Bidang Unggulan : Kebijakan Budaya Informasi Kode/Nama Rumpun Ilmu: 571 / Manajemen
LAPORAN AKHIR PENELITIAN UNGGULAN FAKULTAS
ANALISIS BIAYA TRANSAKSI DALAM PENGURUSAN IJIN USAHA MIKROKECIL MENENGAH(UMKM) PAKAIAN JADI DI KOTA BANDUNG
TIM PENELITI
Ketua : Prof. Dr. Ina Primiana, SE.,MT (NIDN-001302620101) Anggota-1: H. Nugroho Djati Satmoko, SE.MSIE (NIDN-0027025904) Anggota-2: Budi Harsanto, SE.,MM (NIDN. 0018068303)
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS PADJADJARAN OKTOBER 2015
Abstrak Data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (2009) melaporkan bahwa proporsi usaha mikro dan kecil mencakup 99,9% dari total sekitar 52,8 juta unit usaha yang ada. Usaha mikro dan kecil ini telah terbukti efektif memberikan kontribusi bagi penciptaan lapangan kerja (93,6% dari total tenaga kerja) dan pendapatan (43% dari total PDB atau Rp. 2.279 trilyun). Namun demikian, sebagian besar unit usaha mikro dan kecil masuk dalam kategori usaha yang tidak berbadan hukum atau berstatus informal.Tujuan penelitian ini adalah untuk mencari bukti empiris tentang biaya transaksi dalam pengurusan ijin yang dihadapi pengusaha Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) bidang Pakaian Jadi di Kota Bandung sebanyak 32 UMKM .Metode yang digunakan adalah deskriptif analitis, survey kepada UMKM pakaian jadi di Kota Bandung, disertai wawancara mendalam (in-‐depth) kepada beberapa UMKM terpilih. Hasil studi menunjukkan (1) Tingginya informalitas usaha UMKM disebabkan karena banyaknya variasi perijinan yang kurang tersosialisasi kepada UMKM termasuk besaran biaya untuk setiap ijin, akibatnya UMKM malas mengurus ijin karena pertimbangan-‐pertimbangan tersebut. Adapun waktu yang dijanjikan sekitar 2 minggu -‐ 3 bulan tetapi kenyataannya bias sampai 1 tahun; (2) UMKM tidak mendapat penjelasan tentang komponen biaya apa saja yang dibutuhkan dalam pengurusan ijin. Dari hasil studi ada UMKM yang tidak membayar ketika mengurus ijin tapi ada UMKM yang harus membayar dan berkisar diantara Rp 1.300.000-‐ Rp 2.000.000. Hal demikian menunjukkan tidak ada petunjuk yang jelas tentang biaya dan waktu pengurusan ijin karena jawaban responden yang berbeda-‐beda; (3) Faktor yang menghambat dalam pengurusan ijin adalah (1) kurangnya sosialisasi dan edukasi bagi UMKM sehingga mereka tidak mengetahui manfaat pengurusan ijin, (2) Tidak konsisten dalam penetapan waktu dan biaya, (3) merasa nyaman tanpa legalitas Kata Kunci : UMKM, perijinan, informal
I.Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Biaya transaksi dalam suatu perekonomian turut menentukan keseluruhan opportunity cost yang dihadapi dunia usaha dalam melakukan pertukaran, karena harga relevan yang dihadapi seseorang atau suatu usaha untuk memperoleh suatu barang atau mencapai suatu tujuan tidak hanya mencakup harga moneter dari barang tersebut, tetapi juga biaya atas transaksi yang dilakukan untuk memperoleh barang atau tujuan tersebut (Benham, 2001, hal. 3). Dengan demikian lingkungan usaha dengan biaya transaksi tinggi akan secara otomatis menghambat pertumbuhan dan produktivitas dunia usaha. Lebih lanjut dikatakan bahwa semakin rendah biaya transaksi akan memberikan implikasi terhadap semakin tingginya frekuensi perdagangan,
2
semakin tingginya spesialisasi, adanya perubahan pada biaya produksi dan juga semakin meningkatnya output (ibid). Studi yang dilakukan oleh Bank Dunia (2010, 2011, 2012) tentang Doing Business menunjukkan bahwa lingkungan usaha di Indonesia masih belum kondusif bagi pertumbuhan sektor perdagangan dan industri karena masih tingginya biaya untuk memulai dan mengoperasikan usaha. Prosedur yang begitu lama dan mahal dalam memulai usaha secara formal telah menjadi tantangan tersendiri bagi pertumbuhan dan produktivitas sektor swasta. Penelitian Bank Dunia ini menunjukkan bahwa reformasi regulasi ekonomi yang bertujuan untuk memudahkan usaha domestik dalam memulai usaha serta mengoperasikannya menjadi kunci terwujudnya iklim usaha yang kondusif bagi pertumbuhan ekonomi.Menurut laporan Doing Business 2012, memulai bisnis di Indonesia masih berada pada rangking 155 dari 183 negara. Meskipun masih pada posisi yang sama dengan tahun lalu yaitu pada posisi 155, tetapi sudah ada perbaikan dari jumlah prosedur yang harus dijalani di tahun 2011 sebanyak 9 tahap dengan waktu selama 47 hari, ditahun 2012 turun menjadi 8 tahap dalam waktu 45 hari. Sementara, biaya resmi yang tercantum juga turun dari 22,3 % menjadi 17,9% dari pendapatan. Biaya–biaya yang dikeluarkan tersebut mencakup proses mulai sejak mendaftar di Kementrian Hukum dan HAM dengan bayaran Rp 500.000 hingga pendaftaran di Kementrian Perdagangan sebesar Rp 500.000, sehingga secara keseluruhan mencapai sekitar Rp 5.000.000 (lima juta rupiah). Itu merupakan biaya resmi yang tercantum. Seyogyanya lingkungan usaha yang kondusif dapat turut menjawab tantangan pembangunan dan pengentasan kemiskinan, yaitu saat dapat memberikan peluang dan manfaat yang sama kepada seluruh pelaku usaha. Studi Voices of the Poor yang dilakukan oleh Bank Dunia (Narayan, 2000) mengungkapkan bahwa penduduk miskin di negara berkembang menggantungkan harapan mereka terhadap penghasilan dari usaha atau upah dari bekerja untuk dapat keluar dari kemiskinan yang mereka alami.Umumnya di negara-negara berkembang, unit usaha didominasi oleh mikro dan kecil (UMK). Data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (2009) melaporkan bahwa proporsi usaha mikro dan kecil mencakup 99,9% dari total sekitar 52,8 juta unit usaha yang ada. Usaha mikro dan kecil ini telah terbukti efektif memberikan kontribusi bagi penciptaan lapangan kerja (93,6% dari total tenaga kerja) dan pendapatan (43%
3
dari total PDB atau Rp. 2.279 trilyun).Namun demikian, sebagian besar unit usaha mikro dan kecil masuk dalam kategori usaha yang tidak berbadan hukum atau berstatus informal. Diperkirakan sekitar 80% kegiatan ekonomi di negara berkembang terjadi di sektor informal (World Bank, 2012). Di Indonesia, usaha di sektor informal ini juga terus meningkat yaitu mencapai 65,45%.Sektor informal umumnya mengalami beberapa permasalah utama yaitu:(1) lemahnya akses terhadap kredit terutama karena ketiadaan identitas legal usaha, (2) karyawan yang terbatas dan tidak memiliki perlindungan tenaga kerja, dan (3) produktivitas yang relatif rendah serta pertumbuhan yang relatif lambat. Tingginya tingkat informalitas usaha umumnya turut disebabkan oleh regulasi dan prosedur memulai usaha yang tidak efisien dan tidak transparan (de Soto, 1989). Tidak efisien karena dibutuhkan waktu yang lama dan biaya resmi maupun tidak resmi yang relatif besar untuk dapat memulai usaha. Sementara, tidak transparan karena tidak memberikan akses yang besar bagi pengusaha di sektor informal untuk memperoleh informasi terkait. Ketiga faktor ini: waktu, biaya dan akses terhadap informasi, merupakan variabel dari total biaya pertukaran yang harus dihadapi usaha di sektor informal untuk dapat memperoleh formalitas usaha. Studi ini secara spesifik akan meneliti struktur opportunity cost (biaya pertukaran), yang di dalamnya mencakup biaya transaksi, yang dihadapi UMKM terkait dengan dua prosedur dasar: meregistrasi usaha secara formal dan dan mengekspor barang. Biaya pertukaran yang terkait dengan kedua prosedur ini akan dihitung berdasarkan biaya dan waktu. Studi ini akan dilakukan secara khusus pada industri Pakaian Jadi atau Garmen di Kota Bandung, sebagai ibu kota Provinsi Jawa Barat, dimana industri tersebut merupakan industri dengan kontribusi terbesar pada PDB Nasional, dan Jawa barat memiliki jumlah industri Pakaian Jadi terbesar secara nasional. 1.2. Rumusan masalah Memperhatikan uraian pada latar belakang maka salah satu penyebab tingginya jumlah sektor informal di Indonesia adalah karena tingginya biaya-biaya yang harus ditanggung oleh pengusaha Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) pada saat melegalkan usahanya. Kondisi ini didukung oleh hasil studi Bank Dunia tahun 2009-2012. Pada kenyataannya di masing-masing kementrian/lembaga/instansi terkait registrasi, sudah disampaikan secara resmi tahapan untuk
4
memulai usaha berikut waktu dan biaya yang diperlukan, tetapi seringkali muncul biaya-biaya tidak resmi yang harus pula ditanggung oleh para pengusaha. Sehingga perlu diketahui sejauh mana biaya transaksi (transaction cost) yang dihadapi oleh pengusaha untuk meregistrasi usaha. 1.3. Tujuan penelitian Tujuan Umum: 1.
Melakukan penelitian empiris tentang biaya transaksi yang dihadapi pengusaha Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) dan melihat kaitannya dengan fenomena tingginya informalitas usaha.
2.
Untuk mengetahui komponenbiaya-biaya yang ditanggung oleh UMKMPakaian Jadi di Kota Bandung dalam mengurus perijinan.
3.
Faktor-faktor yang mendukung dan menghambat perusahaan dalam mengurus ijin.
1.4. Manfaat penelitian 1.
Memberi masukan kepada pemerintah, dunia usaha dan kalangan akademisi tentang biaya transaksi yang secara riil dihadapi oleh pelaku usaha yang selanjutnya sangat mempengaruhi tingkat produktivitas , persaingan usaha dan daya saing.
2.
Meningkatkan wawasan dan pengetahuan para dosen Manajemen-Bisnis dan dosen kebijakan publik terkait dengan kondisi riil di lapangan sebagai bahan diskusi di kelas.
II. Tinjauan Pustaka 2.1. Definisi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) UMKM adalah gambaran morphologis dari UMKM yang bersangkutan dilihat dari aspek usaha dan sifat kewirausahaan dari pengusaha UMKM tersebut.Dari aspek usaha profil UMKM dapat dilihat dari kemampuannya dalam menciptakan nilai tambah dari produk-produk yang dihasilkan, efisiensi penggunaan modal, serta laba yang diperoleh.Sedangkan dari aspek pembangunan Profil UMKM dapat dlihat dari kemampuannya memanfaatkan bahan-bahan
5
limbah, kemampuannya dalam penyerapan tenaga kerja dan kemampuannya dalam memberikan sumbangan terhadap Product Domestik Bruto (PDB). Sesuai dengan Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM): 1) Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. 2) Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. 3) Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perseorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Kecil atau usaha besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. Kriteria UMKM menurut Undang-Undang Nomo 20 Tahun 2008 disajika pada Tabel 2.1. berikut;
Tabel 1Kriteria UMKM No.
Keterangan
Kriteria Asset
Omset
1
Usaha Mikro
Maks. Rp 50 juta
Maks. Rp 500 juta
2
Usaha Kecil
> Rp 50 juta-Rp 500 juta
>Rp 500 juta-Rp 2,5 milyar
3 Usaha Menengah > Rp 500 juta-Rp 10 milyar Sumber: www.depkop.go.id
6
>Rp 2,5 milyar-Rp 50 milyar
2.2. Definisi Biaya Transaksi Eggertsson mendefinisikan biaya transaksi (transaction cost) sebagai “...the costs that arise when individuals exchange ownership rights to economic assets and enforce their exclusive rights. A clear-cut definition of transaction costs does not exist, but neither are the costs of production in the neoclassical model well defined” (1990, hal. 14-15). Selanjutnya ia mengatakan bahwa saat biaya informasi tinggi, maka berbagai kegiatan yang terkait dengan pertukaran property rights antara dua pihak akan menimbulkan biaya transaksi. Kegiatankegiatan ini mencakup: 1. Pencaharian informasi tentang harga dan kualitas komoditas dan inputan tenaga kerja, pencaharian atas pembeli atau penjual potensial, serta informasi relevan terkait dengan perilaku dan kondisi mereka; 2. Tawar menawar (bargaining) yang diperlukan untuk mencari posisi yang sebenarnya
dari pembeli dan penjual saat harga bersifat endogen; 3.
Pembuatan kontrak;
4. Monitoring atas partner usaha di dalam kontrak untuk melihat sejauh mana mereka
mengikuti kontrak; 5. Penegakan hukum atas kontrak dan pengumpulan fakta-fakta kerugian yang dialami
saat partner usaha di dalam kontrak gagal untuk menjalankan kewajiban kontraktual mereka; 6. Perlindungan property rights terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh pihak ketiga
seperti pembajakan property rights dan perdagangan ilegal (ibid). Sementara itu, Benham (2001) mendefinisikan biaya pertukaran (the cost of exchange) sebagai “the opportunity cost faced by an individual to obtain a specified good using a given form of exchange within a given institutional setting.” Biaya transaksi merupakan komponen dari biaya pertukaran, karena biaya pertukaran mencakup biaya dari suatu barang (nilai moneternya) dan biaya transaksi yang timbul dalam proses memperoleh barang tersebut.
7
Biaya Pertukaran Cijkm = opportunity cost dalamseluruh sumberdaya(uang, waktu, barang) untuk: -
seorang individu (perusahaan) dengan karakteristik i
-
untuk memperoleh suatu barang (atau mencapai suatu tujuan) j
-
dengan menggunakan suatu bentuk pertukaran k
-
dalam suatu setting institutional tertentu m
Indikator yang dipakai untuk mengukur biaya pertukaran mencakup: -
nilai dari waktu yang digunakan oleh perusahaan (pengusaha/staffnya) untuk melakukan suatu registrasi
-
pembayaran kepada pihak perantara (jasa)
-
pembayaran resmi yang diberlakukan
III. Metode Penelitian 3.1. Metode Studi Penelitian ini bersifat deskriptif analitis. Penelitian ini akan memberikan gambaran yang lengkap mengenai struktur biaya dan komponennya yang harus dikeluarkan oleh UMKM terkait dengan prosedur registrasi, dan menganalisa struktur biaya tersebut dalam kaitannya dengan potensi biaya transaksi tinggi dalam perkembangan UMKM di Indonesia. 3.2. Unit analisis Unit analisis pada studi ini adalah Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) Pakaian jadi di Jawa barat. 3.3. Penetapan sampel dan Penarikan Sampel Untuk keperluan survey, jumlah sampel yang diambil adalah sebesar 30UMKM Pakaian Jadi di Kota Bandung.Penarikan sampel dilakukan secara snow ball sampling.
8
Sedangkan untuk keperluan interview mendalam dan FGD, jumlah UMKM yang akan dipilih adalah 5 perusahaan UMKM yang masih bersifat informal. 3.4. Teknik Pengumpulan Data dan Instrumen Penelitian Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif yang kemudian didukung oleh pendekatan kualitatif. Pendekatan kuantitatif dilakukan dengan cara melakukan survey kepada UMKM Pakaian Jadi di Jawa Barat. Sementara itu, pendekatan kualitatif dilakukan dengan cara melakukan wawancara mendalam serta Focus Group Discussion (FGD) dengan pengusaha UMKM. Untuk memperoleh data kualitatif tentang faktor-faktoryang mendukung dan menghambat UMKM melakukan proses perijinan serta strategi bisnis UMKM informal, maka akan dikembangkan daftar pertanyaan.
3.5. Teknik pengolahan data dan Analisis Data Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan SAS atau SPSS untuk menghitung komponenkomponen biaya transaksi dan kemudian akan dianalisis secara univariat (tabel frekuensi) maupun bivariat (cross-tabulation), dan didukung dengan:(i) Situation Analysis, (ii) Analysis SWOT dan; (iii) analisis strategi dengan menggunakan Porter Generic Strategic/Strategic Clock.
IV. Hasil dan Pembahasan Berdasarkan hasil survey, mayoritas responden (59,4%) sudah menjalankan usaha diantara 1-5 tahun, 9 (28,1%) responden sudah lebih dari 5 tahun dan hanya 3 (9,4%) responden yang masih baru mulai usaha. Memperhatikan keberadaan yang masih berkisar 1-5 tahun menunjukkan bahwa membangun UKM menjadi pilihan bagi mereka yang tidak memiliki pekerjaan. Mereka yang dapat terus bertahan adalah yang mampu menjawab kebutuhan konsumen dan mampu bersaing dengan para pesaing. Mayoritas dari responden adalah pengusaha di bidang kuliner ataupun fashion, hal ini sebetulnya sejalan dengan data BPS yang menyebutkan bahwa industri kecil dan mikro yang tumbuh mayoritas di bidang makanan dan minuman serta fashion.
9
Sebanyak 87,5% UMKM yang dijadikan responden belum berbadan hukum . Hanya 4 responden (12,5%) saja yang sudah berbadan hukum. Hasil menarik ditunjukkan dari status badan hukum responden dimana sebagian besar yakni 87,5% responden belum memiliki status badan hukum. Ini tampaknya mencerminkan kondisi umum yang terjadi di Bandung, juga Jawa Barat bahkan Indonesia. Mengapa sebagaian besar usaha ini belum memiliki status badan hukum menjadi pertanyaan yang patut dicermati. Legalitas masih menjadi persoalan utama dalam menjalankan bisnis di Indonesia. Lebih dari 50% seluruh usaha yang ada adalah sektor informal yang belum memiliki legalitas. Hal ini tentunya berdampak pada sulitnya mereka mengajukan permodalan ke perbankan untuk pengembangan bisnisnya. Belum dimilikinya legalitas juga disebabkan karena prosedur yang harus dijalankan serta lamanya waktu pengurusan yang membuat UMK malas.
Dari total 32 responden, mayoritas (20 responden) atau 62,3% memiliki tenaga kerja dibawah 5 orang (gambar 3). Sebanyak 5 responden atau 15,6% memiliki tenaga kerja antara 5 – 10 orang. Hanya 2 responden (6,3%) yang memiliki tenaga kerja lebih dari 10 orang. BPS mendefinisikan UKM menurut jumlah tenaga kerja. Usaha kecil memiliki tenaga kerja 5 sampai dengan 19 orang dan menengah 20 sampai dengan 99 orang. Bila melihat data, mayoritas reponden berada pada skala mikro. Selebihnya adalah usaha kecil dan berkemungkinan usaha menengah. Hal ini sesuai cerminan dalam realitas di mana usaha mikro mendominasi jumlah usaha yang ada, baru diikuti usaha kecil dan baru kemudian menengah. Saat ini tenaga kerja yang bekerja di sektor UMK mencapai lebih dari 90% dengan pendidikan yang hampir 70% adalah lulusan SMP. Hal ini yang menyebabkan mengapa produktivitas tenaga kerja di UMKM rendah. Mayoritas (25 responden) atau 78,1% memiliki omset rata rata perbulannya dibawah Rp. 50.000.000,-. Sebanyak 3 responden memiliki omset rata rata antara Rp. 50.000.000 – Rp. 100.000.000,- perbulannya, dan sebanyak 2 responden (6,3%) yang memiliki rata rata omset lebih dari Rp. 100.000.000,perbulannya. Adapun dilihat dari omset, mayoritas responden memiliki omset tahunan di bawah Rp 50 juta per bulan atau Rp 600 juta per tahun. Menurut UU 20 tahun 2008 tentang UMKM, usaha dengan nilai omset tersebut terkategori pada usaha mikro dan kecil. Memperhatikan omset yang diperoleh UMK cukup tinggi untuk ukuran usaha mikro kecil. Artinya peluang dari bisnis yang dijalani cukup menjanjikan. Sehingga bila persoalan legalitas dapat diatasi, akan mendorong pengembangan UMKM kedepan.
10
Sebanyak 19 responden (59,4%) kinerja perusahaannya dalam kondisi stabil, sebanyak 6 responden (18,8%) sedang dalam keadaan menurun, dan sebanyak 5 responden (15,6%) kinerja perusahaannya dalam keadaan meningkat. Gejala perlambatan ekonomi yang terjadi tahun ini tampaknya tidak membuat mayoritas responden menurun dalam bisnisnya. Kondisi ini menunjukkan daya tahan UMKM yang berbeda dengan Usaha besar. UMKM karena tidak tergantung pada bahan baku impor maka produksi tidak terganggu. Sebanyak 24 responden (75%) tidak pernah mengurus ijin membuka usaha baru,
sebanyak 5 responden (15,6%) pernah mengurus ijin membuka usaha baru . Data ini menarik ditelusuri karena mayoritas responden (75%) tidak pernah mengurus ijin membuka usaha baru. Usaha baru ini dapat dipersepsikan usaha yang saat ini eksisting mereka jalani atau dapat pula usaha baru sebagai pengembangan usaha mereka yang telah ada. Tidak pernah mengurus ijin membuka usaha baru dapat disebabkan karena mereka merasa belum memerlukannya, atau konsumen mereka tidak terlalu mempedulikan apakah usaha mereka memiliki ijin formal atau tidak atau bisa pula dari persepsi bahwa pengurusan ijin hanya akan membuat proses usaha menjadi lebih rumit dan berkonsekuensi pajak dan sejenisnya. Hal ini sejalan dengan mengapa mereka umumnya belum punya legalitas, bisa jadi karena rumitnya birkrasi. Dari dahulu, misalnya bila merujuk hasil penelitian Lembaga Manajemen FEUI 1987 (Partomo, 2004), izin menjadi salah satu isu yang muncul dalam pembahasan mengenai UKM dan ini masih berlaku hingga hampir 15 tahun yang lalu.
Dari total 32 responden, mayoritas (19 responden) atau 59,4% memilih “untuk dapat beroperasi lebih besar” sebagai alasan mengurus ijin usaha, sebanyak 5 responden (15,6%) beranggapan alasan ini sebagai kedua terpenting dan 1 responden (3,1%) beranggapan sebagai alasan ketiga terpenting. Untuk alasan “memperoleh kredit” sebanyak 11 responden (34,3%) menganggap sangat penting, 10 responden (31,3%) menganggap kedua terpenting dan sebanyak 1 responden (3,1%) beranggapan alasan ini sebagai ketiga terpenting.. Untuk alasan “mendapatkan akses ke pelanggan baru” sebanyak 14 responden (43,8%) menganggap sangat penting, 10 responden (31,3%) menganggap kedua terpenting dan sebanyak 2 responden (6,3%) beranggapan alasan ini sebagai ketiga terpenting. Untuk alasan “mendapatkan kontrak lebih baik” sebanyak 13 responden (40,6%) menganggap sangat penting, 8 responden (25%) menganggap kedua terpenting dan sebanyak 1 responden (3,1%) beranggapan alasan ini sebagai ketiga terpenting. Untuk alasan “menghindari pajak” sebanyak 4 responden (12,5%) menganggap sangat penting, 3
11
responden (9,4%) menganggap kedua terpenting dan sebanyak 9 responden (28,1%) beranggapan alasan ini sebagai ketiga terpenting. Untuk alasan “untuk perlindungan usaha” hanya 1 responden (3,1%) yang menganggap alasan ini sangat penting. Sedangkan untuk alasan “kemudahan menjual produk” sebanyak 1 responden (3,1%) menganggap alasan ini sebagai alasan ketiga terpenting. Dari data ini dapat disimpulkan bahwa tiga besar yang menjadi alasan dalam mengurus ijin usaha adalah untuk beroperasi lebih besar atau ekspansi usaha. Sebagaimana diketahui bahwa ketika usaha semakin membesar maka tuntutan untuk memformalkan usaha menjadi kebutuhan yang tidak terelakkan. Selain untuk meningkatkan reputasi usaha, juga untuk lebih meyakinkan konsumen bahwa pengusaha serius dalam melayani mereka. Alasan terbesar kedua adalah untuk memperoleh kredit. Alasan ini berhubungan dengan alasan pertama, tetapi lebih spesifik untuk memperoleh pinjaman dalam pengembangan usaha. Untuk mendapatkan pinjaman, pihak perbankan atau lembaga keuangan mensyaratkan adanya dokumen berupa business plan/rencana bisnis atau laporan perkembangan usaha yang merekam kinerja operasional dan keuangan selama usaha tersebut berjalan. Alasan serta problem finansial termasuk masalah klasik utama yang muncul dari masa ke masa bagi UKM (Adiningsih, 2011) dan masih berlaku hingga tahun 2015. Alasan ketiga terbesar adalah untuk mendapatkan akses ke pelanggan baru. Ini juga berkaitan dengan alasan pertama sebagai bentuk pengembangan bisnis dari sisi pemasaran. Pelanggan baru yang dimaksud tampaknya adalah pelanggan yang mensyaratkan atau memiliki preferensi untuk membeli produk dari pengusaha yang telah memiliki ijin.
Sebanyak 2 responden (6,3%) mengurus perijinan dengan waktu 2 minggu, dan untuk jangka waktu 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan, dan 1 tahun masing masing dialami oleh 1 responden (3,1%) yang ditunjukkan pada gambar 8. Hal ini menunjukkan belum adanya konsistensi waktu pengurusan ijin, sangat bervariasi, bahkan ada yang mencapai 1 tahun. Sebagaimana data sebelumnya, mengingat sebagian besar responden belum pernah mengurus ijin usaha baru, maka hal ini sepertinya yang menyebabkan sebagian besar responden yakni sekira 81,25% tidak menjawab saat ditanya mengenai durasi pengurusan ijin. Sebab lainnya adalah tidak diketahuinya standar waktu untuk mengurus ijin oleh khalayak khususnya pengusaha. Ini bisa dikarenakan informasi tersebut tidak tersosialisasi dengan baik atau memang tidak ada standarnya. 2 responden (6,3%) menyatakan bahwa waktu yang tertulis untuk mengurus perijinan adalah selama 2 minggu, 1 responden (3,1%) menyatakan selama 1 – 3 bulan, dan 1 responden (3,1%) menyatakan waktu yang tertulis untuk mengurus perijinan adalah selama 3
12
bulan. Senada dengan jawaban pada pertanyaan sebelumnya, bahwa waktu pengurusan perijinan belum tersosialisasi dengan baik, sehingga jawaban responden bervariasi. Responden sebagian besar (lebih dari 80%) saat ditanya mengenai waktu tertulis mengurus perijinan, tidak menjawab. Tidak menjawabnya responden bisa disebabkan ketidaksediaan menjawab, atau dalam konteks pertanyaan ini kemungkinan besar dikarenakan tidak mengetahui waktu tertulis atau waktu standar yang dipublikasikan instansi yang mengurusi perijinan. Ketidaktahuan responden sebagaimana pertanyaan sebelumnya, dapat disebabkan sosialisasi yang kurang atau memang tidak ada waktu tertulis yang menjadi standar waktu penyelesaian pengurusan ijin.
Mayoritas atau sebanyak 22 responden 68,8% belum memiliki ijin usaha sama sekali seperti yang ditunjukkan pada gambar 10. Sebanyak 4 responden (12,5%) sudah memiliki ijin PIRT, dan untuk ijin HO, SIUP, TDP dan halal/MUI masing masing sudah dimiliki oleh 3 responden (9,4%). Sedangkan untuk SITU sebanyak 2 responden (6,3%) sudah memiliki ijin tersebut. Untuk ijin RT, RW, Kelurahan, SKU, Nama Perusahaan, dan NPWP dimiliki oleh masing masing 1 responden (3,1%). Memperhatikan jenis ijin yang ada, bisa jadi membuat mereka mundur lebih dahulu, karena ijin yang bervariasi dan masing-masing memerlukan biaya. Sehingga bila mereka malas menguruskan ijin adalah wajar dikarenakan tidak mau susah ngurus, padahal disisi lain mereka dituntut untuk terus hidup. Sebanyak 4 responden atau 12,5% mengurus perijinan dengan jalur resmi tanpa mengeluarkan biaya atau gratis. Sedangkan sebanyak masing masing 1 responden (3,1%) mengeluarkan biaya tidak resmi sebesar Rp. 1.300.000,- Rp. 1.500.000,- dan Rp. 2.000.000,-. Terdapatnya variasi biaya yang dikeluarkan dalam pengurusan ijin menunjukkan adanya ketidakterbukaan biaya pengurusan ijin. Apakah pengurusan ijin adalah gratis dengan waktu yang tidak pasti atau untuk mempercepat waktu pengurusan dapat juga dengan memberikan tip. Dari responden yang mengeluarkan biaya tidak resmi, menyatakan bahwa waktu proses pengurusan ijin menjadi lebih cepat yaitu selama 2 minggu, dan sisanya menyatakan selama bulan. Kondisi ini tentunya mencerminkan masih adanya pungutan liar dalam pengurusan ijin untuk mempercepat waktu. Dan bila hal demikian dibiarkan akan menyebabkan semakin sedikit UMKM yang memiliki legalitas.
13
Gambar 1. Waktu proses pengurusan ijin bila diberikan biaya tidak resmi
Persyaratan didalam pengurusan ijin merupakan kendala yang paling banyak dikeluhkan oleh 12 responden (37,5%). Selain itu sebanyak 10 responden (31,3%) menyatakan birokrasi yang berbelit sebagai kendala yang mereka alami. Sebanyak 9 responden (28,1%) menyatakan waktu pengurusan ijin yang lama sebagai kendala yang dialami. Untuk kendala biaya yang dianggap terlalu tinggi dialami oleh 8 responden (25%), 5 responden (15,6%) beranggapan mereka belum mendapatkan informasi yang cukup dalam hal perijinan. Sebanyak 4 responden (12,5%) memiliki kendala tidak memiliki IMB untuk pengajuan ijin usaha mereka. Untuk kendala prosedur yang rumit, pelayanan yang tidak memuaskan, dan masalah administrasi masingmasing dihadapi oleh 1 responden (3,1%). Disamping itu sebanyak 1 responden (3,1%) merasa tidak memiliki kendala apapun dalam proses pengurusan ijin. Bila dihubungkan dengan data pada analisis sebelumnya yang menunjukkan responden dalam penelitian ini sebagian besar tidak mengurus perijinan, maka dapat ditarik dugaan kuat bahwa persepsi responden terhadap prosedur pengurusan ijin sejak awal memang cenderung menganggap susah. Persyaratan yang bermacammacam bisa membuat pengusaha mundur dari awal. Birokrasi berbelit biasanya terasa saat pengurusan ijin, yakni ‘diping-pong’ atau harus melewati terlalu banyak meja. Waktu menjadi perhatian pula karena dianggap lama padahal bagi pengusaha waktu amatlah penting dan menghabiskan terlalu banyak waktu untuk mengurus perijinan dapat dianggap sebagai pemborosan. Sebab-sebab lainnya beragam baik itu biaya, informasi, kepemilikan IMB, prosedur
14
rumit, pelayanan tidak memuaskan dan masalah administrasi. Kendala perizinan ini sejak jauh hari telah diketahui melalui berbagai hasil temuan kajian (Xueli & Brown, 1999). Dalam temuan BPS tahun 2003, perizinan termasuk salah satu dari delapan kendala umum yang dialami UKM (Sulaeman, 2004) dan masih tetap persoalan hingga tahun 2015. 7 responden (21,9%) memberikan saran supaya syarat IMB dihilangkan atau persyaratan yang dipermudah, dan juga menyarankan supaya sosialisasi mengenai perijinan diadakan atau lebih ditingkatkan. Sebanyak 5 responden (15,6%) memberikan saran untuk mempermudah proses peijinan, dan juga waktu proses perijinan yang lebih cepat. Mengenai saran untuk menyederhanakan birokrasi disarankan oleh 4 responden (12,5%). Saran untuk memberlakukan sistem online dan meminimalkan biaya masing-masing disarankan oleh 3 responden (9,4%), sedangkan untuk saran pelayanan yang harus ditingkatkan dan juga saran untuk membedakan biaya perijinan bagi UMKM dengan perusahaan skala besar masing-masing disarankan oleh 2 responden (6,3%). Untuk saran supaya fasilitas bagi pemohon ijin dibuat nyaman, dibimbing oleh petugas yang berwenang untuk proses perijinan, saran perizinan untuk UMKM supaya difasilitasi oleh pemerintah, dan saran untuk dibuatkan program pemerintah untuk memudahkan pengajuan ijin usaha masing-masing disarankan oleh 1 responden (3,1%). Saran utama dari responden untuk menghilangkan kendala yang ada, adalah berkaitan dengan mempermudah persyaratan dan sosialisasi. Ini sejalan dengan pertanyaan sebelumnya mengenai kendala pengurusan ijin, dimana persyaratan dianggap menjadi kendala utama. Dan memperkuat analisa pada beberapa pertanyaan awal yang mendapat respon berupa tidak menjawab dari responden saat ditanya mengenai waktu dan biaya pengurusan ijin. Kedua hal ini tampaknya sangat krusial untuk diperbaiki. Caranya adalah dengan simplifikasi persyaratan dan sosialisasi yang memadai mengenai pengurusan ijin. Selain kedua isu tersebut, responden menyarankan pula kemudahan proses, waktu proses yang lebih cepat, penyederhanaan birokrasi, pemberlakuan sistem online, minimalisasi biaya, fasilitas yang lebih nyaman, bimbingan dari petugas yang berwenang dan beberapa saran kongkrit lainnya. Berbagai saran, yang hampir seluruhnya ditujukan kepada pemerintah perlu mendapat perhatian penting karena sebuah usaha menjadi sukses bukan hanya ditentukan faktor internal saja, tetapi juga eksternal semisal kondisi kultural, politik dan ekonomi. Menurut Bridge dan O’Nell, faktor politik yang dominan adalah pengaruh pemerintah. Termasuk dalam hal ini dalam pengurusan perizinan sebagaimana menjadi fokus pada penelitian ini.
15
V. Kesimpulan dan Rekomendasi
5.1. Kesimpulan 1.
Tingginya informalitas usaha UMKM disebabkan karena banyaknya variasi perijinan yang kurang tersosialisasi kepada UMKM termasuk besaran biaya untuk setiap ijin, akibatnya UMKM malas mengurus ijin karena pertimbangan-pertimbangan tersebut. Adapun waktu yang dijanjikan sekitar 2 minggu -3 bulan tetapi kenyataannya bias smapai 1 tahun
2.
UMKM tidak mendapat penjelasan tentang komponen biaya apa saja yang dibutuhkan dalam pengurusan ijin. Dari hasil studi ada UMKM yang tidak membayar ketika mengurus ijin tapi ada UMKM yang harus membayar dan berkisar diantara Rp 1.300.000- Rp 2.000.000. Hal demikian menunjukkan tidak ada petunjuk yang jelas tentang biaya dan waktu pengurusan ijin karena jawaban responden yang berbeda-beda.
3.
Faktor yang menghambat dalam pengurusan ijin adalah (1) kurangnya sosialisasi dan edukasi bagi UMKM sehingga mereka tidak mengetahui manfaat pengurusan ijin, (2) Tidak konsisten dalam penetapan waktu dan biaya, (3) merasa nyaman tanpa legalitas
5.2. Rekomendasi 1. Bila UMKM didorong untuk memiliki legalitas maka perlu dipikirkan ijin yang dibutuhkan tidak terlalu banyak, tetapi cukup satu yang mencangkup keseluruhan dan gratis. 2. Disetiap loket pengurusan ijin disampaikan waktu dan biaya pengurusan 3. Meningkatkan sosialisasi dan edukasi perijinan bagi UMKM
16
BIBLIOGRAFI Adiningsih, Sri. "Regulasi dalam Revitalisasi Usaha Kecil dan Menengah di Indonesia." (2011). Bridge, Simon, and Ken O'Neill. Understanding enterprise: entrepreneurship and small business. Palgrave Macmillan, 2012. Huang, Xueli, and Alan Brown. "An analysis and classification of problems in small business." International Small Business Journal 18.1 (1999): 73-85. Partomo, Tiktik Sartika. "Usaha kecil menengah dan Koperasi." Center for Industry and SME’s Studies Faculty of Economics University of Trisakti(2004). Sulaeman, Suhendar. "Pengembangan usaha kecil dan menengah dalam menghadapi pasar regional dan global." Infokop Nomor 25 (2004).
17
18