LAPORAN HASIL PENELITIAN OTONOMI DAERAH DAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DI PROPINSI KALIMANTAN TIMUR
KERJASAMA UNIVERSITAS MULAWARMAN DAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA TAHUN ANGGARAN 2009
TIM PENELITI UNIVERSITAS MULAWARMAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN SAMARINDA AGUSTUS 2009
ABSTRAK Pengelolaan sumber daya alam menjadi perhatian pemerintah daerah dewasa ini. Hal ini disebabkan karena kerusakan yang ditimbulkan sebagai dampak pengelolaan sumber daya yang tidak bertanggung jawab. Peran serta pemerintah propinsi dalam menyelenggarakan dan mengkoodinasikan semua aspek yang tekait dengan pengelolaan sumber daya alam di daerah menjadi kata kunci dari berbagai persoalan tersebut. Posisi strategis Propinsi Kalimantan Timur sebagai daerah dengan potensi sumber daya alam yang begitu besar menjadi titik sentral dari berbagai aktifitas pengelolaan sumber daya alam di daerah. Titik berat otonomi daerah pada level kabupaten/kota menjadi kendala utama bagi pemerintah propinsi dalam melaksanakan fungsi kontrol terhadap pengelolaan sumber daya alam di daerah ini. Keterbatasan akses bagi dari sisi kewenangan maupun pendanaan dalam sektor pengelolaan sumber daya alam yang dimiliki pemerintah propinsi menyebabkan tidak terkoodinasinya secara baik berbagai kebijakan pngelolaan sumber daya alam di wilayah ini. Pemerintah propinsi perlu untuk mendapatkan porsi yang lebih besar dalam hal pengelolaan sumber daya alam sehingga berbagai masalah pengelolaan sumber daya alam kedepan dapat diminimalisir,khususnya dalam rangka mewujudkan pembangunan sumber daya alam yang berkelanjutan. Key Words : Kebijakan, Kewenangan,Pengelolaan, Pemerintah Daerah
2
DAFTAR ISI Abstrak .................................................................................................... Daftar Isi ................................................................................................. Daftar Tabel ............................................................................................ Daftar Lampiran ......................................................................................
2 3 4 5
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ............................................................................. B. Rumusan Masalah ........................................................................ C. Tujuan Penelitian.......................................................................... D. Urgensi Penelitian ........................................................................
6 10 11 12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................
14
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian............................................................................. B. Lokasi Penelitian .......................................................................... C. Teknik Penarikan Sampel............................................................. D. Prosedur Penelitian....................................................................... E. Teknik Analisis Data .................................................................... F. Luaran Penelitian ..........................................................................
21 21 21 22 23 17
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ............................................ B. Hasil Penelitian dan Pembahasan................................................. 1. Pengelolaan Sumber Daya Alam Bidang Kehutanan.............. 2. Pengelolaan Sumber Daya Alam Bidang Pertambangan ........ 3. Pengelolaan Sumber Daya Alam Bidang Kehutanan..............
27 32 32 49 64
BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan .................................................................................. B. Rekomendasi ................................................................................
83 84
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................
85
3
DAFTAR TABEL No 1
2.
3
4
5
6
7
Isi Tabel
Halaman
Luas Hutan Menurut Tata Guna Lahan Kesepakatan di Propinsi Kalimantan Timur Tahun 2007 (ha)
28
Proyeksi Potensi Sumber Daya Mineral Propinsi Kalimantan Timur
30
Luas Tanaman Perkebunan Menurut Jenis Tanaman di Kalimantan Timur (ha)
31
Perubahan Fungsi Kawasan Hutan dalam RTRWP Kalimantan Timur Tahun 2005
36
Perkembangan Produksi Perkebunan Kaltim Tahun 2005-2009 (Ton)
66
Perkembangan Luas Areal Perkebunan Kaltim Tahun 2005-2009 (Ha)
66
Lokasi dan Kapasitas Pabrik Minyak Sawit di Kaltim
76
4
DAFTAR LAMPIRAN
No 1
Materi Lampiran Catatan Hasil FGD “ Rektorat Unmul”
5
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kalimantan Timur merupakan provinsi yang memiliki kekayaan sumberdaya alam melimpah dan secara otomatis menjadi sumber utama keuangan daerah Kalimantan Timur. Persoalan sumberdaya alam ini akan sangat urgen ketika dikaitkan dengan implementasi pelaksanaan otonomi daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan yang desentralis-demokratis. Dengan kondisi ini, disadari atau tidak, nasib sumberdaya alam akan menjadi taruhan dalam upaya meningkatkan pendapatan daerah yang secara ekonomis menjadi modal utama bagi pemerintah daerah dalam melakukan pembangunan di daerah. Untuk kasus pengelolaan sumberdaya alam di Kalimantan Timur dalam kerangka otonomi daerah, perlu kiranya disinergiskan antara peran pemerintah provinsi (negara) yang selama ini menjadi sentral dalam pengelolaan sumberdaya alam dengan peranserta masyarakat lokal Kalimantan Timur, sehingga apa yang diamanahkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa negara melakukan penguasaan terhadap sumberdaya alam (bumi dan air beserta isinya) untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dapat terealisasi dengan benar. Untuk itu diperlukan political will dari pemerintah
6
provinsi Kalimantan Timur sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah pusat melalui asas dekonsentrasi untuk melakukan pengelolaan sumberdaya alam melalui kebijakan-kebijakan yang pro rakyat tanpa mengesampingkan efek lingkungan yang akan timbul dari pengelolaan sumberdaya alam tersebut, dalam pengertian bahwa melakukan eksplorasi sekaligus melakukan upaya yang konkrit untuk mengeliminir kerusakan sumberdaya alam. Sebagai rujukan, paham ekosentris menganggap bahwa manusia adalah bagian dari alam dan tunduk pada hukum-hukum alam. Sekali manusia menentang
sunnah
lingkungan,
maka
sejak
itu
mereka
layaknya
mendeklarasikan kerusakan alam dan jaringannya dalam waktu yang lama. Oleh karena itu sejatinya dalam melakukan eksploitasi sumberdaya alam, manusia seharusnya memperhatikan dan memprioritaskan keseimbangan alam (Hairul, 2007). Untuk itu, pemerintah provinsi Kalimantan Timur sebagai pihak yang memiliki otoritas dan dominasi terhadap pengelolaan sumberdaya alam Kalimantan Timur dengan birokrasi pemerintahan sebagai pelaksana, perlu melakukan penataan dalam mengelola sumberdaya alam melalui upaya sinergis dengan stakeholders lingkungan dalam hal ini masyarakat dan pelaku bisnis sebagai investor. Seiring dengan penyelenggaraan pemerintahan dengan sistem otonomi daerah, tidak dapat dipungkiri bahwa pemerintahan provinsi Kalimantan Timur
7
memiliki peran yang sangat strategis dalam rangka pengelolaan sumberdaya alam (kehutanan, pertambangan, perkebunan, perikanan dan lain-lain). Dituntut upaya serius dari birokrasi pemerintah yang tergabung dalam dinasdinas provinsi terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam untuk berbuat tidak hanya sebagai pelaksana, tetapi juga sekaligus sebagai perumus kebijakan (Santoso, 2003). Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) sebagai salah satu instrumen yang memberi arahan kepada birokrasi pemerintah untuk melakukan penentuan peruntukan ruang secara tepat harus menjadi acuan utama dalam pengelolaan sumberdaya alam agar tidak terjadi benturan dalam implementasi kebijakan (overlap). Sejumlah penandatanganan kontrak kerja pengelolaan hutan, pertambangan dan sebagainya merupakan wilayah pemerintah daerah dengan kapasitas sebagai penentu kebijakan di daerah yang nantinya secara otomatis mengubah keadaan sumberdaya alam yang kesemuanya itu memberikan tekanan baru bagi kerusakan lingkungan (Santoso, 2003). Dengan demikian, peraturan pemerintah (Perda) sebagai bentuk kebijakan sudah sepantasnya mengikat seluruh stakeholders yang memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk menegakkan misi tata ruang seperti yang tercantum dalam RTRWP Kalimantan Timur dalam pengelolaan sumberdaya alam. Pemerintah provinsi sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat di
8
daerah dituntut untuk mampu menerjemahkan dan mengimplementasikan kebijakan pemerintah pusat terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam. Selain itu, keterpaduan kebijakan antara pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota dalam pengelolaan sumberdaya alam di daerah mutlak diperlukan mengingat tidak semua hak pengelolaan hanya dimiliki oleh pemerintah provinsi. Ada beberapa pengelolaan sumberdaya alam yang justru diserahkan kepada pemerintah kabupaten/kota yang menempatkan pemerintah provinsi hanya sebagai pemberi stempel atau pihak yang menyetujui. Namun
demikian,
yang
perlu
digarisbawahi
adalah
meskipun
pemerintah daerah adalah titik sentral terhadap pengelolaan sumberdaya alam di daerah, bukan berarti bahwa ijin pengelolaan sumberdaya alam bisa diberikan
kepada
investor
secara
sporadis
tanpa
memperhitungkan
keseimbangan ekologis, karena dalam hukum ekologis setiap gangguan keseimbangan ekosistem akan selalu mengarah pada proses keseimbangan kembali (re-equilibrium process). Sebagai contoh, jika terjadi pengrusakan terhadap hutan akibat penebangan dan penambangan yang tidak mengindahkan keseimbangan ekosistem, maka untuk melakukan proses keseimbangan kembali,
banjir
akan
terjadi
pada
wilayah-wilayah
yang
terganggu
keseimbangannya.
9
Dalam hal ini, pemerintah daerah (Pemprov, Pemkab dan Pemkot) seharusnya bersinergi untuk melakukan pengelolaan sumberdaya alam yang berorientasi pada konsep pengelolaan berwawasan lingkungan dan lebih mengedepankan paradigma fasis lingkungan (eco-facisme) yang menganggap bahwa pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam diupayakan untuk kepentingan lingkungan itu sendiri ketimbang paradigma pembangunan lingkungan
(eco-development)
yang
menganggap
bahwa
keberadaan
lingkungan dan potensi sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pembangunan dan pemenuhan kebutuhan manusia. Oleh karena itu, meski sumberdaya alam merupakan modal dasar pembangunan
yang
harus
dimanfaatkan
semaksimal
mungkin
untuk
menghasilkan nilai ekonomis, namun tidak berarti bahwa pemerintah daerah mengabaikan perhatian terhadap masalah lingkungan. Kita tidak ingin istilah yang dikemukakan oleh Eep Saefulloh Fatah (Kompas, 4 Mei 2007) bahwa demokrasi gagal berdamai dengan lingkungan menjadi sebuah realita dalam pengelolaan sumberdaya alam di Kalimantan Timur. B. Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana peran pemerintah provinsi sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat untuk
10
menghasilkan keterpaduan dalam pengelolaan sumberdaya alam di Kalimantan Timur ? C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang diharapkan dari penelitian ini adalah : 1. Mengunkap dan menggambarkan pengelolaan sumber daya alam dalam era otonomi daerah pada level pemerintahan propinsi yang memiliki fungsi pada koordinasi pengelolaan antar daerah 2. Menggambarkan posisi pemerintah propinsi dalam pengelolaan sumber daya alam khususnya dalam kaitan besarnya kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah propinsi dalam mengelola dan mengkoordinasikan berbagai permasalahan dalam pengelolaan sumber daya alam di daerah sehingga mampu menyelesaikan berbagai permasalahan yang muncul. 3. Mengunkap peran pemerintah daerah dalam menjaga dan melestarikan lingkungan melalui suatu bentuk
pengelolaan sumber daya alam yang
berkelanjutan dan memiliki daya guna bagi pembangunan masyarakat sekitar yang tidak dapat dipisahkan oleh batas-batas adminsitratif. 4. Menemukan formula pendekatan yang dapat diberikan kepada pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dalam mengelola dan mengembangkan potensi sumber daya alam di daerah sehingga mampu memberikan
11
kontribusi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerah. C. Urgensi Penelitian Disamping
melaksanakan
identifikasi
terhadap
kewenangan
pemerintah propinsi dalam penmgelolaan sumber daya alam, dalam penelitian ini juga diharapkan mampu memberikan masukan kepada pemerintah pusat / Dewan Perwakilan Daerah untuk melihat dan mendapatkan gambaran yang lebih spesifik mengenai potensi sumber daya alam yanga ada di propinsi Kalimantan Timur yang nantinya akan menjadi bahan dalam penyusunan perundang-undangan tentang pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam di daerah sehingga konsep pembangunan berkelanjutan dalam bidang sumber daya alam tetap dapat dilaksanakan. Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini juga diharapkan mampu menjadi bahan dasar bagi Pemerintah Pusat / Dewan Perwakilan Daerah dalam melihat perhatian pemerintah dalam menjaga dan melestarikan lingkungan hidup khususnya sumber daya alam yang merupakan aset negara dengan berbagai keanekaragamnya. Selanjutnya temuan-temuan tersebut akan digunakan sebagai bahan inovasi dan masukan dalam menangani berbagai persoalan pengelolaan sumber daya alam dengan menggunakan pendekatan
12
kebutuhan daerah yang secara langsung mengetahui berbagai persoalan yang ada di daerah. Melalui penelitian ini dipula diharapkan ditemukan suatu model yang dapat digunakan untuk mengkoordinasikan pengelolaan sumber daya alam di daerah sehingga dapat memperkuat jalannya roda pemerintahan secara nasional
13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Kekuatan desentralisasi dan otonomi daerah pada dasarnya akan terlihat dari keberhasilan pemerintah daerah dalam mengelola dan mengembangkan potensi yang ada daerah dengan tetap menjaga keseimbangan dan kelestarian dari sumber daya tersebut. Kemandirian lokal yang selama ini didengunkan oleh berbagai kalangan tidak justru menjadi suatu bumerang bagi pemerintah daerah untuk kemudian serta merta mengelola dan memanfaatkan potensi yang dimiliki tanpa adanya peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Pelimpahan kewenangan yang telah diberikan oleh pemerintah pusat seharusnya dinilai sebagai suatu kesempatan untuk mengembangkan kemampuan daerah dengan mengoptimalkan berbagai potensi yang ada di daerah. Hal ini tentunya tidak terlepas dari persoalan pengelolaan sumber daya alam (SDA). Pembahasan mengenai pengelolaan sumber daya alam tidak bisa lepas dari pembahasan mengenai kewenangan pengelolaan, yang dalam hal ini diatur oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (UUPD). Dalam UUPD Pasal 17 disebutkan bahwa pemerintahan daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan memiliki hubungan dengan Pemerintah dan dengan pemerintahan daerah lainnya, yang salah satunya
14
adalah hubungan dalam pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya. Hubungan tersebut menimbulkan hubungan administrasi dan kewilayahan antar susunan pemerintahan. Lebih lanjut disebutkan bahwa hubungan dalam bidang pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara Pemerintah dan pemerintahan daerah meliputi: a. Kewenangan,
tanggung
jawab,
pemanfaatan,
pemeliharaan,
pengendalian dampak, budidaya, dan pelestarian; b. Bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya; dan c. Penyerasian lingkungan dan tata ruang serta rehabilitasi lahan. Sementara itu hubungan dalam bidang pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antar pemerintahan daerah meliputi: a. Pelaksanaan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang menjadi kewenangan daerah; b. Kerja sama dan bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antarpemerintahan daerah; dan c. Pengelolaan perizinan bersama dalam pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya.
15
Penyelenggaraan
pemerintahan
yang
baik
dalam
pengelolaan
lingkungan hudip khususnya sumber daya alam menuntut kerjasama dan kemitraan yang saling percaya antara semua stakeholders pemerintahan. Untuk itu, pentingnya transparansi dan keterbukaan diantara berbagai unsur yang terlibat dalam pengelolaan sumber daya alam tersebut. Kontrol terhadap pemerintah yang mengambil dan menjalankan berbagai kebijakan publik baik yang terkait secara langsung dengan pengelolaan sumber daya alam, maupun lingkungan hidup secara umum. Lay (2007) menyatakan bahwa lingkungan memiliki karakteristik khas yang idealnya dapat dijadikan titik rujuk bagi politik sebagai instrumen pengaturan kepentingan bersama. Tiga karakteristik lingkungan tersebut dapat diidentifikasi sebagai berikut : pertama, watak lingkungan sebagai sebuah kesatuan sistem melintasi sekat-sekat administrasi pemerintahan dan politik. Sifat lingkungan tidak pernah setia dan tidak dapat dipagari oleh batas-batas administrasi pemerintahan apapun pola aturannya. Demikian pula tidak peduli dan tidak akan pernah peduli pada perjuangan mendapatkan otonomi sebagai sebuah konsep dan gerakan politik yang telah diperjuangkan sangat panjang oleh cukup banyak daerah di berbagai kawasan dunia. Seberapapun besarpun otonomi diberikan kepada sebuah daerah tidak akan mampu membendung sekat-sekat dari lingkungan tersebut. Dari karakteristik tersebut, secara
16
hipotetik dapat menjadi struktur insentif penting bagi pengembangan kerjasama lintas daerah yang tentunya memerlukan peran dari pemerintahan pada level propinsi. Kedua, lingkungan melekat didalamnya kepentingan paling subyektif dari manusia sebagai mahluk, terlepas dari ruang politik dan bebas dari perjalanan waktu. Setiap individu, membutuhkan lingkungan sebagai ruang kebutuhan hari ini yang tidak dapat ditunda pemenuhannya dan sekaligus sebagai ruang kebutuhan masa depan yang tidak dapat dipercepat. Lingkungan adalah ruangan kita sebagai mahluk manusia bukan saja sebagai ruang hari ini, tetapi sekaligus sebagai ruang masa depan diri dan anak keturunan kita. Dalam konteks ini, lingkungan memiliki variabel makna mulai dari posisinya sebagai ruang ekonomi, ruang kultural, bahkan samapai pada ruang dalam makna fisikalnya. Ketiga, Daya menghukum lingkungan yang timbul sebagai akibat dari pengabaian manusia manusia atas lingkungan punya sifat yang sangat khas, yakni indiskriminatif. Berbagai bencana dan kenaasaan yang timbul silih berganti sebagai akibat logis dari kealfaan kita memperlakukan lingkungan secara wajar akan melanda siapa saja tanpa memperdulikan kelas sosial, kekayaan, asal-usul suku, agama dan berbagai kategori pembeda manusia lainnya. Daya menghukum lingkungan, dengannya sebanding dengfan watak
17
dari
daya
menghukum
tindakan
terorisme
yang
tagetnya
bersifat
indiskriminatif ; siapa saja bisa menjadi korban. Khusus dalam kaitan dengan otonomi daerah, harapan untuk mengembangkan dan mengelola potensi sumber daya alam yang ada oleh pemerintah daerah menjadi begitu besar. Apakah realitas membenarkan hal itu atau tidak, itu sangat bergantung pada banyak faktor lainnya. Keraf (2006) menyatakan
bahwa
secara
konseptual
otonomi
daerah
akan
lebih
menguntungkan bagi pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup. Hal ini dapat dilihat dari empat variabel dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Pertama, dengan mendekatkan pengambilan kebijakan dan keputusan publikdekat dengan rakyat di daerah, kebijakan dan keputusan publik tersebut diandaikan akan lebih sesuai dengan kenyataan di lapangan mengenai kondisi lingkungan hidupnya. Asumsinya, sulit dipahami bahwa kebijakan dan keputusan publik itu bertentangan dengan kenyataan mengenai kondisi sumber daya alam di daerah. Kedua, ada kontrol lebih langsung dan lebih cepat, bahkan lebih murah, dari masyarakat dan berbagai kelompok kepentingan di daerah. Kontrol yang memungkinkan pemerintah daerah menggunakan kewenangannya demi kepentingan masyarakat. Dengan demikian diasumsikan bahwa kebijakan dan
18
keputusan dibidang pengelolaan sumber daya alam akan lebih mengakomodasi kenyataan di lapangan. Ketiga, dengan otonomi daerah, kepentingan masyarakat lokal yang terkait dengan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup, khususnya masyarakat adat akan lebih bisa diperhatikan dan diakomodasi. Asumsinya, para pengambil keputusan dan kebijakan publik adalah orangorang yang mengenal masyarakatnya sehingga kepentingan mereka lebih bisa diperhatikan dan diakomodasi. Keempat, nasib setiap daerah ditentukan oleh daerah itu sendiri. Maka masa depan daerah itu juga menjadi tanggung jawab pemerintah dan masyarakat setempat. Dalam kaitan dengan itu, pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup harus menjadi salah satu faktor penting yang harus dipertimbangkan secara serius dalam setiap perencanaan pembangunan di daerah tersebut. Ada asumsi cukup kuat bahwa pemerintah daerah dan masyarakat setempat- tidak seperti pemerintah pusat sebelumnya, akan sangat serius mengantisipasi setiap kemungkinan yang terkait dengan sumber daya alam dan lingkungan hidup. Pengelolaan sumber daya alam tidak dapat dipisahkan dari pengelompokan SDA itu sendiri. Barlow dalam (Suparmoko, 2006) mengelompokkan SDA menjadi tiga kelompok yaitu : (1). Sumber daya alam
19
yang tak dapat pulih atau tak dapat diperbaharui, (2). Sumber daya alam yang dapat pulih atau dapat diperbaharui, dan (3). Sumber daya alam yang dapat mempunyai sifat gabungan antara yang dapat diperbaharui dan tidak dapat diperbaharui.
Pengelompokkan
sumber
daya
alam
secara
langsung
memberikan gambaran mengenai bentuk kebijakan yang sesuai agar kesinambungan dari sumber daya alam tersebut dapat tetap terjaga.
20
BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah bersifat deskriptif yaitu suatu penelitian yang menggambarkan pengelolaan sumber daya alam dalam era otonomi daerah dengan memfokuskan diri pada kewenangan pemerintahan pada level propinsi di Propinsi Kalimantan Timur. B. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Propinsi Kalimantan Timur dengan memilih lembaga / dinas
sebagai locus yaitu ; Dinas Kehutanan, Dinas
Pertambangan dan Dinas Perkebunan sebagai lembaga yang memiliki peran sentral dalam pengelolaan sumber daya alam khususnya kewenangan pengelolaan di level propinsi. C. Teknik Penetuan Informan Dalam pelaksanaan penelitian, informan ditentukan dengan teknik purposive dengan mempertimbangkan kemampuan individu yang askan menjadi key informan maupun informan dalam penelitian ini. Untuk melengkapi data yang telah diperoleh maka dipilih informan yang akan
21
memberikan informasi lebih mendalam mengenai topik penelitian. Informan bersumber dari pemerintah daerah, LSM, anggota DPRD, Akademisi dan masyarakat yang memiliki pengalaman dan pengetahuan tentang pengelolaan sumber daya alam di Propinsi Kalimantan Timur. D. Prosedur Penelitian Secara umum prosedur yang dilakukan dalam penelitian ini terdiri dari dua tahap yaitu ; Studi pustaka dan penelitian lapangan. Studi pustaka dilakukan untuk mendapatkan data berupa hasil-hasil penelitian ataupun bukubuku yang relevan dengan materi penelitian ini. Hasil-hasil penelitian dan buku-buku dengan konsep dan teori yang relevan dengan materi penenlitian ini akan sangat bermanfaat bagi langkah selanjutnya dalam penelitian ini, baik pada tahap awal maupun pada tahap akhir khususnya ketika melaksanakan analisis data. Sedangkan penelitian lapangan dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh data empiris tentang aspek-aspek yang dikaji dalam penelitian ini. Penelitian ini dilapangan dilakukan dengan melaksanakan observasi, wawancara mendalam, maupun FGD. Dalam hal pengumpulan data, penelitian ini membutuhkan dua jenis data yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang
22
diperoleh langsung dari informan. Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui laporan atau dokumen-dokumen. Untuk memperoleh data tersebut dalam penelitian ini digunakan beberapa teknik pengumpulan data, diantaranya adalah teknik observasi, teknik wawancara mendalam dan FGD, dan teknik dokumentasi. E. Teknik Analisis Data Penelitian ini adalah termasuk jenis penelitian kualitatif. Dalam penelitian kualitatif dikenal adanya 3 (tiga) langkah dalam menganalisis data yaitu : Reduksi Data, pengorganisasian data, dan inerpretasi data. Jika dirinci langkah-langkah tersebut adalah sebagai berikut : 1. Reduksi Data, langkah ini meliputi proses manipulasi, integrasi dan tranformasi data. Hal ini antara lain dilaksanakan dengan cara peringkasan, pengkodean dan kategorisasi data. Reduksi data akan sangat membantu mengidentifikasi aspek penting dari pertanyaanpertanyaan yang diajukan dalam penelitian untuk memfokuskan data uyang terkumpul sehingga akhirnya sampai pada kesimpulan. 2. Pengorganisasiaan data : ini adalah proses penyusunan kembali semua informasi sekitar tema-tema tertentu yang berkaitan dengan topik penelitian. Juga meliputi kategorisasi yang lebih spesifik, dan
23
menampilkan hasilnya dalam beberapa format. Cara-cara yang paling umum dalam menampilkan data adalah teks. Selain itu juga digunakan matriks, grafik, tabel dan sejenisnya. 3. Interpretasi : Proses interpretasi meliputi pembuatan keputusan dan penyusunan kesimpulan yang berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan dalam penelitian. Hal ini meliputi proses pengidentifikasiaan pola-pola dan keajegan, menemukan kencenderungan dan memberikan penjelasan atas aspek-aspek
tertentu, yang akan memungkinkan terjadinya
perkembangan ke arah sudut pandang yang lebih tegas yang selanjutnya akan menuntun peneliti dalam langkah selanjutnya. Proses penelitian yang
berlanjut
akan
membantu
untuk
merumuskan
kembali,
mengkonfirmasi dan menguji validitas dari kesimpulan yang sudah dibuat sampai saat itu. Proses ini akan berlanjut sampai kesimpulan akhir dapat tercapai.
24
Model penelitian kualitatif dapat digambarkan sebagai berikut :
Studi Pendahuluan
Studi pustaka
Penentuan Tema/Topik
Merumuskan masalah penelitian
Menyusun Kuesioner , draft/panduan wawancara
Pemilihan responden / Key informan/informan Pengumpulan data
Analisa/olah data
Output/luaran (report)
Gambar 1. Bagan Alir/Prosedur Penelitian (Kualitatif)
25
F. Luaran Penelitian Penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan pengetahuan baru melalui : 1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran dan jawaban terhadap kewenangan pemerintah propinsi dalam mengelola sumber daya alam di era otonomi daerah khususnya di Propinsi Kalimantan Timur. 2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi gambaran dan penjelasaan tentang cara-cara dan metode yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah dalam mengintegrasikan berbagai kebijakan khususnya pengelolaan sumber daya alam di era otonomi daerah. 3. Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan jawaban terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi baik oleh pemerintah propinsi, lembaga sosial kemasyarakatan, maupun akademisi dalam mengelola dan mengembangkan potensi sumber daya alam yang ada di sekitarnya. 4. Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi berharga bagai Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam perancangan perundangundangan yang terkait dengan pengelolaan sumber daya alam di era otonomi daerah.
26
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Propinsi Kalimantan Timur merupakan propinsi dengan kekayaan sumber daya alam (SDA) yang begitu melimpah. Hal ini tidak saja pada potensi SDA yang tidak terbarukan, akan tetapi lebih dari itu dimana semua sumber daya yang ada tersedia. Potensi sumber daya alam Kalimantan Timur meliputi : Sub Sektor Kehutanan, Pertanian, Perkebunan, Pesisir dan Kelautan, Pertambangan Berupa Gas, minyak bumi, dan mineral, bahan galian logam dan industri bangunan ( emas, nikel, antimonit, besi, timah hitam dan seng, rutil, batu gamping, kaolin, kristal kuarsa, pasir kuarsa, fospat, lempung, andesit, gipsum, intan, marmer, serpentinit, peridotit, bentonit, diorit). Pengelolaan sektor kehutanan merupakan sub sektor yang begitu favorit dalam kurung waktu 32 tahun pada masa orde baru, letak geografis propinsi Kalimantan Timur menjadikan lokasi ini menjadi salah satu tujuan dari pengelola sektor kehutanan. Luas hutan di Kalimantan Timur dari tahun-ketahun terus mengalami penyusutan baik oleh pengelolaan yang memiliki HPH maupun oleh pembalakan liar. Data Tahun 2007 menunjukkan bahwa luas hutan yang tersisa sekita 21.146.648,26 Ha yang terbagi menjadi 6 (enam) jenis hutan yang meliputi ; hutan lindung, hutan suaka alam dan wisata, hutan produksi terbatas, hutan produksi tetap, hutan produksi yang dapat dikonversi dan hutan pendidikan / penelitian. Dari 6 (enam) jenis hutan tersebut, yang terluas adalah hutan produksi terbatas dan hutan
27
produksi yang dapat di konversi. Untuk lebih jelasnya mengenai potensi kehutanan berdasarkan tata guna hutan di Propinsi Kalimantan Timur dapat Kita Lihat pada Tabel 1. Tabel 1. Luas Hutan Menurut Tata Guna Lahan Kesepakatan di Propinsi Kalimantan Timur Tahun 2007 (ha)
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
116.952 745.551,41 213.959
Hutan Suaka Alam / Wisata 109.302 5.500 11.621
145.350 587.644,98 507.614
257.126 643.578 781.762
511.778,00 1.236.733,98 1.300.997,00
Hutan Hutan Produksi Pendidika yang Dapat n/ di Konversi Pelatihan 531.664 -892.125,22 -1.073.009 781.762
454.708 339.391,1 708.647 167.748 157.855 21.495,75
54.710 523.431,1 1.360.500 ----
1.090.893 631.491,45 1.624.356 493.583 164.844 --
969.952 616.210,93 447.910 461.769 310.387 45.282,36
2.115.555,00 1.771.133,48 3.342.166,00 955.352,00 475.231,00 45.282,36
1.043.716 455.315 269.813 542.199 470.914 145.282,26
-------
15.000 -3.705 21.728 2.966.740,26
15.000 -7.048 720 2.081.832,10
----5.245.776,43
-386 6.860 1.141 4.524.346,29
15.000 23.562 386,00 62.075 7.908,00 13.252 1.861,00 5.248 11.869.972,48 5.528.174,48
----
Kabupaten / Kota
Hutan Lindung
Paser Kutai Barat Kutai Kartanegara Kutai Timur Berau Malinau Bulungan Nunukan Penajam Paser Utara Balikpapan Samarinda Tarakan Bontang
Jumlah
Hutan Produksi Terbatas
Hutan Produksi Tetap
Hutan Tetap Total (3) + (4) + (5)
Sumber Data ; Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Timur 2009 Upaya pemerintah dalam melestarikan potensi kehutanan dilaksanakan melalui penertiban dan pelarangan eksploitasi sektor kehutanan. Kerjasama pemerintah daerah dengan semua elemen yang ada dalam masyarakat untuk mencegah dan melestarikan sumber daya kehutanan yang ada ditandai dengan semakin aktifnya berbagai operasi dalam rangka penertiban pengelolaan kehutanan. Lahan hutan yang selama menjadi potensi utama dari pemerintah propinsi Kalimantan Timur perlu untuk dikelola dan dijaga dalam perspektif pembangunan
28
781.762
berkelanjutan. Pengelolaan sektor kehutanan yang tidak didasarkan pada pengelolaan yang ramah lingkungan dan berkesinambungan menyebabkan hancurnya sebagian besar lokasi kehutanan di Propinsi Kalimantan Timur. Potensi kehutanan (kayu) yang selama ini menjadi primadona bagi para penguasaha perlu untuk direposisikan kembali dengan mengembangkan sektor-sektor baru yang ada. Hal ini penting karena Propinsi Kalimantan Timur sebagai daerah dengan potensi sumber daya alam yang luar biasa memiliki varian usaha yang juga banyak. Pergeseran paradigma dalam pengelolaan sumber daya alam kemudian ditandai dengan meningkatnya jumlah produksi dari sektor pertambangan. Propinsi Kalimantan Timur sebagai daerah dengan cadangan kekayaan pertambangan gas, mineral, batu bara dan minyak bumi kemudian muncul sebagai salah satu daerah penyuplai sumber-sumber kebutuhan seperti minerba, gas dan minyak bumi tersebut. Berdasarkan data yang ada di dinas pertambangan dan energi Propinsi Kalimantan Timur potensi sumber daya mineral dapat diklasifikasikan seperti pada tabel 2.
29
Tabel. 2 Proyeksi Potensi Sumber Daya Mineral Propinsi Kalimantan Timur No
Jenis
1
Batu Bara
2
Emas
3.
4.
5.
Estimasi Kandungan / Lokasi 19, 567.79 ( M Ton) dengan Cadangan 2,410.33 (M Ton) 60,50 Juta Ton, Tersebar di Kab. Pasir, Kab. Kutai Barat, dan Kab. Bulungan
Nikel ; 120.000.000 Ton, Antomonit ; 87.79 Ton, Besi ; 18.000.000 Ton, Timah Hitam ; Indikatif, Rutil ; Indikatif, Batu Gamping ; 25.695.523.660 Ton, Kaolin ; 9.029.832, Kristal Kuarsa ; 6.000.000 Bahan Galian Industri / Ton, Fospat ; 1.680 Ton, Lempung ; 2.036.085.075 Ton, Andesit ; 35.000.000 M3, Gipsun ; Bangunan Indikatif,Intan ; Indikatif, Marmer ; 381.750.000 M3, Sarpetinit ; 240.000.000 M3, Peridotit ; 801.450.000 M3, Bentonit ; 27.800.000 M3, Diorit ; 37.250.135 M3 Cadangan Minyak ; 920 Milliar Barrel (MMSTB), Minyak dengan Progosa (ribu barrel) ; 49,331.23, Realisasi (ribu barrel) ; 52,809.53 Cadangan ; 47,39 Trilun SCF, dengan Progosa (ribu Gas Alam MMTBU) ; 968,711.80, Realisasi ; 1.072.815.90 (ribu MMBTU)
Sumber Data ; Profil Potensi Energi dan Sumber Daya Mineral Propinsi Kalimantan Timur 2009
Seiring dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk dan tuntutan akan diversifikasi pengelolaan sumber daya alam yang tidak hanya bertumpu pada sektor yang tidak terbarukan, maka mulai tahun 2002 pemerintah daerah terus memacu untuk mengembangkan sub sektor perkebunan dengan berbagai varietasnya. Tanaman perkebunan yang dikembangkan di Propinsi Kalimantan Timur antara lain : karet, kopi, kelapa, cengkeh, coklat, kelapa sawit, dan lainnya. Pembudidayaan tanaman perkebunan termasuk didalamnya perkebunan besar pemerintah, perkebunan besar swasta, dan perkebunan rakyat. Luas Areal perkebunan terus meningkat dari tahun-
30
ketahun sebagai bentuk dukungan kepada pemerintah untuk memanfaatkan lahan tidur yang selama tidak dimaksimalkan. Pembukaan areal perkebunan juga dimaksudkan sebagai langkah penting untuk menjaga kesinambungan program revitalisasi lahan tidur yang diakibatkan oleh pengelolaan sector kehutanan yang tidak bertanggung jawab. Untuk lebih jelasnya mengenai luas tanaman perkebunan di Propinsi Kalimantan Timur Dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel. 3 Luas Tanaman Perkebunan Menurut Jenis Tanaman di Kalimantan Timur (ha) Tahun
Karet
Kelapa
Kopi
Lada
Cengkeh
Kakao
2003 2004 2005 2006 2007
60.477,50 60.154,50 62.426,00 64.957,00 67.891,00
49.466,00 46.307,50 45.643,00 47.734,00 34.537,00
16.512,50 16.104,50 17.787,50 17.409,00 15.067,00
13.662,00 13.756,00 13.821,00 14.768,00 14.508,00
291,00 272,00 228,50 253,00 210,50
32.927,50 36.071,00 37.296,00 41.307,00 34.557,50
Kelapa Lain-Lain Sawit 159.076,00 6.631,50 171.580,50 6.882,00 201.087,00 7.385,00 225.352,00 8.741,50 339.292,50 7.620,50
Sumber Data ; Dinas Perkebunan Propinsi Kalimantan Timur 2009 Pengelolaan tiga sub sektor sumber daya alam tersebut oleh pemerintah daerah baik pada level pemerintah propinsi maupun kabupaten/kota memerlukan dukungan berupa perangkat peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar bagi kewenangan yang dimiliki oleh masing-masing level pemerintahan. Implementasi Undang-Undang No 32 Tahun 2004 diakui atau tidak telah memberikan pengaruh yang begitu besar pada level propinsi. Hal ini terkait dengan besarnya kewenangan yang dimiliki dalam pengelolaan potensi sumber daya alam yang ada dalam wilayah administratifnya. Berbagai kewenangan yang selama ini melekat pada pemerintah propinsi beralih ke kabupaten/kota, sementara urusan-urusan yang terkait dengan penyelesaian sengketa pengelolaan akan tetap ditinggalkan untuk pemerintah
31
propinsi. Kenyataan tersebut kemudian menjadi suatu hal yang perlu untuk disikapi guna menetapkan kembali posisi pemerintah propinsi dalam posisi tawar yang strategis dalam rangka pembangunan wilayah secara menyeluruh.
B. Hasil Penelitian dan Pembahasan 1. Pengelolaan Sumber Daya Alam Bidang Kehutanan Hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya hayati yang didominasi oleh pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Dengan ruang lingkup seperti ini substansi dari pengelolaan hutan adalah mengatur pengelolaan kawasan hutan secara menyeluruh, mengkoordinir kegiatan pembangunan lainnya di luar kehutanan; pertambangan, pertanian, dan lain-lain. Mengakui hak atas tanah dan hak adat, mengatur konservasi sumber daya air. Bukan rahasia lagi kalau permasalahan besar yang sedang melanda sektor kehutanan, khususnya di Indonesia adalah terjadinya degradasi hutan. Disinyalir kerusakan hutan terus meningkat dari 1,7 juta hektar/tahun menjadi 2,8 juta hektar/tahun (Steni, 2004). Pada akhirnya hutan tidak mampu lagi menjadi penyangga bagi kelestrian alam dan berakibat pada munculnya berbagai bencana alam sebagai isyarat bahwa keseimbangan dan kelestarian alam semakin tidak terjaga. Kondisi ini tidak terlepas dari pengelolaan hutan yang dulunya tersentralisasi oleh pemerintah pusat. Kebijakan-kebijakan terkait dengan pengelolaan hutan lebih berorientasi pada kepentingan pusat ketimbang kepentingan masyarakat daerah di
32
mana wilayah hutan tersebut berada. Hal ini diperparah dengan kekeliruan pusat dalam menetapkan kebijakan dan regulasi bidang kehutanan yang cenderung tidak melibatkan daerah dalam penyusunan rencana dan penetapan regulasi. Seiring dengan transformasi format ketatanegaraan dari sentralistik ke arah desentralistik yang dilandasi oleh semangat demokrasi dan otonomi daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan, maka secara otomatis desentralisasi pengelolaan hutan menjadi sangat penting adanya. Desentralisasi merupakan upaya pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota. Desentralisasi pengelolaan hutan ini diharapkan menjadi jembatan bagi penyelesaian konflik kepentingan yang sering muncul antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dan pemerintah dengan masyarakat lokal. a. Pengelolaan Hutan Kalimantan Timur Kalimantan Timur memiliki luas wilayah 24,5 juta hektar dengan luas hutan 14,5 juta hektar yang terdiri atas kawasan hutan budidaya (kawasan budidaya kehutanan dan kawasan budidaya non kehutanan), kawasan konservasi (cagar alam,hutan penelitian, taman nasional, hutan lindung, dan hutan produksi). Selain itu terdapat pula hutan mangrove seluas 883.379 hektar yang tersebar di 10 kabupaten/kota yang memiliki pesisir (Bappeda Kaltim, 2009). Dengan kawasan hutan yang luas ini, maka desentralisasi pengelolaan hutan seharusnya menjadi prioritas utama dalam program pembangunan Kehutanan provinsi Kalimantan Timur. Disadari atau tidak, pemerintah provinsi Kalimantan Timur memiliki peran yang sangat strategis dalam rangka pengelolaan hutan.
33
Pemerintah provinsi sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat di daerah dituntut untuk mampu menerjemahkan dan mengimplementasikan kebijakan pemerintah pusat terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam. Untuk itu dituntut upaya serius dari birokrasi pemerintah tidak hanya sebagai pelaksana, tetapi juga sekaligus sebagai perumus kebijakan (Santoso, 2003). Pemerintah provinsi memiliki tanggung jawab besar dalam melakukan mengelolaan hutan yang sebesar-besarnya bagi kepentingan masyarakat Kalimantan Timur. Untuk memaksimalkan peran tersebut, sudah seharusnya pemerintah provinsi membuat program pengelolaan hutan dengan mempertimbangkan aspek-aspek yang terkait dengan optimalisasi pemanfaatan hutan. b. RTRWP Kalimantan Timur Mengacu pada arah pengelolaan sumber daya alam, pengelolaan kawasan hutan di wilayah provinsi Kalimatan Timur pada prinsipnya harus memperhatikan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP). RTRWP merupakan salah satu instrumen yang memberi arahan kepada birokrasi pemerintah untuk melakukan penentuan peruntukan ruang secara tepat dan harus menjadi acuan utama dalam pengelolaan sumberdaya alam agar tidak terjadi tumpang tindih (overlap) dalam implementasi
kebijakan
antara
pemerintah
provinsi
dengan
pemerintah
kabupaten/kota. Hal ini terjadi karena masih adanya ketidakjelasan definisi kewenangan administratif dan pemahaman yang belum sama antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota terhadap desentralisasi yang pada gilirannya cenderung
34
menghambat efektifitas pelaksanaan pembangunan kehutanan daerah. Di sisi lain, kewenangan bagi bupati dan walikota untuk mengeluarkan izin telah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap upaya daerah-daerah untuk meningkatkan PAD. Keterpaduan kebijakan antara pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota dalam pengelolaan hutan mutlak diperlukan, mengingat tidak semua hak pengelolaan hanya dimiliki oleh pemerintah provinsi. Ada beberapa pengelolaan hutan yang justru diserahkan kepada pemerintah kabupaten/kota yang menempatkan pemerintah provinsi hanya sebagai pemberi stempel atau pihak yang menyetujui. Salah satu problem yang dihadapi oleh provinsi Kalimantan Timur era otonomi daerah sekarang ini dalam pengelolaan kawasan hutan adalah sampai sekarang belum memiliki RTRWP terbaru, padahal RTRWP Kalimantan Timur tersebut diharapkan menjadi acuan dalam pengelolaan wilayah provinsi, pada kenyataannya belum disahkan oleh Menteri Kehutanan karena faktor kurangnya sinergi antara pemerintah provinsi dengan 12 wakil Kalimantan Timur yang ada di senayan (anggota DPR dan DPD) dalam hal transparansi pembahasan RTRWP di tingkat provinsi. Salah seorang anggota DPD RI asal Kalimantan Timur, Luther Kombong menilai bahwa kondisi ini pada akhirnya akan berimplikasi pada terhambatnya investasi di Kalimantan Timur (Tribun Kaltim, 11 Januari 2010). Jika ini terjadi, maka sudah dapat dipastikan tingkat kepercayaan investor terhadap Kalimantan Timur akan menipis. Belum ditetapkannya RTRWP baru bagi provinsi Kalimantan Timur secara otomatis menjadi kendala besar, mengingat RTRWP ini akan diejawantahkan dalam
35
bentuk Peraturan Daerah (perda), yang mana perda ini sangat dibutuhkan sebagai payung hukum dalam menetapkan zona-zona kawasan pengelolaan hutan. Ironisnya, acuan yang dipakai selama ini adalah RTRWP tahun 2005 yang ketika diurai lebih jauh akan sangat berbeda dengan kondisi hutan di tahun 2009 ini. Sebagai gambaran, RTRWP tahun 2005 dapat dilihat pada tabel 1: Tabel 4 Perubahan Fungsi Kawasan Hutan dalam RTRWP Kalimantan Timur Tahun 2005 KAWASAN HUTAN
LUAS
1
2
KAWASAN LINDUNG 1.257.730,41 Ha
* Hutan Cagar Alam
178.532,18 Ha
* Hutan Taman Nasional
3.431.438,37 Ha
* Hutan Lindung * Taman Hutan Rakyat (TAHURA) * Hutan Penelitian / Pendidikan 1
57.974,45 Ha 26.178,22 Ha 2
KAWASAN BUDIDAYA * Kawasan Budidaya Kehutanan (KBK) * Kawasan Budidaya Non Kehutanan (KBNK)
7.661.042,99 Ha 6.513.145,10 Ha
KAWASAN STRATEGIS NASIONAL
424.516,12 Ha
TUBUH AIR
145.324,68 Ha Total
19.695.882,52 Ha
Sumber : BAPPEDA KALTIM, 2009
36
Terdapat dua kutub yang berbeda dalam menyikapi persoalan belum disahkannya RTRWP Kalimantan Timur oleh menteri Kehutanan. Bagi kalangan eksekutif, RTRWP Kalimantan Timur yang berlarut-larut menjadi sebuah batu sandungan untuk melakukan pengelolaan hutan karena belum ada kepastian hukum yang jelas mana saja lahan hutan budidaya, non-budidaya kehutanan, hutan produksi, kawasan lindung, dan hutan konservasi. Juga akan ada kepastian hukum wilayah mana saja yang masuk dalam kawasan Tahura, Taman Nasional Kutai, dan hutan lindung lainnya. Kalangan LSM melihat bahwa dengan disahkannya RTRWP secara otomatis akan membawa implikasi yang besar terhadap keseimbangan alam dan perlindungan sisial-budaya komunitas lokal karena dalam pembuatan draft RTRWP, pemerintah provinsi tidak pernah melakukan penjaringan aspirasi publik, padahal di dalam pasal 60-66 UU No. 26/2007 diatur mengenai hak, kewajiban dan peran masyarakat dalam penataan ruang, dimana ditegaskan bahwa penyelenggaraan penataan ruang dilakukan oleh pemerintah dengan melibatkan peran masyarakat, dimana peran tersebut antara lain melalui: (a) partisipasi dalam penyusunan rencana tata ruang; (b) partisipasi dalam pemanfaatan ruang; dan (c) partisipasi dalam pengendalian pemanfaatan ruang. Dari kedua sudut pandang yang berbeda dalam menyikapi permasalahan RTRWP provinsi Kalimantan Timur, dapat ditarik kesimpulan bahwa belum ada sinergi antara pemerintah provinsi dengan masyarakat. Keadaan ini pada akhirnya menimbulkan ketidakpastian dalam pengelolaan hutan dengan asumsi bahwa bagaimana mungkin menggunakan RTRWP tahun 2005 untuk melakukan
37
pengelolaan hutan tahun 2009. Setidaknya telah terjadi perubahan kondisi hutan yang sangat berbeda antara tahun 2005 dengan tahun 2009. c. Otonomi Daerah dan Pengelolaan Hutan Kalimantan Timur Otonomi daerah pada hakekatnya memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengurus rumah tangganya atas prakarsa sendiri. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah bermakna memberikan kewenangan yang luas kepada pemerintah daerah dalam mengelola pemerintahan, yang salah satunya adalah dalam pengelolaan hutan. Menurut UU No. 41 tahun 1999, pengelolaan hutan meliputi kegiatan penyelenggaraan, perencanaan kehutanan, pengelolaan hutan, penelitin dan pengembangan, pendidikan dan latihan, penyuluhan kehutanan dan pengawasan. Dengan semangat desentralisasi, seyogyanya desentralisasi pengelolaan hutan pada tataran implementasi seharusnya berdampak positif terhadap menimalisasi kerusakan hutan dan pelibatan secara aktif masyarakat dalam pengelolaan hutan. Akan tetapi fakta berkata lain, penerapan kebijakan desentralisasi kehutanan yang dilakukan selama ini ternyata justru malah memunculkan permasalahan yang baru yang sangat bertolak belakang dengan harapan awal desentralisasi kehutanan, misalnya laju kerusakan semakin meningkat, kesejahteraan masyarakat tidak kunjung membaik. Salah satu penyebabnya adalah konsep rancang penetapan kebijakan desentralisasi kehutanan belum diikuti dengan penetapan rancang bangun pembagian atau pendelegasian wewenang yang jelas antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah (Nugraha dan Murjito, 2005).
38
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 pada Bab III pasal 13 menyebutkan bahwa terdapat dua kewenangan pemerintah daerah provinsi yang berskala provinsi yakni urusan wajib dan urusan pilihan. urusan pilihan yang meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Khusus provinsi Kalimantan Timur, potensi unggulan daerahnya adalah hutan. Bagi provinsi Kalimantan Timur dengan kawasan hutan seluas 14,65 juta hektar, hutan merupakan potensi unggulan daerah dan menjadi sumber utama dalam pembiayaan pembangunan. Dari luas tersebut, sebagian besar merupakan hutan produksi yang dikelola oleh pengusaha hutan. Melalui pengusaha hutan ini, eksploitasi hutan dilakukan secara maksimal untuk memacu peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) sebagai konsekuensi dari otonomi daerah yang menjadikan hutan sebagai sumber pendapatan daerah. Berdasarkan laporan dari Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Timur (2009), bahwa terdapat berbagai permasalahan selama ini ada terkait dengan pengelolaan hutan, yakni banyaknya tumpang tindih (overlap) lahan untuk keperluan yang berbeda, misalnya adanya lahan yang memiliki izin penggunaan ganda (untuk keperluan industri kehutanan, pertambangan, dan perkebunan). Kesimpangsiuran ini terjadi karena belum ditetapkannya Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) dalam bentuk Peraturan Daerah, padahal payung hukum ini sangat diperlukan untuk
39
menghindari penyalahgunaan penggunaan izin oleh pihak swasta dalam mengelola hutan. Mengacu pada Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang mengatur tentang pembagian kewenangan dan tanggung jawab antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota dalam melakukan pengelolaan kawasan hutan, sudah seharusnya menciptakan sinergi yang kuat dan dilandasi oleh semangat keterbukaan, kebersamaan, dan kemitraan untuk menghindari tumpang tindih kebijakan dalam pengelolaan suatu kawasan hutan. Hal ini penting mengingat hutan sebagai salah satu sumberdaya alam perlu dijaga kelestariannya. Dalam era otonomi daerah, pemerintah provinsi Kalimantan Timur melalui Dinas Kehutanan mempunyai tanggung jawab untuk melaksanakan pengelolaan hutan Kalimantan Timur pada level provinsi dengan segala perangkat yang dimiliki agar hutan dapat memberikan kontribusi besar dalam meningkatkan perekonomian daerah. Pemanfaatan sumberdaya hutan secara optimal dengan melibatkan unsur dunia usaha dan masyarakat menjadi keharusan yang tidak bisa ditawar-tawar untuk menghindari munculnya konflik antara pemerintah dengan masyarakat. Masyarakat sebagai salah satu stakeholders harus dilibatkan agar kesalahan yang terjadi dimasa lalu ketika sentralisasi pengelolaan hutan tidak terulang lagi. Penyelenggaraan pembangunan kehutanan pada era desentralisasi kehutanan diharapkan mengarah pada upaya bersama untuk mewujudkan pengelolaan hutan secara lestari dan peningkatn kesejahteraan masyarakat yang menjadi tujuan utama
40
pembangunan kehutanan. Kebijakan, sasaran, dan tujuan pembangunan kehutanan harus terimplementasi secara optimal melalui kesepahaman, koordinasi dan harmonisasi antara pemerintah Pusat, pemerintah Provinsi, dan pemerintah Kabupaten/Kota. Dalam pelaksanaan desentralisasi kehutanan, setiap wilayah tertentu mempunyai permasalahan yang berbeda sesuai dengan karakteristik sumber daya hutan serta keterbatasan yang dihadapi. Dengan
desentralisasi
pengelolaan
hutan,
pusat
harus
menyerahkan
kewenangan kepada provinsi sebagai koreksi atas kebijakan sentralisasi pengelolaan hutan yang dahulu menjadi sumber masalah. Ketidakrelaan pusat untuk melibatkan provinsi dalam pengelolaan hutan, faktanya telah membuat hutan semakin terdegradasi dan kehilangan fungsi dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Untuk itu dibutuhkan itikad baik antara pemerintah pusat dan provinsi Kalimantan Timur dalam implementasi kebijakan yang telah dilimpahkan ke daerah terkait dengan pengelolaan hutan. Dengan demikian, pertanyaan yang muncul kemudian bahwa apakah dengan kewenangan yang diserahkan ke provinsi tersebut benar-benar menjadi sebuah solusi dari persoalan klasik yang selama ini ada atau malah justru memunculkan permasalahan baru? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, menarik untuk dikaji mengenai kebijakan yang diserahkan oleh pusat ke provinsi. Salah satu contoh, Peraturan Pemerintah (PP) No. 2 Tahun 2008 yang memberikan keleluasaan pinjam pakai kawasan hutan lindung yang ada di wilayah provinsi, pada kenyataannya justru memunculkan persoalan baru, karena dengan terbitnya PP ini justru berdampak pada
41
meningkatnya konversi hutan untuk kepentingan lain (perkebunan kelapa sawit). Dari contoh kasus ini, dapat dilihat bahwa PP No. 2 Tahun 2008 pada tataran implementasi di lapangan mengalami ketidaksesuaian dengan tujuan awal pembuatan PP tersebut. Gambaran singkat di atas menunjukkan bahwa pada tataran implementasi kebijakan, masih terdapat masalah yang membutuhkan koordinasi intensif antara pemerintah pusat dan pemerintah provinsi agar tidak terjadi misinterpretasi. Persamaan persepsi sebelum sebuah kebijakan diimplementasikan sangat penting dilakukan untuk menghindari ketidakakuratan sasaran. Persepsi yang sama secara otomatis akan memudahkan sosialisasi dan implementasi kebijakan. Dalam rangka melaksanakan amanah tersebut, sudah barang tentu diperlukan sebuah kewenangan yang jelas agar pengelolaan dapat berjalan sebagaimana mestinya. Kewenangan yang dimaksud adalah pelimpahan sebagian wewenang pemerintah pusat kepada pemerintah provinsi untuk melakukan pengelolaan hutan. Pemberian kewenangan ini seharusnya dengan peraturan perundang-undangan yang kemudian menjadi payung hukum dalam mengatur batas kewenangan antara pusat dan daerah, sehingga tidak terjadi tumpang tindih kewenangan yang dapat berakibat pada inefisiensi pengelolaan. Payung hukum pelaksanaan kewenangan ini mutlak diperlukan oleh pemerintah daerah (provinsi) sebagai landasan dalam mengelola dan memanfaatkan hutan yang ada di wilayahnya, mulai dari perencanaan hingga perlindungan hutan dan konservasi alam.
42
Meski telah ada Undang-Undang tentang penataan ruang yang mengatur tentang pembagian kewenangan dan tanggung jawab antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota dalam melakukan pengelolaan kawasan hutan yakni UU No. 26 Tahun 2007, namun pada kenyataannya belum menjadi solusi terbaik atas persoalan yang sering muncul ke permukaan terkait dengan pengelolaan hutan ini. Masih seringnya terjadi tumpang tindih (overlap) penggunaan lahan untuk keperluan yang berbeda, misalnya adanya lahan yang memiliki izin penggunaan ganda (untuk keperluan industri kehutanan, pertambangan, dan perkebunan) dan saling klaim antara pusat dan daerah merupakan sebuah indikator belum terlaksananya UU ini. Fenomena ini menunjukkan bahwa belum ada sinergi positif antara pusat dan daerah terkait dengan kewenangan pengelolaan hutan. Berikut ini akan diuraikan contoh kasus bagaimana kewenangan pengelolaan hutan di Kalimantan Timur : 1. Kewenangan Provinsi dalam Pengelolaan Hutan PP No. 38 Tahun 2007 dalam bagian umum penjelasannya menyebutkan bahwa Penyelenggaraan desentralisasi mensyaratkan pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah dengan Pemerintahan Daerah. Urusan pemerintahan terdiri dari urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah dan urusan pemerintahan yang dikelola secara bersama antar tingkatan dan susunan pemerintahan atau konkuren. Dalam kasus Kalimantan Timur, berdasarkan data yang diperoleh dari pelaksanaan Focus Group Discussion (FGD) tentang Otonomi Daerah dan
43
Pengelolaan Sumberdaya Alam Kalimantan Timur yang diselenggarakan pada tanggal 28 Juli 2009 di Universitas Mulawarman Samarinda, terungkap bahwa belum ada aturan (PP) yang mengatur tentang penyerahan sebagian kewenangan penyelenggaraan kehutanan oleh pusat kepada pemerintah daerah (provinsi Kalimantan Timur) sebagai amanat dari pasal 66 UU Kehutanan No. 41/1999. Kewenangan yang ada hanya sebatas kewenangan administrasi yang dilaksanakan oleh Dinas Kehutanan Provinsi. Provinsi lebih banyak bertindak sebagai pemberi rekomendasi ketimbang pemberi ijin dalam setiap kegiatan pengelolaan hutan. Akibatnya, provinsi menjadi pihak yang “tidak berdaya” atas hutan yang ada di wilayahnya. Salah satu contoh ketiadaan kewenangan provinsi bila ditinjau dari kawasan budidaya hutan yang telah ditetapkan oleh menteri kehutanan tentang Kawasan Budidaya Non Kehutanan (KBNK) dalam penempatan posisi pertambangan dan perkebunan. Kewenangan diserahkan kepada kabupaten (bupati) dan kota (walikota), sedangkan posisi provinsi dalam hal ini tidak muncul. Besarnya kewenangan kabupaten/kota ini berimplikasi pada lemahnya kekuatan provinsi. Kewenangan provinsi hanya sebatas administratif (rekomendasi) dan penyelesaian konflik yang terjadi berkaitan dengan pengelolaan hutan, misalnya konflik antar daerah kabupaten/kota dan konflik antara daerah dengan masyarakat lokal. Jika terkait dengan penggunaan anggaran pengelolaan, pusat dan kabupaten/kota memiliki kewenangan yang besar. Kewenangan ini merupakan konsekuensi logis dari
44
penerapan otonomi daerah yang menitikberatkan pada daerah kabupaten dan kota dengan segala kekhasan yang dimiliki. Selama ini ada kesan bahwa pusat terkesan menyerahkan kepalanya tetapi ekornya dipegang. Idealnya penyerahaan wewenang juga harus disertai dengan kejelasan tugas-tugas yang dilimpahkan agar pihak yang dilimpahi wewenang jelas arahnya. Namun yang perlu diperhatikan dalam memberikan tugas-tugas kepada daerah, yakni kemampuan daerah, khususnya yang menyangkut sumberdaya manusia dan keuangan daerah. Beberapa studi menyatakan bahwa salah satu kendala yang dihadapi dalam desentralisasi kehutanan adalah ketersediaan SDM di daerah. Menghadapi kenyataan ini diperlukan pembinaan dan mekanisme pelimpahan wewenang secara bertahap, sampai daerah betul-betul mampu menjalankan kewenangan yang dilimpahkan secara mandiri. Kata kuncinya menurut Dinas Kehutanan provinsi Kalimantan Timur dalam FGD adalah kewenangan provinsi dalam pengelolaan hutan hanya sebatas pada kewenangan administratif, misalnya melakukan kajian tentang suatu kawasan hutan dan mengambil bagian dalam hal subsidi pendanaan, sedangkan kewenangan kabupaten/kota sampai kepada hal teknis, seperti pemberian ijin, misalnya dalam hal HPL dan KBNK yang memberikan ijin adalah bupati dan walikota. Provinsi dalam hal ini tidak muncul. Kewenangan propinsi dalam hal pengelolaan sector kehutanan merupakan fakta bahwa fungsi administrative yang dimiliki oleh propinsi dalam perngelolaan sector kehutanan perlu untuk ditinjau kembali.
45
2. Kendala Yang Dihadapi Salah satu kendala yang mengemuka dalam penelitian terkait dengan kewenangan pengelolaan hutan pada level provinsi karena dimasukkannya pengelolaan hutan pada urusan pilihan seperti yang tercantum dalam UU No. 32/2004 pasal 13 yang menyebutkan bahwa urusan pemerintahan provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Untuk Kalimantan Timur, kekhasan dan potensi unggulan daerah yang dimiliki salah satunya adalah hutan. Selain itu, PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota pasal 6 ayat (4) yang menyebutkan bahwa urusan pilihan yang dimaksud salah satunya adalah kehutanan. Pengelolaan hutan Kalimantan Timur yang masuk urusan pilihan ini kemudian mengakibatkan tidak maksimalnya sinergi antara pusat dan daerah dalam pengelolaan hutan. Minimya kewenangan yang diserahkan kepada provinsi menjadi kendala tersendiri karena kreatifitas yang seharusnya muncul dari wilayah di mana hutan itu dikelola menjadi tidak ada. 3. Upaya Yang Perlu Dilakukan Untuk
mengatasi
persoalan
kurangnya
kewenangan
provinsi
dalam
pengelolaan hutan adalah dengan melakukan perubahan penekanan dari urusan pilihan menjadi urusan wajib. Dengan perubahan ini, provinsi menjadi lebih berdaya
46
dan memiliki peran penting. Namun yang perlu diperhatikan ketika urusan pilihan diubah menjadi urusan wajib ini adalah provinsi perlu mengembangkan konsep yang jelas tentang perencanaan, pengelolaan, dan perlindungan hutan melalui suatu kajian pengelolaan kawasan hutan agar dapat menjadi acuan bagi pusat dan daerah dalam melakukan sinergi pengelolaan hutan. Bukan hanya kabupaten/kota,, provinsi harus diberi ruang yang luas untuk mengembangkan kreatifitas dan kreasi. Dengan menjadi urusan wajib akan terjadi perubahan perspektif terhadap pengelolaan hutan. Dengan perubahan perspektif ini, desentralisasi pengelolaan hutan betul-betul akan memberi manfaat kepada semua pihak, khususnya masyarakat yang bermukim di sekitar hutan. Meski demikian, bukan hal yang mudah untuk melakukan perubahan pilihan karena biasanya ketika ada hal baru yang muncul, kesulitannya adalah bagaimana menerjemahkan konsep tersebut ke dalam program teknis di lapangan, yang kemudian disinkronkan dengan praktek yang selama ini berjalan. Pemerintah pusat harus berbesar hati untuk menyerahkan urusan kepada provinsi dan tidak lagi setengah-setengah untuk menghindari konflik (conflik of interest) antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Keterbatasan pemerintah propinsi dalam mengelola dan mengembangkan sector kehutanan menyebabkan munculnya berbagai perspektif yang negative dari masyarakat akan posisi pemerintah propinsi untuk sector kehutanan. Dari sudut pandang politik, pentingnya kejelasan pemberian wewenang kepada daerah oleh pemerintah pusat dalam pengelolaan hutan di era otonomi daerah adalah wujud dari konsep distribusi kekuasaan (distribution of power) untuk
47
menghindari penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) oleh pusat sebagai akibat dari penumpukan kekuasaan yang dimiliki. Berdasarkan hal tersebut, maka dalam upaya pengelolaan sector kehutanan di Propinsi Kalimantan Timur perlu adanya berbagai tindakan yang responsive dari pemerintah daerah yang disinergikan dengan program nasional dalam upaya pengelolaan sector kehutanan. Perbaikan dalam sector kehutanan meliputi ; 1. Perlunya perubahan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang menempatkan pemerintah pusat sebagai pusat kebijakan dalam pengelolaan hutan. Seiring dengan semangat otonomi daerah, desentralisasi pengelolaan hutan semestinya menempatkan pemerintah daerah provinsi sebagai salah satu pihak yang menentukan dalam perumusan kebijakan tentang pengelolaan kawasan hutan yang ada di wilayahnya. Dengan demikian, istilah provinsi sebagai pihak yang hanya pemberi “stempel” terhadap pengelolaan hutan dapat lebih berdaya. Selain itu, ketika provinsi didudukan sebagai pihak yang memiliki tanggung jawab besar terhadap pengelolaan hutan, maka secara otomatis pengawasan terhadap ekploitasi hutan dapat lebih maksimal, tidak lagi saling lempar antara pusat dan daerh provinsi apabila terjadi pemasalahan terkait dengan pengelolaan hutan. 2. Urusan pengelolaan hutan seharusnya menjadi urusan wajib, bukan lagi urusan pilihan sebagaimana yang tercantum dalam UU No. 32/2004. Menempatkan hutan sebagai urusan wajib akan berimplikasi pada keseriusan pemerintah dalam
48
membuat regulasi sebagai payung hukum pengelolaan hutan dengan tidak mengesampigkan kearifan lokal masyarakat di sekitar hutan. 3. Pengelolaan hutan pada level provinsi dan pengelolaan non kehutanan pada level kabupaten/kota. Pemerintah provinsi sebagai wakil pemerintah pusat di daerah sudah semestinya diberi kewenangan yang luas untuk mengurus urusan pusat yang ada di wilayahnya. Terkait dengan pengelolaan hutan, provinsi perlu menunjukkan eksistensinya sebagai pihak yang memiliki tanggung jawab bagi kelestarian hutan, Untuk kawasan non kehutanan,
kabupaten/kota memiliki
kewenangan yang besar dalam pengelolaannya. 4. Pengelolaan hutan harus melibatkan komunitas masyarakat lokal/adat. Dalam konteks desentralisasi pengelolaan hutan, menjadi sebuah keharusan bagi pemerintah untuk memberdayakan masyarakat dalam penentuan kebijakan tentang pengelolaan hutan. Hal ini penting mengingat pelibatan masyarakat secara langsung dapat menjaga hutan tetap lestari. Masyarakat lokal/adat akan memposisikan hutan sebagai sumber kehidupan, sehingga melakukan perusakan hutan berarti akan merusak tatanan hidup yang telah ada. Selain itu, dengan pengelolan hutan yang menempatkan masyarakat sebagai pihak subyek, diharapkan terjadi peningkatan kesejahteraan hidup bagi masyarakat. 2. Pengelolaan Sumber Daya Alam Bidang Pertambangan Proses peralihan pengelolaan sumber daya alam yang selama ini sangat bergantung pada potensi kehutanan pelan tapi pasti mulai beralih kepertambangan sebagai industri primadona oleh para pengusaha. Propinsi Kalimantan Timur sebagai
49
salah satu daerah yang terkenal dengan kekayaan sumber daya alam seperti hutan dan pertambangan mau tidak mau juga diperhadapkan pada persoalan rusaknya lingkungan hidup di daerah ini. Salah satu yang menjadi perhatian serius adalah sektor pertambangan mineral dan batu bara. Kekayaan potensi tambang di Propinsi Kalimantan Timur dengan berbagai jenisnya, seperti ; minyak bumi, gas, emas dan batubara. Berbagai perusahaan besar baik swasta maupun BUMN telah lama melakukan kegiatan tambang diberbagai daerah di wilayah ini. Sistem keruk habis yang selama ini dikembangkan oleh para pengelola pertambangan kemudian diperhadapkan pada kenyataan bahwa bidang pertambangan dan mineral merupakan sumber energi terbatas yang tidak terbarukan (finite/nonrenewable resources) sehingga diperlukan kebijakan pengelolaan yang tepat dengan berbasiskan pada cita-cita pembangunan. Pertumbuhan ekonomi yang selama ini selalu dikaitkan dengan kuantitas luaran dan hasil eksploitasi sumber pertambangan dan mineral ternyata tidak selamanya tepat. Hal ini terbukti dari beberapa negara berkembang yang kaya akan sumber daya alam dan sektor pertambangan sebagai primadonya. Pengalaman di beberapa negara berkembang sepanjang dua dekade terakhir banyak menunjukkan bahwa negara-negara ayang akan sumber daya pertambangan dan mineral seperti ; Peru, Zambia, Nigeria dan Sierra Leone, justru mengalami tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat dibandingkan dengan negara-negara yang miskin akan sumber daya pertambangan, mineral dan energi seperti ; Taiwan dan Korea Selatan. Sehingga secara umum dapat dikatakan bahwa tingkat
50
pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang berkorelasi negatif dengan jumlah sumber daya pertambangan, energi dan mineral yang kemudian dikenal dengan fenomena resources curse (auty, 1993 ; Stinjis, 2007 ; Rosser, 2006). Perdebatan dalam hal pengelolaan pertambangan sebagai salah satu sektor unggulan Kalimantan Timur semakin mencuat di era otonomi daerah. Titik berat otonomi daerah pada daerah kabupaten/kota secara langsung menunjuk aparat pemerintah kabupaten sebagai pengelola dengan kewenangan yang melekat di dalamnya. Hal ini
menimbulkan berbagai pertanyaan antara kewenangan
pengelolaan tersebut. Persoalan penerbitan izin salah satu prasyarat dalam pengelolaan potensi pertambangan tersebut kemudian diperhadapkan pada masalah yang timbul setelah munculnya izin eksplorasi yang melampau batas-batas wilayah administratif suatu daerah. Hal ini kemudian menjadi fenomena menarik ketika daerah kabupaten/kota melimpahkan persoalan tersebut pada level diatasnya. Munculnya berbagai persoalan pada pengelolaan sektor pertambangan tentunya merupakan hal yang perlu untuk diperhatikan secara serius dengan memfokuskan diri pada peraturan perundang-undangan yang mengatur khususnya pada kewenangan yang dimiliki, sehingga jelas alur penyelesaian dan mekanisme pengelolaan sumber daya alam khususnya sektor pertambangan tersebut. Kegiatan pertambangan di Kalimantan Timur mencakup pertambanngan migas dan non-migas. Dari jenis kegiatan itu, minyak bumi dan gas alam merupakan hasil tambang yang sangat besar pengaruhnya terhadap kehidupan perekonomian Kalimantan Timur dan Indonesia pada umumnya. Hal ini didasari oleh fakta bahwa
51
salah satu sumber pemasok devisa negara adalah bersumber dari pertambangan. Selain memperhitungkan jumlah pemasukan negara dari sektor pertambangan juga perlu untuk kemudian melihat dampak yang ditimbulkan dari kegiatan pertambangan terhadap lingkungan dan ekosistem yang ada disekitarnya. Operasionalisasi pertambangan dengan berbagai jenisnya pada suatu lingkungan pada akhirnya akan membawa dampak pada ketidakseimbangan lingkungan sebagai imbas pengelolaan lingkungan itu sendiri. Dalam kondisi tersebut peran pemerintah sebagai kontrol untuk menjaga kesinambungan sumber daya alam di daerahnya perlu untuk dihadirkan demi keberlanjutan pembangunan itu sendiri. Tidak dapat dipungkiri bahwa sektor pertambangan khususnya ; mineral, gas, minyak dan batubara merupakan energi yang tidak terbarukan. Sehingga mekanisme pengelolaan sumber daya tersebut perlu untuk secara ketat diberlakukan sehingga dapat dinikmati oleh generasi penerus. Kewenangan yang dimiliki oleh masing level pemerintahan menjadi kunci utama dalam mengefektifkan berbagai aktifitas. Hal ini tidak terkecuali pada pemerintahan level propinsi untuk dapat mengelola dan mensinergikan berbagai persoalan pertambangan yang ada di Propinsi Kalimantan Timur. a. Kewenangan Pengelolaan Sektor Pertambangan di level Propinsi Ditetapkannya Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah
membawa
pengaruh
pada
penyelenggaraan
pemerintahan
bidang
pertambangan, Hal ini terutama pada pergeseran urusan bidang pertambangan yang semula hanya pada galian golongan C, kemudian mengarah pada semua kewenangan
52
pertambangan yang ada di daerah untuk diselesaikan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan yang ada di daerah. Implementasi pasal-pasal UU No. 32 Tahun 2004
tentang kewenangan
pengelolaan sektor pertambangan di daerah membawa ketimpangan pada level propinsi. Besarnya kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah kabupaten/kota dalam menerbitkan dan mengelola berbagai permasalahan pertambangan ternyata tidak sejalan dengan kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah propinsi. Hal ini berpengaruh pada posisi tawar dari pemerintah propinsi terhadap pengelolaan sektor pertambangan tersebut. Kewenangan pengelolaan sektor pertambangan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah, pemerintahan daerah propinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota dalam bidang energi dan sumber daya mineral (mineral, batu bara, panas bumi, dan air) meliputi ;
a. Pembuatan peraturan
perundang-undangan daerah propinsi bidang mineral, batu bara, panas bumi dan air tanah. b. Penyusunan data dan informasi usaha pertambangan mineral dan batu bara serta panas bumi lintas kabupaten kota. c. Pemberian izin usaha pertambangan mineral, batu bara dan panas bumi pada wilayah lintas kabupaten/kota dan paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai kearah laut lepas dan/atau kearah perairan kepulauan. d. Pemberian izin usaha pertambangan mineral, dan batu bara untuk operasi produksi yang berdampak lingkungan langsung lintas kabupaten kota dengan paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas
53
dan / atau ke arah perairan kepulauan. e. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan izin usaha pertambangan mineral, batu bara dan panas bumi pada wilayah lintas kabupaten/kota dan paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan. f. Pemberian izin badan usaha jasa pertambangan mineral, batubara, dan panas bumi dalam rangka PMA dan PDMN lintas kabupaten/kota. g. Pengelolaan, pembinaan dan pengawasan pelaksanaan izin usaha jasa pertambangan mineral, batubara, dan panas bumi dalam rangka penanaman modal lintas kabupaten/kota. h. Pembinaan dan pengawasan keselamatan dan kesehatan kerja, lingkungan
pertambangan termasuk reklamasi lahan pasca
tambang, konservasi dan peningkatan nilai tambah terhadap usaha pertambangan mineral, batu bara dan panas bumi, pada wilayah lintas kebupaten/kota atau yang berdampak regional. i. Pembinaan dan pengawasan penguasahaan KP lintas kabupaten/kota, j. Pembinaan dan pengawasan keselamatan dan kesehatan kerja, lingkungan pertambangan termasuk reklamasi lahan pasca tambang, konsevasi dan peningkatan nilai tambah terhadap KP lintas kabupaten/kota. k. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan izin usaha pertambangan mineral, dan batubara untuk operasi produksi, serta panas bumi yang berdampak lingkungan langsung lintas kabupaten/kota, l. Pengelolaan data dan informasi mineral, batu bara, panas bumi dan air tanah serta pengusahaan dan SIG wilayah kerja pertambangan di wilayah propinsi. m. Penetapan potensi panas bumi dan air tanah serta neraca sumber daya dan cadangan mineral dan batubara di wilayah propinsi. serta
n. Pengangkatan dan
pembinaan inspektur tambang serta pembinaan jabatan fungsional propinsi.
54
Dalam UU Minerba setidaknya ada enam hal yang perubahan yang diatur terkait dengan penggunaan kewenangan negara terhadap pengelolaan tambang dan energi ( Endi Jaweng, 2009). Pertama, menguatnya hak kuasa negara terhadap sumber daya alam, yang dilaksanakan pemerintah lewat otoritas mengatur dan mengawas pengelolaan usaha tambang. Untuk itu
UU Minerba memulai
dengan perubahan rezim kontrak menjadi perizinan. Disini terjadi reposisi peran negara yang sebagai pemegang kuasa dan tidak lagi hanya sekedar pada posisi tawar lemah dimana negara sejajar dengan para pemodal dengan kekuatan kontrak yang mereka miliki untuk mengeksplorasi sektor pertambangan. Kedua, wilayah pertambangan (WP) menjadi dasar pemberian ijin. Pusat menetapkan wilayah pertambangan dan semua perijinan di daerah wajib disesuaikan dengan poerwilayahan tersebut. Pemerintah daerah diharapkan akan lebih terukur dalam memberi ijin. Perwilayahan ijin tersebut juga disinkronkan dengan tata ruang nasional agar menjamin kepastian berusaha tanpa dihantui lagi dengan perubahn fungsi lahan menjadi kawasan konservasi, taman nasional, hutan lindung yang kesemuanya akan mengganggu proses kerja dari wilayah pertambangan yang telah keluar ijin kerjanya. Ketiga, Prosedur dan bentuk perijinan yang lebih sederhana. Hal ini dapat kita lihat bahwa sebelum dikeluarkannya UU Minerba jenis ijin Kuasa Pertambangan (KP) adalah 6 jenis dan dengan undang-undang baru ini lebih ringkas dengan 2 jenis saja yakni eksplorasi dan produksi. Para pelaku usaha domestik maupun asing juga berkesempatan sama dalam memproses perijinan karena adanya mekanisme lelang
55
terbuka wilayah usaha. Hal yang perlu untuk menjadi perhatian dalam penyelenggaraan hal ini adalah lama/ tenggang waktu usaha yang dimiliki oleh suatu kuasa pertambangan sehingga dapat disinergikan antara pengelolaan dengan upaya revitalisasi lahannya. Keempat, kewajiban pengolahan/pemurnian didalam negeri. Hingga kini, industri tambang kita masih baru dengan tingkat pengolahan yang sangat terbatas. Sebagaian besar hasil pertambangan batubara dan mineral yang ada hanya ditambang dan proses berikutnya semua dikerjakan di luar. Hal ini mengakibatkan nilai jual bahan tambang yang dihasilkan jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan nilai pertambangan yang telah diekstraksi terlebih dahulu sebelum dilemparkan kepasaran. Hal ini tentunya akan menimbulkan multiplier effects kepada masyarakat yang ada disekitanya. Selain itu, kebijakan perijinan yang harus bersifat terintegrasi dengan pertimbangan kapasiatas investor dalam pengolahan dan pemurnian. Kelima,
Rasionalisasi fungsi jasa pertambangan yang tidak boleh lagi
terlibat pada kerja operasional seperti eksploitasi dan penambangan. Ini diharapkan dapat mengatasi paraktik sleeping owners. Pemegang ijin cuma mengurus eksplorasi dan pemasaran, sementara kegiatan inti diserahkan pada jasa bantuan. Kebijakan ini mensyaratkan kontrol kuat pemerintah agar tidak terjadi manipulasi dalam praktiknya dilapangan. Keenam, ketentuan peralihan yang menjamin keberlangsungan kontrak karya dan izin sebelumnya yang jelas menunjukkan komitmen dari negara kepada apa yang telah di buat meskipun hal juga tetap harus diperhatikan dan ditinjau dalam
56
implementasinya dilapangan. Hal ini tetap harus disinergikan dalam penyelenggaraan kegiatan pengolahan pertambangan dalam era otonomi daerah. Jenis kewenangan yang dimiliki pemerintahan pada level propinsi menempatkan posisi tawar propinsi dalam pengelolaan sektor pertambangan begitu lemah, sementara tuntutan globalisasi mengarahkan pada peningkatan peran propinsi yang tidak hanya pada bidang adminsitatif tetapi pada semua lini yang terkait dengan penyelenggaraan dan pengelolaan sektor pertambangan. b. Kendala-Kendala Yang dihadapi dalam Pengelolaan Sektor Pertambangan Pada level Propinsi Upaya pemerintah propinsi dalam meningkatkan perannya untuk pengelolaan sektor pertambangan terkendala pada jenis kewenangan tersebut. Kewenangan pengelolaan dalam
UU No. 32 Tahun 2004 yang menempatkan pengelolaan
sektor pertambangan sebagai urusan pilihan pada dasarnya telah menunjukkan posisi kewenangan tersebut. Sementara tuntutan perubahan zaman dan lingkungan masyarakat Kalimantan Timur dalam hal pengelolaan sektor pertambangan akan lebih maksimal dengan jika urusan pengelolaan sektor pertambangan diarahkan pada pilihan wajib yang memungkinkan pemerintah propinsi memiliki nilai tawar lebih dibandingkan pemerintah kabupaten/kota. Kewenangan
pemerintah
kabupaten/kota
dalam
menerbitkan
izin
pengelolaan pertambangan tanpa koordinasi dengan pemerintah propinsi pada akhirnya akan mengakibatkan munculnya kesimpangsiuran informasi dalam pengelolaan pertambangan di Propinsi Kalimantan Timur. Dinas Pertambangan dan
57
energi hanya menerima laporan yang terkait dengan sengketa yang muncul dalam pengelolaan pertambangan tersebut, sementara urusan-urusan yang memungkinkan pencegahan permasalahan, khususnya lintas kabupaten/kota tidak melibatkan pemerintah propinsi. Kondisi ini berdampak pada hilangnya koordinasi antara dinas dari level kabupaten/kota ke pemerintah propinsi sebagai wujud dari ketiadaan wewenang pemerintah propinsi untuk mengatur dan mengelola bidang pertambangan di kabupaten /kota. Pengelolaan sektor pertambangan oleh pemerintah Propinsi Kalimantan Timur yang tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah kabupaten/kota. Besarnya kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah kabupaten/kota mengakibatkan penerbitan izin dalam pengelolaan pertambangan sesuai dengan keinginan pemerintah kabupaten/kota tanpa memperhatikan rencana tata ruang dan wilayah akan berdampak
pada
lingkungan.
Pembangunan
lingkungan
khususnya
sektor
pertambangan merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan oleh batasbatas administratif termasuk oleh batas-batas wilayah kabupaten/kota. b.
Upaya Pemerintah Propinsi Dalam Mengoptimalkan Pengelolaan Sektor Pertambangan Lemahnya kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah propinsi dalam
mengelola sektor pertambangan di Propinsi Kalimantan Timur perlu untuk ditinjau kembali dengan memberikan kesempatan yang lebih besar pada pemerintah propinsi untuk memposisikan diri dalam berbagai aktifitas pertambangan di daerah ini. Kegiatan pertambangan sebagai suatu kesatuan dalam pengelolaan sumber daya alam
58
merupakan potensi yang harus memberikan daya guna dan manfaat bagi pemerintah daerah mulai dari level kabupaten/kota maupun level propinsi. Porsi kewenangan yang begitu kecil bagi pemerintah propinsi untuk mengelola dan mengembangkan potensi sumber daya alam perlu untuk direposisikan kembali melalui suatu peraturan perundang-undangan yang nantinya akan menjadi kekuatan hukum bagi pemerintah propinsi dalam mengoptimalkan potensi yang dimiliki oleh masing-masing daerah. Posisi kewenangan propinsi yang hanya merupakan urusan pilihan perlu untuk dikembangkan menjadi urusan wajib sehingga daerah mempunyai kemampuan untuk mengatur dan mengembangkan wilyahnya masing-masing. Pemerintah pusat perlu untuk memperhatikan kekhasan suatu daerah dalam memberikan kesempatan untuk mengelola dan mengembangkan wilayahnya sesuai dengan kebutuhan daerah yang bersangkutan. Ragam kebutuhan yang berbeda antar daerah memungkinkan perbedaan jenis kewenangan yang dimiliki oleh daerah dalam mengelola dan mengembangkan potensi sektor pertambangnnya. Fungsi pengawasan dari pemerintah propinsi baik secara langsung maupun tidak langsung menjadi hal yang begitu penting untuk dimaksimalkan oleh level pemerintahan. Hal ini terkait dengan posisi pemerintah pada level propinsi sebagai wilayah administratif yang memungkinkan berbagai urusan yang terkait koordinasi antar wilayah dapat dilaksanakan secara penuh. Berjalannya fungsi pengawasan ini ditandai dengan semakin menguatnya posisi tawar dari level pemerintah propinsi dimata pemerintah kabupaten. Sehingga koordinasi antar wilayah dapat terbangun untuk mewujudkan pembangunan wilayah khususunya sektor pertambangan yang
59
lebih baik dan terbangunnya konsep pembangunan sumber daya alam yang berkelanjutan. Upaya
mewujudkan
suatu
sistem
pertambangan
dengan
prinsip
berkelanjutan pada dasarnya merupakan bagian dari konsep pembangunan berkelanjutan itu sendiri. Hal yang perlu mendapat perhatian dari konsep pengelolaan pertambangan berkelanjutan ini adalah posisi pertambangan sebagai sumber energi yang tidak terbarukan. Dalam kontaks ini jelas berbeda dengan konsep pembangunan berkelanjutan dimana beberapa sumber daya yang dimiliki dalam konteks pembangunan berkelanjutan dapat terbarukan karena melibatkan sumber daya lain yang berada diluar sumber daya pertambangan dan energi itu sendiri. Emil Salim dalam Rachmad (2008;186) menyebutkan asumsi-asumsi dasar dan ide pokok yang mendasari pembangunan berkelanjutan; Pertama, proses pembangunan itu mesti berlangsung secara berlanjut, terus menerus, kontinu, ditopang oleh sumber daya alam, dijamin dengan kualitas lingkungan dan manusia yang terus berlanjut. Kedua, sumber daya alam terutama udara, air dan tanah memiliki ambang batas sehingga perlu secara priodik diperhatikan sehingga berbagai permasalahan dari penciutan sumber daya tersebut dapat menopang pembangunan tersebut. Ketiga, kualitas lingkungan berkorelasi langsung dengan kualitas hidup. Keempat, pola penggunaan sumber daya alam masa kini mestinya tidak menutup kemungkinan memilih opsi pilihan lain dimasa depan, dan kelima, mengandaikan solidaritas transgenerasi, dimana pembangunan ini memungkinkan generasi sekarang
60
untuk meningkatkan kesejahteraan, tanpa mengurangi kemungkinan bagi genertasi masa depan untuk meningkatkan kesejahteraan. Pengelolaan lingkungan dengan konsep pembangunan berkelanjutan pada hakikatnya menunjukkan bahwa strategi pembangunan berkelanjutan merupakan mekanisme penting untuk meningkatkan dan menjembatani kemampuan nasional guna menyatakan prioritas sosial, ekonomi, dan lingkungan sebagai suatu kesatuan sistem yang saling mendukung. Proses pembangunan dalam konteks ini memiliki daya yang luar biasa sehingga berbagai kekurangan pada sektor yang ada dapat tertutupi dengan sistem manjerial yang baik. Lingkungan tidak dapat dilihat sebagai suatu unsur yang terlepas begitu saja dengan pembangunan yang berlangsung. Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) pada hakikatnya harus diselaraskan dengan sustainable society yang nantinya akan menjalankan berbagai aspek dalam etika-etika lingkungan (biosentrisme, ekosentrisme, dan ekofeminisme) dan buka saja pada sekedar kaidah-kaidah subyektif. Sustainable development muncul terlebih dahulu menjelaskan pandangan tentang lingkungan yang dimiliki oleh masyarakat yang meliputi tiga tahapan, yakni ; lingkungan adalah untuk pembangunan ekonomi (eco-developmentalism), lingkungan untuk keperluan manusia (eco-humanism), dan lingkungan untuk lingkungan (eco-environmentalism). Pembangunan yang berlandaskan lingkungan tidak terlepas dari mekanisme pembangunan berkelanjutan itu sendiri. Kaidah-kaidah yang ada dilingkungan perlu untuk secara terus menerus dibaca dan disinergikan sehingga berbagai permalasahan
61
yang muncul didalamnya dapat teratasi meskipun dengan kondisi lingkungan yang tidak terbarukan. Pandangan tentang pertambangan dengan konsep berkelanjutan pada hakekatnya dapat dilihat dari persfektif ekosentris yang berdiri pada argumen keberlanjutan yang kuat (strong sustainability) dimana paling ekstrim melarang segala bentuk pertambangan (Tietenberg, 1996). Sementara pada sisi yang lain pandangan teknosentris berdiri pada argumen berkelanjutan yang lemah (weak sustainability)
dengan
pandangan
paling
ekstrim
memperbolehkan
usaha
pertambangan dimana saja dan dengan jalan apapun asalkan hasil yang diperoleh diinvestasikan kembali untuk menciptakan bentuk sumber daya dan modal lain untuk kesejahteraan masyarakat, pandangan ini dipelopori oleh Hartwick-Solow dalam (Lange and Wright, 2002). Industri pertambangan dan mineral sifatnya tidak terbarukan dapat yang dilakukan secara berkelanjutan dengan mengambil posisi lebih banyak di paham weak sustainability. Dalam kerangka pembangunan berkelanjutan cadangan bahan tambang baik mineral maupun energi harus disubtitusi dengan bertambahnya sumbersumber daya lain. Hasil eksploitasi dari sumber daya mineral dan energi harus dapat ditransformasikan menjadi sumber-sumber daya manusia, keuangan, dan barangbarang manufaktur. Dengan demikian industri pertambangan dapat bersifat berkelanjutan dan tidak hanya dengan menyediakan kebutuhan masyarakat akan suatu produk akan tetapi juga menciptakan mata pencaharian yang sifatnya berkelanjutan (Hobbs, 2005).
62
Pembangunan pertambangan dan energi yang berkelanjutan merupakan citacita dari semua stkeholders, hanya saja yang perlu untuk mendapatkan perhatian serius adalah dengan posisi yang tidak terbarukan maka sektor pertambangan dan energi memerlukan strategi pengelolaan yang benar-benar sesuai dengan kondisi masyarakat. Upaya mengembangkan suatu metode pengelolaan pertambangan dan energi yang berkelanjutan juga perlu untuk diitegrasikan dengan tiga aspek yang tidak dapat dipisahkan dari pengelolaan pertambangan tersebut. Ketiga aspek itu adalah ; aspek ekonomi, aspek lingkungan dan aspek sosial. Dalam perspektif ekonomi, pertambangan dan energi merupakan hal yang begitu menggiurkan dengan berbagai latar belakang ekonominya. Pengelolaan pertambangan dengan memeperhatikan aspek ekonominya perlu dipahami melalui penyelenggaraan yang efektif, efisien dan pengelolaan yang bertanggung jawab. Sistem keruk habis yang menjadi metode pertambangan selama ini perlu untuk ditinjau kemabli dengan menggunakan pendekatan kebutuhan dimasa yang akan datang sehingga eksplorasi tanpa memperhatikan kondisi lingkungan dan keberlangsungan produk tersebut sudah saatnya untuk direposisikan kembali. Aspek lingkungan, pertambangan merupakan merupakan suatu industri yang tidak ramah lingkungan. Hal ini berkaitan erat dengan tujuan dari proses pertambangan yang mana bertujuan mengekstraksi batuan untuk mengambil mineral dan bahan berharga dari dalam bumi dan sebagai konsekuensinya sering terjadi gangguan tata guna lahan, volume material buangan yang tinggi dan pencemaran tanah dan air sungai karena reaksi-reaksi kimia. Selain itu juga lahan-lahan bekas
63
tambangan dan pencemaran lingkungan akibat penambangan sering tidak direhabilitasi. Sehingga secara umum dapat dikatakan bahwa kunci pelaksanaan pertambangan dan energi yang berkelanjutan dengan ramah lingkungan terletak pada perubahan pada semua unsur pengelola yang terdiri dari pemerintah, pengusaha., LSM, dan masyarakat yang secara terus menerus harus secara aktif mengontrol kegiatan pertambangan dan energi yang ada di daerah ini. Aspek sosial, dukungan masyarakat dan lingkungan sosial merupakan slah satu
prasyarat
penyelenggaraan
pembangunan
sektor
pertambangan
yang
berkelanjutan. Pelaksanaan tanggung jawab sosial oleh perusahaan tambang yang beroperasi pada suatu wilayah perlu untuk dijalankan. Hal ini dimaksudkan agar tingkat kesejahteraan masyarakat yang merata dan berkeadilan dapat diwujudkan secara menyeluruh. Eksplorasi tambang dan energi dalam suatu kawasan jangan sampai
justru
menjadikan
masyarakat
lokal
sebagai
sub
sistem
yang
termarjinalisasikan oleh proses industrialisasi tambang itu sendiri. 3. Pengelolaan Sumber Daya Alam Bidang Perkebunan Sebagai negara yang bercorak agraris; bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, sebagai karunia dan amanat Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia, merupakan potensi yang sangat besar untuk pengembangan perkebunan dalam rangka mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Perkebunan mempunyai peranan yang penting dan strategis dalam pembangunan nasional, terutama dalam meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, penerimaan devisa negara, penyediaan lapangan kerja, perolehan nilai tambah dan
64
daya saing, pemenuhan kebutuhan komsumsi dalam negeri, bahan baku industri dalam negeri serta optimalisasi pengelolaan SDA secara berkelanjutan. Pengembangan
perkebunan
dilaksanakan
berdasarkan
kultur
teknis
perkebunan dalam kerangka pengelolaan yang mempunyai manfaat ekonomi terhadap SDA yang berkesinambungan. Pengembangan perkebunan yang berkesinambungan tersebut akan memberikan manfaat peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara optimal, melalui kesempatan yang sama untuk mendapatkan akses terhadap SDA, modal, informasi, teknologi, dan manajemen. Kalimantan Timur merupakan salah satu propinsi di Indonesia yang dianugerahi berbagai macam sumber daya alam dan lahan perkebunan yang luas. Olehnya itu, pemerintah menggenjot pengembangannya. Lahan yang dikembangkan untuk perkebunan
sampai tahun 2009 adalah 685.005 Ha, dan komoditi yang
dikembangkan adalah karet, kelapa, kelapa sawit, kopi, kakao, lada, dan lainnya dengan perkembangan produksi sampai tahun 2009 adalah 1.769.518,89 ton. Pembudidayaan tanaman perkebunan termasuk di dalamnya perkebunan besar pemerintah, perkebunan besar swasta, dan perkebunan rakyat. Berikut ini data lengkap perkembangan produksi perkebunan dan perkembangan luas areal perkebunan Kaltim dari tahun 2005-2009.
65
Tabel 5. Perkembangan Produksi Perkebunan Kaltim Tahun 2005-2009 (Ton) Komoditi
2005
2006
2007
2008
2009
Karet 39.341,00 43.845,00 47.225,50 49.611,00 25.594,27 Kelapa 45.030,00 44.111,50 33.796,50 32.007,00 31.575,00 Kelapa Sawit 1.012.785,50 1.268.000,00 2.041.163,00 1.664.311,00 1.674.305,00 Kopi 5.649,50 4.612,50 4.424,00 4.050,50 4.147,50 Kakao 25.070,50 26.774,00 24.331,00 23.893,50 21.839,47 Lada 9.280,00 9.959,00 10.336,50 11.081,00 9.946,65 Lainnya 6.101,00 4.515,00 4.532,00 1.586,00 2.111,00 Total 1.143.260,50 1.402.417,00 2.165.808,50 1.786.540,00 1.769.518,89 Sumber Data: Dinas Perkebunan Propinsi, 2009 Dari table 5 dapat digambarkan bahwa produksi perkebunan di Kaltim didominasi oleh komoditi kelapa sawit yang jumlah produksinya sampai tahun 2009 adalah 1.674.305,00. Sementara produksi terendah adalah komoditi lainnya yang hanya memproduksi 2.111,00 ton pada tahun 2009. Apabila kita melihat luas areal perkebunan di Kaltim maka dapat digambarkan bahwa areal perkebunan lebih banyak diperuntukkan untuk komoditi kelapa sawit yang mencapai 490.245,50 (tabel 2). Walaupun masih kurang atau masih jauh dari program propinsi yaitu gerakan 1 juta Ha perkebunan kelapa sawit di Kaltim. Tabel 6. Perkembangan Luas Areal Perkebunan Kaltim Tahun 2005-2009 (Ha) Komoditi
2005
2006
2007
Karet 62.426,00 64.957,00 67.891,00 Kelapa 45.643,00 47.807,50 34.536,50 Kelapa Sawit 201.087,00 225.337,00 339.292,00 Kopi 17.787,00 17.469,00 15.073,00 Kakao 37.296,00 41.412,00 34.557,50 Lada 13.821,00 14.769,00 14.508,00 Lainnya 7.613,50 8.998,50 8.300,00 Total 385.673,50 420.750,00 514.158,00 Sumber Data: Dinas Perkebunan Propinsi, 2009
2008
2009
74.672,00 33.416,00 409.564,00 15.396,00 34.590,50 14.843,00 8.741,00 591.222,50
81.969,00 36.502,00 490.245,50 15.678,00 35.888,00 15.923,00 8.799,50 685.005,00
66
Dalam mendukung pengembangan perkebunan di Kalimantan Timur, pemerintah propinsi mempunyai misi yaitu mewujudkan Kaltim sebagai Pusat Agro Industri dan Energi Terkemuka. Tidak bisa dipungkiri, sektor perkebunan telah mampu membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat Kaltim, dengan penyerapan tenaga kerja sebanyak 312.670 Kepala Keluarga (KK). Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Kaltim angkatan kerja tahun 2006-2008 meningkat 92.000 orang dari 1.324.348 juta orang menjadi 1.416.963 orang. Bahkan, Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak mengatakan tenaga sektor perkebunan lebih tahan terhadap terpaan krisis. “Walau daya serapnya masih kecil dibanding sektor minyak dan gas sektor pertanian dan perkebunan mampu menyerap tenaga kerja lokal dengan lebih stabil dan tahan terhadap terpaan krisis”, (Kaltim Post, 19/1/2010). a. Kewenangan Pengelolaan Sektor Perkebunan Di Level Propinsi Pengembangan perkebunan di Kalimantan Timur bukannya berjalan mulus, terdapat permasalahan dari segi pengelolaannya. Permasalahan mendasar yang muncul adalah dari segi kewenangan propinsi yang sangat terbatas. Berdasarkan UU Pemerintahan No. 32 th. 2004, pemerintah propinsi mempunyai kewenangan mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam skala propinsi (lintas kabupaten/kota) sesuai norma, standar, dan prosedur yang ditetapkan oleh pemerintah. Sementara kab/kota mengatur dan megurus urusan pemerintahan dalam skala kabupaten/kota sesuai norma, standar, dan prosedur yang ditetapkan oleh pemerintah. Kewenangan yang cenderung terbatas dari propinsi tersebut berimplikasi
67
pula terhadap kewenangan dalam pengelolaan perkebunan di wilayah propinsi yang juga terbatas. Berikut ini kewenangan propinsi pada sektor perkebunan. 1. Sub-Sub Bidang Dalam Sektor Perkebunan I.
Lahan Perkebunan
1.1. Kewenangan 1.1.1. Bimbingan dan pengawasan pengembangan rehabilitasi, konservasi, optimasi, dan pengendalian perkebunan 1.1.2. Penyusunan peta pengembangan , rehabilitasi, konservasi, optimasi, dan pengendalian lahan perkebunan 1.1.3. Pengembangan, rehabilitasi, konservasi, optimasi, dan pengendalian lahan perkebunan 1.1.4. Penetapan dan pengawasan tata ruang dan tata guna lahan perkebunan wilayah propinsi 1.1.5. Pengaturan dan penerapan kawasan perkebunan terpadu wilayah propinsi 1.1.6. Penetapan sasaran areal tanam wilayah propinsi.
II.
Pemanfaatan Air Untuk Lahan Perkebunan
2.1. Kewenangan 2.1.1. Bimbingan pemanfaatan sumber-sumber air untuk perkebunan 2.1.2. Bimbingan pemanfaatan air permukaan dan air tanah untuk perkebunan 2.1.3. Pemantauan dan evaluasi pemanfaatan air untuk perkebunan 2.1.4. Bimbingan pengembangan sumber-sumber air untuk perkebunan
68
2.1.5. Bimbingan pengembangan teknologi irigasi air permukaan dan air bertekanan untuk perkebunan 2.1.6. Pemantauan dan evaluasi pengembangan air untuk pengembangan 3. Pupuk 3.1.Kewenangan 3.1.1. Pemantauan dan evaluasi penggunaan pupuk 3.1.2. Pengawasan pengadaan, peredaran dan penggunaan pupuk wilayah propinsi 3.1.3. Produksi serta pemasaran hasil perkebunan wilayah propinsi 4. Pengembangan Statitistik dan Sistem Informasi Perkebunan 4.1.Kewenangan 4.1.1. Penyusunan statistik perkebunan wilayah propinsi 4.1.2. Bimbingan penerapan sistem informasi perkebunan wilayah propinsi 5. Pengembangan Budi Daya 5.1.Kewenangan 5.1.1. Kewenangan propinsi untuk izin lokasi lintas kab/kota 5.1.2. Kewenangan propinsi untuk usaha perkebunan lintas kab/kota 5.1.3. Kewenangan propinsi untuk izin pengolahan/prosesing lintas kab/kota 6. Pembibitan 6.1.Kewenangan 6.1.1. Tanda register usaha perkebunan (TRUP) kewenangan propinsi 6.1.2. Waralaba kewenangan kab/kota
69
Karena titik berat otonomi daerah ada pada kab/kota, kewenangan yang sifatnya operasional lebih banyak pula ada pada level kab/kota. Hal tersebut mengakibatkan propinsi kurang urusan dan kewenangan. Dari rincian kewenangan propinsi sektor perkebunan di atas dapat digambarkan bahwa kewenangan propinsi lebih banyak berkutat pada kegiatan pembimbingan dan hal-hal yang sifatnya administratif. Dalam pemberian izin pembukaan lokasi baru untuk perkebunan propinsi hanya mempunyai kewenangan pada level lintas kab/kota. Izin lokasi di kab/kota menjadi kewenangan dari bupati/walikota. Dalam kenyataannya, izin pembukaan lokasi baru untuk perkebunan lebih banyak keluar di kab/kota. Untuk izin lintas kab/kota justru tidak ada. Para pengusaha di bidang perkebunan lebih banyak beroperasi langsung di kab/kota, bukan yang lintas kab/kota. Pengusaha lebih mengedepankan sisi praktisnya, kedekatan lokasi perkebunan dengan tempat keluarnya izin. Sementara daerah kab/kota mempunyai pandangan bahwa pengelolaan di kab/kota dan keluarnya izin sendiri otomatis feenya untuk daerah mereka sendiri. Hal tersebut diakui Sekretaris Dinas Perkebunan Propinsi Kaltim, ”Daerah kab/kota dan pengusaha tidak mau repot dalam melakukan pengelolaan perkebunan yang sifatnya lintas kab/kota. Pengusaha menganggap, daripada berurusan lagi dengan propinsi yang jauh dari lokasi, lebih baik langsung ke lokasi tujuan beroperasi, sementara daerah kab/kota beranggapan daripada berbagi, lebih baik kelola sendiri izin langsung dari mereka, dan feenya otomatis tidak terbagi. Utuh untuk kab/kota itu sendiri”, (Hasil wawancara, 28/08/09).
70
Kewenangan lain dari propinsi yang hanya berkutat pada kegiatan administrasi, seperti diuraikan pada rincian di atas adalah pengembangan statistik dan sistem informasi perkebunan, memberikan tanda register pada usaha perkebunan, penyusunan peta pengembangan rehabilitasi, konservasi, optimasi, dan pengendalian lahan perkebunan, rekomendasi kesesuaian dengan rencana makro pembangunan perkebunan provinsi dari gubernur untuk Izin Usaha Perkebunan yang diterbitkan oleh Bupati/walikota, pengklassifikasian kebun lintas kab./kota. Ke semua kewenangan yang ada di atas tidak mampu menempatkan propinsi sebagai jembatan antara kab/kota dan pemerintah pusat secara optimal. Hal tersebut terjadi karena tidak ada kekuatan yang mengikat bahwa propinsi adalah jembatan. Yang terjadi adalah kab/kota langsung ke pemerintah pusat dan demikian pula sebaliknya pemerintah pusat langsung ke kab/kota. 2. Kendala Yang Dihadapi Dalam Pengelolaan Perkebunan Pada Level Provinsi Kebijakan pemerintah merupakan faktor utama penyebab semakin lajunya ekspansi perkebunan. Bermula dari dicanangkannya program pemerintah yaitu revitalisasi perkebunan. Program ini merupakan upaya percepatan pengembangan perkebunan rakyat melalui perluasan, peremajaan, dan rehabilitasi tanaman perkebunan (termasuk kelapa sawit), yang didukung kredit investasi dan subsidi bunga oleh pemerintah dengan melibatkan perusahaan di bidang perkebunan. Hal itu menyebabkan semakin maraknya perusahaan yang memperluas usahanya di bidang perkebunan kelapa sawit. Apalagi, melalui Permentan No. 26 tahun 2007, pemerintah
71
telah mengijinkan pihak swasta untuk mengembangkan perkebunan kelapa sawit hingga 100 ribu ha dalam satu kawasan di satu kabupaten ataupun propinsi. Aturan tersebut dibentuk mengingat ketentuan sebelumnya yang tertuang dalam SK Menteri Pertanian No. 357 tahun 2002, kepemilikan areal perkebunan kelapa sawit dalam satu wilayah maksimal hanya 20 ha. Bahkan untuk perusahaan yang sudah go public bisa mengembangkan areal perkebunan kelapa sawit melebihi 100 ribu ha dalam satu kawasan di satu kabupaten atau propinsi. Pemerintah memandang penting kedudukan perkebunan kelapa sawit dalam struktur perekonomian negara sehingga pemerintah memberi fasilitas yang paling penting bagi keberadaan perkebunan kelapa sawit, yaitu fasilitas untuk memperoleh tanah dan buruh yang murah serta perlindungan politis yang diberikan oleh pemerintah kepada investor. Pemerintah juga memberi fasilitas kepada para investor, seperti kemudahan dalam perizinan melalui deregulasi kebijakan, fasilitas permodalan melalui kredit lunak dari bank-bank pemerintah, tenaga kerja murah melaui pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR), dan pembebasan dari sewa tanah dengan memberikan Hak Guna Usaha (Tandan Sawit Vol.2,2002). Upaya pemerintah untuk mendorong pertumbuhan perkebunan kelapa sawit dengan memberi fasilitas memperoleh tanah secara murah diwujudkan oleh Departemen Kehutanan dan Perkebunan dengan mengeluarkan SK Menhutbun No. 367/Kpts-II/1998, yang mendorong konversi hutan untuk areal perkebunan kelapa sawit. Kebijakan pemerintah dalam pengelolaan perkebunan sangat mendukung konversi kawasan hutan dan privatisasi modal. Namun di sisi lain, kebijakan tersebut
72
cenderung buta terhadap keberadaan masyarakat lokal. Dan menyisakan masalah pada pemerintah propinsi, implikasi dari kebijakan ini mengakibatkan sejumlah besar konflik agraria yang pelik dan sulit dipecahkan. Dukungan kebijakan pemerintah juga berimbas pada pemberian izin perkebunan kelapa sawit bagi pemegang konsesi. Friends of the earth mencatat bahwa banyak izin perkebunan yang dikeluarkan oleh pemerintah tidak benar-benar dikembangkan menjadi lahan kelapa sawit. Lahan-lahan tersebut sepertinya ditelantarkan karena pemegang izin tidak mengerjakan lahan tersebut. Yang ditinggalkan hanyalah hamparan lahan kosong, berbelukar yang menghasilkan erosi dan menjadi lahan kritis karena tak lagi pepohonan, sehingga tak ada lagi pula hewan yang hidup di kawasan tersebut. Pada banyak kasus, pemilik perusahaan-perusahaan kelapa sawit juga menjadi pengusaha konsesi HPH, sehingga kayu-kayu yang ditebang hasil land clearing untuk perkebunan dijual demi kepentingan modal dan profit mereka. Selain itu, ada juga yang hanya mengincar kayunya semata tanpa ada pengerjaan perkebunan yang dimaksud setelah kayu diambil “Penelantaran tanah sebenarnya dilarang oleh UU Pokok Agraria. Namun sangat sulit untuk menertibkan para pemegang izin. Pemerintah propinsi tidak bisa berbuat apa-apa, karena tidak mempunyai kewenangan pengawasan dan penindakan. Uraian sebelumnya menggambarkan pengelolaan sektor perkebunan pada level propinsi mempunyai permasalahan mendasar yang bersumber dari terbatasnya kewenangan yang dimiliki. Ada ungkapan yang berkembang pada pemerintah propinsi sejak berlakunya otonomi daerah yang dititikberatkan pada kab/kota.
73
Menurut mereka, sejak diterapkan otonomi daerah, kab/kota keasyikan sendiri dalam mengurus daerahnya sendiri. Koordinasi ke pemerintah propinsi sudah tidak jalan, bupati dan walikota sering mengabaikan kalau ada panggilan rapat koordinasi. Demikian pula halnya dalam urusan antar dinas propinsi dan dinas kab/kota. Salah seorang kepala bidang di dinas perkebunan propinsi mengatakan, masa sebelum dan sesudah diberlakukannya otonomi daerah sangatlah berbeda. Dulu kalau ada panggilan rapat dari dinas propinsi ke dinas kab/kota pasti kepala dinasnya datang, sementara sekarang kepala dinas kab/kota justru lebih banyak tidak hadir. Kalaupun memenuhi undangan rapat, yang di utus biasanya adalah staf. Hal tersebut mengakibatkan koordinasi tidak jalan, hasil yang diinginkanpun jauh dari harapan. Lebih lanjut beliau mengatakan, biasanya kalau ada masalah di daerah kab/kota barulah mereka menoleh ke propinsi. Contoh aktual, adanya demo dari masyarakat Kutai Barat yang mempersoalkan lahan mereka yang jadi lahan perkebunan. Demonya di propinsi, bukan di kab/kota. Kita dapat pahitnya/masalahnya, kab/kota dapat manisnya (hasil wawancara, 29/08/09). Sektor perkebunan yang hanya menjadi urusan pilihan pada level propinsi mengakibatkan terbatasnya ruang gerak propinsi dalam pengembangan sektor perkebunan di Kalimantan Timur. Dinas Perkebunan tidak mempunyai kewenangan untuk memberi dan mencabut izin. Kewenangan diberikan kepada kab/kota, terkecuali
untuk
izin
lintas
kab/kota.
Pemerintah
propinsi
menggunakan
kewenangannya menyusun program dan rekomendasi pembangunan 1 juta ha sawit di Kaltim. Dengan dalih untuk mencapai target investasi dan pembangunan 1 juta ha
74
sawit di Kaltim tersebut, banyak bupati/walikota yang mengobral memberikan izin. Tetapi sudah bertahun-tahun izin diberikan, ternyata tidak ada tanaman sawit yang ditanam, banyak lahan yang ditelantarkan. Hingga kini izin lokasi yang diberikan oleh Bupati/Walikota kepada para pengusaha
Perkebunan Besar Swasta (PBS)
mencapai 3.195.577 ha. Namun realisasi tanam baru 405.000 ha, itu artinya 2.790.577 ha lahan dalam keadaan terlantar. Sesuai dengan peraturan yang berlaku (Permentan No.26 th.2007), izin lokasi merupakan kewenangan kab/kota, sementara sebelum izin usaha harus ada rekomendasi dari gubernur. Kenyataan yang berkembang adalah tidak semua kab/kota mendapat rekomendasi dari gubernur, usaha tetap jalan tanpa ada rekomendasi dari gubernur. Kewenangan propinsi yang hanya terbatas pada menyusun program, pemberian rekomendasi, dan mengontrolnya tidak dibarengi dengan kewenangan untuk menindak. Hasilnya, bisa dipastikan akan banyak lahan yang akan terlantar dan kab/kota akan seenaknya mengeluarkan izin. Di samping masalah izin yang dibuat oleh kab/kota, di propinsi Kaltim juga terdapat permasalahan yang ditimbulkan oleh pemerintah pusat. Izin Penanaman Modal Asing (PMA) di Kab. Bulungan langsung diberikan oleh pemerintah pusat, tanpa sepengetahuan propinsi, dan kab/kota. Ketika pemerintah propinsi mempermasalahkan, pemerintah pusat menganggap pemerintah propinsi anti investasi. Pengembangan perkebunan di level propinsi Kalimantan Timur terkadang juga terkendala dalam hal pengelolaan Hak Guna Usaha. Kawasan Budidaya Non Kehutanan (KBNK) yang sudah mempunyai Hak Guna Usaha sering terhambat
75
dalam hal pengelolaan dengan Kehutanan. Pihak perkebunan tidak bisa melakukan penebangan kayu untuk membuka lahan tanpa izin dari kehutanan. Sementara itu, ke depannya ada kendala yang bisa menghambat pengelolaan sektor perkebunan di Kaltim kalau tidak diantisipasi sampai sekarang. Kendala tersebut adalah begitu gampangnya keluar pabrik minyak sawit oleh kab/kota tanpa memperhatikan jumlah stok kelapa sawit yang bisa diolah. Dikhawatirkan, dengan banyaknya pabrik minyak sawit akan mengakibatkan pabrik kelapa sawit tersebut akan kekurangan stok untuk diproduksi. Atau banyak pabrik yang akan gulung tikar karena tidak adanya stok tadi untuk diolah. Berikut ini data tentang lokasi dan kapasitas pabrik minyak di kaltim sampai tahun 2010. Tabel 7. Lokasi dan Kapasitas Pabrik Minyak Sawit di Kaltim NO
NAMA PERUSAHAAN
KAPASITAS
LOKASI PABRIK
1
2
3
4
1
PT. REA KALTIM PLANTATIONS
100 TBS/JAM
KEC.KEMBANG JANGGUT, KAB.KUKAR
2
PT. REA KALTIM PLANTATIONS
45 TBS/JAM
KEC.KEMBANG JANGGUT, KAB.KUKAR
3
PT. SWAKARSA SINAR SENTOSA
90 TBS/JAM
KEC.MA.WAHAU, KAB.KUTAI TIMUR
4
PT. MATRA SAWIT SEJAHTERA
45 TBS/JAM
KEC. KONGBENG, KAB. KUTAI TIMUR
5
PTPN XIII (KEBUN TABARA)
30 TBS/JAM
KEC. SAMUNTAI, KAB. PASER
6
PTPN XIII (KEBUN LONG PINANG)
60TBS/JAM
KEC. LONG. PINANG KAB. PASER
7
PTPN XIII (KEBUN TAJATI)
60TBS/JAM
KEC. LONG KALI KAB. PASER
8
PT. WARU KALTIM PLANTATIONS
60TBS/JAM
KEC. WARU KAB. PENAJAM PASER UTARA
9
PT. NUNUKAN JAYA LESTARI
30 TBS/JAM
KEC. NUNUKAN KAB. NUNUKAN
10
PT. ETAM BERSAMA LESTARI
30 TBS/JAM
KEC. SANGKULIRANG KAB. KUTAI TIMUR
76
1
2
3
4
11
PT. AGRO BINTANG DHARMA
30 TBS/JAM
KEC. KUARO KAB. PASER
12
PT. COMISMAR WANAMAJA AGRO
15 TBS/JAM
KEC. LUMBIS KAB. NUNUKAN
13
PT. TANJUNG BUYU PLANTATIONS 60 TBS/JAM
KEC. TALISAYAN KAB. BERAU
14
PT. KARANG JOANG HIJAU LESTARI 80 TBS/JAM
KEC. NUNUKAN KAB. NUNUKAN
15
PT. TRI TUNGGAL SENTRA BUANA
KEC. MUARA BADAK KAB. KUKAR
16 17
PT. MULTI INTERNATIONAL PT. GUNTA SAMBA
18
45 TBS/JAM
PASIFIC 45 TBS/JAM
KEC. KARANGAN KAB. KUTAI TIMUR
45 TBS/JAM
KEC. KARANGAN KAB. KUTAI TIMUR
PT. SUMBER KHARISMA PERSADA
45 TBS/JAM
KEC. SANGKULIRANG KAB. KUTAI TIMUR
19
PT. HUTAN HIJAU MAS
100 TBS/JAM
KEC. SEGAH KAB. BERAU
20
PT. AGRICINAL
30 TBS/JAM
KEC. PALARAN KOTA SAMARINDA
21
PT. TELEN PRIMA SAWIT
45 TBS/JAM
KEC. MA. BENGKAL KAB. KUTAI TIMUR
22
PT. SAWIT PRIMA NUSANTARA
45 TBS/JAM
KEC. KAUBUN KAB. KUTAI TIMUR
23
PT. LONDON SUMATERA
45 TBS/JAM
KEC. TG. ISUY KAB. KUTAI BARAT
24
PT. YUDHA WAHANA ABDI
45 TBS/JAM
KEC. KELAYAN KAB. BERAU
25
PT. KARYA NUSA EKA DAYA
45 TBS/JAM
KEC. MA. WAHAU KAB. KUTAI TIMUR
26
PT. AGRO INTI KENCANA MAS
30 TBS/JAM
KEC. BATU ENGAU KAB. PASER
27
PT. SANGGAM KAHURIPAN
30 TBS/JAM
KEC. TG. PALAS UTARA KAB. BULUNGAN
Total
1330 TBS/Jam
Sumber Data ; Dinas Perkebunan Propinsi Kalimantan Timur, 2009 Kekhawatiran akan kekurangan stok untuk diolah sangatlah beralasan, berdasarkan tabel 3 di atas dapat kita lihat untuk satu kabupaten ada yang mempunyai 9 pabrik minyak sawit yaitu Kab. Kutai Timur. Bahkan kalau kita telusuri lebih
77
mendalam dalam satu kecamatan yang sama, ada yang mempunyai 2 pabrik (Kec. Karangan di Kab. Kutai Timur dan Kec. Kembang Janggut di Kab. Kukar) 3. Optimalisasi Kewenangan Kalimantan Timur
Propinsi
Di
Bidang
Perkebunan
Di
Khusus propinsi Kalimantan Timur karena mempunyai potensi lahan yang sangat luas, ke depan sektor perkebunan bisa menjadi komoditi andalan. Seiring dengan semakin akan habisnya hasil tambang yang selama ini menjadi primadona dan hasil hutan yang semakin menipis karena banyak ditebang dan justru menimbulkan dan mengakibatkan
banjir, tanah longsor, dan bahkan menimbulkan konflik
pertanahan antar perusahaan dengan masyarakat serta antara pemerintah dengan masyarakat di Kalimantan Timur. Olehnya itu sektor perkebunan yang sesuai amanat UU Otoda No. 32 tentang pemerintahan daerah menjadi urusan pilihan perlu menjadi urusan wajib. Pengawasan dan evaluasi (pelaksanaan kebijakan, norma, standar, kriteria, pedoman, dan prosedur di bidang perkebunan) selama ini menjadi kewenangan pemerintah pusat saja, sebaiknya propinsi juga diberikan kewenangan. Selain itu dalam pemanfaatan lahan perkebunan di setiap kab/kota perlu pelibatan propinsi dalam hal pengawasan dan evaluasi (hal tersebut bertujuan untuk meminimilisasi lahan perkebunan yang terlantar di kab/kota). Izin lokasi yang bukan lintas kab/kota perlu koordinasi /pelibatan propinsi (kab/kota tidak seenaknya mengeluarkan izin). Selama ini ketika penggunanaan lahan di daerah kab/kota bermasalah baru melibatkan propinsi. Dalam hal ini diperlukan
78
Memorandum Of Understanding (MOU) antara Gubernur dengan bupati/walikota seluruh Kaltim untuk mengawasi, membina dan memberikan sanksi bagi Pengusaha Perkebunan Swasta (PBS) yang tidak mampu merealisasikan target tanam. Untuk menghindari lahan yang terlantar pemprop memerlukan kewenangan untuk memberikan pembatasan waktu maksimal dalam merealisasikan program tanam bagi pengusaha yang sudah mendapatkan izin. Pemerintah harus melakukan evaluasi perizinan, penegakan hukum lebih konsekuen dan konsisten serta berpihak pada rakyat, renegosiasi ulang berbagai kesepakatan, dan resolusi konflik-konflik yang terjadi di perkebunan. Pemerintah harus tetap memperhatikan dan mematuhi hukum internasional, tidak mengalihfungsikan kawasan hutan alam, lahan gambut, dan ekosistem lainnya, menghargai hak-hak ulayat masyarakat adat, menjalankan prinsip persetujuan bebas tanpa paksaan, didahulukan dan diinformasikan (Free, Prior, and Informed Consent) dalam berurusan dengan masyarakat adat atau lokal, tidak melakukan pembakaran untuk penanaman dan pembukaan lahan, dan tidak melakukan tindakan kekerasan dalam aktifitas pembangunan perkebunan. Selain itu, perlu adanya regulasi terhadap perizinan perkebunan (izin lokasi, IUP, IUP-B, IUP-P) yang diterbitkan oleh bupati/walikota dan dikoordinir, diawasi pemerintah propinsi antara lain melalui, pemahaman yang sama terhadap proses perizinan yang mencakup batas waktu berlakunya izin lokasi, persyaratan dokumen pendukung, format advis teknis, biaya, waktu proses, serta berpedoman pada peraturan
perundang-undangan
yang
berlaku
antara
lain
Permentan
79
No.26/Permentan/OT.140/2/2007, UU RI No.18 Tahun 2004 tentang perkebunan, UU Pokok Agraria dan Peraturan Perundang-undangan terkait lainnya. Masalah perizinan lokasi pabrik minyak sawit yang begitu mudah diperlukan kewenangan dari propinsi untuk mengatur, mengawasi, dan memberikan sanksi. Pemerintah propinsi perlu mengatur daerah mana yang potensial untuk pembangunan pabrik minyak dan menyesuaikan dengan areal perkebunan serta kapasitas produksinya. Selanjutnya, kab/kota tinggal menyesuaikan. Pembinaan dan pengawasan perkebunan diperlukan untuk mewujudkan penyelenggaraan usaha perkebunan yang optimal, berdaya saing, dan berkelanjutan sehingga dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Selanjutnya sanksi administrasi dan pidana dikenakan terhadap setiap orang yang melanggar kewajiban dan melakukan perbuatan yang dilarang dalam ketentuan-ketentuan di bidang perkebunan. Dengan sanksi pidana yang berat diharapkan akan menimbulkan efek jera bagi pelanggar hukum di bidang perkebunan. Pejabat PNS (bukan hanya pejabat pusat, akan tetapi pejabat propinsi juga perlu diberikan kewenangan) tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang perkebunan diberi wewenang khusus sebagai penyidik dalam pengelolaan perkebunan yang bermasalah. Untuk menciptakan pengelolaan perkebunan yang berhasil guna dan koordinatif dari pemerintahan terendah sampai tertinggi diperlukan pengaktifan Tim Pembina Pembangunan Perkebunan Propinsi dan Tim Pembina Pembangunan Perkebunan kab/kota sampai dengan tingkat kecamatan yang mempunyai tugas untuk
80
mengkordinasikan pelaksanaan revitalisasi perkebunanan, mengatasi masalahmasalah lahan, administrasi kependudukan, dan pembentukan koperasi. Supaya mempunyai nilai greget dan tidak menjadi tim yang mubazir, tim tersebut harus ditambah kewenangannya memberikan sanksi bagi yang melanggar. Kendala dalam hal pengelolaan Hak Guna Usaha yang sudah terbit terutama di Kawasan Non Budidaya Kehutanan (KNBK), memerlukan kewenangan penuh dari sektor perkebunan untuk melaksanakan pengembangan lahan (tanpa campur tangan lagi kehutanan). Suatu areal yang sudah menjadi Kawasan Non Budidaya Kehutanan sebaiknya pihak kehutanan tidak lagi terlibat (bidang perkebunan tidak lagi meminta izin untuk menebang kayu) seperti yang terjadi selama ini. Dalam hal ini pemanfaatan Kawasan Non Budidaya Kehutanan bidang perkebunan perlu kewenangan khusus dari propinsi. Upaya lain yang perlu dilakukan adalah pembuatan sebuah rumusan yang tegas yang mengatur posisi structural antara pemerintah pusat, propinsi, dan kab/kota. Dalam bentuk Negara kesatuan, betapapun pemerintah pusat harus tetap berada di puncak hierarki kewenangan yang dapat mengawasi setiap deviasi kebijakan perkebunan dan penyalahgunaan kekuasaan dari cabang pemerintahan di bawahnya, sambil pada sisi lain dapat menjamin terlaksananya maksud otonomi terutama dalam sektor perkebunan. Propinsi sebagai kepanjangan tangan pusat untuk mengawasi pelaksanaan kebijakan di kab/kota, sambil pada sisi yang lain sebagai simpul dari daerah-daerah yang menjalankan fungsi koordinasi dan sinkronisasi hubungan antar daerah.
81
Dalam
rangka
percepatan
pembangunan
sarana/prasarana,
litbang
perkebunan, perbaikan infrastruktur jalan kebun, pengembangan Sumber Daya Manusia Perkebunan dan lain-lain Pemerintah Propinsi Kalimantan Timur perlu terus memperjuangkan adanya bagi hasil pendapatan Negara dari pajak ekspor CPO kepada daerah-daerah penghasil dalam bentuk Dana Alokasi Khusus (DAK).
82
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian pada bagaian pembahasan, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan : - Lemahnya posisi propinsi dalam pengelolaan sumber daya alam di Propinsi Kalimantan Timur disebabkan oleh payung hukum yang ada, dimana kewenangan pengelolaan sumber daya alam merupakan urusan pilihan yang menyebabkan terbatasnya akses bagi pemerintah propinsi untuk terlibat secara penuh dalam berbagai urusan pengelolaan sumber daya alam di daerah ini. -
Pengelolaan sumber daya alam di propinsi Kalimantan Timur lebih bertumpu pada daerah kabupaten/Kota sebagai konsekuensi logis penyelenggaraan otonomi
daerah.
Hal
ini
menyebabkan
superioritas
pemerintah
kabupaten/kota terhadap pemerintah propinsi dimana fungsi koordinasi dalam penyelenggaraan urusan pengelolaan kegiatan tersebut tidak lagi memperhatikan level pemerintahan di atasnya. -
Pemerintah propinsi berupaya untuk memaksimalkan kewenangan yang dimiliki melalui koordinasi antar lini pemerintahan dan secara terus menerus berupaya untuk membuat payung hukum dalam pengelolaan sumber daya alam di daerah.
83
B. Rekomendasi -
Perlu adanya perubahan terbatas pada UU No. 32/2004 tentang pemerintahan daerah, khususnya pasal 13 yang mengatur tentang pembagian urusan pemerintahan yang terkait dengan urusan wajib dan urusan pilihan dalam pengelolaan sumberdaya alam.
-
Perlu memperhatikan kekhasan daerah dalam memberikan kewenangan pengelolaan sumberdaya alam kepada provinsi untuk menghindari konflik kepentingan.
-
Perlu adanya kewenangan yang luas pada provinsi dalam pengelolaan sumberdaya alam di daerah
-
Perlu kajian lebih lanjut tentang pelaksanaan fungsi koordinasi antara pemerintah
kabupaten/kota
dengan
pemerintah
propinsi
dalan
penyelenggaraan urusan pemerintahan di daerah khususnya pengelolaan sumber daya alam di Propinsi Kalimantan Timur.
84
DAFTAR PUSTAKA Abdul Wahab, Solichin. 1997. “Kebijakan Pembangunan Pedesaan Di Negara-negara Berkembang, skala Permasalahan dan Hekekatnya. Dalam Kebijakan Publik dan Pembangunan. IKIP Malang. .............................. 2002. Analisis Kebijaksanaan Dari Formulasi Ke Implementasi Kebijaksanaan Negara: Bumi Aksara. Jakarta Bratakusumah, Supriady, Dedi dan Solihin, Dadang. 2001. Otonomi Penyelenggaraan Pemerintah Daerah. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. D. Siregar, Doli. 2002. Optimalisasi Pemberdayaan Harta Kekayaan Negara.PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Islamy, A.Irvan. 1994. Prinsip-prinsip Perumusan Kebijakan Negara, Edisi 2 Cet. 1. Bina Aksara: Jakarta Kaho. Josef Riwu, 1991. Prospek Otonomi Daerah di Negara RI. Rajawali Press. Jakarta Keraf, A. Sonny. 2006. Etika Lingkungan. Penerbit Buku Kompas. Jakarta. Mazmanian, Daniel and Paul A. Sabatiar (eds), 1988. Effectivly Policy Implementation. Lexington Mass Meter, Donald, S. Van dan Carl E. Van Horn, 1975, The Policy Implementation Process; Aconceptual Frame Work, Beverly Hills, Sage Publication Inc. Milles, B. Matthew dan A. Michael, Huberman. 1992. Analisis Data Kualiatif. Universitas Indonesia. Jakarta Moleong, Lexy J. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Remaja Rosdakarya. Bandung Nazir, Moh.1999. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta.
85
Saleh, Hairul, 2007, Banjir dan Kebijakan Pemerintah (Refleksi Penanganan Banjir di Kota Samarinda), Makalah yang disampaikan dalam “Diskusi Politik Ekonomi Lingkungan Hidup, Yogyakarta Mei 2007. Santoso, Purwo, Mencari Keterpaduan Ekosistemik dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam di Daerah, Makalah disampaikan dalam “Seminar Internasional IV Dinamika Politik Lokal di Indonesia: Partisipasi dan Demokrasi”, Salatiga, 14-18 Juli 2003. Soemarwoto, Otto. 2001. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Subarsono, A.G. 2005. Analisis Kebijakan Publik. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Sugiono. 2008. Metodologi Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D. Alfabeta. Bandung. Suharto, Edi. 2005. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat. Refika Aditama. Bandung. __________ . 2005. Analisis Kebijakan Publik. Alfabeta. Bandung __________ . 2007. Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik. Alfabeta. Bandung.
Supamoko, M. 2006. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan (Suatu pendekatan Teoritis). BPPE-Yogyakarta. Widodo, Tri W. Utomo. 2007. Menerawang Pembangunan Wilayah di Masa Depan Dengan Analisis Skenario (Scenario Planning). PKP2A III LAN Samarinda. Samarinda. Winarno, Budi. 2007. Kebijakan Publik Teori & Proses. Media Pressindo. Yogyakarta. Kompas, 4 Mei 2007.
86
Lampiran catatan singkat notulen FGD FOCUS GROUP DISCUSSION TEMA “OTONOMI DAERAH DAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DI PROVINSI KALIMANTAN TIMUR KERJASAMA ANTARA PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA (DPD RI) DENGAN UNIVERSITAS KALIMANTAN TIMUR
SESI 1 : PEMBERDAYAAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM SEKTOR KEHUTANAN Sukerni (Dinas Kehutanan) P5P : berlaku hanya 1 tahun - Pembagian urusan Pemerintah :pembagian menjadi kewenangan? Urusan pemerintah ada dua wajib dan pilihan (provinsi) - Penguasaaan Hutan : - Pengurusan Hutan : Perencanaan, Pengelolaan : Tata hutan, pemanfaatan, rehabilitasi, dan perlindungan hutan dan konservasi alam. - Penyerahan Kewenangan : PP No 38 Tahun 2007 : urusan wajib dan urusan pilihan - Belum ada mandate yang mengatur penyerahan sebagian kewenangan penyelenggaraan kht sebagai amanat pasal 66 uu No. 41/ 99 tentang kehutanan. - Pembagian urusan apa mungkin disamakan dengan penyerahan sebagian kewenangan (desentralisasi) Ironis kaltim urusan hutan menjadi urusan pilihan bukan menjadi urusan wajib MPI Kaltim (asosiasi Pengusaha Hutan, Bidang Perkayuan) Sbg kordinator pengayoman asosiasi di bwahnya ex: .. Masalah Kebijakan kehutanan pandangan MPi hrs selalu perbakan pengelolaan hutan dari waktu ke waktu. Awal pengelolaan Hutan Jaman OrdeBaru walaupun masih kekurangan tenaga teknis. Tidak memungkinkan pada saat itu untuk menyerahkan pengelolaan Hutan kepada Daerah. Namun sekarang telah ada perbaikan kebijakan tentang pengelolaan Hutan. Adanya pengalihan fungsi hutan yang tidak berjalan dengan baik, sehingga menjadi akibat kerusakan hutan pula.
87
Sehingga kita harus selalu belajar dari kejadian2 yg telah menyebabkan kerusakan hutan. Mental dari pengusaha hutan berbeda-beda ( keep in run) Saat ini pengelolaan hutan diserahkan kepada daerah. Sehingga harus lebih seksama memperhatikan dalam pengelolaan hutan
-
-
T : Syarir (Badan Lingk. Kaltim) Pengelolaan Lingk. Pada Otda ditinjau dari Lingkungan Hidup Pengelolaan Hutan ditijnjau dari ekologi dan ekonomi ? selama 30 tahun apa yang terjadi? Ekonomi tdk terpenuhi, ekologi telah banyak terjadi bencana. Adanya kewenangan dari pusat walaupun terlambat. Seharusnya urusan Hutan adalah wajib, karena dampak yang terjadi saat ini mengharuskan wajib, disamping itu konsep daerah harus ada dan jelas. Lingkungan hidup telah di atur di pp 38 07 Urusan bersama pemerintahan pusat dan daerah. Kegiatan telah memiliki kewajiban yang sama, contoh : Amdal telah ada pembagian yang jelas antara provinsi dan kabupaten Kota, namun pertahan dalam artian permasalahan minyak tetap di urus oleh Pusat. Action : tergantung komitmen pemerintah, ada Perda Lingkungan Hidup, ada konsep yang bagus tentang pemeliharaan hutan, contoh : Bpp (hutan sungai wain)
Jaringan advokasi Tambang Masih ada kah wilayah hutan di kaltim yang masih tersisa? Sepakat dengan tinjauan ekonomi dan ekologi dalam masalah hutan (daerah telah gagal menjaga hutan) Saran : apa yang diusahakan oleh pemerintah tentang kehutanan di RT/RW Sejauh apa kemampuan daerah untuk mengantisipasi masalah ini?600 lebih masyarakat kaltim masih miskin. Action : Masyarakat tidak diberi akses.
Momo (dinas Kehutanan Kaltim) Kewenangan antara Pusat dan daerah di pandang dari kawasan Hutan yg telah ditetapkan tentang Non Hutan menteri kehutan / Pusat dan ApL Kewenangan oleh bupati kota/ kabupaten (tentang Penempatan posisi perkebunan dsb), dimana posisi Provinsi dalam hal kewenangan? Penetapan ijin: yang member adalah pusat, namun yang menjadi rekomendasi gubernur dan dip roses oleh kementrian.
88
Hasil hutan, yaitu Pembagian hasil berupa dana yang paling besar diserahkan kabupaten lalu provinsi selanjutnya ke pusat menjadi pemasukan untuk sarana dan prasana di daerah. Pemanfaatan hutan scr ekologis dan ekonomi , carbon Trade (jd hutan tak perlu ditebang, namun mendapatkan dana dari Luar negeri). Kewenangan Provinsi? Usulan DPD perubahan UU 41 = member wewenang kpd pemerintah daerah (provinsi) namun belum ada hasil. Usulan KPH bias menjadi perangkat provinsi ataupun kabupaten. Damai (Untag) Otda sesuai UU maka letaknya di kab Kota, jika prov ingin di berdayakan, otomatis ada usulan perubahan UU 32. Hutan 14, 67 Jt Hektar (htn lindung dsb), hampir 90% rusak. Berapa yang masih bagus, untuk dipertahankan ? Sunarto(APH) Usulan RTRWP oleh gubernur . Perlu adanya usulan penataan wilayah atas penguasan hutan. Otda : tumpang tindih perijinan pemerintah pusat dan daerah :perlu ditata ulang tentang pengeluaran perijinan (ilegal) yang mengakibatkan degradasi lingkungan. Aksi apa yang dilakukan oleh pemerintah provinsi? Poltek (hamka)/ masyarakat umum Penanganan serius tentang perbaikan dan pengelolaan hutan, peran pemerintah dan aparat kepolisian dan keamanan dalam mengangani masalah tersebut. Polri Melihat keadaan Kaltim sekarang siapa yang bertanggung jawab? Tidak ada pelatihan Otda oleh daerah, dan orang daerah belum bisa menerima/ tidak siap (SDM), kurangnya pengawasan dari penegak hokum, dan belum adanya uu yang pasti tentang pengusaha yang cenderung negative. Selaku penegak hukum perlu diadakannya Perda tentang penanganan permasalah hutan Akademisi (andi Purnawarman) 3 kemungkinan yang menentukan masa depan : Pemerintah, masyarakat dan usaha
89
Selama ini tidak ada aksi dalam penyelesaian permasalahan hutan hanya ada wacana saja, seharusnya ada komitmen, kunci utama masyarakat action will, seharusnya ada nya Goodwill dari pengusaha, political Will dari pemerintah. Penanganan bersama.
M Alex (Korem) Berbicara masalah kehutanan mengalami trauma, Kesalahan system sejak awal (tata negara yang kebablasan),
Sesi 2 :Pengelolaan Pertambangan Pertanyaan : bagaimana kewenangan pengelolaan pertambangan di daerah provinsi Kalimantan timur?
Untag (damai)
-
-
dinas pertambangan yang mengurus, mengawasi, dan mendata jumlah kekayaan tambang di daerah, yang telah dihasilkan. Fungsi Dinas Pertambangan apakah mampu mengawasi pertambangan yang ada di Kabupaten kota? Serta di maksimalkan beserta dana dan personil yang memadai untuk mengurusi pertambangan. Provinsi dapat dana perimbangan 4 hingga 5 Triliun, Provensi bertugas mengevaluasi dalam hal pembagian telah adil atau tidak? Pengelolaan di Kalimantan timur sebagian besar di lakukan oleh pemerintah Provinsi bukan pemerintah kota, termasuk pertambangan Evaluasi lembaga yang tidak produktif. Membuat Zona produk Unggulan, sehingga daerah kaltim mampu menjadi daerah produksi. Memberikan reward kepada yang berhasil dan memberikan hukuman Membantu dana dari Bank kaltim untuk produk yang membangun kaltim. Jika ingin menata ulang UU lah yang di rubah terlebih dahulu (aturan main) Tingkatkan SDM (fakta saat ini SDM kita masih masih kurang berkualitas disbanding dengan kualitas asing) Avokasi Pertambangan : Tidak ada kewenangan provinsi dalam hal pertambangan, 1180 penambangan batu bara peningkatan yang cukup besar dari tahun 2007 hanya sekita lebih kurang 600 penambangan. Pertambangan telah menghabiskan kawasan sebesar 3.112.000 hektar di Kalimantan Timur.
90
-
-
87 % batu bara nasional di suplay oleh Kalimantan timur dan Kalimantan selatan.. Control pengelolaan batu bara seharusnya diserahkan kepada daerah, namun sanggupkah provinsi menyediakan perangkat pengawasan untuk daerah. Kita mengeluarkan kebijakan yang tidak mampu mengontrolnya, contohnya Kutim : Penelitian surat ijin Batu bara, setiap penambang harus mengeluakan 2 Miliar. Hal ini membuktikan bahwa banyak dana yang beredar illegal akibat penambangan batu bara. Provinsi sangat lemah dan tidak berdaya dalam pengelolaan Pertambangan di daerah Kalimantan timur. Wilayah pemanfaatan lahan di akui oleh dinas pertambangan walaupun pada hakikatnya tetap menjadi wilayah pertambangan APAKAH DALAM PENGELOLAAN PERTAMBANGAN ADA CAMPUR TANGAN KEWENANGAN PEMERINTAH PROVINSI? m. Irwan permasalahan yang ada : - UU yang bermasalah, 32 thn 04 - Ijin pertambangan sangat mudah di daerah kita - belum optimalnya fungsi Dinas pertambangan di daerah. - saran : membuat forum komunikasi Hamka : Sumber daya Alam sangat banyak, dan paling besar adalah batu bara, saya melihat dari eksistensi energy apa yang akan kita gunakan jika tidak ada lagi sumber daya alam yang bias di keruk, Yang harus dirubah adalah paradigma pemerintah jangan bertumpu pada energy batu bara, minyak gas, namun bagaimana kita memperdayakan sumber daya yang lain seperti SDA.
-
Saran : harus melengkapi data melakukan menlibatkan kerja sama kajian ilmu memperhatikan aspek sumber daya mereformasi lembaga terkait, peningkatan sumber daya menindakan tegas tentang perusakan lingkungan dan
Lsm: Kewenangan harus dipegang oleh provinsi, dan harus ada hal yang mendasar mengapa provinsi memegang kewenangan, kemudian ada transparansi dalam
91
pengelolaan eksploitasi pertambangan, kemudian ada perbaikan kinerja,karensa saat ini kita tidak pernah tahu berapa jumlah kekayaan tambang yang ada di provinsi.
Dinas Kehutanan : Harus terdapat prinsip ijin pakai dalam setiap pertambangan yang formal dan efektif. Khususnya untuk wilayah hutan yang di eksploitasi tambang. Narasumber JB: Pernyataan Gubernur implikasi UU. Banyak KP yang berhenti namun berlanjut lagi (pertambangan batu bara). Penyelenggaraan pertambangan dari perspektip keamanan ( apakah keamanan mengetahui pertambangan illegal di daerah wilayah Kalimantan timur khususnya kota) Polri: Kata orang pintar : dimana u/ menuju kesempurnaan dari kesemerautan, masih berproses untuk menjadi lebih baik dalam mengamani pengelolaan sumber daya dan pertambangan.semoga ada perbaikan dari kerusakan yang ada
Lingkungan : Provinsi saat ini sangat minim dalam pengelolaan pertambangan. Amdal di pemerintah kabupaten tidak bisa dikontrol oleh provinsi, jika terjadi masalah barulah kami diikutkan untuk berpartisipasi. Pihak kami sering di undang dalam sosialisasi tentang permasalahan pertambangan namun peran kami hanyasebagai partisipan untuk member masukan. Seharusnya daerah mempunyai kebijakan daerah untuk tambang. Kebijakan nasional tentang pertambangan, hanya saja tentang kebijakan energy, sehingga tidak ada batas, akibatnya provinsi Kaltim tidak ada habisnya menjadi sapi perah pertambangan dan energy. Harus ada rem dari setiap perijinan pertambangan, saatnya daerah membuat kebijakan. Usulan Perda pertambangan (PKP2B) : , sehingga tidak mengalami kerugian besar. Siapkan modal untuk usaha perbaikan daerah. Namun tetap diolah secara transparan.
92
Moderator : Ketika Pusat diberi kewenangan dalam pengelolaan pertambangan daerah pun siap, namun jika tidak ada, maka pemerintah provinsi dan kabupaten bisa memberikan usulan dalam hal mengolah pertambangan di daerah.
M. Alex (TNI) Sesuai pernyataan pak ramli, arah yang mendalam suatu proses kecemarutan bangsa merupakan suatu proses, harus disesuaikan SDM dan SDA kualitas dan kuantitas. Kembali kepada system yang carut marut harus dirubah dihadapkan dengan OTDA. Pemimpin harus membuat konsep yang baik untuk perbaikan daerah. SDA yang dieksploitasi seharusnya untuk kesejahteraan rakyat bukan untuk kesengsaraan rakyat. Harus memberdayakan sumber daya Manusia. Mencontoh Negara As dalam menimbun energy demi kesejahteraan Negara di kemudian hari. Jika saya berperang kami sebagai TNI maka sangat membutuhkan energy dan hutan juga sebagai benteng pertahanan kami untuk mempertahankan diri jika terjadi perang. Maka pertahanan keamanan sangat erat kaitannya dengan energy, pertambangan dan hutan. Harus mampu menjari jati diri dalam mengolah sumber daya sendiri yang tidak menyampingkan Kebijakan Negara. Aspek ekonomi, hasil pertambangan belum sampai pada tahap pemberdayaan masyarakat Kalimantan timur. Seharusnya kita membangun industry dan di padukan pertambangan, sehingga dapat menghasilkan sisi positif untuk masyarakat. Jika Otda tidak mampu di kelola oleh kabupaten maka provinsi lah yang mengambil alih.
-
M. Khusairi : Wewenang pertambangan provinsi di bidang lingkungan hanya ada 4 parameter : EP PH Besi Keasamaan Pada kenyataannya Perda 26 thn 02 lebih ketat dibandingkan dengan Kep EH 113 tahun 2003 hanya untuk mendapatkan penghargaan oleh pemerintah, namun yang di pakai hanya lah Kep 113 tahun 2003. Pertambangan : Kami melihat daya rusak dari pertambangan: Warning untuk kita semua, ketika kita berbicara tentang pertambangan dan pendapatan maka 20 tahun kedepan kita
93
akan mengalami kesengsaraan, dan saat ini akibat penambangan banyak terdapat anak2 yang telah mengalami penyakit asma. Tidak ada perubahan dalam pengawasan ketika pemimpin terpilih tetap saja. Banyak contoh seperti KPC dana pengawasan hanya sekitar 50 juta, tidak sebanding dengan pengawasan yang harus dilakukan yang sangat berat, sehingga tim pengawas pun tidak optimal dalam menjalankan tugasnya. Daya pemantauan harusnya diperketat.
Lingkungan : Ling. Pertambangan Sk Gubernur No. 26 tahun 2004, saat ini telah ada penambahan parameter yang kami usulkan menjadi perda : LSM atau masyarakat hanya mampu mengawas sekitar dampak yang ditimbulkan dari pertambangan Sesi : DINAMIKA PENGEMBANGAN SEKTOR PERKEBUNAN Provinsi menjadikan urusan perkebunan sebagai aspek pilihan dan tumpang tindih. Dinas Kehutanan : Dinas Perkebunan : Mekanisme perkebunan Kewenangan pemerintah kabupaten dan provinsi, saya mengikuti acara gubernur tentang jabatan di dalam jabatan tersebut ada wewenang, jangan di tonjolkan wewenang namun peran dari jabatan tersebut yang tujuannya utnuk kepentingan rakyat. Kegiatan Perkebunan UU 18 tahun 2004 tentang lahan: terdiri dari air, pupuk dan pengawasan dan budidaya(ijin lokasi di kabupaten kota). Pembibitan UU 12 (peredaran benih) ada pengawasan dari departemen pemerintah pusat (melaksanakan pengamanan peredaran benih yang unggul dan bersertifikat) Di kaltim telah ada peredaran benih, terdapat usaha perbenihan menjadi wewenang kabupaten. Tanaman perkebunan kelapa sawit, sering dapat sorotan bahwa kelapa sawit rakus air. Akan dikembangan untuk masa depan biodiesel biofiel. Tanaman perkebunan bisa dikembangkan untuk menjadi bahan bangunan seperti kayu kelapa dari Sulawesi. Harapan tanaman yang berfungsi hutan dan berfungsi hidrologis untuk membangun perkebunan dan kehutanan.
94
Pak alex : Untuk perkebunan identik dengan perdagangan (tidak untuk dikonsumsi langsung). Harus produktif bisa mengekspor, menjual dengan wilayah yang luas seharusnya mampu memperdayakan. Seperti tanaman sawit yang menjanjikan untuk mendukung perekonomian rakyat. Mencontoh Malaysia Perkebunan dan lainnya dijadikan dengan kepentingan kedepan termasuk kepentingan pertahanan keamanan dan perekonomian rakyat setempat.
Hamzah (Masyarakat umum)
Paradigma yang seharusnya dirubah. Masyarakat di ajak bergilir untuk berpartisipasi diarahkan oleh pemerintah untuk menanam tanaman termasuk di hutan, hingga masyarakat yang menanam pun mampu menjaga tanaman tersebut. Harus ada komitmen dan konsisten dari pemerintah untuk membangun mensejahterakan masyarakat Pak haerul : Bagaimana menyelamatkan manusia termasuk alam : Di luar negeri, konteks menyelamatkan alam, begitu juga seharusnya di Indonesia, menabung batubara dan energy ataupun sebagainya untuk menyelamatkan Indonesia. Dari beberapa penelitian, suatu daerah hutan lebat yang di jadikan perkebunan kelapa sawit menjadi wilayah kering, salah satunya di Sumatra.
Pertambangan : Sawit perbatasan di Kalimantan timur, jika dikatakan sebagai solusi penyelamatan hutan. Sawit belum tentu menguntungkan petani, adanya pemaksaan Fungsi dinas perkebunan tidak transparan, utamakan komunitas yang mampu mengangkat kemiskinan. Harus ada terobosan yang di buat pemerintah daerha dan harus ada undang2 yang melidunginya. Yang menjadikan kita selamat sebagai manusia yaitu antara lain bagaimana mengelola pertambangan dengan baik, penggunaan kelapa sawit dibatasi penggunaanya.sehingga mampu melindungi masyarakat local
95
Dinas perkebunan : Di Kutai Barat, kelapa sawit tidak ada pabrik yang mampu memproduksi kelapa sawit, sehingga tidak dapat diproduksi. Penyelamatan manusia adalah untuk beramal dan beribadah sehingga kita dapat selamat.
Lingkungan : Angka lahan kritis makin bertambah, kita selalu mengarahkan supaya perkebunan diarahkan ke lahan kritis. Sehingga diharapkan Usaha perkebunan yang meningkat dapat menekan lahan kritis. Masalah saat ini adalah masyarakat membakar hutan untuk menanam kelapa sawit. Padahal membakar hutan berbahaya bagi kita.
96