LAPORAN AKHIR ANALISIS PERSIAPAN PENDIRIAN PERUSAHAAN PENJAMINAN ULANG KREDIT (RE-GUARANTEE)
Oleh: Baihaqi Arsyad Lintang
Jakarta November 2013
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI .................................................................................................... i DAFTAR TABEL ............................................................................................. iii BAB I
BAB II
PENDAHULUAN ............................................................................. 1 1.1
Latar Belakang ......................................................................... 1
1.2
Perumusan Masalah ................................................................. 4
1.3
Maksud dan Tujuan ................................................................. 5
1.4
Ruang Lingkup ......................................................................... 5
1.5
Hasil yang ingin Dicapai ......................................................... 6
KAJIAN TEORI DAN STUDI KEPUSTAKAAN .......................... 7 2.1
Landasan Teori ......................................................................... 7 2.1.1
Penjaminan Kredit ........................................................ 8
2.1.2
Penjaminan Kredit Usaha Mikro-Kecil ........................ 10
2.1.3
Kecukupan Modal Lembaga Penjaminan Kredit ........ 13 2.1.3.1 Gearing Ratio ................................................ 13 2.1.3.2 Modal Sendiri Bersih ..................................... 14 2.1.3.3 Ketentuan mengenai Gearing Ratio .............. 15
2.2
Lembaga Penjaminan Kredit di Beberapa Negara .................. 16 2.2.1 Credit Guarantee System in Japan ............................. 16 2.2.2 Penjaminan Kredit di Korea Selatan ........................... 19 2.2.3 Penjaminan Kredit di Thailang .................................... 22 2.2.4 Penjaminan Kredit di Philippines ................................. 23 2.2.5 Penjaminan Kredit Malaysia ........................................ 24
BAB III METODE PENELITIAN ................................................................. 26 3.1
Jenis Penelitian ....................................................................... 26
3.2
Populasi dan Sampel ............................................................... 27
3.3
Sumber Data ............................................................................ 27
i
3.4
Metode Pengumpulan Data ..................................................... 28
3.5
Metode Analisis Data ............................................................... 28
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................... 29 4.1
Deskripsi Hasil Penelitian ....................................................... 29 4.1.1
Praktek Penjaminan Kredit di Indonesia ..................... 29
4.1.2
Kinerja Lembaga Penjaminan Kredit ......................... 31
4.1.3
Kendala-kendala Lembaga Penjaminan Kredit ............ 34
4.1.4
Peran serta Pemerintah Pusat dan Daerah .................... 35
4.2
Potensi Usaha Lembaga Penjaminan ....................................... 36
4.3
Analisis Pendirian Perusahaan Penjaminan Ulang (Re-Guarantee) ....................................................................... 39 4.3.1
Urgensi dan Implikasi Pendirian Perusahaan Penjaminan Ulang ....................................................... 39
4.3.2
Analisis Hukum Pendirian Perusahaan Penjaminan Ulang ............................................................................ 49
4.3.3
Analisis Kelembagaan .................................................. 50
4.3.4
Alternatif Pendirian Perusahaan Penjaminan Ulang ..... 51
4.3.5
Pengaruh Perusahaan Penjaminan Ulang terhadap Manajemen Risiko ........................................................ 53
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
............................................................ 54
5.1
Simpulan .................................................................................. 54
5.2
Saran ......................................................................................... 55
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 56
ii
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Kinerja Keuangan Perusahaan Penjaminan Kredit Daerah (PPKD) Tahun 2012 ....................................................................... 32 Tabel 4.2 Kinerja Keuangan Perum Jamkrindo ............................................. 33 Tabel 4.3 Kredit Perbankan Nasional (dalam Triliun Rupiah) ..................... 37 Tabel 4.4 Perbandingan Pengaruh Besarnya Persentase Penjaminan Ulang ... 49
iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Keberadaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) memiliki peran yang cukup besar dalam peningkatan perekonomian Indonesia. Berdasarkan data BPS pada tahun 2012 jumlah UMKM mencapai 55,3 juta unit dan menyerap tenaga kerja hingga 101,72 juta atau setara dengan 97,3% dari seluruh angkatan kerja di Indonesia. UMKM juga memiliki kontribusi yang cukup besar terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) yang mencapai 57,12%. Berdasarkan data Departemen Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM – BI, pada akhir Triwulan I 2013 baki debet Kredit UMKM mencapai Rp. 555,6 triliun, tumbuh 15,5% (yoy). Pertumbuhan Kredit UMKM terutama terjadi di sektor Jasa Perorangan yang melayani rumah tangga, pertanian, perburuan dan kehutanan. Menurut klaisifikasi usaha, sebagian besar kredit UMKM disalurkan pada kredit usaha menengah yaitu 49,2%, kepada kredit usaha kecil 23,9% dan selebihnya kredit usaha mikro sebesar 20,9%. Jika dilihat dari kelompok bank, kredit UMKM sebagian besar disalurkan oleh kelompok Bank Persero sebesar Rp. 254,3 triliun (45,8%), diikuti kelompk Bank swasta Nasional Devisa sebesar Rp. 196,7 triliun (35,4%), BPD sebesar Rp. 43,1 triliun (7,8%), BPR Rp. 26,2 triliun (4,7%) dan Bank Swasta Nasional Non Devisa sebesar Rp. 25,1 triliun (4,5%). Demikian pula perkembangan jumlah rekening kredit UMKM
secara keseluruhan pada periode yang sama tercatat 9.227.167 lebih tinggi dibandingkan jumlah rekening kredit pada triwulan sebelumnya 8.876.840. Namun demikian, bukan berarti keberadaan UMKM di Indonesia bebas dari masalah. Berbagai permasalah yang kerap dihadapi oleh UMKM sering kali menghambat pertumbuhan UMKM itu sendiri, mulai dari kemampuan sumber daya manusia, jaringan pemasaran, kemampuan teknologi, hingga keterbatasan pendanaan. Salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam menanggulangi keterbatasan pendanaan adalah dengan disediakannya berbagai program bantuan modal untuk UMKM, seperti program Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang digulirkan dalam beberapa tahun terakhir ini. Berbagai program bantuan modal yang digulirkan oleh pemerintah pada dasarnya bersifat memberikan kemudahan kepada UMKM dalam mengakses pendanaan yaitu kredit/pembiayaan perbankan. Program KUR yang dilakukan oleh pemerintah yang dikordinasikan oleh Kemenko Perekonomian juga melibatkan beberapa bank pelaksana, seperti BRI, BNI, Bank Mandiri, BTN, BSM, Bukopin, BNI Syariah dan seluruh Bank Pembangunan Daerah (BPD) yang tersebar di Indonesia. Meskipun demikian, bukan berarti masalah permodal bagi UMKM sudah terpecahkan. Pemberian akses pendanaan oleh pemerintah kepada UMKM menemui berbagai hambatan. Menurut hasil survei Bank Indonesia dalam rangka Pembentukan Perusahaan Penjaminan Kredit Daerah (PPKD) ada beberapa hambatan dalam mengakses pendaaan kepada perbankan, seperti: keterbatasan asset jaminan, tidak adanya penjamin kredit, kurangnya pengetahuan UMKM, reputasi buruk UMKM, biaya utang yang tinggi, dan lain-lain. Tidak adanya penjamin kredit menjadi hambatan kedua setelah keterbatasan asset
2
jaminan. Hal ini dapat dimaklumi, mengingat penjamin kredit merupakan salah satu upaya perbankan dalam menjalankan prinsip prudential-nya. Penjamin kredit merupakan salah satu syarat dalam mekanisme kegiatan pembiayaan, yang mana merupakan bagian dari manajemen risiko perbankan. Meskipun penjamin kredit bukan merupakan syarat mutlak pembiayaan, tetapi hal ini tidak dapat dikesampingkan begitu saja, mengingat UMKM memiliki tingkat risiko yang tinggi. Selama ini, kegiatan pembiayaan yang dilakukan oleh pemerintah melalui berbagai skema pembiayaan kepada UMKM telah didukung oleh perusahaan penjamin kredit. Tetapi dalam pelaksanaannya, kapasitas perusahaan penjamin kredit masih sangat terbatas sehingga masih memerlukan dukungan untuk meningkatkan nilai penjaminan yang dapat diberikan kepada UMKM yang jumlahnya sangat banyak. Sampai saat ini terdapat tiga Perusahaan Penjaminan Kredit dengan ruang lingkup nasional, yaitu: Perum Jamkrindo, PT. PKPI dan PT. Penjamin Askrindo Syariah. Selain itu terdapat enam Perusahaan Penjaminan Kredit yang ruang lingkup operasionalnya di daerah, yaitu: PT. Jamkrida Jatim, PT. Jamkrida Bali Mandara, PT. Jamkrida Riau, PT. Jamkrida NTB, PT. Jamkrida Jabar dan PT. Jamkrida Padang. Lembaga penjamin kredit yang ada saat ini kapasitasnya masih sangat kecil. Contohnya saja, total penjaminan kredit Perum Jamkrindo sampai dengan semester I tahun 2013 hanya mencapai Rp 24,82 triliun. Padahal jika dilihat dari jumlah KUR yang ada setiap tahunya selalu melebihi target pemerintah. Mempertimbangkan
terbatasnya
kelembagaan
dan
kapasitas
penjaminan
perusahaan penjamin, sedangkan praktek penjaminan semakin meningkat dan besar, maka perlu dilakukan kajian awal terkait kondisi tersebut dari aspek
3
permintaan (demand side) dan kapasitas (supply side). Apakah faktor-faktor tersebut mempunyai pengaruh yang cukup signifikan terhadap kebutuhan akan pendirian lembaga penjamin ulang kredit. Penilitian ini dimaksud untuk mengetahui kapasitas penjamin kredit yang ada dibandingkan jumlah kredit perbankan kepada UMKM pada umumnya dan kemungkinan kebutuhan pendirian lembaga penjamin kredit ulang di Indonesia. Diharapkan kebijakan pemerintah untuk mendorong pendirian lembaga penjamin ulang kredit (Re-Guarantee) dapat dijadikan salah satu upaya peningkatan kapasitas penjaminan kredit yang dilakukan oleh perusahaan penjamin kredit dengan adanya risk sharing penjaminan. Kedepannya diharapkan permintaan penjaminan kredit oleh perbankan dapat terlayani dan menambah tingkat kepercayaan terhadap perusahaan penjamin kredit yang ada saat ini, terutama perusahaan penjaminan kredit yang ruang lingkup operasionalnya di daerah. Dengan demikian peningkatan jumlah Kredit kepada UMKM dapat ditingkatkan seiring dengan meningkatkanya kemampuan perusahaan penjamin dalam memberikan penjaminan kepada perusahaan UMKM.
1.2 Perumusan Masalah Perumusan masalah dalam kajian ini meliputi: 1. Inventarisasi kebijakan yang terkait dengan kebijakan penjaminan ulang kredit. 2. Inventarisasi kendala dan permasalahan yang terjadi dalam pelaksanaan kebijakan penjaminan ulang dalam rangka penyaluran kredit/pembiayaan kepada UMKM.
4
3. Pengaruh perusahaan penjaminan ulang kredit dalam mendukung pelaksanaan penjaminan program KUR. 4. Alternatif pendirian perusahaan penjaminan ulang kredit (cukup dengan mengubah BUMN penjamin yang kurang produktif/atau mendirikan perusahaan baru).
1.3 Maksud dan Tujuan Maksud dan tujuan kajian ini adalah untuk mengetahui pelaksanaan kebijakan penjaminan ulang kredit pembiayaan, yaitu: 1. Menginventarisasi kebijakan yang terkait dengan kebijakan penjaminan ulang kredit. 2. Menginventarisasi kendala dan permasalahan yang terjadi pada pelaksanaan kebijakan penjaminan ulang dalam rangka penyaluran kredit/pembiayaan kepada UMKM. 3. Mengidentifikasi pengaruh perusahaan penjaminan ulang kredit dalam mendukung pelaksanaan penjaminan program KUR. 4. Mengetahui alternatif pendirian perusahaan penjaminan ulang kredit (cukup dengan mengubah BUMN penjamin yang kurang produktif atau mendirikan perusahaan baru).
1.4 Ruang Lingkup Sesuai dengan maksud dan tujuan yang hendak dicapai dalam pelaksanaan kegiatan ini, maka ruang lingkup kegiatan yang harus dilakukan adalah sebagai berikut:
5
1. Mengidentifikasi pada faktor-faktor yang memperngaruhi penjaminan kredit bagi UMKM; 2. Membuat dokumentasi dari awal pelaksanaan penelitian dimulai hingga akhir penelitian; 3. Melakukan kunjungan lapangan dan atau rapat kerja dalam rangka pembahasan
kebijakan
penjaminan
dalam
rangka
penyaluran
kredit/pembiayaan kepada UMKM; 4. Menyusun dan melaporkan hasil pelaksanaan analisis persiapan pendirian perusahaan penjaminan ulang kredit yang terdiri dari laporan permulaan, laporan perantara, dan laporan keseluruhan (hasil) pelaksanaan Analisis Persiapan Pendirian Perusahaan Penjaminan Ulang Kredit; 5. Memberikan rekomendasi kepada Keasdepan Urusan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan terkait hasil Analisis Persiapan Pendirian Peursahaan Penjaminan Ulang Kredit.
1.5 Hasil yang ingin Dicapai Adapun hasil yang ingin dicapai dari analisis persiapan pendirian perusahaan penjaminan ulang kredit ini adalah sebagai berikut: 1. Berupa laporan permulaan, laporan perantara, dan laporan keseluruhan (hasil) 2. Rekomendasi terhadap pelaksanaan kebijakan penjaminan ulang kredit berdasarkan hasil penelitian 3. Tindak lanjut analisis persiapan pendirian perusahaan penjaminan ulang kredit berdasarkan rekomendasi yang diperoleh dari dalam penelitian tersebut.
6
BAB II KAJIAN TEORI DAN STUDI KEPUSTAKAAN
2.1 Landasan Teori Keberhasilan Usaha Mikro, Kecil, dan menengah (UMKM) di Indonesia tidak lepas dari dukungan dan peran pemerintah dalam mendorong penyaluran kredit kepada UMKM. Pengertian kredit menurut Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Tugas Pokok bank adalah menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat yang memerlukannya. Oleh karena itu, peranan kredit dalam operasi bank sangat besar dan penting. Manajemen perkreditan merupakan pengelolaan kredit yang dijalankan oleh bank meliputi perencanaaaan, pengorganisasian, pelaksanaan maupun pengawasan untuk menjadikan kredit tersebut berjalan dengan baik sesuai dengan kesepakatan antara bank dan debitur. Peranan bank sebagai lembaga keuangan tidak lepas dari masalah kredit. Bahkan kegiatan bank sebagai lembaga keuangan, pemberian kredit merupakan kegiatan utamanya. Besarnya jumlah kredit yang disalurkan akan menentukan keuntungan bank. Apabila bank tidak mampu menyalurkan kredit, sementara dana yang terhimpun dari simpanan banyak maka akan menyebabkan rugi. Oleh karena
7
itu pengelolaan kredit harus dilakukan sebaik-baiknya mulai dari perencanaan jumlah kredit, penentuan suku bunga, prosedur pemerian kredit, analisis pemberian kredit sampai dengan pengendalian kredit macet. Keberadaan UMKM di Indonesia tidak lepas dari berbagai masalah mulai dari jaringan pemasaran, kemampuan sumber daya manusia, kemampuan teknologi sampai dengan keterbatasan dalam hal pendanaan. Berbagai pembiayaan UMKM diluncurkan oleh pemerintah dengan tujuan untuk memberikan kemudahan kepada UMKM untuk dapat mengakses pendanaan yaitu melalui kredit atau pembiayaan perbankan (Firdaus & Ariyanti, 2009:1-4; Suyatno, 2007:13). Sistem penjamin kredit menurut beberapa literatur dapat didefinisikan sebagai suatu system yang dirancang untuk memberikan pengamanan terhadap pengembalian kredit yang disalurkan oleh penyedia dana kredit atau fasilitas pemiayaan lainnya kepada sekelompok calon peminjam, yang pada kondisi perkreditan yang standar, tidak memiliki akses terhadap kredit yang dimaksud. Berbagai skim kredit atau pembiayaan UMKM diluncurkan oleh pemerintah dikaitkan dengan tugas dan program pembangunan ekonomi (Suyatno, 2007:1213).
2.1.1 Penjaminan Kredit Perusahaan
penjaminan
dalam
peraturan
menteri
keuangan
No.
222/PMK.010/2008 dan No.99/PMK.010/2011 adalah sebagai badan hukum yang bergerak di bidang keuangan dengan kegiatan usaha pokok melakukan penjaminan. Penjaminan kredit merupakan usaha jasa untuk menutup sebagian dari potensi kerugian kepada yang meminjamkan atas suatu pinjaman bilamana
8
pinjaman tersebut tidak dibayar penuh. Indonesia memiliki perusahaan penjaminan berstatus Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Perusahaan Umum (Perum), Jaminan Kredit Indonesia (Perum Jamkrindo). Perum Jamkrindo adalah BUMN yang memiliki peranan penting dalam bidang industri jasa keuangan sebagai intermediasi antara UMKM sebagai pihak yang membutuhkan dana dan perbankan sebagai pihak yang memberikan pembiayaan, khususnya di bidang penjaminan kredit. Perum Jamkrindo memiliki tujuh jenis penjaminan kredit, antara lain KUR, Kredit Mikro, Kredit Umum, Kredit Konstruksi, kontra bank garansi, Distribusi barang, dan Kredit multiguna. Dengan demikian, kegiatan bisnis perusahaan berjalan dengan baik, karena sebagian besar pendapatan dihasilkan dari aktivitas usaha utama dari berbagai macam bidang penjaminan. Penjamin kredit pada dasarnya merupakan upaya untuk menjamin asset dari debitur. Hal ini merupakan upaya untuk melindungi kreditur dari kerugian yang disebabkan terjadinya gagal bayar dari debitur. Penjamin kredit lebih menunjukan sebagai upaya pembagian resiko. Bank dengan kemampuan analisa kredit yang baik akan memiliki resiko kredit macet yang lebih rendah sehingga mereka akan menetapkan premium risk yang akan rendah pula, dengan demikian akan menekan fee penjamin kredit yang dibebankan kepada debitur. Dalam praktek penjaminan terhadap Usaha Kecil dan Menengah (UMK), lembaga penjaminan kredit di Indonesia menggunakan dua pola, yaitu Conditional Automatic Cover (CAC) dan Case by Case (CBC). Dalam pola Conditional Automatic Cover (CAC), penjaminan dilaksanakan setelah dilakukan perjanjian kerjasama antara bank dengan LPK. Sebagai contoh, penjaminan yang
9
bersifat otomatis berlaku untuk plafon kredit maksimum Rp. 100 juta bagi Perum Sarana (PT Jamkrindo) dan plafon kredit Rp 500 juta bagi PT Askrindo (Persero). Penjamin akan memberikan penjaminan setelah menerima pengajuan dari bank atau lembaga pembiayaan dengan nilai penggantian antara 50% hingga 80% dari outstanding. Apabila penjamin ikut menilai secara langsung pengajuan kredit debitur maka penggantian dapat mencapai 80%, namun apabila penilaian kredit diserahkan sepenuhnya kepada bank maka penggantian mencapai 50%. Pada penjaminan dengan pola case by case (CBC), maka program penjaminan dapat diajukan oleh bank maupun calon debitur secara individual. Besarnya jaminan dalam pola ini bervariasi tergantung kepada resiko usaha calon debitur. PT Askrindo (Persero) menetapkan besarnya jaminan berkisar antara 60% sampai dengan 100% dari total kerugian, Perum sarana menetapkan sebesar 50% sampai dengan 80% dari total kerugian sedang PT PKPI menetapkan sebesar 50% sampai dengan 80% dari outstanding kredit (Untoro & Warjiyo).
2.1.2 Penjamin Kredit Usaha Mikro-Kecil Penjamin kredit sebagai kegiatan pemberian jaminan atas pemenuhan kewajiban financial penerima kredit kepada usaha kecil dan menengah maupun koperasi yang tidak memiliki jaminan/agunan/kolateral atau jaminannya tidak mencukupi. Penjamin kredit usaha mikro-kecil menengah berupaya untuk membantu agar dapat memperoleh pinjaman atau kredit dari lembaga pemberi kredit. Di beberapa negara pemerintah dalam hal ini memprakarsi usaha pendirian perusahaan penjaminan kredit dikarenakan
10
kesamaan penerapan penjaminan
kredit antara satu negara dengan yang lain, yaitu dalam hal memberikan motivasi kepada bank agar mengucurkan kredit kepada kelompok usaha yang tidak memiliki akses kredit dalam persyaratan standar kredit. Secara teoritis terdapat beberapa jeenis skema penjaminan kredit, sebagaimana yang disampaikan oleh Alvaro Ruiz Navajas (2001), yaitu: 1. Direct Model dan Indirect Model Skema penjaminan ini lebih memperhatikan sistem hubungan antara debitur dengan penjamin. Dalam model langsung (direct model) maka penjaminan diberikan oleh penjamin kepada debitur atas dasar pengajuan penjaminan dari bank. Penjamin akan menutup kerugian dalam jumlah tertentu apabila terjadi default sesuai dengan perjanjian. Sedang dalam model tidak langsung (indirect model), maka penjamin menempatkan dana penjaminan di bank dan program penjaminan dilakukan tanpa keterlibatan secara langsung dari penjamin. Penjamin kredit hanya menerima progress report saja. 2. Individual Model dan Portofolio Model Model ini dikaitkan dengan cara penjaminan kredit. Dalam individual model, debitur secara individu akan dijamin kreditnya oleh lembaga penjaminan setelah memperoleh persetujuan kredit dari bank. Debitur harus membayar fee penjaminan yang besarnya disesuaikan dengan total kredit atau jumlah kredit yang dijaminkan. Sedangkan di dalam portfolio model, jaminan tidak diberikan secara individual melainkan penjamin akan secara otomatis memberikan jaminan kepada kredit yang di cairkan oleh bank sepanjang memenuhi kriteria yang telah disepakati oleh
11
kedua belah pihak. Keuntungan dari porfolio model adalah maksimum kerugian akibat default dapat diperkirakan sebelumnya. 3. Funded Model dan Unfunded Model Model ini dikaitkan dengan sumber dana penjaminan. Funded model adalah model penjaminan dimana dana penjaminan tidak berasal dari pemerintah namun dapat berasal dari bank sentral, atau perbankan atau sumber dana bersama antara perbankan dan non perbankan. Dalam hal unfunded model, pemerintah menempatkan sejumlah dana di bank guna menjamin kredit yang diberikan oleh bank. Apabila terjadi default, maka bank ikut menanggung resiko yang pada umumnya maksimum sebesar 25%. 4. Open Model dan Target (Close) Model Dalam
model ini dikaitkan dengan kelompok pengusaha yang akan
dijamin. Dikatakan sebagai open model bila penjaminan diberikan kepada kelompok debitur tertentu tanpa dikenakan persyaratan tambahan. Sedang dalam close model, maka terhadap kelompok debitur tersebut dikenakan persyaratan tertentu sebagai persayaratan tambahan. 5. Ex-ante Model dan Ex-post Model Model ini mendasarkan pada waktu penerbitan penjaminan. Dalam model
Ex-ante,
maka
debitur
akan
mengajukan
permohonan
penjaminan terlebih dahulu kepada lembaga penjaminan, apabila disetujui maka akan diterbitkan surat penjaminan untuk selanjutnya oleh calon debitur dipakai guna mengajukan permohonan kredit bank.
12
Bank dapat menolak permohonan kredit calon debitur tersebut bila menurut penialain bank, usaha debitur tidak layak dibiayai. Sedang dalam model Ex-post, maka pengajuan penjaminan dilakukan setelah ada persetujuan kredit. Biasanya pengajuan penjaminan dilakukan oleh bank. 6. Intermediary Model Penjaminan diberikan kepada bank yang memberikan kredit kepada lembaga keuangan mikro, dimana kredit bank tersebut dipergunakan oleh lembaga keuangan mikro untuk membiayai kredit usaha mikro.
2.1.3 Kecukupan Modal Lembaga Penjaminan Kredit Kebutuhan modal minimum atau besarnya kapasitas suatu lembaga penjaminan dalam menjamin kredit usaha mikro kecil mengacu kepada analisa risiko finansial. Gearing ratio merupakan salah satu indikator risiko finansial yang mencerminkan rasio antara total liabilities dengan modal atau sering disebut sebagai debt to equity ratio. Gearing ratio yang digunakan sebagai alat mengukur kecukupan modal lembaga penjaminan kredit telah diatur berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99 tahun 2011.
2.1.3.1 Gearing Ratio PMK 99/PMK/010/2011 pasal 42A ayat (2) menyatakan bahwa Gearing Ratio merupakan perbandingan antara Total Nilai Penjaminan yang ditanggung sendiri dengan Modal Sendiri Bersih Penjamin pada waktu tertentu.
13
Gearing Ratio
Total Nilai Penjaminan yang ditanggung sendiri Modal Sendiri Bersih
2.1.3.2 Modal Sendiri Bersih Modal Sendiri Bersih Penjamin dibedakan berdasarkan dua bentuk Badan Hukum Perusahaan Penjamin. Pertama badan hukum berbentuk Perseroan Terbatas, Perusahaan Umum, Perusahaan Perseroan dan Perusahaan Dareah, dan Kedua badan hukum berbentuk Koperasi.
Modal Sendiri Bersih bagi Perusahaan Penjamin badan hukum berbentuk Perseroan Terbatas, Perusahaan Umum, Perusahaan Perseroan dan Perusahaan Daerah merupakan penjumlahan : 1. Modal Disetor ................ xxx 2. Cadangan ....................... xxx 3. Laba .............................. xxx
+
xxxx 4. Kerugian ........................ xxx
–
5. Modal Sendiri Bersih ... xxxx =====
Modal Sendiri Bersih bagi Perusahaan Penjamin berbadan hukum Koperasi merupakan penjumlahan : 1. Simpanan Pokok ............ xxx 2. Simpanan Wajib ............ xxx 3. Hibah ............................. xxx 4. Dana Cadangan ............. xxx 5. Sisa Hasil Usaha ........... xxx
+
xxxx 14
Dikurang: 6. Penyertaan ....... xxx 7. Kerugian ........... xxx
xxx
–
Modal Sendiri Bersih .... xxxx =====
2.1.3.3 Ketentuan mengenai Gearing Ratio PMK 99/PMK/010/2011 menetapkan ketentuan Gearing Ratio Usaha Produktif dan Total Gearing Ratio. Usaha Produktif adalah kegiatan untuk menghasilkan barang atau jasa yang memberikan nilai tambah dan meningkatkan pendapatan bagi Terjamin. Pasal 42A ayat (4) dan (5) mengatur Gearing Ratio Usaha Produktif dan Total Gearing Ratio. Gearing Ratio untuk Penjaminan bagi Usaha Produktif paling tinggi 10 (sepuluh) kali. Sedangkan Total Gearing Ratio paling tinggi 40 (empat puluh) kali.
TGR
TPS M SB
GRP
TPUP M SB
Dimana : TGR = Total Gearing Ratio TPS
= Total Nilai Penjaminan Yang Ditanggung Sendiri
TPUP = Total Nilai Penjaminan Usaha Produktif MSB = Modal Sendiri Bersih GRP
= Gearing Ratio Usaha Produktif
15
2.2 Lembaga Penjaminan Kredit di Beberapa Negara 2.2.1 Credit Guarantee System in Japan Sejarah penjaminan kredit Jepang dimulai sejak didirikannya Credit Guarantee Corporation Tokyo (CGC-Tokyo) pada tahun 1937. Sampai dengan tahun 2012 di Jepang terdapat 52 perusahaan penjaminan, dengan total penjaminan lebih kurang 34 trilyun Yen (data tahun 2011). Perusahaan penjaminan yang merupakan institusi publik (public institution) mempunyai misi membantu Usaha Kecil dan Menengah (Small and Medium Enterprises – SME) dengan bertindak sebagai penjamin guna memudahkan UKM dapat mengakses pinjaman yang dibutuhkan dari lembaga keuangan untuk usaha mereka. Sistem penjaminan kredit di Jepang ditandai dengan karakteristik dua fungsi yaitu : (1) Fungsi “Penjaminan Kredit” dimana CGC memberikan penjaminan kepada Lembaga Keuangan atas risiko pinjaman yang diberikan kepada Usaha Kecil dan Menengah. (2) Fungsi “Asuransi Kredit” dimana Japan Finance Corporation (JFC) menjamin ulang atau reasuransi dari penjaminan kredit yang diberikan oleh CGC. Kombinasi dua fungsi penjaminan dan penjaminan ulang ini dikenal dengan “Credit Supplementation System” – Sistem Suplementasi Kredit. CGC dimiliki oleh Pemerintah Daerah (Local Government) sedangkan JFC berada dibawah Pemerintah Pusat (National Government).
CGC yang berjumlah 52
CGC membentuk National Federation of Credit Guarantee Corporation
16
(NFCGC). Sistem Suplementasi Kredit Jepang di ilustrasikan dalam Gambar berikut ini.
Gambar 2.1 Sistem Suplementasi Kredit di Jepang
17
Sebagaimana terlihat dari bagan di atas, bahwa CGCs bertindak sebagai lembaga penjamin yang memberikan jaminan kredit akibat gagal bayar. Selain itu CGCs juga bertindak sebagai konsultan keuangan dan manajemen bagi UMK serta membantu UMK bangkit dari keterpurukan akibat gagal bayar. Ketika CGCs setuju untuk memberikan jaminan kredit bagi UKM, maka tahap selanjutnya jaminan kredit tersebut diasuransikan melalui asuransi kredit sesuai dengan Undang-Undang Usaha Asuransi UKM. Japan Finance Corporation (JFC) bertindak sebagai perusahaan asuransi kredit tersebut. Dalam kasus tersebut, CGC membayar premi yang ditunjuk untuk jenis asuransi yang terlibat. Jika UKM yang telah menerima jaminan kredit oleh CGC mengalami gagal bayar, maka kewajiban CGC untuk melunasi kredit UKM kepada bank atau lembaga keuangan yang memberikan kredit. Dalam hal ini, Japan Finance Corporation (JFC) berkewajiban membayar 70-90% dari jumlah jaminan kredit yang dibayarkan oleh CGC sebagai uang asuransi. Atas usaha jaminan kredit yang diberikan oleh CGC, maka dikenakan Imbal Jasa Penjaminan (IJP). IJP merupakan jumlah uang yang dibayar oleh SME/UKM kepada CGC untuk jasa penjaminan yang diberikan. IJP digunakan oleh CGC untuk membayar premi penjaminan ulang kepada JFC, untuk menutup kerugian jika kredit SME macet, membiayai beban administrasi sehubungan dengan operasi penjaminan dan beban lainnya. Tarif IJP dinyatakan dalam bentuk persentase tahunan dari nilai kredit. Besarnya tarif didasarkan/ditentukan dengan menggunakan Credit Risk Database. Terdapat 9 (sembilan) jenis tarif Imbal Jasa Penjaminan dan masing-masing tarif tersebut didasarkan atas posisi keuangan SME yang dinilai berdasarkan laporan
18
keuangan, aspek kualitatif maupun fakltor non financial tertentu dari masingmasing SME. Besar tarif Imbal Jasa Penjaminan dalam kisaran 0,50% sampai dengan 2,2% pertahun. Di Jepang ada sebuah organisasi yang bernama Credit Risk Database (CRD), yaitu sebuah organisasi yang mengumpulkan dan mengkompilasi data bisnis baik finansial maupun non finansial dan informasi mengenai kredit macet dari UKM. Organisasi ini (CRD) dibentuk tahun 2001 sebagai suatu asosiasi sukarela yang melibatkan seluruh CGC di Jepang (52 CGC). CRD dibentuk dengan tujuan untuk dapat menggunakan data untuk menilai kondisi keuangan UKM sehingga resiko kredit UKM dapat diukur yang akhirnya memungkinkan UKM lebih mudah dapat mengakses lembaga keuangan dan dapat meningkat efisiensi bisnis mereka. Keanggotan CRD meningkat dengan pesat dan tahun 2005 menjadi Limited-libality intermediate Corporation. Pada Juni 2009 sehubungan dengan berlakunya Act on General Incorporated Associations and General Incorporated Foundations, CRD menjadi CRD Association yang beranggota sebanyak 185 anggota dengan komposisi: 52 CGC; 3 Government-affiliated finanancial instutions; 125 Private financial instutions; dan 5 Credit-rating agencies.
2.2.2 Penjaminan Kredit di Korea Selatan Sejarah penjaminan kredit di Korea Selatan ditandai dengan didirikannya Korea Credit Guarantee Fund (KODIT) pada tahun 1976 berdasarkan Korea Credit Guarantee Fund Act. Tujuan didirikannya KODIT adalah memberikan
19
jaminan kredit bagi SME yang mempunyai prospek masa depan tetapi tidak dapat akses kredit ke lembaga keuangan karena tidak ada/tidak cukup kolateral/agunan. Menurut Undang-Undang Korea Jaminan Kredit Dana Pasal 23, KODIT terlibat dalam berbagai usaha termasuk penjaminan kredit, konsultasi bisnis, manajemen kredit penyelidikan, dan pengelolaan informasi kredit, dan lain-lain. Dalam rangka mencapai tujuan UU ini, Korea Jaminan Kredit Dana wajib melakukan bisnis seperti di bawah sub-ayat berikut: 1. Pengelolaan dana modal 2. Jaminan kredit; 3. Konsultasi bisnis dan manajemen informasi kredit; 4. Manajemen hak subrogasi; 5. Penelitian dan pengembangan sistem penjaminan kredit, dan 6. Setiap usaha yang terkait dengan bisnis sebagaimana diatur dalam sub ayat 1 sampai 5 dan disetujui oleh Menteri Keuangan dan Ekonomi. Secara umum kerangka jaminan untuk pinjaman bank yang dilakukan oleh KODIT dijelaskan dalam gambar berikut:
Gambar 2.2 Framework Jaminan Kredit oleh KODIT
20
Ada dua metode dalam prosedur penjaminan kredit, yaitu metode langsung (direct method) dan tidak langsung (indirect method). Direct method adalah jenis yang paling umum digunakan, di mana KODIT melakukan investigasi kredit dan evaluasi kredit pada pemohon serta memutuskan apakah diberikan atau tidak penjaminan kreditnya. Pada tahun 2005, hampir 97 % dari semua penjaminan kredit yang diberikan melalui direct method. Sedangkan, untuk indirect method, KODIT mempercayakan bank dengan semua prosedurnya untuk memproses penjaminan kredit, termasuk investigasi/penyelidikan kredit dan penerbitan surat penjaminan kredit. Indirect method dibagi lagi menjadi dua jenis, yaitu: general indirect gurantee dan special indirect gurantee. Melalui kontrak perwaliamanatan dengan KODIT, 13 bank yang berpartisipasi dalam program general indirect gurantee, di mana bank-bank yang berpartisipasi memiliki keleluasaan untuk memberikan penjaminan kredit hingga KRW 100 juta. Program special indirect gurantee hanya untuk Industrial Bank of Korea (IBK) yang memungkinkan IBK untuk memperpanjang jaminan kepada koperasi. Sistem Imbal Jasa Penjaminan yang diterapkan KODIT dikaitkan dengan credit rating dari masing-masing SME. Tarif Dasar Imbal Jasa Penjaminan berkisar antara 0,50% sampai 2,0% pertahun. Tarif Imbal Jasa Final ditetapkan dengan
menambahkan
atau
mengurangkan
dari
tarif
dasar
mempertimbangkan kondisi saat ini dari SME atau jenis/tipe penjaminan.
21
dengan
2.2.3 Penjaminan Kredit di Thailand Small Industry Credit
Guarantee Corporation (SICGC) adalah
Lembaga Penjaminan Kredit di Thailand yang beroperasi sejak 21 Februari 1992, dengan tujuan utama memberikan jaminan kredit kepada kredit yang mengalami kekurangan collateral. Oleh karena itu SICGC merupakan organisasi non profit dan dimiliki oleh pemerintah (93,18%), asosiasi bankbank swasta (2,50%), bank milik pemerintah (1,53%), bank tabungan negara (1,44%) Industrial Financial Corporation of Thailand (1,08%), dan Small and Medium Enterprise Development Bank (0,27%). Lembaga penjamin kredit tersebut memiliki empat skim penjaminan yang meliputi normal scheme, automatic scheme, NPL scheme dan risk participation scheme. Dalam skema normal, penjaminan diperuntukkan bagi pinjaman yang tidak didukung oleh agunan untuk golongan kredit dengan plafon maksimum tertentu (dalam hal ini senilai 40 juta baht). Dengan maksimum penjaminan hingga mencapai 100% dari total kredit yang tidak ada agunannya tetapi tidak melebihi 50% dari total pinjaman serta maksimum nilai penjaminan tidak melebihi jumlah tertentu. Syarat lain yang harus dipenuhi dari debitur adalah adanya personal garansi dan fee penjaminan bersifat tetap yaitu sebesar 1,75% per tahun dibayar dimuka. Kriteria dalam automatic scheme hampir sama dengan normal scheme, hanya saja nilai penjaminan lebih rendah (yaitu maksimum 10 juta baht) dengan minimal equity tidak kurang dari 20% dari nilai proyek investasi. Non Performing Loan scheme merupakan program kerja sama antara SICGC dengan bank sentral dalam rangka restrukturisasi hutang. Dalam skim
22
ini, bank menanggung resiko kredit hingga 75% dari porsi kredit yang tidak didukung agunan, dan SICGC baru membayar klaim bila sudah ada putusan pengadilan. Dalam risk participation scheme, maka risiko kredit akan ditanggung bersama antara bank dengan SICGC, dimana SICGC akan membayar 50% dari perkiraan kerugian bagi bank meskipun
belum
ada
keputusan dari
pengadilan. Fee penjaminan sebesar 1,75% pertahun dibayar dimuka oleh peminjam dan maksimum penjaminan sebesar 50% dari total pinjaman.
2.2.4 Penjaminan Kredit di Philippines Lembaga penjaminan kredit di Philippines bernama Small Business Guarantee and Finance Corporation (SB Corporation) didirikan pada tahun 1991 namun beroperasi sebagai lembaga penjaminan kredit untuk usaha kecil dilaksanakan pada November 2001, dengan kepemilikan terdiri 57% dikuasai 5 (lima) lembaga keuangan milik pemerintah dan 43% dimiliki oleh pemerintah pusat. Penjaminan
dilakukan sebagai
pengganti agunan
atau
sebagai
tambahan agunan kredit dan program penjaminan diperuntukkan kepada kelompok usaha manufacturing dan jasa, investasi bidang agrobisnis dan industri yang mendukung kegiatan perusahaan besar. Dengan fee penjaminan ditetapkan sebesar 2% p.a. dari nilai penjaminan dan processing fee sebesar 0,1 dari 1% dari total kredit. Dalam periode 90 hari sejak penjaminan disetujui maka persetujuan kredit harus dikeluarkan. Adapun maksimum penjaminan kredit adalah sebagai berikut:
23
Tabel 2.1 Maksimum Penjaminan Kredit pada SB Corporation Kredit tanpa jaminan barang tetap
Kredit dengan jaminan barang tetap
a. Local Producer
60%
80%
b. Franchisees
60%
80%
Start – Up Projects
c. New Exporter
o 85%
transaksi o 85% (untuk transaksi
(untuk
dengan irrevocable L/C) o 60%
transaksi o 80% (untuk transaksi
(untuk
dengan combinasi antara
dengan combinasi antara
irrevocable
irrevocable
L/C
dan
confirmend P/O)
Non start-up project
dengan irrevocable L/C)
70% atau 80% untuk kredit
L/C
dan
confirmend P/O)
85%
ekspor yang didukung irrevocable L/C
2.2.5 Penjaminan Kredit di Malaysia Lembaga penjaminan kredit di Malaysia bernama Credit Guarantee Corporation Malaysia Berhad (CGCMB) yang didirikan pada 5 Juli 1972 dengan kepemilikan terdiri dari Bank Negara Malaysia (79,3%) dan Bank Komersial (20,7%). Saat ini CGCMB memiliki 7 skema penjaminan yang disesuaikan dengan fasilitas pembiayaan bank. Skema penjaminan tersebut meliputi Credit Enhancer Scheme, Islamic Banking Guarantee Scheme, Direct Access Guarantee Scheme, Direct Access Guarantee Scheme – Islamic, Small Entrepreneur Guarantee Scheme, Flexi Guarantee Scheme (Program Lending), Franchise Financing Scheme (Program Lending)
24
Penjaminan diajukan oleh bank kepada CGCMB setelah bank menerima aplikasi pengajuan kredit dari calon debitur. Peserta dari program penjaminan ini meliputi 23 bank komersial dan 10 lembaga keuangan yang beroperasi di Malaysia. Sedangkan kriteria perusahaan yang dapat menerima
program
penjaminan adalah perusahaan yang mayoritas dimiliki oleh warga Negara Malaysia dengan sales turn over tidak melebihi RM 25 juta atau jumlah pegawai tetap tidak lebih dari 150 orang. Fee penjaminan sebesar 1% dan 1,25% tergantung pada agunan kredit, dengan risiko penjaminan mencapai hingga 90% dari total kredit bagi kredit dengan agunan yang memadai dan penjaminan mencapai hingga 80% untuk kredit tanpa agunan yang memadai. Agunan atas nama CGCMB akan disimpan oleh bank.
25
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan studi eksploratif dan deskriptif. Menurut Sekaran (2000, 155), studi eksploratif (exploratory study) dilakukan jika tidak banyak yang diketahui mengenai situasi yang dihadapi, atau tidak ada informasi yang tersedia mengenai bagaimana masalah atau isu penelitian yang mirip diselesaikan di masa lalu. Dalam kasus tersebut, studi awal yang ekstensif perlu dilakukan untuk mendapatkan keakraban dengan fenomena situasi, dan memahami apa yang terjadi sebelum kita membuat sebuah model dan menyusun desain ketat untuk investigasi menyuluruh. Sedangkan studi deskriptif (descriptive study) dilakukan untuk mengetahui dan menjadi mampu untuk menjelaskan karakteristik variabel yang diteliti dalam suatu situasi. Oleh karena itu, tujuan studi deskriptif memberikan sebuah riwayat atau menggambarkan aspek-aspek yang relevan dengan fenomena perhatian dari perspektif seseorang, organisasi, oreintasi industri atau lainnya. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kuantitatif yaitu suatu pendekatan ilmiah terhadap pengambilan keputusan manajerial dan ekonomi melalui pemrosesan dan manipulasi data mentah menjadi informasi yang bermanfaat (Kuncoro, 2001:1). Menurut Sugiyono (2009, 13) metode penelitian kuantitatif dapat diartikan sebagai metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat positivesme, digunakan untuk meneliti pada populasi atau sampel tertentu,
26
teknik pengambilan sampel pada umumnya dilakukan secara random, pengumpulan data menggunakan instrument penelitian, analisis data bersifat kuantitatif/statistik dengan tujuan untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan.
3.2 Populasi dan Sampel Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek/subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2009:115). Adapun populasi dari penelitian ini adalah seluruh perusahaan penjaminan kredit yang ada di Indonesia. Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi. Guna mendapatkan sampel yang betul-betul mewakili populasi diperlukan teknik sampling yang tepat. Teknik sampling yan digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling, yaitu teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu. Atas pertimbangan kecukupan data yang dimiliki oleh anggota populasi, maka sampel yang diambil adalah satu perusahaan penjaminan kredit dengan ruang lingkup nasional, yaitu: Perum Jamkrindo, dan empat perusahaan penjaminan kredit daerah, yaitu: PT. Jamkrida Jatim, PT. Jamkrida Bali Mandara, PT. Jamkrida Riau, dan PT. Jamkrida Jabar.
3.3 Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif dan data kuantitatif. Data kualitatif diperoleh dengan cara wawancara dari beberapa sumber terkait guna membantu proses pemahaman berbagai fenomena-fenomena
27
yang terjadi sebagai suatu bagian pada tahap eksploratif studi. Sedangkan data kuantitatif, seperti frekuensi dan ukuran-ukuran statistik, digunakan untuk memberikan gambaran menyeluruh atas kondisi faktual yang terjadi dan ini menjadi bagian yang penting pada tahap studi deskriptif. Kedua jenis data di atas bersumber dari data primer dan data sekunder. Data primer didapat dengan menggunakan kuesioner dan wawancara penelitian, sedangkan data sekunder diperoleh dari laporan dan artikel yang tersedia dari berbagai sumber.
3.4 Metode Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder, oleh karena itu metode pengumpulan data yang digunakan meliputi data wawancara dan laporan keuangan dari sampel perusahaan. Wawancara yang digunakan adalah wawancara terstruktur. Menurut Sekaran (2006:70), wawancara terstruktur (structure interviews) adalah wawancara yang diadakan ketika diketahui pada permulaan informasi apa yang diperlukan. Pewawancara memiliki daftar pertanyaan yang direncanakan untuk ditanyakan kepada responden.
3.5 Metode Analisis Data Metode analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif dengan cara menyajikan hasil temuan penelitian secara sistematis dan informatif dalam bentuk tabel, grafik dan deskripsi tentang fenomena-fenomana yang terjadi.
28
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Deskripsi Hasil Penelitian Deskripsi hasil penelitian menjelaskan tentang temuan penelitian yang berkaitan dengan pelaksanaan penjaminan kredit yang dilakukan oleh perusahaan penjaminan kredit yang ada selama ini, baik dari sisi kinerja perusahaan, kendala dan permasalahan yang dihadapi perusahaan penjaminan, implementasi kebijakan penjaminan kredit serta saran dan masukan para pelaku usaha penjaminan kredit dalam rangka mendukung pelaksanaan kebijakan pendirian lembaga penjaminan ulang. 4.1.1
Praktek Penjamin Kredit di Indonesia
Praktek penjaminan kredit di Indonesia sudah sejak lama berjalan. Perum Jamkrindo yang dulunya bernama Perum Sarana Pembangunan Usaha (Perum SPU) telah berdiri sejak tahun 1970. Bank Indonesia dan pemerintah mendirikan PT Asuransi Kredit Indonesia (PT. ASKRINDO) yang dalam prakteknya berperan dalam penjaminan kredit Indonesia dan PT. Penjaminan Kredit Pengusaha Indonesia (PT. PKPI) yang didirikan oleh swasta. Ketiga LPK tersebut dalam kegiatannya tidak hanya mengkonsentrasikan diri pada penjaminan kredit namun melakukan kegiatan penjaminan lainnya. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang terus membaik, pada tahun 2010 mulai bermunculan perusahaan penjaminan kredit daerah (Jamkrida) di beberapa provinsi. Sampai dengan tahun 2013,
29
terdapat enam provinsi yang memiliki Jamkrida, yaitu Jawa Timur, Bali, Riau, Nusa Tenggara Barat, Jawa Barat dan Padang. Secara umum skema penjaminan kredit yang diberikan oleh perusahaanperusahaan penjaminan kredit yang ada di Indonesia dibedakan menjadi dua, yaitu menggunakan Conditional Automatic Cover (CAC) dan Case by Case (CBC). Skema Conditional Automatic Cover (CAC) digunakan oleh Perum Jamkrindo pada beberapa produknya seperti: Kredit multiguna, kredit program, kredit konstruksi & pengadaan barang dan jasa, kredit kontra bank garansi, kredit distribusi barang, kredit mikro dan surety bond. Sedangkan Jamkrida menggunakan skema CAC untuk penjaminan kredit yang bersifat masal dan berskala kecil di bawah 250 atau 300 juta rupiah untuk setiap nasabahnya. Sedangkan skema Case by Case (CBC) pada Jamrida biasanya untuk penjaminan kredit di atas 250 atau 300 juta rupiah. Perum Jamkrindo mengunakan skema CBC pada kredit konstruksi & pengadaan barang dan jasa, kredit kontra bank garansi, kredit komersial dan surety bond. Dalam memberikan persyaratan penjaminan kredit kepada debitur, dilapangan ada beberapa kendala yang dirasakan oleh pengelola sehingga mempersulit operasional perusahaan penjaminan kredit. Jamrindo memberi masukan tentang adanya kriteria batas asset UMKM yang dapat diberikan fasilitas penjaminan kredit. Sebaiknya kriteria asset tersebut dievaluasi setiap periodenya, seiring dengan perkembangan kondisi saat ini dan harapannya kriteria UMKM tersebut dapat lebih besar lagi sehingga dapat menyesuaikan dengan perkembangan UMKM saat ini. Selain kriteria tersebut beberapa Jamkrida
30
menyoroti perilaku debitur baik dari sisi personality, kemapuan agunan yang dimilikinya, sampai dengan persoalan-persoalan teknis lainnya. Besarnya penjaminan kredit yang diberikan oleh perusahaan penjaminan kredit bervariasi setiap portofolionya dan biasanya menyesuaikan dengan pengajuan dari Bank yang mana telah diatur dalam perjanjian kerjasama. Berdasarkan data yang dimiliki Perum Jamkrindo, rata-rata jumlah kredit yang diterima oleh setiap UMKM adalah sebesar 17,08 juta rupiah. Skema fee penjaminan kredit dari setiap perusahaan penjaminan kredit relatif berbeda. Contohnya Perum Jamkrindo yang membedakan fee untuk penjaminan kredit komersial dan Penjaminan Kredit Usaha Rakyat (KUR). Sedangkan PT. Jamkrida Jatim menerapkan batas minimum dan maksimun fee penjaminan. Fee terendah adalah 0,5% p.a dari plafon kredit, dan untuk fee tertinggi sebesar 1,50% p.a dari plafon kredit. Jamkrida Jabar menetapkan fee berdaasrkan jangka waktu kredit (semakin lama semakin berisiko), besar kecilnya coverage penjaminan, dan jenis kredit (kredit multiguna memiliki risiko yang berbeda dengan kredit UMKM atau kredit lingkage program).
4.1.2
Kinerja Lembaga Penjaminan Kredit
Perkembangan perusahaan penjaminan kredit yang ada di Indonesia dewasa ini tumbuh relatif cepat. Hal ini tidak lepas dari usaha pemerintah dalam mendorong pembentukkan Perusahaan Penjaminan Kredit Daerah (PPKD). Sejak tahun 2010 sudah ada enam PPKD, yaitu: PT. Jamkrida Jatim, PT. Jamkrida Bali Mandara, PT. Jamkrida Riau, PT. Jamkrida NTB, PT. Jamkrida Jabar dan PT. Jamkrida Padang.
31
Kinerja beberapa PPKD yang ada saat ini juga dinilai relatif baik. Hal ini dapat dilihat dari statistik kinerja dari empat PPKD yang ada pada tabel 4.1 dimana tiap-tiap PPKD memiliki total asset yang beragam jumlahnya. Sampai dengan Juni 2013, PT Jamkrida Jatim yang sudah mulai beroperasi dari tahun 2010 memiliki asset terbesar yang mencapai 174 milyar rupiah, padahal awal berdirinya hanya memiliki asset sebesar 50 milyar rupiah. Artinya pertumbuhan asset Jamkrida Jatim mencapai 247% dalam kurun waktu empat tahun. Sedangkan PT Jamrida Riau yang resmi beroperasi tahun 2011 memiliki total asset terkecil yaitu 25,84 milyar rupiah. Tabel 4.1 Kinerja Keuangan Perusahaan Penjaminan Kredit Daerah (PPKD) Tahun 2012 Keterangan
Jatim
Riau
Bali
Jabar
Total Asset (Rp Juta)
174.000
25.841
58.628
75.860
Total Kredit yang dijamin (Rp Juta)
325.139
35.348
564.676
67.118
13.614
971
4.785
1.576
5.441
1.000
430
1.363
Jumlah Debitur Laba (Rp Juta) Sumber: Data diolah
Jika dilihat total kredit yang dijaminkan pada tahun 2012 pada setiap jamkrida nilainya beragam, mulai dari 35 milyar rupiah sampai dengan 564 milyar rupiah. Jumlah debitur setiap Jamkrida juga relatif tinggi. Hampir semua Jamkrida memiliki jumlah debitur lebih dari seribu, bahkan Jamkrida Jatim memiliki debitur sampai dengan 13.614 pada tahun 2012.
32
Kemampuan setiap PPKD dalam memperoleh laba juga dikategorikan relatif baik. Jamkrida Riau yang memiliki asset terkecil pada tahun 2012 mampu menghasilkan laba hingga 1 milyar rupiah. Begitu pula dengan PPKD lainnya yang tidak kalah produktif dalam memperoleh keuntungan. Berbeda dengan PPKD atau Jamrida yang relatif baru, Perum Jamkrindo yang sudah berdiri sejak tahun 1970 dengan nama Lembaga Jaminan Kredit Koperasi (LJKK) memiliki kinerja yang lebih mapan. Hal ini dapat dilhat dari tabel 4.2 dibawah ini.
Tabel 4.2 Kinerja Keuangan Perum Jamkrindo Uraian Total Asset (Rp Juta) Total Modal/Equitas (Rp Juta) Total Kredit yang dijamin (Rp Juta) Total OutStanding Jaminan (Rp Juta) Jumlah BLK yang menjadi mitra
2008
Tahun 2010
2009
2011
2012
1.267.181
1.555.959
2.993.003
4.929.174
6.661.076
1.058.207
1.434.012
1.896.047
3.433.630
5.049.630
23.762
25.438
34.206
54.305
53.543
43.880.223
32.987.293
58.980.669
89.445.417
117.119.096
51
54
57
59
59
Jumlah Debitur
510.663
626.753
994.363
1.632.409
1.555.176
Laba (Rp Juta)
133.820
113.193
148.388
372.543
517.669
Sumber: Data diolah Dalam lima tahun terakhir rata-rata pertumbuhan asset Perum Jamkrindo setiap tahunnya mencapai 53,74%. Sedangkan total outstanding jaminan memiliki tingkat pertumbuhan rata-rata per tahun mencapai 34,14%. Bahkan yang lebih progresif lagi adalah laba yang memiliki pertumbuhan rata-rata per tahun mencapai 51, 42%.
33
4.1.3
Kendala-kendala Lembaga Penjaminan Kredit
Secara umum ada beberapa kendala yang ditemukan dari penelitian ini mengenai pelaksanaan penjaminan kredit yang telah berjalan selama ini, antara lain: a. Terbatasnya pengelolaan investasi atas dana perusahaan sehingga diperlukan optimalisasi portofolio investasi. b. Level of playing field (kesetaraan dalam persaingan bisnis) belum ada antara perusahaan penjaminan dengan perusahaan asuransi kerugian. c. Belum ada regulasi yang mengatur tentang mekanisme penjaminan ulang, co-guarantee antar perusahaan penjaminan, re-insurance, dan coinsurance sebagai pola mitigasi risiko perusahaan penjaminan. d. Belum ada regulasi yang mengatur tentang pelepasan/peniadaan hak subrogasi atas klaim yang disebabkan kematian dan atas klaim skim kredit tertentu yang tidak didukung agunan. e. Adanya batas maksimum Gearing Ratio untuk usaha produktif sebesar 10 kali. f. Terjadi double pencadangan klaim sehingga mengakibatkan kinerja perusahaan penjamin menjadi kurang baik (karena laba lebih kecil). g. Belum dapat melakukan penjamian kepada pengusaha Menengah ke atas (Non UMKM) h. Adanya aturan SE BI No. 13/6/DPNP tentang perbedaan ATMR dimana secara implisit juga mengatur mengenai ATMR BUMD, jadi seharusnya
34
BUMD diperlakukan sama dengan BUMN, tetapi dalam pelaksanaannya dibedakan, yaitu dengan pengenaan rating bagi Jamkrida. i. Sebagai pelaksana KUR, Jamkrida tidak ada penguatan modal dari pemerintah berupa tambahan modal untuk penjaminan. j. Pemberian fee base bank sesuai PMK maksimal 15%, sedangkan perusahaan asuransi sampai dengan 30%, sehingga perusahaan penjaminan menjadi kurang kompetitif.
4.1.4
Peran serta Pemerintah Pusat dan Daerah
Dalam rangka mendorong pertumbuhan UMKM maka ada banyak hal yang dapat dilakukan oleh pemerintah pusat maupun daerah dapat lakukan, seperti melakukan pembinaan dan pelatihan terhadap UMKM yang belum feasible dan bankable dengan cara CSR, PKBL, PNPM dan derivasi. Selain itu pemerintah juga dapat melakukan penguatan perusahaan penjaminan sehingga mampu menjamin UMKM di seluruh Indonesia, dengan jalan penyertaan modal ke Jamkrida-jamkrida yang potensial. Dan langkah lain yang dapat dilakukan adalah penbentukan PPKD sebagai sarana penjamin bagi UMKM yang feasible namun belum bankable dalam memperoleh akses permodalan di perbankan maupun lembaga keuangan lainnya. Berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010 – 2014, akses pendanaan UMKM ke lembaga keuangan (Bank atau Lembaga lainnya) didorong melalui:
35
1) Kerja sama pembiayaan yang melibatkan bank dan lembaga keuangan/pembiayaan lainnya 2) Terfasilitasinya Lembaga Penjaminan Kredit Daerah (LPKD) yang melakukan co-guarantee dengan lembaga penjamin nasional 3) Peningkatan
jumlah
koperasi
yang dapat
mengakses
kredit/
pembiayaan bank melalui linkage 4) Peningkatan jumlah LKM (koperasi dan BPR) yang melakukan kerjasama pembiayaan dengan bank 5) Meningkatnya jumlah Lembaga Penjaman Kredit Daerah 6) Meningkatkan kesadaran aspek legalitas usaha kepada para pelaku UMKM 7) Program pendampingan pada UMKM dalam memenuhi persyaratan perbankan
4.2 Potensi Usaha Lembaga Penjaminan Menurut Laporan Perekonomian Indonesia tahun 2012 yang dirilis oleh Bank Indonesia, secara umum fungsi intermediasi perbankan masih menunjukkan peningkatan, dimana penyaluran kredit perbankan mengalami pertumbuhan hingga 23,1% atau sebesar Rp507,8 triliun dari posisi total kredit Rp2.775,5 triliun hingga akhir Desember tahun 2012. Sementara itu, realisasi Kredit Usaha Menengah Kecil dan Mikro (UMKM) selama tahun 2012 mencapai Rp552,2 triliun atau meningkat 72,3 ttriliun dari Desember 2011 (Rp479,9 triliun) dengan ekspansi kredit netto UMKM mencapai 47.9% dari Rencana Bisnis Bank tahun 2012 sebesar Rp151 triliun. Kontribusi kredit UMKM terhadap total kredit
36
perbankan mencapai 19,9% didominasi oleh kredit kepada usaha menengah diikuti oleh usaha kecil dan mikro masing-masing sebesar 48,6%, 30,8% dan 20,6%. Pemberian kredit UMKM sebagian besar, yaitu 66,6% disalurkan ke sektor perdagangan, industri pengolahan, serta pertanian, perburuan dan kehutanan. Selama tahun 2012, Kredit Usaha Rakyat (KUR) tercatat sebesar Rp33,5 triliun atau mencapai 111,6% dari target tahun 2012 sebesar Rp30 triliun. Besarnya penyaluran KUR terus meningkat dari tahun ke tahun, setidaknya dalam tiga tahun terakhir mengalami pertumbuhan hingga 42%.
Tabel 4.3 Kredit Perbankan Nasional (dalam Triliun Rupiah) Kredit/Pembiayaan
2010
2011
2012
Nasional
1.799,644
2.241,199
2.775,488
UMKM
394,3
479,9
552,2
KUR
17,229
29,003
33,509
Dijaminkan oleh Jamkrindo
34,206
54,305
53,543
Dijaminkan oleh Jamkrida*
0,992
Dari berbagai sumber *) hanya dari 4 Jamkrida
Jika dilihat dari tabel di atas, besarnya kredit/pembiayaan yang disalurkan untuk Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) selama tiga tahun terakhir proporsinya masih terbilang kecil, dengan rata-rata proporsi 20% dari total kredit
37
yang disalurkan oleh perbankan nasional. Sedangkan untuk Kredit Usaha Rakyat (KUR) sendiri proporsinya terbilang sangat kecil, rata-rata hanya 1,2% dari total kredit yang disalurkan oleh perbankan nasional. Beberapa lembaga pemjaminan yang ada, seperti PT. Jamkrindo dan beberapa Jamkrida selama tiga tahun terkahir ini aktif dalam usaha penjaminan bagi Kredit Usaha Rakyat (KUR). Jika dilihat dari kredit yang dijaminkan oleh Jamkrindo dan beberapa Jamkrida, nilai penjaminannya berada di atas nilai realisasi KUR. Tetapi, jika jumlah kredit yang dijaminkan oleh lembaga penjaminan dibandingkan dengan jumlah kredit yang disalurkan ke sektor UMKM rasionya masih sangat jauh, yaitu sekitar 9,9%. Bahkan jika jumlah kredit yang dijaminkan oleh lembaga penjaminan dibandingkan dengan total kredit/ pembiayaan secara nasional nilainya hanya 2%. Dilihat dari kemampuan lembaga penjaminan kredit sendiri, jika dilakukan perhitungan berdasarkan aturan gearing ratio yang ada, masih sangat kecil dari nilai kredit/pembiayaan perbankan secara nasional. Contohnya, PT. Jamkrindo yang memiliki modal bersih sebesar Rp5,050 triliun hanya memiliki kemampuan penjaminan sampai dengan Rp202 triliun rupiah (tanpa memisahkan kredit produktif dan konsumtif). Artinya PT. Jamkrindo hanya memiliki kemampuan penjaminan sebesar 7,46% dari total kredit nasional. Sedangkan, jika dihitung dari aturan gearing ratio untuk usaha produktif yang hanya 10 kali, maka kemampuan PT. Jamkrindo dalam memberikan jaminan terhadap kredit produktif hanya sebesar Rp50,5 triliun atau 2,65% dari total kredit produktif nasional. Perhitungan di atas hanya sebatas simulasi terhadap satu perusahaan penjaminan kredit saja. Tetapi jika dilihat dari rasio asetnya, PT. Jamkrindo secara
38
nasional pangsa pasarnya mencapai 98% dari total asset perusahaan penjaminan kredit di Indonesia. Hal ini tentunya menegaskan, masih besarnya potensi pasar perusahaan penjaminan, karena jumlah kredit nasional yang dapat dijamin oleh perusahaan penjaminan yang ada nilainya tidak sampai 10%.
4.3 Analisis Pendirian Perusahaan Penjaminan Ulang (Re-Guarantee) Analisis pendirian perusahaan penjaminan ulang mencakup urgensi dan dampak pendirian perusahaan penjaminan ulang, analisis dari aspek hukum, sumber daya manusia, kelembagaan, permodalan, dan teknis dilapangan.
4.3.1
Urgensi dan Implikasi Pendirian Perusahaan Penjaminan Ulang
Pada bagian ini akan dilakukan analisis deskriptif terhadap urgensi dan implikasi didirikannya Perusahaan Penjamin Ulang dalam hubungannya untuk mendukung kemampuan kegiatan Perusahaan Penjamin. Kemampuan Perusahaan Penjamin diukur dengan Gearing Ratio. PMK 99/2011 menetapkan Total Gearing Ratio sebesar 40 kali dengan Gearing Ratio Usaha Produktif 10 kali. Pengaruh pendirian Perusahaan Penjamin Ulang terhadap kemampuan penjaminan Perusahaan Penjamin Kredit dilakukan dengan proses perbandingan Gearing Ration Perusahaan Penjaminan sebelum menggunakan jasa Penjaminan Ulang dan dengan menggunakan jasa Penjaminan Ulang. Pedoman Gearing ratio mengacu pada PMK 99/2011 khususnya Total Gearing Ratio 40 kali. Berikut ini adalah rumusan Total Gearing Ratio:
TGR
39
TPS MSB
Dimana : TGR = Total Gearing Ratio TPS
= Total Nilai Penjaminan Yang Ditanggung Sendiri
MSB = Modal Sendiri Bersih
Perhitungan TGR Perusahaan Penjamin sebelum atau tanpa menggunakan jasa Perusahaan Penjamin Ulang adalah 40 kali. Untuk perhitungan pengaruh jasa penjaminan ulang diasumsikan 6 skenerio penjaminan: 1. Jaminan Ulang 100 % 2. Jaminan Ulang 90 % 3. Jaminan Ulang 80 % 4. Jaminan Ulang 70 % 5. Jaminan Ulang 60 % 6. Jaminan Ulang 50 %
Berdasarkan formula TGR diatas, maka persamaan untuk TPS adalah :
TPS MSB 40 Jika Perusahaan Penjaminan, sebut saja Jamkrida X dengan Modal Sendiri Bersih (MSB) Rp. 25 milyar, maka kemapuan menjaminnya adalah Rp. 25 milyar x 40 = Rp. 1 trilyun Kemampuan penjaminan Rp. 1 trilyun tersebut adalah kemampuan tanpa menggunakan jasa penjaminan ulang atau total resiko ditanggung sendiri. Dengan menggunakan jasa penjaminan ulang maka kemampuan penjaminan Jamkrida X dapat dihitung dengan formula sebagai berikut : 40
TGR
Total Penjaminan TPS TPJU MSB MSB
Dimana : Total Penjaminan = TPS + TPJU TPJU = Total Penjaminan yang Dijamin Ulang (bukan ditanggung sendiri)
Berikut ini adalah analisa perhitungan pengaruh jasa penjaminan ulang dengan enam skenerio penjaminan: 1. Jaminan Ulang 100% Dengan formula tersebut maka perhitungan TGR Jamkrida X dengan jaminan ulang 100%, adalah:
TGR
TPS TPJU M SB
TGR
Rp 1 trilyun (Rp 1 trilyun 100%) Rp 25 milyar
TGR
Rp 2 trilyun Rp 25 milyar
TGR 80 kali Dengan menggunakan jasa penjaminan ulang dari Perusahaan Penjaminan Ulang maka TGR Jamkrida X menjadi 80 kali dari yang semula hanya 40 kali. Total Penjaminan menjadi Rp.2 trilyun dari sebelumnya Rp.1 trilyun. Dengan kata lain pengaruh penjaminan ulang 100% akan meningkatkan kemampuan penjaminan perusahaan penjaminan kredit (Jamkrida) sebesar 100% atau 2 kali dari kemampuan sebelumnya. Peningkatan TGR dari 40 41
kali menjadi 80 kali tidak melanggar ketentuan PMK 99/2011, karena untuk perhitungan TGR menurut PMK 99/2011 Total Nilai Penjaminan yang dihitung adalah Total Nilai Penjaminan yang resikonya ditanggung sendiri. Untuk perhitungan TGR berdasarkan PMK 99/201 dihitung sebagai berikut :
TGR
TPS TPJU M SB
TGR
Rp 1 trilyun (Rp 0) * Rp 25 milyar
* Tidak dihitung karena dijamin 100%
TGR
Rp 1 trilyun 40 kali Rp 25 milyar
Dengan demikian TGR tidak melanggar ketentuan 40 kali
2. Jaminan Ulang 90% Dengan formula yang sama maka perhitungan TGR Jamkrida X dengan jaminan ulang 90%, adalah:
TGR
TPS TPJU M SB
TGR
Rp 1 trilyun (Rp 1 trilyun 90%) Rp 25 milyar
TGR
Rp 1,9 trilyun Rp 25 milyar
TGR 76 kali
42
Dengan menggunakan jasa penjaminan ulang dari Perusahaan Penjamin Ulang maka TGR Jamkrida X dari 40 kali menjadi 76 kali, dengan Total Penjaminan Rp.1,9 trilyun dari sebelumnya Rp.1 trilyun. Dengan kata lain pengaruh penjaminan ulang 90% akan meningkatkan kemampuan perusahaan penjaminan kredit sebesar 90% atau 1,9 kali dari kemampuan sebelumnya. Peningkatan TGR dari 40 kali menjadi 76 kali tidak melanggar ketentuan PMK 99/2011, karena untuk perhitungan TGR menurut PMK 99/2011 Total Nilai Penjaminan yang
dihitung adalah
Total Nilai Penjaminan yang resikonya ditanggung sendiri. Untuk perhitungan TGR berdasarkan PMK 99/201 dihitung sebagai berikut :
TGR
TPS TPJU M SB
TGR
Rp 1 trilyun (Rp 0) * Rp 25 milyar
* Tidak dihitung karena dijamin 100%
TGR
Rp 1 trilyun 40 kali Rp 25 milyar
Dengan demikian TGR tidak melanggar ketentuan 40 kali
3. Jaminan Ulang 80% Dengan formula yang sama maka perhitungan TGR Jamkrida X dengan jaminan ulang 80%, adalah:
43
TGR
TPS TPJU M SB
TGR
Rp 1 trilyun (Rp 1 trilyun 80%) Rp 25 milyar
TGR
Rp 1,8 trilyun Rp 25 milyar
TGR 72 kali Dengan menggunakan jasa penjaminan ulang dari Perusahaan Penjamin Ulang maka TGR Jamkrida X dari 40 kali menjadi 72 kali, dengan Total Penjaminan Rp.1,8 trilyun dari sebelumnya Rp.1 trilyun. Dengan kata lain pengaruh penjaminan ulang 80% akan meningkatkan kemampuan penjaminan perusahaan penjaminan sebesar 80% atau 1,8 kali dari kemampuan sebelumnya. Peningkatan TGR dari 40 kali menjadi 72 kali tidak melanggar ketentuan PMK 99/2011, karena untuk perhitungan TGR menurut PMK 99/2011 Total Nilai Penjaminan yang
dihitung adalah
Total Nilai Penjaminan yang resikonya ditanggung sendiri. Untuk perhitungan TGR berdasarkan PMK 99/2001 dihitung sebagai berikut :
TGR
TPS TPJU M SB
TGR
Rp 1 trilyun (Rp 0) * Rp 25 milyar
* Tidak dihitung karena dijamin 100%
TGR
Rp 1 trilyun 40 kali Rp 25 milyar
Dengan demikian TGR tidak melanggar ketentuan 40 kali
44
4. Jaminan Ulang 70% Dengan formula yang sama maka perhitungan TGR Jamkrida X dengan jaminan ulang 70%, adalah:
TGR
TPS TPJU M SB
TGR
Rp 1 trilyun (Rp 1 trilyun 70%) Rp 25 milyar
TGR
Rp 1,7 trilyun Rp 25 milyar
TGR 68 kali Dengan menggunakan jasa penjaminan ulang dari Perusahaan Penjamin Ulang maka TGR Jamkrida X dari 40 kali menjadi 68 kali, dengan Total Penjaminan Rp.1,7 trilyun dari sebelumnya Rp.1 trilyun. Dengan kata lain pengaruh penjaminan ulang 70% akan meningkatkan kemampuan penjaminan perusahaan penjaminan sebesar 70% atau 1,7 kali dari kemampuan sebelumnya. Peningkatan TGR dari 40 kali menjadi 68 kali tidak melanggar ketentuan PMK 99/2011, karena untuk perhitungan TGR menurut PMK 99/2011 Total Nilai Penjaminan yang
dihitung adalah
Total Nilai Penjaminan yang resikonya ditanggung sendiri. Untuk perhitungan TGR berdasarkan PMK 99/201 dihitung sebagai berikut :
45
TGR
TPS TPJU M SB
TGR
Rp 1 trilyun (Rp 0) * Rp 25 milyar
* Tidak dihitung karena dijamin 100%
TGR
Rp 1 trilyun 40 kali Rp 25 milyar
Dengan demikian TGR tidak melanggar ketentuan 40 kali.
5. Jaminan Ulang 60% Dengan formula yang sama maka perhitungan TGR Jamkrida X dengan jaminan ulang 60%, adalah:
TGR
TPS TPJU M SB
TGR
Rp 1 trilyun (Rp 1 trilyun 60%) Rp 25 milyar
TGR
Rp 1,6 trilyun Rp 25 milyar
TGR 64 kali Dengan menggunakan jasa penjaminan ulang dari Perusahaan Penjamin Ulang maka TGR Jamkrida X dari 40 kali menjadi 64 kali, dengan Total Penjaminan Rp.1,6 trilyun dari sebelumnya Rp.1 trilyun. Dengan kata lain pengaruh penjaminan ulang 60% akan meningkatkan kemampuan penjaminan perusahaan penjaminan sebesar 60% atau 1,6 kali dari kemampuan sebelumnya. Peningkatan TGR dari 40 kali menjadi 64 kali
46
tidak melanggar ketentuan PMK 99/2011, karena untuk perhitungan TGR menurut PMK 99/2011 Total Nilai Penjaminan yang
dihitung adalah
Total Nilai Penjaminan yang resikonya ditanggung sendiri. Untuk perhitungan TGR berdasarkan PMK 99/201 dihitung sebagai berikut :
TGR
TPS TPJU M SB
TGR
Rp 1 trilyun (Rp 0) * Rp 25 milyar
* Tidak dihitung karena dijamin 100%
TGR
Rp 1 trilyun 40 kali Rp 25 milyar
Dengan demikian TGR tidak melanggar ketentuan 40 kali.
6. Jaminan Ulang 50% Dengan formula yang sama maka perhitungan TGR Jamkrida X dengan jaminan ulang 50%, adalah:
TGR
TPS TPJU M SB
TGR
Rp 1 trilyun (Rp 1 trilyun 50%) Rp 25 milyar
TGR
Rp 1,5 trilyun Rp 25 milyar
TGR 60 kali
47
Dengan menggunakan jasa penjaminan ulang dari Perusahaan Penjamin Ulang maka TGR Jamkrida X dari 40 kali menjadi 60 kali, dengan Total Penjaminan Rp.1,5 trilyun dari sebelumnya Rp.1 trilyun. Dengan kata lain pengaruh penjaminan ulang 50% akan meningkatkan kemampuan penjaminan perusahaan penjaminan sebesar 60% atau 1,6 kali dari kemampuan sebelumnya. Peningkatan TGR dari 40 kali menjadi 60 kali tidak melanggar ketentuan PMK 99/2011, karena untuk perhitungan TGR menurut PMK 99/2011 Total Nilai Penjaminan yang
dihitung adalah
Total Nilai Penjaminan yang resikonya ditanggung sendiri. Untuk perhitungan TGR berdasarkan PMK 99/201 dihitung sebagai berikut :
TGR
TPS TPJU M SB
TGR
Rp 1 trilyun (Rp 0) * Rp 25 milyar
* Tidak dihitung karena dijamin 100%
TGR
Rp 1 trilyun 40 kali Rp 25 milyar
Dengan demikian TGR tidak melanggar ketentuan 40 kali.
Pengaruh kemampuan penjaminan oleh perusahaan penjaminan kredit akibat adanya perusahaan penjaminan ulang disajikan pada tabel 4.4, yang mana di tabel tersebut merangkum keenam skenario besarnya persentase jaminan ulang mulai dari 100% sampai dengan 50%.
48
Tabel 4.4 Perbandingan Pengaruh Besarnya Persentase Penjaminan Ulang Alter natif
Besarnya Jaminan Ulang
Total Nilai Penjaminan Dengan jaminanan lang
Total Nilai Penjaminan Tanpa jaminan Ulang
TGR Dengan Jaminan Ulang
TGR menurut PMK 99/2011
Pengaruh Kemampuan Penjaminan Menjadi:
1
100%
Rp.2 trilyun
Rp.1 trilyun
80 kali
40 kali
2 kali lipat
2
90%
Rp.1,9 trilyun
Rp.1 trilyun
76 kali
40 kali
1,9 kali lipat
3
80%
Rp.1,8 trilyun
Rp.1 trilyun
72 kali
40 kali
1,8 kali lipat
4
70%
Rp.1,7 trilyun
Rp.1 trilyun
68 kali
40 kali
1,7 kali lipat
5
60%
Rp.1,6 trilyun
Rp.1 trilyun
64 kali
40 kali
1,6 kali lipat
6
50%
Rp.1,5 trilyun
Rp.1 trilyun
60 kali
40 kali
1,5 kali lipat
Kemampuan penjaminan perusahaan penjamin kredit akan meningkat sesuai dengan besarnya persentase penjaminan. Dengan jaminan ulang 100% maka kemampuan akan meningkat 2 kali lipat atau dari 100% menjadi 200%. Dengan Jaminan Ulang 90% maka kemampuan akan meningkat 1,9 kali lipat atau dari 100% menjadi 190% dan seterusnya. Peningkatan Total nilai Penjaminan tersebut dengan tidak melanggar ketentuan TGR yang ditetapkan pemerintah dalam PMK 99/2011 yaitu 40 kali .
4.3.2
Analisis Hukum Pendirian Perusahaan Penjaminan Ulang
Dari aspek hukum, pendirian lembaga penjaminan ulang telah dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99 Tahun 2011. Pada pasal 1, dijelaskan tentang Perusahaan Penjaminan Ulang yang kegiatannya memberikan jaminan atas pemenuhan kewajiban finansial Perusahaan Penjaminan yang telah menjamin pemenuhan kewajiban fiansial penerima kredit.
49
Aturan-aturan yang berkaitan dengan lembaga penjaminan ulang secara umum memiliki kesamaan dengan aturan yang berkaitan dengan lembaga penjaminan kredit, seperti: aktivitas usaha, likuiditas, aktivitas investasi, cadangan klaim, izin usaha, modal disetor, sampai dengan gearing ratio. Dari beberapa aturan yang ada, jumlah modal disetor atau simpanan pokok, simpanan wajib dan hibah lembaga penjaminan ulang berbeda dengan lembaga penjaminan kredit. Lembaga penjaminan ulang besarnya modal disetor dan lain-lain paling sedikit 200 miliar rupiah, sedangkan untuk lembaga penjaminan kredit hanya 100 miliar rupiah untuk lingkup nasional dan 25 miliar untuk lingkup daerah. Jadi secara legal formal, segala kelengkapan guna pendirian lembaga penjaminan ulang dapat dikatakan sudah mencukupi. Artinya tidak ada kendala legal dalam pendirian lembaga penjaminan ulang sehingga realisasi pendirian penjaminan ulang tinggal menunggu realisasi dari segi modal, bentuk kelembagaan dan kesiapan operasionalnya.
4.3.3
Analisis Kelembagaan
Dalam praktek penjaminan kredit, tidak semua Negara memiliki lembaga penjaminan ulang. Jepang yang memiliki lembaga penjaminan ulang (Japan Finance Corporation – JFC) bertindak sebagai perusahaan asuransi kredit bagi lembaga penjaminan kredit yang ada (Credit Guarantee Corporations – CGCs), dan hal itu dituangkan dalam Undang-Undang Usaha Asuransi UKM di Jepang. Pada proses penjaminan kredit, CGC membayarkan sejumlah premi yang ditunjuk untuk jenis asuransi yang terlibat. Sebagaimana skema asuransi, jika terjadi gagal bayar oleh UKM yang telah dijaminkan oleh CGC maka Japan Finance
50
Corporation (JFC) sebagai lembaga penjamin ulang berkewajiban membayar 70% – 90% dari jumlah jaminan kredit yang dibayarkan CGC kepada bank yang memberikan kredit. Sedangkan mengenai Imbal Jasa Penjaminan (IJP), CGC membagi secara proporsional kepada JFC. Mengacu kepada kesuksesan Credit Guarantee System yang dilakukan oleh Jepang, sangat memungkinkan untuk Indonesia mengaplikasikan sistem penjaminan ulang tersebut. Sistem penjaminan ulang (re-guarantee) yang ada di Jepang mewadahi 52 lembaga penjaminan kredit (CGC) dengan wilayah kerja yang menyebar diseluruh Jepang. Terkait dengan kesiapan lembaga penjaminan ulang di Indonesia, pada dasarnya sarana dan prasarana (infrastrukturnya) telah memadai, walaupun tidak seratus persen. Hal ini dapat dilihat dari lembaga penjaminan kredit yang dimiliki oleh pemerintah dengan wilayah kerja nasional seperti PT. Jamkrindo. Wacana pendirian lembaga penjaminan ulang (re-guarantee) di Indonesia memiliki beberapa alternatif apabila nantinya jadi direalisasikan. Pertama, membentuk lembaga baru, kedua merevitalisasi lembaga penjaminan kredit/asuransi kredit milik pemerintah, atau ketiga melakukan merger terhadap lembaga penjaminan kredit/asuransi kredit yang ada. Ketiga alternatif tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri.
4.3.4
Alternatif pendirian Perusahaan Penjaminan Ulang
Sehubungan dengan manfaat dari adanya Perusahaan Penjaminan Ulang dalam rangka meningkatkan kemampuan kegiatan penjaminan dari Perusahaan Penjaminan untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan UMKM di tanah air, dimasa
51
datang sebaiknya pemerintah mendirikan Perusahaan Penjaminan Ulang. Keberpihakan pemerintah sangat diperlukan dalam pendirian Perusahaan Penjaminan Ulang agar fungsi untuk meningkatkan kemampuan penjaminan Perusahaan Penjamin dapat terujud. Hal ini sejalan dengan usaha pemerintah mendorong berdirinya Perusahaan Penjamin Kredit Dareah (PPKD – Jamkrida) diseluruh wialayah Indonesia. Perusahaan Penjaminan Ulang sebaiknya berbentuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) karena ruang lingkup wilayah yang dilayani bersifat nasional. Perusahaan Penjaminan Ulang akan melayani kebutuhan jasa penjaminan ulang dari PPKD di daerah maupun Perusahaan Penjamin tingkat nasional. Karena pola penjaminan ulang pada umumnya menggunakan pola asuransi (seperti di Jepang dan Korea) dimana yang terkait hanya dua pihak yaitu pihak Bank/penerima jaminan dan Perusahaan Penjamin Ulang selaku pihak kedua yang menjamin, tanpa melibatkan pihak UMKM selaku terjamin. Sedangkan pola penjaminan melibatkan tiga pihak; pihak bank selaku penerima jaminan, pihak UMKM selaku terjamin dan perusahaan penjamin selaku penjamin. Karena pola penjaminan ulang umumnya menggunakan pola asuransi, maka suatu pilihan alternatif pembentukan perusahaan penjaminan ulang adalah dengan melakukan Revitalisasi BUMN asuransi yang kinerja kurang optimal menjadi Perusahaan Penjaminan Ulang atau pelaksana penjaminan ulang. Keuntungan dari menjadikan BUMN asuransi menjadi perusahaan penjaminan ulang karena karena perusahaan telah mempunyai berbagai sumber seperti modal, organisasi, sumber daya manusia, sistem dan prosedur operasi, pengalaman, dan lain-lain.
52
4.3.5
Pengaruh Perusahaan Penjamin Ulang terhadap Manajemen Risiko
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99 Tahun 2011 pasal 7 (d) disebutkan bahwa perusahaan penjaminan kredit berkewajiban melakukan aktivitas pengelolaan risiko untuk portofolio penjamian kredit yang diberikannya. Salah satu bentuk usaha pengelolaan risiko yang dapat dilakukan oleh perusahaan penjaminan kredit adalah dengan melakukan sharing risiko terhadap perusahaan lain. Adanya perusahaan penjamin ulang dapat menjadi salah satu alternatif dalam rangka pengelolaan risiko bagi perusahaan penjaminan kredit. Dengan demikian pendirian perusahaan penjaminan ulang merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam rangka usaha pengelolaan manajemen risiko perusahaan penjaminan kredit.
53
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan Berdasarkan hasil analisis kajian di atas, maka ada beberapa kesimpulan yang diperoleh, antara lain: 1. Perkembangan lembaga penjaminan kredit yang ada di Indonesia sedang mengalami masa pertumbuh yang relatif baik dengan beberapa indikator kinerja yang dimiliknya, walaupun beberapa kendala yang ada masih menghambat
perkembangan
tersebut,
seperti
kendala
permodalan,
kelembagaan dan peraturan. 2. Kredit/pembiayaan perbankan secara nasional masih belum didukung oleh mekanisme penjaminan yang memadai. Proporsi kemampuan penjaminan kredit yang dimiliki oleh perusahaan penjaminan yg ada di Indonesia masih jauh dari besarnya kredit yang disalurkan oleh perbankan nasional. Artinya market share penjaminan masih sangat potensial. 3. Pendirian perusahaan penjaminan ulang membantu perusahaan penjaminan kredit yang ada, terutama dari sisi kemampuan penjaminannya. Dari aspek hukum, kelembagaan dan potensi yang dimilikinya, perusahaan penjaminan ulang sangat feasiable untuk direalisasikan di Indonesia.
54
5.2 Saran Beberapa saran yang dapat diberikan dari kajian ini antara lain adalah sebagai berikut: 1. Perlunya perhatian terhadap lembaga penjaminan yang ada di Indonesia, baik itu dari sisi permodalan, kelembagaan maupun dari peraturan. Baik pemerintah pusat maupun daerah berperan penting dalam memberikan dukungan permodalan kepada lembaga pemjaminan yang ada, terutama Perusahaan Penjaminan Kredit Daerah (PPKD). 2. Perlunya mendorong pertumbuhan lembaga penjaminan kredit guna medukung pertumbuhan kredit yang ada, terutama pendirian perusahaan penjaminan kredit daerah seperti Jamkrida. Selain itu, guna mendorong terpenuhinya kemampuan penjaminan kredit nasional, perlu dilakukan percepatan dengan jalan pendirian perusahaan penjaminan ulang. Adanya perusahaan penjaminan ulang dengan sendirinya akan meningkatkan kemampuan penjaminan dari perusahaan penjaminan yang ada. 3. Perusahaan penjaminan ulang sebaiknya berbentuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang memiliki ruang lingkup nasional. Pendirian perusahaan penjaminan sebaiknya dilakukan dengan cara melakukan Revitalisasi BUMN asuransi yang ada. Pola kerja dari perusahaan penjaminan ulang dapat menggunakan pola asuransi sebagai mana yang telah diterapkan di Jepang dan Korea.
55
DAFTAR PUSTAKA
Bank Indonesia, 2010, Hasil Survei Pembentukan Perusahaan Penjaminan Kredit Daerah (PPKD). (www.bi.go.id/NR/rdonlyres/...60C9.../HasilSurveiPPKD 9Provinsi.pdf, diakses 29 Agustus 2013) Bank Indonesia. (2012). Laporan Perekonomian Indonesia Tahun 2012. (http:// www.bi.go.id/web/id/Publikasi/Laporan+Tahunan/Laporan+Perekonomian +Indonesia/LPI_2012.htm, diakses 2 Oktober 2013). Bank Indonesia. (2012). Statistik Perbankan Indonesia. (http://www.bi.go.id/ web/id/Statistik/Statistik+Perbankan/Statistik+Perbankan+Indonesia/spi_12 12.htm , diakses 2 Oktober 2013). Biro Riset LM FEUI, 2012, Analisis Bisnis Penjaminan Kredit: Sekilas Tinjauan Pasar Internasional BUMN Jamkrindo. Firdaus, Rachmat., & Ariyanti, Maya. (2009). Manajemen Perkreditan Bank dan Umum. Bandung: Alfabetha. Kasmir, 2001, Manajemen Perbankan, Edisi Pertama, Jakarta, Raja Grafindo Persada. Kuncoro, Mudrajat, 2001, Metode Kuantitatif dan Aplikasi untuk Bisnis dan Ekonomi, Edisi 1, AMP YKPN, Yogyakarta. National Federation of Credit Guarantee Corporations (NFCGC), 2012, Credit Guarantee System in Japan. Navajas, Alvaro Ruiz, 2001, Credit Guarantee Schemes: Conceptual Frame, Financial System Development Project, GTZ/FONDESIF
Park, Yong Pyung, 2007, Korea Credit Guarantee Fund and Its Contribution to the Korean Economy, KODIT. 56
Peraturan Menteri Keuangan, Nomor 222/PMK.010/2008, tentang Perusahaan Penjaminan Kredit dan Perusahaan Penjaminan Kredit Ulang. Peraturan Menteri Keuangan, Nomor 99/PMK.010/2011, tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 222/PMK.010/2008. Peraturan Presiden Republik Indonesia, Nomor 2 Tahun 2008, tentang Lembaga Penjaminan. Rivai, Veithzal.,Veithzal, A.P., & Idroes, Ferry.N. (2007). Bank and Financial Institutions Management. Edisi Pertama. Jakarta: PT Raja Grafindo. Riyadi, Selamet, 2006, Banking Asset and Liability Management, Edisi Ketiga, Jakarta: Lembaga Penerbit FE UI. Sekaran, Uma, 2000, Research Methode For Business: A Skill Building Approach, Third Edition, New York, John Willey & Son, Inc. Sugiyono. (2009). Metode Penelitian Bisnis. Bandung: Alfabeta. Suyatno, Thomas dkk. (2007). Dasar-Dasar Perkreditan. Edisi Keempat. Jakarta:Gramedia Pustaka Utama. Untoro dan Warjiyo, Perry, 2005, Default Risk dan Penjaminan Kredit UMK, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Bank Indonesia, Jakarta.
57