LAPORAN ANALISIS PERDAMAIAN-PEMBANGUNAN PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR: PROMOSI PERDAMAIAN BERKESINAMBUNGAN DAN PEMBANGUNAN MANUSIA SECARA ADIL Studi ini bertujuan meneliti penyebab dan dampak konflik antara warga setempat Timor Barat dengan warga asal Timor Timur,, kapasitas sosial yang mampu menyumbang ke arah perdamaian dan pembangunan manusia, dan kerentanan kapasitas sosial tersebut. Data yang terkumpul akan digunakan untuk mengembangkan program yang spesifik lokal dalam suatu kerangka lebih luas yang diarahkan pada promosi perdamaian berkesinambungan dan pembangunan manusia yang adil. Antara tanggal 7-31 Juli 2004 dilaksanakan wawancara dan/atau diskusi kelompok dengan informan dari kalangan Pemerintah Daerah, badan legislatif, organisasi masyarakat madani, media massa, warga asal Timor Timur, dan warga lokal Timor Barat di satu kota dan dua kabupaten di Timor Barat, diikuti lokakarya di Kupang pada tanggal 29 Juli 2004 yang mengikutsertakan sejumlah informan dan wakil beberapa organisasi masyarakat. Data sekunder dikumpulkan sebelum, selama maupun setelah pelaksanaan penelitian lapangan. Menyusul pelaksanaan referendum tanggal 30 Agustus 1999 di Timor Timur yang dimenangkan fihak pro-kemerdekaan serta dilakukannya kekerasan terhadap warga sipil serta penghancuran infrastruktur di seluruh Timor Timur oleh fihak pro-integrasi, sekitar 284.414 penduduk Timor Timur mengungsi atau diungsikan dan kemudian menetap atau ditempatkan di semua kabupaten dan kota di Timor Barat. Penyebab struktural konflik terutama bersumber pada ketegangan antara warga asal Timor Timur dengan warga komunitas lokal Timor Barat di kawasan dalam mana warga asal Timor Timur bermukim atau ditempatkan oleh Pemerintah. Permukiman pengungsi berada di atas lahan milik Negara atau lahan yang dimiliki komunitas ataupun tuan tanah lokal. Kedekatan fisik dan kontak antara kedua kelompok, persaingan untuk mengendalikan sumber daya alam yang langka, dan persaingan usaha menjadi penyebab langsung konflik di antara kedua kelompok. Para warga asal Timor Timur mengidentifikasikan diri mereka dengan Negara Republik Indonesia namun menganggap Timor Timur sebagai tanah air mereka dan berharap agar suatu waktu dapat kembali manakala keadaaan ekonomi dan politik memungkinkannya. Di samping identitas politik yang membedakan mereka dengan warga Timor Barat ini, dijumpai pula perbedaan identitas lain yang didasarkan atas perbedaan etnisitas, agama, dan pengalaman kolonial antara warga asal Timor Timur dengan warga Timor Barat.
1
Ketidaksetaraan ekonomi di antara kedua kelompok terjadi manakala pada awal exodus warga setempat yang umumnya berasal dari kelompok ekonomi lemah berbagi tempat tinggal dan makanan dengan para pendatang dari Timor Timur namun kemudian para pendatang memperoleh bantuan kemanusiaan sedangkan warga lokal tidak. Ketidaksetaraan ekonomi berikut terjadi manakala warga pendatang yang telah menyatakan diri sebagai Warga Negara Indonesia dan telah memiliki KTP serta telah mengikuti Pemilihan Umum tahun 2004 tidak mendapat akses ke bantuan Pemerintah bagi kelompok ekonomi lemah yang tersedia bagi warga lokal. Di kalangan warga asal Timor Timur sendiri dijumpai ketidaksetaraan ekonomi; manakala mereka yang bersedia mengikuti program Pemerintah tertentu memperoleh bantuan, sedangkan mereka yang tidak mau ataau tidak dapat mengikuti program tidak memperoleh bantuan. Ketidaksetaraan lain di kalangan warga pendatang sendiri bersumber pada perbedaan kekuasaan di dalam kamp pengungsi. Ketidaksetaraan politik di tahap awal terjadi antara warga asal Timor Timur yang bersikap pro-integrasi dan mereka yang bersikap pro-kemerdekaan. Setelah mengungsi ke Timor Barat warga yang bersikap pro-kemerdekaan sering menjadi sasaran berbagai bentuk kekerasan oleh warga pro-integrasi dan aparat, termasuk pembunuhan. Pada tahap berikut warga asal Timor Timur mengalami ketidaksetaraan politik; mereka umumnya tidak dianggap sebagai warga komunitas lokal dan dengan demikian tidak memperoleh hakhak politik yang dimiliki warga lokal. Dalam pandangan sejumlah warga lokal para warga asal Timor Timur memiliki sejumlah sifat budaya negatif, seperti sifat kasar, rasa mau menguasai, keras, manipulatif, rasa mau memiliki, suka berjudi, dan suka minum minuman keras. Mereka dianggap tidak mengikuti program keluarga berencana sehingga jumlah mereka cepat bertambah. Pada tahap awal mereka ditakuti karena sering membawa senjata api. Mereka pun dianggap manja karena telah beberapa dasawarsa dimanjakan Pemerintah Indonesia sehingga setelah berada di Timor Barat mereka pun selalu mengajukan berbagai tuntutan. Pun ada pandangan bahwa di kalangan mereka sering terjadi penyalahgunaan bantuan kemanusiaan yang telah mereka terima. Dalam pandangan warga asal Timor Timur, di lain fihak, mereka telah diperlakukan secara tidak adil dan diterlantarkan oleh Pemerintah RI padahal mereka telah mempertaruhkan nyawa mereka untuk membela Republik. Menurut mereka kedatangan mereka ke Timor Barat bukan secara sukarela melainkan dilakukan secara paksa sedangkan rumah berikut harta benda di dalamnya dibakar dan milik pribadi mereka dirampok. Mereka berpendapat kesemuanya ini terjadi karena Pemerintah Habibie mengizinkan dilaksanakannya referendum, sehingga Pemerintahlah yang harus bertanggung jawab atas nasib yang telah menimpa mereka. Mereka pun merasa bahwa selama berada di Timor Barat mereka mengalami berbagai bentuk diskriminasi, seperti diskriminasi dalam pelayanan kesehatan, dalam
2
pemberian bantuan bagi warga dari kalangan ekonomi lemah, dalam pelayanan kredit bank, dan dalam program bantuan pembangunan rumah, serta dalam pemberian cap “warga eks Timor Timur.” Mereka pun mempertanyakan keterbukaan dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana bantuan dari donor dalam dan luar negeri serta kelayakan proyek yang telah mengatasnamakan mereka. Pelaku utama kekerasan di Timor Barat pasca jejak pendapat terdiri atas warga Timor Timur dari kalangan pro-integrasi maupun dari kalangan TNI dan POLRI, sedangkan yang menjadi korban kekerasan mereka adalah warga Timor Timur dari kalangan pro-kemerdekaan, warga lokal Timor Barat (meskipun pada peristiwa tertentu mereka pun menjadi penyebab konflik). anggota PNS, petugas PBB dan fihak lain yang dianggap sebagai musuh seperti pers asing. Konflik membawa kerugian bagi warga asal Timor Timur yang kehilangan tempat tinggal dan harta benda mereka di Timor Timur dan tidak semua dapat kembali ke Timor Timur karena adanya ancaman pidana Negara Timor Leste bagi pelaku kejahatan berat. Warga lokal pun banyak yang dirugikan karena terpaksa harus berbagi lahan dan air mereka dengan warga asal Timor Timur untuk jangka waktu berkepanjangan tanpa prospek penyelesaian yang jelas. Fihak yang diuntungkan dengan adanya konflik ialah warga asal Timor Timur yang dalam jangka waktu tertentu memperoleh bantuan pangan dan tempat tinggal, fihak ketiga yang ikut memperoleh manfaat dari bantuan kemanusiaan yang berjumlah besar, serta warga asal Timor Timur yang mampu menyalahgunakan bantuan. Dampak konflik di bidang politik terwujud dalam bentuk dipilihnya kewarganegaraan RI oleh sebagian besar warga asal Timor Timur yang diikuti dengan keikutsertaan mereka dalam Pemilihan Umum 2004. Dampak di bidang pembangunan ekonomi lokal dijumpai dalam pemanfaatan dana bantuan untuk pengungsi di sektor formal seperti dalam pembangunan sarana fisik, pembelian barang, dan berbagai kegiatan pelaksanaan program, penelitian dan pengembangan. Di bidang pengelolaan sumberdaya alam dijumpai perusakan lingkungan hidup, termasuk di dalamnya perubahan hutan adat menjadi lahan pertanian. Kehadiran warga asal Timor Timur diikuti dengan peningkatan kejahatan dan penurunan keamanan fisik di Timor Barat, baik yang dilakukan oleh warga asal Timor Timur maupun oleh oknum aparatur Pemerintah. Di bidang hubungan antar-etnis dan antaragama dijumpai ketegangan karena berubahnya perimbangan sehingga warga local yang semula merupakan kelompok mayoritas berubah menjadi kelompok minoritas. Perubahan perimbangan ini mempengaruhi pula hubungan antar-remaja dan antar jenis kelamin di sekolah. Penghentian bantuan kemanusiaan karena tregedi Atambua dan perubahan kebijakan Pemerintah telah berdampak negatif pada tingkat kesehatan, keamanan pangan dan tingkat pendidikan warga asal Timor Timur.
3
Pemerintah Daerah maupun organisasi non-pemerintah telah memprakarsai bebagai program pembangunan perdamaian untuk menfasilitasi komunikasi dan integrasi kedua kelompok. Pun telah diprakarsai berbagai program oleh instansi Pemerintah, swasta, non-pemerintah maupun internasional dan luar negeri yang mencakup bantuan evakuasi, penyediaan pangan dan tempat tinggal darurat, fasilitas kesehatan dan pendidikan, relokasi ke daerah lain, pemberdayaan ekonomi, program peningkatan penghasilan, tawaran keikutsertaan dalam migrasi internasional, penugasan kembali anggota TNI dan PNS, rekonsiliasi dengan warga Timor Leste, repatriasi sukarela ke Timor Leste, dan keikutsertaan dalam Komisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi Timor Leste. Berbagai upaya telah ditempuh untuk menanggulangi ketidaksetaraan ekonomi antara keduia kelompok.
masalah
Meskipun demikian, persaingan untuk menguasai sumber daya alam yang langka serta perbedaan kebudayaan telah menimbulkan prasangka, stereotipe negatif, dan diskriminasi yang mengakibatkan adanya ketegangan antara kediua kelompok. Tindakan oknum aparatur, terutama dari TNI dan Polri yang mengancam keamanan manusia senantiasa menjadi sorotan pers lokal maupun organisasi non-pemerintah yang melakukan upaya berupa pembedayaan, serta advokasi dan konseling bagi korban kekerasan.. Dalam berbagai dokuman PBB diidentifikasi sejumlah isu/ masalah/ keprihatinan berkenaan dengan masalah pengungsi di Indonesia. Tanggapan terhadap isi dokumen tersebut, khususnya yang menyangkut NTT, ialah bahwa di antara warga lokal dan warga asal Timor Timur dijumpai sikapsikap permusuhan dan penolakan oleh warga lokal manakala sengketa di antara mereka tidak terseselesaikan secara memuaskan. Untuk menyelesaikan masalah antar-kelompok dan membangun perdamaian diperlukan dialog di antara mereka. Kekhawatiran warga asal Timor Timur terhadap kemungkinan masih adanya kebencian dan keinginan balas dendam warga Timor Leste terhadap mereka merupakan faktor penghambat proses repatriasi. Ketakutan warga lokal atas keselamatan pribadi mereka di kala berlangsung exodus warga Timor Timur pada tahun 1999 telah berubah menjadi ketakutan terhadap dominasi politik dan ekonomi oleh warga asal Timor Timur. Dihentikannya bantuan kemanusiaan telah mengakibatkan penderitaan pada warga asal Timor Timur karena banyak di antara mereka tidak mempunyai penghasilan secara berkesinambungan. Warga asal Timor Timur mengeluhkan mahalnya biaya pengurusan KTP serta adanya perbedaan hak antara mereka dengan warga lokal. Mereka pun merasa tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut diri mereka. Di kalangan mereka masih dijumpai warga yang masih menderita trauma sebagai akibat konflik yang telah mereka alami.
4
Sejumlah warga lokal memelukan perlindungan lahan, permukiman dan hasil pertanian mereka terhadap pemanfaatannya oleh warga asal Timor Timur. Banyak di antara kasus demikian belum terselesaikan dan berpotensi memicu konflik. Sejumlah warga asal Timor Timur merasa tidak puas dengan permukiman yang tersedia, baik bahan bangunannya, letaknya, status kepemilikannya, maupun ketiadaan sarana pendukung utama yang telah dijanjikan Pemerintah seperti jalan, sekolah, fasilitas kesehatan dan air. Meskipun upaya komunikasi, informasi dan pendidikan telah diselenggarakan untuk menyadarkan para warga asal Timor Timur perihal pilihan, hak dan kewajiban mereka, namun upaya ini kurang berhasil karena adanya masalaha intern di dalam dalam maupun di luar komunitas kamp pengungsi yang mengurangi efektivitas upaya tersebut. Data mengenai pengungsi pun sering tidak akurat dan pasti karena komunitas warga asal Timor Timur tidak terintegrasi dengan warga lokal. Kenyataan bahwa dihentikannya bantuan telah mengakibatkan penderitaan pada banyak warga asal Timor Timur. Hambatan utama terhadap perdamaian dan pembangunan manusia terdiri atas tindakan berdasarkan kepentingan pribadi dan golongan maupun ketidaktahuan para anggota legislatif, pejabat Pemerintah dan stakeholder lain yang terkait yang merupakan penghambat bagi tercapainya perdamaian positif dan pembangunan manusia secara berkesinambungan manakala tindakan tersebut tidak sejalan dengan kepentingan rakyat. Ketidaksetaraan dalam pemberian bantuan kemanusiaan ataupun tunjangan kepada suatu kelompok penduduk dengan mengabaikan kelompok lain telah mengakibatkan terjadinya kesenjangan sosial-ekonomi ekonomi yang menghabat perdamaian dan pembangunan manusia. Kohesi sosial dan budaya terhambat karena telah terbentuknya persepsi dan sikap negatif terhadap masing-masing kelompok. Faktor-faktor seperti persaingan untuk memperoleh akses ke sumber daya alam yang langka, adanya perbedaan kebudayaan, dan ketakutan warga lokal terhadap dominasi politik dan ekonomi oleh kelompok Timor Timur menunjukkan adanya keperluan untuk merelokasi warga asal Timor Timur ke tempat lain kecuali bila masalah hubungan antar-kelompok dapat diatasi melalui upaya pembangunan perdamaian secara intensif ataupun program intensif lain yang dapat mengarah ke kohesi sosial dan budaya secara berkesinambungan. Namun upaya untuk melibatkan warga asal Timor Timur dalam programprogram repatriasi, relokasi (permukiman kembali dan transmigrasi) serta solusi lain yang ditawarkan Pemerintah dengan dukungan masyarakat lokal menghadapi berbagai kendala yang bersumber pada hambatan dari dalam maupun dari luar diri warga asal Timor Timur, serta masalah yang terkait dengan perencanaan dan implementasi program-program tersebut. Masalah keamanan manusia berupa pelanggaran hak asasi manusia oleh anggota aparatur pemerintah merupakan sumber utama rasa takut dan ketidakpastian di kalangan rakyat dan masalah mendasar yang menghambat pembangunan damai.
5
Kerentanan: dalam struktur politik dan ekonomi dijumpai korupsi, ketiadaan visi ekonomi, dan peran Pemerintah Pusat. Di bidang ketidaksetaraan sosioekonomi dijumpai ketidaksetaraan dalam perlakuan warga yang dapat memicu konflik. Di bidang kohesi sosial dan budaya dihadapi sengketa tanah dan sumber air yang tidak terselesaikan serta perbedaan kebudayaan dan agama. Di bidang keamanan manusia dijumpai ancaman kekerasan horisontal maupun vertikal. Kapasitas yang dijumpai terdiri atas inisiatif pembanguhan perdamaian oleh lembaga Pemerintah, pemimpin tradisional dan lokal, dan organisasi nonpemerintah, termasuk di dalamnya fasilitasi pertemuan antara kedua kelompok dan promosi perdamaian kaum remaja di sekolah melalui pembangunan sekolah perdamaian, serta konsultasi, advokasi, dan pembangunan kapasitas oleh organisasi non-pemerintah di tingkat lokal. Untuk perencanaan dan implementasi program perdamaian dan pembangunan direkomendasikan pengadaan mekanisme melekat di bidang tranparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana, perencanaan, dan implementasi program perdamaian dan pembangunan, mekanisme melekat untuk menjamin kesetaraan akses dan kesempatan untuk memperoleh pelayanan dan fasilitas publik bagi semua warga yang masih rentan terhadap kerawanan gizi, masalah kesehatan dan kesempatan pendidikan karena ketiadaan penghasilan yang berkesinambungan tanpa memandang etnisitas, ras, agama, jenis kelamin dan ideology, keterlibatan aktif semua stakeholder, termasuk di dalamnya para subyek kegiatan pembangunan maupun organisasi masyarakat madani, dalam perancanaan dan implementasi program perdamaian dan pembangunan yang dititikberatkan pada pendekatan pemberdayaan masyarakat akar rumput secara partisipatoris dan dari bawah ke atas (bottom-up), program advokasi dan dukungan bagi korban kekerasan (termasuk terhadap kaum perempuan), program pemberdayaan perempuan, khususnya di bidang partisipasi dalam pendidikan formal, usaha kecil dan menengah, dan politik, seperti pada pemilihan calon perempuan pada pemilihan umum calon anggota legislative di tingkat nasional, propinsi dan desa/kota serta pada pemilihan presiden. Program pembangunan perdamaian yang direkomendasikan dalam jangka pendek terdiri atas dukungan bagi program komunikasi, informasi dan pendidikan di bidang ketrampilan pembangunan perdamaian, sedangkan untuk jangka panjang direkomendasikan dukungan bagi pembelajaran prinsip-prinsip pendidikan multicultural pada jenjang pendidikan dasar, menengah dan tinggi, khususnya dengan jalan mengintegrasikannya dalam kurikulum berbasis kompetensi yang telah diterapkan secara nasional di bidang pendidikan dasar, menengah dan tinggi. Bagi program keamanan manusia direkomendasikan dukungan bagi pemberdayaan kegiatan pemantauan hak asasi manusia dan program advokasi, dukungan hukum, kesehatan, psikologis, serta ekonomi bagi korban pelanggaran hak asasi manusia.
6