LAPORAN HASIL PENELITIAN
Kesadaran dan Pemahaman Tenaga Kesehatan Mengenai Kebijakan Terkait Menyusui di Indonesia
ASOSIASI IBU MENYUSUI INDONESIA GERAKAN KESEHATAN IBU DAN ANAK
2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas selesainya laporan hasil penelitian ini tepat pada waktunya. Ucapan terima kasih kami sampaikan pada Gerakan Kesehatan Ibu dan Anak sebagai penyandang dana penelitian, Komisi Etik Kementerian Kesehatan atas saran dan masukan di awal pengerjaan protokol penelitian, fasilitas layanan kesehatan dan semua tenaga kesehatan yang telah berpartisipasi aktif dalam pelaksanaan penelitian ini. Akhir kata, semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang berkaitan dan menjadi informasi yang baik untuk melakukan perbaikan-perbaikan di masa mendatang maupun penelitian-penelitian lanjutan.
Jakarta, 25 April 2013
Tim Peneliti
1
RINGKASAN PENELITIAN Tenaga kesehatan adalah pihak pertama yang melakukan kontak langsung dengan ibu sejak hamil hingga setelah melahirkan. Selama masa menyusui, tenaga kesehatan merupakan sumber informasi paling diandalkan oleh orangtua. Dukungan tenaga kesehatan merupakan salah satu penentu utama keberhasilan ibu menyusui. Sejak disahkannya Undang-undang no 36 tahun 2009 tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah no. 33 tahun 2012 tentang ASI, AIMI masih menerima pengaduan masyarakat mengenai terjadinya pelanggaran hak bayi untuk mendapatkan ASI. Praktek pelanggaran masih dilakukan di berbagai daerah di Indonesia, dan banyak ibu belum merasakan dukungan yang signifikan dari tenaga kesehatan. Sosialisasi dan edukasi mengenai kebijakan terkait menyusui bagi tenaga kesehatan dirasa masih kurang dan atau tidak efektif. Lebih jauh lagi, para tenaga kesehatan belum mendapatkan edukasi tentang cara mendukung ibu menyusui. Penelitian ini bertujuan mendapatkan informasi mengenai pemahaman dan kesadaran tenaga kesehatan tentang kebijakan terkait ASI dan menyusui. Selain itu, penelitian ini juga ingin mengungkapkan metode yang efektif dalam sosialisasi kebijakan terkait ASI dan menyusui. Responden adalah tenaga kesehatan yang masih aktif bekerja pada berbagai area yang berhubungan langsung dengan calon ibu dan ibu menyusui di fasilitas kesehatan. Penelitian dilakukan pada Februari sampai April 2013 di 5 (lima) kota, yaitu DKI Jakarta, Tangerang, Bandung, Semarang, dan DI Jogjakarta. Pengumpulan data dilakukan dengan kuesioner dan focus group discussion (FGD). Parameter yang diamati antara lain pengetahuan dan persepsi mengenai ASI dan menyusui, pengalaman dan persepsi tentang dukungan bagi ibu menyusui serta pengetahuan mengenai kebijakan terkait ASI dan menyusui. Wawancara menggunakan kuesioner dilakukan kepada 235 tenaga kesehatan yang terdiri dari 29 orang dokter spesialis anak, 28 orang dokter spesialis obgyn, 92 orang bidan, 78 orang perawat, serta 8 orang tenaga kesehatan lain yang berinteraksi rutin dengan ibu dan bayi. FGD dilaksanakan di masing-masing Fasilitas Pelayanan Kesehatan dengan melibatkan perwakilan tenaga kesehatan yang sudah diwawancarai dan perwakilan manajemen Fasilitasn Pelayanan Kesehatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kesadaran tenaga kesehatan tentang pentingnya mempromosikan, melindungi dan mensosialisasikan menyusui sudah sangat tinggi. Namun, kesadaran ini belum diikuti dengan pemahaman yang cukup mengenai dukungan bagi ibu menyusui dan pemahaman terhadap kebijakan nasional terkait menyusui. Sosialisasi kebijakan nasional bagi tenaga kesehatan masih rendah dan tidak mendalam. Metode sosialisasi yang paling banyak disarankan oleh tenaga kesehatan adalah seminar, penyuluhan, pelatihan, workshop serta pertemuan pakar dengan tenaga kesehatan.
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
1
RINGKASAN PENELITIAN
2
DAFTAR ISI
3
DAFTAR TABEL
5
DAFTAR GAMBAR
6
DAFTAR LAMPIRAN
9
I.
PENDAHULUAN
10
II. METODE PENELITIAN
12
II.1. Kerangka Teori
12
II.2. Kerangka Konsep
12
II.3. Hipotesis
13
II.4. Disain Penelitian
14
II.5. Tempat dan Waktu
14
II.6. Populasi dan Sampel
14
II.7. Materi Focus Group Discussion
15
II.8. Manajemen Data
15
II.9. Analisis Data
16
II.10. Analisis Data Univariat
16
II.11. Analisis Data Bivariat
17
II.12. Analisis Data Transkrip Focus Group Discussion
17
II.13. Langkah-langkah Penelitian
17
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
18
III.1. Pengambilan Data
18
3
IV.
III.2. Pembahasan
21
III.2.a. Kesadaran Terhadap Dukungan Menyusui
22
III.2.b. Pemahaman Terhadap Kebijakan Terkait Menyusui
28
III.2.c. Metode Sosialisasi
35
KESIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
38 39
4
DAFTAR TABEL
Tabel
Judul
Halaman
Tabel 1
Fasilitas kesehatan dan responden (tenaga kesehatan).
18
Tabel 2
Peserta focus group discussion.
20
Tabel 3
Pesan-pesan yang paling diingat responden tentang kebijakan nasional yang sudah disosialisasikan.
33
Tabel 4
Mekanisme atau sosialisasi kebijakan nasional yang disarankan oleh tenaga kesehatan.
36
5
DAFTAR GAMBAR
Gambar
Judul
Halaman
Gambar 1
Kerangka konsep penelitian.
13
Gambar 2
Kontak tenaga kesehatan dengan pasien dengan kesulitan menyusui.
23
Gambar 3
Tindakan yang dilakukan tenaga kesehatan pada pasien dengan kesulitan menyusui.
24
Gambar 4
Tindakan yang dilakukan tenaga kesehatan di setiap kota pada pasien dengan kesulitan menyusui.
24
Gambar 5
Kesadaran tenaga kesehatan akan pentingnya mempromosikan, melindungi dan mensosialisasikan menyusui.
25
Gambar 6
Alasan tenaga kesehatan menganggap penting mempromosikan, melindungi dan mensosialisasikan menyusui.
25
Gambar 7
Pemahaman tenaga kesehatan mengenai faktor-faktor yang berpengaruh dalam menyusui.
26
6
Gambar 8
Pemahaman tenaga kesehatan mengenai tanda akurat menentukan bayi menyusu dengan efektif.
26
Gambar 9
Pemahaman tenaga kesehatan mengenai kondisi dimana bayi membutuhkan susu formula.
27
Gambar 10
Tenaga kesehatan yang sudah mendapatkan sosialisasi UU no. 36/2009 tentang Kesehatan.
28
Gambar 11
Tenaga kesehatan yang sudah mendapatkan sosialisasi PP no. 33/2012 tentang ASI.
28
Gambar 12
Pengetahuan tenaga kesehatan di setiap kota tentang isi UU no. 36/2009 – mendapatkan ASI merupakan hak bayi.
29
Gambar 13
Pengetahuan tenaga kesehatan di setiap kota tentang isi UU no. 36/2009 – dukungan pengelola tempat kerja.
30
Gambar 14
Pengetahuan berbagai profesi tenaga kesehatan tentang isi UU no. 36/2009 – sanksi bagi ibu yang tidak mau menyusui tanpa indikasi medis.
31
Gambar 15
Pengetahuan tenaga kesehatan di setiap kota tentang isi UU no. 36/2009 – sanksi bagi ibu yang tidak mau menyusui tanpa indikasi medis.
31
Gambar 16
Pengetahuan tenaga kesehatan di setiap kota tentang isi PP no. 33/2012 – kewajiban tenaga kesehatan.
32
Gambar 17
Pengetahuan berbagai profesi tenaga kesehatan tentang isi PP no. 33/2012 – sanksi bagi tenaga kesehatan yang memberikan susu formula tanpa indikasi medis.
32
7
Gambar 18
Pengetahuan tenaga kesehatan di setiap kota tentang isi PP no. 33/2012 – sanksi bagi tenaga kesehatan yang memberikan susu formula tanpa indikasi medis.
32
Gambar 19
Metode sosialisasi UU no. 36/2009 yang diterima tenaga kesehatan dan sumber/penyelenggara sosialisasi.
35
Gambar 20
Metode sosialisasi PP no. 33/2012 yang diterima tenaga kesehatan dan sumber/penyelenggara sosialisasi.
35
8
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
Judul
Halaman
Lampiran 1
Kuesioner hasil revisi setelah uji coba pengambilan data.
42
Lampiran 2
Hasil pengambilan data – wawancara dengan kuesioner.
47
Lampiran 3
Hasil Focus Group Discussion.
55
9
I. PENDAHULUAN
Menyusui adalah cara pemberian makanan pada bayi yang ideal dan tanpa bandingan, menghasilkan pertumbuhan dan perkembangan yang sehat pada bayi dan juga merupakan bagian integral dalam proses reproduksi dengan implikasi yang penting untuk kesehatan ibu. WHO merekomendasikan agar ibu di seluruh dunia menyusui bayinya secara eksklusif selama 6 bulan pertama untuk mendapatkan pertumbuhan, perkembangan dan kesehatan yang optimal1. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, setiap bayi Indonesia berhak untuk mendapatkan ASI eksklusif, dan setiap ibu berhak untuk didukung secara penuh oleh keluarga, pemerintah dan masyarakat dalam pemberian kesempatan menyusui (pasal 128(1) dan 129(2)). Setiap bayi Indonesia berhak untuk tidak mendapatkan susu formula kecuali atas indikasi medis, dan setiap ibu berhak untuk mendapatkan perlindungan dalam memberikan ASI eksklusif kepada bayinya (pasal 15, 17 dan 26 dalam Peraturan Pemerintah Nomor 33 tahun 2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif). Tenaga kesehatan adalah pihak pertama yang melakukan kontak langsung dengan ibu sejak hamil hingga setelah melahirkan. Selama masa menyusui, tenaga kesehatan merupakan sumber informasi paling diandalkan oleh orangtua. Dukungan tenaga kesehatan merupakan salah satu penentu utama keberhasilan ibu menyusui. Dari 8 faktor yang mempengaruhi pemberian ASI oleh ibu yang baru melahirkan, 5 di antaranya melibatkan dukungan tenaga dan fasilitas kesehatan2. Hal ini meliputi jumlah tenaga kesehatan, meningkatnya promosi susu formula sebagai pengganti ASI di fasilitas kesehatan, penerangan yang tidak tepat dari tenaga kesehatan termasuk penyediaan susu formula di fasilitas kesehatan disertai dengan pandangan manfaatnya untuk meningkatkan status gizi bayi, pengelolaan laktasi di ruang persalinan berdasarkan metode atau tindakan saat persalinan serta pemberian pengganti ASI pada hari-hari pertama kelahiran bayi. Peranan penolong persalinan sebagai penasihat berpengaruh secara signifikan terhadap pemberian ASI di harihari pertama kelahiran bayi3 dan dukungan tenaga kesehatan memiliki pengaruh signifikan pada durasi pemberian ASI4. Implementasi berbagai kebijakan nasional saat ini belum optimal. Hal ini dapat dilihat dari angka pemberian ASI eksklusif bagi bayi yang berusia dibawah 6 bulan di Indonesia hanya sebanyak 15,3%5. Berdasarkan data-data World Breastfeeding Trends Initiative 2012, kondisi menyusui di 51 negara berdasarkan pengukuran indikator yang telah ditetapkan, Indonesia ranking ke 49 dari 51 negara dengan angka menyusui hanya sebesar 27,5%6. 10
Akselerasi sosialisasi dan edukasi tenaga kesehatan untuk mendukung peningkatan pemberian ASI di Indonesia perlu segera dilakukan. Untuk melakukan sosialisasi dan edukasi yang efektif, dibutuhkan informasi kondisi pemahaman dan kesadaran tenaga kesehatan saat ini tentang kebijakan nasional mengenai pemberian ASI. Selain itu juga dibutuhkan informasi mengenai program sosialisasi dan edukasi yang sudah dilakukan fasilitas kesehatan terhadap tenaga kesehatannya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi mengenai pemahaman dan kesadaran tenaga kesehatan tentang kebijakan terkait ASI dan menyusui. Selain itu, penelitian ini juga ingin mengungkapkan metode yang efektif dalam sosialisasi kebijakan terkait ASI dan menyusui. Hasil penelitian ini akan memberikan informasi bagi pemerintah dan masyarakat mengenai pemahaman tenaga kesehatan terhadap kebijakan terkait menyusui di Indonesia dan kesadaran tenaga kesehatan dalam mendukung peningkatan pemberian ASI. Selain itu, pemerintah akan mendapatkan informasi mengenai metode sosialisasi dan edukasi yang efektif dalam rangka akselerasi implementasi UU Nomor 36/2009 tentang Kesehatan dan PP Nomor 33/2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif.
11
II. METODE PENELITIAN
II.1. Kerangka Teori Tenaga kesehatan memiliki peran penting dalam mendukung dan mengedukasi ibu tentang menyusui11. Meskipun demikian, edukasi mengenai ASI dan menyusui terhadap tenaga kesehatan masih kurang di berbagai negara11,12,13,14,15. Pemberian informasi dan konseling pada ibu hamil dapat meningkatkan kesadaran ibu untuk menyusui16 dan pertemuan pasca persalinan dengan tenaga kesehatan yang memiliki pengetahuan tentang menyusui meningkatkan keberhasilan ibu menyusui secara signifikan dibandingkan dengan tenaga kesehatan yang tidak memiliki pengetahuan tentang menyusui17. Banyak negara telah mengadopsi Kode Etik Pemasaran Produk Pengganti ASI yang direkomendasikan WHO melalui World Health Assembly di Jenewa pada 198118 dalam kebijakan nasional masing-masing untuk mendukung peningkatan pemberian ASI. Namun, sosialisasi dan pengawasan perlu dilakukan agar kebijakan tersebut dapat memberi hasil sesuai harapan. Berlakunya peraturan, program, proyek dan target nasional terkait peningkatan pemberian ASI tidak efektif meningkatkan angka menyusui jika tidak disertai dukungan tenaga kesehatan19,20,21. II.2. Kerangka Konsep Rendahnya angka pemberian ASI eksklusif di Indonesia yang rendah, yaitu hanya 15,3%9 menunjukkan bahwa dukungan semua pihak terhadap keberhasilan menyusui masih perlu ditingkatkan, termasuk dari tenaga kesehatan. Penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan secara deskriptif bagaimana kesadaran dan pemahaman tenaga kesehatan terhadap kebijakan terkait menyusui dan dukungan bagi ibu menyusui di Indonesia. Oleh karena itu, yang menjadi variabel utama penelitian ini adalah: 1. Kesadaran (awareness) tenaga kesehatan untuk melaksanakan kebijakan terkait menyusui 2. Pemahaman (understanding) tenaga kesehatan mengenai dukungan untuk ibu menyusui Sedangkan data sosiodemografi digunakan sebagai data kontrol. Dengan demikian penelitian ini dapat dijadikan dasar dari penelitian/strategi lanjutan mengenai bagaimana cara meningkatkan pelaksanaan kebijakan menyusui terutama penerapannya di fasilitas kesehatan di Indonesia.
12
Faktor Kesadaran (Awareness) tenaga kesehatan untuk melaksanakan kebijakan terkait menyusui
Tenaga kesehatan Faktor sosiodemografi: - Pendidikan - Usia - Profesi - Lama praktek
Faktor Pemahaman (Understanding) tenaga kesehatan mengenai dukungan untuk ibu menyusui
Gambar 1. Kerangka konsep penelitian Parameter yang diamati antara lain pengetahuan dan persepsi mengenai ASI dan menyusui, pengalaman dan persepsi tentang dukungan bagi ibu menyusui serta pengetahuan dan mengenai kebijakan terkait ASI dan menyusui. II.3. Hipotesis Melihat tingginya jumlah pengaduan masyarakat tentang kurangnya dukungan tenaga kesehatan bagi keberhasilan ibu menyusui, rendahnya angka pemberian ASI eksklusif dan berbagai pengalaman di negara lain mengenai rendahnya pemahaman tenaga kesehatan mengenai kebijakan terkait menyusui19,22, hipotesis awal penelitian ini adalah bahwa tenaga kesehatan masih kurang memiliki kesadaran untuk mendukung ibu menyusui dan memiliki pemahaman yang rendah tentang kebijakan nasional terkait menyusui (dalam hal ini UU Nomor 26/2009 dan PP Nomor 33/2012). Selain itu diduga pemerataan kegiatan sosialisasi masih kurang, dimana tenaga kesehatan di ibukota DKI Jakarta mendapat lebih banyak sosialisasi dibandingkan tenaga kesehatan di 4 kota lain di pulau Jawa. Hipotesis lainnya adalah masih kurangnya pemerataan sosialisasi di antara profesi tenaga kesehatan yang berbeda, yang menghasilkan kesadaran dan pemahaman yang tidak merata pula.
13
II.4. Disain Penelitian Penelitian ini didisain secara observasional. Disain observasional yang akan digunakan adalah statistik deskriptif. Berbagai data yang diperlukan dalam observasi dikumpulkan melalui kuesioner dan dari Fasilitas Pelayanan Kesehatan terkait. Data kemudian divalidasi dengan focus group discussion (FGD).
II.5. Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan pada Februari sampai April 2013 di 5 (lima) kota, yaitu DKI Jakarta, Tangerang, Bandung, Semarang dan DI Jogjakarta. Ujicoba materi kuesioner dilakukan di RS Jakarta, Jakarta Pusat dan RSB Alvernia Agusta, Jakarta Timur. Proses pengambilan data di 5 kota berlangsung sejak 11 Maret – 5 April 2013. Pemilihan fasilitas kesehatan dengan metode convenience sampling. Fasilitas kesehatan yang dilibatkan sebagai lokasi pengambilan data dalam penelitian ini adalah: 1. DKI Jakarta: RSUD Koja, Jakarta Utara dan RS Kemang Medical Care, Jakarta Selatan. 2. Tangerang: RS Premiere Bintaro dan RSU Tangerang. 3. Bandung: RS Al-Islam Awibitung dan RSB Astana Anyar. 4. Semarang: RSU Kota Semarang dan RS St. Elisabeth. 5. DI Jogjakarta: RS JIH Yogyakarta dan RSUD Panembahan Senopati Bantul. II.6. Populasi dan Sampel Populasi penelitian adalah tenaga kesehatan yang bertugas dan berinteraksi langsung dengan pasien ibu sejak masa kehamilan, persalinan dan masa menyusui serta pasien bayi usia kurang dari 6 bulan yaitu dokter spesialis obstetri ginekologi, bidan, dokter spesialis anak, perawat serta profesi tenaga kesehatan lainnya yang terkait dengan perawatan ibu dan bayi. Target populasi secara khusus dibatasi untuk 5 kota besar, yaitu tenaga kesehatan yang bekerja di DKI Jakarta, Tangerang, Bandung, Semarang dan DI Jogjakarta. Sampel penelitian adalah dokter spesialis obstetri ginekologi, bidan, dokter spesialis anak, perawat dan tenaga kesehatan lainnya yang terkait dengan perawatan ibu dan bayi pada fasilitas kesehatan yang dijadikan lokasi pengambilan sampel. Besar sampel ditentukan dengan rumus sebagai berikut: Dengan menggunakan metoda penarikan sampel Rumus Taro Yamane: n =
N (N.d2 ) + 1
14
Keterangan: n = Jumlah sampel N = Jumlah Populasi d = Level signifikasi yang diinginkan, pada penelitian ini level signifikansi yang digunakan sebesar 10% atau 0,1. Maka sampel yang diambil sebesar: n = N (N.d2 ) + 1 = 250,030 (250,030 x0.12) + 1 = 99,96 = 100 (dibulatkan) Cara penarikan sampel (sampling) dilakukan dengan cara non probability sampling dengan metode snowball sampling. Pengumpulan data dilakukan menggunakan kuesioner dengan pendampingan (wawancara) oleh enumerator. Kuesioner yang digunakan adalah kuesioner yang sudah direvisi setelah ujicoba pengambilan data di 2 (dua) fasilitas kesehatan (Lampiran 1). Sedangkan pelaksanaan focus group discussion dilakukan di masing-masing kota, dengan responden yang terdiri dari perwakilan tenaga kesehatan yang sudah diwawancara serta perwakilan manajemen fasilitas kesehatan. Hal ini dilakukan untuk validasi dan verifikasi data hasil temuan dari survey melalui kusioner yang telah dilakukan terlebih dahulu serta mendapatkan tambahan informasi kebijakan fasilitas kesehatan terkait dukungan bagi ibu menyusui dan penerapan kebijakan nasional. Persetujuan dari responden untuk berpartisipasi dalam penelitian diperoleh setelah enumerator membacakan naskah penjelasan dan responden mengerti semua informasi yang ada dalam naskah penjelasan penelitian. II.7. Materi Focus Group Discussion 1. Jelaskan penyesuaian kebijakan yang sudah dilakukan di fasilitas kesehatan ini sejak adanya UU Nomor 36/2009 tentang Kesehatan dan PP Nomor 33/2012 tentang ASI? 2. Apa kendala atau tantangan yang dirasakan dalam menerapkan UU no. 36/2009 tentang Kesehatan dan PP Nomor 33/2012 tentang ASI dalam praktek di faskes? II.8. Manajemen Data Proses manajemen data, terdiri dari 2 1. Untuk data yang berasal dari kuisioner 15
a. Data sheet telah disiapkan sesuai dengan materi kuisioner b. Data sheet beserta kuisioner dibagikan kepada peneliti lapangan c. Setelah wawancara menggunakan kuesioner, peneliti lapangan melakukan entry data pada data sheet d. Data sheet yang telah diisi per kota, dikirimkan kepada ketua tim penelitian untuk diolah e. Data dibagi antara yang numerik (dapat diolah dengan SPSS) dan tulisan f.
Data dibersihkan
g. Data yang siap diolah disimpan dalam file lain, dan data mentah tetap disimpan, sebagai backup. 2. Untuk data yang berasal dari FGD a. Hasil FGD ditranskrip b. Hasil transkrip akan di-coding berdasarkan pertanyaan, jawaban dan profesi narasumber c. Hasil coding akan diolah untuk diinterpretasikan lebih lanjut
II.9. Analisis Data Analisis data dilakukan dalam tiga tahap yaitu univariat, bivariat, dan coding untuk FGD. Data yang didapatkan dari survei lapangan selanjutnya akan dianalisis dengan menggunakan metode statistik dengan bantuan perangkat lunak SPSS (Statistical Program for Social Science) versi 17.0 melalui tahapan pengolahan sebagai berikut: 1.
Melakukan coding terhadap jawaban yang masuk ke dalam coding sheet
2.
Melakukan data entry ke dalam komputer
3.
Data diolah sesuai dengan tujuan penelitian
II.10. Analisis Data Univariat Analisis data univariat disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi untuk usia, jenis kelamin, jenis profesi, lokasi praktek, dan sebagainya. Selain itu analisa univariat untuk melihat respon tenaga kesehatan terhadap berbagai indikator yang ditanyakan dalam kuisioner. Analisa yang digunakan adalah analisa deskriptif dari variabel penelitian yang meliputi analisa frekuensi, prosentase.
16
II.11. Analisis Data Bivariat Analisis data bivariat adalah analisa yang digunakan untuk menggambarkan hubungan antara dua variabel dan juga mengetahui hubungan yang ada antara dua variabel tersebut. Untuk penelitian ini digunakan Crosstabs tabulation. Variabel independen terdiri dari profesi tenaga kesehatan, kepemilikan fasilitas kesehatan tempat bekerja, lama masa kerja dalam profesi dan kota lokasi fasilitas kesehatan. Variabel dependen yang diamati adalah aktivitas produsen susu formula, penerapan 10 Langkah Menuju Keberhasilan Menyusui (LMKM), pemahaman terhadap ilmu laktasi, penyelenggaraan sosialisasi kebijakan, dan pemahaman terhadap kebijakan. II.12. Analisis Data Transkrip Focus Group Discussion Data yang diperoleh dalam Focus Group Discussion berupa transkrip yang kemudian dikelompokkan berdasarkan pertanyaan, jawaban dan profesi. Data ini di-coding dan kemudian dilakukan pencocokan dengan hasil yang telah diperoleh sebelumnya dari kuisioner.
II.13. Langkah-langkah Penelitian (a) Persiapan: penyusunan proposal, ijin etik, ijin lokasi, rekrutmen enumerator, pelatihan enumerator, pengadaan bahan, alat dan instrumen, uji coba instrumen (b) Pengumpulan data: data sekunder dari fasilitas kesehatan, wawancara responden dan FGD (c) Manajemen dan analisis data (d) Penyusunan laporan (e) Diseminasi
17
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
III.1. Pengambilan Data Telah dilakukan pengambilan data menggunakan kuesioner di 10 fasilitas kesehatan, yaitu masing-masing 2 fasilitas kesehatan di DKI Jakarta, Tangerang, Bandung, Semarang dan DI Jogjakarta. Jumlah sampel yang diperoleh melebihi dari minimal target sampel yaitu 235 sampel. Rincian jumlah populasi sampel dan jumlah responden adalah sebagai berikut: Tabel 1. Sampel fasilitas kesehatan dan responden (tenaga kesehatan). No.
1.
Kota / Fasilitas Kesehatan
b. Kemang Medical Care 25 responden
Dokter sp. Anak Dokter sp. Obgyn Bidan Perawat Dokter sp. Anestesi Dokter sp. Anak Dokter sp. Obgyn Bidan Perawat Dokter umum
5 5 23 71 3 12 16 39 48 8
2 2 8 10 1 5 3 9 7 1
1 0 0 0 1 0 0 0 0 0
40.0 40.0 34.8 14.1 33.3 41.7 18.8 23.1 14.6 12.5
Dokter sp. Anak Dokter sp. Obgyn Bidan Perawat Dokter sp. Anak Dokter sp. Obgyn Bidan Perawat
4 5 65 86 6 9 16 27
3 5 7 8 2 1 11 7
1 0 0 0 0 1 0 0
75.0 100 10.8 9.3 33.3 11.1 68.8 25.9
Dokter sp. Anak Dokter sp. Obgyn Bidan Perawat Dokter sp. anak Dokter sp. obgyn Bidan
2 5 9 7 4 6 10
1 3 6 5 4 3 10
0 1 0 0 0 0 0
50.0 60.0 66.7 71.4 100 50.0 100
Tangerang a. RSU Tangerang 23 responden b. RS Premiere Bintaro 21 responden
3.
Menolak
% populasi sampel
DKI Jakarta
a. RSUD Koja 23 responden
2.
Jumlah Tenaga Kesehatan
Jumlah responden
Bandung a. RS Al-Islam Awibitung 15 responden b. RSB Astana Anyar 27 responden
18
4.
10 na
9 1
0 0
90.0 na
Dokter sp. anak Dokter sp. obgyn Bidan Perawat Dokter sp. anestesi Dokter sp. anak Dokter sp. obgyn Bidan Perawat Konselor menyusui Dokter sp. anestesi
4 3 32 31 na 11 10 24 25 na na
4 3 9 4 1 3 2 3 8 1 1
0 0 0 0 0 2 1 0 0 0 0
100 100 28.1 12.9 na 27.3 20.0 12.5 32.0 na na
Dokter sp. anak Dokter sp. obgyn Bidan Perawat Asisten perawat Dokter sp. anestesi Dokter sp. anak Dokter sp. obgyn Bidan Perawat
3
1
2
33.3
Semarang a. RSU Kota Semarang 21 responden
b. RS St. Elisabeth 18 responden
5.
Perawat Dokter umum
DI Jogjakarta a. RSUD Panembahan Senopati 38 responden
b. RS JIH Yogyakarta 24 responden
Jumlah Dokter Sp. Anak Jumlah Dokter Sp. Obgyn Jumlah Bidan Jumlah Perawat Jumlah Dokter Sp. Anestesi Jumlah Dokter Umum Jumlah Konselor Menyusui Jumlah Asisten Perawat TOTAL
3
3
0
100
1 21
21 11
0 0
100 100
29
1
0
41.4
15
1
2
26.7
7
3
0
42.9
13
3
0
69.2
11 3
9 9
0 2
81.8 33.3
58 75 230 329 na na na 29
29 28 92 78 4 2 1 1 235
4 2 0 2 3 0 0 0
50.0 37.3 40.0 23.7 na na na 3.4
Focus Group Discussion (FGD) dilakukan di semua fasilitas kesehatan. FGD diharapkan diikuti oleh perwakilan dokter spesialis obgyn, dokter spesialis anak, bidan, perawat dan perwakilan manajemen fasilitas kesehatan. Namun, tidak semua fasilitas kesehatan berhasil menyelenggarakan FGD dengan peserta lengkap. Pada beberapa fasilitas kesehatan ditemui kendala sulitnya mendapatkan jadwal dan kesediaan calon peserta dokter spesialis anak dan
19
dokter spesialis obgyn untuk berpartisipasi dalam FGD. Rincian peserta FGD di masing-masing fasilitas kesehatan adalah sebagai berikut: Tabel 2. Peserta Focus Group Discussion. No. 1.
Kota / Fasilitas Kesehatan DKI Jakarta
a. RSUD Koja
b. Kemang Medical Care
2.
0
Dokter sp. anak
0
Dokter sp. obgyn
2
Bidan
2
Perawat
3
Staf manajemen
1
Dokter sp. anak
1
Dokter sp. obgyn
1
Bidan
1
Perawat
0
Staf manajemen
1
Dokter sp. anak
1
Dokter sp. obgyn
1
Bidan
2
Perawat
1
Staf manajemen
0
Dokter sp. anak
0
Dokter sp. obgyn
3
Bidan
4
Perawat
2
Staf manajemen
1
Dokter sp. anak
1
Dokter sp. obgyn
1
Bidan
1
Perawat
1
Staf manajemen
Tangerang
a. RSU Tangerang
b. RS Premiere Bintaro
3.
Jumlah Tenaga Kesehatan
Bandung
a. RS Al-Islam Awibitung
20
b. RSB Astana Anyar
4.
Dokter sp. anak
1
Dokter sp. obgyn
1
Bidan
1
Perawat
1
Staf manajemen
1
Dokter sp. anak
1
Dokter sp. obgyn
1
Bidan
3
Perawat
0
Staf manajemen
1
Dokter sp. anak
1
Dokter sp. obgyn
1
Bidan
3
Perawat
0
Staf manajemen
0
Dokter sp. anak
0
Dokter sp. obgyn
4
Bidan
3
Perawat
1
Staf manajemen
0
Dokter sp. anak
1
Dokter sp. obgyn
3
Bidan
1
Perawat
2
Staf manajemen
Semarang
a. RSU Kota Semarang
b. RS St. Elisabeth
5.
1
DI Jogjakarta
a. RSUD Panembahan Senopati
b. RS JIH Yogyakarta
III.2. Pembahasan Pemerintah di tahun 2012 melalui Kementerian Kesehatan telah merancang program Rencana Aksi Akselerasi Pemberian ASI Eksklusif 2012-201423 yang bertujuan untuk mempercepat pencapaian cakupan pemberian ASI eksklusif (0-6 bulan) dari 61,5% pada tahun 2010 menjadi 80% pada tahun 2014. Adapun tujuan khusus yang ingin dicapai dari program akselerasi ini adalah mempercepat tersedianya perangkat hukum berupa Peraturan Menteri 21
Kesehatan,
Peraturan
Menteri
Gubernur/Bupati/Walikota pemahaman
kepada
yang
terkait,
Peraturan
mendukung
pengambil
Daerah,
Pemberian
kebijakan,
ASI
Peraturan Eksklusif.
pengelola/pengurus
dan
Instruksi
Meningkatkan
fasilitas
pelayanan
kesehatan/tempat kerja/sarana umum dunia usaha, tenaga kesehatan, pekerja atau buruh, organisasi masyarakat, dan kelompok pendukung menyusui tentang pentingnya pemberian ASI Eksklusif melalui advokasi dan sosialisasi. Meningkatkan komitmen dan dukungan dari pengambil kebijakan, pengelola/pengurus fasilitas pelayanan kesehatan/ tempat kerja/sarana umum, dunia usaha, tenaga kesehatan, pekerja atau buruh, organisasi masyarakat, dan kelompok pendukung menyusui tentang pentingnya pemberian ASI Eksklusif. Mempercepat tersedianya sarana dan prasarana (ruang menyusui beserta kelengkapannya) serta tenaga terlatih terkait ASI (konselor, fasilitator dan motivator ASI). Adapun sasaran dari program akselerasi ini adalah para pengambil kebijakan, pengelola/pengurus fasilitas pelayanan kesehatan/tempat kerja/sarana umum, dunia usaha, tenaga kesehatan, pekerja atau buruh, organisasi masyarakat, dan kelompok pendukung menyusui. Pemaparan dibawah ini terkait hasil studi tentang pemahaman dan pengetahuan tenaga kesehatan terkait kebijakan yang mendukung pemberian ASI ini bisa dijadikan bahan pertimbangan apakah program akselerasi pemerintah RI ini sudah berjalan di jalur yang tepat dan temuan-temuan ini juga bisa dijadikan bahan pembelajaran semua pihak untuk mencari langkah-langkah ke depan yang strategis. Dari wawancara kuesioner dengan 235 orang responden tenaga kesehatan, didapatkan data seperti disajikan pada Lampiran 2. Data tersebut diolah sesuai dengan metode analisa data yang telah ditetapkan. Sedangkan data dari hasil FGD telah di-coding (Lampiran 3) dan dianalisa, hasilnya dimasukkan dalam pembahasan. Hasil penelitian dibahas dalam 3 kategori, pertama adalah kesadaran terhadap dukungan menyusui, yang kedua pemahaman terhadap kebijakan terkait menyusui, dan yang ketiga adalah metode sosialisasi. III.2.a.Kesadaran terhadap Dukungan Menyusui Dari 235 responden, 94% atau 221 orang mengaku pernah bertemu dengan pasien yang mengalami kesulitan menyusui (Gambar 2).
22
Apakah Anda pernah menemukan pasien yang mengalami kesulitan menyusui? (n)
87 27
25
Dokter Dokter sp anak sp obgyn
77
Tidak Ya
56 42
44
37
42
5 Bidan Perawat Lainnya
Gambar 2. Kontak tenaga kesehatan dengan pasien dengan kesulitan menyusui.
Tindakan yang paling banyak dilakukan tenaga kesehatan saat menemukan pasien yang mengalami kesulitan menyusui (Gambar 3, 4) adalah memberikan saran atau motivasi menyusui (172 responden; 73,2%). Hanya sebagian kecil yang merujuk ke klinik laktasi (56 responden; 23,8%) dan merujuk ke konselor menyusui (58 responden; 24,7%). Hal ini tidak berbeda secara nyata baik dilihat dari perbedaan kota, jenis profesi tenaga kesehatan, lama masa kerja, maupun banyaknya jumlah pasien setiap harinya. Tenaga kesehatan yang tidak memiliki pengetahuan dan keahlian yang cukup dalam menangani permasalahan menyusui, seperti layaknya pada permasalahan dalam layanan kesehatan lainnya, sebaiknya merujuk pasien kepada konselor menyusui atau tenaga kesehatan lain yang terlatih. Hal lain yang dilakukan tenaga kesehatan (65 responden; 27,7%) ketika menemukan pasien yang mengalami kesulitan menyusui antara lain menyarankan pasien yang berasal dari golongan mampu untuk browsing informasi di internet, memberikan flyer, mengajarkan teknik menyusui, memeriksa payudara ibu, membantu perawatan payudara, merujuk pada dokter spesialis obgyn, fisioterapi dan menyarankan untuk mengikuti kelas laktasi. Tenaga kesehatan yang tidak memiliki pengetahuan dan keahlian yang cukup dalam menangani permasalahan menyusui, seperti layaknya pada permasalahan dalam layanan kesehatan lainnya, sebaiknya merujuk pasien kepada konselor menyusui atau tenaga kesehatan lain yang terlatih.
23
Lainnya
Frekuensi (n)
25
8 17
10 15 13 5 Dokter sp Dokter sp anak obgyn
19
Memberikan saran/motivasi
77
61
Menyarankan/memberikan/meresepkan susu formula Merujuk ke dokter sp anak
26
21
14
23
Merujuk ke konselor menyusui
2 Perawat Lainnya
Bidan
Merujuk ke klinik laktasi
Gambar 3. Tindakan yang dilakukan tenaga kesehatan pada pasien dengan kesulitan menyusui. Lainnya 4
Frekuensi (n)
14 25
17
Memberikan saran/motivasi
35
Menyarankan/memberikan/meresepkan susu formula
9
21 23
54
25
Merujuk ke dokter sp anak
33 14
11
Merujuk ke konselor menyusui
13
12
Merujuk ke klinik laktasi
25 4 Bandung
6 Jakarta
Jogjakarta Semarang Tangerang
Gambar 4. Tindakan yang dilakukan tenaga kesehatan di setiap kota pada pasien dengan kesulitan menyusui. Tenaga kesehatan sudah memiliki kesadaran tentang pentingnya mempromosikan, melindungi dan mensosialisasikan menyusui kepada masyarakat (Gambar 5, 99,1%). Alasan yang diberikan para tenaga kesehatan juga menunjukkan bahwa kesadaran tenaga kesehatan tentang pentingnya ASI dan menyusui sudah tinggi.
24
Frekuensi (n)
91 29
28
Dokter Dokter Bidan sp anak sp obgyn
Tidak
77
Ya 8 Perawat Lainnya
Gambar 5. Kesadaran tenaga kesehatan akan pentingnya mempromosikan, melindungi dan mensosialisasikan menyusui.
Frekuensi (n)
Tidak Menjawab 14
4 3 13
2 0 18
Dokter sp Dokter sp anak obgyn
Mengurangi kematian bayi 7
21
9
33
37
Bidan
1 0 4 Perawat Lainnya
Kurang informasi atau informasi salah Kandungan ASI lengkap dan ada antibodi Ikatan bayi dan ibu ASI hak bayi ASI Murah ASI penting, terbaik dan bagus untuk bayi
Gambar 6. Alasan tenaga kesehatan menganggap penting mempromosikan, melindungi dan mensosialisasikan menyusui. Motivasi tenaga kesehatan untuk mempromosikan, melindungi dan mensosialisasikan menyusui umumnya adalah karena pentingnya manfaat ASI bagi ibu dan bayi (Gambar 6). Selain itu beberapa tenaga kesehatan menyatakan pentingnya mempromosikan menyusui untuk mengimbangi banyaknya informasi yang salah dan kurangnya informasi yang tepat bagi masyarakat. Sebagian tenaga kesehatan juga menganggap menyusui adalah kewajiban ibu dan hak bayi. Kesadaran untuk mempromosikan, melindungi dan mensosialisasikan menyusui perlu didukung oleh pemahaman ilmu laktasi yang cukup khususnya dalam melindungi dan membantu ibu menyusui karena dukungan tenaga kesehatan memiliki pengaruh signifikan pada durasi pemberian ASI4. Dari hasil wawancara diketahui bahwa pemahaman tenaga kesehatan mengenai beberapa hal dasar dalam menyusui sudah cukup, namun masih kurang pada hal-hal dasar lainnya (Gambar 7-9). Dilihat dari perbedaan kota, perbedaan profesi, lama masa kerja, 25
serta banyaknya jumlah pasien yang ditemui setiap hari, menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata pada pemahaman tenaga kesehatan mengenai menyusui. Pemahaman mengenai faktor-faktor yang berpengaruh dalam menyusui dan juga pada kondisi apa bayi perlu mendapat susu formula merupakan yang paling kurang dikuasai oleh tenaga kesehatan dilihat dari banyaknya tenaga kesehatan yang menjawab dengan salah. Sedangkan tanda-tanda akurat bayi menyusu dengan efektif sudah cukup dipahami oleh
Frekuensi (n)
sebagian besar tenaga kesehatan.
42 45 9 16
8 16
Dokter sp Dokter sp anak obgyn
45 Bidan
Tidak tahu 32 Perawat
Salah Lainnya
Benar
Frekuensi (n)
Gambar 7. Pemahaman tenaga kesehatan mengenai faktor-faktor yang berpengaruh dalam menyusui.
23
63
7 20
9 16
Dokter sp anak
Dokter sp obgyn
Bidan
17
60
Perawat
Tidak tahu 1
Salah
Lainnya
Benar
Gambar 8. Pemahaman tenaga kesehatan mengenai tanda akurat menentukan bayi menyusu dengan efektif.
26
Frekuensi (n)
Kondisi dimana bayi membutuhkan susu formula
49 39 18 16 11
3 60
17 4
Dokter sp anak Dokter sp obgyn Ibu berpisah dengan bayi
34 Bidan
4 1 Lainnya
10 Perawat
ASI kurang atau tidak keluar
Bayi sakit
Ibu sakit
Gambar 9. Pemahaman tenaga kesehatan mengenai kondisi dimana bayi membutuhkan susu formula. Alasan bayi membutuhkan susu formula yang disampaikan responden bervariasi antara yang tepat dan kurang tepat. Sebagian tenaga kesehatan masih menyebutkan penyakit/kondisi bayi yang bukan merupakan indikasi medis untuk diberi susu formula seperti berat badan lahir rendah (BBLR), berat badan lahir besar, diare, muntah, intoleransi laktosa, ikterik/jaundice, bibir sumbing, hipoglikemia dan hiperglikemia. Sedangkan kondisi ibu yang kurang tepat dianggap sebagai indikasi medis penghentian pemberian ASI antara lain TBC, hepatitis, typhoid, HIV, ibu pasca sectio, mastitis, “penyakit menular”, “penyakit paru-paru”, asma, ibu mengkonsumsi antibiotik, dan ibu kurang gizi. Terkait dengan hasil Focus Group Discussion (FGD), masih banyak tenaga medis yang tidak merujuk pasien-pasien yang mengalami kesulitan menyusui. Salah satu responden FGD dari Jakarta menyatakan bahwa salah satu faktor penting untuk mendukung sukses menyusui, adalah dengan menjalankan 7 (tujuh) Kontak Menyusui, dimana 2 (dua) kontak pertama seharusnya dilakukan pada periode kehamilan. Dalam konteks ini, seharusnya dokter kebidanan atau bidanlah yang menganjurkan pasien untuk menghubungi klinik laktasi atau tenaga kesehatan yang sudah mengikuti pelatihan manajemen laktasi agar mendapatkan informasi yang benar tentang ASI dan menyusui. Salah satu peserta FGD lain, juga dari Jakarta, menyebutkan adanya ketidakseimbangan antara jumlah konselor menyusui dengan jumlah pasien yang membutuhkan bantuan konseling masalah menyusui.
27
III.2.b. Pemahaman terhadap Kebijakan Terkait Menyusui Dari seluruh responden, hanya 100 orang yang menjawab sudah ada sosialisasi UU Nomor 36/2009 dan 115 orang yang menjawab sudah ada sosialisasi PP Nomor 33/2012. Sosialisasi kedua kebijakan nasional tampak masih kurang di semua kota dan semua profesi tenaga kesehatan (Gambar 10, 11) yaitu hanya berkisar antara 25,0 – 61,5%. Sementara itu, tenaga kesehatan yang paling banyak menjawab sudah mendapatkan sosialisasi adalah perawat dan dokter spesialis anak. Sosialisasi kepada bidan dan dokter spesialis kebidanan sebagai pendamping kehamilan dan persalinan masih sangat kurang. Selain itu, tidak seperti yang diduga dalam hipotesis, sosialisasi menyusui di DKI Jakarta tidak lebih banyak dibandingkan di daerah. Kota Semarang terlihat mendapatkan lebih banyak sosialisasi dibandingkan kota lainnya. Hal ini kemungkinan disebabkan sudah adanya Peraturan Gubernur Jawa Tengah Nomor 56 tahun 2011 tentang Kebijakan Program Peningkatan Pemberian ASI. Sosialisasi Pergub sejak 2011 dapat dianggap serupa oleh tenaga
Tenaga kesehatan
(%)
Kota
kesehatan dengan sosialisasi kebijakan nasional.
Tangerang Semarang Jogjakarta Jakarta Bandung Lainnya Perawat Bidan Dokter Sp Obgyn Dokter Sp Anak
50,0 59,0 25,8 47,9 38,1 37,5 48,7 34,8 41,4 51,7
Gambar 10. Tenaga kesehatan yang sudah mendapatkan sosialisasi UU no. 36/2009 tentang Kesehatan.
Tangerang
50,0
(%) Tenaga kesehatan
Kota
Semarang
61,5
Jogjakarta
48,4
Jakarta
47,9
Bandung Lainnya
38,1 25,0
Perawat
56,4
Bidan Dokter Sp Obgyn Dokter Sp Anak
46,7 37,9 51,7
Gambar 11. Tenaga kesehatan yang sudah mendapatkan sosialisasi PP no. 33/2012 tentang ASI.
28
Berdasarkan data menunjukkan bahwa tenaga kesehatan di kota Semarang paling banyak mengaku mendapatkan sosialisasi UU Nomor 36/2009 tentang kesehatan (59%) diikuti dengan Tangerang (50%) lalu Jakarta (47,9%), Bandung (38,1%) dan terakhir Jogjakarta (25,8%). Dokter spesialis anak adalah profesi tenaga kesehatan yang paling banyak mendapatkan sosialisasi UU Nomor 36/2009 ini sebesar (51,7%) yang diikuti oleh tenaga perawat sebanyak (48,7%) lalu dokter kandungan (SPOG) sebanyak (41,4%), tenaga kesehatan lainnya seperti dokter umum sebanyak (37,5%) dan terakhir bidan sebanyak (34,8%). Kota Semarang juga merupakan kota dengan responden yang paling banyak menyatakan mendapatkan sosialisasi PP Nomor 33/2012 tentang ASI (61,5%). Kota Tangerang berada di urutan kedua yang menunjukkan tenaga kesehatannya mendapatkan sosialisasi PP (50%) dan diikuti dengan Jogjakarta (48,4%) kemudian Jakarta (47,9%) dan terakhir adalah Bandung (38,1%). Perawat juga mendapatkan sosialisasi yang lebih banyak (56,4%) dibandingkan tenaga kesehatan lainya seperti dokter spesialis anak (51,7%), bidan (46,7%) kemudian dokter kandungan (SPOG) (37,9%) dan tenaga kesehatan lainnya seperti dokter umum (25%).
1-
3
Frekuensi (n)
5 1-
122
15
Bandung
1 Tidak tahu Salah
20 16
15
Jakarta
Jogjakarta
Semarang
Benar
Tangerang
Gambar 12. Pengetahuan tenaga kesehatan di setiap kota tentang isi UU no. 36/2009 – mendapatkan ASI merupakan hak bayi. Pada
pertanyaan
seputar pemahaman kebijakan,
data penelitian menunjukkan
pemahaman tenaga kesehatan di kota Jakarta tentang UU Nomor 36/2009 pasal 128 yang menyatakan bahwa ASI merupakan hak bayi adalah banyak dijawab benar (95,6%). Diikuti oleh Jogjakarta dan Bandung yang sama-sama (94,1%) menjawab benar. Kota Semarang responden yang menjawab benar (86,9%) dan diikuti Tangerang (72,7%) dimana ada 5 responden yang mengaku tidak tahu walaupun sudah mendapatkan sosialisasi (Gambar 12). Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa seluruh dokter kandungan (SPOG) menjawab dengan
29
benar, sebagian besar responden perawat yang benar menjawab ASI adalah merupakan hak bayi (89,4%). Sebagian besar bidan menjawab benar pertanyaan ini (84,3%) dan hanya 80% dokter sp anak yang menjawab dengan benar. Sebagian besar responden dari berbagai profesi tenaga kesehatan menjawab benar pertanyaan tentang UU Nomor 36/2009 terkait dukungan pengelola tempat kerja terhadap ibu menyusui (Gambar 13). Hal ini menunjukkan bahwa tenaga kesehatan memahami pentingnya
Frekuensi (n)
dukungan penyedia tempat kerja terhadap keberhasilan menyusui.
Tidak tahu 23
22
Salah 18
14
13
Bandung
Jakarta
Benar
Jogjakarta Semarang Tangerang
Gambar 13. Pengetahuan tenaga kesehatan di setiap kota tentang isi UU no. 36/2009 – dukungan pengelola tempat kerja.
Bahasa dalam kebijakan yang multi tafsir menjadikan pemahaman yang beragam di kalangan tenaga kesehatan. Hal ini ditunjukkan dengan besarnya kesalahan jawaban pada pertanyaan pengetahuan terkait UU Nomor 36/2009 terkait ada tidaknya sanksi bagi ibu yang tidak mau menyusui bayinya tanpa indikasi medis (Gambar 14, 15). Ini menunjukkan bahwa ada ketidakseragaman pengetahuan dan pemahaman tenaga kesehatan tentang kebijakan terkait menyusui di Indonesia.
30
Frekuensi (n)
18 15
Tidak tahu Salah
3
8
8
4 Dokter sp anak
Dokter sp obgyn
Bidan
Benar
17
15
Perawat
21 Lainnya
Frekuensi (n)
Gambar 14. Pengetahuan berbagai profesi tenaga kesehatan tentang isi UU no. 36/2009 – sanksi bagi ibu yang tidak mau menyusui tanpa indikasi medis.
15
10 6
7
8
Tidak tahu Salah Benar
8
8
Bandung
Jakarta
9
10
10
Jogjakarta Semarang Tangerang
Gambar 15. Pengetahuan tenaga kesehatan di setiap kota tentang isi UU no. 36/2009 – sanksi bagi ibu yang tidak mau menyusui tanpa indikasi medis. Sebagian besar tenaga kesehatan menjawab benar pertanyaan terkait kewajiban tenaga kesehatan di dalam PP Nomor 33/2012 baik dari sisi profesi maupun kota dimana mereka berada (Gambar 16, 17). Hal ini menjadi catatan penting dan temuan yang bermakna dari penelitian ini bahwa tenaga kesehatan menyadari bahwa mereka memiliki peranan penting dalam membantu ibu untuk menyusui namun, hal ini tidak diikuti dengan pengetahuan tenaga kesehatan terkait memberikan susu formula tanpa indikasi medis yang bisa terkena sanksi (Gambar 18). Hal tersebut menunjukkan bahwa pemahaman dan pengetahuan belum merata dan tidak mendalam terkait PP Nomor 33/2012 di beberapa profesi tenaga kesehatan dan di beberapa kota besar di pulau Jawa.
31
Frekuensi (n)
Tidak tahu Salah 15
Bandung
25
20
Jakarta
21
Benar
17
Jogjakarta Semarang Tangerang
Frekuensi (n)
Gambar 16. Pengetahuan tenaga kesehatan di setiap kota tentang isi PP no. 33/2012 – kewajiban tenaga kesehatan.
28
Tidak tahu
32
Salah
6 9
4 7
15
Dokter sp anak
Dokter sp obgyn
Bidan
11 Perawat
2Lainnya
Benar
Frekuensi (n)
Gambar 17. Pengetahuan berbagai profesi tenaga kesehatan tentang isi PP no. 33/2012 – sanksi bagi tenaga kesehatan yang memberikan susu formula tanpa indikasi medis.
Tidak tahu
19 17
15
9
12
Salah Benar
4
7
Bandung
Jakarta
11 Jogjakarta
7 Semarang
13 Tangerang
Gambar 18. Pengetahuan tenaga kesehatan di setiap kota tentang isi PP no. 33/2012 – sanksi bagi tenaga kesehatan yang memberikan susu formula tanpa indikasi medis.
32
Walaupun penelitian ini ruang lingkupnya terlalu kecil untuk mewakili seluruh tenaga kesehatan di Indonesia, namun temuan penelitian di 5 kota ini konsisten dalam hal pemahaman tentang peraturan menyusui di Indonesia. Hal tersebut menunjukkan bahwa temuan serupa kemungkinan dapat diperoleh apabila kota-kota lain diikutsertakan dalam penelitian ini. Hampir semua pihak yang terlibat dalam FGD di 5 kota menyatakan bahwa mereka sudah sadar tentang manfaat ASI dan menyusui. Tetapi dalam proses diskusi selama FGD di 5 kota tersebut menunjukkan bahwa mayoritas tenaga kesehatan tidak memahami isi dari UU Nomor 36/2009 dan PP Nomor 12/2012. Mayoritas tenaga kesehatan paham tentang kebijakankebijakan yang mendukung sukses menyusui (seperti IMD, rawat gabung, pelarangan sufor tanpa indikasi medis, pelarangan penggunaan dot, dan sebagainya), tetapi mereka tidak paham secara detil isi dan implikasi dari kedua perundang-undangan itu. Bahkan, salah satu peserta FGD dari Tangerang menganggap UU dan PP tersebut tidak ada manfaatnya. Selain itu, ada juga tenaga kesehatan menganggap UU dan PP memiliki bahasa yang sulit dipahami sehingga ia tidak yakin apakah kebijakan yang sudah dilakukan di RS sejalan dengan UU dan PP atau tidak. Pemahaman tenaga kesehatan juga diukur melalui pesan-pesan yang paling diingat dari kebijakan nasional yang sudah disosialisasikan. Dari 100 orang responden yang menyatakan sudah mendapatkan sosialisasi mengenai UU Nomor 36/2009, lebih dari 30% menjawab tidak ingat dan jumlah yang sama menjawab tidak tahu (Tabel 3). Sementara itu dari 115 orang yang menyatakan sudah mendapatkan sosialisasi mengenai PP Nomor 33/2012, lebih dari 23% menjawab tidak ingat, dan lebih dari 32% menjawab tidak tahu (Tabel 3). Hanya sedikit sekali tenaga kesehatan yang menjawab dengan tepat dan sebagian jawaban yang sama sekali tidak sesuai dengan isi UU maupun PP. Hal ini menunjukkan bahwa sosialisasi yang dilakukan belum efektif meningkatkan pemahaman tenaga kesehatan mengenai kebijakan nasional terkait menyusui. Tabel 3. Pesan-pesan yang paling diingat responden tentang kebijakan nasional yang sudah disosialisasikan. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Sudah mendapatkan sosialisasi UU Nomor 36/2009 ASI Eksklusif ASI sampai 2 tahun MPASI setelah 6 bulan Bayi wajib mendapat ASI ASI hak bayi Ibu wajib memberi ASI Mengenai IMD
% 3.67 0.92 0.92 0.92 11.93 1.83 2.75
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Sudah mendapatkan sosialisasi PP Nomor 33/2012 ASI Eksklusif ASI sampai 2 tahun MPASI setelah 6 bulan Bayi wajib mendapat ASI ASI hak bayi Ibu wajib memberi ASI Mengenai IMD
% 7.38 1.64 0.82 0.82 4.10 3.28 7.38 33
8.
Dukungan menyusui oleh pemerintah dan masyarakat
0.92
8.
9.
Sanksi bagi yang menghalangi proses menyusui
0.92
9.
10.
Larangan merokok
0.92
10.
11.
Larangan tenaga kesehatan mempromosikan formula
3.67
11.
12.
Pasal 200: Setiap orang yang menghalangi pemberian ASI didenda 100 juta atau pidana kurungan 1 tahun. Pasal 128: asi eks 6 bulan dan fasilitas menyusui Kesehatan adalah hak semua rakyat Kompetensi Perawat Teknik menyusui
1.83
12.
0.92
17. 18.
13. 14. 15. 16.
19. 20.
Sanksi bagi yang menghalangi proses menyusui Sanksi bagi ibu yang tidak memberi ASI Larangan tenaga kesehatan mempromosikan formula Sanksi bagi tenaga kesehatan yang menghalangi ibu menyusui Bila menyediakan susu formula dapat denda 10 juta dan kurungan 10 thn
0.82
13.
Larangan penggunaan formula
0.82
1.83
14.
Pengelolaan donor ASI
0.82
0.92 0.92
15. 16.
0.82 0.82
Pasal 22 dan 26 tentang ketenagakerjaan kesehatan
0.92
17.
Pasal tentang menyusui, menyusui penting bagi ibu dan bayi dan kewajiban bagi nakes utk melaksanakan Tidak ingat Tidak tahu
0.92
18.
Kewajiban memberi ASI Eksklusif IMD wajib jika kondisi ibu dan bayi stabil Penyediaan fasilitas bagi ibu bekerja untuk menyusui Pentingnya menyusui dan IMD bagi ibu dan bayi
Rawat gabung Sanksi bagi tenaga kesehatan yang memberikan formula pada bayi Sanksi bagi yang tidak melakukan/mempopulerkan pemberian ASI Eksklusif Tidak menggunakan empeng Susu formula tidak boleh direkomendasikan baik di RS atau tempat-tempat bencana Sosialisasi ASI untuk tenaga kesehatan Tidak ingat Tidak tahu Total
1.64 2.46
31.19 19. 31.19 20. 21.
22. 23.
24. 25. 26. Total
100
1.64 0.82 1.64 0.82
0.82 0.82
0.82
0.82 0.82
0.82 23.77 32.79 100
34
III.2.c. Metode Sosialisasi Metode sosialisasi UU Nomor 36/2009 dan PP Nomor 33/2012 yang paling banyak diterima oleh tenaga kesehatan adalah melalui surat edaran yang diberikan manajemen RS (Gambar 19, 20). Selain seminar, pelatihan dan surat edaran, metode yang pernah diterima antara lain pertemuan pembahasan (briefing), ceramah, informasi langsung (one on one), pertemuan rutin (apel pagi, bulanan), poster dan pamflet, dan rapat. Dalam FGD muncul pernyataan dari beberapa tenaga kesehatan yang menyebutkan bahwa sosialisasi banyak dibebankan kepada tenaga kesehatan yang sudah mengikuti pelatihan seperti pelatihan konselor menyusui. Cara ini tidak efektif untuk meningkatkan keseragaman pemahaman tenaga kesehatan terhadap dukungan bagi ibu menyusui dan pemahaman mengenai kebijakan nasional. Salah satu peserta FGD di Jakarta juga menyatakan bahwa belum ada pengelolaan atau koordinasi manajemen laktasi yang jelas dalam struktur RS. Akibatnya program sosialisasi kebijakan dan dukungan bagi ibu menyusui tidak menyeluruh.
(%)
64,5
33,3
26,8
22,0
17,9
18,7 7,5
Seminar
Pelatihan
Surat edaran
Metode lainnya
9,3
Dinas Manajemen Pihak luar Sumber lain kesehatan RS (LSM/NGO)
Gambar 19. Metode sosialisasi UU no. 36/2009 yang diterima tenaga kesehatan dan sumber/penyelenggara sosialisasi.
(%)
62,0
31,0
29,6
21,1
18,3
19,4 9,3
Seminar
Pelatihan
Surat edaran
Metode lainnya
9,3
Dinas Manajemen Pihak luar Sumber lain kesehatan RS (LSM/NGO)
Gambar 20. Metode sosialisasi PP no. 33/2012 yang diterima tenaga kesehatan dan sumber/penyelenggara sosialisasi.
35
Dalam FGD juga terungkap bahwa di semua kota dalam penelitian, UU Nomor 36/2009 dan PP Nomor 33/2012 tidak dilakukan secara komprehensif di hampir semua RS. Para tenaga kesehatan yang ikut serta dalam FGD mendapatkan informasi tentang kedua perundangundangan itu dengan cara yang berbeda-beda, antara lain: a.
Melalui sosialisasi oleh pihak RS.
b.
Melalui koleganya di RS (terutama dari mereka yang sudah mengikuti pelatihan konselor menyusui).
c.
Melalui asosiasi profesi (IBI, IDAI, dsb).
d.
Melalui usaha mencari tahu sendiri (browsing, internet, brosur, dll). Dari hasil penelitian, metode sosialisasi yang terbanyak dilakukan yaitu surat edaran oleh
manajemen RS terlihat tidak efektif meningkatkan pemahaman tenaga kesehatan terkait kebijakan nasional. Mekanisme atau bentuk sosialisasi yang disarankan oleh tenaga kesehatan antara lain berupa seminar, penyuluhan, pelatihan, workshop serta pertemuan pakar dengan tenaga kesehatan (Tabel 4).
Tabel 4. Mekanisme atau sosialisasi kebijakan nasional yang disarankan oleh tenaga kesehatan. Saran mekanisme/bentuk sosialisasi kebijakan nasional No. % 1. Seminar, penyuluhan, pelatihan, workshop, pertemuan pakar dengan tenaga kesehatan 27,8 2. Iklan layanan masyarakat di berbagai media, papan iklan, internet, film 14,2 3.
Konseling langsung untuk ibu dan keluarga, penyuluhan, KP-ibu
6.
11,5 Banner, brosur, spanduk, leaflet, poster, pamflet, stiker, buku, materi KIA, merchandise untuk tenaga kesehatan 11,1 Surat edaran, peraturan tertulis, SOP, sanksi 5,2 Sosialisasi rutin dan diskusi berantai 4,9
7.
Menyediakan ruang menyusui, kelas laktasi, counter di ruang tunggu
4,5
8.
Tidak tahu
4,2
9.
Tes/kuesioner berkala untuk melihat pemahaman tenaga kesehatan
4,2
10.
3,5
11.
Tingkatkan peran pemerintah daerah, IDI, bidan, konselor menyusui, tokoh masyarakat, organisasi-organisasi masyarakat seperti Persit dll Pajang 10 LMKM, kebijakan-kebijakan di ruang bayi dan tempat umum di RS
12.
Alat peraga
1,7
13.
Diselipkan dalam semua acara ilmiah
1,4
14.
Tidak menjawab
1,4
15.
Iklan berjalan (mobil keliling desa)
0,3
16.
Pelatihan komunikasi atau teknik penyampaian
0,3
4. 5.
2,8
36
17.
Masukkan dalam kurikulum SD-SMA
0,3
18.
Sosialisasikan ke perusahaan
0,3
19.
Batasi iklan susu formula
0,3
Total
100
Bentuk sosialisasi yang lebih interaktif dan intensif seperti seminar, penyuluhan dan sejenisnya dianggap lebih efektif oleh tenaga kesehatan untuk meningkatkan pemahaman mengenai kebijakan nasional. Metode sosialisasi yang selama ini banyak dilakukan manajemen RS yaitu menggunakan surat edaran dianggap kurang efektif dan terlihat dari hasil penelitian tidak menghasilkan pemahaman yang cukup tentang kebijakan nasional terkait menyusui.
37
IV. KESIMPULAN DAN SARAN Kesadaran tenaga kesehatan tentang pentingnya mempromosikan, melindungi dan mensosialisasikan menyusui sudah sangat tinggi. Namun, kesadaran ini belum diikuti dengan pemahaman yang cukup mengenai dukungan bagi ibu menyusui dan pemahaman terhadap kebijakan nasional terkait menyusui. Sosialisasi kebijakan nasional bagi tenaga kesehatan masih rendah dan tidak mendalam. Perlu dilakukan sosialisasi menyeluruh secara intensif untuk meningkatkan pemahaman tenaga kesehatan mengenai dukungan bagi ibu menyusui. Metode sosialisasi yang paling banyak disarankan oleh tenaga kesehatan adalah seminar, penyuluhan, pelatihan, workshop serta pertemuan pakar dengan tenaga kesehatan.
38
DAFTAR PUSTAKA 1
World Health Organization. Exclusive Breastfeeding for Six Months Best for Babies Everywhere. WHO Statement. 15 January, 2011.
2
Kramer, M., et al. Promotion of Breastfeeding Intervention Trial (Probit): A Randomized Trial In The Republic of Belarus. Journal of The American Medical Association, 285 (4): 413420, 2001.
3
Horta Bl, Bahl R, Martines Jc, Victora Cg. Evidence on The Longterm Effects of Breastfeeding: Systemic Review and Etaanalysis. WHO Publication (A Study Commissioned By WHO/CAH). 2007.
4
Global Strategy for Infant and Young Child Feeding. World Health Organization. 2002.
5
Keputusan Presiden RI No. 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on The Rights of The Child (Konvensi Tentang Hak-Hak Anak). 1990.
6
Siregar, M. A. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemberian ASI oleh Ibu Melahirkan, Bagian Gizi Kesehatan Masyarakat. Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara, USU Digital Library. 2004.
7
Wahyuni, S. Hubungan Penolong Persalinan, Dukungan Keluarga dan Tingkat Pendidikan Ibu dengan Pemberian Kolostrum dan ASI Eksklusif (Studi di 9 Desa IDT Kecamatan Bener Kabupaten Purworejo). Diss. Diponegoro University, 2001.
8
Suharsih. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Lama Waktu Inisiasi Air Susu Ibu (ASI) pada Ibu Pasca Bersalin di Kecamatan Banyuputih, Kabupaten Batang Tahun 2009. Diss. Diponegoro University, 2009.
9
Riset Kesehatan Dasar. Badan Litbang Kesehatan. Kementerian Kesehatan. 2010.
10
World Breastfeeding Trends Initiative. State of Breastfeeding in 51 Countries: IYCF Policies and Programs. 2012.
11
World Health Organization. Division of Child Health and Development. (WHO. CHD): Evidence for The Ten Steps to Successful Breastfeeding. Geneva, World Health Organization; 1998:31-39.
12
Wallace Lm, Kasmala-Anderson J: Training Needs Survey Of Midwives, Health Visitors And Voluntary-Sector Breastfeeding Support Staff In England. Matern Child Nutr 2007, 3(1):25-39.
13
Abba, AM., M. De Koninck, AM. Hamelin. A Qualitative Study of The Promotion of Exclusive Breastfeeding by Health Professionals in Niamey, Niger. International Breastfeeding Journal 2010, 5:8.
14
Krogstrand, KS. and K. Parr. Physicians Ask for More Problem-Solving Information to Promote and Support Breastfeeding. J Am Diet Assoc. 2005;105:1943-1947. 39
15
Ingram, J. Multiprofessional Training for Breastfeeding Management in Primary Care in The UK. International Breastfeeding Journal, 2006, 1:9.
16
Dhandapany, G., A. Bethou, A. Arunagirinathan and S. Ananthakrishnan. Antenatal Counseling on Breastfeeding – Is It Adequate? A Descriptive Study From Pondicherry, India. International Breastfeeding Journal 2008, 3:5.
17
Tappin, D., J. Britten, M. Broadfoot and R. McInnes. The Effect of Health Visitors on Breastfeeding in Glasgow. International Breastfeeding Journal. 2006, 1:11.
18
World Health Organization: International Code Of Marketing Of Breastmilk Substitutes: Wha 34.22, 1981. Geneva 1981.
19
Salasibew, M., A. Kiani, B. Faragher and P. Garner. Awareness and Reported Violations of The WHO International Code and Pakistan's National Breastfeeding Legislation; A Descriptive Cross-Sectional Survey International Breastfeeding Journal. 2008, 3:24.
20
Haider, R., S. Rasheed, TG. Sanghvi, N. Hassan, H. Pachon, S. Islam, C. S. Jalal. Breastfeeding in Infancy: Identifying The Program-Relevant Issues in Bangladesh. International Breastfeeding Journal. 2010, 5:21.
21
Olang, B., K. Farivar, A. Heidarzadeh, B. Strandvik, and A. Yngve. Breastfeeding in Iran: Prevalence, Duration and Current Recommendations. International Breastfeeding Journal. 2009, 4:8.
22
Tappin, D., J. Britten, M. Broadfoot and R. McInnes. The Effect of Health Visitors on Breastfeeding in Glasgow. International Breastfeeding Journal. 2006, 1:11.
23
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Rencana Aksi Akselerasi Pemberian ASI Eksklusif 2012-2014. Tahun 2012.
40