LAPORAN MASTER PLAN PENGELOLAAN SAMPAH UNTUK
KOTA BANDA ACEH PASCA TSUNAMI REPUBLIK INDONESIA JUNI 2007
Disusun Oleh: Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) – Kota Banda Aceh Tim Ahli Pengelolaan Sampah dari Kota Rotterdam dan Apeldoorn - Belanda Difasilitasi Oleh: Asosiasi Kota-Kota di Belanda – VNG-International Den Haag, Belanda
Daftar Isi
Bab I: Pengantar 1.1- Keberadaan Master Plan dari Aspek Hukum 1.2- Tujuan umum dari Master Plan 1.3- Cakupan Periode Perencanaan 1.4- Penyusun dan Kontributor dalam Penyusunan Master Plan 1.5- Organisasi dan Badan yang Dirujuk 1.6- Pengesahan Master Plan oleh Pemerintah Kota dan Provinsi 1.7- Tinjauan Kedepan terhadap Master Plan
Bab II: Ringkasan Eksekutif 2.1- Kebijakan-kebijakan utama dan tujuan kebijakan 2.2- Strategi dalam Pengelolaan Sampah 3.3- Langkah-Langkah Prioritas yang Diusulkan 2.4- Prasyarat dan Langkah-Langkah Implementasi
Bab III: Pendahuluan 3.1- Latar Belakang dan Tujuan disusunnya Master Plan 3.2- Kerangka Kerja Legislatif dan Penetapan Kebijakan 3.3- Kaitan dengan Perencanaan Pemerintah lainnya 3.4- Aktivitas yang Dilakukan untuk Menyiapkan Master Plan
Bab IV: KONTEKS 4.1- Data Geografis, Demografis dan Sosial Ekonomi yang Relevan dan Perkembangannya 4.2- Administrasi Pemerintahan di Provinsi dan Kota 4.3- Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Banda Aceh 4.4- Rencana Pembangunan Kota Banda Aceh 4.5- Infrastruktur Fisik dan Penggunaan Lahan 4.6- Aspek Lingkungan Kota Banda Aceh
Bab V: Gambaran Situasi Pengelolaan Sampah Saat ini 5.1- Produksi Sampah Berdasarkan Jenis 5.2- Gambaran Mata Rantai Produksi Sampah 5.3- Sarana Pengelolaan Sampah 5.4- Aktor Pemerintah dan Swasta dalam Operasional Pengelolaan Sampah 5.5- Aspek Komunikatif dan Sosial 5.6- Pelayanan yang Diberikan 5.7- Pembiayaan dan Penutupan Biaya 5.8- Kesadaran Masyarakat dan Penegakan Hukum terhadap Qanun Kebersihan
2
Bab VI: Diagnosa terhadap Kekurangan dan Pilihan-pilihan untuk Perbaikan 6.1- Evaluasi kelemahan dan kekuatan untuk setiap aspek 6.2- Pertumbuhan laju produksi sampah dimasa depan 6.3- Pilihan-pilihan untuk melakukan perbaikan 6.4- Pilihan yang dipilih dan prasyarat yang diperlukan 6.5- Konsekuensi Bab VII: Tujuan, Strategi dan Penerapan Pengelolaan Persampahan 7.1- Artikulasi terhadap tujuan pengelolaan sampah 7.2- Pertimbangan design untuk Master Plan persampahan 7.3- Kelayakan dari Master Plan persampahan 7.4- Jalur Penerapan 7.5- Konsekuensi bagi pemerintah Kota Banda Aceh Bab VIII: Tindak Lanjut 8.1- Penerimaan secara politis dan sosial terhadap rekomendasi dalam Master Plan 8.2- Pengembangan kemitraan 8.3- Pendanaan awal dari komponen proyek 8.4- Gugus tugas pelaksana dan eksekusi Lampiran
3
Daftar Lampiran
1. Nota Kesepahaman (MoU) (1.1 – 1.2) 2. Komite pengarah untuk Kota Banda Aceh (2.1 – 2.3) 3. Pihak terkait yang menjadi rujukan selama proses penyusunan Master Plan (3.1 – 3.3) 4. Peraturan/undang-undang tentang sampah dan sampah beracun 5. Peta Kota Banda Aceh (5.1 – 5.4) 6. Struktur organisasi pemerintahan di tingkat provinsi 7. Struktur organisasi pemerintahan di Kota Banda Aceh (7.1 – 7.2) 8. Struktur organisasi DKP; manajemen dan personel/staf (8.1 – 8.2) 9. Struktur organisasi DKP ( 1.1 – 9.8) 10. Daftar armada dan peralatan DKP (10.1 – 10.3) 11. Alokasi armada dan peralatan per aktivitas dan zone 12. Elemen dari peraturan/undang-undang pengelolaan sampah (5 halaman) 13. Penyapuan jalan per kecamatan (contoh untuk Kecamatan Kuta Alam dan Baiturrahman, 13.1 – 13.2) 14. Pengumpulan sampah per kecamatan (contoh untuk Kecamatan Kuta Alam dan Baiturrahman, 14.1 – 14.2) 15. Perbandingan untuk berbagai sistem pengumpulan sampah ( 6 halaman) 16. Peta TPA Gampong Jawa (16.1 – 16.2) 17. Survey pengumpulan sampah per kecamatan (17.1 – 17.4) 18. Data Penduduk Kota Banda Aceh menurut DKP (18.1 – 18.3) 19. Anggaran DKP tahun 2007 20. Petunjuk untuk sistem anggaran yang berbasiskan output (3 halaman; 20.1 – 20.2) 21. Proposal investasi dengan dana sharing dari VNG-Internasional, Belanda (21.1 - 21.2, 3 pages)
4
I.
PENGANTAR
1.1 Posisi Master Plan Penyusunan Master Plan persampahan ini adalah atas permintaan dari Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kota Banda Aceh, selaku Dinas yang bertanggung jawab dalam pengelolaan sampah di Kota Banda Aceh. Permintaan tersebut dibicarakan pada rapat gabungan EUROCITIES dan Pro ACT di Lyon-Perancis, 21-22 November 2005, antara Walikota Banda Aceh, Mawardy Nurdin, dan Walikota Rotterdam, Mr. I. Opstelten, dan pejabat dari kedua kota tersebut, dimana pertemuan tersebut difasilitasi oleh sekretariat CITYNET. Hal ini berarti bahwa kebutuhan atas Master Plan persampahan dapat dianggap sebagai kebutuhan eksekutif politik dan pemerintah Kota Banda Aceh sendiri. Proposal penyusunan Master Plan tersebut telah disusun secara bersama-sama oleh wakil dari ROTEB, dinas yang mengurusi bidang kebersihan umum, pengelolaan sampah, dan penciptaan lapangan kerja di Kota Rotterdam, wakil dari Kota Apeldoorn, yang telah menjalin kerjasama kota kembar (sister city) dengan Kota Banda Aceh pada bulan Desember 2005 dan wakil dari Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kota Banda Aceh (lihat lampiran. 1). Draft awal proposal sendiri diajukan oleh DKP pada tanggal 27 Maret 2006 merupakan dasar yang penting bagi dimulainya proyek tersebut. Asosiasi kota-kota di Belanda (yaitu VNG-International) memfasilitasi pengembangan lebih lanjut proposal penyusunan Master Plan ini. Tiga orang pegawai dari DKP Kota Banda Aceh diundang ke Belanda tanggal 2 – 11 April 2006 untuk diperkenalkan dengan sistem pengelolaan sampah yang ada disana melalui suatu konferensi internasional di Den Haag dan dilanjutkan dengan kunjungan singkat ke Rotterdam dan Apeldoorn dalam kaitannya dengan program LOGO SOUTH (program yang mempromosikan terciptanya tata pemerintahan daerah yang baik dan kerjasama antar kota di Negara-negara berkembang). Disampin itu, VNG-International juga bersedia untuk membantu sebagian dana untuk implementasi Master Plan persampahan ini. Master Plan persampahan ini telah disusun secara interaktif oleh pakar-pakar dari Indonesia dan Belanda. Selama penyusunannya, konsultasi dengan stakeholder setempat merupakan kegiatan kunci yang merupakan perwakilan dari institusi internasional, nasional, provinsi dan kota serta organisasi yang selama ini terkait dengan pengelolaan sampah pasca Tsunami di Banda Aceh. Suatu pertemuan konsultatif awal dengan stakeholders telah dilaksanakan tanggal 7 September 2006 untuk mendapatkan masukan tentang garis besar dan persiapan dari penyusunan Master Plan persampahan, dan untuk menyoroti beberapa dilema terkait. Sejumlah wakil dari dinas dan instansi terkait di Kota Banda Aceh, Kepala Dinas, wakil dari LSM dan sejumlah NGO yang dikoordinir oleh BRR turut berpatisipasi dalam sesi tersebut. Komentar yang disampaikan dalam pertemuan tersebut telah dijadikan masukan dalam penyusunan draft Master Plan persampahan.
5
Draft Master Plan ini akan dipresentasikan ke masyarakat luas untuk didiskusikan dan dinilai Sejauh dianggap sesuai, komentar, termasuk tanggapan dari tim proyek kerjasama ini akan disatukan di versi akhir dari Master Plan ini, baik itu sebagai perubahan dari teks maupun sebagai suatu addendum. Hal ini dimaksudkan agar selanjutnya hal-hal yang penting dari versi akhir Master Plan ini dapat didiskusikan di komisi C DPRD Kota Banda Aceh bila dianggap perlu dapat didiskusikan di rapat komisi C sendiri agar diperoleh tanggapan politik dan diharapkan dapat disetujui ada komitment untuk mengimplementasikannya.
1.2 Tujuan Umum dari Master Plan Pemerintah Kota Banda Aceh menyadari bahwa meskipun banyak sekali dukungan dalam rangka rehabilitasi dan rekonstruksi dari berbagai institusi dan organisasi, dan perhatian khusus yang diberikan akibat penurunan kondisi kebersihan dan kendala dibidang persampahan, kualitas kehidupan masyarakat Kota Banda Aceh dimasa depan dapat ditingkatkan dengan adanya Master Plan persampahan yang comprehensive sebagai dokumen perencanaan dan suatu rangkaian objektif, target dan ukuran kemajuan bidang terkait dan dibagi dalam aktivitas-aktivitas jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Adapun tujuan utama dari Master Plan mungkin dapat dilihat dari terciptanya sistem pengelolaan sampah yang sesuai dengan keinginan seluruh lapisan masyarakat, termasuk kelompok masyarakat kurang mampu. Sasaran yang ingin dicapai dapat dirumuskan dalam kalimat berikut: untuk mempromosikan kesehatan dan kesejahteraan seluruh warga kota, untuk melindungi kualitas yang keberlanjutan dari lingkungan kota, untuk mempercepat efisiensi dan produktivitas ekonomi di perkotaan, dan untuk menciptakan lapangan kerja dan pendapatan Master Plan terkait erat dengan sejumlah issu dan tujuan strategis terutama issu politik, sosial, lingkungan, kelembagaan, organisasi, operasional, teknis, keuangan, ekonomi dan prilaku alamiah. Rencana, termasuk rekomendasi konkritnya dapat dievaluasi berdasarkan kriteria berikut : 1. Persamaan: semua warganegara berhak memperoleh manfaat dari sistem pengelolaan lingkungan perkotaan yang memadai, 2. Efektivitas: ukuran yang terkait dengan sampah dan sanitasi harus mengacu kepada pengelolaan sampah kota yang aman termasuk pemanfaatan potensi ekonomi dari bahanbahan yang dapat digunakan kembali dan didaur ulang. 3. Efisiensi: suatu sistem pengelolaan sampah yang baik harus dirancang untuk memaksimalkan manfaat, memperkecil biaya-biaya dan mengoptimalkan penggunaan sumber daya, berdasar pada prinsip hirarki dalam pengelolaan sampah (dimulai dari
6
mencegah timbulnya sampah, mengurangi sampah, pemanfaatan bahan daur ulang, pemanfaatan energi dan terakhir adalah pembuangan ke TPA). 4. Keberlanjutan: sistem pengelolaan sampah harus memadukan fungsi-fungsi peraturan, teknologi yang: 1) layak untuk dilaksanakan, 2) mampu dilaksanakan, 3) sesuai dengan kondisi setempat yang terkait dengan permasalahan dan tujuan yang disebutkan diatas dan 4) memiliki kepercayaan diri mampu dilaksanakan sendiri secara terus menerus. 5. Kewajaran: semua intervensi dari stakeholders harus diketahui kontribusi dan klaim mereka tanpa memperdulikan status sosial atau ekonomi, dan karakteristik pribadi. ( Referensi: WASTE - advisory bureau in SWM in Gouda, the Netherlands, 2006).
1.3 Cakupan Periode Perencanaan
Master Plan mencakup suatu Visi dan Strategi jangka panjang dimana kedua-duanya mempunyai jangka waktu perencanaan sekitar 15 tahun. Jangka menengah merupakan penerapan tujuan dan permasalahan yang relefan untuk masa 510 tahun kedepan. Perencanaan jangka pendek mencakup rencana aksi, yang terkait dengan sasaran konkrit untuk 5 tahun kedepan. Suatu rencana aksi yang dapat segera dilakukan berfokus pada perubahan yang harus dilakukan dalam 2 tahun kedepan yang merupakan bagian dari rencana aksi. Ditahap ini investasi dan perubahan organisasi hanya sedikit diperlukan yang masih bisa bisa diatasi dengan anggaran rutin. Jangka waktu yang lebih pendek perlu ditetapkan bila investasi dilakukan dalam waktu yang lebih singkat dan tidak memerlukan investasi yang besar. Item investasi yang paling utama adalah pengangkutan sampah, pengelolaan dan fasilitas pembuangan dimana biasanya lifetime-nya lebih lama dan membutuhkan masa untuk mempersiapkannya yang lebih lama.
1.4 Penyusun dan Kontributor dalam Penyusunan Master Plan Master Plan telah disusun berdasarkan teknik penyusunan Master Plan yang sudah ada (sebagai contoh dapat mengacu pada “Planning Guide for Strategic SWM in Major Cities in Low-income Countries” yang dikeluarkan oleh Bank Dunia tahun 1998; dokumen perencanaan yang dikeluarkan oleh SKAT – Swiss) Untuk penyusunan Master Plan ini dibentuklah komite pengarah local dan Kelompok Kerja yang SK-nya dikeluarkan oleh Walikota Banda Aceh, untuk memastikan adanya kerjasama dan koordinasi dengan dinas-dinas yang ada di Kota Banda Aceh (lihat lampiran. 2). Aktivitas sehari-hari dan tuga pengumpulan data dilakukan oleh tim inti Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Banda Aceh yang dipimpin langsung oleh Kepala Dinas, T. Saifuddin.
7
TA dan masukan dari tim Belanda diberikan oleh para ahli dari berbagai bidang dari ROTEB Rotterdam dan dari kota Apeldoorn. Tim Belanda terdiri atas: Mr. Ton van der Leck Mr. Marc Veenhuizen Mr. Ernst Jan Peters Mr. Rudolf Ponjée Mr. Frits Fransen
: Manajer Operasional Pengelolaan Sampah (Kota Rotterdam) : Penasehat senior kebijakan pengelolaan sampah (Kota Apeldoorn) : Penasehat senior bidang komunikasi (Kota Apeldoorn) : Pengawas senior bidang keuangan (Kota Apeldoorn) : Konsultan Internasional bidang pengelolaan sampah (Kota Rotterdam)
Mrs. Aleid Pans: Koordinator LOGO SOUTH (VNG-International)
Dari pihak DKP- diwakili oleh: Mr. Teuku Saifuddin. TA Mr. Mirzayanto Mr. Saiful Azhar Mr. Faisal Jafar Mr. Uswansyah
: Kepala Dinas : Penasehat Manajemen : Kepala Tata Usaha : Kasubdis Program : Kasubdis Operasional
dan sejumlah manajer operasional dan administrasi di DKP. Banyak sekali pakar yang ada di pemerintahan kota Banda Aceh, dan wakil dari Badan PBB dan lembaga donor, NGO yang memberikan kontribusi selama dilakukannya observasi yang memberikan pemahaman tentang kondisi kemasyarakatan di Kota Banda Aceh serta pemahaman tentang sistem sosial dan politik yang ada di Banda Aceh.
1.5 Organisasi dan Badan yang Dirujuk
Dapat dibedakan atas: 1. Wakil dari Dinas yang ada di Pemerintah Kota Banda Aceh dan di Provinsi NAD, yang diwakili oleh Kepala Dinas atau staff yang secara tidak langsung ada kaitannya dengan perkembangan pengelolaan persampahan. 2. Wakil dari Pemerintah Kota, Kecamatan, Desa/Kelurahan, Lingkungan yang terkait langsung sebagai penerima pelayanan yang diberikan oleh pemerintah kota dan DKP Kota Banda Aceh. 3. Wakil dari LSM lokal yang terlibat dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat, peduli terhadap lingkungan, mendukung dan menggerakkan masyarakat setempat. 4. Wakil dari perangkat rehabilitasi dan rekonstruksi, organisasi internasional yang memberikan bantuan teknis dan masyarakat donor.
8
5. Pihak-pihak yang terlibat langsung dalam komponen aspek operasional dan peningkatan pengelolaan persampahan. Daftar tentang pihak yang diajak berdiskusi ditampilkan dalam lampiran. 3.
1.6 Pengesahan Master Plan oleh pemerintah kota dan provinsi Master Plan ini disusun berdasarkan masukan dari berbagai elemen pemerintahan baik ditingkat provinsi maupun kota, pihak non pemerintah yang menerima pelayan, pakar lingkungan dan organisasi kemasyarakatan. Pendapat dari berbagai lapisan masyarakat juga dijadikan rujukan oleh tim penyusun. Demikian juga tentunya dengan pandangan dan pengalaman staf DKP yang merupakan masukan utama. Seperti dijelaskan pada sub bab 1.1, outcome, hasil pengamatan, kesimpulan dan rekomendasi akan disampaikan sebagai bahan diskusi di komisi C DPRD Kota Banda Aceh dan bila mungking bisa dibahas di tingkat dewan. Sebagai tambahan, barangkali akan bermanfaat dan barangkali perlu bagi pemerintah provinsi menerima dokumen ini sebagai panduan dasar dalam pengembangan pengelolaan persampahan dimasa datang. Bagaiman format dukungan ditingkat provinsi ini sampai saat ini masih belum disusun. Dirasakan bahwa legitimasi dari Master Plan ini, seperti dikemukakan oleh DPRD Kota Banda Aceh merupakan prasyarat mutlat untuk implementasinya dimasa depan.
1.7 Tinjauan Kedepan terhadap Master Plan Perencanaan strategis pengelolaan sampah merupakan proses berkelanjutan dan dibutuhkan suatu up-date secara berkala. Tinjauan ulang secara teratur harus dilakukan terhadap implementasi dari Rencana aksi untuk memastikan bahwa target untuk meningkatkan tingkat pelayanan, kondisi keuangan, dsb tercapai. Master Plan harus fleksibel dan barangkali dibutuhkan perubahan pada rencana jangka menengah mengikuti perubahan situasi dan kondisi, seperti perubahan aliran sampah (akibat meningkatnya kemakmuran, kemajuan dibidang ekonomi/perdagangan, perubahan batas wilayah), berkembangnya teknologi baru dalam pengolahan dan pembuangan sampah, atau akibat perubahan kelembagaan. Suatu program yang secara teratur memberikan umpan balik sangat membantu dalam meningkatkan pengetahuan dan pemahaman pemerintah kota terhadap sistem pengelolaan sampah melalui suatu proses review berulang, diagnosa permasalahan, dan menyusun aksi perbaikan. Adalah hal yang perlu untuk mempertimbangkan kapan dan bagaimana implementasi dari Master Plan persampahan ini direview. Seharusnya dilakukan secara berkala biasanya dua tahun sekali. Sistem manajemen informasi dan beberapa standar unjuk kerja dapat dijadikan sebagai panduan tentang kapan dan bagaimana Master Plan harus diupdate. Bila ditemukan bahwa diperlukan perubahan yang significant, maka harus dilakukan perencanaan ulang secara keseluruhan.
9
Dalam kontek diatas, disarankan untuk meng-update Master Plan secara rutin setiap jangka waktu lima tahun sesuai dengan masa jabatan legislatif dan eksekutif. Dan juga pendekatanpendekatan baru yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan/atau pemerintah provinsi menyebabkan revisi terhadap rencana yang harus dilakukan.
10
II
RINGKASAN EKSEKUTIF
2.1 Kebijakan Utama dan Sasaran Kebijakan Setelah gempa bumi dan Tsunami pada tanggal 26 Desember 2004, pemerintah daerah Kota Banda Aceh menghadapi permasalahan yang luar biasa karena harus membersihkan sebagian besar wilayahnya dan memindahkan puing-puing dan sampah-sampah lainnya di sepanjang garis pantai dan diberbagai tempat di kota. Sejak tahun 2005-2006 sejumlah besar material tersebut yang tersisa di berbagai tempat setelah surutnya gelombang banjir dan hilangnya sebagian daratan yang terkena banjir, telah diangkut dan ditimbun di sekitar TPA Gampong Jawa, dan di daerah lain yang sesuai dan telah dilakukan sejumlah usaha untuk sedapat mungking menggunakan kembali dan mendaur ulang sebagian sampah tersebut. Disamping itu, telah dilakukan juga kegiatan pembersihan dan pengumpulan sampah dan pembuangan sampah di kawasan perumahan yang sangat membutuhkan pelyanan tersebut demikian juga dengan penampungan sementara dan barak yang merupakan tempat perlindungan sementara untuk orang-orang yang belum memiliki tempat tinggal. Dinas Kebersihan dan Pertamanan ( DKP), yang sangat terlibat dalam proses bantuan darurat dan rehabilitasi ini, juga sebenarnya terkena dampak yang serius terhadap personilya dan kerugian material, dan terus menggalang bantuan dari pihak dalam negeri maupun dunia international untuk memperkuat kemampuan pelayanan. Berbagai macam kegiatan penanganan dan pengangkutan sampah telah ditangani dengan tim kerja yang ada untuk membersihkan daerah-daerah dari puing-puing reruntuhan, sampah, dan tumpukan material. Selama masa awal recovery kebutuhan akan pendekatan manajemen sampah yang berorientasi-masa depan dirasa semakin dibutuhkan, dan dukungan diperoleh dari jaringan organisasi pemerintah daerah di tingkat internasional. Pemerintah Kota Rotterdam, dan Kota Apeldoorn dari Belanda menyiapkan bantuan untuk membantu rekan kerja mereka di Banda Aceh untuk menjalankan rencana tersebut. Sejak awal tahun 2006 kerjasama telah benar-benar dimulai dan dilakukan kunjungan kerja baik oleh tim Banda Aceh maupun oleh tim kedua kota besar Belanda, untuk menyelidiki, mendiskusikan dan mengevaluasi situasi masing-masing dan untuk memperkuat proses kerjasama tersebut. Proses ini kini sedang berada dalam suatu tahapan lebih lanjut, dan rancangan Master Plan pengelolaan Sampah untuk Kota Banda Aceh sedang dikembangkan. Di dalam Master Plan ini dikembangkan konsep pengelolalaan sampah yang terintegrasi dan berkesinambungan. Pendekatan yang dilakukan dengan berasumsi bahwa semua aspek dari sistem manajemen pengelolaan sampah harus dianalisa bersama karena semua aspek tersebut saling berhubungan dan pengembangan salah satu aspek atau komponen akan mempengaruhi bagian lain dari sistem. Kebijakan pengelolaan sampah, terdiri atas sejumlah sasaran hasil kebijakan yang spesifik, sasaran dan target diberbagai bidang, antara lain..:
kesehatan masyarakat
11
perlindungan lingkungan
pembangunan ekonomi, dan
lapangan kerja di sektor pengelolaan sampah.
Poin-poin dari pandangan tersebut telah dipelajari dalam kaitan dengan:
pengurangan dampak dari sampah terhadap kesehatan masyarakat dengan memusatkan perhatian pada perilaku dan sikap, dan dengan meningkatkan dan memperluas pelayanan dasar pembersihan saluran dan jalan serta pengumpulan sampah,
pengurangan dampak dari sampah terhadap kondisi kota/lingkungan dengan berfokus pada pendidikan yang terkaitan dengan lingkungan, dan dengan mengembangkan konsep manajemen "rantai" sampah, termasuk manajemen pengelolaan sampah, reuse, daur ulang, dan standard yang sesuai untuk penyimpanan dan pembuanga akhir sampah,
peningkatan secara progresif untuk pelayanan yang ditawarkan ke semua penghasil sampah dan dunia usaha di Banda Aceh, yang didasarkan pada standard yang jelas dan berbasis pada pertimbangan keuangan yang baik,
pengembangan secara bertahap sektor swasta formal dan informal yang terlibat dalam kegiatan pengelolaan sampahan, diarahkan untuk mengurangi jumlah sampah dan untuk menciptakan lapangan kerja baru.
Di dalam kerangka hukum dan kelembagaan di Indonesia, pengelolaan sampah merupakan tanggung jawab pemerintah daerah, yang mana oleh karena itu ditugaskan untuk mengembangkan dan menerapkan kebijakannya sendiri, dengan kerjasama yang baik dengan masyarakat luas dan instansi terkait dan yang disetujui oleh pihak dewan. Proses pengaplikasian kebijakan dan sasaran nya kemudian berada di tangan pengambil keputusan politik bersama-sama dengan organisasi pemerintah daerah, dimana DKP adalah instrumen eksekutif. Master plan sangat terkait penciptaan suatu kondisi yang memungkinkan bagi DKP sehingga mampu memenuhi kebutuhan dan keinginan masyarakat.
2.2 Strategi dalam Pengelolaan Sampah Strategi diarahkan untuk mengembangkan manajemen persampahan kota di sebagai bagian dari kebijakan pengembangan kota secara keseluruhan dengan memperhatikan semua aspek strategis ( politik, kelembagaan, sosial, keuangan, ekonomi dan aspek teknis). Ke tiga ukuran-pokok yang merupakan inti dari Manajemen pengelolaan sampah adalah:
APA yang merupakan ruang lingkup dari aktivitas pengelolaan sampah yang akan dilakukan? (produksi sampah, penanganan sampah, perencanaan dan manajemen, dll.) 12
SIAPA kah para aktor dan stakeholders yang akan melaksanakan berbagai aktivitas? (publik dan para sektor swasta, pemakai jasa, sektor informal, NGO's, dll.)
BAGAIMANAkah sasaran dan isu harus dituju? (per aspek strategis; uraian garis besar)
Perencanaan strategis pengelolaan sampah tidaklah semata-mata merupakan isu teknis, tetapi lebih terkait dengan organisasi dan manajemen hubungan antara semua aktor kunci dan stakeholders. Kata kunci adalah KONSULTASI STAKEHOLDER dan MEMBANGUN KERJASAMA. Di dalam konteks ini perlu sekali adanya peningkatan kapasitas komunikasi dan dialog secara bertahap dari manajemen puncak dan menengah DKP. Penerima Jasa/Layanan perlu menyetujui : Mengikuti peraturan tersebut Menyesuaikan kebiasaan dan perilaku
Penyedia Layanan perlu menyetujui untuk: Menjelaskan sistem tersebut Menyediakan pelayanan yang konsisten dan efektif Membayar ongkos pelayanan Menetapkan tariff atas pelayanan untuk pelayanan tersebut Berpartisipasi dalam pembuatan Mendengarkan penerima jasa/pelayanan keputusan Berkomunikasi dengan tetangga/pihak Berkomunikasi secara jelas berwenang Melaporkan permasalahan Memiliki akuntabilitas (Program Pelatihan LOGO SOUTH, oleh VNG-International di Belanda, Juni 2007)
Bagaimanapun, dialog dan komunikasi sebaiknya tidak hanya terbatas pada tingkatan yang memberikan pelayanan. Disamping itu, disarankan juga untuk meningkatkan hubungan antara manajemen puncak DKP dengan balai kota dan dewan, manajemen senior dan menengah DKP dengan kolega dari dinas/instansi lain yang terkait (biasanya berorientasi topdown), dan para kolega dan wakil dari kecamatan dan desa. Juga, ada sejumlah stakeholder lain di pemerintahan dan non pemerintahan dimana posisi, kekuasaan, kepentingan, keberadaannya penting dan terkait dengan DKP. DKP adalah salah satu dinas di lingkungan pemerintah kota yang kegiatan operasionalnya sangat nyata dan aktivitas yang dilakukan sehari-hari sangat kelihatan. Setiap warga kota Banda Aceh mempunyai pendapat sendiri sendiri tentang DKP, dan sebagai konsekwensinya, DKP harus selalu aktif menjalin hubungan kemitraan dengan pihak terkait di lapangan. Disamping mengembangkan dialog yang profesional tersebut, DKP perlu meningkatkan kegiatan hubungan dengan masyarakat, pendidikan terhadap masyarakat serta upaya peningkatan kesadaran lingkungan. Disarankan untuk menyediakan suatu pusat pelayanan yang yang akan mengembangkan dan mempromosikan aktifitas dan interaksi dengan kelompok target yang spesifik (para guru, perawat, wanita-wanita, anak-anak, organisasi yang berbasiskan masyarakat, dll.).
13
Terkait dengan keberadaan DKP, perlu diperhatikan bahwa ada keterbatasan dalam jumlah manajemen senior dan staf sehingga mengakibatkan terbatasnya kapasitas, kemampuan dan pengalaman yang ada untuk melakukan penelitian dan pengembangan, persiapan proyek, pelaksanaan dan evaluasi, atau singkatnya terkendala dalam pengembangan dinas. Kebanyakan staf larut dalam rutinitas sehari-hari. Konsekuensinya, disarankan untuk disediakan sebuah biro pegawai yang terdiri dari para sarjana yang mampu mengikuti laju pengembangan DKP kedepan dan menyiapkan jalan untuk terlaksananya berbagai saran yang tercantum dalam Master Plan (berbagai macam disiplin ilmu: administrasi bisnis, administrasi masyarakat, teknik lingkungan, dll) Dalam operasional pelayanannya DKP, harus lebih berorientasi kepada 9 kecamatan, daripada kepada pembagian zona yang berdasarkan garis batas infrastruktur. Disarankan untuk merestrukturiasasi 5 zona dan mengambil 9 kecamatan yang ada sebagai tanda batas geografis dari Kota Banda Aceh. Keuntungannya banyak: jalur komunikasi yang jelas antara manajemen DKP, pihak kecamatan dan kelompok desa, mudah menyesuaikan dengan program-program di kecamatan-kecamatan, memudahkan penggunaan data base dari pemerintah daerah dan kecamatan itu sendiri. Bahkan akan memudahkan dalam membuat jadwal pelayanan dengan bekerjasama dengan wakil dari masyarakat. Ambisi yang penting dari Master Plan adalah pengembangan pemikiran baru utuk penyapuan jalan dan pengumpulan sampah. Sebenarnya, penyapuan jalan dikonsentrasikan sepanjang jalan utama, sementara tempattempat dan lokasi yang terkait dengan sosial, keagamaan, pendidikan, perdagangan atau rekreasi masih jarang dilakukan. Disarankan agar untuk meninjau ulang praktek selama ini, meredistribusi input yang tersedia, memperpanjang input yang ada, dan memperbaiki metode penyapuan jalan utuk meningkatkan efektivitasnya. Pengumpulan sampah dikonsentrasikan di daerah sibuk dengan beragam fungsi; cukup banyak daerah permukiman yang tidak terlayani, dan ini juga berlaku pada daerah pinggiran di Kota Banda Aceh. Dalam hal ini juga disarankan agar memperhatikan kembali pelayanan yang diberikan selama ini, meredistribusi input yang tersedia, meyampaikan input yang ada dan melaksanakannya, dimana kemungkinan, sistem pelayanan door-to-door dapat terlaksana. Pengumpulan sampah dengan kontainer seharusnya hanya dilakukan pada situasi dimana terjadi konsentrasi produksi sampah (seperti pasar pagi), dan sebagai pelengkap di daerah dimana kendaraan pengangkut sampah tidak bisa beroperasi. Disini, pendekatan khusus harus dikembangkan dengan berdialog dengan masyarakat setempat. Terkait dengan re-use dan daur ulang, disarankan untuk terus mengembangkan praktek yang telah ada dalam sektor informal dengan memfasilitasi dan memdukung langkah-langkah yang ditempuh sektor swasta. Disarankan untuk tidak langsung melangkah kearah tersebut dan menjadi pasar, tetapi menggabungkan kepentingan pihak swasta dan masyarakat, menjelaskan kondisi sebelumnya, dan mengatasi kendala pemasaran (jika memungkinkan). Pembuangan Akhir Sampah diasumsikan terus dilanjutkan di areal perluasan TPA Gampong Jawa, dan sesudah itu akan dipindahkan ke TPA baru yang telah direncanakan di Kabupaten Aceh Besar. Rencana ini sudah sampai pada tahap pengembangan, dan diasumsikan akan terwujud, sehingga sampah dalam jumlah besar harus diangkut ke tempat baru yang berjarak 24 kilometer dari pusat kota Banda Aceh. Disarankan untuk memasukkan 2 transfer station yang berada pada dua sisi Sungai Krueng Aceh - pada perencanaan ini agar
14
memungkinkan dilakukan pengangkutan sampah dalam jumlah besar dengan kendaraan yang sesuai keTPA. Pelaksanaan dari master Plan akan memerlukan tambahan biaya. Dalam hal ini investasi bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat dan tidak ada pengembalian modal secara langsung. Meskipun biaya operasional DKP relatif sedikit dibandingkan dengan anggaran kota (hanya 2,7% di tahun 2007), disarankan untuk mengaktifkan prinsip ”pengotor harus membayar atas sampah yang dihasilkannya”, dan mengambil biaya pelayanan bagi penghasil sampah sejalan dengan peningkatan dan perluasan pelayanan. Biaya pelayanan seharusnya, secara prinsip, diterapkan kepada semua penghasil sampah baik sektor komersial maupun institusi sebagaimana halnya yang dikenakan pada kebanyakan rumah tangga. Keberhasilan pendekatan ini akan diketahui dengan sendirinya dan pernyataan politik harus dikemukakan secara hati-hati dalam konteks pendekatan peningkatan pelayanan secara keseluruhan. Terkait dengan investasi modal, diharapkan agar Pemerintah Indonesia dan masyarakat donor dapat mempersiapkan untuk membantu investasi dalam rangka peningkatan prasarana pengelolaan sampah. Hasilnya, penambahan biaya operasional bagaimanapun juga akan menjadi beban bagi Pemeirntah Kota Banda Aceh dan masyrakatnya.
2.3 Tindakan Prioritas yang diusulkan Dalam rangka menciptakan kondisi bagi DKP untuk dapat mengikuti saran jalannya pengembangan, merefleksikan esensi dari Master Plan, serangkaian langkah dan inisiatif harus ditempuh oleh berbagai lembaga pemerintah dan pemerintahan Kota disekitar DKP dan oleh DKP sendiri (menciptakan lingkungan yang memungkinkan). Pada saat yang sama, pemerintah kota bersama dengan DKP harus membuat komunikasi dan berdialog dengan masyarakat luas dan kelompok-kelompok sasaran khusus untuk memastikan adanya pengertian dan kerjasama dari masyarakat dan pihak terkait. Dalam hal perluasan dan peningkatan pelayanan DKP, keberadaan kecamatan (dan desa) dianggap sangat penting dan DKP disarankan untuk melakukan perubahan secara struktural dalam membangun hubungan kerja yang efektif dengan wakil dari kecamatan dan desa (diskusi/pengajuan jadwal pelayanan, melibatkan organisasi berbasis masyarakat, kerjasama gabungan program komunikasi dan perkembangan baru, dll). Penyesuaian dan perluasan jadwal pengumpulan sampah dan penyapuan jalan yang tepat dan terjamin akan memberikan dampak pada peningkatan tingkat kebersihan di tempat-tempat umum, di pusat kota, di sepanjang jalan utama dan jalan arteri, jalan lingkungan dan di daerah permukiman. Operasional pelayanan harus sejalan dengan program-program komunikasi dan kampanye yang terorganisir dengan baik, dan perkembangan yang sesuai dari pendekatan penegakan hukum yang terkait dengan aturan dasar. Selanjutnya perlu dikembangkan hubungan kerja yang efektif dengan sejumlah dinas di lingkungan Pemerintah Kota yang memiliki hubungan yang penting dengan DKP. Perlu dilakukan perbaikan dalam hal koordinasi dan hubungan antar dinas di lingkungan Pemerintah Kota.
15
Dalam hal sumber daya, dua hal yang penting adalah; keuangan dan pemenuhan biaya yang terkait dengan operasional DKP, dan kebijakan personel dan penerapannya. Pembiayaan harus secara terstruktur memasukkan kebutuhan untuk modal investasi, (untuk kegiatan baru, penggantian kendaraan yang ada, peralatan dan fasilitas). Pemenuhan biaya (cost recovery) adalah langkah yang bertahap dalam memperkuat keuangan DKP dengan melaksanakan prinsip ”pengotor harus membayar atas sampah yang dihasilkannya”, memperkenalkan kembali biaya pelayanan untuk berbagai macam pelayanan, pembebanan tagihan kepada dinas lain). Terkait dengan kebijakan personel, perlu ditekankan bahwa DKP sebagai organisasi pelaksana yang memiliki banyak pekerja, harus memposisikan diri layaknya perusahaan swasta. Dicamkan juga tentang adanya sejumlah peraturan pemerintah yang membatasi hal ini. Peraturan-peraturan tersebut terkadang tidak kondusif untuk lingkungan bisnis yang efektif. Manajemen sumber daya manusia (penerimaan, penilaian hasil kerja, pelatihan, pengembangan karir dan remunerasi, dsb) memerlukan pengembangan dan penyesuian sejalan dengan kebutuhan dan tujuan organisasi. Kesimpulannya, berikut ini adalah kegiatan untuk jangka pendek yang disarankan: Untuk penyapuan jalan: 1. kapasitas yang ada saat ini untuk mampu membersihkan tempat-tempat umum sangat terbatas, sehingga hanya jalan-jalan utama yang dapat terlayani. Dengan mengasumsikan bahwa proses penyapuan jalan harus secara terstruktur dikaitkan dengan proses pengumpulan sampah, maka dibutuhkan tambahan kapasitas yang berarti. Untuk meningkatkan dan memperluas sistem pengumpulan sampah, dan secara bertahap mengintensifkan pendekatan kepedulian terhadap lingkungan, maka perlu dilakukan penambahan input dan dukungan untuk kegiatan penyapuan jalan. Diperkirakan dibutuhkan sekitar 6 unit tambahan truk pick up dan sejumlah pekerja untuk memperluas kegiatan ini. 2. Metode kerja yang selama ini dilakukan untuk mengangkat sampah tidak efektif dan sangat manual. Hal ini ini terjadi terutama pada saat pengumpulan sampah yang berserakan di jalan dan lumpur dari selokan. Pendekatan alternatif yang dilakukan di Indonesia dan Asia barangkali patut untuk dicoba di Banda Aceh. Untuk pengumpulan sampah: 1. Secara bertahap memperkenalkan tong sampah standar, 2. Penjadwalan ulang dan pemrograman ulang pelayanan pengumpulan sampah yang ada dalam hal pelayanan pada pagi hari, malam dan hari akhir pekan, dan frekuensi pengumpulan, berbasis pada pengumpulan dari pintu ke pintu dan pengumpulan dengan kontainer tambahan pada tempat yang diperlukan.
16
Kendaraan yang ada adalah 40 unit, termasuk 9 kendaraan dari UNICEF, diharapkan dapat mencukupi untuk memenuhi kebutuhan pelayanan seluruh Banda Aceh dengan pelayanan yang terjamin. Sebagai tambahan, sejumlah kontainer 6 m3 dibutuhkan untuk memperluas pengumpulan sampah dengan cara ini untuk situasi tertentu. 3. Memperkenalkan kembali sistem pemenuhan biaya yang sudah ada dengan menjelaskan biaya operasional pelayanan sampah untuk saat ini (pengumpulan dan pembuangan) dan biaya modal lainnya per rumah tangga dan per kategori bisnis dan institusi, dan secara progresif membebankan pungutan untuk para penghasil sampa ini dengan biaya pelayanan yang mempertimbangkan faktor politik dan sosial. Pembebasan harus dilihat untuk kasus-kasus tertentu. DKP memiliki kewajiban dalam kegiatan ini, walaupun DIPENDA yang memiliki tanggung jawab atas hal ini. Disarankan, secara hati-hati meneliti dengan cermat pro dan kontra dalam hal pengalihan wewenang ini sebelum melakukan perubahan mendasar dan praktis. Ada beberapa keuntungan dengan melakukan proses pemenuhan biaya secara internal (yaitu di DKP), namun demikian sebuah organisasi yang benar-benar baru harus diwujudkan untuk mengoperasionalkan konsep ini. Dimungkinkan bahwa sebuah model kerjasama yang baru dapat dikembangkan dmana DKP menyediakan input dari proses kerja yang telah ada dari DIPENDA. Untuk pembuangan akhir: 1. Rencana saat ini untuk memperluas kapasitas TPA Gampong Jawa untuk 3-5 tahun kedepan sangatlan sesuai. Penerapan dari rencana ini harus dilakukan sesegera mungkin mengingat terbatasnya kapasitas tempat penampungan yang tersisa. Rencana pengadaan jembatan timbang bagi DKP merupakan hal yang perlu, merupakan peralatan mendasar untuk mengefektifkan pengelolaan proses pengumpulan sampah. 2. Rencana saat ini untuk membangun TPA teknis di Aceh Besar merupakan konsekuensi logis dari pengembangan sementara dari TPA Gampong Jawa. Dengan memperhatikan lokasinya maka sangat disarankan untuk memasukkan kapasitas pengangkutan yang memadai di Banda Aceh dalam proyek ini (dua buah transfer station di kedua sisi sungai Krueng Aceh). 3. Rencana untuk pengembangan secara profesional kelompok pemulung di TPA Gampong Jawa sudah disiapkan. DKP disarankan untuk memaikan perannya sebagai fasilitator dan penunjang dalam mengembangkan re-use dan daur ulang di sektor informal. 4. Terkait dengan re-use sampah, proyek percontohan pembuatan pupuk kompos skala rumah tangga di kecamatan Kuta Raja harus terus dikembangkan ke kecamatankecamatan yang lain.
17
Untuk DKP sendiri: 1. Terkait dengan DKP sendiri, banyak praktek internal yang telah didiskusikan dan dievaluasi: saran-saran untuk perbaikan diberikan terkait dengan: -
perencanaan dan pemrograman dari operasional sehari-hari, administrasi dari rincian operasional, keberadaan DKP di tempat umum, administrasi keuangan yang terkait dengan aktivitas operasional, membangun pusat komunikasi dan pelayanan, melakukan tukar menukar pengalaman dengan kota-kota lain di Sumatera, membangun kebijakan di bidang personalia.
Semua tema diatas memerlukan kajian lebih lanjut, sebaiknya dilakukan dalam dua tahun ini. 2. Sebagai tambahan, dan sejalan dengan Qanun yang ada, hubungan kerja yang terstruktur dengan Dinas Polisi Khusus, PEPERDA harus dibangun untuk memperoleh bantuan dalam hal penegakan hukum.
2.4 Prasyarat dan Langkah-langkah Implementasi Tindak lanjut dan implementasi dari Master Plan ini membutuhkan persetujuan dan dukungan dari sejumlah institusi, antara lain: ٱ
Lembaga politik, yaitu: walikota, komisi kota yang terkait, dan dewan kota,
ٱ
Organisasi pemerintah daerah, yaitu: Sekretariat kota, tim manajemen kota, dan masing-masing kepala dinas,
ٱ
Lembaga pemerintah desentralisasi dari pemerintah kota,
ٱ
Manajemen Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP),
Lebih lanjut, harus ada penerimaan yang lebih luas dari tujuan dan juga langkah-langkah serta dukungan yang diperlukan dari pihak-pihak non pemerintah yang terkait. Hal ini akan menciptakan komitmen bersama dari ”garis komando” dan kepemimpinan politik individual. Pengelolaan sampah akan tetap menjadi agenda politik untuk 5 tahun mendatang. Barang kali setelah itu baru bisa kita berharap ada peningkatan yang berarti di seluruh bagian dari sistem pengelolaan sampah. Maka saat itu Banda Aceh akan menjadi kota yang bersih dan menjadi contoh bagi kota lainnya di Indonesia dan khususnya di provinsi NAD. Dua faktor yang paling penting (disamping kepentingan politik dalam masalah ini): 1. pengembangan DKP secara profesional dalam segala aspek manajemen dan eksekutif, dan 2. masa depan, transparansi dalam pembiayaan operasional DKP
18
Untuk semua issu pengembangan, langkah-langkah (skenario) harus dijabarkan pada tingkat kontribusi dan tugas masing-masing orang. Prosesnya harus didkomentasikan dengan baik dan menyeluruh dan dimonitor secara ketat secara tertulis, yang akhirnya akan menghasilkan pedoman operasional yang baru dan terbaharui. Praktek-praktek baru yang dikembangkan dan diambil harus didokumentasikan dengan baik dan didiskusikan secara internal, sehingga tidak timbul resiko. Komite pengarah yang telah disusun pada saat dimulainya persiapan penyusunan Master Plan ini harus ditugaskan untuk mengkoordinasikan pengembangan dan implementasi dari Master Plan, dibantu oleh sejumlah kelompok kerja yang mengurusi isu-isu strategis. Setiap kelompok kerja harus memiliki seorang sekretaris untuk memastikan adanya laporan dan komunikasi secara tertulis. Jadwal kerja harus disetujui sesuai dengan kontribusi dari masingmasing orang dan kelompok kerja. Laporan berkala kepada pengambil kebijakan politis harus dibuat sebagai bahan informasi, memperoleh umpan balik dan keterlibatan.
19
III PENDAHULUAN 3.1 Latar belakang dan Tujuan disusunnya Master Plan
Kebutuhan akan suatu SWM Master Plan terungkap pada diskusi yang dihadiri oleh pemerintah kota dan provinsi, badan dan organisasi international yang menangani/memberi bantuan dimasa tanggap darurat, Badan Rehabilitasi dan rekonstruksi (BRR) dan beberapa LSM lokal dan Internasional yang membantu masyarakat kota Banda Aceh yang terkena tsunami. Masalah sanitasi, saluran dan pengelolaan sampah dengan cepat sekali menjadi agenda politik dan sosial yang memdapat perhatian serius karena memberikan implikasi yang lebih jauh terhadap kesehatan lingkungan, higinis, keamanan masyarakat, perbaikan taraf hidup dan sebagainya. Dinas di Kota Banda Aceh yang bertanggung jawab dengan masalah tersebut, Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kota Banda Aceh yang juga terkena dampak dari gempa bumi dan tsunami 26 Desember 2004, yang mengakibatkan hilangnya nyawa dan rusaknya fasilitas dan peralatan. Meskipun banyak bantuan yang datang dalam skala yang mengesankan, sehingga menimbulkan beban kerja yang sangat tinggi yang ternyata masih dapat ditangani, pemerintah daerah dan DKP sudah terlebih dahulu memikirkan bagaimana melanjutkan aktivitas yang selama ini seandainya bantuan-bantuan tersebut berkurang dan bahkan habis sama sekali. Banyak inisiatif baru baik yang datang dari pemerintah maupun non pemerintah untuk menyusun ulang, menata ulang dan membangun ulang Kota Banda Aceh dan untuk memperkuat posisi pemerintah kota. Dalam konteks ini, keberadaan DKP perlu dikaji ulang dan didefinisikan ulang dan karena itu keberadaan Master Plan persampahan ini diharapkan dapat mendukung dan barangkali membuat proses tersebut menjadi terstrukstur. Kebutuhan akan Master Plan persampahan dijabarkan dalam "Rencana Aksi Kota Banda Aceh pasca Tsunami", yang dipresentasikan dalam seminar PRO ACT Euro-Asian 2, di LyonPerancis, 21-22 November 2005. Selanjutnya dijabarkan lebih lanjut dalam proposal proyek yang komprehensif dengan nama “Waste Management Project for Banda Aceh Municipality”, yang dibuat tanggal 27 Maret 2006. Tujuan umum dari Master Plan telah jabarkan dalam sub bab 1.2. Bila memperhatikan tujuan-tujuan politik, maka hal-hal yang relevan yang perlu mendapat perhatian adalah: 1. Menentukan (ulang) sasaran dan prioritas pengelolaan sampah 2. Mendefinisikan (ulang) peran dan jurisdiksi yang jelas untuk pengelolaan sampah 3. Menetapkan (ulang) hukum yang efektif dan kerangka kerja yang teratur dan, bila memperhatikan tujuan-tujuan sosial, maka yang perlu diperhatikan adalah: 1. Mengorientasikan pengelolaan sampah berdasarkan kebutuhan riil masyarakat, termasuk masyarakat miskin, wanita dan anak-anak. 2. Mendorong terciptanya pola penanganan sampah yang baik di masyarakat 3. Meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap permasalah dan priorotas dalam pengelolaan sampah 4. Menggerakkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah setempat.
20
5. Melindungi kesehatan dan memberikan jaminan social ekonomi bagi pekerja bidang persampahan.
3.2 Kerangka Kerja Legislatif dan Penetapan Kebijakan Sejak tahun 1970-an usaha untuk mengembangkan sektor kebersihan lingkungan di Indonesia terutama sekali dilakukan pemerintah pusat dengan dukungan dari berbagai kelompok seperti masyarakat setempat, LSM dan sejumlah badan dunia. Pada tahun 1999 dengan disyahkannya undang-undang otonomi daerah (UU No. 22/1999, yang direvisi dengan UU No. 32/2004), pemerintah pusat memperkenalkan kebijakan baru untuk memberikan wewenang dan tanggung jawab yang lebih luas kepada pemerintah daerah untuk memberikan pelayanan di perkotaan termasuk pelayanan kebersihan. Didalam UU tersebut disebutkan bahwa peran pemerintah pusat dalam penyediaan pelayanan di perkotaan hanya sebatas pada menyiapkan garis kebijakan dan arahan serta membantu pemerintah daerah dalam manajemen dan pengembangan sumber daya manusia sehingga fungsi dari pemerintah pusat dapat diambil alih oleh daerah. Penjabaran dari UU Otda yaitu PP No. 25/2000 meyatakan bahkan pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk membuat perencanaan, implementasi dan mengawasi serta mengevaluasi semua aspek pemerintahan dan pembangunan. Kebijakan tersebut memberikan tanggung jawab yang lebih besar bagi pemerintah daerah dalam hal-hal yang terkait dengan lingkungan setempat dan regional. Pemerintah daerah memiliki tanggung jawab untuk mengeluarkan izin untuk aktivitas tertentu. Hal ini memberikan implikasi bahwa pemerintah daerah memiliki tanggung jawab untuk mengendalikan dampak lingkungan dari kegiatan-kegiatan tersebut dan memberikan sanksi kepada pihak-pihak yang melanggar kebijakan lingkungan. Untuk menerapkan tanggung jawab baru ini, beberapa pemerintah daerah telah menetapkan peraturan regional baru dan telah menyiapkan agenda local mereka sendiri terkait dengan Agenda 21 (suatu proses perencanaan lingkungan yang interaktif). UU No. 24/1996 terkait dengan rencana tata ruang menetapkan aturan dalam perencanaan lahan urug saniter dan tempat pembuangan sampah beracun, khususnya bahan beracun yang memiliki kepada masyarakat setempat. Lebih jauh lagi, UU No. 23/1999 dan PP No. 18/1999 mengatur tentang pengelolaan sampah berbahaya dan standar buangan. Kementrian Lingkungan Hidup memiliki tanggung jawab untuk menetapkan kebijakan, strategi dan untuk mengawasi pengelolaan sampah beracun di tingkat nasional, sedangkan di tingkat provinsi dan kab/kota kewenangan ada di tangan Bapedalda Provinsi dan Bapedalda Kota (Badan Pengendalian Dampak Lingkungan). Saat ini sejumlah menteri bertanggung jawab untuk penyediaan sanitasi, yaitu: -
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), bertanggung jawab dalam menetapkan kebijakan nasional.
-
Kementrian Keuangan, bertanggung jawab dalam mengalokasi anggaran untuk pembangunan fasilitas sanitasi
21
-
Kementrian Pekerjaan Umum, melalui Dinas Perkotaan dan Permukiman, bertanggung jawab dalam penyediaan panduan teknis, memperkenalkan proyek percontohan, dan mengawasi sistem sanitasi skala besar.
-
Kementrial Lingkungan Hidup, bertanggung jawab dalam menetapkan kebijakan, memformulasikan peraturan, mengkoordinasikan kegiatan pengendalian pencemaran dan masalah-masalah lingkungan lainnya.
-
Kementrian Dalam Negeri, bertanggung jawab membantu pengembangan institusi pemerintah daerah dan pembangunan kapasitas dalam rangka menunjang pembangunan fasilitas sanitasi.
-
Kementrian Kesehatan, bertanggung jawab dalam mempromosikan kebiasaan hidup sehat dan menjamin kesehatan masyarakat.
Saat ini koordinasi dalam program dan kegiatan pengelolaan sampah terjadi pada tingkat Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kementrian Pekerjaan Umum, dan Pemerintah Daerah selaku pihak yang paling berkepentingan dalam sektor ini. Peran dari pemerintah pusat lebih banyak sebagai pengambil kebijakan dibandingkan dengan peran penyerdiaan prasarana. Selama krisis ekonomi pada akhir tahun 1990-an, kondisi pengelolaan sampah di berbagai kota sangatlah buruk. Namun demikina, standard pelayanan minimum (spm) dan panduan teknis telah dibuat oleh Dinas Perkim untuk meminimalkan dampak pencemaran lingkungan. Sebagai panduan, Kementrian Pekerjaan Umum telah mengeluarkan beberapa standard nasional, misalnya petunjuk pengelolaan sampah dipemukiman (SNI-03-3242-1994), Petunjuk Operasional Pengelolaan Sampah (SNI-19-245-2002), Petunjuk Pembuatan Kompos (SNI..), Petunjuk Pemilihan dan Perencanaan TPA (SNI-03-3241-1994) dan beberpa panduan lainnya. Akan tetapi sejumlah langkah perlu diambil untuk meningkatkan efektifitas dan penerapan standard-standard tersebut, peraturan terkait, dan distribusi riil terhadap informasi tersebut. Program “Adipura” yang diprakarsai oleh Kementrian Lingkungan Hidup, dimana bagi kota yang berhasil mengelolaa sampah mereka akan diberikan penghargaan yang disebut “Adipura” telah menjadi program pemerintah pusat untuk mendorong pemerintah daerah untuk mengelola sampah mereka. Hal ini menimbulkan dampak positif ke seluruh Indonesia dan menumbuhkan kondisi persaingan yang sehat antar kota. Program ini kemudia digantikan dengan program “Kota Bersih” dimana criteria lingkungan yang lain juga dinilai, termasuk juga sistem pemerintahan yang baik. Program tersebut dimulai tahun 2002. Pada tahun 2003, dikeluarkannya Rencana Aksi Nasional dan kebijakan/strategi yang terkait dengan pengelolaan sampah untuk menjabarkan Tujuan Pembangunan Abad 21 (MDG: Millenium Development Goals). Pemerintah Indonesia juga telah menetapkan sasaran pembangunan di bidang persampahan yang dituangkan dalam rencana jangka pendek (2005), jangka menengah (2010) dan jangja panjang (2015) yang mencakup tujuan teknis, kelembagaan, keuangan, hukum, dan kemitraan antara pemerintah dan swasta. Aksi yang direncanakan termasuk juga yang terkait dengan aspek pengembangan sumber daya manusia, peningkatan kapasitas pengelolaan sampah, aspek operasional, pengembangan
22
sumber-sumber pendanaan alternatif, pengembangan aspek hukum yang terkait dengan sampah, pembangunan kelembagaan dan penyuluhan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat. Dalam rangka mencapai MDG (yaitu: perluasan yang significant terhadap cakupan pelayanan), maka prioritas harus diberikan pada upaya untuk mengurangi timbulan sampah, peningkatan kesadaran masyarakat, dan membangun kemitraan antara masyarakat/swasta dengan pemerintah. Isu utama dalam program ini adalah: 1) peningkatan kemampuan pemerintah daerah dan masyarakat dalam pengelolaan lingkungan, 2) memasyarakatkan kerangka kerja untuk peningkatan kualitas lingkungan, 3) peningkatan pemberdayaan masyarakat untuk memulihkan kondisi lingkungan di perkotaan. Pemerintah pusat telah mengeluarkan peraturan tentang pencegahan polusi, pengurangan sampah, produksi bersih, dan peningkatan efisiensi produksi dalam rangka meningkatkan rasa tanggung jawab dunia usaha dan industri. Pada tahun 1995 pemerintah pusat secara resmi memberikan komitmen terhadap program pengurangan sampah melalui penerapan prinsipprinsip produksi bersih. Untuk memberi masukan dalam perumusan peraturan, Kementerian Lingkungan Hidup bekerja sama dengan berbagai pusat riset telah melakukan penelitian tentang pengelolaan sampah. Bekerjasa dengan ITB, KLH telah menyelesaikan study yang komprehensif tentang pengelolaan sampah. Penelitian yang terkait dengan re-use dan recycling sampah serta identifikasi sampah telah dilakukan bekerjasama dengan Institut Pertanian Bogor. Selain itu, Indonesia sedang melakukan tukar menukar informasi tentang teknologi terkini tentang pemanfaatan dan pengolahan sampah dengan negara-negara lain. Yang tampak sekarang bahwa Undang-Undang, peraturan dan panduan yang terkait dengan lingkungan dan sampah yang ada saat ini tidak diketahui oleh semua dinas yang ada di Kota Banda Aceh dan oleh karena itu tidak dimanfaatkan sebagai “bahan dan panduan kerja’ dan kegiatan sehari-hari dan dalam perencanaan. Oleh karena itu disarankan agar dijalin hubungan yang aktif dengan Bagian Hukum Setda Kota, Bapedalda Kota dan Bapedalda Provinsi untuk memperoleh fotocopy dokumendokumen yang terkait dan untuk kedepan agar dibuat suatu aturan tentang arus informasi rutin. Lebih dari itu, salah seorang staf senior DKP, harus diberi tugas untuk membuat perpustakaan kecil yang menyimpan bahan-bahan peraturan dan perundangan dan bertugas memberikan informasi terbaru kepada pihak management tentang perkembangan terbaru dan dampaknya bagi dinas saat ini dan dalam beberapa waktu kedepan. Sejumlah peraturan dan hukum yang terkait dengan masalah lingkungan dan sampah ditampilkan dalam lampiran 4; yang paling penting adalah yang terkait dengan penanganan sampah berbahaya dan Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) serta perizinan yang terkait dengan pengolahan sampah dan fasilitas pembuangannya. Draft RUU persampahan masih pada tahap pembahasan di pusat. Proses ini melibatkan semua stakeholder yang terkait seperti beberapa kementrian Negara, wakil pemerintah daerah, LSM dan perguruan tinggi.
23
Dalam kaitannya dengan penyusunan Master Plan ini, hal-hal berikut dari draft RUU yang khususnya terkait dengan pemerintah daerah, yaitu: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
penegakan hukum pendidikan masyarakat komunikasi dan sosialisasi koordinasi dengan instansi terkait termasuk pemerintah provinsi dan pemerintah pusat posisi dunia usaha penanganan sampah akibat bencana.
Nampaknya, pemerintah pusat maupun daerah hingga saat ini belum menetapkan aturan yang mengikat atau standard/kebutuhan minimum terkait dengan penanganan sampah (penyimpanan sementara, pengumpulan, pemindahan, pengangkutan) dan pemanfaatan kembali sampah (re-use), daur ulang (recycling) dan pengolahan yang merupakan elemen penting dalam pengelolaan sampah. Akibatnya, penyusunan kebijakan pengelolaan sampah yang kemudian diikuti dengan penilaian politik tidak mendapat dukungan secara hokum, tidak mempunyai “kekuatan untuk menekan” dan kurang mendapat arahan dari pemerintah provinsi maupun pusat.
3.3 Kaitan dengan perencanaan-perencanaan pemerintah lainnya Biasanya sebuah Master Plan persampahan – atau paling tidak Rencana Aksi – merupakan bagian dari rencana jangka panjang kebijakan lingkungan atau sanitasi. Bila rencana jangka panjang kebijakan lingkungan atau sanitasi tidak ada, maka kaitannnya akan ada dengan rencana pembangunan kota lainnya seperti rencana tata ruang, perumahan dan pembangunan ekonomi. Rencana-rencana tersebut biasanya memberikan masukan data bagi Master Plan persampahan. Untuk kasus Banda Aceh yang dijadikan rujukan adalah Rencana Mendesak Rehabilitasi dan Rekonstruksi Kota Banda Aceh (Urgent Rehabilitation and Reconstruction Plan for Banda Aceh City) yang dikeluarkan bulan Agustus 2005 oleh JICA, BAPPENAS dan Pemda Provinsi NAD. (Sebelumnya, sebuah Master Plan kota (2001-210) telah disiapkan dan ditetapkan, akan tetapi mengingat dampak dari gempa bumi dan tsunami maka dokumen tersebut tidak sesuai lagi untuk digunakan). Sebagai tambahan, banyak rencana dan program eksekutif telah disiapkan untuk menyerap dan memberikan kompensasi terhadap kerusakan yang terjadi akibat dampak gempa bumi dan tsunami, terutama dalam bentuk pembangunan perumahan sementara dan permanen, rehabilitasi dan rekonstruksi infrastruktur dan fasilitas publik, dll. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) kota akan segera mengeluarkan revisi dari rencana pembangunan kota yang telah ada. Adalah diluar cakupan dari Master Plan ini untuk menjelaska rencana ini secara rinci, akan tetapi hal tersebut merupakan hal yang penting dan akan selalu penting bagi DKP agar selalu terlibat dalam hal-hal yang terkait dengan tugas pokok DKP (pembangunan perumahan dan kawasan komersil, peningkatan jaringan jalan dan saluran, dsb).
24
Hal menarik lainnya dalah program bantuan UNDP, UNICEF/WHO, JICA dan sejumlah lembaga donor dan NGO yang memberikan bantuan pelayanan untuk sementara waktu dalam bidang sanitasi dan pengelolaan sampah. Program-program tersebut tidak hanya terbatas di wilayah Kota Banda Aceh, tetapi juga mencakup daerah-daerah lain di provinsi NAD yang terkena dampak tsunami. Sejauh terkait dengan pengelolaan sampah, sejumlah penelitian sudah dilakukan oleh sejumlah lembaga konsultan asing terkait dengan logistik sampah dan pengolahan serta pembuangan akhir sampah (sebagai contoh “Pengumpulan dan Pengangkutan Sampah di Banda Aceh”, tahun 2006 oleh SOGREAH, “Pengelolaan Pembuangan Sampah di Aceh”, Juni 2006 oleh GTZ, “Perluasan TPA Gampong Jawa”, Desember 2006 oleh ARCADIS). Studi-studi ini telah ditawarkan kepada BRR dan pemerintah provinsi dan Kota untuk dinilai dan di follow up. Sebenarnya sangatlah adil bila dikatakan bahwa Master Plan pengelolaan sampah telah dipersiapkan dalam situasi yang “turbulen” dimana sebagian besar pemerintah daerah terlalu berat dilibatkan dalam begitu banyak rencana bantuan dan pembangunan dan bertujuan “menormalkan dan meningkatkan” kembali kondisi kehidupan di Banda Aceh. BRR telah mengambil peran koordinasi dalam memberikan masukan terhadap usulan yang disampaikan oleh lembaga-lembaga bantuan luar.
3.4. Aktivitas yang Ditempuh untuk Mempersiapkan Master Plan Langkah-langkah persiapan untuk memulai persiapan aktual penyusunan Master Plan dimulai diawal tahun 2006 ketika terwujudnya dialog antara staff DKP, anggota tim proyek dari Belanda dan pemerintah kota Rotterdam dan Apeldoorn. Sejumlah staf DKP melakukan kunjungan ke Belanda pada bulan April 2006, untuk membiasakan diri dengan pendekatan pengelolaan persampahan yang dijelaskan dan ditunjukkan oleh VNG-Internasional dan Kotakota yang menjadi tuan rumah. Selama persiapan penyusunan Master Plan, telah dilakukan 4 kali kunjungan 2 mingguan ke Banda Aceh untuk membiasakan diri dengan masyarakat setempat dan kondisi pengelolaan sampah yang ada di Banda Aceh (Agustus/September, November 2006, Februari dan Juni 2007). Selama kunjungan tersebut telah dilakukan banyak sekali diskusi dengan instansi pemerintah baik di tingkat Kota maupun provinsi, NGO, dan beberapa kelompok masyarakat. Sejumlah diskusi kelompok telah dilakukan untuk menjelaskan proses penyusunan Master Plan ini, untuk menjelaskan keterlibatan masyarakat setempat, dan untuk mengembangkan gagasan untuk memperbaiki fundamental pengelolaan sampah. Sementara itu kondisi aktual operasional, komunikasi dan keuangan di tingkat DKP didiskusikan dengan rinci, dan telah diperoleh banyak masukan untuk melakukan perbaikan. Selama kunjungan ke-4 ke Banda Aceh, hasil Master Plan, yaitu: penilaian terhadap kondisi aktual, skenario untuk pengembangan kedepan serta konsekuensinya dibahas secara lebih luas dalam sebuah seminar untuk melihat apakah kesepahaman bisa dicapai terhadap isi pokok tentang pengembangan dan langkah yang harus ditempuh.
25
Data primer telah banyak dikumpulkan oleh staf DKP, dan sering juga dibantu oleh Dinasdinas yang lain. Sejalan dengan itu, publikasi yang ada di internet, situs pemerintah, dsb, telah dirujuk untuk memperoleh gambaran lebih luas tentang pengelolaan sampah dan pembangunan socialekonomi di Indonesia pada umumnya dan Banda Aceh khususnya. Dalam konteks ini, disarankan agar DKP secara struktur bekerjasama dengan beberapa kota lainnya yang sebanding seperti Padang, Palembang, Ambon, juga dengan kota-kota besar seperti Medan untuk melakukan tukar menukar praktek dan pengalaman bagus serta untuk menghubungkan program pembangunan di bidang persampahan tingkat wilayah maupun nasional. Disamping itu DKP bisa mengambil inisiatif untuk melakukan tukar-menukar informasi dan pembangunan daerah dengan Kab/Kota lainnya yang ada di provinsi NAD, terutaman sekali dengan Kab. Aceh Besar.
26
IV KONTEKS 4.1 Data Geografis, Demografis, Sosial-Ekonomi dan Pembangunan yang Relevan Kota Banda Aceh terletak disepanjang pantai di bagian paling utara dari pulau Sumatera (lihat lampiran 5) Kota Banda Aceh dibangun di abad ke-12, salah satu pusat kebudayaan islam tertua di kawasan Asia Tenggara. Selama berabad-abad Banda Aceh sudah dikenal sebagai pusat perdagangan, ilmu pengetahuan, pendidikan, kebudayaan dan aktivitas politik. Banda Aceh merupakan ibukota provinsi NAD (Nanggroe Aceh Darussalam). Luas wilayah Kota Banda Aceh adalah 61.3 km2 dan dikelilingi oleh wilayah Kabupaten Aceh Besar. Gempa bumi dan diikuti dengan gelombang Tsunami tanggal 26 Desember 2004 telah meluluh lantakkan segala aspek kehidupan sosial dan menyebabkan kehancuran yang luar biasa bagi kota Banda Aceh. Jumlah penduduk yang semula 263,669 jiwa berkurang menjadi 192,194 jiwa akibat tewas dan hilangnya 71.475 jiwa (per 12 April 2005). 3 Kecamatan, mencakup 41 Kelurahan/desa rusak parah, 3 kecamatan yang mencakup 8 desa/kelurahan mengalamai rusak sebahagian dan 3 kecamatan, mencakup 40 desa/kelurahan, terkena sedikit dampak. 17.200 rumah rusak berat dan 3.800 rumah mengalami kerusakan sedang dan kecil. Di kecamatan Meuraxa, Kuata Alam dan Syiah Kuala dibangun 82 buah barak untuk menampung 65.500 pengungsi yang kehilangan tempat tinggal. Terjadi kerusakan yang parah terhadap infrastruktur jalan, jelmbatan, pelabuhan ferry, sistem pasokan air minum dan saluran, jaringan listrik dan komunikasi, pusat perdangan, kantorkantor pemerintah, pusat-pusat pelayanan kesehatan, bangunan-bangunan sekolah, tempat ibadah, pelabuhan perikanan, dsb (Informasi dari DKP/Pemko Banda Aceh) Boleh dikatakan hampir semua mayarakat baik perorangan maupun keluarga mengalami ketidak seimbangan kehidupan sosial kemasyarakatan dan mengalami trauma. Usaha-usaha yang dilakukan oleh pemerintah yang didukung oleh banyak organisasi internasional, dilakukan secara sistematis dan komprehensif dalam memanfaatkan sumber daya, dan memberikan bantuan yang efektif kepada penduduk Banda Aceh. Pendekatan yang menyeluruh dan terintegrasi dilakukan dalam 3 tahap, yaitu: tahap tanggap darurat (< 3 bulan; bantuan kemanusiaan, penyelamatan/evakuasi korban, penyediaan makanan dan pelayanan kesehatan, infrastruktur dan hunian sementara), tahapan rehabilitasi (<2 tahun; memulihkan dan menata kembali fungsi-fungsi infrastrukstur, menghidupkan kembali pelayanan publik), dan tahapan rekonstruksi (<5 tahun; membangun kembali daerah/komunitas yang terkena dampak tsunami).
27
Pemerintah Indonesia menunjuk Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) sebagai badan pengambil kebijakan pemerintah untuk membuat rencana rehabilitasi dan rekonstruksi untuk masyarakat Aceh dan Sumatera Utara” selama 3 bulan dengan berkoordinasi dengan donor, pemerintah daerah dan NGO. Selanjutnya JICA menyiapkan “Rencana Darurat Rehabilitasi dan Rekonstruksi untuk Kota Banda Aceh” (Agustus 2005; tahun target 2009). Dalam penyusunan Master Plan ini diambil data perkiraan pertumbuhan populasi yang dibuat oleh tim URRP JICA: Tahun
Data hasil extrapolasi Dengan laju partumBuhan 2.1% per tahun (1998 – 2003)
Analisis Regresi plus 7.000 inh. (1995-2004)
Diektrapolasi dng Laju pertumbuhan 6,0% per tahun (2001 – 2004)
2005: 2006: 2007: 2008: 2009:
196.230 jiwa 200.351 jiwa 204.558 jiwa 208.854 jiwa 213.240 jiwa
199.194 jiwa 206.194 jiwa 213.194 jiwa 220.194 jiwa 227.194 jiwa
200.843 jiwa 212.893 jiwa 225.667 jiwa 239.206 jiwa 254.000 jiwa
Laju pertumbuhan yang meningkat 6% pertahun diharapkan menggambarkan keadaan terjadinya konsentrasi penduduk akibat kegiatan rekonstruksi dan lebih besar dari laju pertumbuhan alami. Bagaimanapun, bila laju pertumbuhan yang tinggi ini sifatnya materialis, maka tidak akan bertahan lama, akan tetapi tetap lebih tinggi dari laju pertumbuhan provinsi sendiri yang besarnya 1,5% yang tercatat dari tahun 1990 – 2000. Data yang diperoleh dari Sensus September 2005 (BPS) sebagai berikut:
Kecamatan di Banda Aceh Meuraxa Baiturrahman Kuta Alam Ulee Kareng Jaya Baru Banda Raya Lueng Bata Syiah Kuala Kutaraja Total
Jumlah Penduduk – 09/05 2.221 33.582 35.033 22.768 12.340 24.257 19.284 25.418 2.978 177.881
Jumlah Penduduk – 12/05 10.736 37.288 47.270 20.560 16.556 19.629 18.346 35.749 7.371 213.505
Di kolom kedua merupakan data yang diperoleh dari BPS Kota Banda Aceh untuk bulan Desember 2005 yang mengasumsikan laju pertumbuhan sebesar 2,7%.
28
GTZ regional landfill studi menggunakan data berikut: 198.000 penduduk di tahun 2006 (Mapframe databank), dan laju pertumbuhan rata-rata per tahun 1,5%. Studi yang dilakukan oleh SOGREAH didasarkan pada jumlah penduduk 215.000 jiwa tahun 2006 (contoh DKP) dengan laju pertumbuhan rata-rata per tahun 1.5%. Data yang digunakan oleh DKP per Pebruari 2006 sebagai berikut: Kecamatan di Banda Aceh Meuraxa Baiturrahman Kuta Alam Ulee Kareng Jaya Baru Banda Raya Lueng Bata Syiah Kuala Kutaraja Total
Jumlah KK 4.229 9.407 10.800 4.882 5.147 4.241 3.789 6.486 3.068 52.049
Jumlah Penduduk 10.736 36.880 47.277 20.560 16.542 19.472 19.205 35.749 7.682 214.103
Dengan perkiraan laju pertumbuhan 2.87 % per tahun. Per 1 Januari 2007 diasumsikan jumlah penduduk sebesar 217,940 jiwa (lihat lampiran 18) Data yang digunakan oleh DKP diambil dari kecamatan dan kelurahan/desa. Biro statistik berpendapat bahwa angka ini tidak akurat dan ada kemungkinan penghitungan ganda. Dengan melihat ulang tujuan perhitungan diatas, jumlah penduduk Banda Aceh diperkirakan sebanyak 215.000 jiwa per 1 Januari 2007 dengan laju pertumbuhan sebesar 2,5%. Selama sensus 5,25 orang rata-rata menempati satu rumah. Banyak penduduk yang tinggal dengan orang tua mereka (sebagian karena terpaksa). Data DKP menunjukkan bahwa jumlah rata-rata jiwa/kk adalah adalah 4,1. Dalam perhitungan nantinya setiap kk diasumsikan memiliki 4,50 jiwa. Provinsi NAD memiliki potensi pertumbuhan yang tinggi, terutama bila didasarkan pada tersedianya sumber daya alam (hasil minyak, gas alam dan pertanian) dan sumber daya manusia. Banda Aceh memiliki tenaga kerja yang besar dengan gaji yang rendah dan dasar yang kuat di bidang jasa, perdagangan dan industri. Namun meskipun pertumbuhan ekonomi terjadi di Indonesia, laju pertumbuhan di Banda Aceh masih dibawah laju pertumbuhan penduduk, sehingga pendapatan percapita penduduknya relatif rendah. Angka kemiskinan dan pengangguran relatif tinggi, dan percepatan laju pertumbuhan diperlukan untuk menaikkan taraf kesejahteraan penduduk. Disamping hasil minyak bumi dan gas alam, Gross Regional Domestic Product (GRDP) provinsi NAD diperkirakan sebesar 50% dari Gross National Domestic Product (GNDP) Indonesia (US $ 350 banding 710 pada tahun 2002). Diperkirakan GRDP telah terpuruk hingga 14% pada tahun 2005 akibat bencana alam, dan dibutuhkan waktu 5 tahun untuk mengembalikan ke posisi normal. 29
Distribusi lapangan kerja di Banda Aceh pada tahun 2002 adalah sebagai berikut: Pegawai pemerintah Pekerja/buruh Perdagangan Pertanian Industri Lain-lain (termasuk perikanan)
35.8 % 26.3 % 17.1 % 5.5 % 4.0 % 11.3 %
Permasalahan yang utama menghambat laju pertumbuhan adalah: 1) tidak memadainya pengembangan sektor swasta; 2) lemahnya infrastruktur dasar; 3) rendahnya keanekaragaman produk eksport; dan 4) meluasnya kemiskinan.
4.2 Administrasi Pemerintahan di Provinsi dan Kota Provinsi NAD dengan luas 55.392 km2 (yaitu. 2,89% dari luas indonesia), memiliki penduduk sekitar 4 juta jiwa dan terdiri atas 4 kota dan 17 kabupaten. Provinsi NAD memiliki kewenangan otonomi daerah yang lebih luas, misalkan dalam hal mengembangkan sistem hukumnya. Struktur organisasi pemerintahan provinsi ditampilkan dalam lampiran 6. Berkenaan dengan DKP (dan Master Plan pengelolaan sampah) dinas-dinas yang terkait di tingkat provinsi adalah: Bapedalda, Dinas Perkim. Struktur organisasi pemerintahan Kota Banda Aceh ditampilkan dalam lampiran 7. Berkenaan dengan DKP (dan SWM Master Plan) dinas-dinas yang terkait di tingkat Kota adalah: Bagian Hukum, Dinas Peperda, Bagian Pembangunan, Bappeda, Dinas Tata Kota, Dinas PJSDA, Bapedalda Kota, Bagian Umum, Bagian Keuangan, Dinas Pendapatan Daerah, Dinas Infokom, Dinas Pasar. Hal ini menggambarkan kondisi lingkungan yang kompleks yang harus ditangani oleh DKP. Dewan Perwakilan Rakyat Kota (DPRK) terdiri dari 30 orang anggota yag dipilih untuk masa bakti 5 tahun. Pengambilan keputusan politik didalam rapat paripurna didahului oleh pembahasan di tingkat komisi (A-E). Komisi C, yang membidangi keuangan dan pembangunan merupakan komisi yang terkait dengan bidang DKP. Saat ini keanggotaan di DPRK diwakili oleh anggota dari 8 partai politik. Pada bulan Desember 2006, walikota telah dipilih yang untuk pertama kalinya dilakukan secara langsung oleh masyarakat kota Banda Aceh, dan menjadi pimpinan eksekutive dari organisasi pemerintahan kota, pemilihan kepala daerah ini telah menetapkan pimpinan puncak di pemerintahan (sebelumnya, walikota diangkat oleh Menteri Dalam Negeri atas nama pemerintah pusat). Tanggal 19 Pebruari 2007, walikota terpilih, Mawardy Nurdin, diambil sumpahnya di depan umum. Di tingkat kecamatan (9 kecamatan), kelurahan (10 kelurahan), dan tingkat desa (80 desa) wakil-wakil yang terpilih dan ditunjuk bertanggung jawab terhdap situasi di daerahnya
30
masing-masing (di tingkat kelurahan, camat merupakan seorang PNS ditunjuk dan bertanggung jawab kepada walikota, lurah pada tingkat kelurahan ditunjuk oleh walikota dan bertanggung jawab kepada camat sedangkan Keuchik pada tingkat desa/gampong dipilih langsung oleh masyarakat setempat). Unit adminitrasi dan perwakilan ini merupakan bagian yang semakin penting bagi DKP (merupakan rekan kerja yang bisa melakukan observasi, memberikian informasi dan berkomunikasi secara langsung). Oleh karena itu disarankan agar DKP secara struktur lebih mengintensifkan hubungan dengan pejabat/wakil tersebut, karena mereka merupakan jurubicara yang penting dalam menilai kinerja DKP setiap saat dan memiliki peran dalam menangani keluhan dan menjadi penengah terhadap persoalan-persoalan yang timbul. Pada bulan November/Desember 2006 telah dilakukan perekrutan 9 orang yang disebut fasilitator untuk lebih memperkuat hubungan dengan 9 kecamatan dan 90 kelurahan/desa dan merupakan penghubung dengan pihak terkait setempat, kelompok masyarakat dan sebagainya. Yang menjadi fokus utama adalah posisi penerima pelayanan (dan sekaligus sebagai penghasil sampah).
4.3 Dinas-Dinas yang terkait dengan Kebersihan dan Pengendalian Lingkungan di Banda Aceh DKP bertugas menangani hal-hal yang terkait dengan sampah yang dihasilkan oleh masyarakat, dan mengambil tanggung jawab dalam penanganan sampah dan kebersihan kota. Adapun Tugas Utama DKP adalah sbb: 1. membersihkan jalan-jalan protokol, jalan utama, persimpangan, jalur pejalan kaki, pasar, dsb. 2. Mengumpulkan dan mengangkut sampah mulai dari rumah-rumah, perusahaan/ komersil, institusi non komersil, dan penghasil-penghasil sampah khusus lainnya, dll. 3. Menangani pembuangan akhir dari sampah yang dikumpulkan dan diangkut. 4. Membersihkan sistem drainase air buangan terbuka. 5. Melakukan penyedotan tinja dari septic tank (karena tidak ada system pengolahan air limbah terpusat) 6. Perawatan makam, taman dan RTH 7. Perawatan/perbaikan armada dan peralatan DKP Struktur utama dan jumlah personil di DKP ditunjukkan dalam lampiran 8. Struktur organisasi dari dinas dan enam sub-dinas ditampilkan dalam lampiran 9. DKP memiliki jumlah PNS yang terbatas dan relatif banyak pekerja dan karyawan kontrak. DKP berkantor digedung sendiri ditempat yang dulu yaitu di Jl. Pocut Baren, yang telah diperluas pada pertengahan tahun 2006 agar mampu menampung staf yang ada dan
31
terlaksananya kegiatan. Disampin itu, pemerintah RRC telah menyumbangkan sebuah aula rapat yang besar dan beberapa buah kantor tambahan yang dibangun di areal workshop/pool kendaraan didepan kantor DKP (diserahterimakan bulan November 2006). DKP telah mengalami kesulitan yang cukup besar akibat bencana alam dimana sekitar 40 orang staf dan pekerjanya meninggal dunia. Bahkan workshop beserta sejumlah armada dan peralatan yang ada di TPA Gampong Jawa sekaligus dengan TPA-nya sendiri ikut tersapu habis. Demikian juga dengan IPLT yang juga hancur namun telah dibangun kembali dengan bantuan JICA. Banyak bantuan yang tekah diberikan kepada DKP oleh sejumlah lembaga, termasuk UNDP dan UNICEF/WHO, yang didasarkan pada kebutuhan yang besar dan mendesak untuk membersihkan daerah yang dilanda tsunami dan hancur dari puing-puing, sampah bongkahan bangunan, batu-batuan dan sampah-sampah yang terikut. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (BAPEDALDA) saat ini tidak terkait langsung dengan pelayanan yang diberikan oleh DKP, dimana tidak memainkan peranan sebagai pembuat kebijakan yang penting. Keterlibatan dalam pengeloaan sampah masih agak terbatas dan hanya terfokus pada sampah berbahaya yang dihasilkan, penanganan dan pembuangan akhir serla lokasi TPA kedepan, serta kegiatan terkait lainnya. Perencanaan lingkungan dan pengelolaan lingkungan di tingkat daerah kelihatannya masih baru akan dilakukan, dan masih membutuhkan dukungan kebijakan yang mendasar agar bisa menjadi efektif. Yang perlu diingat bahwa pembangunan bidang lingkungan hidup dan yang terkait dengan limbah di Indonesia masih bisa menjadi peluang untuk ditingkatkan agar peran pendukung BAPEDALDA dapat sejalan dengan DKP (dukungan kebijakan, transfer informasi, analisa lingkungan, permasalahan sampah khusus, penengah keluhan, pengembangan persyaratan dalam memberikan pelayanan, dsb)
4.4 Rencana Pembangunan Kota Banda Aceh Rencana induk kota Banda Aceh ( 2001-2010) sebagai model “multi core” dengan pertumbuhan linier di sepanjang jalan utama, dirancang dengan tahun target 2010 dan ditetapkan di tahun 2001. Jumlah penduduk di tahun 2010 diperkirakan sebesar 307.695 jiwa dengan kepadatan 52 jiwa/ha dan 61.539 rumah/kk (5 orang per kk) Strategi dari rencana induk tersebut didasarkan pada beberapa hal berikut: -
menyelaraskan dan mengoptimalkan penggunaan daratan, menyediakan infrastruktur dan fasilitas yang memadai mengembangkan sistem transportasi yang efisien meningkatkan kualitas lingkungan dan pemeliharaan
Dengan mempertimbangkan adanya bencana alam, maka beberapa hal mendasar telah berubah, antara lain:
32
-
proyeksi jumlah penduduk,
-
penurunan lahan pantai, dimana lahan pemukiman sebelumnya menjadi lebih rendah sehingga rawan pasang dan banjir,
-
hancurnya bangunan masyarakat dan umum serta infrastruktur di daerah yang terkena bencana,
-
pengembangan kedepan kawasan selatan, dikelilingi oleh Kab. Aceh Besar,akan mempengaruhi pembangunan di daerah tersebut,
-
perencanaan prasarana dan fasilitas harus disesuaikan dengan kerangka social ekonomi yang baru dan rencana pemanfaatan lahan.
Rencana mendesak rehabilitasi dan rekonstruksi kota Banda Aceh yang disiapkan oleh JICA pada bulan Agustus 2005 dianggap sebagai dokumen panduan sementara untuk pengembangan kedepan.
4.5 Infrastruktur Fisik dan Penggunaan Lahan Penggunaan lahan setelah tsunami telah diinventaris per kecamatan berdasarkan kawasan pemukiman, kawasan pertanian dan kawasan hijau, ruang terbuka, jalan, daerah rawa/lahan basah dan kategori lainnya terkait dengan jenis bangunan. Kemudian muncullah corak berikut: -
kawasan pemukiman ditampilkan secara lebih lengkap,
-
kepadatan pembangunan pesat terjadi di sekitar kawasan mesjid raya dan relatif kurang diluar kawasan tersebut,
-
ruang terbuka telah bertambah akibat bencana,
-
kawasan tergenang/berair juga bertambah akibat menurunnya permukaan daratan di kawasan yang sebelumnya menjadi pemukiman,
-
ada 11 pasar, dan pusat perdagangan telah berkembang di sekitar pasar tersebut. Kawasan sekitar pusat pasar (pasar Aceh) sedang dibangun kembali,
-
kawasan perdagangan telah dikembangkan sepanjang jalan arteri,
-
kebanyakan toko merupakan ruko, dimana tokonya ada di lantai dasar dan tempat tinggal di lantai 2 atau 3,
-
taman dan fasilitas olah raga terletak di pusat kota,
-
di daerah pemukiman dan pusat perdagangan saat ini tidak ditemukan ada kawasan industri; pabrik-pabrik kecil, toko reparasi, industri dan manufacture,
33
-
kantor-kantor dan gedung-gedung pemerintah dan swasta terkonsentrasi di beberapa jalan protokol seperti Jl. Muhammad Daud Bereueh, Teuku Nyak Arief, Kampong Baro dan Peuniti,
-
di Darussalam, disebelah kanan kanal pengendali banjir, telah terbentuk suatu kawasan perkotaan disekitar kampus Syiah Kuala.
Peta topografi digital kota telah dipersiapkan untuk mendukung proses perencanaan rekonstruksi. Peta tersebut dibuat oleh BRR untuk DKP Kota Banda Aceh dan digunakan proses pengembangan rute pengumpulan sampah. Pada umumnya, peta dapat digunakan kedepan secara sistematis untuk menggambarkan pola pelayanan, area permasalahan, derajat kebersihan, etc.
4.6 Aspek Lingkungan di Kota Banda Aceh Lingkungan kota Banda Aceh banyak dipengaruhi oleh aktivitas manusia seperti halnya kotakota sedang lainnya di Indonesia. Dalam kaitannya dengan Master Plan pengelolaan sampah dan tugas DKP, fenomena berikut yang sesuai: Tempat-tempat umum didaerah tertentu banyak dijumpai sampah jalanan yang berserakan dan sisa-sisa dari sampah kota sebagai akibat dari kurangnya dan masih belum memadainya sistem pengumpulan, kurangnya kebersihan di tempat-tempat umum dan pribadi, dan perilaku manusia. Pada kawasan yang penduduknya padat dan “hot spots” (dalam hal populasi, perdagangan, penanganan barang (pasar), akumulasi kegiatan, etc.) situasi ini yang tertangkap dengan jelas dan sangat mengganggu kesehatan. Diakibatkan belum adanya penerapan standarisasi tempat sampah, kehadiran kucing dan anjing yang mengais-ngais sampah dan kurangnya penerapan teknologi, proses pengumpulan sampah menyisakan sejumlah sampah yang mengotori lingkungan. Sebagian besar sisa sampah tersebut nantinya akan masuk ke saluran atau parit terbuka sehingga akan menyebabkan penyumbatan aliran air limbahdan menimbulkan sediment tambahan. Sistuasi ini sangatlah rumit karena tidak jalannya sistem perawatan trotoar jalan sepanjag bangunan, serta seringnya terjadi kerusakan pada tutup saluran; suatu kondisi yang belum jelas menjadi tanggung jawab siapa. Di kawasan pedesaan dan sepanjang jalan sekunder dimana pengumpulan sampah regular belum ada, sering kali ditemukan sampah domestik dan sampah komersial di sepanjang sisi jalan dan saluran, ditempat terbuka, lahan kosong, daerah rendah, dsb. Kadang-kadang sebagian dikubur atau dibakar. Sebelum tsunami dan hingga saat ini belum ada sistem pembuangan air limbah di Banda Aceh. Pengolahan air limbah rumah tangga dilakukan di fasilitas pengolahan di rumah-rumah, kebanyakan dengan menggunakan septic tank. Air buangan yang terakumulasi di dalam septic tank biasanya dikuras setahun sekali oleh DKP atau beberapa perusahaan swasta dan buangan dari tanki septic langsung dialirkan ke saluran melalui sistem drainase kota yang terbuka (atau hilang ke air tanah melalui lubang galian).
34
Air limbah tinja sebagian diolah di instalasi pengolahan lumpur tinja (IPLT) di Gampong Jawa, dekat dengan muara sungai Krueng Aceh (dibangun tahun 1995 dan direhap kembali pasca tsunami tahun 2005, dengan kapasitas 50 m3/hari). IPLT sendiri dan beberapa mobil tinja hilang akibat bencana tsunami. Untuk memastikan standart kesehatan minimum, masyarakat internasional membantu mobil tinja baru sedangkan JICA mendesain dan membangun ulang fasilitas pengolahan di lokasi semula. Sistem drainase kota tersebar di kawasan seluas 35km2, dibagi dalam 3 zona. Setiap zona dilengkapi dengan jaringan induk yang sebagian tertutup, kebanyakan berada disepanjang jalan dan dilengkapi dengan 8 buah unit pemompaan. Bagian penting dari saluran induk, yaitu unit pemompaan dan pintu air telah rusak, longsor dan berkarat, terutama di daerah pantai. Demikian juga halnya dengan bantaran dan dinding sungai di sepanjang sungai banyak yang rusak dan hancur diberbagai lokasi, menyebabkan genangan di daerah sekitar. Berbagai badan internasional dan nasional saat ini sedang terlibat dalam rehabilitasi dan meningkatkan system pengelolaan air limbah yang ada. Khususnya di daerah yang baru dibangun kembali dan ini merupakan hal yang penting dan mendapat perhatian utama. TPA lama (12 Ha) juga telah dibangun kembali dan diperluas mengingat kebutuhan yang mendesak untuk menampung sampah tsunami yang jumlahnya luar biasa banyak. Keberadaan dan cara penanganan limbah berbahaya yang dihasilkan oleh sektor pelayanan kesehatan , aktivitas industri dan perdagangan hingga saat ini belum dilakukan studi yang memadai dan belum mendapat perhatian yang serius. Diketahui bahwa limbah rumah sakit tertentu serta obat-obatan yang kadaluarsa banyak yang dibuang ke TPA. Sejauh belum dilakukan analisa untuk mengetahui adanya pencemaran terhadap lingkungan, air tanah, lindi dan aliran air. Iklim setempat sangat sesuai dengan beberapa detail system pengelolaan sampah. Banda Aceh terletak di barat daya dan timur laut khatulistiwa. Dari bulan April hingga Oktober angin bertiup dari arah barat, dari Oktober hingga April angin bertiup dari arah timur/tenggara. Dari bulan September hingga April merupakan musim hujan dengan curah hujan yang tertinggi di bulan November, Desember dan Januari, dari bulan Mei sampai Agustus merupakan musim kering. Curah hujan tahunan berkisar antara 1500 – 2250 mm dengan kelembaban berkisar antara 69 – 81%. Suhu berkisar antara 24,9 – 27,5 C, dengan suhu minimum 20 oC di bulan September dan tertinggi 33 oC dibulan Juni. Suhu yang dan kelembaban yang tinggi menyebabkan proses pembusukan terhadap sampah organik terjadi lebih cepat dan penyimpanan/penumpukan sampah dalam waktu yang lama dapat menyebabkan timbulnya bau tak sedap dan sampah menjadi berulat.
35
V. GAMBARAN KONDISI PENGELOLAAN SAMPAH SAAT
5.1 Jenis-jenis Timbulan Sampah Sampah kota atau sampah rumah tangga terdiri dari sejumlah komponen utama: Sampah Rumah Tangga, yaitu: bahan sisa yang dihasilkan oleh rumah tangga (terdiri dari 1 orang hingga satu keluarga). Kategori ini biasanya terdiri dari bahan-bahan sampah yang relatif kecil (sehingga disebut sampah rumah tangga biasa), dan sampah pada interval waktu yang tidak tentu, bahan-bahan yang lebih besar (disebut timbunan sampah rumah tangga). Sampah Rumah Tangga Biasa, dapat dibedakan berdasarkan sejumlah komponen: Sampah organik: makanan, sayuran, sisa-sisa buah dan tanaman, tempurung kelapa, kotoran hewan, dll Sampah Kertas/kardus: koran bekas, material pembungkus Sampah Kaca: botol bekas/pecah, kemasan dari kaca Sampah plastik: alat-alat rumah tangga bekas/rusak, bahan kemasan (botol, cangkir, kaleng) Sampah tekstil: pakaian bekas, sepatu, gorden, perlengkapan tempat tidur, bahan-bahan kulit Sampah konstruksi/bongkaran bangunan: sisa sisa bahan bangunan, kayu, bata, batu, besi dan sejenisnya, dan sampah puing-puing dari kegiatan pembongkaran dalam jumlah kecil. Sampah logam: besi, non besi, timah, aluminium, dan bahan pengemas. Abu: termasuk sisa arang Sampah berbahaya: sisa bahan kimia di rumah, cat, batere, oli bekas, obat kadaluarsa. Kadang-kadang rumah tangga juga menghasilkan sampah rumah tangga yang berjumlah besar seperti dari perabotan dan alat rumah tangga bekas, dsb, (biasanya bahan-bahan seperti itu bisa digunakan kembali atau dibongkar dan sebagian komponennya dapat dipakai kembali). Sampah institusi: yaitu sampah yang dihasilkan oleh instansi nirlaba dan pemerintah, pelayanan publik, kantor, sekolah, lembaga pendidikan, lembaga keuangan dan kesehatan. Jenis sampah seperti ini memiliki kandungan bahan kertas/kardus yag tinggi dan sampah plastik (misalnya bahan pengemas). Sampah rumah sakit terdiri dari sampah menyerupai sampah rumah tangga dan sampah khusus rumah sakit atau sampah layanan kesehatan yang dihasilkan dari kegiatan operasi, kamar perawatan khusus, laboratorium, apotik, klinik khusus, dsb.
36
Di Banda Aceh tercatat banyak sekali terdapat fasilitas kesehatan, yaitu 6 rumah sakit, 3 klinik, klinik khusus (baik milik pemerintah maupun swasta), apotik, depot obat, praktek dokter/bidan, dsb. Sampah komersial: yaitu sampah yang dihasilkan dari kegiatan bisnis, perdagangan partai besar, toko, supermarket, kegiatan jasa, aktivitas pasar, rumah potong, dsb. Jenis sampah seperti ini sebagian ada yang hampir sama dengan sampah institusi, namun bisa pula mengandung sedikit barang yang sudah rusak dan tidak dapat dijual lagi, kotoran hewan, dsb. Sampah bangunan dan hancuran bangunan, yaitu material sampah yang dihasilkan dari konstruksi besar, renovasi dan kegiatan penghancuran bangunan (puing dan pecahan beton). Kelompok sampah seperti ini bisa mengandung pasir, semen, bata, batu, keramik, kayu, logam, plastic, komponen sistem utilitas, cat, aluminium pembungkus, bahan atap, dsb. Diketahui bahwa setelah gempa bumi dan tsunami jenis sampah seperti ini menimbulkan masalah besar dengan roboh dan hancurnya bangunan, dsb. Sampah seperti ini akan ada dalam jumlah yang besar untuk beberapa tahun kedepan mengingat masih tingginya aktivitas penghancuran dan pembangunan kembali yang sedang dan akan dilaksanakan. Sampah Kebun: yaitu sampah yang dihasilkan dari RTH, taman, makam, dsb. Sampah-sampah kecil dijalanan: yaitu sampah yang dikumpulkan dengan penyapuan di tempat-tempat umum, trotoar, kaki lima halaman depan toko/rumah, dll Tumbuh-tumbuhan dan sampah yang dikumpulkan dari dan sekitar sistem saluran terbuka dapat dimasukkan dalam kelompok ini. Rongsokan mobil dan komponen kendaraan yang rusak, ban yang ditinggal di tempat umum. Sampah industri, yaitu bahan sampah yang dihasilkan dari kegiatan industri/semi industri. Sampah jenis ini termasuk sisa-sisa berbagai macam material, bahan pengemas, produk yang rusak, produk samping, lumpur, sisa bahan organik (sayuran dan hewan), dll. Sering sekali sampah industri mengandung komponen berbahaya. Tidak tersedia data yang memadai terhadap komposisi dan jumlah laju produksi sampah kota berdasarkan jenis-jenis sampah yang dijelaskan diatas kalaupun ada adalah data sampah yang digabungkan dan dikumpulkan bercampur. Lebih jauh lagi, produksi sampah berjalan bersamaan dengan kebiasaan mengubur sampah, membakar sampah, memberi makan binatang piaraan dengan sampah organik dan membuang sampah tempat terbuka dan tanah kosong, dan lahan tanpa pemilik, dsb. Sesungguhnya produksi sampah rumah tangga berkisar antara 0,30 – 0,40 kg/orang.hari di pedesaan dan pemukiman liar dan daerah dengan pendapatan rendah, 0,40 – 0,55 kg/orang hari untuk daerah dengan pendapatan menengah kebawah, 0,55 -0,75 kg/orang hari untuk daerah dengan ekomoni menengah keatas, dan 0,75 – 1,00 kg/orang hari untuk kawasan
37
masyarakat dengan penghasilan yang tinggi (tergantung pada ukuran rumah tangga, pola konsumsi, kondisi kehidupan, pendapatan, status sosial, dsb). Karena kandungan bahan organik yang relatif tinggi (kadar airnya tinggi), kepadatan sampah rumah tangga berkisar antara 250 – 325 kg/m3. Daerah dengan pendapatan menengah dan tinggi memiliki kepadatan yang lebih rendah dibandingkan dengan daerah berpendapatan rendah (lebih banyak bahan buatan manusia). Biasanya data populasi dan proyeksi kedepan bersama-sama dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi digunakan untuk memperkirakan produksi sampah saat ini dan kedepan (bila data yang bersangkutan tidak ada). Pendekatan ini juga disarankan untuk kota Banda Aceh sebagai kota dan masing-masing untuk kesembilan kecamatan. Selanjutnya perlu dipertimbangkan aliran produksi sampah institusi dan komersial: bila tidak ada data yang memadai biasanya suatu persentase tertentu ditambahkan ke aliran sampah rumah tangga. Data yang tersedia adalah sebagai berikut: Menurut DKP: Populasi Laju produksi sampah perkotaan Produksi sampah actual Kepadatan sampah Sampah terangkut aktual
: 214.103 jiwa ( per 1 Pebruari 2006) : 0.70 kg/ person.day : 150 ton/hari : 250 kg/m3 : 112,5 ton/hari (75% dari sampah yang diproduksi) : 450 m3/hari
Komposisi sampah (dengan basis % berat, data dibulatkan).
Fraksi Sampah
Sampah di pemukiman Permanen
Sampah di pemukiman Sementara
Toko Grosir
Kedai Kopi
Restoran/war ung makan
Pasar
TPA
organics Plastics Paper Metals Textiles Glass Rubber
69 17 5 2 7 0 0
38 23 15 8 0 0 15
17 25 42 0 0 0 17
9 27 64 0 0 0 0
50 25 17 0 0 0 8
58 17 8 8 0 0 8
34 16 13 13 8 8 8
Menurut SOGREAH: Populasi Laju produksi sampah Produksi sampah actual Kepadatan sampah Volume sampah
: 215.000 jiwa : 0.60 kg/ person.day (tidak termasuk sampah komersial dan institusi) : 129 ton/hari : 300 kg/m3 : 430 m3/hari 38
Di pusat kota tambahan 25% ditambahkan untuk produksi sampah rumah tangga sebagai kontribusi tambahan dari sampah komersial dan institusi. Diasumsikan komposisi sampah (dalam persen berat) Organik Plastik Logam Kaca
: 60% : 10% : 15%( 55% aluminium, 45% baja) : 15%
(ini merupakan interpretasi yang lebih sederhana dari kenyataan sehari-hari, karena beberapa komponen merupakan bagian yang tidak terdefinisikan tidak diperhitungkan) Menurut USAID: Laju produksi sampah : 2.25 ltr./orang hari (sampah rumah tangga) : 2.38 ltr./orang hari (sampah rumah tangga ditambah sampah komersial) : 0.675 kg/orang hari (sampah rumah tangga ditambah dengan sampah komersial Kepadatan sampah : 300 kg/m3 ( rumah tangga barang sisa)
Menurut GTZ: Laju produksi sampah : 0.6 kg/orang hari, 2.7 ltr./orang hari Kepadatan sampah : 222 kg/m3, 400 kg/m3 yang dibuang ke TPA Cakupan pelayanan : 73% dari populasi Menurut ARCADIS: Produksi sampah berasal dari : Pemukiman Kawasan komersial Pasar Institusi Tempat umum Kegiatan sosial/Sekolah Total Kepadatan sampah
: 2.00 ltr./ orang hari : 0.50 ltr./ orang hari : 0.35 ltr./ orang hari : 0.05 ltr./ orang hari : 0.05 ltr./ orang hari : 0.05 ltr./ orang hari : 3.00 ltr./ orang hari : 400 kg/m3
Data produksi sampah yang dikumpulkan oleh Universitas Melbourne di Menteng Jakarta: Sampah rumah tangga Sampah pasar Sampah komersial Sampah institusi Sampah industri
: 0.67 kg/ orang hari : 0.30 kg/ titik hari : 0,20 kg/pekerja hari : 0.25 kg/pekerja hari : 0.69 kg/pekerja hari
39
Sampah penyapuan jalan
: 75 kg/km
Data komposisi sampah dalam % berat dan laju produksi dalam kg/orang hari, Kementrian Pekerjaan Umum Indonesia (1999). Komposisi, % wt Kertas Kayu/bambu Sampah dapur Teksti; Karet/kulit Plastik Logam Pasir, keramik, debu Kaca Lain-lain Laju produksi, kg/ orang hari
Medan Palembang Bandung Semarang Surabaya Jakarta
Ujung Pandang 14.2 1.2 65.8 1.2 0.4 6.2 1.9 1.3
17.5 48.2 2.3 13.5 3.5 -
18.8 75.2 0.3 0.5 3.3 0.8 -
10.4 63.6 1.8 4.1 5.6 0.9 -
12.3 25.7 34.1 1.6 1.1 13.5 1.8 0.5
12.5 71.9 1.9 0.5 7.6 0.9 -
10.1 3.1 65.1 2.5 0.5 11.1 1.9 -
2.3 12.7 0.50
0.4 0.6 0.69
1.5 12.1 0.97
1.7 7.6 0.46
0.9 3.8 0.82
1.6 2.3 4.1 5.6 1.0-3.5 0.90
Data diatas menunjukkan perbedaan parameter menyebabkan variasi yang besar. Data yang digunakan oleh DKP dan konsultan internasional tidak berdasarkan pada data aktual hasil perhitungan terakhir di Banda Aceh, akan tetapi berdasarkan data umum di Indonesia dan negara-negara yang setingkat. Sebagai contoh tidak ada data berat yang tersedia dari TPA (tidak ada jembatan timbang sama sekali di Banda Aceh), dan volume yang dibuang ke TPA Gampong Jawa hanya merupakan perkiraan kasar. Lebih dari itu, jumlah sampah yang dikumpulkan versus sampah yang dihasilkan (cakupan pelayanan berdasarkan daerah geografis dan persentase rumah tangga yang benar-benar dilayani) hanya diketahui berdasarkan perkiraan. Akhirnya, selama proses pengumpulan dan pembuangan sampah komponen-komponen sampah mulai dipisahkan oleh rumah tangga, petugas pengumpul, pemulung untuk dijual kepada pembeli keliling dan pembeli pengumpul untuk digunakan di daur ulang. Maka, ketelitian dalam penggunaan data sangat dibutuhkan, perlu diingat bahwa karakteristik setempat, pola social dan kebiasaan, dan kegiatan perdagangan yang menghasilkan sampah mempengaruhi produksi sampah actual dan komposisi sampah. Oleh karena itu disarankan untuk mengambil data produksi sampah dan komposisinya yang representative, lebih baik lagi bila dapat dibedakan berdasarkan status sosial (masyarakat ekonomi lemah, menengah, dan atas serta pusat kota dengan pendapatan yang beragam). Institusi pendidikan setempat dapat membantu kegiatan pengumpulan data tersebut. Ada banyak prosedur yang bisa digunakan untuk melakukan sampling dan analisa untuk menentukan data primer yang akurat. Berdasarkan informasi yang tersedia, produksi sampah rumah tangga regular diperkirakan sekitar 0,54 kg/orang hari ditambah dengan persentase tertentu untuk mempertimbangkan 40
sampah komersial dan institusi (termasuk sampah pasar), sampah jalan, sampah yang dibuang oleh orang Aceh Besar, dsb yang bekerja di Banda Aceh. Penambahan 35% (namun sayang sekali tidak bisa dijelaskan), diperoleh angka 0,73 kg/orang hari yang diasumsikan sebagai laju produksi sampah kota keseluruhan per orang. Perlu ditekankan bahwa perkiraan tersebut tidak termasuk adanya sampah konstruksi dan penghancuran bangunan (yang relatif tinggi). Lagipula, produksi sampah dianggap akan bertambah secara linier mengikuti pertambahan jumlah penduduk, dan pertumbuhan ekonomi (dalam hal ini pertumbuhan GRDP), diasumsikan menyebabkan kenaikan 67% dari total sampah yang dihasilkan. (karena itu pertumbuhan real GRDP 1,5% per tahun akan menyebabkan kenaikan produksi sampah sebesar 1,0% berat) Laju pertumbuhan penduduk 2,5% per tahun, dan laju pertambahan produksi sampah 1,0% per tahun, akan menyebabkan pertumbuhan total sebesar 3,0% per tahun. Produksi sampah per 1 Januari 2007 diperkirakan sebesar 157,0 ton/hari, kemudian akan naik hingga 187,5 ton per tahun dalam 5 tahun (ditambah 20%). Perlu ditekankan sekali lagi bahwa data mentah ini diperoleh dari perbandingan di berbagai tempat dan hingga saat ini belum ada data acuan untuk Kota Banda Aceh. Oleh karena itu dianggap perlu untuk melakukan penelitian secara sistematis untuk memperkuat asumsi tersebut, dimulai dari daerah pemukiman dan komersial yang sudah representative, dan penghasil utama sampah khusus, misalnya pasar, hotel, bandara, pelabuhan, rumah sakit, industri, puskesmas, dll. Sebagai tambahan, disarankan agar di TPA tidak hanya dicatat perkiraan volume saja, tetapi juga sumber/asal sampah yang dimuat perlu dicatat. Akan sangat membantu bila pencatatan aktivitas harian dapat memasukkan data berat yang diperoleh dari jembatan timbang yang dipasang di TPA Gampong Jawaatau di lokasi transfer station.
5.2 Gambaran tentang "Mata Rantai Sampah” Sebutan "mata rantai sampah" merupakan tahapan penggolongan sampah mulai dari sampah itu lahir hingga akhirnya dikubur, yaitu mulai dari asal sampah tersebut hingga tujuan akhirnya. Perlu disadari bahwa sepanjang tahapan tersebut melibatkan berbagai aktivitas yang mempengaruhi jumlah, kualitas dan komposisi. Sampah rumah tangga yang dihasilkan oleh masing-masing rumah tidak langsung dapat dilayani semuanya. Sangat tergantung pada kawasan (desa), dan akses ke sistem pengumpulan sampah yang resmi, sebagian barangkali dikubur, dibakar, diberikan ke bianatang piaraan, atau dibuang ke lahan terbuka/kosong, tempat-tempat umum, disepanjang jalan dan lorong, parit, saluran air, kanal, sistem drainase, dsb. Dan juga di titik pengumpulan sampah tradisional dan lokasi penempatan kontainer, sampah terkadang hilang dan dibuang, dan menjadi berserakan di lingkungan.
41
Lebih dari itu, bahan-bahan yang dapat didaur ulang yang bernilai bagi pemulung, pengumpul sampah daur ulang, dsb, selama alur mata rantai sampah di keluarkan dari aliran utama sampah. Hal ini dimulai dari titik penghasil sampah, rumah-rumah, lembaga non komersial, lembaga komersial dimana bahan yang dapat didaur ulang dib awa oleh pedagang pengumpul sepanjang rute pengumpulan oleh petugas pengumpul sampah dan di TPA oleh sekelompok pemulung. Manfaat finansial merupakan daya dorong utama dan persaingan terjadi di pasar yang tidak terstruktur dan tidak diatur oleh intervensi pemerintah. Kepedulian terhadap lingkungan (pemanfaatan ulang bahan, pengurangan bahan sampah yang harus dibuang) hanya sedikit mendapat perhatian dari orang-orang yang terlibat. Untuk memberikan gambaran tentang nilai pasar dari berbagai komoditas, sejumlah data telah berhasil dikumpulkan (Rp/kg): Komoditas Besi Botol Plastik Plastik Kaleng Aluminium Aluminium Kawat Tembaga Tembaga Kertas/Kardus Botol kaca
Pembeli dari pintu ke pintu (Rp) 1.400 1.000 1.100 9.000 12.000 40.000 15.000 175 200
Pedagang pengumpul/lapak 1.600 1.500 1.600 10.000 13.000 45.000 20.000 400 350
Pedagang Penyalur 2.100 3.500 4.000 13.000 17.000 55.000 30.000 600 500
Keuntungannya rendah dan jelas sekali bahwa jumlahnya harus besar agar kegiatan pengumpulan menarik secara ekonomis. Dengan analisis sampah yang diterangkan diatas, sesungguhnya bisa diperoleh barang-barang daur ulang yang memiliki nilai ekonomis sebesar 60 – 70% bila sistem melibatkan semua semua rumah tangga dan penghasil sampah non komersial, dan didukung secara terstruktur oleh pemerintah kota. Dan ini akan mampu memberikan kontribusi pemasukan sebesar 10 milyar per tahun. Di Banda Aceh ada lebih kurang 35 buah pusat penampungan bahan daur ulang yang memberikan lapangan kerja bagi tidak kurang 100 orang. Di TPA sendiri ada sekitar 40 orang yang menggantungkan hidupnya dengan memulung bahan daur ulang dan menjualnya ke pedagang perantara. Di Banda Aceh ada sekitar 5 orang pedagang perantara yang menjual barang daur ulang yang sudah dipisahkan ke pembeli di Medan. Rincian jumlah bahan daur ulang yang dikumpulkan dan dijual masih sedang dikumpulkan. Selain itu, TPA saat ini yang ada di Gampong Jawa merupakan tujuan akhir dari semua sampah rumah tangga, sampah institusi dan komersial yang dikumpulkan di Banda Aceh (bahkan beberapa kecamatan di Aceh Besar yang berbatasan dengan Kota Banda Aceh juga membuang sampah mereka kesini). Proses pengumpulan sampah yang ada sekarang masih mencampurkan beberapa kategori sampah tersebut, tidak ada rute pengumpulan terpisah untuk sampah komersial dan/atau sampan institusi.
42
Beberapa armada pengangkutan swasta kadangkala ada juga yang mengangkut sampah milik pihak ketiga ke TPA di Gampong Jawa (izin dari pemda tidak dibutuhkan untuk melakukan pengangkutan ini, kegiatan ini dibiarkan diluar kendali pemerintah). Sejauh ini belum ada sistem yang khusus untuk menangani sampah (komponen sampah) berbahaya baik dari aspek pengumpulan maupun pembuangan akhir (kecuali adanya fasilitas incenerator di rumah sakit umum). Oleh karena itu sebagian besar sampah medis dibuang ke TPA (banyak ditemukan obat kadaluarsa di TPA).
5.3 Fasilitas dan Peralatan Pengelolaan Sampah
Keseluruhan sistem pengelolaan sampah terdiri atas sejumlah komponen, yaitu.: Penyimpanan Sementara Sampah: Tempat sampah atau wadah sampah perorangan jarang sekali digunakan. Sampah disimpan dan ditempatkan di titik-titik pengumpulan dalam kantong plastik dengan berbagai ukuran dan kualitas, kardus, keranjang yang terbuat dari fiber atau dalam keranjang plastik. Sekarang sangat tergantung pada masing-masing rumah tangga dan lembaga komersial untuk mengatur sendiri penanganan sampah secara internal dan dirumah masing-masing. Berdasarkan perda yang sudah ada saat ini, DKP berhak menentukan jenis dan bahan tempat sampah, namun hal ini belum bisa dijalankan. Wadah tong plastik dalam jumlah terbatas (warna merah dan biru) sekitar 200 buah telah dibagikan ke sejumlah desa sebagai bagian dari pilot proyek untuk menguji kesiapan rumah tangga dalam melakukan pemisahan antara sampah basah dan sampah kering. Sejumlah kontainer putih dan kuning dengan volume sekitar 6 m3 telah disebarkan di sejumlah tempat di barak pengungsi untuk penggunaan secara bersama dan disejumlah tempat lain dimana rumah-rumahnya sulit untuk diakses oleh truk pengangkut sampah rutin dan tempat-tempat komersial. Kontainer ini juga dipakai di pasar-pasar utama. Kendaraan dan Peralatan Mekanis Proses pengumpulan sampah aktual dilakukan dengan: -
26 unit dump truk (termasuk 1 unit truk bak kayu) 11 unit truk arm roll hidraulik 10 unit pick up 4 unit truk compactor (2 unit bantuan IOM tidak berfungsi dengan baik) 1 unit truk penyapu jalan (tidak berfungsi dengan baik)
dan beberapa kendaraan lainnya. Berikutnya, di TPA, dan untuk penggunaan umumnya di Kota, ada beberapa peralatan yang tersdia: -
5 unit wheel loader
43
-
5 unit backhoe loader 5 unit bulldozer
Sejumlah peralatan ada yang dimanfaatkan oleh sejumlah NGO untuk melayani barak pengungsi dan membantu kegiatan rekonstruksi (misalkan 9 unit dump truk yang digunakan oleh DKP atas untuk UNICEF). Gambaran kendaraan/peralatan yang ada serta alokasi per kecamatannya dapat dilihat dalam lampiran 10 dan 11. Untuk alasan koordinasi nternal dan eksternal, maka disarankan agar kendaraan yang selama ini masih dimanfaatkan oleh NGO perlahan-lahan dikembalikan ke DKP dengan mempertimbangkan tugas pokok penanganan sampah oleh DKP. Kepemilikan harus memperkuat keberadaan dinas dan proses logistik keseluruhan dapat dilakukan dengan adanya sistem perencanaan terpusat. Oleh karena itu maka disarankan untuk memperkuat kapasitas perencanaan operasional sejalan dengan meluasnya cakupan kerja DKP. Disamping itu, hal ini terkait juga untuk memperoleh transparansi maksimum dalam hal kapasitas yang tersedia terhadap kapasitas yang dibutuhkan, dalam konteks mengembangkan Master Plan pengeloaan sampah.
TPA (dump site): TPA dan fasilitas penunjang lainnya (bengkel, IPLT) tersapu bersih akibat tsunami tetapi telah dibangun ulang, direhab ulang dan sebagian diperluas untuk menampung banyaknya puing-puing dan bongkaran bangunan untuk memisahkan bahan-bahan sampah tersebut (untuk penggunaan kembali), dan untuk memulai sebuah bengkel dan gudang pembuatan perabot yang mengolah kayu bekas dari bangunan/benda yang sudah rusak. IPLT juga sudah dibangun kembali. Perluasan TPA Gampong Jawa seluas 9 ha lagi dilakukan untuk menampung sampah 3 – 5 tahun lagi, memindahkan bengkel (workshop) DKP dan membangun areal pool kendaraan/peralatan, membangun fasilitas untuk pemisahan dan daur ulang sampah kedepan sedang didesign (lihat perencanaan pembangunan yang dibuat oleh ARCADIS di bulan Desember 2006 untuk UNDP, sebagai pihak perantara dengan BRR; lihat lampiran 16)
Kantor DKP: Kantor utama DKP baru saja selesai dirombak dan diperbesar, dan sentuhan akhir akan segera diselesaikan (tergantung pada pengesahan anggaran 2007 oleh DPRK). Bengkel masih berada di depan kantor utama, menunggu relokasi ke TPA Gampong Jawa. Selain dari pada itu, DKP tidak memiliki fasilitas kantor pusat atau cabang atau fasilitas tambahan lainnya di Banda Aceh.
44
5.4 Pihak-pihak Umum dan Swasta yang Terlibat dalam Operasional Pengelolaan Sampah DKP merupakan lembaga utama yang ditugaskan oleh pemerintah untuk memberikan pelayanan pengelolaan sampah. Pemungut sampah swasta masih belum ada. Organisasi DKP terdiri dari 360 karyawan/pekerja, dan sebagian besar pekerja lapangan; dibawah subdis operasional, yang menangani pembersihan jalan, pemungutan sampah, pembersihan saluran, dan pengangkutan sampah/lumpur, dengan jumlah pekerja mencapai 85% dari seluruh karyawan/pekerja yang ada. Kegiatan sehari-hari dijadwalkan berdasarkan sistem zonasi, namun pembagiannya belum berdasarkan batas administrasi kecamatan; ada 5 zona kerja dan 9 kecamatan. Disamping tugas pembersihan jalan dan pengumpulan sampah yang dilakukan secara tradisional dan rutin, perhatian juga diberikan untuk membersihkan sampah dari got, bantaran dan saluran air serta kanal. Namun demikian ada langkah-langkah yang telah dilakukan untuk menggalakkan pemisahan sampah dari sumbernya di masyarakat seperti yang dilakukan oleh FCM (pembuatan pupuk kompos skala rumah tangga), UNICEF (tong sampah biru dan merah) yang difasilitasi oleh DKP. Sejauh ini belum ada perusahaan swasta yang terlibat baik dalam pembersihan rutin jalan dan pengumpulan sampah dari rumah tangga, institusi pemerintah, ataupun lembaga komersial. Akan tetapi sejumlah lembaga membawa sendiri sampah mereka ke TPA. Sebaliknya, pemungutan bahan yang dapat didaur ulang dan usaha pemilahan hanya dilakukan oleh pengusahan swasta dan pengusaha kecil, dan DKP belum memberikan bantuan modal untuk mengembangkan kegiatan ini atau bekerjasama dengan sektor informal ini. Dengan mengasumsikan DKP masih tetap menjadi pemain utama dimasa depan dalam pengelolaan sampah secara terintegrasi, maka DKP harus terbiasa dengan metode kerja dan prinsip-prinsip komersial sektor ini untuk mengembangkan kapasitas, mengarahkan dan mempromosikan kegiatan ini serta tidak melibatkan diri secara langsung. Dalam konteks ini perlu dipisahkan antara antara bahan daur ulang yang telah memiliki nilai ekonomis, seperti logam, kertas/kardus, kaca, beberapa jenis plastik dengan sampah organik yang dapat diolah menjadi kompos dan memiliki manfaat bagi pertumbuhan tanaman, namun belum memiliki pasar. Sementara laju pertumbuhan pasar komersial bagi bahan daur ulang dapat terjadi akibat adanya prasyarat yang menguntungkan, maka pasar komersial bagi kompos juga harus dikembangkan secara besar-besaran oleh pemerintah bekerjasama dengan sektor swasta tertentu. Berkembangnya pasar bagi kompos memiliki potensi yang significant dalam menurunkan arus sampah yang masuk ke TPA, yang berdampak terhadap pengurangan biasa transportasi dan bertambahnya umur TPA.
45
5.5 Aspek Sosial dan Komunikatif Aspek sosial terkait dengan tradisi, budaya dan pengaruh agama, dsb, dan dijabarkan dalam praktek, penanganan sampah sehari-hari. Pengendalian sosial pada umumnya terkait dengan kebiasaan, sentuhan terhadap kesehatan dan kebersihan umum, kesehatan lingkungan dan konservasi, pencegahan gangguan dan estetika, dan sistem pendidikan sosial yang terpadu merupakan hal yang sama pentingnya dalam mengemas masalah ini. Budaya islam yang kental di bagian utara Sumatera dimana dilarang untuk membuang-buang makanan: makanan sisa digunakan kembali, dimana bila tidak layak lagi dikonsumsi manusia, bisa diberikan kepada ternak/binatang peliharaan. Berbagai segmen dari masyarakat setempat dan komunitas, LSM, kelompok wanita, dsb, bersama-sama berpartisipasi dengan seksi-seksi di pemerintah daerah untuk memperkenalkan perilaku yang disiplin dan sadar lingkungan kepada warga masyarakat dalam hal penanganan sampah. Meskipun musibah gempa bumi dan tsunami telah menggeser berbagai prioritas, adalah hal yang penting untuk memasukkan proses rehabilitasi sosial dalam penanganan dan tanggung jawab tradisional. Dalam prakteknya hal ini telah dipraktekkan dengan cepat dalam hal pengumpulan dan pengankutan sampah diantara korban tsunami. Karena aktivitas dalam lingkup perorangan dan umum tergantung pada kebiasaan dan tingkah laku tradisional, maka penting untuk disadari bahwa peningkatan pengelolaan sampah di Banda Aceh memiliki komponen sosial dan berbasiskan masyarakat (didasarkan pada pertimbangan antara lain, kesehatan, keindahan dan lingkungan hidup). DKP tidak memiliki kapasitas komunikasi yang profesional dan belum terbiasa mengembangkan dan memberikan informasi/kampanye kepada masyarakat (tentang pencegahan dan anjuran). Pendekatan yang dilakukan lebih bersifat operasional dimana penyuluhan bagi masyarakat umum diberikan melalui penyuluhan dengan mobil penyuluh ke jalan-jalan dan pemukiman penduduk. Bahkan, Bagian Humas Sekretariat Kota tidak terlibat dalam komunikasi dan kampanye yang berkaitan dengan masalah sampah. Demikian juga halnya kerjasama dengan wartawan dan media yang masih belum kuat dan tidak terfokus pada perilaku terhadap lingkungan, kebiasaan dalam menangani sampah dan pelayanan yang diberikan oleh Pemda. Manajemen DKP sadar akan kekurangan yang ada dalam organisasinya dan telah merekrut 9 orang fasilitator untuk membantu manajemen DKP dalam berdialog dengan pihak dari kecamatan, kelurahan dan desa, serta dengan sejumlah organisasi kemasyarakatan, NGO dan lembaga pendidikan, dsb. Konsep jaringan, membangun hubungan, membangun saling pengertian ini sangat membantu DKP dalam menangani keluhan masyarakat. Meskipun ini merupakan hal yang baru dalam organisasi di Pemda, namum memiliki potensi yang cukup besar.
46
Saat ini, FCM sedang membantu kegiatan memperkenalkan pembuatan pupuk kompos skala rumah tangga di desa Gampong Jawa dan Pesantren Babunnajah yang dibantu oleh dua orang tenaga non permanent (composting specialist) yang khusus direkrut oleh DKP.
5.6 Pelayanan yang Diberikan Penyapuan rutin jalan dilakukan disebagian daerah komersial dan pemerintahan yang ada di pusat kota. Prosesnya dilakukan secara tradisional, manual, dengan menggunakan sapu lidi, sejumlah tong sampah beroda untuk penampungan sementara dan pengangkutan dan pemindahan sampah dilakukan dengan menggunakan pick up. Penyapuan dengan mekanis tidak dilakukan (truk penyapu jalan yang diperoleh dari IstanbulTurki, tidak berfungsi dengan baik). Fokusnya adalah sisi-sisi jalan, sekitarnya dan sedikit didaerah trotoar dan jalur pejalan kaki. Padatnya lalu lintas dan kendaraan yang parkir di sepanjang jalan sangat mempengaruhi efektivitas dan operasional pembersihan. Jalan-jalan sekunder dan jalan-jalan di pemukiman penduduk tidak dilakukan penyapuan. Aktivitas lainnya adalah pemungutan sampah sepanjang saluran air dan bantaran sungai dimana terjadi tumpukan sampah rumah tangga dan sampah-sampah kecil. Pengangkatan rutin sampah mengapung dan lumpur di sistem saluran terbuka dilakukan sesuai dengan giliran,dengan frekwensi sebulan sekali. Namun frekwensi ini masih dirasakan kurang, terutama untuk pusat kota. Sistem yang ada sekarang ini sangat rawan terjadinya pengotoran dan pencemaran, dan kondisi cuaca mendorong menghilangnya sampah kecil dan debu di jalanan karena masuk ke saluran. Melihat kemiringan saluran yang ada, maka air kotor tidak mengalir sehingga debu dan sediment menumpuk di dalam sistem saluran. Kondisi kerja pekerja saluran sangatlah buruk bila melihat cara kerja mereka, metode yang digunakan, dan kurangnya akses yang memadai ke saluran individu. Pengumpulan sampah rutin dari pintu ke pintu juga dilakukan di pusat kota, zona yang beragam, institusi yang besar, dan disepanjang jalan arteri dan jalan penghubung. Jalan-jalan disepanjang kawasan bisnis mendapat pengangkutan sampah dua kali sehari, 7 hari seminggu, sedangkan di kawasan pemukiman sebagian dilayani dua sampai tiga kali saja per minggunya. Pada tempat-tempat tertentu dimana terjadi tumpukan sampah dalam jumlah yang besar, ditempatkan kontainer 6 m3 langkah antisipasi. Namun tidak semua orang senang dengan sistem ini dan sering sekali dijumpai sampah yang dibuang disamping kontainer yang menyebabkan gangguan kesehatan, pencemaran lingkungan dan gangguan keindahan. Kadang-kadang ada kontainer yang dibakar, yang barangkali disebabkan oleh ketidak senangan mereka terhadap keberadaan kontainer oleh masyarakat sekitar. Kontainer ini sebenarnya memiliki masfaat yang besar di pasar, supermarket, industri, dsb dan di berbagai lokasi tertentu lainnya dimana banyak sekali dihasilkan sampah dengan frekwensi yang tinggi. DKP sebenarnya telah melakukan pendataan pola pelayanannya; dan kelihatan bahwa 12 dari 90 desa – sekitar 15% dari penduduk - tidak menerima pelayanan pengambilan sampah.
47
Berdasarkan profil pelayanan saat ini, perubahan dan perluasan cakupan pelayanan yang ada saat ini perlu dikembangkan dan dilakukan.
5.7 Keuangan dan Pemenuhan Biaya Rincian anggaran DKP: Anggaran DKP terdiri dari sejumlah rekening. Ada sejumlah rekening dengan mata anggaran yang sama untuk kegiatan yang berbeda, sebagai contoh anggaran untuk gaji, dan ada rekening dengan mata anggaran yang berbeda untuk satu kegiatan tertentu, sebagai contoh untuk anggaran TPA. Pada lampiran 19 ditampilkan rincian anggaran tahun 2007. Anggaran adalah berorientasikan input dan tidak cocok untuk dikaitkan dengan data keluaran atau kegiatan tertentu. Dari sudut pandang bidang keuangan, kebanyakan rekening tidak begitu berperan. Dari total anggaran yang ada, 87%-nya hanya berada di 5 rekening utama. Sesuai dengan peraturan pemerintah (Permendagri) maka penganggaran harus dibuat dengan rinci. Rincinya anggaran ini sebenarnya tidak memberikan nilai tambah yang relatif bagi kualitas anggaran itu sendiri dan dapat mengurangi transparansi anggaran.
Proses Penyusunan Anggaran: Tahun anggaran dimulai 1 Januari hingga 31 Desember. DKP sendiri bertanggung jawab dalam penyusunan anggarannya sendiri yang pada umumnya mengacu kepada anggaran tahun berjalan. Bila dirasa perlu, dilakukan perubahan sesuai dengan kebutuhan yang baru atau perubahan dari kebutuhan yang sudah ada. Usulan tersebut dibahas di DKP, terutama sekali pada tingkatan manager zona. Mereka merupakan pihak yang sehari-harinya terlibat dengan operasional dan pelaksana tugas. Usulan tersebut harus mendapat pengesahan dari kepala dinas. Belum ada sistem akuntansi biaya, oleh karena itu penyusunan anggaran tidak didukung oleh data, tetapi oleh pengalaman sebelumnya. Anggaran dinas harus di masukkan ke bagian keuangan per 1 Desember (menurut ketentuan), agar bisa dibahas dan dimasukkan dalam anggaran pemerintah kota. Anggaran dari berbagai dinas di susun dalam bentuk RKA (Rencana Kerja Anggaran) yang selanjutnya dibahas oleh Panitia Anggaran. Penilaian dilakukan hanya pada rencana anggaran dan tidak ada data output. Dinas harus mempertahankan anggaran masing-masing yang dibuat dalam RKA. Proses pembahasan dan penilaian membutuhkan banyak waktu. Anggaran pada umunya disahkan pada bulan Maret atau April. Selama waktu tersebut dinas hanya diperbolehkan membelanjakan kebutuhan rutin dan kebutuhan yang tak dapat ditunda. Pengeluaran lainnya tidak diperbolehkan. Tidak ada sistem anggaran multi tahunan. Pengajuan keuangan dan kebijakan tidak melebihi periode penggangaran satu tahun.
48
Administrasi dan Akuntansi: Sistem akuntansi diatur sedemikian rupa sehingga anggaran dibuat berdasarkan kode rekening. Pengeluaran dan penerimaan dicatat dalam buku akuntansi. Sistem pengarsipan merupakan sistem sekali tulis. Artinya pengeluaran dan penerimaan dicatat berdasarkan urutan waktu, sehingga tidak ada pencatatan modal. Kebanyakan aliran uang dalam bentuk tunai. Karena itu kadang kala uang tunai dalam jumlah bersar disimpan di kantor DKP. Belum ada prosedur tertentu untuk mengontrol uang tersebut. Sistem akuntansi belum menggunakan komputerisasi, pencatatan dilakukan dalam buku catatan. Salah seorang pegawai bertanggung jawab terhadap buku ini. Buku tersebut tidak disimpan di tempat yang aman dan tidak ada sistem back up. Kelengkapan: Budget DKP tahun 2007 tidak mewakili gambaran yang lengkap dari kegiatan-kegiatan yang telah direncanakan. Pengeluaran dan penerimaan yang terkait dengan sejumlah kegiatan tidak tergambarkan. Sebagai contoh, penerimaan dari penyedotan tinja diperhitungkan sebesar hanya untuk mencapai target. Penerimaan tambahan yang diharapkan tidak diperhitungkan. Anggaran memberikan gambaran yang tidak sesuai terhadap situasi keuangan dan posisi dinas. Investasi yang penting yang memiliki manfaat multi tahunan tidak dimasukkan dalam anggaran atau didepresiasikan dalam tahun pembelian barang modal (sebagai lump sum). Indeksasi/tingkat harga: Dibandingkan dengan anggaran tahun 2006, anggaran DKP tahun 2007 tidak terjadi kenaikan. Akan tetapi kenaikan kapasitas telah diasumsikan dalam anggaran 2007. Tidak jelas pada tingkat harga berapa yang menjadi dasar dari anggaran tahun 2007.
Aliran Tunai/Dana: Untuk melakukan penarikan dana, DKP harus menyiapkan Surat Permintaan Pembayaran secara berkala, biasanya setiap bulan yang menggambarkan perkiraan kebutuhan anggaran untuk periode berikutnya. Setelah ditandatangani oleh kepala dinas, permintaan ini dimasukkan ke balai kota. Permintaan tersebut diperiksan agar sesuai dengan anggaran tahun 2007. Bila permintaan tersebut sesuai dengan anggaran, balai kota akan mentransfer sejumlah uang ke rekening DKP. Transfer uang terjadi hampir seluruhnya dalam bentuk tunai, meskipun DKP memiliki rekening bank. Kepala Dinas merupakan orang yang bertanggung jawab menandatangani check untuk pengambilan uang. Sebelum melakukan penandatanganan dia bertanya perkiraan jumlah uang yang perlu dicairkan. Bendahara DKP mengatur arus pembiayaan tunai. Pengeluaran aktual hanya boleh dilakukan atas persetujuan kepala dinas.
49
Prosedur Pengeluaran Uang: Hampir semua pembayaran dilakukan dengan tunai. Dengan pemasok tidak ada pemberitahuan untuk anggaran saat ini. Untuk membeli BBM supir menerima sejumlah uang muka dan untuk mempertanggung jawabkannya kepada supir diminta untuk mengumpulkan kwitansi/faktur pembelian. Bengkel perawatan kendaraan dan peralatan hanya memiliki sedikit suku cadang di gudang. Untuk membeli suku cadang harus mengisi formulir. Dalam formulir tersebut disebutkan suku cadang apa yang dibutuhkan dan berapa biayanya. Petugas workshop menerima uang dan membeli suku cadang. Fakturnya diserahkan kepada bagian administrasi dan dilampirkan dalam kwitansi pembayaran tunai. Kwitansi tersebut kemudian dicatat dalam buku yang terpisah. Perhitungan pembayaran gaji didasarkan pada pencatatan kehadiran masing-masing orang. Pembayaran gaji dilakukan sekali sebulan. Pembayaran dilakukan oleh sub bagian keuangan dibawah Tata Usaha. Pembayaran dilakukan dengan tunai dan setiap pegawai harus menandatangani bukti penerimaan.
Penerimaan: Dalam anggaran DKP penerimaan diperoleh dari pelayanan pemakaman dan penyedotan tinja. Penerimaan dari pemakaman terkait dengan pelayanan penghantaran jenazah dengan mobil ambulan. DKP menawarkan pelayanan tersebut, namun tidak ada keharusan untuk memakai pelayanan dari DKP. Penerimaan relatif kecil. Permintaan untuk pelayanan septik tank dilakukan melalui telepon. Di kantor DKP daftar permintaan dicatat disecarik kertas. Setelah pelayanan diberikan, pengguna jasa harus segera melakukan pembayaran ke petugas berdasarkan tarif yang disetujui. Uang yang diterima disetorkan ke kas DKP sekaligus dengan bukti pembayaran. Penerimaan yang wajib dibayarakan adalah sesuai dengan target. Penerimaan yang melampaui target digunakan oleh DKP untuk menutupi biaya operasional yang tidak dicover oleh anggaran. Selama beberapa tahun tarif tidak dilakukan penyesuaian berdasarkan tingkat biaya operasional sesungguhnya. Dalam Perda Kota Banda Aceh No. 10 tahun 1999 diatur tentang retribusi pelayanan kebersihan. Tarifnya ditetapkan pada tahun 1999 dan tidak dilaksanakan sepenuhnya. Tarif didasarkan pada luas bangunan. Ada perbedaan antara perumahan dan sektor komersial. Tingkat tarif bagi sektor usaha tidak ada korelasi dengan sampah yang dihasilkan oleh kegiatan usaha tersebut. Sebelum Tsunami sebagian rumah tangga dikenakan wajib retribusi. Setelah tsunami aktivitas ini berhenti. Pada saat ini hanya kegiatan usaha yang berlokasi disepanjang jalan utama dan di pusat kota ditagih oleh Dinas Pendapatan Daerah (DIPENDA). Sejauh ini tidak ada tukar menukar informasi antara DKP dengan DIPENDA terkait dengan penagihan retribusi ini (misalkan jumlah dan jenis bangunan dan peruntukannya). Dalam melakukan penagihan DIPENDA menggunakan data mereka sendiri. Update data secara periodik dilakukan melalui pengamatan di lapangan.
50
Retribusi pengelolaan sampah harus dibayar setahun sekali. Pembayaran secara berkala tidak memungkinkan. Pemungutan dilakukan dengan cara tunai. Pengihan dilakukan berdasarkan surat penetapan wajib retribusi yang dikeluarkan oleh DIPENDA. Petugas dari DIPENDA mengunjungi pemilik usaha dan memberikan surat tagihan retribusi. Biasanya sekaligus dengan pajak-pajak daerah dan pusat lainnya. Pemilik usaha biasanya langsung membayar dan menerima kwitansi sementara. Uang yang diterima kemudian disetorkan ke DIPENDA dan petugas akan menerima kwitansi asli yang kemudian diserahkan kepada pemilik usaha. Terkait dengan penagihan retribusi, tidak ada term pembayaran yang tegas. Bila pemilik usaha menyatakan mereka tidak mampu membayar saat ini dan akan membayar bulan depan, petugas pemungut harus kembali lagi bulan depan. Bila pemilik usaha menolak untuk membayar, mereka akan menerima surat pemanggilan dari DIPENDA untuk diminta datang ke kantor. Bila hal ini tidak ditanggapi, maka akan dilayangkan surat pemanggilan kedua dari DIPENDA. Salinan surat pemanggilan ini ditembuskan ke PEPERDA. Bila pemilik usaha masih menolak untuk datang, belum ada kejelasan apa tindakan berikutnya yang akan ditempuh. DIPENDA and DKP telah membuat kesepakatan bahwa mulai 2007 DKP akan melakukan pendataan dan pengumpulan retribusi sampah. Bagaimanapun DKP harus membangun sub dinas yang khusus mengurusi masalah ini (personil, pendataan, kapasitas penegakan hukum, dsb) agar mampu menangani semua pekerjaan tersebut. Dalam anggaran DKP tahun 2007 tidak ada anggaran untuk melaksanakan kegiatan tersebut.
Peralatan DKP: Akibat dari Tsunami, sebagian besar peralatan DKP hilang. Peralatan yang ada saat ini adalah sisa dari tsunami, dan dari bantuan. Anggaran DKP tidak memberikan gambaran tentang biaya terkait dengan investasi peralatan. Biaya tersebut merupakan bagian dari anggaran Bagian Umum. Akuntabilitas: Dalam anggaran DKP, alokasi sub anggaran dijabarkan dengan rinci. Dinas tidak diizinkan untuk merubah sendiri alokasinya. Sekali setahun, pada bulan Juni, dinas dapat mengusulkan perubahan anggaran ke bagian keuangan. Akibat dari ketatnya alokasi sub anggaran, anggaran tahunan menjadi alat yang tidak fleksibel, seluruhnya tergantung pada input. Untuk rekening tertentu tidak ada keleluasaan dan harus mengikuti tingkat rincian yang sangat detail. Hal ini menyebabkan rekening yang tidak mewakili kondisi sebenarnya dari pelaksanaan, tetapi rekening yang menunjukkan situasi keuangan yang yang pas dengan anggaran. . Penggunaan anggaran diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Pemeriksaan dilakukan terutama pada penyimpangan terhadap anggaran, dan hanya pada penganggaran. BPK hanya memeriksa dokumen yang dibuat terpisah. Dokumen asli tidak diperiksa. Setiap bulan dan setiap kwartal dibuat laporan kemajuan dan realisasi dari anggaran pemda. Setiap dinas harus membuat laporan tersebut. Laporan hanya berisi data keuangan.
51
Data Produktivitas: Belum ada sistem untuk melakukan administrasi data produktivitas. Sistem pencatatan dan perekaman dan pengolahan data yang ada saat ini tidak sesuai untuk menghasilkan data semacam itu. Pada tingkatan manager zona ada sejumlah pemahaman terhadap produktivitas, tetapi pemahaman tersebut hanya didasarkan pada pengalaman dan datanya tidak dicatat dan diproses secara sistematis.
5.8 Kesadaran Masyarakat dan Penegakan Perda (Qanun) Peningkatan kesadaran masyarakat dan pendidikan bertujuan untuk memberikan pengetahuan dan pengertian, tingkah laku, norma dan nilai-nilai dan sikap nyata terhadap kesadaran pengelolaan sampah ditempatnya masing-masing. Masalah sampah selalu terkait dengan penyuluhan tentang kebersihan dan menjaga kebersihan, arahan-arahan bagi penghuni rumah, program pendidikan di sekolah dasar dan mesjid, dan program pendidikan bagi orang (wanita) dewasa. Dari waktu ke waktu diadakan lomba bagi desa terbersih: kegitan tersebut dilaksanakan oleh kepala desa organisasi kemasyarakatan, dan didukung oleh DKP. Kesadaran masyarakat dan pendidikan, penegakan Perda/Qanun terkait, dan adanya sistem dan kegiatan pengelolaan sampah yang efektif, harus dilakukan secara seimbang agar diperoleh hasil yang optimum. Bila ketiga aktivitas tersebut tidak seimbang, atau tidak dilaksanakan secara efektif, maka hasil keseluruhannya akan kurang optimal. Fasilitator yang direkrut baru-baru ini, mendukung kegiatan manager zona dan dilibatkan dalam program informasi untuk menjelaskan bagaimana seharusnya pengelolaan sampah itu dilakukan terutama kepada penghasil sampah. Leaflet sudah dicetak yang berisi aturan yang sah tentang penanganan dan pengumpulan sampah disertai dengan penjelasan yang mudah dimengerti. Leaflet-leaflet tersebut dibagikan kepada pemilik toko dan tempat usaha, dll oleh DKP yang dibantu oleh pihak kepolisian. Secara umum terlihat bahwa aturan mainnya harus mendapat perhatian lebih, sehingga aktivitas yang dilakukan tersebut akan membantu kerjasama dengan masyarakat luas. Terlihat bahwa masyarakat dan pedagang sebagian besar tidak mengetahui aturan-aturan dasar dalam pengelolaan sampah. Penegakan peraturan daerah, termasuk juga peraturan daerah terkait dengan DKP, yaitu tentang kebersihan dan keindahan, merupakan tugas polisi khusus, PEPERDA. Akan tetapi dalam praktek di lapangan, penegakan secara aktif (secara represif, memberi surat tilang) tidak dilakukan. Tidak ada standard denda atas pelanggaran tertentu (hanya maksimum 5 juta rupiah; besar denda sebenarnya ditentukan oleh kejaksaan) Kejaksaan juga menetapkan apakah biaya pemindahan sampah yang tidak dibuang pada tempatnya atau pembuangan sampah secara illegal tersebut akan dibebankan kepada pelanggar.
52
PEPERDA mengendalikan dan memonitor kepatuhan dari pihak perusahaan dan usaha swasta yang meminta izin gangguan. Pada kasus yang berat, surat izin tersebut dapat dicabut (melalui pengadilan), tetapi biasanya kegiatan usahanya masih bias berlanjut. Penyelesaian yang sah terhadap pelanggaran-pelanggaran dalam pembuangan sampah (sampah tidak beracun) jarang sekali terjadi, sehingga dianggap sebagai langkah yang sulit dan tidak efektif. Masalah sampah berbahaya ditangani dan diawasi oleh BAPEDALDA Provinsi NAD melalui bidang pengawasannya.
53
VI. DIAGNOSA KEKURANGAN DAN OPSI UNTUK PERBAIKAN 6.1 Evaluasi Kekuatan dan Kelemahan Masing-masing Aspek A: Hukum/Peraturan Saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang telah disahkan mengenai pengelolaan sampah. Kementrian Pekerjaan umum telah mengusulkan beberapa panduan teknis dan normative, namun panduan ini tidak memberikan arahan yang memadai bagi pemerintah daerah terkait dengan berbagai aspek pengelolaan sampah. Pada tahun 2003, draft RUU persampahan telah disusun, dan saat ini sedang dibahas di pansus DPR RI. Di tingkat provinsi belum ada peraturan yang khusus mengatur tentang pengelolaan sampah. Namun demikian pemerintah provinsi terlibat dalam penentuan lokasi TPA, AMDAL seperti halnya untuk lokasi TPA baru yang diusulkan di Aceh Besar) Di tingkat Kota, sudah ada qanun no. 5 tahun 2003 tentang Kebersihan dan Keindahan. Adapun inti dari isi qanun tersebut adalah sebagai berikut: Cara penanganan sampah kota di masyarakat ditentukan oleh pemda (pasal. 4) Segala cara penanganan lainnya dilarang dan dianggap sebagai pelanggaran hukum (pasal. 5 ) Bagaimanapun qanun tersebut gagal menjelaskan posisi pemda dan DKP sebagai satusatunya pihak yang mengatur pengelolaan sampah, dan juga tidak jelas tentang posisi dan tanggung jawab penghasil sampah, yaitu rumah tangga, kegiatan usaha, lembaga pemerintah, dsb. Penegakan terhadap kerangka peraturan tidak begitu dilembagakan dan dikembangkan meskipun sejumlah sanksi telah ditegaskan dalam qanun tersebut. Dirasakan sangat mendesak untuk mengembangkan dan menerapkan kegiatan tersebut, baik sebagai tanggung jawab DKP, atau tanggung jawab badan pengawas dan pengendali lainnya (misalnya, Peperda) Bagaimanapun, penegakan hukum yang efektif harus dilakukan berbarengan dengan penerapan qanun no. 5, memperluas cakupan peyanan yang sudah ada, secara structural meningkatkan dialog dengan masyarakat selaku penghasil sampah dan menjelaskan posisi DKP dan ketentuan yang ada dalam qanun tersebut. Dalam hal ini, penegakan hukum terlihat masih sebagai “tujuan terakhir”, padahal seharusnya seperti yang diatur oleh walikota dan harus berfungsi sebagai yang dituntut oleh dewan. Titik-titik perhatian dalam qanun no. 5 dapat dilihat dalam lampiran 12.
B. Kelembagaan Saat ini DKP merupakan satu-satunya institusi yang ditugaskan untuk menangani pengelolaan sampah, disamping kegiatan-kegiatan kecil lainnya seperti memisahkan dan mendaur ulang
54
sampah yang dilakukan oleh sektor informal, namun tidak dilembagakan secara formal. Karena itu, perusahaan swasta tidak dilibatkan dalam pengumpulan dan pembuangan sampah, karena itu DKP memonopoli sektor pengelolaan sampah formal. Tugas DKP dituangkan dalam qanun no. 9 tahun 2001, yang menjelaskan uraian tugas pokok dan fungsi dinas, sub dinas dan seksi-seksi. Uraian yang tersebut tidak diterapkan secara internal oleh DKP dalam hal: Kontek organisasi, tujuan setiap pekerjaan, pencapaian penting yang diharapkan. Kriteria yang dibutuhkan untuk masing-masing pekerjaan/jabatan (pendidikan, pengalaman manajerial, kemampuan personal) pada saat penerimaan/seleksi pegawai. Hubungan DKP dengan dinas terkait di Kota Banda Aceh dan dengan perwakilan pemerintah di kecamatan, kelurahan dan desa kebanyakan dikembangkan oleh Kepada Dinas DKP dan Kasubdis-nya. Untuk kedepan, DKP akan sangat bergantung pada kualitas hubungan tersebut, dan adanya jaminan informasi dan kerjasama melalui jaringan informal dan formal tersebut (Perencanaan Kota, Pengembangan Kota, Keuangan, Pengembangan Masyarakat. Dsb). DKP akan memperoleh manfaat yang besar bila melibatkan diri untuk mengmebangkan hubungan kerja di tingkat atas maupun bawah. Bahkan untuk tugas-tugas kedepan selaku pelaksanan utama dari Master Plan ini, membina hubungan dengan pihak non pemerintah menjadi prioritas utama dari manajemen DKP. Dalam konteks ini, disarankan agar DKP menerima dan memulai adanya aturan promosi untuk mengembangkan kedepan program pengurangan sampah melalui re-use dan recycling, dengan menerima secara formal posisi pelaku bidang ini dan mewnempatkan mereka sebagai bagian yang vital bagi pengelolaan sampah yang terintegrasi dan berkelanjutan serta memberikan arahan untuk implementasinya (mendokumentasikan dan mempelajari perkembangannya, mengembangkan kebijakan pemda, menetapkan standar minimum bagi lingkungan dan tenaga kerja, perizinan operasi, dsb) Tidak disarankan bagi DKP untuk ambil bagian dalam proses fisik dan mengintervensi kondisi pasar (ekonomi); sektor swasta lebih memiliki fungsi fleksibel dan efektivitas biaya, dan sudah mantap. Akan tetapi kepedulian dan dukungan pemerintah akan dapat meningkatkan basis keuangan sektor ini dan menciptakan lapangan kerja.
C: Aspek Lingkungan Saat ini situasi lingkungan di sebagian besar kota masih dipengaruhi oleh dampak dari gempa bumi dan tsunami, dan DKP masih tetap akan terlibat dalam proses rehabilitasi untuk beberapa waktu kedepan. Pada saat yang sama DKP didorong untuk segera meningkatkan pelayanannya dalam pengelolaan sampah dan setiap hari siap melakukan tugas utamanya: menjaga Banda Aceh agar tetap bersih. Sementara di bagian tertentu kota menunjukkan tingkat kebersihan yang tinggi, sebagian lagi masih belum memadai akibat kurangnya kapasitas operasional. Disini jelas terlihat bahwa masih kurangnya perhatian pada penyapuan dan pengumpulan sampah dan kadang ditambah lagi oleh tingkah laku masyarakat yang seenaknya.
55
Titik perhatian, yaitu hal-hal yang perlu sekali perbaikan, termasuk kondisi kerja bagi pekerja DKP, antara lain : 1. 2. 3. 4. 5.
pasar, terutama sekali pasar Peunayong dan daerah sekitarnya terminal bus beberapa lokasi kontainer seperti di Kuta Alam, Stadion Lampineung dan Peurada saluran di kawasan bisnis kawasan perbatasan dengan Aceh Besar
Selanjutnya, nyata sekali terlihat bahwa sistem saluran terbuka, rawan sekali dikotori oleh pasir dan sampah-sampah kecil, sehingga got, saluran harus sering dibersihkan. Di daerah pinggiran dan luar kota, penyapuan dan pengumpulan sampah sering tidak dilakukan oleh DKP, sehingga masyarakat terpaksa melakukan cara pemusnahan menurut mereka sendiri (mengubur, membakar, dibuat ke lahan terbuka, bantaran sungai, saluran air, dsb). Kebiasaan ini menyebabkan pencemaran lingkungan dan gangguan bagi tempat-tempat umum dan milik perorangan Menyangkut dengan sampah berbahaya (baterai bekas, tumpukan obat kadaluarsa, pestisida, oli bekas, sampah khusus di rumah sakit, dsb), belum ada sistem pengumpulan dan pembuangan khusus yang dilakukan, dan pada akhirnya hampir semua komponen tersebut dibuang ke TPA (diamana tidak ada larangan khsusus untuk sampah seperti itu). Disarankan agar situasi seperti ini digambarkan dan dianalisa secara sistematis dalam bentuk, timbulan sampah, cara pemusnahannya (barangkali masih bisa menjadi komoditi yang berguna), dan merancang sistem untuk secara terpisah mengumpulkan sub kelompok sampah tersebut untuk dikembangkan opsi pengolahan/pemusnahan yang sesuai dan ramah lingkungan. Bila memungkinkan, Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (BAPEDALDA) dan/atau universitas setempat dapat ditunjuk untuk melakukan stusi pendahuluan. Dalam hal ini pemerintah daerah harus mengambil inisiatif untuk memperbaiki secara bertahap kondisi saat ini terkait dengan aspek lingkungan dan kesehatan masyarakat. Disarankan untuk menjabarkan masalah ini dalam aktivitas operasional baru di DKP. Akan , tetapi, masih terdapat keterbatasan peralatan dan pekerja yang terlatih, maka oleh karena itu masalah ini harus dikembangkan dari hal yang kecil. Dalam konteks desain, konstruksi dan operasional TPA baru di Aceh Besar, penanganan untuk sampah berbahaya sebagai komponen dari sampah kota harus mendapat perhatian secara explicit.
D: Sosial Sebelum gempa bumi dan tsunami pengelolaan sampah bukan merupakan kegiatan prioritas bagi pemerintah daerah dan masyarakat Kota Banda Aceh. Paska bencana, institusi Pemko dan NGO menghadapi pemasalahan pengelolaan sampah yang luar biasa yang membutuhkan perhatian segera dan seksama. Usaha-usaha serentak dilakukan untuk memindahkan begitu banyak puing-puing, sampah kota dan sampah di daerah yang terkena tsunami. Hal inilah yang membuat masyarakat menyadari akan pentingnya proses pengumpulan, pengangkutan dan pemusnahan sampah di kota yang diorganisir dengan baik. Disamping itu, barangkali
56
masih menjadi kendala dimana banyak orang yang menganggap masalah-masalah seperti tingkat pendapatan, masalah barak/rumah, masalah kesejahteraan, masalah hubungan keluarga dan sosial, masalah kesehatan, dsb, masih merupakan bagian dari proses rehabilitasi sosial. Karena itu, partisipasi masyarakat dan kegiatan pendidikan lingkungan berfokus untuk menggandeng rumah tangga dan segmen masyarakat untuk memberikan kontribusi terhadap perbaikan sistem pengelolaan sampah, harus dianggap menjadi kondisi sosial nyata di Kota Banda Aceh Dengan demikian jelas pula bahwa perubahan mendasar dalam pengelolaan sampah di Kota Banda Aceh sangat tergantung pada interaksi antara penghasil sampah (yaitu: rumah tangga, sektor perdagangan dan sektor non bisnis, dsb) dengan pekerja yang melakukan penyapuan dan penanganan sampah. Sistem sosial yang diorganisir dan operasikan oleh DKP tidak dapat berfungsi tanpa ada pengertian dan kerjasama yang mendalam dari masyarakat luas. Aspek membangun hubungan dengan pihak luar oleh DKP masih sedang dijajaki meskipun sangat penting untuk segera diwujudkan. Dinas-dinas lain di Kota, seketariat Pemko, pemerintah kota (baik di tingkat kota maupun kecamatan) seharusnya semua mendukung langkah-langkah yang diambil oleh DKP untuk mengatasi permasalahan sampah, secara verbal dan tindakan nyata. Hal ini mengimplikasikan bahwa jaringan komunikasi harus dibangun di tingkat manajemen menengah dan atas untuk memperkuat dan memelihara pesan-pesan tersebut. DKP saat ini tidak memiliki subdis atau seksi komunikasi; komunikasinya terbatas dan hanya bagi kalangan pelaksana saja. DKP tidak memiliki kapasitas SDM dan profesionalitas untuk mengembangkan interaksi sosial yang dibutuhkan dan untuk memimpin di segmen pendidikan dan informasi kemasyarakatan tentang perkembangan terkini tentang pengelolaan sampah kota. Oleh karena itu dirasakan sangat dibutuhkan adanya suatu pusat komunikasi dan informasi sebagai media untuk membantu dan menerima kritikan, pintu utama untuk masuk ke organisasi DKP bagi pihak luar, dan pusat promosi kegiatan untuk mendapatkan bantuan pihak luar, klarifikasi dan pendidikan. Inisiatif untuk merekrut fasilitator pelayanan untuk 9 kecamatan memiliki beberapa alasan, antara lain: membangun hubungan dengan dunia luar. Nilai tambah dari pusat komunikasi adalah sebagai pendorong aksi dan inisiatif, dan menunjang (perubahan) program operasional dan tujuan serta memperluas misi DKP. Demikian juga halnya dengan perekrutan tenaga ahli komposting yang terlibat dalam kegiatan percontohan pengembangan pembuatan pupuk kompos skala rumah tangga yang dikembangkan oleh FCM merupakan langkah yang tepat; sebab dialog yang terorganisir dengan masyarakat sangat diperlukan untuk memperkenalkan hal-hal dan perkembangan baru.
E: Aspek Organisasi Struktur DKP berlandaskan qanun No. 9 tahun 2001, yang secara gamblang menjelaskan tugas dari manajemen puncak, subdis, subbag, dan seksi-seksi.
57
Sub dinas yang ada di DKP adalah: -
Tata usaha Program Operasional Pembuangan Akhir Makam Taman
Dua subdis teratas bertanggung jawab terhadap urusan administrasi, keuangan, perencanaan dan pengendalian (meskipun bengkel merupakan bagian dari Bagian Tata Usaha) Dua subdis berikutnya bertanggung jawab terhadap tugas utama yang relevan dengan Master Plan pengelolaan sampah; pembersihan jalan dan saluran, pengumpulan sampah dan tinja dan pembuangan. Dua Subdis yang terakhir tidak begitu terkait dengan Master Plan Pengelolaan Sampah, meskipun demikian ada kaitannya antara pemeliharaan taman umum dengan pengumpulan dan pembuangan sampah hijau (daun-daunan). Perlu diperhatikan bahwa struktur organisasi tidak secara penuh merupakan cerminan tugas dan tanggung jawab yang sesungguhnya. Ada perbedaan antara struktur formal dengan tugas yang sebenarnya. DKP sebenarnya merupakan eksekutif, dinas yang mewarisi dari kondisi sebelumnya: pengembangan kebijakan, memiliki kemampuan inovatif serta tanggap terhadap pro dan kontra dari metode kerja saat ini yang masih belum baik. Namun demikian, langkah-langkah untuk terus melakukan perubahan telah dimulai (melalui kegiatan rapat monev mingguan) Hanya 10% pekerja di DKP sebagai PNS, bagian terbesarnya merupakan pekerja/staf kontrak. Hal ini terkait dengan budaya manajemen personel, prosedur perekrutan, posisi hukum PNS, fleksibilitas dan kebutuhan kerja yang dibutuhkan dari pekerja dan staf (sering bekerja 6 atau 7 hari per minggu). Meskipun adanya pembatasan dalam manajemen personel sehari-hari sebagai salah satu konsekwensi karena DKP sebagai bagian dari institusi pemerintah, maka disarankan, utuk melakukan penelitian secara hati-hati tentang keuntungan dan kerugian dari sistem sekarang. Barangkali ada untungnya untuk secara bertahap menambah jumlah PNS, pada level pekerja dengan kualifikasi tertentu serta mandor keatas, dan pada saat yang sama melaksanakan elemen-elemen manajemen pengawasan personel secara lebih tegas (manajemen berdasarkan tujuan). Penyapuan jalan dan pengumpulan sampah diatur berdasarkan zona; ada 5 zona yang pembagiannya tidak didasarkan pada batas dari 9 kecamatan yang ada, tetapi didasarkan pada pemisahan secara alamiah berdasarkan infrastruktur yang ada. Ada kecamatan yang masuk ke dalam 2 atau 3 zona, sehingga pihak kecamatan harus berhubungan dengan manajer dan mandor dari beberapa zona tadi. Situasi seperti ini sebenarnya harus dihindari, sehingga disarankan untuk merubah batas zona dan disesuaikan dengan batas kecamatan.
58
Hal ini akan akan menimbulkan komunikasi dan komitment yang lebih jelas (memasyarakat) serta dapat meningkatkan jadwal kerja sebagai akibat dari hubungan yang jelas/tegas antara pihak di kecamatan, kelurahan dan desa dengan staf DKP dan personil operasional. Kecamatan dapat dikombinasikan sebagai berikut: Kuta Raja + Meuraxa Jaya Baru+ Banda Raya Baiturrahman + Lueng Bata Kuta Alam Ulee Kareng+ Syiah Kuala Kombinasi yang lain juga bisa, asalkan sebanding dalam hal input DKP dan kebutuhan palayanan (dengan mempertimbangkan perkembangan dimasa yang akan datang) Berdasarkan konsep pengelolaan kebersihan secara integral, untuk mencapai hasil utama yaitu terciptanya kebersihan kota, maka timbul pertanyaan apakah tim khusus pembersihan bantaran sungai dan sejenisnya tidak dipisahkan dan dapat dimasukkan dalam tugas pembersihan masing-masing zona; karena sebenarnya metode kerjanya sama. DKP sudah terbiasa mendokumentasikan kegiatan sehari-harinya dengan menggunakan lembar kerja di komputer maupun pendataan. Pendekatan seperti ini sedang dikembangkan dengan membiasanya semua staf di kantor untuk menguasai komputer. Akan tetapi hingga saat ini, belum ada model informasi yang memadai untuk mengkonversikan informasi harian kedalam informasi manajemen yang bermanfaat, yang juga dapat dimanfaatkan sekali-kali untuk memberikan penjelasan baik kepada walikota, pejabat di balai kota, DPRK, dsb. Oleh karena itu disarankan untuk membuat tim khusus yang menangani informasi dan pengolahan data untuk mengembangkan, merinci dan mengimplementasikan sistem pelaporan yang menyeluruh agar dapat membantu fungsi perencanaan dan pengendalian, evaluasi operasional, penilaian produktivitas dan penilaian keuangan. Dengan melakukan hal seperti itu, maka DKP akan sangat transparan dalam hal kualitas pelayanan, efisiensi, produkstivitas, kehandalan dan biaya. Informasi yang telah diolah dapat menjadi dasar dari rencana tahunan manajemen (“kontrak manajemen”) antara DKP dengan Balai Kota.
F: Operasional Penyapuan rutin tempat-tempat umum hanya dilakukan dikawasan terbatas yaitu di kawasan pemerintahan atau kawasan komersial. Biasanya kawasan pinggiran kota tidak masuk dalam jadwal penyapuan. Metode penyapuan yang digunakan sedikit tradisional yaitu menggunakan sapu, dan tidak tersedia peralatan yang memadai untuk mengangkat pasir yang sudah ditumpuk dan sampah kecil disepanjang kerb dan trotoir. Perhatianpun lebih diberikan terhadap pengangkatan pasir dibandingkan pengumpulan sampah kecil sebagai konsekwensi (tidak adanya) kegiatan pengumpulan sampah rutin. Perlu
59
ditegaskan bahwa kebersihan masing-masing jalan sangat tergantung pada kualitas/frekwensi pengumpulan sampah dan sampah kecil (litter). Pengumpulan sampah rutin dilakukan dengan frekwensi yang berbeda-beda, berkisar antara 2 kali sehari, tujuh kali seminggu hingga 3 (tiga), 2 (dua), 1 (satu) kali per minggu, atau kurang dari itu. Di beberapa tempat penting di kota pengumpulan sampah rutin masih kurang (lihat lampiran 17), sehingga rumah tangga dan komersial menggunakan berbagai macam cara untuk menyingkirkan sampah mereka (membakar, menguburkan langsung atau disuatu lokasi tertentu, membuang sampah ke lahan kosong, lahan umum, aliran air, sistem saluran, pinggiran jalan, dan kadang kala ke kontainer 6 m3). Pengumpulan sampah dilakukan dengan jadwal sebagai berikut: Shift subuh Shift pagi Shift siang Shift malam
: 06.00-10.00 wib : 08.00-12.00 wib : 13.30-17.30 wib : 19.00-22.00 wib (atau sampai pekerjaan selesai)
Dikarenakan shift subuh tumpang tindih dengan shift pagi, maka penggunaan personil dan armada tidak optimal; pada prakteknya beberapa pekerja bekerja dari pukul 06.00 – 12.00 wib, sementara yang lain hanya bekerja di shift subuh, siang dan malam. Dari sudut pandang aspek fisik dan sosial, bekerja 3 shift (11 jam) per hari tidak dapat diterima, ditambah lagi bahwa sebagian besar pekerja bekerja 7 hari dalam seminggu. Karena itu disarankan adanya penyesuaian sistem shift dengan mempertimbangkan model pembayaran, konteks sosial dan keagamaan/kebiasaan. Hal tersebut telah dicoba untuk disusun untuk 3 kecamatan dan terbukti bahwa dengan mengubah jadwal shift, cakupan penuh (pengumpulan sampah) didaerah tersebut dapat dicapai dengan dengan sedikit menambah jumlah pekerja dengan tidak menambah jumlah kendaraan. Pengumpulan sampah tidak menggunakan tempat sampah atau kantong plastik yang seragam dan standard; karena itu memakan waktu dan tenaga yang besar sehingga produkstivitas kerja seadanya. Pengumpulan seringkali dapat meringankan pengangkutan. Sampah yang diletakkan disepanjang jalan untuk dikumpulkan sering sekali tidak dikemas dengan baik sehingga bisa mencemari jalan (oleh kegiatan pemulungan, dikais anjing dan kucing). Dirasakan bahwa baik proses penyapuan rutin jalan maupun pengumpulan sampah rutin, masih banyak yang perlu ditingkatkan dengan menggunakan sumberdaya yang sama dengan penjadwalan yang baik dari operasional sehari-hari didasarkan kepada penilaian kebutuhan dan prioritas yang dipertimbangkan dengan matang. Dan dengan produktivitas yang standard. Pertimbangan-pertimbangan mendasar ini tidak dilakukan secara tegas dan tidak dilakukan secara bersama-sama dengan berkonsultasi kepada pihak kecamatan, kelurahan, dan desa. Oleh karena itu akan dibantu untuk mempersiapkan suatu landasan yang bisa diwujudkan dan rasional untuk kedua operasi tersebut, dan membuat program kerja dan jadwal bekerjasama dengan dinas terkait dan masyarakat. Dengan latihan seperti ini akan terlihat apa yang sebenarnya dapat diharapkan dari sumber daya manusia dan armada/peralatan yang dimiliki serta dana yang tersedia.
60
Informasi yang dikumpulkan akan membantu dialog antara dengan pemko dan DPRK dan dapat menjelaskan standard minimum yang akan dicapai. Pelayanan yang diberikan saat ini secara skematis dapat dilihat dalam peta kecamatan terlampir (lampiran 13.1 dan 13.2 untuk penyapuan jalan dan lampiran 14.1 – 14.2 untuk pengumpulan sampah). Meskipun penyapauan jalan hanya menggunakan satu metode yaitu secara manual, pada pengumpulan sampah digunakan dua metode, yaitu door to door dengan menggunakan dump truk dan pengumpulan dengan sistem kontainer dengan menggunakan lengan angkat hidrolik (truk arm roll). Kedua sistem telah diperluas sejak pasca tsunami dan dirasa perlu untuk menyiapkan perbandingan yang menyeluruh untuk kedua sistem dalam hal karakteristik pelayanan dan biaya operasional. Konsep persiapannya ditampilkan dalam lampiran 15. Berdasarkan karakteristik dan ke khasan dari kawasan-kawasan tertentu harus dibuat pilihan-pilihan diantara sistem-sistem ini kawasan-kawasan mana yang sudah dan belum dilayani. Berdasarkan informasi data tersebut kawasan mana yang harus didukung secara sosial (atau paling tidak diterima), barangkali bisa dilakukan program pengembangan secara bertahap.
G: Teknis Daftar armada dan peralatan DKP ditampilkan dalam lampiran 10. Disana jelas terlihat bahwa sebagian besar armada/peralatan dibeli pada tahun 2005 dan merupakan buatan Jepang (Toyota, Mitsubishi, Isuzu, Komatsu, Honda). Karena itu masalah perawatan relatif mudah, namun demikian perlu diperhatikan untuk dilakukan perawatan preventif (pencegahan) secara berkala; hal ini sering sekali terlupakan akibat rutinitas, akan tetapi bila perawatan preventif tidak dilakukan, maka akan mengakibatkan berkurangnya kehandalan dan umur kendaraan/peralatan. Keseragaman produk dan asal (importir, pemasok) harus menjadi titik perhatian pada saat pemilihan jenis kendaraan dan peralatan baru yang akan dibeli, mengingat aspek teknis dan pengetahuan tentang kendaraan dan peralatan tersebut, pemahaman secara teknis tentang sistem yang baru dan yang penting sekali terkait dengan perawatan, perbaikan dan biaya operasional. Kebanyakan truk memiliki supir yang tetap. Bila dilihat jumlah armada yang ada di DKP dengan personalia yang ada diperoleh gambaran sebagai berikut : Aktivitas Jumlah armada Penyapuan jalan 5 Pembersihan saluran 2 Pembersihan Bantaran sungai 2 Pengumpulan sampah 37 Penyedotan tinja 10 Operasional TPA 15
jumlah supir tetap 5 2 2 37 5 6
Kadang kala mandor terpaksa menggantikan supir yang berhalangan.
61
Untuk pengumpulan sampah dengan kontainer, telah tersedia 62 buah kontainer berkapasitas 5.2 – 6.0 m3. Jumlah ini relatif kecil dibandingkan dengan 11 unit truk arm roll yang tersedia. Akibatnya 4 unit truk masih beroperasi sebagai truk arm roll (tukar menukar kontainer), dan 7 truk lagi dioperasikan sebagai dump truk menggunakan kontainer terbuka sebagai wadah bak permanen. Sementara itu peralatan yang ditempatkan di TPA sudah digunakan secara penuh pasca bencana tsunami, diasumsikan laju sampah pada kondisi normal masih dapat diatasi dengan peralatan yang kurang. Kegiatan perawatan dan perbaikan selama ini dilakukan di halaman diseberang kantor DKP. Fasilitas yang ada disana sangat terbatas dan lokasi tempat kerja tidak nyaman untuk melakukan pengelolaan armada dan peralatan secara profesional. Pengembangan pengawasan dan peningkatan kemampuan mekanik secara profesional sangat disarankan mengingat peningkatan beban kerja yang luar biasa sebagai akibat dari bertambahnya jumlah dan umur armada. Pengelolaan armada harus dikembangkan sebagai bidang baru yang sangat erat kaitannya dengan subdin operasional dan meliputi : - memastikan tersedianya tenaga kerja yang cukup dan profesional (mekanik dengan berbagai bidang keahlian), - mengawasi, memonitor dan mengendalikan proses perawatan dan perbaikan, - menyediakan suku cadang, barang kebutuhan, ban, oli dan BBM, - merencanakan perawatan pencegahan - mencari tempat untuk perbaikan khusus - memastikan agar penggantian kendaraan dan peralatan dilakukan tepat waktu Adalah mendesak untuk memindahkan bengkel yang ada sekarang ke fasilitas pengolahan dan pembuangan akhir sampah yang akan diperluas di Gampong Jawa. Desain dari workshop yang baru sedang dipersiapkan (lihat lampiran. 16). Sebagai bagian dari proses relokasi dan peningkatan, pelatihan keluar bagi mekanik oleh dealer/pemasok kendaraan dan peralatan harus dilakukan untuk meningkatkan kemampuan para mekanik secara umum. Investasi di bidang sumber daya ini dapat mengurangi tingginya biaya untuk suku cadang dan kerugian yang bisa terjadi bila harus kehilangan kapasitas operasi armada/peralatan karena rusak. Training ini harus diulang lagi dalam interval tertentu.
H: Keuangan Anggaran dan Akuntabilitas: Kekuatan: -
Anggaran memiliki desain yang sederhana, sehingga dapat diakses dengan mudah.
62
Kelemahan: -
Tujuan-tujuan dari DKP dan langkah-langkah untuk mencapainya tidak didevinisikan dengan jelas,
-
DKP tidak memiliki sistem penganggaran multi tahunan yang menggambarkan secara kondisi keuangan DKP untuk beberapa tahun kedepan. Anggaran tahunan tidak bisa dievaluasi terkait dengan tugas dan perkembangan yang diharapkan beberapa tahun kedepan.
-
Anggarannya berdasarkan input. Dalam anggaran (atau dalam penjelasannya) performance yang diharapkan atau tingkat kebersihan yang diinginkan tidak tergambar. Tidak adanya hubungan antara aktivitas dan biaya yang dibutuhkan untuk melakukan aktivitas tersebut (kurangnya transparansi).
-
Perkiraan biaya yang dibuat dalam anggaran tidak dilakukan indeksasi berdasarkan harga yang diharapkan atau kenaikan gaji (sebagai akibat dari inflasi). Tidak jelas pada tingkat harga berapa anggaran 2007 didasarkan.
-
Alokasi masing-masing anggaran sangat rinci. Masing-masing alokasi tidak dapat dipertukarkan. Karena tidak memungkinkan dilakukan pertukaran antar anggaran, posisi keuangan (menengah atau akhir) ditampilkan secara gamblang yang mengakibatkan tidak jelasnya gambaran kondisi riil. Dalam rekening tahunan tidak semua pengeluaran dan pemasukan DKP ditampilkan.
-
Belum ada prakatek akuntansi biaya dimana anggaran selalu dibandingkan dengan kondisi keuangan sesungguhnya, sehingga dapat diperoleh data yang berdsarkan pengalaman.
-
Anggaran tahunan disahkan pada bulan Maret atau April. Selama menunggu disahkannya anggaran, hanya pengeluaran rutin dan mendesak yang dapat dicairkan dananya (terkait dengan konsekwensi finansial). Akibatnya kegiatan-kegiatan yang telah direncanakan dan dianggarkan hanya baru dapat dilaksanakan setelah 3-4 bulan pertama dari tahun berjalan, sehingga mengganggu jalannya anggaran tahun berjalan.
Operasional dan administrasi Kekuatan: -
DKP merupakan organisasi yang fleksibel dimana operasional dapat disesuaikan dengan jangka pendek untuk mengakomodir situasi yang berubah.
Kelemahan: Bagian administrasi tidak terbiasa mencatat data output (dan sistem yang ada tidak sesuai untuk menerapkan hal ini), -
Di lingkungan DKP masih rendah kesadaran/pemahaman tentang biaya, pembiayaan dan efisiensi,
63
-
Di lingkungan DKP tidak secara tegas disebutkan tentang informasi apa yang harus disediakan oleh bagian tata usaha. Bagian tata usaha tidak menerima masukan tentang data apa yang dibutuhkan dan bagian operasional tidak menerima masukan bagaimana langkah harus dilakukan terkait dengan anggaran,
-
Bagian tata usaha tidak terlalalu biasa dengan komputer. Hal ini membatasi kemungkinan menyediakan data dan informasi,
-
Tidak ada pengetahuan/pemahaman tentang data operasional. Karena itu data tersebut tidak dapat digunakan untuk menggambarkan anggaran (yang disesuaikan atau tahun depan),
-
Anggaran tahunan kurang dimanfaatkan sebagai instrumen untuk memberikan kewenangan kepada kepala dinas untuk melaksanakan anggaran. Sistemnya masih memerlukan penarikan tunai secara berkala, membutuhkan pekerjaan tambahan, yang menggambarkan bahwa kepala dinas hanya memiliki mandat jangka pendek bukannya tahunan,
-
Secara berkala, ada uang dalam jumlah besar yang disimpan di kantor DKP. Akan tetapi tidak ada aturan bagaimana uang tersebut disimpan. Uang kadang disimpan di tempat yang berbeda dan tidak aman. Hal ini sangat beresiko.
-
Pegawai DKP kadang diberi uang dalam jumlah besar untuk membeli, misalnya suku cadang. Bagi DKP, demikian juga bagi pegawai, hal ini beresiko. Tidak jelas bagaimana resiko ini dijamin. Tidak ada perjanjian dengan pemasok untuk menggunakan rekening yang permanen.
Pendapatan dan pemenuhan biaya: Kekuatan: -
Prinsip “pengotor membayar” telah diakomodir dalam Perda no. 10 tahun 1999, dan sudah ada sebuah metode untuk menetapkan jasa pelayan (retribusi dan tarif).
Kelemahan: -
Belum ada kesesuaian antara DKP dan DIPENDA untuk mengkaji retribusi dan tarif. Tarif belum lagi disesuaikan sejak tahun 1999,
-
DKP memiliki keinginan untuk mendata dan mengumpulkan sendiri retribusi sampah, menggantikan DIPENDA. Alasannya tidak begitu substantif. Belum ada pendekatan yang jelas untuk mengimplementasikan keinginan tersebut. Dalam anggaran 2007 anggaran yang dibutuhkan untuk ini tidak ada. Yang terjadi di Pemda Kota Banda Aceh adalah bahwa pajak dikutip oleh sejumlah dinas yang berbeda. Hal ini dapat mengurangi efisiensi pemungutan pajak. Bahkan untuk pemilik rumah tangga dan pengusaha, tidak jelas siapa yang seharusnya mengutip pajak. Hari ini yang datang petugas dari DIPENDA, esok hari barang kali petugas dari DKP,
-
Saat ini rumah tangga belum lagi dikenakan retribusi kebersihan. Karena itulah rumah tangga tidak menyadari bahwa pemungutan sampah memerlukan biaya, yang selama ini
64
dibayar oleh Pemda (secara umum), dan perilaku dari masyarakat sangat mempengaruhi tingkat biaya yang dikeluarkan oleh Pemda, -
Saat ini belum ada pengetahuan tentang biaya pemungutan sampah untuk rumah tangga dan juga untuk sektor komersial dan institusi. Oleh karena itu tidak diketahui juga sampai sejauh mana Pemda Kota Banda Aceh akan mensubsidi berbagai sektor ini,
-
Di tingkat politik tidak ada suatu kepastian apakah biaya yang dikeluarkan untuk pengelolaan sampah harus di tarik ulang sebagian atau seluruhnya.
I: Komunikasi Penegakan Hukum Dalam praktek sehari-hari, komunikasi (eksternal) merupakan bagian dari tugas manajemen operasional dan mandor. Tidak ada pegawai yang khusus menangani kegiatan yang terkait dengan komunikasi atau humas. Akan tetapi pengelolaan sampah yang efektif masih sangat tergantung pada hubungan kerja yang efektif antara berbagai pihak di dalam masyarakat setempat, baik yang merupakan penghasil sampah/penerima pelayanan, atau sebagai pemberi pelayanan, atau sebagai institusi atau lembaga pendukung. Penguatan manajemen menengah, dengan merekrut fasilitator, asisten manager zona, dan ahli komposting membuka peluang bagi pengembangan aspek komunikasi dan informasi. Akan tetapi keberadaan suatu unit komunikasi formal masih dirasakan kurang. DKP tidak secara langsung bertanggung jawab terhadap penegakan hukum dan peraturan yang berkaitan dengan sampah dan kebersihan. Hal ini barangkali akan menimbulkan konflik kepentingan secara internal dan eksternal, dan akan lebih baik bila diserahkan kepada dinas polisi khusus, PEPERDA, yang melakukan pengawasan di tempat-tempat umum. Akan tetapi hubungan kerja yang baik antara kedua pihak merupakan hal yang sangat penting bagi terciptanya penegakan hukum yang efektif. Pada situasi saat ini, dimana DKP masih pada tahap “rekonstruksi” dan menyesuaikan program pelayanannya, tidak disarankan bagi DKP untuk secara serta merta memasuki domain penegakan hukum yang represif, mengeluarkan surat tilang bagi pemilik rumah dan toko. DKP seharusnya lebih memberikan perhatian dalam membangun hubungan kerja yang baik, penjadwalan penyapuan dan pengumpulan sampah yang efektif, komunikasi terkait dengan sampah, membangun kesadaran dan mendistribusikan informasi, dan akhirnya mengembangkan pendekatan penegakan hukum yang dikembangkan dan dipublikasikan secara hari-hati. Untuk hal yang terakhir tersebut, dibutuhkan definisi dari masing-masing jenis pelanggaran terhadap peraturan, dan langkah-langkah penyelesaian yang harus ditempuh termasuk sanksi sebagai pilihan terakhir. Barangkali perlu dikembangkan suatu sistem kerja sosial daripada sistem denda uang.
6.2 Pertumbuhan Laju Produksi Sampah di Masa Depan A: Jumlah Seperti yang telah disinggung di bagian 5.1 produksi sampah saat ini (misalkan rumah tangga, kegiatan bisnis, institusi, dsb) hanya dapat diperkirakan secara kasar dalam m3 atau
65
ton per hari, mengingat kurangnya data base dan pelayanan pengumpulan sampah yang belum terpenuhi semua. Demikian juga dengan jumlah sampah yang setiap harinya dibuang ke TPA Gampong Jawa hanya dapat diperkirakan saja, mengingat muatan sampah masing-masing truk tidak diperhitungkan secara akurat (dalam m3). Diperkirakan aliran sampah akan meningkat dalam beberapa tahun kedepan dengan memperhatikan hal berikut: 1. Usaha rehab/rekon yang dilakukan pasca tsunami 2. Terjadinya pemulihan ekonomi akibat dari proses damai 3. Pembangunan yang sama terjadi di Aceh Besar, sehingga mengakibatkan semakin meningkatnya interaksi ekonomi yang mengakibatkan tenaga kerja yang bekerja di Banda Aceh bertambah. 4. Peningkatan laju pertumbuhan penduduk alami beberapa tahun kedepan 5. Meningkatnya import barang-barang konsumsi buatan manusia yang mengikuti kondisi perbaikan tingkat ekonomi. Berdasarkan kondisi diatas, produksi sampah di tahun 2007 diperkirakan 546 m3 atau 157 ton (dengan mengasumsikan density timbunan sampah sebesar 287.5 kg/m3), dan laju pertumbuhan komulatif secara kasar diasumsikan sebesar 3.0% per tahun. Mengingat masih banyak sekali bangunan yang masih perlu diperbaiki atau bahkan dihancurkan karena rusak oleh gempa bumi, laju sampah bongkaran dan pembangunan akan relatif besar untuk 3 – 8 tahun mendatang. Setelah misalkan 5 tahun barangkali akan terjadi penurunan laju produksi sampah ini secara bertahap ke tingkat yang sesuai untuk kota dengan ukuran dan kompleksitas seperti Banda Aceh. Sebagian kecil sampah yang dihasilkan dapat dimanfaatkan kembali dan didaur ulang oleh sektor informal. Proses ini mengkuti tahapan aliran sampah dan bahan yang dapat didaur ulang akan hilang sebagian di tempat sampah dihasilkan (pedagang pengumpul), selama proses pengumpulan dan pengangkutan (oleh pekerja DKP) dan di TPA (pemulung). Saat ini pengurangan ini masih terjadi pada tingkat yang masih rendah, sekitar 3-5% berat (tidak termasuk puing). Studi lebih lanjut dibutuhkan untuk meningkatkan persentase tersebut. Disarankan agar dilakukan penelitian lebih mendalam untuk meningkatkan pencatatan sampah yang masuk ke TPA dan pencatatan yang dlakukan oleh subdis operasional dan melakukan survey sampah untuk beberapa kategori utama sampah, lebih baik per kecamatan dan untuk beberapa penghasil samoah utama. Perhatian khusus juga harus diberikan kepada aliran sampah yang diangkut oleh pihak swasta ke TPA.
B: Komposisi Data yang berkaitan dengan komposisi sampah rumah tangga dan kelompok sampah non rumah tangga yang dihasilkan di Kota Banda Aceh susah sekali didapatkan. Perkiraan kasar dapat dibuat sebagai dasar, berdasarkan informasi yang dikumpulkan ditempat lain di Indonesia. Namun demikian disarankan agar ada program yang secara berkala melakukan pengambilan sample secara acak dan dianalisa (pemilahan). Program seperti ini harus benarbenar mempertimbangkan cuaca (kering atau basah), kawasan pengambilan sample (perumahan atau kawasan bercampur; kawasan ekonomi lemah, sedang, kuat), ukuran sample,
66
dan komponen. Pemilahan dapat dilakukan di TPA oleh pemulung (atau oleh mahasiswa) yang sudah diberikan arahan sebelumnya. Perlu dicatat bahwa pada program pembuatan kompos skala rumah tangga yang didukung oleh FCM ada kegiatan pemilahan sampah untuk mengetahui persentase sayuran, bahanbahan organik. Dengan dilakukannya hal tersebut, pusat data akan memperoleh data yang dibutuhkan secara perlahan yang akan menjadi informasi yang sangat berharga dalam memonitor kegiatan reuse (penggunaan kembali) dan recycling (daur ulang). Diperkirakan selama beberapa tahun kedepan persentase komponen bahan buatan manusia akan bertambah (terutama plastik) mengingat semakin tingginya harga bahan-bahan alami.
6.3 Pilihan-pilihan untuk Peningkatan A: Menurut jenis/kategori sampah Penyapuan Jalan: Kebersihan di tempat umum sangat tergantung pada frekwensi dan kualitas kegiatan penyapuan (oleh DKP dan perorangan), tetapi juga oleh frekwensi dan kualitas proses pengumpulan sampah: pengumpulan sampah merupakan salah satu sumber pengotoran jalan. Kebersihan dapat ditunjang dengan cara memperbanyak jumlah bak sampah ukuran kecil yang saat ini masih terbatas penempatannya (sekitar Mesjid Raya dan sekitar kawasan pertokoan Simpang Lima dan di Taman Sari). Tempat sampah ukuran kecil biasanya ditempatkan di kawasan yang menjadi prioritas seperti tempat kegiatan masyarakat yang penting, lokasi yang banyak dilaluai oleh orang atau pengunjung (pasar, tempat makan, stasiun bus, kawasan rekreasi, dsb). Perluasan secara bertahap dan terencana sangat diperlukan. Peningkatan proses penyapuan jalan harus mempertimbangkan: 1) teknik penyapuan dan pengumpulan sampah, 2) teknik mengangkat sampah yang menempel di jalan/trotoir, 3) teknik memindahkan sampah yang telah dikumpul dari jalan. Saat ini, peralatan yang tersedia untuk penyapuan jalan sangat terbatas – terlalu sedikit gerobak sorong, wadah dan pick up – dan metode kerja yang masih belum teratur. Efektivitas penyapuan jalan dapat ditingkatkan dengan menyediakan gerobak sorong yang memadai untuk pelayananan ini serta dilengkapi dengan kontainer 120 liter, penjepit sampah dan kantong plastik besar. Selain itu, efektivitas dan produktivitas proses pembersihan manual dapat ditingkatkan dengan menggunakan mesin penghembus daun/sampah yang mudah dipindahkan yang diikuti dengan pembersihan manual.
67
Pengumpulan Sampah: Terlihat jelas masih diperlukan perluasan, peningkatan dan rasionalisasi sistem pengumpulan sampah yang ada dalam hal: -
Pendekatan yang seragam untuk setiap kecamatan dan jika mungkin per kelurahan dan desa Pengecualian yang dapat diterima (terkait dengan metode pengumpulan (door to door atau sistem kontainer), jadwal, frekwensi, pembersihan tambahan jalan, dsb) Memperluas wilayah yang mendapat pelayanan untuk daerah yang belum terlayani (lihat peta yang disiapkan oleh DKP). Tim khusus yang sifatnya fleksibel untuk mengangkat sampah/sampah kecil diluar dari kegiatan yang direncanakan dan diprogramkan. Standard produktivitas internal yang jelas sesuai yang diinginkan
Sampah rumah tangga, sampah komersial dan sampah institusi yang merupakan komponen terbesar dari aliran sampah kota, untuk hal ini DKP tidak dapat menentukan dan mengatur keluarannya. Perlunya ditingkatkan dan terus dilakukan pendekatan untuk memperkenalkan tong sampah atau wadah kecil untuk rumah tangga dan kegiatan usaha skala kecil (dalam hal jumlah sampah yang dihasilkan) dan kelompok institusi. Pada saat yang sama disadari bahwa kebutuhan dari kegiatan usaha skala besar dan organisasi kelembagaan tidak lagi dapat terpenuhi dengan tong sampah rumah tangga atau wadah kecil. Untuk penghasil sampah seperti ini peralatan yang sesuai harus ditempatkan di beberapa titik yang sesuai untuk meningkatkan efektivitas penyimpanan sementara sampah, pengumpulan dan pengangkutan, dan juga untuk mencegah pengotoran tempat-tempat umum. Penggunaan kontainer 6 m3 dan truk arm roll merupakan langkah pertama ke arah ini. Pengembangan sistem ini bagi penghasil sampah non rumah tangga akan menjadi suatu kebutuhan untuk masa yang akan datang. Sebagai alternatif lain, penggunaan truk yang dilengkapi dengan lengan hidrolik, mengangkat kontainer dengan berbagai desain dan kapasitas secara horizontal barangkali bisa dipertimbangkan. Terkait dengan pengumpulan terpisah (pada sumbernya), khususnya bagi sampah organik, disarankan beberapa hal berikut. Sebagaimana telah diketahui bahwa komponen terbesar dari sampah yang dihasilkan rumah tangga adalah sampah organik/kelompok sayuran. Pengalihan komponen ini melalui pengumpulan terpisah pada tingkat rumah tangga, pada dasarnya akan sangat menurunkan arus sampah yang akan dikumpulkan untuk dibawa ke TPA. Namun hal tersebut secara substansi akan menaikkan biaya pengumpulan (terpisah maupun keseluruhan), ditambah lagi dengan biaya pembuatan kompos yang akan semakin memberatkan anggaran DKP. Penerapan composting masih perlu terus dikembangkan, dan aspek ekonomisnya masih perlu diperjelas: karena saat ini kompos belum merupakan komoditas komersil dan belum banyak dijual di toko-toko.
68
Diharapkan agar pilot project yang didukung oleh FCM dapat memberikan hasil terutama menyangkut dengan pembuatan kompos skala rumah tangga dan pemanfaatan kompos di bidang pertanian dan perkebunan. Sebelum ada hasilnya maka dianggap tidak layak untuk memulai suatu aktivitas baru di bidang tersebut tetapi harus ditunggu manfaat dan dievaluasi pilot project yang desang berjalan tersebut. Bila ada kegiatan tambahan lain dalam domain ini yang ingin dikembangkan dan diuji coba, maka disarankan untuk melakukan pemisahan sampah organik di pasar dan melakukan pengomposan terhadap sampah yang ada di Gampong Jawa.
B: Keterlibatan Sektor Swasta Saat ini sektor swasta hanya sedikit berperan dalam pengelolaan sampah di Banda Aceh. DKP merupakan penyedia jasa utama, dan operator yang sebanding dengan DKP yang mampu melayani pangsa pasar pengelolaan sampah non rumah tangga sampai saat ini belum ada. Akan tetapi ada beberapa perusahaan menyewa alat angkut untuk mengangkut sendiri sampah mereka ke TPA, ataupun menggunakan kendaraan mereka sendiri untuk pengangkutan. Perusahaan swasta hanya terlibat dalam skala kecil, kegiatan penggunaan kembali dan daur ulang sampah termasuk menyediakan sarana transportasi bahan daur ulang ke pabrik daur ulang yang ada di Medan dan di luar negeri. Kegiatan ini tidak difasilitasi/didukung oleh pemda/DKP. Kecuali penggunaan kembali sampah kayu tsunami dan produksi perabot yang sudah berjalan setalah gempa bumi dan tsunami, dimana kayu tsunami diproses kembali menjadi barang baru (meja, kursi, bangku, lemari, dsb). Tantangannya adalah untuk meningkatkan pemasaran produk tersebut yang telah memberikan lapangan kerja bagi sekitar 40 orang. Akan tetapi pihak swasta terlibat dalam perawatan khusus dan pekerjaan perbaikan yang tidak mampu dikerjakan oleh teknisi yang ada di workshop/bengkel DKP. Dengan melihat inventaris armada dan peralatan dan kebutuhan perawatannya kedepan, disarankan untuk melihat kembali dan mengevaluasi kemampuan teknisi lokal terhadap kemampuan mereka bekerja, dan memilih satu bengkel untuk perbaikan khusus. Bila selama proses perluasan cakupan pelayanan kedaerah yang susah dijangkau, pengumpulan dan pengangkutan awal sampah ke kontainer kolektif harus diatur, perhatian serius harus diberikan kepada pihak swasta, organisasi berbasis masyarakat atau organisasi swasta, koperasi (usaha kecil/micro). Beberapa kota besar di Indonesia telah mempraktekkan hal tersebut.
69
6.4 Opsi Terbaik dan Prasyarat yang Diperlukan A: Teknologi yang Sesuai Untuk proses penyapuan jalan, maka disarankan untuk melakukan pendekatan sebagai berikut: Kegiatannya tetap dilakukan secara manual, akan tetapi metode kerja untuk mengumpulkan dan mengangkat serakan sampah, sisa sayuran, pasir, dsb harus dikembangkan/ditingkatkan dalam hal penanganan sampah secara lebih efektif dalam hal: 1. transportasi pekerja ke lokasi kerja 2. tersedianya tempat sampah yang kokoh ditempat-tempat tertentu 3. tersedianya alat pemungut sampah, kantong plastik dan gantungan kantong serta sapu dan skop yang memadai, 4. tersedianya kontainer kecil yang beroda (120 liter, 240 liter) untuk setiap satu atau dua orang pekerja di lokasi kerja (yang ditempatkan atau dibawa-bawa), atau kombinasi setiap dua item tersebut didalam kereta sorong kecil. 5. tersedianya mobil kecil, dengan bak terbuka untuk menampung sampah hasil penyapuan jalan (dikemas dalam kantong plastik), untuk dibawa ke alat pemindahan sampah (kontainer terbuka) atau ke truk pengumpul sampah. 6. program pembersihan yang direncanakan dan dikomunikasikan dengan baik dimana sampah-sampah yang mengapung disaluran juga diambil (lihat juga bagian 5.6). Penyapuan secara mekanis (dengan vacuum) untuk jalan utama tidak disarankan mengingat biaya yang sangat mahal untuk peralatannya serta membutuhkan perawatan khusus yang belum mampu dikerjakan oleh montir setempat.
Untuk proses pengumpulan sampah, pendekatan berikut yang disarankan: Aktivitas seharusnya berlangsung seperti kondisi yang ada saat ini, efektivitas sistem akan ditingkatkan secara mendasar melalui penjadwalan yang direncanakan dan dikomunikasikan dengan baik: 1. pengenalan (secara bertahap) tong sampah yang sesuai untuk rumah tangga dan kegiatan usaha kecil dan non komersial, 2. mengkonfirmasikan pemungutan dari rumah ke rumah, menggunakan dump truk terbuka, lebih baik dengan dua ukuran (6 dan 10 m3) di lokasi-lokasi dan jalan-jalan yang sesuai, 3. menunjang kegiatan pengumpulan sampah dari pintu kepintu dengan pengumpulan yang dilakukan oleh kontainer, dengan truk arm roll, lebih baik dengan dua ukuran
70
kontainer (6 dan 10 m3), di daerah-daerah dimana pengumpulan dari pintu ke pintu tidak dapat dioperasikan baik dari aspek ekonomis maupun fisik, 4. mengembangkan pelayanan pengumpulan sampah yang disesuaikan bagi penghasil sampah menengah dan besar, dengan menggunakan kontainer empat persegi berukuran 6 dan 10 m3, 5. menetapkan standard jadwal pengumpulan sampah dengan basis daerah pemukiman dan non pemukiman, dimana untuk daerah non kemersial, penambahan skema dasar hanya dilakukan bila dirasa perlu (lihat juga bagian 5.6 dan 6.1 E dan F).
Penggunaan truk compactor tidak disarankan untuk kondisi Kota Banda Aceh (untuk saat ini dan perkiraan kedepan). Peralatannya mahal, membutuhkan perawatan dan perbaikan khusus serta harus ada akses ke penyedia suku cadang khusus. Meskipun adanya biaya tambahan terhadap investasi truk ini, namun produktivitasnya sangat tinggi, proses pengumpulan sampah membutuhkan lebih sedikit tenaga kerja dan mengurangi kebutuhan tenaga kerja, dimana saat ini aspek tersedianya lapangan kerja merupakan “nilai” yang penting dari sistem saat ini. Untuk proses pengurangan sampah, maka disarankan untuk melakukan pendekatan berikut: Aktivitas harus dikembangkan seluruhnya, atau sebagian besar (bila tidak memugkinkan seluruhnya) oleh sektor swasta, akan tetapi DKP harus memainkan peran sebagai penunjang dan memberikan arahan. Bila pengumpulan sampah atau bahan daur ulang dari rumah ke rumah dikembangkan lebih lanjut oleh sektor informal, DKP dapat memainkan peran (pada tahap awal) menyediakan gerobak bagi pemulung. Harus diupayakan untuk menggunakan teknologi setempat atau teknologi dalam negeri. Meskipun akan menjadi suatu hal yang menggoda bagi pemda atau DKP untuk masuk ke dalam bisnis daur ulang, akan lebih baik bagi DKP untuk membatasi diri agar hanya berperan dalam merangsang, mendukung dan membuat regulasi dalam rangka mengembangkan “pasar bagi sampah”, dan memberikan kesempatan kepada sektor swasta untuk melakukan kegiatan tersebut. Peran tersebut dapat berupa: pengumpulan data yang relevan, mengevaluasi dan mengembangkan kebijakan, mengembangkan skema tender, bantuan tambahan, pengawasan dan pengendalian, dsb. Berdasarkan hasil diskusi disarankan dua hal berikut:
untuk membangun pusat daur ulang sampah (recycling centre) dimana komoditas yang sudah dikumpulkan dapat ditimbun dan dipadatkan untuk menghemat biaya transportasi ke Medan; DKP dapat menjadi partner dalam pengembangan kegiatan ini dan dapat menyediakan dana (awal) untuk membeli mesin press yang sesuai dan peralatan lainnya.
untuk mengembangkan kerjasama antar pemulung yang ada di TPA Gampong Jawa untuk melakukan pemasaran bahan yang sudah dipilah secara kolektif, dan hal ini
71
dapat menghasilkan uang lebih dari pemanfaatan bersama mesin yang seperti untuk membeli baju kerja, dsb. DKP dapat memfasilitasi mengembangkan kegiatan ini sehingga dapat memberikan pemasukan tambahan bagi kelompok pemulung, dan dapat menaikkan status sosial dan teknis mereka. Bila perlu, DKP dapat menyediakan areal pemilahan dan penyimpanan tambahan di TPA. Untuk memulai kegiatan disarankan untuk menetapkan seorang staf yang bertanggung jawab di bidang “re-use dan recycling” yang memiliki kemampuan wirausaha dan pengalaman mengelola proyek. Staf tersebut harus membuat pertemuan koordinasi dengan sektor informal, mengunjungi pedagang pengumpul yang ada di Banda Aceh dan pembeli di Medan untuk membicarakan tentang perbaikan sistem logistik yang selama ini dan menerapkan kondisi pasar yang transparan, dan menciptakan pra syarat yang diperlukan untuk memperbaiki pasar barang daur ulang yang ada. Perlu disadari bahwa disamping pembeli pengumpul, pengumpul sampah di jalanan dan pemulung di TPA, juga pekerja DKP memiliki andil dalam memisahkan bahan daur ulang selama proses pengumpulan sampah rutin (dan barangkali dapat mempengaruhi efisiensi kerja rutin mereka). Dalam menilai baik buruknya praktek ini, perlu ada orang yang memikirkan untuk mengembangkan praktek ini dengan basis yang sifatnya lebih kolektif (arus bahan yang lebih besar, harga yang lebih baik) disamping juga mempertahankan standard produktivitas kerja minimal dimana mereka sudah dibayar untuk itu. Selama mengupayakan peningkatan perolehan bahan daur ulang di seluruh kota, disarankan agar secara berkala melakukan analisis pemisahan sampah untuk menunjang data praktek (pencapaian actual) untuk mengetahui sumber bahan berharga yang belum termanfaatkan. Sebagai langkah awal, disamping langkah yang telah diambil saat ini, DKP dapat mengajak dinas-dinas lain yang ada di Kota Banda Aceh untuk memisahkan kertas, dan kardus terpisah dan menjualnya berdasarkan penawaran bebas. Inisiatif seperti itu akan memberikan sinyal yang jelas kepada masyarakat setempat bahwa sikap peduli terhadap sampah mulai diakui dan dipromosikan, sikap tersebut akan menciptakan pemasukan, misalnya bagi kepentingan sosial, mengurangi arus sampah, dan mempraktekkan suatu prinsip yang mudah ditiru oleh lembagalembaga lain, masyarakat dan pihak swasta. Untuk proses pembuangan sampah, maka disarankan untuk melakukan pendekatan sebagai berikut: TPA saat ini di Gampong Jawa, kapasitas penampungan sampahnya hampir penuh. Kapasitas yang tersisa diperkirakan hanya cukup untuk kurang dari satu tahun, dan rencana perluasan yang merupakan prioritas penting sedang ditangani oleh UNDP. Dasar rancangannya adalah untuk memperluas kapasitas penampungan untuk 3 – 5 tahun kedepan, dan rencana pengembangannya sedang dalam proses. Sejalan dengan itu, TPA baru telah telah dirancang di Kabupaten Aceh Besar, yang diharapkan dapat melayani sampah dari Kota Banda Aceh dan sebagian Aceh Besar.
72
Perjanjian politis tentang lokasi dan fungsi telah di disepakati oleh pemerintah daerah dan pemerintah provinsi. Dengan mempertimbangkan jarak TPA baru ini dari pusat kota Banda Aceh, disarankan untuk merancang, membangun dan mengoperasikan satu atau dua transfer station di Banda Aceh untuk menampung sementara sampah yang dihasilkan oleh Kota Banda Aceh dan barangkali dari sejumlah kecamatan tertentu di Aceh Besar sehingga dapat diangkut dengan kendaraan dengan daya angkut besar, untuk memisahkan proses pengumpulan dari proses pengangkutan dan dalam skala besar akan lebih ekonomis. Penyesuaian dari berbagai (sub) kegiatan yang terkait dalam hal ini menjadi sangat penting dalam rangka untuk menghindari terjadinya kondisi yang tidak efektif dan efisien dalam pengangkutan sampah. Bila memungkinkan secara prosedural, disarankan untuk mengoperasikan kedua TPA secara bersama untuk beberapa lama, dan mempertahankan posisi TPA Gampong Jawa sebagai lokasi darurat.
B: Hemat biaya DKP harus berupaya untuk menjadi dinas yang memiliki kondisi keuangan yang sehat, berdasarkan pada masukan masukan yang efisen dan efektif (dalam istilah produksi) dan pemasukan yang memadai (cakupan). Untuk mecapai kondisi tersebut hal-hal berikut harus dipenuhi. Keuangan: 1.
Membuat anggaran multi tahunan bagi DKP Anggaran jangka yang lebih lama akan mendorong dewan kota dan manajemen DKP untuk: -
2.
Menetapkan suatu kebijakan tentang sasaran masa depan dari kegiatan pengumpulan dan pembuangan sampah, penyapuan jalan, dsb. Menetapkan pelayanan DKP Menetapkan aspek-aspek keuangan yang dibutuhkan dan memungkikan/terus berkesinambungan dalam memberikan pelayanan.
Membuat DKP tidak terlalu bergantung pada sumber keuangan Pemerintah Kota Banda Aceh. Untuk mencapai kondisi ini dirasa perlu agar DKP dapat mencari sumber pendapatan tambahan dari luar untuk pelayanan yang telah diberikan, disamping subsidi yang telah diberikan oleh pemerintah. Subsidi pemerintah daerah dapat dihapus bila penutupan biaya sepenuhnya dari penerima pelayanan dianggap secara politis diinginkan.
Anggaran dan Akuntabilitas: 1. Membuat anggaran tahunan berbasis output, dimana biayanya terkait dengan pelayanan DKP (yaitu: Pembiayaan Berdasarkan Aktivitas, Activity Based Costing, ABC). Pertanyaan dasar dalam ABC adalah: Apa yang kita ingin capai (efek)? Langkah apa yang perlu dilakukan (aktivitas)?
73
-
Berapa biayanya (input)?
Dalam lampiran 20 beberapa hal terkait dengan ini ditampilkan untuk mengembangkan anggaran yang berdasarkan hasil. 2. Masukkan semua keluaran dan masukan dalam anggaran sehingga dapat terlihat dan diketahui. Maksudnya adalah semua biaya yang terkait dengan pelayanan DKP harus ditransfer atau dibebankan ke anggaran DKP (investasi modal). 3. Memberikan mandat yang memadai kepada Kepala Dinas untuk menata DKP dan pelayanannya berdasarkan anggaran tahunan (penjabaran dari tanggung jawab manajemen). Termasuk juga kemampuan untuk pengambilan keputusan yang terkait dengan operasional dan keuangan. Operasi dan Administrasi: 1. membuat sistem administrasi yang mampu menghasilkan data operasional. 2. menjadikan akuntasi biaya sebagai bagian rutin dari anggaran rumah tangga DKP. 3. Melaporkan secara berkala tentang kemajuan dan jalannya anggaran. Laporan ini harus berisi data keuangan (bagaimana uang dibelanjakan berdasarkan anggaran yang sudah disetujui?), data unjuk kerja (sudah sejauh mana sasaran yang ditetapkan dicapai?), dan data pengaruh (sejauh mana outcome yang diinginkan telah dicapai?). Laporan tersebut harus bisa menggambarkan rekening yang lengkap dan benar dari semua kegiatan DKP, khususnya di setiap akhir tahun anggaran. 4. DKP harus memastikan adanya pelayanan yang baik dan tuntas. Karena itu DKP harus dalam pembangunan dan rancangan tempat-tempat umum, dan hal tersebut akan memberikan dampak bagi efektivitas biaya dari metode kerja DKP. 5. Untuk menghindari kebiasaan yang tidak baik, diperlukan mengembangkan ketentuan adminitrasi terkait dengan sejumlah kegiatan yang telah dilakukan oleh DKP yang barangkali meiliki resiko dari aspek keuangan dan hukum. 6. Mulai tahun 2007 ini DKP sedang gencar-gencarnya untuk melakukan pendataan dan pemungutan retribusi sampah di sektor perdagangan dan institusi. Untuk memperkenalkan kegiatan baru tersebut di DKP, harus dipersipkan dan ditingkatkan suatu rencana aksi. Sangat disarankan agar mempertimbangkan hak ini sebagai proyek utama dan perlu ditunjuk seorang staf senior sebagai manajer proyek.
Penerimaan dan Penutupan biaya: 1. Menetapkan pelayanan DKP yang mana yang dapat menutupi biaya. Bila penutupan biaya seluruhnya tidak mungkin atau tidak diinginkan dicapai, tetapkan tingkat penutupan biaya yang diinginkan. Penutupan biaya secara progresif dapat dimasukkan dalam program multi tahunan.
74
2. Hitung tarifnya, didasarkan pada derajat penutupan biaya yang sudah ditetapkan. Perhitungan ini harus didasarkan pada anggaran yang berbasiskan hasil dan harus dibuat untuk setiap tahunnya sebagai hal yang rutin. 3. Lakukan pemisahan (finansial) dalam penanganan sampah rumah tangga dan non rumah tangga. Bila pemisahan tersebut tidak layak, buatlah alokasi biaya berdasarkan pemeriksaan visual. 4. TPA harus dianggap sebagai mata anggaran terpisah, dengan anggaran pengeluaran dan penerimaan yang terpisah. Diharapkan agar biaya untuk memperluas/membangun TPA baru, biaya operasional dan biaya kedepan untuk penutupan TPA dapat ditutupi oleh tariff pembuangan sampah. Oleh karen itu, disarankan agar dapat dibangun jembatan timbang di pintu masuk TPA Gampong Jawa (yang barangkali dapat dialihkan ke TPA Aceh Besar nantinya). Data dari jembatan timbang akan bermanfaat bagi eksploitasi TPA dan TPA masa depan dan juga bermanfaat bagi manajemen operasional DKP. Biaya kegiatan penyapuan jalan dan pengumpulan sampah pada umumnya ditetapkan pemda Kota Banda Aceh. Biaya penyapuan jalan tidak langsung ditutupi oleh penerima pelayanan, dan dibayar melalui sistem keuangan umum dari pemerintah kota (Hal sama juga terjadi untuk pembersihan sistem saluran terbuka. Biaya-biaya tersebut tidak dibebankan kepada pemilik system, yaitu Dinas PJSDA, dimana seharusnya dibebankan kepada mereka) Menyangkut dengan penutupan biaya dari jasa pengumpulan sampah sudah ada dasar hukum untuk melaksanakannya. Perda No. 10 tahun 1999 merinci besaran tarif yang seharusnya dibebankan kepada penerima jasa pelayanan, baik rumah tangga, lembaga komersial maupun institusi non komersial. Proses pengumpulan retribusi dilakukan oleh Dinas Pendapatan Daerah, dengan data/tarif lama dan hanya beberapa lembaga komersial yang membayar retribusi. Akibatnya jumlah uang yang dikumpulkan tidak significan dibandingkan dengan pengeluaran tahunan. Dalam menyusun rencana perbaikan disarankan juga untuk menyadarkan disiplin orangorang yang memberikan kontribusi terhadap sistem pengumpulan sampah yang pada prinsipnya semua penerima pelayanan (dalam kasus tertentu pembebasan retribusi dapat diberikan oleh pemerintah daerah) Dalam menerapkan prinsip “pengotor harus membayar atas sampah yang dihasilkannya” pertama-tama biaya aktual dari sistem pengumpulan sampah, per rata-rata rumah tangga, penghasil sampah non rumah tangga kategori kecil, menengah dan besar harus diketahui/dikembangkan secara berkesinambungan, yang kedua adalah mengembangkan kebijakan pembebanan (yaitu waktu yang diperlukan untuk mencapai pemenuhan biaya yang memadai atau bahkan pada tingkatan penuh), dan yang ketiga, sistem penagihan, pembayaran dan administrasi keuangan harus direvitalisasi. Suatu kombinasi dengan tarif lokal lain dari jenis tarif yang lain atau suatu utilitas sering juga diterapkan (pajak real estate, rekening air minum, rekening listrik). Disarankan agar semua penghasil sampah non rumah tangga harus memiliki pilihan terhadap pembebanan tingkat penutupan biaya yang memadai. Pengumpulan dan pembuangan sampah pasar harus dibebankan langsung ke Dinas Pasar, demikian juga halnya dengan pembersihan terminal bus, dapat dibebankan ke Dinas Perhubungan.
75
6.5 Konsekwensi A: Lingkungan
Peningkatan Pengelolaan sampah, termasuk penyapuan jalan, akan memberikan hasil sebagai berikut: -
Peningkatan secara umum penampilan jalan protocol, jalan raya, jalan lingkungan, daerah pemukiman, kawasan perdagangan, kawasan pemerintahan dan rekreasi, baik di pusat kota maupun di pinggiran dan daerah perbatasan Kota Banda Aceh,
-
Mengurangi pengotoran saluran dan kanal serta memperlancar aliran air,
-
Mengurangi pengotoran daerah yang kosong dan sedang dibangun, bantaran sungai/kanal,
-
Pendekatan yang sesuai kearah penggolongan yang spesifik terhadap sampah yang tidak berbau, berbau, sampah berbahaya seperti yang dituntut oleh persyaratan lingkungan,
-
Peluang untuk peningkatan pendapatan dari kegiatan penggunaan kembali dan daur ulang, sehingga mengurangi aliran sampah yang masuk ke TPA,
-
Metode pembuangan antara dan akhir tidak akan membahayakan lingkungan didekatnya dan sekitarnya,
-
Suatu peningkatan terhadap kesadaran lingkungan tentang pengaruh buruk dari pengelolaan sampah yang tidak benar, dan kesiapan warga masyarakat untuk mengambil langkah-langkah pencegahan dan perbaikan.
B: Sosial Peningkatan Pengelolaan sampah, termasuk penyapuan jalan, akan memberikan hasil sebagai berikut: - berkurangnya gangguan visual/estetika di tempat-tempat umum, -
berkurangnya dampak buruk terhadap kesehatan masyarakat, dan terciptanya kualitas hidup yang lebih baik, terutama di daerah yang belum terlayani dan padat penduduknya,
-
Menunjang perekonomian setempat melalui kegiatan pemanfaatan kembali sumber,
-
Meningkatkan kerjasama dan interaksi antara DKP dgn kelompok masyarakat setempat dan perorangan.
C: Keuangan Peningkatan Pengelolaan sampah, termasuk penyapuan jalan, akan memberikan hasil sebagai berikut:
76
-
kebutuhan untuk untuk menunjukkan secara nyata kepada masyarakat Kota Banda Aceh dan kelompok masyarakat setempat, tentang anggaran yang dibutuhkan,
-
kebutuhan untuk mengembangkan akuntansi biaya berbasiskan aktivitas atau output yang menunjukkan biaya aktual dari penyapuan jalan, pengumpulan sampah, pembersihan saluran, pembuangan akhir, dsb,
-
Kebutuhan untuk menyiapkan perkiraan pembelanjaan modal multi tahunan dan biaya pengembangan operasional DKP/biaya rutin (mengantisipasi adanya perubahan mendasar),
-
Kebutuhan melakukan investasi untuk teknologi baru, metode kerja, pengolahan data, perbaikan organisasi, dsb dan peningkatan pemanfaatan sumber daya baik internal maupun eksternal,
-
Memperkenalkan (kembali) secara bertahap prinsip “pengotor harus membayar” untuk berbagi beban keuangan melalui biaya pelayanan (dengan cara yang dapat diterima oleh masyarakat)
77
VII Sasaran, Strategi dan Implementasi Pengelolaan Sampah 7.1 Artikulasi Sasaran Pengelolaan Sampah Pada bagian 1.2 pengelolaan sampah telah dikaitkan dengan aspek: kesehatan masyarakat dan kesejahteraan warga kota, kualitas dan kesinambungan lingkungan kota, efisiensi dan produktifitas ekonomi kota, lapangan kerja dan penerimaan pendapatan dalam sektor pengelolaan sampah. Pada bab VII, konidisi saat ini di Kota Banda Aceh telah dianalisa dan sejumlah kelemahan dan kekurangan telah tergambar. Pada bab ini, akan dijelaskan tentang tujuan dari pengelolaan sampah terkait dengan situasi saat ini Sistem pengelolaan sampah yang berkesinambungan selalu tergantung pada strategi-strategi menyeluruh yang terdiri dari sasaran khusus dan kegiatan-kegiatan yang dikoordinasikan dengan melibatkan aspek politis, kelembagaan, sosial, keuangan, ekonomi dan teknis. Aspek politis terkait dengan perumusan tujuan dan prioritas, penetapan peran dan jurisdiksi, dan membangun perangkat hukum, peraturan dan dukungan yang memadai. (permasalahannya, sebagai contoh, prioritas relatif antara pengumpulan sampah dengan pembuangan (yang aman), prioritas yang diberikan terhadap pengurangan dan recovery sampah, terpenuhinya kebutuhan pelayanan di pemukiman-pemukiman yang tidak teratur) Aspek Kelembagaan terkait dengan distribusi tugas dan tanggung jawab dalam pengeloaan sampah antara stakeholder umum dan swasta. Tema-tema tertentu yang terkait dengan organisasi, prosedur dan metode dalam menjalankan dan mempertahankan sistem pengelolaan sampah yang hemat biaya, dan dibutuhkannya kemampuan dari semua pelaku. (permasalahannya, sebagai contoh, keterbatasan kapasitas pemerintah daerah dalam perencanaan dan membangun sistem, pemenuhan terhadap kebutuhan/permintaan riil, status profesional pengelolaan sampah). Aspek sosial dari pengelolaan sampah terkait dengan produksi sampah dan pola penanganan terhadap rumah tangga dan pengguna jasa lainnnya, syarat-syarat bagi keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan sampah serta syarat-syarat sosial bagi pekerja sektor sampah. (permasalahannya, sebagai contoh, penyesuaian pelayanan pengelolaan sampah terhadap kebutuhan pelayanan rumah tangga kurang mampu, efektivitas dalam membangun kesadaran atau keterlibatan masyarakat secara langsung, bekerjasama dengan pekerja informal sektor sampah.) Aspek Keuangan dari pengelolaan sampah terdiri dari pengganggaran yang transparan dan akuntansi biaya, investasi modal yang memadai, menutupi biaya dan mengurangi biaya. (permasalahannya, sebagai contoh, penerapan metode akuntansi biaya yang sesuai, penggunaan retribusi hanya untuk pengelolaan sampah, insentif bagi keberhasilan melakukan efisiensi)
78
Aspek Ekonomi dari pengelolaan sampah terkait dengan pengaruh pelayanan terhadap aktivitas ekonomi, efektivitas biaya dari sistem pengelolaan sampah, dimensi ekonomi dari sumber yang digunakan, konservasi material dan pendapatan yang dihasilkan oleh sektor ini. (permasalahannya adalah, sebagai contoh, dampak lingkungan dari pengelolaan sampah yang dibawah standard, pengendalian sampah industri dan berbahaya, penciptaan lapangan kerja di sektor sampah) Aspek teknis dari pengelolaan sampah terkait dengan perencanaan dan desain, pengumpulan dan transfer station, pemanfaat dan pembuangan sampah serta pengeloaan sampah berbahaya. (permasalahannya adalah, sebagai contoh, biaya penyusutan peralatan dan fasilitas, teknologi praktis bagi pengguna dan pihak swasta, menghubungkan sistem-sistem teknis, standard yang sesuai untuk TPA) (See “A Conceptual Framework for municipal SWM” – SKAT 1996). Dalam konteks diatas, dua elemen yang sangat penting, yaitu : 1. posisi, dalam hal kekuatan dan kelemahan dari DKP dan interaksinya dalam lingkungan Pemko serta dengan lembaga politik, 2. interaksi DKP dan Pemda dengan berbagai stakeholder dan kelompok masyarakat Kota Banda Aceh yang berkepentingan. Untuk memperluas situasi pengelolaan sampah di tingkat jalanan dan pengelolaan bahan sampah mulai dari awal hingga akhir, termasuk bahan baku sekunder (bahan yang dapat didaur ulang), ditentukan oleh faktor-faktor (dinamis) tersebut. Akibatnya, harus disadari bahwa untuk meningkatkan pelayanan dasar aktual yang diberikan, yaitu: penyapuan jalan, pembersihan saluran serta pengumpulan dan pembuangan sampah, yang merupakan tugas utama DKP, harus diberikan perhatian yang luas melalui penciptaan lingkungan pemerintahan yang menunjang dan terpenuhinya prasyarat yang diperlukan. Sasaran jangka pendek berikut yang disarankan:
melakukan rasionalisasi dalam penyapuan jalan, dimana perhatian yang memadai harus diberikan pada kawasan prioritas seperti: kawasan pemerintahan yang penting, lembaga keagamaan dan sosial, pasar dan kawasan perdagangan lainnya, kawasan rekreasi,
melakukan rasionalisasi pengumpulan sampah, dimana perhatian yang memadai harus diberikan kepada rumah tangga secara bertahap mencakup seluruh kota Banda Aceh, sektor komersial/distribusi (mencari laba), sektor institusi/jasa (nir laba), dan sektor industri/produksi (mencari laba),
mengembangkan keberlanjutan pembuangan sampah yang dikumpulkan oleh DKP, lembaga pemda lainnya, dan sektor swasta, berdasarkan standard lingkungan
79
minimum.
mengembangkan suatu pendekatan dimana secara bertahap melibatkan sektor swasta yang secara komersial giat melakukan kegiatan pemanfaatan dan daur ulang sampah.
mengembangkan program peningkatan kapasitas bagi DKP, dengan fokus pada transparannya keuangan dan operasional, efisiensi dan efektivitas, administrasi keuangan dan operasional, mengembangkan menajemen menengahnya,dan meningkatkan hubungan dengan pihak luar dan interaksi dengan penerima jasa,
mengembangkan sistem akuntansi yang berbasiskan output/pelayanan, suatu tarif dasar untuk berbagai pelayanan yang diberikan, dan merevitalisasi sistem pemenuhan biaya, berupaya untuk mencapai kondisi operasi yang secara finansial dapat terus berkelanjutan dalam suatu jangka waktu tertentu (ditetapkan secara politis),
mengembangkan prasyarat yang dibutuhkan seperti peraturan daerah yang ter-update, dialog terstruktur dengan pemerintahan di tingkat kecamatan dan desa dan organisasi kemasyarakatan, kemampuan penegakan hukum, studi kelayakan untuk re-use dan recycling, serta pengelolaan sumber daya, fasilitas dan peralatan.
Untuk jangka menengah titik perhatian berikut harus diperhatikan:
penyesuaian program pelayanan dan teknologi terhadap kebutuhan pengembangan dimasa depan dan arus urbanisasi yang melanda Banda Aceh,
memperkenalkan pola yang sesuai di rumah tangga untuk pemisahan pada sumbernya dan pengumpulan secara terpisah terhadap komponen yang dapat didaur ulang,
melakukan koordinasi dalam memberikan pelayanan pengeloaan sampah dengan kecamatan perbatasan di Aceh Besar,
menutup TPA Gampong Jawa dan melakukan orientasi ulang terhadap fungsi pengelolaan sampahnya,
memanfaatkan TPA baru di Aceh Besar bagi semua sisa sampah yang tidak dapat dimanfaatkan lagi yang dihasilkan di Banda Aceh, termasuk memindahkan aliran sampah tersebut melalui satu atau dua buah transfer station,
mengevaluasi pandangan/gagasan untuk melibatkan lebih jauh sektor swasta dalam pengelolaan sampah,
penerapan secara bertahap prinsip “polluter pay”, untuk sebagian besar pelayanan yang diberikan oleh DKP.
Dan untuk jangka panjang gambaran berikut dapat ditampilkan:
emisi yang diakibatkan kendaraan yang mengumpulkan dan mengangkut sampah harus mendapat pertimbangan yang memadai: semua kendaraan yang diperoleh setelah tsunami harus diganti dalam waktu dekat, dan transportasi sampah akan diperiksa dengan teliti dari sudut pandang lingkungan,
80
semua elemen pengeloaan sampah dilaksanakan dengan benar, pinsip “polluter pays” sudah telah memerikan hasil dan posisi sektor swasta dalam pengelolaan sampah telah diperjelas,
pengurangan sampah akan dikembangkan lebih lanjut dengan perhatian khusus pada sampah kemasan (tergantung pada inisiatif yang diambil oleh Kementrian Keuangan dan KLH).
7.2 Pertimbangan Desain untuk Master Plan Persampahan Jadwal aktual penyapuan jalan telah dipetakan oleh DKP dengan hasil sebagai berikut: 1. Kecamatan Kuta Raja: Terlihat tidak ada penyapuan jalan: hanya Jl. W.R Supratman (melintasi sungai Krueng Aceh) 2. Kecamatan Meuraxa: Tidak ada penyapuan jalan 3. Kecamatan Jaya Baru: Terlihat tidak ada penyapuan jalan: hanya Jl. Cut Nyak Dhien, dan Jl. Suekarno Hatta 4. Kecamatan Banda Raya: Terlihat tidak ada penyapuan jalan: hanya Jl. Jenderal Sudirman, Jl. Cut Nyak Dhien, dan Jl. Sultan Malikul Saleh 5. Kecamatan Leung Bata: Terlihat tidak ada penyapuan jalan: hanya Jl. T. Imeum Lueng Bata dan 2 jalan penghubung melintasi sungai. 6. Kecamatan Baiturrahman: Sekitar 35% jalan dibersihkan (bagian utara): Jl. Teuku Umar, Jl. Tgk. Chik Ditiro, dan sebagian besar jalan di Gampong Baru sekitar balai kota dan mesjid raya dan beberapa jalan di Kelurahan Peuniti. 7. Kecamatan Syiah Kuala: Penyapuan jalan sedikit: hanya di Jl. T. Nyak Arief, Jl. Laksamana Malahayati, Jl. Utama, Jl. Tgk. Chik Dipineung/Jl. Ulee Kareng - Prada. 8. Kecamatan Kuta Alam:
81
Penyapuan jalan sedikit: hanya di Kawasan Peunayong (sekitar kawasan pasar), Jl. Muhammad Daud Beureuh, and beberapa jalan-jalan kecil yang saling berhubungan. 9.Ulee Kareng sub-district: Penyapuan hanya sedikit: hanya di Jl. Teuku Iskandar, Jl. P. Nyak Makam, Jl. Ulee KarengPrada. Sehingga dapat disimpulkan:
penyapuan jalan hanya terfokus sejumlah jalan utama dan simpang empat yang memiliki beragam fungsi.
Penyapuan kawasan hanya dilakukan di kawasan Peunayong dan Gampong Baru; hanya kecamatan Baiturrahman yang mendapat dukungan pembersihan terbesar, sedangkan untuk kecamatan lainnya bervariasi antara tidak ada hingga hanya terbatas sekali,
Penyapuan jalan ke kawasan pemukiman belum dilakukan,
Frekwensi penyapuan sebagian besar dilakukan setiap hari (7 hari seminggu)
Bila dewan kota tidak keberatan dengan kondisi saat ini dengan tidak melakukan penyapuan di kawasan pemukiman (yaitu dengan membiarkan ditangani oleh masyarakat), namun masing dianggap perlu untuk memberikan pelayanan ke kawasan terdekat dengan sekolah dasar dan lanjutan (jika memungkinkan secara berkala dibantu oleh murid-murid), dikawasan sekitar tempat-tempat pemerintahan, sosial dan keagamaan yang penting, pasar tetap (kambuhan), pasar ikan, dsb. Sebagai tambahan, dapat diperkirakan bahwa penggabungan zona membutuhkan dukungan penyapuan tambahan atau baru untuk mencapai tingkat kebersihan yang memuaskan. Oleh karena itu disarankan untuk mereview praktek saat ini dengan tujuan untuk memperluas cakupan struktural, memberikan perhatian pada lokasi tertentu, dan mengkaitkan program kerja sesuai dengan kebutuhan seperti yang diharapkan oleh pemerintahan di tingkat kecamatan dan desa. Dirasakan bahwa frekwensi penyapuan di jalan utama dan jalan persimpangan empat dapat dikurangi dari 6 kali per minggu menjadi 3 kali per minggu (Senin, Rabu dan Jum’at, atau Selasa, Kamis dan Sabtu), dan kelebihan kapasitas dapat dimanfaatkan untuk jalan, jalan utama dan tempat-tempat yang belum dilayani. Lebih jauh lagi, disarankan untuk mengembangkan konsep gugus tugas fleksibel dengan program kerja yang bervariasi setiap harinya seperti yang diinginkan oleh pihak kecamatan dan kelurahan/desa, melayani tempat-tempat yang sekali-kali kotor, mengambil sampah yang dibuang sembarangan dan membantu dimana ditemui tingkat kebersihannya masih buruk. Gugus tugas fleksibel ini harus beroperasi terpisah dari program pembersihan yang terstruktur/rutin.
82
Dalam bidang organisasi, disarankan untuk menetapkan input yang dibutuhkan oleh masingmasing kecamatan, dan dimana memungkinkan, menetapkan kombinasi dari dua kecamatan dari aspek pengawasan, pengendalian dan manajemen. Diperkirakan dibutuhkan sekitar 10 kelompok pembersihan rutin dan 6 gugus tugas yang fleksibel yang beranggotakan 4 pekerja. Hal ini membutuhkan tambahan 64 pekerja, tidak termasuk 1 orang cadangan untuk menggantikan yang tidak hadir. Selain itu 16 kendaraan khusus (mobil pick up) dibutuhkan untuk mengangkut pekerja, peralatan kebersihan dan sampah yang dibersihkan. Juga disarankan untuk mencari metode penyapuan yang lebih efektif dalam hal pengumpulan dan pembuangan sampah kecil dan sampah lainnya. Jadwal aktual pengumpulan sampah telah dipetakan oleh DKP dengan hasil sebagai berikut: 1. Kecamatan Kuta Raja: Sekitar 40 % jalan terlayani pengumpulan sampahnya secara rutin. (3 frekwensi pengumpulan yang berbeda). Terdapat 5 pedagang pengumpul bahan daur ulang, dan 1 titik kontainer. 2. Kecamatan Meuraxa: Hanya dua jalan utama yang terlayani: Jl. Iskandar Muda dan (sebagian) Jl. Habib Abdurrhaman (2 frekwensi pengumpulan yang berbeda). Tidak ada pedagang pengumpul bahan daur ulang di kecamatan ini, ada 1 titik kontainer. 3. Kecamatan Jaya Baru: Hanya 4 jalan yang sudah dilayani (satu jalan primer dan dua jalan sekunder) (5 frekwensi pengumpulan yang berbeda) Terdapat 1 pedagang pengumpul bahan daur ulang, dan 4 titik kontainer. 4. Kecamatan Banda Raya: Beberapa jalan utama sudah terlayani, dengan luas cakupan 25% dari luas wilayah. (5 frekwensi pengumpulan yang berbeda) Terdapat 2 pedagang pengumpul bahan daur ulang, dan 3 titik kontainer. 5. Kecamatan Lueng Bata: Sebagian besar jalan sudah dilayani, sekitar 90 % luas wilayan yang ada. (4 frekwensi pengumpulan yang berbeda) Terdapat 2 pedagang pengumpul bahan daur ulang, dan 4 titik kontainer.
83
6. Kecamatan Baiturrahman: Sekitar 50 % luas wilayah telah dilayani. (6 frekwensi pengumpulan yang berbeda) Terdapat 4 pedagang pengumpul bahan daur ulang, dan 13 titik kontainer. 7. Kecamatan Syiah Kuala: Sekitar 50 % luas wilayah telah dilayani. Tidak ada pengumpulan di sebelah utara Jl. Tengku Nyak Arief. (5 frekwensi pengumpulan yang berbeda) Terdapat 3 pedagang pengumpul bahan daur ulang, dan 5 titik kontainer. 8. Kecamatan Kuta Alam: Sekitar 90 % luar wilayah telah terlayani. Beberapa kantong belum terlayani. (5 frekwensi pengumpulan yang berbeda) Terdapat 8 pedagang pengumpul bahan daur ulang, dan 16 titik kontainer. 9. Kecamatan Ulee Kareng: Sekitar 80 % luas wilayah telah terlayani. 3 kawasan kecil perumahan belum terlayani. Terdapat 2 pedagang pengumpul bahan daur ulang, dan 2 titik kontainer. Dapat disimpulkan bahwa:
kondisi pengumpulan sampah saat ini sedikit rumit: frekwensi pengumpulan bervariasi antara 4 kali sehari hingga kurang dari 2 hari sekali (paling tidak ada 6 pola),
di beberapa kecamatan pengumpulan sampah sangat terbatas dan relatif sedikit rumah tangga yang memiliki akses langsung ke sistem, yaitu: di Meuraxa (sebagian besar masih sedang dibangun, tetapi sebagian yang sudah ditempati belum dilayani), 3 kawasan pemukiman di Baiturrahman, 2 kawasan pemukiman di Kuta Raja, 4 kawasan pemukiman di Ulee Kareng, 3 kawasan pemukiman di Syiah Kuala, dan sebagian besar jalan di kawasan pemukiman di Banda Raya dan Jaya Baru,
hanya beberapa kecamatan yang pelayanannya relatif baik, yaitu: Kuta Alam, Lueng Bata, Ulee Kareng,
hampir semua kontainer ditempatkan dipinggir jalan dimana pelayanan door to door telah diberikan (bisa dianggap berlebihan?)
Kelihatan sekali bahwa ada ketidak seimbangan dalam sistem, dimana zona campuran tertentu (memiliki fungsi perdagangan, institusi dan pemukiman) menerima pelayanan yang sangat berlebihan yaitu 2, 3, bahkan 4 kali per hari (7 hari dalam seminggu), namun hanya sedikit kawasan pemukiman yang mendapat pelayanan kurang dari 2 hari sekali, atau bahkan tidak
84
dilayani sama sekali. Di beberapa jalan tertentu di kategori kedua kendala jalan masuk barangkali membuat pelayanan pengumpulan sampah door to door menjadi terbatas, atau karena lahan milik perorangan yang begitu luas, namun hal seperti ini tidak dijumpai di semua tempat. Oleh karena itu disarankan beberapa hal berikut:
menetapkan frekwensi pengumpulan minimum di kawasan pemukiman, berdasarkan luas kawasan dan daerah (dan juga kapasitas penampungan ditempat untuk sementara waktu); dua frekwensi yang disarankan yaitu: 2 kali per minggu atau 3 kali per minggu dalam 6 hari kerja per minggu,
tambahkan kapasitas pengumpulan tambahan hingga bisa menjangkau semua lokasi didalam suatu kawasan, berdasarkan karakteristik penghasil sampah, terutama tempattempat usaha, rumah makan, kafe, restoran, dsb., sehingga tidak banyak sampah yang dibuang kedalam penampungan sementara. Hal ini mengakibatkan frekwensi pengumpulan harus ditingkatkan dari 2 hingga 3 kali per minggu menjadi 3 hingga 6 kali (setiap hari) per minggu, kecuali Minggu,
harus kritis sebelum memberikan jaminan untuk memberikan pelayanan dengan frekwensi pengumpulan sampah yang melebihi 1 kali sehari. Biasanya tidak diperlukan penambahan frekwensi lebih dari 1 kali sehari, tetapi buatlah jadwal yang jelas dan pastikan pelayanan pasti diberikan sesuai jadwal. Akan tetapi bila dirasa sangat perlu untuk kembali lagi pada hari tersebut ditempat-tempat tertentu, buat kesepakatan dengan masing-masing penghasil sampah agar pemungutan dapat dilakukan sekali jalan pada waktu bersamaan (misalnya di sore hari). Hinda untuk membuat janji pengangkutan sampah pada hari Minggu; kecuali pada keadaan khusus dimana jadwal pengambilannya 7 kali seminggu,
dalam melakukan hal tersebut, hilangkan situasi dimana sampah dikumpulkan 3 – 4 kali per hari, karena hal tersebut mengakibatkan tingkahlaku yang tidak disiplin dari penghasil sampah, jalanan menjadi kotor sepanjang hari, dan pemborosan biaya pengumpulan sampah,
dengan menganggap pelayanan pengumpulan sampah door-to-door sebagai pelayanan dasar (yang harus disediakan dengan frekwensi terjamin), dan ditambah dengan pengumpulan sampah dengan kontainer yang penentuannya dilakukan berdasarkan konsentrasi sampah yang dihasilkan (yaitu: pasar, tempat rekreasi, baik yang sementara maupun permanen, agen khusus, dsb), atau menawarkan pengangkutan sampah secara kolektif dikawasan yang tidak bisa dimasuki oleh kendaraan satndard DKP,
yang terakhir, jika dibutuhkan oleh masyarakat, DKP dapat memfasilitasi pengumpulan sampah yang dilakukan secara informal di jalan/lingkungan yang diorganisir oleh organisasi massa dan ibu rumah tangga,
Sejalan dengan itu kondisi saat ini harus diimbangi dan dibuat lebih efektive, menyediakan kapasitas pengumpulan sampah untuk memperluas cakupan pelayanan. Akan tetapi meskipun masih tetap saja ada daerah kecil yang tidak terlayani, sebagai contoh, di kawasan yang
85
sedang dibangun (Meuraxa, Kuta Raja dan Syiah Kuala), dan di Banda Raya dan Jaya Baru, dimana dibutuhkan kapasitas tambahan disamping kapasitas yang ada saat ini. Kebutuhan tersebut hanya bisa dibuat konkrit bila telah dilakukan analisi yang rinci terhadap tingkat pelayanan yang diinginkan dan kapasitas yang dibutuhkan per kecamatan, akan tetapi diperkirakan dengan jumlah kendaraan yang ada saat ini maka masih kurang 20-24% apabila diinginkan untuk memberikan pelayanan yang memadai di seluruh kota. 9 unit dump truck bantuan Unicef yang selama ini mebersihkan barak akan segera bisa dimanfaatkan untuk membantu pengumpulan sampah rutin. Lagipula, sudah terbukti bahwa penjadwalan ulang program harian dapat menaikkan kapasitas produksi harian secara significant. Diharapkan agar kelebihan kapasitas ini dapat dimanfaatkan seluruhnya atau sebagaian untuk mengisi kekurangan kapasitas pengangkutan sampah saat ini. Bagian khusus dan penting dari sistem pengelolaan sampah adalah menyangkut dengan kegiatan sosial dalam re-use dan recycling. Pada saat ini DKP tidak terlibat dalam kegiatan tersebut, kecuali melalui kegitan pembuatan perabot di Gampong Jawa dan beberapa donor yang terlibat dalam pilot project. Namun demikian, saat ini sudah ada jaringan informal yang cukup baik antara pembeli tingkat pertama, pemungut sampah, pemungut sampah di truk pengangkut sampah (pekerja DKP), dan pemulung di TPA yang memberikan pasokan bahan daur ulang ke 27 pusat penampungan bahan daur ulang yang ada di Banda Aceh. Posisi TPA telah digambarkan. Adalah menjadi hal yang sangat penting agar keberlangsungan TPA ini terjamin dengan memenuhi standar lingkungan minimum. Untuk jangka pendek, dengan memperluas kapasitas TPA teknis, untuk jangka menengah dengan peralihan yang lancar menuju TPA yang baru dirancang di aceh Besar. Yang terakhir, juga harus dimasukkan adanya transfer station di kedua sisi sungai Krueng Aceh.
7.3 Kelayakan dari Master Plan Persampahan Pemerintah daerah, yaitu Pemerintah Kota Banda Aceh memegang tanggung jawab terhadap pengelolaan sampah di daerahnya dan rencana pengembangan jangka pendek dan jangka menengahnya. Akibatnya, sangat tergantung kepada kemauan dan ambisi politik yang dijabarkan dalam komisi dewan dan kota, apakah dinas di lingkungan pemerintah daerah, khususnya DKP, akan mampu mengambil langkah-langkah dan inisiatif yang diperlukan seprti diusulkan diatas. Hal ini akan memberikan implikasi terhadap sejumlah keputusan: 1. penguatan DKP dengan berbagai cara (secara manajerial dan eksekutif) untuk mengembangkan (memperluas dan meningkatkan) performance-nya. 2. menyediakan basis keuangan yang kuat untuk masa depan operasional DKPdalam mengembangkan pelayanan secara terintegrasi. 3. memperkuat hubungan antar dinas di lingkungan Pemko dan dengan stakeholder luar untuk meningkatkan hubungan kerja dan kemitraan.
86
Untuk mencapai peningkatan pengelolaan sampah secara keseluruhan, yaitu semakin bersihnya kota, komponen perangkat keras yang direkayasa secara teknis seperti digambarkan diatas, harus juga dikaitkan dengan komponen perangkat lunak yang direkayasa secara sosial. Hal ini ada kiatannya dengan posisi, citra dan keberadaan DKP di Kota Banda Aceh, cara bagaimana DKP menjalankan misi dan tujuannya (logo, slogan), dan cara DKP berinteraksi dengan dunia luar. Dalam konteks tersebut, disarankan untuk mengorganisir proses di tiga tingkat: seluruh kota, per kecamatan, dan per masing-masing desa, dengan menekankan (perubahan) “aturan main”, menggunakan fasilitas yang sesuai, karakteristik pelayanan dan kebutuhan, dsb. Untuk ini perlu adanya sebuah pusat informasi publik (meja layanan, help desk) untuk merespon pertanyaan dari masyarakat, permintaan pelatihan/penyuluhan, laporan terhadap pembuangan sampah yang sembarangan (untuk ditindaklanjuti oleh manajemen zona), informasi yang terkait dengan perubahan tingkat pelayanan, permintaan untuk membantu kegiatan kampanye kebersihan didaerah tertentu, atau secara umum berupa semua hal yang terkait dengan kepedulian masyarakat dalam hal kebersihan. Keterlibatan tokoh masyarakat harus dikembangkan secara terstruktur. Nomor telepon pusat pelayanan informasi tersebut harus dipasang di semua kendaraan DKP. Perlu diingat, dengan melihat permasalahan yang ada saat ini dan masih kurangnya pelayanan dan fasilitas dibanyak lokasi pemukiman, maka dianggap tidak wajar untuk memulai suatu program penegakan hukum yang sangat ketat: hal akan menjadi kontraproduktif, dan bukan merupakan cara untuk menjalin kerjasama. Dengan PEPERDA harus dikembangkan suatu pola pendekatan manusiawi, memberikan perhatian terhadap area prioritas, tahapan penggantian pola penegakan hukum kearah yang lebih sosial (kartu kuning, merah, wajib belajar, tingkatan denda), menceritakan pengalaman, dsb.
7.4 Langkah-langkah Implementasi Pada awal proses kerjasama internasional telah dibentuk suatu komite pengarah untuk mendorong tercapainya kemajuan. Pada tahap ini sangat diharapkan untuk mengaktifkan komite pengarah ini agar ada komitmen dari berbagai dinas dan lembaga pemerintahan kecamatan dan desa, dalam rangka mengembangkan kepentingan bersama yang relevan. DKP sangat tergantung dari masukan data dan tindakan dari instansi lainnya dan dengan melihat budaya komunikasi dan kerjasama “top-down”, komitmen dari komite pengarah dan tim manajemen kota tidak dapat diabaikan. Selain itu, dianggap perlu agar di tingkatan politis dari pemerintah kota (misalnya walikota, komisi dewan dan dewan kota) harus memperjelas posisi mereka terhadap tujuan dan sasaran dari Master Plan, dan pra syarat yang dibutuhkan (kondisi yang menunjang) Secara berkala, DKP harus melaporkan secara teratur tentang kemajuan yang telah dicapai, pengalaman sukses, dan permasalahan yang dihadapi.
87
Sejak diimplementasikannya master plan, termasuk up-date/penyesuaian secara berkala, terdiri dari kegiatan untuk beberapa tahun, dewan kota harus diingatkan agar masalah tersebut tetap berada pada posisi penting dalam agenda politik mereka untuk beberapa tahun. Hanya dengan demikian maka perubahan di lapangan yang signifikan dan teruji benar-benar akan terwujud. 7.5 Konsekwensi Bagi Daerah Pemerintah Kota Banda Aceh Pasca tsunami, diman pemerintah daerah sangat terlibat dalam kegiatan rekonstruksi sosial dan fisik, sangatlah penting agar DKP tetap terlibat secara langsung dalam semua kegiatan pembangunan yang menyangkut fasilitas umum. Biasanya, organisasi seperti DKP dihadapkan pada kenyataan yang baru saat akan mewujudkan hal tersebut, akan tetapi cara berpikir DKP telah mampu melampau hal tersebut. Pengalaman telah membuktikan pentingnya untuk melibatkan DKP sejak awal dalam tahap perencanaan pembangunan baru, karena pada akhirnya peran perawatan dan perbaikan akan menjadi tugas DKP. Terkait dengan implementasi Master Plan, hubungan kerja pada tingkat manajemen menengah harus dibangun serta lebih meningkatkan hubungan kerjasama dengan PJSDA, DIPENDA, PEPERDA, Dinas Pasar, dan beberapa dinas lainnya. Perubahan dalam hubungan dan interaksi antara dinas-dinas dengan DKP harus dikembangkan secara hati-hati, dan barangkali perlu dibuat percontohan, sebelum hal tersebut didiskusikan dan disetujui secara formal oleh dewan kota. Bagaimanapun, pengoptimalan kondisi saat ini terkadang lebih baik dibandingkan dengan merubahnya secara total.
88
VIII Tindak Lanjut
8.1 Penerimaan Politis dan Sosial terhadap Rekomendasi Proses pelaksanaan Master Plan berada di tangan manajemen DKP dengan dukungan yang dijabarkan dengan jelas oleh pemerintah daerah (kota) dan, dukungan dari pemerintah provinsi bila dibutuhkan. Akan tetapi, permasalah dalam pengelolaan sampah muncul di tingkat jalan (desa) dan lingkungan (kecamatan), dan oleh karena itu menjadi penting bahwa hubungan kerja yang efektif harus dikembangkan dengan 9 kecamatan dan 20 kelurahan dan 70 desa. Hal ini merupakan hal yang sedikit baru bagi manajer zona, asisten manager zona, mandor dan fasilitator, dan karena itu sangat dibutuhkan adanya pelatihan yang terfokus tentang komunikasi dan kemampuan membangun kerjasama Sepertinya, harus dilakukan pendekatan dengan segman swasta dari masyarakat agar terbangun saling pengertian antara pihak swasta dan DKP. Pengguna utama jasa pelayanan DKP: memiliki hak untuk menentukan pelayan apa yang mereka butuhkan dan harapkan, ingin mengetahui bagaimana pelayanan tersebut diberikan, bekerjasama lebih baik dengan DKP bila mereka telah mengetahui mengapa pelayanan tersebut diatur sedemikian rupa, merupakan sumber informasi terbaik untuk mengetahui bagaimana sesungguhnya pelayanan tersebut mereka terima, dan lebih peduli tentang pelayanan tersebut dari siapapun juga (dari program pelatihan LOGO SOUTH, Juni 2007).
Dalam konteks perencanaan peningkatan pelayanan, masalah pembayaran retribusi, atau biaya pelayanan atau tarif harus dikembangkan dan digali secara hati-hati. Banyak waktu yang dibutuhkan untuk mengembangkan sistem penutupan biaya yang adil, terjangkau oleh sebagian besar masyarakat (termasuk suatu pilihan untuk membebaskan), pengutipannya dapat diterima (pada biaya berapa bisa ditangani dan pada biaya berapa tidak bisa ditangani, tetapi tetap disubsidi oleh pemerintah) baik secara finansial dan praktek.
8.2 Pengembangan Kemitraan Pentingnya hubungan dengan dinas terkait, wakil dari kecamatan, organisasi kemasyarakatan, dsb telah ditekankan. Untuk alasan tertentu harus ada pihak yang memperluas komunikasi ini dengan lembaga-lembaga diatas yang ada di Aceh Besar. Dengan mempertimbangkan rencana pembangunan TPA bersama di Aceh Besar dan kemungkinan untuk adanya hubungan kerjasama yang lebih luas, dirasa penting untuk melakukan upaya yang mendasar dalam mengembangkan hubungan Pemko Banda Aceh dengan Kabupaten Aceh Besar dengan melihat kepentingan bersama. Terkait dengan sektor swasta formal dan informal, DKP juga harus memulai dialog dan
89
mengidentifikasi bidang yang perlu dikembangkan. DKP harus mendukung kegiatan pembangunan yang terkait dengan sampah seperti re-use dan recycling dan tidak bertindak diam dan mengabaikannya. Ada sisi-sisi yang perlu dikembangkan secara mendasar – dalam jangka menengah – dalam hal ini, kebiasaan-kebiasaan lama harus dihilangkan. Dalam konteks ini disarankan untuk memperkuat biro penasehat staf, untuk merekrut sarjana teknik pembangunan, dan menetapkan tugas yang harus dilakukannya untuk mendukung kegiatan re-use dan recycling sampah dengan bekerja sama dengan sektor swasta. 8.3 Pembiayaan (awal) Komponen Proyek Pada tahun 2005 anggaran DKP berjumlah Rp. 8,3 milliar (3,0% dari anggaran Kota), pada tahun 2006 anggarannya bertambah menjadi Rp. 12,9 milliar (3,2% dari anggaran Kota), dan untuk tahun 2007 anggarannya bertambah menjadi Rp. 13,9 milliar (2,7% dari anggaran Kota). Anggaran terutama terdiri dari komponen gaji dan upah pekerja, biaya perawatan, perbaikan dan operasional kendaraan/peralatan, operasional TPA dan pilot project. Biaya investasi peralatan baru tidak dimasukkan dalam anggaran, tetapi dimasukkan dalam anggaran bagian umum pemko. Akibatnya, anggaran DKP tidak mencerminkan dan mewakili semua biaya yang dibutuhkan untuk operasionalnya. Mempertimbangkan kondisi yang diterangkan diatas, disarankan untuk memasukkan biaya tersebut dalam anggaran DKP kedepan (atau membebankan biaya tersebut ke DKP). Keduanya sebagai investasi (dalam anggaran modal), dan sebagai jumlah dari biaya rutin (dalam anggaran biaya operasional). Dengan melakukan seperti itu, DKP menjadi lebih terlibat dalam (menetapkan dan menjelaskan) kebutuhan akan investasi jangka pendek dan jangka menengah. Pasca tsunami dimana bagian mendasar inventaris kendaraan dan peralatan banyak yang hilang, kendaraan-kendaraan dan peralatan baru telah disumbangkan ke DKP. Meskipun itemitem tersebut dimasukkan dalam daftar aset DKP, tidak ada dibuat usulan untuk penggantian kendaraan dan peralatan tersebut suatu saat nanti. Semoga masih agak lama lagi kendaraan dan peralatan tersebut harus diganti, namun perlu ditetapkan jangka waktunya, misalkan sekitar tahun 2015. Pada saat tersebut pemerintah kota harus berada pada posisi untuk menggantian sebagian besar aset-aset bergerak tersebut dalam beberapa tahun. Untuk tahun 2007 tidak ada investasi baru yang dimasukkan dalam anggaran DKP 2007, kecuali komitmen pemda untuk turut membiaya sejumlah investasi kecil bersama dengan VNG-International (lihat lampiran 21, untuk lebih rinci). Akan tetapi permintaan bantuan sudah disampaikan kepada sejumlah donor dan BRR untuk menyediakan dana tambahan untuk melengkapi peralatan yang ada. Pengembangan dari Master Plan ini harus menyediakan landasan fungsional untuk investasi ini. Penyediaan prioritas utama dan skema investasi jangka pendek ditampilkan seperti dibawah ini: Kegiatan / item
Prioritas utama, <2 tahun
Komunikasi
Membeli 2 unit pick up double cabin untuk penyuluhan/komunikasi, dsb. Memperluas dan
90
Jangka pendek, 3-5 years
Pembersihan jalan dan saluran
Pengumpulan sampah
meningkatkan sistem komunikasi yang sudah ada (radio komunikasi dan repeater) Memperbanyak jumlah laptop bersama yang ada serta memperbesar kapasitas peralatan cetak/printer Menambah jumlah sepeda motor (sistem pool) Mempertimbangkan layak tidaknya memperluas kapasitas penyapuan jalan (kapasitas tambahan bagi pick up) Memperbaiki metode kerja penyapuan jalan (pemungut sampah, kantong plastik, kontainer, dsb) Membeli tambahan pakaian seragam bagi kegiatan operasional Penjadwalan ulang dan memperluas pelayanan rutin pengumpulan sampah (sistem shift dan frekwensi pengumpulan) Perlu penambahan kontainer 6 m3 Memulai memperkenalkan penggunaan tong sampah di rumah tangga Memperbanyak jumlah tempat sampah kecil di tempat umum Membangun 2 transfer stasion di Banda Aceh untuk pengangkutan sekunder sampah ke Aceh Besar, dan mengatur pengangkutan sampah dengan volume besar
Pembuangan Akhir
Workshop
Pengadaan seragam kerja tambahan bagi kegiatan operasional Memperluas kapasitas TPA yang ada di Gampong Jawa Pemasangan jembatan timbang di TPA Memperluas dan melengkapi peralatan dan perlengkapan 91
Membangun TPA Teknis baru di Aceh Besar Idem, 2 units
kerja yang ada untuk mengantisipasi adanya armada baru Membangun workshop baru di TPA Gampong Jawa (Pembangunan TPA dan Workshop akan ditangani oleh BRR, UNDP dan UNICEF).
8.4 Implementasi Gugus Tugas dan Pelaksanaannya Pentingnya komite pengarah dan tim manajemen pemerintah kota dalam rangka pengembangan Master Plan ini, telah diterangkan. Sebagai tambahan, disarankan untuk menunjuk secara resmi Gugus Tugas DKP, yang terdiri dari sejumlah Kelompok Kerja. Kelompok Kerja dibutuhkan untuk:
menyiapkan skema penyapuan jalan dan pengumpulan sampah yang lebih baik serta jadwal kerja, dan menentukan kebutuhannya (kendaraan, peralatan, peralatan kerja, tenaga kerja, dsb)
menyiapkan sistem administratif operasional dan keuangan yang lebih baik, dan menentukan kebutuhannya (format pelaporan, program komputer, staf, dsb)
menyiapkan komunikasi, pendidikan dan hubungan dengan pelanggan dan pendekatan penegakan hukum, serta menetapkan kebutuhannya (pusat layanan jasa dan meja pengaduan, perangkat komunikasi, jaringan komunikasi,staf, dsb)
mendukung untuk memformalkan perubahan-perubahan (secara internal, dilingkungan kota), dan penentuan prosedurnya (instruksi internal, kesepakatan dengan dinas lain, peraturan baru/telah direvisi, dsb).
Daftar prioritas utama aksi jangka pendek ditampilkan dibawah ini: Bidang strategis / item
Prioritas utama, < 2 years
Jangka pendek, 3-5 years
Politik
Mendiskusikan, mengajukan dan mengesahkan Master Plan Pengelolaan sampah Pembahasan anggaran berfokus pada aspek sosial, memberikan pelayanan dan anggaran Mendukung dan mengaktifkan (kembali) pemungutan retribusi
Mengevaluasi tujuan dan menindaklanjuti langkahlangkah yang harus diambil Memberikan perhatian yang terus menerus dalam meningkatkan kualitas pelayanan yang diberikan Memberikan perhatian yang terus menerus terhadap kualitas dan efektifitas pengutipan retribusi sampah Menjaga agar masalah pengelolaan sampah selalu menjadi agenda politik;
Membuat struktur komuniakasi. DKP<>pemda<->dewan
92
meng-update Master Plan secara berkala Mengaktifkan komite pengarah untuk mengimplementasikan Master Plan Peningkatan hubungan kerja dengan dinas terkait (dalam bentuk proyek bersama) Mengembangkan hubungan kerjasama dalam bentuk kontrak kerja dengan dinasdinas yang menerima jasa pelayanan DKP Memastikan keberlanjutan pembuangan akhir sampah Memperkuat hubungan Sosial dengan mitra/stakeholder/penerima pelayanan Mendukung kegiatan kebersihan yang dilakukan oleh organisasi berbasis masyarakat Melibatkan kelompok wanita dalam pendidikan tentang pengelolaan sampah Hukum/peraturan/penegaka Meng-update dan mengembangkan peraturan n hukum tentang pengelolaan sampah dalam hal aplikasi praktisnya Mengembangkan suatu pendekatan yang terkoordinasi dengan PEPERDA terkait dengan penegakan hukum Membuat kelompok kerja Organisasi yang akan mengimplementasikan Master Plan; buat laporan secara tertulis Menggunakan Kecamatan dan desa sebagai batas untuk memperbaiki pelayanan dan zonasi: buat rencana kerja untuk masing-masing jalan secara mendetail Mengembangkan pendekatan kerja berbasiskan proyek Mengembangkan suatu Kelembagaan
93
Membangun kerjasama dengan KKP Aceh Besar
Idem
Membentuk suatu unit di DKP yang menyiapkan/ mengevaluasi suatu kebijakan
Menyusun dan
konsep perencanaan operasional
Operasional/teknis
Komunikasi
Lingkungan hidup
Membuat sebuat perpustakaan kecil untuk legislasi, peraturan, dan literatur yang terkain dengan pengelolaan sampah Menetapkan kriteria pelayanan bagi penyapuan jalan dan pengumpulan sampah (input, hasil) Memperkenalkan secara mantap standardisasi tong sampah Menyesuaikan jadwal kerja harian untuk meningkatkan/memperluas pelayanan yang diberikan Memperkenalkan pengelolaan armada, termasuk perawatan pencegahan Memperkuat kemampuan komunikasi personel di tingkat manajemen menengah Memperkenalkan pusat komunikasi (meja pelayanan) di DKP Mengembangkan program informasi pendidikan/kesadaran lingkungan Mengembangkan hubungan kerja dengan Dinas-Dinas kebersihan yang ada di Sumatera Membangun barak, ruang penyimpanan, dan fasilitas lain bagi komunitas pemulung yang ada di TPA Memfasilitasi dan mempromosikan re-use dan recycling bagi sektor informal Menunjuk seorang spesialist 3R dalam tim DKP
mengembangkan sistem pengolahan data dengan komputer
Mengembangkan pendekatan penyapuan jalan yang lebih efektif Tempat sampah standart menjadi praktek standard
Peningkatan secara bertahap kemampuan professional bengkel yang ada
Secara mantap mengembangkan pelayanan komunikasi Sedang berjalan
Sedang berjalan
Pemulung dilibatkan dalam kegiatan pemilahan sampah dihulu Sedang berjalan, tergantung pada perspektif
Mengembang pemisahan sampah antara kertas/kardus, botol plastik, di kantor-kantor pemerintah Membuat neraca massa Secara priodik melakukan sampah untuk masing-masing analisis sampah kota kecamatan 94
Keuangan/ekonomi
Membuat inventaris barangbarang berbahaya Memperkenalkan sistem Sistemnya telah menjadi pembiayaan yang berbasiskan praktek standard output/kegiatan Mengembang sistem retribusi Sistemnya telah menjadi dan kontrak untuk berbagai praktek standard; perlu di jenis pelanggan update setiap tahunnya. Memperkenalkan strategi Sistemnya telah menjadi pemenuhan biaya untuk praktek standard dan pasti meningkatkan pemasukan akan memperbaiki posisi bagi DKP secara bertahap keuangan DKP Mengembangkan sistem surat Perbaikan lebih lanjut dari tagihan dan biaya sistem tersebut pengumpulan sampah disosialisasikan secara terus bersama sama dengan pihak menerus DIPENDA
Sejumlah issu mengalir mulai dari “prioritas utama” hingga “jangka pendek” dan akan melekat secara struktural dalam rutinitas, dan masih membutuhkan perhatian secara berkala. Menyangkut dengan jangka menengah (5-10 tahun) hal-hal berikut harus menjadi perhatian (sebagian terkait dengan perkembangan bidang pengelolaan sampah di tingkat nasional):
Kenaikan biaya perawatan dan perbaikan dapat terjadi sebagai akibat bertambahnya umur kendaraan: dukungan keuangan juga harus dipersiapkan untuk menggantikan armada utama setelah pemakaian secara intensif selama sepuluh tahun kedepan (4 shift per hari, 7 hari dalam seminggu untuk hampir semua kendaraan),
Proyek-proyek percontohan yang terkait dengan pemisahan sampah rumah tangga pada sumbernya di berbagai kota di Indonesia barang kali dapat dijadikan acuan dalam pengembangan kedepan. Hal ini juga dapat diaplikasikan pada sektor komersial dan institusi. Tujuan realistis yang terkait dengan konsep 3R harus ditetapkan, dan harus menetapkan pencapaian-pencapaian yang sesuai,
DKP melakukan langkah baru dalam pengelolaan sampah bahan kimia dan sampah berbahaya, sejalan dengan akan dibukanya fasilitas pembuangan (sementara atau akhir) di TPA baru di Aceh Besar,
Langkah baru menyangkut tanggung jawab produsen barangkali dapat mempercepat inisiatif baru yang terkait dengan bahan kemasan.
Akhirnya, kita harapkan agar Undang-Undang Persampahan yang baru dapat memberikan arahan baru bagi Pemerintah Daerah, dan akan mendukung sejumlah petunjuk dan saran yang dimuat dalam Master plan ini. ----------------------------------------------------
95