LAPORAN AKHIR NASKAH AKADEMIK PERATURAN PERUNDANGUNDANGAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG HAK KEKAYAAN INDUSTRI (PAKET PERUBAHAN UU NO. 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI, UU NO. 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DAN UU NO. 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK)
Disusun Oleh Tim Dibawah Pimpinan Dr. Cita Citrawinda, SH.,MIP
PUSAT PERENCANAAN PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM R.I. TAHUN 2011
KATA PENGANTAR
Berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor PHN-88-HN.01.03 Tahun 2011 tanggal 1 Maret 2011 telah dibentuk Tim Penyusunan Naskah Akademik Peraturan Perundangundangan RUU tentang Hak Kekayaan Industri (Paket Perubahan UU No.14 Tahun 2001 tentang Paten, UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek dan UU No. 31 Tahun 2000 tentang Desain industri), dengan susunan keanggotaan sebagai berikut: Ketua
: DR. Cita Citrawinda, SH, MIP
Sekretaris
: Masnur Tiurmaida Malau, SH, MH
Anggota
: 1. Gunawan Suryomurcito, SH.
Dalam
2.
Bambang Iriana Djadjaatmadja, SH., LL.M
3.
Rikson Sitorus, SH., CN., MH.
4.
Amirullah, SH., MH.
5.
Supriyatno, SH.,MH.
6.
Rahendrojati, SH.,MS.i
7.
Heru Bhaskoro, SH.,MH
8.
Dadang Iskandar, S.Sos
9.
Atiah
Penyusunan
Naskah
Akademik Peraturan
Perundang-
undangan RUU tentang tentang Hak Kekayaan Industri (Paket Perubahan UU No.14 Tahun 2001 tentang Paten, UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek dan UU No. 31 Tahun 2000 tentang Desain industri) tersebut Tim ditugaskan untuk menyusun Naskah Akademik Peraturan Perundang-undangan RUU tentang
i
tentang Hak Kekayaan Industri (Paket Perubahan UU No.14 Tahun 2001 tentang Paten, UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek dan UU No. 31 Tahun 2000 tentang
Desain industri) berupa rancangan ilmiah yang memuat gagasan
tentang perlunya materi-materi hukum yang bersangkutan diatur dengan segala aspek yang terkait, dilengkapi dengan referensi yang memuat konsepsi, landasan dan prinsip yang digunakan serta pemikiran tentang normanormanya, yang disajikan dalam bab-bab yang dapat merupakan sistematika suatu rancangan undang-undang. Hasil Naskah Akademik menunjukkan bahwa dari sejumlah kendala yang timbul dalam pelaksanaan UU No.14 Tahun 2001 tentang Paten, UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek dan UU No. 31 Tahun 2000 tentang Desain industri yang menjadi pokok permasalahan adalah, pertama
Apakah
pengaturan tentang Paten, Merek dan Desain Industri dalam satu undangundang tentang Hak Kekayaan Industri yang mencakup revisi Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 Tentang Paten, Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek, dan Undang-Undang No. 31 Tahun 2000 Tentang Desain lndustri dapat memberikan perlindungan yang lebih efektif dan efisien serta lebih meningkatkan perekonomian Indonesia, kedua, Hal-hal apa saja yang dapat dijadikan masukan dalam revisi Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 Tentang Paten, Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek, dan UndangUndang No.31 Tahun 2000 Tentang Desain lndustri menjadi materi muatan Rancangan Undang-Undang Hak Kekayaan Industri, ketiga, Apa yang menjadi pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis pembentukan
ii
Rancangan Undang-Undang Tentang Hak Kekayaan Industri dan keempat Apa sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan pembentukan Rancangan Undang-Undang Tentang Hak Kekayaan Industri. Dalam penyusunan Naskah Akademik ini dengan berdasarkan pada permasalahan, maka jangkauan atau arah pengaturan yang diusulkan dalam RUU tentang Perubahan atas Undang-undang No. 31 Tahun 2000 adalah membuat ketentuan mengenai definisi desain industri yang mengatur kreasi apa saja yang mendapat perlindungan dan yang tidak mendapat perlindungan dan kriteria syarat kebaruan suatu desain industri serta sistem pemeriksaan substantif yang harus dilaksanakan walaupun tidak ada keberatan yang diajukan terhadap aplikasi desain industri yang dimintakan pendaftarannya. Tim mengucapkan terimakasih kepada Badan Pembinaan Hukum Nasional yang telah memberikan kepercayaan untuk melaksanakan Kegiatan Penyusunan Naskah Akademik ini, dan terimakasih pula kepada pihak-pihak yang telah membantu sehingga dapat tersusun laporan ini.
Jakarta, November 2011 Ketua
DR. Cita Citrawinda, SH, MIP
iii
DAFTAR ISI Kata Pengantar
i
BAB I PENDAHULUAN
1
A. Latar Belakang
1
B. Identifikasi Masalah
15
C. Tujuan dan kegunaan Kegiatan Penyusunan Naskah Akademik
17
D. Metode
18
BAB II KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS PERLINDUNGAN HAK KEKAYAAN INDUSTRI
21
A. Kajian Teoretis
22
B. Kajian terhadap asas/prinsip yang terkait dengan penyusunan norma
28
C. Kajian terhadap Praktik Penyelenggaraan, kondisi yang ada, serta permasalahan yang dihadapi masyarakat
33
1. Implementasi Undang-undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten
35
2. Implementasi Undang-undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek
44
3. Implementasi Undang-undang No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri
52
D. Kajian terhadap implikasi penerapan sistem baru yang akan diatur dalam RUU Hak Kekayaan Industri terhadap aspek kehidupan masyarakat dan dampaknya terhadap aspek beban keuangan Negara
66
BAB III EVALUASI DAN ANALISIS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN, UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI A. Materi muatan dalam revisi Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 Tentang Paten, Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek dan Undang-Undang iv
71
No. 31 Tahun 2000 Tentang Desain lndustri, sebagai materi muatan Rancangan Undang-Undang Hak Kekayaan Industri
71
1. Permasalahan dalam Praktik Implementasi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten
71
2. Permasalahan dalam Praktik Implementasi Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek
75
3. Permasalahan dalam Implementasi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri B.
79
Kompilasi Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 Tentang Paten, Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek dan Undang-Undang No. 31 Tahun 2000 Tentang Desain lndustri
C.
86
Rancangan Undang-Undang tentang Hak Kekayaan Industri sebagai strategi dan politik hukum yang dapat memberikan perlindungan yang lebih efektif, efisien dan lebih meningkatkan perekonomian Indonesia
BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS
90 100
A. Landasan Filosofis
100
B. Landasan Sosiologis
103
C. Landasan Yuridis
109
BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN UNDANG-UNDANG HAK KEKAYAAN INDUSTRI
114
A. Arah dan Jangkauan Pengaturan Mengenai Perlindungan Hak Kekayaan Industri
114
B. Ruang Lingkup Materi Muatan Rancangan Undang-Undang Tentang Hak Kekayaan Industri
117 v
1. Materi Muatan untuk RUU tentang Perubahan Undang-undang Paten
117
2. Materi Muatan untuk RUU tentang Perubahan Undang-undang Merek
159
3. Materi Muatan Perubahan Undang-undang Desain Industri
182
BAB VI PENUTUP A.
Kesimpulan
212
B.
Saran
220
DAFTAR PUSTAKA
223
Lampiran Rancangan Peraturan perundang-undangan
vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa tujuan dibentuknya pemerintah negara Indonesia antara lain adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Pembukaan (Preambule) UUD 1945 tersebut mengandung banyak dimensi antara lain meliputi kemanusiaan, sosial, ekonomi, hukum dan tata pergaulan internasional yang harus dipelihara dan dikembangkan sesuai kebutuhan nasional. Pada zaman modern saat ini dapat dipahami bahwa globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas telah mempengaruhi perubahan yang sangat besar terhadap bidang hukum. Negara-negara di dunia yang terlibat dengan globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas, baik negara maju maupun sedang berkembang bahkan negara yang terbelakang harus membuat standarisasi hukum dalam kegiatan ekonominya. Globalisasi ekonomi semakin dikembangkan berdasarkan prinsip liberalisasi perdagangan (trade liberalization) atau perdagangan bebas (free trade) lainnya yang telah membawa pengaruh pada hukum setiap negara yang terlibat dalam globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas tersebut. Arus globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas sulit untuk ditolak dan harus diikuti karena globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas tersebut berkembang melalui perundingan dan perjanjian
internasional.1 Implikasi globalisasi ekonomi terhadap hukum tidak dapat dihindari karena globalisasi hukum mengikuti globalisasi ekonomi tersebut, secara substansi berbagai undang-undang dan perjanjian-perjanjian menyebar melampaui batasbatas negara (cross-border).2 Tepatlah pandangan Lawrence M. Friedman, yang menyatakan hukum itu tidak bersifat otonom, tetapi sebaliknya hukum bersifat terbuka setiap waktu terhadap pengaruh luar.3 Isu di bidang Hak Kekayaan Intelektual (disingkat HKI)4 merupakan isu yang sangat penting
karena
berkaitan
dengan
perdagangan
internasional
dan
pertumbuhan ekonomi suatu negara. Inovasi teknologi sebagaimana peningkatan kekuatan ekonomi sangat dibutuhkan bagi pertumbuhan masyarakat dan pengembangan industri. Inovasi teknologi dapat mendatangkan kemakmuran bagi kehidupan masyarakat, dan pengembangan teknologi mendorong pertumbuhan masyarakat. Hak Kekayaan Intelektual (HKI) atau Intellectual Property Rights (IPR) adalah istilah yang sangat luas yang menunjukkan suatu kelompok dari bidangbidang Hak Kekayaan Intelektual, terdiri dari Copyright and Related Rights, Trademarks, Geographical Indication, Industrial Design, Patents, Layout Designs of
1
2
3
4
John Braithwaite dan Peter Drahos, Global Business Regulation, (New York: Cambridge University Press, 2000), hal. 24-23. Erman Rajagukguk, “Globalisasi Hukum dan Kemajuan Teknologi: Implikasinya Bagi Pendidikan Hukum dan Pembangunan Hukum Indonesia,” pidato pada Dies Natalis Universitas Sumatera Utara Ke-44, Medan 20 Nopember 2001, hal. 4. Lawrence M. Friedman, Legal Culture and the Welfare State: Law and Society-An Introduction, (Cambridge, Massachusetts, London: Harvard University Press, 1990), hal. 89. Di Indonesia, untuk pertama kali istilah Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) digunakan sebagai istilah padanan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization yang digunakan dalam berbagai Undang-Undang yang mengatur jenis-jenis HAKI berikut peraturan pelaksanaannya yang disahkan dalam kurun waktu akhir 1980-an hingga akhir 1990-an, kemudian dalam perkembangannya sejak tahun 2000 berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman Nomor M.03.PR.07.10 Tahun 2000 dan juga dengan Persetujuan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No.24/M/PAN/1/2000 ditetapkan penggunaan istilah Hak kekayaan Intelektual (HKI).
2
Integrated Circuit, Protection of Undisclosed Information dan Control of Anti Competitive Practices in Contractual Licenses.5 Pada tanggal 15 April 1994 Pemerintah Indonesia menandatangani persetujuan akhir yang memuat hasil-hasil Perundingan Perdagangan Multilateral Putaran Uruguay (Uruguay Round of Multilateral Trade Negotiation) dan meratifikasi Persetujuan Pembentukan WTO (Agreement Establishing the World Trade Organization) dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 pada tanggal 2 November 1994, yang didalamnya memuat Lampiran Persetujuan Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (Persetujuan TRIPs) yang mengatur normanorma standar yang berlaku secara internasional tentang HKI. Persetujuan TRIPs memperjelas kedudukan perlindungan HKI sebagai isu-isu yang terkait di bidang perdagangan. Tujuannya adalah untuk memberi perlindungan HKI dan prosedur penegakan hak dengan menerapkan tindakan yang menuju perdagangan yang sehat. Bagian II dari Persetujuan TRIPs mengatur tentang obyek HKI secara luas,6 yaitu: 1. Hak cipta dan hak terkait (copyright and related rights) 2. Merek (trademarks) 3. Indikasi geografis (geographical indications) 4. Desain industri (industrial designs) 5. Paten (patents) 6. Desain tata letak sirkuit terpadu (layout-designs of Intergrated Circuits; dan 7. Perlindungan rahasia dagang (protection of undisclosed information)
5
Lihat Persetujuan TRIPs Lihat Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS Agreement) (1994). This Agreement constitutes Annex 1C of the Marrakesh Agreement Establishing the World Trdae Organization (hereinafter referred to as the “WTO Agreement”, which was concluded on April 15, 1994, and entered into force on January 1, 1995. The TRIPS Agreement binds all Members of the WTO (lihat Pasal II.2 Perjanjian WTO). 6
3
Di sisi lain, Persetujuan TRIPs juga mengatur tentang larangan praktek persaingan curang dan perjanjian lisensi. Secara konvensional HKI dibagi dalam 2 (dua) bagian, yaitu:7 1. Hak cipta (copyright); 2. Hak Kekayaan Industri (industrial property rights), yang mencakup: a. Paten (patent) b. Desain Industri (industrial design) c. Merek (trademark) d. Penanggulangan
praktik persaingan
curang (repression
of
unfair
competition) e. Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (layout design of integrated circuit) 3. Rahasia Dagang (trade secret). Sebagaimana dinyatakan dalam Persetujuan TRIPs bahwa “intellectual property rights are private rights”.8 Indonesia telah melakukan berbagai upaya dan langkah penyempurnaan untuk meningkatkan pengaturan HKI agar sesuai dengan prinsip-prinsip dan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Persetujuan TRIPs/WTO,9 dan khusus pada Naskah Akademik ini kajian dititikberatkan pada Paten, Merek dan Desain Industri, yaitu sebagai berikut:
7
Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia R.I., Buku Panduan Hak Kekayaan Intelektual (Tangerang: DJHKI, 2003), hal. 3. 8 Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights, including Trade in Counterfeit Goods. 9 Indonesia sebagai Negara berkembang telah diberi waktu transisi 5 tahun sejak berlakunya Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights/TRIPs (tanggal 1 Januari 1995) untuk mengimplementasikan Persetujuan TRIPs/WTO, yaitu sampai tahun 2000. Persetujuan TRIPs/WTO mulai berlaku efektif di Indonesia pada tanggal 1 Januari 2001.
4
1. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten10 (menggantikan UndangUndang Nomor 13/1997 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16/1989 Tentang Paten); 2. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek11 (menggantikan UndangUndang Nomor 14/1997 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 19/1992 Tentang Merek); dan 3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri.12 Dengan keikutsertaan Indonesia sebagai anggota WTO dan penandatangan Persetujuan TRIPs, Pemerintah Indonesia juga telah meratifikasi konvensi-konvensi atau traktat-traktat Internasional di bidang HKI13, sebagai berikut: 1. Paris Convention for the Protection of Industrial Property and Convention Establishing the World Intellectual Property Organization (Keputusan Presiden RI No. 15 Tahun 1997). 14 2. Patent Cooperation Treaty (PCT) and Regulation under the PCT (Keputusan Presiden RI No. 16 Tahun 1997). 3. Trademark Law Treaty (Keputusan Presiden RI No. 17 Tahun 1997).
10
Diundangkan pada tanggal 1 Agustus 2001, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4130. 11 Diundangkan pada tanggal 1 Agustus 2001, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 110, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4131. 12 Diundangkan pada tanggal 20 Desember 2000, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 243, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4045. 13 Direktorat Jenderal Hak atas Kekayaan Intelektual, Departemen Kehakiman RI dan JICA, Buku Panduan Tentang Hak atas Kekayaan Intelektual (Tangerang: DJ HKI, 1999). 14 Lihat Cita Citrawinda, Hak Kekayaan Intelektual - Tantangan Masa Depan (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003) hal. 17-18 bahwa Konvensi Paris merupakan konvensi bagi perlindungan Hak Milik Industri, dan Indonesia pertama kali meratifikasi Konvensi Paris versi Stockholm 1967 yaitu pada tahun 1979 melalui Keputusan Presiden Nomor 24 tanggal 10 Mei 1979, namun menyatakan: “Republic of Indonesia declares that its ratification shall not apply to Article 1 to 12 of the Convention.” Dengan diratifikasinya kembali Konvensi Paris pada tanggal 7 Mei 1997, maka reservasi terhadap Pasal 1 sampai dengan Pasal 12 telah dihilangkan.
5
4. Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works (Keputusan Presiden RI No. 18 Tahun 1997). 5. WIPO Copyright Treaty (Keputusan Presiden RI No. 19 Tahun 1997). 6. WIPO Performers and Phonograms Treaty, melalui Keputusan Presiden RI No. 74 Tahun 2004.15 Untuk memahami bagaimana prinsip-prinsip HKI diimplementasikan menurut tujuannya, perlu terlebih dahulu diketahui latar belakang pembentukan doktrin-doktrin yang digunakan dalam implementasi prinsip-prinsip HKI tersebut. Pemikiran-pemikiran yang dikembangkan sebagai doktrin bagi pengaturan normanorma HKI memiliki beberapa sifat khusus yang berkaitan dengan filsafat hukum dan teori ekonomi. Sebagai contoh, sumbangan pemikiran Thomas Aquinas 16 yang membahas teori hukum alam, dan John Locke17 yang membahas hak individual atas benda, dapat dijadikan landasan terhadap bagaimana doktrin dipergunakan dalam kerangka implementasi prinsip-prinsip HKI, untuk selanjutnya memberikan jaminan kepastian hukum melalui penentuan hak-hak yang melekat pada bagian-bagian obyek hukum yang dianggap material maupun immaterial. Disamping itu, teori ekonomi yang dikenal dengan the Theory of Bargaining18 dapat dijadikan materi pembahasan yang diperlukan dalam urgensi praktik pengaturan HKI demi tercapainya keseimbangan antara kepentingan ekonomi individual dan pemegang
15
Ditandatangani dan diberlakukan pada tanggal 10 September 2004. W. Friedmann, “Legal Theory”, Fifth Edition Columbia University Press (Columbia, 1967), hal. 108. 17 Ibid. hal. 122. 18 Robert Cooter dan Thomas Ulen, Law and Economics Third Edition, Addison-Wesley, (USA, 2000), hal. 75. Sebagaimana dikutip: “To develop an economic theory of property, we must first develop the economic theory of bargaining games. At first you may not see the relevance of this theory to property law, but later you will recognize that it is the very foundation of the economic theory of property. The elements of bargaining theory can be developed through an example of a familiar exchange-selling a used car.” 16
6
HKI, maupun keseimbangan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi nasional yang diakibatkan oleh implementasi atau eksploitasi dari HKI itu sendiri. Selain itu, dalam Labour Theory juga telah dikemukakan tentang pentingnya perlindungan HKI, yaitu: “Patent and other types of intellectual property rights are intended to prevent people from commercially exploiting ideas or inventions without fair compensation to the originators. The concept comprises two competing social objectives: the need to encourage technical innovations and the need to disperse the benefits of that innovation throughout society.” 19 Dari uraian tersebut terlihat adanya pemikiran bahwa suatu karya intelektual yang dihasilkan oleh seseorang atas dasar intelektualitasnya, baik berupa invensi maupun karya intelektual lainnya perlu memperoleh perlindungan guna mencegah segala bentuk eksploitasi secara komersial oleh pihak lain tanpa kompensasi yang adil kepada pihak yang menghasilkan karya intelektual tersebut. Konsep tersebut juga mengandung makna untuk mendukung dua tujuan sosial yang saling berkompetisi, yaitu adanya kebutuhan untuk merangsang invensi-invensi baru di satu sisi dan di sisi lain yaitu kebutuhan untuk menyebarluaskan karya intelektual tersebut untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan masyarakat. Indonesia sebagai negara berkembang perlu menerapkan HKI secara maksimal agar dapat memajukan sektor industri dan meningkatkan kemampuan daya saing di pasaran internasional. Peningkatan kemampuan daya saing sektor industri salah satunya adalah melalui peningkatan perlindungan hukum di bidang Hak Kekayaan Intelektual (pada 19
Justin Hughes, The Philosophy of Intellectual Property, 77 Geo.L.J.287 1988, hal. 21.
7
Naskah Akademik ini difokuskan pada Paten, Merek dan Desain Industri) bagi para pelaku industri dengan menciptakan instrumen hukum yang berkaitan secara langsung dengan sektor industri dan perdagangan yang mampu memberikan perlindungan dan kemudahan akses serta efektifitas proses pendaftaran di bidang Paten, Merek dan Desain Industri, maupun penegakan hukumnya dalam mempertahankan hak-hak atas kepemilikan Paten, Merek dan Desain Industri serta komersialisasi dari hak-hak tersebut. Dalam praktiknya, upaya penerapan instrumen hukum di sektor industri mengalami berbagai kendala, baik dari sisi substansi hukum yang diatur serta kendala teknis dalam pelaksanaannya. Untuk menghindari perbedaan penafsiran mengenai istilah-istilah dalam Naskah Akademik ini, definisi operasional yang digunakan adalah sebagai berikut: 1. Intellectual Property Rights (IPR) adalah istilah yang sangat luas yang menunjukkan suatu kelompok dari bidang-bidang Hak Kekayaan Intelektual, terdiri dari Copyright and Related Rights, Trademarks, Geographical Indication, Industrial Design, Patents, Layout Designs of Integrated Circuit, Protection of Undisclosed Information dan Control of Anti Competitive Practices in Contractual Licenses.20 2. Paten adalah Hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada Inventor atas hasil Invensinya dibidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri Invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya.21
20 21
Lihat Persetujuan TRIPs Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten
8
3. Pemegang paten adalah Inventor sebagai pemilik Paten atau pihak yang menerima hak tersebut dari Pemilik Paten atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak tersebut, yang terdaftar dalam Daftar Umum Paten.22 4. Kebaruan atau Invensi adalah ide Inventor yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang spesifik di bidang teknologi dapat berupa produk atau proses, atau penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses.23 5. Suatu Invensi mengandung langkah inventif jika Invensi tersebut bagi seseorang yang mempunyai keahlian tertentu di bidang teknik merupakan hal yang tidak dapat diduga sebelumnya.24 6. Suatu Invensi dapat diterapkan dalam industri jika Invensi tersebut dapat dilaksanakan dalam industri sebagaimana yang diuraikan dalam Permohonan.25 7. Lisensi adalah izin yang diberikan oleh Pemegang Paten kepada pihak lain berdasarkan perjanjian pemberian hak untuk meniklmati manfaat ekonomi dari suatu Paten yang diberi perlindungan dalam jangka waktu dan syarat tertentu.26 8. Lisensi wajib yaitu lisensi untuk melaksanakan paten yang diberikan berdasarkan keputusan Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual atas dasar permohonan satu pihak.27 9. Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.28 22
Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten 24 Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten 25 Pasal 5 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten 26 Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten 27 Pasal 74 Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 Tentang Paten. 23
9
10. Merek Dagang adalah Merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang sejenis lainnya.29 11. Merek Jasa adalah Merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa-jasa sejenis lainnya.30 12. Merek kolektif adalah Merek yang digunakan pada barang dan/atau jasa dengan karakteristik yang sama yang diperdagangkan oleh beberapa orang atau badan hukum secara bersama-sama untuk membedakan dengan barang dan/atau jasa sejenis lainnya.31 13. Hak atas merek adalah hak khusus yang diberikan oleh Negara kepada pemilik Merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri Merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya.32 14. Lisensi adalah izin yang diberikan oleh pemilik Merek terdaftar kepada pihak lain melalui suatu perjanjian berdasarkan pada pemberian hak (bukan pengalihan hak) untuk menggunakan Merek tersebut, baik untuk seluruh atau sebagian jenis barang dan/atau jasa yang didaftarkan dalam jangka waktu dan syarat tertentu.33 15. Persamaan pada pokoknya adalah kemiripan yang disebabkan oleh adanya unsur-unsur yang menonjol antara Merek yang satu dan Merek yang lain, yang dapat menimbulkan kesan adanya persamaan baik mengenai bentuk, cara 28
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek 30 Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek 31 Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek 32 Pasal 3 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek 33 Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek 29
10
penempatan, cara penulisan atau kombinasi antara unsur-unsur ataupun persamaan bunyi ucapan yang terdapat dalam merek-merek tersebut.34 16. Indikasi geografis adalah suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan.35 17. Merek terkenal (well-known trademark) adalah merek yang menjadi simbol kebanggaan yang dapat diandalkan oleh konsumen walaupun konsumen tidak mengetahui atau tidak menyadari siapa pemilik merek tersebut.36 18. Pelanggaran merek (trademark infringement) adalah pemakaian secara tidak sah suatu merek yang menyerupai merek dari pemilik yang sah, termasuk merek dagang, merek jasa, merek kolektif dan sertifikat merek dengan menciptakan suatu persamaan yang membingungkan bagi para konsumen.37 19. Desain Industri adalah suatu kreasi tentang bentuk, konfigurasi, atau komposisi garis atau warna, atau garis dan warna, atau gabungan daripadanya yang berbentuk tiga dimensi atau dua dimensi yang memberikan kesan estesis dan dapat diwujudkan dalam pola tiga dimensi atau dua dimensi serta dapat dipakai untuk menghasilkan suatu produk, barang, komoditas industri, atau kerajinan tangan.38
34
Lihat Penjelasan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek Pasal 56 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek 36 James E. Inman, “Gray Marketing of Imported Trademarked Goods: Tariff and Trademark Issues” American Business Law Journal, Volume 31, No. 1 (May 1993), hal. 83 37 Donald S. Chisum and Michael A. Jacobs, Understanding Intellectual Property Law, New York: Matthew Bender & Co., Inc., 1995, hal 5-279. 38 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri 35
11
20. Pendesain adalah seorang atau beberapa orang yang menghasilkan Desain Industri.39 21. Hak Desain Industri adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara Republik Indonesia kepada Pendesain atas hasil kreasinya untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri, atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakan hak tersebut.40 22. Tanggal Penerimaan adalah tanggal Penerimaan Permohonan yang telah memenuhi persyaratan administratif.41 23. Konsultan Hak Kekayaan Intelektual adalah orang yang memiliki keahlian di bidang Hak Kekayaan Intelektual dan secara khusus memberikan jasa di bidang pengajuan dan pengurusan permohonan Paten, Merek, Desain Industri serta bidang-bidang Hak Kekayaan Intelektual lainnya dan terdaftar sebagai Konsultan Hak Kekayaan Intelektual di Direktorat Jenderal.42 24. Lisensi adalah izin yang diberikan oleh Pemegang Desain Industri kepada pihak lain melalui suatu perjanjian berdasarkan pada pemberian hak (bukan pengalihan hak) untuk menikmati manfaat ekonomi dari suatu Desain Industri yang diberikan perlindungan dalam jangka waktu tertentu dan syarat tertentu.43 25. Hak Prioritas adalah hak Pemohon untuk mengajukan Permohonan yang berasal dari negara yang tergabung dalam Konvensi Paris untuk memperoleh pengakuan bahwa Tanggal Penerimaan yang diajukannya ke negara tujuan, yang juga anggota Konvensi Paris atau Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan
39
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri Pasal 2 angka 5 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri 41 Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri 42 Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri 43 Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri 40
12
Dunia, memiliki tanggal yang sama dengan Tanggal Penerimaan yang diajukan di negara asal selama kurun waktu yang telah ditentukan berdasarkan Konvensi Paris.44 26. Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha. 45 27. Pengadilan adalah Pengadilan Niaga dalam lingkungan peradilan umum.46 Pada Naskah Akademik ini, regulasi yang hendak disusun adalah Rancangan Undang-Undang Tentang Hak kekayaan industri yang mencakup perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 Tentang Paten, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, dan Undang-Undang No. 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri. Hal ini adalah sebagai tindak lanjut atas Instruksi Presiden No. 11 Tahun 2011 yang mengamanahkan Kementerian Hukum dan HAM bertanggung jawab atas pengembangan ekonomi khusus di bidang HKI. Kajian yang menjadi pokok bahasan dalam penyusunan Naskah Akademik difokuskan pada Paten, Merek dan Desain Industri sehubungan dengan rencana perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 Tentang Paten, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, dan Undang-Undang No. 31 Tahun 2000 Tentang Desain
44
Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Lihat juga black’s Law Dictionary, yang dimaksud dengan Unfair Competition adalah dishonest or fraudulent rivalry in trade and commerce; especially the practice of trying to palm off one’s own goods or services for those of another by imitating or counterfeiting a competitor’s name, brand, or distinctive characteristic; and the body of law protecting the first user against an imitating or counterfeiting competitor. 46 Undang-undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban pembayaran Utang (PKPU). Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini, selain memeriksa dan memutus permohonan pernyataan pailit dan PKPU, berwenang pula memeriksa dan memutus perkara lain di bidang perniagaan yang penetapannya dilakukan dengan undang-undang. 45
13
Industri. Adapun ketiga Undang-Undang tersebut akan dikompilasi menjadi Rancangan Undang-Undang Tentang Hak Kekayaan Industri (Paket Perubahan Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 Tentang Paten, Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek, dan Undang-Undang No. 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri) dan diharapkan dapat memberikan perlindungan yang lebih efektif dan efisien serta lebih meningkatkan perekonomian Indonesia. Penggunaan istilah Hak Kekayaan industri dalam Naskah Akademik ini mengacu pada ruang lingkup Hak Kekayaan Industri sebagaimana diatur dalam Konvensi Paris yang mencakup Paten, Merek, dan Desain Industri, selain Rahasia Dagang dan Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu. Secara substansi, istilah Hak Kekayaan Industri ditujukan untuk memberikan perlindungan secara khusus kepada karyakarya intelektual yang lahir karena intelektualitas manusia dalam bidang industri sebagaimana tercakup dalam definisi HKI menurut World of Intellectual Property Organization (WIPO), sebagai berikut:47 “Very broadly, intellectual property means the legal rights which result from intellectual actitivity in the industrial, scientific, literary and artistic fields.” Perubahan sistem Paten, Merek dan Desain Industri juga dapat dipengaruhi karena adanya perubahan dalam sistem Paten, Merek, dan Desain Industri secara internasional, atau konvensi-konvensi maupun traktat-traktat internasional di bidang HKI, yaitu Paris Convention for the Protection of Industrial Property Rights, Geneva Act, Patent Cooperation Treaty, Trademark Law treaty, dan Madrid Protocol (sampai saat ini pemerintah Indonesia belum meratifikasi Geneva Act dan Madrid Protocol). Pengaruh tersebut tidak dapat dipungkiri karena Indonesia 47
WIPO Intellectual Property Reading Material 1995
14
juga adalah salah satu anggota dari World Intellectual Property Organization (WIPO). Ratifikasi beberapa konvensi Internasional di bidang HKI, khususnya Paten, Merek dan Desain Industri merupakan kesadaran kita untuk menjadi bagian dari pergaulan dunia dan kebutuhan yang diharapkan memberi manfaat lebih baik bagi perkembangan perdagangan secara khusus dan perekonomian nasional pada umumnya. Karena penerapan sistem HKI, khususnya sistem Paten, Merek dan Desain Industri tentu tidak hanya mendasarkan pada kepentingan hukum semata, tetapi juga perlu mengaitkannya dengan kepentingan ekonomi nasional. Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut di atas, maka Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia memandang perlu untuk melakukan kegiatan Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Hak Kekayaan Industri (Paket Perubahan Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten, Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek, dan Undang-Undang No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri) dalam rangka untuk mempersiapkan materi Rancangan Undang-Undang Tentang Hak Kekayaan Industri. Penggunaan istilah Hak Kekayaan industri dalam Naskah Akademik ini mengacu pada ruang lingkup HKI sebagaimana diatur dalam Konvensi Paris yang mencakup Paten, Merek, dan Desain Industri selain Rahasia Dagang dan Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu. B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek, dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain lndustri yang berlaku saat ini, dikaji dari aspek substansi, prosedur administrasi, dan efisiensi 15
masih terdapat kendala-kendala maupun hambatan dalam implementasinya, khususnya bagi sektor industri dan perdagangan, sehingga ketiga undang-undang tersebut perlu direvisi dan digabungkan ke dalam 1 (satu) paket undang-undang Tentang Hak Kekayaan Industri. Dalam rangka memberikan landasan ilmiah bagi penyusunan Rancangan Undang-Undang Tentang Hak Kekayaan Industri, maka dalam Naskah Akademik ini dilakukan pengkajian dan penelitian yang mendalam mengenai, yaitu sebagai berikut: 1. Apakah pengaturan tentang Paten, Merek dan Desain Industri dalam satu undang-undang tentang Hak Kekayaan Industri yang mencakup revisi UndangUndang No. 14 Tahun 2001 Tentang Paten, Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek, dan Undang-Undang No. 31 Tahun 2000 Tentang Desain lndustri dapat memberikan perlindungan yang lebih efektif dan efisien serta lebih meningkatkan perekonomian Indonesia. 2. Hal-hal apa saja yang dapat dijadikan masukan dalam revisi Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 Tentang Paten, Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek, dan Undang-Undang No. 31 Tahun 2000 Tentang Desain lndustri, sebagai materi muatan Rancangan Undang-Undang Hak Kekayaan Industri. 3. Apa yang menjadi pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis pembentukan Rancangan Undang-Undang Tentang Hak Kekayaan Industri. 4. Apa sasaran yang akan diwujudkan dalam pembentukan Rancangan UndangUndang Tentang Hak Kekayaan Industri.
16
C. Tujuan dan kegunaan Kegiatan Penyusunan Naskah Akademik Maksud disusunnya Naskah Akademik Peraturan Perundang-undangan tentang Rancangan Undang-Undang Tentang Hak Kekayaan Industri (Paket Perubahan Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 Tentang Paten, Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek dan Undang-Undang No. 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri) ini adalah sebagai landasan ilmiah bagi penyusunan perubahan atau revisi terhadap ketiga Undang-undang ini agar visi dan misi ketiga Undang-undang ini di masa mendatang dapat lebih melindungi kepentingan masyarakat. Tujuan dibuatnya Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Hak Kekayaan Industri (Paket Perubahan Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 Tentang Paten, Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek, dan UndangUndang No. 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri) adalah sebagai berikut: 1. Merumuskan pengaturan tentang Paten, Merek dan Desain Industri dalam satu undang-undang tentang Hak Kekayaan Industri yang mencakup revisi UndangUndang No. 14 Tahun 2001 Tentang Paten, Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek dan Undang-Undang No. 31 Tahun 2000 Tentang Desain lndustri, yang dapat memberikan perlindungan yang lebih efektif dan efisien serta lebih meningkatkan perekonomian Indonesia. 2. Merumuskan hal-hal yang dapat dijadikan masukan dalam revisi Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 Tentang Paten, Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek, dan Undang-Undang No. 31 Tahun 2000 Tentang Desain lndustri, sebagai materi muatan Rancangan Undang-Undang Hak Kekayaan Industri. 3. Merumuskan landasan filosofis, sosiologis, yuridis pembentukan Rancangan Undang-Undang Tentang Hak Kekayaan Industri. 17
4. Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan pembentukan Rancangan Undang-Undang Tentang Hak Kekayaan Industri. Kegunaan penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Hak Kekayaan Industri ini adalah sebagai acuan atau referensi penyusunan dan pembahasan Rancangan Undang-Undang Tentang Hak Kekayaan Industri. D. Metode Metode penelitian dalam Penyusunan Naskah Akademik tentang Rancangan Undang-Undang Tentang Hak Kekayaan Industri (Paket Perubahan Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 Tentang Paten, Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek, dan Undang-Undang No. 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri)
menggunakan
metode
pendekatan
deskriptif-analitis,
yaitu
menggambarkan berbagai permasalahan secara utuh dan menyeluruh, selanjutnya dilakukan analisis yang menjadi bagian-bagian sebagai sistem yang terbagi atas sub sistem-sub sistem dari suatu ekosistem sebagai suatu kesatuan dalam merumuskan penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Hak Kekayaan Industri. Hasil analisis tersebut menjadi landasan untuk mengenali hukum, khususnya hukum tertulis yang berlaku yang diatur dalam peraturan Perundangundangan yang berkaitan dengan Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 Tentang Paten, Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek, dan Undang-Undang No. 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri, termasuk Persetujuan TRIPs dan konvensikonvensi atau traktrat-traktat internasional yang berhubungan dengan Paten, Merek
18
dan Desain Industri yaitu Patent Law Treaty, Trademark Law Treaty, dan Paris Convention for the Protection of Industrial Property Rights. Penelitian ini menggunakan pendekatan secara interdisipliner dan multidisipliner, dan dengan pendekatan dari segi pengelolaannya secara terpadu. Melalui pendekatan interdisipliner akan diketahui hukum dan ilmu hukum yang mengatur tentang Hak Kekayaan Industri melalui pendekatan multi disipliner akan diketahui ilmu-ilmu pengetahuan lainnya yang mendukung pengaturan penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Hak Kekayaan Industri. Metode pendekatan sistemik ini digunakan sebagai konsekuensi dari pengertian dan pemahaman tentang Hak Kekayaan Industri, dan penelitian ini harus pula mendekati permasalahan tersebut di atas secara futuristik mengingat penelitian ini menyangkut pembangunan yang berkelanjutan dalam sistem hukum Hak Kekayaan Industri. Pada dasarnya penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Hak Kekayaan Industri dilakukan dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan deskriptif-analitis yang berasal dari data sekunder yang terdiri dari bahan-bahan hukum primer (peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Paten, Merek dan Desain Industri) dan bahan hukum sekunder serta bahan hukum tertier (hasil-hasil penelitian, pengkajian, majalah hukum dan sebagainya) serta data-data yang diperoleh dari para anggota tim. Tahapan penelitian diawali dengan melakukan inventarisasi hukum, khususnya peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Paten, Merek dan Desain Industri hasil inventarisasi ini kemudian dianalisis secara kualitatif 19
berdasarkan norma-norma hukum yang berlaku dan disusun menjadi sub sistem sebagai bagian dari sistem hukum nasional, dan diperlukannya bahan-bahan hukum dalam mempersiapkan Rancangan Undang-Undang Tentang Hak Kekayaan Industri. Sumber hukum materiil masalah Paten, Merek dan Desain Industri ini mengacu pada inventarisasi permasalahan, kemudian diupayakan untuk menarik azas-azas hukum dan rumusan norma yang akan dijadikan acuan penyusunan Rancangan Undang-Undang Hak Kekayaan lndustri. Sedangkan inventarisasi dan pengolahan data dilakukan melalui: 1. Penelusuran kepustakaan, dengan mengkaji berbagai peraturan perundangundangan yang sudah ada dan berlaku di Indonesia termasuk Persetujuan TRIPs, konvensi dan traktat internasional yang terkait dengan Paten, Merek dan Desain Industri; 2. Mengkaji bahan-bahan seminar, makalah, kertas kerja, putusan pengadilan yang terkait dengan Paten, Merek dan Desain Industri; 3. Mengkaji Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten, UndangUndang Nomor 15 Tahun Tentang Merek, dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri mengenai bagaimana implementasi, kendala-kendala dalam prakteknya, dan peraturan perundang-undangan yang terkait; dan 4. Hasil Diskusi atau informasi sesama anggota tim.
20
BAB II KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS PERLINDUNGAN HAK KEKAYAAN INDUSTRI
A. Kajian Teoretis Sebagai suatu hak yang dihasilkan kemampuan intelektualita manusia, HKI perlu mendapat perlindungan hukum yang memadai. Tanpa adanya perlindungan hukum, para pesaing dapat meniru Paten, Merek dan Desain Industri orang lain tanpa harus mengeluarkan biaya untuk proses penciptaannya atas Paten, Merek dan Desain Industri. Dalam Pasal 1 angka (2) Paris Convention for the Protection of Industrial Property, dinyatakan bahwa: “The protection of industrial property has as its object patents, utility models, industrial designs, trademarks, service marks, trade names, indications of source or appellations of origin, and the repression of unfair competition.” Dengan demikian, HKI menurut Konvensi Paris meliputi, yaitu Paten, Paten Sederhana, Desain Industri, Merek Dagang, Merek Jasa, Nama Dagang, Indikasi Asal dan Penanggulangan Persaingan Curang. Di dalam Persetujuan TRIPs, makna merujuk pada semua kategori dari HKI yang meliputi, yaitu Copyright and Related Rights, Trademarks, Geographical Indications, Industrial Designs, Patents, Layout Design (topographies) of Integrated Circuits, and Protection of Undisclosed Information. Persetujuan TRIPs memperjelas kedudukan perlindungan HKI sebagai isu-isu yang terkait di bidang perdagangan. Tujuannya adalah untuk memberi perlindungan HKI dan prosedur penegakan hak dengan menerapkan tindakan yang menuju pada perdagangan yang sehat.
Mieke Komar dan Ahmad M. Ramli mengemukakan beberapa alasan mengapa Hak Kekayaan Industri perlu dilindungi,48 yaitu: pertama, bahwa hak yang diberikan kepada seorang pencipta di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra atau Inventor di bidang teknologi baru yang mengandung langkah inventif merupakan wujud dari pemberian suatu penghargaan dan pengakuan atas keberhasilan manusia dalam melahirkan karya-karya inovatifnya. Dengan demikian, sudah merupakan konsekuensi hukum untuk diberikannya suatu perlindungan hukum bagi penemu atau pencipta dan mereka yang melakukan kreatifitas dengan mengerahkan segala kemampuan intelektual tersebut seharusnya diberikan suatu hak eksklusif untuk mengeksploitasi HKI tersebut sebagai imbalan atas jerih payahnya itu; kedua, Terdapat sistem perlindungan HKI yang dengan mudah dapat diakses pihak lain, sebagai contoh dapat dikemukakan Paten yang bersifat terbuka. Seorang inventor berkewajiban
untuk
menguraikan
invensinya
tersebut
secara
rinci,
yang
memungkinkan orang lain dapat belajar atau melaksanakan invensi tersebut. Untuk itu, merupakan suatu kewajaran dan keharusan untuk memberikan suatu hak eksklusif kepada Inventor selama jangka waktu tertentu untuk menguasai dan melakukan eksploitasi atas penemuannya itu (hak ekonomi); ketiga, HKI merupakan hasil ciptaan atau penemuan yang bersifat rintisan dapat membuka kemungkinan pihak lain untuk mengembangkan lebih lanjut penemuan yang dihasilkan oleh Inventor. Oleh karena itu, invensi mendasar pun harus dilindungi meskipun mungkin
48
Mieke Komar dan Ahmad M. Ramli, Perlindungan Hak Atas Kepemilikan Intelektual Masa Kini dan Tantangan Menghadapi Era Globalisasi Abad 21, Makalah disampaikan pada Seminar Pengembangan Budaya Menghargai HAKI di Indonesia Menghadapi Era Globalisasi Abad ke-21, Lembaga Penelitian ITB-Ditjen HCPM Dep. Kehakiman RI, Sasana Budaya Ganesa, tanggal 28 Nopember 1998, hal. 2.
22
belum memperoleh perlindungan di bawah rezim hukum Paten, dapat dikategorikan sebagai Rahasia Dagang atau informasi yang dirahasiakan. Menurut Hikmahanto Juwana49, dalam melihat suatu kegiatan dari perspektif hukum, maka perspektif hukum tersebut dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu: 1. kegiatan tersebut dilihat dari perspektif ilmu hukum; dan 2. kegiatan tersebut dilihat dari perspektif spesialisasi bidang hukum. Selanjutnya dikatakan bahwa yang dimaksud dengan perspektif ilmu hukum adalah perspektif yang melihat suatu kegiatan dari cabang ilmu hukum, yaitu hukum perdata, hukum pidana, hukum tata negara, hukum administrasi negara, dan hukum internasional. Perbedaan antara satu cabang ilmu hukum dengan cabang ilmu hukum lainnya dikarenakan adanya perbedaan tentang apa yang diatur, subyek hukumnya, sifat hubungan antar subyek hukum, prinsip-prinsip yang dikenal dan lain sebagainya. Dalam hukum perdata, misalnya yang menjadi subyek adalah orang perorangan dan badan hukum. Sementara dalam hukum internasional yang menjadi subyek hukum diantaranya adalah negara dan organisasi internasional. Jelas kedua cabang ilmu hukum ini berbeda satu sama lain. Adapun yang dimaksud dengan perspektif spesialisasi bidang hukum, antara lain hukum perbankan, hukum pasar modal, hukum hak kekayaan intelektual, dan hukum persaingan. Berbagai spesialisasi bidang hukum ini tidak menginduk pada satu cabang ilmu hukum saja, melainkan kumpulan dari berbagai aspek cabang ilmu hukum atas suatu kegiatan (misalkan perbankan, pasar modal, hak atas kekayaan 49
Hikmahanto Juwana, Bunga Rampai Hukum EKonomi dan Hukum Internasional, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hal. 28-29.
23
intelektual, pertambangan) yang kemudian dirangkum menjadi satu. Spesialisasi bidang hukum muncul karena adanya suatu kegiatan yang dilihat dari berbagai aspek hukum dan mempunyai sifat khusus. Sebagai contoh kegiatan perbankan bisa dilihat dari berbagai aspek hukum perdata, pidana, tata negara, administrasi negara dan internasional yang keseluruhannya dimasukkan ke dalam satu kategori yang disebut hukum perbankan. Demikian pula hukum hak kekayaan intelektual merupakan berbagai aspek hukum dari kegiatan hak kekayaan intelektual yang bisa dilihat dari berbagai aspek hukum perdata, pidana, tata negara, administrasi negara dan internasional yang keseluruhannya dimasukkan ke dalam satu kategori yang disebut hukum hak kekayaan intelektual. Terdapat berbagai teori yang mendasari perlunya suatu bentuk perlindungan hukum HKI, sebagaimana Reward Theory yang memiliki makna yang sangat mendalam berupa pengakuan terhadap karya intelektual yang telah dihasilkan oleh seseorang sehingga kepada Inventor/pemilik merek atau Pendesain harus diberikan penghargaan sebagai imbalan atas upaya-upaya kreatifnya dalam menemukan/atau menciptakan karya-karya intelektual tersebut. Teori ini sejalan dengan prinsip yang menyatakan bahwa Inventor/pemilik merek/Pendesain yang telah mengeluarkan waktu, biaya serta tenaga dalam menghasilkan karya intelektualnya harus memperoleh kembali apa yang telah dikeluarkan tersebut, yang dikenal dengan Recovery Theory. Teori lain yang sejalan dengan teori Reward adalah Incentive Theory yang mengaitkan pengembangan kreativitas dengan memberikan insentif bagi para penemu/pencipta atau Pendesain tersebut. Berdasarkan teori ini
24
insentif perlu diberikan untuk mengupayakan terpacunya kegiatan-kegiatan penelitian yang berguna50. Ketiga teori ini pada intinya memiliki visi yang sama, yaitu berupa pemberian penghargaan kepada para Penemu/pemilik merek dan Pendesain atas karya intelektual yang telah dihasilkannya. Dalam perkembangannya, pemberian penghargaan tersebut harus dikaitkan dengan upaya untuk menciptakan iklim yang kondusif agar masyarakat tetap kreatif. Penghargaan yang tidak memadai akan membunuh kreativitas masyarakat itu sendiri. Dengan demikian, teori-teori tersebut perlu disempurnakan dengan memasukkan kepentingan makro sebagai upaya untuk menumbuhkan kreativitas masyarakat sehingga penghargaan tidak dianggap sebagai satu-satunya upaya memberikan keuntungan untuk individu Inventor atau pemilik Paten/pemilik merek/Pendesain, tetapi lebih jauh adalah untuk menciptakan kreativitas secara nasional. Dengan demikian, maka pemberian penghargaan tersebut akan merupakan sumbangan konkret bagi negara dalam pembangunan teknologi dan pembangunan ekonominya. Teori ini dinamakan Teori Kepentingan Makro.51 Teori keempat yang dikemukakan oleh Robert M. Sherwood adalah Risk Theory. Teori ini mengakui bahwa HKI merupakan suatu hasil karya yang mengandung risiko yang dapat memungkinkan orang lain yang terlebih dahulu menemukan cara tersebut atau memperbaikinya, sehingga dengan demikian adalah wajar untuk memberikan suatu bentuk perlindungan hukum terhadap upaya atau kegiatan yang mengandung risiko tersebut. Sherwood berpendapat bahwa risiko 50
Robert M. Sherwood, Intellectual Property and EconomicDevelopment: Westview Special Studies in Science Technology and Public Policy, (San Fransisco: Westview Press Inc., 1990), hal. 39. 51 Dr. Ranti Fauza Mayana, S.H., Perlindungan Desain Industri Di Indonesia Dalam Era Perdagangan Bebas, (Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2004), hal. 45.
25
yang mungkin timbul dari penggunaan secara ilegal yang menimbulkan kerugian secara ekonomis maupun moral bagi Inventor/Pencipta dan Pendesain tersebut dapat dihindari jika terdapat landasan hukum yang kuat yang berfungsi untuk melindungi HKI tersebut. Namun dalam kenyataannya, kesulitan mengatasi risiko ini dapat pula timbul disebabkan karena lemahnya sistem penegakan hukum meskipun peraturan
perundang-undangan
yang
berlaku
telah
cukup
memberikan
perlindungan. Oleh karena itu, teori Risk harus diartikan secara luas, tidak hanya sekedar
penyediaan
perangkat
hukum
semata-mata,
tetapi
juga
harus
mengakomodasi ketentuan-ketentuan tentang peran dan tanggung jawab aparat penegak hukum dalam proses penegakan hukum dan langkah untuk membudayakan perlindungan HKI di kalangan masyarakat, mengingat risiko pelanggaran HKI berpotensi akan tetap terjadi jika budaya masyarakat tidak mendukung perlindungan hukum di bidang HKI. Teori terakhir yang dikemukakan oleh Robert M. Sherwood adalah Economic Growth Stimulus Theory yang mengakui bahwa perlindungan atas HKI merupakan suatu alat dari pembangunan ekonomi, dan yang dimaksud dengan pembangunan ekonomi adalah keseluruhan tujuan dibangunnya suatu sistem perlindungan HKI yang efektif. Menurut Sherwood, teori ini sangat relevan untuk dijadikan dasar perlindungan HKI saat ini terutama dalam menghadapi era perdagangan bebas dan konsekuensi diratifikasinya kesepakatan WTO oleh Indonesia. Disamping kelima teori perlindungan HKI tersebut di atas, dalam konteks korelasi antara HKI nasional, HKI internasional, dan kegiatan ekonomi serta perdagangan pasar global, Anthony D’Amato dan Doris Estelle Long berpendapat 26
bahwa perkembangan standar internasional bagi pengaturan HKI telah memberikan dampak bagi perkembangan perdagangan dan teknologi, sehingga keadaan ini sangat mendukung pembentukan suatu pasar global bagi produk-produk berbasis HKI. Pada akhirnya pengaturan hukum nasional merupakan pengejewantahan dari tujuan-tujuan kepentingan nasional suatu negara yang merupakan muara keberhasilan agregat atas pengaturan HKI. Salah satu pertimbangan yang penting untuk diperhatikan dalam interkoneksi pengaturan HKI dengan sistem hukum, sistem perekonomian, dan sistem sosial budaya, yaitu tujuan dalam peningkatan kesejahteraan sosial. Sifat-sifat individualistis pengaturan HKI justru harus diinterpretasikan sebagai upaya mendukung kesejehteraan sosial sebagaimana pendapat Anthony D’Amato dan Doris Estelle Long sebagai berikut:52 “Demands for protection of intellectual property are often based (implicitly or explicitly) on a theory of natural law or moral right – the idea that intellectual property is naturally owned by the person who creates it and that appropriation from that person without compensation is wrongful (whether such appropriation is purely domestic or international). However, national policy on the scope of legitimized intellectual property right vary widely depending on the result of a cost/benefit analysis balancing the immediate public welfare against long - term interest in private capital formation).” Labour
Theory
juga
telah
mengemukakan
tentang
pentingnya
perlindungan HKI, yaitu: “Patent and other types of intellectual property rights are intended to prevent people from commercially exploiting ideas or inventions without fair compensation to the originators. The concept comprises two competing social objectives: the need to encourage technical innovations and the need to disperse the benefits of that innovation throughout society.”53
52
Anthony D’Amato & Doris Estelle Long, International Intellectual Property Anthology (Cincinati: Andersen Publising Co., 1996), hlm. 8. 53 Justin Hughes, The Philosophy of Intellectual Property, 77 Geo.L.J. 287 (1998), hal. 21.
27
Dari uraian tersebut terlihat adanya pemikiran bahwa suatu karya intelektual yang dihasilkan oleh seseorang atas dasar intelektualitasnya, baik berupa invensi maupun karya intelektual lainnya termasuk Paten, Merek dan Desain Industri perlu mendapatkan perlindungan guna mencegah segala bentuk eksploitasi secara komersial oleh pihak lain tanpa kompensasi yang adil kepada pihak yang menghasilkan karya-karya intelektual tersebut. Konsep tersebut juga mengandung makna untuk mendukung dua tujuan sosial yang saling berkompetisi, yaitu adanya kebutuhan untuk merangsang invensi-invensi baru di satu sisi dan di sisi lain yaitu kebutuhan untuk menyebarluaskan karya intelektual tersebut untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan masyarakat. B. Kajian terhadap asas/prinsip yang terkait dengan penyusunan norma Efektifnya penegakan hukum sebuah undang-undang dalam suatu negara menurut Antony Allott bukan merupakan kewajiban dari masyarakat yang diatur oleh undang-undang tersebut, melainkan pada pembuat undang-undang.54 Dalam membuat undang-undang, cenderung berdasarkan kemajuan yang dicapai di negara lain - umumnya pada kemajuan yang dicapai negara-negara maju yang tertulis dalam statuta-statuta. Sehingga seringkali dilewatkan peran hakim dalam menerapkan hukum dan juga peran pembuat undang-undang itu sendiri. Efektifitas undang-undang dalam sebuah negara diukur melalui tiga derajat penerapan undang-undang tersebut: 1.
Ketika undang-undang menjadi pencegah (preventive), apakah undang-undang tersebut berhasil mencegah subyek hukumnya dari perbuatan yang dilarang.
54
Antony Allott, The Effectiveness of Law, Valparaiso University Law Review Volume 15, 1981, hal. 229 – 242.
28
2.
Ketika undang-undang menjadi penyelesaian dari sengketa (currative) yang timbul antara subyek hukumnya, apakah undang-undang berhasil memberikan penyelesaian yang adil.
3.
Ketika undang-undang menjadi penyedia kebutuhan subyek hukumnya untuk melakukan perbuatan hukum (facilitative), apakah undang-undang berhasil menyediakan aturan-aturan yang memfasilitasi kebutuhan mereka. Peran hakim dan pembuat undang-undang dalam hal ini adalah untuk
menyelaraskan undang-undang yang dibuat dan diterapkan pada keadaan yang sudah berlangsung serta bentuk perilaku mendasar masyarakat yang menjadi subyek dari undang-undang tersebut. Sehingga ketika undang-undang menjadi satu dari tiga bentuk penerapan di atas, undang-undang menjadi panduan dari norma hukum yang telah dikenal secara jelas oleh masyarakat. Tidak efektifnya sebuah undang-undang menurut Allott adalah: 1. Penyampaian maksud dari undang-undang tersebut yang tidak berhasil. Bentuk dari undang-undang umumnya berupa peraturan-peraturan berbahasa baku yang sulit dimengerti oleh masyarakat awam serta kurangnya badan pengawasan dari penerimaan dan penerapan undang-undang tersebut. 2. Terdapat pertentangan antara tujuan yang ingin dicapai oleh pembuat undangundang dengan sifat dasar dari masyarakat. 3. Kurangnya instrumen pendukung undang-undang seperti peraturan pelaksana, institusi-institusi atau proses yang berkaitan dengan pelaksanaan dan penerapan undang-undang tersebut. Asas reward theory/incentive theory/recovery theory yakni diberikannya hak eksklusif berupa perlindungan hukum dengan jangka waktu tertentu agar 29
penemu/pemilik merek/pendesain dapat mengeksploitasi kreasi yang dihasilkannya sebagai suatu penghargaan atas jerih payah serta pengorbanan yang telah dilakukan dalam penemuannya. Reward/incentive/recovery yang diperoleh antara lain berupa: a.
Dicantumkannya kata “hak eksklusif” pada definisi Paten, Merek dan Desain Industri;
b. Diberikannya jangka waktu sesuai Persetujuan TRIPs pada Paten (20 tahun terhitung sejak tanggal penerimaan Paten), Merek (10 tahun dapat diperpanjang) dan Desain Industri (10 tahun); c. Ditetapkannya royalti sebagai hak dari penemu/ pemilik merek/pendesain; d. Diterapkannya
norma
bahwa
adalah
pelanggaran
hukum
apabila
menggunakan Paten/Merek/Desain Industri milik orang lain. Dengan norma ini maka dapat ditempuh upaya hukum secara perdata atau pidana atau arbitrase dalam menyelesaikan sengketa ini; e. Undang-Undang mengatur bahwa perlindungan Desain Industri diberikan dalam bentuk pemberian hak Desain Industri kepada Pendesainnya atau penerima hak atas desain tersebut. Hak yang dimaksud adalah hak untuk melaksanakan sendiri hasil desainnya, atau memberikan kepada pihak lain untuk melaksanakan hak tersebut, atau melarang pihak lain yang tanpa persetujuannya membuat, memakai, menjual, mengimpor, mengekspor, dan/atau mengedarkan barang yang diberi hak Desain Industri. Hak Desain Industri adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara Republik Indonesia kepada Pendesain atas hasil kreasinya untuk selama waktu
30
tertentu melaksanakan sendiri, atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakan hak tersebut.55 Sedangkan teori kepentingan makro yang menyatakan bahwa perlu adanya kepentingan makro sebagai upaya untuk menumbuhkan kreativitas masyarakat diterapkan dalam norma artinya menyatakan berlakunya hukum pidana dalam pelanggaran di bidang HKI.
Ini merupakan kebijakan Negara yang tidak
menganggap masalah Hak Kekayaan Industri merupakan hak privat/individual semata. Namun Negara juga menganggap perlu untuk menegakkan norma disebabkan kepentingan menciptakan iklim yang kondusif bagi seluruh masyarakat sehingga kreatifitas makin tumbuh. Walaupun Persetujuan TRIPs hanya mengatur masalah pidana bagi Merek dan Hak Cipta akan tetapi Negara memiliki otoritas untuk juga memperlakukan sistem pidana bagi jenis HKI lainnya. Teori makro ini memiliki kemiripan dengan teori Robert M. Sherwood yaitu Economic Growth Stimulus Theory yang memandang permasalahan HKI secara makro memiliki dampak meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Norma didalam Undang-Undang Paten, Merek dan Desain Industri mensyaratkan adanya pencatatan lisensi pada Direktorat Jenderal HKI. Pencatatan lisensi ini dimaksudkan agar Pemerintah dapat meneliti keabsahan perjanjian lisensi yang dilakukan para pihak, dimana bila di dalam perjanjian lisensi tersebut dapat mengakibatkan kerugian bagi perekonomian Negara maka Negara dapat menolak pencatatan lisensi yang demikian. Norma pencatatan lisensi ini mendukung teori economic growth stimulus yang mendasarkan pentingnya 55
Lihat Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri.
31
perlindungan hukum diberikan atas karya intelektual penemu/pendesain/pemilik Merek dimana perlindungan hukum yang memadai bukan saja akan meningkatkan perekonomian pemegang hak akan tetapi juga meningkatkan perekonomian nasional. Teori risk dalam penerapan norma peraturan bidang HKI, khususnya pemberian perlindungan hukum bahkan penegakan hukum yang lebih baik karena menyadari karya-karya intelektual ini memiliki potensi ekonomi yang besar sehingga rentan bagi para pelanggar hukum untuk melakukan peniruan demi memperoleh keuntungan dengan cara yang singkat. Diperlukan pengaturan yang lebih lengkap mengenai masalah injunction (penetapan sementara) yang intinya kecepatan bertindak agar barang tiruan dapat dihentikan sebelum beredar di masyarakat. Disamping itu untuk meningkatkan efek jera para pelanggar Merek khususnya Merek untuk jenis obat-obatan maka sifat delik nya berubah menjadi delik biasa dengan ancaman pidana yang lebih tinggi. Di bidang Desain Industri diperlukan norma yang lebih terinci mengatur masalah dalam penerimaan proses pendaftaran Desain termasuk kewajiban untuk melakukan pemeriksaan substantif meskipun tidak ada oposisi sebagaimana disyaratkan dalam ketentuan terdahulu. Dengan demikian tidak ada lagi desain yang mestinya tidak baru dapat diberikan sertifikat. Sehingga akan membawa pengaruh positif bagi masyarakat untuk tidak mendaftarkan desain yang bukan miliknya atau tidak baru lagi, serta makin menggairahkan keinginan untuk berkreasi karena diberikannya perlindungan hukum dan kepastian hukum dalam penerimaan permohonan desain.
32
C. Kajian terhadap praktik Penyelenggaraan, kondisi yang ada, serta Permasalahan yang dihadapi masyarakat Sistem Hak Kekayaan Intelektual merupakan hak privat (private rights) dan hal ini diatur dalam Agreement on Trade Related Aspects of Industrial Property Rights atau Persetujuan TRIPs yang menyatakan “recognizing that intellectual property rights are private rights”.56 Indonesia telah melakukan berbagai upaya dan langkah penyempurnaan terhadap pengaturan di bidang HKI. Langkah tersebut dilakukan untuk meningkatkan pengaturan HKI sesuai dengan prinsip-prinsip dan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Persetujuan TRIPs/WTO.57 Dengan keikutsertaan Indonesia sebagai anggota WTO dan penandatangan Persetujuan TRIPs, sebagai konsekuensinya Pemerintah Indonesia telah meratifikasi konvensi-konvensi atau traktat-traktat internasional di bidang HKI pada tanggal 7 Mei 1997.58 Indonesia meratifikasi konvensi pembentukan World Intellectual Property Organization (WIPO) pada tahun 1979 dan kemudian pada tahun 1997 diperbaharui melalui Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 1997 Tentang Perubahan Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 1979 Tentang Pengesahan Paris Convention for the Protection of Industrial Property dan Convention Establishing the World Intellectual Property Organization. Konvensi Paris merupakan konvensi pertama yang mengatur
56
Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights, including Trade in Counterfeit Goods. Indonesia sebagai Negara berkembang telah diberi waktu transisi 5 tahun sejak berlakunya Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights/TRIPs (tanggal 1 Januari 1995) untuk mengimplementasikan Persetujuan TRIPs/WTO, yaitu sampai tahun 2000. Persetujuan TRIPs/WTO mulai berlaku efektif di Indonesia pada tanggal 1 Januari 2001. 58 Direktorat Jenderal Hak atas Kekayaan Intelektual, Departemen Kehakiman RI dan JICA, Buku Panduan Tentang Hak atas Kekayaan Intelektual (Tangerang: DJ HKI, 1999). 57
33
HKI yang meliputi Paten, Merek, dan Desain Industri. Konvensi tersebut memuat tiga bagian penting, yaitu: 1. Ketentuan pokok mengenai prosedur, antara lain prosedur menjadi anggota Uni (Paris). 2. Prinsip-prinsip yang menjadi pedoman wajib Negara anggota Uni, antara lain national treatment, most favoured nation, dan independent protection. 3. Ketentuan-ketentuan mengenai materi Hak Kekayaan Industri yang meliputi Paten, Merek, dan Desain Industri, antara lain hak prioritas dalam permohonan Paten, Merek, dan Desain Industri, Lisensi Wajib pada Paten, dan sebagainya. Masalah penyelesaian sengketa di bidang HKI memerlukan badan peradilan khusus karena bidang HKI terkait erat dengan perekonomian dan perdagangan. Perkara-perkara perdata di bidang HKI (kecuali bagi Rahasia Dagang dimana merupakan kewenangan Pengadilan Negeri) menjadi kewenangan Pengadilan Niaga, oleh karena itu perkara-perkara di bidang HKI harus diselesaikan dalam waktu yang relatif cepat. Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa atau ketentuan tentang Arbitrase59 juga terdapat dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 Tentang Paten, Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek dan Undang-Undang No. 30 Tahun 2000 Tentang Desain Industri. Selain itu pada ketiga Undang-Undang tersebut terdapat ketentuan yang memberikan upaya kepada pemilik Paten, Merek dan Desain Industri, untuk memohon kepada Pengadilan Niaga untuk diterbitkan Penetapan Sementara Pengadilan untuk mencegah kerugian yang lebih besar terhadap pemilik pemilik Paten, Merek dan Desain Industri. Penetapan Sementara 59
Pada tanggal 21 April 2011 telah dibentuk suatu Badan Arbitrase dan Mediasi Hak Kekayaan Intelektual (BAM HKI)
34
Pengadilan ini merupakan hal yang baru dalam sistem hukum Indonesia, yaitu penetapan yang diberikan oleh hakim sebelum ada perkara pokok, hal ini untuk memenuhi standar ketentuan yang terdapat dalam Persetujuan TRIPs, khususnya Pasal 44. 1. Implementasi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten Penerapan Undang-Undang Paten di Indonesia bukan saja sejak Indonesia menjadi anggota Organisasi perdagangan Dunia atau World Trade Organization, namun jauh sebelumnya Indonesia telah menerapkan Undang-Undang Paten yakni sejak masa penjajahan Belanda, yaitu melalui Reglement Industriele Eigendom 1912 yang mengesahkan pelaksanaan Paten, Merek dan Desain Industri yang mengacu pada peraturan-peraturan yang serupa yang terjadi di Belanda. Sebelumnya juga disahkan Octrooi Wet 1910 Nomor 136 yang mengatur mengenai Paten yang mulai berlaku di Indonesia sejak 1 Juli 1912.60 Selanjutnya setelah Indonesia merdeka dan berdaulat, ketentuan-ketentuan tersebut tidak dapat diterapkan lagi, berhubung proses permintaan Paten harus dilakukan di Negeri Belanda. Sebagai gantinya, pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 12 Agustus 1953, melalui Menteri Kehakiman mengeluarkan Pengumuman Nomor J.S.5/4114 Berita Negara Tahun 1953 Nomor 69 Tentang Permohonan Sementara Pendaftaran.61 Berdasarkan pengumuman tersebut, untuk sementara Kementerian Kehakiman diperkenankan menerima permintaan Paten dalam bahasa asing dengan keharusan dalam waktu enam (6) bulan sudah disusulkan terjemahannya. Permintaan Paten tersebut baru akan diproses setelah diberlakukannya Undang-Undang yang baru. Pengumuman ini 60
Rachmadi usman, Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual, Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di Indonesia, (Bandung: PT. Alumni, 2003), hal. 190. 61 Harsono Adisumarto, Hak Milik Intelektual, Khususnya Paten dan Merek: Hak Milik Perindustrian (Industrial Property), (Jakarta: CV Akademika Pressindo, 1990), hal. 9.
35
disusul lagi dengan Pengumuman Menteri Kehakiman Nomor J.G. 1/2/17 yang memungkinkan permintaan Paten dari luar negeri didaftarkan pula di Indonesia.62 Pengaturan mengenai Paten di Indonesia untuk pertama kalinya diberlakukan oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 1989, yaitu Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1989 Tentang Paten (Lembaran Negara Tahun 1989 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3398), yang berlaku pada tanggal 1 Agustus 1991. Bahwa pengundangan Undang-Undang Paten ini dimaksudkan sebagai langkah awal dalam menciptakan suatu iklim atau suasana yang baik dan mampu mendorong gairah atau semangat penemuan teknologi dan sekaligus didukung pula dengan memberikan perlindungan hukum yang memadai. Selanjutnya Undang-Undang No. 6 Tahun 1989 ini direvisi dengan UndangUndang Nomor 13 tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 6 tahun 1989 Tentang Paten yang berlaku sejak tanggal 7 Mei 1997. Pengaturan tentang ketentuan paten ini kemudian mengalami perubahan yang menyeluruh, yakni dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten (Lembaran Negara tahun 2001 Nomor 109), Tambahan Lembaran Negara Nomor 4130), yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Agustus 2001. Perubahan dimaksud adalah untuk menyesuaikan dengan perkembangan teknologi yang sedemikian pesat dan makin tinggi kesadaran masyarakat untuk meningkatkan pendayagunaan teknologi yang sederhana, juga dimaksudkan untuk mengatur beberapa aspek atau ketentuan dalam Persetujuan TRIPs yang belum diatur dalam Undang-Undang Paten tahun 1989.
62
Rachmadi Usman, op.cit. hal 191.
36
Dalam pemberian Paten, tidak semua penemuan atau invensi akan mendapatkannya. Untuk mendapatkan Paten suatu penemuan harus memiliki syarat substantif tertentu yaitu “kebaruan” (novelty), bisa dipraktikkan dalam industri (industrial applicability), mempunyai nilai langkah inventif (inventive step) dan juga memenuhi syarat formal. Paten adalah bagian dari Hak Kekayaan Intelektual, yang dalam kerangka ini termasuk dalam kategori Hak Kekayaan Industri (industrial property right). Hak Kekayaan Intelektual itu sendiri merupakan bagian dari benda, yaitu benda berwujud (benda immaterial). Pengertian benda secara yuridis ialah segala sesuatu yang dapat menjadi obyek hak. Sedangkan yang dapat menjadi obyek hak itu tidak hanya benda berwujud tetapi juga benda tidak berwujud. Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No.14 Tahun 2001 Tentang Paten mengatur bahwa yang dimaksud Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya. Invensi adalah ide inventor yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang spesifik di bidang teknologi dapat berupa produk atau proses, atau penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses. Dengan demikian, Paten adalah hak istimewa (exclusive) yang diberikan kepada seorang penemu (inventor) atas hasil penemuan (invention) yang dilakukannya di bidang teknologi, baik yang berbentuk produk atau proses saja. Atas dasar hak istimewa tersebut, orang lain dilarang untuk mendayagunakan hasil penemuannya, terkecuali atas izinnya atau penemu sendiri melaksanakan hasil penemuannya. 37
Menurut Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang No. 14 Tentang Paten, jangka waktu paten berlaku selama dua puluh (20) tahun terhitung sejak tanggal penerimaan paten (filing date). Tanggal mulai dan berakhirnya jangka waktu paten dicatat dalam Daftar Umum Paten dan diumumkan dalam Berita Resmi Paten. Salah satu pertimbangan untuk pemberian hak atas Paten adalah untuk memberi imbalan kepada si penemu atas usaha dan investasi yang telah ditanamkan dalam penemuannya itu, maka jangka waktu berlakunya Paten itu penting karena masa itu si Pemegang Paten dapat memanfaatkan hak khususnya dengan cara memberikan lisensi atau izin khusus kepada seseorang atau badan hukum, bahwa pihak yang diberi izin itu boleh membuat barang, cara kerja atau melakukan perbuatan-perbuatan mengenai penemuan si Pemegang Paten, sedangkan bagi pihak lain yang tidak diberi ijin tidak diperkenankan melakukan hal yang sama. Ia hanya dapat melakukan hal yang sama bila Paten itu menjadi public domain setelah jangka waktu Paten itu berakhir. Lisensi Paten adalah ijin yang diberikan oleh Pemegang Paten kepada pihak lain berdasarkan perjanjian pemberian hak untuk menikmati manfaat ekonomi dari suatu Paten yang diberi perlindungan dalam jangka waktu dan syarat tertentu (Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001). Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 Tentang Paten mengatur pula tentang lisensi wajib, yaitu lisensi untuk melaksanakan Paten yang diberikan berdasarkan keputusan Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual atas dasar permohonan satu pihak (Pasal 74 Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 Tentang Paten).63 Ketentuan lisensi wajib dikenal dalam Konvensi Paris Pasal 5 Act of London menyatakan dalam 63
Lihat juga Achmad Zen Umar Purba, Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs, (Bandung: PT. Alumni, 2005), hal.142
38
ayat (2), bahwa tiap negara anggota berhak untuk menentukan dalam perundangundangan nasionalnya bahwa penyalahgunaan hak Pemegang Paten ini, misalnya karena tidak melakukan pelaksanaan Patennya dapat dihindarkan, antara lain dengan memberikan lisensi wajib kepada pihak lain. Akan tetapi, ditentukan bahwa pemberian lisensi wajib ini tidak boleh diadakan lebih cepat dari tiga (3) tahun setelah hak Paten ini diberikan dan pihak Pemegang Paten tidak dapat memberikan alasan yang sah mengapa ia tidak dapat menggunakannya. Lisensi wajib hanya dapat terlaksana bila memenuhi kondisi dan syaratsyarat tertentu, yaitu bila setelah lewat jangka waktu tiga (3) tahun terhitung sejak tanggal pemberian Paten ternyata Paten yang bersangkutan tidak dilaksanakan di Indonesia oleh Pemegang Paten, padahal kesempatan untuk melaksanakan sendiri secara komersial sepatutnya di tempuh. Selain kondisi di atas, lisensi wajib hanya diberikan apabila:64 a.
Pihak yang mengajukan permintaan tersebut dapat menunjukkan bukti yang meyakinkan bahwa ia: 1) mempunyai kemampuan
untuk melaksanakan
sendiri
Paten
yang
bersangkutan secara penuh; 2) mempunyai fasilitas sendiri untuk melaksanakan Paten yang bersangkutan secepatnya; dan 3) telah berusaha mengambil langkah-langkah dalam jangka waktu yang cukup untuk mendapatkan lisensi dari Pemegang Paten atas dasar persyaratan dan kondisi yang wajar, tetapi tidak memperoleh hasil.
64
Lihat Pasal 76 ayat (1) UU RI Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten.
39
b. Direktorat Jenderal berpendapat bahwa Paten tersebut dapat dilaksanakan di Indonesia dalam skala ekonomi yang layak dan dapat memberi kemanfaatan kepada sebagian besar masyarakat. Paten
dapat
dilaksanakan
oleh
Pemerintah
apabila
Pemerintah
berpendapat bahwa suatu Paten di Indonesia sangat penting artinya bagi pertahanan dan keamanan Negara serta adanya kebutuhan yang sangat mendesak untuk kepentingan masyarakat. Paten yang telah dilaksanakan oleh Pemerintah adalah Paten di bidang farmasi atau obat-obatan. Untuk itu Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2004 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Paten oleh Pemerintah dan selanjutnya menerbitkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 83 Tahun 2004 Tentang Pelaksanaan Paten oleh Pemerintah Terhadap Obat-obat Anti Retroviral untuk mengatasi kebutuhan yang mendesak dalam upaya menanggulangi epidemi penyakit HIV/AIDS di Indonesia. Bahwa pelaksanaan Paten oleh Pemerintah yang diatur dalam ketentuan Pasal 99 sampai dengan Pasal 103 Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten adalah bukan pelanggaran terhadap hak eksklusif Pemegang Paten, tetapi sejalan dengan tujuan dan peran Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dalam rangka mengakomodasi kebutuhan untuk memproteksi kesehatan masyarakat dan nutrisi serta untuk mendahulukan kepentingan publik pada sektor yang vital dan untuk kepentingan pengembangan teknologi yang terkait dengan ketentuan dalam Pasal 8 dan Pasal 31 Persetujuan TRIPs, ketentuan mana wajib diimplementasikan oleh Pemerintah Indonesia sebagai negara yang turut mengesahkan Pembentukan WTO serta menandatangani Perjanjian Pembentukan WTO beserta seluruh persetujuan yang dijadikan lampiran (termasuk lampiran Persetujuan TRIPs) sesuai dengan 40
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 Tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia). Deklarasi Doha telah memberikan mandat kepada Indonesia, suatu kewenangan yang pasti dan fleksibilitas untuk secara cepat mengadopsi peraturanperaturan untuk pelaksanaan hak Lisensi Wajib dan memastikan bahwa peraturanperaturan ini dirancang untuk memaksimalkan manfaat dari fleksibilitas di bawah Persetujuan TRIPs dan Undang-Undang Paten Indonesia. Bahwa agar pelaksanaan Lisensi Wajib dapat berjalan dengan baik di Indonesia, maka sudah selayaknya Pemerintah segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang Lisensi Wajib, sehingga semua pihak baik swasta maupun pemerintah dapat memohon Lisensi Wajib kepada Direktorat Jenderal hak Kekayaan Intelektual apabila membutuhkan Paten farmasi tertentu untuk meningkatkan kesehatan masyarakat. Dalam praktiknya setelah bertahun-tahun implementasi Undang-undang Paten, sebagian materi dirasakan kurang memadai lagi sehingga perlu dilakukan revisi atau perubahan. Adapun permasalahan yang perlu dilakukan revisi yaitu mengenai prosedur administrasi dan pendaftaran, rumusan pasal-pasal agar tidak menimbulkan multi tafsir, masalah Lisensi Wajib dalam pengadaan produk farmasi untuk kesehatan masyarakat, pengungkapan dalam permohonan Paten tentang sumber teknologi apabila teknologi tersebut berasal dari sumber daya genetik dari masyarakat lokal, dan rumusan mengenai impor paralel. Mengenai penegakan hukum antara lain tidak hanya dibatasi pada masalah substantif sehubungan dengan penolakan permohonan Paten yang dapat diajukan ke Komisi Banding Paten, 41
melainkan dapat mencakup pula masalah-masalah administratif dan pembatalan Paten (substansi) dan perlu dilakukannya penyempurnaan peraturan penetapan sementara pengadilan agar dapat dilaksanakan dan/atau dapat berfungsi sebagaimana seharusnya. Penyempurnaan beberapa ketentuan yang kurang mendukung proses penyelesaian permohonan Paten dan mengakomodasi perkembangan perlindungan Paten dan penyempurnaan ketentuan-ketentuan yang dirasakan kurang mendukung serta penyempurnaan beberapa rumusan pasal yang belum sesuai selama ini dalam proses administrasi pemberian perlindungan Paten. Penyempurnaan terhadap rumusan mengenai ketentuan impor atas produk farmasi atau yang lazim dikenal dengan Parallel import tidak saja dikecualikan dari tuntutan pidana, tetapi juga pengecualian terhadap gugatan perdata. Demikian pula halnya dengan penggunaan Paten 2 (dua) tahun sebelum masa perlindungan Paten berakhir untuk tujuan memperoleh ijin pemasaran yang lazim dikenal dengan istilah Bolar Provision. Praktik implementasi Undang-undang Paten yang telah berlaku di Indonesia sejak tahun 2001, namun dalam rentang waktu 10 tahun ini, keberadaan Undang-Undang Paten tersebut, dirasakan sudah tidak mampu lagi mengayomi permasalahan yang timbul dan berkembang di masyarakat. Adapun beberapa masalah yang berkembang saat ini di masyarakat dan perlu mendapat perlindungan hukum antara lain adalah: a) Kemudahan Pelayanan Pendaftaran Paten secara elektronik (sistem E-filing). Sistem pendaftaran paten ini sudah dikenal oleh Negara-negara maju termasuk penataan sistem pendaftaran paten yang bersifat regional, namun belum diakomodir dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001, sebab Pasal 20 42
menyebutkan “Paten diberikan atas dasar Permohonan”, sesuai ketentuan Pasal 24 “Permohonan ditulis dalam bahasa Indonesia kepada Direktorat Jenderal. Permohonan itupun harus dilampiri sejumlah dokumen lain seperti surat kuasa (jika dikuasakan), dan uraian mengenai invensi yang dipatenkan. b) Paten yang berasal dari sumber daya genetik harus memberi manfaat bagi masyarakat di lingkungan dimana sumberdaya genetik tersebut berasal, artinya menyisihkan sebagian manfaat invensi bagi pemilik sumber daya genetik (benefit sharing). c)
Perkembangan TRIPs khusus amandemen Article 31 bis huruf f, yang mengatur tentang Lisensi Wajib.
d) Penambahan substansi untuk komisi banding Paten, yaitu masalah administratif dan pembatalan paten. Penetapan sementara Pengadilan yang lazim dikenal dengan Injunction berasal dari sistem hukum Amerika Anglo Saxon yang berlainan dengan sistem Eropa Continental yang merupakan sumber hukum Indonesia, dan Persertujuan TRIPs telah mengaturnya dalam Pasal 44. Walaupun ketentuan mengenai penetapan sementara Pengadilan sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten maupun Undang-Undang Hak Kekayaan Intelektual lainnya, namun sampai saat ini belum dapat diterapkan karena hukum acaranya belum diterbitkan. Dalam hukum acara perdata yang berlaku saat ini tidak dikenal mengenai penetapan sementara, yang ada adalah putusan Sela yang diajukan bersama dengan gugatan, sehingga perlu dirumuskan hukum acaranya yang lebih lengkap agar ketentuan tersebut dapat berjalan, yang pengaturannya meliputi tata cara permohonan, bentuk keputusan, penetapan besarnya jaminan dan sebagainya. 43
Perkembangan kemajuan teknologi yang begitu cepat terutama dibidang teknologi komunikasi yang membawa dampak cukup besar terhadap pola kehidupan manusia, kemajuan dalam komunikasi melalui jaringan elektronik atau komputerisasi telah mengubah pola berkomunikasi bahkan termasuk dalam bertransaksi melalui mekanisme elektronik sudah hal yang biasa dilakukan, kemajuan tersebut mengharuskan Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual dapat mengakomodasi permohonan-permohonan yang diajukan melalui elektronik (electronic filing), hal mana sistem tersebut sudah lazim digunakan di banyak Negara. Diharapkan Indonesia pun dapat menerima pendaftaran Paten melalui elektronik dan hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. 2. Implementasi Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek Pendaftaran Merek merupakan hal yang sangat penting dalam rangka memberikan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas Merek. Pendaftaran Merek dengan menggunakan sistem konstitutif (first to file) lebih menjamin adanya kepastian hukum bagi pemegang hak atas merek, namun sampai saat ini sistem pendaftaran first to file di Indonesia belum efektif menciptakan keselarasan jaminan keadilan dan kemanfaatan, karena masih banyak merek-merek yang didaftarkan bukan oleh pemilik Merek yang sebenarnya. Mengacu pada Undang-Undang No.15 Tahun 2001 Tentang Merek, yang dimaksud dengan merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dan unsur-unsur tersebut yang
44
memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.65 Hak eksklusif Merek diberikan oleh Negara melalui peraturan perundangundangan sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek, yaitu “Hak atas Merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada pemilik Merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri Merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya.” Penggunaan istilah Hak Eksklusif dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek sejalan dengan makna Article 16 ayat (1) Persetujuan TRIPs, yaitu: “The owner of a registered trademark shall have the exclusive right to prevent all third parties not having his consent from using in the course or trade identical or similar signs for goods or services which are identical or similar to those in respect of which trademark is registered where such use would result in a likelihood of confusion.”
Beberapa dari ketentuan-ketentuan pokok Persetujuan TRIPs memerlukan perhatian sehubungan dengan bidang pengaturan tentang Merek. Perlindungan terhadap Merek Terkenal merupakan ketentuan penting yang diatur dalam UndangUndang Merek maupun secara internasional, yaitu dalam Konvensi Paris maupun Persetujuan TRIPs. Adapun dasar pertimbangannya adalah bahwa peniruan Merek Terkenal milik orang lain dilandasi itikad tidak baik, terutama untuk mengambil kesempatan dari ketenaran Merek orang lain, sehingga tidak seharusnya mendapat perlindungan hukum.66
65
Indonesia, Undang-Undang Tentang Merek, UU No. 15, LN No. 110, TLN, No. 4113, Pasal 1, ”merek sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini meliputi merek dagang, merek jasa dan merek kolektif.” 66 Lisbon, Paris Convention for the Protection of Industrial Property, 1883, Article 6bis (1): “The countries of the Union undertake, ex officio if their legislation so permnits, or at the request of an interested party, to refuse or
45
Pengaturan tentang Merek Terkenal terdapat pada Pasal 15 ayat (1) Persetujuan TRIPs yang berbunyi sebagai berikut: ‘’Any sign or any combination of signs, capable of distinguishing the goods or services of one undertaking from those trademarks. Such signs, in particular words including personal names, letter, numeral, figurative elements and combinations colors as well as any combination of such signs, shall be eligible for registration as trademarks. Where signs are not inherently capable of distinguishing the relevant goods or services, Member may make registrability depend on distinctiveness acquired through use. Members may require, as a condition of registration, that signs be visually perceptible.” 67
Berdasarkan ketentuan Pasal 15 ayat (1) Persetujuan TRIPs di atas, Merek didefinisikan sebagai setiap tanda atau kombinasi dari beberapa tanda yang membedakan barang dan jasa yang digunakan suatu usaha dengan usaha yang lainnya. Tanda-tanda tersebut, terutama berupa kata-kata yang termasuk nama pribadi, huruf, angka, lambang dan gabungan warna, serta gabungan dari tandatanda yang memenuhi syarat untuk dapat didaftarkan sebagai Merek. Hal terpenting dalam mendefinisikan merek sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (1) Persetujuan TRIPs adalah penekanan mengenai “unsur pembeda”. Menurut Persetujuan TRIPs, pembedaan (sering kali disebut dengan “daya pembeda”) adalah satu-satunya syarat substantif bagi perlindungan Merek, dimana adanya suatu penolakan terhadap pendaftaran suatu Merek menurut Pasal 15 ayat (1) Persetujuan TRIPs adalah berdasarkan alasan-alasan tidak adanya daya pembeda.
to cancel the registration, and to prohibit the use, of trademark which constitutes a reproduction, an imitation, or a translation, liable to create confusion, of a mark considered by the competent authority of the country of registration or use to be well known in that country as being already the mark of a person entitled to the benefits of this convention and used for identical or similar goods. These provisions shall also apply when the essential part of the mark constitutes a reproduction of any such well-known mark or an imitation liable to create confusion therewith.” 67 Marrakesh, Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights, 1994, Article 15 (1).
46
Dalam Pasal 16 ayat (2) Persetujuan TRIPs dikatakan bahwa untuk menentukan apakah suatu Merek adalah Merek Terkenal, maka pengetahuan dari masyarakat konsumen pemakai Merek tersebut harus dipertimbangkan, termasuk pengetahuan yang diperoleh dari anggota negara sebagai hasil promosi dari Merek tersebut. Dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek, terdapat pula mekanisme pemeriksaan substantif yang dilakukan setelah permohonan dinyatakan memenuhi syarat administratif. Semula pemeriksaan substantif dilakukan setelah selesainya masa pengumuman suatu permohonan atas Merek. Perubahan ini dimaksudkan agar dapat lebih cepat diketahui apakah permohonan tersebut disetujui atau ditolak dan memberi kesempatan kepada pihak lain untuk mengajukan keberatan terhadap permohonan yang telah disetujui untuk didaftar. Pemeriksaan substantif diikuti dengan proses pengumuman yang dilaksanakan selama tiga (3) bulan, lebih singkat dari jangka waktu pengumuman berdasarkan Undang-Undang Merek lama. Dengan dipersingkatnya jangka waktu pengumuman, secara keseluruhan akan dipersingkat pula jangka waktu proses dikabulkannya permohonan atas Merek tersebut. Berkaitan dengan penolakan suatu permohonan atas pendaftaran suatu Merek, pada Pasal 6 Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek diatur mengenai permohonan pendaftaran Merek yang harus ditolak oleh Direktorat Jenderal HKI, apabila Merek tersebut: 1.
Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek pihak lain yang sudah terdaftar lebih dahulu untuk barang dan/atau jasa yang sejenis; Persamaan pada pokoknya di sini adalah kemiripan yang disebabkan oleh adanya unsur-unsur yang menonjol antara Merek yang satu dengan Merek 47
yang lain, yang dapat menimbulkan kesan adanya persamaan baik mengenai bentuk, cara penempatan, cara penulisan atau kombinasi antara unsur-unsur ataupun persamaan bunyi ucapan yang terdapat dalam Merek-merek tersebut yang bersangkutan. Ketentuan ini dapat pula diberlakukan terhadap barang dan atau jasa yang tidak sejenis, sepanjang memenuhi persyaratan tertentu yang akan ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. 2.
Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek yang sudah terkenal milik pihak lain untuk barang dan atau jasa sejenis. Pada Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf b, disebutkan bahwa untuk menentukan terkenalnya suatu Merek harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut: a. Pengetahuan umum masyarakat mengenai Merek tersebut di bidang usaha yang bersangkutan. b. Reputasi Merek terkenal yang diperoleh karena promosi yang gencar dan besar-besaran. c. Investasi di beberapa negara di dunia yang dilakukan oleh pemiliknya, dan d. Disertai bukti pendaftaran Merek tersebut di beberapa negara.
3.
Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan indikasi geografis yang sudah dikenal. Permohonan pendaftaran Merek juga harus ditolak oleh Direktorat
Jenderal HKI, apabila Merek tersebut: 1.
Merupakan atau menyerupai nama orang terkenal, foto, atau nama badan hukum yang digunakan sebagai Merek dan terdaftar dalam Daftar Umum Merek yang dimiliki orang lain, kecuali atas persetujuan tertulis dari yang berhak.
48
2.
Merupakan tiruan atau menyerupai nama atau singkatan nama, bendera, lambang atau simbol atau emblem negara atau lembaga nasional (termasuk organisasi masyarakat ataupun organisasi politik maupun international; kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang. Alasan untuk melarang pemakaian dari tanda-tanda resmi kenegaraan/pemerintah, atau badan-badan internasional maupun badan resmi nasional ialah karena pemakaian itu akan memberi kesan yang keliru bagi khalayak ramai. Seolah-olah Merek itu memang ada hubungannya dengan pemerintah atau badan-badan internasional maupun badan resmi dari pemerintah itu. Oleh karena itu tidak dapat diperkenankan pemakaian dari tanda-tanda yang bersangkutan untuk menghindarkan salah paham dan kekeliruan.
3.
Merupakan tiruan atau menyerupai tanda atau cap atau stempel resmi yang digunakan oleh negara atau lembaga pemerintah, kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang.
4.
Perlindungan Indikasi Geografis. Pada Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek diatur pula
perlindungan bagi Indikasi Geografis dan mengenai Indikasi Asal. Indikasi Geografis adalah suatu tanda yang menunjukkan daerah asal barang yang dikaitkan dengan kualitas, reputasi atau karakteristik lain yang sesuai dengan asal geografis barang tersebut.68 Hal yang membedakan antara Indikasi Geografis dan Indikasi Asal adalah bagi Indikasi Asal tidak diperlukan adanya pendaftaran terlebih dahulu, karena Indikasi Asal semata-mata hanya menunjukkan asal suatu barang atau jasa saja,
68
Tim Lindsey, ed., Hak kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, cet. 4 (Bandung: PT. Alumni, 2005, hal. 139-140
49
sedangkan Indikasi Geografis wajib didaftarkan terlebih dahulu untuk mendapatkan perlindungan.69 Memperhatikan pokok-pokok pengaturan dalam Undang-undang Merek maka diperlukan adanya perubahan yang pada prinsipnya untuk lebih meningkatkan pelayanan kepada masyarakat Pemohon Merek. Dalam hal ini, proses pendaftaran Merek menjadi lebih singkat dan lebih menjamin kepastian hukum. Bahwa Rancangan Undang-undang Merek yang baru ini tetap menganut prinsip first to file sebagaimana yang dianut selama ini. Dengan demikian sistem konstitutif tetap dipertahankan karena sistem itulah yang dirasakan dapat lebih memberikan kepastian hukum dan dianut oleh banyak negara di dunia. Adanya perubahan dalam mekanisme pemberian hak atas Merek dan penegakan hukumnya, adalah dalam rangka untuk lebih memberikan pelayanan kepada masyarakat yang selama ini dirasakan masih kurang memadai. Indonesia telah pula meratifikasi Trademark Law Treaty pada tanggal 7 Mei 1997 yang tujuannya adalah menyederhanakan prosedur pendaftaran merek. Permasalahan dalam Undang-undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek juga berkaitan dengan aspek substansi, prosedural dan penegakan hukum. Proses pendaftaran merek selayaknya dapat dipermudah, bisa diajukan melalui jasa pos, online system, agar dapat menghemat biaya dan mampu membantu usaha kecil dan menengah, serta memperbanyak jumlah pendaftaran Merek. Tentu saja permohonan secara konvensional dengan mengunjungi kantor Ditjen HKI. Dalam Undang-undang Merek terdapat ketentuan mengenai lisensi. Perjanjian lisensi kerap kali bersinggungan atau dapat melanggar tindakan yang 69
Indonesia, Undang-Undang Tentang Merek, UU No. 15, op.cit., Pasal 59.
50
diatur dalam Undang-undang Antimonopoli; oleh karena itu, ketentuan-ketentuan tentang lisensi harus diperjelas. Mengenai Madrid Protokol, apakah sudah saatnya Indonesia meratifikasi Madrid Protocol padahal pelaksanaan Trademark Law Treaty saja belum berjalan secara efektif. Ketentuan mengenai jangka waktu penyelesaian gugatan penghapusan, pembatalan, atau gugatan ganti rugi selayaknya diatur secara jelas dan tegas. Pengecualian mengenai jangka waktu penyelesaian di Pengadilan Niaga dapat saja diatur apabila pihak Tergugat berada di luar negeri. Atau jangka waktu selama 90 hari itu dihitung dari dimulainya awal persidangan setelah para pihak dipanggil secara patut, atau para pihak hadir dalam persidangan. Selama ini penyelesaian jangka waktu selama 90 hari kadang-kadang tidak dapat dilaksanakan karena pihak tergugat tidak diketahui alamatnya, atau berada di luar negeri. Undang-Undang Merek Nomor 15 tahun 2001 masih menggunakan definisi merek yang sama, yaitu Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, hurufhuruf, angka-angka, susunan warna, bentuk, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang dan jasa. Padahal telah ada beberapa Negara yang mengembangkan definisi merek yang memberikan perlindungan pula terhadap Merek dalam bentuk “tiga dimensi atau kemasan” (misalnya: di Jepang, Korea) dan bahkan aroma pun (misalnya di Inggris) dapat didaftarkan sebagai Merek. Salah satu pertimbangan mengapa perlindungan Merek menjadi berkembang adalah untuk memberikan perlindungan hukum yang lebih baik terhadap pemilik Merek dan konsumen, serta mengatasi persaingan curang yang semakin bervariatif tindakannya. Selain itu juga, inti dari perlindungan Merek adalah karena “adanya daya pembeda” dan selama
51
merek yang berupa “tiga dimensi, kemasan atau aroma” itu memiliki daya beda, maka dapat didaftarkan. Proses permohonan banding dan jangka waktu pengajuan banding telah diatur pula dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek dengan menyatakan bahwa Komisi Banding Merek akan memberikan keputusan menerima atau menolak permohonan banding dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal penerimaan permohonan banding. Ternyata, peraturan yang secara jelas tercantum dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek juga belum dapat dilaksanakan secara teguh oleh Komisi Banding Merek (KBM). Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, bahwa putusan atas gugatan dilakukan dalam waktu 90 (sembilan puluh) hari setelah gugatan didaftarkan, pada umumnya dapat diselesaikan oleh Pengadilan Niaga. Jangka waktu itu diperpanjang apabila tergugat berada di luar negeri. Untuk mengantisipasi masalah ini maka dalam revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek perlu ditambah pasal baru dengan menyatakan bahwa jangka waktu itu dilaksanakan setelah sidang I (tingkat pertama) dimulai. Begitu juga jangka waktu penyelesaian di tingkat Mahkamah Agung atas permohonan kasasi yang seharusnya dapat diucapkan paling lama 90 hari setelah permohonan kasasi diterima Mahkamah Agung, ternyata ketentuan itu sulit dilaksanakan secara teguh oleh Mahkamah Agung. 3. Implementasi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri Dengan telah diratifikasinya Persetujuan TRIPs oleh Pemerintah Indonesia, pemerintah telah memberlakukan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang
52
Desain Industri pada tanggal 20 Desember 200070 dengan pertimbangan untuk memajukan industri yang mampu bersaing dalam lingkup perdagangan nasional dan internasional, sehingga dirasakan perlu untuk menciptakan iklim yang mendorong kreasi dan inovasi masyarakat di bidang Desain Industri sebagai bagian dari sistem Hak Kekayaan Industri dan juga didorong pula oleh kekayaan budaya bangsa dan etnis bangsa yang sangat beraneka ragam yang merupakan sumber pengembangan Desain Industri nasional.71 Dalam
peraturan
perundang-undangan
mengenai
Desain
Industri
sebenarnya terdapat unsur perlindungan yang tidak terlepas dari Hak Cipta. Pada awalnya pengaturan Desain Industri tidak dipisahkan dengan bidang Hak Cipta. Desain Industri dianggap sebagai ciptaan keahlian dalam bidang artistik atau paling tidak adalah bagian dari seni terapan (applied art). Hal ini dapat terjadi karena latar belakang materi dan obyek dari Desain Industri itu sendiri yang tidak bisa terlepas dari kerja cipta manusia yang pengaturannya secara tegas diatur melalui ketentuan Hak Cipta, seperti misalnya seni lukis, seni patung dan seni rupa lainnya. Hal ini kita lihat dari wujud Desain Industri itu sendiri yang memang tidak terlepas dari langkah menggambar dan membentuk model72, sehingga dalam praktik di Indonesia pun sebelum berlakunya Undang-Undang No. 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri, permohonan pendaftaran produk-produk yang sesungguhnya masuk dalam bidang
70
Pemerintah Indonesia pernah melakukan upaya untuk memberikan perlindungan hukum bagi desain industri melalui Undang-Undang No. 5 Tahun 1984 Tentang Perindustrian. Namun demikian, perlindungan terhadap desain industri berdasarkan Undang-Undang Perindustrian tersebut tidak terlaksana karena peraturan pelaksanaannya sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 17 Undang-Undang Perindustrian belum diterbitkan. Lihat juga Cita Citrawinda, “Sisi Lemah UU Desain Industri”, Mahkamah Edisi 2 Oktober 2008, hal. 37. 71 Indonesia, Undang-Undang Tentang Desain Industri, UU No. 31 Tahun 2000, Lembaran Negara No. 243 Tahun 2000, Tambahan Lembaran Negara No. 4045, bagian pertimbangan butir a dan b. 72 Muhamad Djumhana dan Djubaedillah, Hak Milik Intelektual: Sejarah, Teori dan Praktiknya di Indonesia, cet. 3 (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 212.
53
Desain Industri diterima oleh Direktorat Jenderal HKI dengan menggunakan sistem perlindungan Hak Cipta.73 Perlindungan Desain Industri selain dilindungi oleh Undang-Undang dalam negara masing-masing, secara internasional perlindungan atas Desain Industri diatur dalam: 1.
The Paris Convention for the Protection of Industrial Property of 1883
2.
The Hague Agreement Concerning the International Classification for Industrial Designs of 1925
3.
The Locarno Agreement Establishing an International Classification for Industrial Designs of 1968
4.
TRIPs Agreement under the World Trade Organization Agreement The Hague Agreement Concerning the International Deposit of Industrial
Designs adalah persetujuan internasional yang mengatur tentang Desain Industri yang disepakati pada tanggal 6 November 1925 di Den Haag. Persetujuan ini dinamakan pula dengan Persetujuan Den Haag yang berisikan beberapa kesepakatan yang menyangkut Desain Industri, yakni London Act 1934, The Hague Act 1960, Additional Act of Monaco 1961, Complementary Act of Stockholm 1967 dan Protocol of Geneva 1975.74 Selain tercantum dalam The Hague Agreement Concerning the International Deposit of Industrial Designs, ketentuan mengenai Desain Industri juga tercantum dalam Part II, Section 4 Persetujuan TRIPs, yaitu tentang Standards Concerning the Availability, Scope and Use of Intellectual Property Rights dalam
73
Lihat Pasal 2 butir 7 Konvensi Bern – “Works of applied art and industrial designs” Rachmadi Usman, Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual, Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di Indonesia, (Bandung: PT. Alumni, 2003), hal. 414. 74
54
Pasal 25 dan Pasal 26. Pasal 25 Persetujuan TRIPs (Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights) tentang Requirements for Protection menyatakan bahwa: “(a) Member shall provide for the protection of independently industrial designs that are new or original. Members may provide that designs are not new or original if they do not significantly differ from known designs or combinations of known design features. Members may provide that such protection shall not extend to designs dictated essentially by technical or functional considerations (b) Each member shall ensure that requirements for securing protection for textile designs, in particular in regard to any cost, examination or publication, do not unreasonably impair the opportunity to seek and obtain such protection. Members shall be free to meet this obligation through industrial design law or through copyright law.”
Sejak diberlakukannya Undang-Undang No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri, dalam prakteknya terdapat berbagai permasalahan sehubungan dengan substansi, implementasi dan penegakan hukum antara lain: Ditinjau dari segi substansi kelemahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri adalah sebagai berikut: 1.
Sistem perlindungan Desain Industri menganut sistem konstitutif, yaitu untuk memperoleh perlindungan Desain Industri, Desain Industri tersebut harus dimohonkan pendaftarannya pada Direktorat Jenderal HKI, Kementerian Hukum dan HAM. Perlindungan atau hak Desain Industri diberikan untuk Desain Industri yang baru sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri. Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Desain Industri menyatakan bahwa hak Desain Industri adalah hak eksklusif yang diberikan Negara kepada Pendesain atas hasil kreasinya untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri, atau memberikan persetujuannya kepada pihak
55
lain untuk melaksanakan hak tersebut.75 Hak Desain Industri diberikan atas dasar permohonan diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang Desain Industri, dan pihak yang untuk pertama kali mengajukan permohonan dianggap sebagai Pemegang Hak Desain Industri, kecuali jika terbukti sebaliknya (Pasal 12). Konsekuensi yuridis dari tidak efektifnya ketentuan Pasal 10 jo Pasal 12 yang mengatur perihal pendaftaran hak (first to file ) yaitu tidak dilakukannya pendaftaran hak atas karya Desain Industri oleh Pendesainnya berakibat Pendesain tidak mendapat perlindungan hukum dan secara yuridis tidak berhak atas karya desainnya. Dengan didaftarnya Desain Industri, Pemegang Hak Desain Industri mempunyai hak dan kewajiban tertentu. 2.
Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Desain Industri menentukan lingkup hak Desain Industri, bahwa Pemegang Hak Desain Industri memiliki hak eksklusif untuk melaksanakan Hak Desain Industri yang dimilikinya dan untuk melarang orang lain yang tanpa persetujuannya membuat, memakai, menjual, mengimpor, mengekspor dan/atau mengedarkan barang yang diberi hak Desain Industri. Hak eksklusif tersebut diberikan kepada Pemegang Hak Desain Industri untuk dalam jangka waktu sepuluh (10) tahun melaksanakan sendiri atau memberikan izin kepada pihak lain untuk melaksanakan hak Desain Industri yang dimilikinya. Dengan demikian, pihak lain dilarang melaksanakan hak Desain Industri tersebut tanpa persetujuan pemegangnya. Namun Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Desain Industri menyatakan bahwa khusus pemakaian Desain Industri untuk kepentingan penelitian dan pendidikan sepanjang tidak merugikan kepentingan
75
Ibid
56
yang wajar dari Pemegang Hak Desain Industri dapat dikecualikan dari lingkup hak Desain Industri tersebut. 3.
Publikasi permohonan pendaftaran Desain Industri dalam masa publikasi selama 3 (tiga) bulan itu dapat dilakukan secara nasional dan dapat diakses sehingga dapat memberikan kesempatan bagi siapa saja melakukan pemantauan atau pengawasan apakah permohonan Desain Industri itu memiliki “kebaruan” atau tidak,
dan
apakah
permohonan
Desain
Industri
perlu
dilakukan
oposisi/keberatan atau tidak. Dengan tindakan itu akan dapat dicegah atau dikurangi kemungkinan pendaftaran Desain-desain Industri yang sebenarnya tidak memiliki “kebaruan”, dan dapat dicegah kemungkinan sengketa Desain Industri yang berupa pembatalan Desain Industri, dan atau tindakan pelanggaran baik pidana atau perdata. 4.
Masalah “kebaruan” atau “novelty” menjadi salah satu pertimbangan dalam pemberian hak Desain Industri. Hal ini berbeda dengan ketentuan dalam Undang-undang Hak Cipta yang menggunakan azas “orisinalitas” atau “originality” dalam pemberian haknya.76 “Kebaruan” Desain Industri tidak diakui apabila pemilik Desain Industri tersebut telah membuat dan memakainya sebelum pendaftaran diajukan pada Direktorat Jenderal HKI. Penelusuran terhadap Desain Industri yang telah ada sebelum Tanggal Penerimaan permohonan menjadi langkah awal dalam pemeriksaan “kebaruan” Desain Industri. Dalam melakukan penilaian “kebaruan” tidak terlepas dari definisi sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Desain Industri, yaitu:
76
Andrieansjah Soeparman, “Jenis Permohonan, Penilaian Kebaruan, dan Penggunaan Hak Desain Industri di Indonesia”, Media HKI Vol. IV/No. 5/Oktober 2007 hal. 7
57
“Desain Industri adalah suatu kreasi tentang bentuk, konfigurasi, atau komposisi garis atau warna, atau garis dan warna, atau gabungan daripadanya yang berbentuk tiga dimensi atau dua dimensi yang memberikan kesan estetis dan dapat diwujudkan dalam pola tiga dimensi atau dua dimensi serta dapat dipakai untuk menghasilkan suatu produk, barang, komoditas industri, atau kerajinan tangan.” 5.
Selanjutnya dalam Pasal 12 ditentukan bahwa pihak yang untuk pertama kalinya mengajukan Permohonan dianggap sebagai pemegang hak Desain Industri, kecuali jika terbukti sebaliknya. “Kecuali jika terbukti sebaliknya” adalah ketentuan yang merupakan pengejawantahan dari prinsip itikad baik yang dianut dalam sistem hukum Indonesia. Hakikat dari bunyi Pasal 12 UndangUndang Desain Industri tersebut bahwa hak atas Desain Industri tersebut hanya bersifat anggapan hukum yang setiap saat dapat digugat pembatalannya apabila terdapat indikasi bahwa Desain Industri tersebut tidak baru. Unsur kreasi yang memberikan kesan estetis dan produk harus dipakai dalam mempertimbangkan “kebaruan” Desain Industri. Pasal 25 ayat (1) Persetujuan TRIPs menentukan bahwa Desain Industri dianggap “baru” apabila berbeda secara signifikan dengan pengungkapan sebelumnya atau kombinasi dari fitur-fitur desain sebelumnya “…not new if they do not significantly differ from known design or combination of known design features …”. Pasal 25 Persetujuan TRIPs tersebut mengatur mengenai persyaratan untuk perlindungan Desain Industri. Desain Industri yang dapat diberikan perlindungan hanyalah Desain Industri yang baru (novel). Suatu Desain Industri dikatakan tidak baru bila desain yang bersangkutan tidak berbeda dari desain lain yang telah dikenal atau kombinasi beberapa desain yang telah dikenal. Selain itu, masing-masing negara anggota WTO diberikan hak atau dapat menetapkan sendiri bahwa perlindungan Desain Industri yang
58
diberikan tidak mencakup desain yang pemakaiannya terkait dengan aspek teknis atau fungsional. Negara-negara anggota WTO juga diwajibkan menjamin persyaratan untuk memperoleh perlindungan terhadap desain tekstil, terutama dalam kaitannya dengan biaya, pemeriksaan atau pengumuman tidak menghambat secara tidak wajar kesempatan untuk memperoleh perlindungan. Pasal 25 ayat (2) Persetujuan TRIPs mengatur masalah perlindungan produk tekstil yang juga harus mendapatkan perlindungan baik melalui Undang-Undang Desain Industri maupun Undang-undang Hak Cipta, sebagaimana berikut ini: “Each member shall ensure that requirements for securing protection for textile designs, in particular in regard to any cost, examination or publication, do not unreasonably impair the opportunity to seek and obtain such protection. Members shall be free to meet this obligation through industrial design law or through copyright law.”
Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 25 ayat (2) tersebut, Undang-undang Desain Industri telah menerapkan ketentuan yaitu memberikan perlindungan terhadap Desain Industri yang berbentuk dua dimensi termasuk memberikan pula perlindungan tekstil melalui Hak Cipta. Pada Pasal 26 ayat (1) Persetujuan TRIPs diatur ketentuan mengenai perlindungan terhadap pemegang hak desain, yaitu bahwa: “The owner of a protected industrial design shall have the right to prevent third parties not having the owner’s consent from making, selling or importing articles bearing or embodying a design which is a copy, or substantially a copy, of the protected design, when such acts are undertaken for commercial purposes.”
Menurut Pasal 26 Persetujuan TRIPs, pemilik suatu Desain Industri yang dilindungi mempunyai hak untuk melarang pihak ketiga yang tidak memperoleh izin darinya untuk membuat, menjual atau mengimpor benda yang mengandung 59
atau memuat desain yang merupakan tiruan, atau secara pokok merupakan tiruan dari desain yang dilindungi apabila tindakan-tindakan tersebut dilakukan untuk tujuan komersial. Pasal ini juga memberikan kebebasan kepada negaranegara anggota WTO untuk menetapkan pengecualian secara terbatas terhadap perlindungan yang diberikan terhadap Desain Industri dengan syarat sepanjang pengecualian dimaksud tidak bertentangan secara tidak wajar dengan tata cara pemanfaatan secara normal atas Desain Industri yang dilindungi dan tidak mengurangi secara tidak wajar kepentingan sah pemilik dari desain yang dilindungi, dengan memperhatikan kepentingan yang sah dari pihak ketiga. Lamanya perlindungan menurut pasal ini adalah tidak kurang dari 10 (sepuluh) tahun. Pasal 26 Persetujuan TRIPs tersebut di atas mengatur mengenai ruang termasuk dalam ruang lingkup Hak Cipta. Pasal 2 dan 3 Konvensi Paris memuat prinsip perlakuan sama (national treatment).77 Prinsip national treatment juga berlaku bagi Desain Industri. Berdasarkan prinsip ini yang mendapatkan perlindungan adalah subyek hukum, yaitu Pendesain, dimanapun ia berada asalkan di salah satu Negara Konvensi, ia berhak mendapatkan perlindungan hukum atas desain-desainnya. Dalam hal pendesain bukan warga Negara dari suatu Negara anggota Konvensi, namun apabila mempunyai usaha di salah satu
77
Lihat Part 1 Article 3 Persetujuan TRIPs. Penjelasannya dikutip dari Pusat Kajian APEC Universitas Indonesia bekerjasama dengan Badan Litbang Departemen Luar Negeri RI, Pemberlakuan Persetujuan Multilateral Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs) dan Pengaruhnya Terhadap Perdagangan Internasional Indonesia (Jakarta: 2000).
60
Negara anggota Konvensi, Pendesain tetap berhak untuk mendapatkan perlindungan atas desain-desainnya tersebut.78 6.
Dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-undang Desain Industri ditentukan bahwa dalam hal tidak terdapat keberatan terhadap Permohonan hingga berakhirnya jangka waktu pengajuan keberatan, Direktorat Jenderal menerbitkan dan memberikan sertifikat Desain Industri paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal berakhirnya jangka waktu tersebut. Dengan tidak diperiksanya permohonan karena tidak ada keberatan yang diajukan, maka tidak dapat diketahui “kebaruan” dari Desain Industri yang dimohonkan pendaftarannya. Pemberian hak Desain Industri tanpa melalui mekanisme proses pemeriksaan substantif apabila tidak ada keberatan dari pihak lain berpotensi menimbulkan masalah, sebagaimana bunyi ketentuan dalam Pasal 29 Undang-undang Desain Industri, yaitu: “Dalam hal tidak terdapat keberatan terhadap permohonan hingga berakhirnya jangka waktu pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 26 ayat (2), Direktorat Jenderal menerbitkan dan memberikan sertifikat Desain Industri paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal berakhirnya jangka waktu tersebut.”
Desain Industri yang mendapat perlindungan diberikan untuk Desain Industri yang “baru”. Desain Industri dianggap “baru” apabila pada Tanggal Penerimaan, desain tersebut tidak sama dengan pengungkapan yang telah ada sebelumnya. Maksud pengungkapan sebelumnya adalah pengungkapan Desain Industri yang sebelum Tanggal Penerimaan atau tanggal prioritas apabila
78
Introduction to Intellectual Property, Theory and Practice, (London: Kluwer Law International, 1998), hal. 361-352.
61
permohonan diajukan dengan hak prioritas, telah diumumkan atau digunakan di Indonesia atau di luar Indonesia. 7.
Permasalahan selanjutnya yaitu ketentuan Pasal 28 Undang-undang Desain Industri yang menyatakan apabila terdapat permohonan yang ditolak, maka pemohon dapat mengajukan keberatan atas penolakan tersebut kepada Direktorat Jenderal HKI. Dalam prakteknya, keberatan tersebut biasanya akan dikembalikan kepada pemeriksa yang bersangkutan yang kemudian menentukan dapat atau tidaknya permohonan keberatan tersebut diterima atau tetap ditolak. Sistem ini kurang menjamin obyektifitas pemeriksa karena pemeriksaan dilakukan bukan oleh lembaga yang independen atau oleh pemeriksa senior sebagaimana halnya Komisi Banding yang diatur dalam Undang-undang Paten maupun Undang-undang Merek. Secara prosedur administrasi dan substantif, kelemahan Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri adalah sebagai berikut: 1.
Sistem pemeriksaan “kebaruan” yang tidak komprehensif, dimana Desain Industri hanya diperiksa jika ada oposisi. Hal ini telah menjadi salah satu permasalahan mendasar dalam implementasi Undang-Undang Desain Industri. Dengan tidak adanya pemeriksaan substantif, berarti terhadap setiap permohonan Desain Industri harus dikabulkan dan pemohon dapat menerima sertifikat Desain Industri. Sistem yang demikian berpotensi menimbulkan banyak kasus di bidang Desain Industri. Kelemahan substansi dari Undang-Undang Desain Industri ini dalam prakteknya membuka peluang dan banyak dimanfaatkan oleh para pemohon yang beritikad tidak baik yang dengan sengaja mendaftarkan Desain Industri yang sudah tidak lagi memiliki “kebaruan”. 62
2.
Prosedur pendaftaran yang kurang praktis dan waktunya terlalu panjang.
3.
Prosedur dan administrasi belum disesuaikan dengan sistem pendaftaran Desain Industri internasional (Hague Agreement – Geneva Act 1999).
4.
Pengaturan jabatan fungsional Pemeriksa Desain Industri kurang optimal bagi pemohon untuk mengajukan keberatan terhadap penolakan oleh Ditjen HKI, dalam hal ini pemeriksa Desain Industri yang bersangkutan, karena tidak dibentuk wadah khusus untuk menampung hal tersebut, seperti Komisi Banding. Sistem ini kurang menjamin obyektifitas pemeriksa karena dilakukan bukan oleh lembaga yang independen atau oleh pemeriksa senior sebagaimana halnya Komisi Banding yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten maupun Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek. Konvensi internasional di bidang Desain Industri yaitu Locarno Agreement
dan Geneva Act sampai saat ini belum diratifikasi oleh pemerintah Indonesia walaupun dalam prakteknya Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual telah menerapkan klasifikasi Desain Industri sebagaimana yang terdapat dalam Locarno Agreement dalam pemeriksaan permohonan Desain Industri. Sistem perlindungan hak Desain Industri menurut Undang-Undang Desain Industri masih terdapat banyak kelemahan dalam prakteknya antara lain sebagai berikut: 1. Sistem perlindungan Desain Industri yang diterapkan dalam Undang-Undang Desain Industri ini secara eksplisit hanya mensyaratkan “kebaruan‟ saja tanpa persyaratan keaslian atau originality. 2. Undang-Undang Desain Industri mengatur bahwa suatu perlindungan terhadap suatu Desain Industri diberikan terhadap Desain Industri yang baru, dimana 63
pengertian
baru
adalah
ketika
suatu
Desain
Industri
dimohonkan
pendaftarannya ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Desain Industri tersebut tidak sama dengan pengungkapan yang telah ada terlebih dahulu. ”Kebaruan” Desain Industri tidak diakui apabila si pemilik Desain Industri tersebut telah membuat dan memakainya sebelum pendaftaran diajukan pada Ditjen HKI. Beberapa isu terkait tentang “ketidakbaruan” diantaranya: 3. Tidak memiliki “kebaruan” karena sudah diproduksi oleh beberapa pihak perusahaan yang berasal dari Indonesia maupun yang diproduksi di luar negeri, sehingga sudah diketahui oleh umum. 4. Ada ”itikad tidak baik” sengaja mendaftarkan Desain Industri yang sudah tidak memiliki ”kebaruan”, sudah diketahui oleh umum atau sudah beredar dalam lingkungan bisnis serupa. Kelemahan yang timbul dalam Undang-Undang Desain Industri dalam hal penegakan hak atau hukum dapat adalah sebagai berikut: 1. Belum ada tata cara dan perhitungan ganti rugi dalam suatu perkara perdata Desain Industri. 2. Tidak diatur secara jelas substansi seperti apa yang dianggap sebagai pelanggaran hak (apakah identik atau ada kemiripan). 3. Belum diatur secara jelas mengenai penggunaan hak Desain Industri terkait dengan jenis permohonan sebagaimana diatur dalam Pasal 13 (satu Desain Industri, atau beberapa desain industri yang merupakan satu kesatuan) sehingga memungkinkan batas hak yang tidak jelas.
64
Ditinjau dari aspek substansi Undang-undang Desain Industri, masih terdapat pasal-pasal yang mengandung kelemahan dalam implementasinya. Kelemahan lainnya yang dapat mempengaruhi implementasi Undang-Undang Desain Industri yaitu masih banyak peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Desain Industri yang belum diterbitkan oleh Pemerintah yaitu Keputusan Presiden Mengenai Syarat dan Tata Cara Pemberian Salinan Desain Industri; Keputusan Presiden Mengenai Pencatatan Perjanjian Lisensi; Keputusan Presiden mengenai Persyaratan, Jangka Waktu dan Tata Cara Pembayaran Biaya; dan Pencatatan Perjanjian Lisensi serta Permintaan lain-lain. Sedangkan peraturan pelaksanaan yang telah disahkan yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2005 Tentang Pelaksanaan UndangUndang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri yang merangkum mengenai Pengajuan Permohonan, Pengajuan Keberatan atas Permohonan, Permintaan Petikan Daftar Umum Desain Industri, Permintaan Dokumen Prioritas Desain Industri, Permintaan Salinan Sertifikat Desain Industri, dan Pencatatan Pengalihan Hak. Permasalahan perlindungan hukum terhadap Desain Industri dalam praktek bisnis di bidang kerajinan menjadi masalah tersendiri. Kondisi demikian disebabkan oleh banyak faktor yang ada di masyarakat, diantaranya faktor yuridis dan ekonomis. Secara yuridis dapat dikatakan bahwa terdapat banyak desain yang dimiliki oleh Pendesain sekaligus pelaku usaha yang tidak didaftarkan, sehingga mengakibatkan perlindungan hukum tidak optimal. Sebagai contoh adalah masyarakat dari Usaha Kecil Menengah (UKM) belum sepenuhnya memahami tentang pentingnya perlindungan hukum Desain Industri yang dihasilkan oleh UKM. Sementara itu secara ekonomi ada kendala dari segi finansial pemilik desain untuk 65
membiayai pendaftaran desain mereka. Sebagai contoh adalah UKM menganggap bahwa pendaftaran Desain Industri memerlukan biaya yang mahal, proses pendaftarannya tidak mudah dan memakan waktu yang lama 79.
D. Kajian terhadap implikasi penerapan sistem baru yang akan diatur dalam RUU Hak Kekayaan Industri terhadap aspek kehidupan masyarakat dan dampaknya terhadap aspek beban keuangan Negara Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah proses pembuatan peraturan perundang-undangan yang pada dasarnya dimulai dari perencanaan, persiapan,
teknik
penyusunan,
perumusan,
pembahasan,
pengesahan,
pengundangan dan penyebarluasan. Apabila dimungkinkan dilakukannya kompilasi perubahan 3 (tiga) Undang-Undang Paten, Merek dan Desain Industri ke dalam satu paket Undang-Undang Hak Kekayaan Industri, maka akan memberi dampak efisiensi dan penghematan terhadap keuangan Negara. Dengan menempatkan 3 perubahan undang-undang menjadi satu naskah maka dapat dikatakan bahwa waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan menjadi jauh lebih singkat. Mengenai sengketa yang terjadi dalam prakteknya yang saling tumpang tindih mengenai jenis-jenis HKI dalam mendefinisikan obyek HKI, contohnya adalah: Desain Industri yang mendaftarkan desain dengan ornamen, atau gambar atau warna dan huruf tertentu, misalkan: desain helm dengan menggunakan gambar karakter Micky Mouse. Desain dua dimensi ini dapat saja tumpang tindih dengan perlindungan terhadap merek/ciptaan pihak lain sehingga menimbulkan sengketa. Contoh lainnya adalah merek dengan ciptaan logo yang kerap terjadi, contohnya:
79
Budi Agus Riswandi, “Melindungi Desain Yang Tidak Terdaftar”, Majalah Handicraft Indonesia, edisi 40 Tahun VI/Mei 2007.
66
kasus Natasha. Contoh ini akan makin banyak bila suatu saat bentuk dapat juga dilindungi sebagai merek yang tentu saja akan bertentangan dengan Desain Industri, contohnya: bentuk coklat toblerone dapat didaftarkan sebagai merek di beberapa negara. Seandainya kompilasi Undang-Undang Paten, Undang-undang Merek dan Undang-undang Desain Industri ke dalam 1 naskah Undang-undang Hak Kekayaan Industri dapat terwujud, diharapkan masalah ini dapat diminimalisasi. Perubahan ketentuan ini juga diharapkan akan merubah proses penerimaan pendaftaran sehingga masalah “grey area” diantara jenis-jenis hak kekayaan intelektual tidak terjadi lagi. Perubahan terhadap Undang-Undang Desain Industri diantaranya dengan kewajiban melakukan pemeriksaan substantif sebelum diterbitkannya sertifikat Desain Industri akan lebih memberi kepastian hukum akan jaminan kebaruan yang wajib ada pada suatu desain. Dengan begitu diharapkan juga ada perlindungan hukum yang lebih sehingga hak yang diberikan pemerintah memang diberikan kepada pendesain yang sesungguhnya. Dengan demikian diharapkan akan semakin meningkatkan jumlah pendaftaran yang berarti juga meningkatkan penerimaan negara dari PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak). Dalam perubahan Undang-Undang Nomor 15 tahun 2001 Tentang Merek juga akan diadopsi pendaftaran secara internasional melalui ratifikasi terhadap Protokol Madrid. Pendaftaran internasional ini juga diharapkan
semakin
meningkatkan pendaftaran Merek dari luar negeri yang berarti akan meningkatkan pemasukan Negara dan semakin tingginya reputasi Negara dalam pergaulan internasional. Tujuan Protokol Madrid adalah membantu pemohon yang akan mendaftarkan mereknya di beberapa negara anggota secara lebih mudah, lebih 67
murah dan lebih cepat karena cukup hanya dengan satu permohonan saja. Prinsip dasarnya adalah: Easier, Simple and Faster. Berdasarkan data statistik WIPO tahun 2008 sekitar 975.000 permohonan Merek didaftarkan diseluruh dunia oleh “nonresiden” dimana 378.000 di antaranya mendaftarkan melalui sistem Madrid (sekitar 38,8%). Tabel 3 berikut ini memperlihatkan jumlah permohonan Merek Tahun 2005 sampai Juli 2011 yang diajukan dari dalam negeri dan asing.
Tabel 3 STATISTIK PERMOHONAN MEREK (2005-Juli 2011) DOMESTIK DAN ASING Tahun\
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
Domestik
27.592
37.964
39.161
41.617
37.853
21.318
28.284
Asing
2.638
4.792
4.220
4.032
4.964
2.551
1.342
Pemohon
Sumber: Statistik pada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM RI Berdasarkan Tabel 3 di atas maka permohonan pendaftaran Merek dari dalam negeri cukup mendominasi permohonan pendaftaran Merek di Indonesia. Hal ini merupakan kondisi yang tipikal bagi negara-negara berkembang. Disamping itu pada statistik WIPO menunjukkan data yang dapat menginformasikan bahwa keikutsertaan suatu negara dalam sistem Madrid akan meningkatkan jumlah permohonan Merek di negara tersebut. Keikutsertaan suatu negara dalam Protokol
68
Madrid akan meningkatkan reputasi dan kredibilitas negara tersebut, sehingga penerapan Madrid Protokol akan meningkatkan pemasukan negara. Perubahan di bidang Paten khususnya dengan pengaturan yang lebih rinci mengenai Lisensi Wajib, Paten untuk pertahanan dan keamanan serta perlunya pengaturan yang lebih lengkap mengenai penetapan sementara (injunction) akan memberi banyak keuntungan bagi Negara kita. Khususnya pengaturan akan Lisensi Wajib dimana kebutuhan akan obat-obatan yang harganya mahal namun mendesak dibutuhkan oleh masyarakat terutama yang tidak memiliki kemampuan membeli. Dengan Lisensi Wajib, Pemerintah dapat memenuhi kebutuhan masyarakat akan tersedianya obat yang murah, tentu saja dengan tetap menghormati hak-hak pemegang hak Paten dan membayar royalti. Permohonan Lisensi Wajib diajukan oleh setiap orang dengan alasan bahwa Paten tersebut tidak dilaksanakan atau dilaksanakan tidak sepenuhnya di Indonesia. Jangka waktu pengajuan permohonan Lisensi Wajib ini dilakukan dalam jangka waktu 36 (tiga puluh enam) bulan sejak tanggal pemberian Paten. Akan tetapi dengan alasan bahwa Paten tersebut menimbulkan kerugian bagi masyarakat (telah jatuh banyak korban misal-nya sementara obat tersebut minim), maka permohonan Lisensi Wajib dapat diajukan setiap saat. Pelaksanaan Lisensi Wajib ini disertai pembayaran royalti oleh penerima lisensi dengan besar royalti sesuai tata cara yang lazim digunakan dalam perjanjian lisensi. Pemberian Lisensi Wajib ini dapat saja dibatalkan dengan alasan-alasan tertentu seperti bila alasan dasar bagi pemberian Lisensi Wajib tidak ada lagi (misalkan kondisi penyakit sudah dapat diatasi). Perubahan dalam Undang-Undang Paten akan menunjukkan keberpihakan pemerintah kepada rakyat banyak khususnya atas kebutuhan akan obat-obatan. 69
Masalah keseimbangan hak dan kewajiban harus memperoleh perhatian yang sangat besar dalam Rancangan Undang-undang Hak Kekayaan Industri. Dari sisi pemegang Desain Industri, selaku pemilik Desain Industri; dari sisi pemegang Paten, selaku pemilik Paten dan pemegang Merek, selaku pemilik Merek atau orang lain yang menerima hak dari pemilik, Negara telah memberikan hak yang bersifat khusus atau eksklusif dan sekaligus perlindungan hukum selama jangka waktu yang diberikan dalam Undang-undang Hak Kekayaan Industri. Dengan perlindungan hukum tersebut, pemegang Paten, Merek maupun Desain Industri bukan saja memperoleh semacam jaminan, tetapi juga memiliki dasar untuk mempertahankan haknya.
70
BAB III EVALUASI DAN ANALISIS UNDANG-UNDANG NO. 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN, UNDANG-UNDANG NO. 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DAN UNDANG-UNDANG NO. 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI
A. Materi muatan dalam revisi Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten, Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek dan Undang-Undang No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri
1. Permasalahan dalam Praktik Implementasi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten Secara umum Undang-Undang Nomor 14 tahun 2001 Tentang Paten antara lain mengatur tentang hak (Paten), cara memperoleh dan mempertahankan hak, dan pembatasan-pembatasan untuk mewujudkan keseimbangan antara hak dan kewajiban pemilik atau pemegang paten. Walaupun Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten telah diberlakukan di Indonesia sejak tahun 2001, namun dalam waktu 7 (tujuh) tahun ini, keberadaan Undang-Undang Paten tersebut dirasakan sudah tidak mampu lagi mengatasi berbagai permasalahan tentang perlindungan atas invensi yang timbul dan berkembang di masyarakat, serta mengayomi berbagai kepentingan dari para pemangku kepentingan terkait dengan kebutuhan akan perlindungan atas Paten dan kebebasan menggunakan teknologi yang seharusnya menjadi milik umum. Hal ini diakibatkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan pengaruh perkembangan teknologi (IPTEK) yang sangat pesat. Perkembangan itu tidak hanya di bidang teknologi tinggi seperti informasi, telekomunikasi, serta bioteknologi, tetapi juga di bidang mekanik, kimia atau lainnya. Di samping itu kesadaran masyarakat juga semakin tinggi untuk meningkatkan pendayagunaan teknologi yang sederhana.
Sesuai dengan tujuan pemberian Paten yaitu untuk memberikan penghargaan atas suatu hasil karya berupa penemuan baru yang dengan adanya penghargaan dimaksud akan mendorong penemuan teknologi baru, maka sudah sepatutnya undang-undang memberikan perlindungan atas Invensi dimaksud bagi para Inventornya. Kelemahan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten dapat ditinjau dari beberapa aspek, sebagai berikut: a)
Ditinjau dari aspek substansi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten
Proses pelaksanaan Persetujuan TRIPs di Indonesia masih terhambat beberapa kendala yang merupakan kelemahan, antara lain yaitu: 1.
Ketentuan mengenai lingkup perlindungan Paten sehubungan dengan penggunaan baru dari Paten yang sudah ada, baik mencakup proses maupun produk, khususnya Paten di bidang farmasi.
2.
Ketentuan mengenai Penetapan Sementara Pengadilan Niaga walaupun sudah diakomodasi dalam Undang-undang Paten tetapi masih belum dapat diterapkan karena belum ada hukum acara yang mengatur dengan jelas dan rinci tentang syarat-syarat dan proses pengajuan Penetapan Sementara di Pengadilan Niaga.
3.
Ketentuan mengenai Pasal 135 huruf a Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 tidak menjelaskan secara spesifik tentang prosedur dan persyaratan administrasi dan teknis dari impor paralel.
4.
Ketentuan Pasal 135 huruf (a) mengatur impor paralel dikecualikan dari ketentuan pidana dan tidak mencakup pengecualian terhadap ketentuan perdata. 72
5.
Belum adanya Peraturan Pemerintah tentang Lisensi Wajib, sehingga penggunaan mekanisme lisensi wajib belum dimungkinkan.
6.
Prosedur dan mekanisme pengeksporan obat-obatan ke negara-negara yang belum memiliki kemampuan untuk memproduksi obat.
7.
Ketentuan mengenai kewajiban pengungkapan dalam permohonan Paten tentang sumber teknologi apabila teknologi tersebut berasal dari sumber daya genetik dari masyarakat lokal. Paten yang berasal dari sumber daya genetik harus memberi manfaat bagi masyarakat di lingkungan di mana sumber daya genetik tersebut berasal, artinya menyisihkan sebagian manfaat invensi bagi pemilik sumber daya genetik (benefit sharing).
8.
Ketentuan mengenai lingkup perlindungan bagi Paten Sederhana
b)
Ditinjau dari aspek Prosedural Substansi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten
Adapun beberapa masalah yang berkembang saat ini di masyarakat dan perlu mendapat perlindungan hukum antara lain adalah: 1.
Kemudahan Pelayanan Pendaftaran Paten secara elektronik (sistem E-filing). Sistem pendaftaran paten ini sudah dikenal oleh Negara-negara maju termasuk penataan sistem pendaftaran Paten yang bersifat regional, namun belum diakomodir dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun 2001 Tentang Paten, karena Pasal 20 menentukan “Paten diberikan atas dasar Permohonan”, sesuai ketentuan Pasal 24 “Permohonan ditulis dalam bahasa Indonesia kepada Direktorat Jenderal. Permohonan itupun harus dilampiri sejumlah dokumen lain
73
seperti Surat Kuasa (jika Permohonan diajukan melalui Kuasa), dan uraian mengenai invensi yang dipatenkan. 2.
Ketentuan mengenai penyelesaian proses permohonan Paten supaya tepat waktu, dan memberikan batasan waktu terhadap pemeriksaan substantif yang sudah melewati jangka waktu 3 (tiga) tahun proses pemeriksaan substantif, maka diambil yang paling menguntungkan terhadap pihak yang dirugikan (granted).
3.
Direktorat Paten masih sering mengeluarkan Surat Kekurangan Pemenuhan Persyaratan Pendaftaran, sementara kekurangan sudah dilengkapi; a. Hasil pemeriksaan substantif beberapa permohonan Paten telah melampaui waktu 36 (tiga puluh enam) bulan; b. Penerbitan Sertifikat Paten yang relatif lama; c. Informasi pengalihan konsultan tidak sampai ke pihak Pemeriksa Paten sehingga Hasil Pemeriksaan Substantif masih dikirimkan kepada konsultan lama. Pelaksanaan lisensi wajib Paten masih sulit dilakukan di Indonesia, karena industri farmasi di Indonesia masih bersifat non-research based yang berakibat Indonesia masih tergantung pada impor bahan baku obat dari negara lain untuk memproduksi sendiri obat-obatan yang diperlukan. Sebagaimana Pemerintah telah memberlakukan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten yang merupakan penyempurnaan dari UU sebelumnya, oleh karena dirasakan masih ada beberapa aspek dalam Persetujuan TRIPs yang belum diakomodasi, sebaiknya Undang-Undang Paten No. 14 Tahun 2001 perlu disempurnakan lagi.
74
4.
Belum diterbitkannya Peraturan Pelaksana dari Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten. Belum lengkapnya peraturan pelaksana Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten dapat memengaruhi pula pada sistem administrasi pendaftaran Paten dan juga menghambat implementasi dan penegakan hukum di bidang Paten, yaitu Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara untuk Memperoleh
Pengakuan
Pemakai
Terdahulu;
Syarat-syarat
mengenai
Pengecualian dan Tata Cara Pengajuan Tertulis mengenai Pengecualian Kewajiban Pemegang Paten membuat produk atau menggunakan proses yang diberi Paten di Indonesia; tentang Perjanjian Lisensi;
tentang lisensi-wajib;
tentang Permohonan melalui Patent Cooperation Treaty (Traktat Kerja Sama Paten); dan juga Keputusan Presiden tentang Perubahan Permohonan dari Paten menjadi Paten Sederhana atau sebaliknya; tentang Penarikan Kembali Permohonan; tentang Tata Cara dan Syarat-syarat Permohonan Pemeriksaan Substantif; tentang Tata cara Permohonan, Pemeriksaan, serta Penyelesaian Banding. Ketiadaan Peraturan Pelaksana Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten memengaruhi efektifitas implementasi penegakan hukum Undang-Undang Paten.
2. Permasalahan dalam Implementasi Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek
Indonesia telah menjadi anggota Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade Organization/Persetujuan TRIPs melalui Undang-Undang Nomor 7 75
Tahun 1994 tentang Pembentukan Pengesahan Organisasi Perdagangan Dunia dan telah meratifikasi konvensi-konvensi maupun traktat internasional di bidang Merek, yaitu Konvensi Paris (Paris Convention for the Protection of Industrial Property) dan Trademark Law Treaty (Traktat Kerja Sama Merek). Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek, dalam implementasinya masih terdapat berbagai kelemahan dalam Undang-undang yang dapat ditinjau dari beberapa aspek, sebagai berikut: a) Ditinjau dari aspek substansi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek Dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek masih terdapat pengaturan yang belum sesuai dengan konvensi internasional yang telah diratifikasi yaitu sebagai berikut: a. Ketentuan mengenai perpanjangan waktu proses pemeriksaan substantif b. Ketentuan mengenai mutasi atas Merek yang masih dalam Permohonan dan Ketentuan mengenai perbaikan terhadap permohonan atau pendaftaran Merek c. Ketentuan mengenai perbaikan terhadap permohonan atau pendaftaran Merek d. Ketentuan mengenai perluasan definisi Merek yaitu mencakup “Non-Traditional Marks” yang meliputi merek 3 dimensi, merek suara, aroma dan hologram (rencana Indonesia meratifikasi Singapore Treaty); e. Ketentuan tentang Pendaftaran Merek Internasional berdasarkan Protokol Madrid (rencana Indonesia meratifikasi Madrid Protocol); f. Ketentuan mengenai sanksi pidana pelanggaran Merek harus diperberat, khususnya mengenai produk-produk tertentu yang dapat membahayakan keselamatan jiwa manusia, dan sifat deliknya adalah delik biasa.
76
g. Ketentuan mengenai perbaikan atas Permohonan atau Pendaftaran Merek, dalam hal ini misalnya, yaitu kesalahan penulisan, baik dari Pemohon atau Direktorat Merek; h. Ketentuan mengenai pencatatan perubahan kuasa atau Konsultan HKI;
b) Ditinjau dari aspek Prosedural Substansi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek
Permasalahan dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek dapat diidentifikasi sebagai berikut: a. Pengiriman notifikasi status permohonan pendaftaran Merek yang melewati batas waktu, tidak sesuai dengan status terakhir Merek tersebut. b. Perubahan Nama dan/atau Alamat dan Pengalihan Hak walaupun telah diajukan untuk dicatatkan, namun apabila diajukan permohonan perpanjangan Merek dengan menggunakan nama dan/atau alamat yang baru, tetap mendapat notifikasi untuk terlebih dahulu harus mengajukan perubahan nama dan/atau alamat dan pengalihan hak tersebut. c. Hasil pemeriksaan kembali terhadap pengajuan oposisi atau sanggahan memakan waktu melebihi yaitu maximum 2 (dua) bulan terhitung sejak berakhirnya jangka waktu pengumuman (Pasal 26 ayat (2) Undang-Undang Nomor 15 tahun 2001 tentang Merek). d. Tidak
diterimanya
Notifikasi
Hasil
Pemeriksaan
Kembali
atas
penolakan/penerimaan pengajuan keberatan/oposisi terhadap suatu Merek, sebagaimana tercantum pada Pasal 26 ayat (3) Undang-Undang No. 15 tahun 2001.
77
e. Proses Pencatatan Putusan Pembatalan Merek yang telah berkekuatan hukum tetap dari Pengadilan Niaga dan oleh pihak Juru Sita Pengadilan telah diteruskan ke Ditjen HKI, tetapi dalam hal ini Ditjen HKI tidak segera melakukan Pencoretan Pembatalan atas Merek Terdaftar tersebut dari Daftar Umum Merek. f. Dimungkinkannya
permohonan
perpanjangan
batas
waktu
pemenuhan
kelengkapan persyaratan permohonan. Dalam hal ini pemohon dapat meminta perpanjangan batas waktu pemenuhan kelengkapan persyaratan terkait dengan Permohonan; g. Dimungkinkannya permohonan pencatatan mutasi terhadap Merek yang masih dalam permohonan. Dalam hal ini pencatatan pengalihan hak/perubahan nama dan/atau alamat Pemohon dapat dilakukan terhadap Merek yang masih dalam status Permohonan; c) Belum diterbitkannya Peraturan Pelaksana dari Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek
Belum lengkapnya peraturan pelaksana Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek dapat memengaruhi pula pada sistem administrasi pendaftaran Merek dan juga menghambat implementasi penegakan atas Undang-undang Merek. Sampai saat ini masih terdapat beberapa peraturan pelaksana dari Undang-Undang Merek yang belum diterbitkan oleh Pemerintah yaitu Peraturan Pemerintah tentang Larangan Impor dan Larangan yang berkaitan dengan izin bagi peredaran barang yang menggunakan Merek yang bersangkutan; Keputusan Presiden mengenai Syarat dan Tata Cara Permohonan Pencatatan Perjanjian Lisensi dan ketentuan mengenai Perjanjian Lisensi, dan ketentuan tentang syarat-syarat dan proses pengajuan Penetapan Sementara di Pengadilan Niaga. 78
Penetapan sementara Pengadilan Niaga dalam prakteknya sulit dilaksanakan karena Pengadilan Niaga tidak memiliki acuan tentang Tata Cara pelaksanaan Penetapan Sementara.
3. Permasalahan dalam Praktik Implementasi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri Hak Desain Industri adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara Republik Indonesia kepada Pendesain atas hasil kreasinya untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri, atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakan hak tersebut.78 Sejak berlakunya Undang-undang No. 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri pada tanggal 20 Desember 2000, dalam prakteknya banyak ditemukan kelemahan maupun kendala sehubungan dengan implementasi Undang-undang Desain Industri. Kelemahan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri dapat ditinjau dari beberapa aspek, 79 sebagai berikut:
a) Ditinjau dari aspek substansi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri Sistem perlindungan Desain Industri yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri secara eksplisit hanya mensyaratkan “kebaruan” saja tanpa persyaratan keaslian atau originality sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 Undang-Undang Desain Industri80 bahwa “Hak desain industri diberikan untuk desain industri yang baru”, dan Pasal 2 ayat (2) mengatur bahwa 78
Lihat Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tentang Desain Industri Op.Cit. Cita Citrawinda “Sisi Lemah UU Desain Industri” 80 Cita Citrawinda, “Perlindungan Hak Desain Industri di Indonesia”, makalah disampaikan dalam Seminar Setengah Hari “Hukum Desain Industri di Indonesia: Interpretasi dan Penegakan Hukumnya” diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara (November 2008). 79
79
“Desain industri dianggap baru apabila pada tanggal penerimaan dan desain industri tersebut tidak sama dengan pengungkapan yang telah ada sebelumnya.” Maksud pengungkapan sebelumnya dalam Pasal 2 ayat (3) adalah pengungkapan Desain Industri yang sebelum tanggal penerimaan atau tanggal prioritas apabila permohonan diajukan dengan hak prioritas,81 telah diumumkan atau digunakan di Indonesia atau di luar Indonesia. Ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Desain Industri mengatur bahwa suatu Desain Industri tidak dianggap telah diumumkan apabila dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sebelum tanggal penerimaan, Desain Industri tersebut telah dipertunjukkan dalam suatu pameran nasional maupun internasional di Indonesia atau di luar negeri yang resmi atau diakui sebagai resmi; atau telah digunakan di Indonesia oleh pendesain dalam rangka percobaan dengan tujuan pendidikan, penelitian atau pengembangan. Ketentuan Pasal 2 dapat menimbulkan multi-interpretasi terkait dengan arti “kebaruan”, dimana dalam Pasal 2 ayat (2) dinyatakan bahwa Desain Industri dianggap “baru” apabila pada tanggal penerimaan, Desain Industri tersebut “tidak sama” dengan pengungkapan yang telah ada sebelumnya, tanpa penjelasan lebih lanjut mengenai maksud kata “tidak sama” yang tertulis dalam Pasal 2 ayat (2) tersebut. Pengertian “baru” adalah pada saat suatu Desain Industri dimohonkan pendaftarannya pada Direktorat Jenderal HKI, Desain Industri tersebut “berbeda” dengan pengungkapan yang telah ada terlebih dahulu. Penafsiran kata “berbeda” dalam praktik selama ini tidak diartikan dengan “tidak sama secara signifikan”. Dengan demikian, walaupun berbeda sedikit saja, maka hal tersebut dianggap tidak sama sehingga dapat dianggap sebagai desain yang baru. Suatu desain dapat 81
Lihat Pasal 2 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 tahun 2000 Tentang Desain Industri
80
dikatakan “sama” apabila dua desain yang diperbandingkan adalah benar-benar 100% sama. Apabila ada sedikit unsur yang berbeda, maka hal tersebut masih tetap dapat dikatakan baru. Dengan kata lain, walaupun mirip, hal tersebut tetap dianggap tidak sama. Dengan adanya penafsiran seperti ini, maka kriteria “kebaruan” yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri berpotensi menimbulkan konflik karena banyak produk yang beredar memiliki persamaan, tetapi pemegang sertifikat Desain Industri sulit menuntut pihak lain yang dianggap melanggar, karena untuk dapat dikategorikan melanggar, desain pihak lain tersebut harus benar-benar “sama” atau identik. Dalam praktiknya terjadi dua penafsiran terhadap kata “tidak sama” tersebut, dimana penafsiran pertama adalah “tidak sama” secara signifikan sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (1) Persetujuan TRIPs yang memberikan ketentuan bahwa Desain Industri dianggap “baru” apabila berbeda secara signifikan dengan pengungkapan sebelumnya atau kombinasi dari fitur-fitur desain sebelumnya, sedangkan penafsiran kedua adalah tidak sama persis (tidak identik). Adapun bunyi ketentuan Pasal 25 ayat (1) Persetujuan TRIPs sebagai berikut: “…Members may provide that designs are not new or original if they do not significantly differ from known designs or combinations of known design features. Members may provide that such protection shall not extend to designs dictated essentially by technical or functional considerations.” Dalam melakukan penilaian “kebaruan” tentunya tidak terlepas dari definisi Desain Industri sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 yaitu Desain Industri, yaitu suatu kreasi tentang bentuk, konfigurasi, atau komposisi garis atau warna, atau garis dan warna, atau gabungan daripadanya yang berbentuk tiga dimensi atau dua dimensi yang memberikan kesan estetis dan dapat diwujudkan
81
dalam pola tiga dimensi atau dua dimensi serta dapat dipakai untuk menghasilkan suatu produk, barang komoditas industri, atau kerajinan tangan. Unsur kreasi yang memberikan kesan estetis dan produk harus dipertimbangkan dalam menilai “kebaruan” suatu Desain Industri. Unsur kreasi Desain Industri dapat berupa produk dan pola, baik dalam wujud tiga dimensi maupun dua dimensi, sedangkan unsur produk adalah jenis-jenis produk industri tempat diterapkannya kreasi Desain Industri tersebut.82 Dalam hal tidak terdapat keberatan terhadap permohonan hingga berakhirnya jangka waktu pengajuan keberatan, Direktorat Jenderal menerbitkan dan memberikan sertifikat Desain industri paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal berakhirnya jangka waktu tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang Desain Industri, sebagai berikut: “Dalam hal tidak terdapat keberatan terhadap permohonan hingga berakhirnya jangka waktu pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 26 ayat (2), Direktorat Jenderal menerbitkan dan memberikan sertifikat Desain Industri paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal berakhirnya jangka waktu tersebut.” Tidak dilakukannya pemeriksaan substantif terhadap setiap permohonan Desain Industri dikarenakan tidak adanya keberatan dari pihak lain telah menjadi salah satu permasalahan mendasar dalam implementasi Undang-Undang Desain Industri. Dengan tidak adanya pemeriksaan substantif, berarti terhadap setiap 82
Andrieansjah Soeparman, op.cit., hal. 12. Lihat juga Cita Citrawinda, “Sisi Lemah UU Desain Industri”, majalah Mahkamah Edisi 2 Oktober 2008 h. 37, bahwa “…panafsiran kata “berbeda” dalam praktik selama ini tidak diartikan dengan “tidak sama secara signifikan”…walaupun berbeda sedikit saja, maka hal tersebut dianggap tidak sama sehingga dapat dianggap sebagai desain yang baru. Suatu desain dapat dikatakan “sama” apabila dua desain yang diperbandingkan adalah benar-benar 100% sama. Apabila ada sedikit unsur yang berbeda, maka hal tersebut masih tetap dapat dikatakan baru. Dengan kata lain, walaupun mirip, hal tersebut tetap dianggap tidak sama. Dengan adanya penafsiran seperti ini, maka kriteria “kebaruan” yang diatur dalam Undang-Undang Desain Industri berpotensi menimbulkan konflik karena banyak produk yang beredar memiliki persamaan, tetapi pemegang sertifikat desain industri sulit menuntut pihak lain yang dianggap melanggar, karena untuk dapat dikategorikan melanggar, desain pihak lain tersebut harus benar-benar “sama”.
82
permohonan Desain Industri harus dikabulkan dan pendaftar dapat menerima sertifikat Desain Industri. Sistem yang demikian berpotensi menimbulkan banyak kasus di bidang Desain Industri karena banyak dimanfaatkan oleh para pemohon yang beritikad tidak baik yang dengan sengaja mendaftarkan Desain Industri yang sudah tidak lagi memiliki “kebaruan”. Pemeriksa Desain Industri hanya dapat melakukan pemeriksaan substantif apabila ada keberatan dari pihak lain. Kelemahan substansi ini merupakan kelemahan paling mendasar dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 Tentang Desain Industri yang dalam praktiknya membuka peluang dan banyak dimanfaatkan oleh para pemohon yang beritikad tidak baik dengan sengaja mendaftarkan Desain Industri yang sudah tidak memiliki “kebaruan”, dan kemudian berdasarkan sertifikat yang dimilikinya mulai menggugat pihak-pihak pesaing bisnisnya. b) Ditinjau dari aspek Prosedural Substansi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri mengatur bahwa “Permohonan yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 11 diumumkan oleh Direktorat Jenderal dengan cara menempatkannya pada sarana yang khusus untuk itu yang dapat dengan mudah serta jelas terlihat oleh masyarakat, paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak Tanggal Penerimaan”. Kendala yang dihadapi dalam praktiknya yaitu bahwa pengumuman Desain Industri hanya ditempatkan pada suatu papan pengumuman yang hanya tersedia di Direktorat Jenderal HKI, Tangerang, sehingga tidak memungkinkan bagi mereka yang berkepentingan atau masyarakat untuk datang ke Direktorat Jenderal HKI setiap kali ada pengumuman, khususnya bagi
83
mereka yang bertempat tinggal di luar Tangerang atau di luar provinsi. Sistem manual yang menempatkan pada pengumuman secara konvensional pada papan pengumuman di Direktorat Jenderal HKI tidak memungkinkan bagi masyarakat untuk melihatnya, sehingga banyak permohonan harus dikabulkan karena tidak ada yang mengajukan keberatan atau oposisi. Banyak Desain Industri yang tidak baru terpaksa harus dikabulkan karena tidak dilakukan pemeriksaan substantif. Keterbatasan cara pengumuman seperti ini dapat menimbulkan permasalahan mengenai apakah Desain Industri yang diajukan permohonannya sungguh-sungguh baru atau tidak, apabila tidak ada keberatan yang diajukan oleh pihak lain. Akibatnya Desain Industri yang tidak layak untuk diberikan hak eksklusif dapat diberi hak Desain Industri oleh Direktorat Jenderal HKI.83 Dalam Undang-undang Desain Industri tidak terdapat ketentuan tentang Komisi Banding Desain yang berwenang menangani banding terhadap keputusan penolakan permohonan Desain Industri yang diajukan oleh pemohon ataupun keberatan terhadap keputusan pemberian Desain Industri oleh pihak lain yang berkepentingan. Perlu adanya Komisi Banding untuk memberikan kemudahan kepada pemohon dan masyarakat apabila permohonan pendaftaran Desain Industrinya ditolak, dan apabila tidak puas dengan keputusan Komisi Banding dimungkinkan untuk mengajukan keberatan melalui Pengadilan Niaga. Dalam pengaturan pemeriksaan banding ini perlu diatur prosedur pemeriksaan, lamanya waktu pemeriksaan, dan anggota Komisi Banding Desain Industri. 83
Ir. Robinson Sinaga., S.H., LL.M, op.cit., hal. 21. Pada kasus-kasus pelanggaran hak terhadap suatu Desain Industri terdaftar diharapkan para penegak hukum dan pihak-pihak terkait dengan proses penegakan hukum dapat benar-benar melaksanakan penegakan hukum dengan mencari kebenaran materiil. Dalam praktiknya, seringkali para penegak hukum mendasarkan kebenaran hak atas desain industri hanya pada kebenaran formal berdasarkan pada sertifikat Desain Industri.
84
c) Belum diterbitkannya Peraturan Pelaksana dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Desain Industri
Belum lengkapnya peraturan pelaksana Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri dapat memengaruhi pula pada sistem administrasi pendaftaran Desain Industri dan juga menghambat implementasi dan penegakan hukum atas Undang-Undang Desain Industri, yaitu Keputusan Presiden Mengenai Syarat dan Tata Cara Pemberian Salinan Desain Industri; Keputusan Presiden Mengenai Pencatatan Perjanjian Lisensi; Keputusan Presiden mengenai Persyaratan, Jangka Waktu dan Tata Cara Pembayaran Biaya; dan Peraturan Pemerintah mengenai Pengajuan Permohonan, Pengajuan Keberatan atas Permohonan, Permintaan Petikan Daftar Umum Desain Industri, Permintaan Dokumen Prioritas Desain Industri, Permintaan Salinan Sertifikat Desain Industri, Pencatatan Pengalihan Hak, Pencatatan Perjanjian Lisensi serta Permintaan lain-lain. Sampai saat ini baru terdapat 1 peraturan pelaksana yang diterbitkan, yaitu PP No. I Tahun 2005 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri. Konvensi internasional di bidang Desain Industri yaitu Locarno Agreement dan Geneva Act sampai saat ini juga belum diratifikasi oleh pemerintah Indonesia walaupun dalam prakteknya Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual telah menerapkan klasifikasi Desain Industri dalam pemeriksaan permohonan Desain Industri sebagaimana yang terdapat dalam Locarno Agreement. Ketentuan Undang-Undang No 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri, khususnya yang berkaitan dengan pendaftaran hak atas karya Desain Industri masih 85
belum efektif dilaksanakan. Kurang efektifnya pelaksanaan ketentuan di bidang Desain Industri disebabkan oleh beberapa faktor yaitu: 1.
Kurangnya pemahaman para pendesain tentang keberadaan Undang-Undang No 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri dan bahkan banyak diantara mereka yang tidak mengetahui bahwa sistem perlindungannya menganut sistem pendaftaran first to file;
2.
Faktor budaya hukum masyarakat Indonesia yang bersifat komunal berbeda dengan sistem yang melandasi perlindungan HKI yang berakar dari budaya hukum negara-negara Barat yang menganut konsep perlindungan hukum individual right, hal ini cenderung menyulitkan penegakan hukum HKI dalam praktik;
3.
Kurangnya pemahaman para penegak hukum tentang substansi dan keberadaan ketentuan hukum Desain Industri; serta
4.
Faktor kurangnya sarana dan prasarana yang mendukung pelaksanaan UndangUndang Desain Industri.
B. Kompilasi Undang Undang-Nomor 14 tahun 2001 Tentang Paten, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri.
Bidang Hak Kekayaan Industri, khususnya Paten, Merek dan Desain Industri yang merupakan cabang pertama dari HKI memiliki peran yang sangat penting dalam pembangunan bangsa, industri dan perdagangan internasional. Kegiatan-kegiatan
penelitian
dan
pengembangan
yang
menuntut
adanya
kemampuan intelektual manusia untuk menjadikan karya yang dihasilkan
86
mempunyai nilai ekonomi bagi pemiliknya maupun bagi masyarakat luas. Dengan adanya nilai ekonomi yang bisa dinominalkan dari teknologi itulah yang kemudian menimbulkan konsep kekayaan (property) dan konsep mengenai hak-hak atas karya itu.84 Konsep kekayaan yang mendorong pada kebutuhan akan pengamanannya yang kemudian menimbulkan kepentingan untuk menumbuh kembangkan sistem perlindungan hukum terhadap kekayaan tersebut yang dikenal dengan perlindungan terhadap Hak Milik Intelektual, tujuannya adalah memberikan kejelasan hukum mengenai hubungan antara kekayaan dengan pencipta atau penemu sebagai pemiliknya, atau pihak lain yang menerima hak tersebut dari pemiliknya untuk menikmati atau memetik manfaatnya selama jangka waktu tertentu.85 1.
Substansi Hukum a. Perlunya perubahan Sistem dalam UU Desain Industri yang kurang dapat Menjamin Kepastian Hukum.
Apabila kita menyimak tentang jumlah Undang-Undang yang mengatur perlindungan terhadap desain industri, dalam praktiknya ternyata perlindungan desain industri dapat diberikan berdasarkan UU Hak Cipta dan perlindungan secara sui generis (secara khusus) berdasarkan UU Desain Industri. Perlindungan melalui sistem pendekatan Hak Cipta didasarkan atas persyaratan penerapan ciptaan langsung pada karya baik dua dimensi maupun tiga dimensi. Perlindungan Hak Cipta terhadap Desain Industri tiga dimensi telah dilakukan secara otomatis tanpa pendaftaran terhadap berbagai macam barang84
Kansil, Perlindungan Hak Milik Intelektual dan Pengaruhnya Terhadap Industri dan Perdagangan Internasional (Makalah Seminar Tentang Pengaruh Hak Milik Intelektual terhadap Industri dan Perdagangan Internasional di Jakarta, 1993), hal. 2. 85 Tim Kepres (1992), Strategi dan Peranan Hukum Hak Milik Intelektual dalam Menyongsong Era Globalisasi, Panel diskusi bidang hukum Hak Milik Intelektual di Jakarta tanggal 4 Februari, diadakan oleh Dewan Pimpinan Pusat Golongan Karya.
87
barang kerajinan yang memiliki nilai seni (artistic work) maupun barang-barang dari berbagai macam seni rupa itu sendiri.86 Sesuai dengan sifat dari hak Cipta, maka ciptaan yang merupakan karya terapan (applied work) akan mendapatkan perlindungan secara otomatis begitu ciptaan tersebut diumumkan. Pendaftaran ciptaan yang dilakukan melalui Ditjen HKI, hanya bersifat anggapan hukum dalam arti barang siapa yang mengajukan permohonan pendaftaran, maka ia dianggap sebagai pencipta atau pemegang hak Cipta kecuali dapat dibuktikan sebaliknya. Jadi, walaupun sudah dikeluarkan UndangUndang khusus yang akan memberikan perlindungan terhadap Desain Industri (dalam hal ini UU Desain Industri), dalam praktiknya secara tidak langsung UU Hak Cipta juga masih tetap memberikan perlindungan terhadap Desain Industri yang telah diwujudkan dalam bentuk nyata berupa ciptaan terapan (applied works). Yang membedakan antara Hak Cipta dan Desain Industri dalam hal ini adalah: 1) Jangka Waktu Perlindungan Untuk hak Cipta jangka waktu perlindungan adalah seumur hidup penciptanya ditambah 50 (lima puluh) tahun,87 untuk perusahaan adalah 50 (lima puluh) tahun sejak ciptaan dipublikasikan.88 Sedangkan perlindungan Desain Industri menurut Undang-Undang Desain Industri, jangka waktu perlindungan adalah 10 (sepuluh) tahun sejak tanggal pendaftaran (registration date) dan tidak dapat diperpanjang.89 2) Jumlah barang yang diproduksi.
86
Lihat Pasal 12 UU Hak Cipta tentang Ruang Lingkup atau Obyek-obyek yang dilindungi Hak Cipta. Lihat Pasal 29 Ayat (2) UU Hak Cipta. 88 Lihat Pasal 30 Ayat (3) UU Hak Cipta 89 Lihat Pasal 5 Ayat (1) UU Desain Industri. 87
88
Menurut Undang-Undang hak Cipta maupun Desain industri, tidak pernah ada satu pasal pun yang menentukan jumlah barang yang diproduksi. Artinya seberapa banyakpun ciptaan dalam bentuk karya terapan yang dibuat, barangbarang tersebut mendapat perlindungan undang-undang Hak Cipta. Sedangkan UU Desain Industri pada Pasal 1 butir 1, tidak menyebutkan bahwa Desain Industri akan dipakai untuk memproduksi barang dalam jumlah tertentu atau secara massal. Yang disebutkan dalam Pasal 1 butir 1 tersebut hanyalah Desain Industri yang dapat dipakai untuk menghasilkan suatu produk, barang, komoditas industri atau kerajinan tangan. 3) Sistem Pemeriksaan Menurut Undang-Undang Hak Cipta walaupun ada pendaftaran, akan tetapi perlindungan Hak Cipta timbul secara otomatis pada saat ciptaan tersebut diwujudkan dalam bentuk nyata. Berbeda dengan bidang HKI lainnya seperti hak Merek, Paten, dan Desain Industri, pemberian hak memang dilakukan oleh Negara melalui proses permohonan pendaftaran. Hak eksklusif atas suatu ciptaan menurut sistem yang diterapkan oleh Berne Convention adalah automatic protection. Dalam sistem perlindungan menurut Undang-Undang Desain Industri, pemeriksaan substantif dilakukan apabila ada oposisi atau keberatan dari pihak lain. Apabila tidak ada keberatan pada saat pengumuman dalam waktu tiga bulan, maka sertifikat langsung diterbitkan oleh Ditjen HKI. Penerapan sistem pemeriksaan substantif adalah wajib dan mutlak untuk dilakukan sebelum diberikan sertifikat hak Desain Industri.
89
C. Rancangan Undang-Undang tentang Hak Kekayaan Industri sebagai strategi dan politik hukum yang dapat memberikan perlindungan yang lebih efektif, efisien dan lebih meningkatkan perekonomian Indonesia.
Law as a tool of social engineering, demikian fungsi hukum menurut Roscoe Pound, yaitu hukum sebagai alat pembaharuan masyarakat merupakan tujuan hukum yang filosofis, artinya bahwa hukum sebagai alat pembaharuan telah berlaku, baik bagi negara sedang berkembang maupun negara modern. Hukum sebagai alat pembaharuan itu sangat penting bagi negara berkembang, karena di negara yang sedang berkembang hukum bukan hanya untuk memelihara ketertiban, melainkan hukum itu sebagai alat pembaruan sikap mental masyarakat yang tradisional ke arah sikap mental masyarakat yang modern. Dalam pengertian sebagai sarana rekayasa sosial, maka hukum tidak pasif, hukum mampu dipakai untuk mengubah suatu keadaan dan kondisi tertentu ke arah yang dituju sesuai dengan kemauan masyarakatnya.90 Dengan demikian hukum menciptakan suatu kondisi dan keadaan yang relatif sangat baru, jadi tidak hanya mengatur keadaan yang telah berjalan. Kualitas dan efektivitas pengelolaan sistem Hak Kekayaan Industri tampak dalam penegakan hukumnya. Selain itu juga dapat dilihat dari kecepatan serta ketetapan dalam menangani permasalahan atau pengaduan atas perkara yang timbul. Bersamaan dengan itu, penilaian mengenai kurang efektifnya penegakan hukum akan mendatangkan penilaian negatif dari negara lain.91 Karena itu bagaimana penegakan peraturan perundang-undangan di bidang Hak Kekayaan Industri dapat efektif di masyarakat, menurut Lawrence M. Friedman, tergantung 90 91
W. Friedman, “Legal Theory,” (London: Stevens & Sons Limited, 1960), hal. 293-296. Sudargo Gautama, Segi-segi Hukum Hak Milik Intelektual (Bandung: PT. Eresco, 1990), hal. 5
90
kepada 3 (tiga) faktor, yaitu substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum masyarakat bersangkutan.92 Mengingat bahwa Hak Kekayaan Industri merupakan Hak Kekayaan Intelektual, maka pemegang hak tersebut memiliki hak eksklusif untuk menggunakan dan memberikan ijin kepada pihak ketiga untuk mengeksploitasi hak tersebut. Oleh karenanya tanpa hak eksklusif, maka orang lain bisa bebas meniru dan memalsukan baik Merek, Paten maupun Desain Industri milik pemilik HKI. Keadaan ini akan merugikan dua pihak, yaitu pemilik Paten, Merek, atau Desain Industri di satu pihak, dan sekaligus masyarakat luas. Jadi salah satu fungsi utama pemberian hak eksklusif oleh undang-undang kepada pemilik Paten, Merek maupun Desain Industri adalah demi peran membina dan menyegarkan sistem perdagangan bebas yang bersih serta persaingan usaha yang jujur dan sehat, sehingga kepentingan masyarakat luas (konsumen) dapat terlindungi dari perbuatan curang dan itikad buruk. Prinsip utama pada Hak Kekayaan Industri, yaitu bahwa hasil kreasi dari karya-karya, invensi-invensi dengan menggunakan kemampuan intelektualnya, maka pribadi
yang
menghasilkan
karya-karya
atau
invensi-invensi
mendapatkan
kepemilikannya berupa hak alamiah. Pada tingkat paling tinggi dari hubungan kepemilikan tersebut adalah bahwa hukum akan memberikan jaminan bagi setiap penguasaan dan untuk menikmati hasil dari benda atau ciptaannya tersebut dengan bantuan negara. Gambaran ini menunjukkan bahwa perlindungan hukum adalah untuk kepentingan si pemilik, baik pribadi maupun kelompok yang merupakan subyek hukum. Namun kepentingan tersebut juga tidak boleh merugikan kepentingan orang lain sesama manusia. Oleh karena itu pelaksanaan kepentingan 92
Lawrence M. Friedman, American Law, (New York-London: W.W. Norton & Co., 1984), hal 5-8.
91
itu harus mampu menyeimbangkan kepentingan dan peran pribadi individu dengan kepentingan masyarakat (orang lain), maka sistem HKI berdasarkan pada prinsipprinsip: 93 1. Prinsip Keadilan (the principle of natural justice) Pencipta sebuah karya, atau orang lain yang bekerja membuahkan hasil dari kemampuan intelektualnya, wajar memperoleh imbalan yang dapat berupa materi maupun immaterial, misalnya rasa aman karena dilindungi dan diakui atas hasil karyanya itu. Hukum memberikan perlindungan demi kepentingan pencipta berupa suatu kekuasaan untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut, yang disebut hak. 94 Setiap hak menurut hukum mempunyai titel, yaitu suatu peristiwa tertentu yang menjadi alasan melekatnya hak itu pada pemiliknya. Bagi Hak kekayaan Industri, peristiwa yang menjadi alasan melekatnya hak terebut adalah penciptaan yang berdasarkan kemampuan intelektual. Karena hak tersebut akan mewajibkan pihak lain untuk melakukan sesuatu atau commission, atau tidak melakukan sesuatu perbuatan atau omission. 2. Prinsip Ekonomi (the economic argument) Karena HKI berasal dari proses kreatif yang memiliki manfaat serta berguna dalam menunjang kehidupan manusia, maka kepemilikan itu wajar karena sifat ekonomis manusia yang menjadikan hal itu satu keharusan untuk menunjang kehidupannya dalam masyarakat. Dengan demikian HKI merupakan suatu
93
Loc. Cit., hal 20-22. Menurut H.F.A.Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata (Jilid 1), (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 1996), hal 6 bahwa Hak dapat dibedakan atas, Hak Mutlak dan Hak Nisbi, Hak Kekayaan Industri adalah Hak Mutlak yang bersifat kebendaan. 94
92
bentuk kekayaan bagi pemiliknya. Dari kepemilikan itu orang akan mendapatkan keuntungan, misalnya royalti. 3. Prinsip Kebudayaan (the cultural argument) Hasil ciptaan itu sejalan dengan ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang besar artinya bagi peningkatan taraf kehidupan, peradaban, dan martabat manusia. Selain itu juga akan memberikan kemaslahatan bagi masyarakat, bangsa dan negara. Pengakuan atas karya dan karsa manusia yang dibakukan dalam sistem HKI adalah suatu usaha untuk mewujudkan lahirnya semangat dan minat untuk mendorong lahirnya ciptaan baru. 4. Prinsip Sosial (the social argument). Hukum tidak mengatur manusia sebagai perseorangan yang berdiri sendiri, terlepas dari manusia yang lain, akan tetapi hukum mengatur kepentingan manusia sebagai warga masyarakat. Jadi manusia dalam hubungannya dengan manusia lain, yang terikat dalam satu ikatan kemasyarakatan. Dengan demikian hak apapun yang diakui oleh hukum dan diberikan kepada seseorang, tidak boleh diberikan semata-mata demi kepentingan orang itu, namun demi kepentingan seluruh masyarakat.
1. Paten sebagai Hak Kekayaan Industri a. Mempunyai jangka waktu tertentu Perlindungan Paten (dan Paten Sederhana) sebagai HKI mempunyai jangka waktu perlindungan. Jangka waktu perlindungan Paten diberikan untuk selama 20 (dua puluh) tahun terhitung sejak Tanggal Penerimaan dan jangka waktu itu tidak dapat diperpanjang (Pasal 8 Undang-undang Nomor 14 Tahun 93
2001). Sedangkan Paten Sederhana diberikan untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak Tanggal Penerimaan dan jangka waktu itu tidak dapat diperpanjang. b. Bersifat eksklusif Bersifat eksklusif maksudnya hak tersebut dapat dipertahankan terhadap siapapun. Siapapun yang memiliki hak itu dapat melarang orang lain menggunakan Paten maupun Paten Sederhana miliknya. Karena itu hak tersebut biasa disebut juga hak monopoli (Pasal 1 angka 1 dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001). c. Bersifat hak mutlak dan immaterial (bukan kebendaan, tidak bertubuh) Dalam konteks perjanjian lisensi ini adalah merupakan perbuatan hukum yang tidak termasuk dalam hal-hal yang dimaksud dalam Undang-Undang Anti Monopoli. Bahwa dalam Rancangan Undang-undang ini harus memuat suatu aturan bahwa Hak Kekayaan Industri tersebut apabila dialihkan dalam konteks pemberian lisensi, maka ekspoitasi dari hak tersebut tidak boleh memuat hal-hal yang baik langsung maupun tidak langsung dapat merugikan perekonomian Indonesia atau memuat pembatasan yang menghambat kemampuan bangsa Indonesia dalam berkreasi serta tidak mengakibatkan adanya persaingan usaha yang tidak sehat. 2. Merek sebagai Hak Kekayaan Industri Merek sebagai Hak Kekayaan Industri mempunyai sifat-sifat tertentu, yang tidak dimiliki benda lain, yaitu: a. Mempunyai jangka waktu tertentu
94
Perlindungan Merek sebagai HKI mempunyai jangka waktu atau batas perlindungan. Jangka waktu perlindungan Merek diberikan untuk selama 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak Tanggal Penerimaan (Pasal 28 UndangUndang Nomor 15 Tahun 2001). b. Bersifat eksklusif Bersifat eksklusif, maksudnya hak tersebut dapat dipertahankan terhadap siapapun. Siapapun yang memiliki hak atas Merek dapat melarang orang lain menggunakan Mereknya. Karena itu hak tersebut biasa disebut juga hak monopoli (vide Pasal 3 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001) c. Bersifat hak mutlak dan immaterial (bukan kebendaan, tidak bertubuh) 3. Desain Industri sebagai Hak Kekayaan Industri a. Mempunyai jangka waktu tertentu Perlindungan Desain Industri sebagai HKI mempunyai jangka waktu atau batas perlindungan. Jangka waktu perlindungan Desain Industri diberikan untuk selama 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak Tanggal Penerimaan dan jangka waktu itu tidak dapat diperpanjang (Pasal 5 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000). b. Bersifat eksklusif Bersifat eksklusif maksudnya hak tersebut dapat dipertahankan terhadap siapapun. Siapapun yang memiliki hak atas Desain Industri dapat melarang orang lain menggunakan Desain Industri tanpa ijin pemiliknya. Karena itu hak tersebut biasa disebut juga hak monopoli (Pasal 1 angka 1 dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001). c. Bersifat hak mutlak dan immaterial (bukan kebendaan, tidak bertubuh) 95
Dalam konteks korelasi antara HKI nasional, HKI internasional dan kegiatan ekonomi,
serta
perdagangan
pasar
global,
perkembangan
standar
internasional bagi pengaturan HKI telah memberikan dampak bagi perkembangan perdagangan dan teknologi, sehingga keadaan ini sangat mendukung pembentukan suatu pasar global bagi produk-produk berbasis HKI. Sebagaimana pendapat Anthony D’Amato and Doris Estelle Long, bahwa pengaturan hukum nasional sendiri pada akhirnya merupakan pengejawantahan dari tujuan-tujuan kepentingan nasional dari suatu negara. Salah satu pertimbangan yang penting untuk diperhatikan dalam interkoneksi antara pengaturan HKI dengan sistem hukum, sistem perekonomian, dan sistem sosial budaya adalah tujuan dalam peningkatan kesejahteraan sosial. Sifat-sifat individualistis dari pengaturan HKI justru harus diinterpretasikan sebagai upaya untuk mendukung kesejahteraan sosial. Dalam kerangka berpikir sebagaimana diuraikan di atas dan dihadapkan pada kenyataan bahwa kebutuhan untuk merevisi tiga undang-undang di bidang HKI yaitu Undang-Undang Desain Industri, Undang-Undang Paten, dan Undang-Undang Merek, apakah ketiga undang-undang tersebut dapat dikompilasikan dalam satu undang-undang tentang Hak Kekayaan Industri. Kompilasi Undang-undang Paten, Undang-undang Merek, dan Undang-undang Desain Industri ke dalam satu naskah undang-undang dapat dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai aspek sebagai berikut: a) Hak atas Paten, Merek dan Desain Industri merupakan hak eksklusif yang diberikan oleh Negara berdasarkan permohonan dari pemohon yang berkepentingan; 96
b) Sistem yang dianut sebagai dasar timbulnya hak adalah
“First to File”
(timbulnya hak atas Paten, Merek dan Desain Industri karena adanya pendaftaran yang diajukan oleh pemiliknya untuk memperoleh perlindungan hukum); c) Paten, Merek dan Desain Industri sebagai jenis HKI dapat berada secara berdampingan dalam satu produk, misalnya produk telepon genggam yang di dalamnya ada teknologi yang dilindungi Paten, tampilan estetisnya dilindungi Desain Industri, dan tanda dagangnya dilindungi Merek; d) Walaupun ada perbedaan dalam jangka waktu pemberian hak prioritas sehubungan dengan permohonan yang diajukan apabila ingin mengklaim hak prioritas, prosedur pengajuan atas hak prioritas diatur berdasarkan permohonan di Negara asal bagi pemohon asing; e) Terdapat pengaturan yang sama mengenai hal-hal yang berkenaan dengan penegakan hukum, misalnya Penetapan Sementara Pengadilan, Banding ke Komisi Banding, forum lembaga peradilan, hukum acara tentang gugatan pembatalan, penghapusan pendaftaran, gugatan ganti rugi, Kasasi di Mahkamah Agung, dan lain sebagainya. f) Terdapat
ketentuan-ketentuan
internasional
sehubungan
dengan
pendaftaran Paten, Merek dan Desain Industri sebagai Hak Kekayaan Industri, seperti Patent Cooperation Treaty untuk Paten, Madrid Protocol untuk Merek, the Hague Aggreement untuk Desain Industri; g) Penghematan biaya legislasi dari tiga RUU menjadi hanya satu RUU; h) Penghematan biaya sosialisasi undang-undang karena sudah terintegrasi menjadi tiga-dalam-satu (three in one); 97
i) Dan lain-lain. Disadari pula bahwa wacana penyatuan tiga undang-undang tentang Desain Industri, Paten, dan Merek menjadi satu naskah undang-undang yaitu Undang-Undang Hak Kekayaan Industri dapat menimbulkan permasalahanpermasalahan baru yang dapat ditinjau dari beberapa aspek, yaitu: a)
Dari aspek Hak Kekayaan Industri yang menurut Paris Convention for the Protection of Industrial Property diatur tidak hanya bidang Paten, Merek dan Desain Industri, tetapi juga termasuk Rahasia Dagang dan Desain Tata Letak Circuit Terpadu.
b)
Dari aspek tehnik perundang-undangan, apakah dimungkinkan untuk membuat Undang-undang Hak Kekayaan Industri yang memuat perubahan atas tiga (3) RUU, yaitu RUU Paten, RUU Merek dan RUU Desain Industri kedalam satu naskah UU Hak Kekayaan Industri; atau apakah membuat Undang-undang Hak Kekayaan Industri yang memuat UU Paten, UU Merek dan UU Desain Industri yang baru, bukan memuat perubahan UU Paten, UU Merek dan UU Desain Industri.
c)
Dari aspek penamaan undang-undang yaitu Undang-Undang Hak Kekayaan Industri, diperkirakan dapat memunculkan wacana baru dalam rangka proses legislasinya, khususnya dapat merupakan kewenangan komisi tertentu di DPR RI,
yaitu
Komisi
Perindustrian,
bukan
Komisi
Hukum
sehingga
pengadministrasian undang-undang termaksud diserahkan kepada Kementerian Perindustrian. d)
Dari aspek sifat penggabungan undang-undang Paten, UU Merek dan UU Desain Industri apakah dapat berupa kodifikasi atau kompilasi, oleh karena masing98
masing nomenklatur penamaan itu membawa dampak dalam format penyusunan batang tubuh undang-undang termaksud; e)
Dari aspek organisasi kelembagaan di lingkungan Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, apakah penggabungan ketiga UU Paten, UU Merek dan UU Desain Industri juga berarti menimbulkan kebutuhan penyatuan tiga direktorat (Paten, Merek dan Desain Industri).
f)
Dari aspek perkembangan hukum Hak Kekayaan Industri yang relatif cepat, akan berdampak pula terhadap kebutuhan perubahan undang-undang yang mengaturnya, hal mana akan menjadi tidak praktis dan tidak efisien jika setiap kali harus mengubah undang-undang Hak Kekayaan Industri padahal perubahan yang dibutuhkan hanya mengenai salah satu undang-undang termaksud, misalnya Paten, atau Merek, atau Desain Industri saja;
g)
Aspek-aspek lainnya yang mungkin dapat merupakan kendala ataupun hambatan dalam gerak dan dinamika perlindungan serta penegakan hukumnya.
99
BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS
Dalam
pelaksanaan
perlindungan
Hak
Kekayaan
Industri
harus
memperhatikan beberapa asas sebagai landasan filosofis, yuridis dan sosiologis. Beberapa asas yang perlu dipertimbangkan dan menjadi satu-kesatuan dalam Hak Kekayaan Industri adalah asas kepastian hukum dan berkeadilan, asas efisien dan efektif sehingga Hak Kekayaan Industri dapat memenuhi harapan para pelaku usaha yang menggunakan dan mendaftar kekayaan industrinya secara jujur, serta melindungi kepentingannya dalam kegiatan bisnisnya, juga melindungi kepentingan masyarakat konsumen agar memperoleh produk kekayaan industri yang berasal dari pemegang Hak Kekayaan Industri yang sebenarnya, dan mampu mencegah serta mengatasi tindakan pelanggaran Hak Kekayaan Industri dari pihak yang curang. A. Landasan Filosofis Landasan filosofis perlindungan Hak Kekayaan Industri adalah Pancasila yaitu rechtsidee (cita hukum) yang merupakan konstruksi pikir (ide) yang mengarahkan hukum kepada apa yang dicita-citakan. Rudolf Stamler95 mengatakan bahwa rechtsidee berfungsi sebagai leitsern (bintang pemandu) bagi terwujudnya cita-cita sebuah masyarakat. Dari rechtsidee itulah disusun konsep dan politik hukum dalam sebuah negara. Cita hukum tersebut merupakan suatu yang bersifat normatif, dan juga konstitutif. Normatif artinya berfungsi sebagai prasyarat transendental yang 95
Rudolf Steammler dalam Roscoe Pound, Hukum Dan Kedudukannya Dalam Masyarakat, Terj. Budiarto, (Jogyakarta: RadjaGrafindo, 1996) hal. 11
mendasari tiap hukum positif yang bermartabat, dan merupakan landasan moral hukum dan sekaligus tolok ukur sistem hukum positif. Cita hukum yang konstitutif berarti rechtsidee berfungsi mengarahkan hukum pada tujuan yang ingin dicapai. Gustaf Radbruch menyatakan bahwa “rechtsidee berfungsi sebagai dasar yang bersifat konstitutif bagi hukum positif, memberi makna bagi hukum. Rechtsidee menjadi tolok ukur yang bersifat regulatif, yaitu menguji apakah hukum positif adil atau tidak.”96 Cita hukum akan mempengaruhi dan berfungsi sebagai asas umum yang memberikan pedoman (guiding principle), norma kritik (kaidah evaluasi), dan faktor yang memotivasi dalam penyelenggaraan hukum (pembentukan, penemuan, penerapan hukum dan perilaku hukum). Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang merupakan hukum dasar bagi pembentukan hukum positif mengandung empat ide pokok, yang oleh para ahli disepakati sebagai cita hukum Indonesia, yaitu: pertama, cita perlindungan yang terkandung dalam frasa “Negara melindungi segenap bangsa Indonesia, dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasarkan atas persatuan”; kedua, cita keadilan sosial, yang terkandung dalam frasa “Negara berhak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”; ketiga, cita kemanfaatan yang terkandung dalam frasa “Negara yang berkedaulatan rakyat, berdasar kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan”; dan keempat, cita keadilan umum, yang terkandung dalam frasa “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Cita perlindungan mengandung makna cita hukum yang menjamin perlindungan segenap bangsa Indonesia, sesuai dengan prinsip keadilan kumulatif 96
Abdul M. Noor Syam, penjabaran Filsafat Pancasila dalam Filsafat Hukum (Sebagai Landasan Pembinaan Sistem Hukum Nasional) (Malang: Laboratotium Pancasila IKIP Malang, 2000) hal. xvi.
101
yang dikemukakan Thomas Aquinas dalam Franz L Neumann,97 yaitu hukum memberi perlindungan kepada seluruh warga masyarakat tanpa memandang status sosial, suku, budaya, politik, agama, dan ekonominya. Hal itu sesuai dengan yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham, bahwa fungsi hukum yang utama adalah memberi penghidupan, mendorong persamaan, dan memelihara keamanan bagi semua orang. Cita keadilan sosial mencerminkan hukum yang menjamin keadilan dalam hidup bermasyarakat, yakni mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh masyarakat, yang mengutamakan perlakuan adil bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa memandang ras, golongan, dan agama. Keadilan semacam ini oleh Aristoteles dan Thomas Aquinas sebagai keadilan distributif, yaitu pembagian barang dan kehormatan pada masing-masing
anggota
masyarakat
sesuai
dengan
kedudukannya
dalam
masyarakat.98 Cita kemanfaatan yang merupakan cita hukum dalam bernegara yakni cita tentang kegunaan hukum dalam bernegara. Ada empat prinsip dasar cita kemanfaatan, yaitu hukum yang berpihak pada kebutuhan rakyat, hukum harus menjamin kesejahteraan rakyat, hukum harus dibuat oleh rakyat melalui wakil dalam parlemen, dan hukum berfungsi mengontrol kekuasaan negara atas dasar supremasi hukum. Prinsip pokoknya adalah kerakyatan, yang oleh Socrates dikatakan bahwa
97
98
Franz L. Neumann, The Ruke of Law, Political Theory and The Legal system in Modern Society, (USA: Berg Puolisher, 1994) hal. 54 Theo Huijbers, Filsafat Hukum (Yogyakarta: Kanisius Press, 1997) Cetakan V, hal. 6.
102
penentuan tentang baik buruk, berhak dan tidak berhak jangan diserahkan kepada penguasa semata, tetapi juga dicari ukuran-ukuran yang obyektif dari rakyat.99 Cita keadilan umum, berlaku prinsip keadilan ius pietatis atau ius internum, yaitu hak dan kewajiban orang untuk beribadah pada Tuhan yang dimaknai dengan hukum yang tidak bertentangan dengan nilai agama/kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Melalui hukum, masyarakat harus dibimbing untuk bermoral. Landasan filosofis perlindungan Desain Industri adalah Pancasila yaitu rechtidee (cita hukum) yang merupakan konstruksi pikir (ide) yang mengarahkan hukum kepada apa yang dicita-citakan. B. Landasan Sosiologis Penelitian terhadap efek suatu peraturan perundang-undangan didalam masyarakat merupakan salah satu usaha untuk mengetahui apakah undang-undang tersebut berfungsi atau tidak. Suatu peraturan perundang-undangan yang dikatakan baik, belum cukup apabila hanya memenuhi persyaratan-persyaratan filosofis dan yuridis saja, karena secara sosiologis peraturan tadi juga harus berlaku. Hal ini bukan berarti setiap peraturan perundang-undangan harus segera diganti apabila ada gejala bahwa peraturan tadi tidak hidup. Peraturan perundang-undangan tersebut harus diberi waktu agar meresap dalam diri masyarakat. Apabila sering terjadi pelanggaran-pelanggaran (tertentu) terhadap suatu peraturan perundang-undangan, maka hal itu belum tentu berarti peraturan tersebut secara sosiologis tidak berlaku dalam masyarakat. 99
Wolfang Friedman, Legal Theory, ed. Cunan (Boston., Masattchussetts, USA : Harvard University Press, 2000) hal. 211.
103
Landasan sosiologis, yaitu bahwa setiap norma hukum yang dituangkan dalam undang-undang haruslah mencerminkan tuntutan kebutuhan masyarakat sendiri akan norma hukum yang sesuai dengan realitas kesadaran hukum masyarakat. Karena itu, harus dirumuskan dengan baik pertimbangan-pertimbangan yang bersifat empiris sehingga sesuatu gagasan normatif yang dituangkan dalam undang-undang benar-benar didasarkan atas kenyataan yang hidup dalam kesadaran hukum masyarakat. Dengan demikian, norma hukum yang dituangkan dalam undang-undang itu kelak dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya ditengah-tengah masyarakat hukum yang diaturnya. Mieke Komar dan Ahmad M. Ramli mengemukakan beberapa alasan mengapa HKI perlu dilindungi, yang pertama adalah bahwa hak yang diberikan kepada seorang pencipta di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra, atau Inventor di bidang teknologi baru yang mengandung langkah inventif merupakan wujud dari pemberian suatu penghargaan dan pengakuan atas keberhasilan manusia dalam melahirkan
karya-karya
inovatifnya.
Dengan
demikian,
sudah
merupakan
konsekuenasi hukum untuk diberikannya suatu perlindungan hukum bagi penemu atau pencipta dan mereka yang melakukan kreativitas dengan mengerahkan segala kemampuan intelektual tersebut seharusnya diberikan suatu hak eksklusif untuk mengeksploitasi HKI tersebut sebagai imbalan atas jerih payahnya itu. 100
100
Mieke Komar dan Ahmad M. Ramli, “Perlindungan Hak Atas Kepemilikan Intelektual Masa Kini dan Tantangan Menghadapi Era Globalisasi Abad 21”, Makalah disampaikan pada Seminar Pengembangan Budaya Menghargai HAKI di Indonesia Menghadapi Era Globalisasi Abad ke-21, Lembaga Penelitian ITBDitjen HCPM Dep. Kehakiman RI, Sasana Budaya Ganesa, tanggal 28 Nopember 1998, hal. 2.
104
Landasan sosiologis perlindungan Hak Kekayaan Industri adalah untuk lebih meningkatkan pelayanan dan memberikan kepastian hukum bagi dunia industri, perdagangan dan investasi sehingga tercipta iklim yang lebih mendorong kreasi dan inovasi masyarakat di bidang Paten, Merek, dan Desain industri, yang melahirkan industri yang maju dan mampu bersaing dalam perdagangan nasional dan internasional. Hal tersebut akan dapat terwujud antara lain dengan perlindungan dan kemudahan akses serta efektifitas proses pendaftaran di bidang Paten, Merek dan Desain Industri. Secara umum, ketiga bidang HKI ini dalam praktiknya menemui kendala perlindungan berupa prosedural dan harmonisasi hukum. Kendala prosedural antara lain berupa proses dan prosedur pendaftaran hak yang terlalu rumit dan lama (dalam bidang merek dan paten), atau bahkan terlalu sederhana (desain industri). Kendala harmonisasi hukum antara lain berupa belum meratifikasi konvensi internasional terkait yang akan lebih meningkatkan kualitas dan kuantitas perlindungan hak, serta belum diimplementasikannya secara optimal konvensi internasional yang sudah diratifikasi ke dalam regulasi nasional. Tujuan utama Persetujuan TRIPs, sebagaimana tercantum dalam pembukaannya adalah: ”untuk mengurangi distorsi dan halangan terhadap perdagangan
internasional,
dengan
memperhitungkan
kebutuhan
untuk
mempromosikan secara efektif dan memadai perlindungan HKI, dan untuk memastikan agar ukuran dan prosedur HKI tidak menjadi halangan tersendiri bagi berlangsungnya perdagangan yang sah.101
101
Southcentre, 1997, TRIPs Agreement: A Guide for the South, the Uruguay Agreement on TRIPs, Geneva, hal. 55.
105
Pasal 7 Persetujuan TRIPs mengatur bahwa perlindungan dan pelaksanaan hak-hak kekayaan intelektual harus memberikan sumbangan bagi kemajuan inovasi teknologi serta pengalihan dengan penyebaran teknologi dengan memperhatikan keseimbangan kepentingan antara produsen dan pengguna dari pengetahuan teknologi serta dengan cara yang kondusif bagi kesejahteraan masyarakat dan ekonomi, dan keseimbangan antara hak dan kewajiban. Landasan sosiologis perlindungan Desain Industri adalah hukum yang mengatur Desain Industri yang melindungi individu atau anggota masyarakat dalam pergaulannya dengan masyarakat secara umum. Hukum yang dibentuk adalah hukum yang responsif yang memaksimalkan potensi sosial melalui hukum Desain Industri yang memperhatikan pemberdayaan masyarakat dan diterima secara sosial. Orientasi
pemikiran
sosiologis
antara
lain
menunjukkan
adanya
perkembangan dinamika masyarakat, dan kecenderungan penilaiannya terhadap pengalaman empiris pada Undang-undang Paten sebelumnya. Suasana masyarakat peneliti, perekayasa dan litkayasa yang pada dasarnya para investor menghendaki perbaikan-perbaikan dalam proses birokrasi untuk mendapatkan sertifikat Paten, tak terkecuali perbaikan di bidang komersialisasi Paten dengan terhantarnya invensi ke Industri, yang pada dasarnya komersialisasi Paten menuju pasar. Hal-hal yang diinginkan diantaranya seperti perlunya diberikan kesempatan untuk mempercepat proses pemberian paten, sehingga inovasi akan berkembang pesat, dan invensi berbasis Paten dapat terwujud. Perubahan dan perkembangan perlindungan Paten yang disuatu sisi membawa dampak yang sangat baik dalam perkembangan teknologi, sehingga 106
mempermudah manusia dalam memenuhi kebutuhannya dalam segala aspek kehidupan baik berupa sarana maupun berupa prasarana. Di sisi lain perlindungan Paten juga membawa dampak yang baik bagi investor sehingga lebih banyak lagi invensi-invensi yang dihasilkan, yang pada gilirannya juga akan menjamin investasi dan penanaman modal, sehingga dengan investasi tersebut teknologi makin berkembang dan hal tersebut akan memacu perkembangan perekonomian yang pada akhirnya bermuara pada kesejahteraan umat manusia. Namun kondisi setiap negara tidak sama terutama negara-negara berkembang (developing countries) dan negara-negara terbelakang)
yang
tergabung
perlindungan
Paten
least
developed
membawa
countries
konsekwensi
(negara-negara lain
terhadap
kesejahteraan masyarakat tersebut, terutama karena teknologi tersebut (paten) pada umumnya datang dari negara maju, terutama yang paling dirasakan dalam kebutuhan di bidang farmasi khusus obat-obatan, dimana persediaannya terbatas dan harganya relatip cukup mahal bagi masyarakat kedua golongan tersebut, sekalipun dalam traktat-traktat dan konvensi-konvensi internasional sebelumnya sudah diatur mekanisme untuk mempermudah untuk mendapatkan akses obat yang mudah dan terjangkau baik melalui mekanisme lisensi wajib maupun melalui mekanisme pelaksanaan paten oleh pemerintah, ketentuan tersebut belum dapat mengatasi permasalahan tersebut di negara dimaksud, mengingat kemampuan untuk memproduksi obat terutama pada Negara-negara terbelakang yang tidak mampu untuk memproduksi obat sendiri. Dampak dari hal tersebut tingkat kematian di negara-negara dimaksud sangat tinggi, hal ini membuat ketidakadilan karena sistem Paten tersebut cenderung 107
hanya menguntungkan negara-negara maju, dengan adanya amandemen Article 31 bis huruf f Persetujuan TRIPs tersebut diharapkan mampu mengatasi permasalahan tersebut, karena pelaksanaan lisensi wajib khusus di bidang produk farmasi dimungkinkan melalui impor dan ekspor, asal dilakukan sesuai dengan mekanisme kesepakatan internasional (Doha). Penetapan Sementara Pengadilan (injunction) merupakan sarana penting bagi pemegang hak yang ingin dilindungi haknya dari pihak-pihak yang sengaja menggunakan Patennya tanpa hak beredar diwilayah Indonesia, hal mana apabila terjadi pelanggaran Paten, sangat merugikan Pemegang Paten yang mungkin sudah mengeluarkan banyak biaya dalam rangka riset atas invensi, dengan tidak berfungsinya ketentuan dimaksud, maka hak Pemegang Paten tidak dapat segera terlindungi dari hasil pelanggaran. Impor atas suatu produk farmasi yang dilakukan oleh bukan Pemegang Paten dapat dianggap sah saja sepanjang yang memproduksi barang tersebut di luar negeri adalah pemegang hak yang sah dan dipasarkan juga olehnya, hal ini untuk mengurangi proteksi/monopoli yang berlebihan, hal ini sangat penting agar persaingan usaha lebih kompetitif dan masyarakat pengguna obat-obatan membeli dengan harga yang layak sesuai dengan mekanisme pasar, sehingga tercipta rasa keadilan, dengan demikian mekanisme impor yang demikian harus dibebaskan dari tuntutan Pemegang Paten baik secara perdata maupun pidana. Ijin untuk suatu produk obat memakan waktu hampir dua tahun karena untuk beredarnya suatu obat harus melalui uji klinis, dengan adanya waktu uji klinis yang panjang demikian, maka penggunaan Paten oleh pihak lain yang bukan 108
Pemegang Paten pada tahun ke-18 dengan tujuan untuk uji klinis dibenarkan dan hal tersebut tidak merupakan pelanggaran sehingga yang bersangkutan terbebas dari tuntutan pidana maupun perdata, hal ini lazim dilakukan perlindungan Paten hanya 20 tahun, apabila orang lain baru dapat menggunakan Paten tersebut setelah masa perlindungan selesai maka perlindungan Paten akan menjadi 22 tahun. Dengan memiliki asas-asas dan landasan yuridis, filososif, dan sosiologis maka Rancangan Undang-Undang Merek telah memperhatikan 3 hal yaitu102: 1. kepentingan masyarakat sebagai konsumen dan meningkatkan kesadaran konsumen untuk menggunakan atau mengonsumsi produk dengan Merek yang benar; 2. memberikan perlindungan terhadap kepentingan pengusaha sebagai pemilik dan/atau pemegang Merek, dan membangun kesadaran antar pengusaha lain sebagai kompetitor untuk melaksanakan kegiatan bisnisnya secara jujur dan bertanggung jawab kepada konsumen dengan tidak menggunakan Merek yang sama atau serupa dengan Merek pengusaha lain yang telah dilindungi; dan 3. kewajiban para penegak hukum untuk melaksanakan penegakan hukum Merek secara benar, jujur dan bertanggung jawab. C. Landasan Yuridis Landasan yuridis perlindungan Hak Kekayaan Industri adalah aturan hukum yang dijadikan pedoman utama dalam mekanisme pelaksanaan Hak Kekayaan Industri agar dilakukan secara tertib. Produk Hak Kekayaan Industri dapat dimanfaatkan oleh para penemu, pendesain, dan pemilik Merek, terutama yang 102
Naskah Akademik tentang RUU Merek, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM RI, tahun 2006.
109
berkaitan dengan nilai ekonomis untuk kesejahteraan dapat berjalan secara adil. Hukum yang dapat memenuhi kebutuhan tersebut adalah hukum yang responsif yang
oleh
Roscoe
Pound,
dan
para
penganut
realism
hukum
adalah
mempertimbangkan kebutuhan sosial atau harus lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat.103 Hukum yang responsif tersebut harus diarahkan oleh landasan filosofis yang mengarahkan hukum pada perlindungan Hak Kekayaan Industri yang adil, baik terhadap penemu, pendesain, dan pemilik Merek, baik yang bermodal besar, menengah maupun yang bermodal kecil. Perkembangan perdagangan internasional dewasa ini menuntut pula kesiapan dan harmonisasi regulasi nasional dengan instrumen hukum internasional di bidang HKI untuk memanfaatkan mekanisme perlindungan internasional bagi HKI nasional. Sejak berlakunya Persetujuan TRIPs yang ditandatangani oleh pemerintah Indonesia (diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 pada tanggal 2 November 1994), sebagai anggota WTO, Indonesia harus menyesuaikan sistem HKI nasional dengan Persetujuan TRIPs dan konvensi-konvensi maupun traktat-traktat internasional di bidang Paten, Merek dan Desain Industri yang sudah diratifikasi oleh Indonesia, sehingga Indonesia berkewajiban memasukan peraturan-peraturan standar atau ketentuan minimal yang diatur dalam Persetujuan TRIPs dan Konvensikonvensi yang telah diratifikasi. Adapun Konvensi dan Traktat internasional di bidang Paten, Merek dan Desain Industri yang sudah diratifikasi maupun yang akan diratifikasi, yaitu sebagai berikut:
103
Roscoe Pound, Jurisprudence, (St. Paul, West Publishing, 1959), hal. 50.
110
1. The Paris Convention for the Protection of Industrial Property (Konvensi Paris) bertujuan untuk memfasilitasi hubungan perdagangan di antara negara-negara anggota dengan mengembangkan perlindungan internasional bagi hak kekayaan industri. Dalam Konvensi Paris ini negara-negara yang tergabung membentuk suatu serikat negara atau union, dan peraturan hukum dan perundang-undangan mengenai HKI harus disesuaikan, dan pada prinsipnya hak prioritas dan sistem Paten masing-masing negara tetap berdiri sendiri. 2. Patent Cooperation Treaty (Traktat Kerja Sama Paten) berfungsi untuk menyempurnakan perlindungan hukum bagi invensi, untuk 1) menyempurnakan dan membuat lebih ekonomis cara mendapatkan perlindungan invensi; 2) mendukung dan mempercepat akses oleh masyarakat mengenai data teknis yang terdapat dalam dokumen yang menggambarkan teknologi baru, dan untuk mendukung
dan
mempercepat
pertumbuhan
ekonomi
negara-negara
berkembang. 3. Trademark Law Treaty 4. Protocol Relating to the Madrid Agreement Concerning the International Registration of Marks Permohonan pendaftaran Merek melalui sistem Madrid adalah permohonan pendaftaran merek internasional berdasarkan “the Madrid Agreement Concerning International Registration of Marks, and the Protocol relating to Madrid Agreement (1989). Sistem pendaftaran merek internasional ini dibentuk berdasarkan 2 (dua) traktat yaitu Madrid Agreement dan Madrid Protocol. Untuk ikut serta dalam sistem pendaftaran merek internasional tersebut, suatu negara 111
terlebih dahulu harus menjadi salah satu anggota traktat dimaksud atau keduanya. 5. The Locarno Agreement Establishing an International Classification for Industrial Design (1968). 6. The Geneva Act 1999 of the Hague Agreement Concerning the International Registration of Industrial Design 7. The Nice Agreement Concerning the International Classification of Goods and Services for the Purpose of the Registration of Marks. 8. The Budapest Treaty on the Recognition of the Deposit for the Purpose of Patent. Pada saat ini, walaupun Indonesia telah memiliki Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri, tetapi dalam prakteknya masih ditemui kendala atau kelemahan dalam aspek substansi dan aspek prosedural yang dapat mempengaruhi pada kurang efektifnya perlindungan dan penegakan hukum HKI, sehingga kurang mampu menciptakan iklim yang dapat mendorong kreasi dan inovasi masyarakat, yang pada akhirnya menghambat perkembangan industri dan daya saing dalam dunia perdagangan internasional. Instruksi Presiden Nomor 11 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Komitmen Cetak Biru Masyarakat Ekonomi ASEAN Tahun 2011 juga harus diperhatikan sebagai landasan yuridis perlindungan Hak Kekayaan Industri, karena memberikan efek ke dalam berupa kesiapan dan pembangunan regulasi nasional HKI, dan efek ke luar berupa kebutuhan harmonisasi hukum dengan konvensi-konvensi internasional dan regional. 112
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan juga dijadikan landasan yuridis perlindungan Hak Kekayaan Industri ini dalam rangka teknik penyusunan Naskah Akademik dan Rancangan Undang-Undangan tentang Hak Kekayaan Industri.
113
BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN UNDANG-UNDANG HAK KEKAYAAN INDUSTRI
A. Jangkauan dan Arah Pengaturan Mengenai Perlindungan Hak Kekayaan Industri Perubahan pengaturan Undang-Undang Paten, Undang-Undang Merek dan Undang-Undang Desain Industri ke dalam satu Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Hak Kekayaan Industri sebagai sasaran yang hendak diwujudkan, diarahkan kepada terbentuknya Undang-Undang tentang Hak Kekayaan Industri yang lebih dapat meningkatkan efisiensi sistem dan prosedur pendaftaran, penegakan hukum HKI yang lebih mampu mendorong dan memajukan sektor industri untuk meluaskan penyebaran karya intelektual guna memenuhi kebutuhan dan kepentingan masyarakat, serta regulasi yang mampu mendorong peningkatan kemampuan daya saing produk kekayaan intelektual Indonesia di dunia Internasional. Peningkatan kemampuan daya saing sektor industri tersebut salah satunya melalui peningkatan perlindungan hukum bagi para pelaku industri dengan menciptakan instrumen hukum yang berkaitan secara langsung dengan sektor industri yang bukan hanya mampu memberikan perlindungan namun sekaligus memberikan kemudahan akses dan efektifitas proses pendaftaran untuk memperoleh status ataupun sertifikat hak atas suatu kekayaan intelektual khususnya bagi sektor industri. Perubahan pengaturan juga diarahkan demi tercapainya keseimbangan antara kepentingan ekonomi individual dan pemegang HKI maupun keseimbangan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi nasional yang diakibatkan oleh implementasi
atau eksploitasi dari HKI itu sendiri. Hukum yang responsif tersebut harus diarahkan oleh landasan filosofis yang mengarahkan hukum pada perlindungan HKI yang adil, baik terhadap penemu, pendesain, dan pencipta, baik yang bermodal besar, menengah maupun yang bermodal kecil. Hukum yang dibentuk adalah hukum yang responsif yang memaksimalkan potensi sosial melalui hukum HKI yang memperhatikan pemberdayaan masyarakat dan diterima secara sosial. Pemanfaatan
teknologi
informasi
dan
komunikasi
dalam
proses
penelusuran, pembuatan, pengembangan, administrasi pendaftaran, dan penegakan hukum HKI juga dapat menjadi arah perubahan pengaturan Undang-Undang Paten, Undang-Undang Merek dan Undang-Undang Desain Industri ke dalam satu RUU tentang Hak Kekayaan Industri, yang bertujuan selain meningkatkan jumlah HKI nasional, juga meningkatkan perlindungan HKI dengan negara lain yang sudah lebih dahulu dan lazim menggunakan teknologi informasi dan komunikasi dalam sistem perlindungan HKI. Perubahan pengaturan Undang-Undang Kekayaan Intelektual yang bertujuan meningkatkan kemampuan daya saing sektor industri dengan memberikan perlindungan hukum yaitu menciptakan instrumen hukum yang mempunyai keterkaitan langsung dengan sektor industri di Indonesia dan sekaligus sebagai konsekuensi keikutsertaan Indonesia sebagai anggota organisasi perdagangan dunia dan sebagai penandatangan dari Perjanjian TRIPs, harus dilakukan secara berkelanjutan dan berkesinambungan dalam hukum nasional. Hal ini ditujukan selain agar regulasi nasional dapat harmonis dengan instrumen hukum internasional,
115
sekaligus juga agar produk-produk kekayaan intelektual nasional dapat masuk dalam perdagangan bebas dunia dan dapat bersaing dengan produk negara-negara lain. Kebutuhan hukum masyarakat Indonesia menuntut adanya perubahan pengaturan Undang-Undang Paten, Undang-Undang Merek dan Undang-Undang Desain Industri, dalam satu RUU tentang Hak Kekayaan Industri antara lain disebabkan adanya kendala penerapan instrumen hukum di sektor industri, baik dari sisi substansi hukum yang diatur serta kendala teknis dalam pelaksanaannya. Kendala dari sisi substansi hukum, perlindungan terhadap HKI masih diatur secara tersendiri dalam Undang-Undang yang tersendiri pula sehingga para pelaku industri yang pada umumnya pelaku ekonomi yang menitikberatkan efisiensi dan efektifitas sering kali mengeluhkan prosedur yang memiliki banyak kesamaan pengaturan dalam masing-masing Undang-Undang sehingga terjadi pengulangan prosedur yang menjadikan ketidakefektifan masing-masing Undang-Undang ini. Perubahan prosedur administrasi perlindungan HKI juga menjadi alasan perubahan pengaturan Undang-Undang Paten, Undang-Undang Merek dan UndangUndang Desain Industri dalam satu RUU tentang Hak Kekayaan Industri yang ditujukan antara lain agar terjadi peningkatan jumlah kekayaan intelektual nasional yang terlindungi. Alasan perubahan pengaturan lainnya adalah dampak kemajuan ilmu pengetahuan dan pengaruh perkembangan teknologi (IPTEK) yang sangat pesat, yang belum secara optimal dimanfaatkan Indonesia, baik dalam proses penelusuran HKI, dalam proses pembuatan HKI baru, maupun dalam proses administrasi perlindungan HKI. Perkembangan kemajuan teknologi yang begitu cepat terutama di bidang 116
teknologi komunikasi yang membawa dampak cukup besar terhadap pola kehidupan manusia, kemajuan dalam komunikasi melalui jaringan elektronik atau komputerisasi telah mengubah pola berkomunikasi bahkan termasuk dalam bertransaksi melalui mekanisme elektronik sudah hal yang biasa dilakukan. Kemajuan tersebut memaksa Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual harus dapat mengakomodasi, permohonan-permohonan yang diajukan melalui elektronik (electronic filing), hal mana sistem tersebut sudah lazim digunakan di banyak negara, Indonesia pun memungkinkan melakukan pendaftaran Paten melalui elektronik, hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
B. Ruang Lingkup Materi Muatan Rancangan Undang-Undang tentang Hak Kekayaan Industri 1. Materi Muatan untuk RUU tentang Perubahan UU Paten 1.
BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan : 1.
Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara Republik Indonesia kepada Inventor atas hasil Invensinya di bidang teknologi.
2.
Invensi adalah ide Inventor yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang spesifik di bidang teknologi dapat berupa produk atau proses, atau penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses. Inventor adalah seorang yang secara sendiri atau beberapa orang yang secara bersama-sama melaksanakan ide yang dituangkan ke dalam kegiatan yang menghasilkan Invensi. 117
3.
Permohonan adalah permohonan Paten yang diajukan kepada Menteri.
4.
Pemohon adalah pihak yang mengajukan Permohonan Paten.
5.
Pemegang Paten adalah Inventor sebagai pemilik Paten atau pihak yang menerima hak tersebut dari pemilik Paten atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak tersebut, yang terdaftar dalam Daftar Umum Paten.
6.
Kuasa adalah Konsultan Hak Kekayaan Intelektual sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
7.
Pemeriksa adalah seseorang yang karena keahliannya diangkat dengan Keputusan Menteri sebagai pejabat fungsional Pemeriksa Paten dan ditugasi untuk melakukan pemeriksaan substantif terhadap Permohonan.
8.
Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia.
9.
Tanggal Penerimaan adalah tanggal diterimanya Permohonan yang telah memenuhi persyaratan administratif minimum.
10. Hak Prioritas adalah hak Pemohon untuk mengajukan Permohonan yang berasal dari negara yang tergabung dalam Paris Convention for the protection of Industrial Property atau Agreement Establishing the World Trade Organization untuk memperoleh pengakuan bahwa Tanggal Penerimaan di negara asal merupakan Tanggal Prioritas di negara tujuan yang juga anggota salah satu dari kedua perjanjian itu selama pengajuan tersebut dilakukan dalam kurun waktu yang telah ditentukan berdasarkan Paris Convention tersebut. 11. Lisensi adalah ijin yang diberikan oleh Pemegang Paten kepada pihak lain berdasarkan perjanjian tertulis untuk menggunakan Paten yang masih dilindungi. 12. Hari adalah hari kerja. 13. Konsultan Hak Kekayaan Intelektual adalah orang yang memiliki keahlian di bidang Hak Kekayaan Intelektual dan secara khusus memberikan jasa pengajuan permohonan dan pengurusan Hak Kekayaan Intelektual, dan diangkat oleh Menteri.
118
2. Judul Bagian Kesatu pada Bab II disesuaikan dengan tata urutan perundangundangan dan menyisipkan ketentuan baru yang dijadikan Pasal 1a, sehingga judul Bagian Kesatu pada Bab II serta keseluruhan Pasal 1a berbunyi sebagai berikut: BAB II LINGKUP PATEN Bagian Kesatu Lingkup Perlindungan Pasal 1a Lingkup perlindungan yang diatur dalam Undang-Undang ini adalah a. Paten; dan b. Paten Sederhana. 3. Penyesuaian urutan bagian pada Bagian Kedua, sebagai berikut: Bagian Kedua Invensi Yang Dapat Diberi Paten Pasal 2 Paten diberikan untuk Invensi yang baru, mengandung langkah inventif dan dapat diterapkan dalam industri. 4. Penambahan paragraf dan judul paragraf, sebagai berikut: Paragraf 1 Invensi Yang Baru Pasal 3 (1) Suatu Invensi dianggap baru jika pada Tanggal Penerimaan, Invensi tersebut tidak sama dengan teknologi yang diungkapkan sebelumnya. (2) Teknologi yang diungkapkan sebelumnya, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah teknologi yang telah diumumkan di Indonesia atau di luar Indonesia dalam suatu tulisan, uraian lisan atau melalui peragaan, penggunaan, atau dengan cara lain yang memungkinkan seorang ahli untuk melaksanakan Invensi tersebut sebelum: a.
tanggal Penerimaan; atau
b.
tanggal prioritas. 119
(3) Teknologi yang diungkapkan sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup dokumen Permohonan yang diajukan di Indonesia yang dipublikasikan pada atau setelah Tanggal Penerimaan yang pemeriksaan substantifnya sedang dilakukan, tetapi Tanggal Penerimaan tersebut lebih awal daripada Tanggal Penerimaan atau tanggal prioritas Permohonan. 5. Ketentuan Pasal 4 diubah dengan menyisipkan ketentuan baru yaitu menambahkan ayat (1) huruf b1, sehingga keseluruhan Pasal 4 berbunyi sebagai berikut: Pasal 4 (1) Suatu Invensi tidak dianggap telah diumumkan jika dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sebelum Tanggal Penerimaan: a. Invensi
tersebut
telah
dipertunjukkan
dalam
suatu
pameran
internasional di Indonesia atau di luar negeri yang resmi atau diakui sebagai resmi atau dalam suatu pameran nasional di Indonesia yang resmi atau diakui sebagai resmi; b. Invensi tersebut telah digunakan di Indonesia oleh Inventornya dalam rangka percobaan dengan tujuan penelitian dan pengembangan; atau b1. Invensi tersebut telah dipublikasikan di salah satu jurnal ilmiah dan/atau pertemuan ilmiah baik nasional maupun internasional oleh inventor dan/atau Institusinya. (2) Invensi juga tidak dianggap telah diumumkan apabila dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sebelum Tanggal Penerimaan, ternyata ada pihak lain yang mengumumkan dengan cara melanggar kewajiban untuk menjaga kerahasiaan Invensi tersebut. 6. Penambahan paragraf dan judul paragraf serta diantara Pasal 4 dan Pasal 5 disisipkan Pasal 4A, sehingga keseluruhannya berbunyi sebagai berikut: Paragraf 2 Invensi Yang mengandung Langkah Inventif Pasal 4A
120
(1) Suatu Invensi mengandung langkah inventif jika Invensi tersebut bagi seseorang yang mempunyai keahlian tertentu di bidang teknik merupakan hal yang tidak dapat diduga sebelumnya. (2) Penilaian bahwa suatu Invensi merupakan hal yang tidak dapat diduga sebelumnya harus dilakukan dengan memperhatikan keahlian yang ada pada saat Permohonan diajukan atau yang telah ada pada saat diajukan permohonan pertama dalam hal Permohonan itu diajukan dengan Hak Prioritas. 7. Penambahkan paragraf dan judul paragraf pada Pasal 5, sebagai berikut: Paragraf 3 Invensi Yang Dapat Diterapkan Dalam Industri Pasal 5 Suatu Invensi dapat diterapkan dalam industri jika Invensi tersebut dapat dilaksanakan dalam industri sebagaimana yang diuraikan dalam Permohonan. 8. Penambahan judul bagian dan penyempurnaan ketentuan Pasal 6, sehingga keseluruhan Pasal 6 berbunyi sebagai berikut: Bagian Ketiga Paten Sederhana Pasal 6 Paten Sederhana diberikan untuk setiap invensi berupa alat yang baru dan mempunyai nilai kegunaan praktis disebabkan oleh bentuk, konfigurasi, konstruksi, atau komponennya. 9. Ketentuan Pasal 7 diubah dengan menambahkan judul bagian dan menyisipkan ketentuan baru pada huruf f sampai dengan k, sehingga keseluruhan Pasal 7 berbunyi sebagai berikut: Bagian Keempat Invensi yang Tidak Dapat Diberi Paten Pasal 7 Paten tidak diberikan untuk Invensi tentang:
121
a. proses atau produk yang pengumuman dan penggunaan atau pelaksanaannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas agama, ketertiban umum, atau kesusilaan; b. metode pemeriksaan, perawatan, pengobatan dan/atau pembedahan yang diterapkan terhadap manusia dan/atau hewan; c. teori dan metode di bidang ilmu pengetahuan dan matematika; d. semua makhluk hidup, kecuali jasad renik; e. proses biologis yang esensial untuk memproduksi tanaman atau hewan, kecuali proses non-biologis atau proses mikrobiologis; f. kreasi estetika; g. skema; h. aturan dan metode untuk melakukan kegiatan: 1) yang melibatkan kegiatan mental, atau 2) permainan;dan/atau 3) bisnis. i.
aturan dan metode mengenai program komputer;
j.
presentasi mengenai suatu informasi; atau
k. substansi yang diperoleh dengan cara transformasi nuklir. 10. Perubahan bagian dan judul bagian, sebagai berikut: Bagian Kelima Jangka Waktu Perlindungan Pasal 8 (1) Paten diberikan untuk jangka waktu selama 20 (dua puluh) tahun terhitung sejak Tanggal Penerimaan dan jangka waktu itu tidak dapat diperpanjang. (2) Tanggal mulai dan berakhirnya jangka waktu Paten dicatat dan diumumkan. 11. Penyesuaian urutan bagian, sebagai berikut: Bagian Keenam Subjek Paten Pasal 10 (1) Yang berhak memperoleh Paten adalah Inventor atau yang menerima lebih lanjut hak Inventor yang bersangkutan. 122
(2) Jika suatu Invensi dihasilkan oleh beberapa orang secara bersama-sama, hak atas Invensi tersebut dimiliki secara bersama-sama oleh para inventor yang bersangkutan. 12. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut: Pasal 15 (1) Pihak yang melaksanakan suatu Invensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) hanya dapat diakui sebagai pemakai terdahulu apabila setelah diberikan Paten terhadap Invensi yang sama, ia mengajukan permohonan untuk itu kepada Menteri. (2) Permohonan pengakuan sebagai pemakai terdahulu wajib disertai bukti bahwa pelaksanaan Invensi tersebut tidak dilakukan dengan menggunakan uraian, gambar, contoh, atau keterangan lainnya dari Invensi yang dimohonkan Paten. (3) Pengakuan sebagai pemakai terdahulu diberikan oleh Menteri dalam bentuk surat keterangan pemakai terdahulu dengan membayar biaya. (4) Surat keterangan pemakai terdahulu berakhir pada saat yang bersamaan dengan saat berakhirnya Paten atas Invensi yang sama tersebut. (5) Tata cara untuk memperoleh pengakuan pemakai terdahulu diatur dengan Peraturan Pemerintah. 13. Judul Bab IV menjadi “Hak dan Kewajiban Pemegang Paten”, dan ketentuan Pasal 16 diubah dengan menyisipkan ketentuan baru ayat (1a), sehingga judul Bab IV dan keseluruhan Pasal 16 berbunyi sebagai berikut: BAB IV HAK DAN KEWAJIBAN PEMEGANG PATEN Pasal 16 (1) Pemegang Paten memiliki hak eksklusif untuk melaksanakan Paten yang dimilikinya dan melarang pihak lain yang tanpa persetujuannya, dalam hal: a. Paten-produk:
membuat,
menggunakan,
menjual,
mengimpor,
menyewakan, menyerahkan, atau menyediakan untuk dijual atau disewakan atau diserahkan produk yang diberi Paten;
123
b. Paten-proses: menggunakan proses produksi yang diberi Paten untuk membuat barang dan tindakan lainnya sebagaimana dimaksud dalam huruf a. (1a) Pelaksanaan Paten-proses sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yang menghasilkan
produk yang dilindungi dalam
Paten-produk
sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf a, harus seizin pemegang Patenproduk. (2)
Dalam hal Paten-proses, larangan terhadap pihak lain yang tanpa persetujuannya melakukan impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b hanya berlaku terhadap impor produk yang semata-mata dihasilkan dari penggunaan Paten-proses yang dimilikinya.
(3)
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (3) apabila pemakaian Paten tersebut untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
percobaan,
atau
analisis
sepanjang
tidak
merugikan
kepentingan yang wajar dari Pemegang Paten. 14. Perubahan judul Bab dan judul Bagian, serta penghapusan ketentuan Pasal 22 dengan menyisipkan ketentuan baru yang dijadikan Pasal 22A dan Pasal 22B, sehingga judul Bagian Kesatu dan keseluruhan Pasal 22A dan Pasal 22B berbunyi sebagai berikut: BAB V PERMOHONAN PATEN Bagian Kesatu Tata Cara dan Syarat Permohonan Pasal 20 Paten diberikan atas dasar Permohonan. 15. Ketentuan Pasal 22 dihapus Pasal 22A (1) Permohonan diajukan oleh Pemohon atau Kuasa secara tertulis dalam bahasa Indonesia kepada Menteri dengan membayar biaya.
124
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh Pemohon atau Kuasa dan dapat disampaikan melalui jasa pos atau secara elektronik. (3) Pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas orang atau badan hukum, baik sendiri maupun bersama-sama. Pasal 22B (1) Permohonan yang diajukan oleh pemohon secara bersama-sama, harus mencantumkan nama dan alamat para pemohon dan memilih satu alamat sebagai alamat surat menyurat Pemohon. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditandatangani oleh salah satu dari Pemohon dengan melampirkan persetujuan tertulis dari para Pemohon yang mewakilkan. (3) Permohonan yang diajukan melalui kuasa, harus menyertakan surat kuasa yang sudah ditanda tangani oleh pemohon. (4) Dalam hal Permohonan diajukan oleh Pemohon yang bukan Inventor, Permohonan tersebut harus dilengkapi dengan surat pernyataan yang membuktikan bahwa yang bersangkutan sebagai Pemohon yang sah. (5) Inventor dapat meneliti Permohonan yang diajukan oleh Pemohon yang bukan Inventor sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan atas biayanya sendiri dapat meminta salinan dokumen Permohonan tersebut. 16. Ketentuan Pasal 24 diubah dengan menyisipkan ketentuan baru yaitu ayat (2), ayat (3), Pasal 24A, Pasal 24B dan Pasal 24C, sehingga keseluruhan Pasal 24, Pasal 24A, Pasal 24B dan Pasal 24C berbunyi sebagai berikut: Pasal 24 (1) Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia kepada Menteri. (2) Permohonan harus memuat: a. tanggal, bulan, dan tahun surat Permohonan; b. nama, alamat lengkap, dan kewarganegaraan Inventor; c. nama, alamat lengkap, dan kewarganegaraan Pemohon; d. nama, dan alamat lengkap Kuasa apabila Permohonan diajukan 125
melalui Kuasa; dan e. nama negara, dan tanggal penerimaan permohonan yang pertama kali, dalam hal Permohonan diajukan dengan Hak Prioritas. (3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri dengan: a. judul Invensi; b. deskripsi tentang Invensi, yang secara lengkap memuat keterangan tentang cara melaksanakan Invensi; c. klaim atau beberapa klaim yang terkandung dalam Invensi; d. abstrak Invensi; e. gambar yang disebutkan dalam deskripsi yang diperlukan untuk memperjelas Invensi; f. surat kuasa, apabila Permohonan diajukan melalui Kuasa; dan g. pernyataan permohonan untuk dapat diberi Paten Pasal 24A Deskripsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) huruf b harus mengungkapkan secara cukup jelas dan lengkap tentang bagaimana invensi tersebut dapat dilaksanakan oleh orang yang ahli di bidangnya. Pasal 24B Klaim atau beberapa klaim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) huruf c harus mengungkapkan batasan perlindungan dari invensi yang harus diungkapkan secara jelas, konsisten, dan didukung sepenuhnya oleh deskripsi. Pasal 24C Ketentuan lebih lanjut tentang syarat dan tata cara pengajuan permohonan diatur dengan Peraturan Pemerintah. 17. Ketentuan Pasal 25 diubah dengan menyisipkan ketentuan baru yang dijadikan ayat (3a), sehingga keseluruhan Pasal 25 berbunyi sebagai berikut: Bagian kedua Konsultan Hak Kekayaan Intelektual Pasal 25 (1) Permohonan dapat diajukan oleh Pemohon atau Kuasanya
126
(2) Kuasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) huruf d adalah Konsultan Hak Kekayaan Intelektual yang diangkat Menteri. (3) Terhitung sejak tanggal penerimaan kuasanya, Kuasa wajib menjaga kerahasiaan Invensi dan seluruh dokumen Permohonan sampai dengan tanggal diumumkannya Permohonan yang bersangkutan. (3a)Alamat kuasa pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) huruf d menjadi domisili hukum pilihan pemohon di Indonesia. (4) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengangkatan Konsultan Hak Kekayaan Intelektual diatur dengan Peraturan Pemerintah. 18. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut: Pasal 28 (1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 berlaku secara mutatis mutandis terhadap Permohonan yang menggunakan Hak Prioritas. (2) Menteri dapat meminta agar Permohonan yang diajukan dengan menggunakan Hak Prioritas tersebut dilengkapi: a. salinan sah surat-surat yang berkaitan dengan hasil pemeriksaan substantif yang dilakukan terhadap permohonan Paten yang pertama kali di luar negeri; b. salinan sah dokumen Paten yang telah diberikan sehubungan dengan permohonan Paten yang pertama kali di luar negeri; c. salinan sah keputusan mengenai penolakan atas permohonan Paten yang pertama kali di luar negeri bilamana permohonan Paten tersebut ditolak; d. salinan sah keputusan pembatalan Paten yang bersangkutan yang pernah dikeluarkan di luar negeri bilamana Paten tersebut pernah dibatalkan; e. dokumen lain yang diperlukan untuk mempermudah penilaian bahwa Invensi yang dimintakan Paten memang merupakan Invensi baru dan benar-benar mengandung langkah inventif serta dapat diterapkan dalam industri.
127
(3) Penyampaian salinan dokumen-dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat disertai tambahan penjelasan secara terpisah oleh Pemohon. 19. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut: Pasal 29 Ketentuan lebih lanjut mengenai permohonan bukti Hak Prioritas dari Menteri dan Permohonan yang diajukan dengan Hak Prioritas diatur dengan Peraturan Pemerintah. 20. Perubahan judul bagian, serta penyisipan ketentuan baru pada ayat (2), sehingga keseluruhannya berbunyi sebagai berikut: Bagian Keempat Tanggal Penerimaan Permohonan Pasal 30 (1) Permohonan yang telah memenuhi persyaratan minimum diberikan Tanggal
Penerimaan oleh Menteri. (2) Persyaratan minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. Data Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2); b. Judul, deskripsi, klaim, abstrak, dan gambar jika ada sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3); dan c. Bukti pembayaran biaya Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22A ayat (1). (3) Dalam hal deskripsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b ditulis
dalam bahasa Inggris, deskripsi tersebut harus dilengkapi dengan terjemahannya dalam bahasa Indonesia dan harus disampaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak Tanggal Penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Apabila terjemahan dalam bahasa Indonesia tidak diserahkan dalam jangka
waktu yang ditentukan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Permohonan tersebut dianggap ditarik kembali. 21. Ketentuan Pasal 31 diubah dengan menyesuaikan ayat rujukannya dan perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri” serta menyisipkan
128
ketentuan baru Pasal 31A, sehingga keseluruhan Pasal 31 dan Pasal 31A berbunyi sebagai berikut: Pasal 31 Dalam hal terdapat kekurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) dan Pasal 30 ayat (3), Tanggal Penerimaan adalah tanggal diterimanya seluruh persyaratan minimum tersebut oleh Menteri. Pasal 31A Permohonan yang dianggap ditarik kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (4) dapat diajukan lagi tanpa memperluas lingkup invensinya paling lambat 12 (dua belas) bulan terhitung sejak tanggal surat penarikan kembali yang dikeluarkan Menteri dengan membayar biaya. 22. Ketentuan Pasal 32 ayat (1) diubah dengan menyempurnakan pasal-pasal rujukannya dan perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sehingga keseluruhan Pasal 32 berbunyi sebagai berikut: Pasal 32 (1) Apabila ternyata terdapat kekurangan dalam pemenuhan syarat-syarat dan kelengkapan Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22A, Pasal 22B, dan Pasal 24, Menteri memberitahukan kepada Pemohon atau Kuasanya agar kekurangan tersebut dipenuhi dalam waktu 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal pengiriman permintaan pemenuhan seluruh persyaratan tersebut. (2) Berdasarkan alasan yang disetujui oleh Direktorat Jenderal, jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang paling lama 2 (dua) bulan atas permintaan Pemohon. (3) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diperpanjang paling lama 1 (satu) bulan setelah berakhirnya jangka waktu tersebut dengan ketentuan bahwa Pemohon dikenai biaya. 23. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut: Pasal 33
129
Apabila seluruh persyaratan dengan batas jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 tidak dipenuhi, Menteri memberitahukan secara tertulis kepada Pemohon bahwa Permohonan dianggap ditarik kembali. 24. Judul Bagian Kelima diubah, sebagai berikut: Bagian Kelima Amandemen, Divisional, dan Pengubahan 25. Penambahan paragraf dan judul paragraf, sebagai berikut: Paragraf 1 Amandemen 26. Penambahan paragraf dan judul paragraf serta penyisipan ayat baru yaitu ayat (2) dan penyesuaian pasal rujukan sehingga keseluruhannya berbunyi sebagai berikut: Paragraf 2 Divisional Pasal 36 (1) Jika suatu Permohonan terdiri atas beberapa Invensi yang tidak merupakan satu kesatuan Invensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, Pemohon dapat mengajukan divisional Permohonan. (2) Divisional permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk permohonan Paten Sederhana. (3) Permohonan divisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan secara terpisah dalam satu Permohonan atau lebih dengan ketentuan bahwa lingkup perlindungan yang dimohonkan dalam setiap Permohonan tersebut tidak memperluas lingkup perlindungan yang telah diajukan dalam Permohonan semula. (4) Permohonan divisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan paling lama sebelum Permohonan semula tersebut diberi keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 atau Pasal 56. (5) Permohonan divisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 130
dan Pasal 30, dianggap diajukan pada tanggal yang sama dengan Tanggal Penerimaan semula. (6) Dalam hal Pemohon tidak mengajukan Permohonan divisional dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4), pemeriksaan substantif atas Permohonan hanya dilakukan terhadap Invensi sebagaimana dinyatakan dalam urutan klaim yang pertama dalam Permohonan semula. 27. Penambahan paragraf dan judul paragraf serta penyisipan ayat baru, yaitu ayat (1a), sebagai berikut: Paragraf 3 Pengubahan Pasal 37 (1) Permohonan dapat diubah dari Paten menjadi Paten Sederhana atau sebaliknya oleh Pemohon dengan tetap memperhatikan ketentuan dalam Undang-Undang ini. (1a)Pengubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan sebelum mulai dilakukannya pemeriksaan substantif. 28. Ketentuan Pasal 38 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 38 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 38 Ketentuan lebih lanjut mengenai amandemen, divisonal, dan pengubahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35, Pasal 36, dan Pasal 37 diatur dengan Peraturan Pemerintah 29. Penyempurnaan judul Bagian dan perubahan ketentuan Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) dengan mengubah “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri” serta mengubah “Keputusan Presiden” menjadi “Peraturan Pemerintah”, sehingga keseluruhannya berbunyi sebagai berikut: Bagian Keenam Penarikan Kembali dan Perbaikan Permohonan Pasal 39
131
(1) Penarikan kembali Permohonan dapat diajukan secara tertulis kepada Menteri oleh Pemohon atau Kuasanya selama Permohonan tersebut belum mendapat keputusan. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penarikan kembali permohonan diatur dengan Peraturan Pemerintah. 30. Diantara Pasal 39 dan Pasal 40 disisipkan ketentuan baru, yaitu Pasal 39A, sebagai berikut: Pasal 39A (1) Pemohon dapat mengajukan perbaikan atau perubahan terhadap data Pemohon dengan membayar biaya. (2) Perbaikan atau perubahan sebagaimana dimaksud ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. 31. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut: Bagian Ketujuh Larangan Mengajukan Permohonan dan Kewajiban Menjaga Kerahasiaan Pasal 40 Selama masih terikat dinas aktif hingga selama satu tahun sesudah pensiun atau sesudah berhenti karena alasan apa pun, pegawai atau orang yang karena tugas pokok dan fungsinya bekerja untuk dan atas nama Menteri, dilarang mengajukan Permohonan, memperoleh Paten, atau dengan cara apa pun memperoleh hak atau memegang hak yang berkaitan dengan Paten, kecuali apabila pemilikan Paten itu diperoleh karena pewarisan. 32. Penyesuaian judul Bab dan judul Bagian serta perubahan “Pengumuman” menjadi “Publikasi”, sebagai berikut: BAB IV PUBLIKASI DAN PEMERIKSAAN SUBSTANTIF Bagian Pertama Publikasi Permohonan 33. Perubahan
”Direktorat
Jenderal”
menjadi
”Menteri”
serta
perubahan
”Pengumuman” menjadi Publikasi”, sebagai berikut: Pasal 42 132
(1) Menteri mempublikasikan Permohonan yang telah memenuhi ketentuan Pasal 4. (2) Publikasi dilakukan: a. dalam hal Paten, segera setelah 18 (delapan belas) bulan sejak Tanggal Penerimaan atau segera setelah 18 (delapan belas) bulan sejak tanggal prioritas apabila Permohonan diajukan dengan Hak Prioritas; atau b. dalam hal Paten Sederhana, segera setelah 3 (tiga) bulan sejak Tanggal Penerimaan. (3) Publikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dapat dilakukan lebih awal atas pemintaan Pemohon dengan dikenai biaya. (4) Publikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan 6 (enam) bulan setelah pengajuan permintaan percepatan publikasi. 34. Perubahan
”Direktorat
Jenderal”
menjadi
”Menteri”
serta
perubahan
”Pengumuman” menjadi Publikasi”, sebagai berikut: Pasal 43 (1) Publikasi dilakukan dengan : a. menempatkannya dalam Berita Resmi Paten yang diterbitkan secara berkala oleh Menteri; dan/atau b. menempatkannya pada media khusus yang disediakan oleh Menteri yang dengan mudah serta jelas dapat dilihat oleh masyarakat. (2) Tanggal mulai dipublikasikannya Permohonan dicatat oleh Menteri. 35. Perubahan ”Pengumuman” menjadi ”Publikasi”, sebagai berikut: Pasal 44 (1) Publikasi dilaksanakan selama : a. 6(enam) bulan terhitung sejak tanggal dipublikasikannya Permohonan Paten; b. 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal dipublikasikannya Permohonan Paten Sederhana. (2) Publikasi dilakukan dengan mencantumkan: a. nama dan kewarganegaraan Inventor; b. nama dan alamat lengkap Pemohon dan Kuasa apabila Permohonan 133
diajukan melalui Kuasa; c. judul Invensi; d. Tanggal Penerimaan; dalam hal Permohonan diajukan dengan Hak Prioritas, tanggal prioritas, nomor, dan negara tempat Permohonan yang pertama kali diajukan; e. abstrak; f. klasifikasi Invensi; g. gambar, jika ada; h. nomor pengumuman; dan i. nomor Permohonan. 36. Diantara Pasal 45 dan Pasal 46 disisipkan ketentuan baru, yaitu Pasal 45A dan Pasal 45B, sebagai berikut: Pasal 45A Pemohon berhak mengajukan tanggapan dan/atau penjelasan secara tertulis terhadap pandangan dan/atau keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) kepada Menteri. Pasal 45B Menteri menggunakan pandangan dan/atau keberatan, tanggapan, dan/atau penjelasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) dan Pasal 45A sebagai tambahan bahan pertimbangan dalam tahap pemeriksaan substantif. 37. Ketentuan Pasal 46 dihapus. 38. Ketentuan Pasal 47 dihapus. 39. Perubahan
“Direktorat
Jenderal”
menjadi
“Menteri”
serta
perubahan
“Keputusan Presiden” menjadi “Peraturan Pemerintah”, sebagai berikut: Pasal 48 (1) Permohonan pemeriksaan substantif diajukan secara tertulis kepada Menteri dengan dikenai biaya. (2) Tata
cara
dan
syarat-syarat
permohonan
pemeriksaan
substantif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. 40. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut: 134
Pasal 49 (1) Permohonan pemeriksaan substantif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) diajukan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan terhitung sejak Tanggal Penerimaan. (2) Apabila permohonan pemeriksaan substantif tidak diajukan dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau biaya untuk itu tidak dibayar, Permohonan dianggap ditarik kembali. (3) Menteri memberitahukan secara tertulis Permohonan yang dianggap ditarik kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Pemohon atau Kuasanya. (4) Apabila permohonan pemeriksaan substantif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan sebelum berakhirnya jangka waktu publikasi yang dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1), pemeriksaan itu dilakukan setelah berakhirnya jangka waktu publikasi. (5) Apabila permohonan pemeriksaan substantif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan setelah berakhirnya jangka waktu publikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1), pemeriksaan substantif dilakukan setelah tanggal diterimanya permohonan pemeriksaan substantif tersebut. 41. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut: Pasal 50 (1) Untuk keperluan pemeriksaan substantif, Menteri dapat meminta bantuan ahli dan/atau menggunakan fasilitas yang diperlukan dari instansi Pemerintah terkait atau Pemeriksa Paten dari kantor Paten negara lain. (2) Penggunaan bantuan ahli, fasilitas, atau Pemeriksa Paten dari kantor Paten negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap dilakukan dengan memperhatikan ketentuan mengenai kewajiban untuk menjaga kerahasiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dan Pasal 41. 42. Ketentuan Pasal 51 ayat (2) dan ayat (3) dihapus dan diantara Pasal 51 dan Pasal 52 disisipkan Pasal 51A, sebagai berikut: Pasal 51 (1) Pemeriksaan substantif dilaksanakan oleh Pemeriksa. 135
(2) Dihapus (3) Dihapus Pasal 51A Pemeriksaan substantif dilaksanakan berdasarkan pada Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 35, Pasal 37 dan Pasal 52. 43. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut: Pasal 52 (1) Dalam hal Invensi yang dimintakan Paten terdapat ketidakjelasan atau kekurangan lain yang dinilai penting, Menteri memberitahukan secara tertulis adanya ketidakjelasan atau kekurangan tersebut kepada Pemohon atau Kuasanya guna meminta tanggapan atau kelengkapan atas kekurangan tersebut. (2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus jelas dan rinci serta mencantumkan hal yang dinilai tidak jelas atau kekurangan lain yang dinilai penting dengan disertai alasan dan acuan yang digunakan dalam pemeriksaan substantif, berikut jangka waktu pemenuhannya. 44. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut: Pasal 53 Dalam hal setelah pemberitahuan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) Pemohon tidak memberikan tanggapan, atau tidak memenuhi kelengkapan persyaratan, atau tidak melakukan perbaikan terhadap Permohonan yang telah diajukannya dalam waktu yang telah ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2), Permohonan tersebut dianggap ditarik kembali dan diberitahukan secara tertulis kepada Pemohon. 45. Perubahan ”Direktorat Jenderal” menjadi ”Menteri”, sebagai berikut: Bagian Ketiga Persetujuan atau Penolakan Permohonan Pasal 54 Menteri berkewajiban memberikan keputusan untuk menyetujui atau menolak Permohonan: 136
a. Paten, paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya surat permohonan pemeriksaan substantif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 atau terhitung sejak berakhirnya jangka waktu publikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) huruf a apabila permohonan pemeriksaan itu diajukan sebelum berakhirnya jangka waktu publikasi tersebut. b. Paten Sederhana, paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sejak Tanggal Penerimaan. 46. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut: Pasal 55 (1) Apabila hasil pemeriksaan substantif yang dilaporkan oleh Pemeriksa menyimpulkan bahwa Invensi tersebut memenuhi ketentuan dalam Pasal Pasal 3, Pasal 5, dan ketentuan lain dalam Undang-undang ini, Menteri memberikan Sertifikat Paten kepada Pemohon atau Kuasanya. (2) Apabila hasil pemeriksaan substantif yang dilaporkan oleh Pemeriksa menyimpulkan bahwa Invensi tersebut memenuhi ketentuan dalam Pasal 3, Pasal 5, Pasal 6, dan ketentuan lain dalam Undang-undang ini, Menteri memberikan Sertifikat Paten Sederhana kepada Pemohon atau Kuasanya. (3) Paten yang telah diberikan dicatat dan diumumkan, kecuali Paten yang berkaitan dengan pertahanan dan keamanan Negara. (4) Menteri dapat memberikan salinan dokumen Paten kepada pihak yang memerlukannya dengan membayar biaya, kecuali Paten yang tidak diumumkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46. 47. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut: Paragraf 2 Penolakan Permohonan Pasal 56 (1)
Apabila hasil pemeriksaan substantif yang dilaporkan oleh Pemeriksa menunjukkan bahwa Invensi yang dimohonkan Paten tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 35, Pasal 52 ayat (1), Pasal 52 ayat (2), atau yang dikecualikan 137
berdasarkan ketentuan dalam Pasal 7, Menteri menolak Permohonan tersebut dan memberitahukan penolakan itu secara tertulis kepada Pemohon atau Kuasanya. (2)
Menteri juga dapat menolak Permohonan yang dipecah jika pemecahan tersebut memperluas lingkup Invensi atau diajukan setelah lewat batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2) atau Pasal 36 ayat (3).
(3)
Apabila hasil pemeriksaan substantif yang dilakukan oleh Pemeriksa menunjukkan bahwa Invensi yang dimohonkan Paten tidak memenuhi ketentuan dalam Pasal 36 ayat (2), Menteri menolak sebagian dari Permohonan tersebut dan memberitahukannya secara tertulis kepada Pemohon atau Kuasanya.
(4)
Surat pemberitahuan penolakan Permohonan harus dengan jelas mencantumkan alasan dan pertimbangan yang menjadi dasar penolakan.
48. Diantara Pasal 56 dan Pasal 57 disisipkan ketentuan baru yaitu Pasal 56A, sebagai berikut: Pasal 56A Dalam hal Permohonan ditolak, segala biaya yang telah dibayarkan kepada Menteri tidak dapat ditarik kembali. 49. Diantara Bagian Ketiga dan Bagian Keempat disisipkan Bagian baru yaitu Bagian Ketiga A, Bagian Ketiga B dan Bagian Ketiga C dengan judul-judul baru berikut pasal-pasalnya, sehingga keseluruhannya berbunyi sebagai berikut: Bagian Ketiga A Sertifikat Paten Pasal 57 (1) Sertifikat Paten merupakan bukti hak atas Paten. (2) Surat penolakan dicatat oleh Menteri. (3) Sertifikat Paten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal Surat Pemberitahuan Dapat Diberi Paten. (4) Hak atas Paten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan invensi yang diuraikan dalam klaim. 138
Bagian Ketiga B Perbaikan Sertifikat Pasal 58A (1) Pemegang Paten atau Kuasanya dapat mengajukan permohonan perbaikan secara tertulis kepada Menteri dalam hal terdapat kesalahan Sertifikat Paten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1). (2) Permohonan perbaikan kesalahan sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan untuk perbaikan data bibliografi dan bukan untuk perbaikan deskripsi dan/atau klaim. (3) Dalam hal kesalahan sertifikat Paten merupakan kesalahan Pemohon, permohonan perbaikan sertifikat Paten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai biaya. Bagian Ketiga C Perubahan Nama dan/atau Alamat Pemegang Paten Pasal 59A (1) Permohonan pencatatan perubahan nama dan/atau alamat Pemegang Paten dapat diajukan kepada Menteri dengan dikenai biaya untuk dicatat dalam Daftar Umum Paten dengan disertai salinan yang sah mengenai bukti perubahan tersebut. (2) Perubahan nama dan/atau alamat Pemegang Paten dicatat oleh Menteri dan dipublikasikan. (3) Ketentuan mengenai tata cara permohonan pencatatan perubahan nama dan/atau alamat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. 50. Penyempurnaan judul Bagian dan perubahan ketentuan Pasal 60, sehingga keseluruhannya berbunyi sebagai berikut: Bagian Keempat Permohonan Banding Dan Majelis Banding Pasal 60 (1) Permohonan banding dapat diajukan terhadap:
139
a. penolakan Permohonan yang berkaitan dengan alasan dan dasar pertimbangan mengenai hal-hal yang bersifat substantif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48, Pasal 49 atau Pasal 50; b. perbaikan deskripsi dan klaim paten yang sudah diberikan. c. pembatalan paten yang pemberiannya tidak memenuhi ketentuan Pasal 31,
Pasal 42, Pasal 49, Pasal 51 atau dapat dikategorikan
termasuk dalam Pasal 36. d. pembatalan paten sederhana yang pemberiannya tidak memenuhi ketentuan Pasal 32, Pasal 35, Pasal 42, Pasal 51, Pasal 65 atau dapat dikategorikan termasuk dalam Pasal 36 huruf a. (2) Permohonan banding diajukan secara tertulis oleh Pemohon atau Kuasanya kepada Majelis Banding Paten dengan tembusan yang disampaikan kepada Menteri dengan dikenai biaya. (3) Permohonan banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus diajukan dengan menguraikan secara lengkap keberatan serta alasannya terhadap penolakan Permohonan sebagai hasil pemeriksaan substantif. (4) Permohonan banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b atau huruf c harus diajukan dengan menguraikan (5) secara lengkap keberatan serta alasannya yang disertai dengan bukti yang cukup. (6) Alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak merupakan alasan atau penjelasan baru sehingga memperluas lingkup Invensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 atau Pasal 50 ayat (3). 51. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut: Pasal 61 (1) Permohonan banding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) huruf a harus diajukan paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal pengiriman surat pemberitahuan penolakan atau penarikan kembali permohonan.
140
(2) Permohonan banding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) huruf b harus diajukan paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal penerbitan sertifikat. (3) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat tanpa adanya permohonan banding, maka penolakan atau penarikan kembali permohonan dianggap diterima oleh Pemohon. (4) Dalam hal penolakan permohonan telah dianggap diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri mencatat dan mempublikasikannya. 52. Diantara Pasal 61 dan Pasal 62 disisipkan Pasal 61A, sebagai berikut: Pasal 61A (1) Permohonan banding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) huruf c dapat diajukan paling lama 6 bulan sejak tanggal surat pemberitahuan persetujuan pemberian paten. (2) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat, permohonan pembatalan Paten hanya dapat dilakukan dalam bentuk Gugatan melalui Pengadilan Niaga. 53. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri” dan perubahan ”Komisi Banding” menjadi “Majelis Banding”, sebagai berikut: Pasal 62 (1) Permohonan banding mulai diperiksa oleh Majelis Banding paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal penerimaan permohonan banding. (2) Keputusan Majelis Banding ditetapkan paling lama 9 (sembilan) bulan terhitung sejak berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Dalam hal Majelis Banding menerima dan menyetujui permohonan banding, Menteri wajib melaksanakan keputusan Majelis Banding. (4) Dalam hal Majelis Banding menolak permohonan banding, pemohon atau Kuasanya dapat mengajukan gugatan atas keputusan tersebut ke Pengadilan Niaga dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya keputusan penolakan tersebut.
141
(5) Terhadap putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), hanya dapat diajukan kasasi. 54. Perubahan “Keputusan Presiden” menjadi “Peraturan Pemerintah, sebagai berikut: Pasal 63 Tata cara permohonan, pemeriksaan, serta penyelesaian banding diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. 55. Judul Bagian Kelima menjadi “Majelis Banding Paten” dengan ketentuan Pasal 64 diubah, sehingga judul bagian Kelima dan keseluruhan Pasal 64 berbunyi sebagai berikut: Bagian Kelima Majelis Banding Paten Pasal 64 (1) Majelis Banding Paten adalah badan khusus yang independen dan berada di lingkungan kementerian yang membidangi Hak Kekayaan Intelektual. Majelis Banding Paten terdiri atas seorang ketua merangkap anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota, dan (2) Anggota yang terdiri atas beberapa ahli di bidang yang diperlukan serta Pemeriksa senior. (3) Anggota Majelis Banding Paten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Menteri untuk masa jabatan 3 (tiga) tahun. (4) Ketua dan wakil ketua dipilih dari dan oleh para anggota Majelis Banding Paten. (5) Untuk memeriksa permohonan banding, Majelis Banding Paten membentuk majelis yang berjumlah ganjil sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang, satu di antaranya adalah seorang Pemeriksa senior yang tidak melakukan pemeriksaan substantif terhadap Permohonan. 56. Perubahan “Komisi Banding” menjadi “Majelis Banding”, sebagai berikut: Pasal 65 Susunan organisasi, tugas dan fungsi Majelis Banding Paten diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. 142
57. Judul Bab V menjadi “Pengalihan Hak” dengan ketentuan Pasal 66 diubah, sehingga judul Bab V dan keseluruhan Pasal 66 berbunyi sebagai berikut: BAB V PENGALIHAN HAK Pasal 66 (1) Paten dapat beralih atau dialihkan baik seluruhnya maupun sebagian karena: a. pewarisan; b. hibah; c. wasiat; d. wakaf; e. perjanjian tertulis; atau f. sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan. (2) Pengalihan Paten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c, harus disertai dokumen asli Paten berikut hak lain yang berkaitan dengan Paten itu. (3) Segala bentuk pengalihan Paten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dicatat dan dipublikasikan dengan dikenai biaya. (4) Pengalihan Paten yang tidak sesuai dengan ketentuan Pasal ini tidak sah dan batal demi hukum. (5) Syarat dan tata cara pencatatan pengalihan Paten diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. 58. Diantara Bab V dan Bab VI disisipkan Bab baru, yaitu Bab VA dengan judul baru dan perubahan judul Bagian Kesatu menjadi “Lisensi dan Lisensi-Wajib” dengan ketentuan Pasal 71 diubah, sehingga judul Bab VA dan keseluruhan Pasal 71 berbunyi sebagai berikut: BAB VA LISENSI DAN LISENSI-WAJIB Bagian Kesatu Lisensi 59. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut: 143
Pasal 71 (1) Perjanjian Lisensi tidak boleh memuat ketentuan, baik langsung maupun tidak langsung, yang dapat merugikan
perekonomian Indonesia atau
memuat pembatasan yang menghambat kemampuan bangsa Indonesia dalam menguasai dan mengembangkan teknologi pada umumnya dan yang berkaitan dengan Invensi yang diberi Paten tersebut pada khususnya. (2) Permohonan pencatatan perjanjian Lisensi yang memuat ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ditolak oleh Menteri. 60. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut: Pasal 72 (1) Perjanjian Lisensi harus dicatat dan diumumkan dengan dikenai biaya. (2) Dalam hal perjanjian Lisensi tidak dicatat oleh Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perjanjian Lisensi tersebut tidak mempunyai akibat hukum terhadap pihak ketiga. 61. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut: Bagian Kedua Lisensi-Wajib Pasal 74 Lisensi-wajib merupakan Lisensi untuk melaksanakan Paten yang diberikan berdasarkan keputusan Menteri atas dasar permohonan. 62. Ketentuan Pasal 75 ayat (1) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 75 berbunyi sebagai berikut: Pasal 75 (1) Setiap pihak dapat mengajukan permohonan lisensi-wajib kepada Menteri dengan alasan Paten tidak dilaksanakan atau dilaksanakan tidak sepenuhnya di Indonesia setelah lewat jangka waktu: a. 36 (tiga puluh enam) bulan terhitung sejak tanggal pemberian Paten; atau b. 48 (empat puluh delapan) bulan terhitung sejak Tanggal Penerimaan. (2) Permohonan lisensi-wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan
dengan
alasan
bahwa
Paten
yang bersangkutan tidak 144
dilaksanakan atau dilaksanakan tidak sepenuhnya di Indonesia oleh Pemegang Paten. (3) Permohonan lisensi-wajib dapat pula diajukan setiap saat setelah Paten diberikan atas alasan bahwa Paten telah dilaksanakan oleh Pemegang Paten atau Penerima Lisensi dalam bentuk dan dengan cara yang merugikan kepentingan masyarakat. 63. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut: Pasal 76 (1) Selain kebenaran alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2), lisensi-wajib hanya dapat diberikan apabila : a. Pemohon dapat menunjukkan bukti yang meyakinkan bahwa ia : b. mempunyai kemampuan untuk melaksanakan sendiri Paten yang bersangkutan secara penuh; 1) mempunyai sendiri fasilitas untuk melaksanakan Paten yang bersangkutan dengan secepatnya; dan 2) telah berusaha mengambil langkah-langkah dalam jangka waktu yang cukup untuk mendapatkan lisensi dari Pemegang Paten atas dasar persyaratan dan kondisi yang wajar, tetapi tidak memperoleh hasil; dan c. Menteri berpendapat bahwa Paten tersebut dapat dilaksanakan di Indonesia dalam skala ekonomi yang layak dan dapat memberikan manfaat kepada sebagian besar masyarakat. (2) Lisensi-wajib diberikan untuk jangka waktu yang tidak lebih lama daripada jangka waktu perlindungan Paten. (3) Pemeriksaan atas permohonan lisensi-wajib dilakukan oleh Menteri dengan mendengarkan pula pendapat dari instansi dan pihak-pihak terkait, serta Pemegang Paten bersangkutan. 64. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut: Pasal 77 Apabila berdasarkan bukti serta pendapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 Menteri memperoleh keyakinan bahwa jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam 145
Pasal 75 ayat (1) belum cukup bagi Pemegang Paten untuk melaksanakannya secara komersial di Indonesia atau dalam lingkup wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2), Menteri dapat menunda keputusan pemberian lisensi-wajib tersebut untuk sementara waktu atau menolaknya. 65. Diantara Pasal 77 dan Pasal 78 disisipkan Pasal 77A, sebagai berikut: Pasal 77A (1) Berdasarkan pendapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 dan bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (2) dan (3) Menteri dapat menunda sementara waktu pemberian lisensi-wajib atau menolaknya apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (1), bagi Pemegang Paten belum cukup untuk melaksanakan secara komersial di Indonesia atau di wilayah regional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) atau Pasal 62 ayat (2). (2) Pemberian atau penolakan permohonan lisensi-wajib sebagaiman dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan terhitung sejak tanggal diajukannya permohonan lisensi-wajib. (3) Terhadap keputusan pemberian atau penolakan permohonan lisensi-wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Pusat atau Pengadilan lain yang ditunjuk dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya keputusan tersebut. 66. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut: Pasal 78 (1) Pelaksanaan lisensi-wajib disertai pembayaran royalti oleh penerima lisensiwajib kepada Pemegang Paten. (2) Besarnya royalti yang harus dibayarkan dan cara pemberiannya ditetapkan oleh Menteri. (3) Penetapan besaran royalti dilakukan dengan memperhatikan tata cara yang lazim digunakan dalam perjanjian Lisensi atau perjanjian lain yang sejenis. 67. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut: 146
Pasal 79 Keputusan Menteri mengenai pemberian lisensi-wajib, memuat hal-hal: a. lisensi-wajib bersifat non-eksklusif; b. alasan pemberian lisensi-wajib; c. bukti, termasuk keterangan atau penjelasan yang diyakini untuk dijadikan dasar pemberian lisensi-wajib; d. jangka waktu lisensi-wajib; e. besaran royalti yang harus dibayarkan penerima lisensi-wajib kepada Pemegang Paten dan cara pemberiannya; f. syarat berakhirnya lisensi-wajib dan hal yang dapat membatalkannya; g. lisensi-wajib terutama digunakan untuk memenuhi kebutuhan pasar di dalam negeri; dan h. lain-lain yang diperlukan untuk menjaga kepentingan para pihak yang bersangkutan secara adil. 68. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut: Pasal 80 (1) Menteri. mencatat dan mempublikasikan pemberian lisensi-wajib. (2) Pelaksanaan lisensi-wajib merupakan pelaksanaan Paten. 69. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut: Pasal 81 Keputusan pemberian lisensi-wajib dilakukan oleh Menteri paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak diajukannya permohonan lisensi-wajib yang bersangkutan. 70. Ketentuan Pasal 82 dihapus. 71. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri” sebagai berikut: Pasal 83 (1) Atas permohonan Pemegang Paten, Menteri dapat membatalkan keputusan pemberian Lisensi-wajib sebagaimana dimaksud dalam Bab VA Bagian Kedua Undang-Undang ini apabila : a. alasan yang dijadikan dasar bagi pemberian Lisensi-wajib tidak ada lagi;
147
b. penerima Lisensi-wajib ternyata tidak melaksanakan Lisensi-wajib tersebut atau tidak melakukan usaha persiapan yangvsepantasnya untuk segera melaksanakannya; c. penerima Lisensi-wajib tidak lagi menaati syarat dan ketentuan lainnya termasuk pembayaran royalti yang ditetapkan dalam pemberian Lisensiwajib. (2) Pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan kepada penerima Lisensi-wajib dan dicatat serta dipublikasikan. 72. Perubahan
“Direktorat
Jenderal”
menjadi
“Menteri”
dan
perubahan
“mengumumkan” menjadi “mempublikasikan”, sebagai berikut: Pasal 84 (1) Dalam hal Lisensi-wajib berakhir karena selesainya jangka waktu yang ditetapkan atau karena pembatalan, penerima Lisensi-wajib menyerahkan kembali Lisensi yang diperolehnya. (2) Menteri mencatat dan mempublikasikan Lisensi-wajib yang telah berakhir. 73. Perubahan
“Direktorat
Jenderal”
menjadi
“Menteri”
dan
perubahan
“diumumkan” menjadi “dipublikasikan”, sebagai berikut: Pasal 86 (1) Lisensi-wajib tidak dapat dialihkan, kecuali karena pewarisan. (2) Lisensi-wajib yang beralih karena pewarisan tetap terikat oleh syarat pemberiannya dan ketentuan lain terutama mengenai jangka waktu, dan harus dilaporkan kepada Menteri untuk dicatat dan dipublikasikan. 74. Perubahan
“Direktorat
Jenderal”
menjadi
“Menteri”
dan
perubahan
“diumumkan” menjadi “dipublikasikan”, sebagai berikut: Pasal 89 (1) Paten yang batal demi hukum diberitahukan secara tertulis oleh Menteri kepada Pemegang Paten serta penerima Lisensi dan mulai berlaku sejak tanggal pemberitahuan tersebut. (2) Paten yang dinyatakan batal dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 dicatat dan dipublikasikan. 148
75. Perubahan
“Direktorat
Jenderal”
menjadi
“Menteri”
dan
perubahan
“diumumkan” menjadi “dipublikasikan”, sebagai berikut: Bagian Kedua Batal atas Permohonan Pemegang Paten Pasal 90 (1) Paten dapat dibatalkan oleh Menteri untuk seluruh atau sebagian atas permohonan Pemegang Paten yang diajukan secara tertulis kepada Menteri. (2) Pembatalan Paten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dilakukan jika penerima Lisensi tidak memberikan persetujuan secara tertulis yang dilampirkan pada permohonan pembatalan tersebut. (3) Keputusan pembatalan Paten diberitahukan secara tertulis oleh Menteri kepada penerima Lisensi. (4) Keputusan pembatalan Paten karena alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat dan dipublikasikan. (5) Pembatalan Paten berlaku sejak tanggal ditetapkannya keputusan Menteri mengenai pembatalan tesebut. 76. Perubahan
“Direktorat
Jenderal”
menjadi
“Menteri”
dan
perubahan
“mengumumkan” menjadi “mempublikasikan, sebagai berikut: Pasal 93 (1) Isi putusan Pengadilan Niaga tentang pembatalan Paten disampaikan ke Menteri paling lama 14 (empat belas) hari sejak putusan diucapkan. (2) Menteri mencatat dan mempublikasikan putusan tentang pembatalan Paten sebagaimana dimaksud pada ayat (1). 77. Ketentuan Pasal 96 diubah dengan menambahkan ayat (2), sehingga keseluruhan Pasal 96 berbunyi sebagai berikut: Pasal 96 (1) Kecuali jika ditentukan lain dalam putusan Pengadilan Niaga, Paten batal untuk seluruh atau sebagian sejak tanggal putusan pembatalan tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap.
149
(2) Dalam hal pembatalan sebagian klaim atau dalam hal Pengadilan Niaga membatalkan sebagian klaim atas Paten, klaim tersebut disesuaikan dengan tidak memperluas ruang lingkup klaim tersebut. 78. Ketentuan Pasal 99 diubah dengan menambahkan ayat (2) dan ayat (3), sehingga keseluruhan Pasal 99 berbunyi sebagai berikut: Pasal 99 (1) Dalam hal Pemerintah berpendapat bahwa suatu Paten di Indonesia sangat penting artinya bagi pertahanan keamanan Negara dan kebutuhan sangat mendesak untuk kepentingan masyarakat, Pemerintah dapat melaksanakan sendiri Paten yang bersangkutan. (2) Keputusan untuk melaksanakan sendiri suatu Paten dalam hal menyangkut Pertahanan Keamanan Negara ditetapkan dengan Keputusan Presiden setelah Presiden mendengarkan pertimbangan Menteri dan Menteri atau pimpinan instansi yang bertanggung jawab di bidang terkait. (3) Keputusan untuk melaksanakan sendiri suatu Paten dalam hal kebutuhan yang sangat mendesak untuk kepentingan masyarakat ditetapkan dengan Keputusan Menteri setelah mendengarkan pertimbangan berdasarkan usulan menteri atau pimpinan instansi yang bertanggung jawab di bidang terkait. 79. Ketentuan Pasal 100 ayat (1) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 100 berbunyi sebagai berikut: Pasal 100 (1) Ketentuan Pasal 99 berlaku secara mutatis mutandis bagi Invensi yang dimohonkan Paten, tetapi tidak diumumkan karena pengumuman Invensi tersebut diperkirakan akan dapat mengganggu atau bertentangan dengan kepentingan pertahanan keamanan Negara. (2) Dalam hal Pemerintah tidak atau belum bermaksud untuk melaksanakan sendiri Paten sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaksanaan Paten serupa itu hanya dapat dilakukan dengan persetujuan Pemerintah.
150
(3) Pemegang Paten sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibebaskan dari kewajiban pembayaran biaya tahunan sampai dengan Paten tersebut dapat dilaksanakan. 80. Perubahan
“Direktorat
Jenderal”
menjadi
“Menteri”
dan
perubahan
“diumumkan” menjadi “dipublikasikan”, sebagai berikut: Pasal 106 (1) Paten Sederhana yang diberikan oleh Menteri dicatat dan dipublikasikan. (2) Sebagai bukti hak, kepada Pemegang Paten Sederhana diberikan Sertifikat Paten Sederhana. 81. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut: BAB IX ADMINISTRASI PATEN Pasal 110 Penyelenggaraan administrasi Paten sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini dilaksanakan oleh Menteri dengan memperhatikan kewenangan instansi lain sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. 82. Ketentuan Pasal 111 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 111 berbunyi sebagai berikut: Pasal 111 (1) Menteri menyelenggarakan dokumentasi dan pelayanan informasi Paten dengan membentuk suatu sistem dokumentasi dan jaringan informasi Paten yang bersifat nasional sehingga mampu menyediakan informasi seluas mungkin kepada masyarakat mengenai teknologi yang diberi Paten. (2) Menteri menetapkan untuk tidak menyediakan informasi Paten kepada masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila informasi tersebut berkaitan dengan pertahanan dan keamanan negara, ketertiban umum, dan moralitas. 83. Ketentuan Pasal 113 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 113 berbunyi sebagai berikut: BAB X BIAYA 151
Pasal 113 (1) Semua biaya yang wajib dibayar dalam Undang-Undang ini ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat, jangka waktu, dan tata cara pembayaran biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. (3) Institusi pengelola Hak Kekayaan Intelektual dengan persetujuan Menteri dan Menteri Keuangan dapat menggunakan penerimaan yang berasal dari biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan peraturan perundang-undangan. 84. Ketentuan Pasal 115 ayat (3) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 115 berbunyi sebagai berikut: Pasal 115 (1) Dalam hal selama 3 (tiga) tahun berturut-turut Pemegang Paten tidak membayar biaya tahunan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 18 dan Pasal 114, Paten dinyatakan batal demi hukum terhitung sejak tanggal akhir batas waktu kewajiban pembayaran untuk tahun ketiga tersebut. (2) Dalam hal kewajiban pembayaran biaya tahunan tersebut berkaitan dengan kewajiban pembayaran biaya tahunan untuk tahun kedelapan belas dan untuk tahun-tahun berikutnya tidak dipenuhi, Paten dianggap batal demi hukum pada akhir batas waktu kewajiban pembayaran biaya tahunan untuk tahun tersebut. (3) Batalnya Paten karena alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dicatat dan dipublikasikan. 85. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut: Pasal 116 (1) Kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 ayat (3) dan Pasal 115 ayat (2), atas keterlambatan pembayaran biaya tahunan dari batas waktu yang ditentukan dalam Undang-undang ini dikenai biaya tambahan sebesar 2,5% (dua setengah perseratus) untuk setiap bulan dari biaya tahunan pada tahun keterlambatan. 152
(2) Keterlambatan pembayaran biaya tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan secara tertulis oleh Menteri kepada Pemegang Paten yang bersangkutan paling lama 7 (tujuh) hari setelah lewat batas waktu yang ditentukan. (3) Tidak diterimanya surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) oleh yang bersangkutan tidak mengurangi berlakunya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). 86. Diantara Pasal 116 dan Pasal 117 disisipkan Pasal 116A, sebagai berikut: Pasal 116A Segala biaya yang telah dibayarkan kepada Menteri sesuai dengan tata cara ketentuan perundang-undangan, tidak dapat ditarik kembali. 87. Ketentuan Pasal 117 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 117 berbunyi sebagai berikut: Pasal 117 (1) Dalam hal suatu Paten diberikan kepada pihak lain selain dari yang berhak berdasarkan Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12, pihak yang berhak atas Paten tersebut dapat menggugat kepada Pengadilan Niaga. (2) Hak menggugat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku surut sejak Tanggal Penerimaan. (3) Pemberitahuan isi putusan atas gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada para pihak oleh Pengadilan Niaga paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal putusan diucapkan. (4) Isi putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dicatat dan dipublikasikan oleh Menteri. 88. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut: Pasal 118 (1) Pemegang Paten atau penerima Lisensi berhak mengajukan gugatan ganti rugi kepada Pengadilan Niaga setempat terhadap siapa pun yang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16.
153
(2) Gugatan ganti rugi yang diajukan terhadap perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diterima apabila produk atau proses itu terbukti dibuat dengan menggunakan Invensi yang telah diberi Paten. (3) Salinan putusan Pengadilan Niaga tentang gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Menteri paling lama 14 (empat belas) hari sejak tanggal putusan diucapkan untuk dicatat dan dipublikasikan 89. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut: Pasal 123 (1) Permohonan kasasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 diajukan paling lama 14 (empat belas) hari setelah tanggal putusan yang dimohonkan kasasi diucapkan atau diberitahukan kepada para pihak dengan mendaftarkan kepada panitera yang telah memutus gugatan tersebut. (2) Panitera mendaftarkan permohonan kasasi pada tanggal permohonan yang bersangkutan diajukan dan kepada pemohon diberikan tanda terima tertulis yang ditandatangani oleh panitera dengan tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan pendaftaran. (3) Pemohon kasasi wajib menyampaikan memori kasasi kepada panitera dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal permohonan kasasi didaftarkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2). (4) Panitera wajib mengirimkan permohonan kasasi dan memori kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada pihak termohon kasasi paling lama 2 (dua) hari setelah permohonan kasasi didaftarkan. (5) Termohon kasasi dapat mengajukan kontra memori kasasi kepada panitera paling lama 7 (tujuh) hari setelah tanggal termohon kasasi menerima memori kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan panitera wajib menyampaikan kontra memori kasasi kepada pemohon kasasi paling lama 2 (dua) hari setelah kontra memori diterimanya. (6) Panitera wajib menyampaikan permohonan kasasi, memori kasasi dan/atau kontra memori kasasi beserta berkas perkara yang bersangkutan kepada Mahkamah Agung paling lama 7 (tujuh) hari setelah lewatnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5). 154
(7) Mahkamah Agung wajib mempelajari berkas permohonan kasasi dan menetapkan hari sidang paling lama 2 (dua) hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima oleh Mahkamah Agung. (8) Sidang pemeriksaan atas permohonan kasasi dilakukan paling lama 60 (enam puluh) hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima oleh Mahkamah Agung. (9) Putusan atas permohonan kasasi harus diucapkan paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima oleh Mahkamah Agung. (10) Putusan atas permohonan kasasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (9) yang memuat secara lengkap pertimbangan hukum yang mendasari putusan tersebut harus diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum. (11) Panitera Mahkamah Agung wajib menyampaikan salinan putusan kasasi kepada panitera paling lama 3 (tiga) hari setelah tanggal putusan atas permohonan kasasi diucapkan. (12) Juru sita wajib menyampaikan salinan putusan kasasi sebagaiman dimaksud dalam ayat (1) kepada pemohon kasasi dan termohon kasasi paling lama 2 (dua) hari setelah putusan kasasi diterima. (13) Isi putusan kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (11) disampaikan pula kepada Menteri paling lama 2 (dua) hari sejak isi putusan kasasi diterima oleh Pengadilan Niaga untuk dicatat dan diumumkan. 90. Diantara Pasal 125 dan Pasal 126 disisipkan ketentuan baru yaitu Pasal 125A, sehingga keseluruhan Pasal 125A berbunyi sebagai berikut: Pasal 125A (1) Permohonan penetapan sementara diajukan secara tertulis kepada Pengadilan Niaga dengan persyaratan sebagai berikut: a. melampirkan bukti kepemilikan Paten; b. melampirkan bukti adanya penunjuk awal yang kuat atas terjadinya pelanggaran paten; c. menyampaikan keterangan yang jelas mengenai barang dan/atau dokumen yang diminta, dicari, dikumpulkan dan diamankan untuk 155
keperluan pembuktian; d. menyampaikan pernyataan adanya kekhawatiran bahwa pihak yang diduga melakukan pelanggaran Paten akan dapat dengan mudah menghilangkan barang bukti; dan e. membayar jaminan berupa uang tunai dan/atau jaminan bank. (2) Dalam hal surat penetapan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125 telah dilaksanakan, Pengadilan Niaga segera memberitahukan kepada pihak yang dikenai tindakan dan memberikan kesempatan kepada pihak tersebut untuk didengar keterangannya. 91. Ketentuan Pasal 127 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 127 berbunyi sebagai berikut: Pasal 127 Dalam hal Pengadilan Niaga telah menerbitkan surat penetapan sementara, hakim Pengadilan Niaga yang memeriksa sengketa tersebut harus memutuskan untuk mengubah, membatalkan, atau menguatkan penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125 dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak dikeluarkannya surat penetapan sementara pengadilan tersebut. 92. Ketentuan Pasal 128 diubah menjadi ayat (1) sampai dengan ayat (7), sehingga keseluruhan Pasal 128 berbunyi sebagai berikut: Pasal 128 (1) Permohonan penetapan sementara pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125 diajukan kepada Ketua Pengadilan Niaga dalam wilayah hukum tempat ditemukannya barang yang diduga merupakan hasil pelanggaran Paten. (2) Permohonan Penetapan Sementara Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125A. (3) Panitera mencatat
permohonan penetapan sementara pada tanggal
permohonan penetapan sementara tersebut diajukan dan pada tanggal
156
yang sama panitera menyampaikan permohonan penetapan sementara tersebut kepada Ketua Pengadilan Niaga. (4) Dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari terhitung sejak tanggal diterimanya permohonan penetapan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Ketua Pengadilan Niaga menunjuk hakim untuk memeriksa permohonan penetapan sementara. (5) Dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari terhitung sejak tanggal penunjukan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), hakim Pengadilan Niaga harus memutuskan apakah permohonan penetapan sementara tersebut diterima atau ditolak. (6) Dalam hal permohonan penetapan sementara dapat diterima, hakim Pengadilan Niaga menerbitkan Surat Penetapan Sementara Pengadilan. (7) Dalam hal permohonan penetapan sementara ditolak, hakim Pengadilan Niaga memberitahukan penolakan tersebut kepada pemohon penetapan sementara dengan disertai alasannya. 93. Diantara Pasal 128 dan Pasal 129 disisipkan Pasal 128A, sebagai berikut: Pasal 128A (1) Dalam hal Pengadilan Niaga menerbitkan surat penetapan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 137 ayat (6), Pengadilan Niaga memanggil pihak yang dikenai penetapan sementara dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari untuk dimintai keterangan. (2) Pihak yang dikenai penetapan sementara dapat menyampaikan keterangan dan bukti-bukti dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal diterimanya surat panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Dalam hal penetapan sementara pengadilan dikuatkan, uang jaminan yang telah dibayarkan harus dikembalikan kepada pemohon penetapan dan pemohon penetapan harus segera mengajukan Gugatan Pelanggaran Paten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 132 dan/atau membuat aduan atas adanya pelanggaran hak atas Paten kepada Penyidik Kepolisian Republik Indonesia atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil Hak Kekayaan Intelektual. 157
(4) Dalam hal penetapan sementara pengadilan dibatalkan, uang jaminan yang telah dibayarkan harus segera diserahkan kepada pihak yang dikenai penetapan sementara sebagai ganti rugi akibat adanya penetapan sementara tersebut. 94. Diantara Bab XV dan Bab XVI disisipkan Bab baru, yaitu Bab XVA dan ketentuan Pasal 135 diubah, sehingga judul Bab XVA dan keseluruhan Pasal 135 berbunyi sebagai berikut: BAB XIV KETENTUAN LAIN Pasal 135 Dikecualikan dari ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab XV dan tuntutan perdata dalam Undang-Undang ini adalah: a.
mengimpor suatu produk farmasi yang dilindungi Paten di Indonesia dan produk tersebut telah dimasukkan ke pasar di suatu negara oleh Pemegang Paten yang sah dengan syarat produk itu diimpor sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku;
b. memproduksi produk farmasi yang dilindungi Paten di Indonesia dengan tujuan untuk proses perizinan kemudian melakukan pemasaran setelah perlindungan Paten tersebut berakhir. BAB XV KETENTUAN PERALIHAN Pasal 136 Dengan berlakunya Undang-undang ini segala peraturan perundang-undangan di bidang Paten yang telah ada pada tanggal berlakunya Undang-undang ini, tetap berlaku selama tidak bertentangan atau belum diganti dengan peraturan perundang-undangan yang baru berdasarkan Undang-undang ini. Pasal 137 Terhadap Permohonan yang diajukan sebelum diberlakukannya Undang-undang ini, tetap diberlakukan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 13 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten. 158
2. Materi Muatan untuk RUU tentang Perubahan UU Merek
1. Ketentuan Pasal 1 diubah dan ditambahkan angka 15 baru, sehingga keseluruhan Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: BAB I KETENTUAN UMUM Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek diubah sebagai berikut: "Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan : 1.
Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angkaangka, susunan warna, bentuk, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang dapat ditampilkan secara grafis dan memiliki daya pembeda serta digunakan dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa.
2.
Merek Dagang adalah
Merek yang digunakan pada barang yang
diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang sejenis lainnya. 3.
Merek Jasa adalah Merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa-jasa sejenis lainnya.
4.
Merek Kolektif adalah Merek yang digunakan pada barang dan/atau jasa dengan karakteristik yang sama yang diperdagangkan oleh beberapa orang atau badan hukum secara bersama-sama untuk membedakan dengan barang dan/atau jasa sejenis lainnya.
5.
Permohonan adalah permintaan pendaftaran Merek yang diajukan secara tertulis kepada Menteri.
6.
Pemohon adalah pihak yang mengajukan Permohonan.
159
7.
Pemeriksa adalah Pemeriksa Merek yaitu pejabat yang karena keahliannya diangkat dengan Keputusan
Menteri, untuk melakukan pemeriksaan
substantif terhadap Permohonan pendaftaran Merek. 8.
Kuasa adalah Konsultan Hak Kekayaan Intelektual sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
9.
Menteri adalah adalah menteri yang sebagian tugas dan tanggung jawabnya menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Hak Kekayaan Intelektual.
10. Direktorat Jenderal adalah Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual yang berada di bawah kementerian yang dipimpin oleh Menteri 11. Tanggal Penerimaan adalah tanggal penerimaan Permohonan yang telah memenuhi persyaratan minimum Permohonan. 12. Konsultan Hak Kekayaan Intelektual adalah orang yang memiliki keahlian di bidang hak kekayaan intelektual dan secara khusus memberikan jasa di bidang pengajuan dan pengurusan Permohonan Hak Kekayaan Intelektual yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual dan terdaftar sebagai
Konsultan Hak Kekayaan Intelektual di Direktorat Jenderal Hak
Kekayaan Intelektual. 13. Lisensi adalah izin yang diberikan oleh pemilik Merek terdaftar kepada pihak lain berdasarkan perjanjian secara tertulis untuk menggunakan. 14. Hak Prioritas adalah hak pemohon untuk mengajukan permohonan yang berasal dari negara yang tergabung dalam Konvensi Paris atau Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia untuk memperoleh pengakuan bahwa tanggal penerimaan di negara asal merupakan tanggal prioritas di negara tujuan yang juga anggota salah satu dari kedua perjanjian itu, selama pengajuan tersebut dilakukan dalam kurun waktu yang telah ditentukan berdasarkan Konvensi Paris. 15. Protokol Madrid adalah Protokol yang terkait dengan Perjanjian Madrid mengenai pendaftaran merek internasional. 16. Hari adalah hari kerja. 2. Judul Bagian Kedua Bab II diubah sebagai berikut : Bagian Kedua 160
Dasar Penolakan Permohonan Ketentuan Pasal 5 dan Pasal 6 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 5 dan Pasal 6 berbunyi sebagai berikut: Pasal 5 Permohonan juga ditolak apabila Merek yang dimohonkan pendaftarannya mengandung salah satu unsur di bawah ini: a. bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas, agama, kesusilaan, atau kertertiban umum; b. tidak memiliki daya pembeda; c. dapat menyesatkan masyarakat tentang asal, kwalitas, jenis, ukuran, macam, tujuan penggunaan barang dan/atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya atau merupakan nama varietas tanaman yang dilindungi untuk barang dan/atau jasa yang sejenis; dan/atau, d. merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya. Pasal 6 (1) Permohonan juga harus ditolak oleh apabila Merek tersebut: a.
mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek milik pihak lain yang sudah terdaftar atau sudah diajukan lebih dahulu untuk barang dan/atau jasa yang sejenis;
b. mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek yang sudah terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis; c.
mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan indikasi- geografis yang sudah terdaftar.
d. Merupakan nama atau singkatan nama orang terkenal, foto, atau nama badan hukum yang dimiliki orang lain, kecuali atas persetujuan tertulis dari yang berhak; e.
Merupakan tiruan atau menyerupai nama atau singkatan nama, bendera, lambang atau simbol atau emblem suatu negara, atau baik
161
lembaga nasional maupun internasional, kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang; atau f.
Merupakan tiruan atau menyerupai tanda atau cap atau stempel resmi yang digunakan oleh negara atau lembaga Pemerintah, kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat pula diberlakukan terhadap barang dan/atau jasa yang tidak sejenis sepanjang merek terkenal tersebut telah terdaftar dalam Daftar Umum Merek. (3) Ketentuan lebih lajut mengenai merek terkenal akan diatur dengan Peraturan Pemerintah. (4) Ketentuan Pasal 7 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 7 berbunyi sebagai berikut: Pasal 7 (1) Permohonan diajukan secara tertulis atau elektronik dalam bahasa Indonesia kepada Menteri dengan mencantumkan: a. tanggal, bulan, dan tahun; b. nama lengkap, kewarganegaraan, dan alamat Pemohon; c. nama lengkap dan alamat Kuasa apabila Permohonan diajukan melalui Kuasa; d. uraian warna-warna apabila merek yang dimohonkan pendaftarannya menggunakan unsur-unsur warna; e. nama negara dan tanggal permintaan Merek yang pertama kali dalam hal Permohonan diajukan dengan Hak Prioritas. f. Kelas barang dan/atau kelas jasa serta uraian jenis barang dan/atau jenis jasa. (2) Permohonan ditandatangani oleh Pemohon atau Kuasanya. (3) Pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat terdiri dari satu orang atau beberapa orang secara bersama, atau badan hukum. (4) Permohonan dilampiri dengan etiket merek dan bukti pembayaran biaya.
162
(5) Dalam hal Permohonan diajukan oleh lebih dari satu Pemohon yang secara bersama-sama berhak atas Merek tersebut, semua nama Pemohon dicantumkan dengan memilih salah satu alamat sebagai alamat mereka. (6) Dalam hal Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Permohonan tersebut ditandatangani oleh salah satu dari Pemohon yang berhak atas Merek tersebut dengan melampirkan persetujuan tertulis dari para Pemohon yang mewakilkan. (7) Dalam hal Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diajukan melalui Kuasanya, surat kuasa untuk itu ditandatangani oleh semua pihak yang berhak atas Merek tersebut. (8) Kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (7) adalah Konsultan Hak Kekayaan Intelektual. (9) Ketentuan mengenai syarat-syarat dan tata cara pengangkatan Konsultan Hak Kekayaan Intelektual diatur dengan Peraturan Pemerintah. 3. Ketentuan Pasal 13 diubah dan ditambahkan 2 (dua) ayat baru, sehingga keseluruhan Pasal 13 berbunyi sebagai berikut: Pasal 13 (1) Menteri melakukan pemeriksaan terhadap kelengkapan persyaratan pendaftaran Merek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12. (2) Dalam
hal
terdapat
kekurangan
dalam
kelengkapan
persyaratan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri memberitahukan agar kelengkapan persyaratan tersebut dipenuhi dalam waktu paling lama 2 (dua) bulan terhitung sejak tanggal pengiriman surat permintaan untuk memenuhi kelengkapan persyaratan tersebut. (3) Dalam hal permohonan kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum dapat dipenuhi, pemohon atau kuasanya dapat mengajukan permohonan secara tertulis mengenai perpanjangan jangka waktu pemenuhan kelengkapan persyaratan untuk paling lama 1 (satu) bulan. 163
(3b)Permohonan perpanjangan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diajukan paling lama 15 (lima belas) hari sebelum jangka waktu pemenuhan kelengkapan persyaratan berakhir. (4) Dalam hal kekurangan tersebut menyangkut persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, jangka waktu pemenuhan kekurangan persyaratan tersebut paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak berakhirnya jangka waktu pengajuan Permohonan dengan menggunakan Hak Prioritas. 4. Ketentuan Pasal 14 ayat (1) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 14 berbunyi sebagai berikut: Pasal 14 (1)
Dalam hal kelengkapan persyaratan tersebut tidak dipenuhi dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2), ayat (3a) atau ayat (3b), Menteri memberitahukan secara tertulis kepada Pemohon atau Kuasanya bahwa Permohonannya dianggap ditarik kembali.
(2)
Dalam hal Permohonan dianggap ditarik kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1), segala biaya yang telah dibayarkan kepada Menteri tidak dapat ditarik kembali.
5. Judul Bagian keempat Bab III dirubah sebagai berikut: Bagian Keempat Tanggal Penerimaan Permohonan Pendaftaran Merek 6. Ketentuan Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 15 berbunyi sebagai berikut: Pasal 15 (1) Permohonan yang telah memenuhi persyaratan minimum diberikan Tanggal Penerimaan. (2) Persyaratan Minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. surat permohonan; b. etiket merek; dan c. bukti pembayaran biaya. 7. Judul Bagian Kelima Bab III diubah sebagai berikut: Bagian Kelima 164
Perbaikan dan Penarikan Kembali Permohonan Pendaftaran Merek 8. Ketentuan Pasal 16 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 16 berbunyi sebagai berikut: Pasal 16 (1) Perbaikan atas Permohonan hanya diperbolehkan dalam hal terdapat kesalahan penulisan nama dan/atau alamat Pemohon atau Kuasanya. (2) Perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan sebelum diterbitkannya sertifikat Merek atau surat penolakan. (3) Permohonan perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis kepada Menteri dengan dilampiri bukti pembayaran biaya. 9. Ketentuan Pasal 17 ayat (1) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 17 berbunyi sebagai berikut: Pasal 17 (1) Selama belum diterbitkannya sertifikat Merek atau surat penolakan dari Menteri, Permohonan dapat ditarik kembali oleh Pemohon atau Kuasanya. (2) Apabila penarikan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Kuasanya, penarikan itu harus dilakukan berdasarkan surat kuasa khusus untuk keperluan penarikan kembali tersebut. (3) Dalam hal Permohonan ditarik kembali, segala biaya yang telah dibayarkan kepada Menteri tidak dapat ditarik kembali. 10. Judul Bagian Pertama pada Bab IV diubah sebagai berikut: Bagian Pertama Pengumuman Permohonan 11. Ketentuan Pasal 18 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 18
berbunyi sebagai
berikut: Pasal 18 Menteri mengumumkan Permohonan dalam Berita Resmi Merek dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal penerimaan Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15. 165
12. Ketentuan Pasal 19 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 19 berbunyi sebagai berikut: Pasal 19 (1) Pengumuman Permohonan dalam Berita Resmi Merek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 berlangsung selama 3 (tiga) bulan. (2) Berita Resmi Merek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan secara berkala oleh Menteri dan/atau melalui sarana lainnya. 13. Ketentuan Pasal 20 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 20 berbunyi sebagai berikut: Pasal 20 Berita Resmi Merek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 memuat: a. nama dan alamat Pemohon, termasuk Kuasa apabila Permohonan diajukan melalui Kuasa; b. kelas dan uraian barang dan/atau jasa; c. Tanggal Penerimaan; d. nama negara dan tanggal penerimaan Permohonan yang pertama kali dalam hal Permohonan diajukan dengan menggunakan Hak Prioritas; dan e. etiket Merek, termasuk keterangan mengenai warna dan apabila etiket Merek menggunakan bahasa asing dan/atau huruf selain huruf Latin dan/atau angka yang tidak lazim digunakan dalam Bahasa Indonesia, disertai terjemahannya ke dalam Bahasa Indonesia, huruf Latin atau angka yang lazim digunakan dalam Bahasa Indonesia, serta cara pengucapannya dalam ejaan Latin. 14. Judul Bagian Kedua pada Bab IV diubah sebagai berikut: Bagian Kedua Keberatan dan Sanggahan 15. Ketentuan Pasal 21 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 21 berbunyi sebagai berikut: 166
Pasal 21 (3) Selama jangka waktu pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, setiap pihak dapat mengajukan keberatan secara tertulis kepada Menteri terhadap Permohonan dengan dikenai biaya. (4) Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan apabila terdapat alasan yang cukup disertai bukti bahwa Merek yang dimohonkan pendaftarannya adalah Merek yang berdasarkan Undang-Undang ini tidak dapat didaftar atau ditolak. 16. Ketentuan Pasal 22 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 22 berbunyi sebagai berikut: Pasal 22 Dalam hal terdapat keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, Menteri dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal penerimaan keberatan, mengirimkan salinan surat yang berisikan keberatan tersebut kepada Pemohon atau Kuasanya. 17. Ketentuan Pasal 23 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 23 berbunyi sebagai berikut: Pasal 23 (5) Dalam
hal
terdapat
keberatan,
Pemohon
atau
Kuasanya
berhak
menyampaikan sanggahan terhadap keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 kepada Menteri. (6) Sanggahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 2 (dua) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya salinan keberatan. 18. Judul Bagian Ketiga pada Bab IV diubah sebagai berikut: Bagian Ketiga Pemeriksaan Substantif
167
19. Ketentuan Pasal 24 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 24 berbunyi sebagai berikut: Pasal 24 (1) Dalam hal tidak terdapat keberatan, dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal berakhirnya Pengumuman, Menteri melakukan pemeriksaan substantif terhadap Permohonan. (2) Dalam hal terdapat keberatan, Pemeriksaan substantif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal berakhirnya batas waktu penyampaian sanggahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23. (3) Pemeriksaan substantif dilaksanakan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, dan/atau Pasal 6. (4) Dalam hal terdapat keberatan dan/atau Sanggahan, Pemeriksaan substantif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) juga menggunakan keberatan dan/atau sanggahan tersebut sebagai bahan pertimbangan. (5) Pemeriksaan substantif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) diselesaikan dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan. (6) Pemeriksaan substantif dilaksanakan oleh Pemeriksa. 20. Ketentuan Pasal 25 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 25 berbunyi sebagai berikut: Pasal 25 (1) Dalam hal dari hasil pemeriksaan substantif Permohonan dapat disetujui untuk didaftar, maka Menteri: a. mendaftarkan merek tersebut dalam Daftar Umum Merek; b. menerbitkan sertifikat merek dan memberitahukan pendaftaran merek tersebut kepada Pemohon atau Kuasanya; serta c. mengumumkan pendaftaran Merek tersebut dalam Berita Resmi Merek.
168
(2) Dalam hal dari hasil pemeriksaan substantif Permohonan tidak dapat didaftar atau ditolak, Menteri memberitahukan secara tertulis kepada Pemohon atau Kuasanya dengan menyebutkan alasannya. (3) Dalam hal dari hasil pemeriksaan substantif atas Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) terdapat keberatan, Menteri memberitahukan secara tertulis kepada pihak yang mengajukan keberatan dengan menyebutkan alasannya. (4) Dalam hal Permohonan tidak dapat didaftar atau ditolak, segala biaya yang telah dibayarkan tidak dapat ditarik kembali. 21. Judul Bagian Keempat pada Bab IV diubah sebagai berikut:
Bagian Keempat Penerbitan Sertifikat Merek 22. Ketentuan Pasal 26 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 26 berbunyi sebagai berikut: Pasal 26 (1) Dalam
hal
Permohonan
dapat
disetujui untuk didaftar,
Menteri
menerbitkan dan memberikan sertifikat merek kepada Pemohon atau Kuasanya dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal Permohonan tersebut disetujui untuk didaftar dalam Daftar Umum Merek. (2) Sertifikat merek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat: a.
nama dan alamat lengkap pemilik Merek yang didaftar;
b. nama dan alamat lengkap Kuasa, dalam hal Permohonan melalui kuasa; c.
Tanggal Penerimaan;
d. nama negara dan tanggal; e.
etiket Merek yang didaftarkan, termasuk keterangan mengenai macam warna apabila Merek tersebut menggunakan unsur warna, dan apabila Merek menggunakan bahasa asing dan/atau huruf selain huruf Latin dan/atau angka yang tidak lazim digunakan dalam bahasa Indonesia 169
disertai terjemahannya dalam bahasa Indonesia, huruf Latin dan angka yang
lazim
digunakan
dalam
bahasa
Indonesia
serta
cara
pengucapannya dalam ejaan Latin; f.
nomor dan tanggal pendaftaran;
g.
kelas dan jenis barang dan/atau jasa yang Mereknya didaftar; dan
h. jangka waktu berlakunya pendaftaran Merek. 23. Ketentuan Pasal 27 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 27 berbunyi sebagai berikut: Pasal 27 (1) Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak diterbitkannya sertifikat merek, Menteri melakukan Pengumuman pendaftaran merek tersebut dalam Berita Resmi Merek. (2) Setiap pihak dapat mengajukan permohonan untuk memperoleh petikan resmi Sertifikat Merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek dengan membayar biaya. 24. Ketentuan Pasal 29 ayat (2) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 29 berbunyi sebagai berikut: Pasal 29 (1) Permohonan
banding
dapat
diajukan
terhadap
penolakan
Permohonan yang berkaitan dengan alasan dan dasar pertimbangan mengenai hal-hal yang bersifat substantif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, atau Pasal 6. (2) Permohonan banding diajukan secara tertulis oleh Pemohon atau Kuasanya kepada Majelis Banding Merek dengan tembusan yang disampaikan kepada Menteri dengan dikenai biaya. (3) Permohonan banding diajukan dengan menguraikan secara lengkap keberatan serta alasan terhadap penolakan Permohonan sebagai hasil pemeriksaan substantif.
170
(4) Alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus tidak merupakan perbaikan atau penyempurnaan atas Permohonan yang ditolak. 25. Ketentuan Pasal 30 ayat (1) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 30 berbunyi sebagai berikut: Pasal 30 (1) Permohonan banding diajukan paling lama dalam waktu 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal penerimaan surat pemberitahuan penolakan Permohonan. (2) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat tanpa adanya permohonan banding, penolakan Permohonan dianggap diterima oleh Pemohon. 26. Ketentuan Pasal 31 ayat (2) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 31 berbunyi sebagai berikut: Pasal 31 (1) Keputusan Majelis Banding Merek diberikan dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan banding. (2) Dalam hal Majelis Banding Merek mengabulkan permohonan banding, Menteri melaksanakan keputusan Majelis Banding Merek. (3) Dalam hal Majelis Banding Merek menolak permohonan banding, Pemohon atau Kuasanya dapat mengajukan gugatan atas putusan penolakan permohonan banding kepada Pengadilan Niaga dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya keputusan penolakan tersebut. (4) Terhadap putusan Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya dapat diajukan kasasi. 27. Ketentuan Pasal 33 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 33 berbunyi sebagai berikut: Pasal 33 171
(1) Majelis Banding Merek adalah badan khusus yang independen dan berada di lingkungan kementerian yang membidangi hak kekayaan intelektual. (2) Majelis Banding Merek terdiri atas seorang ketua merangkap anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota, dan anggota yang terdiri atas beberapa ahli di bidang merek, serta Pemeriksa senior. (3) Anggota Majelis Banding Merek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Menteri untuk masa jabatan 3 (tiga) tahun. (4) Ketua dan wakil ketua dipilih dari dan oleh para anggota Majelis Banding Merek. (5) Untuk memeriksa permohonan banding,
Majelis Banding Merek
membentuk Tim Pemeriksa Banding yang berjumlah ganjil sekurangkurangnya 3 (tiga) orang, satu di antaranya adalah seorang Pemeriksa senior yang tidak melakukan pemeriksaan substantif terhadap Permohonan. 28. Ketentuan Pasal 35 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 35 berbunyi sebagai berikut: Pasal 35 (1) Pemilik Merek terdaftar setiap kali dapat mengajukan permohonan perpanjangan untuk jangka waktu yang sama kepada Menteri. (2) Permohonan perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis oleh pemilik Merek atau Kuasanya dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sebelum berakhirnya jangka waktu perlindungan bagi Merek terdaftar tersebut dengan dikenakan biaya. (3) Permohonan perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) masih dapat diajukan dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan setelah berakhirnya jangka waktu perlindungan Merek terdaftar tersebut dengan dikenakan biaya dan denda. 29. Ketentuan Pasal 36 dan Pasal 37 dihapuskan. 30. Ketentuan Pasal 38 ayat (2) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 38 berbunyi sebagai berikut: 172
Pasal 38 (1) Perpanjangan jangka waktu perlindungan Merek terdaftar dicatat dalam Daftar Umum Merek dan diumumkan dalam Berita Resmi Merek. (2) Pencatatan perpanjangan jangka waktu perlindungan Merek terdaftar diberitahukan secara tertulis kepada pemilik Merek atau Kuasanya. 31. Ketentuan Pasal 39 diubah dan ditambahkan ayat baru, sehingga keseluruhan Pasal 39 berbunyi sebagai berikut: Pasal 39 (1) Permohonan pencatatan perubahan nama dan/atau alamat pemilik Merek terdaftar diajukan kepada Menteri dengan dikenai biaya untuk dicatat dalam Daftar Umum Merek dengan disertai salinan yang sah mengenai bukti perubahan tersebut. (1a) Permohonan pencatatan perubahan nama dan/atau alamat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat pula diajukan terhadap merek yang masih dalam proses Permohonan. (2) Perubahan nama dan/atau alamat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (1a) yang telah dicatat oleh Menteri diumumkan dalam Berita Resmi Merek. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara permohonan pencatatan perubahan nama dan/atau alamat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (1a), diatur dengan Peraturan Pemerintah. 32. Judul Bab V diubah sebagai berikut: BAB V PENGALIHAN HAK DAN LISENSI 33. Diantara ketentuan Pasal 40 dengan Pasal 41 ditambahkan Pasal baru yaitu Pasal 40A, keseluruhan Pasal 40A berbunyi sebagai berikut: Pasal 40 A
173
Ketentuan mengenai Pengalihan Hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 berlaku pula terhadap merek yang masih dalam proses Permohonan.” 34. Ketentuan Pasal 41 dan Pasal 42 dihapus. 35. Ketentuan Pasal 43 ayat (2) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 43 berbunyi sebagai berikut: Pasal 43 (1) Pemilik Merek terdaftar berhak memberikan Lisensi kepada pihak lain dengan perjanjian bahwa penerima Lisensi akan menggunakan Merek tersebut untuk sebagian atau seluruh jenis barang atau jasa. (2) Perjanjian Lisensi berlaku di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia, kecuali bila diperjanjikan lain. (3) Perjanjian Lisensi wajib dimohonkan pencatatannya pada Menteri dengan dikenai biaya dan akibat hukum dari pencatatan perjanjian Lisensi berlaku terhadap pihak-pihak yang bersangkutan dan terhadap pihak ketiga. (4) Perjanjian Lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dicatat oleh Menteri dalam Daftar Umum Merek dan diumumkan dalam Berita Resmi Merek. 36. Ketentuan Pasal 48 dihapus. 37. Ketentuan Pasal 49 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 49 berbunyi sebagai berikut: Pasal 49 Ketentuan lebih lanjut mengenai Lisensi sebagaimana dimaksud dalam Undangundang ini diatur dengan Peraturan Pemerintah. 38. Di antara BAB VI dan BAB VII disisipkan BAB VIA, sebagai berikut: BAB VI A PENDAFTARAN MEREK INTERNASIONAL BERDASARKAN PROTOKOL MADRID Pasal 55 a
174
(1) Permohonan pendaftaran merek internasional diajukan berdasarkan Protokol Madrid. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berasal dari Indonesia hanya dapat diajukan oleh: a. Pemohon yang memiliki kewarganegaraan Indonesia; b. Pemohon yang memiliki domisili atau tempat kedudukan hukum di Indonesia; c. Pemohon yang memiliki kegiatan usaha industri atau komersial yang nyata di Indonesia. (3) Pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah mengajukan Permohonan atau memiliki pendaftaran merek di Indonesia sebagai dasar Permohonan pendaftaran merek internasional. (4) Permohonan pendaftaran merek internasional berlaku bagi semua negara anggota Protokol Madrid. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai Pendaftaran Merek Internasional berdasarkan Protokol Madrid akan diatur dengan Peraturan Pemerintah. 39. Ketentuan Pasal 59 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 59 berbunyi sebagai berikut: Pasal 59 Indikasi-asal merupakan suatu tanda yang semata-mata menunjukkan asal suatu barang atau jasa. 40. Ketentuan Pasal 60 dihapus. 41. Ketentuan Pasal 61 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 61 berbunyi sebagai berikut: Pasal 61 (1) Penghapusan pendaftaran Merek dari Daftar Umum Merek dapat dilakukan berdasarkan permohonan oleh pemilik Merek atau Kuasanya kepada Menteri.
175
(2) Penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dimohonkan untuk seluruh atau sebagian jenis barang dan/atau jasa. (3) Dalam hal pendaftaran Merek yang dimohonkan penghapusan masih terikat perjanjian Lisensi, penghapusan hanya dapat dilakukan apabila hal tersebut disetujui secara tertulis oleh penerima Lisensi. (4) Pengecualian atas persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1b) hanya dimungkinkan apabila dalam perjanjian Lisensi, penerima Lisensi dengan tegas menyetujui untuk mengesampingkan adanya persetujuan tersebut. (5) Penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) dicatat dalam Daftar Umum Merek dan diumumkan dalam Berita Resmi Merek. 42. Ketentuan Pasal 62 dihapus. 43. Ketentuan Pasal 63 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 63 berbunyi sebagai berikut: Pasal 63 (1) Penghapusan pendaftaran Merek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 dapat pula diajukan oleh pihak ketiga dalam bentuk gugatan kepada Pengadilan Niaga berdasarkan alasan: (2) Merek tersebut tidak digunakan selama 3 (tiga) tahun berturut-turut dalam perdagangan barang dan/atau jasa sejak tanggal pendaftaran atau pemakaian terakhir. (3) Penggunaan Merek tersebut tidak sesuai dengan pendaftarannya. (4) Alasan Merek tidak digunakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak berlaku dalam hal adanya: a. larangan impor b. larangan yang berkaitan dengan izin bagi peredaran barang yang menggunakan Merek yang bersangkutan atau keputusan dari pihak yang berwenang yang bersifat sementara; atau c. larangan
serupa
lainnya yang ditetapkan dengan
Peraturan
Pemerintah.
176
(5) Penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat dalam Daftar Umum Merek dan diumumkan dalam Berita Resmi Merek. 44. Ketentuan Pasal 66 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 66 berbunyi sebagai berikut: Pasal 66 (1) Menteri dapat menghapus pendaftaran Merek Kolektif atas dasar permohonan sendiri dari pemilik Merek Kolektif dengan persetujuan tertulis semua pemakai Merek Kolektif. (2) Permohonan penghapusan pendaftaran Merek Kolektif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a diajukan kepada Menteri. (3) Penghapusan pendaftaran Merek Kolektif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dicatat dalam Daftar Umum Merek dan diumumkan dalam Berita Resmi Merek. 45. Ketentuan Pasal 67 diubah, sehingga Pasal 67 berbunyi sebagai berikut: Pasal 67 Penghapusan pendaftaran Merek Kolektif dapat pula diajukan oleh pihak ketiga dalam
bentuk
gugatan
kepada
Pengadilan
Niaga
berdasarkan
alasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1). 46. Ketentuan Pasal 69 ayat (2) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 69 berbunyi sebagai berikut: Pasal 69 (1) Gugatan pembatalan pendaftaran Merek hanya dapat diajukan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal pendaftaran Merek. (2) Gugatan pembatalan dapat diajukan tanpa batas waktu apabila terdapat unsur itikad tidak baik dan/atau Merek yang bersangkutan bertentangan dengan moralitas agama, kesusilaan, atau ketertiban umum. 47. Ketentuan Pasal 75 ayat (2) dihapus, sehingga keseluruhan Pasal 75 berbunyi sebagai berikut: Pasal 75 177
(1) Untuk setiap pengajuan Permohonan atau permohonan perpanjangan Merek, permohonan petikan Daftar Umum Merek, pencatatan pengalihan hak, perubahan nama dan/atau alamat pemilik Merek terdaftar, pencatatan perjanjian Lisensi, keberatan terhadap Permohonan, permohonan banding serta lain-lainnya yang ditentukan dalam Undang-undang ini, wajib dikenai biaya yang besarnya ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. (2) Dihapus. (3) Menteri dengan persetujuan Menteri dan Menteri Keuangan dapat menggunakan penerimaan yang berasal dari biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 48. Diantara ketentuan Pasal 88 dengan Pasal 89 ditambahkan Pasal baru yaitu Pasal 88A dan Pasal 88B, keseluruhan Pasal 88A dan Pasal 88B berbunyi sebagai berikut: Pasal 88A (1) (Permohonan penetapan sementara pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 diajukan kepada Ketua Pengadilan Niaga dalam wilayah hukum tempat diketemukannya barang yang berkaitan dengan pelanggaran Merek. (2) Permohonan penetapan sementara pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72. (3) Panitera mendaftarkan permohonan penetapan sementara pada tanggal permohonan penetapan sementara tersebut diajukan dan pada tanggal yang sama panitera menyampaikan permohonan penetapan sementara tersebut kepada Ketua Pengadilan Niaga. (4) Dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari terhitung sejak tanggal permohonan penetapan sementara didaftarkan, hakim Pengadilan Niaga harus memutuskan apakah permohonan penetapan sementara tersebut diterima atau ditolak.
178
(5) Dalam hal permohonan penetapan sementara dapat diterima, hakim pengadilan niaga menerbitkan surat penetapan sementara pengadilan. (6) Dalam hal permohonan penetapan sementara ditolak, hakim pengadilan niaga memberitahukan penolakan tersebut kepada pemohon penetapan sementara dengan disertai alasannya. Pasal 88B (1) Dalam hal Pengadilan Niaga menerbitkan surat penetapan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (5), Pengadilan Niaga memanggil pihak yang dikenai penetapan sementara dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari untuk dimintai keterangan. (2) Pihak yang dikenai penetapan sementara dapat menyampaikan keterangan dan bukti-bukti dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal diterimanya surat panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diterbitkannya surat penetapan sementara pengadilan, hakim Pengadilan Niaga harus memutuskan untuk membatalkan atau menguatkan penetapan sementara pengadilan. (4) Dalam hal penetapan sementara pengadilan dikuatkan, uang jaminan yang telah dibayarkan harus dikembalikan kepada pemohon penetapan dan pemohon penetapan harus segera mengajukan gugatan pelanggaran Merek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 dan/atau membuat aduan atas adanya pelanggaran hak atas Merek kepada Penyidik Kepolisian Republik Indonesia atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil. (5) Dalam hal penetapan sementara pengadilan dibatalkan, uang jaminan yang telah dibayarkan harus segera diserahkan kepada pihak yang dikenai tindakan sebagai ganti rugi akibat adanya penetapan sementara tersebut. 49. Ketentuan Pasal 90 diubah, sehingga Pasal 90 berbunyi sebagai berikut: Pasal 90 Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan Merek yang sama pada keseluruhannya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana 179
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.500.000.000,00 (Dua miliar lima ratus juta rupiah)” 50. Diantara Pasal 90 dan Pasal 91 disisipkan Pasal baru 90 A sebagai berikut: Pasal 90 A Dalam hal penggunaan merek secara tanpa hak sebagaimana dimaksud pada pasal 90 jenis barangnya dapat membahayakan keselamatan jiwa manusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (Lima miliar rupiah) 51. Ketentuan Pasal 91 diubah, sehingga Pasal 91 berbunyi sebagai berikut: Pasal 91 Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan Merek yang sama pada pokoknya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). 52. Diantara Pasal 91 dan Pasal 92 disisipkan Pasal 91 A sebagai berikut: Pasal 91 A Dalam hal penggunaan merek secara tanpa hak sebagaimana dimaksud pada Pasal 91 jenis barangnya dapat membahayakan keselamatan jiwa manusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 2.500.000.000,- (dua miliar lima ratus juta rupiah). 53. Ketentuan Pasal 94 ayat (1) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 94 berbunyi sebagai berikut: Pasal 94 (1) Barangsiapa memperdagangkan barang dan/atau jasa yang diketahui atau patut diketahui bahwa barang dan/atau jasa tersebut merupakan hasil pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90, Pasal 90A, Pasal 91, Pasal 91A, Pasal 92, dan Pasal 93 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp.800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah). 180
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran. 54. Diantara Pasal 95 dan Pasal 96 disisipkan Pasal 95A sebagai berikut: Pasal 95 A Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 A merupakan delik biasa. 55. Ketentuan Pasal 98 diubah, sehingga Pasal 98 berbunyi sebagai berikut: Pasal 98 Sengketa Merek yang masih dalam proses di pengadilan pada saat Undangundang ini berlaku tetap diproses berdasarkan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek sampai mendapat putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. BAB XV KETENTUAN PERALIHAN Pasal 96 (1) Permohonan, perpanjangan jangka waktu perlindungan Merek terdaftar, pencatatan pengalihan hak, pencatatan perubahan nama dan/atau alamat, permintaan penghapusan atau pembatalan pendaftaran Merek yang diajukan berdasarkan Undang-undang Nomor 19 Tahun 1992 sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 14Tahun 1997 tentang Merek tetapi belum selesai pada tanggal berlakunya undang-undang ini, diselesaikan berdasarkan ketentuan undang-undang tersebut. (2) Semua Merek yang telah didaftar berdasarkan Undang-undang Nomor 19 Tahun 1992 sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Merek dan masih berlaku pada saat diundangkannya Undangundang ini dinyatakan tetap berlaku menurut Undang-undang ini untuk selama sisa jangka waktu pendaftarannya. Pasal 97 Terhadap Merek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (2) tetap dapat diajukan gugatan pembatalan kepada Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68, berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5 atau Pasal 6. 181
Pasal 98 Sengketa Merek yang masih dalam proses di pengadilan pada saat Undangundang ini berlaku tetap diproses berdasarkan Undang-undang Nomor 19 Tahun 1992 sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Merek sampai mendapat putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. 56. Ketentuan Pasal 99 diubah, sehingga Pasal 99 berbunyi sebagai berikut: Pasal 99 Semua peraturan pelaksanaan yang dibuat berdasarkan Undang-undang Nomor 15 tahun 2001 tentang Merek yang telah ada pada tanggal berlakunya Undangundang ini dinyatakan tetap berlaku selama tidak bertentangan atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan Undang-undang.
3. Materi Muatan untuk RUU tentang Perubahan UU Desain Industri 1. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan : 1.
Desain Industri adalah tampilan luar dari sebuah produk baik secara keseluruhan maupun sebagian yang mempunyai kesan estetik, dan tampilan tersebut dihasilkan dari fitur-fitur yang meliputi garis, warna, komposisi garis dan warna, bentuk, konfigurasi, corak, dan/atau ornamentasi.
2.
Pendesain adalah seorang atau beberapa orang yang menghasilkan Desain Industri.
3.
Hak Desain Industri adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara Republik Indonesia kepada Pendesain atas hasil kreasinya untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri, atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakan hak tersebut.
182
4.
Permohonan adalah permintaan pendaftaran Desain Industri yang diajukan kepada Menteri.
5.
Pemohon adalah pihak yang mengajukan Permohonan.
6.
Kuasa adalah Konsultan Hak Kekayaan Intelektual sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini.
7.
Direktorat Jenderal adalah Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual yang berada di bawah Kementerian yang dipimpin oleh Menteri.
8.
Konsultan Hak Kekayaan Intelektual adalah orang yang memiliki keahlian di bidang Hak kekayaan Intelektual dan secara khusus memberikan jasa pengajuan permohonan dan pengurusan permohonan di bidang Hak Kekayaan Intelektual dan diangkat oleh Menteri.
9.
Tanggal Penerimaan adalah tanggal diterimanya permohonan yang telah memenuhi persyaratan minimum.
10. Hak Prioritas adalah hak Pemohon untuk mengajukan Permohonan yang berasal dari negara yang tergabung dalam Konvensi Paris untuk memperoleh pengakuan bahwa Tanggal Penerimaan yang diajukannya ke negara tujuan, yang juga anggota Konvensi Paris atau Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia, memiliki tanggal waktu yang telah ditentukan berdasarkan Konvensi Paris. 11. Pemeriksa Desain Industri adalah seorang yang karena keahliannya diangkat dengan Keputusan Menteri sebagai pejabat fungsional pemeriksa Desain Industri dan ditugasi untuk melakukan pemeriksaan substantif terhadap Permohonan. 12. Pemegang Hak Desain Industri adalah Pendesain sebagai pemilik Desain Industri atau pihak yang menerima hak tersebut dari pemilik Desain Industri atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak tersebut, yang terdaftar dalam Daftar Umum Desain Industri. 13. Lisensi adalah persetujuan yang diberikan oleh Pemegang Hak Desain Industri kepada pihak lain berdasarkan perjanjian tertulis untuk menggunakan Desain Industri yang masih dilindungi.
183
14. Orang adalah orang perseorangan, kelompok orang, badan usaha baik yang berbadan hukum atau tidak berbadan hukum. 15. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia. 16. Hari adalah hari kerja. 2.
BAB II LINGKUP DESAIN INDUSTRI Bagian Kesatu Desain Industri yang Diberikan Perlindungan Pasal 2 (1) Hak Desain Industri diberikan untuk Desain Industri yang baru. (2) Desain Industri dianggap baru apabila pada tanggal penerimaan Desain Industri tersebut berbeda atau tidak mirip dengan pengungkapan Desain Industri yang telah ada sebelumnya atau yang telah diketahui umum. (3) Pengungkapan sebelumnya, sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) adalah pengungkapan Desain Industri yang sebelum: a. Tanggal Penerimaan; atau b. tanggal prioritas apabila permohonan diajukan dengan Hak Prioritas; c. telah diumumkan atau digunakan di Indonesia atau di luar Indonesia Pasal 3 Suatu Desain Industri tidak dianggap telah diumumkan apabila dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sebelum Tanggal Penerimaannya, Desain Industri tersebut: a. telah dipertunjukkan dalam suatu uji pasar, pameran nasional ataupun internasional di Indonesia atau di luar negeri yang resmi atau diakui sebagai resmi; atau b. telah digunakan di Indonesia oleh Pendesain dalam rangka percobaan dengan tujuan pendidikan, penelitian, atau pengembangan.
Bagian Kedua Desain Industri yang Tidak Diberikan Perlindungan 184
Pasal 4 Hak Desain Industri tidak diberikan apabila Desain Industri yang dimohonkan: a. murni semata-mata karena pertimbangan fungsi atau teknis; atau b. bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum, agama, dan/atau kesusilaan.
Bagian Ketiga Jangka Waktu Perlindungan Hak Desain Industri Pasal 5 (1) Perlindungan terhadap Hak Desain Industri diberikan untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak Tanggal Penerimaan. (2) Jangka waktu perlindungan Hak Desain Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang sampai dengan 1 (satu) kali selama 5 (lima) tahun. (3) Hak Desain Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dicatat dalam Daftar Umum Desain Industri dan diumumkan dalam Berita Resmi Desain Industri. Pasal 6 (1) Permohonan perpanjangan perlindungan Hak Desain Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) diajukan secara tertulis oleh pemegang Hak Desain Industri atau Kuasanya kepada Menteri. (2) Permohonan perpanjangan perlindungan Hak Desain Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diajukan paling lambat 6 (enam) bulan sebelum berakhirnya perlindungan sampai dengan 6 (enam) bulan setelah berakhirnya batas waktu perlindungan Hak Desain Industri. (3) Permohonan perpanjangan perlindungan Hak Desain Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilampiri: a. formulir permohonan perpanjangan; b. fotokopi sertifikat Desain Industri; dan c. bukti pembayaran biaya perpanjangan. Pasal 7 185
(1) Perpanjangan jangka waktu perlindungan Hak Desain Industri dicatat dalam Daftar Umum Desain Industri dan diumumkan dalam Berita Resmi Desain Industri. (2) Perpanjangan jangka waktu perlindungan Hak Desain Industri diberitahukan secara tertulis kepada pemilik Hak Desain Industri atau Kuasanya. Bagian Keempat Subjek Desain Industri Pasal 8 (1) Yang berhak memperoleh Hak Desain Industri adalah Pendesain atau yang menerima hak tersebut dari Pendesain. (2) Dalam hal Pendesain terdiri atas beberapa orang secara bersama, Hak Desain Industri diberikan kepada mereka secara bersama, kecuali jika diperjanjikan lain. Pasal 9 (1) Jika suatu Desain Industri dibuat dalam hubungan dinas dengan pihak lain dalam lingkungan pekerjaannya, pemegang Hak Desain Industri adalah pihak yang untuk dan/atau dalam dinasnya Desain Industri itu dikerjakan, kecuali ada perjanjian lain antara kedua pihak dengan tidak mengurangi hak Pendesain apabila penggunaan Desain Industri itu diperluas sampai ke luar hubungan dinas. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi Desain Industri yang dibuat orang lain berdasarkan pesanan yang dilakukan dalam hubungan dinas. (3) Jika suatu Desain Industri dibuat dalam hubungan kerja atau berdasarkan pesanan, orang yang membuat Desain Industri itu dianggap sebagai Pendesain dan Pemegang Hak Desain Industri, kecuali jika diperjanjikan lain antara kedua pihak. Pasal 10 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 tidak menghapus hak Pendesain untuk tetap dicantumkan namanya dalam Sertifikat Desain Industri, Daftar Umum Desain Industri, dan Berita Resmi Desain Industri. 186
Bagian Kelima Pemegang Hak Desain Industri Pasal 11 (1) Pemegang Hak Desain Industri memiliki hak eksklusif untuk melaksanakan Hak Desain Industri yang dimilikinya atau memberi persetujuan secara tertulis kepada orang lain untuk membuat, menjual, dan/atau mengimpor, produk yang diberi Hak Desain Industri. (2) Kecuali untuk kepentingan penelitian dan pendidikan, sepanjang tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pemegang Hak Desain Industri atau tidak untuk kepentingan komersial tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Desain Industri. (3) Tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Desain Industri, perbanyakan fiturfitur Desain Industri yang harus dengan tepat diproduksi dalam bentuk yang tepat agar suatu produk dalam desain tersebut dihubungkan secara tepat atau ditempatkan di dalam, di sekeliling, atau menyatu dengan produk lain sehingga produk tersebut dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Pasal 12 Setiap orang dilarang untuk membuat, menjual, dan/atau mengimpor produk yang sama atau mirip dengan Desain Industri terdaftar milik orang lain, kecuali atas persetujuan Pemegang Hak Desain Industri. 3.
BAB III PERMOHONAN PENDAFTARAN HAK DESAIN INDUSTRI Bagian Kesatu Umum Pasal 13 (1) Hak Desain Industri diberikan atas dasar Permohonan oleh Pemohon yang beritikad baik. (2) Permohonan Pendaftaran Hak Desain Industri dikenakan biaya. (3) Ketentuan mengenai biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 14 187
Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) diajukan secara tertulis atau secara elektronik dalam bahasa Indonesia dan ditandatangani oleh Pemohon atau Kuasanya. Catatan: Diberikan penjelasan mengenai elektronik, bisa melalui internet, melalui digital device, contoh: USB, CD, DVD. Pasal 15 (1)
Permohonan Pendaftaran Hak Desain Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dapat diajukan oleh seorang atau beberapa orang Pemohon, atau badan hukum.
(2)
Dalam hal Permohonan Pendaftaran Hak Desain Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara bersama-sama oleh beberapa orang Pemohon, Permohonan tersebut ditandatangani oleh salah seorang Pemohon dengan melampirkan persetujuan tertulis dari seluruh Pemohon lainnya, dengan memilih salah satu alamat sebagai alamat Pemohon.
(3)
Dalam hal Permohonan Pendaftaran Hak Desain Industri diajukan oleh bukan Pendesain, Permohonan Hak Desain Industri harus disertai pernyataan yang dilengkapi dengan bukti yang cukup bahwa Pemohon berhak atas Desain Industri yang dimohonkan. Pasal 16
(1) Permohonan Hak Desain Industri memuat: a. tanggal, bulan, dan tahun surat Permohonan; b. nama, alamat lengkap, dan kewarganegaraan Pendesain; c. nama, alamat lengkap, dan kewarganegaraan Pemohon; d. nama dan alamat lengkap Kuasa apabila Permohonan diajukan melalui Kuasa; e. nama negara dan tanggal penerimaan permohonan yang pertama kali, dalam hal Permohonan diajukan dengan Hak Prioritas; f. Judul atau nama produk; dan g. Klasifikasi. (2) Permohonan Pendaftaran Hak Desain Industri
sebagaimana
dimaksud
pada ayat (1) harus dilampiri dengan: 188
a. Gambar dan/atau foto, dan b. surat kuasa khusus, dalam hal Permohonan diajukan melalui Kuasa; (3) Permohonan Pendaftaran Hak Desain Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilampiri dengan uraian singkat dari Desain Industri yang sedang diajukan pendaftarannya.
Pasal 17 (1) Uraian
singkat
Desain
Industri
yang
dimohonkan
pendaftarannya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3) meliputi: a. judul atau nama produk; b. keterangan gambar; dan c. pernyataan bagian Desain Industri yang dianggap baru oleh Pemohon. (2) Jika pernyataan bagian Desain Industri yang dianggap baru oleh Pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c tidak disampaikan oleh Pemohon kepada Menteri maka perlindungan Hak Desain Industri yang dimintakan dianggap sesuai dengan yang diungkapkan dalam gambar. Pasal 18 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Permohonan Pendaftaran Hak Desain Industri diatur dengan Peraturan Pemerint Pasal 19 Pihak yang untuk pertama kali mengajukan Permohonan dianggap sebagai pemegang Hak Desain Industri, kecuali jika terbukti sebaliknya. Pasal 20 (1) Setiap Permohonan Pendaftaran Hak Desain Industri dapat diajukan untuk: a. satu Desain Industri; b. sebagian Desain Industri; atau c. seperangkat produk atau barang yang memiliki fitur-fitur tampilan yang sama. (2) Apabila beberapa Desain Industri memiliki kemiripan, Permohonan harus diajukan sebagai desain varian pada Tanggal Penerimaan yang sama oleh Pemohon yang sama. 189
Pasal 21 (1) Pemohon yang bertempat tinggal di luar wilayah negara Republik Indonesia harus mengajukan Permohonan melalui Kuasa. (2) Pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menyatakan dan memilih domisili hukumnya di Indonesia. Pasal 22 (1) Ketentuan mengenai syarat untuk dapat diangkat sebagai Konsultan Hak Kekayaan Intelektual diatur dengan Peraturan Pemerintah. (2) Ketentuan mengenai tata cara pengangkatan Konsultan Hak Kekayaan Intelektual diatur dengan Peraturan Presiden. Bagian Kedua Permohonan dengan Hak Prioritas Pasal 23 (1) Permohonan dengan menggunakan Hak Prioritas harus diajukan dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan yang pertama kali diterima di negara lain yang merupakan anggota Konvensi Paris atau anggota Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia. (2) Permohonan dengan Hak Prioritas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilengkapi dengan dokumen prioritas yang disahkan oleh kantor yang menyelenggarakan pendaftaran Desain Industri disertai terjemahannya dalam bahasa Indonesia dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan terhitung setelah berakhirnya jangka waktu pengajuan Permohonan dengan Hak Prioritas. (3) Apabila syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) tidak dipenuhi, Permohonan tersebut dianggap diajukan tanpa menggunakan Hak Prioritas. Pasal 24 Selain Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2), Menteri dapat meminta agar Permohonan dengan menggunakan Hak Prioritas dilengkapi dengan: 190
a. salinan lengkap Hak Desain Industri yang telah diberikan sehubungan dengan pendaftaran yang pertama kali diajukan di negara lain; dan b. salinan sah dokumen lain yang diperlukan untuk mempermudah penilaian bahwa Desain Industri tersebut adalah baru. Bagian Ketiga Tanggal Penerimaan Permohonan dan Pemeriksaan Administratif Pasal 25 (1) Menteri menetapkan Tanggal Penerimaan terhadap Permohonan yang telah memenuhi persyaratan minimum sebagai berikut: a. menyampaikan data Pemohon; b. melampirkan gambar dan/atau foto; dan c. membayar biaya Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2). (2) Apabila persyaratan minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dipenuhi,
Menteri
memberitahukan
Pemohon
untuk
melengkapi
kekurangan. (3) Tanggal Penerimaan ditetapkan setelah Pemohon memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Pasal 26 (1) Menteri melakukan pemeriksaan administratif berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 23, dan Pasal 24. (2) Apabila Permohonan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 23, dan Pasal 24, Menteri memberitahukan kepada Pemohon atau Kuasanya untuk memenuhi kekurangan tersebut dalam waktu 2 (dua) bulan terhitung sejak tanggal pemberitahuan. (3) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang paling lama 1 (satu) bulan atas permintaan Pemohon atau Kuasanya secara tertulis berdasarkan alasan yang dapat disetujui Menteri.
191
(4) Permintaan perpanjangan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus diajukan sebelum berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 27 (1) Apabila kekurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) tidak dipenuhi, Menteri memberitahukan secara tertulis kepada Pemohon atau Kuasanya bahwa Permohonannya dianggap ditarik kembali. (2) Dalam hal Permohonan dianggap ditarik kembali sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), segala biaya yang telah dibayarkan kepada Menteri tidak dapat ditarik kembali. Bagian Keempat Penarikan Kembali Permohonan Pasal 28 Permintaan penarikan kembali Permohonan dapat diajukan secara tertulis kepada Menteri oleh Pemohon atau Kuasanya selama Permohonan tersebut belum mendapat keputusan. Bagian Kelima Kewajiban Menjaga Kerahasiaan Pasal 29 Selama masih terikat dinas aktif hingga selama 12 (dua belas) bulan sesudah pensiun atau berhenti karena sebab apa pun dari Menteri, pegawai atau orang yang karena tugasnya bekerja untuk dan/atau atas nama Menteri dilarang mengajukan Permohonan, memperoleh, memegang, atau memiliki hak yang berkaitan dengan Desain Industri, kecuali jika pemilikan tersebut diperoleh karena pewarisan. Pasal 30 (1) Terhitung sejak Tanggal Penerimaan, seluruh pegawai atau orang yang karena tugasnya bekerja untuk dan/atau atas nama Menteri berkewajiban menjaga
kerahasiaan
Permohonan
sampai
dengan
diumumkannya
Permohonan yang bersangkutan.
192
(2) Konsultan Hak Kekayaan Intelektual berkewajiban menjaga kerahasiaan Permohonan. Bagian Keenam Pemeriksaan Substantif Pasal 31 (1) Menteri melakukan pemeriksaan substantif sejak persyaratan administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 dipenuhi. (2) Pemeriksaan substantif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1, Pasal 2, Pasal 4, Pasal 17 dan Pasal 20. (3) Keputusan Pemeriksaan substantif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan. Pasal 32 (1) Pemeriksaan substantif dilaksanakan oleh Pemeriksa pada Menteri. (2) Kedudukan, jenjang, dan besaran tunjangan
Pemeriksa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundangan-undangan. Pasal 33 (1) Untuk keperluan pemeriksaan substantif, Menteri dapat meminta bantuan ahli dan/atau menggunakan fasilitas yang diperlukan dari instansi Pemerintah terkait atau Pemeriksa dari negara lain. (2) Penggunaan bantuan ahli, fasilitas, atau Pemeriksa dari negara lain sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(1)
tetap
dilakukan
dengan
memperhatikan ketentuan mengenai kewajiban untuk menjaga kerahasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30. Pasal 34 (1) Apabila Pemeriksa melaporkan bahwa Desain Industri yang diperiksa tidak jelas atau terdapat kekurangan lain yang dinilai penting sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2), Menteri memberitahukan secara tertulis adanya ketidakjelasan atau kekurangan tersebut kepada Pemohon atau
193
Kuasanya guna meminta tanggapan atau kelengkapan atas kekurangan tersebut. (2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus jelas dan rinci serta mencantumkan hal yang dinilai tidak jelas atau kekurangan lain yang dinilai penting dengan disertai alasan dan acuan yang digunakan dalam pemeriksaan substantif, berikut jangka waktu pemenuhannya. (3) Apabila Pemeriksa melaporkan bahwa Desain Industri yang diperiksa bukan merupakan seperangkat produk atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf c Menteri memberitahukan hal tersebut secara tertulis kepada Pemohon atau Kuasanya agar memecah menjadi Permohonan yang baru dengan membayar biaya. (4) Pengajuan permohonan yang baru hasil pemecahan permohonan yang sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberi tanggal penerimaan yang sama sesuai dengan permohonan yang sebelumnya harus dilakukan paling lambat 2 (dua) bulan sejak tanggal pengiriman surat pemberitahuan. (5) Terhadap Permohonan yang baru hasil pemecahan permohonan yang sebelumnya sebagaimana dimakksud pada ayat (3) diberi tanggal penerimaan yang sama sesuai dengan permohonan yang sebelumnya. (6) Apabila setelah pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Pemohon tidak melakukan pemecahan Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), permohonan dianggap ditarik kembali. Pasal 35 Apabila setelah pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) Pemohon tidak memberikan tanggapan atau tidak melakukan perbaikan terhadap Permohonan yang telah diajukannya dalam waktu yang telah ditentukan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2), Permohonan tersebut dianggap ditarik kembali dan diberitahukan secara tertulis kepada Pemohon. Bagian Ketujuh Keputusan, Pemberian Sertifikat, dan Pengumuman 194
Pasal 36 (1) Desain Industri yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) dinyatakan dapat diterima dan diberitahukan secara tertulis kepada pemohon dan diumumkan oleh Menteri. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat: a. nama dan alamat lengkap Pemohon; b. nama dan alamat lengkap Kuasa dalam hal Permohonan diajujan melalui Kuasa; c. tanggal penerimaan dan nomor Permohonan; d. tanggal pemberian dan nomor pendaftaran; e. nama negara dan tanggal penerimaan permohonan yang pertama kali apabila Permohonan diajukan dengan menggunakan Hak Prioritas; f. uraian singkat Desain Industri; dan g. gambar atau foto Desain Industri. (3) Pemohon dapat meminta secara tertulis agar pengumuman sebagaimana tersebut pada ayat (1) dapat ditunda selambat-lambatnya sebelum dimulainya pemeriksaan subtantif sebagaimana dimaksud pada Pasal 31 ayat (1). (4) Penundaan pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak boleh melebihi waktu 30 (tiga puluh) bulan terhitung sejak Tanggal Penerimaan atau terhitung sejak tanggal prioritas, apabila Permohonan diajukan dengan menggunakan hak prioritas. (5) Desain Industri yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) dinyatakan ditolak dan diberitahukan secara tertulis kepada pemohon dan diumumkan oleh Menteri dengan mencantumkan nomor permohonan dan nama pemohon. Pasal 37 (1) Menteri memberikan sertifikat Desain Industri kepada Pemohon dalam waktu 2 (dua) bulan terhitung sejak tanggal keputusan diterimanya pendaftaran oleh Menteri. (2) Sertifikat Desain Industri mulai berlaku terhitung sejak Tanggal Penerimaan. 195
Pasal 38 (1) Pihak yang memerlukan salinan Sertifikat Desain Industri dapat memintanya kepada Menteri dengan membayar biaya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pemberian salinan Desain Industri diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri. Bagian Kedelapan Permohonan Banding Pasal 39 (1) Permohonan banding dapat diajukan terhadap penolakan Permohonan yang berkaitan dengan alasan dan dasar pertimbangan mengenai hal-hal yang bersifat substantif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) dan/atau Pasal 32 ayat (1). (2) Permohonan banding diajukan secara tertulis oleh Pemohon atau Kuasanya kepada Majelis Banding Desain Industri dengan tembusan yang disampaikan kepada Menteri. (3) Permohonan banding diajukan dengan menguraikan secara lengkap keberatan serta alasannya terhadap penolakan Permohonan sebagai hasil pemeriksaan substantif. (4) Alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak merupakan alasan atau penjelasan baru sehingga memperluas lingkup kreasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35. Pasal 40 (1) Permohonan banding diajukan paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal
pengiriman
surat
pemberitahuan
penolakan
Permohonan
sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (5). (2) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat tanpa adanya permohonan banding, penolakan Permohonan dianggap diterima oleh Pemohon. (3) Dalam hal penolakan Permohonan telah dianggap diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri mencatat dan mengumumkannya. 196
Pasal 41 (1) Banding mulai diperiksa oleh Majelis Banding paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal penerimaan permohonan banding. (2) Keputusan Majelis Banding ditetapkan paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Dalam hal Majelis Banding menerima dan menyetujui permohonan banding, Menteri wajib melaksanakan keputusan Majelis Banding. (4) Dalam hal Majelis Banding menolak permohonan banding, Pemohon atau Kuasanya dapat mengajukan gugatan atas keputusan tersebut ke Pengadilan Niaga dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya keputusan penolakan tersebut. (5) Terhadap putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), hanya dapat diajukan kasasi. Bagian Kesembilan Pembatalan Pendaftaran Pasal 42 (1) Dalam hal adanya keberatan terhadap keputusan diterimanya pendaftaran, pihak lain yang berkepentingan dapat mengajukan pembatalan pendaftaran ke Majelis Banding Desain Industri. (2) Dalam hal Majelis Banding Desain Industri mengabulkan pembatalan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemegang hak desain industri dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Niaga. (3) Dalam hal Majelis Banding Desain Industri menolak pembatalan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pihak lain yang berkepentingan dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Niaga. (4) Dalam hal adanya keberatan terhadap keputusan penolakan pendaftaran Desain Industri, Pemohon dapat mengajukan keberatan atas penolakan ke Majelis Banding Desain Industri. (5) Dalam hal Majelis Banding Desain Industri mengabulkan keberatan sebagaimana pada ayat (4), pihak lain yang berkepentingan dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Niaga. 197
(6) Dalam hal Majelis Banding Desain Industri menolak keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Pemohon dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Niaga. (7) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (6) diumumkan oleh Menteri setelah mendapat keputusan hukum yang tetap. 4.
BAB IV MAJELIS BANDING Pasal 43 (1) Majelis Banding Desain Industri adalah badan khusus yang independen dan berada di lingkungan departemen yang membidangi Hak Kekayaan Intelektual. (2) Majelis Banding Desain Industri terdiri atas seorang ketua merangkap anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota, dan anggota yang terdiri atas beberapa ahli di bidang yang diperlukan serta Pemeriksa senior. (3) Anggota Majelis Banding Desain Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Menteri untuk masa jabatan 3 (tiga) tahun. (4) Ketua dan wakil ketua dipilih dari dan oleh para anggota Majelis Banding Desain Industri. (5) Untuk memeriksa permohonan banding, Majelis Banding Desain Industri membentuk majelis yang berjumlah ganjil sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang, satu di antaranya adalah seorang Pemeriksa senior yang tidak melakukan pemeriksaan substantif terhadap Permohonan. Pasal 44 Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat keanggotaan, Susunan organisasi, tugas, dan fungsi Majelis Banding Desain Industri diatur lebih lanjut dengan Peraturan Presiden.
5.
BAB V PERMOHONAN MELALUI PENDAFTARAN INTERNASIONAL Pasal 45 (1) Permohonan dapat diajukan melalui pendaftaran internasional. 198
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 6.
BAB VI PENGALIHAN HAK DAN LISENSI Bagian Kesatu Pengalihan Hak Pasal 46 (1) Hak Desain Industri dapat beralih atau dialihkan dengan : a. pewarisan; b.hibah; c. wasiat; d.wakaf; e. perjanjian tertulis; atau f.sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundangundangan. (2) Pengalihan Hak Desain Industri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disertai dengan dokumen tentang pengalihan hak. (3) Segala bentuk pengalihan Hak Desain Industri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dicatat dalam Daftar Umum Desain Industri pada Menteri dengan membayar biaya sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini. (4) Pengalihan Hak Desain Industri yang tidak dicatatkan dalam Daftar Umum Desain Industri tidak berakibat hukum pada pihak ketiga. (5) Pengalihan Hak Desain Industri sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diumumkan dalam Berita Resmi Desain Industri. Pasal 47 Pengalihan Hak Desain Industri tidak menghilangkan hak Pendesain untuk tetap dicantumkan nama dan identitasnya, baik dalam Sertifikat Desain Industri, Berita Resmi Desain Industri, maupun dalam Daftar Umum Desain Industri. Bagian Kedua Lisensi Pasal 48 199
Pemegang Hak Desain Industri berhak memberikan Lisensi kepada pihak lain melaksanakan semua perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, kecuali jika diperjanjikan lain. Pasal 49 Dalam hal suatu Desain Industri menggunakan Hak Kekayaan Intelektual milik pihak lain yang telah ada sebelum Tanggal Penerimaan, Pemegang Hak Desain Industri tidak dapat melaksanakan Hak Desain Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2), kecuali ada persetujuan dari pemilik hak tersebut. Pasal 50 Dengan tidak mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48, pemegang Hak Desain Industri tetap dapat melaksanakan sendiri atau memberikan Lisensi kepada pihak ketiga untuk melaksanakan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, kecuali jika diperjanjikan lain. Pasal 51 (1) Perjanjian Lisensi dicatatkan dalam Daftar Umum Desain Industri pada Menteri dengan dikenai biaya sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini. (2) Perjanjian Lisensi yang tidak dicatatkan dalam Daftar Umum Desain Industri tidak berlaku terhadap pihak ketiga. (3) Perjanjian Lisensi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diumumkan dalam Berita Resmi Desain Industri. Pasal 52 (1) Perjanjian Lisensi dilarang memuat ketentuan yang dapat menimbulkan akibat yang merugikan perekonomian Indonesia atau memuat ketentuan yang mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. (2) Menteri wajib menolak pencatatan perjanjian Lisensi yang memuat ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Lisensi sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini diatur dengan Peraturan Pemerintah.
200
7.
BAB VII PEMBATALAN PENDAFTARAN HAK DESAIN INDUSTRI Bagian Kesatu Pembatalan Pendaftaran Hak Desain Industri Berdasarkan Permintaan Pemegang Hak Desain Industri Pasal 53 (1) Desain Industri terdaftar dapat dibatalkan oleh Menteri atas permintaan tertulis yang diajukan oleh pemegang Hak Desain Industri. (2) Pembatalan Hak Desain Industri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat dilakukan apabila penerima Lisensi Hak Desain Industri yang tercatat dalam Daftar Umum Desain Industri tidak memberikan persetujuan secara tertulis, yang dilampirkan pada permohonan pembatalan pendaftaran tersebut. (3) Keputusan pembatalan Hak Desain Industri diberitahukan secara tertulis oleh Menteri kepada: a. pemegang Hak Desain Industri; b. penerima Lisensi jika telah dilisensikan sesuai dengan catatan dalam Daftar Umum Desain Industri; c. pihak yang mengajukan pembatalan dengan menyebutkan bahwa Hak Desain Industri yang telah diberikan dinyatakan tidak berlaku lagi terhitung sejak tanggal keputusan pembatalan. (4) Keputusan pembatalan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dicatatkan dalam Daftar Umum Desain Industri dan diumumkan dalam Berita Resmi Desain Industri. Bagian Kedua Pembatalan Pendaftaran Hak Desain Industri Berdasarkan Gugatan Pasal 54 (1) Gugatan pembatalan pendaftaran Hak Desain Industri dapat diajukan oleh pihak yang berkepentingan dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1, Pasal 2, Pasal 4, Pasal 8 dan Pasal 9 kepada Pengadilan Niaga terhadap Pemegang Hak Desain Industri dan Menteri. 201
(2) Putusan Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tentang pembatalan pendaftaran Hak Desain Industri disampaikan kepada Menteri paling lama 14 (empat belas) hari setelah tanggal putusan diucapkan. Bagian Ketiga Tata Cara Gugatan Pasal 55 (1) Gugatan pembatalan pendaftaran Desain Industri diajukan kepada Ketua Pengadilan Niaga dalam wilayah hukum tempat tinggal atau domisili tergugat. (2) Dalam hal tergugat bertempat tinggal di luar wilayah Indonesia, gugatan tersebut diajukan kepada Ketua Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. (3) Panitera mendaftarkan gugatan pembatalan pada tanggal gugatan yang bersangkutan diajukan dan kepada penggugat diberikan tanda terima tertulis yang ditandatangani panitera dengan tanggal yang sama dengan tanggal pendaftaran gugatan. (4) Panitera menyampaikan gugatan pembatalan kepada Ketua Pengadilan Niaga dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari terhitung sejak gugatan didaftarkan. (5) Dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari terhitung sejak tanggal gugatan pembatalan didaftarkan, Pengadilan Niaga mempelajari gugatan dan menetapkan hari sidang. (6) Sidang pemeriksaan atas gugatan pembatalan diselenggarakan dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari setelah gugatan didaftarkan. (7) Pemanggilan para pihak dilakukan oleh juru sita paling lama 7 (tujuh) hari setelah gugatan pembatalan didaftarkan. (8) Putusan atas gugatan pembatalan harus diucapkan paling lama 90 (sembilan puluh) hari setelah gugatan didaftarkan dan dapat diperpanjang paling lama 30 (tiga puluh) hari atas persetujuan Ketua Mahkamah Agung. (9) Putusan atas gugatan pembatalan sebagaimana dimaksud dalam ayat (8) yang memuat secara lengkap pertimbangan hukum yang mendasari putusan tersebut harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan dapat 202
dijalankan terlebih dahulu, meskipun terhadap putusan tersebut diajukan suatu upaya hukum. (10) Salinan putusan Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (9) wajib disampaikan oleh juru sita kepada para pihak paling lama 14 (empat belas) hari setelah putusan atas gugatan pembatalan diucapkan.
Pasal 56 Terhadap putusan Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) hanya dapat dimohonkan kasasi. Pasal 57 (1) Permohonan kasasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 diajukan paling lama 14 (empat belas) hari setelah tanggal putusan yang dimohonkan kasasi diucapkan atau diberitahukan kepada para pihak dengan mendaftarkan kepada panitera yang telah memutus gugatan tersebut. (2) Panitera mendaftar permohonan kasasi pada tanggal permohonan yang bersangkutan diajukan dan kepada pemohon diberikan tanda terima tertulis yang ditandatangani oleh panitera dengan tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan pendaftaran. (3) Pemohon kasasi wajib menyampaikan memori kasasi kepada panitera dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal permohonan kasasi didaftarkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). (4) Panitera wajib mengirimkan permohonan kasasi dan memori kasasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) kepada pihak termohon kasasi paling lama 2 (dua) hari setelah permohonan kasasi didaftarkan. (5) Termohon kasasi dapat mengajukan kontra memori kasasi kepada panitera paling lama 7 (tujuh) hari setelah tanggal termohon kasasi menerima memori kasasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dan panitera wajib menyampaikan kontra memori kasasi kepada pemohon kasasi paling lama 2 (dua) hari setelah kontra memori kasasi diterimanya. (6) Panitera wajib menyampaikan permohonan kasasi, memori kasasi dan/atau kontra memori kasasi beserta berkas perkara yang bersangkutan kepada 203
Mahkamah Agung paling lama 7 (tujuh) hari setelah lewatnya jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (5). (7) Mahkamah Agung wajib mempelajari berkas permohonan kasasi dan menetapkan hari sidang paling lama 2 (dua) hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima oleh Mahkamah Agung. (8) Sidang pemeriksaan atas permohonan kasasi dilakukan paling lama 60 (enam puluh) hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima oleh Mahkamah Agung. (9) Putusan atas permohonan kasasi harus diucapkan paling lama 90 (sembilan puluh) hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima oleh Mahkamah Agung. (10) Putusan atas permohonan kasasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (9) yang memuat secara lengkap pertimbangan hukum yang mendasari putusan tersebut harus diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum. (11) Panitera Mahkamah Agung wajib menyampaikan salinan putusan kasasi kepada panitera paling lama 3 (tiga) hari setelah tanggal putusan atas permohonan kasasi diucapkan. (12) Juru sita wajib menyampaikan salinan putusan kasasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (11) kepada pemohon kasasi dan termohon kasasi paling lama 2 (dua) hari setelah putusan kasasi diterima. Pasal 58 Menteri mencatat putusan atas gugatan pembatalan yang telah memperoleh kekuatan
hukum
tetap
dalam
Daftar
Umum
Desain
Industri
dan
mengumumkannya dalam Berita Resmi Desain Industri. Bagian Keempat Akibat Pembatalan Pendaftaran Pasal 59 Pembatalan pendaftaran Desain Industri menghapuskan segala akibat hukum yang berkaitan dengan Hak Desain Industri dan hak-hak lain yang berasal dari Desain Industri tersebut. Pasal 60 204
(1) Dalam hal pendaftaran Desain Industri dibatalkan berdasarkan gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53, penerima Lisensi tetap berhak melaksanakan Lisensinya sampai dengan berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian Lisensi.
(2) Penerima Lisensi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak lagi wajib meneruskan pembayaran royalti yang seharusnya masih wajib dilakukannya kepada pemegang Hak Desain Industri yang haknya dibatalkan, tetapi wajib mengalihkan pembayaran royalti untuk sisa jangka waktu Lisensi yang dimilikinya kepada pemegang Hak Desain Industri yang sebenarnya. 8.
BAB VIII BIAYA Pasal 61 (1) Semua biaya yang wajib dibayar dalam Undang-undang ini ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, jangka waktu, dan tata cara pembayaran biaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. (3) Menteri dengan persetujuan Menteri Keuangan dapat mengelola sendiri biaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
9.
BAB IX PENYELESAIAN SENGKETA Bagian Kesatu Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan Pasal 62 (1) Pemegang Hak Desain Industri atau penerima Lisensi dapat menggugat siapa pun yang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, berupa : a. gugatan ganti rugi; dan/atau
205
b. penghentian semua perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11. (2) Gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan ke Pengadilan Niaga. Bagian Kedua Tata Cara Penyelesaian Sengketa Pasal 63 Tata cara penyelesaian gugatan ganti rugi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 61 dilakukan dengan menggunakan tata cara sebagaimana diatur dalam Hukum Acara Perdata yang diberlakukan untuk gugatan pembatalan sesuai Pasal 54 Undang-undang ini. Bagian Ketiga Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan Pasal 64 Selain penyelesaian gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 para pihak dapat menyelesaikan perselisihan tersebut melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa. Pasal 65 Tata cara gugatan sebagaimana diatur dalam Pasal 54 dan 56 berlaku secara mutatis mutandis terhadap gugatan sebagaimana diatur dalam Pasal 41, Pasal 42, dan Pasal 61. 10.
BAB X PENETAPAN SEMENTARA PENGADILAN Pasal 66 Berdasarkan bukti yang cukup, pihak yang haknya dirugikan dapat meminta hakim Pengadilan Niaga untuk menerbitkan surat penetapan sementara tentang: a. pencegahan masuknya produk yang berkaitan dengan pelanggaran Hak Desain Industri; b. penyimpanan bukti yang berkaitan dengan pelanggaran Hak Desain Industri.
206
Pasal 67 (1) Permohonan penetapan sementara diajukan secara tertulis kepada Pengadilan Niaga dengan persyaratan sebagai berikut : a. melampirkan bukti kepemilikan Desain Industri; b. melampirkan bukti adanya petunjuk awal yang kuat atas terjadinya pelanggaran Desain Industri; c. keterangan yang jelas mengenai barang dan/atau dokumen yang diminta, dicari, dikumpulkan dan diamankan untuk keperluan pembuktian; d. adanya
kekhawatiran
pelanggaran
Desain
bahwa
pihak
Industri
akan
yang dapat
diduga
melakukan
dengan
mudah
menghilangkan barang bukti; dan e. membayar jaminan berupa uang tunai atau jaminan bank. (2) Dalam hal penetapan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 telah dilaksanakan, Pengadilan Niaga segera memberitahukan kepada pihak yang dikenai tindakan dan memberikan kesempatan kepada pihak tersebut untuk didengar keterangannya. Pasal 68 Dalam hal hakim Pengadilan Niaga telah menerbitkan surat penetapan sementara, hakim Pengadilan Niaga yang memeriksa sengketa tersebut harus memutuskan untuk mengubah, membatalkan, atau menguatkan penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak dikeluarkannya surat penetapan sementara pengadilan tersebut. Pasal 69 (1) Permohonan penetapan sementara pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 diajukan kepada Ketua Pengadilan Niaga dalam wilayah hukum tempat ditemukannya barang yang diduga merupakan hasil pelanggaran Desain Industri. (2) Permohonan penetapan sementara pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66. 207
(3) Panitera mencatat permohonan penetapan sementara pada tanggal permohonan penetapan sementara tersebut diajukan dan pada tanggal yang sama panitera menyampaikan permohonan penetapan sementara tersebut kepada Ketua Pengadilan Niaga. (4) Dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari terhitung sejak tanggal diterimanya permohonan penetapan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Ketua Pengadilan Niaga menunjuk hakim untuk memeriksa permohonan penetapan sementara. (5) Dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari terhitung sejak tanggal penunjukkan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), hakim Pengadilan Niaga harus memutuskan apakah permohonan penetapan sementara tersebut diterima atau ditolak. (6) Dalam hal permohonan penetapan sementara dapat diterima, hakim pengadilan niaga menerbitkan Surat Penetapan Sementara Pengadilan. (7) Dalam hal permohonan penetapan sementara ditolak, hakim Pengadilan Niaga memberitahukan penolakan tersebut kepada pemohon penetapan sementara dengan disertai alasannya. Pasal 70 (1) Dalam hal Pengadilan Niaga menerbitkan surat penetapan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (6), Pengadilan Niaga memanggil pihak yang dikenai penetapan sementara dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari untuk dimintai keterangan. (2) Pihak yang dikenai penetapan sementara dapat menyampaikan keterangan dan bukti-bukti dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal diterimanya surat panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diterbitkannya surat penetapan sementara pengadilan, hakim Pengadilan Niaga harus memutuskan untuk membatalkan, atau menguatkan penetapan sementara pengadilan. (4) Dalam hal penetapan sementara pengadilan dikuatkan, uang jaminan yang telah dibayarkan harus dikembalikan kepada pemohon penetapan dan 208
pemohon penetapan harus segera mengajukan Gugatan Pelanggaran Desain Industri sebagaimana dimaksud dalam pasal 46 dan/atau membuat aduan atas adanya pelanggaran hak atas Desain Industri kepada Penyidik Kepolisian Republik Indonesia atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil. (5) Dalam hal penetapan sementara pengadilan dibatalkan, uang jaminan yang telah dibayarkan harus segera diserahkan kepada pihak yang dikenai penetapan sementara sebagai ganti rugi akibat adanya penetapan sementara tersebut. 11.
BAB XI PENYIDIKAN Pasal 71 (1) Selain Penyidik Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia, Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil di lingkungan departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang Hak Kekayaan Intelektual diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam ketentuan tentang Hukum Acara Pidana yang berlaku untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang Desain Industri. (2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang: a. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana; b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian; c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal dari tersangka; d. Melakukan penggeledahan dan penyitaan; e. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang; f. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; g. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; h. Mengadakan penghentian penyidikan; 209
i.
Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab;
j.
Meminta bantuan penangkapan, penahanan, penetapan daftar pencarian orang (dpo) dan pencegahan dan penangkapan terhadap pelaku tindak pidana dibidang Desain Industri kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(3) Penyampaian hasil penyidikan oleh PPNS HKI untuk diserahkan kepada Penuntut Umum dengan tembusan kepada Penyidik Pejabat POLRI. 12.
BAB XII KETENTUAN PIDANA Pasal 72 (1) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). (2) Setiap orang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah). (3) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) merupakan delik aduan.
13.
BAB XIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 73 (1) Pemrosesan
Permohonan,
pencatatan
pengalihan
hak,
pencatatan
perubahan nama dan/atau alamat, atau permintaan pembatalan hak Desain Industri yang diajukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri, tetapi belum selesai pada tanggal berlakunya Undang-Undang ini, diselesaikan dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak ditetapkannya Undang-Undang ini. (2) Semua Desain Industri yang telah didaftar berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri dan masih berlaku pada saat 210
diundangkannya Undang-Undang ini dinyatakan tetap berlaku menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri untuk selama sisa jangka waktu pendaftarannya.
Pasal 74 Terhadap Desain Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (2) tetap dapat diajukan gugatan pembatalan kepada Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 dan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4. Pasal 75 Sengketa Desain Industri yang masih dalam proses di Pengadilan pada saat Undang-Undang ini berlaku tetap diproses berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri sampai mendapat putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Pasal 76 Semua peraturan pelaksanaan yang dibuat berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri yang telah ada pada tanggal berlakunya Undang-Undang ini dinyatakan tetap berlaku selama tidak bertentangan atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan Undang-Undang ini.
14.
IV. KETENTUAN PENUTUP Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan UndangUndang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
211
BAB VI PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan kajian sebagaimana telah diuraikan pada Bab-bab terdahulu, dapat ditarik kesimpulan atas empat identifikasi masalah, yaitu sebagai berikut: 1.
Pengaturan tentang perubahan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek dan UndangUndang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain lndustri ke dalam satu naskah RUU Hak Kekayaan Industri, harus mempertimbangkan berbagai aspek, yaitu sebagai berikut: a. Ditinjau dari Aspek Ruang Lingkup Bidang Hukum Ditinjau dari ruang lingkup bidang hukum, apabila perubahan UndangUndang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek, dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2001 Tentang Desain Industri, dikompilasi ke dalam 1 (satu) naskah RUU Tentang Hak Kekayaan Industri, perlu dikaji hal-hal sebagai berikut: (1) Penyusunan RUU Tentang Hak Kekayaan Industri harus memenuhi ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yaitu bahwa “penamaan” RUU Tentang Hak Kekayaan Industri yang memuat Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek, dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri tidak tepat karena di bagian “penamaan”
mencakup kata “perubahan”, melainkan menggunakan Undang-Undang baru yang didalamnya mencakup Undang-Undang Paten, UndangUndang Merek dan Undang-Undang Desain Industri (sebagai alternatif mengenai “penamaan” RUU Hak Kekayaan Industri, tetap dapat dipergunakan nomenklatur Hak Kekayaan Industri dengan menyebutkan satu klausul pada Pasal terakhir, yaitu bahwa Undang-Undang Paten, Undang-Undang Merek dan Undang-Undang Desain Industri yang disatukan dalam satu naskah ini juga dinamakan Undang-Undang Hak Kekayaan Industri). (2) Kewenangan pembahasan bidang industri akan menjadi kewenangan Komisi VI DPR (Perekonomian), sedangkan substansi RUU Hak Kekayaan Industri merupakan kewenangan bidang Hukum yaitu Komisi III DPR. Apabila pembahasan RUU Hak Kekayaan Industri menjadi kewenangan Komisi VI DPR, maka pendefinisian Menteri menjadi Menteri Perindustrian, bukan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Hal ini berdampak pada status pemrakarsa RUU yang seharusnya adalah Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia beralih ke Menteri
Perindustrian. (3) Apabila penyusunan RUU Hak Kekayaan Industri sesuai urutan Prolegnas Prioritas Tahun 2011 Nomor 52 yang substansinya meliputi perubahan terhadap 3 (tiga) Undang-Undang, yaitu Undang-Undang Tentang Paten, Undang-Undang Tentang Merek dan Undang-Undang Tentang Desain Industri, bagaimana status RUU tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 tahun 2001 Tentang Paten (Prolegnas Nomor 214), RUU 213
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 tahun 2001 Tentang Merek (Prolegnas Nomor 215), dan RUU tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 2000 tentang Desain Industri (Prolegnas Nomor 217). (4) Perkembangan hukum di bidang Hak Kekayaan Intelektual sangat cepat sehingga
menyulitkan
untuk
melakukan
perubahan
ataupun
penyempurnaan hanya pada salah satu bidang Hak Kekayaan Industri. (5) Sulitnya menyusun suatu RUU Hak Kekayaan Industri yang mencakup Undang-Undang Paten, Undang-Undang Merek dan Undang-Undang Desain Industri ( dari segi tehnik penulisan atau drafting), apakah dalam bentuk suatu kodifikasi, kompilasi atau luruh menjadi satu UU yang baru. Dengan memperhatikan hal-hal tersebut di atas, diharapkan hukum di bidang Hak Kekayaan Industri dapat memberikan perlindungan yang lebih efektif, efisien, lebih meningkatkan perekonomian
Indonesia dan mendukung
peningkatan iklim investasi dan perdagangan serta meningkatkan daya saing nasional menuju wilayah ekonomi yang berdaya saing tinggi. 2.
Hal-hal yang dapat dijadikan masukan dalam Perubahan UU Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten, UU Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek, UU Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain lndustri, menjadi materi muatan RUU Hak Kekayaan Industri, yaitu sebagai berikut: a. Perubahan atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten 1) Lingkup Paten a) Lingkup perlindungan sebaiknya disatukan dalam satu pasal yaitu mencakup Paten dan Paten Sederhana. 214
b) Invensi yang Tidak Dapat Diberi Paten sebaiknya diatur dalam satu pasal (tidak dalam Penjelasan) sehingga mencakup semua pengecualian yang didalamnya memuat kreasi estetika;skema;aturan dan metode untuk melakukan kegiatan: yang melibatkan kegiatan mental, atau permainan; dan/atau
bisnis,
aturan
dan
metode
mengenai
program
komputer;presentasi mengenai suatu informasi. c) Perlindungan diberikan bagi perkembangan invensi yang berkaitan dengan cara transformasi nuklir 2) Hak dan Kewajiban Pemegang Paten Mengenai hak dan kewajiban pemegang paten dan hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan paten maupun pengecualiannya diatur dalam 1 Pasal baru. 3) Penetapan Sementara Pengadilan Niaga Dalam prakteknya Penetapan Sementara Pengadilan Niaga belum dapat diterapkan
sebagaimana
mestinya,
sebaiknya
segera
dikeluarkan
Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) yang mengatur tata-cara dan prosedur Penetapan Sementara Pengadilan Niaga. 4) Pengecualian Ketentuan dalam Pasal 135 mengenai pengecualian dari ketentuan pidana, sebaiknya mencakup pula pengecualian dari tuntutan perdata. 5) Perlu diterbitkannya Peraturan Pemerintah dan Keputusan Presiden. a) Peraturan Pemerintah (1) Tata cara untuk memperoleh pengakuan pemakai terdahulu; (2) Permohonan bukti Hak Prioritas dari Menteri dan Permohonan 215
yang diajukan dengan Hak Prioritas; (3) Tata cara dan syarat-syarat permohonan pemeriksaan substantif. b) Ketentuan mengenai tata cara permohonan pencatatan perubahan nama dan/atau alamat. b. Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek 1) Merek yang tidak dapat di daftar Ketentuan mengenai Merek yang Tidak Dapat didaftar ditambahkan ayat baru yaitu ”dapat menyesatkan masyarakat tentang asal, kwalitas, jenis, ukuran, macam, tujuan penggunaan barang dan/atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya atau merupakan nama varietas tanaman yang dilindungi untuk barang dan/atau jasa yang sejenis” 2) Protokol Madrid Pendaftaran Merek Internasional Berdasarkan Protokol Madrid yang dapat diajukan oleh pemohon dengan kriteria Pemohon yang memiliki kewarganegaraan Indonesia; Pemohon yang memiliki domisili atau tempat kedudukan hukum di Indonesia; Pemohon yang memiliki kegiatan usaha industri atau komersial yang nyata di Indonesia. 3) Penetapan Sementara Pengadilan Kiranya harus ditambahkan suatu ketentuan yang mengatur bahwa permasalahan penetapan sementara ini baru berlaku efektif setelah adanya ketentuan pelaksana Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) yang mengatur mengenai prosedur dan tata cara pengajuan permohonan tersebut.
216
c. Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 2001 Tentang Desain Industri 1) Desain Industri yang tidak diberikan perlindungan Perlu ditambahkan ayat baru mengenai Hak Desain Industri tidak diberikan apabila Desain Industri yang dimohonkan yaitu karena murni semata-mata karena pertimbangan fungsi atau teknis. 2) Peraturan Pemerintah Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Permohonan Pendaftaran Hak Desain Industri dan Permohonan Pendaftaran Internasional perlu diatur dengan Peraturan Pemerintah. 3) Penetapan Sementara Pengadilan Kiranya harus ditambahkan suatu ketentuan yang mengatur bahwa permasalahan penetapan sementara ini baru berlaku efektif setelah adanya ketentuan pelaksana Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) yang mengatur mengenai prosedur dan tata cara pengajuan permohonan tersebut. 3.
Adapun landasan filosofis, sosiologis, yuridis pembentukan Rancangan UndangUndang Tentang Hak Kekayaan Industri sebagai berikut: a. Landasan Filosofis Landasan filosofis perlindungan Hak Kekayaan Industri, yaitu: 1) Pancasila yaitu rechtsidee (cita hukum) 2) Undang-Undang Dasar 1945 3) Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten, Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek dan Undang-Undang Nomor 31 217
Tahubn 2001 Tentang Desain Industri yang merupakan hak eksklusif diberikan oleh Negara kepada inventor dan/atau pemegang hak, dan merupakan intangibleasset (benda bergerak) yang disamakan dengan benda tidak bergerak, karena Paten/Merek/Desain Industri bersertifikat maka dapat dialihkan haknya, dijual belikan, dihibahkan, dilisensikan dan lain sebagainya. b. Landasan Yuridis 1)
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (2) dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
2) Pancasila. 3) Instruksi Presiden No.11 Tahun 2011 Tentang Pelaksanaan Komitmen Cetak
Biru
Masyarakat
Ekonomi
ASEAN
Tahun
2011
yang
mengamanahkan Kementerian Hukum & HAM bertanggung jawab atas pengembangan ekonomi khusus di bidang HKI. Tujuannya adalah untuk mendukung peningkatan iklim investasi dan perdagangan serta meningkatkan daya saing nasional menuju wilayah ekonomi yang berdaya saing tinggi. 4) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 Tentang Pengesahan Agreement Establishing
the
World
Trade
Organization
atau
Persetujuan
Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia, Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3564. 5) The Paris Convention for the Protection of Industrial Property yang diratifikasi dengan Keppres No. 15 tahun 1997 tentang Perubahan Keppres No. 24 tahun 1979. 218
6) Patent Cooperation Treaty yang diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 16 Tahun 1997. 7) Trademark Law Treaty yang diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 17 Tahun 1997. 8) Nice Agreement concerning the International Classification of Goods and Services for the Purpose of the Registration of Marks. 9) Protocol
Relating
to
the
Madrid
Agreement
Concerning
the
International Registration of Mark. 10) Singapore Treaty of the Law of Trademark. 11) The Geneva Act 1999 of the Hague Agreement concerning the International Registration of Industrial Design. 12) The Locarno Agreement Establishing an International Classification for Industrial Designs. 13) The Budapest Treaty on the International Recognition of the Deposit of Microorganism for the Purpose of Patent Procedure. c. Landasan Sosiologis Landasan sosiologis perlindungan Hak Kekayaan Industri di bidang Paten, Merek dan Desain Industri adalah sebagai berikut: 1) Hukum yang responsif yang memaksimalkan potensi sosial melalui hukum Hak Kekayaan Industri (Paten, Merek dan Desain Industri) yang memperhatikan pemberdayaan masyarakat dan diterima secara sosial. 2) Melindungi individu atau anggota masyarakat dalam pergaulannya dengan masyarakat secara umum.
219
3) Di bidang Paten, sebagaimana disepakati dalam deklarasi Doha yang isinya setiap negara yang sedang mengalami emergensi karena mendapat wabah penyakit, maka Negara tersebut dapat memperbanyak dan memproduksi langsung obat untuk mengantisipasi penyakit yang mengakibatkan wabah tersebut, tanpa sepengetahuan pemegang paten artinya negara dibenarkan untuk melaksanakan lisensi wajib. 4.
Sasaran yang akan diwujudkan dalam pembentukan Rancangan Undang-Undang Tentang Hak Kekayaan Industri yaitu: 1) Untuk lebih meningkatkan kepastian hukum di bidang Hak Kekayaan Industri guna memperlancar dan merealisasikan penegakan hukum di bidang Hak Kekayaan Intelektual. 2) Untuk meningkatkan iklim investasi dan perdagangan serta meningkatkan daya saing nasional menuju wilayah ekonomi yang berdaya saing tinggi. 3) Untuk meningkatkan peran ekonomi kreatif dalam rangka mencapai pertumbuhan ekonomi nasional yang tinggi demi peningkatan kesejahteraan rakyat.
B. Saran Berdasarkan kesimpulan di atas, maka dapat dikemukakan saran-saran sebagai berikut: 1.
Perlu dipertimbangkan kembali mengenai rencana penyusunan RUU Hak Kekayaan Industri yang akan mencakup perubahan dari 3 (tiga) Undang-Undang, yaitu Undang-Undang Paten, Undang-Undang Merek dan Undang-Undang Desain Industri karena ruang lingkup Hak Kekayaan Industri juga mencakup Rahasia Dagang dan Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu. 220
2.
Pengajuan RUU Tentang Hak Kekayaan Industri yang mencakup perubahan atas Undang-Undang Paten, Undang-Undang Desain Industri, dan Undang-Undang Merek dalam Prolegnas Prioritas Tahun 2011 sebaiknya ditinjau ulang dan dirundingkan kembali antar instansi pemerintah yaitu Ditjen HKI, BPHN dan Ditjen PP, serta melibatkan Baleg DPR.
3.
Dari segi teknik “penamaan” RUU Hak Kekayaan Industri yang berisi paket perubahan atas Undang-Undang Paten, Undang-Undang Merek dan UndangUndang Desain Industri, sebaiknya tidak menggunakan kata “perubahan” terhadap Undang-Undang Paten, Undang-Undang merek dan Undang-Undang Desain Industri, melainkan menggunakan Undang-Undang baru yang didalamnya mencakup Undang-Undang Paten, Undang-Undang Merek dan Undang-Undang Desain Industri (sebagai alternatif mengenai “penamaan” RUU Hak Kekayaan Industri, tetap dapat dipergunakan nomenklatur Hak Kekayaan Industri dengan menyebutkan satu klausul pada Pasal terakhir, yaitu bahwa Undang-Undang Paten, Undang-Undang Merek dan Undang-Undang Desain Industri yang disatukan dalam satu naskah ini juga dinamakan Undang-Undang Hak Kekayaan Industri).
4.
Terkait dengan Lisensi Wajib di bidang Paten, lisensi di bidang Merek dan Desain Industri, sebaiknya pemerintah segera menerbitkan Peraturan Pemerintah tentang tata cara pencatatan perjanjian Lisensi dan Lisensi Wajib di bidang Paten, Merek dan Desain Industri, Hak Pemakai Terdahulu, Pemohonan dengan Hak Prioritas dan sebagainya yang sampai saat ini belum diatur.
221
5.
Perlu segera diatur Peraturan Pemerintah tentang Tata cara dan Prosedur Penetapan Sementara Pengadilan Niaga dan juga diterbitkan Peraturan Mahkamah Agung mengenai tata-cara dan prosedur Penetapan Sementara Pengadilan Niaga.
6.
Di bidang Merek, diperlukan langkah-langkah antisipasi sebelum diratifikasinya Protokol Madrid, Singapore Treaty dan Nice Agreement.
7.
Di bidang Industri, diperlukan langkah-langkah antisipasi sebelum diratifikasinya Geneva Act 1999 of the Hague Agreement concerning the international Registration of Industrial Design dan Locarno Agreement.
222
DAFTAR PUSTAKA
Buku Adisumarto, Harsono, Hak Milik Intelektual Khususnya Paten dan Merek: Hak Milik Perindustrian (Industrial Property), Jakarta: CV. Akademika Pressindo, 1990. Braithwaite, John dan Peter Drahos, Global Business Regulation, New York: Cambridge University Press, 2000. Chisum, Donald S, dan Michael A. Jacobs, Understanding Intellectual Property Law, New York: Matthew Bender & Co., Inc., 1995. Citrawinda Cita, Hak Kekayaan Intelektual – Tantangan Masa Depan, Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003. Cooter, Robert, dan Thomas Ulen, Law and Economics, Third Edition, USA: Addison-Wesley, 2000. D’Amato, Anthony & Doris Estelle Long, International Intellectual Property Law, London: Kluwer Law International, 1997. Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Buku Panduan Hak Kekayaan Intelektual, Tangerang: Direktorat Jenderal HKI, 2003. Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Departemen Kehakiman Republik Indonesia dan JICA, Buku Panduan Tentang Hak Atas Kekayaan Intelektual, Tangerang: Direktorat Jenderal HKI,1999. Djumhana, Muhamad dan Djubaedillah, Hak Milik Intelektual: Sejarah, Teori dan Praktiknya di Indonesia cetakan 3, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003.
Fauza , Ranti Mayana, Perlindungan Desain Industri di Indonesia dalam Era Perdagangan Bebas, Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2004. Friedman, Lawrence M., Legal Culture and the Welfare State: Law and Society-An Introduction, Cambridge Massachusetts, London: Harvard University Press, 1990. Friedmann W, Legal Theory, Columbia: Fifthty Edition University Press, 1967. Himpunan Putusan-putusan Mahkamah Agung dalam Perkara HKI, Jakarta: Tatanusa, 2004. Himpunan Putusan-putusan Pengadilan Niaga dalam Perkara Desain Industri, Jakarta: Tatanusa, 2005. Hughes, Justin, The Philosophy of Intellectual Property, 77 Geo. L.J, 1988. Kansil, Perlindungan Hak Milik Intelektual dan Pengaruhnya terhadap Industri dan Perdagangan Internasional, Disampaikan dalam Seminar tentang Pengaruh Hak Milik Intelektual terhadap Industri dan Perdagangan Internasional, di Jakarta, 1993. Kumpulan Perkara-perkara Desain Industri dari beberapa Praktisi Hukum Tahun 2008. Kumpulan Putusan-putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Tahun 2008. Lindsey, Tim ed, Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, Bandung: PT. Alumni, 2005 Michael, Blekeney, Priority Foreign Countries, EIPR, 1996. Purba, Achmad Zen Umar, Hak Kekayaan Intelektual PascaTRIPs, Bandung: PT. Alumni, 2005. Rachmadi Usman, Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di Indonesia, Bandung: PT. Alumni, 2003. Rasjidi, Lili dan I.B. Wyasa Putra, Hukum sebagai Suatu Sistem, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1993.
224
Sherwood, Robert M, Intellectual Property and Economic Development: Westview Special Studies in Science Technology and Public Policy, San Francisco: Westview Press Inc, 1990. Sinungan, Ansori, Perlindungan Desain Industri – Tantangan dan Hambatan dalam Praktiknya di Indonesia, Bandung: PT. Alumni, 2011. Usman, Rachmadi, Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di Indonesia, Bandung: PT. Alumni, 2003.
Artikel/Makalah/Jurnal James E. Inman, “Gray Marketing of Imported Trademarked Goods: Tariff and Trademark Issues” American Business Law Journal, Volume 31, No. 1 (May 1993). Soeparman, Andrieansjah, Jenis Permohonan Penilaian Kebaruan dan Penggunaan Hak Desain Industri di Indonesia, Media HKI Vol. IV No. 5, Oktober 2007. Agus Riswandi, Budi, Melindungi Desain yang tidak Terdaftar, Majalah Handicraft Indonesia edisi 40 Tahun VI/Mei, 2007. Citrawinda Cita, Perlindungan Hak Desain Industri di Indonesia, makalah disampaikan dalam Seminar Setengah Hari “Hukum Desain Industri di Indonesia: Interpretasi dan Penegakan Hukumnya, Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara, 2008. Cita Citrawinda, Sisi Lemah UU Desain Industri, Majalah Mahkamah, 2008. Erman Rajagukguk, Globalisasi Hukum dan Kemajuan Teknologi: Implikasinya Bagi Pendidikan Hukum dan Pembangunan Hukum Indonesia, pidato pada Dies Natalis Universitas Sumatera Utara ke-44, 2001.
225
Komar, Mieke dan Ahmad M. Ramli, Perlindungan Hak Atas Kepemilikan Intelektual Masa Kini dan Tantangan Menghadapi Era Globalisasi Abad 21, Makalah disampaikan pada Seminar Pengembangan Budaya Menghargai HAKI di Indonesia Menghadapi Era Globalisasi Abad 21, Bandung, 1998. Tim Kepres, Strategi dan peranan Hukum Hak Milik Intelektual dalam Menyongsong Era Globalisasi, Panel Diskusi bidang Hukum Hak Milik Intelektual, Jakarta: Dewan Pimpinan Pusat Golongan Karya, 1992. Juwana, Hikmahanto, Bunga Rampai Hukum Ekonomi dan Hukum Internasional, Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Konvensi, Traktat, Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan lain Indonesia, Undang-undang Tentang Perubahan UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan Nomor 12 Tahun 2011. Indonesia, Undang-undang Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban pembayaran Utang (PKPU) Nomor 37 Tahun 2004 Indonesia, Undang-undang Tentang Hak Cipta Nomor 19 Tahun 2002. Indonesia, Undang-undang Tentang Merek Nomor 15 Tahun 2001. Indonesia, Undang-undang Tentang Paten Nomor 14 Tahun 2001. Indonesia, Undang-undang Tentang Desain Industri Nomor 31 Tahun 2000. Indonesia, Undang-undang Tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization Nomor 7 Tahun 1994. Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2005.
226
Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri. Keputusan Presiden, Rekapitulasi Bahan Laporan dari Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia selaku Instansi Anggota Tim Nasional Penanggulangan Pelanggaran HKI kepada Presiden berdasarkan Keppres Nomor 4 Tahun 2006. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1997 Tentang Perubahan Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 1979 Tentang Pengesahan Paris Convention for the Protection of Industrial Property Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1997 Tentang Patent Cooperation Treaty Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 1997 Tentang Trademark Law Treaty Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1997 Tentang the Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights/TRIPs. The Budapest Treaty on the Recognition of the Deposit for the Purpose of Patent Procedure The Geneva Act concerning the Hague Agreement concerning the International Deposit of Industrial Design The Locarno Agreement Establishing an International Classification for Industrial Designs The Madrid Protocol concerning the International Registration of Trademarks ……… The Nice Agreement concerning the International Classification of Goods and Services for the Purpose of the Registration of Marks WIPO Intellectual Property Reading Material 1995. 227
Internet Anastasia Bibikova and VadimKotelnikov, Est Versus West: Philosophy, Cultural Values and Mindset, http;//www.1000ventures.com/business_guide/crosscuttings/cultures_eastwest-phylosophy. Mufti
Taqi
Usmani,
Copyright
According
to
Syariah:
Albalagh
News
Letter,
http://www.albalagh.net/qa/copyright.shtml, 24 Juli 2008. Murray Johannsen, The Global Leader: Understanding Eastern & Western Culture and Business Practices, http://www.legacee.com/Culture/CultureOverview.thml.
228
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR…TAHUN… TENTANG HAK KEKAYAAN INDUSTRI (PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI, UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN, DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang :
a. bahwa untuk memajukan industri yang mampu bersaing dalam lingkup perdagangan nasional dan internasional perlu diciptakan iklim yang mendorong kreasi dan inovasi masyarakat di bidang Paten, Merek dan Desain Industri sebagai bagian dari sistem Hak Kekayaan Intelektual; b. bahwa kekayaan hayati, budaya dan etnis bangsa Indonesia yang sangat beraneka ragam merupakan sumber daya yang perlu dikelola dan dimanfaatkan bagi pengembangan Hak Kekayaan Industri; c. bahwa dalam rangka meningkatkan peran industri dalam negeri, perlu didorong peningkatan Hak Kekayaan Industri yang mendukung pertumbuhan ekonomi nasional; d. bahwa Indonesia telah meratifikasi Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) yang mencakup Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (Persetujuan TRIPs) dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 sehingga perlu diatur ketentuan mengenai Paten, Merek dan Desain Industri; e. bahwa Indonesia sebagai negara yang telah meratifikasi perjanjian internasional di bidang Hak Kekayaan Intelektual, perlu melaksanakan ketentuan tersebut secara berkelanjutan dan berkesinambungan di dalam hukum nasional; f. bahwa di dalam era perdagangan global, sejalan dengan konvensikonvensi internasional yang telah diratifikasi Indonesia, peranan Paten, Merek dan Desain Industri menjadi sangat penting, terutama dalam menjaga persaingan usaha yang sehat; g. bahwa untuk lebih meningkatkan pelayanan dan memberikan kepastian hukum bagi dunia industri, perdagangan, dan investasi dalam menghadapi perkembangan perekonomian dunia pada masa mendatang, perlu didukung oleh suatu peraturan perundang-undangan di bidang Hak Kekayaan Industri yang lebih memadai;
1
h. bahwa Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan hukum masyarakat Indonesia dan perkembangan hukum internasional sehingga perlu diganti; i. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut dalam huruf a sampai dengan h, dengan memperhatikan penilaian terhadap segala pengalaman, khususnya kekurangan selama pelaksanaan, serta sudah tidak cukup memadai untuk menampung perkembangan perlindungan Paten, Merek dan Desain Industri saat ini, untuk memudahkan masyarakat memahami, sehingga dipandang perlu mengubah dan menyempurnakan beberapa ketentuan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri dengan Undang-Undang yang baru dalam bentuk satu naskah yaitu Undang-undang Hak Kekayaan Industri. Mengingat
:
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1) dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945; 2. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia), (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3564); 3. Undang-undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 2429, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4045); 4. Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4130); 5. Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 110, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4131);
Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG HAK KEKAYAAN INDUSTRI (PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN, UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DAN
2
UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI).
I. Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten Pasal I Beberapa ketentuan dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 1 angka 10 dihapuskan dan ditambahkan dengan ketentuan baru Pasal 14a, sehingga keseluruhan Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:
BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan : 1. Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara Republik Indonesia kepada Inventor atas hasil Invensinya di bidang teknologi. 2. Invensi adalah ide Inventor yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang spesifik di bidang teknologi dapat berupa produk atau proses, atau penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses. 3. Inventor adalah seorang yang secara sendiri atau beberapa orang yang secara bersama-sama melaksanakan ide yang dituangkan ke dalam kegiatan yang menghasilkan Invensi. 4. Permohonan adalah permohonan Paten yang diajukan kepada Menteri. 5. Pemohon adalah pihak yang mengajukan Permohonan Paten. 6. Pemegang Paten adalah Inventor sebagai pemilik Paten atau pihak yang menerima hak tersebut dari pemilik Paten atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak tersebut, yang terdaftar dalam Daftar Umum Paten. 7. Kuasa adalah Konsultan Hak Kekayaan Intelektual sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. 8. Pemeriksa adalah seseorang yang karena keahliannya diangkat dengan Keputusan Menteri sebagai pejabat fungsional Pemeriksa Paten dan ditugasi untuk melakukan pemeriksaan substantif terhadap Permohonan. 9. Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia 10. Ketentuan angka 10 dihapus 11. Tanggal Penerimaan adalah tanggal diterimanya Permohonan yang telah memenuhi persyaratan administratif minimum. 12. Hak Prioritas adalah hak Pemohon untuk mengajukan Permohonan yang berasal dari negara yang tergabung dalam Paris Convention for the protection of Industrial Property atau Agreement Establishing the World
3
Trade Organization untuk memperoleh pengakuan bahwa Tanggal Penerimaan di negara asal merupakan Tanggal Prioritas di negara tujuan yang juga anggota salah satu dari kedua perjanjian itu selama pengajuan tersebut dilakukan dalam kurun waktu yang telah ditentukan berdasarkan Paris Convention tersebut. 13. Lisensi adalah ijin yang diberikan oleh Pemegang Paten kepada pihak lain berdasarkan perjanjian tertulis untuk menggunakan Paten yang masih dilindungi. 14. Hari adalah hari kerja. 14a. Konsultan Hak Kekayaan Intelektual adalah orang yang memiliki keahlian di bidang Hak Kekayaan Intelektual dan secara khusus memberikan jasa pengajuan permohonan dan pengurusan Hak Kekayaan Intelektual, dan diangkat oleh Menteri. 2.
Judul Bagian Kesatu pada Bab II disesuaikan dengan tata urutan perundangundangan dan menyisipkan ketentuan baru yang dijadikan Pasal 1a, sehingga judul Bagian Kesatu pada Bab II serta keseluruhan Pasal 1a berbunyi sebagai berikut: BAB II LINGKUP PATEN Bagian Kesatu Lingkup Perlindungan Pasal 1a Lingkup perlindungan yang diatur dalam Undang-Undang ini adalah a. Paten; dan b. Paten Sederhana.
3.
Penyesuaian urutan bagian pada Bagian Kedua, sebagai berikut: Bagian Kedua Invensi Yang Dapat Diberi Paten
Pasal 2 Paten diberikan untuk Invensi yang baru, mengandung langkah inventif dan dapat diterapkan dalam industri. 4.
Penambahan paragraf dan judul paragraf, sebagai berikut: Paragraf 1 Invensi Yang Baru Pasal 3 (1) Suatu Invensi dianggap baru jika pada Tanggal Penerimaan, Invensi tersebut tidak sama dengan teknologi yang diungkapkan sebelumnya.
4
(2) Teknologi yang diungkapkan sebelumnya, sebagaimana dimaksud pada ayat 1 adalah teknologi yang telah diumumkan di Indonesia atau di luar Indonesia dalam suatu tulisan, uraian lisan atau melalui peragaan, penggunaan, atau dengan cara lain yang memungkinkan seorang ahli untuk melaksanakan Invensi tersebut sebelum: a. tanggal Penerimaan; atau b. tanggal prioritas. (3) Teknologi yang diungkapkan sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat 1 mencakup dokumen Permohonan yang diajukan di Indonesia yang dipublikasikan pada atau setelah Tanggal Penerimaan yang pemeriksaan substantifnya sedang dilakukan, tetapi Tanggal Penerimaan tersebut lebih awal daripada Tanggal Penerimaan atau tanggal prioritas Permohonan. 5.
Ketentuan Pasal 4 diubah dengan menyisipkan ketentuan baru yaitu menambahkan ayat 1 huruf b1, sehingga keseluruhan Pasal 4 berbunyi sebagai berikut: Pasal 4 (1) Suatu Invensi tidak dianggap telah diumumkan jika dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sebelum Tanggal Penerimaan: a. Invensi tersebut telah dipertunjukkan dalam suatu pameran internasional di Indonesia atau di luar negeri yang resmi atau diakui sebagai resmi atau dalam suatu pameran nasional di Indonesia yang resmi atau diakui sebagai resmi; b. Invensi tersebut telah digunakan di Indonesia oleh Inventornya dalam rangka percobaan dengan tujuan penelitian dan pengembangan; atau b1. Invensi tersebut telah dipublikasikan di salah satu jurnal ilmiah dan/atau pertemuan ilmiah baik nasional maupun internasional oleh inventor dan/atau Institusinya. (2) Invensi juga tidak dianggap telah diumumkan apabila dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sebelum Tanggal Penerimaan, ternyata ada pihak lain yang mengumumkan dengan cara melanggar kewajiban untuk menjaga kerahasiaan Invensi tersebut.
6.
Penambahan paragraf dan judul paragraf serta diantara Pasal 4 dan Pasal 5 disisipkan Pasal 4A, sehingga keseluruhannya berbunyi sebagai berikut: Paragraf 2 Invensi Yang mengandung Langkah Inventif Pasal 4A (1) Suatu Invensi mengandung langkah inventif jika Invensi tersebut bagi seseorang yang mempunyai keahlian tertentu di bidang teknik merupakan hal yang tidak dapat diduga sebelumnya. (2) Penilaian bahwa suatu Invensi merupakan hal yang tidak dapat diduga sebelumnya harus dilakukan dengan memperhatikan keahlian yang ada pada saat Permohonan diajukan atau yang telah ada pada saat diajukan
5
permohonan pertama dalam hal Permohonan itu diajukan dengan Hak Prioritas. 7.
Penambahkan paragraf dan judul paragraf pada Pasal 5, sebagai berikut: Paragraf 3 Invensi Yang Dapat Diterapkan Dalam Industri Pasal 5 Suatu Invensi dapat diterapkan dalam industri jika Invensi tersebut dapat dilaksanakan dalam industri sebagaimana yang diuraikan dalam Permohonan.
8.
Penambahan judul bagian dan penyempurnaan ketentuan Pasal 6, sehingga keseluruhan Pasal 6 berbunyi sebagai berikut: Bagian Ketiga Paten Sederhana Pasal 6 Paten Sederhana diberikan untuk setiap invensi berupa alat yang baru dan mempunyai nilai kegunaan praktis disebabkan oleh bentuk, konfigurasi, konstruksi, atau komponennya.
9.
Ketentuan Pasal 7 diubah dengan menambahkan judul bagian dan menyisipkan ketentuan baru pada huruf f sampai dengan k, sehingga keseluruhan Pasal 7 berbunyi sebagai berikut:
Bagian Keempat Invensi yang Tidak Dapat Diberi Paten Pasal 7 Paten tidak diberikan untuk Invensi tentang: a. proses atau produk yang pengumuman dan penggunaan atau pelaksanaannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas agama, ketertiban umum, atau kesusilaan; b. metode pemeriksaan, perawatan, pengobatan dan/atau pembedahan yang diterapkan terhadap manusia dan/atau hewan; c. teori dan metode di bidang ilmu pengetahuan dan matematika; atau d. semua makhluk hidup, kecuali jasad renik; e. proses biologis yang esensial untuk memproduksi tanaman atau hewan, kecuali proses non-biologis atau proses mikrobiologis. f. kreasi estetika; g. skema; h. aturan dan metode untuk melakukan kegiatan:
6
1. yang melibatkan kegiatan mental, atau 2. permainan;dan/atau 3. bisnis. i. aturan dan metode mengenai program komputer; j. presentasi mengenai suatu informasi; atau k. substansi yang diperoleh dengan cara transformasi nuklir. 10. Perubahan bagian dan judul bagian, sebagai berikut: Bagian Kelima Jangka Waktu Perlindungan Pasal 8 (1) Paten diberikan untuk jangka waktu selama 20 (dua puluh) tahun terhitung sejak Tanggal Penerimaan dan jangka waktu itu tidak dapat diperpanjang. (2) Tanggal mulai dan berakhirnya jangka waktu Paten dicatat dan diumumkan. 11. Penyesuaian urutan bagian, sebagai berikut: Bagian Keenam Subjek Paten Pasal 10 (1) Yang berhak memperoleh Paten adalah Inventor atau yang menerima lebih lanjut hak Inventor yang bersangkutan. (2) Jika suatu Invensi dihasilkan oleh beberapa orang secara bersama-sama, hak atas Invensi tersebut dimiliki secara bersama-sama oleh para inventor yang bersangkutan. 12. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:
(1)
(2)
(3) (4) (5)
Pasal 15 Pihak yang melaksanakan suatu Invensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) hanya dapat diakui sebagai pemakai terdahulu apabila setelah diberikan Paten terhadap Invensi yang sama, ia mengajukan permohonan untuk itu kepada Menteri. Permohonan pengakuan sebagai pemakai terdahulu wajib disertai bukti bahwa pelaksanaan Invensi tersebut tidak dilakukan dengan menggunakan uraian, gambar, contoh, atau keterangan lainnya dari Invensi yang dimohonkan Paten. Pengakuan sebagai pemakai terdahulu diberikan oleh Menteri dalam bentuk surat keterangan pemakai terdahulu dengan membayar biaya. Surat keterangan pemakai terdahulu berakhir pada saat yang bersamaan dengan saat berakhirnya Paten atas Invensi yang sama tersebut. Tata cara untuk memperoleh pengakuan pemakai terdahulu diatur dengan Peraturan Pemerintah.
13. Judul Bab IV menjadi “Hak dan Kewajiban Pemegang Paten”, dan ketentuan Pasal 16 diubah dengan menyisipkan ketentuan baru ayat (1a), sehingga judul Bab IV dan
7
keseluruhan Pasal 16 berbunyi sebagai berikut: BAB IV HAK DAN KEWAJIBAN PEMEGANG PATEN Pasal 16 (1) Pemegang Paten memiliki hak eksklusif untuk melaksanakan Paten yang dimilikinya dan melarang pihak lain yang tanpa persetujuannya, dalam hal: a. Paten-produk: membuat, menggunakan, menjual, mengimpor, menyewakan, menyerahkan, atau menyediakan untuk dijual atau disewakan atau diserahkan produk yang diberi Paten; b. Paten-proses: menggunakan proses produksi yang diberi Paten untuk membuat barang dan tindakan lainnya sebagaimana dimaksud dalam huruf a. (1a) Pelaksanaan Paten-proses sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yang menghasilkan produk yang dilindungi dalam Paten-produk sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf a, harus seizin pemegang Paten-produk (2) Dalam hal Paten-proses, larangan terhadap pihak lain yang tanpa persetujuannya melakukan impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b hanya berlaku terhadap impor produk yang semata-mata dihasilkan dari penggunaan Paten-proses yang dimilikinya. (3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (3) apabila pemakaian Paten tersebut untuk kepentingan pendidikan, penelitian, percobaan, atau analisis sepanjang tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pemegang Paten. 14. Perubahan judul Bab dan judul Bagian, serta penghapusan ketentuan Pasal 22 dengan menyisipkan ketentuan baru yang dijadikan Pasal 22A dan Pasal 22B, sehingga judul Bagian Kesatu dan keseluruhan Pasal 22A dan Pasal 22B berbunyi sebagai berikut: BAB V PERMOHONAN PATEN Bagian Kesatu Tata Cara dan Syarat Permohonan Pasal 20 Paten diberikan atas dasar Permohonan. 15. Ketentuan Pasal 22 dihapus Pasal 22A (1) Permohonan diajukan oleh Pemohon atau Kuasa secara tertulis dalam bahasa Indonesia kepada Menteri dengan membayar biaya. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh Pemohon atau Kuasa dan dapat disampaikan melalui jasa pos atau secara elektronik.
8
(3) Pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas orang atau badan hukum, baik sendiri maupun bersama-sama.
(1)
(2)
(3) (4)
(5)
Pasal 22B Permohonan yang diajukan oleh pemohon secara bersama-sama, harus mencantumkan nama dan alamat para pemohon dan memilih satu alamat sebagai alamat surat menyurat Pemohon. Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditandatangani oleh salah satu dari Pemohon dengan melampirkan persetujuan tertulis dari para Pemohon yang mewakilkan. Permohonan yang diajukan melalui kuasa, harus menyertakan surat kuasa yang sudah ditanda tangani oleh pemohon. Dalam hal Permohonan diajukan oleh Pemohon yang bukan Inventor, Permohonan tersebut harus dilengkapi dengan surat pernyataan yang membuktikan bahwa yang bersangkutan sebagai Pemohon yang sah. Inventor dapat meneliti Permohonan yang diajukan oleh Pemohon yang bukan Inventor sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan atas biayanya sendiri dapat meminta salinan dokumen Permohonan tersebut.
16. Ketentuan Pasal 24 diubah dengan menyisipkan ketentuan baru yaitu ayat (2), ayat (3), Pasal 24A, Pasal 24B dan Pasal 24C, sehingga keseluruhan Pasal 24, Pasal 24A, Pasal 24B dan Pasal 24C berbunyi sebagai berikut:
Pasal 24 (1) Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia kepada Menteri (2) Permohonan harus memuat: a. tanggal, bulan, dan tahun surat Permohonan; b. nama, alamat lengkap, dan kewarganegaraan Inventor; c. nama, alamat lengkap, dan kewarganegaraan Pemohon; d. nama, dan alamat lengkap Kuasa apabila Permohonan diajukan melalui Kuasa; dan e. nama negara, dan tanggal penerimaan permohonan yang pertama kali, dalam hal Permohonan diajukan dengan Hak Prioritas. (3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri dengan: a. judul Invensi; b. deskripsi tentang Invensi, yang secara lengkap memuat keterangan tentang cara melaksanakan Invensi; c. klaim atau beberapa klaim yang terkandung dalam Invensi; d. abstrak Invensi; e. gambar yang disebutkan dalam deskripsi yang diperlukan untuk memperjelas Invensi; f. surat kuasa, apabila Permohonan diajukan melalui Kuasa; dan g. pernyataan permohonan untuk dapat diberi Paten
9
Pasal 24A Deskripsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) huruf b harus mengungkapkan secara cukup jelas dan lengkap tentang bagaimana invensi tersebut dapat dilaksanakan oleh orang yang ahli di bidangnya. Pasal 24B Klaim atau beberapa klaim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) huruf c harus mengungkapkan batasan perlindungan dari invensi yang harus diungkapkan secara jelas, konsisten, dan didukung sepenuhnya oleh deskripsi. Pasal 24C Ketentuan lebih lanjut tentang syarat dan tata cara pengajuan permohonan diatur dengan Peraturan Pemerintah. 17. Ketentuan Pasal 25 diubah dengan menyisipkan ketentuan baru yang dijadikan ayat (3a), sehingga keseluruhan Pasal 25 berbunyi sebagai berikut: Bagian kedua Konsultan Hak Kekayaan Intelektual Pasal 25 (1) Permohonan dapat diajukan oleh Pemohon atau Kuasanya (2) Kuasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) huruf d adalah Konsultan Hak Kekayaan Intelektual yang diangkat Menteri. (3) Terhitung sejak tanggal penerimaan kuasanya, Kuasa wajib menjaga kerahasiaan Invensi dan seluruh dokumen Permohonan sampai dengan tanggal diumumkannya Permohonan yang bersangkutan. (3a) Alamat kuasa pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) huruf d menjadi domisili hukum pilihan pemohon di Indonesia. (4) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengangkatan Konsultan Hak Kekayaan Intelektual diatur dengan Peraturan Pemerintah. 18. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:
(1) (2)
Pasal 28 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 berlaku secara mutatis mutandis terhadap Permohonan yang menggunakan Hak Prioritas. Menteri dapat meminta agar Permohonan yang diajukan dengan menggunakan Hak Prioritas tersebut dilengkapi: a. salinan sah surat-surat yang berkaitan dengan hasil pemeriksaan substantif yang dilakukan terhadap permohonan Paten yang pertama kali di luar negeri; b. salinan sah dokumen Paten yang telah diberikan sehubungan dengan permohonan Paten yang pertama kali di luar negeri; c. salinan sah keputusan mengenai penolakan atas permohonan Paten yang pertama kali di luar negeri bilamana permohonan Paten tersebut ditolak; d. salinan sah keputusan pembatalan Paten yang bersangkutan yang pernah 10
dikeluarkan di luar negeri bilamana Paten tersebut pernah dibatalkan; e. dokumen lain yang diperlukan untuk mempermudah penilaian bahwa Invensi yang dimintakan Paten memang merupakan Invensi baru dan benar-benar mengandung langkah inventif serta dapat diterapkan dalam industri. (3) Penyampaian salinan dokumen-dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat disertai tambahan penjelasan secara terpisah oleh Pemohon
19. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut: Pasal 29 Ketentuan lebih lanjut mengenai permohonan bukti Hak Prioritas dari Menteri dan Permohonan yang diajukan dengan Hak Prioritas diatur dengan Peraturan Pemerintah. 20. Perubahan judul bagian, serta penyisipan ketentuan baru pada ayat (2), sehingga keseluruhannya berbunyi sebagai berikut: Bagian Keempat Tanggal Penerimaan Permohonan
(1) (2)
(3)
(4)
Pasal 30 Permohonan yang telah memenuhi persyaratan minimum diberikan Tanggal Penerimaan oleh Menteri. Persyaratan minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. Data Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2); b. Judul, deskripsi, klaim, abstrak, dan gambar jika ada sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3); dan c. Bukti pembayaran biaya Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22A ayat (1). Dalam hal deskripsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b ditulis dalam bahasa Inggris, deskripsi tersebut harus dilengkapi dengan terjemahannya dalam bahasa Indonesia dan harus disampaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak Tanggal Penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Apabila terjemahan dalam bahasa Indonesia tidak diserahkan dalam jangka waktu yang ditentukan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Permohonan tersebut dianggap ditarik kembali.
21. Ketentuan Pasal 31 diubah dengan menyesuaikan ayat rujukannya dan perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri” serta menyisipkan ketentuan baru Pasal 31A, sehingga keseluruhan Pasal 31 dan Pasal 31A berbunyi sebagai berikut: Pasal 31 Dalam hal terdapat kekurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) dan Pasal 30 ayat (3), Tanggal Penerimaan adalah tanggal diterimanya seluruh persyaratan minimum tersebut oleh Menteri..
11
Pasal 31A Permohonan yang dianggap ditarik kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (4) dapat diajukan lagi tanpa memperluas lingkup invensinya paling lambat 12 (dua belas) bulan terhitung sejak tanggal surat penarikan kembali yang dikeluarkan Menteri dengan membayar biaya. 22. Ketentuan Pasal 32 ayat (1) diubah dengan menyempurnakan pasal-pasal rujukannya dan perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sehingga keseluruhan Pasal 32 berbunyi sebagai berikut: Pasal 32 (1) Apabila ternyata terdapat kekurangan dalam pemenuhan syarat-syarat dan kelengkapan Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22A, Pasal 22B, dan Pasal 24, Menteri memberitahukan kepada Pemohon atau Kuasanya agar kekurangan tersebut dipenuhi dalam waktu 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal pengiriman permintaan pemenuhan seluruh persyaratan tersebut. (2) Berdasarkan alasan yang disetujui oleh Direktorat Jenderal, jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang paling lama 2 (dua) bulan atas permintaan Pemohon. (3) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diperpanjang paling lama 1 (satu) bulan setelah berakhirnya jangka waktu tersebut dengan ketentuan bahwa Pemohon dikenai biaya. 23. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut: Pasal 33 Apabila seluruh persyaratan dengan batas jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 tidak dipenuhi, Menteri memberitahukan secara tertulis kepada Pemohon bahwa Permohonan dianggap ditarik kembali. 24. Judul Bagian Kelima diubah, sebagai berikut: Bagian Kelima Amandemen, Divisional, dan Pengubahan 25. Penambahan paragraf dan judul paragraf, sebagai berikut: Paragraf 1 Amandemen 26. Penambahan paragraf dan judul paragraf serta penyisipan ayat baru yaitu ayat (2) dan penyesuaian pasal rujukan sehingga keseluruhannya berbunyi sebagai berikut:
12
(1)
(2) (3)
(4)
(5)
(6)
Paragraf 2 Divisional Pasal 36 Jika suatu Permohonan terdiri atas beberapa Invensi yang tidak merupakan satu kesatuan Invensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, Pemohon dapat mengajukan divisional Permohonan. Divisional permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk permohonan Paten Sederhana. Permohonan divisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan secara terpisah dalam satu Permohonan atau lebih dengan ketentuan bahwa lingkup perlindungan yang dimohonkan dalam setiap Permohonan tersebut tidak memperluas lingkup perlindungan yang telah diajukan dalam Permohonan semula. Permohonan divisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan paling lama sebelum Permohonan semula tersebut diberi keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 atau Pasal 56. Permohonan divisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 30, dianggap diajukan pada tanggal yang sama dengan Tanggal Penerimaan semula. Dalam hal Pemohon tidak mengajukan Permohonan divisional dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4), pemeriksaan substantif atas Permohonan hanya dilakukan terhadap Invensi sebagaimana dinyatakan dalam urutan klaim yang pertama dalam Permohonan semula.
27. Penambahan paragraf dan judul paragraf serta penyisipan ayat baru, yaitu ayat (1a), sebagai berikut: Paragraf 3 Pengubahan Pasal 37 (1) Permohonan dapat diubah dari Paten menjadi Paten Sederhana atau sebaliknya oleh Pemohon dengan tetap memperhatikan ketentuan dalam Undang-Undang ini. (1a) Pengubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan sebelum mulai dilakukannya pemeriksaan substantif. 28. Ketentuan Pasal 38 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 38 berbunyi sebagai berikut: Pasal 38 Ketentuan lebih lanjut mengenai amandemen, divisonal, dan pengubahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35, Pasal 36, dan Pasal 37 diatur dengan Peraturan Pemerintah 29. Penyempurnaan judul Bagian dan perubahan ketentuan Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) dengan mengubah “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri” serta mengubah
13
“Keputusan Presiden” menjadi “Peraturan Pemerintah”, sehingga keseluruhannya berbunyi sebagai berikut: Bagian Keenam Penarikan Kembali dan Perbaikan Permohonan Pasal 39 (1) Penarikan kembali Permohonan dapat diajukan secara tertulis kepada Menteri oleh Pemohon atau Kuasanya selama Permohonan tersebut belum mendapat keputusan. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penarikan kembali permohonan diatur dengan Peraturan Pemerintah. 30. Diantara Pasal 39 dan Pasal 40 disisipkan ketentuan baru, yaitu Pasal 39A, sebagai berikut: Pasal 39A (1) Pemohon dapat mengajukan perbaikan atau perubahan terhadap data Pemohon dengan membayar biaya. (2) Perbaikan atau perubahan sebagaimana dimaksud ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. 31. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut: Bagian Ketujuh Larangan Mengajukan Permohonan dan Kewajiban Menjaga Kerahasiaan Pasal 40 Selama masih terikat dinas aktif hingga selama satu tahun sesudah pensiun atau sesudah berhenti karena alasan apa pun, pegawai atau orang yang karena tugas pokok dan fungsinya bekerja untuk dan atas nama Menteri, dilarang mengajukan Permohonan, memperoleh Paten, atau dengan cara apa pun memperoleh hak atau memegang hak yang berkaitan dengan Paten, kecuali apabila pemilikan Paten itu diperoleh karena pewarisan. 32. Penyesuaian judul Bab dan judul Bagian serta perubahan “Pengumuman” menjadi “Publikasi”, sebagai berikut:
BAB IV PUBLIKASI DAN PEMERIKSAAN SUBSTANTIF Bagian Pertama Publikasi Permohonan 33. Perubahan ”Direktorat Jenderal” menjadi ”Menteri” ”Pengumuman” menjadi Publikasi”, sebagai berikut:
serta
perubahan
14
(1) (2)
Pasal 42 Menteri mempublikasikan Permohonan yang telah memenuhi ketentuan Pasal 4. Publikasi dilakukan: a. dalam hal Paten, segera setelah 18 (delapan belas) bulan sejak Tanggal Penerimaan atau segera setelah 18 (delapan belas) bulan sejak tanggal prioritas apabila Permohonan diajukan dengan Hak Prioritas; atau b. dalam hal Paten Sederhana, segera setelah 3 (tiga) bulan sejak Tanggal Penerimaan.
(3)
Publikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dapat dilakukan lebih awal atas pemintaan Pemohon dengan dikenai biaya. (3a) Publikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan 6 (enam) bulan setelah pengajuan permintaan percepatan publikasi. 34. Perubahan ”Direktorat Jenderal” menjadi ”Menteri” ”Pengumuman” menjadi Publikasi”, sebagai berikut:
serta
perubahan
Pasal 43 (1) Publikasi dilakukan dengan : a.menempatkannya dalam Berita Resmi Paten yang diterbitkan secara berkala oleh Menteri; dan/atau b. menempatkannya pada media khusus yang disediakan oleh Menteri yang dengan mudah serta jelas dapat dilihat oleh masyarakat. (2) Tanggal mulai dipublikasikannya Permohonan dicatat oleh Menteri. 35. Perubahan ”Pengumuman” menjadi ”Publikasi”, sebagai berikut: Pasal 44 (1) Publikasi dilaksanakan selama : a. 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal dipublikasikannya Permohonan Paten; b. 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal dipublikasikannya Permohonan Paten Sederhana. (2) Publikasi dilakukan dengan mencantumkan: a. nama dan kewarganegaraan Inventor; b. nama dan alamat lengkap Pemohon dan Kuasa apabila Permohonan diajukan melalui Kuasa; c. judul Invensi; d. Tanggal Penerimaan; dalam hal Permohonan diajukan dengan Hak Prioritas, tanggal prioritas, nomor, dan negara tempat Permohonan yang pertama kali diajukan; e. abstrak; f. klasifikasi Invensi; g. gambar, jika ada; h. nomor pengumuman; dan i. nomor Permohonan.
15
36. Diantara Pasal 45 dan Pasal 46 disisipkan ketentuan baru, yaitu Pasal 45A dan Pasal 45B, sebagai berikut: Pasal 45A Pemohon berhak mengajukan tanggapan dan/atau penjelasan secara tertulis terhadap pandangan dan/atau keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) kepada Menteri. Pasal 45B Menteri menggunakan pandangan dan/atau keberatan, tanggapan, dan/atau penjelasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) dan Pasal 45A sebagai tambahan bahan pertimbangan dalam tahap pemeriksaan substantif. 37. Ketentuan Pasal 46 dihapus. 38. Ketentuan Pasal 47 dihapus. 39. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri” serta perubahan “Keputusan Presiden” menjadi “Peraturan Pemerintah”, sebagai berikut: Pasal 48 (1) Permohonan pemeriksaan substantif diajukan secara tertulis kepada Menteri dengan dikenai biaya. (2) Tata cara dan syarat-syarat permohonan pemeriksaan substantif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. 40. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut: Pasal 49 (1) Permohonan pemeriksaan substantif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) diajukan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan terhitung sejak Tanggal Penerimaan. (2) Apabila permohonan pemeriksaan substantif tidak diajukan dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau biaya untuk itu tidak dibayar, Permohonan dianggap ditarik kembali. (3) Menteri memberitahukan secara tertulis Permohonan yang dianggap ditarik kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Pemohon atau Kuasanya. (4) Apabila permohonan pemeriksaan substantif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan sebelum berakhirnya jangka waktu publikasi yang dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1), pemeriksaan itu dilakukan setelah berakhirnya jangka waktu publikasi. (5) Apabila permohonan pemeriksaan substantif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan setelah berakhirnya jangka waktu publikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1), pemeriksaan substantif dilakukan setelah tanggal diterimanya permohonan pemeriksaan substantif tersebut. 41. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:
16
Pasal 50 (1) Untuk keperluan pemeriksaan substantif, Menteri dapat meminta bantuan ahli dan/atau menggunakan fasilitas yang diperlukan dari instansi Pemerintah terkait atau Pemeriksa Paten dari kantor Paten negara lain. (2) Penggunaan bantuan ahli, fasilitas, atau Pemeriksa Paten dari kantor Paten negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap dilakukan dengan memperhatikan ketentuan mengenai kewajiban untuk menjaga kerahasiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dan Pasal 41. 42. Ketentuan Pasal 51 ayat (2) dan ayat (3) dihapus dan diantara Pasal 51 dan Pasal 52 disisipkan Pasal 51A, sebagai berikut: Pasal 51 (1) Pemeriksaan substantif dilaksanakan oleh Pemeriksa. (2) Dihapus (3) Dihapus Pasal 51A Pemeriksaan substantif dilaksanakan berdasarkan pada Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 35, Pasal 37 dan Pasal 52. 43. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut: Pasal 52 (1) Dalam hal Invensi yang dimintakan Paten terdapat ketidakjelasan atau kekurangan lain yang dinilai penting, Menteri memberitahukan secara tertulis adanya ketidakjelasan atau kekurangan tersebut kepada Pemohon atau Kuasanya guna meminta tanggapan atau kelengkapan atas kekurangan tersebut. (2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus jelas dan rinci serta mencantumkan hal yang dinilai tidak jelas atau kekurangan lain yang dinilai penting dengan disertai alasan dan acuan yang digunakan dalam pemeriksaan substantif, berikut jangka waktu pemenuhannya. 44. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:
Pasal 53 Dalam hal setelah pemberitahuan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) Pemohon tidak memberikan tanggapan, atau tidak memenuhi kelengkapan persyaratan, atau tidak melakukan perbaikan terhadap Permohonan yang telah diajukannya dalam waktu yang telah ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2), Permohonan tersebut dianggap ditarik kembali dan diberitahukan secara tertulis kepada Pemohon. 45. Perubahan ”Direktorat Jenderal” menjadi ”Menteri”, sebagi berikut:
17
Bagian Ketiga Persetujuan atau Penolakan Permohonan Pasal 54 Menteri berkewajiban memberikan keputusan untuk menyetujui atau menolak Permohonan: a. Paten, paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya surat permohonan pemeriksaan substantif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 atau terhitung sejak berakhirnya jangka waktu publikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) huruf a apabila permohonan pemeriksaan itu diajukan sebelum berakhirnya jangka waktu publikasi tersebut. b. Paten Sederhana, paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sejak Tanggal Penerimaan.
46. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:
(1)
(2)
(3) (4)
Pasal 55 Apabila hasil pemeriksaan substantif yang dilaporkan oleh Pemeriksa menyimpulkan bahwa Invensi tersebut memenuhi ketentuan dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5, dan ketentuan lain dalam Undang-undang ini, Menteri memberikan Sertifikat Paten kepada Pemohon atau Kuasanya. Apabila hasil pemeriksaan substantif yang dilaporkan oleh Pemeriksa menyimpulkan bahwa Invensi tersebut memenuhi ketentuan dalam Pasal 3, Pasal 5, Pasal 6, dan ketentuan lain dalam Undang-undang ini, Menteri memberikan Sertifikat Paten Sederhana kepada Pemohon atau Kuasanya. Paten yang telah diberikan dicatat dan diumumkan, kecuali Paten yang berkaitan dengan pertahanan dan keamanan Negara. Menteri dapat memberikan salinan dokumen Paten kepada pihak yang memerlukannya dengan membayar biaya, kecuali Paten yang tidak diumumkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46.
47. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:
Paragraf 2 Penolakan Permohonan Pasal 56 (1) Apabila hasil pemeriksaan substantif yang dilaporkan oleh Pemeriksa menunjukkan bahwa Invensi yang dimohonkan Paten tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 35, Pasal 52 ayat (1), Pasal 52 ayat (2), atau yang dikecualikan berdasarkan ketentuan dalam Pasal 7, Menteri menolak Permohonan tersebut dan memberitahukan penolakan itu secara tertulis kepada Pemohon atau
18
Kuasanya. (2) Menteri juga dapat menolak Permohonan yang dipecah jika pemecahan tersebut memperluas lingkup Invensi atau diajukan setelah lewat batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2) atau Pasal 36 ayat (3). (3) Apabila hasil pemeriksaan substantif yang dilakukan oleh Pemeriksa menunjukkan bahwa Invensi yang dimohonkan Paten tidak memenuhi ketentuan dalam Pasal 36 ayat (2), Menteri menolak sebagian dari Permohonan tersebut dan memberitahukannya secara tertulis kepada Pemohon atau Kuasanya. (4) Surat pemberitahuan penolakan Permohonan harus dengan jelas mencantumkan alasan dan pertimbangan yang menjadi dasar penolakan. 48. Diantara Pasal 56 dan Pasal 57 disisipkan ketentuan baru yaitu Pasal 56A, sebagai berikut:
Pasal 56A Dalam hal Permohonan ditolak, segala biaya yang telah dibayarkan kepada Menteri tidak dapat ditarik kembali. 49. Diantara Bagian Ketiga dan Bagian Keempat disisipkan Bagian baru yaitu Bagian Ketiga A, Bagian Ketiga B dan Bagian Ketiga C dengan judul-judul baru berikut pasal-pasalnya, sehingga keseluruhannya berbunyi sebagai berikut: Bagian Ketiga A Sertifikat Paten Pasal 57 (1) Sertifikat Paten merupakan bukti hak atas Paten. (2) Surat penolakan dicatat oleh Menteri. (3) Sertifikat Paten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal Surat Pemberitahuan Dapat Diberi Paten. (4) Hak atas Paten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan invensi yang diuraikan dalam klaim.
Bagian Ketiga B Perbaikan Sertifikat Pasal 58A (1) Pemegang Paten atau Kuasanya dapat mengajukan permohonan perbaikan secara tertulis kepada Menteri dalam hal terdapat kesalahan Sertifikat Paten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1). (2) Permohonan perbaikan kesalahan sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan untuk perbaikan data bibliografi dan bukan untuk perbaikan deskripsi dan/atau klaim.
19
(3) Dalam hal kesalahan sertifikat Paten merupakan kesalahan Pemohon, permohonan perbaikan sertifikat Paten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai biaya. Bagian Ketiga C Perubahan Nama dan/atau Alamat Pemegang Paten Pasal 59A (1) Permohonan pencatatan perubahan nama dan/atau alamat Pemegang Paten dapat diajukan kepada Menteri dengan dikenai biaya untuk dicatat dalam Daftar Umum Paten dengan disertai salinan yang sah mengenai bukti perubahan tersebut. (2) Perubahan nama dan/atau alamat Pemegang Paten dicatat oleh Menteri dan dipublikasikan. (3) Ketentuan mengenai tata cara permohonan pencatatan perubahan nama dan/atau alamat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. 49. Penyempurnaan judul Bagian dan perubahan ketentuan Pasal 60, sehingga keseluruhanya berbunyi sebagai berikut: Bagian Keempat Permohonan Banding Dan Majelis Banding
(1)
(2)
(3)
(4) (5)
Pasal 60 Permohonan banding dapat diajukan terhadap: a. penolakan Permohonan yang berkaitan dengan alasan dan dasar pertimbangan mengenai hal-hal yang bersifat substantif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48, Pasal 49 atau Pasal 50; b. perbaikan deskripsi dan klaim paten yang sudah diberikan. c. pembatalan paten yang pemberiannya tidak memenuhi ketentuan Pasal 31, Pasal 42, Pasal 49, Pasal 51 atau dapat dikategorikan termasuk dalam Pasal 36. d. pembatalan paten sederhana yang pemberiannya tidak memenuhi ketentuan Pasal 32, Pasal 35, Pasal 42, Pasal 51, Pasal 65 atau dapat dikategorikan termasuk dalam Pasal 36 huruf a. Permohonan banding diajukan secara tertulis oleh Pemohon atau Kuasanya kepada Majelis Banding Paten dengan tembusan yang disampaikan kepada Menteri dengan dikenai biaya. Permohonan banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus diajukan dengan menguraikan secara lengkap keberatan serta alasannya terhadap penolakan Permohonan sebagai hasil pemeriksaan substantif. Permohonan banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b atau huruf c harus diajukan dengan menguraikan secara lengkap keberatan serta alasannya yang disertai dengan bukti yang cukup.
20
(6) Alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak merupakan alasan atau penjelasan baru sehingga memperluas lingkup Invensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 atau Pasal 50 ayat (3). 50. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:
(1)
(2)
(3)
(4)
Pasal 61 Permohonan banding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) huruf a harus diajukan paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal pengiriman surat pemberitahuan penolakan atau penarikan kembali permohonan. Permohonan banding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) huruf b harus diajukan paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal penerbitan sertifikat. Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat tanpa adanya permohonan banding, maka penolakan atau penarikan kembali permohonan dianggap diterima oleh Pemohon. Dalam hal penolakan permohonan telah dianggap diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri mencatat dan mempublikasikannya.
51. Diantara Pasal 61 dan Pasal 62 disisipkan Pasal 61A, sebagai berikut: Pasal 61A (1) Permohonan banding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) huruf c dapat diajukan paling lama 6 bulan sejak tanggal surat pemberitahuan persetujuan pemberian paten. (2) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat, permohonan pembatalan Paten hanya dapat dilakukan dalam bentuk Gugatan melalui Pengadilan Niaga.
52. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri” dan perubahan ”Komisi Banding” menjadi “Majelis Banding”, sebagai berikut:
(1) (2)
(3) (4)
(5)
Pasal 62 Permohonan banding mulai diperiksa oleh Majelis Banding paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal penerimaan permohonan banding. Keputusan Majelis Banding ditetapkan paling lama 9 (sembilan) bulan terhitung sejak berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Dalam hal Majelis Banding menerima dan menyetujui permohonan banding, Menteri wajib melaksanakan keputusan Majelis Banding. Dalam hal Majelis Banding menolak permohonan banding, pemohon atau Kuasanya dapat mengajukan gugatan atas keputusan tersebut ke Pengadilan Niaga dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya keputusan penolakan tersebut. Terhadap putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), hanya dapat diajukan kasasi.
21
53. Perubahan “Keputusan Presiden” menjadi “Peraturan Pemerintah, sebagai berikut: Pasal 63 Tata cara permohonan, pemeriksaan, serta penyelesaian banding diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. 54. Judul Bagian Kelima menjadi “Majelis Banding Paten” dengan ketentuan Pasal 64 diubah, sehingga judul bagian Kelima dan keseluruhan Pasal 64 berbunyi sebagai berikut:
Bagian Kelima Majelis Banding Paten
(1)
(2) (3)
(4) (5)
Pasal 64 Majelis Banding Paten adalah badan khusus yang independen dan berada di lingkungan kementerian yang membidangi Hak Kekayaan Intelektual. Majelis Banding Paten terdiri atas seorang ketua merangkap anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota, dan anggota yang terdiri atas beberapa ahli di bidang yang diperlukan serta Pemeriksa senior. Anggota Majelis Banding Paten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Menteri untuk masa jabatan 3 (tiga) tahun. Ketua dan wakil ketua dipilih dari dan oleh para anggota Majelis Banding Paten. Untuk memeriksa permohonan banding, Majelis Banding Paten membentuk majelis yang berjumlah ganjil sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang, satu di antaranya adalah seorang Pemeriksa senior yang tidak melakukan pemeriksaan substantif terhadap Permohonan.
55. Perubahan “Komisi Banding” menjadi “Majelis Banding”, sebagai berikut: Pasal 65 Susunan organisasi, tugas dan fungsi Majelis Banding Paten diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
56. Judul Bab V menjadi “Pengalihan Hak” dengan ketentuan Pasal 66 diubah, sehingga judul Bab V dan keseluruhan Pasal 66 berbunyi sebagai berikut: BAB V PENGALIHAN HAK
22
(1)
(2)
(3) (4) (5)
Pasal 66 Paten dapat beralih atau dialihkan baik seluruhnya maupun sebagian karena: a. pewarisan; b. hibah; c. wasiat; d. wakaf; e. perjanjian tertulis; atau f. sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan. Pengalihan Paten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c, harus disertai dokumen asli Paten berikut hak lain yang berkaitan dengan Paten itu. Segala bentuk pengalihan Paten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dicatat dan dipublikasikan dengan dikenai biaya. Pengalihan Paten yang tidak sesuai dengan ketentuan Pasal ini tidak sah dan batal demi hukum. Syarat dan tata cara pencatatan pengalihan Paten diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
57. Diantara Bab V dan Bab VI disisipkan Bab baru, yaitu Bab VA dengan judul baru dan perubahan judul Bagian Kesatu menjadi “Lisensi dan Lisensi-Wajib” dengan ketentuan Pasal 71 diubah, sehingga judul Bab VA dan keseluruhan Pasal 71 berbunyi sebagai berikut:
BAB VA LISENSI DAN LISENSI-WAJIB Bagian Kesatu Lisensi 58. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut: Pasal 71 (1) Perjanjian Lisensi tidak boleh memuat ketentuan, baik langsung maupun tidak langsung, yang dapat merugikan perekonomian Indonesia atau memuat pembatasan yang menghambat kemampuan bangsa Indonesia dalam menguasai dan mengembangkan teknologi pada umumnya dan yang berkaitan dengan Invensi yang diberi Paten tersebut pada khususnya. (2) Permohonan pencatatan perjanjian Lisensi yang memuat ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ditolak oleh Menteri. 59. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:
(1) (2)
Pasal 72 Perjanjian Lisensi harus dicatat dan diumumkan dengan dikenai biaya. Dalam hal perjanjian Lisensi tidak dicatat oleh Menteri sebagaimana
23
dimaksud pada ayat (1), perjanjian Lisensi tersebut tidak mempunyai akibat hukum terhadap pihak ketiga. 60. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut: Bagian Kedua Lisensi-Wajib Pasal 74 Lisensi-wajib merupakan Lisensi untuk melaksanakan Paten yang diberikan berdasarkan keputusan Menteri atas dasar permohonan. 61. Ketentuan Pasal 75 ayat (1) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 75 berbunyi sebagai berikut: Pasal 75 (1) Setiap pihak dapat mengajukan permohonan lisensi-wajib kepada Menteri dengan alasan Paten tidak dilaksanakan atau dilaksanakan tidak sepenuhnya di Indonesia setelah lewat jangka waktu: a. 36 (tiga puluh enam) bulan terhitung sejak tanggal pemberian Paten; atau b. 48 (empat puluh delapan) bulan terhitung sejak Tanggal Penerimaan. (2) Permohonan lisensi-wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan dengan alasan bahwa Paten yang bersangkutan tidak dilaksanakan atau dilaksanakan tidak sepenuhnya di Indonesia oleh Pemegang Paten. (3) Permohonan lisensi-wajib dapat pula diajukan setiap saat setelah Paten diberikan atas alasan bahwa Paten telah dilaksanakan oleh Pemegang Paten atau Penerima Lisensi dalam bentuk dan dengan cara yang merugikan kepentingan masyarakat. 62. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut: Pasal 76 (1) Selain kebenaran alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2), lisensi-wajib hanya dapat diberikan apabila : a. Pemohon dapat menunjukkan bukti yang meyakinkan bahwa ia : 1. mempunyai kemampuan untuk melaksanakan sendiri Paten yang bersangkutan secara penuh; 2. mempunyai sendiri fasilitas untuk melaksanakan Paten yang bersangkutan dengan secepatnya; dan 3. telah berusaha mengambil langkah-langkah dalam jangka waktu yang cukup untuk mendapatkan lisensi dari Pemegang Paten atas dasar persyaratan dan kondisi yang wajar, tetapi tidak memperoleh hasil; dan b. Menteri berpendapat bahwa Paten tersebut dapat dilaksanakan di Indonesia dalam skala ekonomi yang layak dan dapat memberikan manfaat kepada sebagian besar masyarakat.
24
(2)
Lisensi-wajib diberikan untuk jangka waktu yang tidak lebih lama daripada jangka waktu perlindungan Paten. (3) Pemeriksaan atas permohonan lisensi-wajib dilakukan oleh Menteri dengan mendengarkan pula pendapat dari instansi dan pihak-pihak terkait, serta Pemegang Paten bersangkutan. 63. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut: Pasal 77 Apabila berdasarkan bukti serta pendapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 Menteri memperoleh keyakinan bahwa jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (1) belum cukup bagi Pemegang Paten untuk melaksanakannya secara komersial di Indonesia atau dalam lingkup wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2), Menteri dapat menunda keputusan pemberian lisensi-wajib tersebut untuk sementara waktu atau menolaknya. 64. Diantara Pasal 77 dan Pasal 78 disisipkan Pasal 77A, sebagai berikut: Pasal 77A (1) Berdasarkan pendapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 dan bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (2) dan (3) Menteri dapat menunda sementara waktu pemberian lisensi-wajib atau menolaknya apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (1), bagi Pemegang Paten belum cukup untuk melaksanakan secara komersial di Indonesia atau di wilayah regional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) atau Pasal 62 ayat (2). (2) Pemberian atau penolakan permohonan lisensi-wajib sebagaiman dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan terhitung sejak tanggal diajukannya permohonan lisensi-wajib. (3) Terhadap keputusan pemberian atau penolakan permohonan lisensi-wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Pusat atau Pengadilan lain yang ditunjuk dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya keputusan tersebut. 65. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:
Pasal 78 (1) Pelaksanaan lisensi-wajib disertai pembayaran royalti oleh penerima lisensiwajib kepada Pemegang Paten. (2) Besarnya royalti yang harus dibayarkan dan cara pemberiannya ditetapkan oleh Menteri. (3) Penetapan besaran royalti dilakukan dengan memperhatikan tata cara yang lazim digunakan dalam perjanjian Lisensi atau perjanjian lain yang sejenis. 66. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:
25
Pasal 79 Keputusan Menteri mengenai pemberian lisensi-wajib, memuat hal-hal: a. lisensi-wajib bersifat non-eksklusif; b. alasan pemberian lisensi-wajib; c. bukti, termasuk keterangan atau penjelasan yang diyakini untuk dijadikan dasar pemberian lisensi-wajib; d. jangka waktu lisensi-wajib; e. besaran royalti yang harus dibayarkan penerima lisensi-wajib kepada Pemegang Paten dan cara pemberiannya; f. syarat berakhirnya lisensi-wajib dan hal yang dapat membatalkannya; g. lisensi-wajib terutama digunakan untuk memenuhi kebutuhan pasar di dalam negeri; dan h. lain-lain yang diperlukan untuk menjaga kepentingan para pihak yang bersangkutan secara adil. 67. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:
Pasal 80 (1) Menteri. mencatat dan mempublikasikan pemberian lisensi-wajib. (2) Pelaksanaan lisensi-wajib merupakan pelaksanaan Paten. 68. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut: Pasal 81 Keputusan pemberian lisensi-wajib dilakukan oleh Menteri paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak diajukannya permohonan lisensi-wajib yang bersangkutan. 69. Ketentuan Pasal 82 dihapus. 70. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri” sebagai berikut:
(1)
(2)
Pasal 83 Atas permohonan Pemegang Paten, Menteri dapat membatalkan keputusan pemberian Lisensi-wajib sebagaimana dimaksud dalam Bab VA Bagian Kedua Undang-Undang ini apabila : a. alasan yang dijadikan dasar bagi pemberian Lisensi-wajib tidak ada lagi; b. penerima Lisensi-wajib ternyata tidak melaksanakan Lisensi-wajib tersebut atau tidak melakukan usaha persiapan yangvsepantasnya untuk segera melaksanakannya; b. penerima Lisensi-wajib tidak lagi menaati syarat dan ketentuan lainnya termasuk pembayaran royalti yang ditetapkan dalam pemberian Lisensiwajib. Pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan kepada penerima Lisensi-wajib dan dicatat serta dipublikasikan.
26
72.
Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri” “mengumumkan” menjadi “mempublikasikan”, sebagai berikut:
(1)
(2)
dan
perubahan
Pasal 84 Dalam hal Lisensi-wajib berakhir karena selesainya jangka waktu yang ditetapkan atau karena pembatalan, penerima Lisensi-wajib menyerahkan kembali Lisensi yang diperolehnya. Menteri mencatat dan mempublikasikan Lisensi-wajib yang telah berakhir.
73. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri” dan perubahan “diumumkan” menjadi “dipublikasikan”, sebagai berikut: Pasal 86 (1) Lisensi-wajib tidak dapat dialihkan, kecuali karena pewarisan. (2) Lisensi-wajib yang beralih karena pewarisan tetap terikat oleh syarat pemberiannya dan ketentuan lain terutama mengenai jangka waktu, dan harus dilaporkan kepada Menteri untuk dicatat dan dipublikasikan. 74. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri” dan perubahan “diumumkan” menjadi “dipublikasikan”, sebagai berikut: Pasal 89 (1) Paten yang batal demi hukum diberitahukan secara tertulis oleh Menteri kepada Pemegang Paten serta penerima Lisensi dan mulai berlaku sejak tanggal pemberitahuan tersebut. (2) Paten yang dinyatakan batal dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 dicatat dan dipublikasikan. 75. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri” dan perubahan “diumumkan” menjadi “dipublikasikan”, sebagai berikut:
Bagian Kedua Batal atas Permohonan Pemegang Paten
(1) (2)
(3) (4)
Pasal 90 Paten dapat dibatalkan oleh Menteri untuk seluruh atau sebagian atas permohonan Pemegang Paten yang diajukan secara tertulis kepada Menteri. Pembatalan Paten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dilakukan jika penerima Lisensi tidak memberikan persetujuan secara tertulis yang dilampirkan pada permohonan pembatalan tersebut. Keputusan pembatalan Paten diberitahukan secara tertulis oleh Menteri kepada penerima Lisensi. Keputusan pembatalan Paten karena alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat dan dipublikasikan.
27
(5) Pembatalan Paten berlaku sejak tanggal ditetapkannya keputusan Menteri mengenai pembatalan tesebut. .76. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri” dan perubahan “mengumumkan” menjadi “mempublikasikan, sebagai berikut: Pasal 93 (1) Isi putusan Pengadilan Niaga tentang pembatalan Paten disampaikan ke Menteri paling lama 14 (empat belas) hari sejak putusan diucapkan. (2) Menteri mencatat dan mempublikasikan putusan tentang pembatalan Paten sebagaimana dimaksud pada ayat (1). 77. Ketentuan Pasal 96 diubah dengan menambahkan ayat (2), sehingga keseluruhan Pasal 96 berbunyi sebagai berikut:
(1)
(2)
Pasal 96 Kecuali jika ditentukan lain dalam putusan Pengadilan Niaga, Paten batal untuk seluruh atau sebagian sejak tanggal putusan pembatalan tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap. Dalam hal pembatalan sebagian klaim atau dalam hal Pengadilan Niaga membatalkan sebagian klaim atas Paten, klaim tersebut disesuaikan dengan tidak memperluas ruang lingkup klaim tersebut.
78. Ketentuan Pasal 99 diubah dengan menambahkan ayat (2) dan ayat (3), sehingga keseluruhan Pasal 99 berbunyi sebagai berikut: Pasal 99 (1) Dalam hal Pemerintah berpendapat bahwa suatu Paten di Indonesia sangat penting artinya bagi pertahanan keamanan Negara dan kebutuhan sangat mendesak untuk kepentingan masyarakat, Pemerintah dapat melaksanakan sendiri Paten yang bersangkutan. (2) Keputusan untuk melaksanakan sendiri suatu Paten dalam hal menyangkut Pertahanan Keamanan Negara ditetapkan dengan Keputusan Presiden setelah Presiden mendengarkan pertimbangan Menteri dan Menteri atau pimpinan instansi yang bertanggung jawab di bidang terkait. (3) Keputusan untuk melaksanakan sendiri suatu Paten dalam hal kebutuhan yang sangat mendesak untuk kepentingan masyarakat ditetapkan dengan Keputusan Menteri setelah mendengarkan pertimbangan berdasarkan usulan menteri atau pimpinan instansi yang bertanggung jawab di bidang terkait. 79. Ketentuan Pasal 100 ayat (1) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 100 berbunyi sebagai berikut: Pasal 100 (1) Ketentuan Pasal 99 berlaku secara mutatis mutandis bagi Invensi yang dimohonkan Paten, tetapi tidak diumumkan karena pengumuman Invensi tersebut diperkirakan akan dapat mengganggu atau bertentangan dengan kepentingan pertahanan keamanan Negara.
28
(2) Dalam hal Pemerintah tidak atau belum bermaksud untuk melaksanakan sendiri Paten sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaksanaan Paten serupa itu hanya dapat dilakukan dengan persetujuan Pemerintah. (3) Pemegang Paten sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibebaskan dari kewajiban pembayaran biaya tahunan sampai dengan Paten tersebut dapat dilaksanakan. 80. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri” dan perubahan “diumumkan” menjadi “dipublikasikan”, sebagai berikut: Pasal 106 (1) Paten Sederhana yang diberikan oleh Menteri dicatat dan dipublikasikan. (2) Sebagai bukti hak, kepada Pemegang Paten Sederhana diberikan Sertifikat Paten Sederhana. 81. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut: BAB IX ADMINISTRASI PATEN Pasal 110 Penyelenggaraan administrasi Paten sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini dilaksanakan oleh Menteri dengan memperhatikan kewenangan instansi lain sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. 82. Ketentuan Pasal 111 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 111 berbunyi sebagai berikut: Pasal 111 (1) Menteri menyelenggarakan dokumentasi dan pelayanan informasi Paten dengan membentuk suatu sistem dokumentasi dan jaringan informasi Paten yang bersifat nasional sehingga mampu menyediakan informasi seluas mungkin kepada masyarakat mengenai teknologi yang diberi Paten. (2) Menteri menetapkan untuk tidak menyediakan informasi Paten kepada masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila informasi tersebut berkaitan dengan pertahanan dan keamanan negara, ketertiban umum, dan moralitas. 83. Ketentuan Pasal 113 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 113 berbunyi sebagai berikut: BAB X BIAYA
(1) (2)
Pasal 113 Semua biaya yang wajib dibayar dalam Undang-Undang ini ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat, jangka waktu, dan tata cara
29
(3)
pembayaran biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Institusi pengelola Hak Kekayaan Intelektual dengan persetujuan Menteri dan Menteri Keuangan dapat menggunakan penerimaan yang berasal dari biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan peraturan perundangundangan.
84. Ketentuan Pasal 115 ayat (3) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 115 berbunyi sebagai berikut:
(1)
(2)
(3)
Pasal 115 Dalam hal selama 3 (tiga) tahun berturut-turut Pemegang Paten tidak membayar biaya tahunan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 18 dan Pasal 114, Paten dinyatakan batal demi hukum terhitung sejak tanggal akhir batas waktu kewajiban pembayaran untuk tahun ketiga tersebut. Dalam hal kewajiban pembayaran biaya tahunan tersebut berkaitan dengan kewajiban pembayaran biaya tahunan untuk tahun kedelapan belas dan untuk tahun-tahun berikutnya tidak dipenuhi, Paten dianggap batal demi hukum pada akhir batas waktu kewajiban pembayaran biaya tahunan untuk tahun tersebut. Batalnya Paten karena alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dicatat dan dipublikasikan
85. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut: Pasal 116 (1) Kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 ayat (3) dan Pasal 115 ayat (2), atas keterlambatan pembayaran biaya tahunan dari batas waktu yang ditentukan dalam Undang-undang ini dikenai biaya tambahan sebesar 2,5% (dua setengah perseratus) untuk setiap bulan dari biaya tahunan pada tahun keterlambatan. (2) Keterlambatan pembayaran biaya tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan secara tertulis oleh Menteri kepada Pemegang Paten yang bersangkutan paling lama 7 (tujuh) hari setelah lewat batas waktu yang ditentukan. (3) Tidak diterimanya surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) oleh yang bersangkutan tidak mengurangi berlakunya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). 86. Diantara Pasal 116 dan Pasal 117 disisipkan Pasal 116A, sebagai berikut: Pasal 116A Segala biaya yang telah dibayarkan kepada Menteri sesuai dengan tata cara ketentuan perundang-undangan, tidak dapat ditarik kembali.
30
87. Ketentuan Pasal 117 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 117 berbunyi sebagai berikut:
(1)
(2) (3)
(4)
Pasal 117 Dalam hal suatu Paten diberikan kepada pihak lain selain dari yang berhak berdasarkan Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12, pihak yang berhak atas Paten tersebut dapat menggugat kepada Pengadilan Niaga. Hak menggugat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku surut sejak Tanggal Penerimaan. Pemberitahuan isi putusan atas gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada para pihak oleh Pengadilan Niaga paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal putusan diucapkan. Isi putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dicatat dan dipublikasikan oleh Menteri.
88. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut: Pasal 118 (1) Pemegang Paten atau penerima Lisensi berhak mengajukan gugatan ganti rugi kepada Pengadilan Niaga setempat terhadap siapa pun yang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16. (2) Gugatan ganti rugi yang diajukan terhadap perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diterima apabila produk atau proses itu terbukti dibuat dengan menggunakan Invensi yang telah diberi Paten. (3) Salinan putusan Pengadilan Niaga tentang gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Menteri paling lama 14 (empat belas) hari sejak tanggal putusan diucapkan untuk dicatat dan dipublikasikan 89. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
Pasal 123 Permohonan kasasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 diajukan paling lama 14 (empat belas) hari setelah tanggal putusan yang dimohonkan kasasi diucapkan atau diberitahukan kepada para pihak dengan mendaftarkan kepada panitera yang telah memutus gugatan tersebut. Panitera mendaftarkan permohonan kasasi pada tanggal permohonan yang bersangkutan diajukan dan kepada pemohon diberikan tanda terima tertulis yang ditandatangani oleh panitera dengan tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan pendaftaran. Pemohon kasasi wajib menyampaikan memori kasasi kepada panitera dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal permohonan kasasi didaftarkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2). Panitera wajib mengirimkan permohonan kasasi dan memori kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada pihak termohon kasasi paling lama 2 (dua) hari setelah permohonan kasasi didaftarkan. Termohon kasasi dapat mengajukan kontra memori kasasi kepada panitera
31
paling lama 7 (tujuh) hari setelah tanggal termohon kasasi menerima memori kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan panitera wajib menyampaikan kontra memori kasasi kepada pemohon kasasi paling lama 2 (dua) hari setelah kontra memori diterimanya. (6) Panitera wajib menyampaikan permohonan kasasi, memori kasasi dan/atau kontra memori kasasi beserta berkas perkara yang bersangkutan kepada Mahkamah Agung paling lama 7 (tujuh) hari setelah lewatnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5). (7) Mahkamah Agung wajib mempelajari berkas permohonan kasasi dan menetapkan hari sidang paling lama 2 (dua) hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima oleh Mahkamah Agung. (8) Sidang pemeriksaan atas permohonan kasasi dilakukan paling lama 60 (enam puluh) hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima oleh Mahkamah Agung. (9) Putusan atas permohonan kasasi harus diucapkan paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima oleh Mahkamah Agung. (10) Putusan atas permohonan kasasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (9) yang memuat secara lengkap pertimbangan hukum yang mendasari putusan tersebut harus diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum. (11) Panitera Mahkamah Agung wajib menyampaikan salinan putusan kasasi kepada panitera paling lama 3 (tiga) hari setelah tanggal putusan atas permohonan kasasi diucapkan. (12) Juru sita wajib menyampaikan salinan putusan kasasi sebagaiman dimaksud dalam ayat (1) kepada pemohon kasasi dan termohon kasasi paling lama 2 (dua) hari setelah putusan kasasi diterima. (13) Isi putusan kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (11) disampaikan pula kepada Menteri paling lama 2 (dua) hari sejak isi putusan kasasi diterima oleh Pengadilan Niaga untuk dicatat dan diumumkan. 90. Diantara Pasal 125 dan Pasal 126 disisipkan ketentuan baru yaitu Pasal 125A, sehingga keseluruhan Pasal 125A berbunyi sebagai berikut:
(1)
(2)
Pasal 125A Permohonan penetapan sementara diajukan secara tertulis kepada Pengadilan Niaga dengan persyaratan sebagai berikut: a. melampirkan bukti kepemilikan Paten; b. melampirkan bukti adanya penunjuk awal yang kuat atas terjadinya pelanggaran paten; c. menyampaikan keterangan yang jelas mengenai barang dan/atau dokumen yang diminta, dicari, dikumpulkan dan diamankan untuk keperluan pembuktian; d. menyampaikan pernyataan adanya kekhawatiran bahwa pihak yang diduga melakukan pelanggaran Paten akan dapat dengan mudah menghilangkan barang bukti; dan e. membayar jaminan berupa uang tunai dan/atau jaminan bank Dalam hal surat penetapan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal
32
125 telah dilaksanakan, Pengadilan Niaga segera memberitahukan kepada pihak yang dikenai tindakan dan memberikan kesempatan kepada pihak tersebut untuk didengar keterangannya. 91. Ketentuan Pasal 127 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 127 berbunyi sebagai berikut: Pasal 127 Dalam hal Pengadilan Niaga telah menerbitkan surat penetapan sementara, hakim Pengadilan Niaga yang memeriksa sengketa tersebut harus memutuskan untuk mengubah, membatalkan, atau menguatkan penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125 dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak dikeluarkannya surat penetapan sementara pengadilan tersebut. 92. Ketentuan Pasal 128 diubah menjadi ayat (1) sampai dengan ayat (7), sehingga keseluruhan Pasal 128 berbunyi sebagai berikut: Pasal 128 (1) Permohonan penetapan sementara pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125 diajukan kepada Ketua Pengadilan Niaga dalam wilayah hukum tempat ditemukannya barang yang diduga merupakan hasil pelanggaran Paten. (2) Permohonan Penetapan Sementara Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125A. (3) Panitera mencatat permohonan penetapan sementara pada tanggal permohonan penetapan sementara tersebut diajukan dan pada tanggal yang sama panitera menyampaikan permohonan penetapan sementara tersebut kepada Ketua Pengadilan Niaga. (4) Dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari terhitung sejak tanggal diterimanya permohonan penetapan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Ketua Pengadilan Niaga menunjuk hakim untuk memeriksa permohonan penetapan sementara. (5) Dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari terhitung sejak tanggal penunjukan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), hakim Pengadilan Niaga harus memutuskan apakah permohonan penetapan sementara tersebut diterima atau ditolak. (6) Dalam hal permohonan penetapan sementara dapat diterima, hakim Pengadilan Niaga menerbitkan Surat Penetapan Sementara Pengadilan. (7) Dalam hal permohonan penetapan sementara ditolak, hakim Pengadilan Niaga memberitahukan penolakan tersebut kepada pemohon penetapan sementara dengan disertai alasannya.
93.
Diantara Pasal 128 dan Pasal 129 disisipkan Pasal 128A, sebagai berikut: Pasal 128A (1) Dalam hal Pengadilan Niaga menerbitkan surat penetapan sementara
33
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 137 ayat (6), Pengadilan Niaga memanggil pihak yang dikenai penetapan sementara dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari untuk dimintai keterangan. (2) Pihak yang dikenai penetapan sementara dapat menyampaikan keterangan dan bukti-bukti dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal diterimanya surat panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Dalam hal penetapan sementara pengadilan dikuatkan, uang jaminan yang telah dibayarkan harus dikembalikan kepada pemohon penetapan dan pemohon penetapan harus segera mengajukan Gugatan Pelanggaran Paten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 132 dan/atau membuat aduan atas adanya pelanggaran hak atas Paten kepada Penyidik Kepolisian Republik Indonesia atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil Hak Kekayaan Intelektual. (4) Dalam hal penetapan sementara pengadilan dibatalkan, uang jaminan yang telah dibayarkan harus segera diserahkan kepada pihak yang dikenai penetapan sementara sebagai ganti rugi akibat adanya penetapan sementara tersebut. 93.
Diantara Bab XV dan Bab XVI disisipkan Bab baru, yaitu Bab XVA dan ketentuan Pasal 135 diubah, sehingga judul Bab XVA dan keseluruhan Pasal 135 berbunyi sebagai berikut: BAB XIV KETENTUAN LAIN Pasal 135 Dikecualikan dari ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab XV dan tuntutan perdata dalam Undang-Undang ini adalah: a. mengimpor suatu produk farmasi yang dilindungi Paten di Indonesia dan produk tersebut telah dimasukkan ke pasar di suatu negara oleh Pemegang Paten yang sah dengan syarat produk itu diimpor sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. memproduksi produk farmasi yang dilindungi Paten di Indonesia dengan tujuan untuk proses perizinan kemudian melakukan pemasaran setelah perlindungan Paten tersebut berakhir. BAB XV KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 136 Dengan berlakunya Undang-undang ini segala peraturan perundang-undangan di bidang Paten yang telah ada pada tanggal berlakunya Undang-undang ini, tetap berlaku selama tidak bertentangan atau belum diganti dengan peraturan perundang-undangan yang baru berdasarkan Undang-undang ini. Pasal 137 Terhadap Permohonan yang diajukan sebelum diberlakukannya Undang-undang ini, tetap diberlakukan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten sebagaimana
34
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 13 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten.
II. Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek Pasal I Beberapa ketentuan dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 1 diubah dan ditambahkan angka 15 baru, sehingga keseluruhan Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: "Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan : 1.
Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angkaangka, susunan warna, bentuk, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang dapat ditampilkan secara grafis dan memiliki daya pembeda serta digunakan dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa.
2.
Merek Dagang adalah Merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang sejenis lainnya.
3.
Merek Jasa adalah Merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa-jasa sejenis lainnya. Merek Kolektif adalah Merek yang digunakan pada barang dan/atau jasa dengan karakteristik yang sama yang diperdagangkan oleh beberapa orang atau badan hukum secara bersama-sama untuk membedakan dengan barang dan/atau jasa sejenis lainnya.
4.
5.
Permohonan adalah permintaan pendaftaran Merek yang diajukan secara tertulis kepada Menteri.
6.
Pemohon adalah pihak yang mengajukan Permohonan.
7.
Pemeriksa adalah Pemeriksa Merek yaitu pejabat yang karena keahliannya diangkat dengan Keputusan Menteri, untuk melakukan pemeriksaan substantif terhadap Permohonan pendaftaran Merek.
8.
Kuasa adalah Konsultan Hak Kekayaan Intelektual sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
9.
Menteri adalah adalah menteri yang sebagian tugas dan tanggung jawabnya menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Hak Kekayaan Intelektual.
10.
Direktorat Jenderal adalah Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual yang berada di bawah kementerian yang dipimpin oleh Menteri
11.
Tanggal Penerimaan adalah tanggal penerimaan Permohonan yang telah memenuhi persyaratan minimum Permohonan.
35
12.
Konsultan Hak Kekayaan Intelektual adalah orang yang memiliki keahlian di bidang hak kekayaan intelektual dan secara khusus memberikan jasa di bidang pengajuan dan pengurusan Permohonan Hak Kekayaan Intelektual yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual dan terdaftar sebagai Konsultan Hak Kekayaan Intelektual di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual.
13.
Lisensi adalah izin yang diberikan oleh pemilik Merek terdaftar kepada pihak lain berdasarkan perjanjian secara tertulis untuk menggunakan
14.
Hak Prioritas adalah hak pemohon untuk mengajukan permohonan yang berasal dari negara yang tergabung dalam Konvensi Paris atau Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia untuk memperoleh pengakuan bahwa tanggal penerimaan di negara asal merupakan tanggal prioritas di negara tujuan yang juga anggota salah satu dari kedua perjanjian itu, selama pengajuan tersebut dilakukan dalam kurun waktu yang telah ditentukan berdasarkan Konvensi Paris.
15.
Protokol Madrid adalah Protokol yang terkait dengan Perjanjian Madrid mengenai pendaftaran merek internasional.
16.
Hari adalah hari kerja
2. Judul Bagian Kedua Bab II diubah sebagai berikut : Bagian Kedua Dasar Penolakan Permohonan 3. Ketentuan Pasal 5 dan Pasal 6 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 5 dan Pasal 6 berbunyi sebagai berikut: ”Pasal 5 Permohonan juga ditolak apabila Merek yang dimohonkan pendaftarannya mengandung salah satu unsur di bawah ini: a. bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas, agama, kesusilaan, atau kertertiban umum; b. tidak memiliki daya pembeda; c. dapat menyesatkan masyarakat tentang asal, kwalitas, jenis, ukuran, macam, tujuan penggunaan barang dan/atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya atau merupakan nama varietas tanaman yang dilindungi untuk barang dan/atau jasa yang sejenis; dan/atau, d. merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya. “Pasal 6 (1) Permohonan juga harus ditolak oleh apabila Merek tersebut: a. mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek milik pihak lain yang sudah terdaftar atau sudah diajukan lebih dahulu untuk barang dan/atau jasa yang sejenis; 36
b. mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek yang sudah terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis; c. mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan indikasigeografis yang sudah terdaftar. d. Merupakan nama atau singkatan nama orang terkenal, foto, atau nama badan hukum yang dimiliki orang lain, kecuali atas persetujuan tertulis dari yang berhak; e. Merupakan tiruan atau menyerupai nama atau singkatan nama, bendera, lambang atau simbol atau emblem suatu negara, atau baik lembaga nasional maupun internasional, kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang; atau f. Merupakan tiruan atau menyerupai tanda atau cap atau stempel resmi yang digunakan oleh negara atau lembaga Pemerintah, kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat pula diberlakukan terhadap barang dan/atau jasa yang tidak sejenis sepanjang merek terkenal tersebut telah terdaftar dalam Daftar Umum Merek. (3) Ketentuan lebih lajut mengenai merek terkenal akan diatur dengan Peraturan Pemerintah. 4. Ketentuan Pasal 7 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 7 berbunyi sebagai berikut: "Pasal 7 (1) Permohonan diajukan secara tertulis atau elektronik dalam bahasa Indonesia kepada Menteri dengan mencantumkan: a. tanggal, bulan, dan tahun; b. nama lengkap, kewarganegaraan, dan alamat Pemohon; c. nama lengkap dan alamat Kuasa apabila Permohonan diajukan melalui Kuasa; d. uraian warna-warna apabila merek yang dimohonkan pendaftarannya menggunakan unsur-unsur warna; e. nama negara dan tanggal permintaan Merek yang pertama kali dalam hal Permohonan diajukan dengan Hak Prioritas. f. Kelas barang dan/atau kelas jasa serta uraian jenis barang dan/atau jenis jasa. (2) Permohonan ditandatangani oleh Pemohon atau Kuasanya. (3) Pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat terdiri dari satu orang atau beberapa orang secara bersama, atau badan hukum. (4) Permohonan dilampiri dengan etiket merek dan bukti pembayaran biaya. (5) Dalam hal Permohonan diajukan oleh lebih dari satu Pemohon yang secara bersama-sama berhak atas Merek tersebut, semua nama Pemohon dicantumkan dengan memilih salah satu alamat sebagai alamat mereka. (6) Dalam hal Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Permohonan tersebut ditandatangani oleh salah satu dari Pemohon yang berhak atas Merek
37
tersebut dengan melampirkan persetujuan tertulis dari para Pemohon yang mewakilkan. (7) Dalam hal Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diajukan melalui Kuasanya, surat kuasa untuk itu ditandatangani oleh semua pihak yang berhak atas Merek tersebut. (8) Kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (7) adalah Konsultan Hak Kekayaan Intelektual. (9) Ketentuan mengenai syarat-syarat dan tata cara pengangkatan Konsultan Hak Kekayaan Intelektual diatur dengan Peraturan Pemerintah.” 5. Ketentuan Pasal 13 diubah dan ditambahkan 2 (dua) ayat baru, sehingga keseluruhan Pasal 13 berbunyi sebagai berikut: "Pasal 13 (1) Menteri melakukan pemeriksaan terhadap kelengkapan persyaratan pendaftaran Merek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12. (2) Dalam hal terdapat kekurangan dalam kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri memberitahukan agar kelengkapan persyaratan tersebut dipenuhi dalam waktu paling lama 2 (dua) bulan terhitung sejak tanggal pengiriman surat permintaan untuk memenuhi kelengkapan persyaratan tersebut. (3a) Dalam hal permohonan kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum dapat dipenuhi, pemohon atau kuasanya dapat mengajukan permohonan secara tertulis mengenai perpanjangan jangka waktu pemenuhan kelengkapan persyaratan untuk paling lama 1 (satu) bulan. (3b) Permohonan perpanjangan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diajukan paling lama 15 (lima belas) hari sebelum jangka waktu pemenuhan kelengkapan persyaratan berakhir. (3) Dalam hal kekurangan tersebut menyangkut persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, jangka waktu pemenuhan kekurangan persyaratan tersebut paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak berakhirnya jangka waktu pengajuan Permohonan dengan menggunakan Hak Prioritas.” 6. Ketentuan Pasal 14 ayat (1) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 14 berbunyi sebagai berikut: "Pasal 14 (1) Dalam hal kelengkapan persyaratan tersebut tidak dipenuhi dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2), ayat (3a) atau ayat (3b), Menteri memberitahukan secara tertulis kepada Pemohon atau Kuasanya bahwa Permohonannya dianggap ditarik kembali.
38
(2) Dalam hal Permohonan dianggap ditarik kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1), segala biaya yang telah dibayarkan kepada Menteri tidak dapat ditarik kembali.”
7. Judul Bagian keempat Bab III dirubah sebagai berikut: “Bagian Keempat Tanggal Penerimaan Permohonan Pendaftaran Merek” 8. Ketentuan Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 15 berbunyi sebagai berikut: “Pasal 15 (1) Permohonan yang telah memenuhi persyaratan minimum diberikan Tanggal Penerimaan. (2) Persyaratan Minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a.surat permohonan; b. etiket merek; dan c. bukti pembayaran biaya.” 9. Judul Bagian Kelima Bab III diubah sebagai berikut: “Bagian Kelima Perbaikan dan Penarikan KembaliPermohonan Pendaftaran Merek” 10. Ketentuan Pasal 16 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 16 berbunyi sebagai berikut: “Pasal 16 (1) Perbaikan atas Permohonan hanya diperbolehkan dalam hal terdapat kesalahan penulisan nama dan/atau alamat Pemohon atau Kuasanya. (2) Perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan sebelum diterbitkannya sertifikat Merek atau surat penolakan. (3) Permohonan perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis kepada Menteri dengan dilampiri bukti pembayaran biaya.” 11. Ketentuan Pasal 17 ayat (1) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 17 berbunyi sebagai berikut: “Pasal 17 (1) Selama belum diterbitkannya sertifikat Merek atau surat penolakan dari Menteri, Permohonan dapat ditarik kembali oleh Pemohon atau Kuasanya.
39
(2) Apabila penarikan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Kuasanya, penarikan itu harus dilakukan berdasarkan surat kuasa khusus untuk keperluan penarikan kembali tersebut. (3) Dalam hal Permohonan ditarik kembali, segala biaya yang telah dibayarkan kepada Menteri tidak dapat ditarik kembali.” 12. Judul Bagian Pertama pada Bab IV diubah sebagai berikut:
“ Bagian Pertama Pengumuman Permohonan” 13. Ketentuan Pasal 18 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 18 berbunyi sebagai berikut: “Pasal 18 Menteri mengumumkan Permohonan dalam Berita Resmi Merek dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal penerimaan Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15.” 14. Ketentuan Pasal 19 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 19 berbunyi sebagai berikut: “Pasal 19 (1) Pengumuman Permohonan dalam Berita Resmi Merek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 berlangsung selama 3 (tiga) bulan. (2) Berita Resmi Merek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan secara berkala oleh Menteri dan/atau melalui sarana lainnya.” 15. Ketentuan Pasal 20 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 20 berbunyi sebagai berikut: “Pasal 20 Berita Resmi Merek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 memuat: a. nama dan alamat Pemohon, termasuk Kuasa apabila Permohonan diajukan melalui Kuasa; b. kelas dan uraian barang dan/atau jasa; c. Tanggal Penerimaan; d. nama negara dan tanggal penerimaan Permohonan yang pertama kali dalam hal Permohonan diajukan dengan menggunakan Hak Prioritas; dan e. etiket Merek, termasuk keterangan mengenai warna dan apabila etiket Merek menggunakan bahasa asing dan/atau huruf selain huruf Latin dan/atau angka yang tidak lazim digunakan dalam Bahasa Indonesia, disertai terjemahannya ke dalam Bahasa Indonesia, huruf Latin atau angka yang lazim digunakan dalam Bahasa Indonesia, serta cara pengucapannya dalam ejaan Latin.” 16. Judul Bagian Kedua pada Bab IV diubah sebagai berikut:
40
“Bagian Kedua Keberatan dan Sanggahan” 17. Ketentuan Pasal 21 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 21 berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 21 (1) Selama jangka waktu pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, setiap pihak dapat mengajukan keberatan secara tertulis kepada Menteri terhadap Permohonan dengan dikenai biaya. (2) Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan apabila terdapat alasan yang cukup disertai bukti bahwa Merek yang dimohonkan pendaftarannya adalah Merek yang berdasarkan Undang-Undang ini tidak dapat didaftar atau ditolak.” 18. Ketentuan Pasal 22 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 22 berbunyi sebagai berikut: “Pasal 22 Dalam hal terdapat keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, Menteri dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal penerimaan keberatan, mengirimkan salinan surat yang berisikan keberatan tersebut kepada Pemohon atau Kuasanya.” 19. Ketentuan Pasal 23 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 23 berbunyi sebagai berikut: “Pasal 23 (1) Dalam hal terdapat keberatan, Pemohon atau Kuasanya berhak menyampaikan sanggahan terhadap keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 kepada Menteri. (2) Sanggahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 2 (dua) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya salinan keberatan.” 20. Judul Bagian Ketiga pada Bab IV diubah sebagai berikut:
“Bagian Ketiga Pemeriksaan Substantif” 21. Ketentuan Pasal 24 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 24 berbunyi sebagai berikut: “Pasal 24 (1) Dalam hal tidak terdapat keberatan, dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal berakhirnya Pengumuman, Menteri melakukan pemeriksaan substantif terhadap Permohonan. (2) Dalam hal terdapat keberatan, Pemeriksaan substantif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari
41
terhitung sejak tanggal berakhirnya batas waktu penyampaian sanggahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23. (3) Pemeriksaan substantif dilaksanakan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, dan/atau Pasal 6. (4) Dalam hal terdapat keberatan dan/atau Sanggahan, Pemeriksaan substantif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) juga menggunakan keberatan dan/atau sanggahan tersebut sebagai bahan pertimbangan. (5) Pemeriksaan substantif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) diselesaikan dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan. (6) Pemeriksaan substantif dilaksanakan oleh Pemeriksa.” 22. Ketentuan Pasal 25 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 25 berbunyi sebagai berikut: “Pasal 25 (1) Dalam hal dari hasil pemeriksaan substantif Permohonan dapat disetujui untuk didaftar, maka Menteri: a. mendaftarkan merek tersebut dalam Daftar Umum Merek; b. menerbitkan sertifikat merek dan memberitahukan pendaftaran merek tersebut kepada Pemohon atau Kuasanya; serta c. mengumumkan pendaftaran Merek tersebut dalam Berita Resmi Merek. (2) Dalam hal dari hasil pemeriksaan substantif Permohonan tidak dapat didaftar atau ditolak, Menteri memberitahukan secara tertulis kepada Pemohon atau Kuasanya dengan menyebutkan alasannya. (3) Dalam hal dari hasil pemeriksaan substantif atas Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) terdapat keberatan, Menteri memberitahukan secara tertulis kepada pihak yang mengajukan keberatan dengan menyebutkan alasannya. (4) Dalam hal Permohonan tidak dapat didaftar atau ditolak, segala biaya yang telah dibayarkan tidak dapat ditarik kembali.” 23. Judul Bagian Keempat pada Bab IV diubah sebagai berikut:
“Bagian Keempat Penerbitan Sertifikat Merek” 24. Ketentuan Pasal 26 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 26 berbunyi sebagai berikut: “Pasal 26 (1) Dalam hal Permohonan dapat disetujui untuk didaftar, Menteri menerbitkan dan memberikan sertifikat merek kepada Pemohon atau Kuasanya dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal Permohonan tersebut disetujui untuk didaftar dalam Daftar Umum Merek. (2) Sertifikat merek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat: 42
a. b. c. d. e.
nama dan alamat lengkap pemilik Merek yang didaftar; nama dan alamat lengkap Kuasa, dalam hal Permohonan melalui kuasa; Tanggal Penerimaan; nama negara dan tanggal; etiket Merek yang didaftarkan, termasuk keterangan mengenai macam warna apabila Merek tersebut menggunakan unsur warna, dan apabila Merek menggunakan bahasa asing dan/atau huruf selain huruf Latin dan/atau angka yang tidak lazim digunakan dalam bahasa Indonesia disertai terjemahannya dalam bahasa Indonesia, huruf Latin dan angka yang lazim digunakan dalam bahasa Indonesia serta cara pengucapannya dalam ejaan Latin; f. nomor dan tanggal pendaftaran; g. kelas dan jenis barang dan/atau jasa yang Mereknya didaftar; dan h. jangka waktu berlakunya pendaftaran Merek.” 25. Ketentuan Pasal 27 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 27 berbunyi sebagai berikut: “Pasal 27 (1) Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak diterbitkannya sertifikat merek, Menteri melakukan Pengumuman pendaftaran merek tersebut dalam Berita Resmi Merek. (2) Setiap pihak dapat mengajukan permohonan untuk memperoleh petikan resmi Sertifikat Merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek dengan membayar biaya.” 26. Ketentuan Pasal 29 ayat (2) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 29 berbunyi sebagai berikut: “Pasal 29 (1) Permohonan banding dapat diajukan terhadap penolakan Permohonan yang berkaitan dengan alasan dan dasar pertimbangan mengenai hal-hal yang bersifat substantif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, atau Pasal 6. (2) Permohonan banding diajukan secara tertulis oleh Pemohon atau Kuasanya kepada Majelis Banding Merek dengan tembusan yang disampaikan kepada Menteri dengan dikenai biaya. (3) Permohonan banding diajukan dengan menguraikan secara lengkap keberatan serta alasan terhadap penolakan Permohonan sebagai hasil pemeriksaan substantif. (4) Alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus tidak merupakan perbaikan atau penyempurnaan atas Permohonan yang ditolak.” 27. Ketentuan Pasal 30 ayat (1) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 30 berbunyi sebagai berikut: “Pasal 30 (1) Permohonan banding diajukan paling lama dalam waktu 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal penerimaan surat pemberitahuan penolakan Permohonan.
43
(2) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat tanpa adanya permohonan banding, penolakan Permohonan dianggap diterima oleh Pemohon.” 28. Ketentuan Pasal 31 ayat (2) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 31 berbunyi sebagai berikut: “Pasal 31 (1) Keputusan Majelis Banding Merek diberikan dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan banding. (2) Dalam hal Majelis Banding Merek mengabulkan permohonan banding, Menteri melaksanakan keputusan Majelis Banding Merek. (3) Dalam hal Majelis Banding Merek menolak permohonan banding, Pemohon atau Kuasanya dapat mengajukan gugatan atas putusan penolakan permohonan banding kepada Pengadilan Niaga dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya keputusan penolakan tersebut. (4) Terhadap putusan Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud pada ayat (3), hanya dapat diajukan kasasi.” 29. Ketentuan Pasal 33 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 33 berbunyi sebagai berikut: “Pasal 33 (1) Majelis Banding Merek adalah badan khusus yang independen dan berada di lingkungan kementerian yang membidangi hak kekayaan intelektual. (2) Majelis Banding Merek terdiri atas seorang ketua merangkap anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota, dan anggota yang terdiri atas beberapa ahli di bidang merek, serta Pemeriksa senior. (3) Anggota Majelis Banding Merek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Menteri untuk masa jabatan 3 (tiga) tahun. (4) Ketua dan wakil ketua dipilih dari dan oleh para anggota Majelis Banding Merek. (5) Untuk memeriksa permohonan banding, Majelis Banding Merek membentuk Tim Pemeriksa Banding yang berjumlah ganjil sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang, satu di antaranya adalah seorang Pemeriksa senior yang tidak melakukan pemeriksaan substantif terhadap Permohonan.” 30. Ketentuan Pasal 35 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 35 berbunyi sebagai berikut: “Pasal 35 (1) Pemilik Merek terdaftar setiap kali dapat mengajukan perpanjangan untuk jangka waktu yang sama kepada Menteri.
permohonan
(2) Permohonan perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis oleh pemilik Merek atau Kuasanya dalam jangka waktu 6 (enam) bulan
44
sebelum berakhirnya jangka waktu perlindungan bagi Merek terdaftar tersebut dengan dikenakan biaya. (3) Permohonan perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) masih dapat diajukan dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan setelah berakhirnya jangka waktu perlindungan Merek terdaftar tersebut dengan dikenakan biaya dan denda.” 31. Ketentuan Pasal 36 dan Pasal 37 dihapuskan. 32. Ketentuan Pasal 38 ayat (2) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 38 berbunyi sebagai berikut: “Pasal 38 (1) Perpanjangan jangka waktu perlindungan Merek terdaftar dicatat dalam Daftar Umum Merek dan diumumkan dalam Berita Resmi Merek. (2) Pencatatan perpanjangan jangka waktu perlindungan Merek terdaftar diberitahukan secara tertulis kepada pemilik Merek atau Kuasanya.” 33. Ketentuan Pasal 39 diubah dan ditambahkan ayat baru, sehingga keseluruhan Pasal 39 berbunyi sebagai berikut: “Pasal 39 (1) Permohonan pencatatan perubahan nama dan/atau alamat pemilik Merek terdaftar diajukan kepada Menteri dengan dikenai biaya untuk dicatat dalam Daftar Umum Merek dengan disertai salinan yang sah mengenai bukti perubahan tersebut. (1a) Permohonan pencatatan perubahan nama dan/atau alamat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat pula diajukan terhadap merek yang masih dalam proses Permohonan. (2) Perubahan nama dan/atau alamat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (1a) yang telah dicatat oleh Menteri diumumkan dalam Berita Resmi Merek. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara permohonan pencatatan perubahan nama dan/atau alamat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (1a), diatur dengan Peraturan Pemerintah.” 34. Judul Bab V diubah sebagai berikut: “BAB V PENGALIHAN HAK DAN LISENSI” 35. Diantara ketentuan Pasal 40 dengan Pasal 41 ditambahkan Pasal baru yaitu Pasal 40A, keseluruhan Pasal 40A berbunyi sebagai berikut:
45
“Pasal 40 A Ketentuan mengenai Pengalihan Hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 berlaku pula terhadap merek yang masih dalam proses Permohonan.” 36. Ketentuan Pasal 41 dan Pasal 42 dihapus. 37. Ketentuan Pasal 43 ayat (2) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 43 berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 43 (1) Pemilik Merek terdaftar berhak memberikan Lisensi kepada pihak lain dengan perjanjian bahwa penerima Lisensi akan menggunakan Merek tersebut untuk sebagian atau seluruh jenis barang atau jasa. (2) Perjanjian Lisensi berlaku di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia, kecuali bila diperjanjikan lain.” (3) Perjanjian Lisensi wajib dimohonkan pencatatannya pada Menteri dengan dikenai biaya dan akibat hukum dari pencatatan perjanjian Lisensi berlaku terhadap pihak-pihak yang bersangkutan dan terhadap pihak ketiga. (4) Perjanjian Lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dicatat oleh Menteri dalam Daftar Umum Merek dan diumumkan dalam Berita Resmi Merek.” 38. Ketentuan Pasal 48 dihapus. 39. Ketentuan Pasal 49 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 49 berbunyi sebagai berikut: “Pasal 49 Ketentuan lebih lanjut mengenai Lisensi sebagaimana dimaksud dalam Undangundang ini diatur dengan Peraturan Pemerintah.” 40. Di antara BAB VI dan BAB VII disisipkan BAB VIA, sebagai berikut:
“BAB VI A PENDAFTARAN MEREK INTERNASIONAL BERDASARKAN PROTOKOL MADRID
(1) (2)
Pasal 55 a Permohonan pendaftaran merek internasional diajukan berdasarkan Protokol Madrid. Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berasal dari Indonesia hanya dapat diajukan oleh: a. Pemohon yang memiliki kewarganegaraan Indonesia; b. Pemohon yang memiliki domisili atau tempat kedudukan hukum di Indonesia 46
c. Pemohon yang memiliki kegiatan usaha industri atau komersial yang nyata di Indonesia (3)
Pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah mengajukan Permohonan atau memiliki pendaftaran merek di Indonesia sebagai dasar Permohonan pendaftaran merek internasional.
(4)
Permohonan pendaftaran merek internasional berlaku bagi semua negara anggota Protokol Madrid.
(5)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Pendaftaran Merek Internasional berdasarkan Protokol Madrid akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.”
41. Ketentuan Pasal 59 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 59 berbunyi sebagai berikut: “Pasal 59 Indikasi-asal merupakan suatu tanda yang semata-mata menunjukkan asal suatu barang atau jasa.” 42. Ketentuan Pasal 60 dihapus. 43. Ketentuan Pasal 61 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 61 berbunyi sebagai berikut: “Pasal 61 (1)
Penghapusan pendaftaran Merek dari Daftar Umum Merek dapat dilakukan berdasarkan permohonan oleh pemilik Merek atau Kuasanya kepada Menteri.
(2)
Penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dimohonkan untuk seluruh atau sebagian jenis barang dan/atau jasa.
(3)
Dalam hal pendaftaran Merek yang dimohonkan penghapusan masih terikat perjanjian Lisensi, penghapusan hanya dapat dilakukan apabila hal tersebut disetujui secara tertulis oleh penerima Lisensi.
(4)
Pengecualian atas persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1b) hanya dimungkinkan apabila dalam perjanjian Lisensi, penerima Lisensi dengan tegas menyetujui untuk mengesampingkan adanya persetujuan tersebut.
(5)
Penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) dicatat dalam Daftar Umum Merek dan diumumkan dalam Berita Resmi Merek.”
44. Ketentuan Pasal 62 dihapus. 45. Ketentuan Pasal 63 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 63 berbunyi sebagai berikut:
(1)
“Pasal 63 Penghapusan pendaftaran Merek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 dapat pula diajukan oleh pihak ketiga dalam bentuk gugatan kepada Pengadilan Niaga berdasarkan alasan:
47
a. Merek tersebut tidak digunakan selama 3 (tiga) tahun berturut-turut dalam perdagangan barang dan/atau jasa sejak tanggal pendaftaran atau pemakaian terakhir. b. Penggunaan Merek tersebut tidak sesuai dengan pendaftarannya. (2)
Alasan Merek tidak digunakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak berlaku dalam hal adanya: a. larangan impor b. larangan yang berkaitan dengan izin bagi peredaran barang yang menggunakan Merek yang bersangkutan atau keputusan dari pihak yang berwenang yang bersifat sementara; atau c. larangan serupa lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
(3)
Penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat dalam Daftar Umum Merek dan diumumkan dalam Berita Resmi Merek.”
46. Ketentuan Pasal 66 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 66 berbunyi sebagai berikut:
(1)
“Pasal 66 Menteri dapat menghapus pendaftaran Merek Kolektif atas dasar permohonan sendiri dari pemilik Merek Kolektif dengan persetujuan tertulis semua pemakai Merek Kolektif;
(2)
Permohonan penghapusan pendaftaran Merek Kolektif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a diajukan kepada Menteri.
(3)
Penghapusan pendaftaran Merek Kolektif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dicatat dalam Daftar Umum Merek dan diumumkan dalam Berita Resmi Merek.”
47. Ketentuan Pasal 67 diubah, sehingga Pasal 67 berbunyi sebagai berikut: “Pasal 67 Penghapusan pendaftaran Merek Kolektif dapat pula diajukan oleh pihak ketiga dalam bentuk gugatan kepada Pengadilan Niaga berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1).”
48. Ketentuan Pasal 69 ayat (2) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 69 berbunyi sebagai berikut: “Pasal 69 (1)
Gugatan pembatalan pendaftaran Merek hanya dapat diajukan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal pendaftaran Merek.
(2)
Gugatan pembatalan dapat diajukan tanpa batas waktu apabila terdapat unsur iktikad tidak baik dan/atau Merek yang bersangkutan bertentangan dengan moralitas agama, kesusilaan, atau ketertiban umum.”
48
49. Ketentuan Pasal 75 ayat (2) dihapus, sehingga keseluruhan Pasal 75 berbunyi sebagai berikut: “Pasal 75 (1)
Untuk setiap pengajuan Permohonan atau permohonan perpanjangan Merek, permohonan petikan Daftar Umum Merek, pencatatan pengalihan hak, perubahan nama dan/atau alamat pemilik Merek terdaftar, pencatatan perjanjian Lisensi, keberatan terhadap Permohonan, permohonan banding serta lain-lainnya yang ditentukan dalam Undang-undang ini, wajib dikenai biaya yang besarnya ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
(2)
Dihapus
(3)
Menteri dengan persetujuan Menteri dan Menteri Keuangan dapat menggunakan penerimaan yang berasal dari biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
50. Diantara ketentuan Pasal 88 dengan Pasal 89 ditambahkan Pasal baru yaitu Pasal 88A dan Pasal 88B, keseluruhan Pasal 88A dan Pasal 88B berbunyi sebagai berikut: Pasal 88A (1)
(2)
Permohonan penetapan sementara pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 diajukan kepada Ketua Pengadilan Niaga dalam wilayah hukum tempat diketemukannya barang yang berkaitan dengan pelanggaran Merek. Permohonan penetapan sementara pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72.
(3)
Panitera mendaftarkan permohonan penetapan sementara pada tanggal permohonan penetapan sementara tersebut diajukan dan pada tanggal yang sama panitera menyampaikan permohonan penetapan sementara tersebut kepada Ketua Pengadilan Niaga.
(4)
Dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari terhitung sejak tanggal permohonan penetapan sementara didaftarkan, hakim Pengadilan Niaga harus memutuskan apakah permohonan penetapan sementara tersebut diterima atau ditolak.
(5)
Dalam hal permohonan penetapan sementara dapat diterima, hakim pengadilan niaga menerbitkan surat penetapan sementara pengadilan.
(6)
Dalam hal permohonan penetapan sementara ditolak, hakim pengadilan niaga memberitahukan penolakan tersebut kepada pemohon penetapan sementara dengan disertai alasannya. Pasal 88B
(1)
Dalam hal Pengadilan Niaga menerbitkan surat penetapan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (5), Pengadilan Niaga memanggil pihak yang dikenai penetapan sementara dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari untuk dimintai keterangan. 49
(2)
Pihak yang dikenai penetapan sementara dapat menyampaikan keterangan dan bukti-bukti dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal diterimanya surat panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
(3)
Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diterbitkannya surat penetapan sementara pengadilan, hakim Pengadilan Niaga harus memutuskan untuk membatalkan atau menguatkan penetapan sementara pengadilan.
(4)
Dalam hal penetapan sementara pengadilan dikuatkan, uang jaminan yang telah dibayarkan harus dikembalikan kepada pemohon penetapan dan pemohon penetapan harus segera mengajukan gugatan pelanggaran Merek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 dan/atau membuat aduan atas adanya pelanggaran hak atas Merek kepada Penyidik Kepolisian Republik Indonesia atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil.
(5)
Dalam hal penetapan sementara pengadilan dibatalkan, uang jaminan yang telah dibayarkan harus segera diserahkan kepada pihak yang dikenai tindakan sebagai ganti rugi akibat adanya penetapan sementara tersebut.
51. Ketentuan Pasal 90 diubah, sehingga Pasal 90 berbunyi sebagai berikut: “Pasal 90 Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan Merek yang sama pada keseluruhannya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.500.000.000,00 (Dua miliar lima ratus juta rupiah)” 52. Diantara Pasal 90 dan Pasal 91 disisipkan Pasal baru 90 A sebagai berikut: “Pasal 90 A Dalam hal penggunaan merek secara tanpa hak sebagaimana dimaksud pada pasal 90 jenis barangnya dapat membahayakan keselamatan jiwa manusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (Lima miliar rupiah)”
53. Ketentuan Pasal 91 diubah, sehingga Pasal 91 berbunyi sebagai berikut: “Pasal 91 Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan Merek yang sama pada pokoknya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).” 54. Diantara Pasal 91 dan Pasal 92 disisipkan Pasal 91 A sebagai berikut:
50
“Pasal 91 A Dalam hal penggunaan merek secara tanpa hak sebagaimana dimaksud pada pasal 91 jenis barangnya dapat membahayakan keselamatan jiwa manusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 2.500.000.000,- (dua miliar lima ratus juta rupiah)” 55. Ketentuan Pasal 94 ayat (1) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 94 berbunyi sebagai berikut: “Pasal 94 (1)
Barangsiapa memperdagangkan barang dan/atau jasa yang diketahui atau patut diketahui bahwa barang dan/atau jasa tersebut merupakan hasil pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90, Pasal 90A, Pasal 91, Pasal 91A, Pasal 92, dan Pasal 93 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp.800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
(2)
Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran.”
56. Diantara Pasal 95 dan Pasal 96 disisipkan Pasal 95A sebagai berikut: “Pasal 95 A Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 A merupakan delik biasa.” 57. Ketentuan Pasal 98 diubah, sehingga Pasal 98 berbunyi sebagai berikut: “Pasal 98 Sengketa Merek yang masih dalam proses di pengadilan pada saat Undang-undang ini berlaku tetap diproses berdasarkan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek sampai mendapat putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.”
BAB XV KETENTUAN PERALIHAN
(1)
(2)
Pasal 96 Permohonan, perpanjangan jangka waktu perlindungan Merek terdaftar, pencatatan pengalihan hak, pencatatan perubahan nama dan/atau alamat, permintaan penghapusan atau pembatalan pendaftaran Merek yang diajukan berdasarkan Undang-undang Nomor 19 Tahun 1992 sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 14Tahun 1997 tentang Merek tetapi belum selesai pada tanggal berlakunya undang-undang ini, diselesaikan berdasarkan ketentuan undang-undang tersebut. Semua Merek yang telah didaftar berdasarkan Undang-undang Nomor 19 Tahun 1992 sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1997
51
tentang Merek dan masih berlaku pada saat diundangkannya Undang-undang ini dinyatakan tetap berlaku menurut Undang-undang ini untuk selama sisa jangka waktu pendaftarannya. Pasal 97 Terhadap Merek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (2) tetap dapat diajukan gugatan pembatalan kepada Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68, berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5 atau Pasal 6.
Pasal 98 Sengketa Merek yang masih dalam proses di pengadilan pada saat Undang-undang ini berlaku tetap diproses berdasarkan Undang-undang Nomor 19 Tahun 1992 sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Merek sampai mendapat putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. 58. Ketentuan Pasal 99 diubah, sehingga Pasal 99 berbunyi sebagai berikut: “Pasal 99 Semua peraturan pelaksanaan yang dibuat berdasarkan Undang-undang Nomor 15 tahun 2001 tentang Merek yang telah ada pada tanggal berlakunya Undang-undang ini dinyatakan tetap berlaku selama tidak bertentangan atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan Undang-undang ini.”
III. Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan : 1. Desain Industri adalah tampilan luar dari sebuah produk baik secara keseluruhan maupun sebagian yang mempunyai kesan estetik, dan tampilan tersebut dihasilkan dari fitur-fitur yang meliputi garis, warna, komposisi garis dan warna, bentuk, konfigurasi, corak, dan/atau ornamentasi. 2. Pendesain adalah seorang atau beberapa orang yang menghasilkan Desain Industri. 3. Hak Desain Industri adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara Republik Indonesia kepada Pendesain atas hasil kreasinya untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri, atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakan hak tersebut. 4. Permohonan adalah permintaan pendaftaran Desain Industri yang diajukan kepada Menteri. 5. Pemohon adalah pihak yang mengajukan Permohonan. 6. Kuasa adalah Konsultan Hak Kekayaan Intelektual sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini. 52
7. 8.
9. 10.
11.
12.
13.
14. 15. 16.
Direktorat Jenderal adalah Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual yang berada di bawah Kementerian yang dipimpin oleh Menteri. Konsultan Hak Kekayaan Intelektual adalah orang yang memiliki keahlian di bidang Hak kekayaan Intelektual dan secara khusus memberikan jasa pengajuan permohonan dan pengurusan permohonan di bidang Hak Kekayaan Intelektual dan diangkat oleh Menteri. Tanggal Penerimaan adalah tanggal diterimanya permohonan yang telah memenuhi persyaratan minimum. Hak Prioritas adalah hak Pemohon untuk mengajukan Permohonan yang berasal dari negara yang tergabung dalam Konvensi Paris untuk memperoleh pengakuan bahwa Tanggal Penerimaan yang diajukannya ke negara tujuan, yang juga anggota Konvensi Paris atau Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia, memiliki tanggal waktu yang telah ditentukan berdasarkan Konvensi Paris. Pemeriksa Desain Industri adalah seorang yang karena keahliannya diangkat dengan Keputusan Menteri sebagai pejabat fungsional pemeriksa Desain Industri dan ditugasi untuk melakukan pemeriksaan substantif terhadap Permohonan. Pemegang Hak Desain Industri adalah Pendesain sebagai pemilik Desain Industri atau pihak yang menerima hak tersebut dari pemilik Desain Industri atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak tersebut, yang terdaftar dalam Daftar Umum Desain Industri. Lisensi adalah persetujuan yang diberikan oleh Pemegang Hak Desain Industri kepada pihak lain berdasarkan perjanjian tertulis untuk menggunakan Desain Industri yang masih dilindungi. Orang adalah orang perseorangan, kelompok orang, badan usaha baik yang berbadan hukum atau tidak berbadan hukum. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia. Hari adalah hari kerja. BAB II LINGKUP DESAIN INDUSTRI Bagian Kesatu Desain Industri yang Diberikan Perlindungan
Pasal 2 (1) Hak Desain Industri diberikan untuk Desain Industri yang baru. (2) Desain Industri dianggap baru apabila pada tanggal penerimaan Desain Industri tersebut berbeda atau tidak mirip dengan pengungkapan Desain Industri yang telah ada sebelumnya atau yang telah diketahui umum. (3) Pengungkapan sebelumnya, sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) adalah pengungkapan Desain Industri yang sebelum: a. Tanggal Penerimaan; atau b. tanggal prioritas apabila permohonan diajukan dengan Hak Prioritas; telah diumumkan atau digunakan di Indonesia atau di luar Indonesia
53
Pasal 3 Suatu Desain Industri tidak dianggap telah diumumkan apabila dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sebelum Tanggal Penerimaannya, Desain Industri tersebut: a. telah dipertunjukkan dalam suatu uji pasar, pameran nasional ataupun internasional di Indonesia atau di luar negeri yang resmi atau diakui sebagai resmi; atau b. telah digunakan di Indonesia oleh Pendesain dalam rangka percobaan dengan tujuan pendidikan, penelitian, atau pengembangan. Bagian Kedua Desain Industri yang Tidak Diberikan Perlindungan Pasal 4 Hak Desain Industri tidak diberikan apabila Desain Industri yang dimohonkan: a. murni semata-mata karena pertimbangan fungsi atau teknis; atau b. bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum, agama, dan/atau kesusilaan. Bagian Ketiga Jangka Waktu Perlindungan Hak Desain Industri Pasal 5 (1) Perlindungan terhadap Hak Desain Industri diberikan untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak Tanggal Penerimaan. (2) Jangka waktu perlindungan Hak Desain Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang sampai dengan 1 (satu) kali selama 5 (lima) tahun. (3) Hak Desain Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dicatat dalam Daftar Umum Desain Industri dan diumumkan dalam Berita Resmi Desain Industri. Pasal 6 (1) Permohonan perpanjangan perlindungan Hak Desain Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) diajukan secara tertulis oleh pemegang Hak Desain Industri atau Kuasanya kepada Menteri. (2) Permohonan perpanjangan perlindungan Hak Desain Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diajukan paling lambat 6 (enam) bulan sebelum berakhirnya perlindungan sampai dengan 6 (enam) bulan setelah berakhirnya batas waktu perlindungan Hak Desain Industri. (3) Permohonan perpanjangan perlindungan Hak Desain Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilampiri: a. formulir permohonan perpanjangan; b. fotokopi sertifikat Desain Industri; dan c. bukti pembayaran biaya perpanjangan. Pasal 7 (1) Perpanjangan jangka waktu perlindungan Hak Desain Industri dicatat dalam Daftar Umum Desain Industri dan diumumkan dalam Berita Resmi Desain Industri. (2) Perpanjangan jangka waktu perlindungan Hak Desain Industri diberitahukan secara tertulis kepada pemilik Hak Desain Industri atau Kuasanya.
54
Bagian Keempat Subjek Desain Industri Pasal 8 (1) Yang berhak memperoleh Hak Desain Industri adalah Pendesain atau yang menerima hak tersebut dari Pendesain. (2) Dalam hal Pendesain terdiri atas beberapa orang secara bersama, Hak Desain Industri diberikan kepada mereka secara bersama, kecuali jika diperjanjikan lain. Pasal 9 (1) Jika suatu Desain Industri dibuat dalam hubungan dinas dengan pihak lain dalam lingkungan pekerjaannya, pemegang Hak Desain Industri adalah pihak yang untuk dan/atau dalam dinasnya Desain Industri itu dikerjakan, kecuali ada perjanjian lain antara kedua pihak dengan tidak mengurangi hak Pendesain apabila penggunaan Desain Industri itu diperluas sampai ke luar hubungan dinas. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi Desain Industri yang dibuat orang lain berdasarkan pesanan yang dilakukan dalam hubungan dinas. (3) Jika suatu Desain Industri dibuat dalam hubungan kerja atau berdasarkan pesanan, orang yang membuat Desain Industri itu dianggap sebagai Pendesain dan Pemegang Hak Desain Industri, kecuali jika diperjanjikan lain antara kedua pihak.
Pasal 10 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 tidak menghapus hak Pendesain untuk tetap dicantumkan namanya dalam Sertifikat Desain Industri, Daftar Umum Desain Industri, dan Berita Resmi Desain Industri.
Bagian Kelima Pemegang Hak Desain Industri Pasal 11 (1) Pemegang Hak Desain Industri memiliki hak eksklusif untuk melaksanakan Hak Desain Industri yang dimilikinya atau memberi persetujuan secara tertulis kepada orang lain untuk membuat, menjual, dan/atau mengimpor, produk yang diberi Hak Desain Industri. (2) Kecuali untuk kepentingan penelitian dan pendidikan, sepanjang tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pemegang Hak Desain Industri atau tidak untuk kepentingan komersial tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Desain Industri. (3) Tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Desain Industri, perbanyakan fitur-fitur Desain Industri yang harus dengan tepat diproduksi dalam bentuk yang tepat agar suatu produk dalam desain tersebut dihubungkan secara tepat atau ditempatkan di
55
dalam, di sekeliling, atau menyatu dengan produk lain sehingga produk tersebut dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Pasal 12 Setiap orang dilarang untuk membuat, menjual, dan/atau mengimpor produk yang sama atau mirip dengan Desain Industri terdaftar milik orang lain, kecuali atas persetujuan Pemegang Hak Desain Industri.
BAB III PERMOHONAN PENDAFTARAN HAK DESAIN INDUSTRI Bagian Kesatu Umum Pasal 13 (1) Hak Desain Industri diberikan atas dasar Permohonan oleh Pemohon yang beritikad baik. (2) Permohonan Pendaftaran Hak Desain Industri dikenakan biaya. (3) Ketentuan mengenai biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 14 Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) diajukan secara tertulis atau secara elektronik dalam bahasa Indonesia dan ditandatangani oleh Pemohon atau Kuasanya. Catatan: Diberikan penjelasan mengenai elektronik, bisa melalui internet, melalui digital device, contoh: USB, CD, DVD.
Pasal 15 (1) Permohonan Pendaftaran Hak Desain Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dapat diajukan oleh seorang atau beberapa orang Pemohon, atau badan hukum. (2) Dalam hal Permohonan Pendaftaran Hak Desain Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara bersama-sama oleh beberapa orang Pemohon, Permohonan tersebut ditandatangani oleh salah seorang Pemohon dengan melampirkan persetujuan tertulis dari seluruh Pemohon lainnya, dengan memilih salah satu alamat sebagai alamat Pemohon. (3) Dalam hal Permohonan Pendaftaran Hak Desain Industri diajukan oleh bukan Pendesain, Permohonan Hak Desain Industri harus disertai pernyataan yang dilengkapi dengan bukti yang cukup bahwa Pemohon berhak atas Desain Industri yang dimohonkan.
56
Pasal 16 (1) Permohonan Hak Desain Industri memuat: a. tanggal, bulan, dan tahun surat Permohonan; b. nama, alamat lengkap, dan kewarganegaraan Pendesain; c. nama, alamat lengkap, dan kewarganegaraan Pemohon; d. nama dan alamat lengkap Kuasa apabila Permohonan diajukan melalui Kuasa; e. nama negara dan tanggal penerimaan permohonan yang pertama kali, dalam hal Permohonan diajukan dengan Hak Prioritas; f. Judul atau nama produk; dan g. Klasifikasi. (2) Permohonan Pendaftaran Hak Desain Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan: a. Gambar dan/atau foto, dan b. surat kuasa khusus, dalam hal Permohonan diajukan melalui Kuasa; (3) Permohonan Pendaftaran Hak Desain Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilampiri dengan uraian singkat dari Desain Industri yang sedang diajukan pendaftarannya. Pasal 17 (1) Uraian singkat Desain Industri yang dimohonkan pendaftarannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3) meliputi: a. judul atau nama produk; b. keterangan gambar; dan c. pernyataan bagian Desain Industri yang dianggap baru oleh Pemohon. (2) Jika pernyataan bagian Desain Industri yang dianggap baru oleh Pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c tidak disampaikan oleh Pemohon kepada Menteri maka perlindungan Hak Desain Industri yang dimintakan dianggap sesuai dengan yang diungkapkan dalam gambar.
Pasal 18 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Permohonan Pendaftaran Hak Desain Industri diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 19 Pihak yang untuk pertama kali mengajukan Permohonan dianggap sebagai pemegang Hak Desain Industri, kecuali jika terbukti sebaliknya. Pasal 20 (1) Setiap Permohonan Pendaftaran Hak Desain Industri dapat diajukan untuk: a. satu Desain Industri; b. sebagian Desain Industri; atau c. seperangkat produk atau barang yang memiliki fitur-fitur tampilan yang sama. (2) Apabila beberapa Desain Industri memiliki kemiripan, Permohonan harus diajukan sebagai desain varian pada Tanggal Penerimaan yang sama oleh Pemohon yang sama.
57
Pasal 21 (1) Pemohon yang bertempat tinggal di luar wilayah negara Republik Indonesia harus mengajukan Permohonan melalui Kuasa. (2) Pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menyatakan dan memilih domisili hukumnya di Indonesia. Pasal 22 (1) Ketentuan mengenai syarat untuk dapat diangkat sebagai Konsultan Hak Kekayaan Intelektual diatur dengan Peraturan Pemerintah. (2) Ketentuan mengenai tata cara pengangkatan Konsultan Hak Kekayaan Intelektual diatur dengan Peraturan Presiden.
Bagian Kedua Permohonan dengan Hak Prioritas Pasal 23 (1) Permohonan dengan menggunakan Hak Prioritas harus diajukan dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan yang pertama kali diterima di negara lain yang merupakan anggota Konvensi Paris atau anggota Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia. (2) Permohonan dengan Hak Prioritas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilengkapi dengan dokumen prioritas yang disahkan oleh kantor yang menyelenggarakan pendaftaran Desain Industri disertai terjemahannya dalam bahasa Indonesia dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan terhitung setelah berakhirnya jangka waktu pengajuan Permohonan dengan Hak Prioritas. (3) Apabila syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) tidak dipenuhi, Permohonan tersebut dianggap diajukan tanpa menggunakan Hak Prioritas.
Pasal 24 Selain Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2), Menteri dapat meminta agar Permohonan dengan menggunakan Hak Prioritas dilengkapi dengan: a. salinan lengkap Hak Desain Industri yang telah diberikan sehubungan dengan pendaftaran yang pertama kali diajukan di negara lain; dan b. salinan sah dokumen lain yang diperlukan untuk mempermudah penilaian bahwa Desain Industri tersebut adalah baru. Bagian Ketiga Tanggal Penerimaan Permohonan dan Pemeriksaan Administratif Pasal 25 (1) Menteri menetapkan Tanggal Penerimaan terhadap Permohonan yang telah memenuhi persyaratan minimum sebagai berikut: a. menyampaikan data Pemohon; b. melampirkan gambar dan/atau foto; dan
58
c. membayar biaya Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2). (2) Apabila persyaratan minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dipenuhi, Menteri memberitahukan Pemohon untuk melengkapi kekurangan. (3) Tanggal Penerimaan ditetapkan setelah Pemohon memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Pasal 26 (1) Menteri melakukan pemeriksaan administratif berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 23, dan Pasal 24. (2) Apabila Permohonan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 23, dan Pasal 24, Menteri memberitahukan kepada Pemohon atau Kuasanya untuk memenuhi kekurangan tersebut dalam waktu 2 (dua) bulan terhitung sejak tanggal pemberitahuan. (3) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang paling lama 1 (satu) bulan atas permintaan Pemohon atau Kuasanya secara tertulis berdasarkan alasan yang dapat disetujui Menteri. (4) Permintaan perpanjangan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus diajukan sebelum berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 27 (1) Apabila kekurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) tidak dipenuhi, Menteri memberitahukan secara tertulis kepada Pemohon atau Kuasanya bahwa Permohonannya dianggap ditarik kembali. (2) Dalam hal Permohonan dianggap ditarik kembali sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), segala biaya yang telah dibayarkan kepada Menteri tidak dapat ditarik kembali. Bagian Keempat Penarikan Kembali Permohonan Pasal 28 Permintaan penarikan kembali Permohonan dapat diajukan secara tertulis kepada Menteri oleh Pemohon atau Kuasanya selama Permohonan tersebut belum mendapat keputusan. Bagian Kelima Kewajiban Menjaga Kerahasiaan Pasal 29 Selama masih terikat dinas aktif hingga selama 12 (dua belas) bulan sesudah pensiun atau berhenti karena sebab apa pun dari Menteri, pegawai atau orang yang karena tugasnya bekerja untuk dan/atau atas nama Menteri dilarang mengajukan Permohonan,
59
memperoleh, memegang, atau memiliki hak yang berkaitan dengan Desain Industri, kecuali jika pemilikan tersebut diperoleh karena pewarisan. Pasal 30 (1) Terhitung sejak Tanggal Penerimaan, seluruh pegawai atau orang yang karena tugasnya bekerja untuk dan/atau atas nama Menteri berkewajiban menjaga kerahasiaan Permohonan sampai dengan diumumkannya Permohonan yang bersangkutan. (2) Konsultan Hak Kekayaan Intelektual berkewajiban menjaga kerahasiaan Permohonan. Bagian Keenam Pemeriksaan Substantif Pasal 31 (1) Menteri melakukan pemeriksaan substantif sejak persyaratan administrative sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 dipenuhi. (2) Pemeriksaan substantif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1, Pasal 2, Pasal 4, Pasal 17 dan Pasal 20. (3) Keputusan Pemeriksaan substantif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan. Pasal 32 (1) (2)
Pemeriksaan substantif dilaksanakan oleh Pemeriksa pada Menteri. Kedudukan, jenjang, dan besaran tunjangan Pemeriksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundanganundangan. Pasal 33
(1)
(2)
Untuk keperluan pemeriksaan substantif, Menteri dapat meminta bantuan ahli dan/atau menggunakan fasilitas yang diperlukan dari instansi Pemerintah terkait atau Pemeriksa dari negara lain. Penggunaan bantuan ahli, fasilitas, atau Pemeriksa dari negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap dilakukan dengan memperhatikan ketentuan mengenai kewajiban untuk menjaga kerahasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30. Pasal 34
(1)
Apabila Pemeriksa melaporkan bahwa Desain Industri yang diperiksa tidak jelas
60
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
atau terdapat kekurangan lain yang dinilai penting sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2), Menteri memberitahukan secara tertulis adanya ketidakjelasan atau kekurangan tersebut kepada Pemohon atau Kuasanya guna meminta tanggapan atau kelengkapan atas kekurangan tersebut. Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus jelas dan rinci serta mencantumkan hal yang dinilai tidak jelas atau kekurangan lain yang dinilai penting dengan disertai alasan dan acuan yang digunakan dalam pemeriksaan substantif, berikut jangka waktu pemenuhannya. Apabila Pemeriksa melaporkan bahwa Desain Industri yang diperiksa bukan merupakan seperangkat produk atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf c Menteri memberitahukan hal tersebut secara tertulis kepada Pemohon atau Kuasanya agar memecah menjadi Permohonan yang baru dengan membayar biaya. Pengajuan permohonan yang baru hasil pemecahan permohonan yang sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberi tanggal penerimaan yang sama sesuai dengan permohonan yang sebelumnya harus dilakukan paling lambat 2 (dua) bulan sejak tanggal pengiriman surat pemberitahuan. Terhadap Permohonan yang baru hasil pemecahan permohonan yang sebelumnya sebagaimana dimakksud pada ayat (3) diberi tanggal penerimaan yang sama sesuai dengan permohonan yang sebelumnya. Apabila setelah pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Pemohon tidak melakukan pemecahan Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), permohonan dianggap ditarik kembali. Pasal 35
Apabila setelah pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) Pemohon tidak memberikan tanggapan atau tidak melakukan perbaikan terhadap Permohonan yang telah diajukannya dalam waktu yang telah ditentukan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2), Permohonan tersebut dianggap ditarik kembali dan diberitahukan secara tertulis kepada Pemohon.
Bagian Ketujuh Keputusan, Pemberian Sertifikat, dan Pengumuman Pasal 36 (1)
(2)
Desain Industri yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) dinyatakan dapat diterima dan diberitahukan secara tertulis kepada pemohon dan diumumkan oleh Menteri. Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat: a. nama dan alamat lengkap Pemohon; b. nama dan alamat lengkap Kuasa dalam hal Permohonan diajukan melalui Kuasa; c. tanggal penerimaan dan nomor Permohonan;
61
(3)
(4)
(5)
d. tanggal pemberian dan nomor pendaftaran; e. nama negara dan tanggal penerimaan permohonan yang pertama kali apabila Permohonan diajukan dengan menggunakan Hak Prioritas; f. uraian singkat Desain Industri; dan g. gambar atau foto Desain Industri. Pemohon dapat meminta secara tertulis agar pengumuman sebagaimana tersebut pada ayat (1) dapat ditunda selambat-lambatnya sebelum dimulainya pemeriksaan subtantif sebagaimana dimaksud pada Pasal 31 ayat (1). Penundaan pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak boleh melebihi waktu 30 (tiga puluh) bulan terhitung sejak Tanggal Penerimaan atau terhitung sejak tanggal prioritas, apabila Permohonan diajukan dengan menggunakan hak prioritas. Desain Industri yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) dinyatakan ditolak dan diberitahukan secara tertulis kepada pemohon dan diumumkan oleh Menteri dengan mencantumkan nomor permohonan dan nama pemohon. Pasal 37
(1)
(2)
Menteri memberikan sertifikat Desain Industri kepada Pemohon dalam waktu 2 (dua) bulan terhitung sejak tanggal keputusan diterimanya pendaftaran oleh Menteri. Sertifikat Desain Industri mulai berlaku terhitung sejak Tanggal Penerimaan.
Pasal 38 (1)
(2)
Pihak yang memerlukan salinan Sertifikat Desain Industri dapat memintanya kepada Menteri dengan membayar biaya sebagaimana diatur dalam UndangUndang ini. Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pemberian salinan Desain Industri diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.
Bagian Kedelapan Permohonan Banding Pasal 39 (1)
(2)
Permohonan banding dapat diajukan terhadap penolakan Permohonan yang berkaitan dengan alasan dan dasar pertimbangan mengenai hal-hal yang bersifat substantif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) dan/atau Pasal 32 ayat (1). Permohonan banding diajukan secara tertulis oleh Pemohon atau Kuasanya kepada Majelis Banding Desain Industri dengan tembusan yang disampaikan kepada Menteri.
62
(3)
(4)
Permohonan banding diajukan dengan menguraikan secara lengkap keberatan serta alasannya terhadap penolakan Permohonan sebagai hasil pemeriksaan substantif. Alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak merupakan alasan atau penjelasan baru sehingga memperluas lingkup kreasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35. Pasal 40
(1)
(2)
(3)
(1) (2) (3) (4)
(5)
(1)
(2)
(3)
(4)
Permohonan banding diajukan paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal pengiriman surat pemberitahuan penolakan Permohonan sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (5). Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat tanpa adanya permohonan banding, penolakan Permohonan dianggap diterima oleh Pemohon. Dalam hal penolakan Permohonan telah dianggap diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri mencatat dan mengumumkannya. Pasal 41 Banding mulai diperiksa oleh Majelis Banding paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal penerimaan permohonan banding. Keputusan Majelis Banding ditetapkan paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Dalam hal Majelis Banding menerima dan menyetujui permohonan banding, Menteri wajib melaksanakan keputusan Majelis Banding. Dalam hal Majelis Banding menolak permohonan banding, Pemohon atau Kuasanya dapat mengajukan gugatan atas keputusan tersebut ke Pengadilan Niaga dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya keputusan penolakan tersebut. Terhadap putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), hanya dapat diajukan kasasi. Bagian Kesembilan Pembatalan Pendaftaran Pasal 42 Dalam hal adanya keberatan terhadap keputusan diterimanya pendaftaran, pihak lain yang berkepentingan dapat mengajukan pembatalan pendaftaran ke Majelis Banding Desain Industri. Dalam hal Majelis Banding Desain Industri mengabulkan pembatalan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemegang hak desain industri dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Niaga. Dalam hal Majelis Banding Desain Industri menolak pembatalan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pihak lain yang berkepentingan dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Niaga. Dalam hal adanya keberatan terhadap keputusan penolakan pendaftaran Desain Industri, Pemohon dapat mengajukan keberatan atas penolakan ke Majelis Banding Desain Industri.
63
(5) Dalam hal Majelis Banding Desain Industri mengabulkan keberatan sebagaimana pada ayat (4), pihak lain yang berkepentingan dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Niaga. (6) Dalam hal Majelis Banding Desain Industri menolak keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Pemohon dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Niaga. (7) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (6) diumumkan oleh Menteri setelah mendapat keputusan hukum yang tetap. BAB IV MAJELIS BANDING Pasal 42 (1) Majelis Banding Desain Industri adalah badan khusus yang independen dan berada di lingkungan departemen yang membidangi Hak Kekayaan Intelektual. (2) Majelis Banding Desain Industri terdiri atas seorang ketua merangkap anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota, dan anggota yang terdiri atas beberapa ahli di bidang yang diperlukan serta Pemeriksa senior. (3) Anggota Majelis Banding Desain Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Menteri untuk masa jabatan 3 (tiga) tahun. (4) Ketua dan wakil ketua dipilih dari dan oleh para anggota Majelis Banding Desain Industri. (5) Untuk memeriksa permohonan banding,Majelis Banding Desain Industri membentuk majelis yang berjumlah ganjil sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang, satu di antaranya adalah seorang Pemeriksa senior yang tidak melakukan pemeriksaan substantif terhadap Permohonan. Pasal 43 Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat keanggotaan, Susunan organisasi, tugas, dan fungsi Majelis Banding Desain Industri diatur lebih lanjut dengan Peraturan Presiden BAB V PERMOHONAN MELALUI PENDAFTARAN INTERNASIONAL Pasal 44 (1) Permohonan dapat diajukan melalui pendaftaran internasional. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. BAB VI PENGALIHAN HAK DAN LISENSI Bagian Kesatu Pengalihan Hak
64
(1)
(2) (3)
(4) (5)
Pasal 45 Hak Desain Industri dapat beralih atau dialihkan dengan : a. pewarisan; b. hibah; c. wasiat; d. wakaf; e. perjanjian tertulis; atau f. sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan. Pengalihan Hak Desain Industri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disertai dengan dokumen tentang pengalihan hak. Segala bentuk pengalihan Hak Desain Industri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dicatat dalam Daftar Umum Desain Industri pada Menteri dengan membayar biaya sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini. Pengalihan Hak Desain Industri yang tidak dicatatkan dalam Daftar Umum Desain Industri tidak berakibat hukum pada pihak ketiga. Pengalihan Hak Desain Industri sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diumumkan dalam Berita Resmi Desain Industri. Pasal 46
Pengalihan Hak Desain Industri tidak menghilangkan hak Pendesain untuk tetap dicantumkan nama dan identitasnya, baik dalam Sertifikat Desain Industri, Berita Resmi Desain Industri, maupun dalam Daftar Umum Desain Industri. Bagian Kedua Lisensi Pasal 47 Pemegang Hak Desain Industri berhak memberikan Lisensi kepada pihak lain melaksanakan semua perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, kecuali jika diperjanjikan lain. Pasal 48 Dalam hal suatu Desain Industri menggunakan Hak Kekayaan Intelektual milik pihak lain yang telah ada sebelum Tanggal Penerimaan, Pemegang Hak Desain Industri tidak dapat melaksanakan Hak Desain Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2), kecuali ada persetujuan dari pemilik hak tersebut. Pasal 49 Dengan tidak mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48, pemegang Hak Desain Industri tetap dapat melaksanakan sendiri atau memberikan Lisensi kepada pihak ketiga untuk melaksanakan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, kecuali jika diperjanjikan lain.
65
Pasal 50 (1) Perjanjian Lisensi dicatatkan dalam Daftar Umum Desain Industri pada Menteri dengan dikenai biaya sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini. (2) Perjanjian Lisensi yang tidak dicatatkan dalam Daftar Umum Desain Industri tidak berlaku terhadap pihak ketiga. (3) Perjanjian Lisensi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diumumkan dalam Berita Resmi Desain Industri. Pasal 51 (1) Perjanjian Lisensi dilarang memuat ketentuan yang dapat menimbulkan akibat yang merugikan perekonomian Indonesia atau memuat ketentuan yang mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam peraturan perundangundangan yang berlaku. (2) Menteri wajib menolak pencatatan perjanjian Lisensi yang memuat ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Lisensi sebagaimana dimaksud dalam Undangundang ini diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VII PEMBATALAN PENDAFTARAN HAK DESAIN INDUSTRI Bagian Kesatu Pembatalan Pendaftaran Hak Desain Industri Berdasarkan Permintaan Pemegang Hak Desain Industri Pasal 52 (1) Desain Industri terdaftar dapat dibatalkan oleh Menteri atas permintaan tertulis yang diajukan oleh pemegang Hak Desain Industri. (2) Pembatalan Hak Desain Industri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat dilakukan apabila penerima Lisensi Hak Desain Industri yang tercatat dalam Daftar Umum Desain Industri tidak memberikan persetujuan secara tertulis, yang dilampirkan pada permohonan pembatalan pendaftaran tersebut. (3) Keputusan pembatalan Hak Desain Industri diberitahukan secara tertulis oleh Menteri kepada: a. pemegang Hak Desain Industri; b. penerima Lisensi jika telah dilisensikan sesuai dengan catatan dalam Daftar Umum Desain Industri; c. pihak yang mengajukan pembatalan dengan menyebutkan bahwa Hak Desain Industri yang telah diberikan dinyatakan tidak berlaku lagi terhitung sejak tanggal keputusan pembatalan. (4) Keputusan pembatalan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dicatatkan dalam Daftar Umum Desain Industri dan diumumkan dalam Berita Resmi Desain Industri.
66
Bagian Kedua Pembatalan Pendaftaran Hak Desain Industri Berdasarkan Gugatan Pasal 53 (1) Gugatan pembatalan pendaftaran Hak Desain Industri dapat diajukan oleh pihak yang berkepentingan dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1, Pasal 2, Pasal 4, Pasal 8 dan Pasal 9 kepada Pengadilan Niaga terhadap Pemegang Hak Desain Industri dan Menteri. (2) Putusan Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tentang pembatalan pendaftaran Hak Desain Industri disampaikan kepada Menteri paling lama 14 (empat belas) hari setelah tanggal putusan diucapkan. Bagian Ketiga Tata Cara Gugatan Pasal 54 (1)
Gugatan pembatalan pendaftaran Desain Industri diajukan kepada Ketua Pengadilan Niaga dalam wilayah hukum tempat tinggal atau domisili tergugat. (2) Dalam hal tergugat bertempat tinggal di luar wilayah Indonesia, gugatan tersebut diajukan kepada Ketua Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. (3) Panitera mendaftarkan gugatan pembatalan pada tanggal gugatan yang bersangkutan diajukan dan kepada penggugat diberikan tanda terima tertulis yang ditandatangani panitera dengan tanggal yang sama dengan tanggal pendaftaran gugatan. (4) Panitera menyampaikan gugatan pembatalan kepada Ketua Pengadilan Niaga dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari terhitung sejak gugatan didaftarkan. (5) Dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari terhitung sejak tanggal gugatan pembatalan didaftarkan, Pengadilan Niaga mempelajari gugatan dan menetapkan hari sidang. (6) Sidang pemeriksaan atas gugatan pembatalan diselenggarakan dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari setelah gugatan didaftarkan. (7) Pemanggilan para pihak dilakukan oleh juru sita paling lama 7 (tujuh) hari setelah gugatan pembatalan didaftarkan. (8) Putusan atas gugatan pembatalan harus diucapkan paling lama 90 (sembilan puluh) hari setelah gugatan didaftarkan dan dapat diperpanjang paling lama 30 (tiga puluh) hari atas persetujuan Ketua Mahkamah Agung. (9) Putusan atas gugatan pembatalan sebagaimana dimaksud dalam ayat (8) yang memuat secara lengkap pertimbangan hukum yang mendasari putusan tersebut harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan dapat dijalankan terlebih dahulu, meskipun terhadap putusan tersebut diajukan suatu upaya hukum. (10) Salinan putusan Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (9) wajib disampaikan oleh juru sita kepada para pihak paling lama 14 (empat belas) hari setelah putusan atas gugatan pembatalan diucapkan.
67
Pasal 55 Terhadap putusan Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) hanya dapat dimohonkan kasasi. Pasal 56 (1) Permohonan kasasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 diajukan paling lama 14 (empat belas) hari setelah tanggal putusan yang dimohonkan kasasi diucapkan atau diberitahukan kepada para pihak dengan mendaftarkan kepada panitera yang telah memutus gugatan tersebut. (2) Panitera mendaftar permohonan kasasi pada tanggal permohonan yang bersangkutan diajukan dan kepada pemohon diberikan tanda terima tertulis yang ditandatangani oleh panitera dengan tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan pendaftaran. (3) Pemohon kasasi wajib menyampaikan memori kasasi kepada panitera dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal permohonan kasasi didaftarkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). (4) Panitera wajib mengirimkan permohonan kasasi dan memori kasasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) kepada pihak termohon kasasi paling lama 2 (dua) hari setelah permohonan kasasi didaftarkan. (5) Termohon kasasi dapat mengajukan kontra memori kasasi kepada panitera paling lama 7 (tujuh) hari setelah tanggal termohon kasasi menerima memori kasasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dan panitera wajib menyampaikan kontra memori kasasi kepada pemohon kasasi paling lama 2 (dua) hari setelah kontra memori kasasi diterimanya. (6) Panitera wajib menyampaikan permohonan kasasi, memori kasasi dan/atau kontra memori kasasi beserta berkas perkara yang bersangkutan kepada Mahkamah Agung paling lama 7 (tujuh) hari setelah lewatnya jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (5). (7) Mahkamah Agung wajib mempelajari berkas permohonan kasasi dan menetapkan hari sidang paling lama 2 (dua) hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima oleh Mahkamah Agung. (8) Sidang pemeriksaan atas permohonan kasasi dilakukan paling lama 60 (enam puluh) hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima oleh Mahkamah Agung. (9) Putusan atas permohonan kasasi harus diucapkan paling lama 90 (sembilan puluh) hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima oleh Mahkamah Agung. (10) Putusan atas permohonan kasasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (9) yang memuat secara lengkap pertimbangan hukum yang mendasari putusan tersebut harus diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum. (11) Panitera Mahkamah Agung wajib menyampaikan salinan putusan kasasi kepada panitera paling lama 3 (tiga) hari setelah tanggal putusan atas permohonan kasasi diucapkan. (12) Juru sita wajib menyampaikan salinan putusan kasasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (11) kepada pemohon kasasi dan termohon kasasi paling lama 2 (dua) hari setelah putusan kasasi diterima.
68
Pasal 57 Menteri mencatat putusan atas gugatan pembatalan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dalam Daftar Umum Desain Industri dan mengumumkannya dalam Berita Resmi Desain Industri. Bagian Keempat Akibat Pembatalan Pendaftaran Pasal 58 Pembatalan pendaftaran Desain Industri menghapuskan segala akibat hukum yang berkaitan dengan Hak Desain Industri dan hak-hak lain yang berasal dari Desain Industri tersebut. Pasal 59 (1) Dalam hal pendaftaran Desain Industri dibatalkan berdasarkan gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53, penerima Lisensi tetap berhak melaksanakan Lisensinya sampai dengan berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian Lisensi. (2) Penerima Lisensi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak lagi wajib meneruskan pembayaran royalti yang seharusnya masih wajib dilakukannya kepada pemegang Hak Desain Industri yang haknya dibatalkan, tetapi wajib mengalihkan pembayaran royalti untuk sisa jangka waktu Lisensi yang dimilikinya kepada pemegang Hak Desain Industri yang sebenarnya. BAB VIII BIAYA Pasal 60 (1) Semua biaya yang wajib dibayar dalam Undang-undang ini ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, jangka waktu, dan tata cara pembayaran biaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. (3) Menteri dengan persetujuan Menteri Keuangan dapat mengelola sendiri biaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. BAB IX PENYELESAIAN SENGKETA Bagian Kesatu Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan
69
Pasal 61 (1) Pemegang Hak Desain Industri atau penerima Lisensi dapat menggugat siapa pun yang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, berupa : a. gugatan ganti rugi; dan/atau b. penghentian semua perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11. (2) Gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan ke Pengadilan Niaga. Bagian Kedua Tata Cara Penyelesaian Sengketa Pasal 62 Tata cara penyelesaian gugatan ganti rugi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 61 dilakukan dengan menggunakan tata cara sebagaimana diatur dalam Hukum Acara Perdata yang diberlakukan untuk gugatan pembatalan sesuai Pasal 54 Undang-undang ini. Bagian Ketiga Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan Pasal 63 Selain penyelesaian gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 para pihak dapat menyelesaikan perselisihan tersebut melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa. Pasal 64 Tata cara gugatan sebagaimana diatur dalam Pasal 54 dan 56 berlaku secara mutatis mutandis terhadap gugatan sebagaimana diatur dalam Pasal 41, Pasal 42, dan Pasal 61. BAB X PENETAPAN SEMENTARA PENGADILAN Pasal 65 Berdasarkan bukti yang cukup, pihak yang haknya dirugikan dapat meminta hakim Pengadilan Niaga untuk menerbitkan surat penetapan sementara tentang: a. pencegahan masuknya produk yang berkaitan dengan pelanggaran Hak Desain Industri; b. penyimpanan bukti yang berkaitan dengan pelanggaran Hak Desain Industri. Pasal 66 (1) Permohonan penetapan sementara diajukan secara tertulis kepada Pengadilan Niaga dengan persyaratan sebagai berikut :
70
a. melampirkan bukti kepemilikan Desain Industri; b. melampirkan bukti adanya petunjuk awal yang kuat atas terjadinya pelanggaran Desain Industri; c. keterangan yang jelas mengenai barang dan/atau dokumen yang diminta, dicari, dikumpulkan dan diamankan untuk keperluan pembuktian; d. adanya kekhawatiran bahwa pihak yang diduga melakukan pelanggaran Desain Industri akan dapat dengan mudah menghilangkan barang bukti; dan e. membayar jaminan berupa uang tunai atau jaminan bank. (2) Dalam hal penetapan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 telah dilaksanakan, Pengadilan Niaga segera memberitahukan kepada pihak yang dikenai tindakan dan memberikan kesempatan kepada pihak tersebut untuk didengar keterangannya. Pasal 67 Dalam hal hakim Pengadilan Niaga telah menerbitkan surat penetapan sementara, hakim Pengadilan Niaga yang memeriksa sengketa tersebut harus memutuskan untuk mengubah, membatalkan, atau menguatkan penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak dikeluarkannya surat penetapan sementara pengadilan tersebut.
(1)
(2) (3)
(4)
(5)
(6) (7)
Pasal 68 Permohonan penetapan sementara pengadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 65 diajukan kepada Ketua Pengadilan Niaga dalam wilayah hukum tempat ditemukannya barang yang diduga merupakan hasil pelanggaran Desain Industri. Permohonan penetapan sementara pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66. Panitera mencatat permohonan penetapan sementara pada tanggal permohonan penetapan sementara tersebut diajukan dan pada tanggal yang sama panitera menyampaikan permohonan penetapan sementara tersebut kepada Ketua Pengadilan Niaga. Dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari terhitung sejak tanggal diterimanya permohonan penetapan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Ketua Pengadilan Niaga menunjuk hakim untuk memeriksa permohonan penetapan sementara. Dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari terhitung sejak tanggal penunjukkan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), hakim Pengadilan Niaga harus memutuskan apakah permohonan penetapan sementara tersebut diterima atau ditolak. Dalam hal permohonan penetapan sementara dapat diterima, hakim pengadilan niaga menerbitkan Surat Penetapan Sementara Pengadilan. Dalam hal permohonan penetapan sementara ditolak, hakim Pengadilan Niaga memberitahukan penolakan tersebut kepada pemohon penetapan sementara dengan disertai alasannya.
71
Pasal 69 (6) Dalam hal Pengadilan Niaga menerbitkan surat penetapan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (6), Pengadilan Niaga memanggil pihak yang dikenai penetapan sementara dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari untuk dimintai keterangan. (7) Pihak yang dikenai penetapan sementara dapat menyampaikan keterangan dan bukti-bukti dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal diterimanya surat panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) (8) Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diterbitkannya surat penetapan sementara pengadilan, hakim Pengadilan Niaga harus memutuskan untuk membatalkan, atau menguatkan penetapan sementara pengadilan. (9) Dalam hal penetapan sementara pengadilan dikuatkan, uang jaminan yang telah dibayarkan harus dikembalikan kepada pemohon penetapan dan pemohon penetapan harus segera mengajukan Gugatan Pelanggaran Desain Industri sebagaimana dimaksud dalam pasal 46 dan/atau membuat aduan atas adanya pelanggaran hak atas Desain Industri kepada Penyidik Kepolisian Republik Indonesia atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil. (10) Dalam hal penetapan sementara pengadilan dibatalkan, uang jaminan yang telah dibayarkan harus segera diserahkan kepada pihak yang dikenai penetapan sementara sebagai ganti rugi akibat adanya penetapan sementara tersebut. BAB XI PENYIDIKAN Pasal 70 (1) Selain Penyidik Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia, Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil di lingkungan departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang Hak Kekayaan Intelektual diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam ketentuan tentang Hukum Acara Pidana yang berlaku untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang Desain Industri. (2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang: a. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana; b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian; c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal dari tersangka; d. Melakukan penggeledahan dan penyitaan; e. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang; f. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; g. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; h. Mengadakan penghentian penyidikan; i. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab; j. Meminta bantuan penangkapan, penahanan, penetapan daftar pencarian orang 72
(dpo) dan pencegahan dan penangkapan terhadap pelaku tindak pidana dibidang Desain Industri kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia. (3) Penyampaian hasil penyidikan oleh PPNS HKI untuk diserahkan kepada Penuntut Umum dengan tembusan kepada Penyidik Pejabat POLRI. BAB XII KETENTUAN PIDANA Pasal 71 (1) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). (2) Setiap orang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah). (3) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) merupakan delik aduan. BAB XIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 72 (1) Pemrosesan Permohonan, pencatatan pengalihan hak, pencatatan perubahan nama dan/atau alamat, atau permintaan pembatalan hak Desain Industri yang diajukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri, tetapi belum selesai pada tanggal berlakunya Undang-Undang ini, diselesaikan dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak ditetapkannya Undang-Undang ini. (2) Semua Desain Industri yang telah didaftar berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri dan masih berlaku pada saat diundangkannya Undang-Undang ini dinyatakan tetap berlaku menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri untuk selama sisa jangka waktu pendaftarannya. Pasal 73 Terhadap Desain Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (2) tetap dapat diajukan gugatan pembatalan kepada Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 dan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4.
Pasal 74 Sengketa Desain Industri yang masih dalam proses di Pengadilan pada saat UndangUndang ini berlaku tetap diproses berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000
73
tentang Desain Industri sampai mendapat putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Pasal 75 Semua peraturan pelaksanaan yang dibuat berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri yang telah ada pada tanggal berlakunya UndangUndang ini dinyatakan tetap berlaku selama tidak bertentangan atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan Undang-Undang ini.
IV. Ketentuan Penutup Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta pada tanggal… PRESIDEN REPUBLIK INDONERSIA,
ttd
DR H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta pada tanggal… SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA ttd
SUDI SILALAHI LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN… NOMOR…
74