LAPORAN AKHIR ANALISIS PEMANFAATAN NEGOSIASI KOMODITAS UNTUK MENINGKATKAN HARGA JUAL PRODUK KARET INDONESIA KE DUNIA
PUSAT KEBIJAKAN KERJASAMA PERDAGANGAN INTERNASIONAL BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN KEMENTERIAN PERDAGANGAN JAKARTA 2015
ABSTRAK
1. Thailand, Indonesia, dan Malaysia merupakan eksportir utama karet saat ini. Sebagai upaya mempertahankan dominasi dan harga ekspor karet, ketiga negara tersebut membentuk organisasi kerjasama komoditas yang mengatur kebijakan ekspor karet dengan nama International Tripartite Rubber Council (ITRC) yang kemudian berganti nama menjadi International Rubber Consortium Limited (IRCo) dengan tujuan: a) menjaga harga karet alam yang stabil, berkelanjutan dan menguntungkan petani, dan b) menjaga keseimbangan permintaan dan penawaran karet untuk kestabilan harga. 2. Saat ini terdapat usulan dari IRCo untuk melakukan pembatasan (kuota) produksi karet alam sebagai upaya meningkatkan harga karet. Menyadari hal ini, perlu dianalisis bagaimana dampak pelaksanaan kuota produksi tersebut yang sebelumnya pernah dilaksanakan tahun 2012-2013 dan usulan kebijakan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan harga karet nasional. 3. Analisis
yang
dilakukan
menggunakan
analisis
daya
saing
Revealed
Comparative Advantage (RCA) dan Revealed Symetric Comparative Advantage (RSCA) serta hasil survey bertujuan untuk mengetahui: a) penyebab utama jatuhnya harga karet Indonesia, dan b) kebijakan yang perlu dilaksanakan untuk mengatasi jatuhnya harga karet dan dapat meningkatkan nilai tukar petani dan pangsa pasar karet ekspor Indonesia. 4. Penyebab jatuhnya harga karet Indonesia secara umum adalah situasi ekonomi global antara lain: a) booming Shale Gas dari AS mengakibatkan harga karet sintetis lebih murah dari karet alam, b) pelemahan ekonomi importir utama karet di dunia, yaitu AS, Eropa dan China mengakibatkan industri otomotif ketiganya turut melemah, dan c) depresiasi mata uang tiga negara eksportir karet alam mengakibatkan sentimen pasar, investor mengalihkan investasi dari komoditas ke valuta asing.
5. Penyebab jatuhnya harga karet Indonesia secara khusus adalah sulit bersaing dengan produk karet primer yang berasal dari Malaysia dan Thailand, dan kelebihan produksi nasional akibat permintaan karet lokal turun karena tutupnya pabrik pengolahan karet di dalam negeri yang disebabkan pasokan energi terlalu mahal dan tidak stabil. 6. IRCo memproduksi 74,53 persen produksi dunia, dimana masih terdapat negara lain penghasil karet yang bukan anggota yaitu Vietnam, China, dan India. Kondisi ini menyebabkan kebijakan pembatasan kuota produksi anggota IRCo kurang efektif, sebagaimana kasus pelaksanaan pembatasan kuota produksi karet di tahun 2012-2013 hanya meningkatkan harga karet 5% selama periode pelaksanaan kuota tersebut. Setelah pelaksanaan kuota, harga karet terus jatuh sampai saat ini. 7. Berdasarkan point 6 tersebut, sebaiknya Indonesia mendorong kinerja ekspor produk karet yang menunjukkan peningkatan daya saing, yaitu kode HS 4004 dan 4010, dan perlu mengurangi alokasi produk HS 4001 ke industri pengolah di dalam negeri. 8. Namun, jika tetap memberlakukan kuota produksi karet, Indonesia harus menyusun serangkaian kebijakan agar memiliki stock karet dalam jumlah besar untuk dijual selama periode tersebut. Jika tidak, peningkatan harga karet yang sangat sedikit hanya akan dinikmati negara yang memiliki cadangan karet besar seperti Thailand. 9. Upaya peningkatan penggunaan karet Indonesia di dalam dan luar negeri harus didukung upaya lobby kepada produsen utama pabrik ban dan industri otomotif untuk menggunakan dan membeli langsung karet alam produksi Indonesia sebagai upaya memperoleh nilai jual yang lebih baik.
KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan karunianya sehingga
analisis
yang
berjudul
Analisis
Pemanfaatan
Negosiasi
Komoditas Untuk Meningkatkan Harga Jual Produk Karet Indonesia ke Dunia, dapat diselesaikan. Selain itu Tim Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala Pusat Kerjasama Perdagangan Internasional, BP2KP dan Kepala Bidang Multilateral di Pusat Kerjasama Perdagangan Internasional atas arahan dan bimbingan dalam penulisan ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada rekan dan pihak lain yang memberikan bantuan dan tidak dapat disebutkan satu per satu. Menyadari laporan ini masih banyak kekurangan, diharapkan masukan yang membangun untuk memperbaiki laporan ini dimasa mendatang.
Jakarta, November 2015
Tim Penulis
i
DAFTAR ISI Halaman Bab I. PENDAHULUAN ..................................................................
1
1.1 Latar Belakang ...............................................................
1
1.2 Rumusan Masalah .........................................................
3
1.3 Tujuan ............................................................................
3
1.4 Hasil Analisis..................................................................
3
1.5 Dampak/Manfaat............................................................
3
1.6 Ruang Lingkup ...............................................................
3
Bab II. TINJAUAN PUSTAKA ..........................................................
5
2.1 Konsep Daya Saing .......................................................
5
2.2 Pemasaran ....................................................................
5
2.3 Penelitian Terdahulu ......................................................
6
Bab III. DATA DAN METODOLOGI ..................................................
9
3.1 Kerangka Pemikiran.......................................................
9
3.2 Lokasi dan Waktu ..........................................................
10
3.3 Jenis dan Sumber Data .................................................
10
3.4 Pengolahan dan Analisis Data .......................................
11
Bab IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................
13
4.1 Penyebab Utama Jatuhnya Harga Karet Ekspor Indonesia .......................................................................
13
4.1.1 Kinerja Perdagangan Karet Dunia .......................
13
4.1.2 Kinerja Perdagangan Karet Indonesia .................
17
4.2 Temuan Turun Lapang ..................................................
22
4.3 Dampak Pembatasan Produksi Karet di Tahun 2012 – 2013 ....................................................
24
4.4 Usulan Kebijakan untuk Mengatasi Jatuhnya Harga Karet dan Meningkatkan Nilai Tukar Petani dan Pangsa Pasar Karet Ekspor Indonesia .......................................
ii
26
Bab V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ..................................
28
5.1 Kesimpulan ....................................................................
28
5.2 Rekomendasi .................................................................
28
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................
30
iii
DAFTAR GAMBAR
Daftar Gambar
Halaman
2.1 Harga Rata-rata per Bulan, SMR 20, USD cent/Kg, di Kuala Lumpur, Malaysia .............................................
7
2.2 Harga Rata-rata per Bulan, RSS 3, USD cent/Kg, di Bangkok, Thailand .....................................................
8
2.3 Harga Rata-rata per Bulan, RSS 4, USD cent/Kg, di Kottayam, India ..........................................................
8
3.1 Kerangka Pemikiran Analisis .........................................
10
4.1 Perkembangan RCA dan RSCA HS 4001, 4005, 4011, dan 4015 Bedasarkan Volume Ekspor Karet Indonesia, Malaysia, dan Thailand, 2010-2013..............
19
4.2 Perkembangan RCA dan RSCA HS 4001, 4005, 4011, dan 4015 Bedasarkan Nilai Ekspor Karet Indonesia, Malaysia, dan Thailand, 2010-2013..............
21
4.3 Harga Karet Alam dan Pembatasan Produksi Karet ......
25
4.4 Perkembangan Ukuran Daya Saing dari Nilai Ekspor Karet Indonesia ..............................................................
iv
27
DAFTAR TABEL
Daftar Tabel
Halaman
4.1 Nilai Ekspor Produk Karet Utama di Dunia (USD juta), 2001- 2015 ................................................
13
4.2 Rata-rata Volume, nilai, dan Laju Pertumbuhan Ekspor Karet per Tahun 9 Negara Eksportir Utama Dunia, 2001-2015*)...........................................
14
4.3 Rata-rata Volume, Nilai, dan Laju Pertumbuhan Impor Karet per Tahun 9 Negara Importir Utama Dunia, 2001-2015*) ..........................................................................
16
4.4 Sepuluh Produk Karet Utama yang Diekspor Indonesia, Malaysia, dan Thailand, 2010-2013 ...............................
18
4.5 Rangkuman Ukuran Daya Saing Empat Produk Karet
dari Tiga Negara Eksportir .............................................
22
4.6 Temuan Turun Lapang ..................................................
23
4.7 Data Produksi Beberapa Negara Penghasil Karet .........
24
v
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Thailand bersama Indonesia merupakan dua negara eksportir utama karet
saat ini. Berdasarkan data ekspor karet dunia yang bersumber dari Comtrade, semenjak tahun 2007 sampai saat ini Thailand merupakan eksportir utama dengan pangsa pasar ekspor mencapai 40 persen, sedangkan Indonesia sekitar 25 persen. Selain Thailand dan Indonesia, negara lain yang merupakan eksportir utama produk karet adalah Malaysia dengan pangsa sekitar 10 persen dan Vietnam dengan pangsa sekitar 7 persen selama 2007 sampai saat 2013. Berdasarkan data tersebut terlihat bahwa ekspor karet sangat didominasi negara ASEAN dengan pangsa mencapai sekitar 85 persen selama tahun 2007 sampai 2013 (WITS, 2015). Dominasi ekspor karet negara ASEAN sudah berlangsung lama, jauh sebelum tahun 2007, dimana hal ini terlihat dari upaya negara ASEAN khususnya Thailand, Indonesia dan Malaysia membentuk organisasi kerjasama komoditas yang mengatur kebijakan ekspor karet dengan nama International Tripartite Rubber Council (ITRC) semenjak tahun 2001. Selanjutnya kerjasama ketiga negara tersebut ditingkatkan dengan membentuk International Rubber Consortium Limited (IRCo) sebagai Strategic Market Operation (SMO) dari ITRC dan mulai beroperasi ditahun 2004. Adapun tujuan pembentukan IRCo tersebut adalah a) menjaga harga karet alam yang stabil, berkelanjutan dan menguntungkan petani, serta b) menjaga keseimbangan permintaan dan penawaran karet untuk kestabilan harga (IRCo, 2015). Namun sayangnya, dalam tujuh tahun terakhir, harga karet cenderung turun. Sempat terjadi perbaikan harga karet pada tahun 2011, namun setelah itu kembali jatuh hampir setengahnya. Penurunan tersebut terus terjadi hingga saat ini, dimana harga karet kembali turun 1,99 persen untuk pemesanan di tahun 2015 (PTPN IX, 2015). Penurunan harga karet diperkirakan disebabkan oleh kelebihan pasokan karet dunia. Menindaklanjuti hal tersebut, terdapat usulan dari Thailand agar produsen karet utama di ASEAN yang terdiri dari Thailand, Indonesia, dan Malaysia Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan
1
melakukan pembatasan (kuota) produksi karet, dan membuang kelebihan produksi. Kebijakan kuota produksi karet tersebut diharapakan akan mengatasi kelebihan produksi karet di dunia dan meningkatkan harga karet alam (IRCo, 2015). Usulan kuota produksi karet alam sebenarnya bukan usulan baru dan telah beberapa kali dilakukan oleh Thailand, Indonesia dan Malaysia. Namun sayangnya ketiga negara tersebut tidak pernah konsisten melaksanakannya dan penuh dengan pelanggaran kuota. Salah satu indikasi kemungkinan akan terjadi kecurangan kuota produksi sejalan dengan prediksi Association of Natural Rubber Producing Countries (ANRPC) yang memperkirakan produksi karet akan meningkat di tahun 2015 sebesar 5 persen akibat peningkatan produksi dari Thailand, India dan Vietnam. Jika terjadi peningkatan produksi dari Thailand yang akan dilepas ke pasar ekspor, sulit mengharapkan kesepakatan kuota produksi antara Thailand, Indonesia dan Malaysia dapat berjalan efektif untuk mencegah jatuhnya harga karet alam dunia. Selain masalah kelebihan produksi, pasar karet dunia ditahun 2015 akan semakin memburuk diakibatkan turunnya permintaan impor karet dari industri ban di China, sebagai konsumen utama karet alam (Reuters, March 2015). Hal ini disebabkan perlambatan pertumbuhan ekonomi di China dan mitra dagang China, sehingga pertumbuhan konsumsi kendaraan khususnya ban kendaraan diperkirakan turun tahun ini. Selain itu terdapat informasi bahwa salah satu konsumen karet utama di dunia yaitu pabrik ban di China mulai mengurangi impor karet. Hal ini disebabkan peningkatan standart dalam impor lembaran karet (compound rubber) yang akan dimulai Juli 2015. Kebijakan baru tersebut, yang bertujuan mengurangi penggunaan karet alam dalam industri ban China, diyakini akan menurunkan permintaan karet alam dan menyebabkan penurunan harga komoditas tersebut (Reuters, January 2015). Menyadari tidak konsistennya usulan kuota produksi dari IRCo dan ITRC untuk mempertahankan harga karet alam dunia dengan kondisi riil saat ini, perlu dilakukan analisis untuk mengetahui penyebab utama jatuhnya harga karet alam yang dialami oleh Indonesia. Selanjutnya berdasarkan temuan tersebut akan dirumuskan usulan rekomendasi kebijakan yang tepat untuk memperbaiki nilai tukar petani dan meningkatkan pangsa pasar ekspor karet Indonesia ke dunia.
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan
2
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan pembahasan dalam latar belakang, permasalahan dari analisis
ini adalah: a. Apakah penyebab utama jatuhnya harga karet ekspor Indonesia b. Kebijakan apa saja yang perlu dilaksanakan untuk mengatasi jatuhnya harga karet dan dapat meningkatkan nilai tukar petani dan pangsa pasar karet ekspor Indonesia. 1.3
Tujuan Adapun tujuan analisis ini adalah: a. Mengetahui penyebab utama jatuhnya harga karet ekspor Indonesia. b. Merumuskan beberapa usulan kebijakan yang perlu dilaksanakan untuk mengatasi jatuhnya harga karet dan dapat meningkatkan nilai tukar petani dan pangsa pasar karet ekspor Indonesia.
1.4
Hasil Analisis Adapun hasil dari analisis ini adalah tersedianya satu laporan mengenai
kebijakan Pemanfaatan Negosiasi Komoditas Untuk Meningkatkan Harga Jual Produk Karet Indonesia ke Dunia. 1.5
Dampak/Manfaat Tersedianya informasi mengenai: a) penyebab utamanya jatuhnya harga
karet ekspor Indonesia, dan b) merumuskan usulan kebijakan untuk mengatasi jatuhnya harga karet dan dapat meningkatkan nilai tukar petani dan pangsa pasar karet ekspor Indonesia. 1.6
Ruang Lingkup Analisis Adapun ruang lingkup dalam analisis ini adalah: a. Produk karet yang dikaji adalah karet alam, yang diekspor keluar negeri dengan kode Harmonized System (HS 4001). b. Variabel yang mempengaruhi jatuhnya harga karet dianalisis dengan menggunakan pendekatan penawaran dan permintaan.
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan
3
c. Kebijakan negara yang akan dianalisis akan ditentukan berdasarkan Focus Group Discussion dengan Asosiasi Karet terkait. Pemilihan negara akan didasarkan pada empat negara produsen karet alam utama dan empat negara konsumen karet alam utama. d. Usulan rekomendasi khusus negosiasi akan disesuaikan dengan agenda kegiatan kerjasama komoditas ITRC dan IRCo. Sedangkan rekomendasi terkait produksi dan hal lain akan diberikan kepada instansi terkait.
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Konsep Daya Saing Menurut Kristanto (2013), keunggulan bersaing menurut Keegan dan Green
akan muncul jika ada kesesuaian antara kompetensi-kompetensi khusus (distinctive competencies) dengan faktor-faktor yang mampu menyebabkan kesuksesan di dalam industri. Suatu perusahaan dapat mengungguli pesaingnya apabila perusahaan
tersebut
mampu
memiliki
perbandingan
yang
superior
antara
kompetensi perusahaan dengan kebutuhan para pelangggannya. Keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya apabila sebuah perusahaan atau industri ingin memiliki daya saing. Menurut Yusdja dan Ilham (2004), keunggulan komparatif adalah usaha efesiensi alokasi sumber daya pada tingkat nasional, khususnya diantara barang-barang yang dihasilkan oleh sektor-sektor ekonomi. Sementara keunggulan
kompetitif
adalah
usaha
meningkatkan
efisiensi
pada
tingkat
perusahaan. Saat ini keunggulan komparatif tanpa didukung oleh keunggulan kompetitif tidak berarti apa-apa. Diperlukan adanya sinergisitas antara pemerintah dan masyarakat (perusahaan swasta) untuk melakukan keduanya, sehingga keunggulan komparatif suatu negara atau perusahaan dapat dicapai dengan mudah. Maka setelah memiliki keunggulan komparatif, suatu perusahaan dapat memiliki daya saing yang baik dibandingkan dengan pesaingnya. 2.2
Pemasaran Kotler (2008) memberikan pengertian tentang pemasaran adalah sebuah
proses kemasyarakatan dimana individu dan kelompok memperoleh apa yang mereka butuhkan dan inginkan dengan menciptakan, menawarkan, dan secara bebas mempertukarkan produk dan jasa yang bernilai dengan orang lain. Pada kenyataannya tidak ada satu pun negara yang dapat berdiri sendiri tanpa berkerja sama dengan negara lain. Walaupun negara tersebut merupakan negara yang kaya Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan
5
akan sumber daya alam, tetap saja negara tersebut perlu untuk melakukan apa yang namanya kerja sama internasional. Dalam kerja sama tersebut muncullah istilah pemasaran internasional. Pemasaran Internasional adalah suatu kegiatan yang memberikan manfaat atas pertukaran bagi pelanggan, nasabah, dan masyarakat secara luas di manca negara (Sharma, 2013). 2.3
Penelitian Terdahulu Suryaningrum (2013) menyebutkan bahwa krisis keuangan yang menimpa
Amerika Serikat (AS) telah berdampak pada Indonesia dan negara eksportir karet dunia karena AS merupakan pasar ekspor tradisional komoditi karet. Langkah pemulihan harga ekspor karet yang dapat dilakukan antara lain peremajaan karet, pendekatan harga dan pasokan melalui kesepakatan ITRC, menghimbau petani untuk melakukan pengurangan produksi 30%. Pilihan strategi di muka dipilih untuk menyeimbangkan penawaran ekspor dengan permintaan impor karet dunia. Hal tersebut dapat ditempuh dengan mengurangi intensitas penyadapan karet di Indonesia. Komoditas karet Indonesia diekspor dalam bentuk produk lateks, Ribbed Smoke Sheet (RSS), dan Standard Indonesian Rubber (SIR). Produk SIR merupakan bahan baku pembuatan Technically Specified Rubber (TSR), yang merupakan bahan baku ban kendaraan. Bersama negara yang tergabung dalam ANRPC, Indonesia dan anggota ANRPC memasok 92% pasokan karet dunia (ANRPC, 2014). Industri ban menyerap hampir 75% dari total penawaran karet dunia (Simmons, 2014). Oleh karena itu, kelesuan industri otomobil berimbas pada industri ban dan pada gilirannya pada industri karet. Hal ini tecermin dari kecenderungan harga karet yang turun sejak 2012 di tiga pasar utama perdagangan karet (Gambar 2.1, 2.2, dan 2.3). Industri karet menghadapi hantaman dari dua sisi. Pertama, permintaan China menurun tajam, sehingga bila dibandingkan terhada harga Oktober 2013, seluruh produk karet mengalami penurunan harga untuk karet di Malaysia (Standard Malaysian Rubber/SMR), Thailand (RSS), maupun India (RSS). Meskipun mengalami sedikit perbaikan harga di akhir 2014, produsen telah menurunkan
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan
6
pasokan di pasar. Berbagai strategi domestik maupun lintas negara produsen karet ditempuh untuk memulihkan harga karet di pasar dunia. Bagi Indonesia, komoditas karet sangat penting sebagai komoditas ekspor utama produk pertanian yang mayoritas dihasilkan oleh petani kecil. Harga karet yang terus menurun menimbulkan permasalahan di tingkat usaha tani karena kebutuhan hidup dipenuhi dari hasil penjualan karet. Harga remuneratif karet di Indonesia adalah USD 2,67 per kilogram. Harga tersebut setara dengan satu kilogram slab kering yang dihitung pada tingkat kurs Rp 12.000/USD (Bulletin Karet, 2014). Harga remuneratif karet diukur saat nilai tukar petani karet per hari membeli 2 Kg beras. Artinya, harga jual karet sebesar USD 2,67/Kg akan setara dengan harga 2 Kg beras yang dibeli. Nilai tukar yang diukur adalah nilai tukar subsisten (Rachmat, 2000).
400,0
373 345
350,0
336 304
294 300,0
288
279 259
251
250,0
242 222
232 191
200,0
180
170 151
150,0
147
139
100,0
50,0
0,0
Gambar 2.1. Harga Rata-Rata per Bulan, SMR 20, USD cent/Kg, di Kuala Lumpur, Malaysia. Sumber: diolah
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan
7
450,0
408
400,0
391 332
357
350,0
323
317
298
300,0 301
287
250,0
264
286
240
217 208
200,0
225
190
150,0
172
159
100,0 50,0 0,0
Gambar 2.2. Harga Rata-rata per Bulan, RSS 3, USD cent/Kg, di Bangkok, Thailand Sumber: diolah
450,0 400,0
385 356
350,0
370
300,0 250,0
362
306 332 315
328
315
319 297
302
301
245
286 252
200,0
235
238
218 238
221
205 188
150,0
193
100,0 50,0 0,0
Gambar 2.3. Harga Rata-rata per Bulan, RSS 4, USD cent/Kg, di Kottayam, India Sumber: diolah
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan
8
BAB III METODE PENELITIAN
3.1
Kerangka Pemikiran Indonesia bersama Thailand dan Malaysia di dalam The International
Tripartite Rubber Council (ITRC) telah menyepakati dan mengidentifikasi the Agreed Export Tonnage Scheme (AETS) sebagai kerangka kebijakan jangka pendek untuk mengantisipasi penurunan harga karet yang semakin jatuh akibat sentimen negatip pasar yang disebabkan oleh banyak faktor, termasuk pertumbuhan ekonomi global. Tonase ekspor yang sepakat untuk dikurangi sebesar per negara sesudah kesepakatan digelar pada 15 Agustus 2012 di Bangkok. AETS diimplementasikan secara simultan di tiga negara secara efektif sejak 1 Oktober 2012. Implementasi AETS diberlakukan untuk karet kering yang diekspor. ITRC mempunyai Monitoring and Surveillance Committee yang memantau implementasi AETS dari ketiga negara. Indonesia
yang
tergabung
dalam
organisasi
ITRC
juga
melakukan
pengurangan ekspor guna menjaga stabilitas harga. Pengurangan ekspor karet sebesar 915.000 ton terdiri dari 700.000 ton melalui skema AETS, sedangkan 215.000 ton melalui skema peremajaan pohon karet dengan penebangan pohon yang tidak produktif, tua atau rusak. Melalui dua skema di atas, diharapkan Indonesia mampu mengatasi penurunan harga karet di pasar domestik, terutama di tingkat petani, serta mampu meningkatkan nilai tukar petani petani karet yang rendah. Kinerja ekspor dikaji berdasarkan perkembangan daya saing terhadap dua negara lain anggota ITRC menggunakan metode RCA. Secara kualitatif digali informasi tentang kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan bagi industri karet Indonesia dalam kesepakatan AETS serta dampaknya bagi kesejahteraan petani karet. Informasi dari para pemangku kebijakan dan ahli di bidang karet secara hirarki dianalisis untuk mengetahui faktor kunci dan pendorong daya saing komoditas karet. Secara ringkas kerangka pemikiran disajikan Gambar 3.1.
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan
9
ANRPC, ITRC, IRCO, AETS
Karet
Keadaan Malaysia dan Thailand
Keadaan Indonesia
RC, RSCA
EFE, IFE, IE
Analisis Daya Saing Indonesia dibandingkan dengan Malaysia dan Thailand
Usulan rekomendasi negosiasi kegiatan kerjasama komoditas ITRC dan IRCo
Gambar 3.1. Kerangka Pemikiran Analisis 3.2
Lokasi dan Waktu Analisis dilakukan dengan ruang lingkup analisis nasional, yaitu Indonesia.
Waktu pelaksanaan analisis dari bulan Mei sampai dengan November 2015. 3.3
Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam analisis adalah data kuantitatif dan kualitatif yang
berupa data kerat lintang dan deret waktu. Data kerat lintang berupa pengeluaran rumah tangga petani karet menurut golongan pendapatan. Data deret waktu (20002015) meliputi produksi, luas areal, dan produktivitas karet nasional, volume dan nilai ekspor serta impor karet menurut kelompok produk di bawah HS 4001, harga karet di tiga pasar rujukan. Data kuantitatif bersumber dari data sekunder, yaitu dari lembaga penerbit data
perdagangan
internasional
(WITS),
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan
BPS,
dan
Kementerian 10
ANRPC,
Perdagangan RI. Data kualitatif bersumber dari data primer yang diperoleh dari Foucs Group Discussion dengan pemangku kepentingan dan para ahli di bidang terkait dengan kebijakan industri karet di Indonesia. 3.4
Pengolahan dan Analisis Data Penyebab utama jatuhnya harga karet ekspor Indonesia dikaji dengan
mengukur tingkat daya saing ekspor Indonesia menggunakan ukuran daya saing, yaitu Revealed Comparative Advantage (RCA). Analisis daya saing sudah diformulasikan oleh Balassa (1965) melalui metode RCA. RCA dihitung dengan membandingkan performa produk ekspor suatu negara dengan dunia untuk produk tersebut (Tambunan, 2003). RCA merupakan salah satu cara mengukur keunggulan suatu produk yang dapat diperbandingkan dalam suatu daerah atau kawasan. RCA dihitung dengan menggunakan rumus:
X ij RCA ij
X j
X
ij
(1)
i
ij
X i
ij
j
dimana: = Ekspor produk industri (i) dari negara produsen (j);
X ij
X
ij
X
ij
= Total ekspor dari negara produsen (j);
i
j
X i
ij
= Total ekspor produk industri(i) dari seluruh negara produsen; = Total ekspor negara produsen;
j
Nilai RCA yang didapatkan berkisar mulai dari negatif tak hingga sampai positif tak hingga. Apabila nilai RCA yang didapatkan lebih besar dari satu maka negara tersebut memiliki daya saing dalam produk tersebut, begitu juga sebaliknya. Untuk memudahkan dalam interpretasi data, maka dilakukan normalisasi terhadap hasil RCA yang didapatkan. Metode normalisasi tersebut disebut Revealed Symmetric Comparative Advantage (RSCA) dengan rumus: Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan
11
RSCA =
ோିଵ
(2)
ோାଵ
Hasil yang didapat dari perhitungan RSCA adalah dari -1 sampai dengan 1. Suatu komoditas memiliki daya saing apabila nilai RSCA yang didapat lebih besar dari 0 (Tambunan, 2003).
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan
12
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Penyebab Utama Jatuhnya Harga Karet Ekspor Indonesia
4.1.1 Kinerja Perdagangan Karet Dunia Pasar karet alam tidak terpisah dengan pasar karet sintetis sebagai bahan substitusi bagi bahan baku industri kendaraan bermotor. Disamping itu, salah satu bahan baku pembuatan karet sintetis adalah minyak bumi. ANRPC (2015) menduga dampak potensial dari booming Shale Gas Amerika Serikat turut berpengaruh terhadap harga karet sintetis dan permintaan karet alam dunia. Dugaan ini timbul berdasarkan pemahaman bahwa keseluruhan aspek produksi karet sintetis melibatkan faktor rasio substitusi teknis dengan karet alam. Tabel 4.1. Nilai Ekspor Produk Karet Utama di Dunia (USD juta), 2001- 2015 Tahun Tyres Inner Tubes Footwear Latex Products GRG IRG 2001 101 4 45 63 120 54 2002 126 3 64 78 126 44 2003 78 2 80 53 114 63 2004 115 2 144 60 145 83 2005 133 3 61 78 158 93 2006 170 6 86 90 176 114 2007 224 9 104 99 171 110 2008 275 10 115 97 207 126 2009 242 10 128 92 182 143 2010 331 13 169 131 243 176 2011 424 22 193 175 281 179 2012 505 25 195 238 297 200 2013 539 23 190 232 297 200 2014 521 21 219 233 300 196 ) 2015* 470 20 350 200 270 180 %/Tahun 14,22 18,72 11,57 10,94 7,50 10,60
Total 387 440 390 548 527 643 717 828 797 1.063 1.275 1.460 1.481 1.490 1.490 11,11
Sumber: ANRPC, 2015. Keterangan: Tyres : all types of tyres Latex Products : Glove, Condom, Catheters, Latex Thread, Others GRG : General Rubber Goods (Footwear, gaskets, washers, seals, etc) IRG : Industrial Rubber Goods (tubes,pipes,belta, hoses) *) sampai dengan Agustus 2015. Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan
13
Selama periode 2001-2015, sebaran nilai produk karet yang diekspor di pasar dunia didominasi oleh produk ban kendaraan bermotor lalu disusul oleh produk alas kaki (Tabel 4.1). Kinerja ekspor seluruh produk utama industri berbahan karet selama 2001-2015 menunjukkan laju peningkatan pertumbuhan. Hal ini ditunjukkan dengan peningkatan hampir empat kali lipat nilai ekspor produk karet dari tahun 2001 hanya sekitar USD 386 juta menjadi sebesar USD 1,49 milyar pada tahun 2015, dengan laju pertumbuhan ekspor sebesar 11,11 persen/tahun. Berdasarkan Tabel 4.1, tidak tampak indikasi harga karet dunia turun karena kinerja ekspor karet dunia cenderung meningkat. Oleh karena itu, dikaji kemungkinan penyebab lain dari sisi kinerja ekspor individu Indonesia. Tabel 4.2. Rata-Rata Volume, Nilai, dan Laju Pertumbuhan Ekspor Karet per Tahun 9 Negara Eksportir Utama Dunia, 2001-2015*)
1
Thailand
Rata-rata (Ton) 420.828
Thailand
Rata-rata (Juta USD) 41.476.739
2
Vietnam
77.388
24%
Vietnam
21.537.938
68%
3
Filipina
37.612
6%
Pantai Gading
7.933.783
92%
4
Indonesia
30.640
-3%
Filipina
5.557.480
53%
5
Pantai Gading
27.734
43%
Kamboja
2.403.014
54%
6
Myanmar
18.063
2%
Myanmar
1.536.424
48%
7
Kamboja
11.630
10%
Indonesia
893.415
45%
8
India
10.433
3%
Liberia
725.672
84%
6.749
41%
703.614
50%
Peringkat
Eksportir
9
Sri Lanka
10
Lainnya Total
Pertumbuhan (%/Tahun) 1%
India
13.916 654.994
Eksportir
Lainnya 4%
Total
Pertumbuhan (%/Tahun) 48%
2.233.000 85.001.081
51%
Sumber: ANRPC, 2015. *) sampai dengan Agustus 2015.
Selama periode 2001-2015, dari sembilan negara eksportir utama karet alam di dunia, Indonesia menunjukkan peringkat keempat dari sisi volume eskpor, yaitu sebesar 30,61 ribu ton/tahun, dengan laju pertumbuhan volume ekspor cenderung turun, yaitu sebesar 3 persen/tahun. Pada periode yang sama, kedepalan eksportir karet utama dunia menunjukkan laju pertumbuhan yang meningkat atau positip dan sejalan dengan laju pertumbuhan volume ekspor karet alam di pasar dunia yang bertumbuh sebesar 4 persen/tahun
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan
14
(Tabel 4.2) diduga pertumbuhan eksportir karet alam baru dunia seperti Vietnam dan Pantai gading telah mengambil sebagian besar eksportir karet alam utama sebelumnya, termasuk eksportir terbesar, yaitu Thailand yang hanya bertumbuh sebesar 1 persen/tahun. dari sisi nilai ekspor, diketahui bahwa rata-rata nilai ekspor karet alam Indonesia berada jauh di bawah pelaku baru, sehingga hanya pada posisi ketujuh serta menunjukkan rata-rata laju pertumbuhan nilai ekspor terendah diantara negara eksportir utama karet di dunia, yaitu 45 persen/tahun. Sementara itu, rata-rata laju pertumbuhan nilai ekspor sebagian besar negara eksportir utama karet alam di atas 50 persen/tahun. Hal ini mengindikasikan bahwa harga per unit karet alam asal Indonesia cenderung turun atau lebih rendah dibandingkan harga per unit karet alam asal negara lain. Menurut hukum pasar, harga akan turun apabila jumlah penawaran lebih besar dari jumlah permintaan (ceteris paribus). Berdasarkan pemahaman tersebut, maka diduga produk karet yang banyak diekspor Indonesia banyak menghadapi persaingan di pasar dunia, volume di pasar cenderung melimpah, sehingga daya saing selanjutnya ditentukan oleh faktor kualitas produk. Pada saat yang bersamaan pasar sedang menghadapi perlambatan ekonomi global, masaa pemulihan ekonomi AS dan Eropa, serta perlambatan raksasa baru perekonomian dunia, yaitu China. ANRPC (2015) menyebutkan bahwa jatuhnya harga minyak mentah dunia telah mengakibatkan harga karet sintetis lebih murah. Hal ini mendorong spekulasi pelaku indutsri mengganti sebagian penggunaan karet alam menjadi karet sintetis. Faktor lain yang menyebabkan harga karet alam jatuh adalah depresiasi nilai tukar mata uang negara eksportir utama karet, yaitu Thailand, Indonesia dan Malaysia. Hal ini menyebabkan harga karet ketiga negara eksportir seharusnya menjadi lebih kompetitif dalam jangka pendek. Namun, dalam kenyataannya pasar komoditas tidak lepas dari pasar uang. Perilaku spekulan yang mengantisipasi suku bunga yang tinggi di AS telah memicu pergeseran invetasi dari pasar komoditi ke pasar uang. Sentimen pasar ini secara global telah berdampak pada pasar karet alam di dunia. Untuk memperoleh penjelasan dari sisi pasar yang lengkap, maka kinerja sisi impor karet di pasar dunia perlu diketahui. Selama periode 2001-2015, rata-rata Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan
15
impor karet di dunia mencapai 928 ribu ton dan bertumbuh dengan laju menurun, rata-rata sebesar 2 persen/tahun. Rata-rata nilai impor karet dunia selama 20012015 sebesar USD 1,85 milyar dan bertumbuh naik dengan laju rata-rata sebesar 7 persen/tahun. Negara importir karet di dunia adalah negara yang menunjukkan kemajuan dalam industri kendaraan bermotor, antara lain China, Jerman, Amerika Serikat (USA), dan Korea. Namun, faktanya seluruh negara importir utama karet menunjukkan laju penurunan volume impor yang sejalan dengan laju volume impor total dunia (Tabel 4.3). Selain Perancis, rata-rata laju pertumbuhan nilai impor per tahun importir utama menunjukkan peningkatan (positip). Hal ini mengindikasikan bahwa harga per unit karet impor di negara tujuan cenderung meningkat karena pada saat volume impor tumbuh dengan laju menurun, nilai impor justru cenderung meningkat. Tabel 4.3. Rata-Rata Volume, Nilai, dan Laju Pertumbuhan Impor Karet per Tahun 9 Negara Importir Utama Dunia, 2001-2015*) Peringkat
Importir
Rata-rata (Ton) 321.380
Pertumbuhan (%/Tahun) 6%
119.246
-2%
Jerman
Importir
Pertumbuhan (%/Tahun) 16%
236
8%
1
China
2
Jerman
3
USA
52.782
-7%
USA
95
2%
4
Korea
49.611
-9%
Korea
94
0%
5
Iran
42.073
-2%
Iran
77
7%
6
Brazil
29.009
-4%
Brazil
57
5%
7
Perancis
28.580
-12%
Perancis
50
-3%
8
Turki
20.289
-5%
Turki
40
4%
9
Italia
17.857
-11%
Portugal
38
11%
10
Lainnya
287.277
Lainnya
477
Total
928.355
-2%
China
Rata-rata (Juta USD) 686
Total
1.849
7%
Sumber: ANRPC, 2015. *) sampai dengan Agustus 2015.
Berdasarkan kinerja ekspor dan impor karet dunia diketahui bahwa secara kuantitas, rata-rata volume impor karet dunia cenderung lebih tinggi dibandingkan rata-rata volume ekspor karet dunia selama 2001-2015. Namun, rata-rata nilai impor karet dunia selama periode yang sama cenderung lebih rendah dibandingkan rata-rata nilai ekspor karet dunia. Hal ini mengindikasikan bahwa
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan
16
harga per unit karet secara agregat mengalami penurunan meskipun pada saat permintaan agregat impor yang lebih tinggi dari penawaran ekspor. Kondisi di muka cenderung akan mendorong harga tertekan lebih jauh di negara eksportir, sehingga produsen akan mengalami kejatuhan harga lebih lanjut. Berdasarkan analisis kinerja perdagangan karet pada tingkat dunia di muka, perlu diketahui lebih jauh, produk karet apa saja yang dominan diperdagangkan Indonesia di pasar dunia, sehingga Indonesia cenderung mengalami kejatuhan harga pada saat negara eksportir lain masih tidak mengalami pertumbuhan volume dan nilai ekspor yang menurun. Analisis daya saing produk karet Indonesia diharapkan mampu menjelaskan detil permasalahan penyebab
utama jatuhnya
karet ekspor asal Indonesia. 4.1.2 Kinerja Perdagangan Karet Indonesia Salah satu indikator kinerja dapat ditunjukkan oleh tingkat daya saing produk yang diperdagangkan. Daya saing suatu produk ekspor salah satunya dapat diukur dengan nilai RCA dan RSCA. Sebagaimana dipaparkan di muka, daya saing produk karet ekspor Indonesia akan dibandingkan dengan dua pesaing utama, yaitu Thailand dan Malaysia dengan menggunakan dua ukuran tersebut. Periode analisis adalah 2010-2013 yang mencakup volume dan nilai ekspor produk karet di bawah kode HS 40, yaitu 17 pos tarif produk karet alam. Dari sisi kebijakan perdagangan internasional, produk karet yang masuk atau diimpor ke Indonesia dikenakan tarif (applied tariff) rata-rata sebesar 5 persen ad valorem dari tarif yang telah ditetapkan (bound tariff) sebesar 40 persen. Dari 17 pos tarif di bawah kode HS 40 tidak semua produk menunjukkan kinerja ekspor yang sama. Pengukuran RCA dan RSCA selanjutnya difokuskan kepada lima produk karet ekspor dari Indonesia, Malaysia, dan Thailand yang menunjukkan rata-rata pangsa ekspor terbesar diantara 17 produk karet selama 2010-2013. Berdasarkan data perkembangan volume ekspor ke 17 produk karet tiga negara eksportir, diketahui bahwa Indonesia 78 persen mengekspor produk primer, yaitu produk dengan kode HS 4001. Bersama HS 4011 yang mencapai pangsa 15 persen, HS 4001 mencapai 93 persen pangsa ekspor karet alam Indonesia.
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan
17
Demikian juga pesaingnya, Thailand mengekspor produk dengan kode HS yang sama sebanyak 54 persen dari total kelompok produk dalam HS 40. Ekspor karet alam dengan pangsa ekspor terbesar kedua dari Thailand adalah HS 4011 mecapai 18 persen, lalu disusul HS 4015 yang mencapai 11 persen. Ketiganya mencapai 83 persen total ekspor produk karet alam Thailand. Sedangkan untuk Malaysia pangsa ekspor HS 4001 cenderung lebih rendah, meskipun termasuk dominan, yaitu 34 persen dari total HS 40. Ekspor produk karet utama Malaysia lainnya adalah HS 4015, yaitu mencapai 36 persen, pangsa ekspor ketiga terbesar adalah HS 4005, ketiganya mencapai pangsa ekspor hingga 86 persen total ekspor karet alam Malaysia (Tabel 4.4). Tabel 4.4. Sepuluh Produk Karet Utama yang Diekspor Indonesia, Malaysia, dan Thailand, 2010-2013 Indonesia Volume (000 ton)
Pangsa (%)
40
10.899
100%
1
4001
8.468
2
4011
1.657
Peringkat
Kode HS
Malaysia Kode HS
Thailand
Volume (000 ton)
Pangsa (%)
Kode HS
Volume (000 ton)
Pangsa (%)
40
8.880
100%
40
17.772
100%
78%
4015
3.217
36%
4001
9.513
54%
15%
4001
2.994
34%
4011
3.226
18%
3
4015
256
2%
4005
1.454
16%
4005
1.931
11%
4
4005
157
1%
4007
229
3%
4015
1.094
6%
5
4016
128
1%
4011
199
2%
4016
659
4%
6
4010
64
1%
4002
187
2%
4007
337
2%
7
4002
53
0%
4016
166
2%
4002
323
2%
8
4013
45
0%
4009
127
1%
4009
209
1%
9
4009
21
0%
4014
121
1%
4014
140
1%
10
Lainnya
49
0%
Lainnya
185
2%
Lainnya
342
2%
Sumber: WITS, 2015.
Berdasarkan Tabel 4.4 diketahui bahwa tiga eksportir utama karet alam di dunia mempunyai persaingan di dalam empat kelompok produk, yaitu HS 4001 4005, 4011, dan 4015 yang ditunjukkan lima besar pangsa ekspor utama ketiga eksportir. Keempat produk karet alam tersebut menunjukkan tingkat daya saing yang berbeda antara satu negara dengan yang lain. Detail ukuran daya saing ditunjukkan oleh perkembangan nilai RCA dan RSCA dari volume dan nilai ekspor keempat
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan
18
produk karet dari Indonesia, Malaysia, dan Thailand selama 2010-2013 dalam Gambar 4.1 dan 4.2.
RSCA Karet Indonesia
3,50
0,60
3,00
0,40
2,50
0,20
2,00
RSCA
RCA
RCA Karet Indonesia
1,50 1,00 0,50
0,00 -0,20
4001
2011
4005
2012
2013
2013
4011
-1,00
4015
4001
RCA Karet Malaysia
4005
4011
4015
RSCA Karet Malaysia
3,50
0,60
3,00
0,40
2,50
0,20
2,00
RSCA
RCA
2012
-0,80 2010
1,50 1,00 0,50
0,00 -0,20
2010
2011
2012
2013
-0,40 -0,60
0,00 2010
4001
2011
4005
2012
4011
-0,80
2013
-1,00
4015
4001
RCA Karet Thailand
4005
4011
4015
RSCA Karet Thailand
3,50 3,00 2,50 2,00 1,50 1,00 0,50 0,00
0,50
RSCA
RCA
2011
-0,60
0,00
0,00 2010
2011
2012
2013
-0,50 2010
4001
2010
-0,40
2011
4005
2012
4011
2013
-1,00
4015
4001
4005
4011
4015
Gambar 4.1. Perkembangan RCA dan RSCA HS 4001, 4005, 4011, dan 4015 Bedasarkan Volume Ekspor Karet Indonesia, Malaysia, dan Thailand, 2010-2013 Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan
19
Berdasarkan nilai RCA dan RSCA volume ekspor produk karet yang ditunjukkan Gambar 4.1 diketahui bahwa karet Indonesia dengan HS 4001 paling tinggi daya saingnya dibanding produk yang sama dari Malaysia dan Thailand. Hal ini ditunjukkan nilai RSCA HS 4001 dari produk karet Indonesia yang lebih tinggi dibandingkan Malaysia dan Thailand. Diantara tiga negara eksportir, daya saing tertinggi produk karet dengan kode HS 4005 diduduki Malaysia lalu disusul Thailand. Sementara produk dari Indonesia tidak berdaya saing karena RSCA bernilai negatip untuk kode HS 4005. Daya saing tertinggi untuk produk karet dengan kode HS 4011 dicapai oleh Thailand lalu disusul Indonesia. Sedangkan produk dari Malaysia tidak berdaya saing karena RSCA bernilai negatip untuk kode HS 4011. Sementara itu untuk produk karet dengan kode HS 4015 hanya Malaysia yang berdaya saing, sedangkan Thailand dan Indonesia tidak karena nilai RSCA keduanya negatip dan nilai RSCA Indonesia lebih rendah dibanding Thailand. Dari sisi nilai ekspor, berdasarkan nilai RCA dan RSCA, diketahui bahwa produk karet dengan kode HS 4001 Indonesia menunjukkan daya saing tertinggi dibanding kedua pesaingnya. Thailand menunjukkan perkembangan kecil dari tidak berdaya saing menjadi berdaya saing rendah, sedangkan Malaysia tidak berdaya saing karena nilai RSCA negatip (Gambar 4.2). Produk karet dengan kode HS 4005 daya saing tertinggi ditunjukkan Malaysia disusul Thailand dengan daya saing rendah, sedangkan Indonesia beranjak dari tidak berdaya saing pada 2010-2011 menjadi berdaya saing sejak 2012 namun di bawah Thailand. Pada produk karet dengan kode HS 4011 Thailand paling berdaya saing, sedangkan Malaysia dan Indonesia tidak, dimana nilai RSCA keduanya negatip dan Indonesia mempunyai nilai RSCA yang lebih rendah. Malaysia memimpin pasar produk karet pada kode HS 4015, dimana Indonesia dan Thailand tidak berdaya saing, bahkan Thailand menunjukkan kinerja yang paling rendah dengan nilai RSCA negatip jauh lebih rendah dari Indonesia.
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan
20
RSCA Karet Indonesia
4,00 3,50 3,00 2,50 2,00 1,50 1,00 0,50 0,00
0,30 RSCA
RCA
RCA Karet Indonesia
-0,20
2010
2011
2012
2013
-0,70 2010
4001
2011
4005
2012
4011
2013
-1,20
4015
4001
RCA Karet Malaysia
4005
4011
4015
RSCA Karet Malaysia
4,00 0,30
2,00
RSCA
RCA
3,00
1,00
-0,20
2010
4001
2011
4005
2012
4011
2013
2012
2013
-1,20
4015
4001
RCA Karet Thailand 4,00 3,50 3,00 2,50 2,00 1,50 1,00 0,50 0,00 2010
2011
4005
2012
4011
4005
4011
4016
RSCA Karet Thailand
RSCA
RCA
2011
-0,70
0,00
4001
2010
2013
4015
0,60 0,40 0,20 0,00 -0,20 -0,40 -0,60 -0,80 -1,00 -1,20
4001
2010
2011
4005
2012
4011
2013
4015
Gambar 4.2. Perkembangan RCA dan RSCA HS 4001, 4005, 4011, dan 4015 Bedasarkan Nilai Ekspor Karet Indonesia, Malaysia, dan Thailand, 2010-2013
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan
21
Berdasarkan ulasan sebelumnya dapat dilakukan peringkat kinerja daya saing keempat produk karet dari ketiga negara eksportir sebagai berikut (Tabel 4.5): Tabel 4.5. Rangkuman Ukuran Daya Saing Empat Produk Karet dari Tiga Negara Eksportir Kode HS 4001 4005 4011 4015
Dasar Volume Nilai Volume Nilai Volume Nilai Volume Nilai
Peringkat Berdaya Saing (RSCA +) Tidak Berdaya Saing (RSCA -) IDN, MLY, THA IDN MLY, THA MLY, THA THA, IDN THA MLY MLY
THAI, MLY IDN IDN MLY MLY, IDN THA, IDN IDN, THA
Sumber: Analisis Data Sekunder, 2015.
4.2
Temuan Turun Lapang Kegiatan turun lapang yang dilakukan dalam analisis ini dilakukan ke
Sumatera Utara, Pekanbaru, dan Jawa Barat. Pemilihan daerah ini didasarkan bahwa Sumatera Utara dan Pekanbaru merupakan salah satu produsen utama karet di Indonesia, sedangkan Jawa Barat merupakan salah satu pusat industri pengolahan karet di Indonesia. Kegiatan turun lapang ke Sumatera Utara mengunjungi kantor Dinas Perindag dan Asosiasi Eksportir Karet Alam. Kegiatan turun lapang ke Pekanbaru mengunjungi eksportir karet alam, sedangkan turun lapang ke Jawa Barat mengunjungi perusahaan produsen selang yang digunakan untuk industri otomotif di dalam dan luar negeri. Adapun hasil temuan turun lapang dapat dilihat selengkapnya dalam Tabel 4.6. Hasil survey ke Sumatera Utara menemukan bahwa permasalahan utama penyebab jatuhnya harga karet adalah kelebihan pasokan dan tutupnya industri pengguna karet alam, khususnya industri sarung tangan. Semenjak harga bahan bakar minyak meningkat dan pasokan gas tidak stabil, industi sarung tangan tidak dapat bertahan dan tutup dua tahun lalu. Sebagai upaya mengatasi penurunan permintaan tersebut, Dinas Perindag dan Asosiasi terkait berupaya melakukan Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan
22
ekspor langsung ke perusahaan ban di China. Hal ini membantu eksportir karet di Sumatera Utara mendapatkan kontrak dengan harga yang relatif baik dibulan September 2015. Tabel 4.6. Temuan Turun Lapang Responden
Penyebab Jatuhnya Harga Karet Alam
Upaya Mengatasi
A. Sumatera Utara Dinas Perindag
Turunnya
permintaan Upaya ekspor langsung
domestik dan luar negeri Asosiasi Eksportir Karet Turunnya Alam
ke industri ban
permintaan Upaya ekspor langsung
domestik dan luar negeri
ke industri ban
Pasokan dunia berlebih B. Pekanbaru Eksportir karet alam
Harga ditentukan pembeli (buyer)
C. Jawa Barat Dinas Perindag
Turunnya permintaan dan Himbauan inudstri untuk kelebihan pasokan dunia
Perusahaan
menggunakan karet alam
Permintaan turun akibat Sebaiknya spesifikasi
karet
alam melakukan
tidak sesuai bagi industri dengan otomotif
pemerintah kerjasama kantor
pusat
industri otomotif agar lebih banyak
menggunakan
karet alam Sumber : Survey 2015, diolah
Hasil survey ke Pekanbaru dan Jawa Barat menemukan kondisi yang berbeda dibandingkan Sumatera Utara. Pemerintah Jawa Barat saat ini menyadari bahwa harga karet alam jatuh akibat kelebihan produksi, dan telah menghimbau indusrti penggolah karet dipropinsi tersebut untuk menggunakan karet alam. Namun sayangnya hal ini belum dapat berjalan optimal. Berdasarkan survey yang kami Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan
23
lakukan ke sebuah perusahaan penghasil selang untuk industri otomotif, pemilihan bahan baku karet alam atau karet sintetis sepenuhnya berdasarkan spesifikasi dari pembeli. Saat ini tidak ada lagi yang memesan selang dengan bahan baku karet alam karena kemampuan karet alam menahan panas dan tekanan kalah baik dibandingkan
karet
sintetis.
Responden
dari
perusahaan
selang
tersebut
menyarankan, jika pemerintah ingin meningkatkan penggunaan karet alam, sebaiknya melakukan kerjasama dengan kantor pusat perusahaan otomotif dan melakukan riset agar kemampuan karet alam menahan panas dan tekanan menjadi lebih baik dibandingkan karet sintetis. 4.3
Dampak Pembatasan Produksi Karet di Tahun 2012-2013 Negara anggota ITRC saat ini merupakan tiga negara penghasil karet
terbesar di dunia. Total produksi ketiga negara tersebut mencapai 8,15 juta ton, atau setara dengan 74,53 persen dari total produksi dunia. Kondisi ini menyebabkan kebijakan dari tiga negara tersebut dikhawatirkan akan kurang efektif karena masih terdapat negara pengahasil karet lain yang besar namun diluar ITRC yaitu Vietnam, China dan India. Menyadari kondisi ini, perlu dianalisis dampak pelaksanaan pembatasan produksi yang pernah dilakukan, antara lain tahun 2012-2013 terhadap perubahan harga karet alam. Tabel 4.7. Data Produksi Beberapa Negara Penghasil Karet
Sumber : ANRPC, 2015 Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan
24
Indonesia bersama negara an nggota ITR RC melaku ukan pembatasan produksi p karet selama s Okttober 2012 2 sampai Maret M 2013 3. Pelaksa anaan pem mbatasan produksi p tersebu ut bertujua an untuk meningkat m tkan harga a jual kare et alam ya ang turun drastis semenjak Desem mber 2010 0. Adapun n pelaksan naan pem mbatasan p produksi tersebut telah berhasil b me eningkatka an harga ka aret alam gabungan g di Indonessia, Malay ysia dan Thailan nd dari US S$ 2,54 pe er ke menja adi US$ 2,9 per kg pada awal Desembe er 2012 (Amri, 2012). Namun N dam mpak seb benarnya dari kegia atan pemb batasan produksi p tersebu ut tidak sig gnifikan, se ebagaimana terlihat dalam d Gam mbar 4.3.
Gamba ar 4.3. Harrga Karet Alam A dan Pembatasa P an Produkssi Karet Keterang gan : : Periode e pembatasan, Oktober 2012 2 - Maret 2013
aporan da ari Amri (2012), ( da ampak pe elaksanaan n kuota Berbeda dengan la produkksi karet yang y diberrlakukan Oktober O 20 012-Maret 2013 tela ah mening gkatkan harga karet k alam m US$ 7,5 cent c per po ound atau meningkat 5% diban ndingkan harga h di bulan Septembe er 2012. Harga H karret tertingg gi terjadi pada bula an Januari 2013, a harga ka aret alam mencapai m US$ 149,8 85 cent pe er pound n namun setelah itu dimana turun US$ U 134 cent c per pound p pada Februarri 2013 da an terus m menurun se ehingga menca apai US$ 59,51 cent per p pound dibulan Se eptember 2015. 2 K BP2KP, Kementerian n Perdagang gan Puska KPI,
25
Data perubahan harga karet dan pelaksanaan pembatasan kuota ternyata juga tidak terlalu baik berdasarkan analisis regresi. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa pelaksanaan kuota produksi karet selama Oktober 2012 - Maret 2013 telah meningkatkan harga karet sebesar US$ 46 cent per pound dibandingkan harga ratarata selama Oktober 2000 - September 2015. Namun setelah pelaksanaan kuota produksi, harga karet alam rata-rata di Indonesia, Malaysia dan Thailand turun sebesar US$ 3,3 cent per pound setiap bulan. Hasil Simulasi Pelaksanaan Kuota Produksi Harga Karet Alam = 95.7 + 46.0 Dummy Pelaksanaan Kuota Produksi S = 53.43
R-Sq = 2.4%
R-Sq(adj) = 1.8%
Hasil Simulasi Setelah Kuota Produksi Harga Karet Alam = 97.8 - 3.3 Dummy Setelah Pelaksanaan Kuota Produksi S = 54.05
R-Sq = 0.1%
R-Sq(adj) = 0.0%
Berdasarkan data dalam Gambar 4.3 dan hasil analisis regresi dengan variabel dummy, terlihat bahwa kebijakan kuota produksi karet hanya efektif meningkatkan harga karet alam sebesar 5% untuk periode yang sangat singkat. Berdasarkan kondisi ini, jika Indonesia jadi melaksanakan pembatasan produksi karet alam, perlu disusun serangkaian kebijakan agar Indonesia memiliki kemampuan untuk menjual sebanyak mungkin karet alam saat pembatasan tersebut. Jika Indonesia tidak memiliki kemampuan tersebut, maka negara yang akan mengambil keuntungan adalah negara yang memiliki stock karet alam terbesar saat ini, yaitu Thailand. 4.4
Usulan
Kebijakan
untuk
Mengatasi
Jatuhnya
Harga
Karet
dan
Meningkatkan Nilai Tukar Petani dan Pangsa Pasar Karet Ekspor Indonesia Usulan kebijakan untuk mengatasi jatuhnya harga karet dan meningkatkan nilai tukar petani dan pasar karet ekspor Indonesia dengan cara dua hal, yaitu mendorong kinerja ekspor produk kode HS 4001 dan produk dengan kode HS lain Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan
26
yang menunjukkan RSCA positip meskipun pangsa eskpornya rendah. Produk karet dengan kode HS 4001 perlu didorong ekspornya karena 1) mempunyai pangsa ekspor terbesar dari Indonesia, dan 2) menunjukkan daya saing tertinggi dibanding Malaysia dan Thailand. Produk karet lain dengan pangsa ekspor rendah namun berdaya saing perlu didorong kinerja perdagangannya karena berpeluang menjadi produk bagi pasar masa depan ekspor karet Indonesia. Produk-produk tersebut antara lain adalah kode HS 4004 dan 4010 yang menunjukkan kenaikan kinerja daya saing selama periode 2010-2013 (Gambar 4.4). Dengan peningkatan RSCA dari nilai ekspor mengindikasikan adanya kenaikan harga per unit produk karet ekspor Indonesia.
RSCA Nilai Ekspor Karet Indonesia 0,40
4002
0,20
4003
0,00 RSCA
‐0,20
4004 2010
2011
2012
2013
4005
‐0,40
4006
‐0,60
4007
‐0,80
4008 4009
‐1,00
4010
‐1,20
Gambar 4.4. Perkembangan Ukuran Daya Saing dari Nilai Ekspor Karet Indonesia Dominasi satu jenis produk karet dengan pangsa yang demikian besar tidak sehat untuk kinerja perdagangan dalam jangka panjang. Apabila terjadi harga jatuh maka akan berdampak bagi penerimaan petani karet karena pangsa ekspor utama karet Indonesia masih berupa produk primer, sehingga dampaknya akan langsung berimbas kepada petani. Peningkatan konsumsi domestik terhadap karet alam oleh industri di dalam negeri perlu didorong dengan regulasi dan tindakan pengawasan dan penindakan apabila terjadi pelanggaran.
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan
27
BAB V PENUTUP
5.1
Kesimpulan Berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya dapat disimpulkan sebagai
berikut: a. Penyebab jatuhnya harga karet Indonesia secara umum adalah situasi ekonomi global antara lain a) booming Shale Gas dari AS mengakibatkan harga karet sintetis lebih murah dari karet alam, b) pelemahan ekonomi importir utama karet di dunia, yaitu AS, Eropa dan China mengakibatkan industri otomotif ketiganya turut melemah, dan c) depresiasi mata uang tiga negara eksportir karet alam mengakibatkan sentiment pasar, investor mengalihkan investasi dari komoditas ke valuta asing. b. Penyebab jatuhnya harga karet Indonesia secara khusus adalah dominasi pangsa ekspor produk karet primer yang bersaing dengan Malaysia dan Thailand. c. ITRC memproduksi 74,53 persen produksi dunia, dimana masih terdapat negara lain penghasil karet yang bukan anggota yaitu Vietnam, China dan India. Kondisi ini menyebabkan kebijakan ITRC kurang efektif, sebagaimana kasus pelaksanaan pembatasan kuota produksi karet di tahun 2012-2013 hanya meningkatkan harga karet 5% selama periode pelaksanaan kuota tersebut. Setelah pelaksanaan kuota, harga karet terus jatuh sampai saat ini. 5.2
Implikasi Kebijakan Berdasarkan kesimpulan di muka diusulkan kebijakan tetap mendorong
kinerja ekspor produk yang menunjukkan peningkatan daya saing, yaitu kode HS 4004 dan 4010, mengurangi alokasi produk HS 4001 dari ekspor dengan meningkatkan konsumsi domestik atas produk tersebut oleh industri pengolah di dalam negeri. Upaya peningkatan ekspor tersebut dapat dilakukan melalui negosiasi kepada kantor pusat industri pengguna khususnya pabrik ban dan otomotif.
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan
28
Namun, jika tetap memberlakukan kuota produksi karet, Indonesia harus menyusun serangkaian kebijakan agar memiliki stock karet dalam jumlah besar untuk dijual selama periode tersebut. Jika tidak, peningkatan harga karet yang sangat sedikit hanya akan dinikmati negara yang memiliki cadangan karet besar seperti Thailand. Selain itu dapat dilaksanakan usaha alternatif melakukan lobby kepada produsen utama pabrik ban dan industri otomotif untuk menggunakan dan membeli langsung karet alam produksi Indonesia sebagai upaya memperoleh nilai jual yang lebih baik.
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan
29
DAFTAR PUSTAKA Amri, A.B. Desember 2012. Harga karet naik usai ekspor dibatasi di 3 negara. Kontan. Diakses melalui http://m.kontan.co.id/news/harga-karet-naik-usaiekspor-dibatasi-di-3-negara pada November 2015. Association of Natural Rubber Producing Countries (ANRPC). 2015. Natural Rubber Trends & Statistics. Kuala Lumpur, Malaysia. ANRPC. 2015. Working Group of Experts for Supply-Demand. 9th Meeting of Information & Statistics Committee, 21 October 2015, Siem Reap, Cambodia. Association of Natural Rubber Producing Countries, Kuala Lumpur. Bulletin Karet. 2014. Biaya Hidup Petani. Nomor 12 Tahun XXXVI (5). 5 Desember 2014. International Rubber Consortium Limited. 2015. Company Profile dan Objective. Diunduh melalui Chttp://www.irco.biz/Objective.php pada 1 Mei 2015. Kotler P dan Kevin LK. 2008. Manajemen Pemasaran. Airlangga. Jakarta. Kristanto J. 2013. Manajemen Pemasaran Internasional Sebuah Pendekatan Strategi. Erlangga. Jakarta. PT Perkebunan Nusantara IX (PTPN IX). 2015. Harga karet 8 April: Jatuh Ke Bawah 200 Yen/Kg. Berita. Semarang. Diunduh melalui www.bumn.go.id. pada 1 Mei 2015. Rachmat, Muchjidin. 2000. Analisis Nilai Tukar Petani. Disertasi. IPB. Bogor. Reuters, January 2015. China changes compound rubber recipe; move to hurt top producers. Industries. Diunduh melalui http://www.reuters.com/article/2015/01/07/china-rubberidUSL3N0UM1HD20150107 pada 1 Mei 2015. Reuters, March 2015. Natural rubber output to resume growth in 2015, China imports to drop-ANRPC. Industries. Diunduh melalui http://www.reuters.com/article/2015/03/05/rubber-output-anrpcidUST9N0NH03P20150305 pada 1 Mei 2015. Saaty TL. 1993. Proses Hirarki Analitik untuk Pengambilan Keputusan dalam Situasi yang Kompleks (Terjemahan). PT Pustaka Binaman Pressindo. Jakarta. Sarma, M. 2013. Pemasaran Internasional Komoditi Pertanian dan Industri di Indonesia. IPB Press. Simon, Robert. 2014. Outlook for Rubber Demand. ANRPC Annual Rubber Conference. Suryaningrum, Tri. 2013. Strategi Pemerintah Indonesia Untuk Ekspor Karet Pasca Krisis Finansial Amerika Serikat (2009-2010). eJournal Ilmu Hubungan Internasional, 2013, 1 (2): 179-190 ISSN 0000-0000, ejournal.hi.fisipunmul.org. Diunduh melalui http://ejournal.hi.fisip-unmul.ac.id/site/wpcontent/uploads/2013/05/eJournal%20Ilmu%20Hubungan%20Internasional% 20(05-07-13-12-54-48).pdf pada 14 Juni 2015. Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan
30
Tambunan T. 2013. Perkembangan Sektor Pertanian di Indonesia: Beberapa Isu Penting. Ghalia. Jakarta. World Integrated Trade Solution (WITS), 2015. Trade Statistic. UN-Comtrade, Geneve. Diunduh melalui wits.worldbank.org pada 1 Mei 2015. Yusdja Y dan Nyak I. 2004. Tinjauan Kebijakan Pengembangan Agribisnis Sapi Potong. Agribisnis. 6: 179-190.
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan
31