LAPORAN AKHIR PENELITIAN ANALISIS LANJUT RISET KESEHATAN DASAR 2014
PENGARUH KESEHATAN LINGKUNGAN PEMUKIMAN TERHADAP KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI JAWA BARAT TAHUN 2013
PENYUSUN : 1. ENDANG PUJI ASTUTI, SKM, MSi 2. HENI PRASETYOWATI, S.Si, MSc 3. HUBULLAH FUADZY, S.Si
LOKA LITBANG P2B2 CIAMIS BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA 2014
i
PERSETUJUAN ATASAN YANG BERWENANG Judul Penelitian : PENGARUH KESEHATAN LINGKUNGAN PEMUKIMAN TERHADAP KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI JAWA BARAT TAHUN 2013
Pangandaran, Desember 2014
Kepala, Loka Litbang P2B2 Ciamis
Ketua Peneliti,
Lukman Hakim, SKM., M.Epid. NIP. 196110141984011001
Endang Puji Astuti, SKM, MSi. NIP. 197710272002122001
Mengetahui, Kepala, Pusat Teknologi Intervensi Kesehatan Masyarakat
Ketua Panitia Pembina Ilmiah, Pusat Teknologi Intervensi Kesehatan Masyarakat
DR. Dede Anwar Musadad, SKM., M.Kes. NIP. 195709151980121002
DR.Ir. Anies Irawati, M.Kes NIP. 195703171980112001
ii
SUSUNAN TIM PENELITI
Endang Puji Astuti
Keahlian / Kesarjanaan Entomologi Kesehatan
Heni Prasetyowati
Kedokteran Tropis/S2
No N a m a 1 2
3 4 5
Hubullah Fuadzy Yani Anjani, Amd AK Usman Syarifudin
S1 Biologi
Kedudukan dalam Tim Ketua Pelaksana/ Peneliti Muda Peneliti Muda Peneliti
D3 Akuntansi
Administrasi
S1 Komputer
Analis data
Uraian Tugas Bertanggung jawab terhadap seluruh aspek penelitian Membantu penelitian dalam hal pencarian pustaka dan analisa data Membantu dalam cleaning data dan studi pustaka Membantu dalam administrasi penelitian Membantu proses analisa data penelitian
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga laporan akhir analisis lanjut hasil riskesdas 2013 dengan judul “Pengaruh Kesehatan Lingkungan Pemukiman Terhadap Kejadian DBD di Jawa Barat tahun 2013" dapat penulis selesaikan. Terselesaikannya laporan akhir ini tidak terlepas dari bantuan semua pihak yang baik secara langsung maupun tidak langsung turut membantu dalam proses penyelesaian penelitian
ini.
Dengan
selesainya
penelitian
ini,
perkenankanlah
penulis
untuk
menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang telah meluangkan waktu, pikiran dan tenaga dengan penuh kesabaran membimbing, mengarahkan dan memberi petunjuk penulis mulai dari penelitian sampai dengan laporan ini selesai. Pada kesempatan ini, tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1.
Kepala Badan Litbang Kesehatan RI yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk ikut ambil bagian dalam analisa lanjut data Riskesdas ini.
2. Laboratorium Mandat Balitbangkes RI yang telah menfasilitasi data dalam analisa lanjut ini. 3. Bapak Lukman Hakim,SKM, M.Epid
selaku Kepala Loka Litbang P2B2 Ciamis
yang telah memberikan kesempatan dan ijin untuk melakukan penelitian ini. Tentunya laporan akhir penelitian ini
masih terdapat kekurangan, oleh karena itu
penulis sangat mengharapkan saran serta kritik yang dapat membangun kami. Kritik konstruktif dari pembaca sangat kami harapkan untuk penyempurnaan laporan akhir penelitian selanjutnya. Akhir kata semoga laporan akhir penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.
Pangandaran, Desember 2014
Penulis
iv
RINGKASAN PENELITIAN
Situasi kasus Demam Berdarah Dengue (DBD), jumlah penderita, dan incidence rate Provinsi Jawa Barat sejak tahun 2000 hingga 2009 terus mengalami peningkatan. Salah satu faktor pendorong peningkatan kasus penyakit adalah kondisi kesehatan lingkungan masyarakat di permukiman yang semakin hari sangat memprihatinkan. Hal tersebut, menjadi bahan pertimbangan peneliti untuk melakukan kajian mengenai pengaruh kesehatan lingkungan permukiman terhadap kejadian demam berdarah dengue di Jawa Barat. Tujuan umum pada penelitian ini adalah menentukan pengaruh kesehatan lingkungan pemukiman terhadap kejadian DBD di Jawa Barat tahun 2013. Populasi adalah seluruh rumah tangga biasa yang berdomisili di 27 Kabupaten/Kota Propinsi Jawa Barat. Sampel sesuai dengan jumlah rumah tangga yang berhasil dikunjungi oleh enumerator Riskesdas di Propinsi Jawa Barat. Penelitian akan dilaksanakan di Loka Litbang P2B2 Ciamis pada bulan Oktober - Desember 2014. Pengumpulan data sekunder kasus DBD akan dilaksanakan di Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Barat, dan pengumpulan data sekunder situasi kesehatan lingkungan permukiman di 27 Kabupaten/Kota di Jawa Barat akan dilaksanakan di Laboratorium Manajemen Data Riskesnas Badan Litbangkes Kemenkes RI. Variabel bebas pada penelitian ini adalah karakteristik responden, kesehatan lingkungan, dan lingkungan fisik permukiman. Variabel terikat adalah angka kejadian DBD di Jawa Barat tahun 2013. Pengolahan dan analisis data dilakukan dengan cara univariat, bivariat, dan multivariat untuk menentukan faktor risiko dominan. Dilakukan analisis hubungan tiap variabel bebas yaitu komponen-komponen kesehatan lingkungan pemukiman dengan variabel terikat yaitu kasus DBD Propinsi Jawa Barat. Dari analisis bivariat ini diperoleh variabel yang menjadi kandidat model multivariat. Variabel yang menjadi kandidat model multivariat adalah variabel dengan nilai p value ≤ 0,25. Diperoleh variabel yang menjadi kandidat model dalam analisis multivariat adalah 19 variabel bebas yaitu jenis sumber air, kekeruhan air, rasa air, bau air, cara penanganan sampah, pembuangan air limbah, pencegahan gigitan nyamuk, menguras bak mandi, daerah kumuh, kepadatan hunian, penggunaan ruang tidur, penggunaan dapur, penggunaan ruang keluarga,ventilasi ruang tidur, ventilasi ruang keluarga, ventilasi dapur, pencahayaan ruang tidur, pencahayaan ruang keluarga, pencahayaan dapur. Variabel-variabel tersebut memiliki
v
hubungan dengan kasus DBD di Jawa Barat dan menjadi kandidat model dalam analisis multivariat. Selanjutnya dilakukan seleksi hubungan antar 19 variabel bebas dengan variabel terikat secara serentak. Model Generalized Poisson Regression (GPR) untuk memprediksi faktor kesehatan lingkungan yang berpengaruh terhadap kejadian DBD di Jawa Barat, yaitu : Y = exp.(5,290 + 0,023P7 + 0,006P8 – 0,008P11) Y
: kejadian DBD
P7
: cara penanganan sampah rumah tangga tidak sehat
P8
: cara pembuangan air limbah rumah tangga tidak sehat
P11
: menguras bak mandi sesuai aturan
Model Generalized Poisson Regression (GPR) untuk memodelkan faktor lingkungan fisik pemukiman yang dapat mempengaruhi kejadian DBD Di Jawa Barat: Y = exp.(2,088 + 0,073P24 + 0,023P27) Y
: kejadian DBD
P24
: ruang keluarga tidak terpisah dengan ruang lain
P27
: tidak ada ventilasi di ruang keluarga
vi
ABSTRAK
Salah satu faktor pendorong peningkatan kasus penyakit adalah kondisi kesehatan lingkungan masyarakat di permukiman. Masih perlunya kajian mengenai pengaruh kesehatan lingkungan permukiman terhadap kejadian demam berdarah dengue (DBD) di Jawa Barat menjadi latar belakang analisis data ini. Tujuan dari analisis ini adalah menentukan pengaruh kesehatan lingkungan pemukiman terhadap kejadian DBD di Jawa Barat tahun 2013. Populasi adalah seluruh rumah tangga biasa yang berdomisili di 27 Kabupaten/Kota Propinsi Jawa Barat.
Sampel sesuai dengan jumlah rumah tangga yang berhasil dikunjungi oleh
enumerator Riskesdas di Propinsi Jawa Barat. Variabel bebas pada penelitian ini adalah karakteristik responden, kesehatan lingkungan, dan lingkungan fisik permukiman. Variabel terikat adalah angka kejadian DBD di Jawa Barat tahun 2013. Pengolahan dan analisis data dilakukan dengan cara univariat, bivariat, dan multivariat untuk menentukan faktor risiko dominan. Hasil analisis didapatkan komponen kesehatan lingkungan yang berpengaruh terhadap angka kejadian DBD adalah cara penanganan sampah, pembuangan air limbah, dan menguras bak mandi, dengan model Y = exp.(5,290 + 0,023P7 + 0,006P8 – 0,008P11). Komponen lingkungan fisik yang berpengaruh terhadap DBD Jawa barat adalah penggunaan ruang keluarga, dan ventilasi di ruang keluarga dengan model Y = exp.(2,088 + 0,073P24 + 0,023P27). Kata kunci : kesehatan lingkungan, lingkungan fisik, DBD, Jawa Barat
DAFTAR ISI
vii
JUDUL PENELITIAN ............................................................................................
i
LEMBAR PENGESAHAN .....................................................................................
ii
SUSUNAN TIM PENELITI ....................................................................................
iii
KATA PENGANTAR .............................................................................................
iv
RINGKASAN PENELITIAN ..................................................................................
v
ABSTRAK...............................................................................................................
vii
DAFTAR ISI ............................................................................................................... viii 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ..................................................................................................
1
1.2. Perumusan Masalah..........................................................................................
3
2. TUJUAN PENELITIAN 2.1. Tujuan Umum....................................................................................................
4
2.2. Tujuan Khusus ..................................................................................................
4
3. MANFAAT PENELITIAN..................................................................................
4
4. HIPOTESA ..........................................................................................................
4
5. TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................
4
6. METODA ............................................................................................................
9
6.1. Kerangka Teori.................................................................................................
9
6.2. Kerangka Konsep .............................................................................................
10
6.3. Definisi Operasional Variabel .........................................................................
11
6.5. Tempat Dan Waktu ...........................................................................................
11
6.6. Populasi Dan Sampel (Estimasi Dan Cara Pemilihan) .....................................
12
6.7. Instrumen Pengumpul Data ..............................................................................
12
6.8. Bahan Dan Prosedur Pengumpul Data .............................................................
12
6.9. Pengolahan Dan Analisis Data .........................................................................
13
7. HASIL ...............................................................................................................
15
8. PEMBAHASAN .................................................................................................
25
11. DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................
34
viii
NASKAH PUBLIKASI PENELITIAN ANALISIS LANJUT RISET KESEHATAN DASAR 2014
PENGARUH KESEHATAN LINGKUNGAN PEMUKIMAN TERHADAP KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI JAWA BARAT TAHUN 2013
PENYUSUN : 1. ENDANG PUJI ASTUTI, SKM, MSi 2. HENI PRASETYOWATI, S.Si, MSc 3. HUBULLAH FUADZY, S.Si
LOKA LITBANG P2B2 CIAMIS BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA 2014
1
ABSTRAK
Salah satu faktor pendorong peningkatan kasus penyakit adalah kondisi kesehatan lingkungan masyarakat di permukiman. Masih perlunya kajian mengenai pengaruh kesehatan lingkungan permukiman terhadap kejadian demam berdarah dengue (DBD) di Jawa Barat menjadi latar belakang analisis data ini. Tujuan dari analisis ini adalah menentukan pengaruh kesehatan lingkungan pemukiman terhadap kejadian DBD di Jawa Barat tahun 2013. Populasi adalah seluruh rumah tangga biasa yang berdomisili di 27 Kabupaten/Kota Propinsi Jawa Barat. Sampel sesuai dengan jumlah rumah tangga yang berhasil dikunjungi oleh enumerator Riskesdas di Propinsi Jawa Barat. Variabel bebas pada penelitian ini adalah karakteristik responden, kesehatan lingkungan, dan lingkungan fisik permukiman. Variabel terikat adalah angka kejadian DBD di Jawa Barat tahun 2013. Pengolahan dan analisis data dilakukan dengan cara univariat, bivariat, dan multivariat untuk menentukan faktor risiko dominan. Hasil analisis didapatkan komponen kesehatan lingkungan yang berpengaruh terhadap angka kejadian DBD adalah cara penanganan sampah, pembuangan air limbah, dan menguras bak mandi, dengan model Y = exp.(5,290 + 0,023P7 + 0,006P8 – 0,008P11). Komponen lingkungan fisik yang berpengaruh terhadap DBD Jawa barat adalah penggunaan ruang keluarga, dan ventilasi di ruang keluarga dengan model Y = exp.(2,088 + 0,073P24 + 0,023P27). Kata kunci : kesehatan lingkungan, lingkungan fisik, DBD, Jawa Barat
2
1. Pendahuluan Peningkatan jumlah kasus serta bertambahnya wilayah yang terjangkit DBD, disebabkan karena semakin baiknya sarana transportasi penduduk, adanya permukiman baru, kurangnya perilaku masyarakat terhadap pembersihan sarang nyamuk (PSN), terdapatnya vektor nyamuk hampir di seluruh pelosok tanah air serta adanya empat serotype virus yang bersirkulasi sepanjang tahun1. Situasi kasus DBD Provinsi Jawa Barat sejak tahun 2000 hingga 2009 terus mengalami peningkatan. Incidence rate (IR) Provinsi Jawa Barat pada tahun 2000 mencapai 13,8/100.000 dan terus meningkat pada tahun 2009 mencapai hampir 80 kasus per 100.000. Pada tahun 2013, jumlah kasus DBD di Jawa Barat mencapai 23.118 kasus.
2
Aedes aegypti dan Aedes albopictus sebagai vektor penular penyakit DBD, secara biologis dan bionomiknya selalu berdekatan dan berhubungan dengan kehidupan manusia.
3
WHO menyatakan untuk mengendalikan
populasi Ae.
aegypti dan Ae. albopictus terutama dilakukan dengan cara pengelolaan lingkungan (environtmental management)4. Pengelolaan sanitasi lingkungan yang dapat diterapkan di masyarakat dalam rangka menekan sumber habitat larva Ae. aegypti dan Ae. albopictus, antara lain : perbaikan penyediaan air bersih, pengelolaan sampah padat, peralihan tempat perkembangbiakan buatan manusia dan perbaikan desain rumah. Aktivitas semacam itu dapat diterapkan pada tempat dimana penyakit dengue bersifat endemik5. Lingkungan yang mempengaruhi peningkatan insiden DBD adalah sanitasi yang buruk,6 keberadaan jentik pada Tempat Penampungan Air (TPA), pemasangan kawat kasa pada rumah tangga, mobilitas adanya
kontainer
(TPA).
Kebiasaan
penduduk,
kepadatan
penduduk,
buatan ataupun alami di tempat pembuangan akhir sampah masyarakat
yang
merugikan
kesehatan
dan
kurang
memperhatikan kebersihan lingkungan seperti kebiasaan menggantung baju, kebiasaan tidur siang, kebiasaan membersihkan TPA, kebiasaan membersihkan halaman rumah, dan juga partisipasi masyarakat khususnya dalam rangka pembersihan sarang nyamuk, maka akan menimbulkan risiko terjadinya transmisi penularan penyakit DBD di masyarakat. Kebiasaan ini akan menjadi lebih buruk dimana masyarakat sulit mendapatkan air bersih, sehingga mereka cenderung untuk
3
menyimpan air dalam tandon bak air, karena TPA tersebut sering tidak dicuci dan dibersihkan secara rutin pada akhirnya menjadi potensial sebagai tempat perindukan nyamuk Ae. aegypti7. Hasil penelitian di Bandar Lampung 2013 melaporkan bahwa keberadaan jentik di
TPA, praktek menguras TPA, kebiasaan menggantung pakaian,
pemasangan kawat kasa dan penggunaan obat nyamuk mempunyai pengaruh terhadap kejadian DBD8.
Faktor sosiodemografi atau karakteristik host juga
mempengaruhi kejadian DBD, penelitian di kota Pekanbaru 2008, juga melaporkan bahwa variabel pendidikan dan pekerjaan mempunyai hubungan yang signifikan terhadap kejadian DBD selain jarak rumah ≤ 5, keberadaan tempat penanpungan air (TPA) buatan dan alami serta keberadaan tanaman di sekitar perumahan9. Hasil survei PHBS (Perilaku Hidup Bersih Sehat) di Kota Dumai pada tahun 2006, memperlihatkan bahwa cakupan rumah tangga yang melakukan PHBS hanya sebesar 49,52%. Sanitasi di Kota Dumai yang secara umum kurang baik merupakan potensi bagi berkembangbiaknya vektor penular penyakit DBD, ditambah lagi dengan kondisi topografi Kota Dumai dengan ketinggian dibawah 1000 m dari permukaan laut yang rawan sekali untuk berkembangnya nyamuk Ae. aegypti dan Ae. albopictus10. Yuniarti menambahkan berdasarkan hasil penelitiannya ada pengaruh yang signifikan antara sampah, SPAL, tempat perindukan nyamuk, pencahayaan dan kelembaban, ventilasi terhadap kejadian DBD di DAS Deli kota Medan11. Tujuan penelitian ini adalah menentukan pengaruh kesehatan lingkungan permukiman terhadap kejadian demam berdarah dengue (DBD) di Jawa Barat tahun 2013. Hasil ini diharapkan dapat digunakan sebagai masukan dalam pengambilan kebijakan mengenai pengendalian vektor dan penurunan kasus DBD. 2. Hipotesa Penelitian Hipotesis alternatif pada penelitian ini adalah a. Terdapat pengaruh kesehatan lingkungan terhadap kejadian demam berdarah dengue di Jawa Barat. b. Terdapat pengaruh lingkungan fisik permukiman terhadap kejadian demam berdarah dengue di Jawa Barat.
4
3. Metode Penelitian dilaksanakan di Loka Litbang P2B2 Ciamis pada bulan Oktober sampai dengan Desember 2014. Pengumpulan data sekunder kasus DBD dilaksanakan di Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Barat, dan pengumpulan data sekunder situasi kesehatan lingkungan pemukiman di 27 Kabupaten/Kota di Jawa Barat dilaksanakan di Laboratorium Manajemen Data Riskesnas Badan Litbangkes Kemenkes RI. Populasi pada penelitian ini adalah seluruh rumah tangga biasa yang berdomisili di 27 Kabupaten/Kota Propinsi Jawa Barat. Proses pemilihan rumah tangga pada Riskesdas 2013 dilakukan oleh BPS dengan cara two stage sampling, kemudian dipilih blok sensus yang proporsional terhadap jumlah rumah tangga di Kabupaten/Kota sebanyak 25 rumah tangga dari tiap BS menggunakan teknik simple random sampling. Sampel Riskesdas 2013 yang berhasil dikunjungi oleh enumerator di 27 Kabupaten/Kota propinsi Jawa Barat adalah 958 BS dengan 23.694 rumah tangga (RR.98,9%). Kriteria Inklusi pada penelitian ini adalah rumah tangga yang diwawancarai oleh enumerator pada Riskesdas 2013. Kriteria Eksklusi pada penelitian ini adalah rumah tangga tidak bertempat tinggal di bangunan rumah. Adapun variabel yang digunakan pada penelitian ini adalah : (1) Variabel bebas pada penelitian ini adalah kesehatan lingkungan dan lingkungan fisik permukiman. Data diperoleh dari hasil Riskesdas 2013, (2) Variabel terikat pada penelitian ini adalah angka kejadian demam berdarah dengue di Jawa Barat tahun 2013. Data diperoleh dari Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Barat. Pada penelitian ini akan dilakukan pengolahan, analisis, dan interpretasi data sekunder hasil kegiatan Riskesdas 2013 dan angka kejadian demam berdarah dengue di Jawa Barat pada tahun 2013. Data yang digunakan merupakan hasil tabulasi yang dilakukan oleh manajamen data Riskesdas 2013 dalam bentuk electric file. Pengolahan dan analisa data dalam penelitian adalah menggunakan : (1) univariat untuk mengetahui
nilai tendensi sentral (mean, median, dan mode),
standar deviasi, nilai minimum dan maksimum, dan untuk mengetahui distribusi frekuensi data masing-masing variabel, (2) Bivariat digunakan untuk menguji
5
hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat. Analisis statistik yang digunakan untuk menguji hubungan variabel
berskala katagorik dengan variabel
berskala katagorik adalah chi square, (3) Multivariat dilakukan untuk melihat hubungan variabel bebas dengan variabel terikat, serta variabel bebas mana yang paling besar pengaruhnya terhadap variabel terikat. Analisis multivariat dilakukan dengan cara menghubungkan beberapa variabel bebas dengan satu variabel terikat secara bersamaan. Analisis regresi poisson dapat menjelaskan hubungan variabel bebas dengan variabel terikat dengan skala data berupa count (angka). Prosedur yang dilakukan uji regresi poisson adalah analisis bivariat antara masing-masing variabel bebas, bila dari hasil uji bivariat menunjukkan nilai p< 0,05, maka variable tersebut dapat dilanjutkan dengan model multivariat. Namum, apabila variabel dengan p> 0,05 merupakan variabel dengan substansi yang paling penting berhubungan dengan variabel terikat, variabel tersebut dapat diikutkan dalam model multivariat. Analisis ini untuk mendapat model yang terbaik. Semua variabel kandidat dimasukkan bersama-sama untuk dipertimbangkan menjadi model dengan nilai signifikan (p<0,05). variabel terpilih dimasukkan kedalam model dan nilai p yang tidak signifikan dikeluarkan dari model, berurutan dari nilai p tertinggi.
4. HASIL PENELITIAN Berdasarkah hasil survey RISKESDAS 2013 di Propinsi Jawa Barat diperoleh jumlah sampel yaitu sebanyak 77.701 responden rumah tangga.
Secara deskriptif
diperoleh data karakteristik responden yang dibedakan berdasar jenis kelamin, umur, pekerjaan, pendidikan dan kepadatan hunian yang tersaji dalam tabel 1. Berdasarkan golongan umurnya responden usia pra sekolah yang terdiri dari umur < 6 tahun sebesar 9%, usia sekolah dasar 6-14 tahun sebesar 19%, usia produktif 15-55 tahun sebesar 57% dan usia non produktif 15%. Golongan umur ini terdiri dari 48,7% laki-laki dan 51,3% perempuan dengan sex rasio sebesar 94,87. Dari segi pendidikan, responden didominasi oleh pendidikan tamat SD (32%). Hanya sekitar 4,3% responden yang menempuh pendidikan tinggi. Hal ini menjelaskan bahwa masih rendahnya tingkat pendidikan di kalangan penduduk Jawa Barat. Sedangkan dari segi pekerjaan, pegawai swasta dan PNS memiliki prosentase yang
6
tidak terpaut jauh.
Kedua pekerjaan ini mendominasi jenis pekerjaan di kalangan
responden. Prosentase terkecil didapatkan jenis pekerjaan wiraswasta yang hanya 1,1%. Tabel 1. Karakteristik Responden Provinsi Jawa Barat RISKESDAS 2013 No 1
Karakteristik Umur
2
Jenis Kelamin
3
Pendidikan
4
Pekerjaan
Kategori < 6 th 6-14 th 15-55th >56th L P Belum Sekolah Tidak/Belum pernah sekolah Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SLTP Tamat SLTA PT PNS Swasta Wiraswasta Petani Belum bekerja
Prosentase 9 19 57 15 48,7 51,3 9,5 6 18,2 32 14,8 15,2 4,3 31 37,4 1,1 12,8 17,6
Dari hasil survey diperoleh beberapa data kondisi kesehatan lingkungan yang berupa kondisi kesehatan lingkungan rumah dan kondisi lingkungan fisik pemukiman. Dari hasil analisis komponen kondisi lingkungan fisik pemukiman, sebanyak 31,14% rumah tangga memiliki jumlah anggota rumah tangga sebanyak 4 orang. Hanya sekitar 0,17% rumah yang memiliki anggota rumah tangga 12 dan 18 orang dalam satu bangunan atap rumah.
Kepadatan hunian yang memenuhi syarat yaitu dengan rasio
kepadatan hunian lebih dari 10 m2/orang dikalangan responden sebanyak 72,2 % sedangkan yang tidak memenuhi syarat yaitu rasio kepadatan hunian kurang dari 10 m2/orang sebesar 27,8%. Penggunaan ruangan baik ruang tidur, dapur dan ruang keluarga di kalangan masyarakat Jawa Barat umumnya sudah terpisah antara satu ruangan dengan ruangan lain.
Keberadaan jendela dalam suatu ruangan mutlak diperlukan untuk keperluan
pencahayaan dan sirkulasi udara, sebagian besar masyarakat sudah mempunyai jendela namun jarang dibuka. Besar kecilnya ventilasi dalam suatu ruangan berpengaruh
7
terhadap sirkulasi udara dalam ruangan tersebut. Sebagian besar masyarakat Jawa Barat hanya memiliki ventilasi yang luasnya < 10% , bahkan ada beberapa responden yang tidak memiliki ventilasi dalam ruangannya. Sedikit banyaknya cahaya yang masuk ke dalam ruangan berpengaruh terhadap kondisi kesehatan individu yang tinggal di dalamnya. Sebagian besar kondisi kebersihan rumah masyarakat Jawa Barat termasuk kategori bersih, ruangan yang bersih akan menjamin kesehatan dan kenyamanan penghuni rumah untuk tinggal di dalamnya. Tabel 1. Kondisi Rumah Masyarakat Jawa Barat Variabel Penggunaan ruangan
Ruang Tidur
Dapur
Ruang Keluarga
Terpisah Tidak terpisah
95,60% 4,40%
95,40% 4,60%
90,90% 9,10%
Keberadaan jendela Ada dibuka tiap hari
36,10%
31,20%
37,40%
Ada jarang dibuka
46,30%
39,40%
49,00%
Ventilasi Ada (luasnya>10%)
37,80%
36,10%
45,20%
Ada (luasnya<10%)
51,10%
49,20%
46,70%
Tidak ada
11,10%
14,60%
8,20%
Pencahayaan Cukup Tidak Cukup
66,50% 33,50%
64,30% 35,70%
78,70% 21,30%
Kebersihan Bersih Tidak Bersih
76,30% 23,70%
66,50% 33,50%
78,30% 21,70%
Berdasarkan analisis data komponen kesehatan lingkungan pemukiman di Jawa Barat, jenis sumber air keperluan sehari-hari masyarakat Jawa Barat beragam, sebagian besar menggunakan sumur gali terlindung dan sumur bor/pompa. Kualitas air dinilai dari warna air, kekeruhan, berbusa, berasa, dan berbau, sebagian besar kualitas air di Jawa barat sudah memenuhi syarat kesehatan.
8
Tabel 2. Jenis dan jumlah sumber air di kalangan masyarakat Jawa Barat No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Jenis Sumber Air Air Ledeng /PDAM Air Ledeng/ membeli Sumur Bor/Pompa Sumur Gali terlindung Sumur Gali tidak terlindung Mata air terlindung Mata air tidak terlindung Penampungan air hujan Air sungai/danau/irigasi
Prosentase 14,1 1,9 30,2 31,2 6,1 8,9 5,2 0,1 2,4
Tabel 3. Kualitas airnya, kondisi air di Jawa Barat No 1 2 3 4 5
Kualitas air Berwarna Berasa Berbau Keruh Berbusa
Tidak 98,7 97,3 98,4 97,3 99,5
Ya 1,3 2,7 1,6 2,7 0,5
Dalam hal pengelolaan sampah rumah tangga, sebanyak 45,7% masyarakat Jawa Barat membakar sampah rumah tangga mereka. Ada sebagian masyarakat yang sampahnya diangkut oleh petugas (29,4%) dan ditimbun dalam tanah (3,3%). Namun masih ada masyarakat yang membuang sampah ke parit/kali (12,6%) dan di buang sembarangan (8,7%). Pengelolaan sampah pada rumah tangga di Jawa Barat disajikan pada tabel 4. Tabel 4. Pengelolaan sampah pada rumah tangga di Jawa Barat No 1 2 3 4 5 6
Pengelolaan Diangkut Petugas Ditimbun dalam Tanah Dibuat kompos Dibakar Dibuang ke Parit/kali Dibuang sembarangan
Persentase 29,4 3,3 0,4 45,7 12,6 8,7
Propinsi Jawa Barat tahun 2013 terdiri dari 26 Kabupaten/Kota. Pada tahun 2013, jumlah kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) di Jawa Barat mencapai 23.118 kasus. Kasus DBD terbanyak terjadi di Kota Bandung yaitu sebanyak 5.736 kasus, dan terndah di kota Banjar yaitu 64 kasus.
Berdasarkan Inciden Rate (IR) kasus DBD
9
terdapat beberapa kota yang nilai IR diatas 100 yaitu Kota Bandung (231,30), Kota Sukabumi (189,81), Kota Cimahi (138,38), Kota Tasikmalaya (129,44) dan Kota Cirebon (103.18). Sebaran jumlah kasus DBD di Jawa Barat tahun 2013 disajikan pada gambar 7 dan sebaran inciden rate (IR) DBD disajikan pada gambar 1. 5,736
1,337 1,396 851 981 1,240 1,275 1,381 797833 947 1,087 782 759 597 433 64 188260262282305311314341359 Kota Banjar Kab. Indramayu Kab. Kuningan Kab. Ciamis Kab. Purwakarta Kab. Majalengka Kab. Tasikmalaya Kota Cirebon Kab. Garut Kab. Cianjur Kab. Sukabumi Kota Sukabumi Kab. Karawang Kota Bogor Kota Cimahi Kab. Cirebon Kota Tasikmalaya Kab. Bekasi Kab. Sumedang Kab. Subang Kab. Bandung Kab. Bogor Kab. Bandung Barat Kota Depok Kota Bekasi Kota Bandung
7,000 6,000 5,000 4,000 3,000 2,000 1,000 -
Gambar 1. Sebaran jumlah kasus DBD pada Kabupaten/Kota di Jawa Barat tahun 2013.
Data Incidence Rate (IR) DBD di Jawa Barat kemudian dilakukan uji parametrik. Salah satu persyaratan uji parametrik adalah data terikat harus berdistribusi normal. Penegakkan distribusi normal berdasarkan hipotesis nol. Ho = data mengikuti distribusi normal; Ho diterima apabila p value > 0,05. Dilakukan uji non parametrik one sample kolmogorov smirnov menggunakan SPSS Berdasarkan tabel One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test diketahui bahwa p value = 0,125, Ho diterima, yaitu data mengikuti distribusi normal. 231.3
250
189.81
200
Kota Bandung
Kota Cimahi
Kota Sukabumi
Kota Cirebon
Kota Tasikmalaya
Kab. Sumedang
Kota Bogor
Kab. Bandung Barat
Kab. Subang
Kota Bekasi
Kota Depok
Kab. Cirebon
Kota Banjar
Kab. Bandung
Kab. Bekasi
Kab. Karawang
Kab. Purwakarta
Kab. Majalengka
Kab. Bogor
Kab. Kuningan
Kab. Tasikmalaya
Kab. Ciamis
Kab. Sukabumi
0
Kab. Garut
50
Kab. Cianjur
100
138.38 129.44 103.18 86.44 83.42 76.52 71.99 69.77 53.84 33.8135.336.139.45 31.27 31.13 25.83 17.9224.324.72 17.82 16.85 15.99 13.51 11.14
Kab. Indramayu
150
Gambar 2. Sebaran Inciden Rate DBD pada Kabupaten/Kota di Jawa Barat tahun 2013.
10
Hasil Analisis Bivariat Analisis data korelasi pearson digunakan untuk menentukan hubungan antara dua variabel yang berskala numerik. Analisis korelasi Pearson adalah statistik parametrik, berasumsi data berdistribusi normal. Dalam hal ini variabel respon telah berdistribusi normal. Tabel 5. Hasil uji bivariat antara 28 variabel dengan kasus DBD di Jawa Barat. No
Variabel prediktor
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Jenis sumber air utama ruta tidak sehat Kualitas fisik air minum keruh Kualitas fisik air minum berwarna Kualitas fisik air minum berasa Kualitas fisik air minum berbusa Kualitas fisik air minum berbau Cara penanganan sampah ruta tidak sehat Pembuangan air limbah rutatidak sehat Cara menyimpan insektisida Mencegah gigitan nyamuk Menguras bak mandi sesuai aturan Rumah daaerah kumuh Kepadatan hunian ruta tidak sehat Ruang tidur tidak terpisah dengan ruang lain Ruang tidur tidak bersih Tidak ada jendela ruang tidur Tidak ada ventilasi ruang tidur Tidak cukup cahaya di ruang tidur Dapur tidak terpisah dengan ruang lain Dapur tidak bersih Tidak ada jendela dapur Tidak ada ventilasi dapur Tidak cukup cahaya di dapur Ruang keluarga tidak terpisah dengan ruang lain Ruang keluarga tidak bersih Tidak ada jendela ruang keluarga Tidak ada ventilasi ruang keluarga Tidak cukup cahaya di ruang keluarga
15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28
Variabel respon Kasus DBD Kasus DBD Kasus DBD Kasus DBD Kasus DBD Kasus DBD Kasus DBD Kasus DBD Kasus DBD Kasus DBD Kasus DBD Kasus DBD Kasus DBD Kasus DBD
pvalue 0,036 0,486 0,372 0,757 0,307 0,078 0,000 0,059 0,399 0,723 0,518 0,092 0,812 0,052
Kandidat Kandidat Bukan Kandidat Bukan Kandidat Kandidat Kandidat Bukan Kandidat Kandidat Kandidat Kandidat Kandidat
Kasus Kasus Kasus Kasus Kasus Kasus Kasus Kasus Kasus Kasus
DBD DBD DBD DBD DBD DBD DBD DBD DBD DBD
0,718 0,586 0,961 0,702 0,109 0,731 0,729 0,755 0,541 0,022
Bukan Bukan Kandidat Kandidat Kandidat Bukan Bukan Kandidat Kandidat Kandidat
Kasus Kasus Kasus Kasus
DBD DBD DBD DBD
0,531 0,562 0,967 0,268
Bukan Bukan Kandidat Kandidat
Katagori
11
Jumlah variabel prediktor yang dianalisis sebanyak 28 variabel namun hanya 19 yang dapat dijadikan sebagai kandidat untuk analisis multivariat, yaitu 9 variabel untuk komponen kesehatan lingkungan, terdiri dari : jenis sumber air utama ruta tidak sehat, kualitas fisik air minum keruh, kualitas fisik air minum berasa, kualitas fisik air minum berbau, cara penanganan sampah ruta tidak sehat, pembuangan air limbah ruta tidak sehat, mencegah gigitan nyamuk, menguras bak mandi sesuai aturan, rumah daerah kumuh. Komponen lingkungan fisik pemukiman diperoleh 10 variabel yang menjadi kandidat, terdiri dari kepadatan hunian ruta tidak sehat, ruang tidur tidak terpisah dengan ruang lain, tidak ada ventilasi ruang tidur, tidak cukup cahaya di ruang tidur, dapur tidak terpisah dengan ruang lain, tidak ada ventilasi dapur, tidak cukup cahaya di dapur, ruang keluarga tidak terpisah dengan ruang lain, tidak ada ventilasi ruang keluarga, dan tidak cukup cahaya di ruang keluarga. Hasil Analisis Multivariat Analisis multivariat mensyaratkan variabel prediktor tidak mengalami tiga asumsi yaitu autokorelasi, heterokedastisitas, dan multikolinieritas. Pemeriksaan autokorelasi menggunakan nilai Durbin Watson, dengan asumsi apabila nilai DW berada pada batas -2 ≤ DW ≤ 2, maka variabel prediktor tidak mengalami autokorelasi. Pemeriksaan heterokedastisitas menggunakan sebaran grafik Scatterplot dengan asumsi apabila sebaran tidak membentuk pola tertentu, maka variabel prediktor tidak mengalami
heterokedastisitas.
Pemeriksaan
multikolinieritas
menggunakan
nilai
variance infation factor (VIF) berdasarkan nilai batas sebesar 10. Hasil uji asumsi disajikan pada tabel 6. Tabel 6. Hasil pengujian asumsi regresi variabel kesehatan lingkungan dan lingkungan fisik pemukiman di Jawa Barat Tahun 2013. Asumsi Kesehatan lingkungan Lingkungan Fisik Uji Autokorelasi (Durbin-Watson)
1,616
1,576
Uji Heterokedastisitas (Scatterplot)
Tidak membentuk pola
Tidak membentuk pola
Uji Multikolinieritas (VIP)
1,64 – 4,18
1,953 – 25,733
Setiap variabel pada komponen kesehatan lingkungan dan lingkungan fisik pemukiman memenuhi syarat untuk dilakukan analisis mulltivariat. Namun pada variabel prediktor lingkungan fisik terdapat 6 komponen variabel dengan nilai VIP > 10 yaitu ruang tidur tidak terpisah, tidak ada ventilasi di ruang tidur, tidak cukup cahaya
12
diruang tidur, dapur tidak terpisah, tidak ada ventilasi di dapur, dan tidak ada ventilasi di ruang keluarga. Analisis dispersi digunakan untuk mengetahui apakah model regresi poisson yang diperoleh telah memenuhi asumsi model regresi poisson dengan menghitung nilai devian dan derajat bebas. Apabila nilai devian dibagi nilai derajat bebas berada pada rentang 1 ≤ dispersi ≤ 2,5 maka dinyatakan dispersi. Namun apabila lebih dari 2,5 dinyatakan overdispersi dan kurang dari 1 dinyatakan underdispersi. Tabel 7. Hasil pengujian dispersi regresi poisson variabel kesehatan lingkungan dan lingkungan fisik pemukiman di Jawa Barat Tahun 2013
Variabel Prediktor
Dispersi
Keterangan
Kesehatan lingkungan
16,34
Overdispersi
Lingkungan Fisik
33,94
Overdispersi
Variabel prediktor kesehatan lingkungan dan lingkungan fisik pemukiman mengalami overdispersi.
Apabila data prediktor mengalami overdispersi maka
dianjurkan untuk digunakan Generalized Poisson Regression (GPR) dalam pemodelam data. Model regresi GPR ini mengatasi model apabila data variabel respon tidak terjadi distribusi poisson dan data variabel prediktor mengalami over/underdispersi. Kombinasi yang masih bisa dibuat adalah kombinasi dengan tiga variabel, sehingga dicari tiga variabel yang parameternya signifikan secara individu dengan memodelkan variable respon dengan variabel prediktor satu per satu. Pemilihan model terbaik dari GPR didasarkan pada nilai AIC terkecil pada setiap kombinasi variabel prediktor. 1. Generalized
Poisson
Regression
(GPR)
Variabel prediktor komponen
Kesehatan Lingkungan Model Generalized Poisson Regression (GPR) komponen P7, P8, dan P11 merupakan variabel prediktor yang paling baik untuk memodelkan faktor kesehatan lingkungan yang dapat mempengaruhi kejadian Demam Berdarah Dengue Di Jawa Barat, karena memiliki nilai AIC paling kecil yaitu 808,243.
13
Tabel 8. Kemungkinan model Generalized Poisson Regression (GPR) dari komponen kesehatan lingkungan
Model
AIC
P7*P8*P11
808,243
P2*P7*P11
983,486
P6*P8*P11
1165,739
P4*P6*P7
1173,580
P2*P4*P6
1187,838
P10*P11*P12
1232,946
Variabel prediktor P2, P7, dan P11 dilakukan pendugaan parameter Generalized Poisson Regression (GPR) ulang untuk memperoleh model terbaik untuk memprediksi faktor kesehatan lingkungan yang berpengaruh terhadap kejadian DBD di Jawa Barat, yaitu
Y = exp.(5,290 + 0,023P7 + 0,006P8 – 0,008P11) Y
: kejadian DBD
P7
: cara penanganan sampah rumah tangga tidak sehat
P8
: cara pembuangan air limbah rumah tangga tidak sehat
P11
: menguras bak mandi sesuai aturan
2. Generalized
Poisson
Regression
(GPR)
Variabel prediktor komponen
Lingkungan Fisik Pemukiman Model Generalized Poisson Regression (GPR) komponen P24, P27, dan P28 merupakan variabel prediktor yang paling baik untuk memodelkan faktor lingkungan fisik pemukiman yang dapat mempengaruhi kejadian Demam Berdarah Dengue Di Jawa Barat, karena memiliki nilai AIC paling kecil yaitu 876,399. Berdasarkan analisis Generalized Poisson Regression (GPR) variabel prediktor tidak cukup cahaya di ruang keluarga (P28) p value = 0,130 sehingga tidak memiliki pengaruh terhadap kejadian DBD di Jawa Barat.
14
Tabel 9. Kemungkinan model Generalized Poisson Regression (GPR) dari komponen lingkungan fisik pemukiman
Model
AIC
P24*P27*P28
876,399
P22*P24*P28
894,805
P17*P24*P28
902,803
P22*P23*P24
908,501
P23*P24*P28
914,338
P18*P24*P28
988,931
Variabel prediktor P24, dan P27 dilakukan pendugaan parameter Generalized Poisson Regression (GPR) ulang untuk memperoleh model terbaik untuk memprediksi faktor kesehatan lingkungan yang berpengaruh terhadap kejadian DBD di Jawa Barat, yaitu
Y = exp.(2,088 + 0,073P24 + 0,023P27) Y
: kejadian DBD
P24
: ruang keluarga tidak terpisah dengan ruang lain
P27
: tidak ada ventilasi di ruang keluarga
5. PEMBAHASAN Kondisi geografis dan kepadatan penduduk yang tinggi di Jawa Barat sangat mendukung untuk penyebaran penyakit DBD. Menurut Soegijanto
12
kondisi geografis
suatu wilayah meliputi ketinggian tempat, suhu dan kelembaban udara dan curah hujan. Kondisi ini berhubungan erat dengan keberadaan vektor DBD. WHO13 menyatakan bahwa nyamuk Ae. aegypti dapat berkembang dengan baik pada ketinggian dibawah 1000 meter di atas permukaan laut (mdpl). Di India nyamuk dapat ditemukan pada ketinggian nol sampai 100 mdpl, sedangkan di Asia Tenggara ketinggian 1000 mdpl sampai dengan 1500 mdpl. Dilihat dari angka pertumbuhan penduduk, Jawa Barat termasuk dalam kategori tinggi dibandingkan dengan propinsi lain di Indonesia. Dalam kurun waktu 2000 – 2010 telah mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 1,89 % / tahun. Kepadatan tinggi terjadi pada daerah kabupaten/kota yang merupakan daerah penyangga ibu kota negara dan ibu kota propinsi.
Pada daerah ini kepadatan penduduk lebih tinggi dibanding 15
kabupaten/kota yang lain.
14
Kepadatan penduduk ditunjang dengan kondisi sanitasi
yang buruk dapat memperparah penularan penyakit DBD.
Yang dimaksud kondisi
kesehatan lingkungan dalam penelitian ini adalah keadaan lingkungan dan lingkungan fisik tempat tinggal yang ditempati oleh responden dirumahnya. Karakteristik responden, perempuan lebih banyak dari pada laki-laki, usia responden tertinggi berumur 6 – 14 tahun, dan terendah berumur lebih dari 75 tahun. Umur produktif antara 15 – 54 tahun cenderung lebih banyak dari pada usia tidak produktif, yaitu kurang dari 15 tahun dan lebih dari 54 tahun. Data sebaran kasus menurut kelompok umur pada kejadian infeksi virus dengue di Kota Sukabumi Jawa Barat di tahun 2012 di dominasi oleh penderita dengan umur berkisar 15-50 tahun.15 Jika dikaitkan dengan komposisi umur responden yang didominasi oleh usia produktif menunjukkan bahwa usia produktif penduduk di Jawa Barat berisiko lebih besar terkena infeksi virus Dengue. Keadaan ini mengungkap bahwa telah terjadi perubahan pola penyakit infeksi virus Dengue, dimana dahulu infeksi virus Dengue adalah penyakit pada anak-anak dibawah 15 tahun, saat ini telah menyerang seluruh kelompok umur, bahkan lebih banyak pada usia produktif. Hasil penelitian ini selaras dengan Anonim16 dalam Buletin Jendela Epidemiologi menyatakan bahwa di Indonesia kasus DBD perkelompok umur dari tahun 1993 - 2009 terjadi pergeseran. Dari tahun 1993 sampai tahun 1998 kelompok umur terbesar kasus DBD adalah kelompok umur <15 tahun, tahun 19992009 kelompok umur terbesar kasus DBD cenderung pada kelompok umur ≥15 tahun. Sumber data Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur juga menyebutkan bahwa proporsi kasus DBD tertinggi ada pada kelompok umur 5-9 tahun pada tahun 1999, namun terjadi pergesaran pada tahun 2000 kasus tertinggi terjadi pada kelompok umur 15-44 tahun.17 Pendidikan responden tertinggi adalah tamat SD/MI dan terrendah adalah tamat Diploma (D1, D2, dan D3). Anggota rumah tangga responden di Jawa Barat memiliki kelompok pekerjaan tertinggi adalah pegawai swasta, dan terendah adalah wiraswasta. Nusa, dkk
15
menyatakan bahwa penularan DBD di Kota Sukabumi tidak hanya di
rumah tetapi di sekolah atau di tempat kerja. Hal ini menunjukkan bahwa apapun jenis pekerjaannya memiliki resiko sama besar terhadap infeksi virus dengue. Jenis pekerjaan bukan merupakan faktor penentu terjadinya infeksi DBD.
16
Jumlah anggota rumah tangga yang mendiami satu bangunan atap rumah tertinggi adalah 4 orang dalam satu bangunan atap rumah, dan terendah adalah 12 dan 18 orang dalam satu bangunan atap rumah. Rumah yang padat lebih memudahkan bagi nyamuk untuk menularkan penyakit DBD mengingat kebiasaan nyamuk yang melakukan multibites dan juga jarak terbangnya yang hanya 50-100 m.18
Hasil
penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian di Iquitos, Peru yang menunjukkan bahwa kumpulan nyamuk Aedes dewasa lebih banyak ditemukan di pemukiman yang rapat dan sedikit di temukan di lingkungan yang pemukiman dengan rumah berjarak 30 m.19 Hasil penelitian di Denpasar tahun 2007 menunjukkan ada hubungan antara kepadatan penduduk dengan keberadaan vektor DBD sehingga bila tidak dilakukan pencegahan perkembangbiakan vektor maka masalah penyakit DBD akan semakin besar.20 Berdasarkan hasil survey riskesdas 2013 tercatat 73,6 % masyarakat Jawa Barat hidup di pemukiman tidak kumuh.
Hanya 26,4 % yang hidup di pemukiman kumuh.
Adanya pemukiman kumuh banyak terdapat di daerah perkotaan yang kepadatan penduduknya tinggi.
Berdasarkan analisis bivariat kondisi pemukiman kumuh ini
berpengaruh terhadap kejadian DBD. Jarak rumah mempengaruhi penyebaran nyamuk dari satu rumah ke rumah lain, semakin dekat jarak antara rumah semakin mudah nyamuk menyebar membuktikan
ke
bahwa
rumah kondisi
sebelah.
Berbagai
perumahan
yang
penelitian penyakit menular berdesak-desakan
dan
kumuh
mempunyai kemungkinan lebih besar terserang penyakit.21 Penggunaan ruangan di mayoritas masyarakat Jawa Barat sudah terpisah antara satu ruangan dengan ruangan yang lain. Skat antar ruangan bisa berupa bilik bambu, kayu maupun tembok permanen. Penggunaan ruangan berpengaruh terhadap angka kejadian DBD di Jawa Barat. Di duga dengan adanya skat antar ruangan maka ruang gerak nyamuk yang masuk ke ruangan akan terbatas sehingga nyamuk tidak leluasa berkembang biak dan mencari mangsa. Keberadaan ventilasi merupakan bagian yang penting dalam suatu bangunan rumah huni.
Setiap rumah harus memiliki ventilasi yang memadai untuk menjamin
sirkulasi udara dalam ruangan. Fungsi dari ventilasi adalah untuk menjaga agar aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar. Fungsi lainnya adalah untuk menjaga agar ruangan rumah selalu tetap dalam kelembapan (humidity) yang optimum. Ventilasi bisa berwujud lubang angin ataupun jendela.
Berdasarkan Peraturan Bangunan Nasional
17
disebutkan bahwa luas bersih dari jendela/ lubang hawa sekurangkurangnya 1/10 dari luas lantai.22 Keberadaan
jendela pada suatu bangunan rumah selain digunakan untuk
pencahayaan juga untuk sirkulasi udara.
Keberadaan dan dibukanya jendela pada
ruangan setiap hari memungkinkan adanya pertukaran udara setiap hari sehingga kondisi rumah menjadi lebih sehat. Secara teori kondisi rumah yang tidak sehat dapat menyebabkan timbulnya berbagai penyakit dalam rumah. Rumah dengan ventilasi yang tidak memadai / pencahayaan yang kurang, penghuni yang padat, serta banyaknya pakaian yang bergantung didalam rumah yang selalu terlindungi dari sinar matahari sehingga perkembangbiakannya sangat nyaman bagi nyamuk karena nyamuk sangat menyukai tempat yang gelap untuk melepaskan telurnya.23 Namun dari analisis statistik terlihat bahwa kebersihan dan keberadaan jendela tidak berpengaruh terhadap kasus DBD. Sedangkan pencahayaan dan ventilasi ruangan baik pada kamar tidur, ruang keluarga dan dapur berpengaruh terhadap kasus DBD di Jawa Barat. Hal ini sesuai dengan penelitian sucipto24 yang menyatakan bahwa ada hubungan antara pencahayaan ruangan yang ada kontainer, ventilasi ruangan dengan kepadatan jentik Ae. aegypti di desa endemis Kecamatan Japah dan Kecamatan Ngawen Kabupaten Blora. Berdasarkan jenis sumber air yang digunakan oleh masyarakat Jawa Barat terlihat bahwa penggunaan sumur bor/pompa dan sumur gali terlindung mendominasi. Kedua Jenis Sumber air ini merupakan sumber air yang relatif bersih dan aman untuk di konsumsi, dibandingkan dengan sumber air yang berasal dari penampungan air hujan dan dari sungai. Sebagian kecil masyarakat Jawa Barat memang masih ada yang menggunakan sumber air dari sungai yang kebersihan dan tingkat keamanannya belum diketahui. Jenis sumber air mempunyai hubungan erat dengan barat.
kejadian DBD di Jawa
Beberapa jenis dan karakteristik air dapat menjadi media perkembangbiakan
nyamuk Ae. aegypti sebagai vektor DBD, termasuk pada sumber air bersih seperti air sumur gali, mata air, air hujan, air PDAM, dan air sungai. Beberapa jenis air ini memiliki kualitas dan ketertarikan bagi nyamuk untuk bertelur dan berkembangbiak. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa jenis sumber air berpengaruh terhadap keberadaan larva Aedes.
18
Dilihat dari jumlah pemakaian air bersih untuk keperluan sehari-hari rumah tangga di Jawa barat sangat bervariatif. Hal ini sangat tergantung pada jumlah anggota rumah tangga yang mendiami rumah tersebut, kondisi sosial ekonomi dan jarak sumber air.
Jika dikaitkan dengan kejadian DBD, jumlah air bersih ini tidak memberikan
pengaruh terhadap kejadian DBD.
Banyak sedikitnya air yang tertampung dan
digunakan oleh suatu rumah tangga tidak memberikan pengaruh terhadap penyebaran DBD.
Hal ini dapat dipahami mengingat Aedes sebagai vektor DBD mampu
berkembangbiak pada kontainer dengan volume air yang sangat sedikit sekalipun. Nadesul25 menyatakan bahwa jentik nyamuk bahkan dapat bertahan hidup di dalam lubang-lubang pohon yang airnya jernih, tenang dan teduh (terhindar dari panas matahari). Hal ini yang diduga menjadikan jumlah pemakaian air bersih tidak berhubungan dengan kasus DBD. Kualitas air yang digunakan untuk keperluan sehari hari masyarakat di Jawa barat umumnya layak untuk dikonsumsi.
Adapun beberapa responden yang
menyatakan kualitas air untuk keperluan sehari hari kurang layak seperti berbau dan berbusa lebih disebabkan oleh kondisi geografis daerah tertentu. Kualitas air yang berupa ada tidaknya bau pada air
jika dihubungkan dengan kejadian DBD di Jawa
Barat memiliki hubungan yang bermakna. Kualitas air berhubungan dengan kehidupan vektor DBD dan kemampuannya beradaptasi di lingkungan pemukiman. Secara teoritis, nyamuk Ae. aegypti berkembang biak pada air bersih yang tidak bersentuhan dengan tanah.26 Dalam hal pengelolaan sampah di masyarakat Jawa Barat sebagian besar masyarakat mengelola sampahnya dengan cara di bakar.
Beberapa tempat dimana
pemerintahannya menyediakan sarana pengangkutan sampah, sampah warga diangkut oleh petugas.
Sayangnya masih banyak masyarakat yang membuang sampah di kali
atau parit bahkan di sembarang tempat.
Kebiasaan ini berpotensi mencemari
lingkungan sekitar dengan bau yang tidak sedap dan sampah dapat tertumpah keluar. Pengelolaan sampah rumah berhubungan erat dengan kejadian DBD di Jawa Barat. Hal ini sama dengan pernyataan Notoadmojo
23
yang menyatakan bahwa sampah
memiliki keterkaitan dengan penyakit DBD. Sampah padat dapat di bagi dalam beberapa jenis yaitu zat kimia yang terkandung di dalamnya, berdasarkan dapat tidaknya terbakar, berdasarkan karakteristik sampah dan berdasarkan sifatnya yaitu
19
mudah dan tidak mudah membusuk. Sampah padat yang dapat menyebabkan timbulnya penyakit DBD adalah sampah yang termasuk dalam pembagian berdasarkan dapat tidaknya terbakar yaitu sampah-sampah berupa kaleng bekas, botol bekas dan pecahan gelas dan lainnya. Sampah golongan inilah yang dapat menjadi tempat berkembang biaknya nyamuk Ae. aegypti karena merupakan tempat perindukan sementara nyamuk tersebut. Dalam hal pembuangan limbah rumah tangga, mayoritas penduduk Jawa barat memiliki sarana pembuangan air limbah sendiri (73,4%). Sarana pembuangan ini bisa berupa septic tank maupun buangan air limbah terbuka.
Hanya sekitar 26,6%
masyarakat yang menggunakan pembuangan air limbah secara komunal atau bersama sama.
Pembuangan air limbah baik sendiri maupun komunal memiliki pengaruh
terhadap angka kejadian demam berdarah di Jawa Barat. dengan
kondisi
penampungan terbuka
perkembangbiakan vektor DBD.
Pembuangan air limbah
memungkinkan genangan tersebut untuk
Hal ini didukung oleh berbagai penelitian yang
menyatakan kemampuan Aedes sebagi vektor DBD untuk dapat hidup dan berkembang di air comberan sekalipun.
Teori Bond
27
yang mengatakan bahwa Aedes sp.
berkembang biak didalam air bersih seperti air hujan yang tergenang pada barang – barang bekas, maka berbanding terbalik dengan hasil yang didapat. Hasil analisis multivariat menunjukkan bahva variabel kesehatan lingkungan yang berpengaruh terhadap kejadian DBD di Jawa Barat dengan menggunakan model Generalized Poisson Regression (GPR) adalah penanganan sampah rumah tangga, pembuangan air limbah dan perilaku menguras bak mandi. Interpretasi dari model ini adalah bahwa : a. Apabila Pemerintah Jawa Barat tidak melakukan gerakan sadar kesehatan lingkungan terutama pada aspek penanganan sampah, pembuangan air limbah, dan menguras bak mandi oleh masyarakat sebagai upaya pengendalian penyakit DBD, maka akan terjadi kenaikan kasus DBD sebesar 5,29% setiap tahunnya. b. Variabel cara penanganan sampah dan pembuangan limbah rumah tangga yang tidak sehat dapat meningkatkan kasus DBD di Jawa Barat. Variabel menguras bak mandi sesuai aturan dapat menekan angka kasus DBD di Jawa Barat. c. Variabel cara penanganan sampah rumah tangga yang tidak sehat merupakan variabel prediktor yang paling berpengaruh terhadap kenaikan angka DBD.
20
Analisis multivariat menggunakan model Generalized Poisson Regression (GPR) komponen lingkungan fisik pemukiman yang berpengaruh terhadap kejadian DBD di Jawa Barat adalah penggunaan ruangan dan keberadaan ventilasi. Interpretasi dari model ini adalah : a. Apabila Pemerintah Jawa Barat tidak melakukan edukasi mengenai lingkungan fisik di pemukiman penduduk terutama pada aspek menata ruang keluarga yang sehat sebagai upaya pengendalian penyakit DBD, maka akan terjadi kenaikan kasus DBD sebesar 2,088% setiap tahunnya. b. Variabel ruang keluarga tidak terpisah dengan ruang lain dan tidak ada ventilasi di ruang keluarga dapat meningkatkan kasus DBD di Jawa Barat. c. Variabel ruang keluarga tidak terpisah dengan ruang lain merupakan variabel prediktor yang paling berpengaruh terhadap kenaikan angka DBD di Jawa.
6. KESIMPULAN DAN SARAN Komponen kesehatan lingkungan yang berpengaruh terhadap angka kejadian DBD di Jawa Barat adalah penanganan sampah rumah tangga, pembuangan air limbah dan perilaku menguras bak mandi. Komponen lngkungan fisik yang berpengaruh terhadap DBD Jawa Barat adalah penggunaan ruangan dan keberadaan ventilasi. Saran yang dapat disampaikan adalah perlu adanya melakukan edukasi mengenai lingkungan fisik di pemukiman penduduk dalam hal penataan ruangan, adanya ventilasi serta tata laksana kesehatan lingkungan agar kasus DBD di Jawa Barat dapat di tekan. 7. DAFTAR PUSTAKA 1. Behrman RE, Vaughan VC, Nelson WE. Ilmu Kesehatan Anak. Terjemahan oleh Siregar MR, Maulany RF. Edisi 12. EGC; Jakarta; 1993; 292303 2. Dinkes Propinsi Jawa Barat. Cakupan Program Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang Provinsi Jawa Barat tahun 2013. http://www.diskes.jabarprov.go.id/index.php/subMenu/808 3. Sukana, B. Pemberantasan Penyakit DBD di Indonesia, Media Litbangkes Vol III, Depkes RI, 1993. Jakarta. 4. World Health Organization. Manual on Environmental Management of Mosquito Central, WHO; 1982. Offset Publication, Geneva. 5. World Health Organization. Panduan lengkap Pencegahan & Pengendalian Dengue & DBD (Alih bahasa : Palupi Widyastuti), Regional Office for South East Asia Region, World Health Organization, 2001.New Delhi. 6. Centers for Disease Control and Prevention. Dengue and Climate. 2012. www.cdc.gov/dengue . 7. Kurnia ND. Hubungan Lingkungan Dengan Penyakit Demam Berdarah (DBD).2012. http://novitadwikurnia.blogspot.com/
21
8. Tamza RB, Suhartono,et al. Hubungan Faktor lingkungan dan perilaku dengan kejadian DBD di wil kelurahan Perumnas Way halim Kota Bandar lampung. Jurnal Kesehatan Masyarakat. Vol 2, No 2 April 2013. 9. Awida R. Hubungan Sosiodemografi dan Lingkungan dengan Kejadian Penyakit DBD di kecamatan Bukit Raya Kota Pekanbaru. [Tesis]. Universitas Sumatera Utara. Medan. 2008 10. Zulkarnaini, Siregar YI, Dameria. Hubungan Kondisi Sanitasi Lingkungan Rumah Tangga Dengan Keberadaan Jentik Vektor Dengue Di daerah Rawan Demam Berdarah Dengue Kota Dumai Tahun 2008. Jurnal Lingkungan 2009 :2 (3) 11. Yuniati. Pengaruh Sanitasi Lingkungan Permukiman Terhadap Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Daerah Aliran Sungai Deli Kota Medan. Thesis. 2012. Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat. Universitas Sumatera Utara 12. Soegijanto S. Demam Berdarah Dengue Di Indonesia. Edisi 2 pp: 253-254, 248-249, Airlangga University Press, 2006. Surabaya 13. WHO. Dengue Guidelinesfor Diagnosis, Treatment, Prevention and Control. 2009. 14. BPS Propinsi Jawa Barat. Jawa Barat Dalam Angka. 2013. 15. Nusa Roy, Prasetyowati H, Nurindra RW, dkk. Peta model pengendalian aedes spp di daerah endemis di Kota Sukabumi tahun 2012. Laporan internal Loka Litbang P2B2 Ciamis. 16. Anonim. Demam Berdarah Dengue di Indonesia dari tahun 1968-2009. Buletin Jendela Epidemiologi. Volume 2. Agustus 2010. 17. Siregar, A. Epidemiologi dan Pengendalian DBD di Indonesia. 2004. http://www.USUlibrary.ac.id (Diakses November 2014). 18. Supartha,I Wayan. 2008. Pengendalian Terpadu Vektor Demam Berdarah Aedes Aegypti dan Aedes Albopictus. Naskah dipresentasikan dalam Pertemuan Ilmiah Dies Natalis Universitas Udayana 3-6 September 2008, Denpasar 19. Getis, A.,Morrison, A. C., Gray, K., Scott, T.W.2003. Characteristics of the Spatial Pattern of Dengue Vektor, Aedes aegypti in Iquitos, Peru. American Journal of Tropical Medicine and Hygiene., 69(5), 2003. pp.494-505 20. Depkes RI, 1998 dalam Awida Roose: Hubungan Sosiodemografi dan Lingkungan Dengan Kejadian Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) Di Kecamatan Bukit Raya Kota Pekanbaru Tahun 2008, 2008. USU e-Repository. 2008 21. Mukono, H.J. 2006. Prinsip Dasar Kesehatan Lingkungan: Edisi Kedua. 2006. Surabaya 22. Azwar, Azrul. Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan. Jakarta: 1995. PT.MutiaraSumber Widya 23. Irmayani. Analisis hubungan sanitasi lingkungan rumah dengan kejadian demam berdarah dengue pada anak yang dirawat di rumah sakit ibnu sina makasar. Stikesnh. Volume 3 Nomor 4 Tahun 2013 24. Edi Sucipto. Hubungan berbagai faktor lingkungan terhadap kepadatan jentik Aedes aegypti pada desa endemis di I kecamatan japah dan kecamatan ngawe kabupaten Blora. Skripsi. 2001. UNDIP 25. Nadesul, Handrawan. 100 Pertanyaan + Jawaban Demam Berdarah.Jakarta:2004 26. Djunaedi D. Demam Berdarah Dengue (DBD) Epidemiologi, Imunopatologi, Patogenesis, Diagnosis dan Penatalaksanaanya. Malang : UMM Press. 2006 27. Bond, H. & Fay R. W. Factor Influencing Aedes aegypti Occurrence in Containers. Mosq News, 29, 2006, 113-116.
22
1. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Demam berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh virus Dengue dari genus Flavivirus yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Penyakit ini terutama menyerang anak, yang ditandai dengan panas tinggi, perdarahan dan dapat mengakibatkan kematian. Jumlah kasus DBD menunjukkan kecenderungan meningkat baik dalam jumlah, maupun luas wilayah yang terjangkit dan secara sporadis selalu terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) setiap tahun. Meningkatnya jumlah kasus serta bertambahnya wilayah yang terjangkit DBD, disebabkan karena semakin baiknya sarana transportasi penduduk, adanya permukiman baru, kurangnya perilaku masyarakat terhadap pembersihan sarang nyamuk (PSN), terdapatnya vektor nyamuk hampir di seluruh pelosok tanah air serta adanya empat serotype virus yang bersirkulasi sepanjang tahun1. Situasi kasus DBD, jumlah penderita, dan incidence rate Provinsi Jawa Barat sejak tahun 2000 hingga 2009 terus mengalami peningkatan. Incidence rate (IR) Provinsi Jawa Barat pada tahun 2000 mencapai 13,8/100.000 dan terus meningkat pada tahun 2009 mencapai hampir 80 kasus per 100.000. Pada tahun 2013, jumlah kasus DBD di Jawa Barat mencapai 23.118 kasus , dimana Inciden Rate (IR) diatas 100 terdapat di Kota Bandung (231,30), Kota Sukabumi (189,81), Kota Cimahi (138,38), Kota Tasikmalaya (129,44) dan Kota Cirebon (103.18)2. Aedes aegypti dan Aedes albopictus sebagai vektor penular penyakit DBD, secara biologis dan bionomiknya selalu berdekatan dan berhubungan dengan kehidupan manusia3. WHO menyatakan untuk mengendalikan populasi Ae. aegypti dan Ae. albopictus terutama dilakukan dengan cara pengelolaan lingkungan (environtmental management)4. Pengelolaan sanitasi lingkungan yang dapat diterapkan di masyarakat dalam rangka menekan sumber habitat larva Ae. aegypti dan Ae. albopictus, antara lain : perbaikan penyediaan air bersih, perbaikan pengelolaan sampah padat, peralihan tempat perkembangbiakan buatan manusia dan perbaikan desain rumah. Aktivitas semacam itu dapat diterapkan pada tempat dimana penyakit dengue bersifat endemik5.
1
Lingkungan yang mempengaruhi peningkatan insiden DBD adalah sanitasi yang buruk,6 keberadaan jentik pada TPA, pemasangan kawat kasa pada rumah tangga, mobilitas
penduduk,
kepadatan penduduk,
adanya kontainer buatan
ataupun alami di tempat pembuangan akhir sampah (TPA) ataupun di tempat sampah lainnya. Kebiasaan masyarakat yang merugikan kesehatan dan kurang memperhatikan kebersihan lingkungan seperti kebiasaan menggantung baju, kebiasaan tidur siang, kebiasaan membersihkan TPA, kebiasaan membersihkan halaman rumah, dan juga partisipasi masyarakat khususnya dalam rangka pembersihan sarang nyamuk, maka akan menimbulkan risiko terjadinya transmisi penularan penyakit DBD di dalam masyarakat. Kebiasaan ini akan menjadi lebih buruk dimana masyarakat sulit mendapatkan air bersih, sehingga mereka cenderung untuk menyimpan air dalam tandon bak air, karena TPA tersebut sering tidak dicuci dan dibersihkan secara rutin pada akhirnya menjadi potensial sebagai tempat perindukan nyamuk Ae. aegypti7. Hasil penelitian di Bandar Lampung 2013 melaporkan bahwa keberadaan jentik di
TPA, praktek menguras TPA, kebiasaan menggantung pakaian,
pemasangan kawat kasa dan penggunaan obat nyamuk mempunyai pengaruh terhadap kejadian DBD8.
Faktor sosiodemografi atau karakteristik host juga
mempengaruhi kejadian DBD, penelitian di kota Pekanbaru 2008, juga melaporkan bahwa variabel pendidikan dan pekerjaan mempunyai hubungan yang signifikan terhadap kejadian DBD selain jarak rumah ≤ 5, keberadaan tempat penanpungan air (TPA) buatan dan alami serta keberadaan tanaman di sekitar perumahan9. Penelitian lain menyebutkan bahwa variabel kepadatan penduduk, mobilitas penduduk, sanitasi lingkungan, kepadatan jentik, perilaku masyarakat , penyuluhan dan pengendalian
tidak mempunyai pengaruh terhadap KLB DBD di kota Mataram
antara daerah KLB dengan daerah non KLB (kondisi sama) sedangkan keberadaan TPA di dalam dan di luar rumah di kedua daerah mempunyai perbedaan yang signifikan dan variabel ini mempengaruhi kejadian DBD10. Hasil survei PHBS (Perilaku Hidup Bersih Sehat) di Kota Dumai pada tahun 2006, memperlihatkan bahwa cakupan rumah tangga ber PHBS hanya sebesar 49,52%. Sanitasi di Kota Dumai yang secara umum kurang baik merupakan potensi bagi berkembangbiaknya vektor penular penyakit DBD, ditambah lagi dengan
2
kondisi topografi Kota Dumai dengan ketinggian dibawah 1000 m dari permukaan laut yang rawan sekali untuk berkembangnya nyamuk Ae. aegypti dan Ae. albopictus11. Yuniarti menambahkan berdasarkan hasil penelitiannya ada pengaruh yang signifikan antara sampah, SPAL, tempat perindukan nyamuk, pencahayaan dan kelembaban, ventilasi terhadap kejadian DBD di DAS Deli kota Medan12.
1.2. PERUMUSAN MASALAH Penyakit DBD merupakan penyakit infeksi virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Ae. aegypti. Habitat nyamuk ini berada di sekitar rumahrumah penduduk (kosmopolit) yang memiliki tempat-tempat penampungan air bersih. Keberadaan nyamuk disekitar aktivitas manusia menjadi faktor utama semakin meluasnya penularan DBD, baik perkotaan ke perdesaan maupun dari balita hingga orang tua. Penularan penyakit DBD ditentukan oleh pola interaksi tiga komponen yaitu keberadaan manusia, virus dengue, dan nyamuk Aedes sp13. Penelitian Zulkarnaini menyimpulkan bahwa terdapat hubungan antara kondisi sanitasi lingkungan rumah tangga berupa penyediaan air bersih, pengelolaan sampah, dan pengendalian vektor dengan keberadaan jentik Ae. aegypti di daerah rawan DBD Kota Dumai14. Penelitian Suyara menjelaskan bahwa terdapat hubungan antara kepadatan penduduk dengan kejadian DBD15. Lingkungan pemukiman padat penduduk memudahkan terjadinya penularan DBD, karena akan semakin banyak dan beragam aktivitas penduduk untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari yang secara langsung maupun tidak langsung menimbulkan habitat baru bagi nyamuk Ae. aegyti, seperti pembuangan limbah domestik, penyediaan air rumah tangga, hingga perilaku penduduk itu sendiri. Hal diatas, menjadi bahan pertimbangan peneliti untuk melakukan kajian mengenai pengaruh kesehatan lingkungan permukiman terhadap kejadian DBD di Jawa Barat. Adapun pertanyaan penelitian adalah : a. Bagaimana
pengaruh
kesehatan
lingkungan
terhadap
kejadian Demam
Berdarah Dengue di Jawa Barat ? b. Bagaimana pengaruh lingkungan fisik permukiman terhadap kejadian Demam Berdarah Dengue di Jawa Barat ?
3
2. TUJUAN PENELITIAN 2.1. Tujuan Umum Tujuan umum pada penelitian ini adalah menentukan pengaruh kesehatan lingkungan permukiman terhadap kejadian demam berdarah dengue (DBD) di Jawa Barat tahun 2013
2.2. Tujuan Khusus a. Menentukan
pengaruh
kesehatan
lingkungan
terhadap
kejadian Demam
Berdarah Dengue di Jawa Barat b. Menentukan pengaruh lingkungan fisik permukiman terhadap kejadian Demam Berdarah Dengue di Jawa Barat
3. MANFAAT PENELITIAN Manfaat penelitian ini adalah a. Bagi ilmu pengetahuan menambah wawasan mengenai faktor-faktor yang berperan dalam angka kejadian infeksi virus Dengue. b. Bagi
pengambil
kebijakan
dapat
digunakan
sebagai
masukan
dalam
pengambilan kebijakan mengenai pemberantasan penyakit DBD.
4. HIPOTESA Hipotesis alternatif pada penelitian ini adalah a. Terdapat pengaruh kesehatan lingkungan terhadap kejadian demam berdarah dengue di Jawa Barat. b. Terdapat pengaruh lingkungan fisik permukiman terhadap kejadian demam berdarah dengue di Jawa Barat.
5. TINJAUAN PUSTAKA Penyakit DBD disebabkan oleh virus dengue dari kelompok Arbovirus B, yaitu arthropod-borne atau virus yang disebarkan oleh artropoda. Virus ini termasuk genus flavivirus dari famili flaviviridae.
Nyamuk Aedes betina biasanya terinfeksi virus
dengue pada saat menghisap darah dari seseorang yang sedang berada pada tahap demam akut (viraemia). Setelah melalui periode inkubasi ekstrinsik selama 8 sampai 10
4
hari, kelenjar ludah Aedes akan menjadi terinfeksi dan virusnya akan ditularkan ketika nyamuk menggigit dan mengeluarkan cairan ludahnya kedalam luka gigitan ke tubuh orang lain. Setelah masa inkubasi instrinsik selama 3-14 hari (rata-rata selama 4-6 hari) timbul gejala awal penyakit secara mendadak, yang ditandai dengan demam, pusing, myalgia (nyeri otot), hilangnya nafsu makan dan berbagai tanda atau gejala non spesifik seperti nausea (mual-mual), muntah dan rash (ruam pada kulit). Viremia biasanya muncul pada saat atau persis sebelum gejala awal penyakit tampak dan berlangsung selama kurang lebih 5 hari setelah dimulainya penyakit. Saat-saat tersebut merupakan masa kritis dimana penderita dalam masa sangat infektif untuk vektor nyamuk yang berperan dalam siklus penularan.15 Menurut Kristina dan Wulandari16 penularan DBD terjadi dari gigitan nyamuk Ae. aegypti dan Ae. albopictus betina yang sebelumnya membawa virus dari penderita demam berdarah lainnya.
Populasi nyamuk biasanya meningkat pada waktu musim
hujan karena sarang-sarang nyamuk akan terisi air hujan. Peningkatan populasi nyamuk ini akan berarti bila terjadi di daerah endemis DBD .17 Penularan penyakit DBD dapat terjadi di semua tempat yang terdapat nyamuk penularnya. Tempat-tempat potensial untuk terjadinya penularan DBD adalah ; (a) Wilayah yang banyak kasus DBD (rawan/endemis); (b) Tempat-tempat umum merupakan tempat berkumpulnya orang-orang yang datang dari berbagai wilayah sehingga kemungkinan terjadinya pertukaran beberapa tipe virus dengue cukup besar, antara lain : (1) Sekolah dimana anak murid sekolah berasal dari berbagai wilayah, merupakan kelompok umur yang paling rentan untuk terserang penyakit DBD; (2) Rumah Sakit/Puskesmas dan sarana pelayanan kesehatan lainnya; (3) Orang datang dari berbagai wilayah dan kemungkinan diantaranya adalah penderita DBD, demam dengue atau carier virus dengue; (4) Tempat umum lainnya seperti : Hotel, pertokoan, pasar, restoran, tempat-tempat ibadah dan lain-lain; (5) Pemukiman baru di pinggiran kota Karena di lokasi ini, penduduk umumnya berasal dari berbagai wilayah, maka kemungkinan diantaranya terdapat penderita atau carier yang membawa tipe virus dengue yang berlainan dari masing-masing lokasi awal.18 Lingkungan merupakan tempat interaksi vektor penular penyakit DBD dengan manusia yang dapat mengakibatkan terjadinya penyakit DBD. Lingkungan fisik yaitu keadaan fisik sekitar manusia yang berpengaruh terhadap manusia baik secara langsung,
5
maupun terhadap lingkungan biologis dan lingkungan sosial manusia.19 Faktor lingkungan fisik yang berpengaruh terhadap kejadian DBD antara lain: tata rumah, macam kontainer, ketinggian tempat dan iklim. Kesehatan perumahan dan lingkungan permukiman adalah kondisi fisik, kimia, dan biologi di dalam rumah, di lingkungan rumah dan perumahan sehingga memungkinkan penghuni mendapatkan derajat kesehatan yang optimal. Persyaratan kesehatan perumahan dan permukiman adalah ketentuan teknis kesehatan yang wajib di penuhi dalam rangka melindungi penghuni dan masyarakat yang bermukim di perumahan atau masyarakat sekitar dari bahaya atau gangguan kesehatan.20 Sanitasi lingkungan adalah status kesehatan suatu lingkungan yang mencakup perumahan, pembuangan kotoran, penyedian air bersih dan sebagainya. Banyak sekali permasalahan lingkungan yang harus dihadapi dan sangat mengganggu terhadap tercapainya kesehatan lingkungan. Kesehatan lingkungan bisa berakibat positif terhadap kondisi elemen-elemen hayati dan non hayati dalam ekosistem. Bila lingkungan tidak sehat maka sakitlah elemennya, tapi sebaliknya jika lingkungan sehat maka sehat pulalah
ekosistem tersebut.
Perilaku
yang kurang baik dari
manusia
telah
mengakibatkan perubahan ekosistem dan timbulnya sejumlah masalah sanitasi.21 Menurut Notoatmodjo22 harus dipenuhi beberapa syarat-syarat rumah yang sehat lainnya, yaitu: 1. Bahan Bangunan a. Lantai Syarat yang penting disini adalah tidak berdebu pada musim kemarau dan tidak basah pada musim hujan. b. Dinding: tembok adalah baik, namun disamping mahal, tembok sebenarnya kurang cocok untuk daerah tropis, lebih-lebih bila ventilasinya tidak cukup. Dinding rumah di daerah tropis khususnya di pedesaan, lebih baik dinding atau papan. c. Atap genteng adalah umum dipakai baik di daerah perkotaan maupun pedesaan. Disamping atap genteng adalah cocok untuk daerah tropis, juga dapat terjangkau oleh masyarakat dan bahkan masyarakat dapat membuatnya sendiri. Atap seng ataupun asbes tidak cocok untuk rumah pedesaan, disamping mahal juga menimbulkan suhu panas didalam rumah.
6
d. Lain-lain (tiang, kaso dan reng): tiang untuk kaso dan reng adalah umum di pedesaan. Menurut pengalaman bahan-bahan ini tidak tahan lama. Tapi perlu diperhatikan bahwa lubang-lubang bambu merupakan sarang tikus yang baik. Untuk menghindari ini maka cara memotongnya harus menurut ruas-ruas bambu tersebut, apabila tidak pada ruas, maka lubang pada ujung-ujung bambu yang digunakan untuk kaso tersebut ditutup dengan kayu. 2. Ventilasi Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah untuk menjaga agar aliran udara didalam rumah tersebut tetap segar. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya O2 didalam rumah yang berarti kadar CO2 yang bersifat racun bagi penghuninya menjadi meningkat. Disamping itu, tidak cukupnya ventilasi akan menyebabkan kelembapan udara didalam ruangan naik karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembapan ini akan merupakan media yang baik untuk bakteri-bakteri patogen (bakteri-bakteri penyebab penyakit). Fungsi kedua daripada ventilasi adalah untuk membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen, karena disitu selalu terjadi aliran udara yang terus menerus. Fungsi lainnya adalah untuk menjaga agar ruangan rumah selalu tetap didalam kelembapan (humudity) yang optimum. 3. Cahaya Rumah yang sehat harus mempunyai jalan masuk cahaya (jendela) luasnya sekurang-kurangnya 15% sampai 20% dari luas lantai yang terdapat didalam ruangan rumah. 4. Luas Bangunan Rumah Luas bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni didalamnya, artinya luas lantai bangunan tersebut harus disesuaikan dengan jumlah penghuninya. Luas bangunan yang tidak sebanding dengan jumlah penghuninya akan menyebabkan perjubelan (overcrowded). Luas bangunan yang optimum adalah apabila dapat menyediakan 2,5 – 3 m2 untuk tiap orang (tiap anggota keluarga). Menurut Entjang23 yang dimaksud dengan hygiene sanitasi lingkungan adalah pengawasan lingkungan fisik, biologis, sosial dan ekonomi yang mempengaruhi kesehatan manusia dimana lingkungan yang berguna ditingkatkan dan diperbanyak
7
sedangkan yang merugikan diperbaiki atau dihilangkan. Menurut Dainur24, pesatnya pertumbuhan penduduk serta pertumbuhan teknologi membuat pertumbuhan mobilitas penduduk juga sangat pesat. Hal ini membuat seolah-olah lingkungan serta ruang gerak penduduk merupakan ancaman terhadap tingkat kesehatan lingkungan di wilayah tertentu. Tingkat kesehatan lingkungan dapat diukur dengan parameter berikut: (1) Penyediaan air bersih terlindung; (2) Pembuangan (drainase) air limbah yang memenuhi persyaratan kesehatan; (3) Penyediaan dan pemanfaatan tempat pembuangan kotoran serta cara pembuangan kotoran manusia yang sehat; (4) Penyediaan dan pemanfaatan tempat pembuangan sampah rumah tangga dan tempat-tempat umum yang memenuhi persyaratan kesehatan; (5) Penyediaan sarana pengawasan penyehatan makanan; (6) Penyediaan sarana perumahan yang memenuhi persyaratan kesehatan; (7) Penyediaan sarana pengawasan pencemaran udara oleh industri.
8
6. METODA 6.1. Kerangka Teori Kerangka teori penelitian adalah Ekologi Vektor DBD
Pengendalian Vektor
Habitat Vektor
Faktor Kesehatan lingkungan pemukiman
Iklim dan Cuaca
Faktor Sanitasi rumah tangga
Kepadatan Vektor Virulensi virus Dengue Populasi Manusia Rentan Faktor individu : 1. Umur 2. Sosial ekonomi 3. Perilaku 4. Gol. Darah 5. Hipertensi 6. Kelainan ginjal
Manusia terinfeksi virus dengue
Gambar 1. Kerangka Teori Penularan penyakit DBD sangat dipengaruhi ekologi vektor baik Ae. aegypti maupun Ae. albopictus, berupa pengendalian vektor, habitat vektor, dan iklim dan cuaca. Aedes sp. memiliki sifat kosmopolit sehingga kondisi kesehatan
9
lingkungan pemukiman dan sanitasi rumah tangga menjadi faktor penentu kualitas habitat
vektor. Ekologi yang sesuai dengan kebutuhan hidup, akan
menentukan tingkat kepadatan populasi Aedes. Keberadaan vektor ini menjadi salah satu indikator penularan DBD di suatu wilayah. Berdasarkan analogi teori Gordon, penularan penyakit DBD terjadi akibat interaksi tiga komponen yaitu host (manusia rentan), Agent (virus dengue), dan Environment (vektor).25
6.2. Kerangka Konsep Kerangka konsep pada penelitian ini adalah Variabel BebasVariabel Terikat Karakteristik Individu, meliputi : 1. Umur 2. Jenis Kelamin 3. Pendidikan 4. Pekerjaan Kejadian DBD Faktor Kesehatan Lingkungan Faktor Lingk. Fisik Permukiman
Kepadatan Aedes aegypti Var. Perancu
Gambar 2. Kerangka Konsep
10
6.3. Definisi Operasional Variabel
Tabel 1. Definisi operasional No
Variabel
1
Faktor Kesehatan Lingkungan
2
Faktor Lingk. Fisik Permukiman
3
4
Uraian
Metode Pengukuran
Skala Ukur
Katagori
kondisi lingkungan yang mampu menopang keseimbangan antara manusia dan lingkungannya untuk mencapai derajat kesehatan manusia seutuhnya, meliputi penyediaan air, pengelolaan sampah padat, dan pencegahan penyakit. Keadaan fisik rumah dan lingkungan fisik sekitarnya
Alat ukur : Kuesioner RKD13.RT
Rasio
Jumlah yang tidak memenuhi syarat kesehatan lingkungan yang baik per Kabupaten/kota
Alat ukur : Kuesioner RKD13.RT
Rasio
Jumlah yang tidak memenuhi syarat kesehatan lingkungan yang baik per Kabupaten/kota
Kepadatan hunian
Perbandingan antara luas bangunan dalam rumah dengan penghuninya.
Alat ukur : Kuesioner RKD13.RT
Rasio
Kejadian DBD
Jumlah kasus infeksi virus dengue yang terjadi di Kab/Kota di Prop. Jawa Barat Tahun 2013
Telaah dokumen Dinas Kesehatan
Rasio
0. tidak memenuhi syarat, jika rasio < 10m2/org 1. memenuhi syarat, jika rasio ≥ 10m2/org Jumlah penderita DBD tahun 2013
6.4. Tempat Dan Waktu Penelitian akan dilaksanakan di Loka Litbang P2B2 Ciamis pada bulan Oktober sampai dengan Desember 2014. Pengumpulan data sekunder kasus DBD akan dilaksanakan di Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Barat, dan pengumpulan data sekunder situasi kesehatan lingkungan pemukiman di 27 Kabupaten/Kota di Jawa Barat akan dilaksanakan di Laboratorium Manajemen Data Riskesnas Badan Litbangkes Kemenkes RI.
11
6.5. Populasi Dan Sampel Populasi pada penelitian ini adalah seluruh rumah tangga biasa yang berdomisili di 27 Kabupaten/Kota Propinsi Jawa Barat. Sampel pada penelitian ini sesuai dengan jumlah rumah tangga yang berhasil dikunjungi oleh enumerator Riskesdas di Propinsi Jawa Barat. Proses pemilihan rumah tangga pada Riskesdas 2013 dilakukan oleh BPS dengan cara two stage sampling, kemudian dipilih blok sensus yang proporsional terhadap jumlah rumah tangga di Kabupaten/Kota sebanyak 25 rumah tangga dari tiap BS menggunakan teknik simple random sampling. Sampel Riskesdas 2013 yang berhasil dikunjungi oleh enumerator di 27 Kabupaten/Kota propinsi Jawa Barat adalah 958 BS dengan 23.694 rumah tangga (RR.98,9%). Kriteria Inklusi pada penelitian ini adalah rumah tangga yang diwawancarai oleh enumerator pada Riskesdas 2013. Kriteria Eksklusi pada penelitian ini adalah rumah tangga tidak bertempat tinggal di bangunan rumah. 6.6. Instrumen Pengumpul Data Pada penelitian ini akan dilakukan pengumpulan data sekunder dari hasil Riskesdas 2013 dan data demam berdarah dengue dari Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Barat. Adapun variabel yang digunakan pada penelitian ini adalah a. Variabel bebas pada penelitian ini adalah kesehatan lingkungan dan lingkungan fisik permukiman. Data diperoleh dari hasil Riskesdas 2013. b. Variabel terikat pada penelitian ini adalah angka kejadian demam berdarah dengue di Jawa Barat tahun 2013. Data diperoleh dari Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Barat. 6.7. Bahan Dan Prosedur Pengumpul Data Pada penelitian ini akan dilakukan pengolahan, analisis, dan interpretasi data sekunder hasil kegiatan Riskesdas 2013 dan angka kejadian demam berdarah dengue di Jawa Barat pada tahun 2013. Data yang digunakan merupakan hasil tabulasi yang dilakukan oleh manajamen data Riskesdas 2013 dalam bentuk electric file. Adapun unit variabel yang akan dianalisis adalah sebagai berikut :
12
Tabel 2. Unit variabel yang dianalisis berdasarkan sumber data No.
Variabel
1.
Karakteristik Individu • Kabupaten/Kota • Kecamatan • Desa/Kelurahan • Nama kepala RT • Alamat rumah • Banyaknya ART Kesehatan Lingkungan • Sumber air • Jumlah pemakaian air • Kualitas fisik air • Jarak dan lama waktu • Penanganan sampah • Tempat buang air limbah • Sarana air limbah • Menggunakan insektisida • Mencegah penularan akibat gigitan nyamuk • Menguras bak mandi • Daerah kumuh
Kuesioner Riskesdas 2013 Blok I No. 2 Blok I No. 3 Blok I No. 4 Blok I No. 8 Blok II No. 1 Blok II No. 2 Kuesioner Riskesdas 2013 Blok VIII No. 1a Blok VIII No. 1b Blok VIII No. 4 Blok VIII No. 6 Blok VIII No. 9 Blok VIII No. 10 Blok VIII No. 11 Blok VIII No. 13 Blok VIII No. 14
Lingk. Fisik Permukiman
Kuesioner Riskesdas 2013 Blok IX No. 2b Blok IX No. 3 Laporan kasus DBD Dinkes Jawa Barat tahun 2013
2
3
4
• Jumlah orang tinggal • Keadaan ruangan Angka kejadian Demam Berdarah Dengue
Sumber Data
Blok VIII No. 15 Blok VIII No. 16
6.8. Pengolahan Dan Analisis Data Pengolahan data melalui tahapan berikut : Agar analisis menghasilkan informasi yang benar, ada empat tahapan dalam mengolah data : •
Editing adalah memeriksa data dengan cara melihat kembali hasil pengumpulan data untuk menghindari kesalahan data.
•
Coding, dengan memberikan kode pada setiap data berdasarkan klasifikasi yang ada untuk memudahkan dalam analisis data.
•
Procesing, yaitu memindahkan isi data atau memproses isi data atau entry data dengan menggunakan statistik komputer.
•
Cleaning, pada tahap ini dilakukan pengecekan kembali data yang sudah di entry apakah ada kesalahan atau tidak.
13
Analisis data pada penelitian ini adalah 1. Univariat Dilakukan analisis
univariat untuk mengetahui
nilai tendensi sentral
(mean, median, dan mode), standar deviasi, nilai minimum dan maksimum, dan untuk mengetahui distribusi frekuensi data masing-masing variabel. 2. Bivariat Analisa bivariat digunakan untuk menguji hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat. Analisis statistik yang digunakan untuk menguji hubungan variabel berskala katagorik dengan variabel berskala katagorik adalah chi square. Uji statistik chi square digunakan untuk mengukur perbedaan proporsi, dengan persyaratan sebagai berikut : a).
Apabila pada tabel 2x2 terdapat nilai Expected (E) < 5, maka pilihan statistik yang digunakan adalah fisher exact test. Uji statistik fisher exact test ini lebih akurat daripada uji chi-kuadrat untuk data-data berjumlah sedikit.
b).
Apabila pada tabel 2x2 tidak ditemukan nilai E < 5, maka uji yang digunakan adalah continuity correction (α).
c).
Apabila tabel lebih dari 2x2, maka uji yang digunakan adalah pearson chi square. Tabel 3. Analisis bivariat berdasarkan variabel dan uji statistik
Variabel Bebas Variabel terikat Komponen Kesehatan Lingkungan Kasus DBD • Sumber air Kasus DBD • Jumlah pemakaian air
Uji Statistik Pearson Chi square Chi square
• Kualitas fisik air • Penanganan sampah • Tempat buang air limbah • Sarana air limbah • Menggunakan insektisida • Mencegah penularan akibat gigitan nyamuk • Menguras bak mandi
Kasus DBD Kasus DBD Kasus DBD
Pearson Chi square Chi square Chi square
Kasus DBD Kasus DBD
Chi square Pearson Chi square
Kasus DBD
Chi square
Kasus DBD
Pearson Chi square
• Daerah kumuh
Kasus DBD
Chi square
14
Komponen Lingkungan Fisik Pemukiman Kasus DBD • Status penguasaan bangunan Kasus DBD • Keadaan ruangan
Pearson Chi square Chi square
3. Multivariat Analisis multivariat dilakukan untuk melihat hubungan variabel bebas dengan variabel terikat, serta variabel bebas mana yang paling besar pengaruhnya terhadap variabel terikat. Analisis multivariat dilakukan dengan cara menghubungkan beberapa variabel bebas dengan satu variabel terikat secara bersamaan. Analisis regresi poisson dapat menjelaskan hubungan variabel bebas dengan variabel terikat dengan skala data berupa count (angka). Prosedur yang dilakukan uji regresi poisson adalah analisis bivariat antara masing-masing variabel bebas, bila dari hasil uji bivariat menunjukkan nilai p< 0,05, maka variable tersebut dapat dilanjutkan dengan model multivariat. Namum, apabila variabel dengan p> 0,05 merupakan variabel dengan substansi yang paling penting berhubungan dengan variabel terikat, variabel tersebut dapat diikutkan dalam model multivariat. Analisis multivariat dilakukan untuk mendapat model yang terbaik. Semua variabel kandidat dimasukkan bersama-sama untuk dipertimbangkan menjadi model dengan nilai signifikan (p<0,05). variabel terpilih dimasukkan kedalam model dan nilai p yang tidak signifikan dikeluarkan dari model, berurutan dari nilai p tertinggi.
7. HASIL PENELITIAN Berdasarkah hasil survey RISKESDAS 2013 di Propinsi Jawa Barat diperoleh jumlah sampel yaitu sebanyak 77.701 responden rumah tangga.
Secara deskriptif
diperoleh data karakteristik responden yang dibedakan berdasar jenis kelamin, umur, pekerjaan, pendidikan dan kepadatan hunian yang tersaji dalam tabel 4. Berdasarkan golongan umurnya responden usia pra sekolah yang terdiri dari umur < 6 tahun sebesar 9%, usia sekolah dasar 6-14 tahun sebesar 19%, usia produktif 15-55 tahun sebesar 57% dan usia non produktif 15%. Golongan umur ini terdiri dari 48,7% laki-laki dan 51,3% perempuan dengan sex rasio sebesar 94,87. Dari segi pendidikan, responden didominasi oleh pendidikan tamat SD (32%). Hanya sekitar 4,3% responden yang menempuh pendidikan tinggi. Hal ini menjelaskan
15
bahwa masih rendahnya tingkat pendidikan di kalangan penduduk Jawa Barat. Sedangkan dari segi pekerjaan, pegawai swasta dan PNS memiliki prosentase yang tidak terpaut jauh.
Kedua pekerjaan ini mendominasi jenis pekerjaan di kalangan
responden. Prosentase terkecil didapatkan jenis pekerjaan wiraswasta yang hanya 1,1%. Tabel 4. Karakteristik Responden Provinsi Jawa Barat RISKESDAS 2013 No 1
Karakteristik Umur
2
Jenis Kelamin
3
Pendidikan
4
Pekerjaan
Kategori < 6 th 6-14 th 15-55th >56th L P Belum Sekolah Tidak/Belum pernah sekolah Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SLTP Tamat SLTA PT PNS Swasta Wiraswasta Petani Belum bekerja
Prosentase 9 19 57 15 48,7 51,3 9,5 6 18,2 32 14,8 15,2 4,3 31 37,4 1,1 12,8 17,6
Dari hasil survey diperoleh beberapa data kondisi kesehatan lingkungan yang berupa kondisi kesehatan lingkungan rumah dan kondisi lingkungan fisik pemukiman. Dari hasil analisis komponen kondisi lingkungan fisik pemukiman didapatkan hasil sebagai berikut: a. Kepadatan hunian Sebanyak 31,14% rumah tangga memiliki jumlah anggota rumah tangga sebanyak 4 orang. Hanya sekitar 0,17% rumah yang memiliki anggota rumah tangga 12 dan 18 orang dalam satu bangunan atap rumah.
Kepadatan hunian
yang memenuhi syarat yaitu dengan rasio kepadatan hunian lebih dari 10 m2/orang dikalangan responden sebanyak 72,2 % sedangkan yang tidak memenuhi syarat yaitu rasio kepadatan hunian kurang dari 10 m2/orang sebesar 27,8%.
16
b. Penggunaan ruangan Penggunaan ruangan baik ruang tidur, dapur dan ruang keluarga di kalangan masyarakat Jawa Barat umumnya sudah terpisah antara satu ruangan dengan ruangan lain. Penggunaan ruangan di masyarakat Jawa Barat tersaji dalam tabel 4. Tabel 4. Penggunaan ruangan tempat tinggal masyarakat Provinsi Jawa Barat Penggunaan ruangan
Ruang Tidur
Dapur
Ruang Keluarga
Terpisah
95,6%
95,4%
90,9%
Tidak terpisah
4,4%
4,6%
9,1%
c. Keberadaan jendela Keberadaan jendela dalam suatu ruangan mutlak diperlukan untuk keperluan pencahayaan dan sirkulasi udara. Adapun keberadaan jendela dalam ruangan di kalangan masyarakat Jawa Barat tersaji dalam tabel 5. Tabel 5. Keberadaan Jendela di Masyarakat Provinsi Jawa Barat Keberadaan jendela
Ruang tidur
Dapur
Ruang keluarga
Ada dibuka tiap hari
36,1%
31,2%
37,4%
Ada jarang dibuka
46,3%
39,4%
49,0%
Tidak ada
17,6%
29,4%
13,7%
d. Ventilasi Besar kecilnya ventilasi dalam suatu ruangan berpengaruh terhadap sirkulasi udara dalam ruangan tersebut.
Sebagian besar masyarakat Jawa Barat hanya
memiliki ventilasi yang luasnya< 10% , bahkan ada beberapa responden yang tidak memiliki ventilasi dalam ruangannya. Gambaran kondisi ventilasi ruangan di kalangan masyarakat Jawa Barat terseji dalam tabel 6. Tabel 6. Gambaran kondisi ventilasi ruangan masyarakat Provinsi Jawa Barat Ventilasi
Ruang tidur
Dapur
Ruang keluarga
Ada (luasnya>10%)
37,8%
36,1%
45,2%
Ada (luasnya<10%)
51,1%
49,2%
46,7%
Tidak ada
11,1%
14,6%
8,2%
17
e. Pencahayaan Sedikit banyaknya cahaya yang masuk ke dalam ruangan berpengaruh terhadap kondisi kesehatan individu yang tinggal di dalamnya.
Gambaran kondisi
pencahayaan ruangan masyarakat Jawa Barat tersaji dalam tabel 7.
Tabel 7. Gambaran kondisi pencahayaan ruangan masyarakat Provinsi Jawa Barat Pencahayaan Ruang tidur Dapur Ruang Keluarga Cukup
66,5%
64,3%
78,7%
Tidak Cukup
33,5%
35,7%
21,3%
f. Kebersihan Ruangan Ruangan yang bersih menjamin kesehatan dan kenyamanan penghuni rumah untuk tinggal di dalamnya. Gambaran kondisi kebersihan ruang tempat tinggal masyarakat Jawa Barat tersaji pada tabel 8. Tabel 8. Gambaran kondisi kebersihan ruang tempat tinggal masyarakat Jawa Barat Kebersihan Ruang Tidur Dapur Ruang Keluarga Bersih
76,3%
66,5%
78,3%
Tidak Bersih
23,7%
33,5%
21,7%
Berdasarkan analisis data komponen kesehatan lingkungan pemukiman di dapatkan hasil sebagai berikut : a. Jenis Sumber air Jenis sumber air untuk keperluan sehari-hari masyarakat Jawa Barat beragam. Adapun jenis dan jumlahnya sumber air di kalangan masyarakat Jawa Barat tersaji dalam tabel 12.
18
Tabel 12. Jenis dan jumlah sumber air di kalangan masyarakat Jawa Barat No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 b.
Jenis Sumber Air Air Ledeng /PDAM Air Ledeng/ membeli Sumur Bor/Pompa Sumur Gali terlindung Sumur Gali tidak terlindung Mata air terlindung Mata air tidak terlindung Penampungan air hujan Air sungai/danau/irigasi
Prosentase 14,1 1,9 30,2 31,2 6,1 8,9 5,2 0,1 2,4
Kualitas air Kualitas air dinilai dari warna air, kekeruhan, berbusa, berasa, dan berbau. Berdasarkan kualitas airnya, kondisi air di Jawa barat tersaji dalam tabel 13. Tabel 13. Kualitas airnya, kondisi air di Jawa Barat No 1 2 3 4 5
Kualitas air Berwarna Berasa Berbau Keruh Berbusa
Tidak 98,7 97,3 98,4 97,3 99,5
Ya 1,3 2,7 1,6 2,7 0,5
c. Pengelolaan sampah Dalam hal pengelolaan sampah rumah tangga, sebanyak 45,7% masyarakat Jawa Barat membakar sampah rumah tangga mereka. Ada sebagian masyarakat yang sampahnya diangkut oleh petugas (29,4%) dan ditimbun dalam tanah (3,3%).
Namun masih ada masyarakat yang membuang sampah ke
parit/kali (12,6%) dan di buang sembarangan (8,7%). Pengelolaan sampah pada rumah tangga di Jawa Barat disajikan pada tabel 14. Tabel 14. Pengelolaan sampah pada rumah tangga di Jawa Barat No 1 2 3 4 5 6
Pengelolaan Diangkut Petugas Ditimbun dalam Tanah Dibuat kompos Dibakar Dibuang ke Parit/kali Dibuang sembarangan
Persentase 29,4 3,3 0,4 45,7 12,6 8,7
19
Propinsi Jawa Barat tahun 2013 terdiri dari 26 Kabupaten/Kota. Pada tahun 2013, jumlah kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) di Jawa Barat mencapai 23.118 kasus. Kasus DBD terbanyak terjadi di Kota Bandung yaitu sebanyak 5.736 kasus, dan terndah di kota Banjar yaitu 64 kasus.
Berdasarkan Inciden Rate (IR) kasus DBD
terdapat beberapa kota yang nilai IR diatas 100 yaitu Kota Bandung (231,30), Kota Sukabumi (189,81), Kota Cimahi (138,38), Kota Tasikmalaya (129,44) dan Kota Cirebon (103.18). Sebaran jumlah kasus DBD di Jawa Barat tahun 2013 disajikan pada gambar 7 dan sebaran inciden rate (IR) DBD disajikan pada gambar 8. 7,000 5,736
6,000 5,000 4,000
Kota Bekasi
Kota Bandung
Kota Depok
Kab. Bogor
Kab. Bandung Barat
Kab. Subang
Kab. Bandung
1,240 1,337 1,396 981 1,275 1,381 1,087 947
Kab. Sumedang
Kab. Cirebon
851
Kota Tasikmalaya
Kab. Karawang
Kota Bogor
759 782 797 833
Kota Cimahi
433 597 Kota Sukabumi
Kab. Garut
Kab. Cianjur
Kota Cirebon
Kab. Majalengka
Kab. Tasikmalaya
Kab. Ciamis
Kab. Purwakarta
Kab. Kuningan
Kota Banjar
-
311 314 341 359 64 188 260 262 282 305 Kab. Indramayu
1,000
Kab. Sukabumi
2,000
Kab. Bekasi
3,000
Gambar 7. Sebaran jumlah kasus DBD pada Kabupaten/Kota di Jawa Barat tahun 2013.
231.3
250
189.81
200
138.38 129.44
150
Kota Bandung
Kota Sukabumi
Kota Cimahi
Kota Tasikmalaya
Kota Cirebon
Kab. Sumedang
Kota Bogor
Kab. Bandung Barat
Kab. Subang
Kota Bekasi
Kota Depok
Kab. Cirebon
Kab. Bandung
Kota Banjar
Kab. Karawang
Kab. Bekasi
Kab. Purwakarta
Kab. Majalengka
Kab. Kuningan
Kab. Bogor
Kab. Tasikmalaya
Kab. Sukabumi
Kab. Ciamis
Kab. Garut
0
Kab. Cianjur
50
103.18 83.4286.44 76.52 69.7771.99 53.84 39.45 33.8135.3 36.1 24.324.7225.8331.1331.27 11.1413.5115.9916.8517.8217.92
Kab. Indramayu
100
Gambar 8. Sebaran Inciden Rate DBD pada Kabupaten/Kota di Jawa Barat tahun 2013.
20
Data Incidence Rate (IR) DBD di Jawa Barat kemudian dilakukan uji parametrik. Salah satu persyaratan uji parametrik adalah data terikat harus berdistribusi normal. Penegakkan distribusi normal berdasarkan hipotesis nol. Ho = data mengikuti distribusi normal; Ho diterima apabila p value > 0,05. Dilakukan uji non parametrik one sample kolmogorov smirnov menggunakan SPSS Berdasarkan tabel One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test diketahui bahwa p value = 0,125, Ho diterima, yaitu data mengikuti distribusi normal. Data dapat dianalisis lanjut menggunakan pendekatan regresi linier ganda. Dilakukan analisis hubungan tiap variabel bebas yaitu komponen-komponen kesehatan lingkungan pemukiman dengan variabel terikat yaitu kasus DBD Propinsi Jawa Barat. Dari analisis bivariat ini diperoleh variabel yang menjadi kandidat model multivariat. Variabel yang menjadi kandidat model multivariat adalah variabel dengan nilai p value ≤ 0,25. Hasil Analisis Bivariat Pada penelitian ini dilakukan analisis terhadap 28 variabel prediktor mengenai kesehatan lingkungan dan lingkungan fisik pemukiman di Jawa Barat tahun 2013. Seluruh data variabel prediktor adalah proporsi dari setiap variabel, dan berskala numerik. Variabel respon pada penelitian ini adalah jumlah kasus DBD di Jawa Barat tahun 2013, berskala numerik. Analisis data korelasi pearson digunakan untuk menentukan hubungan antara dua variabel yang berskala numerik. Analisis korelasi Pearson adalah statistik parametrik, berasumsi data berdistribusi normal. Dalam hal ini variabel respon telah berdistribusi normal. Hasil analisis data korelasi pearson disajikan pada tabel 15. Tabel 15. Hasil uji bivariat antara 28 variabel dengan kasus DBD di Jawa Barat. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Variabel prediktor Jenis sumber air utama ruta tidak sehat Kualitas fisik air minum keruh Kualitas fisik air minum berwarna Kualitas fisik air minum berasa Kualitas fisik air minum berbusa Kualitas fisik air minum berbau Cara penanganan sampah rutatidak sehat Pembuangan air limbah rutatidak sehat Cara menyimpan insektisida Mencegah gigitan nyamuk Menguras bak mandi sesuai aturan
Variabel respon Kasus DBD Kasus DBD Kasus DBD Kasus DBD Kasus DBD Kasus DBD Kasus DBD Kasus DBD Kasus DBD Kasus DBD Kasus DBD
p-value 0,036 0,486 0,372 0,757 0,307 0,078 0,000 0,059 0,399 0,723 0,518
Katagori Kandidat Kandidat Bukan Kandidat Bukan Kandidat Kandidat Kandidat Bukan Kandidat Kandidat
21
12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28
Rumah daaerah kumuh Kasus DBD 0,092 Kandidat Kepadatan hunian rutatidak sehat Kasus DBD 0,812 Kandidat Ruang tidur tidak terpisah dengan ruang lain Kasus DBD 0,052 Kandidat Ruang tidur tidak bersih Kasus DBD 0,718 Bukan Tidak ada jendela ruang tidur Kasus DBD 0,586 Bukan Tidak ada ventilasi ruang tidur Kasus DBD 0,961 Kandidat Tidak cukup cahaya di ruang tidur Kasus DBD 0,702 Kandidat Dapur tidak terpisah dengan ruang lain Kasus DBD 0,109 Kandidat Dapur tidak bersih Kasus DBD 0,731 Bukan Tidak ada jendela dapur Kasus DBD 0,729 Bukan Tidak ada ventilasi dapur Kasus DBD 0,755 Kandidat Tidak cukup cahaya di dapur Kasus DBD 0,541 Kandidat Ruang keluarga tidak terpisah dg ruang lain Kasus DBD 0,022 Kandidat Ruang keluarga tidak bersih Kasus DBD 0,531 Bukan Tidak ada jendela ruang keluarga Kasus DBD 0,562 Bukan Tidak ada ventilasi ruang keluarga Kasus DBD 0,967 Kandidat Tidak cukup cahaya di ruang keluarga Kasus DBD 0,268 Kandidat Berdasarkan tabel 15 diketahui bahwa dari 28 variabel prediktor yang dianalisis,
hanya 19 variabel yang dapat dijadikan sebagai kandidat untuk analisis multivariat, yaitu 9 variabel untuk komponen kesehatan lingkungan, terdiri dari : jenis sumber air utama ruta tidak sehat, kualitas fisik air minum keruh, kualitas fisik air minum berasa, kualitas fisik air minum berbau, cara penanganan sampah ruta tidak sehat, pembuangan air limbah ruta tidak sehat, mencegah gigitan nyamuk, menguras bak mandi sesuai aturan, rumah daerah kumuh. Komponen lingkungan fisik pemukiman diperoleh 10 variabel yang menjadi kandidat, terdiri dari kepadatan hunian ruta tidak sehat, ruang tidur tidak terpisah dengan ruang lain, tidak ada ventilasi ruang tidur, tidak cukup cahaya di ruang tidur, dapur tidak terpisah dengan ruang lain, tidak ada ventilasi dapur, tidak cukup cahaya di dapur, ruang keluarga tidak terpisah dengan ruang lain, tidak ada ventilasi ruang keluarga, dan tidak cukup cahaya di ruang keluarga.
Hasil Analisis Multivariat Analisis multivariat mensyaratkan variabel prediktor tidak mengalami tiga asumsi yaitu autokorelasi, heterokedastisitas, dan multikolinieritas. Pemeriksaan autokorelasi menggunakan nilai Durbin Watson, dengan asumsi apabila nilai DW berada pada batas -2 ≤ DW ≤ 2, maka variabel prediktor tidak mengalami autokorelasi. Pemeriksaan heterokedastisitas menggunakan sebaran grafik Scatterplot dengan asumsi apabila sebaran tidak membentuk pola tertentu, maka variabel prediktor tidak mengalami
heterokedastisitas.
Pemeriksaan
multikolinieritas
menggunakan
nilai 22
variance infation factor (VIF) berdasarkan nilai batas sebesar 10. Hasil uji asumsi disajikan pada tabel 16. Tabel 16. Hasil pengujian asumsi regresi variabel kesehatan lingkungan dan lingkungan fisik pemukiman di Jawa Barat Tahun 2013. Asumsi Keslingk Lingk Fisik Uji Autokorelasi (Durbin-Watson)
1,616
1,576
Uji Heterokedastisitas (Scatterplot)
Tidak membentuk pola
Tidak membentuk pola
Uji Multikolinieritas (VIP)
1,64 – 4,18
1,953 – 25,733
Berdasarkan tabel 16 dapat diketahui bahwa setiap variabel pada komponen kesehatan lingkungan dan lingkungan fisik pemukiman memenuhi syarat untuk dilakukan analisis mulltivariat. Namun pada variabel prediktor lingkungan fisik terdapat 6 komponen variabel dengan nilai VIP > 10 yaitu ruang tidur tidak terpisah, tidak ada ventilasi di ruang tidur, tidak cukup cahaya diruang tidur, dapur tidak terpisah, tidak ada ventilasi di dapur, dan tidak ada ventilasi di ruang keluarga. Analisis dispersi digunakan untuk mengetahui apakah model regresi poisson yang diperoleh telah memenuhi asumsi model regresi poisson dengan menghitung nilai devian dan derajat bebas. Apabila nilai devian dibagi nilai derajat bebas berada pada rentang 1 ≤ dispersi ≤ 2,5 maka dinyatakan dispersi. Namun apabila lebih dari 2,5 dinyatakan overdispersi dan kurang dari 1 dinyatakan underdispersi. Tabel 17. Hasil pengujian dispersi regresi poisson variabel kesehatan lingkungan dan lingkungan fisik pemukiman di Jawa Barat Tahun 2013
Variabel Prediktor
Dispersi
Keterangan
Kesehatan lingkungan
16,34
Overdispersi
Lingkungan Fisik
33,94
Overdispersi
Berdasarkan tabel 17 diketahui bahwa variabel prediktor kesehatan lingkungan dan lingkungan fisik pemukiman mengalami overdispersi.
Apabila data prediktor
mengalami overdispersi maka dianjurkan untuk digunakan Generalized Poisson Regression (GPR) dalam pemodelam data. Model regresi GPR ini mengatasi model apabila data variabel respon tidak terjadi distribusi poisson dan data variabel prediktor mengalami over/underdispersi.
23
Kombinasi yang masih bisa dibuat adalah kombinasi dengan tiga variabel, sehingga dicari tiga variabel yang parameternya signifikan secara individu dengan memodelkan variable respon dengan variabel prediktor satu per satu. Pemilihan model terbaik dari GPR didasarkan pada nilai AIC terkecil pada setiap kombinasi variabel prediktor. 1. Generalized
Poisson
Regression
(GPR)
Variabel prediktor komponen
Kesehatan Lingkungan Kombinasi variabel prediktor komponen kesehatan lingkungan didapatkan model dengan nilai AIC 6 terkecil disajikan pada tabel 3. Tabel 18. Kemungkinan model Generalized Poisson Regression (GPR) dari komponen kesehatan lingkungan
Model
AIC
P7*P8*P11
808,243
P2*P7*P11
983,486
P6*P8*P11
1165,739
P4*P6*P7
1173,580
P2*P4*P6
1187,838
P10*P11*P12
1232,946
Model Generalized Poisson Regression (GPR) komponen P7, P8, dan P11 merupakan variabel prediktor yang paling baik untuk memodelkan faktor kesehatan lingkungan yang dapat mempengaruhi kejadian Demam Berdarah Dengue Di Jawa Barat, karena memiliki nilai AIC paling kecil yaitu 808,243. Variabel prediktor P2, P7, dan P11 dilakukan pendugaan parameter Generalized Poisson Regression (GPR) ulang untuk memperoleh model terbaik untuk memprediksi faktor kesehatan lingkungan yang berpengaruh terhadap kejadian DBD di Jawa Barat, yaitu
Y = exp.(5,290 + 0,023P7 + 0,006P8 – 0,008P11) Y
: kejadian DBD
P7
: cara penanganan sampah rumah tangga tidak sehat
P8
: cara pembuangan air limbah rumah tangga tidak sehat
P11
: menguras bak mandi sesuai aturan
24
2. Generalized
Poisson
Regression
(GPR)
Variabel prediktor komponen
Lingkungan Fisik Pemukiman Kombinasi
variabel
prediktor
komponen
lingkungan
fisik
pemukiman
didapatkan model dengan nilai AIC 6 terkecil disajikan pada tabel 19. Tabel 19. Kemungkinan model Generalized Poisson Regression (GPR) dari komponen lingkungan fisik pemukiman
Model
AIC
P24*P27*P28
876,399
P22*P24*P28
894,805
P17*P24*P28
902,803
P22*P23*P24
908,501
P23*P24*P28
914,338
P18*P24*P28
988,931
Model Generalized Poisson Regression (GPR) komponen P24, P27, dan P28 merupakan variabel prediktor yang paling baik untuk memodelkan faktor lingkungan fisik pemukiman yang dapat mempengaruhi kejadian Demam Berdarah Dengue Di Jawa Barat, karena memiliki nilai AIC paling kecil yaitu 876,399. Berdasarkan analisis Generalized Poisson Regression (GPR) variabel prediktor tidak cukup cahaya di ruang keluarga (P28) p value = 0,130 sehingga tidak memiliki pengaruh terhadap kejadian DBD di Jawa Barat. Variabel prediktor P24, dan P27 dilakukan pendugaan parameter Generalized Poisson Regression (GPR) ulang untuk memperoleh model terbaik untuk memprediksi faktor kesehatan lingkungan yang berpengaruh terhadap kejadian DBD di Jawa Barat, yaitu
Y = exp.(2,088 + 0,073P24 + 0,023P27) Y
: kejadian DBD
P24
: ruang keluarga tidak terpisah dengan ruang lain
P27
: tidak ada ventilasi di ruang keluarga
8. PEMBAHASAN Jawa Barat memiliki luas wilayah sebesar 35.377,76 km2 yang didiami oleh 45.826.775 jiwa penduduk pada tahun 2012.
Penduduk ini tersebar di 27 25
Kabupaten/Kota. Berdasarkan data BPS Propinsi Jawa Barat tahun 2012, terdapat 12,1 juta rumah tangga dengan rata-rata perumah tangga terdiri dari empat Anggota Rumah Tangga (ART). wilayah.
Penduduk Jawa Barat tersebar dalam berbagai kondisi geografis
Jawa Barat secara umum terdiri dari berbagai kondisi geografis mulai dari
daerah pantai sampai pegunungan dengan iklim tropis.
Selama ini
suhu terendah
tercatat 9o C yaitu di Puncak Gunung Pangrango dan suhu tertinggi tercatat 34oC di daerah pantai utara. Sebagian kecil wilayah utara dan tenggara Jawa Barat memiliki curah hujan kategori menengah. Jumlah rata-rata hari hujan pada bulan Desember 2012 adalah 25 hari dengan suhu rata-rata 24,10C, sedangkan suhu tertinggi 32,2 0C dan suhu terendah 15 0C. Kelembaban nisbi rata-rata 85% dan lama penyinaran matahari rata-rata 39%26 Kondisi geografis dan kepadatan penduduk yang tinggi di Jawa Barat sangat mendukung untuk penyebaran penyakit DBD. Menurut Soegijanto
27
kondisi geografis
suatu wilayah meliputi ketinggian tempat, suhu dan kelembaban udara dan curah hujan. Kondisi ini berhubungan erat dengan keberadaan vektor DBD. Vektor utama dalam penularan penyakit DBD adalah Aedes aegypti dan Ae. albopictus yang berperan sebagai vektor sekunder.
Jenis nyamuk Aedes ini memang tersebar luas di wilayah
tropis dan subtropis. Di Indonesia sendiri jenis nyamuk Ae. aegypti dan Ae. albopictus ini hampir terdapat di seluruh wilayah Indonesia.
WHO28 menyatakan bahwa nyamuk
Ae. aegypti dapat berkembang dengan baik pada ketinggian dibawah 1000 meter di atas permukaan laut (mdpl). Di India nyamuk dapat ditemukan pada ketinggian nol sampai 100 mdpl, sedangkan di Asia Tenggara ketinggian 1000 mdpl sampai dengan 1500 mdpl. Dilihat dari angka pertumbuhan penduduk, Jawa Barat termasuk dalam kategori tinggi dibandingkan dengan propinsi lain di Indonesia. Dalam kurun waktu 2000 – 2010 telah mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 1,89 % / tahun. Kepadatan tinggi terjadi pada daerah kabupaten/kota yang merupakan daerah penyangga ibu kota negara dan ibu kota propinsi.
Pada daerah ini kepadatan penduduk lebih tinggi dibanding
kabupaten/kota yang lain. 26 Kepadatan penduduk ditunjang dengan kondisi sanitasi yang buruk dapat memperparah penularan penyakit DBD. Yang dimaksud kondisi kesehatan lingkungan dalam penelitian ini adalah keadaan lingkungan dan lingkungan fisik tempat tinggal
26
yang ditempati oleh responden dirumahnya.
Jumlah sampel yang dianalisis adalah
77.701 responden rumah tangga yang bertempat tinggal di Jawa Barat Tahun 2013. Sampel tersebut berasal dari 26 kabupaten/kota dengan jumlah responden perempuan lebih banyak dari pada laki-laki. Jumlah anggota rumah tangga responden tertinggi berumur 6 – 14 tahun, dan terendah berumur lebih dari 75 tahun. Umur produktif antara 15 – 54 tahun cenderung lebih banyak dari pada usia tidak produktif, yaitu kurang dari 15 tahun dan lebih dari 54 tahun. Data sebaran kasus menurut kelompok umur pada
kejadian infeksi virus
dengue di Kota Sukabumi Jawa Barat di tahun 2012 di dominasi oleh penderita dengan umur berkisar 15-50 tahun.29 Jika dikaitkan dengan komposisi umur responden yang didominasi oleh usia produktif menunjukkan bahwa usia produktif penduduk di Jawa Barat berisiko lebih besar terkena infeksi virus Dengue. Keadaan ini mengungkap bahwa telah terjadi perubahan pola penyakit infeksi virus Dengue, dimana dahulu infeksi virus Dengue adalah penyakit pada anak-anak dibawah 15 tahun, saat ini telah menyerang seluruh kelompok umur, bahkan lebih banyak pada usia produktif. Hasil penelitian ini selaras dengan Anonim30 dalam Buletin Jendela Epidemiologi menyatakan bahwa di Indonesia kasus DBD perkelompok umur dari tahun 1993 - 2009 terjadi pergeseran. Dari tahun 1993 sampai tahun 1998 kelompok umur terbesar kasus DBD adalah kelompok umur <15 tahun, tahun 1999-2009 kelompok umur terbesar kasus DBD cenderung pada kelompok umur ≥15 tahun. Sumber data Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur juga menyebutkan bahwa proporsi kasus DBD tertinggi ada pada kelompok umur 5-9 tahun pada tahun 1999, namun terjadi pergesaran pada tahun 2000 kasus tertinggi terjadi pada kelompok umur 15-44 tahun.31 Pendidikan anggota rumah tangga responden tertinggi adalah tamat SD/MI dan terrendah adalah tamat Diploma (D1, D2, dan D3). Anggota rumah tangga responden di Jawa Barat memiliki kelompok pekerjaan tertinggi adalah pegawai swasta, dan terendah adalah wiraswasta. Nusa, dkk
29
menyatakan bahwa penularan DBD di Kota Sukabumi
tidak hanya di rumah tetapi di sekolah atau di tempat kerja. Hal ini menunjukkan bahwa apapun jenis pekerjaannya memiliki resiko sama besar terhadap infeksi virus dengue. Jenis pekerjaan bukan merupakan faktor penentu terjadinya infeksi DBD. Jumlah anggota rumah tangga yang mendiami satu bangunan atap rumah tertinggi adalah 4 orang dalam satu bangunan atap rumah, dan terendah adalah 12 dan
27
18 orang dalam satu bangunan atap rumah. Rumah yang padat lebih memudahkan bagi nyamuk untuk menularkan penyakit DBD mengingat kebiasaan nyamuk yang melakukan multibites dan juga jarak terbangnya yang hanya 50-100 m.32
Hasil
penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian di Iquitos, Peru yang menunjukkan bahwa kumpulan nyamuk Aedes dewasa lebih banyak ditemukan di pemukiman yang rapat dan sedikit di temukan di lingkungan yang pemukiman dengan rumah berjarak 30 m.33 Hasil penelitian di Denpasar tahun 2007 menunjukkan ada hubungan antara kepadatan penduduk dengan keberadaan vektor DBD sehingga bila tidak dilakukan pencegahan perkembangbiakan vektor maka masalah penyakit DBD akan semakin besar .34 Berdasarkan hasil survey riskesdas 2013 tercatat 73,6 % masyarakat Jawa Barat hidup di pemukiman tidak kumuh.
Hanya 26,4 % yang hidup di pemukiman kumuh.
Adanya pemukiman kumuh banyak terdapat di daerah perkotaan yang kepadatan penduduknya tinggi.
Berdasarkan analisis bivariat kondisi pemukiman kumuh ini
berpengaruh terhadap kejadian DBD. Jarak rumah mempengaruhi penyebaran nyamuk dari satu rumah ke rumah lain, semakin dekat jarak antara rumah semakin mudah nyamuk
menyebar
membuktikan
ke
bahwa
rumah kondisi
sebelah.
Berbagai
perumahan
yang
penelitian penyakit menular berdesak-desakan
dan
kumuh
mempunyai kemungkinan lebih besar terserang penyakit.35 Penggunaan ruangan di mayoritas masyarakat Jawa Barat sudah terpisah antara satu ruangan dengan ruangan yang lain. Sebagai contoh antara ruang keluarga, kamar dan dapur sudah terpisah satu sama lain oleh skat. Skat antar ruangan bisa berupa bilik bambu, kayu maupun tembok permanen. Penggunaan ruangan berpengaruh terhadap angka kejadian DBD di Jawa Barat. Di duga dengan adanya skat antar ruangan maka ruang gerak nyamuk yang masuk ke ruangan akan terbatas sehingga nyamuk tidak leluasa berkembang biak dan mencari mangsa. Keberadaan ventilasi merupakan bagian yang penting dalam suatu bangunan rumah huni.
Setiap rumah harus memiliki ventilasi yang memadai untuk menjamin
sirkulasi udara dalam ruangan. Fungsi dari ventilasi adalah untuk menjaga agar aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar. Fungsi lainnya adalah untuk menjaga agar ruangan rumah selalu tetap dalam kelembapan (humidity) yang optimum. Ventilasi bisa berwujud lubang angin ataupun jendela.
Berdasarkan Peraturan Bangunan Nasional
28
disebutkan bahwa luas bersih dari jendela/ lubang hawa sekurangkurangnya 1/10 dari luas lantai.36 Keberadaan
jendela pada suatu bangunan rumah selain digunakan untuk
pencahayaan juga untuk sirkulasi udara.
Keberadaan dan dibukanya jendela pada
ruangan setiap hari memungkinkan adanya pertukaran udara setiap hari sehingga kondisi rumah menjadi lebih sehat. Secara teori kondisi rumah yang tidak sehat dapat menyebabkan timbulnya berbagai penyakit dalam rumah. Rumah dengan ventilasi yang tidak memadai / pencahayaan yang kurang, penghuni yang padat, serta banyaknya pakaian yang bergantung didalam rumah yang selalu terlindungi dari sinar matahari sehingga perkembangbiakannya sangat nyaman bagi nyamuk karena nyamuk sangat menyukai tempat yang gelap untuk melepaskan telurnya.37 Namun dari analisis statistik terlihat bahwa kebersihan dan keberadaan jendela tidak berpengaruh terhadap kasus DBD. Sedangkan pencahayaan dan ventilasi ruangan baik pada kamar tidur, ruang keluarga dan dapur berpengaruh terhadap kasus DBD di Jawa Barat. Hal ini sesuai dengan penelitian sucipto38 yang menyatakan bahwa ada hubungan antara pencahayaan ruangan yang ada kontainer, ventilasi ruangan dengan kepadatan jentik Ae. aegypti di desa endemis Kecamatan Japah dan Kecamatan Ngawen Kabupaten Blora. Berdasarkan jenis sumber air yang digunakan oleh masyarakat Jawa Barat terlihat bahwa penggunaan sumur bor/pompa dan sumur gali terlindung mendominasi. Kedua Jenis Sumber air ini merupakan sumber air yang relatif bersih dan aman untuk di konsumsi, dibandingkan dengan sumber air yang berasal dari penampungan air hujan dan dari sungai. Sebagian kecil masyarakat Jawa Barat memang masih ada yang menggunakan sumber air dari sungai yang kebersihan dan tingkat keamanannya belum diketahui. Chandra39 menyatakan bahwa batasan sumber air yang bersih dan aman, antara lain : a) Bebas dari kontaminasi kuman atau bibit penyakit. b) Bebas dari substansi kimia yang berbahaya dan beracun. c) Tidak berasa dan tidak berbau. d) Dapat dipergunakan untuk mencukupi kebutuhan domestik dan rumah tangga. e) Memenuhi standar minimal yang ditentukan oleh WHO atau Departemen Kesehatan RI.
29
Jenis sumber air mempunyai hubungan erat dengan barat.
kejadian DBD di Jawa
Beberapa jenis dan karakteristik air dapat menjadi media perkembangbiakan
nyamuk Ae. aegypti sebagai vektor DBD, termasuk pada sumber air bersih seperti air sumur gali, mata air, air hujan, air PDAM, dan air sungai. Beberapa jenis air ini memiliki kualitas dan ketertarikan bagi nyamuk untuk bertelur dan berkembangbiak. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa jenis sumber air berpengaruh terhadap keberadaan larva Aedes.
Hasil penelitian Damanik40 (2002) menyebutkan bahwa di
Kelurahan Padang Bulan, Kelurahan Merdeka dan Kelurahan Babura jumlah larva Aedes yang paling banyak ditemukan terdapat pada air sumur (68,89) diikuti air hujan (50,44) dan terakhir air PAM (12,67). Hasil ini menunjukkan bahwa larva Aedes cenderung menyukai kontainer yang airnya berasal dari air sumur dibandingkan air hujan dan PAM. Kemampuan adaptasi berkembang biak jenis Ae. aegypti sp. pada air hujan larva sebesar 13.12% dan pupa sebesar 16.66%, pada air sumur gali larva sebesar 16.54% dan pupa sebesar 33.32%, dan kemampuan adaptasi berkembang biak jenis Ae. albopictus sp. pada air hujan larva sebesar 13.88% dan pupa sebesar 31.03%, pada air sumur gali larva sebesar 9.33% dan pupa sebesar 16.16%.41 Penelitian lain yang dilakukan oleh Nurwinda,42 menyebutkan bahwa tingkat pemanfaatan sumber air tak terlindungi di Kota Semarang memiliki hubungan yang signifikan terhadap penyakit DBD. Hal tersebut terjadi dimungkinkan karena air yang tergenang dalam keadaan bersih sangat disukai nyamuk untuk berkembang biak. Hal ini kemungkinan terjadi juga di wilayah Jawa Barat dimana masih banyak sumber air yang berasal dari sumur gali dan mata air yang tidak terlindung serta adanya penampungan air hujan. Dilihat dari jumlah pemakaian air bersih untuk keperluan sehari-hari rumah tangga di Jawa barat sangat bervariatif. Hal ini sangat tergantung pada jumlah anggota rumah tangga yang mendiami rumah tersebut, kondisi sosial ekonomi dan jarak sumber air.
Jika dikaitkan dengan kejadian DBD, jumlah air bersih ini tidak memberikan
pengaruh terhadap kejadian DBD.
Banyak sedikitnya air yang tertampung dan
digunakan oleh suatu rumah tangga tidak memberikan pengaruh terhadap penyebaran DBD.
Hal ini dapat dipahami mengingat Aedes sebagai vektor DBD mampu
berkembangbiak pada kontainer dengan volume air yang sangat sedikit sekalipun. Nadesul43 menyatakan bahwa jentik nyamuk bahkan dapat bertahan hidup di dalam
30
lubang-lubang pohon yang airnya jernih, tenang dan teduh (terhindar dari panas matahari) karena tempat perindukan nyamuk Aedes ada di tempat-tempat yang teduh yang ada air tergenang. Air tempat berteduh harus jernih, bukan air kotor atau air yang langsung bersentuhan dengan tanah tetapi pada air jernih yang ada dalam wadah dan tergenang tenang. Selain itu, tempat perindukan yang paling disukai adalah yang berwarna gelap, terbuka lebar dan terlindungi dari sinar matahari langsung serta tempat penampungan air alamiah, seperti: lubang pohon, pelepah daun pisang, pelepah daun keladi, lubang batu dan lain-lain. Hal ini yang diduga menjadikan jumlah pemakaian air bersih tidak berhubungan dengan kasus DBD. Kualitas air yang digunakan untuk keperluan sehari hari masyarakat di Jawa barat umumnya layak untuk dikonsumsi.
Adapun beberapa responden yang
menyatakan kualitas air untuk keperluan sehari hari kurang layak seperti berbau dan berbusa lebih disebabkan oleh kondisi geografis daerah tertentu. Kualitas air yang berupa ada tidaknya bau pada air
jika dihubungkan dengan kejadian DBD di Jawa
Barat memiliki hubungan yang bermakna. Kualitas air berhubungan dengan kehidupan vektor DBD dan kemampuannya beradaptasi di lingkungan pemukiman. Secara teoritis, nyamuk Ae. aegypti berkembang biak pada air bersih yang tidak bersentuhan dengan tanah.44 Dalam hal pengelolaan sampah di masyarakat Jawa Barat sebagian besar masyarakat mengelola sampahnya dengan cara di bakar.
Beberapa tempat dimana
pemerintahannya menyediakan sarana pengangkutan sampah, sampah warga diangkut oleh petugas.
Sayangnya masih banyak masyarakat yang membuang sampah di kali
atau parit bahkan di sembarang tempat.
Kebiasaan ini berpotensi mencemari
lingkungan sekitar dengan bau yang tidak sedap dan sampah dapat tertumpah keluar. Pengelolaan sampah rumah berhubungan erat dengan kejadian DBD di Jawa Barat. Hal ini sama dengan pernyataan Notoadmojo
37
yang menyatakan bahwa sampah
memiliki keterkaitan dengan penyakit DBD. Sampah padat dapat di bagi dalam beberapa jenis yaitu zat kimia yang terkandung di dalamnya, berdasarkan dapat tidaknya terbakar, berdasarkan karakteristik sampah dan berdasarkan sifatnya yaitu mudah dan tidak mudah membusuk. Sampah padat yang dapat menyebabkan timbulnya penyakit DBD adalah sampah yang termasuk dalam pembagian berdasarkan dapat tidaknya terbakar yaitu sampah-sampah berupa kaleng bekas, botol bekas dan pecahan
31
gelas dan lainnya. Sampah golongan inilah yang dapat menjadi tempat berkembang biaknya nyamuk Ae. aegypti karena merupakan tempat perindukan sementara nyamuk tersebut. Sampah seperti kaleng-kaleng bekas, botol, drum, ban-ban bekas dapat menjadi tempat berkembang biaknya nyamuk Ae. aegypti karena barang-barang bekas tersebut dapat menampung air atau menjadi tempat genangan air jika tidak di lakukan pengelolaan sampah secara baik dan benar. Oleh karena itu untuk mencegah barangbarang bekas tidak menjadi perindukan nyamuk Ae. aegypti maka perlu dilakukan pemberantasan dengan jalan salah satunya dengan mengubur atau membakar dan menyingkirkannya.45
Tindakan masyarakat membuang sampah ke parit/kali dan
dibuang sembarangan selain mencemari lingkungan akan meningkatkan potensi penularan DBD.
Hal ini dikarenakan sampah yang dibuang sembarangan akan
menampung air hujan yang berpotensi sebagai tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes. Dalam hal pembuangan limbah rumah tangga, mayoritas penduduk Jawa barat memiliki sarana pembuangan air limbah sendiri (73,4%). Sarana pembuangan ini bisa berupa ceptitank maupun buangan air limbah terbuka. Hanya sekitar 26,6% masyarakat yang menggunakan pembuangan air limbah secara komunal atau bersama sama. Pembuangan air limbah baik sendiri maupun komunal memiliki pengaruh terhadap angka kejadian demam berdarah di Jawa Barat. Pembuangan air limbah dengan kondisi penampungan terbuka memungkinkan genangan tersebut untuk perkembangbiakan vektor DBD. Hal ini didukung oleh berbagai penelitian yang menyatakan kemampuan Aedes sebagi vektor DBD untuk dapat hidup dan berkembang di air comberan sekalipun. Teori Bond
46
yang mengatakan bahwa Aedes sp. berkembang biak didalam
air bersih seperti air hujan yang tergenang pada barang – barang bekas, maka berbanding terbalik dengan hasil yang didapat. Beberapa penelitian menunjukan hasil yang berbeda dengan teori Bond, bahwa penelitian Canyon47 bahwa Ae. albopictus sp. bertelur pada ovitrap yang berisi rendaman udang windu dan air bekas cucian ketimbang air bersih. Sonoto48 bahwa Ae. aegypti dan Ae. albopictus lebih banyak pada air selokan, nyamuk ini ada ketertarikan terhadap kondisi air selokan yang mengandung senyawa – senyawa kimia yang baik dan senyawa organik (tumbuhan air) yang dapat dijadikan sebagai makanan.
32
Hasil analisis multivariat menunjukkan bahva variabel kesehatan lingkungan yang berpengaruh terhadap kejadian DBD di Jawa Barat dengan menggunakan model Generalized Poisson Regression (GPR) adalah penanganan sampah rumah tangga, pembuangan air limbah dan perilaku menguras bak mandi. Interpretasi dari model ini adalah bahwa : a. Apabila Pemerintah Prop. Jawa Barat tidak melakukan gerakan sadar kesehatan lingkungan terutama pada aspek penanganan sampah, pembuangan air limbah, dan menguras bak mandi oleh masyarakat sebagai upaya pengendalian penyakit DBD, maka akan terjadi kenaikan kasus DBD sebesar 5,29% setiap tahunnya. b. Variabel cara penanganan sampah dan pembuangan limbah ruta yang tidak sehat dapat meningkatkan kasus DBD di Jawa Barat. Variabel menguras bak mandi sesuai aturan dapat menekan angka kasus DBD di Jawa Barat. c. Variabel cara penanganan sampah ruta yang tidak sehat merupakan variabel prediktor yang paling berpengaruh terhadap kenaikan angka DBD di Jawa Barat.
Analisis multivariat menggunakan model Generalized Poisson Regression (GPR) komponen lingkungan fisik pemukiman yang berpengaruh terhadap kejadian DBD di Jawa Barat adalah penggunaan ruangan dan keberadaan ventilasi. Interpretasi dari model ini adalah : a. Apabila Pemerintah Prop. Jawa Barat tidak melakukan edukasi mengenai lingkungan fisik di pemukiman penduduk terutama pada aspek menata ruang keluarga yang sehat sebagai upaya pengendalian penyakit DBD, maka akan terjadi kenaikan kasus DBD sebesar 2,088% setiap tahunnya. b. Variabel ruang keluarga tidak terpisah dengan ruang lain dan tidak ada ventilasi di ruang keluarga dapat meningkatkan kasus DBD di Jawa Barat. c. Variabel ruang keluarga tidak terpisah dengan ruang lain merupakan variabel prediktor yang paling berpengaruh terhadap kenaikan angka DBD di Jawa Barat.
33
9. KESIMPULAN DAN SARAN Komponen kesehatan lingkungan yang berpengaruh terhadap angka kejadian DBD di Jawa Barat adalah penanganan sampah rumah tangga, pembuangan air limbah dan perilaku menguras bak mandi. Komponen lngkungan fisik yang berpengaruh terhadap DBD Jawa Barat adalah penggunaan ruangan dan keberadaan ventilasi. Saran yang dapat disampaikan adalah perlu adanya melakukan edukasi mengenai lingkungan fisik di pemukiman penduduk dalam hal penataan ruangan, adanya ventilasi serta tata laksana kesehatan lingkungan agar kasus DBD di Jawa Barat dapat di tekan.
10. DAFTAR PUSTAKA 1. Behrman RE, Vaughan VC, Nelson WE. Ilmu Kesehatan Anak. Terjemahan oleh Siregar MR, Maulany RF. Edisi 12. EGC; Jakarta; 1993; 292303 2. Dinkes Propinsi Jawa Barat. Cakupan Program Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang Provinsi Jawa Barat tahun 2013. http://www.diskes.jabarprov.go.id/index.php/subMenu/808 3. Sukana, B. Pemberantasan Penyakit DBD di Indonesia, Media Litbangkes Vol III, Depkes RI, 1993. Jakarta. 4. World Health Organization. Manual on Environmental Management of Mosquito Central, WHO; 1982. Offset Publication, Geneva. 5. World Health Organization. Panduan lengkap Pencegahan & Pengendalian Dengue & DBD (Alih bahasa : Palupi Widyastuti), Regional Office for South East Asia Region, World Health Organization, 2001.New Delhi. 6. Centers for Disease Control and Prevention. Dengue and Climate. 2012. www.cdc.gov/dengue . 7. Kurnia ND. Hubungan Lingkungan Dengan Penyakit Demam Berdarah (DBD).2012. http://novitadwikurnia.blogspot.com/ 8. Tamza RB, Suhartono,et al. Hubungan Faktor lingkungan dan perilaku dengan kejadian DBD di wil kelurahan Perumnas Way halim Kota Bandar lampung. Jurnal Kesehatan Masyarakat. Vol 2, No 2 April 2013. 9. Awida R. Hubungan Sosiodemografi dan Lingkungan dengan Kejadian Penyakit DBD di kecamatan Bukit Raya Kota Pekanbaru. [Tesis]. Universitas Sumatera Utara. Medan. 2008 10. Fathi, Soedjajadi K, Chatarina UW. Peran Faktor Lingkungan dan Perilaku terhadap Penularan DBD di Kota Mataram. Jurnal Kesehatan Lingkungan Vol 2 No 1 Juli 2005: 1-10. 11. Zulkarnaini, Siregar YI, Dameria. Hubungan Kondisi Sanitasi Lingkungan Rumah Tangga Dengan Keberadaan Jentik Vektor Dengue Di daerah Rawan Demam Berdarah Dengue Kota Dumai Tahun 2008. Jurnal Lingkungan 2009 :2 (3) 12. Yuniati. Pengaruh Sanitasi Lingkungan Permukiman Terhadap Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Daerah Aliran Sungai Deli Kota Medan.
34
Thesis. 2012. Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat. Universitas Sumatera Utara 13. Bress,P,. 1998. Public Health Action in emergencies Causes by epidemic. World Health Organization 14. Zulkarnaini, Siregar YI, Dameria. Hubungan kondisi sanitasi lingkungan rumah tangga dengan keberadaan jentik vektor Dengue di daerah rawan DBD kota Dumai tahun 2008. Journal of Environmental Science. ISSN 1978-5282. 2009:2(3). 15. Widoyono. Penyakit Tropis : Epidemiologi, Penularan, Pencegahan & Pemberantasannya. Jakarta : Erlangga. 2008 16. Kristina, Isminah dan Wulandari, L. Kajian Masalah Kesehatan: Demam Berdarah Dengue, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan, Jakarta. 2004. 17. Depkes. 1992. Petunjuk Teknis Pemberantasan Nyamuk Penular Penyakit Demam Berdarah Dengue. Dirjen PPM-PLP. Jakarta: Depkes. 18. Depkes RI. Petunjuk Teknis Pemberantasan Nyamuk Menular, Penyakit Demam Berdarah Dengue. Dir Jend. P2M dan PL Jakarta .1999. hal 12 – 13 19. Nur Nasry Noor. 2008. Epidemiologi. Jakarta: Rineka Cipta 20. Soedjadi, 2005 21. Notoatmodjo, S. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta : Rineka Cipta 22. Notoatmodjo, Soekidjo. Ilmu Kesehatan Masyarakat: Prinsip-prinsip Dasar.2003. 23. Entjang, Indan. 2000. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti 24. Dainur. 1995. Materi-materi Pokok Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Penerbit Buku Widya Medika. 1995 25. Suyara. Hubungan faktor lingkungan dan perilaku masyarakat dengan keberadaan vektor DBD di wilayah kerja I Denpasar Selatan. Poltekkes Denpasar. Jurnal Lingkungan. 2007. Ecotropic 3(1):1-6. 26. BPS Propinsi Jawa Barat. Jawa Barat Dalam Angka. 2013. 27. Soegijanto S. Demam Berdarah Dengue Di Indonesia. Edisi 2 pp: 253-254, 248249, Airlangga University Press, 2006. Surabaya 28. WHO. Dengue Guidelinesfor Diagnosis, Treatment, Prevention and Control. 2009. 29. Nusa Roy, Prasetyowati H, Nurindra RW, dkk. Peta model pengendalian aedes spp di daerah endemis di Kota Sukabumi tahun 2012. Laporan internal Loka Litbang P2B2 Ciamis. 30. Anonim. Demam Berdarah Dengue di Indonesia dari tahun 1968-2009. Buletin Jendela Epidemiologi. Volume 2. Agustus 2010. 31. Siregar, A. Epidemiologi dan Pengendalian DBD di Indonesia. 2004. http://www.USUlibrary.ac.id (Diakses November 2014). 32. Supartha,I Wayan. 2008. Pengendalian Terpadu Vektor Demam Berdarah Aedes Aegypti dan Aedes Albopictus. Naskah dipresentasikan dalam Pertemuan Ilmiah Dies Natalis Universitas Udayana 3-6 September 2008, Denpasar 33. Getis, A.,Morrison, A. C., Gray, K., Scott, T.W.2003. Characteristics of the Spatial Pattern of Dengue Vektor, Aedes aegypti in Iquitos, Peru. American Journal of Tropical Medicine and Hygiene., 69(5), 2003. pp.494-505
35
34. Depkes RI, 1998 dalam Awida Roose: Hubungan Sosiodemografi dan Lingkungan Dengan Kejadian Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) Di Kecamatan Bukit Raya Kota Pekanbaru Tahun 2008, 2008. USU e-Repository. 2008 35. Mukono, H.J. 2006. Prinsip Dasar Kesehatan Lingkungan: Edisi Kedua. 2006. Surabaya 36. Azwar, Azrul. Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan. Jakarta: 1995. PT.MutiaraSumber Widya 37. Irmayani. Analisis hubungan sanitasi lingkungan rumah dengan kejadian demam berdarah dengue pada anak yang dirawat di rumah sakit ibnu sina makasar. Stikesnh. Volume 3 Nomor 4 Tahun 2013 38. Edi Sucipto. Hubungan berbagai faktor lingkungan terhadap kepadatan jentik Aedes aegypti pada desa endemis di I kecamatan japah dan kecamatan ngawe kabupaten Blora. Skripsi. 2001. UNDIP 39. Chandra, Budiman. Pengantar Kesehatan Lingkungan. Jakarta:2007. Penerbit Buku Kedokteran EGC 40. Damanik. 2002 41. Adifian, Hasanuddin I, Ruslan http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/5532/Jurnal.pdf?seque nce=1 42. Nurwinda LH, Endang S, Prima W. 2011. Pemetaan data penyakit menular di Kota Semarang (studi kasus :penyakit DBD, Diare, Pneumania dan TB paru http://download.portalgaruda.org/article.php?article=81312&val=4927 43. Nadesul, Handrawan. 100 Pertanyaan + Jawaban Demam Berdarah.Jakarta:2004 44. Djunaedi D. Demam Berdarah Dengue (DBD) Epidemiologi, Imunopatologi, Patogenesis, Diagnosis dan Penatalaksanaanya. Malang : UMM Press. 2006 45. Departemen Kesehatan RI. Buku Panduan Manajemen Penyuluhan Kesehatan Masyarakat Tingkat Propinsi. Jakarta: Depkes RI ; 1997 46. Bond, H. & Fay R. W. Factor Influencing Aedes aegypti Occurrence in Containers. Mosq News, 29, 2006, 113-116. 47. Canyon, D. dkk. Adaptation of Aedes aegypti (Diptera: Culicidae) Oviposition Behavior in Respone to Humidity and Diet. J Insect Physiol, 45 (10) 2008. 959964 48. Sonoto, dkk. Kemampuan adaptasi nyamuk aedes aegypti terhadap kondisi air. FKM universitas Muhammdiyah Semarang. 2009 49. Wahyono TYM, Haryanto B, Mulyono S, Adi wibowo A. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian Demam berdarah dan upaya penanggulangannya di kecamatan Cimanggis Depok. Buletin Jendela Epidemiologi Vol 2 Agustus 2010
36