Bidang Unggulan: Manajemen Lahan Basah/ Ketahanan Pangan Kode/Nama Rumpun: 211/ Ilmu Peternakan
LAPORAN AKHIR PENELITIAN UNGGULAN PERGURUAN TINGGI Development and Upgrading of Seven Universities in Improving the Quality and Relevance of Higher Education in Indonesia
PENGEMBANGAN FORMULA PAKAN ADITIF ITIK ALABIO BERBASIS AFLATOKSIN ADSORBEN DAN FITOFARMAKA HEPATOPROTEKTIF SURAT PENUGASAN No. 193/UN8.2/PL/2016
Tahun ke 1 dari rencana 3 tahun Tim Peneliti Dr. Ika Sumantri, S.Pt., M.Si., M.Sc. (NIDN 0007087304) Prof. Dr. Ir. Ali Agus, DAA., DEA. (NIDN 0022086604) Ir. Bambang Irawan, M.Si. (NIDN 0031035806)
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT NOPEMBER, 2016
ii
RINGKASAN Itik merupakan salah satu spesies berkemampuan rendah dalam mendetoksifikasi aflatoksin, di sisi lain iklim tropis menyebabkan tingginya prevalensi dan tingkat cemaran aflatoksin di Indonesia. Hal ini berakibat tingginya kemungkinan aflatoksikosis pada itik serta resiko adanya residu aflatoksin dalam produknya (daging, hati dan telur). Itik Alabio merupakan plasma nutfah lokal Kalimantan Selatan yang menjadi unggulan nasional. Konsumsi daging dan telur itik Alabio yang tinggi pada masyarakat menyebabkan resiko dampak negatif dari paparan aflatoksin, berupa kanker hati (hepato carcinoma), gangguan imunitas hingga kematian. Berdasarkan hal tersebut, tujuan umum dari penelitian ini adalah menemukan formula pakan aditif yang mampu secara efektif (1) mencegah dampak negatif konsumsi pakan tercemar aflatoksin (AFB1) terhadap produktivitas itik Alabio dan (2) meningkatkan keamanan pangan dengan menurunkan residu aflatoksin dalam daging dan telur itik Alabio. Penelitian dilaksanakan dalam tiga tahun penelitian. Pada tahun pertama penelitian terdiri atas dua tahap, yaitu (1) survei untuk mengetahui prevalensi dan tingkat cemaran AFB1 dalam pakan serta prevalensi dan tingkat cemaran residu aflatoksin dalam produk itik Alabio; (2) pengujian in vivo untuk mengetahui respon itik Alabio terhadap tingkat cemaran AFB1 pakan dan carry-over rate AFB1 pakan menjadi AFM1 dalam daging dan telur itik Alabio. Hasil penelitian tahap 1 (survei) memperlihatkan tingginya prevalensi cemaran aflatoksin pada pakan dan produk itik Alabio. Analisis 234 sampel pakan memperlihatkan cemaran AFB1 ditemukan pada 88% sampel dengan kisaran antara 2-192 ppb dan rerata 28 ppb atau di atas batas maksimum kandungan aflatoksin dalam pakan itik petelur menurut SNI 01-3910-2006 (20 ppb). Analisis pada 48 sampel hati menunjukkan semua sampel (100%) mengandung AFB1 dengan kisaran 53-77 ppb dan rerata 65 ppb. Analisis ELISA terhadap AFM1 pada sampel hati (n=48) memperlihatkan semua sampel (100%) mengandung AFM1 dengan kisaran 106-1.215 ppt dan rerata 304 ppt. Prevalensi yang sama juga ditunjukkan pada cemaran AFM1 dalam daging dan telur. Kandungan AFM1 dalam daging (n=42) berkisar antara 71-128 ppt dan rerata 91 ppt. Pada telur (n=38), kandungan AFM1 ditemukan lebih rendah, yaitu berkisar antara 10-36 ppt dan rerata 19 ppt. Penelitian tahap 2 (uji in vivo) perlakuan inklusi AFB1 dalam pakan pada level 0; 25; 37,5; dan 50 ppb selama 15 hari berpengaruh nyata terhadap pertambahan berat badan, produksi telur serta berat telur itik Alabio (P < 0,05). Peningkatan kadar AFB1 dalam pakan secara nyata menurunkan pertambahan berat badan. Penambahan AFB1 dalam pakan juga menyebabkan pembesaran ukuran hati, perubahan warna menjadi lebih cerah serta adanya penumpukan lemak hati, namun secara statistik tidak terdapat perbedaan yang nyata nyata (P > 0,05) pada berat hati maupun persentase berat hati antar perlakuan. Uji in vivo juga menunjukkan adanya residu AFB1 dan AFM1 dalam hati dan telur itik yang mendapat pakan terkontaminasi AFB1, meskipun dalam kadar yang sangat rendah (bertutut-turut < 2 ppb dan < 1 ppt), meskipun demikian AFM1 ditemukan dalam
iii
kadar yang bermakna dalam daging, yaitu antara 99,72 – 402,25 ppt. Penelitian ini juga memperlihatkan bahwa residu aflatoksin dalam hati, daging dan telur itik Alabio secara nyata dipengaruhi oleh kadar AFB1 dalam pakan. Sehingga menjadi sangat penting untuk mencegah kontaminasi AB1 dalam pakan dalam upaya menghindari adanya residu aflatoksin dalam produk itik.
iv
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN SAMPUL ………………………………………………. i HALAMAN PENGESAHAN ……………………………………….. ii RINGKASAN ……………………………………………………….. iii DAFTAR ISI ………………………………………………………… v DAFTAR TABEL …………………………………………………… vi DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………….. vii BAB 1. PENDAHULUAN …………………………………………… 1 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………... 4 BAB 3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ………………… 9 BAB 4. METODE PENELITIAN ……………………………………. 11 BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN ………………………………. 16 BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ……………………………… 25 DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………… 27 LAMPIRAN ………………………………………………………….. 30
v
DAFTAR TABEL
Judul Halaman Tabel 1. Cemaran AFB1 dalam pakan dan bahan pakan itik Alabio …. 16 2. Cemaran AFB1 dalam sampel hati itik Alabio ……………… 17 3. Cemaran AFM1 dalam sampel hati, daging dan telur itik Alabio ……………………………………………………….. 18 4. Pertambahan berat badan dan produksi telur itik Alabio pada penambahan aflatoksin dalam pakan ………………………… 19 5. Berat hati dan persentase berat hati itik Alabio pada penambahan aflatoksin dalam pakan ………………………… 21 6. Kandungan AFB1 dalam hati dan telur itik Alabio yang mendapat perlakuan penambahan aflatoksin dalam pakan ….. 22 7. Kandungan AFM1 dalam hati, daging dan telur itik Alabio yang mendapat perlakuan penambahan aflatoksin dalam pakan (ppt) …………………………………………………… 23
vi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Judul 1. Sertifikat presentasi oral pada seminar Internasional the 3rd APIS dan the 3rd ARCAP 2016 ………………………….. 2. Publikasi hasil penelitian di the 3rd APIS dan the 3rd ARCAP 2016 …………………………..…… 3. Bukti submit artikel hasil penelitian tahun 1 (2016) ke jurnal nasional terakreditasi ……………………………… 4. Draft artikel ilmiah telah di submit pada jurnal nasional terakreditasi (Buletin Peternakan) ……………………….. 4. Dokumentasi pelaksanaan penelitian ……………………..
vii
Halaman 30 31 37 38 46
1
BAB 1. PENDAHULUAN
Aflatoksin adalah senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan terutama oleh spesies fungi Aspergillus flavus dan A. parasiticus. Toksigenik strain dari spesies fungi tersebut umumnya ditemukan pada bahan pakan ternak, seperti bungkil kacang tanah, bungkil biji kapas, bungkil kopra dan jagung (Pietri et al., 1992; Gowda et al., 2013). Aflatoksin B1 (AFB1) merupakan jenis mikotoksin yang paling toksik dan sering ditemukan dibandingkan kelompok mikotoksin lainnya, dan oleh International Agency for Research on Cancer (IARC) telah dikelompokkan sebagai senyawa karsinogenik terhadap manusia (Richard, 2007). Kondisi klimat tropis sangat sesuai untuk pertumbuhan kapang dan produksi AFB1 dalam pakan ternak di Indonesia, sebagaimana diperlihatkan oleh beberapa penelitian sebelumnya (Sardjono et al., 1992; Goto et al., 1999; Bahri et al., 2005; Agus et al., 2013). Pada unggas, konsumsi pakan tercemar AFB1 menyebabkan kerusakan hati, gangguan sistem immun, produktivitas yang rendah hingga kematian (Diaz and Murcia, 2011). Penelitian awal memperlihatkan terjadinya transfer aflatoksin dari ternak laktasi yang mengkonsumsi pakan tercemar AFB1 ke dalam susu dengan senyawa utamanya adalah AFM1. Penelitian saat ini kemudian memperlihatkan bahwa AFM1 juga ditemukan dalam daging, hati, ginjal dan telur dari babi maupun unggas yang mengkonsumsi pakan tercemar AFB1 (Voelkel et al. 2011). Meskipun tingkatnya lebih rendah, AFM1 memiliki sifat toksik dan karsinogenik yang sama seperti AFB1 sehingga konsumsi produk ternak yang mengandung residu aflatoksin dapat berisiko terhadap terjadinya kanker hati pada manusia. Cara terbaik untuk menghindari dampak negatif konsumsi aflatoksin adalah dengan mencegah tumbuhnya fungi penghasil aflatoksin pada bahan pakan, namun hal ini sulit untuk dilakukan karena suhu dan kelembaban di Indonesia sangat ideal untuk pertumbuhan dan produksi aflatoksin. Selain itu, belum dilakukannya tata laksana pasca panen produk pertanian secara baik dan
2
kondisi penyimpanan bahan pakan yang tidak ideal menyebabkan tingginya kejadian dan tingkat cemaran AFB1 pada bahan pakan di Indonesia (Agus et al., 2013). Beberapa metode telah dikembangkan untuk mencegah dampak negatif paparan aflatoksin serta mengurangi transfer residunya, antara lain inaktivasi termal, irradiasi, amoniasi serta inaktivasi mikrobiologis. Meskipun demikian, metode-metode tersebut umumnya berbiaya mahal, memakan waktu, tidak efektif serta tidak aplikatif (Kabak et al., 2006; Li et al., 2010). Saat ini, metode yang paling banyak diteliti dan dikembangkan adalah penggunaan senyawa yang dapat menjerab dan mengikat aflatoksin (adsorben aflatoksin) yang dinilai lebih efektif karena dapat mencegah metabolisme dan absorpsi aflatoksin di saluran pencernaan. Penggunaan senyawa adsorben aflatoksin lebih efektif dan aplikatif karena senyawa adsorben secara relatif tidak mahal, telah dikelompokkan sebagai Generally Recognized as Safe (GRAS) oleh US-FDA dan dapat secara mudah diformulasikan dalam ransum (Kutz et al., 2009). Efektivitas penggunaan adsorben aflatoksin, seperti bentonit dan zeolit, telah ditunjukkan dapat mencegah dampak negatif konsumsi pakan tercemar AFB1 pada sapi perah serta menurunkan transfer residunya ke dalam susu sapi perah Indonesian FH (Sumantri et al., 2013; Sumantri, 2014). Meskipun demikian, masih belum diketahui efektivitas penggunaan adsorben aflatoksin pada ternak unggas, khususnya terhadap produktivitas itik Alabio yang mengkonsumsi pakan tercemar AFB1 dan kemampuannya dalam menurunkan residu aflatoksin di daging serta telurnya. Selain itu, masih sangat sedikit data yang diketahui tentang kejadian dan tingkat cemaran AFB1 pada bahan pakan lokal itik Alabio serta kandungan residu aflatoksin pada produk itik Alabio. Aflatoksin merupakan senyawa bersifat sangat toksik dan karsinogenik, sehingga untuk menghindarkan konsumen dari konsumsi produk itik alabio yang tercemar aflatoksin perlu dilakukan serangkaian penelitian untuk: (1) mengetahui prevalensi dan tingkat cemaran AFB1 dalam pakan itik Alabio; (2) mengetahui prevalensi dan tingkat cemaran residu aflatoksin (AFM1) dalam daging dan telur itik Alabio; (3) mengetahui dampak tingkat cemaran AFB1 dalam pakan terhadap
3
produktivitas dan transfer residu (carry-over rate) aflatoksin ke daging dan telur itik Alabio; (4) eksplorasi dan pengujian kemampuan adsorben aflatoksin dalam mengikat AFB1 pada simulasi saluran pencernaan unggas; (5) pengujian efektivitas adsorben aflatoksin terpilih dalam menurunkan residu aflatoksin serta pengaruhnya terhadap produktivitas itik alabio; dan (6) pengembangan formula pakan aditif yang mampu menurunkan residu aflatoksin dalam produk, menyembuhkan dampak toksik aflatoksin serta meningkatkan produktivitas ternak. Pada tahun pertama akan dilakukan penelitian untuk mencapai tujuan penelitian nomor 1 hingga 3.
4
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA Pentingnya Pemecahan Masalah Kontaminasi Aflatoksin
Aflatoksin B1 (AFB1) dihasilkan terutama oleh spesies Aspergillus flavus dan A. parasiticus yang biasa ditemukan pada bahan pakan konsentrat ternak, seperti kacang tanah, kedelai, jagung, beras, dedak padi, sorgum dan gandum. AFB1 diketahui memiliki efek toksik dan karsinogenik terhadap manusia sehingga dikelompokkan sebagai karsinogen kelompok 1 oleh IARC (Richard, 2007). Pada skala global, angka prevalensi aflatoksikosis memperlihatkan bahwa 4,5 juta jiwa secara kronis terpapar oleh aflatoksin pada level yang tinggi (William et al., 2004). Kajian menunjukkan bahwa konsumsi aflatoksin berkontribusi pada 28,2% kasus hepatocarcinoma (kanker hati) di dunia, khususnya Afrika sub sahara, Asia Tenggara dan Cina (Peng and Chen, 2009; Liu and Wu, 2010). Pitt (2004) memperkirakan bahwa kematian karena kanker hati akibat apaparan aflatoksin di Indonesia adalah 10 per 100.000 jiwa atau sekitar 20.000 kematian dari populasi 200 juta penduduk Indonesia setiap tahunnya. Sejumlah penelitian membuktikan bahwa ternak perah laktasi yang mengkonsumsi
pakan
tercemar
AFB1
akan
mengekskresikan
metabolit
turunannya, yaitu aflatoksin M (AFM), dalam susu dan urin (Coulombe, 1993). Pengujian pada hewan percobaan memperlihatkan bahwa AFM1, yaitu jenis aflatoksin M yang paling sering ditemukan dan tinggi konsentrasinya dalam susu, memberikan pengaruh toksik dan karsinogenik yang sama seperti halnya AFB1 (Egmond, 1989). Penelitian selanjutnya memperlihatkan bahwa AFM1 juga ditemukan dalam jaringan adipose, daging, hati, ginjal dan telur dari ternak yang mengkonsumsi pakan tercemar aflatoksin (Voelkel et al., 2011). Hal ini menjadi sangat penting karena produk hewani (daging, susu dan telur) merupakan sumber protein dan gizi yang berkualitas tinggi, sehingga adanya cemaran senyawa karsinogenik pada produk pangan asal hewan akan sangat membahayakan dan merugikan konsumen.
5
Cemaran Aflatoksin dalam Pakan dan Pengaruhnya terhadap Itik
Survei terdahulu memperlihatkan tingginya kasus cemaran AFB1 pada bahan pakan di Indonesia. Survei pada pakan sapi perah di Provinsi Jawa Tengah dan DI Yogyakarta memperlihatkan 100% sampel terkontaminasi aflatoksin pada tingkat yang tinggi yaitu rerata 46,6 ppb (Agus et al., 2013). Bahri et al. (2005) melaksanakan survei kontaminasi aflatoksin dalam bahan pakan dan pakan unggas di Provinsi Lampung dan Provinsi Jawa Timur. Peneliti menemukan bahwa semua sampel mengandung AFB1 dengan kejadian antara 70 -100%. Kejadian dan tingkat cemaran yang sangat tinggi ditemukan pada sampel konsentrat dan dedak padi dari Propinsi Jawa Timur. Meskipun demikian masih belum diperoleh data cemaran aflatoksin dalam bahan pakan dan pakan itik, khususnya ransum yang diformulasi menggunakan bahan pakan lokal. Berbeda dengan ternak ruminansia dan ayam yang resisten terhadap paparan aflatoksin (LD50 = 1-50 mg/kg), maka itik merupakan salah satu spesies yang sangat rentan terhadap paparan aflatoksin pada dosis rendah (LD50 < 1 mg/kg). Hal ini diduga dikarenakan perbedaan rate biotranformasi aflatoksin di liver dari spesies tersebut, dimana pada itik aktivitas enzim untuk mereduksi dan meng-oksidasi aflatoksin adalah lebih rendah dan memiliki jalur yang berbeda dibandingkan spesies unggas lainnya (Diaz and Murcia, 2011). Tingginya kejadian cemaran AFB1 pada bahan pakan di Indonesia dan rendahnya kemampuan itik untuk mendetoksifikasi aflatoksin menyebabkan tingginya resiko aflatoksikosis pada ternak dan transfer residunya ke produk ternak. Penelitian pada ayam memperlihatkan penurunan berat badan broiler yang diberi pakan 200 ppb AFB1 selama 8 minggu, yaitu dari 1.999 g menjadi 1.853 g (Mani et al., 2001). Pakan yang tercemar aflatoksin juga menyebabkan penurunan produksi telur, sebagaimana diperlihatkan dalam penelitian Exarhos and Gentry (1982), yaitu produksi telur turun dari 85% menjadi 40% pada ayam petelur yang diberi AFB1 1,0 mg/kg BB per hari selama 6 minggu. Meskipun demikian belum diperoleh data yang memperlihatkan pengaruh tingkat cemaran AFB1 terhadap berat badan dan produksi telur itik, khususnya itik Alabio.
6
Konsumsi pakan tercemar AFB1 menyebabkan adanya residu aflatoksin dalam produk ternak. Penelitian saat ini banyak terfokus pada transfer AFB1 pakan menjadi AFM1 susu pada sapi perah, karena tingginya carry-over rate AFB1 menjadi AFM1 susu dan konsumen utama susu adalah anak-anak dan bayi yang lebih rentan terhadap dampak negatif aflatoksin (Sumantri et al., 2012b). Meskipun demikian, ditemukannya AFM1 dalam hati, daging, ginjal dan telur unggas harus juga menjadi perhatian serius karena tingginya konsumsi produk unggas sebagai sumber protein hewani masyarakat Indonesia serta sifat karsinogenik aflatoksin yang tidak dapat ditolerir, dimana konsumsi 1 ng aflatoksin/kg berat badan/hari telah dapat memicu timbulnya kanker hati (Duarte et al., 2013). Review oleh Voelkel et al. (2011) menyebutkan bahwa pada ayam yang mendapat pakan terkontaminasi aflatoksin dengan level 50 µg/kg selama 60 hari menyebabkan residu AFB1 antara 0,02-0,09 µg/kg pada telur meskipun tidak terdapat pengaruh negatif terhadap produksi dan berat telur. Penelitian Rachmawati et al. (2002) memperlihatkan pemberian 150 ppb AFB1 pada itik menghasilkan residu rata-rata pada hati sebesar 12,6 ppb. Penelitian adanya residu cemaran aflatoksin pada produk unggas, khususnya daging dan telur itik, masih sangat sedikit dan belum ada kajian carryover rate aflatoksin menjadi AFM1 pada itik Alabio. Oleh sebab itu, survei untuk memperoleh data tentang kejadian dan tingkat cemaran dalam pakan maupun produk itik akan sangat diperlukan untuk mengkaji tingkat keamanan konsumen dari adanya senyawa karsinogenik di produk itik. Selain itu, kajian lebih lanjut tentang carry-over rate aflatoksin pada unggas maupun itik akan sangat diperlukan sebagai data dasar dalam menemukan upaya menurunkan residu aflatoksin dalam produk ternak serta sebagai dasar pengaturan batas toleransi kandungan aflatoksin dalam bahan pakan, pakan serta produk ternak asal unggas di Indonesia.
7
Penggunaan Adsorben Aflatoksin untuk Menghindari Aflatoksikosis dan Mengurangi Residu Aflatoksin Langkah paling tepat untuk menghindari adanya residu aflatoksin di produk ternak adalah dengan memberikan pakan yang bebas dari cemaran AFB1. Meskipun demikian, kondisi klimat tropis dan tata laksana pasca panen yang tidak baik menyebabkan tingginya kejadian dan tingkat cemaran AFB1 pada produk pertanian, termasuk bahan pakan ternak, di Indonesia. Beberapa
penelitian
telah
dilakukan
untuk
mengurangi
dampak
aflatoksikosis dan residu aflatoksin akibat pemberian pakan tercemar AFB1 kepada ternak. Pada bahan pakan yang diduga telah tercemar AFB1, pengurangan dampak aflatoksikosis dapat dilakukan melalui penggunaan senyawa adsorben. Penggunaan adsorben dalam pakan merupakan metode pencegahan aflatoksikosis yang paling banyak diteliti dan diterapkan saat ini karena lebih efektif dipergunakan pada kondisi pakan yang telah tercemar aflatoksin (Voelkel et al., 2011). Rachmawati et al. (2002) menambahkan bakteri Lactobacillus rhamnosus dalam pakan itik yang mengandung AFB1, hasilnya memperlihatkan penurunan residu aflatoksin dalam hati itik yang mendapat penambahan bakteri asam laktat serta pertumbuhan yang tidak terhambat. Penggunaan sel mikroorganisme sebagai adsorben aflatoksin pada itik juga dilakukan oleh Kusumaningtyas et al. (2006) yang memperlihatkan penambahan sel Saccharomyces cerevisiae lebih efektif dibandingkan Rhizopus oligosporus untuk menurunkan residu aflatoksin dalam hati itik yang mendapat pakan tercemar AFB1 200 ppb. Beberapa senyawa adsorben seperti clay, karbon aktif dan sel mikroorganisme memperlihatkan kemampuan dalam mengikat AFB1 (Kabak et al., 2006). Meskipun demikian penggunaan adsorben kelompok clay dipandang lebih efektif dan aplikatif dibandingkan cara mikrobiologis karena spesifitasnya, lebih aplikatif, dan relatif lebih murah (Diaz et al, 2004; Li et al., 2010).
8
Road Map Penelitian
Itik Alabio merupakan plasma nutfah Kalimantan Selatan yang juga menjadi ternak unggulan nasional. Kajian tentang itik Alabio sangat relevan dengan kajian unggulan Universitas Lambung Mangkurat yaitu manajemen lahan basah sebagai ekosistem produksi itik Alabio. Persoalan cemaran aflatoksin pada pakan itik Alabio dan transfer residunya di dalam daging dan telur sangat penting untuk dipecahkan karena sifat toksik dan karsinogenik dari aflatoksin serta peranan penting itik Alabio bagi masyarakat Kal-Sel secara sosial dan ekonomi. Penggunaan adsorben sebagai aditif pakan diharapkan dapat menjadi solusi yang efektif, murah dan aplikatif untuk meningkatkan produktivitas ternak serta melindungi konsumen dari bahaya konsumsi senyawa karsinogenik. Pada tahun pertama penelitian akan diketahui resiko aflatoksikosis melalui survei prevalensi dan tingkat cemaran aflatoksin pada pakan. Selanjutnya resiko konsumen akan dikaji melalui survei prevalensi dan tingkat cemaran residu aflatoksin pada daging dan telur itik Alabio. Pada tahun pertama juga akan dipelajari pengaruh tingkat cemaran AFB1 pakan terhadap produktivitas itik Alabio serta carry-over rate-nya ke dalam daging dan telur. Pada tahun kedua penelitian, akan dieksplorasi kapasitas dan efektivitas beberapa jenis adsorben (clay, arang aktif dan mikroorganisme) dalam mengikat aflatoksin secara in vitro. Adsorben terpilih selanjutnya akan diaplikasikan pada penelitian in vivo untuk mengetahui efektivitasnya dalam menurunkan residu aflatoksin pada daging dan telur serta pengaruhnya terhadap produktivitas itik Alabio. Pada tahun ketiga penelitian, formula pakan aditif berbasis adsorben aflatoksin akan dikembangkan dengan formulasi menggunakan beberapa fitofarmaka yang memiliki kemampuan hepatoprotektif, sehingga produk yang dihasilkan memiliki keunggulan kompetitif dalam pemasaran dan berpotensi mendapatkan HKI. Road map penelitian ditampilkan secara skematik pada halaman berikut.
9
BAB 3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian adalah untuk mengembangkan formula pakan aditif yang mampu mengurangi dampak aflatoksikosis pada ternak serta menghindari adanya senyawa karsinogenik (residu aflatoksin) pada daging dan telur itik Alabio. Adapun tujuan khusus untuk penelitian tahun pertama ini adalah: 1. Mengetahui prevalensi dan tingkat cemaran AFB1 pada pakan dan bahan pakan itik Alabio 2. Mengetahui prevalensi dan tingkat cemaran residu aflatoksin pada produk itik Alabio 3. Mengkaji tingkat resiko aflatoksikosis terhadap itik Alabio serta konsumennya 4. Mempelajari carry-over rate aflatoksin pakan menjadi residu aflatoksin pada daging dan telur itik Alabio secara in vivo.
Manfaat Penelitian
Aflatoksin merupakan senyawa toksik dan karsinogenik terhadap manusia maupun hewan. Permasalahan cemaran aflatoksin pada pangan dan pakan telah menjadi isu global yang sangat penting saat ini. Pada sisi lain, itik adalah salah satu spesies yang sangat rentan terhadap aflatoksin serta rendah kemampuannya dalam mendetoksifikasi aflatoksin, sehinga diduga residu aflatoksin ditemukan dalam produk itik yang mendapat pakan tercemar aflatoksin. Itik Alabio merupakan plasma nutfah Kalimantan Selatan yang menjadi ternak unggulan nasional serta menjadi sumber protein hewani yang penting dan digemari masyarakat. Adanya cemaran aflatoksin yang bersifat toksik dan karsinogenik tidak hanya merugikan peternak itik Alabio secara ekonomis namun juga sangat membahayakan konsumen.
10
Berdasarkan hal tersebut penelitian pakan aditif untuk memecahkan masalah cemaran aflatoksin pada itik Alabio bermanfaat untuk: 1. Memperoleh data dasar tentang cemaran aflatoksin pada pakan itik Alabio serta residu dalam produknya, serta data tentang carry-over rate aflatoksin dari pakan ke daging dan telur itik Alabio. Data dasar tersebut akan sangat bermanfaat dalam menentukan jenis serta dosis adsorben aflatoksin yang efektif untuk mencegah aflatoksikosis dan transfer residu aflatoksin ke dalam daging dan telur itik Alabio. 2. Diperolehnya formula pakan aditif yang dapat meningkatkan produktivitas itik Alabio serta mampu menurunkan residu aflatoksin pada produknya. Formula pakan aditif tersebut diharapkan dapat diusulkan untuk memperoleh HKI.
11
BAB 4. METODE PENELITIAN TAHUN 1
Tempat Penelitian
Pengambilan sampel pakan dan bahan pakan dilakukan dari peternak dan pedagang pakan di Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU). Pemilihan peternak dan lokasi pengambilan sampel ditentukan berdasarkan data sekunder dari Dinas Peternakan Kabupaten HSU. Sampel daging, hati dan telur itik Alabio diambil dari peternak, pedagang, rumah potong hewan (RPH) dan rumah makan di Kabupaten HSU yang juga ditentukan keterwakilannya berdasarkan data dari Dinas Peternakan Kabupaten HSU. Percobaan in vivo dilaksanakan di kandang percobaan ternak unggas, Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian ULM Banjarbaru. Preparasi sampel ELISA dilakukan di Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak, Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian ULM Banjarbaru. Analisis ELISA dilakukan di Sub Unit Mikotoksin, Laboratorium Penelitian dan Pengujian Terpadu (LPPT) UGM Yogyakarta.
Materi Penelitian
Pada penelitian tahap 1, analisis ELISA dilakukan terhadap sampel bahan pakan, pakan, daging, hati, dan telur itik Alabio yang diperoleh dari pelaksanaan survei. Pada penelitian tahap 2, materi yang dipergunakan adalah jagung terkontaminasi AFB1, pakan komersial itik petelur, 65 ekor itik Alabio petelur umur 6 bulan serta kandang dan peralatan kandang untuk percobaan in vivo. Analisis ELISA juga dilakukan terhadap sampel pakan, daging, hati dan telur hasil percobaan in vivo. ELISA kit yang dipergunakan adalah AgraQuant® ELISA Aflatoxin B1 (Romer Labs, Singapura) untuk analisis AFB1 dan ELISA kit AgraQuant® ELISA Aflatoxin M1 Sensitive (Romer Labs, Singapura) untuk analisis AFM1. Peralatan lain yang diperlukan dalam analisis adalah grinder dan mixer untuk preparasi sampel, sentrifuge, vortex dan ELISA reader.
12
Metode Penelitian
Penelitian Tahap 1 (Survei) Pengambilan Sampel. Lokasi pengambilan sampel ditentukan berdasar data sekunder dari Dinas Peternakan Kabupaten HSU (purposive sampling). Pengambilan sampel untuk survei cemaran aflatoksin
merujuk sebagaimana
Binder et al. (2007), yaitu sampel besar dari kesuluruhan obyek yang akan disampling terdiri atas sampel-sampel kecil yang diambil secara acak dari keseluruhan lot. Setelah penghalusan dan pencampuran, sampel-sampel kecil selanjutnya dicampur dan dilakukan pengambilan sub sampel untuk analisis. Selain itu juga dilakukan pengisian kuisioner untuk melengkapi informasi sampel, meliputi sumber pakan, umur pakan, tata cara penyimpanan pakan serta cara pemberiannya ke ternak. Sampel daging, hati dan telur diambil rumah makan dan pedagang. Keterangan tentang asal sampel, alur tata niaga dan volume penjualan dicatat dari responden. Sampel yang diperoleh selanjutnya disimpan dalam freezer untuk selanjutnya dipreparasi dan dianalisis. Metode Analisis AFB1 dan AFM1. Protokol analisis AFB1 adalah sebagai berikut. Tahap persiapan sampel: 5 g sampel yang sudah digiling dimasukkan ke dalam tabung reaksi ukuran 50 ml dan selanjutnya diekstraksi dengan menambahkan 25 ml metanol 70%. Tabung digojok selama 3 menit menggunakan vortex untuk kemudian disaring menggunakan kertas saring Whatman nomer 1. Filtrat yang diperoleh selanjutnya diencerkan menjadi dua kali volume menggunakan metanol 35%. Hasil pengenceran merupakan sampel yang siap digunakan dalam pengujian ELISA. Tahap pengujian sampel: well dengan jumlah yang sesuai dengan jumlah sampel dan standar disisipkan ke dalam microwellholder. Posisi sampel dan standar dicatat berdasarkan kode sampel yang telah disiapkan. Lima puluh µl sampel atau larutan standar dimasukkan dalam well menggunakan micropipet. Kemudian ditambahkan ke dalaman masingmasing well dengan 50 µl enzyme conjugate. Selanjutnya ditambahkan kembali ke
dalam
masing-masing
well
50
µl
larutan
anti-aflatoxin
antibody.
Microwellholder digojok pelan-pelan secara manual dan kemudian di inkubasikan
13
selama 30 menit pada suhu ruang. Setelah inkubasi, larutan dalam well dibuang dengan dituangkan. Microwellholder diketuk-ketukan ke pada kertas tisu untuk memastikan semua larutan tertuang dari well. Well kemudian dicuci tiga kali menggunakan 250 µl washing buffer (Phosphate Buffer Saline-Tween Buffer). Setelah semua larutan dalam well dipastikan terbuang, ditambahkan 100 µl substrat (chromogen) ke dalam masing-masing well. Microwellholder digojok pelan-pelan secara manual dan selanjutnya diinkubasikan selama 15 menit pada suhu ruang dalam keadaan gelap. Setelah itu ditambahkan 100 µl stop solution ke dalam well kemudian digojok pelan secara manual dan selanjutnya absorbansi diukur pada panjang gelombang 450 nm. Absorbansi dihitung sebagai persentase dari zero standard dengan persamaan berikut:
Hasil perhitungan untuk standar dimasukkan ke dalam program excel menggunakan kurva semi logaritmik terhadap konsentrasi AFB1 (µg/kg). Konsentrasi AFB1 sampel dihitung menggunakan persamaan kurva semi logaritmik yang diperoleh tersebut. Protokol analisis kadar AFM1 pada daging dan telur adalah sebagai berikut: 5 g sampel diekstraksi etanol sebagaimana prosedur ekstraksi sampel analisis AFB1. Selanjutnya 100 µl filtrate ekstraksi dipergunakan dalam uji ELISA . Tahap pengujian sampel: sejumlah well yang sesuai dengan banyaknya sampel dan standar disisipkan ke dalam microwellholder. Letak well standard dan sampel dalam holder dicatat. Seratus µl larutan standar dan sampel dimasukkan ke dalam well dan digojok pelan secara manual untuk selanjutnya diinkubasi selama 30 menit pada temperatur ruang dalam keadaan gelap. Setelah itu larutan dalam well dituang (dibuang) dan holder diketukkan pada kertas tisu untuk memastikan well telah kosong dari larutan. Well selanjutnya dicuci tiga kali menggunakan 250 µl washing buffer (PBS Tween Buffer). Kemudian 100 µl enzyme conjugate ditambahkan kedalam tiap well, digojok pelan dan diinkubasi selama 15 menit pada suhu ruang dalam keadaan gelap. Setelah itu larutan dalam well dibuang dan
14
holder diketuk-ketukkan pada kertas tisu untuk memastikan larutan telah terbuang. Setelah dicuci tiga kali dengan 250 µl washing buffer, well diisi dengan 100 µl substrate (chromogen), digojok pelan secara manual dan diinkubasi 15 menit pada suhu ruang dalam keadaan gelap. Pada akhirnya ditambahkan 100 µl stop solution, digojok pelan dan diukur absorbansinya pada panjang gelombang 450 nm dengan aquades sebagai blanko. Absorbansi dihitung berdasarkan persentase dari absorbansi zero standard dengan persamaan sebagai berikut:
Hasil perhitungan untuk nilai standar dimasukkan ke dalam program excel dengan kurva semilogaritmik terhadap konsentrasi AFM1 (ng/kg). Konsentrasi AFM1 sampel selanjutnya dihitung menggunakan persamaan kurva semilogaritmik standar tersebut. Analisis
data.
Data
yang
diperoleh
selanjutnya
dikelompokkan
berdasarkan persamaan responden (pedagang pakan grosir, pedagang pakan retail, peternak, rumah makan, pedagang itik potong, pedagang telur). Rerata dan standar deviasi dari hasil pengujian setiap kelompok kemudian dipergunakan untuk memperhitungkan resiko aflatoksikosis ternak berdasarkan referensi serta acuan batas toleransi cemaran aflatoksi dari berbagai sumber seperti codex alimentarus UE, USDA dan SNI/BPOM. Resiko paparan aflatoksin terhadap konsumen diestimasi berdasarkan perkiraan konsumsi produk ternak per kg berat badan per hari dari data sekunder maupun wawancara dengan responden.
Penelitian Tahap 2 (In Vivo)
Produksi Pakan Sumber AFB1. Produksi pakan tercemar AFB1 dilakukan dengan merujuk pada Agus et al. (2010) sebagai berikut: isolat A. flavus FNCC 612 ditumbuhkan pada medium starter yeast extract and sucrose (YES medium) dan setelah produksi AFB1 diperkirakan sekitar 5 – 6 ppm (3-7 hari) kultur starter diinokulasikan pada jagung kuning giling sebagai media
15
produksi AFB1. Sebelum diinokulasikan, media dibasahi dengan aquadest hingga kadar air mencapai 30%. Setelah inokulasi, media diinkubasi secara aerobik pada suhu ruang selama 10 hari. Sampel kemudian dianalisis untuk mengetahui konsentrasi AFB1 dengan metode ELISA. Prosedur Percobaan In Vivo. Enam puluh empat ekor itik Alabio petelur umur 6 bulan dibagi dalam 4 kelompok perlakuan kandungan cemaran AFB1 pakan, yaitu L0 (0 g jagung terkontaminasi AFB1), L20 (20 g jagung terkontaminasi AFB1), L30 (30 g jagung terkontaminasi AFB1) dan L40 (40 g jagung terkontaminasi AFB1). Setiap perlakuan terdiri atas 4 ulangan dan setiap ulangan terdiri atas 4 ekor itik. Itik ditempatkan dalam kandang sistem baterai dengan petak untuk setiap kelompok ulangan ternak. Pakan sesuai perlakuan diberikan dua kali sehari dan air diberikan secara ad libitum. Periode adaptasi kandang dan pakan dilakukan selama dua minggu dan selanjutnya periode perlakuan selama 15 hari. Peubah yang Diamati. Peubah yang diamati adalah perubahan bobot badan, konsumsi pakan, produksi telur rata-rata harian, kualitas kuning telur, kandungan AFB1 pada daging, hati dan telur serta kandungan AFM1 pada hati, daging dan telur. Carry-over rate aflatoksin pakan menjadi aflatoksin dalam daging dan telur dihitung dari persamaan berikut:
Prosedur analisis AFB1 dan AFM1 dilakukan sebagaimana pada penelitian tahap 1. Analisis Data. Data yang diperoleh selanjutnya dianalis variansi menggunakan prosedur general linear model dengan program SPSS versi 16.0 untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap peubah yang diamati.
16
BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian Tahap 1 (Survei)
Survei dilakukan untuk mengetahui tingkat kejadian (prevalensi) cemaran afalatoksin pada pakan dan produk itik Alabio. Sebanyak 234 sampel pakan dan bahan pakan diambil dari 25 peternak dan 7 poultry shop yang berasal dari 3 kecamatan dan 7 desa di HSU. Penentuan peternak, kecamatan dan desa didasarkan pada jumlah kepemilikan itik dan keterwakilan populasi peternak maupun itik di Kabupaten HSU, di mana populasi itik. Survei cemaran residu aflatoksin pada produk itik Alabio dilakukan dengan mengumpulkan sampel hati, daging dan telur dari 3 RPH, 4 pedagang itik, 5 rumah makan dan 19 peternak. Analisis cemaran AFB1 pada pakan dan bahan pakan itik disajikan pada Tabel 1. berikut:
Tabel 1. Cemaran AFB1 dalam pakan dan bahan pakan itik Alabio Jenis Pakan
Jumlah Sampel
Konsentrasi (ppb) Sampel Prevalensi Tercemar (%) Min Maks Rerata
SD
Ransum
40
36
88
2,12
28,34
13,11
7,46
Dedak
24
18
75
2,01
44,47
16,62
18,26
Paya
26
3
12
2,00
2,06
2,04
0,03
Ikan Asin
60
60
100
5,23
78,10
22,01
13,94
Gabah
43
43
100
4,18
192,31
44,53
38,41
Pakan komersial
78
78
100
3,45
79,77
32,44
21,50
271
238
88
2,00
192,00
27,88
24,70
Rerata
Penelitian ini memperlihatkan tingginya kejadian cemaran AFB1 dalam pakan dan bahan pakan itik di Kabupaten HSU, yaitu sebesar 88% diketahui mengandung AFB1. Kandungan AFB1 berkisar antara 2 hingga 192 ppb dengan rerata 28 ppb. Rerata cemaran AFB1 yang ditemukan pada pakan itik ini melewati
17
batas maksimal cemaran AFB1 dalam pakan menurut codex alimentarus EU maupun SNI No. 01-3908-2006 (Kementan, 2009). Berdasarkan jenisnya, kandungan AFB1 melebihi batas maksimum yang diperbolehkan ditemukan dalam gabah (45 ppb), pakan komersial (32 ppb) dan ikan asin (22 ppb). Tingginya kandungan AFB1 dalam gabah di luar dugaan, karena pada umumnya fungi A. flavus tumbuh pada bahan yang tinggi kandungan protein dan energi (Lanyasunya et al., 2005). Meskipun memiliki peluang tinggi untuk ditumbuhi fungi A. flavus dan tercemar aflatoksin, kandungan AFB1 yang tinggi dalam pakan komersial dan ikan asin mengindikasikan kualitas penyimpanan pakan yang kurang baik. Hal ini dikarenakan ketatnya kontrol kualitas pakan komersial terhadap terjadinya kontaminasi aflatoksin. Sehingga adanya cemaran AFB1 yang tinggi pada pakan komersial dapat disebabkan oleh lamanya umur pakan serta tata laksana penyimpanan pakan yang tidak baik. Analisis cemaran residu afalatoksin pada produk itik Alabio disajikan pada Tabel 2 dan 3 berikut:
Tabel 2. Cemaran AFB1 dalam sampel hati itik Alabio Asal sampel
Jumlah sampel
Sampel Prevalensi Tercemar (%)
AFB1 (ppb) min
maks
Rerata
SD
Hati RPH
28
28
100
3,56
12,18
7,23
2,78
Hati Retailer
20
20
100
4,26
11,20
6,87
2,19
Jumlah
48
48
100
3,56
12,18
7,08
2,53
Kadar AFB1 dalam hati menunjukkan tingkat paparan AFB1 melalui konsumsi pakan serta kemampuan hati dalam melakukan detoksifikasi AFB1 yang masuk ke dalam tubuh. AFB1 dari pakan, setelah diabsorbsi dalam saluran pencernaan (duodenum), kemudian dimetabolisme oleh enzim-enzim microsomal hati, sehingga hati merupakan organ target dari AFB1 (Voelkel et al., 2011). Rerata kadar AFB1 hati yang ditemukan pada penelitian ini masih di bawah batas maksimum AFB1 dalam makanan sebagaimana peraturan BPOM, yaitu 15 ppb (BPOM, 2009). Meskipun demikian, kadar AFB1 di hati dalam
18
penelitian ini lebih tinggi daripada yang pernah dipublikasikan oleh Bintvihok et al. (2002) pada hati itik Khaki Campbell (0,31 ppb) dan hati ayam broiler (0,33 ppb). Selain itu, prevalensi cemaran yang sangat tinggi (100%) menunjukkan hati itik Alabio tidak aman bagi konsumen, karena AFB1 dapat memicu terjadinya kanker hati, keracunan, serta dampak genotoksik lainnya (IARC, 2002). Tingginya kandungan AFB1 dalam hati sampel yang diperoleh pada survei ini menegaskan bahwa hati dari itik Alabio tersebut tidak aman untuk dikonsumsi. Tabel 3. Cemaran AFM1 dalam sampel hati, daging dan telur itik Alabio
Sampel
Jumlah sampel
Sampel Tercemar
Prevalensi (%)
AFM1 (ppt) Min
Maks
Rerata
SD
Hati
48
48
100
105
1215
304 317.29
Daging
42
42
100
71
128
91
12.37
Telur
38
38
100
10
36
19
7.64
Survei cemaran AFM1 pada produk itik Alabio memperlihatkan tingginya kejadian cemaran residu aflatoksin (prevalensi) dalam hati, daging dan telur, yaitu 100%. Hal ini memperlihatkan tingginya paparan aflatoksin melalui pakan, yang kemudian dimetabolisme di hati menjadi AFM1. AFM1 merupakan metobolit untama dari biotransformasi AFB1 di hati, untuk kemudian disekresikan melalui susu, urin, feses, jaringan serta telur (Voelkel et al., 2011). Besaran transformasi AFB1 menjadi senyawa-senyawa metabolitnya berbeda antar spesies dan dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti pakan, laju alir pakan, tingkat kecernaan pakan, kesehatan ternak, kapasitas biotransformasi hati, serta tingkat produktivitas ternak (Becker-Algeri et al., 2016). Di Indonesia belum ada regulasi yang mengatur batasan cemaran AFM1 dalam hati, daging dan telur. Saat ini batasan maksimum AFM1 baru ditetapkan untuk susu dan produk susu, yaitu sebesar 500 ppt (BPOM, 2009). Jika merujuk pada batasan AFM1 dalam susu tersebut maka tingkat cemaran AFM1 dalam produk itik Alabio yang ditemukan dalam penelitian ini masih aman (di bawah 500 ppt). Meskipun demikian, karena penelitian tentang adanya cemaran residu
19
aflatoksin dalam produk itik masih sangat jarang dilakukan maka ditemukannya AFM1 dalam semua sampel, khususnya di hati (304 ppt), menunjukkan adanya resiko dampak aflatoksikosis terhadap konsumen yang cukup besar. Penelitian Zaghini et al. (2005) pada ayam petelur yang mendapat pakan terkontaminasi AFB1 sebesar 2.500 ppb selama empat minggu menunjukkan tidak ditemukannya AFM1 di dalam hati dan telur (< 0,01 ppb). Uni Eropa menetapkan batas maksimum cemaran AFM1 pada susu untuk konsumsi orang dewasa adalah 50 ppt, karena diperkirakan konsumsi 1 ng aflatoksin per kilogram berat badan sudah dapat menyebabkan timbulnya kanker (Duarte et al., 2013).
Penelitian Tahap 2 (Uji In Vivo)
Kinerja Itik Alabio Pada penelitian ini, AFB1 ditambahkan ke dalam pakan komersial itik petelur IP331 (PT Wonokoyo, Indonesia) dalam bentuk jagung kuning giling yang telah diinokulasi dengan starter A. flavus. Hasil analisis ELISA menunjukkan jagung diinokulasi A. flavus tersebut mengandung AFB1 sebesar 200 ppb. Penambahan jagung giling pada pakan komersial sebesar 40 g dalam 120 g pakan komersial, sehingga dengan menambahkan campuran jagung terkontaminasi AFB1 dan jagung tidak terkontaminasi AFB1 akan diperoleh kadar AFB1 dalam pakan sebesar 0; 25; 37,5 dan 50 ppb. Pengaruh penambahan aflatoksin B1 dalam pakan teradap kinerja itik Alabio disajikan pada tabel berikut: Tabel 4. Pertambahan berat badan dan produksi telur itik Alabio pada penambahan aflatoksin dalam pakan Kadar AFB1 Pakan (ppb)
a,b
Pertambahan Berat Badan (g)
Berat Telur (g)
Produksi Telur (%)
00,0
144,06b
59,95b
37,50a
25,0
76,88ab
56,78a
45,31a
37,5
56,67ab
57,63a
56,25b
50,0
34,06a
60,00b
43,75a
Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P < 0,05)
20
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa pakan terkontaminasi AFB1 mulai 25 ppb sebanyak 160 g/ekor/hari selama 15 hari menyebabkan penurunan pertambahan berat badan yang lebih rendah dibanding pakan tidak mengandung AFB1 (P < 0,05). Tabel 4. memperlihatkan penurunan pertambahan berat badan semakin besar dengan semakin tingginya kadar AFB1 dalam pakan. Pemberian pakan terkontaminasi AFB1 juga berpengaruh nyata terhadap produksi dan berat telur (P < 0,05), namun tidak terlihat pola yang jelas antara kenaikan kadar AFB1 dalam pakan terhadap penurunan produksi maupun berat telur. Hal ini diduga karena produksi telur dipengaruhi oleh beberapa faktor lain, seperti pakan, genetik dan lingkungan. Sehingga pada pemberian pakan terkontaminasi AFB1 selama 15 minggu belum cukup untuk memperlihatkan adanya pola hubungan yang jelas antara kadar AFB1 dan produksi maupun berat telur. Penelitian Aly and Awer (2009) memperlihatkan produksi dan berat telur ayam petelur white leghorn tidak dipengaruhi oleh pakan terkontaminasi aflatoksin dengan kadar 100 ppb selama 60 hari, meskipun pemberian pakan terkontaminasi aflatoksin menyebabkan terjadinya penurunan konsumsi pakan.
Patologi Hati Hati merupakan target organ dari aflatoksin (Voelkel et al, 2011), sehingga patologi hati menjadi salah satu indikasi dari dampak negatif paparan aflatoksin pada ternak. Pada umumnya, patologi jaringan hati diamati dari perbesaran hati, warna, kerusakan sel serta adanya penumpukan lemak di hati (fatty liver). Pengujia in vivo inklusi aflatoksin dalam pakan itik Alabio selama 15 hari memperlihatkan tanda-tanda terjadinya ketidaknormalan jaringan hati, seperti pembesaran hati dibandingkan normal, perubahan warna menjadi lebih cerah, serta adanya penumpukan jaringan lemak (Gambar 1.). Meskipun demikian, inklusi AFB1 dalam pakan antara 0-50 ppb selama 15 hari tidak secara nyata menyebabkan adanya perbedaan berat hati maupun persentase berat hati terhadap berat hidup (Tabel 5). Bintvihok et al. (2002) melakukan percoban inklusi AFB1 pada berbagai spesies unggas dengan kadar 3000 ppb selama 7 hari. Level inklusi AFB1 dalam
21
penelitian ini hanya tertinggi pada 50 ppb, yaitu tingkat kontaminasi AFB1 yang secara wajar dapat ditemukan dalam analisis sampel pakan dari peternak. Sehingga, meskipun paparan AFB1 pada dosis riil tersebut berdampak terhadap ternak, namun masih tidak memberikan pengaruh yang nyata secara statistik terhadap peubah-peubah yang diamati.
Gambar 1. Perbandingan ukuran, warna dan perlemakan hati itik Alabio yang mendapat perlakuan penambahan AFB1 dalam pakan selama 15 hari (T0: 0 ppb; T20: 25 ppb; T30: 37,5 ppb; T40: 50 ppb) Tabel 5. Berat hati dan persentase berat hati itik Alabio pada penambahan aflatoksin dalam pakan
NS
Kadar AFB1 Pakan (ppb)
Berat Hati (g)NS
Persentase Berat Hati (%)NS
0
34,0
2,32
25
40,0
2,97
37,5
33,3
2,45
50
45,0
2,98
rerata pada kolom yang sama tidak menunjukkan perbedaan yang nyata
22
Residu Aflatoksin dalam Produk Itik Pengamatan residu aflatoksin dilakukan pada hati, daging dan telur itik Alabio. Konsentrasi residu AFB1 dalam hati dan telur disajikan pada tabel berikut:
Tabel 6. Kandungan AFB1 dalam hati dan telur itik Alabio yang mendapat perlakuan penambahan aflatoksin dalam pakan (ppb) Perlakuan
Sampel NS
Hati
Telur
0
0,75
1,50a
25
1,07
2,41b
37,5
1,42
1,68a
50
0,93
1,22a
a,b
Superskrip yang berbeda dalam kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P < 0,05)
NS
rerata dalam kolom yang sama tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P > 0,05) Penambahan AFB1 pada level 0 hingga 50 ppb selama 15 hari tidak
berpengaruh nyata (P > 0,05) terhadap kadar residu AFB1 dalam hati, namun berpengaruh nyata ( P < 0,05) terhdap residu AFB1 dalam telur. Penelitian ini memperlihatkan adanya resiko residu AFB1 dalam produk itik Alabio jika itik tersebut mendapat pakan yang mengandung aflatoksin. Meskipun demikian, kadar AFB1 yang ditemukan dalam penelitian ini sangat rendah, atau tidak terdeteksi (< 2 ppb). Penelitian Aly and Awer (2009) memperlihatkan residu AFB1 mungkin terdapat dalam telur meskipun pada konsentrasi yang rendah (0,02-0,09 ppb) jika ayam terpapar AFB1 dalam waktu yang lama. Review oleh Voelkel et al. (2011) menyebutkan bahwa pada ayam yang mendapat pakan terkontaminasi aflatoksin dengan level 50 µg/kg selama 60 hari menyebabkan residu AFB1 antara 0,02-0,09 µg/kg pada telur meskipun tidak terdapat pengaruh negatif terhadap produksi dan berat telur. Penelitian Rachmawati et al. (2002) memperlihatkan pemberian 150 ppb AFB1 pada itik menghasilkan residu rata-rata pada hati sebesar 12,6 ppb.
23
Berdasarkan hal tersebut, rendahnya residu AFB1 dalam produk itik pada penelitian ini dikarenakan level AFB1 yang dipergunakan dalam pakan relatif rendah dibanding penelitian lain. Meskipun demikian, level yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah level kontaminasi AFB1 yang wajar ditemukan dalam ransum peternak sebagaimana ditunjukkan pada penelitian Tahap 1 (Tabel 1.), yaitu antara 2 - 192 ppb dengan rerata 28 ppb. AFB1 yang dikonsumsi ternak akan diabsorbsi di duodenum dan melalui vena porta akan ditransportasi ke hati. AFB1 akan mengalami metabolisme di hati oleh kompleks enzim sitokrom P-450, menjadi senyawa turunan yang kurang toksik atau tidak toksik. Metabolit AFB1 yang utama karena konsentrasi, prevalensi dan toksisitasnya adalah AFM1. Residu AFM1 yang ditemukan dalam sampel hati, daging dan telur itik Alabio hasil perlakuan in vivo disajikan pada tabel berikut: Tabel 7. Kandungan AFM1 dalam hati, daging dan telur itik Alabio yang mendapat perlakuan penambahan aflatoksin dalam pakan (ppt) Perlakuan
Sampel Hati
Daging
a
a
0,34b
131,67
Telur
0
0,29
25
0,32b
99,72a
0,23a
37,5
0,35c
123,32a
0,36b
50
0,29a
402,25b
0,37b
a,b,c
Superskrip yang berbeda dalam kolom yang sama menunjukkan perbedaan sangat nyata (P < 0,01) Kadar AFM1 yang ditemukan dalam hati dan telur pada penelitian ini
sangat rendah atau non detectable (< 2 ppt) namun ditemukan pada kadar yang bermakna dalam daging, yaitu antara 99,72 – 402,25 ppt. Aturan batas cemaran AFM1 dalam daging dan telur belum ditentukan di Indonesia, saat ini batas maksimal cemaran AFM1 baru ditentukan dalam susu, yaitu sebesar 500 ppt (BPOM, 2009). Berdasarkan batas maksimal cemaran AM1 dalam susu, maka
24
cemaran AFM1 yang diperoleh dalam penelitian in vivo ini masih aman, meskipun dapat dikatakan cukup tinggi. Referensi carry-over AFB1 menjadi AFM1 dalam produk itik masih sangat sedikit, sehingga hasil yang ditemukan dari penelitian ini dapat menjadi awal untuk penelitian selanjutnya. Uji statistik memperlihatkan bahwa penambahan AFB1 dalam pakan itik Alabio berpengaruh sangat nyata terhadap kadar AFM1 dalam hati, daging dan telur, sehingga sangat penting untuk mencegah adanya kontaminasi AFB1 pada kadar yang tinggi dalam pakan itik Alabio.
25
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN
Hasil penelitian tahap pertama (survei) menunjukkan tingginya cemaran dan level cemaran aflatoksin pada pakan itik Alabio, yaitu prevalensi rata-rata 88. Hal ini berakibat pada tingginya prevalensi cemaran residu aflatoksi dalam hati, daging dan telur itik Alabio, yaitu 100 sampel ditemukan terkontaminasi AFB1 dan AFM1. Bahan pakan yang memiliki resiko tinggi terkontaminasi aflatoksin pada kadar melebihi ambang batas toleransi (20 ppb) adalah gabah padi, konsentrat dan ikan asin. Sedangkan bahan pakan yang paling rendah prevalensi serta kadar cemaran AFB1 adalah batang sagu (paya). Survei menemukan tingginya tingkat kejadian dan cemaran residu aflatoksin AFB1 pada hati, daging dan telur itik Alabio. Meskipun kadar cemaran masih di bawah batas maksimum yang diperbolehkan BPOM (< 500 ppt), tingginya prevalensi cemaran residu aflatoksin serta kadar cemaran residu aflatoksin yang bermakna, maka produk itik Alabio yang dianalisis dalam penelitian ini tidak aman untuk konsumen. Uji in vivo dengan pemberian AFB1 dalam pakan pada level 0; 25; 37,5; dan 50 ppb selama 15 hari berpengaruh nyata terhadap pertambahan berat badan, produksi telur serta berat telur itik Alabio (P < 0,05). Peningkatan kadar AFB1 dalam pakan secara nyata menurunkan pertambahan berat badan. Penambahan AFB1 dalam pakan juga menyebabkan pembesaran ukuran hati, perubahan warna menjadi lebih cerah serta adanya penumpukan lemak hati, namun secara statistik tidak terdapat perbedaan yang nyata nyata (P > 0,05) pada berat hati maupun persentase berat hati antar perlakuan. Uji in vivo juga menunjukkan adanya residu AFB1 dalam hati dan telur itik yang mendapat pakan terkontaminasi AFB1, meskipun dalam kadar yang sangat rendah (< 2 ppb). Demikian juga dengan AFM1 yang ditemukan dalam kadar yang sangat rendah dalam sampel hati dan telur (< 1 ppt) namun ditemukan pada kadar yang bermakna dalam daging (99,72 – 402,25 ppt). Penelitian ini juga memperlihatkan bahwa residu aflatoksin dalam hati, daging dan telur itik Alabio secara nyata dipengaruhi oleh kadar AFB1 dalam
26
pakan. Sehingga menjadi sangat penting untuk mencegah kontaminasi AB1 dalam pakan dalam upaya menghindari adanya residu aflatoksin dalam produk itik.
27
DAFTAR PUSTAKA Agus, A., I. Sumantri, T.W. Murti and J. Boehm. 2014. Effects of natural clays inclusion on aflatoxin excretion of lactating dairy cows regularly fed aflatoxin B1-contaminated diet. In: Proceeding of The 16th AAAP Congress: Sustainable Livestock Production in the Perspective of Food Security, Policy, Genetic Resources and Climate Change. AAAP, ISAS, and Faculty of Animal Science UGM. Yogyakarta-Indonesia. Agus, A., I. Sumantri, T.W. Murti and J. Boehm. 2013. Survey on the Occurrence of Aflatoxin B1 Contamination in Dairy Ration and Its Carry Over into the Milk in Yogyakarta and Central Java Provinces of Indonesia. In: Proceeding of ISM-MycoRed International Conference “Europe 2013”: Global Mycotoxin Reduction Strategies. CNR ISPA-International Society of Mycotoxin. Apulia-Italy Agus, A., Y.B. Maryudhani, Yunianta, S. Wedhastri and Nuryono. 2010. Production of crude Aflatoksin B1 using different isolates and substrates. In: Abstracts of 32nd Mycotoxin Workshop. Lyngby, Denmark. Badan Pengawas Obat dan Makanan RI, 2009. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor Hk.00.06.1.52.4011 Tentang Penetapan Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Kimia dalam Makanan. Jakarta. Bahri, S., R. Maryam, and R. Widiastuti. 2005. Cemaran aflatoksin pada bahan pakan dan pakan di beberapa daerah propinsi Lampung dan Jawa Timur. JITV 10 (3): 236 – 241. Becker-Algeri, T.A., D. Castagnaro, K.de Bortoli, C. de Souza, D.A. Drunkler, and E. Badiale-Furlong. 2016. Mycotoxins in bovine milk and dairy products: a review. J. Food Sci. 81(3): 544-552. Binder E.M., L.M. Tan, L.J. Chin, J. Handl, and J. Richard. 2007. Worldwide occurrence of mycotoxins in commodities, feeds and feed ingredients. Anim. Feed Sci. Technol. 137: 265–282. Bintvihok, A., S. Thiengnin, K. Doi, and S. Kumagai. 2002. Residues of aflatoxins in the liver, muscle and eggs of domestic fowls. J. Vet. Med. Sci. 64 (11): 1037-1039. Coulombe, R.A. 1993. Symposium: Biological action of mycotoxins. J. Dairy Sci. 76: 880 - 891. Diaz, G.J. and H.W. Murcia. 2011. Biotransformation of aflatoxin B1and its relationship with the differential toxicological response to aflatoxin in commercial poultry species. In: R.G. Guevara-Gonzalez Ed. AflatoxinsBiochemistry and Molecular Biology pp 3-20. In Tech Publishing, RijekaCroatia Duarte, S.C., A.M. Almeida, A.S. Teixeira, A.L. Pereira, A.C. Falcão, A. Pena, and C.M. Lino. 2013. Aflatoxin M1 in marketed milk in Portugal: Assessment of human and animal exposure. Food Control 30: 411 – 417.
28
Egmond, H.P. van. 1989. Aflatoxin M1: occurrence, toxicity, regulation. In: H.P. van Egmond Ed. Mycotoxin in Dairy pp. 11-55. Elsevier Applied Science, London. Exarhos, C.C . and R.E. Gentry. 1982 . Effect of aflatoxin on egg production. Avian Dis. 26:191-195. Goto, T., E. Ginting, S.S. Antarlina, J.S. Utomo, Y. Ito, and S. Nikkuni. 1999. Aflatoxin contamination and fungi isolated from Indonesian agricultural commodities. In: Proceeding of International Symposium of Mycotoxicology. Chiba, Japan. Gowda, N.K.S, H.V.L.N. Swamy, and P. Mahajan. 2013. Recent advances for control, counteraction and amelioration of potential aflatoxins in animal feeds. In: M. Razzaghi-Abyaneh ed. Aflatoxins-Recent Advances and Future Prospects pp.129 - 140. In Tech Publishing, Rijeka-Croatia. IARC. 2002. World health organization international agency for research on cancer. Aflatoxins: B1, B2, G1, G2, M1. In: Some traditional herbal medicines, some mycotoxins, napthalene and styrene. IARC monographs on the evaluation of carcinogenic risks to humans 82: 171–175, Lyon. Kabak, B., A.D.W. Dobson, and I. Var. 2006. Strategies to prevent mycotoxin contamination of food and animal feed: A review. Crit. Rev. Food Sci. Nutr. 46 (8): 593 – 619. Kementerian Pertanian RI, 2009. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 19/Permentan/Ot.140/4/2009 Tentang Syarat Dan Tatacara Pendaftaran Pakan. Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 93. Jakarta. Kusumaningtyas, E., R. Widiastuti dan R. Maryam. 2006. Penurunan residu aflatoksin B1 dan M1 pada hati itik dengan pemberian Saccharomyces cerevisiae dan Rhizopus oligosporus. Dalam: Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, Indonesia. Kutz, R.E., J.D. Sampson, L.B. Pompeu, D.R. Ledoux, J.N. Spain, M. VazquezAnon, and G.E. Rottinghaus. 2009. Efficacy of Solis, NovasilPlus, and MTB100 to reduce aflatoxin M1 levels in milk of early to mid lactation cows fed aflatoxin B1. J. Dairy Sci. 92: 3959 – 3963. Lanyasunya, T.P., L.W. Lamae, H.H. Musa, O. Olowofeso, and I.K. Lokwaleput. 2005. The risk of mycotoxins contamination on dairy feed and milk on small holder dairy farm in Kenya. Pakistan J. Nutr. 4(3): 162 – 169 Li, J., D. Suo and X. Su. 2010. Binding capacity for aflatoxin B1 by different adsorbents. Agric. Sci. in China 9(3): 449-456. Liu, Y. and F. Wu. 2010. Global burden of aflatoxin-induced hepatocellular carcinoma: a risk assessment. Environ. Health Perspect. 118 (6):818–824. Mani, K., K. Sundaresan and K. Viswanathan. 2001. Effect of immunomodulators on the performance of broilers in aflatoxicosis. Indian. Vet. J. 78 (12):11261129. Peng, K.Y. and C.Y. Chen. 2009. Prevalence of aflatoxin M1 in milk and its potential liver cancer risk in Taiwan. J. Food Prot. 72 (5): 1025 – 1029.
29
Pietri, A., T. Bertuzzi, G. Piva, E.M. Binder, D. Schatmayr and I. Rodrigues. 2009. Aflatoxin transfer from naturally contaminated feed to milk of dairy cows and the efficacy of a mycotoxin deactivating product. Int. J. Dairy Sci. 4 (2): 34 - 42. Pitt, J.I. 2004. Application of the food safety objective concept to the problem of aflatoxins in peanuts. Mitt. Lebensm. Hyg. 95: 52–58. Rachmawati, S., Z. Armin, M. Poeloengan dan H. Hamid. 2002. Residu aflatoksin B1 pada organ hati dan pertumbuhan itik yang mendapat perlakuan bakteri asam laktat (Lactobacillus rhamnosus). Dalam: Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, Indonesia. Richard, J.L. 2007. Some major mycotoxins and their mycotoxicosis: An overview. Int. J. Food Microbiol. 119: 3–10. Rodrigues, I. and K. Naehrer, 2012. A three-year survey on the worldwide occurrence of mycotoxins in feedstuffs and feed. Toxins 4: 663-675. Sardjono, E.S. Rahayu, A.D. Hocking, and J.I. Pitt. 1992. The microflora of cereals and nuts in Indonesia. In: Proceeding of the 4th ASEAN Food Conference: Development of Food Science and Technology in Southeast Asia. Jakarta, Indonesia. Sumantri, 2014. Aflatoxin B1 contamination in the ration of lactating dairy cow and reduction of its carry-over into the milk. Dissertation. Faculty of Animal Science of Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Sumantri, I., A.F.B. van der Poel, J. Boehm, T.W. Murti and A. Agus. 2012b. Carry-over of aflatoxin B1-feed into aflatoxin M1-milk in dairy cows treated with natural sources of aflatoxin and bentonite. J. Indonesian Trop. Anim. Agric 37 (4): 271-277. Sumantri, I., T.W. Murti, J. Boehm dan A. Agus. 2012a. Kapasitas dan stabilitas pengikatan beberapa adsorben aflatoksin alami secara in vitro rumen. Bulletin Peternakan 36 (3):156-161. Voelkel, I., E. Schroer-Merker and C. P. Czerny. 2011. The carry-over of mycotoxins in products of animal origin with special regards to its implications for the European Food Safety Legislation. Food Nutr. Sci. 2: 852-867. Williams, J.H., T.D. Phillips, P.E. Jolly, J.K. Stiles, C.M. Jolly and D. Aggarwal. 2004. Human aflatoxicosis in developing countries: a review of toxicology, exposure, potential health consequences and interventions. J. Clin. Nutr. 80(5): 1106-1122. Zaghini, A., G. Martelli, P. Roncada, M. Simioli, and L. Rizzi. 2005. Mannanoligosaccharides and aflatoxin B1 in feed for laying hens: effects on egg quality, aflatoxins B1 and M1 residues in eggs, and aflatoxin B1 levels in liver. Poultry Sci. 84: 825-832. Aly, S.A. and W. Anwer. 2009. Effect of naturally contaminated feed with aflatoxins on performance of laying hens and the carryover of aflatoxin b1 residues in table eggs. Pakistan J. of Nutrition 8 (2): 181-186.
30
Lampiran 1. Sertifikat presentasi oral pada seminar internasional
31
Lampiran 2. Publikasi hasil penelitian di Seminar Internasional
32
33
34
35
36
37
Lampiran 3. Bukti submit artikel hasil penelitian tahun 1 (2016) ke jurnal nasional terakreditasi
38
Lampiran 4. Draft artikel ilmiah telah di submit pada jurnal nasional terakreditasi (Buletin Peternakan) CEMARAN AFLATOKSIN DALAM PAKAN DAN PRODUK ITIK ALABIO (Anas platyrinchos borneo) DI KALIMANTAN SELATAN AFLATOXINS CONTAMINATION IN FEED AND PRODUCTS OF ALABIO DUCK (Anas platyrinchos borneo) COLLECTED FROM SOUTH KALIMANTAN, INDONESIA I. Sumantri1*, A. Agus2, B. Irawan1, Habibah1, N. Faizah1, K.J. Wulandari1 1
2
Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Lambung Mangkurat, Jl. Jend. Ahmad Yani KM 36 Banjarbaru 70714
Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada, Jl. Fauna No. 3, Bulaksumur, Yogyakarta 55281 INTISARI
Itik merupakan ternak paling rentan terhadap paparan aflatoksin. Survei ini dilaksanakan untuk mengetahui prevalensi dan tingkat cemaran aflatoksin dalam pakan serta residunya dalam produk itik Alabio. Sebanyak 271 sampel pakan dari 25 peternak dan 7 poultry shop dari 3 kecamatan dan 7 desa di Kabupaten Hulu Sungai Utara dianalisis kandungan AFB1-nya. Selain itu, 48 sampel hati, 42 sampel daging dan 38 telur dari rumah potong unggas, rumah makan dan peternak dianalisis kandungan residu aflatoksinnya. Hasil uji ELISA memperlihatkan tingginya prevalensi cemaran AFB1 dalam pakan komersial, ikan kering dan gabah (100%). Kecuali batang sagu (2 ppb), semua jenis pakan mengandung AFB1 melebihi batas yang diperbolehkan berdasarkan SNI (20 ppb). Residu aflatoksin (AFB1 dan AFM1) ditemukan dalam semua sampel hati, daging dan telur. Konsentrasi AFM1 tertinggi ditemukan dalam hati, yaitu antara 105 hingga 1.215 ppt (rerata 304 ppt). Meskipun dalam konsentrasi yang rendah, AFM1 terdeteksi dalam telur dan daging, yaitu berturut-turut antara 71-128 ppt dan 10-36 ppt. Tingginya prevalensi cemaran aflatoksin dalam produk itik Alabio pada penelitian ini menunjukkan bahwa produk tersebut tidak aman untk konsumen. (Kata kunci: Aflatoksin, Residu aflatoksin, Itik Alabio) ABSTRACT A limited survey was conducted to determine aflatoxins contaminations in feed and products of Alabio duck. In total of 271 feed samples, 48 liver sample, 42
39
meat sample, and 38 egg sample were analyzed for determinations of aflatoxin B1 (AFB1) and aflatoxin M1 (AFM1) using Enzyme-Linked Immuno-Sorbent Assay (ELISA) tests. Results showed high prevalence of AFB1 contamination in feed sample, especially in feed concentrate, dried fish, and rice hulls (100%). AFB1 concentrations were higher than tolerable limit for AFB1 in feed for laying duck according to SNI (20 ppb), except for sago pit. This survey also showed high prevalence and levels of aflatoxin residues in the products of Alabio duck. AFB1 was found in all liver samples, with concentrations ranging from 4 to 12 ppb (average: 7 ppb). AFM1 was found in all of liver, meat, and egg samples. The highest level of AMF1 was found in liver which was ranging from 105 to 1,215 ppt (average: 304 ppt). High level of AFM1 was also found in meat, namely between 71 to 128 ppt (averaged: 91 ppt). Although found at low level, AFM1 was detected in egg, which was ranging from 10 to 36 ppt (average: 19 ppt). This survey showed high contaminations of aflatoxins in Alabio duck products that indicated liver, meat and egg of Alabio duck collected from the area of survey were harmful for the consumer. (Keywords: Aflatoxin, Aflatoxin residues, Alabio duck)
PENDAHULUAN Aflatoksin adalah senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan terutama oleh Aspergillus flavus dan A. parasiticus. Toksigenik strain dari spesies fungi tersebut umumnya ditemukan pada bahan pakan ternak, seperti bungkil kacang tanah, bungkil biji kapas, bungkil kopra dan jagung (Pietri et al., 1992; Gowda et al., 2013). Aflatoksin B1 (AFB1) merupakan jenis mikotoksin yang paling toksik dan sering ditemukan dibandingkan kelompok mikotoksin lainnya. Kondisi klimat tropis sangat sesuai untuk pertumbuhan fungi dan produksi AFB1 dalam pakan ternak di Indonesia (Bryden, 2012) sebagaimana diperlihatkan oleh beberapa survei sebelumnya (Sardjono et al., 1992; Goto et al., 1999; Bahri et al., 2005; Agus et al., 2013). Pada unggas, konsumsi pakan tercemar AFB1 menyebabkan kerusakan hati, gangguan sistem immun, produktivitas yang rendah hingga kematian (Diaz and Murcia, 2011). Penelitian awal memperlihatkan terjadinya transfer aflatoksin dari ternak laktasi yang mengkonsumsi pakan tercemar AFB1 ke dalam susu dengan senyawa utamanya adalah AFM1. Penelitian saat ini kemudian memperlihatkan bahwa AFM1 juga ditemukan dalam daging, hati, ginjal dan telur dari babi maupun unggas yang mengkonsumsi pakan tercemar AFB1 (Voelkel et al. 2011). AFM1 memiliki sifat toksik dan karsinogenik yang sama seperti AFB1, sehingga keduanya telah diklasifikasikan sebagai senyawa karsinogen terhadap manusia oleh International Agency for Research on Cancer (IARC) sejak tahun 2002 (El-Tras et al., 2011).
40
Kemampuan setiap spesies dalam mendetoksifikasi aflatoksin berbedabeda. Berbeda dengan ternak ruminansia dan ayam yang resisten terhadap paparan aflatoksin (LD50 = 1-50 mg/kg), maka itik merupakan salah satu spesies yang sangat rentan terhadap paparan aflatoksin pada dosis rendah (LD50 < 1 mg/kg). Hal ini diduga dikarenakan perbedaan laju biotranformasi aflatoksin di liver dari spesies tersebut, dimana pada itik aktivitas enzim untuk mereduksi dan mengoksidasi aflatoksin adalah lebih rendah dan memiliki jalur yang berbeda dibandingkan spesies unggas lainnya (Diaz and Murcia, 2011). Tingginya kejadian cemaran AFB1 pada bahan pakan di Indonesia dan rendahnya kemampuan itik untuk mendetoksifikasi aflatoksin menimbulkan dugaan tingginya resiko aflatoksikosis pada itik serta residu aflatoksin dalam produknya. Berdasarkan hal tersebut, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui tingkat kejadian dan cemaran aflatoksin, baik dalam pakan maupun produk itik. Penelitian ini dilakukan di Kalimantan Selatan sebagai asal berkembangnya itik Alabio dan dikarenakan masyarakatnya yang gemar mengkonsumsi produk itik.
BAHAN DAN METODE PENELITIAN Survei Survei dilaksanakan di Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan, sebagai sentra peternakan itik Alabio. Survei dilaksanakan secara purposive sampling. Pengambilan sampel untuk survei cemaran aflatoksin merujuk sebagaimana Binder et al. (2007), yaitu sampel besar dari kesuluruhan obyek yang akan disampling terdiri atas sampel-sampel kecil yang diambil secara acak dari keseluruhan lot. Setelah penghalusan dan pencampuran, sampel-sampel kecil selanjutnya dicampur dan dilakukan pengambilan sub sampel untuk analisis. Selain itu juga dilakukan pengisian kuisioner untuk melengkapi informasi sampel, meliputi sumber pakan, umur pakan, tata cara penyimpanan pakan serta cara pemberiannya ke ternak. Sampel daging, hati dan telur diambil rumah makan dan pedagang. Sampel yang diperoleh selanjutnya disimpan dalam freezer untuk selanjutnya dipreparasi dan dianalisis.
Analisis AFB1 dan AFM1 Analisis kadar AFB1: 5 g sampel pakan atau hati yang sudah digiling dimasukkan ke dalam tabung reaksi ukuran 50 ml dan selanjutnya diekstraksi dengan menambahkan 25 ml metanol 70%. Tabung digojok selama 3 menit menggunakan vortex untuk kemudian disaring menggunakan kertas saring Whatman nomer 1. Filtrat yang diperoleh selanjutnya diencerkan menjadi dua kali volume menggunakan metanol 35%. Hasil pengenceran merupakan sampel yang siap digunakan dalam pengujian ELISA. Analisis ELISA untuk AFB1 dilakukan menggunakan ELISA kit AgraQuant® ELISA Aflatoxin B1 (Romer Labs, Singapore).
41
Analisis kadar AFM1: 1 g sampel hati atau telur diekstraksi dalam 5 ml metanol 100% dengan penggojokan selama 3 menit. Selanjutnya larutan disentrifugasi selama 5 menit pada 10.000 g. Supernatan kemudian digunakan sebagai sampel uji ELISA. Analisis ELISA untuk AFM1 dilakukan dengan menggunakan ELISA kit AgraQuant® ELISA Aflatoxin M1 Sensitive (Romer Labs., Singapore). Analisis Data Rerata dan standar deviasi dari setiap kelompok sampel dianalisis secara deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN Cemaran Aflatoksin dalam Pakan Itik Alabio Analisis ELISA memperlihatkan tingginya cemaran AFB1 dalam pakan itik Alabio pada penelitian ini, kecuali batang sagu dengan prevalensi cemaran 12% (Tabel 1.). Prevalensi 100% ditemukan pada sampel ikan asin, gabah dan pakan konsentrat. Tingkat cemaran AFB1 pada pakan itik Alabio pada survei ini (28 ppb) melebihi batas maksimal cemaran AFB1 yang diperbolehkan dalam pakan itik. Batas maksimal cemaran AFB1 dalam pakan itik petelur menurut codex alimentarus EU maupun SNI No. 01-3908-2006 adalah sebesar 20 ppb (Kementerian Pertanian, 2009). Berdasarkan jenisnya, kandungan AFB1 melebihi batas maksimum yang diperbolehkan ditemukan dalam gabah (45 ppb), pakan komersial (32 ppb) dan ikan kering (22 ppb). Tingginya kandungan AFB1 dalam gabah di luar dugaan, karena pada umumnya fungi A. flavus tumbuh pada bahan yang tinggi kandungan protein dan energi (Lanyasunya et al., 2005). Penelitian ini memperlihatkan tingginya prevalensi dan tingkat cemaran AFB1 pada pakan komersial, yaitu 100% dan rerata cemaran 32 ppb. Meskipun memiliki peluang tinggi untuk ditumbuhi fungi A. flavus dan tercemar aflatoksin, pakan komersial untuk itik seharusnya tidak mengandung AFB1 melebihi 20 ppb. Oleh sebab itu, penelitian ini menunjukkan adanya pertumbuhan fungi penghasil AFB1 dalam rantai pemasaran hingga ke peternak. Hal yang menarik lainnya adalah prevalensi dan tingkat cemaran AFB1 yang rendah dalam batang sagu. Secara tradisional, batang sagu dipergunakan oleh masyarakat setempat sebagai pakan itik. Batang sagu yang diserut selalu digunakan dalam keadaan segar oleh peternak. Karakteristik kandungan nutrisi batang sagu dan cara penyajiannya diduga dapat menghindarkan adanya pertumbuhan fungi dan cemaran AFB1 dalam batang sagu.
42
Cemaran Aflatoksin pada Produk Itik Alabio Sampel hati, daging dan telur itik Alabio dikoleksi untuk dianalisis adanya cemaran AFB1 dan AFM1. Hasil uji ELISA disajikan pada Tabel 2. Kadar AFB1 dalam hati menunjukkan tingkat paparan AFB1 melalui konsumsi pakan serta kemampuan hati dalam melakukan detoksifikasi AFB1 yang masuk ke dalam tubuh. AFB1 dari pakan, setelah diabsorbsi dalam saluran pencernaan (duodenum), kemudian dimetabolisme oleh enzim-enzim microsomal hati, sehingga hati merupakan organ target dari AFB1 (Voelkel et al., 2011). Rerata kadar AFB1 hati yang ditemukan pada penelitian ini masih di bawah batas maksimum AFB1 dalam makanan sebagaimana peraturan BPOM, yaitu 15 ppb (BPOM, 2009). Meskipun demikian, kadar AFB1 di hati dalam penelitian ini lebih tinggi daripada yang pernah dipublikasikan oleh Bintvihok et al. (2002) pada hati itik Khaki Campbell (0,31 ppb) dan hati ayam broiler (0,33 ppb). Selain itu, prevalensi cemaran yang sangat tinggi (100%) menunjukkan hati itik Alabio tidak aman bagi konsumen, karena AFB1 dapat memicu terjadinya kanker hati, keracunan, serta dampak genotoksik lainnya (IARC, 2002). Tingginya kandungan AFB1 dalam hati sampel yang diperoleh pada survei ini menegaskan bahwa hati dari itik Alabio tersebut tidak aman untuk dikonsumsi. Survei cemaran AFM1 pada produk itik Alabio memperlihatkan tingginya kejadian cemaran residu aflatoksin (prevalensi) dalam hati, daging dan telur, yaitu 100%. Hal ini memperlihatkan tingginya paparan aflatoksin melalui pakan, yang kemudian dimetabolisme di hati menjadi AFM1. AFM1 merupakan metabolit utama dari biotransformasi AFB1 di hati, untuk kemudian disekresikan melalui susu, urin, feses, jaringan serta telur (Voelkel et al., 2011). Besaran transformasi AFB1 menjadi senyawa-senyawa metabolitnya berbeda antar spesies dan dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti pakan, laju alir pakan, tingkat kecernaan pakan, kesehatan ternak, kapasitas biotransformasi hati, serta tingkat produktivitas ternak (Becker-Algeri et al., 2016). Di Indonesia belum ada regulasi yang mengatur batasan cemaran AFM1 dalam hati, daging dan telur. Saat ini batasan maksimum AFM1 baru ditetapkan untuk susu dan produk susu, yaitu sebesar 500 ppt (BPOM, 2009). Jika merujuk pada batasan AFM1 dalam susu tersebut maka tingkat cemaran AFM1 dalam produk itik Alabio yang ditemukan dalam penelitian ini masih aman (di bawah 500 ppt). Meskipun demikian, karena penelitian tentang adanya cemaran residu aflatoksin dalam produk itik masih sangat jarang dilakukan maka ditemukannya AFM1 dalam semua sampel, khususnya di hati (304 ppt), menunjukkan adanya resiko dampak aflatoksikosis terhadap konsumen yang cukup besar. Penelitian Zaghini et al. (2005) pada ayam petelur yang mendapat pakan terkontaminasi AFB1 sebesar 2.500 ppb selama empat minggu menunjukkan tidak ditemukannya AFM1 di dalam hati dan telur (< 0,01 ppb). Uni Eropa menetapkan batas maksimum cemaran AFM1 pada susu untuk konsumsi orang dewasa adalah 50 ppt, karena diperkirakan konsumsi 1 ng aflatoksin per kilogram berat badan sudah dapat menyebabkan timbulnya kanker (Duarte et al., 2013).
43
KESIMPULAN Penelitian memperlihatkan tingginya cemaran AFB1 pada pakan itik Alabio, kecuali batang sagu. Tingginya cemaran AFB1 dan AFM1 juga ditemukan pada hati, daging dan telur itik Alabio. Berdasarkan prevalensi dan tingkat cemaran, hati itik Alabio tidak aman untuk dikonsumsi. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih disampaikan kepada DITJEN DIKTI KEMENRISTEK DIKTI dan Universitas Lambung Mangkurat yang telah mendanai penelitian ini melalui Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi No. 193/UN8.2/PL/2016 tahun 2016. DAFTAR PUSTAKA Agus, A., I. Sumantri, T.W. Murti and J. Boehm. 2013. Survey on the Occurrence of Aflatoxin B1 Contamination in Dairy Ration and Its Carry Over into the Milk in Yogyakarta and Central Java Provinces of Indonesia. In: Proceeding of ISM-MycoRed International Conference “Europe 2013”: Global Mycotoxin Reduction Strategies. CNR ISPA-International Society of Mycotoxin. Apulia-Italy. Pp. Bahri, S., R. Maryam, and R. Widiastuti. 2005. Cemaran aflatoksin pada bahan pakan dan pakan di beberapa daerah propinsi Lampung dan Jawa Timur. JITV 10 (3): 236 – 241. Becker-Algeri, T.A., D. Castagnaro, K.de Bortoli, C. de Souza, D.A. Drunkler, and E. Badiale-Furlong. 2016. Mycotoxins in bovine milk and dairy products: a review. J. Food Sci. 81(3): 544-552. Binder E.M., L.M. Tan, L.J. Chin, J. Handl, and J. Richard. 2007. Worldwide occurrence of mycotoxins in commodities, feeds and feed ingredients. Anim. Feed Sci. Technol. 137: 265–282. Bintvihok, A., S. Thiengnin, K. Doi, and S. Kumagai. 2002. Residues of aflatoxins in the liver, muscle and eggs of domestic fowls. J. Vet. Med. Sci. 64 (11): 1037-1039. BPOM. 2009. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor Hk.00.06.1.52.4011 Tentang Penetapan Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Kimia dalam Makanan. Jakarta. Bryden, W.L. 2012. Mycotoxin contamination of the feed supply chain: Implications for animal productivity and feed security. Anim. Feed Sci. Technol. 173: 134 – 158.
44
Diaz, G.J. and H.W. Murcia. 2011. Biotransformation of aflatoxin B1and its relationship with the differential toxicological response to aflatoxin in commercial poultry species. In: R.G. Guevara-Gonzalez Ed. AflatoxinsBiochemistry and Molecular Biology pp 3-20. In Tech Publishing, RijekaCroatia Duarte, S.C., A.M. Almeida, A.S. Teixeira, A.L. Pereira, A.C. Falcão, A. Pena, and C.M. Lino. 2013. Aflatoxin M1 in marketed milk in Portugal: Assessment of human and animal exposure. Food Control 30: 411 – 417. El-Tras, W.F., N.N. El-Kady, and A.A. Tayel. 2011. Infants exposure to aflatoxin M1 as a novel foodborne zoonosis. Food Chem. Toxicol. 49: 2816–2819. Goto, T., E. Ginting, S. S. Antarlina, J. S. Utomo, Y. Ito, and S. Nikkuni. 1999. Aflatoxin contamination and fungi isolated from Indonesian agricultural commodities. In: Proceeding of International Symposium of Mycotoxicology, Chiba, Japan. Pp. 211–215. Gowda, N.K.S, H.V.L.N. Swamy, and P. Mahajan. 2013. Recent advances for control, counteraction and amelioration of potential aflatoxins in animal feeds. In: M. Razzaghi-Abyaneh ed. Aflatoxins-Recent Advances and Future Prospects pp.129 - 140. In Tech Publishing, Rijeka-Croatia. IARC. 2002. World health organization international agency for research on cancer. Aflatoxins: B1, B2, G1, G2, M1. In: Some traditional herbal medicines, some mycotoxins, napthalene and styrene. IARC monographs on the evaluation of carcinogenic risks to humans 82: 171–175, Lyon. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 19/Permentan/Ot.140/4/2009 Tentang Syarat Dan Tatacara Pendaftaran Pakan. Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 93. Jakarta. Lanyasunya, T.P., L.W. Lamae, H.H. Musa, O. Olowofeso, and I.K. Lokwaleput. 2005. The risk of mycotoxins contamination on dairy feed and milk on small holder dairy farm in Kenya. Pakistan J. Nutr. 4(3): 162 – 169 Pietri, A., T. Bertuzzi, G. Piva, E.M. Binder, D. Schatmayr and I. Rodrigues. 2009. Aflatoxin transfer from naturally contaminated feed to milk of dairy cows and the efficacy of a mycotoxin deactivating product. Int. J. Dairy Sci. 4 (2): 34 - 42. Sardjono, E.S. Rahayu, A.D. Hocking, and J.I. Pitt. 1992. The microflora of cereals and nuts in Indonesia. In: Proceeding of the 4th ASEAN Food Conference: Development of Food Science and Technology in Southeast Asia. Jakarta, Indonesia. Volkel, I., E. Schroer-Merker, C. P. Czerny. 2011. The carry-over of mycotoxins in products of animal origin with special regards to its implications for the European food safety legislation. Food and Nutrition Science 2: 852-867. Zaghini, A., G. Martelli, P. Roncada, M. Simioli, and L. Rizzi. 2005. Mannanoligosaccharides and aflatoxin B1 in feed for laying hens: effects on egg quality, aflatoxins B1 and M1 residues in eggs, and aflatoxin B1 levels in liver. Poultry Sci. 84: 825-832.
45
Tabel 1. Cemaran AFB1 dalam pakan itik Alabio (Table 1. AFB1 contamination in feed samples of Alabio duck) Jenis Pakan Feed Sample Ransum Mixed Ration Dedak Rice bran Batang sagu Sago pit Ikan Kering Dried fish Gabah Rice Hulls Pakan Komersial Commercial feed Rerata Mean
Sampel Sample (n)
Prevalensi Prevalence (%)
40
88
2
28
13
7,46
24
75
2
45
17
18,26
26
11.5
2
2
2
0,03
60
100
5
78
22
13,94
43
100
4
192
45
38,41
78
100
4
80
32
21,50
271
88
2
192
28
24,70
AFB1 (ppb) Minimum Maksimum Rerata Minimum Maximum Mean
SD
46
Tabel 2. Cemaran aflatoksin dalam produk itik Alabio (Table 2. Aflatoxin residues in the products of Alabio duck) Konsentrasi Aflatoksin Aflatoxins
AFB1 (ppb)
Sampel Sample
Hati
Prevalensi Prevalence (%)
Concentration Minimum Minimum
Maksimum Maximum
Rerata Mean
100%
4
12
7
100%
105
1.215
304
100%
71
128
91
100%
10
36
19
Liver (n=48) AFM1 (ppt)
Hati Liver (n=48) Daging Meat (n=42) Telur Egg (n=38)
47
Lampiran 5. Dokumentasi kegiatan penelitian
Gambar lokasi pengambilan sampel pakan dengan responden peternak itik
Gambar
Gambar sampel hati diduga terpapar aflatoksin diambil dari RPH
48
Gambar sampel daging itik Alabio diambil dari pedagang pasar unggas
Gambar produksi AFB1 pada media jagung giling menggunakan starter A. flavus FNCC 612
49
Gambar kandang dan itik uji in vivo
50
Gambar pengambilan sampel uji in vivo