSP menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.
STEP 2 IDENTIFIKASI MASALAH 1. Apa sajakah gejala – gejala withdrawal ? 2. Mengapa bisa terjadi gejala withdrawal, lengan memar-memar dan luka-
5
luka iris, dan luka lecet di pelipis ? 3. Mengapa terjadi lakrimasi, rhonore, midriasis dan paranoid ? 4. Apa saja kemungkinan obat yang digunakan dalam scenario ? 5. Bagaimana
mekanisme
kerja
dari
obat
sehingga
menimbulkan
ketergantungan obat ? 6. Hal apa saja yang bias menimbulkan ketergantungan ? 7. Mengapa pada scenario dianjurkan pemeriksaaan urin pada saat itu juga ? dan apa hasil interpretasi dari pemeriksaan? 8. Apa diagnosa sementara dari gejala-gejala yang ada di scenario ? 9. Apa sajakah factor resiko dari diagnosa tersebut ? 10. Bagaimana penangan awal pada kasus di scenario ?
STEP 3 BRAINSTORMING 1. Gejala withdrawal yang terjadi bergantung dari jenis dan keparahan pemakaian obat. Gejala –gejala withdrawal yang mungkin timbul antara lain lakrimasi, rhinore, midriasis, demam, hipertensi, diare, mengantuk, berat badan menurun, mual muntah, insomnia, chepalgia, emosional dan pegal pegal. 2. Gejala withdrawal dapat terjadi bila obat yang telah terjadi ketergantungan padanya dihentikan. Hal ini sesuai dengan teori adaptasi seluler (neuroadaptation), tubuh beradaptasi dengan menambah jumlah reseptor dan selsel saraf bekerja keras. Jika NAPZA dihentikan, sel yang masih bekerja keras tadi mengalami keausan, yang dari luar nampak sebagai gejalagejala putus NAPZA. Lengan memar dan luka pada pelipis kemungkinan
6
besar terjadi karena pada saat pemakaian NAPZA tersebut umumnya salah satu gejala yang ditimbulkan adalah kurangnya keseimbangan, kurangnya konsentrasi, dan kurang awas. Hal itu yang mnyebakan pengguna obat tersebut sering mendapat luka-luka seperti itu. Sedangkan, luka-luka iris yang terjadi kemungkinan besar disengaja oleh pengguna sebagai salah satu cara penggunaan obat-obat yang di intra vena. 3. Lakrimasi , rhinorea, pupil midriasis, dan paranoid yang timbul sebagai bentuk dari gejala putus obat yang dimulai 12-16 jam sesudah dosis terakhir.. Hal tersebut merupakan efek dari toleransi yang menimbulkan dependensi. 4. Jenis-jenis zat psikoaktif yang munkin disalahgunakan dan menimbulkan ketergantungan seperti scenario, antara lain : a. Psikotropika, dalam 2 bentuk yaitu ekstasi dan shabu-shabu b. Narkotika, digolongkan dalam 2 golongan yaitu opiod dan non opiod. 5. Mekanisme kerja dari obat sehingga menimbulkan ketergantungan sesuai dengan teori adaptasi seluler (neuro-adaptation), tubuh beradaptasi dengan menambah jumlah reseptor dan sel-sel saraf bekerja keras. Jika NAPZA dihentikan, sel yang masih bekerja keras tadi mengalami keausan, yang dari luar nampak sebagai gejala-gejala putus NAPZA. Gejala putus NAPZA ini memaksa seseorang untuk mengulangi pemakaian NAPZA tersebut, demikianlah seterusnya. 6. Hal-hal yang menimbulkan ketergantungan selain zat psikoaktif antara lain : a. Kafein b. Alcohol c. Nikotin
7
d. Lem e. Thiner f. Aseton atau pembersih cat kuku g. Inhalasi 7. Dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan urin karena dari pemeriksaan urin didapatkan kandungan zat psikoaktif karena beberapa zat tersebut akan dieksresikan melalui urin oleh tubuh. 8. Diagnosa sementara adalah ketergantungan penyalahgunaan obat. 9. Factor resiko terjadinya ketergantungan penyalahgunaan obat-obatan : a. Factor internal i. Usia ii. Depresi iii. Kepribadian iv. Pemecahan masalah v. Coba-coba b. Factor eksternal i. Keluarga ii. Lingkungan iii. Teman sebaya iv. Sosioekonomi 10. Penanganan yang dapat dilakukan kepada seorang ketergantungan obatobat psikoaktif :
8
a. Primer dengan kita kenali dan dekati pengguna b. Sekunder, diberikan terapi pengobatan untuk pengguna c. Tersier, diberikan rehabilitasi pada pengguna obat-obat psikoaktif
INTERNAL
EKSTERNAL FAKTOR RESIKO
STEP 4 SKEMA DRUG ABUSE
TOLERANSI
ADIKTIF
9 WITHDRAWAL SYNDROME
PEMERIKSAAN
TATALAKSANA
PENCEGAHAN
STEP 5 LEARNING OBJECTIVE 1. Mengetahui dan menjelaskan tentang jenis – jenis NAPZA 2. Mengetahui dan menjelaskan etiologi, patofisiologi, gejala klinis, diagnosis, diagnosis banding, terapi, komplikasi dan pencegahan dari ketergantungan NAPZA STEP 6 BELAJAR MANDIRI Dari hasil diskusi kelompok kecil yang pertama kami akan mencoba untuk
1
mencari referensi lain lagi untuk kembali didiskusikan pada diskusi kelompok kecil yang kedua. STEP 7 SINTESA GANJA
Daun Ganja Klasifikasi ilmiah Kerajaan
: Plantae
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Ordo
: Urticales
Famil
: Cannabaceae
Genus
: Cannabis
Spesies
: C. sativa
Nama binomial : Cannabis sativa Linnaeus Subspecies
1
C. sativa L. subsp. sativa C. sativa L. subsp. indica Ganja (Cannabis sativa syn. Cannabis indica) adalah tumbuhan budidaya penghasil serat, namun lebih dikenal karena kandungan zat narkotika pada bijinya, tetrahidrokanabinol
(THC,
tetra-hydro-cannabinol)
yang
dapat
membuat
pemakainya mengalami euforia (rasa senang yang berkepanjangan tanpa sebab). Ganja menjadi simbol budaya hippies yang pernah populer di Amerika Serikat. Hal ini biasanya dilambangkan dengan daun ganja yang berbentuk khas. Selain itu ganja dan opium juga didengungkan sebagai simbol perlawanan terhadap arus globalisme yang dipaksakan negara kapitalis terhadap negara berkembang. Di India, sebagian Sadhu yang menyembah dewa Shiva menggunakan produk derivatif ganja untuk melakukan ritual penyembahan dengan cara menghisap Hashish melalui pipa Chilam/Chillum, dan dengan meminum Bhang. Ganja. Dikategorikan sebagai "depresan" (obat yang mengurangi kegiatan sistem saraf) dan "halusinogen" (menimbulkan halusinasi). Ganja terbuat dari daun tanaman kanabis. THC (Delta 9 tetrahydrocannibinol) adalah salah satu dari 400 bahan kimia yang ditemukan di dalam ganja. THC-lah yang menyebabkan pengaruh yang mengubah suasana hati. Kadar THC yang terdapat pada ganja yang beredar, semakin hari semakin meningkat. Ganja (kanabis) mempunyai beberapa bentuk. •
Ganja biasanya berbentuk dedaunan seperti tembakau berwarna hijau.
•
Hashish atau minyak hashish merupakan bentuk ganja yang lebih kuat. Hashish adalah getah pohon ganja dan dijual dalam bentuk minyak atau kubus padat kecil.
Nama-nama lain: gele, daun, cimeng, dll. Pengaruh langsung pemakaian ganja Ganja dapat menimbulkan efek yang berbeda-beda. Beberapa orang mengalami reaksi yang lebih kuat dari yang lain. Reaksi yang paling umum adalah perasaan "teler" atau "melayang". Pengaruh-pengaruh lain termasuk: Paranoia (ketakutan
1
yang berlebihan dan tidak rasional) Muntah-muntah Kehilangan koordinasi Kebingungan Nafsu makan meningkat Mata merah Halusinasi Pengaruh jangka panjang pemakaian ganja Penelitian menunjukan bahwa terdapat pengaruh yang lebih berat apabila ganja digunakan secara teratur. Beberapa diantaranya: •
Resiko tinggi bronkhitis
•
Kanker paru-paru dan penyakit-penyakit pernafasan (ganja mengandung tar dua kali lebih banyak dari rokok).
•
Kehilangan minat dan semangat untuk melakukan kegiatan, kehilangan tenaga dan kebosanan.
•
Kerusakan memori jangka pendek, daya pikir logikal dan koordinasi gerakan badan.
•
Dorongan seks menurun.
•
Jumlah sperma berkurang (pada pria), siklus menstruasi tidak teratur (pada wanita).
•
Gejala gangguan kejiwaan yang berat.
•
Kerusakan sistem kekebalan tubuh.
•
Addiction
Ganja menimbulkan ketergantungan mental dan mengakibatkan kecanduan secara mental. Drive and Accident Ganja mempengaruhi keterampilan motorik dan koordinasi, penglihatan dan kemampuan untuk mengukur jarak dan kecepatan. Mengendarai mobil atau motor dengan orang yang sedang "teler" karena ganja adalah sangat berbahaya. Daya ingat dan belajar Ganja mempengaruhi kemampuan mengingat. THC akan mengganggu proses berpikir terutama yang membutuhkan logika. Ganja juga dapat mengakibatkan kesulitan belajar, walaupun pelajaran/tugas yang sederhana, sehingga seseorang
1
dapat berprestasi buruk dalam pekerjaan atau belajar. Obat-obat lain Ganja dianggap sebagai 'gerbang narkoba' karena seseorang yang memakai ganja memiliki resiko yang lebih besar untuk memakai zat-zat adiktif yang lebih keras. Berdasarkan hasil survey, sekitar 98% pemakai heroin bermula dari memakai ganja. OPIOID Opioid ditentukan oleh kemampuan mereka untuk mengikat dan pengaruh candu reseptor pada membran sel. Mereka dapat dibagi menjadi 3 kelas: •
opioid alami klasik adalah opium dan morfin. Opium diekstrak dari tanaman Papaver somniferum (opium poppy), dan morfin adalah komponen aktif utama opium. Seperti polipeptida endogen saraf dan endorfin dan juga enkephalins opioid alami.
•
Semi-sintetik opioid: Semisynthesis adalah jenis sintesis kimia yang menggunakan senyawa terisolasi dari sumber-sumber alam (misalnya, tanaman) sebagai bahan awal. Semi-sintetik opioid termasuk heroin, oxycodone, oxymorphone, dan hydrocodone.
•
Sintetik opioid: opioid sintetik dibuat menggunakan sintesis total, di mana molekul-molekul besar disintesis dari kombinasi bertahap kecil dan murah (petrokimia) blok bangunan. Sintetik opioid termasuk buprenorfin, metadon, fentanyl, alfentanil, levorphanol, meperidine, codeine, dan propoxyphene.
Istilah candu dan narkotika biasanya digunakan bergantian dengan istilah opioid. Opioid adalah yang paling kuat penghilang rasa sakit yang dikenal. Their use and abuse date back to antiquity. Penggunaan dan penyalahgunaan tanggal kembali ke kuno. Rasa sakit dan gembira menghilangkan efek opioid dikenal Sumeria
1
(4000 SM) dan Mesir (2000 SM). Kesadaran internasional penyalahgunaan opioid dirangsang pada awal abad ke-20 ketika Presiden Theodore Roosevelt rapat dengan Komisi Candu Shanghai pada tahun 1909 untuk membantu memberi stempel kekaisaran Cina keluar opioid kecanduan, terutama candu merokok. Pada tahun 1913, Presiden Woodrow Wilson's administrasi disusun undangundang untuk membatasi penggunaan narkotika, memerlukan resep dalam itikad baik, ini menjadi efektif pada tahun 1915. Penyedia sah narkotika dan kokain persiapan yang diperlukan untuk mendaftar dengan Biro Internal Revenue dan mandat untuk mencatat transaksi. Pada tahun 1917, Undang-Undang Pajak Narkotika Harrison ditafsirkan oleh pengadilan sedemikian rupa sehingga opioid tidak dapat diresepkan untuk pengobatan ketergantungan opioid. Tahun 1960-an, Dole dan Nyswander menunjukkan bahwa metadon adalah pengobatan yang efektif untuk ketergantungan opioid. Pada 1974, Undang-Undang Perawatan Addict Narkotika diperbolehkan diatur pengobatan metadon untuk ketergantungan opioid, tetapi dibuat off-label penggunaan opioid ilegal. Pada tahun 2000, Drug Addiction Treatment Act (DATA) diperbolehkan dokter berkualifikasi untuk menggunakan Jadwal III, IV, atau V obat-obatan untuk pengobatan ketergantungan opioid. Buprenorphine is currently the only drug approved under DATA. Buprenorfin pada saat ini hanya obat yang disetujui di bawah DATA. Patofisiologi Reseptor opioid dalam SSP mamalia termasuk mu, kappa, sigma, delta, dan epsilon subtipe. Reseptor ini terletak di otak (kebanyakan di periaqueductal abu-abu), urat saraf tulang belakang, saraf perifer, adrenal medula, ganglia, dan
1
usus. Rangsangan dari reseptor sigma mu dan perasaan yang kuat menghasilkan kesejahteraan dan euforia. Kappa-reseptor rangsangan menghasilkan dysphoria. Antagonisme pada reseptor ini dapat menghasilkan dysphoria, tetapi tidak konsisten. Euforia blok antagonis diproduksi oleh opioid. Endogen opioid, meskipun tidak sangat selektif, memiliki preferensi untuk jenis reseptor tertentu. Beta-endorfin adalah ligan endogen untuk mu-reseptor; enkephalins dan dynorphins memiliki hubungan untuk sigma dan kappa-reseptor, masing-masing. Mesolimbic yang dopaminergik sistem, yang berasal dari daerah tegmental ventral (VTA) dari otak tengah dan proyek dengan nukleus accumbens, sangat penting dalam (1) efek pahala intrakranial stimulasi diri, (2) imbalan alamiah air dan makanan asupan, dan (3) tindakan penyalahgunaan obat, termasuk opioid. Aktivitas basal sistem ini, dinyatakan dalam pelepasan dopamin di nukleus accumbens, berada di bawah kendali dari 2 tonik menentang sistem opioid, aktivasi mu-dan-reseptor sigma meningkat, sedangkan aktivasi reseptor kappamengurangi aktivitas basal sistem mesolimbic. Bukti eksperimental dengan binatang laboratorium mendukung gagasan bahwa manipulasi reseptor ini dengan opioid dan penyalahgunaan zat lain (dan juga rangsangan listrik) mempengaruhi perilaku pemberian diri. Jalur imbalan ini diperkirakan telah berevolusi untuk imbalan alam seperti asupan makanan dan air Skematik diagram sirkuit otak-pahala dari mamalia (tikus laboratorium) otak dengan situs di mana berbagai zat abusable muncul untuk bertindak untuk meningkatkan pahala dan otak, dengan demikian, untuk mempengaruhi perilaku mengambil obat-obat dan mungkin keinginan. Courtesy William & Wilkins Substance Abuse oleh Eliot L Gardner.KEY - INTI accumbens (Acc), ventral daerah tegmental (VTA), amigdala (AMYG), lokus seruleus (LC), sistem mesolimbic dopaminergik (DA), ventral pallidum (VP), noradrenergik serat (NF), enkephalinergic arus keluar (ENK), korteks frontal (FCX), sistem serat penghambatan GABAergic (GABA), dynorphinergic arus keluar (DYN),
1
komponen pahala sirkuit listrik preferentially intrakranial diaktifkan oleh stimulasi diri (ICSS).
Frekuensi Amerika Serikat Penggunaan dan penyalahgunaan opioid telah meningkat tajam di Amerika Serikat dimulai pada 1990-an dan terus berlanjut sampai setidaknya 2006. Tren ini bertepatan dengan kampanye AS yang kontroversial undertreatment melawan rasa sakit yang telah menyebabkan peningkatan yang sangat besar opioid resep. Penyalahgunaan resep opioid telah berkembang sangat eksplosif selama waktu ini. Beberapa statistik secara dramatis menggambarkan masalah ini: •
Amerika merupakan 4,6% dari populasi dunia, tapi mengkonsumsi sekitar 80% dari pasokan opioid dunia. Amerika mengkonsumsi 99% dari pasokan dunia hydrocodone (komponen yang opioid Vicodin).
•
Amerika mengkonsumsi sekitar dua pertiga dari dunia obat-obatan terlarang.
The 2006 National Survey on Drug Use dan Kesehatan (NSDUH), disponsori oleh
1
Terlarang dan Administrasi Layanan Kesehatan Mental (SAMHSA), memberikan data yang menggambarkan secara grafis resep opioid peningkatan kekerasan dalam dekade terakhir: •
Antara 1999 dan 2006, jumlah orang yang berusia 12 dan yang lebih tua tidak sah menggunakan resep penghilang rasa sakit di bulan sebelum disurvei meningkat dari 2,6 juta pada tahun 1999 menjadi 5,2 juta pada 2006.
•
Pada tahun 2006, 5,2 juta orang yang disurvei telah menggunakan resep obat penghilang rasa sakit tidak sah pada bulan lalu, dibandingkan dengan 0,3 juta orang yang telah menggunakan heroin.
•
Pada tahun 2006, 2,2 juta orang berusia 12 atau lebih tua yang digunakan sah resep penghilang rasa sakit untuk pertama kalinya. Ini lebih dari obat terlarang lainnya, melebihi ganja (2,1 juta pengguna baru), dan pengerdilan heroin (91.000 pengguna baru). Sementara tahun lalu memulai resep penghilang rasa sakit telah meningkat 63% 1.997-2.006, tahun lalu memulai untuk heroin menurun sebesar 20% selama periode yang sama.
•
Resep opioid telah diusulkan untuk menjadi gerbang penting obat, dan fakta bahwa mereka yang diresepkan oleh dokter ketenangan pengguna menjadi percaya mereka aman.
•
Sebagian besar digunakan resep opioid sah diperoleh dari 1 dokter, bukan dari pengedar narkoba.
•
Pada tahun 2006, di antara orang berusia 12 dan lebih yang telah menggunakan resep obat penghilang rasa sakit nonmedically dalam 12 bulan terakhir, sumber-sumber berikut dilaporkan: o
55,7% melaporkan bahwa mereka memperoleh obat secara gratis dari keluarga atau teman.
o
14,8% melaporkan mereka membeli atau mencuri obat-obatan dari keluarga atau teman.
o
19.1% melaporkan mereka diperoleh obat-obatan dari 1 dokter.
o
Hanya 1,6% dilaporkan mendapatkan obat dari lebih dari 1 dokter.
1
o
Hanya 3,9% dilaporkan membeli obat dari penyalur atau orang asing.
o
Hanya 0,1% dilaporkan membeli obat di internet.
o
Dalam kasus di mana pengguna nonmedical penghilang rasa sakit resep obat mereka diperoleh dari seorang teman atau saudara untuk bebas, 80,7% orang melaporkan bahwa teman atau kerabat mereka telah memperoleh obat hanya dari satu dokter.
Mencolok, data ini menunjukkan bahwa pengedar narkoba merupakan sumber relatif kecil yang digunakan tidak sah resep opioid. Penyimpangan melalui keluarga dan teman-teman sekarang sumber terbesar terlarang opioid, dan mayoritas opioid ini diperoleh dari 1 dokter, bukan dari "dokter berbelanja." Mortalitas / Morbiditas Sejak 1990, data dari berbagai jurisdiksi AS telah melaporkan peningkatan dramatis kematian yang berhubungan dengan keracunan obat. Peningkatan ini terutama disebabkan oleh keracunan obat tidak disengaja dikaitkan baik untuk pereda nyeri opioid atau obat-obatan tidak ditentukan. •
Dari 1979-1990, tidak sengaja keracunan obat meningkat rata-rata 5,3% per tahun.
•
Dari 1990-2002, tidak sengaja keracunan obat meningkat rata-rata 18,1% per tahun. This corresponded with increased prescription of opioids for pain management Hal ini berhubungan dengan peningkatan resep opioid untuk rasa sakit manajemen
•
Dari 1999-2002, opioid analgesik keracunan pada sertifikat kematian meningkat 91%. Selama periode yang sama, fatal heroin dan kokain keracunan meningkat 12,4% dan 22,8%, masing-masing.
•
Pada tahun 2002, kematian yang dilaporkan 5.528 dari analgesik opioid resep keracunan, lebih daripada heroin atau kokain. Peningkatan mortalitas umumnya berkorespondensi untuk meningkatkan penjualan untuk setiap
1
resep opioid. Peningkatan disengaja overdosis heroin yang mendalilkan sebagian berasal dari kombinasi penurunan biaya dan meningkatkan kesucian. Menurut DEA, kemurnian heroin rata-rata meningkat dari 7% pada tahun 1980, menjadi 48% pada tahun 2000, menjadi 70% pada tahun 2003. Ini pertama kali memungkinkan pengguna untuk mendapatkan tinggi oleh mendengus heroin, dan akhirnya maju ke intravena digunakan ketika toleransi berkembang, membuat awal penggunaan heroin lebih cocok untuk beberapa pecandu. Peningkatan kemurnian juga membuat kesalahan dalam pemberian dosis berpotensi lebih mematikan. Sex Pria penyalahgunaan opioid lebih sering daripada perempuan, dengan lakilaki-untuk-perempuan yang kira-kira rasio 3:1 untuk heroin dan 1.5:1 resep opioid. Dalam sebuah penelitian yang diterbitkan Polandia pada tahun 1996, angka kematian langsung dari orang-orang yang menggunakan obat IV adalah 25,7 kematian per 1.000 orang-tahun bagi laki-laki dan 14,3 kematian per 1.000 orang-tahun untuk perempuan. Dibandingkan dengan populasi umum, risiko kematian adalah 11 kali lebih tinggi di antara laki-laki yang menggunakan obatobatan dan 20 kali lebih tinggi di antara wanita yang menggunakan obat-obatan. Age Usia Kebanyakan orang-orang yang baru pengguna heroin lebih muda dari 26 tahun. Penggunaan heroin dalam 30 hari terakhir adalah sekitar 0,6% pada usia 12-17 tahun, dan insiden penggunaan berkurang secara bertahap di kelompok usia yang lebih tua. Prevalensi seumur hidup penggunaan opioid pada usia 12-17 tahun adalah sekitar 2,3%, dan sedikit lebih tinggi pada orang berusia 35-44 tahun karena penggunaan heroin puncak pada 1960-an dan 1970-an.
2
Klinis Sejarah penyalahgunaan opioid mendefinisikan sebagai maladaptive pola penggunaan opioid menyebabkan kerusakan yang signifikan secara klinis atau tertekan yang terjadi di salah satu dari bidang-bidang berikut, dalam 12 -- bulan. •
Kegagalan untuk memenuhi kewajiban pekerjaan utama di tempat kerja, sekolah, atau rumah
•
Berulang opioid digunakan dalam situasi berbahaya, seperti mengemudi atau mengoperasikan mesin berat sementara terganggu
•
Opioid-masalah hukum yang terkait
•
Masalah sosial dan interpersonal yang disebabkan oleh atau diperparah oleh penggunaan opioid
Kebanyakan individu yang memenuhi kriteria penyalahgunaan opioid dan terus menggunakan akhirnya memenuhi kriteria ketergantungan opioid. The DSM-IV-TR
3
mendefinisikan ketergantungan opioid sebagai sindrom
yang ditandai oleh pola maladaptive opioid digunakan, menyebabkan kerusakan yang signifikan secara klinis atau tertekan, sebagaimana diperlihatkan oleh sekurang-kurangnya 3 dari yang berikut ini dan terjadi dalam periode 12 bulan. •
Toleransi (lihat definisi di bawah)
•
Penarikan (lihat definisi di bawah)
•
Opioid yang diambil dalam jumlah yang besar atau lebih lama daripada yang dimaksudkan
•
menerus gagal keinginan atau upaya untuk mengurangi atau mengontrol penggunaan opioid
•
Jumlah yang signifikan waktu yang dihabiskan dalam kegiatan-kegiatan untuk memperoleh opioid
2
•
Sosial yang penting, pekerjaan, atau kegiatan rekreasi yang diberikan atas atau dikurangi
•
problem Terus opioid menggunakan pengetahuan meskipun memiliki persisten atau berulang fisik atau masalah psikologis
Toleransi dan penarikan mungkin atau mungkin tidak dapat dikaitkan dengan ketergantungan. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan ketergantungan obat sebagai sindrom di mana penggunaan suatu obat atau golongan obat yang memerlukan prioritas lebih tinggi untuk orang tertentu dari perilaku yang pernah memiliki nilai lebih tinggi.. Penurunan volitional kontrol atas penggunaan obat opioid adalah bagian tengah dari gejala perilaku diamati dalam ketergantungan opioid. Toleransi Toleransi adalah kebutuhan untuk meningkatkan dosis obat untuk mencapai efek awal obat. Toleransi ke euphoriant analgesik dan efek dan efek samping yang tidak diinginkan, seperti depresi pernapasan, sedasi, dan mual, mungkin berkembang. Namun, sedikit toleransi berkembang untuk sembelit dan meiosis. Toleransi opioid biasanya tidak berkembang pada pasien dengan kanker yang sedang dirawat karena sakit; kebutuhan untuk meningkatkan dosis pada pasien biasanya ini disebabkan oleh peningkatan tingkat rasa sakitTidak ada hubungan yang konsisten antara keberhasilan dan toleransi intrinsik ada. Withdrawal Administrasi secara terus-menerus opioid menyebabkan ketergantungan fisik, munculnya gejala penarikan selama pantang. Ketergantungan fisik diharapkan setelah 2-10 hari terus-menerus digunakan ketika obat itu berhenti tiba-tiba. Onset dan durasi penarikan bervariasi dengan obat yang digunakan. Sebagai contoh, gejala penarikan meperidine puncaknya pada 8-12 jam dan berlangsung selama 4-
2
5 hari. Gejala putus heroin biasanya puncak dalam waktu 36-72 jam dan dapat berlangsung selama 7-14 hari. penarikan opioid adalah sebagai berikut: •
gejala - Diare, Rhinorrhea, diaphoresis, lacrimation, menggigil, mual, emesis, piloerection (ungkapan berhenti "kalkun dingin" mengacu pada piloerection, atau "merinding")
•
Sistem saraf pusat gairah - sulit tidur, gelisah, tremor
•
kram perut, nyeri tulang, dan sakit otot baur
•
- Untuk obat
Addiction Fenomena kecanduan terlihat pada variabel jumlah pasien yang menggunakan narkoba. Kecanduan ini dicirikan sebagai sindrom psikologis dan perilaku di mana fitur berikut diamati: •
Obat hasrat
•
Kompulsif menggunakan
•
Kecenderungan yang kuat untuk kambuh setelah penarikan
Addiction harus didefinisikan oleh maladaptive pengamatan perilaku, seperti konsekuensi yang merugikan akibat penggunaan narkoba, kehilangan kontrol atas penggunaan narkoba, dan keasyikan dengan memperoleh opioid, daripada fenomena farmakologis ketergantungan fisiologis, toleransi, dan dosis eskalasi. jangan menggunakan istilah kecanduan untuk menggambarkan pasien yang hanya bergantung secara fisik. Juga, perlu diingat bahwa undertreatment pada pasien dengan nyeri dapat mengakibatkan pseudoaddiction, dan perilaku mencari opioid mungkin keliru untuk kecanduan. Long-bertindak obat, seperti metadon dan berkelanjutan-release morfin, cenderung memiliki onset lebih lambat tindakan, dan terburu-buru atau berpengalaman tinggi dengan lebih cepat-onset obat tidak begitu menonjol. semakin lama-acting opioid cenderung tidak disalahgunakan.
2
Fisik •
Ketergantungan o
Efek status mental meliputi depresi dengan salah satu atau semua gejala-gejalanya, seperti gangguan tidur, kurangnya minat, tidak mementingkan diri sendiri, bunuh diri ideation, dan keterampilan mengatasi miskin.
o
Efek fisiologis: Karena toleransi kepada banyak tindakan opioid berkembang, itu tidak mungkin bahkan untuk pengamat yang cermat memperhatikan efek opioid.. Murid berukuran kecil mungkin satu-satunya hanya pengamatan karena mengembangkan toleransi sangat ringan untuk miosis. dilihat. Meradang mukosa hidung dapat jika heroin mendengus.
•
Withdrawal o
Efek status mental meliputi purposive perilaku, seperti keluhan dan manipulasi semakin diarahkan pada obat, dan kecemasan.
o
Efek fisiologis
Takikardia, tekanan darah tinggi, demam, piloerection (daging angsa), mydriasis, dan lacrimation
o
Sistem saraf pusat gairah - mudah tersinggung
Menguap
Dalam sindrom pantang ringan, fitur klinis mungkin terbatas pada dysphoria, keinginan, menguap, lacrimation, Rhinorrhea, dan gelisah. Dalam moderat-untuk-kasus yang parah, piloerection, mydriasis, peningkatan BP dan denyut nadi, dan gejala GI dilihat sebagai baik.
•
Kemabukan o
Efek status mental termasuk euforia, obat penenang, mengurangi kecemasan, rasa tenteram, dan ketidakpedulian terhadap rasa sakit yang dihasilkan oleh ringan hingga sedang mabukMabuk berat dapat menyebabkan delirium dan koma.
2
o
Efek fisiologis
Respiratory
depresi
(mungkin
terjadi
ketika
pasien
mempertahankan kesadaran)
Perubahan peraturan suhu
Hypovolemia (true as well as relative), leading to hypotension
Hipovolemia
(benar
maupun
relatif),
menyebabkan hipotensi
Miosis Miosis
Needle marks or soft tissue infection Jarum tanda atau infeksi jaringan lunak
Increase sphincter tone (can lead to urinary retention) Meningkatkan sfingter nada (dapat mengakibatkan retensi urin)
•
Addiction o
Pemeriksaan
fisik
memberikan
sedikit
informasi
untuk
menambahkan dalam diagnosis kecanduan. Namun, gejala penarikan opioid dan melacak tanda yang sugestif dari kecanduan. o
.
Sembelit
umum
terjadi
karena
hampir
terus
menerus
menggunakan narkotika. Penyebab Ketergantungan
opioid
biopsychosocial
dianggap
sebagai
gangguan..
Farmakologis, sosial, genetik, dan faktor psikodinamik berinteraksi untuk mempengaruhi perilaku yang berhubungan dengan penyalahgunaan narkoba. Namun, faktor-faktor farmakologis dapat sangat menonjol, lebih daripada di lain penggunaan narkoba jenis gangguan. •
Faktor-faktor farmakologis: memperkuat opioid kuat agen karena efek euforia dan melaporkan kemampuan untuk mengurangi kecemasan, meningkatkan harga diri, dan membantu mengatasi masalah-masalah sehari-hari.. Kebanyakan opioid berhubungan dengan penyalahgunaan dan
2
ketergantungan adalah mu-agonis, seperti heroin, morfin, hydrocodone, oxycodone, dan meperidine.
Beberapa mu-agonis parsial seperti
buprenorfin, atau beberapa yang tidak memiliki mu-agonism, seperti pentazocine, juga dapat memiliki properti memperkuat.. Perkembangan pesat ketergantungan fisik dan pantangan sindrom yang berkepanjangan adalah unik untuk opioid menggunakan dan dapat membuat pantang sulit. •
Faktor-faktor sosial: Mudah ketersediaan obat dan sikap sosial diterima membuat eksperimen mudah. Tingkat tinggi penggunaan narkoba dilihat di daerah kota dengan orangtua miskin berfungsi dan lebih tinggi tingkat kejahatan dan pengangguran. Kecuali hubungan antara paparan lebih tinggi terhadap obat dan kecanduan tingkat yang lebih tinggi, peran yang tepat faktor-faktor sosial dalam menciptakan perilaku adiktif tergantung dan tidak pasti. Tenaga pelayanan AS di Vietnam antara tahun 1970 dan 1972, 42% mencoba heroin; satu setengah dari personil mereka menjadi tergantung secara fisik, tapi sangat sedikit terus menggunakan heroin dalam kehidupan sipil.
•
Faktor psikologis: Ego cacat pada pasien tertentu sebagai dalil untuk membentuk dasar penggunaan narkoba. Opioid yang berteori untuk membantu ego dalam mengelola efek menyakitkan seperti rasa cemas, rasa bersalah, dan kemarahan. Teori perilaku mendalilkan bahwa dasar mekanisme penghargaan-hukuman melanggengkan perilaku adiktif
•
. Faktor genetik Genetic studi epidemiologi menunjukkan tingkat tinggi diwariskan kerentanan untuk ketergantungan opioid. Polimorfisme gen untuk reseptor dopamin / pengangkut, reseptor opioid, resetor serotonin / pengangkut,
proenkephalin,
(COMTsemua
tampak
dan
berhubungan
catechol-O-methyltransferase dengan
kerentanan
terhadap
ketergantungan opioid. Depan intervensi untuk ketergantungan opioid dapat mencakup obat-obatan yang diidentifikasi melalui penelitian genetik.
2
Diagnosis Banding Gastroenteritis bakteri Pankreatitis kronis Gastroenteritis Viral Peptic Ulcer Disease Influenza
Barbiturate Racun, obat bius tidur
Pankreatitis akut
Racun, Benzodiazepine
Masalah lain to Be Considered Sepsis Kepribadian antisosial Panik Pontine infarct or hemorrhage Depressed mood Meskipun gejala GI mual, muntah, dan sakit perut yang dominan dan umum dalam
penarikan
opioid,
mereka
mungkin
menjamin
pertimbangan
Gastroenteritis, pankreatitis, penyakit ulkus peptikum, dan obstruksi usus. Simpatik overactivity harus mengarah pada serangan panik pertimbangan dan perangsang SSP, seperti amfetamin. Karena multi-penyalahgunaan narkoba adalah umum, menyelidiki keracunan oleh obat selain narkotik (benzodiazepin, barbiturat) pada pasien tidak sadar. Seseorang yang penyalahgunaan opioid mungkin menyembunyikan informasi tentang obat yang kasar lainnya. Karena kemabukan opioid umumnya tidak menyebabkan tremulousness, delirium, dan kejang, kehadiran mereka harus meningkatkan kecurigaan dari ketergantungan alkohol dan benzodiazepine.
2
Berukuran kecil siswa diamati di opioid mabuk, pontine lesi, dan tetes cholinergic lokal. Sebuah kepribadian antisosial mungkin keliru sebagai perilaku adiktif (dan sebaliknya), terutama jika konfrontasi dengan hukum yang terlibat. Selain opioid-induced kelainan jiwa, prevalensi tinggi non-opioid berhubungan dengan gangguan jiwa ada. Di Baltimore selama awal tahun 1990-an, sebuah studi tentang orang yang kecanduan dan diperlakukan dengan metadon ini dilakukan, dan seumur hidup prevalensi komorbiditas gangguan mood dan kecemasan adalah 19% dan 8,2% masing-masing. Seumur hidup tingkat gangguan kepribadian dalam menurunkan frekuensi adalah sebagai berikut: •
Gangguan antisosial (25,1%)
•
Avoidant kelainan (5,2%)
•
Borderline kelainan (5,2%)
•
Pasif agresif kelainan (4,1%)
•
Paranoid disorder (3,2%)
Pada wanita, depresi, gangguan kecemasan, dan gangguan kepribadian borderline adalah jauh lebih umum, dan gangguan kepribadian antisosial kurang umum dibandingkan dengan laki-laki. Dalam penelitian yang sama, komorbiditas ketergantungan juga diamati untuk kokain (64,7%), ganja (50,8%), alkohol (50%), dan sedatif (46,6%). Pemeriksaan Laboratorium Studi •
Penyalahgunaan dan ketergantungan o
Urine obat layar
o
Deteksi obat dalam keringat dan rambut adalah suatu penambahan
2
yang baru pada teknologi deteksi penyalahgunaan narkoba. However, it is not used widely. Namun, tidak digunakan secara luas. •
•
Penarikan o
Elektrolit
o
CBC count
o
Obat kencing layar jarang berguna.
Kemabukan o
Obat
tes
urine
komprehensif
dilakukan
ketika
kebiasaan
penyalahgunaan obat pasien tidak diketahui, tetapi diduga. Beberapa laboratorium murah menggunakan kromatografi lapis tipis (TLC) prosedur.. Tes ini mempunyai sensitivitas yang rendah biasanya
digunakan
untuk
obat-obatan.
TLC
tidak
dapat
mendeteksi fentanyl. o
Radioimmunoassay enzim immunoassay dan lebih sensitif daripada TLC, tetapi mereka kurang spesifik karena molekulmolekul dengan kelompok-kelompok fungsional yang serupa bereaksi silang dengan antibodi. Ini adalah tes relatif murah.
o
Kromatografi gas-cair (GLC) dan kromatografi gas-spektrometri massa (GC-MS) sangat sensitif dan tes khusus, tetapi mereka memakan waktu, tenaga kerja intensif, dan mahal.
o
Pada deteksi penyalahgunaan obat, mengetahui paruh obat tersebut, biotransformation obat, dan rute ekskresi obat penting.
o
Pemutaran dan konfirmasi cut-off konsentrasi untuk heroin, metadon, morfin, dan kodein adalah 300 ng / mL dan terdeteksi dalam air seni dalam waktu 1-4 hari.
o
Hasil negatif palsu terjadi lebih mudah daripada positif palsu, hanya karena sekali tes disaring negatif, tidak diuji lebih lanjut.. Pemerintah federal mengharuskan bahwa hasil dari program pengujian obat langsung ke kantor tinjauan medis untuk mencegah penafsiran yang tidak tepat dari data uji narkoba.
2
o •
Tingkat alkohol darah juga dapat diuji.
Kecanduan: Dalam kasus historis atau bukti klinis IV penyalahgunaan obat, lakukan hal berikut: o
LFT Lft
o
) Rapid plasma reagen (RPR)
o
Virus hepatitis pengujian
o
Tes HIV
o
) Kultur darah (dalam klinis yang tepat)
Tes lain Tes ini dilakukan untuk menilai ketergantungan fisik. Sebagai injeksi intramuskular atau IV, 0,2-0,8 mg nalokson ini dikelola. •
Sebuah tes positif menunjukkan ketergantungan fisik dan terdiri dari penarikan khas gejala dan tanda-tanda. Gejala dan tanda-tanda ini biasanya berlangsung selama 30-60 menit.
•
Tes ini ditemukan akan sangat membantu sebelum memulai candu antagonis untuk terapi pemeliharaan. Mulai opioid antagonis, seperti naltrexone, segera setelah detoksifikasi dapat menyebabkan gejala penarikan dan mencegah pasien dari perawatan lebih lanjut.
PENATALAKSANAAN KONSEP DASAR PENATALAKSANAAN Dalam bidang kedokteran, penatalaksanaan bermakna terapi dan tindakantindakan yang berkait dengannya. Umumnya tujuan terapi ketergantungan napza adalah sebagai berikut: 1. Abstinensia atau penghentian total penggunaan napza. Tujuan terapi ini tergolong 2. sangat ideal, namun sebagian besar pasien tidak mampu atau tidak bermotivasi untuk mencapai sasaran ini, terutama
3
pasien-pasien pengguna awal. Usaha pasien untuk mempertahankan abstinensia tersebut dapat di-dukung dengan meminimasi efek-efek yang langsung ataupun tidak langsung akibat penggunaan napza. Sedangkan sebagian pasien lain memang telah sungguh-sungguh abstinen terhadap salah satu napza, tetapi kemudian beralih menggunakan jenis napza yang lain. 3. Pengurangan frekuensi dan keparahan relaps. Tujuan utamanya adalah mencegah relaps. Bila pasien pernah menggunakan satu kali saja setelah abstinensia, maka ia disebut "slip". Bila ia menyadari kekeliruannya, dan ia memang telah 4. dibekali keterampilan untuk mencegah pengulangan peng-gunaan kembali, pasien akan tetap mencoba bertahan untuk selalu abstinen. Program pelatihan ketrampilan mencegah relaps (relapse prevention program), terapi perilaku kognitif (cognitive behavior therapy), opiate antagonist maintenance therapy dengan naltrexone merupakan beberapa alternatif untuk mencapai tujuan terapi jenis ini. 3. Memperbaiki fungsi psikologi, dan fungsi adaptasi sosial. Dalam kelompok ini, abstinensia bukan merupakan sasaran utama. Terapi rumatan metadon, syringe exchange program merupakan pilihan untuk mencapai tujuan terapi jenis iniTerapi medik ketergantungan napza merupakan kombinasi psikofarmakoterapi dan terapi perilaku(1) Meskipun telah dipahami bahwa banyak faktor yang terlibat dalam terapi ke-tergantungan zat (termasuk faktor problema psikososial yang sangat kompleks), narnun upaya penyembuhan ketergantungan napza dalam konteks medik tetap selalu diupayakan. Seperti diketahui, terapi medik ketergantungan napza ter-diri atas dua fase berikut: Detoksifikasi, Rumatan (maintenance, pemeliharaan, perawatan). Kedua bentuk fase terapi ini merupakan suatu proses ber-kesinambungan, runtut, dan tidak dapat berdiri sendiri. Farmakoterapi :
3
Manfaat farmakoterapi terhadap pasien ketergantungan napza adalah untuk : 1. Medikasi untuk menghadapi intoksikasi dan sindrom putus zat. Misalnya adalah penggunaan metadon dan klonidin untuk sindrom putus opioida, klordiazepoksid untuk sindrom putus alkohol. 2. Medikasi untuk mengurangi efek memperkuat (reinforcing effect) dari zat yang disalahgunakan. Misalnya pemberian antagonis opioida seperti naltrekson dapat memblok/meng-hambat pengaruh fisiologi dan subyektif dari pemberian opioida berikutnya. Pada kasus lain, gejala-gejala abstinensia yang dicetuskan oleh penggunaan antagonis opioida, misalnya nalokson, dianggap sebagai provocative test untuk mengetahui adanya penggunaan opioida. 3. Medikasi
untuk
mengendalikan
gejala-gejala
klinis
seperti
anti
agresi
(haloperidol, fluphenazine, chlorpromazine) , anti anxietas (diazepam, lorazepam) , anti halusinasi (trifluoperazine, thioridazine) , anti insomnia (estazolam, triazolam). 4. Terapi substitusi agonis, seperti metadon, klordiazepoksid 5. Medikasi untuk menyembuhkan komorbiditas mediko- psikiatri. 6. Terapi terhadap overdosis: seperti pemberian nalokson untuk pasien overdosis opioida pada pengguna IDU (Injecting Drug User), 7. Mengatur keseimbangan cairan: air dan elektrolit 8Antibiotika: infeksi akibat komplikasi TB pulmonum, hepatitis dan infeksi sekunder karena HIV/AIDS 9. Terapi untuk gangguan ekstrapiramidal. TERAPI DETOKSIFIKASI Detoksifikasi merupakan langkah awal proses terapi ketergantungan opioida dan merupakan intervensi medik jangka singkat. Seperti telah disebutkan di atas, terapi detoksifikasi tidak dapat berdiri sendiri dan harus diikuti oleh terapi rumatan. Bila terapi detoksifikasi diselenggarakan secara tunggal, misal-nya hanya berobat jalan saja, maka kemungkinan relaps lebih besar dari 90 %. Tujuan terapi detoksifikasi opioida adalah Untuk mengurangi, meringankan, atau meredakan keparah-an gejala-gejala putus opioida
3
Untuk mengurangi keinginan, tuntutan dan kebutuhan pasien untuk "mengobati dirinya sendiri" dengan menggunakan zat-zat ilegal Mempersiapkan proses lanjutan yang dikaitkan dengan modalitas terapi lainnya seperti therapeutic community atau berbagai jenis terapi rumatan lain .Menentukan dan memeriksa komplikasi fisik dan mental, serta mempersiapkan perencanaan terapi jangka panjang, seperti HIV/AIDS, TB pulmonum, hepatitis. Berdasarkan lamanya proses berlangsung, terapi detoksifikasi dibagi atas: Detoksifikasi jangka panjang (3-4 minggu) seperti dengan menggunakan metadon .Detoksifikasi jangka sedang (3-5 hari) : naltrekson, midazolam, klonidin .Detoksifikasi cepat (6 jam sampai 2 had): rapid detox Variasi dan pilihan terapi detoksifikasi napza cukup banyak. Di Indonesia, sebagian dokter/psikiater masih menggunakan terapi detoksifikasi opioida konservatif seperti penggunaan obat simptomatik (analgetika, anti-insomnia, dan lainnya). Bahkan beberapa psikiater masih menggunakan berbagai bentuk neuroleptika dosis tinggi, yang di negara maju sudah lama ditinggalkan. Metadon: adalah substitusi opioida yang merupakan pilihan utama dalam terapi detoksifikasi opioida secara gradual. Proses detoksifikasi berlangsung relatif lama (>21 hari) Selama proses terapi detoksifikasi metadon berlangsung, angka relaps dapat ditekan. Setelah detoksifikasi berhasil, kemudian dilanjutkan dengan terapi rumatan : Methadone Maintenance Treat-ment Program. Klonidin: adalah suatu central alpha-2-adrenergic re-ceptor agonist, yang digunakan dalam terapi hipertensi. Klonidin mengurangi lepasnya noradrenalin dengan mengikatnya pada pre-synaptic alpha2 receptor di daerah locus cereleus, dengan demikian
3
mengurangi gejala-gejala putus opioida. Karena terbatasnya substitusi opioida lain di Indonesia, beberapa dokter (termasuk penulis) telah menggunakan kombinasi klonidin, kodein dan papaverin untuk terapi detoksifikasi. Klonidin digunakan dalam kombinasi untuk mengurangi gejala putus opioida ringan seperti: menguap, keringat dingin, air mata dan lainnya. Clocopa method tersebut dapat digunakan untuk berobat jalan maupun rawat inap. Namun karena klonidin sendiri tidak dapat memperpendek masadetoksifikasi, maka diperlukan kombinasi dengan naltrekson. Naltrekson adalah suatu senyawa antagonis opioida. Caratersebut dikenal dengan nama Clontrex Method yang dapat dilakukan untuk pasien berobat jalan maupun pasien rawat inap. Umumnya program detox dengan cara Clontrex method ini berlangsung selama 3-5 hari dan kemudian diikuti dengan terapi rumatan : Opamat-ED Program. Lofeksidin dan Guanfasin: Lofeksidin adalah analog klonidin tetapi mempunyai keuntungan bermakna karena tidak banyak mempengaruhi tekanan darah (Washton et al 1982). Guanfasin adalah senyawa alpha-2 adrenergic agonist yang juga mempunyai kemampuan untuk mengurangi gejala putus opioida. Buprenorfin: adalah suatu senyawa yang berkerja ganda sebagai agonis dan antagonis pada reseptor opioida. Gejala putus opioida pada terapi buprenorfin sangat ringan dan hilang dalam sehari setelah pemberian buprenorfin sublingual. Pemberian buprenorfin juga digunakan sebagai awal dari terapi kombinasi Clontrex Method. Midazolam-Naltrekson: kombinasi midazolam-naltrekson juga telah digunakan untuk memperpendek waktu terapi detoksifikasi. Selama dalam pengaruh sedasi midazolam intravena, pasien diberi nalokson intravena, suatu antagonis opioida. TERAPI RUMATAN Terapi rumatan ketergantungan opioida bertujuan antara lain untuk : Mencegah
3
atau mengurangi terjadinya craving terhadap opioida .Mencegah relaps (menggunakan zat adiktif kembali),Restrukturisasi kepribadian , Memperbaiki fungsi fisiologi organ yang telah rusak akibat penggunaan opioida . Tujuan farmakoterapi rumatan pasca detoksifikasi adalahMenambah holding power untuk pasien yang berobat jalan sehingga menekan biaya pengobatan . Menciptakan suatu window of opportunity sehingga pasien dapat menerima intervensi psikososial selama terapi rumatan dan mengurangi risiko(3)Mempersiapkan kehidupan yang produktif selama meng-gunakan terapi rumatan Methadone: adalah suatu substitusi opioida yang bersifat agonis dan long-acting. Sejak tahun 1960an di Amerika dan Eropa, penggunaan metadon dianggap sebagai terapi baku untuk pasien keter-gantungan opioida. Klinik-klinik Metadon berkembang di beberapa tempat dengan berbagai variasi program. Beberapa kelemahan terapi metadon: harus datang ke fasilitas kesehatan sekurangkurangnya sekali sehari, terjadinya overdosis, ketergantungan metadon, dan kemungkinan terjadinya peredaran ilegal metadon. Dewasa ini dikembangkan suatu bentuk derivat metadon, levacethylmethadol, yang mempunyai masa aksi lebih lama (72 jam) sehingga pasien tidak perlu tiap hari datang ke fasilitas kesehatan. Buprenorfin:
dapat
juga
digunakan
untuk
terapi
rumatan.
Seperti
levacethylmethadol, hanya diberikan 2 atau 3 kali dalam seminggu karena masa aksinya yang panjang. Karena kemungkinan penyalahgunaan, kombinasi buprenorfin dan naltrekson juga telah dipelajari dan dicoba untuk terapi ketergantungan opioida. Disulfiram, Disulfiram & Behaviour Therapy: Disulfiram, suatu alcohol antabuse yang diketemukan di Denmark tahun 1948. Disulfiram sangat efektif jika diberikan kepada pasien ketergantungan alkohol secara ambulatory di bawah supervisi. Disulfiram dibuat sebagai tablet buih yang mudah larut dalam air, sehingga mudah diminum. Terapi disulfiram tanpa pemantauan hasilnya kurang menguntungkan. Hasil yang memuaskan justru diperoleh melalui kombinasi
3
disulfiram dengan terapi perilaku kognitif.
MODIFIKASI LAIN Ultra rapid detoxification: Rapid detox adalah kombinasi antara prosedur terapi detoksifikasi dengan anestesia; karena itu yang bertanggung jawab dalam teknik terapi rapid detox ini adalah psikiater dan ahli dokter ahli anestesia. Istilah "rapid detox" rasanya kurang tepat, narnun sudah sangat populer sehingga sukar diganti. Istilah yang tepat adalah "rapid anta-gonist induction" yang kemudian diikuti dengan terapi naltrekson. Teknik rapid detox pertama kali berasal dari Loimer dari Bagian Psikiatri University Hospital of Vienna, Austria (first published technique in details, 1988). Dalam laporannya ia menggunakan 6 kasus ketergantungan heroin berusia antara 21-28 tahun. Penemuan rapid detox tersebut kemudian diikuti oleh Brewer (1989) di Stapleford Centre di London. Dalam perkembangan berikutnya rapid detox telah berkembang secara luas di berbagai institusi dan klinik di Amerika Serikat dan Eropa. Beberapa institusi dan klinik tersebut berkembang pesat di Eropa dan mengadakan konferensi setiap tahun, menerbitkan berbagai karya kedokteran ilmiah; sebagian lagi mengembang-kannya secara komersial seperti yang dilakukan oleh suatu kelompok "Spanish-Israeli CITA group" yang secara kurang etis mencoba mematenkan prosedur yang dilakukannya. Usaha-usaha mereka telah berhasil masuk ke Indonesia. Sebutan untuk teknik rapid detox dalam berbagai literatur berbeda-beda, narnun mempunyai makna yang hampir mirip, antara lain adalah: Ultra-rapid opiate detoxification, Rapid Opiate Detoxification under general Anesthesia (RODA) - Vienna Method, Rapidly Accelarated Narcotic Detoxification (RAND) - Addiction Medical Group Inc. (AMGI), Ultra Rapid Detoxification with Anesthesia (UROD) - NIDA, Antagonist Assisted Abstinence (A3) Detoxification - Dr. Lance L. Goober-man, Treatment Accelerated Neuro-regulation of Opiate DEpendency - Dr. Waismann.
3
Rapid detox dilakukan atas pasien dalam keadaan di bawah pengaruh anestesia umum; dalam keadaan itu diberikan sejumlah besar antagonis opioida sehingga memblokade semua reseptor yang ada dalam otak dan tubuh pasien. Dengan masuknya antagonis opioida, semua opioida yang semula ada di dalam tubuh dipindahkan, sehingga mem-presipitasi timbulnya gejala putus opioida sementara pasien sedang asyik tertidur nyenyak karena pengaruh anestesia umum; pasien tentu saja tidak mengalami gejala putus obat yang terjadi, bahkan bermimpi tentang kejadian itu juga tidak. Gejala-gejala putus opioida umumnya adalah nausea, muntah, diare, kejang-kejang kecil, nafas lambat atau cepat, kram otot, sakit dan ngilu pada sendi dan otot, tegang, mrinding, air mata keluar, menguap, demam, berkeringat, depresi umum, insomnia dan gejala-gejala sedih lainnya; gejala-gejala tersebut muncul selama beberapa jam, kemudian berhenti. Umumnya prosedur rapid detox berlangsung selama 4-6 jam di ruang ICU, sehingga pasien memerlukan perawatan sekurang-kurangnya selama satu hari. Beberapa rumah sakit di Indonesia memfalisitasi perawatan di VIP selama satu sampai tiga hari. Keuntungan-keuntungan rapid detox antara lain : waktu detoksifikasi singkat, terhindarnya rasa sakit atau rasa tidak menyenangkan lainnya selama masa detoksifikasi, cepat masuk ke fase rehabilitasi untuk mengikuti suatu program pemulihan jangka panjang atau dapat menghemat waktu agar dapat di-manfaatkan untuk segera bekerja atau keperluan keluarga lain. Stadium 1: Pre-Rapid Detox Pemilihan pasien dengan indikasi ketat (ketergantungan opioida, bermotivasi tinggi, penggunaan opioida yang sering) . Konfirmasi terhadap kemungkinan pasien menggunakan program hanya untuk abstinensia opioida jangka pendek . Pasien bersedia mengikuti pemeriksaan jangka panjang/ aftercare setelah detoksifikasi . Memastikan bahwa pasien (dan atau keluarganya) dapat menerima risiko medik dan memahami informed consent . Pemeriksaan: darah rutin, skrining napza dalam urine, EKG, Rontgen foto thorax . Melakukan
3
pemeriksaan latar belakang sosial, psikologi dan klinis secara detail . Kepada pasien dijelaskan tentang perlunya terapi rumatan menggunakan naltrekson; naltrekson mengurangi craving; selain itu naltrekson dapat mem-blok reseptor opioida sehingga menghambat pasien mengalami high atau gifting. Dengan menggunakan anestesia pasien secara cepat dibawa ke kondisi persiapan menggunakan naltrekson. Wawancara Pre-Rapid Detox harus disertai dengan penandatanganan kontrak dan rencana terapi mendatang. Stadium 2: Rapid Detox plus Anesthesia Sesudah selesai stadium 1, ahli anestesia di ICU mulai melakukan anestesia umum sehingga pasien masuk dalam stadium "tidur", selama prosedur detoksifikasi berlangsung. Pada sta-dium ini diberikan nalokson, naltrekson dan juga klonidin dalam jumiah yang cukup untuk menginduksi terjadinya gejala- gejala putus opioida secara cepat. Setelah gejalagejala putus opioida selesai sempurna, pasien diperkenankan bangun; umumnya antara 4-6 jam sejak terapi dimulai. Ketika bangun tidur pasien sudah tidak merasakan sama sekali fisik yang "tergantung" dan siap dengan Cepat untuk mulai mengikuti program rehabilitasi. Stadium 3: Program Setengah Hari Sebagian besar pasien mulai menjalani stadium 2 pada pagi hari pertama dan kemudian diperkenankan keluar rumah sakit pada pagi hari ke dua. Stadium 3 dimulai pada hari ke dua dan kemudian dilanjutkan pada hari ke tiga dan ke empat. Struktur komponen inti stadium 3 adalah: Evaluasi medis , Review isyu-isyu tentang naltrekson , Penilaian dengan Addiction Severity Index dan rekomendasi intervensi , Komponen tambahan lainnya sebagai introduksi sebelum benarbenar memasuki terapi antara lain : Konseling individual , Konseling kelompok , Relapse Prevention Training atau Craving Coping Skill , Cognitive Behavioural Therapy . Sessi edukasional misal tentang reproduksi dan HIV/AIDS Terapi Ko-dependensi Umumnya proses rapid detox itu sendiri tidak mempunyai hambatan klinis
3
bermakna. Menurut pengalaman kami ketika awal awal melakukan Rapid Detox adalah akibat persiapan pasien yang belum sempurna (diare sebagai gejala putus opioida terjadi begitu hebat ketika selesai anestesia umum, dan dapat menimbulkan dehidrasi). Teknik Rapid Detox hanya sebuah langkah awal dalam proses panjang terapi ketergantungan opioida.Untuk mencapai status bebas opioida sebelum penggunaan naltrekson, teknik rapid detox dapat digunakan untuk membantu transisi cepat menuju terapi rumatan naltrekson. Beberapa zat yang digunakan dalam rapid detox adalah : Klonidin Oral/IV mengurangi gejala withdrawal , Midazolam IV hipnotik , Ondansetron IV anti muntah-mual Nalokson IV menduduki reseptor opioida , Naltrekson Oral antagonis/terapi rumatan Oktreotid IV/SC , mencegah komplikasi intestinal , Propofol IV anestetik , Dextrose 5 % Infus cegah hipoglikemia , Haloperidol IM anti-agresi OutPatient
Intensive
Program:
Terapi
konvensional
untuk
pasien
ketergantungan napza yang berobat jalan dapat dilakukan secara individual maupun kelompok. OPI-Program didisain dengan variasi yang sangat luas, ada yang sepanjang hari selama 6-7 hari seminggu. Sebagian lagi menyediakan hanya 2-3 jam contact hours sehari selama 5-7 hari seminggu. Program dibuat dengan struktur ketat, termasuk di dalamnya: ketrampilan meningkatkan sosialisasi, pertemuan yang bersifat vokasional dan didaktik, edukasi moral dan spiritual atau religi, Dual Diagnosis Treatment Program: Dual diagnosis adalah istilah klinis untuk penyebutan diagnosis ganda atau multipel pada pasien ketergantungan napza yang juga menderita gangguan psikiatrik lain secara independen. Banyak penelitian yang menyebutkan bahwa prevalensi gangguan psikiatri pada pasien dengan ketergantungan napza jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan populasi umum.
3
Pasien dengan kombinasi gangguan psikiatrik dan ketergantungan napza membutuhkan terapi khusus guna mempersiapkan dirinya dalam program pemulihan yang sesuai dan adekuat. Terapi kelompok yang dilakukan oleh para pasien dengan dual diagnosis disebut dengan double trouble meeting. Pertemuan tersebut antara lain bersifat edukasi guna memahami manfaat obat yang digunakan untuk menyembuhkan gangguan psikiatrinya. Residential Treatment: adalah suatu bentuk terapi pasien ketergantungan napza yang ditempatkan dalam suatu institusi tertutup. Ada bermacam-macam modifikasi residential treatment antara lain: Hospital Based Program: program dengan struktur ketat dibuat oleh pimpinan RS bersama stafnya. Umumnya skedul baku dibuat setiap minggu, termasuk suatu pertemuan dengan pimpinan RS. Elemen terapi: psikoterapi individual, konseling kelompok dan The 12-step Recovery Program. Lamanya tinggal di RS 1-3 bulan. Psychiatric Hospital: program sangat erat kaitannya engan skedul konvensional fasilitas psikiatri. Umumnya elemen terapi: psikofarmaka, psikoterapi berorientasi dinamikanalitik. Sangat bermanfaat untuk pasien ketergantungan napza yang menunjukkan gangguan jiwa berat. Cognitive Behavior Therapy (Terapi Perilaku Kognitif - sering disingkat dengan CBT), merupakan terapi yang paling sering digunakan terhadap pasien ketergantungan napza CBT terhadap pasien ketergantungan napza pasca detoksifikasi dilakukan sebanyak 12-20 sessi seminggu sekali, didasarkan kepada social learning theories dengan analisis fungsional dan latihan ketrampilan terhadap pasien-pasien ketergantungan napza. CBT dapat juga diberikan dalam bentuk terapi kelompok atau terapi perorangan. CBT dirintis pertama kali oleh Albert Ellis dan Aron Beck sejak tahun 1963 khusus untuk pasien psikiatri dengan gangguan depresi dan
4
cemas. Beck mulai melakukan terapi CBT untuk pasien ketergantungan kokain sejak tahun 1993, kemudian dimodifikasi oleh Caroll (1999). CBT terhadap pasien dengan ketergantungan opioda di Indonesia, sejauh ini belum dilakukan lebih intensif. CBT merupakan terapi berjangka singkat, sepadan dengan sebagian besar program klinis, berstruktur dan berorientasi pada sasaran. CBT untuk pasien ketergantungan napza merupakan kom-binasi dari beberapa bentuk terapi lain seperti prinsip-prinsip dari RPT dan CE-Therapy, dan kemudian diberikan berbagai tugas rumah di luar sessi. CBT terdiri dari 12 sessi @ 2 jam. Beberapa guidelines yang diberikan oleh Beck adalah : 1. Don't fire with fire 2. Maintain honesty 3. Remain focused on the goals of treatment 4. Remain focused on the patient's redeeming qualities 5. Disarm the patient with genuine humility and empathy 6. Confront, but use diplomacy. Drug Abuse Counseling (DAC): adalah suatu bentuk pelayanan terapi yang difokuskan untuk mengidentifikasi kebutuhan spesifik sesaat. Umumnya bersifat lebih eksternal dan bukan merupakan proses intra-psikik. DAC umumnya dilakukan oleh exaddicts yang telah clean and sober dan men-dapatkan pendidikan khusus sebagai konselor adiksi sekurang-kurangnya selama setahun. Relapse Prevention Training (RPT): RPT adalah prog-ram kendali diri yang didisain untuk meng-edukasi seseorang yang berusaha mengubah perilakunya, bagaimana mengantisipasi dan mengatasi problema relaps. RPT adalah suatu program psiko-
4
edukasi yang menggabungkan prosedur latihan ketrampilan perilaku dengan teknik intervensi kognitif. Prinsip utamanya adalah berdasarkan social leaming theory. Sebagian ahli dalam bidang ketergantungan zat telah melakukan sejumlah penelitian yang berkait dengan perilaku relaps sejak tahun 1985 (Marlatt and Gordon). Tujuan RPT adalah mendidik seseorang bagaimana mencapai suatu lifestyle yang seimbang dan mencegah pola kebiasaan yang tidak sehat. Pasien dibimbing untuk mengenali high risk situation - situasi tertentu yang dapat menjadi ancaman terhadap kendali diri pasien dan dapat meningkatkan risiko relaps. Ada beberapa situasi yang tergolong high risk ; yaitu: status emosional yang negatif (35% dari sampel relaps), konflik interpersonal (16% dari sampel relaps) dan tekanan sosial (20% dari sampel). Strategi RPT terdiri dari tiga kategori berikut: skill training, cognitive refraining dan lifestyle intervention. Cue-exposure Therapy (CE-Therapy): Pada pasien ketergantungan opioida dipaparkan sejumlah alat-alat atau situasi yang mendatangkan timbulnya craving. Dalam proses terapi selama 20 jam (dibagi atas beberapa sessi) pada pasien diperagakan alat-alat atau situasi tersebut, untuk menurunkangejala-gejala craving. Pasien dirawat selama 3 minggu se-bagai pasien rawat inap. Bentuk lain dari CETherapy adalah extinction therapy. Banyak studi yang menggunakan CETherapy terhadap pasien ketergantungan opioida. CE-Therapy pada pasien yang sedang menjalani detoksifikasi dibandingkan dengan kontrol menunjukkan bahwa CE-Therapy dan CE-Therapy plus cogni-tive aversion strategy menurunkan craving cukup bermakna. Namun suatu studi kontrol lain tidak menghasilkan perbedaan hasil antara CE-Therapy saja dengan kelompok kontrol pada follow-up pasien ketergantungan opioida. Suatu penelitian meta-analisis atas 41 studi dengan komparasi berbagai zat adik-tif, menunjukkan paradigma cue reactivity mempunyai makna klinis di masa-masa mendatang. Opiate Antagonist Maintenance Treatment Program: Farmakoterapi rumatan pasca detox dilakukan dengan meng-gunakan Naltrekson. Program terapi tersebut
4
dikenal dengan istilah OpamatED (Opiate Antagonist Maintenance Therapy) yang merupakan kombinasi antara farmakoterapi dan konseling kelompok. Naltrekson adalah suatu potent competitive anta-gonist pada reseptor opioida µ.;karena itu naltrekson sangat baik digunakan untuk pasien-pasien non-dependent opioid abuser (misalnya pada beberapa orang yang dengan mudah menyelesaikan proses detoksifikasi-nya). Opamat-ED dimulai seketika setelah
pasien berhasil
menyelesaikan terapi rapid detox atau setelah 1-2 minggu abstinensia pada terapi detoxi-fikasi konvensional. Tujuan terapi adalah untuk mengurangi risiko relaps dan mecegah terjadinya ketergantungan fisik kembali. Banyak cara pemberian dosis harian naltrekson, antara lain 50 mg setiap hari atau dosis 100 mg/100 mg/150 mg dalam waktu 3 kali seminggu, disarankan sekurang-kurangnya selama satu tahun. Angka drop-out nya cukup tinggi. Namun sangat besar manfaatnya bagi pasien yang mempunyai motivasi tinggi, dukungan keluarga yang kuat serta berkarir dalam pekerjaan. No Smoking Clinic: adalah suatu klinik yang digunakan untuk membantu adiksi nikotin (perokok) menghentikan kebiasaannya. Beberapa zat yang digunakan sebagai replacement therapy antara lain: nicotine patch, nicotine gum, zyban. Co-Dependency
Therapy:
berdasarkan
fakta
yang
menun-bahwa
penyalahgunaan dan ketergantungan napza merupakan "family disease" dan semua anggota keluarga memerlukan pertolongan. CDTherapy dipandu oleh seorang ahli psikologi, psikiater atau seorang konselor adiksi. Filosofi yang paling sering digunakan dalam CDTherapy adalah (15). CD-therapy dapat dilakukan dalam berbagai bentuk seperti : -Terapi kelompok atau terbatas: beberapa orang anggota keluarga berkumpul bersama dengan anggota keluarga lainnya atau hanya terdiri dari semua anggota keluarga dari satu pasien saja. -Pasien rawat inap atau rawat jalan. CD-Therapy harus dibedakan dengan Family Therapy atau Terapi Keluarga, Spouse Therapy, Konseling Keluarga. HARM REDUCTION PROGRAM
4
Harm reduction adalah suatu kebijakan atau program yang ditujukan untuk menurunkan konsekuensi kesehatan, sosial dan ekonomi yang merugikan akibat penggunaan zat adiktif tanpa kewajiban abstinensia dari penggunaan zat. Di Indonesia, pendekatan konsep harm reduction masih kontroversial karena belum dapat diterima masyarakat luas. Namun transmisi HIV/ AIDS, hepatitis dan TB pulmonum di kalangan IDUs cukup memprihatinkan akhir-akhir ini. Karakteristik utama prinsip-prinsip harm reduction adalah: pragmatis (memandang sesuatu berdasarkan azas manfaatnya saja), nilai-nilai humanistik, hanya berfokus pada masalah harms, penyeimbangan pengeluaran dan keuntungan, serta memprioritaskan sasaran antara. Syringe Exchange Program, availabilitas jarum suntik: tersedianya tempat penukaran jarum suntik bekas dengan yang steril atau tersedianya jarum suntik tanpa penukaran merupakan beberapa bentuk pendekatan harm reduction. Di be-berapa negara telah lama dilakukan, seperti di Geneva, Zurich, Amsterdam dan di banyak tempat di Amerika. DiJakarta dan Denpasar telah diselenggarakan projek percontohan sejak beberapa tahun yang lalu. Methadone Maintenance Treatment Program: sejak Tahun 60an di Amerika, dikembangkan MMTP sebagai suatu cara untuk mengurangi angka kriminalitas, sosialisasi dan in-feksi HIV/AIDS. Di Nederland, MMTP mempunyai tiga tujuan yaitu: membangun kontak dengan pengguna heroin, men-stabilisasi pengguna heroin, melakukan detoksifikasi dan menghentikan kebiasaannya. Dengan MMTP, kebiasaan menyuntik diubah menjadi penggunaan metadon oral. Di Australia, Eropa danUnited Kingdom, metadon dapat diperoleh melalui dokter terlatih yang bekerja di klinik-klinik terbatas atau melalui bus yang disediakan. Beberapa sebutan untuk MMTP antara lain: opioid replacement therapy ; opioid substitution therapy. Education, Outreach Program and Bleach Kits: suatu program edukasi membersihkan jarum suntik yang sudah di-pakai dengan menyediakan detergen untuk mensuci-hamakan
4
jarum bekas. Tolerance Areas: adalah suatu tempat di mana seseorang diperkenankan untuk melakukan kebiasaan menggunakan heroin melalui suntikan tanpa mendapat hukuman. Cara tersebut memerlukan koordinasi yang ketat. Di banyak negara angka transmisi HIV menunjukkan penurunan tajam berkait dengan cara ini. Tempat-tempat tersebut antara lain: shooting gallery dan injection rooms (Bern, Basel), tolerance zones (Geneva), platform zero (Rotterdam) yang diawasi oleh polisi, Narcosala (Madrid), Needle Park (Zurich) dan banyak tempat lain di Eropa dan Amerika. Kawasan Bebas Asap Rokok: merupakan lokasi atau gedung-gedung di mana orang tidak diperkenankan merokok. Ruangan-ruangan tersebut senantiasa disterilkan dari asap rokok sehingga menghindarkan second-hand smokers (menginhalasi asap rokok orang lain). Cara ini telah dijalankan di banyak tempat di Jakarta (gedung-gedung, mal dan restoran).
Amfetamin Amfetamin adalah satu jenis narkoba yang dibuat secara sintetis dan kini terkenal di wilayah Asia Tenggara. Amfetamin dapat berupa bubuk putih, kuning, maupun coklat, atau bubuk putih kristal kecil. Cara yang paling umum dalam menggunakan amfetamin adalah dihirup melalui tabung. Zat tersebut mempunyai mempunyai beberapa nama lain: shabu, SS, ubas, ice, dan lain-lain. Stimulan seperti amfetamin memengaruhi sistem saraf pusat dengan mempercepat kinerja beberapa zat yang ada di otak. Beberapa stimulan lain termasuk kafein dan kokain. Dampak Langsung dari Amfetamin •
Pengurangan nafsu makan.
•
Peningkatan ritme pernafasan.
4
•
Pembesaran pupil mata.
•
Perasaan nyaman; meningkatnya kepercayaan diri dan tenaga.
•
Insomnia.
•
Hiperaktivitas dan banyak berbicara.
•
Mudah panik.
•
Lekas marah dan agresif.
Dampak Jangka Panjang dari Amfetamin •
Pengurangan daya tahan tubuh terhadap infeksi dan penyakit.
•
Pecandu berat, cenderung menderita kekurangan gizi.
•
Gila amfetamin. Hal ini termasuk berkhayal, halusinasi dan perilaku ganjil.
•
Harus menggunakan zat lain untuk menghadapai efek-efek yang ditimbulkan.
•
Ketergantungan, tubuh pengguna beradaptasi dengan zat tersebut.
Bahaya dan efek lainnya Toleransi dan ketergantungan Toleransi amfetamin berarti pengguna harus mengkonsumsi dosis yang lebih besar dan lebih banyak dari dosis yang sebenarnya, untuk mendapatkan efek-efek asli dari zat tersebut. Zat itu menjadi segala-galanya bagi si pengguna dalam kegiatan, emosi serta pemikirannya, yang membuat mereka sulit untuk berhenti
4
atau mengurangi pemakaian. Hal ini disebut ketergantungan.
Overdosis Amfetamin sering dicampur dengan berbagai zat berbahaya lainnya, jadi kita tidak mungkin dapat mengetahui bagaimana reaksi tubuh. Kita juga sulit mengetahui seberapa banyak dosis yang dipakai. Hal ini dapat memicu seseorang mengalami overdosis.
Overdosis amfetamin dapat menyebabkan: •
Detak jantung yang tidak beraturan.
•
Serangan jantung.
•
Berselera makan tinggi.
•
Pecah pembuluh darah di otak.
•
Kematian.
Tindakan kriminal Para pengguna sering memutuskan untuk melakukan tindakan kejahatan untuk mempertahankan kecanduan amfetamin mereka. Mereka bisa mencuri dari orang tua dan kerabat, baik uang maupun barang-barang lain yang bisa mereka jual. Mereka mungkin akan terlibat dalam tindak kejahatan yang lebih serius yang akan membawa mereka ke penjara atau ke dalam situasi yang sangat berbahaya.
Narkoba dan Hukum
4
Memiliki, menggunakan atau menjual amfetamin di Indonesia adalah melanggar hukum dan akan terkena denda yang besar dan atau hukuman penjara. Siapa saja yang dituduh dengan tuduhan narkoba akan mendapatkan catatan kriminal. Hal ini dapat membawa masalah lain dalam kehidupan: dari mencari pekerjaan atau membuat visa untuk perjalanan, sampai pada hilangnya kesempatan mengenyam pendidikan, baik di dalam negeri maupun luar negeri.
Tanda-tanda overdosis Jika salah satu dari gejala di bawah ini timbul, segera cari pertolongan. Membiarkan seseorang dalam kondisi ini akan berakibat fatal. •
Muka pucat.
•
Ketidaksadaran.
•
Denyut nadi lemah.
•
Ling-lung.
•
Nafas pendek atau sulit bernafas.
Langkah-langkah yang harus diambil ketika bantuan datang:
Ketika bantuan datang, beritahu paramedis jenis narkoba apa yang menyebabkan korban mengalami overdosis. Informasi ini yang dapat menyelamatkan hidup mereka. •
Bersihkan saluran pernafasan (hidung dan mulut).
•
Baringkan korban di sisi paramedis (untuk mencegah tersedak).
4
•
Periksa pernafasan.
•
Periksa denyut jantung.
HIPNOTIK SEDATIF •
Hipnotik dan sedatif merupakan golongan obat depresi susunan saraf pusat. Efeknya tergantung pada dosis. Pada dosis terapi, obat sedatif menekan aktivitas mental, menurunkan respon terhadap rangsangan emosis sehingga menenangkan. Obat hipnotik menyebabkan kantuk dan memudahkan tidur serta mempertahankan tidur yang menyerupai tidur fisiologis.
•
Efek sedasi juga merupakan efek samping beberapa golongan obat lain yang tidak terasuk obat golongan depresan SSP. Walaupun obat tersebut memperkuat
penekanan
SSP,
secara
tersendiri
obat
tersebut
memperlihatkan efek yang lebih spesifik pada dosis yang jauh lebih kecil daripada dosis yang dibutukan untuk mendepresi SSP secara umum. •
Beberapa obat dalam golongan hipnotik dan sedatif, khususnya golongan benzodiazepin diindikasikan juga sebagai pelemas otot, antiepilepsi, antiansietas, dan sebagai penginduksi anestasi.
BENZODIAZEPIN •
Benzodiazepin berefek hipnosis, sedasi, relaksasi otot, ansiolitik, dan antikonvulsi dengan potensi yang berbeda-beda.
•
Farmakodinamik dan Farmakokinetik
•
Benzodiazepin
hanya
mempunyai
kemampuan
terbatas
untuk
menghasilkan depresi SSP yang kuat dan berpotensi fatal. Obat-obat sedatif-hipnotik nonbenzodiazepin termasuk dalam kelompok obat yang mendepresi sistem saraf pusat (SSP) dengan cara yang tergantung dosis, yang secara progresif menghasilkan penenangan atau rasa kantuk (sedasi),
4
tidur (hipnosis farmakologis), ketidaksadaran, koma, anastesi bedah, serta depresi pernapasan dan regulasi kardiovaskular yang fatal. •
Hampil semua efek benzodiazepin dihasilkan dari kerja obat-obat ini pada SSP. Efek yang paling menonjol adalah aktivitas sedasi, hipnosis, berkurangnya
ansietas,
relaksasi
otot,
anterograde
amnesia,
dan
antikonvulsan. Benzodiazepin dipercaya memunculkan sebagian besar efeknya melalui interaksinya dengan reseptor neurotransmiter inhibitori yang secara langsung diaktivasi oleh GABA. Reseptior GABA merupakan protein terikat membran yang dapat dibagi menjadi dua subtipe utama yaitu reseptor GABA A dan GABA B. Benzodiazepin bekerja pada reseptor GABA A tetapi tidak pada reseptor GABA , dengan berikatan secara langsung pada tempat spesifik yang berbeda dengan tempat ikatan GABA pada kompleks reseptor/saluran ion. Tidak seperti barbiturat, benzodizepin tidak secara langsung mengaktivasi reseptor GABA A, tetapi membutuhkan GABA untuk mengekspresikan efeknya; yaitu senyawasenyawa ini hanya memodulasi efek GABA. Ligan reseptor benzodiazepin dapat bekerja sebagai agonis, antagonis, atau agonis invers pada tempat reseptor benzodiazepin, tergantung pada senyawanya. Agonis pada reseptor benzodiazepin meningkatkan jumlah arus klorida yang dihasilkan melalui
aktivasi
reseptor
GABA
A,
sedangkan
agonis
invers
menurunkan.Kedua efek ini dapat diblok oleh antagonis pada tempat reseptor benzodiazepin. Salah satu antagonis tersebut, flumazenil, digunakan secara klinis untuk membalikkan efek benzodiazepin dosis tinggi. •
Dosis hipnotik benzodiazepin tidak memiliki efek terhadap pernapasan pada subjek normal, tetapi perhatian khusus harus diberikan dalam penangan anak-anak dan individu yang mengalami gangguan fungsi hepatik, seperti alkoholik. Efek kardiovaskular benzodiazepin pada orang normal hanya sedikit, kecuali pada intoksikasi parah; efek merugikan pada penderita gangguan tidur obstruktif atau penyakit jantung.
•
Sifat fisikokimia dan farmakokinetik benzodiazepin sangat mempengaruhi
5
kegunaan klinisnya. Semua benzodiazepin pada dasarnya diabsorpsi sempurna, kecuali klorazepat; obat ini cepat mengalami dekarboksilasi dalam cairan lambung menjadi N-desmetil-diazepam (nordazepam), yang kemudian
diabsorpsi
sempurna.
Beberapa
benzodiazepin
(seperti
prazepam dan flurazepam) mencapai sirkulasi sistemik hanya dalam bentuk metabolit aktif. •
Obat-obat yang aktif pada reseptor benzodiazepin dapat dibagi menjadi empat kategori berdasarkan waktu paruh eliminasinya: 1) benzodiazepin kerja sangat singkat; 2) obat kerja-singkat, dengan t1/2 kurang dari 6 jam, antara lain: triazolam, zolpidem, nonbenzodiazepin (t1/2, sekitar 2 jam), dan zopiklon (t1/2 5 sampai 6 jam); (3) obat kerja-sedang, dengan t1/2 6 sampai 24 jam, antara lain estazolam dan temazepam; dan (4) obat kerja lama, dengan t1/2 lebih dari 24 jam, antara lain flurazepam, diazepam, dan kuazepam. Benzodiazepin dan metabolit aktifnya berikatan dengan protein plasma.
•
Benzodiazepin banyak dimetabolisme oleh enzim-enzim dalam kelompok sitokrom
P450,
terutama
CYP3A4
dan
CYP2C19.
Beberapa
benzodiazepin, seperti oksazepam, langsung terkonjugasi dan tidak dimetabolisme oleh enzim ini. Karena metabolit aktif beberapa benzodiazepin mengalami biotransformasi lebih lambat daripada senyawa induknya, hubungan antara durasi kerja beberapa benzodiazepin dengan waktu paruh eliminasinya setelah diberikan adalah kecil. •
Efek Samping
•
Pada kadar puncak dapat menimbulkan efek samping : kepala ringan, malas, lamban, inkoordinasi motorik, ataksia, gangguan fungsi mental dan psikomotor, gangguan koordinasi berpikir, bingung, disatria, dan anamnesa
anterograd.
Kemampuan
motorik
lebih
dipengaruhi
dibandingkan kemampuan berpikir. Interaksi dengan etanol dapat menimbulkan depresi berat. •
Efek samping yang lain relatif lebih umum terjadi ialah lemas, sakit
5
kepala, pandangan kabur, vertigo, mual, muntah, diare, nyeri epigastrik, nyeri sendi nyeri dada, dan pada beberpa pasien dapat mengalami inkontenensia. •
Efek Samping Psikologis
•
Dapat menimbulkan efek paradoksal. Gejala amnesia, euforia, gelisah, halusinasi, dan tingkah laku hipomaniak. Selain itu juga dilaporkan timbulnya reaksi berupa tingkah laku aneh, bermusuhan, dan kemarahan. Kadang-kadang terjadi gejala paranoid, depresi, dan keinginana bunuh diri. Pengunaan kronik memiliki resiko terjadinya ketergantungan dan penyalahgunaan.
•
Gejala putus obat dapat berupa semakin hebatnya kelainan yang semula akan diobati, misalnya insomnia dan ansietas. Disforia, mudah tersinggung, berkeringat, mimpi buruk, tremor, anoreksi dan pusing dapat terjadi. Penggunaan benzodiazepin dosis tinggi dalam waktu yang lama dapat mengakibatkan gejala putus obat lebih parah setelah pemutusan obat, yaitu : agitasi, panik, paranoid, mialgia, kejang otot bahkan konvulsi.
BARBITURAT •
Barbiturat selama beberapa saat telah digunakan secara ekstensif sebagai hipnotik dan sedatif. Namun sekarang kecuali untuk beberapa penggunaan yang spesifik, barbiturat telah banyak digantikan dengan benzodiazepine yang lebih aman, pengecualian fenobarbital, yang memiliki anti konvulsi yang masih banyak digunakan.
A. Farmakodinamik Secara kimia, barbiturat merupakan derivat asam barbiturat. Asam barbiturat (2,4,4-trioksoheksahidropirimidin) merupakan hasil reaksi kondensasi antara ureum dengan asam malonat.
5
•
Susunan Saraf Pusat efek utama barbiturat ialah depresi SSP. Semua tingkat depresi dapat dicapai, mulai dari sedasi, hipnosis, koma sampai dengan kematian. Efek antianseitas barbiturat berhubungan dengan tingkat sedasi yang dihasilkan. Efek hipnotik barbiturat dapat dicapai dalam waktu 20-60 menit dengan dosis hipnotik. Tidurnya menyerupai tidur fisiologis, tidak disertai mimpi yang mengganggu. Efek anastesi umumnya diperlihatkan oleh golongan tiobarbital dan beberapa oksibarbital untuk anastesi umum. Untuk efek antikonvulsi umumnya diberikan oleh berbiturat yang mengandung substitusi 5-fenil misalnya fenobarbital.
•
Pada SSP
•
Barbiturat berkerja pada seluruh SSP, walaupun pada setiap tempat tidak sama kuatnya. Dosis nonanastesi terutama menekan respon pasca sinap. Penghambatan hanya terjadi pada sinaps GABA-nergik. Walaupun demikian efek yang terjadi mungkin tidak semuanya melalui GABA sebagai mediator.
•
Barbiturat memperlihatkan beberapa efek yang berbeda pada eksitasi dan inhibisi transmisi sinaptik. Kapasitas berbiturat membantu kerja GABA sebagian menyerupai kerja benzodiazepine, namun pada dosis yang lebih tinggi dapat bersifat sebagai agonis GABA-nergik, sehingga pada dosis tinggi barbiturat dapat menimbulkan depresi SSP yang berat.
•
Pada susunan saraf perifer
•
Barbiturat secara selektif menekan transmisi ganglion otonom dan mereduksi eksitasi nikotinik oleh esterkolin. Efek ini terlihat dengan turunya tekanan darah setelah pemberian oksibarbital IV dan pada intoksikasi berat.
•
Pada pernafasan
•
Barbiturat menyebabkan depresi nafas yang sebanding dengan besarnya dosis. Pemberian barbiturat dosis sedatif hampir tidak berpengaruh terhadap pernafasan, sedangkan dosis hipnotik menyebabkan pengurangan frekuensi nafas. Pernafasan dapat terganggu karena : (1) pengaruh
5
langsung barbiturat terhadap pusat nafas; (2) hiperefleksi N.vagus, yang bisa menyebabkan batuk, bersin, cegukan, dan laringospasme pada anastesi IV. Pada intoksikasi barbiturat, kepekaan sel pengatur nafas pada medulla oblongata terhadap CO2 berkurang sehingga ventilasi paru berkurang. Keadaan ini menyebabkan pengeluaran CO2 dan pemasukan O2 berkurang, sehingga terjadilah hipoksia. •
Pada Sistem Kardiovaskular
•
Barbiturat dosis hipnotik tidak memberikan efek yang nyata pada system kardiovaskular. Frekuensi nadi dan tensi sedikit menurun akibat sedasi yang ditimbulkan oleh berbiturat. Pemberian barbiturat dosis terapi secara IV dengan cepat dapat menyebabkan tekanan darah turun secara mendadak. Efek kardiovaskular pada intoksikasi barbiturat sebagian besar disebabkan oleh hipoksia sekunder akibat depresi nafas. Selain itu pada dosis tinggi dapat menyebabkan depresi pusat vasomotor diikuti vasodilatasi perifer sehingga terjadi hipotensi.
•
Pada Saluran Cerna
•
Oksibarbiturat cenderung menurunkan tonus otot usus dan kontraksinya. Pusat kerjanya sebagian diperifer dan sebagian dipusat bergantung pada dosis. Dosis hipnotik tidak memperpanjang waktu pengosongan lambung dan gejala muntah, diare dapat dihilangkan oleh dosis sedasi barbiturat.
•
Pada Hati
•
Barbiturat
menaikan
kadar
enzim,
protein
dan
lemak
pada
retikuloendoplasmik hati. Induksi enzim ini menaikan kecepatan metabolisme beberapa obat dan zat endogen termasuk hormone stroid, garam empedu, vitamin K dan D. •
Pada Ginjal
•
Barbiturat tidak berefek buruk pada ginjal yang sehat. Oliguri dan anuria dapat terjadi pada keracunan akut barbiturat terutama akibat hipotensi yang nyata.
B. Farmakokinetik
5
•
Barbiturat secara oral diabsorpsi cepat dan sempurna dari lambung dan usus halus kedalam darah. Secara IV barbiturat digunakan untuk mengatasi status epilepsi dan menginduksi serta mempertahankan anastesi umum. Barbiturat didistribusi secara luas dan dapat melewati plasenta, ikatan dengan protein plasma sesuai dengan kelarutan dalam lemak; tiopental yang terbesar.
•
Barbiturat yang mudah larut dalam lemak, misalnya tiopental dan metoheksital, setelah pemberian secara IV, akan ditimbun di jaringan lemak dan otot. Hal ini akan menyebabkan kadarnya dalam plasma dan otak turun dengan cepat. Barbiturat yang kurang lipofilik, misalnya aprobarbital dan fenobarbital, dimetabolisme hampir sempurna didalam hati sebelum diekskresi di ginjal. Pada kebanyakan kasus, perubahan pada fungsi ginjal tidak mempengaruhi eliminasi obat. Fenobarbital diekskresi ke dalam urine dalam bentuk tidak berubah sampai jumlah tertentu (20-30 %) pada manusia.
•
Faktor yang mempengaruhi biodisposisi hipnotik dan sedatif dapat dipengaruhi oleh berbagai hal terutama perubahan pada fungsi hati sebagai akibat dari penyakit, usia tua yang mengakibatkan penurunan kecepatan pembersihan obat yang dimetabolisme yang terjadi hampir pada semua obat golongan barbiturat.
C. Indikasi •
Penggunaan barbiturat sebagai hipnotik sedatif telah menurun secara nyata karena efek terhadap SSP kurang spesifik yang telah banyak digantikan oleh golongan benzodiazepine. Penggunaan pada anastesi masih banyak obat golongan barbiturat yang digunakan, umumnya tiopental dan fenobarbital. · Tiopental
•
1. Di gunakan untuk induksi pada anestesi umum.
5
•
2. Operasi yang singkat (reposisi fraktur, insisi, jahit luka).
•
3. Sedasi pada analgesik regional
•
4. Mengatasi kejang-kejang pada eklamsia, epilepsi, dan tetanus · Fenobarbital
•
1. Untuk menghilangkan ansietas
•
2. Sebagai antikonvulsi (pada epilepsi)
•
3. Untuk sedatif dan hipnotik
D. Kontra Indikasi •
Barbiturat tidak boleh diberikan pada penderita alergi barbiturat, penyakit hati atau ginjal, hipoksia, penyakit Parkinson. Barbiturat juga tidak boleh diberikan pada penderita psikoneurotik tertentu, karena dapat menambah kebingungan di malam hari yang terjadi pada penderita usia lanjut.
E. Efek Samping •
Hangover, Gejala ini merupakan residu depresi SSP setelah efek hipnotik berakhir. Dapat terjadi beberapa hari setelah pemberian obat dihentikan. Efek residu mungkin berupa vertigo, mual, atau diare. Kadang kadang timbul kelainan emosional dan fobia dapat bertambah berat.
•
Eksitasi paradoksal, Pada beberapa individu, pemakaian ulang barbiturat (terutama fenoberbital dan N-desmetil barbiturat) lebih menimbulkan eksitasi dari pada depresi. idiosinkrasi ini relative umum terjadi diantara penderita usia lanjut dan lemah.
•
Rasa nyeri, Barbiturat sesekali menimbulkan mialgia, neuralgia, artalgia, terutama pada penderita psikoneurotik yang menderita insomnia. Bila diberikan dalam keadaan nyeri, dapat menyebabkan gelisah, eksitasi, dan bahkan delirium.
•
Alergi, Reaksi alergi terutama terjadi pada individu alergik. Segala bentuk
5
hipersensitivitas dapat timbul, terutama dermatosis. Jarang terjadi dermatosis eksfoliativa yang berakhir fatal pada penggunaan fenobarbital, kadang-kadang disertai demam, delirium dan kerusakan degeneratif hati. •
Reaksi obat, Kombinasi barbiturat dengan depresan SSP lain misal etanol akan meningkatkan efek depresinya; Antihistamin, isoniasid, metilfenidat, dan penghambat MAO juga dapat menaikkan efek depresi barbiturat.
F. Intoksikasi •
Intoksikasi barbiturat dapat terjadi karena percobaan bunuh diri, kelalaian, kecelakaan pada anak-anak atau penyalahgunaan obat. Dosis letal barbiturat sangan bervariasi. Keracunan berat umumnya terjadi bila lebih dari 10 kali dosis hipnotik dimakan sekaligus. Dosis fatal fenobarbital adalah 6-10 g, sedangkan amobarbital, sekobarbital, dan pentobarbital adalah 2-3 g. kadar plasma letal terendah yang dikemukakan adalah 60 mcg/ml bagi fenobarbital, dan 10 mcg/ml bagi barbiturat dengan efek singkat, misal amobarbital dan pentobarbital.1,3,8
•
Gejala simtomatik keracunan barbiturat ditunjukan terutama terhadap SSP dan kardiovaskular. Pada keracunan berat, reflek dalam mungkin tetap ada selama beberapa waktu setelah penderita koma. Gejala babinzki sering kali positif. Pupil mata mungkin kontraksi dan bereaksi terhadap cahaya, tapi pada tahap akhir keracunan mungkin dapat terjadi dilatasi. Gejala intoksikasi akut yang bahaya ialah depresi pernafasan berat, tekanan darah turun rendah sekali, oligiuria dan anuria.3
G. Pengobatan Intoksikasi •
Intoksikasi barbiturat akut dapat diatasi dengan maksimal dengan pengobatan simtomatik suportif yang umum.
•
Dalamnya koma dan ventilasi yang memadai adalah yang pertama dinilai. Bila keracunan terjadi < 24 jam sejak makan obat, tindakan cuci lambung dan memuntahkan obat perlu dipertimbangkan, sebab barbiturat dapat
5
mengurangi motilitas saluran cerna. Tindakan cuci lambung serta memuntahkan obat perlu dilakukan hanya setelah tindakan untuk menghindari aspirasi dilakukan. Setelah cuci lambung, karbon aktif dan suatu pencahar (sarbitol) harus diberikan. Pemberian dosis ulang karbon (setelah terdengar bising usus) dapat mempersingkat waktu paruh fenobarbital. Pengukuran fungsi nafas perlu dilakukan sedini mungkin. Pco2 dan O2 perlu dimonitor, dan pernafasan buatan harus dimulai bila diindikasikan.1,7,3 •
Pada keracunan barbiturat akut yang berat, syok merupakan ancaman utama. Sering kali penderita dikirim ke rumah sakit dalam keadaan hipotensi berat atau syok, dan dehidrasi yang berat pula. Hal ini segara diatasi, bila perlu tekanan darah dapat ditunjang dengan dopamine
H. Interaksi Obat •
Interaksi obat yang paling sering melibatkan hipnotik-sedatif adalah interaksi dengan obat depresan susunan saraf pusat lain, yang menyebabkan efek aditif. Efek aditif yang jelas dapat diramalkan dengan penggunaan minuman beralkohol, analgesik narkotik, antikonvulsi, fenotiazin dan obat-obat anti depresan golongan trisiklik.
Nikotin Nikotin adalah suatu alkaloid dengan nama kimia 3-(1-metil-2-pirolidil) piridin. Saat diekstraksi dari daun tembakau, nikotin tak berwarna, tetapi segera menjadi coklat ketika bersentuhan dengan udara. Nikotin dapat menguap dan dapat dimurnikan dengan cara penyulingan uap dari larutan yang dibasakan. Nikotin adalah bahan alkaloid toksik yang merupakan senyawa amin tersier, bersifat basa lemah dengan pH 8,0. Pada pH tersebut, sebanyak 31% nikotin berbentuk bukan ion dan dapat melewati membran sel. Pada pH ini nikotin berada dalam bentuk ion dan tidak dapat melewati membran secara cepat sehingga di
5
mukosa pipi hanya terjadi sedikit absorpsi nikotin dari asap rokok. Nikotin adalah zat alkaloid yang ada secara natural di tanaman tembakau. Nikotin juga didapati pada tanaman-tanaman lain dari famili biologis Solanaceae seperti tomat, kentang, terung dan merica hijau pada level yang sangat kecil dibanding pada tembakau. Zat alkaloid telah diketahui memiliki sifat farmakologi, seperti efek stimulan dari kafein yang meningkatkan tekanan darah dan detak jantung. Alkaloid nikotin mengalami proses metabolisme, yaitu suatu proses dimana nikotin mengalami perubahan struktur karena adanya senyawa–senyawa kimia di sekitarnya. Sebagian besar in vivo metabolit dari nikotin adalah konitin laktam. Transformasi metabolit ini mewakili semua oksidasi 4–elektron. Studi in vitro menunjukkan hilangnya nikotin dari campuran inkubasi tidak dihambat, walaupun pembentukan nikotin diblok secara sempurna. Metabolisme oksidatif pada nikotin dengan pembuatan mirkosomal hati kelinci dengan adanya ion sianida ditunjukkan dengan adanya isomer kedua senyawa siano nikotin. Pembentukan struktur N-(sianometil) nornikotin didapatkan dari penyerangan nukleofilik oleh ion sianida pada senyawa antara jenis metil iminium. Senyawa ini dibentuk dengan ionisasi jenis N hidroksimetil nornikotin. Senyawa antara karbinolamin yang sama terlihat pada N-demetilasi dari nikotin menjadi nornikotin. Nikotin dapat disintesis dari sebuah asam amino yaitu ornitin. Biosintesis nikotin dari asam amino ornitin Pada biosintesis nikotin, cincin pirolidin berasal dari asam amino ornitin dan cincin piridin berasal dari asam nikotinat yang ditemukan dalam tumbuhan tembakau. Gugus amino yang terikat pada ornitin digunakan untuk membentuk cincin pirolidin dari nikotin. Efek penggunaan nikotin dalam tubuh Nikotin yang terdapat di tembakau, merupakan salah satu zat aditif yang dikenal.
5
Nikotin adalah penghambat susunan syaraf pusat (SSP) yang mengganggu keseimbangan syaraf. Ketergantungan fisik dan psikologi pada nikotin berkembang sangat cepat. Menghisap tembakau menghasilkan efek nikotin pada SSP dalam waktu kurang lebih sepuluh detik. Jika tembakau dikunyah, efek pada SSP dialami dalam waktu 3–5 menit. Efek nikotin tembakau yang dipakai dengan cara menghisap, menguyah atau menghirup tembakau dengan sedotan, menyebabkan penyempitan pembuluh darah, peningkatan denyut jantung dan tekanan darah, nafsu makan berkurang, sebagian menghilangkan perasaan cita rasa dan penciuman serta membuat paruparu menjadi nyeri. Penggunaan tembakau dalam jangka panjang dapat menyebabkan kerusakan pada paru–paru, jantung, dan pembuluh darah . Nikotin membuat ketagihan. Itulah sebabnya para perokok ingin terus menghisap tembakau secara rutin karena mereka ketagihan nikotin. Ketagihan tersebut ditandai dengan keinginan yang menggebu untuk selalu mencari dan menggunakan, meskipun mengetahui akan konsekuensi negatif terhadap kesehatan. Dari sifat ketergantungan alami yang muncul ditemukan bahwa nikotin mengaktifkan jaringan otak yang menimbulkan perasaan senang, tenang, dan rileks. Sebuah bahan kimia otak termasuk dalam perantara keinginan untuk terus mengkonsumsi, yakni neurotransmiter dopamine, dalam penelitian menunjukkan bahwa nikotin meningkatkan kadar dopamine tersebut. Efek akut dari nikotin dalam beberapa menit menyebabkan perokok melanjutkan dosis secara frekuentif per harinya sebagai usaha mempertahankan efek kesenangan yang timbul dan mempertahankan diri dari efek ketergantungan. Nikotin dapat berlaku sebagai sebuah stimulan dan obat penenang atau penghilang rasa sakit. Secara langsung setelah kontak dengan nikotin maka timbul rangsangan terhadap kelenjar adrenal yang menyebabkan terlepasnya hormon
6
adrenalin. Hormon adrenalin ini merangsang tubuh dan menyebabkan pelepasan glukosa secara mendadak yang akhirnya kadar gula dalam darah menurun, dan tekanan darah juga meningkat. Begitu pula pada pernapasan dan detak jantung. Reaksi ini hampir sama seperti yang terlihat pada kasus penyalahgunaan obat misalnya kokain dan heroin yang diduga dapat menimbulkan sensasi senang. Namun di sisi lain nikotin dapat menimbulkan efek sebagai obat penenang atau penghilang rasa sakit, tergantung dari kadar yang dikonsumsi dalam sistem dan dosis yang digunakan. Nikotin dalam metabolisme dapat menghilang dari tubuh dalam beberapa jam, namun jika perokok terus menerus merokok dan semakin lama bertambah kuat sehingga merokok hanya untuk mendapatkan rangsangan yang diinginkan. Sayangnya jika menghentikan masukan nikotin biasanya diikuiti dengan reaksi ketergantungan (withdrawl syndrome) yang mungkin membutuhkan waktu sekitar satu bulan atau lebih. Hal tersebut termasuk gejalanya, yakni muncul sifat lekas marah, terlalu sensitif, kecanduan, pengurangan fungsi kognitif tubuh dan pemusatan perhatian, serta terjadi gangguan tidur. Efek paling berbahaya dari mengkonsumsi tembakau dan kertergantungan nikotin adalah menyebabkan kanker dan sepertiga dari semua penyakit kanker itu yakni kanker paru-paru. Penyakit ini pembunuh pertama pada pria maupun wanita dan menguasai sekitar 90% dari semua kasus kanker paru-paru pada perokok. Kafein Kafein adalah sejenis obat yang secara natural diproduksi oleh daun dan benih pada beberapa jenis tanaman. Kafein juga bisa diproduksi dengan sengaja dan ditambahkan pada bahan-bahan makanan. Kafein dimasukkan kategori obat karena memberikan rangsangan pusat sistem saraf yang meningkatkan stamina. Kafein menyumbangkan energi sementara pada individu yang mengkonsumsinya dan juga menghilangkan rasa tidak mood.
6
Kafein ada di dalam teh, kopi, cokelat, dan beberapa minuman ringan, pada obat yang menghilangkan rasa sakit dan beberapa jenis obat-obatan lainnya. Dalam bentuk yang alami, kafein terasa sangat pahit. Tetapi, beberapa minuman berkafein sudah melalui beberapa proses yang berhasil menyamarkan rasa pahit kafein. Remaja biasanya mengonsumsi kafein dari minuman ringan dan minuman penambah energi. (Selain tambahan bahan kafein buatan, minuman ini juga mengandung bahan tambahan pemanis dan perasa buatan). Kafein tidak akan meresap ke dalam tubuh, tetapi dapat dirasakan efeknya selama enam jam. Kebanyakan orang merasakan bahwa kafein meningkatkan stamina. Kafein dengan dosis tinggi menyebabkan rasa bimbang, pusing, sakit kepala, dan rasa gugup. Kafein juga dapat mempengaruhi pola tidur normal. Sensitivitas kafein (jumlah kafein yang dapat memberikan efek pada seseorang) sangat bervariasi dari individu ke individu. Rata-rata, semakin kecil seseorang semakin sedikit kafein memberikan efek samping. Sensitivitas kafein memberikan efek berdasarkan jumlah kafein yang dikonsumsi sehari-hari. Orang yang biasa mengonsumsi kafein dalam jumlah besar secara rutin lama-lama memiliki sensitivitas kecil pada kafein. Hal ini berarti mereka harus mengonsumsi jumlah kafein lebih besar untuk mendapatkan efek yang sama. Mengonsumsi kafein menyebabkan orang menjadi lebih sering buang air kecil. Kafein juga menyebabkan tubuh kehilangan kalsium dan memicu hilangnya masa tulang dari waktu ke waktu. Meminum kafein yang ada di dalam minuman ringan dan juga kopi yang dicampur dengan susu, bahkan memberikan efek yang lebih besar pada massa tulang dan risiko menderita osteoporosis. Kafein dapat memperburuk penyakit jantung tertentu. Kafein juga bisa berinteraksi dengan beberapa jenis oabt-obatan dan suplemen. Jika kamu merasa stres atau cemas, kafein bisa memperparah keadaan ini. Meskipun kafein kadangkadang digunakan untuk pengobatan sakit kepala migrain, kafein dapat memperburuk sakit kepala pada beberapa orang.
6
Kafein biasanya aman dikonsumsi dalam jumlah yang tidak berlebihan. Para ahli menyarankan 200-300 miligram konsumsi kafein dalam sehari merupakan jumlah yang cukup untuk orang dewasa. Tapi, mengonsumsi kafein sebanyak 100 miligram tiap hari dapat menyebabkan individu tersebut tergantung pada kafein. Maksudnya, seseorang dapat mengalami gejala seperti rasa lelah, perasaan terganggu atau sakit kepala jika ia tiba-tiba berhenti mengonsumsi kafein. Remaja harus mencoba untuk membatasi konsumsi kafein dengan tidak lebih 100 miligram
kafein
dalam
sehari.
Anak-anak
harus
jauh
lebih
sedikit
mengonsumsinya.. Cobalah dengan mengganti minuman bersoda yang mengandung kafein dengan menggantinya yang tanpa kafein. Contohnya air putih, minuman soda bebas kafein, dan teh bebas kafein. Tetap menghitung jumlah kafein yang dikonsumsi setiap harinya. ALKOHOL (MINUMAN KERAS) Miras atau minuman keras adalah jenis NAZA dalam bentuk minuman yang mengandung alkohol tidak peduli berapa kadar alkohol di dalamnya. Bahkam MUI sudah mengeluarkan fatwa bahwa setetes alkohol saja dalam minuman hukumnya sudah haram. Alkohol termasuk zat aditif, artinya zat tersebut dapat menimbulkan adiksi yaitu ketagihan dan dependensi (ketergantungan). Penyalahgunaan NAZA jenis alkohol ini dapat menimbulkan gangguan mental organik yaitu gangguan dalam fungsi berfikir, berperasaan dan berperilaku. Gangguan mental organik ini desebabkan reaksi langsung alkohol pada neurotransmitter sel-sel sarf pusat. Karena sifat adiktifnya itu, maka orang yang meminumnya lama-kelamaan tanpa disadari aka menambah takaran/dosis sampai pada dosis keracunan atau mabuk. Gangguan mental organik yang terjadi pada diri seseorang ditandai dengan gejalagejala sebagai berikut: 1. Terdapat dampak berupa perubahan perilaku, misalnya perkelahian dan
6
tindakan kekerasan lainya, ketidakkemampuan menilai realitas dan gangguan dalam fungsi sosial dan pekerjaan 2. Terdapat gejala fisiologik sebagai berikut: a. Pembicaraan cadel b. Gangguan koordinasi c. Cara jalan yang tidaak mantap d. Mata jereng e. Muka merah 3. Tampak gejala-gejala psikologik sebagai berikut: a. Perubahan alam perasaan misalnya euforia atau disforia b. Mudah marah dan tersinggung c. Banyak bicara (melantur) d. Hendaya atau gangguan perhatian Bagi mereka yang sudah ketagihan NAZA jenis alkohol ini,bila pemakaiannya dihentikan akan menimbulkan sindrom putus alkohol, yaitu gejala ketagihan atau ketergangtungan yang ditandai dengan gejala-gejala sebagai berikut: 1. Gemetaran,kasar pada tangan,lidah dan kelopak mata 2. Tampak gejala fisik sebagai berikut: a. Mual dan muntah b. Lemah, leyih dan lesu c. Hiperaktivitas saraf otonom, misalnya jantung berdebar-debar, keringat berlebihan dan tekanan darah tinggi
6
d. Hipotensi ortostatik 3. Tampak gejala psikoligik sebagai berikut: a. Kecemasan dan ketakutan b. Perubahan
alam perasaan
menjadi pemurung
dan mudah
tersinggung. Banyak diantara peminum berat jatuh dalam keadaan depresi berat, timbul fikiran ingin bunuh diri dan melakukan tindakan bunuh diri c. Mengalami halusinasi dan delusi Sindrom putus alkohol merupakan gejala yang tidak mengenakkna baik psikis maupun fisik, untuk mengatasinya yang bersangkutan meminum alkohol dengan takaran yang lebih banyak dan lebih sering (penyalahgunaan semakin bertambah baik dari segi kualitas maupun kuantits) Penelitian membuktikan bahawa penyalahgunaan NAZA jenis alkohol ini tidak hanya menmbulkan gangguan mental dan perilaku, tetapi dalam jangka panjang dapat menimbulkan gangguan pada otak, liver, alat pencernaan, pankreas, otot, janin, endokrin, nutrisi, metabolisme dan resiko kanker. Ada 3 golongan minuman berakohol, yaitu : •
Golongan A
: kadar etanol 1-5%, (misalnya: bir)
•
Golongan B
: kadar etanol 5-20%, (misalnya: berbagai jenis minuman
anggur) •
Golongan C
: kadar etanol 20-45 %, (misalnya: Whiskey, Vodca, TKW,
Manson House, Johny Walker, Kamput.) Alkohol murni tidaklah dikonsumsi manusia. Yang sering dikonsumsi adalah minuman yang mengandung bahan sejenis alkohol, biasanya adalah ethyl alcohol atau ethanol (CH3CH2OH ). Bahan ini dihasilkan dari proses fermentasi gula yang dikandung dari malt dan beberapa buah-buahan seperti hop, anggur dan
6
sebagainya. Beberapa jenis minuman dan kandungan alkoholnya : - Beer
: 2–8%
- Dry wine
: 8 – 14 %
- Vermouth
: 18 – 20 %
- Cocktail wine: 20 – 21 % - Cordial
: 25 – 40 %
- Spirits
: 40 – 50 %
Klasifikasi Gangguan yang Berkaitan dengan Penggunaan Zat Psikoaktif menurut ICD-10 Dalam ICD-10, gangguan jiwa yang berkaitan dengan penggunaan zat psikoaktif dikelompokkan dalam satu kelompok gangguan dengan nomer kode F1, yaitu gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat psikoaktif. Kelompok ini selanjutnya dibedakan menjadi 10 subkelompok menurut jenis zat psikoaktif dengan nomer kode sebagai berikut : F10 : Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan alcohol F11 : Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan opoida F12 : Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan kanabinoid F13 : Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan sedative dan hipnotik F14 : Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan kokain F15 : Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan stimulant lain, termasuk kafein F16 : Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan halusinogen F17 : Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan tembakau
6
F18 : Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan pelarut yang mudah menguap F19 : Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat multiple dan penggunaan zat psikoaktif lainnya.
Kriteria Diagnostik untuk Kondisi Klinis Fix.0 Intoksikasi akut Suatu kondisi yang timbul akibat penggunaan zat psikoaktif sehingga terjadi gangguan kesadaran, fungsi kognitif, persepsi, afek, perilaku, atau fungsi dan respons psikofisiologis lainnya. Intoksikasi akut merupakan diagnosis utama hanya pada kasus intoksikasi yang terjadi tanpa berkaitan dengan penggunaan zat psikoaktif lain. Bila terjadi kondisi klinis yang lebih menetap, diagnosis yang diutamakan adalah kondisi klinis yang lebih menetap itu, misalnya syndrome ketergantungan atau keadaan putus zat. Intosikasi akut akan menghilang bila berhenti mengkonsumsi zat psikoaktif lagi, kecuali terjadi kerusakan jaringan tubuh Kriteria diagnostic kelompok intoksikasi akut K1. Harus ada bukti nyata bahwa baru saja menggunakan zat psikoaktif sehingga menimbulkan intoksikasi K2. Harus ada keluhan atau gejala intoksikasi yang sesuai dengan kerja zat psikoaktif tertentu K3. Keluhan atau gejala yang ada tidak disebabkan oleh kondisi medis dan gangguan mental F1x.00 Tanpa komplikasi F1x.01 Dengan trauma atau cedera tubuh lainnya
6
F1x.02 Dengan komplikasi medis lainnya, misalnya hematemesis F1x.07 Intoksikasi patologis F10.0 Intoksikasi akut alcohol Kriteria diagnostic A. Harus memenuhi criteria umum untuk intoksikasi akut B. Harus terdapat disfungsi perilaku yang dibuktikan dengan 1. disinhibisi 2. suka berdebat 3. agresi 4. suasana perasaan yang labil 5. gangguan memusatkan perhatian 6. daya nilai terganggu 7. interferensi personal C. Harus terdapat salah satu gejala di bawah ini 1. jalan sempoyongan 2. sulit berdiri 3. bicara pelo 4. nistagmus 5. kesadaran menurun 6. muka merah 7. konjungtiva merah F10.07 Intoksikasi patologis ( alcohol ) Kriteria diagnostik A. Harus memenuhi criteria umum intoksikasi akut B. Terdapat ucapan agresif atau perilaku kekerasan fisik yang mencerminkan orang dalam keadaan intoksikasi C. Intoksikasi terjadi segera sesudah mengkonsumsi alcohol D. Tidak terdapat bukti adanya gangguan otak organik atau gangguan mental
6
lain F11.0 Intoksikasi akut Opioida Kriteria diagnostic A. Harus memenuhi kriteria umum intoksikasi akut B. Harus terdapat disfungsi perilaku, yang dibuktikan dengsn salah satu gejala di bawah ini 1. Apatis dan sedasi 2. disinhibisi 3. retardasi psikomotor 4. gangguan memusatkan perhatian 5. gangguan daya nilai 6. interferensi fungsi personal C. Harus tedapat salah satu dari gejala di bawah ini 1. mengantuk 2. bicara cadel 3. pupil menyempit, kecuali pada kelevihan dosis 4. kesadaran menurun ( koma ) F12.0 Intoksikasi akut ganja Kriteria diagnostic : A. harus memenuhi criteria umum intoksikasi akut B. harus terdapat disfungsi perilaku atau gangguan persepsi paling tidak salah satu dari gejala di bawah ini : 1. euphoria dan disinhibisi 2. ansietas atau agitasi 3. kecurigaan atau ide paranoid 4. adanya sensasi bahwa waktu berjalan sangat lambat, dan menghayati suatu arus ide – ide yang cepat 5. gangguan daya nilai 6. gangguan memusatkan perhatian
6
7. gangguan waktu reaksi 8. ilusi penglihatan, pendengaran, dan perabaan 9. halusinasi tanpa gangguan orientasi 10. depersonalisasi 11. derealisasi 12. interferensi fungsi personal C. Harus ada salah satu gejal di bawah ini : 1. Nafsu makan bertambah 2. mulut kering 3. konjungtiva merah 4. denyut jantung cepat F13.0 Intosikasi akut sedative – Hipnotik Kriteria diagnostik : A. harus memenuhi criteria umum intoksikasi akut B. harus terdapat disfungsi perilaku paling tidak salah satu dari gejala di bawah ini : 1. euphoria 2. Apatis dan sedasi 3. marah marah dan agresif 4. suasana perasaan yang labil 5. gangguan memusatkan perhatian 6. amnesia anterograd 7. gangguan kemampuan motorik 8. interferensi fungsi personal C. Harus terdapat salah satu gejala di bawah ini 1. jalan sempoyongan 2. sulit berdiri 3. bicara pelo 4. nistagmus
7
5. kesadaran menurun 6. lesi pada kulit berupa eritema atau melepuh F14.0 Intoksidasi Akut Kokain Kriteria diagnostic : A. harus memenuhi criteria umum intoksikasi akut B. harus terdapat disfungsi perilaku atau persepsi yang tidak normal yang dibuktikan dengan paling tidak salah satu dari gejala di bawah ini : 1. euphoria atau adanya sensasai kekuatan fisiknya bertambah 2. kewaspadaan berlebihan 3. keyakinan atau perilaku grandiose 4. marah marah dan agresif 5. suka berdebat 6. suasana perasaan yang labil 7. perilaku yang diulang – ulang 8. ilusi pendengaran, penglihatan, dan perabaan 9. halusinasi tanpa adanya disorientasi 10. ide paranoid 11. interferensi fungsi personal C. Sekurangnya terdapat dua dari gejala di bawah ini : 1. Denyut jantung cepat ( kadang kadang lambat ) 2. denyut jantung tidak teratur 3. tekanan darah tinggi ( kadang kadang rendah ) 4. berkeringat dan menggigil 5. mual atau muntah 6. berat badan berkurang 7. pupil melebar 8. agitasi atau retardasi psikomotor 9. kelemahan pada otot 10. nyeri dada
7
11. kejang F15.0 Intoksikasi AKut Stimulansia Lain, Termasuk Kafein Kriteria diagnostic : A. harus memenuhi criteria umum intoksikasi akut B. harus terdapat disfungsi perilaku atau gangguan persepsi paling tidak salah satu dari gejala di bawah ini : 1. euphoria atau adanya sensasai kekuatan fisiknya bertambah 2. kewaspadaan berlebihan 3. keyakinan atau perilaku grandiose 4. marah marah dan agresif 5. suka berdebat 6. suasana perasaan yang labil 7. perilaku yang diulang – ulang 8. ilusi pendengaran, penglihatan, dan perabaan 9. halusinasi tanpa adanya disorientasi 10. ide paranoid 11. interferensi fungsi personal C. Paling sedikit terdapat dua gejala di bawah ini :
1. Denyut jantung cepat ( kadang kadang lambat ) 2. denyut jantung tidak teratur 3. tekanan darah tinggi ( kadang kadang rendah ) 4. berkeringat dan menggigil
7
5. mual atau muntah 6. berat badan berkurang 7. pupil melebar 8. agitasi atau retardasi psikomotor 9. kelemahan pada otot 10. nyeri dada 11. kejang F.16.0 Intoksidasi Akut Halusinogen Kriteria diagnostic : A. harus memenuhi criteria umum intoksikasi B. harus terdapat disfungsi perilaku atau persepsi yang tidak normal yang dibuktikan dengan paling tidak salah satu dari gejala di bawah ini : 1. kecemasan dan ketakutan 2. ilusi pendengaran, penglihatan, atau peabaan, atau halusinasi dalam keadaan terjaga dan tersadar 3. depersonalisasi 4. derealisasi 5. ide paranoid 6. keyakinan bahwa dirinya menjadi pusat pehatian 7. suasana perasaan yang labil 8. hiperaktif 9. impulsive 10. gangguan memusatkan perhatian 11. interferensi fungsi personal C. Harus ada paling sedikit dua dari gejala di bawah ini : 1. denyut jantung cepat 2. Berdebar- debar 3. berkeringat dan menggigil
7
4. penglihatan kabur 5. pupil melebar 7. gangguan koordinasi F17.0 Intoksikasi Akut Tembakau (Nikotin) Kriteria diagnostic : A. harus memenuhi criteria umum intoksikasi akut B. harus terdapat disfungsi perilaku atau gangguan persepsi paling tidak salah satu dari gejala di bawah ini : 1. insomnia 2. mimpi yang bizarre (aneh) 3. suasana perasaan yang labil 4. derealisasi 5. interferensi fungsi personal C. Paling sedikit terdapat satu dari gejala di bawah ini: 1. nausea atau muntah 2. berkeringat 3. denyut jantung cepat 4. irama jantung tidak teratur F18.0 Intoksikasi Akut Inhalan ( Pelarut yang Mudah Menguap ) Kriteria diagnostic : A. harus memenuhi criteria umum intoksikasi
7
B. harus terdapat disfungsi perilaku, yang dibuktikan dengan paling tidak salah satu dari gejala di bawah ini : 1. apatis dan letargi 2
selalu berdebat
3
marah marah atau agresif
4
suasana perasaan yang labil
5
gangguan daya nilai
6
gangguan memusatkan perhatian dan ingatan
7
retardasi psikomotor
8
interferensi fungsi personal
C. Harus ada paling sedikit satu dari gejala di bawah ini : 1. jalan sempoyongan 2. sulit berdiri 3. bicara pelo 4. nistagmus 5. kesadaran menurun 6. kelemahan otot 7. penglihatan kabur atau diplopia F19.0 Intoksikasi Akut Zat Majemuk Kriteria diagnostic : Kategori ini digunakan bila terdapat bukti intoksikasi akibat penggunaan zat psikoaktif lain ( fensiklidin ) atau zat psikoaktif majemuk dan tidak diketahui zat psikoaktif mana yang predominan F1x.1 Penggunaan yang Merugikan Suatu pola yang menyebabkan terganggunya kesehatan, dapat berupa gangguan kesehatan fisik ( hepatitis ) maupun gangguan mental ( episode
7
depresi sekunder akibat alcohol ) Kriteria diagnostic : A. Harus terdapat bukti nyata bahwa penggunaan zat psikoaktif menjadi penyebab atau ikut menyebabkan terjadinya kerugian secara fisik maupun psikologis. B. Kerugian yang trjai harus dapat dijelaskan C. Pola penggunaan telah berlangsung secara tetap sekurangnya satu bulan atau terjadi berulang kali dalam waktu 12 bulan D. Gangguan ini tidak memenuhi criteria gangguan mental dan perilaku berkaitan dengan zat yang sama F1x.2 Sindrom Ketergantungan Criteria diagnostic : A. Tiga atau lebih gejala di bawah ini terjadi bersamaan paling sedikit satu bulan lamanya, atau bila kurang dari satu bulan harus terjadi berulang ulang secara bersamaan dalam kurun waktu 12 bulan : 1. Ada keinginan yang kuat harus menggunakan zat psikoaktif. 2. Gangguan kemampuan untuk mengendalikan perilaku menggunakan zat psikoaktif dalam hal onset, terminasi atau tingkat penggunaan 3. Adanya keadaan putus zat secara psikologis bila zat psikoaktif yang digunakan dikurangi atau berhenti menggunakan 4. adanya bukti toleransi terhadap zat psikoaktif, seperti adanya kebutuhan yang meni9ngkat terhadap zat psikoaktif 5. Adanya preokupasi terhadap zat psikoaktif, seperti yang tampak dengan terhentinya atau berkurangnya kesenangan dan minat penting lainnya 6. Tetap menggunakan zat psikoaktif tanpa menghiraukan adanya bukti nyata terdapat efek merugikan akibat menggunakan zat psikoaktif
7
F1x.3 Keadaan Putus Zat Kriteria diagnostic kelompok ( K = Kelompok ) K1 harus ada bukti yang jelas akhir akhir ini menghentikan atau mengurangi penggunaan zat psikoaktif, sesudah penggunaan berulang kali K2. keluhan dan gejala sesuai dengan gamberan keadaan putus zat psikoaktif tertentu. K3. Keluhan dan gejala bukan disebabkan oleh kondisi medis yang tidak berkaitan dengan penggunaan zat psikoaktif, dan bukan disebabkan oleh gangguan mental dan perilaku lain F10.3 Keadaan Putus Alkohol Kriteria diagnostic : A. harus memenuhi criteria umum keaaan putus zat psikoaktif B. Harus terdapat tiga dari gejala di bawah ini : 1
Tremor pada lidah, mata, dan tangan yang direnggangkan
2
Berkeringat
3
Mual dan muntah
4
Denyut jantung cepat atau hipertensi
5
Agitasi psikomotor
6
Nyeri kepala
7
Insomnia
8
Lesu dan lemah
9
Halusinasi atau ilusi penglihatan, perabaan, pendengaran yang bersifat sementara
10 Kejang F11.3 Keadaan Putus Opioida A. Harus memenuhi criteria umum keaaan putus zat psikoaktif ( catatan:
7
keadaan putus opioida dapat dibangkitkan karena pemberian antagonis opioida pada orang yang menggunakan opioida dalam kurun waktu yang pendek ) B. Harus terdapat tiga dari gejala di bawah ini : 1.keinginan yang kuat untuk mengkonsumsi opioida 2
Hidung basah ( rinore )
3
Mata basah karena air mata (lakrimasi)
4
Kejang perut
5
Mual
6
Diare
7
Pupil melebar
8
Piloereksi ( bulu roma berdiri ), atau menggigil
9
Denyut jantung cepat
10 Menguap berulang kali 11 Tidur tidak lelap F12.3 Kadaan Putus Ganja Belum terdapat criteria diagnostic yang pasti. Sesudah penggunaan ganja yang cukup lama dan dalam jumlah yang banyak, bila berhenti menggunakan akan timbul kecemasan, iritabel, tremor pada tangan yang diregangkan, berkeringat, dan nyeri otot F13.3 Keadaan Putus Sedatif-Hipnotik Kriteria diagnostic : A. Harus memenuhi criteria umum keaaan putus zat B. Harus terdapat tiga dari gejala di bawah ini : 1
Tremor pada lidah, mata, dan tangan yang direnggangkan
2
Mual dan muntah
3
Denyut jantung cepat
7
4
Hipotensi postural
5
Agitasi psikomotor
6
Nyeri kepala
7
Insomnia
8
Lesu dan lemah
9
Halusinasi atau ilusi penglihatan, perabaan, pendengaran yang bersifat sementara
10 Ide paranoid 11 Kejang F14.3 Keadaan Putus Kokain Kriteria diagnostic : A. harus memenuhi criteria umum keaaan putus zat psikoaktif B. Terdapat suasana perasaan disforia ( kesedihan, atau anhedonia ) C. Terdapat dua dari gejala di bawah ini : 1. lesu dan letih 2. hambatan psikomotor 3. keinginan kuat untuk mengkonsumsi kokain 4. nafsu makan bertambah 5. insomnia atau hipersomnia 6. mimpi aneh atau yang tidak menyenangkan F15.3 Keadaan Putus Stimulan Lain, Termasuk Kafein Kriteria diagnostic : A. harus memenuhi criteria umum keaaan putus zat psikoaktif B. Terdapat suasana perasaan disforia ( kesedihan, atau anhedonia )
7
C. Terdapat dua dari gejala di bawah ini : 1. lesu dan letih 2. hambatan psikomotor 3. keinginan kuat untuk mengkonsumsi stimulansia 4. nafsu makan bertambah 5. insomnia atau hipersomnia 6. mimpi aneh atau yang tidak menyenangkan Catatan : tidak dikenal adanya keadaan putus halusinogen F17.3 Keadaan Putus Tembakau A. harus memenuhi criteria umum keaaan putus zat psikoaktif B. Terdapat dua dari geja la di bawh ini : 1. keingina kuat untuk menkonsumsi tembakau 2.. lesu dan lemah 3.. ansietas 4. suasana perasaan disforia 5. Iritabel dan tidak tenang 6.. nafsu makan bertambah 7. insomnia 8. batuk bertambah 9. tikus dimulut 10. sulit memusatkan perhatian
8
Catatan : belum terdapat cukup onformasi untuk menetapkan criteria diagnostic keadaan putus inhalan atau pelarut yang mudah menguap F1x.4 Keadaan Putus zat dengan Delirium A. harus memenuhi criteria umum keaaan putus zat psikoaktif B. harus memenuhi criteria delirium, Dibedakan menjadi : F1x40 tanpa kejang F1x41 dengan kejang F1x..5 gangguan Psikoaktif ( Akibat zat Psikoaktif ) Kriteria diagnostic : A. Gejala psikosis muncul pada waktu atau dalam waktu dua minggu penggunaan zat psikoaktif. B. Gejala psikosis menetap lebih dari 48 jam. C. Lama gejala psikosis tidak lebih dari enam bulan. F1x.6 Sindrom Amnestik ( Akibat zat Psikoaktif ) Kriteria diagnostic : A. Gangguan ingatan berupa kedua hal di bawah ini : 1. cacat pada daya ingat pendek sehingga tidak dapat mempelajari hal baru. 2. berkurngnya kemampuan mengingat pengalaman masa lalu. B. Semua yang tersebut di bawah ini tidak ada : 1. gangguan daya ingat segera 2. kesadaran berkabut dan gangguan memusatkan perhatian 3. penurunan fungsi intelektual global C. Tidak ada bukti melalui pmeriksaan fisik dan neurologist, tes laboratorium
8
maupun riwayat penyakit otak. F1x.7 Gangguan Psikoaktif Residual dan Psikoaktif ddengan Onset Lambat ( Akibat Zat Psikoaktif ) Kriteria diagnostic : Kondisi atau gangguan psikosis yang jelas berkaitan dengan penggunaan zat psikoaktif. PROGNOSIS Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat psikoaktif merupakan gangguan mental yang bersifat kronis, berlangsung bertahun – tahun, sering kambuh atau terjadi eksaserbasi. Prognosis gangguan mental dan perilaku inio sangat bergantung pada banyak factor, seperti factor kepribadian, ada tidaknya komorbiditas, lingkungan keluarga, lingkungan pergaulan, mudah tidaknya zat psikoaktif diperoleh. Semakin muda seseorang mulai menggunakan zat psikoaktif, biasanya prognosisnyalebih buruk. Bila dalam satu keluarga lebih dari satu pengguna , prognosisinya lebih buruk. DIAGNOSA DAN PROGNOSIS DIAGNOSIS Menetapkan diagnose suatu kondisi klinis akibat penggunaan zat psikoaktif bukan merupkan hal yang mudah, lebih-lebih bila zat psikoaktif yang digunakan lebih dari satu, seperti pada polydrug use karena gejala akibat pengguna suatu jenis zat psikoaktif dapat berbaur atau tertutup oleh gejala akibat pengguna zat psikoaktif lain, yang digunakan secara bersamaan waktu atau bercampur dengan gejala putus zat psikoaktif lain.
8
Kesulitan lain disebabkan oleh pengguna sering kali tidak berterus terang karena takut ancaman hukuman, dikeluarkan dari sekolah, dipecat dari pekerjaan, atau orang tuanya marah, serta perasaan malu. Sebaliknya, terdapat juga pengguna zat psikoaktif
yang
membesar-besarkan
masalahnya,
misalnya
mengaku pernah menggunakan semua jenis zat psikoaktif yang ditanyakan kepadanya, atau menyebut jumlah dosis penggunaan yang besar, hal ini dilakukan agar ia dipandang hebat. Diagnosa Multiaksial Sejak
tahun
1974
telah
dikembangkan
metode
diagnosis
multiaksial, khususnya dalam bidang psikiatrik. Di Indonesia, pada tahun 1983 telah diterbitkan buku Pedoman Penggolongan Diagnosis
Gangguan
Jiwa
di
Indonesia
(PPDGJ),
yang
menggunakan metode diagnosis multiaksial, mengganti metode diagnosis multiaksial diperoleh diskripsi yang lebih menyeluruh tentang kondisi penyakit pasien. Saat ini, PPDGJ-III beserta suplemennya untuk menetapkan diagnosis gangguan jiwa. Dalam buku nini klasifikasi dan criteria diagnosis
berbagai
kondisi
klinis
yang
berkaitan
dengan
penggunaan zat psikoaktif mengikuti ICD-10, sedangkan metode diagnostic multiaksial mengikuti DSM-IV. Diagnose multiaksial dapat ditetapkan berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan medis. Anamnesa terdiri atas pemeriksaan fisik,
pemeriksaan
psikiatrik,
pemeriksaan
laboratorium.
Fluoroskopi, elektrofisiologi, tes psikologis, dan evaluasi social. Kelima aksis dalam diagnosis multiaksial adalah sebagai berikut ; Aksisi I
: gangguan klinis
8
Kondisi lain yang dapat menjadi pusat perhatian klinis Aksis II
: gangguan kepribadian Retardasi mental
Aksis III
: kondidi medis umum
Aksis IV
: masalah psikososial dan lingkungan
Aksis V
: asesmen fungsi secara global.
Autoanamnesa Tahap pertama autoanamnesa bertujuan untuk membentuk rasa percaya pasien terhadap terapis sehingga pasien merasa yakin bahwa data tentang dirinya akan terjamin kerahasiannya di tangan terapis. Bila pasien bersikap terbuka dan mengakui secara terus terang tentang penggunaan zat psikoaktif, terapis dapat langsung menanykana
seputar
penggunaan
zat
psikoaktif
tersebut.
Sebaliknya, bila langsung menanyakan seputar penggunaan zat psikoaktif, melainkan tanyakan apa masalah yang dihadapinya dan apa yang terapis dapat lakukan untuk membantunya. Terapis dapat menanyakan apakah pasien mempunyai kesulitan pada pelajarn atau masalah lain di sekolah, apakah mengalami kesulitan tidur, apakah ada masalah dengan orangtua, teman atau
guru.
Bagi
mereka
yang
sudah
bekerja,
terapid
menanyakan apakah ada masalah di tempat kerja, dan bai yang sudah berkeluarga, menanyakan apakah ada masalah dengan pasangan. Sudah berapa lam penggunaan zat psikoaktif itu mempunyai masalah dan usaha apa saja yang sudah dilakukan untuk mengatasinya.
8
Aloanamnesa Biasanya seorang anak menggunakan zat psikoaktif secara sembunyi-sembunyi, tidak diketahui oleh orang tuanya, terutama bila zat psikoaktif yang digunakan ditolak oleh masyarakat umum atau dilarang oleh undang-undang. Orang tua baru mulai ragu apakah anaknya menggunakan zat psikoaktif atau tidak dari perubahan perilaku atau kebiasaan hidupnya. Aloanamnesa terhadap orang tua, guru, atau orang dekat lainnya berkisar pada perubahan perilaku dan kebiasaan tersebut. Penggunaan zat psikoaktif seringa terdapat pada mereka yang sebelumnya
menderita
gangguan
jiwa
atau
gangguan
kepribadian. Oleh karena itu, perlu ditanyakan pula kepada orang tua perihal riwayat pertumbuhan dan perkembangan anak, riwayat pendidikan, riwayat pekerjaan, riwayat perkawinan, dan ciri-ciri masa kanak dan remaja. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan
fisik
harus
dilakukan
dengan
cermat
dan
menyeluruh. Dibawah ini diuraikan beberapa gejala klinis yang sering ditemukan berkaitan dengan penggunan zat psikoaktif. Pemeriksaan
fisik
hendaknya
tidak
hanya
terbatas
untuk
menemukan gejala-gejala yang disebutkan dibawah ini. Pemeriksaa
Hasil
Keterangan
n Kesadaran
Somnolen
Pada intoksikasi opiode, sedative hipnotik, alkoho, dan inhalan, atau pada
Sopor koma
putus
zat
amfetamin,
dan
kokain Pada keadaan kelebihan dosis yang
8
Berkabut
berat zat apapun Pada
putus
atau Denyut nadi
Bertambah cepat
zat
alkoho,
sedative-hipnotik pada
intoksikasi
amfetamin atau PCP Pada intoksikasi amfetamin
atau
LSD, pada putus zat opioida
Suhu badan
Lambat
Pada intoksikasi opioida, sedative-
Naik
hipnotik, alcohol atau inhalan Pada pengguna LSD, amfetamin; putus
alcohol,
sedative-hipnotik,
atau opioid; adanya penyakit infeksi Turun Lambat
Pernapasan
Pada intoksikasi opioid Pada pemakaian sedative-hipnotik, alcohol atau opioid Pada intoksikasi sedative-hipnotik,
Cepat dan dangkal Naik
Tekanan darah
dosis tinggi Pada pemakaian amfetamin, kokain, LSD, ganja
Hidung
Turun
Pada putus alcohol, opiod walaupun
Rinore
pada awalnya tekanan darah naik Putus zat opiiod
Ulkus perforasi
atau Pada
pengguna
kokain
secara
inhalan
Pemeriksaan Psikiatrik Bertujuan mengetahui ada tidaknya gangguan psikiatirk yang sering
kali
terdapat
bersamaan
dengan
penggunaan
zat
psikoaktif. Agitatif
:
intoksikasi amfetamin, kokain, kafein, PCP
Agresif
:
intoksikasi amfetamin, kokain, PCP
8
Depresi
:
putus
amfetamin,
kokain,
sedative-hipnotk,
alcohol Disforia
:
pengguna pemula ganja atau opioid
Euphoria
:
intoksikais semua jenis zat psikoaktif
Gelisah
:
penggunaan amfetamin, kokain, halusinogen, kafein, PCP, ganja, dan putus zat opioid, sedativehidptonik, alcohol, dan nikotin
Impulsiff
;
intoksikasi PCP
Iritabel
:
intoksikasi alcohol , sedative-hipnotik, inhalan, atau pada putuss zat alcohol, sedative hipnotik, nikotin.
Labil
:
intoksitasi sedative-hipnotik, alcohol, PCP.
Gangguan Bicara Banyak bicara : intoksitasi
alkoho,
sedative
hipnotik,
amfetamin, kokain, kafein Cadel
:
intoksikasi
alcohol,
sedative-hipnotik,
opioid,
inhalan.
Gangguan Persepsi Halusinasi
: intoksikasi amfetamin, halusinogen, putus alcohol
Ilusi
: intoksikasi halusinogen
Sinestesi
: intoksikasi halusinogen
Pemeriksaan Laboratorium
8
Analisis air seni diperlukan untuk memgetahui zat psikoaktif apa saja yang dikonsumsi pasien. Air seni sebaiknya diambil kurang dari 48 jam sejak penggunaan zat psikoaktif terakhir karena setalah 48 jam, banyak zat yang tidak terdeteksi lagi dalam air seni. Harus dijaga agar yang diperiksa adalah benar air seni pasien dan bukanny air seni orang lain. Jangka waktu sesudah mengkonsumsi yang masih terdeteksi Amfetamin
: 2 hari
Barbiturat, kerja jangka pendek
: 1 hari
Barbiturate, kerja jangka panjang
: 21 hari
Benzodiazepine
: 3 hari
Benzodiazepine, jangka panjang Ganja
: 7 hari
: 7-10 hari
Heroin
: 1-2 hari
Kodein
: 1-2 hari
Kokain
: 2-4 hari
Metadon Morfin
: 3 hari : 2-5 hari
Pemeriksaan Khusus Tes Nalokson Nalokson HCl (narcan) adalah antagonis opiod berjangka kerja pendek. Pada orang yang mengalami ketergantungan opioid, bila diberi narcan, ia akan memperlihatkan gejala putus opioid. Seseorang yang tidak mengalami ketergantungan opioid
8
bila diberikan Narcan, ia tidak akan memperlihatkan gejala putus opioid. Sebelum
dilakukan
tes
nalokson,
terlebih
dahulu
pemeriksaaan fisik dilakukan dan hasil pemeriksaan dicatat yaitu denyut nadi, suhu badan, tekanan darah, ukuran pupil mata, apakah ada piloereksi di dada, apakah terdapat lakrimasi, rinore, dan banyak berkeringat. Suntikan 0,16 mg narcan im pada otot trisep seseudah 2030 menit, pemeriksaaaan tersebut di ulang dan hasilnya dicatat. Tes dinyatakan positif bila denyut adi bertambah cepa, suhu badan menurun, pupil midriasis, berkeringat, lakrimasi, rinore tekanan darah naik piloereksi di dada, dan menguap berulangulang. Tes Nembutol Nembutol (penobarbiturat) adalah barbiturate jangka kerja pendek. Tes ini dimaksud untuk mengetahui derajt toleransi pasien terhadap sedative-hinotik atau alcohol.
BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Dari skenario di modul I blok XVII ini dan setelah menjalani proses diskusi,
kami
dapat
menyimpulkan
bahwa
orang
tersebut
mengalami
ketergantungan Putaw atau ganja. Karena timbulnya gejala – gejala pada skenorio merupakan ciri khas dari ketergantungan putaw. Gejala – gejala yang timbul
8
sendiri timbul akibat dari putusnya penggunaan obat-obatan yang sering dia gunakan. Hal ini akan menyebabkan kondisi pengguna menjadi kondisi sakaw. Kondisi tersebut harus ditangani secara tepat dan akurat karena apabila tidak ditangani bias mengakibatkan pengguna tersebut akan mencari lagi NAPZA atau berujung kematian. Dalam penanganannya sendiri, banyak pihak yang terkait antara lain individu, keluarga, teman sebaya, dan masyarakat.
3.2 Saran Dengan memahami LO yang didapat, penulis menyarankan pembaca dapat termotivasi untuk mendalami materi yang kami ulas, sehingga nantinya saat diklinik atau rotasi klinik para mahasiswa dapat menerapkannya. Mengingat masih banyaknya kekurangan dari kelompok kami, baik dari segi diskusi kelompok, penulisan tugas tertulis dan sebagainya, untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran dari dosen dan rekan-rekan angkatan 2007.
DAFTAR PUSTAKA H. Sarjono, Santoso dan Hadi R D.2007.Farmakologi dan Terapi, Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Indonesia : Jakarta
9
Hawari, Dadang.2000.Penyalahgunaan & Ketergantungan NAZA.FKUI.Jakarta.
9