PERTANIAN
LAPORAN PENELITIAN HIBAH KOMPETITIF SESUAI PRIORITAS NASIONAL BATCH II TAHUN 2009
TEMA PENGENTASAN KEMISKINAN
JUDUL PENELITIAN REKAYASA TEKNOLOGI PEMBESARAN KEPITING BAKAU (Scylla spp) DI TAMBAK UNTUK MENINGKATKAN TARAF HIDUP MASYARAKAT
Ir. Rukmini, MP. (Peneliti Utama) Siti Aisiah, SPi., MP. (Anggota) Noor Arida Fauzana, SPi., MSi. (Anggota)
Halaman Peng
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT BANJARMASIN NOPEMBER 2009
2
Halaman Pengesahan
1. Judul Penelitian
:
2. Bidang Ilmu 3. Ketua Peneliti a. Nama Lengkap b. Jenis Kelamin c. NIP d. Jabatan Struktural e. Jabatan Fungsional f. Fakultas/Jurusan g. Alamat i. Telpon/Faks j. Alamat Rumah k. Telpon/Faks/E-mail
:
Rekayasa Teknologi Pembesaran Kepiting Bakau (Scylla spp) Di Tambak Untuk Meningkatkan Taraf Hidup Masyarakat. Pertanian
: : : : : : : : : :
Ir. Rukmini, MP. P 19650407 199203 2 002 Lektor Kepala Perikanan/Budidaya Perairan Jl. A.Yani Km 36 Simpang Empat Banjarbaru (0511)4772124/ (0511)4772124 Jl. Sekumpul Gg. Cempaka RT.01 No. 33 Martapura (0511)7715121
4. Jangka Waktu Penelitian : 5. Pembiayaan - Jumlah biaya disetujui : 6. Nomor Surat Perjanjian :
2 tahun (seluruhnya) Rp. 97.500.000,- (Tahun 1) 360/SP2H/PP/DP2M/VI/2009 Banjarbaru, 20 Nopember 2009
Mengetahui, Dekan Fakultas Perikanan Unlam
Ketua Peneliti
Ir.H.Achmad Riswandi Bandung, MS. NIP. 19530223 198003 1 002
Ir. Rukmini, MP. NIP. 19650407 199203 2 002
Menyetujui KetuaRINGKASAN Lembaga Penelitian Unlam Pengembangan Silvofisheries Budidaya Air Payau Pada Kegiatan Pengembangan Kawasan Budidaya Air Payau Dalam Rangka Pembinaan Dan Pengembangan Perikanan Budidaya Propinsi Kalimantan Selatan, 2006. Rukmini, Syachradjad Frans, Hj. Mariatul Asiah, dan Sani. 66 halaman Dr.Abdullah Ir. Ahmad Kurnain, MSc. NIP. 19630407 199103 1 003
3
RINGKASAN
REKAYASA TEKNOLOGI PEMBESARAN KEPITING BAKAU (Scylla spp) DI TAMBAK UNTUK MENINGKATKAN TARAF HIDUP MASYARAKAT Rukmini, Siti Aisiah, dan Noor Arida Fauzana. 73 halaman.
Permasalahan yang sangat mendasar dari petambak ikan dan udang tradision di desa Kuala Lupak Kalimantan Selatan adalah keterbatasan modal dan panen sering gagal.
Gagal panen disebabkan sering terjadi adanya pasang yang sangat tinggi.
Tambak ikut tenggelam, sehingga ikan dan udang yang dipelihara keluar dan juga adanya penyakit yang menyerang ikan dan udang. Akibat sering gagal panen tersebut banyak tambak yang tidak diusahakan lagi. Mereka hanya pasrah dan tidak mampu bertahan lagi. Data tambak yang sekarang tidak diusahakan/produktif sekitar 2.652 ha (80 % dari seluruh luas tambak 3.315 ha) (Pemda Kab. Batola, 2008). Tujuan dari penelitian ini adalah : (1) Menemukan teknologi aplikatif yaitu berupa teknologi pembesaran kepiting bakau guna memanfaatkan lahan tambak yang tidak produktif dan meningkatkan taraf hidup
masyarakat. (2) Mengetahui metode
pembesaran kepiting bakau di tambak yang terbaik untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidupnya.
(3) Mengetahui berat bibit, padat tebar, dan dosis pakan
optimal dari kepiting bakau untuk memacu pertumbuhan dan kelangsungan hidupnya.. Tempat penelitian adalah di tambak di desa Kuala Lupak Kecamatan Tabunganen Kabupaten Barito Kuala, Propinsi Kalimantan Selatan. Waktu penelitian berlangsung selama 12 minggu (3 bulan) dari September - Nopember 2009. Penelitian ini merupakan penelitian eksprimen di mana rancangan yang digunakan adalah RAL Faktorial pola 3 x 3 x 3 dengan ulangan 3 kali. Faktor pertama adalah Faktor U yaitu ukuran bibit kepiting bakau, terdiri dari tiga taraf, yaitu: U1 = Ukuran kepiting ± 100 gram/ekor , U 2 = Ukuran kepiting ± 150 gram/ekor, dan U3 = Ukuran kepiting ± 200 gram/ekor.
4
Faktor kedua adalah Faktor P yaitu padat tebar kepiting terdiri dari tiga taraf, yaitu: P1 = Padat tebar kepiting 5 ekor/m2, P2 = Padat tebar kepiting 7 ekor/m2, dan P3 = Padat tebar kepiting 9 ekor/m2. Faktor ketiga adalah Faktor D yaitu dosis pakan terdiri dari tiga taraf, yaitu: D1 = Dosis pakan 5 % BB, D2 = Dosis pakan 10 % BB, dan D3 = Dosis pakan 15 % BB. Parameter diukur dengan interval waktu setiap 2 minggu sekali. Parameter utama berupa kecepatan pertumbuhan berat relatif (%) kepiting bakau dan tingkat kelangsungan hidup / survival rate kepiting bakau (%). Selanjutnya dilakukan pula pengamatan dan pengukuran beberapa parameter kualitas air dan kualitas tanah lokasi sebagai media pemeliharaan. Data-data dilakukan pengujian hipotesis dengan Analysis of Variance (Anova), tetapi sebelumnya data-data terlebih dahulu dilakukan prosedur uji Normalitas Lilliefors. Hasil penelitian adalah : (1) kecepatan pertumbuhan berat relatif (%) mencapai nilai paling rendah terjadi pada perlakuan U3P1D1 sebesar 40,119 % dan nilai paling tinggi terjadi pada perlakuan
U1P2D3 yaitu sebesar 113,015 %, termasuk dalam
katagori yang cukup pesat (2) Survival rate kepiting bakau 100 %; (3) Hasil analisis statistik, faktor ukuran bibit berpengaruh terhadap kecepatan pertumbuhan berat relatif kepiting bakau, di mana ukuran bibit 100 gram/ekor lebih baik pertumbuhannya dibanding ukuran bibit 150 gram/ekor dan 200 gram/ekor, tetapi tidak berpengaruh terhadap survival rate kepiting bakau (4)
Faktor padat tebar kepiting bakau
berpengaruh terhadap kecepatan pertumbuhan berat relatif kepiting bakau, di mana padat tebar 7 ekor/m2 lebih baik pertumbuhannya dibanding padat tebar 5 ekor/m2 dan 9 ekor/m, tetapi tidak berpengaruh terhadap survival rate kepiting bakau (5) Faktor dosis pakan berpengaruh terhadap kecepatan pertumbuhan berat relatif kepiting bakau, di mana dosis 15 % BB lebih baik pertumbuhannya dibanding dosis 5 % BB dan 10 % BB, tetapi tidak berpengaruh terhadap survival rate kepiting bakau (6) Hasil analisis parameter kualitas air dan kualitas tanah lokasi penelitian desa Kuala Lupak Kabupaten Barito Kuala cukup ideal bagi pengembangan pemeliharaan kepiting bakau.
5
Dari hasil penelitian ini disarankan : (1) Oleh karena terbukti sangat menguntungkan, maka di wilayah Kuala Lupak Kabupaten Barito Kuala perlu dikembangkan usaha pemeliharaan kepiting bakau, sebagai diversifikasi komoditi bagi petani bandeng dan udang windu setempat (Jurusan / Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru, Dibiayai oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional, sesuai dengan Surat Perjanjian Pelaksanaan Penelitian Nomor: 306/SP2H/PP/DP2M/VI/2009, tanggal 30 Juli 2009).
6
SUMMARY
APPLIED TECHNOLOGY OF MUD CRAB (Scylla spp) CULTURE IN POND TO INCREASE FARMERS INCOME Rukmini, Siti Aisiah and Noor Arida Fauzana. 73 pages.
The main problem of the fish and prawn traditional farmers in Kuala Lupak South Kalimantan are less of capital and unsuccessfully harvest. Unsuccesfully harvest caused by overflooded of the highest tide in ponds. The consequences of fish and tiger prawn cultured were get out of the ponds and also the fish and prawn were attacked by diseases. So the ponds are not productif anymore. Therfose, the farmers just leave then and can not be used anymore. The data of now productive ponds are about 2.652 ha (80 % of the total 3..315 ha ponds) (Pemda Kabupaten Batola, 2008). The objective of this research are : (1) To find out the apllied technology for culturing of the mud crab by using the non productive ponds , that can increase of the farmers income. (2) To know the best culture method of mud crab in ponds for its growth and survival rates. (3) To know the weight, density, and optimalize doses of feed for mud crab which is given the best growth and survival rates. Location of the research is in Kuala Lupak village, Tabunganen, Barito Kuala district, South of Kalimantan Province. The research was carried out in 12 weeks (3 moths), from September to Nopember 2009. Experimental Design of
The research applied Factorial
Completely Random Design (CRD) in which 3 x 3 x 3
treatments with 3 replications each. The first factor is the individual size of the mud crab (U) with 3 degree size in which U1 = ± 100 gram, U2 = ± 150 gram, and U3 = ± 200 gram, and the second factor is mud crab density (P) in which P1 = 5 ind/m2, P2= 7 ind/m2, and P3 = 9 ind/m2. and third factor is the doses of feed given (D) with 3 degree in which D1 = 5 % BW, D2= 10 BW, and D3 = 15 % BW. Each parameter of this research was measured for 2 week time interval. Main parameter were the relative weight growth (%) and survival rate (%) of the mud crab, while other parameter was water quality and site location quality as culture media. All
7
the data and hyphotesis were analized with Analysis of Variance (Anova), but before the data were analized with Normally Lilliefors procedure . The research results was : (1) The lowest relatif growth weight of the mud crab was U3P1D1= 40,119 % and the highest was U1P2D3 = 113,015 %. (2) Survival rates was 100 % for all treatments. (3) Statistical analyze showed that the size of seed factor was significantly different to growth of the mud crab, in which the lower size (±100 gram) was better than the langer size of ±150 gram and ± 200 gram each. (4)
The
density factor was significantly different to growth of the mud crab in which the density of 7 ind/m2 was better than the density of 5 and 9 ind/m2. (5) Doses of food factor was significantly different of to growth of the mud crab, in which the doses of 15 % BW was better than doses of 5 % BW and 10 % BW. (6) Water quality and site location quality in Kuala Lupak Barito Kuala was good and ideal for culturing of the mud crab. Recomendation of the research was in Kuala Lupak village in Barito Kuala, must be developed to mud crab culture as diversification comodity for local aquaculturist of milk fish and tigger prawn to increase the farmers income. (Study Program : Aquaculture Faculty of Fisheries, Lambung Mangkurat University, Banjarbaru, Budget from Directorate General of Higher Education, Department of National Education : Fit with Promised Letter Conducted Research Number : 306/SP2H/PP/DP2M/VI/2009, dated July, 30, 2009).
8
PRAKATA
Permasalahan yang sangat mendasar dari masyarakat petambak ikan dan udang, umumnya dan khususnya di desa Kuala Lupak Batola Kalimantan Selatan adalah masalah keterbatasan modal dan budidaya di tambak yang sering gagal. Kegagalan disebabkan pasang yang sangat tinggi sehingga ikan dan udang keluar dan adanya penyakit menyerang ikan dan udang. Akibatnya sekarang ini banyak tambak tidak produktif lagi dibiarkan begitu saja. Salah satu cara untuk mengatasi hal ini perlu adanya alternatif komoditas yang dapat diusahakan di tambak. Dalam rangka mengatasi permasalahan ini, salah satu alternatif yang ditawarkan adalah rekayasa teknologi pembesaran kepiting bakau (Scylla spp) di tambak. Sudah waktunya petani mengalihkan usahanya dengan komoditi selain ikan bandeng dan udang windu. Hal ini karena kepiting bakau merupakan komoditi ekspor dengan harga mahal, di mana jika diusahakan dengan baik akan mendatangkan keuntungan besar. Ditambah lagi di desa Kuala Lupak benih kepiting bakau sangat banyak. Dari hal inilah dicoba suatu penelitian dengan rekayasa teknologi pembesaran kepiting bakau dalam karamba, dengan tujuan meningkatkan taraf hidup masyarakat. Pada kesempatan ini Tim Peneliti, mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan berpartisipasi dalam kegiatan ini. Rasa terima kasih ini terutama ditujukan kepada: 1. Ditbinlitabmas – Dikti Jakarta sebagai penyandang dana 2. Ketua Lembaga Penelitian Unlam Banjarmasin 3. Dekan Fakultas Perikanan Unlam Banjarbaru 4. Ketua Jurusan / Ketua Program Studi Budidaya Perairan Fakultas Perikanan Unlam. 5. Kepala Desa Kuala Lupak, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan beserta masyarakat petani tambak. 6. Teman-teman sejawat di Jurusan Budidaya Perairan yang telah memberikan motivasi dalam penelitian ini.
9
Kegiatan ini tentunya tidak lepas dari kekurangan-kekurangan.
Untuk itu
dimohon untuk saran dan kritik yang konstruktif untuk perbaikan di masa-masa akan datang. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Banjarbaru, 20 Nopember 2009
Tim Peneliti,
10
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN PENGESAHAN RINGKASAN
………………………………………………
i
………………………………………………………………
ii
SUMMARY ...................................................................................................
iii
PRAKATA …………………………………………………………………....
iv
DAFTAR ISI ………………………………………………………………….
v
DAFTAR TABEL ……………………………………………………………
vi
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................
vi
DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………………..
vii
BAB I.
BAB II.
BAB III.
PENDAHULUAN ………………………………………………...
1
1.
Latar Belakang ……………………………………………….
1
2. Tujuan Khusus ..........................................................................
2
3. Urgensi (Keutamaan) Penelitian ................................................
3
TINJAUAN PUSTAKA .....................……………………………
7
1. Potensi Lahan Tambak..……………………………………….
7
2. Kepiting Bakau .........................................................................
7
3. Teknologi Bertambak Kepiting Bakau...…………………......
9
4. Studi Pendahuluan Yang Sudah Dilaksanakan ..…………......
11
METODE PENELITIAN.............………………………………...
13
1. Tempat dan Waktu Penelitian ………………….......................
13
2. Bahan dan Peralatan ................................................................
14
3. Konstruksi Karamba ….............................................................
14
4. Rancangan dan Parameter .........................................................
15
5. Hipotesis Statistik dan Analisis Data ........................................
18
11
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................
21
1. Pertumbuhan Kepiting Bakau .………………………………...
21
2. Kelangsungan Hidup Kepiting Bakau ………………………….
32
3. Kualitas Air dan Tanah .……………………………………...
32
KESIMPULAN DAN SARAN........................................………...
39
1. Kesimpulan...............…..............……………………………..
39
2. Saran..................................................…………………………
39
BAB V.
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………
40
LAMPIRAN……………………………………………………………………
42
12
BAB I. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Permasalahan yang sangat mendasar dari petambak ikan dan udang tradisional di desa Kuala Lupak Kalimantan Selatan adalah keterbatasan modal dan panen sering gagal.
Gagal panen disebabkan sering terjadi adanya pasang yang sangat tinggi.
Tambak ikut tenggelam, sehingga ikan dan udang yang dipelihara keluar dan juga adanya penyakit yang menyerang ikan dan udang. Akibat sering gagal panen tersebut banyak tambak yang tidak diusahakan lagi. Mereka hanya pasrah dan tidak mampu bertahan lagi. Data tambak yang sekarang tidak diusahakan/produktif sekitar 2.652 ha (80 % dari seluruh luas tambak 3.315 ha) (Pemda Kab. Batola, 2008). Disisi lain, mata pencaharian mereka sebagai tangkapannya semakin menurun.
nelayan di laut
juga hasil
Menurut Dinas Perikanan dan Kelautan Batola
(2008), hasil tangkapan ikan dilaut pada tahun 2006 sebesar 3.035,9 ton, 2007 sebesar 2.863,7 ton sedangkan 2008 hanya sebesar 1.246,7 ton. Sedangkan biaya operasional ke laut meningkat, karena harga bahan bakar yang mahal. Ditambah lagi akhir-akhir ini keadaan cuaca dilaut yang sering badai dan angin topan. Sehingga nelayan sering tidak dapat melaut untuk menangkap ikan.
Pendapatan keluarga sangat rendah padahal
keperluan sehari-hari mahal, sehingga masyarakat desa ini miskin. Dari permasalahan tersebut di atas, maka sangat perlu dilakukan uji coba suatu usaha
pertambakan
dengan
teknologi
pembesaran
kepiting
bakau..
Dengan
pertimbangan bahwa pembesaran kepiting bakau tidak memerlukan modal yang besar,
13
bibit kepiting banyak, paling mudah dipelihara, mempunyai nilai ekonomis tinggi dan sangat laku dipasaran. Menurut Fujaya (2007), harga kepiting bakau. hidup ditingkat pedagang pengumpul dapat mencapai Rp.100.000,- per kg untuk grade CB (betina besar berisi/bertelur, ukuran > 200 g/ekor) dan Rp.30.000,- untuk LB (jantan besar berisi, ukuran > 500g- 1000g/ekor). Kepiting lunak/soka harganya dua kali lipat lebih tinggi. Di luar negeri, harga kepiting bakau grade CB dapat mencapai 8.40 U$ - 9.70 U$ per kg sedangkan LB dihargai 6.10 U$ - 9.00 U$ per kg. Ukuran >1000g (Super crab) harganya 10.5 U$ per kg.
2. Tujuan Khusus Tujuan khusus dari penelitian ini adalah : a. Menemukan teknologi aplikatif yaitu berupa teknologi pembesaran kepiting bakau guna memanfaatkan lahan tambak yang tidak produktif dan meningkatkan taraf hidup masyarakat. b. Mengetahui metode pembesaran kepiting bakau di tambak yang terbaik untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidupnya. c. Mengetahui berat bibit, padat tebar, dan dosis pakan optimal dari kepiting bakau untuk memacu pertumbuhan dan kelangsungan hidupnya. d. Mengetahui apakah terdapat interaksi antara berat bibit, padat tebar, dan dosis pakan yang diberikan.
14
e. Mengetahui apakah teknologi pembesaran kepiting bakau di tambak dapat diterapkan di desa Kuala Lupak Batola dan memberikan keuntungan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat.
3. Urgensi (Keutamaan) Penelitian Data dari Pemerintah Daerah Kabupaten Batola Kalimantan Selatan yang didukung hasil pengamatan dan penelitian di beberapa daerah pertambakan khususnya menunjukkan banyak lahan tambak tidak produktif. Petambak tidak memelihara ikan bandeng dan udang windu. lagi.
Data terakhir menunjukkan tambak yang tidak
diusahakan/produktif sekitar 5.052 ha (80 % dari seluruh luas tambak 6.315 ha).. Permasalahan yang sangat mendasar dari petambak ikan dan udang tradisional ini adalah keterbatasan modal, pengetahuan/keterampilan, dan sering gagal panen. Kegagalan panen disebabkan sering terjadi adanya pasang yang sangat tinggi dan mendadak. Tambak tenggelam, sehingga ikan dan udang yang dipelihara keluar dan juga adanya penyakit yang menyerang ikan dan udang seperti White spots dan insang hitam. Akibat sering gagal panen tersebut banyak tambak yang tidak produktif lagi. Mereka hanya pasrah dan tidak mampu bertahan lagi. Disisi lain, mata pencaharian utama mereka sebagai nelayan di laut juga hasil tangkapannya semakin menurun. Menurut data Dinas Perikanan dan Kelautan Batola (2008), hasil tangkapan ikan dilaut pada tahun 2006 sebesar 3.035,9 ton, 2007 sebesar 2.863,7 ton sedangkan 2008 hanya sebesar 1.246,7 ton. Sedangkan biaya operasional ke laut meningkat. Ditambah lagi akhir-akhir ini keadaan cuaca dilaut yang sering badai
15
dan angin topan.
Nelayan sering tidak dapat melaut untuk menangkap ikan.
Pendapatan keluarga sangat rendah, tidak dapat mencukup keperluan hidup akibatnya masyarakat desa ini miskin. Dari permasalahan tersebut di atas, sangat diperlukan uji coba suatu usaha pertambakan dengan teknologi pembesaran kepiting bakau.. Dengan pertimbangan bahwa pembesaran kepiting bakau tidak memerlukan modal yang besar, bibit kepiting banyak terdapat di desa, paling mudah dipelihara, mempunyai nilai ekonomis tinggi dan sangat laku dipasaran lokal., nasional dan internasional.
Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Aisiah (2007), bibit kepiting bakau hijau (Syclla spp) sangat banyak terdapat di desa Kuala Lupak, kepiting ini keluar dari lubang-lubang tanah dibawah hutan bakau/mangrove untuk mencari makan pada saat menjelang malam hari. Hal ini berarti sekaligus menunjukkan bahwa di desa ini cocok untuk budidaya kepiting bakau. Menurut Fujaya (2007), harga kepiting bakau. hidup ditingkat pedagang pengumpul dapat mencapai Rp.100.000,- per kg untuk grade CB (betina besar berisi/bertelur, ukuran > 200 g/ekor) dan Rp.30.000,- untuk LB (jantan besar berisi, ukuran > 500g- 1000g/ekor). Kepiting lunak/soka harganya dua kali lipat lebih tinggi. Di luar negeri, harga kepiting bakau grade CB dapat mencapai 8.40 U$ - 9.70 U$ per kg sedangkan LB dihargai 6.10 U$ - 9.00 U$ per kg. Ukuran >1000g (Super crab) harganya 10.5 U$ per kg. Berdasarkan data yang tersedia di Departemen Kelautan dan Perikanan, permintaan kepiting dan rajungan dari pengusaha restoran sea food Amerika Serikat mencapai 450 ton setiap bulan. Jumlah tersebut belum dapat dipenuhi karena
16
keterbatasan hasil tangkapan di alam dan produksi budidaya yang masih sangat minim. Padahal, negara yang menjadi tujuan ekspor kepiting bukan hanya Amerika tetapi juga Cina, Jepang, Hongkong, Korea Selatan, Taiwan, Malaysia, dan sejumlah negara di kawasan Eropa. Sebuah perusahaan di Tarakan yang menjadi pengumpul sekaligus eksportir kepiting mengaku hanya sanggup mengirim 20 ton kepiting per bulan ke Korea, padahal permintaan mencapai 80 ton per bulan. Kepiting tersebut diekspor dalam bentuk segar/hidup, beku, maupun dalam kaleng. Di luar negeri, kepiting merupakan menu restoran yang cukup bergengsi. Dan pada musim-musim tertentu harga kepiting melonjak karena permintaan yang juga meningkat terutama pada perayaan-perayaan penting seperti imlek dan lain-lain. Daging kepiting, tidak saja lezat tetapi juga menyehatkan. Daging kepiting mengandung nutrisi penting bagi kehidupan dan kesehatan. Meskipun mengandung kholesterol, makanan ini rendah kandungan lemak jenuh, merupakan sumber Niacin, Folate, dan Potassium yang baik, dan merupakan sumber protein, Vitamin B12, Phosphorous, Zinc, Copper, dan Selenium yang sangat baik. Selenium diyakini berperan dalam mencegah kanker dan pengrusakan kromosom, juga meningkatkan daya tahan terhadap infeksi virus dan bakteri. Selain itu, Fisheries Research and Development Corporation di Australia melaporkan bahwa dalam 100 gram daging kepiting bakau mengandung 22 mg Omega-3 (EPA), 58 mg Omega-3 (DHA), dan 15 mg Omega-6 (AA) yang begitu penting untuk pertumbuhan dan kecerdasan anak. Bahkan kandungan asam lemak penting ini pada rajungan lebih tinggi lagi. Dalam 100 gram daging rajungan mengandung 137 mg Omega-3 (EPA), 90 mg Omega-3 (DHA),
17
dan 86 mg Omega-6 (AA). Untuk kepiting lunak/soka, selain tidak repot memakannya karena kulitnya tidak perlu disisihkan, nilai nutrisinya juga lebih tinggi, terutama kandungan chitosan dan karotenoid yang biasanya banyak terdapat pada kulit. Bukan hanya dagingnya yang mempunyai nilai komersil, kulitnyapun dapat ditukar dengan dollar. Kulit kepiting diekspor dalam bentuk kering sebagai sumber chitin, chitosan dan karotenoid yang dimanfaatkan oleh berbagai industri sebagai bahan baku obat, kosmetik, pangan, dan lain-lain. Bahan-bahan tersebut memegang peran sebagai anti virus dan anti bakteri dan juga digunakan sebagai obat untuk meringankan dan mengobati luka bakar. Selain itu, dapat juga digunakan sebagai bahan pengawet makanan. Berdasarkan pertimbangan di atas, maka perlu adanya suatu penelitian pembesaran kepiting bakau di tambak. Hal ini sangat penting dan utama dalam rangka memanfaatkan lahan tambak yang tidak produktif untuk meningkatkan pendapatan dan taraf hidup masyarakat.. Hasil penelitian ini diharapkan ditemukannya suatu teknologi pembesaran kepiting bakau yang mapan (well proven), sehingga dapat diterapkan dan dapat memecahkan masalah masyarakat di desa Kuala Lupak secara komprehensif.
18
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
1. Potensi Lahan Tambak Indonesia dikenal sebagai negara bahari dan kepulauan terbesar di dunia dengan luas perairan laut termasuk zona ekonomi eksklusif Indonesia (ZEEI) sekitar 5.8 juta kilometer persegi atau 75% dari total wilayah Indonesia. Wilayah laut tersebut ditaburi lebih dari 17.500 pulau dan dikelilingi garis pantai sepanjang 81.000 km yang merupakan terpanjang di dunia setelah Kanada. Di sepanjang pantai tersebut, yang potensil sebagai lahan tambak ± 1.2 juta Ha. Yang digunakan sebagai tambak udang baru 300.000 Ha. (Dahuri, 2005). Sisanya masih tidur atau tidak produktif. Artinya, peluang membangunkan potensi tambak tidak produktif tersebut untuk budidaya kepiting masih terbuka.
2.
Kepiting Kepiting
Bakau
dapat ditemukan di sepanjang pantai Indonesia. Ada dua jenis
kepiting yang memiliki nilai komersil, yakni kepiting bakau dan rajungan. Di dunia, kepiting bakau sendiri
terdiri
atas
4
spesies dan keempatnya ditemukan di
Indonesia, yakni: kepiting bakau merah (Scylla olivacea) atau di dunia internasional dikenal dengan nama“red/orange mud crab”, kepiting bakau hijau (S .serrata) yang dikenal sebagai “giant mud crab” karena ukurannya yang dapat mencapai 2-3 kg per ekor, S. tranquebarica (Kepiting bakau ungu) juga dapat mencapai ukuran besar dan S. paramamosain (kepiting bakau putih) (Fujaya, 2007).
19
Potensi kepiting bakau yang melimpah di desa Kuala Lupak ini, terlihat ketika peneliti berada di desa. Hanya dalam hitungan beberapa waktu, ratusan kepiting bakau dari berbagai ukuran konsumsi ada disana. Ternyata, pengumpul kepiting dari desa ini telah menunggu dan segera mensortir kepiting bakau layak ekspor untuk dijual ke coldstorage, sisanya (Grade BS/rejected live mud crab) dijual kepada pedagang lokal. Menurut pengumpul tersebut, setiap harinya didapatkan sekitar 80-100 kg kepiting dan langsung habis terjual. Masyarakat desa sekarang ini hanya mencari dan menangkap kepiting bakau ukuran konsumsi untuk kemudian dijual kepedang pengumpul dengan harga Rp. 40.000 – Rp.50.000,- per kg. Bila ingin menjadikan kepiting sebagai komoditas andalan maka penangkapan dari alam saja tidaklah cukup. Bahkan penangkapan yang berlebihan dapat mengancam kelestarian hewan ini. Karena itu, budidaya adalah pilihan yang tepat. Ada beberapa teknologi
yang mendukung kegiatan budidaya tersebut, yakni: pembenihan,
pembesaran, penggemukan, produksi kepiting bertelur, dan produksi kepiting lunak/soka. Pembesaran kepiting bakau umumnya dilakukan di dalam tambak baik dengan maupun tanpa pagar bambu atau waring, juga dapat ditumpangsarikan dengan rumput laut. Penggemukan dan produksi kepiting bertelur dilakukan dalam kurungan yang terbuat dari bambu atau dalam keramba apung, dan kepiting lunak dipelihara dalam keranjang secara individu. Ukuran keramba dapat dimodifikasi, tergantung pada target produksi, kemampuan dan permodalan. Keramba diberi pelampung pada setiap sisinya,
20
kemudian dapat diletakkan dalam tambak, saluran pemasukan air, atau daerah pinggiran sungai. Pemilihan spesies dan teknik budidaya perlu dilakukan dengan cermat agar usaha ini lebih menguntungkan. Untuk tujuan produksi daging, budidaya sebaiknya di arahkan ke kultur monoseks jantan terutama spesies S. serrata dan S. transquebarica (kepiting bakau hijau dan ungu/hitam) karena lebih cepat besar sehingga waktu yang dibutuhkan untuk mencapai ukuran ekspor lebih singkat. Untuk produksi kepiting bertelur, sebaiknya menggunakan spesies S. olivacea (kepiting bakau merah/orange) karena lebih cepat bertelur. Untuk produksi kepiting lunak/soka kepiting yang dijadikan bahan baku dapat dari semua spesies dengan ukuran lebar karapas 5-7 cm. Setelah molting atau berganti kulit, ukuran kepiting akan bertambah sekitar 30 %.
3. Teknologi Bertambak Kepiting Bakau
a. Memilih Metode Tambak Metode budidaya kepiting bakau yang sesuai dengan kondisi lahan adalah menggunakan sistem hamparan tambak dalam ukuran luas tertentu, dengan penebaran 5 - 9 ekor bibit kepiting bakau/m2. Namun untuk mencari bibit yang jumlahnya sampai ribuan ekor sekaligus, sesuai dengan ukuran luas tambak, rasanya tidak mungkin. Maka untuk mencapai jumlah penebaran bibit itu dilakukan secara bertahap.
21
b. Bibit Keberhasilan suatu budidaya kepiting bakau di samping ditunjang teknik budidaya yang handal, tersedianya bibit juga sangat menentukan. Untuk usaha budidaya penggemukan kepiting ada cara untuk memperoleh bibit, yaitu: Para pencari bibit menjual kepada pedagang pengumpul, yang kemudian oleh pedagang pengumpil diseleksi sesuai dengan ukuran yang sudah ditentukan. Untuk ukuran keci-kecil langsung dijual kepada petani pembudidaya. Biasanya ukuran bibit kepiting berkisar antara antara 100 – 200 gr.
c. Pemberian Pakan Menurut Fathullah (2006), kepiting bakau termasuk hewan Carnivora (pemakan daging). Bahan pakan untuk kepiting mudah didapat. Pakan kepiting bakau berupa ikan rucah, siput, gondang, dan lain-lain. Pemberian pakan dilakukan 2-3 kali sehari, yaitu: pagi, sore dan malam hari. Adapun dosis pemberian pakan antara 5 – 15% dari perkiraan berat badan kepiting bakau yang dipelihara.
d. Pemanenan dan Cara Pengemasan Masa pemeliharaan penggemukan kepiting bakau relatif singkat atau juga tergantung dari awal penebaran bibit. Untuk bibit ukuran 100 gram dalam masa pemeliharaan 1,5 – 2 bulan sudah bisa mencapai ukuran konsumsi (3–4 ekor/kg). Namun apabila awal sudah mempunyai berat lebih dari 200 gram, maka masa pemeliharaan bisa lebih singkat. Petani memanen kepiting bakau dilakukan secara
22
selektif yaitu dengan cara memancing dan memisahkannya antara kepiting bakau yang sangat gemuk dan yang telah mengalami matang gonad atau matang telur. Kepiting bakau yang sedang matang telur mempunyai harga yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang lain. Kepiting bakau sebelum diikat diletakkan ke dalam air bersih beberapa saat. Setelah itu kepiting bakau baru diikat kakinya dengan tali raffia atau karet, kemudian dimasukkan ke dalam keranjang atau tempat lainnya yang diberi alas bawah dan penutup atasnya dari handuk atau kain basah sebagai pelembab. Sehingga dengan demikian, kulit kepiting bakau tidak dapat mengeras kembali sampai dikonsumsi (Dinas Kelautan dan Perikanan Probolinggo, 2009).
4. Studi Pendahuluan Yang Sudah Dilaksanakan Hasil penelitian Rukmini dan Olga (2000), didapat bahwa kepiting bakau yang dipelihara dalam bak beton selama 2 bulan dengan diberi pakan udang-udang kecil dan bekicot kecepatan pertumbuhannya sekitar 50 %. Rata-rata berat bibit yang ditebar 100 gram menjadi 150 gram. Penelitian serupa juga dilakukan oleh Rukmini dan Fauzana (2001), hasilnya intermoulting kepiting bakau lebih cepat terjadi dengan pemberian pakan ikan rucah dari pada pakan bekicot dan gondang. Selajutnya menurut Aisiah (2007), bibit kepiting bakau yang banyak terdapat di desa Kuala Lupak adalah kepiting bakau hijau (S .serrata ).
Kepiting tersebut keluar
dari lubang-lubang tanah dibawah hutan bakau/mangrove dan dipinggir sungai untuk
23
mencari makan pada saat menjelang malam hari. Hal ini berarti sekaligus menunjukkan bahwa di desa ini kondisi alamnya sangat cocok untuk budidaya kepiting bakau.
24
BAB III. METODE PENELITIAN
1. Tempat dan Waktu Penelitian Tempat penelitian adalah tambak di desa Kuala Lupak Kecamatan Tabunganen Kabupaten Barito Kuala, Propinsi Kalimantan Selatan. Desa Kuala Lupak merupakan lokasi pertambakan di wilayah Kalimantan Selatan, karena terletak di pantai. Waktu penelitian direncanakan berlangsung selama 3 bulan, dengan rincian jadwal seperti tersaji pada Tabel 1 berikut ini : Tabel 1. Jadwal Pelaksanaan Penelitian No 1. 2.
3.
4.
1 Persiapan Pelaksanaan a. Penebaran bibit kepiting bakau b. Pengamatan dan penimbangan berat c. Pengukuran dan analisa kualitas air Pengolahan dan analisis data
Pelaporan a. Draf Laporan b. Seminar Hasil c. Laporan akhir d. Penggandaan dan distribusi laporan x = 1 minggu
Bulan 2
3
xx x xx
xxxx
xx
xx
xxxx
xx x
x x x x x
25
2. Bahan dan Peralatan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: a. Bibit kepiting bakau (Scylla spp) berat 100 – 200 gram/ekor b. Pakan berupa udang-udang kecil, ikan rucah, bekicot, dan gondang. c. Bahan-bahan kimia untuk pengawet specimen dan analisa kadar NH3-N di perairan Sedangkan peralatan yang digunakan meliputi: a. Wadah karamba 81 buah, masing-masing berukuran 1 m x 1 m x 1 m. b. Peralatan sampling (timbangan, scop net kawat dll) c. Peralatan pengukur kualitas air in situ (thermometer, hand refraktometer, pH-meter, DO-meter, dan Organic meter).
3. Konstruksi Karamba Wadah pemeliharaan berupa karamba terbuat dari bahan bambu yang diletakkan ke dalam tambak. Penempatan karamba ½ bagian didalam air, ½ bagian dipermukaan air tambak. Didalam karamba juga diberi pelampung kayu untuk kepiting menempel. Kisi-kisi karamba lebih kecil disesuaikan dengan ukuran bibit kepiting, sehingga untuk mencegah lolosnya bibit keluar. Bentuk dan ukuran karamba persegi empat dengan ukuran 1 m x 1 m x 1 m. Setelah karamba selesai dilakukan penebaran bibit kepiting sesuai dengan perlakuan penelitian. Sebelumnya dilakukan penimbangan berat bibit kepiting dengan sampel secara acak sebanyak 70 % dari jumlah seluruhnya. Bibit kepiting berasal dari hasil penangkapan di alam di sekitar lokasi pembesaran. Penebaran dilakukan pagi
26
atau sore hari agar terhindar dari stress. Pakan diberikan sesuai dosis perlakuan setiap hari pada pagi dan sore hari. Pengukuran kualitas air tambak dilakukan selama masa pemeliharaan.
Pada saat panen dilakukan penimbangan kepiting dan perhitungan
kepiting yang masih hidup.
4. Rancangan dan Parameter Penelitian ini merupakan penelitian eksprimen di mana rancangan yang digunakan adalah RAL Faktorial pola 3 x 3 x 3 dengan ulangan 3 kali. Faktor pertama adalah Faktor U yaitu ukuran bibit kepiting, terdiri dari tiga taraf, yaitu: U1 = Ukuran bibit kepiting ± 100 gram/ekor U 2 = Ukuran bibit kepiting ± 150 gram/ekor U3 = Ukuran bibit kepiting ± 200 gram/ekor Faktor kedua adalah Faktor P yaitu padat tebar bibit kepiting terdiri dari tiga taraf, yaitu: P1 = Padat tebar bibit kepiting 5 ekor/m2 P2 = Padat tebar bibit kepiting 7 ekor/m2 P3 = Padat tebar bibit kepiting 9 ekor/m2 Faktor ketiga adalah Faktor D yaitu dosis pakan yang diberikan terdiri dari tiga taraf, yaitu: D1 = Dosis pakan yang diberikan 5 % BB D2 = Dosis pakan yang diberikan 10 % BB D3 = Dosis pakan yang diberikan 15 % BB
27
Kombinasi jumlah faktor dan jumlah taraf di atas dengan pengulangan 3 kali menghasilkan 81 unit percobaan. Denah dari unit-unit percobaan pada penelitian ini disusun secara acak menurut Gaspersz, (1991). Lama waktu percobaan direncanakan kurang lebih 8 minggu (60 hari) dari tebar sampai panen. Parameter utama yang diukur dalam penelitian ini meliputi: 1. Kecepatan pertumbuhan berat kepiting bakau, dengan persamaan sebagai berikut: P
Wt W 0 x100% W0
di mana: P
= Kecepatan pertumbuhan berat (%)
Wt
= Berat akhir (gram)
W0
= Berat awal (gram)
2. Tingkat kelangsungan hidup kepiting bakau, dengan persamaan Nt x100% N0
TKH
di mana: TKH = Tingkat kelangsungan hidup (%) Nt
= Jumlah akhir (ekor)
N0 = Jumlah awal (ekor) Sebagai data penunjang dilakukan pengukuran parameter kualitas air meliputi parameter fisik, kimia dan biologis perairan dalam tambak serta pengukuran bahan organik tanah dasar perairan yang diukur dengan cara seperti disajikan pada Tabel 2 berikut:
28
Tabel 2. Parameter kualitas air dan tanah dasar yang diukur dalam penelitian beserta cara pengukurannya. No.
Parameter
Satuan
Ppm
Potensiometrik
o/oo
Argentometrik
-
Potensiometrik
Handrefrak -tometer pH-meter
%
Metode Whale Kley and Black
Organic meter
o
1.
Suhu perairan
2. 3.
Kadar oksigen terlarut Salinitas
4.
pH perairan
5.
Bahan organik tanah dasar perairan tambak Makro mikro zoo-benthos
6.
C
Metode Pengukuran Pemuaian
Indeks keragaman Ind/m2
Penghitungan langsung Penghitungan langsung
Alat ukur Thermometer DO-meter
--
Keterangan In situ In situ In situ In situ Eks situ
Analisa Kualitatif Analisa Kuantitatif
Analisis kualitatif makro mikro zoobenthos dilakukan dengan menghitung Indeks keanekaragaman makro mikro zoobenthos dengan persamaan sebagai berikut: S - 1 = -----------Ln N Di mana: = Indeks keanekaragaman S = Jumlah species N = Jumlah individu Sedangkan analisa kuantitatif makro mikro zoobenthos dilakukan dengan persamaan sebagai berikut:
29
I D = --------- x C A Di mana: D = Densitas atau kepadatan makro mikro zoobenthos per m2 I = Jumlah individu makro mikro zoobenthos pada A = Luas area dari Ponar Grab C
= Konstanta (ditentukan oleh luas Ponar Grab)
Parameter fisik, kimia, dan biologi tersebut diukur dengan interval waktu setiap 15 hari sekali. Parameter utama berupa kecepatan pertumbuhan berat kepiting bakau (%) dan tingkat kelangsungan hidup /survival rate (%). Penimbangan kepiting bakau pada saat panen dilakukan dengan sensus lengkap yaitu mengambil seluruh populasi, kemudian menghitung jumlah populasi untuk mendapatkan data kelangsungan hidup atau survival rate.
5. Hipotesis Statistik dan Analisis Data Hipotesis statistik yang diuji pada penelitian ini adalah: Faktor ukuran bibit kepiting bakau (U) : H0 :
Ukuran yang berbeda tidak berpengaruh terhadap kecepatan pertumbuhan berat dan kelangsungan hidup kepiting bakau
H1:
Ukuran yang berbeda berpengaruh terhadap kecepatan pertumbuhan berat dan kelangsungan hidup kepiting bakau
30
Faktor padat penebaran kepiting bakau (P): H0: Padat penebaran yang berbeda tidak berpengaruh terhadap kecepatan pertumbuhan berat dan kelangsungan hidup kepiting bakau H1:
Padat penebaran yang berbeda berpengaruh terhadap kecepatan pertumbuhan berat dan kelangsungan hidup kepiting bakau
Faktor dosis pakan yang diberikan (D) : H0:
Dosis pakan yang diberikan berbeda tidak berpengaruh terhadap kecepatan pertumbuhan berat dan kelangsungan hidup kepiting bakau
H1: Dosis pakan yang diberikan berbeda berpengaruh terhadap kecepatan pertumbuhan berat dan kelangsungan hidup kepiting bakau Sedangkan faktor interaksi (U x P x D) dengan hipotesis statistik berikut: H0:
Terdapat pengaruh interaksi antara berbagai ukuran bibit kepiting bakau dengan berbagai padat penebaran dan berbagai dosis pakan yang diberikan.
H1:
Tidak terdapat pengaruh interaksi antara berbagai ukuran bibit kepiting bakau dengan berbagai padat penebaran dan berbagai dosis pakan yang diberikan. Untuk pengujian hipotesis, dilakukan uji Analysis of Variance (Anova). Agar
kesalahan pengujian tersebut dapat ditekan sekecil mungkin, sebelum dilakukan Anova, harus terlebih dahulu memenuhi asumsi dasar, yaitu: (1) Error percobaan bersifat menyebar normal di sekitar nilai tengah nol dan ragam yang homogen dan (2) pengaruh
31
perlakuan dan lingkungan aditif.
Prosedur uji Normalitas adalah dengan prosedur
Lilliefors (Sudjana, 1989). Setelah asumsi di atas terpenuhi, maka dilanjutkan dengan uji F dengan membuat daftar sidik ragam (Dasira). Dari hasil tersebut diperoleh nilai F hitung. Selanjutnya dibandingkan dengan nilai F tabel 5 % dan 1 %. Jika F tabel lebih kecil, maka terima H0 dan jika F hitung lebih besar dari nilai F tabel, maka tolak H0. Jika dalam daftar sidik ragam menunjukkan hasil perbedaan nyata atau sangat nyata, maka dilanjutkan dengan uji lanjutan berupa uji Beda Nyata Terkecil (BNT).
32
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Pertumbuhan Kepiting Bakau Hasil penimbangan berat rata-rata kepiting bakau setiap periode 2 minggu sekali (minggu ke 0 – 8) disajikan pada Tabel 3 berikut ini: Tabel 3. Hasil penimbangan berat rata-rata (gram) kepiting bakau setiap periode 2 minggu selama penelitian Perlakuan
U1P1D1
0 (gram) 561,6667
2 (gram) 591,6667
Minggu ke 4 (gram) 673,6667
6 (gram) 750,3333
8 (gram) 828,3333
U1P2D1
729,000
782,3333
864,6667
939,6667
1062,667
U1P3D1
923,3333
981,3333
1042,667
1284,000
1361,333
U2P1D1
751,3333
817,6667
856,3333
1082,000
1259,667
U2P2D1
1190,000
1300,667
1411,667
1589,667
1766,333
U2P3D1
1388,000
1456,000
1701,667
1883,333
2176,333
U3P1D1
1175,667
1337,667
1465,667
1553,000
1647,333
U3P2D1
1499,667
1621,667
1875,000
2038,000
2246,000
U3P3D1
1826,667
1924,000
2406,667
2631,333
2894,000
U1P1D2
563,3333
600,6667
767,3333
955,6667
1057,667
U1P2D2
722,3333
760,6667
974,3333
1219,667
1277,333
U1P3D2
919,6667
972,000
1338,333
1579,000
1693,000
U2P1D2
762,000
792,000
845,000
1172,667
1332,333
U2P2D2
1107,000
1199,333
1368,667
1621,667
1866,000
U2P3D2
1397,333
1537,333
1854,667
2041,333
2362,333
U3P1D2
1186,000
1299,000
1432,333
1614,667
2048,333
33
U3P2D2
1518,667
1659,667
1878,667
2042,333
2628,667
U3P3D2
1820,667
1925,000
2440,667
2730,333
3077,000
U1P1D3
561,6667
592,6667
791,000
974,000
1150,000
U1P2D3
727,3333
741,6667
1038,333
1334,000
1549,333
U1P3D3
922,3333
948,3333
1340,667
1584,000
1962,667
U2P1D3
760,3333
769,000
1146,000
1364,333
1586,667
U2P2D3
1156,667
1274,000
1443,000
1745,333
2376,667
U2P3D3
1383,000
1454,333
1941,000
2326,333
2835,667
U3P1D3
1155,667
1162,333
1444,333
1612,333
2366,667
U3P2D3
1442,667
1497,000
1843,000
2130,667
2914,000
U3P3D3
1824,667
1897,667
2451,667
2733,000
3670,667
Berat kepiting bakau yang ditimbang dalam setiap periode 2 minggu di atas, menunjukkan pertumbuhan dalam kondisi normal. Semua perlakuan yang dilakukan pada penelitian, mulai dari perlakuan U1P1D1 sampai U3P3D3 mengalami peningkatan berat, walaupun peningkatan untuk setiap perlakuan berbeda-beda. Jika hasil tersebut di atas disajikan dalam bentuk grafik, maka dapat dilihat seperti pada Gambar 1 berikut ini:
34
P e r t u m b u h a n B e r a t R a t a - r a t a ( g r a m ) K e p it in g Bak au
B e ra t ( g ra m )
14000 12000 10000 8000 6000 4000
8
2000
6
U
1
P
1
01 D U
2
P
2
D
1
U
3
P
3
D
1
U
2
P
1
D
2 P
2
D
2 P
3 1 U U P e r la k u a n
3
D
3
U
3
P
1
D
3
4 2 0
Gambar 1 Grafik pertumbuhan berat (gram) rata-rata kepiting bakau 8 minggu masa pemeliharaan.
Dari data
pada Tabel 3 dan Grafik 1 ini terlihat, bahwa peningkatan
pertumbuhan berat kepiting bakau terjadi pada semua perlakuan mulai pada sampling minggu ke 2 sampai saat panen (minggu ke 8). Pada semua perlakuan peningkatan pertumbuhan berat tidak terlalu besar pada minggu ke 2. Hal ini terjadi karena benihbenih kepiting bakau yang dimasukkan dalam karamba masih beradaptasi dengan lingkungan baru. Akan tetapi setelah sampling minggu ke 4, peningkatan pertumbuhan berat cukup besar, dan peningkatan pertumbuhan berat sangat besar terjadi pada sampling minggu ke 6 sampai panen. Pada perlakuan U1P1D1, U1P2D1, U1P3D1, U2P1D1,
U2P2D1, U2P3D1,
U3P1D1, U3P2D1, dan U3P3D1 peningkatan pertumbuhan berat kepiting bakau selama pemeliharaan mulai dari minggu ke 0 (tebar) sampai minggu ke 8 (panen) berkisar antara 266,667 gram sampai dengan 1076,333 gram. Pada perlakuan U1P1D2, U1P2D2, U1P3D2, U2P1D2, U2P2D2, U2P3D2, U3P1D2, U3P2D2, dan U3P3D2
35
peningkatan pertumbuhan berat kepiting bakau berkisar antara 494,333 gram sampai dengan 1256,333 gram.
Sedangkan pada perlakuan U1P1D3, U1P2D3, U1P3D3,
U2P1D3, U2P2D3, U2P3D3, U3P1D3, U3P2D3, dan U3P3D3 peningkatan pertumbuhan berat kepiting bakau berkisar antara 588,333 gram sampai dengan 1846,000 gram. Tingginya peningkatan pertumbuhan berat kepiting bakau yang dipelihara dalam karamba di dalam tambak, karena pakan yang diberikan berupa ikan rucah/kecil, udang kecil, gondang, dan bekicot sangat disukai kepiting dan habis termakan. Disamping itu kandungan gizi dari masing-masing pakan yang diberikan cukup tinggi untuk memenuhi keperluan kepiting bakau. Ikan rucah memiliki lemak/asam lemak ikatan rangkap yang cukup tinggi sehingga mudah teroksidasi dan mudah tengik. Lemak dalam pakan berfungsi sebagai sumber energi bagi ikan dan sumber asam lemak esensial. Asam lemak esensial bagi ikan-ikan laut maupun payau adalah kelompok n-3 HUFA. Vitamin yang terdapat dalam tubuh ikan dibutuhkan untuk meningkatkan metabolisme, daya tahan terhadap perubahan lingkungan dan penyakit. Oleh karena itu penggunaan ikan rucah dalam budidaya perlu ditambah dengan vitamin mix agar ikan yang dibudidayakan tidak menunjukkan gejala-gejala kekurangan vitamin (Ketut, dkk. 2005). Secara umum ikan rucah mengandung zat-zat gizi yang penting sebagai berikut ini ; protein 22,65 47,27%. (Salim dalam Rizky, 2009).
36
Kandungan nutrisi udang – udang kecil per 100 gr adalah sebagai berikut Air (75.86 gr), Energi (106 kcal), Protein (20.31 gr), Total Lemak (1.73 gr), Karbohidrat (0.91 gr), Serat (0 gr), Ampas (1.2 gr) (Apit, 2009). Selain itu menurut Anonim (2009a), nilai protein udang dikategorikan complete protein karena kadar asam amino yang tinggi, berprofil lengkap dan sekitar 85-95 persennya mudah dicerna tubuh. 100 gr udang mentah mengandung 20,3 gr protein atau cukup untuk memenuhi kebutuhan protein harian sebanyak 41 %. Profil asam amino udang (per 100 gr) berturut-turut yang termasuk tinggi adalah asam gulamat (3465 mg), asam aspartat (2100 mg), arginine (1775 mg), lysine (1768 mg), leucine (1612 mg), glycine (1225 mg), isoleucine (985 mg), dan valine (956 mg). Siput gondang (Pila scutata) termasuk dalam jenis makrozoobentos yaitu hewan yang melekat atau beristirahat pada dasar atau hidup di dasar endapan. Siput Gondang (Pila scutata) juga merupakan jenis Gastropoda yang ditemukan menempel pada tumbuhan. Mereka mengambil kalsium yang terdapat dalam tumbuhan tersebut dengan memakan daun-daunan. Kalsium berguna dalam pertumbuhan cangkang Gastropoda. ++
Tumbuhan sendiri memperoleh kalsium dari tanah dalam bentuk Ca
yang terkandung
dalam mineral-mineral primer, karbonat, dan garam-garam sederhana. Bentuk adaptasi Gastropoda yaitu merendamkan diri dalam lumpur dengan menyembunyikan badannya dalam cangkang dan menutup rapat operkulum (Yuyun, 2005). Berdasarkan pengamatan di Balai Industri Bajarbaru diketahui bahwa kandungan protein yang terdapat dalam tepung gondang adalah 38,08 - 54% protein. (Rasidi dalam Rizky, 2009).
37
Nutrisi daging Bekicot per 100 gr mengandung daging: protein (12%), lemak (1%), hidrat arang (2%), kalsium (237 mg), fospor (78 mg), Fe 1,7 (mg) serta vitamin B komplek (terutama vit B2). Juga asam amino yakni leusin (4,62 gr), lisin (4,35 gr), arginin (4,88 gr), asam aspartat (5,98 gr) dan asam glutamate (8,16 gr) (Anonim, 2009). Peningkatan pertumbuhan berat kepiting bakau yang paling tinggi terjadi pada semua perlakuan dengan pemberian makanan sebanyak 15 % berat badan per hari, baik pada perlakuan penebaran benih dengan ukuran 100 gram/ekor, 150 gram/ekor, atau 200 gram/ekor. Peningkatan pertumbuhan berat kepiting bakau yang paling tinggi juga terjadi pada semua perlakuan dengan pemberian makanan sebanyak 15 % berat badan per hari, baik pada perlakuan penebaran benih dengan padat tebar 5 ekor/m2, 7 ekor/m2, ataupun 9 ekor/m2. Berikut ini disajikan berat awal, berat akhir, pertumbuhan berat dan kecepatan pertumbuhan berat relatif (%) rerata kepiting bakau yang dipelihara di karamba di tambak penelitian dan disajikan dalam bentuk Tabel 4. Tabel 4.
Kecepatan Pertumbuhan Berat Relatif (%) Rerata Kepiting Bakau yang dipelihara selama 8 minggu
U1P1D1
561,667
828,333
266,667
Kecepatan Pertumbuhan Berat Relatif Rerata (%) 47,477
U1P2D1
729,000
1062,667
333,667
45,770
U1P3D1
923,333
1361,333
437,000
47,277
U2P1D1
751,333
1259,667
508,333
67,657
Perlakuan
Berat Awal (gram)
Berat Akhir (gram)
Pertumbuhan Berat (gram)
38
U2P2D1
1190,000
1766,333
576,333
48,431
U2P3D1
1388,000
2176,333
868,667
62,584
U3P1D1
1175,667
1647,333
471,667
40,119
U3P2D1
1499,667
2246,000
746,333
49,766
U3P3D1
1826,667
2894,000
1076,333
58,430
U1P1D2
563,3333
1057,667
494,333
87,857
U1P2D2
722,3333
1277,333
555,000
76,834
U1P3D2
919,6667
1693,000
773,333
84,088
U2P1D2
762,000
1332,333
570,333
74,846
U2P2D2
1107,000
1866,000
759,000
69,563
U2P3D2
1397,333
2362,333
965,000
69,060
U3P1D2
1186,000
2048,333
862,333
72,709
U3P2D2
1518,667
2628,667
1110,000
73,090
U3P3D2
1820,667
3077,000
1256,333
69,004
U1P1D3
561,6667
1150,000
588,333
104,747
U1P2D3
727,3333
1549,333
822,000
113,015
U1P3D3
922,3333
1962,667
1040,333
112,793
U2P1D3
760,3333
1586,667
826,333
108,680
U2P2D3
1156,667
2376,667
1220,000
105,475
U2P3D3
1383,000
2835,667
1452,667
105,037
U3P1D3
1155,667
2366,667
1211,000
104,788
U3P2D3
1442,667
2914,000
1471,333
101,987
U3P3D3
1824,667
3670,667
1846,000
101,169
Dari Tabel 4 tersebut di atas, memperlihatkan bahwa kecepatan pertumbuhan berat relatif (%) rerata kepiting bakau yang dipelihara di karamba di dalam tambak yang mempunyai nilai paling rendah terjadi pada perlakuan U3P1D1 sebesar 40,119 %. Kemudian perlakuan U1P2D1 sebesar 45,770 %, U1P3D1 sebesar 47,277 %, U1P1D1
39
sebesar 47,477 %, U2P2D1 sebesar 48,431 %, U3P2D1 sebesar 49,766 %, U3P3D1 sebesar 58,430 %, U2P3D1 sebesar 62,584 %, U2P1D1 sebesar 67,657 %, U3P3D2 sebesar 69,004 %, U2P3D2 sebesar 69,060 %, U2P2D2 sebesar 69,563 %, U3P1D2 sebesar 72,709 %, U3P2D2 sebesar 73,090 %, U2P1D2 sebesar 74,846 %, U1P3D2 sebesar 84,088 %, U1P1D2 sebesar 87,857 %, U3P3D3 sebesar 101,169 %, U3P2D3 sebesar 101,982 %, U1P1D3 sebesar 104,747 %, U3P1D3 sebesar 104,788 %, U2P3D3 sebesar 105,037 %, U2P2D3 sebesar 105,475 %, U2P1D3 sebesar 108,680 %, U1P3D3 sebesar 112,793 %, dan yang paling tinggi terjadi pada perlakuan
U1P2D3 yaitu
sebesar 113,015 %. Grafik kecepatan pertumbuhan berat relatif (%) rerata kepiting bakau yang dipelihara selama 8 minggu dapat dilihat pada Gambar 2 di bawah ini. K e ce p atan P e rtu mb u h an R e latif B e rat (% ) R e rata K e p itin g B akau 120 100 80 (%) 60 40 20 0 1 ku a n P e rla
U 1P1D 1 U 1P2D 1 U 1P3D 1 U 2P1D 1 U 2P2D 1 U 2P3D 1 U 3P1D 1 U 3P2D 1 U 3P3D 1 U 1P1D 2 U 1P2D 2 U 1P3D 2 U 2P1D 2 U 2P2D 2 U 2P3D 2 U 3P1D 2 U 3P2D 2 U 3P3D 2 U 1P1D 3 U 1P2D 3 U 1P3D 3 U 2P1D 3 U 2P2D 3 U 2P3D 3 U 3P1D 3 U 3P2D 3 U 3P3D 3
Gambar 2. Grafik kecepatan pertumbuhan berat relatif (%) rata-rata kepiting bakau 8 minggu masa pemeliharaan.
40
Dalam rangka menentukan perlakuan terbaik terhadap kecepatan pertumbuhan berat relatif (%) rerata kepiting bakau yang dipelihara, telah dilakukan prosedur statistik yang dimulai dari uji Normalitas Lilliefors dan selanjutnya Analisis Sidik Ragam atau Anova terhadap data kecepatan pertumbuhan berat relatif (%). Hasil uji Normalitas Lilliefors didapat L hitung = 0.843909 L tabel (5 %) = 0.886, yang berarti data menyebar normal. Dengan demikian dapat dilanjutkan dengan uji Anova. Hasil uji Anova didapat pada sumber keragaman Ukuran (U) didapat F hitung = 2447,49 > F tabel (5 %) = 19,47 dan F tabel (1 %) = 6,302, berarti terdapat perbedaan yang sangat nyata. Pada sumber keragaman Padat Tebar (P) juga didapat F hitung = 2289.3912 > F tabel (5 %) = 19,47 dan F tabel (1 %) = 6,302, berarti terdapat perbedaan yang sangat nyata. Begitu juga pada sumber keragaman Dosis (D) didapat F hitung = 4329.0243 > F tabel (5 %) = 19,47 dan F tabel (1 %) = 6,302, berarti terdapat perbedaan yang sangat nyata. Sedangkan pada sumber keragaman interaksi (UPD) didapat F hitung = - 2207.324 F tabel (5 %) = 19,47 dan F tabel (1 %) = 6,302, berarti tidak terdapat perbedaan yang nyata (pengaruh interaksi tidak nyata). Hal ini berarti yang berpengaruh sangat nyata terhadap kecepatan pertumbuhan berat relatif rata-rata kepiting bakau selama pemeliharaan adalah faktor U (perbedaan ukuran benih), faktor P (perbedaan padat tebar), dan faktor D (perbedaan dosis pakan). Sedangkan antara faktor U (perbedaan ukuran benih), faktor P (perbedaan padat tebar), dan faktor D (perbedaan dosis pakan), tidak ada interaksi.
41
Hasil uji BNT didapatkan selisih nilai tengah > dari nilai BNT 5 % (44.9421) dan < dari BNT 1 % (59.0666), yang berarti terdapat perbedaan kecepatan pertumbuhan relatif berat yang nyata antara perlakuan U1P2D3 dan U2P1D1, antara U1P2D3 dan U2P3D1, antara U1P2D3 dan U3P3D1.
Antara perlakuan U1P3D3 dan U2P1D1,
antara U1P3D3 dan U2P3D1, antara U1P3D3 dan U3P3D1. Antara perlakuan U2P1D3 dan U2P2D1, antara U2P1D3 dan U1P1D1, antara U2P1D3 dan U1P3D1, antara U2P1D3 dan U1P2D1, antara U2P1D3 dan U3P1D1. Antara perlakuan U2P2D3 dan U1P2D1, antara U2P2D3 dan U3P1D1. Antara perlakuan U2P3D3 dan U3P3D1, antara U2P3D3 dan U3P2D1. Antara perlakuan U3P1D3 dan U3P3D1, antara U3P1D3 dan U3P2D1, antara U3P1D3 dan U2P2D1, antara U3P1D3 dan U1P1D1, antara U3P1D3 dan U1P3D1. Antara perlakuan U1P1D3 dan U3P3D1, antara U1P1D3 dan U3P2D1, antara U1P1D3 dan U2P2D1, antara U1P1D3 dan U1P1D1 dan U1P3D1, antara U1P1D3 dan U1P2D1. Antara perlakuan U1P1D2 dan U3P1D1. Hasil uji BNT didapatkan selisih nilai tengah > dari nilai BNT 1 % (59.0666) dan 5 % (44.9421), yang berarti terdapat perbedaan kecepatan pertumbuhan berat relatif yang sangat nyata antara perlakuan U1P2D3 dan U3P2D1, antara U1P2D3 dan U2P2D1, antara U1P2D3 dan U1P1D1, antara U1P2D3 dan U1P3D1, antara U1P2D3 dan U1P2D1, antara U1P2D3 dan U3P1D1. Begitu juga terdapat perbedaan kecepatan pertumbuhan berat relatif yang sangat nyata antara perlakuan U1P3D3 dan U3P2D1, antara U1P3D3 dan U2P2D1, antara U1P3D3 dan U1P1D1, antara U1P3D3 dan U1P3D1, antara U1P3D3 dan U1P2D1, antara U1P3D3 dan U3P1D1. Antara perlakuan U2P1D3 dan U2P2D1, antara U2P1D3
42
dan U3P1D2, antara U2P1D3 dan U3P1D1. Antara perlakuan U2P2D3 dan U1P2D1, antara U2P2D3 dan U3P1D1. Antara perlakuan U2P3D3 dan U1P2D1, antara U2P3D3 dan U3P1D1. Selanjutnya antara perlakuan U3P1D3 dan U3P1D1, antara U1P1D3 dan U3P1D1, antara U3P2D3 dan U3P1D1, serta antara U3P3D3 dan U3P1D1. Dengan demikian kecepatan pertumbuhan berat relatif (%) kepiting bakau yang paling baik diantara semua perlakuan yang diujikan pada penelitian adalah perlakuan U1P2D3 (benih 100 gram/ekor, padat tebar 7 ekor/m2, pakan 15 % BB), kemudian disusul oleh perlakuan U1P3D3 (benih 100 gram/ekor, padat tebar 9 ekor/m2, pakan 15 % BB), U2P1D3 (benih 150 gram/ekor, padat tebar 5 ekor/m2, pakan 15 % BB), U2P2D3 (benih 150 gram/ekor, padat tebar 7 ekor/m2, pakan 15 % BB), U2P3D3 (benih 150 gram/ekor, padat tebar 9 ekor/m2, pakan 15 % BB), U3P1D3 (benih 200 gram/ekor, padat tebar 5 ekor/m2, pakan 15 % BB), U1P1D3 (benih 100 gram/ekor, padat tebar 5 ekor/m2, pakan 15 % BB), U3P2D3 (benih 200 gram/ekor, padat tebar 7 ekor/m2, pakan 15 % BB), dan U3P3D3 (benih 200 gram/ekor, padat tebar 9 ekor/m2, pakan 15 % BB). Kalau dilihat dari perlakuan yang paling baik seperti tersebut diatas, kita dapat melakukan penebaran benih kepiting bakau dengan ukuran 100 gram/ekor, padat tebar 7 ekor/m2, dan pemberian pakan 15 % berat badan per hari. Atau dapat juga menebar benih 150 gram/ekor atau 200 gram/ekor, dengan padat tebar 5 ekor/m2 atau 7 ekor/m2 atau 9 ekor/m2, dengan pemberian pakan sebanyak 15 % berat badan per hari. Penelitian ini hasilnya lebih baik dari penelitian yang dilakukan oleh Fathullah (2006), dimana pada penelitian Fathullah dari benih kepiting bakau yang ditebar ukuran 100 -
43
200 gram dengan diberi pakan 5 – 15 % dari berat badan kepiting per hari, dengan masa pemeliharaan 1,5 – 2 bulan menghasilkan kepiting ukuran 3 – 4 ekor/kg atau 250 – 333 gram per ekor. Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan ini, dengan penebaran benih kepiting bakau 100 – 200 gram dengan diberi pakan 5 – 15 % dari berat badan kepiting per hari, dengan pemeliharaan 8 minggu (± 2 bulan) menghasilkan kepiting ukuran 341 – 407 gram per ekor.
2. Kelangsungan Hidup Kepiting Bakau Selama masa pemeliharaan 8 minggu (sekitar 60 hari) kepiting bakau di karamba di tambak pada semua perlakuan tidak ada mortalitas. Dengan demikian berarti kelangsungan hidup kepiting bakau 100 % untuk semua perlakuan. Hal ini terjadi karena benih kepiting bakau yang ditebar di dapat dari alam di daerah sekitar desa tempat penelitian dilaksanakan yaitu desa Kuala Lupak kecamatan Tabunganen Kalimantan Selatan. Sehingga benih dapat langsung beradaptasi di dalam karamba yang ditempatkan dalam tambak yang digunakan.
3. Kualitas Air dan Tanah Kualitas air merupakan faktor penunjang pertambakan kepiting bakau selain pakan dan faktor lainnya, karena air dan tanah merupakan media hidup kepiting bakau itu sendiri. Perairan yang dikatakan sebagai lingkungan hidup yang baik adalah mampu mendukung pertambakan dan menekan sekecil-kecilnya mortalitas.
44
Baik tidaknya perairan sebagai lingkungan hidup tergantung dari sifat fisika, kimia, dan biologi perairan. Parameter kualitas air media pemeliharaan masih berada pada batas-batas yang dapat ditolerir oleh kepiting bakau meliputi suhu, salinitas, pH, oksigen terlarut (DO), dan amoniak terlarut (NH3-N) (Tabel 5). Tabel 5.
Kisaran Nilai Parameter Kualitas Air Selama Percobaan dan Kisaran Nilai Optimumnya Bagi Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Kepiting Bakau Menurut Pustaka
Parameter Kualitas Air
Suhu Air (ºC)
Nilai Kualitas Air Hasil Pengukuran 27 – 28 (pagi)
Kisaran Optimum Menurut Pustaka 23 ºC – 32 ºC (Susanto, 2008)
29 – 32 (sore) Salinitas (ppt)
26,30 – 28,50
15 – 30 (Iskandar, 2002) 15 – 30 (Susanto, 2008)
Derajat Keasaman (pH)
6,80 – 8,35
Oksigen Terlarut (ppm)
5,64 – 6,20
7,2 - 7,8 (Iskandar, 2002) 6,5 – 8,5 (Susanto, 2008) > 3 (Soetomo ,1990) (Manik dan Mintardjo, 1980)
Amoniak (ppm)
0,035 – 0,09
< 0,1 (Sumeru dan Anna, 1997)
a. Suhu Kisaran suhu air selama pengamatan menunjukkan fluktuasi yang relatif kecil yaitu berkisar antara 27 – 32 oC. Perbedaan tersebut lebih disebabkan oleh waktu pengukuran dan suhu udara setempat. Menurut Susanto (2008), suhu air optimum
45
untuk pertumbuhan kepiting bakau berkisar antara 23 ºC – 32 ºC, namun demikian pada suhu air 14 oC – 40 oC kepiting bakau masih dapat hidup. Bila hasil pengukuran tersebut dikaitkan dengan kajian kelayakan untuk pengembangan tambak kepiting, maka lokasi yang diamati tergolong layak. b. Salinitas Hasil pengukuran terhadap salinitasair tambak menunjukkan nilai 26,30 - 28,50 promil. Menurut Iskandar, (2002) dan Susanto (2008), nilai salinitas yang ideal untuk air tambak berkisar antara 15 o/oo – 30 o/oo. Sedangkan untuk pertumbuhan optimal kepiting ditambak diperlukan salinitas sebesar 15 o/oo – 26 o/oo, meskipun salinitas 3 o/oo – 45 o/oo kepiting masih mampu beradaptasi. Karena air tambak bersumber dari air laut dan air tawar, maka ketersediaan kedua sumber air tersebut akan menentukan kelayakan nilai salinitas untuk tambak.
c. Derajat Keasaman (pH) Derajat keasaman air atau sering dinyatakan dengan pH dapat berpengaruh langsung terhadap kepiting yang kita pelihara dalam tambak. Kisaran pH untuk tambak 6,5 – 8,5 (Susanto, 2008), 7,2 - 7,8 (Iskandar, 2002) dan berkisar antara 7,5 – 8,7 (Dit.Jen Perikanan, 1991). Pada kadar pH yang kelewat rendah dapat menghambat proses chitinisasi (pergantian kulit baru) karena kulit kepiting bakau menjadi kropos dan lembek. Hasil pengukuran pada lokasi pengamatan berada pada nilai pH 6,80 – 8,35 untuk lokasi penelitian di Kuala Lupak Kabupaten Barito Kuala. Kondisi demikian
46
umum terjadi pada berbagai lokasi di Kalimantan Selatan, karena sebagian besar lahan mengandung tanah sulfat masam.
d. Oksigen Terlarut Oksigen merupakan gas yang sangat vital untuk kelangsungan kepiting bakau yang dipelihara di tambak dan secara tidak langsung dapat mempengaruhi kadar unsur atau senyawa lain dalam ekosistem perairan. Kelarutan oksigen di dalam air dalam jumlah tertentu mutlak diperlukan agar kelangsungan hidup kepiting bakau yang dipelihara dapat dipertahankan. Hasil pengukuran pada lokasi penelitian terhadap kadar oksigen terlarut di berbagai lokasi pengamatan menunjukkan nilai 5,64 - 6,20 ppm. Menurut Soetomo (1990), Manik dan Mintardjo (1980) kriteria kadar oksigen terlarut untuk tambak > 3 ppm.
e. Amoniak Kadar gas yang cukup berbahaya bagi kehidupan organisme akuatik bila kelarutannya melampaui ambang batas adalah amoniak. Senyawa ini merupakan hasil dekomposisi bahan organik yang tidak berlangsung sempurna. Bahan-bahan organik yang terdekomposisi tersebut umumnya berasal dari sisa-sisa pakan yang tidak termanfaatkan. Hasil pengukuran kadar amoniak lokasi tambak pengamatan menunjukkan kisaran 0,035 – 0,09 ppm NH3-N. Menurut Sumeru dan Anna (1997) kriteria kelayakan kualitas air untuk tambak berdasarkan parameter amoniak < 0,1 ppm
47
NH3-N.
Berdasarkan nilai kriteria kelayakan kualitas air lokasi tambak kepiting
penelitian berada dalam kisaran kriteria kelayakan untuk kehidupan kepiting bakau .
f. Bahan Organik Tanah Hasil analisa dari Laboratorium Kimia, Fisika, dan Biologi Tanah Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru terhadap sampel tanah tambak tempat dilaksanakannya penelitian pemeliharaan kepiting bakau didapatkan bahwa kandungan N-total 0,29, C-organik 6,21 dan pH H20 6,53. Dengan nilai N-total 0,29 dan C-organik 6,21 tersebut menunjukkan bahwa tanah pada tambak itu tergolong subur atau kaya akan bahan organik (zat hara)(Sarwono, 1993). Kepiting bakau juga suka memakan detritus hasil dari serasah pohon magrove yang ada di dalam tambak.
Menurut Arief (2003) , sebagian serasah mangrove
langsung didekomposisi oleh bakteri dan jamur menjadi zat hara (nutrient) terlarut yang dapat dimanfaatkan langsung oleh fitoplankton, alga ataupun tumbuhan mangrove itu sendiri dalam proses fotosintesis.
Sebagian dijadikan makanan oleh fauna
makrobenthos, sehingga serasah tersebut menjadi partikel-partikel kecil (detritus). Detritus tersebut dapat dimanfaatkan langsung oleh ikan pemakan detritus (detritivor) , udang, kepiting, kerang dan lain-lain sebagai makanannya. Dengan demikian selain kepiting bakau setiap hari memakan pakan yang diberikan, ia juga memakan detritus yang sudah ada di dalam tambak tempat pemeliharaan, sehingga kecepatan pertumbuhannya sangat baik.
48
g. Makro Mikrozoobenthos Hasil analisa dari Laboratorium Biologi Perairan Fakultas Perikanan Universitas Lambung Mangkurat terhadap sampel tanah tambak tempat pemeliharaan kepiting bakau dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Makro mikrozoobenthos hasil analisa tanah tambak tempat penelitian kepiting bakau
Kehidupan berbagai jenis fauna ini sangat menunjang keberadaan unsur hara. Proses makan memakan dalam berbagai katagori dan tingkatan biota membentuk rantai makanan dapat dilihat pada Gambar 3. Dalam subsistem dekomposisi, organisme middle berperan sebagai organisme perombak awal bahan makanan, serasah dan bahan organik lainnya (misalnya kayu dan akar).
Makrobenthos mengkonsumsi bahan-bahan dengan cara melumat dan
mengunyah (ingested) serta mencampurnya dengan sisa-sisa bahan organik sehingga
49
menjadi fragmen berukuran kecil yang siap didekomposisi oleh mikroba tanah (Handayanto, 1996 di dalam Arief, 2003).
Pohon Mangrove
Serasah, daun, ranting,bunga, buah, kulit batang dll
Sebagian didekomposisi
Sebagian langsung didekomposisi oleh bakteri dan jamur
Awal oleh fauna makrobenthos
Detritus
Hewan perairan pemakan detritus (Detritivor), jenis ikan, udang, kepiting dan kerang MANUSIA
Karnivora Kecil
Karnivora Besar Sisa
Gambar 3.
Gambaran Rantai Makanan (Aliran Energi) Pada Ekosistem Mangrove (Bengen, 2001)
50
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan a.
Faktor ukuran benih kepiting bakau (5 ekor/m2, 7 ekor/m2 dan 9 ekor/m2) berpengaruh terhadap kecepatan pertumbuhan berat relatif kepiting bakau, tetapi tidak berpengaruh terhadap survival rate kepiting bakau. Hasil analisis didapat penebaran ukuran benih benih 100 gram/ekor lebih baik pertumbuhannya dibanding ukuran benih benih 150 gram/ekor dan 200 gram/ekor.
b. Faktor padat penebaran kepiting bakau berpengaruh terhadap pertumbuhan kepiting bakau, tetapi tidak berpengaruh terhadap survival rate kepiting bakau. c. Faktor dosis pakan yang diberikan kepada kepiting bakau berpengaruh terhadap pertumbuhan kepiting bakau, tetapi tidak berpengaruh terhadap survival rate kepiting bakau. Hasil analisis didapat pemberian pakan dosis 15 % dari berat badan lebih baik pertumbuhannya dibanding dosis 5 % dan 10 %. d. Hasil analisis parameter kualitas air dan tanah lokasi penelitian desa Kuala Lupak Kabupaten Barito Kuala cukup ideal bagi pengembangan pemeliharaan kepiting bakau di keramba di tambak. 2. Saran Oleh karena terbukti sangat menguntungkan, maka di wilayah tambak desa Kuala Lupak Kabupaten Barito Kuala perlu dikembangkan usaha pemeliharaan kepiting bakau, sebagai diversifikasi komoditi bagi petani tambak bandeng dan udang windu setempat.
51
DAFTAR PUSTAKA
Anonim , 2009. Resep Buat Daging Bekicot. Asosiasi Bekicot Indonesia (ABI). I : / bekicot/Asosiasi Bekicot Indonesia (ABI)_resep buat daging bekicot.htm. acced tanggal 05 September 2009. , 2009a. Udang : Kaya Protein dan Rendah Kalori. Ultimate Nutrition. I : / udang / Udang_Kaya Protein dan Rendah Kalori - Ultimate Nutrition Indonesia, Sportindo.com.htm. acced tanggal 05 September 2009. Arief, A. 2003. Hutan magrove : Fungsi dan Manfaatnya. Penerbit Kanisius. Jakarta. 63 halaman. Aisiah, 2007. Identifikasi jenis-jenis kepiting bakau yang terdapat di desa Kuala Lupak kabupaten Batola Kalimantan Selatan. Jurnal Borneensis, 10 (1) : 10 – 14. Apit Riana, 2009. Nutrisi Udang Mentah. PT. Asia Maya Dotcom Indonesia. Jakarta. I : / Asiamaya.com_Nutrisi_Udang mentah. htm. acced tanggal 05 September 2009 Bengen, D. 2001. Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. 62 halaman. Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Barito Kuala Kal-Sel, 2007. penangkapan di laut. acced 18 Maret 2009.
Hasil
Dinas Kelautan dan Perikanan Probolinggo, 2009. Pembesaran kepiting bakau. acced 5 Maret 2009. Dahuri. R. 2005. Keanekaragaman Hayati Laut. Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Fathullah, 2006. Prospek bertambak kepiting bakau di kabupaten Tanjab Barat Jambi acced 15 Maret 2009. Fujaya, Yushinta, 2007. Mempersiapkan kepiting menjadi komoditas andalan. acced 11 Maret 2009 Gaspersz, Vincent, 1991. Metode Perancangan Percobaan. Armico Bandung. 472 halaman.
52
Manik, R. dan Kisto Mintardjo. 1980. Kolam Ipukan di dalam Pedoman Pembenihan Udang Penaeid BBAP. Jepara. Halaman 117 – 124. Iskandar Kana, 2002. Budidaya Kepiting Bakau. Cetakan ke-5. Penerbit Kanisius. Yogyakatra. 79 halaman. Pemerintah Kabupaten Barito Kuala Kalimantan Selatan, 2008. Keadaan potensi dan sumberdaya alam daerah acced 18 Maret 2009. Ketut Suwirya, Marzuqi, dan Nyoman Adiasmara Giri,. 2005. Informasi Nutrisi Ikan untuk Menunjang Pengembangan Budidaya Laut. Balai Basar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol. Jurnal. Singaraja. 6 halaman. Rukmini dan Olga, 2000. Pengaruh pemberian pakan yang berbeda terhadap pertumbuhan kepiting bakau di dalam bak. Jurnal Borneensis, 1 (1) : 10 – 15. Rukmini dan Fauzana, 2001. Lama intermoulting kepiting bakau dengan variasi pemberian pakan yang berbeda. Jurnal Borneensis, 5 (2) : 25 – 28. Rizky masmahardhie, 2009. Penggunaan Tepung Kacang Nagara (Vigna Sp) Dan Tepung Gondang (Pilla Ampulacea) Sebagai Substitusi Tepung Kedelai (Glycine Max) Dan Tepung Ikan Untuk Pertumbuhan Udang Galah (Macrobachium Rosenbergii De Man). Skripsi. Fakultas Perikanan Universitas Lambung Mangkurat. Banjarbaru. 61 halaman. Sudjana, M. 1989. Metode Statistika. Edisi 5. Tarsito Bandung. 154 halaman. Sutomo, Much. 1990. Teknik Budidaya Kepiting di Tambak. Sinar Baru, Jakarta. 180 halaman. Sumeru dan Suzy Anna, 1991. Pakan Udang Windu (Penaeus monodon). Yayasan Kanisius. Yogyakarta. 29 halaman. Sarwono, H. 1993. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. Akademika Presindo, Jakarta. 274 halaman. Yuyun Darojah, 2005. Keanekaragaman Jenis Makrozoobentos di ekosistem Perairan Rawapening Kabupaten Semarang. Skripsi. Universitas Negeri Semarang. Semarang. 44 halaman.
53
LAMPIRAN