1
LAPORAN HASIL PENELITIAN KAJIAN YURIDIS PERJANJIAN BAKU ANTARA PDAM DENGAN PELANGGAN SEBAGAI KONSUMEN JASA PDAM
ITAS PANCA RS
UNIV
KTI SA
E
DI TINJAU DARI UNDANG UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN NO. 8 TAHUN 1999 DI KABUPATEN BREBES
TEGAL
Oleh : Dyah Irma Permanasari, S.H., M.H. NIPY. 14861051974
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PANCASAKTI TEGAL 2014
2
ABSTRAK
Penelitian dengan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif ini adalah bertujuan untuk mengkaji dan mempelajari kajian yuridis perjanjian baku antara PDAM dengan pelanggan sebagai konsumen jasa PDAM serta perlindungan hukum yang diberikan pelanggan sebagai konsumen jasa PDAM dengan dibuatnya perjanjian baku. Adapun yang akan diteliti adalah perjanjian baku PDAM tenteng proses permohonan menjadi pelanggan air minum yang akan dikaji secara yuridis berdasarkan KUH Perdata, UUPK no. 8 tahun 1999 dan berdasarkan prinsip prinsip hukum yang tertuang didalam doktrin – doktrin hukun tentang perjanjian baku. Dari analisis data hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa perjanjian baku PDAM tentang proses permohonan menjadi pelanggan air minum tersebut ternyata mengandung Klausul Eksonerasi dan berat sebelah serta perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen PDAM dengan dibuatnya perjanjian baku belum optimal walaupun dalam UUPK no. 8 tahun 1999 terdapat perlindungan hukum bagi konsumen dengan adanya perjanjian baku.
Kata kunci
: Perjanjian Baku, Konsumen
3
ABSTRACT
This study uses Judicial-Normative Approach in which it is aimed at analizing and observing the judicial analysis of standard agreement kajian yuridis between PDAM and the costumers as the service consumers of PDAM as well as the law protection given to the customers as the service consumers of PDAM by issuning standard agreement. What will be observed is the standard agreement of PDAM on the process of requesting as the costumers of drinking water that will be analized judicially based on the Civil Code ( KUH Perdata) , UUPK no. 8 1999 and based on the law principles that occur in law doctrines about standard agreement. From the data analysis can be concluded that the standard agreement of PDAM on the process of requesting as the costomers of drinking water, in fact, contains Exonaration Clause and mind in one side only as well as the law protection given to the costumers of PDAM by issuing standard agreement is not optimum yet eventhough in UUPK no. 8 1999 covers law protection to the consumers by the existing standard agreement.
Key Words
: Standard Agreement, Consumers
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pembangunan dan perkembangan perekonomian umumnya dan khususnya di bidang perindustrian dan perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai variasi barang dan atau jasa yang dapat dikonsumsi. Di samping itu, globalisasi dan perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan teknologi, telekomunikasi, dan informatika telah memperluas ruang gerak arus transaksi barang dan atau jasa yang ditawarkan bervariasi, baik produksi luar negeri maupun dalam negeri. Sebuah pepatah dalam dunia bisnis yang terkenal “Pembeli adalah Raja” atau dalam Bahasa Inggris dikenal dengan “The Customer is King” telah cukup menggambarkan betapa pentingnya posisi konsumen dalam percaturan bisnis. Bagaimanapun pelaku usaha membuat barang atau jasa yang beraneka ragam dengan berbagai kualitas, akan menjadi sia-sia tanpa konsumen yang membelinya
atau memakainya. Atas dasar logika itulah,
setiap pelaku usaha seharusnya dituntut untuk memberikan yang terbaik dalam produksinya, agar diminati oleh para konsumen. Semakin baik kualitas barang atau jasa, maka semakin cinta konsumen akan produk tersebut, dan hal ini berarti keuntungan bagi pelaku usaha.
2
Dalam perkembangannnya, konsumen seharusnya menjadi raja tidak jarang justru menjadi bulan-bulanan pelaku usaha. Konsumen dihadapkan pada perang iklan yang menyesatkan, perjanjian baku (standart contract) yang mau tidak mau atau suka tidak suka harus diikuti oleh konsumen, bahkan tidak jarang konsumen dihadapkan pada produk-produk baik barang atau jasa tanpa adanya kesempatan untuk memilih karena adanya monopoli atas barang atau jasa tersebut. Konsumen harus mengkonsumsinya barang atau jasa tersebut karena dia membutuhkan, mengingat barang tersebut merupakan kebutuhan pokok dan hanya satu pelaku usaha yang menyediakan barang tersebut. Beberapa kondisi melemahnya perlindungan konsumen justru apabila
berhadapan
dengan
produk-produk
barang
atau
jasa
yang
diselenggarakan oleh Perusahaan negara atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Pemerintah sebagai pengelola sebuah Badan Usaha banyak memonopoli kebutuhan-kebutuhan yang menguasai hajat hidup orang banyak. Banyak dalih untuk membenarkan monopoli tersebut, yaitu untuk menjaga stabilitas harga, dan melindungi kepentingan rakyat.
Namun dalam
kenyataannya seringkali rakyat sebagai konsumen justru tidak terlindungi kepentingannya. Perusahaan pemerintah menetapkan harga/tarif semaunya, menetapkan perjanjian baku yang ketat, prosedur akses barang/atau jasa yang berbelit, bahkan kualitas barang/jasa yang disediakan kurang baik. Di sisi lainnya, rakyat sebagai konsumen tidak bisa memilih dan harus memakai barang/jasa tersebut karena merupakan kebutuhan pokok. Hal ini sangat ironis
3
apabila dikaitkan dengan salah satu fungsi pemerintahan yang justu memberikan perlindungan bagi rakyat. Contoh sebuah layanan birokrasi yang monopoli adalah Perusahaan Listrik Negara (PLN), Telkom, Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) dan lain-lain. Adapun contoh yang nyata adalah dalam hal pelayanan PDAM, seperti air yang mengalir tidak kontinyu setiap harinya, hanya mengalir setiap seminggu tiga kali, tetapi tarif air terus naik. Mayoritas konsumen air yang bermasalah memilih diam, sehingga jarang diketahui bagaimanakah mutu jasa pelayanan PDAM. Apakah sudah memuaskan atau mengecewakan? Banyak orang berpendapat bahwa kurang tereksposnya permasalahan air karena kurang kritisnya mayoritas konsumen air1. Padahal lebih karena bersifat monopoli, sehingga konsumen tidak ada pilihan untuk tidak mengkomsumsi jasa PDAM. Jadi sejelek apapun pelayanan PDAM, tidak ada seorang konsumen pun yang berani memutus hubungan dengan PDAM. Contoh yang paling mendasar adalah aturan-aturan dalam transaksi antara PDAM dengan konsumen pada waktu permohonan pemasangan dan berlangganan PDAM, yang dituangkan dalam perjanjian baku. Konsumen tidak diberikan ruang gerak untuk mendapatkan haknya. Dibalik bukti pembayaran misalnya, disebutkan dengan jelas dan rinci satu persatu sangsi dan denda yang harus dibayar konsumen.
Jika lalai atau
terlambat membayar rekening air setiap bulannya. Namun tidak ada satu
1
Endro Wardoyo. Perlindungan bagi Konsumen PDAM. Makalah Tugas Kuliah Hukum Perlindungan Konsumen Magister Ilmu Hukum UII Yogyakarta. April 2000. Hal. 1-2
4
kalimat pun adanya hak konsumen di lembar itu2. Setiap perjanjian yang sah mengikat sebagaimana sebuah undang-undang. Perjanjian yang sah adalah perjanjian yang memenuhi syarat-syarat perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) Yaitu : a.
Kata sepakat dari mereka yang mengikatkan diri (toesteming).
b.
Adanya kecakapan untuk mengadakan perikatan (bekwaanmheid)
c.
Mengenai suatu obyek tertentu (een bepaal onderweap)
d.
Mengenai kausa yang diperbolehkan (geoorloofde oorzak). Pasal 1320 KUH Perdata mengandung dua syarat, yaitu syarat
subyektif dan syarat obyektif. “Dua syarat pertama berkaitan dengan syarat subyektif, sedangkan dua syarat terakhir berhubungan dengan syarat obyektif. Pelanggaran syarat subyektif menyebabkan perjanjian ini terancam untuk dapat dimintakan pembatalannya. Di sisi lain, bila syarat obyektif tidak terpenuhi perjanjian itu batal demi hukum” 3 Syarat “kata sepakat” dari mereka yang mengikat diri adalah menyangkut penawaran dan permintaan yang berisi “pernyataan kehendak”, baik dari yang menawarkan maupun lawannya untuk menyetujui diadakannya suatu perjanjian4. Pernyataan kehendak sepakat terjadi apabila telah ada “persesuaian kehendak antara kedua belah pihak. Tidak menjadi persoalan apakah pernyataan kehendak tersebut dilakukan secara eksplisit (tegas) atau impisit (diam-diam)”.
2
Indah Suksmaningsih. Dimensi Pelayanan Publik dalam Masalah Perlindungan Konsumen dalam Buku Percakapan tentang Pendidikan Konsumen dan Kurikulum Fakultas Huku. Editor oleh Yusuf Shofie TLKI USAID. Jakarta. 1998. Hal. 37 3 Soetojo Prawirohamidjojo. Hukum Perikatan. Bina Ilmu Surabaya. 1984. Hal. 23 4 Subekti. R. 1985. Hukum Perjanjian. Internusa. Jakarta. Hal. 20-21
5
Konsensus/kesepakatan para pihak merupakan essensi yang sangat vital untuk lahirnya perjanjian. Asas konsensualisme artinya “untuk melahirkan perjanjian cukup dengan dicapainya sepakat mengenai hal-hal pokok dari perjanjian tersebut dan perjanjian itu sudah dilahirkan saat atau detik tercapainya konsensus”5. Dan apabila diketemukan cacat (wilsgebrek) dalam mencapai konsensus, maka perjanjian yang telah disepakati oleh para pihak dapat dimintakan pembatalan oleh pihak yang merasa dirugikan Menurut Pasal 1321 KUH Perdata menyebut tiga hal untuk memintakan pembatalan suatu perjanjian yaitu karena ada : kekhilafan atau kesesatan (dwaling), penipuan (bedrog) dan paksaan (dwang) . Pernyataan kehendak para pihak dalam mencapai kesepakatan pada suatu perjanjian menjadi persoalan pokok dalam perjanjian, karena menimbulkan hak dan kewajiban pada masing-masing pihak, ada hal/obyek yang dikehendaki oleh para pihak, pihak yang lalai akan dikatakan telah melakukan ingkar janji (wanprestasi). Hal ini akan sangat penting untuk membedakan terjadinya suatu akibat yang tidak dikehendaki yang lazim ditimbulkan
oleh
perbuatan
melawan
hukum
(onrechtmatigedaad)
sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata. Essensi yang kedua dalam suatu perjanjian yaitu disyaratkan adanya kausa/sebab yang halal (geooloodfe oorzaak) : tidak bertentangan dengan Undang-undang, kesusilaan, kepatutan dan ketertiban umum.
5
R. Subekti. Op Cit. Hal. 15
6
Pada hakekatnya orang bebas mengadakan perjanjian apa saja selama didasari oleh itikad baik dan tidak bertentangan dengan ketentuan undangundang, kesusilaan, kepatutan dan ketertiban umum. Dengan demikian perjanjian itu mengikat dan masing-masing pihak harus bertanggung jawab terhadap apa yang telah dijanjikan dalam perjanjian itu. Hal ini sesuai dengan asas dalam perjanjian yaitu “asas kebebasan berkontrak” (contracts vrijheid). Dikemukakan Subekti bahwa “Asas Kebebasan Berkontrak” dengan sistem terbuka dari hukum perjanjian memberikan kebebasan yang seluasluasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja asalkan tidak melanggar ketertiban dan kesusilaan6. Pasal-pasal dari hukum perjanjian merupakan pelengkap, yang berarti bahwa pasal-pasal tersebut dapat disingkirkan apabila dikehendaki oleh para pihak yang akan membuat perjanjian. Berdasarkan asas kebebasan berkontrak, maka timbul dalam praktik bisnis yang dikenal dengan perjanjian baku (standart contract), yaitu suatu perjanjian yang seluruh klausul-klausulnya dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan. Seringkali dalam praktek perjanjian ini dituangkan dalam bentuk formulir yang disiapkan oleh pelaku usaha/produsen yang harus diisii dan ditandatangani oleh konsumen/pelanggan.
6
Subekti. Aneka Perjanjian. Alumni Bandung. 1993. Hal. 35
7
Perjanjian baku itu muncul atas kebebasan para pihak dalam membuat perjanjian, di sisi lainnya justru membatasi kebebasan para pihak untuk mencapai kesepakatan. Sehingga mengesankan kedudukan yang tidak seimbang di antara para pihak, di mana pelaku usaha dapat leluasa menentukan syarat-syarat yang harus dilakukan oleh konsumen, sementara konsumen tidak mempunyai ruang tawar terhadap syarat yang diminta oleh pelaku usaha. Konsumen tidak serta merta kehilangan kebebasan dalam membuat kontrak, karena dia masih memiliki kebebasan untuk tidak memakai produk tersebut atau untuk tidak mengikatkan diri dalam perjanjian baku tersebut. Tidak ada pihak manapun yang dapat memaksa seseorang untuk menyepakati suatu perjanjian. Adanya paksaan menunjukan bahwa tidak ada kesepakatan di antara para pihak. Oleh karena itulah bagi konsumen diberikan hak untuk memilih produk lain. Dari sinilah terdapat ruang kebebasan bagi konsumen yang menjadi dasar pembenar dari keberadaan perjanjian baku. Perjanjian baku tetap memiliki keabsahan dilihat dari hukum. Bahkan keberadaan perjanjian baku sudah tidak dapat dipisahkan dari dunia bisnis dewasa ini. Perjanjian baku muncul karena tuntutan dunia bisnis yang menginginkan setiap transaksi berlangsung efisien dan efektif, sehingga membutuhkan kecepatan dalam bertransaksi. Hal ini dikemukakan oleh Sutan Remy Sjahdeni bahwa:
8
Keabsahan berlakunya perjanjian baku tidak perlu lagi dipersoalkan oleh karena perjanjian baku eksistensinya sudah merupakan kenyataan yaitu, dengan dipakainya perjanjian baku secara meluas dalam dunia bisnis sejak lebih dari 80 tahun lamanya. Kenyataan ini terbentuk karena perjanjian bisnis tidak dapat berlangsung tanpa perjanjian baku. Perjanjian baku diperlukan oleh dan karena itu diterima masyarakat 7.
Ditinjau dari perlindungan konsumen, keberadaan perjanjian baku juga tidak bertentangan. Bahkan dalam Undang-Undang Perlindungan konsumen No. 8 Tahun 1999, meskipun digunakan istilah “Klausula Baku” pengertiannya tidak berbeda dengan perjanjian baku sebagaimana diuraikan di atas. Pasal I angka 10 Undang-Undang Perlindungan Konsumen No 8 Tahun 1999 menyatakan bahwa: “Klausula Baku” setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan /atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.
Meskipun pelaku usaha memiliki kebebasan untuk menuangkan syarat-syarat dalam perjanjian baku/klausula baku, namun secara substansial tidak diperkenankan memuat klausula yang merugikan kepentingan konsumen yang disebut dengan klausula eksonerasi. Mariam Darus Badrulzaman mengemukakan salah satu isi klausula eksonerasi adalah: 7
Sutan Remy Sjahdeni. Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang dengan Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bani di Indonesia. Intitut Bankir Indonesia. Jakarta. 1993. Hal. 71
9
Klausul yang dicantumkan di dalam suatu perjanjian dengan mana satu pihak menghindarkan diri untuk memenuhi kewajiban membayar ganti rugi seluruhnya atau terbatas, yang terjadi karena ingkar janji atau perbuatan melawan hukum8. Secara umum, klausula eksonerasi (Exoneratie Clausule) berisi syarat-syarat yang membatasi atau menghapus atau meringankan tanggung jawab salah satu pihak pelaku usaha. Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen No. 8 tahun 1999 tidak disinggung tentang klausula eksonerasi. Meskipun tidak menyebutnya, namun dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen No.8 tahun 1999 menyebutkan batasan-batasan dalam mencantumkan klausula baku yang terdapat dalam perjanjian baku yang pada intinya melarang klausul yang mengurangi atau menghapuskan atau meringankan tanggung jawab pelaku usaha yaitu sebagai berikut : Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/ atau perjanjian apabila: a. menyatakan pengalihan tanggungjawab pelaku usaha; b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen; c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen; d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelau usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan spihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
8
Mariam Darus Badrulzaman. Aneka Hukum Bisnis. Alumni Bandung. 1994. Hal. 47
10
e. mengatur perihal pembuktian atau hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen; f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jas atau mengurngi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa; g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya; h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha i. pembebanan hak tanggungan, hak gadai atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli konsumen secara angsuran.
Berkaitan dengan kausa yang halal, perlu dibicarakan tentang adanya perjanjian yang memuat klausula eksonerasi (Exoneratie Clausule) Yaitu : Klausula dalam perjanjian, dan karenanya disepakati atau paling tidak dianggap disepakati oleh para pihak – dalam mana ditetapkan adanya pembebasan atau pembatasan dari tanggung jawab tertentu – yang secara normal, menurut hukum – seharusnya menjadi tanggung jawabnya.9 Klausula eksonerasi selain menimbulkan persoalan tentang kausa yang halal karena bermuatan klausul yang tidak seimbang, hanya membebani salah satu pihak dan membebaskan yang lain – juga menimbulkan persoalan apakah klausula eksonerasi tidak menyebabkan cacatnya suatu perjanjian karena terjadi cacat dalam membuat kata sepakat. Klausula eksonerasi dilihat dari cacatnya suatu perjanjian dalam pengertian untuk mencapai sepakat, terjadi cacat karena ada anasir paksaanm (dwang) sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1321 KUH Perdata, sedang dari
9
J. Satrio. Hukum Perjanjian (Perjanjian pada umumnya). Bandung. Citra Aditya Bakti. 1992. Hal. 230
11
kausa yang diperkenankan, telah menyalahi asas tidak boleh bertentangan dengan kepatutan atau kesusilaan sebagaimana disyaratkan untuk sahnya suatu perjanjian unsur ke-3 (tiga) dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, dalam penelitian ini akan mencoba untuk mengkaji
secara yuridis
perjanjian baku antara PDAM
dengan pelanggan sebagai konsumen jasa PDAM perlindungan hukum diberikan kepada
dan sejauh mana
pelanggan sebagai konsumen jasa
PDAM dengan dibuatnya perjanjian baku. Perjanjian baku memiliki keabsahan apabila dipandang dari sudut hukum dan dalam dunia bisnis. Perjanjian baku muncul karena tuntutan dalam dunia bisnis berlangsung secara efektif dan efisien, sehingga membutuhkan kecepatan dalam bertransaksi. Ditinjau dari perlindungan konsumen keberadaan perjanjian baku tidak bertentangan bahkan dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen No. 8 tahun 1999, yang diatur dengan klausula baku. Klausula baku diperbolehkan, asal tidak memuat klausula eksonerasi yaitu klausula yang merugikan konsumen. Sehingga disini konsumen yang menggunakan perjanjian baku, diberikan hak untuk memilih produk lain. Disinilah masih terdapat ruang kebebasan bagi konsumen yang menjadi dasar pembenar dari keberadaan perjanjian baku. Apabila konsumen berhadapan dengan produk-produk barang atau jasa yang diselenggarakan oleh Perusahaan Negara atau badan Usaha milik Negara (BUMN). Pemerintah sebagai pengelola sebuah badan usaha banyak
12
memonopoli kebutuhan-kebutuhan yang menguasai hajat hidup orang banyak. Seperti halnya PDAM, konsumen tidak punya pilihan lain untuk kebutuhan air selain menjadi konsumen PDAM. Sehingga dalam perjanjian baku antara konsumen dengan PDAM mau tidak mau konsumen menandatangani dan setuju dengan isi perjanjian baku karena dalam hal ini, konsumen tidak punya pilihan lain, dan tidak diberikan ruang gerak untuk mendapatkan haknya. Dalam hal keberadaan perjanjian baku khusus untuk perusahaan-perusahaan negara atau BUMN sebagai usaha monopoli masih diragukan keabsahannya, karena kenyataannya banyak merugikan konsumen. Adapun kehadiran Undang-Undang Perlindungan Konsumen No. 8 tahun 1999, diharapkan dapat memberi secercah harapan bagi konsumen sehingga dapat terselenggaranya kehidupan bisnis secara jujur 10 dan adil sehingga adanya keseimbangan hak dan kewajiban antara pelaku usaha dalam hal ini PDAM, dengan konsumen.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian tersebut maka dapat diidentifikasikan beberapa permasalahan sebagai berikut :
10
Peter Mahmud Marzuki. Implikasi Undang-undang Perlindungan Konsumen bagi Masyarakat Bisnis dan Konsumen di Indonesia. Makalah dalam Seminar Undang-undang Perlindungan Konsumen UBAYA, 17 Juni 2000. Hal. 1
13
1.
Bagaimanakah kajian yuridis perjanjian baku antara PDAM dengan pelanggan sebagai konsumen Jasa PDAM ?
2.
Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap pelanggan sebagai konsumen jasa PDAM dengan dibuatnya perjanjian baku ?
C. Tujuan Penelitian 1.
Ingin mengkaji secara yuridis perjanjian baku antara PDAM dengan pelanggan sebagai konsumen jasa PDAM .
2.
Ingin mengetahui
perlindungan hukum terhadap pelanggan sebagai
konsumen jasa PDAM dengan dibuatnya perjanjian baku.
D. Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik dari segi teoritis dan praktis. 1.
Kegunaan Teoritis Yaitu sebagai sumbangan pemikiran dalam rangka pengembangan ilmu hukum
terutama
di
bidang
hukum
bisnis,
khususnya
hukum
perlindungan konsumen 2.
Kegunaan Praktis Yaitu hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi para praktisi di bidang konsumen, khususnya dalam mengkaji secara yuridis perjanjian baku antara PDAM dengan pelanggan sebagai konsumen jasa PDAM dan sejauh mana perlindungan hukum diberikan
14
terhadap pelanggan sebagai konsumen jasa PDAM dengan dibuatnya perjanjian baku.
E. Metodologi Penelitian 1. Metode Pendekatan Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif merujuk pada peraturan-peraturan tertulis atau bahan-bahan hukum lainnya. Penelitian normatif juga disebut penelitian hukum kepustakaan
11
atau studi dokumentasi, karena
didasarkan pada data sekunder. Penelitian hukum normatif juga disebut juga penelitian terhadap kaidah hukum atau hukumnya itu sendiri (peraturan perundang-undangan, yurisprudensi) dan asas-asas hukum.12 Sedangkan pendekatan yang
dilakukan dalam penelitian ini adalah
pendekatan yuridis. Pendekatan yuridis adalah pendekatan berdasarkan pada norma-norma hukum atau kaidah-kaidah hukum yang berlaku.
2. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif analistis, yaitu penelitian yang menggambarkan fakta-fakta yang diteliti yang kemudian menganalisa dan mengevaluasi persoalanpersoalan yang ada dalam fakta-fakta tersebut menggambarkan beberapa
11
Ronny Hanintijo Soemitro. Metodologi Penelitian Hukum. Ghalia Indonesia. Jakarta. 1990. Hal., 1 12 Bagir Manan. Penelitian di Bidang Hukum Nomor Perdana 1-1999. Puslitbangkum Universitas Padjajaran Bandung. 1999
15
persoalan yang tedapat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku khususnya mengenai kajian secara
yuridis
perjanjian baku
PDAM dengan pelanggan sebagai jasa konsumen PDAM berdasarkan KUH Perdata dan UUPK No. 8 Tahun 1999, yang selanjutnya akan dianalisis dengan menggunakan konsep-konsep yang terdapat dalam tinjauan pustaka.
3. Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan pada Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Brebes.
4. Sumber Data Penelitian ini bersumber dari data sekunder sebagai data utama dan data primer sebagai data pendukung. a. Data sekunder : 1)
Bahan Hukum Primer Adalah bahan hukum yang berupa perundang-undangan, dan peraturan pemerintah yang berkaitan dengan perlindungan konsumen dan perjanjian baku.
16
2)
Bahan Hukum Sekunder Adalah bahan hukum yang berupa buku-buku, literature, hasil penelitian majalah, makalah seminar dan lainnya yang terkait erat dengan obyek penelitian.
3)
Bahan Hukum Tertier a) Kamus Hukum b) Kamus Bahasa Indonesia c) Kamus bahasa Inggris Indonesia13
b. Data Primer Data primer bersumber dari keterangan para pegawai PDAM Kabupaten Brebes. Data primer ini bersifat sebagai pendukung data sekunder.
5. Metode Pengumpulan data Penelitian ini menggunakan data sekunder dan primer yang diperoleh melalui metode pengumpulan data dengan cara sebagai berikut :
13
. Soerjono Soekamto dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan Singkat. CV. Rajawali. Jakarta. 1985. Hal. 39
17
a. Studi kepustakaan Studi kepustakaan ini digunakan untuk mencari landasan teoritis berupa pendapat-pendapat atau tulisan-tulisan para ahli atau pihak-pihak lain yang berwenang dan juga untuk memperoleh informasi baik dalam bentuk-bentuk ketentuan formal maupun data melalui naskah resmi yang ada. b. Studi Lapangan Studi lapangan dilakukan dengan mengadakan wawancara bebas terpimpin yaitu dengan mempersiapkan terlebih dahulu pertanyaan-pertanyaan sebagai pedoman tetapi masih dimungkinkan adanya variasi-variasi pertanyaan yang disesuaikan dengan situasi ketika wawancara untuk memperoleh informasi langsung dari narasumber atau subyek-subyek penelitian dan juga arsip-arsip atau dokumen-dokumen di PDAM Kabupaten Brebes sebagai informasi pendukung data sekunder.
6. Metode Penyajian Data Penelitian ini menggunakan teks naratif yang tersusun secara sistematis.data yang diperoleh akan disajikan dalam bentuk uraian yang disusun secara sistematis.
18
7. Metode Analisis Data Data yang terkumpul akan dianalisis secara normatif-kualitatif. Analisis normatif karena penelitian ini bertitik tolak dari peraturan perundang-undangan yang ada sebagai hukum positif, sedangkan analisis kualitatif yaitu menggunakan tahapan berpikir sistematis guna menemukan jawaban atas permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini.
19
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. KONSUMEN. 1. Pengertian Konsumen. Secara kenyataan pada umumnya orang sudah memaklumi siapa yang dimaksud dengan konsumen, sekalipun dalam pengertian yang sepotong-potong, tidak utuh. Tetapi secara hukum yuridis formal, konsumen itu tidak ada. Orang harus menafsirkan dengan memanfaatkan instrumen-instrumen hukum dalam hukum positif kita dan atau dengan menggunakan instrumen non hukum, untuk mengetahui siapakah yang dimaksud dengan konsumen, kriterianya, hak-hak dan tahu kewajiban dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya 14 Salah satu instrumen hukum kita pun (hukum perdata) masih beraneka ragam“. Dapat dibayangkan kesulitan tambahan yang harus dihadapi orang dalam pemanfaatan instrumen hukum perdata ini, pada satu pihak hukum perdata manakah dari aneka warga hukum positif yang berlaku. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sebagai kitab hukum di pengadilan hanya “sebagai pedoman“ saja, sedang pada sisi lainnya kondisi kehidupan perekonomian bangsa sudah “mengglobal”. Norma-norma hukum perdata yang ada (termasuk perdata adat) praktis sudah “termakan zaman” dan diragukan kemampuannya untuk dapat mengakomodir kebutuhan pengaturan atau perlindungan yang dihadapi konsumen masa kini. 14
Naskah Akademik. Peraturan Perundang-undangan tentang Perlindungan Konsumen dalam hal Makanan dan Minuman. 1992. Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman. Jakarta. hal. 12
20
Undang-undang Dasar 1945 dan Tap MPR-RI Tahun 1999 tentang GBHN, telah dengan jelas menentukan kewajiban pemerintah untuk melindungi segenap bangsa (dalam berbagai kualitas mereka, termasuk sebagai konsumen), dan menjaga keseimbangan dalam perikehidupan bangsa
yang seyogyanya juga
termasuk keseimbangan dalam kehidupan perekonomian konsumen dalam hubungannya dengan pengusaha atau penyedia barang dan jasa kebutuhan konsumen. Perserikatan Bangsa-Bangsa atau PBB pun menaruh perhatian besar pada masalah perlindungan konsumen. Setelah melalui penelitian yang cukup panjang dan luas, meliputi sebagian besar negara-negara anggota PBB, dicetuskanlah Resolusi PBB No. 39/ 248 tentang Perlindungan Konsmen pada tanggal 9 April 1985. Di dalam Resolusi PBB ini disepakati berbagai pedoman tentang upaya perlindungan konsumen dan tugas-tugas pemerintah untuk menjalankannya dengan sejauh mungkin memasukannya dalam jaringan hukum nasional masingmasing.15 Pada hakekatnya manusia sebagai konsumen sudah mulai sejak lahir sampai dengan meninggal dunia, bahkan untuk kondisi tertentu anak yang masih dalam kandungan sudah menjadi konsumen, yaitu konsumen yang berkaitan dengan kesehatan, pertumbuhan dan kecerdasan anak, misalnya memakai makanan tambahan berupa susu baik susu bubuk, instan atau jenis susu yang lain
15
Ibid. hal. 13
21
yang dikonsumsi oleh ibu untuk kepentingan anak yang masih ada di dalam kandungan 16. Konsumen (sebagai alih Bahasa Inggris dan consumer), konsument dalam Bahasa Belanda secara harfiah berarti seseorang yang membeli barang atau menggunakan jasa atau seseorang atau sesuatu perusahaan yang membeli barang tertentu atau
menggunakan jasa tertentu, juga sesuatu atau seseorang yang
menggunakan sesuatu persediaan atau sejumlah barang .17 Konsumen tidak hanya terbatas terhadap suatu benda atau barang saja tetapi juga pada jasa. Contoh konsumen terhadap suatu benda yaitu perumahan, makanan. Sedangkan yang berkaitan dengan jasa antara lain kelistrikan, transportasi, pos, kesehatan, pendidikan . Dalam sistem hukum Indonesia pengertian konsumen sebagai definisi yuridis formal terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). UUPK menyatakan, tidak dijelaskan seperti diatas. Bahkan kata konsumen sama sekali tidak pernah termuat dalam peraturan perundang-undangan kita, kecuali sekedar disinggung dalam berbagai keterangan pejabat pemerintah atau pemuka masyarakat dalam peristiwa tertentu tanpa kejelasan konsumen manakah yang dimaksudkan. Keadaan bersamaan seperti di atas, terdapat pula dalam berbagai peraturan perundang-undangan kita.18 UUPK No. 8 Tahun 1999 menyebutkan bahwa konsumen adalah setiap orang pemakai
16
Suyadi. Dasar-dasar Hukum Perlindungan Konsumen. Fakultas Hukum Unsoed Purwokerto. Hal. 1 17 Az Nasution. Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar. Daya Widya. Jakarta. 1999. Hal. 69 18 Naskah Akademik. Op Cit. Hal. 14
22
barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga orang lain maupun makhluk hidup lain yang tidak untuk diperdagangkan. Sebelum muncul UUPK No. 8 tahun 1999 yang diberlakukan Pemerintah mulai 20 April 2000, praktis hanya sedikit pengertian normatif yang tegas tentang konsumen dalam hukum positif di Indonesia. Dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (Ketetapan MPR No. 11/MPR/1993) disebutkan kata konsumen dalam rangka membicarakan tentang sasaran bidang perdagangkan. Sama sekali tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang pengertian istilah ini dalam ketetapan tersebut. Salah satu ketentuan normatif tersebut terdapat Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat (diberlakukan 5 Maret 2000, satu tahun setelah diundangkan). Undang-undang ini memuat suatu definisi tentang konsumen, yaitu setiap pemakai dan/atau pengguna barang dan/atau jasa, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan orang lain. Batasan itu mirip dan garis besar maknanya diambil maknanya diambil alih oleh UUPK.19 Pengertian konsumen dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen terdapat dalam Pasal 1 butir 2 yang menentukan bahwa konsumen yaitu setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat baik bagi kepentingan sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan 20
19 20
Sidharta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. PT. Grasindo. Jakarta. hal.2 Suyadi. Op Cit. Hal. 2
23
Di dalam Penjelasan Resmi Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan istilah konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaatan akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk, sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya. Pengertian konsumen dalam Undang-undang ini adalah Konsumen akhir.21 Kalimat tidak untuk diperdagangkan dari rumusan pasal tersebut di atas menunjukkan
bahwa
konsumen
yang
dimaksud
dalam
Undang-undang
Perlindungan Konsumen No. 8 tahun 1999 adalah konsumen akhir yang artinya tujuan Pengguna barang dan/atau jasa bukan untuk dijual kembali, sehingga mempunyai tujuan yang non komersial, seperti untuk kepentingan pribadi atau rumah tangga. Sedangkan konsumen antara, yaitu konsumen yang menggunakan barang dan/atau jasa untuk kepentingan dijual kembali (komersial).22 Dalam hukum positif
kita juga terlihat
untuk pengertian konsumen
digunakan berbagai istilah-istilah.23 Di antaranya sebagai berikut: a. Undang-Undang Barang No. 10 Tahun 1961 menyebutkan tentang rakyat yang oleh Undang–undang itu ingin agar terjamin kesehatan dan keselamatannya. Dari UU Barang dan penjelasannya ,terlihat dua hal; 1) Rakyat yang ingin dijaga kesehatan (tubuhnya) dan keselamatan (jiwanya) dari barang dan/atau jasa yang mutunya kurang atau tidak baik, dan 2) Mengatur tentang mutu, susunan bahan dan pembungkusan barang dagangan. b. Undang-undang Kesehatan No 23 Tahun 1992
21
Ibid. Hal. 4 Ibid. Hal. 4 23 Az Nasution. Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar. Daya Widya. Jakarta. 1999. Hal. 4 22
24
Undang-Undang kesehatan ini tidak menggunakan istilah konsumen untuk pengguna barang dan/atau jasa kesehatan. Untuk maksud ini digunakan berbagai istilah. Antara lain istilah setiap orang , juga istilah masyarakat. Pengertian masyarakat sebagai dijelaskan dalam penjelasan Undang-Undang, rakyat sebagai dijelaskan dalam penjelasan Undang-Undang, termasuk perorangan, keluarga, kelompok masyarakat, dan masyarakat secara keseluruhan. c. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Betapapun kedudukan UU ini berdasarkan Pendirian Mahkamah Agung. Terdapat berbagai istilah pembeli, penyewa, penerima hibah, peminjam pakai, peminjam dan sebagainya.24 d. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang Ditemukan istilah tertanggung, penumpang.
2. Hak dan Kewajiban Konsumen Mantan Presiden Amerika Serikat, John F. Kennedy mengemukakan empat hak dasar konsumen sebagaimana dikutip oleh Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani yang meliputi: a. the right to safe products; b. the right to be informed about products; c. the right to defibite choices in selecting products; d. the right to be heard regarding consumer interests 25 Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa nomor 39/248 tahun 1985 tentang Perlindungan Konsumen (Guidelines for Consumer Protection) memuat kepentingan-kepentingan konsumen yang harus dilindungi, meliputi: a. perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan keamanannya; b. promosi dan perlindungn kepentingan ekonomi sosial konsumen; c. tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk memberikan kemampuan mereka melakukan pilihan yang tepat sesuai kehendak dan kebutuhan pribadi; d. pendidikan konsumen; 24
Surat Edaran Mahkamah Agung RI Tanggal 5 September 1963 No. 3/1963 Perihal Gagasan Burgerlijk Wetboek tidak sbsebagaiu Termuat dalam Dian Yustisia Pengadilan Tinggi Bandung. 1975. Hal. 9 25 Gunawan Widjaja. Ahmad Yani. Hukum tentang Perlindungan Konsumen. Gramedia. Pustaka Utama. Jakarta. 2000. Hal. 27
25
e. tersedianya upaya ganti rugi yang efektif; f. kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen atas organisasi lainnya yang relevan dan memberikan;
Hak-hak konsumen menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 diatur dalam Pasal 4 yang meliputi: a. Hak atas kenyamanan, keamanan dam keselamatan dalam mengkomsumsi barang dan/atau jasa; b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/jasa yang digunakan; e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; f. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen; g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; h. Hak untuk mendapat kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan lainnnya.
Dibandingkan dengan hak-hak konsumen yang dikemukakan oleh John F. Kennedy dan Resolusi PBB, maka Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) No. 8 tahun 1999 lebih banyak dan lebih rinci dalam memuat hak-hak konsumen. Oleh karena itu tidak berlebihan jika dikatakan bahwa UndangUndang Perlindungan Konsumen menjadi tonggak yang bersejarah dalam perlindungan konsumen di tanah air. Dalam Undang-undang Hak Asasi Manusi (UUHAM) Nomor 39 Tahun 1999, hak-hak konsumen secara umum tidak disebutkan secara tegas, tapi tersirat dalam UUHAM tersebut, Yaitu;
26
a. Hak untuk hidup (Pasal 9 UUHAM), dalam hal ini menyangkut hak untuk hidup bahagia sejahtera lahir-batin, hak untuk meningkatkan taraf hidup, dan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat; b. Hak mengembangkan diri (Pasal 11 sampai dengan Pasal 16 UUHAM), dalam hal ini menyangkut hak atas pemenuhan kebutuhan dasar, hak untuk meningkatkan kualitas hidup, hak untuk memperoleh informasi; c. Hak memperoleh keadilan (Pasal 17 sampai dengan Pasal 19 UUHAM), dalam hal ini menyangkut hak untuk mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan dalam perkara pidana, perdata, dan administrasi; d. Hak atas kesejahteraan (Pasal 36 sampai dengan Pasal 42 UUHAM), dalam hal ini menyangkut hak untuk mempunyai milik atas suatu benda yang tidak boleh dirampas sewenang-wenang dan melanggar hukum, hak untuk berkehidupan yang layak.26
Di samping hak-hak konsumen, juga diatur kewajiban konsumen dalam Pasal 5 UUPK No. 8 Tahun 1999, sebagai berikut; a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi kamanan dan keselamatan; b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati; d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut
B. PELAKU USAHA 1. Pengertian Pelaku Usaha Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik
26
Yusuf Shofie. Penyelesaian Sengketa Konsumen menurut UUPK. Teori dan Prasktek. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2003. Hal. 3-4
27
Indonesia,
baik
sendiri
maupun
bersama-sama
melalui
perjanjian
menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Adapun pihak lain yang selalu berkaitan dengan konsumen yaitu produsen atau pengusaha atau pelaku usaha. Produsen secara sempit mempunyai arti yaitu pada umumnya sebagai penghasil (yang menghasilkan barang-barang)27. Ada juga yang menggunakan istilah pengusaha yaitu seseorang yang melakukan atau menyuruh melakukan perusahaan.28 Produsen adalah pihak yang menghasilkan suatu produk yang mana unsur yang terangkum dalam suatu produk antara lain keistimewaan produk, pelayanan, jaminan,kemasan atau pun cap dagang.29
2. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha Dalam UUPK No. 8 Tahun 1999, selain diatur tentang hak dak kewajiban konsumen juga diatur tentang hak dan kewajiban pelaku usaha. Adapun hak-hak pelaku usaha yang terdapat dalam Pasal 6 UUPK No. 8 tahun 1999 adalah sebagai berikut: a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad baik; c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;
27
W.J.S. Poerwadarminta. 1997. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Gramedia. Jakarta.
Hal. 769 28
H.M.N. Purwasutjipto. Pengertian Pokok-pokok Hukum Dagang Indonesia. Pengertian Hukum Dagang Jambatan. Jakarta. hal. 42 29 W.J.S. Poerwadarminta. Op Cit. Hal. 1090
28
d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; e. Hak-Hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnnya.
Selain hak, juga diatur kewajiban pelaku usaha yang terdapat dalam Pasal 7 UUPK No. 8 Tahun 1999 yaitu: a. Bertikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; b. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan; c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku; e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dn/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan; f. Memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; g. Memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau pengganti anapabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimenfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
C. Perjanjian dan Azas Kebebasan Berkontrak Dalam lapangan hukum keperdataan, khususnya dalam hal subyek hukum mengikatkan diri dalam sebuah perjanjian, maka para pihak diberikan kebebasan dalam membuat perjanjian sekaligus menentukan apa prestasi yang diperjanjikan. Hal ini sejalan dengan pengertian perjanjian itu sendiri yang merupakan perbuatan hukum dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Selain itu dengan sifat buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang terbuka, maka membuka kemungkinan bagi para pihak
29
untuk membuat perjanjian-perjanjian di luar perjanjian-perjanjian baku yang terdapat dalam Buku III tersebut.30 Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menegaskan bahwa: 1. Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai UndangUndang bagi mereka yang membuatnya. 2. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh UndangUndang dinyatakan cukup untuk itu. 3. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Dalam ketentuan tersebut di atas, dianut asas kebebasan berkontrak (the principle of freedom of the parties.). Kebebasan berkontrak merupakan alasan yang ideal bagi keseimbangan bergaining power di antara pihak-pihak yang melakukan kontrak dapat diterima, dan tidak adanya perbuatan yang tidak adil yang dilakukan terhadap sebagian besar kepentingan ekonomi masyarakat.31 Lebih lanjut dikemukakan oleh Khalid bin Yusuff bahwa: “A decision is efficient if the are net gains to be denued by both parties in a transaction”. Dengan demikian maka keputusan pembentukan perjanjian/kontrak, baik menyangkut isi, bentuk, maupun hukumnya sangat tergantung pada keputusan kedua belah pihak. Adanya penolakan dari satu pihak, akan membuat perjanjian tersebut tidak terbentuk.32 Meskipun dalam pembuatan perjanjian, para pihak memiliki kebebasan, namun demikian tetap terdapat batasan-batasan yang harus diperhatikan. Artinya, implementasi asas kebebasan berkontrak mempunyai toleransi yang sah sepanjang
30
Subekti. 1993. Op Cit. Hal. 282 Endro Wardoyo. 2000. Op Cit. Hal. 14 32 Khalid bin Yusuf. Economic Analysis of Contract Law. Longman Singapore Publisher (Pte) LTd. Singapore. 1993. Hal. 15 31
30
tidak bertentangan dengan kesusilaan, kepatutan, itikad baik, undang-undang maupun ketertiban umum (public policy). Perjanjian yang dibuat atas kesepakatan para pihak akan kehilangan keabsahannnya, karena bertentangan dengan causa yang halal sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Asas kebebasan berkontrak juga mengandung makna keseimbangan kedudukan para pihak dalam perjanjian. Dengan demikian asas fairness dan kesamarataan hukum tetap harus dipenuhi. Dalam perjanjian tidak boleh terdapat dominasi satu pihak terhadap pihak lainnya. Kedua pihak sama-sama memperoleh keuntungan dari apa yang mereka perjanjikan.33
D. Perjanjian Baku Berdasarkan asas kebebasan berkontrak, maka dalam dunia bisnis dikenal adanya perjanjian baku. Perjanjian standar (baku),34 sebenarnya dikenal sejak zaman Yunani Kuno. Plato (423-347 SM), misalnya pernah memaparkan praktik penjualan makanan yang harganya ditentukan secara sepihak oleh si penjual, tanpa
memperhatikan
perbedaan
mutu
makanan
tersebut.
Dalam
perkembangannya, tentu saja penentuan secara sepihak oleh produsen/penyalur produk (penjual), tidak lagi sekedar masalah harga, tetapi mencakup syarat-syarat yang lebih detail.
33
Ibid. Hal. 15 Dalam bahasa asing dikenal dengan banyak nama, seperti Standard Voorwaarden, Standard Contract (Belanda) Allgemeine Geschaaft, Bedingen, Standaarvertrag, Standaaardkendetionen (Jerman) dan Adhesie, Lihat J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan yang lahir dari Undang-undang bagian I Citra ditya Bakti, Bandung. 1993. Hal. 44 34
31
Selain itu bidang-bidang yang diatur dengan perjanjian standar
pun makin
bertambah. Tentu saja fenomena demikian tidak selamanya berkonotasi negatif. Tujuan dibuatnya perjanjian standar untuk memberikan kemudahan (kepraktisan) bagi para pihak yang bersangkutan. Oleh karena itu, bertolak dari tujuan itu. Mariam Darus Badrulzaman mendefinisikan perjanjian standar sebagai perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir.35 Sutan Remy Sjahdeni mengartikan perjanjian standar sebagai perjanjian yang hampir seluruh klausul-klausulnya dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan. Adapun yang belum dibakukan hanya beberapa hal, misalnya yang menyangkut jenis, harga, jumlah, warna, tempat, waktu, dan beberapa hal yang spesifik dari obyek yang diperjanjikan. Sjahdeni menekankan yang dibakukan bukan formulir tersebut, melainkan klausul-klausulnya. 36 Pengertian perjanjian baku juga diatur dalam Pasal 18 UUPK No. 8 Tahun 1999, dengan istilah klausula baku. Klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.
35
Mariam Darus Badrulzaman. Menyatakan Perjanjian Inden demikian cacat dan tidak sah, karena informasi terhadap masyarakat tidak ada. Perjanjian diterima masyarakat semata-mata karena mereka memang sangat memerlukan rumah. Lihat Mariam Darus Badrulzaman. Aneka Hukum Bisnis. Alumni Bandung, 1994. Hal. 35 36 Sutan Remy Sjahdeni. 1993. Op Cit. Hal. 66
32
Adapun pengertian kontrak baku secara umum, adalah suatu kontrak tertulis yang dibuat hanya oleh salah satu pihak dalam kontrak tersebut, bahkan seringkali kontrak tersebut sudah tercetak dalam bentuk formulir-formulir tertentu oleh salah satu pihak, yang dalam hal ini ketika kontrak tersebut ditandatangani umumnya para pihak hanya mengisikan data-data informatif tertentu saja dengan sedikit atau tanpa perubahan dalam klausula-klausulannya, dimana pihak lain dalam kontrak tersebut tidak mempunyai kesempatan atau hanya sedikit kesempatan untuk menegoisasi atau mengubah klausula-klausula yang sudah dibuat oleh salah satu pihak tersebut, sehingga biasanya kontrak baku sangat berat sebelah. Pihak yang kepadanya disodorkan kontrak baku tersebut tidak mempunyai kesempatan untuk bernegoisasi dan berada hanya dalam posisi take it or leave it. Dengan demikian, oleh hukum diragukan apakah benar-benar ada elemen “kata sepakat” yang merupakan syarat sahnya kontrak dalam kontrak baku tersebut. Karena itu pula, untuk membatalkan suatu kontrak baku, tidaklah cukup hanya ditunjukkan bahwa kontrak tersebut adalah kontrak baku, sebab kontrak baku an sich adalah netral. Untuk dapat membatalkannya, yang perlu ditonjolkan adalah elemen apakah dengan kontrak baku tersebut telah terjadi penggerogotan terhadap keberadaan posisi tawar-menawar (bargaining position), sehingga ekesistensi unsur “kata sepakat” di antara para pihak sebenarnya tidak terpenuhi. Sehingga di sini eksistensi unsur kata sepakat di antara para pihak sebenarnya tidak terpenuhi. Karena itu, syarat-syarat sahnya dari suatu kontrak mesti ditinjau sehubungan dengan adanya kontrak baku ini, antara lain :
33
1. Syarat kausa yang halal terutama misalnya jika ada unsur penyalahgunaan keadaan (misrepresentation). 2. Syarat kausa yang halal terutama jika adanya unsur pengaruh tidak pantas (undue influence) 3. Syarat Kesepakatan kehendak, terutama jika ada keterpaksaan atau ketidak jelasan bagi salah satu pihak.37 Namun
demikian,
harus
juga
diakui
bahwa
meskipun
banyak
kelemahannya, kehadiran dari kontrak baku sangat diperlukan terutama dalam bisnis yang melibatkan kontrak dalam jumlah yang banyak (mass production of contract) yang sangat memerlukan suatu standarisasi terhadap kontrak tersebut. Bagi dunia bisnis, kehadiran dari kontrak baku tersebut sangat diperlukan untuk mempermudah operasi bisnis dan mengurangi ongkos-ongkos. Memang dari segi hukum, kontrak baku ini banyak masalah, tetapi tetap dibutuhkan. Benci tapi rindu. Karena itu pula, tidak mengherankan jika dalam praktek bisnis ditemukan begitu banyak dilakukan deal-deal melalui kontrak baku ini, yang hampir-hampir tidak lagi merupakan kontrak tertulis dalam arti yang sebenarnya, yakni kontrak dalam arti kesepakatan kehendak yang dituangkan dalam bentuk tulisan. Karena begitu banyaknya dipraktekkan kontrak baku ini dalam bisnis, tidak mengherankan jika banyak kalangan berpendapat bahwa sudah tidak benar lagi apa yang dikatakan oleh seorang ahli hukum Anglo Saxon kenamaan yaitu
37
Munir Fuady. Hukum dari sudut pandang Hukum Bisnis. Buku Kedua. PT. Citra Aditya Bakti. 2003. Hal. 76
34
sir Henry Maine dalam tahun 1861 bahwa secara psikologis ada gerakan saat itu dalam masyarakat, yakni gerakan dari status ke kontrak. Tetapi dalam dunia bisnis, mengingat begitu banyak praktek kontrak baku saat ini, maka dewasa ini yang sebenarnya terjadi adalah suatu gerakan sebaliknya, yakni gerakan dari kontrak ke status. Adapun yang merupakan contoh-contoh dari kontrak baku yang sering dilakukan dalam praktek adalah sebagai berikut: 1. Kontrak dibidang Perbankan 2. Kontrak sewa guna usaha 3. Kontrak jual beli rumah 4. Kontrak sewa-menyewa gedung perkantoran 5. Kontrak pembuatan credit card. 6. Kontrak Pengiriman Barang (darat, Laut dan udara). 8. Kontrak dengan PDAM, PLN dan Telkom. Kontrak baku memilki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan kontrak baku adalah sebagai berikut; bahwa kontrak baku tersebut lebih efisien dan efektif sehingga dapat membuat praktek bisnis menjadi lebih simpel serta dapat ditandatangani seketika oleh para pihak. Hal ini sangat menguntungkan terutama bagi kontrak-kontrak masal, yakni kontrak yang dibuat dalam volume besar (mass production of contract) Sedangkan kelemahan-kelemahan dari kontrak baku adalah kurangnya kesempatan bagi pihak lawan untuk bernegoisasi atau mengubah klausula-klausula dalam kontrak yang bersangkutan, sehingga kontrak baku tersebut sangat berpotensi untuk terjadi klausula yang berat sebelah.
35
Faktor-faktor penyebab sehingga sering kali kontrak baku menjadi sangat berat sebelah adalah sebagai berikut; a. Kurang adanya bahkan tidak adanya kesempatan bagi salah satu pihak untuk melakukan tawar-menawar, sehingga pihak yang kepadanya disodorkan kontrak tidak banyak kesempatan untuk mengetahui isi kontrak tersebut, apalagi ada kontrak yang ditulis dengan huruf-huruf yang sangat kecil. b. Karena penyusunan kontrak yang sepihak, maka pihak penyedia dokumen biasanya memiliki cukup banyak waktu untuk memikirkan mengenai klausula-klausula dalam dokumen tersebut, bahkan mungkin saja sudah berkonsultasi dengan para ahli. Sedangkan pihak yang kepadanya disodorkan dokumen tidak banyak kesempatan dan sering kali tidak familiar dengan klausula-klausula tersebut. c. Pihak yang kepadanya disodorkan kontrak baku menempati kedudukan yang sangat tertekan, sehingga hanya dapat bersikap take it or leave it.38
Dalam praktek klausula-klausula yang berat sebelah dalam kontrak baku tersebut biasanya mempunyai wujud sebagai berikut: a. Dicetak dengan huruf kecil. b. Bahasa yang tidak jelas artinya . c. Tulisan yang kurang jelas dan susah dibaca. d. Kalimat yang kompleks. e. Bahkan ada kontrak baku yang tidak berwujud seperti kontrak tersamar, misalnya tiket parkir, karcis biokop, tanda penerimaan pembuatan foto, dan lain-lain.
38
Ibid. Hal. 78
36
f. Jika kalimat ditempatkan pada tempat-tempat yang kemungkinan besar tidak dibacakan oleh salah satu pihak. Misalnya, jika klausul eksemsi ditulis di dalam kotak barang yang dibeli. Dengan adanya praktek kontrak baku ada beberapa prinsip hukum kontrak yang sangat potensial untuk dilanggar, yaitu prinsip-prinsip hukum yang tertuang di dalam doktrin-doktrin hukum tentang kontrak baku yaitu: 39 1. Doktrin Kontrak Baku an sich Dengan doktrin kontrak baku an Sich, maka suatu kontrak baku yang mengandung klausula yang berat sebelah tidak pantas untuk diperkenankan oleh hukum. Karena itu, terutama lewat perangkat perundang-undangan, hukum harus melarang pembuatan kontrak baku yang berat sebelah tersebut. Menurut doktrin kontrak baku An Sich, suatu kontrak yang dibuat oleh salah satu pihak dimana pihak lainnya tidak mempunyai atau terbatas kesempatan untuk bernegosisasi terhadap klausula-klausulanya, maka kontrak tersebut berat sebelah. 2. Doktrin Kesepakatan Kehendak dari Para Pihak Tidak adanya atau terbatasnya kesempatan bagi salah satu pihak untuk menegosiasikan klausla-klausula dalam kontrak baku tersebut, maka meskipun pihak tersebut akhirnya menandatangani kontraknya, masih disangsikan apakah isi kontrak tersebut memang benar seperti yang diinginkannya, sehingga disangsikan pula apakah benar apa kata sepakat daripadanya.
39
Ibid. Hal. 79
37
Sebagaimana diketahui, bahwa kata sepakat merupakan salah satu syarat sahnya kontrak seperti dalam Pasal 1320 KUH Perdata.
3. Doktrin Kontrak Tidak boleh Bertentangan dengan Kesusilaan Jika terdapat klausula yang sangat berat sebelah dalam suatu kontrak baku, apalagi jika pihak yang kepadanya disodorkan formulir kontrak tersebut berada dalam keadaan tidak berdaya, seperti kecilnya kesempatan memilih untuk membuat kontrak dengan pihak lainnya, maka klausula tersebut dapat dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip kesusilaan, prinsip mana merupakan salah satu syarat bagi sahnya suatu kontrak. KUH Perdata mengatur hal ini dalam Pasal 1337. Dalam kasus penting, yaitu kasus Saaldin (Hr 19 Mei 1967), Hoge Raad negeri Belanda memberikan kepada alasan “itikad baik” dan “kesusilaan”40
4. Doktrin Kontrak Tidak Boleh Bertentangan dengan Ketertiban Umum. Sama halnya dengan pertentangan dengan unsur kesusilaan maka jika suatu kontrak baku yang berat sebelah, baik dengan klausula eksemsi atau tidak, terlepas ada atau tidaknya unsur pengaruh tidak pantas, atau unsur penyalahgunaan keadaan, sangat mungkin kontrak yang demikian dianggap bertentangan dengan unsur ketertiban umum..
40
Ibid. Hal. 80
38
Menurut KUH Perdata Indonesia, suatu kontrak tidak boleh bertentangan dengan prinsip ketertiban umum. Jika ada klausula kontrak yang sangat berat sebelah, apalagi jika kontrak tersebut dipergunakan secara massal, seperti kontrak PDAM, kontrak perbankan dengan nasabah, kontrak kartu kredit, kontrak penyambungan telepon, kontrak pengangkutan, dan lain-lain, maka klausula atau kontrak yang sangat berat sebelah tersebut sudah dapat dianggap bertentangan dengan ketertiban umum (public policy).
5. Doktrin Ketidakadilan (Unsconscionability) Doktrin ketidakadilan (Unsconscionbility) mengajarkan bahwa suatu kontrak atau klausula dari suatu kontrak haruslah dinyatakan batal jika klausula tersebut sangat tidak adil bagi salah satu pihak, sehingga apabila dibiarkan, akan sangat menyentuh rasa keadilan atau suara hati dari masyarakat. Kontrak yang berat sebelah (baik dalam bentuk baku ataupun tidak) akan sangat merugikan salah satu pihak, dan sangat menyentuh rasa keadilan masyarakat.41
5. Doktrin Pengaruh Tidak Pantas (Undue Influence) Yang dimaksud dengan doktrin pengaruh tidak pantas adalah suatu doktrin yang mengajarkan bahwa kesesuaian kehendak yang disebabkan adanya usaha oleh salah satu pihak, karena kedudukan khususnya (seperti kedudukannya yang lebih dominan ada hubungan yang rahasia atau hubungan fiduciary)
41
Ibid. Hal. 81
39
dengan pihak lainnya dalam kontrak tersebut, di mana pihak yang mempunyai kedudukan khusus tersebut telah menggunakan cara-cara persuasif untuk mengambil keuntungan yang tidak fair dari pihak lainnya tersebut.kontrak baku dapat saja berisikan hal-hal yang merupakan pengaruh tidak pantas. 6. Doktrin Kontrak Sesuai dengan Itikad Baik. Ketentuan hukum menyebutkan bahwa kontrak, seperti juga pembuatan hukum lainnya, haruslah dibuat dengan itikad baik. Jika suatu kontrak baku yang berat sebelah, baik dengan klausula eksemsi atau tidak, terlepas ada atau tidaknya unsur pengaruh tidak pantas, atau unsur penyalahgunaan keadaan, sangat mungkin kontrak yang demikian dianggap dibuat tidak dengan itikad baik. Agar suatu kontrak sah, maka hukum mempersyaratakan agar kontrak tersebut dibuat dengan itikad baik. Dalam KUH Perdata Indonesia, ketentuan seperti ini kita dapati dalam Pasal 1338 ayat ke-3. Kontrak baku yang sengaja didesain untuk memberatkan salah satu pihak potensial untuk melanggar prinsip itikad baik akan merupakan kontrak yang tidak mengandung kausa yang legal, yang dalam hal ini dilarang oleh Pasal 1320 unsur kesatu KUH Perdata Indonesia.42 7. Doktrin Kausa yang Halal Di samping harus beritikad baik, ketentuan hukum menyebutkan bahwa kontrak, seperti juga perbuatan hukum lainnya, haruslah dibuat dengan kausa yang halal. Jika suatu kontrak baku yang berat sebelah, terutama yang dibuat denagn klausula eksemsi, atau dengan unsur pengaruh tidak pantas, sangat
42
Ibid. Hal. 83
40
mungkin kontrak yang demikian dianggap dibuat tidak dengan itikad baik sehingga dianggap dibuat tidak dengan kausa yang legal. 8. Prinsip Kontrak Sesuai dengan Asas Kepatutan Keterikatan seseorang kepada suatu kontrak, tidak hanya kepada kata-kata dalam kontrak tersebut, tetapi para pihak terikat juga kepada prinsip yang patut
terhadap
kontrak
yang
bersangkutan.
KUHPerdata
Indonesia
menegaskan prinsip ini dalam Pasal 1339. Karena itu suatu kontrak baku yang sangat berat sebelah potensial juga dianggap bertentangan denagn asas kepatutan tersebut.43 9. Doktrin Perlindungan Konsumen (Consumer Protection) Suatu kontrak baku yang berat sebelah, khususnya yang menyangkut dengan orang banyak, seperti kontrak pemberian jasa perbankan, pemberian jasa tertentu lainnya, dapat juga didekati dengan menggunakan kaidah-kaidah hukum tentang perlindungan konsumen, yang di Indonesia diatur oleh Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999. Sehingga dalam hal ini diharapkan bahwa pihak yang keadaanya disodorkan kontrak baku yang berat sebelah, yang juga merupakan pihak konsumen, akan terlindungi kepentingannya oleh kaidah-kaidah hukum tentang perlindungan konsumen.
43
. Ibid. Hal. 82
41
10. Doktrin Larangan terhadap Ketidakadilan Substantif (Substantive Unfairness) Sering pula dikatakan bahwa kontrak baku yang isinya sangat berat sebelah merupakan suatu kontrak yang tidak adil secara substanitf (substantive unfairness) . karena itu, kontrak seperti ini menjadi sangat tidak layak.
11. Doktrin Larangan terhadap Penipuan Konstruktif (Constructive Froud) Adakalanya cara-cara yang dipakai dalam penandatangan suatu kontrak demikian rupa sehingga hal tersebut setara dengan suatu penipuan, meskipun bukan penipuan dalam arti yang sebenar-benarnya. Karena itu, tindakan seperti ini disebut dengan “penipuan konstruktif” (constructive fraud). Ini merupakan ketidakwajaran dalam penandatangan suatu kontrak dalam tingkatan
yang
paling
jelek,
yakni
kontrak
ditandatangani
dengan
kecenderungan salah satu pihak menipu pihak lainnya, meskipun belum sampai berarti sudah melakukan penipuan, tetapi sudah “setara” dengan penipuan, atau melanggar atau menyalahgunakan kepercayaan yang diberikan oleh pihak lainnya, yang dapat melanggar ketertiban umum. Misalnya, praktek pembuatan dan penandatangan kontrak secara tidak bermoral, melampaui batas, licik, mengambil manfaat dari posisi pihak lain yang tidak menguntungkan, tidak membuka fakta material, atau dengan cara-cara tidak layak lainnya yang tidak disadari oleh pihak lainnya.44
44
. Ibid. Hal. 84
42
Selain dari beberapa doktrin hukum kontrak yang potensial untuk melanggar dengan pemberlakukan kontrak baku ini seperti tersebut di atas maka ada juga beberapa prinsip hukum kontrak yang sangat mendukung eksistensi suatu hukum kontrak baku, yaitu prinsip-prinsip hukum sebagai berikut : 1. Prinsip Kesepakatan Kehendak dari Para Pihak Meskipun dalam suatu kontrak baku disangsikan adanya kesepakatan kehendak yang benar-benar seperti diinginkan oleh para pihak, tetapi kedua belah pihak akhirnya juga menandatangani kontrak tersebut. Dengan penandatanganan tersebut, maka dapat diasumsikan bahwa kedua belah pihak telah menyetujui isi kontrak tersebut, sehingga dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kata sepakat sudah terjadi 2. Prinsip Asumsi risiko dari Para Pihak Dalam suatu kontrak, setiap pihak tidak dilarang untuk melakukan asumsi risiko. Artinya bahwa jika ada risiko tertentu yang mungkin terbit dari suatu kontrak, tetapi salah satu pihak bersedia menanggung risiko tersebut sebagai hasil dari tawar menawar, maka jika memang kemudian risiko tersebut benarbenar terjadi, pihak yang mengasumsi risiko tersebutlah yang harus menanggung risikonya. Dalam hubungan dengan kontrak baki, maka dengan menandatangani kontrak yang bersangkutan, berarti segala risiko apa pun bentuknya akan ditanggung oleh pihak yang menandatangani sesuai isi dari kontrak tersebut.
43
3. Prinsip Kewajiban membaca (Duty to Read) Sebenarnya, dalam ilmu hukum kontrak diajarkan bahwa ada kewajiban membaca (duty to read) bagi setiap pihak yang akan menandatangani kontrak. Dengan demikian, jika dia telah menandatangani kontrak yang bersangkutan, hukum mengasumsikan bahwa dia telah membacanya dan menyetujui apa yang telah dibacanya. 4. Prinsip Kontrak Mengikuti Kebiasaan Memang sudah menjadi kebiasaan sehari-hari bahwa banyak kontrak dibuat secara baku. Karena kontrak baku tersebut menjadi terikat, antara lain juga karena keterikatan suatu kontrak tidak hanya terhadap kata-kata yang ada dalam kontrak tersebut, tetapi juga terhadap hal-hal yang bersifat kebiasaan. Seperti dalam pasal 1339 KUH Perdata Indonesia. Kontrak baku merupakan suatu kebiasaan sehari-hari dalam lalu lintas perdagangan dan sudah merupakan suatu kebutuhan masyarakat, sehingga eksistensinya mestinya tidak perlu dipersoalkan lagi.45
1. Klausula Eksonerasi dalam Perjanjian Baku Dari segi aplikasi kontrak baku, beberapa masalah yuridis sering terjadi, yaitu masalah-masalah yuridis sebagai berikut :
45
. Munir Fuady. Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis) Buku Pertama. Penerbit PT. Citra Aditya Bakti Bandung. Hal. 49
44
a. Sampai batas-batas tertentu, faktor keadilan menghendaki penafsiran kontrak yang bertentangan dengan isi dari kontrak baku tersebut b. Isi klausula baku, yang dalam hal ini merupakan klausula konveksi (sudah jadi) sering bertentangan dengan isi lainnya dari kontrak yang merupakan hasil negoisasi c. Isi klausula baku, yang sebenarnya merupakan suatu corpus alienum (bagian yang asing) terhadap kontrak tersebut secara keseluruhan, sehingga klausula baku tersebut sering tidak berhubungan dengan isi kontrak secara keseluruhan Di dalam klausula baku terdapat klausula eksonerasi, yang artinya adalah klausula yang merugikan konsumen. Selain klausula eksonerasi tersebut, juga terdapat klausula-klausula lain yang biasanya terdapat dalam kontrak yang sangat potensial merugikan konsumen sehingga perlu diwaspadai yaitu; a. Klausula yang menyatakan tidak melakukan pemberian garansi purnajual atas barang yang dijual. Sebagaimana diketahui bahwa ada kewajiban hukum tertentu bagi penjual atas barang yang dijualnya itu, sehingga hal tersebut akan menjafi fair bagi pihak pembeli. Misalnya, kewajiban menjamin tidak ada cacat yang tersembunyi atau kewajiban memberikan garansi warrantie. Denan demikian jika ada klausula dalam kontrak baku yang membebaskan pihak penjual (terutama penjual barang baru) dari kewajibannya untuk memberikan garansi purna jual, maka klausula tersebut tidak dapat di benarkan. b. Klausula yang membatasi tanggung jawab jika terjadi wanprestasi terhadap garansi purna jual atas barang yang dijual.
45
Sama tidak layaknya dengan klausula yang meniadakan garansi purnajual adalah klausula yang membatasi tanggung jawab jika terjadi wanprestasi terhadap garansi purnajual, terutama jika pembatasan tanggung jawab tersebut tidak layak dilakukan. Jadi, pembatasan yang masih layak tentu boleh-boleh saja dilakukan, misalnya pembatasan garansi purnajual hanya untuk suatu waktu tertentu yang layak dalam arti tidak terlalu pendek masa garansinya. Dalam praktek, untuk bahan-bahan yang bisa bertahan lama, maka pembatasan garansi purnajual untuk jangka waktu 1 (satu) tahun masih dianggap wajar dan biasa dilakukan.46 c. Klausula yang memaksakan proses beracara yang tidak layak. Proses beracara yang layak merupakan keharusan dalam setiap segmen hukum, tidak terkecuali hukum kontrak, karena hanya dengan suatu proses beracara yang layaklah suatu keadilan dapat diharapkan akan didapati oleh kedua belah pihak. Dengan demikian, setiap usaha untuk menghilangkan atau menghalang-halangi proses beracara yang tidak layak akan dilarang oleh hukum, karena itu akan bertentangan dengan prinsip beracara secara fair (due process of law). Dalam suatu kontrak baku, sering juga terhadap klausula yang bertujuan menghalang – halangi terwujudnya suatu proses beracara yang fair. Misalnya klausula yang membenarkan salah satu pihak yang mengeksekusi sendiri barang jaminan hutang atau memprosesnya ke pengadilan tanpa sama sekali pemberitahuan atau tanpa kesempatan pembelaan bagi pihak lain.
46
. Ibid. Hal. 50
46
d. Klausula yang menghilangkan tangkisan hukum terhadap pihak penerima pengalihan hak. Jika terjadi pengalihan hak tagih dari kreditur kepada pihak ketiga, maka pihak yang menerima hak tagih tersebut menggantikan posisi kreditur semula. The assignee stands in the shoes of the assignor. Karena itu, bagi pihak debitur, hak apapun yang dimilikinya terhadap pihak kreditur, berlaku juga baginya terhadap pihak yang menerima pengalihan hak. Berdasarkan prinsip hukum tersebut, maka tidak dapat dibenarkan jika klausula dalam kontrak baku yang hanya membenarkan debitur untuk mempertahankan haknya hanya terhadap pihak kreditur, dan tidak dapat mempertahankan haknya terhadap penerima pengalihan hak. e. Klausula Penjamin Silang Adalah hal yang normal manakala penjual suatu barang menjadikan barang tersebut sebagai jaminan hutang (misalnya melalui sistem reservasi kepemilikan, sehingga jika barang tersebut tidak terbayar atau tidak lunas terbayar pada saat yang dijanjikan, maka barang tersebut diambilnya (reposes) kembali. Yang tidak wajar adalah dalam hal jual beli tersebut. Misalnya, ketentuan dalam kontrak baku yang menyatakan bahwa yang menjadi jaminan hutang adalah barang – barang yang dibeli dalam jangka waktu 1 (satu) tahun, padahal pembelian dilakukan secara terus menerus hampir tiap bulan oleh pihak pembeli, sehingga terdapat beberapa jaminan hutang (beberapa barang) untuk pembelian 1 (satu) barang.
47
f. Pengalihan upah/gaji debitur kepada kreditur.47 Adalah juga dianggap tidak layak sehingga perlu dilarang oleh hukum manakala terdapat ketentuan dalam suatu proyek kontrak baru terdapat ketentuan bahwa yang menjadi jaminan terhadap pembayaran hutang dari pihak adalah keseluruhan atau sebagian dari gaji atau upah yang akan diterima oleh pihak debitur. Meskipun hal yang demikian kadang – kadang dilakukan juga dalam praktek, hal yang demikian akan sangat memberatkan pihak debitur, dengan asumsi bahwa seseorang tidak dapat hidup tanpa menerima upah atau gaji, terutama gaji/upah merupakan satu – satunya penghasilan tetap dari debitur tersebut. Yang merupakan sumber malapetaka dari suatu kontrak baku adalah terdapatnya beberapa klausula dalam kontrak tersebut, klausula memang sangat memberatkan salah satu pihak. Klausula berat sebelah ini dalam Bahasa Belanda disebut dengan Onredelijk bezwarend atau dalam bahasa Inggris disebut dengan unreasonably onerous. Salah satu klausula berat sebelah tersebut adalah apa yang disebut dengan “klausula aksemsi” (Exemption Clause)
yang dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah exoneratie
clausule. Yang dimaksud dengan klausula eksemsi adalah suatu klausula dalam kontrak yang membebaskan atau membatasi tanggung jawab dari salah satu pihak jika terjadi wanprestasi padahal menurut hukum, tanggung jawab tersebut mestinya dibebankan kepadanya.
47
. Ibid. Hal. 51
48
Secara yuridis teknis, syarat eksemsi dalam suatu kontrak biasa dilakukan melalui 3 (tiga) metode sebagai berikut : 1. Metode pengurangan atau bahkan penghapusan terhadap kewajiban-kewajiban hukum yang biasanya dibebankan kepada salah satu pihak. Misalnya, dilakukan melalui upaya perluasan pengertian force majeure (keadaan darurat) 2. Metode pengurangan atau bahkan penghapusan terhadap akibat hukum karena pelaksanaan kewajiban yang tidak benar. Misalnya pengurangan atau penghapusan ganti kerugian jika terjadi wanprestasi dari salah satu pihak dalam kontrak.48 3. Metode menciptakan kewajiban-kewajiban tertentu kepada salah satu pihak dalam kontrak. Misalnya, tanggung jawab salah satu pihak, tetapi dibebankan kepada pihak lain dalam hal terjadi kerugian kepada pihak yang berada di luar kontrak.
E. Perlindungan Hukum bagi Konsumen Perlindungan Hukum bagi konsumen diatur juga dalam UUPK No. 8 tahun 1999. Adapun pengertian perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Perlindungan
konsumen
diselenggarakan
sebagai
usaha
bersama
berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam pembangunan nasional diatur dalam Pasal 2 UUPK No. 8 Tahun 1999 yaitu:
48
. Ibid. Hal. 51
49
1. Asas Manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala paya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesarbesarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan. 2. Asas Keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil. 3. Asas Keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spritual. 4. Asas Keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan atau jasa yang dikomsumsi atau digunakan. 5. Asas Kepastian Hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperolah keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
Adapun tujuan dari Perlindungan Konsumen diatur dalam Pasal 3 UUPK No. 8 Tahun 1999 adalah sebagai berikut; a. meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri; b. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa; c. meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen; d. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi; e. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha; f. meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen..
50
Dalam UUPK, Pasal 31 sampai Pasal 43 diatur tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), yang berfungsi memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam upaya mengembangkan perlindungan konsumen Indonesia.49 Adapun perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen dengan adanya perjanjian baku dalan Undang-Undang Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999 yaitu terdapat dalam Pasal 18 ayat (1) UUPK No. 8 tahun 1999 tentang larangan pencatuman klausula yang mengurangi atau menghapuskan tau meringankan tanggung jawab pelaku usaha. Kemudian dalam Pasal 52 UUPK No. 8 Tahun 1999 menyebutkan tugas dan wewenang Badan Penyelesaian Sengketa diantaranya adalah melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku. Di dalam Pasal 62 UUPK N0. 8 tahun 1999 menyebutkan pelaku usaha yang melanggar ketentuan pasal 18 dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2. 000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
1. Pihak-pihak dalam Perlindungan Konsumen Mengingat masalah konsumen berkaitan dengan ekonomi dan merupakan masalah bersama dalam masyarakat, maka perlindungan konsumen melibatkan beberapa kelompok yang merupakan pihak-pihak dalam perlindungan konsumen, yaitu : a. Kelompok pengusaha
49
. Yusuf Shofie. Perlindungan Konsumen dan Instrumen-instrumen Hukumnya. PT. Citra Aditya. Hal. 3
51
b. Kelompok pemerintah c. Kelompok masyarakat konsumen d. Kelompok-kelompok lain, seperti organisasi, konsumen, organisasi peneliti, organisasi profesi.50
2. Dasar Hukum Perlindungan Konsumen Dasar hukum dalam indungan konsumen antara lain : a. Undang-undang Dasar 1945 setelah amandemen II, pada 1) Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, menyebutkan bahwa : “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” 2) Pasal 28 UUD 1945, menyebutkan bahwa: “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran secara lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan oleh Undang-undang” Penjelasan di atas bahwa ketentuan ini mengenai hak warga negara. Hak warga negara yang dinyatakan dalam penjelasan Pasal 27 ayat (2) adalah hak warga negara yang menjamin agar mereka dapat hidup sebagai manusia seutuhnya, bukan hanya hak-hak yang bersifat fisik, material, tetapi juga hak yang bersifat psikis, seperti hak mendapat pengetahuan yang benar tentang segala barang dan jasa yang ditawarkan.
50
. Laporan Simposium Aspek-aspek Hukum Masalah Perlindungan Konsumen. BPHN Departemen Kehakiman. Hal. 107-109
52
Penjelasan di atas menyatakan bahwa pasal ini mengenai kedudukan penduduk. Pasal ini juga memuat hasrat bangsa Indonesia untuk membangun negara yang bersifat demokrasi dan hendak menyelenggarakan keadilan sosial dan perikemanusiaan. Berbagai hak yang dimiliki konsumen telah dimasukan dalam kedua pasal tersebut, sehingga dapat diketahui bahwa UUD 1945 merupakan suatu sumber hukum bagi perlindungan konsumen karena hak-hak konsumen terdapat dalam kedua pasal tersebut. b. KUH Perdata 1) Pasal 1238 KUH Perdata, menyebutkan bahwa : “Si berhutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan bahwa si berhutang akan harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan” wanprestasi terjadi karena dalam perjanjian pihak lawan tidak menepati prestasi yang dijanjikan atau mungkin memenuhi prestasi tetapi tidak sebagaimana mestinya. 2) Pasal 1267 KUH Perdata, menyebutkan bahwa : “Pihak terhadap siapa perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih apakah ia, jika hal tersebut masih dapat dilakukan akan memaksa pihak yang lain untuk memenuhi persetujuan atau ia akan menuntut pembatalan persetujuan, disertai penggantian biaya, kerugian dan bunga.”
53
Pasal ini memberikan pilihan kepada kreditur untuk menuntut pada debitur karena perbuatan wanprestasi yang dilakukan debitur, bahwa kepada kreditur dapat memilih tuntutan sebagai berikut : a) b) c) d) e)
Pemenuhan perjanjian Pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi Ganti rugi saja Pembatalan perjanjian Pembatalan disertai penggantian ganti rugi 51
3) Pasal 1320 KUH Perdata, menyebutkn bahwa : “untuk sahnya perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu : (1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya (2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan (3) Suatu hal tertentu (4) Suatu sebab yang halal Perjanjian tersebut menjadi bukti adanya suatu hubungan atau transaksi antara konsumen dan produsen sebagai dasar pemenuhan hak dan kewajiban di antara mereka. Jika syarat 1 dan 2 tidak dipenuhi maka akibatnya adalah dapat dibatalkan dan apabila syarat 3 dan 4 tidak dipenuhi maka akibatnya adalah batal demi hukum. 4) Pasal 1365 KUH Perdata, menyebutkan bahwa : “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”
51
R. Subekti. 1991. Hukum Perjanjian. PT. Internusa : Jakarta, hal. 53
54
pasal ini mengatur tentang tuntutan ganti rugi yang diakibatkan perbuatan melawan hukum, maka pasal ini juga dapat digunakan untuk melindungi hak konsumen. c. Perlindungan konsumen kini secara khusus diatur dalam sebuah Undangundang
yaitu
Undang-undang
Nomor
8
Tahun
1999
tentang
Perlindungan Konsumen
3. Peranan Para Pihak dalam Perlindungan Konsumen Pelaksanaan Undang-undang tersebut sangat memerlukan peranan dari pihak-pihak yang berkaitan dalam perlindungan konsumen, antara lain : a. Peranan masyarakat sebagai konsumen 1. Sebagai kontrol sosial bagi para produsen untuk mentaati atau melaksanakan etika bisnis yang berlaku, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis 2. Mengusahakan dan membentuk lembaga yang sifatnya independen untuk melakukan uji coba terhadap mutu produk secara bebas dan bertangggung jawab 3. Mengembangkan organisasi konsumen sebagai tandingan dari organisasi pelaku usaha agar terwujud keseimbangan hak dan kewajiban antara konsumen dan produsen
b. Peranan pemerintah 1. Memberi petunjuk dan pengetahuan bagi produsen tentang hal-hal yang dapat diterima atau dilakukan dalam menjalankan usaha 2. Mewujudkan kemauan politik untuk menanggulangi persaingan curang 3. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan bidang usaha dan bisnis secara konsekuen dan konsisten 4. Mengusahakan peningkatan kesadaran produsen akan arti mutu dan jaminan mutu barang dan atau jasa yang diberikan kepada konsumen dengan senantiasa mengutamakan nilai-nilai moral yang baik untuk menunjukkan etika bisnis
55
5. Mengusahakan peningkatan kualitas hidup masyarakat sebagai konsumen serta kualitas hidup manusia Indonesia pada umumnya 6. Membuat peraturan perundang-undangan yang dapat dipakai sebagai landasan hukum guna menindak produsen yang merugikan sesama produsen dan konsumen 7. Memberikan perlindungan hukum atas hak merek, merek kemasan dan desain industri 8. Mempercepat berfungsinya sistem standarisasi nasional dan seluruh perlengkapan agar standarisasi dapat menjadi alat yang ampuh untuk mendorong jaminan mutu produk
c. Peranan organisasi produsen 1. Menentukan dan menyusun standar etik yang harus diketahui dan ditaati oleh oara produsen 2. Menghayati dan melaksanakan dengan sungguh-sungguh segala peraturan perundang-undangan yang berlaku berkaitan dengan kegiatannya 3. Melakukan peningkatan mutu pelayanan produk Indonesia sehingga lebih dapat bersaing dengan pelayanan produk-produk di pasar domestik maupun di pasar internasional 4. Mengusahakan agar tidak melakukan perbuatan curang di antara sesama produsen 5. Membina dan mengembangkan kemampuan, kegiatan dan kepentingan pengusaha Indonesia dalam kedudukannya sebagai pelaku ekonomi nasional 6. Meningkatkan hubungan kerja sama yang saling menunjang dan menguntungkan antara pengusaha Indonesia dalam bidang usaha negara, koperasi dan swasta 7. Mengefektifkan dan mengoptimalkan organisasi masyarakat usaha dalam menunjang kelancaran kegiatan perekonomian 8. Merealisasikan konsep organisasi pengusaha mengenai pedoman pengelolaan fungsi organisasi pengusaha tersebut dalam menyelenggarakan upaya pemeliharaan kerukunan dan upaya pencegahan perbuatan atau persaingan yang tidak sehat di antara produsen 9. Mengambil prakarsa dan pemecahan masalah yang tepat untuk mepentingan dunia usaha melalui tanggapan, dinamis dan aktif dari organisasi pengusaha 10. Mengusahakan adanya pembenahan internal dalam organisasi pelaku usaha agar menjadi organisai yang efektif dan efesien 52
52
. Laporan Hasil Temu Wicara Nasional tentang Penanggulangan Perbuatan Curang yang dilaksanakan di Yogyakarta tanggal 6-7 Oktober 1992
56
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. HASIL PENELITIAN 1. Profil dan Potensi PDAM Kabupaten Brebes a. Sejarah Singkat dan Status Perusahaan Penyediaan air bersih di Kabupaten Brebes dilakukan sejak tahun 1932 pada zaman Pemerintahan Belanda. Pengelolaannya ditangani oleh Kotamadya Tegal dengan luas pelayanan meliputi Kodya Tegal, Kabupaten Tegal dan Kabupaten Brebes. Sumber air yang dimanfaatkan adalah mata air di Bumijawa dengan kapasitas debit 50 liter per detik. Dalam rangka pengembangan fasilitas air bersih untuk tiga kabupaten tersebut telah diadakan perjanjian Pemerintah Indonesia dengan Pemerintahan Jerman tentang pinjaman untuk membiayai proyek pengembangan tersebut. Perjanjian ditandatangani tanggal 18 Desember 1984 berakhir pada tanggal 31 Desember 1992 dengan nilai sebesar 22 miliar rupiah dari tahap I sampai dengan tahap III. Pelaksanaan proyek meliputi : studi dan perencanaan, pekerjaan konstruksi dan suplai. Air baku diperoleh dari mata air Kaligiri dengan kapasitas 250 liter per detik. Pendistribusian air bersih dari mata air ke daerah
57
pelayanan dilakukan secara gravitasi melalui komponen-komponen fisik sebagai berikut : 1) Bangunan bronkaptering debit 250 liter per detik sebanyak satu unit 2) Bak pelepasan tekanan sebanyak 6 unit 3) Pipa transmisi induk dari mata air ke reservoir Dn 500-300mm sepanjang 26,5 km 4) Reservoir Lebaksiu dengan kapasitas 700m3 sebanyak satu unit 5) Pipa transmisi dari reservoir ke masing-masing menara air di tiga kabupaten DN500-350mm sepanjang 49 km 6) Menara air di Jatibarang dengan volume 750 m3 sebanyak satu unit 7) Menara air bersih dengan volume 750 m3 sebanyak satu unit 8) Pipa distribusi kota DN 100-50 sepanjang 69,290 meter 9) Sambungan rumah sebanyak 10.556 buah 10) Hidrant umum sebanyak 477 buah Dari semua komponen fisik tersebut telah selesai dibangun dari tahun Anggaran 1985/1986 dan berakhir tahun anggaran 1992/1993. Pekerjaan dari seluruh sistem air bersih ini dilaksanakan oleh konsultan GKW Jerman – PT. Indah Karya Bandung dan di bawah pengawasan proyek peningkatan air bersih Jawa Tengah, kemudian pengelolaannya secara bertahap diserahkan kepada PDAM Kotamadya Tegal yang pada saat itu sebagai pengelola.
58
Untuk menunjang kelancaran pengelolaan sistem air bersih tersebut, pemerintah Jerman melalui konsultan memprogramkan proyek lanjutan berupa training bagi tenaga pengelola dan prasarana lainnya. Dari hasil studi konsultasi menilai bahwa dengan kondisi sistem
penyediaan air bersih yang meliputi 3 kabupaten, maka
pengelolaannya perlu dibentuk Badan Pengelola Air Bersih Provinsi Jawa Tengah. Kemudian dari pertemuan anggota instansi yang terkait dan rumusan yang dibahas akhirnya disepakati beberapa ketentuan yiatu : 1) BPAB hanya mengelola sistem air bersih yang baru dari mata air, pipa transmisi, reservoir, bak pembagi debit sampai dengan pipa transmisi di daerah perbatasan antara 2 kabupaten. 2) BPAB kemudian menjual airnya ke 3 PDAM kabupaten atas dasar pembacaan meter air di lokasi perbatasan wilayah. 3) Untuk PDAM kabupaten hanya mengelola di daerah masingmasing meliputi pipa transmisi mulai dari batas wilayah, pipa distribusi sampai dengan dengan penyambungan ke rumah-rumah. 4) Untuk sistem air bersih lama (peninggalan Belanda) walaupun pendistribusian airnya meliputi 3 kabupaten, pengelolaannya masih dilakukan oleh PDAM Kotamadya Tegal.
59
Sehingga dengan adanya ketentuan-ketentuan tersebut di atas, menimbulkan di masing-masing kabupaten terdapat 2 wadah pengelolaan sistem air bersih (sistem baru dan sistem lama). Pada tahun delapan puluhan pemerintah pusat melalui Departemen Pekerjaam Umum Cipta karya membangun sistem penyediaan air bersih di daerah-daerah dengan membentuk Badan Pengelolaan Air Minum (BPAM). Pengelolaan badan tersebut diatur dalam Perda Tingkat II Brebes Nomor 3 Tahun 1989 status BPAM diubah menjadi PDAM terhitung mulai tanggal 1 Desember 1992 berdasarkan serah terima aset dari Gubernur KDH Tingkat I Jawa Tengah kepada Bupati KDH Tk. II Brebes tanggal 23 Oktober 1992 Nomor 539/33847.PDAM/690/03161 dikelola berdasarkan Perda Nomor 7 tahun 1992. b. Cakupan Pelayanan Waktu ini PDAM Kabupaten Brebes dalam memberikan pelayanan air bersih meliputi tiga wilayah, yaitu : 1) Wilayah I Wilayah I berada di Kabupaten Brebes perbatasan seperti kecamatan Brebes, Kecamatan Jatibarang, Kecamatan Wanasari dan Kaligangsa
60
2) Wilayah 2 Wilayah 2 berada di Kabupaten Brebes bagian Selatan seperti Kecamatan Paguyangan, Kecamatan Bantarkawung, Kecamatan Bumiayu, Kecamatan Sirampog dan Kecamatan Tonjong. 3) Wilayah 3 Wilayah 3 berada di Kabupaten Brebes bagian Barat Laut seperti Kecamatan Banjarharjo, Kecamatan Kersana dan Kecamatan Larangan. Jumlah pelanggan PDAM Kabupaten Brebes pada akhir Desember 2003 adalah sebanyak 14.106 unit sambungan terdiri dari Sosial Umum 118 (0,84%), Sosial Khusus 193 (1,39%), instansi pemerintah 120 (0,9%), Rumah tangga 13.011 (92,17%), niaga kecil 621 (4,40%), Niaga besar 42 (0,03%), industri 2 (0,01%). Jumlah pelanggan tersebut tersebar pada delapan kecamatan. Berdasarkan perhitungan satu sambungan rumah tangga ratarata melayani 5 orang dan satu hidrant umum rata-rata melayani 100 orang. jangkauan pelayanan PDAM Kabupaten Brebes pada akhir tahun 2003 baru mencapai 24,89% dari penduduk wilayah yang bersangkutan dan 5,80% dari penduduk kabupaten Jumlah pelanggan dan cakupan pelayanan PDAM Kabupaten Brebes pada akhir Desember dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini :
61
Tabel 1 Cakupan pelayanan Tahun 2003-2004
No
1.
2.
3.
Kecamatan
Wilayah I BNA Jatibarang Wanasari Kaligangsa Wilayah 2 Paguyangan Bantarkawung Bumiayu Tonjong Wilayah 3 Banjarharjo Kersana Larangan
Jumlah desa
Jumlah Desa Terlaya ni
Jumlah Desa Blm Terlaya ni
154.742 77 122.732
23 23 20
21 16 8
2 6 12
5.641 1.751 322 487
21.87 13.60 1.57
84.411 83.809 94.242 119.574
12 18 15 27
5 3 5 10
7 15 10 17
622 561 1.913 832
10.71 15.79 20.78 20.31
107.846 54.582 127.168
25 13 11
1 4 2
24 9 9
587 766 624
34.10 20.63 13.74
Jumlah pendud uk
Jumlah Pelang gan
% Pendud uk Terlaya ni
Sumber : Profil PDAM Brebes Tahun 2003-2004
Wilayah 2 pada Kecamatan Tonjong pelaksanaannya meliputi Kecamatan Sirampog dan Kecamatan Tonjong, sedangkan Wilayah 1 BNA meliputi
Kecamatan Bulakamba dan Wanasari dengan
menggunakan mobil tengki karena belum ada sistem perpipaan. c. Visi dan Misi PDAM Kabupaten Brebes 1) Visi “Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Brebes menjadi Pelayan Air Bersih yang Baik, Maju dan Mandiri”. a) Rumusan Visi Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Brebes sebagai Badan Usaha Milik Daerah Kabupaten Brebes secara terus menerus berusaha meningkatkan pelayanan air bersih kepada masyarakat, kinerja perusahaan serta pendapatan Asli Daerah.
62
Masyarakat akan senang bila dapat mengakses air bersih untuk kebutuhan sehari-hari selama 24 jam setiap hari. Pelanggan dengan
mudah
dapat
membayar
kewajibannya
karena
pembayarannya telah ditata sedemikian rupa sehingga dengan mudah pembayaran rekening air bersih berjalan lancar tepat pada waktunya. b) Penjelasan Visi Visi PDAM Kabupaten Brebes akan mampu membentuk filosofi perusahaan yang mendasar dan diyakini sebagai panutan karyawan dan memenuhi harapan para stakeholder. Beberapa uraian visi dapat dijelaskan sebagai berikut : (1) Kinerja PDAM terus meningkat (2) Kepuasan
pelanggan
adalah
cerminan
keberhasilan
perusahaan (3) Berupaya terus menerus meningkatkan kualitas pekerjaan yang profesional dan dapat dipertanggungjawabkan (4) Ilmu pengetahuan dan teknologi baru selalu dicari untuk dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk pengembangan perusahaan. (5) Efesiensi biaya dalam rangka meningkatkan laba usaha perusahaan
63
2) Misi “Untuk Memberikan Pelayanan Air Bersih yang dapat Dijangkau oleh Masyarakat serta Mengutamakan Kepuasan Pelanggan dan sebagai Salah Satu Sumber Pendapatan Asli Daerah”. Rumusan Misi Misi PDAM Kabupaten Brebes untuk mewujudkan visi berasal dari rangkaian analisis faktor internal dan faktor eksternal perusahaan. Dengan memahami beberapa faktor masih ada beberapa kelemahan dalam tubuh perusahaan. 2. Pengertian Pelanggan dan PDAM a. Pelanggan Menurut Peraturan Daerah Kabupaten Brebes Nomor 10 Tahun 2003 tentang Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Brebes, pelanggan adalah pemohon yang telah mendapatkan distribusi air minum secara tetap dan berkewajiban membayar retribusi. b. Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Brebes Dalam Pasal 1 Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2003 disebutkan bahwa Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Brebes merupakan Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Brebes milik Pemerintah Daerah. Sedangkan dalam Pasal 2 Peraturan Daerah Kabupaten Brebes No. 10 Tahun 2003 disebutkan bahwa perusahaan berkedudukan di
64
Ibukota Kabupaten Brebes, dengan wilayah kerja perusahaan meliputi wilayah kabupaten dan sekitarnya. Tujuan didirikannya Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Brebes dijelaskan dalam Pasal 4 Peraturan Daerah Kabupaten Brebes Nomor 10 Tahun 2003 sebagai berikut : 1) Memberikan pelayanan air minum bagi seluruh masyarakat secara adil dan merata secara terus menerus yang memenuhi syarat-syarat kesehatan; 2) Menunjang program pembangunan daerah di bidang pengelolaan air bersih 3) Turut serta menciptakan pemerataan dalam kesempatan berusaha; 4) Menunjang sumber pendapatan daerah. Untuk mencapai tujuan tersebut dalam Pasal 5 Peraturan Daerah Kabupaten Brebes Nomor 10 tahun 2003 dijelaskan mengenai kegiatan lapangan usaha Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Brebes yaitu sebagai berikut : 1)
Membangun, memelihara dan menjalankan operasi sarana penyediaan air minum.
2)
Mengatur, menyempurnakan dan mengawasi pemakaian air minum secara merata dan efesien.
3)
Melakukan pencegahan adanya pengambilan air minum secara liar.
65
4)
Menyelenggarakan pelayanan air minum kepada masyarakat secara tertib dan teratur.
3. Prosedur pendaftaran dan Pemasangan Sambungan Baru PDAM Untuk mengetahui bagaimana realisasi perlindungan hukum atas hak-hak normatif konsumen PDAM, maka akan tepat jika dilakukan dengan menelusuri awal mula hubungan antara konsumen dengan PDAM. Oleh karena itu, dipaparkan tentang prosedur pendaftaran dan pemasangan baru PDAM. Selanjutnya dilakukan analisa tehadap prosedur tersebut dengan menghubungkannya dengan perlindungan konsumen. Pertanyaan besarnya adalah sejauh mana perlindungan konsumen tercermin dalam prosedur berlangganan PDAM. Langkah-langkah menjadi pelanggan PDAM terbagi menjadi beberapa tahap sebagai berikut : a. Tahap Pendaftaran Pada tahap awal, calon pelanggan datang ke kantor PDAM dengan membawa syarat-syarat pendaftaran sebagai berikut : 1) Foto copy Surat Tanah dan PBB dengan menunjukkan aslinya. 2) Foto copy Kartu Tanda Penduduk dan Kartu Keluarga Copy surat-surat tersebut dilampirkan pada Surat Permohonan Berlangganan (form telah disediakan di kantor PDAM), secara umum isi dari surat permohonan tersebut meliputi : 1) Nama pemohon 2) Alamat
66
3) Lokasi pemasangan 4) Pekerjaan pemohon 5) Jumlah penghuni 6) Peruntukan pemasangan 7) Banyaknya kran yang dipasang 8) Kondisi bangunan (luas bangunan, luas tanah dan bentuk bangunan) 9) Tanda tangan pemohon Setelah calon pelanggan mengisi form permohonan berlanggan dan melengkapi lampirannya, maka berkas tersebut diserahkan ke petugas di loket pendaftaran. Selanjutnya calon pelanggan menerima form Bukti Permohonan Berlangganan yang ditandatangani oleh petugas di loket pendaftaran. Selain berisi identitas pemohon dan identitas bangunan yang dimohonkan, di dalam bukti permohonan berlanggaran tertera pemberitahuan, perhatian dan pernyataan calon pelanggan PDAM sebagai berikut : 1) Akan membayar rekening air sesuai ketentuan Perusahaan Daerah Air Minum. 2) Mentaati segala peraturan yang telah ditetapkan Perudahaan Daerah Air Minum 3) Tidak akan menjual air kepada pihak lain tanpa seijin dari Perusahaan Daerah Air Minum
67
4) Apabila ada jaringan pipa yang dibiayai secara swadaya setelah dipasang menjadi milik PDAM Brebes dan PDAM Brebes berhak mempeluas maupun menambah pemasangan baru pada saluran pipa tersebut 5) Pemohon akan mentaati segala peraturan yang dibuat oleh PDAM Kabupaten Brebes. b. Tahap Pemeriksaan Setelah permohonan calon pelanggan diterima oleh PDAM, maka dilakukan penelitian atas permohonan tersebut, dengan menugaskan petugas untuk melakukan pemeriksaan ke persil yang dimohonkan penyambungan air minum. Ada dua hal yang diperiksa oleh petugas lapangan yaitu : 1) Guna Persil, yaitu penggunaan persil dengan kategori sebagai berikut : (a) Sosial, dengan kualifikasi : (1) Sosial Umum (rumah ibadah, panti-panti sosial, pelayanan air untuk umum) (2) Sosial Khusus (pondok pesantren, yayasan sosial, rumah sakit dll) (b) Non Niaga, meliputi (1) Rumah tangga A (2) Rumah tangga B (3) Instansi pemerintah
68
(c) Niaga, dengan klasifikasi (1) Niaga kecil (2) Niaga besar (d) Industri, dengan klasifikasi (1) Industri kecil (2) Industriu besar (e) Khusus 2) Gambar situasi, yang berisi seting penyambung air minum dari pipa distribusi PDAM. Gambar situasi menjadi penentu utama dikabulkannya permohonan berlangganan dari calon pelanggan PDAM.
Dari
gambar
tersebut
dapat
diketahui
kelayakan
dilakukannya penyambungan. Hal ini menyangkut jarak persil yang dimohonkan dengan pipa distribusi PDAM. Apabila jarak persil dari pipa distribusi sangat jauh, maka PDAM tidak melakukan penyambungan, kecuali apabila calon pelanggan sanggup membayar biaya pembuatan jaringan pipa distribusi yang tidak sedikit. c. Tahap Penetapan Biaya Pemasangan Berdasarkan
hasil pemeriksaan lapangan yang dilakukan,
maka PDAM Kabupaten Brebes menetapkan biaya pendaftaran, perencanaan dan pemeliharaan dengan mengacu pada Peraturan Daerah Kabupaten Brebes Nomor 11 Tahun 2003 tentang Tarip Pengelolaan Air Bersih di Kabupaten Brebes sebagai berikut :
69
1) Biaya Pendaftaran dan perencanaan, meliputi : a) Untuk keperluan sosial, rumah tangga dan pemerintah Biaya pendaftaran
Rp 100.000,-
Biaya perencanaan
Rp 100.000,-
b) Untuk keperluan niaga Biaya pendaftaran
Rp 100.000,-
Biaya perencanaan
Rp 150.000,-
c) Untuk keperluan industri dan pelabuhan Biaya pendaftaran
Rp 100.000,-
Biaya perencanaan
Rp 300.000,-
d) Biaya pembongkaran, penggalian dan perbaikan trotoar dan atau jalan yang besarnya menurut standar harga dari Dinas Pekerjaan Umum trotoar dan jalan yang bersangkutan e) Biaya
penggantian
atau
pengadaan
bahan-bahan
yang
disesuaikan dengan kebutuhan dan menuruut standar harga pasaran f) Toeslah atau pajak sebesar 25% dari harga bahan yang digunakan. 2) Biaya pemeliharaan pipa dinas ditetapkan sebagai berikut : (a) untuk ukuran ½”
: Rp 2.750,-
(b) untuk ukuran ¾”
: Rp 4.000,-
(c) untuk ukuran 1”
: Rp 4.500,-
(d) untuk ukuran 1 ½”
: Rp 5.000,-
70
(e) untuk ukuran 1 ¾”
: Rp 6.500,-
(f) untuk ukuran 2”
: Rp 7.000,-
(g) untuk ukuran 3”
: Rp 8.000,-
3) Biaya Pemeliharaan meter air ditetapkan sebagai berikut : (a) untuk ukuran ½”
: Rp 2.750,-
(b) untuk ukuran ¾”
: Rp 4.000,-
(c) untuk ukuran 1”
: Rp 5.000,-
(d) untuk ukuran 1 ½”
: Rp 7.500,-
(e) untuk ukuran 1 ¾”
: Rp 9.000,-
(f) untuk ukuran 2”
: Rp 12.000,-
(g) untuk ukuran 3”
: Rp 15.000,-
d. Tahap Pembayaran Setelah calon pelanggan menerima pemberitahuan tentang besarnya biaya pemasangan, maka yang bersangkutan diharuskan untuk membayar biaya tersebut di kantor PDAM Kabupaten Brebes. Setelah melakukan pembayaran, maka kepada calon pelanggan diberikan
kwitansi
tanda
terima
setoran.
Selanjutnya,
yang
bersangkutan menunggu realisasi penyambungan dalam kurun waktu 2 (dua) hari sejak tanggal dilakukan pembayaran. Hubungan hukum antara PDAM dengan calon pelanggannya, menurut hemat penulis telah terjadi pada tahap pembayaran ini. pada tahap ini, calon pelanggan telah menyepakati biaya pemasangan yang diminta oleh PDAM dan ditindaklanjuti dengan melakukan prestasi
71
dengan melakukan pembayaran. Di sisi lain, PDAM terikat dalam waktu dua hari, untuk melakukan penyambungan pipa PDAM ke persil calon pelanggan. Persoalan yang kerap muncul pada calon pelanggan, adalah tidak tepat waktu pemasangan yang dijanjikan oleh PDAM. Sementara itu, tidak terdapat surat perjanjian yang dapat dijadikan rujukan oleh calon pelanggan untuk melakukan complain. Satu-satunya alat bukti telah terjadi transaksi hanya kuitansi tanda terima pembayaran yang ditandatangani oleh petugas loket. Sedangkan dalam kwitansi tersebut tidak tertera satu klausul pun yang memberikan perlindungan konsumen apabila pihak PDAM terlambat dalam melakukan pemasangan. e. Tahap Pemasangan Pada tahap ini, pihak PDAM merealisasikan penyambungan ke persil yaitu dengan menghubungkan antara pipa distribusi dengan instalasi air di persil pelanggan. Selanjutnya pihak PDAM memasang sebuah alat yang disebut dengan meter air yang berfungsi untuk mengetahui seberapa banyak (kubik : ukuran penggunaan air) yang dikonsumsi oleh pelanggan. Sejak disambung inilah, calon pelanggan beralih status menjadi pelanggan PDAM dan sejak saat itu pula, pelanggan berkewajiban untuk membayar rekening kepada pihak PDAM sesuai dengan jumlah
72
air yang digunakan. Sebaliknya, PDAM harus memberikan hak-hak yang dimiliki oleh pelanggannya sebagaimana yang diperjanjikan. Dibawah ini ada contoh perjanjian baku PDAM Brebes tentang Proses permohonan menjadi pelanggan air minum yang terdiri dari 2 (dua) Form yaitu : 1. Form I
:
Surat Pernyataan Pemohon
2. Form II
:
Proses Permohonan Menjadi Pelanggan Air Minum
73
SURAT PERNYATAAN PEMOHON
1. NAMA PEMOHON
:
2. ALAMAT
:
Bahwa untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, maka apabila disetujui menjadi pelanggan air minum PDAM Brebes dengan ini menyatakan yang sebenar-benarnya sebagai berikut : 1) Akan membayar rekening air sesuai ketentuan Perusahaan Daerah Air Minum 2) Mentaati segala peraturan yang telah ditetapkan Perusahaan Daerah Air Minum 3) Tidak akan menjual air kepada pihak lain tanpa seijin dari Perusahaan Daerah Air Minum 4) Apabila ada jaringan pipa yang dibiayai secara swadaya setelah dipasang menjadi milik PDAM Brebes dan PDAM Brebes berhak memperluas maupun menambah pemasangan baru pada saluran pipa tersebut 5) Pemohon akan mematuhi segala peraturan yang dibuat oleh PDAM Brebes Demikian surat pernyataan ini dibuat dengan sebenar-benarnya. Brebes, ……………… PEMOHON Meterai (………………….)
74
PROSES PERMOHONAN MENJADI PELANGGAN AIR MINUM
Yang bertanda tangan di bawah ini 1. Nama Pemohon
:
2. Alamat
:
3. No Registrasi
:
Setelah diadakan pemeriksaan pemohon pelanggan air minum yang beralamat tersebut di atas dengan ini menyatakan : 1. Belum pernah menjadi pelanggan PDAM 2. Sanggup membayar tunggakan rekening dan sambungan baru serta balik nama bagi yang mengganti sambungan pelanggan lain yang telah ditutup dinas 3. Tidak akan menuntut apabila kondisi airnya kurang lancar 4. Berdasarkan hasil survey dari PDAM Brebes maka calon pelanggan termasuk dalam golongan
Permohonan pelanggan air minum PDAm Kabupaten Brebes tersebut di atas secara administrasi telah memenuhi persyaratan yang telah ditentukan.
Brebes, …………… Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Brebes
Direktur Utama
75
76
4. Data Aduan Laporan pengaduan pelayanan langganan selama tahun 2003 dapat dilihat pada Tabel 2 sebagai berikut :
TABEL 2 LAPORAN PENGADUAN PELAYANAN LANGGANAN PDAM KABUPATEN BREBES TAHUN 2003-2004 No 1.
Nama Fatah El Zaman
2. 3.
Abdul Mutholib Petugas
Alamat Jl. HOS Cokroaminoto 34 Jl. Slamet No. 3 Jl. Gajah Mada
4 5.
Saluri kanafi Toko 33
Jl. Sunan Giri Jl. A Yani
6.
MIN Brebes
7. 8.
Purwati Badri
Jl. HOS Cokroaminoto Jl. Tledung Jl. MT Haryono 37
9. 10. 11.
Hartoyo A. Supangan Hartanto
Jl. Mangunsarkoro Jl. Kartini 45 Jl. Letjen Suprapto
12. 13. 14
M. Thamrin Toyo Petugas
Jl. Kalimantan 298 Jl. Kyai Cholid Jl. Taman Siswa
15
Badri
Jl. MT Haryono
16
Saleh
17
Joko pramono
Jl. Imam Syahadat 2 Jl. Raden Patah
18 19
Sutarto H. Nurokip
Jl. Terlangu Jl. Gajah Mada
20
Sukrim
Jl. Tentara Pelajar
21
Roipah
Jl. Sunan Gunung jatu IV
Sumber data : Laporan Aduan PDAM Brebes
Masalah Air tidak keluar selama 1 minggu Ai tidak keluar sejak Juli 2003 Air tidak keluar Jl. S drajat sedangkan Jl. S Kalijaga keluar WM rusak mohon diperbaiki Pipa distribusi bocor di depan toko 33 Ait tidak keluar selama 2 minggu Air tidak keluar selama 7 bulan Air sebelah selatan jalan tidak lancar sebelah utara lancer Air tidak keluar selama 1 bulan Stop kran rusak minta diganti Water meter rusak minta diakurasi Water meter rusak minta diganti Meteran bocor minta diganti Air tidak mengalit di wilayah Tledung Stop kran rusak/dol selama 3 bulan air tidak keluar Air tidak normal.ngicir bahkan tidak mantur Water meter rusak/mati minta diganti Air tidak keluar selama 2 minggu Water meter bures minta diperbaiki Water meter bures minta dibersihkan Pipa distribusi bocor mohon diperbaiki
77
5. Prosedur pengaduan Untuk setiap pengaduan pelanggan, petugas pelayanan pelanggan akan meminta pelanggan mengisi satu lembar Surat Pengaduan/Laporan petugas pelayanan pelanggan mencatat surat pengaduan/laporan dalam buku pengaduan atau laporan pelanggan dan menomeri surat pengaduan atau laporan serta meneruskan kepada pemeriksa untuk ditindaklanjuti. Petugas
pemeriksa
menerima
dari
pembaca
meter
surat
pengaduan/laporan memperlihatkan kepada petugas pelayanan pelanggan untuk dicatat dalam buku pengaduan/laporan pelanggan dan memberikan nomor surat pengaduan, menerima surat pengaduan/laporan berasal dari laporan pelanggan petugas pelayanan pelanggan. Untuk masalah non teknis dan teknis kecil, pergi ke lokasi pelanggan dan melakukan pemeriksaan mengenai kerusakan yang sebenarnya, untuk kerugian segera dapat diselesaikan, mintakan tanda tangan pelanggan pada surat pengaduan/laporan. Untuk kerusakan yang telah diselesaikan
oleh pemeriksa atau laporan yang memerlukan
penyesuaian
rekening
atas
atau
piutang,
menyerahkan
surat
pengaduan/laporan kepada petugas pelayanan pelanggan. Petugas pelayanan pelanggan menerima surat pengaduan/laporan baik dari pemeriksa bagi kerusakan yang telah diselesaikan oleh pemeriksa atau yang memerlukan penyesuaian atas rekening atau piutang. Memeriksa apakah sudah ditandatangani pelanggan.
78
Bila pengaduan/laporan tidak menyangkut penyesuaian atas rekening atau piutang, mencatat dalam buku pengaduan/laporan pelanggan kemudian mengarsip surat pengaduan/laporan. Bila pengaduan /laporan memerlukan penyesuaian rekening atau piutang menerusan surat pengaduan/laporan kepada petugas pembuat rekening Petugas pembuat rekening menerima dari petugas pelayanan pelanggan,
surat
pengaduan/laporan
mencocokkan
dengan
kartu
pelanggan. Mengambil formulir dari pembukuan dan menulis sifat dari transaksi dalam nota debet/kredit yang dibuat dalam rangkap dua. Meneruskan
berkas
dokumen
surat
pengaduan/laporan
dan
nota
debet/kredit rangkap dua kepada petugas pembukuan Petugas pembukuan menerima dari petugas pembuat rekening. Surat pengaduan/laporan dan nota debet/kredit dalam dua rangkap. Melakukan jurnal yang seharusnya setelah melakukan pemeriksaan atas nota debet/kredit Meminta persetujuan nota debet/kredit dari kepala unit kerja yang menangani keuangan. Menyerahkan kepada petugas pembuat rekening. Surat pengaduan/laporan dan nota debet/kredit lembar ke-1 mengarsip sementara nota debet/kredit lembar ke-2 untuk pembuat jurnal Petugas pembuat rekening menerima kembali berkas dokumen dari petugas tata pembukuan. Menuliskan dalam surat pengaduan /laporan bahwa nota telah dibuat. Mencatat penyesuaian berdasarkan jurnal voucher pada kartu pelanggan. Menyerahkan surat pengaduan/laporan kepada
79
petugas pelayanan pelanggan. Mengarsip sementara untuk diberikan kepada pelanggan pada periode rekening berikut bersama-sama dengan rekening air. Setelah selesai pekerjaan dibukukan, petugas pelayanan pelanggan menerima dari petugas pembuat rekening. Surat pengaduan/laporan mencatat dalam buku pengaduan atau laporan pelanggan. Mengarsipkan surat pengaduan/laporan Untuk masalah yang pasti, petugas memeriksa menyerahkan surat pengaduan/laporan kepada kepala unit kerja yang menagani perencanaan teknik. Untuk kerusakan berat yang memerlukan pekerjaan teknis lebih lanjut, menyerahkan kepada kepala unit kerja yang menangani perencanaan teknik Petugas perencanaan teknik menerima dari kepala unit kerja yang menangani perencanaan teknik surat pengaduan/laporan dan selanjutnya melakukan pemeriksaan dan membuat berita acara dan biaya perbaikan. Meminta tanda tangan kepala unit kerja yang menangani perencanaan teknik pada berita acara dan biaya perbaikan. Untuk pekerjaan yang memerlukan biaya yang harus dibayar pelanggan menyerahkan berkas dokumen kepada petugas pelayanan pelanggan. Untuk pekerjaan yang memerlukan pekerjaan teknis, petugas pelayanan pelanggan menerima dari petugas perencanaan teknik sesuai pengaduan atau laporan dalam berita acara dan biaya perbaikan
80
Membuat surat panggilan pelanggan dan memintakan tanda tangan direktur utama. Menerima dari pelanggan kuitansi seri A biaya perbaikan lembar ke-3 untuk biaya perbaikan setelah pelanggan membayar di loket kas. Menyerahkan kepada petugas perencanaan teknik berkas-berkas surat pengaduan/laporan acara dan biaya perbaikan dan kuitansi seri A biaya perbaikan lembar ke-3. Setelah pelanggan membayar, petugas perencanaan teknik menerima kembali dari juru tata pelayanan pelanggnan berkas dokumen ditambah dengan kuitansi seri A biaya perbaikan lembar ke-3 menyerahkan berkas dokumen kepada kepala unit kerja yang menangani transmisi dan distribusi untuk pelaksanaan selanjutnya Petugas urusan pelanggan menerima dari kepala unit kerja yang menangani transmisi dan distribusi, surat perintah kerja rangkap 2 beserta berkas dokumen. Menyerahkan kepada petugas pelaksana teknis surat perintah kerja lembar ke-1 dan surat pengaduan/laporan. Mengarsipkan sementara surat perintah kerja lembar ke-2, kuitansi seri A lembar ke-3 dan berita acara dan biaya perbaikan Atas dasar surat perintah kerja, petugas pelaksanaan teknik mengajukan permintaan material dari gudang dan melaksanakan perbaikan. Setelah perbaikan selesai meminta tandatangan pelanggan pada surat pengaduan/laporan dan menyerahkan kembali surat perintah kerja yang ditandatanganinya beserta lembar ke-1 surat pengaduan/laporan kepada petugas urusan sambungan pelanggan
81
Petugas urusan sambungan pelangga melaporkan pelaksanaan pekerjaan kepada kepala unit kerja yang menangani transmisi dan distribusi dan menyerahkan surat pengaduan/laporan dan kuitansi seri A lembar ke-3 kepada petugas pelayanan pelanggan Petugas
pelayanan
pelanggan
mengarsipkan
surat
pengaduan/laporan dan kuitansi seri A lembar ke-3
B. PEMBAHASAN 1. Kajian Yuridis Perjanjian Baku antara PDAM dengan Pelanggan sebagai Konsumen Jasa PDAM dengan Dibuatnya Perjanjian Baku Tentang Proses Permohonan Menjadi Pelanggan air Minum Perjanjian merupakan suatu kesepakatan yang dilakukan oleh para pihak mengenai suatu prestasi. Perjanjian tentang proses berlangganan Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Brebes adalah perjanjian pada umumnya, hanya pada perjanjian tersebut lebih mempunyai spesifikasi mengenai para pihak dan masalah yang diperjanjikan dan merupakan perjanjian baku. Perjanjian baku tentang proses berlangganan Perusahaan Daerah Air Minum adalah perjanjian yang dibuat secara sepihak oleh Perusahaan Daerah Air Minum dengan masyarakat baik perorangan maupun badan usaha baik berbadan hukum maupun badan usaha bukan berbadan hukum yang ingin menjadi pelanggan Perusahaan Daerah Air Minum dengan persyaratan yang
82
ada dan pelanggan wajib tunduk kepada isi dari perjanjian tersebut dan peraturan yang ada di Perusahaan Daerah Air Minum. Para pihak yang terlibat dalam perjanjian tersebut antara lain sebagai berikut : a. Pelaku usaha dalam hal ini Perusahaan Daerah Air Minum sebagai pihak yang memberikan pelayanan penyambungan pipa air minum. b. Konsumen dalam hal ini adalah pelanggan sebagai pihak yang menggunakan pelayanan air minum. Perjanjian yang telah disepakati menjelaskan prestasi apa yang harus dilaksanakan oleh masing-masing pihak. Prestasi dan kontra prestasi perjanjian tersebut dicantumkan dalam suatu kontrak baku. Dalam kontrak baku tersebut dijelaskan pula kedudukan masing-masing pihak. Kontrak baku terlebih dahulu dibuat blangkonya oleh pihak PDAM. Perjanjian yang telah dibuat terlebih dahulu oleh salah satu pihak dalam perjanjian dan dibakukan, dalam hukum perjanjian dan hukum perlindungan konsumen dikenal sebagai standar kontrak atau perjanjian baku. Adapun dalam perjanjian baku PDAM tentang proses berlangganan air minum terdiri dari 2 (dua) Form yaitu : Form I
: Surat Pernyataan Pemohon
Form II
: Proses permohonan menjadi pelanggan air minum
Dalam perjanjian baku PDAM tersebut terdapat klausul eksonerasi atau klausul yang merugikan konsumen dan berat sebelah yaitu sebagai berikut :
83
a. Dalam perjanjian baku PDAM Form I (pertama) terdapat klausul yang isinya sebagai berikut : Pemohon akan mematuhi segala peraturan yang dibuat oleh PDAM Brebes, padahal perjanjian baku tersebut dibuat secara sepihak oleh PDAM sebagai pelaku usaha sehingga perjanjian baku tersebut menjadi berat
sebelah
dan
konsumen
tidak
punya
kesempatan
untuk
menegoisasikan atau merubah klausul-klausulnya, konsumen tidak mempunyai pilihan lain selain menjadi konsumen PDAM. Sehingga mau tidak mau , suka atau tidak suka harus menjadi konsumen PDAM dan mematuhi semua peraturan yang ditetapkan PDAM. b. Dalam perjanjian baku PDAM Form 2 (dua) terdapat klausul yang isinya sebagai berikut : Tidak akan menuntut apabila kondisi air kurang lancar. Dalam hal ini PDAM tidak menyalurkan air minum sebagaimana yang dijanjikan PDAM misalnya air keruh, air tersendat-sendat. Disisi lain PDAM selalu menuntut pelanggan untuk memenuhi kewajibannya membayar rekening air tepat waktunya. Keterlambatan membayar dikenakan denda bahkan dapat dikenakan penutupan saluran air. PDAM tidak mau memperhitungkan apakah air yang disalurkan berkualitas atau tidak, lancar atau tidak, besarnya tarif pembayaran air tetap sesuai dengan tarif air minum. Hal ini jelas merugikan pelanggan yang nyata-nyata membayar rekening air ke PDAM sesuai dengan tarif yang ditentukan untuk air minum. Klausul dalam perjanjian baku PDAM Brebes tersebut telah menghalangi
84
Konsumen PDAM untuk mengajukan gugatan terhadap PDAM Brebes atas kerugian yang dideritanya. Atau dengan kata lain Konsumen PDAM tidak bisa menuntut gugatan ganti rugi terhadap pihak PDAM karena ada Klausul tersebut.
Disini juga terdapat pengalihan yang seharusnya
menjadi tanggung jawab PDAM dibebankan pada konsumen. Apabila dianalisis dan ditinjau dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen no. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen,
keberadaan perjanjian baku juga tidak bertentangan. Di dalam UndangUndang Perlindungan Konsumen, meskipun digunakan istilah “Klausula Baku”, pengertiannya tidak berbeda dengan pengertian perjanjian baku sebagaimana diuraikan di atas. Pasal 1 angka (10) Undang-Undang Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999 menyatakan bahwa:”Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen” Meskipun pelaku usaha/produsen memiliki kebebasan untuk menuangkan syarat-syarat dalam perjanjian baku/klausula baku, namun secara substansial tidak diperkenankan memuat klausula yang merugikan kepentingan konsumen yang disebut dengan klausul eksonerasi. Dalam perjanjian baku PDAM tersebut ternyata klausulnya mengandung klausul eksonerasi yaitu klausul yang merugikan konsumen .
85
Dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999 tidak
disinggung
tentang
klausula
eksonerasi.
Meskipun
tidak
menyebutkannya, namun dalam Pasal 18 ayat (1) memuat batasan-batasan dalam membuat klausula baku yang dimuat dalam perjanjian baku yang pada intinya melarang klausul yang mengurangi atau menghapuskan atau meringankan tanggung jawab pelaku usaha. Untuk memberikan gambaran, maka Pasal tersebut menyebutkan sebagai berikut : Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila : a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha; b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembli barang yang dibeli konsumen; c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jawa yang dibeli oleh konsumen d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran; e. mengatur perihal pembuktian atau hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen; f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa; g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baku, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya; h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha pembebanan hak tanggungan, hak gadai atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli konsumen secara angsuran. Dalam Perjanjian Baku PDAM Brebes tersebut, kedua klausulnya mengandung klausul eksonerasi. Klausula eksonerasi selain menimbulkan persoalan tentang kausa yang halal, karena bermuatan klausul yang tidak
86
seimbang, hanya membebani salah satu pihak yaitu pihak konsumen PDAM dan membebaskan pihak lain yaitu PDAM, juga menimbulkan persoalan apakah klausula eksonerasi tidak menyebabkan cacatnya suatu perjanjian karena terjadi cacat dalam membuat kata sepakat. Klausula eksonerasi dilihat dari cacatnya suatu perjanjian dalam pengertian untuk mencapai sepakat, terjadi cacat karena ada unsur paksaan (dwang) sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1321 KUH Perdata. Dimana pihak konsumen PDAM tidak punya pilihan lain selain menjadi konsumen PDAM, terpaksa atau tidak terpaksa, mau atau tidak mau kalau ingin menjadi pelanggan PDAM harus menandatangani perjanjian baku yang dibuat secara sepihak oleh PDAM dan mematuhi segala peraturan yang dibuat oleh PDAM.
Sedang dari kausa yang diperkenankan, telah
menyalahi asas tidak boleh bertentangan dengan kepatutan atau kesusilaan sebagaimana disyaratkan untuk sahnya suatu perjanjian unsur ke-4 Pasal 1320 KUH Perdata.53 Apabila perjanjian baku dianalisis secara yuridis sesuai dengan Pasal 1320 KUH Perdata yaitu : a. Adanya kata sepakat dari para pihak. b. Adanya kecakapan bertindak para pihak yang mengadakan perjanjian. c. Ada hal atau obyek tertentu dan d. Ada kausa yang halal, tidak bertentangan dengan Undang-undang kesusilaan dan ketertiban umum.
53
. M. Yahya Harahap. 1986. Segi-segi Hukum Perjanjian. Bandung. Alumni. Hal. 43
87
Perjanjian baku pada umumnya sah sesuai dengan syarat sahnya perjanjian dan memenuhi unsur-unsur dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Tetapi perjanjian baku PDAM tersebut klausulnya mengandung klausul eksonerasi yaitu klausul yang merugikan konsumen dan berat sebelah, sehingga apabila dianalisis dan ditinjau secara yuridis dengan Pasal 1320 KUH Perdata adalah sebagai berikut : a.
Adanya kata sepakat dari para pihak Perjanjian baku tentang proses permohonan menjadi pelanggan air minum PDAM apabila dianalisis dan tinjau secara yuridis memang di sini ada dua pihak yang mengadakan perjanjian baku yaitu pelaku usaha dalam hal ini PDAM Brebes dan konsumen pengguna jasa layanan PDAM Brebes. Kedua belah pihak tersebut memang telah sepakat mengadakan perjanjian yang dibuktikan dengan konsumen mengisi form perjanjian tersebut dan menandatanganinya. Konsensus atau
kesepakatan dari
para pihak merupakan essensi yang sangat vital untuk lahirnya perjanjian. Azas konsensualisme artinya untuk melahirkan perjanjian cukup dengan dicapainya sepakat mengenai hal-hal pokok dari perjanjian tersebut dan perjanjian itu sudah dilakukan saat atau detail tercapainya konsensus. Tetapi eksistensi unsur kata sepakat di antara kedua belah pihak dalam perjanjian baku tersebut perlu dipertanyakan, apakah eksistensi unsur kata sepakat itu sudah terpenuhi ? karena perjanjian baku tersebut yang membuat salah satu pihak yaitu pihak pelaku usaha
88
dalam hal ini PDAM Brebes, di mana isi atau klausul perjanjian baku tersebut sudah dibakukan tanpa memberi kesempatan kepada pihak konsumen untuk menyetujui atau mengubah isi atau klausul perjanjian tersebut. Dan pihak konsumen hanya disodorkan form perjanjian baku dan menandatanganinya. Tetapi masih disangsikan apakah isi kontrak benar seperti yang diinginkan dan masih disangsikan pula apakah benar ada kata sepakat Dan isi dari perjanjian baku PDAM tersebut berat sebelah, dimana klausulnya mengandung klausul eksonerasi yaitu klausul yang merugikan konsumen Apalagi PDAM adalah suatu perusahaan daerah yang menguasai hajat hidup orang banyak dan merupakan suatu usaha monopoli, yang mana konsumen tidak memiliki pilihan lain selain menjadi konsumen PDAM. Sehingga setuju atau tidak setuju terhadap isi perjanjian atau klausul perjanjian baku tersebut konsumen pasti menyetujuinya dan menandatanganinya sehingga dalam perjanjian baku tersebut memang ada kata sepakat atau konsensus antara pelaku usaha dan PDAM Brebes dan perjanjian itu sudah dilahirkan saat atau detik tercapainya konsensus, tetapi karena dibuat secara sepihak dan PDAM Brebes merupakan usaha monopoli sehingga konsumen tidak punya pilihan lain selain menjadi konsumen PDAM, maka eksistensi unsur kata sepakat sebenarnya tidak terpenuhi dalam syarat sahnya perjanjian dalam Pasal 1320 KUH Perdata unsur pertama yaitu adanya kata sepakat dari para pihak. Karena itu syarat sahnya dari suatu kontrak mesti ditinjau sehubungan dengan adanya kontrak baku PDAM tersebut, antara lain adalah :
89
(1) Syarat kausa yang halal terutama misalnya jika ada unsur penyalahgunaan keadaan; (2) Syarat kausa yang halal terutama jika adanya unsur pengaruh tidak pantas; (3) Syarat kesepakatan kehendak, terutama jika ada keterpaksaan atau ketidakjelasan bagi salah satu pihak ;
b.
Adanya kecakapan bertindak dari para pihak yang mengadakan perjanjian Syarat sahnya perjanjian dalam Pasal 1320 KUH Perdata unsur ke 2 (dua) yaitu adanya kecakapan bertindak para pihak yang mengadakan perjanjian. Kecakapan bertindak adalah kecakapan atau kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum 54. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan menimbulkan akibat hukum. Orang-orang yang akan mengadakan perjanjian baku PDAM ada 2 (dua) pihak yaitu : pihak pelaku usaha dalam hal ini PDAM sebagai pihak pembuat perjanjian baku tersebut dan pihak konsumen PDAM sebagai pelanggan jasa PDAM adalah orang-orang yang cakap dan mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum yaitu melakukan perjanjian sebagaimana yang ditentukan oleh UU. Sehingga unsur yang kedua yaitu adanya kecakapan bertindak
54
Salim. H.S. 2003. Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak. Sinar Grafika. Jakarta. Hal. 33
90
para pihak yang mengadakan perjanjian dalam Pasal 1320 KUH Perdata terpenuhi dalam perjanjian baku PDAM tersebut. c.
Ada hal atau obyek tertentu; Syarat sahnya perjanjian dalam Pasal 1320 KUH Perdata unsur yang ke (3) tiga adalah ada hal atau obyek tertentu . Obyek perjanjian adalah prestasi (pokok perjanjian). Prestasi ini terdiri dari perbuatan positif dan negatif. Prestasi terdiri atas : (1) Memberikan sesuatu (2) Berbuat sesuatu, dan (3) Tidak berbuat sesuatu 55 Dalam perjanjian baku PDAM yang menjadi prestasi/pokok perjanjian adalah berlangganan air atau menjadi konsumen PDAM dan membayar rekening air tiap bulannya. Sehingga unsur yang ketiga yaitu ada hal atau obyek tertentu dalam Pasal 1320 KUH Perdata terpenuhi dalam perjanjian baku PDAM tersebut.
d.
Adanya kausa yang halal; Syarat sahnya perjanjian dalam Pasal 1320 KUH Perdata unsur yang ke (4) empat adalah adanya kausa yang halal. Suatu perjanjian disamping harus beritikad baik, ketentuan hukum menyatakan bahwa
55
Ibid. Hal. 34
91
kontrak, seperti juga perbuatan hukum lainnya, haruslah dibuat dengan kausa yang halal 56. Kontrak baku PDAM ternyata berat sebelah dan mengandung klausula eksonerasi, sangat mungkin kontrak yang demikian dibuat tidak dengan itikad baik sehingga dibuat tidak dengan kausa yang halal dan tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian dalam Pasal 1320 KUH Perdata unsur yang keempat yaitu adanya kausa yang halal Perjanjian menjadi sumber hukum lahirnya perikatan, sebagaimana rumusan yang terdapat dalam ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata yang menentukan sebagai berikut : Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh Undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Menurut LEH Rutten, Pasal 1338 KUH Perdata mengandung 3 (tiga) asas, yaitu 57 : a. Asas Konsessualisme, artinya perjanjian itu selesai karena persetujuan secara resmi, formil tetapi konsensuil, artinya perjanjian itu selesai karena persetujuan kehendak atau konsesnsus semata-mata
56
Munir Fuady. Op Cit. Hal. 82 LEH. Rutten dalam Purwadi Patrick. 1986. Azas Itikad Baik dan Kepatutan Perjanjian. Badan Penerbit UNDIP Semarang. Hal. 3 57
92
b. Asas mengikatnya perjanjian yaitu asas bahwa pihak-pihak harus memenuhi apa yang telah diperjanjikan, karena perjanjian berlaku sebagai Undang-undang bagi para pihak. c. Asas kebebasan berkontrak yaitu orang bebas membuat atau tidak membuat perjanjian, bebas menentukan isi, berlakunya dan syarat-syarat perjanjian dengan bentuk tertentu atau tidak dan bebas memilih Undang-undang mana yang akan dipakai untuk perjanjian itu.
Pasal 1338 KUH Perdata merupakan jantung dari sistem Buku III KUH Perdata, karena dengan asas kebebasan berkontrak (pacta sun servanda), Hukum Perikatan dalam Buku III KUH Perdata bersifat terbuka artinya : Pertama para pihak diperbolehkan membuat perjanjian apapun juga asal isinya tidak bertentangan dengan Undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum, kedua perjanjian-perjanjian khusus yang termuat dalam Buku III KUH Perdata adalah perjanjian-perjanjian khusus yang terkenal saja, dan ketiga kalau para pihak tidak mengatur perjanjian yang mereka buat secara lengkap, Undangundang melengkapinya” 58
Ada kemungkinan para pihak membuat persetujuan atau perjanjian tidak lengkap di dalam menuangkan hal-hal yang mereka perjanjikan, maka para pihak harus memperhatikan ketentuan Pasal 1339 KUH Perdata Persetujuan-persetujuan tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau Undang-undang.
58
Oey Hoey Tiong. 1984. Fidusia sebagai Jaminan Unsur-unsur Perikatan. Ghalia Indonesia, Jakarta Hal. 29
93
Pada hakekatnya setiap orang bebas mengadakan perjanjian apa saja termasuk perjanjian baku selama didasari oleh itikad baik dan tidak bertentangan dengan ketentuan Undang-undang, kesusilaan, kepatutan dan ketertiban umum. Dengan demikian perjanjian itu mengikat dan masing-masing pihak harus bertanggungjawab terhadap apa yang telah dijanjikan dalam perjanjian itu. Hal ini sesuai dengan asas dalam perjanjian yaitu asas “kebebasan berkontrak (contracts vrijheid). Dikemukakan oleh Subekti bahwa asas kebebasan berkontrak dengan sistem terbuka dari hukum perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja asalkan tidak melanggar ketertiban dan kesusilaan. Pasalpasal tersebut dapat disingkirkan apabila dikehendaki oleh para pihak yang akan membuat perjanjian 59. Berdasarkan asas kebebasan berkontrak, maka timbul dalam praktek bisnis yang dikenal dengan perjanjian baku (standard contract), yaitu suatu perjanjian yang seluruh klausul-klausulnya dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk membandingkan atau meminta perubahan. Seringkali dalam praktek perjanjian ini dituangkan dalam bentuk formulir yang disiapkan oleh pelaku
usaha/produsen
konsumen/pelanggan.
59
Subekti. Op Cit. Hal. 48
yang
harus
diisi/ditandatangani
oleh
94
Meskipun perjanjian baku muncul atas kebebasan para pihak dalam membuat perjanjian, di sisi lainnya justru membatasi kebebasan pada pihak untuk mencapai kesepakatan sehingga kedudukan yang tidak seimbang di antara para pihak, di mana produsen/pelaku usaha dapat leluasa menentukan syarat-syarat/prestasi yang harus dilakukan oleh konsumen, sementara konsumen tidak mempunyai ruang tawar terhadap syarat/prestasi yang diminta oleh produsen/pelaku usaha. Namun demikian, konsumen tidak serta merta kehilangan kebebasan dalam membuat kontrak, karena dia masih memiliki kebebasan untuk tidak memakai produk tersebut atau untuk tidak mengikatkan diri dalam perjanjian baku tersebut. Tidak ada pihak manapun yang dapat memaksa seorang untuk menyepakati suatu perjanjian. Adanya paksaan menunjukkan bahwa tidak ada kesepakatan di antara para pihak. Oleh karena itulah bagi konsumen diberikan hak untuk memilih produk lain. Di sinilah masih terdapat ruang kebebasan bagi konsumen yang menjadi dasar pembenar dari keberadaan perjanjian baku. Dengan demikian perjanjian baku tetap memiliki keabsahan dilihat dari hukum, bahkan keberadaan perjanjian baku sudah tidak dapat dipisahkan dari dunia bisnis dewasa ini. perjanjian baku muncul karena tuntutan dunia bisnis yang menginginkan setiap transaksi berlangsung efesien dan efektif, sehingga membutuhkan kecepatan dalam bertransaksi.
95
Tetapi dalam perjanjian baku PDAM tersebut klausulnya mengandung klausul eksonerasi yaitu klausul yang merugikan konsumen dan berat sebelah atau memberatkan salah satu pihak maka dibuat tidak dengan itikad baik sehingga tidak memenuhi unsur itikad baik seperti dalam Pasal 1338 KUH Perdata. Dalam kontrak baku PDAM tersebut klausulnya justru membatasi kebebasan para pihak untuk mencapai kesepakatan sehingga mengesankan kedudukan yang tidak seimbang antar pihak PDAM dalam hal ini sebagai pelaku usaha dan konsumen PDAM , di mana PDAM dapat leluasa menentukan syarat-syarat/prestasi yang harus dilakukan oleh konsumen PDAM, sementara konsumen PDAM tidak mempunyai ruang tawar terhadap syarat/prestasi yang diminta oleh pelaku usaha dalam hal ini PDAM. Namun demikian konsumen PDAM bisa kehilangan kebebasan dalam membuat kontrak dengan pihak lain karena PDAM merupakan usaha monopoli, di mana konsumen tidak mempunyai pilihan lain selain menjadi pelanggan PDAM. maka klausula tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip kesusilaan seperti yang terdapat dalam Pasal 1337 KUH Perdata. Karena kontrak baku PDAM tersebut juga merupakan kontrak massal dan klausulanya berat sebelah dan merupakan klausula eksonerasi maka bertentangan dengan ketertiban umum, seperti dalam Pasal 1337 KUH Perdata. dan bertentangan dengan asas kepatutan seperti dalam Pasal 1339 KUH Perdata.
96
Dengan adanya praktek kontrak baku ini ada beberapa prinsip hukum kontrak yang sangat potensial untuk dilanggar. Demikian juga dalam perjanjian baku tentang proses permohonan menjadi pelanggan air minum antara PDAM Brebes dengan konsumennya, ternyata dalam klausulnya terdapat klausul eksonerasi sehingga apabila dikaitkan dengan doktrin-doktrin kontrak baku atau prinsip hukum kontrak ada beberapa hal yang sangat potensial untuk dilanggar, yaitu sebagai berikut : 60 a. Doktrin kontrak baku ansich Menurut doktrin kontrak baku ansich, suatu kontrak yang dibuat oleh salah satu pihak yaitu PDAM Brebes, di mana pihak lainnya yaitu konsumen PDAM tidak mempunyai atau terbatas kesempatan untuk bernegosiasi terhadap klausul-klausulnya maka kontrak baku tersebut menjadi berat sebelah.
b. Doktrin kesepakatan kehendak dari para pihak. Karena tidak adanya atau terbatasnya kesempatan bagi salah satu pihak yaitu pihak konsumen PDAM Brebes untuk menegosiasikan klausulaklausula dalam kontrak baku tersebut, maka meskipun pihak tersebut akhirnya menandatangani kontraknya, maka disangsikan apakah isi kontrak tersebut memang benar seperti yang diinginkannya, sehingga disangsikan pula apakah benar ada kata sepakat daripadanya.
60
Munir Fuady. Op Cit. Hal. 78-83
97
Sebagaimana diketahui bahwa kata sepakat merupakan salah satu syarat sahnya kontrak, seperti dalam Pasal 1320 KUH Perdata.
c. Doktrin kontrak tidak boleh bertentangan dengan kesusilaan Jika terdapat klausula yang sangat berat sebelah dalam suatu kontrak baku, apalagi jika pihak yang kepadanya disodorkan formulir kontrak tersebut berada dalam keadaan tidak berdaya seperti halnya konsumen PDAM Brebes, di mana PDAM merupakan usaha monopoli dan air merupakan kebutuhan yang vital sehingga di sini konsumen tidak memiliki pilihan lain selain menjadi konsumen PDAM dalam arti tidak ada kesempatan memilih untuk membuat kontrak dengan pihak lainnya, maka klausulanya bertentangan dengan prinsip-prinsip kesusilaan, prinsip mana merupakan salah satu syarat bagi sahnya suatu kontrak. Seperti dalam Pasal 1337 KUH Perdata.
d. Doktrin kontrak tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum Menurut KUH Perdata Indonesia, suatu kontrak tidak boleh bertentangan dengan prinsip ketertiban umum. Dalam kontrak baku PDAM Brebes tersebut berat sebelah dan mengandung klausul eksonerasi, apalagi kontrak baku PDAM tersebut dipergunakan secara massal seperti kontrak PDAM dengan konsumen PDAM, maka klausula atau kontrak yang sangat berat sebelah tersebut sudah
98
bertentangan dengan ketertiban umum. Seperti dalam Pasal 1337 KUH Perdata.
e. Doktrin ketidakadilan Doktrin ketidakadilan mengajarkan jika klausula tersebut sangat tidak adil bagi salah satu pihak seperti halnya kontrak baku PDAM, di mana klausulnya merugikan konsumen atau dikenal dengan klausula eksonerasi sehingga klausul tersebut berat sebelah atau tidak adil bagi salah satu pihak sehingga apabila dibiarkan akan sangat menyentuh
rasa
keadilan
masyarakat
dan
sangat
merugikan
masyarakat.
f. Doktrin kontrak sesuai dengan itikad baik Kontrak dibuat harus dengan itikad baik. Jika kontrak baku PDAM tersebut berat sebelah dan mengandung klausula eksonerasi sangat mungkin kontrak yang demikian dibuat tidak dengan itikad baik. Agar suatu kontrak sah, maka hukum mempersyaratkan agar suatu kontrak tersebut dibuat dengan itikad baik. Dalam KUH Perdata Indonesia. Ketentuan seperti ini terdapat dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH
Perdata.
Kontrak
baku
yang
sengaja
didesain
untuk
memberatkan salah satu pihak potensial untuk melanggar prinsip itikad baik. Di samping itu, suatu kontrak yang dibuat tidak dengan itikad
99
baik akan merupakan kontrak yang tidak mengandung kausa yang halal, yang dilarang oleh Pasal 1320 KUH Perdata.
g. Doktrin kausa yang halal Di samping harus beritikad baik, ketentuan hukum menyatakan bahwa kontrak, seperti juga perbuatan hukum lainnya, haruslah dibuat dengan kausa yang halal. Jika kontrak baku PDAM berat sebelah dan mengandung klausula eksonerasi, sangat mungkin kontrak yang demikian dibuat tidak dengan itikad baik sehingga dibuat tidak dengan kausa yang halal.
h. Doktrin kontrak sesuai dengan asas kepatutan Keterkaitan seseorang kepada suatu kontrak tidak hanya kepada kata-kata dalam kontrak tersebut, tetapi juga para pihak terikat juga kepada prinsip yang patut terhadap kontrak yang bersangkutan. Seperti dalam Pasal 1339 KUH Perdata. Oleh karena itu kontrak baku PDAM tersebut sangat berat sebelah potensial bertentangan dengan asas kepatutan tersebut.
i. Doktrin perlindungan konsumen Kontrak baku PDAM Brebes mengandung klausula eksonerasi dan merupakan kontrak baku yang berat sebelah, di mana kontrak baku PDAM merupakan suatu kontrak yang menyangkut orang banyak
100
dapat juga didekati dengan menggunakan kaidah-kaidah hukum tentang perlindungan konsumen yang di Indonesia diatur oleh Undangundang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Sehingga dalam hal ini diharapkan bahwa pihak yang kepadanya disodorkan kontrak baku dalam hal ini konsumen PDAM akan terlindungi kepentingannya oleh kaidah-kaidah hukum tentang perlindungan konsumen.
j. Doktrin larangan terhadap ketidakadilan substantif Sering pula dikatakan bahwa kontrak baku PDAM yang isinya sangat berat sebelah merupakan suatu kontrak yang tidak adil secara substantif, oleh karena itu kontrak seperti itu menjadi sangat tidak layak. Selain dari beberapa doktrin hukum kontrak yang potensial untuk dilanggar dengan pemberlakukan kontrak baku ini seperti tersebut di atas, maka ada beberapa prinsip hukum kontrak yang sangat mendukung eksistensi suatu kontrak baku yaitu prinsip-prinsip hukum sebagai berikut : 61 a. Prinsip kesepakatan kehendak dari para pihak Meskipun dalam suatu kontrak baku PDAM
tersebut
disangsikan adanya kesepakatan kehendak yang benar-benar seperti yang diinginkan oleh para pihak, tetapi kedua belah pihak menyetujui
61
Ibid. Hal. 84-85
101
isi kontrak tersebut, sehingga dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kata sepakat telah terjadi. b. Prinsip asumsi resiko dari para pihak Dalam suatu kontrak, setiap pihak tidak dilarang melakukan asumsi resiko, artinya bahwa jika ada resiko tertentu yang mungkin terbit dari suatu kontrak, tetapi salah satu pihak bersedia menanggung resiko tersebut sebagai hasil tawar menawarnya,maka jika memang kemudian
resiko
tersebut
benar-benar
terjadi,
pihak
yang
mengasumsikan resiko tersebutlah yang harus menanggung resikonya. Dalam hubungan dengan kontrak baku PDAM, maka dengan konsumen PDAM menandatangani kontrak yang bersangkutan berarti segala resiko apapun bentuknya akan ditanggung oleh pihak yang menandatangani sesuai isi dari kontrak tersebut. c. Prinsip kewajiban membaca Sebenarnya dalam ilmu hukum, kontrak baku diajarkan bahwa ada kewajiban membaca bagi setiap pihak yang akan menandatangani kontrak. Dengan demikian, jika para pihak terutama pihak konsumen PDAM telah menandatangani
kontrak baku tersebut, hukum
mengasumsikan bahwa dia telah membacanya dan menyetujui apa yang telah dibacanya. d. Prinsip kontrak mengikuti kebiasaan Memang sudah menjadi kebiasaan sehari-hari bahwa banyak kontrak dibuat secara baku, termasuk kontrak baku yang dibuat oleh
102
PDAM, karena itu kontrak baku itu mejadi terikat antara lain juga karena keterkaitan suatu kontrak tidak hanya terhadap kata-kata yang ada dalam kontrak tersebut, tetapi juga terhadap hal-hal yang menjadi kebiasaan seperti yang terdapat dalam Pasal 1339 KUH Perdata. Dan kontrak baku merupakan suatu kebiasaan sehari-hari dalam lalu lintas perdagangan dan sudah merupakan suatu kebutuhan masyarakat, sehingga eksistensinya mestinya tidak perlu dipersoalkan lagi. Eksistensi Kontrak baku pada umumnya di satu sisi nyata-nyata dibutuhkan dalam praktek bisnis karena efektif dan efesien tetapi di sisi lain kontrak baku banyak masalah, tetapi tetap dibutuhkan. Faktor-faktor penyebab kontrak baku PDAM menjadi berat sebelah adalah sebagai berikut 62: a. Kurang adanya atau bahkan tidak adanya kesempatan bagi salah satu pihak dalam hal ini konsumen PDAM untuk melakukan tawar menawar, apalagi konsumen PDAM tidak punya pilihan lain selain menjadi konsumen PDAM karena merupakan usaha monopoli, sehingga pihak konsuman PDAM disodorkan kontrak baku oleh PDAM tidak banyak mengubah klausula tersebut, walaupun nyatanyata salah satu klausulanya ada yang merugikan konsumen PDAM atau dengan kata lain salah satu klausulnya adalah klausul eksonerasi b. Karena penyusunan kontrak sepihak yaitu oleh pihak PDAM, maka pihak penyedia dokumen dalam hal ini PDAM biasanya memiliki
62
Ibid. Hal. 86
103
cukup banyak waktu untuk memikirkan menganai klausula-klausula dalam dokumen tersebut. Bahkan mungkin saja berkonsultasi dengan para ahli atau dokumen tersebut justru dibuat oleh para ahli. Sedangkan pihak konsumen PDAM yang hanya disodorkan dokumen tidak punya kesempatan dan seringkali tidak familiar dengan klausulaklausula tersebut. c. Pihak konsumen PDAM disodorkan kontrak baku PDAM menempati kedudukan yang sangat tertekan, sehingga hanya dapat bersikap “take it or leave it”. Para sarjana hukum berbeda pendapat tentang eksistensi dari perjanjian baku, yakni ada yang mendukungnya, ada yang menentangnya dan ada pula yang mendukung, tetapi dengan persyaratan atau pengawasan tertentu 63. Di bawah ini ada beberapa pendapat para sarjana hukum tentang perjanjian baku yaitu sebagai berikut : a. Sutan Remy Sjahdeni Mengartikan perjanjian standar sebagai perjanjian yang hampir seluruh klausul-klausulnya dibakukan oleh pemakainya dan pihak lain yang pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan. Adapun yang belum dibakukan hanya beberapa hal, misalnya menyangkut jenis, harga, jumlah, warna, tempat, waktu 63
Evianto Hadi. 1986. Hukum Perlindungan Konsumen Bukanlah Sekedar Keinginan Melainkan Suatu Kebutuhan Hukum dan Pembangunan. Nomor 67 Tahun XIV Desember. Jakarta. Hal. 67
104
dan beberapa hal spesifik dari obyek yang diperjanjikan. Sjahdeni menekankan yang dibakukan bukan formulir tersebut, melainkan klausul-klausulnya. Sutan Remy Sjahdeni mengungkapkan pendapatnya bahwa berlakunya perjanjian baku tidak perlu lagi dipersoalkan oleh karena perjanjian baku eksistensinya sudah merupakan kenyataan yaitu dengan dipakainya perjanjian baku secara meluas dalam dunia bisnis sejak lebih dari 80 tahun lamanya kenyataan ini terbentuk karena perjanjian bisnis tidak dapat berlangsung tanpa perjanjian baku. Perjanjian baku diperlukan oleh dan karena itu diterima masyarakat. Sebenarnya perjanjian standar tidak perlu selalu dituangkan dalam bentuk formulir-formulir walaupun memang lazim dibuat tertulis. Contohnya dapat dibuat dalam bentuk pengumuman yang ditempelkan di tempat penjual menjalankan usahanya. Jadi perjanjian standar ialah perjanjian yang ditetapkan secara sepihak yakni oleh produsen/penyalur produk (penjual) dan mengandung ketentuan yang berlaku umum (massal) sehingga pihak yang lain (konsumen) hanya memiliki dua pilihan, menyetuji atau menolaknya. Adanya unsur pilihan ini oleh sementara pihak dikatakan perjanjian standar tidaklah melanggar asas kebebasan berkontrak (Pasal 1320 jo. 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata) artinya, bagaimanapun pihak konsumen masih diberi hak untuk menyetujui (take it) atau menolak perjanjian yang ditujukan
kepadanya (leave it). Itulah
105
sebabnya perjanjian baku ini kemudian dikenal dengan nama take it or leave it contract. Jika ada yang perlu dikhawatirkan dengan kehadiran perjanjian baku, tidak lain karena dicantumkannya klausula eksonerasi (excemption clause) dalam perjanjian tersebut . klausula eksonerasi adalah klausula yang mengandung kondisi membatasi atau bahkan menghapus sama sekali tanggung
jawab
yang
semestinya
dibebankan
kepada
pihak
produsen/penyalur produk (penjual) Di sini terlihat betapa tidak adanya keseimbangan posisi tawar menawar antara produsen/penyallur produk (penjual) yang lazim disebut kreditur dan konsumen (debitur) di lain pihak. Sehubungan dengan pertanyaan : apakah ada kebebasan berkontrak dalam perjanjian standar ini ? ada beberapa pendapat yang mempertegas kontroversi di dalamnya. Sutan Remy Sjahdeni berpendapat dalam kenyataannya KUH Perdata sendiri memberikan pembatasan-pembatasan terhadap azas kebebasan berkontrak itu. Misalnya, terdapat ketentuan yang mengatakan, suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan kata sepakat kedua belah pihak atau karena alasan lain yang dinyatakan dengan undangundang. KUH Perdata juga menyebutkan tiga alasan yang dapat menyebabkan suatu perjanjian, yakni paksaan (dwang), kekhilafan (dwaling) dan penipuan (bedrog). Ketiga alasan ini dimaksudkan oleh undang-undang
sebagai
kebebasan berkontrak.
pembatasan
terhadap
berlakunya
asas
106
Menurut Sutan Remy Sjahdeni, agar tidak terjadi penyalahgunaan terhadap asas kebebasan berkontrak ini oleh para pihak yang berkedudukan lebih kuat. Diperlukan campur tangan melalui undang-undang dan pengadilan. Dalam hukum perburuhan, misalnya ada pembatasan-pembatasan dalam kontrak kerja. Campur tangan pengadilan dapat dijumpai dalam alasan penyebab
putusnya
perjanjian,
yang
dikenal
dengan
istilah
penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden). Dalam KUH Perdata baru Negeri Belanda, penyalahgunaan keadaan ini dikukuhkan sebagai alasan keempat dari cacat kehendak 64. b. Mariam Darus Badrulzaman Mendefinisikan perjanjian standar sebagai perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir. Mariam Darus Badrulzaman juga mengemukakan salah satu isi klausula eksonerasi adalah Klausul yang dicantumkan di dalam suatu perjanjian dengan mana satu pihak menghindarkan diri untuk memenuhi kewajiban membayar ganti rugi seluruhnya atau terbatas, yang terjadi karena ingkar janji atau perbuatan melawan hukum. Mariam Darus Badrulzaman menyimpulkan bahwa perjanjian standar itu
bertentangan
dengan
asas
kebebasan
berkontrak
yang
bertanggungjawab, terlebih-lebih lagi ditinjau dari asas-asas hukum nasional, di mana akhirnya kepentingan
64
Sutan Remy Syahdeni. Op Cit. Hal. 80
masyarakatlah
yang
107
didahulukan. Dalam perjanjian baku kedudukan pelaku usaha dan konsumen tidak seimbang . Posisi yang didominasi oleh pihak pelaku usaha, membuka peluang luas baginya untuk menyalahgunakan kedudukannya. Pelaku usaha hanya mengatur hak-haknya dan tidak kewajibannya. Menurutnya, perjanjian standar ini tida boleh dibiarka tumbuh secara liar dan karena itu perlu ditertibkan 65. Dengan demikian, jika asas kebebasan berkontrak ingin ditegakkan dan kepentingan dunia perdagangan tidak pula dirugikan, satu-satunya cara adalah dengan membatasi pihak pelaku usaha dalam membuat klausula eksonerasi. Tentu saja hal ini tidak mudah dilakukan. Sekalipun, seperti disarankan oleh Mariam Darus Badrulzaman harus ada campur tangan pemerintah kiranya tidak semua perjanjian standar dapat diperlakukan demikian. Materi perjanjian yang terjadi di masyarakat sedemikian luasnya dan heterogen.
65
Mariam Badrulzaman. Op Cit. Hal. 50
108
Dari dua contoh pendapat para sarjana hukum dapat kita simpulkan bahwa pada hakekatnya secara hukum keberadaan dan keabsahan perjanjian baku sudah tidak perlu dipersoalkan lagi. Karena perjanjian baku memang diperlukan dalam dunia bisnis karena efisien dan efektif, tetapi diperlukan persyaratan dan pengawasan tertentu dan larangan pencantuman klausula eksonerasi.dan klausul yang berat sebelah seperti yang terdapat dalam kontrak baku PDAM Brebes.
2. Perlindungan Hukum terhadap Pelanggan sebagai Konsumen Jasa PDAM dengan Dibuatnya Perjanjian Baku tentang Proses Permohonan Menjadi Pelanggan PDAM Dalam pengertiannya yang umum, setiap manusia adalah konsumen, karena pada dasarnya kita adalah pemakai sebuah produk baik barang maupun jasa. Oleh karena itu adalah tepat apa yang dikemukakan oleh mantan Presiden Amerika Serikat, John F. Kennedy bahwa :consumers by daefinition include us all”
66
, Sadar atau tidak sadar kita semua adalah konsumen yang
selalu berhadapan dengan produk yang dihasilkan oleh para produsen. Definisi yuridis formal dari konsumen terdapat dalam Pasal 1 angka (2) Undang-Undang Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999 bahwa ”Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kehidupan sendiri, keluarga, orang lain, maupun
66
Anyani T. Andri. 1997. Studi tentang Kepuasan Costumer sebagai Salah Satu Faktor yang Relevan untuk dapat Bersaing dalam Pasar Global (Artikel) Nomor 6 Edisi April-Juni. Jakarta : Perspektif. Hal. 78
109
makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”. Apakah pelanggan PDAM memenuhi kriteria tersebut. Untuk itulah perlu dilakukan analisis dengan menguraikan unsur-unsur dari pengertian konsumen Undang-undang Perlindungan Konsumen. 1) Setiap orang pemakai barang/jasa Pengertian orang mempunyai konotasi yang luas karena dapat mencakup orang individual (natuurlijke persoon) dan juga badan hukum (recthpersoon). Undang-undang Perlindungan Konsumen No. 8 tahun 1999 tidak memberikan pembatasan yang jelas tentang hal tersebut. Sidarta mengartikan “Setiap orang” menurut Undang-undang Perlindungan Konsumen No. 8 tahun 1999 meliputi dua konotasi tersebut di atas, dengan mengemukakan bahwa :”Tentu yang paling tepat tidak membatasi pengartian konsumen itu sebatas pada orang perseorangan, namun konsumen harus mencakup juga badan usaha, dengan lebih luas daripada badan hukum”. Terhadap pemahaman Sidharta tersebut, penulis memiliki pengertian lain bahwa yang dimaksud dengan “orang” menurut Undangundang Perlindungan Konsumen No. 8 tahun 1999 adalah orang sebagai individu67. Hal ini didasari pemikiran bahwa yang menjadi pemakai terakhir dari sebuah produk baik barang maupun jasa adalah individu, dan bukan badan hukum atau badan usaha. Perlindungan yang diberikan oleh
67
Sidharta. Op Cit. Hal. 89
110
Undang-undang Perlindungan Konsumen apabila dicermati adalah perlindungan terhadap hak-hak individual. Dalam kaitannya dengan pelanggan PDAM yang secara defacto terdiri dari
individu dan badan usaha, perlu dilakukan telaah untuk
menentukan apakah pelanggan PDAM identik dengan konsumen PDAM. Pelanggan tentu saja bermakna orang yang berlangganan. Sedangkan konsumen adalah orang yang memakai suatu produk tertentu baik barang maupun jasa. Sehingga konsumen PDAM tidak identik dengan pelanggan PDAM, karena yang menggunakan air PDAM tidak hanya pelanggan saja, bisa anggota keluarga pelanggan, atau mungkin tamu dari pelanggan. Sebaliknya, pelanggan PDAM dapat dipastikan sebagai konsumen PDAM. Namun demikian untuk memudahkan maka berdasarkan definisi operasional, yang dimaksud dengan konsumen PDAM adalah para pelanggan PDAM. Dilihat dari subyeknya, maka pelanggan bisa orang individu maupun badan usaha/badan hukum. Sedangkan pemakai adalah orang individu. Sehingga bagi pelanggan badan usaha atau badan hukum, secara harfiah yang bertindak sebagai konsumen PDAM adalah pengurus badan tersebut atau para pekerjanya atau siapa saja yang menggunakan air dari PDAM melalui persil yang bersangkutan.
111
Uraian tersebut di atas menegaskan bahwa yang dimaksud dengan konsumen dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen No. 8 tahun 1999 adalah orang sebagai individu. Untuk mendukung argumentasi tersebut, kiranya dapat dibandingkan dengan pengertian pelaku usaha yang terdapat dalam Pasal 1 angka (3) Undang-undang Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999 yang secara tegas menyebutkan bahwa pelaku usaha adalah :”Setiap orang perseorangan atau badan usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”. Dengan memperhatikan pengertian pelaku usaha tersebut, maka terlihat bahwa pembentuk Undang-undang secara sengaja membedakan subyek hukum konsumen dengan pelaku usaha, namun demikian, terlepas dari penafsiran penulis, hendaknya dilakukan pengaturan lebih jelas tentang
subyek
konsumen
dalam
peraturan
pemerintah
sebagai
pelaksanaan Undang-undang Perlindungan Konsumen 68. 2) Memakai barang/jasa untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup dan tidak untuk diperdagangkan Unsur ini merupakan perluasan terhadap unsur pemakai yang berkonotasi dipakai untuk diri sendiri. Konsumen sebagai pemakai tidak 68
Gandhi MEE. Simposium Aspek-aspek Hukum Perlindungan Konsumen. Perlindungan Konsumen Dilihat dari Sudut Pengaturan Hasil-hasil Industri. BPAN. Departemen Kehakiman. Jakarta. Hal. 76
112
hanya digunakan untuk diri sendiri, tetapi diperluas pemakaiannya baik untuk keluarga, orang lain maupun makhluk hidup. Pengertian ini bisa meluas tanpa batas apabila tidak dilanjutkan dengan dan tidak untuk diperdagangkan, sehingga pemakaian bagi orang lain masih dikategorikan sebagai konsumen apabila dilakukan atas dasar transaksi perdagangan. Dalam kaitannya dengan pelanggan PDAM, maka unsur tidak untuk diperdagangkan ini sejalan dengan salah satu larangan bagi pelanggan PDAM untuk menyalurkan air ke persil lain. Dengan pembatasan ini, maka jelaslah bahwa pelanggan PDAM secara yuridis normatif termasuk dalam kualifikasi konsumen yang dilindungi hakhaknya menurut Undang-undang Perlindungan Konsumen no. 8 tahun 1999. Perbincangan tentang hak-hak konsumen dikemukakan oleh Mantan
Presiden
Amerika
Serikat,
John
F.
Kennedy
dengan
mengemukakan empat hak dasar konsumen sebagaimana dikutip oleh Gunawan Widjaja dan Achmad Yani yang meliputi : a. the right safe products; b. the right to be informed about products; c. the right to define choices in selecting products; d. the right to be heard regarding consumer interest. Resolusi Perserikatan Bangsa-bangsa Nomor 38/248 tahun 1985 tentang Perlindungan Konsumen (Guideliness for Consumer Protection)
113
memuat kepentingan-kepentingan konsumen yang harus dilindungi, meliputi : a. Perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan keamanannya; b. Promosi dan perlindungan kepentingan ekonomi sosial konsumen c. Tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk memberikan kemampuan mereka melakukan pilihan yang tepat sesuai kehendak dan kebutuhan pribadi; d. Pendidikan konsumen; e. Tersedianya upaya ganti rugi yang efektif; f. Kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen atas organisasi lainnya yang relevan dan memberikan.69 Hak-hak konsumen menurut Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, diatur dalam pasal 4 meliputi : a) Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa. b) Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan. c) Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa
69
Endro Wardoyo. Op Cit. Hal. 3
114
d) Hak untuk didengar pendapat dan keluahannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan. e) Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; f) Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen; g) Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; h) Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. i) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan lainnya. Dibandingkan dengan hak-hak konsumen yang dikemukakan oleh John
F.
Kennedy
dan
Resoluasi
PBB,
maka
Undang-undang
Perlindungan Konsumen No. 8 tahun 1999 lebih banyak dan lebih rinci dalam memuat hak-hak konsumen. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Undang-undang Perlindungan Konsumen No. 8 tahun 1999 menjadi tonggak sejarah dalam perlindungan konsumen di tanah air, mengingat
sebelum berlakunya Undang-undang tersebut, kedudukan
konsumen relatif lemah dibandingkan dengan para pelaku usaha. Sehubungan dengan sembilan hak yang diatur dalam UndangUndang Perlindungan Konsumen No. 8 tahun 1999, dikemukakan oleh Gunawan Widyaja dan Ahmad Yani bahwa : Masalah kenyamanan,
115
keamanan dan keselamatan konsumen merupakan hal yang paling pokok dan utama dalam perlindungan konsumen. Barang dan/atau jasa yang penggunaannya tidak memberikan kenyamanan terlebih lagi yang tidak aman atau membahayakan keselamatan konsumen jelas tidak layak diedarkan dalam masyarakat 70. Hak yang paling utama adalah hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang/jasa. Selanjutnya untuk mendapatkan
kenyamanan,
keamanan
dan
keselamatan
tersebut,
konsumen berhak untuk memilih barang/jasa berdasarkan informasi yang benar, jujur dan jelas. Jika terdapat penyimpangan yang merugikan, maka konsumen berhak untuk didengar, memperoleh advokasi, pembinaan, perlakuan yang adil, kompensasi sampai ganti rugi. Selanjutnya, paralel dengan hak-hak normatif konsumen tersebut, maka hak yang paling utama atau mendasar bagi konsumen PDAM adalah hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi air PDAM. PDAM harus memberi rasa nyaman pada pelanggannya dengan memberikan suplay air minum secara kontinyu sehingga sewaktu-waktu dibutuhkan oleh pelanggan dapat dilayani dengan baik. Suplay air PDAM harus dijauhkan dari kondisi hidup dan mati yang tidak menentu. Sementara itu, kondisi tersebut sudah menjadi suatu kelaziman dalam suplay air PDAM, di mana pada jam-jam tertentu air PDAM mengalir dalam debit kecil atau bahkan di beberapa tempat tidak mengalir sama
70
Gunawan Widjaja Akhmad. Op Cit. Hal. 19
116
sekali. Di sisi lainnya, pelanggan tidak dapat melakukan tindakan apa-apa. Pengaduan yang dilakukan melalui loket pengaduan hanya sekedar formalitas yang tidak menyelesaikan masalah kenyamanan mengkonsumsi air PDAM. Yang lebih utama dari sekedar rasa nyaman, adalah pentingnya keamanan dan keselamatan pelanggan dalam mengkonsumsi air PDAM. PDAM diharuskan menjaga kualitas air minum, sehingga air yang dikonsumsi pelanggan benar-benar air yang layak baik untuk diminum, mandi maupun kebutuhan lainnya. Oleh karena itu adalah suatu hal yang kontras jika nama perusahaannya Perusahaan Daerah Air Minum tetapi yang disuplaikan ke pelanggan adalah air keruh atau kotor atau bahkan air yang mengandung kuman-kuman penyakit. Tidak jarang hal ini terjadi pada pelanggan PDAM, yang menderita sakit perut mencret-mencret atau menderita penyakit kulit karena mengkonsumsi air PDAM meskipun air tersebut telah dimasak atau diolah/dibersihkan melalui alat penyaringan air (water treatment) . Dalam hal yang demikian, maka aspek keamanan dan keselamatan pelanggan jelas sangat terancam. Berdasarkan Tabel 2 tentang laporan pengaduan pelanggan langganan selama tahun 2003-2004. Pengaduan pelayanan dari para pelanggan PDAM atau konsumen PDAM berupa : 1) Air dalam kondisi kurang lancar atau air tidak keluar selama 1 minggu, 2 minggu, 1 bulan, 7 bulan, bahkan ada yang tidak keluar dari bulan Juli 2004 sampai sekarang.
117
2) Water meter rusak dan minta diperbaiki. 3) Stop keran rusak. 4) Pipa distribusi. Dari 21 pengaduan yang sudah terselesaikan baru 9 pengaduan. Dengan cara negosiasi antara PDAM dengan pelaku usaha, dengan cara menindaklanjuti aduan tersebut dan memperbaiki apa yang menjadi keluhan pelanggan, misalnya : air dalam kondisi kurang lancar atau air tidak keluar, tetapi proses perbaikannya memakan waktu agak lama. Pihak konsumen mengadukan keluhannya ke pos pengaduan air minum, kemudian petugas pelayanan mencatat surat pengaduan dalam buku laporan pengaduan. Kemudian terjadi negoisasi antara pihak pelanggan dengan PDAM lalu pihak PDAM akan terjun ke lapangan untuk mengecek kerusakan apa yang dikeluhkan oleh pelanggan lalu petugas PDAM akan memperbaiki kerusakan tersebut. Bila kerusakan telah diperbaiki atau kondisi air sudah lancar, maka aduan dari konsumen sudah dilaksanakan oleh PDAM, sehingga proses penyelesaian pengaduannya dinyatakan selesai. Dalam perjanjian baku PDAM, dalam salah satu klausulnya menyatakan :”Tidak akan menuntut bila kondisi air tidak lancar, sehingga di sini konsumen tidak bisa menuntut secara perdata atau ganti rugi bila kondisi air tidak lancar. Karena dalam perjanjian baku PDAM tersebut ada 2 pihak yang mengadakan kesepakatan baik pihak pelaku usaha yaitu PDAM dengan pihak pelanggan dalam hal ini konsumen PDAM dengan
118
kedua belah pihak telah menyetujui isi dari perjanjian baku tersebut, sehingga pihak konsumen tidak bisa menuntut secara perdata bila kondisi air kurang lancar. Bila konsumen telah melaporkan aduan mengenai kondisi air tidak lancar kepada PDAM dan seandainya pihak PDAM tidak menanggapi laporan aduan dan tidak memperbaikinya, maka pihak konsumen PDAM tidak dapat menuntut ganti rugi kepada PDAM karena dalam perjanjian baku yang tertuang dalam salah satu klausulnya menyatakan :”Tidak akan menuntut jika kondisi air kurang lancar". Sehingga di sini menimbulkan persepsi ketidaksejajaran para pihak dalam perjanjian antara PDAM dengan pelanggannya. Padahal kesejajaran merupakan prinsip utama dalam hukum perjanjian sebagai implementasi asas kebebasan berkontrak. Hal ini justru mengesankan hubungan publik antara
warga
subordonansi,
negara di
mana
dengan
negara/pemerintah
negara/pemerintah
yang
dipandang
bersifat
mempunyai
kedudukan yang lebih tinggi dibanding dengan warga negara, karena negara membuat regulasi yang harus dipatuhi oleh warga negaranya. Di sisi lain dalam konteks perlindungan hukum bagi konsumen, maka perjanjian baku PDAM tersebut identik dengan klausula eksonerasi yang dilarang dalam sebuah perjanjian baku/klausula baku. Sehingga tanggung jawab yang seharusnya menjadi tanggung jawab PDAM tetapi dibebankan kepada konsumen PDAM atau dengan kata lain untuk
119
mengurangi bahkan menghilangkan tanggung jawab PDAM selaku pelaku usaha kepada konsumen. Klausula eksonerasi tersebut melindungi PDAM apabila suplai air ke persil pelanggan tersendat-sendat. Padahal kelancaran suplai air merupakan kenyamanan yang diharapkan pelanggan dengan berlangganan air melalui PDAM. Sedangkan kenyamanan mengkonsumsi barang merupakan hal yang utama bagi pelanggan menurut Pasal 4 Undangundang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Bila kita lihat perlindungan hukum yang diberikan oleh PDAM terhadap pelanggannya belum maksimal walaupun untuk proses pengaduan pelayanan dapat diselesaikannya tetapi di sini konsumen tidak bisa menuntut ganti rugi kepada PDAM karena untuk membuktikan unsur kesalahan PDAM. PDAM akan berlindung dalam perjanjian baku yang dibuat PDAM dan telah ditandatangani kedua belah pihak termasuk konsumen PDAM. Masih dalam konteks perlindungan konsumen dalam Undangundang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sudah diatur dalam pasal 2 yakni sebagai berikut 71: 1) Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya
71
dalam
penyelenggaraan
perlindungan
konsumen
harus
Nasution Az. 1993. Hukum dan Konsumen. Tinjauan Sosial, Ekonomi dan Hukum pada Perlindungan Konsumen Indonesia. Jakarta : Pustaka. Hal. 76
120
memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan. 2) Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil 3) Asas
keseimbangan
dimaksudkan
untuk
memberikan
jaminan
keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan. 4) Asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum. Khusus perlindungan konsumen dengan adanya perjanjian baku dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sudah dilindungi di antaranya dalam Pasal 18 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bahwa larangan pencantuman klausula/perjanjian baku yang mengandung klausula eksonerasi atau klausula yang merugikan konsumen. Kemudian dalam Pasal 49 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
pemerintah membentuk Badan
121
Penyelesaian
Sengketa
Konsumen
di
Daerah
Tingkat
II
untuk
penyelesaian di luar pengadilan. Dalam Pasal 52 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disebutkan tugas dan wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen meliputi : 1) Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi; 2) Memberikan konsultasi perlindungan konsumen; 3) Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku; 4) Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam Undang-undang ini; 5) Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; 6) Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen; 7) Memanggil
pelaku
usaha
yang
diduga
telah
melakukan
pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; 8) Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap Undangundang ini; 9) Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, ahli atau setiap orang sebagaimana dimaksud dalam huruf g
122
dan huruf h yang tidak bersedia memenuhi panggilan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen; 10) Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen atau alat bukti lain guna penyelediaikan dan/atau pemeriksaan; 11) Memutuskan dan menetapkan ada atau tidaknya kerugian di pihak konsumen; 12) Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; 13) Menjatuhkan sanksi administratif
kepada
pelaku usaha yang
melanggar ketentuan Undang-undang ini. Salah satu dari isi Pasal 52 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ini menyebutkan
tugas Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku. Kemudian pada Pasal 62 ayat (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa bagi para pelaku usaha yang melanggar pasal 18 yaitu pencantuman klausula/perjanjian baku yang merugikan konsumen dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) Berdasarkan pasal-pasal tersebut di atas pencantuman perjanjian baku sudah diatur dan dilindungi oleh Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tetapi dalam prakteknya di
123
Indonesia perjanjian baku itu sendiri belum dipahami dan dimengerti oleh para konsumen, bahkan oleh para pelaku usaha sendiri belum secara maksimal mengerti tentang pembuatan perjanjian baku yang benar yang tidak mengandung klausula eksonerasi atau klausula yang merugikan konsumen. Realiasasi dan pelaksanaan pengawasan dan tindak lanjut bagi pencantuman klausula/perjanjian baku yang merugikan konsumen belum ada sanksi secara tegas dari aparat yang berwenang, walaupun sanksinya sudah diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Secara umum dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata telah memberikan perlindungan hukum atas hak-hak pelanggan PDAM untuk mendapatkan ganti rugi dari PDAM. Terdapat dua dalil yang dapat digunakan untuk mengajukan tuntutan ganti rugi yaitu dalil wanprestasi (ingkar janji) dan dalil onrechtmatigheid (perbuatan melawan hukum), terdapat dalam pasal 1267 KUH Perdata “Pihak terhadap siapa perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih apakah ia jika hal tersebut masih dapat dilakukan akan memaksa pihak yang lain untuk memenuhi persetujuan atau ia akan menuntut pembatalan persetujuan, disertai penggantian biaya, kerugian dan bunga” Pasal 1365 KUH Perdata menyebutkan bahwa :”Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain,
124
mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”72. Tetapi dalam tuntutan ganti rugi, seperti tersebut di atas tidak bisa dilaksanakan oleh konsumen PDAM Brebes, karena dalam perjanjian bakunya terdapat klausul yang berbunyi tidak akan menuntut ganti rugi jika kondisi air kurang lancar. Oleh karena itu sosialisasi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen perlu dilaksanakan secara terus menerus baik untuk pelaku usaha maupun konsumen agar mereka mengerti bahwa kedudukan antara pelaku usaha dan konsumen itu seimbang. Baik pelaku usaha dan konsumen sama-sama mempunyai hak dan kewajiban yang dihadapi dan diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Kemudian khusus untuk perjanjian baku pun sudah dilindungi dan diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tetapi baik konsumen dan pelaku usaha banyak yang tidak mengerti tentang perjanjian baku. Bagi pengusaha itu sendiri pun dalam mereka membuat perjanjian baku selalu saja masih mencantumkan klausul eksonerasi tanpa mau tahu bahwa hal tersebut dilarang dalam Undangundang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen .
72
R. Subekti. 1991. Hukum Perjanjian. Jakarta : Penerbit. PT. Inter Nusa
125
Bagi konsumen itu sendiri banyak yang tidak mengerti bagaimana sebenarnya perjanjian baku itu harus dibuat. Kalau perjanjian baku tersebut dibuat dengan merugikan konsumen sanksi pidananya pun sudah diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sehingga di sini sebaiknya yang membatasi pihak pelaku usaha dalam membuat klausula eksonerasi dan campur tangan dari pemerintah dalam pengawasan pembuatan dan pencantuman klausula baku sehingga Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bisa berjalan efektif dalam masyarakat, kesadaran masyarakat juga diperlukan dalam hal ini terhadap perlindungan konsumen. Upaya dan Solusi untuk meningkatkan Perlindungan terhadap Konsumen PDAM 1) Upaya dan solusi Eksternal a)
Perubahan terhadap Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2003 tentang Tarip Pengelolaan Air Minum Kabupaten Brebes Peraturan Daerah ini mempunyai kedudukan yang penting dalam hubungannya antara PDAM dengan pelanggan, karena peraturan Daerah tersebut menjadi dasar bagi PDAM dalam melakukan tindakan untuk memberikan pelayanan penyaluran air minum ke pelanggan. Atas dasar ini PDAM membuat perjanjian baku antara PDAM dengan pelanggan sebagaimana tercantum dalam form-form permohonan berlangganan, bukti berlangganan.
126
Kwitansi penerimaan dan form-form yang lain yang berhubungan dengan prosedur berlangganan PDAM. Dalam membuat perjanjian baku dilarang mencantumkan klausul eksonerasi atau klausul yang merugikan konsumen, karena ketentuan tersebut dilarang dalam Pasal 18 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Atas dasar itulah, maka Peaturan Daerah Nomor 11 Tahun 2003 tentang Tarif Pengelolaan Air Minum Kabupaten Brebes beberapa hal yang perlu diubah dengan hal-hal sebagai berikut : (1) Memasukkan Hak-hak pelanggan PDAM dalam Peraturan Daerah, dalam hal ini dapat diambil hak-hak normatif konsumen sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (2) Selain hak-hak pelanggan PDAM juga dimasukkan hak dan kewajiban PDAM sehingga di sini ada kedudukan yang seimbang antara PDAM sebagai pelaku usaha dan konsumen PDAM akan hak dan kewajibannya. (3) Ketentuan-ketentuan yang bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, utamanya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dihilangkan. (4) Ketentuan-ketentuan yang seharusnya menjadi tanggung jawab PDAM sebagai pelaku usaha dibebankan kepada konsumen PDAM dihilangkan.
127
(5). Dilarang mencantumkan Klausula baku/perjanjian baku yang merugikan konsumen. b) Mempercepat penyelesaian pengaduan yang dilaporkan oleh pelanggan “Pembeli adalah raja”. Pepatah bisnis tersebut harus diubah oleh PDAM menjadi “Pelanggan adalah raja”. Dengan demikian maka kepuasan, kenyamanan, keselamatan dan keamanan pelanggan dalam mengkonsumsi air adalah hal yang utama. Hal ini diwujudkan dengan percepatan pelayanan kepada pelanggan apabila terdapat keluhan-keluhan melalui jalur pengaduan. PDAM dituntut untuk responsif terhadap keluhan yang disampaikan oleh pelanggan PDAM harus dapat meninggalkan image instansi pemerintah yang birokratis dengan prosedur-prosedur baku yang ketat. PDAM harus tampil dengan performen baru. Bagi PDAM mempercepat penyelesaian pengaduan pelanggan lebih menguntungkan, karena dapat menghindari gugatan pelanggan melalui jalur peradilan. Dalam praktek kesan yang muncul adalah justru tidak cepatnya PDAM dalam menyelesaikan pengaduan pelanggan. Sehingga kesan yang timbul adalah kalau persoalan pembayaran rekening PDAM sangat tepat waktu, sedangkan soal hak-hak pelanggan PDAM sangat lambat dalam meresponsnya. Oleh karena itu kesan
128
tersebut harus diubah dengan memberikan yang terbaik bagi pelanggan.
Anggapan
bahwa
masyarakatlah
yang
membutuhkan air dari PDAM harus diubah. Apalagi dalam otonomi daerah saat ini, daerah dituntut untuk mampu mengoptimalkan potensi yang ada di daerah dalam rangka meningkatkan pendapatan asli daerah sebagai modal utama untuk pembangunan daerah. 2) Upaya dan solusi Internal Upaya dan solusi internal adalah Upaya dan solusi PDAM yang bersifat ke dalam, yaitu pembenahan ke dalam seperti hal-hal sebagai berikut : a)
Melakukan revisi terhadap perjanjian baku antara PDAM dengan pelanggan Untuk memberikan pelayanan yang cepat pada masyarakat
untuk
menjadi
pelanggan
PDAM,
maka
keberadaan perjanjian baku tidak dapat ditawar-tawar lagi. Dapat dibayangkan apabila setiap calon pelanggan diberikan kesempatan untuk menentukan syarat-syarat tersendiri seperti halnya perjanjian pada umumnya, maka yang terjadi adalah banyaknya masyarakat yang tidak terlayani oleh PDAM. Namun demikian, meskipun syarat-syarat atau hak dan kewajiban masing-masing pihak ditentukan secara sepihak
129
oleh PDAM, hendaknya tidak kehilangan keseimbangan atau kesetaraan antara PDAM dengan pelanggan. Dalam perjanjian baku tersebut harus termuat secara jelas tentang hak dan kewajiban masing-masing pihak secara seimbang. Tidak seperti halnya yang terjadi saat ini, di mana pelanggan
berada
pada
pihak
yang
selalu
dituntut
kewajibannya membayar rekening tepat waktu, tanpa ada klausul yang memuat tentang hak-hak pelanggan. Sehingga dalam perjanjian baku hendaknya jangan dicantumkan klausula eksonerasi atau klausul yang merugikan konsumen bahkan dalam Pasal 18 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen melarang pencantuman klausula eksonerasi tersebut. b)
Menciptakan keterbukaan dalam prosedur berlangganan PDAM Dalam membuat prosedur hendaknya memperhatikan dan memberikan jaminan terhadap hak-hak pelanggan. Dan mencerminkan
keterbukaan
dalam
prosedur.
Sehingga
prosedur tersebut bersifat efesien dan efektif (tepat guna dan berdaya guna). Yang patut disoroti dalam prosedur berlangganan PDAM adalah kurangnya keterbukaan dari pihak PDAM tentang hak-hak pelanggan, kondisi air yang akan disalurkan,
130
larangan-larangan yang tidak boleh dilakukan pelanggan. Terdapat kecenderungan bahwa bagi masyarakat yang terpenting airnya terpasang dan dia tidak pernah tahu apa hak dan kewajibannya. Yang diketahui adalah bahwa ia harus bayar sekian dan setelah disambung harus membayar sekian, tanpa mengetahui bagaimana dan apa yang harus dilakukan kalau air yang disalurkan PDAM tidak berkualitas. Bahkan mereka yang mendaftarkan berlangganan melalui perantara (pihak ketiga) sama sekali tidak mengetahui seluk beluk yang terjadi. Hal ini dapat dipahami karenanya sosialisasi dari pihak PDAM tentang hal-hal tersebut masih sangat kurang. Berdasarkan hal
tersebut
di
atas dan dengan
memperhatikan sikap kritis masyarakat saat ini, maka sudah waktunya PDAM menerapkan sistem manajemen atau pengelolaan yang transparan. Pelanggan harus diberi hak untuk mengakses informasi tentang PDAM, kesulitankesulitan yang dihadapi PDAM, hak dan kewajiban pelanggan, sehingga sikap
kritis masyarakat justru dapat
memacu kinerja PDAM dalam memberikan pelayanan umum (public service). c)
Meningkatkan kualitas sumber daya manusia Sumber daya manusia merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam upaya meningkatkan pelayanan
131
masyarakat. Apalagi di tengah-tengah masa reformasi ini, di mana aparat pemerintah berada dalam posisi diawasi oleh masyarakat,
sedikit
kesalahan
dilakukan
oleh
aparat
pemerintah, maka umpatan dan cacian dari masyarakat kerap kali sebagai balasannya. Oleh karena itu setiap instansi dituntut untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Hal demikian tidak terkecuali PDAM sebagai instansi pemerintah. Kinerja PDAM selalu mendapat perhatian masyarakat, bahkan akhir-akhir ini kalangan anggota Dewan pun tidak ketinggalan menyorot kinerja PDAM. Untuk itulah dalam rangka peningkatan pelayanannya, maka kualitas sumber daya manusia harus senantiasa ditingkatkan baik keahliannya maupun keterampilannya.
132
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan 1. Perjanjian Baku PDAM tentang proses permohonan menjadi pelanggan air minum adalah suatu perjanjian tertulis yang dibuat oleh salah satu pihak dalam hal ini PDAM dengan masyarakat baik perorangan maupun badan usaha baik berbadan hukum maupun badan usaha bukan berbadan hukum sebagai konsumen PDAM dan biasanya kontrak tersebut berbentuk formulir
yang
sudah
dibakukan.
Konsumen
PDAM
tinggal
menandatangani tanpa bisa bernegosiasi atau mengubah klausulklausulnya dan konsumen PDAM wajib dan tunduk kepada isi dari perjanjian dan peraturan yang telah ditetapkan oleh PDAM sehingga perjanjian baku tersebut menjadi berat sebelah. Dalam perjanjian baku PDAM ternyata klausulnya mengandung klausul eksonerasi, yaitu klausul yang merugikan konsumen dan berat sebelah. Karena perjanjian baku PDAM tersebut mengandung klausul eksonerasi dan berat sebelah maka tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian seperti yang terdapat dalam Pasal 1320 Kuh Perdata yaitu syarat yang pertama, adanya kata sepakat dan syarat yang keempat, adanya kausa yang halal Perjanjian baku PDAM karena memberatkan salah satu pihak potensial untuk melanggar prinsip itikad baik seperti dalam Pasal 1338 KUH Perdata. Perjanjian baku PDAM dipergunakan juga secara massal maka bertentangan dengan ketertiban umum. Karena konsumen tidak punya pilihan lain selain menjadi konsumen PDAM yang merupakan usaha monopoli dan air merupakan kebutuhan yang vital maka klausulanya bertentangan dengan prinsip kesusilaan. Perjanjian baku PDAM juga melanggar doktrin-doktrin kontrak baku yang ada dan pencatuman klausul eksonerasi pada perjanjian baku PDAM bertentangan dengan Pasal 18 ayat 1 (satu) UUPK No. 8 Tahun 1999.
133
2. Perlindungan hukum yang diberikan PDAM terhadap konsumen atau pelanggan PDAM belum maksimal, di mana hak-hak konsumen PDAM seperti kenyamanan, keamanan dan keselamatan mengkonsumsi aor PDAM belum terpenuhi, karena air mengalir tidak kontinyu, hanya sewaktu-waktu, itupun mengalir dalam debit kecil, bahkan di beberapa tempat tidak mengalir. Air kadang dalam keadaan keruh, sehingga tidak layak untuk diminum. Kalau terdapat keluhan dari pelanggan, proses penanganannya memakan waktu agak lama dan kadang loket pengaduan hanya sekedar formalitas saja, karena perjanjian baku PDAM tersebut dalam klausul eksonerasinya menyebutkan tidak akan menuntut jika kondisi air kurang lancar, maka ketentuan tersebut telah menghalangi pelanggan PDAM mengajukan gugatan ganti rugi karena wanprestasi terhadap PDAM atas kerugian yang dideritanya. Perlindungan hukum terhadap konsumen dengan adanya perjanjian baku tersebut diatur dalam Pasal 18 ayat (1), Pasal 52 dan Pasal 62 ayat (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
B. Saran-saran 1. PDAM dalam membuat perjanjian baku hendaknya jangan mencantumkan klausul eksonerasi atau klausul yang merugikan konsumen, karena ketentuan tersebut dilarang dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan melakukan
134
revisi terhadap perjanjian baku tersebut serta sebaiknya PDAM menciptakan keterbukaan dalam prosedur berlangganan PDAM. 2. Agar perlindungan hukum yang diberikan oleh PDAM bisa optimal, maka perlu dilakukan perubahan terhadap Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2003 tentang Tarif Pengelolaan Air Minum Kabupaten Brebes, seperti halhal sebagai berikut : a. Memasukkan hak-hak pelanggan dalam Perda tersebut. b. Memasukkan hak dan kewajiban pelaku usaha dalam hal ini PDAM. c. Larangan pencantuman klausula eksonerasi dalam perjanjian baku. Kemudian mempercepat proses penyelesaian pengaduan yang dilaporkan pelanggan PDAM sehingga konsumen mendapatkan pelayanan dan perlindungan hukum yang baik dari pihak PDAM.