LAPORAN AKHIR PENELITIAN UNGGULAN PERGURUAN TINGGI Development and Upgrading of Seven Universities in Improving the Quality and Relevance of Higher Education in Indonesia
BIO-EKOLOGI LARVA IKAN BETOK (Anabas testudineus Bloch) DI BERBAGAI PERAIRAN RAWA KALIMANTAN SELATAN DAN UPAYA UNTUK PEMELIHARAAN
TIM PENELITI Dr. Ir. Hj. Rukmini, MP. NIDN. 0007046506 (Ketua) Dr. Slamat, SPi., MSi. NIDN 0001067608 (Anggota) Siti Aisiah, SPi. MP. NIDN. 0010107303 (Anggota)
FAKULTAS PERIKANAN DAN KELAUTAN UNLAM NOPEMBER 2014
1
RINGKASAN Potensi ekosistem rawa yang luas terdapat di wilayah Indonesia pada umumnya dan Kalimantan Selatan pada khususnya, sangat memungkinkan tumbuh dan berkembangnya berbagai jenis biota tumbuhan dan hewan yang hidup didalamnya. Salah satu jenis biota fauna yang mendominasi kehidupan di ekosistem perairan rawa adalah ikan, diantaranya ikan betok Anabantidae. Ikan betok sebagai penghuni berbagai perairan rawa . Di Kalimantan Selatan ikan ini termasuk salah satu ikan ekonomis penting, digemari dan sangat laku di pasaran. Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan ikan betok masih mengharapkan dari penangkapan di alam. Pada kegiatan budidaya, ikan betok termasuk ikan yang mudah bereproduksi secara alami ataupun buatan, tetapi kendalanya pada saat fase larva mortalitasnya sangat tinggi. Sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan benih untuk kegiatan pembesaran. Dari hal itu sangat diperlukan kajian yang lebih intensif untuk menemukan bio-ekologi larva ikan betok di habitatnya di berbagai perairan rawa (perairan rawa monoton, tadah hujan dan pasang surut). Tujuan jangka panjang penelitian ini adalah upaya pelestarian dan penyediaan benih betok yang intensif dengan cara meningkatkan kelangsungan hidup larva ikan betok. Target khusus yang ingin dicapai adalah (1) mengetahui parameter fisika, kimia, dan biologi berbagai perairan rawa sebagai habitat larva ikan betok (2) mengetahui jenis plankton yang dimakan oleh larva ikan betok di berbagai perairan rawa (3) mengetahui jenis tanaman air yang disukai sebagai habitat larva ikan betok di berbagai perairan rawa. (4) mengetahui ukuran bukaan mulut larva (5) mengetahui kecepatan pertumbuhan larva ikan betok (6) mengetahui kelangsungan hidup larva ikan betok. Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah secara deskriptif. Hasil analisis dan perhitungan data semua parameter yang didapatkan selanjutnya ditabulasi. Interpretasi hasil tabulasi tersebut dituangkan kedalam bentuk tabel, grafik dan dibandingkan dengan pendapat para ahli. Rencana kegiatan penelitian tahun I adalah (1) mengetahui parameter fisika, kimia, dan biologi berbagai perairan rawa sebagai habitat larva ikan betok (2) mengetahui jenis plankton yang dimakan oleh larva ikan betok di berbagai perairan rawa (3) mengetahui jenis tanaman air yang disukai sebagai habitat larva ikan betok di berbagai perairan rawa. Penelitian tahun II adalah uji coba pemeliharaan larva ikan betok di bak-bak semen dengan bio-ekologi yang sesuai dengan habitatnya di alam dan pemberian jenis pakan alami yang sesuai di alam (perlakuan sesuai hasil yang didapat pada tahun I). Pengamatan yang dilakukan pada tahun II adalah (1) mengetahui ukuran bukaan mulut larva ikan betok (2) mengetahui kecepatan pertumbuhan larva ikan betok (3) mengetahui kelangsungan hidup larva ikan betok. Dengan ditemukannya informasi paket teknologi tersebut, maka diharapkan dapat dilakukan upaya pemeliharaan ikan betok yang lebih baik dan intensif. Hasil analisa parameter kualitas air masing-masing pada perairan rawa monoton Danau Bangkau, rawa pasang surut Anjir, dan rawa tadah hujan Kurau adalah : suhu 2729 °C, 28-29,7 °C, 27-28 °C, kecerahan 31-33 cm, 56-67 cm, 55-58 cm, kekeruhan 9,129,20 NTU, 1,84- 2,41 NTU, 2,41-2,84 NTU, oksigen 1,5-1,8 mg/l, 2,6-2,8 mg/l, 2,8-3,7 mg/l, karbondioksida 10,45-11,55 mg/l, 10,33-10,56 mg/l, 8,10-9,18 mg/l, pH 6,35-6,45, 3,77-3,94, 4,65-4,89, dan amoniak 0,3-0,4 mg/l. 0,65-0,9 mg/l, 0,1-0,2 mg/l.
2
Jenis plankton dominan yang didapat dari hasil analisa sampel air yang di ambil dari habitat larva ikan betok mulai dari telur menetas sampai larva berumur 31 hari pada semua titik pengamatan yaitu : pada perairan rawa monoton di Danau Bangkau 12 jenis, rawa pasang surut di Anjir 10 jenis, dan rawa tadah hujan di Kurau 9 jenis. Dari data kelimpahan plankton pada ketiga tipe perairan rawa dimana kesuburan perairan dari setiap umur larva mempunyai tingkatan yang sama yaitu kesuburan sedang dengan nilai kelimpahan plankton 0,1 – 40 x 106 sel/m3. Hasil analisa indeks keanekaragaman plankton pada habitat larva ikan betok di perairan rawa monoton Danau Bangkau dan perairan rawa tadah hujan Kurau, maka indeks keanekaragaman plankton pada semua umur larva ikan betok dapat dimasukkan dalam kategori 1,67-2,33 yaitu keadaan struktur komunitas stabil dan masuk ke dalam kategori perairan sedang. Sedangkan indeks keanekaragaman plankton pada habitat larva ikan betok di perairan rawa pasang surut Anjir dimasukkan dalam kategori 1,00-1,66 yaitu keadaan struktur komunitas cukup stabil dan masuk ke dalam kategori perairan buruk. Hasil analisa saluran pencernaan (lambung) larva ikan betok berumur 3 sampai 31 hari pada perairan rawa monoton Danau Bangkau, rawa pasang surut Anjir, dan rawa tadah hujan Kurau yaitu seluruh lambung berisi plankton sebagai pakan alami yang sesuai dengan umur dan ukuran larva ikan. Pakan alami yang dimakan mulai dari fitoplankton kemudian beralih ke zooplankton. Jenis tumbuhan air yang banyak ditemukan populasi larva ikan betok sebagai habitatnya di perairan rawa monoton Danau Bangkau : Eceng gondok (Eichornia crassipes (Mart) Solms), rawa pasang surut di Anjir : Kiapu (Pistia stratiotes), dan rawa pasang surut di Kurau : gulma itik (Lemna perpusilla).
3
PRAKATA
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas selesainya laporan akhir kegiatan penelitian ini yang berjudul “Bio-Ekologi Larva Ikan Betok (Anabas testudineus Bloch) Di Berbagai Perairan Rawa Kalimantan Selatan dan Upaya untuk Pemeliharaan”. Kami ucapkan terima kasih kepada : 1. DP3M Dikti 2. Ketua Lembaga Penelitian Universitas Lambung Mangkurat 3. Kepala Desa Kurau, Anjir, dan Danau Bangkau 4. Dekan Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Lambung Mangkurat 5. Semua pihak yang membantu Sehingga kegiatan penelitian ini dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan berjalan lancar.
Banjarbaru, Nopember 2014 Tim Peneliti
4
BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini upaya konservasi lingkungan perairan dan pemanfaatannya sedang gencar–gencarnya digalakkan oleh pemerintah. Perlindungan serta pemanfaatannya diatur dalam Undang–Undang Perikanan No. 45 Tahun 2009 seperti tertera pada pasal 7 yang mengatur semua aktivitas kegiatan perikanan secara umum. Sedangkan pemanfaatan lahan basah secara rinci diatur dalam Strategi Nasional dan Rencana Aksi Pengelolaan Lahan Basah Indonesia.
Secara umum luas lahan basah yang potensial diseluruh Indonesia
mencapai 40,5 juta hektar (Konvensi Ramsar 1971) yang terbagi di lima kepulauan terbesar yaitu Kalimantan, Sumatra, Sulawesi, Papua dan Jawa. Salah satu jenis ekosistem perairan lahan basah yang cukup luas yang berada di kepulauan Kalimantan adalah perairan rawa yang luasnya mencapai +12 juta hektar yang salah satunya terdapat di Kalimantan Selatan. Menurut Balai Rawa (2010), secara khusus luas perairan rawa yang ada di Kalimantan Selatan mencapai +1 juta hektar atau sekitar 27% dari luas Propinsi Kalimantan Selatan yang luasnya 36.974,50 km2. Perairan rawa tersebar diseluruh Kabupaten yang ada di Kalimantan Selatan yang dapat dikelompokkan menjadi perairan rawa monoton terdapat di wilayah Kabupaten Hulu Sungai dengan luas ±452.704 ha, rawa tadah hujan terdapat di wilayah Kabupaten Banjar, Kabupaten Tanah Laut, dan Kabupaten Pulau Laut dengan luas ±169.094 ha, dan rawa pasang surut terdapat di Kabupaten Barito Kuala, Kabupaten Tanah Laut, dan Kota Baru dengan luas 372.637 ha. Rawa monoton dapat diartikan sebagai suatu perairan luas dan terbuka yang terus menerus terendam air sepanjang tahun dengan kedalaman maksimal ≥5 meter. Rawa tadah hujan dapat diartikan sebagai suatu perairan rawa yang terendam oleh air pada musim penghujan, sedangkan pada musim kemarau lahan perairan ini akan kering, dan dengan kedalaman maksimal ≥ 1 meter. Sedangkan perairan rawa pasang surut dapat diartikan sebagai suatu perairan yang sangat terpengaruh oleh keadaan pasang dan surut yang masuk dalam perairan rawa baik pasang tunggal (purnama) maupun pasang ganda (perbani) dengan kedalaman maksimal > 4 meter. Tiga tipe perairan rawa terluas tersebut terdapat di wilayah Kabupaten Hulu Sungai, Kabupaten Banjar dan Kabupaten Barito Kuala.
5
Luasnya ekosistem rawa yang terdapat di wilayah Indonesia pada umumnya dan Kalimantan Selatan pada khususnya, sangat memungkinkan tumbuh dan berkembangnya berbagai jenis biota tumbuhan dan hewan yang hidup didalamnya. Salah satu jenis biota fauna yang mendominasi kehidupan di ekosistem rawa adalah ikan. Diperkirakan + 143 spesies ikan yang teridentifikasi mendominasi perairan tawar, 18 spesies diantaranya merupakan jenis ikan yang sering tertangkap oleh para nelayan antara lain seperti Cyprinidae, Siluridae, Bagridae, Anabantidae, Palaemonidae, Nandidae, Pangasidae, Schibidae, Belontidae, Ambasidae, Notopteridae, Mastocebalidae, Hemi, Eleotridae, Tetradontidae, Cobilidae, Trigonidae dan Synbranchydae Pengertian ekosistem perairan rawa adalah ekosistem kawasan sepanjang pantai, aliran sungai, danau atau lebak yang menjorok masuk (intake) pedalaman sampai sekitar +100 km, atau sejauh dirasakannya pengaruh gerakan pasang (lahan perairan yang terpengaruh arus pasang dan surut).
Rawa mempunyai beberapa istilah padanan
diantaranya yaitu swamp, bog dan marsh, sedangkan tanah rawa sering disebut flooded soils, waterlogged soils dan submerged soils. Salah satu jenis ikan lokal yang banyak di jumpai di perairan rawa adalah ikan betok. Ikan betok merupakan jenis ikan yang mendiami ekosistem perairan rawa yang tergenang, atau perairan dengan aliran air yang tidak begitu deras. Ikan betok secara khusus mendiami daerah perairan rawa dengan karakter perairan berwarna kecoklatan, tapi secara umum dia mampu hidup di wilayah perairan yang sorf, hard, alkaline, acidic dan brackish water, yang umumnya ditemukan di rawa, danau, sawah, sungai kecil dan parit, juga pada kolam yang mendapatkan air banjir atau berhubungan dengan saluran air terbuka. Menurut Uttam et al, (2005), karena populasi ikan betok sudah berkurang maka ikan ini termasuk pada kategori vulnerable atau mudah punah dan termasuk pada kreteria International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN). Dari hal itulah maka diperlukan upaya konservasi dan pemeliharaan ikan betok yang intensif. Perairan rawa mempunyai fungsi hidrologi dan lingkungan bagi kehidupan dan penghidupan manusia serta makhluk hidup lainnya, harus dilindungi dan dilestarikan. Perairan rawa merupakan ekosistem yang rapuh (fragile), sehingga pemanfaatannya harus
6
secara bijak (a wise landuse) dan didasarkan pada karakteristik lahan (Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, 2008). Perairan rawa sebagai salah satu bentuk ekosistem air tawar pada umumnya banyak sekali ditumbuhi oleh tanaman air yang merupakan salah satu komponen ekosistem rawa. Tanaman air ini berperan sebagai produsen dalam jaring-jaring makanan dan berperan dalam siklus energi, dalam hal tersebut dapat dikatakan sebagai rantai penghubung antara energi dan nutrien sebagai faktor abiotik dengan pengguna dari faktor tersebut yaitu konsumer penghuni ekosistem perairan rawa. Selain berperan sebagai produsen, pada dasarnya keberadaan tanaman air pada perairan rawa memberikan nilai tambah terhadap perairan itu sendiri. Adanya tanaman air pada suatu perairan dapat berpengaruh positif ataupun negatif tergantung dari komposisi jenis dan jumlah tanaman air tersebut (Achmad dan Ondara, 1969). Mulyanto (1992) menyatakan bahwa pada perairan terbuka seperti perairan rawa, keberadaan tanaman air akan sangat berguna bagi kehidupan organisme air seperti ikan. Tapi apabila terjadi peledakan populasi tanaman air yang berlebih akan menimbulkan pengaruh yang merugikan. Pada kondisi normal di alam, tanaman air mempunyai manfaat terhadap produktifitas perairan itu. Dari hal-hal tersebut di atas, maka fokus penelitian ini direncanakan mengenai bioekologi larva ikan betok
(Anabas testudineus Bloch) di berbagai tipe perairan rawa
Kalimantan Selatan dan upaya untuk pemeliharaan. Alasan meneliti ikan betok pada berbagai tipe perairan rawa (rawa monoton, tadah hujan, dan pasang surut) adalah karena ikan betok termasuk jenis ikan perairan rawa. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Slamat (2009), ikan betok yang berasal dari perairan rawa monoton tingkat keragaman genetik mt-DNA D Loop intrapopulasi lebih tinggi (sebanyak 5) haplotipenya dibandingkan dengan populasi ikan betok dari rawa pasang surut (sebanyak 3) dan rawa tadah hujan (sebanyak 2). Keragaman genetik ikan betok dari perairan rawa monoton lebih tinggi dibandingkan dengan ikan betok dari perairan rawa lainnya. Hal ini terjadi karena adanya aliran gen yang kearah perairan rawa monoton yang berasal dari perairan rawa pasang surut dan rawa tadah hujan. Sedangkan populasi dari perairan rawa pasang surut cenderung menjadi populasi yang terisolir, dikarenakan kondisi lingkungan perairan
7
yang mendapat intrusi air laut yang mencapai 10–15 ppt. Heterozigositas tertinggi terdapat pada perairan rawa monoton, kemudian tadah hujan dan pasang surut. Demikian juga dari segi produktivitas ikan betok dari perairan rawa monoton lebih tinggi dibandingkan dengan perairan rawa pasang surut dan rawa tadah hujan. Selanjutnya dijelaskan pula bahwa ikan betok dari perairan rawa monoton, yang memiliki ciri warna tubuh biru kekuningan dan sedikit gelap, ukuran panjang maksimal dapat mencapai +25 cm dengan berat maksimal 300 g per ekor (ukuran maksimal lebih besar), pertumbuhannya lebih cepat, dan rasa dagingnya lebih enak dibandingkan dengan ikan betok dari perairan rawa tadah hujan dan pasang surut. Di Kalimantan Selatan ikan betok dijadikan sebagai jenis menu seperti, ikan betok bakar, goreng, bekasam, wadi dan ada juga yang dibuat ikan asin. Produksi ikan betok biasa melimpah ketika musim kemarau tiba, sebab pada waktu itu lahan rawa mulai menyempit sehingga ikan terkumpul dalam suatu lobang (lebak) yang lebih dalam. Lebak atau beji sengaja dibuat di perairan rawa oleh masyarakat, bila musim penghujan seluruhnya tenggelam, dan pada musim kemarau, lebak-lebak tersebut menjadi tempat terdalam, dan didiami ikan betok dan ikan lainnya yang masuk kedalam lebak tersebut.
1.2. Permasalahan yang Diteliti Di Kalimantan Selatan, ikan betok adalah salah satu jenis ikan perairan rawa yang bernilai ekonomis penting. Sampai saat ini umumnya permintaan ikan betok dipenuhi dari hasil penangkapan di alam. Seiring dengan meningkatnya permintaan, ketersediaan ikan betok semakin berkurang dan ukurannya tidak sesuai dengan permintaan pasar. Hasil tangkapan ikan betok di perairan rawa Kalimantan Selatan dari tahun ke tahun terjadi penurunan yang sangat signifikan. Data produksi ikan betok 5 tahun terakhir menunjukkan bahwa terjadi penurunan hasil tangkap. Pada tahun 2006 produksi ikan betok sebesar 6.055,5 ton, tahun 2008 sebesar 5.045,7 ton, tahun 2009 sebesar 4.290,0 ton, tahun 2010 sebesar 3.408,5 dan tahun 2011 sebesar 3.011,2 ton (Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Kalimantan Selatan, 2011). Menghadapi penomena tersebut, budi daya ikan betok telah masuk dalam rencana strategi pengembangan budidaya ikan air tawar Propinsi Kalimantan Selatan.
8
Pada sisi lain, usaha pengembangan budidaya ikan betok menghadapi kendala dalam penyediaan benih. Ketersediaan benih bersifat musiman, yaitu melimpah pada musim pemijahan alami di awal musim penghujan dan langka pada musim lainnya. Oleh karena itu, penyediaan benih ikan betok secara kontinu perlu dikembangkan. Usaha pembenihan merupakan alternatif pemecahan masalah untuk mengatasi kesenjangan antara ketersediaan dan kebutuhan benih. Meskipun demikian, kelangsungan usaha ini dibatasi oleh tingkat kelangsungan hidup larva ikan betok yang sangat rendah (Marlida, 2001). Hal ini disebabkan oleh periode larva merupakan periode kritis dalam daur kehidupan ikan. Kondisi ini berhubungan dengan kemampuan larva dalam menerima pakan dari luar pada saat peralihan dan masa endogenous feeding ke masa exogenous feeding. Masa peralihan ini berkaitan dengan kemampuan larva untuk mengambil pakan dan kesesuaian pakan dengan ukuran bukaan mulut serta ekosistem yang sesuai (Kamler, 1992). Pakan alami yang diberikan pada fase larva harus sesuai dengan ukuran bukaan mulut dan disenangi larva. Jenis-jenis pakan alami yang sering dimakan dan disenangi larva betok banyak terdapat pada ekosistem atau habitat alami larva betok. Ekosistem yang optimal juga sangat mempengaruhi kelangsungan hidup larva betok. Ikan betok merupakan jenis ikan yang mendiami ekosistem perairan tawar yang tergenang, atau perairan dengan aliran air yang tidak begitu deras. Ikan betok secara khusus mendiami daerah perairan rawa dengan karakter perairan berwarna kecoklatan. Perairan rawa adalah lahan genangan secara ilmiah yang terjadi terus-menerus atau musiman akibat yang terhambat serta mempunyai ciri-ciri khusus secara, kimiawi dan biologis (Anonim, 2010). Namun demikian, informasi tentang ekosistem rawa tempat hidup dan jenis pakan alami larva ikan betok belum pernah diteliti sehingga belum ada informasi. Penelitian ikan betok yang dilakukan oleh beberapa peneliti hanya mengarah ke usaha pembesaran dengan sumber benih yang berasal dari alam, seperti dilaporkan oleh Muhammad (1987), Normalinda (2002), dan Robianti (2006). Ikan betok termasuk ikan yang mudah bereproduksi secara alami ataupun buatan, tetapi mortalitas larvanya sangat tinggi sehingga memerlukan kajian yang lebih intensif untuk menemukan bio-ekologi larva ikan betok di habitatnya dimana ia hidup. Dengan
9
ditemukannya
informasi
tersebut,
maka
diharapkan
dapat
dilakukan
upaya
pemeliharaannya agar lebih baik. Tidak adanya informasi mengenai bio-ekologi larva ikan betok, menyebabkan budidaya ikan betok ini relatif tertinggal dibandingkan dengan jenis ikan lainnya.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Ikan Betok Ada beberapa nama sinonim spesies ikan betok diantaranya yaitu : A. Scandens, Amphiprion scansor, Amphiprion testudineus, A. elongatus, A. macrocephalus, A. microcephalus, A. spinosus, A. trifoliatus, A. variegatus, Anthias testudineus (Hoedeman 1969), Dalam bahasa sehari–hari ikan betok dikenal dengan nama ikan betik (Jawa), ikan puyu (Malaysia) dan ikan papuyu (Kalimantan), puyo – puyo (Bintan), geteh – geteh (Manado), dan kusang (Danau Matuna).
Menurut Saanin (1986), ikan betok
diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom
: Animalia
Phylum
: Chordata
Kelas
: Pisces
Ordo
: Labyrinthici
Famili
: Anabantidae
Genus
: Anabas
Spesies
: Anabas testudineus Bloch
Nama Umum : Walking fish atau Clambing Perch Spesies
: Anabas testudineus Bloch (1792) Di Kalimantan Selatan pada umumnya ikan betok mendiami 3 habitat perairan
rawa yaitu perairan rawa monoton, rawa tadah hujan, dan rawa pasang surut. Menurut Slamat (2009), berdasarkan pengamatan morfologi secara langsung, ketiga populasi ikan betok yang mendiami ketiga habitat perairan rawa tersebut mempunyai ciri-ciri yang berbeda pula. Untuk lebih jelasnya perbedaan morfologi ikan betok tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.
10
BETOK RAWA MONOTON
BETOK RAWA PASUT
BETOK RAWA TADAH HUJAN
Gambar 1. Varitas ikan betok dari tiga tipe perairan rawa Kalimantan Selatan (Sumber : Slamat, 2009) Secara morfologi ikan betok dari perairan rawa monoton, memiliki warna tubuh biru kekuningan dan sedikit gelap, ukuran panjang total maksimal dapat mencapai + 25 cm dengan berat 300 gr per ekor, rasa daging lebih enak dibandingkan dengan ikan betok dari perairan rawa tadah hujan dan pasang surut, pertumbuhannya lebih cepat dibandingkan dengan ikan betok lainnya, tetapi mortalitas benihnya cukup tinggi.
Ikan betok dari
perairan rawa tadah hujan, warna tubuh kuning kehijauan dan agak kebiruan, ukuran panjang total maksimal dapat mencapai + 17 cm dengan berat 150 gr per ekor, rasa dagingnya sedikit berbau lumpur dan pertumbuhan lebih lambat tetapi relatif lebih tahan terhadap goncangan kualitas air yang ekstrim. Ikan betok dari perairan rawa pasang surut, warna tubuh hijau kebiruan dan agak kekuningan, ukuran panjang total maksimal dapat mencapai + 22 cm dengan berat 300 gr per ekor, rasa daging sedikit lebih hambar dan pertumbuhan lambat, akan tetapi pertumbuhannya lebih cepat dibandingkan dengan ikan betok yang berasal dari perairan rawa tadah hujan dan relatif lebih tahan terhadap air yang bersalinitas (+ 10 – 15 ppt). 2.2. Bio-Ekologi Ikan Betok Ikan betok keberadaannya di perairan umum seperti danau, sungai, rawa – rawa dan genangan air tawar maupun payau. Ikan betok biasanya memijah pada awal musim penghujan yaitu daerah –daerah yang kering pada musim kemarau dan berair pada musim
11
penghujan. Jika daerah itu sedang digenangi air maka ikan betok akan pergi ke daerah itu untuk memijah (Suhaili, 1984). Dalam keadaan normal sebagaimana ikan pada umumnya, ikan betok bernafas dalam air dengan insang. Akan tetapi seperti ikan gabus dan lele, ikan betok juga memiliki kemampuan untuk mengambil oksigen langsung dari udara. Ikan ini memiliki organ labirin (labyrinth organ) di kepalanya, yang memungkinkannya hidup di wilayah yang kurang oksigen. Alat ini sangat berguna pada saat ikan mengalami kekeringan dan harus berpindah ke tempat lain yang masih berair. Ikan Betok mampu merayap naik dan berjalan di daratan dengan menggunakan tutup insang yang dapat dimekarkan, dan berlaku sebagai semacam kaki depan. Namun ikan ini tidak dapat terlalu lama bertahan di daratan, dan harus mendapatkan air dalam beberapa jam atau ia akan mati. Ditambahkan oleh Djuhanda (1981), ikan betok (Anabas testudineus Bloch) pada umumnya ditutupi oleh sisik yang berwarna hijau kehitaman pada bagian punggung dan putih mengkilat/putih kehijau-hijauan dibagian perut. Ikan ini dikenal sebagai ikan labirin karena di dalam rongga insang bagian atas insang tersebut terdapat alat pernapasan berbentuk labirin setiap ruang pada labirin tersebut terdapat pembuluh-pembuluh darah yang dapat (mengekstrasi) oksigen dari udara yang masuk ke dalam labirin.
Tahan
terhadap keadaan kering kadang-kadang kuat hidup sampai satu minggu tanpa air/tinggal dalam lumpur yang masih mengandung air antara 1-2 bulan. Menurut Binoy , V. and Thomas, K., (2008), pada ekosistem di alam tersedianya makanan bervariasi sesuai dengan habitat dan waktu. Distribusi makanan alami juga bervariasi sesuai dengan musim. Ditambahkan oleh Schram. E. et al, (2009), bahwa pertumbuhan dan kelangsungan hidup binatang tergantung pada genetik, lingkungan dan faktor nutrisi. Untuk vertebrata poikiloterm faktor lingkungan yang paling penting. Di alam ikan betok memangsa beraneka serangga dan hewan-hewan air yang berukuran kecil. Ikan ini jarang dipelihara orang, dan lebih sering ditangkap sebagai ikan liar. Larva ikan betok sensitif, sehingga sering terjadi mortalitas yang tinggi pada periode larva. Terutama pada waktu larva berubah makanannya dari kuning telur yang dikandungnya (endogenous food) ke makanan yang berasal dari luar (exogeneous food).
12
Kesempatan untuk tetap hidup (survival rate) dan mencapai juvenil di lingkungan alam bebas umumnya kurang dari 10%. (Agus, 1998) 2.3. Keragaman Genetik Ikan Betok Menurut hasil penelitian Slamat (2009), keragaman genetik mt-DNA D Loop intrapopulasi
ikan betok menjelaskan bahwa populasi ikan betok dari perairan rawa
monoton lebih tinggi (sebanyak 5) haplotipenya dibandingkan dengan populasi dari rawa tadah hujan (sebanyak 3) dan pasang surut (sebanyak 2). Untuk lengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 . Pola Restriksi mt-DNA D Loop Ikan Betok Pada Tiga Perairan Rawa Komposit Haplotipe Total AAAAA 3 AAABA 8 AAACA 5 BAAAA 2 BABDB 1 BAACA 3 ∑ Sampel 22 ∑ Haplotipe Keragaman Haplotipe (Sumber : Slamat, 2009).
Mtn 0,17 0,17 0,17 0,32 0,17 6 5 0,9384
Tdh 0,2 0,4 0,4
Pst 0,5
10 3 0,7111
Keterangan : Mtn = perairan rawa monoton Pst = perairan rawa pasang surut
0,5 6 2 0,6
Tdh = perairan rawa tadah hujan
Keragaman genetik ikan betok dari perairan rawa monoton lebih tinggi dibandingkan dengan kedua perairan rawa lainnya, hal ini karena adanya aliran gen yang kearah perairan rawa monoton yang berasal dari perairan rawa pasang surut dan rawa tadah hujan (Gambar 2).
Sedangkan populasi ikan betok dari perairan rawa pasang surut
cenderung menjadi populasi yang terisolir, ini dikarenakan kondisi lingkungan perairan yang mendapat intrusi air laut yang mencapai 10 – 15 ppt.
13
S u n g a i B a r ito
K a l-T im
K a l-T e n g
R awa M onoton
g e n otip e A A A A A 0,17 A A A BA 0,17 A A A CA 0,17 BA A A A 0,32 BA BDB 0,17
F e n o tip m e r is tik d o r s a l fin
Ra w a mo n o to n ( 4 ) Ta d a h h u ja n ( 5 ) Pa s a n g s u r u t ( 3 )
R a w a m o n o to n Pasan g su ru t
R a w a p a s a n g s u ru t g e n otip e A A A B A 0 ,5
R a w a ta d a h h u ja n
T adah hujan
B A A CA 0 ,5
g e n otip e A A A A A 0,2
L aut Jaw a
A A A BA 0,4 A A A CA 0,4
Gambar 2.
Distribusi genotipe dan fenotipe populasi ikan betok yang berasal dari tiga tipe ekosistem perairan rawa Kalimantan Selatan (Sumber : Slamat, 2009).
2.4. Pemijahan Ikan Betok Ikan betok di alamnya bersifat omnivor dan matang gonad setiap tahun. Survival larva ikan betok berumur 1 hari setelah menetas bervariasi antara 50-60 % dan menunjukkan behavior bergerombol. Setelah berumur 2–3 hari, mulut mulai membuka dan mulai memakan makanan dari lingkungan luar. Cadangan kuning telur (yolk sac) complete dan akan terserap setelah berumur 3–4 hari.
Larva betok berumur 5 hari
mempunyai panjang sekitar 7,2 mm dan biasanya berlindung di bawah makrofita yang berada di permukaan perairan (Uttam, S. et al, 2005). Ikan betok biasanya memijah pada awal musim hujan yaitu, pada kawasan yang kering pada musim kemarau dan berair pada musim hujan. Jika kawasan itu sudah digenangi air, maka ikan betok akan pergi ke daerah itu untuk memijah. Selama musim penghujan dapat 3 kali proses pemijahan (Anonim, 2003). Telur ikan betok akan menetas dalam waktu 20 – 24 jam pada suhu 26,66°C dengan perkiraan banyaknya telur yang dibuahi sekitar 6.000 butir dan jumlah larva yang menetas berjumlah sekitar 5.700 ekor atau hatching rate 95%. Telur yang dibuahi berwarna bening sedangkan yang tidak dibuahi berwarna putih susu. Telur ikan bersifat mengapung (Anonim, 1997). Ditambahkan Marlida (2001), telur ikan betok yang telah
14
dibuahi berbentuk bulat, transparan dan menyebar di dalam dan permukaan air dengan diameter 0,75 ± 0,05 mm (rata-rata ± SD). 2.5. Perkembangan Embrio dan Penetasan Ikan Betok Hasil penelitian yang dilakukan Marlida (2001), terhadap perkembangan embrio telur ikan betok yaitu : proses perkembangan embrio dan penetasan telur ikan betok terjadi 21 jam 11 menit setelah pembuahan, dengan tahapan stadia sebagai berikut : stadia cleavage, blastula, gastrula, dan organogenesis. Pergerakan embrio semakin aktif menjelang penetasan dengan cara berputar dan menggerakkan ekornya ke kiri dan ke kanan. Tubuh embrio di dalam cangkang berada dalam posisi melengkung pada kuning telur yang terlihat bulat dan besar. Penetasan terjadi 21 jam 11 menit setelah pembuahan. Penetasan terjadi karena adanya kerja mekanik yaitu pergerakan embrio yang terus mendesak cangkang dengan bagian ekor memukul dinding cangkang sehingga rusak, dan kerja enzimatik yang disebut chorionase. Chorionase kerjanya bersifat mereduksi chorion yang terdiri dari pseudokeratine menjadi lembek. Embrio yang telah keluar dari cangkang dan masih memiliki kuning telur disebut yolk sac larvae (Kamler, 1992). 2.6. Kelangsungan Hidup Ikan Betok Menurut Effendi (1997), daya kelangsungan hidup adalah peluang untuk hidup dalam satu saat tertentu, yaitu jumlah ikan yang hidup dalam jangka waktu pemeliharaan dibagi dengan jumlah penebaran, sedangkan kelangsungan hidup dari populasi ikan tergantung dari banyak faktor yaitu temperatur, kepadatan, predator dan makanan. Kelangsungan hidup dinyatakan sebagai persentase dari semua jumlah ikan yang hidup selama jangka waktu pemeliharaan. Menurut Hadi dan Fadna (1998) pada penebaran (faktor lain tidak mendukung dengan baik), maka akan semakin tinggi pula kematian dan produksi akan menurun. Penyebab turunnya kemampuan ikan untuk dapat bertahan hidup dipengaruhi oleh beberapa faktor yakni : kompetisi antara jenis yang sama, meningkatnya predator, parasit, kekurangan makanan, penanganan dan penangkapan oleh manusia (Asiah, 1987). Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti terhadap kelangsungan hidup larva ikan betok, diantaranya oleh Setiawan dan Rukmini (2007) berkisar antara 0,1
15
– 1,72 %, Fahrujaini dan Rukmini (2008) berkisar antara 25,64 – 44,73 %. Adapun penelitian yang dilakukan Marlida (2001), didapatkan hasil bahwa tingkat kelangsungan larva terjadi penurunan yang sangat drastis pada hari ke 5 pemeliharaan, terutama pada larva tanpa pemberian pakan dan larva diberi pakan buatan. Pada larva tanpa pemberian pakan terjadi penurunan sebesar 54,08 %, yaitu dari 89,60 ± 6,35 % (rata-rata ± SD) pada hari ke 4 menjadi 35,52 ± 3,80 % (rata-rata ± SD) pada hari ke 5. Pada larva yang diberi pakan buatan juga terjadi penurunan sebesar 17,40 % dari 70,48 ± 2,44 % (rata-rata ± SD) pada hari ke 4 menjadi 53,08 ± 4,72 % (rata-rata ± SD) pada hari ke 5.
Tingkat
kelangsungan hidup larva untuk semua perlakuan terus menurun hingga akhir penelitian, masing-masing mencapai titik 0 % pada hari ke 9 dan 13 untuk larva tanpa pemberian pakan dan larva yang diberi pakan buatan. Adapun larva yang diberi pakan naupli artemia dapat bertahan hidup sampai hari ke 15 sebesar 33,04 ± 1,86 % (rata-rata ± SD).
BAB 3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN 3.1. Tujuan Penelitian a. Mengetahui parameter fisika, kimia, dan biologi di berbagai perairan rawa sebagai habitat larva ikan betok. b. Mengetahui ukuran bukaan mulut larva ikan betok. c. Mengetahui jenis plankton yang dimakan oleh larva ikan betok di berbagai perairan rawa. d. Mengetahui jenis tanaman air yang disukai sebagai habitat larva ikan betok di berbagai perairan rawa. 3.2. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk pembenihan ikan betok, sehingga dapat mensuplai benih betok untuk kegiatan pembesaran ikan secara terus menerus.
16
BAB 4. METODE PENELITIAN 4.1.
Bagan Alir Penelitian Bagan alir penelitian dapat dilihat pada Gambar 3. Penelitian yang telah dilakukan
Ikan betok :
• Pemijahan (lab) • Ekologi habitat di perairan rawa Danau
Usulan Proposal Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi
Bio-Ekologi Larva Ikan Betok (Anabas testudineus Bloch) di Berbagai Perairan Rawa Kalimantan Selatan dan Upaya untuk Pemeliharaan
Bangkau
• Variasi genetik (3 perairan rawa) • Konservasi (3 perairan rawa)
Upaya Pelestarian dan Pemeliharaan Ikan Betok yang Intensif
UNGGULAN RIP UNLAM
PERTANIAN DAN LAHAN BASAH
Gambar 3. Diagram bagan alir penelitian Untuk mencapai tujuan penelitian bio-ekologi larva ikan betok di berbagai perairan rawa Kalimantan Selatan dan upaya untuk pemeliharaan tersebut, maka penelitian ini dirancang secara jelas dan terperinci seperti bagan pada Tabel 2. Tabel 2. Bagan penelitian secara terperinci No.
1.
Tahapan Pelaksanaan Penelitian Penelitian bio-ekologi larva ikan betok (Tahun I) : a. Sampling air habitat larva betok - Analisa parameter fisika seperti suhu kecerahan, dan kekeruhan. - Analisa parameter kimia seperti kadar O2, CO2, dan amoniak. - Analisa parameter biologi seperti jenis, kelimpahan, dan
Indikator Capaian
Luarannya
Menemukan data bioekologi larva ikan betok di berbagai perairan rawa Kalimantan Selatan yang optimal bagi kehidupannya
* Artikel ilmiah * Buku ajar
17
indeks keanekaragaman plankton b. Sampling tanaman air yang disukai larva betok : - Jenis tanaman - Besar rumpun, - Morfologi dan sifat tanaman air c. Sampling larva ikan betok - Analisa saluran pencernaan larva - Analisa histologi jaringan saluran pencernaan larva betok 2.
Penelitian uji coba pemeliharaan larva ikan betok (Tahun II) : a. Pemijahan induk ikan betok b. Penetasan telur c. Pemeliharaan - Kecepatan pertumbuhan - Ukuran bukaan mulut - Kelangsungan hidup larva ikan betok
Berhasil > 50 % memijah
* Artikel ilmiah * Buku ajar
Berhasil > 50 % menetas > 100 % < 1 mm > 50 % larva ikan betok hidup selama pemeliharaan 31 hari
4.2. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian akan dilaksanakan di lapangan dan di laboratorium. Untuk penelitian di lapangan akan dilaksanakan di tiga ekosistem perairan rawa Kalimantan Selatan yaitu perairan rawa monoton (di perairan Danau Bangkau), perairan pasang surut (di perairan Anjir), dan perairan rawa tadah hujan (di perairan Kurau).
Untuk penelitian di
laboratorium akan dilaksanakan di Laboratorium Kualitas Air dan Biologi Perairan, serta Balai Budidaya Air Tawar Mandiangin. Analisa parameter fisika, kimia, dan biologi air sampel dilaksanakan di lapangan, juga di Laboratorium Kualitas Air dan Laboratorium Basah Fakultas Perikanan Unlam Banjarbaru. Penelitian direncanakan selama 8 bulan yang mencakup : persiapan, pengumpulan data di lapangan, analisa di laboratorium, pengolahan data, penyusunan laporan, dan seminar.
18
4.3. Metode Penelitian Pelaksanaan Penelitian Di Lapangan : 4.3.1. Metode Pengambilan, Pengukuran Sampel Air dan Plankton 4.3.1.1. Pemilihan dan Penetapan Lokasi Pemilihan lokasi stasiun dilakukan secara “Purposive” yaitu tempat-tempat tertentu yang dianggap penting dan dapat menggambarkan keadaan perairan secara keseluruhan. Pemilihan lokasi pengambilan sampel di dasarkan kepada pertimbangan bahwa lokasi perairan rawa tersebut merupakan tempat hidup larva ikan betok. Sehingga selanjutnya ditetapkan 2 (dua) titik stasiun yaitu bagian kanan dan bagian kiri disekitar populasi larva. 4.3.1.2. Metode Pengambilan Sampel Air : Pengambilan sampel air pada masing-masing stasiun pengamatan dilaksanakan, yaitu 1 kali pada saat telur ikan betok menetas menjadi larva, kemudian selang 3 hari selama 1 bulan. Water sampler dimasukkan ke dalam perairan rawa. Air yang diperoleh dituangkan ke dalam water container, kemudian ke dalam botol sampel, diberikan bahan preservatif untuk keperluan beberapa parameter tertentu. Botol sampel diberi label (kode) sesuai dengan lokasi stasiun.
Pengukuran di lapangan pada perairan rawa dilakukan
dengan menggunakan spektrofotometer, pH meter, DO meter, secchi dish dan sebagainya. Variabel fisika yang di ukur adalah suhu, kecerahan, dan kekeruhan. Variabel kimia yang di ukur adalah oksigen, karbondioksida, pH, dan amoniak. 4.3.1.3. Pengambilan Sampel Plankton : Pengambilan sampel plankton dilakukan tahapan sebagai berikut : 1. Ambil air sebanyak 40 liter dari setiap stasiun yang terdiri dari masing-masing 20 liter di dua titik yang berbeda. Cara ini dilakukan pada semua stasiun pengambilan sampel. 2. Saring sampel air dengan menggunakan plankton net yang telah diberi botol sampel pada bagian bawah. 3. Tambahkan larutan Formalin 4 % pada sampel yang telah ada dalam botol. 4. Beri label pada botol sampel.
19
Untuk menganalisa jenis dan jumlah plankton, setelah sampel air diambil di lapangan dengan langkah –langkah sebagai berkut : 1. Ambil setetes air sampel yang telah dikocok secara homogen dengan menggunakan pipet, teteskan pada objek glass dan ditutup dengan cover glass. 2. Mengamati sampel air dibawah mikroskop dengan beberapa macam pembesaran. 3. Mencatat nama dan jumlah individu (kelimpahan) untuk setiap jenis plankton yang ditemukan dalam setiap tetesan 4. Identififikasi jenis plankton mengacu pada Davis (1955) dan Edmunsond (1984). 4.3.2. Metode Pengukuran Bukaan Mulut Larva Betok Caranya dengan mengukur panjang rahang atas (PRA) dari larva ikan betok di mikroskop kemudian dimasukkan dalam rumus UBM = panjang rahang atas x √2. Atau dengan cara lain yaitu pada saat mulut ikan terbuka lebar, pada ujung terminal diukur dari atas ke bawah. Cara pengukuran panjang rahang atas (PRA) ikan seperti terlihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Pengukuran Bukaan Mulut Larva Betok (Affandi dkk. 2005)
Menurut Affandi dkk (2005), umumnya larva ikan : memakan pakan < 50 % ukuran bukaan mulutnya yang maksimum. 4.3.3. Metode Pengambilan dan Pengamatan Saluran Pencernaan Larva Cara pengambilan sampel larva ikan betok diperairan rawa sebagai berikut : 1. Mengambil sampel larva ikan betok sebanyak 10 ekor, diambil 3 hari setelah telur menetas, kemudian selang 3 hari sekali selama 30 hari, panjang larva diukur. 2. Sampel larva dibedah perutnya dan dikeluarkan saluran pencernaannya, dimasukkan ke dalam botol sampel dan diberi bahan pengawet formalin 4 % 3. Pengamatan pakan alami yang terdapat dalam lambung larva dengan menggunakan mikroskop elektrik dan diidentifikasi pakan alami yang ditemukan.
20
Apabila pakan alami tidak terlihat didalam lambung larva dengan cara pembedahan larva maka dilakukan dengan histologi. 4.3.4. Metode Pengambilan dan Pengamatan Tanaman Air Untuk melakukan pengambilan dan pengamatan sampel tanaman air ditetapkan di lokasi perairan rawa yang banyak terdapat populasi larva ikan betok. Tanaman air yang diidentifikasi adalah tanaman air yang disukai dan paling banyak populasi larva ikan betok.
Metode pengambilan contoh dari koleksi bebas efektif dilakukan untuk
menginventarisasi jenis tanaman air yang terdapat dalam suatu ekosistem (Soegianto, 1994). Pada perairan sekitar populasi larva dibuat garis transek menggunakan roll meter, dengan panjang dan lebar masing-masing 2 meter, dibuat tegak lurus perairan. Populasi larva berada pada posisi tengah dari luas wilayah yang ditransek. Tanaman air yang banyak populasi larva ikan betoknya diidentifikasi : 1. Identifikasi tanaman air, caranya adalah dengan mengamati bentuk tubuh tanaman berupa batang, bunga, buah, akar dan terutama daun. Selanjutnya disesuaikan dengan gambar dan buku identifikasi Fassett (1975) dan Steenis (1987). 2. Besar rumpun tanaman air 3. Morfologi dan sifat tanaman air 4.3.5. Metode Pemijahan Ikan Betok 1. Pemijahan dilakukan didalam akuarium yang berukuran 60 x 50 x 50 cm secara semi buatan dengan penyuntikan hormon ovaprim dengan dosis 0,5 mL/kg berat induk. 2. Penyuntikan induk jantan dan betina dilakukan sebanyak satu kali secara intramuscular atau di bagian punggung. Penyuntikan dilakukan pada sore hari jam 18.00. 3. Induk betok jantan dan betina yang sudah disuntik kemudian dicampur dalam satu akuarium dengan perbandingan jumlah jantan : betina adalah 4 : 1. Tambahkan aerator untuk oksigenasi. Bagian atas akuarium ditutup dengan hapa/jaring agar induk tidak meloncat keluar. 4. Pemijahan/ovulasi akan terjadi pada malam hari (jam 24.00), dan pada pagi harinya setelah selesai ovulasi induk ikan betok diambil, dipisahkan dari telur dan dikembalikan ke kolam induk
21
4.4. Analisa Data 4.4.1. Kelimpahan Plankton Untuk menghitung kelimpahan phytoplankton dan zooplankton dilakukan dengan menggunakan metode Hardy (1970) di dalam Hisbi (1989) yaitu dengan rumus : N=n x s x 1 m a v
Keterangan : N = Jumlah individu per liter (sel atau individu/L) n = Jumlah individu yang ditemukan (sel atau individu) m = Jumlah tetes sampel yang diperiksa s = Volume sampel dengan pengawetnya (mL) a = Volume tiap tetes sampel (mL) v = Volume air yang disaring (L) 4.4.2. Indeks Keanekaragaman Plankton Untuk
menghitung
keanekaragaman
plankton
menggunakan
indeks
keanekaragaman Shannon Wiener (Krebs, 1989), dengan rumus : H’ = - Σ (Pi. lnPi)
Keterangan : H’ = Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener Pi = ni/N = Fungsi probabilitas untuk masing-masing jenis secara keseluruhan ni = Jumlah individu pada spesies ke-i N = Total nilai penting (total individu)
4.4.3. Ukuran Bukaan Mulut Larva Ikan Betok Menurut Affandi dkk. (2005), ukuran bukaan mulut ikan dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut : UBM = PRA x √2 Keterangan : UBM = Ukuran bukaan mulut ikan PRA = Panjang rahang atas ikan
22
4.4.4. Saluran Pencernaan Larva Betok Untuk menemukan keberadaan pakan alami yang dikonsumsi larva digunakan metode frekuensi kejadian.
Metode frekuensi kejadian dilakukan dengan mencatat
masing-masing pakan alami yang terdapat pada tiap isi lambung, begitu juga saluran yang sama sekali kosong.
Masing-masing pakan alami yang terdapat di dalam sejumlah
lambung yang berisi dinyatakan dalam persen dari seluruh lambung larva yang diteliti, namun tidak meliputi lambung yang tidak berisi. Dengan metode ini didapatkan macam pakan yang dimakan, tetapi tidak memperlihatkan kuantitas atau jumlah pakan alami yang dimakan dan tidak memperhitungkan pakan yang dicerna. Metode frekuensi kejadian didapatkan dengan menggunakan rumus Effendie, 1997 :
Oi = Fk/ln x 100 % Keterangan : Oi = Persentasi frekuensi keberadaan satu jenis pakan (%) Fk = Frekuensi keberadaan satu jenis pakan ln = Jumlah lambung larva ikan yang berisi Hasil dari perhitungan kelimpahan dan indeks keanekaragaman plankton di perairan rawa monoton, serta persentasi frekuensi keberadaan jenis pakan pada saluran pencernaan larva ikan betok selanjutnya ditabulasi. Interpretasi hasil tabulasi tersebut dituangkan kedalam bentuk grafik dan dibandingkan dengan pendapat para ahli. Data kelimpahan dan indeks keanekaragaman plankton yang diperoleh juga untuk menentukan kreteria perairan berdasarkan struktur komunitas plankton sebagai berikut : - Kelimpahan Plankton Menurut Lund di dalam Hisbi (1989), kelimpahan plankton merupakan petunjuk dari kesuburan suatu perairan. plankton dapat dilihat pada Tabel 3.
Beberapa kreteria perairan berdasarkan kelimpahan
23
Tabel 3. Beberapa kreteria perairan berdasarkan kelimpahan plankton Kelimpahan Plankton > 40 x 10 sel/m3 0,1 – 40 x 106 sel/m3 < 0,1 x 10 6 sel/ m3 Sumber : Lund di dalam Hisbi (1989) 6
Kreteria Perairan Subur Kesuburan sedang Kurang subur
- Indeks Keanekaragaman Plankton Nilai indeks keanekaragaman plankton dapat digunakan sebagai indikator pencemaran dari suatu perairan. Indikator pencemaran tersebut diketahui melalui kriteria dari kualitas air berdasarkan nilai indeks keanekaragaman plankton berdasarkan kreteria Shannon dan Wiener di dalam Poole (1974), dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Beberapa Kriteria Penyebaran Jenis Biota dalam Komunitas Berdasarkan Indeks Keanekaragaman Indeks Keadaan Struktur Keanekaragaman Komunitas < 1,00 Tidak stabil 1,00 – 1,66 Cukup stabil 1,67 – 2,33 Stabil 2,34 – 3,00 Lebih stabil > 3,00 Sangat stabil Sumber : Shannon dan Wiener di dalam Poole (1974)
Kategori Sangat buruk Buruk Sedang Baik Sangat baik
BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Hasil 5.1.1. Perairan Rawa Monoton (di Danau Bangkau) 5.1.1.1.
Parameter Kualitas Air Secara Fisika dan Kimia
Hasil analisa parameter kualitas air pada lokasi I dan lokasi II, titik A maupun titik B adalah parameter fisika : suhu 27-29 °C. kecerahan 31-33 cm, dan kekeruhan 9,12-9,20 NTU dan parameter kimia : oksigen 1,5-1,8 mg/l, karbondioksida 10,45-11,55 mg/l, pH 6,35-6,45, dan amoniak 0,3-0,4 mg/l.
24
5.1.1.2.
Parameter Kualitas Air Secara Biologi
5.1.1.2.1. Jenis Plankton Ada 12 jenis plankton dominan yang didapat dari hasil analisa sampel air yang di ambil dari habitat larva ikan betok mulai dari telur menetas sampai larva berumur 31 hari pada semua titik pengamatan yaitu :
Chlorella sp, Coconeis sp, Mougeotia sp,
Chlorococcum sp, Spirogyra sp, Binuclera sp, Pediastrum sp, Nitzschia sp ,Navicula sp, Diatoma sp, Brachionus sp, dan Keratella sp. 5.1.1.2.2. Kelimpahan Plankton Kelimpahan plankton dapat dijadikan sebagai indikator kesuburan perairan. Dari hasil perhitungan kelimpahan plankton dapat diketahui nilai rata-rata plankton pada lokasi I titik A, B dan lokasi II titik A dan B. a. Lokasi I titik A Hasil analisa kelimpahan plankton rata-rata dari 12 jenis plankton yang tersaring pada habitat larva ikan betok di lokasi I titik A dapat dilihat pada Tabel 5. Pada Tabel tersebut menunjukkan bahwa terdapat lima kelimpahan plankton yang tertinggi selama 31 hari. Selanjutnya hasil analisa kelimpahan plankton pada habitat larva ikan betok pada setiap umur larva di lokasi I titik A dapat dilihat pada Tabel 6. Nilai kelimpahan plankton rata-rata yang paling tinggi berdasarkan umur larva yaitu pada saat larva baru menetas sebesar 1086 sel/l dan nilai terendah pada saat umur larva 27 hari sebesar 1000 sel/l.
25
Tabel 5. Hasil analisa kelimpahan plankton rata-rata dari 12 jenis plankton yang tersaring pada habitat larva ikan betok Jenis Plankton
Kelimpahan Plankton Rata-Rata (Jumlah sel/l) 32,7 247,1 259,3 115,6 18,63 11,63 9,38 9,11 37,2 27,7 95,5 193,7
Chlorella sp Coconeis sp Mougeotia sp Chlorococcum sp Spirogyra sp Binuclera sp Pediastrum sp Nitzschia sp Navicula sp Diatoma sp Brachionus sp Keratella sp
Tabel 6.
Hasil analisa kelimpahan plankton rata-rata pada habitat larva ikan betok pada setiap umur larva di lokasi I titik A
Umur Larva
Kelimpahan Plankton Rata-Rata (Jumlah sel/l)
Baru menetas 1 hari 3 hari 7 hari 11 hari 15 hari 19 hari 23 hari 27 hari 31 hari
1086 1029 1055 1071 1100 1070 1016 1067 1000 1023
Kelimpahan Plankton Ratarata Dikonversi sel/m3 0,1086 x106 0,1029 x106 0,1055 x106 0,1071 x106 0,1100 x106 0,1070 x106 0,1016 x106 0,1067 x106 0,1000 x106 0,1023 x106
26
Untuk melihat kesuburan perairan berdasarkan kelimpahan plankton dapat dikategorikan menurut Lund et al. (1958), data kelimpahan plankton harus dikonversikan menjadi sel/m3. Setelah nilainya dikonversikan seperti pada Tabel 6 di atas, maka dapat diketahui bahwa kesuburan perairan dari setiap umur larva mempunyai tingkatan yang sama yaitu kesuburan sedang yaitu nilai kelimpahan plankton 0,1 – 40 x 106 sel/m3. b. Lokasi I titik B Hasil analisa kelimpahan plankton rata-rata dari 12 jenis plankton yang tersaring pada habitat larva ikan betok di perairan rawa monoton Danau Bangkau dapat dilihat pada Tabel 7.
Berdasarkan Tabel tersebut menunjukkan bahwa terdapat lima kelimpahan
plankton yang tertinggi yaitu Mougeotia sp sebesar 265,5 sel/l, Coconeis sp sebesar 246,3 sel/l, Keratella sp sebesar 174,3 sel/l, dan Chlorococcum sp sebesar 110,11 sel/l. Tabel 7. Hasil analisa kelimpahan plankton rata-rata dari 12 jenis plankton yang tersaring pada habitat larva ikan betok Jenis Plankton
Chlorella sp Coconeis sp Mougeotia sp Chlorococcum sp Spirogyra sp Binuclera sp Pediastrum sp Nitzschia sp Navicula sp Diatoma sp Brachionus sp Keratella sp
Kelimpahan Plankton Rata-Rata (Jumlah sel/l) 38,5 246,3 265,5 110,11 27,33 13,33 11,11 13,1 47,44 38,8 98 174,3
27
Nilai kelimpahan plankton rata-rata yang paling tinggi berdasarkan umur larva yaitu pada saat umur larva 23 hari sebesar 1097 sel/l dan nilai terendah pada saat larva baru menetas sebesar 1017 sel/l. Untuk melihat kesuburan perairan berdasarkan kelimpahan plankton dapat dikategorikan menurut Lund et al. (1958), data kelimpahan plankton harus dikonversikan menjadi sel/m3. Tabel 8. Hasil analisa kelimpahan plankton rata-rata pada habitat larva ikan betok pada setiap umur larva di lokasi I titik B Umur Larva
Kelimpahan Plankton Rata-Rata (Jumlah sel/l)
Baru menetas 1 hari 3 hari 7 hari 11 hari 15 hari 19 hari 23 hari 27 hari 31 hari
1017 1087 1042 1047 1010 1090 1018 1097 1055 1089
Kelimpahan Plankton Rata-rata Dikonversi sel/m3 0,1017 x106 0,1087 x106 0,1042 x106 0,1047 x106 0,1010 x106 0,1090 x106 0,1018 x106 0,1097 x106 0,1055 x106 0,1089 x106
Setelah nilainya dikonversikan seperti pada Tabel 8 di atas, maka dapat diketahui bahwa kesuburan perairan dari setiap umur larva mempunyai tingkatan yang sama yaitu kesuburan sedang yaitu nilai kelimpahan plankton 0,1 – 40 x 106 sel/m3. c. Lokasi II titik A Hasil analisa kelimpahan plankton rata-rata dari 12 jenis plankton yang tersaring pada habitat larva ikan betok di perairan rawa monoton Danau Bangkau dapat dilihat pada Tabel 9.
28
Tabel 9. Hasil analisa kelimpahan plankton rata-rata dari 12 jenis plankton yang tersaring pada habitat larva ikan betok Jenis Plankton
Kelimpahan Plankton Rata-Rata (Jumlah sel/l) 32,63 253,9 245,5 84,33 23,22 12,56 11,22 11,4 54,57 43,2 99,56 207,3
Chlorella sp Coconeis sp Mougeotia sp Chlorococcum sp Spirogyra sp Binuclera sp Pediastrum sp Nitzschia sp Navicula sp Diatoma sp Brachionus sp Keratella sp
Tabel di atas
menunjukkan bahwa terdapat lima kelimpahan plankton yang
tertinggi yaitu Coconeis sp sebesar 253,9 sel/l, Mougeotia sp sebesar 245,5 sel/l, Keratella sp sebesar 207,3 sel/l, dan Brachionus sp sebesar 99,56 sel/l. Selanjutnya hasil analisa kelimpahan plankton pada habitat larva ikan betok pada setiap umur larva di lokasi II titik A dapat dilihat pada Tabel 10. Nilai kelimpahan plankton rata-rata yang paling tinggi berdasarkan umur larva yaitu pada saat umur larva 11 hari sebesar 1050 sel/l dan nilai terendah pada saat larva baru menetas sebesar 1010 sel/l. Untuk melihat kesuburan perairan berdasarkan kelimpahan plankton dapat dikategorikan menurut Lund et al. (1958), data kelimpahan plankton harus dikonversikan menjadi sel/m3. Setelah nilainya dikonversikan seperti pada Tabel 10, maka dapat diketahui bahwa kesuburan perairan dari setiap umur larva mempunyai tingkatan yang sama yaitu kesuburan sedang yaitu nilai kelimpahan plankton 0,1 – 40 x 106 sel/m3.
29
Tabel 10. Hasil analisa kelimpahan plankton rata-rata pada habitat larva ikan betok pada setiap umur larva di lokasi II titik A Umur Larva
Baru menetas 1 hari 3 hari 7 hari 11 hari 15 hari 19 hari 23 hari 27 hari 31 hari
Kelimpahan Plankton Rata-Rata (Jumlah sel/l) 1010 1017 1044 1029 1050 1029 1023 1044 1048 1040
Kelimpahan Plankton Rata-rata Dikonversi sel/m3 0,1010 x106 0,1017 x106 0,1044 x106 0,1029 x106 0,1050 x106 0,1029 x106 0,1023 x106 0,1044 x106 0,1048 x106 0,1040 x106
d. Lokasi II titik B Hasil analisa kelimpahan plankton rata-rata dari 12 jenis plankton yang tersaring pada habitat larva ikan betok di perairan rawa monoton Danau Bangkau dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel ini
menunjukkan bahwa terdapat
lima kelimpahan plankton yang
tertinggi yaitu Mougeotia sp sebesar 245,8 sel/l, Coconeis sp sebesar 231,3 sel/l, Keratella sp sebesar 193,8 sel/l, dan Brachionus sp sebesar 96,5 sel/l. Selanjutnya hasil analisa kelimpahan plankton pada habitat larva ikan betok pada setiap umur larva di lokasi II titik B di perairan rawa monoton Danau Bangkau dapat dilihat pada Tabel 12. Nilai kelimpahan plankton rata-rata yang paling tinggi berdasarkan umur larva yaitu pada saat umur larva 19 hari sebesar 1055 sel/l dan nilai terendah pada saat umur larva 7 hari sebesar 1003 sel/l.
30
Tabel 12. Hasil analisa kelimpahan plankton rata-rata dari 12 jenis plankton yang tersaring pada habitat larva ikan betok Jenis Plankton
Kelimpahan Plankton Rata-Rata (Jumlah sel/l) 36,44 231,3 245,8 94,44 26,11 13,5 10,22 15,2 47,77 37,3 96,5 193,8
Chlorella sp Coconeis sp Mougeotia sp Chlorococcum sp Spirogyra sp Binuclera sp Pediastrum sp Nitzschia sp Navicula sp Diatoma sp Brachionus sp Keratella sp
Tabel 13. Hasil analisa kelimpahan plankton rata-rata pada habitat larva ikan betok pada setiap umur larva di lokasi II titik B Umur Larva
Baru menetas 1 hari 3 hari 7 hari 11 hari 15 hari 19 hari 23 hari 27 hari 31 hari
Kelimpahan Plankton Rata-Rata (Jumlah sel/l) 1021 1007 1027 1003 1028 1039 1055 1025 1027 1010
Kelimpahan Plankton Rata-rata Dikonversi sel/m3 0,1021 x106 0,1007 x106 0,1027 x106 0,1003 x106 0,1028 x106 0,1039 x106 0,1055 x106 0,1025 x106 0,1027 x106 0,1010 x106
Untuk melihat kesuburan perairan berdasarkan kelimpahan plankton dapat dikategorikan menurut Lund et al. (1958), data kelimpahan plankton harus dikonversikan menjadi sel/m3. Setelah nilainya dikonversikan seperti pada Tabel 13, maka dapat
31
diketahui bahwa kesuburan perairan dari setiap umur larva mempunyai tingkatan yang sama yaitu kesuburan sedang yaitu nilai kelimpahan plankton 0,1–40 x 106 sel/m3. 5.1.1.2.3. Indeks Keanekaragaman Plankton Nilai keanekaragaman plankton merupakan nilai yang digunakan untuk mengetahui distribusi jumlah individu pada masing-masing biota yang hidup dalam sebuah komunitas. Nilai keanekaragaman dapat dipergunakan untuk mengidentifikasi kualitas lingkungan atau habitat plankton, jadi lingkungan tempat pengamatan dapat diindikasikan berdasarkan nilai keanekaragaman. a. Lokasi I titik A Nilai indeks keanekaragaman plankton pada habitat larva ikan betok yang memiliki nilai tertinggi yaitu pada saat larva ikan betok berumur 19 hari sebesar 2,0797 dan nilai yang terendah pada saat larva berumur 3 hari sebesar 1,7736. Untuk lebih jelasnya nilai yang didapat dari hasil analisa indeks keanekaragaman plankton pada habitat larva ikan betok di Lokasi I titik A perairan rawa monoton Danau Bangkau dapat dilihat pada Tabel 14. Jika melihat kriteria kualitas air berdasarkan indeks keanekaragaman plankton menurut Shannon dan Wiener (1949), maka indeks keanekaragaman plankton pada semua umur larva ikan betok dapat dimasukkan dalam kategori 1,67-2,33 yaitu keadaan struktur komunitas stabil dan masuk ke dalam kategori perairan sedang.
32
Tabel 14. Hasil analisa indeks keanekaragaman plankton pada habitat larva ikan betok di Lokasi I titik A Umur Larva Ikan Betok Baru menetas 1 hari 3 hari 7 hari 11 hari 15 hari 19 hari 23 hari 27 hari 31 hari
Indeks Keanekaragaman Plankton 1,8801 1,8500 1,7736 1,7773 1,9146 1,9534 2,0797 1,8696 1,9653 1,9133
b. Lokasi I titik B Nilai indeks keanekaragaman plankton pada habitat larva ikan betok yang memiliki nilai tertinggi yaitu pada saat larva ikan betok berumur 19 hari sebesar 2,1571 dan nilai yang terendah pada saat larva baru menetas sebesar 1,7894.
Untuk lebih jelasnya nilai
yang didapat dari hasil analisa indeks keanekaragaman plankton pada habitat larva ikan betok di Lokasi I titik B perairan rawa monoton Danau Bangkau dapat dilihat pada Tabel 15. Jika melihat kriteria kualitas air berdasarkan indeks keanekaragaman plankton, maka indeks keanekaragaman plankton pada semua umur larva ikan betok dapat dimasukkan dalam kategori 1,67-2,33 yaitu keadaan struktur komunitas stabil dan masuk ke dalam kategori perairan sedang.
33
Tabel 15. Hasil analisa indeks keanekaragaman plankton pada habitat larva ikan betok di Lokasi I titik B Umur Larva Ikan Betok Baru menetas 1 hari 3 hari 7 hari 11 hari 15 hari 19 hari 23 hari 27 hari 31 hari
Indeks Keanekaragaman Plankton 1,7894 1,8761 1,8363 1,8990 1,9347 1,9453 2,1571 1,9036 2,0627 2,0941
c. Lokasi II titik A Nilai indeks keanekaragaman plankton pada habitat larva ikan betok yang memiliki nilai tertinggi yaitu pada saat larva ikan betok berumur 31 hari sebesar 2,0492 dan nilai yang terendah pada saat larva baru menetas sebesar 1,7850.
Hasil analisa indeks
keanekaragaman plankton pada habitat larva ikan betok di Lokasi II titik A pada Tabel 16. Tabel 16.
Hasil analisa indeks keanekaragaman plankton pada habitat larva ikan betok di Lokasi II titik A
Umur Larva Ikan Betok Baru menetas 1 hari 3 hari 7 hari 11 hari 15 hari 19 hari 23 hari 27 hari 31 hari
Indeks Keanekaragaman Plankton 1,7850 1,8249 1,8276 1,8004 1,9044 1,9546 2,0239 1,8919 2,0133 2,0492
34
Jika melihat kriteria kualitas air berdasarkan indeks keanekaragaman plankton, maka indeks keanekaragaman plankton pada semua umur larva ikan betok dapat dimasukkan dalam kategori 1,67-2,33 yaitu keadaan struktur komunitas stabil dan masuk ke dalam kategori perairan sedang. d. Lokasi II titik B Nilai indeks keanekaragaman plankton pada habitat larva ikan betok yang memiliki nilai tertinggi yaitu pada saat larva ikan betok berumur 15 hari sebesar 2,1191 dan nilai yang terendah pada saat larva berumur 7 hari sebesar 1,8252. Untuk lebih jelasnya nilai yang didapat dari hasil analisa indeks keanekaragaman plankton pada habitat larva ikan betok di Lokasi II titik B perairan rawa monoton Danau Bangkau dapat dilihat pada Tabel 17. Jika melihat kriteria kualitas air berdasarkan indeks keanekaragaman plankton, indeks keanekaragaman plankton pada semua umur larva ikan betok dapat dimasukkan dalam kategori 1,67-2,33 yaitu keadaan struktur komunitas stabil dan masuk ke dalam kategori perairan sedang. Tabel 17. Hasil analisa indeks keanekaragaman plankton pada habitat larva ikan betok di Lokasi II titik B Umur Larva Ikan Betok Baru menetas 1 hari 3 hari 7 hari 11 hari 15 hari 19 hari 23 hari 27 hari 31 hari
Indeks Keanekaragaman Plankton 1,8599 1,9456 1,8419 1,8252 1,9315 2,1191 2,0592 2,0815 1,9573 1,9785
35
5.1.1.3. Analisa Saluran Pencernaan Larva Ikan Betok Hasil analisa saluran pencernaan (lambung) larva ikan betok berumur 3 sampai 31 hari didapatkan bahwa seluruh lambung berisi plankton sebagai pakan alami, yaitu : - Larva umur 3-7 hari memakan jenis plankton dengan persentase frekuensi keberadaan : Chlorella sp 0-20 %, Coconeis sp 80-100 %, Mougeotia sp 40-60 %, Spirogyra sp 0-20 %, dan Nitzshia sp 0-20 %. - Larva umur 7-11 hari memakan jenis plankton dengan persentase frekuensi keberadaan : Chlorella sp 0-20 %, Coconeis sp 80-100 %, Mougeotia sp 20-40 %, Chlorococcum sp 0-20 %, Spirogyra sp 0-20 %, dan Binuclera sp 0-20 %. - Larva umur 11-15 hari memakan jenis plankton dengan persentase frekuensi keberadaan : Coconeis sp 20-100 %, Mougeotia sp 0-20 %, Chlorococcum sp 0-20 %, Binuclera sp 0-20 %. Navicula sp 0-20 %, Diatoma sp 0-40 %, Brachionus sp 0-60 %, dan Keratella sp 0-80 %. - Larva umur 15-19 hari memakan jenis plankton dengan persentase frekuensi keberadaan : Coconeis sp 0-20 %, dan Mougeotia sp 0-20 %, Spirogyra sp 0-20 %, Navicula sp 2060 %, Diatoma sp 0-40 %, Brachionus sp 0-60 %, dan Keratella sp 80-100 %. - Larva umur 19-23 hari memakan jenis plankton dengan persentase frekuensi keberadaan : Coconeis sp 0-20 %, Mougeotia sp 0-20 %, Spirogyra sp 0-20 %, Navicula sp 20-60 %, Diatoma sp 0-20 %, Brachionus sp 40-60 %, Keratella sp 0-100 %. - Larva umur 23-27 hari memakan jenis plankton dengan persentase frekuensi keberadaan : Coconeis sp 0-20 %, Mougeotia sp 0-20 %, Navicula sp 0-20 %, Diatoma sp 0-20 %, Brachionus sp 40-60 %, dan Keratella sp 80-100 %.
36
- Larva umur 27-31 hari memakan jenis plankton dengan persentase frekuensi keberadaan : Coconeis sp 0-20 %, Chlorococcum sp 0-20 %, Navicula sp 0-40 %, Diatoma sp 0-20 %, Brachionus sp 0-60 %, dan Keratella sp 80-100 %. 5.1.1.4. Tumbuhan Air Jenis tumbuhan air yang banyak ditemukan populasi larva ikan betok sebagai habitatnya di perairan rawa monoton Danau Bangkau, yaitu : Eceng gondok (Eichornia crassipes (Mart) Solms).
Menurut Pancho dan Soerjani, 1978 klasifikasi dari tumbuhan
Eceng gondok (Eichhornia crassipes (Mart) Solms) adalah : Divisi
:
Spermatophyta
Sub divisi
:
Angiospermae
Kelas
:
Monocotyledoneae
Suku
:
Pontederiaceae
Genus
:
Eichhornia
Spesies
:
Eichornia crassipes (Mart) Solms.
Gambar 7. Eceng gondok (Eichornia crassipes (Mart) Solms)
37
5.1.2. Perairan Rawa Pasang Surut (di Anjir) 5.1.2.1.
Parameter Kualitas Air Secara Fisika dan Kimia
Hasil analisa parameter kualitas air pada lokasi I dan lokasi II, titik A maupun titik B adalah paramter fisika : suhu 28-29,7 °C. kecerahan 56-67 cm, dan kekeruhan 1,84- 2,41 NTU dan parameter kimia : oksigen 2,6-2,8 mg/l, karbondioksida 10,33-10,56 mg/l, pH 3,77-3,94, dan amoniak 0,65-0,9 mg/l. 5.1.2.2.
Parameter Kualitas Air Secara Biologi
5.1.2.2.1.
Jenis Plankton
Ada 10 jenis plankton dominan yang didapat dari hasil analisa sampel air yang di ambil dari habitat larva ikan betok mulai dari telur menetas sampai larva berumur 31 hari pada semua titik pengamatan yaitu : Polycystis sp, Diatoma sp, Coconeis sp, Chara sp, Hormidium sp, Spirogyra sp, Amphipleura sp ,Navicula sp, Brachionus sp, dan Filina sp. 5.1.2.2.2.
Kelimpahan Plankton
Kelimpahan plankton dapat dijadikan sebagai indikator kesuburan perairan. Dari hasil perhitungan kelimpahan plankton dapat diketahui nilai rata-rata plankton pada lokasi I titik A, B dan lokasi II titik A dan B. a. Lokasi I titik A Hasil analisa kelimpahan plankton rata-rata dari 10 jenis plankton yang tersaring pada habitat larva ikan betok di lokasi I titik A dapat dilihat pada Tabel 18.
38
Tabel 18. Hasil analisa kelimpahan plankton rata-rata dari 10 jenis plankton yang tersaring pada habitat larva ikan betok Jenis Plankton
Kelimpahan Plankton Rata-Rata (Jumlah sel/l) 150,7 270,2 259,3 100,2 15,0 30,2 18,2 66,8 90,7 60.8
Polycystis sp Coconeis sp Hormidium sp Chara sp Spirogyra sp Amphipleura sp Navicula sp Diatoma sp Brachionus sp Filina sp
Selanjutnya hasil analisa kelimpahan plankton pada habitat larva ikan betok pada setiap umur larva di lokasi I titik A dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19. Hasil analisa kelimpahan plankton rata-rata pada habitat larva ikan betok pada setiap umur larva di lokasi I titik A Umur Larva
Kelimpahan Plankton Rata-Rata (Jumlah sel/l)
Baru menetas 1 hari 3 hari 7 hari 11 hari 15 hari 19 hari 23 hari 27 hari 31 hari
2960 1807 1033 1045 1670 1854 1032 1012 1076 1012
Kelimpahan Plankton Ratarata Dikonversi sel/m3 0,2960 x106 0,1807x106 0,1033 x106 0,1045 x106 0,1670 x106 0,1854 x106 0,1032 x106 0,1012 x106 0,1076 x106 0,1012 x106
39
Untuk melihat kesuburan perairan berdasarkan kelimpahan plankton dapat dikategorikan menurut Lund et al. (1958), data kelimpahan plankton harus dikonversikan menjadi sel/m3. Setelah nilainya dikonversikan seperti pada Tabel di atas, maka dapat diketahui bahwa kesuburan perairan dari setiap umur larva mempunyai tingkatan yang sama yaitu kesuburan sedang yaitu nilai kelimpahan plankton 0,1 – 40 x 106 sel/m3. b. Lokasi I titik B Hasil analisa kelimpahan plankton rata-rata dari 10 jenis plankton yang tersaring pada habitat larva ikan betok dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20. Hasil analisa kelimpahan plankton rata-rata dari 10 jenis plankton tersaring pada habitat larva ikan betok Jenis Plankton
Polycystis sp Coconeis sp Hormidium sp Chara sp Spirogyra sp Amphipleura sp Navicula sp Diatoma sp Brachionus sp Filina sp
yang
Kelimpahan Plankton Rata-Rata (Jumlah sel/l) 359,1 353,6 245,2 198,7 55,3 80,1 187,9 136,2 176,4 248,.2
Nilai kelimpahan plankton rata-rata yang paling tinggi berdasarkan umur larva yaitu pada saat larva baru menetas sebesar 2010 sel/l dan nilai terendah pada saat larva .umur 31 hari sebesar 1006 sel/l.
40
Tabel 21. Hasil analisa kelimpahan plankton rata-rata pada habitat larva ikan betok pada setiap umur larva di lokasi I titik B Umur Larva
Kelimpahan Plankton Rata-Rata (Jumlah sel/l)
Baru menetas 1 hari 3 hari 7 hari 11 hari 15 hari 19 hari 23 hari 27 hari 31 hari
2010 1557 1853 1075 1867 1231 1056 1766 1214 1006
Kelimpahan Plankton Rata-rata Dikonversi sel/m3 0,2010 x106 0,1557x106 0,1853 x106 0,1075 x106 0,1867 x106 0,1231 x106 0,1056 x106 0,1766 x106 0,1214 x106 0,1006 x106
Untuk melihat kesuburan perairan berdasarkan kelimpahan plankton dapat dikategorikan menurut Lund et al. (1958), data kelimpahan plankton harus dikonversikan menjadi sel/m3. Setelah nilainya dikonversikan seperti pada Tabel di atas, maka dapat diketahui bahwa kesuburan perairan dari setiap umur larva mempunyai tingkatan yang sama yaitu kesuburan sedang yaitu nilai kelimpahan plankton 0,1 – 40 x 106 sel/m3. c. Lokasi II titik A Hasil analisa kelimpahan plankton rata-rata dari 10 jenis plankton yang tersaring pada habitat larva ikan betok dapat dilihat pada Tabel 22.
Selanjutnya hasil analisa
kelimpahan plankton pada habitat larva ikan betok pada setiap umur larva di lokasi II titik A dapat dilihat pada Tabel 23. Nilai kelimpahan plankton rata-rata yang paling tinggi berdasarkan umur larva yaitu pada saat umur larva 19 hari sebesar 1994 sel/l dan nilai terendah pada saat larva umur 1 hari sebesar 1076 sel/l.
41
Tabel 22. Hasil analisa kelimpahan plankton rata-rata dari 10 jenis plankton yang tersaring pada habitat larva ikan betok Jenis Plankton
Kelimpahan Plankton Rata-Rata (Jumlah sel/l) 478,2 333,0 234,9 198,4 76,0 65,8 190,9 201,5 198,0 128,0
Polycystis sp Coconeis sp Hormidium sp Chara sp Spirogyra sp Amphipleura sp Navicula sp Diatoma sp Brachionus sp Filina sp
Tabel 23. Hasil analisa kelimpahan plankton rata-rata pada habitat larva ikan betok pada setiap umur larva di lokasi II titik A Umur Larva
Baru menetas 1 hari 3 hari 7 hari 11 hari 15 hari 19 hari 23 hari 27 hari 31 hari
Kelimpahan Plankton Rata-Rata (Jumlah sel/l) 1397 1076 1178 1129 1098 1250 1994 1389 1876 1112
Kelimpahan Plankton Rata-rata Dikonversi sel/m3 0,1397 x106 0,1076 x106 0,1178 x106 0,1129 x106 0,1098 x106 0,1250 x106 0,1994 x106 0,1389 x106 0,1876 x106 0,1112 x106
Untuk melihat kesuburan perairan berdasarkan kelimpahan plankton dapat dikategorikan menurut Lund et al. (1958), data kelimpahan plankton harus dikonversikan menjadi sel/m3. Setelah nilainya dikonversikan seperti pada Tabel di atas, maka dapat
42
diketahui bahwa kesuburan perairan dari setiap umur larva mempunyai tingkatan yang sama yaitu kesuburan sedang yaitu nilai kelimpahan plankton 0,1 – 40 x 106 sel/m3. d. Lokasi II titik B Hasil analisa kelimpahan plankton rata-rata dari 10 jenis plankton yang tersaring pada habitat larva ikan betok dapat dilihat pada Tabel 24.
Selanjutnya hasil analisa
kelimpahan plankton pada habitat larva ikan betok pada setiap umur larva di lokasi II titik B dapat dilihat pada Tabel 25. Nilai kelimpahan plankton rata-rata yang paling tinggi berdasarkan umur larva yaitu pada saat larva baru menetas sebesar 1882 sel/l dan nilai terendah pada saat umur larva 27 hari sebesar 1012 sel/l. Tabel 25. Hasil analisa kelimpahan plankton rata-rata dari 10 jenis plankton yang tersaring pada habitat larva ikan betok Jenis Plankton
Polycystis sp Coconeis sp Hormidium sp Chara sp Spirogyra sp Amphipleura sp Navicula sp Diatoma sp Brachionus sp Filina sp
Kelimpahan Plankton Rata-Rata (Jumlah sel/l) 152,4 288,9 234,2 195,5 75,0 88,8 32,1 65,8 190,6 17,9
Untuk melihat kesuburan perairan berdasarkan kelimpahan plankton dapat dikategorikan menurut Lund et al. (1958), data kelimpahan plankton harus dikonversikan menjadi sel/m3. Setelah nilainya dikonversikan seperti pada Tabel 26, maka dapat diketahui bahwa kesuburan perairan dari setiap umur larva mempunyai tingkatan yang sama yaitu kesuburan sedang yaitu nilai kelimpahan plankton 0,1–40 x 106 sel/m3.
43
Tabel 26. Hasil analisa kelimpahan plankton rata-rata pada habitat larva ikan betok pada setiap umur larva di lokasi II titik B Umur Larva
Baru menetas 1 hari 3 hari 7 hari 11 hari 15 hari 19 hari 23 hari 27 hari 31 hari
5.1.2.2.3.
Kelimpahan Plankton Rata-Rata (Jumlah sel/l) 1882 1065 1432 1420 1078 1099 1155 1365 1012 1114
Kelimpahan Plankton Rata-rata Dikonversi sel/m3 0,1882 x106 0,1065 x106 0,1432 x106 0,1420 x106 0,1078 x106 0,1099x106 0,1155 x106 0,1365 x106 0,1012 x106 0,1114 x106
Indeks Keanekaragaman Plankton
Nilai keanekaragaman plankton merupakan nilai yang digunakan untuk mengetahui distribusi jumlah individu pada masing-masing biota yang hidup dalam sebuah komunitas. Nilai keanekaragaman dapat dipergunakan untuk mengidentifikasi kualitas lingkungan atau habitat plankton, jadi lingkungan tempat pengamatan dapat diindikasikan berdasarkan nilai keanekaragaman. a. Lokasi I titik A Hasil analisa indeks keanekaragaman plankton pada habitat larva ikan betok di Lokasi I titik A dapat dilihat pada Tabel 27. Jika melihat kriteria kualitas air berdasarkan indeks keanekaragaman plankton menurut Shannon dan Wiener (1949), maka indeks keanekaragaman plankton pada semua umur larva ikan betok dapat dimasukkan dalam kategori 1,00-1,66 yaitu keadaan struktur komunitas cukup stabil dan masuk ke dalam kategori perairan buruk.
44
Tabel 27. Hasil analisa indeks keanekaragaman plankton pada habitat larva ikan betok di Lokasi I titik A Umur Larva Ikan Betok Baru menetas 1 hari 3 hari 7 hari 11 hari 15 hari 19 hari 23 hari 27 hari 31 hari
Indeks Keanekaragaman Plankton 1,6532 1,5310 1,6451 1,2895 1,4238 1,6439 1,0439 1,5899 1,0138 1,2761
b. Lokasi I titik B Hasil analisa indeks keanekaragaman plankton pada habitat larva ikan betok di Lokasi I titik B dapat dilihat pada Tabel 28. Tabel 28. Hasil analisa indeks keanekaragaman plankton pada habitat larva ikan betok di Lokasi I titik B Umur Larva Ikan Betok Baru menetas 1 hari 3 hari 7 hari 11 hari 15 hari 19 hari 23 hari 27 hari 31 hari
Indeks Keanekaragaman Plankton 1,6341 1,4597 1,0562 1,6359 1,2997 1,5548 1,1571 1,4467 1,5879 1,0788
45
Jika melihat kriteria kualitas air berdasarkan indeks keanekaragaman plankton, maka indeks keanekaragaman plankton pada semua umur larva ikan betok dapat dimasukkan dalam kategori 1,00-1,66 yaitu keadaan struktur komunitas cukup stabil dan masuk ke dalam kategori perairan buruk. c. Lokasi II titik A Hasil analisa indeks keanekaragaman plankton pada habitat larva ikan betok di Lokasi II titik A dapat dilihat pada Tabel 29. Tabel 29. Hasil analisa indeks keanekaragaman plankton pada habitat larva ikan betok di Lokasi II titik A Umur Larva Ikan Betok Baru menetas 1 hari 3 hari 7 hari 11 hari 15 hari 19 hari 23 hari 27 hari 31 hari
Indeks Keanekaragaman Plankton 1,5631 1,4045 1,6544 1,6490 1,2503 1,0296 1,0675 1,5971 1,6531 1,0299
Jika melihat kriteria kualitas air berdasarkan indeks keanekaragaman plankton, maka indeks keanekaragaman plankton pada semua umur larva ikan betok dapat dimasukkan dalam kategori 1,00-1,66 yaitu keadaan struktur komunitas cukup stabil dan masuk ke dalam kategori perairan buruk.
46
d. Lokasi II titik B Hasil analisa indeks keanekaragaman plankton pada habitat larva ikan betok di Lokasi II titik B dapat dilihat pada Tabel 30. Jika melihat kriteria kualitas air berdasarkan indeks keanekaragaman plankton, maka indeks keanekaragaman plankton pada semua umur larva ikan betok dapat dimasukkan dalam kategori 1,00-1,66 yaitu keadaan struktur komunitas cukup stabil dan masuk ke dalam kategori perairan buruk. Tabel 30. Hasil analisa indeks keanekaragaman plankton pada habitat larva ikan betok di Lokasi II titik B Umur Larva Ikan Betok
Indeks Keanekaragaman Plankton 1,0785 1,5621 1,6443 1,3387 1,6512 1,1180 1,0589 1,4901 1,5703 1,5781
Baru menetas 1 hari 3 hari 7 hari 11 hari 15 hari 19 hari 23 hari 27 hari 31 hari
5.1.2.3.
Analisa Saluran Pencernaan Larva Betok
Hasil analisa saluran pencernaan (lambung) larva ikan betok berumur 3 sampai 31 hari didapatkan bahwa seluruh lambung berisi plankton sebagai pakan alami, yaitu : - Larva umur 3-7 hari memakan jenis plankton dengan persentase frekuensi keberadaan : Polycystis sp 0-10 %, Coconeis sp 60-80 %, , Chara sp 30-40 %, Spirogyra sp 0-10 %, dan Hormidium sp 0-10 %.
47
- Larva umur 7-11 hari memakan jenis plankton dengan persentase frekuensi keberadaan : Polycystis sp 0-20 %, Coconeis sp 90-100 %, Chara sp 20-40 %, Spirogyra sp 10-30 %, dan Amphipleura sp 0-10 %. - Larva umur 11-15 hari memakan jenis plankton dengan persentase frekuensi keberadaan : Coconeis sp 20-100 %, Chara sp 0-10 %, Amphipleura sp 0-30 %, Navicula sp 0-20 %, Diatoma sp 0-60 %, Brachionus sp 0-50 %, dan Filina sp 0-20 %. - Larva umur 15-19 hari memakan jenis plankton dengan persentase frekuensi keberadaan : Coconeis sp 0-20 %, dan Chara sp 0-20 %, Spirogyra sp 0-20 %, Navicula sp 20-40 %, Diatoma sp 0-50 %, dan Brachionus sp 0-60 %. - Larva umur 19-23 hari memakan jenis plankton dengan persentase frekuensi keberadaan : Coconeis sp 0-20 %, Chara sp 0-20 %, Spirogyra sp 0-20 %, Navicula sp 20-60 %, Diatoma sp 0-50 %, Brachionus sp 10-60 %, dan Filina sp 0-20 %. - Larva umur 23-27 hari memakan jenis plankton dengan persentase frekuensi keberadaan : Coconeis sp 0-30 %, Chara sp 0-10 %, Navicula sp 0-10 %, Diatoma sp 10-50 %, Brachionus sp 40-60 %, dan Filina sp 10-20 %. - Larva umur 27-31 hari memakan jenis plankton dengan persentase frekuensi keberadaan : Coconeis sp 0-10 %, Navicula sp 0-40 %, Diatoma sp 0-60 %, Brachionus sp 0-90 %, dan Filina sp 0-10 %.
5.1.2.4.
Tumbuhan Air
Jenis tumbuhan air yang banyak ditemukan populasi larva ikan betok sebagai habitatnya di perairan rawa pasang surut di Anjir adalah Kiapu (Pistia stratiotes). Menurut
48
Pancho dan Soerjani (1978), klasifikasi tumbuhan air Kiapu (Pistia stratiotes) adalah Kingdom
:
Plantae
Subkingdom :
Tracheobionta
SuperDivisi
:
Spermatophyta
Divisi
:
Magnoliophyta
Kelas
:
Liliopsida
SubKelas
:
Arecidae
Ordo
:
Arales
Famili
:
Araceae
Genus
:
Pistia
Spesies
:
Pistia stratiotes L.
Gambar 8. Kiapu (Pistia stratiotes)
49
5.1.3. Perairan Rawa Tadah Hujan (di Kurau) 5.1.3.1.
Parameter Kualitas Air Secara Fisika dan Kimia
Hasil analisa parameter kualitas air pada lokasi I dan lokasi II, titik A maupun titik B adalah :
suhu 27-28 °C.
kecerahan 55-58 cm, dan kekeruhan 2,41-2,84 NTU dan
parameter kimia : oksigen 2,8-3,7 mg/l, karbondioksida 8,10-9,18 mg/l, pH 4,65-4,89, dan amoniak 0,1-0,2 mg/l. 5.1.3.2.
Parameter Kualitas Air Secara Biologi
5.1.3.2.1.
Jenis Plankton
Ada 9 jenis plankton dominan yang didapat dari hasil analisa sampel air yang di ambil dari habitat larva ikan betok mulai dari telur menetas sampai larva berumur 31 hari pada semua titik pengamatan yaitu : Cosmarium sp, Coconeis sp, Chlorococcum sp, Spirogyra sp, Eunotia sp, Epithemia sp , Navicula sp, Diatoma sp, dan Brachionus sp, 5.1.3.2.2.
Kelimpahan Plankton
Kelimpahan plankton dapat dijadikan sebagai indikator kesuburan perairan. Dari hasil perhitungan kelimpahan plankton dapat diketahui nilai rata-rata plankton pada lokasi I titik A, B dan lokasi II titik A dan B. a. Lokasi I titik A Hasil analisa kelimpahan plankton rata-rata dari 9 jenis plankton yang tersaring pada habitat larva ikan betok di lokasi I titik A dapat dilihat pada Tabel 31.
50
Tabel 31. Hasil analisa kelimpahan plankton rata-rata dari 9 jenis plankton yang tersaring pada habitat larva ikan betok Jenis Plankton
Kelimpahan Plankton Rata-Rata (Jumlah sel/l) 54,5 219,4 108,5 14,7 10,8 19,6 25,9 34,7 127,4
Cosmarium sp Coconeis sp Chlorococcum sp Spirogyra sp Eunotia sp Epithemia sp Navicula sp Diatoma sp Brachionus sp
Selanjutnya hasil analisa kelimpahan plankton pada habitat larva ikan betok pada setiap umur larva di lokasi I titik A dapat dilihat pada Tabel 32. Nilai kelimpahan plankton rata-rata yang paling tinggi berdasarkan umur larva yaitu pada saat larva umur 31 hari sebesar 1495 sel/l dan nilai terendah pada saat umur larva 27 hari sebesar 1002 sel/l. Tabel 32. Hasil analisa kelimpahan plankton rata-rata pada habitat larva ikan betok pada setiap umur larva di lokasi I titik A Umur Larva
Kelimpahan Plankton Rata-Rata (Jumlah sel/l)
Baru menetas 1 hari 3 hari 7 hari 11 hari 15 hari 19 hari 23 hari 27 hari 31 hari
1114 1016 1068 1133 1170 1056 1009 1182 975 1495
Kelimpahan Plankton Ratarata Dikonversi sel/m3 0,1114 x106 0,1016 x106 0,1068 x106 0,1133 x106 0,1170 x106 0,1056 x106 0,1009 x106 0,1182 x106 0,1002 x106 0,1495 x106
51
Untuk melihat kesuburan perairan berdasarkan kelimpahan plankton dapat dikategorikan menurut Lund et al. (1958), data kelimpahan plankton harus dikonversikan menjadi sel/m3. Setelah nilainya dikonversikan seperti pada Tabel di atas, maka dapat diketahui bahwa kesuburan perairan dari setiap umur larva mempunyai tingkatan yang sama yaitu kesuburan sedang yaitu nilai kelimpahan plankton 0,1 – 40 x 106 sel/m3. b. Lokasi I titik B Hasil analisa kelimpahan plankton rata-rata dari 9 jenis plankton yang tersaring pada habitat larva ikan betok dapat dilihat pada Tabel 33. Tabel 33. Hasil analisa kelimpahan plankton rata-rata dari 9 jenis plankton yang tersaring pada habitat larva ikan betok Jenis Plankton
Cosmarium sp Coconeis sp Chlorococcum sp Spirogyra sp Eunotia sp Epithemia sp Navicula sp Diatoma sp Brachionus sp
Kelimpahan Plankton Rata-Rata (Jumlah sel/l) 43,9 289,6 103,7 23,8 21,9 19,8 46,6 54,3 132,4
Pada Tabel 34 di bawah ini memperlihatkan nilai kelimpahan plankton rata-rata yang paling tinggi berdasarkan umur larva yaitu pada saat umur larva 11 hari sebesar 1116 sel/l dan nilai terendah pada saat larva baru menetas sebesar 1006 sel/l.
52
Tabel 34. Hasil analisa kelimpahan plankton rata-rata pada habitat larva ikan betok pada setiap umur larva di lokasi I titik B Umur Larva
Kelimpahan Plankton Rata-Rata (Jumlah sel/l)
Baru menetas 1 hari 3 hari 7 hari 11 hari 15 hari 19 hari 23 hari 27 hari 31 hari
1024 1058 1067 1079 1116 1076 1023 1094 1087 1006
Kelimpahan Plankton Rata-rata Dikonversi sel/m3 0,1024 x106 0,1058 x106 0,1067 x106 0,1079 x106 0,1116 x106 0,1076 x106 0,1023 x106 0,1094 x106 0,1087 x106 0,1006 x106
Untuk melihat kesuburan perairan berdasarkan kelimpahan plankton dapat dikategorikan menurut Lund et al. (1958), data kelimpahan plankton harus dikonversikan menjadi sel/m3. Setelah nilainya dikonversikan seperti pada Tabel di atas, maka dapat diketahui bahwa kesuburan perairan dari setiap umur larva mempunyai tingkatan yang sama yaitu kesuburan sedang yaitu nilai kelimpahan plankton 0,1 – 40 x 106 sel/m3. c. Lokasi II titik A Hasil analisa kelimpahan plankton rata-rata dari 9 jenis plankton yang tersaring pada habitat larva ikan betok dapat dilihat pada Tabel 35. Pada Tabel 35 menunjukkan bahwa terdapat lima kelimpahan plankton yang tertinggi.
Selanjutnya hasil analisa
kelimpahan plankton pada habitat larva ikan betok pada setiap umur larva di lokasi II titik A dilihat pada Tabel 36.
Nilai kelimpahan plankton
rata-rata yang paling tinggi
berdasarkan umur larva yaitu pada saat umur larva 3 hari sebesar 1129 sel/l dan nilai terendah pada saat larva umur 23 hari sebesar 1006 sel/l.
53
Tabel 35. Hasil analisa kelimpahan plankton rata-rata dari 9 jenis plankton yang tersaring pada habitat larva ikan betok Jenis Plankton
Kelimpahan Plankton Rata-Rata (Jumlah sel/l) 45,8 229,9 267,4 92,1 74,5 24,8 17,1 19,3 76,9
Cosmarium sp Coconeis sp Chlorococcum sp Spirogyra sp Eunotia sp Epithemia sp Navicula sp Diatoma sp Brachionus sp
Tabel 36. Hasil analisa kelimpahan plankton rata-rata pada habitat larva ikan betok pada setiap umur larva di lokasi II titik A Umur Larva
Baru menetas 1 hari 3 hari 7 hari 11 hari 15 hari 19 hari 23 hari 27 hari 31 hari
Kelimpahan Plankton Rata-Rata (Jumlah sel/l) 1009 1023 1129 1007 1045 1038 1122 1006 1012 1029
Kelimpahan Plankton Rata-rata Dikonversi sel/m3 0,1009 x106 0,1017 x106 0,1044 x106 0,1029 x106 0,1050 x106 0,1029 x106 0,1023 x106 0,1044 x106 0,1048 x106 0,1040 x106
Untuk melihat kesuburan perairan berdasarkan kelimpahan plankton dapat dikategorikan menurut Lund et al. (1958), data kelimpahan plankton harus dikonversikan menjadi sel/m3. Setelah nilainya dikonversikan seperti pada Tabel di atas, maka dapat
54
diketahui bahwa kesuburan perairan dari setiap umur larva mempunyai tingkatan yang sama yaitu kesuburan sedang yaitu nilai kelimpahan plankton 0,1 – 40 x 106 sel/m3. d. Lokasi II titik B Hasil analisa kelimpahan plankton rata-rata dari 9 jenis plankton yang tersaring pada habitat larva ikan betok dapat dilihat pada Tabel 37. Tabel ini menunjukkan bahwa terdapat lima kelimpahan plankton yang tertinggi. Tabel 37. Hasil analisa kelimpahan plankton rata-rata dari 9 jenis plankton yang tersaring pada habitat larva ikan betok Jenis Plankton
Cosmarium sp Coconeis sp Chlorococcum sp Spirogyra sp Eunotia sp Epithemia sp Navicula sp Diatoma sp Brachionus sp
Kelimpahan Plankton Rata-Rata (Jumlah sel/l) 45,2 321,5 275,4 76,2 59,6 24,3 13,7 74,6 56,2
Selanjutnya hasil analisa kelimpahan plankton pada habitat larva ikan betok pada setiap umur larva di lokasi II titik B dapat dilihat pada Tabel 38. Nilai kelimpahan plankton rata-rata yang paling tinggi berdasarkan umur larva yaitu pada saat umur larva 1 hari sebesar 1182 sel/l dan nilai terendah pada saat umur larva 31 hari sebesar 1001 sel/l. Untuk melihat kesuburan perairan berdasarkan kelimpahan plankton dapat dikategorikan menurut Lund et al. (1958), data kelimpahan plankton harus dikonversikan menjadi sel/m3. Setelah nilainya dikonversikan seperti pada Tabel 38, maka dapat
55
diketahui bahwa kesuburan perairan dari setiap umur larva mempunyai tingkatan yang sama yaitu kesuburan sedang yaitu nilai kelimpahan plankton 0,1–40 x 106 sel/m3.
Tabel 38. Hasil analisa kelimpahan plankton rata-rata pada habitat larva ikan betok pada setiap umur larva di lokasi II titik B Umur Larva
Baru menetas 1 hari 3 hari 7 hari 11 hari 15 hari 19 hari 23 hari 27 hari 31 hari
5.1.3.2.3.
Kelimpahan Plankton Rata-Rata (Jumlah sel/l) 1009 1182 1145 1007 1014 1059 1129 1038 1084 1001
Kelimpahan Plankton Rata-rata Dikonversi sel/m3 0,1009 x106 0,1182 x106 0,1145 x106 0,1007 x106 0,1014 x106 0,1059 x106 0,1129 x106 0,1038 x106 0,1084 x106 0,1001 x106
Indeks Keanekaragaman Plankton
Nilai keanekaragaman plankton merupakan nilai yang digunakan untuk mengetahui distribusi jumlah individu pada masing-masing biota yang hidup dalam sebuah komunitas. Nilai keanekaragaman dapat dipergunakan untuk mengidentifikasi kualitas lingkungan atau habitat plankton, jadi lingkungan tempat pengamatan dapat diindikasikan berdasarkan nilai keanekaragaman. a. Lokasi I titik A Nilai indeks keanekaragaman plankton pada habitat larva ikan betok yang memiliki nilai tertinggi yaitu pada saat larva ikan betok berumur 23 hari sebesar 2,2190 dan nilai yang terendah pada saat larva berumur 11 hari sebesar 1,3956. Untuk lebih jelasnya nilai
56
yang didapat dari hasil analisa indeks keanekaragaman plankton pada habitat larva ikan betok di Lokasi I titik A dapat dilihat pada Tabel 39. Jika melihat kriteria kualitas air berdasarkan indeks keanekaragaman plankton menurut Shannon dan Wiener (1949), maka indeks keanekaragaman plankton pada semua umur larva ikan betok dapat dimasukkan dalam kategori 1,67-2,33 yaitu keadaan struktur komunitas stabil dan masuk ke dalam kategori perairan sedang. Tabel 39. Hasil analisa indeks keanekaragaman plankton pada habitat larva ikan betok di Lokasi I titik A Umur Larva Ikan Betok Baru menetas 1 hari 3 hari 7 hari 11 hari 15 hari 19 hari 23 hari 27 hari 31 hari
Indeks Keanekaragaman Plankton 1,7612 1,5972 1,9710 1,6492 1,3956 1,9396 1,8973 2,2190 1,8492 1,7964
b. Lokasi I titik B Nilai indeks keanekaragaman plankton pada habitat larva ikan betok yang memiliki nilai tertinggi yaitu pada saat larva ikan betok berumur 19 hari sebesar 2,1963 dan nilai yang terendah pada saat larva umur 27 hari sebesar1,2960.
Untuk lebih jelasnya nilai
yang didapat dari hasil analisa indeks keanekaragaman plankton pada habitat larva ikan betok di Lokasi I titik B dapat dilihat pada Tabel 40.
Jika melihat kriteria kualitas air
berdasarkan indeks keanekaragaman plankton, maka indeks keanekaragaman plankton
57
pada semua umur larva ikan betok dapat dimasukkan dalam kategori 1,67-2,33 yaitu keadaan struktur komunitas stabil dan masuk ke dalam kategori perairan sedang. Tabel 40. Hasil analisa indeks keanekaragaman plankton pada habitat larva ikan betok di Lokasi I titik B Umur Larva Ikan Betok Baru menetas 1 hari 3 hari 7 hari 11 hari 15 hari 19 hari 23 hari 27 hari 31 hari
Indeks Keanekaragaman Plankton 1,6664 1,9754 1,3429 1,9831 2,1672 1,9754 2,1963 1,5903 1,2960 1,8650
c. Lokasi II titik A Nilai indeks keanekaragaman plankton pada habitat larva ikan betok yang memiliki nilai tertinggi yaitu pada saat larva ikan betok berumur 19 hari sebesar 2,1296 dan nilai yang terendah pada saat larva umur 11 hari sebesar 1,2396.
Untuk lebih jelasnya nilai
yang didapat dari hasil analisa indeks keanekaragaman plankton pada habitat larva ikan betok di Lokasi II titik A dapat dilihat pada Tabel 41. Jika melihat kriteria kualitas air berdasarkan indeks keanekaragaman plankton, maka indeks keanekaragaman plankton pada semua umur larva ikan betok dapat dimasukkan dalam kategori 1,67-2,33 yaitu keadaan struktur komunitas stabil dan masuk ke dalam kategori perairan sedang.
58
Tabel 41. Hasil analisa indeks keanekaragaman plankton pada habitat larva ikan betok di Lokasi II titik A Umur Larva Ikan Betok Baru menetas 1 hari 3 hari 7 hari 11 hari 15 hari 19 hari 23 hari 27 hari 31 hari
Indeks Keanekaragaman Plankton 1,7661 1,8297 1,7832 1,7690 1,2396 1,9543 2,1296 1,5496 2,0648 1,9805
d. Lokasi II titik B Indeks keanekaragaman plankton pada habitat larva ikan betok di Lokasi II titik B dapat dilihat pada Tabel 42. Tabel 42. Hasil analisa indeks keanekaragaman plankton pada habitat larva ikan betok di Lokasi II titik B Umur Larva Ikan Betok Baru menetas 1 hari 3 hari 7 hari 11 hari 15 hari 19 hari 23 hari 27 hari 31 hari
Indeks Keanekaragaman Plankton 1,3298 1,7650 1,2893 1,8333 1,9497 2,0762 2,1934 2,0592 1,9329 1,6571
59
Nilai indeks keanekaragaman plankton pada habitat larva ikan betok yang memiliki nilai tertinggi yaitu pada saat larva ikan betok berumur 19
hari sebesar 2,1934 dan nilai
yang terendah pada saat larva berumur 3 hari sebesar 2,1296. Jika melihat kriteria kualitas air berdasarkan indeks keanekaragaman plankton, maka indeks keanekaragaman plankton pada semua umur larva ikan betok dapat dimasukkan dalam kategori 1,67-2,33 yaitu keadaan struktur komunitas stabil dan masuk ke dalam kategori perairan sedang. 5.1.3.3. Analisa Saluran Pencernaan Larva Betok Hasil analisa saluran pencernaan (lambung) larva ikan betok berumur 3 sampai 31 hari didapatkan bahwa : - Larva umur 3-7 hari memakan jenis plankton dengan persentase frekuensi keberadaan : Cosmarium sp 0-20 %, Coconeis sp 30-60 %, Chlorococcum sp 10-30 %, Spirogyra sp 0-20 %, dan Eunotia sp 0-20 %. - Larva umur 7-11 hari memakan jenis plankton dengan persentase frekuensi keberadaan : Cosmarium sp 0-20 %, Coconeis sp 20-60 %, Chlorococcum sp 0-20 %, Chlorococcum sp 0-10 %, Spirogyra sp 0-20 %, dan Epithemia sp 0-20 %. - Larva umur 11-15 hari memakan jenis plankton dengan persentase frekuensi keberadaan : Coconeis sp 30-60 %, Eunotia sp 0-20 %, Chlorococcum sp 0-10 %, Epithemia sp 0-20 %. Navicula sp 0-10 %, Diatoma sp 0-50 %, Brachionus sp 0-90 % - Larva umur 15-19 hari memakan jenis plankton dengan persentase frekuensi keberadaan : Coconeis sp 0-40 %, dan Eunotia sp 0-10 %, Spirogyra sp 10-20 %, Navicula sp 0-20 %, Diatoma sp 0-30 %, dan Brachionus sp 0-20 %
60
- Larva umur 19-23 hari memakan jenis plankton dengan persentase frekuensi keberadaan : Coconeis sp 0-20 %, Eunotia sp 0-20 %, Spirogyra sp 0-20 %, Navicula sp 10-30 %, Diatoma sp 0-40 %, dan Brachionus sp 0-80 %. - Larva umur 23-27 hari memakan jenis plankton dengan persentase frekuensi keberadaan : Coconeis sp 0-40 %, Eunotia sp 0-10 %, Navicula sp 0-30 %, Diatoma sp 0-50 %, dan Brachionus sp 0-80 %. - Larva umur 27-31 hari memakan jenis plankton dengan persentase frekuensi keberadaan : Coconeis sp 0-20 %, Chlorococcum sp 0-20 %, Navicula sp 0-40 %, Diatoma sp 0-20 %, dan Brachionus sp 60-80 %.
5.1.3.4. Tumbuhan Air Jenis tumbuhan air yang banyak ditemukan populasi larva ikan betok sebagai habitatnya di perairan rawa pasang surut di Kurau adalah gulma itik (Lemna perpusilla). Menurut Armstrong (1996), klasifikasi tumbuhan air gulma itik (Lemna perpusilla) adalah Divisi
:
Spermatophyta
Sub divisi
:
Angiospermae
Kelas
:
Monokotil
Bangsa
:
Arecales
Suku
:
Lemnaceae
Genus
:
Lemna
Spesies
:
Lemna perpusilla
61
Gambar 9. Gulma itik (Lemna perpusilla)
5.2. Pembahasan 5.2.1. Suhu Air Suhu perairan mempunyai pengaruh besar terhadap pertukaran zat atau metabolisme dari makhluk hidup, selain itu juga berpengaruh terhadap kadar oksigen terlarut dalam air. Semakin tinggi suhu perairan, semakin cepat pula perairan tersebut mengalami kejenuhan akan oksigen. Menurut Cholik et al. (1986), suhu air lebih dari 37°C
proses fotosintesis akan turun dengan cepat dan berhenti pada suhu 43°C,
sedangkan secara umum suhu yang layak bagi perkembangan phytoplankton adalah pada suhu 20-30°C. Pescod (1973) menyatakan bahwa kisaran suhu perairan yang layak bagi organisme perairan adalah 25-32°C. Suhu juga sangat berpengaruh pada proses kimia dan biologis, kaidah umum menunjukkan bahwa reaksi kimia dan biologi meningkat dua kali lipat untuk setiap kenaikan suhu sebesar 10°C (Suhaili, 1986).
Menurut Schwoerbel (1987) suhu air
62
merupakan faktor abiotik yang memegang peranan penting bagi hidup dan kehidupan organisme perairan. Berdasarkan hasil penelitian Goldman (1983) menunjukkan bahwa terjadi penurunan biomassa dan keanekaragaman ikan ketika suhu air meningkat lebih dari 32°C . Menurut Sarma et al. (2010) Anabas testudineus mempunyai mekanisme dua adaptasi yang spesifik yaitu keseimbangan tingkah laku (behavior) dan fisiologi untuk merespon perubahan suhu. Konsumsi oksigen dari Anabas testudineus (17,03 ± 1,2 g) setelah aklimasi pada tiga suhu berbeda (25, 30, dan 35°C) selama 30 hari. Konsumsi oksigen rata-rata (masing-masing 117,03 ; 125,70 ; 198,48 mg O2 kg−1 jam−1) meningkat secara nyata dengan meningkatnya perubahan
suhu.
Secara keseluruhan hasilnya
menunjukkan bahwa konsumsi oksigen A. testudineus memerlukan aklimasi (penyesuaian) suhu. Hasil analisa suhu air pada habitat larva ikan betok di perairan rawa monoton Danau Bangkau berkisar 27-29 °C, di perairan rawa pasang surut Anjir berkisar 28-29,7 °C, dan di perairan rawa tadah hujan berkisar 27-28 °C. Kisaran ini termasuk baik karena merupakan suhu yang layak bagi perkembangan phytoplankton yang berkisar 20-30°C (Cholik et al. 1986). Secara otomatis perkembangan zooplankton juga akan optimal. Dengan adanya phytoplankton dan zooplankton berkembang baik di perairan, maka pakan alami bagi larva ikan betok kelimpahannya cukup tinggi. 5.2.1. Kecerahan Air Hasil pengukuran kecerahan air pada perairan rawa monoton Danau Bangkau 3133 cm, perairan rawa pasang surut Anjir 56-67 cm, dan perairan rawa tadah hujan Kurau 55-58 cm.
Menurut Henderson dan Morkland (1987)
bahwa suatu perairan yang
63
mempunyai nilai kecerahan keping secchi <3 m adalah tipe perairan yang subur (eutropik), sehingga dapat dikategorikan bahwa habitat larva ikan betok di perairan rawa Danau Bangkau, Anjir, dan Kurau termasuk subur. Kecerahan adalah kemampuan cahaya matahari untuk menembus perairan. Hal ini penting untuk mengetahui sampai dimana dapat terjadi peristiwa asimilasi tumbuhan didalam air yang kemudian akan berhubungan dengan produktivitas perairan. Kecerahan di dalam air sangat bervariasi tergantung kekuatan cahaya, refleksi, absorbsi, dispersi cahaya dan faktor-faktor lainnya.
Henderson dan Morkland (1987) menyatakan bahwa
suatu perairan yang mempunyai nilai kecerahan keping secchi <3 m adalah tipe perairan yang subur (eutropik), antara 3-6 m kesuburan sedang (mesotrofik) dan >6 m digolongkan pada tipe perairan kurang subur (oligotrofik). Tingkat kecerahan pada habitat larva ikan betok di perairan Danau Bangkau berkisar 31-33 cm, “bangai”).
karena warna air di perairan coklat kehitaman (kondisi perairan
Kalau dibandingkan dengan pendapat Henderson dan Morkland (1987)
tersebut di atas, maka nilai kecerahan ini masih layak untuk kelangsungan hidup ikan dan organisme lainnya dan termasuk tipe perairan yang subur (eutropik). Peristiwa „bangai” di perairan rawa merupakan peristiwa alamiah yang terjadi karena adanya musim kemarau yang biasanya terjadi antara bulan September–Nopember yang menyebabkan keringnya sebagian kawasan perairan dan sebagian lagi masih digenangi air meskipun relatif dangkal. Pada lahan yang masih digenangi air meskipun dangkal kandungan oksigen terlarutnya rendah (sekitar 1-2 mg/l), karena arus dari sungai (inlet) berkurang dan terjadi pendangkalan. Sedangkan pada lahan yang kering lahan tersebut banyak ditumbuhi berbagai macam tumbuhan tanah kering seperti kumpai atau
64
rerumputan (Potamogeton malaianus (L.f) Royle) dan oleh masyarakat setempat dijadikan sebagai lahan perkebunan. Pada saat datang hujan biasanya pada bulan September–Januari untuk sementara waktu perairan menjadi subur karena masuknya unsur hara yang terlarut beserta arus air sungai. Pada saat itu ikan-ikan berdatangan untuk melakukan pemijahan yang oleh masyarakat setempat disebut dengan „layap‟ dan seluruh lahan tergenang air. Tumbuhan kering yang tadinya hidup lambat laun akan mati karena terendam air beserta jerami tanaman kebun masyarakat dan pada tahap berikutnya terjadilah proses penguraian atau perombakan oleh bakteri atau organisme pengurai (dekomposer). Dalam proses tersebut bakteri maupun organisme pengurai memerlukan energi yang besar dengan cara mengkonsumsi oksigen yang besar pula, hal ini mengakibatkan oksigen yang terlarut dalam air menjadi berkurang. Besarnya energi yang dikeluarkan menyebabkan peningkatan hasil respirasi yang diikuti oleh peningkatan ekskresi seperti suhu, karbondioksida dan kadar amoniak dalam air sehingga pH menurun yang mengakibatkan air
menjadi asam dan terbentuk senyawa H2S yang menimbulkan bau busuk (Hasymi,
1986 dalam Yunita, 2012). 5.2.2. Kekeruhan Air Hasil analisa kekeruhan air rata-rata di perairan rawa monoton Danau Bangkau 9,12-9,20 NTU, di perairan rawa pasang surut Anjir 1,84-2,41 NTU, di perairan rawa tadah hujan Kurau 2,41-2,84 NTU. Menurut Krebs (1978), kekeruhan perairan salah satunya juga diduga disebabkan oleh turunnya air hujan, run-off dari nutrien lahan pertanian yang meningkat dan ditambahkan oleh Zar (1996), juga karena beberapa partikel dan debu terbawa angin ke perairan.
65
Menurut Cholik et al. (1986), kekeruhan menunjukkan kadar bahan padat yang melayang-layang di perairan yang mengganggu masuknya sinar matahari. Kekeruhan yang baik karena plankton, adapun kekeruhan karena pelumpuran tidak baik. Kekeruhan karena lumpur dapat menimbulkan gangguan terhadap telur dan plankton. Butir-butir lumpur yang melayang dalam air juga mengurangi masuknya cahaya matahari ke perairan, sehingga mengganggu masuknya proses fotosintesis. Menurut Davis dan Cornwell (1991), kekeruhan juga menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat di dalam perairan. Kekeruhan disebabkan oleh adanya bahan organik dan anorganik yang tersuspensi dan terlarut (misalnya lumpur dan pasir halus), maupun bahan anorganik dan organik yang berupa plankton dan mikroorganisme lain. Nilai kekeruhan/turbiditas pada perairan dangkal sebesar 25 NTU dapat mengurangi 13 %- 50 % produktivitas primer. Nilai turbiditas sebesar 5 NTU di perairan danau dan sungai dapat mengurangi produktivitas primer berturut-turut sebesar 75 % dan 3 % -13 % (Lloyd, 1985). Kekeruhan pada perairan yang tergenang (lentik), misalnya danau lebih banyak disebabkan oleh bahan tersuspensi berupa koloid dan partikel-partikel halus, sedangkan kekeruhan pada sungai yang sedang banjir lebih banyak disebabkan oleh bahan-bahan tersuspensi yang berukuran lebih besar, yang berupa lapisan permukaan tanah yang terbawa oleh aliran air pada saat hujan. Kekeruhan yang tinggi dapat mengakibatkan terganggunya sistem osmoregulasi, misalnya pernafasan dan daya lihat organisme akuatik, serta dapat menghambat penetrasi cahaya ke dalam perairan.
66
Hasil analisa kekeruhan di perairan rawa monoton Danau Bangkau berkisar 9,12– 9,20 NTU kalau dibandingkan dengan pendapat Lloyd (1985) tersebut di atas, maka nilai tersebut lebih besar dari 5 NTU, yang berarti produktivitas primer perairan sudah berkurang/terpengaruh dan dikategorikan kurang
layak Adapun tingkat kekeruhan di
perairan rawa pasang surut Anjir (1,84-2,41 NTU) dan di perairan rawa tadah hujan Kurau (2,41-2,84 NTU), maka nilai tersebut lebih kecil dari 5 NTU, yang berarti produktivitas primer perairan tidak berkurang/terpengaruh dan dapat dikategorikan cukup layak untuk kehidupan ikan dan organisme perairan lainnya. 5.2.3. Oksigen Terlarut Hasil analisa oksigen terlarut rata-rata di perairan rawa monoton Danau Bangkau 1,5-1,8 mg/l, di perairan rawa pasang surut Anjir 2,6-2,8 mg/l, dan di perairan rawa tadah hujan Kurau 2,8-3,7 mg/l. Pescod (1973) menyatakan bahwa kandungan oksigen terlarut >2 mg/l dalam perairan sudah cukup untuk mendukung kehidupan biota akuatik, asalkan perairan tersebut tidak mengandung bahan-bahan yang bersifat racun. Sumber oksigen terlarut dapat berasal dari difusi oksigen yang terdapat di atmosfer (sekitar 35 %) dan aktivitas fotosintesis oleh tumbuhan air dan fitoplankton (Novotny dan Olem, 1994). Difusi oksigen dari atmosfer ke dalam perairan dapat terjadi secara langsung pada kondisi air diam (stagnant). Difusi juga dapat terjadi karena agitasi atau pergolakan massa air akibat adanya gelombang atau ombak dan air terjun. Hasil analisa kadar oksigen terlarut rata-rata di perairan rawa monoton Danau Bangkau 1,55-1,8 mg/l, nilai ini termasuk kategori rendah dan kurang layak untuk kehidupan organisme perairan. Sedangkan di perairan rawa pasang surut Anjir 2,6-2,8 mg/l, dan di perairan rawa tadah hujan Kurau 2,8-3,7 mg/l, nilai ini termasuk sedang dan
67
cukup layak. Hal ini dikemukakan oleh Pescod (1973) bahwa kandungan oksigen terlarut >2 mg/l dalam perairan sehingga dapat mendukung kehidupan biota akuatik. Kondisi perairan rawa Danau Bangkau pada saat penelitian ini dalam kondisi “bangai” ditandai dengan warna air coklat kehitaman dan berbau busuk. “Bangai” terjadi setiap tahun pada awal musim hujan, karena adanya proses penguraian dan perombakan bahan organik yang memerlukan banyak oksigen (Grossman dan Freeman, 1987), ditambah dengan respirasi biota air yang terdapat pada perairan, sehingga kadar oksigen terlarut yang tersisa pada perairan sangat rendah (Hasymi, 1986 dalam Yunita, 2012). Akan tetapi kenyataannya di perairan rawa Danau Bangkau, justru pada saat ini induk ikan betok melakukan pemijahan dan populasi larva ikan betok sangat melimpah. Ikan betok dapat bertahan hidup pada kondisi kadar oksigen yang rendah, karena mempunyai alat pernapasan “labirin” yang letaknya diatas insangnya. Menurut Morioka et al. (2009) pada Anabas testudineus organ labirin sudah mulai terbentuk dan aktif pada larva berumur 16 hari dan bentuk organ labirin hampir sempurna pada larva berumur 35 hari.
Selain adanya organ labirin tersebut, pada umumnya induk ikan betok melakukan
pemijahan di perairan rawa monoton Danau Bangkau pada saat awal musim hujan, dimana dari data hasil penelitian Hasymi (1986) dalam Yunita (2012) jumlah ikan predator seperti ikan gabus yang masuk ke perairan rawa pada saat perairan “bangai” sangat sedikit. Ikan betok (Anabas testudineus Bloch) dikenal sebagai ikan labirin karena di dalam rongga bagian atas insang terdapat alat pernapasan berbentuk labirin, setiap ruang pada labirin terdapat pembuluh-pembuluh darah yang dapat mengekstrasi oksigen dari udara yang masuk ke dalam labirin, sehingga memungkinkan ikan ini hidup di wilayah yang kurang oksigen untuk mengambil oksigen langsung dari udara atau tahan terhadap
68
keadaan kering kadang-kadang kuat hidup sampai satu minggu tanpa air/tinggal dalam lumpur yang masih mengandung air antara 1-2 bulan (Djuhanda, 1981). 5.2.4. Karbondioksida Hasil analisa karbondioksida rata-rata di perairan rawa monoton Danau Bangkau adalah 10,45-11,55 mg/l, di perairan rawa pasang surut Anjir 10,33-10,56 mg/l, dan di perairan rawa tadah hujan Kurau 8,10-9,8 mg/l. Kadar karbondioksida di perairan dapat mengalami pengurangan bahkan hilang akibat proses fotosintesis dan evaporasi. Perairan yang diperuntukkan bagi kepentingan perikanan sebaiknya mengandung kadar karbondioksida bebas <5 mg/l.
Kadar
karbondioksida bebas 10 mg/l masih dapat ditolerir oleh organisme akuatik, asal disertai dengan kadar oksigen yang cukup.
Sebagian besar organisme akuatik masih dapat
bertahan hidup hingga kadar karbondioksida bebas mencapai sebesar 60 mg/l (Boyd, 1988). Akan tetapi menurut Pescod (1973), kandungan karbondioksida pada perairan <12 mg/l merupakan kriteria kualitas air yang masih layak untuk kehidupan ikan dan organisme air. Hasil analisa karbondioksida di habitat larva ikan betok di perairan rawa Danau Bangkau berkisar 10,45–11,55 mg/l, di perairan rawa pasang surut Anjir 10,33-10,56 mg/l, dan di perairan rawa tadah hujan Kurau 8,10-9,8 mg/l. Tingginya nilai karbondioksida tersebut adalah hasil dari respirasi biota akuatik secara aerob dan an aerob serta dekomposisi bahan organik. Warna perairan yang gelap pada perairan rawa monoton Danau Bangkau berdasarkan hasil penelitian mengindikasikan aktivitas biological lebih banyak (Boyd dan Lichtkoppler, 1979). Kalau nilai analisa tersebut dibandingkan dengan pendapat Pescod (1973) tersebut diatas, maka hasil analisa karbondioksida di tiga lokasi di
69
atas masih layak untuk kehidupan ikan betok dan organisme air yang hidup di habitat tersebut. 5.2.5. pH Hasil analisa pH rata-rata di perairan rawa monoton Danau Bangkau 6,35-6,45, di perairan rawa pasang surut Anjir 3,77-3,94, dan di perairan rawa tadah hujan Kurau 4,654,89. Menurut Pescod (1973) kisaran parameter kualitas air pH pada suatu perairan yang layak untuk ikan dan organisme air lainnya berkisar antara 6,5-8,5. Berdasarkan pendapat tersebut, maka kisaran pH hasil analisa pada habitat larva ikan betok di perairan rawa monoton Danau Bangkau dengan kisaran 6,35-6,45 masih
layak untuk kehidupan
organisme perairan. Adapun nilai pH di perairan rawa pasang surut Anjir 3,77-3,94 dan di perairan rawa tadah hujan Kurau 4,65-4,89 kurang layak. Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7–8,5, nilai pH sangat mempengaruhi proses biokimiawi perairan, misalnya proses nitrifikasi akan berakhir jika pH rendah. Toksisitas logam memperlihatkan peningkatan pada pH rendah (Novotny dan Olem, 1994).
Pengaruh nilai pH terhadap komunitas
biologi perairan ditunjukkan pada Tabel 43. Menurut Ditjen Perikanan (1986), perairan yang mempunyai nilai keasaman pada pH 4 dan kebasaan pada pH 11 merupakan titik kematian bagi ikan. Meskipun ikan akan bertahan untuk hidup pada pH 4–6 dan pH 9–10 (Gambar 5) tetapi produksi yang dihasilkan sangat rendah.
70
Tabel 43. Pengaruh pH terhadap komunitas biologi perairan
Nilai pH
Pengaruh Umum
6,0 – 6,5
1. Keanekaragaman plankton dan benthos sedikit menurun 2. Kelimpahan total, biomassa, dan produktivitas tidak mengalami perubahan 1. Penurunan nilai keanekaragaman plankton dan benthos semakin tampak 2. Kelimpahan total, biomassa, dan produktivitas masih belum mengalami perubahan yang berarti. 3. Alga hijau berfilamen mulai tampak pada zona litoral. 1. Penurunan keanekaragaman dan komposisi jenis plankton, perifiton, dan benthos semakin besar. 2. Terjadi penurunan kelimpahan total dan biomassa zooplankton dan benthos. 3. Alga hijau berfilamen semakin banyak. 4. Proses nitrifikasi semakin terhambat. 1. Penurunan keanekaragaman dan komposisi jenis plankton, perifiton, dan benthos semakin besar. 2. Terjadi penurunan kelimpahan total dan biomassa zooplankton dan benthos. 3. Alga hijau berfilamen semakin banyak. 4. Proses nitrifikasi semakin terhambat
5,5 – 6,0
5,0 – 5,5
4,5 – 5,0
Sumber : modifikasi Baker dkk (1990) dalam Novotny dan Olem (1994).
4 5
Tingkat keasaman yang mematikan tidak ada reproduksi
Pertumbuhan lambat
6 7 8
Kisaran kondisi yang baik untuk produksi
9 10 11
Tingkat alkalinitas mematikan
Gambar 6. Pengaruh pH pada kehidupan ikan (Sumber : Ditjen Perikanan, 1986.
71
5.2.6. Amoniak Amoniak yang terdapat pada perairan merupakan produk hasil metabolisme ikan dan pembusukan senyawa organik oleh bakteria.
Di perairan ammonia nitrogen
mempunyai dua bentuk yaitu bentuk ammonia (NH3) bukan ion dan ion ammonium (NH4). NH3 bukan ion adalah racun untuk ikan sedangkan ion NH4 tidak berbahaya kecuali bila konsentrasinya sangat tinggi. Hasil analisa amoniak rata-rata di perairan rawa monoton Danau Bangkau 0,30-0,40 mg/l, di perairan rawa pasang surut Anjir 0,65-0,90 mg/l, dan di perairan rawa tadah hujan Kurau 0,10-0,20 mg/l. Menurut Cholik et al. (1986), bahwa daya racun ammonia (NH3) bukan ion dalam perairan kontak dengan organisme yang berlangsung singkat adalah antara 0,6 – 2,0 mg/l. Batas pengaruh yang mematikan terjadi bila konsentrasi NH3 bukan ion pada perairan sekitar 0,1– 0,3 mg/l. Akan tetapi Pescod (1973) menyatakan bahwa kadar amoniak dalam perairan <1 mg/l masih layak untuk kehidupan ikan dan organisme perairan lainnya. Hasil analisa kadar amoniak rata-rata pada habitat larva ikan betok di perairan rawa monoton Danau Bangkau adalah 0,3-0,4 mg/l, di perairan rawa pasang surut Anjir 0,650,90 mg/l, dan di perairan rawa tadah hujan Kurau 0,10-0,20 mg/l. Kalau dibandingkan dengan pendapat Pescod (1973) , kisaran konsentrasi amoniak pada tiga tipe perairan rawa adalah <1 mg/l, berarti masih layak untuk kehidupan larva ikan betok dan organisme air. Pada Tabel 44 memperlihatkan perbandingan hasil analisis parameter fisika, kimia, dan biologi di tiga tipe perairan rawa yaitu perairan rawa monoton Danau Bangkau, perairan rawa pasang surut Anjir, dan perairan rawa tadah hujan Kurau dibandingkan literatur. Untuk mengetahui apakah nilai tersebut termasuk kriteria kualitas air yang layak/sesuai untuk kehidupan ikan dan organisme perairan lainnya.
72
Tabel 44. Hasil analisa parameter fisika, kimia, dan biologi dibandingkan dengan kriteria kualitas air yang layak untuk kehidupan ikan/organisme perairan lainnya Paramater
Hasil Analisis
Batas Optimum Menurut Para Peneliti
Kriteria Kualitas Air
Bngk 27-29, Anj 28-29, Kr 27-28
25-32 (Pescod,1973)
Layak Layak Layak
Kecerahan (cm)
Bngk 31-33, Anj 56-67, Kr 55-58
<300 (Henderson dan Morkland, 1987)
Layak Layak Layak
Kekeruhan (NTU)
Bngk 9,12- 9,20, Anj 1,84-2,41, Kr 2,41-2,84
5 (Lloyd, 1985)
Kurang Layak Layak Layak
Bngk 1,5-1,8, Anj 2,6-2,8 Kr 2,8-3,7
>2 (Pescod,1973)
Kurang Layak Layak Layak
Karbondioksida (mg/l)
Bngk 10,45-11,55 Anj 10,33-10,56 Kr 8,10-9,18
<12 (Pescod,1973)
Layak Layak Layak
pH
Bngk 6,35-6,45, Anj 3,77-3,94, Kr 4,65-4,89
6,5-8,5 (Pescod,1973)
Layak Layak Layak
Amoniak (mg/l)
Bngk 0,30-0,40, Anj 0,65-0,90, Kr 0,10-0,20
<1 (Pescod,1973)
Layak Layak Layak
Bngk, Anjr, dan Kr 0,1-40x106
Kesuburan Sedang (Lund et al. 1958)
Layak
Fisika : Suhu (°C)
Kimia : Oksigen Terlarut (mg/l)
Biologi : Kelimpahan Plankton (sel/m3) Indeks Keanekaragaman Plankton
Bngk dan Kr 1,67-2,33 Anj 1,00-1,66
Struktur Komunitas Stabil Struktur Komunitas Cukup Stabil (Shannon dan Wiener, 1949) Keterangan : Bngk = Bangkau, Anj = Anjir, dan Kr = Kurau
Layak Layak
73
Hasil analisa parameter kualitas air di perairan rawa monoton Danau Bangkau, terdapat 7 parameter yang layak dan 2 parameter yang kurang layak untuk kehidupan organisme perairan. Dua parameter yang kurang layak tersebut yaitu kekeruhan dan oksigen terlarut. Sedangkan di perairan rawa pasang surut Anjir dan di perairan rawa tadah hujan Kurau semua parameter kualitas air yang dianalisa layak untuk kehidupan ikan dan organisme perairan lainnya. Maka dapat disimpulkan bahwa ketiga tipe perairan rawa sebagai habitat larva ikan betok masih cukup layak atau sesuai untuk kehidupan ikan dan organisme perairan lainnya. 5.2.7. Analisa Saluran Pencernaan Larva Betok Tidak semua jenis plankton pada ketiga tipe perairan rawa sebagai habitatnya menjadi pakan alami larva ikan betok mulai umur 3 hari sampai umur 31 hari, tetapi hanya jenis-jenis plankton tertentu saja.
Jenis-jenis plankton sebagai pakan alaminya pun
berubah sesuai dengan bertambahnya umur ikan. Larva ikan betok mulai memakan plankton di perairan pada umur 3 hari, karena cadangan kuning telurnya (yolk) sudah hampir terserap habis dan mulutnya sudah mulai terbuka. Menurut Waynarovich dan Horvart (1980), larva ikan dengan kuning telur besar dapat hidup lebih lama tanpa pakan dari luar. Seiring dengan berkurangnya kuning telur, maka bukaan mulut dan saluran pencernaan juga semakin berkembang. Larva ikan mulai mencari pakan dari luar pada saat kuning telur masih tersisa 20 %-30%. Hasil analisa terhadap saluran pencernaan (lambung) larva ikan betok berumur 3 sampai 31 hari didapatkan bahwa seluruh lambung berisi plankton sebagai pakan alami Plankton diperairan sebagai pakan alami yang dimakan oleh larva ikan betok mengalami perubahan sesuai dengan ukuran larva, hal itu dapat dilihat dari persentasi
74
keberadaan plankton yang dimakan oleh larva ikan betok. Pada larva ikan betok juga terlihat selektivitas dalam mencari pakan, baik dari segi jenis maupun banyaknya kelimpahan sumber pakan yang tersedia di perairan. Hal ini dapat dilihat dari plankton sebagai pakan yang dimakan sesuai dengan banyaknya kelimpahan (densitas) plankton yang terdapat pada perairan sebagai habitat hidup larva, sebagian besar dimakan larva ikan betok. Densitas plankton/pakan alami yang tinggi di perairan akan memperbesar peluang larva termakan, sehingga jumlah yang termakan merupakan fungsi dari densitas pakan. Menurut Wootton (1994), faktor yang menentukan seleksi mangsa (pakan alami) adalah tersedianya mangsa, dimana pengambilan akan meningkat dengan meningkatnya densitas, karakteristik mangsa dan predator, mudah tidaknya mangsa dimakan serta pengalaman predator terhadap mangsa. Berkaitan dengan mudah tidaknya pakan alami dimakan, pada larva ikan betok memakan dalam jumlah yang sedikit Chlorella sp dan Spirogyra sp. Hal ini diduga karena Chlorella sp mempunyai dinding sel yang tersusun atas selulosa dan beberapa spesies chlorella mempunyai dinding sel yang juga tersusun atas sporopollenin (Reich, 1985) dan mempunyai dinding sel yang keras (Belcher dan Swale, 1978). Adapun Spirogyra sp karena mempunyai filamen yang berlendir (Belcher dan Swale, 1978).
Pakan yang dimakan ikan biasanya juga berubah sesuai dengan
pertumbuhan dan perubahan morfologinya. Ditambahkan Narwani dan Mazumder (2012), ada hubungan antara diversitas, stabilitas, dan fungsi ekosistem. Dimana jumlah populasi konsumer akan meningkat dengan meningkatnya densitas organisme yang dapat dimakan, sehingga ekosistem akan stabil. Menurut Nikolsky (1963), bahwa selama proses pertumbuhan ikan, terjadi perubahan dalam pakannya, sehubungan dengan perubahan struktur dari ikan tersebut.
75
Apabila ikan yang mengawali hidupnya berhasil mendapatkan pakan ysng sesuai, maka setelah dewasa atau bertambah besar ikan itu akan berubah pakan baik dalam ukuran maupun kualitasnya, apabila telah dewasa ikan akan mengikuti pola kebiasaan induknya (Effendie, 1978). Menurut Moss (1980) pakan ikan sering berubah secara menyolok sesuai dengan bertambahnya ukuran ikan. 5.2.8. Tumbuhan Air Jenis tumbuhan air yang banyak ditemukan populasi larva ikan betok sebagai habitatnya di perairan rawa monoton Danau Bangkau adalah eceng gondok (Eichornia crassipes (Mart) Solms), di perairan rawa pasang surut
Anjir adalah kiapu (Pistia
stratiotes), dan di perairan rawa tadah hujan Kurau adalah gulma itik (Lemna perpusilla). 5.2.8.1. Eceng Gondok (Eichornia crassipes (Mart) Solms) Menurut Rienner, 1984 eceng gondok (Eichornia crassipes (Mart) Solms) memiliki kecepatan tumbuh yang tinggi. Eceng gondok dengan mudah menyebar melalui saluran air ke badan air lainnya, sehingga tumbuhan ini dianggap sebagai gulma karena dapat merusak lingkungan perairan. Eceng gondok (Eichornia crassipes (Mart) Solms) hidup mengapung bebas di air dan kadang-kadang berakar dalam tanah jika airnya dangkal. Akar tumbuhan ini berambut dan menggantung pada pangkal batang. Panjang akar rata-rata 30-60 cm bahkan lebih. Tinggi tanaman sekitar 0,4-0,8 m.
Daunnya tunggal dan berbentuk oval. Ujung dan
pangkalnya meruncing, pangkal tangkai daun menggelembung. Bentuk daun bundar berwarna hijau cerah dengan garis-garis tipis berwarna kehijauan di permukaannya. Permukaan daunnya licin sebab diselimuti lapisan lilin. Bunganya termasuk bunga majemuk berwarna ungu muda, berbentuk bulir, kelopaknya berbentuk tabung. Bunga
76
tersebut terdiri dari 4-6 kuntum tiap tangkainya dan tersusun pada sebuah malai. Bijinya berbentuk bulat dan berwarna hitam. Buahnya kotak beruang tiga dan berwarna hijau. Akarnya merupakan akar serabut. Ciri khas dari eceng gondok (Eichornia crassipes (Mart) Solms) yaitu batang dan tangkai daun bagian dalam penuh dengan bilik udara, yaitu rongga-rongga dengan dinding penyekat berupa selaput tipis berwarna putih. Tangkaitangkai daun yang menggelembung menyerupai gondok tersebut akan semakin membulat bila hidupnya tidak bisa bergerombol sebaliknya akan memanjang bila bergerombol. Dengan bantuan pangkal batang yang menggelembung tersebut maka eceng gondok (Eichornia crassipes (Mart) Solms) dapat mengapung di permukaan air. Tangkai pada eksemplar yang dewasa panjang sedangkan pada yang muda pendek (Rienner, 1984). Eceng gondok (Eichornia crassipes (Mart) Solms) tumbuh di kolam-kolam dangkal, tanah basah dan rawa, aliran air yang lambat, danau, tempat penampungan air dan sungai. Pertumbuhan eceng gondok yang cepat terutama disebabkan oleh air yang mengandung nutrien yang tinggi, terutama yang kaya akan nitrogen, fosfat dan potasium (Rienner, 1984). 5.2.8.2. Kiapu (Pistia stratiotes) Kiapu dengan nama populer “water lettyce atau shell flower” merupakan jenis herba terapung dengan akar yang menggantung dalam air. Mempunyai banyak akar tambahan yang penuh dengan bulu-bulu akar halus, panjang dan lebat. Berkembang biak dengan tunas menjalar atau selantar dan dengan bijinya, dimana buahnya bila telah masak pecah sendiri serta berbiji banyak sekali, sehingga dapat berkembang biak dengan sangat cepat. Batang tebal tegak lurus, sangat pendek bahkan kadang-kadang tidak tampak sama sekali, mempunyai tinggi 5-19 cm. Daun berjejal rapat membentuk rozet atau bertumpuk-
77
tumpuk dan berdiri serong. Bentuk dan ukuran daun sangat berubah, bisa menyerupai sendok, lidah atau rompong dengan ujung melebar, pangkal daun berambut, kerap kali keriting; tulang daun berpangkal semua pada baris daun. Tongkol diketiak daun, panjang tangkai 1 cm, seludang dengan pangkal yang menggulung berbentuk tabung putih hijau, di luar berambut, bagian atas dengan suatu penyempitan melintang terbagi menjadi dua bagian. Sumbu tongkol pada pangkalnya melekat dengan seludang, ujung bebas, pada pangkal dari bagian yang bebas dengan pembalut yang berbentuk cawan, berhadapan dengan kepala putik dengan alat tambahan berbentuk ginjal, pada pangkal dengan sebuah bunga betina, pada ujungnya dengan bunga jantan yang tersusun menjadi karangan bunga masing-masing terdiri dari hanya 1 benang sari saja. Tangkai seri berbentuk kerucut; pendek; dan kepala putik lebar (Rienner, 1984). Kiapu banyak ditemukan pada daerah dengan ketinggian antara 1-700 m di atas permukaan laut, yaitu pada air tawar yang mengenang atau mengalir lambat seperti perairan rawa, selokan sawah dan telaga (Steenis, 1992). Pada tumbuhan air eceng gondok (Eichornia crassipes (Mart) Solms) dan kiapu (Pistia stratiotes) di perairan rawa monoton Danau Bangkau banyak terdapat populasi larva ikan betok (Anabas testudineus Bloch), karena morfologi dari kedua jenis tumbuhan ini perakaran lembut yang banyak dan juga mempunyai daun yang cukup lebar sebagai tempat memijah, tempat mencari makan, nursery ground, tempat berlindung dan naungan bagi larva ikan betok yang ukuran masih sangat kecil. 5.2.8.3. Gulma Itik (Lemna perpusilla) Lemnaceae atau gulma itik merupakan famili yang mempunyai ciri-ciri yaitu: kecil, mengapung atau tenggelam, tanpa batas yang nyata antara batang dan daun-daunnya,
78
mempunyai akar atau tanpa akar, yang kesemuannya merupakan tanda adanya adaptasi yang sangat jauh terhadap kehidupan air sebagai habitatnya, serta adanya reduksi alat-alat vegetatif yang tidak ditemukan pada tumbuhan lainnya. Tubuh tumbuhan berbentuk lonjong, memanjang atau bulat pipih, tanpa diferensiasi morfologi, sehingga mempunyai talus, di sebelah atas kelihatan hijau, sebelah bawah sering kali berwarna lembayung, berkembang biak vegetatif dengan perantara kuncup-kuncup yang pada pangkal bergandengan dengan induknya kemudian dapat terpisah-pisah menjadi individu-individu yang baru. Lemnaceae yang hidup di daerah-daerah iklim sedang dapat menghasilkan kuncup-kuncup yang tenggelam sampai ke dasar untuk mempertahankan diri selama musim dingin. Warga suku ini merupakan penghuni lingkungan berair tawar di seluruh dunia (Tjitrosoepomo, 2002). Karakteristik dari masing-masing genus gulma itik berbeda. Daun dari Spirodela dan Lemna datar, oval seperti daun pada umumnya. Spirodela mempunyai beberapa akar (Weaver & Clements, 1980), bagian bawah dari daunnya berwarna ungu kemerahmerahan, permukaan luarnya dengan 3–11 urat daun (Crow & Hellquist, 2000). Lemna hanya mempunyai 1 akar (Leng, 1995), berwarna hijau sampai ungu terang di bagian permukaan bawahnya, dengan 1-3 urat daun (Crow & Hellquist, 2000). Wolffiella dan Wolfia tidak mempunyai akar, dan tidak mempunyai ukuran yang lebih kecil di bandingkan dengan Spirodela ataupun Lemna. Wolfia disebut juga dengan salah satu tumbuhan berbunga yang terkecil di dunia dan disebut terkecil karena ukurannya yang kurang dari 1,5 mm. Daun Wolfia biasanya berbentuk sabit (Leng, 1995) dengan ukuran 1,5 mm atau kurang (Crow & Hellquist, 2000), sebaliknya Wolffiella berbentuk seperti
79
perahu dan tidak mempunyai akar pula (Leng et al, 1995), dengan panjang 6-8 mm (Crow & Hellquist, 2000). Lemna pada dasarnya mempunyai struktur permukaan daun yang rata dan mempunyai 1 akar pada tiap-tiap daunnya (Armstrong, 1996a), terdapat 1-3 urat pada daunnya, panjang dari 1-5 mm, warna hijau muda/transparan sampai dengan hijau tua, seringkali pada beberapa spesies ditutupi oleh pigmen kemerah-merahan, mengapung secara berkelompok yang terhimpun dalam kelompok dalam 2-8 daun (Armstrong, 1996b), dengan bunga atau tanpa bunga/dalam bentuk benih vegetatif (Durand, 2006). Masingmasing daun dari gulma itik mengandung meristem utama/pusat yang merupakan tunastunas dari daun yang asli. Gulma itik tumbuh baik di air yang mengalami eutrofikasi atau peningkatan kandungan fosfat, nitrogen, dan nutrisi lainnya yang diperlukan oleh tumbuhan (Cross, 2001a). Masing-masing spesies gulma itik akan menunjukkan perbedaan pada kondisi yang sama dari cahaya, temperatur atau suhu, dan ketersediaan nutrisi. Masing-masing spesies akan tumbuh dalam jumlah yang berbeda dari pengaruh ketiga faktor tersebut (Parker, dkk., 2005). Di bawah kondisi yang sesuai untuk pertumbuhannya seperti tingginya kandungan nitrogen dan fosfat di dalam air, daerah perairan akan tertutupi oleh gulma itik yang dapat mengganda dalam beberapa hari. Penelitian tentang gulma itik terkait dengan banyaknya manfaat yang dapat diberikannya antara lain : sebagai makanan bagi ikan, makanan ternak (Skilicorn, 2001), diet babi yang berlemak (Van, dkk., 1996) makanan unggas (Rodriguez, 1999), digunakan sebagai sayuran yang dimakan oleh orang Burma (Burnese) dan orang-orang Laos (Leng, 1995), mempunyai kandungan protein yang tinggi sampai dengan 45 % (Anh, 1997),
80
mengurangi dan mengontrol pertumbuhan alga (Tan, 2001), sebagai obat (Cross, 2005b) terutama sekali jenis lemna dan spirodela yang digunakan sebagai vaksin (Freyssinet, dkk., 2003), penyerap nutrien dan mineral air, membantu proses pemurnian air tercemar dan menggunakan nitrogen dalam limbah padatan yang dari biodigester untuk memperkaya kandungan proteinnya (Khang, 2000).
BAB 7. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan Hasil analisa parameter kualitas air masing-masing pada perairan rawa monoton Danau Bangkau, rawa pasang surut Anjir, dan rawa tadah hujan Kurau adalah : 1. Suhu 27-29 °C, 28-29,7 °C, 27-28 °C 2. Kecerahan 31-33 cm, 56-67 cm, 55-58 cm 3. Kekeruhan 9,12-9,20 NTU, 1,84- 2,41 NTU, 2,41-2,84 NTU 4. Oksigen 1,5-1,8 mg/l, 2,6-2,8 mg/l, 2,8-3,7 mg/l 5. Karbondioksida 10,45-11,55 mg/l, 10,33-10,56 mg/l, 8,10-9,18 mg/l 6. pH 6,35-6,45, 3,77-3,94, 4,65-4,89 7. Amoniak 0,3-0,4 mg/l. 0,65-0,9 mg/l, 0,1-0,2 mg/l. Jenis plankton dominan yang didapat dari hasil analisa sampel air yang di ambil dari habitat larva ikan betok mulai dari telur menetas sampai larva berumur 31 hari pada semua titik pengamatan yaitu : 1. Pada perairan rawa monoton di Danau Bangkau ada 12 jenis : Chlorella sp, Coconeis sp, Mougeotia sp, Chlorococcum sp, Spirogyra sp, Binuclera sp,
81
Pediastrum sp, Nitzschia sp ,Navicula sp,
Diatoma sp, Brachionus sp, dan
Keratella sp. 2. Pada perairan rawa pasang surut di Anjir ada 10 jenis : Polycystis sp, Diatoma sp, Coconeis sp, Chara sp, Hormidium sp, Spirogyra sp, Amphipleura sp ,Navicula sp, Brachionus sp, dan Filina sp. 3. Pada perairan rawa tadah hujan di Kurau ada 9 jenis : Cosmarium sp, Coconeis sp, Chlorococcum sp, Spirogyra sp, Eunotia sp, Epithemia sp , Navicula sp, Diatoma sp, dan Brachionus sp.
Dari data kelimpahan plankton pada ketiga tipe perairan rawa dimana kesuburan perairan dari setiap umur larva mempunyai tingkatan yang sama yaitu kesuburan sedang dengan nilai kelimpahan plankton 0,1 – 40 x 106 sel/m3. Hasil analisa indeks keanekaragaman plankton pada habitat larva ikan betok di perairan rawa monoton Danau Bangkau dan perairan rawa tadah hujan Kurau, maka indeks keanekaragaman plankton pada semua umur larva ikan betok dapat dimasukkan dalam kategori 1,67-2,33 yaitu keadaan struktur komunitas stabil dan masuk ke dalam kategori perairan sedang. Sedangkan indeks keanekaragaman plankton pada habitat larva ikan betok di perairan rawa pasang surut Anjir dimasukkan dalam kategori 1,00-1,66 yaitu keadaan struktur komunitas cukup stabil dan masuk ke dalam kategori perairan buruk. Hasil analisa saluran pencernaan (lambung) larva ikan betok berumur 3 sampai 31 hari pada perairan rawa monoton Danau Bangkau dimana seluruh lambung berisi plankton sebagai pakan alami yaitu :
82
- Larva umur 3-7 hari memakan jenis plankton dengan persentase frekuensi keberadaan : Chlorella sp 0-20 %, Coconeis sp 80-100 %, Mougeotia sp 40-60 %, Spirogyra sp 0-20 %, dan Nitzshia sp 0-20 %. - Larva umur 7-11 hari memakan jenis plankton dengan persentase frekuensi keberadaan : Chlorella sp 0-20 %, Coconeis sp 80-100 %, Mougeotia sp 20-40 %, Chlorococcum sp 0-20 %, Spirogyra sp 0-20 %, dan Binuclera sp 0-20 %. - Larva umur 11-15 hari memakan jenis plankton dengan persentase frekuensi keberadaan : Coconeis sp 20-100 %, Mougeotia sp 0-20 %, Chlorococcum sp 0-20 %, Binuclera sp 0-20 %. Navicula sp 0-20 %, Diatoma sp 0-40 %, Brachionus sp 0-60 %, dan Keratella sp 0-80 %. - Larva umur 15-19 hari memakan jenis plankton dengan persentase frekuensi keberadaan : Coconeis sp 0-20 %, dan Mougeotia sp 0-20 %, Spirogyra sp 0-20 %, Navicula sp 2060 %, Diatoma sp 0-40 %, Brachionus sp 0-60 %, dan Keratella sp 80-100 %. - Larva umur 19-23 hari memakan jenis plankton dengan persentase frekuensi keberadaan : Coconeis sp 0-20 %, Mougeotia sp 0-20 %, Spirogyra sp 0-20 %, Navicula sp 20-60 %, Diatoma sp 0-20 %, Brachionus sp 40-60 %, Keratella sp 0-100 %. - Larva umur 23-27 hari memakan jenis plankton dengan persentase frekuensi keberadaan : Coconeis sp 0-20 %, Mougeotia sp 0-20 %, Navicula sp 0-20 %, Diatoma sp 0-20 %, Brachionus sp 40-60 %, dan Keratella sp 80-100 %. - Larva umur 27-31 hari memakan jenis plankton dengan persentase frekuensi keberadaan : Coconeis sp 0-20 %, Chlorococcum sp 0-20 %, Navicula sp 0-40 %, Diatoma sp 0-20 %, Brachionus sp 0-60 %, dan Keratella sp 80-100 %.
83
Hasil analisa saluran pencernaan (lambung) larva ikan betok berumur 3 sampai 31 hari pada perairan rawa pasang surut Anjir yaitu : - Larva umur 3-7 hari memakan jenis plankton dengan persentase frekuensi keberadaan : Polycystis sp 0-10 %, Coconeis sp 60-80 %, , Chara sp 30-40 %, Spirogyra sp 0-10 %, dan Hormidium sp 0-10 %. - Larva umur 7-11 hari memakan jenis plankton dengan persentase frekuensi keberadaan : Polycystis sp 0-20 %, Coconeis sp 90-100 %, Chara sp 20-40 %, Spirogyra sp 10-30 %, dan Amphipleura sp 0-10 %. - Larva umur 11-15 hari memakan jenis plankton dengan persentase frekuensi keberadaan : Coconeis sp 20-100 %, Chara sp 0-10 %, Amphipleura sp 0-30 %, Navicula sp 0-20 %, Diatoma sp 0-60 %, Brachionus sp 0-50 %, dan Filina sp 0-20 %. - Larva umur 15-19 hari memakan jenis plankton dengan persentase frekuensi keberadaan : Coconeis sp 0-20 %, dan Chara sp 0-20 %, Spirogyra sp 0-20 %, Navicula sp 20-40 %, Diatoma sp 0-50 %, dan Brachionus sp 0-60 %. - Larva umur 19-23 hari memakan jenis plankton dengan persentase frekuensi keberadaan : Coconeis sp 0-20 %, Chara sp 0-20 %, Spirogyra sp 0-20 %, Navicula sp 20-60 %, Diatoma sp 0-50 %, Brachionus sp 10-60 %, dan Filina sp 0-20 %. - Larva umur 23-27 hari memakan jenis plankton dengan persentase frekuensi keberadaan : Coconeis sp 0-30 %, Chara sp 0-10 %, Navicula sp 0-10 %, Diatoma sp 10-50 %, Brachionus sp 40-60 %, dan Filina sp 10-20 %. - Larva umur 27-31 hari memakan jenis plankton dengan persentase frekuensi keberadaan : Coconeis sp 0-10 %, Navicula sp 0-40 %, Diatoma sp 0-60 %, Brachionus sp 0-90 %, dan Filina sp 0-10 %.
84
Hasil analisa saluran pencernaan (lambung) larva ikan betok berumur 3 sampai 31 hari pada perairan rawa tadah hujan Kurau yaitu : - Larva umur 3-7 hari memakan jenis plankton dengan persentase frekuensi keberadaan : Cosmarium sp 0-20 %, Coconeis sp 30-60 %, Chlorococcum sp 10-30 %, Spirogyra sp 0-20 %, dan Eunotia sp 0-20 %. - Larva umur 7-11 hari memakan jenis plankton dengan persentase frekuensi keberadaan : Cosmarium sp 0-20 %, Coconeis sp 20-60 %, Chlorococcum sp 0-20 %, Chlorococcum sp 0-10 %, Spirogyra sp 0-20 %, dan Epithemia sp 0-20 %. - Larva umur 11-15 hari memakan jenis plankton dengan persentase frekuensi keberadaan : Coconeis sp 30-60 %, Eunotia sp 0-20 %, Chlorococcum sp 0-10 %, Epithemia sp 0-20 %. Navicula sp 0-10 %, Diatoma sp 0-50 %, Brachionus sp 0-90 % - Larva umur 15-19 hari memakan jenis plankton dengan persentase frekuensi keberadaan : Coconeis sp 0-40 %, dan Eunotia sp 0-10 %, Spirogyra sp 10-20 %, Navicula sp 0-20 %, Diatoma sp 0-30 %, dan Brachionus sp 0-20 % - Larva umur 19-23 hari memakan jenis plankton dengan persentase frekuensi keberadaan : Coconeis sp 0-20 %, Eunotia sp 0-20 %, Spirogyra sp 0-20 %, Navicula sp 10-30 %, Diatoma sp 0-40 %, dan Brachionus sp 0-80 %. - Larva umur 23-27 hari memakan jenis plankton dengan persentase frekuensi keberadaan : Coconeis sp 0-40 %, Eunotia sp 0-10 %, Navicula sp 0-30 %, Diatoma sp 0-50 %, dan Brachionus sp 0-80 %. - Larva umur 27-31 hari memakan jenis plankton dengan persentase frekuensi keberadaan : Coconeis sp 0-20 %, Chlorococcum sp 0-20 %, Navicula sp 0-40 %, Diatoma sp 0-20 %, dan Brachionus sp 60-80 %.
85
Jenis tumbuhan air yang banyak ditemukan populasi larva ikan betok sebagai habitatnya di perairan rawa monoton Danau Bangkau : Eceng gondok (Eichornia crassipes (Mart) Solms). .di perairan rawa pasang surut di Anjir : Kiapu (Pistia stratiotes), dan di perairan rawa pasang surut di Kurau : gulma itik (Lemna perpusilla).
7.2. Saran Untuk pemeliharaan larva ikan betok diusahakan meniru ekosistem habitat hidupnya di alam dan pemberian pakan alami yang sesuai dengan umur dan ukuran larva ikan.
DAFTAR PUSTAKA Andrew L. Rhyne, Cortney L. Ohs, dan Erik Stenn. 2009. Effects Of Temperature On Reproduction And Survival Of The Calanoid Copepod Pseudodiaptomus Pelagicus. J. Aquaculture 292 : 53–59. Asha, P.S. dan Muthiah,P. 2005. Effect of Temperatur, Salinitas, dan pH on Larval Growth, Survival and Development of The Cucumber Holothuria spinifera Theel. J. Aquaculture 250 : 823–829. Ahmad, S. Dan Ondara. 1969. Limnologi dan Perikanan Rawa Djabangmangi Semanda dan Ragragan Serta Sawah di Lamongan. Lembaga Penelitian dan Perikanan Darat, Bogor. 22 halaman. Afrianto, E., dan Evi liviawaty, 1994. Pengendalian Hama dan Penyakit Ikan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta . 89 halaman. Artinah, 1994. Penggunaan Gulma Sebagai Sumber Makanan Dengan Persentase Yang Berbeda Terhadap Pertumbuhan Ikan Betok Yang Di Pelihara Dalam Bak Plastik. Skripisi Fakultas Perikanan Universitas Lambung Mangkurat. Banjarbaru.92 halaman. Agus, M., 1998. Biologi Ikan Betok. Laboratorium Kualitas Air. Fakultas Perikanan UNLAM. Banjarbaru. 18 hal. Akrimi dan Gatot S., 2002. Teknik Pengamatan Kualitas Air dan Plankton di Reservat Danau Arang – Arang. Buletin Teknik Pertanian. Jambi. Vol. 7 No. 2 Jambi. Anonim, 1997. Pembenihan Ikan Papuyu (Anabas Tetudineus Bloch). Departemen Kelautan dan Perikanan. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Balai Budidaya Air Tawar Mandiangin, Kalimantan Selatan. 14 halaman.
86
, 2003. Pembenihan Ikan Spesifik Lokal Baung dan Papuyu. Departemen Kelautan dan Perikanan. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Balai Budidaya Air Tawar Mandiangin, Kalimantan Selatan. 12 halaman. ______. 2006. Effects of Aquatic Plants. http://www.fish.washington.edu.naturemapping/water/1qualplt.html di akses tanggal 24 Februari 2010. , 2007. Teknologi Pembenihan dan Pembesaran Ikan Papuyu. Departemen Kelautan dan Perikanan. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Balai Budidaya Air Tawar Mandiangin, Kalimantan Selatan. 6 halaman. , 2010. Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Kalimantan Selatan. Laporan Tahunan Statistik Perikanan dan Kelautan Kalimantan Selatan, Sub Bagian Program. 123 halaman. , 2011. Pemda PU Amuntai Hulu Sungai Utara. Laporan Tahunan Data Statistik Pekerjaan Umum. Affandie, R.D.S, Syafie, M.F. Rahardjo, Sulistiono. 2005. Fisiologi Ikan, Pencernaan dan Penyerapan Makanan. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB Bogor. 158 halaman. Alihamsyah, T. dan Ar-Riza, I. 2006. Teknologi Pemanfaatan Lahan Rawa Lebak. Dalam Karakteristik dan Pengelolaan Lahan Rawa. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Bogor. 297 halaman. Aisiah,M, 1987. Pengaruh Pemberian Beberapa Jenis Makanan Ikan Terhadap Pertumbuhan Dan Mortalitas Burayak Ikan Mas. FI. Unlam. Banjarbaru. 102 Halaman. Bakhtiar F., 1996. Pengaruh Rasio Seks Yang Berbeda Terhadap Prosentase Yang Berbeda Terhadap Pertumbuhan Ikan Betok Dengan Pemijahan Buatan Dalam Baskom. Skripsi Fakultas Perikanan Universitas Lambung Mangkurat. Banjarbaru. 51 halaman. Binoy , V. V. And Thomas, K. J.. 2008. The Influence of Hunger on Food-Stocking Behaviour of Climbing perch Anabas testudineus. J. Fish Biology 73 : 1053–1057. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. 2008. Pemanfaatan dan Konservasi Ekosistem Lahan Rawa Gambut Di Kalimantan. Pengembangan Inovasi Pertanian 1 (2) : 149-156 Chairuddin, T. 1989. Keberadaan dan Konservasi Lahan Basah Kalimantan Selatan : Peranannya sebagai “Feeding Ground” dan Keanekaan Jenis Ikan. Workshop Conservation of Sungai Negara Wetlands. Barito Basin, South Kalimantan Kerjasama UNLAM, Kompas Borneo, Ditjen PHPA, dan Asian Wetland Bureau, Banjarbaru, 6-8 March 1989. Cholik, F., dan Rahmat,A., 1986. Manjemen kualitas Air Pada Kolam Budidaya Ikan. Direktorat Jenderal Perikanan Research Centre. Jakarta. 51 halaman. Crassostrea Gigas B. Rico-Villa, S. Pouvreau, R. Robert. 2009 . Influence Of Food Density And Temperature On Ingestion, Growth And Settlement Of Pacific Oyster Larvae, J. Aquaculture 287 : 395–401.
87
Curnow, J., King, J., Bosmans, J. dan Kolkovski, S. The Effect of Reduced Artemia and Rotifer Use Facilitated By a New Microdiet in The Rearing of Barramundi Lates Calcarifer (BLOCH) Larvae. J. Aquaculture 257 : 204–213. Chairuddin. 1994. Kualitas Air dan Pertumbuhan Eceng Gondok (Eiuchornia crassipes, Mart.J.Solms) dalam Limbah Karet. Pasca Sarjana IPB, Bogor. 142 halaman. Davis, C.C. 1955. The Marine and Fresh Water Plankton. Michigan States University Press. Terjemahan Usman Tanujaya tahun 1986. ITB Bandung. 362 halaman. Djuhanda, 1981. Dunia Ikan. Penerbit Armico. Bandung. 191 halaman. Effendie, M. I, 1993. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara. Yogyakarta. 155 halaman. Effendie, M. I, 1997. Biologi Perikanan Bagian I Fakultas Perikanan. IPB Bogor. 102 halaman. Davis, Charles, C. 1955. The Marine and Freshwater Plankton. Michigan State Univ. Press. USA. 562 p. Terjemahan Usman Tanujaya Tahun 1986. ITB Bandung. 362 halaman. Edmunsond, W.T. 1984. Fresh Water Biologi. Pp.1247. Fernandez, E.M., Salmón, H.A.,. Southgate, P.C. 2006. The Nutritional Value of Seven Species of Tropical Microalgae for Black-Lip Pearl Oyster (Pinctada Margaritifera, L.) Larvae. J. Aquaculture 257 : 491-503. Faridah, S., 1985. Pengaruh Padat Penebaran Yang Berbeda Terhadap Mortalitas Burayak Ikan Betok (Anabas testudineus Bloch) Yang Di Pelihara Dalam Akuarium Dengan Sistem Sirkulasi. Fakultas Perikanan Universitas Lambung Mangkurat. Banjarbaru. 53 halaman. Fassett, N.C. 1975. A Manual of Aquatic Plants. The University of Wisconsin Press. United States of America. 405 halaman. Fahroji. 1985. Sebaran Plankton Diatom di Perairan Muara Sungai Barito dan Beberapa Faktor yang Mempengaruhinya. Fakultas Perikanan Universitas Lambung Mangkurat. Banjarbaru. 54 halaman. Fahrujaini dan Rukmini, 2008. Variasi Seks Rasio untuk Pemijahan Ikan Betok (Anabas testudineus Bloch) dengan Menggunakan Ovaprim dan Hipofisa Ikan Mas (Cyprinus carpio). Fakultas Perikanan Unlam Banjarbaru, 114 halaman. Hawkins, L.E., Hutchinson, S. dan Laing, I. 2005. The Efffect of Temperature and Food Ration on Metanolit Concentrations in Newly Settled King Scallop (Pecten maximus) Spat. J. Aquaculture 250 : 841-848.. Hisbi, Dj. 1989. Penelitian dan Monitoring Kualitas Air Sungai Barito yang Termasuk Kawasan Industri Perkayuan Jelapat Kotamadya Banjarmasin/Kabupaten Barito Kuala Kalimantan Selatan. Bagian I Kerjasama KPSL Unlam dengan Pemda Tingkat I Kalimantan Selatan (Biro BKLH) Banjarmasin. 58 halaman.
88
----------. 1993. Kerapatan Genetik Gulma yang Mengapung Bebas Pada Permukaan Air Tawar di Kalimantan Selatan. Pasca Sarjana. Fakultas Biologi. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. 78 halaman. Hadi dan Fadna. 1998. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumberdaya Lingkungan Perairan. Kanisius. 258 hal. Iriadenta. E., 1999. Teknis Sample Kimia. Perairan Singkat Dasar-Dasar Analisis Kualitas Air. Fakultas Perikanan Universitas Lambung Mangkurat. Ismail, I.G.,T. Alihamsyah, I.P.G.Widjaja-Adhi, Suwarno,H. Tati,R. Tahir, dan D.E. Sianturi. 1993. Sewindu Penelitian Pertanian di Lahan Rawa (1985-1993). Kontribusi dan Proyek Pengembangan. Proyek Penelitian Pertanian Lahan Pasang Surut dan Rawa Swamps II. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. Ismail, A. Dan Mohamad, 1992. Ekologi Air Tawar. Fakultas Sains Hayat University Kebangsaan Malaysia. Kuala Lumpur. 265 halaman. Jangkaru, Z., 1984. Pemeliharaan Ikan Dalam Kolam Air Deras. Jayaguna. Bogor. 29 halaman. Kamler,E.1992. Early Life History of Fish. Chapman and Hall, London. 267 p. Krebs, L.J. 1989. Ecological Methodology. Harper Collins Publisher. New York. 754 page. Kehmier, K.J. 2004. Controlling Aquatic Vegetation. Former Colorado State University research associate, fishery and wildlife biology. http://www.ext.colostate.edu/pubs/netres/06402.html di akses tanggal 24 Februari 2010. Katersky, Robin dan Carter, Chris, G. 2005. Growth Effeciency of Juvenile Barramundi Lates calcarifer at High Temperatures. J. Aquaculture 250 : 775–780. Krischik, V. A., R.M. Newman, & J. F. Khyl. 1999. Managing Aquatic Plants in Minnesota Lakes. College of Agricultural, Food, and Environmental Sciences University of Minnesota. di akses tanggal 5 April 2010. Loveless, A.R. 1991. Prinsip-prinsip Biologi Tumbuhan untuk Daerah Tropik. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 408 halaman. Milione, M. dan Zeng, C. 2008. The Effects of Temperature and Salinity on Population Growth and Egg Hatching Success of The Tropical Calanoid Copepod, Acartia Sinjiensis. J. Aquaculture 275 : 116-123.. Mulyanto, 1992. Lingkungan Hidup Untuk Ikan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Penerbit Pustaka Perbukuan, Jakarta. 102 halaman. Marlida, Rini., 2001. Kajian Fisiologi Pencernaan Dan Kelangsungan Hidup Larva Ikan Betok (Anabas Testudineus Bloch) Yang Diberi Pakan Berbeda Program Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin. Makasar. 59 halaman. Muhammad, 1987. Pengaruh Sumber Makanan Yang Berbeda Terhadap Pertumbuhan Ikan Betok (Anabas testudineus Bloch) yang Di Pelihara Dalam Kolam. Fakultas Perikanan Universitas Lambung Mangkurat. Banjarbaru.63 halaman.
89
Muhammad,. 2001. Pengaruh Donor dan Dosis Kelenjar Hipofisa terhadap Ovulasi dan Daya Tetas Telur Ikan Betok (Anabas testudineus Bloch). Jurnal Sains dan Teknologi. Makassar. Vol 2 No. 2. Maiju, L. 2003. Baltic Sea Portal. FIMR, Virginia Institute of Marine Science. 2 pages. Monkhouse, F,J., dan J. Small. 1978. A Dictionary of the Natural Environment. A Haisted Press Book. John Willey and Sons, New York. Marianto, L. A. 2002. Tanaman Air. AgroMedia Pustaka. Jakarta. Nedeco/Euroconsult-Biec. 1984. Final Report. Nationwide Study of Coastal and Near Coastal Swamp land in Sumatra, Kalimantan, and Irian Jaya. Volume 3 Maps. August 1984. Govemm of the Republic of Indonesia. Ministry of Public Works. Direct. Gen. of Water Resources Development. Nirarita, E.CH. 1996. Ekosistem Lahan Basah Indonesia. Buku Panduan untuk Guru dan Praktisi Pendidikan. Wetlands International Indonesian. Bogor. 116 halaman. Nontji, A. 1986. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta. 367 halaman. Norland, E. R. 2006. Chemical Control of Aquatic Weeds. Ohio State University Extension Fact Sheet. http://ohioline.osu.edu/a-fact/0004.html di akses tanggal 24 Februari 2010. Pace, D. A. dan Manahan, D. T. 2007. Efficiencies and Costs of Larval Growth In Different Food Environments (Asteroidea: Asterina Miniata). J. Experimental Marine Biology and Ecology 353 : 89–106 Peterson, D.E. & C.D Lee. 2005. Aquatic Plants and Their Control. Kansas State University Agricultural Experiment Station and Cooperative Extension Service. http://www.oznet.ksu.edu/library/crpsl2/c667.pdf di akses tgl 24 Pebruari 2010 Rifa’I, S.A. dan K. Pertagunawan. 1982. Biologi Perikanan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan. Jakarta. 143 halaman. Rienner, Donald. N. 1984. Introduction to Freshwater Vegetation. Departemen of Soils and Crops Rutgers University. AVI Publishing Company INC. Westport Connecticut. Raymount. 1963. Planktonologi. Universitas Gajah Mada Press Yogyakarta. 45 halaman. Rukmini, 1997. Pengaruh Dosis Pemberian Kelenjar Hipofisa Ayam Pedaging yang Berbeda terhadap Pemijahan Ikan Betok (Anabas testudineus Bloch). Fakultas Perikanan Unlam Banjarbaru, 87 halaman. Rukmini, 2004. Efektifitas perendaman dengan hipofisa ikan berbeda untuk pemijahan ikan betok (Anabas testudineus Bloch). Fakultas Perikanan Unlam Banjarbaru, 99 halaman. Rukmini, Marsoedi, Arfiati, D dan Mursyid, A. 2013. Karakteristik Ekologi Habitat Larva Ikan Betok (Anabas testudineus Bloch) di Perairan Rawa Monoton Danau Bangkau Kalimantan Selatan. J. Limnotek ,19 : 1. 16-21. Setiawan, B. dan Rukmini, 2007. Pemijahan Ikan Betok (Anabas testudineus Bloch) Menggunakan Ovaprim dengan Dosis dan Perbandingan Induk Jantan dan Induk Betina yang Berbeda. Fakultas Perikanan Unlam Banjarbaru, 135 halaman. Slamat, Marsoedi, Mursyid, A. dan Arfiati, D. 2012. Konservasi Genetik Ikan Betok Di Perairan Rawa Kalimantan Selatan. J. Penelitian Perikanan Indonesia, 18 : 1, 9-15.
90
Singh, Nirmal dan Gupta, P.K. 2010. Food and Feeding Habits of An Introduced Mosquitofish, Gambusia holbrooki (Girard) (Poeciliidae) in a Subtropik Lake, Lake Nainital, India. J. Asian Fisheries Science (23) : 270-282. Saanin, H., 1986. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Penerbit Bina Cipta. Bogor. Suhaili, A., 1984. Pemeliharaan Ikan Pada Keramba. Gramedia. Jakarta. 82 halaman. Susanto, H., 1986. Budidaya Ikan Di Pekarangan. Penebar Swadaya. Jakarta. 152 halaman. Sachlan, M. 1982. Planktonologi. Direktorat Jenderal Perikanan, Jakarta. 102 halaman. Sujatmiko, D.A. 2008. Variasi Pemberian Maggot Black Soldier Fly (Hermetia iIllucens) Dan Dedak Untuk Pertumbuhan Ikan Betok (Anabas testudineus Bloch) Di Kolam. Fakultas Perikanan Universitas Lambung Mangkurat. Banjarbaru. Schram, E., M.C.J. Verdegem , R.T.O.B.H. Widjaja , C.J. Kloet , A. Foss , R. SchelvisSmit , B. Roth f, A.K. Imsland. 2009. Impact Of Increased Flow Rate On Specific Growth Rate Of Juvenile Turbot (Scophthalmus maximus, Rafinesque 1810). J. Aquaculture 292 : 46–52. Slamat, 2009. Keanekaragaman Genetic Ikan Betok (Anabas testudinius) Pada Tiga Ekosistem Perairan Rawa Di Provinsi Kalimantan Selatan. IPB Bogor. Sugiarti, J. 2009. Pemeliharan Benih Ikan Betok (Anabas Testudenius Bloch) Dengan Penambahan Probiotik Pada Pakan Dengan Dosis Dan Padat Penebaran Yang Berbeda Untuk Pertumbuhan Dan Kelangsungan Hidup. Fakultas Perikanan Unlam Banjarbaru. Steenis, V. 1987 Flora. Untuk Sekolah di Indonesia. Jenderal Perikanan. Bogor. PT. Pradya Paramita. Jakarta. 135 halaman. Sugianto, S. 1994. Ekologi Kuantitatif. Metode Analisis Populasi dan Komunitas. Usaha Nasional. Surabaya. 103 halaman. SSSA (Soil Science Society of America). 1984. Glossary of Soil Science Terms. SSSA, Madison, Wisconsin, USA. August 1984. Subagyo, H. 2006a. Klasifikasi dan Penyebaran Lahan Rawa. Dalam Karakteristik dan Pengelolaan Lahan Rawa. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Bogor. 297 halaman. Subagyo, H. 2006b. Lahan Rawa Monoton/Rawa Lebak. Dalam Karakteristik dan Pengelolaan Lahan Rawa. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Bogor. 297 halaman. Uttam, Sarkar ; Deepak, Prashant Kumar ; Kapoor, Dhurendra ; Singh, Raje Negi ; Kumar, Samir Paul & Singh, Sreeprakash. 2005. Captive Breeding Of Climbing Perch Anabas Testudineus (Bloch, 1792) With Wova-FH For Conservation And Aquaculture. J. Aquaculture Research,, 36 : 941- 945. Wibowo, P. Dan N. Suyanto. 1997. An Overview of Indonesia Wetland Sites Included in Wetland Database. Wetlands International-Indonesia Programme, PHPA. Bogor. Wibisono, 1990. Pengantar Geografi Tumbuhan dan Beberapa Ilmu Serumpun. Gadjah Mada University Press. 797 halaman.
91
Zonneveld, N.H., Husman, E.A., dan Boon, J.H., 1991. Prinsip Budidaya Ikan. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Halaman 71-124 halaman.
92
LAMPIRAN 1. Foto Kegiatan Penelitian
Induk betok jantan dan betina
Penyuntikan induk betok
Analisa kualitas air
Analisa saluran pencernaan larva
Larva betok baru menetas
Larva betok umur 31 hari
93
2. Jenis-jenis plankton hasil analisa
Chlorella sp
Coconeis sp
Binuclera sp
Chlorococcum sp
Navicula sp
Diatoma sp
94
Mougeotia sp
Nitzshia sp
Spirogyra sp
Pediastrum sp
Brachionus sp
Keratella sp