LAPORAN AKHIR HIBAH KOMPETITIF PENELITIAN UNTUK PUBLIKASI INTERNASIONAL BATCH III TAHUN ANGGARAN 2009 JUDUL: MODEL DENSITAS PERMUKIMAN KAMPUNG KOTA DAN KAITANNYA TERHADAP INISIASI KONSEP KOTA KOMPAK DI INDONESIA
Muhammad Sani Roychansyah, S.T., M.Eng., D.Eng. Dyah Titisari Widyastuti, S.T., MUDD. Mahditia Paramita, S.T., MUP.
DILAKSANAKAN ATAS BIAYA:
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional, sesuai dengan Surat Perjanjian Pelaksanaan Hibah Kompetitif Penelitian Untuk Publikasi Internasional Nomor: 6949/SP2H/PP/DP2M/X/2009, tanggal 26 OKTOBER 2009
LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYRAKAT UNIVERSITAS GADJAH MADA 2009
HALAMAN PENGESAHAN HIBAH KOMPETITIF PENELITIAN UNTUK PUBLIKASI INTERNASIONAL 1.
Judul
:
2. 2.1.
Ketua Peneliti Data pribadi a. Nama Lengkap b. Jenis Kelamin c. NIP d. Pangkat/Golongan e. Fakultas/Jurusan f. Bidang Ilmu g. Alamat Kantor
: : : : : : : : :
Telepon/Faks. E-mail h. Alamat rumah Telepon/HP Anggota Penulis 1 a. Nama b. Unit Kerja Anggota Penulis 2 a. Nama b. Unit Kerja Judul Naskah yang akan ditulis pada jurnal ilmiah bereputasi internasional
: : : : : : : : : : :
Jurnal yang dituju a. Nama b. ISSN c. Penerbit d. Alamat editorial Jumlah dana yang disetujui
: : : : :
3.
4.
5.
6.
MODEL DENSITAS PERMUKIMAN KAMPUNG KOTA DAN KAITANNYA TERHADAP INISIASI KONSEP KOTA KOMPAK DI INDONESIA Muhammad Sani Roychansyah, S.T., M.Eng., D.Eng. Muhammad Sani Roychansyah, S.T., M.Eng., D.Eng. Laki-laki 197105201997021001 IIIA/Asisten Ahli Teknik/Teknik Arsitektur dan Perencanaan Arsitektur dan Urbanisme Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan Fakultas Teknik UGM Jalan Grafika No. 2 Bulaksumur, Yogyakarta 55281 Telp. 0274-580092 Fax. 0274-580854
[email protected] atau
[email protected] Jalan dr. Sutomo No. 11 A Yogyakarta 55211 Telp. 0274-588053 (HP. 081931182066) Dyah Titisari Wisyastuti, S.T., MUDD. Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan FT UGM Mahditia Paramita, S.T., MUP. Housing Research Center, Yogyakarta “Population Densification in Kampung Oriented Development: Potentials and Challenges” dan “Population densification in Compact City Concept and Vulnerable Risk of Disaster” Journal of Asian Architecture and Building Engineering 1347-2852 AIJ, AIK, ASC Minato-ku, Tokyo 108-8414 Rp. 92.500.000, 00 Yogyakarta, 15 Desember 2009
Dekan Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada
Ketua Peneliti
Ir. Tumiran, M.Eng., Ph.D. NIP. 195908231986031002
M. Sani Roychansyah, S.T., M.Eng., D.Eng. NIP. 197105201997021001 Menyetujui, Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Gadjah Mada
Prof. Dr. Tech. Ir. Danang Parikesit, M.Sc.(Eng.) NIP. 196506031990031002
1
DAFTAR ISI
LEMBAR IDENTITAS DAN PENGESAHAN DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN RINGKASAN BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.2. Tujuan Penelitian 1.3. Manfaat Penelitian BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kampung sebagai Model Permukiman Perkotaan 2.2. Urgensi Kepadatan dalam Konteks Keberlanjutan 2.3. KOD dan Potensi Kepadatan Kampung Kota BAB III. METODE PENELITIAN BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Analisi Kampung Kompak: Kasus Kota Yogyakarta 4.2. Menuju ”Kampung Oriented Development” (KOD) 4.3. Model Densitas: Proposisi Kota Yogyakarta 4.4. Tantangan ke Depan: Kepadatan dan Tingkat Kerentanan BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan 5.2. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
1 2 3 4 5 6 7 7 8 8 9 9 11 14 17 18 18 22 25 30 34 34 34 35 38
2
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Perbandingan kondisi kekompakan kota negara maju dan negara berkembang Tabel 2. Perkembangan aturan densitas bangunan dengan fungsi rumah/flat unit/ha) di Inggris (Jenks dan Dempsey, 2005) Tabel 3. Biaya yang dikeluarkan oleh tiap model pembangunan (Litman, 2002) Tabel 4. Kasiba-Lisiba BS dan Aspek Ketataruangan Tabel 5. Kasiba-Lisiba BS dan Aspek Penyediaan Infrastruktur k Force, 2002) Tabel 6. Prediksi kondisi perumahan per Kecamatan di Kota Yogyakarta Tahun 2015 (HRC, 2008) Tabel 7. Karakteristik kampung yang digunakan sebagai studi kasus Tabel 8. Kecamatan di Bantul dan kategorisasi wilayah berdasar korban meninggal (dielaborasi dari Satkorlak Provinsi DIY, 2006).
12 14 14 24 24 25 27 32
3
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.
Morfologi kampung pada umumnya: padat, minim ruang terbuka, dan organis (Lokasi: kampung di sepanjang Sungai Code, Yogyakarta) Gambar 2. Keberlanjutan, kota kompak, dan atribut pembentuknya (Roychansyah dkk., 2004, 2005). Gambar 3. Kepadatan atau densitas dan beberapa aspek terkait yang ditimbulkan dalam spektrum keberlanjutan Gambar 4. Struktur Pembangunan Berorientasi Kampung (KOD) yang mengintegrasikan aspek sosial ekonomi, lingkungan, dan budaya setempat Gambar 5. Skematik pembangunan berasas pada kekompakan kota yang disusun oleh struktur ruang kota yang jelas berdasar kapasitasnya (Urban Task Force, 2002) Gambar 6. Bagan aliran penelitian terkait agenda penelitian multi tahun Gambar 7. Jumlah dan kepadatan penduduk di tiap kecamatan di Kota Yogyakarta (Yogyakarta dalam Angka, 2007) Gambar 8. Guna lahan dan prosentase bukan hunian/hunian di tiap kecamatan di Kota Yogyakarta (Yogyakarta dalam Angka, 2007) Gambar 9. Jumlah kendaran di Kota Yogyakarta (Yogyakarta dalam Angka, 2007) Gambar 10. Lokasi Kota Yogyakarta dan wilayah aglomerasinya Gambar 11. Kondisi kesejahteraan masyarakat di Kota Yogyakarta pada tahun 2004-2006 (Yogyakarta dalam Angka, 2007) Gambar 12. Tipe kekompakan sebuah wilayah (diadopsi dari Hayashi, 2003) Gambar 13. KOD (Kampung Oriented Development) sebagai kelanjutan dan perbaikan dari program-program yang ada dengan kampung sebagai pusatnya (Roychansyah, 2008) Gambar 14. KOD terdiri dari program-program pemberdayaan kampung (Roychansyah, 2008) Gambar 15. Kampung Terban Utara (kiri atas), Kampung Lledok Terban (kanan atas), Kampung Prawirodirjan (kiri bawah), Kampung Cokrodirjan (kanan bawah) Gambar 16. Pilihan implementasi pembangunan disesuaikan dengan fungsi kegiatan dan pengembangan (Urban Task Force, 2002) Gambar 17. Potongan melintang karakter kawasan Kota Yogyakarta berdasar analisis Transect Gambar 18. Kondisi aktual kampung di Kota Yogyakarta, antara potensi dan tantangan Gambar 19. Peta sebaran korban jiwa (kiri) dan kondisi bangunan (kanan) Gempa Yogyakarta (dimodifikasi dari Data Satkorlak DIY, 2006)
9 11 13 15
16
17 18 19 20 21 21 22 22
23 26
28 29 29 32
4
DAFTAR LAMPIRAN
Surat konfirmasi dari Universitas Mitra di Luar Negeri MOU antara Universitas Gadjah Mada dan Tohoku University Instrumen Penelitian Biodata Peneliti Manuskrip Jurnal
5
MODEL DENSITAS PERMUKIMAN KAMPUNG KOTA DAN KAITANNYA TERHADAP INISIASI KONSEP KOTA KOMPAK DI INDONESIA RINGKASAN Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui secara empirik kondisi densitas (kepadatan) dan mampu memodelkannya melalui tipologi yang representatif dari kasus permukiman kampung kota (beberapa kampung yang representatif di Kota Yogyakarta). Faktor-faktor inheren yang terkait di dalamnya, seperti sosial, budaya, ekonomi, maupun lingkungan, diharapkan secara langsung bisa dikaji dan dimasukkan pola pengaruhnya terhadap model densitas tertentu yang dihasilkan. Pada pelaksanaannya, data yang terkait dengan kasus kepadatan di kampung kota dipilih dan dianalisis berdasar potensi keterkaitannya dengan standar keberlanjutan dalam sebuah permukiman kota. Selain data sekunder, rapid appraisal juga dilakukan untuk mengetahui tanggapan penduduk terhadap kepadatan wilayahnya. Di akhir penelitian potensi densitas yang ada diharapkan mampu dikaitkan dengan konsep dasar kota kompak sebagai salah satu kebijakan kota berkelanjutan yang populer diadopsi di beberapa negara dewasa ini. Dari tahap ini diharapkan model densitas tertentu akan mempunyai potensi maupun tantangan tertentu, mulai dari tingkat kecocokan (level of compatibility) sampai tingkat kerentanan (level of vulnerability), dalam menyesuaikan inisiasi strategi kota kompak, terutama bagi kota di Indonesia. Beberapa temuan dari hasil penelitian ini masih perlu ditindaklanjuti melalui serangkaian penelitian terhadap kepadatan kampung kota, secara lebih mendalam dan komprehensif. Penelitian ini adalah rangkaian agenda riset penelitian kota kompak yang telah dan tengah dilakukan, yang pada tahap ini adalah untuk mengeksplorasi densitas (kepadatan) sebagai salah satu atribut dasarnya.
6
BAB I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Dewasa ini, masalah keberlanjutan (sustainability issues) merambah di semua bidang kehidupan manusia, tak terkecuali pada “pembangunan segitiga” lingkungan-sosial-ekonomi kota. Tuntutan bahwa perkembangan pada sebuah kota mulai 2 dasa warsa terakhir ini harus aspiratif terhadap kebutuhan dan eksistensi masa depan ini, dijawab dengan beberapa kata kunci seperti: efisiensi, intensifikasi, konservasi, revitalisasi di dalam upaya menyelaraskan pembangunan kembali kota (sustainable urban redevelopment movement). Sebagai responnya, meskipun dalam konsep operasional yang sangat beragam di dunia, strategi “kota kompak” (compact city strategy) dipandang sebagai alternatif utama ide pengimplementasian pembangunan berkelanjutan dalam sebuah kota. Sebagai akibatnya, ide ini diadopsi oleh banyak kota di dunia, utamanya di negara-negara maju. Kecenderungan pengadopsian ide ini, di samping membawa efek positif pada wacana pembangunan berkelanjutan, tetapi banyak pula yang diterapkan apa adanya tanpa mempertimbangkan permasalahan kota yang ada dan kekhasan sebuah kota. Masalah utama yang terjadi pada penerapan ide kota kompak saat ini adalah anggapan bahwa ide ini bisa secara instan diterapkan tanpa melihat kasus per kasus permasalahan yang dihadapi oleh sebuah kota, di samping keharusan penyesuaian terhadap karakter kota. Kota-kota di negara berkembang pun mulai sering mengadopsi ide ini tanpa melihat kesesuaian dengan karakter, kondisi, maupun potensi yang dimiliki. Jika kota kompak diartikan sebagai sebuah strategi atau kebijakan kota yang sejalan dengan usaha perujudan pembangunan berkelanjutan sebagai sebuah sinergi antara beberapa atributnya, seperti kepadatan optimal penduduk kota, pengkonsetrasian kegiatan kota, intensifikasi transportasi publik, ukuran dan akses yang optimal, serta perujudan kesejahteraan sosial-ekonomi warga kota menuju sebuah kualitas hidup kota yang baik, maka densifikasi atau kepadatan penduduk menjadi satu atribut yang paling mendasar. Usaha mengatur kepadatan penduduk dan lingkungan tentunya terkait langsung dengan optimalisasi lahan, efisiensi kebutuhan infrastruktur dalam kota, perlindungan lahan-lahan subur di luar kota, dan banyak efek positif lainnya. Kondisi kota-kota di Indonesia khususnya untuk masalah kepadatan (penduduk maupun bangunan) ini, dengan kepadatan tinggi dalam permukiman tradisional di kampung kotanya, tentunya akan menjadi potensi besar bagi inisiasi penerapan ide kota kompak ini. Kajian awal untuk melihat model kepadatan lingkungan fisik yang akomodatif terhadap aspek terkait lainnya, tampak sebagai sebuah kebutuhan mendesak bagi inisiasi ide kota kompak ini.
7
1.2. Tujuan Penelitian Penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut: 1. Mengetahui secara empirik kondisi densitas (kepadatan) dan mampu memodelkannya melalui tipologi yang representatif dari kasus permukiman kampung kota. Faktor-faktor yang terkait di dalamnya, seperti sosial, budaya, ekonomi, maupun lingkungan, diharapkan secara langsung bisa dikaji dan dimasukkan pola pengaruhnya terhadap model densitas tertentu. 2. Menganalisis potensi densitas yang ada dan mampu mengkaitkan dengan konsep dasar kota kompak. Dari tahap ini diharapkan model densitas tertentu akan mempunyai potensi tertentu, bisa berupa tingkat kecocokan (level of compatibility), dalam menyesuaikan inisiasi strategi kota kompak, terutama bagi kota di Indonesia. 1.3. Manfaat Penelitian Manfaat yang bisa diambil dari penelitian ini, 1. Mengetahui kondisi, karakter, dan potensi kepadatan di permukiman di kampung Indonesia (dengan kasus Kampung di Kota Yogyakarta). Selain untuk mengurai karakteristik yang ada, hasilnya diharapkan mampu memberi gambaran arahan realisasi bagi implementasi ide kota kompak di Indonesia. 2. Membantu pihak terkait, seperti Menpera dan Departemen PU dalam merumuskan kebijakan terkait kota kompak, yang saat ini mulai diperbincangkan di tingkat pusat. Yogyakarta melalui penelitian ini bsa diajukan sebagai “pilot project” melalui kerjasama dengan pihak pemerintah daerah, dalam hal ini Pemerintah Kotamadya Yogyakarta.
8
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 1.1. Kampung sebagai Model Permukiman Perkotaan Kampung adalah sebuah istilah ruang dan wilayah dalam kota yang sangat akrab dengan kebudayaan Indonesia. Sullivan (1992) secara estimologis membedakan istilah desa bagi permukiman di perdesaan dan kampung bagi permukiman di perkotaan. Di dalam kampung, orang masih bisa menemukan sistem sosial kemasyarakatan ala Indonesia. Kampung, seperti yang diilustrasikan pada Gambar 1 di bawah, pada awalnya menggambarkan bagian dari struktur ruang kota yang digunakan sebagai kawasan permukiman. Pada perkembangannya, entitas fisik, sosial ekonomi, dan budaya di dalam kampung menjadi semakin multi dimensi. Kampung lahir dari ikatan sejarah sebuah ruang kota dan berkembang organis sesuai dengan kapasitas internal maupun daya dukung eksternalnya. Namun dalam perkembangannya, kampung lebih dianggap sebagai istilah yang berkonotasi negatif, padat, didominasi oleh masyarakat berpenghasilan rendah, dan banyak mempunyai permasalahan lingkungan (kumuh). Hal ini mulai dipicu saat pemerintah banyak mengembangkan wilayah-wilayah permukiman baru di luar atau berbeda sama sekali dari tipologi kampung tradisional yang ada. Berdasar sejarah, perubahan imej kampung ini memang sengaja dilakukan dengan maksud tertentu seperti yang telah dilakukan pada masa pendudukan (Belanda) atau kesalahan memandang permasalahan dasar kampung yang telah dilakukan sistematis sejak kemerdekaan. Atman (1975) mengindikasikan bahwa pada zaman Belanda kampung memang dianggap sebagai daerah permukiman pribumi, lain dari permukiman yang mereka bangun kemudian di kota-kota yang mereka duduki.
Gambar 1. Morfologi kampung pada umumnya: padat, minim ruang terbuka, dan organis (Lokasi: kampung di sepanjang Sungai Code, Yogyakarta)
9
Studi atau kajian tentang kampung secara spesifik telah banyak dilakukan, dan banyak di antaranya menggarisbawahi bahwa kajian tentang kampung adalah kajian yang sangat luas, komplek, sekaligus menarik (misalnya Guiness, 1986; Setiawan, 2003; Steinberg, 1998, Turner, 1985), Lebih tegas, Nas (1987) mengemukakan secara eksplisit bahwa kota tidak bisa dianalisis tanpa mendiskusikan kampung sebagai bagian integral dari keberadaan kota itu sendiri. Setiawan (2003) menekankan bahwa meskipun sudah cukup jelas bahwa kampung menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat Indonesia, pemerintah masih saja mengabaikan sosial politik aspek dalam pembangunan kampung, terutama dalam pemenuhan kebutuhan perumahan (housing market). Dengan demikian secara otomatis, pertimbangan sosial kemasyarakat yang sangat penting dalam pengambilan kebijaksan sektor permuhana dan permukiman terabaikan. Akibatnya, secara substansial apa yang telah dan tengah dilakukan melalui berbagai kebijakan tidak menyelesaikan permasalahan permukiman kota itu sendiri. Yang patut menjadi pertimbangan dan ini telah menjadi bukti, seperti dikemukakan Mc Gee (1996), kampung di Indonesia telah memegang peran penting dalam proses pembangunan kota. Sebagai permukiman informal atau informal settlement (untuk membedakannya dari permukiman formal (formal settlement) yang sengaja dibangun oleh pemerintah atau swasta dengan kondisi yang sama sekali lain dengan kampung), kampung mampu menyediakan lebih dari 80% rumah yang terjangkau dan terlayani secara sederhana bagi sebagian besar rumah tangga di Indonesia. Setiawan (2003) menyatakan pula bahwa kampung merepresentasikan sebuah proses dinamis di mana kelompok masyarakat (yang pada umumnya para-miskin) itu menyediakan rumah bagi mereka, mengontrol lingkungan mereka, sekaligus bersama-sama meningkatkan kehidupan mereka. Lepas dari legal formal, sistem pembangunan, peraturan pembangunan, atau kejenuhan kondisi lingkungannya, kampung terlihat dan terbukti mampu secara mandiri menyediakan ruang bermukim bagi penduduk kota. Meskipun begitu, pemerintah masih menganggap bahwa bukti-bukti di lapangan ini masih belum layak untuk mengangkat kampung sebagai solusi permanen pembangunan permukiman di Indonesia. Sama seperti kondisi di mana kampung selalu mendapatkan sisi negatif dari dualisme kota-desa, legal-ilegal, formal-informal, modern-tradisional. Setiawan (2003) menengarai pendapat umum, bahwa kampung masih dianggap sebagai permukiman desa di wilayah kota yang dibangun dengan jalan ilegal dan informal, di mana masyarakat di hidup secara tradisional. Namun sebenarnya sebaliknya, kampung adalah entitas utama struktur kota yang mampu menyeleraskan dikotomi-dikotomi di atas. Pembangunan yang benar-benar pernah menjadikan kampung sebagai obyek utama pembangunan adalah Kampung Improvement Program (KIP) atau Program Perbaikan Kampung yang diinisiasi sejak Repelita I (1969-1974). Meskipun berjudul program perbaikan, tetapi beberapa esensi yang dilakukan tidak lah seluas yang dimaksud. Selain itu, program yang dilakukan tidak lah berdasar pada analisis kritis permasalahan yang sebenarnya timbul sebagai sebuah kompleksitas permasalahan perkotaan, tetapi lebih pada kegiatannya itu sendiri atau proyeknya. Menurut Suselo dan Taylor (1995), cakupan kegiatan KIP adalah tingkat terkecil dari perbaikan infrastruktur dan fasilitas lingkungan. Setiawan (2003) menambahkan bahwa kelemahan lain dari KIP ini adalah tidak adanya keberlanjutan dalam programnya, sangat tergantung dari anggaran pemerintah pusat, serta partisipasi masyarakat yang tidak terlembagakan.
10
2.2. Urgensi Kepadatan dalam Konteks Keberlanjutan Pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) telah dicanangkan sebagai bagian tak terpisahkan dari pembangunan kota di dunia. Deklarasi PBB di Rio de Jeneiro yang lebih dikenal sebagai Agenda 21 telah pula mengamanatkan pentingnya pembangunan yang berkelanjutan di banyak sektor, termasuk yang utama adalah sektor permukiman (UNEP, 2008). Dalam hal ini pembangunan berkelanjutan di sektor permukiman mencakup pembangunan kota dan industri konstruksi pendukung lainnya, didedikasikan untuk memperbaiki kondisi sosial, ekonomi, dan kualitas lingkungan. Dalam perkembangannya, Deklarasi UN-Habitat pada tahun 2001 di Istambul maupun Konferensi Tingkat Tinggi di Johannesburg tentang Pembangunan Berkelanjutan pada September 2002 telah secara spesifik menekankan perlunya pertimbangan keberlanjutan dalam bidang perumahan, permukiman, maupun kota secara umum. Dengan semakin pentingnya pertimbangan keberlanjutan (sustainability) ini, banyak muncul beberapa alternatif strategi, salah satu saat ini yang populer adalah strategi kota kompak (compact city strategy). Ditengarai strategi ini mulai banyak diadopsi oleh negara-negara maju (Jenks, dkk., 1996, Williams, dkk., 2000). Sementara itu, negara berkembang masih menghadapi tahap awal dalam penyelesaian masalah-masalah dasar sosial ekonominya (Burges and Jenks, 2001). Motivasi dari strategi kota kompak sendiri didasari pada kebutuhan mencari sebuah bentuk kota (lingkungan) yang berkelanjutan. Namun sayangnya masih banyak adopsi dari strategi ini yang digunakan di berbagai tempat tanpa memperhitungkan karakteristik kota yang bersangkutan atau langsung diterapkan sebagai sebuah kebijakan terpusat (top-down) (Jenks, dkk., 1996). Densifikasi Penduduk
Konsentrasi Kegiatan Karakter Character
Proses Process Menuju (to be Kompak compact)
City Kota Compactness Kompak
Intensifikasi Time Waktu Public Transportasi transport Umum intensification
Sustainable Masyarakat Communities Berkelanjutan
Space Ruang Ukuran dan Akses Kota
Target Kesejahteraan
Gambar 2. Keberlanjutan, kota kompak, dan atribut pembentuknya (Roychansyah dkk., 2004, 2005). Roychansyah dkk. (2005) secara garis besar mengemukakan terdapat 6 faktor yang penting sebagai atribut kota kompak tersebut. Atribut tersebut berturut-turut adalah: densifikasi penduduk, konsentrasi kegiatan, intensifikasi transportasi umum, ukuran dan akses optimal kota, target kesejahteraan masyarakat, dan sebuah proses menuju kondisi kompak (lihat Gambar 2). Atribut tersebut harus saling mendukung sehingga
11
membangun sebuah kondisi yang sejalan dengan usaha perujudan pembangunan berkelanjutan (ekonomi, sosial, lingkungan) untuk mencapai sebuah sinergi antara kepadatan penduduk kota yang lebih tinggi pada sebuah ukuran ideal sebuah kota, pengkonsetrasian semua kegiatan kota, intensifikasi transport publik, perujudan kesejahteraan sosial-ekonomi warga kota menuju peningkatan taraf dan kualitas hidup kota. Meskipun masih menjadi perdebatan, terutama pada masalah bagaimana mengimplementasikan strategi ini secara tepat pada negara berkembang, tetapi wacana untuk memasyarakatkan strategi ini bukan tanpa alasan untuk segera diujicobakan. Kota-kota di negara berkembang ditengarai mempunyai modal besar dalam aplikasi strategi ini, terutama pada aspek kepadatan penduduk yang cukup tinggi, percampuran kegiatan hunian dan bukan hunian seperti yang lazim terlihat di perkampungan, dan besaran kota yang masih didominasi oleh ukuran sedang (Roychansyah, 2008). Beberapa perbedaan dari atribut kota kompak yang terjadi di negara maju dan negara berkembang bisa dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Perbandingan kondisi kekompakan kota negara maju dan negara berkembang Atribut Kota Kompak Densifikasi Penduduk
Negara Maju
Negara Berkembang
Densitas atau kepadatan penduduk moderat, pusat kota sebagai target densifikasi penduduk, dikombinasikan dengan hidup vertical.
Konsentrasi kegiatan
Guna lahan campuran didisain secara baik, secara natural dan tradisional kegiatan yang ada tersegregasi. Banyak strategi yang sedang dan telah dikombinasikan dalam berbagai skala kota untuk mendorong intensifikasi transportasi umum.
Kepadatan penduduk lebih tinggi, kepadatan tinggi ini mempunyai kecenderungan untuk melewati kapasitas lingkungan (kumuh, degradasi), didominasi oleh hidup horisontal Guna lahan campuran akibat tekanan atau kondisi alam, keberadaan sector informal cukup dominant. Strategi yang efektif hanya terbatas pada kota-kota besar, di mana mereka mempunyai anggaran besar untuk mewujudkannya. Belum merupakan strategi yang terintegrasi secara baik (parsial). Didominasi oleh kota-kota dengan skala medium, di mana pembangunan kota kompak bisa lebih mudah diimplementasikan.
Insentifikasi Transportasi Umum
Ukuran dan Akses Beberapa kota menghadapi Optimal Kota masalah ukuran dan skala kota (terlalu besar) dalam penerapan strategi kota kompak. Membutuhkan pembagian wilayah menjadi area yang lebih optimal. Target Kesenjangan sosial ekonomi masih Kesejahteraan terjadi, dan membutuhkan Masyarakat bukti-bukti empiris bagi keberhasilan konsep kota kompak dalam menjembatani kesenjangan ini. Proses (Menuju) Dalam tahap pengembangan, Kota Kompak banyak kota menerapkan kebijakan
Kesenjangan sosial ekonomi lebih besar dari pada kesenjangan sosial budaya dalam masyarakat.
Masih pada tataran diskusi atau debat, dan perlu
12
kota kompak sebagai sebuah target kebijakan (banyak strategi baru dan inovatif muncul).
memformulasikan bentuk yang paling cocok bagi konsep kota kompak di negara berkembang.
Lebih lanjut, meskipun tiap atribut mempunyai andil penting dalam perujudan keberlanjutan lewat strategi kota kompak ini, densifikasi penduduk adalah atribut produktif bagi langkah awal strategi ini. Penaikan densitas penduduk di sebuah wilayah yang direncanakan tinggi atau sesuai nilai optimalnya, misalnya tengah kota, distrik multi fungsi dalam kota, atau seputar wilayah transit, menjadi sebuah usaha yang diyakini sejalan dengan target keberlanjutan. Secara detil dicontohkan, densitas yang tinggi dalam sebuah wilayah (kota) akan memotong kebutuhan enerji secara signifikan dan memberi kesempatan pejalan kaki dan sepeda untuk ambil bagian dalam mobilitas kota (Newman dan Kenworthy, 1999).
Stabilitas
Optimalitas
Maksimalitas
Produktivitas
Keterjagkauan
Kecukupan
Aksesibilitas
Kohesivitas
Efisiensi KEPADATAN Spektrum Keberlanjutan
Kompleksitas
Fluiditas
Diversitas
Proksimitas
Intensitas Keanekaragaman
Gambar 3. Kepadatan atau densitas dan beberapa aspek terkait yang ditimbulkan dalam spektrum keberlanjutan Seperti digambarkan dalam Gambar 3, kepadatan mempunyai efek saling terkait dengan kondisi yang ditimbulkan. Dari perspektif keberlanjutan, semakin tinggi kepadatan (sesuai dengan kapasitas ambangnya), maka beberapa konsep bisa dicapai (Elkin, dkk., 1991). Misalnya kepadatan yang tinggi akan membawa pada sebuah aspek keintiman sosial masyarakat (social cohesiveness, intimacy). Dari kondisi ini akan muncul aspek kecukupan (suitability), dan bermuara pada peningkatan performa pada aspek produktivitas (productivity). Densitas atau kepadatan yang tinggi dipercaya juga akan memberi pengaruh besar pada aspek efisiensi (efficiency) penyediaan infrastruktur misalnya. Dengan kondisi seperti ini, aspek aksesibiltas (accesability) dan keterjangkauan (affordability) otomatis juga meningkat. Terkait dengan peraturan kepadatan, seperti tergambar dalam Tabel 2, Jenks dan Dempsey (2005) menggambarkan aturan densitas di Inggris yang telah disesuaikan 13
dengan tuntutan pembangunan keberlanjutan. Pada tabel tersebut, kita bisa melihat bahwa perkembangan densitas fungsi hunian pada beberapa tahun terakhir menjadi lebih tinggi. Selain tuntutan keberlanjutan dalam pembangunan, model pembangunan yang memperhatikan densitas ini juga secara langsung diakui akan mampu memotong anggaran biaya pembangunan. Seperti terlihat dalam Tabel 3, pembangunan model sentral di mana mensyaratkan kepadatan yang lebih tinggi, akan menghemat biaya pembangunan maupun biaya operasi dan perawatan. Ini berarti bahwa secara keberlanjutan dalam aspek ekonomi pun, densitas telah sesuai dengan prinsip yang harus dituju. Tabel 2. Perkembangan aturan densitas bangunan dengan fungsi rumah/flat unit/ha) di Inggris (Jenks dan Dempsey, 2005) Tahun Rumah Campuran (rumah Flat dan flat) Min Maks Min Maks Min Maks 1918 20 30 1944 25 25 40 60 100 1952 15 35 40 70 1962 30 75 50 75 115 1970-1980 35 1999 35 40 2000 30 50 Tabel 3. Biaya yang dikeluarkan oleh tiap model pembangunan (Litman, 2002) Biaya Acak Nodal Sentral Penduduk per ha 66 98 152 Biaya pembangunan (milyar 54.8 45.1 39.1 USD) Biaya operasi dan perawatan 14.3 11.8 10.1 (milyar USD) Biaya total (milyar USD) 69.1 56.9 49.2 Prosentase hemat dibanding 17% 29% acak 2.3. KOD (Kampung Oriented Development) dan Potensi Kepadatan Kampung Kota Studi atau kajian tentang kampung atau permukiman tradisional di (tengah) kota, secara spesifik telah banyak dilakukan (misalnya Guiness, 1986). Kajian tentang kampung adalah kajian yang sangat luas, komplek, sekaligus menarik, karena mencerminkan karakteristik permukiman kota yang khas, berdasar kondisi demografi, sosial, budaya, dan faktor terkait lainnya yang melekat di dalamnya. Tak terkecuali kampung di Indonesia, mereka memegang peranan penting dalam proses pembangunan kota (McGee, 1996). Kampung juga merepresentasikan sebuah proses dinamis di mana kelompok masyarakat (yang pada umumnya kelas menengah kota) itu menyediakan
14
rumah bagi mereka, mengontrol lingkungan mereka, sekaligus bersama-sama meningkatkan kehidupan mereka (Setiawan, 2003). Terlepas dari isu legal formal, sistem pembangunan, peraturan pembangunan, atau kejenuhan kondisi lingkungannya, kampung terlihat dan terbukti mampu secara mandiri menyediakan ruang bermukim bagi penduduk kota. Meskipun begitu, beberapa pihak, termasuk pemerintah masih menganggap bahwa bukti-bukti di lapangan ini masih belum layak untuk mengangkat kampung sebagai solusi permanen pembangunan kota-kota di Indonesia. Sama seperti kondisi di mana kampung selalu mendapatkan sisi negatif dari dualisme kota-desa, legal-ilegal, formal-informal, modern-tradisional. Bukti mengatakan sebaliknya, kampung adalah entitas utama struktur kota yang mampu menyeleraskan dikotomi-dikotomi di atas (Setiawan, 2003)
Gambar 4. Struktur Pembangunan Berorientasi Kampung (KOD) yang mengintegrasikan aspek sosial ekonomi, lingkungan, dan budaya setempat. Konsep “Kampung Oriented Development” (KOD) atau Pembangunan Berorientasi Kampung dipilih sebagai sebuah inovasi pengembangan permukiman yang terintegrasi secara kompak di perkotaan, dengan menggunakan kampung sebagai setting implementasinya. Gambaran ini menganut beberapa sistematika bentukan kota berkelanjutan yang dikembangkan dari model kota baik (good city form) menurut Lynch (Frey, 1999). Tiap kampung mempunyai pendekatan yang sama berdasar faktor terkait setempat, dan membentuk sebuah jejaring lebih luas dalam skala kota (lihat Gambar 3 dan Gambar 5 sebagai referensinya). Secara prinsip, konsep ini didasari atas fakta di mana kampung tidak bisa dipisahkan dari struktur kota itu sendiri, sehingga pembangunan berorientasi pada kampung (KOD) harus dipandang sebagai penyelesaian integratif dan permanen, bukan penyelesaian parsial dan sementara. Kedua, kampung telah mempunyai sejarah pengembangan yang dinilai sukses lewat KIP (Kampung Improvement Program), meskipun dalam tingkatan yang berbeda dan lebih bersifat proyek berdasar anggaran (kurang terjamin keberlanjutan programnya).
15
Gambar 5. Skematik pembangunan berasas pada kekompakan kota yang disusun oleh struktur ruang kota yang jelas berdasar kapasitasnya (sumber: Urban Task Force, 2002) Kampung sebagai representasi kondisi permukiman dalam kota di negara berkembang mempunyai karakteristik tradisional, seperti organis, berkepadatan tinggit, dengan minimnya ketersediaan ruang terbuka di dalamnya. Pada umumnya kepadatan tinggi yang didominasi oleh hidup horisontal ini, mempunyai kecenderungan untuk melewati kapasitas lingkungan, sehingga muncul kondisi kumuh atau degradasi lingkungan yang ada. Meskipun demikian, kondisi kepadatan yang relatif tinggi ini oleh Burgess dan Jenks (2001) dinilai sebagai sebuah potensi sekaligus tantangan sebagai strategi dalam menyelaraskan tingginya kepadatan ini dalam capaian pembangunan berkelanjutan. Beberapa atribut terkait, misalnya keberagaman fungsi (multi fungsi atau mixed use) meski dengan kondisi yang cenderung tercipta karena dorongan keterbatasan hidup di lingkungan yang padat, juga menjadi potensi tersendiri.
16
BAB III METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan untuk penelitian ini rasionalistik kualitatif, dengan analisis kuantitatif, serta simulasi untuk mendapatkan permodelan yang diharapkan. Ada pun urut-urutan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Pertama, penentuan studi kasus (lokasi terpilih) berdasar analisis yang telah digunakan. Dalam skenario yang telah direncanakan akan dipilih 4-5 buah perkampungan di Kotamadya Yogyakarta beradasar representasi karakteristik permasalahan yang berbeda, termasuk ungkapan fisik densitas atau kepadatannya. 2. Kedua, pengumpulan dan analisis data-data terkait dengan kampung baik secara administrasi, sosial-ekonomi, budaya, maupun fisik lingkungannya. Kegiatan ini dilakukan dengan cara mengumpulkan data sekunder yang ada di pusat-pusat data (kantor adminsitrasi) maupun pendataan langsung di lapangan (data primer). 3. Ketiga, beberapa tambahan data berupa wawancara dari penduduk melalui FGD (forum group discussion) diperlukan untuk memfasilitasi beberapa inisiasi yang bersifat dari bawah (buttom up) atau untuk menjaring ide dan partisipasi masyarakat. Selanjutnya beberapa rangkuman keluaran dari tahap ini akan digunakan sebagai indikator tersendiri dalam analisis akhir. 4. Keempat, analisis dari data yang telah terkumpul berdasar atribut atau indikator yang telah ditentuakan. Dari kegiatan ini diharapkan akan muncul beberapa model kepadatan kampung terkait dengan karakteristik permasalahan kampung (permukiman padat kota). Selain GIS (geographic information system), analisis statistik spasial akan bermanfaat untuk mempermudah metode analisis tahap ini. 5. Kelima, simulasi dari model-model yang telah dihasilkan dengan skenario atau konsep kota kompak. Dari sini diharapkan muncul urutan proses yang seharusnya terkait atau diprioritaskan, misalnya hubungan densitas dan kerentanan terhadap bahaya. Bagan aliran penelitian secara lengkap ditampilkan dalam Gambar 6. di bawah 2000
2008
2009
TAHUN Topik Riset Tren kondisi kota-kota di Jepang, kebijakan terkait (tahap evaluasi)
Tohoku University, Jepang
Kota Kompak Definisi, atribut, fenomena terkait, kasus kota-kota Jepang dan Inggris (kontek wilayah)
AGENDA RISET
Topik Riset Kondisi dan potensi atribut, pembangunan berorientasi Universitas Gadjah Mada, Indonesia kampung (KOD) (tahap iniasiasi) Kampung Oriented Development: Menuju Ide Kota Kompak untuk Indonesia
Definisi dan atribut Kota Kasus Kekompakan Kota- Kasus Kekompakan Kota- Eksplorasi Atribut Kota Kompak Kota di Jepang dan Inggris Kota di Indonesia Kompak di Kota di Indonesia Mengetahui prinsip kota kompak dan atributnya
Mengetahui kecenderungan kekompakan kota-kota di negara-negara tertentu
Mengetahui model densitas Mengethaui model atribut Model Densitas lainnya (aktivitas, transport, ukuran, kesejahteraan)
KELUARAN
Gambar 6. Bagan aliran penelitian terkait agenda penelitian multi tahun
17
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Analisi Kampung Kompak: Kasus Kota Yogyakarta Penelitian ini akan menggunakan Kotamadya Yogyakarta sebagai studi kasus dan beberapa data di dalamnya akan dikaitkan dengan pembahasan atribut kota kompak. Secara historis, Kota Yogyakarta menempatkan kampung-kampung di dalamnya sebagai bagian tak terpisahkan dari struktur kotanya sejak masa pembentukan Kerajaan Yogyakarta setelah Perjanjian Giyanti (1755) sampai saat ini. Masa pendudukan Belanda di Yogyakarta, tidak kuat mengaburkan eksistensi kampung-kampung ini, termasuk melalui pendirian permukiman baru pada zaman Belanda, seperti di Kotabaru, Bintaran. Penduduk Yogyakarta ini berdasar Yogyakarta dalam Angka (2007) berjumlah 42o ribu jiwa, yang terbagi dalam 14 kecamatan dengan kepadatan penduduk rata-rata sekitar 120 jiwa/ha (lihat Gambar 7). Jika melihat kepadatan penduduk ini, Yogyakarta masih mempunyai kepadatan penduduk di atas Tokyo (70 jiwa/ha) atau pun Singapura (90 jiwa/ha), 2 dari 3 kota di Asia (satu lagi Hongkong) yang oleh Newman dan Kenworthy (1999) dianggap sebagai kota ideal dalam efisiensi bahan bakar karena rendahnya pemakaian kendaraan pribadi dan kepadatan penduduknya yang cukup tinggi, dibanding kota-kota di Amerika Utara, Eropa, atau Australia.
100000
30000
80000 20000
60000 40000
10000
20000 0
M
an tr
ij e ro n M Kr a er t o g n U m an g bu san lh Go Ko arj nd tag o ok e d us e Da um n a P a u re n ku ja Go al n nd am om an Ng a n a an W mp Ge i ro il a do b ra n ng ja te n ng en Te J eti ga s lre jo
0
Populasi (jiwa)
Kepadatan (jiwa/km2)
Gambar 7. Jumlah dan kepadatan penduduk di tiap kecamatan di Kota Yogyakarta (Yogyakarta dalam Angka, 2007) Ditinjau dari aspek konsentrasi kegiatan, kampung mempunyai model yang secara tradisional telah banyak mengadopsi prinsip-prinsip “mixed-use” (kegiatan beragam). Hal ini juga ditandaskan oleh McGee (1996) bahwa kampung mampu mempresentasikan dualisme dari kondisi sosial kemasyarakatan di kota-kota negara berkembang, antara tradisional-modern, formal-informal, maupun kegiatan legal-ilegal. Dari kasus dan data yang ada di Kota Yogyakarta, perbandingan bangunan dengan fungsi hunian dan bukan hunian sangat menarik. Seperti ditunjukkan dalam Gambar 8,
18
prosentase bukan hunian/hunian begitu beragam, 0.3-0.6 (8 kecamatan) dan 0.8-1.4 (6 kecamatan). Prosentase kegiatan campuran yang tinggi diakibatkan oleh 2 hal, pertama karena begitu banyaknya penduduk bekerja dalam sektor informal dan memanfaatkan lingkungan tempat tinggalnya untuk berusaha Yang kedua terjadi karena guna lahan di wilayah tersebut memang didominasi oleh kegiatan non-hunian, seperti fungsi komersial, perkantoran, atau pendidikan. Meskipun kondisi ini bisa dipicu oleh ragam tekanan karena keterbatasan ruang usaha di dalam kampung, paling tidak ini menunjukkan kreativitas atau kesempatan yang bisa dimanfaatkan oleh penduduk kampung dalam mensiasati kesulitan hidup atau pun lemahnya penegakan aturan yang ada. Bagaimanapun, kondisi terbiasanya penduduk atau ruang kampung digunakan dalam berbagai macam bentuk kegiatan menjadi modal yang baik bagi tercapainya sebuah kesatuan berbagai kegiatan dalam sebuah ruang kota.
1.6
600
1.4
500
1.2 400
1 0.8
300
0.6
200
0.4 100
0.2 0
M an tr ij er on M Kra er t ga on Um ngs bu an lh a G Ko rjo on t do age ku de su Da ma nu n Pa re ku jan G ala on m do an m Ng ana am n W pi l ir G o a ed br n on aja gt n en ge n J Te et ga is lr ej o
0
Tempat Tinggal (ribu ha) Bukan Tempat Tinggal (ribu ha) Prosentase Non-Tempat Tinggal
Gambar 8. Guna lahan dan prosentase bukan hunian/hunian di tiap kecamatan di Kota Yogyakarta (Yogyakarta dalam Angka, 2007) Selanjutnya untuk intensifikasi transportasi umum, atribut ini dianggap paling berpengaruh bagi ketidaksiapan sebagian besar negara berkembang. Burgess dan Jenks (2001) mengemukakan argumentasi bahwa penggunaan kendaraan umum di negara berkembang bisa saja terjadi, seperti yang terjadi di India atau bangladesh. Hal ini tidak dipicu oleh sebuah rencana yang tersusun baik, tetapi lebih dikarenakan akses atau kesempatan untuk memiliki kendaraan pribadi yang memang terbatas. Sebaliknya, di Indonesia, masalah ini lebih diperburuk oleh situasi kepemilikan motor atau kendaraan pribadi lainnya secara mudah. Penduduk, sata ini, bisa membawa pulang sebuah sepeda motor bahkan dengan tanpa uang muka. Di Yogyakarta (lihat Gambar 9), keadaan dominasi sepeda motor juga demikian besarnya (240075), disusul berturut-turut oleh kepemilikan mobil (32332), truk (12730), dan taksi (776). Jumlah kepemilikan motor dan mobil pribadi ini, bila dijumlahkan, mencapai 1/3 dari jumlah penduduk Kota Yogyakarta. Jumlah ini, tentu saja akan semakin membengkak 2 atau 3 kali lipat, dikarenakan setiap harinya Kota Yogyakarta dipadati tidak hanya penduduk dan kendaraan dari Kota Yogyakarta, tetapi juga wilayah-wilayah aglomerasinya
19
(Kabupaten Sleman di utara-timur dan Kabupaten Bantul di selatan-barat yang secara keruangan menyatu dengan Kota Yogyakarta). Dari sudut pandang atribut kota kompak, kondisi dari transportasi umum Kota Yogyakarta ini masih memprihatinkan dan jauh dari ideal. Meskipun sejak awal tahun ini telah diluncurkan sekitar 30 armada Trans-Jogja yang dikelola oleh sebuah badan pengelola yang ditunjuk oleh Pemerintah Kota Yogyakarta, tetapi pengurangan jumlah kendaraan pribadi di dalam kota masih belum menampakkan hasil positif. Dari sini, strategi dalam intensifikasi transportasi umum di kota sebesar Yogyakarta (kota sedang) akan menjadi pelajaran menarik bagi kota-kota lain di negara berkembang.
Mobil Pribadi Motor Taksi
Truk Bis Umum
Gambar 9. Jumlah kendaran di Kota Yogyakarta (Yogyakarta dalam Angka, 2007) Atribut selanjutnya, yakni ukuran dan akses optimal kota dimaksudkan untuk memberikan pertimbangan bahwa sebuah kota perlu memiliki jarak optimum yang mudah dijangkau oleh penduduknya dalam pemenuhan kegiatan sehari-hari, baik ke tempat kerja, belanja, maupun rekreasi. Kota Yogyakarta sebagai studi kasus, mempunyai jarak yang mudah untuk dicapai, bahkan dari wilayah aglomerasinya (disajikan dalam Gambar 10). Kemudahan pencapaian ini masih dalam batas wajar akses, sehingga penduduk yang beraktivitas sehari-hari masih mempunyai pilihan untuk bertempat tinggal di luar pusat kotanya. Selain itu, lahan pusat kota yang dinilai mahal dengan kondisi wilayah Kota Yogyakarta hampir semuanya terstruktur dari perkampungan padat yang telah mempunyai imej negatif membuat penduduk lebih memilih daerah pinggir kota. Menjadikan Kota Yogyakarta lebih optimal dalam skala ruang dan akses, perlu memperkenalkan sebuah imej baru tentang kampung. Kampung yang telah disalahmengertikan oleh sebagian besar penduduk, bahkan oleh pemerintah sendiri, perlu segera mendapatkan prioritas model pembangunannya kembali (kampung redevelopment model).
20
Jogjakarta City Sprawl Area
Gambar 10. Lokasi Kota Yogyakarta dan wilayah aglomerasinya Lebih lanjut, jika kondisi kesejahteraan masyarakat sebagai atribut terakhir kota kompak direfleksikan di Kota Yogyakarta, maka kondisi penduduk yang masuk kategori sejahtera 3 cukup besar, disusul kategori sejahtera 1, dan kategori sejahtera 2. Seperti digambarkan pada Gambar 11, ada kecenderungan kesejahteran masyarakat meningkat pada tahun 2005 dan 2006, terutama pada sejahtera 1 menjadi kategori sejahtera 2 dan 3. Di waktu yang sama, kategori pra sejahtera juga mengalami peningkatan. Hal ini bisa dilihat sebagai melebarnya kesenjangan antar penduduk, terutama penduduk yang masuk kategori pra sejahtera dan penduduk yang masuk kategori 2 ke atas. Aspek kesejahteraan masyarakat ini seharusnya tidak hanya muncul secara transparan dalam peningkatan indikator kondisi sosial ekonomi masyarakat, namun juga pada kondisi bagaimana akses mereka pada fasilitas primer dan fasilitas bersama (fasum, fasos) di dalam kampung. 35000 30000 Jumlah KK
25000 20000 15000 10000 5000 0 Pra
Sejahtera 1 Sejahtera 2 Sejahtera 3
Sejahtera
2004
Kategori Sejahtera 2005
Sejahtera Plus
2006
Gambar 11. Kondisi kesejahteraan masyarakat di Kota Yogyakarta pada tahun 2004-2006 (Yogyakarta dalam Angka, 2007)
21
COMPACTNESS
Concentration Type
Cluster Type
Homogeneous Type
Gambar 12. Tipe kekompakan sebuah wilayah (diadopsi dari Hayashi, 2003) Hasil analisis dari data umum kondisi Kota Yogyakarta dikaitkan dengan atribut kota kompak ini jelas menghasilkan kondisi Kota Yogyakarta yang masih jauh dari ideal. Hal ini masih dalam taraf ide dan memerlukan proses pengembangan lebih lanjut. Sampai pada sebuah realisasi, hal ini memerlukan kajian jangka panjang dan memerlukan sebuah model yang interaktif dan dinamis. Lebih lanjut, penelitian ini bermaksud memperkenalkan sebuah model pembangunan kota kompak di Kota Yogyakarta dengan kampung sebagai orientasi utamanya, dengan densitas sebagai aspek utamanya. Dari aspek pembangunan permukimannya, jelas kondisi kampung yang telah padat dan di beberapa tempat cenderung kumuh; ditunjang dengan berbagai kegiatan di dalamnya; mempunyai komposisi kesejahteraan penduduk yang sangat beragam, namun tak ditunjang oleh ukuran yang jelas dan penyediaan transportasi umum yang juga masih terbatas, akan mempunyai perbedaan yang signifikan dari apa yang selama ini menjadi model kota kompak di negara maju. Seperti tertera dalam Gambar 12 yang diadopsi dari Hayashi (2003), upaya kampung kompak akan lebih cocok pada gambaran tipe homogen (paling kanan dalam Gambar 9, dengan isi yang heterogen) dari sebuah bentukan, dari pada tipe terkonsentrasi maupun tipe tipe klaster di wilayah yang luas dengan pembagian wilayah adminsitratif yang cukup beragam. 4.2. Menuju ”Kampung Oriented Development” (KOD)
Improvement
Basic Housing and Infrastructure Needs
Optimum Capacity
Demand for better Quality of Life (including SOD)
“Redevelopment”?
Kampung Oriented Development
Gambar 13. KOD (Kampung Oriented Development) sebagai kelanjutan dan perbaikan dari program-program yang ada dengan kampung sebagai pusatnya (Roychansyah, 2008) 22
Sebagai tindak lanjut dari pustaka dan analisis kampung kompak untuk Kota Yogyakarta, bagian ini akan memperkenalkan konsep “Kampung Oriented Development” (KOD) atau pembangunan berorientasi kampung sebagai sebuah inovasi pengembangan perumahan-permukiman yang terintegrasi secara kompak di perkotaan. Secara prinsip, hal ini didasari atas fakta di mana kampung tidak bisa dipisahkan dari struktur kota itu sendiri. Dalam hal ini, pembangunan berorientasi pada kampung (KOD) harus dipandang sebagai penyelesaian integratif dan permanen, bukan penyelesaian parsial dan sementara. Kedua, kampung telah mempunyai sejarah pengembangan yang dinilai sukses lewat KIP (Kampung Improvement Program), meskipun dalam tingkatan yang berbeda dan lebih bersifat proyek berdasar anggaran (tidak ada program lanjutannya). Sebagai tindak lanjutnya, sekaligus untuk meningkatkan kondisi kualitas hidup yang lebih baik seperti yang digambarkan pada Gambar 13, KOD diskenariokan mampu mengevaluasi kelemahan program sebelumnya dan menjadi salah satu model pembangunan perumahan di perkotaan.
People Oriented Development
Transit Oriented Development
Kampung Oriented Development
Access Oriented Development
Activity Oriented Development
Gambar 14. KOD terdiri dari program-program pemberdayaan kampung (Roychansyah, 2008) Untuk mendukung argumentasi di atas, saat ini banyak kampung atau wilayah perkotaan mempunyai kondisi yang memprihatinkan. Jika diukur dengan variabel terkait, seperti: kepadatan penduduk yang di luar batas, jumlah ruang terbuka, kualitas kesehatan lingkungan yang buruk, maka pembangunan kembali kampung menjadi sebuah program yang mendesak. Beberapa aspek yang perlu dibenahi antara lain adalah dengan jalan menghubungkan program KOD dengan program transportasi umum (transport oriented development), program yang berorientasi pada pembukaan akses seluas-luasnya bagi kampung (access oriented development), program yang berorientasi pada pewadahan kegiatan dan penduduk kampung (people and activity oriented development), seperti yang diilustrasikan pada Gambar 14. Semua program kegiatan ini dibingkai satu sebagai SOD (sustainability oriented development). Setiap program didedikasikan pada permasalahan spesifik kampung di Kota Yogyakarta. Sebagai contoh, pembangunan berorientasi pada akses diharapkan mampu membuka kampung dengan jejaring wilayah kota yang lebih luas.
23
Tabel 4. Kasiba-Lisiba BS dan Aspek Ketataruangan Kaitan Keruangan Muatan Ideal, Aturan
Fungsi (Hunian, Fasilitas) K L 50, 60, 10, 10, 40 30
Usaha, BS 60, 20, 20
Luasan (ha) K 150500
Kebutuhan (unit) L 50100
BS 50100
K 3000 -100 00
L 1000 -300 0
Rumah
BS 1000
Backlog yang dihitung tidak menggambarkan kekurangan di lokasi terpilih (kaitan dengan kemauan relokasi, dsb.) Pendekatan penyediaan rumah: swadaya, pemerintah, swasta, atau campur
Kaitan Rencana Tata Ruang K Men gacu
L Men gacu
BS Men gacu otom atis Konsern, komitmen, dan konsistensi kontrol terkait RTR.
Faktual, Praktik
Mekanisme interaksi dengan wilayah yang lebih luas
Target besaran yang sering tidak/kurang sesuai syarat
Aktual, Paradigma (evaluatif)
Integrasi, jarak akses, dan inisiasi sebagai kawasan mandiri (beban kawasan)
Pola dan produk penyediaan tipe serta jenis rumah/fasilitas
Kaitan Infrastruktur Muatan
Penyiapan Infrastruktur
Kaitan dengan PSD Kota
Tipe lahan Waktu Penyelesaian
K DesaKota
K Negara 1, ?, ?
Faktual, Praktik
K L Mini Mini mal Mal 60% 60% Kesiapan dan pembangunan PSD
Aktual, Paradigma (evaluatif)
Strategi pembangunan infrastruktur dengan beberapa aspek terkait.
Integrasi RTR, RP4D terhadap karakteristik wilayah
Tabel 5. Kasiba-Lisiba BS dan Aspek Penyediaan Infrastruktur
Ideal, Aturan
BS Mini mal 50% prioritas
L DesaKota
BS Kota
Belum ada petunjuk teknis dan aturan keterkaitan pembangunan PSD. Integrasi pembangunan PSD wilayah.
L Tanah hak 1, ?, ? (dampak
BS Tanah hak 1, 3, 10 negatif) waktu
Ekses rentang penyempurnaan infrastruktur. Keberlanjutan dalam pembangunan infrastruktur.
Untuk menunjukkan relevansi KOD dengan apa yang telah dilakukan Pemerintah saat ini, penelitian ini juga menggunakan evaluasi pengembangan Kasiba-Lisiba BS oleh Menpera serta program NUSSP oleh Direktorat Bina Program, Departemen pekerjaan Umum. Seperti yang ditunjukkan oleh Tabel 4 tentang evaluasi salah satu program pembangunan perumahan-permukiman melalui Kasiba-Lisiba BS yang dikaitkan dengan aspek ketataruangan dan Tabel 5 tentang evaluasi Kasiba-Lisiba BS dari aspek penyediaan infrastruktur, KOD juga menjadi solusi terbaik bagi hasil evaluasi program ini. Dalam tabel tersebut, program-program Kasiba-Lisiba BS mempunyai banyak kesenjangan antara tataran ideal (aturan), tataran faktual (praktik atau implementasi di lapangan), dan tataran aktual di mana menempatkan pembangunan berkelanjutan dan sebagian prinsip kota kompak di dalamnya. Dari kedua tabel itu juga terlihat bahwa program yang paling relevan dan mempunyai resiko paling kecil adalah pengembangan Lisiba BS, di mana beberapa jabarannya bisa dilakukan melalui KOD.
24
4.3. Model Densitas: Proposisi Kota Yogyakarta Berdasar data studi kebutuhan rumah di Kota Yogyakarta yang dilakukan oleh HRC (2007), seperti yang terlihat dalam Tabel 6, backlog atau kekurangan unit rumah pada tahun 2015 yang terjadi di Kota Yogyakarta sebagian besar berada di wilayah sepanjang Sungai Code yang mempunyai kepadatan sangat tinggi (Kecamatan Mergangsan, Gondokusuman, Danurejan, dan Pakualaman). Selain itu, pada 4 kelurahan ini pun rata-rata tingkat kepadatan penduduk pun begitu tinggi dan cenderung muncul sebagai kekumuhan (over density). Para penduduk biasanya memanfaatkan daerah aliran sungai sebagai wilayah tempat tinggal mereka. Sebagian besar dari mereka bekerja sebagai sektor informal di kota. Penyelesaian-penyelesaian yang diiniasi oleh pemerintah setempat sampai saat ini baru terbatas pada pembangunan rusunawa di sepanjang aliran Sungai Code. Saat ini telah ada 3 rusunawa umum di sepanjang DAS Code tersebut: Rusunawa Jogoyudan, Rusunawa Cokrodirjan, dan Rusunawa Tegalpanggung. Dengan tidak adanya program lanjutan dari keberhasilan memindah sebagian kecil warga ke bangunan bertingkat, tampak di sini bagaimana rusunawa menjadi sebuah penyelesaian yang hanya menyentuh permasalahan di permukaan. Artinya rusunawa dan bagaimana penyelesaian permasalahan melalui model pembangunan perumahan di perkotaan belum terujud. Melihat kondisi yang ada, realisasi model densitas bisa dimulai di DAS Code ini. Tabel 6. Prediksi kondisi perumahan per Kecamatan di Kota Yogyakarta Tahun 2015 (HRC, 2008) Kecamatan Penduduk KK Ketersediaan Backlog No. Rumah 1 Mantrijeron 40826 7929 9192 1263 2 Kraton 29824 6787 5671 -1116 3 Mergangsan 42441 8221 7079 -1142 4 Umbulharjo 73268 16466 17649 1183 5 Kotagede 31823 7041 7359 318 6 Gondokusuman 75428 13390 10000 -3390 7 Danurejan 31526 6711 4722 -1989 8 Pakualaman 15029 2816 1235 -1581 9 Gondomanan 17795 3616 2933 -683 10 Ngampilan 23710 4815 4775 -40 11 Wirobrajan 31188 6910 6042 -868 12 Gedongtengen 26749 6170 10478 4308 13 Jetis 38056 8001 6860 -1141 14 Tegalrejo 41345 8366 10526 2160 Jumlah 519008 107239 104521 -2718 Model densitas (kepadatan) penduduk maupun fisik di Kota Yogyakarta mulai diformulasikan. Pada bentukan ruangnya, struktur kota yang direkomendasi oleh Urban Task (2002) akan digunakan sebagai acuan (Gambar 5). Model densitas ini sangat dimungkinkan dibagi berdasar beberapa skenario: unit administrasinya; unit fisik kampung (berdasar analisis unit keruangannya); atau berdasar kegiatannya. Secara prinsip, perbedaan dari aplikasi model densitas ini adalah pembangunan baru harus
25
melalui sebuah kegiatan partisipasi masyarakat (community development) dan bertahap. Sebuah faktor tambahan selain trilogi berkelanjutan seperti yang dikemukakan Wheeler (1996) yakni sosial-ekonomi-lingkungan adalah budaya. Aspek ini harus dimasukkan dalam pertimbangan perubahan imej kampung pada penduduk setempat atau pun sosialisasi intensif pada para pendatang yang diharapkan bisa berintegrasi di dalamnya. Sebagai contoh, budaya hidup vertikal (vertical living culture) harus dilakukan melalui sebuah sosialisasi intensif atau model percontohan di mana masyarakat bisa merasakannya langsung. Meskipun begitu, proposisi untuk mengetahui tingkat kekompakan dari kampung-kampung yang ada menjadi agenda pertama yang harus dilakukan.
Gambar 15. Kampung Terban Utara (kiri atas), Kampung Lledok Terban (kanan atas), Kampung Prawirodirjan (kiri bawah), Kampung Cokrodirjan (kanan bawah) 26
Tabel 7. Karakteristik kampung yang digunakan sebagai studi kasus No Aspek 1. Nama 2.
3.
4. 5. 6. 7
8.
Kampung A Kampung Terban Utara Administratif Kelurahan Terban, Kecamatan Gondokusuman Lokasi Pusat kota, 500 m timur Stasiun Tugu Yogyakarta. Jumlah KK 58 KK (1 RT)
Kampung B Kampung Ledok Terban Kelurahan Terban, Kecamatan Gondokusuman Pusat kota, 500 m timur Stasiun Tugu Yogyakarta. 60 KK (3 RT)
Kampung D Kampung Cokrodirjan
0.8 ha 192 jiwa/ha
Kampung C Kampung Prawirodirjan Kelurahan Prawirodirjan Kecamatan Gondomanan Pusat kota, 500 m timur Kraton Yogyakarta 230 KK (3 RT) 9.1 ha 102 jiwa/ha
Luas (ha) Kepadatan penduduk Prosentase luas lahan terbangun Rata-rata jumlah hunian/ha
0.6 ha 156 jiwa/ha 65.3%
62.5%
88%
54%
58 unit/ha
89 unit/ha
26 unit/ha
85 unit/ha
Kelurahan Suryatmajan, Kecamatan Danurejan Pusat kota, 500 m timur Jalan MalioboroYogyakarta. 220 KK, 34 KK tinggal di rusunawa 2.6 ha 339 jiwa/ha
Dengan menggunakan 4 kasus kondisi kampung di Kota Yogyakarta, secara lebih detil bagaimana konstelasi kepadatan ini seharusnya perlu diterapkan. Empat kampung tersebut adalah Kampung Terban Utara, Kampung Ledk Terban, Kampung Prawirodirjan, dan Kampung Cokrodirjan (Gambar 15 dan Tabel 7). Semua kampung yang dijadikan studi kasus terletak di sepanjang Sungai Code. Kampung Terban Utara adalah representasi dari model kampung yang telah mengenal sentuhan arsitek (YB. Mangunwijaya) dan masih tetap terpelihara secara baik. Kampung ini mempunyai akses yang baik ke lingkungan sekitarnya.dan menjadi model kampung yang banyak dikunjungi wisatawan. Kampung Ledok Terban adalah representasi dari kampung yang masih alami (belum mendapat sentuhan perbaikan atau program khusus lainnya), dengan akses terbatas, dan cenderung kumuh (slum). Kampung Prawirodirjan juga merupakan representasi dari kampung yang secara alami belum banyak mendapatkan program khusus perbaikan. Perbedaannya dengan kampung sebelumnya, kampung ini mempunyai akses yang cukup baik, terhubung dengan wilayah sekitarnya secara merata, dan terjadi banyak variasi fungsi selain permukiman di dalamnya. Sedangkan Kampung Cokrodirjan adalah representasi kampung yang berubah karena projek rusunawa (rumah susun sederhana sewa) di dalamnya. Tujuh puluh lima persen (75%) penduduk setempat pindah ke lokasi rusunawa. Kampung ini juga mempunyai akses yang cukup baik ke wilayah sekitarnya. Bila melihat secara detil kondisi yang ada, kampung ini memiliki kepadatan tinggi dan sangat beragam (berkisar antara kepadatan tinggi 100 km/ha sampai dengan kategori “over-density” 340 jiwa/ha). Kepadatan bangunan atau prosentase luas lantai bangunan juga cukup tinggi, antara 54% sampai 88%). Lahan terbangun mendekati maksimal (100%), jika sirkulasi dalam kampung juga dihitung. Hal ini juga menyebabkan, begitu
27
rendahnya ruang terbuka (hijau) dalam lingkungan kampung tersebut, akses yang begitu kurang, dan kesan sesak yang mengarah pada kondisi kekumuhan kampung. Berdasarkan densitas yang ada pada tiap kampung dan dikaitkan dengan aturan yang –sementara- diadopsi dari Inggris (Jenks dan Dempsey, 2005), maka permukiman kampung yang diangkat sebagai studi kasus sebagian besar telah melampaui batas ideal pembangunan unit rumah maksimal (50 unit/ha) (konfirmasi ke Tabel 2). Hanya 1 kampung saja, yakni Kampung Cokrodirjan yang unit/ha huniannya masih masuk kategori minimal. Selebihnya (Kampung Terban Utara, Kampung Ledok Terban, dan Kampung Cokrodirjan) perlu dikombinasikan dengan model flat (rumah susun). Sementara itu bila dikaitkan dengan model pembangunan seperti diperlihatkan dalam Tabel 3 milik Litman (2002), maka model pembangunan pada ketiga studi kasus kampung di atas juga masuk kategori sentral (dengan kepadatan penduduk sekitar 152 jiwa/ha), sedangkan Kampung Prawirodirjan memiliki karakter pembangunan nodal (kepadatan penduduk antara 98-152 jiwa/ha). Dengan demikian, dari segi penghematan pembiayaan pembangunan maupun pemeliharaan infrastruktur, ketiga kampung di atas juga telah menunjukkan kesesuaian. Meskipun begitu, tingkat optimalisasi layanan masih perlu didiskusikan lebih lanjut, mengingat ketiganya memiliki kepadatan yang cenderung melebihi standar yang disyaratkan (rata-rata lebih dari152 jiwa/ha).
Gambar 16. Pilihan implementasi pembangunan disesuaikan dengan fungsi kegiatan dan pengembangan (Urban Task Force, 2002) Selanjutnya, untuk implementasi ke disain dan pengembangannya, Gambar 9 bisa memberi ilustrasi bagaimana sebuah kawasan dapat dikembangkan dengan tetap mengacu pada densitas yang harus diwadahi (70 unit/ha), berdasarkan pertimbangan kegiatan yang akan dikembangkan (hunian dan kegiatan lainnya). Pembangunan berorientasi kampung (KOD), seperti konsep di awal akan mempunyai tujuan yang secara langsung mampu untuk mengendalikan dan mengatur kepadatan penduduk kampung, mengatur jumlah ruang terbuka, atau meningkatkan kualitas kesehatan lingkungan. Semua upaya ini, bisa diawali dengan mengatur dan meningkatkan kualitas 28
kepadatan ruang, sehingga menghasilkan kualitas ruang sesuai dengan konsep yang diharapkan (Uytenhaak, 2009).
Gambar 17. Potongan melintang karakter kawasan Kota Yogyakarta berdasar analisis Transect
Gambar 18. Kondisi aktual kampung di Kota Yogyakarta, antara potensi dan tantangan
29
Dalam Gambar 18 selanjutnya pembangunan model transect atau lebih dikenal dengan Form Based Code (Parolek dkk., 2008) untuk lebih mempertegas bagaimana kaitan kepadatan kampung dan ruang kota secara keseluruhan di Yogyakarta seharusnya dikembangkan. Dalam gambar tersebut, Malioboro (berkotak gelap) sebagai pusat Kota Yogyakarta masih merupakan bagian terpenting kota yang sesedikit mungkin diubah, sedang kampung-kampung padat di sekitarnya direkomendasikan untuk divertikalkan, dengan beberapa pertimbangan seperti: penyediaan ruang terbuka, penanggulangan degradasi lingkungan, atau pun intensifikasi lahan. Dalam potongan transect ini, tiap zone dikelola berdasar karakter ruang, kegiatan, fungsi, sekaligus daya dukung lingkungannya. Hal ini dilakukan dengan tujuan memperoleh disain yang lebih akurat, harmonis, dan berkelanjutan. Lebih jauh, Gambar 16 mengilustrasikan kondisi kampung di Kota Yogyakarta yang menyimpan banyak potensi sekalgus tantangan dalam perujudan model pembangunan rumah di perkotaan melalui model densitas di atas. 4.4.Tantangan ke Depan: Kepadatan dan Tingkat Kerentanan Pada bagian ini, potensi kepadatan yang begitu utama dalam perujudan kota kompak, dikaitkan dengan resiko bencana. Dalam persepektif yang cukup berbeda ini, kepadatan akan mempunyai dimensi yang berbeda. Kepadatan yang tinggi, baik populasi maupun bangunan pada sebuah kawasan atau kota, akan dipandang sebagai sebuah kondisi yang menghasilkan kondisi yang berbanding lurus dengan munculnya resiko bencana dan kurban yang lebih tinggi. Semakin tinggi kepadatan sebuah kawasan, maka semakin tinggi pula resiko kerentanan yang dimiliki (baca misalnya Kidokoro, 2008). Urbanisasi yang tinggi di perkotaan membuat kondisi bermukim melebihi ambang batas kapasitas, melebihi kondisi optimal densitas yang seharusnya dimiliki. Di sisi lain, memburuknya kondisi bermukim oleh ulah manusia ini akan memicu kerentanan terhadap bencana, seperti banjir, longsor, kebakaran. Selain itu, bencana alam yang memang sangat alamiah datang, seperti gempa bumi juga bisa mengintai sewaktu-waktu. Hukum uniformitas pada kawasan bisa untuk mengecek apakah kawasan tersebut mempunyai catatan sebagai wilayah yang beresiko bencana (alam). Pada kondisi seperti ini menurut Mekvichai (2008), kombinasi resiko bencana yang ditimbulkan oleh manusia dan alam akan semakin besar. Pelling (2002) secara lengkap membahas resiko bencana yang timbul di wilayah perkotaan. Meskipun begitu, ia tidak secara khusus menghubungkan tingginya densitas dengan resiko bertambahnya bencana. Yang menjadi catatannya adalah bahwa kota yang semakin besar dengan jumlah penduduk yang tinggi, akan mempunyai resiko bencana yang semakin besar. Faktor kesiapan, termasuk perangkat fasilitas, dan kondisi sosial, bagaimanapun, menjadi kunci dari ketahanan (resilience) kota menghadapi bencana ini. Cross (2001) menambahkan pentingnya mengidentifikasi resiko bencana melalui hasil risetnya pada berbagai besaran wilayah kota. Di sana, meski tidak secara eksplisit terungkap, densitas yang relatif tinggi di perkotaan atau kota yang besar menjadi resiko tersendiri saat bencana datang. Kondisi lingkungan yang padat ini juga banyak terjadi di permukiman tradisional di negara berkembang, tak terkecuali di Indonesia. Menurut Jefferis-Nilsen (2009), kepadatan penduduk menjadi salah satu resiko peningkatan resiko bencana di suatu wilayah, selain lokasi munculnya hazard (bahaya), struktur dan konstruksi bangunan,
30
material bangunan, pemahaman masyarakat terhadap potensi munculnya bahaya persiapan (preparedness) yang dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah, serta pendidikan bencana yang memadahi. Dengan demikian, konsekuensi fisik pada model permukiman padat seperti ini adalah banyaknya struktur bangunan yang buruk atau tidak permanen, sempitnya ruang sirkulasi, keterbatasan layanan infrastruktur lingkungan, terutama air bersih, maupun keterbatasan ruang terbuka untuk kegiatan evakuasi. Secara langsung, bila bencana datang, kondisi permukiman padat seperti ini akan mempersulit kegiatan evakuasi dan pada akhirnya, menambah jumlah kerugian harta maupun nyawa.
Gambar 19. Peta sebaran korban jiwa (kiri) dan kondisi bangunan (kanan) Gempa Yogyakarta (dimodifikasi dari Data Satkorlak DIY, 2006) Kasus Gempa Yogyakarta pada Mei 2006, digunakan sebagai sebuah cara untuk memperkuat bukti empiris adanya hubungan antara kepadatan penduduk dengan kerentanan terhadap bencana (gempa bumi) yang timbul. Bagaimana pun, dari kajian teoretis sebelumnya, tampak bahwa hubungan densitas penduduk dan resiko bencana, utamanya untuk menilai tingkat kerentanan sebuah permukiman atau kota, belum terlihat secara jelas. Dan ke depannya, diharapkan, bukti yang muncul dari kedua event bencana yang cukup banyak menelan kurban ini, bisa diformatkan dalam sebuah interaksi yang kuat. Dengan demikian, seperti dikemukakan oleh Quarantelli, E.L., (2003) pada akhirnya setiap karakteristik wilayah bisa mempunyai jalan petunjuk (guideline) bagi upaya penurunan resiko bencana (disaster risk reduction) yang meliputi, mitigasi, persiapan, respon, dan pemulihan (recovery). Tahap mitigasi dan persiapan masuk dalam wilayah manajemen resiko dan tahap respon dan pemulihan masuk dalam wilayah manajemen krisis. Melihat data sebaran korban jiwa yang ditampilkan pada Gambar 19, kita bisa mengobservasi bahwa gempa bumi di Yogyakarta mempunyai kecenderungan menimpa selatan Kota Yogyakarta (Kabupaten Bantul, DIY) dan timur Kota Yogyakarta (Kabupaten Sleman di DIY, dan Kabupaten Klaten di Provinsi Jawa Tengah), membentuk garis barat daya ke timur laut, sampai ke Kabulaten Klaten. Dari data yang ada (Satkorlak Provinsi DIY, 2006) juga terungkap bahwa kurban jiwa yang paling
31
banyak adalah di Kabupaten Bantul (4143 jiwa meninggal) disusul Kabupaten Klaten (1045 jiwa meninggal). Selanjutnya kita hanya akan berkonsentrasi pada data Kabupaten Bantul ini. Di Kabupaten Bantul sendiri, jika melihat secara seksama Gambar 4, terdapat 3 wilayah yang mempunyai kurban di atas 500 orang (Bambanglipura, Jetis, dan Pleret), 7 wilayah yang mempunyai kurban antara 100-500 jiwa (Banguntapan, Bantul, Imogiri, Piyungan, Pundong, Pandak, dan Sewon), 1 wilayah mempunyai korban meninggal antara 50-100 (Kasihan), dan sisanya mempunyai korban meninggal di bawah 5o orang (pembagiannya juga ditampilkan pada Tabel 4 di bawah). Tabel 8. Kecamatan di Bantul dan kategorisasi wilayah berdasar korban meninggal (dielaborasi dari Satkorlak Provinsi DIY, 2006). No
1. 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Kecamatan
Luas (km2)
Jumlah Densitas Rata Rusak pendudu (jiwa/k tanah berat k jiwa) m2) Kategorisasi A: Kecamatan dengan korban meninggal >500 jiwa Bambanglipu 22.70 42,832 1,887 6,587 2,732 ra Jetis 24.47 49,581 2,026 11,35 2,810 6 Pleret 22.97 34,133 1,486 8,139 2,322 Kategorisasi B: Kecamatan dengan korban meninggal 100-500 jiwa Banguntapan 28.48 77,532 2,722 5,557 8,232 Bantul 21.95 58,207 2,652 4,708 7,338 Imogiri 54.49 56,562 1,038 5,664 5,354 Piyungan 32.54 37,979 1,166 5,514 4,801 Pundong 23.68 33,011 1,394 6,793 1,903 Pandak 24.30 48,353 1,990 2,966 5,760 Sewon 27.16 76,099 2,802 8,281 8,496 Kategorisasi C: Kecamatan dengan korban meninggal 50-100 jiwa Kasihan 32.38 78,044 2,410 1,790 4,657 Kategorisasi D: Kecamatan dengan korban meninggal <50 jiwa Dlingo 55.87 36,698 647 1,377 3,360 Kretek 26.77 30,946 1,156 1,121 4,665 Pajangan 33.25 30,135 906 1,228 2,216 Sanden 23.16 33,995 1,468 97 2,052 Sedayu 34.36 43,563 1,268 243 1,800 Srandakan 18.32 29,242 1,596 342 3,054 Total 506.85 796,863 1,572 71,763 71,732
Rusak ringan
816 664 1,438 7,452 3,301 11,781 3,135 500 4,069 6,004 11,946 4,720 2,486 2,610 4,650 4,591 3,506 73,689
Dari Tabel 8 ini kita mempunyai bukti bahwa pada tiap kategorisasi, wilayah yang mempunyai kepadatan tertinggi juga mempunyai kerusakah hunian yang paling parah. Hal ini terutama signifikan ditemukan pada kategorisasi A (kecamatan dengan kurban meninggal >500 jiwa) di mana Kecamatan Jetis berada dan kategorisasi B (kecamatan dengan kurban jiwa 100-500 orang) di mana Kecamatan Sewon dan Banguntapan berada. Hal ini bisa dilihat bahwa wilayah atau kecamatan yang berada dalam
32
kategorisasi A dan B benar-benar merupakan wilayah inti gempa. Dengan demikian, kepadatan yang tinggi benar-benar mempengaruhi banyaknya korban yang jatuh dan kerugian material yang ditimbulkan. Bisa dibayangkan apabila gempa ini sampai di Kota Yogyakarta yang mempunyai kepadatan rata-rata 10 kali lipat dari kepadatan di wilayah Kabupaten Bantul ini (15,600 jiwa/km2).
33
BAB. V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. KESIMPULAN Tidak bisa dipungkiri, kampung memiliki peran yang signifikan dan menjadi bagian integral pada upaya kota di Indonesia dibawa menuju konsep pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berorientasi kampung (KOD) menjadi salah langkah realistis untuk mendukung percepatan strategi pembangunan ini. Dari analisis, berdasar atribut kota kompak, kampung di Kota Yogyakarta, sebagaimana kampung lain di negara berkembang, mempunyai potensi tinggi dalam atribut kepadatan penduduk dan kegiatan multi fungsi di dalamnya. Kepadatan atau densitas yang optimal ini menjadi salah satu kunci strategis dalam pencapaian keberlanjutan dalam ruang maupun pembangunan kota. Capaian peningkatan kepadatan ruang kota (hunian tengah kota, distrik multi fungsi dalam kota, atau seputar wilayah transit) menuju sebuah kondisi ideal dan optimal (densifikasi) yang diukur melalui jumlah jiwa, hunian, maupun ragam fungsi kegiatan lainnya menjadi sebuah langkah awal produktif bagi strategi keberlanjutan ruang kota. Pengaturan kepadatan kampung kota di satu sisi bisa menyelaraskan beberapa upaya ke arah pencapaian ini, selain secara langsung bisa mengatur lingkungan kampung menjadi lebih baik. Penelitian awal ini secara jelas mengungkapkan bahwa tingginya kepadatan dalam kampung kota (beberapa cenderung melebihi ambang-kepadatan atau “over-density”) selain menunjukkan potensi, sekaligus juga memberi kejelasan langkah yang perbaikan yang harus ditempuh, utamanya terkait model pengembangannya. Meskipun demikian, kepadatan yang tinggi juga rentan terhadap bahaya, terutama bencana alam. Kepadatan penduduk yang tinggi memang mempunyai kecenderungan untuk menerima kerugian yang lebih besar dibanding wilayah yang mempunyai kepadatan penduduk lebih rendah. Hal ini menjadi tantangan ke depan bagaimana ide menaikkan derajat kepadatan di sebuah wilayah dalam sebuah strategi kota kompak, yang diikuti oleh pengkosentrasian kegiatan (mixed-use development), harus dikaitkan dengan antisipasi konsep kapasitas daya dukung kawasan (carrying capacity). Upaya pengurangan resiko bencana pada sebuah kota yang menerapkan strategi kota kompak ini dengan kepadatan yang tinggi perlu dikaji lebih dalam. 5.2. SARAN Secara substansi, beberapa penelitian lanjutan perlu dilakukan, antara lain: 1. Pendalaman analisis hubungan kepadatan atau densitas penduduk di kampung kota dengan performa dari atribut kota kompak yang lain, melalui analisis spasial. 2. Analisis tipologi dan morfologi kepadatan kampung kota, terutama pada target model perencanaan/perancangan kawasan secara komprehensif.
34
DAFTAR PUSTAKA Atman, R. (1975) Kampung Improvements in Indonesia dalam Ekistic, 238:216-220, September, 1975. Bappenas (2005), Peraturan Presiden No.7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Tahun 2004 -2009, Bab 33 Percepatan Pembangunan Infrastruktur, Bappenas Biro Pusat Statistik (2008), Sensus Penduduk Indonesia 2005, Biro Pusat Statistik, Jakarta Biro Statistik Yogyakarta (2007) Yogyakarta dalam Angka 2007, Biro Statistik Yogyakarta, Yogyakarta. Breheny, M., 1992, The Contradictions of The Compact City: a Review, in Breheny M. J. (ed.) Sustainable Development and Urban Form, European Research in Regional Science, 2, Pion, London, 138-159. Burgess, R.; Jenks, M. (ed.) (2001). Compact City: Sustainable Urban Forms for Developing Countries, Routledge, London. Cross, J. (2001) Megacities and Ssmall Towns: Different perspectives on Hazard Vulnerability, in Global Environmental Change Part B: Environmental Hazards, Volume 3, Issue 2, June 2001, pp. 63-80. De Roo, G., Miller, D., eds. (2000) Compact City and Sustainable Urban Development: A Critical Assessment of Policies and Plans from an International Perspective, Ashgate, Aldershot. Elkin, T.; McLaren, D.; Hillman, M. (1991) Reviving the City; Towards Sustainable Urban Development, Friends of the Earth, London. Frey, H. (1999). Designing the City Towards A More Sustainable Urban Form, E & FN Spon, London Guiness, P. (1986) Harmony and Hierarchy in a Javanese Kampung, Oxford University Press, Singapore. Hayashi, Y. (2003) Regeneration and Social Capitalization of Cities for Higher Quality of Life and Sustainability of Environment and Economy, International Symposium: Diagnosis, Treatment and Regeneration for Sustainable Urban Systems, March 13-14, 2003, Ibaraki. Housing Research Institute (2008) Studi Kebutuhan Rumah Tinggal di Kotamadya Yogyakarta, HRC, Yogyakarta, Jefferis-Nilsen, P. T. (2009) Course on Hazards and Risks of Earthquakes and Volcanoes, Chapter: Risk and Population, San Jose State University, http://www.sjsu.edu/people/paula.jefferis-nilsen/courses/, last accessed March 17, 2010. Jenks, M.; Burton, E.; Williams, K. (ed) (1996). The Compact City: A Sustainable Urban Form?, E & FN Spon, London. Jenks, M.; Dempsey, N. (2005), Language and Meaning of Density, on Jenks, M.; Dempsey, N. (ed.) (2005). Future Forms and Design for Sustainable Cities, Architectural Press, Burlington MA, 287-309. Kidokoro, T. (2008) Community-based Approach for Improving Vulnerable Urban Space, in Kidokoro, T. et.al (eds) Vulnerable Cities: Realities, Innovations and Strategies, Springer, Tokyo, pp. 3-14. Litman, T.A., (2002), Evaluating Transportation Land Use Impacts, Victoria Transport Policy Institute, Victoria. 35
Mc.Gee, T. G. (1996). On the Utility of Dualism: The Informal Sector and Mega-Urbanization in Developing Countries, Regional Development Dialogue, Vol. 17 No.1, 1-15. Mekvichai, B. (2008) The Vulnerable City: Coping with Disasters, in Kidokoro, T. et.al (eds) Vulnerable Cities: Realities, Innovations and Strategies, Springer, Tokyo,pp. 15-28. Nas, P. J. M. (1987) The Indonesian City, Foris Publications, Dordrecht. Newman, P.; Kenworthy, J.R. (1999). Sustainability and Cities: Overcoming Automobile Dependence, Island Press, Washington D.C.. Parolek, D.G., Parolek, K., Crawford, P.C. (2008) Form Based Code: A Guide for Planners, Urban Designers, Municipalities, and Developers, Wiley, New York Patton, S.V.; Subanu, L.P. (1988) Meeting Shelter Needs in Indonesia, in Patton, C.V. (ed.) Shelter: International Perspective and Prospects, Temple University Press, Philadelphia, pp. 168-190. Pelling, M. (2003) The Vulnerability of Cities Natural Disasters and Social Resilience, Earthscan Publication Ltd., London. Quarantelli, E. L. (2003) Urban Vulnerability to Disasters in Developing Countries: Managing Risks, in Kreimer, A.: Arnold, M.; Carlin, A. (Eds.), Building Safer Cities: The future of Disaster Risk, The World Bank Washington D.C, 2003. Roychansyah, M. S, Ishizaka, K., Omi, T (2004), Attributes of City Compactness and Their Tendencies in Japanese City Context, Proceedings 5th International Symposium on Architectural Interchange in Asia, Matsue, p. 337-342. Roychansyah, M. S.; Ishizaka, K.; Omi, T (2005). Considerations of Regional Characteristics for Delivering City Compactness: Case of Studies of Cities in the Greater Tokyo Area and Tohoku Region, Japan, Journal of Asian Architecture and Building Engineering Vol. 4 Issue 2, 339-346 Roychansyah, M.S. (2008), Compact City Development Model in Indonesia: A Kampung Oriented Development dalam Proceeding of International Seminar on Green Architecture and Environment: Towards Green Compact Cities, 14 Oktober 2008, Hasanuddin University, Makassar. Satkorlak Provinsi DIY (Disaster Recovery Unit, Yogyakarta Special Province) (2006) Report of Yogyakarta and Central Java Earthquake Recovery Activities (in Indonesian), unpublished. Setiawan, B. (2003), Informal Settlement (Kampung) in Indonesian Cities: Temporary or Permanent Solution?, Department of Architecture, Gadjah Mada University: Internal Publication. Steinberg, F. (1992) People’s Participation and Self-help in the Indonesian Kampung, in Mathey, K. ed. 1992. Beyond Self-help Housing,: Mansell Publishing Limited, London and New York. Sullivan, J. (1992) Local Government and Community in Java: an Urban Case Study. Oxford University Press, Singapore Suselo, H, Taylor, J.L. (1995) Overview of IUIDP in Indonesia dalam Suselo, et. Al (ed.) Indonesia`s Urban Infrastructure Development Experience: Critical Lessons of Good Practice, United Nations Centre for Human Settlements (HABITAT). United Nation for Environmental Program (UNEP) (2008) Chapter 7: Promoting Sustainable Human Settlement Development, http://www.unep.org/ last accessed on 10 Oktober 2009.
36
Urban Task Force (2002). Towards an Urban Renaissance: Final Report of the Urban Task Force Chaired by Lord Rogers of Riverside, the Department of the Environment, Transport, and Regions (DoE), London. Uytenhaak, R. (2009). Cities Full of Space, Qualities of Density, 010 Publishers, Rotterdam. Wheeler, S. (1996) Sustainable Urban Development: A Literature Review and Analysis, IURD (Institute of Urban Regional Development) University of California at Berkeley, California. Williams, K.; Jenks, M.; Burton, E., eds. (2000) Achieving Sustainable Urban Form, E & FN Spon, London.
37
LAMPIRAN
38
SURAT KONFIRMASI DARI UNIVERSITAS MITRA DI LUAR NEGERI
III. SARANA
39
MOU ANTARA UNIVERSITAS GADJAH MADA DAN TOHOKU UNIVERSITY
40
INSTRUMEN PENELITIAN
41
1. Laboratorium Sarana laboratorium tidak bergitu berfungsi, karena penelitian ini menggunakan studi kasus permukiman padat di kampung Yogyakarta. Interaksi dengan studi kasus ini akan banyak memakan penggunaan waktu dari penelitian ini. Setengah lebih waktu akan banyak terserap dalam eksplorasi data sekaligus konfirmasi kepada penduduk melalui wawancara atau FGD (forum group discussion). 2. Peralatan Utama Tahap kegiatan lapangan dan konfirmasi data Alat utama dalam eksplorasi data di lapangan cukup sederhana, yakni kompuer portable (notebook), alat rekam gambar (camera), peta dasar (basemap), alat tulis, alat ukur fisik (meter graph) dan alat rekam suara (sound recorder) merupakan alat utama selama di lapangan. Tahap kegiatan analisis Software analisis berupa GIS (geographic information system), software gambar (CAD, 3DMax), dan software statistik (excel) akan berguna bagi analisis hasil lapangan ke dalam sebuah basis data informasi yang siap dianalisis lebih lanjut. Selanjutnya, software khusus seperti D-MAS (density matrix analysis system) akan berguna untuk menghasilkan analisis model densitas. 3. Keterangan Tambahan FGD (forum discussion group) akan banyak melibatkan masyarakat di lokasi penelitian (4-5 kampung terpilih). Diskusi kolaboratif juga akan diselenggarakan dengan mitra kerja sama selama kegiatan berlangsung (by e-mail), dan selama permodelan dilakukan di Univeritas Tohoku, Sendai, Jepang.
42
BIODATA PENELITI PENELITI UTAMA
1. Identitas Peneliti Nama
: Muhammad Sani Roychansyah, S.T., M.Eng., D.Eng
Tempat/tgl lahir
: Yogyakarta, 20 Mei 1971
Alamat
: Jalan dr. Sutomo 11A, Yogyakarta 55211
2. Pendidikan
:
S.T. (1995, Universitas Gadjah Mada, arsitektur) M.Eng. (2002, Tohoku University, perencanaan infrastruktur) D.Eng. (2005, Tohoku University, arsitektur dan urbanisme) 3. Pengalaman penelitian dll.: JSPS Postdoctoral Research Fellowship, Formulation of Compact City Model in Japan and Its Possible Application to Developing Countries (2005-2007) PMU Advisor, Departemen Pekerjaan Umum, Community Settlement Plan (2009-2011) 4. Judul Publikasi
:
•
Kampung Oriented Development Model: A Rapid Appraisal of Local Communities, Prosiding CIB - W110 Meeting and Conference, Surakarta, 16 April 2009 (bersama Andyan Diwangkari)
•
Compact City and Habitation, Habitat Lecture Series on “Habitation Engineering” Program, diundang dan dibiayai oleh Kyushu University, Japan, Februari 2009
•
Compact City Development Model in Indonesia: a Kampung Oriented Development, Konferensi Internasional “Green Architecture and Environment: Towards Green Compact Cities”, Makassar, Oktober 14, 2008 Yogyakarta, 15 Desember 2009
M. Sani Roychansyah, S.T., M.Eng., D.Eng. 43
PENELITI ANGGOTA
1. Identitas Peneliti Nama
: Dyah Titisari Widyastuti, S.T., MUDD.
Tempat/tgl lahir
: Surakarta, 23 Juni 1971
Alamat
: Jalan Bima Kencana 7A, Condong Catur Yogyakarta 55283
2. Pendidikan
:
S.T. (1995, Universitas Gadjah Mada, arsitektur) MUDD. (2001, University of New South Wales, Australia, desain kota) 3. Pengalaman penelitian dll.: Hibah Riset LPPM UGM, Model Peningkatan Kualitas Visual Kawasan Lingkungan Binaan Kajian Proses Penciptaan Mural pada Ruang-Ruang Publik Kota Yogyakarta yang Berbasis Budaya dan Partisipasi Masyarakat (2004, bersama Ikaputra) 4. Judul Publikasi •
:
Localizing Imported Culture, Creating A New Identity through Mural. The case of Yogyakarta City, Indonesia. 8th International Conference of The Asian Planning Schools Association, Penang, September 11-14th, 2005 (with Ikaputra).
•
Enhancing Image of Place through Redefining the Way Finding, Case: Kotagede Historical Aging District, 5th Great Asian Street Symposium, Singapore December 5, 2008
Yogyakarta, 15 Desember 2009
Dyah Titisari Widyastuti, S.T., MUDD.
44
PENELITI ANGGOTA (MITRA DALAM NEGERI) 1. Identitas Peneliti Nama
: Mahditia Paramita, S.T., MUP.
Tempat/tgl lahir
: Yogyakarta, 4 Oktober 1979
Alamat
: Jalan Teratai I/14 Condong Catur, Yogyakarta 55283
2. Pendidikan
:
S.T. (2002, Universitas Gadjah Mada, arsitektur) MUP. (2004, KU Leuven, Belgia, perencanaan perumahan) 3. Pengalaman penelitian dll.: Manager Housing Research Center, Yogyakarta, 2006 – sekarang dengan kegiatan riset dan menyediakan data kondisi perumahan, khususnya di Yogyakarta dan kota sekitarnya, dengan dana utama dari Menpera (kementrian Perumahan Rakyat) dan lembaga asing (World Bank, UN Habitat, dan lain-lain). 4. Judul Publikasi
:
•
Critical Review of National Urban Development Corporation (PERUMNAS) in Indonesia, KU Leuven, 2005
• •
Housing Needs Assessment Methodology in Indonesia, Menpera, Juni 2008 Feasibility Study on Housing Resettlement in Yogyakarta and Surakarta, HRC, November 2008
Yogyakarta, 15 Desember 2009
Mahditia Paramita, S.T., MUP.
45
PENELITI MITRA (LUAR NEGERI) 1. Identitas Peneliti Nama
: Kouichi Ishizaka, Dr.Eng., Prof.
Tempat/tgl lahir
: Tokyo, November, 1949
Alamat
: 6-6-04, Aramaki Aza Aoba, Aoba-ku, Sendai, Miyagi 980-8579, Japan
2. Pendidikan
:
B.Eng., Tokyo Institute of Technology (1977) M. Eng., Tokyo Institute of Technology (1979) D. Eng., Tokyo Institute of Technology (1981) 3. Pengalaman penelitian dll.: Perencanaan perumahan dan guna lahan (study on housing and land use planning (1981-1990), analisis kota (urban analysis) (1990-) Researcher, Building Research Istitute, Tsukuba (1981-1996) Associate Professor, Tohoku University (1996-2006) Professor, Tohoku University (2006-) 4. Judul Publikasi
:
•
Analysis on Effectiveness of Compact City Policy, Journal of Architecture and Planning,74 (635), 2009, 177-183 (bersama Yoshiko Ohashi)
•
Evaluation of Residential Area from a Point of Elderly People's Walking Accessibility in Local Center City, Journal of Architecture and Planning,74 (635), 2009,129-136 (bersama Takuya Hara dan Yoshiko Ohashi)
Sendai, 15 Desember 2009
Kouichi Ishizaka, Dr.Eng., Prof.
46
PENELITI MITRA (LUAR NEGERI) 1. Identitas Peneliti Nama
: Michio Ubaura, Dr.Eng., Assoc. Prof..
Tempat/tgl lahir
: Tokyo, December, 1973
Alamat
: 6-6-04, Aramaki Aza Aoba, Aoba-ku, Sendai, Miyagi 980-8579, Japan
2. Pendidikan
:
B.Eng., Kyoto University (1996) M. Eng., Kyoto University (1999) D. Eng., Kyoto University (2003) 3. Pengalaman penelitian dll.: Sistem perencanaan kota (city planning system) (2003-) Researcher, COE Toyohashi Institute of Technology (2003-2005) Associate Researcher, Osaka City University (2005-2008) Associate Professor, Tohoku University (2008- sekarang) 4. Judul Publikasi
:
•
The Historical Transition of the Planning Contents of Suburban Area in Shenyang, Journal of the City Planning Institute of Japan,43(3), 2008, 553-558 (bersama Chang Liu dan Kohei Akasaki)
•
A Study on the Character of Spontaneously Located Daily-Use Facilities in Semboku New Town, Proceedings of International Symposium on City Planning, 2008, 516-525 (bersama Ota H., Horiuchi, Y., Kana, K., Akasaki, K.).
Sendai, 15 Desember 2009
Michio Ubaura, Dr.Eng., Assoc. Prof..
47