Bidang Ilmu: Sosial
LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDI (RE)KONSTRUKSI MEMORI: TRAGEDI 1965 DALAM FILM INDONESIA PASCA REFORMASI
TIM PENGUSUL: 1. Dewi Yuri Cahyani, S.Sos, M.Si (Ketua) 2. Imron Hadi Tamim, SS, MA
Dibiayai oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana, Sesuai dengan kontrak nomor /UN14.47/PNL.01.03.00/2015
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS UDAYANA 2015
I.
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang Pada tahun 2000, Tempo melakukan sebuah survey untuk memahami bagaimana masyarakat Indonesia membangun pemahaman mereka mengenai tragedi 1965. Dari survey yang dilakukan terhadap 1000 responden dari 3 kota terbesar di Indonesia tersebut, hasilnya cukup mengejutkan: 90 persen responden belajar tentang sejarah 1965 dari film! (Liputan Khusus: Pengakuan Algojo 1965, edisi 1-7 Oktober 2012). Berdasarkan data tersebut, nampak bahwa film merupakan salah satu aparat ideologis negara (ideological state apparatuses) yang sangat efektif dan penting dalam membentuk cara pandang masyarakat terhadap sebuah peristiwa atau gagasan.
Film adalah salah satu bentuk media komunikasi massa. Dalam konteks ini, film tidak semata dimaknai sebagai sebuah karya seni, melainkan sebuah medium komunikasi yang beroperasi di masyarakat yang akan memberikan efek yaitu perubahan pada aspek kognitif, afektif, perilaku, dan perubahan sosial. Sebagai sebuah medium, film juga mencerminkan ideologi dari pembuatnya yaitu sang produser, sutradara, maupun penulis cerita. Dengan kata lain, film (sebagai sebuah teks), dipandang sebagai sarana atau media melalui mana satu kelompok mengunggulkan diri sendiri dan memarjinalkan kelompok lain dengan menggunakan teknik representasi. Representasi merujuk pada bagaimana seseorang, satu kelompok, gagasan, atau pendapat tertentu ditampilkan dalam sebuah teks. Menurut Eriyanto (2001), ada dua hal yang penting dalam representasi. Pertama, apakah seseorang, kelompok, atau sebuah gagasan ditampilkan sebagaimana mestinya. Kedua, bagaimana representasi tersebut ditampilkan.
Dalam diskursus politik Orde Baru, Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah partai terlarang yang telah melakukan sebuah upaya kudeta yang gagal terhadap negara. Dengan dilarangnya partai ini, maka komunisme – sebagai ideologi penyokongnya, juga menjadi ideologi terlarang. Peristiwa yang memunculkan diskursus tersebut dimulai pada 30 September 1965, ketika beberapa perwira militer menengah yang menamakan diri sebagai Gerakan 30 September menculik dan membunuh enam perwira tinggi Angkatan Darat. Setelah pasukan Soeharto
menumpas gerakan ini, disebarluaskan propaganda bahwa gerakan itu mewakili PKI. Pimpinan dan anggota PKI dan underbouw-nya, termasuk mereka yang dianggap berafiliasi ke PKI, dibunuh, ditahan, diperkosa, dan disiksa. Kebijakan penumpasan PKI dan simpatisannya telah menyulut pembunuhan besar-besaran di Jawa dan Bali, dan terus menyebar ke daerah lain.1 Algojo (yang melakukan pembunuhan terhadap PKI dan simpatisannya) pun bermunculan2. Atas nama dendam pribadi, keyakinan, atau tugas negara, para algojo membunuh siapa saja yang dicap sebagai PKI. Para pelaku pembunuhan massal ini kemudian disanjung sebagai pahlawan, akibat tindakan “patriotik”-nya dalam menumpas komunisme hingga ke akar-akarnya.
Penggambaran atau representasi para algojo 1965 sebagai pahlawan Orde Baru dan PKI sebagai bahaya laten bangsa diteguhkan melalui berbagai aparat ideologis negara. Film sebagai salah satu bentuk media komunikasi massa dipilih oleh rejim Orde Baru untuk menyebarluaskan propaganda mereka mengenai “bahaya laten komunisme” tersebut. Salah satunya, yang sangat dikenal dan barangkali yang menancapkan memori kolektif paling dalam bagi Bangsa Indonesia, adalah film Pengkhianatan G30S/PKI (Arifin C. Noer, 1984). Bahkan sejak awal berkuasa, militer – sebagai kekuatan utama pendukung Orde Baru, telah memahami kekuatan film sebagai alat propaganda. Ariel Heryanto (Tempo, 2012) menyebutkan bahwa pada 15 April 1969, Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib)3 mengeluarkan keputusan tentang dibentuknya “Projek film Kopkamtib” untuk memproduksi film dokumenter sebagai “media psywar”. Selanjutnya Heryanto mengatakan bahwa jauh sebelum “Djakarta 1
Tak ada angka pasti mengenai jumlah korban tewas dalam pembantaian 1965-1966. Perkirannya berkisar dari 200
ribu sampai 3 juta jiwa. (Robert Cribb dalam “Soal Statistik Korban”, Tempo edisi 1-7 Oktober 2012) 2
Pasukan pembunuh (death squad) dibentuk di berbagai daerah. Sebagian anggotanya direkrut dari kelompok-‐ kelompok preman. Di Jawa Timur dan Bali, anggotanya direkrut dari kelompok-‐kelompok agama, sementara di Jawa Tengah sebagian anggotanya merupakan personel pasukan khusus. Menurut John Roosa (dalam The 1965-‐ 1966 Massacres in Indonesia), militer merekrut kelompok-‐kelompok sipil ini dan mengorganisasikan mereka ke dalam kelompok-‐kelompok paramiliter, yang mendapatkan latihan dasar dan dukungan dari militer. 3
Menurut Laporan Komnas HAM 2012, Kopkamtib merupakan lembaga yang paling bertanggung jawab atas
kejahatan berat kemausiaan dalam kurun 1965-1966.
1966” diedarkan, rezim Orde Baru telah membuat sejumlah film propaganda. Selain “Janur Kuning” (Alam Surawidjja, 1979) dan “Serangan Fajar” (Arifin C. Noer, 1981) yang membesarbesarkan jasa Soeharto dalam perang di Yogyakarta 1945, ada dua film lain bertema gejolak politik 1965: “Pengkhianatan G30S/PKI” (1984) dan “Penumpasan Sisa PKI Blitar Selatan” (1986). Film Operasi X (Misbach Yusa Biran, 1968) bertema mirip, dengan intelijen militer sebagai pahlawan. Sementara itu, beredar sebuah film drama produksi swasta hampir bersamaan waktu dengan “Djakarta 1966”, yakni “Gema Kampus 66” (Asrul Sani, 1988). Puncak dari semua film propaganda antikomunis adalah film Pengkhianatan G30S/PKI karya Arifin C. Noer. Bagi sebagian besar masyarakat, film ini menjadi satu-satunya sumber informasi resmi (sekaligus disinformasi dan misinformasi) yang tersedia, tentang apa yang mungkin terjadi di Jakarta pada 1965. Segala bentuk diskusi dan terbitan yang meragukan, apalagi berbeda dengan propaganda pemerintah, dilarang dengan ancaman hukum pidana bagi pelanggarnya. Kerangka bertutur dalam film ini membentuk kerangka utama logika-retorika masyarakat puluhan tahun berikutnya, hingga kini.
Selain menjadikan film sebagai alat propaganda politik, berbagai kebijakan pemerintah Orde Baru ditujukan untuk mematikan berbagai gagasan atau pemikiran yang berseberangan dengan kepentingan politik mereka. Kurnia (2004) mengatakan bahwa Pemerintah Orde Baru telah menggunakan kebijakan sensor untuk mengendalikan film sebagai instrumen pendidikan politik. Dalih menjaga stabilitas dan keamanan nasional menjadikan arah kebijakan sensor sangat politis. Namun pada September 1998, Wapres Habibie yang diangkat sebagai presiden menggantikan Soeharto, mencabut kewajiban tayang film Pengkhianatan G30S/PKI. Hal ini dilakukan untuk memberi kesan pemerintahannya berbeda dengan Orde Baru.
Setelah Orde Baru tumbang, berbagai diskursus mengenai tragedi 1965 yang semula termarjinalkan mulai bermunculan. Sejumlah investigasi dan riset menunjukkan berbagai fakta lain mengenai peristiwa ini. Misalnya, hasil investigasi Komnas HAM menyebutkan bahwa peristiwa 1965-66 merupakan suatu tragedi kemanusiaan yang menjadi lembaran sejarah hitam bangsa Indonesia. Peristiwa tersebut terjadi sebagai akibat dari adanya kebijakan negara pada waktu itu untuk melakukan penumpasan terhadap para anggota dan pengikut Partai Komunis
Indonesia (PKI) yang dianggap telah melakukan tindakan perlawanan terhadap negara. Kebijakan negara yang diikuti dengan tindakan kekerasan terhadap warga negara yang dituduh sebagai anggota maupun simpatisan PKI pada waktu itu, dilakukan secara berlebihan dengan menggunakan cara-cara yang tidak manusiawi yang berdampak pada jatuhnya korban jiwa manusia baik yang meninggal dunia maupun yang luka-luka. Berbagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi antara lain pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang, penyiksaan, perkosaan, penganiayaan (persekusi) dan penghilangan orang secara paksa (Komnas HAM, 2012).
Seiring dengan munculnya investigasi dan bukti-bukti baru, lahir berbagai film gugatan mengenai tragedi 1965 yang diproduksi oleh para sejarawan, lembaga-lembaga advokasi HAM maupun sineas profesional. Film-film gugatan ini berupaya untuk menantang diskursus Orde Baru dan membangun kembali memori kolektif Bangsa Indonesia mengenai tragedi 1965, khususnya dari perspektif korban, yang selama bertahun-tahun dibungkam dan dipinggirkan dalam wacana Orde Baru. Mengenai pergeseran ini, Ariel Haryanto (2012) mengelompokkan film tentang pembantaian 1965 dalam dua jenis. Pertama, film propaganda, disponsori rezim antikomunis Orde Baru. Dalam film jenis ini, kejahatan terhadap kaum komunis ditampilkan secara terbalik menjadi kisah kejahatan oleh komunis. Kedua, film “gugatan”, berujud film dokumenter pasca-1998 yang menampilkan kesaksian korban dan keluarganya yang selamat dari pembantaian 1965. Bagi mereka, neraka adalah hidup di Indonesia sesudah 1965 sebagai orang atau anggota keluarga yang dituduh komunis, pernah ditahan bertahun-tahun, walau tanpa pernah diadili dan dibuktikan bersalah. Dengan kata lain, film-film propaganda Orde Baru menutupi fakta kejahatan berat atas kemanusiaan, sementara sejumlah film dokumenter pasca Orde Baru membongkar kejahatan itu.
Lembaga Kreativitas Kemanusiaan (LKK) pimpinan Putu Oka Sukanta – seorang penyair, mantan pegiat Lekra, dan korban politik 1965, menjadi salah satu produser paling rajin. Film produksi mereka antara lain berjudul “Menyemai Terang dalam Kelam” (2006), “Perempuan yang Tertuduh” (2007), “Tumbuh dalam Badai” (2007), “Seni ditating Jaman” (2008),
“Tjidurian 19” (2009), dan “Plantungan: Potret Derita dan Kekuatan Perempuan (2011). Selain LKK, sejumlah film bertema 1965 juga diproduksi oleh organisasi non-pemerintah dalam bidang hak asasi manusia, di antaranya: “Bunga-tembok” (2003), “Kawan Tiba Senja: Bali Seputar 1965” (2004), “Kado untuk Ibu” (2004), “Putih Abu-abu: Masa Lalu Perempuan” (2006), dan “Sinengker: Sesuatu yang dirahasiakan (2007). Karya-karya di atas (kecuali “Tjidurian 19”) menekankan advokasi gugatan keadilan. Karya sineas Indonesia ini melengkapi beberapa film dokumenter karya sineas asing dengan tema serupa: “The Shadow Play” (2001), “Terlena: Breaking of a Nation” (2004), “40 years of silence: An Indonesian Tragedy” (2009), dan dua film pemenang berbagai penghargaan bergengsi di dunia: The Act of Killing (2012) dan The Look of Silence (2014).
Karya-karya yang disebutkan di atas telah berjasa membongkar kejahatan terhadap kemanusiaan dan luka bangsa yang selama ini ditabukan negara. Berbagai film itu juga memberikan suara dan simpati bagi para korban yang selama ini dibungkam. Dengan memberikan cara pandang baru dan kesempatan kepada para korban untuk menuturkan pengalamannya, film-film Indonesia bertema 1965 yang diproduksi pasca reformasi ini mencoba mengkonstruksi kembali struktur memori kolektif Bangsa Indonesia. Maka menarik untuk dikaji, bagaimana proses rekonstruksi memori kolektif tersebut dilakukan dengan menggunakan film sebagai mediumnya. Secara khusus, penelitian ini akan mengamati film-film bertema 1965 produksi Lembaga Kreatifitas Kemanusiaan (LKK) sebagai fokus kajian.
I.2 Perumusan Masalah Film merupakan salah satu aparat ideologis negara (ideological state apparatuses) yang sangat efektif dan penting dalam membentuk cara pandang masyarakat terhadap sebuah peristiwa atau gagasan. Selama pemerintahan Orde Baru berkuasa, sejumlah film bertema 1965 diproduksi oleh negara dengan wacana utama ‘menyelamatkan bangsa dari bahaya laten komunisme’. Oleh karena itu, dalam diskursus film Orde Baru, operasi ketertiban yang dilancarkan negara pada 1965-66 untuk membasmi gerakan komunisme di Indonesia yang mengakibatkan terjadinya
pembunuhan massal dan penahanan terhadap orang-orang yang diduga sebagai PKI digambarkan sebagai sebuah tindakan patriotik untuk menyelamatkan bangsa dari bahaya komunisme tersebut.
Namun pasca tumbangnya Orde Baru, berbagai investigasi menunjukkan bukti-bukti baru bahwa operasi ketertiban yang dilancarkan pada saat itu telah mengakibatkan terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan. Seiring dengan itu, bermunculan film-film mengenai tragedi 1965 yang mencoba menantang diskursus Orde Baru dan merekonstruksi kembali memori kolektif bangsa, terutama dari sudut pandang korban yang selama ini dimarjinalkan. LKK merupakan salah satu produser yang paling rajin memproduksi film-film gugatan tersebut. Untuk itu, penelitian ini ingin mengkaji bagaimana upaya LKK dalam melakukan dekonstruksi terhadap wacana Orde Baru dan kemudian melakukan rekonstruksi memori kolektif bangsa mengenai tragedi 1965 melalui medium film, sebuah medium yang selama ini digunakan oleh rejim Orde Baru untuk membangun memori kolektif mengenai tragedi 1965 versi mereka.
I.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1.
Mengkaji proses dekonstruksi dan rekonstruksi memori kolektif Bangsa Indonesia mengenai tragedi 1965 melalui medium film.
Sedangkan manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah dapat memberikan kontribusi keilmuan khususnya untuk: 1.
Memahami bagaimana proses produksi dan reproduksi makna dilakukan melalui teks-teks media, khususnya melalui medium film.
2.
Memahami bagaimana proses pembentukan ingatan dan sejarah, serta proses-proses politik yang mempengaruhinya.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Untuk membantu memahami bagaimana proses dekonstruksi dan rekonstruksi memori atau ingatan kolektif sebuah bangsa dibentuk melalui medium film, maka peneliti akan menggunakan kerangka konsep sebagai berikut:
II.1 Konstruksi Sosial Atas Realitas Orang awam seringkali tidak berpusing-pusing memikirkan apa yang sudah “nyata” baginya dan mengenai apa yang ia ‘tahu’, kecuali jika secara tiba-tiba saja ia berhadapan dengan semacam masalah. Mereka cenderung menerima begitu saja ‘realitas’-nya dan ‘pengetahuan’-nya. Padahal menurut sosiolog Berger dan Luckmann (1979), realitas itu dibangun secara sosial. Realitas tidak dibangun secara alamiah, melainkan dibentuk dan dikonstruksi. Lebih lanjut Berger dan Luckmann mengatakan bahwa dunia kehidupan sehari-hari tidak hanya diterima begitu saja oleh masyarakat dalam kehidupan mereka. Ia merupakan satu dunia yang berasal dari pikiran-pikiran dan tindakan-tindakan mereka, dan dipelihara sebagai yang ‘nyata’ oleh pikiran dan tindakan itu. Karena berasal dari pikiran dan tindakan, maka ‘realitas’ berwajah ganda atau plural. Setiap orang bisa mempunyai konstruksi yang berbeda-beda atas suatu realitas. Setiap orang yang mempunyai pengalaman, preferensi, pendidikan tertentu, dan lingkungan pergaulan atau sosial tertentu akan menafsirkan realitas sosial itu dengan konstruksinya masing-masing (Eriyanto, 2007). Di antara keanekaragaman realitas itu, terdapat satu realitas yang menampilkan diri sebagai kenyataan par excellence. Itulah kenyataan hidup sehari-hari. Posisinya yang istimewa memberi hak kepadanya untuk diberi nama realitas utama (paramount reality).
Tragedi 1965 menimbulkan berbagai interpretasi subjektif dalam diri aktor-aktor sosial: bagi rejim Orde Baru, bagi para pelaku pembantaian, bagi para korban dan keluarganya, maupun bagi masyarakat luas. Namun di antara berbagai interpretasi subjektif tersebut, pada akhirnya muncul satu realitas utama yang memenangkan pertarungan di dalam medan wacana. Selama Orde Baru berkuasa dan bahkan tahun-tahun sesudah periode reformasi bergulir, ‘realitas’ itulah yang kita
yakini sebagai satu-satunya realitas. Bahwa PKI adalah pihak yang melakukan kudeta terhadap pemerintah yang sah pada saat itu, karenanya operasi ‘pembersihan’ orang-orang yang dituduh sebagai PKI dan afiliasinya dianggap sebagai sebuah tindakan patriotik untuk menunaikan tugas negara. Konstruksi itu diperkuat melalui berbagai aparatus ideologi negara, termasuk media film, hingga menjadi realitas utama di dalam masyarakat.
II.2 Memori Kolektif Filsuf Henri Berson mengatakan ada dua aspek dalam memori, yaitu intentional dan spontaneous memory. Intentional memory tersusun atas kode-kode dan dapat dilacak (encoding and retrieval); ingatan ini bertujuan, biasanya muncul dalam bentuk kuantitatif. Misalnya ingatan mengenai kapan suatu peristiwa terjadi, berapa korbannya, siapa saja, dari mana saja, berapa kerugian, dan lain-lain. Sedangkan spontaneous memory tidak terencana, tidak terorganisir, insidental, biasanya bersifat kualitatif. Misalnya ingatan mengenai rasa sakit yang ditimbulkan pada saat suatu peristiwa terjadi, perasaan yang muncul pada saat itu, reaksi emosional sesudahnya, dan lain-lain. Intentional memory dapat memudar seiring berjalannya waktu jika ada informasi lain yang dianggap lebih relevan, sementara spontaneous memory akan terus ‘dibawa’ oleh orang-orang yang mengalami suatu peristiwa. Spontaneous memory akan luntur jika ingatan tersebut tidak diwariskan (dituturkan dan dicatatkan). Orang-orang yang hidup pada saat suatu peristiwa terjadi akan berbagi kedua memori tersebut. Proses mengingat yang dilakukan sedemikian banyak orang pada suatu waktu, kemudian akan diwariskan ke generasi berikutnya untuk membentuk struktur ingatan kolektif tertentu. Ingatan kolektif ini akan terus ada, meski waktu dan tradisi berubah. Tapi bagi generasi yang datang berikutnya, mereka hanya akan berbagi memori yang intentional saja. Padahal memori yang spontaneous-lah yang akan mengidentifikasikan seseorang sebagai bagian dari sebuah kolektivitas. Karenanya, ingatan yang spontaneous ini juga harus dijaga dan diwariskan.
Peristiwa 1965 di Indonesia melahirkan berbagai intentional memory mengenai siapa korban, siapa pelaku kejahatan, berapa korbannya, berapa yang terbunuh saat ‘operasi penumpasan’, berapa yang dipenjarakan, dan lain-lain. Sementara memori yang spontan, khususnya memori
yang dimiliki oleh korban dan keluarganya, nyaris tenggelam dalam wacana besar ‘operasi ketertiban untuk menumpas pemberontakan G 30 S/PKI’ sebagai sebuah struktur ingatan yang ingin dibangun oleh rejim Orde Baru. Elit politik memang seringkali mengambil keuntungan dari struktur memori kolektif yang mereka bangun tersebut. Mengenai hal ini Peter Verovsek (2013) mengatakan: “They seek to gain political advantage by monumentalizing group-spesific understandings of the past in order to legitimize their actions in the present to gain an advantage in the future”. Dengan cara ini, elit politik mengaktivasi memori untuk menjadi senjata melawan kelompok-kelompok dalam masyarakat yang menjadi ancaman bagi (kekuasaan) mereka. Namun pasca tumbangnya rejim Orde Baru pada 1998, struktur ingatan tersebut mulai mendapatkan tantangan dari berbagai pihak yang mencoba mendekonstruksi realitas bentukan Orde Baru tersebut. Mendekonstruksi memori kolektif yang telah mapan selama berpuluh-puluh tahun dalam masyarakat bukan perkara mudah, namun juga bukan suatu hal yang mustahil. Karena menurut Maurice Halbwachs (dalam Veorvsek, 2013), memori kolektif adalah hasil konstruksi sosial yang karenanya dapat di-dekonstruksi. Memori bukan-lah sejarah, meskipun batas-batas antara keduanya seringkali kabur. Claudio Fogu (dalam Veorvsek, 2013) bahkan tegas mengatakan, “Memory is not history, least of all in the academic sense, but it is sometimes made from similar material”. Tidak seperti sejarah, memori tidak berkaitan dengan fakta-fakta objektif, melainkan bagaimana sebuah peristiwa di masa lalu dipahami. Mengenai memori, sejarawan Amerika Martin Duberman menambahkan, “The past will always remain ‘uncompleted’: we will never grasp its meaning whole, never understand its influence over our lives to the extent we might like, nor be able to free ourselves from that influence to the degree may might wish”. Pada akhirnya, memori kolektif adalah hasil dari proses konstruksi yang berasal dari pikiran-pikiran dan tindakan-tindakan manusia. Karenanya, memori muncul dalam banyak ‘wajah’ yang akan saling melengkapi sehingga narasi tentang masa lalu akan menjadi ‘utuh’. Namun ketika memori-memori tersebut bertentangan satu dengan yang lain, yang akan terjadi adalah kontestasi untuk menjadikan memori tertentu sebagai struktur memori kolektif yang dominan dan meminggirkan versi memori yang lain.
II.3 Film, Ideologi, dan Representasi Film merupakan salah satu bentuk media komunikasi massa. Film tidak dimaknai sebagai sebuah karya seni semata, melainkan sebuah medium komunikasi yang beroperasi di masyarakat. Sebagai medium komunikasi massa, film mencerminkan ideologi dari pembuatnya yaitu sang sutradara dan penulis cerita. Raymond William (dalam Eriyanto, 2001) mengkategorikan penggunaan ideologi dalam 3 ranah. Pertama, sebuah sistem kepercayaan yang dimiliki oleh kelompok atau kelas tertentu. Definisi ini terutama dipakai oleh kalangan psikolog yang melihat ideologi sebagai seperangkat sikap yang dibentuk dan diorganisasikan dalam bentuk yang koheren. Meskipun ideologi di sini terlihat sebagai sikap yang dimiliki seseorang, tetapi ideologi di sini tidak dipahami sebagai sesuatu yang ada dalam diri individu sendiri, melainkan diterima dari masyarakat. Ideologi bukan sistem unik yang dibentuk oleh pengalaman sesorang, tetapi ditentukan oleh masyarakat di mana ia hidup, posisi sosial dia, pembagian kerja, dan sebagainya. Kedua, sebuah sistem kepercayaan yang dibuat – ide atau kesadaran palsu – yang bisa dilawankan dengan pengetahuan ilmiah. Ideologi dalam pengertian ini adalah seperangkat kategori yang dibuat dan kesadaran palsu di mana kelompok yang berkuasa atau dominan menggunakannya untuk mendominasi kelompok lain yang tidak dominan. Karena kelompok yang dominan mengontrol kelompok lain dengan menggunakan perangkat ideologi yang disebarkan ke dalam masyarakat, akan membuat kelompok yang didominasi melihat hubungan itu tampak natural, dan diterima sebagai kebenaran. Di sini, ideologi disebarkan lewat berbagai instrumen dari pendidikan, politik, sampai media massa. Ketiga, proses umum produksi makna dan ide. Ideologi di sini adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan produksi makna.
Ideologi yang berada di balik sebuah film muncul sebagai manifestasi ketiga ranah tersebut – sebagai sikap, kesadaran palsu, dan produksi makna, yang dimaksudkan untuk menyingkirkan gagasan orang atau kelompok tertentu. Penyingkiran itu dilakukan melalui teknik representasi. Representasi menunjuk pada bagaimana seseorang, satu kelompok, gagasan, atau pendapat tertentu ditampilkan dalam sebuah film. Eriyanto (2001) menyatakan bahwa representasi ini penting dalam dua hal. Pertama, apakah seseorang, kelompok, atau gagasan tersebut ditampilkan sebagaimana mestinya. Kata semestinya ini mengacu pada apakah seseorang atau kelompok itu ditampilkan apa adanya, ataukah diburukkan. Kedua, bagaimana representasi tersebut
ditampilkan. Dengan kata, kalimat, aksentuasi, dan bantuan gambar seperti apa seseorang, kelompok, atau gagasan tersebut ditampilkan. Dengan kata lain, film – sebagai sebuah teks yang akan dimaknai dalam interaksinya dengan khalayak, bisa digunakan sebagai sarana atau media melalui mana satu kelompok mengunggulkan diri sendiri dan memarjinalkan kelompok lain dengan menggunakan teknik representasi.
Sejak awal berkuasa, militer – sebagai kekuatan utama pendukung Orde Baru, telah memahami kekuatan film sebagai alat propaganda. Ariel Heryanto (Tempo, 2012) menyebutkan bahwa pada 15 April 1969, Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib)4 mengeluarkan keputusan tentang dibentuknya “Projek film Kopkamtib” untuk memproduksi film dokumenter sebagai “media psywar”. Selanjutnya Heryanto mengatakan bahwa jauh sebelum “Djakarta 1966” diedarkan, rezim Orde Baru telah membuat sejumlah film propaganda. Selain “Janur Kuning” (Alam Surawidjja, 1979) dan “Serangan Fajar” (Arifin C. Noer, 1981) yang membesar-besarkan jasa Soeharto dalam perang di Yogyakarta 1945, ada dua film lain bertema gejolak politik 1965: “Pengkhianatan G30S/PKI” (1984) dan “Penumpasan Sisa PKI Blitar Selatan” (1986). Film Operasi X (Misbach Yusa Biran, 1968) bertema mirip, dengan intelijen militer sebagai pahlawan. Sementara itu, beredar sebuah film drama produksi swasta hampir bersamaan waktu dengan “Djakarta 1966”, yakni “Gema Kampus 66” (Asrul Sani, 1988). Puncak dari semua film propaganda antikomunis adalah film Pengkhianatan G30S/PKI karya Arifin C. Noer. Bagi sebagian besar masyarakat, film ini menjadi satu-satunya sumber informasi resmi (sekaligus disinformasi dan misinformasi) yang tersedia, tentang apa yang mungkin terjadi di Jakarta pada 1965. Segala bentuk diskusi dan terbitan yang meragukan, apalagi berbeda dengan propaganda pemerintah, dilarang dengan ancaman hukum pidana bagi pelanggarnya. Kerangka bertutur dalam film ini membentuk kerangka utama logika-retorika masyarakat puluhan tahun berikutnya, hingga kini. Selain menjadikan film sebagai alat propaganda politik, berbagai kebijakan pemerintah Orde Baru ditujukan untuk mematikan berbagai gagasan atau 4
Menurut Laporan Komnas HAM 2012, Kopkamtib merupakan lembaga yang paling bertanggung jawab atas
kejahatan berat kemausiaan dalam kurun 1965-1966.
pemikiran yang berseberangan dengan kepentingan politik mereka. Kurnia (2004) mengatakan bahwa Pemerintah Orde Baru telah menggunakan kebijakan sensor untuk mengendalikan film sebagai instrumen pendidikan politik. Dalih menjaga stabilitas dan keamanan nasional menjadikan arah kebijakan sensor sangat politis. Namun pada September 1998, Wapres Habibie yang diangkat sebagai presiden menggantikan Soeharto, mencabut kewajiban tayang film Pengkhianatan G30S/PKI. Hal ini dilakukan untuk memberi kesan pemerintahannya berbeda dengan Orde Baru. Namun pasca 1998, para sineas mulai melakukan gugatan atas diskursus politik Orde Baru melalui film-film produksi mereka.
II.4 Film Dokumenter Bill Nichols (dalam Casebier, 1991) mengajukan dua proposisi ketika berbicara mengenai film dokumenter dan etnografi: What you see is what there was. What there was is what there would have been. (Apa yang Anda lihat adalah apa yang terjadi. Apa yang terjadi adalah apa yang akan berlangsung[di dalam film tersebut]) Proposisi “what you see is what there was”, mengajak kita untuk meyakini bahwa akses khalayak terhadap peristiwa pro-filmis (pro-filmic event) itu utuh dan tidak dimediasikan. Artinya, persepsi yang dibangun oleh khalayak mengenai peristiwa yang diangkat melalui film tersebut tidak dipengaruhi atau diintervensi oleh kamera ataupun aspek sinematik lainnya – what there was is what there would have been. Senada dengan Nichols, Michael Renov (dalam Casebier, 1991) menyatakan bahwa film dokumenter memiliki klaim ontologis sebagai “riil”, berbeda dengan film fiksi yang merupakan “ilusi dari realitas”. Dengan klaim ini, Renov bermaksud menyatakan bahwa film dokumenter menampilkan kehadiran [secara metafisik] dari peristiwa yang sedang diangkat dan menyangkal adanya intervensi konkrit dan historis yang merupakan bagian dari keseluruhan praktik sosial. Karakteristik kunci yang ditawarkan oleh film dokumenter menurut Renov adalah kehadiran (presence): the referent of the documentary being present in the experience of the documentary. Ketika sebuah objek dihadirkan dalam realitas film, maka dengan sendirinya objek akan berada dalam realitas, dan dengan demikian, objek tidak termodifikasi oleh kondisi penerimaan (the conditions of reception) dan oleh aspek sinematografi, editing, dan aspek-aspek sinematik lainnya.
Pada akhirnya, setiap dokumenter akan mencoba mengajukan “klaim-kebenaran”-nya masingmasing dan memposisikan diri mereka dalam hubungannya dengan sejarah. Begitu juga dengan film-film dokumenter mengenai peristiwa 1965 yang diproduksi pada masa dan pasca Orde baru, masing-masing mencoba untuk mengajukan klaim kebenaran sejarahnya. Klaim-klaim ini akan saling berkontestasi dalam interaksinya dengan khalayak. Dalam konteks inilah, “pembacaan teks” menjadi proses penting yang menentukan klaim-kebenaran siapa yang akan memenangkan pertarungan di medan wacana ini.
III. METODE PENELITIAN
Penelitian ini – baik dalam metodologi dan metode analisis yang akan dilakukan – memakai pendekatan penelitian kualitatif, yang berangkat dari paradigma kritis. Menurut Guba (dalam Denzin and Lincoln, 2000), paradigma adalah serangkaian keyakinan dasar yang akan memandu tindakan. Paradigma berkaitan dengan nilai-nilai yang utama dan mendasar, yang akan menentukan cara pandang peneliti dalam melihat dunia. Paradigma mengandung 4 aspek: etik (aksiologi), epistemologi, ontologi, dan metodologi. Etik berkaitan dengan posisi moral peneliti, epistemologi berkaitan dengan cara memahami dunia, ontologi adalah cara pandang terhadap hakikat realitas dan manusia, sedangkan metodologi berkaitan dengan cara mendapatkan pengetahuan mengenai dunia.
Paradigma kritis adalah pandangan yang mendefinisikan ilmu sosial sebagai suatu proses yang secara kritis berusaha mengungkap ‘the real structures’ di balik ilusi, false needs, yang dinampakkan dunia materi, dengan tujuan membantu membentuk suatu kesadaran sosial agar memperbaiki dan mengubah kondisi kehidupan manusia. Peneliti paradigma kritis melihat bahwa objek atau realitas sosial yang mereka amati merupakan penampakan realitas semu (virtual reality) atau sekedar ekspresi kesadaran palsu (false consciousness) yang dimiliki manusia, bukan merupakan suatu realitas objektif, atau realitas yang sesuai dengan ‘esensi sebenarnya’. Tujuannya antara lain untuk memperoleh temuan yang memiliki signifikansi sosial.
Pertanyaan utama dari paradigma kritis adalah adanya kekuatan-kekuatan yang berbeda dalam masyarakat yang mengontrol proses komunikasi. Paradigma kritis percaya bahwa media massa adalah sarana di mana kelompok dominan dapat mengontrol kelompok yang tidak dominan bahkan memarjinalkan mereka dengan menguasai dan mengontrol media. Karena media dikontrol oleh kelompok dominan, realitas yang sebenarnya telah terdistorsi dan palsu. Oleh karena itu, penelitian media dalam perspektif ini terutama diarahkan untuk membongkar kenyataan palsu yang sudah diselewengkan dan dipalsukan tersebut oleh kelompok dominan
untuk kepentinganya. Pada akhirnya, media dan wacana yang dikonstruksinya, harus dipahami dalam keseluruhan proses produksi dan struktur sosial.
Metode Analisis Untuk memahami proses dekonstruksi dan rekonstruksi yang terjadi, teks –film-film bertema 1965 produksi LKK, akan dianalisis dengan menggunakan metode analisis framing. Peneliti juga akan mengkaji beberapa film bertema 1965 lainnya yang diproduksi setelah reformasi sebagai kajian intertekstualitas. Analisis terhadap praktik wacana (proses produksi teks) juga akan dilakukan dengan cara melakukan wawancara mendalam dengan produser dan sutradara. Sementara analisis sosiokultural akan dilakukan melalui studi pustaka dan penelusuran sejarah. Tabel 1 Metode dan Level Analisis Tingkatan/level
Metode
Teks
Analisis Framing.
Discourse practice
Wawancara mendalam dengan produser dan sutradara.
Sociocultural practice
Studi pustaka, penelusuran sejarah.
Unit Analisis Unit analisis atau subjek penelitian ini adalah film-film bertema tragedi 1965 yang diproduksi oleh Lembaga Kreatifitas Kemanusiaan (LKK). Film-film produksi LKK dipilih karena menawarkan sebuah konstruksi baru mengenai peristiwa 1965 yang menantang diskursus yang telah mapan yang selama ini diusung oleh Orde Baru. LKK lebih banyak mengangkat perspektif korban dalam memahami peristiwa 1965 tersebut.
IV.
TEMUAN DAN ANALISIS
IV.1 Analisis Framing terhadap Film-film LKK A. Perangkat Framing Analisis terhadap film-film LKK dilakukan dengan menggunakan perangkat framing Robert N. Entman. Meski pada awalnya Entman menggunakan perangkat ini untuk menganalisis teks berita, namun pada hakikatnya model analisis tersebut juga bisa digunakan untuk menganalisis teks media lainnya. Konsep framing digunakan untuk menggambarkan proses seleksi dan menonjolkan aspek tertentu dari realitas oleh media (Entman dalam Eriyanto, 2002). Framing memberikan tekanan lebih pada bagaimana teks komunikasi ditampilkan dan bagian mana yang ditonjolkan/dianggap penting oleh pembuat teks. Entman melihat framing dalam dua dimensi, yaitu: Seleksi isu
Aspek ini berhubungan dengan pemilihan fakta. Dari realitas yang kompleks dan beragam itu, aspek mana yang diseleksi untuk ditampilkan? Dari proses ini selalu terkandung di dalamnya ada bagian peristiwa/isu yang dimasukkan (included), tetapi ada juga bagian yang dikeluarkan (excluded). Tidak semua aspek atau bagian dari isu ditampilkan, produsen teks memilih aspek tertentu dari suatu isu.
Penonjolan aspek Aspek ini berhubungan dengan penulisan fakta. Ketika aspek tertentu dari tertentu dari isu
suatu peristiwa/isu tersebut telah dipilih, bagaimana aspek tersebut ditulis? Hal ini sangat berkaitan dengan pemakaian kata, kalimat, gambar, dan citra tertentu untuk ditampilkan kepada khalayak. (dimodifikasi dari Eriyanto, 2003)
Dalam konsepsi Entman, framing merujuk pada pemberian definisi, penjelasan, evaluasi, dan rekomendasi dalam suatu wacana untuk menekankan kerangka berpikir tertentu terhadap peristiwa yang diwacanakan. Konsepsi tersebut menggambarkan bagaimana peristiwa dimaknai dan ditandai oleh para pembuat/produsen teks.
Define problems
Bagaimana suatu peristiwa/isu dilihat? Sebagai apa? Atau
(Pendefinisian masalah)
sebagai masalah apa?
Diagnose causes
Peristiwa itu dilihat disebabkan oleh apa? Apa yang dianggap
(Memperkirakan masalah
sebagai penyebab dari suatu masalah? Siapa (actor) yang
atau sumber masalah)
dianggap sebagai penyebab masalah?
Make moral judgement
Nilai moral apa yang disajikan untuk menjelaskan masalah?
(membuat keputusan moral)
Nilai moral apa yang dipakai untuk melegitimasi atau mendelegitimasi suatu tindakan?
Treatment Recommendation
penyelesaian apa yang ditawarkan untuk mengatasi masalah/isu?
(Menekankan penyelesaian)
Jalan apa yang ditawarkan dan harus ditempuh untuk mengatasi masalah? (Eriyanto, 2003)
B. Analisis Framing Film Menyemai Terang dalam Kelam Film Menyemai Terang dalam Kelam diproduksi oleh Lembaga Kreatifitas Kemanusiaan (LKK) dengan dukungan YSIK, para sahabat dan relawan dari FFTV – IKJ, dan NOVIB. Film ini mencoba untuk menggambarkan perjuangan para penyintas tragedi 1965 maupun keluarganya untuk tetap menjadi manusia di bawah tekanan, diskriminasi, dan stigma sebagai ‘komunis/PKI’ yang terus dilekatkan kepada mereka hingga saat ini (hingga saat film tersebut dibuat). Dalam film ini, narasi yang dituturkan oleh para eks tahanan politik (tapol), para exiles (mereka yang lari atau tertahan di luar negeri), istri dan anak-anak dari orang-orang yang ditahan maupun dibunuh pada peristiwa 1965 dikonfrontasikan dengan catatan resmi negara (sejarah versi Orde Baru) yang digambarkan melalui diorama-diorama di Lubang Buaya. Berikut analisis framing terhadap film Menyemai Terang dalam Kelam:
Tabel 2 Seleksi Isu (Menyemai Terang dalam Kelam) Seleksi Isu
Tindak pembunuhan dan penangkapan besar-besaran terhadap orang-orang yang dituduh komunis pada 1965 – 1966 merupakan sebuah tragedi kemanusiaan.
Penonjolan aspek
-
tertentu dari isu
Pengalaman
hidup
bermasyarakat
dengan
label
sebagai
“PKI/komunis/anak
PKI/keluarga PKI” -
Penekanan pada luka dan trauma yang terus dibawa oleh para penyintas (survivor) hingga kini.
-
Banyak dari mereka yang dituduh terlibat dalam Gerakan 30 September sebetulnya tidak tahu menahu atau tidak tersangkut paut dengan peristiwa tersebut, apalagi anakcucu mereka yang ikut menjadi korban praktik diskriminasi akibat label “PKI” yang disandang ayah atau ibu mereka.
-
Bahwa sebagian dari para penyintas (survivor) ini tidak menyimpan dendam atas apa yang telah terjadi pada diri mereka. Yang menjadi prioritas mereka adalah melanjutkan hidup.
-
Penderitaan akibat kekerasan yang sistemik dan kebijakan yang diskriminatif ternyata melahirkan orang-orang yang mampu menghadapi tantangan hidup sehari-hari.
-
Perjumpaan Ilham Aidit (putra DN Aidit) dan Sarwo Edhi Wibowo (Komandan RPKAD pada waktu peristiwa terjadi) sebagai pengingatnya pentingnya upaya rekonsiliasi naisonal.
Tabel 3 Perangkat Framing (Menyemai Terang dalam Kelam) Define problems (Pendefinisian
-
masalah)
Peristiwa 1965 adalah sebuah tragedi kemanusiaan yang merenggut ribuan nyawa.
-
Telah terjadi penyelewengan dan pembungkaman sejarah atas apa yang terjadi pada masa-masa itu.
Diagnose causes
-
Orang-orang yang dibunuh, ditahan, mengamali penyiksaan dan
(Memperkirakan masalah atau
diskriminasi akibat dituduh sebagai PKI/komunis adalah korban dari
sumber masalah)
kebijakan negara. -
Peristiswa pembunuhan dan penangkapan besar-besaran terhadap mereka yang dituduh komunis pada tahun 1965 – 1966 diawali dari
suatu peristiwa pada tanggal 30 September 1965. Pada saat itu, Pasukan Cakrabirawa menculik beberapa orang jenderal dan membunuh mereka. Peristiwa satu malam ini memicu pembunuhan besar-besaran yang memakan korban hingga 500.000 jiwa, belum termasuk yang mengalami penahanan dan berbagai tindak kekerasan lainnya. Pembunuhan tidak terjadi seketika, tetapi didahului oleh konflik horisontal yang telah terjadi sebelumnya. Dengan provokasi militer, menyebabkan terjadinya pembunuhan besar-besaran di seluruh wilayah Indonesia, terutama di Jawa dan Bali. Make moral judgement (membuat
-
keputusan moral)
Dr. Asvi Warman Adam (sejarawan, peneliti LIPI): telah terjadi penyelewengan dan pembungkaman sejarah.
-
Abdurahman Wahid (mantan Presiden RI): harus ada keberanian untuk mengungkap masa lalu jika ingin masa depan bangsa ini cerah; harus ada penyelidikan mendalam mengenai apa yang terjadi pada tahun 1965 – 1966; harus ada rekonsiliasi nasional, sementara itu hidup harus terus berjalan; ini bukan hanya persoalan korban, tapi persoalan bangsa, bangsa ini lah yang harus menyembuh luka-luka tersebut.
-
Eep Saefullah Fatah (pengamat politik): stigma yang dilekatkan kepada orang-orang yang dituduh PKI adalah mereka dianggap sebagai momok yang sangat menakutkan.
-
Asvinawati (pengacara): banyak orang yang hancur hidupnya karena stigma sebagai PKI.
Treatment Recommendation (Menekankan penyelesaian)
-
Harus ada ruang bagi korban untuk menuturkan pengalamannya.
-
Harus ada upaya untuk mengungkapkan kebenaran atas apa yang terjadi pada saat itu.
-
Harus ada rekonsiliasi nasional.
C. Analisis Framing Film Tumbuh dalam Badai Film Tumbuh dalam Badai mengisahkan perjuangan anak-anak yang hidup dalam tekanan diskriminasi karena orang tua mereka menjadi korban tragedi kemanusiaan 1965-1966. Mereka digambarkan sebagai individu yang pantang menyerah, tumbuh dalam berbagai kondisi untuk bertahan hidup dan mengembangkan dirinya menjadi manusia baru. Selain mereka, film ini juga
menampilkan Nani Nurahman, putri Jenderal Soetoyo yang diabadikan sebagai Pahlawan Revolusi, yang juga menganggap dirinya sebagai korban dari peristiwa G 30 S, meski diskursus Orde Baru menempatkannya sebagai pemenang. Film ini diproduksi oleh LKK dengan dukungan dari para relawan FFTV-IKJ. Tabel 4 Seleksi Isu (Tumbuh dalam Badai) Seleksi Isu
Perjuangan anak-anak yang orang tuanya menjadi korban dalam tragedi 1965 untuk tumbuh, meski dalam tekanan stigma dan diskriminasi.
Penonjolan aspek tertentu dari isu
-
Pengalaman mengajarkan mereka untuk kuat menghadapi kerikil kehidupan dengan ketenangan/kenyamanan jiwa.
-
Berkesenian adalah sebuah pilihan hidup, sesuatu yang mereka bisa dan mereka upayakan sejak kecil, karena banyak kesempatan lain yang tertutup bagi mereka seperti untuk bersekolah, berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, dll.
Tabel 5 Perangkat Framing (Tumbuh dalam Badai) Define problems (Pendefinisian masalah)
-
Tragedi 1965-1966 merupakan sejarah kelam Bangsa Indonesia yang menyebabkan ratusan ribu orang dibantai dan dipenjarakan tanpa pengadilan karena dituduh terlibat Gerakan 30 September.
-
Banyak orang yang tidak tahu-menahu atau tidak ada sangkut pautnya dengan gerakan tersebut yang menjadi korban, baik dibunuh maupun dipenjara, termasuk anak-anak mereka yang setelah peristiwa tersebut harus hidup dalam stigma dan diskriminasi sebagai “anak PKI”.
Diagnose causes (Memperkirakan masalah atau sumber masalah)
-
Anak-anak korban tragedi 1965 menanggung akibat dari sesuatu yang tidak mereka lakukan atau tidak mereka ketahui.
-
Anak-anak itu mengalami trauma akibat stigma dan diskriminasi yang mereka tanggung selama bertahun-tahun tersebut.
Make moral judgement (membuat keputusan moral)
-
Wangi Indrya (dalang wayang kulit, penari topeng, anak mantan tapol): Hidup itu seperti lakon wayang, ada yang mengatur, harus kuat dan tabah, harus dijalani dengan kenyamanan hati agar tidak menjadi beban.
-
Bondan Nusantara (seniman ketoprak, anak mantan tapol): Saya berterima kasih kepada teman-teman yang dulu mengucilkan saya. Hal itu membuat saya memahami bahwa dunia itu keras, bahwa seseorang harus berusaha untuk survived, bahwa anak PKI juga bisa berbuat sesuatu untuk masyarakat. Kesenian akan menjadikan masyakat atau orang-orang tidak menyukai tindakan kekerasan, tindakan-tindakan yang anarkis.
-
I Sandyawan Sumardi SJ (aktivis HAM): Stigma dan diskriminasi yang membuat hidup mereka menderita bukan hanya tanggung jawab bangsa untuk menyelesaikannya, tapi juga menjadi tanggung jawab negara, karena apa yang terjadi adalah pelanggaran HAM yang dilakukan negara pada saat itu. Politik pembungkaman harus diakhiri.
Treatment Recommendation (Menekankan penyelesaian)
-
Nani Nurahman (psikolog, anak Jenderal Soetoyo): Stigma tersebut semestinya bisa dihilangkan oleh pemerintah, oleh pihak-pihak tertentu, termasuk peran media massa juga penting. Apalagi anak-anak ini tidak tahu menahu apa yang dilakukan atau dialami oleh orang tua mereka.
-
Rehabilitasi; korban harus dihantar dari statusnya sebagai korban menjadi survivor, orang yang bangkit, orang yang berdaya, orang yang percaya bahwa hari esok itu masih ada harapan.
-
Politik pembungkaman harus dilawan dengan politik ingatan, dengan memberi ruang bagi korban untuk bertutur/bernarasi. Proses bertutur ini juga bisa menjadi proses penyembuhan bagi mereka.
-
Rekonsiliasi dalam arti sesungguhnya, bukan rekonsiliasi untuk impunitas.
D. Analisis Framing Film Seni Ditating Jaman Film ini mengungkapkan pengalaman beberapa seniman LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat), sebuah organisasi kebudayaan yang dilarang oleh Pemerintah Orde Baru karena dianggap sebagai underbouw PKI. Beberapa anggota LEKRA yang terkenal adalah Pramoedya Ananta Toer, Rival Apin, dan Hersri Setiawan. Di bawah penindasan dan penistaan dari rejim Orde Baru, para seniman ini terus berkarya, baik di dalam maupun luar penjara. Mereka membuktikan bahwa seni tak bisa dipadamkan oleh kekuasaan apa pun juga. Film ini juga menampilkan pendukung Manifes Kebudayaan (Manikebu) yang lahir sebagai reaksi atas keberadaan LEKRA, sejarawan, ahli hukum, seniman dan kurator seni rupa, yang ikut memberikan warna pada film ini. Film ini diproduksi oleh LKK dengan dukungan dari TAPOL (The Indonesia Human Rights Campaign, UK), sebuah lembaga pemantau situasi HAM di Indonesia yang berbasis di London. Tabel 6 Seleksi Isu (Seni Ditating Jaman) Seleksi Isu
Pembatasan ekspresi berkesenian seniman-seniman LEKRA oleh rejim Orde Baru karena dianggap sebagai organisasi sayap PKI.
Penonjolan aspek tertentu dari isu
-
Segala sesuatu yang dianggap berafiliasi dengan PKI diberangus oleh Orde Baru, termasuk LEKRA. Anggotanya banyak yang dibunuh dan dipenjarakan.
-
Meski mati sebagai sebuah organisasi, jiwa kesenian mereka tetap hidup, bahkan banyak yang tetap produktif dan mampu berkarya meski berada di penjara.
-
Ada daftar yang dikeluarkan oleh Kemendikbud yang berisi sejumlah nama yang tidak boleh menulis, yang karyanya tidak boleh diterbitkan, dan buku-buku yang ada di sekolah yang harus disingkirkan.
-
Pelarangan karya-karya intelektual merupakan tindakan yang merendahkan martabat
sebagai sebuah bangsa.
Tabel 7 Perangkat Framing (Seni Ditating Jaman) Define problems (Pendefinisian masalah)
-
LEKRA dianggap sebagai organisasi sayap PKI sehingga ikut dilarang dengan dilarangnya PKI. Karenanya, ekspresi kesenian anggota LEKRA dibatasi atau bahkan dilarang berkarya sama sekali oleh rejim Orde Baru.
Diagnose causes (Memperkirakan masalah atau sumber masalah)
-
Ada kesalahpahaman dalam memaknai manifesto pertama LEKRA yang menyatakan bahwa “politik itu panglima”. Yang dimaksud oleh manifesto tersebut adalah seni atau budaya sejatinya ditujukan untuk kesejahteraan rakyat.
Make moral judgement (membuat keputusan moral)
-
Oey Hay Djoen (penerjemah, ketua LEKRA): Tidak ada hubungan organisasi antara LEKRA dan PKI.
-
Hilmar Farid (sejarawan): Lanskap kesenian Indonesia telah diubah. Banyak seniman dan pekerja kebudayaan yang dibunuh, hilang, atau dipenjara. Setelah keluar dari penjara, banyak di antara mereka yang tidak diijinkan berkarya, atau direpresi jika berkarya. Orang-orang ini dibunuh secara perdata.
-
Eros Djarot (politisi, artis): Berkesenian yang serius, yang pusat inspirasinya adalah kemanusiaan itu tidak akan lekang dimakan jaman, tidak bisa dikalahkan oleh apa pun.
Treatment Recommendation (Menekankan penyelesaian)
-----
E. Analisis Framing Film Perempuan Tertuduh Perempuan yang tertuduh mengisahkan pengalaman para perempuan yang setelah peristiwa Gerakan 30 September menjadi tahanan politik Orde Baru karena dituduh sebagai anggota Gerwani, meski sebetulnya banyak di antara mereka yang tidak ada sangkut pautnya dengan peristiwa tersebut atau bahkan dengan Gerwani. Oleh rejim Orde Baru, Gerwani dianggap sebagai organisasi sayap PKI yang anggotanya telah melakukan tindakan amoral terhadap enam jenderal yang dibunuh pada malam tanggal 30 September. “Tindakan amoral” tersebut diabadikan dalam sebuah relief di Monumen di Lubang Buaya dan menjadi catatan sejarah resmi versi rejim Orde Baru. Film ini diproduksi oleh LKK dengan dukungan dari NOVIB dan relawan FFTV-IKJ.
Tabel 8 Seleksi Isu (Perempuan yang Tertuduh) Seleksi Isu
Sejarah Indonesia banyak ditulis dari tokoh laki-laki atau saksi laki-laki (bias laki-laki), sementara perempuan sebetulnya juga memiliki banyak cerita dan tutur mengenai peristiwa yang terjadi pada 1965.
Penonjolan aspek tertentu dari isu
-
Ada dua kategori tahanan: mereka yang ditahan karena merupakan aktivis (dianggap sebagai Gerwani) dan mereka yang ditahan karena menjadi istri dari seorang aktivis (yang dianggap sebagai anggota PKI).
-
Pengalaman khusus yang dialami oleh perempuan pada masa-masa penahanan.
Tabel 9 Perangkat Framing (Perempuan yang Tertuduh) Define problems (Pendefinisian masalah)
-
Perempuan-perempuan yang ditahan karena dituduh sebagai anggota Gerwani dan terlibat dalam peristiwa G 30 S, tidak semuanya anggota Gerwani, tapi bergabung dengan organisasi-organisasi lainnya. Bahkan di antara mereka ada yang tidak menjadi anggota dalam organisasi apa pun.
-
Di kamp-kamp penahanan, perempuan tidak hanya mengalami kekerasan fisik, tapi juga kekerasan seksual.
-
Trauma yang terus dibawa oleh para perempuan akibat kekerasan yang mereka alami selama masa penahanan.
-
Anak-anak dan keluarga dari orang yang dituduh sebagai PKI atau simpatisannya mendapatkan pengucilan dari masyarakat..
-
Ada titik krisis dalam membangun nation building sebagai Indonesia.
-
Sejarah 1965 hanya dikisahkan sebagai sebuah cerita penumpasan terhadap gerakan pemberontakan, namun sebetulnya ada cerita-cerita pedih para korban yang berdampak hingga saat ini.
-
Ada penyelewengan sejarah untuk kepentingan politik tertentu.
Make moral judgement (membuat keputusan moral)
-
Kamala Chandrakirana (Ketua Komnas Perempuan) tentang relief yang menggambarkan Gerwani di Monumen Lubang Buaya: Kita tidak ingin memulai dari sebuah simbol. Kita ingin memulai dengan mengubah wawasan dan pengetahuan masyarakat secara umum, termasuk yang sekarang duduk di institusi-institusi negara. Dari situ kita secara bersamasama akan memiliki satu kesadaran bahwa selama ini simbol yang kita gunakan untuk merepresentasikan satu versi sejarah kita itu sudah tidak relevan lagi. Bukan pembongkaran yang kita perlukan, tapi biarkan ia menjadi catatan sejarah itu sendiri, bahwa ia merupakan produk dari sebuah rejim untuk suatu agenda politik tertentu. Yang harus kita buat adalah monumen lain di tempat yang sama sehingga anak-cucu kita bisa paham bahwa sejarah itu telah dipermainkan oleh siapa pun yang sedang memiliki kepentingan.
Treatment Recommendation (Menekankan penyelesaian)
-
Sejelek apa pun, sejarah harus diluruskan.
-
Permintaan maaf negara kepada rakyat Indonesia, khususnya korban, atas
Diagnose causes (Memperkirakan masalah atau sumber masalah)
apa yang terjadi. -
Perlakuan yang sama terhadap setiap orang.
IV.2 ANALISIS A. Perlawanan terhadap Diskursus (counter-discourse) Orde Baru Dari analisis framing terhadap empat film tersebut, terlihat bahwa LKK mencoba untuk menceritakan sejarah “1965” dengan mengambil sudut pandang korban, kelompok yang dalam diskursus Orde Baru tidak pernah mendapatkan ruang untuk menuturkan pengalamannya. Filmfilm LKK menggunakan teknik sinematografi yang sederhana, mengandalkan kekuatan tutur dari para pelaku sejarah yang dikombinasikan dengan potongan-potongan arsip dan dokumen sejarah serta hasil wawancara dengan para sejarawan, politisi, seniman, negarawan, dan tokoh-tokoh lain. Namun di balik kesederhanaannya, film-film tersebut memiliki satu pesan yang sangat kuat yang ingin disampaikan. Sang produser, Putu Oka Sukanta, mengatakan: “Walau secara artistik tidak memadai, tapi dia (film-film tersebut, ed) mampu merekonstruksi penderitaan dan semangat para korban untuk melawan proses dehumanisasi” Senada dengan Sukanta, IGP Wiranegara yang menyutradai dua dari empat film tersebut mengungkapkan, bahwa sedari awal film-film ini tidak dimaksudkan untuk menggambarkan amarah dan dendam dari para korban politik tahun 1965 dan keluarganya, tetapi justru ingin menggambarkan kekuatan mereka dalam menjalani hidup di bawah tekanan dan diskriminasi. Meski demikian, baik Sukanta dan Wiranegara menginginkan Negara untuk segera mengambil langkah-langkah untuk menyelesaikan persoalan ini, terutama untuk meluruskan sejarah dan menjamin bahwa kejahatan yang serupa tidak akan terulang lagi di masa datang. Sukanta berharap film-film produksinya akan menginspirasi lebih banyak orang untuk ikut bekerja mengungkapkan hal-hal yang disembunyikan oleh kekuasaan sehingga pemerintah menyadari bahwa mereka pernah melakukan kekerasan terhadap rakyatnya. Bagi Sukanta, film hanya mediumnya saja, bukan tujuan akhir yang ingin dicapai. Membuat film mengenai peristiwa 1965 dengan sudut pandang baru, pada akhirnya merupakan sebuah pilihan yang secara sadar diambil oleh Sukanta dan kawan-kawan. Melalui LKK,
lembaga yang mereka bangun bersama, upaya dekonstruksi terhadap diskursus Orde Baru yang selama ini menempatkan orang-orang yang dituduh sebagai PKI sebagai penjahat, amoral, bahaya laten, dan stigma lainnya mulai dilakukan. Membongkar diskursus yang telah mapan memang tidak mudah, tapi LKK memilih untuk melakukan upaya ini melalui film-film produksi mereka. Romo Sandi, yang juga seorang aktivis, dalam salah satu adegan di film Tumbuh dalam Badai mengatakan dengan tegas, “Politik pembungkaman harus dilawan dengan politik ingatan, dengan memberi ruang bagi korban untuk bertutur/bernarasi”. Ruang ini-lah yang pada masa Orde Baru diberi pembatas yang sangat tinggi untuk memastikan agar ide-ide dan pemikiran yang mungkin berseberangan dengan kepentingan politik mereka bisa dibatasi. Tidak lama setelah setelah terjadinya peristiwa Gerakan 30 September, pemerintah Orde Baru telah mengambil langkah-langkah untuk membatasi informasi dan membangun diskursus tentang peristiwa 1965 dan bahaya komunisme sebagai ideologi penyokong PKI. Upaya tersebut dilakukan melalui kontrol atas berbagai kebijakan komunikasi negara. KKPK (2014) mencatat setidaknya ada tiga jenis pembatasan yang dilakukan oleh negara, yaitu: 1.
Pembatasan terhadap media massa. Sejak awal berdiri, Orde Baru melakukan pembungkaman secara sistematis terhadap pers. Pasca persitiwa 1965, 46 dari 163 surat kabar ditutup dengan paksa. Selama Orde Baru berkuasa, terdapat dua peraturan perundangan-undangan yang mengatur media, yaitu UU Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers yang menjadi acuan surat izin terbit (SIT) dan UU Nomor 21 Tahun 1982 tentang Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Meskipun UU Nomor 11 Tahun 1966 seolah-olah bersifat demokratis karena menyebutkan “terhadap pers tidak dikenakan sensor dan pembredelan” dan “tidak diperlukan Surat Izin Penerbitan”, bahkan kebebasan pers sesuai dengan hak asasi warga negara dijamin. Namun Pasal 20 Ayat 1 Huruf a menentukan bahwa selama masa peralihan berlakunya undang-undang ini, penerbitan pers diwajibkan memiliki SIT, sampai ketentuan ini dicabut oleh pemerintah atau DPR. Pasal 11 menentukan penerbitan pers yang bertentangan dengan Pancasila dilarang. Selain pasal-pasal yang membatasi kebebasan pers, menurut undang-undang tersebut, Dewan Pers diketuai oleh Menteri Penerangan. Selain itu, juga terdapat surat izin cetak yang dikeluarkan oleh Laksus Pangkopkamtib.
Rezim Orde Baru kemudian mengubah UU No. 11/1966 dengan UU No. 21/1982. Dalam Undang-undang ini pasal pidana bertambah, demikian juga hukumannya. Pemerintah kemudian menerbitkan Permenpen No.1/Per/Menpen/1984 tentang Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Saat itu dikenal pula istilah “budaya telepon”, yaitu pers yang melanggar akan mendapat teguran langsung dari penguasa. 2.
Pembatasan terhadap penerbitan dan peredaran buku. Pemerintah Orde Baru bisa disebut sebagai pemegang rekor dalam pelarangan buku. Selama hampir 31 tahun, Orde Baru telah melarang lebih dari 2000 judul buku. Pelarangan pertama dimulai tak lama setelah Peristiwa Gerakan 30 September, yaitu pada 30 November 1965. Saat itu Pembantu Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan Bidang Teknis Pendidikan, Drs. K. Setiadi Kartohadikusumo, melarang penerbitan 70 judul buku. Pelarangan ini disusul dengan pelarangan membabi-buta terhadap semua karya dari 87 pengarang yang dituduh sebagai bagian kelompok kiri yang harus dilibas habis dari bumi Indoneisa yang bersendikan Pancasila. Kebijakan ini terus berlangsung hingga kini, yaitu melarang buku bukan karena isinya tapi lebih sering karena “noda politik” si penulis, editor, dan penerbit, yang sama sekali tak ada hubungannya dengan isi buku. Putu Oka Sukanta, produser film-film LKK, adalah salah satu penulis yang karyanya dilarang diterbitkan pada masa Orde Baru karena keterlibatannya sebagai anggota LEKRA.
3.
Pembatasan terhadap film dan kesenian rakyat. Selain seksi perfilman Kopkamtib, pemerintah Orde Baru juga meneruskan kebijakan zaman kolonial Belanda dan pemerintahan Soekarno yang membentuk badan sensor. Pasca peristiwa Gerakan 30 September, terjadi pembersihan terhadap semua unsur kiri di tubuh Badan Sensor Film (BSF). Secara bertahap, pemerintah Orde Baru mengalihkan kontrol lembaga sensor yang tadinya berada di tangan para wakil masyarakat kepada para agen keamanan, terutama kepolisian dan BAKIN. Pada pertengahan 1970-an, pemerintah membuat regulasi yang mengatur kemungkinan adanya intervensi pemerintah lokal dalam mengawasi film. Hal ini disusul dengan dibentuknya Badan Pembinaan Perfilman Daerah (Bapfida) pada tahun 1975. Bapfida ditunjuk oleh gubernur dan dikepalai oleh kepala wilayah departemen, termasuk aparat keamanan. Pada tahun 1977, kewenangan Bapfida
ditambah dengan kewenangan untuk menyensor film yang diputar di wilayahnya. Jika BSF bertugas untuk menggunting adegan film yang memiliki potensi berbahaya, maka Bapfida memiliki kewenangan untuk melarang peredaran sebuah film di tingkat provinsi. Pada tahun 1992 BSF diganti menjadi Lembaga Sensor Film (LSF). Pada 1994, pemerintah Orde Baru mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1994 tentang Lembaga Sensor Film. Peraturan tersebut menyatakan bahwa semua film yang mempromosikan sebuah analisis atau ideologi politik atas tuduhan-tuduhan yang keliru, yang mungkin dipandang mengganggu stabilitas nasional, secara otomatis akan dilarang. Pemerintah juga membuat berbagai aturan penyensoran yang lebih detil, komprehensif, dan bersifat publik. Dengan berbagai pembatasan yang dilakukan oleh rejim Orde Baru tersebut, ide dan informasi lain mengenai peristiwa 1965 yang berseberangan dengan kepentingan politik Orde Baru tidak bisa hidup. Termasuk film-film yang mempromosikan analisis dan cara pandang yang berbeda mengenai peristiwa tersebut. Pembatasan itu juga telah menyebabkan dua generasi pasca 1965 mengalami buta sejarah atas apa yang terjadi pada masa-masa itu (Heryanto, 2012). Atas pertimbangan itu pula, Sukanta dan kawan-kawan yang tergabung dalam LKK, tergerak untuk memproduksi sebuah film yang bisa menjadi referensi sejarah bagi generasi penerus bangsa. Sebuah versi sejarah yang berbeda dengan versi sejarah Orde Baru, yang memberikan ruang bagi korban politik 1965 menceritakan peristiwa itu dari sudut pandang mereka. Namun tentu saja, ada kesadaran bahwa ‘realitas’ itu berwajah ganda atau plural. Tragedi 1965 sendiri telah menimbulkan berbagai interpretasi subjektif dalam diri aktor-aktor sosial: bagi rejim Orde Baru, bagi para pelaku pembantaian, bagi para korban dan keluarganya, maupun bagi masyarakat luas. Karenanya, harus ada ruang untuk memastikan agar berbagai interpretasi subjektif tersebut dapat ‘berdialog’ satu sama lain, bukan sebuah kebijakan yang justru memberangus interpretasi yang berbeda sehingga muncul sebuah realitas par excellence yang tampil sebagai realitas utama (paramount reality). Mengenai realitas par excellence dan upaya Orde Baru memberangus interpretasi yang berbeda ini, dalam sebuah scene di film Seni ditating Jaman, Leon Agusta menyatakan: “Pelarangan karya intelektual merupakan suatu tindakan yang merendahkan martabat kita sebagai sebuah bangsa”.
B. Film Dokumenter dan Klaim Kebenaran Film dokumenter dipilih oleh LKK sebagai medium untuk menceritakan sejarah tentang peristiwa 1965 dari sudut pandang yang mereka pilih. Mengenai film dokumenter, Bill Nichols (dalam Casebier, 1991) mengajukan dua proposisi: What you see is what there was. What there was is what there would have been. (Apa yang Anda lihat adalah apa yang terjadi. Apa yang terjadi adalah apa yang akan berlangsung[di dalam film tersebut]). Proposisi “what you see is what there was”, mengajak kita untuk meyakini bahwa akses khalayak terhadap peristiwa profilmis (pro-filmic event) itu utuh dan tidak dimediasikan. Artinya, persepsi yang dibangun oleh khalayak mengenai peristiwa yang diangkat melalui film tersebut tidak dipengaruhi atau diintervensi oleh kamera ataupun aspek sinematik lainnya – what there was is what there would have been.
Dengan klaim ontologis sebagai yang “riil” ini pula, rejim Orde Baru juga menggunakan film dokumenter untuk membangun struktur logika berpikir masyarakat tentang tragedi 1965. Sejak awal berkuasa, militer – sebagai kekuatan utama pendukung Orde Baru, telah memahami kekuatan film sebagai alat propaganda. Ariel Heryanto (Tempo, 2012) menyebutkan bahwa pada 15 April 1969, Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib)5 mengeluarkan keputusan tentang dibentuknya “Projek film Kopkamtib” untuk memproduksi film dokumenter sebagai “media psywar”. Bahkan jauh sebelum “Djakarta 1966” diedarkan, rezim Orde Baru telah membuat sejumlah film propaganda. Selain “Janur Kuning” (Alam Surawidjja, 1979) dan “Serangan Fajar” (Arifin C. Noer, 1981) yang membesar-besarkan jasa Soeharto dalam perang di Yogyakarta 1945, ada dua film lain bertema gejolak politik 1965: “Pengkhianatan G30S/PKI” (1984) dan “Penumpasan Sisa PKI Blitar Selatan” (1986). Film Operasi X (Misbach Yusa Biran, 1968) bertema mirip, dengan intelijen militer sebagai pahlawan. Sementara itu, beredar sebuah film drama produksi swasta hampir bersamaan waktu dengan “Djakarta 1966”, yakni “Gema Kampus 66” (Asrul Sani, 1988). Puncak dari semua film propaganda antikomunis adalah film Pengkhianatan G30S/PKI karya Arifin C. Noer. Bagi 5
Menurut Laporan Komnas HAM 2012, Kopkamtib merupakan lembaga yang paling bertanggung jawab atas
kejahatan berat kemausiaan dalam kurun 1965-1966.
sebagian besar masyarakat, film ini menjadi satu-satunya sumber informasi resmi (sekaligus disinformasi dan misinformasi) yang tersedia, tentang apa yang mungkin terjadi di Jakarta pada 1965. Segala bentuk diskusi dan terbitan yang meragukan, apalagi berbeda dengan propaganda pemerintah, dilarang dengan ancaman hukuman pidana bagi pelanggarnya. Kerangka bertutur dalam film ini membentuk kerangka utama logika-retorika masyarakat puluhan tahun berikutnya, hingga kini. Mengenai hal ini, Wiranegara mengungkapkan bahwa klaim atas kebenaran yang menjadi kelebihan dari film dokumenter, pada saat yang bersamaan juga akan menjadi kelemahan jika tidak digunakan dengan bijak. “Yang harus diperhatikan adalah jangan sampai film dokumenter digunakan untuk kebohongan. Kita tahu bahwa film itu media yang tanpa tuan. Kalau kita salah-gunakan, ya kita tahu sendiri lah akibatnya. Orang lain mungkin tidak tahu, tapi batin kita lah yang tahu”.
Selain menjadikan film sebagai alat propaganda politik, berbagai kebijakan pemerintah Orde Baru ditujukan untuk mematikan berbagai gagasan atau pemikiran yang berseberangan dengan kepentingan politik mereka. Kurnia (2004) mengatakan bahwa Orde Baru telah menggunakan kebijakan sensor untuk mengendalikan film sebagai instrumen pendidikan politik. Dalih menjaga stabilitas dan keamanan nasional menjadikan arah kebijakan sensor sangat politis. Namun pada September 1998, Wapres Habibie yang diangkat sebagai presiden menggantikan Soeharto, mencabut kewajiban tayang film Pengkhianatan G30S/PKI. Hal ini dilakukan untuk memberi kesan pemerintahannya berbeda dengan Orde Baru. Disusul kemudian, para sineas – baik aktivis, organisasi-organisasi HAM, maupun sineas profesional, mulai melakukan gugatan atas diskursus politik Orde Baru melalui film-film produksi mereka. Salah satunya adalah LKK yang secara sadar ingin memberikan kontribusi bagi upaya untuk membangun kembali memori kolektif Bangsa Indonesia mengenai peristiwa 1965 melalui film-film produksi mereka.
V. KESIMPULAN
Peristiwa 1965 di Indonesia melahirkan berbagai intentional memory6 mengenai siapa korban, siapa pelaku kejahatan, berapa korban yang jatuh, berapa yang terbunuh saat ‘operasi penumpasan’, berapa yang dipenjarakan, dan lain-lain. Sementara memori yang spontan (spontaneous memory), khususnya yang dimiliki oleh korban dan keluarganya, nyaris tenggelam dalam wacana besar ‘operasi ketertiban untuk menumpas pemberontakan G 30 S/PKI’ sebagai sebuah struktur ingatan yang ingin dibangun oleh rejim Orde Baru. Elit politik memang seringkali mengambil keuntungan dari struktur memori kolektif yang mereka bangun tersebut. Namun setelah rejim Orde Baru tumbang, struktur ingatan tersebut mulai mendapatkan tantangan dari berbagai pihak yang mencoba mendekonstruksi realitas bentukan Orde Baru tersebut. Melakukan dekonstruksi terhadap memori kolektif yang telah mapan selama berpuluh-puluh tahun dalam masyarakat, yang pada akhirnya menjadi struktur diskursif yang dominan, bukan hal yang mudah untuk dilakukan. Tetapi juga tidak mustahil. Menurut Maurice Halbwachs (dalam Veorvsek, 2013), memori kolektif adalah hasil konstruksi sosial yang karenanya dapat didekonstruksi. Memori bukan-lah sejarah, meskipun batas-batas antara keduanya seringkali kabur. Tidak seperti sejarah, memori tidak berkaitan dengan fakta-fakta objektif, melainkan bagaimana sebuah peristiwa di masa lalu dipahami. Mengenai memori, sejarawan Amerika Martin Duberman menambahkan, “The past will always remain ‘uncompleted’: we will never grasp its meaning whole, never understand its influence over our lives to the extent we might like, nor be able to free ourselves from that influence to the degree may might wish”. Pada 6 Filsuf Henri Berson mengatakan ada dua aspek dalam memori, yaitu intentional dan spontaneous memory. Intentional memory tersusun atas kode-kode dan dapat dilacak (encoding and retrieval); ingatan ini bertujuan, biasanya muncul dalam bentuk kuantitatif. Misalnya ingatan mengenai kapan suatu peristiwa terjadi, berapa korbannya, siapa saja, dari mana saja, berapa kerugian, dan lain-lain. Sedangkan spontaneous memory tidak terencana, tidak terorganisir, insidental, biasanya bersifat kualitatif. Misalnya ingatan mengenai rasa sakit yang ditimbulkan pada saat suatu peristiwa terjadi, perasaan yang muncul pada saat itu, reaksi emosional sesudahnya, dan lain-lain. Intentional memory dapat memudar seiring berjalannya waktu jika ada informasi lain yang dianggap lebih relevan, sementara spontaneous memory akan terus ‘dibawa’ oleh orang-orang yang mengalami suatu peristiwa. Spontaneous memory akan luntur jika ingatan tersebut tidak diwariskan (dituturkan dan dicatatkan). Orang-orang yang hidup pada saat suatu peristiwa terjadi akan berbagi kedua memori tersebut. Proses mengingat yang dilakukan sedemikian banyak orang pada suatu waktu, kemudian akan diwariskan ke generasi berikutnya untuk membentuk struktur ingatan kolektif tertentu. Ingatan kolektif ini akan terus ada, meski waktu dan tradisi berubah. Tapi bagi generasi yang datang berikutnya, mereka hanya akan berbagi memori yang intentional saja. Padahal memori yang spontaneous-lah yang akan mengidentifikasikan seseorang sebagai bagian dari sebuah kolektivitas. Karenanya, ingatan yang spontaneous ini juga harus dijaga dan diwariskan.
akhirnya, memori kolektif adalah hasil dari proses konstruksi yang berasal dari pikiran-pikiran dan tindakan-tindakan manusia. Karenanya, memori muncul dalam banyak ‘wajah’ yang akan saling melengkapi sehingga narasi tentang masa lalu akan menjadi ‘utuh’. Sebagai sebuah upaya untuk melengkapi narasi masa lalu inilah, LKK memproduksi film-film bertema 1965 dengan memberikan ruang bagi para korban dan keluarganya untuk menuturkan ingatan mereka. Pilihan perspektif ini tentu saja membuat film-film LKK memiliki ‘wajah’ yang berbeda dengan filmfilm propaganda Orde Baru yang selama ini menjadi acuan sejarah bagi Bangsa Indonesia.
Pada akhirnya, setiap (film) dokumenter akan mencoba mengajukan “klaim kebenaran”-nya masing-masing dan memposisikan diri mereka dalam hubungannya dengan sejarah. Begitu juga dengan film-film dokumenter mengenai peristiwa 1965 yang diproduksi pada masa dan pasca Orde Baru, masing-masing mencoba untuk mengajukan klaim kebenaran sejarahnya. Klaimklaim ini akan saling berkontestasi dalam interaksinya dengan khalayak. Dalam konteks inilah, “pembacaan teks” menjadi proses penting yang menentukan klaim kebenaran siapa yang akan memenangkan pertarungan di medan wacana ini.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Adnjani, Made Dwi. 2012. “Dramaturgi dalam Film The Ugly Truth” dalam Jurnal Ilmiah Komunikasi MAKNA vol.3 no.1, Unissula dan ISKI.
2.
Berger, Peter and Thomas Luckmann (1979). The Social Construction of Reality. Middlesex, UK: Penguin Books.
3.
Casebier, Alan. 1991. “Film and Phenomenology: Toward A Realist Theory of Cinematic Representation”, Cambridge University Press.
4.
Denzin, K. Norman and Yvonna S. Lincoln. 2000. “Handbook of Qualitative Research, 2nd edition”, Sage Publications.
5.
Eriyanto. 2001. “Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media”, LKiS.
6.
Eriyanto (2007). Analisis Framing. Yogyakarta: LKiS.
7.
Goffman, Erving. 1956. “The Presentation of Self in Everyday Life”, University of Edinburgh.
8.
Kurnia, Novi dkk. 2004. “Menguak Peta Perfilman Indonesia”, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia.
9.
Marching, Soe Tjen. 5 Juli 2013. “Coming Grip with The Banality of Mass Murder in Indonesia’s Past”, Jakarta Globe.
10. Komnas HAM. 2012. “Pernyataan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) tentang Hasil Penyelidikan Pelanggaran HAM yang Berat Peristiwa 1965-1966”, Komnas HAM. 11. Tempo. 1-7 Oktober 2012. “Liputan Khusus: Pengakuan Algojo 1965”, Tempo. 12. Wattimena, Reza A.A. 2009. “Metode Dekonstruksi Jacques Derrida”, diakses dari rumahfilsafat.com/2009/11/29/derrida-dan-dekonstruksi/ pada 25 Juli 2013, pukul 23.36 WITA. 13. Verovsek,
Peter.
The
Politics
of
Memory.
Diakses
dari
http://www.yale.edu/macmillan/ocvprogram/conf_papers/Verovsek.pdf pada 18 Februari 2015 pukul 14.00 WITA.
LAMPIRAN Laporan Penggunaan Dana Penggunaan Anggaran No. I.
Uraian Biaya Habis Pakai Bahan dan Peralatan - Kertas - CD Rewritable - Flash disk - Catridge Black & Colour - Sewa Komputer - Sewa Printer - Sewa scanner - Sewa recorder - Koneksi Internet - Koneksi Internet - Koneksi Internet - Koneksi Internet
Volume
Harga Satuan (Rp)
5 rim 21 buah 2 buah 3 buah
30.000 5.000 150.000 250.000
150.000 105.000 300.000 750.000
1 unit 1 unit 1 unit 1 unit 1 bulan (Juni) 1 bulan (Juli)
500.000 500.000 400.000 400.000 334.400 357.500 357.500 373.500
500.000 500.000 400.000 400.000 334.400 357.500 357.500 373.500
1 bulan (Agustus) 1 bulan (September)
TOTAL BIAYA I II
Jumlah (Rp)
4.527. 900
Biaya Pengumpulan Data Material Penelitian -
Pengadaan DVD film Foto kopi dokumen atau data riset
Konsumsi (rapat dan pengerjaan riset) - Snack - Nasi kotak Transportasi & akomodasi Lokal Bali Bali – Jakarta Jakarta – Bali Transport dari/ke bandara Bali Transport dari/ke bandara Jakarta Lunsum
8 buah 1 paket
100.000 750.000
800.000 750.000
5 X 18 kali 5 x 15 kali
10.000 20.000
900.000 1.500.000
2 org x 4 bulan 1 unit 1 unit 2 unit (pp)
200.000 689.400 683.498 200.000
1.600.000 689.400 683.498 400.000
2 unit (pp)
300.000
600.000
6 hari
500.000
3.000.000
-
Transport Jakarta
lokal
Komunikasi - Pulsa (ketua) - Pulsa (anggota)
6 hari
200.000
1.200.000
1 org x 4 bulan 1 org x 4 bulan
250.000 200.000
1.000.000 800.000
TOTAL BIAYA II III
Biaya Personel dan Penelitian Tenaga Ahli 1. Peneliti Pertama 2. Pembantu Peneliti
1 org x 50 jam 1 org x 50 jam
35.000 25.000
13.922.898
1.750.000 1.250.000
Pajak Honor Personel (15% dari Total) TOTAL BIAYA III IV
Biaya Pengolahan Data, Penyusunan, Diseminasi Laporan 1. 2. 3. 4.
Penyusunan draft proposal Penyusunan laporan final (pengelolaan data) Poster SENASTEK SENASTEK
1 paket
1.000.000
1.000.000
1 paket
1.500.000
1.500.000
1 paket 1 paket
200.000 1.000.000
200.000 1.000.000
TOTAL BIAYA IV TOTAL BIAYA
3.000.000
3.650.000 25.000.798 25.000.000