LAPORAN NASIONAL RISET KESEHATAN DASAR (RISKESDAS) TAHUN 2010
1
KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum wr. wb. Puji syukur kepada Allah SWT selalu kami panjatkan, karena hanya dengan rahmat dan karuniaNYA Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010 telah dapat terselesaiakan. Di dalam Laporan ini dimunculkan perkembangan status kesehatan masyarakat Indonesia khususnya yang berkaitan indikator MDG’s untuk tingkat nasional dan tingkat provinsi. Hasil Riskesdas 2010 mencakup indikator MDG’s nomor 1,4,5,6 dan 7, yaitu : status gizi balita, tingkat konsumsi energi per kapita, kesehatan reproduksi yang diwakili dengan indikator penolong persalinan oleh tenaga kesehatan, cakupan penggunanaan kotrasepsi oleh perempuan WUS, cakupan imunisasi campak kelompok umur 12-23 bulan, prevalensi TB paru dan malaria, pengetahuan pencegahan HIV/AID, akses berkelanjutan terhadap air minum layak dan sanitasi dasar. Pelaksanaan pengumpulan data Riskesdas 2010 dilakukan Juni-Juli 2010, di 33 provinsi. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) mengerahkan sejumlah enumerator untuk setiap kabupaten/kota, seluruh peneliti Balitbangkes, dosen Poltekkes, Jajaran Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota, serta Perguruan Tinggi. Untuk data kesehatan masyarakat, berhasil dihimpun data dasar kesehatan dari 33 provinsi dan 440 kabupaten/kota. Untuk biomedis, berhasil dihimpun dan diperiksa spesimen dahak dan darah dari sampel anggota rumah tangga. Proses manajemen data mulai dari data dikumpulkan dan dientry ke komputer dilakukan di masing-masing daerah, kemudian data cleaning dilakukan di Badan litbangkes. Proses manajemen data, pengolahan dan analisis ini sungguh memakan waktu, stamina dan pikiran, sehingga tidaklah mengherankan bila diwarnai dengan dinamika kehidupan yang indah dalam dunia ilmiah. Perkenankanlah kami menyampaikan penghargaan yang tinggi serta terima kasih yang tulus atas semua kerja cerdas dan penuh dedikasi dari seluruh peneliti, litkayasa dan staf Balitbangkes, rekan sekerja dari BPS, para pakar dari Perguruan Tinggi, Para Dosen Poltekkes, Penanggung Jawab Operasional dari jajaran Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota, seluruh enumerator serta semua pihak yang telah berpartisipasi mensukseskan Riskesdas. Simpati mendalam disertai doa kami haturkan kepada mereka yang mengalami kecelakaan sewaktu melaksanakan Riskesdas. Secara khusus, perkenankan ucapan terima kasih kami dan para peneliti kepada Ibu Menteri Kesehatan yang telah memberi kepercayaan kepada kita semua, anak bangsa, dalam menunjukkan karya baktinya. Kami telah berupaya maksimal, namun pasti masih banyak kekurangan, kelemahan dan kesalahan. Untuk itu kami mohon kritik, masukan dan saran, demi penyempurnaan Riskesdas dimasa yang akan datang.. Billahit taufiq walhidayah, wassalamu’alaikum wr. wb. Jakarta, 17 Agustus 2010 Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI
Prof. Dr. dr. Agus Purwadianto, SH, Msi, SpF(K)
2
SAMBUTAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA Assalamu ‘alaikum Wr. Wb Puji syukur kehadirat Allah SWT yang dengan rahmat dan bimbinganNya, Kementerian Kesehatan saat ini telah mempunyai indikator MDG’s berbasis komunitas, yang mencakup seluruh Provinsi melalui Riset Kesehatan Dasar atau Riskesdas 2010. Riskesdas telah menghasilkan serangkaian informasi situasi kesehatan berbasis komunitas yang spesifik berkaitan indikator MDG’s 1,4,5,6 dan 7, sehingga merupakan masukan yang amat berarti bagi perencanaan bahkan perumusan kebijakan dan intervensi yang lebih terarah, lebih efektif dan lebih efisien. Saya minta semua pelaksana program untuk memanfaatkan data Riskesdas 2010 dalam menghasilkan rumusan kebijakan dan program yang komprehensif. Demikian pula penggunaan indikator sasaran keberhasilan dan tahapan/mekanisme pengukurannya menjadi lebih jelas dalam mempercepat upaya peningkatan derajat kesehatan secara nasional dan daerah. Saya juga mengundang para pakar baik dari Perguruan Tinggi, pemerhati kesehatan dan juga peneliti Balitbangkes, untuk mengkaji dengan cepat apakah melalui Riskesdas dapat dikeluarkan berbagai asupan baru bagi Sistem Kesehatan Nasional yang lebih tepat untuk tatanan kesehatan di Indonesia. Saya menyampaikan ucapan selamat dan penghargaan yang tinggi kepada peneliti Balitbangkes, para enumerator, para penanggung jawab teknis dari Balitbangkes dan Poltekkes, para penanggung jawab operasional dari Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota, Puskesmas PRM/labkesda, para pakar dari Universitas dan BPS serta semua yang teribat dalam Riskesdas ini. Karya anda telah mengubah secara mendasar perencanaan kesehatan di negeri ini, yang pada gilirannya akan mempercepat upaya pencapaian target pembangunan nasional di bidang kesehatan. Khusus untuk para peneliti Balitbangkes, teruslah berkarya, tanpa bosan mencari terobosan riset baik dalam lingkup kesehatan masyarakat, kedokteran klinis maupun biomolekuler yang sifatnya translating research into policy, dengan tetap menjunjung tinggi nilai yang kita anut, integritas, kerjasama tim serta transparan dan akuntabel. Billahit taufiq walhidayah, Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Jakarta, 17 Agustus 2010 Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH., DR.PH.
3
RINGKASAN EKSEKUTIF Riskesdas 2010 merupakan kegiatan riset kesehatan berbasis masyarakat yang diarahkan untuk mengevaluasi pencapaian indikator Millenium Development Goals (MDGs) bidang kesehatan di tingkat nasional dan provinsi. Tujuan Riskesdas 2010 adalah mengumpulkan dan menganalisis data indikator MDG’s kesehatan dan faktor yang mempengaruhinya. Desain Riskesdas 2010 adalah potong lintang dan merupakan penelitian non-intervensi. Populasi sampel adalah seluruh rumah tangga di Indonesia. Pemilihan sampel dilakukan secara random dalam dua tahap. Tahap pertama melakukan pemilihan Blok Sensus (BS) dan tahap kedua pemilihan Rumah tangga (ruta) sebanyak 25 ruta setiap BS. Besar sampel sebanyak 2800 BS, diantaranya 823 BS sebagai sampel biomedis (malaria dan TB). Sampel BS tersebut tersebar di 33 dan 441 kabupaten/kota. Data yang dikumpulkan meliputi keterangan ruta dan anggota ruta. Keterangan ruta meliputi identitas ruta, fasilitas pelayanan kesehatan, sanitasi lingkungan dan pengeluaran ruta. Keterangan individu meliputi identitas individu, penyakit menular, pengetahuan dan perilaku kesehatan, kesehatan anak, kesehatan ibu, cara KB, kehamilan dan pemeriksaan sesudah melahirkan, keguguran dan kehamilan yang tidak diinginkan, perilaku seksual, konsumsi makan dalam 24 jam kemarin. Pengukuran tinggi badan/panjang badan dan berat badan dilakukan pada setiap responde, dan pemeriksaan darah malaria dilakukan dengan Rapid Diagnostic Test (RDT), sedangkan untuk TB paru dilakukan pemeriksaan dahak pagi dan sewaktu hanya pada kelompok umur 15 tahun ke atas. Pengumpulan data dan entri data dilakukan oleh tenaga terlatih dengan kualifikasi minimal tamat D3 kesehatan. Pemeriksaan kelengkapan dan kebenaran data dilakukan oleh Penanggung Jawab Tehnis Kabupaten, kemudian melakukan pengiriman data secara elektronik kepada tim manajemen data pusat. Pengumpulan data di beberapa daerah telah mulai dilakukan sejak bulan Juni 2010 berakhir pada tanggal 8 Agustus 2010 untuk dilakukan pengolahan dan analisis. Pada tanggal tersebut sejumlah 2704 BS sampel yang terkumpul datanya atau sekitar 96.5% dari 2800 BS sampel siap untuk dianalisis. Hasil analisis dapat dilaporkan sebagai berikut: Prevalensi balita kurang gizi (balita yang mempunyai berat badan kurang) secara nasional adalah sebesar 17,9 persen diantaranya 4,9 persen yang gizi buruk. Prevalensi balita gizi kurang menurut provinsi yang tertinggi adalah Provinsi NTB (30,5%), dan terendah adalah Provinsi Sulut (10,6%). Sementara itu prevalensi balita pendek (stunting) secara nasional adalah sebesar 35,6 persen, dengan rentang 22,5 persen (DI Yogyakarta) sampai 58,4 persen (NTT). Prevalensi balita kurus (wasting) secara nasional adalah sebesar 13,3 persen, dengan prevalensi tertinggi adalah Provinsi Jambi (20%), dan terendah adalah Bangka Belitung (7,6%)..
4
Hasil Riskesdas 2010 menunjukan 40,6 persen penduduk mengonsumsi makanan dibawah kebutuhan minimal (kurang dari 70% dari Angka Kecukupan Gizi/AKG) yang dianjurkan tahun 2004. Berdasarkan kelompok umur dijumpai 24,4 persen Balita, 41,2 persen anak usia sekolah, 54,5 persen remaja, 40.2 persen Dewasa, serta 44,2 persen ibu hamil mengonsumsi makanan dibawah kebutuhan minimal. Sementara itu proporsi penduduk tertinggi dengan konsumsi <70% AKG adalah NTB (46,6%), dan terendah adalah provinsi Bengkulu (23,7%). Proporsi anak 12-23 bulan yang memperoleh imunisasi campak pada Riskesdas 2010 ini adalah sebesar 74,5 persen. Proporsi anak 12-23 bulan yang memperoleh imunisasi campak menurut provinsi yang terbaik adalah DI Yogyakarta (96,4%) dan terendah adalah Papua (47,4%). Untuk kesehatan ibu, secara nasional 82,3 persen kelahiran sudah dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan terlatih. Tenaga kesehatan terlatih di wilayah perdesaan perlu lebih ditingkatkan agar kelahiran yang ditolong tenaga kesehatan tidak jauh berbeda dengan kelompok penduduk perkotaan, demikian juga perhatian perlu dipusatkan pada penduduk miskin. Demikian pula halnya pada provinsi seperti Maluku Utara, Maluku, dan Papua Barat perlu mendapatkan perhatian agar proporsi perempuan usia reproduktif dapat lebih banyak mendapatkan pertolongan kelahiran oleh tenaga kesehatan. Pemanfaatan Polindes/Poskesdes sebagai tempat pelayanan terdekat ke masyarakat juga perlu ditingkatkan, karena hanya 1,5 persen yang memanfaatkan untuk persalinan. Walaupun secara nasional 59,4 persen perempuan usia reproduktif menggunakan fasilitas kesehatan untuk persalinan, akan tetapi di beberapa provinsi penggunaan fasilitas kesehatan untuk melahirkan masih sangat rendah, seperti 7,8 persen di Sulawesi Tenggara, 8 persen di Maluku Utara, atau 12,1 persen di Sulawesi Tengah. Pemeriksaan kehamilan dengan tenaga kesehatan sudah lebih baik, yaitu 84%. Akan tetapi masih ada 2,8 persen tidak melakukan pemeriksaan kehamilan, dan 3,2 persen masih memeriksakan kehamilan ke dukun. Selain itu diketahui akses (K1) adalah 92,8% ibu hamil mengikuti pelayanan antenatal, akan tetapi hanya 61,3 persen selama kehamilan memeriksakan kehamilan minimal 4 kali (K4). Penggunaan alat/cara KB diketahui hanya 53,9 persen pada perempuan pernah kawin umur 15-49 tahun. Secara nasional masih ada 19% perempuan pernah kawin usia reproduktif yang tidak menggunakan alat/cara KB untuk mencegah/menunda kehamilan, dan 27,1 persen yang pernah ber KB akan tetapi sekarang tidak menggunakan. Disparitas menurut provinsi dapat diketahui dari yang terendah di Papua Barat (31,9%) dan tertinggi di Bali (64,3%). Terpantau juga jenis penggunaan alat/cara KB yang masih dominan adalah dengan suntikan yaitu 31,1 persen. Kelompok penduduk di perdesaan cenderung lebih banyak menggunakan suntikan untuk pencegahan kehamilan dibanding perkotaan. Sebagian besar pelayanan KB dilakukan oleh bidan praktek (52,5%), dan hanya 12 persen di Puskesmas, serta 4,1 persen di Polindes/Poskesdes.
5
Pada kelompok penduduk yang tidak menggunakan alat/cara KB, terdeteksi secara nasional 14,0 persen sebenarnya mereka membutuhkan akan tetapi tidak terpenuhi (unmet need). Variasi antar provinsi, dijumpai cukup lebar dari yang tertinggi di Papua Barat (32,9%) dan terendah di Bali (8,7%). Masalah lain yang perlu mendapat perhatian untuk mempercepat penurunan kematian ibu adalah mengupayakan penundaan perkawinan menjadi usia 20 tahun. Karena secara nasional persentase menikah pada usia di bawah 20 tahun masih cukup tinggi (46,4%). Secara nasional prevalensi penduduk umur 15-24 tahun yang pernah mendengar tentang HIV/AIDS adalah 75,0 persen. Pada penduduk laki-laki meningkat 11 persen, sedangkan pada perempuan meningkat sebanyak 12 persen dibandingkan Riskesdas 2007. Prevalensi lebih tinggi pada penduduk belum kawin, di daerah perkotaan, pendidikan lebih tinggi, penduduk yang masih sekolah dan dengan pekerjaan sebagai pegawai atau wiraswasta, juga pada penduduk dengan status ekonomi lebih tinggi.Menurut provinsi rentangan berkisar 44,3-93,7 persen. Paling rendah di provinsi Gorontalo dan tertinggi di provinsi DI.Yogyakarta. Masih ada 21 provinsi berada dibawah rata-rata nasional. Prevalensi penduduk umur 15-24 tahun dengan pengetahuan komprehensif tentang HIV/AIDS secara nasional yaitu 18,5 persen. Menurut provinsi rentangan berkisar 8,4-35,8 persen. Paling rendah di provinsi Gorontalo dan tertinggi di provinsi Bali. Masih ada 21 provinsi berada dibawah rata-rata nasional. . Insiden Parasit Malaria (API) dalam satu tahun terakhir (2009-2010) berdasarkan hasil pemeriksaan darah malaria pada saat wawancara adalah 24 permil. Rentang API Nasional adalah antara 0,3 persen (Bali) dan 31,4 persen (Papua). Sebanyak 20 provinsi dan semuanya di luar Jawa-Bali mempunyai API diatas API Nasional. Dari hasil wawancara, penggunaan Artemisinin Combination based Therapy (ACT) di Indonesia hanya mencapai 49,1 persen, dan hanya 75,5 persen yang mendapat pengobatan dalam 24 jam pertama sakit atau menderita demam, serta 89,6 persen yang diminum dengan dosis lengkap. Khusus pada balita, penggunaan ACT lebih rendah yaitu 34,3 persen, 80,6 persen yang mendapat pengobatan dalam 24 jam pertama sakit atau menderita demam, dan 83,4 persen yang diminum dengan dosis lengkap. Jadi penderita malaria semua kelompok umur yang mendapat pengobatan efektif adalah 33,6 persen, sedangkan pada balita hanya 21,9 persen. Dari hasil wawancara Riskesdas 2010, cakupan total kelambunisasi dengan dan tanpa diproteksi insektisida adalah 26,1 persen, dan cakupan kelambunisasi dengan diproteksi insektisida adalah 12,5 persen pada responden semua kelompok umur. Sedangkan cakupan kelambunisasi khusus pada balita dengan dan tanpa diproteksi insektisida adalah 32,7 persen, dan cakupan kelambunisasi dengan diproteksi insektisida adalah 16,0 persen. Prevalensi TB berdasarkan pengakuan responden yang diagnosis tenaga kesehatan secara nasional sebesar 0.7 persen. Prevalensi TB berdasarkan pengakuan responden yang diagnosis tenaga kesehatan menurut provinsi yang tertinggi adalah Provinsi Papua (1,5%) dan terendah Provinsi Sumatera Selatan, Lampung, DI Yogyakarta, dan Bali (0,3%). Proporsi pemanfaatan OAT DOTS pada Riskesdas 2010 (83,2%) lebih baik dibandingkan dengan cakupan DOTS yang dilaporkan oleh P2PL tahun 2008 (66,25%).
6
Proporsi rumahtangga yang menggunakan air perpipaan terlindung sebesar 16,14 persen, tertinggi di Provinsi Sulawesi Tenggara (44,79%) dan terendah di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (0,85%). Sedangkan sarana non perpipaan terlindung secara nasional adalah 56,69 persen, tertinggi di Provinsi Gorontalo (66,5%) dan terendah di Provinsi Kalimantan Timur (29,75%). Bila sarana perpipaan terlindung dan non perpipaan terlindung dijumlahkan, maka secara nasional terdapat 72,83 persen yang akses terhadap sumber air terlindung, tertinggi di Provinsi Jawa Tengah 84,91 persen dan terendah di Provinsi Kepulauan Riau (45,74%). Lebih lanjut dari hasil Riskesdas 2010 diketahui proporsi rumahtangga yang akses terhadap sumber air minum terlindung dan berkelanjutan (layak) adalah 45,27 persen . Akses penduduk atau rumahtangga terhadap fasilitas sanitasi layak sebesar 55,53 persen, paling tinggi adalah Provinsi DKI Jakarta (82,83%) dan terendah di Provinsi Nusa Tenggara Timur (25,35%).
7
DAFTAR ISI Kata Pengantar Sambutan Menteri Kesehatan Kesehatan Republik Indonesia Ringkasan Eksekutif Daftar Isi BAB 1 Pendahuluan BAB 2 Metodologi 1. Disain 2. Lokasi 3. Populasi dan Sampel 4. Variabel 5. Alat Pengumpul Data dan Cara Pengumpul Data 6. Manajemen Data BAB 3 Hasil dan Pembahasan 1. Goal 1 MDG 2. Goal 4 MDG 3. Goal 5 MDG 4. Goal 6 MDG 5. Goal 7 MDG BAB 4 Kesimpulan Lampiran
8
2 3 4 8 9 12 12 12 12 15 16 16 17 17 33 40 68 96 108 109
BAB I. PENDAHULUAN Visi Kementerian Kesehatan adalah “Masyarakat Sehat yang mandiri dan berkeadilan. Sedangkan misinya adalah meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui pemberdayaan masyarakat, termasuk swasta dan masyarakat madani; melindungi kesehatan masyarakat dengan menjamin tersedianya upaya kesehatan yang paripurna, merata, bermutu, dan berkeadilan; menjamin ketersediaan dan pemerataan sumberdaya kesehatan; dan menciptakan tata kelola kepemerintahan yang baik. Salah satu strateginya adalah “Meningkatkan pelayanan kesehatan yang merata, terjangkau, bermutu dan berkeadilan serta berbasis bukti dengan mengutamakan pada upaya promotif dan preventif”. Untuk itu diperlukan data kesehatan dasar yang dapat dikumpulkan secara berkesinambungan. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) merupakan Riset Kesehatan berbasis komunitas berskala nasional sampai tingkat kabupaten/kota. Riskesdas ini dilaksanakan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Badan Litbangkes) Kementerian Kesehatan RI. Riskesdas direncanakan dilaksanakan secara periodik, dengan tujuan untuk melakukan evaluasi pencapaian program kesehatan yang telah dilaksanakan, sekaligus sebagai bahan untuk perencanaan kesehatan. Pada tahun 2007 Badan Litbangkes telah melakukan Riskesdas pertama, meliputi semua indikator kesehatan utama, yaitu status kesehatan (penyebab kematian, angka kesakitan, angka kecelakaan, angka disabilitas, dan status gizi), kesehatan lingkungan (lingkungan fisik), konsumsi rumahtangga, pengetahuan-sikap-perilaku kesehatan (Flu Burung, HIV/AIDS, perilaku higienis, penggunaan tembakau, minum alkohol, aktivitas fisik, perilaku konsumsi makanan) dan berbagai aspek mengenai pelayanan kesehatan (akses, cakupan, mutu layananan, pembiayaan kesehatan). Telah dikumpulkan pula sekitar 33.000 sampel serum, bekuan darah, dan sediaan apus, untuk test-test lanjutan di laboratorium Badan Litbangkes. Hasil Riskesdas 2007 telah dimanfaatkan oleh penyelenggara program, terutama Kementerian Kesehatan; oleh Bappenas, untuk evaluasi program pembangunan termasuk pengembangan rencana kebijakan pembangunan kesehatan jangka menengah (RPJMN 2010-2014), dan oleh beberapa kabupaten/kota dalam merencanakan, mengalokasikan anggaran, melaksanakan, memantau dan mengevaluasi program-program kesehatan berbasis bukti (evidence-based planning). Komposit beberapa indikator Riskesdas 2007 juga telah digunakan sebagai model Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) di Indonesia untuk melihat peringkat Kabupaten/Kota. Riskesdas 2010 bertepatan dengan tahun akan dilaksanakannya pertemuan puncak tingkat tinggi Majelis Umum PBB untuk mengevaluasi pencapaian deklarasi Millenium Development Goals (MDGs) dari 189 negara termasuk Indonesia. Pada deklarasi tersebut disepakati 8 tujuan untuk mencapai MDGs di tahun 2015 yaitu: memberantas kemiskinan dan kelaparan, mencapai
9
universal primary education, mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, menurunkan kematian anak, meningkatkan kesehatan ibu, memerangi HIV/AIDS, malaria dan tuberkulosis, memastikan lingkungan yang kesinambungan, mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan. Dalam rangka mendukung pertemuan tersebut dan mendapatkan data kesehatan terkini yang faktual, Riskesdas 2010 difokuskan pada indikator-indikator pencapaian MDGs dan data pendukung lainnya. Untuk menjaga kesinambungan, Riskesdas serupa 2007 direncanakan akan dilaksanakan pada tahun 2013. Pertanyaan penelitian untuk Riskesdas 2010 yaitu: 1) Bagaimanakah status pencapaian target MDGs kesehatan Indonesia pada tahun 2010 di tingkat nasional dan provinsi?; dan 2) Bagaimana faktor-faktor yang dapat mempengaruhi status pencapaian target MDGs kesehatan Indonesia di tingkat nasional dan provinsi? Tujuan umum adalah memperoleh gambaran pencapaian target indikator MDG khusus kesehatan pada tahun 2010 berdasarkan Provinsi dan Nasional. Tujuan khsuusnya adalah untuk: a) Menilai status pencapaian target MDGs kesehatan Indonesia pada tahun 2010 di tingkat nasional dan provinsi, dan b) Memperoleh gambaran faktor-faktor yang dapat mempengaruhi status pencapaian target MDGs kesehatan Indonesia di tingkat nasional dan provinsi. Beberapa indikator MDGs kesehatan yang dikumpulkan melalui Riskesdas 2010 adalah status gizi balita dan konsumsi (memberantas kelaparan), status kesehatan ibu dan anak (menurunkan kematian anak dan meningkatkan kesehatan ibu), prevalensi malaria dan tuberkulosis (menurunkan angka kesakitan), akses sumber air minum yang aman dan fasilitas sanitasi dasar. Data tersebut dikumpulkan seperti pada Riskesdas 2007 yaitu melalui wawancara, pengukuran, dan pemeriksaan laboratorium untuk kepastian penyakit malaria dan tuberkulosis yang dilakukan di lapangan (darah malaria) dan Laboratorium Puskesmas yang direkomendasi (dahak tuberkulosis). Beberapa indikator MDGs kesehatan lainnya yaitu prevalensi HIV/AIDS dan angka kematian anak tidak dapat dikumpulkan melalui Riskesdas 2010 karena memerlukan penelitian khusus atau didapat dari sumber data lain. Riskesdas 2010 adalah Riskesdas MDGs karena menghasilkan beberapa indikator MDGs kesehatan nasional (Indonesia) yang berbasis bukti, dan komitmen kesehatan tingkat nasional dan global sebagai bahan penilaian pencapaian MDGs di tahun 2015. Selain itu, juga sebagai sarana untuk mengevaluasi perkembangan beberapa status kesehatan masyarakat Indonesia di tingkat nasional dan provinsi, perubahan masalah kesehatan di tingkat nasional dan provinsi, dan perkembangan upaya pembangunan kesehatan di tingkat nasional dan provinsi dalam tiga tahun terakhir. Pengumpulan data Riskesdas 2010 dilakukan segera setelah selesainya Sensus Penduduk 2010. Pengorganisasian Riskesdas 2010 sama dengan Riskesdas 2007 dilaksanakan sepenuhnya oleh seluruh jajaran Balitbangkes dengan melibatkan Badan Pusat Statistik (BPS) untuk metodologi dan penentuan sampel nasional dan provinsi, serta melibatkan penyelenggara program terkait, organisasi profesi, perguruan tinggi, lembaga penelitian, pemerintah daerah, dan masyarakat.
10
Proses pengumpulan data dilakukan dibawah koordinasi Balitbangkes yang terbagi menjadi empat koordinator wilayah sebagai berikut:
a. Koordinator Wilayah 1 dengan penanggung-jawab Puslitbang Ekologi & Status Kesehatan untuk: Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, DKI Jakarta, Banten, dan Papua Barat.
b. Koordinator Wilayah 2 dengan penanggung- jawab Puslitbang Biomedis dan Farmasi untuk: Provinsi Riau, Kep.Riau, Bangka Belitung, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Selatan
c. Koordinator Wilayah 3 dengan penanggung-jawab Puslitbang Sistem dan Kebijakan Kesehatan untuk: Provinsi DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Maluku, dan Maluku Utara.
d. Koordinator Wilayah 4 dengan penanggung-jawab Puslitbang Gizi dan Makanan untuk: Provinsi Bengkulu, Jawa Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Sulawesi Barat, dan Papua. Pengembangan kuesioner dan pedoman dilakukan oleh tim teknis Balitbangkes dan dilakukan pelatihan berjenjang mulai dari pelatih tingkat pusat sampai ke enumerator sebagai pengumpul data di lapangan. Keseluruhan proses Riskesdas 2010 dimulai semenjak bulan februari 2010 sampai data selesai dikumpulan pada minggu pertama Agustus 2010. Riskesdas 2010 memberikan manfaat untuk memantau indikator MDGsn khusus kesehatan sehingga dapat digunakan untuk mempertajam strategi kebijakan pembangunan kesehatan dalam mempercepat pencapaian MDG 2015. Riskesdas 2010 telah mendapat persetujuan etik dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (lihat lampiran).
11
BAB II. METODOLOGI 1. Disain Riskesdas adalah sebuah survei yang dilakukan secara cross sectional yang bersifat deskriptif. Disain Riskesdas terutama dimaksudkan untuk menggambarkan masalah kesehatan penduduk di seluruh pelosok Indonesia, yang mewakili penduduk di tingkat nasional dan provinsi dan berorientasi pada kepentingan para pengambil keputusan untuk kepentingan pencapaian MDGs.
2. Lokasi Sampel Riskesdas 2010 mewakili nasional dan 33 provinsi yang tersebar di 441 Kabupaten/Kota dari total 497 Kabupaten/Kota di Indonesia. Sampai dengan laporan ini dibuat, beberapa catatan berkenan dengan lokasi adalah sebagai berikut: a) Dalam proses pengumpulan data, terjadi 43 pergantian BS dari 2800 BS yang telah ditetapkan semula, hal ini disebabkan karena BS semula terpilih jumlah rumah tangga yang akan menjadi sampel tidak terpenuhi dengan kriteria yang sudah ditetapkan b) Ada 1 kabupaten di Provinsi Papua (Kabupaten Nduga) yang tidak dapat dikunjungi dalam periode waktu pengumpulan data Riskesdas. c) Sehubungan dengan waktu untuk analisis indikator MDG sudah harus dilaksanakan, maka dari 2800 BS yang seharusnya menjadi sampel Riskesdas hanya dapat diolah sejumlah 2704 BS atau 96,5 persen (lihat tabel 1)
3. Populasi dan Sampel Populasi dalam Riskesdas 2010 adalah seluruh rumah tangga biasa yang mewakili 33 provinsi yang tersebar di 441 kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Sampel rumah tangga dan anggota rumah tangga dalam Riskesdas 2010 dipilih berdasarkan listing Sensus Penduduk (SP) 2010. Proses pemilihan rumah tangga dilakukan BPS dengan two stage sampling yang sama dengan Riskesdas 2007/Susenas 2007. Berikut ini adalah uraian singkat cara penghitungan dan cara penarikan sampel dimaksud.
Penarikan Sampel Blok Sensus Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, Riskesdas memilih BS yang telah dikumpulkan SP 2010. Pemilihan BS dilakukan sepenuhnya oleh BPS dengan memperhatikan status ekonomi, rasio perkotaan/perdesaan, dan prevalensi malaria/TB-paru hasil Riskesdas 2007. Dari setiap provinsi diambil sejumlah blok sensus yang representative terhadap jumlah rumah tangga/anggota rumah tangga di provinsi tersebut. Riskesdas berhasil mengumpulkan seluruh BS kecuali di kabupaten Nduga, Papua. Akan tetapi karena analisis harus segera dilakukan maka 94 BS yang belum sempat terkirim ke manajemen data pusat per tanggal 12 Agustus 2010, tidak bisa diikutkan untuk proses analisis.
12
Penarikan Sampel Rumah Tangga/Anggota Rumah Tangga Dari setiap blok sensus terpilih kemudian dipilih 25 (dua puluh lima) rumah tangga secara acak sederhana (simple random sampling), yang menjadi sampel rumah tangga dari jumlah rumah tangga di blok sensus tersebut. Tabel 1 Jumlah Sampel Blok Sensus (BS) menurut Provinsi, Riskesdas 2010
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua Indonesia
53 128 54 66 40 83 29 86 23 28 111 494 343 54 410 117 49 64 50 53 35 50 46 38 34 85 33 23 22 23 19 22
51 117 52 64 33 82 29 84 23 28 111 487 343 54 410 115 49 64 31 40 35 50 46 32 26 85 33 23 22 23 19 21
Jml BS yang belum diolah 2 11 2 2 7 1 0 2 0 0 0 7 0 0 0 2 0 0 19 13 0 0 0 6 8 0 0 0 0 0 0 1
35
22
13
2800
2704
96
Jml BSSampel
Jml BS-yang diolah
Secara keseluruhan, jumlah sampel rumah tangga dari 2704 BS adalah 66.906, dengan jumlah individu 241.946. Jumlah rumah tangga yang diharapkan terkumpul adalah 70.000 dari 2800 BS. Jumlah sampel rumah tangga (66.906) yang diolah adalah mewakili 96,5% dari total
13
sampel yang diharapkan. Tidak semua 2704 BS dapat mengumpulkan masing-masing 25 rumah tangga sampel. Seharusnya dari 2704 BS akan terkumpul 67.600, artinya ada 694 rumah tangga yang tidak ditemukan pada saat pengumpulan data. Distribusi jumlah rumah tangga dan anggota rumah tangga dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2. Distribusi sampel rumah tangga dan anggota rumah tangga menurut Provinsi, Riskesdas 2010
PROVINSI Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua INDONESIA
Jml BS 51 117 52 64 33 82 29 84 23 28 111 487 343 54 410 115 49 64 31 40 35 50 46 32 26 85 33 23 22 23 19 21 22 2,704
*) Jumlah rumah tangga seharusnya adalah 25 per BS
14
Jumlah Rumah Jumlah tangga*) ART yang Sampel Yang seharusnya terkumpul terkumpul 1,268 4,899 1,275 2,851 11,320 2,925 1,300 5,123 1,300 1,590 6,310 1,600 816 3,075 825 2,039 7,940 2,050 725 2,694 725 2,099 7,496 2,100 575 2,050 575 678 2,320 700 2,662 9,031 2,775 12,096 41,738 12,175 8,529 29,517 8,575 1,350 4,325 1,350 10,180 35,367 10,250 2,800 10,703 2,875 1,218 4,493 1,225 1,599 5,597 1,600 774 3,506 775 968 3,780 1,000 874 3,076 875 1,235 4,227 1,250 1,140 4,201 1,150 771 2,652 800 650 644 2,362 2,118 8,296 2,125 825 3,400 825 575 2,174 575 550 2,106 550 571 2,385 575 473 1,994 475 499 2,009 525 514 1,780 550 66,906 241,946 67,600
Penarikan Sampel Biomedis Sampel untuk pengukuran biomedis merupakan sub-sampel dari 2800 BS yang mewakili nasional atau sejumlah 823 BS. Pada BS yang terpilih untuk biomedis, rumah tangganya dan anggota rumah tangganya selain dikumpulkan variabel kesehatan masyarakat juga dialkukan pemeriksaan biomedis. Untuk pemeriksaan malaria, seluruh anggota rumah tangga dari 823 BS dilakukan pengambilan darah, dan anggota rumah tangga usia 15 tahun keatas yang dilakukan pengambilan sputum/dahak pagi dan sewaktu untuk pemeriksaan TB paru.
4. Variabel Berbagai pertanyaan terkait dengan indikator MDG bidang kesehatan dioperasionalisasikan menjadi pertanyaan riset dan akhirnya dikembangkan menjadi variabel yang dikumpulkan dengan menggunakan berbagai cara. Dalam Riskesdas 2010 terdapat kurang lebih 315 variabel yang tersebar dalam 2 (dua) jenis kuesioner (lihat file terlampir), dengan rincian variabel pokok sebagai berikut: a. Kuesioner rumah tangga (RKD10.RT) yang terdiri dari: Blok I tentang pengenalan tempat (11 variabel); Blok II tentang keterangan rumah tangga (4 variabel); Blok III tentang keterangan pengumpul data (6 variabel); Blok IV tentang anggota rumah tangga (13 variabel); Blok V tentang dasilitas pelayanan kesehatan (18 variabel); Blok VI tentang sanitasi lingkungan (20 variabel); Blok VII tentang Pengeluaran Rumah Tangga (39 variabel) b. Kuesioner individu (RKD10.IND), yang terdiri dari: Blok VIII ini dikelompokkan menjadi i. Blok VIII-A tentang identifikasi responden (4 variabel); ii. Blok VIII-B tentang penyakit menular: Malaria (10 variabel), TB paru (9 variabel) iii. Blok VIII-C tentang pengetahuan dan perilaku (22 variabel) iv. Blok VIII-D tentang kesehatan reproduksi, yang terdiri dari 6 sub-blok: 1. Da. Masa reproduksi perempuan (6 variabel) 2. Db Fertilitas (11 variabel) 3. Dc Alat/cara KB (8 variabel) 4. Dd Kehamilan, persalinan, pemeriksaan sesudah melahirkan (41 variabel) 5. De Keguguran dan Kehamilan yang tidak diinginkan (10 variabel) 6. Perilaku seksual (6 variabel) v. Blok VIII-E tentang kesehatan anak , yang terdiri dari 2 sub-blok: 1. Kesehatan bayi dan anak balita (22 variabel); 2. ASI dan MP-ASI (10 variabel) vi. Blok IX- tentang konsumsi makanan individu (jumlah variabel tergantung makanan yang dikonsumsi; Blok X tentang pengukuran tinggi/panjang badan dan berat badan (5 variabel) Blok XI tentang Pemeriksaan laboratorium (7 variabel).
15
5. Alat Pengumpul Data dan Cara Pengumpulan Data Pelaksanaan Riskesdas 2010 menggunakan berbagai alat pengumpul data dan berbagai cara pengumpulan data, dengan rincian sebagai berikut: a. Pengumpulan data rumah tangga dilakukan dengan teknik wawancara menggunakan Kuesioner RKD10.RT Responden untuk Kuesioner RKD10.RT adalah Kepala Keluarga atau Ibu Rumah Tangga atau Anggota Rumah Tangga yang dapat memberikan informasi Dalam Kuesioner RKD10.RT terdapat keterangan anggota rumah tangga termasuk variabel yang dapat menunjukkan apakah anggota rumah tangga diwawancarai atau tidak, diwakili atau tidak diwakili. b. Pengumpulan data individu pada berbagai kelompok umur dilakukan dengan teknik wawancara menggunakan Kuesioner RKD10.IND Secara umum, responden untuk Kuesioner RKD10.IND adalah setiap anggota rumah tangga. Khusus untuk anggota rumah tangga yang berusia kurang dari 15 tahun, dalam kondisi sakit atau orang tua maka wawancara dilakukan terhadap anggota rumah tangga yang menjadi pendampingnya; Anggota rumah tangga semua umur menjadi unit analisis untuk pertanyaan mengenai penyakit menular malaria dan TB paru, pengukuran berat badan, tinggi badan / panjang badan; konsumsi individu, dan pada BS biomedis dilakukan pemeriksaan darah malaria untuk deteksi antigen plasmodium dengan menggunakan dipstick (Rapid Diagnostic Test/RDT). Anggota rumah tangga berumur = 15 tahun menjadi unit analisis untuk pertanyaan pengetahuan dan perilaku tentanh HIV/AIDS, pencegahan TB paru, pencegahan malaria, pengetahuan tembakau, dan konsumsi jamu/obat tradisional, dan pada BS biomedis dilakukan pemeriksaan TB Paru dengan mengambil sputum pagi dan sewaktu. Anggota rumah tangga perempuan berumur 10-59 tahun menjadi unit analisis untuk pertanyaan Kesehatan Reproduksi Anggota rumah tangga berumur 0-59 bulan menjadi unit analisis untuk pertanyaan kesehatan anak; Anggota rumah tangga berumur 10-24 tahun menjadi unit analisis untuk pertanyaan mengenai perilaku seksual; c. Untuk biomedis, hasil pemeriksaan darah malaria dan sputum digunakan formulir tersendiri (form M1, M2, T1, T2, Mt1, MT2).
6. Manajemen Data Balitbangkes membentuk tim manajemen data pusat yang mengkoordinasikan seluruh proses yaitu: Bersama dengan BPS mengembangkan program data entry yang digunakan oleh enumerator setelah data dikumpulkan di lapangan Setelah data entry dilakukan di lapangan, data langsung dikirim via email ke tim manajemen Pusat untuk dilakukan pemeriksaan kelengkapan dan data cleaning Bersama dengan BPS melakukan proses pembobotan untuk siap di analisis.
16
BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN Sesuai dengan tujuan dari Riskesdas 2010 yaitu memberikan informasi terkini keadaan kesehaatan masyarakat berkaitan dengan MDG, maka hasil dan pembahasan berikut khusus menyajikan indikator untuk menjawab goal 1, 4, 5,6, dan 7. Beberapa indikator terkait goal dimaksud juga disajikan agar informasi yang disajikan menjadi lebih lengkap.
1. Goal 1 – MDG Target: Menurunkan hingga setengahnya proporsi penduduk yang menderita kelaparan dalam kurun waktu 1990-2015. Indikator: 1. Prevalensi balita kurang gizi (berat badan rendah, pendek, dan kurus) 2. Proporsi penduduk dengan asupan kalori dibawah tingkat konsumsi minimum
STATUS GIZI PADA BALITA Seperti halnya pada Riskesdas 2007, status gizi balita dinilai berdasarkan parameter antropometri yang terdiri dari berat badan dan panjang/tinggi badan. Indikator status gizi yang digunakan adalah: Berat Badan menurut Umur (BB/U), Tinggi Badan menurut Umur (TB/U), dan Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB). Untuk menilai status gizi balita digunakan Standar Antropometri yang dikeluarkan oleh WHO pada tahun 2005 atau yang disebut dengan “Standar WHO 2005”. Dalam Millenium Development Goal (MDGs), indikator status gizi yang dipakai adalah BB/U dan angka prevalensi status “underweight” (gizi kurang dan buruk atau disingkat “Gizi Burkur”) dijadikan dasar untuk menilai pencapaian MDGs. Prevalensi balita menurut tiga indikator status gizi (BB/U, TB/U dan BB/TB) disajikan pada Tabel 1. 1.1.
Status Gizi Balita Tingkat Nasional
Secara nasional prevalensi balita “gizi burkur” menurun sebanyak 0,5 persen yaitu dari 18,4 persen pada tahun 2007 menjadi 17,9 persen pada tahun 2010. Demikian pula halnya dengan prevalensi balita pendek yang menurun sebanyak 1,2 persen yaitu dari 36,8 persen pada tahun 2007 menjadi 35,6 persen pada tahun 2010, dan prevalensi balita kurus menurun sebanyak 0,3 persen yaitu dari 13,6 persen pada tahun 2007 menjadi 13,3 persen pada tahun 2010 (Tabel 1.1). Untuk prevalensi masing-masing indikator menurut BB/U, TB/U dan BB/TB dapat dilihat pada tabel 1.1a, 1.1b, 1.1c. 1.2. Status Gizi Balita Di Daerah Kota dan Desa Terdapat perbedaan perkembangan Prevalensi Balita Gizi Burkur, Balita Pendek dan Balita Kurus dari tahun 2007 ke 2010 antara daerah Kota dan Desa. Di daerah Kota secara umum terjadi penurunan prevalensi Balita Gizi Burkur, Balita Pendek dan Balita Kurus. Di daerah Desa tidak terjadi penurunan prevalensi.
17
Di daerah Kota prevalensi balita Gizi Burkur menurun dari 15,9 persen tahun 2007 menjadi 15,2 persen tahun 2010 (Gambar 1.1), prevalensi balita pendek turun dari 32,7 persen tahun 2007 menjadi 31,4 persen tahun 2010 (Gambar 1.2), dan prevalensi balita kurus turun dari 13,1 persen tahun 2007 menjadi 12,5 persen tahun 2010 (Gambar 1.3). TABEL 1.1. STATUS GIZI BALITA PADA TAHUN 2007 DAN 2010 PROVINSI
BB/U
TB/U
BB/TB
GIZI BURKUR
PENDEK
KURUS
2007 11. Nanggroe Aceh Darussalam 12. Sumatera Utara 13. Sumatera Barat 14. R i a u 15. Jambi 16. Sumatera Selatan 17. Bengkulu 18. Lampung 19. Bangka Belitung 21. Kepulauan Riau 31. DKI Jakarta 32. Jawa Barat 33. Jawa Tengah 34. DI Yogyakarta 35. Jawa Timur 36. Banten 51. B a l i 52. Nusa Tenggara Barat 53. Nusa Tenggara Timur 61. Kalimantan Barat 62. Kalimantan Tengah 63. Kalimantan Selatan 64. Kalimantan Timur 71. Sulawesi Utara 72. Sulawesi Tengah 73. Sulawesi Selatan 74. Sulawesi Tenggara 75. Gorontalo 76. Sulawesi Barat 81. Maluku 82. Maluku Utara 91. Papua Barat 94. P a p u a INDONESIA
2010
2007
2010
2007
2010
26,5 22,8 20,2 21,4 18,9 18,3 16,8 17,5
23,7 21,4 17,1 16,2 19,6 19,9 15,3 13,4
44,6 43,1 36,5 33,0 36,4 44,7 36,0 38,7
38,9 42,3 32,8 32,2 30,2 40,4 31,6 36,3
18,3 17,0 15,3 22,1 19,2 15,8 14,1 13,7
14,2 14,0 8,2 17,2 20,0 14,6 17,8 13,9
18,3 12,4 12,9 15,0 16,1 10,9 17,5 16,7
14,9 14,0 11,3 13,0 15,7 11,2 17,1 18,5
35,5 26,2 26,7 35,5 36,5 27,6 34,8 39,0
29,0 26,9 26,6 33,6 33,9 22,5 35,9 33,5
10,8 13,5 16,9 9,0 11,8 9,0 13,7 14,1
7,6 7,9 11,3 11,0 14,2 9,1 14,2 14,1
11,4 24,8 33,6 22,5 24,3 26,6 19,3 15,7
11,0 30,5 29,4 29,1 27,6 22,9 17,1 10,6
31,0 43,7 46,8 39,3 42,7 41,8 35,2 31,2
29,3 48,2 58,4 39,7 39,6 35,3 29,1 27,8
10,0 15,5 20,0 17,3 16,9 16,3 15,9 10,2
13,2 14,0 13,2 16,7 15,6 15,6 12,9 9,2
27,6 17,6 22,8 25,4 25,4 27,8 22,8 23,1
26,5 25,0 22,8 26,5 20,5 26,2 23,6 26,5
40,4 29,1 40,5 39,9 44,5 45,8 40,2 39,4
36,2 38,9 37,8 40,3 41,6 37,5 29,4 49,2
15,5 13,7 14,7 16,6 16,8 17,2 14,8 16,4
14,8 12,0 15,8 11,9 16,7 13,2 17,8 11,4
21,3
16,2
37,7
28,3
12,4
13,8
18,4
17,9
36,8
35,6
13,6
13,3
18
Tabel 1.1a. Prevalensi Balita Gizi Kurang dan Gizi Buruk (BB/U) Menurut Provinsi Tahun 2010 Status Gizi BB/U
Provinsi Gizi buruk 11. Nanggroe Aceh Darussalam 12. Sumatera Utara 13. Sumatera Barat 14. R i a u 15. Jambi 16. Sumatera Selatan 17. Bengkulu 18. Lampung 19. Bangka Belitung 21. Kepulauan Riau 31. DKI Jakarta 32. Jawa Barat 33. Jawa Tengah 34. DI Yogyakarta 35. Jawa Timur 36. Banten 51. B a l i 52. Nusa Tenggara Barat 53. Nusa Tenggara Timur 61. Kalimantan Barat 62. Kalimantan Tengah 63. Kalimantan Selatan 64. Kalimantan Timur 71. Sulawesi Utara 72. Sulawesi Tengah 73. Sulawesi Selatan 74. Sulawesi Tenggara 75. Gorontalo 76. Sulawesi Barat 81. Maluku 82. Maluku Utara 91. Papua Barat 94. P a p u a INDONESIA
19
Gizi kurang
Gizi Buruk+ Gizi Kurang
7,1 7,8 2,8 4,8 5,4 5,5
16,6 13,5 14,4 11,4 14,3 14,4
23,7 21,4 17,1 16,2 19,6 19,9
4,3 3,5 3,2 4,3 2,6 3,1 3,3 1,4
11,0 10,0 11,7 9,8 8,7 9,9 12,4 9,9
15,3 13,4 14,9 14,0 11,3 13,0 15,7 11,2
4,8 4,8 1,7 10,6 9,0 9,5 5,3 6,0
12,3 13,7 9,2 19,9 20,4 19,7 22,3 16,8
17,1 18,5 11,0 30,5 29,4 29,1 27,6 22,9
4,4 3,8 7,9 6,4 6,5 11,2 7,6 8,4
12,7 6,8 18,6 18,6 16,3 15,3 12,9 17,8
17,1 10,6 26,5 25,0 22,8 26,5 20,5 26,2
5,7 9,1
17,9 17,4
23,6 26,5
6,3
10,0
16,2
4,9
13,0
17,9
TABEL 1.1b. Prevalensi Balita Pendek dan Sangat (TB/U) Menurut Provinsi Tahun 2010 Status Gizi TB/U Provinsi
Sangat pendek
Pendek
Pendek+ Sangat pendek
11. Nanggroe Aceh Darussalam 12. Sumatera Utara 13. Sumatera Barat 14. R i a u 15. Jambi 16. Sumatera Selatan 17. Bengkulu
24,2 23,4 14,3 19,6 15,4 23,1 18,3
14,8 18,9 18,4 12,5 14,8 17,3 13,3
38,9 42,3 32,8 32,2 30,2 40,4 31,6
18. Lampung 19. Bangka Belitung 21. Kepulauan Riau 31. DKI Jakarta 32. Jawa Barat 33. Jawa Tengah 34. DI Yogyakarta 35. Jawa Timur
20,6 12,5 11,4 14,3 16,6 16,9 10,2 20,9
15,6 16,6 15,5 12,3 17,1 17,0 12,3 14,9
36,3 29,0 26,9 26,6 33,6 33,9 22,5 35,9
36. Banten 51. B a l i 52. Nusa Tenggara Barat 53. Nusa Tenggara Timur 61. Kalimantan Barat 62. Kalimantan Tengah 63. Kalimantan Selatan 64. Kalimantan Timur
16,5 14,0 27,8 30,9 20,7 18,0 15,9 14,4
17,0 15,3 20,5 27,5 19,0 21,6 19,4 14,7
33,5 29,3 48,2 58,4 39,7 39,6 35,3 29,1
71. Sulawesi Utara 72. Sulawesi Tengah 73. Sulawesi Selatan 74. Sulawesi Tenggara 75. Gorontalo 76. Sulawesi Barat 81. Maluku 82. Maluku Utara
12,7 16,0 15,8 20,8 21,6 21,6 16,5 14,4
15,1 20,1 23,1 17,0 18,7 20,0 21,0 15,0
27,8 36,2 38,9 37,8 40,3 41,6 37,5 29,4
91. Papua Barat
28,6
20,6
49,2
94. P a p u a
13,3
15,0
28,3
INDONESIA
18,5
17,1
35,6
20
TABEL 1.1c. Prevalensi Balita Kurus dan Sangat kurus (BB/TB) Menurut Provinsi Tahun 2010 Status Gizi BB/TB Provinsi
Sangat kurus
Kurus
Kurus+ Sangat kurus
6,3 5,6 4,0 9,2 11,3 7,3 9,7
7,9 8,4 4,2 8,0 8,7 7,3 8,1
14,2 14,0 8,2 17,2 20,0 14,6 17,8
18. Lampung 19. Bangka Belitung 21. Kepulauan Riau 31. DKI Jakarta 32. Jawa Barat 33. Jawa Tengah 34. DI Yogyakarta 35. Jawa Timur
5,4 1,7 2,0 4,4 4,6 6,4 2,6 7,3
8,5 5,8 6,0 6,9 6,4 7,8 6,5 6,8
13,9 7,6 7,9 11,3 11,0 14,2 9,1 14,2
36. Banten 51. B a l i 52. Nusa Tenggara Barat 53. Nusa Tenggara Timur 61. Kalimantan Barat 62. Kalimantan Tengah 63. Kalimantan Selatan 64. Kalimantan Timur
6,2 5,2 5,9 6,8 7,6 6,0 8,4 5,8
7,9 7,9 8,0 6,4 9,1 9,6 7,2 7,1
14,1 13,2 14,0 13,2 16,7 15,6 15,6 12,9
71. Sulawesi Utara 72. Sulawesi Tengah 73. Sulawesi Selatan 74. Sulawesi Tenggara 75. Gorontalo 76. Sulawesi Barat 81. Maluku 82. Maluku Utara
2,6 8,4 4,8 6,2 4,1 6,1 6,3 6,4
6,7 6,4 7,2 9,6 7,7 10,6 6,9 11,3
9,2 14,8 12,0 15,8 11,9 16,7 13,2 17,8
91. Papua Barat
6,0
5,5
11,4
94. P a p u a
8,2
5,7
13,8
INDONESIA
6,0
7,3
13,3
11. Nanggroe Aceh Darussalam 12. Sumatera Utara 13. Sumatera Barat 14. R i a u 15. Jambi 16. Sumatera Selatan 17. Bengkulu
21
22
1.3.
Status Gizi Balita Menurut Kuintil Pendapatan Keluarga
Kuintil pendapatan keluarga terdiri dari kuintil 1 sampai kuintil 5. Kuintil 1 adalah kelompok pendapatan terendah dan kuintil 5 adalah kelompok pendapatan tertinggi. Dari Gambar 1.4, 1.5 dan 1.6 secara umum dapat dilihat bahwa penurunan prevalensi balita gizi burkur, balita pendek dan balita kurus terjadi pada kuintil 3, kuintil 4 dan kuintil 5, sedangkan prevalensi untuk ketiga jenis masalah gizi balita pada kuintil 1 dan kuintil 2 terlihat meningkat atau relative tetap. Dengan demikian keluarga yang masuk 2 kelompok pendapatan terendah atau keluarga yang tergolong miskin masih belum menunjukkan adanya peningkatan status gizi pada balitanya.
23
1.4. Status Gizi Balita Menurut Jenis Kelamin Status gizi balita perempuan secara umum lebih baik dari balita laki-laki baik pada tahun 2007 maupun tahun 2010. Prevalensi balita gizi burkur, pendek dan kurus secara umum lebih rendah pada balita perempuan dibanding dengan balita laki-laki. Demikian pula penurunan prevalensi balita yang bermasalah gizi secara umum lebih besar terjadi pada balita perempuan disbanding dengan balita laki-laki, terutama pada prevalensi balita gizi burkur dan balita pendek (Gambar 1.7, 1.8 dan 1.9).
24
Prevalensi balita gizi burkur pada balita perempuan menurun dari 17,7 persen tahun 2007 menjadi 16,7 persen tahun 2010 atau turun sebesar 1 persen, sedangkan pada balita laki-laki tidak terjadi penurunan atau tetap 19,1 persen. Demikian pula halnya dengan prevalensi pendek, pada balita perempuan turun dari 35,8 persen tahun 2007 menjadi 33,9 persen tahun 2010 atau turun sebesar 1,9 persen, sedangkan pada balita laki-laki penurunan prevalensi terlihat kecil yaitu dari 37,7 persen tahun 2007 menjadi 37,3 persen tahun 2010 atau turun sebesar 0,4 persen. Penurunan prevalensi kurus terlihat lebih tinggi pada balita laki-laki yaitu sebesar 0,7 persen, sedangkan pada balita perempuan sebesar 0,2 persen. 1.5. Status Gizi Balita Tingkat Provinsi Ditinjau dari prevalensi Balita Gizi Burkur pada tahun 2010 ada 20 provinsi yang menurun prevalensi dan 13 provinsi meningkat atau relative tetap. Provinsi Sulawesi Utara memiliki prevalensi balita gizi burkur paling rendah yaitu 10,0 persen dan Provinsi NTB memiliki prevalensi tertinggi yaitu 30,5 persen (Gambar 1.10). Dalam hal prevalensi Balita Pendek pada tahun 2010 ada 25 provinsi yang menurun prevalensinya dan 8 provinsi yang meningkat atau relative tetap prevalensinya. Provinsi DI Yogyakarta memiliki prevalensi pendek terendah yaitu 22,5 persen dan Provinsi NTT memiliki prevalensi tertinggi yaitu 58,4 persen. (Gambar 1.11) Demikian pula dengan prevalensi Balita Kurus, terdapat 20 provinsi yang menurun prevalensinya dan 13 provinsi meningkat atau relative tetap. Provinsi Bangka Belitung memiliki prevalensi terendah yaitu 7,6 persen dan Provinsi Jambi memiliki prevalensi tertinggi yaitu 20,0 persen (Gambar 1.12). 1.6. Trend Prevalensi Balita Gizi Burkur dari Tahun 1989 – 2010 Pencapaian MDG berdasarkan indicator status gizi balita disajikan pada Gambar 1.13 trend prevalensi balita gizi burkur dari tahun 1989 – 2010. Secara umum dapat dilihat penurunan prevalensi balita gizi burkur dari tahun 1989 ke tahun 2010. Pada tahun 1989 prevalensi gizi burkur sebesar 31 persen yang diharapkan menjadi separuhnya yaitu 15,5 persen pada tahun 2015. Pencapaian indicator MDG pada tahun 2010 berdasarkan prevalensi gizi burkur adalah 17,9 persen. Dengan demikian dalamk kurun waktu 5 tahun mendatang Indonesia harus menurunkan prevalensi balita gizi burkur sebesar 2,4 persen yang berarti rata-rata dalam setahun harus turun sebesar 0,5 persen.
25
26
.
27
28
KONSUMSI ENERGI DIBAWAH KEBUTUHAN MINIMAL Tujuan MDG’s nomor satu adalah “Menanggulangi Kemiskinan dan `Kelaparan” dan didalamnya terdapat target “menurunkan proporsi penduduk yang menderita kelaparan menjadi setengahnya”, yang dijabarkan dalam indikator “Proporsi penduduk yang berada di bawah konsumsi minimum”. Sesuai dengan indikator diatas, maka pada Risksdas 2010 telah dikumpulkan data konsumsi energi individu, dimana setiap anggota rumah tangga diwawancara konsumsi makan sehari (24 jam yang lalu), sedangkan pada Riskesdas 2007, data konsumsi energi adalah data konsumsi rumah tangga, dimana ibu atau orang yang menyediakan makan untuk semua anggota rumah tangga yang diwawancara dengan memperhitungkan jumlah orang menurut umur dan jenis kelamin yang makan dirumah dan yang makan diluar rumah. Konsumsi energi per kapita penduduk pada data Riskesdas 2007 dihitung berdasarkan konsumsi energi rumah tangga dibagi jumlah anggota rumah tangga yang sudah distandarisasi menurut umur dan jenis kelamin, serta dikoreksi dengan jumlah tamu yang ikut makan dirumah tangga tersebut (menurut umur dan jenis kelamin). Proporsi penduduk yang mengkonsumsi energi lebih rendah dari 70 % dari 2100 kkal. Oleh sebab itu data konsumsi energi Riskesdas 2010 lebih akurat, sebab angka yang diperoleh merupakan angka konsumsi energi individu (anggota rumah tangga). Kebutuhan konsumsi energi setiap individu berbeda menurut umur dan jenis kelamin serta status hamil atau menyusui (bagi individu wanita). Proporsi penduduk dengan konsumsi energi dibawah kebutuhan minimal dihitung berdasarkan konsumsi energi penduduk dibandingkan kebutuhannya sesuai umur, jenis kelamin dan status kehamilan (bagi ibu hamil). Acuan
29
kecukupan yang digunakan adalah “Tabel Angka Kecukupan Gizi 2004 Bagi Orang Indonesia” dalam Widya Karya Pangan dan Gizi Tahun 2004. Hasil Riskesdas 2010, konsumsi penduduk di Indonesia yang mengkonsumsi energi dibawah kebutuhan minimal (lebih rendah dari 70 % dari angka kecukupan gizi bagi orang Indonesia (tahun 2004) adalah sebanyak 40,6 %. Proporsi defisit energi < 70 % terbanyak pada usia remaja (54,5%), dan terendah pada anak balita (24,4 %). Tabel 1.2. Proporsi Penduduk yang Mengkonsumsi Energi Dibawah Kebutuhan Minimal (< 70 % Angka Kecukupan Gizi) - Riskesdas 2010
Kelompok Umur Balita Anak Sekolah Remaja Dewasa Ibu Hamil Total
% 24,4 41,2 54,5 40,2 44,2 40,6
Gambar 1.14. Proporsi (%) Penduduk yang Mengkonsumsi Energi Dibawah Kebutuhan Minimal (< 70 % AKG 2004) – Riskesdas 2010
% 60 50 40 30 20 10 0
54,5 41,2
40,2
44,2
40,6
24,4
Balita Dewasa
Anak Sek Hamil
Remaja Total
Proporsi penduduk yang mengkonsumsi energi dibawah kebutuhan minimal (<70% dari AKG) lebih banyak pada penduduk di desa dari pada penduduk di kota. Menurut kuintil pengeluaran rumah tangga, semakin tinggi kuintil pengeluaran rumah tangga semakin sedikit penduduk yang mengkonsumsi energi dibawah kebutuhan minimal (<70% AKG). Pada penduduk dengan kuintil pengeluaran rumah tangga terendah (kuintil 1) sebanyak 46,6 % penduduk yang mengkonsumsi energi dibawah kebutuhan minimal (70 %), dan sebaliknya pada
30
kuintil pengeluaran rumah tangga tertinggi (kuintil 5), sebanyak 34,3 persen penduduk yang mengonsumsi energi dibawah kebutuhan minimal (< 70 % AKG). Tabel 1.3. Proporsi Penduduk yang Mengkonsumsi Energi Dibawah Kebutuhan Minimal (< 70 % Angka Kecukupan Gizi) Menurut Desa dan Kota – Riskesdas 2010
Kelompok Umur
%
Kota Desa
39,9 41,3
Total
40,6
Gambar 1.15. Proporsi (%) Penduduk yang Mengkonsumsi Energi Dibawah Kebutuhan Minimal (< 70 % AKG 2004) di Kota dan Di Desa
% 41,5
41,3
41
40,6
40,5 40
39,9
39,5 39 Kota
Desa
Total
Tabel 1.4. Proporsi Penduduk yang Mengkonsumsi Energi Dibawah Kebutuhan Minimal (< 70 % Angka Kecukupan Gizi) Menurut Kuintil Pengeluaran Rumah Tangga - Riskesdas 2010
Tingkat pengeluaran/kapita Kuintil 1 Kuintil 2 Kuintil 3 Kuintil 4 Kuintil 5 Total
31
% 46,6 43,2 40,5 37,3 34,3 40,6
Gambar 1.16. Proporsi (%) Penduduk yang Mengkonsumsi Energi Dibawah Kebutuhan Minimal (< 70 % AKG 2004) Menurut Kuintil Pengeluaran RT-Riskesdas 2010
% 50 40
46,6
43,2
40,5
37,3
40,6 34,3
30 20 10 0 Kuintil 1 Kuintil 4
Kuintil 2 Kuintil 5
Kuintil 3 Total
Pada tahun 2007, proporsi konsumsi energi dibawah kebutuhan minimal 43 persen lebih banyak dibanding pada tahun 2010 yaitu sebanyak 40,6 persen. Menurut provinsi, pada tahun 2007, provinsi dengan penduduk mengkonsumsi energi dibawah kebutuhannya tertinggi di provinsi Bengkulu (67%), dan terendah di provinsi Jawa Timur (26,1%). Pada tahun 2010, provinsi yang penduduknya mengkonsumsi energi lebih rendah dari kebutuhannya dengan jumlah tertinggi adalah provinsi Nusa Tenggara Barat (46,6%) dan provinsi dengan proprosi konsumsi energi dibawah kebutuhan terendah adalah di provinsi Bengkulu 23,8 persen.
32
2.
Goal 4 – MDG
Menurunkan Kematian Anak Target: Menurunkan Angka kematian balita hingga dua-pertiga dalam kurun waktu 1990-2015 1. Imunisasi campak pada anak 12-23 bulan Kementerian Kesehatan melaksanakan Program Pengembangan Imunisasi (PPI) pada anak dalam upaya menurunkan kejadian penyakit pada anak. Program imunisasi untuk penyakitpenyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) pada anak yang dicakup dalam PPI adalah satu kali imunisasi BCG, tiga kali imunisasi DPT-HB, empat kali imunisasi polio, dan satu kali imunisasi campak. Imunisasi BCG diberikan pada bayi umur kurang dari tiga bulan; imunisasi polio pada bayi baru lahir, dan tiga dosis berikutnya diberikan dengan jarak paling cepat empat minggu, imunisasi DPT-HB pada bayi umur dua, tiga, empat bulan dengan interval minimal empat minggu, dan imunisasi campak paling dini umur sembilan bulan. Dalam Riskesdas, informasi tentang cakupan imunisasi ditanyakan pada ibu atau anggota rumahtangga lain yang mempunyai balita umur 0 – 59 bulan. Informasi tentang imunisasi dikumpulkan dengan tiga cara yaitu: Wawancara kepada ibu balita atau anggota rumah-tangga yang mengetahui, Catatan dalam Kartu Menuju Sehat (KMS) atau Buku KIA, dan Buku catatan kesehatan anak lainnya. Bila salah satu dari ketiga sumber tersebut menyatakan bahwa anak sudah diimunisasi, disimpulkan bahwa anak tersebut sudah diimunisasi untuk jenis tersebut. Selain untuk tiap-tiap jenis imunisasi, anak disebut sudah mendapat imunisasi lengkap bila sudah mendapatkan semua jenis imunisasi satu kali BCG, tiga kali DPT-HB, tiga kali polio, dan satu kali imunisasi campak. Oleh karena jadwal tiap jenis imunisasi berbeda, cakupan imunisasi yang dianalisis hanya pada anak usia 12 – 23 bulan. Imunisasi campak merupakan salah satu dari indikator dalam Millenium Development Goals (MDGs). Oleh karena Riskesdas 2010 ditujukan pada indikator yang ada dalam MDGs, dalam laporan ini hanya analisis untuk imunisasi campak. Cakupan imunisasi campak pada anak umur 12 – 23 bulan dapat dilihat pada dua tabel (Tabel 4.1 s/d Tabel 4.2) menurut provinsi dan karakteristik responden. Dari Tabel 4.1 dapat dilihat secara keseluruhan, cakupan imunisasi campak dalam Riskesdas sebesar 74,5 persen, menurun 6,1 persen dibanding Riskesdas 2007 (81,6%). Cakupan imunisasi terendah di provinsi Papua (47,4%) dan tertinggi di DI Yogyakarta (96,4%). Terdapat 19 provinsi cakupan imunisasi campak di bawah rata-rata nasional.
33
Bila cakupan imunisasi campak dibandingkan antara Riskesdas 2007 dan 2010 per provinsi, hanya ada empat provinsi dengan cakupan imunisasi campak yang naik pada tahun 2010, sedangkan provinsi lainnya relatif sama atau menurun. Kenaikan cakupan imunisasi campak antara 2,5-6,8 persen dan penurunan antara 0,2-22,5 persen. Tabel 4.1. Persentase Anak Umur 12-23 Bulan yang Mendapatkan Imunisasi Campak Menurut Provinsi, Riskesdas 2007, 2010 Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kep. Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulasewi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua
Persentase cakupan imunisasi campak Riskesdas 2007 Riskesdas 2010 69,5 60,2 71,2 62,5 75,4 67,6 84,1 62,6 78,0 71,4 83,5 72,3 96,0 75,0 90,3 83,7 77,1 76,7 88,9 91,4 85,4 77,1 78,9 72,1 89,1 86,5 99,2 96,4 83,3 83,1 62,5 69,3 95,7 86,4 94,1 86,5 81,6 70,9 77,0 59,6 77,3 83,3 81,7 69,2 90,8 80,3 85,9 90,6 84,3 61,8 83,5 76,5 85,4 64,6 87,1 68,2 78,5 57,7 72,1 63,0 85,5 67,9 80,8 73,9 68,7 47,4
INDONESIA
81,6
74,5
Tabel 4.2 menunjukkan cakupan imunisasi campak menurut karakteristik daerah, rumahtangga, dan anak. Terlihat dalam tabel, cakupan imunisasi campak di perkotaan lebih tinggi (79,3%) dibanding di perdesaan (69,3%). Dengan demikian terdapat perbedaan cakupan sebesar 9,7
34
persen antara daerah perkotaan dan perdesaan, lebih tinggi perbedaan tersebut dibanding tahun 2007 yang hanya 7,2 persen. Bila dibandingkan menurut jenis kelamin, tidak banyak terdapat perbedaan cakupan imunisasi campak antara anak laki-laki dan perempuan, baik dalam tahun 2007 maupun 2010. Pada tabel 4.2 juga dapat dilihat variasi yang lebar cakupan imunisasi campak menurut pendidikan kepala keluarga. Terdapat tren cakupan imunisasi campak yang meningkat seiring dengan makin tingginya pendidikan. Cakupan imunisasi campak terendah bila pendidikan kepala keluarga tidak sekolah (59,1%) dan tertinggi pada pendidikan kepala keluarga tamat perguruan tinggi (86,4%). Dengan demikian terdapat kesenjangan cakupan sebesar 27,3 persen, lebih tinggi dibanding tahun 2007 yang hanya sebesar 21,5 persen. Cakupan imunisasi campak menurut pekerjaan kepala keluarga yang terendah pada petani/ nelayan/ buruh (67,5%) dan tertinggi pada PNS/ Polri/ TNI (86,9%). Keadaan tersebut serupa dengan hasil Riskesdas 2007. Tabel 4.2. Persentase Anak Umur 12-23 Bulan yang Mendapatkan Imunisasi Campak Menurut Karakteristik Responden, Riskesdas 2007, 2010 Karakteristik Penduduk
Persentase cakupan imunisasi campak Riskesdas 2007 Riskesdas 2010
Tipe daerah Perkotaan Perdesaan Jenis kelamin anak Laki-laki Perempuan Pendidikan kepala keluarga Tidak sekolah Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Tamat Perg. Tinggi Pekerjaan kepala keluarga Tidak bekerja Ibu rumahtangga PNS/ Polri/ TNI Wiraswasta Petani/ Nelayan/ Buruh Lainnya Tingkat pengeluaran per kapita Kuintil 1 Kuintil 2 Kuintil 3 Kuintil 4 Kuintil 5
86,0 78,8
79,3 69,6
82,0 81,2
74,2 74,7
71,6 74,1 78,2 82,3 88,6 93,1
59,1 64,6 69,8 77,1 80,9 86,4
80,8 85,7 91,9 83,9 77,4 83,6
74,5 -86,9 79,2 67,5 79,2
78,1 78,5 83,1 84,3 86,8
65,0 71,3 78,0 81,0 86,1
Karakteristik rumahtangga lain dalam analisis ini adalah tingkat pengeluaran per kapita yang dibagi menjadi lima kelompok yaitu kuintil 1 yaitu kelompok terendah sampai kuintil 5 yaitu
35
kelompok tertinggi. Ada kecenderungan semakin tinggi pengeluaran per kapita semakin tinggi pula cakupan imunisasi campak. Cakupan imunisasi campak pada kuintil 1 sebesar 65,0 persen dibanding 86,1 persen pada kuintil 5. Dengan demikian terdapat perbedaan 21,1 persen pada tahun 2010, lebih tinggi dibanding tahun 2007 yang hanya 8,7 persen. 2. Kunjungan Neonatus Pemeriksaan neonatus dalam Riskesdas ditanyakan pada ibu yang mempunyai bayi. Dalam Tabel 4.3 terlihat bahwa secara keseluruhan pada tahun 2010 sebanyak 60,6 persen neonatus umur 3-7 hari dan 37,7 persen neonatus umur 8-28 hari mendapatkan pemeriksaan dari tenaga kesehatan. Hasil tersebut lebih baik bila dibandingkan dengan hasil Riskesdas tahun 2007 sebesar 57,6 persen dan 33,5 persen. Pemeriksaan neonatus umur 3-7 hari terendah pada tahun 2010 terdapat di Papua Barat (17,4%) dan tertinggi di DI Yogyakarta (84,8%). Untuk neonatus umur 8-28 hari cakupan pemeriksaan kesehatan terendah di Sulawesi Barat (9,1%) dan tertinggi di DI Yogyakarta (66,7%). Tabel 4.4 memberi gambaran tentang pemeriksaan neonatus menurut karakteristik bayi, tipe daerah dan rumah tangga pada Riskesdas 2007 dan 2010. Terlihat bahwa persentase cakupan baik pemeriksaan neonatus umur 3-7 hari dan 8-28 hari tidak berbeda menurut jenis kelamin bayi. Menurut tipe daerah, pemeriksaan neonatos pada tahun 2010 di perkotaan lebih tinggi dibanding di perdesaan. Terdapat hubungan positif antara pemeriksaan neonatus dengan tingkat pendidikan kepala keluarga maupun tingkat pengeluaran per kapita. Semakin tinggi tingkat pendidikan kepala rumah tangga maupun pengeluaran per kapita, semakin tinggi persentase cakupan pemeriksaan kesehatan pada neonatus. 3. Pemberian ASI Eksklusif Pemberian ASI eksklusif ditanyakan pada Riskesdas 2010, tetapi tidak ditanyakan pada Riskesdas 2007. Bayi di bawah 6 bulan mendapatkan ASI eksklusif jika saat pengumpulan data ibunya menyatakan bahwa bayinya masih mendapatkan ASI, belum pernah mendapatkan MPASI, dan dalam 24 jam yang lalu tidak mendapatkan makanan selain ASI. Oleh karena jumlah bayi di bawah 6 bulan hanya sedikit, tidak bisa dianalisis menurut provinsi dan hanya dapat dianalisis menurut karakteristik responden yang terlihat dalam Tabel 4.5. Pemberian ASI eksklusif secara keseluruan pada umur 0-1 bulan, 2-3 bulan, dan 4-5 bulan berturut-turut adalah 45,4 persen, 38,3 persen, dan 31,0 persen. ASI eksklusif lebih tinggi di daerah perdesaan dibanding daerah perkotaan. Tidak ada perbedaan ASI eksklusif menurut jenis kelamin bayi. Demikian juga tidak ada pola hubungan yang jelas antara pemberian ASI eksklusif dan tingkat pendidikan orangtua. Hubungan yang jelas baru terlihat antara pemberian ASI eksklusif dan tingkat pengeluaran per
36
kapita. Semakin tinggi pengeluaran per kapita rumahtangga, semakin menurun pemberian ASI eksklusif baik di kelompok umur bayi 0-1 bulan, 2-3 bulan, maupun 4-5 bulan. Tabel 4.3. Persentase Cakupan Pemeriksaan Neonatus Menurut Provinsi, Riskesdas 2007- 2010
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kep. Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulasewi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua INDONESIA
Pemeriksaan neonatus Umur 3-7 hari (KN1) 2007 2010 56,5 66,3 66,7 64,5 49,7 48,4 50,0 38,3 53,8 61,9 42,9 55,2 70,3 54,5 64,4 59,8 45,1 52,0 64,2 58,1 66,5 67,6 58,7 64,3 65,6 72,5 81,8 84,8 63,9 75,6 43,7 56,3 49,1 63,6 58,0 50,0 42,2 38,9 50,1 53,2 58,4 51,2 69,0 68,4 62,9 57,9 55,2 54,5 59,4 34,5 54,5 44,5 63,3 39,4 44,7 26,3 47,3 40,9 45,6 25,0 68,8 25,0 39,8 17,4 27,2 36,6 57,6
60,6
37
Pemeriksaan neonatus Umur 8-28 hari (KN2) 2007 2010 36,1 26,4 28,5 21,9 35,0 28,6 32,6 13,8 30,2 19,4 27,4 33,3 28,3 21,9 29,2 43,3 22,7 30,8 44,9 34,9 54,9 52,0 39,8 46,6 35,2 48,1 66,9 66,7 41,2 50,3 28,1 32,3 39,9 57,1 33,9 43,6 34,1 26,4 19,8 19,2 21,7 12,2 26,6 15,4 37,0 42,1 41,1 39,4 29,0 18,2 25,6 29,2 31,1 24,2 25,4 15,8 30,5 9,1 35,2 14,8 62,0 12,5 26,5 17,4 23,8 26,8 33,5
37,7
Tabel 4.4. Persentase Cakupan Pemeriksaan Neonatus Menurut Karakteristik Responden, Riskesdas 2007, 2010
Karakteristik responden Tipe daerah Perkotaan Perdesaan Jenis kelamin anak Laki-laki Perempuan Pendidikan kepala keluarga Tidak sekolah Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Tamat Perg. Tinggi Pekerjaan kepala keluarga Tidak bekerja Ibu rumahtangga PNS/ Polri/ TNI Wiraswasta Petani/ Nelayan/ Buruh Lainnya Tkt pengeluaran per kapita Kuintil 1 Kuintil 2 Kuintil 3 Kuintil 4 Kuintil 5
2007
2010
2007
2010
65,7 52,3
68,2 52,7
41,2 28,6
45,2 29,7
57,0 58,2
61,7 59,5
33,3 33,8
39,7 35,5
46,5 52,3 54,0 59,5 63,0 69,9
50,0 51,4 55,0 60,9 67,9 79,6
24,7 29,0 31,2 33,5 37,3 46,8
33,3 32,8 31,5 36,3 44,7 57,1
64,0 60,4 65,8 63,7 51,5 62,4
62,1 -74,9 66,1 53,1 67,5
41,4 36,5 42,0 37,9 27,9 37,2
47,7 -54,2 41,2 31,3 41,6
50,8 55,2 59,1 60,8 65,1
49,1 57,7 64,3 66,4 74,5
28,5 30,7 32,2 37,7 40,9
29,3 31,5 39,3 44,1 52,7
38
Tabel 4.5. Persentase Pemberian ASI Eksklusif Menurut Umur Anak dan Karakteristik Responden, Riskesdas 2007, 2010 Karakteristik responden
0-1 bln
Umur anak 2-3 bln
4-5 bln
41,7 50,0
34,8 41,7
26,9 34,8
45,0 45,8
39,4 37,0
29,7 32,4
40,0 44,4 51,3 42,2 44,3 36,7
38,1 43,8 40,5 36,7 35,6 34,6
33,3 36,3 30,2 29,3 30,7 30,9
47,4 43,2 37,5 51,5 71,4
33,3 36,5 34,0 42,6 39,1
22,2 31,7 34,9 29,5 25,0
51,8 50,0 44,8 41,2 36,5
52,3 40,4 32,3 36,3 21,6
37,2 35,3 33,6 23,1 18,2
45,4
38,3
31,0
Tipe daerah Perkotaan Perdesaan Jenis kelamin anak Laki-laki Perempuan Pendidikan kepala keluarga Tidak sekolah Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Tamat Perg. Tinggi Pekerjaan kepala keluarga Tidak bekerja PNS/ Polri/ TNI Wiraswasta Petani/ Nelayan/ Buruh Lainnya Tkt pengeluaran per kapita Kuintil 1 Kuintil 2 Kuintil 3 Kuintil 4 Kuintil 5 INDONESIA
39
3.Goal 5 - MDG
Meningkatkan Kesehatan Ibu Target: Menurunkan 75% kematian ibu dalam kurun waktu 1990-2015. Indikator untuk mencapai target tersebut, selain Angka Kematian Ibu per 100.000 kelahiran hidup, terdapat indikator yang dipantau untuk meningkatkan kesehatan ibu adalah: Proporsi pertolongan kelahiran oleh tenaga kesehatan Angka pemakaian kontrasepsi pada pasangan usia subur 15-49 tahun Berikut ini merupakan hasil analisis Riskesdas 2010, dengan memperhatikan indikator yang terkait dengan target menigkatkan kesehatan ibu. Beberapa indikator terkait disajikan juga dengan membandingkan dengan hasil sebelumnya yang berasal dari Susenas maupun SDKI. Target sampel penduduk untuk mengetahui kesehatan ibu adalah perempuan pernah kawin usia reproduktif/WUS; 15-49 tahun. Gambaran Sampel Riskesdas 2010 Distribusi kelompok umur untuk keseluruhan sampel Riskesdas adalah sebagai berikut: Tabel 5.1. Distribusi Sampel menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Riskesdas 2010 Kelompok Umur (tahun) 0-4 5-9 10 - 14 15 - 19 20 - 24 25 - 29 30 - 34 35 - 39 40 - 44 45 -49 50 -54 55 -59 60 -64 65 + Total
Jenis kelamin Laki-laki Perempuan 4.5 5.4 5.1 4.2 3.5 4.1 4.0 3.9 3.6 3.2 2.7 2.1 1.4 2.6 50.3
4.2 5.1 4.6 3.9 3.7 4.3 4.2 4.0 3.7 3.2 2.5 1.8 1.7 2.9 49.7
40
Total 8.8 10.5 9.7 8.1 7.2 8.4 8.1 7.8 7.3 6.4 5.2 3.8 3.1 5.5 100.0
Dari tabel di atas, proporsi perempuan usia reproduktif/WUS 15-49 tahun terhadap total sampel adalah 26,9%. Distribusi status perkawinan seluruh kelompok umur penduduk adalah sebagai berikut: Tabel 5.2. Status Perkawinan menurut Jenis Kelamin Riskesdas 2010 Status Perkawinan
Jenis kelamin Laki-laki Perempuan 24.8 24.6 0.3 0.6 50.3
Belum kawin Kawin Cerai hidup Cerai mati Total
20.4 25.8 0.7 2.9 49.7
Total 45.2 50.4 1.0 3.5 100.0
Proporsi kehamilan dari sampel Riskesdas 2010 adalah 3,1 persen, dan terlihat kehamilan terjadi pada kelompok umur 10-14 tahun (0.1%), dan kelompok umur 50-54 tahun (0,1%). Proporsi kehamilan pada perempuan usia reproduktif 15-49 tahun adalah 2,9 persen. Tabel 5.3. Proporsi kehamilan terhadap total penduduk Riskesdas 2010 Kelompok Umur 10 - 14 15 - 19 20 - 24 25 - 29 30 - 34 35 - 39 40 - 44 45 -49 50 -54 55 -59 Total
Apakah sedang hamil Ya Tidak 0.1 0.3 0.7 0.8 0.6 0.4 0.1 0.1 0.1
13.4 11.2 10.1 12.0 11.6 11.3 10.7 9.3 7.4 0.0 96.9
3.1
41
Total 13.5 11.5 10.8 12.7 12.2 11.7 10.8 9.3 7.4 0.0 100.0
1.
Proporsi pertolongan kelahiran oleh tenaga kesehatan
Analisis dilakukan berdasarkan perbandingan antara persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih (dokter, bidan, perawat, dan tenaga kesehatan lain) dengan dengan jumlah persalinan seluruhnya dan dinyatakan dalam persen. Angka pertolongan kelahiran yang diperoleh dibedakan menjadi dua, yaitu berdasarkan jumlah kelahiran/persalinan yang terjadi pada lima tahun sebelum survei, dan jumlah kelahiran/persalinan yang terjadi pada 1 tahun sebelum survei. Untuk melihat kecenderungan, pada umumnya yang digunakan adalah angka pertolongan kelahiran berdasarkan jumlah kelahiran/persalinan 1 tahun sebelum survei. Grafik berikut menunjukkan proporsi pertolongan kelahiran yang terjadi pada 5 tahun sebelum survei. Proporsi pertolongan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan adalah 80,2 persen, dan 19,7 persen oleh bukan tenaga kesehatan, dan tercatat 0,1 persen tidak menjawab. Grafik 5.1. Proporsi Pertolongan Kelahiran yang terjadi 5 tahun terakhir, Indonesia 2010
Variasi antar provinsi dapat dilihat pada tabel berikut. Provinsi terbaik dengan proporsi pertolongan kelahiran ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih adalah DI Yogyakarta (98,7%), diikuti Kepulauan Riau (97,1%), DKI Jakarta (96,5%), dan Bali (92,8%). Sedangkan provinsi yang perlu mendapatkan perhatian adalah Maluku Utara (33,6%), dan Maluku (52,4%).
42
Tabel 5.4. Proporsi Pertolongan Kelahiran yang terjadi 5 tahun sebelum survei menurut Provinsi, Indonesia 2010 Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua Indonesia
Tenaga Kesehatan 86.8 88.0 86.9 81.4 75.6 79.5 79.4 81.1 83.6 97.1 96.5 75.4 90.6 98.7 91.8 72.0 92.8 78.5 55.8 59.4 57.3 83.9 78.5 85.4 57.5 76.1 63.3 55.1 60.0 52.4 33.6 60.1 56.4 80.2
Tenaga Non Kesehatan 13.2 12.0 13.1 18.6 24.4 20.3 20.6 18.9 16.4 2.9 3.5 24.6 9.4 0.9 8.2 28.0 7.2 21.5 44.2 37.5 42.7 16.1 21.5 14.6 42.5 23.9 36.7 44.9 40.0 47.6 66.1 39.9 43.6 19.7
Tidak menjawab 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.2 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.4 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 3.1 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.3 0.0 0.0 0.1
Sedangkan proporsi pertolongan kelahiran yang dilakukan oleh tenaga kesehatan untuk kejadian kelahiran 1 tahun sebelum survei adalah 82,3% dengan variasi antar provinsi yang
43
terbaik dan terendah hampir sama dengan proporsi pertolongan kelahiran oleh tenaga kesehatan 5 tahun sebelum survei. Tabel 5.5.Proporsi Pertolongan Kelahiran oleh Nakes yang terjadi 1 tahun sebelum survei menurut Provinsi, Indonesia 2010 Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua Indonesia
44
% 92.5 88.4 85.5 87.8 64.6 87.7 80.9 80.2 95.8 97.2 95.8 78.5 94.1 98.6 94.8 70.4 95.5 79.0 66.6 66.4 56.4 79.0 79.7 87.0 52.1 76.5 63.1 64.3 57.8 48.7 26.2 49.3 60.9 82.3
Dari tabel di atas dapat dilihat provinsi dengan proporsi pertolongan kelahiran oleh tenaga kesehatan di atas 95 persen adalah DI Yogyakarta (98,6%), diikuti Kepulauan Riau (97,2%), DKI Jakarta dan Bangka Belitung (95,8%), serta Bali (95,5%). Sedangkan provinsi dengan proporsi pertolongan kelahiran oleh tenaga kesehatan masih di bawah 50% adalah Maluku Utara (26,2%), Maluku (48,7%), dan Papua Barat (49,3%). Secara nasional, kecenderungan proporsi pertolongan kelahiran oleh tenaga kesehatan meningkat dari 40,7 persen tahun 1990 menjadi 82,3 persen pada tahun 2010. Grafik 5.2. Kecenderungan Proporsi Pertolongan Kelahiran oleh Tenaga Kesehatan Indonesia 1990-2010
Sumber: Susenas 1990-2007, Riskesdas 2010. Pada kondisi saat ini, dari Riskesdas 2010 menunjukkan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan berdasarkan karakteristik penduduk, dapat dilihat kelompok penduduk yang tinggal di perkotaan, 91,3 persen pertolongan persalinan dilakukan oleh tenaga kesehatan. Terjadi disparitas yang cukup lebar untuk kelompok penduduk yang tinggal di perdesaan (72,9%). Berdasarkan tingkat pengeluaran, dapat dilihat kelompok penduduk 20% terbawah (kuintil 1), pertolongan persalinan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan adalah 69,4%, dan berbeda sangat lebar dibanding kelompok penduduk 20% teratas (kuintil 5) yaitu sebesar 94,1 persen.
45
Tabel 5.6. Proporsi Pertolongan Kelahiran oleh Tenaga Kesehatan menurut Karakterisitik Penduduk, Indonesia 2010 Tenaga Tenaga Non Karakteristik Penduduk Kesehatan Kesehatan Tempat Tinggal 91.3 9.7 Perkotaan 72.9 28.0 Perdesaan Tingkat Pengeluaran 69.4 30.6 Kuintil 1 79.5 20.5 Kuintil 2 86.5 13.5 Kuintil 3 91.0 9.0 Kuintil 4 94.1 5.9 Kuintil 5 Tempat melahirkan untuk persalinan 1 tahun sebelum survei, sebagian besar sudah dilakukan di fasilitas kesehatan (59,5%), dan masih banyak yang melahirkan di rumah (39,1%), dan hanya 1,5% di Poilindes/Poskesdes. Grafik 5.3. Proporsi persalinan satu tahun sebelum survei menurut tempat melahirkan, Indonesia 2010
Berdasarkan karakteristik penduduk, terjadi juga kesenjangan tempat melahirkan di perkotaan dan di perdesaan, serta berdasarkan tingkat pengeluaran. Penduduk di perkotaan 77,6 persen melahirkan di fasilitas kesehatan dibanding di perdesaan yang hanya 40,2 persen. Sementara kelompok penduduk dengan tingkat pengeluaran terendah (kuintil 1) melahirkan di fasilitas kesehatan sebesar 40,7 persen dibanding kelompok penduduk dengan tingkat pengeluaran tertinggi (kuintil 5) yaitu sebesar 81,5%. Disparitas antar provinsi dapat dilihat pada grafik yang menunjukkan provinsi terendah adalah Sulawesi Tenggara (7,8%), dan tertinggi di provinsi DI Yogyakarta (95, 2%).
46
Tabel 5.7.Proporsi persalinan satu tahun sebelum survei menurut Tempat Melahirkan dan Karakateristik Penduduk, Indonesia 2010
Karakteristik Penduduk Faskes Tempat Tinggal Perkotaan Perdesaan Tingkat Pengeluaran Kuintil 1 Kuintil 2 Kuintil 3 Kuintil 4 Kuintil 5
Polindes Rumah /Poskesdes /lainnya
77.6 40.2
0.8 2.2
21.6 57.6
40.7 53.9 63.2 72.1 81.5
2.4 1.1 1.8 0.8 0.8
56.9 45.0 35.0 27.1 17.6
Grafik 5.4. Proporsi Persalinan Satu Tahun Sebelum Survei yang Melahirkan di Fasilitas Kesehatan menurut Provinsi, Indonesia 2010
47
Untuk meningkatkan kesehatan ibu, perlu juga dipantau akses pelayanan kesehatan reproduksi, khususnya untuk perempuan usia 15-49 tahun. Indikator yang dapat diperoleh dari Riskesdas adalah Akses (K1) yang dianalisis berdasarkan akses ibu hamil ke tenaga kesehatan dari semua riwayat kehamilan anak terakhir dari perempuan usia 15-49 tahun. Selanjutnya adalah K4 yang dianalisis berdasarkan jumlah pemeriksaan antenatal minimal 1 kali pada trimester I, minimal 1 kali pada trimester II, dan minimal 2 kali pada trimester 3 dari jumlah kehamilan perempuan usia 15-49 tahun. Dari sampel Riskesdas 2010, diperoleh 38,6% perempuan pernah kawin usia 15-49 tahun mempunyai riwayat kehamilan anak terakhir pada periode lima tahun terakhir. Menurut riwayat kehamilannya anak terakhir tersebut, sudah sebagian besar memeriksaan kandungannya (pelayanan antenatal) ke tenaga kesehatan (84,0%), masih terdapat ibu memeriksakan kehamilannya ke dukun (3,2%), dan tidak melakukan pemeriksaan (2,8%). Grafik 5.6. Proporsi Perempuan Pernah Kawin usia 15-49 tahun dari Kehamilan Anak Terakhir Lima Tahun Terakhir Memeriksakan Kehamilan, Indonesia 2010.
Dari analisis, diketahui akses (K1) secara keseluruhan adalah 92,8% ibu hamil mengikuti pelayanan antenatal. Lebih lanjut hanya 61,3% yang melakukan pelayanan antenatal minimal 1 kali pada trimester 1, minimal 1 kali pada trimester 2 dan, minimal 2 kali pada trimester 3. Berdasarkan karakteristik, K1 dan K4 dapat dilihat pada Tabel 5.8. berikut. Akses ibu hamil ke tenaga kesehatan (K1) pada penduduk perkotaan jauh lebih baik dibanding perdesaan, demikian juga untuk K4. Proporsi meningkat berdasarkan tingkat pendidikan, semakin membaik pendidikan penduduk, semakin banyak yang melakukan kunjungan antenatal ke tenaga kesehatan. Demikian halnya dengan tingkat pengeluaran, yang pada umumnya kelompok penduduk dengan tingkat pengeluaran terendah (kuintil 1), persentase kunjungan antenatalnya lebih kecil dibanding dengan kelompok penduduk dengan tingkat pengeluaran tertinggi (kuintil 5). Berdasakan pekerjaan, pada umumnya kelompok petani/nelayan yang cakupan pelayanan antenatalnya lebih kecil dibanding kelompok penduduk bukan petani/nelayan.
48
Untuk kecenderungan, cakupan pelayanan antenatal ini dapat dilihat pada grafik 5.7 berdasarkan SDKI 2007 dan Riskesdas 2010. Terjadi penurunan angka K1 dari 93,3 persen (2007) ke 92,8 persen (2010) dan K4 dari 65,2% (2007) ke 61,3 persen (2010). Tabel 5.8.Proporsi Pelayanan Antenatal K1 dan K4 menurut Karakteristik Penduduk, Indonesia 2010 Karakteristik Penduduk Tempat Tinggal Perkotaan Perdesaan Pendidikan Tidak sekolah/tidak tmt SD Tamat SD/MI Tamat SLTP/MTS Tamat SLTA/MA Tamat D1/D2/D3/PT Pekerjaan Tidak kerja Sekolah Petani/Nelayan PNS/Pegawai/lainnya Tingkat Pengeluaran Kuintil 1 Kuintil 2 Kuintil 3 Kuintil 4 Kuintil 5
K1
K4
97.0 88.4
73.3 48.7
79.1 89.6 95.3 98.0 99.3
37.9 50.1 63.5 74.6 84.3
93.7 90.5 88.2 97.5
62.6 57.3 50.0 75.3
87.1 91.2 94.8 96.5 97.7
47.2 56.4 63.7 70.3 79.5
Grafik 5.7. Proporsi Pelayanan Antenatal K1 dan K4, Indonesia 2007-2010
49
Disparitas antar provinsi dapat dilihat pada Tabel 5.9. DI Yogyakarta merupakan provinsi terbaik, untuk cakupan K1 dan K4, sedangkan cakupan terendah untuk K1 adalah provinsi Papua Barat (72,0%) dan terendah untuk K4 adalah provinsi Gorontalo (19,8%). Tabel 5.9.Proporsi Pelayanan Antenatal K1 dan K4 menurut Provinsi, Indonesia 2010 Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua Indonesia
50
K1 93.5 88.2 93.7 88.8 75.7 89.8 92.1 94.7 94.6 98.4 98.0 95.5 98.1 100.0 96.6 89.8 96.4 93.2 85.5 76.9 77.2 94.9 91.9 91.7 83.1 93.1 82.1 77.9 88.3 85.1 81.3 72.0 79.0 92.8
K4 61.2 50.7 54.6 52.4 41.8 50.4 56.1 59.7 67.4 77.1 84.5 67.4 73.7 89.5 74.4 54.8 77.7 53.5 44.1 46.6 35.6 48.4 58.3 52.8 28.5 44.4 21.7 19.8 24.6 35.1 32.6 34.2 39.4 61.3
2. Pemakaian kontrasepsi pada pasangan usia subur 15-49 tahun Pada Riskesdas 2010, pemakaian kontrasepsi untuk mencegah kehamilan ditanyanya pada perempuan pernah kawin usia 10-59 tahun dan pasangannya. Untuk kepentingan analisis, sampel yang dipilih adalah perempuan usia 15-49 tahun yang berstatus pernah kawin, dan yang berstatus kawin. Perempuan berstatus pernah kawin pada Riskesdas 2010 adalah yang statusnya: “kawin’, ‘cerai hidup’ dan ‘cerai mati’. Sedangkan perempuan berstatus kawin pada Riskesdas 2010 adalah yang statusnya: “kawin”. (Distribusi status perkawinan bisa dilihat pada tabel 5.2) Analisis dibedakan menjadi dua, untuk mengikuti kecenderungan dari tahun 2007 yang sudah dilakukan pada SDKI 2007 ke tahun 2010 a. Analisis pada Perempuan Pernah Kawin umur 15-49 tahun Pada Grafik 5.8 terlihat 53,9 persen perempuan pernah kawin usia 15-49 tahun yang masih menggunakan alat kontrasepsi, dan terdapat 19 persen tidak pernah menggunakan sama sekali. Grafik 5.8. Proporsi Penggunaan Alat/Cara KB pada Perempuan Pernah Kawin Usia 15-49 tahun Indonesia 2010
Menurut karakteristik penduduk dapat dilihat pada Tabel 5.10. Proporsi penggunaan alat kontrasepsi di perdesaan pada umumnya lebih tinggi dari perkotaan. Menurut kelompok umur, pengguna alat kontrasepsi tertinggi adalah pada kelompok usia 25-39 tahun. Sedangkan menurut tingkat pendidikan adalah responden yang tamat SLTP, menurut pekerjaan adalah yang tidak bekerja, sedangan menurut tingkat pengeluaran adalah kelompok penduduk kuintil 2. Gambaran menurut provinsi dapat dilihat pada Tabel 5.11. Provinsi dengan persentase menggunakan alat kontrasepsi terbaik adalah bali (64,3%) dan terendah adalah provinsi Papua barat (31,9%). Sedangkan provinsi dengan persentase tertinggi untuk perempuan pernah kawin
51
yang tidak pernah sama sekali menggunakan alat kontrasepsi adalah Maluku (42%), dan persentase terendah adalah Sulawesi Utara (10,4%). Kecenderungan penggunaan alat kontrasepsi dapat dilihat pada Grafik 5.9. Ada terjadi penurunan dari 57,9 persen pada tahun 2007 menjadi 53,9 persen pada tahun 2010. Tabel 5.10. Proporsi Perempuan Pernah Kawin Usia 15-49 Tahun yang menggunakan Alat/Cara KB Menurut Karakteristik Penduduk, Indonesia 2010 Karakteristik Penduduk Tempat Tinggal Perkotaan Perdesaan
% 52.8 54.9
Kelompok Umur 15 – 19 20 – 24 25 – 29 30 – 34 35 – 39 40 – 44 45 -49
44.2 58.3 60.4 60.6 60.1 50.7 32.3
Pendidikan Tidak sekolah/tidak tmt SD Tamat SD/MI Tamat SLTP/MTS Tamat SLTA/MA Tamat D1/D2/D3/PT
45.9 56.3 58.4 54.4 47.4
Pekerjaan Tidak kerja Sekolah Petani/Nelayan PNS/Pegawai/lainnya
56.7 51.7 52.6 50.2
Tingkat Pengeluaran per Kapita Kuintil 1 Kuintil 2 Kuintil 3 Kuintil 4 Kuintil 5
55.0 57.5 55.9 53.5 45.7
52
Tabel 5.11. Proporsi Penggunaan Alat/Cara KB pada Perempuan Pernah Kawin Umur 15-49 Tahun menurut Provinsi, Indonesia 2010
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua Indonesia
Sekarang menggunakan
Pernah/tidak menggunakan lagi
Tidak pernah sama sekali
41.7 36.7 47.9 46.4 60.3 58.6 58.7 61.2 62.0 51.2 49.5 57.1 57.6 54.0 56.8 54.7 64.3 51.0 38.9 56.6 63.0 59.1 55.3 60.9 49.7 43.4 38.8 62.4 37.8 35.2 42.8 31.9 38.0 53.9
27.6 25.4 29.1 29.2 21.4 23.6 27.7 22.7 25.8 27.4 30.1 30.3 26.3 27.8 24.9 30.3 18.7 32.7 23.5 24.7 25.8 29.6 29.1 28.7 29.1 29.3 30.5 22.2 21.1 22.8 31.6 27.4 24.2 27.1
30.7 37.9 23.0 24.4 18.3 17.8 13.7 16.1 12.2 21.4 20.4 12.6 16.0 18.2 18.3 15.0 17.0 16.3 37.6 18.6 11.2 11.3 15.6 10.4 21.2 27.3 30.6 15.4 41.1 42.0 25.6 40.7 37.8 19.0
53
Grafik 5.9. Proporsi Perempuan pernah Kawin Umur 15-49 tahun menggunakan Alat/Cara KB, Indonesia: 2007-2010
Sumber: SDKI 2007, Riskesdas 2010
Penggunaan jenis alat kontrasepsi yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 5.12 berikut yang juga memperhatikan kecenderungannya dari tahun 2007 ke tahun 2010. Terjadi penurunan untuk keseluruhan metode penggunaan alat/cara KB kecuali IUD, Suntikan dan amenorrhea laktasi. Untuk keseluruhan yang tidak menggunakan alat/cara KB bertambah dari 42,1 persen tahun 2007 menjadi 46,1 persen tahun 2010. Tabel 5.12. Proporsi Perempuan Pernah Kawin Umur 15-49 tahun menurut Jenis penggunaan Alat/Cara KB, Indonesia: 2007-2010 Jenis Alat/Cara KB Sterilisasi wanita Sterilisasi pria Pil IUD/AKDR/Spiral Suntikan Implant Kondom Amenorrhea Laktasi Pantang Berkala/Kalender Senggama terputus Lainnya Tidak menggunakan
SDKI 2007 3.0 0.2 12.5 4.7 30.0 2.6 1.2 0.0 1.4 2.0 0.4 42.1
Riskesdas 2010 2.1 0.1 12.3 5.0 31.1 1.4 1.1 0.1 0.3 0.3 0.1 46.1
Sumber: SDKI 2007, Riskesdas 2010
Berdasarkan tempat tinggal (tabel 5.13), penggunaan alat kontrasepsi untuk suntikan lebih banyak yang tinggal di perdesaan (34,5%) dibanding di perkotaan (27,8%). Demikian juga
54
penggunaan pengguna implant di perdesaan (1,9%) dibanding di perkotaan (0,9%). Sebaliknya pengguna Pil lebih banyak di perkotaan (12,9%) dibanding di perdesaan (11,7%). Tabel 5.13. Proporsi Perempuan Pernah Kawin Umur 15-49 tahun menurut Jenis penggunaan Alat/Cara KB dan Tempat Tinggal, Indonesia 2010 Jenis Alat/Cara KB
Perkotaan 2.5 0.1 12.9 5.9 27.8 0.9 1.7 0.1 0.5 0.4 0.1 47.2
Sterilisasi wanita Sterilisasi pria Pil IUD/AKDR/Spiral Suntikan Implant Kondom Amenorrhea Laktasi Pantang Berkala/Kalender Senggama terputus Lainnya Tidak menggunakan
Perdesaan 1.7 0.1 11.7 4.0 34.5 1.9 0.4 0.1 0.1 0.2 0.1 45.1
Pelayanan untuk mendapatkan alat/cara KB seperti pada tabel 5.14 dapat dilihat sebagian besar dilakukan oleh bidan praktek (52,5%), diikuti di Puskesmas (12,0%) Pustu (4,5%), dan di RS pemerintah (3,3%). Sebanyak 12,5% menjawab lainnya, bervariasi, pada umumnya membeli di Apotik, depot obat, atau mendapatkan secara gratis di kantor desa, dll. Tabel 5.14. Proporsi Perempuan pernah Kawin Umur 15-49 tahun menurut tempat pelayanan KB, Indonesia 2010 Tempat Pelayanan KB RS Pemerintah RS Swasta RS Bersalin Puskesmas Pustu Klinik TKBK/TMK Dokter praktek Bidan praktek Perawat praktek Polindes/ Poskesdes Lainnya
% 3.3 2.4 1.0 12.0 4.5 2.0 0.9 2.5 52.5 2.6 4.1 12.3
55
Pada Riskesdas 2010 ditelusuri juga alasan utama tidak menggunakan KB. Bentuk pertanyaannya dapat dilihat pada kuesioner individu terlampir (RKD10.IND) pertanyaan Dc06. Jawaban responden dari pertanyaan ini selanjutkan dikelompokkan menjadi empat: a) Butuh/tidak terpenuhi atau unmet need adalah dari jawaban ‘dilarang pasangan’, ‘dilarang agama’ , ‘mahal’ , ‘sulit diperoleh’, ‘takut efek samping’, dan ‘tidak menginginkan’; b) Belum/ingin punya anak adalah dari jawaban ‘belum punya anak’, dan ‘ingin punya anak’ c) Tidak perlu lagi adalah dari jawaban ‘tidak perlu lagi’ d) Lainnya adalah dari jawaban ‘lainnya Diluar klasifikasi ini adalah responden yang menggunakan KB. Dari Grafik 5.10 dapat dilihat ada 14,0 persen yang sebenarnya membutuhkan akan tetapi tidak bisa terpenuhi. Selanjutnya yang menjawab belum atau ingin punya anak adalah 15 persen, tidak perlu lagi 11,3%, serta yang menjawab lainnya 5,8 persen. Variasi antar provinsi dapat dilihat pada Tabel 5.15. Ada empat provinsi dengan persentase yang menjawab butuh, tapi tidak terpenuhi di atas 30 persen yaitu Maluku (32,7%), dan Papua Barat (32,9%). Sedangkan provinsi terendah adalah Bali (8,7%). Grafik 5.10.Proporsi Perempuan Pernah Kawin umur 15-49 tahun menurut Alasan Utama tidak menggunakan KB, Indonesia 2010
56
Tabel 5.15. Proporsi Perempuan Pernah Kawin umur 15-49 tahun menurut Alasan Utama tidak menggunakan KB dan Provinsi, Indonesia 2010 Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua Indonesia
Butuh/tidak Belum/ingin terpenuhi punya anak 23.8 25.7 19.3 19.0 11.0 10.2 9.2 12.3 11.5 13.1 16.1 11.1 11.7 13.5 12.0 12.3 8.7 9.6 29.3 15.3 9.2 9.5 10.9 9.6 19.4 20.8 20.8 9.7 25.8 32.7 13.9 32.9 22.9 14.0
18.0 19.3 17.6 19.2 14.7 14.7 12.4 14.8 13.3 17.3 15.9 12.7 13.5 16.0 14.3 16.2 17.5 18.5 14.8 12.8 11.3 15.0 16.0 13.2 17.8 16.5 16.7 14.6 22.6 15.9 25.8 15.5 21.2 15.0
57
Tidak perlu lagi
Lainnya
Menggunakan KB
9.0 12.2 8.9 10.9 8.6 10.5 14.1 9.1 10.2 6.0 12.3 13.0 11.6 9.0 11.9 10.6 5.6 12.5 7.8 10.2 10.0 11.5 9.7 10.8 10.2 11.0 16.3 9.4 9.0 11.4 10.3 10.0 10.7 11.3
7.5 6.1 6.3 4.5 5.3 6.0 5.5 2.6 2.9 12.4 6.2 6.2 5.5 7.6 5.0 6.2 3.9 8.3 9.3 3.7 6.4 4.9 8.0 5.5 2.9 8.3 7.3 3.9 4.7 4.7 7.1 9.5 7.2 5.8
41.7 36.7 47.9 46.4 60.3 58.6 58.8 61.2 62.0 51.2 49.4 57.1 57.6 54.0 56.8 54.7 64.3 51.0 38.9 57.9 63.0 59.1 55.3 60.9 49.7 43.4 38.8 62.5 37.8 35.2 42.8 32.1 38.0 53.9
b. Analisis pada Perempuan berstatus Kawin usia 15-49 tahun Analisis yang sama seperti di atas, dilakukan untuk perempuan berstatus kawin umur 15-49 tahun yang masih menggunakan alat kontrasepsi. Pada grafik 5.11 dapat dilihat perempuan yang berstatus kawin dan menggunakan alat KB adalah 56,0%, dan 18,4 persen tidak pernah menggunakan sama sekali. Grafik 5.11. Proporsi Penggunaan Alat/Cara KB pada Perempuan Berstatus Kawin Usia 15-49 tahun Indonesia 2010
Menurut karakteristik penduduk dapat dilihat pada Tabel 5.16. Penduduk di perdesaan pada umumnya menggunakan alat kontrasepsi lebih tinggi dari perkotaan. Menurut kelompok umur, pengguna alat kontrasepsi tertinggi adalah pada kelompok usia 25-39 tahun. Sedangkan menurut tingkat pendidikan adalah responden yang tamat SLTP, menurut pekerjaan adalah yang tidak bekerja, sedangan menurut tingkat pengeluaran adalah kelompok penduduk kuintil 2. Gambaran menurut provinsi dapat dilihat pada Tabel 5.17. Provinsi dengan persentase menggunakan alat kontrasepsi terbaik adalah Kalimantan Tengah (66,0%) dan terendah adalah provinsi Papua barat (32,8%). Sedangkan provinsi dengan persentase tertinggi untuk perempuan berstatus kawin yang tidak pernah sama sekali menggunakan alat kontrasepsi adalah Maluku (41,4%), dan persentase terendah adalah Sulawesi Utara (10,4%). Kecenderungan penggunaan alat kontrasepsi dapat dilihat pada Grafik 5.12. Ada terjadi penurunan dari 61,4 persen tahun 2007 menjadi 56 persen pada tahun 2010
58
Tabel 5.16. Proporsi Perempuan berstatus Kawin Usia 15-49 Tahun yang menggunakan Alat/Cara KB Menurut Karakteristik Penduduk, Indonesia 2010 Karakteristik Penduduk Tempat Tinggal Perkotaan Perdesaan
% 54.9 57.1
Kelompok Umur 15 – 19 20 – 24 25 – 29 30 – 34 35 – 39 40 – 44 45 -49
45.1 59.4 61.7 62.1 62.0 53.5 35.1
Pendidikan Tidak sekolah/tidak tmt SD Tamat SD/MI Tamat SLTP/MTS Tamat SLTA/MA Tamat D1/D2/D3/PT
48.9 58.5 60.4 56.1 48.8
Pekerjaan Tidak kerja Sekolah Petani/Nelayan PNS/Pegawai/lainnya
57.9 53.6 55.2 53.3
Tingkat Pengeluaran per Kapita Kuintil 1 Kuintil 2 Kuintil 3 Kuintil 4 Kuintil 5
57.3 59.5 58.2 55.6 47.5
59
Tabel 5.17. Proporsi Penggunaan Alat/Cara KB pada Perempuan berstatus Kawin Umur 15-49 Tahun menurut Provinsi, Indonesia 2010 Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua Indonesia
Sekarang menggunakan 44.1 38.3 50.7 48.2 63.8 60.6 60.6 62.6 65.5 53.5 51.3 59.9 59.5 55.2 59.4 56.8 65.5 53.5 39.5 58.0 66.0 62.5 56.2 62.2 51.6 45.5 40.6 63.1 39.8 36.4 43.5 32.8 38.8 56.0
60
Pernah/tidak menggunakan lagi 25.6 24.3 27.6 27.7 20.1 22.3 26.4 21.7 22.8 25.8 28.5 28.3 25.1 27.1 22.9 28.8 18.0 31.2 23.4 24.2 23.5 26.9 28.5 27.3 27.5 28.2 30.4 21.7 20.2 22.2 30.7 27.0 23.9 25.6
Tidak pernah sama sekali 30.2 37.4 21.7 24.1 16.1 17.1 13.0 15.7 11.7 20.7 20.2 11.8 15.4 17.7 17.7 14.4 16.5 15.4 37.1 17.8 10.5 10.6 15.3 10.4 21.0 26.3 29.0 15.1 40.0 41.4 25.8 40.2 37.2 18.4
Grafik 5.12. Proporsi Perempuan berstatus Kawin Umur 15-49 tahun menggunakan Alat/Cara KB, Indonesia: 2007-2010
Sumber: SDKI 2007, Riskesdas 2010
Penggunaan jenis alat kontrasepsi yang digunakan perempuan berstatus kawin dapat dilihat pada Tabel 5.18 berikut yang juga memperhatikan kecenderungannya dari tahun 2007 ke tahun 2010. Terjadi penurunan untuk keseluruhan metode penggunaan alat/cara KB kecuali IUD, Suntikan dan amenorrhea laktasi. Untuk keseluruhan yang tidak menggunakan alat/cara KB bertambah dari 38,6 persen tahun 2007 menjadi 44,0 persen tahun 2010. Tabel 5.18. Proporsi Perempuan berstatus Kawin Umur 15-49 tahun menurut Jenis penggunaan Alat/Cara KB, Indonesia: 2007-2010 Jenis Alat/Cara KB Sterilisasi wanita Sterilisasi pria Pil IUD/AKDR/Spiral Suntikan Implant Kondom Amenorrhea Laktasi Pantang Berkala/Kalender Senggama terputus Lainnya Tidak menggunakan
SDKI 2007 Riskesdas 2010 3.0 2.2 0.2 0.1 13.2 12.8 4.9 5.1 31.8 32.4 2.8 1.4 1.3 1.1 0.0 0.1 1.5 0.4 2.1 0.3 0.4 0.1 38.6 44.0
Sumber: SDKI 2007, Riskesdas 2010
Berdasarkan tempat tinggal (tabel 5.19), penggunaan alat kontrasepsi untuk suntikan lebih banyak yang tinggal di perdesaan (35,9%) dibanding di perkotaan (29,0%). Demikian juga
61
penggunaan implant di perdesaan (1,9%) dibanding di perkotaan (0,9%). Sebaliknya pengguna Pil lebih banyak di perkotaan (13,4%) dibanding di perdesaan (12,2%). Tabel 5.19. Proporsi Perempuan berstatus Kawin Umur 15-49 tahun menurut Jenis penggunaan Alat/Cara KB dan Tempat Tinggal, Indonesia 2010 Jenis Alat/Cara KB Sterilisasi wanita Sterilisasi pria Pil IUD/AKDR/Spiral Suntikan Implant Kondom Amenorrhea Laktasi Pantang Berkala/Kalender Senggama terputus Lainnya Tidak menggunakan
Perkotaan 2.5 0.1 13.4 6.1 29.0 0.9 1.8 0.1 0.6 0.4 0.1 45.1
Perdesaan 1.8 0.1 12.2 4.2 35.9 1.9 0.4 0.1 0.1 0.2 0.0 42.9
Pelayanan untuk mendapatkan alat/cara KB sebagian besar dilakukan oleh bidan praktek (52,6%), diikuti di Puskesmas (12,0%) Pustu (4,5%), dan di RS pemerintah (3,2%). Sebanyak 12,3% menjawab lainnya, bervariasi, pada umumnya membeli di Apotik, depot obat, atau mendapatkan secara gratis di kantor desa, dll. Tabel 5.20. Proporsi Perempuan berstatus Kawin Umur 15-49 tahun menurut tempat pelayanan KB, Indonesia 2010 Tempat Pelayanan KB RS Pemerintah RS Swasta RS Bersalin Puskesmas Pustu Klinik TKBK/TMK Dokter praktek Bidan praktek Perawat praktek Polindes/ Poskesdes Lainnya
% 3.2 2.4 1.0 12.0 4.5 2.0 0.9 2.5 52.6 2.5 4.1 12.3
62
Analisis yang sama seperti dilakukan pada perempuan pernah kawin, adalah unmet need pada perempuan berstatus kawin. Dari Grafik 5.13 dapat dilihat ada 13,9 persen yang sebenarnya membutuhkan KB akan tetapi tidak bisa terpenuhi Grafik 5.13. Proporsi Perempuan berstatus Kawin umur 15-49 tahun menurut Alasan Utama tidak menggunakan KB, Indonesia 2010
Variasi antar provinsi dapat dilihat pada Tabel 5.21. Ada dua provinsi dengan persentase teertinggi yang menjawab butuh, tapi tidak terpenuhi di atas 30% yaitu Maluku (32,3%), dan Papua Barat (33,0%). Sedangkan provinsi terendah adalah Bali (8,7%).
63
Tabel 5.21. Proporsi Perempuan Berstatus Kawin umur 15-49 tahun menurut Alasan Utama tidak menggunakan KB dan Provinsi, Indonesia 2010 Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua Indonesia
Butuh/tidak Belum/ingin terpenuhi punya anak 23.1 19.1 25.7 20.0 19.0 17.6 19.1 19.7 9.9 15.1 10.0 15.0 9.1 12.7 12.3 15.1 11.3 13.8 13.0 18.0 16.2 16.3 11.0 13.0 11.7 13.8 13.4 16.4 12.0 14.6 12.2 16.7 8.7 17.5 9.7 19.2 29.0 14.8 15.1 13.0 9.3 11.7 9.4 15.2 10.9 16.5 9.2 13.7 19.0 18.2 20.6 16.8 20.8 17.2 9.8 14.5 25.0 23.6 32.3 16.5 14.5 26.6 33.0 15.9 22.4 21.7 13.9 15.4
64
Tidak Lainnya perlu lagi 6.7 7.0 10.5 5.5 6.4 6.2 8.6 4.3 6.3 4.9 8.7 5.7 12.7 4.8 7.8 2.3 6.6 2.8 4.3 11.1 10.2 6.0 10.3 5.7 9.9 5.1 7.7 7.2 9.3 4.6 8.5 5.9 4.8 3.6 10.0 7.6 7.2 9.5 9.0 3.5 7.0 6.0 8.6 4.3 8.8 7.5 9.6 5.3 8.2 3.0 9.1 8.0 14.4 6.9 8.8 3.6 7.7 3.9 10.6 4.2 8.6 6.8 8.9 9.4 10.0 7.0 9.2 5.5
Menggunakan KB 44.1 38.3 50.7 48.2 63.8 60.6 60.7 62.6 65.5 53.5 51.2 59.9 59.5 55.2 59.4 56.8 65.5 53.5 39.5 59.3 66.0 62.5 56.2 62.2 51.6 45.5 40.6 63.2 39.8 36.4 43.5 32.8 38.8 56.0
Selain dua kelompok indikator di atas, beberapa indikator yang dapat disajikan dari hasil Riskesdas 2010 untuk pertimbangan mempercepat peningkatan kesehatan ibu antara lain memperhatikan: c. Usia menikah pertama d. Melakukan pemeriksaan alat kelamin/papsmear e. Imunisasi TT f. Status gizi Dari Riskesdas 2010 dapat diketahui usia perempuan menikah pertama, seperti terlihat pada grafik 5.14. Perempuan Indonesia, sudah menikah pada usia yang sangat muda, 10 tahun, selanjutnya pada usia berikutnya proporsi perempuan menikah pertama ini semakin meningkat sampai dengan usia 19 tahun. Dari grafik 5.15 dapat dilihat sekitar 46,4 persen perempuan di Indonesia sudah menikah sebelum menginjak usia 20 tahun Grafik 5.15. Proporsi Perempuan Umur 10-54 tahun menurut Umur Menikah Pertama, Indonesia 2010
Informasi lain yang juga penting untuk meningkatkan kesehatan ibu adalah rutinitas untuk melakukan pemeriksaan alat kelamin/papsmear. Pada grafik 5.16, dapat dilihat bahwa dalam kurun waktu 12 bulan terakhir hanya 4,6 persen perempuan yang melakukan pemeriksaan. Dari Riskesdas 2010, ditanyakan juga pada responden perempuan pernah kawin berapa kali diberi imunisasi TT sebelum dan sesudah menikah. Dapat dilihat pada grafik 5.17, pada perempuan hamil diketahui sekitar 31 persen mendapat imunisasi TT kurang dari 2 kali.
65
Grafik 5.16. Proporsi Perempuan pernah Kawin umur15-49 tahun yang melakukan pemeriksaan alat kelamin/papsmear, Indonesia, 2010
Grafik 5.17. Proporsi Perempuan Umur Reproduktif menurut Jumlah kali mendapat imunisasai TT, Inndonesia 2010
Informasi lain yang juga sangat penting untuk kesehatan ibu adalah status gizi perempuan reproduktif yang akan melahirkan. Dari grafik 5.18 dapat dilihat ada kecenderungan pada
66
perempuan kelompok umur 15-19 tahun, 17, 2 persen dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) <18,5. Perempuan dengan IMT <18,5 adalah kurus dan mempunyai risiko tinggi untuk melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR). Sebaliknya dari grafik 5.15 dapat dilihat ada kecenderungan semakin bertambah umur proporsi perempuan dengan IMT 25 keatas semakin meningkat. Perempuan dengan IMT 25 + cenderung gemuk dan berisiko tinggi untuk terkena penyakit degeneratif seperti darah tinggi, diabetes melitus, dll. Grafik 5.18. Proporsi Perempuan pernah kawin menurut kelompok umur dan Status Gizi, Indonesia 2010
Berdasarkan analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa kesehatan ibu pada prinsipnya dapat menjadi lebih baik jika program tetap mengupayakan peningkatan cakupan pelayanan kesehatan terutama pada pertolongan persalinan untuk perempuan hamil, dan juga dapat mengurangi pernikahan usia remaja serta perbaikan status gizi. Pelayanan KB diutamakan pada penduduk miskin yang membutuhkan agar jumlah kehamilan dapat diturunkan.
67
4. Goal 6-MDG
Memerangi HIV/AIDS, Malaria dan Penyakit Menular Lainnya Target: 1. Mengendalikan penyebaran dan mulai menurunkan jumlah kasus baru HIV/AIDS hingga tahun 2015 2. Mengendalikan penyebaran dan mulai menurunkan jumlah kasus baru malaria dan penyakit utama lainnya hingga tahun 2015 Narasi berikut mengkhususkan analisis berkaitan dengan pengetahuan responden tentang HIV/AIDS, masalah malaria dan TB paru 6.1. PENGETAHUAN TENTANG HIV/AIDS Salah satu tujuan yang ingin dicapai MDGs dalam kurun waktu 1990-2015 adalah memerangi HIV/AIDS, dengan target mengendalikan penyebaran HIV/AIDS dan mulai menurunnya jumlah kasus baru pada tahun 2015. Salah satu indikator yang digunakan untuk memantau pencapaian target dan dapat dikumpulkan melalui Riskesdas 2007 dan Riskesdas 2010 adalah prevalensi penduduk umur 15-24 tahun yang pernah mendengar tentang HIV/AIDS. Sedangkan mengenai pengetahuan komprehensif tentang HIV/AIDS, kepada responden ditanyakan hal-hal yang terkait dengan pengetahuan HIV/AIDS. Hasil Riskesdas 2010 dibandingkan dengan hasil dari Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007 yang mempunyai metode pengumpulan data yang sama. Riskesdas 2010 melaporkan sebesar 75 persen perempuan maupun laki-laki umur 15-24 tahun pernah mendengar tentang HIV/AIDS, Nampak adanya peningkatan pengetahuan pada perempuan sebesar 12 persen dan pada laki-laki sebesar 11 persen dibanding tahun 2007 (Gambar 6.1.1). Gambar 6.1.1 Prevalensi Penduduk 15-24 tahun Pernah Mendengar ttng HIV/AIDS menurut jenis kelamin Riskesdas 2007 dan 2010
68
Prevalensi penduduk umur 15-24 tahun yang pernah mendengar HIV/AIDS nampak lebih tinggi pada mereka yang belum kawin, yang tinggal di perkotaan, yang berpendidikan lebih tinggi, pada mereka yang masih sekolah, dan yang bekerja sebagai pegawai dan wiraswasta, juga pada kuintil/ pendapatan perkapita yang lebih tinggi. (Tabel 6.1.1) Tabel 6.1.1 Prevalensi penduduk umur 15-24 tahun yang pernah mendengar HIV/AIDS, menurut karakteristik penduduk, Riskesdas 2007 dan Riskesdas 2010 Karakteristik penduduk
Laki-laki
Perempuan
2007
2010
2007
2010
Status kawin Belum kawin Kawin Cerai
64,9 56,5 49,3
76,3 67,1 56,8
68,1 51,4 48,7
80,5 63,3 63,2
Tipe daerah Perkotaan Perdesaan
79,8 53,3
84,8 64,0
79,4 50,4
84,5 63,2
Pendidikan Tidak sekolah Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Tamat D1/2/3/PT
27,7 33,3 44,3 67,9 84,2 90,2
33,2 43,3 55,6 79,7 91,2 94,4
23,9 27,4 38,6 66,1 84,1 90,8
30,2 40,4 51,4 79,0 91,5 96,7
61,9 70,8 85,0 72,8 49,0
71,8 82,81 91,8 79,8 62,3
55,2 73,8 85,9 68,5 41,9
69,3 86,2 90,9 82,9 55,9
63,4
77,0
65,1
70,9
Tingkat pengeluaran perkapita Kuintil 1 53,5 Kuintil 2 58,1 Kuintil 3 64,7 Kuintil 4 68,1 Kuintil 5 75,2
59,7 72,3 78,0 83,0 89,3
50,3 56,3 62,3 67,2 73,9
58,7 69,4 78,1 83.6 88,8
75,4
62,4
74,8
Pekerjaan Tidak bekerja Sekolah Pegawai Wiraswasta Petani/ nelayan/buruh Lainnya
Indonesia
64,0
69
Tabel 6.1.2 dan Gambar 6.1.2 menunjukkan 10 provinsi dengan prevalensi pernah mendengar AIDS diatas rata-rata yaitu Yogyakarta, Bali, DKI Jakarta, Kepulauan Riau, Sulawesi Utara, Jawa Tengah, Papua, NTB, dan Jawa Timur, Papua Barat. Gambar 6.1.2 Prevalensi Penduduk 15-24 tahun Pernah Mendengar menurut Provinsi, Riskesdas 2010
70
Tabel 6.1.2 Prevalensi penduduk umur 15-24 tahun yang pernah mendengar HIV/AIDS menurut provinsi, Riskesdas 2010 Provinsi
Laki-laki
Perempuan
Laki-Perempuan
Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua
73 ,1 70 ,2 72 ,0 77 ,1 64 ,5 60 ,1 66 ,5 67 ,5 73 ,6 89 ,7 90 ,5 77 ,1 82 ,1 94 ,3 79 ,0 68 ,7 95 ,3 81 ,7 58 ,8 57 ,3 67 ,2 76 ,8 63 ,2 81 ,2 66 ,4 71 ,8 55 ,6 41 ,1 53 ,6 69 ,5 66 ,6 78 ,6 81 ,0
74 ,6 71 ,1 77 ,0 72 ,8 64 ,1 62 ,3 66 ,6 67 ,7 74 ,1 86 ,0 89 ,4 75 ,8 81 ,7 93 ,1 77 ,7 67 ,5 90 ,0 77 ,1 62 ,5 63 ,4 62 ,4 76 ,4 69 ,3 83 ,4 63 ,1 72 ,5 61 ,1 46 ,6 48 ,7 71 ,6 56 ,4 75 ,9 76 ,2
73 ,1 70 ,2 72 ,0 77 ,1 64 ,5 60 ,1 66 ,5 67 ,5 73 ,6 89 ,7 90 ,5 77 ,1 82 ,1 94 ,3 79 ,0 68 ,7 95 ,3 81 ,7 58 ,8 57 ,3 67 ,2 76 ,8 63 ,2 81 ,2 66 ,4 71 ,8 55 ,6 41 ,1 53 ,6 69 ,5 66 ,6 78 ,6 81 ,0
Indonesia
75 ,4
74,8
75 ,4
Pengetahuan komprehensif tentang HIV/AIDS Untuk melihat kecendrungan hasil tahun 2007 dan 2010 dilakukan reanalisis data SDKI dan SKRRI 2007 dengan menggunakan empat variabel yang sama dalam Riskesdas 2010. Pengetahuan komprehensif merupakan komposit dari 4 variabel, 2 variabel dari persepsi salah tentang penularan HIV/AIDS yaitu melalui (1) makan sepiring dengan orang yang terkena virus HIV/AIDS, (2) melalui gigitan nyamuk, dan 2 variabel tentang cara pencegahan HIV/AIDS yaitu
71
(3) berhubungan seksual dengan satu pasangan saja dan (4) menggunakan kondom saat berhubungan seksual. Riskesdas 2010 Prevalensi penduduk umur 15-24 tahun dengan pengetahuan komprehensif “baik” tentang HIV/AIDS nampak lebih tinggi pada mereka yang belum kawin, yang tinggal di perkotaan, yang berpendidikan lebih tinggi, pada mereka yang masih sekolah, dan yang bekerja sebagai pegawai, wiraswasta dan sekolah, juga pada pendapatan perkapita yang lebih tinggi. (Tabel 6.1.3) Tabel 6.1.3 Prevalensi penduduk umur 15-24 tahun dengan pengetahuan komprehensif tentang HIV/AIDS, menurut karakteristik penduduk, Riskesdas 2010 Karakteristik penduduk
Laki-laki
Perempuan
Laki-perempuan
Status kawin Belum kawin Kawin Cerai
20 ,3 15 ,4 12 ,6
19 ,8 11 ,9 10 ,7
20 ,1 12 ,8 11 ,2
Tipe daerah Perkotaan Perdesaan
23 ,0 16 ,0
20 ,0 13 ,8
21 ,5 14 ,9
Pendidikan Tidak sekolah Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Tamat D1/2/3/PT
18 ,4 23 ,0 25 ,0 21 ,9 15 ,1 16 ,7
3 ,6 7 ,5 8 ,4 17 ,5 23 ,3 32 ,3
4 ,9 8 ,9 9 ,7 18 ,9 25 ,3 33 ,3
Pekerjaan Tidak bekerja Sekolah Pegawai Wiraswasta Petani/ nelayan/buruh Lainnya
6 ,3 10 ,1 10 ,9 20 ,2 27 ,3 35 ,1
13 ,4 22 ,1 24 ,8 22 ,8 11 ,4 15 ,2
15 ,3 22 ,5 24 ,9 22 ,2 13 ,8 15 ,8
14 ,6 18 ,6 19 ,6 22 ,8 25 ,6
12 ,6 14 ,6 18 ,0 19 ,8 22 ,5
13 ,6 16 ,6 18 ,8 21 ,3 24 ,0 18 ,5
Pengeluaran perkapita Kuintil 1 Kuintil 2 Kuintil 3 Kuintil 4 Kuintil 5 Indonesia
19,8
17,2
72
Tabel 6.1.4 dan Gambar 6.1.3 menunujukkan 10 provinsi dengan pengetahuan komprehensif tentang HIV/AIDS di atas nilai rata-rata yaitu provinsi Bali, Papua, DKI Jakarta, Papua Barat, Sumatera Utara, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB, DI Yogyakarta, Riau, Bengkulu. Gambar 6.1.3 Prev. Penduduk 15-24 th dengan Penget. Komprehensif tentang HIV/AIDS menurut Prov., RKD 2010
73
Tabel 6.1.4 Prevalensi penduduk umur 15-24 tahun dengan pengetahuan komprehensif tentang HIV/AIDS, menurut provinsi, Riskesdas 2010 Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua Indonesia
Laki-laki 16 ,2 26 ,4 13 ,5 22 ,3 12 ,5 11 ,4 17 ,5 15 ,2 9 ,0 15 ,5 30 ,1 17 ,6 24 ,3 19 ,8 22 ,8 13 ,3 39 ,5 24 ,8 18 ,5 7 ,9 18 ,0 14 ,4 18 ,8 15 ,5 11 ,0 16 ,5 13 ,5 7 ,4 12 ,5 14 ,2 10 ,9 27 ,2 32 ,1
Perempuan 16 ,0 24 ,2 12 ,2 17 ,2 11 ,8 10 ,2 21 ,1 12 ,0 8 ,4 21 ,3 24 ,4 13 ,5 22 ,1 20 ,8 19 ,1 11 ,6 31 ,8 17 ,6 15 ,5 11 ,5 14 ,1 13 ,2 17 ,6 15 ,1 14 ,1 16 ,4 11 ,6 9 ,0 7 ,4 7 ,8 6 ,8 24 ,1 31 ,2
Laki-perempuan 16 ,1 25 ,3 12 ,9 19 ,9 12 ,1 10 ,8 19 ,3 13 ,6 8 ,7 18 ,5 27 ,4 15 ,6 23 ,2 20 ,3 21 ,0 12 ,5 35 ,8 20 ,9 16 ,9 9 ,7 16 ,0 13 ,8 18 ,2 15 ,3 12 ,6 16 ,4 12 ,5 8 ,4 10 ,0 10 ,9 8 ,7 25 ,6 31 ,6
19 ,8
17 ,2
18 ,5
Dibandingkan dengan hasil SDKI 2007, tampak adanya peningkatan prevalensi penduduk (lakilaki dan perempuan) umur 15-24 tahun belum kawin dengan pengetahuan komprehensif tentang HIV/AIDS, tetapi pada laki-laki kawin tampak sedikit penurunan pada tahun 2010 (Gambar 6.1.4)
74
Gambar 6.1.4 Kecenrungan Pengetahuan Komprehensif Penduduk 15-24 tahun tentang HIV/AIDS, SDKI 2007 dan Riskesdas 2010
Catatan: Hasil analisis ulang pengetahuan komprehensif penduduk 15-24 tahun SDKI 2007* dengan 5 variabel, sebagai berikut: Status kawin
Laki
Perempuan
Belum kawin
13,7
15,1
Kawin
14,7
9,5
*5 variabel yaitu penggunaan kondom saat hub. seksual, hubungan seksual hanya dengan satu pasangan, mengetahui orang tampak sehat dapat terkena HIV, menolak dua persepsi salah yaitu HIV tertular melalui gigitan nyamuk dan dapat ditularkan melalui berbagi makan dengan ODHA.
75
6.2. PENYAKIT MALARIA Malaria merupakan masalah kesehatan dunia karena mengakibatkan dampak yang luas, dan memungkinkan sebagai penyakit emerging dan re-emerging karena adanya kasus import dan vektor potensial yang dapat menularkan dan menyebarkan malaria. Selain itu malaria umumnya merupakan penyakit di daerah terpencil atau sulit dijangkau dan di negara miskin atau berkembang, sehingga tidak mengherankan malaria juga merupakan neglected disease. Oleh sebab itu malaria menjadi salah satu penyakit menular yang menjadi sasaran prioritas komitmen global di Millenium Development Goals (MDGs) yang dideklarasikan oleh 189 anggota PBB pada tahun 2000. Dampak luas dari malaria yang berhubungan dengan 5 indikator MDGs lain dapat dilihat pada Tabel.6.2.1. Tabel 6.2.1. Peran malaria pada indikator MDGs lain MDG 1 2 4 5 6 8
Tujuan Menanggulangi kemiskinan Mencapai pendidikan dasar untuk semua Menurunkan angka kematian anak Meningkatkan kesehatan ibu
Peran malaria Memelihara kemiskinan Penyebab absen sekolah Penyebab kematian Ancaman kehidupan ibu dan anak Memerangi HIV/AIDS, Malaria dan penyakit Menyebabkan kesakitan dan menular lainnya kematian Mengembangkan kemitraan global untuk Kerja sama dalam penanggulangan melalui Global pembagunan Fund
Pada tahun 2005, World Health Assembly (WHA) mentargetkan penurunan kasus kesakitan dan kematian malaria sebanyak =50% di tahun 2010 dan =75% di tahun 2015 dari angka pada tahun 2000. Berbagai upaya penanggulangan telah dilaksanakan dengan menggalang berbagai sumber dana baik dari pemerintah dan non pemerintah (WHO dan Global Fund). Pada pertemuan WHA 60 tahun 2007, telah dihasilkan komitmen global tentang eliminasi malaria bagi setiap negara. Di Indonesia eliminasi malaria dimulai sejak tahun 2009. Untuk percepatan penanggulangan malaria dilakukan berbagai intervensi: kelambu berinsektisida untuk penduduk berisiko, pengobatan yang tepat untuk subjek terinfeksi malaria dengan artemisinin-based combination therapy (ACT); penyemprotan rumah dengan insektisida, dan pengobatan pencegahan pada ibu hamil1. Di Indonesia ditemukan semua jenis human plasmodia terutama Plasmodium falciparum and P.vivax. Kasus malaria yang dilaporkan umumnya masih merupakan malaria yang diagnosis hanya berdasarkan gejala klinis karena keterbatasan akses dan fasilitas pemeriksaan laboratorium. Laporan tahunan menunjukkan kasus terbanyak dilaporkan dari Provinsi Papua dan Nusa Tenggara Timur. Sejak tahun 2004, program malaria Indonesia secara bertahap telah menggunakan ACT sesuai rekomendasi WHO4. Kelebihan derivatif artemisinin ini adalah dapat mencegah penularan. ACT yang digunakan oleh program malaria nasional adalah kombinasi
76
artesunat-amodiakuin dan dihidroartemisinin-piperakuin, sedangkan artemeter-lumefantrin direkomendasi oleh klinisi. Setiap tiga tahun Badan Litbangkes melaksanakan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). Riskesdas pertama dilaksanakan pada tahun 2007, dan Riskesdas ke 2 tahun 2010 dirancang khusus sebagai bahan evaluasi pencapaian MDGs, dan perkembangan hasil Riskesdas 2007. Pada Riskesdas 2007 hanya dikumpulkan data prevalensi malaria dalam satu bulan terakhir berdasarkan hasil wawancara, dan pada Riskesdas 2010 data kesakitan malaria dilengkapi dengan pemeriksaan darah malaria pada semua responden. Data Riskesdas selain dapat dimanfaatkan sebagai evaluasi pencapain target MDGs, tetapi juga dapat sebagai data dasar dan bahan evaluasi untuk pencapaian eliminasi malaria di Indonesia. Dari data Riskesdas 2010 dapat ditentukan Angka Kesakitan Malaria (Annual Parasite Incidence/API 2009-2010 dan Prevalensi malaria), Pengobatan efektif pada balita, Cakupan kelambunisasi berinsektisida pada balita, faktor pendukung lainnya (promosi, prevensi, dan pengobatan tradisional atau dengan tanaman obat). Data Riskesdas malaria dikumpulkan dengan dua cara yaitu wawancara terstruktur menggunakan kuesioner Kesmas, dan pemeriksaan darah malaria untuk deteksi antigen plasmodium dengan menggunakan dipstick (Rapid Diagnostic Test/RDT). Kuesioner yang digunakan ada yang khusus untuk responden Rumah Tangga (RT) untuk faktor pendukung (promosi/pengetahuan tempat pelayanankesehatan dan pemeriksaan darah malaria, pemanfaatan pelayanan kesehatan, risiko terinfeksi malaria), dan kuesioner individu atau Anggota Rumah Tangga/ART (Annual Parasite Incidence/API, prevalensi malaria, tempat pemeriksaan/penentuan diagnosis malaria, cakupan ACT, persentasi yang melakukan pencegahan, penggunaan obat tradisonal/tanaman obat untuk malaria). Total sampel Kesmas adalah 2800 Blok Sensus (BS), sedangkan sampel untuk pemeriksaan darah malaria adalah sebanyak 823 BS yang merupakan sub sampel dari sampel Kesmas. Satu BS terdiri dari 25 RT. Sebelum dilakukan wawancara dan pemeriksaan darah malaria, semua responden harus menandatangani informed consent. Semua anggota Rumah Tangga diperiksa darahnya dengan RDT (Entebe®) dan apabila disertai dengan riwayat demam dalam 48 jam terakhir juga dilakukan pemeriksaan malaria apusan darah tebal dengan pewarnaan Giemsa. Semua kasus yang positip malaria dengan RDT dirujuk ke Puskesmas terdekat. Demikian juga kasus dengan riwayat demam walaupun hasil RDT negatip akan dirujuk untuk pemeriksaan dan pengobatan lebih lanjut. Apusan darah tebal malaria diperiksa di Puslitbang Biomedis dan Farmasi secara blinded untuk keperluan validasi hasil RDT. Data dianalisis dengan menggunakan program SPSS 15. 1. Angka kesakitan malaria Insiden Parasit Malaria (API) dalam satu tahun terakhir (2009-2010) berdasarkan hasil pemeriksaan darah malaria pada saat wawancara adalah 2,4 persen. Sedangkan API di JawaBali adalah 0,8 persen (Gambar.6.2.1).
77
Gambar.6.2.1. API, Riskesdas 2010
2.5 2 1.5
2,4
1 0.5
0,8
0 Jawa-Bali
Nasional
API pada tahun 1990 dan 2007 hanya merupakan API Jawa-Bali yang berasal dari fasilitas pelayanan pemerintah. Hal ini disebabkan karena dimasa lalu hanya Jawa-Bali yang sudah dapat mengkonfirmasi kasus malaria dengan pemeriksaan apusan darah malaria. Sedangkan hasil API Riskesdas 2010 adalah API Nasional (24 permil) dan dikumpulkan dari masyarakat yang dapat merupakan data dari fasilitas pelayanan pemerintah dan sektor swasta. Jadi tidak mengherankan API Jawa-Bali dari Riskesdas 2010 (8 permil) lebih besar dari pada API tahun 1990 (0,17 permil) dan 2007 (0,16 permil) (Bappenas, 2009)8. Rentang API Nasional adalah antara 0,3% (Bali) dan 31,4% (Papua). Sebanyak 20 provinsi dan semuanya di luar Jawa-Bali mempunyai API diatas API Nasional (Tabel.6.2.2). Pada umumnya (50,1.%) terinfeksi malaria hanya satu kali dalam satu tahun terakhir, sedangkan yang dua kali adalah 39,8 persen dan yang tiga atau lebih adalah 10,1 persen.
78
Tabel 6.2.2 API malaria menurut provinsi, Riskesdas 2010 NO NAMA PROVINSI 1 NAD 2 Sumatera Utara 3 Sumatera Barat 4 Riau 5 Jambi 6 Sumatera Selatan 7 Bengkulu 8 Lampung 9 Bangka Belitung 10 Kepulauan Riau 11 DKI Jakarta 12 Jawa Barat 13 Jawa Tengah 14 DI Yogyakarta 15 Jawa Timur 16 Banten 17 Bali 18 Nusa Tenggara Barat 19 Nusa Tenggara Timur 20 Kalimantan Barat 21 Kalimantan Tengah 22 Kalimantan Selatan 23 Kalimantan Timur 24 Sulawesi Utara 25 Sulawesi Tengah 26 Sulawesi Selatan 27 Sulawesi Tenggara 28 Gorontalo 29 Sulawesi Barat 30 Maluku 31 Maluku Utara 32 Papua Barat 33 Papua Jawa-Bali Indonesia
API (%) 2,7 2,2 1,4 1,6 5,3 2,8 5,7 2,6 9,2 4,7 0,7 0,8 0,9 1,0 0,6 1,1 0,3 4,6 10,7 6,2 4,0 1,9 3,8 6,4 3,7 2,0 2,0 2,6 5,6 7,7 10,3 25,5 31,4 0,8 2,4
79
Tabel 6.2.3 API (%) Menurut Karakteristik Responden, Riskesdas 2010 Karakteristik responden
API (%)
Kelompok umur (tahun) <1 1– 4 5 - 14 25 - 24 25 - 34 35 - 44 45 - 54 55 - 64 65 - 74 = 75 Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Tipe daerah Perkotaan Perdesaan Pendidikan Tidak sekolah Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Tamat PT Pekerjaan Tidak kerja Sekolah Pegawai/TNI/POLRI Wiraswasta Petani/Nelayan/Buruh Lainnya Tingkat pengeluaran per kapita Kuintil 1 Kuintil 2 Kuintil 3 Kuintil 4 Kuintil 5
1,2 2,5 2,3 2,2 2,5 2,5 2,5 2,4 1,8 1,4 2,6 2,2 2,0 2,9 2,3 2,9 2,3 2,2 2,3 1,6 2,0 2,2 2,2 1,9 3,0 2,9
2,0 2,2 2,4 2,7 2,9
Pada Riskesdas 2010, API lebih tinggi ditemukan pada anak balita dan kelompok umur 25-54 tahun, responden laki-laki (2,6%), responden yang tinggal di perdesaan (2,9%), responden dengan pendidikan tidak tamat SD (2,9%), responden dengan pekerjaan petani/ nelayan/ buruh (3,0%), dan responden dengan tingkat pengeluaran perkapita pada kuintil 4-5 (2,7%, 2,9%)
80
(Tabel 6.2.3). Hasil ini tidak mengherankan karena malaria menyerang semua umur, dapat berhubungan dengan pekerjaan, dan pada umumnya di daerah terpencil atau pedesaan serta ekonomi rendah (Tabel 6.2.3). Hal yang menarik adalah pada kelompok kuintil 4 dan 5 ternyata API nya > dari API nasional. Keadaan ini dapat disebabkan akses dan kemampuan kelompok dengan tingkat ekonomi yang lebih rendah untuk melakukan pemeriksaan darah malaria terbatas. Prevalensi malaria Indonesia dalam satu bulan terakhir (Period Prevalence) pada Riskesdas 2010 adalah 10.7 persen. Angka ini didapatkan dari kasus kesakitan yang didiagnosis oleh tenaga kesehatan melalui konfirmasi pemeriksaan apusan darah malaria (0,6%), dan gejala klinis (10,2%). Gejala klinis ini termasuk kasus asimptomatik atau tanpa demam tetapi minum obat anti malaria (0,6%) berdasarkan hasil wawancara (Gambar 6.2.2). Gambar 6.2.2. Period Prevalence (%), Riskesdas 2010
10 8 6 9.6
4 2 0.6
0.6
0 Konfirmasi lab
Gejala klinis
Asimptomatik
Bila dibandingkan dengan angka Prevalensi dalam satu bulan terakhir yang didiagnosis oleh tenaga kesehatan melalui konfirmasi pemeriksaan apusan darah malaria, terjadi penurunan dari 1,39 pada Riskesdas 2007 menjadi 0,6 persen pada Riskesdas 2010. Jadi Period Prevalence Nasional 2010 (10,7%) yang lebih tinggi dibandingkan dengan Period Prevalence Riskesdas 2007 (2,85%) dipengaruhi oleh prevalensi yang berdasarkan gejala klinis. Gejala klinis malaria sangat beragam dan tidak spesifik dari asimptomatik sampai dengan gejala klinis berat. Oleh sebab itu penentuan kesakitan atau diagnosis malaria yang benar dan akurat adalah harus melalui konfirmasi pemeriksaan baku emas apusan darah malaria atau deteksi antigen antara lain dengan RDT.
81
Gambar 6.2.3. Prevalensi Malaria, Riskesdas 2007 dan 2010
12 10 8 10.7
6
2007 2010
4 2
1.39
0.6
2.85
0 D
DG
Sekitar 64 persen (21 provinsi) mempunyai angka Period Prevalence lebih besar atau sama dengan Period Prevalence Nasional. Period prevalence terendah adalah di provinsi Yoyakarta dan Bali (4,6%) dan tertinggi di Papua Barat (33,6%). (Tabel 6.2.4.). Pada Riskesdas 2010, periode prevalence lebih tinggi ditemukan pada anak balita dan kelompok umur 25-64 tahun (10,9% - 12,0%), responden laki-laki (10,8%), responden yang tinggal di perdesaan (13%), responden dengan pendidikan rendah/ tidak tamat SMP (12,0% – 12,2%), responden dengan pekerjaan petani/ nelayan/ buruh (13,7%), dan responden dengan tingkat pengeluaran perkapita pada kuintil 1-3 (10,9% - 11,2%) (Tabel 6.2.5). Karakteristik ini tidak berbeda dengan karakteristik pada responden API kecuali pada kelompok tingkat pengeluaran perkapita yaitu kasus malaria lebih banyak ditemukan pada kelompok kuintil 1-3, sedangkan yang diagnosisnya diketahui berdasarkan konfirmasi pemeriksaan darah adalah kelompok kuintil 4-5 seperti pada API. Angka Prevalensi malaria dalam satu bulan terakhir berdasarkan konfirmasi pemeriksaan apusan darah malaria ternyata sama dengan angka Prevalensi malaria yang didapat dari hasil pemeriksaan dengan RDT pada saat dilakukan Riskesdas 2010 (Point Prevalence) yaitu 0,6% (Tabel 6.2.6). Hal ini menunjukkan konsistensi temuan antara hasil wawancara dengan pemeriksaan RDT. Seperti halnya temuan pada karakteristik API, Period Prevalence yang dikonfirmasi dengan pemeriksaan darah dan Point Prevalence juga lebih tinggi pada kelompok umur 1-34 tahun (0,7% - 0,8%), di perdesaan (0,8%), pendidikan rendah (tidak tamat SD) (0,7% - 0,8%), pekerjaan anak sekolah dan petani/ nelayan/ buruh (0,7%) dan pada kuintil 1 dan 3 (0,7%) (Tabel. 6.2.6)
82
Tabel 6.2.4 Period Prevalence 1 Bulan Malaria Menurut Provinsi, Riskesdas 2007 dan 2010 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
Nama Provinsi NAD Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua
Indonesia
D (%) 1,89 1,32 0,55 0,85 1,73 1,01 4,81 0,27 5,07 0,79 0,10 0,07 0,08 0,07 0,05 0,09 0,10 2,22 5,73 1,82 1,51 0,31 1,06 0,45 2,58 0,32 0,88 0,88 0,86 2,87 3,31 15,65 12,09 1,39
83
2007 DG (%) 3,66 2,86 1,65 2,03 3,23 1,63 7,14 1,42 7,09 1,41 0,51 0,42 0,41 0,30 0,18 0,32 0,31 3,75 12,04 3,26 3,37 1,41 1,67 2,12 7,36 1,37 2,16 2,87 2,02 6,06 7,23 26,14 18,41 2,85
D (%) 0,7 0,4 0,3 0,5 1,2 0,9 1,5 0,5 1,4 1,4 0,1 0,1 0,1 0,0 0,1 0,1 0,1 1,3 4,0 0,9 1,4 0,7 0,8 2,1 0,9 0.6 0,4 0,8 1,5 1,3 3,4 9,0 11,1 0,6
2010 DG (%) 12,1 10,0 12,3 6,6 11,5 9,3 12,9 9,7 19,0 9,5 8,4 10,7 7,7 4,6 7,3 10,7 4,6 14,2 28,2 11,3 16,2 14,5 9,3 22,5 18,0 15,6 7,1 28,6 13,8 12,6 20,9 33,6 29,2 10,7
Tabel 6.2.5 Period Prevalence 1 Bulan Malaria Menurut Karakteristik Responden, Riskesdas 2007 dan 2010 Karakteristik responden Kelompok umur (tahun) <1 1– 4 5 - 14 15 - 24 25 - 34 35 - 44 45 - 54 55 - 64 65 - 74 = 75 Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Tipe daerah Perkotaan Pedesaan Pendidikan Tidak sekolah Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Tamat PT Pekerjaan Tidak kerja Sekolah Pegawai/TNI/POLRI Wiraswasta Petani/Nelayan/Buruh Lainnya Tingkat pengeluaran per kapita Kuintil 1 Kuintil 2 Kuintil 3 Kuintil 4 Kuintil 5
2007 D (%) DG (%)
2010 D (%) DG (%)
0,50 1,43 1,37 1,31 1,59 1,53 1,48 1,31 1,19 1,08
1,02 2,64 2,69 2,62 3,20 3,09 3,12 2,97 2,70 2,83
0,2 0,7 0,5 0,5 0,7 0,7 0,6 0,7 0,4 0,4
8,0 10,9 9,9 10,1 10,8 11,0 11,6 12,0 10,4 10,4
11,55 1,26
3,05 2,66
0,7 0,5
10,8 10,5
0,83 1,75
1,46 3,69
0,3 0,9
8,5 13,0
1,57 1,57 1,41 1,36 1,19 1,10
3,75 3,54 3,04 2,66 2,08 1,83
0,5 0,8 0,5 0,5 0,6 0,4
12,0 12,2 12,2 9,9 7,9 5,7
1,14 1,22 1,14 1,05 1,88 1,37
2,49 2,42 1,85 1,95 4,13 2,74
0,4 0,5 0,6 0,4 0,8 0,7
10,6 9,5 6,7 8,8 13,7 11,0
1,42 1,38 1,38 1,35 1,35
3,05 2,90 2,83 2,72 2,52
0,4 0,6 0,6 0,7 0,7
11,0 11,2 10,9 10,6 9,2
84
TABEL 6.2.6 Point Prevalence Menurut Karakteristik Responden, Riskesdas 2010 Karakteristik responden
Point Prevalence (%)
Kelompok umur (tahun) <1 1– 4 5 - 14 25 - 24 25 - 34 35 - 44 45 - 54 55 - 64 65 - 74 = 75 Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Tipe daerah Perkotaan Perdesaan Pendidikan Tidak sekolah Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Tamat PT Pekerjaan Tidak kerja Sekolah Pegawai/TNI/POLRI Wiraswasta Petani/Nelayan/Buruh Lainnya Tingkat pengeluaran per kapita Kuintil 1 Kuintil 2 Kuintil 3 Kuintil 4 Kuintil 5 NASIONAL
0,3 0,8 0,8 0,7 0,7 0,5 0,6 0,6 0,4 0,6 0,6 0,7 0,4 0,8 0,7 0,8 0,6 0,5 0,6 0,2 0,6 0,7 0,3 0,5 0,7 0,6
0,7 0,6 0,7 0,6 0,5 0,6
85
2. Pengobatan efektif Obat antimalaria yang direkomendasikan oleh program Malaria adalah dengan menggunakan Artemisinin Combination based Therapy (ACT). ACT yang digunakan oleh program adalah artesunat-amodiakuin (sejak tahun 2004), dihidroartemisin-piperakuin (sejak tahun 2009 dan dimulai di Papua), dan artemeter-lumefantrin yang direkomendasi oleh klinisi (sejak tahun 2009). ACT program diminum dengan dosis tunggal harian selama 3 hari. Pengobatan akan lebih efektif apabila pengobatan diberikan dalam 24 jam menderita demam atau sakit. Jadi yang dimaksud dengan pengobatan efektif menurut WHO adalah pengobatan malaria yang diberikan dalam 24 jam pertama demam atau sakit dengan ACT dan obat diminum dengan dosis lengkap. Gambar. 6.2.4. Pengobatan Efektif Malaria, Riskesdas 2010
35 30 25 20
33.6
15
21.9
10 5 0 Semua kelompok umur
Balita
Dari hasil wawancara, penggunaan ACT di Indonesia hanya mencapai 49,1%, dan hanya 75,5.% yang mendapat pengobatan dalam 24 jam pertama sakit atau menderita demam, serta 89,6% yang diminum dengan dosis lengkap. Khusus pada balita, penggunaan ACT lebih rendah yaitu 34,3%, 80,6.% yang mendapat pengobatan dalam 24 jam pertama sakit atau menderita demam, dan 83,4% yang diminum dengan dosis lengkap. Jadi penderita malaria semua kelompok umur yang mendapat pengobatan efektif adalah 33,6%, sedangkan pada balita hanya 21,9% (Tabel. 6.2.7). Sosialisasi dan pelatihan ACT sangat perlu digalakkan, dan ketersediaan ACT perlu dievaluasi untuk mendapat pengobatan yang efektif. Selain ACT, pengobatan yang efektif perlu ditunjang diagnosis yang akurat dan cepat terutama pada kelompok berisiko yaitu balita.
86
Tabel 6.2.7 Cakupan Penderita Malaria yang Mendapat Pengobatan Efektif, Riskesdas 2010. ACT Cakupan (%) ACT dosis lengkap Proporsi (%) Mendapat ACT Mendapat ACT dalam 24 jam Pengobatan 3 hari & diminum habis
Semua umur
Balita
33,6
21,9
49,1 75,5 89,6
34,3 80,6 83,4
3. Cakupan kelambunisasi Penggunaan kelambu dapat mencegah infeksi malaria melalui gigitan nyamuk. Untuk meningkatkan daya proteksi, jenis kelambu yang direkomendasikan adalah kelambu yang telah diobati atau dipoles dengan insektisida permetrin. Dari hasil wawancara Riskesdas 2010, cakupan total kelambunisasi dengan dan tanpa diproteksi insektisida adalah 26,1%, dan cakupan kelambunisasi dengan diproteksi insektisida adalah 12,5% pada responden semua kelompok umur. Sedangkan cakupan kelambunisasi khusus pada balita dengan dan tanpa diproteksi insektisida adalah 32,7%, dan cakupan kelambunisasi dengan diproteksi insektisida adalah 16.0%. Gambar. 6.2.5. Cakupan Kelambunisasi, Riskesdas 2007 dan 2010
40 35 30 25 20
38.2
32.7 32.1
15 10 5
26.1
Berinsektisida 16.0 12.5 7.7
5.5
Balita
Semua umur
Semua kelambu
0
2007
Balita
Semua umur
2010
Dibandingkan dengan hasil Riskesdas 2007, terjadi penurunan cakupan total kelambunisasi dengan dan tanpa diproteksi insektisida (dari 32,1% menjadi 26,1%) dan khusus pada balita (dari 38,2% menjadi 32,7%) (Tabel.6.2.8). Sedangkan cakupan total kelambunisasi yang diproteksi insektisida dan khusus pada balita terjadi kenaikan yaitu dari 5,5% menjadi 12,5% dan dari 7,7% menjadi 16,0%.
87
Tabel 6.2.8 Cakupan kelambunisasi, Riskesdas 2007 dan 2010 Jenis Kelambu
Tahun 2007 Semua umur Balita
Kelambu dengan dan tanpa insektisida Kelambu dengan insektisida
Tahun 2010 Semua Balita umur
32,1
38,2
26,1
32.7
5,5
7,7
12,5
16,0
Penurunan cakupan total kelambunisasi dan khusus pada balita dapat disebabkan karena program lebih mengutamakan kelambu yang diproteksi insektisida sehingga meningkatkan cakupan total kelambu yang diproteksi insektisida dan khusus pada balita. Walaupun demikian cakupan kelambunisasi protektif dengan insektisida masih perlu ditingkatkan terutama di populasi dengan risiko malaria tinggi atau daerah endemis malaria dan khususnya pada kelompok khusus balita dan ibu hamil. Dari uraian di atas dapat disimpulkan: 1. Angka kesakitan malaria (API) nasional tahun 2010 adalah 2,4 persen, sedangkan API Jawa-Bali cukup tinggi yaitu 0,8 persen. Demikian pula Period Prevalence malaria pada tahun 2010 (10,7%) meningkat tajam dibandingkan pada tahun 2007 (2,85%). Angka Period Prevelence yang diagnosisnya berdasarkan pemeriksaan darah sama dengan Point Prevalence (0,6%) dengan pemeriksaan RDT yang dilakukan pada saat penelitian. 2. Pengobatan efektif malaria pada balita hanya 21,9 persen. 3. Cakupan kelambunisasi yang diproteksi dengan insektisida pada balita meningkat dari 7,7 persen pada tahun 2007 menjadi 16 persen pada tahun 2010.
88
6.3. TINGKAT PREVALENSI TUBERKULOSIS Riskesdas 2010 bertujuan untuk memberikan hasil antara lain Angka Prevalensi Nasional TB 2010 dan Proporsi pemanfaatan OAT DOTS oleh penderita TB yang merupakan salah satu komponen untuk memperoleh gambaran pemanfaatan Program Directly Observed Treatment of Short-course (DOTS) di Indonesia. Kedua data ini merupakan bagian dari target nomor 6 pada Millenium Development Goal’s (MDG’s) dan dapat memberikan gambaran mengenai tata laksana TB di Indonesia. Angka Prevalensi Nasional TB pada Riskesdas 2010 diperoleh dengan cara wawancara terstruktur menggunakan kuesioner Kesmas dimana kepada responden ditanyakan apakah dalam 12 bulan terakhir pernah didiagnosis menderita TB Paru melalui pemeriksaan dahak dan atau foto paru oleh tenaga kesehatan/nakes (dokter/perawat/bidan) untuk menentukan angka Prevalensi Nasional TB berdasarkan diagnosis (D). Kepada responden juga ditanyakan apakah dalam 12 bulan terakhir pernah menderita batuk berdahak = 2 minggu disertai satu atau lebih gejala: dahak bercampur darah/ batuk berdarah, berat badan menurun, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, dan demam > 1 bulan untuk menentukan angka Prevalensi Nasional TB berdasarkan gejala (G). Definisi operasional untuk Prevalensi TB menurut WHO adalah Angka penderita TB Paru positif pada 100.000 populasi berusia 15 tahun atau lebih. Sementara definisi operasional untuk TB Paru positif menurut International Standard for TB Care (ISTC) yang telah diadopsi oleh Indonesia mulai tahun 2006 adalah suspek TB yang telah positif diuji secara mikroskopis BTA (Bakteri Tahan Asam) apusan dahaknya dengan minimal pembacaan terhadap apusan dahak yang dikumpulkan dua kali atau lebih baik tiga kali (sewaktu, pagi, sewaktu) dan paling sedikit satu kali (pagi). Pada Riskesdas 2010 berdasarkan diagnosis nakes (D) adalah sebesar 0,7 persen sementara berdasarkan gejala (G) adalah sebesar 2,7 persen. Angka Prevalensi Nasional TB hasil gabungan D dan G (DG) menjadi 3,3 persen. Bila mengacu pada definisi operasional WHO dan ISTC maka data prevalensi yang mendekati kenyataan adalah data yang berasal dari diagnosis nakes (D), yaitu sebesar 0,7 persen. Prevalensi Nasional TB (D) cenderung meningkat sesuai dengan bertambahnya usia dimana angka tertinggi berada pada kelompok usia 55-64 tahun (1,3%) dan terendah pada kelompok usia 15-24 (0,3%). Prevalensi penderita laki-laki adalah 0,8 persen dan perempuan 0,6 persen dengan prevalensi penderita yang berada di kota sama dengan di desa sebesar 0,7 persen, serta juga menunjukkan kecenderungan menurun dengan semakin meningkatnya tingkat pendidikan dimana prevalensi paling rendah terdapat pada tingkat pendidikan tamat SMA (Tabel 6.3.1). Prevalensi TB tertinggi berdasarkan jenis pekerjaan ditemukan pada kelompok pekerjaan Petani, Nelayan dan Buruh sebesar 0,9 persen dan terendah pada kelompok Sekolah dan POLRI/TNI/Pegawai sebesar 0,4 persen. Berdasarkan tingkat pengeluaran perkapita prevalensi TB yang berdasarkan diagnosa tenaga kesehatan didapati prevalensi terendah pada kuintil 5 (0,6%) dan tertinggi pada kuintil 3 dan 4
89
(0,8%). Sedangkan angka prevalensi TB berdasarkan diagnosa dan gejala (DG) didapati prevalensi tertinggi pada kuintil 1(3,5%) dan terendah pada kuintil 5 (3,9%) (Tabel 6.3.1). Tabel 6.3.1 Prevalensi TBC menurut Karakteristik Responden, Riskesdas 2007 Prevalensi 2007(%) D DG
Karakteristik Responden
Prevalensi 2010 (%) D DG
Kelompok umur (tahun) 15-24 0,21 0,60 0,3 2,6 25-34 0,32 0,83 0,6 2,8 35-44 0,44 1,10 0,7 3,1 45-44 0,59 1,45 0,9 3,7 55-64 0,70 1,91 1,3 4,7 65-74 1,08 2,62 1,2 4,7 >74 1,10 2,75 1,1 5,1 Jenis kelamin Laki-laki 0,44 1,08 0,8 3,1 Perempuan 0,35 0,90 0,6 2,4 Tipe Daerah Perkotaan 0,36 0,77 0,7 3,1 Perdesaan 0,42 1,12 0,7 2,4 Pendidikan Tidak pernah sekolah 0,88 2,42 1,1 4,9 Tidak tamat SD/MI 0,53 1,46 1,0 4,7 Tamat SD/MI 0,39 1,02 0,9 3,7 Tamat SLTP/MTS 0,31 0,73 0,6 2,7 Tamat SLTA/MA 0,29 0,62 0,5 2,3 Tamat PT 0,27 0,60 0,6 1,8 Pekerjaan Tidak bekerja 0,62 1,40 0,8 3,2 Sekolah 0,18 0,49 0,4 2,5 TNI/ Polri/Pegawai 0,27 0,56 0,4 2,1 Wiraswata/ Layan Jasa/ Dagang 0,42 0,89 0,7 2,8 Petani/Nelayan/Buruh 0,55 1,60 0,9 4,2 Lainnya 0,49 1,17 0,7 3,1 Tingkat pengeluaran per kapita Kuintil 1 0,40 1,07 0,7 3,5 Kuintil 2 0,43 1,07 0,7 3,4 Kuintil 3 0,42 1,01 0,8 3,4 Kuintil 4 0,38 0,94 0,8 3,1 Kuintil 5 0,34 0,82 0,6 2,9 Data Prevalensi Nasional TB hasil Riskesdas 2007 tidak dapat dibandingkan dengan data Prevalensi Nasional TB hasil Riskesdas 2010. Hal ini disebabkan karena penentuan sampel BS pada Riskesdas 2007 berbeda dengan Riskesdas 2010 serta pertanyaan mencakup data diagnosa dan gejala pada kuisioner terstruktur juga berbeda. Menjadi catatan bahwa dengan ruang lingkup pertanyaan yang lebih rinci pada Riskesdas 2010 angka Prevalensi Nasional TB menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan.
90
Tuberkulosis Paru klinis tersebar di seluruh Indonesia dengan prevalensi 12 bulan terakhir adalah 0,7 persen. Beberapa provinsi memiliki prevalensi di atas angka nasional, yaitu tertinggi di Provinsi Papua (1,5%), diikuti oleh Provinsi Sulawesi Utara (1,3%) dan Banten (1,3%) serta angka terendah terdapat di Provinsi Sumatera Selatan, Lampung, DIY dan Bali (0,3%), hal ini dapat dilihat pada grafik 6.3.1 di bawah ini. Grafik 6.3.1 Prevalensi TB Berdasarkan Provinsi pada Riskesdas 2010
Perbedaan Angka Prevalensi TB pada Riskesdas 2007 dan 2010 dapat dilihat pada tabel 6.3.2 di bawah ini. Data WHO Global Report yang dicantumkan pada Laporan Triwulan Sub Direktorat Penyakit TB dari Direktorat Jenderal P2&PL tahun 2010 menyebutkan estimasi kasus baru TB di Indonesia tahun 2006 adalah 275 kasus/100.000 penduduk/tahun (0,275%) dan pada tahun 2010 turun menjadi 244 kasus/100.000 penduduk/tahun (0,244%). Data ini diperoleh berdasarkan hasil laporan dari fasilitas kesehatan yang tergabung dalam program DOTS di seluruh Indonesia. Data prevalensi sebelumnya yang menggunakan uji konfirmasi laboratorium adalah data Prevalensi Nasional hasil Survey Prevalensi TB pada tahun 2004 yang memberikan angka prevalensi Nasional TB berdasarkan pemeriksaan mikroskopis BTA terhadap suspek adalah sebesar 104 kasus/ 100.000 penduduk (0,104%). Kecendrungan meningkatnya angka Prevalensi Nasional TB bila dibandingkan antara hasil Survei Prevalensi TB 2004 (0,1% terhadap suspek) dan hasil Riskesdas 2010 (0,7% pada populasi) dapat hendaknya menjadi perhatian yang serius bagi Program TB di Indonesia. Meskipun terjadi peningkatan Case Detection Rate dan Cure Rate yang tinggi setiap tahunnya tetapi percepatan penyebaran penyakit di masyarakat masih lebih tinggi. Metode active case
91
finding terhadap populasi usia 15 tahun ke atas yang diterapkan pada Riskesdas 2010 memberikan kenyataan tentang hal ini dimana kasus TBC di masyarakat masih sangat tinggi. Tabel 6.3.2 Prevalensi TB Berdasarkan Provinsi pada Riskesdas 2007 dan 2010 PROVINSI
Prevalensi 2007(%)
Prevalensi 2010 (%)
Nanggroe Aceh Darussalam
D 0,73
DG 1,45
D 0,6
DG 3,1
Sumatera Utara
0,18
0,48
0,5
3,4
Sumatera Barat
0,37
1,03
0,7
5,4
Riau
0,42
1,00
0,4
2,4
Jambi
0,34
0,75
0,6
5,2
Sumatera Selatan
0,25
0,40
0,3
2,0
Bengkulu
0,33
0,86
0,8
4,7
Lampung
0,11
0,31
0,3
2,0
Bangka Belitung
0,12
0,49
0,6
4,2
Kepulauan Riau
0,38
0,83
0,4
3,6
DKI Jakarta
0,71
1,26
1,0
3,1
Jawa Barat
0,56
0,98
0,9
3,4
Jawa Tengah
0,63
1,47
0,7
2,6
DI Yogyakarta
0,36
1,58
0,3
2,4
Jawa Timur
0,24
1,54
0,6
2,3
Banten
1,13
2,01
1,3
4,1
Bali
0,29
0,53
0,3
1,6
Nusa Tenggara Barat
0,43
1,07
0,9
3,7
Nusa Tenggara Timur
0,40
2,05
0,4
7,6
Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan
0,43 0,38 0,47
0,82 0,69 1,36
1,0 0,4 0,8
3,4 4,6 4,9
Kalimantan Timur
0,34
1,02
0,8
3,3
Sulawesi Utara
0,21
0,62
1,3
4,7
Sulawesi Tengah
0,31
1,22
0,6
5,8
Sulawesi Selatan
0,23
1,03
0,6
5,2
Sulawesi Tenggara
0,31
1,00
0,4
2,5
Gorontalo
0,24
1,11
1,2
7,8
Sulawesi Barat
0,23
0,58
0,7
2,7
Maluku
0,15
0,47
0,9
4,6
Maluku Utara
0,19
0,47
0,5
3,5
Papua Barat Papua
1,02 1,89
2,55 1,73
0,7 1,5
7,9 5,0
Indonesia
0,4
0,99
0,7
3,3
92
Grafik 6.3.2 Data Prevalensi Nasional TB Indonesia dalam persen
0.3 0.25 0.2 0.275 0.15 0.1
0.244
0.104
0.05 0 2004
2006
2010
Indonesia telah mengadopsi program DOTS dari tahun 1994 dimana terdapat lima komponen dan strategi utama DOTS yang direkomendasikan untuk penanggulangan TB yaitu: Komitmen politik, Pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya, Pengobatan jangka pendek yang standar bagi semua kasus TB dengan tatalaksana kasus yang tepat, termasuk pengawasan langsung pengobatan serta Jaminan ketersediaan OAT yang bermutu diikuti Sistem pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program secara keseluruhan. Penurunan prevalensi TB sangat tergantung pada implementasi program DOTS di lapangan, terutama penemuan kasus, kecepataan diagnosis (diagnosis dini) dan terapi pengobatan yang dilakukan. Proporsi jumlah penderita TB yang memanfaatkan OAT DOTS diperoleh dari wawancara terstruktur menggunakan kuesioner Kesmas dimana pada responden yang telah didiagnosis TB oleh nakes dalam 12 bulan terakhir ditanyakan “apakah jika berobat, jenis obat yang digunakan adalah Kombipak/FDC (Fixed Doses Combination) atau non Kombipak/FDC?”. Definisi operasional untuk obat Kombipak terdiri atas: Kombipak I dan Kombipak II untuk fase awal; Kombipak III untuk fase lanjutan; Kombipak IV untuk fase sisipan. OAT Kombipak untuk program TB jangka pendek selama 2 bulan adalah Isoniazid (H); Rifampisin (R); Pirazinamid (Z); Streptomisin (S); dan Ethambutol (E). Fase lanjutan adalah INH dan Rifampicin yang diberikan selama 4 bulan. Pemberian INH dan Etambutol selama 6 bulan merupakan paduan alternatif untuk fase lanjutan pada kasus yang keteraturannya tidak dapat dinilai tetapi terdapat angka kegagalan dan kekambuhan yang tinggi dihubungkan dengan pemberian alternatif tersebut.11 Definisi operasional untuk OAT Fixed dose combination terbagi atas 2 obat yaitu INH dan Rifampisin; 3 obat yaitu INH, Rifampisin, pirazinamid; dan 4 obat yaitu INH, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol. Pemberian OAT adalah berdasarkan Berat Badan. Pada Riskedas 2010, Persentase Pemanfaatan Program DOTS diperoleh dari data diagnosis oleh nakes (D) yang digabungkan dengan data pemanfaatan OAT DOTS (Kombipak atau Fixed
93
Dose Combination) pada responden TB dalam 12 bulan terakhir. Hasil Riskesdas 2010 untuk Persentase Pemanfaatan OAT DOTS adalah sebesar 83,2 persen. Grafik 6.3.1 Proporsi Kasus TB Yang Diobati OAT Program DOTS pada Riskesdas 2010
26.8 83.2
OBAT DOTS NON DOTS
Hasil ini bila dibandingkan dengan laporan cakupan DOTS sebesar 66,25 persen (91% keberhasilan OAT DOTS terhadap 72.8% deteksi kasus pada tahun tahun 2008) menunjukkan terjadi peningkatan pemanfaatan OAT DOTS di masyarakat sebesar hampir 10 persen. Data ini ini sejalan dengan informasi yang diberikan Subdit TB P2&PL tentang meningkatnya keterlibatan rumah sakit dalam program TB DOTS, termasuk pemberian dukungan dan pelaksanaan Standar Internasional untuk Pelayanan TB (ISTC = International Standard for Tuberculosis Care) yang semakin ditingkatkan dari tahun ke tahun dengan memperkuat jejaring eksternal dan internal. Keterlibatan institusi lainnya dalam penanggulangan TB sampai dengan 2009 adalah 13 persen pada Lapas/Rutan, 10 persen pada TB di tempat kerja dan pada RS Angkatan Darat sebanyak 35 persen yang dilibatkan melaksanakan penanggulangan TB menggunakan strategi DOTS. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, Prevalensi TB berdasarkan pengakuan
responden yang diagnosis tenaga kesehatan secara nasional sebesar 0.7 persen dimana terjadi peningkatan Angka Prevalensi dibandingkan dengan Riskesdas 2007 (0,4%). Prevalensi TB berdasarkan pengakuan responden yang diagnosis tenaga kesehatan menurut provinsi yang tertinggi adalah Provinsi Papua Barat (1,5%) dan terendah Provinsi Lampung, DIY, Bali, dan Sumatera Selatan (0,3). Prevalensi tertinggi pada kelompok umur 45-54 tahun (0,9%) sedangkan terendah pada kelompok umur 15-24 tahun (0,3%). Berdasarkan jenis kelamin prevalensi pada laki-laki sebesar 0,8 persen dan pada perempuan 0,6 persen. Berdasarkan pendidikan prevalensi tertinggi pada kelompok yang tidak pernah sekolah sebesar 1,1 persen dan terendah pada kelompok tamat SMA sebesar 0,5 persen. Berdasarkan pekerjaan prevalensi tertinggi dapat ditemukan pada kelompok dengan pekerjaan pertani, nelayan, dan buruh sebesar 0,9 persen dan terendah pada kelompok yang sedang sekolah dan kelompok 94
dengan pekerjaan TNI/Polri/Pegawai sebesar 0,4 persen. Sedangkan berdasarkan tingkat pengeluaran per kapita prevalensi TB tertinggi ditemui pada kuintil 3 dan 4 (0,8%) dan terendah pada kuintil 5 (0,6%). Persentase pemanfaatan OAT DOTS hasil Riskesdas 2010 adalah sebesar 83,2 persen. Angka ini bila dibandingkan dengan laporan cakupan DOTS sebesar 66,25 persen (91% keberhasilan OAT DOTS terhadap 72.8% deteksi kasus pada tahun tahun 2008) menunjukkan terjadi peningkatan pemanfaatan OAT DOTS di masyarakat sebesar hampir 10 persen
95
5.Goal 7 – MDG Air Minum dan Sanitasi layak Target Menurunkan hingga separuhnya penduduk tanpa akses terhadap air minum layak dan sanitasi dasar pada 2015 Indikator yang dipantau: 1. Proporsi rumahtangga dengan akses berkelanjutan terhadap air minum layak 2. Proporsi rumahtangga dengan akses berkelanjutan terhadap sanitasi dasar 1. AKSES AIR MINUM Dalam goals 7 (Menjamin kelestarian lingkungan hidup) target 10 (menurunkan separuh proporsi penduduk tanpa akses terhadap sumber air minum yang aman dan berkelanjutan serta fasilitas sanitasi dasar pada 2015) terdapat 2 indikator pemantau pencapaian target, yaitu proporsi penduduk atau rumahtangga dengan akses terhadap sumber air minum yang terlindungi dan berkelanjutan dan proporsi penduduk atau rumahtangga dengan akses terhadap fasilitas sanitasi yang layak. Dalam memantau akses air minum dapat digunakan 3 pendekatan, yaitu akses terhadap air perpipaan, akses terhadap sumber air minum terlindung, dan akses terhadap penyediaan air minum. a. Akses terhadap air perpipaan Dalam laporan MDGs 2007 dan 2009, akses terhadap air perpipaan digunakan sebagai salah satu indikator akses terhadap air minum. Indikator ini terdiri dari 3 jenis, air perpipaan terlindung, non perpipaan terlindung dan sumber air tak terlindung. Air perpipaan terlindung bersumber dari air leding, air non-perpipaan terlindung berasal dari air kemasan, sumur pompa, sumur gali terlindung, mata air terlindung, dan air hujan. Sedangkan sumber air tidak terlindung yaitu sumur tidak terlindung, mata air tidak terlindung, dan air sungai, air isi ulang dan lainnya. Hasil Riskesdas 2010 proporsi rumahtangga yang menggunakan air perpipaan terlindung, nonperpipaan terlindung dan sumber air tak terlindung disajikan dalam tabel 7.1 dan tabel 7.2.
96
Tabel 7.1. Proporsi rumahtangga yang akses pelayanan air minum layak menurut provinsi, Riskesdas 2010 Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua Indonesia
NonNon Perpipaan Perpipaan Perpipaan Tdk Terlindung Terlindung* Terlindung** 48.89 9.30 41.81 25.55 24.40 50.05 40.10 21.79 38.11 40.44 2.02 57.54 39.03 15.72 45.24 40.85 12.00 47.15 37.48 13.87 48.65 32.90 5.41 61.69 47.97 0.85 51.19 54.27 8.09 37.65 29.28 18.29 52.43 27.23 11.19 61.59 15.09 21.77 63.14 16.47 8.93 74.60 18.43 15.41 66.16 34.95 7.39 57.66 20.21 35.15 44.64 25.04 15.22 59.74 18.19 44.79 37.02 29.64 5.01 65.35 51.58 14.89 33.53 37.18 29.61 33.22 43.00 27.25 29.75 42.72 18.06 39.22 34.43 17.76 47.81 36.50 17.51 45.99 21.75 33.96 44.28 14.34 19.16 66.50 27.96 8.26 63.78 38.59 17.45 43.96 27.39 21.58 51.03 43.16 18.20 38.64 40.41 16.98 42.61 27.17
16.14
56.69
Keterangan: * Air ledeng ** Sumur pompa, sumur gali terlindung, mata air terlindung, air hujan, air kemasan
97
Tabel 7.2. Proporsi rumahtangga yang akses pelayanan air minum layak menurut kualifikasi daerah dan kuintil pengeluaran rumahtangga, Riskesdas 2010 Non Perpipaan Perpipaan Non-Perpipaan Tdk Terlindung Terlindung* Terlindung** Daerah Perkotaan Perdesaan Pengeluaran Quintil-1 Quintil-2 Quintil-3 Quintil-4 Quintil-5
26.25 28.15
20.86 11.10
52.89 60.75
27.63 24.93 25.30 27.49 30.55
12.38 15.28 16.98 18.75 17.47
59.99 59.79 57.72 53.76 51.99
Keterangan: * Air ledeng ** Sumur pompa, sumur gali terlindung, mata air terlindung, air hujan, air kemasan
Dari tabel di atas menunjukkan proporsi rumahtangga yang menggunakan air perpipaan terlindung sebesar 16,14 persen, tertinggi di Provinsi Sulawesi Tenggara (44,79%) dan terendah di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (0,85%). Sedangkan sarana non perpipaan terlindung secara nasional adalah 56,69 persen, tertinggi di Provinsi Gorontalo (66,50%) dan terendah di Provinsi Kalimantan Timur (29,75%). Bila sarana perpipaan terlindung dan non perpipaan terlindung dijumlahkan, maka secara nasional terdapat 72,83 persen yang akses terhadap terhadap pelayanan air minum layak, tertinggi di Provinsi Jawa Tengah 84,91 persen dan terendah di Provinsi Kepulauan Riau (45,74%). Bila dibandingkan data tahun 2009, angka tersebut mengalami sedikit peningkatan seperti terlihat dalam gambar berikut.
98
Gambar 7.1. Proporsi Penduduk dengan Akses Air Minum Layak (Penduduk dengan Akses Pelayanan Air Minum Perpipaan dan Non-Perpipaan Terlindungi), 1992-2010 (%).
72,73 56,69
16,14
b. Akses terhadap air terlindung dan berkelanjutan (layak) Sesuai dengan Buku Saku MDGs, Tujuan Pembangunan Milenium mutlak dicapai 2015, air minum terlindung adalah air leding, air hujan, pompa, sumur terlindung dan mata air terlindung yang jaraknya lebih dari 10 meter dari tempat penampungan kotoran/tinja. Sumber air terlindung tidak termasuk air kemasan, yang dijual melalui tangki/air isi ulang, air sumur dan mata air tidak terlindung. Dari hasil Riskesdas 2010 diketahui proporsi rumahtangga yang akses terhadap sumber air minum terlindung dan berkelanjutan (layak) 45,27%. Proporsi rumahtangga yang akses terhadap sumber air minum terlindung dan berkelanjutan menurut provinsi, tempat tinggal dan kuintil pengeluaran rumahtangga disajikan pada tabel tabel 7.3 dan tabel 7.4.
99
Tabel 7.3. Proporsi rumahtangga yang akses terhadap air minum terlindung dan berkelanjutan menurut provinsi, Riskesdas 2010 Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua Indonesia
Tidak Layak 68.86 46.37 54.31 60.25 55.26 60.12 65.90 63.92 71.70 69.87 74.02 60.39 43.95 51.42 53.12 71.99 43.92 56.35 24.53 37.40 61.96 52.95 51.61 60.17 53.13 51.32 32.79 35.05 46.43 48.10 47.76 50.63 51.49 54.73
Layak*) 31.14 53.63 45.69 39.75 44.74 39.88 34.10 36.08 28.30 30.13 25.98 39.61 56.05 48.58 46.88 28.01 56.08 43.65 75.47 62.60 38.04 47.05 48.39 39.83 46.87 48.68 67.21 64.95 53.57 51.90 52.24 49.37 48.51 45.27
*) Air ledeng, air hujan, pompa/sumur terlindung/mata air terlindung dengan jarak >=10 m dari penampungan kotoran, tidak termasuk air kemasan dan isi ulang
100
Tabel 7.4. Proporsi rumahtangga yang akses terhadap air minum terlindung dan berkelanjutan menurut karakteristik rumahtangga, Riskesdas 2010 Karakteristik Rumahtangga Tempat tinggal Perkotaan Perdesaan Tingkat Pengeluaran Per Kapita Kuintil-1 Kuintil-2 Kuintil-3 Kuintil-4 Kuintil-5
Tidak Layak
Layak*)
58.36 50.87
41.64 49.13
51.86 51.02 52.16 54.68 64.20
48.14 48.98 47.84 45.32 35.80
*) Air ledeng, air hujan, pompa/sumur terlindung/mata air terlindung dengan jarak >=10 m dari penampungan kotoran, tidak termasuk air kemasan dan isi ulang
Dari tabel di atas tampak bahwa daerah dengan akses terhadap sumber air minum terlindung paling tinggi adalah Provinsi Nusa Tenggara Timur (75.47%) dan terendah di Provinsi Nangroe DKI Jakarta (25,98%). Menurut tempat tinggal, akses terhadap sumber air minum yang layak di perkotaan lebih rendah (41,64%) dibandingkan dengan di perdesaan (49,13%). Sedangkan menurut kuintil pengeluaran rumahtangga menunjukkan ada kecenderungan semakin tinggi kuintil pengeluaran rumahtangga semakin rendah proporsi rumahtangga yang akses terhadap sumber air minum yang layak. c. Akses terhadap pelayanan air minum Menurut Joint Monitoring Programm WHO-Unicef (JMP WHO/Unicef), dikatakan akses terhadap penyediaan air bila minimal menggunakan air 20 liter per orang per hari, berasal dari sumber air ’improved’, dan sarana air berada dalam radius 1 kilometer dari rumah. Yang termasuk sumber air ’improved’ adalah sambungan kran air dalam rumah, kran umum, sumur bor, sumur gali terlindung, mata air terlindung, dan penampungan air hujan. Sumber air ’improved’ tidak termasuk air yang dijual keliling, air kemasan/botol, dan air yang dijual melalui truk. Dari hasil Riskesdas 2010 diketahui proporsi rumahtangga yang akses terhadap sumber air minum terlindung adalah 53,80 persen. Proporsi rumahtangga yang akses terhadap sumber air minum terlindung menurut provinsi, kualifikasi daerah dan kuintil pengeluaran rumahtangga disajikan pada tabel 7.5 dan tabel 7.6.
101
Tabel 7.5. Proporsi rumahtangga yang akses terhadap air minum terlindung menurut provinsi, Riskesdas 2010 Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua Indonesia
Tidak Akses 58.06 47.31 50.79 53.52 55.18 57.81 41.98 41.47 69.37 66.45 72.13 44.87 29.75 30.17 40.99 58.78 47.30 40.49 55.53 61.93 68.89 52.81 56.22 57.31 45.41 50.60 41.39 35.23 46.86 51.49 39.49 54.13 57.67 46.20
Akses*) 41.94 52.69 49.21 46.48 44.82 42.19 58.02 58.53 30.63 33.55 27.87 55.13 70.25 69.83 59.01 41.22 52.70 59.51 44.47 38.07 31.11 47.19 43.78 42.69 54.59 49.40 58.61 64.77 53.14 48.51 60.51 45.87 42.33 53.80
*) Konsumsi air >=20 liter/orang/hari, berasal dari sumber air ‘improved’ dalam radius 1 km.
102
Tabel 7.6. Proporsi rumahtangga yang akses terhadap air minum terlindung menurut karakteristik rumahtangga, Riskesdas 2010 Karakteristik Rumahtangga Tempat tinggal Perkotaan Perdesaan Pengeluaran Kuintil-1 Kuintil-2 Kuintil-3 Kuintil-4 Kuintil-5
Akses Kurang
Akses Baik
47.90 44.38
52.10 55.62
47.25 40.49 40.74 44.63 58.07
52.75 59.51 59.26 55.37 41.93
*) Konsumsi air >=20 liter/orang/hari, berasal dari sumber air ‘improved’ dalam radius 1 km.
Dari tabel di atas tampak bahwa daerah dengan akses terhadap sumber air minum terlindung menurut JMP WHO/Unicef paling tinggi adalah Provinsi Jawa Tengah (70,25%) dan terendah di Provinsi DKI Jakarta (27,87%). Menurut kualifikasi daerah, akses terhadap sumber air terlindung sedikit lebih tinggi di perdesaan (55,62%) dibandingkan dengan di perkotaan (52,10%). Sedangkan menurut kuintil pengeluaran rumahtangga tidak menunjukkan pola yang jelas. Akses terhadap penyediaan air dengan memperhatikan volume pemakaian dan jarak rumah ke sumber air ini mengalami penurunan bila dibandingkan hasil Riskesdas 2007, dari 57,70 persen pada tahun 2007 menjadi 53,80 persen pada tahun 2010.
2. AKSES TERHADAP SANITASI LAYAK Dalam memantau akses terhadap fasilitas sanitasi layak digunakan indikator penggunaan sarana pembuangan kotoran (jamban) yang meliputi pemilikan, jenis kloset dan sarana pembuangan akhir tinja. Dikatakan layak apabila sarana tersebut milik sendiri atau bersama, kloset jenis leher angsa dan pembuangan akhir tinjanya ke tangki septik atau SPAL. Dalam Riskesdas 2010, pilihan jawaban pembuangan akhir tinja dipisah antara tangki septik dan SPAL, sedangkan pada Susenas masih digabung (Tangki septik/SPAL). Hasil Riskesdas 2010 proporsi penduduk atau rumahtangga yang akses terhadap fasilitas sanitasi layak disajikan dalam tabel 7.7 dan tabel 7.8.
103
Tabel 7.7. Proporsi penduduk atau rumahtangga yang akses terhadap fasilitas sanitasi layak menurut provinsi, Riskesdas 2010 Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua Indonesia
Tidak Layak 47.51 42.37 59.00 46.62 49.91 52.60 42.47 53.00 45.11 31.12 17.17 45.77 41.11 20.82 45.70 38.79 28.11 57.13 74.65 57.49 64.10 49.09 34.28 33.72 55.43 39.18 54.37 64.68 64.42 49.01 49.44 48.71 53.62 44.47
Layak*) 52.49 57.63 41.00 53.38 50.09 47.40 57.53 47.00 54.89 68.88 82.83 54.23 58.89 79.18 54.30 61.21 71.89 42.87 25.35 42.51 35.90 50.91 65.72 66.28 44.57 60.82 45.63 35.32 35.58 50.99 50.56 51.29 46.38 55.53
*) Penggunaan sendiri dan bersama, kloset jenis leher angsa, pembuangan akhir tinja menggunakan tangki septik atau SPAL.
104
Tabel 7.8. Proporsi penduduk atau rumahtangga yang akses terhadap fasilitas sanitasi layak menurut tempat tinggal dan kuintil pengeluaran rumahtangga, Riskesdas 2010 Karakteristik Rumahtangga
Akses Terhadap Fasilitas Sanitasi Tidak Layak
Tempat Tinggal Perkotaan Perdesaan Tingkat Pengeluaran per Kapita Kuintil-1 Kuintil-2 Kuintil-3 Kuintil-4 Kuintil-5
Layak
28.55 61.45
71.45 38.55
67.79 53.48 44.42 33.58 22.04
32.21 46.52 55.58 64.42 77.96
*) Penggunaan sendiri dan bersama, kloset jenis leher angsa, pembuangan akhir tinja menggunakan tangki septik atau SPAL.
Dari tabel di atas tampak bahwa akses penduduk atau rumahtangga terhadap fasilitas sanitasi layak sebesar 55,53 persen, paling tinggi adalah Provinsi DKI Jakarta (82,83%) dan terendah di Provinsi Nusa Tenggara Timur (25,35%). Menurut kualifikasi daerah, akses terhadap fasilitas sanitasi layak di perkotaan hampir dua kali lipat (71,45%) dibandingkan dengan di perdesaan (38,55%). Sedangkan menurut kuintil pengeluaran rumahtangga, semakin tinggi penghasilan semakin tinggi pula yang akses terhadap fasilitas sanitasi yang layak. 3. Penggunaan bahan bakar memasak Dalam goals 7 (Menjamin kelestarian lingkungan hidup) target 9 (memadukan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dengan kebijakan dan program nasional serta mengembalikan sumber daya lingkungan yang hilang) terdapat 6 indikator untuk memantau pencapaian target, 1 diantaranya adalah proporsi penduduk atau rumahtangga menggunakan bahan bakar padat untuk memasak. Yang dimaksud dengan bahan bakar padat adalah kayu bakar, arang, batu bara, sekam, batang padi, tandan kelapa, batok kelapa dan lain-lain. Indikator yang dikumpulkan dalam Riskesdas 2010 ini berkaitan dengan kesehatan, yaitu terjadinya polusi dalam ruangan (indoors air pollution) yang dapat menyebabkan penyakit saluran pernafasan. Hasil Riskesdas 2010 proporsi rumahtangga yang menggunakan bahan bakar padat disajikan dalam tabel 7.9 dan tabel 7.10.
105
Tabel 7.9. Proporsi rumahtangga yang menggunakan bahan bakar padat menurut provinsi, Riskesdas 2010 Listrik, gas dan minyak tanah 62.59 63.25 47.99 72.23 52.60 59.85 43.74 30.59 76.40 88.77 99.40 71.14 52.21 60.98 57.01 72.01 58.09 47.37 23.42 48.29 48.08 54.72 75.69 52.24 36.26 54.09 51.98 30.96 39.52 40.92 32.29 65.17 50.58 59.94
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua Indonesia
106
Arang, kayu bakar dll 37.41 36.75 52.01 27.77 47.40 40.15 56.26 69.41 23.60 11.23 0.60 28.86 47.79 39.02 42.99 27.99 41.91 52.63 76.58 51.71 51.92 45.28 24.31 47.76 63.74 45.91 48.02 69.04 60.48 59.08 67.71 34.83 49.42 40.06
Tabel 7.10. Proporsi rumahtangga yang menggunakan bahan bakar padat menurut tempat tinggal dan pengeluaran rumahtangga, Riskesdas 2010 Karakteristik rumahtangga Tempat tinggal Perkotaan Perdesaan Tingkat Pengeluaran RT Kuintil-1 Kuintil-2 Kuintil-2 Kuintil-2 Kuintil-2
Listrik, gas dan minyak tanah
Arang, kayu bakar dll
82.69 35.67
17.31 64.33
29.723 47.648 60.802 75.150 87.726
70.28 52.35 39.20 24.85 12.27
Dari tabel di atas menunjukkan terdapat 40,06% rumahtangga yang masih menggunakan bahan bakar padat untuk memasak, tertinggi di Provinsi NTT (76,58%) dan terendah di Provinsi DKI Jakata (0,60%). Secara nasional penggunaan bahan bakar padat ini mengalami penurunan cukup besar dibanding data tahun 2007 sebesar 53,9%. Menurut tempat tinggal, penggunaan bahan bakar padat di perkotaan hampir 4 kali lipat (64,33%) dari perdesaan (17,31%). Sedangkan menurut kuintil pengeluaran rumahtangga menunjukkan semakin tinggi penghasilan rumahtangga semakin sedikit yang menggunakan bahan bakar padat untuk memasak.
107
BAB IV. KESIMPULAN Dari hasil Riskesdas 2010, kesimpulan yang dapat diambil antara lain: Prevalensi balita kurang gizi (berat badan kurang) sebesar 18,0 persen diantaranya 4,9 persen dengan gizi buruk. Prevalensi tertinggi di Provinsi NTB (30,5%) dan terendah di Provinsi Sulut (10.6%). Sedangkan prevalensi balita pendek (stunting) sebesar 35,6 persen, teringgi di Provinsi NTT (58,4%) dan terendah di Provinsi Yogyakarta (22,5%). Dan prevalensi balita kurus (wasting) adalah 13,3 persen, dengan prevalensi tertinggi di Provinsi Jambi (20%), dan terendah di Bangka Belitung (7,6%). Sebanyak 40,6 persen penduduk mengonsumsi makanan dibawah 70% dari Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan tahun 2004. Keadaan ini banyak dijumpai pada anak usia sekolah (41,2%), remaja (54,5%), dan ibu hamil (44,2%). Proporsi tertinggi konsumsi <70% AKG dijumpai di NTB (46,6%), dan terendah di Bengkulu (23,7%). Cakupan imunisasi campak pada anak umur 12-23 bulan (74,5%) menurun dibandingkan tahun 2007 (81,6%). Cakupan imunisasi campak terbaik adalah di DI Yogyakarta (96,4%) dan terendah di Papua (47,4%). Proporsi penolong persalinan oleh tenaga kesehatan (82,3%) meningkat dibandingkan pada tahun 2007 (75,4%). Penolong persalinan oleh tenaga kesehatan masih rendah di provinsi Maluku Utara, Maluku, dan Papua Barat. Pemanfaatan Polindes/Poskesdes sebagai tempat persalinan hanya 1,5 persen. Pemanfaatan fasilitas kesehatan untuk persalinan oleh perempuan usia reproduktif adalah 59,4 persen. Pemanfaatan masih rendah di Sulawesi Tenggara (7,8%), Maluku Utara (8%) dan Sulawesi Tengah (12,1%). Pemeriksaan kehamilan dengan tenaga kesehatan sebesar 84 persen, hanya 2,8 persen tidak melakukan pemeriksaan kehamilan oleh tenaga kesehatan, dan 3,2 persen pemeriksaan masih dilakukan oleh dukun. Akses K1 oleh ibu hamil baik (92,8%), sedangkan K4 hanya 61,3 persen. Angka K1 dan K4 ini nampak menurun jika dibanding tahun 2007 ( SDKI). Proporsi pengguna KB pada perempuan pernah kawin menurun (53,9%) dibandingkan angka SDKI 2007 (57,9%). Angka terendah di Papua Barat (31,9%) dan tertinggi di Bali (64,3%). Jenis alat/cara KB yang dominan adalah suntikan. Masih ditemukan 19 persen perempuan pernah kawin usia reproduktif yang tidak menggunakan alat/cara KB dan 27,1 persen yang pernah ber KB sekarang tidak menggunakan. Umumnya pelayanan KB dilakukan oleh bidan praktek (52,5%), dan hanya 12 persen di Puskesmas, serta 4,1 persen di Polindes/Poskesdes. Proporsi unmet need sebesar 14,0 persen, tertinggi di Papua Barat (27,6%) dan terendah di Kalimantan Selatan (8,9%). Masalah lain yang ditemukan adalah persentase menikah pada usia di bawah 20 tahun masih cukup tinggi (46,4%). Prevalensi penduduk umur 15-24 tahun yang pernah mendengar tentang HIV/AIDS (75,0%) meningkat dibandingkan Riskesdas 2007 (63,2%). Prevalensi terendah ditemukan di Gorontalo (44,3%) dan tertinggi di provinsi DI.Yogyakarta (93,7%) Sedangkan prevalensi dengan pengetahuan komprehensif sebesar 18,5 persen, terendah di provinsi Gorontalo (8,5%) dan tertinggi di Bali (35,8%). . Angka kesakitan malaria (API) nasional tahun 2010 adalah 2,4 persen, sedangkan API Jawa-Bali cukup tinggi yaitu 0,8 persen. Demikian pula Period Prevalence malaria pada
108
tahun 2010 (10,7%) meningkat tajam dibandingkan pada tahun 2007 (2,85%). Angka Period Prevelence yang diagnosisnya berdasarkan pemeriksaan darah sama dengan Point Prevalence (0,6%) dengan pemeriksaan RDT yang dilakukan pada saat penelitian. Pengobatan efektif malaria dengan ACT pada balita hanya 21,9 persen. Cakupan kelambunisasi yang diproteksi dengan insektisida pada balita meningkat dari 7,7 persen pada tahun 2007 menjadi 16 persen pada tahun 2010. Prevalensi TB adalah 0.7 persen,, dan tertinggi di Provinsi Papua (1,5%) dan terendah Provinsi Sumatera Selatan, Lampung, DI Yogyakarta, dan Bali (0,3%). Sedangkan proporsi pemanfaatan OAT DOTS pada Riskesdas 2010 (83,2%) lebih baik dibandingkan dengan cakupan DOTS yang dilaporkan oleh P2PL tahun 2008 (66,25%) Proporsi rumahtangga yang menggunakan air non perpipaan terlindung (56,69%) lebih besar dibandingkan dengan perpipaan terlindung (16,14%). Sarana perpipaan dan non perpipaan terlindung yang akses terhadap sumber air terlindung adalah 72,83 persen, tertinggi di Provinsi Jawa Tengah (84,91%) dan terendah di Provinsi Kepulauan Riau (45,74%). Dari analisis Riskedas 2010 diketahui proporsi rumahtangga yang akses terhadap sumber air minum terlindung dan berkelanjutan (layak) adalah 45,27 persen.. Akses rumahtangga terhadap fasilitas sanitasi layak meningkat (55,53%) dibandingkan tahun 2009 (42,47%). Proporsi tertinggi ada di Provinsi DKI Jakarta (82,83%) dan terendah di Provinsi Nusa Tenggara Timur (25,35%).
109
LAMPIRAN 1. Inform Concent dan Persetujuan Setelah Penjelasan (PSP) 2. Kuesioner rumah tangga (RKD10.RT) 3. Kuesioner individu (RKD10.IND)
110
This document was created with Win2PDF available at http://www.daneprairie.com. The unregistered version of Win2PDF is for evaluation or non-commercial use only.